potensi hewan reservoar dalam penularan schistosomiasis pada

advertisement
© 2004 Yusuf Ridwan
Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702)
Sekolah Pasca Sarjana/S3
Institut Pertanian Bogor
Desember 2004
Posted 14 December 2004
Dosen:
Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng, M.F (Penanggung Jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto, M.Sc
Dr. Ir. Hardjanto, M.S
POTENSI HEWAN RESERVOAR DALAM PENULARAN
SCHISTOSOMIASIS PADA MANUSIA
DI SULAWESI TENGAH
Oleh:
Yusuf Ridwan
B063040021/SVT
[email protected]
PENDAHULUAN
Schistosomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh sejenis parasit cacing
dari famili shistosomatidae yang memiliki habitat pada pembuluh darah disekitar usus
atau kandung kemih. Penyebaran schistosomiasis sangat luas di daerah tropis maupun
subtropis. Diperkirakan penyakit ini menginfeksi 200 sampai 300 juta orang pada 79
negara dan sebanyak 600 juta orang mempunyai resiko terinfeksi (Medical Service
Corporation International, 2000). Di Indonesia schistosomiasis pada manusia hanya
ditemukan didaerah dataran tinggi Lembah Napu dan Lindu, Sulawesi Tengah yang
disebabkan oleh cacing Schistosoma japonicum.
Schistosomiasis adalah penyakit zoonotik dan merupakan masalah kesehatan
masyarakat. Infeksi shistosoma dapat menimbulkan gejala-gejala yang bersifat umum
seperti gejala keracunan, disentri , penurunan berat badan , penurunan nafsu makan,
kekurusan dan lambatnya pertumbuhan pada anak-anak. Sedang pada penderita yang
sudah kronis dapat menimbulkan pembengkakan hati yang umumnya berakhir dengan
kematian.
Pengendalian schistosomiasis di Sulawesi Tengah diawali tahun 1974
melalui pengobatan penderita, pemberantasan siput sebagai inang antara dengan
molusida dan
melalui agroengineering. Program pengendalian dilanjutkan dengan
1
program pengendalian yang lebih intensif dengan melibatkan berbagai institusi dimulai
pada tahun 1982. Program ini mampu menekan tingkat infeksi sampai 2,2 % dan 3,5 %
pada tahun 1994 masing-masing untuk daerah Lembah Napu dan lembah Lindu.
Menurut Hadidjaya (1982) tingkat infeksi sebelum program penegendalian adalah 15,8
% dan 35,8 % untuk lembah Lindu dan Napu. Tingkat infeksi menurun kembali dua
tahun kemudian yaitu 1,4 % untuk Lembah Napu sedangkan untuk lembah lindu adalah
1,1 % (Sudomo, 2000).
Walaupun secara umum program pengendalian berhasil menekan angka infeksi,
akan tetapi dengan adanya orang yang masih terinfeksi menunjukkan reinfeksi masih
terus berlangsung dan infeksi schistosoma masih
mengancam penduduk pada dua
wilayah tersebut. Reinfeksi masih berlangsung dimungkinkan karena masih adanya
sumber infeksi yang berasal dari hewan reservoar dan kebiasan manusia yang
memungkinkan kontak dengan larva infektif sehingga infeksi berlangsung secara terus
menerus. Selama ini program pengendalian yang telah dilakukan belum melibatkan
hewan yang dapat bertindak sebagai reservoar yang akan menjadi sumber penularan
bagi manusia. S. japonicum selain menginfeksi manusia juga dapat menginfeksi hewan
mamalia. Schistosomiasis dapat ditularkan dari manusia ke hewan mamalia dan dari
hewan mamalia ke manusia melalui perantaraan siput Oncomelania hupensis
lindoensis.
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan potensi hewan reservoar dalam
penularan schistosomiasis pada manusia yang dapat digunakan sebagai pertimbangan
dalam usaha pemberantasan schistosomiasis di Sulawesi Tengah.
METODOLOGI
Makalah ini disusun berdasarkan penelusuran pustaka yang relevan dengan
aspek biologi dan faktor-faktor yang berpengaruh dalam epidemiologi schistosomiasis
terutama aspek penularan S. japonicum. Pembahasan makalah ini dititikberatkan pada
menggali potensi hewan reservoar yang berperan dalam penularan schistosomiasis
pada manusia di Sulawesi Tengah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Siklus Hidup Schistosoma japonicum
Cacing dewasa S. Japonicum tinggal didalam pembuluh darah vena mesenterika
disekitar usus halus dan vena porta. Cacing betina dalam pembuluh darah penderita
2
memproduksi telur dalam jumlah ratusan sampai ribuan setiap hari. Sebagian besar
telur tetap berada dalam tubuh dan lainnya memasuki pembuluh empedu atau usus dan
kemudian keluar bersama tinja penderita.
Gambar 1. Siklus Hidup Schistosoma Japonicum (Campbell, 1996)
Telur cacing dalam tinja manusia atau hewan dilingkungan yang berair akan
segera menetas dan mengeluarkan larva yang dissebut mirasidium. Masa hidup
mirasidium sangat singkat, oleh karena itu harus segera menemukan siput yang
bertindak sebagai inang antaranya yaitu siput Oncomelania. Jika larva ini tidak
3
menemukan siput Oncomelania , dalam waktu 12 jam, larva ini akan mati. Mirasidium
berenang dengan bantuan silia sampai mendapatkan spesies siput yang cocok sebagai
inang antara. Bila berhasil menemukan siput, mirasidum melakukan penetrasi kedalam
tubuh siput dan melakukan perubahan bentuk menyerupai kantung yang disebut
sporokista. Di dalam tubuh sporokista
memperbanyak diri secara aseksual
menghasilkan ratusan serkaria. Ketika serkaria lolos keluar dari siput, serkaria mampu
menginfeksi manusia dan hewan yang rentan. Dilingkungan berair serkaria berenang
menggunakan ekornya sampai mendapatkan inang definitive.
Manusia atau hewan terinfeksi pada saat kontak dengan air yang terkontaminasi
dengan serkaria. Serkaria masuk kedalam tubuh manusia melalui kulit. Pada saat
memasuki kulit manusia, serkaria melepaskan ekornya dan berubah menjadi cacing
muda (sistosomula). Selanjutnya cacing ini menembus jaringan memasuki pembuluh
darah masuk kedalam jantung dan paru-paru untuk selanjutnya masuk kedalam vena
porta disekitar hati. Cacing dewasa dalam vena porta akan berpasangan dimana cacing
betina akan masuk kedalam celah/saluran ( canalis ginecophoric) yang terdapat
disepanjang tubuh cacing jantan. Pada akhirnya pasangan-pasangan cacing S.
japonicum bersama-sama pindah ketempat tujuan terakhir yaitu pembuluh darah usus
kecil (vena mesenterika) yang merupakan habitatnya dan sekaligus tempat bertelur.
Penularan schistosomiasis pada manusia
Penularan schistosomiasis terjadi apabila larva serkaria yang berada dalam air
menemukan inang definitive, dengan kata lain transmisi penyakit schistosomiasis pada
manusia terjadi apabila manusia berada pada lingkungan perairan yang sudah
mengandung larva serkaria dari S. japonicum. Schistosomiasis adalah masalah
kesehatan masyarakat yang berkaitan erat dengan masalah sosial budaya dan
kemiskinan. Pada umumnya orang yang terinfeksi adalah orang-orang yang mempunyai
kehidupan dekat dengan perairan atau tidak terpisahkan dengan lingkungan air.
Masyarakat di sebagian wilayah Indonesia mempunyai kebiasaan mandi, mencuci,
mengambil air disungai dan buang hajat disungai, parit, atau disawah. Kebiasaan mandi,
mencuci, dan mengambil air di sungai sangat beresiko terinfeksi S. japonicum. Mereka
terinfeksi cacing S. japonicum pada saat kontak dengan air yang terkontaminasi dengan
larva serkaria yaitu pada saat melakukan kegiatan harian tersebut. Selain kegiatan
tersebut, infeksi S japonicum juga berkaitan dengan pekerjaan. Bertani, memancing dan
4
berburu dihutan merupakan pekerjaan yang memiliki resiko sangat besar terhadap
infeksi S. japonicum.
Tingkat infeksi schistosomiasis pada manusia antara satu daerah dengan daerah
lainnya berbeda.
Perbedaan pola keterpaparan menunjukkan adanya perbedaan
kehidupan sosial, ekonomi, dan perbedaan variasi ekologi dari satu daerah dengan
daerah lainnya. Menurut Carney et al. (1974) penderita schistosomiasis di lembah Napu
terdiri dari semua golongan umur dengan jumlah penderita terbanyak pada golongan
umur 10-19 tahun dan 30-39 tahun, yaitu mereka yang termasuk golongan umur
produktif. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara infeksi dengan
pekerjaan. Orang yang bekerja disawah mempunyai resiko terinfeksi lebih besar
dibandingkan anak-anak. Keterkaitan antara infeksi S. japonicum dan pekerjaan juga
ditemukan di China. Ross et al. (1998) melaporkan bahwa didaerah danau Dongting
China, infeksi schistosoma terjadi terutama pada laki-laki usia 18 -49 tahun pada waktu
menjelang sore hari
saat memancing. Hasil penelitian yang berbeda ditemukan di
Lembah Besoa Sulteng, angka prevalensi yang tinggi terdapat pada usia 5-9 tahun 1019 tahun (Renimanora et al.,1988). Hal ini terjadi karena usia tersebut disamping
membantu orang tua mencari nafkah baik disawah maupun mencari kayu dihutan,
mereka juga sukar dilarang untuk tidak mandi atau bermain disuatu tempat yang
kemungkinan sudah tercemar serkaria.
Masalah dan Tantangan Untuk Pengendalian
Penularan schistosomiasis
disuatu daerah dipengaruhi oleh berbagai faktor
yang saling berkaitan. keberadaan inang definitive yang rentan
yaitu manusia dan
hewan mamalia merupakan salah satu factor yang penting. Pada inang definitive
tersebut cacing dewasa S. japonicum hidup dan bertelur untuk melanjutkan siklus
hidupnya. Luasnya inang definitive yang dapat diinfeksi menjadi kendala dalam
pengendalian schistosomiasis.
S. japonicum selain menginfeksi manusia juga dapat menginfeksi hewan
mamalia,
sehingga
schistosomiasis
termasuk
kedalam
penyakit
Zoonosis.
Schistosomiasis dapat ditularkan dari manusia ke hewan mamalia dan dari hewan
mamalia ke manusia melalui perantaraan siput Oncomelania. Hewan mamalia
mempunyai peranan yang sangat penting dalam transmisi schistosomiasis sebagai
inang reservoar. Selama ini hewan yang memiliki potensi dalam proses transmisi
schistosomiasis
pada manusia
di
daerah
endemis
belum
tersentuh
program
5
pengendalian, sehingga terlihat walaupun tingkat infeksi sudah rendah pada manusia
tetapi pada hewan menunjukan angka yang masih cukup tinggi. Angka infeksi S.
japonicum pada tikus sebagai indikator penularan bervariasi antara 0 – 10,5 %
(Sudomo, 2003). Data ini menunjukan infeksi masih berlangsung terus menerus di
daerah endemis. Sumber infeksi akan selalu tersedia dari kontaminasi lingkungan oleh
telur schistosoma yang berasal dari hewan seperti anjing, kucing, ruminansia, babi dan
hewan mamalia lainnya.
Untuk mengendalikan Schistosomiasis pada manusia tentu harus juga dilakukan
pengendalian pada hewan. Tanpa adanya pengendalian pada hewan, infeksi pada
manusia akan berlangsung terus menerus karena masih terdapat sumber penular yaitu
hewan reservoar. Hewan yang terinfeksi schistosoma akan menjadi sumber penular
karena dari hewan tersebut akan keluar telur schisosoma yang akan berkembang
dilingkungan yang pada akhirnya akan menjadi bentuk yang infektif untuk manusia
setelah melakukan reproduksi aseksual didalam siput. Untuk melakukan pengendalian
schistosomiasis pada hewan diperlukan pengetahuan tentang epidemiologi penyakit
tersebut.
Namun sayangnya sampai saat ini pengetahuan tentang jenis hewan dan
peranan hewan dalam penularan S. japonicum , serta informasi epidemiologi lainnya
belum banyak diketahui.
Potensi Hewan Reservoir dalam Penularan Schistosomiasis
Cacing S. japonicum merupakan cacing yang mampu menginfeksi berbagai
hewan vertebrata termasuk manusia. Hewan yang mampu bertindak sebagai inng
definitive untuk cacing ini sangat luas karena bersifat non spesifik hospest. Keterbatasan
hewan vertebrata dapat bertindak sebagai inang definitive karena perbedaan peluang
inang berkontak dengan air. Tidak semua hewan menyenangi lingkungan berair
sehingga peluang kontak dengan agen infektif sangat kecil. Hasil penelitian menunjukan
baik hewan peliharaan maupun hewan liar disekitar hutan lindung terinfeksi S.
japonicum. Menurut Ilyas (1988) Schistosoma japonicum ditemukan pada 13 spesies
hewan antara lain tikus hutan, rusa hutan, babi hutan, kucing hutan dan hewan
peliharaan (sapi, kerbau sawah, kuda dan anjing). Tingkat Prevalensi Schistosomiasis
diantara berbagai hewan bervariasi. Sudomo (1980) melaporkan infeksi S. japonicum
pada anjing (29 %), babi (27 %), sapi (7 %), kerbau (10 %), kuda (2%) dan kucing hutan
(75 %). Sedangkan Renimanora (1988) melaporkan tingkat prevalensi pada tikus adalah
6,25 % di desa Torire dan 10 % di desa Betue.
6
Hewan liar mempunyai peranan dalam memelihara siklus hidup S. japonicum di
dalam hutan dan di pemukiman. Hewan liar yang terinfeksi akan menjadi sumber
penular untuk hewan liar yang lainnya. Hewan liar tersebut akan mengeluarkan telur
dalam tinjanya dan akan menetas menjadi mirasidium yang infektif untuk siput. Adanya
fokus siput sebagai inang antara dihutan dan hewan liar yang rentan terhadap infeksi
akan memudahkan terjadinya proses penularan S. japonicum . Habitat primer siput
Oncomelania hupensis lindoensis sebagai inang antara adalah areal diantara hutan dan
dataran rendah serta areal ditengah hutan yang berawa yang selalu digenangi air (
Hadidjaja dan Sudomo, 1976). Selain dapat menginfeksi
hewan liar, serkaria yang
keluar dari siput akan menjadi sumber infeksi untuk manusia dan anjing yang berburu
dihutan atau orang-orang yang mengambil kayu yang melalui fokus siput dimana
serkaria terkumpul didaerah tersebut. Jadi hewan liar memiliki peran dalam memelihara
siklus S. japonicum didalam hutan dan secara tidak langsung sebagai sumber penularan
S. japonicum pada manusia.
Hewan peliharaan memiliki peranan sangat penting dalam proses penularan
schistosomiasis pada manusia di pemukiman. Dari beberapa hewan peliharaan yang
dapat terinfeksi S. japonicum, sapi dan kerbau merupakan inang reservoar potensial
yang paling penting untuk schistosomiasis pada manusia, sedangkan hewan ruminansia
lainnya yaitu kambing dan domba relative tidak penting. Walaupun kambing dan domba
sangat rentan, akan tetapi kurang menyukai lingkungan berair maka peluang terinfeksi
sangat kecil sehingga tidak memberikan kontribusi dalam transmisi secara keseluruhan
Sedangkan sapi dan kerbau mudah terinfeksi karena menyukai lingkungan berair dan
juga digunakan untuk membajak sawah. Selain itu hewan ini dibiarkan berkeliaran
bebas mencari makan didaerah endemis, termasuk disawah, dipegunungan, lembah
dan disekitar danau. Hasil penelitian di China menunjukkan didaerah rawa dimana S.
japonicum endemis
5-40 % sapi/kerbau terinfeksi S. japonicum (Ross et al.,2004).
Banyaknya kerbau yang terinfeksi akan memberikan kontribusi yang besar terhadap
proses penularan melalui kontaminasi telur pada lingkungan. Dibeberapa daerah
dimana S. japonicum endemis, proporsi terbesar (>70 %) kontaminasi lingkungan
berasal dari defekasi kerbau (Zeng, et al. 1997). Sapi dan kerbau merupakan hewan
yang besar (500 kg), mampu mengeluarkan tinja 100 kali
lebih banyak dibanding
manusia (25 kg/hari : 250 gram/hari). Tinja sapi atau kerbau yang dideposit dekat atau
dipermukaan air akan memberikan kontribusi dalam penyebaran telur S. japonicum yang
pada akhirnya akan memberikan kontribusi yang besar dalam proses penularan. Selain
7
memiliki tubuh yang besar, sapi dan kerbau mampu hidup selama 10-12 tahun dapat
membawa sejumlah schistosme dan selama itu dapat menyebarkan telur cacing.
Anjing dan babi juga merupakan inang yang potensial penting dalam penularan
schistosomiasis. Tingkat prevalensi schistosomiasis pada kedua hewan tersebut
didaerah endemis cukup tinggi yaitu pada anjing 29 %, babi 27 % (Sudomo ,1980).
Anjing dan babi umumnya dipelihara secara bebas berkeliaran sehingga memiliki akses
yang cukup besar terhadap lingkungan perairan. Anjing selain dapat terinfeksi dalam
wilayah pemukiman, juga dapat terinfeksi dihutan karena sering digunakan untuk
berburu. Tingginya angka infeksi pada kedua hewan ini akan memberi kontribusi
terhadap proses penularan melalui kontaminasi telur pada lingkungan, walaupun tidak
sebesar dibanding dengan sapi atau kerbau.
Tikus merupakan hewan yang digunakan untuk indikator penularan disuatu
daerah. Hewan ini mampu hidup diberbagai habitat, karena mempunyai daya adaptasi
yang tinggi dan kosmopolitan. Daerah pesawahan, daerah berawa, maupun semak
belukar dipinggiran hutan merupakan habitat yang dapat ditempati tikus. Hidup pada
habitat yang dekat dengan lingkungan berair akan memudahkan tikus terinfeksi S.
japonicum. Akan tetapi, walaupun tikus dapat membawa infeksi tetapi relative tidak
terlalu penting perananya dalam penularan schistosomiosis pada manusia. Ukuran tikus
yang relative kecil akan memberi kontribusi pencemaran telur pada lingkungan yang
sedikit karena tinja yang dikeluarkan juga sedikit.
Berdasarkan potensi hewan yang cukup besar dalam proses penularan
schistosomiasis, pengendalian schistosomiasis harus segera dilakukan selain pada
manusia juga pada hewan. Tahap pertama yang harus dilakukan adalah mengetahui
epidemiologi schistosomiasis pada hewan sebagai dasar untuk menentukan metoda
pengendalian yang tepat. Pengendalian schistosomiasis pada manusia
yang
disinergikan dengan pengendalian pada hewan akan memberikan hasil yang lebih baik
dalam upaya menekan angka infeksi dan dengan usaha yang lebih keras akan dapat
mengeliminasi penyakit di kedua daerah endemik.
KESIMPULAN
Program pengendalian schistosomiasis pada manusia akan lebih berhasil
menekan angka schistosomiasis, apabila diikuti dengan pengendalian pada hewan.
Hewan mamalia, baik hewan peliharaan maupun hewan liar memiliki potensi sebagai
sumber penular schistosomiasis untuk manusia.
8
Pengendalian schistosomiasis pada hewan akan efektif apabila dilakukan
dengan pendekatan epidemiologi penyakit. Melalui informasi epidemiologi seperti jenis
hewan yang terinfeksi, angka infeksi, angka relative kontribusi, fluktuasi populasi
schistoma pada hewan, dapat menentukan metode pengendalian schistosomiasis yang
tepat. Oleh karena itu penelitian epidemiologi schistosomiasis pada hewan sangat
diperlukan untuk pengendalian schistosomiasis.
DAFTAR PUSTAKA
Campbell, N.A. 1996. Biology, Fourth Edition, New York : Benjamin /Cummings, pp 600601. http://science.northern.edu/biology/genbio/images/trematoda.html
[4 November 2004]
Hadidjaja, P dan M. Sudomo. 1976. Some aspect on the ecology and Biology of O.
lindoensis. Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. Hlth., 7(2)
Ilyas, I. 1988. Analisis situasi pemberantasan Schistosomiasis di Indonesia. Prosiding .
Seminar Parasitologi Nasional V. Ciawi, Bogor, 20-22 Agustus 1988.
Medical Service Corporation International (MSCI). 2000. Schistosomiasis. Environmental
Health and Diseases Control. http://mscionline.com/Tropical Diseases Fact Sheets/
schistosomiasis.htm. [5 Oktober 2004]
Renimanora, Arwati, T. Indijati, dan Wardiyo. 1988. Prevalensi schistosomiasis menurut
golongan umur dan peranan air bersih dan jamban keluarga terhadap penularan
penyakit di 3 desa di Lembah Besoa, Sulawesi Tengah. Abstrak. Seminar
Parasitologi Nasional V dan Kongres P4I IV. Bogor, 20-22 Agustus 1998.
Ross, A.G.P., A.C. Sleigh, Y.Li, G.M. Davis, G.M, Williams,Z. jiang, Z. Feng, and D.P.
McManus. 2004. Schistosomiasis in the people’s Republic of China: Prospects and
Challenges for the 21st Century. http://cmr.asm.org/cgi/content/full/14/2/270.
[5 Oktober 2004]
Sudomo, M. 1980. Some aspects of schistosome transmission in Central Sulawesi,
Indonesia. Doctorate Disertation. Bandung Institute of Technology.
Sudomo, M. 2000. Schistosomiasis control in Indonesia. Majalah Parasitologi Indonesia
13 (1-2): 1-10.
Sudomo, M. 2003. Central Sulawesi Integrated Area Development and Conservation
Project. Sixt Term (Quarterly) Report. ADB LOAN 1605-INO.
Zheng, J. Q.S. Zheng, X.P.Wang, and Z.H. Hua.1997. Influence of livestock husbandry
on schistosomiasis transmission in mountainous regions of Yunan Province. SE
Asian J. Trop. Med. Publict Health 28:291-195.
9
Download