INFOKES, VOL. 1 NO. 1 Februari 2010 ISSN : 2086 - 2628 ANALISIS KEAKURATAN KODE DIAGNOSIS PENYAKIT COMMOTIO CEREBRI PASIEN RAWAT INAP BERDASARKAN ICD-10 REKAM MEDIK DI RUMAH SAKIT ISLAM KLATEN Oleh: Novita Yuliani Apikes Citra Medika Surakarta ABSTRAKSI Penyakit Commotio Cerebri di Rumah Sakit Islam Klaten pada tahun 2008 masuk dalam 10 besar. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian diskriptif, pengambilan data sampel dengan menggunakan metode observasi pada dokumen rekam medik pasien rawat inap penyakit Commotio Cerebri, serta menggunakan pendekatan retrospektif . Identifikasi variabel meliputi diagnosis utama penyakit Commotio Cerebri, Kode diagnosis utama penyakit Commotio Cerebri, dan akurasi kode diagnosis utama penyakit Commotio Cerebri. Populasi Commotio Cerebri sebanyak 573 dokumen rekam medik, dengan sampel penelitian sebanyak 236 dokumen rekam medik. Instrumen penelitian berupa check list, pedoman wawancara dan ICD-10. Pengolahan data dilakukan dengan collecting, editing, classification, dan tabulating. Analisis data dengan menggunakan cara diskriptif. Jumlah ketidakakuratan kode diagnosis utama penyakit Commotio Cerebri pasien rawat inap di Rumah Sakit Islam Klaten sebanyak sampel yaitu 236 dokumen rekam medik sampai dengan karakter kelima. Persentase keakuratan kode diagnosis utama penyakit Commotio Cerebri pasien rawat inap sebesar 0% untuk karakter kelima sedangkan persentase keakuratan kode diagnosis utama penyakit Commotio Cerebri pada karakter keempat sebesar 66,52%. Tingkat ketidakakuratan paling tinggi disebabkan kode diagnosis utama penyakit Commotio Cerebri kurang spesifik pada karakter keempat dan kelima hal ini disebabkan kurang ketelitian dalam membaca atau menganalisis dokumen rekam medik dan tidak jelas atau tidak lengkapnya diagnosis yang tertulis pada lembar ringksan masuk dan keluar serta kurangnya pengetahuan petugas tentang karakter kelima. Kata Kunci : Diagnosis utama. ICD-10, Kode diagnosis utama, akurasi kode Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan 17 INFOKES, VOL. 1 NO. 1 Februari 2010 ISSN : 2086 - 2628 PENDAHULUAN Rumah Sakit merupakan salah satu sarana penyelenggara dan pemberi pelayanan kesehatan sehingga selalu berusaha memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik agar dapat meningkatkan derajat kesehatan seluruh lapisan masyarakat. Untuk mewujudkannya diperlukan peningkatan mutu pelayanan kesehatan dengan dukungan dari berbagai faktor yang terkait, salah satunya melalui penyelenggaraan rekam medik pada setiap pelayanan kesehatan. Rekam medik adalah salah satu sarana untuk menunjang tercapainya tertib administrasi dalam rangka upaya peningkatan pelayanan kesehatan dirumah sakit. Tertib administrasi rumah sakit akan berhasil sebagaimana yang diharapkan apabila didukung dengan satu sistem pengelolaan rekam medik yang benar. Pengertian rekam medik menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.269/Menkes/PER/III/2008, rekam medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Keterangan–keterangan dalam berkas rekam medik tersebut berdasarkan pemeriksaan, pengobatan, observasi dan wawancara. Keterangan atau informasi yang terdapat dalam berkas rekam medik tersebut tidak boleh disebarluaskan kepada pihak–pihak yang tidak berwenang, karena berkas rekam medik tersebut merupakan dokumen yang bersifat rahasia menyangkut individu pasien secara langsung. Hal ini semata–mata dilakukan, demi ketenangan pasien dan demi keamanan rumah sakit dari pihak–pihak yang dapat merugikan dari keadaan tersebut. Isi dari dokumen rekam medik terdapat informasi tentang diagnosis akhir pasien yang digunakan dalam proses pengkodean. Pengkodean ini dilakukan dengan menggunakan standar klasifikasi penyakit yang sesuai dengan ICD–10 (International Statistical Classification of diseases and Related health Problem Tenth Revision). KAJIAN PUSTAKA Rekam Medik Rekam medik menurut peraturan Menteri Kesehatan RI No.269/MENKES/PER/III/2008, adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Sedangkan berdasarkan Huffman (1994) bahwa rekam medik adalah rekaman atau catatan mengenai siapa, apa, mengapa, bilamana, dan bagaimana pelayanan yang diberikan kepada pasien selama dalam Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan 18 INFOKES, VOL. 1 NO. 1 Februari 2010 ISSN : 2086 - 2628 perawatan yang memuat pengetahuan mengenai pasien dan pelayanan yang diperoleh serta memuat informasi yang cukup untuk menemukenali (mengidentifikasi pasien, membenarkan diagnosis dan pengobatan serta merekam hasilnya. Dalam Surat Keputusan Direktorat Jendral Pelayanan Medik No.78/YanMed/RSUmdik/YMU/1991 dijelaskan lebih lanjut bahwa rekam medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, pengobatan, tindakan pelayanan lain yang diberikan kepada seorang pasien selama dirawat di rumah sakit yang dilakukan diunit-unit rawat jalan termasuk unit gawat darurat dan unit rawat inap (Shofari, 2002). Rekam medik dikatakan lengkap apabila didalamnya berisi keterangan, catatan dan rekaman yang lengkap mengenai pelayanan yang diberikan kepada pasien, meliputi9 hasil wawancara (anamnesa), hasil pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan penunjang bila dilakukan pemeriksaan laboratorium, roentgen, elektrokardiogram, diagnosis, pengobatan, dan tindakan bila dilakukan serta hasil akhir dari pelayanan medik maupun keperawatan dan semua pelayanan (Shofari, 2002). Tujuan rekam medik adalah menunjang tercapainya tertib administrasi dalam rangka upaya peningkatan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Tanpa didukung suatu sistem pengelolaan rekam medik yang baik dan benar, maka mustahil tertib administrasi rumah sakit akan berhasil dicapai sebagaimana yang diharapkan, sedangkan tertib administrasi merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit (Departemen Kesehatan RI, 1997). Menurut Depkes RI (1997), kegunaan rekam medik dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain: aspek administrasi, aspek hukum, aspek keuangan, aspek penelitian, aspek pendidikan, dan aspek dokumentasi. Berkas rekam medik mempunyai nilai administrasi, karena isinya menyangkut tindakan berdasarkan wewenang dan tanggung jawab sebagai tenaga medik dan paramedik dalam mencapai tujuan kesehatan. Sedangkan suatu berkas rekam medik mempunyai nilai hukum, karena isinya menyangkut masalah adanya jaminan kepastian hukum atas dasar keadilan, atas dasar usaha menegakkan hukum serta penyediaan bahan bukti untuk menegakkan keadilan. Berkas rekam medik mempunyai nilai keuangan, karena isinya mengandung data dan informasi yang dapat dipergunakan untuk menetapkan biaya pembayaran pelayanan rumah sakit yang dapat Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan 19 INFOKES, VOL. 1 NO. 1 Februari 2010 ISSN : 2086 - 2628 dipertanggungjawabkan. Suatu berkas rekam medik mempunyai nilai penelitian, karena isinya menyangkut data dan informasi yang dapat dipergunakan dalam penelitian dan pengembangan ilmu dibidang kesehatan. Berkas rekam medik mempunyai nilai pendidikan, karena isinya menyangkut data atau informasi tentang kronologis dan kegiatan pelayanan medik yang diberikan kepada pasien. Informasi tersebut dapat dipergunakan untuk bahan referensi pengajaran di bidang profesi si pemakai. Dan berkas rekam medik mempunyai nilai dokumetasi, karena isinya menyangkut sumber ingatan yang harus didokumentasikan dan dipakai sebagai bahan pertanggungjawaban dan laporan rumah sakit (Depkes RI, 1997). Menurut Dirjen Pelayanan Medik No.78 Tahun 1991 (dalam Shofari 2002), fungsi rekam medik adalah sebagai sumber informasi medik dari pasien yang berobat ke Rumah Sakit yang berguna untuk keperluan pengobatan dan pemeliharaan kesehatan pasien, alat komunikasi antara dokter dengan dokter lainnya, antara dokter dengan paramedik dalam usaha memberikan pelayanan, pengobatan dan perawatan, bukti tertulis (documentary evidence) tentang pelayanan yang telah diberikan oleh rumah sakit dan keperluan lain, alat untuk analisis dan evaluasi terhadap kualitas pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit, alat untuk melindungi kepentingan hukum bagi pasien, dokter serta tenaga kesehatan lainnya di rumah sakit, untuk penelitian dan pendidikan, Untuk perencana dan pemanfaatan dan sumber daya, dan untuk keperluan lain yang ada kaitannya dengan rekam medik. Menurut Permenkes RI No.269/MENKES/PER/III/2008 rekam medik dapat dipakai sebagai: dasar pemeliharaan dan pengobatan pasien, bahan pembuktian dalam perkara hukum, bahan untuk keperluan penelitian dan pendidikan, dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan, dan bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan. Pengertian ICD-10 dan Koding ICD-10 adalah klasifikasi statistik, yang berarti bahwa ICD-10 berisi nomor-nomor terbatas dari kategori kode eksklusif yang menggambarkan seluruh konsep penyakit. Klasifikasi mempunyai struktur hirarki dengan subdivisi-subdivisi untuk mengidentifikasi kelompok besar dan sesuatu yang spesifik (Depkes RI, 1999). Koding menurut WHO (DepKes, 1999) adalah penetapan sandi atau penentuan penggunaan nomor, huruf atau kombinasi huruf angka untuk mewakili komponen data terkait. Koding diagnosis harus Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan 20 INFOKES, VOL. 1 NO. 1 Februari 2010 ISSN : 2086 - 2628 dilaksanakan sesuai aturan sistem koding ICD-10 akurat dan tepat waktu. Tujuan ICD-10 diantaranya adalah untuk mendapatkan rekaman sistematis, melakukan analisis, interprestasi serta membandingkan data morbiditas dari negara yang berbeda atau antar wilayah pada waktu yang berbeda, untuk menerjemahkan diagnosis penyakit dan masalah kesehatan dari kata-kata menjadi kode alfanumerik yang akan memudahkan penyimpanan, mendapatkan data kembali dan analisis data, memudahkan entry data ke database komputer yang tersedia, menyediakan data yang diperlukan oleh sistem pembayaran atau penagihan biaya yang dijalankan, memaparkan indikasi alasan mengapa pasien memperoleh asuhan atau perawatan atau pelayanan, dan Menyediakan informasi diagnosis dan tindakan bagi riset, edukasi dan kajian assesment kualitas keluaran. Struktur ICD-10 Menurut Depkes RI (1999), struktur dasar ICD-10 yaitu terdiri dari 3 volume. Struktur dasar ICD-10 volume 1 adalah daftar tabulasi yang berupa daftar alfanumerik dari penyakit dan kelompok penyakit beserta catatan “inclusion” dan “exclusion” dan beberapa cara pemberian kode, volume 2 berisi pengenalan dan petunjuk bagaimana menggunakan volume 1 dan volume 3, petunjuk membuat sertifikat dan aturan-aturan kode mortalitas, petunjuk mencatat dan mengkode kode morbiditas, dan volume 3 adalah indeks abjad dari penyakit dan kondisi yang terdapat pada daftar tabulasi. Konvensi dan tanda baca ICD – 10 Daftar tabulasi ICD–10 (volume 1) membuat penggunaan singkatan tertentu, memberi tanda baca, simbol dan istilah yang dimengerti dengan jelas. Hal ini merujuk ke pemberian kode konvensi. 1) Istilah “Inclusion” (termasuk); dalam rubrik tiga atau empat karakter terdaftar sejumlah terminologi diagnosis yang dikenal sebagai inclusion term (artinya kira-kira termasuk) yang tampak dalam bentuk tambahan judul dimaksudkan tambahan diagnostik yang dapat diklasifikasikan kedalam kelompok yang bersangkutan. Istilah pada inclusion dapat juga dipakai untuk kondisi yang berbeda atau sinonimnya (sesuai dengan catatan pada inclusion) yang bukan subklasifikasi kelompok tersebut, digunakan sebagai petunjuk atau pedoman untuk isi rubrik. 2) Istilah “Exsclusion” (tidak termasuk); Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan 21 INFOKES, VOL. 1 NO. 1 Februari 2010 ISSN : 2086 - 2628 istilah ini menunjukkan kode tersebut diklasifikasikan di tempat lain, tidak didalam kategori ini. Kode yang benar adalah yang diberi tanda dalam kurung yang mengikuti istilah itu. 3) Penjelasan Kata Istilah (Glosari): Sebagai tambahan dari excludes atau exsclusion term pada Bab V. Gangguan Mental dan Perilaku mengunakan diskripsi daftar istilah untuk menunjukan isi rubrik. Hal ini digunakan karena terminologi kelainan mental sangat bervariasi terutama pada Negara yang berbeda dengan nama yang sama mungkin digunakan untuk menggambarkan kondisi yang sedikit berbeda atau dengan kondisi yang sangat berbeda. Glossary tidak peruntukan guna membuat kode diagnosis, tetapi diperuntukan sebagai petunjuk dokter untuk mengisi atau klasifikasi isi rubrik. 4) Kode rangkap; Sistem kode rangkap dari kombinasi kode melalui tambahan tanda sangkur (†) dan tanda bintang (*) telah digunakan pada ICD-10, jadi membolehkan penjelasan kondisi dalam istilah yang mendasari penyebab atau etiologi ditandai dengan (†) dan manifestasi (*). Kode primer untuk penyakit yang mendasari penyebab ditandai dengan tanda sangkur (†). Kode untuk manifestasi ditandai dengan tanda bintang (*). Prisip dasar dari ICD-10 adalah kode sangkur (†) yaitu kode primer dan harus selalu digunakan untuk kondisi tunggal. Kode bintang (*) tidak pernah digunakan sendirian. 5) Tanda kurang atau Parentheses ( ); Tanda kurung digunakan dalam volume 1; ada empat cara yaitu untuk menyertakan kata-kata tambahan yang akan mengikuti istilah diagnosis tanpa mempengaruhi angka kode yang dirujuk oleh kata diluar kurung, untuk menyertakan kode yang dimaksud dalam istilah exclusions, untuk menyertakan kode tiga karakter dari kategori dalam blok tertentu, untuk menyertakan kode sangkur dalam kategori bintang atau kode bintang dalam istilah sangkur, 6) Kurang besar atau Square brackets [ ]; Kurung besar digunakan untuk : menyatakan sinonim, (kata-kata alternatif atau kalimat penjelas), untuk merujuk pada catatan, untuk merujuk ke kelompok subdivisi karakter ke empat yang dinyatakan sebelumnya, 7) Titik dua atau Colon (:); titik dua digunakan pada daftar inclusion dan exclusions term bila kata yang mendahuluinya bukan istilah yang lengkap atau tidak lengkap penetapan istilahnya dalam rubrik tersebut. 8) Tanda kurang besar atau Brace { }; Tanda kurung besar digunakan pada daftar inclusion dan exclusions term untuk menunjukan bahwa baik kata terdahulu maupun kata sesudahnya adalah istilah lengkap. Sembarang istilah dibelakang tanda kurung besar, seharusnya dikualifikasikan oleh satu Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan 22 INFOKES, VOL. 1 NO. 1 Februari 2010 ISSN : 2086 - 2628 atau lebih istilah yang mengikutinya. 9) NOS (yang tidak ditentukan); NOS adalah singkatan dari “Not otherwise specified” yang berarti unspecified dan unqualified yand dimaksud adalah tidak dispesifikasikan atau tidak dikualifikasikan. Pemberian kode sebaiknya berhati-hati untuk memberi kode suatu istilah tidak dikualifikasikan kalau informasi yang disediakan tidak begitu jelas. Asumsi ini dilakukan untuk menghindari klasifikasi yang salah. 10) NEC (kondisi tertentu dan spesifik tedapat pada bagian lain dari klasifikasi). 11) Rujuk Silang (Cross refences); rujuk silang digunakan untuk menghindari duplikasi istilah yang tidak perlukan di dalam indeks. 12) Pemakaian “and” dalam judul. 13) Titik strip atau point dash (.-); digunakan sebagai pengganti karakter keempat dari satu kategori, titik strip (.-) menunjukan pada pemberi kode bahwa ada satu karakter keempat dan sebaiknya dicari dalam kategori yang cocok pada daftar tabulasi. (Manangka F, 1998). Menurut Depkes (2006) bahwa faktor–faktor yang mempengaruhi akurasi kode diantaranya adalah tenaga medis, dan tenaga rekam medis. Penetapan diagnosis seorang pasien merupakan kewajiban, hak, dan tanggungjawab dokter (tenaga medis) terkait. Dokter sebagai penentu perawatan harus memilih kondisi utama dan kondisi lain dalam periode perawatan. Tenaga rekam medis sebagai pemberi kode bertanggung jawab atas keakuratan kode dari suatu diagnosis yang telah ditetapkan oleh tenaga medis, sebelum memberikan kode penyakit tenaga medis harus mengkaji data rekam medis pasien untuk menemukan hal yang kurang jelas atau tidak lengkap. Pengertian Commotio Cerebri pada ICD-10 Commotio Cerebri menurut Laksman (2002) adalah gegar otak, keadaan yang ditandai dengan pingsan, muntah-muntah, kelumpuhan, kelainan denyut jantung, nadi, dan penafasan. Mekanisme penyebab Menurut Satyanegara (1998) kebanyakan Commotio Cerebri merupakan akibat salah satu dari kedua mekanisme dasar yaitu : ”Kontak bentur” atau ”Guncangan lanjut”. Cidera “kontak bentur” terjadi bila kepala membentur atau menabrak suatu obyek atau sebaliknya, sedangkan cidera “guncangan lanjut” yang sering kali dikenal sebagai cidera akselerasi, merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik yang disebabkan oleh pukulan maupun benturan benda keras lainnya. Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan 23 INFOKES, VOL. 1 NO. 1 Februari 2010 ISSN : 2086 - 2628 Pemeriksaan klinis Commotio Cerebri Menurut Satyanegara (1998) pemeriksan klinis tetap merupakan pemeriksaan paling komprehensif dalam evaluasi diagnostik penderita-penderita Commotio Cerebri, dimana dengan pemeriksaan-pemeriksan yang cepat, tepat, dan noninvansif diharapkan dapat menunjukan progresivitas atau kemunduran dari proses penyakit atau gangguan tersebut. Sehubungan dengan tingginya insidensi kelainan atau cidera sistemik penyerta. Penanganan Commotio Cerebri Penanganan kasus-kasus Commotio Cerebri di unit gawat darurat atau emergency didasarkan atas patokan pemantauan dan penanganan terhadap ”5B” yaitu: Breathing, Blood, Brain, Bladder, dan Bowel. Breathing; perlu diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan penderita adanya obstruksi jalan nafas segera dibebaskan dengan tindakan-tindakan: suction, intubasi, trakheostomi. Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila perlu, merupakan tindakan yang berperan penting sehubungan dengan edema cerebri yang terjadi. Blood; mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboraturium darah (Hb, Leukosit). Brain; merupakan langkah awal penilaian keadaan otak ditekankan terhadap responrespon mata, motorik, dan verbal. Perubahan respon ini merupakan implikasi perbaikan atau perburukan Commotio Cerebri tersebut, dan bila pada pemantauan menunjukan adanya perburukan kiranya perlu pemeriksaan lebih mendalam mengenai keadaan pupil (ukuran, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya) serta gerakan-gerakan bola mata (reflek okulosefalik, okulo-vestibuler,deviasi konjuget, nistagmus). Bladder; kandung kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter) mengingat bahwa kandung kemih yang penuh merupakan suatu rangsangan untuk mengejan sehingga tekanan intracranial cenderung lebih meningkat. Bowel; Seperti halnya diatas bahwa usus yang penuh cenderung meningkatkan intacranial. Pada praktiknya dengan memperhatikan hal-hal diatas Commotio Cerebri ditangani sesuai tingkat gradasi klasifikasi klinisnya. METODE PENELITIAN Penelitian ilmiah ini menggunakan jenis penelitian diskriptif yaitu suatu metode penelitian dengan tujuan untuk membuat gambaran atau diskriptif tentang suatu keadaan secara obyektif. Penelitian ini menggunakan tiga variabel, yaitu: diagnosis utama penyakit Commotion Cerebri, kode penyakit Commotion Ccerebri, dan akurasi Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan 24 INFOKES, VOL. 1 NO. 1 Februari 2010 ISSN : 2086 - 2628 kode penyakit Commotio Cerebri. Populasi diambil dari berkas rekam medik pasien rawat inap dengan diagnosis utama Commotio Cerebri tahun 2008 sejumlah 573 dokumen. Sampel penelitian adalah sebagian yang diambil dari obyek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Dalam penelitian ini sampel sebesar 236 dokumen. Tehnik menentukan sampel diatas adalah dengan menggunakan tehnik sampling sederhana (simple random sampling) peneliti mengambil sampel dengan melakukan lotre terhadap semua populasi. Semua subjek yang termasuk dalam populasi mempunyai hak untuk dijadikan anggota sampel. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini digunakan data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung melalui observasi dan penelitian dokumen rekam medis pada lembar masuk keluar, Lembar Perjalanan penyakit, Lembar Ringkasan Keluar (Resume), Lembar Resume Perawatan, Lembar Hasil Pemeriksaan Penunjang yaitu diagnosis utama dan kode penyakit Commotio Cerebri. Dan data sekunder dalam penelitian ini adalah laporan indeks penyakit Commotio Cerebri yang digunakan untuk mengetahui nomor rekam medis sebagai petunjuk dalam menentukan dokumen rekam medis yang akan dianalisis. Intrumen dari penelitian ini adalah check list: digunakan untuk pengumpulan data, Pedoman wawancara: untuk medapatkan keterangan secara lisan, dan ICD–10: digunakan untuk mengetahui akurasi kode penyakit yang terdiri dari volume 1, 2, dan 3. HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Data hasil penelitian analisis menggunakan analisi diskriptif, yaitu dengan mengalisis keakuratan dan ketidakakuratan kode penyakit kemudian disesuiakan dengan kode penyakit pada ICD–10. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk diskrptif, tabel, dan grafik dengan analisis berdasarkan teori–teori relevan yaitu ICD–10, Biomedik, IPLK (Ilmu Penyakit dan Laboratorium kesehatan). Berdasarkan hasil penelitian di Rumah Sakit Islam Klaten pengkodean penyakit rawat inap dilaksanakan berdasarkan prosedur tetap. Pengkodean penyakit bertujuan untuk menyeragamkan bahasa untuk mempermudah pengelompokan penyakit bagi kebutuhan pencatatan dan pelaporan yang ada di Rumah Sakit Islam Klaten, sehingga dapat mendukung penyajian sistem manajemen rumah sakit dan sekaligus diperoleh jaminan kerahasiaan atas jenis penyakit pasien. Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan 25 INFOKES, VOL. 1 NO. 1 Februari 2010 ISSN : 2086 - 2628 Berdasarkan hasil penelitian akurasi kode diagnosis utama penyakit Commotio Cerebri pasien rawat inap di Rumah Sakit Islam Klaten tahun 2008 dapat dilihat pada tabel berikut ini, yaitu : Tabel. 1 Akurasi Kode Diagnosis Utama Penyakit Commotio Cerebri Pasien Rawat Inap Tahun 2008 di RSI Klaten Pada Karakter keempat Diagnosis Angka % Akurat 157 66,52 Tidak akurat 79 33,48 Jumlah 236 Dokumen Sumber data : data primer yang diolah Dari tabel diatas dapat dilihat tingkat ketidakakuratan kode diagnosis utama penyakit Commotio Cerebri pada karakter keempat sebesar 79 dokumen atau dengan persentase 33,48 %. Tabel. 2 Akurasi Kode Diagnosis Utama Penyakit Commotio Cerebri Pasien Rawat Inap Tahun 2008 di RSI Klaten Pada Karakter Kelima Diagnosis Angka % Akurat 0 0 Tidak akurat 236 100 Jumlah 236 Dokumen Sumber data : data primer yang diolah Dari tabel diatas dapat dilihat tingkat ketidakakuratan kode diagnosis utama penyakit Commotio Cerebri di Rumah Sakit Islam Klaten tahun 2008 pada karakter kelima sebesar 236 dokumen atau dengan persentase 100%. Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan 26 INFOKES, VOL. 1 NO. 1 Februari 2010 ISSN : 2086 - 2628 Gambar. 1 Persentase Ketidakakuratan Kode Diagnosis Utama Penyakit Commotio Cerebri Pasien Rawat Inap Tahun 2008 di RSI Klaten 100 100 80 persentase 60 40 Karakter Keempat 33.48 Karakter Kelima 20 0 Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa tingkat ketidakakuratan kode diagnosis utama pada karakter kelima libih tinggi yaitu 100% dibandingkan dengan tingkat ketidakakuratan kode diagnosis utama pada karakter keempat yaitu 33,48%. Tabel.3 Persentase Sebab Ketidakakuratan Kode Diagnosis Utama Penyakit Pada Karakter Keempat NO 1. Sebab ketidakakuratan Salah Kode Kode kurang spesifik pada karakter 2. kempat Sumber data : data primer yang diolah Angka 3 % 3,8 76 96,20 Berdasarkan tabel diatas menunjukkan ketidakakuratan kode dagnosis utama penyakit Commotio Cerebri sebanyak 3 dokumen atau dengan persentase 3,8% pada kasus penulisan kode yang tidak sesuai dengan diagnosis, ketidakakuratan kode diagnosis utama penyakit Commotio Cerebri pada kasus penulisan kode kurang spesifik untuk karakter keempat sebanyak 76 dokumen atau dengan persentase 96,20 %, sedangkan ketidakakuratan pada kasus kurang spesifik untuk karakter kelima adalah sebanyak sampel yaitu 236 dokumen atau dengan persentase 100%. Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan 27 INFOKES, VOL. 1 NO. 1 Februari 2010 ISSN : 2086 - 2628 Berdasarkan hasil penelitian di Rumah Sakit Islam Klaten pengkodean penyakit pasien rawat inap secara garis besar untuk keseluruhan sudah sesuai dengan protap dan kebijakan yang ada di Rumah sakit Islam Klaten. Hal tersebut dapat diketahui dari penulisan kode penyakit dan penulisan kode tindakan medik atau operasi didalam kotak yang tersedia pada lembar formulir rekam medik ringkasan masuk dan keluar atau CM-1, namun pada pengkodean penyakit khususnya Commotio Cerebri belum sampai pada karakter kelima karena memang belum ada kebijakan yang mengatur penggunaan karakter kelima hal itu dikarenakan selama ini di RSIK belum terjadi permasalahan yang berhubungan dengan karakter kelima khususnya untuk kasus Commotio Cerebri. Tetapi pada ketetapan internasional atau ICD-10 volume 1 dan 2 sudah menjelaskan tentang penggunaan karakter kelima khususnya untuk kasus Commotio Cerebri. Karakter kelima perlu digunakan untuk lebih menspesifikasikan kode penyakit khususnya untuk Commotio Cerebri dan digunakan pada pengkodean INA-DRG. Hasil pengolahan data penelitian dengan mengambil sampel sebanyak 236 dokumen rawat inap pasien penyakit Commotio Cerebri tahun 2008 didapat bahwa tingkat keakuratan kode diagnosis pada karakter keempat lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat keakuratan kode pada karakter kelima. Masalah yang menyebabkan ketidakakuratan pada karakter keempat adalah sebagai berikut: 1) kesalahan penulisan kode diagnosis utama penyakit Commotio Cerebri yang tidak sesuai dengan diagnosis, misalnya: Commotio Cerebri oleh Rumah Sakit Islam Klaten dikode I64 yang seharusnya S06.0, Contusion oleh Rumah Sakit Islam Klaten dikode S06.0 yang seharusnya S06.2. Kasus diatas dapat diketahui bahwa ketidakakuratan kode penyakit Commotio Cerebri sebanyak 3 dokumen rekam medik dengan persentase 3.8%. Berdasarkan hasil wawancara hal ini terjadi karena tidak jelas atau tidak lengkapnya diagnosis yang tertulis pada lembar formulir ringkasan masuk dan keluar. Selain hal tersebut ketidakakuratan juga disebabkan karena cenderung digunakannya buku bantu atau hafalan saat mengkode tanpa membuka atau merujuk kembali ke ICD-10. 2) ketidakakuratan penulisan kode diagnosis utama penyakit Commotio. Cerebri yang kurang spesifik pada karakter keempat, misalnya: Commotio Cerebri oleh Rumah Sakit Islam Klaten dikode S06.1 yang seharusnya S06.4 karena pada lembar hasil pemeiksaan penunjang menyatakan haemorrhage Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan 28 INFOKES, VOL. 1 NO. 1 Februari 2010 ISSN : 2086 - 2628 cerebri frontalis kanan, subdural temporal kanan dan subarachnoidalis kanan dengan edema cerebri diffuse berat atau pasien mengalami pendarahan atau Epidural Haemorrhage. Berdasarkan kasus diatas rumah sakit menuliskan kode diagnosis utamanya S06.0 dan yang seharusnya S06.4. Diagnosis utama dari kasus tersebut adalah Cidera kepala berat yang kodenya mengikuti Contusion, kasus ini juga dapat dilihat pada tabel 4.5 dan dapat diketahui tingkat ketidakakuratannya adalah 76 dokumen atau dengan persentase 96,20%. Hal ini disebabkan karena kurangnya ketelitian dalam mangalisis atau membaca dokumen rawat inap penyakit Commotio Cerebri sebelum memberikan kode. Formulir ringkasan masuk dan keluar seringkali dijadikan acuan untuk mengkode, sedangkan lembar formulir yang berikutnya tidak dibaca, sehingga tidak menghasilkan kode yang akurat. Dengan membaca atau menganalisis semua dokumen rawat inap tersebut dapat dijadikan dasar oleh petugas koding dalam menetapkan kode dan dapat menghasilkan data yang akurat bagi kepentingan rumah sakiat dalam pengambilan keputusan. Ketidakakuratan kode diagnosis utama penyakit Commotio Cerebri pada karakter kelima, dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 4 Akurasi Kode Diagnosis Utama Penyakit Commotio Cerebri Pasien Rawat Inap Tahun 2008 di RSI Klaten Pada Karakter Kelima Diagnosis Angka % Akurat 0 0 Tidak akurat 236 100 Jumlah 236 Dokumen Sumber data : data primer yang diolah Dari tabel diatas dapat dilihat tingkat keakuratan kode diagnosis utama penyakit Commotio Cerebri di rumah sakit Islam Klaten tahun 2008 pada karakter kelima sebesar 236 dokumen atau dengan persentase 100%. Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan 29 INFOKES, VOL. 1 NO. 1 Februari 2010 ISSN : 2086 - 2628 Kurangnya ketelitian dalam membaca atau menganalisis dokumen dan tidak lengkap atau tidak jelasnya diagnosis yang tertulis pada dokumen serta tidak digunakannya karakter kelima adalah penyebab ketidakakuratan kode diagnosis penyakit Commotio Cerebri. Hal itu disebabkan tidak digunakannya karakter kelima sesuai dengan peraturan internasional atau ICD-10. Dengan tidak digunakannya karakter kelima atau karakter tambahan khususnya untuk penyakit Commotio Cerebri maka data yang dihasilkan kurang akurat, penggunaan karakter kelima sangat diperlukan untuk kepentingan administrasi, keuangan dan pendidikan. Misalnya kepentingan keuangan hal ini berperan besar didalam Rumah Sakit karena berkaitan dengan penggunaan IN-DRG, yang dimaksud dengan INA-DRG adalah penetapan biaya perawatan pasien berdasarkan kode diagnosis. Dari hasil penelitian diatas dapat dilihat bahwa masalah yang menyebabkan kode tidak akurat adalah kurang spesifiknya kode pada karakter kelima, hal itu dikarenakan tidak adanya kebijakan yang mengatur penggunaan karakter kelima yang dibuat oleh rumah sakit, tetapi pada ketetapan internasional atau ICD-10 volume 1 dan 2 sudah menjelaskan tentang penggunaan karakter kelima. Karakter kelima perlu digunakan untuk lebih menspesifikasikan kode penyakit khususnya untuk Commotio Cerebri dan di RSIK belum menggunakan karakter kelima karena Rumah Sakit belum menetapkan adanya penggunaan karakter kelima. Fungsi penggunaan dari karakter kelima adalah untuk menyajikan data yang lebih akurat bagi kepentingan Rumah Sakit seperti kepentingan administrasi, keuangan, dan kepentingan pendidikan serta dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan guna memperbaiki mutu pelayanan dirumah sakit tersebut. KESIMPULAN Kesimpulan dalam penelitian ini adalah: keakuratan kode diagnosis utama penyakit Commotio Cerebri pada karakter keempat 157 dokumen sedangkan untuk karakter kelima 0 dokumen. Persentase keakuratan kode diagnosis utama penyakit Commotio Cerebri pada karakter keempat sebesar 66,52%, sedangkan pada karakter kelima 0%. Ketidakakuratan kode diagnosis utama penyakit Commotio Cerebri dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu kesalahan penulisan kode yang tidak sesuai dengan diagnosis sebanyak tiga dokumen dari 236 sampel yang diteliti atau dengan Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan 30 INFOKES, VOL. 1 NO. 1 Februari 2010 ISSN : 2086 - 2628 persentase 3.8, kesalahan pada kode yang kurang spesifik pada karakter keempat sebanyak 76 dokumen dari 236 sampel yang diteliti atau dengan persentase 96,20, dan kesalahan pada penulisan kode yang kurang spesifik pada karakter kelima adalah sebanyak sampel yaitu 236 dokumen atau dengan persentase 100. Ketidakakuratan kode diagnosis utama penyakit Commotio Cerebri disebabkan beberapa faktor yaitu tenaga medik (dokter), petugas rekam medik (koder) dan sarana prasarana. DAFTAR PUSTAKA Arikunto,S.2007. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Edisi Revisi VI. Rineka Cipta. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Pedoman Penyelenggaraan Dan Prosedur Rekam Medis Rumah Sakit Indonesia. Direktorat Jendral Pelayanan Medik. Jakarta. Laksman, H. 2002. Kamus kedokteran. Djambatan. Jakarta. Manangka, F. 1998. Klasifikasi Statistik International Tentang Penyakit dan Masalah Kesehatan (ICD-10) Petunjuk dan Penggunaan Untuk Digunakan dalam Kalangan Sendiri. KPRI RSUD Dr. Soetomo. Surabaya. Notoadmojo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan Edisi Revisi Cetakan Ketiga. Rineka Cipta. Jakarta. Shofari, B, 1998. Pengelolaan Sistem Rekam Kesehatan. PORMIKI. Semarang. Shofari, B. 2002. Pengelolaan Rekam Medis dan Dokumentasi Rekam Medis. PORMIKI. Semarang. Setyanegara. 1998. Ilmu Bedah Syaraf. Edisi Ketiga. PT . Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. __________.2008. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 Tentang Rekam Medik. Jakarta. __________.1992. International Statistical Classfication of Diseases and Related Health Problem Tenth Revision. WHO. Geneva. Volume 1, 2, dan 3. __________.1999. Pedoman Penggunaan ICD-10 Seri 1 (Petunjuk Penggunaan dan Pelatihan). Depkes RI Dirjen Yan Med. Jakarta. Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan 31