pengaruh suplementasi multi vitamin-mineral terhadap

advertisement
PENGARUH SUPLEMENTASI MULTI VITAMIN-MINERAL
TERHADAP IMUNITAS HUMORAL, SELULER
DAN STATUS ZAT GIZI ANTIOKSIDAN
FITRAH ERNAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengaruh Suplementasi Multi
Vitamin-Mineral terhadap Imunitas Humoral, Seluler dan Status Zat Gizi
Antioksidan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2009
Fitrah Ernawati
NRP. I061060071
ABSTRACT
FITRAH ERNAWATI. The Effects of Multi Vitamin-Mineral Supplementation
on Humoral, Cellular Immunity and Dietary Antioxidant Status. Under the
direction of RIMBAWAN, HADI RIYADI, MUHILAL, I WAYAN T.
WIBAWAN
Multi vitamin-mineral play essential roles in the human body, including
immune function and as antioxidants. When supply of these micronutrients cannot
be fulfilled from daily meal intake, multivitamin-mineral supplements can be
taken to fulfill the body’s requirements. In this research, the effects of
multivitamin-mineral supplementation on humoral and cellular immunity and
dietary antioxidant status were assessed in healthy female workers. The design of
the research was a double blind-randomized controlled trial, Split-plot. It involved
300 female subjects aged 20-45 years who worked at PT Ricky Putra Globalindo
Tbk, Citereup, Bogor. Each of them randomly received one of the six treatments:
Placebo, Placebo + Tetanus-toxoid (TT), Vitamin C, Vitamin C + TT, Multi
vitamin-mineral (MVM), MVM +TT. The immune parameters used were: WBC,
monocyte, neutrofil, Natural Killer (NK) cell, total lymphocyte count, IgG titer,
CD4+ and CD8+ count. The content of the vitamin C supplement was vitamin C
1000 mg, while multi vitamin-mineral supplement contained 1000 mg vitamin C;
45 mg vitamin E; 700 μg vitamin A; 6,5 mg vitamin B6; 400 μg folic acid; 9,6 μg
vitamin B12; 10 μg vitamin D; 10 mg Zn; 110 μg Se; 0,9 mg Cu; dan 5 mg Fe.
These parameters were measured at baseline levels before treatment and on the 6th
and 10th week after treatment. TT vaccination was carried out at the end of the 6th
week, after the second blood collection. ANOVA test was done on the baseline
data, intermediate data (6th week), and end data (10th week). Further test with LSD
was carried out to determine the factors that affected the outcome of the
treatments. MVM supplementation for 10 weeks affected the non-specific cellular
immune function through the improvements in NK cell count. MVM improved
some dietary antioxidant status and Superoxide Dismutase (SOD) status except
for vitamin C status, which is improved by the vitamin C supplementation.
Results of this study showed a relationship between NK cell and CD4+ (r2 =
0,102, p = 0.000) and CD8+ (r2 = 0,023 , p = 0.024). In improving immune
function, the effect of MVM supplementation is stronger than Vitamin C
supplementaton alone, and MVM supplementation showed more effect in
improving dietary antioxidant status.
Key word : multi vitamin-mineral supplementation, NK cell, CD8+ and
superoxide dismutase status.
RINGKASAN
FITRAH ERNAWATI. Pengaruh Suplementasi Multi Vitamin-Mineral Terhadap
Imunitas Humoral, Seluler Dan Status Zat Gizi Antioksidan. Dibimbing oleh
RIMBAWAN, HADI RIYADI, MUHILAL, I WAYAN T.WIBAWAN.
Zat gizi mikro, baik vitamin maupun mineral mempunyai peranan yang
sangat penting di dalam tubuh. Vitamin adalah zat organik kompleks yang
dibutuhkan dalam jumlah kecil dan pada umumnya tidak dapat dibentuk oleh
tubuh. Mineral mikro terdapat dalam jumlah sangat kecil di dalam tubuh, namun
mempunyai peranan penting untuk kehidupan dan kesehatan. Salah satu peranan
penting vitamin dan mineral adalah sebagai zat gizi antioksidan yang berkaitan
erat dengan fungsi imunitas.
Beberapa zat gizi yang berfungsi sebagai antioksidan antara lain vitamin C,
vitamin E, beta caroten, selenium dan zinc. Salah satu peranan vitamin C sebagai
antioksidan mampu mereduksi radikal superoksida, hidroksil dan oksigen reaktif
yang berasal dari dalam tubuh maupun dari luar tubuh. Salah satu peran vitamin E
( alfa-tokoferol) yakni mampu mempertahankan integritas membran sel termasuk
sel-sel imun. Beta karoten sebagai prekursor vitamin A mempunyai peranan
dalam mempertahankan integritas membran sel dan mencegah serangan oksidasi
melalui kemampuan beta karoten sebagai penangkal oksigen singlet. Sedangkan
mineral selenium berperan sebagai antioksidan terkait dengan peranan glutation
peroksidase (GSH-Px). Demikian pula mineral zinc merupakan salah satu mineral
yang diperlukan oleh Superoksida dismutase ( SOD) untuk dapat bekerja dengan
optimal. SOD merupakan enzim antioksidan yang aktivitasnya sangat tergantung
pada beberapa zat gizi antioksidan dan sebagai antioksidan primer dengan
mengubah radikal superoksida menjadi hidrogen peroksida yang kurang reaktif.
Sumber vitamin mineral banyak dijumpai dalam makanan terutama buahbuahan dan sayuran. Konsumsi makanan yang beragam dan seimbang merupakan
salah satu cara untuk dapat memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral. Disisi lain
saat ini penggunaan suplemen semakin meningkat. International Market Research
(IMR) melaporkan bahwa penjualan suplemen di Indonesia meningkat dari sekitar
$ 100 juta (Rp 1 trilyun) pada tahun 2001 menjadi $110 juta (Rp 1.2 trilyun) pada
tahun 2002. Disusul laporan Hardinsyah (2007) bahwa total belanja suplemen di
Indonesia mencapai Rp 1.33 trilyun/tahun. Akan tetapi dalam International
Conference on Nutrition Tahun 1992, FAO/WHO menyatakan bahwa
suplementasi zat gizi lebih diprioritaskan untuk kelompok rawan (vulnerable
group) yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya akan zat gizi melalui makanan.
Wanita usia subur (WUS) merupakan salah satu kelompok rentan yang perlu
mendapat perhatian karena rentan terhadap masalah gizi disebabkan peran
fisiologisnya seperti melahirkan dan menstruasi. Wanita usia subur khususnya
yang bekerja (wanita pekerja) mempunyai beban ganda disamping peran fisiologis
juga sebagai pekerja terutama pekerja massal dan berada di dalam ruang terbatas
serta kebanyakan bekerja dengan posisi berdiri berisiko terpapar stres okdidatif.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis pengaruh suplementasi
multi vitamin-mineral (MVM) dan vitamin C pada wanita pekerja terhadap respon
imunitas humoral dan selular (2) menganalisis pengaruh suplementasi MVM dan
vitamin C pada wanita pekerja terhadap kadar zat gizi antioksidan (vitamin A,
vitamin C, vitamin E, Zn, Se) dan SOD; (3) menganalisis pengaruh suplementasi
MVM dan vitamin C dengan stimulasi vaksinasi tetanus toxoid (TT) terhadap
respon imunitas humoral, selular dan kadar zat gizi antioksidan serta status
superoxide dismutase (SOD).
Desain penelitian ini adalah eksperimental murni teracak buta ganda (double
blind randomized controlled trial) dan telah mendapat persetujuan dari Komisi
Etik
Penelitian
Kesehatan
Badan
Litbang
Kesehatan
Nomor
LB.03.04/KE/4294/2007. Penelitian lapang dilaksanakan selama empat bulan,
yakni Februari hingga Mei 2008. Penelitian dilakukan di Pabrik Garmen PT Ricky
Putra Globalindo Tbk., Citeureup, Kabupaten Bogor. Analisis serum darah
dilaksanakan di Puslitbang Gizi dan Makanan Depkes Bogor, Laboratorium
Makmal Terpadu Universitas Indonesia (UI) dan Laboratorium Biokimia serta
Molekuler UI. Jumlah wanita pekerja yang menjadi sampel dalam penelitian ini
adalah 300 orang yang selanjutnya diacak untuk mendapatkan salah satu dari
enam perlakuan (plasebo, plasebo+ TT, vitamin C, vitamin C + TT dan multi
vitamin-mineral (MVM) serta MVM +TT sehingga tiap perlakuan terdiri dari 50
orang. Suplemen diberikan setiap hari selama 10 minggu kepada wanita pekerja
oleh petugas dan perawat di klinik perusahaan. Suplemen yang diberikan
berbentuk tablet dan diminum langsung oleh wanita pekerja di depan petugas.
Kandungan vitamin C dalam suplemen vitamin C (tunggal) adalah 1000 mg;
sedangkan formula suplemen MVM terdiri dari 1000 mg vitamin C; 45 mg
vitamin E; 700 μg vitamin A; 6,5 mg vitamin B6; 400 μg asam folat; 9,6 μg
vitamin B12; 10 μg vitamin D; 10 mg Zn; 110 μg Se; 0,9 mg Cu; dan 5 mg Fe.
Suplemen yang diberikan ini diproduksi oleh perusahaan farmasi yang sama.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer berupa data
sosio demografi, konsumsi, status gizi, status kesehatan, dan biokimia darah. Data
sosio demografi dikumpulkan sebelum penelitian melalui wawancara. Data status
gizi meliputi berat dan tinggi badan dikumpulkan sebelum dan sesudah
penelitian. Data status kesehatan dikumpulkan sebelum dan sesudah penelitian
melalui pengukuran tekanan darah dan pencatatan keluhan sakit. Data biokimia
darah dikumpulkan pada saat sebelum penelitian ( darah satu), pada enam minggu
suplementasi (darah 2) dan sesudah penelitian (darah 3) meliputi kadar vitamin A,
vitamin E, vitamin C, kadar superoksida dismutase, kadar selenium, kadar zinc,
Titer IgG, jumlah CD4+, jumlah CD8+ dan jumlah sel NK. Data yang diperoleh
diuji dengan analisis varian (analysis of variance/Anova) dan analisis lanjut
dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
Hasil uji statistik, menunjukkan bahwa variabel latar belakang sampel
sebelum penelitian yang meliputi status gizi berdasarkan indeks Massa Tubuh
(IMT), jumlah anggota keluarga, pendidikan sampel, usia sampel dan kadar IgG,
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0,05) pada semua perlakuan.
Sesudah suplementasi terjadi perubahan jumlah sel Natural killer (NK)
yang signifikan antara perlakuan (p<0.05), yaitu sampel yang mendapat perlakuan
plasebo sebesar 695 ± 237 sel/µl, plasebo+TT: 625.9 ± 221 sel/µl, vitamin C :
561.5 ± 241 sel/µl, vitamin C+TT: 620.5 ± 239 sel/µl, MVM: 524.1 ± 208 sel/µl,
MVM+TT: 604.5 ± 285 sel/µl. Hasil uji Anova dan uji lanjut dengan beda nyata
terkecil (BNT) menunjukkan bahwa suplementasi MVM berpengaruh signifikan
(p<0.05) terhadap penurunan jumlah sel NK ke dalam kisaran normal (90-590
sel/µl). Multi vitamin-mineral (MVM) mempunyai peranan sebagai
imunomodulator yang dapat berfungsi sebagai imuno stimulator maupun sebagai
imuno supressor seperti temuan penelitian ini dimana MVM menurunkan sel NK.
Sesudah suplementasi kadar vitamin E sampel mengalami perubahan yang
signifikan antara keenam perlakuan (p<0.05), yaitu sampel yang mendapat
perlakuan plasebo 9.5±2.3 µmol/L, plasebo+TT 9.1 ± 1.9 µmol/L, vitamin C 9.2
± 2.6 µmol/L, vitamin C+TT 9.9 ± 1.9 µmol/L, MVM 13.5 ± 4.2 µmol/L,
MVM+TT 13.6 ± 3.1 µmol/L. Hasil uji Anova dan uji lanjut dengan BNT
menunjukkan bahwa suplementasi MVM berpengaruh nyata terhadap kenaikan
kadar vitamin E.
Sesudah suplementasi kadar vitamin C sampel mengalami kenaikan yang
cukup signifikan (p<0.05), yaitu sampel yang mendapat perlakuan plasebo 9.79 ±
2.2 µmol/L, plasebo+TT 10.44 ± 3.0 µmol/l, vitamin C 15.13 ± 3.1µmol/l,
vitamin C+TT 15.04 ± 5.6 µmol/l, MVM 11.41 ± 3.7 µmol/l, MVM+ TT 10.85 ±
3.0 µmol/l. Hasil uji Anova dan BNT menunjukkan bahwa suplementasi vitamin
C mempengaruhi kenaikan kadar vitamin C sampel yang mendapat suplemen
vitamin C 1000 mg.
Sesudah suplementasi kadar selenium sampel berbeda signifikan antara
keenam perlakuan (p<0.05), yaitu sampel yang mendapat perlakuan plasebo 0.57
±0.17µmol/l, plasebo+TT 0.62±0.18 µmol/l, vitamin C 0.59±0.33 µmol/l, vitamin
C+TT 0.67± 0.23 µmol/l, MVM 0.68 ±0.15 µmol/l, MVM+TT 0.84 ± 0.30
µmol/l. Hasil uji Anova dan uji lanjut BNT menunjukkan bahwa suplementasi
MVM berpengaruh signifikan terhadap perubahan kadar selenium.
Sesudah suplementasi kadar zinc sampel mengalami perubahan signifikan
(p<0.05), yaitu sampel yang mendapat perlakuan plasebo meningkat 7.5 µg/dl,
plasebo+TT meningkat 3.4 µg/dl, vitamin C meningkat 0.8 µg/dl, vitamin C+TT
meningkat 4.0 µg/dl, MVM meningkat 10.7 µg/dl, MVM+ TT meningkat 7.1
µg/dl. Hasil uji Anova dan uji lanjut dengan BNT menunjukkan bahwa
suplementasi MVM berpengaruh signifikan terhadap perubahan kadar zinc.
Sesudah suplementasi terjadi perubahan kadar superoksida dismutase (SOD)
yang signifikan antara keenam perlakuan (p<0.05), yaitu sampel yang mendapat
perlakuan plasebo menurun 2.7 unit/g Hb, plasebo+TT meningkat 22.2 unit/g Hb,
vitamin C meningkat 23.9 unit/g Hb, vitamin C+TT meningkat 101.1 unit/g Hb,
MVM meningkat 487.1 unit/g Hb, MVM+ TT meningkat 189.7 unit/g Hb. Hasil
uji Anova dan uji lanjut dengan BNT menunjukkan bahwa suplementasi MVM
mempengaruhi kenaikan kadar SOD.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa sel NK mempengaruhi secara nyata
jumlah CD4+ (r2 = 0,102 , p = 0.000), dan juga mempengaruhi CD8+ (r2 = 0,023 ,
p = 0.024). Multi vitamin-mineral memperbaiki status antioksidan primer
superoksida dismutase (SOD). Simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini
adalah: (1) suplementasi multi vitamin-mineral (MVM) memperbaiki imunitas
non-spesifik dengan membaiknya jumlah sel NK (2) Suplementasi MVM
memperbaiki status vitamin A, vitamin E, selenium, sedangkan suplementasi
vitamin C hanya memperbaiki status vitamin C saja. (3) Suplementasi MVM
memperbaiki status superoksida dismutase (SOD) sebagai antioksidan primer.
.
Kata kunci: : suplementasi multi vitamin-mineral, sel NK, CD4+, CD8+ and zat gizi
antioksidan.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENGARUH SUPLEMENTASI MULTI VITAMIN-MINERAL
TERHADAP IMUNITAS HUMORAL, SELULER,
DAN STATUS ZAT GIZI ANTIOKSIDAN
FITRAH ERNAWATI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Judul Disertasi : Pengaruh Suplementasi Multi Vitamin-Mineral Terhadap
Imunitas Humoral, Seluler, dan Status Zat Gizi Antioksidan
Nama
: Fitrah Ernawati
NRP
: I061060071
Program Studi : Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMK)
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Rimbawan
Ketua
Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS.
Anggota
Prof. Dr. Muhilal,APU
Anggota
Dr. drh. I Wayan T. W, MS.
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS.
Tanggal Ujian: 16 Juni 2009
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir.Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Lulus: 22 juli 2009
PRAKATA
Bismillahirrahmannirrahim, Assalamu’alaiikum warahmatullahi wa
barakatuh. Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan ke
hadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat, Hidayah dan KaruniaNya sehingga
penulisan disertasi ini dapat diselesaikan.
Penulis ingin menyampaikan rasa Terima Kasih dan penghargaan yang
tulus kepada berbagai pihak yang telah membantu sehingga disertasi ini selesai:
Bapak Dr. Rimbawan sebagai Ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Ir. Hadi
Riyadi, MS, Bapak Prof. Dr. Muhilal, APU, Bapak Dr. drh. I Wayan T. W, MS,
sebagai aggota komisi pembimbing. Bapak Prof.Dr.Hardinsyah, sebagai Dekan
Fakultas Ekologi Manusia dan Pimpinan Sidang Ujian Terbuka. Ibu Dr.Diah K.
Pranadji, sebagai Pimpinan Sidang Ujian Tertutup. Bapak Dr. Sunarno Ranu
Widjojo, sebagai Kepala Puslitbang Gizi dan Makanan Bogor. Ibu Dr. Susilowati
Herman, sebagai Ketua KPP Biokimia Puslitbang Gizi dan Makanan. Bapak Dr.
Herman Sudiman, sebagai anggota panitia pembina ilmiah Puslitbang Gizi dan
Makanan. Ibu Dr. Sri Anna Marliati sebagai penguji proposal penelitian. Ibu Dr.
Ir. Evy Damayanthi, sebagai penguji kolokium dan penguji sidang terbuka. Bapak
Dr. Djoko Kartono dan Ibu Prof .Dr. Retno D. Soejoedono selaku penguji luar
komisi dalam ujian tertutup. Ibu Prof. Dr. dr. Purwantyastuti,MSc,SpFK sebagai
penguji luar komisi pada ujian terbuka. Bapak Pimpinan PT. Bayer Indonesia
yang telah memberi bantuan dana penelitian. Pimpinan PT Ricky Putra
Globalindo, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor. Teman-teman satu
angkatan, Ibu Ir Katrin Rosita Msi, teman-teman yang membantu pengumpulan
data dan teman–teman Biokimia Puslitbang Gizi dan Makanan. Kepala
Laboratorium Makmal Terpadu Prof.dr Med Ali Baziad,SpOG(K), Ibu Dra Eva
Zakiah, Ibu Dra Marnilda, Ibu dra Nining Gusniarti. Bapak Dr Hafiz, Ibu Drg
Dwirini (Ninik) di Laboratorium Biokimia UI.
Ayahanda dan Bunda yang tercinta, tak putus-putusnya memberikan
dukungan moril dan doa kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
pendidikan ini. Kepada yang tercinta Ibu mertua dan Almarhum Ayah mertua,
yang telah memberi restu dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan
pendidikan ini.
Anak-anak tercinta Taufiqurrakhim Aditra (Dedit), Rakhmat Fitranto
Aditra (Rahmat) dan Muhammad Fauzi Aditra (Fauzi), serta Suami Tercinta
Muhammad Nur Aidi, atas dukungan dan kasih sayang mereka.
Semoga Allah SWT yang Maha Kuasa dan Maha mengetahui
memberikan balasan terhadap semua pihak yang penulis sebutkan maupun tidak
penulis sebutkan atas kontribusi dan kebaikan yang tulus, sekecil apapun
kontribusi Bapak/Ibu/Saudara sangat berarti bagi penulis. Akhir kata tiada gading
yang tak retak dan kesempurnaan hanya milik Allah semata.
Bogor, Juli 2009
Fitrah Ernawati
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sampit, Kalimantan Tengah pada tanggal 25 Maret
1962 dari Ayahanda H. Masrani dan Ibunda Hj Hidayah. Penulis adalah putri
pertama dari tiga bersaudara.
Tahun 1985 penulis lulus Akademi Analis Medis Universitas Airlangga,
Surabaya. Pendidikan Strata -2 pada Program Master of Science Applied
Nutrition, di University of Philippines Los Banos Philipina, selesai pada tahun
1998. Pada tahun 2006 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan Program
Doktor pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dengan beasiswa dari Departemen
Kesehatan, Republik Indonesia. Penulis bekerja di Puslitbang Gizi dan Makanan
DepKes, sejak tahun 1993 sampai sekarang.
Penulis menikah dengan Muhammad Nur Aidi dan dikarunia tiga putra
yaitu Taufiqurrakhim Aditra (Dedit), Rakhmat Fitranto Aditra (Rahmat),
Muhammad Fauzi Aditra (Fauzi).
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.......................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................
vii
PENDAHULUAN ......................................................................................
Latar Belakang .................................................................................
Rumusan Masalah ............................................................................
Tujuan Penelitian .............................................................................
Manfaat Penelitian ...........................................................................
Hipotesis Penelitian..........................................................................
1
1
4
5
6
6
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
Peranan Vitamin dan Mineral di dalam Tubuh...............................
Vitamin A..................................................................................
Vitamin E ..................................................................................
Vitamin C ..................................................................................
Selenium....................................................................................
Zinc ...........................................................................................
Zat Besi.......................................................................................
Vitamin B6..................................................................................
Asam Folat..................................................................................
Vitamin B12................................................................................
Vitamin D....................................................................................
Tembaga (Cu)..............................................................................
Interaksi antar Zat Gizi Mikro ........................................................
Zat Besi dan Zinc ......................................................................
Vitamin A dan Besi...................................................................
Vitamin C dan Besi ..................................................................
Zinc dan Vitamin A...................................................................
Selenium dan Vitamin E ...........................................................
Suplemen Multi Vitamin-Mineral...................................................
Sistem Imunitas...............................................................................
Sistem Imun Non-Spesifik ........................................................
Sistem Imun Spesifik ................................................................
Zat Gizi Antioksidan.......................................................................
Peranan Zat Gizi Antioksidan terhadap Imunitas ...........................
Vitamin A..................................................................................
Vitamin E ..................................................................................
Selenium....................................................................................
Zinc ...........................................................................................
Vitamin C ..................................................................................
7
7
8
9
11
12
14
15
16
17
18
18
19
20
21
21
22
23
23
24
30
32
35
37
40
41
42
44
45
46
METODE PENELITIAN............................................................................
Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian ...........................................
Cara Penentuan Sampel ..................................................................
Pelaksanaan Penelitian.....................................................................
Cara Pemberian Suplemen...............................................................
Jenis dan Cara Pengumpulan Data...................................................
Pengendalian Kualitas Data.............................................................
Pengolahan dan Analisis Data.........................................................
Definisi Operasional Variabel.........................................................
48
48
48
49
51
52
53
55
58
KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................................
60
HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................
Karakteristik Sampel.......................................................................
Pengaruh Suplementasi terhadap Imunitas Non-Spesifik ...............
Sel Darah Putih (Leukosit)........................................................
Monosit .....................................................................................
Neutrofil ....................................................................................
Sel Natural Killer ......................................................................
Pengaruh Suplementasi terhadap Humoral Mediated Immunity
(HMI) .............................................................................................
Immunoglobulin G (IgG) ..........................................................
Limfosit .....................................................................................
CD4+.........................................................................................
Pengaruh Suplementasi terhadap Cell Mediated Immunity
(CMI) ..............................................................................................
CD8+.........................................................................................
Pengaruh Suplementasi terhadap Zat Gizi Antioksidan..................
Vitamin A..................................................................................
Vitamin E ..................................................................................
Vitamin C ..................................................................................
Zinc ...........................................................................................
Selenium....................................................................................
Besi.....................................................................................
SOD (Superoksida Dismutase) .................................................
Pengaruh Suplementasi pada Sampel Kekurangan Zat Gizi
Antioksidan terhadap Respon Imun .................................................
Kekurangan Vitamin A .............................................................
Kekurangan Vitamin C .............................................................
Kekurangan Vitamin E..............................................................
Kekurangan Zinc.......................................................................
Kekurangan Selenium ...............................................................
Hubungan Fungsi Imun Non-Spesifik dengan Fungsi Imun Humoral
dan CMI ..........................................................................................
Pembahasan Umum ........................................................................
63
63
67
67
69
70
72
75
75
78
80
81
81
83
83
85
88
90
93
95
97
100
100
101
102
103
104
106
107
KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................
Kesimpulan .....................................................................................
Saran................................................................................................
110
110
110
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
111
LAMPIRAN................................................................................................
124
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Kategori suplemen multi vitamin-mineral dalam beberapa penelitian .
25
2. Kecukupan gizi, UL, dan batas maksimum BPOM vitamin dan mineral
yang digunakan dalam suplemen penelitian .........................................
30
3 Formula suplemen multi vitamin-mineral.............................................
52
4 Jenis variabel dan cara pengumpulan data ............................................
53
5 Pengelompokan status gizi orang dewasa menurut IMT ......................
56
6 Jenis dan kategori variabel ....................................................................
57
7 Sebaran sampel menurut kategori pendidikan ......................................
64
8 Sebaran sampel menurut kategori usia..................................................
64
9 Sebaran sampel menurut kategori ukuran keluarga ..............................
65
10 Sebaran sampel menurut kategori status gizi ........................................
66
11 Sebaran karakteristik sampel menurut perlakuan .................................
66
12 Status zat gizi antioksidan sampel pada awal penelitian.......................
67
13 Rata-rata jumlah leukosit selama penelitian menurut perlakuan ..........
68
14 Rata-rata jumlah monosit selama penelitian menurut perlakuan ..........
70
15 Rata-rata jumlah neutrofil selama penelitian menurut perlakuan.........
71
16 Rata-rata jumlah sel NK selama penelitian menurut perlakuan............
73
17 Rata-rata kadar IgG selama penelitian menurut perlakuan ..................
76
18 Rata-rata jumlah limfosit selama penelitian menurut perlakuan...........
79
19 Rata-rata jumlah CD4+ selama penelitian menurut perlakuan .............
80
20 Rata-rata jumlah CD8+ selama penelitian menurut perlakuan .............
81
21 Rata-rata kadar vitamin A selama penelitian menurut perlakuan .........
84
22 Rata-rata kadar vitamin E selama penelitian menurut perlakuan..........
86
23 Rata-rata kadar vitamin C selama penelitian menurut perlakuan .........
89
24 Rata-rata kadar zinc selama penelitian menurut perlakuan...................
91
25 Rata-rata kadar selenium selama penelitian menurut perlakuan...........
94
26 Rata-rata kadar Hb selama penelitian menurut perlakuan.............. ......
96
27 Rata-rata kadar SOD selama penelitian menurut perlakuan .................
97
28 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan Vitamin A
sebelum suplementasi ...........................................................................
100
29 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan vitamin A
sesudah suplementasi ............................................................................
100
30 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan vitamin C
sebelum suplementasi ...........................................................................
101
31 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan vitamin C
sesudah suplementasi ............................................................................
102
32 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan vitamin E
sebelum suplementasi ...........................................................................
102
33 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan vitamin E
sesudah suplementasi ............................................................................
103
34 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan Zinc
sebelum suplementasi ...........................................................................
103
35 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan Zinc
sesudah suplementasi ............................................................................
104
36 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan Selenium
sebelum suplementasi ...........................................................................
104
37 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan Selenium
sesudah suplementasi ............................................................................
105
38 Rangkuman pengaruh suplementasi vitamin C dan multi vitamin
mineral terhadap respon imun dan zat gizi antioksidan ........................
109
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Vitamin E setelah melepas ion hidrogen .............................................
10
2 Reaksi redoks vitamin C .......................................................................
12
3 Gambaran umum sistem imunitas.........................................................
32
4 Mekanisme imunitas seluler dan humoral.............................................
37
5 Peran oksigen dalam cedera sel ............................................................
38
6 Pembentukan stres oksidatif .................................................................
39
7 Pertahanan enzimatik terhadap cedera radikal bebas ...........................
39
8 Alur penelitian.......................................................................................
50
9 Kerangka pemikiran ..............................................................................
62
10 Sebaran titerIgG pada sampel yang tidak mendapat vaksinasi
menurut perlakuan.................................................................................
77
11 Sebaran titer IgG pada sampel yang mendapat vaksinasi
TT menurut perlakuan..........................................................................
78
12 Persentase sampel kekurangan vitamin A sebelum dan sesudah penelitian
85
13 Persentase sampel kekurangan vitamin E sebelum dan sesudah penelitian
87
14 Persentasi sampel kekurangan vitamin C sebelum dan sesudah penelitian
90
15 Persentase sampel kekurangan zinc sebelum dan minggu ke 6 penelitian
92
16 Persentase sampel kekurangan selenium sebelum dan sesudah penelitian
95
17 Persentase sampel yang mempunyai kadar SOD kurang dari normal
sebelum dan sesudah penelitian........ ....................................................
99
18 Pertahanan SOD terhadap radikal bebas superoksida...........................
99
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Persetujuan etik (ethical clearance)......................................................
125
2 Formulir persetujuan untuk mengikuti penelitian
(informed consent) ...............................................................................
126
3 Kuisioner identitas, antropometri, sosial ekonomi, pemeriksaaan
Kesehaan, pemeriksaan klinis, konsumsi pangan, monitoring
Intervensi, dan monitoring morbiditas responden.................................
127
4 Uji anova dan uji lanjut BNT data Sel NK minggu ke 10
suplementasi..........................................................................................
135
5
Uji anova data titer IgG minggu ke 10 suplementasi............................
136
6
Uji anova dan uji lanjut BNT data Vitamin A minggu ke 10
sulementasi...........................................................................................
137
7
Uji anova dan uji lanjut BNT data Vitamin E ......................................
138
8
Uji anova dan uji lanjut BNT data Vitamin C ......................................
140
9 Uji anova dan uji lanjut BNT data selisih Zinc baseline dan minggu ke 6 141
10 Uji anova dan uji lanjut BNT data Selenium ........................................
142
11 Uji anova dan uji lanjut BNT data selisih SOD
baseline dan mingu ke 10......................................................................
144
12 Hasil regresi sel NK dengan CD4+ dan CD8+ .....................................
145
13 Pemeriksaan imunitas sel NK, CD4+, CD8+........................................
146
14 Pemeriksaan hemoglobin ......................................................................
148
15 Metode hitung jenis Leukosit................................................................
149
16 Gambar kegiatan pengumpulan data.....................................................
151
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan sebagai sumber zat gizi, baik zat gizi makro maupun mikro harus
dikonsumsi dalam jumlah yang cukup, baik secara kuantitas maupun kualitas. Zat
gizi tersebut digunakan untuk melakukan fungsi berbagai sistem tubuh seperti
sistem
saraf,
endokrin,
otot,
kardiovaskular,
reproduksi,
dan
sistem
kekebalan/imunitas (Almatsier 2006; Wintegres et al. 2007).
Zat gizi mikro, baik vitamin maupun mineral diperlukan oleh tubuh dalam
jumlah terbatas, namun mempunyai peranan yang sangat penting. Kekurangan zat
gizi mikro pada tingkat ringan sekalipun, dapat mempengaruhi kemampuan
belajar, mengganggu produktivitas kerja, dan kualitas sumber daya manusia
(World Bank 2006). Vitamin dan mineral mempunyai fungsi membantu kerja
berbagai jenis enzim, di samping itu juga sebagai antioksidan yang berkaitan erat
dengan fungsi sistem kekebalan (imunitas) tubuh. Beberapa vitamin dan mineral
yang mempunyai fungsi sebagai antioksidan antara lain vitamin C, E, β- karoten,
selenium, tembaga, dan zinc. Zat gizi tersebut dapat mencegah kerusakan sel dari
radikal bebas (Wintegrest et al. 2007; Winarsi 2007).
Seluruh mineral dan sebagian besar vitamin tidak dapat disintesa oleh
tubuh sehingga harus diperoleh dari makanan terutama buah, sayur, dan pangan
hewani. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral maka
diperlukan konsumsi makanan yang seimbang dan beragam. Dalam kondisi
tertentu, dimana vitamin dan mineral yang bersumber dari makanan tidak dapat
memenuhi kebutuhan, maka suplemen zat gizi dapat digunakan sebagai alternatif
pilihan. Meskipun di dalam International Conference on Nutrition Tahun 1992,
FAO/WHO menyatakan bahwa suplementasi zat gizi lebih diprioritaskan untuk
kelompok rawan (vulnerable group) yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya
akan zat gizi melalui makanan, seperti bayi dan anak-anak, lansia, kelompok
individu dengan sosial ekonomi rendah, orang terlantar, pengungsi, penduduk
yang berada dalam kondisi darurat, dan wanita usia subur (WUS) (FAO/WHO
1992). Selain kelompok-kelompok di atas, kelompok yang memerlukan suplemen
zat gizi mikro adalah perokok (Polidori et al. 2003; Pamuk et al.1994), seseorang
yang terpapar oleh stres oksidatif (Romieu et al.2008), terpapar polusi udara
9
(Romieu 2005), pengonsumsi alkohol berat (Albanes et al. 1997), terkena
penyakit infeksi (Barringer et al. 2003), ibu hamil dan wanita menyusui (Lapido
2000; Black 2001). Disisi lain, akhir-akhir ini makin banyak masyarakat
mengonsumsi suplemen, misalnya di Inggris, tidak kurang dari 40 persen
penduduknya mengonsumsi suplemen secara teratur. Di Amerika, lebih dari lima
puluh persen dari populasi dewasa menggunakan suplemen makanan (NIH State
of the Science Panel 2007). Begitu pula di Indonesia, berdasarkan data
International Market Research /IMR (2005) menunjukkan bahwa penjualan
suplemen makanan (termasuk vitamin dan mineral) mencapai $100 juta (Rp satu
trilyun) pada tahun 2001, dan meningkat menjadi Rp 1.1 trilyun pada tahun 2002.
Menurut Hardinsyah (2008) persentase terbesar sebagai pengguna suplement zat
gizi adalah wanita. IMR (2005) menambahkan bahwa faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan kebutuhan pasar akan suplemen makanan antara lain : perubahan
pola makan, kesadaran untuk hidup sehat, ketidakseimbangan antara diet dengan
gaya hidup yang stres dan merebaknya penyakit epidemik.
Penelitian tentang manfaat suplemen vitamin dan mineral sudah banyak
dilakukan, di antaranya manfaat vitamin C, vitamin E, vitamin A, dan mineral
seperti selenium dan zinc. Beberapa di antaranya membuktikan bahwa konsumsi
vitamin C dosis 500-1000 mg memberikan efek antioksidan maksimal karena
sudah terjadi kejenuhan vitamin C pada plasma (Carol and Arah 2001). Vitamin C
juga mempengaruhi sistem imun dengan mestimulasi fungsi neutrofil dan
makrofag, sehingga meningkatkan kemotaksis dan mobility, meningkatkan
fagositosis dan meningkatkan kemampuan membunuh bakteri (Wintegrest et al.
2007). Calder et al. (2002) menyimpulkan konsumsi selenium yang cukup sangat
penting untuk meningkatkan imunitas humoral dan seluler. Kemudian peranan
selenium juga telah diteliti oleh Broome et al. (2004) dimana suplementasi
selenium dengan dosis 100 µg dapat meningkatkan fungsi imunitas secara
optimal. Manfaat zinc terhadap imunitas juga telah diteliti oleh Raqib et al. (2004)
dengan memberikan suplemen zinc pada lansia yang menderita disentri dan
hasilnya menunjukkan adanya peningkatan proliferasi limfosit. Penelitian tersebut
diperkuat oleh Kim and Kim (2004) yang menyatakan bahwa konsumsi
antioksidan meningkatkan produksi sitokin pada lansia, sehingga meningkatkan
9
produksi antibodi. Selanjutnya penelitian tentang peranan vitamin A terhadap
fungsi imunitas menunjukkan bahwa vitamin A mempunyai peranan penting
dalam pengaturan fungsi imun baik non-spesifik maupun cell mediated immunity,
dan respon antibodi (Stephensen 2001; Villamor dan Fauzi 2005). Selain itu
vitamin A juga memegang peranan penting dalam menjaga permukaan mukosa,
menstimulasi respon antibodi dan dalam hematopoesis (calder et al. 2002).
Selanjutnya suplementasi kombinasi antara vitamin A dan zinc terbukti dapat
menurunkan prevalensi dan keparahan infeksi malaria (Zeba et al. 2008).
Dosis vitamin mineral yang diberikan merupakan salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi respon imun, oleh karena itu penelitian berkaitan dengan
dosis suplemen vitamin mineral masih terus dilakukan, meskipun batas
maksimum yang diperbolehkan (tolerable upper intake level/UL) sudah
ditetapkan. Tolerable uppeer intake level / UL adalah angka paling tinggi dari
suatu zat gizi yang bila dikonsumsi dalam jumlah tersebut setiap hari tidak
menimbulkan efek yang membahayakan kesehatan. Intik zat gizi yang melebihi
UL dapat meningkatkan resiko negatif bagi kesehatan. Hathcock et al. (2005)
telah melakukan review dari beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa
penggunaan vitamin C dan E dengan dosis dibawah batas maksimum yang
diperbolehkan (tolerable upper intake level/UL) aman untuk dikonsumsi.
Peranan vitamin dan mineral dalam sistem imunitas sangat ditentukan oleh
fungsi vitamin dan mineral sebagai antioksidan. Sebagai antioksidan vitamin dan
mineral dapat melindungi kerusakan sel dari radikal bebas. Radikal bebas dapat
terbentuk dari aktifitas sitotoksis selain dari metabolisme normal dan bahan-bahan
polutan dari luar tubuh, yang bekerja dengan cara mengaktifkan mekanisme
mikrobisidal pada proses fagositosis. Mekanisme ini disertai dengan pembentukan
molekul yang bersifat reaktif terhadap oksigen atau reactive oxygen species
(ROS) atau senyawa oksigen reaktif (SOR) untuk membunuh sel atau molekul
yang dianggap sebagai antigen. SOR yang dihasilkan pada proses imunitas
tersebut, jika tidak dinetralkan oleh antioksidan dapat menjadi sumber kerusakan
sel imun itu sendiri. Produksi SOR yang tidak seimbang dengan antioksidan yang
terdapat di dalam tubuh dapat memicu terjadinya stress oksidatif. Oleh karena itu
9
antioksidan di dalam sel mempunyai peranan penting untuk memelihara sel-sel
imun dari stress oksidatif (Knight 2000).
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi.
Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap
infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul
terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respon imun (Baratawidjaja 2006).
Penelitian untuk melihat respon imun sudah banyak dilakukan, beberapa
diantaranya menggunkan vaksin influenza dan vaksin Tetanus toxoid (TT).
Penelitian oleh Semba (1994) dengan memberikan vitamin A bersama vaksinasi
TT. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa suplementasi vitamin A dapat
meningkatkan respon humoral terhadap TT. Kemudian penelitian oleh Rahman et
al. (1999) memperoleh hasil bahwa vitamin A dapat meningkatkan respon
antibodi bayi berusia di atas 6 bulan. Demikian pula dengan Wolvers et al. (2006)
meneliti
multi vitamin-mineral sebagai imunostimulan dengan vaksin TT
memperoleh hasil peningkatan antibodi terhadap vaksin TT.
Pada penelitian ini untuk melihat respon imun, sampel diberikan vaksinasi
TT, sehingga respon yang ditimbulkan dapat lebih spesifik yaitu adanya antibodi
terhadap TT. Vaksinasi TT dipilih sebagai penantang untuk memicu respon imun
karena vaksin TT terbukti aman bagi orang dewasa terutama wanita Usia Subur.
Vaksin TT ini sudah menjadi program pemerintah sebagai salah satu syarat
sebelum melangsungkan pernikahan atau menjelang persalinan, karena vaksin
tersebut dapat melindungi ibu dari tindakan persalinan yang kurang steril
(Baratawidjaja 2006).
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka perlu dilakukan uji pengaruh
multi vitamin dan mineral terhadap respon imun humoral dan seluler serta kadar
zat gizi antioksidan pada wanita pekerja sebagai bagian dari Wanita Usia Subur
(WUS).
Rumusan Masalah
Wanita pekerja merupakan bagian dari WUS yang perlu mendapat perhatian
karena rentan terhadap masalah gizi disebabkan peran
fisiologisnya seperti
melahirkan dan menstruasi. WUS pekerja terutama yang bekerja dengan posisi
berdiri mempunyai risiko terpapar stress oksidatf (Flore et al. 2004), disamping
9
itu pekerja tersebut secara bergilir mendapat tugas untuk bekerja pada malam hari
(lembur) sehingga berisiko terjadinya gangguan fungsi imunitas karena tidak
teraturnya siklus tidur (Whiteside and Herberman 1994).
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah pemberian suplementasi multi vitamin-mineral dan vitamin C pada
wanita pekerja memberikan respon imunitas selular, humoral dan CMI (cell
mediated immunity) yang lebih baik dibandingkan dengan plasebo?
2. Apakah pemberian suplementasi multi vitamin-mineral dan vitamin C pada
wanita pekerja akan meningkatkan kadar zat gizi antioksidan dan SOD lebih
baik dibandingkan dengan plasebo?
3. Bagaimana pengaruh suplemenasi multi vitamin-mineral dan vitamin C yang
distimulasi oleh vaksinasi TT terhadap respon imunitas selular, humoral dan
CMI (cell mediated immunity), status zat gizi antioksidan dan status
superoksida dismutase (SOD) dibandingkan plasebo?
Tujuan Penelitian
Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh suplementasi
multi
vitamin-mineral dan vitamin C terhadap respon imunitas selular, humoral dan
CMI (cell mediated immunity), status zat gizi antioksidan serta status superoksida
dismutase (SOD).
Tujuan khusus
1. Menganalisis pengaruh suplementasi multi vitamin-mineral dan vitamin C
pada wanita pekerja terhadap respon imunitas selular, humoral dan CMI
(cell mediated immunity).
2. Menganalisis pengaruh suplementasi multi vitamin-mineral dan vitamin C
pada wanita pekerja terhadap status zat gizi antioksidan (vitamin A,
vitamin C, vitamin E, Zn, Se) dan status SOD.
9
3. Menganalisis pengaruh suplementasi multi vitamin-mineral dan vitamin C
yang distimulasi
oleh vaksinasi TT terhadap respon imunitas selular,
humoral, CMI (cell mediated immunity) dan status zat gizi antioksidan
serta status SOD.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengedukasi dan memberikan saran
secara ilmiah kepada masyarakat khususnya wanita pekerja tentang perlu tidaknya
penggunaan suplemen. Bagi penyusun program gizi dan kesehatan, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan masukan dalam pengaturan penggunaan suplemen
multi vitamin-mineral.
Hipotesis Penelitian
1. Suplementasi multi vitamin-mineral dan vitamin C berpengaruh terhadap
respon imunitas selular, humoral dan CMI (cell mediated immunity).
2. Suplementasi multi vitamin-mineral dan vitamin C berpengaruh terhadap
status zat gizi antioksidan (vitamin A, vitamin C, vitamin E, Zn, Se) dan
status SOD.
3. Suplementasi multi vitamin-mineral dan vitamin C dengan stimulasi
vaksinasi TT berpengaruh terhadap respon imunitas selular, humoral dan
CMI (cell mediated immunity).
4. Suplementasi multi vitamin-mineral dan vitamin C dengan stimulasi
vaksinasi TT berpengaruh terhadap status zat gizi antioksidan (vit. A, vit.
C, vit. E, Zn, Se) dan status SOD.
9
PENGARUH SUPLEMENTASI MULTIVITAMIN MINERAL TERHADAP RESPON IMUN DAN STATUS
ANTIOXIDAN SERTA STATUS MICRONUTRIENT
Vit A, Zn
Mempertahanka
n fungsi vili,
mucin, microvilli
Suplemen
multivitamin mineral
konsumsi
BAHAN ASING
Protein, Karbohidrat, Lemak, Asam Nukleat
Suplemen vit C
Vit A, Se, Zn berperan
dalam fungsi fagositosis
Tubuh manusia
Fisik
Kimia
Biologis
Sel
Vit A, Se, Zn
Berperan dlm fs
Cytolitic
Pertahanan Bawaan/
Non-spesifik
Sel-sel APC
Makrofag*
Vit A
Limfosit NK
Natural Killer
Limfosit Th*
(helper)
Kekebalan seluler
Limfosit Tc*
(cytotoxic)
Tc Memori
Sitokin
Interleukin 1 dll.
Presentasi
dengan molekul MHC
TCR
Se, Zn
Berperan dlm fs
cytotoxic
STRESS
BCR
**
Limfosit B
Sel Plasma
Vit A, Se, Zn
meningkatka
n proliferasi
ANTIBODI
Kekebalan humoral
B memori
Sistem Komplemen
7
9
1
TINJAUAN PUSTAKA
Peranan Vitamin dan Mineral di dalam Tubuh
Vitamin adalah komponen organik yang diperlukan dalam jumlah kecil,
namun sangat penting untuk reaksi-reaksi metabolik di dalam sel, serta diperlukan
untuk pertumbuhan normal dan pemeliharaan kesehatan. Beberapa vitamin
berfungsi sebagai koenzim yang bertanggung jawab terhadap berlangsungnya
reaksi-reaksi kimia yang esensial. Sebagian besar koenzim terdapat dalam bentuk
apoenzim, yaitu vitamin yang terikat dengan protein. Mineral terutama mineral
mikro terdapat dalam jumlah sangat kecil di dalam tubuh, namun mempunyai
peranan penting untuk kehidupan, kesehatan, dan reproduksi ( Almatsier 2006;
Piliang 2006).
Peranan lain dari vitamin dan mineral adalah sebagai antioksidan yang
sangat mempengaruhi kualitas hidup manusia. Beberapa vitamin dan mineral yang
mempunyai peranan sebagai antioksidan, diantaranya vitamin E, vitamin C,
vitamin A, selenium, zat besi dan zinc. Zat- zat ini seringkali disebut zat gizi
antioksidan (IOM 2000).
Sistem imunitas/kekebalan tubuh memerlukan zat gizi antioksidan antara
lain untuk memproduksi dan menjaga keseimbangan sel imun (hematopoises),
melindungi membran sel dari SOR ( vitamin dan mineral sebagai antioksidan),
untuk melawan mikroorganisme penyebab penyakit (imunitas bawaan/innate dan
dapatan/adaptive). Tubuh memerlukan vitamin dan mineral dalam jumlah yang
cukup agar sistem imun dapat berfungsi secara optimal. Vitamin dan mineral
tertentu seperti vitamin A, vitamin E, vitamin C, vitamin B6, vitamin B12, zinc,
selenium dan zat besi mempunyai peranan dalam respon imun. Zat gizi tersebut
membantu pertahanan tubuh pada tiga level yaitu pertahanan fisik (kulit/mukosa),
seluler dan produksi antibodi. Oleh karena itu kombinasi vitamin dan mineral
dapat membantu sistem perlindungan tubuh bekerja dengan optimal (Wintergerst
et al. 2007).
8
Vitamin A
Peranan vitamin A
Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama ditemukan. Secara luas,
vitamin A merupakan nama generik yang menyatakan semua retinoid dan
prekursor/provitamin A/karotenoid yang mempunyai aktivitas biologi sebagai
retinol (Almatsier 2006). Vitamin A memiliki beragam fungsi penting untuk
tubuh, diantaranya untuk penglihatan, pertumbuhan, diferensiasi sel, reproduksi,
dan integritas dari sistem kekebalan tubuh (Olson 1987; Calder et al. 2002).
Dalam peranannya di dalam differensiasi sel termasuk sel kornea dan membran
konjungtiva,
sehingga
mencegah
terjadinya
xeropthalmia,
dan
untuk
photoreseptor sel rod (batang) dan cone (kerucut) dari retina. Vitamin A mengatur
ekspresi berbagai gen yang mengkode protein struktural (seperti keratin kulit),
enzim (seperti alkohol dehidrogenase) dan retinol binding protein. Peranan
vitamin A pada sistem imunitas terkait dengan pertumbuhan dan differensiasi
limfosit B( Wintergrest et al. 2007). Vitamin A berpengaruh terhadap sintesis
protein, dengan demikian berpengaruh terhadap pertumbuhan sel (Almatsier
2006).
Akibat kekurangan dan kelebihan vitamin A
Kekurangan vitamin A (KVA) terjadi ketika simpanan tubuh habis
terpakai sehingga mengganggu fungsi fisiologis. Kekurangan ini dapat merupakan
kekurangan primer yang disebabkan oleh kurangnya konsumsi vitamin A atau
kekurangan sekunder karena adanya gangguan penyerapan dan penggunaannya di
dalam tubuh, kebutuhan meningkat, dan karena gangguan pada konversi karoten
menjadi vitamin A. Kekurangan vitamin A pada tahap awal, terjadi gangguan
pada integritas sel epitel dan kemudian mengganggu sistem imun, selanjutnya
diikuti gangguan pada sistem penglihatan. Dalam keadaan kekurangan vitamin A,
integritas mukosa epitel terganggu, hal ini sebagian besar disebabkan karena
hilangnya sel globlet penghasil mukus. Konsekuensinya adalah meningkatkan
kerentanan terhadap kuman patogen di mata dan saluran nafas serta saluran
pencernaan. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian dimana anak anak dengan
9
kekurangan vitamin A menderita penyakit saluran nafas (Karyadi et al. 2002;
Long et al. 2006).
Kelebihan vitamin A dapat terjadi jika mengkonsumsi vitamin A dengan
jumlah yang berlebihan dalam jangka waktu lama. Kelebihan dapat menyebabkan
kerusakan hati, sakit pada tulang dan sendi, alopecia, sakit kepala, muntah, dan
kulit mengering (FAO/WHO 2001). Kelebihan terjadi bila konsumsi vitamin A
dalam bentuk vitamin A.
Vitamin E
Peranan vitamin E
Vitamin E merupakan antioksidan larut lemak terbesar di dalam sistem
pertahanan antioksidan sel dan hanya didapat dari makanan. Peranan besar
vitamin E adalah melindungi poly unsaturated fatty acid (PUFAs) dan komponen
lain dari membran sel dan low-density lipoprotein (LDL) dari oksidasi oleh radikal
bebas. Vitamin E terletak di dalam lapisan phospolipid dari membran sel,
sehingga sangat efektif dalam melindungi kerusakan lemak tak jenuh (Almatsier
2006; FAO/WHO 2001).
Vitamin E juga mempunyai fungsi utama sebagai chain-breaking
antioxidant. Vitamin E memberikan hidrogen dari grup hydroksil (-OH) pada
struktur radikal bebas, sehingga radikal bebas menjadi tidak reaktif. Vitamin E
menghentikan peroksidasi lemak radikal bebas dengan memberikan elektron
tunggal untuk membentuk tokoferil kuinon yang stabil dan teroksidasi sempurna
(Marks et al. 2000) (Lihat Gambar 1). Oleh karena itu keberadaan vitamin E di
dalam tubuh sangat diperlukan. Alfa-tokoferol juga dapat menghambat aktivitas
protein kinase C yang terlibat dalam proliferasi sel dan diferensiasi sel di dalam
sel otot polos, trombosit, dan monosit. Penghambatan protein kinase C oleh alfatokoferol merupakan suatu tindakan untuk menekan produksi lemak yang
memfasilitasi protein kinase C translocation sehingga meningkatkan aktivitas
proliferasi dan diferensiasi sel (IOM 2000).
10
Gambar 1. Vitamin E setelah melepas ion hidrogen
Akibat kekurangan dan kelebihan vitamin E
Kekurangan vitamin E umumnya menyerang sistem saraf dan otot,
pembuluh darah, dan sistem reproduksi. Kekurangan vitamin E biasanya terjadi
karena adanya gangguan absorpsi lemak dan gangguan transpor lipida (IOM
2000; FAO/WHO 2001; Almatsier 2006). Penelitian epidemiologi menunjukkan
bahwa konsumsi vitamin E mengurangi risiko penyakit jantung. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa suplementasi vitamin E antara 200-400 mg/hari dapat
mengurangi risiko parkinson’s disease, menunda kejadian katarak, memperbaiki
mobilitas penderita arthritis (FAO/WHO 2001). Akan tetapi menggunakan
11
vitamin E secara berlebihan dapat menimbulkan keracunan. Dosis tinggi juga
dapat meningkatkan efek obat antikoagulan yang digunakan untuk mencegah
penggumpalan darah (Almatsier 2006) dan memicu terjadinya prooksidan
(FAO/WHO 2001).
Vitamin C
Peranan vitamin C
Kekuatan vitamin C sebagai antioksidan larut air disebabkan karena
kemampuan vitamin C dalam mereduksi. Vitamin C antara lain mereduksi
superoxide menjadi hidrogen peroksida, atau Fe3+ menjadi Fe2+, atau reduksi
unsur logam lainnya. Setelah perpindahan satu elektron, vitamin C menghasilkan
radikal monodehydroascorbate. Radikal ini akan berubah menjadi askorbat dan
dehydroaskorbat. Kebanyakan jaringan tubuh mempunyai enzim glutathionedependent monodehydroascorbat reductase dan NADPH yang akan mereduksi
radikal tersebut menjadi askorbat kembali. Dehydroaskorbat tidak stabil dalam
larutan, dan akan mengalami pemecahan gugus cincinnya menjadi diketogulonic
acid. Akan tetapi, dehydroaskorbat biasanya direduksi oleh NADPH atau
glutathione dependent reductase menjadi askorbat (Bender 2003). (Lihat Gambar
2). Vitamin C juga diperlukan dalam beberapa proses di dalam tubuh seperti
biosintesis, carnitin yang mentransfer lemak, hormon adrenalin, cortison, transpor
elektron dalam banyak reaksi enzimatik, melindungi integritas dari pembuluh
darah, melindungi gusi dan meningkatkan fungsi imunitas (Goodman 1991).
Akibat kekurangan dan kelebihan vitamin C
Kekurangan vitamin C dapat menimbulkan tanda-tanda klinis seperti
pendarahan atau bengkak di gusi, nyeri persendian, atau konsentrasi vitamin C di
plasma, darah dan leukosit yang sangat rendah. Kekurangan vitamin C akut dapat
menyebabkan skorbut. Seseorang dengan kekurangan vitamin C dapat
menurunkan kekebalan seluler (Chandra, 2002).
Kelebihan vitamin C dari makanan jarang terjadi, akan terjadi jika
mengkonsumsi
suplemen
vitamin
C
secara
berlebihan,
dimana
dapat
menimbulkan hiperoksaluria dan resiko lebih tinggi yaitu terbentuk batu ginjal
(Almatsier 2006). Efek samping lainnya bila mengonsumsi vitamin C dosis tinggi
12
yaitu dapat mengganggu saluran pencernaan dan diare (IOM 2000), akan tetapi
selama mengonsumsi dengan dosis di bawah Upper Limit (UL) tidak
menimbulkan efek negatif (Hatchcock et al. 2005).
Gambar 2 Reaksi redoks vitamin C
Selenium
Peranan selenium
Enzim glutation peroksidase (GSH-Px) memegang peranan sebagai
katalisator dalam pemecahan peroksida yang terbentuk di dalam tubuh menjadi
ikatan yang tidak bersifat toksik. Glutation peroksidase adalah enzim antioksidan
yang mengandung selenium pada sisi aktifnya. Kerja enzim ini mengubah
molekul hidrogen peroksida (yang dihasilkan SOD dalam sitosol dan
mitokondria) menjadi air.
2GSH + H2O2
GSH-Px
GSSG + 2H2O
13
Peroksida dapat berubah menjadi radikal bebas yang dapat mengoksidasi
asam lemak tidak jenuh yang ada pada membran sel, sehingga merusak membran
sel tersebut (Winarsi 2007; Marks et al. 2000). Selenium juga bekerjasama dengan
vitamin E dalam peranannya sebagai antioksidan. Selenium berperan serta dalam
sistem enzim yang mencegah terjadinya radikal bebas dengan menurunkan
konsentrasi peroksida dalam sel. Sedangkan vitamin E menghalangi bekerjanya
radikal bebas setelah terbentuk. Selenium dan vitamin E disamping melindungi
membran sel dari kerusakan oksidatif, juga membantu reaksi oksigen dan
hidrogen pada akhir rantai metabolisme, serta membantu sintesa imunoglobulin.
Peranan selenium banyak dijumpai di dalam sitosol dan mitokondria karena
glutation peroksidase berperan di dalam sitosol dan mitokondria sel, sedangkan
vitamin E di dalam membran sel (FAO/WHO 2001).
Peranan selenium sebagai antioksidan yang terlibat dalam perlindungan
terhadap kerusakan akibat oksidatif melalui peranan glutation peroksidase,
membuat selenium dihubungkan dengan pencegahan penyakit jantung dan
penyakit kronis lainnya. Hasil meta-analisis dari dua puluh lima penelitian
menunjukkan bahwa konsentrasi selenium dalam darah berbanding terbalik
dengan risiko penyakit jantung (Mateo et al. 2006).
Akibat kekurangan dan kelebihan selenium
Selenium adalah mineral kelumit yang penting untuk sintesis protein dan
aktivitas enzim glutation peroksidase. Defisiensi selenium pada manusia dapat
menyebabkan nekrosis hati dan penyakit degeneratif. Pada awalnya, kekurangan
selenium pada manusia dikenal sebagai penyakit Keshan. Penyakit ini pernah
terjadi di Cina pada daerah berbukit dan pegunungan dengan kandungan selenium
yang rendah pada tanahnya, dimana terjadi kardiomiopati atau degenerasi otot
jantung yang menyerang anak-anak dan wanita (FAO/WHO 2001; IOM 2000;
Winarsi 2007). Dampak kekurangan Selenium terhadap imunitas antara lain
menurunkan titer IgM dan IgG, mengganggu chemotaxis neutrofil dan produksi
antibodi oleh limfosit, dan meningkatkan CD4+ serta menurunkan CD8+. Hasil
penelitian oleh Calder et al. (2002) menunjukkan bahwa pada keadaan
kekurangan Se dapat menurunkan titer IgG dan IgM, dan CD 8+ akan tetapi
14
meningkatkan CD 4+. Dampak kelebihan selenium adalah selenosis, termasuk
perubahan kulit dan kuku, kerusakan gigi, gangguan sistem pencernaan dan sistem
saraf (IOM 2000).
Zinc
Peranan zinc
Zinc merupakan komponen lebih dari 300 enzim yang berpartisipasi dalam
sintesa dan degradasi karbohidrat, lemak, protein, dan asam nukleat. Zinc juga
menstabilkan struktur molekul dari komponen seluler dan membran serta
berkontribusi dalam menjaga integritas sel dan organ. Peranan penting lainnya
adalah sebagai bagian integral enzim DNA polimerase dan RNA polimerase yang
diperlukan dalam sintesis DNA dan RNA, juga sebagai bagian dari enzim
kolagen. Zinc berperan pula dalam sintesa dan degradasi kolagen. Oleh karena itu
zinc berperan dalam pembentukan kulit, metabolisme jaringan ikat dan
penyembuhan luka. Di samping itu zinc diperlukan untuk sintesa Retinol Binding
Protein/RBP yaitu protein pengikat retinol di dalam hati. Peranan zinc di dalam
fungsi imunitas antara lain di dalam fungsi sel T dan dalam pembentukan antibodi
oleh sel B, serta pertahanan non-spesifik (FAO/WHO 2001; Almatsier 2006).
Zinc juga diperlukan di dalam aktivitas enzim SOD yang memiliki peranan
penting dalam sistem pertahanan tubuh, terutama terhadap aktivitas senyawa
oksigen reaktif yang dapat menyebabkan stress oksidatif (Winarsi 2007).
Akibat kekurangan dan kelebihan zinc
Kekurangan zinc dapat terjadi bila seseorang banyak mengonsumsi
makanan berupa serealia dan kacang-kacangan, dimana makanan ini mengandung
tinggi serat dan fitat yang dapat menghambat penyerapan seng. Gejala-gejala
kekurangan seng diantaranya menurunnya ketajaman indera perasa, melambatnya
penyembuhan luka, gangguan pertumbuhan, menurunnya kematangan seksual,
terganggunya sistem imun, terganggunya fungsi kelenjar tiroid, laju metabolisme
dan gangguan homeostasis (Whittaker 1998; Almatsier 2006). Kekurangan zinc
pada anak-anak mengganggu pertumbuhan (Dijkhuizen et al. 2001) juga
mengganggu pembentukan IgG (Raqib et al. 2004). Sementara itu, kelebihan zinc
15
dilaporkan dapat mengganggu penyerapan tembaga. Dosis zinc 2 gram atau lebih
dapat menyebabkan muntah, diare, deman (FAO/WHO 2001; Almatsier 2006).
Besi
Peranan besi
Peranan zat besi berhubungan dengan kemampuannya dalam reaksi
oksidasi dan reduksi. Secara kimia, zat besi merupakan unsur yang sangat reaktif
sehingga mampu berinteraksi dengan oksigen. Dalam keadaan tereduksi, besi
kehilangan dua elektron sehingga memiliki dua sisa muatan positif (Fe2+/fero).
Sedangkan dalam keadaan teroksidasi, besi kehilangan tiga elektron sehingga
memiliki tiga sisa muatan positif (Fe3+/feri). Karena dapat berada dalam dua
bentuk ion ini, besi berperan dalam proses respirasi sel, yaitu sebagai kofaktor
bagi enzim-enzim yang terlibat dalam reaksi oksidasi-reduksi ( FAO/WHO 2001;
Almatsier 2006).
Aktifitas SOD dan katalase bergantung pada zat besi ini. Antioksidan
enzimatis bekerja dengan cara mencegah terbentuknya senyawa radikal bebas
baru (Marks et al. 2000; Winarsi2007). Selain itu sebagian besar zat besi berada
dalam hemoglobin, hemoglobin di dalam darah membawa oksigen dari paru-paru
keseluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbon dioksida dari seluruh sel
ke paru-paru untuk dikeluarkan dari tubuh. Zat besi juga berperan dalam imunitas
dalam pembentukan sel-sel limfosit. Disamping itu dua protein pengikat besi yaitu
transferin dan laktoferin dapat mencegah terjadintya infeksi dengan cara
memisahkan besi dari mikroorganisme yang diperlukan untuk berkembang biak.
Akibat kekurangan dan kelebihan besi
Kekurangan zat gizi besi dapat menimbulkan anemia gizi besi yang
merupakan masalah zat gizi mikro terbesar di beberapa negara, termasuk di
Indonesia. Masalah ini terutama terjadi pada bayi, anak pra sekolah, dan wanita
usia subur (Word Bank. 2006). Pada wanita usia subur, dua faktor yang
menyebabkan terjadinya anemia adalah menorrhagia (berlebihnya kehilangan
darah selama menstruasi) dan kehamilan. Pada
Ibu hamil, kejadian anemia
16
disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan ibu akan zat besi dan juga
meningkatnya pertumbuhan fetus dan plasenta.
Dampak keadaan kekurangan besi pada imunitas, antara lain aktivitas
neutrofil menurun, sebagai konsekuensinya, kemampuan membunuh bakteri
intraseluler secara nyata terganggu (FAO/WHO 2001). Sel NK sensitif terhadap
ketidakseimbangan besi dan menunjukkan kemampuan yang rendah untuk
membunuh jika tubuh kekurangan besi, karena mereka memerlukan jumlah besi
yang cukup untuk differensiasi dan proliferasi (Calder et al. 2002).
Vitamin B6
Peranan vitamin B6
Vitamin B6 yang
terdapat di alam terdiri dalam tiga bentuk yaitu
piridoksin, piridoksal, dan piridoksamin. Piridoksin hidroklorida adalah bentuk
sintetik yang digunakan sebagai obat. Dalam keadaan difosforilasi, vitamin B6
berperan sebagai koenzim berupa piridoksal fosfat (PLP) dan piridoksamin fosfat
(PMP) dalam berbagai reaksi transaminasi. Di samping itu PLP berperan dalam
berbagai reaksi lain.
Vitamin B6 juga berperan dalam fungsi imunitas. Penelitian pada manusia
menunjukkan bahwa kekurangan vitamin B6 mempengaruhi pematangan dan
pertumbuhan sel plasma sehingga menganggu produksi Ab, dan aktivitas sel T
(Rall and Meydani 1993).
Akibat kekurangan dan kelebihan vitamin B6
Kekurangan vitamin B6 jarang terjadi karena biasanya kekurangan vitamin
B6 terjadi secara bersamaan dengan kekurangan vitamin B kompleks lainnya.
Hipovitaminosis B6 sering bersamaan dengan kekurangan riboflavin karena
riboflavin dibutuhkan untuk membentuk koenzim PLP. Ketidakcukupan vitamin
B6 juga dapat menyebabkan menurunnya metabolisme glutamat di otak sehingga
terjadi ketidakberfungsian sistem saraf. Selain itu, kekurangan vitamin B6 juga
menyebabkan kerusakan sistem imun (FAO/WHO 2001).
Vitamin B6 jika dikonsumsi dalam jumlah berlebihan selama berbulanbulan maka akan terjadi kerusakan saraf yang tidak dapat diperbaiki, dimulai
17
dengan kesemutan pada kaki, kemudian mati rasa pada tangan dan akhirnya tubuh
tidak mampu bekerja (Almatsier 2006). Dampak kekurangan vit B6 pada imunitas
antara lain menyebabkan penurunan respon Ab, DTH, IL-1-beta, IL-2, serta
aktivitas sel NK dan proliferasi limfosit (Trakatellis et al. 1997).
Asam Folat
Peranan asam folat
Folasin dan folat adalah nama generik sekelompok ikatan yang secara
kimiawi dan gizi sama dengan asam folat. Ikatan-ikatan ini berperan sebagai
koenzim dalam transportasi pecahan-pecahan karbon tunggal dalam metabolisme
asam amino dan sintesa asam nukleat. Bentuk koenzim ini adalah tetrahidrofolat
(THF) atau asam tetrahidrofolat (THFA).
Fungsi utama koenzim folat (THFA) adalah memindahkan atom karbon
tunggal dalam bentuk gugus hidroksimetil atau metil dalam reaksi-reaksi penting
metabolisme beberapa asam amino dan sintetis asam nukleat. THFA berperan
dalam sintesis purin-purin guanin dan adenin serta pirimidin timin, yaitu senyawanyawa yang digunakan dalam pembentukan asam-asam deoksiribonukleat (DNA)
dan asam ribonukleat (RNA). Folat dibutuhkan untuk pembentukan sel darah
merah dan sel darah putih dalam sumsum tulang dan untuk pendewasaannya.
Folat juga berperan sebagai pembawa karbon tunggal dalam pembentukan besi
hem (Almatsier 2006).
Akibat kekurangan dan kelebihan asam folat
Kekurangan folat dapat mempegaruhi morfologi inti sel terutama sel-sel
yang sangat cepat membelah, seperti sel darah merah, sel darah putih. Maka dari
itu asam folat yang cukup di dalam tubuh membantu fungsi imunitas terutama
dalam proliferasi sel. Di dalam darah, keadaan ini dicirikan dengan terjadinya
anemia megaloblastik dan makrositik dengan eritrosit yang membesar, tidak
matang, dan berlebihnya jumlah hemoglobin. Kekurangan folat pada wanita hamil
dapat menyebabkan cacat pada janin yang disebut neural tube defect (NTD)
(Almatsier 2006; FAO/ WHO 2001).
18
Vitamin B12
Peranan vitamin B12
Vitamin B12 berfungsi pada dua bentuk koenzim, yaitu adenosilkobalamin
dengan metilkalonil-CoA mutase yang berperan penting dalam metabolisme
propionat, adenosilkobalamin dengan leusin mutase yang berperan dalam
metabolisme asam amino, dan metilkobalamin dengan metionin sintetase yang
berperan dalam metabolisme karbon tunggal. Vitamin B12 juga diperlukan untuk
mengubah folat menjadi bentuk aktif dan dalam fungsi normal metabolisme
semua sel.
Akibat kekurangan dan kelebihan vitamin B12
Kekurangan vitamin B12 dapat menyebabkan gangguan pembelahan sel,
khususnya didalam sum-sum tulang dan mukosa usus halus. Kekurangan vitamin
B12 dari makanan jarang terjadi, namun sebagian besar disebabkan oleh penyakit
saluran cerna atau gangguan absorpsi dan transportasi. Karena dibutuhkan untuk
mengubah folat menjadi bentuk aktifnya, salah satu gejala kekurangan vitamin
B12 adalah anemia karena kekurangan folat. Dampak kekurangan vitamin B12
terhadap imunitas terkait dengan peranan vitamin B12 dalam pembelahan sel,
sehingga kekurangan vitamin B12 dapat menganggu fungsi imunitas seluler.
Penelitian yang dilakukan pada pasien dengan pernicious anemia atau anemia
megaloblastic sesudah menjalani operasi ( konsentrasi vit B12 serum < 85 pg/ml)
menunjukkan adanya penurunan yang signifikan pada jumlah limfosit dan CD 8+
dan proporsi sel CD4+. Disamping itu juga ditemukan rasio CD4+/CD 8+ yang
tidak normal dan menurunnya aktifitas sel NK. Akan tetapi kejadian kelebihan
vitamin B12 jarang dilaporkan (Almatsier 2006).
Vitamin D
Peranan vitamin D
Vitamin D khususnya kalsitriol (1,25 dihidroksivitamin D3) terutama
berfungsi seperti hormon steroid. Vitamin D menjaga homeostasis kalsium dan
fosfor, disamping itu bersama vitamin C, vitamin A, hormon-hormon paratiroid
dan kalsitonin, protein, serta beberapa mineral membantu pembentukan dan
19
pemeliharaan tulang (Almatsier 2006). Kalsitriol memegang peranan penting
dalam diferensiasi sel, proliferasi sel, dan pertumbuhan banyak jaringan tubuh
termasuk kulit, tulang, pankreas, sel saraf, kelenjar paratiroid, dan sistem imun.
Oleh karena itu peranan vitamin D berkaitan dengan sistem imunitas non-spesifik
maupun spesifik.
Akibat kekurangan dan kelebihan vitamin D
Kekurangan vitamin D dapat menyebabkan kelainan tulang, yang pada
anak-anak dinamakan ricketsia dan pada orang dewasa disebut osteomalasia.
Selain itu, kekurangan vitamin D pada orang dewasa dapat pula menyebabkan
osteoporosis. Kekuranagn vitamin D juga mengganggu fungsi imunitas yang
optimal (Wintergrest 2007). Sedangkan konsumsi vitamin D dalam jumlah
berlebihan mencapai 5 kali AKG akan menyebabkan keracunan dengan gejala
kelebihan absorpsi vitamin D yang akhirnya menyebabkan kalsifikasi berlebihan
pada tulang dan jaringan tubuh seperti ginjal, paru-paru, dan organ tubuh lain
(Almatsier 2006).
Tembaga (Cu)
Peranan tembaga
Tembaga adalah komponen dari banyak enzim. Enzim-enzim yang
mengandung tembaga memiliki berbagai peran dalam reaksi yang menggunakan
oksigen atau radikal oksigen. Tembaga merupakan bagian dari enzim
metaloprotein yang terlibat dalam fungsi rantai sitokrom dalam oksidasi di
mitokondria, sintesis protein-protein kompleks jaringan kolagen di dalam
kerangka tubuh dan pembuluh darah, serta dalam sintesis pembawa rangsangan
saraf. Di dalam sel darah merah, sebagian besar tembaga terdapat sebagai
metaloenzim superoksida dismutase yang terlibat sebagai enzim antioksidan
dalam memusnahkan radikal bebas. Tembaga mempengaruhi beberapa aspek
imunitas, seperti fungsi neutrofil, monosit dan sel-T. Enzim SOD yang
mengandung Cu berperan penting di dalam sistem pertahanan terhadap oksidan
(Winarsi 2007). Selain itu, tembaga memegang peranan penting dalam mencegah
20
anemia melalui membantu penyerapan besi, merangsang sintesis hemoglobin, dan
melepas simpanan besi dari feritin di dalam hati (Almatsier 2006).
Akibat kekurangan dan kelebihan tembaga
Kekurangan tembaga dari makanan jarang terjadi. Kekurangan pernah
dijumpai terjadi pada anak anak yang kekurangan protein dan menderita diare
(Almatsier 2006). Kekurangan tembaga menyebabkan hypochromic anemia,
neutropenia, pembentukan tulang terganggu, tetapi tembaga bukan satu-satunya
pemicu tibulnya gejala tersebut. Penelitian untuk melihat kekurangan tembaga
menunjukkan bahwa kekurangan Cu mengganggu imunitas bawaan (non-spesifik)
dan
spesifik, juga mengakibatkan perubahan atau pergeseran respon anti-
inflamasi sitokin Th2. Keracunan akibat kelebihan tembaga jarang terjadi,
biasanya terjadi karena kontaminasi tempat dari makanan dan minuman
(FAO/WHO 2001).
Interaksi Antar Zat Gizi Mikro
Vitamin dan mineral dikategorikan sebagai zat gizi mikro. Interaksi zat gizi
mikro dapat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu: (1) satu jenis mikronutrien
secara langsung mempengaruhi penyerapan mikronutrien lainnya, dan (2)
defisiensi atau kelebihan satu jenis mikronutrien dalam organisme mempengaruhi
metabolisme mikronutrien lainnya (Lonnerdal 1988). Interaksi dapat terjadi di
dalam makanan, pada fase penyerapan atau ketika di dalam tubuh. Makanan
mengandung campuran berbagai zat gizi dan bahan bahan lain sehingga
memungkinkan terjadinya interaksi zat gizi. Pada fase penyerapan, makanan
dicerna dan zat gizi dilepas untuk dapat diserap. Selama dicerna, zat gizi mikro
mempengaruhi bioavailability atau penyerapan zat gizi mikro lainnya, misalnya
peningkatan daya larut atau oleh pengaturan fungsi usus (misalnya: bioavailabiliti
zat besi meningkat
bila dikonsumsi bersama vitamin C) karena vitamin C
mereduksi besi (III) menjadi besi (II) yang lebih mudah diserap (FAO/WHO
2001). Dibawah ini dijelaskan beberapa interaksi zat gizi yang paling sering
dijumpai dalam pemberian multi zat gizi mikro.
21
Besi dan Zinc
Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa konsumsi besi dalam dosis
yang tinggi akan mengganggu penyerapan zinc (Solomons 1988). Kompetisi
antara besi dan zinc antara lain terkait dengan kesamaan alat pengangkut dimana
sebagian zinc menggunakan alat pengangkut transferin yang juga merupakan alat
pengangkut besi (Almatsier 2006). Bila perbandingan antara besi dengan zinc
lebih dari 2:1 maka transferin yang tersedia untuk zinc berkurang sehingga
menghambat penyerapan zinc (Almatsier 2006; Whittaker 1998). Sementara itu
dampak penyerapan besi terhadap perbandingan kadar zinc lebih besar dari pada
kadar besi belum banyak dilaporkan, namun perbandingan kadar zinc:besi dalam
ASI mencapai 4:1 (Lonnerdal et al. 1988), dan belum ada laporan tentang efek
negatif dari komposisi tersebut.
Hasil review dari 29 hasil penelitian (Whittaker 1998) menunjukkan bahwa
perbandingan besi dengan zinc 1:1, 2:1, 3:1, 5:1, 10:1 yang diminum bersama
dengan air saja mempunyai efek menurunkan penyerapan zinc. Tetapi sebaliknya
dengan perbandingan terbalik (besi:zinc) 1:1, 1:2.5, 1:5 yang diminum dengan air
saja memberi efek menurunkan penyerapan zinc, namun bila diminum bersama
dengan makanan tidak menunjukkan efek terhadap penyerapan zinc. Hal ini
menunjukkan bahwa penyerapan zinc terganggu/terhambat oleh besi bila diminum
dengan media larutan karena keduanya berkompetisi pada jalur penyerapan yang
sama, namun keadaan ini tidak terjadi bila zinc dikonsumsi bersama dengan
makanan, karena zinc akan diserap melalui jalur alternatif lainnya dengan bantuan
ligan yang terbentuk selama pencernaan protein (Sandstrom et al. 2001). Hasil
penelitian suplementasi gabungan antara besi dan zinc yang telah dilakukan di
Bogor (Dijkhuizen and Wieringa 2001), dimana suplementasi gabungan besi dan
zinc menggunakan perbandingan 1:1 efektif menurunkan defisiensi besi dan zinc.
Vitamin A dan Besi
Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan terganggunya hematopoiesis.
Interaksi vitamin A dengan zat besi terlihat ketika pemberian vitamin A dapat
menurunkan prevalensi anemia dan memperbaiki utilisasi zat besi (Suharno
1993). Menurut Semba dan Blom (2002) bahwa vitamin A terlibat di dalam
22
kejadian
anemia
melalui
berbagai
mekanisme
di
antaranya
pertumbuhan dan diferensiasi sel progenitor eritrosit, menurunnya
gangguan
imunitas
terhadap infeksi dan menurunnya mobilisasi cadangan besi dari jaringan-jaringan.
Kekurangan vitamin A dapat pula menyebabkan terganggunya transportasi besi
dari hati dan atau penggabungan besi ke dalam eritrosit (Lonnerdal 1988).
Kekurangan vitamin A dapat mempengaruhi metabolisme zat besi ketika keadaan
vitamin A dan zat besi dalam tubuh kurang dan lingkungan di sekitar banyak
kejadian infeksi (FAO/WHO 2001).
Vitamin C dan Besi
Telah lama diketahui vitamin C sebagai enhancer yang kuat terhadap
penyerapan besi non-heme. Vitamin C dapat meningkatkan penyerapan besi bila
dikonsumsi pada waktu bersamaan, karena vitamin C akan merubah zat besi
bentuk feri menjadi bentuk fero. Besi dalam bentuk fero lebih mudah diserap,
selain itu vitamin C membentuk gugus besi-askorbat yang tetap larut pada pH
lebih tinggi di dalam duodenum (Almatsier 2006).
Penelitian tentang konsumsi dosis tinggi vitamin C dalam jangka waktu
lama telah lama dilakukan oleh Cook et al. (1984) dengan memberikan 2000
mg/hari kepada 17 subjek selama 4 bulan dengan mengontrol pola makan subyek.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata feritin sedikit menurun yakni pada
awal penelitian kadar feritin sebesar 46 ug/l dan pada akhir sebesar 43 ug/l.
Kemudian penelitian tersebut dilanjutkan dengan meneruskan 20 bulan sehingga
total lama penelitian 24 bulan (2 tahun) kepada 4 subyek yang defisiensi besi dan
5 subyek tidak defisiensi besi (normal). Hasilnya terjadi peningkatan serum feritin
yang signifikan dari 6 ug/L menjadi 35 ug/L pada subyek yang defisiensi besi.
Dapat disimpulkan bahwa vitamin C berperan dalam meningkatkan penyerapan
besi bila tubuh dalam keadaan kekurangan zat besi. Kemudian penelitian
berikutnya dengan memberikan buah jeruk sebagai sumber vitamin C 25 mg
sebanyak 2 kali sehari selama 8 bulan setelah makan tidak menaikkan status gizi
besi (Garcia et al. 2003). Temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa efek
vitamin C dalam meningkatkan kadar zat besi, tidak hanya tergantung pada status
23
besi pada awal penelitian, tetapi sangat dipengaruhi oleh bahan-bahan lain yang
terdapat makanan yang dapat mempengaruhi penyerapan zat besi seperti fitat.
Zinc dan Vitamin A
Penelitian pada manusia yang mempunyai kadar status zinc rendah seperti
kerusakan hati karena alkohol dan kekurangan energi dan protein, kemudian
diberikan suplementasi zinc, beberapa di antaranya, menunjukkan bahwa status
vitamin A serum menjadi lebih baik (Lonnerdal 1988). Diduga kekurangan zinc
mempengaruhi pembentukan vitamin A pada tingkat seluler. Pada kondisi
kekurangan zinc, sintesis retinol binding protein (RBP) di hati menjadi terganggu
dan retinene reductase activity menurun. Enzim ini adalah enzim yang bergantung
pada keberadaan zinc, dan aktivitas retinene reductase berhubungan erat dengan
adaptasi terhadap gelap pada seseorang dengan kekurangan zinc. Ditambahkan
pula bahwa zinc esensial untuk sintesa (RBP) di hati dan RBP esensial untuk
mengangkut vitamin A dari liver ke jaringan feriferal (Christian dan West 1998).
Zinc juga terbukti memperkuat efek vitamin A di dalam perbaikan penglihatan di
malam hari pada wanita hamil di Nepal walaupun hal ini hanya terjadi pada
kelompok wanita dengan status zinc rendah saat sebelum menerima suplemen
(Christian et al. 2001). Smith et al. (1999) juga meneliti interaksi zinc dengan
vitamin A, hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kadar zinc serum
setelah subyek menerima suplemen zinc dan vitamin A.
Selenium dan Vitamin E.
Selenium dan vitamin E merupakan antioksidan yang dapat saling
bekerjasama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan selenium dan
vitamin E mengakibatkan meningkatnya malondialdehyde (MDA) pada jaringan
karena meningkatnya radikal bebas yang merusak asam lemak rantai panjang
tidak jenuh. Hasil penelitian lainnya dengan F2-isoprostanes sebagai petanda
adanya reaksi oksidasi in vivo. Senyawa ini hasil dari pemecahan arachidonic
acid akibat radikal bebas in vivo. Kadar plasma F2-isoprostane lima kali lebih
besar pada tikus yang diberi makan kurang vitamin E dan selenium dibandingkan
dengan tikus yang diberi makan normal diet (kontrol). Sedangkan tikus yang
24
diberi makan kurang vitamin E saja mempunyai kadar plasma F2-isoprostane
hanya dua kali lebih besar dari kontrol (Awad et al. 1994). Keadaan ini semakin
memperjelas teori yang mengatakan bahwa selenium berperan dalam mencegah
terjadinya radikal bebas, sedangkan vitamin E menghalangi bekerjanya radikal
bebas setelah terbentuk (Almatsier 2006), sehingga kekurangan kedua zat tersebut
semakin menambah panjang terjadinya reaksi oleh radikal bebas.
Suplemen multi vitamin-mineral
Suplemen vitamin dan mineral paling banyak digunakan sebagai suplemen
zat gizi di Amerika. Kebanyakan suplemen vitamin mineral paling sedikit
mengandung 10 vitamin atau mineral dengan dosis yang bervariasi. Kebanyakan
mereka menggunakan suplemen tersebut untuk tujuan pencegahan atau untuk
meringankan penyakit yang diderita (Huang Yao et al. 2007). Huang juga
menemukan 10 penelitian menggunakan multivitamin mineral dan 24 penelitian
menggunakan single zat gizi. Dosis yang digunakan dalam beberapa penelitian
tersebut antar 2-10 kali RDA. Dari semua penelitian tersebut tidak dijumpai hasil
yang merugikan responden dibandingkan dengan plasebo, kecuali perubahan
warna kulit yang umum dijumpai pada penelitian dengan β karoten, kulit nampak
lebih kuning.
Menurut FAO/WHO (2001) suplementasi adalah pemberian zat gizi dalam
bentuk kapsul, tablet atau injeksi (jika efek yang dikehendaki lebih cepat) yang
dilakukan secara teratur kepada kelompok yang membutuhkan atau orang-orang
yang berisiko kekurangan zat gizi. Meskipun telah banyak digunakan, suplemen
multivitamin mineral belum memiliki standar atau definisi dan masih merujuk
kepada produk-produk dengan beragam komposisi dan karakteristik yang
berbeda-beda. Selain itu, belum ada aturan yang dibuat untuk multivitamin
mineral (Yetley 2007).
25
Tabel 1 Kategori suplemen multivitamin mineral dalam beberapa penelitian
Kategori
Multivitamin mineral
Gabungan beberapa vitamin
dan mineral; multivitaminmultimineral
Kombinasi antara beberapa
vitamin dan mineral dengan
produk lain
Multivitamin
Multivitamin, gabungan
beberapa vitamin
Multivitamin dengan vit. C
Multimineral
Multimineral
Kombinasi mineral
Definisi
Tidak didefinisikan
≥ 3 vitamin dengan
atau tanpa mineral
(tidak merujuk pada
vitamin dan mineral
tertentu)
Minimal mengandung
vit B1, B2, niasin, vit A,
B12, B6, C, dan D, Ca,
Besi, tanpa flourida
Mengandung vit. A, D,
E, C, B6, B12, B1, B2,
niasin, asam folat, Ca,
P, I, Besi, dan Mg
Tidak didefinisikan
Minimal mengandung
1 vitamin dan 1 mineral
ditambah bahan lain
Tidak didefinisikan
≥ 2 vitamin
Tanpa mineral,
dengan vit. A, D, E, C,
B6, B12, B1, B2, asam
folat, dan niasin
Harus mengandung
vit. C, B1, B2, niasin,
vit. A, dan vit. D
Tidak didefinisikan
≥ 2 mineral tanpa
vitamin
Tidak mengandung
vitamin dan Ca, P, I,
Besi, dan Mg
Tidak mengandung
vitamin, Ca, P, I, Besi, Mg,
mengandung ≥ 2 mineral
Survey
NHANES I, II; NHIS
1987, 1992, 2000,
2002; CSFII
NHANES 1999-2000
NHANES III
NHIS 1986
NHANES 1999-2000,
NHANES 2001-2002
NHIS 1986
NHANES I, II, III;
NHIS 1987, 1992,
2000; CSFII
NHANES 1999-2000
NHIS 1986
NHANES III
NHANES III,
NHANES 2001-2002
NHANES 1999-2000
NHIS 1986
NHIS 1986
Sumber: Yetley (2007)
Ket.: CSFII, Continuing Survey of Food Intakes by Individuals; NHANES, National Health and
Nutrition Examination Survey; NHIS, National Health Interview Survey
26
Di Amerika, suplemen makanan dapat mengandung beragam bahan,
termasuk vitamin, mineral, tumbuhan obat atau tumbuh-tumbuhan lainnya, dan
asam amino (US Food and Drug Administration 2001). Tabel 1 menunjukkan
beberapa contoh kategori suplemen multivitamin mineral yang digunakan dalam
beberapa penelitian (Yetley 2007). Dari table 1 tersebut dapat dilihat bahwa
belum ada definisi yang baku tentang kategori zat gizi dalam suplemen
multivitamin mineral.
Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (saat ini
Badan Pengawas Obat dan Makanan) tentang Suplemen Makanan Nomor
HK.00.063.02360 Tahun 1996 mendefinisikan suplemen makanan sebagai produk
yang digunakan untuk melengkapi makanan, yang mengandung satu atau
kombinasi bahan, yaitu vitamin, mineral, tumbuhan atau bahan yang berasal dari
tumbuhan, asam amino, bahan yang digunakan untuk meningkatkan angka
kecukupan gizi (AKG), konsentrat, metabolit, konstituen, dan ekstrak. Definisi ini
direvisi dalam Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor
HK.00.05.23.3644 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa suplemen makanan
adalah produk yang dimaksudkan untuk melengkapi kebutuhan zat gizi makanan,
mengandung satu atau lebih bahan berupa vitamin, mineral, asam amino atau
bahan lain (berasal dari tumbuhan atau bukan tumbuhan) yang mempunyai nilai
gizi dan atau efek fisiologis dalam jumlah terkonsentrasi.
Vitamin mineral mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia, di
antaranya sebagai antioksidan dan fungsi imunitas. Asupan vitamin mineral
sebaiknya melalui konsumsi makanan yang beragam dan seimbang, namun
apabila kebutuhan vitamin mineral yang bersumber dari makanan tidak dapat
terpenuhi maka salah satu pilihan adalah mengkonsumsi suplemen.
Penelitian tentang manfaat suplemen vitamin mineral khususnya terhadap
status antioksidan dan fungsi imunitas sudah banyak dilakukan. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa kekurangan vitamin A, E, folat, selenium dan zinc
berdampak pada aktivitas dan jumlah sel NK dan suplementasi zat gizi mikro
pada lansia sehat menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel NK (Ravaglia et
al. 2000). Demikian pula hasil penelitian oleh Kay et al. (2000) menunjukkan
terjadi penurunan prevalensi suboptimal status vitamin dan memperbaiki status zat
27
gizi mikro yang berhubungan dengan risiko penyakit kronis dengan memberikan
suplementasi multivitamin mineral dengan dosis 100% RDA.
Penelitian oleh Barringer et al. (2003) menunjukkan bahwa suplementasi
multivitamin mineral menurunkan kejadian infeksi dan menurunkan prevalensi
kekurangan zat gizi mikro. Suplementasi multi vitamin mineral juga telah terbukti
dapat menurunkan prevalensi defisiensi multi zat gizi mikro pada orang dewasa
sehat (Navarro dan Wood 2003).
Penelitian manfaat suplemen vitamin mineral juga dilakukan oleh Graat et
al. (2002) melaporkan hasil penelitiannya bahwa suplemen multi vitamin-mineral
menurunkan kejadian dan keparahan infeksi saluran nafas atas. Akan tetapi hasil
meta-analisis dari beberapa penelitian RCT yang dirangkum menjadi tiga
simpulan oleh Kadiki dan Sutton (2005) menyatakan bahwa sebagai simpulan
pertama yakni 3 dari 7 hasil penelitian dijumpai rata-rata jumlah hari sakit dari
sampel
yang
menerima
suplemen
multivitamin-mineral
lebih
pendek
dibandingkan plasebo. Kemudian simpulan kedua yakni 3 dari 7 hasil penelitian
menunjukkan bahwa sampel yang mendapat suplemen multi vitamin-mineral
sedikitnya menderita satu kali infeksi selama penelitian dengan OR 1.10 (CI:
0.81- 1.50) dibandingkan dengan plasebo. Selanjutnya simpulan ketiga yaitu 4
dari 7 hasil peneltian menunjukkan bahwa suplemen multi vitamin dapat
menurunkan jumlah infeksi tetapi dengan signifikansi (p=0.11). Ditambah lagi
hasil meta-analisis oleh Bleys et al. (2006) terhadap peranan suplemen vitamin
mineral sebagai antioksidan memperoleh hasil bahwa suplemen vitamin-mineral
belum terbukti kuat dalam melindungi kejadian penyakit jantung disebabkan
karena dari 7 hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan suplemen
vitamin-mineral melindungi terjadinya atherosclerosis dibandingkan kontrol -0.06
(95% CI:-0.20-0.09;p=0.44).
Kecukupan Gizi yang dianjurkan dan Tolerable Upper Intake Level (UL)
Dosis vitamin dan mineral yang terkandung di dalam suplemen sangat
bervariasi, beberapa diantranya diatas Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan
(AKG). Beberapa Istilah yang dipakai untuk angka kecukupan gizi berbeda-beda
antar negara. Di Indonesia menggunakan istilah angka kecukupan gizi yang
dianjurkan sebagai terjemahan dari Recommended Dietary Allowance (RDA).
28
RDA adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan tubuh untuk
hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur, jenis
kelamin dan kondisi fisiologis tertentu seperti kehamilan dan menyusui (Muhilal
dan Hardinsyah 2004).
Sementara itu, di Filipina digunakan istilah Recommended Energy and
Nutrient
Intakes (RENI). Sedangkan di Amerika Serikat sejak Tahun 2000
digunakan istilah Dietary Reference Intake (DRI). DRI adalah nilai-nilai referensi
yang merupakan dugaan kuantitatif intik zat gizi untuk digunakan dalam
perencanaan dan penilaian menu makanan bagi penduduk sehat. DRI terdiri dari
Recommended Dietary Intake (RDA), Adequate Intake (AI), Tolerable Upper
Intake Level (UL), Estimated Average Requirement (EAR) (IOM 2000).
Pertimbangan penting dalam aplikasi DRI meliputi dua hal yaitu: pertama
kebutuhan zat gizi didefinisikan sebagai level intik terendah yang akan
mempertahankan taraf gizi tertentu pada seseorang, dan kedua yakni kriteria
kecukupan gizi untuk menetapkan kebutuhan zat gizi tersebut berbeda antar zat
gizi dan juga dapat berbeda pada suatu zat gizi tertentu antar kelompok umur.
DRI terdiri atas empat komponen, yaitu :
1. Estimated Average Requirement (EAR)
EAR adalah rata-rata level intik zat gizi harian yang diduga memenuhi
kebutuhan zat gizi dari setengah populasi sehat pada kelompok umur dan jenis
kelamin tertentu
2. Recommended Dietary Intake (RDA)
RDA adalah level intik zat gizi harian yang cukup (sufficient) untuk
memenuhi kebutuhan zat gizi bagi hampir semua (97-98%) penduduk sehat
pada kelompok umur dan jenis kelamin tertentu
3. Adequate Intake (AI)
AI adalah rekomendasi intik zat gizi harian yang didasarkan pada berbagai
pendekatan atau pendugaan yang diperoleh melalui pengamatan atau
eksperimen tentang intik zat gizi kelompok penduduk sehat tertentu yang
diasumsikan telah mencukupi kebutuhan gizinya
29
4. Tolerable Upper Intake Level (UL)
UL adalah suatu angka paling tinggi dari suatu zat gizi yang bila dikonsumsi
dalam
jumlah
membahayakan
tersebut
setiap
hari
tidak
menimbulkan
efek
yang
kesehatan. Namun, UL bukan level intik zat gizi yang
dianjurkan karena tidak ditemukan manfaat yang dapat diperoleh seseorang
yang tampak sehat jika mengkonsumsi zat gizi melebihi RDA atau AI. Jika
intik meningkat di atas UL, maka potensi resiko efek negatif terhadap
kesehatan akan meningkat.
Kriteria dan nilai anjuran untuk Tolerable Upper Intake Level (UL)
Penetapan nilai UL untuk masing-masing zat gizi berbeda. Nilai UL untuk
vitamin C bagi orang dewasa adalah 2000 mg/hari berdasarkan efek negatif yang
ditandai timbulnya diare osmotic. UL untuk vitamin E adalah 1000 mg/ hari
berdasarkan efek negatif adanya peningkatan perdarahan. Sedangkan untuk UL
selenium adalah 400 µg/ hari berdasarkan efek negatif yang timbul yaitu
selenosis. UL sangat bermanfaat bagi masyarakat karena banyaknya pangan yang
difortifikasi dan meningkatnya penggunaan suplemen makanan. UL dapat
diterapkan pada penggunaan harian secara kronis.
UL didasarkan pada intik zat gizi total yang berasal dari makanan, air, dan
suplemen, sehingga efek negatif yang diamati juga berhubungan dengan intik zat
gizi total. Tetapi jika efek negatif terhadap kesehatan hanya berhubungan dengan
intik zat gizi yang berasal hanya dari suplemen atau fortifikasi pangan maka UL
didasarkan pada intik zat gizi yang hanya berasal dari sumber zat gizi tersebut.
Nilai UL untuk vitamin C dan selenium didasarkan pada intik zat gizi total yang
berasal dari makanan, makanan yang di fortifikasi, dan suplemen. Sedangkan
untuk vitamin E didasarkan pada intake dari suplemen, makanan yang di
fortifikasi dan sumber farmakologis lainnya. Sementara itu untuk β-karoten dan
karotenoid lainnya dimana data yang digunakan sebagai dasar pertimbangan UL
masih belum konsisten, maka perlu kehati-hatian dalam mengkonsumsi dengan
jumlah diatas asupan yang dianjurkan, hal ini bukan berarti konsumsi tinggi tidak
menimbulkan efek samping. Kecukupan gizi (AKG dan RDA) serta UL zat gizi
dalam suplemen yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 2
30
Tabel 2 Kecukupan gizi, UL, dan batas maksimum BPOM vitamin dan mineral
yang digunakan dalam suplemen penelitian
Zat gizi
Satuan
AKG*
RDA*
UL*
Batas maks.
19-29 th 30-49 th 19-30 th 31-50 th 19-30 th 31-50 th
BPOM*
Vitamin
C
mg
75
75
75
75
2000
2000
1000
E
mg
15
15
15
15
1000
1000
400
A
μg
500
500
700
700
3000
3000
1500
B6
mg
1,3
1,3
100
100
100
Asam folat μg
400
400
400
400
1000
1000
800
B12
μg
2,4
2,4
2,4
2,4
ND
ND
200
D
μg
5
5
5+
5+
50
50
10
Mineral
Zn
mg
9,3
9,8
8
8
40
40
30
Se
μg
30
30
55
55
400
400
200
Cu
μg
900
900
10000
10000
3000
Fe
mg
26
26
18
18
45
45
30
Sumber: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004); Institute of Medicine (1997, 1998, 2000,
2001); Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (2004)
Ket.: *AKG: Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan, RDA: Recommended Dietary Allowance,
UL: Tolerable Upper Intake Levels, BPOM: Badan Pengawas Obat dan Makanan, ND: not
determined
+
AI: Adequate Intake
Sistem Imunitas
Imunitas atau kekebalan adalah kemampuan tubuh untuk melawan infeksi,
meniadakan kerja toksin dan faktor virulen lainnya yang bersifat antigenik dan
imunogenik. Antigen adalah suatu bahan atau senyawa yang dapat merangsang
pembentukan antibodi. Antigen dapat berupa protein, lemak, polisakarida, asam
nukleat, lipopolisakarida, lipoprotein dan lain-lain. Antigenik adalah sifat suatu
senyawa yang mampu merangsang pembentukan antibodi spesifik terhadap
senyawa tersebut. Sedangkan imunogen adalah senyawa yang dapat merangsang
pembentukan kekebalan/imunitas, dan imunogenik adalah sifat senyawa yang
dapat merangsang pembentukan antibodi spesifik yang bersifat protektif dan
peningkatan kekebalan seluler. Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannnya
untuk melindungi tubuh juga berkurang, sehingga membuat patogen, termasuk
virus dapat tumbuh dan berkembang dalam tubuh. Sanitasi yang buruk, kesehatan
personal, kepadatan penduduk, makanan dan air yang terkontaminasi serta
pengetahuan gizi yang kurang memberikan kontribusi terhadap menurunnya
kekebalan (Roitt 2003).
31
Imunitas juga diartikan sebagai resistensi terhadap penyakit terutama
penyakit infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam
resistensi terhadap infeksi disebut sistem imunitas. Reaksi yang dikoordinasi selsel, molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respon imunitas
(Baratawidjaja 2006).
Sistem imunitas terdiri atas sistem imunitas alamiah atau nonspesifik
(natural/innate/native) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired). Dalam
penelitian ini selanjutnya akan disebut spesifik dan non spesifik. Sistem imunitas
yang normal sangat penting untuk kesehatan manusia, dan makanan adalah salah
satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi sistem imunitas. Pemeriksaan
adanya perubahan fungsi imunitas memerlukan pendekatan dengan parameter
sistem imunitas. Hasil review menunjukkan bahwa marker/pertanda fungsi
imunitas yang umum digunakan untuk mengevaluasi penelitian intervensi zat gizi
terhadap sistem imunitas terdapat 3 kategori yaitu high, medium, dan low.
Produksi antibodi terhadap antigen spesifik, respon delayed-type hypersensitivity,
vaccine-specific atau total secretory IgA dalam saliva diklasifikasikan dalam
parameter high suitability. Marker yang termasuk medium adalah sel natural
killer, oxidative burst terhadap phagocytes, proliferasi limfosit dan sitokin yang
diproduksi oleh sel imunitas. Dikatakan dalam review tersebut bahwa tidak ada
single marker yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan keadaan sistem
imunitas maka dianjurkan menggunakan kombinasi high dan medium adalah yang
terbaik untuk mengukur sistem imunitas dalam intervensi gizi terhadap sistem
imunitas (Albers et al. 2005). Gambaran umum sistem imun disajikan pada
Gambar 3.
32
SISTEM IMUN
NONSPESIFIK
FISIK
LARUT
•
•
Kulit
Selaput
lendir
•
•
•
Silia
Batuk
Bersin
SPESIFIK
SELULAR
Biokimia
• Fagosit
o Mononuklear
• Lisozim
o Polimorfonuklear
(keringat)
• Sel NK
• Sekresi
sebaseus • Sel Mast
• Asam
• Basofil
lambung
• Laktoferin
• Asam
neuraminik
Humoral
• Komplemen
• Interferon
• CRP
HUMORAL
SELULAR
Sel B
• IgG
• IgA
• IgM
• IgD
• IgE
Sel T
• Th1
• Th2
• Ts/Tr/Th3
• TdTh
• CTL/Tc
Gambar 3 Gambaran umum sistem imunitas (Baratawidjaja 2006)
Sistem Imun Non-spesifik
Sistem imun non-spesifik adalah sistem pertahanan bawaan, yakni
komponen normal tubuh yang selalu ditemukan pada individu sehat dan siap
mencegah mikroba yang akan masuk ke dalam tubuh. Untuk menyingkirkan
mikroba tersebut dengan cepat, imunitas non-spesifik melibatkan kulit dan selaput
lendir, fagositosis, inflamasi, demam, serta produksi komponen-komponen
antimikrobial (selain antibodi) (Tortora 2004). Sistem imun ini disebut nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu, telah ada dan siap
berfungsi sejak lahir. Sistem ini merupakan pertahanan terdepan dalam
menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respon secara
langsung (Baratawidjaja 2006).
33
Pertahanan non-spesifik melibatkan pertahanan fisik seperti kulit, selaput
lendir, silia saluran nafas. Di samping itu melibatkan cairan tubuh seperti keringat,
cairan asam lambung, laktoferin, komplemen, CRP, dan pertahanan seluler yang
melibatkan sel darah putih baik mononuklir maupun polinuklir, serta sel NK.
Sel darah putih (leukosit)
Sel darah putih terdiri dari dua jenis yaitu sel polinuklir yang terdiri dari
basofil, eosinofil dan neutrofil. Sel polinuklir ini bergerak cepat dan sudah berada
ditempat infeksi dalam 2-4 jam. Sedangkan sel mononuklear terdiri dari limfosit
dan monosit. Sel mononuklir bergerak lebih lambat dan memerlukan waktu 7-8
jam untuk sampai tempat infeksi. Dalam perkembangannya sel limfosit yang
bergranula kecil berkembang menjadi sel B dan sel T limfosit. Sedangkan limfosit
bergranula besar menjadi sel NK. Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat
melakukan fagositosis, tetapi sel utama yang berperan dalam pertahanan nonspesifik adalah sel mononuklir serta sel polinuklir. Sel sel ini berperan sebagai sel
yang menangkap antigen, mengolah dan selanjutnya mempersentasikan ke sel T,
yang dikenal sebagai sel penyaji atau APC. Ke dua sel tersebut berasal dari sel
asal hemopoietik. Sel polinuklir lebih sering ditemukan pada inflamasi akut,
sedangkan monosit pada inflamasi kronik (Baratawidjaja 2006). Peranan sel darah
putih sebagai penjaga garis depan dari pertahanan tubuh manusia banyak diteliti,
diantaranya Wolvers et al. (2006) dengan memberikan campuran zat gizi mikro
pada subyek sehat selama 10 minggu dan hasil penelitian menunjukkan bahwa
tidak ada perubahan yang signifikan dari sel darah putih, diduga karena sejak awal
subyek sudah mempunyai sel darah putih dalam kisaran normal.
Monosit
Monosit ditemukan dalam sirkulasi, tetapi jumlahnya lebih sedikit dari
neutrofil. Sel-sel ini berasal dari promonosit sumsum tulang yang setelah
diferensiasi menjadi monosit darah, akhirnya tinggal di jaringan sebagai makrofag
dewasa dan membentuk sistem fagosit mononukleus. Fagosit mononukleus
berasal dari sel prekursor dalam sumsum tulang dan masuk ke dalam sirkulasi
sebagai monosit. Setelah 24 jam sel monosit akan bermigrasi dari sirkulasi darah
ke tempat tujuan di beberapa jaringan. Dalam jaringan, monosit menjadi makrofag
34
yang dapat diaktifkan oleh mikroba dan dapat berdiferensiasi menjadi sel residen
khusus dalam berbagai jaringan (fixed macrophag). Makrofag yang disebut fixed
macrophag atau makrofag residen berbentuk khusus yang tergantung dari
alat/jaringan yang ditempati, memiliki nama yang berbeda beda, sel dendritik atau
sel langerhans di kulit, sel kuffer di hati dan sel langerhans di paru. Makrofag
peritoneal bebas dalam cairan peritoneum. Kehadirannya di sepanjang kapiler
memungkinkan untuk menangkap patogen dan antigen yang mudah masuk tubuh.
Semuanya mempunyai kesamaan yaitu dapat mengikat dan memakan partikel
antigen dan mempresentasikannya ke sel T. Sel ini dikenal sebagai sel penyaji
atau Antigen Precenting Cell (APC) (Baratawidjaja 2006). Monosit tidak hanya
menyerang mikroba dan sel kanker juga berperan sebagai APC, tetapi juga
memproduksi sitokin dan mengerahkan pertahanan sebagai respon terhadap
infeksi. Interleukin-1 (IL-1) dan IL-2 serta TNF-α menginduksi panas dan
produksi protein fase akut di hati, memodulasi zinc dan tembaga.
Sel NK
Sel NK adalah golongan limfosit ketiga sesudah sel T dan sel B.
Jumlahnya sekitar 5-15% dari limfosit dalam sirkulasi dan 45% dari limfosit
dalam jaringan. Secara morfologis, sel NK merupakan limfosit dengan granula
besar (Baratawidjaja 2006). Sel ini berfungsi dalam imunitas non-spesifik
terhadap virus dan sel tumor. Sel ini dapat mengenal struktur-struktur glikoprotein
dengan berat molekul tinggi yang muncul pada permukaan sel terinfeksi virus
sehingga dapat dibedakan dari sel-sel normal. Pengenalan ini mungkin terjadi
melalui reseptor serupa lektin (yaitu pengikatan karbohidrat) pada permukaan sel
NK yang menghantar sel pembunuh dan sasaran saling berhadapan pada jarak
yang dekat. Menurut Anderson (2005) peningkatan sel NK yang berlebihan
menunjukkan adanya kelainan seperti autoimun disease, diabetes mellitus, dan
anemia aplastic. Sebaliknya, rendahnya sel NK juga merupakan pertanda yang
buruk seperti infeksi virus papilla yang menyebabkan cervical carcinoma,
sehingga Anderson (2005) menyatakan bahwa jumlah sel NK yang cukup dapat
melindungi seseorang dari infeksi yang mematikan. Peranan sel NK terhadap
penyakit juga telah di review oleh Whiteside dan Herberman (1994). Penyakit
yang berhubngan dengan sel NK yang tidak normal dapat di kategorikan dalam
35
penyakit dengan aktifitas sel NK rendah atau tinggi. Ketidak normalan sel NK
dapat bersifat sementara atau permanen. Aktifitas sel NK yang tinggi atau rendah
yang bersifat sementara terjadi pada seseorang dengan berbagai macam keadaan
atau penyakit seperti circadian variation, situasi stress, kegiatan fisik yang tinggi,
common cold, dan infeksi virus yang sedikit serius. Sedangkan aktifitas sel NK
yang rendah atau tinggi yang bersifat permanen lebih menunjukkan adanya
penyakit.
Sistem Imun Spesifik
Berbeda dengan sistem imun non-spesifik, sistem imun spesifik mempunyai
kemampuan untuk mengenal benda asing yang dianggap asing bagi dirinya.
Benda asing yang pertama kali muncul dalam tubuh segera dikenal oleh sistem
imun spesifik sehingga terjadi sensitasi sel-sel sistem imun tersebut. Benda asing
yang sama bila terpajan ulang akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan.
Oleh karena sistem tersebut hanya dapat menyingkirkan benda asing yang sudah
dikenal sebelumnya, maka sistem ini disebut spesifik (Baratawidjaja 2006).
Peneliti lainnya menjelaskan bahwa disebut imun spesifik karena jika antigen 1
menyerang tubuh maka antibodi 1 diproduksi untuk melawan. Jika antigen 2
menyerang maka antibodi 2 diproduksi untuk melawan, begitu seterusnya
(Tortora 2004).
Sel limfosit merupakan sel yang berperan utama dalam sistem imun
spesifik, sel T pada imunitas seluler, dan sel B pada imunitas humoral. Pada
imunitas humoral, CD4+ adalah molekul permukaan sel T helper
akan
berintegrasi dengan sel B dan merangsang proliferasi dan diferensiasi sel B. Pada
imunitas seluler, CD4+ mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba
intraselular yang menginfeksi sel. Kedua sistem imun bekerja sangat erat satu
dengan lainnya.
Humoral Mediated Immunity
Pemeran utama dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau
sel B. Humor berarti cairan tubuh. Sel B berasal dari sel multipoten di sum-sum
tulang. Bila sel B dirangsang oleh benda asing, sel tersebut akan berproliferasi,
berdiferensiasi dan berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi.
36
Antibodi adalah protein yang diproduksi oleh sel B dalam merespon adanya
antigen (Ag). Antibodi (Ab) yang dihasilkan sel B dapat ditemukan dalam serum.
Antibodi (Ab) merupakan bagian dari protein yang disebut globulin.
Imunoglobulin di dalam tubuh manusia terdapat lima jenis yaitu IgG, IgA, IgM,
IgD, dan IgE. Fungsi utama antibodi ini adalah pertahanan terhadap infeksi
ekstraseluler, virus dan bakteri serta menetralkan toksinnya (Baratawidjaja 2006).
Imunoglobulin G (IgG) merupakan bentuk Ab yang terbanyak di dalam tubuh,
yang dapat ditemukan dalam darah, lymph, dan usus.
IgG mempunyai afinitas yang tinggi untuk berikatan dengan antigen, serta
mempunyai spektrum yang luas terhadap sifat-sifat biologik sekunder. Pada
respon sekunder seperti pada penelitian ini, mungkin merupakan imunoglobulin
utama yang disintesis (Roitt 2003).
Fungsi imunitas humoral selain dapat dilihat dari produksi antibodi (sebagai
produk akhir interaksi sel Th dengan APC), juga dapat dilihat dari jumlah CD4+
yang mencerminkan aktivitas dari sel Th. Sel T naif yang terpajan dengan antigen
yang diikat oleh MHC (Major Histocompatibility Complex) yang dipresentasikan
APC (Antigen Presenting Cell), akan berkembang menjadi subset sel T berupa
CD4+ dan CD8+.
Banyaknya
jumlah
CD4+
yang
dapat
mengenali
antigen
yang
dipresentasikan bersama MHC-II oleh APC, maka akan meningkatkan produksi
sitokin sehingga merangsang proliferasi dari sel plasma untuk memproduksi
antibodi. Jumlah CD4+ berkorelasi positif dengan keparahan penyakit, seperti
temuan Ray (2006) dimana subyek dengan positif HIV mempunyai CD4+ yang
sangat rendah yaitu < 200 cell/ul, sedangkan range normal CD4+ adalah 4101590 sel/ul.
Celuler Mediated Immunity (CMI)
Sistem imun ini difasilitasi oleh limfosit T. Limfosit T diproduksi di sumsum tulang dan matang di thymus. Sel T cytotoxic (Tc) atau sel CD8+ secara
langsung membunuh mikroba penyerang dan sel yang telah terinfeksi virus serta
sel tumor.
Sel T CD8+ naif yang keluar dari timus disebut juga CTL/Tc. CD8+
mengenal antigen yang dipresentasikan bersama molekul MHC-1. Molekul MHC-
37
1 ditemukan pada semua sel tubuh yang bernukleus, dan fungsi utama sel CD8+
adalah menyingkirkan sel terinfeksi virus. Sel CTL/Tc juga menghancurkan sel
ganas dan sel histoinkompatibel yang menimbulkan penolakan pada transplantasi.
Gambar 4 dibawah ini menjelaskan bagaimana mekanisme imunitas seluler
dan humoral.
Mac/
sel NK
Melalui APC
di
ba
w
a
i
es
kr
se
menangkap
diinformasikan
Ag
Cytokin
Sel B
Ab
melawan Ag
Sel T
Ag
Intrasel
CD8
(bila interac dg
MHC1)
Mac
CD4
(bila interac dg
MHC2)
Gambar 4 Mekanisme imunitas seluler dan humoral
Zat Gizi Antioksidan
Zat gizi antioksidan adalah zat yang terdapat di dalam makanan yang
secara signifikan dapat menurunkan efek negatif akibat spesies yang reaktif,
seperti oksigen reaktif dan nitrogen spesies yang terbentuk di dalam tubuh (IOM
2000). Secara umum antioksidan dikelompokkan menjadi 2 yaitu antioksidan
enzimatis dan non-enzimatis. Antioksidan non-enzimatis adalah zat gizi
antioksidan seperti beta-karoten, vitamin E, vitamin C. Sedangkan antioksidan
enzimatis antara lain glutation peroksidase (GSH-Px), superoksida dismutase
(SOD), katalase, zat gizi selenium yang banyak ditemukan dalam GSH-Px dan
zinc sangat mempengaruhi aktifitas SOD juga berperan didalam enzim katalase.
Radikal bebas dari senyawa oksigen seperti superoksida, oksigen singlet
dapat terbentuk pada saat proses metabolisme normal di dalam tubuh. Radikal
bebas lain yang terdapat di luar tubuh seperti asap rokok, asap mobil, polutan.
Radikal bebas merupakan salah satu bentuk senyawa oksigen reaktif, yang secara
umum diketahui sebagai senyawa yang memiliki elektron yang tidak berpasangan.
38
Gambar 5 Peran oksigen dalam cedera sel
Pembentukan radikal bebas dapat terjadi ketika komponen makanan diubah
menjadi energi melalui proses metabolisme. Pada proses metabolisme ini,
seringkali terjadi kebocoran elektron. Dalam kondisi demikian, mudah sekali
terbentuk radikal bebas, seperti anion superoksida (O2-) dan hidroksil (OH. ).
Radikal bebas juga dapat terbentuk dari senyawa yang sebenarnya bukan radikal
bebas, tetapi mudah berubah menjadi radikal bebas, misalnya hydrogen peroksida
(H2O2) dan ozon (Winarsi 2007). Tingginya oksigen dan nitrogen yang reaktif
dapat merusak sel dan memicu tidak berfungsinya suatu sel sehingga
menimbulkan penyakit. Timbulnya penyakit karena kelebihan oksigen reaktif
kemudian menyerang komponen lipid, protein, maupun DNA. Gangguan
keseimbangan antara antioksidan dan prooksidan tersebut disebut oxidative stress
(Bendich 1993; IOM 2000).
39
Gambar 6 Pembentukan stres oksidatif
Radikal bebas dapat dihambat oleh sistem antioksidan yang melengkapi
sistem kekebalan tubuh. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa suplementasi
zat gizi antioksidan (Vitamin C, E dan A) secara signifikan dapat memperbaiki
sistem imunitas (Andrianne 1993; Ravaglia et al. 2000; Hathcock et al. 2005;
Wintergrest et al. 2007). Selain zat gizi antioksidan tersebut diatas, peranan zat
gizi enzimatik seperti superoksida dismutase, katalase, dan glutation peroksidase
juga mempunyai peranan yang tidak kalah penting didalam mengurangi kerusakan
akibat radikal bebas.(lihat Gambar 7). Antioksidan superoksida dismutase (SOD)
merubah radikal bebas superoksida menjadi bentuk hidrogen peroksida yang
kurang reaktif. Akan tetapi hidrogen peroksida dapat menjadi berbahaya bila
bertemu dengan besi ferro karena dapat terbentuk radikal bebas. Oleh karena itu
diperlukan antioksidan katalase untuk merubah hidrogen peroksida tersebut
menjadi air dan oksigen.
Gambar 7 Pertahanan enzimatik terhadap cedera radikal bebas
40
Peranan Zat Gizi Antioksidan Terhadap Imunitas
Vitamin dan mineral di dalam tubuh selain berfungsi sebagai antioksidan
yang dapat mencegah kerusakan sel dari radikal bebas, juga mempunyai peranan
penting dalam sistem imunitas seperti pada aktivitas cytotoxic dan khususnya
dalam aktivitas microbicidal fagosit terkait dengan pembentukan SOR (spesies
oksigen reaktif). Terbentuknya SOR adalah bagian dari fungsi fisiologi sel dalam
pertahanan tubuh, terutama selama fagositosis atau aktivitas microbicidal. SOR
dalam sel yang tidak dinetralkan oleh antioksidan dapat menjadi sumber
kerusakan jaringan, karena radikal bebas dapat merusak komponen seluler dan
menyebabkan kematian sel karena kerusakan molekuler akibat stress oksidatif.
Oleh karena itu fungsi sel imun sangat kuat dipengaruhi oleh antioksidan atau
keseimbangan antioksidan. Sementara itu, sistem imun sendiri sangat rentan
terhadap stress oksidatif, karena sel imun sangat tergantung pada komunikasi
antar sel melalui membran reseptor. Apabila terjadi kerusakan pada membran sel
oleh radikal bebas dapat mengganggu komunikasi antara sel imun dengan APC
yang selanjutnya akan berdampak pada produksi sitokin dan pada akhirnya akan
menghambat produksi antibodi.
Kekurangan satu macam zat gizi dapat mengganggu respon imun walaupun
taraf kekurangan zat gizi pada tingkatan yang ringan. Data epidemiologi dan
klinis menunjukkan bahwa defisiensi zat gizi mempengaruhi kemampuan
kekebalan dan meningkatkan risiko infeksi. Beberapa zat gizi seperti vitamin E
mempunyai peranan sebagai immunomodulator, meningkatkan proliferasi limfosit
dan meningkatkan produksi sitokin (Lee et al. 2000). Zat gizi mikro seperti zinc,
selenium, besi, tembaga, vitamin A, C, E dan B6 serta asam folat mempunyai
pengaruh yang penting dalam respon imun (Chandra 2002; Wolvers et al. 2006;
Dijkhuizen dan Wieringa 2001).
Zat gizi mikro juga sangat mempengaruhi keutuhan dinding sel yang sangat
menentukan untuk komunikasi antar sel, kerusakan dinding sel mengaruhi sistem
imun karena terganggunya produksi sitokin (Rink dan Kirchner 2000). Penelitian
tentang peranan zat gizi mikro terhadap sistem imun telah banyak dilakukan dan
beberapa di antaranya telah dirangkum oleh Wintergerst et al. (2007), dimana
kekurangan salah satu atau beberapa zat gizi mikro mengakibatkan gangguan pada
41
sistem signaling dan selanjutnya terjadi gangguan respon imun. Berikut ini akan
diuraikan beberapa zat gizi yang mempunyai peranan dalam antioksidan dan
sistem imun:
Vitamin A
Vitamin A merupakan nama generik yang menyatakan semua retinoid dan
prekursor/provitamin A/ karotenoid yang mempunyai aktivitas biologik sebagai
retinol (Almatsier 2006). Vitamin A mempunyai peranan penting di dalam
pemeliharaan sel epitel oleh karena itu vitamin A sangat berperan dalam imunitas
non-spesifik, dimana dalam keadaan kekurangan vitamin A, integritas mukosa
epitel terganggu, keadaan ini sebagian besar disebabkan karena hilangnya sel
globlet penghasil mukus. Salah satu dampak kekurangan vitamin A adalah
meningkatnya kerentanan terhadap kuman patogen di mata dan saluran nafas serta
saluran pencernaan.
Hasil penelitian Sommer dan Tarwotjo (1984) dan Karyadi et al. (2002)
menunjukkan bahwa anak-anak yang kekurangan vitamin A berisiko mengidap
penyakit pernafasan dan meningkatnya keparahan penyakit diare. Hal ini karena
terganggunya sel epithel pada sel saluran cerna dan pernafasan. Demikian pula
hasil penelitian yang dilakukan di Bandung oleh Semba et al. (1993) dan Semba
(1994) menunjukkan bahwa kekurangan vitamin A berdampak pada kemampuan
membangkitkan respon antibodi terhadap antigen dependen sel T. Vitamin A juga
terbukti dapat meningkatkan respon antibodi terhadap antigen spesifik,
meningkatkan proliferasi limfosit, meningkatkan produksi sitokin, mencegah
apoptosis, dan menjaga integritas lapisan mukosal (Rahman et al. 1999). Peranan
vitamin A pada sel-sel mukosa di antaranya mukosa saluran cerna juga telah
dibuktikan oleh Kotake-Nara et al. ( 2000).
Peranan vitamin A selain pada imunitas non-spesifik juga pada imunitas
seluler, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Stephensen (2001) dan
Villamor dan Fauzi (2005) dimana vitamin A selain mempengaruhi kekebalan
alami dengan cara mengganggu pertahanan mukosal, juga dengan cara
mengurangi
fungsi
neutrofil,
makrofag,
sel
NK,
dan
mempengaruhi
perkembangan sel Th dan sel B yang berfungsi sebagai pertahanan humoral dan
seluler. Peranan vitamin A di dalam imunitas non spesifik dan spesifik juga telah
42
dibuktikan oleh Reifen (2008) dimana suplementasi vitamin A memperbaiki
kondisi
inflamasi
seperti
gangguan
kulit,
bronco-pulmonary
dysplasia.
Mekanisme vitamin A dalam memperbaiki kondisi tersebut melalui perbaikan
sistem imunitas dan integritas epitel. Hasil meta-analisis menunjukkan bahwa dari
20 penelitian disimpulkan vitamin A menurunkan risiko kematian sekitar 30
persen, dengan penyebab kematian antara lain diare sebanyak 30 persen, penyakit
pernafasan sekitar 70 persen, dan 34 persen penyebab kematian lainnya (Glasziou
dan Mackerras, 1993).
Penelitian pemberian zat gizi kombinasi vitamin A dan zinc oleh Zeba et al.
(2008) menunjukkan bahwa anak yang terinfeksi malaria (6-72 bulan) setelah
diberi suplemen vitamin A dosis 200.000 IU + zinc elemental 10 mg/hari selama 6
bulan menunjukkan adanya penurunan prevalensi dan keparahan infeksi malaria.
Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa kekurangan vitamin A
mempengaruhi imunitas non spesifik, antara lain melalui mekanisme:
1. Hilangnya silia di saluran pernafasan.
2. Hilangnya mikrovilli di saluran pencernaan.
3. Hilangnya sel musin dan goblet di saluran pernafasan, pencernaan dan saluran
kemih.
4. Squamous metaplasia dengan keratinisasi abnormal di saluran pernafasan dan
saluran kemih (genitourinary).
5. Mengganggu fungsi sel imun yang berhubungan dengan mukosa.
6. Mengganggu integritas usus.
Vitamin E
Vitamin E atau α-tokoferol merupakan antioksidan yang larut dalam
lemak. Vitamin ini banyak terdapat dalam membran eritrosit dan lipoprotein
plasma. Tokoferol terutama α-tokoferol telah diketahui sebagai antioksidan yang
mampu mempertahankan integritas membran sel. Vitamin E terutama cincin
fenolnya mampu memberikan ion hidrogennya kepada radikal bebas. Diantara
beberapa bentuk vitamin E, bentuk α-tocoferol lebih efektif dibandingkan dengan
beta, gama dan delta tocoferol. Ion hidrogen dari α-tocoferol sangat efektif dan
cepat bereaksi dengan beberapa radikal bebas dan menghentikannya sebelum
menghancurkan membran sel dan komponen-komponen sel lainnya.Vitamin E
43
dikenal sebagai antioksidan yang mampu menghentikan reaksi berantai melalui
beberapa proses. Proses inisiasi, yaitu reaksi antara senyawa lemak seperti PUFA
(poliunsaturated fatty acid) dan radikal hidroksil bebas menghasilkan radikal
karbon yang ada ditengah lipid dan air ( LH+OH- menjadi L. + H2O). Sekali
radikal lipid terbentuk akan bereaksi membentuk radikal lain pada proses
pengembangan. Pada tahap pengembangan ini radikal lipid bereaksi dengan
molekul oksigen membentuk radikal peroksil (LOO.) dengan proses reaksi L. +
O2 membentuk LOO. . Ketika peroksil radikal terbentuk dapat menarik atom
hidrogen dari senyawa organik lainnya termasuk asam lemak tidak jenuh pada
membran atau pada lipoprotein yang menghasilkan peroksida lipid serta reaksi
berantai oleh radikal lipid yang baru (L’. ). Vitamin E yang terdapat dipermukaan
membran bereaksi dengan peroksil sebelum senyawa radikal peroksil berinteraksi
dengan asam lemak lainnya sehingga vitamin E menghentikan propagasi
(pengembangan). Dibawah ini dijelaskan bagaimana proses pengembangan terjadi
LOO. + EH menjadi LOOH +E.
atau
L. + EH menjadi LH dan E.
Hasil proses pengembangan terbentuknya vitamin E teroksidasi.
Selanjutnya proses regenerasi vitamin E teroksidasi memerlukan senyawa
pereduksi seperti vitamin C, dan NADPH. Dengan menyumbangkan hidrogen,
vitamin E sendiri menjadi radikal, tetapi lebih stabil karena elektron yang tidak
berpasangan pada atom oksigen mengalami delokalisasi ke dalam struktur cincin
aromatik (Marks et al. 2000; Silalahi 2006; Gropper et al.2005).
Vitamin E di dalam memelihara integritas membran sel membuat
permeabilitas membran dapat tetap terjaga. Integritas membran sel ini sangat
mempengaruhi suatu sel terutama sel T helper dalam berinteraksi dengan antigen
presenting sel.
Selain itu peranan vitamin E pada sistem imun di antaranya dapat
meningkatkan proliferasi sel T dan membaiknya rasio CD4+/CD8+. Hasil
penelitian oleh Lee et al.(2000) menunjukkan bahwa pemberian vitamin E dengan
dosis 233 mg/hr selama 28 hari pada orang dewasa di China ber usia kurang dari
35 tahun terjadi peningkatan proliferasi limfosit dan membaiknya rasio
44
CD4+/CD8+. Vitamin E disamping meningkatkan proliferasi limfosit juga dapat
meningkatkan produksi IL-2 dan jumlah sel NK (Meydani et al. 2005). Keadaan
ini sebagai efek dari membaiknya membran sel. Selanjutnya hasil penelitian pada
lansia di Jepang menunjukkan bahwa respon imun terhadap vaksin influensa
nampak signifikan dan berhubungan dengan status vitamin E (Hara et al. 2005).
Namun demikian, pemberian vitamin E yang berlebihan perlu hati-hati, hasil
meta-analisis menemukan bahwa pemberian vitamin E dengan dosis diatas atau
sama dengan 400 IU perhari dapat meningkatkan kematian, sehingga harus
dihindarkan (Miller et al. 2005). Batasan ini sama dengan batasan tertinggi yang
diijinkan oleh BPOM untuk suplemen vitamin E, sementara itu kandungan
vitamin E dalam suplemen yang digunakan dalam penelitian ini hanya 45 mg atau
45 IU.
Selenium
Selenium adalah mineral kelumit yang penting untuk sintesis protein dan
aktivitas enzim glutation peroksidase (GSH-PX). Kekurangan selenium dapat
menyebabkan nekrosis hati dan penyakit degeneratif (Winarsi 2007). Selenium
terdapat dalam glutation peroksida yang mempunyai peranan sebagai katalisator
dalam pemecahan peroksida yang terbentuk di dalam tubuh menjadi ikatan yang
tidak bersifat toksik. Peroksida dapat berubah menjadi radikal bebas yang dapat
mengoksidasi asam lemak tidak jenuh yang ada pada membran sel, sehingga
merusak membran sel tersebut. Selenium juga bekerjasama dengan vitamin E
dalam peranannya sebagai antioksidan (Almatsier 2006).
Selenium diperlukan untuk mencapai respon imun yang optimal, selenium
juga dapat mempengaruhi sistem imunitas innate dan adaptive. Di samping itu
selenium juga berperan didalam regulasi reaksi redoks dan berfungsi sebagai
antioksidan, membantu mempertahankan integritas membran dan melindungi sel
dari kerusakan DNA (Wintergerst at al. 2007). Integritas membran sel sangat
diperlukan dalam sistem imunitas karena produksi sitokin sangat ditentukan oleh
reseptor yang terdapat dalam membran sel, oleh karena itu selenium sangat
diperlukan untuk meningkatkan imunitas seluler. Disamping itu kerusakan DNA
juga akan mempengaruhi makrofag dalam fagositosis sehingga akan menurunkan
fungsi makrofag sebagai APC.
45
Hasil penelitian yang menunjukkan peranan selenium sudah banyak
dilaporkan, misalnya pada keadaan kekurangan selenium terjadi penurunan titer
IgG dan IgM, CD4+ meningkat dan CD8+ menurun (Kiremidjian-Schumacher et
al. 1996). Tentang besarnya dosis selenium yang responsif terhadap fungsi imun
masih terus dilakukan. Salah satu penelitian suplementasi selenium dengan dosis
50 ug dan 100 ug pada orang dewasa yang mempunyai marginal konsentrasi
selenium dalam darahnya menunjukkan bahwa penambahan 100 µg selenium
dapat membantu fungsi imunitas bekerja lebih optimal dari pada selenium dosis
50 µg (Broome et al. 2004).
Zinc
Zinc memegang peranan penting dalam banyak fungsi tubuh, sebagai
bagian dari enzim atau sebagai kofaktor pada kegiatan lebih dari 200 enzim. Zinc
juga berperan dalam berbagai aspek metabolisme, seperti reaksi-reaksi yang
berkaitan dengan sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lipid dan asam
nukleat (Almatsier 2006). Zinc juga mempunyai peran yang penting dalam sintesa
asam nukleat, oleh karena itu zinc sangat diperlukan dalam sistem imun di tingkat
seluler. Peranan lain dari zinc adalah untuk sintesa protein, maka keberadaan zinc
sangat terkait dengan sistem imun humoral karena komponen terbesar dari
antibodi adalah protein. Di dalam sintesa asam nukleat juga memerlukan zinc,
oleh karena itu kecukupan zinc akan mempengaruhi kualitas sel-sel imun dan
selanjutnya akan mempengaruhi aktifitas sel-sel imun seperti makrofag dalam
fagositosis yang selanjutnya akan mempengaruhi produksi antibodi. Peran
tersebut telah dibuktikan bahwa kekurangan zinc menurunkan aktivitas sel natural
killer, CD4+ dan CD8+, juga menurunnya proliferasi limfosit (Shankar & Prasad
1998; Prasad 2000). Disamping itu, fungsi netrofil juga terganggu ketika
kekurangan zinc (Shankar dan Prasad 1998). Peranan zinc pada produksi sitokin
terlihat dalam suatu penelitian suplementasi zinc pada orang yang kekurangan
zinc dan menghasilkan peningkatan produksi IL-2 (Prasad 2000). Penurunan
zinc juga terlihat mempengaruhi kemampuan sel NK untuk membunuh antigen
(Rink dan Kirchner 2000). Selanjutnya penelitian oleh Raqib et al. (2004) dan
Rahman et al. (2005) menunjukkan bahwa suplementasi zinc dapat mempercepat
46
penyembuhan disentri pada lansia dan anak-anak, hal ini terkait dengan peranan
zinc dalam proliferasi sel terutama sel mukosa (Wintergerst et al. 2007).
Vitamin C
Vitamin C memegang peranan penting sebagai antioksidan yang membantu
menetralisir radikal bebas disebabkan karena terpapar ultraviolet dari matahari,
rokok dan polusi lainnya. Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk
menetralisir radikal bebas tetapi kemampuan tersebut menurun dengan semakin
bertambahnya umur. Dampak radikal bebas antara lain dapat menyebabkan
kanker dan berbagai penyakit infeksi (IOM 2000).
Vitamin C banyak diketahui sebagai antioksidan karena kemampuannya
dalam mereduksi beberapa reaksi kimia, oleh karena itu vitamin C mampu
mereduksi spesies oksigen reakstif (SOR). Vitamin C juga mempunyai peranan
sebagai donor elektron untuk delapan enzym. Tiga enzym terlibat dalam
hidroksilasi kolagen, dua enzym dalam sintesa karnitin, tiga enzym terlibat dalam
sintesa asam amino dan hormon. Kemampuan vitamin C sebagai donor elektron
maka vitamin menjadi sngat efektif sebagai antioksidan. Vitamin C dapat dengan
cepat memutus rantai reaksi SOR dan SNR ( spesies nitrogen reaktif)(IOM 2000).
Vitamin C dapat meningkatkan fungsi imun dengan menstimulasi produksi
interferon (protein yang melindungi sel dari serangan virus). Vitamin C juga
menstimulasi kemotaksis dan respon proliferasi netrofil, serta melindungi sel dari
radikal bebas yang diproduksi oleh netrofil teroksidasi (Winarsih 2007). Di sisi
lain, SOR yang dihasilkan oleh sel imun yang teraktivasi selama proses
fagositosis, mempunyai peranan penting dalam membunuh bakteri intraseluler
atau benda asing lainnya, sementara itu sistem imun dan biomolekul lainnya (lipid
dan protein) rentan terhadap kerusakan oksidative yang disebabkan oleh SOR,
oleh karena itu keseimbangan produksi SOR harus dijaga. Jika SOR diproduksi
dalam konsentrasi yang tinggi, maka dapat menyebabkan terjadinya stres
oksidatif, sehingga
akan mengganggu respon imun, menurunkan integritas
membran sel, mengganggu fluiditas membran dan mengganggu sel signaling.
Gangguan ini dapat menyebabkan penyakit degeneratif seperti kanker dan
penyakit jantung (Ames 1993).
47
Penelitian untuk menguji peranan vitamin C terhadap infeksi akibat
menurunnya fungsi imunitas telah dilakukan oleh Peter (1997), pada penelitian
tersebut telah diuji beberapa konsentrasi vitamin C dan hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemberian vitamin C dengan dosis 600 mg/hari dapat
menurunkan infeksi. Sementara itu Carol (2001) dalam penelitiannya menemukan
bahwa konsumsi vitamin C 500-1000 mg/hari dapat memberikan efek antioksidan
yang optimal. Meta-analisis oleh Hemilia et al.(2007) menunjukkan bahwa
suplemen vitamin C mega dosis tidak menurunkan kejadian cold pada individu
dengan kegiatan fisik normal, tetapi sangat signifikan bila dikonsumsi oleh orang
yang mempunyai kegiatan fisik berat seperti pelari, perenang dan pemain sepak
bola, dengan OR 0.5 (95 % CI;0.38-0.66).
.
48
METODE
Desain, Waktu dan Tempat Penelitian
Desain penelitian ini adalah eksperimental murni teracak buta ganda (double
blind randomized controlled trial) dan telah mendapat persetujuan dari Komisi
Etik
Penelitian
Kesehatan
Badan
Litbang
Kesehatan
Nomor
LB.03.04/KE/4294/2007 (Lampiran 1). Penelitian lapang dilaksanakan selama
empat bulan, dimulai pada bulan Februari hingga Mei 2008, di Pabrik Garmen PT
Ricky Putra Globalindo Tbk., Citeureup, Kabupaten Bogor. Analisis serum darah
dilakukan di Laboratorium Biokimia Puslitbang Gizi dan Makanan Depkes Bogor,
Laboratorium Makmal UI Jakarta, dan Laboratorium Biokimia FK UI. Pemilihan
lokasi dan sampel penelitian didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu:
1. Sebagian besar pengguna suplemen adalah wanita, dan di pabrik ini memiliki
karyawati terbanyak di Jabotabek.
2. Karyawati pabrik merupakan kelompok wanita usia subur yang berisiko
terpapar stress oksidatif karena sebagian besar bekerja dalam posisi berdiri.
3. Tingkat sosial ekonomi serta aktivitas fisik karyawati hampir sama.
4. Pengaruh makanan juga dapat dikontrol karena sebagian besar makan pagi
dan siang dibeli dari warung dan kantin di sekitar pabrik.
5. Mudah mendistribusikan bahan suplemen dan mudah mengontrol kepatuhan
mengonsumsi suplemen.
Cara Penentuan Sampel
Populasi penelitian adalah wanita pekerja berusia antara 20 – 45 tahun yang
bekerja di Pabrik Garmen PT Ricky Putra Globalindo Tbk., Citeureup, Kabupaten
Bogor. Sampel penelitian ini adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan
dipilih secara random dengan kriteria inklusi sebagai berikut : sehat, tidak
menderita penyakit kronis, tidak sedang melakukan diet, tidak sedang
mengandung, tidak sedang menyusui, tidak merokok, tidak minum alkohol,
bersedia menandatangani formulir persetujuan etik informed consent (Lampiran
2).
49
Jumlah minimal sampel yang ditetapkan untuk penelitian ini menggunakan
ragam penelitian yang dilakukan Rahman et al. (1999) dengan asumsi bahwa
tingkat kesalahan (α) = 5%, power of test = 90% menggunakan rumus :
n=
2σ 2 [ Z α + Z β ] 2
δ2
Keterangan:
n = Besar sampel
σ = 1.3 (perkiraan standar deviasi serum Immunoglobulin G (IgG)
berdasarkan penelitian Rahman 1999)
δ = 1 (peningkatan titer IgG yang diharapkan setelah intervensi).
Dari perhitungan di atas, diperoleh besar minimal sampel (n) = 38 sampel
untuk setiap perlakuan. Untuk mengantisipasi terjadinya drop out, maka jumlah
sampel ditambah 30 persen sehingga jumlah sampel pada setiap perlakuan
menjadi 38 + 12 = 50 sampel.
Untuk Perhitungan besar sampel variable CD4+, sel NK dan CD8+
mengikuti varian dari IgG, sedangkan untuk menghitung besar sampel minimal
untuk variable vitamin A,vitamin E, vitamin C, zat besi (Hb), selenium, zinc dan
SOD dihitung dengan varian dari penelitian sebelumnya oleh Raqib et al. (2004),
Penn et al. (1991) dan Xia et al. (2005). Dari perhitungan masing-masing varian
tersebut dipilih jumlah sampel paling besar yaitu sebesar 26 sampel, kemudian
untuk antisipasi drop out ditambah 30 persen sehingga besar sampel untuk
variable zat gizi antioksidan sebesar 33 sampel per perlakuan yang dirandom dari
50 sampel.
Pelaksanaan Penelitian
Pada tahap awal, dilakukan screening terhadap populasi untuk memilih
sampel yang akan diikutkan dalam penelitian. Jumlah seluruh karyawan pabrik
adalah 2600 orang, dengan jumlah karyawan wanita yang tergolong dalam
kelompok wanita usia subur adalah 1300 orang. Dari jumlah tersebut, yang
merupakan karyawan tetap sebanyak 60 persen (780 orang), yang selanjutnya
dipilih sebagai sampel penelitian karena mobilitasnya dianggap tidak terlalu tinggi
jika dibandingkan dengan karyawan kontrak. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan
50
klinis terhadap sampel. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan bersedia
menandatangani informed consent, menjadi target sample penelitian. Selanjutnya
dilakukan penentuan besar sampel menggunakan analogi penelitian Rahman et al.
(1999), diperoleh besar sampel 50 orang per perlakuan. Dalam penelitian ini
terdapat 6 perlakuan sehingga total sampel 300 orang. Random alokasi dilakukan
untuk mengelompokkan sampel penelitian ke dalam enam perlakuan. Satu minggu
sebelum suplementasi dilakukan, sampel penelitian diberi obat cacing dengan
maksud agar terbebas dari penyakit kecacingan yang dapat mengganggu
penyerapan zat gizi dalam saluran pencernaan. Untuk lebih jelasnya, alur
penelitian digambarkan pada Gambar 8 dibawah ini.
WUS yang bekerja
(Wanita pekerja)
300 WUS
Random allocation
50
WUS
Darah 1
6 minggu
Darah 2
(sblm
vaksinasi)
Vaksin
TT
50
WUS
Random
perlakuan
50
WUS
50
WUS
Random
perlakuan
Tidak
vaksin
Vaksin
TT
Tidak
vaksin
4 minggu
Darah 3
Akhir penelitian minggu ke 10
Gambar 8 Alur penelitian
50
WUS
50 WUS
plasebo
Random
perlakuan
Vaksin
TT
Tidak
vaksin
51
Keterangan:
Secara acak sampel dibagi menjadi 6 perlakuan, dimana setiap perlakuan
terdiri atas 50 sampel. Sebelum diberikan perlakuan, dilakukan pemeriksaan
sampel darah yang disebut darah 1 (baseline). Selanjutnya setiap dua perlakuan
mendapat suplemen yang sama yaitu muti vitamin-mineral (MVM) atau plasebo
atau vitamin C 1000 mg. Suplemen diberikan setiap hari kepada sampel selama
enam minggu. Pada akhir minggu ke enam suplementasi, dilakukan pengambilan
darah yang disebut darah 2 (intermediate). Setelah pengambilan darah selesai,
pada hari yang sama dilakukan pengocokan kelompok perlakuan secara random
pada kedua perlakuan yang mendapat suplemen sama untuk menentukan
perlakuan yang mendapat vaksinasi Tetanus toxoid (TT), sehingga setiap
perlakuan mendapat perlakuan kombinasi antara perlakuan suplementasi dan
vaksinasi. Perlakuan kombinasi terdiri dari suplementasi MVM, vitamin C, dan
plasebo dengan vaksinasi TT dan non-vaksinasi TT (non-TT). Perlakuan TT dan
non-TT hanya diberikan satu kali pada minggu ke-enam sesudah pengambilan
darah 2. Vaksinasi TT diberikan dengan tujuan melihat respon antibodi yang
spesifik terhadap tetanus. Vaksinasi ini bersifat booster atau respon sekunder
karena sampel sudah mendapat vaksinasi primer yang diberikan sebelum
melahirkan atau sebelum menikah. Kemudian setelah pemberian vaksinasi selesai,
pemberian suplemen dilanjutkan hingga minggu kesepuluh. Pada akhir minggu
kesepuluh intervensi, di lakukan pengambilan darah 3 (endline). Rincian
pengukuran darah 1, darah 2 dan darah 3 adalah sama yaitu untuk pemeriksaan
kadar IgG Tetanus toxoid, SOD, limfosit, monosit, WBC, CD4+, CD8+, sel NK,
kadar vitamin A, vitamin E, vitamin C , Zn, dan selenium.
Cara Pemberian Suplemen
Suplemen diberikan setiap hari selama 10 minggu kepada sampel penelitian
oleh petugas dan perawat di klinik perusahaan. Suplemen yang diberikan
berbentuk tablet dan di minum langsung oleh sampel di depan petugas. Jenis
suplemen yang diberikan kepada masing-masing wanita pekerja tidak diketahui
baik oleh peneliti maupun oleh petugas. Pengacakan sampel maupun perlakuan
52
hanya diketahui oleh petugas khusus yang tidak terlibat dalam penelitian.
Kandungan suplemen multi vitamin-mineral dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Formula suplemen multi vitamin-mineral
Zat gizi
Satuan
Kandungan
MVM
Vit C
Placebo
1000
Cellulosa
+
Pewarna
%
UL
Batasan
AKG
(19-50 th)
BPOM
1333
2000
1000
300
1000
400
Vitamin
C
mg
1000
E
mg
45
-
A
µg
700
-
140
3000
1500
B6
mg
6.5
-
-
100
100
Asam
folat
B12
µg
400
-
100
1000
800
µg
9.6
-
685
ND
200
D
µg
10
-
200
50
10
Zn
µg
10
-
102
40
30
Se
µg
110
-
366
400
200
Cu
mg
0.9
-
-
10
3
Fe
mg
5
-
192
45
30
Mineral
a
) AKG, Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan
Gizi Tahun 2004
b) UL, tolerable upper intake level
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Variabel yang dikumpulkan selama pelaksanan penelitian meliputi
karakteristik sampel, riwayat dan status kesehatan, pengukuran antropometri,
respon imunitas (leukosit, monosit, limfosit, CD4+, CD8+, sel NK, IgG ), kadar
SOD, kadar serum vitamin A, kadar vitamin E, kadar serum zinc, kadar serum
selenium, kadar plasma vitamin C dan kepatuhan konsumsi suplemen (Tabel 4).
53
Pengendalian Kualitas Data
Pengendalian kualitas data dilakukan dengan beberapa langkah sebagai
berikut:
1. Suplemen diminum di depan petugas.
2. Pengambilan data antropometri dilakukan oleh tenaga terlatih.
3. Alat ukur timbangan, tinggi badan, dan alat analisis darah yang digunakan
telah dikalibrasi sebelum digunakan.
4. Pengambilan darah dilakukan oleh tenaga ahli kesehatan dari Puslitbang Gizi
dan Makanan Depkes Bogor.
5. Analisis sampel darah dilakukan oleh tenaga ahli di Laboratorium Biokimia
Puslitbang Gizi dan Makanan Depkes Bogor, Laboratorium Biokimia dan
Molekuler Universitas Indonesia, dan Makmal Terpadu UI.
Tabel 4 Jenis variabel dan cara pengumpulan data
No
Variabel
Cara pengumpulan
1.
Karakteristik sampel
Pengisian kuesioner
2.
Riwayat dan status kesehatan
Pengisian kuesioner
3.
Antropometri
Pengukuran berat dan tinggi badan
4.
Respon imunitas
Analisis laboratorium
5.
Kadar SOD
Analisis laboratorium
7.
Kadar serum vitamin A
Analisis laboratorium
8.
Kadar serum Vitamin E
Analisis laboratorium
9.
Kadar serum Zinc
Analisis laboratorium
10.
Kadar serum Selenium
Analisis laboratorium
11.
Kadar plasma Vitamin C
Analisis laboratorium
12.
Konsumsi suplemen
Pencatatan oleh petugas
Sebelum pengumpulan data dilakukan, calon sampel penelitian diundang
untuk diberi penjelasan umum tentang rencana penelitian yang akan dilakukan.
Setelah diberi penjelasan, sampel penelitian diminta untuk mengisi inform consent
(formulir kesediaan mengikuti penelitian dengan suka rela). Kemudian sampel
penelitian yang bersedia mengikuti penelitian dilakukan screening untuk
menyaring sampel yang memenuhi kriteria inklusi.
54
Sampel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan bersedia mengikuti
kegiatan ini, secara berturut-turut diperiksa kesehatan, pengukuran antropometri,
pengambilan darah, pengisian kuesioner dengan wawancara untuk pengumpulan
data baseline. Setelah pengambilan darah, sampel diminta untuk minum
suplemen di depan petugas. Pada hari-hari berikutnya, sampel diminta untuk
datang ke klinik pabrik setiap hari ketika jam istirahat untuk meminum suplemen
di depan petugas.
Setelah 6 minggu mengkonsumsi suplemen, keesokan harinya sampel
diminta untuk datang pagi (pukul 07.00) dalam keadaan puasa sejak pukul 22.00
WIB untuk diperiksa darah kedua. Setelah dilakukan pengambilan darah, sampel
diberi sarapan pagi, kemudian sampel yang masuk dalam kategori perlakuan
dengan vaksinasi, divaksinasi oleh perawat.
Identitas sampel yang dikumpulkan meliputi: nama, tanggal lahir, status
perkawinan, tahun mendapatkan vaksinasi terakhir, pendidikan terakhir, divisi
pekerjaan, jumlah anak, keikutsertaan KB, dan jenis KB yang digunakan. Identitas
sampel dikumpulkan satu kali pada saat sebelum suplementasi.
Data antropometri meliputi berat badan dan tinggi badan. Sebelum
pengukuran antropometri, sampel diminta untuk mengenakan baju seminimal
mungkin, tidak mengenakan alas kaki. Untuk pengukuran berat badan
menggunakan alat SECA dengan ketelitian 0,1 kg; dan alat ukur tinggi badan
dengan mikrotoise dengan ketelitian 0,1 cm. Data antropometri dikumpulkan dua
kali yaitu pada saat sebelum dan 10 minggu sesudah suplementasi.
Pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh seorang dokter yang meliputi
pemeriksaan fisik, anemnesa, keluhan dan riwayat penyakit. Pemeriksaan
kesehatan dilakukan tiga kali yaitu pada saat sebelum, 6 minggu setelah
suplementasi, dan 10 minggu setelah suplementasi.
Pengambilan sampel darah dilakukan tiga kali yaitu pada saat sebelum, 6
minggu setelah suplementasi dan 10 minggu setelah suplementasi. Sampel darah
diambil sebanyak 6 ml pada setiap kali pengambilan sampel darah. Sampel darah
dibagi kedalam 3 tabung yang berbeda, yaitu tabung pertama berisi 3 ml darah
ditambah EDTA. Tabung pertama ini dibagi menjadi 2 tempat masing-masing 2,5
ml untuk analisa imunitas seluler yang segera dikirim ke Laboratorium Makmal
55
UI Jakarta dan sisanya 0,5 ml darah untuk analisa sel darah putih (differensial
count). Tabung kedua berisi 1 ml darah ditambah antikoagulan heparin, kemudian
dipisahkan dan plasma yang dihasilkan untuk analisa vitamin C. Sedimennya
dicuci untuk mendapatkan sel darah merah untuk analisa SOD. Analisa vitamin C
dan SOD dilakukan di Laboratorium Biokimia FKUI Jakarta. Tabung ketiga berisi
2 ml darah tanpa antikoagulan untuk mendapatkan serum. Serum yang diperoleh
untuk analisis IgG, Zn, vitamin A, vitamin E, dan Se. Serum disimpan dalam
freezer -70oC sebelum dilakukan analisis. Analisis Zn, vitamin A, vitamin E, dan
selenium dilakukan di Laboratorium Biokimia Puslitbang Gizi Bogor.
Analisis IgG dengan metode ELISA dengan alat micro titer ELISA reader
dari BIORAD menggunakan KIT dari Immunolab GmbH German. Analisis
imunitas seluler (CD4+, CD8+ dan sel NK) dengan metode Flow Cytometri
menggunakan alat FAScan Becton Dickinson Simultest IMK Lymphocyte. Analisis
vitamin E dan A dengan metode HPLC, kadar Zn dengan metode AAS, dan
analisis selenium dengan metode Grafite Furnace AAS.
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan secara bertahap, mulai dari data yang terkumpul
di lapangan hingga data siap untuk dianalisis. Terhadap data hasil pengumpulan di
lapangan dilakukan pengeditan (editing), pengkodean (coding), dan pemasukan
data ke dalam komputer (entry data). Kemudian dilakukan pembersihan data
(cleaning) dengan cara melihat distribusi frekuensi setiap peubah.
Usia wanita pekerja dihitung sebaran rata-rata pada setiap perlakuan.
Pendidikan wanita pekerja diukur berdasarkan jenjang pendidikan, yaitu tidak
tamat SD, tamat SD, tamat SLTP, tamat SLTA, dan tamat PT/akademi. Ukuran
keluarga diukur dari jumlah anggota keluarga. Kriteria ukuran keluarga menurut
BPS dibedakan atas keluarga kecil jika jumlah anggota keluarga ≤4 orang,
kategori keluarga sedang jika jumlah anggota 5 sampai 7 orang, dan keluaraga
besar jika jumlah anggota keluarga >7 orang.
Penilaian status gizi dilakukan melalui antropometri menggunakan indikator
indeks massa tubuh (IMT). Nilai IMT dihitung dengan rumus sebagai berikut:
IMT =
BB
TB 2
56
Keterangan:
IMT = indeks massa tubuh
BB = berat badan (kg)
TB = tinggi badan (m)
Status gizi berdasarkan nilai IMT tersebut selanjutnya dikelompokkan
berdasarkan Depkes RI (1996) sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 5.
Tabel 5 Pengelompokan status gizi orang dewasa menurut IMT
IMT (kg/m2)
Status gizi
Gizi buruk
Gizi kurang
Gizi baik
Gizi lebih (overweight)
Obesitas
< 17,0
17,0 – 18,4
18,5 – 24,9
25,0 – 27,0
> 27,0
Untuk mengetahui keragaman data awal dilakukan uji beda rata-rata. Untuk
melihat adanya pengaruh perlakuan dilakukan uji ANOVA dan untuk uji lanjut
menggunakan uji beda nyata terkecil (BNT/LSD). Transformasi data dilakukan
pada data vitamin A dengan mempangkatkan 0.7 dan akar 4 untuk data CD8+.
Data untuk variabel lain dianalisis menggunakan data asli. Tabel 6 menunjukkan
jenis dan kategori variabel yang digunakan dalam penelitian.
Tabel 6 Jenis dan kategori variabel
Variabel
Kategori variabel
Usia
Rata-rata
Pendidikan
Tidak sekolah
Rujukan
57
Ukuran keluarga
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMU
Tamat PT/akademi
≤4 orang
5-7 orang
>7 orang
BKKBN (1998)
Indeks Massa Tubuh (IMT)
>27,0 (obesitas)
25,0-27,0 (gizi lebih/overweight)
18,5-24,9 (gizi baik)
17,0-18,4 (gizi kurang)
<17,0 (gizi buruk)
Depkes RI (1996)
Status vitamin A
Normal : > 20 ug/dl (> 0,7µmol/L)
Def: < 20 ug/dl (< 0.7 µmol/L)
Gibson (2005)
Status vitamin E
Defisiensi: < 11.6 umol/l
Gibson (2005)
Status vitamin C
Gibson (2005)
Kadar superoksida dismutase
Defisiensi : < 11.4 µmol/L
Rendah :11.4-23 µmol/L
Cukup :> 23 µmol/L
Normal : > 10.7 umol/l (>70
ug/dl)
Def: < 10.7 umol/l (< 70 ug/dl)
Normal: 0.5-2.5 umol/L, def <
0.5 umol/L
Normal: 1102-1601 unit/gHb
Kadar IgG
Positif (>100 IU/L)
CD 4+
Normal : (410-1590 sel/ul)
Randox,German
(2008)
Imunolab
GmbH,German
2008
Makmal UI, 2008
CD8+
Normal: (190-1140 sel/ul)
Makmal UI, 2008
Sel NK
Normal: (90-590 sel /ul)
Makmal UI,2008
Leukosit
Normal : 4-11 (sel/ ul)
Gibson (2005)
monosit
Normal : 2-8%
Gibson (2005)
neutrofil
Normal : 50-70%
Gibson (2005)
Total limfosit
Normal : 20-40%
Gibson (2005)
Kadar Zn serum
Kadar selenium serum
Gibson (2005)
Gibson (2005)
Definisi Operasional Variabel
Wanita Pekerja adalah wanita usia subur yang bekerja, berusia antara 20–45 tahun
58
Suplementasi adalah pemberian sediaan farmakologi vitamin C dan multi vitaminmineral dalam bentuk tablet diberikan setiap hari selama 10 minggu pada
wanita pekerja.
Suplemen vitamin C adalah suplemen yang mengandung 1000 mg vitamin C yang
diberikan setiap hari selama 10 minggu pada wanita pekerja
Suplemen multi vitamin-mineral adalah suplemen yang mengandung 1000 mg
vitamin C; 45 mg vitamin E; 700 μg vitamin A; 6,5 mg vitamin B6; 400 μg
asam folat; 9,6 μg vitamin B12; 10 μg vitamin D; 10 mg Zn; 110 μg Se; 0,9
mg Cu; dan 5 mg Fe; yang diberikan setiap hari selama 10 minggu pada
wanita pekerja.
Suplemen plasebo adalah suplemen yang secara fisik sama dengan suplemen
perlakuan dari bentuk, ukuran, warna dan rasa, tetapi hanya mengandung
selulosa, pengisi dan pewarna yang diberikan.
Perlakuan Plasebo adalah perlakuan yang memperoleh suplemen plasebo saja
tanpa vaksinasi Tetanus toxoid (TT).
Perlakuan Plasebo + TT adalah perlakuan yang memperoleh suplemen plasebo
dan mendapat vaksinasi TT pada akhir minggu ke-6.
Perlakuan MVM + TT adalah perlakuan yang memperoleh suplemen
multivitamin dan mendapat vaksinasi TT pada akhir minggu ke-6.
Perlakuan MVM adalah perlakuan yang memperoleh suplemen multivitamin saja
tanpa vaksinasi TT.
Perlakuan Vitamin C adalah perlakuan yang memperoleh suplemen Vitamin C
1000 mg saja tanpa vaksinasi TT.
Perlakuan Vitamin C + TT adalah perlakuan yang memperoleh suplemen Vitamin
C 1000 mg dan mendapat vaksinasi TT pada akhir minggu ke-6.
Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang yang diakibatkan oleh
konsumsi, penyerapan (absorpsi), dan utilisasi (utilization) zat gizi makanan,
yang dapat terlihat melalui parameter indeks massa tubuh (IMT).
IMT adalah hasil perbandingan antara berat badan (kg) dengan kuadrat tinggi
badan
(m)
berdasarkan
hasil
pengukuran
dikelompokkan menurut Depkes RI (1996).
secara
antropometri
dan
59
Status kesehatan adalah situasi kesehatan yang dialami sampel dan diukur dari
tekanan darah dan keluhan kesehatan yang dirasakan sampel.
Kadar vitamin A serum adalah kandungan vitamin A dalam serum yang diukur
dengan HPLC.
Kadar vitamin C adalah kandungan vitamin C dalam plasma yang dianalisis
menggunakan spectrophotometer
Kadar Zn adalah kandungan Zn dalam serum yang dianalisis menggunakan alat
AAS.
Kadar selenium adalah kandungan selenium dalam serum yang dianalisis
menggunakan alat Grafite Furnace AAS.
Titer Ig G terhadap TT dan CD4+ adalah marker imunitas yang mencerminkan
keadaan fungsi imunitas humoral yang dianalisis menggunakan metode
ELISA dan dengan alat fluocytometer.
Leukosit, limfosit, monosit, dan sel NK adalah marker imunitas yang
mencerminkan fungsi imunitas seluler non-spesifik yang diukur dengan alat
hematocytometer dan fluocytometer.
Jumlah CD8+ mencerminkan fungsi imunitas Cell Mediated Imunity (CMI)
diukur dengan alat Fluocytometer.
Kadar SOD mencerminkan status antioksidan enzimatis yang dianalis
menggunakan alat spektrofotometer.
KERANGKA PEMIKIRAN
Status kesehatan dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Status
kesehatan antara lain ditentukan oleh status zat gizi antioksidan dan fungsi
60
imunitas. Beberapa penyakit timbul karena adanya reaksi oksidasi yang
berlebihan. Reaksi oksidasi ini dapat terjadi setiap saat, seperti ketika bernafas,
ketika konsumsi makanan didalam tubuh diubah menjadi energi dan reaksi
metabolisme lainnya. Reaksi oksidasi ini mencetuskan terbentuknya radikal bebas
yang sangat aktif dan dapat merusak struktur dan fungsi sel termasuk sel-sel imun
sehingga menimbulkan kematian sel.
Status zat gizi antioksidan yang rendah dapat memicu terjadi stress
oksidatif, yaitu suatu keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan antara zat gzi
antioksidan dengan produksi radikal bebas. Stress oksidatif ini bila tidak segera
dinetralkan oleh antioksidan dapat menimbulkan terjadinya penyakit. Beberapa
zat gizi mikro yang sering disebut sebagai zat gizi antioksidan antara lain betakaroten, vitamin C, vitamin E, zat besi, zinc, dan selenium.
Vitamin C mempunyai peranan sebagai donor elektron untuk delapan
enzim. Tiga enzim terlibat dalam hidroksilasi kolagen, dua enzim dalam sintesis
karnitin, tiga enzim terlibat dalam sintesa asam amino dan hormon. Keefektifan
vitamin C sebagai antioksidan terletak pada kemampuan vitamin C dalam
mendonorkan elektron, sehingga vitamin C mampu memotong reaksi SOR dan
SNR ( spesies nitrogen reaktif) (IOM 2000).
Vitamin E dikenal sebagai chain-breaking antioksidan yang dapat mencegah
laju reaksi radikal bebas di dalam plasma, sel darah merah dan jaringan. Vitamin
E juga mempunyai peranan dalam memelihara integritas membran sel sehingga
permeabilitas membran dapat tetap terjaga (Stipanuk 2000).
Selenium terdapat dalam glutation peroxidase yang mempunyai peranan
sebagai katalisator dalam pemecahan peroksida yang terbentuk di dalam tubuh
menjadi ikatan yang tidak bersifat toksik. Peroksida dapat berubah menjadi
radikal bebas yang dapat mengoksidasi asam lemak tidak jenuh yang ada pada
membran sel, sehingga merusak membran sel (IOM 2000).
Vitamin dan mineral selain mempengaruhi status zat gizi antioksidan juga
mempengaruhi fungsi imunitas. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya
bahwa radikal bebas di dalam tubuh dapat terjadi secara normal sepanjang hidup
manusia. SOR yang dihasilkan oleh sel imun yang teraktivasi selama proses
61
fagositosis mempunyai peranan penting dalam membunuh bakteri intraseluler atau
benda asing lainnya. Di sisi lain sistem imun sendiri rentan terhadap kerusakan
oksidatif yang disebabkan oleh SOR. Oleh karena itu untuk mencegah kerusakan
oksidatif terutama pada sel-sel imun tubuh memerlukan asupan antioksidan yang
cukup. Jika radikal bebas diproduksi dalam konsentrasi yang tinggi, sementara
antioksidan dalam tubuh rendah, dapat menimbulkan stress oksidatif. Salah satu
akibatnya adalah terganggunya fungsi imun, menurunkan integritas membran sel,
mengganggu fluiditas membran dan mengganggu sel signaling (IOM 2000;
Calder 2002; Stipanuk 2000).
Dapat disimpulkan bahwa dengan status antioksidan yang baik akan
mencegah timbulnya stress oksidatif sehingga akan melindungi sel terutama
membran sel. Membran sel terutama sel-sel imun sangat terkait dengan fungsi
signaling atau komunikasi antar sel, oleh karena itu membaiknya status
antioksidan akan mempengaruhi membaiknya membran sel yang selanjutnya
mempengaruhi produksi sitokin dan kemudian meningkatkan proliferasi sel B,
yang pada akhirnya akan meningkatkan produksi antibodi sebagai pertahanan
tubuh manusia.
Salah satu faktor yang mempengaruhi status antioksidan dan fungsi
imunitas yang baik adalah kadar vitamin dan mineral dalam darah. Banyak faktor
yang mempengaruhi kadar vitamin dan mineral di dalam darah di antaranya
konsumsi makanan khususnya sayur dan buah, konsumsi suplemen vitamin dan
mineral, merokok dan status gizi seseorang. Bahasan teori di atas dapat dirangkum
dalam suatu bagan di bawah ini (Gambar 9):
Suplemen
Merokok
Kadar
Vitamin+
Mineral
dalam
Darah
Status zat gizi
Antioxidan
Mobiditas
62
Status Gizi
-pendidikan
-Jumlah
Anggota
keluarga
Fungsi Imun
Konsumsi
Makanan
Hormonal
Stress
Alkohol
Usia
Olah
Raga
Riwayat
Vaksin
Tidak diteliti
Gambar 9 Kerangka pemikiran
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada awal penelitian jumlah sampel untuk masing-masing perlakuan
sebanyak 50 orang. Selama penelitian terjadi drop out yang berbeda-beda untuk
tiap perlakuan yakni plasebo sebanyak 9 orang, plasebo + TT sebanyak 9 orang,
63
perlakuan vitamin C sebanyak 7 orang, perlakuan vitamin C + TT sebanyak 7
orang, perlakuan multi vitamin-mineral (MVM) sebanyak 4 orang dan perlakuan
multi vitamin-mineral + TT (MVM+TT) sebanyak 8 orang, sehingga sisa sampel
untuk perlakuan plasebo sebanyak 41 orang, plasebo + TT sebanyak 41 orang,
vitamin C 43 orang, vitamin C + TT sebanyak 43 orang, multi vitamin-mineral
(MVM) + TT 42 orang, dan multi vitamin-mineral (MVM) 46 orang. Hal yang
menjadi alasan drop out antara lain karena suami tidak mengizinkan sampel
mengikuti penelitian akibat pengambilan darah berulang-ulang, keluar dari
pekerjaan, hamil, sakit, cuti sehingga tidak mengonsumsi suplemen lagi, tidak
mau diambil darah dan merasa kesehatannya menurun setelah mengkonsumsi
suplemen.
Karakteristik Sampel
Sampel penelitian ini adalah wanita dan telah menikah, berusia 20-45 tahun
yang bekerja di pabrik garmen PT Ricky Putra Globalindo, Tbk, terletak di
Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor. Pabrik beroperasi selama 24 jam sehari
dengan pembagian kerja 3 shift, sehingga setiap harinya masing-masing pekerja
mendapat giliran 8 jam kerja. Karyawati yang mengikuti penelitian ini sebagian
besar bekerja dengan posisi berdiri. Karakteristik sampel yang diamati dalam
penelitian ini meliputi usia, pendidikan, ukuran keluarga, Indeks Massa Tubuh
(IMT), penggunaan alat kontrasepsi dan kadar Ig G awal.
Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang turut berpengaruh terhadap
respon imunitas secara tak langsung. Sebaran sampel berdasarkan pengkategorian
pendidikan bervariasi mulai dari tidak tamat sekolah dasar (SD) sampai dengan
tamat Akademi/ Perguruan Tinggi. Persentase sampel tidak tamat SD dan tamat
akademi tergolong sangat sedikit, yaitu masing-masing 5.1 persen dan 0.7 persen.
Persentase terbesar pendidikan sampel pada penelitian ini berurutan adalah tamat
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) (39.1 persen), tamat Sekolah Dasar
sebesar (30.5 persen) dan tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) (24.6
persen) (Tabel 7).
Tabel 7 Sebaran sampel menurut kategori pendidikan
64
Pendidikan
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SLTP
Tamat SLTA
Tamat PT/akademi
Total
N
13
78
100
63
2
256
Persen
5.1
30.5
39.1
24.6
0.7
100.0
Berdasarkan data table 7, dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan
sampel penelitian ini tergolong cukup baik dan sudah memenuhi wajib belajar 9
tahun yang dicanangkan oleh pemerintah. Pendidikan berpengaruh terhadap
imunitas secara tidak langsung yaitu melalui status gizi.
Usia
Mengacu pada pengatagorian Saidin et al. (2003), usia responden
dibedakan antara usia 20-29 tahun, 30-39 tahun, dan > 40 tahun. Sebaran sampel
berdasarkan kategori usia, yakni sampel berusia antara 30-39 tahun sebanyak
46.9 persen dan berikutnya sebanyak 46.1 persen berusia antara 20-29 tahun,
sisanya hanya 7.0 persen berusia 40-45 tahun. Menurut Atmarita dan Fallah
(2004) usia sampel dalam penelitian ini termasuk ke dalam kategori kisaran usia
produktif yakni antara usia 20-45 tahun (Table 8).
Tabel 8 Sebaran sampel menurut kategori usia
Usia
20-29 tahun
30-39 tahun
> 40 tahun
Total
n
118
120
18
256
Persen
46.1
46.9
7.0
100.0
Usia terkait erat dengan sistem imunitas melalui perubahan semua aspek
respon imun. Secara umum aktifitas sistem imunitas menurun sejalan dengan
bertambahnya usia, terutama mengganggu cell mediated immunity (CMI)
khususnya fungsi sel T limfosit (Fuente 2002; Chandra 2002).
Jumlah Anggota Keluarga Sampel
Jumlah anggota keluarga dapat mempengaruhi jumlah dan jenis makanan
yang dikonsumsi anggota keluarga yang kemudian akan berpengaruh terhadap
status gizi dan kesehatan seseorang. Berdasarkan kriteria BKKBN (1998), jumlah
65
anggota keluarga dapat dikelompokkan menjadi keluarga kecil dengan jumlah
anggota keluarga kurang dari atau sama dengan 4 orang, keluarga sedang dengan
jumlah anggota keluarga 5-7 orang, dan keluarga besar dengan jumlah anggota
keluarga lebih dari 7 orang. Ukuran keluarga pada penelitian ini disajikan pada
Tabel 9. Sebagian besar sampel penelitian ini termasuk dalam kategori keluarga
kecil dengan jumlah anggota keluarga kurang dari atau sama dengan 4 orang (90.6
persen) yang berarti keluarga tersebut mempunyai anak antara 1-2 orang, sisanya
9.0 persen termasuk dalam kategori keluarga sedang dan hanya 0.4 persen
termasuk dalam kategori keluarga besar dengan jumlah anak lebih dari 5 anak.
Tabel 9 Sebaran sampel menurut kategori ukuran keluarga
Ukuran Keluarga
Kecil (< 4 orang)
Sedang (5-7 orang)
Besar (>7 orang)
Total
n
232
23
1
256
persen
90.6
9.0
0.4
100.0
Status Gizi
Status gizi sampel penelitian ini diukur menggunakan indikator Indeks
Massa Tubuh (IMT) (Depkes 1996). Indeks massa tubuh merupakan salah satu
ukuran antropometri yang digunakan untuk mengukur status gizi, yakni dengan
membagi berat badan (kg) dengan tinggi badan (m2), kemudian dikategorikan
menjadi beberapa kriteria.
Pada Tabel 10 menunjukkan bahwa 66.4 persen sampel termasuk dalam
kategori gizi baik (normal), tetapi terdapat 6.3 persen sampel termasuk dalam
kategori kurus dan sangat kurus, sebaliknya 27.4 persen sampel termasuk dalam
kategori gizi lebih (overweight) dan obesitas.
Tabel 10 Sebaran sampel menurut kategori status gizi
Status gizi
Sangat kurus
Kurus
n
4
12
persen
1.6
4.7
66
Normal
Gizi lebih
Obesitas
Total
170
36
34
256
66.4
14.1
13.3
100.0
Adanya gizi kurang dan lebih menunjukkan bahwa pada populasi ini
terdapat masalah gizi ganda. Adanya kejadian gizi lebih pada sampel penelitian
yang cukup besar persentasenya menunjukkan bahwa masalah gizi lebih tidak
hanya terjadi pada kelompok masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi tinggi
tetapi juga sudah banyak dijumpai pada kelompok masyarakat tingkat sosial
ekonomi menengah ke bawah seperti pada kelompok sampel penelitian ini.
Keadaan ini diduga karena mereka yang mempunyai status gizi lebih tersebut
ketika di usia dini mempunyai status gizi kurang atau buruk, karena menurut
Barker(1998) salah satu penyebab terjadinya status gizi lebih atau obesitas pada
masa dewasa adalah status gizi kurang/ BBLR ketika usia dini.
Tabel 11 menunjukkan bahwa keseluruhan karakteristik sampel yang
meliputi usia, pendidikan, keikutsertaan keluarga berencana, jumlah anggota
keluarga, status gizi dan titer IgG pada saat baseline antar keenam perlakuan tidak
signifikan (p>0.05).
Tabel 11 Sebaran karakteristik sampel menurut perlakuan
Usia1
Pendidikan1
Penggunaan Alat
Kontrasepsi1
Jumlah Anggota
Keluarga1
Indeks Massa
Tubuh1
IgG Baseline1
31.6+5.9
8.21+2.77
Vit. C +
TT
29.7+5.4
8.56+2.34
31.3+4.8
8.52+2.70
MVM +
TT
31.6+5.1
9.14+2.09
0.323a
0.098a
0.63+0.49
0.77+0.43
0.74+0.44
0.70+0.47
0.71+0.46
0.772a
3.3+0.7
3.7+0.9
3.5+0.7
3.5+0.8
3.7+0.7
3.7+1.2
0.210a
23.7+3.4
23.4+3.0
22.2+3.2
22.6+3.5
23.5+3.1
24.0+4.2
0.130a
2579.6±
1559.2
2445.9±
2532.5±
2712.4±
2632.8±
2814.1 ±
0.889a
1326.7
1496
1481.8
1505.2
1537
a
nilai p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama
Plasebo
Plasebo + TT
Vit. C
31.0+4.5
9.34+2.47
32.2+4.8
7.95+2.58
0.66+0.48
Keterangan :1 x ± SD ;
MVM
P
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 15.7 persen sampel
mengalami kekurangan vitamin A, 78.4 persen kekurangan vitamin E, 62.3 persen
kekurangan viatmin C, 16.3 persen kekurangan zinc, dan 76.7 persen kekurangan
selenium (Tabel 12). Zat gizi antioksidan melindungi tubuh dari kerusakan
oksidatif pada organ maupun sel termasuk sel-sel imunitas. Pengaruh kekurangan
67
zat gizi mikro terhadap respon imun telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Hasil
penelitian Semba et al. (1992) menunjukkan bahwa kekurangan vitamin A
mempengaruhi produksi antibodi spesifik tetanus. Kekurangan zinc mengganggu
fungsi imun non spesifik dan spefisik (Shankar and Prasad 1998). Kekurangan
selenium mempengaruhi fungsi natural killer (Kiremidjan-schumacher et al.
1996). Kemudian hasil review oleh Wintergrest et al 2007 menyebutkan bahwa
kekurangan beberapa zat gizi mikro mempengaruhi optimalisasi respon imunitas.
Tabel 12 Status zat gizi antioksidan sampel pada awal penelitian
Zat gizi
defisiensi
Vitamin A (µmol/l)
Vitamin E (µmol/l)
Vitamin C (µmol/l)
Zinc (µg/dl)
Selenium (µmol/l)
n
28
149
86
29
145
Normal
%
15.7
78.4
62.3
16.3
76.7
n
150
41
52
149
44
%
84.3
21.6
37.7
83.7
23.3
Pengaruh Suplementasi Terhadap Imunitas Non-Spesifik
Sel Darah Putih (Leukosit)
Sel darah putih atau leukosit merupakan sel pada sistem imunitas yang
berperan dalam sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi dan patogen lain.
Banyaknya jumlah leukosit dalam darah sering menjadi indikator adanya suatu
infeksi. Sebelum suplementasi jumlah leukosit pada sampel yang mendapat
perlakuan plasebo yakni 8.58±1.79 ribu sel/µl, plasebo +TT
8.19±1.76 ribu
sel/µl, vitamin C 7.85±1.39 ribu sel/µl, vitamin C +TT 8.09±1.59 ribu sel/µl,
MVM 7.79±1.9 ribu sel/µl, MVM+TT 8.26±1.73 ribu sel/µl. Semua sampel
mempunyai jumlah leukosit dalam kisaran normal (4-11 sel/µl).
Sesudah suplementasi selama 6 minggu, persentase jumlah leukosit
mengalami perubahan yakni terjadi penurunan pada hampir semua perlakuan.
Pada sampel yang mendapat perlakuan plasebo terjadi penurunan sebesar 0.54
persen, plasebo + TT sebesar 0.22 persen, vitamin C sebesar 0.63 persen, vitamin
C + TT sebesar 0.02 persen, MVM sebesar 0.17 persen, dan MVM + TT sebesar
0.48 persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perbedaan perubahan antara
keenam perlakuan tidak signifikan (p>0.05) (Tabel 13).
68
Perubahan jumlah leukosit dari minggu ke-6 (intermediate) dan sesudah
suplementasi (selisih c) pada sampel yang mendapat perlakuan plasebo menurun
sebesar 0.06 persen, plasebo + TT meningkat sebesar 0.11 persen, vitamin C
menurun sebesar 0.05 persen, vitamin C + TT menurun sebesar 0.24 persen,
MVM meningkat sebesar 0.25 persen, dan pada perlakuan MVM+TT meningkat
sebesar 0.24 persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perbedaan rata-rata
selisih pada keenam perlakuan tidak signifikan (p>0.05) (Tabel 13).
Tabel 13 Rata-rata jumlah leukosit selama penelitian menurut perlakuan
LEUKOSIT (sel/µl)
Suplementasi
Sebelum
Intermediate
Plasebo
a
8.58±1.79e
8±1.86
e
a
Plasebo + TT
8.19±1.76e
7.93±1.49
e
Vit. Ca Vit. C + TTa
7.85±1.39e 8.09±1.59e
e
7.26±1.39
8.07±1.92
e
e
e
Selisih b -0.54±1.66e -0.22±1.35e -0.63±1.51 -0.02±1.71
e
e
Sesudah
7.98±1.74e 8.12±1.94e 7.26±1.58 7.78±1.69
Selisih c -0.06±1.57e
0.11±1.54e
-0.05±1.17e -0.24±1.68e
e
e
Selisih d -0.61±1.81e -0.71±1.94e -0.59±1.70 -0.31±1.66
Keterangan:
MVMa
7.79±1.9e
7.59±1.48
P
MVM + TTa
e
8.26±1.73e
0.3061
e
0.2411
7.76±1.76
-0.17±1.41e -0.48±1.63e 0.3791
7.95±1.99e
8.05±1.59e
0.2791
0.25±1.63e
0.24±1.39e
0.6171
0.16±1.61e -0.21±1.66e 0.2971
a
Perlakuan.
Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi
c
Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate
d
Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi
e
x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat.
1
nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama.
b
Pada minggu ke-10 sesudah suplementasi, perubahan leukosit secara
statistik tidak signifikan (p>0.05). Tidak ditemukannya pengaruh suplementasi
terhadap jumlah leukosit diduga karena sejak sebelum suplementasi jumlah
leukosit semua sampel dalam kisaran normal. Kemungkinan lain sampel tidak
terpapar oleh mikroba sehingga tubuh tidak melakukan serangan terhadap
mikroba yang ditandai dengan tidak adanya peningkatan leukosit diatas kisaran
normal.
Monosit
Monosit merupakan bagian dari sel darah putih yang berkembang menjadi
makrofag di dalam jaringan tubuh. Sel ini akan menghancurkan antigen yang
masuk dalam tubuh. Monosit tidak hanya menyerang mikroba dan sel kanker,
disamping itu juga berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC), dan
69
menginduksi produksi sitokin serta mengerahkan pertahanan sebagai respon
terhadap infeksi (Baratawidjaja, 2006).
Hasil penelitian menunjukkan, sebelum suplementasi rata rata jumlah
monosit dari sampel yang mendapat perlakuan plasebo yakni 6.37±1.09 persen,
plasebo + TT 7.10±1.67 persen, vitamin C 6.88±1.58 persen, vitamin C +TT
6.63±1.48 persen, MVM 6.48±1.64 persen, MVM+TT 7.1±1.72 persen. Jumlah
monosit semua sampel dalam penelitian ini sebelum suplementasi dalam kisaran
normal (2-8 persen).
Perubahan jumlah monosit sesudah suplementasi selama 6 minggu (selisih
b) pada sampel yang mendapat perlakuan plasebo meningkat sebesar 0.15 persen,
plasebo + TT menurun sebesar 0.68 persen, vitamin C menurun sebesar 0.88
persen, vitamin C + TT menurun sebesar 0.23 persen, MVM meningkat sebesar
0.3 persen, MVM + TT menurun sebesar 0.67 persen. Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa rata-rata perubahan jumlah monosit selama enam minggu
suplementasi tidak ada perbedaan yang signifikan antara keenam perlakuan
(p>0.05).
Perubahan jumlah monosit dari minggu ke-6 hingga minggu ke-10
suplementasi (selisih c), sampel yang mendapat perlakuan plasebo meningkat
sebesar 0.24 persen, plasebo + TT meningkat sebesar 0.56 persen, vitamin C
meningkat sebesar 0.86 persen, vitamin C + TT meningkat sebesar 0.12 persen,
MVM menurun sebesar 0.13 persen, dan MVM + TT menurun sebesar 0.14
persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata perubahan jumlah leukosit
tersebut tidak signifikan pada keenam perlakuan (p>0.05) (Tabel 14).
Tabel 14 Rata-rata jumlah monosit selama penelitian menurut perlakuan
Monosit (persen)
Suplementasi
Sebelum
Intermediate
Selisih b
a
Plasebo
Plasebo + TT
Vit. Ca
Vit. C + TTa
MVMa
6.37±1.09 e
7.10±1.67 e
6.88±1.58 e
6.63±1.48 e
6.51±1.94 e
0.15±2.30 e
a
6.41±2.12 e
-0.68±2.50 e
6±1.76
e
-0.88±2.28
e
MVM + TTa
P
6.48±1.64 e
7.1±1.72 e 0.126 1
6.40±1.72
e
6.78±2.4 e
6.43±2.19 e 0.644 1
-0.23±2.11
e
0.3±3.08 e
-0.67±2.28 e 0.135 1
70
Sesudah
6.76±2.63 e
6.98±2.35 e
6.86±2.46 e
6.51±2.31 e
6.65±2.58 e 6.29±2.83 e 0.8421
Selisih c
0.24±3.04 e
0.56±3.02 e
0.86±2.93 e
0.12±2.78 e
-0.13±3.72 e -0.14±3.09 e 0.6271
-0.12±2.53 e
e
e
0.17±2.73 e -0.81±2.81 e 0.491 1
Selisih d
0.39±2.82 e
-0.02±2.97
-0.12±2.9
Keterangan:
a
Perlakuan.
Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi
c
Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate
d
Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi
e
x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat.
1
nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama.
b
Tidak ditemukannya perubahan monosit yang signifikan dari sebelum
hingga sesudah suplementasi, diduga selama penelitian tidak ada sampel yang
terinfeksi, sehingga tidak terjadi peningkatan monosit yang berarti untuk melawan
antigen yang masuk. Dugaan lain adalah karena jumlah monosit sampel penelitian
ini selama suplementasi berlangsung berada dalam kisaran normal (2-8 persen),
menandakan bahwa pertahanan tubuh sampel cukup baik, sehingga tidak mudah
terinfeksi.
Neutrofil
Neutrofil merupakan salah satu fagosit polimorfonuklear/fagosit granulosit,
dibentuk dalam sum-sum tulang dengan kecepatan 8 juta/menit dan hidup selama
2-3 hari. Fungsi utama neutrofil adalah fagositosis. Penurunan jumlah sel tersebut
sering disertai dengan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi. Pada infeksi
akut, neutrofil dalam sirkulasi dapat meningkat dengan segera. Peningkatan
tersebut disebabkan oleh migrasi neutrofil ke sirkulasi yang berasal dari sumsum
tulang dan persediaan marginal intravaskular (Baratawidjaja 2006). Sel-sel imun
non-spesifik seperti neutrofil, makrofag jaringan berperan dalam inflamasi. Pada
proses inflamasi terjadi vasodilatasi meningkatkan persediaan darah untuk
mengalirkan lebih banyak molekul dan sel yang diperlukan dalam memerangi
antigen yang mencetuskan inflamasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum suplementasi, rata rata jumlah
neutrofil pada sampel yang mendapat perlakuan plasebo 51.56±9.81 persen,
plasebo + TT 53.21±5.30 persen, vitamin C 53.88±6.86 persen, vitamin C +TT
51.04±6.32 persen, MVM 54.33±6.13 persen , MVM +TT 54.77±5.73 persen.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata jumlah neutrofil tidak berbeda
71
signifikan pada keenam perlakuan (p>0.05). Jumlah neutrofil sampel penelitian
ini pada sebelum suplementasi dalam kisaran normal ( 50-70 persen).
Perubahan jumlah neutrofil sesudah suplementasi selama 6 minggu (selisih
b), pada sampel yang mendapat perlakuan plasebo meningkat sebesar 3.6 persen,
plasebo + TT meningkat sebesar 0.70 persen, vitamin C meningkat sebesar 1.0
persen, vitamin C + TT meningkat sebesar 0.80 persen, MVM menurun sebesar
0.2 persen, MVM + TT meningkat sebesar 0.36 persen. Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa rata-rata perubahan jumlah neutrofil selama enam minggu
suplementasi tidak berbeda signifikan pada keenam perlakuan (p>0.05).
Tabel 15 Rata-rata jumlah neutrofil selama penelitian menurut perlakuan
Neutrofil (persen)
P
Vit. C +
MVM +
MVMa
Suplementasi Plaseboa Plasebo + TTa Vit. Ca
a
a
TT
TT
Sebelum
51.56±9.81 53.21±5.30 53.88±6.86 51.04±6.32 54.33±6.13 54.77±5.73 0.126 1
Intermediate 55.17±7.21 53.91±6.41 54.88±7.16 51.84±9.77 54.13±6.53 55.14±6.14 0.644 1
Selisih b 3.61±9.70
Sesudah
0.70±6.75
1.00±6.89 0.80±9.52 -0.20±6.96
0.36±7.00 0.135 1
54.78±6.71 55.16±6.98 55.84±7.01 54.82±8.54 55.43±5.72 54.55±5.90 0.8421
Selisih c -0.39±9.53
1.26±6.78
0.95±9.59 2.98±12.04 1.30±7.99
-0.59±6.59 0.6271
Selisih d 3.22±9.40
Keterangan:
1.95±5.21
1.95±9.56 3.78±7.66
-0.23±7.42 0.491 1
1.11±6.34
a
Perlakuan.
Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi
c
Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate
d
Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi
e
x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat.
1
nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama.
b
Sementara itu perubahan jumlah neutrofil dari minggu ke-6 sampai minggu
ke-10 suplementasi (selisih c), pada sampel yang mendapat perlakuan plasebo
terjadi penurunan sebesar 0.39 persen, plasebo + TT meningkat sebesar 1.26
persen, vitamin C meningkat sebesar 0.95 persen, vitamin C + TT meningkat
sebesar 2.98 persen, MVM meningkat sebesar 1.3 persen, dan MVM + TT
menurun sebesar 0.59 persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata
perubahan jumlah neutrofil tersebut tidak berbeda signifikan pada
keenam
perlakuan (p>0.05) (Tabel 15). Tidak ditemukannya peningkatan neutrofil salah
satu pertanda tidak adanya fagositosis oleh sel tersebut terhadap mikroba yang
masuk dalam tubuh.
72
Natural Killer Cell (sel NK)
Sel NK adalah golongan limfosit ketiga sesudah sel T dan sel B. Jumlahnya
sekitar 5-15 persen dari limfosit dalam sirkulasi dan 45 persen dari limfosit dalam
jaringan. Secara morfologis, sel NK merupakan limfosit dengan granula besar
(Baratawidjaja 2006). Sel ini berfungsi dalam imunitas non-spesifik terhadap
virus dan sel tumor.
Dalam fungsinya, sel NK menjalankan peran pembunuhan intraseluler.
Virus tidak memiliki peralatan untuk memperbaharui diri dengan demikian virus
harus menembus sel-sel host yang terinfeksi agar dapat mengambil fungsi
replikasi sel, agar tidak berkembang, maka sel NK akan membunuh sel-sel
terinfeksi virus tersebut sebelum virus mempunyai kesempatan membelah diri
kembali (Roitt 2003). Sel NK berperan penting di dalam kesehatan manusia. Hasil
review oleh Whiteside dan Herberman 1994) menunjukkan bahwa penurunan
jumlah sel
NK atau aktifitas sel NK seringkali berhubungan dengan
berkembangnya kanker, atau infeksi virus baik yang bersifat akut maupun kronis.
Sel NK berpartisipasi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
pengaturan dan jaringan komunikasi sistem imunitas. Sel NK meningkat dengan
cepat sebagai petunjuk adanya sel yang akan membunuh tetapi juga mampu
memberi respon dengan cepat terhadap sitokin dan faktor faktor yang terlibat
dalam interaksi antara sel imun dan non imun.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum suplementasi, rata-rata
jumlah sel NK pada sampel yang mendapat perlakuan plasebo yakni 753.8±302
sel/µl, plasebo+TT 631.5±238 sel/µl, vitamin C 629.7±255 sel/µl, vitamin C+TT
601.6±219 sel/µl, MVM 606.7±248 sel/µl dan MVM+TT 651.4±291 sel/µl. Hasil
uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata jumlah sel NK antara keenam perlakuan
tidak berbeda signifikan (p>0.05) (Tabel 16). Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa jumlah sel NK ketiga perlakuan pada saat sebelum suplementasi berada
diluar nilai normal (90-590 sel/µl) dan menurut whiteside dan Herberman (1994)
jumlah sel NK diluar nilai normal baik dibawah atau diatas ambang nilai normal
terdapat dua kategori. Jumlah sel NK abnormal yang bersifat permanen dan
sementara, dimana yang bersifat sementara dapat ditemukan pada orang-orang
yang mengalami ketidak teraturan siklus tidur, exercise, situasi stress, sedang
73
menderita influenza, atau terserang infeksi virus yang lebih berat lagi. Hasil
review tersebut mendukung temuan penelitian ini karena sampel penelitian ini
mempunyai siklus tidur yang tidak teratur karena setiap 2 minggu sekali harus
bekerja malam hari (lembur). Dikatakan pula dalam review tersebut bahwa
seringkali tetapi tidak selalu bahwa jumlah sel NK mencerminkan aktifitas sel
NK.
Tabel 16 Rata-rata jumlah sel Natural Kiler (NK) selama penelitian
menurut perlakuan
Sel NK (sel/µl)
Suplementasi
Sebelum
Intermediate
Selisih b
Sesudah
Selisih c
Selisih d
Plaseboa Plasebo + TTa
Vit. Ca
Vit. C + TTa
MVMa
753.8±
302.2 e
619.6±
270.8 e
-134.2±
269.2 e
695 ±
237.3 e
75.4±
275.2 e
-58.8±
265.4 e
629.7±
601.6±
606.7±
248.6 e
514.6±
246.4 e
-92.1±
242.8 e
524.1±
208.5 e
9.5±
219.8 e
-82.6±
246.1 e
631.5±
238.7 e
612.5±
260.6 e
-19 ±
251.3 e
625.9±
221.9 e
13.4±
206.3 e
-5.6±
212.2 e
255.7 e
537.7±
e
239.0
-92.28±
e
206.3
561.5±
241.3 e
23.7±
e
214.4
-68.2±
208.8 e
219.8 e
602.0±
e
208.9
-8.5±
241.8 e
620.5±
239.9 e
18.1±
e
261.3
9.6±
2293 e
P
MVM +
TTa
651.4±
0.123 1
291.9 e
561.8±
0.334 1
305.7 e
-89.5±
0.163 1
254.4 e
604.5±
0.037 1
285.2 e
42. 7±
0.818 1
236.2 e
-46.9±
0.449 1
262.4 e
Keterangan:
a
Perlakuan.
Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi
c
Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate
d
Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi
e
x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat.
1
nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama.
b
Sesudah 6 minggu suplementasi, jumlah sel NK mengalami perubahan
yakni jumlah sel NK pada sampel yang mendapat perlakuan plasebo sebesar
619.6 ± 270 sel/µl, plasebo + TT 612.5 ± 260 sel/µl, vitamin C 537.7 ± 239 sel/µl,
vitamin C+TT 602.0 ± 208 sel/µl, MVM 514.6 ± 246 sel/µl,
MVM+TT 561.8 ±305 sel/µl. Hasil uji statistik, menunjukkan bahwa rata
rata jumlah sel NK pada keenam perlakuan tidak berbeda signifikan (p>0.05)
(Tabel 16).
Berdasarkan Tabel 16, sesudah suplementasi 10 minggu, terjadi perubahan
jumlah sel NK, yakni jumlah sel NK pada sampel yang mendapat perlakuan
plasebo 695 ± 237 sel/µl, plasebo + TT 625.9 ± 221 sel/µl, vitamin C 561.5 ± 241
74
sel/µl, vitamin C + TT 620.5± 239 sel/µl, MVM 524.1 ± 208 sel/µl, MVM + TT
604.5 ± 285 sel/µl. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata jumlah sel NK
keenam perlakuan berbeda signifikan (p<0.05). Hasil uji Anova dan uji lanjut
BNT menunjukkan bahwa suplementasi MVM menurunkan jumlah sel NK secara
signifikan (p<0.05), dengan kata lain pada kasus sampel penelitian ini MVM
berperan sebagai imunosupressor (Lampiran 4).
Besarnya penurunan jumlah sel NK sesudah suplementasi pada sampel yang
mendapat perlakuan MVM menunjukkan adanya perbaikan pertahanan tubuh nonspesifik yang ditunjukkan dengan jumlah sel NK berada dalam kisaran normal
(90-590 sel/µl), dimana jumlah sel NK sebelum suplementasi di atas kisaran
normal yakni > 590 sel/µl. Penurunan jumlah sel NK juga terjadi pada sampel
yang mendapat perlakuan vitamin C tetapi penurunannya lebih kecil dibandingkan
dengan perlakuan MVM. Temuan ini menunjukkan bahwa suplementasi MVM
dapat memperbaiki pertahanan non-spesifik melalui perbaikan jumlah sel NK,
diduga terkait dengan peranan beberapa vitamin dan mineral seperti vitamin A
berperan di dalam perbaikan sel-sel mukosa, vitamin C berperan di dalam sintesis
kolagen yang diperlukan untuk menjaga kulit agar tetap sehat/utuh, zinc juga
berperan di dalam sintesis kolagen, dengan demikian MVM tersebut membantu
pertahanan lini pertama menjadi semakin kuat, akibatnya sel NK tidak perlu
memperbanyak diri untuk memperkuat pertahanan non-spesifik. Disamping itu
vitamin A juga mempunyai peranan anti inflamasi terutama di dalam gangguan
kulit juga diperlukan untuk integritas epithel (Rifen 2008), sehingga memperkuat
pertahanan non-spesifik. Temuan ini juga sejalan dengan hasil penelitian Chandra
et al. (2002), Bunout et al. (2004) dan Ravaglia et al. (2000) dimana jumlah dan
aktivitas sel NK meningkat pada sampel yang mendapat suplemen multi zat gizi
mikro. Meskipun pada penelitian ini suplemen MVM menurunkan jumlah sel NK
dan hasil penelitian ketiga peneliti sebelumnya meningkatkan jumlah sel NK,
namun keempat temuan tersebut bertujuan sama yaitu mempengaruhi sel NK dari
abnormal baik diatas maupun dibawah nilai normal menuju dalam kisran normal.
Hal ini terkait peranan vitamin dan mineral sebagai immunomodulator
(Wintergrest et al. 2007) yang dapat berfungsi sebagai immunosuppressor atau
immunostimulator. Akan tetapi temuan ini bertentangan dengan temuan Payette et
75
al. (1990) dimana hasil penelitian Payette tidak menemukan hubungan antara sel
NK dengan suplementasi zat gizi mikro. Perbedaan ini kemungkinan karena pada
sampel penelitian Payette et al. (1990) menyertakan sampel yang menderita
penyakit kronis seperti arthritis, sedangkan sampel ketiga peneliti tersebut diatas
pada subyek sehat seperti halnya sampel penelitian ini.
Pengaruh Suplementasi terhadap Humoral Mediated Immunity (HMI)
Immunoglobulin G (IgG)
Antibodi adalah suatu protein yang diproduksi oleh limfosit B dibantu oleh
sel T helper (Th) sebagai respon adanya stimulasi antigen. Ketika tubuh terinfeksi
antigen, makrofag akan mengenali antigen kemudian menangkapnya, selanjutnya
diproses
dan
dipresentasikan
pada
membran
bersama
molekul
Major
Histokompability Complex II (MHC II) membentuk komplek antigen-MHC II. Sel
Th yang teraktivasi, terstimulir untuk mensekresikan sejumlah sitokin seperti
interlukin (IL)-2, IL-4, IL-6 dan interferon (IFN-ỵ) yang dapat mengaktivasi
berbagai tahap proliferasi dan diferensiasi sel B menjadi sel-sel plasma dan
kemudian mensekresikan antibodi dan sel-sel memori (Roit 2003).
Di dalam tubuh terdapat 5 jenis antibodi yaitu lgA, lgD, lgE LgG dan lgM,
akan tetapi yang paling sering terdapat dalam sirkulasi dan banyak di jaringan
adalah lgG (Baratawidjaja, 2006). Pada penelitian ini, untuk mengetahui respon
antibodi, sebagian sampel penelitian mendapat imunisasi dengan vaksin TT
(Tetanus Toxoid) setelah mengonsumsi suplemen selama 6 minggu (sebagai
booster) kemudian dilanjutkan mengonsumsi suplemen sampai minggu ke-10.
Pemilihan vaksin TT, dengan pertimbangan mudah didapat, aman, dan berguna
bagi wanita usia subur (Baratawidjaja 2006). Adanya peluang terkena Tetanus
terutama kelompok usia subur saat persalinan sehingga vaksinasi ini menjadi
paket program imunisasi oleh pemerintah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum suplementasi, rata-rata titer
IgG sampel yang mendapat perlakuan plasebo 2579.6 ± 1559 IU/L, plasebo + TT
2445.9 ± 1326 IU/L, vitamin C 2532.5± 1496 IU/L, vitamin C+TT 2712 ± 1481
IU/L, MVM 2632.8 ± 1505 IU/L dan MVM + TT 2814.1 ± 1537 IU/L. Uji
statistik menunjukkan tidak ada perbedaan rata-rata IgG yang signifikan pada
keenam perlakuan (p>0.05) (Tabel 17). Ditemukannya antibodi yang cukup pada
76
semua sampel penelitian ini karena sampel sudah pernah mendapat vaksinasi TT
yang diberikan oleh paramedis diklinik perusahaan tersebut ketika menjelang
perkawinan atau menjelang persalinan. Hal tersebut diperlukan dalam pencegahan
tetanus neonatorum di negara negara dengan tindakan obstetri yang kurang steril
saat persalinan (Baratawidjaja 2006).
Sesudah 6 minggu suplementasi terjadi perubahan titer IgG, yakni pada
perlakuan plasebo rata-rata titer IgG 2552.2 ± 1336 IU/L, Plasebo+TT 2342.3 ±
1308 IU/L, Vitamin C 2542.4 ± 1387 IU/L, Vitamin C + TT 2853 ± 1324 IU/L,
MVM 2550.9 ± 1437 IU/L, MVM + TT 2805.4 ± 1442 IU/L. Uji statistik
menunjukkan tidak ada perbedaan rata-rata titer IgG yang signifikan pada keenam
perlakauan (p>0.05).
Tabel 17 Rata-rata kadar IgG selama penelitian menurut perlakuan
IgG (IU/l)
Suplementasi Plaseboa Plasebo + TTa Vit. Ca
Sebelum
Intermediate
Selisih b
Sesudah
Selisih c
Selisih d
2579.6±
1559.2e
2552.2±
1336.7e
-27.4±
685.1e
2720.6±
1419.4e
168.4±
813.3e
141±
997.4e
2445.9±
1326.7e
2342.3±
1308.5e
-103.6±
364.e
4945.8±
822 e
2603.5±
1507 e
2499.9±
1507e
2532.5±
1496e
2542.4±
1387.9e
9.9±
520.5e
2751.2±
1412.8e
208.8±
270.2e
218.6±
512.8e
Vit. C +
TTa
MVMa
MVM + TTa
2712.4±
1481.8e
2853±
1324e
140.6±
717.6e
4992.9±
916.4e
2139.9±
1492.4e
2280.5±
1607.4e
2632.8±
1505.2e
2550.9±
1437.5e
-81.8±
355.3e
2803.4±
1403.5e
252.5±
329.8e
170.7±
398.2e
2814.1 ±
1537 e
2805.4±
1442.7e
-8.7±
548.4e
4848.1±
929.1e
2042.7±
1554.4e
2034±
1597.9e
P
0.8891
0.524 1
0.3571
0.0001
0.0001
0.0001
Keterangan:
a
Perlakuan.
Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi
c
Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate
d
Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi
e
x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat.
1
nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama.
b
Hasil rata-rata titer IgG sesudah suplementasi 10 minggu menunjukkan
bahwa perlakuan plasebo yakni 2720.6 ± 1419 IU/L, Plasebo + TT 4945.8 ± 822
IU/L, vitamin C 2751.2 ± 1412 IU/L, vitamin C + TT 4992.9 ± 916 IU/L, MVM
2803.4 ± 1403 IU/L, MVM + TT 4848.1 ± 1554 IU/L. Hasil uji statistik
menunjukkan
rata-rata titer IgG berbeda signifikan pada keenam perlakuan
(p<0.05). Hasil uji Anova menunjukkan bahwa vaksinasi mempengaruhi
77
perlakuan secara signifikan (p<0.05). (Lampiran 5). Temuan ini sejalan dengan
hasil penelitian Wolvers et al. (2006).
Pada Gamber 10 dapat dijelaskan bahwa tidak ditemukan pengaruh
suplementasi terhadap peningkatan titer IgG. Gambar tersebut menunjukkan
bahwa tidak nampak lonjakan titer IgG pada ketiga perlakuan yakni plasebo,
vitamin C dan MVM. Tidak signifikannya pengaruh suplementasi baik vitamin C
maupun MVM terhadap kenaikan titer IgG diduga berhubungan dengan status zat
gizi mikro sampel, karena status beberapa zat gizi mikro sampel sesudah
suplementasi masih belum optimal, sedangkan untuk meningkatkan produksi
antibodi diperlukan beberapa zat gizi termasuk zat gizi antioksidan yang optimal
(Wintergerst et al. 2007).
6000
Titer IgG (IU/L)
5000
4000
3000
2000
1000
0
se
be
lu
m
m
in
gg
)P
6
m
P e r la k u a n
(A
u
la
b
se
in
gg
u
10
se
be
lu
m
m
in
gg
)V
it a
6
m
o
(B
u
m
in
in
gg
u
10
se
be
lu
m
m
in
C
(C
gg
u
6
m
)M
in
gg
10
u
VM
Gambar 10 Sebaran titer IgG pada sampel yang tidak mendapat
vaksinasi menurut perlakuan
Sedangkan vaksinasi dengan cepat dapat meningkatkan titer IgG sangat
beralasan karena vaksinasi yang diberikan bukan sebagai induktor pertama, tetapi
vaksinasi ini bersifat sebagai booster, maka di dalam tubuh sampel sudah ada selsel memori dengan demikian lebih mudah dan lebih cepat memproduksi antibodi
karena antigen sudah dikenali.
7000
Titer IgG (IU/L)
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
s
e
eb
lu
m
m
g
in
gu
6
m
i
g
ng
u
10
s
e
eb
lu
m
m
g
in
gu
6
m
i
g
ng
u
10
s
e
eb
m
lu
m
g
in
gu
6
m
i
g
ng
u
10
78
Gambar 11 Sebaran titer IgG pada sampel yang mendapat
vaksinasi TT menurut perlakuan
Limfosit
Limfosit adalah salah satu jenis sel darah putih yang bertanggung jawab
pada sistem pertahanan tubuh. Sebanyak 20 persen dari semua leukosit dalam
sirkulasi darah orang dewasa adalah Limfosit, yang terdiri dari sel T dan sel B
yang merupakan kunci pengontrol sistem imun (Baratawidjaja 2006). Limfosit
merupakan sel yang berperan utama dalam sistem imun spesifik, sel T pada
imunitas seluler dan sel B pada imunitas humoral.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum suplementasi, rata-rata
jumlah limfosit sampel yang mendapat perlakuan plasebo 40.56 ± 5.70 persen,
plasebo+TT 39.9 ± 5.45 persen, vitaminC 39.88 ± 6.03 persen, vitamin C+TT
41.45 ± 5.45 persen, MVM 39.39 ± 6.06 persen dan MVM + TT 38.76 ± 5.69
persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa jumlah limfosit tidak berbeda
signifikan pada keenam perlakuan (p>0.05). Jumlah limfosit sampel penelitian ini
dalam kisaran normal (20-40 persen) (Tabel 18).
Tabel 18 Rata-rata jumlah limfosit selama penelitian menurut perlakuan
Limfosit (persen)
P
Vit. C +
MVM +
Plasebo Plasebo + TT Vit. Ca
MVMa
Suplementasi
a
a
TT
TT
e
e
e
e 39.88±6.03 41.45±5.45
e 38.76±5.69
0.3561
Sebelum
40.56±5.70 39.9±5.45
39.39±6.06
e
a
Intermediate
39.20±6.82 e 39.98±6.12 e
Selisih b -1.43±7.03 e 0.02±7.45 e
Sesudah
a
39.38±6.92 e 40.19±6.41 e
-0.55±7.09 e -1.26±6.65 e
39.15±6.84 e
38.17±6.28
0.708 1
-0.18±7.24 e
-0.64±6.17
0.920 1
e
e
e
e
37.9±6.13 e 37.93±7.2 e 37.4±7.23 38.21±8.55 38.02±5.93 e 38.69±5.61 0.970 1
79
e
e
e
Selisih c -1.23±8.5 e -1.99±7.51 e -1.9±9.65 -1.87±8.81 -1.15±8.73 e 0.62±6.84 e 0.715 1
-0.07±6.94
-2.48±9.15 e -3.24±7.84 e
Selisih d -2.67±7.97 e -1.98±5.89 e
-1.37±7.44 e
0.469 1
e
Keterangan:
a
Perlakuan.
Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi
c
Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate
d
Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi
e
x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat.
1
nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama
b
Sesudah suplementasi selama 6 minggu, terjadi perubahan jumlah limfosit,
perubahan jumlah limfosit sebelum dan pada minggu ke-6 suplementasi (selisih
b) pada sampel yang mendapat perlakuan plasebo menurun sebesar 1.43 persen,
plasebo + TT meningkat sebesar 0.02 persen, vitamin C menurun sebesar 0.55
persen, vitamin C + TT menurun sebesar 1.26 persen, MVM menurun sebesar
0.18 persen, MVM + TT menurun sebesar 0.64 persen. Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa rata-rata perubahan jumlah limfosit antara keenam perlakuan
tidak berbeda signifikan (p>0.05).
Perubahan yang terjadi sesudah suplementasi, yaitu selisih dari intermediate
dan minggu ke 10 suplementasi (selisih c) pada sampel yang mendapat perlakuan
plasebo menurun sebesar 1.23 persen, plasebo + TT menurun sebesar 1.99 persen,
vitamin C menurun sebesar 1.9 persen, vitamin C + TT menurun sebesar 1.87
persen, MVM menurun sebesar 1.15 persen, MVM + TT meningkat sebesar 0.62
persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perubahan jumlah limfosit antara
keenam perlakuan tidak berbeda signifikan (p>0.05).
Tidak
ditemukannya
perubahan
yang
signifikan
(penurunan
atau
peningkatan limfosit) pada keenam perlakuan, diduga sampel penelitian ini
mempunyai pertahanan yang cukup baik. Baiknya pertahanan sampel salah
satunya dapat dilihat dari jumlah limfosit sampel sejak sebelum hingga sesudah
suplementasi berada dalam kisaran normal yaitu 20-40 persen (Gibson 2005).
CD4+
CD4+ adalah molekul permukaan sel T helper. Sel Th mengaktifkan
makrofag untuk membunuh mikroba dan sel T cytotoxic yang membunuh sel
80
terinfeksi mikroba dan mengeliminasi sumber infeksi. Jumlah CD4+ yang tinggi
tetapi masih dalam kisaran normal menunjukkan pertahanan spesifik yang baik.
Tabel 19 menunjukkan bahwa sebelum suplementasi jumlah CD4+
sampel pada keenam perlakuan masuk dalam kategori normal (410-1590 sel/µl).
Sesudah suplementasi tidak dijumpai adanya perubahan jumlah CD4+ yang
signifikan (p>0.05). Keadaan ini kemungkinan karena sampel penelitian ini tidak
terpapar oleh mikroba atau karena jumlah CD4+ sampel sejak sebelum
suplementasi dalam kisaran normal (410-1590 sel/µl), salah satu pertanda bahwa
sampel penelitian ini dalam keadaan sehat.
Tabel 19 Rata-rata jumlah CD4+ selama penelitian menurut perlakuan
CD 4+ (sel/µl)
Suplementasi
Sebelum
Intermediate
Selisih b
Sesudah
Selisih c
Selisih d
a
a
Plasebo Plasebo + TT
1040.8±
1075.7±
323.4 e
278 e
944.3±
1076.8±
285.9 e
242.1 e
-131.4±
36.1±
215.3 e
317.6 e
967.8±
1003.9±
274.4 e
301.1 e
23.5±
-73±
230.9 e
306.1 e
-36.9±
-107.9±
309.3 e
227.6 e
Vit. Ca
982.3±
255.6
e
956.3±
e
317.5
-26±
261.6 e
889.8±
e
273.4
-66.5±
245.7 e
-92.5±
e
251.1
Vit. C + TTa MVMa MVM + TTa
1030.4±
1006.3±
1088.9±
e
322.5 e
464.9 e
233.3
1017.3±
1009.6±
1015.7±
e
343.1 e
343.4 e
214.4
-13.2±
3.6±
-73.2±
289.9 e
484.1 e
234.4 e
985.9±
1025.3±
1029.7±
e
320.5 e
322.8 e
292.1
-31.4±
15.6±
14±
295.9 e
262.4 e
250.1 e
-44.6±
19±
-59.2±
e
272.2 e
482. 2 e
278.5
P
0.676 1
0.402 1
0.210 1
0.315 1
0.388 1
0.514 1
Keterangan:
a
Perlakuan.
Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi
c
Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate
d
Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi
e
x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat.
1
nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama
b
Menurut Ray et al. (2006) Jumlah CD4+ yang rendah di bawah kisaran
normal merupakan prediktor kematian pada pasien HIV. Ray juga menemukan
bahwa jumlah CD4+ orang dewasa sehat sekitar 703 ± 225 sel/µl, sedangkan
orang yang terinfeksi HIV tetapi belum timbul gejala-gejala klinis mempunyai
jumlah CD4+ lebih rendah yaitu 525 ± 207 sel/µl, dan pada penderita HIV-AIDS
positif mempunyai jumlah CD4+ sekitar 170 ± 115 sel/µl. Temuan penelitian ini
juga didukung hasil penelitian Lukito et al. (2004) dimana sampel lansia yang
81
sehat mempunyai jumlah CD4+ lebih tinggi (> 559 sel/µl) dibandingkan dengan
lansia yang sakit (< 559 sel/µl).
Pengaruh Suplementasi terhadap Cell Mediated Immunity (CMI)
CD 8+ (Sel T Cytotoxic)
CD8+ adalah molekul permukaan sel T limfosit dan terutama berfungsi
sebagai sel T sitotoksik pada imunitas seluler spesifik. CD8+ merupakan sel
efektor utama yang berperan untuk eliminasi virus.
Tabel 20 Rata-rata jumlah CD8+ selama penelitian menurut perlakuan
CD 8+(sel/µl)
Suplementasi
Sebelum
Intermediate
Selisih b
Sesudah
Selisih c
Selisih d
Plaseboa
903.8±
260.9 e
804.2±
258.2 e
-99. 7±
202.7 e
789.4±
214.7 e
-146.9±
237.4 e
-144.4±
210.6 e
Plasebo +
TTa
855.1±
259.9 e
822.2±
208. 2 e
-32.8±
243.8 e
833.1±
286.6 e
10.8±
240.5 e
-22±
282 e
Vit. Ca
Vit. C + TTa MVM + TTa
888.3±
931.2±
261.4
297.7
e
704.6±
169.9 e
-113.7±
e
222.0
744.5±
218.9 e
-30.1±
e
192.7
-143.8±
e
269.8
e
890.1±
276.9 e
-41.1±
e
275.9
803.8±
228.8 e
-86.2±
e
276.2
-127.4±
e
267.9
913.8±
337.2 e
881.5±
323.9 e
-32.3±
271 e
869.4±
278 e
-12 ±
264.8 e
-44.3±
246.7
MVMa
858.3±
266.9 e
867.1±
293.7 e
8.8±
256.2 e
853.5±
283.3 e
-13.6±
256.3 e
-4.8±
252.4 e
P
0.841 1
0.360 1
0.338 1
0.284 1
0.350 1
0.281 1
Keterangan:
a
Perlakuan.
Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi
c
Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate
d
Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi
e
x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat.
1
nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama
b
Sebelum suplementasi, rata-rata jumlah CD8+ sampel yang mendapat
perlakuan plasebo 903.8 ± 260 sel/µl, plasebo + TT 855.1 ± 259 sel/µl, Vitamin C
888.3 ± 261 sel/µl, Vitamin C + TT 931.2 ± 297 sel/µl, MVM 858.3 ± 266 sel/µl
dan MVM + TT 913.8 ± 337 sel/µl. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ratarata jumlah CD8+ tidak berbeda signifikan antara keenam perlakuan (p>0.05).
(Tabel 20). Jumlah CD8+ semua sampel penelitian berada dalam kisaran normal
( 190-1140 sel/µl).
82
Sesudah 6 minggu suplementasi, terjadi perubahan jumlah CD8+, yakni
jumlah CD8+ sampel yang mendapat perlakuan plasebo 804.2 ± 258 sel/µl,
Plasebo + TT 822.2 ± 208 sel/µl, Vitamin C 704.6 ± 169 sel/µl, Vitamin C + TT
890.1 ± 276 sel/µl, MVM 867.1 ± 293 sel/µl, MVM + TT 881.5 ± 323 sel/µl.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata jumlah CD8+ tidak
berbeda
signifikan antara keenam perlakuan (p>0.05).
Sesudah suplementasi terjadi perubahan jumlah CD8+, yakni jumlah
CD8+ sampel yang mendapat perlakuan plasebo menurun 144 ± 210 sel/µl,
plasebo + TT menurun 22 ± 282 sel/µl, vitamin C menurun 143 ± 269 sel/µl,
vitamin C + TT menurun 127 ± 267 sel/µl, MVM menurun 44 ± 246 sel/µl,
MVM + TT menurun 4 ± 252 sel/µl. Namun hasil uji statistik menunjukkan
bahwa rata-rata jumlah CD8+ tidak berbeda signifikan antara keenam perlakuan
(p>0.05), artinya tidak ada pengaruh suplementasi terhadap jumlah CD8+.
Temuan ini menunjukkan bahwa baik suplementasi vitamin C maupun
multivitamin-mineral tidak mempengaruhi jumlah CD8+. Tidak ditemukannya
perubahan jumlah CD8+ selama suplementasi kemungkinan karena tidak ada sel
yang terinfeksi mikroba sebab sel Tc mempunyai fungsi mengeliminasi sel yang
terinfeksi. Proteksi utama respon imun spesifik terhadap bakteri interaseluler
dengan melisiskan sel terinfeksi oleh CD8+ selain aktivasi makrofag oleh sel
CD4+.
Pengaruh Suplementasi terhadap Zat Gizi Antioksidan
Vitamin A
β karoten sebagai prekursor vitamin A dalam mempertahankan kesehatan
mata dan integritas membran sel menjadikan senyawa ini bersifat vital bagi
manusia. β-karoten sebagai pro-vitamin A sangat berperan di dalam quenching
yaitu proses menginaktifkan molekul yang elektronnya tereksitasi. β-karoten
mengkonjugate ikatan rangkap duanya kepada radikal bebas misalnya 1O2 + β-
83
karoten menjadi 3O2 + β-karoten yang tereksitasi. Kekuatan β-karoten sebagai
antioksidan yang menguenching radikal bebas dibandingkan dengan antioksidan
lainnya dapat diurutkan sebagai berikut : lycopen > vitamin E > α- karoten > βcryptosantin > β-karoten > lutein. Akan tetapi kekuatan sebagai antioksidan akan
lebih besar bila lycopen dan lutein bergabung dibandingkan bekerja sendirisendiri (Gropper et al. 2005).
Dalam bentuk vitamin A, peranannya sangat penting di dalam integritas
mukosa epitel. Dalam keadaan kekurangan vitamin A, dapat menyebabkan
integritas mukosa epitel terganggu disebabkan karena hilangnya sel globlet
penghasil mukus, akibatnya terjadi kerentanan terhadap kuman patogen di mata
dan saluran nafas serta saluran pencernaan. Hasil penelitian membuktikan bahwa
anak-anak yang kekurangan vitamin A berisiko mengidap penyakit pernafasan
dan penyakit diare semakin parah (Sommer et al. 1984; Karyadi et al. 2002).
Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Semba et al. (1993) dan
Semba et al. (1994), menunjukkan bahwa kekurangan vitamin A berdampak
pada kemampuan membangkitkan respon antibodi terhadap antigen dependen sel
T. Selain itu, efek suplementasi vitamin A dapat meningkatkan ketahanan tubuh
anak-anak terhadap penyakit infeksi seperti diare dan penyakit paru-paru.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum suplementasi, rata-rata
kadar vitamin A sampel yang mendapat perlakuan plasebo 1.00 ± 0.31 µmol/l,
plasebo + TT 1.01 ± 0.30 µmol/l, vitamin C 0.96 ± 0.27 µmol/l, vitamin C + TT
0.95 ± 0.29 µmol/l, MVM 1.11 ± 0.38 µmol/l dan MVM + TT 1.02 ± 0.29 µmol/l.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata kadar vitamin A tidak berbeda
signifikan antara keenam perlakuan (p>0.05)(Tabel 21).
Tabel 21 Rata-rata kadar vitamin A selama penelitian menurut perlakuan
Kadar Serum Vitamin A (umol/L)
Suplementasi
Sebelum
intermediate
Selisih b
Sesudah
Plasebo
1.00+
e
0.31
1.01+
0.31 e
0.01+
e
0.19
0.95+
a
Plasebo + TTa
Vit. Ca
Vit. C + TTa
MVMa
1.01+
e
0.30
0.98+
0.32 e
-0.03+
e
0.25
1.01+
0.96+
e
0.27
0.97+
0.39 e
0.01+
e
0.29
0.98+
0.95+
e
0.29
0.91+
0.36 e
-0.04+
e
0.36
0.91+
1.11+
e
0.38
1.05+
0.31 e
-0.07+
e
0.31
1.13+
MVM +
TTa
1.02+
e
0.29
1.03+
0.33 e
0.01+
e
0.24
1.15+
P
0.406 1
0.553
1
0.822
1
0.078
1
84
e
Selisih c
Selisih d
0.32
-0.06+
e
0.25
-0.05+
0.27 e
e
0.33
0.03+
e
0.22
0.00+
0.28 e
e
0.26
0.01+
e
0.33
0.03+
0.28 e
e
0.26
0.00+
e
0.29
-0.03+
0.28 e
e
0.42
0.08+
e
0.27
0.02+
0.36 e
e
0.43
0.12+
e
0.34
0.13+
0.37 e
0.748
1
0.651 1
Keterangan:
a
Perlakuan.
Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi
c
Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate
d
Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi
e
x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat.
1
nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama
b
Sesudah 6 minggu suplementasi terjadi perubahan kadar vitamin A, yakni
kadar vitamin A sampel yang mendapat perlakuan plasebo 1.01 ± 0.31 µmol/l,
plasebo + TT 0.98 ± 0.32 µmol/l, vitamin C 0.97 ± 0.39 µmol/l, vitamin C + TT
0.91 ± 0.36 µmol/l, MVM 1.05 ± 0.31 µmol/l, MVM + TT 1.03 ± 0.33 µmol/l.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata kadar vitamin A tidak berbeda
signifikan antara keenam perlakuan (p>0.05). Namun sesudah suplementasi 10
minggu, terjadi perubahan kadar vitamin A, yakni kadar vitamin A sampel yang
mendapat perlakuan plasebo 0.95 ± 0.32 µmol/l, plasebo + TT 1.01 ± 0.33µmol/l,
vitamin C 0.98 ± 0.26 µmol/l, vitamin C + TT 0.91 ± 0.26 µmol/l, MVM 1.13 ±
0.42 µmol/l, MVM + TT 1.15 ± 0.43 µmol/l. Hasil uji statistik menunjukkan
bahwa rata-rata kadar vitamin A berbeda signifikan antara keenam perlakuan pada
kemaknaan p=0.07. Hasil uji Anova dan uji lanjut BNT menunjukkan bahwa
suplementasi MVM berpengaruh terhadap kenaikan kadar vitamin A (lampiran 6).
Artinya suplementasi MVM selama 10 minggu mempengaruhi kenaikan kadar
vitamin A, walaupun dengan kemaknaan p=0.07.
Keadaan ini dapat dijelaskan karena dalam multivitamin mengandung
vitamin A 700 µg, sehingga pemberian vitamin A selama 10 minggu mampu
meningkatkan kadar vitamin A serum sampel. Oleh karena rata-rata kadar vitamin
A serum sampel sebelum suplementasi sudah tidak dalam kategori defisiensi
(<0.70 µmol/l) tetapi masih dalam tingkat suboptimal (<1.05 umol/l) (Gibson
2005), maka pengaruh suplemen MVM terhadap kenaikan kadar vitamin A tidak
begitu besar (p=0.07). Alasan ini didukung dengan temuan Wolter et al. (2004),
yakni suplementasi multivitamin selama 6 bulan meningkatkan beta-karoten, akan
tetapi berlainan dengan temuan Mckay et al. (2000) suplementasi multivitamin
meningkatkan vitamin C, dan vitamin E tetapi tidak meningkatkan vitamin A. Hal
85
ini mungkin karena dosis vitamin A yang diberikan lebih rendah yaitu 100
persen RDA sedangkan pada penelitian ini sedikit lebih tinggi yaitu 140 persen
RDA.
30.0
30.0
25.0
25.0
20.0
17.9
18.8
17.9
14.3 13.3
% 15.0
16.7
16.7
12.5
10.0
10.0
sebelum
sesudah
6.7
5.0
0.0
plasebo
vit C
MVM
plas+TT vit C+TT MVM+TT
Perlakuan
Gambar 12 Persentase sampel kekurangan vitamin A sebelum dan sesudah
penelitian
Peningkatan kadar vitamin A serum sesudah suplementasi tersebut diikuti
dengan makin sedikitnya persentase sampel yang menderita defisiensi vitamin A
pada perlakuan MVM (Gambar 12).
Vitamin E
Vitamin E atau α-tokoferol merupakan antioksidan yang larut dalam
lemak. Vitamin ini banyak terdapat dalam membran eritrosit dan lipoprotein
plasma. Tokoferol terutama α-tokoferol telah diketahui sebagai antioksidan yang
mampu mempertahankan integritas membran sel karena vitamin E terutama cincin
fenolnya mampu memberikan ion hidrogennya kepada radikal bebas. Ion hidrogen
dari α-tocoferol sangat efektif dan cepat bereaksi dengan beberapa radikal bebas
dan menghentikannya sebelum menghancurkan membran sel dan komponenkomponen sel lainnya. Setelah memberikan ion hidrogennya vitamin E menjadi
vitamin E teroksidasi dan dapat di regenerasi oleh senyawa pereduksi seperti
vitamin C, dan NADPH. Oleh karena itu keberadaan vitamin C sangat membantu
vitamin E untuk regenerasi dan nantinya akan dapat berperan kembali di dalam
memutus rantai radikal bebas. Makin banyak vitamin E radikal yang terbentuk
86
maka makin banyak vitamin C untuk memperbaiki vitamin E radikal menjadi
vitamin E yang bebas (E . + vitamin C menjadi Vitamin E + dehidro askorbat).
Tabel 22 Rata-rata kadar vitamin E selama penelitian menurut perlakuan
Sebelum
intermediate
Selisih b
Sesudah
Selisih c
Selisih d
Placeboa
8.9±2.2e
8.9±2.3 e
-0.6±1.3 e
9.5±2.3 e
0.6±1.2 e
0.6±1.4 e
Kadar Serum Vitamin E (µmol/L)
Placebo+TTa
Vit. Ca
Vit. C+TTa
MVMa
e
e
e
8.4±2.2
8.6±2.6
8.7±2.3
8.9±2.9 e
e
e
e
8.4±1.9
8.6±2.2
8.7±1.6
12.9±3.9 e
e
e
e
-0.01±1.5
0.05±1.3
0.04±1.8
3.9±3.1 e
e
e
e
9.1±2.0
8.2±2.6
9.9±2.0
13.5±4.2 e
e
e
e
0.68±1.6
0.6±1.1
1.3±1.4
0.64±2.9 e
e
e
e
0.7±1.8
0.59±1.3
1.2±1.6
4.6±3.1 e
MVM+TTa
9.0±2.5 e
13.0±3.4 e
4.0±3.1 e
13.6±3.1 e
0.57±2.2 e
4.59±2.5 e
P
0.9431
0.0001
0.0001
0.0001
0.6461
0.0001
Keterangan:
a
Perlakuan.
b
Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi
c
Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate
d
Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi
e
x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat.
1
nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum suplementasi, rata-rata
kadar vitamin E sampel yang mendapat perlakuan plasebo yakni 8.9 ± 2.2
µmol/L, plasebo+TT 8.4 ± 2.2 µmol/L, vitamin C 8.6 ± 2.6 µmol/L, vitamin C +
TT 8.7 ± 2.3 µmol/L, MVM 8.9 ± 2.9 µmol/L dan MVM + TT 9.0 ± 2.5 µmol/L.
Hasil statistik menunjukkan bahwa rata-rata kadar vitamin E tidak berbeda
signifikan antara keenam perlakuan (p>0.05) (Tabel 22).
Sesudah 6 minggu suplementasi terjadi perubahan kadar vitamin E, yakni
kadar vitamin E sampel yang mendapat perlakuan plasebo 8.9 ± 2.3 µmol/L,
Plasebo + TT 8.4 ± 1.9 µmol/L, vitamin C 8.6 ± 2.2 µmol/L, vitamin C + TT 8.7
± 1.6 µmol/L, MVM 12.9 ± 3.9 µmol/L, MVM + TT 13.0 ± 3.4 µmol/L. Hasil uji
statistik menunjukkan bahwa rata-rata kadar vitamin E tidak berbeda signifikan
antara keenam perlakuan (p<0.05). Hasil Uji ANOVA dan uji lanjut BNT
menunjukkan bahwa suplementasi MVM mempengaruhi kenaikan kadar vitamin
E.(lampiran 7).
Sesudah suplementasi 10 minggu, terjadi perubahan kadar vitamin E,
yakni kadar vitamin E sampel yang mendapat perlakuan plasebo 9.5 ± 2.3 µmol/L,
plasebo + TT 9.1 ± 1.9 µmol/L, vitamin C 9.2 ± 2.6 µmol/L, vitamin C + TT 9.9
± 1.9 µmol/L, MVM 13.5 ± 4.2 µmol/L, MVM+TT 13.6 ± 3.1 µmol/L. Hasil uji
statistik menunjukkan bahwa rata-rata kadar vitamin E berbeda signifikan antara
keenam perlakuan (p<0.05) (Tabel 22). Hasil uji ANOVA dan uji lanjut BNT
87
menunjukkan bahwa suplementasi MVM mempengaruhi signifikan terhadap
perubahan kadar vitamin E (Lampiran 7).
Kenaikan kadar vitamin E yang cukup signifikan sesudah
6 minggu
suplementasi, kemungkinan disebabkan karena sebelum suplementasi dijumpai
banyak sampel yang mempunyai kadar vitamin E serum rendah (< 11.6 µmol/l),
sehingga ketika mendapat tambahan asupan dari suplemen yang mengandung
vitamin E 45 mg, tubuh menyerap lebih cepat. Temuan ini didukung dengan
temuan
Wolter et al. (2004), dimana kadar vitamin E meningkat setelah
mendapat suplemen multivitamin yang mengandung vitamin E selama 6 bulan,
serta memperbaiki status vitamin E, karena status vitamin E saat baseline rendah.
Disamping itu kemungkinan vitamin E yang terdapat di dalam MVM digunakan
oleh tubuh untuk menangkal radikal bebas karena sampel penelitian ini
kebanyakan bekerja dengan posisi berdiri.
90.0
79.3 79.3
80.6
78.8
75.0
80.0
71.9
67.7
70.0
59.4
60.0
%
84.8
78.8
50.0
40.6
sebelum
40.0
27.3
30.0
sesudah
20.0
10.0
0.0
plasebo
Vit C
MVM
plas+TT Vit C+TT MVM+TT
Perlakuan
Gambar 13 Persentase sampel kekurangan vitamin E sebelum dan sesudah
penelitian
Meningkatnya kadar vitamin E sesudah suplementasi diikuti pula dengan
membaiknya status vitamin E sampel pada perlakuan MVM, sehingga persentase
sampel yang mengalami defisiensi vitamin E sesudah suplementasi makin
berkurang (Gambar 13). Temuan ini mendukung penelitian wolvers et al. (2006).
Vitamin C
Vitamin C merupakan antioksidan yang larut dalam air (aqueous
antioxidant). Peranan vitamin C sebagai antioksidan, ditunjukkan dengan
88
kemampuan vitamin C dalam menyumbangkan elektron ke dalam reaksi biokimia
intraseluler dan ekstraseluler sehingga vitamin C mampu menghilangkan senyawa
oksigen reaktif di dalam sel seperti sel netrofil, monosit, sel retina (IOM 2000).
Vitamin C juga diperlukan dalam proses regenerasi vitamin E teroksidasi.
Oleh karena itu keberadaan vitamin C sangat membantu vitamin E untuk regenarsi
dan nantinya akan dapat berperan kembali di dalam memutus ranta radikal bebas.
Makin banyak vitamin E radikal yang terbentuk maka makin banyak vitamin C
untuk memperbaiki vitamin E radikal menjadi vitamin E yang bebas.
Vitamin C juga dapat meningkatkan penyerapan besi dan mempertahankan
valensi besi dalam kondisi yang sesuai dengan fungsi enzim. Selain itu, vitamin C
juga dapat menginduksi pelepasan besi Ferri dari ferritin dengan mereduksi besi
menjadi ferro (Gropper et al. 2005).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum suplementasi kadar vitamin C
sampel yang mendapat perlakuan plasebo 10.28 + 2.8 µmol/l, plasebo + TT 10.96
+ 3.0 µmol/l, vitamin C 10.48 + 2.4 µmol/l, vitamin C + TT 11.04 + 3.4 µmol/l,
MVM 12.55 + 3.3 µmol/l, MVM+ TT 11.22 + 3.0 µmol/l. Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa rata-rata kadar vitamin C antar keenam perlakuan tidak
berbeda signifikan (p>0.05) (Tabel 23).
Sesudah 6 minggu suplementasi, terjadi perubahan kadar vitamin C yaitu
pada sampel yang mendapat perlakuan plasebo 9.8± 2.6 µmol/l, plasebo + TT
11.64 ± 3.6µmol/l, vitamin C 12.85 ± 4.2 µmol/l, vitamin C + TT 13.46 ± 6.0
µmol/l, MVM 12.11 ± 4.8 µmol/l, MVM + TT 10.94 ± 4.5 µmol/l. Hasil uji
statistik menunjukkan bahwa rata-rata kadar vitamin C antar keenam perlakuan
tidak berbeda signifikan (p>0.05).
Sesudah 10 minggu suplementasi kadar vitamin C sampel yang mendapat
perlakuan plasebo 9.79 + 2.2 µmol/l, plasebo +TT 10.44+3.0 µmol/l, vitamin C
15.13 ± 3.1 µmol/l, vitamin C +TT 15.04 ± 5.6 µmol/l, MVM 11.41 ± 3.7 µmol/l
, MVM + TT 10.85 ± 3.0 µmol/l. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata
kadar vitamin C antar keenam perlakuan berbeda signifikan (p<0.05). Hasil uji
ANOVA dan uji lanjut BNT menunjukkan bahwa suplementasi vitamin C
mempengaruhi kenaikan kadar vitamin C secara signifikan pada sampel yang
mendapat vitamin C(Lampiran 8).
89
Tabel 23 Rata-rata kadar vitamin C selama penelitian menurut perlakuan
Suplementasi
sebelum
intermediate
Selisih b
sesudah
Selisih c
Selisih d
a
Plasebo
10.28+2.8
e
9.8 +
e
2.6
-0.5+
3.0 e
9.79+
e
2.2
-0.02+
2.5 e
-0.48+
e
3.0
Kadar Vitamin C (umol/L)
Plasebo +
Vit. C +
a
a
a
TT
TT
Vit. C
10.96+
10.48+
11.04+
3.0 e
2.4 e
3.4 e
11.64+
12.85+
13.46+
e
e
e
3.6
4.2
6.0
0.68+
2.36+
2.4+
5.0 e
3.6 e
5.7 e
10.44+
15.13+
15.04+
e
e
e
3.0
3.1
5.6
-1.19+
2.28+
1.57+
4.2 e
1.8 e
3.1 e
-0.50+
4.6+
3.9+
e
e
e
3.1
2.5
5.9
a
MVM
12.55+
3.3 e
12.11+
e
4.8
-0.43+
5.7 e
11.41+
e
3.7
-0.70+
6.1 e
-1.14+
e
5.19
MVM +
a
TT
11.22+
3.0 e
10.94+
e
4.5
-0.28+
4.3 e
10.85+
e
3.0
-0.09+
5.5 e
-0.37+
e
4.6
P
0177
1
0.088
1
0.097 1
0.000
1
0.046 1
0.000
1
Keterangan:
a
Perlakuan.
Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi
c
Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate
d
Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi
e
x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat.
1
nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama
b
Hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil penelitian Wolvers et al.
(2006), dimana suplementasi multivitamin mineral berpengaruh terhadap
kenaikan kadar vitamin C. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena usia sampel
Wolvers et al. (2006) antar 40-80 tahun sedangkan rentang usia penelitian ini 2045 tahun, dimana lansia memerlukan lebih beragam zat gizi karena menurunnya
nafsu makan dan
fungsi pencernaan sehingga mengganggu asupan dan
penyerapan zat gizi. Pengaruh suplementasi vitamin C terhadap meningkatnya
kadar vitamin C kemungkinan karena vitamin C dapat langsung diserap oleh
tubuh tanpa mengalami interaksi dengan zat gizi lainnya. Sementara itu vitamin C
yang terdapat di dalam MVM kemungkinan sebagian digunakan untuk membantu
penyerapan zat gizi seperti zinc, vitamin A, dan juga membantu vitamin E setelah
memutus rantai radikal bebas untuk kembali menjadi vitamin E bebas.
Keterlibatan vitamin C sebagai bagian MVM terlihat tidak memperbaiki status di
dalam darah, namun vitamin C sebagai single suplement nampak memperbaiki
status vitamin C darah (Gambar 14).
90
90.0
80.0
81.0
76.2
70.0
62.5
60.9
60.0
%
47.8
50.0
60.9
54.2
62.5
58.3
47.8
40.0
sebelum
30.0
sesudah
13.0
20.0
8.7
10.0
0.0
plasebo
Vit C
MVM
plas+TT VitC+TT MVM+TT
Perlakuan
Gambar 14 Persentase sampel kekurangan vitamin C sebelum dan sesudah
penelitian
Zinc
Zinc sebagai bagian dari enzim atau sebagai kofaktor pada kegiatan lebih
dari 200 enzim, antara lain sebagai bagian dari enzim kolagenase. Zinc juga
berperan di dalam sintesis dan degradasi kolagen sehigga perperan di dalam
pembentukan kulit, juga berperan di dalam sintesis jaringan ikat dan
penyembuhan luka (Almatsier 2006). Zinc juga sebagai bagian dari antioksidan
enzimatis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum suplementasi kadar zinc
sampel yang mendapat perlakuan plasebo 78.43 ±8.0 ug/dL, plasebo + TT 82.36 ±
9.8 ug/dL, vitamin C 81.23 ± 11.72 ug/dL, vitamin C + TT 78.65 ±10.71 ug/dL,
MVM 76.58 ± 8.19 ug/dL, dan MVM+TT 76.64 ±10.6 ug/dL. Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa rata-rata kadar zinc antar keenam perlakuan tidak berbeda
signifikan (p>0.05).
Sesudah suplementasi selama 6 minggu terjadi perubahan kadar zinc
sampel, yaitu pada plasebo meningkat 7.5 µg/dl, plasebo + TT meningkat 3.4
µg/dl, vitamin C meningkat 0.8 µg/dl, vitamin C + TT meningkat 4.0 µg/dl, MVM
meningkat 10.7 µg/dl, MVM + TT meningkat 7.1 µg/dl. Hasil uji Anova
menunjukkan bahwa suplementasi berpengaruh nyata terhadap peningkatan kadar
zinc dan uji lanjut menggunakan uji Beda Nyata terkecil (BNT) menunjukkan
91
bahwa terdapat perbedaan rata-rata kadar zinc yang signifikan antara perlakuan
MVM dengan perlakuan vitamin C. (Lampiran 9).
Hasil tersebut menunjukkan bahwa suplementasi MVM selama 6 minggu
mampu menaikkan kadar zinc. Temuan ini mendukung teori bahwa penyerapan
zat gizi dipengaruhi oleh status zat gizi di dalam tubuh. Bila di dalam tubuh
kekurangan zat gizi maka lebih banyak pula jumlah zat gizi yang diserap
(Londerdal 1988).
Tabel 24 Rata-rata kadar zinc selama penelitian menurut perlakuan
Suplemantasi
Sebelum
Intermediate
Selisih b
Sesudah
Selisih c
Selisih d
a
Plasebo
78.43+
e
8.05
85.90+
7.2 e
7.47+
e
9.4
86.15+
8.41 e
0.26+
e
9.18
7.73+
e
9.34
Plasebo +
a
TT
82.36+
e
9.84
85.71+
7.05 e
3.35+
e
11.52
89.33+
11.46 e
3.62+
e
11
6.97+
e
12.43
Kadar Zinc (ug/dL)
Vit. C +
a
a
TT
Vit. C
81.23+
78.65+
e
e
11.72
10.71
82.07+
82.65+
8.02 e
10.48 e
0.84+
4.00+
e
e
10.24
12.73
84.13+
83.06+
12.62 e
12.15 e
2.06+
0.41+
e
e
10.12
13.01
2.90+
4.41+
e
e
10.62
13.27
a
MVM
76.58+
e
8.19
87.32+
10.43 e
10.74+
e
10.59
86.56+
13.12 e
-0.76+
e
13.77
9.97+
e
12.18
MVM
a
+ TT
76.64+
e
10.58
83.73+
8.84 e
7.09+
e
10.02
87.10+
10.66 e
3.37+
e
10.55
10.47+
e
13.16
P
0.133
1
0.156 1
0.009
1
0.370 1
0.581
1
0.099 1
Keterangan:
a
Perlakuan.
Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi
c
Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate
d
Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi
e
x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat.
1
nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama
b
Sesudah suplementasi kadar zinc sampel yang mendapat perlakuan plasebo
86.15 ± 8.4 µg/dl, plasebo +TT 89.33 ± 11.5 µg/dl, vitamin C 84.13 ± 12.6 µg/dl,
vitamin C+TT 83.06 ±12.1 µg/dl, MVM 86.56 ± 13.1 µg/dl dan MVM+TT 87.10
±10.6 µg/dl. Hasil Uji statistik menunjukkan bahwa kadar zinc keenam perlakuan
tidak berbeda nyata (p>0.05). Tidak meningkatnya kadar zinc sesudah minggu ke10 diduga karena kadar zinc dalam darah sampel sesudah enam minggu
suplementasi sudah melebihi kadar zinc normal (kadar zinc > 70 ug/dl), sehingga
pemberian
zinc tidak diserap oleh tubuh dengan cepat karena tubuh sudah
mengalami kejenuhan (Tabel 24).
Faktor lain penyebab tidak meningkatnya kadar zinc sesudah suplementasi
selama 10 minggu adalah kemungkinan adanya zat penghalang yang terdapat
92
dalam makanan yang dikonsumsi oleh sampel penelitian ini, seperti serat dan
phitat, sehingga menghalangi penyerapan zinc (FAO/WHO 2001; Almatsier
2006).
Meningkatnya kadar zinc sesudah minggu ke-6 suplementasi diikuti pula
dengan membaiknya status zinc sampel pada perlakuan MVM, sehingga
persentase sampel yang mengalami defisiensi zinc pada perlakuan MVM sesudah
suplementasi makin berkurang (Gambar 15).
Pada Gambar
15 juga menunjukkan bahwa sampel yang mendapat
suplemen vitamin C mengalami penurunan prevalensi defisiensi zinc, hal ini
disebabkan karena vitamin C juga berperan dalam membantu penyerapan zinc
seperti halnya vitamin C membantu penyerapan zat besi. Sementara itu sampel
yang mendapat plasebo juga mengalami penurunan defisiensi zinc, hal ini sulit
menjelaskannya, namun diduga karena pengaruh efek plasebo, dimana sampel
tersugesti oleh perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini ( Read 2001).
20.0
18.0
16.0
14.0
12.0
% 10.0
8.0
6.0
4.0
2.0
0.0
19.4
18.2
17.2
14.8
14.3
13.3
6.9
7.1
sebelum
3.0
0.0
plasebo
0.0
0.0
Vit C
MVM
sesudah
plas+TT
Vit C+TT MVM+TT
Perlakuan
Gambar 15 Persentase sampel kekurangan zinc sebelum dan minggu ke- 6
penelitian
Selenium
Selenium bekerjasama dengan vitamin E dalam peranannya sebagai
antioksidan (Almatsier 2006). Selenium berperan di dalam sistem enzim untuk
mencegah terjadinya radikal bebas dengan menurunkan konsentrasi hidrogen
peroksida dalam sel, sedangkan vitamin E berfungsi untuk menghalangi
bekerjanya radikal bebas setelah terbentuk (IOM 2000). Selenium berperan pula
93
di dalam regulasi reaksi redoks dan berfungsi sebagai antioksidan membantu
mempertahankan integritas membran dan melindungi
kerusakan DNA.
Disamping itu selenium diperlukan untuk mencapai respon imun yang optimal
dan juga dapat mempengaruhi sistem imunitas innate dan adaptive (Wintergerst et
al. 2007).
Rendahnya kadar selenium sebelum suplementasi kemungkinan karena
dua hal, pertama mungkin karena asupan selenium yang rendah, atau selenium
digunakan oleh tubuh untuk menangkal stres oksidatif akibat beban kerja yang
tinggi. Sampel penelitian ini hampir setiap 2 minggu sekali bekerja lembur
(malam hari) sehingga kurang istirahat dan kebanyakan bekerja dalam posisi
berdiri. Aktifitas yang tinggi memerlukan oksigen yang tinggi dan produksi
peroksida juga meningkat, sehingga berisiko tinggi mengalami stres oksidatif.
Lebih jauh lagi, sebelum suplementasi tidak hanya status selenium yang rendah
tetapi juga status vitamin E juga rendah. Vitamin E dan selenium saling
bekerjasama dalam melindungi radikal bebas terutama radikal bebas yang
merusak lipid di membran sel.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum suplementasi, rata-rata
kadar selenium sampel yang mendapat perlakuan plasebo 0.42 + 0.08 µmol/L,
plasebo+TT 0.47 + 0.10 µmol/L, vitamin C 0.42 + 0.17 µmol/L, vitamin C + TT
0.43 + 0.10 µmol/L, MVM 0.42 + 0.11 µmol/L dan MVM + TT 0.43 + 0.14
µmol/L. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata kadar selenium tidak
berbeda signifikan antara keenam perlakuan (p>0.05) (Tabel 25).
Sesudah 6 minggu suplementasi terjadi perubahan kadar selenium, yakni
kadar selenium sampel yang mendapat perlakuan plasebo 0.47 + 0.11 µmol/L,
plasebo + TT 0.51 + 0.15 µmol/L, vitamin C0.43 + 0.17 µmol/L, vitamin C + TT
0.50 + 0.10 0. µmol/L, MVM 0.49 + 0.13 µmol/L, dan MVM + TT 0.55 + 0.14
µmol/L. Hasil uji ANOVA dan BNT menunjukkan bahwa suplementasi MVM
mempengaruhi kenaikan kadar selenium secara signifikan (p<0.05) (Lampiran
10).
Tabel 25 Rata-rata kadar selenium selama penelitian menurut perlakuan
Suplementasi
Plaseboa
Kadar Selenium (umol/L)
Plasebo +
Vit. C +
TTa
Vit. Ca
TTa
MVMa
MVM
+ TTa
P
94
Sebelum
intermediate
Selisih b
Sesudah
Selisih c
Selisih d
0.42+
0.47+
0.42+
0.43+
0.42+
0.43+
0.08
0.10
0.17
0.10
0.11
0.14
e
0.47+
0.11 e
0.05+
0.06 e
0.57+
e
0.17
0.10+
0.14 e
0.15+
0.15 e
e
0.51+
e
0.43+
0.15 e
0.04+
0.10 e
0.62+
e
0.18
0.11+
0.18 e
0.14+
0.18 e
e
0.50+
0.17 e
0.01+
0.18 e
0.59+
e
0.33
0.16+
0.32 e
0.17+
0.31 e
e
0.49+
0.10 e
0.07+
0.12 e
0.67+
e
0.23
0.15+
0.20 e
0.24+
0.26 e
0.13 e
0.07+
0.09 e
0.68+
e
0.15
0.19+
0.11 e
0.26+
0.11 e
0.431 1
e
0.55+
0.022 1
0.14 e
0.11+
0.17 e
0.84+
e
0.30
0.29+
0.23 e
0.40+
0.32 e
0.037 1
0.000 1
0.003 1
0.000 1
Keterangan:
a
Perlakuan.
b
Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi
c
Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate
d
Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi
e
x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat.
1
nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama
Sesudah 10 minggu suplementasi terjadi perubahan kadar selenium, yakni
kadar selenium pada plasebo 0.57 + 0.17 µmol/L, plasebo + TT 0.62 + 0.18
µmol/L, vitamin C 0.59 + 0.33 µmol/L, vitamin C + TT 0.67 + 0.23 µmol/L,
MVM 0.68 + 0.15 µmol/L, MVM + TT 0.84 + 0.30 µmol/L. Hasil uji ANOVA
dan BNT menunjukkan bahwa suplementasi MVM mempengaruhi kenaikan kadar
selenium secara signifikan (p<0.05) (Lampiran 10).
Meningkatnya kadar selenium diduga karena rata-rata kadar selenium
sampel sebelum suplementasi dalam keadaan defisiensi (<0.5 µmol/L) (Gibson
2005), sehingga ketika diberikan MVM yang mengandung selenium 110 µg (366
AKG) maka tubuh menyerap dengan cepat karena tubuh mengalami kekurangan
selenium.
90.0
86.2
80.0
87.1
71.0
66.7
70.0
60.0
75.8
75.0
54.8
50.0
%
40.0
sebelum
34.5
24.2
30.0
sesudah
22.6
15.2
20.0
6.3
10.0
0.0
plasebo
Vit C
MVM
plas+TT Vit C+TT MVM+TT
Perlakuan
95
Gambar 16 Persentase sampel kekurangan selenium sebelum dan sesudah
penelitian
Meningkatnya kadar serum selenium sesudah suplementasi diikuti dengan
makin berkurangnya persentase sampel yang mengalami defisiensi selenium pada
perlakuan MVM (Gambar 16). Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian
Broome (2004) pemberian suplemen selenium selain memperbaiki status selenium
juga meningkatkan fungsi imun. Hasil penelitian ini suplementasi MVM selain
memperbaiki status selenium juga memperbaiki status imunitas non spesifik, di
samping adanya kecenderungan sel-sel imun seperti neutrofil, limfosit berada
dalam keadaan optimal.
Besi
Zat besi merupakan mineral mikro paling banyak terdapat di dalam tubuh
manusia yaitu sekitar 3-5 gram di dalam tubuh manusia dewasa. Zat besi
mempunyai beberapa fungsi penting seperti sebagai alat angkut oksigen dari paruparu ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai
bagian dari berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh (Almatsier 2006).
Kadar Hemoglobin (Hb) merupakan salah satu indikator status besi di dalam
tubuh. Kekurangan zat besi yang ditandai dengan rendahnya kadar Hb disebut
dengan anemia. Zat besi juga mempunyai peranan dalam sistem kekebalan tubuh,
misalnya zat besi diperlukan oleh sel darah putih untuk menghancurkan bakteri.
Fungsi sel darah putih terganggu bila tubuh kekurangan zat besi. Di samping itu
laktoferin yang merupakan protein pengikat besi mempunyai peranan penting di
dalam imunitas non-spesifik.
Sebelum suplementasi rata-rata kadar Hb sampel yang mendapat perlakuan
plasebo 13.2 ± 1.0 g/dl, plasebo + TT 13.4 ± 1.0 g/dl , vitamin C13.7 ± 1.1 g/dl,
vitamin C + TT 13.7 ± 1.0 g/dl, MVM 13.5 ± 1.0 g/dl, MVM + TT 13.5 ± 1.3
g/dl. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata kadar Hb keenam perlakuan
tidak berbeda signifikan (p>0.05).
Tabel 26. Rata-rata Kadar Hb selama penelitian menurut perlakuan
Hemoglobin (g/dl)
Suplementsi
Placebo
a
Placebo +
TTa
Vit. Ca
Vit. C + TTa
MVMa
MVM + TTa
P
96
Sebelum
13.2±1.0 e
13.4±1.0 e
13.7±1.1 e
13.7±1.0 e
13.5±1.0 e
13.5±1.3 e
0.412 1
Intermediate
13.4±1.2 e
13.6±1.2 e
13.8±1.0 e
13.7±1.2 e
13.6±1.2 e
13.6±1.3 e
0.737 1
0.1±1.2 e
0.2±1.09 e
0.1±0.8 e
-0.0±1.2 e
0.2±1.2 e
0.1±1.2 e
0.947 1
13.6±1.1 e
13.7±1.3 e
13.6±1.0 e
13.4±1.4 e
13.7±1.4 e
13.5±1.3 e
0.816 1
-0.2±0.8
e
-0.3±1.2
e
0.1±1.5 e
-0.1±1.2 e
0.319 1
-0.1±1.1
e
-0.3±1.4
e
0.2±1.5 e
0.0±1.3 e
0.107 1
Selisih b
Sesudah
Selisih c
Selisih d
Keterangan:
0.18±1.2 e
0.3±0.9 e
0.1±1.3 e
0.4±1.2 e
a
Perlakuan.
Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi
c
Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate
d
Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi
e
x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat.
1
nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama
b
Sesudah 6 minggu suplementasi terjadi perubahan kadar Hb, yakni kadar Hb
sampel yang mendapat perlakuan plasebo 13.4 ± 1.2 g/dl, plasebo + TT 13.6 ± 1.2
g/dl, vitamin C13.8 ± 1.0 g/dl, vitamin C + TT 13.7 ± 1.2 g/dl, MVM 13.6 ± 1.2
g/dl, MVM + TT 13.6 ± 1.3 g/dl. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata
kadar Hb keenam perlakuan tidak berbeda signifikan (p>0.05).
Sesudah suplementasi terjadi perubahan kadar Hb, yakni kadar Hb sampel
yang mendapat perlakuan plasebo 13.6 ± 1.1 g/dl, plasebo + TT 13.7 ± 1.3 g/dl ,
vitamin C13.6 ± 1.0 g/dl, vitamin C + TT 13.4 ± 1.4 g/dl, MVM 13.7 ± 1.4 g/dl,
MVM + TT 13.5 ± 1.3 g/dl. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata kadar
Hb keenam perlakuan tidak berbeda signifikan (p>0.05) (Tabel 26).
Dapat dikatakan bahwa baik suplemen vitamin C 1000 mg maupun
suplemen MVM tidak mempengaruhi kenaikan kadar Hb. Kejadian ini mungkin
karena kadar Hb sampel pada awal penelitian dalam keadaan normal, sehingga
penambahan zat besi tidak berpengaruh terhadap kadar Hb. Kemungkinan lain
juga karena kandungan zat besi didalam suplemen MVM rendah yaitu 5 mg.
SOD (Superoksida Dismutase)
Secara normal tubuh kita berada dalam keseimbangan antara produksi
radikal bebas dengan antioksidan, baik antioksidan endogenous maupun
antioksidan eksogenous. Akan tetapi perubahan gaya hidup stress dan aktifitas
fisik yang tinggi dapat mengakibatkan terjadinya ketidak seimbangan tersebut
(Bramlia 2008). SOD merupakan antioksidan enzimatis. Antioksidan enzimatis ini
merupakan antioksidan endogenus. Selain SOD terdapat katalase dan glutathione
97
peroksidase (GSH-PX). Enzim-enzim ini bekerja dengan cara melindungi jaringan
dari kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas oksigen seperti anion
superoksida (O2- · ), radikal hidroksil (·OH) dan hidrogen peroksida (H2O2).
Enzim SOD berfungsi sebagai katalisator reaksi dismutasi dari anion
superoksida menjadi hidrogen peroksida (H2O2). Enzim ini melindungi tubuh dan
mencegah terjadinya proses peradagan yang diakibatkan oleh radikal bebas.
Sebenarnya enzim ini sudah ada dalam tubuh namun memerlukan bantuan zat zat
gizi seperti Cu, Mn dan Zn agar bisa bekerja.
Tabel 27 Rata-rata kadar SOD selama penelitian menurut perlakuan
SOD (Unit/gr Hb)
Suplementsi Plasebo
a
a
Plasebo + TT
Vit. Ca
Vit. C + TTa
MVMa
MVM +
TTa
1138.9+
491.9 e
1221.7+
820.9 e
82.8+
905.4 e
1328.6+
679.6 e
106.9+
953.7 e
189.7+
624.2 e
1311.0+
1364.6+
1199.1+
1210.6+
991.0+
646.1 e
533.5 e
498.1 e
370.9 e
591.6e
1270.1+
1362.6+
1173.3+
1138.3+
1224.8+
intermediate
707.2 e
603.3 e
496.8 e
444.5 e
448.8 e
-33.8+
-2.0+
-25.8+
-72.4+
233.8+
Selisih b
959.2 e
755.8 e
615.8 e
643.8 e
624.4 e
1308.3+
1386.8+
1222.9+
1311.8+
1478.1+
Sesudah
413.7 e
599.8 e
405.7 e
484.4 e
592.2 e
24.2+
49.6+
173.5+
253.3+
31.1+
Selisih c
751 e
607.4 e
551.4 e
531.7 e
708 e
-2.7+
22.2+
23.9+
101.1+
487.1+
Selisih d
633.9 e
937.5 e
607.0 e
692.5 e
622.1 e
Keterangan:
a
Perlakuan.
b
Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi
c
Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate
d
Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi
e
x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat.
Sebelum
1
P
0.0651
0.810 1
0.599 1
0.544 1
0.745 1
0.028 1
nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama
Sebelum suplementasi, rata-rata kadar selenium sampel yang mendapat
perlakuan plasebo yakni 1311.0 + 591.6 unit/gr Hb, plasebo + TT 1364.6 + 646.1
unit/gr Hb, vitamin C 1199.1 + 533.5 unit/grHb, vitamin C + TT 1210.6 + 498.1
unit/gr Hb, MVM 1138.9 + 491.9 unit/grHb dan MVM + TT 991.0 + 370.9
unit/grHb. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata kadar SOD tidak
berbeda signifikan antara keenam perlakuan (p>0.05) (Tabel 27).
Sesudah suplementasi, terjadi perubahan kadar SOD yakni pada perlakuan
plasebo menurun 2.7 unit/gr Hb, plasebo+TT meningkat 22.2 unit/gr Hb, Vitamin
C meningkat 23.9 unit/gr Hb, vitamin C + TT meningkat 101.1 unit/gr Hb, MVM
meningkat 487.1 unit/grHb, MVM + TT meningkat 189.7 unit/gr Hb. Hasil uji
98
ANOVA dan uji lanjut BNT menunjukkan bahwa suplementasi MVM
mempengaruhi kenaikan kadar SOD secara signifikan (p<0.05) (Lampiran 11).
Hal ini menunjukkan bahwa suplemen MVM mempengaruhi kenaikan kadar
SOD. Temuan ini bisa dijelaskan karena kadar SOD sangat tergantung dari
beberapa zat gizi mikro.
Meningkatnya kadar SOD sesudah suplementasi dari sampel yang
menerima MVM dapat dijelaskan karena di dalam suplemen ini mengandung Cu
sebesar 0.9 mg dan seng 110 ug, dimana kedua zat gizi tersebut diperlukan oleh
enzim SOD. Enzim SOD terdapat dalam semua organisme aerob dan sebagian
besar terdapat dalam tingkat subseluler (intraseluler). Organisme aerob selalu
membutuhkan oksigen untuk hidupnya, namun dalam setiap aktivitasnya dapat
menimbulkan senyawa oksigen reaktif atau radikal bebas oksigen. Maka
diperlukan keseimbangan antara antioksidan eksogenous (seperti vitamin C,
vitamin A, vitamin E, selenium dan zinc) dengan antioksidan endogenous seperti
SOD karena kelebihan salah satu dapat menjadi prooksidan yang berbahaya untuk
kesehatan dan mengganggu fungsi imunitas (Brambilla 2008).
Meningkatnya kadar SOD diatas diikuti dengan makin menurunnya
persentase sampel yang mempunyai kadar SOD dibawah nilai normal pada
perlakuan MVM sesudah suplementasi (Gambar 17). Artinya radikal bebas yang
terdapat di dalam tubuh sampel yang mendapat MVM mengalami penurunan.
68.4
70.0
60.0
40.0
50.0
48.1
50.0
36.4
39.4
48.1
40.7
34.6
%
30.0
48.6
37.1
29.6
23.7
20.0
10.0
0.0
plasebo
Vit C
MVM
plas+TT Vit C+TT MVM+TT
Perlakuan
sebelum
sesudah
99
Gambar 17 Persentase sampel yang mempunyai kadar SOD kurang dari normal
sebelum dan sesudah penelitian
Penurunan radikal bebas pada sampel tersebut dapat dilihat dari makin
menurunnya persentase sampel yang mempunyai jumlah SOD dibawah nilai
normal (1102 – 1601 unit/gr Hb), artinya makin banyak persentase sampel yang
mempunyai SOD dalam kategori normal. SOD sebagai antioksidan primer
merubah radikal bebas superoksida menjadi hidrogen peroksida yang kurang
reaktif. Hidrogen peroksida tersebut akan menjadi berbahaya bila didalam tubuh
terdapat kelebihan besi ferro yang bebas. Salah satu penyebab terbentuknya besi
ferro bebas tersebut bila asupan besi terutama asupan besi dari supplementasi besi
yang tidak diimbangi dengan asupan protein yang cukup sehingga menimbulkan
besi yang tidak terikat protein (Gropper et al. 2005). Peranan SOD dapat dilihat
dari Gambar 18.
Gambar 18 Pertahanan SOD terhadap radikal bebas superoksida
Pengaruh Suplementasi pada Sampel Kekurangan Zat Gizi Antioksidan
terhadap Respon Imun
Kekurangan Vitamin A
Seperti telah disebutkan di dalam bab sebelumnya bahwa vitamin A
mempunyai peranan penting di dalam integritas sel epitel. Kekurangan vitamin A
mengganggu sistem imun terutama perlindungan non spesifk karena integritas
mukosa epitel terganggu.
Tabel 28 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan vitamin A
sebelum suplementasi
100
Suplementasi
Sel
Imun
Plasebo+T
Plasebo
Vit C
Vit C+TT
MVM
T
Leukosit
6.0±1.4
8.0±2.8
8.0±0.8
6.8±1.7
8.0±2.8
Monosit
7.0±1.4
7.5±2.1
6.8±1.3
7.3±0.5
4.0±1.4
Neutrofil
40.5±4.9
57.5±2.1
53.0±1.8
46.5±79.3
50.0±2.8
1319.0±
2116.5±
2643.5±
1728.5±
2292.0±
IgG
1467.9
2194.2
1919.2
1027.9
366.3
779.5±
998.5±
1190.0±
1102.5±
1449.5±
CD4+
487.2
631.4
392.1
361.2
605.8
877.5±
812.5±
757.3±
1016.5±
820.0±
CD8+
297.7
317.5
275.3
339.9
162.6
Keterangan:1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama.
MVM+TT
11.6±6.2
7.0±1.2
55.6±8.1
3888.2±169
9.2
1184.8±
651.5
1269.2±
271.0
P
0.4211
0.1051
0.0711
0.3601
0.8831
0.1791
Tabel 29 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan vitamin A
sesudah suplementasi
Sel
Imun
Leukosit
Monosit
Neutrofil
Suplementasi
P
Plasebo
6.5±9.0
Plasebo+TT
9.0±1.4
Vit C
8.5±1.7
Vit C+TT
8.8±1.7
MVP
7.0±2.8
MVP+TT
7.2±2.4
0.600
9.0±1.4
9.0±5.7
5.0±1.4
7.3±2.1
5.0±1.4
7.6±3.4
0.409
58.5±4.9
53.5±0.7
56.0±7.0
57.8±4.1
56.5±12.1
54.0±4.4
0.881
5194.0±
866.2
918.4±
386.7
781.4±
398.6
0.000
2781.5±
5202.5±
1597.0±
5177.5±
4150.5±
1274.9
772.9
1095.7
493.8
948.2
1044.0±
1060.8±
1030.0±
790.0±
754.5±5
CD4+
589.7
200.4
181.8
383.4
7.3
702.5±3
906.5±
757.5±138.2
943.5±
930.0±
CD8+
1.8
135.1
256.5
835.8
Keterangan:1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama.
IgG
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam keadaan kekurangan vitamin
A tidak ada pengaruh suplementasi terhadap sel sel imun, hal ini terlihat tidak
dijumpai perbedaan sel sel imun dari keenam perlakuan, baik sebelum dan
sesudah suplementasi(p>0.05) (Tabel 28 dan 29).
Kekurangan Vitamin C
Kekuatan vitamin C sebagai antioksidan larut air disebabkan karena
kemampuan vitamin C dalam mereduksi. Vitamin C juga sangat diperlukan di
dalam meregenerasi vitamin E teroksidasi sebagai akibat dari kegiatan vitamin E
memutus radikal bebas. Keterkaitan vitamin C dengan respon imun karena
peranannya tersebut diatas. Vitamin C sebagai antioksidan melindungi sel dari
kerusakan akibat radikal bebas. Disamping perananya meregenerasi vitamin E
1
1
1
1
0.810
1
0.952
1
101
sehingga vitamin E dapat bekerja kembali memutus rantai reaksi oleh radikal
bebas yang banyak terjadi di membran sel sehingga melindungi membran sel dari
kerusakan dengan demikian komunikasi antar sel tidak terganggu.
Tabel 30 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan vitamin C
sebelum suplementasi
Suplementasi
Sel Imun
Plasebo
Leukosit
Monosit
8.5±1.9
6.5±1.1
52.8±7.8
Plasebo+T
T
8.1±1.6
6.9±1.2
54.1±6.8
Vit C
Vit C+TT
7.6±1.0
6.9±1.1
54.1±3.3
8.0±1.9
6.3±1.0
49.3±6.7
MVP
7.4±2.0
5.9±1.6
53.8±5.
Neutrofil
6
1916.0±
2625.6±
2713.5± 2777.5±
2758.7±
IgG
1382.7
1717.1
1441.0
1592.8
1847.9
1122.7±
1048.6±
986.6±
1083.9± 1094.9±
CD4+
407.7
371.1
288.7
231.6
421.2
810.6±
820.1±
1069.8±
769.6±
913.9±
CD8+
219.4
252.6
318.4
247.6
300.5
Keterangan:1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama.
MVP+TT
P
9.2±4.7
7.1±1.1
55.4±6.0
0.4891
0.1461
3484.3±
1741.1
1045.7±
474.5
1032.5±
357.5
0.3361
0.2391
0.9491
0.0501
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam keadaan kekurangan vitamin
C tidak ada pengaruh suplementasi terhadap sel sel imun, hal ini terlihat tidak
dijumpai perbedaan sel sel imun dari keenam perlakuan, baik sebelum dan
sesudah suplementasi(p>0.05) (Tabel 30 dan 31).
Tabel 31 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan vitamin C
sesudah suplementasi
Sel
Imun
Suplementasi
Plasebo+T
Plasebo
Vit C
Vit C+TT
MVP
T
Leukosit
7.9±1.6
7.9±2.1
7.9±1.3
8.4±1.7
7.9±2.2
Monosit
6.5±2.1
7.7±2.8
6.5±1.9
7.2±2.9
5.7±1.8
Neutrofil
55.8±5.6
57.4±7.5
55.2±6.8
53.8±6.0
55.5±5.3
2821.4±
5205.6±
2989.4±
5245.0±
3473.1±
IgG
1486.2
416.4
1408.9
459.9
1351.4
842.4±
920.0±
1037.0±
1194.0±
1028.5±
CD4+
196.5
200.7
357.6
239.8
310.7
785.4±
691.6±
812.2±
903.4±
790.2±
CD8+
286.4
194.7
276.2
324.1
205.8
Keterangan:1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama.
MVP+TT
P
7.9±1.2
7.4±2.8
54.3±5.7
5341.9±
434.3
1014.0±
328.3
895.9±
206.2
0.9691
0.3461
0.7401
0.0001
0.0591
0.3061
102
Kekurangan Vitamin E
Peranan vitamin E sebagai antioksidan pemutus rantai reaksi radikal bebas
sangat berkaitan dengan respon imun. Vitamin E melindungi radikal bebas yang
akan merusak lapisan membran sel yang banyak mengandung PUFA, sehingga
kerusakan membran sel dapat dicegah. Membran sel sangat menentukan
komunikasi antar sel oleh karena itu kerusakan membran sel akan mengganggu
komunikasi sel dan selanjutnya dapat mengganggu produksi sitokin dan lebih
lanjut dapat menggangu produksi antibodi.
Tabel 32 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan vitamin E
sebelum suplementasi
Sel
Imun
Suplementasi
Plasebo
Plasebo+TT
Vit C
Vit C+TT
MVP
Leukosit
8.5±1.9
8.3±1.6
7.7±1.2
8.0±1.9
7.9±2.0
Monosit
6.5±1.1
6.8±1.2
6.9±1.1
6.3±0.9
6.0±1.5
Neutrofil
52.8±7.8
54.1±6.4
53.7±3.2
49.3±6.7
54.8±5.5
2758.5±
1800.5±
2824.9±
2713.5±
2877.3±
IgG
1847.9
1335.8
1680.1
1441.0
1510.6
1077.7±
997.3±
1083.9±
1106.4±
1122.7±
CD4+
376.1
324.1
231.6
358.2
407.7
913.9±
856.8±
850.3±
1069.8±
847.7±
CD8+
300.5
226.9
258.8
318.4
296.9
Keterangan:1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama.
P
MVP+TT
9.3±4.3
7.3±1.4
56.4±5.5
3120.1±
1677.5
990.1±
407.4
982.3±
304.8
0.4591
0.0581
0.0581
0.2481
0.8591
326.81
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam keadaan kekurangan vitamin
E tidak ada pengaruh suplementasi terhadap sel sel imun, hal ini terlihat tidak
dijumpai perbedaan sel sel imun dari keenam perlakuan, baik sebelum dan
sesudah suplementasi(p>0.05) (Tabel 32 dan 33).
Tabel 33 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan vitamin E
sesudah suplementasi
Sel
Imun
Leukosit
Monosit
Neutrofil
IgG
CD4+
CD8+
Suplementasi
Plasebo
7.6±1.2
7.0±2.1
55.3±4.9
3017.5±
1603.2
970.8±
265.2
751.9±
260.6
Plasebo+T
T
8.1±2.1
6.7±2.4
57.1±7.8
5088.3±
617.3
993.4±
380.4
808.8±
288.3
Vit C
Vit C+TT
MVP
MVP+TT
P
8.1±1.8
5.8±1.8
55.2±6.2
2473.6±
1317.9
1012.2±
292.3
795.2±
224.2
8.2±1.9
6.2±1.4
52.4±9.6
5354.6±
581.7
1145.2±
353.6
1109.2±
505.9
8.2±2.4
6.7±2.8
54.5±6.6
3409.6±
1417.2
1106.5±
296.6
905.4±
356.4
7.8±1.6
6.9±2.9
54.8±4.1
5239.8±
592.9
988.3±
314.2
891.4±
310.7
0.9251
0.7031
0.5731
0.0001
0.5881
0.0691
103
Keterangan:1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama.
Kekurangan Zinc
Zinc merupakan zat gizi mineral yang banyak berperan di dalam aktifitas
enzim, salah satu peranannya adalah di dalam aktifitas enzim superoksida
dismutase (SOD) yaitu salah satu antioksidan enzimatik. Produksi Radikal bebas
yang berlebihan harus diimbangi dengan antioksidan, baik eksogenous dan
endogenous seperti SOD tersebut. Radikal bebas dapat merusak struktur sel dan
jaringan kemudian akan mengganggu respon imunitas. Kekurangan zinc dapat
mengganggu aktifitas antioksidan SOD.
Tanbel 34 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan Zinc
sebelum suplementasi
Sel
Imun
Suplementasi
P
Plasebo
7.8±2.2
Plasebo+TT
8.0±2.8
Vit C
8.0±0.8
Vit C+TT
6.8±1.7
MVP
7.3±2.2
MVP+TT
14.3±6.8
0.066
7.0±0.8
7.5±2.1
6.8±1.3
7.3±0.5
5.8±2.2
6.7±1.5
0.694
46.0±7.9
57.5±2.1
53.0±1.8
46.5±7.9
49.8±1.7
60.3±5.0
0.023
2237.0±
2116.5±
2643.5±
1728.5±
2477.8±
1409.1
2194.2
1919.2
1027.9
378.4
998.5±
1190.0±
1102.5±
1251.0±
914.8±
CD4+
631.4
392.1
361.2
596.5
337.5
1100.75±
812.5±
757.3±
1016.5±
785.5±
CD8+
311.4
317.5
275.3
334.0
169.0
Keterangan:1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama.
4914.7±
919.9
1419.7±
783.5
1401.0±
250.6
0.105
Leukosit
Monosit
Neutrofil
IgG
1
1
1
1
0.829
1
0.071
1
Tabel 35 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan Zinc
sesudah suplementasi
Sel
Imun
Suplementasi
Plasebo
Plasebo+TT
Vit C
Vit C+TT
MVP
Leukosit
7.0±0.8
7.5±3.5
8.3±1.7
8.5±1.3
8.5±2.9
Monosit
7.8±2.1
5.5±0.7
5.8±2.2
5.5±1.3
8.3±4.7
Neutrofil
52.8±7.3
66.0±4.2
58.8±6.3
52.8±4.1
61.0±6.8
3050.0±
5520.5±
2217.3±
5245.3±
2911.5±
IgG
798.9
516.9
971.3
543.9
1434.3
713±
967.8±
1357.0±
1064.8±
794.8±
CD4+
349.3
132.7
416.0
404.0
98.3
826.3±
535.0±
672.5±
1185.5±
744.8±
CD8+
215.3
134.4
180.9
374.1
334.4
Keterangan:1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama.
MVP+TT
8.7±1.5
7.3±2.5
56.0±4.4
5537.0±
1128.2
1036.7±
445.3
988.3±
346.8
P
0.8351
0.6031
0.1081
0.0001
0.2171
0.1211
104
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam keadaan kekurangan Zinc
tidak ada pengaruh suplementasi terhadap sel sel imun, hal ini terlihat tidak
dijumpai perbedaan sel sel imun dari keenam perlakuan, baik sebelum dan
sesudah suplementasi(p>0.05) (Tabel 34 dan 35).
Kekurangan Selenium
Seperti telah dijelaskan di dalam bab sebelumnya bahwa selenium
mempunyai peranan penting di dalam enzim glutation peroksidase (GSH-Px).
Enzim tersebut memegang peranan sebagai katalisator dalam pemecahan
peroksida yang terbentuk di dalam tubuh menjadi ikatan yang tidak bersifat
toksik. Glutation peroksidase adalah enzim antioksidan yang mengandung
selenium pada sisi aktifnya.
Tabel 36 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan Selenium
sebelum suplementasi
Sel
Imun
Suplementasi
Plasebo
Plasebo+TT
Vit C
Vit C+TT
MVP
Leukosit
8.5±1.9
8.1±1.6
7.7±1.2
8.2±1.7
7.9±1.9
Monosit
6.5±1.1
6.9±1.2
6.7±1.2
6.8±1.3
6.0±1.5
Neutrofil
52.8±7.8
54.1±6.8
52.8±3.9
49.8±6.3
54.4±5.6
1916.0±
2717.9±
2513.1±
3028.2±
2758.7±
IgG
1382.7
1664.4
1420.5
1589.4
1847.9
1122.7±
1048.6±
1002.7±
1071.0±
1093.1±
CD4+
407.7
371.1
329.7
212.3
351.2
913.9±
810.6±
872.6±
1050.1±
885.7±
CD8+
300.5
219.4
257.3
348.9
327.4
Keterangan:1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama.
MVP+TT
9.8±4.9
7.0±1.1
55.6±5.7
3372.9±
1704.2
1053.5±
453.2
1046.8±
344.5
P
0.2761
0.2491
0.1631
0.2831
0.9511
0.1901
Tabel 37 Jumlah sel imun pada sampel kekurangan Selenium
sesudah suplementasi
Sel
Imun
Leukosit
Monosit
Neutrofil
IgG
CD4+
CD8+
Suplementasi
Plasebo
Plasebo+TT
Vit C
8.1±1.7
6.5±2.4
55.5±5.5
2883.5±
1500.0
1051.5±
286.7
824.3±
262.3
8.3±2.0
7.6±2.8
56.2±6.7
5165.4±
1596.0
1011.4±
409.4
792.2±
289.6
8.1±1.5
6.5±1.7
54.0±6.7
2921.9±
1321.9
993.7±
278.6
838.2±
246.0
Vit
C+TT
8.4±1.5
7.0±2.6
54.8±8.6
5212.4±
1518.0
1070.8±
326.8
982.4±
411.6
MVP
MVP+TT
P
8.6±2.1
6.2±2.7
55.4±6.0
3191.4±
1499.2
1159.4±
279.6
923.1±
347.3
8.1±1.3
6.0±2.2
55.0±3.5
5407.6±
1402.6
1027.9±
285.7
969.9±
280.2
0.9511
0.5081
0.9551
0.0001
0.7061
0.4221
105
Keterangan:1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam keadaan kekurangan
Selenium tidak ada pengaruh suplementasi terhadap sel sel imun, hal ini terlihat
tidak dijumpai perbedaan sel sel imun dari keenam perlakuan, baik sebelum dan
sesudah suplementasi(p>0.05) (Tabel 36 dan 37).
Tidak ditemukannya pengaruh suplementasi terhadap respon imun di dalam
keadaan kekurangan zat gizi mikro yang bersifat zat gizi antioksidan
kemungkinan karena kriteria inklusi sampel penelitian ini adalah orang dewasa
sehat secara klinis (tidak mempunyai gejala maupun keluhan suatu penyakit) dan
sebagian besar mempunyai status gizi secara antropometri dalam kategori baik
sehingga sel sel imunitas masih berada dalam kondisi homeostasis (dalam kisaran
normal) meskipun secara biokimia darah menunjukkan kekurangan beberapa zat
gizi mikro. Temuan ini juga mendukung penelitian Ravaglia et al (2000) dimana
subjek penelitian tersebut mempunyai status gizi antropometri baik tetapi
mengalami kekurangan beberapa zat gizi mikro seperti selenium, zinc, vitamin A,
vitamin E, folate, dan B6 dan hasil penelitian menemukan pengaruh suplementasi
hanya bermakna pada perbaikan sel NK, namun tidak dijumpai pengaruh pada sel
sel imun lainnya. Temuan ini juga mendukung temuan Kay et al. (2000) yang
memberikan suplement zat gizi mikro pada lansia sehat, dan hasil penelitian
hanya memperbaiki status zat gizi mikro dan status antioksidan tetapi tidak
mempengaruhi produksi sitokin (sebagai parameter respon imun). Temuan ini
juga mendukung penelitian wolvers et al.(2006) dimana
hasilnya tidak
menemukan peningkatan respon imun kecuali peningkatan respon DTH (delayedtype hypersensitivity) tetapi memperbaiki status gizi mikro. Akan tetapi temuan
penelitian ini berbeda dengan hasil penelitain Kaiser et al. (2006) yang
menggunakan subjek terinfeksi HIV kemudian di berikan suplementasi
mikronutrient dan hasil penelitian menunjukkan perbaikan jumlah CD4+ secara
signifikan.
Hubungan Fungsi Imunitas Non-Spesifik dengan Imunitas Humoral dan
CMI
Sel NK berperan pada sistem imunitas non spesifik, tidak memerlukan
paparan dalam pengenalan terhadap mikroba melalui molekul MHC. Sel NK
106
secara alamiah merupakan limfosit sitotoksik yang sudah ada sejak lahir yang
berfungsi pada sistem imun non spesifik seluler. Jumlah dan aktivitasnya
dapat ditingkatkan oleh sistem imun spesifik antara lain dengan pengaruh IL-2
dan IFN. Sel NK merupakan salah satu dari sistem imunitas non spesifik yang
bekerja tanpa tergantung pada antibodi. Mekanisme fisiologi berupa
komponen normal tubuh yang selalu ditemukan pada individu sehat dan siap
mencegah mikroba masuk tubuh dan dengan cepat menyingkirkan mikroba
tersebut. Jumlahnya dapat meningkat karena adanya infeksi dan sistem ini
merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai
mikroba dan dapat memberikan respon langsung (Baratawidjaja 2006).
Hasil analisis regresi dengan faktor independent sel NK dan faktor dependen
CD4+ menunjukkan bahwa sel NK mempengaruhi secara signifikan jumlah CD4+
(r2 = 0,102 , p = 0.000), dan juga mempengaruhi CD8+ (r2 = 0,023 , p = 0.024)
(Lampiran 12). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara
sel NK sebagai pertahanan non-spesifik dengan pertahanan humoral (CD4+), dan
pertahanan seluler (CD8+). Temuan tersebut diperkuat oleh beberapa hasil
penelitian yang di rangkum oleh Anderson (2005) bahwa sel NK mempunyai 2
efek perlindungan tubuh yaitu produksi sitokin seperti INF, TNF dan melalui
efek sitotoksik dari granula yang diproduksi oleh membran sel NK. Dengan
granula yang sitotoksik ini dapat membantu CD 8+ untuk menyingkirkan atau
memusnahkan antigen intraseluler, dan perlindungan melalui produksi sitokin.
Dengan demikian sel NK membantu proliferasi sel B untuk memacu sel plasma
menghasilkan antibodi yang berperan dalam immunitas humoral.
Pembahasan Umum
Sampel penelitian ini adalah wanita usia subur yang berusia 20-45 tahun.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat 15.7 persen sampel mengalami kekurangan
vitamin A, 78.4 persen kekurangan vitamin E, 62.3 persen kekurangan viatmin C,
16.3 persen kekurangan zinc, dan 76.7 persen kekurangan selenium. Temuan ini
mendukung pernyataan FAO/WHO dalam International Conference on Nutrition
Tahun 1992, yang menyatakan bahwa wanita usia subur sebagai salah satu
kelompok rawan kurang gizi, selain bayi, anak-anak,orang terlantar, ibu hamil dan
menyusui. Kelompok lain yang rawan kekurangan gizi mikro adalah perokok
107
(Polidori et al. 2003; Pamuk 1994), individu yang terpapar oleh stres oksidatif
(Romieu et al. 2008), terpapar polusi udara (Romieu 2005), pengonsumsi alkohol
berat (Albanes et al. 1997), dan terkena penyakit infeksi (Barringer et al. 2003).
Tubuh memerlukan vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup agar
sistem imun dapat berfungsi secara optimal (Wintegrest et al. 2007). Oleh karena
itu
asupan dan status vitamin mineral yang rendah dapat menyebabkan
menurunnya
imunitas,
dan
kemudian
mempengaruhi
terjadinya
infeksi.
Keterkaitan vitamin dan mineral di dalam sistem imunitas adalah melalui peranan
vitamin dan mineral sebagai zat gizi antioksidan. Zat gizi antioksidan diperlukan
oleh tubuh antara lain untuk memproduksi dan menjaga keseimbangan sel sel
imun (hematopoises), melindungi membran sel dari SOR, serta melawan
mikroorganisme
dapatan/adaptive).
penyebab
penyakit
(imunitas
bawaan/innate
dan
.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa MVM (multi vitamin-mineral)
memberikan respon imunitas yaitu memperbaiki jumlah sel NK. Disamping itu
suplementasi MVM menunjukkan dapat mengurangi radikal bebas yang terlihat
dengan membaiknya status SOD, sementara itu suplemen vitamin C sebagai zat
gizi tunggal hanya memperbaiki status vitamin C darah tetapi kurang kuat
memperbaiki status SOD. Besarnya pengaruh suplemen MVM terhadap perbaikan
jumlah sel NK sebagai sel yang berperan di dalam imunitas non spesifik
dikarenakan MVM mengandung beberapa zat gizi mikro yang essensial sehingga
bekerja optimal, misalnya vitamin A diperlukan untuk
pertumbuhan dan
diferensiasi sel, menjaga permukaan mukosa, memperbaiki integritas sel epitel.
Zinc diperlukan di dalam proliferasi sel, sintesa kolagen, dan cell signaling,
sintesa protein, menjaga sel-sel imun dalam range normal termasuk neutrofil,
monosit, sel NK, sel B dan sel T. Sedangkan vitamin C bekerja melalui perbaikan
kesehatan kulit sebagai peranannya di dalam sintesis kolagen, dimana kulit yang
intake akan melindungi dari masuknya microorganisme melalui kulit, oleh karena
itu pengaruh vitamin C saja terhadap perlindungan non-spesifik tidak sebesar
suplemen MVM.
Hasil penelitian ini mendukung review oleh Maggini et al. (2007) bahwa
vitamin dan mineral tertentu seperti vitamin A, vitamin E, vitamin C, vitamin B6,
108
vitamin B12, zinc, selenium dan zat besi mempunyai peranan dalam respon imun.
Sementara itu Calder et al. (2002) menambahkan bahwa sistem imun sangat
ditentukan oleh komunikasi sel-sel untuk beberapa respon dan untuk integritas sel
imun. Zat gizi antioksidan membantu integritas sel tersebut juga menurunkan
kerusakan yang disebabkan oleh SOR pada membran dan reseptor. Disamping itu
zat gizi antioksidan mengatur fungsi sel imun dengan mempengaruhi aktivitas
redoks dan produksi sitokin. Oleh karena itu zat gizi tersebut membantu
pertahanan tubuh pada tiga level yaitu pertahanan fisik (kulit/mukosa), seluler dan
produksi antibodi. Oleh sebab itu kombinasi vitamin dan mineral dapat membantu
sistem perlindungan tubuh bekerja dengan optimal (Wintergerst et al. 2007). Akan
tetapi hasil penelitian ini belum menunjukkan pengaruh terhadap tiga level
imunitas, tetapi hanya pada level non-spesifik, sedangkan pengaruh terhadap
perlindungan yang lainnya hanya menunjukkan kecenderungan. Terbatasnya
respon imun yang dipengaruhi oleh suplemen MVM maupun vitamin C
kemungkinan karena sampel penelitian ini pada umumnya dalam kondisi sehat.
Seperti yang disimpulkan oleh Wolvers et al. (2006) dari hasil penelitiannya
bahwa perbaikan parameter imunitas pada populasi dengan status imunitas yang
baik sangat terbatas. Sementara itu perbaikan sel NK pada penelitian ini sejalan
dengan hasil penelitian Ravaglia
et al. (2000), dimana suplementasi MVM
meningkatkan aktivitas dan jumlah sel NK.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa suplementasi MVM
memperbaiki beberapa status zat gizi mikro antara lain vitamin A, vitamin E, zinc,
selenium, dan status SOD sebagai antioksidan primer. Sementara itu
suplementasi vitamin C hanya memperbaiki status vitamin C saja, tidak
memperbaiki status SOD. Temuan ini sejalan dengan temuan Preziosi et al.
(1998), Barringer et al. (2003) dan Wolvers et al. (2006) bahwa suplementasi
MVM menurunkan prevalensi kekurangan zat gizi mikro. Pada Tabel 38
disajikan ringkasan hasil penelitian.
Tabel 38 Rangkuman Pengaruh suplementasi vitamin C dan multi vitaminmineral terhadap respon imun dan zat gizi antioksidan
Variabel
plasebo
Vitamin C
MVM
109
Respon Imunitas
leukosit
-
-
-
monosit
-
-
-
neutrofil
-
-
-
Sel NK
-
±
+
IgG
-
-
-
limfosit
-
-
-
CD4+
-
-
-
CD8+
-
-
-
Vitamin A
-
-
+
Vitamin C
-
+
-
Vitamin E
-
-
+
Selenium
-
-
+
Zinc
-
-
+
SOD
-
-
+
Status zat gizi antioksidan
Keterangan: -
tidak berpengaruh signifikan
± berpengaruh signifikan (p<0.10)
+ berpengaruh signifikan (p<0.05)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Suplementasi multi vitamin-mineral (MVM) dapat memperbaiki jumlah
sel Natural Killer (sel NK) secara signifikan (p<0.05).
2. Suplementasi MVM memperbaiki status vitamin A, vitamin E, selenium,
sedangkan suplementasi vitamin C hanya memperbaiki status vitamin C
saja.
110
3. Suplementasi MVM menurunkan radikal bebas dengan membaiknya
status superoksida dismutase (SOD) sebagai antioksidan.
4. Vaksinasi tetanus toxoid (TT) meningkatkan titer IgG secara signifikan
(p<0.05) dibandingkan tanpa vaksinasi TT.
Saran
Bagi program
Pemberian suplement
multi
vitamin-mineral
terutama
yang
bersifat
antioksidan perlu dipertimbangkan untuk wanita pekerja.
Bagi Peneliti
Perlu penelitian lebih lanjut manfaat intervensi zat gizi antioksidan terhadap
status imunitas pada berbagai level pekerja terutama yang berisiko terpapar
stress oksidatif.
DAFTAR PUSTAKA
Albanes D, Virtamo J, Taylor PR, Rautalahti M, Pietinen P, Heinonen OP. 1997.
Effect of Suplemental beta caroten, cigarette smoking, and alcohol
consumption on serum carotenoids in the alpha tocopherol, beta carotene
Cancer Prevention Study. Am J Clin Nutr; 66:366-72.
Albers R, Antoine JM, Sicard RB, Calder PC, Gleeson M, Lesourd B, Samartin S,
Sanderson IR, Loo JV, Van Dias FW, Watzl B. 2005. Markers to measure
immunomodulation in human nutrition intervention studies. British
Journal of Nutrition 94:452-481.
Almatsier S. 2006. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Ames BN. 2006. Low micronutrient intake my accelarate the degenerative
diseases of aging through allocation of scarce micronutrients by triage.
PNAS 103(47):17589-17594.
Anderson R, Oosthuizen R, Maritz R, Theron A, Van Rensburg AJ. 1980. The
effects of increasing weekly doses of ascorbate on certain cellular and
humoral immune functions in normal volunteers. Am J Clin Nutr 33:71-76
Anderson SK. 2005. Biology of Natural Killer cells: What is the relationship
between Natural Killer cells and cancer? Will an increased number and/or
function of Natural Killer cells result in lower cancer incidence? J. Nutr.
135:2910S.
Andrianne B. 1993. Physiological role of antioxidant in the immune system.
Symposium Antioxidant, Immune Response and Animal Function.
Journal Dairy Sci 76:2789-2794.
Atmarita dan Fallah TS. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat
dalam Soekirman et al, editor. Widya Karya Pangan dan Gizi VII
Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi;
Jakarta, 17-19 Mei 2004 : LIPI, hlm 129-143.
Awad, J.A., Morrow, J.D., Hill, K.E, Robert, L.J and Burk, R.F. 1994. Detection
and localization of lipid peroxidation in selenium and vitamin E deficient
rats using F2 isoprostanes. J Nutr 124: 810-816.
Baratawidjaja. 2006. Immunologi dasar. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Barker D.J.P. 1998. Mothers, Babies and Health in Later Life. Second
Edition.Brisbane,Australia.
112
Barringer TA, Kirk JK, Santaniello AC, Foley KL, Michielutta R. 2003. Effect of
a multivitamin and mineral supplement on infection and quality of life.
Ann Intern Med 138:365-371.
Bender David A. 2003. Nutritional Biochemistry of the vitamins. Second edition.
Cambridge University Press.
Bendich A. 1993. Physiological Role of Antioxidants in the Immune System. J
Dairy Sci 76:2789-2794.
Bhaskaram P. 2001. Immunology of mild micronutrient deficiencies. British
Journal of Nutrition 85(suppl. 2):S75-S80.
[BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1998. Gerakan
Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta: BKKBN
Black RE. 2001. Micronutrients in pregnancy. British Journal of Nutrition
85(Suppl. 2):S193-S197.
Bland J. 1995. Vitamin C: The Future Is Now. Keats Publishing,Inc.
Bleys J, Miller ER, Barriuso RP, Appel LJ, Guallar E. 2006. Vitamin-mineral
supplementation and the progression of atherosclerosis: a meta-analysis of
randomized controlled trials. Am J Clin Nutr ;84:880-7.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2004. Keputusan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor HK.00.05.23.3644 Tahun 2004
tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan. Jakarta:
BPOM.
Brambilla D, Mancuso C, Scuderi MR, Bosco P, Lempereur GC, Benedetto GD,
Pezzino S, Bernardini R. 2008. The role of antioxidant supplement in
immune system, neoplastic, and neurodegenerative disorders: a poin an
assessment of the risk/benefit profile. Nutrition Journal 7:29-46.
Brock JH, Mulero V. 2000. Cellular and molecular aspects of iron and immune
function. Proc Nutr Soc 59:537-540.
Broome CS, Francis M, Janet AMK, Francis A, Lowe NM, Hart A, Arthur JR,
Jackson MJ. 2004. An increase in selenium intake improve immune
function and poliovirus handling in adult with marginal selenium status.
Am J Clin Nutr 10:154-162.
Bunout D, Barrera G, Hirsch S, Gattas V, de la Maza MO, Haschke F, Steenhout
P, Klassen P, Hager C, Avendano M, Petermann M, Munoz C. 2004.
Effects of a nutritional supplement on the immune response and cytokine
production in free-living Chilean elderly. J Parenter Enteral Nutr 28:348
354.
113
Burton GW, Traber MG, Acuff RV, Walters DN, Kayden H, Hughes L, Ingold
KU. 1998. Human plasma and tissue alfa tokoferol concentration in
response to supplementation with deuterated natural and syntetic vitamin
E. Am J Clin Nutr 67;669-684.
Calder PC, Field C, Gill HS. 2002. Nutrition and Immune Function.. London
,UK.
Carol S and Arah K. 2001. Plasma saturated intakes of vitamin C confer maximal
antioxidant protection to plasma. Journal of the American College of
Nutrition 20(6):623-627.
Chandra RK. 2002. Influence of micronutrient supplement on immune responses
dan infection-related illness in 50-65 year old individuals. Nutrition
Research 22:5-11.
Christian P, West KP Jr. 1998. Interactions between zinc and vitamin A: an
update. Am J Clin Nutr 68(suppl):435S-441S.
_________, Khatry SK, Yamini S, Stalling R, leClerq SC, Shrestha SR, Pradhan
EK, West KP Jr. 2001. Zinc supplementation might potentiate the effect of
vitamin A in restoring night vision in pregnant Nepalase women. Am J
Clin Nutr 73:1045-1051 (A).
Chvapil, M. 1973. New aspects in the biological role of zinc: a stabilizer of
macromolecules and biological membranes. Life Sci. 13:1041. In
Bodwell.C.E and Erdman,Jr. JohnW. Nutrient Interactions .1988. New
York and Basel.
Cook JD, Watson SS, Simpson KM, et al. 1984. The effect of high ascorbic acid
supplementation on body iron stores. Blood 64:721-726. Dalam. Allen,
LH. Iron-ascorbic Acid and Iron-calcium Interactions and Their Relevance
in Complementary Feeding. Department of Nutrition, University of
California.
DepKes RI. 1996. Pedoman Praktis Menilai Status Gizi Orang Dewasa. Jakarta:
Depkes.
Dijkhuizen MA, Wieringa FT. 2001. Vitamin A, Iron and Zinc Deficiency in
Indonesia-Micronutrient Interaction and Effects of Supplementation.
University of Wageningan: A Joint PhD Thesis.
Dijkhuizen,MA, Wieringa,F.T, West,C.E, Muherdiyantiningsih, Muhilal (2001)
Concurrement micronutrient deficiencies in Lactating mothers and their
infents in Indonesia. Am.J.Clin.Nutr.73:786-791.
114
Preziosi P, Calan P, Herbeth B, Valeix P, Roussel A, Malvy D, Dauphin A,
Arnaud J, Richard M, Briancon S, Favier A, Herberg S. 1998. Effect of
supplementation with a Combination of Antioxidant Vitamin and Trace
Elements, at Nutritional Doses, on Biochemical Indicators and Markers of
The Antioxidant System in Adult Subjects. Journal of The American
College of Nutrition, Vol 17,No3;244-249.
FAO/WHO 2001. Human Vitamin and Mineral Requirement. Report of a joint
FAO/WHO expert consultation. Bangkok, Thailand. Roma: Food and
Nutrition Division.
_________. 1992. International Conference on Nutrition. World Declaration and
Plan of Action for Nutrition. Roma: FAO.
Fernandes G, Jolly C, Lawrence R. 2006. Nutrition and Immun system di dalam
Modern Nutrition in Health and Disease, 10 th Edition. Lippincott
Williams & Wilkins.
Foote JA, Murphy SP, Wilkens LR, Hankin JH, Henderson BE, Kolonel LN.
2003. Factors associated with dietary supplement use among healthy
adults of five ethnicities. Am J Epidemiol 157(10):888-897.
Fuente M De La. 2002. Effect of antioxidants on immune system ageing.
European Journal of Clinical Nutrition;56,suppl 3,55-58.
Flore R, Gerardino L, Santoliquido A, Pola R, Flex A, Campli C Di, Pola P, Tondi
P. 2004. Enhanced oxidative stress in workers with a standing occupation.
Occup Environ Med. 2004; 61: 548-550.
Garcia OP, Diaz M, Rossado JL, Allen LH. 2003. Ascorbic acid from lime juice
does not improve the iron status of iron-deficient women in rural Mexico.
Am J Clin Nutr 78:267-273.
Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Ed ke-2. New York:
Oxford University Press
Glasziou PP and Mackerras DEM. 1993. Vitamin A supplementation in infectious
disseases : a meta-analysis. BMJ 306:366-70
.
Goodman Sandra. 1991. Vitamin C the master Nutrient. Keats Publishing.USA.
Graat JM, Schouten EG, Kok FJ. 2002. Effect of Daily Vitamin E and
Multivitamin mineral supplementation on Acute Respiratory Tract
Infection in Elderly person. JAMA,288:715-721.
Gropper S.C, Smith JL, Groff JL. 2005. Advanced Nutrition and Human
Metabolism. International Student Edition. Thomson Wadsworth. USA.
115
Hara M, Tanaka, Hirota Y. 2005. Immune respon to influenza vaccine in healthy
adults and the elderly: association with nutritional status. Vaccine
23:1457-1463.
Hardinsyah. 2008 Prawidya Karya Pangan dan Gizi IX. LIPI Jakarta.
Harvey LJ, Majsak-Newman G, Dainty JR, Lewis DJ, Langford NJ, Crews HM,
Fairweather-Taits SJ. 2003. Adaptive responses in men fed low- and highcopper diets. Br J Nutr 90:161-168.
Hathcock JN, Azzi A, Blumberg J, Bray T, Dickinson A, Frei B, Jialal I, Johnston
CS, Kelly FJ, Kraemer K, Packer L, Parthasarathy S, Sies H, Traber MG.
2005. Vitamins E and C are safe across a broad range of intakes. Am J Clin
Nutr 81:736-745.
Hemilia H, E Chalker, B Treacy , B Douglas. 2007. Vitamin C for preventing and
treating the common cold. Cochrane Database of Systematic Reviews ,
Issue 3. (Abstract).
Huang Yao, Caballero B, Chang S, Alberg AJ, Samba RD, Schneyer C, Wilson
RF, Cheng TY, Prokopowicz G, Barnes GJ II, Vassy J, Bass EB. 2007.
Multivitamin/mineral supplements and prevention of chronic disease:
Executive Summary. Am J Clin Nutr 85(suppl):265S-268S.
[IOM] Institute of Medicine. 2000. Dietary Reference Intakes for Vitamin C,
Vitamin E, Selenium, and Carotenoids. Washington DC: National
Academy Press.
International Market Research Report (IMRR). 2005.
Johnston CS, Cox SK. 2001. Plasma-saturating intakes of vitamin C confer
maximal antioxidant protection to plasma. Journal of American College of
Nutrition 20:623-627.
Kadiki AE dan Sutton AJ. 2005. Role of multivitamins and mineral supplements
in preventing infections in elderly people:systematic review and meta
analysis of randomized controlled trials. BMJ; 330;871.
Kaiser J, Campa A, Ondercin J, Leoung G, Pless R, Baum M. 2006. Micronutrient
Supplementation Increases CD4 count in HIV-Infected individuals on
Highly Active Antiretroviral Theraphy: Prospective, Double Blinded,
Placebo-Contrlled Trial. Journal Acquir Immune Defic Syndr 42:523-528.
Kallner A, Hartmann D, Hornig D. 1979. Steady-state turnover and body pool of
ascorbic acid in man. Am J Clin Nutr 32:530-539. Dalam. [IOM] Institute
of Medicine. 2000. Dietary Reference Intakes for Vitamin C, Vitamin E,
Selenium, and Carotenoids. Washington DC : National Academy Press.
116
Karyadi E, West CE, Schultink W, Nelwan ROHH, Gross R, Amin Z, Dolman
WMV, Schlebusch, Meer J. 2002. A double blind, placebo-controlled
study of vitamin A and Zinc supplementation in persons with tuberculosis
in Indonesia: effects on clinical response and nutritional status. Am
Journal Clin Ntr. 75:720-727.
Kim JH, Kim MJ. 2004. Antioxidant status (vit A, vit C dan E) and its
relationship to plasma cytokin levels in Korean elderly women living in
Seoul. J. Community Nutrition 6(2):103-109.
Kiremidjian-Schumacher L, Roy M, Wishe HI, Cohen MW, Stotzky G. 1996.
Suplementation with selenium augments the function of natural killer and
lymphokine activated killer cells. Biological Trace Element Research
52:227-239.
Knight JA. 2000. Review: free radicals, antioxidant and immune system.
Ann.Clin.Lab.Sci. 30:45-158.
Koplan JP, Annest JL, Layde PM, Rubin GL. 1986. Nutrient intake and
supplementation in the United States (NHANES II). Am J Public Health
76:287-289.
Kotake-Nara E, Kushiro M, Zhang H, Sugawara T, Miyashita K, Nagao A. 2000.
Carotenoids affect proliferation of human prostate cancer cells. J Nutr 131:
3303-3306.
Lapido OA. 2000. Nutrition in pregnancy: mineral and vitamin supplements. Am J
Clin Nutr 72(suppl):280S-290S.
Lee Chun-Yung Jetty, Fan Wan. 2000. Vitamin E supplementation improves cell
mediates immunity and oxidative stress of Asian men and women. J Nutr
130:2932-2937.
Levine M, Conry-Cantilena C, Wang Y, Welch RW, Washko PW, Dhariwal KL,
Park JB, Lazarev A, Graumlich JF, King J, Cantilena LR. 1996. Vitamin C
pharmacokinetics in healthy volunteers: evidence for a recommended
dietary allowance. PNAS 93(8):3704-3709
Linder MC and Hazegh-Azam M. 1996. Copper biochemistry and molecular
bilaogy. Am J Clin Nutr 63:797S-811S.
Long KZ, Montoya Y, Hertzmark E, Santos JI, Rosado JL. 2006. A double-blind,
randomized clinical trial on the effect of vitamin A and zinc
supplementation on diarrheal disease and respiratory tract infections in
children in Mexico City, Mexico. Am J Clin Nutr ;83:693-700.
Lonnerdal B. 1988. Vitamin mineral interaction. Di dalam: Bodwell CE and
Erdman JW, editor. Nutrient Interactions. New York: Marcel Dekker Inc.
117
Lukito W, Wattanapenpaiboon N, Savige GS, Hutchinson P, Wahlqvist ML.
2004. Nutritional indicators, peripheral blood lymphocyte subsets and
survival in an institutional elderly population. Asia Passific J Clin Nutr
13(1):107-112.
Mateo GF, Acien AN, Barriuso RP, Guallar E. 2006. Selenium and Coronary
heart disease: a meta-analysis. Am J Clin Nutr;84:762-73.
McKay DL, Perrone G, Rasmussen H, Dallal G, Hartman W, Cao G, Prior RL,
Roubenoff R, Blumberg JB. 2005. Multiple micronutrient supplementation
improves anemia, micronutrient nutrient status, and growth of Vietnamese
infants: Double-Blind, Randomized, Placebo-Controlled Trial. J. Nutr.
135:660S-665S.
_________, Perrone G, Rasmussen H, Dallal G, Hartman W, Cao G, Prior RL,
Roubenoff R, Blumberg JB. 2000. The effects of a multivitamin/mineral
supplement on micronutrient status, antioxidant capacity and cytokine
production in healthy older adults consuming a fortified diet. Journal of
the American College of Nutrition 19:613-621.
Marks D, Marks A, Smith C. 2000. Biokimia Kedokteran Dasar. ECG
Meydani SN, Han SN, Wu D. 2005. Vitamin E and immune response in the aged:
molecular mechanism and clinical implications. Immunol Rev 205:269
284.
Miller ER III, Barriuso RP, Dalal D, Riemersma RA, Appel LJ, Guallar E. 2005.
Meta-analysis: High-dosage vitamin E supplementation may increase all
cause mortality. Ann Intern Med. 142:37-46.
Muhilal dan Sulaeman, A. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Lemak. Di
dalam : Soekirman et al, editor. dalam Widya Karya Pangan dan Gizi VIII
“ Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi” ;
Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta : LIPI, hlm 331-342.
Navarro M, Wood RJ. 2003. Plasma Changes in Micronutrients Following a
Multivitamin and Mineral Supplement in Healthy Adults. Journal of the
American College of Nutrition 22(2):124-132.
Nauss, K.M. 1986. Influence of vitamin A status on the immune system. In
Vitamin A deficiency and its control. C.J. Bauernfeind, ed. Academic
Press, Inc, Orlando,FL.
Nieman DC. 2001. Does exercise alter immune function and respiratory
infections? President’s Council on Physical Fitness and Sports. Research
Digest 3(13).
118
NIH State of the Science Panel. 2007. National Institute of Health State-of-the
Science Conference Statement: Multivitamin/mineral supplements and
chronic disease prevention. Am J Clin Nutr 85:257S-264S.
Olson. 1987. Recommended Dietary Intake (RDI) of Vitamin A in Humans. Am J
Clin Nutr 45:704-16.
Oppenheimer SJ. 2001. Iron and its relation to immunity and infectious disease. J
Nutr 131:616S-635S.
Pamuk ER, Byers T, Coates RJ, Vann JW, Sowell AL, Gunter EW, Glass D.
1994. Effect of smoking on serum nutrient concentrations in African
American women. Am J Clin Nutr 59:891-895.
Pauling L. Vitamin C and the Common Cold. W. H. Freeman, San Francisco;
1970.
Payette H, Rola-Pleszczynski M, Ghadirian P. 1990. Nutrition factors in relation
to cellular and regulatory immune variables in a free-living elderly
opulation. Am J Clin Nutr 1990;52:927–32.
Penn et al. 1991. Effect of dietary supplementation with vitamin A,C,dan E on
cell mediated immunity function in elderly long stay patients: a
randomized controlled trial. Age and Ageing 20:169-174.
Peters EM. 1997. Exercise, immunology and upper respiratory tract infection.
International Journal Of Sports Medicine 18(Suppl.1 ):S69-208.
Peters EM, Goetzsche JM, Grobbelaar B, Noakes TD. 1993. Vitamin C
supplementation reduces the incidence of postrace symptoms of Upper
respiratory-tract infection in ultramarathon Runners. Am J Clin Nutr,
57:170-4.
Piliang WG dan Al Haj SD. 2006. Fisiologi Nutrisi. Volume II. IPB Press.
Polidori Cristina M, Patrizia M, Willhelm S, Sies H. 2003. Cigarette smoking
cessation increases plasma levels of several antioxidants micronutrients
and improves resistence towards oxidative challenge. British Journal of
Nutr 90:147-150.
Powell SR. 2000. The antioksidan properties of zinc. J Nutr 130:1447S-1454S.
Prasad AS. 2000. Effect of Zn deficiency on immune functions. Journal of Trace
Elements in Experimental Medicine 13:1-20.
119
Radimer K, Bindewald B, Hughes J, Ervin B, Swanson C, Picciano MF. 2004.
Dietary supplement use by US adults: data from the National Health and
Nutrition Examination Survey, 1999-2000. Am J Epidemiol 160(4):339
349.
Rahman MM, Mahalanabis D, Hossain S, Wahed MA, Alvarez JO, Siber GR,
Thompson C, Santhosam M, Fuchs GJ. 1999. Simultaneous vitamin A at
routine immunization contact enhances antibody response to diphtheria
vaccine in infants younger than six month. J Nutr 2192-2195.
Rahman MJ, Protin S, Swapan KR, Shaikh M, Jobayer C, Tasnim A, Minnie M,
David S, Jan A and Rubha R. 2005. Effect of Zn supplementation as
adjunct therapy on the systemic immune reponses in shigellosis. Am J Clin
Nutr 81:495-502.
Rall LC and Meydani SN. 1993. Vitamin B6 and immune competence. Nutrition
Review vol 51. No 8.
Raqib R, Swapan KR, Jubayer M, Tasnim, Syeda. 2004. Effect of Zn
supplementation on immune and inflammatory responses in pediatric
patients with shigellosis. Am J Clin Nutr Vol 79(3):444-450.
Ravaglia G, Forti P, Maioli F, Bastagli L, Facchini A, Mariani E, Savarino L,
Sassi S, Cucinotta D, Lenaz G. 2000. Effects of micronutrients on natural
killer cell immune functions in healthy free-living subjects aged > 90 y.
Am J Clin Nutr 71:590-598.
Ray K, Gupta SM, Bala M, Muralidhar S, Kumar J. 2006. CD4/CD8 Lymphocyte
counts in healthy, HIV-positive individuals & AIDS patients. Indian J
Med Res 124:319-330.
Read NW. 2001. Placebo and Panacea: The healing effect of Nutritional
Suplements. In Ransley JK, Donnelly JK, Read NW. Food and Nutritional
Suplements 2001. New York.: Springer.
Reifen Ram. 2008. Vitamin A as an anti-inflammatory agent. Cambridge
University Press.
Rink L and Kirchner H. 2000. Zn altered immune function and cytokine
production. J Nutr 130:1407S-1411S.
Roitt IM. 2003. Essential Immunology. Blackwell Science limite. Oxford.
Romieu I, Castro-Giner F, Kunzli N, Sunyer J. 2008. Air pollution, oxidative
stress and dietary supplementation: a review. Eur Respir J 31:179-196.
Romieu I. 2005. Nutrition and lung health. Int J Tuberc Lung Dis 9:362-374.
120
Saidin M, Sukati, Muherdiyantiningsih, Rustan E. 2003. Pengaruh Pemberian
Tablet Besi dan Vitamin E pada Kadar Hemoglobin dan Status Besi
Wanita Usia Subur yang diduga Menderita Thalasemia Karier. Penelitian
Gizi dan Makanan 26:1-9.
Sandstrom B, Davidson L, Cederblad A, Lonnerdal B. Oral iron, dietary ligands,
and zinc absorption. Am J Nutr 1985;115:411-4. Dalam. Whittaker P.
1998. Iron and zinc interactions in humans. Am J Nutr 68:442S-446S.
_________. 2001. Micronutrient interactions: effects on absorption and
bioavailability. British Journal of Nutrition 85(suppl 2.):S181-S185.
Semba RD, Bloem MW. 2002. Review: The anemia of vitamin A deficiency:
epidemiology and pathogenesis. Eroupean Journal of Clinical Nutrition
56 (4):271-281.
Semba RD, Muhilal, Scott AL, Natadisastra G, Wirasasmita S, Mele L, Ridwan E,
West KP Jr, Sommer A. 1992. Depressed Immune Response to Tetanus in
Children with Vitamin A Deficiency. J. Nutr. 122:101-107, 1992.
_________, Muhilal, Brian J. Ward, Griffin Diane E, Scott Alan L, Natadisastra
Gantira, Keith P. West JR, Sommer A. 1993. Abnormal T-cell subset
proportion in vitamin a-deficient children. The Lancet 341:5-8.(Abstract).
_________. 1994. Vitamin A, Immunity, and infection. Clinical Infectious
Diseases 19:489-499.
Shankar AH, Prasad AS. 1998. Zn and immune fungtion: the biological basis of
altered resistance to infection. Am J Clin Nutr 66S:515-463S.
Silalahi J. 2006. Makanan Fungsional. Jakarta: Kanisius.
Smith JC, Makdani D, Hegar A, Rao D, Douglass LW. 1999. Vitamin A and Zinc
Supplementation of Preschool Children. Journal of the American College
of Nutrition;18:213-222.
Solomons 1988. Physiological interactions of minerals. Di dalam: Bodwell CE
and Erdman JW, editor. Nutrient Interactions. New York: Marcel Dekker
Inc.
Sommer A, Katz J, Tarwotjo I. 1984. Increased risk of respiratory disease and
diarrhea in children with preexisting mild vitamin A deficiency. Am J Clin
Nutr 40:1090-1095.
Stephensen CB. 2001. Vitamin A, infection, and immunity. Annu Rev Nutr
21:167-192.
121
Stipanuk MH. 2000. Biochemical and Physiological Aspects of Human Nutrition.
Philadelphia: W.B. Saunders Company.
Suharno D. 1993. Supplementation with vitamin A and iron for nutritional
anaemia in pregnant women in West Java, Indonesia . Lancet 342: 1325
1328.(Abstract).
Sumantran VN, Zhang R, Lee DS, Wicha MS. 2000. Differential regulation of
apoptosis in normal versus transformed mammary epithelium by lutein
and retinoic Acid. Cancer Epidemiology and Biomarkers Preview 9:257
263.
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). 2001. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Dep Kes RI.
Tortora GJ. 2004. Sixth Edition. Principles of Anatomy and Physiology. New
York: Harper & Row.
Trakatellis A, Dimitriadou A, Traketelli M. 1997. Pyridoxine deficiency: new
approaches in immunosuppression and the chemotherapy. Postgrad Med J
73:617-662.
Untoro J, Karyadi E, Wibowo L, Erhardt MW, Gross R. 2005. Multiple
Micronutrient Supplements Improve Micronutrient Status and Anemia But
Not Growth and Morbidity of Indonesian Infants: A Randomized, Double
Blind, Placebo-Controlled Trial. J Nutr 135:639S-645S.
US Food and Drug Administration, Center for Food Safety and Applied Nutrition.
2001. Overview of dietary supplements. http://www.cfsan.fda.gov/~dms
/ds-oview.html#what [20 Mei 2008].
Villamor E, Fawzi WW. 2005. Effect of vitamin A suplementastion on immune
respon and correlation with clinical outcomes. Clinical Microbiology
Review 18(3): 446-464.
Walker EM Jr, Walker SM. 2000. Effects of iron overload on the immune system.
Annals of Clinical and Laboratory Science 30:354-365.
Wintergerst ES, Maggini S, Beveridge S, Hornig DH. 2007. Selected vitamins and
trace elements support immune function by strengtehening epithelial
barriers and cellular and humoral immune responses. British Journal of
Nutrition 98(suppl. 1):S29-S35.
Womack J, Tien PC, Felman J, Shin JH, Fennie K, Anastos K, Cohen MH, Bacon
MC, Minkoff H. 2007. Obesity and Immune Cell Counts in Women.
Metabolism; 56(7):998-1004.
122
Word Bank. 2006. Repositioning Nutrition as Central to Development, A Strategy
Large-Scale Action. Washington,DC.USA.
Whittaker P. 1998. Iron and zinc interactions in humans. Am J Clin Nutr 68:442S
446S.
Whiteside T and Herberman R. 1994. Mini review, Role of Human Natural Killer
Cells in Health and Disease. Cinical and Diagnostic Laboratory
Immunology, P 125-133. American Society for Microbiology.
WHO. 1997. Vitamin A Suplements. A Guide To Their Use In The Treatment And
Prevention Of Vitamin A Deficiency And Xeropthalma. 2nd Ed.
Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi, 2004. LIPI. Jakarta Indonesia.
Winarsi H. 2007. Antioxidan Alami dan Radikal Bebas. Jakarta: Kanisius.
Wintergerst ES, Maggini S, Hornig DH. 2007. Contribution of selected vitamins
and trace elements to immune function. Ann Nutr Metb 51:301-323.
Whiteside T dan Herberman R B. 1994. Minireview. Role of Human Natural
Killer Cells in Health and Disease. Clinical and diagnostic Laboratory
Immunology,p 125-133.
Wolters M, Hermann S, Hahn A. 2004. Effects of 6-month multivitamin
supplementation on serum concentrations of alpha-tocopherol, beta
carotene, and vitamin C in healthy elderly women. Int Vitam Nutr Res
74(2):161-8.
Wolvers DAW, Broekmans WMR, Logman MHGM, Wielen RPJ, Albers R.
2006. Effect of a mixture of micronutrients, but not of bovine colostrums
concentrate, on immune function parameters in healthy volunteers: a
randomized placebo-controlled study. Nutrition Journal 5:28.
Wood RJ, Zheng JJ. 1997. High dietary calcium intakes reduce zinc absorption
and balance in humans. Am J Clin Nutr 65:1803-1809.
Woods HF. 2001. The Addition of Micronutrients to Food. Di dalam: Ransley JK,
Donnelly JK, Read NW, editor. Food and Nutritional Supplements Their
Role in Health and Disease. Jerman: Springer.
Xia Yiming, Hill KE, Byrne DW, Xu J, Burk RF. 2005. Effectiveness of
Selenium supplements in a low-selenium area of china. Am J Clin Nutr
81:829-34.
Yetley EA. 2007. Multivitamin and multimineral dietary supplements: definitions,
characterization, bioavailability, and drug interactions. Am J Clin Nutr
85:269S-276S.
123
Zeba A, Herman S, Noel R, Issiaka Z, Jeremi R, Robert TG, Davidson H, Najat
M, Jean BO. 2008. Major reductions of malaria morbidity with combined
vitamin A and Zinc suplementation in young children in Burkina Faso: a
randomized double blind trial.
124
LAMPIRAN
125
Lampiran 1 Persetujuan etik (ethical clearance)
126
Lampiran 2 Formulir persetujuan untuk mengikuti penelitian (informed
consent)
SURAT PERSETUJUAN UNTUK MENGIKUTI PENELITIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
:
Umur
:
Alamat
:
telah mendapat penjelasan dan mengerti tentang penelitian “Pengaruh
Suplementasi Multivitamin Mineral Terhadap Imunitas Humoral, Seluler, dan
Status Zat Gizi Antioksidan“ dan setuju untuk ikut dalam penelitian ini, dengan
catatan bahwa bila suatu waktu merasa dirugikan dalam bentuk apapun kami
berhak untuk membatalkan persetujuan ini.
Bogor, ............................ 2008
Mengetahui,
Manager Perusahaan
Yang menyetujui,
____________________
__________________
127
Lampiran 3 Kuisioner identitas, antropometri, sosial ekonomi, pemeriksaan
kesehatan, pemeriksaan klinis, konsumsi pangan, monitoring
intervensi, dan monitoring morbiditas responden
PENGARUH SUPLEMENTASI MULTIVITAMIN MINERAL
TERHADAP RESPON IMUN, STATUS ANTIOKSIDAN,
DAN PROFIL LIPID
Tanggal Wawancara : …...................
Kode : A/B/C
Enumerator
No.
: .......................
:
I. IDENTITAS RESPONDEN
1. Nama
: ……………………………………………..
2. Tanggal lahir/ Umur
: ................................/
tahun
3. Status perkawinan
:
2.
4. Pendidikan terakhir
: 1. Tidak sekolah
1. Menikah
Janda
2. Tidak tamat SD
3. Tamat SD
4.. Tamat SLTP
5. Tamat SLTA
6. Tamat D1/D3
7. Tamat S1
5. Jenis pekerjaan
:
1. Pekerja tetap
2.. Tidak tetap
6. Devisi pekerjaan
:
7. Merokok
:
1. ya
2. tidak
8. Minum alkohol
: 1. ya
2. tidak
9. Sedang berdiit
:
2. Tidak
…………………………..
1. ya
128
10. Berapa kali ibu pernah melahirkan :
1. ................. kali
2. Jumlah anak hidup
: ..................
3. Jumlah anak meninggal: ..................
4. Jumlah anak keguguran : .................
11. Jumlah Anggota Keluarga : …. orang
12. Ikut serta KB
: 1.
ya
2. tidak
Bila ya, lanjut no 13, bila tidak lanjut ke no.14
13. Jenis KB
: 1. Pil
2. suntik (......bln/x, tgl.….)
3.
IUD
4. Spiral
5.
Steril
6. Kondom
7. Implant/susuk
14. Apakah ibu melakukan olah raga?
1. ya
2. tidak
Bila ya, lanjut ke no.15, bila tidak stop
15. Jenis olah raga yang biasa dilakukan :
a. Jogging
b. Senam
c. Badminton
d. Lainnya…………………
16. Lama tiap kali olah raga………..menit
17. Berapa kali melakukan olah raga dalam 1 minggu? (……..kali/minggu)
II. ANTROPOMETRI RESPONDEN
1. Berat badan : ..................kg
2. Tinggi badan : ..................cm
3. LILA
: ..................cm
129
III. SOSIAL EKONOMI
1. Penghasilan istri per bulan
Rp............................
2. Penghasilan suami per bulan
Rp.............................
3. Penghasilan tambahan istri per bulan
Rp.............................
4. Penghasilan tambahan suami per bulan
Rp.............................
IV PEMERIKSAAN KESEHATAN
Data Dasar Morbiditas
1. Apakah ibu sedang mendapat menstruasi ?
1. Ya
2. Tidak
2. Apakah dalam 2 bulan terakhir Ibu menderita sakit :
Jenis penyakit
Panas/demam
Ya/tidak
Jika ya, berapa hari
Dibawa kemana*
Batuk
Pilek
Diare
Lainnya
* : 1 = Puskesmas, 2= Rumah sakit, 3= Klinik, 4= Diobati sendiri
3. Apakah dalam 1 bulan terakhir hingga saat ini Ibu menderita sakit :
Jenis penyakit
Panas/demam
Batuk
Pilek
Diare
Lainnya
Ya/tidak
Jika ya, berapa hari
Dibawa kemana*
130
* : 1 = Puskesmas, 2= Rumah sakit, 3= Klinik, 4= Diobati sendiri
V. PEMERIKSAAN KLINIS
Pemeriksaan Fisik
Vital sign: TD:......... Suhu: N/…………. Nadi: N/…........ Pernafasan: N/............
1. Keadaan umum:
2. Wajah
3. Mata: a. Conjungtiva mata
b. Sklera mata
c. Lainnya.
4. Telinga
5. Hidung
6. Tenggorokan
7. Mulut
8. Gigi
9. Leher
10. a. Jantung
b. Thorax/paru-paru
11. Abdomen: a. Hati
b. Limpa
12. Genital
13. Ekstremitas atas
14. Ekstremitas bawah
15. Kulit
1. tampak sehat
1. normal
1. normal
1. normal
...............
1.normal
1. normal
1. normal
1. normal
1. normal
1. normal
1. normal
1. normal
1. normal
1. normal
1. normal
1. normal
1. normal
1. normal
2. tampak sakit
2. .............
2. pucat
2. ikterik
...............
2. tuli
2. ..............
2. ……......
2. .……….
2. ……….
2...............
2...............
2. ..............
2. ..............
2. ..............
2. ..............
2. ..............
2. ..............
2. ..............
Diagnosis kerja/kesimpulan: 1. Sehat
2. Tidak sehat, sebutkan......................
Anamnese penyakit yang pernah diderita sebelumnya/penyakit dahulu
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------VI. KONSUMSI PANGAN
Recall 2 X 24 jam Hari Ke :
Nama Responden
Tanggal
Waktu
Nama
: .............................
: .............................
Nama Bahan
Petugas: .....................
Jumlah
131
Makanan/minuman
Makanan
URT
Gram
1. Pagi
2. Siang
3. Malam
Food Frequencies Questionare
Nama Responden : .....................
Tanggal
: ......................
Bahan
makanan
Frekuensi konsumsi makanan
1x
/hr
Nasi
Petugas : .................
2-3x
/hr
3-5x
/mg
1-2x
/mg
2-3x
/bln
1x
/bl
Tidak
pernah
132
Mie
Roti
Jagung
Biskuit
Kacang Ijo
Kacang Merah
Melinjo
Ubi Jalar
Tempe
Tahu
Telur
Oncom
Ayam
Daging Sapi
Hati sapi
Hati ayam
Ikan segar
Bayam
Kangkung
Daun singkong
Kac.Panjang
Selada air
Sawi
Daun katuk
Jambu Biji
Pepaya
Jeruk
Salak
Susu bubuk
Keju
Lainnya
VII. FORMULIR MONITORING INTERVENSI
Kode
No.
Minggu ke
Hari
I
: A/B/C
:
Tgl
Nama Responden :
Petugas
:
Minum
Suplemen
Ya
Tidak
Minggu ke
Hari
VI
Tgl
Minum
Suplemen
Ya
Tidak
133
II
VII
III
VIII
IV
IX
V
X
VIII. DATA MONITORING MORBIDITAS
Apakah dalam 1 minggu terakhir hingga saat ini Ibu menderita sakit :
Jenis penyakit
Panas/demam
Batuk
Ya/tidak
Jika ya, berapa hari
Dibawa kemana*
134
Pilek
Diare
Lainnya
* : 1 = Puskesmas, 2= Rumah sakit, 3= Klinik, 4= Diobati sendiri
Lampiran 4 Uji anova dan uji lanjut BNT data Sel NK minggu ke 10
suplementasi.
Peubah dependen: Sel NK minggu ke-10
Sumber
Suplementasi
R(Suplementasi)(galat 1)
Vaksinasi TT
Suplementasi*Vaksinasi TT
Error (galat 2)
Total
db
2
126
1
2
95
226
Jumlah
Kuadrat
386385.89
5048636.34
38414.89
68117.14
3258810.67
8800364.93
Uji lanjut BNT
Peubah dependen: Sel NK minggu ke-10
Kuadrat
Tengah
193192.94
40068.54
38414.89
34058.57
34303.27
F
4.822
P
0.003
1.120
0.993
0.293
0.374
135
(I) Suplementasi
Placebo
Vit. C
MVM
(J) Suplementasi
Vit. C
MVM
Placebo
MVM
Placebo
Vit. C
Selisih Rataan
P
68.312
96.712(*)
-68.312
28.400
-96.712(*)
-28.400
0.072
0.011
0.072
0.455
0.011
0.455
Lampiran 5 Uji anova data titer IgG minggu ke 10 suplementasi.
Peubah dependen: Titer IgG minggu ke-10
2
Jumlah Kuadrat
719277.8
Kuadrat
Tengah
359638.9
F
0.257
P
0.7821
131
1
1833775.3
323324231.1
1399828.5
323324231.1
290.605
0.0001
2
125
662176.0
139073833.3
331088.0
1112590.7
0.297
0.7467
261
465613293.5
Sumber
Suplementasi
R(Suplementasi)
(galat 1)
Vaksinasi TT
Suplementasi*Vaksinasi
TT
Error (galat 2)
db
Total
136
Lampiran 6 Uji anova dan uji lanjut BNT data vitamin A minggu ke 10
suplementasi.
Peubah dependen: Vitamin A minggu ke-10
Sumber
DF Jumlah
Kuadrat
F-Hitung PKuadrat
Tengah
Value
Suplementasi
2
0.06890
0.03445
5.27060 0.0024
R(Suplementasi)-Galat 1
60
0.39215
0.00654
TT
1
0.00047
0.00047
0.05402 0.8972
Suplementasi*TT
4
0.01330
0.00333
0.38570 0.6807
Galat 2
110
0.94844
0.00862
Total
177
1.42325
Uji lanjut BNT
Peubah dependen: Vitamin A minggu ke-10
(I) Suplementasi
(J) Suplementasi
Selisih Rataan (I-
P
137
J)
Placebo
Vit. C
MVM
Vit. C
MVM
Placebo
MVM
Placebo
Vit. C
.0076
-.0076(*)
-.0076
-.0447(*)
.0076(*)
.0447(*)
.638
.022
.638
.006
.022
.006
Lampiran 7 Uji anova dan uji lanjut BNT data vitamin E
Peubah dependen: Vitamin E minggu ke-6
Sumber
Jumlah Kuadrat
db
Kuadrat Tengah
F
P
Model
819.404
2
409.702
58.079
0.000
Suplementasi
819.404
2
409.702
58.079
0.000
Error
1319.128
187
7.05416
Total
2138.532
189
Uji lanjut BNT
138
Peubah dependen: Vitamin E minggu ke-6
(I) Suplementasi
Placebo
Vit. C
MVM
(J) Suplementasi
Selisih Rataan
P
Vit. C
-0.158
0.740
MVM
-4.455(*)
0.000
0.158
0.740
MVM
-4.297(*)
0.000
Placebo
4.455(*)
0.000
Vit. C
4.297(*)
0.000
Placebo
Peubah dependen: Vitamin E minggu ke-10
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
Sumber
db
F
P
Suplementasi
2
900.603
450.3016
58.102
0.0001
R(Suplementasi) (galat 1)
95
736.268
7.7502
Vaksinasi TT
1
0.946
0.9460
0.126
0.7237
Suplementasi*Vaksinasi TT
2
2.189
1.0944
0.146
0.8648
Error (galat 2)
89
669.217
7.5193
Total
189
2309.223
Uji lanjut BNT
Peubah dependen: Vitamin E minggu ke-10
(I) Suplementasi
Placebo
Vit. C
MVM
(J) Suplementasi
Selisih Rataan
P
Vit. C
-0.155
0.755
MVM
-4.717(*)
0.000
0.155
0.755
MVM
-4.562(*)
0.000
Placebo
4.717(*)
0.000
Vit. C
4.562(*)
0.000
Placebo
139
Lampiran 8 Uji anova dan uji lanjut BNT data vitamin C
Peubah dependen: Selisih Kadar Vitamin C baseline dan minggu ke-6
Sumber
Suplementasi
DF
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
2
628.319
314.15950
47
711.951
15.14789
TT
1
0.029
Suplementasi*TT
4
R(Suplementasi)-
F-Hitung
PValue
20.73948
0.001
0.02900
0.00233
0.8972
8.515
2.12875
0.17137
0.5674
83
1031.002
12.42171
137
2379.816
Galat 1
Galat 2
Total
140
(I) Suplementasi
Placebo
Vit. C
(J) Suplementasi
Selisih Rataan
Vit. C
-4.9484
.000
MVM
-.9856
.193
Placebo
4.9484
.000
MVM
3.9628
.000
.9856
.193
-3.9628
.000
Placebo
MVM
P
(I-J)
Vit. C
Lampiran 9 Uji anova dan uji lanjut BNT data selisih zinc baseline dan
minggu ke-6
Peubah dependen: Selisih Zinc baseline dan minggu ke-6
Sumber
Jumlah Kuadrat
db
Kuadrat Tengah
F
P
Model
1270.784
2
635.392
5.390
0.005
Suplementasi
1270.784
2
635.392
5.390
0.005
Error
20631.261
175
117.893
Total
21902.045
177
Uji lanjut BNT
Peubah dependen: Selisih Zinc baseline dan minggu ke-6
141
(I) Suplementasi
Placebo
Vit. C
MVM
(J) Suplementasi
Selisih Rataan
P
Vit. C
2.90877
0.152
MVM
-3.5576
0.072
Placebo
-2.9088
0.152
-6.4664(*)
0.001
3.55762
0.072
6.46639(*)
0.001
MVM
Placebo
Vit. C
Lampiran 10 Uji anova dan uji lanjut BNT data selenium
Peubah dependen: Selisih Kadar Selenium baseline dan minggu ke-6
Sumber
Jumlah Kuadrat
db
Kuadrat Tengah
F
P
Model
693.66
2
346.83
3.381
0.036
Suplementasi
693.66
2
346.83
3.381
0.036
102.60
Error
18981.00
185
Total
20368.32
187
Uji lanjut BNT
Peubah dependen: Selisih Kadar Selenium baseline dan minggu ke-6
(I) Suplementasi
Placebo
Vit. C
(J) Suplementasi
Selisih Rataan
P
Vit. C
0.1227
0.95
MVM
-3.9765
0.03
Placebo
-0.1227
0.95
MVM
-4.0992
0.02
142
MVM
Placebo
3.9765
0.03
Vit. C
4.0992
0.02
143
Peubah dependen: Selenium minggu ke-10
Sumber
db
Jumlah
Kuadrat
0.8045
6.0213
Suplementasi
2
R(Suplementasi)
94
(galat 1)
Vaksinasi TT
1
0.3752
Suplementasi*Vaksinasi TT 2
0.1511
Error (galat 2)
89 139073833.3
Total
188 139073840.7
Kuadrat
Tengah
0.4022
0.0641
Placebo
Vit. C
MVM
(J) Suplementasi
Vit. C
MVM
Placebo
MVM
Placebo
Vit. C
P
6.2795
0.0124
0.3751 2.4x10-7 0.7580
0.0755 4.8x10-8 0.8063
1562627.3
Uji lanjut BNT
Peubah dependen: Selenium minggu ke-10
(I) Suplementasi
F
Selisih Rataan
P
-0.037
-0.165(*)
0.037
-0.128(*)
0.165(*)
0.128(*)
0.388
0.000
0.388
0.003
0.000
0.003
144
Lampiran 11 Uji anova dan uji lanjut BNT data selisih SOD baseline dan
minggu ke 10
Peubah dependen: Selisih Data SOD baseline dan minggu ke 10
Sumber
db
Suplementasi
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
F
P
2
551286
122
697312
5716
Vaksinasi TT
1
1352
1352
0.2617 0.8356
Suplementasi*Vaksinasi TT
2
298
149
0.0288 0.9858
R(Suplementasi) (galat 1)
Error (galat 2)
120
Total
247
275643 48.2258 0.0001
619950 5166.25
1870198
Uji lanjut BNT
Peubah dependen: Selisih Data SOD baseline dan minggu ke 10
(I) Suplementasi
Placebo
Vit. C
MVM
(J) Suplementasi
Selisih Rataan
P
Vit. C
-54.222
0.675
MVM
-336.229
0.006
54.222
0.675
-282.007
0.023
Placebo
336.229(*)
0.006
Vit. C
282.007(*)
0.023
Placebo
MVM
145
Lampiran 12 Hasil regresi sel NK dengan CD4+ dan CD8+
Peubah dependen: CD4+ Minggu ke-10
Prediktor: Sel NK Minggu ke-10
Jumlah
Sumber
Kuadrat
Kuadrat
db
Regresi
2130840.7
1
Sisaan
18785967.4
225
Total
20916808.1
225
Tengah
2130840.710
F
P
25.521
0.000
83493.188
Peubah dependen: CD4+ Minggu ke-10
Koefisien Tidak Baku
Konstanta
â
Eror Baku
746.611
51.238
0.397
0.079
Sel NK Minggu ke-10
Koefisien Baku
P
â
0.000
0.319
0.000
R-kuadrat : 0.102
Peubah dependen: CD8+ Minggu ke-10
Prediktor: Sel NK Minggu ke-10
Jumlah
Sumber
Regresi
Kuadrat
Kuadrat
329714.4
db
Tengah
1
329714.380
63406.896
Sisaan
14266551.7
225
Total
14596266.0
225
F
P
5.200
0.024
Peubah dependen: CD8+ Minggu ke-10
Koefisien Tidak Baku
Konstanta
Sel NK Minggu ke-10
â
Eror Baku
716.712
44.652
0.156
0.068
Koefisien Baku
â
P
0.000
0.15
R-kuadrat: 0.023
Lampiran 13 Pemeriksaan imunitas sel NK, CD4+, CD8+
0.024
146
a. Metode
: Flow Cytometri.
b. Prinsip
: Ketika darah ditambahkan dengan reagen, label
fluorochrome antibodi dalam reagen mengikat secara
spesifik terhadap permukaan leukosit antigen. Selama
penyesuaian, sel-sel berjalan dengan cepat melewati
paparan laser dan menghamburkan cahaya dari laser,
kemudian sel-sel berwarna fluoresence (berpendar),
penghaburan dan warna pendaran ini menjadi penanda,
dideteksi oeh alat. Nk limfosit diidentfikasi sebagai
CD3- dan CD16+ dan/atau CD56+, CD4 diidentitifikasi
sebagai
CD3dan
CD4+,
sedangkan
CD8
+.
diidenifikasikan sebagai CD3 dan CD4
c. Bahan
: Sampel darah, Reagen BD TriTESTTM CD3 Fluoroscein
isothiocyanate, Reagen (FITC) / CD16+ CD56
phycoerythrin, Reagen (PE) / CD45 peridinin
chlorophyll protein. FACS lysing solution.
d. Alat-alat
: Facscalibur Becton Dickinson Simultest IMK
tabung ukuran 12 mm x 75 mm, mikropipet, pipet tip,
mixer vortex.
:
e. Cara kerja
1. Beri label pada tabung ukuran 12 mm x 75 mm dengan identifikasi
sampel.
2. Pipet 20 µL reagen TriTESTTM CD3/ CD16+CD56/ CD45 kedalam
dasar tabung.
3. Pipet 50 µL sampel darah yang telah diberi antikoagulan dan telah
tercampur dengan baik kedalam dasar tabung.
4. Tutup tabung, kemudian vortex agar tercampur dengan baik. Inkubasi
selama 15 menit di ruangan gelap pada suhu kamar (20-25oC).
5. Tambahkan 450 µL 1x FACS lysing solution kedalam tabung.
6. Tutup kembali tabung dan vortek agar tercampur dengan baik,
inkubasi selama 15 menit di ruangan gelap pada suhu kamar (2025oC).
7. Sampel siap dianalisis dengan alat Flow cytometer.
8. Hasil seperti pada gambar. 147
Total limfosit
Total limfosit
Total limfosit
Sel NK
CD4
CD8
CD3
CD3
CD3
148
Lampiran 14 Pemeriksaan hemoglobin
Tujuan
Mengukur kadar hemoglobin.
1. Prinsip
Hemoglobin oleh K3Fe (CN)6 akan diubah menjadi methemoglobin yang
kemudian akan menjadi hemiglobin sianida (HiCN) oleh KCN.
2. Alat
Fotometer.
3. Reagen
a. Larutan Drabkins.
b. Sianmethemoglobin standar (siap pakai).
4. Bahan Pemeriksaan
a. Darah vena yang sudah diberi koagulan.
b. Darah kapiler.
5. Cara Kerja
a. Ke dalam tabung reaksi/botol kecil, dimasukkan 5,0 ml larutan Drabkins.
b. Isaplah darah vena (EDTA)/kapiler 20 ul dengan pipet mikro atau pipet
Sahli.
c. Hapuslah kelebihan darah yang melekat pada bagian luar pipet dengan kain
kasa kering/kertas tissue.
d. Masukkan darah dalam pipet ke tabung reaksi yang berisi larutan Drabkins.
e. Pipet dibilas beberapa kali dengan larutan Drabkins tersebut.
f. Campur larutan ini baik-baik dengan cara menggoyang tabung secara
perlahan-lahan hingga larutan homogen dan biarkan selama 3 menit.
g. Baca dengan fotometer pada panjang gelombang 540 nm, sebagai blanko
digunakan larutan Drabkins.
149
Lampiran 15 Metode hitung jenis leukosit
1. Tujuan
Menghitung jumlah tiap-tiap jenis lekosit dalam darah.
2. Prinsip
Terdapat perbedaan morfologi lekosit dan daya serap masing-masing jenis
lekosit terhadap zat warna.
3. Alat
a. Mikroskop.
b. Kaca objek yang kering, bebas debu dan lemak.
c. Differential counter.
4. Reagen
a. Larutan Wright.
b. Larutan penyangga dengan pH 6,4.
5. Bahan Pemeriksaan
a. Darah vena dengan antikoagulan.
b. Darah kapiler.
6. Cara Kerja
a. Pembuatan sediaan apus darah
• Teteskan satu tetes darah di atas kaca objek ± 2 cm dari tepi. Letakkan
kaca tersebut di atas meja dengan darah di sebelah kanan.
• Dengan tangan kanan letakkan kaca penggeser di sebelah kiri tetesan
darah.
• Gerakkan ke kanan menyentuh tetesan tersebut.
• Biarkan darah menempel dan menyebar rata di pinggir kaca penggeser.
• Segera geserkan kaca tersebut ke kiri dengan sudut 300 - 450. Jangan
menekan kaca penggeser tersebut ke bawah.
• Biarkan sediaan tersebut kering di udara, lalu tulislah nama pasien,
tanggal, pada bagian tebal dari sediaan dengan pensil kaca.
Ciri-ciri sediaan apus yang baik:
•
Panjang apusan ± 1 − 2 panjang kaca.
2
3
•
Apusan makin ke ujung makin tipis.
150
b. Pewarnaan sediaan apus
• Letakkan sediaan yang akan diwarnai pada rak pewarna dengan lapisan
darah di atas. Kemudian teteskan kurang lebih 20 tetes larutan Wright
sampai seluruh sediaan tertutup dan biarkan selama 2 menit.
• Tanpa membuang larutan Wright, teteskan sama banyaknya larutan
penyangga ke atas sediaan dan biarkan 5 menit, sambil ditiup sekalisekali agar merata.
• Tanpa membuang larutan pewarna dan penyangga, siramlah sediaan itu
dengan akuades sampai bersih.
• Taruhlah sediaan dalam sikap lurus pada rak pengering. Biarkan kering
pada suhu kamar.
7. Perhitungan
Pilih daerah dimana lekosit dan eritrosit tersebar marata dan jelas, yaitu pada
bagian hapusan yang tipis dengan lensa objek 10x.
Periksa dan hitung dengan lensa obyektif 45x, setelah sediaan ditetesi dengan
minyak immerse dan ditutup dengan kaca penutup.
8. Nilai Normal
Basofil
: 0 – 1%
Eosinofil : 1 – 3%
Batang
: 2 – 6%
Segmen
: 50 – 70%
Limfosit
: 20 – 40%
Monosit
: 2 – 8%
151
Lampiran 16 Gambar Kegiatan Pengumpulan data
Gambar penyuluhan dan pengarahan yang dilakukan oleh peneliti sebelum
penelitian dilaksanakan.
Gambar responden penelitian
a
b
Gambar penimbangan berat badan (a) dan pengukuran tinggi badan (b)
152
a
b
Gambar pemeriksaan kesehatan oleh dokter (a) dan penggambilan darah sampel
oleh peneliti (b)
Gambar Vaksinasi Tetanus Toxoid
a(i)
a(ii)
153
a(iii)
b
Gambar wawancara konsumsi pangan responden (a i- iii) dan konsumsi suplemen
oleh responden (b)
1
Download