PENGARUH SUPLEMENTASI MULTI VITAMIN-MINERAL TERHADAP IMUNITAS HUMORAL, SELULER DAN STATUS ZAT GIZI ANTIOKSIDAN FITRAH ERNAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengaruh Suplementasi Multi Vitamin-Mineral terhadap Imunitas Humoral, Seluler dan Status Zat Gizi Antioksidan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Juli 2009 Fitrah Ernawati NRP. I061060071 ABSTRACT FITRAH ERNAWATI. The Effects of Multi Vitamin-Mineral Supplementation on Humoral, Cellular Immunity and Dietary Antioxidant Status. Under the direction of RIMBAWAN, HADI RIYADI, MUHILAL, I WAYAN T. WIBAWAN Multi vitamin-mineral play essential roles in the human body, including immune function and as antioxidants. When supply of these micronutrients cannot be fulfilled from daily meal intake, multivitamin-mineral supplements can be taken to fulfill the body’s requirements. In this research, the effects of multivitamin-mineral supplementation on humoral and cellular immunity and dietary antioxidant status were assessed in healthy female workers. The design of the research was a double blind-randomized controlled trial, Split-plot. It involved 300 female subjects aged 20-45 years who worked at PT Ricky Putra Globalindo Tbk, Citereup, Bogor. Each of them randomly received one of the six treatments: Placebo, Placebo + Tetanus-toxoid (TT), Vitamin C, Vitamin C + TT, Multi vitamin-mineral (MVM), MVM +TT. The immune parameters used were: WBC, monocyte, neutrofil, Natural Killer (NK) cell, total lymphocyte count, IgG titer, CD4+ and CD8+ count. The content of the vitamin C supplement was vitamin C 1000 mg, while multi vitamin-mineral supplement contained 1000 mg vitamin C; 45 mg vitamin E; 700 μg vitamin A; 6,5 mg vitamin B6; 400 μg folic acid; 9,6 μg vitamin B12; 10 μg vitamin D; 10 mg Zn; 110 μg Se; 0,9 mg Cu; dan 5 mg Fe. These parameters were measured at baseline levels before treatment and on the 6th and 10th week after treatment. TT vaccination was carried out at the end of the 6th week, after the second blood collection. ANOVA test was done on the baseline data, intermediate data (6th week), and end data (10th week). Further test with LSD was carried out to determine the factors that affected the outcome of the treatments. MVM supplementation for 10 weeks affected the non-specific cellular immune function through the improvements in NK cell count. MVM improved some dietary antioxidant status and Superoxide Dismutase (SOD) status except for vitamin C status, which is improved by the vitamin C supplementation. Results of this study showed a relationship between NK cell and CD4+ (r2 = 0,102, p = 0.000) and CD8+ (r2 = 0,023 , p = 0.024). In improving immune function, the effect of MVM supplementation is stronger than Vitamin C supplementaton alone, and MVM supplementation showed more effect in improving dietary antioxidant status. Key word : multi vitamin-mineral supplementation, NK cell, CD8+ and superoxide dismutase status. RINGKASAN FITRAH ERNAWATI. Pengaruh Suplementasi Multi Vitamin-Mineral Terhadap Imunitas Humoral, Seluler Dan Status Zat Gizi Antioksidan. Dibimbing oleh RIMBAWAN, HADI RIYADI, MUHILAL, I WAYAN T.WIBAWAN. Zat gizi mikro, baik vitamin maupun mineral mempunyai peranan yang sangat penting di dalam tubuh. Vitamin adalah zat organik kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah kecil dan pada umumnya tidak dapat dibentuk oleh tubuh. Mineral mikro terdapat dalam jumlah sangat kecil di dalam tubuh, namun mempunyai peranan penting untuk kehidupan dan kesehatan. Salah satu peranan penting vitamin dan mineral adalah sebagai zat gizi antioksidan yang berkaitan erat dengan fungsi imunitas. Beberapa zat gizi yang berfungsi sebagai antioksidan antara lain vitamin C, vitamin E, beta caroten, selenium dan zinc. Salah satu peranan vitamin C sebagai antioksidan mampu mereduksi radikal superoksida, hidroksil dan oksigen reaktif yang berasal dari dalam tubuh maupun dari luar tubuh. Salah satu peran vitamin E ( alfa-tokoferol) yakni mampu mempertahankan integritas membran sel termasuk sel-sel imun. Beta karoten sebagai prekursor vitamin A mempunyai peranan dalam mempertahankan integritas membran sel dan mencegah serangan oksidasi melalui kemampuan beta karoten sebagai penangkal oksigen singlet. Sedangkan mineral selenium berperan sebagai antioksidan terkait dengan peranan glutation peroksidase (GSH-Px). Demikian pula mineral zinc merupakan salah satu mineral yang diperlukan oleh Superoksida dismutase ( SOD) untuk dapat bekerja dengan optimal. SOD merupakan enzim antioksidan yang aktivitasnya sangat tergantung pada beberapa zat gizi antioksidan dan sebagai antioksidan primer dengan mengubah radikal superoksida menjadi hidrogen peroksida yang kurang reaktif. Sumber vitamin mineral banyak dijumpai dalam makanan terutama buahbuahan dan sayuran. Konsumsi makanan yang beragam dan seimbang merupakan salah satu cara untuk dapat memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral. Disisi lain saat ini penggunaan suplemen semakin meningkat. International Market Research (IMR) melaporkan bahwa penjualan suplemen di Indonesia meningkat dari sekitar $ 100 juta (Rp 1 trilyun) pada tahun 2001 menjadi $110 juta (Rp 1.2 trilyun) pada tahun 2002. Disusul laporan Hardinsyah (2007) bahwa total belanja suplemen di Indonesia mencapai Rp 1.33 trilyun/tahun. Akan tetapi dalam International Conference on Nutrition Tahun 1992, FAO/WHO menyatakan bahwa suplementasi zat gizi lebih diprioritaskan untuk kelompok rawan (vulnerable group) yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya akan zat gizi melalui makanan. Wanita usia subur (WUS) merupakan salah satu kelompok rentan yang perlu mendapat perhatian karena rentan terhadap masalah gizi disebabkan peran fisiologisnya seperti melahirkan dan menstruasi. Wanita usia subur khususnya yang bekerja (wanita pekerja) mempunyai beban ganda disamping peran fisiologis juga sebagai pekerja terutama pekerja massal dan berada di dalam ruang terbatas serta kebanyakan bekerja dengan posisi berdiri berisiko terpapar stres okdidatif. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis pengaruh suplementasi multi vitamin-mineral (MVM) dan vitamin C pada wanita pekerja terhadap respon imunitas humoral dan selular (2) menganalisis pengaruh suplementasi MVM dan vitamin C pada wanita pekerja terhadap kadar zat gizi antioksidan (vitamin A, vitamin C, vitamin E, Zn, Se) dan SOD; (3) menganalisis pengaruh suplementasi MVM dan vitamin C dengan stimulasi vaksinasi tetanus toxoid (TT) terhadap respon imunitas humoral, selular dan kadar zat gizi antioksidan serta status superoxide dismutase (SOD). Desain penelitian ini adalah eksperimental murni teracak buta ganda (double blind randomized controlled trial) dan telah mendapat persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Badan Litbang Kesehatan Nomor LB.03.04/KE/4294/2007. Penelitian lapang dilaksanakan selama empat bulan, yakni Februari hingga Mei 2008. Penelitian dilakukan di Pabrik Garmen PT Ricky Putra Globalindo Tbk., Citeureup, Kabupaten Bogor. Analisis serum darah dilaksanakan di Puslitbang Gizi dan Makanan Depkes Bogor, Laboratorium Makmal Terpadu Universitas Indonesia (UI) dan Laboratorium Biokimia serta Molekuler UI. Jumlah wanita pekerja yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah 300 orang yang selanjutnya diacak untuk mendapatkan salah satu dari enam perlakuan (plasebo, plasebo+ TT, vitamin C, vitamin C + TT dan multi vitamin-mineral (MVM) serta MVM +TT sehingga tiap perlakuan terdiri dari 50 orang. Suplemen diberikan setiap hari selama 10 minggu kepada wanita pekerja oleh petugas dan perawat di klinik perusahaan. Suplemen yang diberikan berbentuk tablet dan diminum langsung oleh wanita pekerja di depan petugas. Kandungan vitamin C dalam suplemen vitamin C (tunggal) adalah 1000 mg; sedangkan formula suplemen MVM terdiri dari 1000 mg vitamin C; 45 mg vitamin E; 700 μg vitamin A; 6,5 mg vitamin B6; 400 μg asam folat; 9,6 μg vitamin B12; 10 μg vitamin D; 10 mg Zn; 110 μg Se; 0,9 mg Cu; dan 5 mg Fe. Suplemen yang diberikan ini diproduksi oleh perusahaan farmasi yang sama. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer berupa data sosio demografi, konsumsi, status gizi, status kesehatan, dan biokimia darah. Data sosio demografi dikumpulkan sebelum penelitian melalui wawancara. Data status gizi meliputi berat dan tinggi badan dikumpulkan sebelum dan sesudah penelitian. Data status kesehatan dikumpulkan sebelum dan sesudah penelitian melalui pengukuran tekanan darah dan pencatatan keluhan sakit. Data biokimia darah dikumpulkan pada saat sebelum penelitian ( darah satu), pada enam minggu suplementasi (darah 2) dan sesudah penelitian (darah 3) meliputi kadar vitamin A, vitamin E, vitamin C, kadar superoksida dismutase, kadar selenium, kadar zinc, Titer IgG, jumlah CD4+, jumlah CD8+ dan jumlah sel NK. Data yang diperoleh diuji dengan analisis varian (analysis of variance/Anova) dan analisis lanjut dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Hasil uji statistik, menunjukkan bahwa variabel latar belakang sampel sebelum penelitian yang meliputi status gizi berdasarkan indeks Massa Tubuh (IMT), jumlah anggota keluarga, pendidikan sampel, usia sampel dan kadar IgG, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0,05) pada semua perlakuan. Sesudah suplementasi terjadi perubahan jumlah sel Natural killer (NK) yang signifikan antara perlakuan (p<0.05), yaitu sampel yang mendapat perlakuan plasebo sebesar 695 ± 237 sel/µl, plasebo+TT: 625.9 ± 221 sel/µl, vitamin C : 561.5 ± 241 sel/µl, vitamin C+TT: 620.5 ± 239 sel/µl, MVM: 524.1 ± 208 sel/µl, MVM+TT: 604.5 ± 285 sel/µl. Hasil uji Anova dan uji lanjut dengan beda nyata terkecil (BNT) menunjukkan bahwa suplementasi MVM berpengaruh signifikan (p<0.05) terhadap penurunan jumlah sel NK ke dalam kisaran normal (90-590 sel/µl). Multi vitamin-mineral (MVM) mempunyai peranan sebagai imunomodulator yang dapat berfungsi sebagai imuno stimulator maupun sebagai imuno supressor seperti temuan penelitian ini dimana MVM menurunkan sel NK. Sesudah suplementasi kadar vitamin E sampel mengalami perubahan yang signifikan antara keenam perlakuan (p<0.05), yaitu sampel yang mendapat perlakuan plasebo 9.5±2.3 µmol/L, plasebo+TT 9.1 ± 1.9 µmol/L, vitamin C 9.2 ± 2.6 µmol/L, vitamin C+TT 9.9 ± 1.9 µmol/L, MVM 13.5 ± 4.2 µmol/L, MVM+TT 13.6 ± 3.1 µmol/L. Hasil uji Anova dan uji lanjut dengan BNT menunjukkan bahwa suplementasi MVM berpengaruh nyata terhadap kenaikan kadar vitamin E. Sesudah suplementasi kadar vitamin C sampel mengalami kenaikan yang cukup signifikan (p<0.05), yaitu sampel yang mendapat perlakuan plasebo 9.79 ± 2.2 µmol/L, plasebo+TT 10.44 ± 3.0 µmol/l, vitamin C 15.13 ± 3.1µmol/l, vitamin C+TT 15.04 ± 5.6 µmol/l, MVM 11.41 ± 3.7 µmol/l, MVM+ TT 10.85 ± 3.0 µmol/l. Hasil uji Anova dan BNT menunjukkan bahwa suplementasi vitamin C mempengaruhi kenaikan kadar vitamin C sampel yang mendapat suplemen vitamin C 1000 mg. Sesudah suplementasi kadar selenium sampel berbeda signifikan antara keenam perlakuan (p<0.05), yaitu sampel yang mendapat perlakuan plasebo 0.57 ±0.17µmol/l, plasebo+TT 0.62±0.18 µmol/l, vitamin C 0.59±0.33 µmol/l, vitamin C+TT 0.67± 0.23 µmol/l, MVM 0.68 ±0.15 µmol/l, MVM+TT 0.84 ± 0.30 µmol/l. Hasil uji Anova dan uji lanjut BNT menunjukkan bahwa suplementasi MVM berpengaruh signifikan terhadap perubahan kadar selenium. Sesudah suplementasi kadar zinc sampel mengalami perubahan signifikan (p<0.05), yaitu sampel yang mendapat perlakuan plasebo meningkat 7.5 µg/dl, plasebo+TT meningkat 3.4 µg/dl, vitamin C meningkat 0.8 µg/dl, vitamin C+TT meningkat 4.0 µg/dl, MVM meningkat 10.7 µg/dl, MVM+ TT meningkat 7.1 µg/dl. Hasil uji Anova dan uji lanjut dengan BNT menunjukkan bahwa suplementasi MVM berpengaruh signifikan terhadap perubahan kadar zinc. Sesudah suplementasi terjadi perubahan kadar superoksida dismutase (SOD) yang signifikan antara keenam perlakuan (p<0.05), yaitu sampel yang mendapat perlakuan plasebo menurun 2.7 unit/g Hb, plasebo+TT meningkat 22.2 unit/g Hb, vitamin C meningkat 23.9 unit/g Hb, vitamin C+TT meningkat 101.1 unit/g Hb, MVM meningkat 487.1 unit/g Hb, MVM+ TT meningkat 189.7 unit/g Hb. Hasil uji Anova dan uji lanjut dengan BNT menunjukkan bahwa suplementasi MVM mempengaruhi kenaikan kadar SOD. Hasil penelitian ini menemukan bahwa sel NK mempengaruhi secara nyata jumlah CD4+ (r2 = 0,102 , p = 0.000), dan juga mempengaruhi CD8+ (r2 = 0,023 , p = 0.024). Multi vitamin-mineral memperbaiki status antioksidan primer superoksida dismutase (SOD). Simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: (1) suplementasi multi vitamin-mineral (MVM) memperbaiki imunitas non-spesifik dengan membaiknya jumlah sel NK (2) Suplementasi MVM memperbaiki status vitamin A, vitamin E, selenium, sedangkan suplementasi vitamin C hanya memperbaiki status vitamin C saja. (3) Suplementasi MVM memperbaiki status superoksida dismutase (SOD) sebagai antioksidan primer. . Kata kunci: : suplementasi multi vitamin-mineral, sel NK, CD4+, CD8+ and zat gizi antioksidan. © Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. PENGARUH SUPLEMENTASI MULTI VITAMIN-MINERAL TERHADAP IMUNITAS HUMORAL, SELULER, DAN STATUS ZAT GIZI ANTIOKSIDAN FITRAH ERNAWATI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 Judul Disertasi : Pengaruh Suplementasi Multi Vitamin-Mineral Terhadap Imunitas Humoral, Seluler, dan Status Zat Gizi Antioksidan Nama : Fitrah Ernawati NRP : I061060071 Program Studi : Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMK) Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Rimbawan Ketua Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS. Anggota Prof. Dr. Muhilal,APU Anggota Dr. drh. I Wayan T. W, MS. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS. Tanggal Ujian: 16 Juni 2009 Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir.Khairil A. Notodiputro, M.S Tanggal Lulus: 22 juli 2009 PRAKATA Bismillahirrahmannirrahim, Assalamu’alaiikum warahmatullahi wa barakatuh. Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat, Hidayah dan KaruniaNya sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Penulis ingin menyampaikan rasa Terima Kasih dan penghargaan yang tulus kepada berbagai pihak yang telah membantu sehingga disertasi ini selesai: Bapak Dr. Rimbawan sebagai Ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS, Bapak Prof. Dr. Muhilal, APU, Bapak Dr. drh. I Wayan T. W, MS, sebagai aggota komisi pembimbing. Bapak Prof.Dr.Hardinsyah, sebagai Dekan Fakultas Ekologi Manusia dan Pimpinan Sidang Ujian Terbuka. Ibu Dr.Diah K. Pranadji, sebagai Pimpinan Sidang Ujian Tertutup. Bapak Dr. Sunarno Ranu Widjojo, sebagai Kepala Puslitbang Gizi dan Makanan Bogor. Ibu Dr. Susilowati Herman, sebagai Ketua KPP Biokimia Puslitbang Gizi dan Makanan. Bapak Dr. Herman Sudiman, sebagai anggota panitia pembina ilmiah Puslitbang Gizi dan Makanan. Ibu Dr. Sri Anna Marliati sebagai penguji proposal penelitian. Ibu Dr. Ir. Evy Damayanthi, sebagai penguji kolokium dan penguji sidang terbuka. Bapak Dr. Djoko Kartono dan Ibu Prof .Dr. Retno D. Soejoedono selaku penguji luar komisi dalam ujian tertutup. Ibu Prof. Dr. dr. Purwantyastuti,MSc,SpFK sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka. Bapak Pimpinan PT. Bayer Indonesia yang telah memberi bantuan dana penelitian. Pimpinan PT Ricky Putra Globalindo, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor. Teman-teman satu angkatan, Ibu Ir Katrin Rosita Msi, teman-teman yang membantu pengumpulan data dan teman–teman Biokimia Puslitbang Gizi dan Makanan. Kepala Laboratorium Makmal Terpadu Prof.dr Med Ali Baziad,SpOG(K), Ibu Dra Eva Zakiah, Ibu Dra Marnilda, Ibu dra Nining Gusniarti. Bapak Dr Hafiz, Ibu Drg Dwirini (Ninik) di Laboratorium Biokimia UI. Ayahanda dan Bunda yang tercinta, tak putus-putusnya memberikan dukungan moril dan doa kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini. Kepada yang tercinta Ibu mertua dan Almarhum Ayah mertua, yang telah memberi restu dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini. Anak-anak tercinta Taufiqurrakhim Aditra (Dedit), Rakhmat Fitranto Aditra (Rahmat) dan Muhammad Fauzi Aditra (Fauzi), serta Suami Tercinta Muhammad Nur Aidi, atas dukungan dan kasih sayang mereka. Semoga Allah SWT yang Maha Kuasa dan Maha mengetahui memberikan balasan terhadap semua pihak yang penulis sebutkan maupun tidak penulis sebutkan atas kontribusi dan kebaikan yang tulus, sekecil apapun kontribusi Bapak/Ibu/Saudara sangat berarti bagi penulis. Akhir kata tiada gading yang tak retak dan kesempurnaan hanya milik Allah semata. Bogor, Juli 2009 Fitrah Ernawati RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sampit, Kalimantan Tengah pada tanggal 25 Maret 1962 dari Ayahanda H. Masrani dan Ibunda Hj Hidayah. Penulis adalah putri pertama dari tiga bersaudara. Tahun 1985 penulis lulus Akademi Analis Medis Universitas Airlangga, Surabaya. Pendidikan Strata -2 pada Program Master of Science Applied Nutrition, di University of Philippines Los Banos Philipina, selesai pada tahun 1998. Pada tahun 2006 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan Program Doktor pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dengan beasiswa dari Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. Penulis bekerja di Puslitbang Gizi dan Makanan DepKes, sejak tahun 1993 sampai sekarang. Penulis menikah dengan Muhammad Nur Aidi dan dikarunia tiga putra yaitu Taufiqurrakhim Aditra (Dedit), Rakhmat Fitranto Aditra (Rahmat), Muhammad Fauzi Aditra (Fauzi). DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL....................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR .................................................................................. vi DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... vii PENDAHULUAN ...................................................................................... Latar Belakang ................................................................................. Rumusan Masalah ............................................................................ Tujuan Penelitian ............................................................................. Manfaat Penelitian ........................................................................... Hipotesis Penelitian.......................................................................... 1 1 4 5 6 6 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. Peranan Vitamin dan Mineral di dalam Tubuh............................... Vitamin A.................................................................................. Vitamin E .................................................................................. Vitamin C .................................................................................. Selenium.................................................................................... Zinc ........................................................................................... Zat Besi....................................................................................... Vitamin B6.................................................................................. Asam Folat.................................................................................. Vitamin B12................................................................................ Vitamin D.................................................................................... Tembaga (Cu).............................................................................. Interaksi antar Zat Gizi Mikro ........................................................ Zat Besi dan Zinc ...................................................................... Vitamin A dan Besi................................................................... Vitamin C dan Besi .................................................................. Zinc dan Vitamin A................................................................... Selenium dan Vitamin E ........................................................... Suplemen Multi Vitamin-Mineral................................................... Sistem Imunitas............................................................................... Sistem Imun Non-Spesifik ........................................................ Sistem Imun Spesifik ................................................................ Zat Gizi Antioksidan....................................................................... Peranan Zat Gizi Antioksidan terhadap Imunitas ........................... Vitamin A.................................................................................. Vitamin E .................................................................................. Selenium.................................................................................... Zinc ........................................................................................... Vitamin C .................................................................................. 7 7 8 9 11 12 14 15 16 17 18 18 19 20 21 21 22 23 23 24 30 32 35 37 40 41 42 44 45 46 METODE PENELITIAN............................................................................ Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian ........................................... Cara Penentuan Sampel .................................................................. Pelaksanaan Penelitian..................................................................... Cara Pemberian Suplemen............................................................... Jenis dan Cara Pengumpulan Data................................................... Pengendalian Kualitas Data............................................................. Pengolahan dan Analisis Data......................................................... Definisi Operasional Variabel......................................................... 48 48 48 49 51 52 53 55 58 KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................................ 60 HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................... Karakteristik Sampel....................................................................... Pengaruh Suplementasi terhadap Imunitas Non-Spesifik ............... Sel Darah Putih (Leukosit)........................................................ Monosit ..................................................................................... Neutrofil .................................................................................... Sel Natural Killer ...................................................................... Pengaruh Suplementasi terhadap Humoral Mediated Immunity (HMI) ............................................................................................. Immunoglobulin G (IgG) .......................................................... Limfosit ..................................................................................... CD4+......................................................................................... Pengaruh Suplementasi terhadap Cell Mediated Immunity (CMI) .............................................................................................. CD8+......................................................................................... Pengaruh Suplementasi terhadap Zat Gizi Antioksidan.................. Vitamin A.................................................................................. Vitamin E .................................................................................. Vitamin C .................................................................................. Zinc ........................................................................................... Selenium.................................................................................... Besi..................................................................................... SOD (Superoksida Dismutase) ................................................. Pengaruh Suplementasi pada Sampel Kekurangan Zat Gizi Antioksidan terhadap Respon Imun ................................................. Kekurangan Vitamin A ............................................................. Kekurangan Vitamin C ............................................................. Kekurangan Vitamin E.............................................................. Kekurangan Zinc....................................................................... Kekurangan Selenium ............................................................... Hubungan Fungsi Imun Non-Spesifik dengan Fungsi Imun Humoral dan CMI .......................................................................................... Pembahasan Umum ........................................................................ 63 63 67 67 69 70 72 75 75 78 80 81 81 83 83 85 88 90 93 95 97 100 100 101 102 103 104 106 107 KESIMPULAN DAN SARAN................................................................... Kesimpulan ..................................................................................... Saran................................................................................................ 110 110 110 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 111 LAMPIRAN................................................................................................ 124 DAFTAR TABEL Halaman 1 Kategori suplemen multi vitamin-mineral dalam beberapa penelitian . 25 2. Kecukupan gizi, UL, dan batas maksimum BPOM vitamin dan mineral yang digunakan dalam suplemen penelitian ......................................... 30 3 Formula suplemen multi vitamin-mineral............................................. 52 4 Jenis variabel dan cara pengumpulan data ............................................ 53 5 Pengelompokan status gizi orang dewasa menurut IMT ...................... 56 6 Jenis dan kategori variabel .................................................................... 57 7 Sebaran sampel menurut kategori pendidikan ...................................... 64 8 Sebaran sampel menurut kategori usia.................................................. 64 9 Sebaran sampel menurut kategori ukuran keluarga .............................. 65 10 Sebaran sampel menurut kategori status gizi ........................................ 66 11 Sebaran karakteristik sampel menurut perlakuan ................................. 66 12 Status zat gizi antioksidan sampel pada awal penelitian....................... 67 13 Rata-rata jumlah leukosit selama penelitian menurut perlakuan .......... 68 14 Rata-rata jumlah monosit selama penelitian menurut perlakuan .......... 70 15 Rata-rata jumlah neutrofil selama penelitian menurut perlakuan......... 71 16 Rata-rata jumlah sel NK selama penelitian menurut perlakuan............ 73 17 Rata-rata kadar IgG selama penelitian menurut perlakuan .................. 76 18 Rata-rata jumlah limfosit selama penelitian menurut perlakuan........... 79 19 Rata-rata jumlah CD4+ selama penelitian menurut perlakuan ............. 80 20 Rata-rata jumlah CD8+ selama penelitian menurut perlakuan ............. 81 21 Rata-rata kadar vitamin A selama penelitian menurut perlakuan ......... 84 22 Rata-rata kadar vitamin E selama penelitian menurut perlakuan.......... 86 23 Rata-rata kadar vitamin C selama penelitian menurut perlakuan ......... 89 24 Rata-rata kadar zinc selama penelitian menurut perlakuan................... 91 25 Rata-rata kadar selenium selama penelitian menurut perlakuan........... 94 26 Rata-rata kadar Hb selama penelitian menurut perlakuan.............. ...... 96 27 Rata-rata kadar SOD selama penelitian menurut perlakuan ................. 97 28 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan Vitamin A sebelum suplementasi ........................................................................... 100 29 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan vitamin A sesudah suplementasi ............................................................................ 100 30 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan vitamin C sebelum suplementasi ........................................................................... 101 31 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan vitamin C sesudah suplementasi ............................................................................ 102 32 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan vitamin E sebelum suplementasi ........................................................................... 102 33 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan vitamin E sesudah suplementasi ............................................................................ 103 34 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan Zinc sebelum suplementasi ........................................................................... 103 35 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan Zinc sesudah suplementasi ............................................................................ 104 36 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan Selenium sebelum suplementasi ........................................................................... 104 37 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan Selenium sesudah suplementasi ............................................................................ 105 38 Rangkuman pengaruh suplementasi vitamin C dan multi vitamin mineral terhadap respon imun dan zat gizi antioksidan ........................ 109 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Vitamin E setelah melepas ion hidrogen ............................................. 10 2 Reaksi redoks vitamin C ....................................................................... 12 3 Gambaran umum sistem imunitas......................................................... 32 4 Mekanisme imunitas seluler dan humoral............................................. 37 5 Peran oksigen dalam cedera sel ............................................................ 38 6 Pembentukan stres oksidatif ................................................................. 39 7 Pertahanan enzimatik terhadap cedera radikal bebas ........................... 39 8 Alur penelitian....................................................................................... 50 9 Kerangka pemikiran .............................................................................. 62 10 Sebaran titerIgG pada sampel yang tidak mendapat vaksinasi menurut perlakuan................................................................................. 77 11 Sebaran titer IgG pada sampel yang mendapat vaksinasi TT menurut perlakuan.......................................................................... 78 12 Persentase sampel kekurangan vitamin A sebelum dan sesudah penelitian 85 13 Persentase sampel kekurangan vitamin E sebelum dan sesudah penelitian 87 14 Persentasi sampel kekurangan vitamin C sebelum dan sesudah penelitian 90 15 Persentase sampel kekurangan zinc sebelum dan minggu ke 6 penelitian 92 16 Persentase sampel kekurangan selenium sebelum dan sesudah penelitian 95 17 Persentase sampel yang mempunyai kadar SOD kurang dari normal sebelum dan sesudah penelitian........ .................................................... 99 18 Pertahanan SOD terhadap radikal bebas superoksida........................... 99 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Persetujuan etik (ethical clearance)...................................................... 125 2 Formulir persetujuan untuk mengikuti penelitian (informed consent) ............................................................................... 126 3 Kuisioner identitas, antropometri, sosial ekonomi, pemeriksaaan Kesehaan, pemeriksaan klinis, konsumsi pangan, monitoring Intervensi, dan monitoring morbiditas responden................................. 127 4 Uji anova dan uji lanjut BNT data Sel NK minggu ke 10 suplementasi.......................................................................................... 135 5 Uji anova data titer IgG minggu ke 10 suplementasi............................ 136 6 Uji anova dan uji lanjut BNT data Vitamin A minggu ke 10 sulementasi........................................................................................... 137 7 Uji anova dan uji lanjut BNT data Vitamin E ...................................... 138 8 Uji anova dan uji lanjut BNT data Vitamin C ...................................... 140 9 Uji anova dan uji lanjut BNT data selisih Zinc baseline dan minggu ke 6 141 10 Uji anova dan uji lanjut BNT data Selenium ........................................ 142 11 Uji anova dan uji lanjut BNT data selisih SOD baseline dan mingu ke 10...................................................................... 144 12 Hasil regresi sel NK dengan CD4+ dan CD8+ ..................................... 145 13 Pemeriksaan imunitas sel NK, CD4+, CD8+........................................ 146 14 Pemeriksaan hemoglobin ...................................................................... 148 15 Metode hitung jenis Leukosit................................................................ 149 16 Gambar kegiatan pengumpulan data..................................................... 151 PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan sebagai sumber zat gizi, baik zat gizi makro maupun mikro harus dikonsumsi dalam jumlah yang cukup, baik secara kuantitas maupun kualitas. Zat gizi tersebut digunakan untuk melakukan fungsi berbagai sistem tubuh seperti sistem saraf, endokrin, otot, kardiovaskular, reproduksi, dan sistem kekebalan/imunitas (Almatsier 2006; Wintegres et al. 2007). Zat gizi mikro, baik vitamin maupun mineral diperlukan oleh tubuh dalam jumlah terbatas, namun mempunyai peranan yang sangat penting. Kekurangan zat gizi mikro pada tingkat ringan sekalipun, dapat mempengaruhi kemampuan belajar, mengganggu produktivitas kerja, dan kualitas sumber daya manusia (World Bank 2006). Vitamin dan mineral mempunyai fungsi membantu kerja berbagai jenis enzim, di samping itu juga sebagai antioksidan yang berkaitan erat dengan fungsi sistem kekebalan (imunitas) tubuh. Beberapa vitamin dan mineral yang mempunyai fungsi sebagai antioksidan antara lain vitamin C, E, β- karoten, selenium, tembaga, dan zinc. Zat gizi tersebut dapat mencegah kerusakan sel dari radikal bebas (Wintegrest et al. 2007; Winarsi 2007). Seluruh mineral dan sebagian besar vitamin tidak dapat disintesa oleh tubuh sehingga harus diperoleh dari makanan terutama buah, sayur, dan pangan hewani. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral maka diperlukan konsumsi makanan yang seimbang dan beragam. Dalam kondisi tertentu, dimana vitamin dan mineral yang bersumber dari makanan tidak dapat memenuhi kebutuhan, maka suplemen zat gizi dapat digunakan sebagai alternatif pilihan. Meskipun di dalam International Conference on Nutrition Tahun 1992, FAO/WHO menyatakan bahwa suplementasi zat gizi lebih diprioritaskan untuk kelompok rawan (vulnerable group) yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya akan zat gizi melalui makanan, seperti bayi dan anak-anak, lansia, kelompok individu dengan sosial ekonomi rendah, orang terlantar, pengungsi, penduduk yang berada dalam kondisi darurat, dan wanita usia subur (WUS) (FAO/WHO 1992). Selain kelompok-kelompok di atas, kelompok yang memerlukan suplemen zat gizi mikro adalah perokok (Polidori et al. 2003; Pamuk et al.1994), seseorang yang terpapar oleh stres oksidatif (Romieu et al.2008), terpapar polusi udara 9 (Romieu 2005), pengonsumsi alkohol berat (Albanes et al. 1997), terkena penyakit infeksi (Barringer et al. 2003), ibu hamil dan wanita menyusui (Lapido 2000; Black 2001). Disisi lain, akhir-akhir ini makin banyak masyarakat mengonsumsi suplemen, misalnya di Inggris, tidak kurang dari 40 persen penduduknya mengonsumsi suplemen secara teratur. Di Amerika, lebih dari lima puluh persen dari populasi dewasa menggunakan suplemen makanan (NIH State of the Science Panel 2007). Begitu pula di Indonesia, berdasarkan data International Market Research /IMR (2005) menunjukkan bahwa penjualan suplemen makanan (termasuk vitamin dan mineral) mencapai $100 juta (Rp satu trilyun) pada tahun 2001, dan meningkat menjadi Rp 1.1 trilyun pada tahun 2002. Menurut Hardinsyah (2008) persentase terbesar sebagai pengguna suplement zat gizi adalah wanita. IMR (2005) menambahkan bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kebutuhan pasar akan suplemen makanan antara lain : perubahan pola makan, kesadaran untuk hidup sehat, ketidakseimbangan antara diet dengan gaya hidup yang stres dan merebaknya penyakit epidemik. Penelitian tentang manfaat suplemen vitamin dan mineral sudah banyak dilakukan, di antaranya manfaat vitamin C, vitamin E, vitamin A, dan mineral seperti selenium dan zinc. Beberapa di antaranya membuktikan bahwa konsumsi vitamin C dosis 500-1000 mg memberikan efek antioksidan maksimal karena sudah terjadi kejenuhan vitamin C pada plasma (Carol and Arah 2001). Vitamin C juga mempengaruhi sistem imun dengan mestimulasi fungsi neutrofil dan makrofag, sehingga meningkatkan kemotaksis dan mobility, meningkatkan fagositosis dan meningkatkan kemampuan membunuh bakteri (Wintegrest et al. 2007). Calder et al. (2002) menyimpulkan konsumsi selenium yang cukup sangat penting untuk meningkatkan imunitas humoral dan seluler. Kemudian peranan selenium juga telah diteliti oleh Broome et al. (2004) dimana suplementasi selenium dengan dosis 100 µg dapat meningkatkan fungsi imunitas secara optimal. Manfaat zinc terhadap imunitas juga telah diteliti oleh Raqib et al. (2004) dengan memberikan suplemen zinc pada lansia yang menderita disentri dan hasilnya menunjukkan adanya peningkatan proliferasi limfosit. Penelitian tersebut diperkuat oleh Kim and Kim (2004) yang menyatakan bahwa konsumsi antioksidan meningkatkan produksi sitokin pada lansia, sehingga meningkatkan 9 produksi antibodi. Selanjutnya penelitian tentang peranan vitamin A terhadap fungsi imunitas menunjukkan bahwa vitamin A mempunyai peranan penting dalam pengaturan fungsi imun baik non-spesifik maupun cell mediated immunity, dan respon antibodi (Stephensen 2001; Villamor dan Fauzi 2005). Selain itu vitamin A juga memegang peranan penting dalam menjaga permukaan mukosa, menstimulasi respon antibodi dan dalam hematopoesis (calder et al. 2002). Selanjutnya suplementasi kombinasi antara vitamin A dan zinc terbukti dapat menurunkan prevalensi dan keparahan infeksi malaria (Zeba et al. 2008). Dosis vitamin mineral yang diberikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi respon imun, oleh karena itu penelitian berkaitan dengan dosis suplemen vitamin mineral masih terus dilakukan, meskipun batas maksimum yang diperbolehkan (tolerable upper intake level/UL) sudah ditetapkan. Tolerable uppeer intake level / UL adalah angka paling tinggi dari suatu zat gizi yang bila dikonsumsi dalam jumlah tersebut setiap hari tidak menimbulkan efek yang membahayakan kesehatan. Intik zat gizi yang melebihi UL dapat meningkatkan resiko negatif bagi kesehatan. Hathcock et al. (2005) telah melakukan review dari beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa penggunaan vitamin C dan E dengan dosis dibawah batas maksimum yang diperbolehkan (tolerable upper intake level/UL) aman untuk dikonsumsi. Peranan vitamin dan mineral dalam sistem imunitas sangat ditentukan oleh fungsi vitamin dan mineral sebagai antioksidan. Sebagai antioksidan vitamin dan mineral dapat melindungi kerusakan sel dari radikal bebas. Radikal bebas dapat terbentuk dari aktifitas sitotoksis selain dari metabolisme normal dan bahan-bahan polutan dari luar tubuh, yang bekerja dengan cara mengaktifkan mekanisme mikrobisidal pada proses fagositosis. Mekanisme ini disertai dengan pembentukan molekul yang bersifat reaktif terhadap oksigen atau reactive oxygen species (ROS) atau senyawa oksigen reaktif (SOR) untuk membunuh sel atau molekul yang dianggap sebagai antigen. SOR yang dihasilkan pada proses imunitas tersebut, jika tidak dinetralkan oleh antioksidan dapat menjadi sumber kerusakan sel imun itu sendiri. Produksi SOR yang tidak seimbang dengan antioksidan yang terdapat di dalam tubuh dapat memicu terjadinya stress oksidatif. Oleh karena itu 9 antioksidan di dalam sel mempunyai peranan penting untuk memelihara sel-sel imun dari stress oksidatif (Knight 2000). Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respon imun (Baratawidjaja 2006). Penelitian untuk melihat respon imun sudah banyak dilakukan, beberapa diantaranya menggunkan vaksin influenza dan vaksin Tetanus toxoid (TT). Penelitian oleh Semba (1994) dengan memberikan vitamin A bersama vaksinasi TT. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa suplementasi vitamin A dapat meningkatkan respon humoral terhadap TT. Kemudian penelitian oleh Rahman et al. (1999) memperoleh hasil bahwa vitamin A dapat meningkatkan respon antibodi bayi berusia di atas 6 bulan. Demikian pula dengan Wolvers et al. (2006) meneliti multi vitamin-mineral sebagai imunostimulan dengan vaksin TT memperoleh hasil peningkatan antibodi terhadap vaksin TT. Pada penelitian ini untuk melihat respon imun, sampel diberikan vaksinasi TT, sehingga respon yang ditimbulkan dapat lebih spesifik yaitu adanya antibodi terhadap TT. Vaksinasi TT dipilih sebagai penantang untuk memicu respon imun karena vaksin TT terbukti aman bagi orang dewasa terutama wanita Usia Subur. Vaksin TT ini sudah menjadi program pemerintah sebagai salah satu syarat sebelum melangsungkan pernikahan atau menjelang persalinan, karena vaksin tersebut dapat melindungi ibu dari tindakan persalinan yang kurang steril (Baratawidjaja 2006). Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka perlu dilakukan uji pengaruh multi vitamin dan mineral terhadap respon imun humoral dan seluler serta kadar zat gizi antioksidan pada wanita pekerja sebagai bagian dari Wanita Usia Subur (WUS). Rumusan Masalah Wanita pekerja merupakan bagian dari WUS yang perlu mendapat perhatian karena rentan terhadap masalah gizi disebabkan peran fisiologisnya seperti melahirkan dan menstruasi. WUS pekerja terutama yang bekerja dengan posisi berdiri mempunyai risiko terpapar stress oksidatf (Flore et al. 2004), disamping 9 itu pekerja tersebut secara bergilir mendapat tugas untuk bekerja pada malam hari (lembur) sehingga berisiko terjadinya gangguan fungsi imunitas karena tidak teraturnya siklus tidur (Whiteside and Herberman 1994). Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah pemberian suplementasi multi vitamin-mineral dan vitamin C pada wanita pekerja memberikan respon imunitas selular, humoral dan CMI (cell mediated immunity) yang lebih baik dibandingkan dengan plasebo? 2. Apakah pemberian suplementasi multi vitamin-mineral dan vitamin C pada wanita pekerja akan meningkatkan kadar zat gizi antioksidan dan SOD lebih baik dibandingkan dengan plasebo? 3. Bagaimana pengaruh suplemenasi multi vitamin-mineral dan vitamin C yang distimulasi oleh vaksinasi TT terhadap respon imunitas selular, humoral dan CMI (cell mediated immunity), status zat gizi antioksidan dan status superoksida dismutase (SOD) dibandingkan plasebo? Tujuan Penelitian Tujuan umum Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh suplementasi multi vitamin-mineral dan vitamin C terhadap respon imunitas selular, humoral dan CMI (cell mediated immunity), status zat gizi antioksidan serta status superoksida dismutase (SOD). Tujuan khusus 1. Menganalisis pengaruh suplementasi multi vitamin-mineral dan vitamin C pada wanita pekerja terhadap respon imunitas selular, humoral dan CMI (cell mediated immunity). 2. Menganalisis pengaruh suplementasi multi vitamin-mineral dan vitamin C pada wanita pekerja terhadap status zat gizi antioksidan (vitamin A, vitamin C, vitamin E, Zn, Se) dan status SOD. 9 3. Menganalisis pengaruh suplementasi multi vitamin-mineral dan vitamin C yang distimulasi oleh vaksinasi TT terhadap respon imunitas selular, humoral, CMI (cell mediated immunity) dan status zat gizi antioksidan serta status SOD. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengedukasi dan memberikan saran secara ilmiah kepada masyarakat khususnya wanita pekerja tentang perlu tidaknya penggunaan suplemen. Bagi penyusun program gizi dan kesehatan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam pengaturan penggunaan suplemen multi vitamin-mineral. Hipotesis Penelitian 1. Suplementasi multi vitamin-mineral dan vitamin C berpengaruh terhadap respon imunitas selular, humoral dan CMI (cell mediated immunity). 2. Suplementasi multi vitamin-mineral dan vitamin C berpengaruh terhadap status zat gizi antioksidan (vitamin A, vitamin C, vitamin E, Zn, Se) dan status SOD. 3. Suplementasi multi vitamin-mineral dan vitamin C dengan stimulasi vaksinasi TT berpengaruh terhadap respon imunitas selular, humoral dan CMI (cell mediated immunity). 4. Suplementasi multi vitamin-mineral dan vitamin C dengan stimulasi vaksinasi TT berpengaruh terhadap status zat gizi antioksidan (vit. A, vit. C, vit. E, Zn, Se) dan status SOD. 9 PENGARUH SUPLEMENTASI MULTIVITAMIN MINERAL TERHADAP RESPON IMUN DAN STATUS ANTIOXIDAN SERTA STATUS MICRONUTRIENT Vit A, Zn Mempertahanka n fungsi vili, mucin, microvilli Suplemen multivitamin mineral konsumsi BAHAN ASING Protein, Karbohidrat, Lemak, Asam Nukleat Suplemen vit C Vit A, Se, Zn berperan dalam fungsi fagositosis Tubuh manusia Fisik Kimia Biologis Sel Vit A, Se, Zn Berperan dlm fs Cytolitic Pertahanan Bawaan/ Non-spesifik Sel-sel APC Makrofag* Vit A Limfosit NK Natural Killer Limfosit Th* (helper) Kekebalan seluler Limfosit Tc* (cytotoxic) Tc Memori Sitokin Interleukin 1 dll. Presentasi dengan molekul MHC TCR Se, Zn Berperan dlm fs cytotoxic STRESS BCR ** Limfosit B Sel Plasma Vit A, Se, Zn meningkatka n proliferasi ANTIBODI Kekebalan humoral B memori Sistem Komplemen 7 9 1 TINJAUAN PUSTAKA Peranan Vitamin dan Mineral di dalam Tubuh Vitamin adalah komponen organik yang diperlukan dalam jumlah kecil, namun sangat penting untuk reaksi-reaksi metabolik di dalam sel, serta diperlukan untuk pertumbuhan normal dan pemeliharaan kesehatan. Beberapa vitamin berfungsi sebagai koenzim yang bertanggung jawab terhadap berlangsungnya reaksi-reaksi kimia yang esensial. Sebagian besar koenzim terdapat dalam bentuk apoenzim, yaitu vitamin yang terikat dengan protein. Mineral terutama mineral mikro terdapat dalam jumlah sangat kecil di dalam tubuh, namun mempunyai peranan penting untuk kehidupan, kesehatan, dan reproduksi ( Almatsier 2006; Piliang 2006). Peranan lain dari vitamin dan mineral adalah sebagai antioksidan yang sangat mempengaruhi kualitas hidup manusia. Beberapa vitamin dan mineral yang mempunyai peranan sebagai antioksidan, diantaranya vitamin E, vitamin C, vitamin A, selenium, zat besi dan zinc. Zat- zat ini seringkali disebut zat gizi antioksidan (IOM 2000). Sistem imunitas/kekebalan tubuh memerlukan zat gizi antioksidan antara lain untuk memproduksi dan menjaga keseimbangan sel imun (hematopoises), melindungi membran sel dari SOR ( vitamin dan mineral sebagai antioksidan), untuk melawan mikroorganisme penyebab penyakit (imunitas bawaan/innate dan dapatan/adaptive). Tubuh memerlukan vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup agar sistem imun dapat berfungsi secara optimal. Vitamin dan mineral tertentu seperti vitamin A, vitamin E, vitamin C, vitamin B6, vitamin B12, zinc, selenium dan zat besi mempunyai peranan dalam respon imun. Zat gizi tersebut membantu pertahanan tubuh pada tiga level yaitu pertahanan fisik (kulit/mukosa), seluler dan produksi antibodi. Oleh karena itu kombinasi vitamin dan mineral dapat membantu sistem perlindungan tubuh bekerja dengan optimal (Wintergerst et al. 2007). 8 Vitamin A Peranan vitamin A Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama ditemukan. Secara luas, vitamin A merupakan nama generik yang menyatakan semua retinoid dan prekursor/provitamin A/karotenoid yang mempunyai aktivitas biologi sebagai retinol (Almatsier 2006). Vitamin A memiliki beragam fungsi penting untuk tubuh, diantaranya untuk penglihatan, pertumbuhan, diferensiasi sel, reproduksi, dan integritas dari sistem kekebalan tubuh (Olson 1987; Calder et al. 2002). Dalam peranannya di dalam differensiasi sel termasuk sel kornea dan membran konjungtiva, sehingga mencegah terjadinya xeropthalmia, dan untuk photoreseptor sel rod (batang) dan cone (kerucut) dari retina. Vitamin A mengatur ekspresi berbagai gen yang mengkode protein struktural (seperti keratin kulit), enzim (seperti alkohol dehidrogenase) dan retinol binding protein. Peranan vitamin A pada sistem imunitas terkait dengan pertumbuhan dan differensiasi limfosit B( Wintergrest et al. 2007). Vitamin A berpengaruh terhadap sintesis protein, dengan demikian berpengaruh terhadap pertumbuhan sel (Almatsier 2006). Akibat kekurangan dan kelebihan vitamin A Kekurangan vitamin A (KVA) terjadi ketika simpanan tubuh habis terpakai sehingga mengganggu fungsi fisiologis. Kekurangan ini dapat merupakan kekurangan primer yang disebabkan oleh kurangnya konsumsi vitamin A atau kekurangan sekunder karena adanya gangguan penyerapan dan penggunaannya di dalam tubuh, kebutuhan meningkat, dan karena gangguan pada konversi karoten menjadi vitamin A. Kekurangan vitamin A pada tahap awal, terjadi gangguan pada integritas sel epitel dan kemudian mengganggu sistem imun, selanjutnya diikuti gangguan pada sistem penglihatan. Dalam keadaan kekurangan vitamin A, integritas mukosa epitel terganggu, hal ini sebagian besar disebabkan karena hilangnya sel globlet penghasil mukus. Konsekuensinya adalah meningkatkan kerentanan terhadap kuman patogen di mata dan saluran nafas serta saluran pencernaan. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian dimana anak anak dengan 9 kekurangan vitamin A menderita penyakit saluran nafas (Karyadi et al. 2002; Long et al. 2006). Kelebihan vitamin A dapat terjadi jika mengkonsumsi vitamin A dengan jumlah yang berlebihan dalam jangka waktu lama. Kelebihan dapat menyebabkan kerusakan hati, sakit pada tulang dan sendi, alopecia, sakit kepala, muntah, dan kulit mengering (FAO/WHO 2001). Kelebihan terjadi bila konsumsi vitamin A dalam bentuk vitamin A. Vitamin E Peranan vitamin E Vitamin E merupakan antioksidan larut lemak terbesar di dalam sistem pertahanan antioksidan sel dan hanya didapat dari makanan. Peranan besar vitamin E adalah melindungi poly unsaturated fatty acid (PUFAs) dan komponen lain dari membran sel dan low-density lipoprotein (LDL) dari oksidasi oleh radikal bebas. Vitamin E terletak di dalam lapisan phospolipid dari membran sel, sehingga sangat efektif dalam melindungi kerusakan lemak tak jenuh (Almatsier 2006; FAO/WHO 2001). Vitamin E juga mempunyai fungsi utama sebagai chain-breaking antioxidant. Vitamin E memberikan hidrogen dari grup hydroksil (-OH) pada struktur radikal bebas, sehingga radikal bebas menjadi tidak reaktif. Vitamin E menghentikan peroksidasi lemak radikal bebas dengan memberikan elektron tunggal untuk membentuk tokoferil kuinon yang stabil dan teroksidasi sempurna (Marks et al. 2000) (Lihat Gambar 1). Oleh karena itu keberadaan vitamin E di dalam tubuh sangat diperlukan. Alfa-tokoferol juga dapat menghambat aktivitas protein kinase C yang terlibat dalam proliferasi sel dan diferensiasi sel di dalam sel otot polos, trombosit, dan monosit. Penghambatan protein kinase C oleh alfatokoferol merupakan suatu tindakan untuk menekan produksi lemak yang memfasilitasi protein kinase C translocation sehingga meningkatkan aktivitas proliferasi dan diferensiasi sel (IOM 2000). 10 Gambar 1. Vitamin E setelah melepas ion hidrogen Akibat kekurangan dan kelebihan vitamin E Kekurangan vitamin E umumnya menyerang sistem saraf dan otot, pembuluh darah, dan sistem reproduksi. Kekurangan vitamin E biasanya terjadi karena adanya gangguan absorpsi lemak dan gangguan transpor lipida (IOM 2000; FAO/WHO 2001; Almatsier 2006). Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa konsumsi vitamin E mengurangi risiko penyakit jantung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplementasi vitamin E antara 200-400 mg/hari dapat mengurangi risiko parkinson’s disease, menunda kejadian katarak, memperbaiki mobilitas penderita arthritis (FAO/WHO 2001). Akan tetapi menggunakan 11 vitamin E secara berlebihan dapat menimbulkan keracunan. Dosis tinggi juga dapat meningkatkan efek obat antikoagulan yang digunakan untuk mencegah penggumpalan darah (Almatsier 2006) dan memicu terjadinya prooksidan (FAO/WHO 2001). Vitamin C Peranan vitamin C Kekuatan vitamin C sebagai antioksidan larut air disebabkan karena kemampuan vitamin C dalam mereduksi. Vitamin C antara lain mereduksi superoxide menjadi hidrogen peroksida, atau Fe3+ menjadi Fe2+, atau reduksi unsur logam lainnya. Setelah perpindahan satu elektron, vitamin C menghasilkan radikal monodehydroascorbate. Radikal ini akan berubah menjadi askorbat dan dehydroaskorbat. Kebanyakan jaringan tubuh mempunyai enzim glutathionedependent monodehydroascorbat reductase dan NADPH yang akan mereduksi radikal tersebut menjadi askorbat kembali. Dehydroaskorbat tidak stabil dalam larutan, dan akan mengalami pemecahan gugus cincinnya menjadi diketogulonic acid. Akan tetapi, dehydroaskorbat biasanya direduksi oleh NADPH atau glutathione dependent reductase menjadi askorbat (Bender 2003). (Lihat Gambar 2). Vitamin C juga diperlukan dalam beberapa proses di dalam tubuh seperti biosintesis, carnitin yang mentransfer lemak, hormon adrenalin, cortison, transpor elektron dalam banyak reaksi enzimatik, melindungi integritas dari pembuluh darah, melindungi gusi dan meningkatkan fungsi imunitas (Goodman 1991). Akibat kekurangan dan kelebihan vitamin C Kekurangan vitamin C dapat menimbulkan tanda-tanda klinis seperti pendarahan atau bengkak di gusi, nyeri persendian, atau konsentrasi vitamin C di plasma, darah dan leukosit yang sangat rendah. Kekurangan vitamin C akut dapat menyebabkan skorbut. Seseorang dengan kekurangan vitamin C dapat menurunkan kekebalan seluler (Chandra, 2002). Kelebihan vitamin C dari makanan jarang terjadi, akan terjadi jika mengkonsumsi suplemen vitamin C secara berlebihan, dimana dapat menimbulkan hiperoksaluria dan resiko lebih tinggi yaitu terbentuk batu ginjal (Almatsier 2006). Efek samping lainnya bila mengonsumsi vitamin C dosis tinggi 12 yaitu dapat mengganggu saluran pencernaan dan diare (IOM 2000), akan tetapi selama mengonsumsi dengan dosis di bawah Upper Limit (UL) tidak menimbulkan efek negatif (Hatchcock et al. 2005). Gambar 2 Reaksi redoks vitamin C Selenium Peranan selenium Enzim glutation peroksidase (GSH-Px) memegang peranan sebagai katalisator dalam pemecahan peroksida yang terbentuk di dalam tubuh menjadi ikatan yang tidak bersifat toksik. Glutation peroksidase adalah enzim antioksidan yang mengandung selenium pada sisi aktifnya. Kerja enzim ini mengubah molekul hidrogen peroksida (yang dihasilkan SOD dalam sitosol dan mitokondria) menjadi air. 2GSH + H2O2 GSH-Px GSSG + 2H2O 13 Peroksida dapat berubah menjadi radikal bebas yang dapat mengoksidasi asam lemak tidak jenuh yang ada pada membran sel, sehingga merusak membran sel tersebut (Winarsi 2007; Marks et al. 2000). Selenium juga bekerjasama dengan vitamin E dalam peranannya sebagai antioksidan. Selenium berperan serta dalam sistem enzim yang mencegah terjadinya radikal bebas dengan menurunkan konsentrasi peroksida dalam sel. Sedangkan vitamin E menghalangi bekerjanya radikal bebas setelah terbentuk. Selenium dan vitamin E disamping melindungi membran sel dari kerusakan oksidatif, juga membantu reaksi oksigen dan hidrogen pada akhir rantai metabolisme, serta membantu sintesa imunoglobulin. Peranan selenium banyak dijumpai di dalam sitosol dan mitokondria karena glutation peroksidase berperan di dalam sitosol dan mitokondria sel, sedangkan vitamin E di dalam membran sel (FAO/WHO 2001). Peranan selenium sebagai antioksidan yang terlibat dalam perlindungan terhadap kerusakan akibat oksidatif melalui peranan glutation peroksidase, membuat selenium dihubungkan dengan pencegahan penyakit jantung dan penyakit kronis lainnya. Hasil meta-analisis dari dua puluh lima penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi selenium dalam darah berbanding terbalik dengan risiko penyakit jantung (Mateo et al. 2006). Akibat kekurangan dan kelebihan selenium Selenium adalah mineral kelumit yang penting untuk sintesis protein dan aktivitas enzim glutation peroksidase. Defisiensi selenium pada manusia dapat menyebabkan nekrosis hati dan penyakit degeneratif. Pada awalnya, kekurangan selenium pada manusia dikenal sebagai penyakit Keshan. Penyakit ini pernah terjadi di Cina pada daerah berbukit dan pegunungan dengan kandungan selenium yang rendah pada tanahnya, dimana terjadi kardiomiopati atau degenerasi otot jantung yang menyerang anak-anak dan wanita (FAO/WHO 2001; IOM 2000; Winarsi 2007). Dampak kekurangan Selenium terhadap imunitas antara lain menurunkan titer IgM dan IgG, mengganggu chemotaxis neutrofil dan produksi antibodi oleh limfosit, dan meningkatkan CD4+ serta menurunkan CD8+. Hasil penelitian oleh Calder et al. (2002) menunjukkan bahwa pada keadaan kekurangan Se dapat menurunkan titer IgG dan IgM, dan CD 8+ akan tetapi 14 meningkatkan CD 4+. Dampak kelebihan selenium adalah selenosis, termasuk perubahan kulit dan kuku, kerusakan gigi, gangguan sistem pencernaan dan sistem saraf (IOM 2000). Zinc Peranan zinc Zinc merupakan komponen lebih dari 300 enzim yang berpartisipasi dalam sintesa dan degradasi karbohidrat, lemak, protein, dan asam nukleat. Zinc juga menstabilkan struktur molekul dari komponen seluler dan membran serta berkontribusi dalam menjaga integritas sel dan organ. Peranan penting lainnya adalah sebagai bagian integral enzim DNA polimerase dan RNA polimerase yang diperlukan dalam sintesis DNA dan RNA, juga sebagai bagian dari enzim kolagen. Zinc berperan pula dalam sintesa dan degradasi kolagen. Oleh karena itu zinc berperan dalam pembentukan kulit, metabolisme jaringan ikat dan penyembuhan luka. Di samping itu zinc diperlukan untuk sintesa Retinol Binding Protein/RBP yaitu protein pengikat retinol di dalam hati. Peranan zinc di dalam fungsi imunitas antara lain di dalam fungsi sel T dan dalam pembentukan antibodi oleh sel B, serta pertahanan non-spesifik (FAO/WHO 2001; Almatsier 2006). Zinc juga diperlukan di dalam aktivitas enzim SOD yang memiliki peranan penting dalam sistem pertahanan tubuh, terutama terhadap aktivitas senyawa oksigen reaktif yang dapat menyebabkan stress oksidatif (Winarsi 2007). Akibat kekurangan dan kelebihan zinc Kekurangan zinc dapat terjadi bila seseorang banyak mengonsumsi makanan berupa serealia dan kacang-kacangan, dimana makanan ini mengandung tinggi serat dan fitat yang dapat menghambat penyerapan seng. Gejala-gejala kekurangan seng diantaranya menurunnya ketajaman indera perasa, melambatnya penyembuhan luka, gangguan pertumbuhan, menurunnya kematangan seksual, terganggunya sistem imun, terganggunya fungsi kelenjar tiroid, laju metabolisme dan gangguan homeostasis (Whittaker 1998; Almatsier 2006). Kekurangan zinc pada anak-anak mengganggu pertumbuhan (Dijkhuizen et al. 2001) juga mengganggu pembentukan IgG (Raqib et al. 2004). Sementara itu, kelebihan zinc 15 dilaporkan dapat mengganggu penyerapan tembaga. Dosis zinc 2 gram atau lebih dapat menyebabkan muntah, diare, deman (FAO/WHO 2001; Almatsier 2006). Besi Peranan besi Peranan zat besi berhubungan dengan kemampuannya dalam reaksi oksidasi dan reduksi. Secara kimia, zat besi merupakan unsur yang sangat reaktif sehingga mampu berinteraksi dengan oksigen. Dalam keadaan tereduksi, besi kehilangan dua elektron sehingga memiliki dua sisa muatan positif (Fe2+/fero). Sedangkan dalam keadaan teroksidasi, besi kehilangan tiga elektron sehingga memiliki tiga sisa muatan positif (Fe3+/feri). Karena dapat berada dalam dua bentuk ion ini, besi berperan dalam proses respirasi sel, yaitu sebagai kofaktor bagi enzim-enzim yang terlibat dalam reaksi oksidasi-reduksi ( FAO/WHO 2001; Almatsier 2006). Aktifitas SOD dan katalase bergantung pada zat besi ini. Antioksidan enzimatis bekerja dengan cara mencegah terbentuknya senyawa radikal bebas baru (Marks et al. 2000; Winarsi2007). Selain itu sebagian besar zat besi berada dalam hemoglobin, hemoglobin di dalam darah membawa oksigen dari paru-paru keseluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbon dioksida dari seluruh sel ke paru-paru untuk dikeluarkan dari tubuh. Zat besi juga berperan dalam imunitas dalam pembentukan sel-sel limfosit. Disamping itu dua protein pengikat besi yaitu transferin dan laktoferin dapat mencegah terjadintya infeksi dengan cara memisahkan besi dari mikroorganisme yang diperlukan untuk berkembang biak. Akibat kekurangan dan kelebihan besi Kekurangan zat gizi besi dapat menimbulkan anemia gizi besi yang merupakan masalah zat gizi mikro terbesar di beberapa negara, termasuk di Indonesia. Masalah ini terutama terjadi pada bayi, anak pra sekolah, dan wanita usia subur (Word Bank. 2006). Pada wanita usia subur, dua faktor yang menyebabkan terjadinya anemia adalah menorrhagia (berlebihnya kehilangan darah selama menstruasi) dan kehamilan. Pada Ibu hamil, kejadian anemia 16 disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan ibu akan zat besi dan juga meningkatnya pertumbuhan fetus dan plasenta. Dampak keadaan kekurangan besi pada imunitas, antara lain aktivitas neutrofil menurun, sebagai konsekuensinya, kemampuan membunuh bakteri intraseluler secara nyata terganggu (FAO/WHO 2001). Sel NK sensitif terhadap ketidakseimbangan besi dan menunjukkan kemampuan yang rendah untuk membunuh jika tubuh kekurangan besi, karena mereka memerlukan jumlah besi yang cukup untuk differensiasi dan proliferasi (Calder et al. 2002). Vitamin B6 Peranan vitamin B6 Vitamin B6 yang terdapat di alam terdiri dalam tiga bentuk yaitu piridoksin, piridoksal, dan piridoksamin. Piridoksin hidroklorida adalah bentuk sintetik yang digunakan sebagai obat. Dalam keadaan difosforilasi, vitamin B6 berperan sebagai koenzim berupa piridoksal fosfat (PLP) dan piridoksamin fosfat (PMP) dalam berbagai reaksi transaminasi. Di samping itu PLP berperan dalam berbagai reaksi lain. Vitamin B6 juga berperan dalam fungsi imunitas. Penelitian pada manusia menunjukkan bahwa kekurangan vitamin B6 mempengaruhi pematangan dan pertumbuhan sel plasma sehingga menganggu produksi Ab, dan aktivitas sel T (Rall and Meydani 1993). Akibat kekurangan dan kelebihan vitamin B6 Kekurangan vitamin B6 jarang terjadi karena biasanya kekurangan vitamin B6 terjadi secara bersamaan dengan kekurangan vitamin B kompleks lainnya. Hipovitaminosis B6 sering bersamaan dengan kekurangan riboflavin karena riboflavin dibutuhkan untuk membentuk koenzim PLP. Ketidakcukupan vitamin B6 juga dapat menyebabkan menurunnya metabolisme glutamat di otak sehingga terjadi ketidakberfungsian sistem saraf. Selain itu, kekurangan vitamin B6 juga menyebabkan kerusakan sistem imun (FAO/WHO 2001). Vitamin B6 jika dikonsumsi dalam jumlah berlebihan selama berbulanbulan maka akan terjadi kerusakan saraf yang tidak dapat diperbaiki, dimulai 17 dengan kesemutan pada kaki, kemudian mati rasa pada tangan dan akhirnya tubuh tidak mampu bekerja (Almatsier 2006). Dampak kekurangan vit B6 pada imunitas antara lain menyebabkan penurunan respon Ab, DTH, IL-1-beta, IL-2, serta aktivitas sel NK dan proliferasi limfosit (Trakatellis et al. 1997). Asam Folat Peranan asam folat Folasin dan folat adalah nama generik sekelompok ikatan yang secara kimiawi dan gizi sama dengan asam folat. Ikatan-ikatan ini berperan sebagai koenzim dalam transportasi pecahan-pecahan karbon tunggal dalam metabolisme asam amino dan sintesa asam nukleat. Bentuk koenzim ini adalah tetrahidrofolat (THF) atau asam tetrahidrofolat (THFA). Fungsi utama koenzim folat (THFA) adalah memindahkan atom karbon tunggal dalam bentuk gugus hidroksimetil atau metil dalam reaksi-reaksi penting metabolisme beberapa asam amino dan sintetis asam nukleat. THFA berperan dalam sintesis purin-purin guanin dan adenin serta pirimidin timin, yaitu senyawanyawa yang digunakan dalam pembentukan asam-asam deoksiribonukleat (DNA) dan asam ribonukleat (RNA). Folat dibutuhkan untuk pembentukan sel darah merah dan sel darah putih dalam sumsum tulang dan untuk pendewasaannya. Folat juga berperan sebagai pembawa karbon tunggal dalam pembentukan besi hem (Almatsier 2006). Akibat kekurangan dan kelebihan asam folat Kekurangan folat dapat mempegaruhi morfologi inti sel terutama sel-sel yang sangat cepat membelah, seperti sel darah merah, sel darah putih. Maka dari itu asam folat yang cukup di dalam tubuh membantu fungsi imunitas terutama dalam proliferasi sel. Di dalam darah, keadaan ini dicirikan dengan terjadinya anemia megaloblastik dan makrositik dengan eritrosit yang membesar, tidak matang, dan berlebihnya jumlah hemoglobin. Kekurangan folat pada wanita hamil dapat menyebabkan cacat pada janin yang disebut neural tube defect (NTD) (Almatsier 2006; FAO/ WHO 2001). 18 Vitamin B12 Peranan vitamin B12 Vitamin B12 berfungsi pada dua bentuk koenzim, yaitu adenosilkobalamin dengan metilkalonil-CoA mutase yang berperan penting dalam metabolisme propionat, adenosilkobalamin dengan leusin mutase yang berperan dalam metabolisme asam amino, dan metilkobalamin dengan metionin sintetase yang berperan dalam metabolisme karbon tunggal. Vitamin B12 juga diperlukan untuk mengubah folat menjadi bentuk aktif dan dalam fungsi normal metabolisme semua sel. Akibat kekurangan dan kelebihan vitamin B12 Kekurangan vitamin B12 dapat menyebabkan gangguan pembelahan sel, khususnya didalam sum-sum tulang dan mukosa usus halus. Kekurangan vitamin B12 dari makanan jarang terjadi, namun sebagian besar disebabkan oleh penyakit saluran cerna atau gangguan absorpsi dan transportasi. Karena dibutuhkan untuk mengubah folat menjadi bentuk aktifnya, salah satu gejala kekurangan vitamin B12 adalah anemia karena kekurangan folat. Dampak kekurangan vitamin B12 terhadap imunitas terkait dengan peranan vitamin B12 dalam pembelahan sel, sehingga kekurangan vitamin B12 dapat menganggu fungsi imunitas seluler. Penelitian yang dilakukan pada pasien dengan pernicious anemia atau anemia megaloblastic sesudah menjalani operasi ( konsentrasi vit B12 serum < 85 pg/ml) menunjukkan adanya penurunan yang signifikan pada jumlah limfosit dan CD 8+ dan proporsi sel CD4+. Disamping itu juga ditemukan rasio CD4+/CD 8+ yang tidak normal dan menurunnya aktifitas sel NK. Akan tetapi kejadian kelebihan vitamin B12 jarang dilaporkan (Almatsier 2006). Vitamin D Peranan vitamin D Vitamin D khususnya kalsitriol (1,25 dihidroksivitamin D3) terutama berfungsi seperti hormon steroid. Vitamin D menjaga homeostasis kalsium dan fosfor, disamping itu bersama vitamin C, vitamin A, hormon-hormon paratiroid dan kalsitonin, protein, serta beberapa mineral membantu pembentukan dan 19 pemeliharaan tulang (Almatsier 2006). Kalsitriol memegang peranan penting dalam diferensiasi sel, proliferasi sel, dan pertumbuhan banyak jaringan tubuh termasuk kulit, tulang, pankreas, sel saraf, kelenjar paratiroid, dan sistem imun. Oleh karena itu peranan vitamin D berkaitan dengan sistem imunitas non-spesifik maupun spesifik. Akibat kekurangan dan kelebihan vitamin D Kekurangan vitamin D dapat menyebabkan kelainan tulang, yang pada anak-anak dinamakan ricketsia dan pada orang dewasa disebut osteomalasia. Selain itu, kekurangan vitamin D pada orang dewasa dapat pula menyebabkan osteoporosis. Kekuranagn vitamin D juga mengganggu fungsi imunitas yang optimal (Wintergrest 2007). Sedangkan konsumsi vitamin D dalam jumlah berlebihan mencapai 5 kali AKG akan menyebabkan keracunan dengan gejala kelebihan absorpsi vitamin D yang akhirnya menyebabkan kalsifikasi berlebihan pada tulang dan jaringan tubuh seperti ginjal, paru-paru, dan organ tubuh lain (Almatsier 2006). Tembaga (Cu) Peranan tembaga Tembaga adalah komponen dari banyak enzim. Enzim-enzim yang mengandung tembaga memiliki berbagai peran dalam reaksi yang menggunakan oksigen atau radikal oksigen. Tembaga merupakan bagian dari enzim metaloprotein yang terlibat dalam fungsi rantai sitokrom dalam oksidasi di mitokondria, sintesis protein-protein kompleks jaringan kolagen di dalam kerangka tubuh dan pembuluh darah, serta dalam sintesis pembawa rangsangan saraf. Di dalam sel darah merah, sebagian besar tembaga terdapat sebagai metaloenzim superoksida dismutase yang terlibat sebagai enzim antioksidan dalam memusnahkan radikal bebas. Tembaga mempengaruhi beberapa aspek imunitas, seperti fungsi neutrofil, monosit dan sel-T. Enzim SOD yang mengandung Cu berperan penting di dalam sistem pertahanan terhadap oksidan (Winarsi 2007). Selain itu, tembaga memegang peranan penting dalam mencegah 20 anemia melalui membantu penyerapan besi, merangsang sintesis hemoglobin, dan melepas simpanan besi dari feritin di dalam hati (Almatsier 2006). Akibat kekurangan dan kelebihan tembaga Kekurangan tembaga dari makanan jarang terjadi. Kekurangan pernah dijumpai terjadi pada anak anak yang kekurangan protein dan menderita diare (Almatsier 2006). Kekurangan tembaga menyebabkan hypochromic anemia, neutropenia, pembentukan tulang terganggu, tetapi tembaga bukan satu-satunya pemicu tibulnya gejala tersebut. Penelitian untuk melihat kekurangan tembaga menunjukkan bahwa kekurangan Cu mengganggu imunitas bawaan (non-spesifik) dan spesifik, juga mengakibatkan perubahan atau pergeseran respon anti- inflamasi sitokin Th2. Keracunan akibat kelebihan tembaga jarang terjadi, biasanya terjadi karena kontaminasi tempat dari makanan dan minuman (FAO/WHO 2001). Interaksi Antar Zat Gizi Mikro Vitamin dan mineral dikategorikan sebagai zat gizi mikro. Interaksi zat gizi mikro dapat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu: (1) satu jenis mikronutrien secara langsung mempengaruhi penyerapan mikronutrien lainnya, dan (2) defisiensi atau kelebihan satu jenis mikronutrien dalam organisme mempengaruhi metabolisme mikronutrien lainnya (Lonnerdal 1988). Interaksi dapat terjadi di dalam makanan, pada fase penyerapan atau ketika di dalam tubuh. Makanan mengandung campuran berbagai zat gizi dan bahan bahan lain sehingga memungkinkan terjadinya interaksi zat gizi. Pada fase penyerapan, makanan dicerna dan zat gizi dilepas untuk dapat diserap. Selama dicerna, zat gizi mikro mempengaruhi bioavailability atau penyerapan zat gizi mikro lainnya, misalnya peningkatan daya larut atau oleh pengaturan fungsi usus (misalnya: bioavailabiliti zat besi meningkat bila dikonsumsi bersama vitamin C) karena vitamin C mereduksi besi (III) menjadi besi (II) yang lebih mudah diserap (FAO/WHO 2001). Dibawah ini dijelaskan beberapa interaksi zat gizi yang paling sering dijumpai dalam pemberian multi zat gizi mikro. 21 Besi dan Zinc Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa konsumsi besi dalam dosis yang tinggi akan mengganggu penyerapan zinc (Solomons 1988). Kompetisi antara besi dan zinc antara lain terkait dengan kesamaan alat pengangkut dimana sebagian zinc menggunakan alat pengangkut transferin yang juga merupakan alat pengangkut besi (Almatsier 2006). Bila perbandingan antara besi dengan zinc lebih dari 2:1 maka transferin yang tersedia untuk zinc berkurang sehingga menghambat penyerapan zinc (Almatsier 2006; Whittaker 1998). Sementara itu dampak penyerapan besi terhadap perbandingan kadar zinc lebih besar dari pada kadar besi belum banyak dilaporkan, namun perbandingan kadar zinc:besi dalam ASI mencapai 4:1 (Lonnerdal et al. 1988), dan belum ada laporan tentang efek negatif dari komposisi tersebut. Hasil review dari 29 hasil penelitian (Whittaker 1998) menunjukkan bahwa perbandingan besi dengan zinc 1:1, 2:1, 3:1, 5:1, 10:1 yang diminum bersama dengan air saja mempunyai efek menurunkan penyerapan zinc. Tetapi sebaliknya dengan perbandingan terbalik (besi:zinc) 1:1, 1:2.5, 1:5 yang diminum dengan air saja memberi efek menurunkan penyerapan zinc, namun bila diminum bersama dengan makanan tidak menunjukkan efek terhadap penyerapan zinc. Hal ini menunjukkan bahwa penyerapan zinc terganggu/terhambat oleh besi bila diminum dengan media larutan karena keduanya berkompetisi pada jalur penyerapan yang sama, namun keadaan ini tidak terjadi bila zinc dikonsumsi bersama dengan makanan, karena zinc akan diserap melalui jalur alternatif lainnya dengan bantuan ligan yang terbentuk selama pencernaan protein (Sandstrom et al. 2001). Hasil penelitian suplementasi gabungan antara besi dan zinc yang telah dilakukan di Bogor (Dijkhuizen and Wieringa 2001), dimana suplementasi gabungan besi dan zinc menggunakan perbandingan 1:1 efektif menurunkan defisiensi besi dan zinc. Vitamin A dan Besi Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan terganggunya hematopoiesis. Interaksi vitamin A dengan zat besi terlihat ketika pemberian vitamin A dapat menurunkan prevalensi anemia dan memperbaiki utilisasi zat besi (Suharno 1993). Menurut Semba dan Blom (2002) bahwa vitamin A terlibat di dalam 22 kejadian anemia melalui berbagai mekanisme di antaranya pertumbuhan dan diferensiasi sel progenitor eritrosit, menurunnya gangguan imunitas terhadap infeksi dan menurunnya mobilisasi cadangan besi dari jaringan-jaringan. Kekurangan vitamin A dapat pula menyebabkan terganggunya transportasi besi dari hati dan atau penggabungan besi ke dalam eritrosit (Lonnerdal 1988). Kekurangan vitamin A dapat mempengaruhi metabolisme zat besi ketika keadaan vitamin A dan zat besi dalam tubuh kurang dan lingkungan di sekitar banyak kejadian infeksi (FAO/WHO 2001). Vitamin C dan Besi Telah lama diketahui vitamin C sebagai enhancer yang kuat terhadap penyerapan besi non-heme. Vitamin C dapat meningkatkan penyerapan besi bila dikonsumsi pada waktu bersamaan, karena vitamin C akan merubah zat besi bentuk feri menjadi bentuk fero. Besi dalam bentuk fero lebih mudah diserap, selain itu vitamin C membentuk gugus besi-askorbat yang tetap larut pada pH lebih tinggi di dalam duodenum (Almatsier 2006). Penelitian tentang konsumsi dosis tinggi vitamin C dalam jangka waktu lama telah lama dilakukan oleh Cook et al. (1984) dengan memberikan 2000 mg/hari kepada 17 subjek selama 4 bulan dengan mengontrol pola makan subyek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata feritin sedikit menurun yakni pada awal penelitian kadar feritin sebesar 46 ug/l dan pada akhir sebesar 43 ug/l. Kemudian penelitian tersebut dilanjutkan dengan meneruskan 20 bulan sehingga total lama penelitian 24 bulan (2 tahun) kepada 4 subyek yang defisiensi besi dan 5 subyek tidak defisiensi besi (normal). Hasilnya terjadi peningkatan serum feritin yang signifikan dari 6 ug/L menjadi 35 ug/L pada subyek yang defisiensi besi. Dapat disimpulkan bahwa vitamin C berperan dalam meningkatkan penyerapan besi bila tubuh dalam keadaan kekurangan zat besi. Kemudian penelitian berikutnya dengan memberikan buah jeruk sebagai sumber vitamin C 25 mg sebanyak 2 kali sehari selama 8 bulan setelah makan tidak menaikkan status gizi besi (Garcia et al. 2003). Temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa efek vitamin C dalam meningkatkan kadar zat besi, tidak hanya tergantung pada status 23 besi pada awal penelitian, tetapi sangat dipengaruhi oleh bahan-bahan lain yang terdapat makanan yang dapat mempengaruhi penyerapan zat besi seperti fitat. Zinc dan Vitamin A Penelitian pada manusia yang mempunyai kadar status zinc rendah seperti kerusakan hati karena alkohol dan kekurangan energi dan protein, kemudian diberikan suplementasi zinc, beberapa di antaranya, menunjukkan bahwa status vitamin A serum menjadi lebih baik (Lonnerdal 1988). Diduga kekurangan zinc mempengaruhi pembentukan vitamin A pada tingkat seluler. Pada kondisi kekurangan zinc, sintesis retinol binding protein (RBP) di hati menjadi terganggu dan retinene reductase activity menurun. Enzim ini adalah enzim yang bergantung pada keberadaan zinc, dan aktivitas retinene reductase berhubungan erat dengan adaptasi terhadap gelap pada seseorang dengan kekurangan zinc. Ditambahkan pula bahwa zinc esensial untuk sintesa (RBP) di hati dan RBP esensial untuk mengangkut vitamin A dari liver ke jaringan feriferal (Christian dan West 1998). Zinc juga terbukti memperkuat efek vitamin A di dalam perbaikan penglihatan di malam hari pada wanita hamil di Nepal walaupun hal ini hanya terjadi pada kelompok wanita dengan status zinc rendah saat sebelum menerima suplemen (Christian et al. 2001). Smith et al. (1999) juga meneliti interaksi zinc dengan vitamin A, hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kadar zinc serum setelah subyek menerima suplemen zinc dan vitamin A. Selenium dan Vitamin E. Selenium dan vitamin E merupakan antioksidan yang dapat saling bekerjasama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan selenium dan vitamin E mengakibatkan meningkatnya malondialdehyde (MDA) pada jaringan karena meningkatnya radikal bebas yang merusak asam lemak rantai panjang tidak jenuh. Hasil penelitian lainnya dengan F2-isoprostanes sebagai petanda adanya reaksi oksidasi in vivo. Senyawa ini hasil dari pemecahan arachidonic acid akibat radikal bebas in vivo. Kadar plasma F2-isoprostane lima kali lebih besar pada tikus yang diberi makan kurang vitamin E dan selenium dibandingkan dengan tikus yang diberi makan normal diet (kontrol). Sedangkan tikus yang 24 diberi makan kurang vitamin E saja mempunyai kadar plasma F2-isoprostane hanya dua kali lebih besar dari kontrol (Awad et al. 1994). Keadaan ini semakin memperjelas teori yang mengatakan bahwa selenium berperan dalam mencegah terjadinya radikal bebas, sedangkan vitamin E menghalangi bekerjanya radikal bebas setelah terbentuk (Almatsier 2006), sehingga kekurangan kedua zat tersebut semakin menambah panjang terjadinya reaksi oleh radikal bebas. Suplemen multi vitamin-mineral Suplemen vitamin dan mineral paling banyak digunakan sebagai suplemen zat gizi di Amerika. Kebanyakan suplemen vitamin mineral paling sedikit mengandung 10 vitamin atau mineral dengan dosis yang bervariasi. Kebanyakan mereka menggunakan suplemen tersebut untuk tujuan pencegahan atau untuk meringankan penyakit yang diderita (Huang Yao et al. 2007). Huang juga menemukan 10 penelitian menggunakan multivitamin mineral dan 24 penelitian menggunakan single zat gizi. Dosis yang digunakan dalam beberapa penelitian tersebut antar 2-10 kali RDA. Dari semua penelitian tersebut tidak dijumpai hasil yang merugikan responden dibandingkan dengan plasebo, kecuali perubahan warna kulit yang umum dijumpai pada penelitian dengan β karoten, kulit nampak lebih kuning. Menurut FAO/WHO (2001) suplementasi adalah pemberian zat gizi dalam bentuk kapsul, tablet atau injeksi (jika efek yang dikehendaki lebih cepat) yang dilakukan secara teratur kepada kelompok yang membutuhkan atau orang-orang yang berisiko kekurangan zat gizi. Meskipun telah banyak digunakan, suplemen multivitamin mineral belum memiliki standar atau definisi dan masih merujuk kepada produk-produk dengan beragam komposisi dan karakteristik yang berbeda-beda. Selain itu, belum ada aturan yang dibuat untuk multivitamin mineral (Yetley 2007). 25 Tabel 1 Kategori suplemen multivitamin mineral dalam beberapa penelitian Kategori Multivitamin mineral Gabungan beberapa vitamin dan mineral; multivitaminmultimineral Kombinasi antara beberapa vitamin dan mineral dengan produk lain Multivitamin Multivitamin, gabungan beberapa vitamin Multivitamin dengan vit. C Multimineral Multimineral Kombinasi mineral Definisi Tidak didefinisikan ≥ 3 vitamin dengan atau tanpa mineral (tidak merujuk pada vitamin dan mineral tertentu) Minimal mengandung vit B1, B2, niasin, vit A, B12, B6, C, dan D, Ca, Besi, tanpa flourida Mengandung vit. A, D, E, C, B6, B12, B1, B2, niasin, asam folat, Ca, P, I, Besi, dan Mg Tidak didefinisikan Minimal mengandung 1 vitamin dan 1 mineral ditambah bahan lain Tidak didefinisikan ≥ 2 vitamin Tanpa mineral, dengan vit. A, D, E, C, B6, B12, B1, B2, asam folat, dan niasin Harus mengandung vit. C, B1, B2, niasin, vit. A, dan vit. D Tidak didefinisikan ≥ 2 mineral tanpa vitamin Tidak mengandung vitamin dan Ca, P, I, Besi, dan Mg Tidak mengandung vitamin, Ca, P, I, Besi, Mg, mengandung ≥ 2 mineral Survey NHANES I, II; NHIS 1987, 1992, 2000, 2002; CSFII NHANES 1999-2000 NHANES III NHIS 1986 NHANES 1999-2000, NHANES 2001-2002 NHIS 1986 NHANES I, II, III; NHIS 1987, 1992, 2000; CSFII NHANES 1999-2000 NHIS 1986 NHANES III NHANES III, NHANES 2001-2002 NHANES 1999-2000 NHIS 1986 NHIS 1986 Sumber: Yetley (2007) Ket.: CSFII, Continuing Survey of Food Intakes by Individuals; NHANES, National Health and Nutrition Examination Survey; NHIS, National Health Interview Survey 26 Di Amerika, suplemen makanan dapat mengandung beragam bahan, termasuk vitamin, mineral, tumbuhan obat atau tumbuh-tumbuhan lainnya, dan asam amino (US Food and Drug Administration 2001). Tabel 1 menunjukkan beberapa contoh kategori suplemen multivitamin mineral yang digunakan dalam beberapa penelitian (Yetley 2007). Dari table 1 tersebut dapat dilihat bahwa belum ada definisi yang baku tentang kategori zat gizi dalam suplemen multivitamin mineral. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (saat ini Badan Pengawas Obat dan Makanan) tentang Suplemen Makanan Nomor HK.00.063.02360 Tahun 1996 mendefinisikan suplemen makanan sebagai produk yang digunakan untuk melengkapi makanan, yang mengandung satu atau kombinasi bahan, yaitu vitamin, mineral, tumbuhan atau bahan yang berasal dari tumbuhan, asam amino, bahan yang digunakan untuk meningkatkan angka kecukupan gizi (AKG), konsentrat, metabolit, konstituen, dan ekstrak. Definisi ini direvisi dalam Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor HK.00.05.23.3644 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa suplemen makanan adalah produk yang dimaksudkan untuk melengkapi kebutuhan zat gizi makanan, mengandung satu atau lebih bahan berupa vitamin, mineral, asam amino atau bahan lain (berasal dari tumbuhan atau bukan tumbuhan) yang mempunyai nilai gizi dan atau efek fisiologis dalam jumlah terkonsentrasi. Vitamin mineral mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia, di antaranya sebagai antioksidan dan fungsi imunitas. Asupan vitamin mineral sebaiknya melalui konsumsi makanan yang beragam dan seimbang, namun apabila kebutuhan vitamin mineral yang bersumber dari makanan tidak dapat terpenuhi maka salah satu pilihan adalah mengkonsumsi suplemen. Penelitian tentang manfaat suplemen vitamin mineral khususnya terhadap status antioksidan dan fungsi imunitas sudah banyak dilakukan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kekurangan vitamin A, E, folat, selenium dan zinc berdampak pada aktivitas dan jumlah sel NK dan suplementasi zat gizi mikro pada lansia sehat menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel NK (Ravaglia et al. 2000). Demikian pula hasil penelitian oleh Kay et al. (2000) menunjukkan terjadi penurunan prevalensi suboptimal status vitamin dan memperbaiki status zat 27 gizi mikro yang berhubungan dengan risiko penyakit kronis dengan memberikan suplementasi multivitamin mineral dengan dosis 100% RDA. Penelitian oleh Barringer et al. (2003) menunjukkan bahwa suplementasi multivitamin mineral menurunkan kejadian infeksi dan menurunkan prevalensi kekurangan zat gizi mikro. Suplementasi multi vitamin mineral juga telah terbukti dapat menurunkan prevalensi defisiensi multi zat gizi mikro pada orang dewasa sehat (Navarro dan Wood 2003). Penelitian manfaat suplemen vitamin mineral juga dilakukan oleh Graat et al. (2002) melaporkan hasil penelitiannya bahwa suplemen multi vitamin-mineral menurunkan kejadian dan keparahan infeksi saluran nafas atas. Akan tetapi hasil meta-analisis dari beberapa penelitian RCT yang dirangkum menjadi tiga simpulan oleh Kadiki dan Sutton (2005) menyatakan bahwa sebagai simpulan pertama yakni 3 dari 7 hasil penelitian dijumpai rata-rata jumlah hari sakit dari sampel yang menerima suplemen multivitamin-mineral lebih pendek dibandingkan plasebo. Kemudian simpulan kedua yakni 3 dari 7 hasil penelitian menunjukkan bahwa sampel yang mendapat suplemen multi vitamin-mineral sedikitnya menderita satu kali infeksi selama penelitian dengan OR 1.10 (CI: 0.81- 1.50) dibandingkan dengan plasebo. Selanjutnya simpulan ketiga yaitu 4 dari 7 hasil peneltian menunjukkan bahwa suplemen multi vitamin dapat menurunkan jumlah infeksi tetapi dengan signifikansi (p=0.11). Ditambah lagi hasil meta-analisis oleh Bleys et al. (2006) terhadap peranan suplemen vitamin mineral sebagai antioksidan memperoleh hasil bahwa suplemen vitamin-mineral belum terbukti kuat dalam melindungi kejadian penyakit jantung disebabkan karena dari 7 hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan suplemen vitamin-mineral melindungi terjadinya atherosclerosis dibandingkan kontrol -0.06 (95% CI:-0.20-0.09;p=0.44). Kecukupan Gizi yang dianjurkan dan Tolerable Upper Intake Level (UL) Dosis vitamin dan mineral yang terkandung di dalam suplemen sangat bervariasi, beberapa diantranya diatas Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (AKG). Beberapa Istilah yang dipakai untuk angka kecukupan gizi berbeda-beda antar negara. Di Indonesia menggunakan istilah angka kecukupan gizi yang dianjurkan sebagai terjemahan dari Recommended Dietary Allowance (RDA). 28 RDA adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu seperti kehamilan dan menyusui (Muhilal dan Hardinsyah 2004). Sementara itu, di Filipina digunakan istilah Recommended Energy and Nutrient Intakes (RENI). Sedangkan di Amerika Serikat sejak Tahun 2000 digunakan istilah Dietary Reference Intake (DRI). DRI adalah nilai-nilai referensi yang merupakan dugaan kuantitatif intik zat gizi untuk digunakan dalam perencanaan dan penilaian menu makanan bagi penduduk sehat. DRI terdiri dari Recommended Dietary Intake (RDA), Adequate Intake (AI), Tolerable Upper Intake Level (UL), Estimated Average Requirement (EAR) (IOM 2000). Pertimbangan penting dalam aplikasi DRI meliputi dua hal yaitu: pertama kebutuhan zat gizi didefinisikan sebagai level intik terendah yang akan mempertahankan taraf gizi tertentu pada seseorang, dan kedua yakni kriteria kecukupan gizi untuk menetapkan kebutuhan zat gizi tersebut berbeda antar zat gizi dan juga dapat berbeda pada suatu zat gizi tertentu antar kelompok umur. DRI terdiri atas empat komponen, yaitu : 1. Estimated Average Requirement (EAR) EAR adalah rata-rata level intik zat gizi harian yang diduga memenuhi kebutuhan zat gizi dari setengah populasi sehat pada kelompok umur dan jenis kelamin tertentu 2. Recommended Dietary Intake (RDA) RDA adalah level intik zat gizi harian yang cukup (sufficient) untuk memenuhi kebutuhan zat gizi bagi hampir semua (97-98%) penduduk sehat pada kelompok umur dan jenis kelamin tertentu 3. Adequate Intake (AI) AI adalah rekomendasi intik zat gizi harian yang didasarkan pada berbagai pendekatan atau pendugaan yang diperoleh melalui pengamatan atau eksperimen tentang intik zat gizi kelompok penduduk sehat tertentu yang diasumsikan telah mencukupi kebutuhan gizinya 29 4. Tolerable Upper Intake Level (UL) UL adalah suatu angka paling tinggi dari suatu zat gizi yang bila dikonsumsi dalam jumlah membahayakan tersebut setiap hari tidak menimbulkan efek yang kesehatan. Namun, UL bukan level intik zat gizi yang dianjurkan karena tidak ditemukan manfaat yang dapat diperoleh seseorang yang tampak sehat jika mengkonsumsi zat gizi melebihi RDA atau AI. Jika intik meningkat di atas UL, maka potensi resiko efek negatif terhadap kesehatan akan meningkat. Kriteria dan nilai anjuran untuk Tolerable Upper Intake Level (UL) Penetapan nilai UL untuk masing-masing zat gizi berbeda. Nilai UL untuk vitamin C bagi orang dewasa adalah 2000 mg/hari berdasarkan efek negatif yang ditandai timbulnya diare osmotic. UL untuk vitamin E adalah 1000 mg/ hari berdasarkan efek negatif adanya peningkatan perdarahan. Sedangkan untuk UL selenium adalah 400 µg/ hari berdasarkan efek negatif yang timbul yaitu selenosis. UL sangat bermanfaat bagi masyarakat karena banyaknya pangan yang difortifikasi dan meningkatnya penggunaan suplemen makanan. UL dapat diterapkan pada penggunaan harian secara kronis. UL didasarkan pada intik zat gizi total yang berasal dari makanan, air, dan suplemen, sehingga efek negatif yang diamati juga berhubungan dengan intik zat gizi total. Tetapi jika efek negatif terhadap kesehatan hanya berhubungan dengan intik zat gizi yang berasal hanya dari suplemen atau fortifikasi pangan maka UL didasarkan pada intik zat gizi yang hanya berasal dari sumber zat gizi tersebut. Nilai UL untuk vitamin C dan selenium didasarkan pada intik zat gizi total yang berasal dari makanan, makanan yang di fortifikasi, dan suplemen. Sedangkan untuk vitamin E didasarkan pada intake dari suplemen, makanan yang di fortifikasi dan sumber farmakologis lainnya. Sementara itu untuk β-karoten dan karotenoid lainnya dimana data yang digunakan sebagai dasar pertimbangan UL masih belum konsisten, maka perlu kehati-hatian dalam mengkonsumsi dengan jumlah diatas asupan yang dianjurkan, hal ini bukan berarti konsumsi tinggi tidak menimbulkan efek samping. Kecukupan gizi (AKG dan RDA) serta UL zat gizi dalam suplemen yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 2 30 Tabel 2 Kecukupan gizi, UL, dan batas maksimum BPOM vitamin dan mineral yang digunakan dalam suplemen penelitian Zat gizi Satuan AKG* RDA* UL* Batas maks. 19-29 th 30-49 th 19-30 th 31-50 th 19-30 th 31-50 th BPOM* Vitamin C mg 75 75 75 75 2000 2000 1000 E mg 15 15 15 15 1000 1000 400 A μg 500 500 700 700 3000 3000 1500 B6 mg 1,3 1,3 100 100 100 Asam folat μg 400 400 400 400 1000 1000 800 B12 μg 2,4 2,4 2,4 2,4 ND ND 200 D μg 5 5 5+ 5+ 50 50 10 Mineral Zn mg 9,3 9,8 8 8 40 40 30 Se μg 30 30 55 55 400 400 200 Cu μg 900 900 10000 10000 3000 Fe mg 26 26 18 18 45 45 30 Sumber: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004); Institute of Medicine (1997, 1998, 2000, 2001); Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (2004) Ket.: *AKG: Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan, RDA: Recommended Dietary Allowance, UL: Tolerable Upper Intake Levels, BPOM: Badan Pengawas Obat dan Makanan, ND: not determined + AI: Adequate Intake Sistem Imunitas Imunitas atau kekebalan adalah kemampuan tubuh untuk melawan infeksi, meniadakan kerja toksin dan faktor virulen lainnya yang bersifat antigenik dan imunogenik. Antigen adalah suatu bahan atau senyawa yang dapat merangsang pembentukan antibodi. Antigen dapat berupa protein, lemak, polisakarida, asam nukleat, lipopolisakarida, lipoprotein dan lain-lain. Antigenik adalah sifat suatu senyawa yang mampu merangsang pembentukan antibodi spesifik terhadap senyawa tersebut. Sedangkan imunogen adalah senyawa yang dapat merangsang pembentukan kekebalan/imunitas, dan imunogenik adalah sifat senyawa yang dapat merangsang pembentukan antibodi spesifik yang bersifat protektif dan peningkatan kekebalan seluler. Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannnya untuk melindungi tubuh juga berkurang, sehingga membuat patogen, termasuk virus dapat tumbuh dan berkembang dalam tubuh. Sanitasi yang buruk, kesehatan personal, kepadatan penduduk, makanan dan air yang terkontaminasi serta pengetahuan gizi yang kurang memberikan kontribusi terhadap menurunnya kekebalan (Roitt 2003). 31 Imunitas juga diartikan sebagai resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imunitas. Reaksi yang dikoordinasi selsel, molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respon imunitas (Baratawidjaja 2006). Sistem imunitas terdiri atas sistem imunitas alamiah atau nonspesifik (natural/innate/native) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired). Dalam penelitian ini selanjutnya akan disebut spesifik dan non spesifik. Sistem imunitas yang normal sangat penting untuk kesehatan manusia, dan makanan adalah salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi sistem imunitas. Pemeriksaan adanya perubahan fungsi imunitas memerlukan pendekatan dengan parameter sistem imunitas. Hasil review menunjukkan bahwa marker/pertanda fungsi imunitas yang umum digunakan untuk mengevaluasi penelitian intervensi zat gizi terhadap sistem imunitas terdapat 3 kategori yaitu high, medium, dan low. Produksi antibodi terhadap antigen spesifik, respon delayed-type hypersensitivity, vaccine-specific atau total secretory IgA dalam saliva diklasifikasikan dalam parameter high suitability. Marker yang termasuk medium adalah sel natural killer, oxidative burst terhadap phagocytes, proliferasi limfosit dan sitokin yang diproduksi oleh sel imunitas. Dikatakan dalam review tersebut bahwa tidak ada single marker yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan keadaan sistem imunitas maka dianjurkan menggunakan kombinasi high dan medium adalah yang terbaik untuk mengukur sistem imunitas dalam intervensi gizi terhadap sistem imunitas (Albers et al. 2005). Gambaran umum sistem imun disajikan pada Gambar 3. 32 SISTEM IMUN NONSPESIFIK FISIK LARUT • • Kulit Selaput lendir • • • Silia Batuk Bersin SPESIFIK SELULAR Biokimia • Fagosit o Mononuklear • Lisozim o Polimorfonuklear (keringat) • Sel NK • Sekresi sebaseus • Sel Mast • Asam • Basofil lambung • Laktoferin • Asam neuraminik Humoral • Komplemen • Interferon • CRP HUMORAL SELULAR Sel B • IgG • IgA • IgM • IgD • IgE Sel T • Th1 • Th2 • Ts/Tr/Th3 • TdTh • CTL/Tc Gambar 3 Gambaran umum sistem imunitas (Baratawidjaja 2006) Sistem Imun Non-spesifik Sistem imun non-spesifik adalah sistem pertahanan bawaan, yakni komponen normal tubuh yang selalu ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah mikroba yang akan masuk ke dalam tubuh. Untuk menyingkirkan mikroba tersebut dengan cepat, imunitas non-spesifik melibatkan kulit dan selaput lendir, fagositosis, inflamasi, demam, serta produksi komponen-komponen antimikrobial (selain antibodi) (Tortora 2004). Sistem imun ini disebut nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. Sistem ini merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respon secara langsung (Baratawidjaja 2006). 33 Pertahanan non-spesifik melibatkan pertahanan fisik seperti kulit, selaput lendir, silia saluran nafas. Di samping itu melibatkan cairan tubuh seperti keringat, cairan asam lambung, laktoferin, komplemen, CRP, dan pertahanan seluler yang melibatkan sel darah putih baik mononuklir maupun polinuklir, serta sel NK. Sel darah putih (leukosit) Sel darah putih terdiri dari dua jenis yaitu sel polinuklir yang terdiri dari basofil, eosinofil dan neutrofil. Sel polinuklir ini bergerak cepat dan sudah berada ditempat infeksi dalam 2-4 jam. Sedangkan sel mononuklear terdiri dari limfosit dan monosit. Sel mononuklir bergerak lebih lambat dan memerlukan waktu 7-8 jam untuk sampai tempat infeksi. Dalam perkembangannya sel limfosit yang bergranula kecil berkembang menjadi sel B dan sel T limfosit. Sedangkan limfosit bergranula besar menjadi sel NK. Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis, tetapi sel utama yang berperan dalam pertahanan nonspesifik adalah sel mononuklir serta sel polinuklir. Sel sel ini berperan sebagai sel yang menangkap antigen, mengolah dan selanjutnya mempersentasikan ke sel T, yang dikenal sebagai sel penyaji atau APC. Ke dua sel tersebut berasal dari sel asal hemopoietik. Sel polinuklir lebih sering ditemukan pada inflamasi akut, sedangkan monosit pada inflamasi kronik (Baratawidjaja 2006). Peranan sel darah putih sebagai penjaga garis depan dari pertahanan tubuh manusia banyak diteliti, diantaranya Wolvers et al. (2006) dengan memberikan campuran zat gizi mikro pada subyek sehat selama 10 minggu dan hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perubahan yang signifikan dari sel darah putih, diduga karena sejak awal subyek sudah mempunyai sel darah putih dalam kisaran normal. Monosit Monosit ditemukan dalam sirkulasi, tetapi jumlahnya lebih sedikit dari neutrofil. Sel-sel ini berasal dari promonosit sumsum tulang yang setelah diferensiasi menjadi monosit darah, akhirnya tinggal di jaringan sebagai makrofag dewasa dan membentuk sistem fagosit mononukleus. Fagosit mononukleus berasal dari sel prekursor dalam sumsum tulang dan masuk ke dalam sirkulasi sebagai monosit. Setelah 24 jam sel monosit akan bermigrasi dari sirkulasi darah ke tempat tujuan di beberapa jaringan. Dalam jaringan, monosit menjadi makrofag 34 yang dapat diaktifkan oleh mikroba dan dapat berdiferensiasi menjadi sel residen khusus dalam berbagai jaringan (fixed macrophag). Makrofag yang disebut fixed macrophag atau makrofag residen berbentuk khusus yang tergantung dari alat/jaringan yang ditempati, memiliki nama yang berbeda beda, sel dendritik atau sel langerhans di kulit, sel kuffer di hati dan sel langerhans di paru. Makrofag peritoneal bebas dalam cairan peritoneum. Kehadirannya di sepanjang kapiler memungkinkan untuk menangkap patogen dan antigen yang mudah masuk tubuh. Semuanya mempunyai kesamaan yaitu dapat mengikat dan memakan partikel antigen dan mempresentasikannya ke sel T. Sel ini dikenal sebagai sel penyaji atau Antigen Precenting Cell (APC) (Baratawidjaja 2006). Monosit tidak hanya menyerang mikroba dan sel kanker juga berperan sebagai APC, tetapi juga memproduksi sitokin dan mengerahkan pertahanan sebagai respon terhadap infeksi. Interleukin-1 (IL-1) dan IL-2 serta TNF-α menginduksi panas dan produksi protein fase akut di hati, memodulasi zinc dan tembaga. Sel NK Sel NK adalah golongan limfosit ketiga sesudah sel T dan sel B. Jumlahnya sekitar 5-15% dari limfosit dalam sirkulasi dan 45% dari limfosit dalam jaringan. Secara morfologis, sel NK merupakan limfosit dengan granula besar (Baratawidjaja 2006). Sel ini berfungsi dalam imunitas non-spesifik terhadap virus dan sel tumor. Sel ini dapat mengenal struktur-struktur glikoprotein dengan berat molekul tinggi yang muncul pada permukaan sel terinfeksi virus sehingga dapat dibedakan dari sel-sel normal. Pengenalan ini mungkin terjadi melalui reseptor serupa lektin (yaitu pengikatan karbohidrat) pada permukaan sel NK yang menghantar sel pembunuh dan sasaran saling berhadapan pada jarak yang dekat. Menurut Anderson (2005) peningkatan sel NK yang berlebihan menunjukkan adanya kelainan seperti autoimun disease, diabetes mellitus, dan anemia aplastic. Sebaliknya, rendahnya sel NK juga merupakan pertanda yang buruk seperti infeksi virus papilla yang menyebabkan cervical carcinoma, sehingga Anderson (2005) menyatakan bahwa jumlah sel NK yang cukup dapat melindungi seseorang dari infeksi yang mematikan. Peranan sel NK terhadap penyakit juga telah di review oleh Whiteside dan Herberman (1994). Penyakit yang berhubngan dengan sel NK yang tidak normal dapat di kategorikan dalam 35 penyakit dengan aktifitas sel NK rendah atau tinggi. Ketidak normalan sel NK dapat bersifat sementara atau permanen. Aktifitas sel NK yang tinggi atau rendah yang bersifat sementara terjadi pada seseorang dengan berbagai macam keadaan atau penyakit seperti circadian variation, situasi stress, kegiatan fisik yang tinggi, common cold, dan infeksi virus yang sedikit serius. Sedangkan aktifitas sel NK yang rendah atau tinggi yang bersifat permanen lebih menunjukkan adanya penyakit. Sistem Imun Spesifik Berbeda dengan sistem imun non-spesifik, sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda asing yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam tubuh segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitasi sel-sel sistem imun tersebut. Benda asing yang sama bila terpajan ulang akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan. Oleh karena sistem tersebut hanya dapat menyingkirkan benda asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem ini disebut spesifik (Baratawidjaja 2006). Peneliti lainnya menjelaskan bahwa disebut imun spesifik karena jika antigen 1 menyerang tubuh maka antibodi 1 diproduksi untuk melawan. Jika antigen 2 menyerang maka antibodi 2 diproduksi untuk melawan, begitu seterusnya (Tortora 2004). Sel limfosit merupakan sel yang berperan utama dalam sistem imun spesifik, sel T pada imunitas seluler, dan sel B pada imunitas humoral. Pada imunitas humoral, CD4+ adalah molekul permukaan sel T helper akan berintegrasi dengan sel B dan merangsang proliferasi dan diferensiasi sel B. Pada imunitas seluler, CD4+ mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba intraselular yang menginfeksi sel. Kedua sistem imun bekerja sangat erat satu dengan lainnya. Humoral Mediated Immunity Pemeran utama dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B. Humor berarti cairan tubuh. Sel B berasal dari sel multipoten di sum-sum tulang. Bila sel B dirangsang oleh benda asing, sel tersebut akan berproliferasi, berdiferensiasi dan berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. 36 Antibodi adalah protein yang diproduksi oleh sel B dalam merespon adanya antigen (Ag). Antibodi (Ab) yang dihasilkan sel B dapat ditemukan dalam serum. Antibodi (Ab) merupakan bagian dari protein yang disebut globulin. Imunoglobulin di dalam tubuh manusia terdapat lima jenis yaitu IgG, IgA, IgM, IgD, dan IgE. Fungsi utama antibodi ini adalah pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler, virus dan bakteri serta menetralkan toksinnya (Baratawidjaja 2006). Imunoglobulin G (IgG) merupakan bentuk Ab yang terbanyak di dalam tubuh, yang dapat ditemukan dalam darah, lymph, dan usus. IgG mempunyai afinitas yang tinggi untuk berikatan dengan antigen, serta mempunyai spektrum yang luas terhadap sifat-sifat biologik sekunder. Pada respon sekunder seperti pada penelitian ini, mungkin merupakan imunoglobulin utama yang disintesis (Roitt 2003). Fungsi imunitas humoral selain dapat dilihat dari produksi antibodi (sebagai produk akhir interaksi sel Th dengan APC), juga dapat dilihat dari jumlah CD4+ yang mencerminkan aktivitas dari sel Th. Sel T naif yang terpajan dengan antigen yang diikat oleh MHC (Major Histocompatibility Complex) yang dipresentasikan APC (Antigen Presenting Cell), akan berkembang menjadi subset sel T berupa CD4+ dan CD8+. Banyaknya jumlah CD4+ yang dapat mengenali antigen yang dipresentasikan bersama MHC-II oleh APC, maka akan meningkatkan produksi sitokin sehingga merangsang proliferasi dari sel plasma untuk memproduksi antibodi. Jumlah CD4+ berkorelasi positif dengan keparahan penyakit, seperti temuan Ray (2006) dimana subyek dengan positif HIV mempunyai CD4+ yang sangat rendah yaitu < 200 cell/ul, sedangkan range normal CD4+ adalah 4101590 sel/ul. Celuler Mediated Immunity (CMI) Sistem imun ini difasilitasi oleh limfosit T. Limfosit T diproduksi di sumsum tulang dan matang di thymus. Sel T cytotoxic (Tc) atau sel CD8+ secara langsung membunuh mikroba penyerang dan sel yang telah terinfeksi virus serta sel tumor. Sel T CD8+ naif yang keluar dari timus disebut juga CTL/Tc. CD8+ mengenal antigen yang dipresentasikan bersama molekul MHC-1. Molekul MHC- 37 1 ditemukan pada semua sel tubuh yang bernukleus, dan fungsi utama sel CD8+ adalah menyingkirkan sel terinfeksi virus. Sel CTL/Tc juga menghancurkan sel ganas dan sel histoinkompatibel yang menimbulkan penolakan pada transplantasi. Gambar 4 dibawah ini menjelaskan bagaimana mekanisme imunitas seluler dan humoral. Mac/ sel NK Melalui APC di ba w a i es kr se menangkap diinformasikan Ag Cytokin Sel B Ab melawan Ag Sel T Ag Intrasel CD8 (bila interac dg MHC1) Mac CD4 (bila interac dg MHC2) Gambar 4 Mekanisme imunitas seluler dan humoral Zat Gizi Antioksidan Zat gizi antioksidan adalah zat yang terdapat di dalam makanan yang secara signifikan dapat menurunkan efek negatif akibat spesies yang reaktif, seperti oksigen reaktif dan nitrogen spesies yang terbentuk di dalam tubuh (IOM 2000). Secara umum antioksidan dikelompokkan menjadi 2 yaitu antioksidan enzimatis dan non-enzimatis. Antioksidan non-enzimatis adalah zat gizi antioksidan seperti beta-karoten, vitamin E, vitamin C. Sedangkan antioksidan enzimatis antara lain glutation peroksidase (GSH-Px), superoksida dismutase (SOD), katalase, zat gizi selenium yang banyak ditemukan dalam GSH-Px dan zinc sangat mempengaruhi aktifitas SOD juga berperan didalam enzim katalase. Radikal bebas dari senyawa oksigen seperti superoksida, oksigen singlet dapat terbentuk pada saat proses metabolisme normal di dalam tubuh. Radikal bebas lain yang terdapat di luar tubuh seperti asap rokok, asap mobil, polutan. Radikal bebas merupakan salah satu bentuk senyawa oksigen reaktif, yang secara umum diketahui sebagai senyawa yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. 38 Gambar 5 Peran oksigen dalam cedera sel Pembentukan radikal bebas dapat terjadi ketika komponen makanan diubah menjadi energi melalui proses metabolisme. Pada proses metabolisme ini, seringkali terjadi kebocoran elektron. Dalam kondisi demikian, mudah sekali terbentuk radikal bebas, seperti anion superoksida (O2-) dan hidroksil (OH. ). Radikal bebas juga dapat terbentuk dari senyawa yang sebenarnya bukan radikal bebas, tetapi mudah berubah menjadi radikal bebas, misalnya hydrogen peroksida (H2O2) dan ozon (Winarsi 2007). Tingginya oksigen dan nitrogen yang reaktif dapat merusak sel dan memicu tidak berfungsinya suatu sel sehingga menimbulkan penyakit. Timbulnya penyakit karena kelebihan oksigen reaktif kemudian menyerang komponen lipid, protein, maupun DNA. Gangguan keseimbangan antara antioksidan dan prooksidan tersebut disebut oxidative stress (Bendich 1993; IOM 2000). 39 Gambar 6 Pembentukan stres oksidatif Radikal bebas dapat dihambat oleh sistem antioksidan yang melengkapi sistem kekebalan tubuh. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa suplementasi zat gizi antioksidan (Vitamin C, E dan A) secara signifikan dapat memperbaiki sistem imunitas (Andrianne 1993; Ravaglia et al. 2000; Hathcock et al. 2005; Wintergrest et al. 2007). Selain zat gizi antioksidan tersebut diatas, peranan zat gizi enzimatik seperti superoksida dismutase, katalase, dan glutation peroksidase juga mempunyai peranan yang tidak kalah penting didalam mengurangi kerusakan akibat radikal bebas.(lihat Gambar 7). Antioksidan superoksida dismutase (SOD) merubah radikal bebas superoksida menjadi bentuk hidrogen peroksida yang kurang reaktif. Akan tetapi hidrogen peroksida dapat menjadi berbahaya bila bertemu dengan besi ferro karena dapat terbentuk radikal bebas. Oleh karena itu diperlukan antioksidan katalase untuk merubah hidrogen peroksida tersebut menjadi air dan oksigen. Gambar 7 Pertahanan enzimatik terhadap cedera radikal bebas 40 Peranan Zat Gizi Antioksidan Terhadap Imunitas Vitamin dan mineral di dalam tubuh selain berfungsi sebagai antioksidan yang dapat mencegah kerusakan sel dari radikal bebas, juga mempunyai peranan penting dalam sistem imunitas seperti pada aktivitas cytotoxic dan khususnya dalam aktivitas microbicidal fagosit terkait dengan pembentukan SOR (spesies oksigen reaktif). Terbentuknya SOR adalah bagian dari fungsi fisiologi sel dalam pertahanan tubuh, terutama selama fagositosis atau aktivitas microbicidal. SOR dalam sel yang tidak dinetralkan oleh antioksidan dapat menjadi sumber kerusakan jaringan, karena radikal bebas dapat merusak komponen seluler dan menyebabkan kematian sel karena kerusakan molekuler akibat stress oksidatif. Oleh karena itu fungsi sel imun sangat kuat dipengaruhi oleh antioksidan atau keseimbangan antioksidan. Sementara itu, sistem imun sendiri sangat rentan terhadap stress oksidatif, karena sel imun sangat tergantung pada komunikasi antar sel melalui membran reseptor. Apabila terjadi kerusakan pada membran sel oleh radikal bebas dapat mengganggu komunikasi antara sel imun dengan APC yang selanjutnya akan berdampak pada produksi sitokin dan pada akhirnya akan menghambat produksi antibodi. Kekurangan satu macam zat gizi dapat mengganggu respon imun walaupun taraf kekurangan zat gizi pada tingkatan yang ringan. Data epidemiologi dan klinis menunjukkan bahwa defisiensi zat gizi mempengaruhi kemampuan kekebalan dan meningkatkan risiko infeksi. Beberapa zat gizi seperti vitamin E mempunyai peranan sebagai immunomodulator, meningkatkan proliferasi limfosit dan meningkatkan produksi sitokin (Lee et al. 2000). Zat gizi mikro seperti zinc, selenium, besi, tembaga, vitamin A, C, E dan B6 serta asam folat mempunyai pengaruh yang penting dalam respon imun (Chandra 2002; Wolvers et al. 2006; Dijkhuizen dan Wieringa 2001). Zat gizi mikro juga sangat mempengaruhi keutuhan dinding sel yang sangat menentukan untuk komunikasi antar sel, kerusakan dinding sel mengaruhi sistem imun karena terganggunya produksi sitokin (Rink dan Kirchner 2000). Penelitian tentang peranan zat gizi mikro terhadap sistem imun telah banyak dilakukan dan beberapa di antaranya telah dirangkum oleh Wintergerst et al. (2007), dimana kekurangan salah satu atau beberapa zat gizi mikro mengakibatkan gangguan pada 41 sistem signaling dan selanjutnya terjadi gangguan respon imun. Berikut ini akan diuraikan beberapa zat gizi yang mempunyai peranan dalam antioksidan dan sistem imun: Vitamin A Vitamin A merupakan nama generik yang menyatakan semua retinoid dan prekursor/provitamin A/ karotenoid yang mempunyai aktivitas biologik sebagai retinol (Almatsier 2006). Vitamin A mempunyai peranan penting di dalam pemeliharaan sel epitel oleh karena itu vitamin A sangat berperan dalam imunitas non-spesifik, dimana dalam keadaan kekurangan vitamin A, integritas mukosa epitel terganggu, keadaan ini sebagian besar disebabkan karena hilangnya sel globlet penghasil mukus. Salah satu dampak kekurangan vitamin A adalah meningkatnya kerentanan terhadap kuman patogen di mata dan saluran nafas serta saluran pencernaan. Hasil penelitian Sommer dan Tarwotjo (1984) dan Karyadi et al. (2002) menunjukkan bahwa anak-anak yang kekurangan vitamin A berisiko mengidap penyakit pernafasan dan meningkatnya keparahan penyakit diare. Hal ini karena terganggunya sel epithel pada sel saluran cerna dan pernafasan. Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan di Bandung oleh Semba et al. (1993) dan Semba (1994) menunjukkan bahwa kekurangan vitamin A berdampak pada kemampuan membangkitkan respon antibodi terhadap antigen dependen sel T. Vitamin A juga terbukti dapat meningkatkan respon antibodi terhadap antigen spesifik, meningkatkan proliferasi limfosit, meningkatkan produksi sitokin, mencegah apoptosis, dan menjaga integritas lapisan mukosal (Rahman et al. 1999). Peranan vitamin A pada sel-sel mukosa di antaranya mukosa saluran cerna juga telah dibuktikan oleh Kotake-Nara et al. ( 2000). Peranan vitamin A selain pada imunitas non-spesifik juga pada imunitas seluler, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Stephensen (2001) dan Villamor dan Fauzi (2005) dimana vitamin A selain mempengaruhi kekebalan alami dengan cara mengganggu pertahanan mukosal, juga dengan cara mengurangi fungsi neutrofil, makrofag, sel NK, dan mempengaruhi perkembangan sel Th dan sel B yang berfungsi sebagai pertahanan humoral dan seluler. Peranan vitamin A di dalam imunitas non spesifik dan spesifik juga telah 42 dibuktikan oleh Reifen (2008) dimana suplementasi vitamin A memperbaiki kondisi inflamasi seperti gangguan kulit, bronco-pulmonary dysplasia. Mekanisme vitamin A dalam memperbaiki kondisi tersebut melalui perbaikan sistem imunitas dan integritas epitel. Hasil meta-analisis menunjukkan bahwa dari 20 penelitian disimpulkan vitamin A menurunkan risiko kematian sekitar 30 persen, dengan penyebab kematian antara lain diare sebanyak 30 persen, penyakit pernafasan sekitar 70 persen, dan 34 persen penyebab kematian lainnya (Glasziou dan Mackerras, 1993). Penelitian pemberian zat gizi kombinasi vitamin A dan zinc oleh Zeba et al. (2008) menunjukkan bahwa anak yang terinfeksi malaria (6-72 bulan) setelah diberi suplemen vitamin A dosis 200.000 IU + zinc elemental 10 mg/hari selama 6 bulan menunjukkan adanya penurunan prevalensi dan keparahan infeksi malaria. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa kekurangan vitamin A mempengaruhi imunitas non spesifik, antara lain melalui mekanisme: 1. Hilangnya silia di saluran pernafasan. 2. Hilangnya mikrovilli di saluran pencernaan. 3. Hilangnya sel musin dan goblet di saluran pernafasan, pencernaan dan saluran kemih. 4. Squamous metaplasia dengan keratinisasi abnormal di saluran pernafasan dan saluran kemih (genitourinary). 5. Mengganggu fungsi sel imun yang berhubungan dengan mukosa. 6. Mengganggu integritas usus. Vitamin E Vitamin E atau α-tokoferol merupakan antioksidan yang larut dalam lemak. Vitamin ini banyak terdapat dalam membran eritrosit dan lipoprotein plasma. Tokoferol terutama α-tokoferol telah diketahui sebagai antioksidan yang mampu mempertahankan integritas membran sel. Vitamin E terutama cincin fenolnya mampu memberikan ion hidrogennya kepada radikal bebas. Diantara beberapa bentuk vitamin E, bentuk α-tocoferol lebih efektif dibandingkan dengan beta, gama dan delta tocoferol. Ion hidrogen dari α-tocoferol sangat efektif dan cepat bereaksi dengan beberapa radikal bebas dan menghentikannya sebelum menghancurkan membran sel dan komponen-komponen sel lainnya.Vitamin E 43 dikenal sebagai antioksidan yang mampu menghentikan reaksi berantai melalui beberapa proses. Proses inisiasi, yaitu reaksi antara senyawa lemak seperti PUFA (poliunsaturated fatty acid) dan radikal hidroksil bebas menghasilkan radikal karbon yang ada ditengah lipid dan air ( LH+OH- menjadi L. + H2O). Sekali radikal lipid terbentuk akan bereaksi membentuk radikal lain pada proses pengembangan. Pada tahap pengembangan ini radikal lipid bereaksi dengan molekul oksigen membentuk radikal peroksil (LOO.) dengan proses reaksi L. + O2 membentuk LOO. . Ketika peroksil radikal terbentuk dapat menarik atom hidrogen dari senyawa organik lainnya termasuk asam lemak tidak jenuh pada membran atau pada lipoprotein yang menghasilkan peroksida lipid serta reaksi berantai oleh radikal lipid yang baru (L’. ). Vitamin E yang terdapat dipermukaan membran bereaksi dengan peroksil sebelum senyawa radikal peroksil berinteraksi dengan asam lemak lainnya sehingga vitamin E menghentikan propagasi (pengembangan). Dibawah ini dijelaskan bagaimana proses pengembangan terjadi LOO. + EH menjadi LOOH +E. atau L. + EH menjadi LH dan E. Hasil proses pengembangan terbentuknya vitamin E teroksidasi. Selanjutnya proses regenerasi vitamin E teroksidasi memerlukan senyawa pereduksi seperti vitamin C, dan NADPH. Dengan menyumbangkan hidrogen, vitamin E sendiri menjadi radikal, tetapi lebih stabil karena elektron yang tidak berpasangan pada atom oksigen mengalami delokalisasi ke dalam struktur cincin aromatik (Marks et al. 2000; Silalahi 2006; Gropper et al.2005). Vitamin E di dalam memelihara integritas membran sel membuat permeabilitas membran dapat tetap terjaga. Integritas membran sel ini sangat mempengaruhi suatu sel terutama sel T helper dalam berinteraksi dengan antigen presenting sel. Selain itu peranan vitamin E pada sistem imun di antaranya dapat meningkatkan proliferasi sel T dan membaiknya rasio CD4+/CD8+. Hasil penelitian oleh Lee et al.(2000) menunjukkan bahwa pemberian vitamin E dengan dosis 233 mg/hr selama 28 hari pada orang dewasa di China ber usia kurang dari 35 tahun terjadi peningkatan proliferasi limfosit dan membaiknya rasio 44 CD4+/CD8+. Vitamin E disamping meningkatkan proliferasi limfosit juga dapat meningkatkan produksi IL-2 dan jumlah sel NK (Meydani et al. 2005). Keadaan ini sebagai efek dari membaiknya membran sel. Selanjutnya hasil penelitian pada lansia di Jepang menunjukkan bahwa respon imun terhadap vaksin influensa nampak signifikan dan berhubungan dengan status vitamin E (Hara et al. 2005). Namun demikian, pemberian vitamin E yang berlebihan perlu hati-hati, hasil meta-analisis menemukan bahwa pemberian vitamin E dengan dosis diatas atau sama dengan 400 IU perhari dapat meningkatkan kematian, sehingga harus dihindarkan (Miller et al. 2005). Batasan ini sama dengan batasan tertinggi yang diijinkan oleh BPOM untuk suplemen vitamin E, sementara itu kandungan vitamin E dalam suplemen yang digunakan dalam penelitian ini hanya 45 mg atau 45 IU. Selenium Selenium adalah mineral kelumit yang penting untuk sintesis protein dan aktivitas enzim glutation peroksidase (GSH-PX). Kekurangan selenium dapat menyebabkan nekrosis hati dan penyakit degeneratif (Winarsi 2007). Selenium terdapat dalam glutation peroksida yang mempunyai peranan sebagai katalisator dalam pemecahan peroksida yang terbentuk di dalam tubuh menjadi ikatan yang tidak bersifat toksik. Peroksida dapat berubah menjadi radikal bebas yang dapat mengoksidasi asam lemak tidak jenuh yang ada pada membran sel, sehingga merusak membran sel tersebut. Selenium juga bekerjasama dengan vitamin E dalam peranannya sebagai antioksidan (Almatsier 2006). Selenium diperlukan untuk mencapai respon imun yang optimal, selenium juga dapat mempengaruhi sistem imunitas innate dan adaptive. Di samping itu selenium juga berperan didalam regulasi reaksi redoks dan berfungsi sebagai antioksidan, membantu mempertahankan integritas membran dan melindungi sel dari kerusakan DNA (Wintergerst at al. 2007). Integritas membran sel sangat diperlukan dalam sistem imunitas karena produksi sitokin sangat ditentukan oleh reseptor yang terdapat dalam membran sel, oleh karena itu selenium sangat diperlukan untuk meningkatkan imunitas seluler. Disamping itu kerusakan DNA juga akan mempengaruhi makrofag dalam fagositosis sehingga akan menurunkan fungsi makrofag sebagai APC. 45 Hasil penelitian yang menunjukkan peranan selenium sudah banyak dilaporkan, misalnya pada keadaan kekurangan selenium terjadi penurunan titer IgG dan IgM, CD4+ meningkat dan CD8+ menurun (Kiremidjian-Schumacher et al. 1996). Tentang besarnya dosis selenium yang responsif terhadap fungsi imun masih terus dilakukan. Salah satu penelitian suplementasi selenium dengan dosis 50 ug dan 100 ug pada orang dewasa yang mempunyai marginal konsentrasi selenium dalam darahnya menunjukkan bahwa penambahan 100 µg selenium dapat membantu fungsi imunitas bekerja lebih optimal dari pada selenium dosis 50 µg (Broome et al. 2004). Zinc Zinc memegang peranan penting dalam banyak fungsi tubuh, sebagai bagian dari enzim atau sebagai kofaktor pada kegiatan lebih dari 200 enzim. Zinc juga berperan dalam berbagai aspek metabolisme, seperti reaksi-reaksi yang berkaitan dengan sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lipid dan asam nukleat (Almatsier 2006). Zinc juga mempunyai peran yang penting dalam sintesa asam nukleat, oleh karena itu zinc sangat diperlukan dalam sistem imun di tingkat seluler. Peranan lain dari zinc adalah untuk sintesa protein, maka keberadaan zinc sangat terkait dengan sistem imun humoral karena komponen terbesar dari antibodi adalah protein. Di dalam sintesa asam nukleat juga memerlukan zinc, oleh karena itu kecukupan zinc akan mempengaruhi kualitas sel-sel imun dan selanjutnya akan mempengaruhi aktifitas sel-sel imun seperti makrofag dalam fagositosis yang selanjutnya akan mempengaruhi produksi antibodi. Peran tersebut telah dibuktikan bahwa kekurangan zinc menurunkan aktivitas sel natural killer, CD4+ dan CD8+, juga menurunnya proliferasi limfosit (Shankar & Prasad 1998; Prasad 2000). Disamping itu, fungsi netrofil juga terganggu ketika kekurangan zinc (Shankar dan Prasad 1998). Peranan zinc pada produksi sitokin terlihat dalam suatu penelitian suplementasi zinc pada orang yang kekurangan zinc dan menghasilkan peningkatan produksi IL-2 (Prasad 2000). Penurunan zinc juga terlihat mempengaruhi kemampuan sel NK untuk membunuh antigen (Rink dan Kirchner 2000). Selanjutnya penelitian oleh Raqib et al. (2004) dan Rahman et al. (2005) menunjukkan bahwa suplementasi zinc dapat mempercepat 46 penyembuhan disentri pada lansia dan anak-anak, hal ini terkait dengan peranan zinc dalam proliferasi sel terutama sel mukosa (Wintergerst et al. 2007). Vitamin C Vitamin C memegang peranan penting sebagai antioksidan yang membantu menetralisir radikal bebas disebabkan karena terpapar ultraviolet dari matahari, rokok dan polusi lainnya. Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk menetralisir radikal bebas tetapi kemampuan tersebut menurun dengan semakin bertambahnya umur. Dampak radikal bebas antara lain dapat menyebabkan kanker dan berbagai penyakit infeksi (IOM 2000). Vitamin C banyak diketahui sebagai antioksidan karena kemampuannya dalam mereduksi beberapa reaksi kimia, oleh karena itu vitamin C mampu mereduksi spesies oksigen reakstif (SOR). Vitamin C juga mempunyai peranan sebagai donor elektron untuk delapan enzym. Tiga enzym terlibat dalam hidroksilasi kolagen, dua enzym dalam sintesa karnitin, tiga enzym terlibat dalam sintesa asam amino dan hormon. Kemampuan vitamin C sebagai donor elektron maka vitamin menjadi sngat efektif sebagai antioksidan. Vitamin C dapat dengan cepat memutus rantai reaksi SOR dan SNR ( spesies nitrogen reaktif)(IOM 2000). Vitamin C dapat meningkatkan fungsi imun dengan menstimulasi produksi interferon (protein yang melindungi sel dari serangan virus). Vitamin C juga menstimulasi kemotaksis dan respon proliferasi netrofil, serta melindungi sel dari radikal bebas yang diproduksi oleh netrofil teroksidasi (Winarsih 2007). Di sisi lain, SOR yang dihasilkan oleh sel imun yang teraktivasi selama proses fagositosis, mempunyai peranan penting dalam membunuh bakteri intraseluler atau benda asing lainnya, sementara itu sistem imun dan biomolekul lainnya (lipid dan protein) rentan terhadap kerusakan oksidative yang disebabkan oleh SOR, oleh karena itu keseimbangan produksi SOR harus dijaga. Jika SOR diproduksi dalam konsentrasi yang tinggi, maka dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif, sehingga akan mengganggu respon imun, menurunkan integritas membran sel, mengganggu fluiditas membran dan mengganggu sel signaling. Gangguan ini dapat menyebabkan penyakit degeneratif seperti kanker dan penyakit jantung (Ames 1993). 47 Penelitian untuk menguji peranan vitamin C terhadap infeksi akibat menurunnya fungsi imunitas telah dilakukan oleh Peter (1997), pada penelitian tersebut telah diuji beberapa konsentrasi vitamin C dan hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian vitamin C dengan dosis 600 mg/hari dapat menurunkan infeksi. Sementara itu Carol (2001) dalam penelitiannya menemukan bahwa konsumsi vitamin C 500-1000 mg/hari dapat memberikan efek antioksidan yang optimal. Meta-analisis oleh Hemilia et al.(2007) menunjukkan bahwa suplemen vitamin C mega dosis tidak menurunkan kejadian cold pada individu dengan kegiatan fisik normal, tetapi sangat signifikan bila dikonsumsi oleh orang yang mempunyai kegiatan fisik berat seperti pelari, perenang dan pemain sepak bola, dengan OR 0.5 (95 % CI;0.38-0.66). . 48 METODE Desain, Waktu dan Tempat Penelitian Desain penelitian ini adalah eksperimental murni teracak buta ganda (double blind randomized controlled trial) dan telah mendapat persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Badan Litbang Kesehatan Nomor LB.03.04/KE/4294/2007 (Lampiran 1). Penelitian lapang dilaksanakan selama empat bulan, dimulai pada bulan Februari hingga Mei 2008, di Pabrik Garmen PT Ricky Putra Globalindo Tbk., Citeureup, Kabupaten Bogor. Analisis serum darah dilakukan di Laboratorium Biokimia Puslitbang Gizi dan Makanan Depkes Bogor, Laboratorium Makmal UI Jakarta, dan Laboratorium Biokimia FK UI. Pemilihan lokasi dan sampel penelitian didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu: 1. Sebagian besar pengguna suplemen adalah wanita, dan di pabrik ini memiliki karyawati terbanyak di Jabotabek. 2. Karyawati pabrik merupakan kelompok wanita usia subur yang berisiko terpapar stress oksidatif karena sebagian besar bekerja dalam posisi berdiri. 3. Tingkat sosial ekonomi serta aktivitas fisik karyawati hampir sama. 4. Pengaruh makanan juga dapat dikontrol karena sebagian besar makan pagi dan siang dibeli dari warung dan kantin di sekitar pabrik. 5. Mudah mendistribusikan bahan suplemen dan mudah mengontrol kepatuhan mengonsumsi suplemen. Cara Penentuan Sampel Populasi penelitian adalah wanita pekerja berusia antara 20 – 45 tahun yang bekerja di Pabrik Garmen PT Ricky Putra Globalindo Tbk., Citeureup, Kabupaten Bogor. Sampel penelitian ini adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan dipilih secara random dengan kriteria inklusi sebagai berikut : sehat, tidak menderita penyakit kronis, tidak sedang melakukan diet, tidak sedang mengandung, tidak sedang menyusui, tidak merokok, tidak minum alkohol, bersedia menandatangani formulir persetujuan etik informed consent (Lampiran 2). 49 Jumlah minimal sampel yang ditetapkan untuk penelitian ini menggunakan ragam penelitian yang dilakukan Rahman et al. (1999) dengan asumsi bahwa tingkat kesalahan (α) = 5%, power of test = 90% menggunakan rumus : n= 2σ 2 [ Z α + Z β ] 2 δ2 Keterangan: n = Besar sampel σ = 1.3 (perkiraan standar deviasi serum Immunoglobulin G (IgG) berdasarkan penelitian Rahman 1999) δ = 1 (peningkatan titer IgG yang diharapkan setelah intervensi). Dari perhitungan di atas, diperoleh besar minimal sampel (n) = 38 sampel untuk setiap perlakuan. Untuk mengantisipasi terjadinya drop out, maka jumlah sampel ditambah 30 persen sehingga jumlah sampel pada setiap perlakuan menjadi 38 + 12 = 50 sampel. Untuk Perhitungan besar sampel variable CD4+, sel NK dan CD8+ mengikuti varian dari IgG, sedangkan untuk menghitung besar sampel minimal untuk variable vitamin A,vitamin E, vitamin C, zat besi (Hb), selenium, zinc dan SOD dihitung dengan varian dari penelitian sebelumnya oleh Raqib et al. (2004), Penn et al. (1991) dan Xia et al. (2005). Dari perhitungan masing-masing varian tersebut dipilih jumlah sampel paling besar yaitu sebesar 26 sampel, kemudian untuk antisipasi drop out ditambah 30 persen sehingga besar sampel untuk variable zat gizi antioksidan sebesar 33 sampel per perlakuan yang dirandom dari 50 sampel. Pelaksanaan Penelitian Pada tahap awal, dilakukan screening terhadap populasi untuk memilih sampel yang akan diikutkan dalam penelitian. Jumlah seluruh karyawan pabrik adalah 2600 orang, dengan jumlah karyawan wanita yang tergolong dalam kelompok wanita usia subur adalah 1300 orang. Dari jumlah tersebut, yang merupakan karyawan tetap sebanyak 60 persen (780 orang), yang selanjutnya dipilih sebagai sampel penelitian karena mobilitasnya dianggap tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan karyawan kontrak. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan 50 klinis terhadap sampel. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan bersedia menandatangani informed consent, menjadi target sample penelitian. Selanjutnya dilakukan penentuan besar sampel menggunakan analogi penelitian Rahman et al. (1999), diperoleh besar sampel 50 orang per perlakuan. Dalam penelitian ini terdapat 6 perlakuan sehingga total sampel 300 orang. Random alokasi dilakukan untuk mengelompokkan sampel penelitian ke dalam enam perlakuan. Satu minggu sebelum suplementasi dilakukan, sampel penelitian diberi obat cacing dengan maksud agar terbebas dari penyakit kecacingan yang dapat mengganggu penyerapan zat gizi dalam saluran pencernaan. Untuk lebih jelasnya, alur penelitian digambarkan pada Gambar 8 dibawah ini. WUS yang bekerja (Wanita pekerja) 300 WUS Random allocation 50 WUS Darah 1 6 minggu Darah 2 (sblm vaksinasi) Vaksin TT 50 WUS Random perlakuan 50 WUS 50 WUS Random perlakuan Tidak vaksin Vaksin TT Tidak vaksin 4 minggu Darah 3 Akhir penelitian minggu ke 10 Gambar 8 Alur penelitian 50 WUS 50 WUS plasebo Random perlakuan Vaksin TT Tidak vaksin 51 Keterangan: Secara acak sampel dibagi menjadi 6 perlakuan, dimana setiap perlakuan terdiri atas 50 sampel. Sebelum diberikan perlakuan, dilakukan pemeriksaan sampel darah yang disebut darah 1 (baseline). Selanjutnya setiap dua perlakuan mendapat suplemen yang sama yaitu muti vitamin-mineral (MVM) atau plasebo atau vitamin C 1000 mg. Suplemen diberikan setiap hari kepada sampel selama enam minggu. Pada akhir minggu ke enam suplementasi, dilakukan pengambilan darah yang disebut darah 2 (intermediate). Setelah pengambilan darah selesai, pada hari yang sama dilakukan pengocokan kelompok perlakuan secara random pada kedua perlakuan yang mendapat suplemen sama untuk menentukan perlakuan yang mendapat vaksinasi Tetanus toxoid (TT), sehingga setiap perlakuan mendapat perlakuan kombinasi antara perlakuan suplementasi dan vaksinasi. Perlakuan kombinasi terdiri dari suplementasi MVM, vitamin C, dan plasebo dengan vaksinasi TT dan non-vaksinasi TT (non-TT). Perlakuan TT dan non-TT hanya diberikan satu kali pada minggu ke-enam sesudah pengambilan darah 2. Vaksinasi TT diberikan dengan tujuan melihat respon antibodi yang spesifik terhadap tetanus. Vaksinasi ini bersifat booster atau respon sekunder karena sampel sudah mendapat vaksinasi primer yang diberikan sebelum melahirkan atau sebelum menikah. Kemudian setelah pemberian vaksinasi selesai, pemberian suplemen dilanjutkan hingga minggu kesepuluh. Pada akhir minggu kesepuluh intervensi, di lakukan pengambilan darah 3 (endline). Rincian pengukuran darah 1, darah 2 dan darah 3 adalah sama yaitu untuk pemeriksaan kadar IgG Tetanus toxoid, SOD, limfosit, monosit, WBC, CD4+, CD8+, sel NK, kadar vitamin A, vitamin E, vitamin C , Zn, dan selenium. Cara Pemberian Suplemen Suplemen diberikan setiap hari selama 10 minggu kepada sampel penelitian oleh petugas dan perawat di klinik perusahaan. Suplemen yang diberikan berbentuk tablet dan di minum langsung oleh sampel di depan petugas. Jenis suplemen yang diberikan kepada masing-masing wanita pekerja tidak diketahui baik oleh peneliti maupun oleh petugas. Pengacakan sampel maupun perlakuan 52 hanya diketahui oleh petugas khusus yang tidak terlibat dalam penelitian. Kandungan suplemen multi vitamin-mineral dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Formula suplemen multi vitamin-mineral Zat gizi Satuan Kandungan MVM Vit C Placebo 1000 Cellulosa + Pewarna % UL Batasan AKG (19-50 th) BPOM 1333 2000 1000 300 1000 400 Vitamin C mg 1000 E mg 45 - A µg 700 - 140 3000 1500 B6 mg 6.5 - - 100 100 Asam folat B12 µg 400 - 100 1000 800 µg 9.6 - 685 ND 200 D µg 10 - 200 50 10 Zn µg 10 - 102 40 30 Se µg 110 - 366 400 200 Cu mg 0.9 - - 10 3 Fe mg 5 - 192 45 30 Mineral a ) AKG, Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 2004 b) UL, tolerable upper intake level Jenis dan Cara Pengumpulan Data Variabel yang dikumpulkan selama pelaksanan penelitian meliputi karakteristik sampel, riwayat dan status kesehatan, pengukuran antropometri, respon imunitas (leukosit, monosit, limfosit, CD4+, CD8+, sel NK, IgG ), kadar SOD, kadar serum vitamin A, kadar vitamin E, kadar serum zinc, kadar serum selenium, kadar plasma vitamin C dan kepatuhan konsumsi suplemen (Tabel 4). 53 Pengendalian Kualitas Data Pengendalian kualitas data dilakukan dengan beberapa langkah sebagai berikut: 1. Suplemen diminum di depan petugas. 2. Pengambilan data antropometri dilakukan oleh tenaga terlatih. 3. Alat ukur timbangan, tinggi badan, dan alat analisis darah yang digunakan telah dikalibrasi sebelum digunakan. 4. Pengambilan darah dilakukan oleh tenaga ahli kesehatan dari Puslitbang Gizi dan Makanan Depkes Bogor. 5. Analisis sampel darah dilakukan oleh tenaga ahli di Laboratorium Biokimia Puslitbang Gizi dan Makanan Depkes Bogor, Laboratorium Biokimia dan Molekuler Universitas Indonesia, dan Makmal Terpadu UI. Tabel 4 Jenis variabel dan cara pengumpulan data No Variabel Cara pengumpulan 1. Karakteristik sampel Pengisian kuesioner 2. Riwayat dan status kesehatan Pengisian kuesioner 3. Antropometri Pengukuran berat dan tinggi badan 4. Respon imunitas Analisis laboratorium 5. Kadar SOD Analisis laboratorium 7. Kadar serum vitamin A Analisis laboratorium 8. Kadar serum Vitamin E Analisis laboratorium 9. Kadar serum Zinc Analisis laboratorium 10. Kadar serum Selenium Analisis laboratorium 11. Kadar plasma Vitamin C Analisis laboratorium 12. Konsumsi suplemen Pencatatan oleh petugas Sebelum pengumpulan data dilakukan, calon sampel penelitian diundang untuk diberi penjelasan umum tentang rencana penelitian yang akan dilakukan. Setelah diberi penjelasan, sampel penelitian diminta untuk mengisi inform consent (formulir kesediaan mengikuti penelitian dengan suka rela). Kemudian sampel penelitian yang bersedia mengikuti penelitian dilakukan screening untuk menyaring sampel yang memenuhi kriteria inklusi. 54 Sampel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan bersedia mengikuti kegiatan ini, secara berturut-turut diperiksa kesehatan, pengukuran antropometri, pengambilan darah, pengisian kuesioner dengan wawancara untuk pengumpulan data baseline. Setelah pengambilan darah, sampel diminta untuk minum suplemen di depan petugas. Pada hari-hari berikutnya, sampel diminta untuk datang ke klinik pabrik setiap hari ketika jam istirahat untuk meminum suplemen di depan petugas. Setelah 6 minggu mengkonsumsi suplemen, keesokan harinya sampel diminta untuk datang pagi (pukul 07.00) dalam keadaan puasa sejak pukul 22.00 WIB untuk diperiksa darah kedua. Setelah dilakukan pengambilan darah, sampel diberi sarapan pagi, kemudian sampel yang masuk dalam kategori perlakuan dengan vaksinasi, divaksinasi oleh perawat. Identitas sampel yang dikumpulkan meliputi: nama, tanggal lahir, status perkawinan, tahun mendapatkan vaksinasi terakhir, pendidikan terakhir, divisi pekerjaan, jumlah anak, keikutsertaan KB, dan jenis KB yang digunakan. Identitas sampel dikumpulkan satu kali pada saat sebelum suplementasi. Data antropometri meliputi berat badan dan tinggi badan. Sebelum pengukuran antropometri, sampel diminta untuk mengenakan baju seminimal mungkin, tidak mengenakan alas kaki. Untuk pengukuran berat badan menggunakan alat SECA dengan ketelitian 0,1 kg; dan alat ukur tinggi badan dengan mikrotoise dengan ketelitian 0,1 cm. Data antropometri dikumpulkan dua kali yaitu pada saat sebelum dan 10 minggu sesudah suplementasi. Pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh seorang dokter yang meliputi pemeriksaan fisik, anemnesa, keluhan dan riwayat penyakit. Pemeriksaan kesehatan dilakukan tiga kali yaitu pada saat sebelum, 6 minggu setelah suplementasi, dan 10 minggu setelah suplementasi. Pengambilan sampel darah dilakukan tiga kali yaitu pada saat sebelum, 6 minggu setelah suplementasi dan 10 minggu setelah suplementasi. Sampel darah diambil sebanyak 6 ml pada setiap kali pengambilan sampel darah. Sampel darah dibagi kedalam 3 tabung yang berbeda, yaitu tabung pertama berisi 3 ml darah ditambah EDTA. Tabung pertama ini dibagi menjadi 2 tempat masing-masing 2,5 ml untuk analisa imunitas seluler yang segera dikirim ke Laboratorium Makmal 55 UI Jakarta dan sisanya 0,5 ml darah untuk analisa sel darah putih (differensial count). Tabung kedua berisi 1 ml darah ditambah antikoagulan heparin, kemudian dipisahkan dan plasma yang dihasilkan untuk analisa vitamin C. Sedimennya dicuci untuk mendapatkan sel darah merah untuk analisa SOD. Analisa vitamin C dan SOD dilakukan di Laboratorium Biokimia FKUI Jakarta. Tabung ketiga berisi 2 ml darah tanpa antikoagulan untuk mendapatkan serum. Serum yang diperoleh untuk analisis IgG, Zn, vitamin A, vitamin E, dan Se. Serum disimpan dalam freezer -70oC sebelum dilakukan analisis. Analisis Zn, vitamin A, vitamin E, dan selenium dilakukan di Laboratorium Biokimia Puslitbang Gizi Bogor. Analisis IgG dengan metode ELISA dengan alat micro titer ELISA reader dari BIORAD menggunakan KIT dari Immunolab GmbH German. Analisis imunitas seluler (CD4+, CD8+ dan sel NK) dengan metode Flow Cytometri menggunakan alat FAScan Becton Dickinson Simultest IMK Lymphocyte. Analisis vitamin E dan A dengan metode HPLC, kadar Zn dengan metode AAS, dan analisis selenium dengan metode Grafite Furnace AAS. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan secara bertahap, mulai dari data yang terkumpul di lapangan hingga data siap untuk dianalisis. Terhadap data hasil pengumpulan di lapangan dilakukan pengeditan (editing), pengkodean (coding), dan pemasukan data ke dalam komputer (entry data). Kemudian dilakukan pembersihan data (cleaning) dengan cara melihat distribusi frekuensi setiap peubah. Usia wanita pekerja dihitung sebaran rata-rata pada setiap perlakuan. Pendidikan wanita pekerja diukur berdasarkan jenjang pendidikan, yaitu tidak tamat SD, tamat SD, tamat SLTP, tamat SLTA, dan tamat PT/akademi. Ukuran keluarga diukur dari jumlah anggota keluarga. Kriteria ukuran keluarga menurut BPS dibedakan atas keluarga kecil jika jumlah anggota keluarga ≤4 orang, kategori keluarga sedang jika jumlah anggota 5 sampai 7 orang, dan keluaraga besar jika jumlah anggota keluarga >7 orang. Penilaian status gizi dilakukan melalui antropometri menggunakan indikator indeks massa tubuh (IMT). Nilai IMT dihitung dengan rumus sebagai berikut: IMT = BB TB 2 56 Keterangan: IMT = indeks massa tubuh BB = berat badan (kg) TB = tinggi badan (m) Status gizi berdasarkan nilai IMT tersebut selanjutnya dikelompokkan berdasarkan Depkes RI (1996) sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 5. Tabel 5 Pengelompokan status gizi orang dewasa menurut IMT IMT (kg/m2) Status gizi Gizi buruk Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih (overweight) Obesitas < 17,0 17,0 – 18,4 18,5 – 24,9 25,0 – 27,0 > 27,0 Untuk mengetahui keragaman data awal dilakukan uji beda rata-rata. Untuk melihat adanya pengaruh perlakuan dilakukan uji ANOVA dan untuk uji lanjut menggunakan uji beda nyata terkecil (BNT/LSD). Transformasi data dilakukan pada data vitamin A dengan mempangkatkan 0.7 dan akar 4 untuk data CD8+. Data untuk variabel lain dianalisis menggunakan data asli. Tabel 6 menunjukkan jenis dan kategori variabel yang digunakan dalam penelitian. Tabel 6 Jenis dan kategori variabel Variabel Kategori variabel Usia Rata-rata Pendidikan Tidak sekolah Rujukan 57 Ukuran keluarga Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMU Tamat PT/akademi ≤4 orang 5-7 orang >7 orang BKKBN (1998) Indeks Massa Tubuh (IMT) >27,0 (obesitas) 25,0-27,0 (gizi lebih/overweight) 18,5-24,9 (gizi baik) 17,0-18,4 (gizi kurang) <17,0 (gizi buruk) Depkes RI (1996) Status vitamin A Normal : > 20 ug/dl (> 0,7µmol/L) Def: < 20 ug/dl (< 0.7 µmol/L) Gibson (2005) Status vitamin E Defisiensi: < 11.6 umol/l Gibson (2005) Status vitamin C Gibson (2005) Kadar superoksida dismutase Defisiensi : < 11.4 µmol/L Rendah :11.4-23 µmol/L Cukup :> 23 µmol/L Normal : > 10.7 umol/l (>70 ug/dl) Def: < 10.7 umol/l (< 70 ug/dl) Normal: 0.5-2.5 umol/L, def < 0.5 umol/L Normal: 1102-1601 unit/gHb Kadar IgG Positif (>100 IU/L) CD 4+ Normal : (410-1590 sel/ul) Randox,German (2008) Imunolab GmbH,German 2008 Makmal UI, 2008 CD8+ Normal: (190-1140 sel/ul) Makmal UI, 2008 Sel NK Normal: (90-590 sel /ul) Makmal UI,2008 Leukosit Normal : 4-11 (sel/ ul) Gibson (2005) monosit Normal : 2-8% Gibson (2005) neutrofil Normal : 50-70% Gibson (2005) Total limfosit Normal : 20-40% Gibson (2005) Kadar Zn serum Kadar selenium serum Gibson (2005) Gibson (2005) Definisi Operasional Variabel Wanita Pekerja adalah wanita usia subur yang bekerja, berusia antara 20–45 tahun 58 Suplementasi adalah pemberian sediaan farmakologi vitamin C dan multi vitaminmineral dalam bentuk tablet diberikan setiap hari selama 10 minggu pada wanita pekerja. Suplemen vitamin C adalah suplemen yang mengandung 1000 mg vitamin C yang diberikan setiap hari selama 10 minggu pada wanita pekerja Suplemen multi vitamin-mineral adalah suplemen yang mengandung 1000 mg vitamin C; 45 mg vitamin E; 700 μg vitamin A; 6,5 mg vitamin B6; 400 μg asam folat; 9,6 μg vitamin B12; 10 μg vitamin D; 10 mg Zn; 110 μg Se; 0,9 mg Cu; dan 5 mg Fe; yang diberikan setiap hari selama 10 minggu pada wanita pekerja. Suplemen plasebo adalah suplemen yang secara fisik sama dengan suplemen perlakuan dari bentuk, ukuran, warna dan rasa, tetapi hanya mengandung selulosa, pengisi dan pewarna yang diberikan. Perlakuan Plasebo adalah perlakuan yang memperoleh suplemen plasebo saja tanpa vaksinasi Tetanus toxoid (TT). Perlakuan Plasebo + TT adalah perlakuan yang memperoleh suplemen plasebo dan mendapat vaksinasi TT pada akhir minggu ke-6. Perlakuan MVM + TT adalah perlakuan yang memperoleh suplemen multivitamin dan mendapat vaksinasi TT pada akhir minggu ke-6. Perlakuan MVM adalah perlakuan yang memperoleh suplemen multivitamin saja tanpa vaksinasi TT. Perlakuan Vitamin C adalah perlakuan yang memperoleh suplemen Vitamin C 1000 mg saja tanpa vaksinasi TT. Perlakuan Vitamin C + TT adalah perlakuan yang memperoleh suplemen Vitamin C 1000 mg dan mendapat vaksinasi TT pada akhir minggu ke-6. Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi), dan utilisasi (utilization) zat gizi makanan, yang dapat terlihat melalui parameter indeks massa tubuh (IMT). IMT adalah hasil perbandingan antara berat badan (kg) dengan kuadrat tinggi badan (m) berdasarkan hasil pengukuran dikelompokkan menurut Depkes RI (1996). secara antropometri dan 59 Status kesehatan adalah situasi kesehatan yang dialami sampel dan diukur dari tekanan darah dan keluhan kesehatan yang dirasakan sampel. Kadar vitamin A serum adalah kandungan vitamin A dalam serum yang diukur dengan HPLC. Kadar vitamin C adalah kandungan vitamin C dalam plasma yang dianalisis menggunakan spectrophotometer Kadar Zn adalah kandungan Zn dalam serum yang dianalisis menggunakan alat AAS. Kadar selenium adalah kandungan selenium dalam serum yang dianalisis menggunakan alat Grafite Furnace AAS. Titer Ig G terhadap TT dan CD4+ adalah marker imunitas yang mencerminkan keadaan fungsi imunitas humoral yang dianalisis menggunakan metode ELISA dan dengan alat fluocytometer. Leukosit, limfosit, monosit, dan sel NK adalah marker imunitas yang mencerminkan fungsi imunitas seluler non-spesifik yang diukur dengan alat hematocytometer dan fluocytometer. Jumlah CD8+ mencerminkan fungsi imunitas Cell Mediated Imunity (CMI) diukur dengan alat Fluocytometer. Kadar SOD mencerminkan status antioksidan enzimatis yang dianalis menggunakan alat spektrofotometer. KERANGKA PEMIKIRAN Status kesehatan dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Status kesehatan antara lain ditentukan oleh status zat gizi antioksidan dan fungsi 60 imunitas. Beberapa penyakit timbul karena adanya reaksi oksidasi yang berlebihan. Reaksi oksidasi ini dapat terjadi setiap saat, seperti ketika bernafas, ketika konsumsi makanan didalam tubuh diubah menjadi energi dan reaksi metabolisme lainnya. Reaksi oksidasi ini mencetuskan terbentuknya radikal bebas yang sangat aktif dan dapat merusak struktur dan fungsi sel termasuk sel-sel imun sehingga menimbulkan kematian sel. Status zat gizi antioksidan yang rendah dapat memicu terjadi stress oksidatif, yaitu suatu keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan antara zat gzi antioksidan dengan produksi radikal bebas. Stress oksidatif ini bila tidak segera dinetralkan oleh antioksidan dapat menimbulkan terjadinya penyakit. Beberapa zat gizi mikro yang sering disebut sebagai zat gizi antioksidan antara lain betakaroten, vitamin C, vitamin E, zat besi, zinc, dan selenium. Vitamin C mempunyai peranan sebagai donor elektron untuk delapan enzim. Tiga enzim terlibat dalam hidroksilasi kolagen, dua enzim dalam sintesis karnitin, tiga enzim terlibat dalam sintesa asam amino dan hormon. Keefektifan vitamin C sebagai antioksidan terletak pada kemampuan vitamin C dalam mendonorkan elektron, sehingga vitamin C mampu memotong reaksi SOR dan SNR ( spesies nitrogen reaktif) (IOM 2000). Vitamin E dikenal sebagai chain-breaking antioksidan yang dapat mencegah laju reaksi radikal bebas di dalam plasma, sel darah merah dan jaringan. Vitamin E juga mempunyai peranan dalam memelihara integritas membran sel sehingga permeabilitas membran dapat tetap terjaga (Stipanuk 2000). Selenium terdapat dalam glutation peroxidase yang mempunyai peranan sebagai katalisator dalam pemecahan peroksida yang terbentuk di dalam tubuh menjadi ikatan yang tidak bersifat toksik. Peroksida dapat berubah menjadi radikal bebas yang dapat mengoksidasi asam lemak tidak jenuh yang ada pada membran sel, sehingga merusak membran sel (IOM 2000). Vitamin dan mineral selain mempengaruhi status zat gizi antioksidan juga mempengaruhi fungsi imunitas. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa radikal bebas di dalam tubuh dapat terjadi secara normal sepanjang hidup manusia. SOR yang dihasilkan oleh sel imun yang teraktivasi selama proses 61 fagositosis mempunyai peranan penting dalam membunuh bakteri intraseluler atau benda asing lainnya. Di sisi lain sistem imun sendiri rentan terhadap kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh SOR. Oleh karena itu untuk mencegah kerusakan oksidatif terutama pada sel-sel imun tubuh memerlukan asupan antioksidan yang cukup. Jika radikal bebas diproduksi dalam konsentrasi yang tinggi, sementara antioksidan dalam tubuh rendah, dapat menimbulkan stress oksidatif. Salah satu akibatnya adalah terganggunya fungsi imun, menurunkan integritas membran sel, mengganggu fluiditas membran dan mengganggu sel signaling (IOM 2000; Calder 2002; Stipanuk 2000). Dapat disimpulkan bahwa dengan status antioksidan yang baik akan mencegah timbulnya stress oksidatif sehingga akan melindungi sel terutama membran sel. Membran sel terutama sel-sel imun sangat terkait dengan fungsi signaling atau komunikasi antar sel, oleh karena itu membaiknya status antioksidan akan mempengaruhi membaiknya membran sel yang selanjutnya mempengaruhi produksi sitokin dan kemudian meningkatkan proliferasi sel B, yang pada akhirnya akan meningkatkan produksi antibodi sebagai pertahanan tubuh manusia. Salah satu faktor yang mempengaruhi status antioksidan dan fungsi imunitas yang baik adalah kadar vitamin dan mineral dalam darah. Banyak faktor yang mempengaruhi kadar vitamin dan mineral di dalam darah di antaranya konsumsi makanan khususnya sayur dan buah, konsumsi suplemen vitamin dan mineral, merokok dan status gizi seseorang. Bahasan teori di atas dapat dirangkum dalam suatu bagan di bawah ini (Gambar 9): Suplemen Merokok Kadar Vitamin+ Mineral dalam Darah Status zat gizi Antioxidan Mobiditas 62 Status Gizi -pendidikan -Jumlah Anggota keluarga Fungsi Imun Konsumsi Makanan Hormonal Stress Alkohol Usia Olah Raga Riwayat Vaksin Tidak diteliti Gambar 9 Kerangka pemikiran HASIL DAN PEMBAHASAN Pada awal penelitian jumlah sampel untuk masing-masing perlakuan sebanyak 50 orang. Selama penelitian terjadi drop out yang berbeda-beda untuk tiap perlakuan yakni plasebo sebanyak 9 orang, plasebo + TT sebanyak 9 orang, 63 perlakuan vitamin C sebanyak 7 orang, perlakuan vitamin C + TT sebanyak 7 orang, perlakuan multi vitamin-mineral (MVM) sebanyak 4 orang dan perlakuan multi vitamin-mineral + TT (MVM+TT) sebanyak 8 orang, sehingga sisa sampel untuk perlakuan plasebo sebanyak 41 orang, plasebo + TT sebanyak 41 orang, vitamin C 43 orang, vitamin C + TT sebanyak 43 orang, multi vitamin-mineral (MVM) + TT 42 orang, dan multi vitamin-mineral (MVM) 46 orang. Hal yang menjadi alasan drop out antara lain karena suami tidak mengizinkan sampel mengikuti penelitian akibat pengambilan darah berulang-ulang, keluar dari pekerjaan, hamil, sakit, cuti sehingga tidak mengonsumsi suplemen lagi, tidak mau diambil darah dan merasa kesehatannya menurun setelah mengkonsumsi suplemen. Karakteristik Sampel Sampel penelitian ini adalah wanita dan telah menikah, berusia 20-45 tahun yang bekerja di pabrik garmen PT Ricky Putra Globalindo, Tbk, terletak di Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor. Pabrik beroperasi selama 24 jam sehari dengan pembagian kerja 3 shift, sehingga setiap harinya masing-masing pekerja mendapat giliran 8 jam kerja. Karyawati yang mengikuti penelitian ini sebagian besar bekerja dengan posisi berdiri. Karakteristik sampel yang diamati dalam penelitian ini meliputi usia, pendidikan, ukuran keluarga, Indeks Massa Tubuh (IMT), penggunaan alat kontrasepsi dan kadar Ig G awal. Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu faktor yang turut berpengaruh terhadap respon imunitas secara tak langsung. Sebaran sampel berdasarkan pengkategorian pendidikan bervariasi mulai dari tidak tamat sekolah dasar (SD) sampai dengan tamat Akademi/ Perguruan Tinggi. Persentase sampel tidak tamat SD dan tamat akademi tergolong sangat sedikit, yaitu masing-masing 5.1 persen dan 0.7 persen. Persentase terbesar pendidikan sampel pada penelitian ini berurutan adalah tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) (39.1 persen), tamat Sekolah Dasar sebesar (30.5 persen) dan tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) (24.6 persen) (Tabel 7). Tabel 7 Sebaran sampel menurut kategori pendidikan 64 Pendidikan Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat PT/akademi Total N 13 78 100 63 2 256 Persen 5.1 30.5 39.1 24.6 0.7 100.0 Berdasarkan data table 7, dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan sampel penelitian ini tergolong cukup baik dan sudah memenuhi wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan oleh pemerintah. Pendidikan berpengaruh terhadap imunitas secara tidak langsung yaitu melalui status gizi. Usia Mengacu pada pengatagorian Saidin et al. (2003), usia responden dibedakan antara usia 20-29 tahun, 30-39 tahun, dan > 40 tahun. Sebaran sampel berdasarkan kategori usia, yakni sampel berusia antara 30-39 tahun sebanyak 46.9 persen dan berikutnya sebanyak 46.1 persen berusia antara 20-29 tahun, sisanya hanya 7.0 persen berusia 40-45 tahun. Menurut Atmarita dan Fallah (2004) usia sampel dalam penelitian ini termasuk ke dalam kategori kisaran usia produktif yakni antara usia 20-45 tahun (Table 8). Tabel 8 Sebaran sampel menurut kategori usia Usia 20-29 tahun 30-39 tahun > 40 tahun Total n 118 120 18 256 Persen 46.1 46.9 7.0 100.0 Usia terkait erat dengan sistem imunitas melalui perubahan semua aspek respon imun. Secara umum aktifitas sistem imunitas menurun sejalan dengan bertambahnya usia, terutama mengganggu cell mediated immunity (CMI) khususnya fungsi sel T limfosit (Fuente 2002; Chandra 2002). Jumlah Anggota Keluarga Sampel Jumlah anggota keluarga dapat mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi anggota keluarga yang kemudian akan berpengaruh terhadap status gizi dan kesehatan seseorang. Berdasarkan kriteria BKKBN (1998), jumlah 65 anggota keluarga dapat dikelompokkan menjadi keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga kurang dari atau sama dengan 4 orang, keluarga sedang dengan jumlah anggota keluarga 5-7 orang, dan keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga lebih dari 7 orang. Ukuran keluarga pada penelitian ini disajikan pada Tabel 9. Sebagian besar sampel penelitian ini termasuk dalam kategori keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga kurang dari atau sama dengan 4 orang (90.6 persen) yang berarti keluarga tersebut mempunyai anak antara 1-2 orang, sisanya 9.0 persen termasuk dalam kategori keluarga sedang dan hanya 0.4 persen termasuk dalam kategori keluarga besar dengan jumlah anak lebih dari 5 anak. Tabel 9 Sebaran sampel menurut kategori ukuran keluarga Ukuran Keluarga Kecil (< 4 orang) Sedang (5-7 orang) Besar (>7 orang) Total n 232 23 1 256 persen 90.6 9.0 0.4 100.0 Status Gizi Status gizi sampel penelitian ini diukur menggunakan indikator Indeks Massa Tubuh (IMT) (Depkes 1996). Indeks massa tubuh merupakan salah satu ukuran antropometri yang digunakan untuk mengukur status gizi, yakni dengan membagi berat badan (kg) dengan tinggi badan (m2), kemudian dikategorikan menjadi beberapa kriteria. Pada Tabel 10 menunjukkan bahwa 66.4 persen sampel termasuk dalam kategori gizi baik (normal), tetapi terdapat 6.3 persen sampel termasuk dalam kategori kurus dan sangat kurus, sebaliknya 27.4 persen sampel termasuk dalam kategori gizi lebih (overweight) dan obesitas. Tabel 10 Sebaran sampel menurut kategori status gizi Status gizi Sangat kurus Kurus n 4 12 persen 1.6 4.7 66 Normal Gizi lebih Obesitas Total 170 36 34 256 66.4 14.1 13.3 100.0 Adanya gizi kurang dan lebih menunjukkan bahwa pada populasi ini terdapat masalah gizi ganda. Adanya kejadian gizi lebih pada sampel penelitian yang cukup besar persentasenya menunjukkan bahwa masalah gizi lebih tidak hanya terjadi pada kelompok masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi tinggi tetapi juga sudah banyak dijumpai pada kelompok masyarakat tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah seperti pada kelompok sampel penelitian ini. Keadaan ini diduga karena mereka yang mempunyai status gizi lebih tersebut ketika di usia dini mempunyai status gizi kurang atau buruk, karena menurut Barker(1998) salah satu penyebab terjadinya status gizi lebih atau obesitas pada masa dewasa adalah status gizi kurang/ BBLR ketika usia dini. Tabel 11 menunjukkan bahwa keseluruhan karakteristik sampel yang meliputi usia, pendidikan, keikutsertaan keluarga berencana, jumlah anggota keluarga, status gizi dan titer IgG pada saat baseline antar keenam perlakuan tidak signifikan (p>0.05). Tabel 11 Sebaran karakteristik sampel menurut perlakuan Usia1 Pendidikan1 Penggunaan Alat Kontrasepsi1 Jumlah Anggota Keluarga1 Indeks Massa Tubuh1 IgG Baseline1 31.6+5.9 8.21+2.77 Vit. C + TT 29.7+5.4 8.56+2.34 31.3+4.8 8.52+2.70 MVM + TT 31.6+5.1 9.14+2.09 0.323a 0.098a 0.63+0.49 0.77+0.43 0.74+0.44 0.70+0.47 0.71+0.46 0.772a 3.3+0.7 3.7+0.9 3.5+0.7 3.5+0.8 3.7+0.7 3.7+1.2 0.210a 23.7+3.4 23.4+3.0 22.2+3.2 22.6+3.5 23.5+3.1 24.0+4.2 0.130a 2579.6± 1559.2 2445.9± 2532.5± 2712.4± 2632.8± 2814.1 ± 0.889a 1326.7 1496 1481.8 1505.2 1537 a nilai p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama Plasebo Plasebo + TT Vit. C 31.0+4.5 9.34+2.47 32.2+4.8 7.95+2.58 0.66+0.48 Keterangan :1 x ± SD ; MVM P Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 15.7 persen sampel mengalami kekurangan vitamin A, 78.4 persen kekurangan vitamin E, 62.3 persen kekurangan viatmin C, 16.3 persen kekurangan zinc, dan 76.7 persen kekurangan selenium (Tabel 12). Zat gizi antioksidan melindungi tubuh dari kerusakan oksidatif pada organ maupun sel termasuk sel-sel imunitas. Pengaruh kekurangan 67 zat gizi mikro terhadap respon imun telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Hasil penelitian Semba et al. (1992) menunjukkan bahwa kekurangan vitamin A mempengaruhi produksi antibodi spesifik tetanus. Kekurangan zinc mengganggu fungsi imun non spesifik dan spefisik (Shankar and Prasad 1998). Kekurangan selenium mempengaruhi fungsi natural killer (Kiremidjan-schumacher et al. 1996). Kemudian hasil review oleh Wintergrest et al 2007 menyebutkan bahwa kekurangan beberapa zat gizi mikro mempengaruhi optimalisasi respon imunitas. Tabel 12 Status zat gizi antioksidan sampel pada awal penelitian Zat gizi defisiensi Vitamin A (µmol/l) Vitamin E (µmol/l) Vitamin C (µmol/l) Zinc (µg/dl) Selenium (µmol/l) n 28 149 86 29 145 Normal % 15.7 78.4 62.3 16.3 76.7 n 150 41 52 149 44 % 84.3 21.6 37.7 83.7 23.3 Pengaruh Suplementasi Terhadap Imunitas Non-Spesifik Sel Darah Putih (Leukosit) Sel darah putih atau leukosit merupakan sel pada sistem imunitas yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi dan patogen lain. Banyaknya jumlah leukosit dalam darah sering menjadi indikator adanya suatu infeksi. Sebelum suplementasi jumlah leukosit pada sampel yang mendapat perlakuan plasebo yakni 8.58±1.79 ribu sel/µl, plasebo +TT 8.19±1.76 ribu sel/µl, vitamin C 7.85±1.39 ribu sel/µl, vitamin C +TT 8.09±1.59 ribu sel/µl, MVM 7.79±1.9 ribu sel/µl, MVM+TT 8.26±1.73 ribu sel/µl. Semua sampel mempunyai jumlah leukosit dalam kisaran normal (4-11 sel/µl). Sesudah suplementasi selama 6 minggu, persentase jumlah leukosit mengalami perubahan yakni terjadi penurunan pada hampir semua perlakuan. Pada sampel yang mendapat perlakuan plasebo terjadi penurunan sebesar 0.54 persen, plasebo + TT sebesar 0.22 persen, vitamin C sebesar 0.63 persen, vitamin C + TT sebesar 0.02 persen, MVM sebesar 0.17 persen, dan MVM + TT sebesar 0.48 persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perbedaan perubahan antara keenam perlakuan tidak signifikan (p>0.05) (Tabel 13). 68 Perubahan jumlah leukosit dari minggu ke-6 (intermediate) dan sesudah suplementasi (selisih c) pada sampel yang mendapat perlakuan plasebo menurun sebesar 0.06 persen, plasebo + TT meningkat sebesar 0.11 persen, vitamin C menurun sebesar 0.05 persen, vitamin C + TT menurun sebesar 0.24 persen, MVM meningkat sebesar 0.25 persen, dan pada perlakuan MVM+TT meningkat sebesar 0.24 persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perbedaan rata-rata selisih pada keenam perlakuan tidak signifikan (p>0.05) (Tabel 13). Tabel 13 Rata-rata jumlah leukosit selama penelitian menurut perlakuan LEUKOSIT (sel/µl) Suplementasi Sebelum Intermediate Plasebo a 8.58±1.79e 8±1.86 e a Plasebo + TT 8.19±1.76e 7.93±1.49 e Vit. Ca Vit. C + TTa 7.85±1.39e 8.09±1.59e e 7.26±1.39 8.07±1.92 e e e Selisih b -0.54±1.66e -0.22±1.35e -0.63±1.51 -0.02±1.71 e e Sesudah 7.98±1.74e 8.12±1.94e 7.26±1.58 7.78±1.69 Selisih c -0.06±1.57e 0.11±1.54e -0.05±1.17e -0.24±1.68e e e Selisih d -0.61±1.81e -0.71±1.94e -0.59±1.70 -0.31±1.66 Keterangan: MVMa 7.79±1.9e 7.59±1.48 P MVM + TTa e 8.26±1.73e 0.3061 e 0.2411 7.76±1.76 -0.17±1.41e -0.48±1.63e 0.3791 7.95±1.99e 8.05±1.59e 0.2791 0.25±1.63e 0.24±1.39e 0.6171 0.16±1.61e -0.21±1.66e 0.2971 a Perlakuan. Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi c Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate d Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi e x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat. 1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama. b Pada minggu ke-10 sesudah suplementasi, perubahan leukosit secara statistik tidak signifikan (p>0.05). Tidak ditemukannya pengaruh suplementasi terhadap jumlah leukosit diduga karena sejak sebelum suplementasi jumlah leukosit semua sampel dalam kisaran normal. Kemungkinan lain sampel tidak terpapar oleh mikroba sehingga tubuh tidak melakukan serangan terhadap mikroba yang ditandai dengan tidak adanya peningkatan leukosit diatas kisaran normal. Monosit Monosit merupakan bagian dari sel darah putih yang berkembang menjadi makrofag di dalam jaringan tubuh. Sel ini akan menghancurkan antigen yang masuk dalam tubuh. Monosit tidak hanya menyerang mikroba dan sel kanker, disamping itu juga berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC), dan 69 menginduksi produksi sitokin serta mengerahkan pertahanan sebagai respon terhadap infeksi (Baratawidjaja, 2006). Hasil penelitian menunjukkan, sebelum suplementasi rata rata jumlah monosit dari sampel yang mendapat perlakuan plasebo yakni 6.37±1.09 persen, plasebo + TT 7.10±1.67 persen, vitamin C 6.88±1.58 persen, vitamin C +TT 6.63±1.48 persen, MVM 6.48±1.64 persen, MVM+TT 7.1±1.72 persen. Jumlah monosit semua sampel dalam penelitian ini sebelum suplementasi dalam kisaran normal (2-8 persen). Perubahan jumlah monosit sesudah suplementasi selama 6 minggu (selisih b) pada sampel yang mendapat perlakuan plasebo meningkat sebesar 0.15 persen, plasebo + TT menurun sebesar 0.68 persen, vitamin C menurun sebesar 0.88 persen, vitamin C + TT menurun sebesar 0.23 persen, MVM meningkat sebesar 0.3 persen, MVM + TT menurun sebesar 0.67 persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata perubahan jumlah monosit selama enam minggu suplementasi tidak ada perbedaan yang signifikan antara keenam perlakuan (p>0.05). Perubahan jumlah monosit dari minggu ke-6 hingga minggu ke-10 suplementasi (selisih c), sampel yang mendapat perlakuan plasebo meningkat sebesar 0.24 persen, plasebo + TT meningkat sebesar 0.56 persen, vitamin C meningkat sebesar 0.86 persen, vitamin C + TT meningkat sebesar 0.12 persen, MVM menurun sebesar 0.13 persen, dan MVM + TT menurun sebesar 0.14 persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata perubahan jumlah leukosit tersebut tidak signifikan pada keenam perlakuan (p>0.05) (Tabel 14). Tabel 14 Rata-rata jumlah monosit selama penelitian menurut perlakuan Monosit (persen) Suplementasi Sebelum Intermediate Selisih b a Plasebo Plasebo + TT Vit. Ca Vit. C + TTa MVMa 6.37±1.09 e 7.10±1.67 e 6.88±1.58 e 6.63±1.48 e 6.51±1.94 e 0.15±2.30 e a 6.41±2.12 e -0.68±2.50 e 6±1.76 e -0.88±2.28 e MVM + TTa P 6.48±1.64 e 7.1±1.72 e 0.126 1 6.40±1.72 e 6.78±2.4 e 6.43±2.19 e 0.644 1 -0.23±2.11 e 0.3±3.08 e -0.67±2.28 e 0.135 1 70 Sesudah 6.76±2.63 e 6.98±2.35 e 6.86±2.46 e 6.51±2.31 e 6.65±2.58 e 6.29±2.83 e 0.8421 Selisih c 0.24±3.04 e 0.56±3.02 e 0.86±2.93 e 0.12±2.78 e -0.13±3.72 e -0.14±3.09 e 0.6271 -0.12±2.53 e e e 0.17±2.73 e -0.81±2.81 e 0.491 1 Selisih d 0.39±2.82 e -0.02±2.97 -0.12±2.9 Keterangan: a Perlakuan. Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi c Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate d Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi e x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat. 1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama. b Tidak ditemukannya perubahan monosit yang signifikan dari sebelum hingga sesudah suplementasi, diduga selama penelitian tidak ada sampel yang terinfeksi, sehingga tidak terjadi peningkatan monosit yang berarti untuk melawan antigen yang masuk. Dugaan lain adalah karena jumlah monosit sampel penelitian ini selama suplementasi berlangsung berada dalam kisaran normal (2-8 persen), menandakan bahwa pertahanan tubuh sampel cukup baik, sehingga tidak mudah terinfeksi. Neutrofil Neutrofil merupakan salah satu fagosit polimorfonuklear/fagosit granulosit, dibentuk dalam sum-sum tulang dengan kecepatan 8 juta/menit dan hidup selama 2-3 hari. Fungsi utama neutrofil adalah fagositosis. Penurunan jumlah sel tersebut sering disertai dengan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi. Pada infeksi akut, neutrofil dalam sirkulasi dapat meningkat dengan segera. Peningkatan tersebut disebabkan oleh migrasi neutrofil ke sirkulasi yang berasal dari sumsum tulang dan persediaan marginal intravaskular (Baratawidjaja 2006). Sel-sel imun non-spesifik seperti neutrofil, makrofag jaringan berperan dalam inflamasi. Pada proses inflamasi terjadi vasodilatasi meningkatkan persediaan darah untuk mengalirkan lebih banyak molekul dan sel yang diperlukan dalam memerangi antigen yang mencetuskan inflamasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum suplementasi, rata rata jumlah neutrofil pada sampel yang mendapat perlakuan plasebo 51.56±9.81 persen, plasebo + TT 53.21±5.30 persen, vitamin C 53.88±6.86 persen, vitamin C +TT 51.04±6.32 persen, MVM 54.33±6.13 persen , MVM +TT 54.77±5.73 persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata jumlah neutrofil tidak berbeda 71 signifikan pada keenam perlakuan (p>0.05). Jumlah neutrofil sampel penelitian ini pada sebelum suplementasi dalam kisaran normal ( 50-70 persen). Perubahan jumlah neutrofil sesudah suplementasi selama 6 minggu (selisih b), pada sampel yang mendapat perlakuan plasebo meningkat sebesar 3.6 persen, plasebo + TT meningkat sebesar 0.70 persen, vitamin C meningkat sebesar 1.0 persen, vitamin C + TT meningkat sebesar 0.80 persen, MVM menurun sebesar 0.2 persen, MVM + TT meningkat sebesar 0.36 persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata perubahan jumlah neutrofil selama enam minggu suplementasi tidak berbeda signifikan pada keenam perlakuan (p>0.05). Tabel 15 Rata-rata jumlah neutrofil selama penelitian menurut perlakuan Neutrofil (persen) P Vit. C + MVM + MVMa Suplementasi Plaseboa Plasebo + TTa Vit. Ca a a TT TT Sebelum 51.56±9.81 53.21±5.30 53.88±6.86 51.04±6.32 54.33±6.13 54.77±5.73 0.126 1 Intermediate 55.17±7.21 53.91±6.41 54.88±7.16 51.84±9.77 54.13±6.53 55.14±6.14 0.644 1 Selisih b 3.61±9.70 Sesudah 0.70±6.75 1.00±6.89 0.80±9.52 -0.20±6.96 0.36±7.00 0.135 1 54.78±6.71 55.16±6.98 55.84±7.01 54.82±8.54 55.43±5.72 54.55±5.90 0.8421 Selisih c -0.39±9.53 1.26±6.78 0.95±9.59 2.98±12.04 1.30±7.99 -0.59±6.59 0.6271 Selisih d 3.22±9.40 Keterangan: 1.95±5.21 1.95±9.56 3.78±7.66 -0.23±7.42 0.491 1 1.11±6.34 a Perlakuan. Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi c Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate d Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi e x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat. 1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama. b Sementara itu perubahan jumlah neutrofil dari minggu ke-6 sampai minggu ke-10 suplementasi (selisih c), pada sampel yang mendapat perlakuan plasebo terjadi penurunan sebesar 0.39 persen, plasebo + TT meningkat sebesar 1.26 persen, vitamin C meningkat sebesar 0.95 persen, vitamin C + TT meningkat sebesar 2.98 persen, MVM meningkat sebesar 1.3 persen, dan MVM + TT menurun sebesar 0.59 persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata perubahan jumlah neutrofil tersebut tidak berbeda signifikan pada keenam perlakuan (p>0.05) (Tabel 15). Tidak ditemukannya peningkatan neutrofil salah satu pertanda tidak adanya fagositosis oleh sel tersebut terhadap mikroba yang masuk dalam tubuh. 72 Natural Killer Cell (sel NK) Sel NK adalah golongan limfosit ketiga sesudah sel T dan sel B. Jumlahnya sekitar 5-15 persen dari limfosit dalam sirkulasi dan 45 persen dari limfosit dalam jaringan. Secara morfologis, sel NK merupakan limfosit dengan granula besar (Baratawidjaja 2006). Sel ini berfungsi dalam imunitas non-spesifik terhadap virus dan sel tumor. Dalam fungsinya, sel NK menjalankan peran pembunuhan intraseluler. Virus tidak memiliki peralatan untuk memperbaharui diri dengan demikian virus harus menembus sel-sel host yang terinfeksi agar dapat mengambil fungsi replikasi sel, agar tidak berkembang, maka sel NK akan membunuh sel-sel terinfeksi virus tersebut sebelum virus mempunyai kesempatan membelah diri kembali (Roitt 2003). Sel NK berperan penting di dalam kesehatan manusia. Hasil review oleh Whiteside dan Herberman 1994) menunjukkan bahwa penurunan jumlah sel NK atau aktifitas sel NK seringkali berhubungan dengan berkembangnya kanker, atau infeksi virus baik yang bersifat akut maupun kronis. Sel NK berpartisipasi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pengaturan dan jaringan komunikasi sistem imunitas. Sel NK meningkat dengan cepat sebagai petunjuk adanya sel yang akan membunuh tetapi juga mampu memberi respon dengan cepat terhadap sitokin dan faktor faktor yang terlibat dalam interaksi antara sel imun dan non imun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum suplementasi, rata-rata jumlah sel NK pada sampel yang mendapat perlakuan plasebo yakni 753.8±302 sel/µl, plasebo+TT 631.5±238 sel/µl, vitamin C 629.7±255 sel/µl, vitamin C+TT 601.6±219 sel/µl, MVM 606.7±248 sel/µl dan MVM+TT 651.4±291 sel/µl. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata jumlah sel NK antara keenam perlakuan tidak berbeda signifikan (p>0.05) (Tabel 16). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah sel NK ketiga perlakuan pada saat sebelum suplementasi berada diluar nilai normal (90-590 sel/µl) dan menurut whiteside dan Herberman (1994) jumlah sel NK diluar nilai normal baik dibawah atau diatas ambang nilai normal terdapat dua kategori. Jumlah sel NK abnormal yang bersifat permanen dan sementara, dimana yang bersifat sementara dapat ditemukan pada orang-orang yang mengalami ketidak teraturan siklus tidur, exercise, situasi stress, sedang 73 menderita influenza, atau terserang infeksi virus yang lebih berat lagi. Hasil review tersebut mendukung temuan penelitian ini karena sampel penelitian ini mempunyai siklus tidur yang tidak teratur karena setiap 2 minggu sekali harus bekerja malam hari (lembur). Dikatakan pula dalam review tersebut bahwa seringkali tetapi tidak selalu bahwa jumlah sel NK mencerminkan aktifitas sel NK. Tabel 16 Rata-rata jumlah sel Natural Kiler (NK) selama penelitian menurut perlakuan Sel NK (sel/µl) Suplementasi Sebelum Intermediate Selisih b Sesudah Selisih c Selisih d Plaseboa Plasebo + TTa Vit. Ca Vit. C + TTa MVMa 753.8± 302.2 e 619.6± 270.8 e -134.2± 269.2 e 695 ± 237.3 e 75.4± 275.2 e -58.8± 265.4 e 629.7± 601.6± 606.7± 248.6 e 514.6± 246.4 e -92.1± 242.8 e 524.1± 208.5 e 9.5± 219.8 e -82.6± 246.1 e 631.5± 238.7 e 612.5± 260.6 e -19 ± 251.3 e 625.9± 221.9 e 13.4± 206.3 e -5.6± 212.2 e 255.7 e 537.7± e 239.0 -92.28± e 206.3 561.5± 241.3 e 23.7± e 214.4 -68.2± 208.8 e 219.8 e 602.0± e 208.9 -8.5± 241.8 e 620.5± 239.9 e 18.1± e 261.3 9.6± 2293 e P MVM + TTa 651.4± 0.123 1 291.9 e 561.8± 0.334 1 305.7 e -89.5± 0.163 1 254.4 e 604.5± 0.037 1 285.2 e 42. 7± 0.818 1 236.2 e -46.9± 0.449 1 262.4 e Keterangan: a Perlakuan. Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi c Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate d Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi e x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat. 1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama. b Sesudah 6 minggu suplementasi, jumlah sel NK mengalami perubahan yakni jumlah sel NK pada sampel yang mendapat perlakuan plasebo sebesar 619.6 ± 270 sel/µl, plasebo + TT 612.5 ± 260 sel/µl, vitamin C 537.7 ± 239 sel/µl, vitamin C+TT 602.0 ± 208 sel/µl, MVM 514.6 ± 246 sel/µl, MVM+TT 561.8 ±305 sel/µl. Hasil uji statistik, menunjukkan bahwa rata rata jumlah sel NK pada keenam perlakuan tidak berbeda signifikan (p>0.05) (Tabel 16). Berdasarkan Tabel 16, sesudah suplementasi 10 minggu, terjadi perubahan jumlah sel NK, yakni jumlah sel NK pada sampel yang mendapat perlakuan plasebo 695 ± 237 sel/µl, plasebo + TT 625.9 ± 221 sel/µl, vitamin C 561.5 ± 241 74 sel/µl, vitamin C + TT 620.5± 239 sel/µl, MVM 524.1 ± 208 sel/µl, MVM + TT 604.5 ± 285 sel/µl. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata jumlah sel NK keenam perlakuan berbeda signifikan (p<0.05). Hasil uji Anova dan uji lanjut BNT menunjukkan bahwa suplementasi MVM menurunkan jumlah sel NK secara signifikan (p<0.05), dengan kata lain pada kasus sampel penelitian ini MVM berperan sebagai imunosupressor (Lampiran 4). Besarnya penurunan jumlah sel NK sesudah suplementasi pada sampel yang mendapat perlakuan MVM menunjukkan adanya perbaikan pertahanan tubuh nonspesifik yang ditunjukkan dengan jumlah sel NK berada dalam kisaran normal (90-590 sel/µl), dimana jumlah sel NK sebelum suplementasi di atas kisaran normal yakni > 590 sel/µl. Penurunan jumlah sel NK juga terjadi pada sampel yang mendapat perlakuan vitamin C tetapi penurunannya lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan MVM. Temuan ini menunjukkan bahwa suplementasi MVM dapat memperbaiki pertahanan non-spesifik melalui perbaikan jumlah sel NK, diduga terkait dengan peranan beberapa vitamin dan mineral seperti vitamin A berperan di dalam perbaikan sel-sel mukosa, vitamin C berperan di dalam sintesis kolagen yang diperlukan untuk menjaga kulit agar tetap sehat/utuh, zinc juga berperan di dalam sintesis kolagen, dengan demikian MVM tersebut membantu pertahanan lini pertama menjadi semakin kuat, akibatnya sel NK tidak perlu memperbanyak diri untuk memperkuat pertahanan non-spesifik. Disamping itu vitamin A juga mempunyai peranan anti inflamasi terutama di dalam gangguan kulit juga diperlukan untuk integritas epithel (Rifen 2008), sehingga memperkuat pertahanan non-spesifik. Temuan ini juga sejalan dengan hasil penelitian Chandra et al. (2002), Bunout et al. (2004) dan Ravaglia et al. (2000) dimana jumlah dan aktivitas sel NK meningkat pada sampel yang mendapat suplemen multi zat gizi mikro. Meskipun pada penelitian ini suplemen MVM menurunkan jumlah sel NK dan hasil penelitian ketiga peneliti sebelumnya meningkatkan jumlah sel NK, namun keempat temuan tersebut bertujuan sama yaitu mempengaruhi sel NK dari abnormal baik diatas maupun dibawah nilai normal menuju dalam kisran normal. Hal ini terkait peranan vitamin dan mineral sebagai immunomodulator (Wintergrest et al. 2007) yang dapat berfungsi sebagai immunosuppressor atau immunostimulator. Akan tetapi temuan ini bertentangan dengan temuan Payette et 75 al. (1990) dimana hasil penelitian Payette tidak menemukan hubungan antara sel NK dengan suplementasi zat gizi mikro. Perbedaan ini kemungkinan karena pada sampel penelitian Payette et al. (1990) menyertakan sampel yang menderita penyakit kronis seperti arthritis, sedangkan sampel ketiga peneliti tersebut diatas pada subyek sehat seperti halnya sampel penelitian ini. Pengaruh Suplementasi terhadap Humoral Mediated Immunity (HMI) Immunoglobulin G (IgG) Antibodi adalah suatu protein yang diproduksi oleh limfosit B dibantu oleh sel T helper (Th) sebagai respon adanya stimulasi antigen. Ketika tubuh terinfeksi antigen, makrofag akan mengenali antigen kemudian menangkapnya, selanjutnya diproses dan dipresentasikan pada membran bersama molekul Major Histokompability Complex II (MHC II) membentuk komplek antigen-MHC II. Sel Th yang teraktivasi, terstimulir untuk mensekresikan sejumlah sitokin seperti interlukin (IL)-2, IL-4, IL-6 dan interferon (IFN-ỵ) yang dapat mengaktivasi berbagai tahap proliferasi dan diferensiasi sel B menjadi sel-sel plasma dan kemudian mensekresikan antibodi dan sel-sel memori (Roit 2003). Di dalam tubuh terdapat 5 jenis antibodi yaitu lgA, lgD, lgE LgG dan lgM, akan tetapi yang paling sering terdapat dalam sirkulasi dan banyak di jaringan adalah lgG (Baratawidjaja, 2006). Pada penelitian ini, untuk mengetahui respon antibodi, sebagian sampel penelitian mendapat imunisasi dengan vaksin TT (Tetanus Toxoid) setelah mengonsumsi suplemen selama 6 minggu (sebagai booster) kemudian dilanjutkan mengonsumsi suplemen sampai minggu ke-10. Pemilihan vaksin TT, dengan pertimbangan mudah didapat, aman, dan berguna bagi wanita usia subur (Baratawidjaja 2006). Adanya peluang terkena Tetanus terutama kelompok usia subur saat persalinan sehingga vaksinasi ini menjadi paket program imunisasi oleh pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum suplementasi, rata-rata titer IgG sampel yang mendapat perlakuan plasebo 2579.6 ± 1559 IU/L, plasebo + TT 2445.9 ± 1326 IU/L, vitamin C 2532.5± 1496 IU/L, vitamin C+TT 2712 ± 1481 IU/L, MVM 2632.8 ± 1505 IU/L dan MVM + TT 2814.1 ± 1537 IU/L. Uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan rata-rata IgG yang signifikan pada keenam perlakuan (p>0.05) (Tabel 17). Ditemukannya antibodi yang cukup pada 76 semua sampel penelitian ini karena sampel sudah pernah mendapat vaksinasi TT yang diberikan oleh paramedis diklinik perusahaan tersebut ketika menjelang perkawinan atau menjelang persalinan. Hal tersebut diperlukan dalam pencegahan tetanus neonatorum di negara negara dengan tindakan obstetri yang kurang steril saat persalinan (Baratawidjaja 2006). Sesudah 6 minggu suplementasi terjadi perubahan titer IgG, yakni pada perlakuan plasebo rata-rata titer IgG 2552.2 ± 1336 IU/L, Plasebo+TT 2342.3 ± 1308 IU/L, Vitamin C 2542.4 ± 1387 IU/L, Vitamin C + TT 2853 ± 1324 IU/L, MVM 2550.9 ± 1437 IU/L, MVM + TT 2805.4 ± 1442 IU/L. Uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan rata-rata titer IgG yang signifikan pada keenam perlakauan (p>0.05). Tabel 17 Rata-rata kadar IgG selama penelitian menurut perlakuan IgG (IU/l) Suplementasi Plaseboa Plasebo + TTa Vit. Ca Sebelum Intermediate Selisih b Sesudah Selisih c Selisih d 2579.6± 1559.2e 2552.2± 1336.7e -27.4± 685.1e 2720.6± 1419.4e 168.4± 813.3e 141± 997.4e 2445.9± 1326.7e 2342.3± 1308.5e -103.6± 364.e 4945.8± 822 e 2603.5± 1507 e 2499.9± 1507e 2532.5± 1496e 2542.4± 1387.9e 9.9± 520.5e 2751.2± 1412.8e 208.8± 270.2e 218.6± 512.8e Vit. C + TTa MVMa MVM + TTa 2712.4± 1481.8e 2853± 1324e 140.6± 717.6e 4992.9± 916.4e 2139.9± 1492.4e 2280.5± 1607.4e 2632.8± 1505.2e 2550.9± 1437.5e -81.8± 355.3e 2803.4± 1403.5e 252.5± 329.8e 170.7± 398.2e 2814.1 ± 1537 e 2805.4± 1442.7e -8.7± 548.4e 4848.1± 929.1e 2042.7± 1554.4e 2034± 1597.9e P 0.8891 0.524 1 0.3571 0.0001 0.0001 0.0001 Keterangan: a Perlakuan. Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi c Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate d Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi e x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat. 1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama. b Hasil rata-rata titer IgG sesudah suplementasi 10 minggu menunjukkan bahwa perlakuan plasebo yakni 2720.6 ± 1419 IU/L, Plasebo + TT 4945.8 ± 822 IU/L, vitamin C 2751.2 ± 1412 IU/L, vitamin C + TT 4992.9 ± 916 IU/L, MVM 2803.4 ± 1403 IU/L, MVM + TT 4848.1 ± 1554 IU/L. Hasil uji statistik menunjukkan rata-rata titer IgG berbeda signifikan pada keenam perlakuan (p<0.05). Hasil uji Anova menunjukkan bahwa vaksinasi mempengaruhi 77 perlakuan secara signifikan (p<0.05). (Lampiran 5). Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Wolvers et al. (2006). Pada Gamber 10 dapat dijelaskan bahwa tidak ditemukan pengaruh suplementasi terhadap peningkatan titer IgG. Gambar tersebut menunjukkan bahwa tidak nampak lonjakan titer IgG pada ketiga perlakuan yakni plasebo, vitamin C dan MVM. Tidak signifikannya pengaruh suplementasi baik vitamin C maupun MVM terhadap kenaikan titer IgG diduga berhubungan dengan status zat gizi mikro sampel, karena status beberapa zat gizi mikro sampel sesudah suplementasi masih belum optimal, sedangkan untuk meningkatkan produksi antibodi diperlukan beberapa zat gizi termasuk zat gizi antioksidan yang optimal (Wintergerst et al. 2007). 6000 Titer IgG (IU/L) 5000 4000 3000 2000 1000 0 se be lu m m in gg )P 6 m P e r la k u a n (A u la b se in gg u 10 se be lu m m in gg )V it a 6 m o (B u m in in gg u 10 se be lu m m in C (C gg u 6 m )M in gg 10 u VM Gambar 10 Sebaran titer IgG pada sampel yang tidak mendapat vaksinasi menurut perlakuan Sedangkan vaksinasi dengan cepat dapat meningkatkan titer IgG sangat beralasan karena vaksinasi yang diberikan bukan sebagai induktor pertama, tetapi vaksinasi ini bersifat sebagai booster, maka di dalam tubuh sampel sudah ada selsel memori dengan demikian lebih mudah dan lebih cepat memproduksi antibodi karena antigen sudah dikenali. 7000 Titer IgG (IU/L) 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 s e eb lu m m g in gu 6 m i g ng u 10 s e eb lu m m g in gu 6 m i g ng u 10 s e eb m lu m g in gu 6 m i g ng u 10 78 Gambar 11 Sebaran titer IgG pada sampel yang mendapat vaksinasi TT menurut perlakuan Limfosit Limfosit adalah salah satu jenis sel darah putih yang bertanggung jawab pada sistem pertahanan tubuh. Sebanyak 20 persen dari semua leukosit dalam sirkulasi darah orang dewasa adalah Limfosit, yang terdiri dari sel T dan sel B yang merupakan kunci pengontrol sistem imun (Baratawidjaja 2006). Limfosit merupakan sel yang berperan utama dalam sistem imun spesifik, sel T pada imunitas seluler dan sel B pada imunitas humoral. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum suplementasi, rata-rata jumlah limfosit sampel yang mendapat perlakuan plasebo 40.56 ± 5.70 persen, plasebo+TT 39.9 ± 5.45 persen, vitaminC 39.88 ± 6.03 persen, vitamin C+TT 41.45 ± 5.45 persen, MVM 39.39 ± 6.06 persen dan MVM + TT 38.76 ± 5.69 persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa jumlah limfosit tidak berbeda signifikan pada keenam perlakuan (p>0.05). Jumlah limfosit sampel penelitian ini dalam kisaran normal (20-40 persen) (Tabel 18). Tabel 18 Rata-rata jumlah limfosit selama penelitian menurut perlakuan Limfosit (persen) P Vit. C + MVM + Plasebo Plasebo + TT Vit. Ca MVMa Suplementasi a a TT TT e e e e 39.88±6.03 41.45±5.45 e 38.76±5.69 0.3561 Sebelum 40.56±5.70 39.9±5.45 39.39±6.06 e a Intermediate 39.20±6.82 e 39.98±6.12 e Selisih b -1.43±7.03 e 0.02±7.45 e Sesudah a 39.38±6.92 e 40.19±6.41 e -0.55±7.09 e -1.26±6.65 e 39.15±6.84 e 38.17±6.28 0.708 1 -0.18±7.24 e -0.64±6.17 0.920 1 e e e e 37.9±6.13 e 37.93±7.2 e 37.4±7.23 38.21±8.55 38.02±5.93 e 38.69±5.61 0.970 1 79 e e e Selisih c -1.23±8.5 e -1.99±7.51 e -1.9±9.65 -1.87±8.81 -1.15±8.73 e 0.62±6.84 e 0.715 1 -0.07±6.94 -2.48±9.15 e -3.24±7.84 e Selisih d -2.67±7.97 e -1.98±5.89 e -1.37±7.44 e 0.469 1 e Keterangan: a Perlakuan. Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi c Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate d Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi e x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat. 1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama b Sesudah suplementasi selama 6 minggu, terjadi perubahan jumlah limfosit, perubahan jumlah limfosit sebelum dan pada minggu ke-6 suplementasi (selisih b) pada sampel yang mendapat perlakuan plasebo menurun sebesar 1.43 persen, plasebo + TT meningkat sebesar 0.02 persen, vitamin C menurun sebesar 0.55 persen, vitamin C + TT menurun sebesar 1.26 persen, MVM menurun sebesar 0.18 persen, MVM + TT menurun sebesar 0.64 persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata perubahan jumlah limfosit antara keenam perlakuan tidak berbeda signifikan (p>0.05). Perubahan yang terjadi sesudah suplementasi, yaitu selisih dari intermediate dan minggu ke 10 suplementasi (selisih c) pada sampel yang mendapat perlakuan plasebo menurun sebesar 1.23 persen, plasebo + TT menurun sebesar 1.99 persen, vitamin C menurun sebesar 1.9 persen, vitamin C + TT menurun sebesar 1.87 persen, MVM menurun sebesar 1.15 persen, MVM + TT meningkat sebesar 0.62 persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perubahan jumlah limfosit antara keenam perlakuan tidak berbeda signifikan (p>0.05). Tidak ditemukannya perubahan yang signifikan (penurunan atau peningkatan limfosit) pada keenam perlakuan, diduga sampel penelitian ini mempunyai pertahanan yang cukup baik. Baiknya pertahanan sampel salah satunya dapat dilihat dari jumlah limfosit sampel sejak sebelum hingga sesudah suplementasi berada dalam kisaran normal yaitu 20-40 persen (Gibson 2005). CD4+ CD4+ adalah molekul permukaan sel T helper. Sel Th mengaktifkan makrofag untuk membunuh mikroba dan sel T cytotoxic yang membunuh sel 80 terinfeksi mikroba dan mengeliminasi sumber infeksi. Jumlah CD4+ yang tinggi tetapi masih dalam kisaran normal menunjukkan pertahanan spesifik yang baik. Tabel 19 menunjukkan bahwa sebelum suplementasi jumlah CD4+ sampel pada keenam perlakuan masuk dalam kategori normal (410-1590 sel/µl). Sesudah suplementasi tidak dijumpai adanya perubahan jumlah CD4+ yang signifikan (p>0.05). Keadaan ini kemungkinan karena sampel penelitian ini tidak terpapar oleh mikroba atau karena jumlah CD4+ sampel sejak sebelum suplementasi dalam kisaran normal (410-1590 sel/µl), salah satu pertanda bahwa sampel penelitian ini dalam keadaan sehat. Tabel 19 Rata-rata jumlah CD4+ selama penelitian menurut perlakuan CD 4+ (sel/µl) Suplementasi Sebelum Intermediate Selisih b Sesudah Selisih c Selisih d a a Plasebo Plasebo + TT 1040.8± 1075.7± 323.4 e 278 e 944.3± 1076.8± 285.9 e 242.1 e -131.4± 36.1± 215.3 e 317.6 e 967.8± 1003.9± 274.4 e 301.1 e 23.5± -73± 230.9 e 306.1 e -36.9± -107.9± 309.3 e 227.6 e Vit. Ca 982.3± 255.6 e 956.3± e 317.5 -26± 261.6 e 889.8± e 273.4 -66.5± 245.7 e -92.5± e 251.1 Vit. C + TTa MVMa MVM + TTa 1030.4± 1006.3± 1088.9± e 322.5 e 464.9 e 233.3 1017.3± 1009.6± 1015.7± e 343.1 e 343.4 e 214.4 -13.2± 3.6± -73.2± 289.9 e 484.1 e 234.4 e 985.9± 1025.3± 1029.7± e 320.5 e 322.8 e 292.1 -31.4± 15.6± 14± 295.9 e 262.4 e 250.1 e -44.6± 19± -59.2± e 272.2 e 482. 2 e 278.5 P 0.676 1 0.402 1 0.210 1 0.315 1 0.388 1 0.514 1 Keterangan: a Perlakuan. Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi c Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate d Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi e x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat. 1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama b Menurut Ray et al. (2006) Jumlah CD4+ yang rendah di bawah kisaran normal merupakan prediktor kematian pada pasien HIV. Ray juga menemukan bahwa jumlah CD4+ orang dewasa sehat sekitar 703 ± 225 sel/µl, sedangkan orang yang terinfeksi HIV tetapi belum timbul gejala-gejala klinis mempunyai jumlah CD4+ lebih rendah yaitu 525 ± 207 sel/µl, dan pada penderita HIV-AIDS positif mempunyai jumlah CD4+ sekitar 170 ± 115 sel/µl. Temuan penelitian ini juga didukung hasil penelitian Lukito et al. (2004) dimana sampel lansia yang 81 sehat mempunyai jumlah CD4+ lebih tinggi (> 559 sel/µl) dibandingkan dengan lansia yang sakit (< 559 sel/µl). Pengaruh Suplementasi terhadap Cell Mediated Immunity (CMI) CD 8+ (Sel T Cytotoxic) CD8+ adalah molekul permukaan sel T limfosit dan terutama berfungsi sebagai sel T sitotoksik pada imunitas seluler spesifik. CD8+ merupakan sel efektor utama yang berperan untuk eliminasi virus. Tabel 20 Rata-rata jumlah CD8+ selama penelitian menurut perlakuan CD 8+(sel/µl) Suplementasi Sebelum Intermediate Selisih b Sesudah Selisih c Selisih d Plaseboa 903.8± 260.9 e 804.2± 258.2 e -99. 7± 202.7 e 789.4± 214.7 e -146.9± 237.4 e -144.4± 210.6 e Plasebo + TTa 855.1± 259.9 e 822.2± 208. 2 e -32.8± 243.8 e 833.1± 286.6 e 10.8± 240.5 e -22± 282 e Vit. Ca Vit. C + TTa MVM + TTa 888.3± 931.2± 261.4 297.7 e 704.6± 169.9 e -113.7± e 222.0 744.5± 218.9 e -30.1± e 192.7 -143.8± e 269.8 e 890.1± 276.9 e -41.1± e 275.9 803.8± 228.8 e -86.2± e 276.2 -127.4± e 267.9 913.8± 337.2 e 881.5± 323.9 e -32.3± 271 e 869.4± 278 e -12 ± 264.8 e -44.3± 246.7 MVMa 858.3± 266.9 e 867.1± 293.7 e 8.8± 256.2 e 853.5± 283.3 e -13.6± 256.3 e -4.8± 252.4 e P 0.841 1 0.360 1 0.338 1 0.284 1 0.350 1 0.281 1 Keterangan: a Perlakuan. Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi c Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate d Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi e x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat. 1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama b Sebelum suplementasi, rata-rata jumlah CD8+ sampel yang mendapat perlakuan plasebo 903.8 ± 260 sel/µl, plasebo + TT 855.1 ± 259 sel/µl, Vitamin C 888.3 ± 261 sel/µl, Vitamin C + TT 931.2 ± 297 sel/µl, MVM 858.3 ± 266 sel/µl dan MVM + TT 913.8 ± 337 sel/µl. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ratarata jumlah CD8+ tidak berbeda signifikan antara keenam perlakuan (p>0.05). (Tabel 20). Jumlah CD8+ semua sampel penelitian berada dalam kisaran normal ( 190-1140 sel/µl). 82 Sesudah 6 minggu suplementasi, terjadi perubahan jumlah CD8+, yakni jumlah CD8+ sampel yang mendapat perlakuan plasebo 804.2 ± 258 sel/µl, Plasebo + TT 822.2 ± 208 sel/µl, Vitamin C 704.6 ± 169 sel/µl, Vitamin C + TT 890.1 ± 276 sel/µl, MVM 867.1 ± 293 sel/µl, MVM + TT 881.5 ± 323 sel/µl. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata jumlah CD8+ tidak berbeda signifikan antara keenam perlakuan (p>0.05). Sesudah suplementasi terjadi perubahan jumlah CD8+, yakni jumlah CD8+ sampel yang mendapat perlakuan plasebo menurun 144 ± 210 sel/µl, plasebo + TT menurun 22 ± 282 sel/µl, vitamin C menurun 143 ± 269 sel/µl, vitamin C + TT menurun 127 ± 267 sel/µl, MVM menurun 44 ± 246 sel/µl, MVM + TT menurun 4 ± 252 sel/µl. Namun hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata jumlah CD8+ tidak berbeda signifikan antara keenam perlakuan (p>0.05), artinya tidak ada pengaruh suplementasi terhadap jumlah CD8+. Temuan ini menunjukkan bahwa baik suplementasi vitamin C maupun multivitamin-mineral tidak mempengaruhi jumlah CD8+. Tidak ditemukannya perubahan jumlah CD8+ selama suplementasi kemungkinan karena tidak ada sel yang terinfeksi mikroba sebab sel Tc mempunyai fungsi mengeliminasi sel yang terinfeksi. Proteksi utama respon imun spesifik terhadap bakteri interaseluler dengan melisiskan sel terinfeksi oleh CD8+ selain aktivasi makrofag oleh sel CD4+. Pengaruh Suplementasi terhadap Zat Gizi Antioksidan Vitamin A β karoten sebagai prekursor vitamin A dalam mempertahankan kesehatan mata dan integritas membran sel menjadikan senyawa ini bersifat vital bagi manusia. β-karoten sebagai pro-vitamin A sangat berperan di dalam quenching yaitu proses menginaktifkan molekul yang elektronnya tereksitasi. β-karoten mengkonjugate ikatan rangkap duanya kepada radikal bebas misalnya 1O2 + β- 83 karoten menjadi 3O2 + β-karoten yang tereksitasi. Kekuatan β-karoten sebagai antioksidan yang menguenching radikal bebas dibandingkan dengan antioksidan lainnya dapat diurutkan sebagai berikut : lycopen > vitamin E > α- karoten > βcryptosantin > β-karoten > lutein. Akan tetapi kekuatan sebagai antioksidan akan lebih besar bila lycopen dan lutein bergabung dibandingkan bekerja sendirisendiri (Gropper et al. 2005). Dalam bentuk vitamin A, peranannya sangat penting di dalam integritas mukosa epitel. Dalam keadaan kekurangan vitamin A, dapat menyebabkan integritas mukosa epitel terganggu disebabkan karena hilangnya sel globlet penghasil mukus, akibatnya terjadi kerentanan terhadap kuman patogen di mata dan saluran nafas serta saluran pencernaan. Hasil penelitian membuktikan bahwa anak-anak yang kekurangan vitamin A berisiko mengidap penyakit pernafasan dan penyakit diare semakin parah (Sommer et al. 1984; Karyadi et al. 2002). Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Semba et al. (1993) dan Semba et al. (1994), menunjukkan bahwa kekurangan vitamin A berdampak pada kemampuan membangkitkan respon antibodi terhadap antigen dependen sel T. Selain itu, efek suplementasi vitamin A dapat meningkatkan ketahanan tubuh anak-anak terhadap penyakit infeksi seperti diare dan penyakit paru-paru. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum suplementasi, rata-rata kadar vitamin A sampel yang mendapat perlakuan plasebo 1.00 ± 0.31 µmol/l, plasebo + TT 1.01 ± 0.30 µmol/l, vitamin C 0.96 ± 0.27 µmol/l, vitamin C + TT 0.95 ± 0.29 µmol/l, MVM 1.11 ± 0.38 µmol/l dan MVM + TT 1.02 ± 0.29 µmol/l. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata kadar vitamin A tidak berbeda signifikan antara keenam perlakuan (p>0.05)(Tabel 21). Tabel 21 Rata-rata kadar vitamin A selama penelitian menurut perlakuan Kadar Serum Vitamin A (umol/L) Suplementasi Sebelum intermediate Selisih b Sesudah Plasebo 1.00+ e 0.31 1.01+ 0.31 e 0.01+ e 0.19 0.95+ a Plasebo + TTa Vit. Ca Vit. C + TTa MVMa 1.01+ e 0.30 0.98+ 0.32 e -0.03+ e 0.25 1.01+ 0.96+ e 0.27 0.97+ 0.39 e 0.01+ e 0.29 0.98+ 0.95+ e 0.29 0.91+ 0.36 e -0.04+ e 0.36 0.91+ 1.11+ e 0.38 1.05+ 0.31 e -0.07+ e 0.31 1.13+ MVM + TTa 1.02+ e 0.29 1.03+ 0.33 e 0.01+ e 0.24 1.15+ P 0.406 1 0.553 1 0.822 1 0.078 1 84 e Selisih c Selisih d 0.32 -0.06+ e 0.25 -0.05+ 0.27 e e 0.33 0.03+ e 0.22 0.00+ 0.28 e e 0.26 0.01+ e 0.33 0.03+ 0.28 e e 0.26 0.00+ e 0.29 -0.03+ 0.28 e e 0.42 0.08+ e 0.27 0.02+ 0.36 e e 0.43 0.12+ e 0.34 0.13+ 0.37 e 0.748 1 0.651 1 Keterangan: a Perlakuan. Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi c Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate d Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi e x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat. 1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama b Sesudah 6 minggu suplementasi terjadi perubahan kadar vitamin A, yakni kadar vitamin A sampel yang mendapat perlakuan plasebo 1.01 ± 0.31 µmol/l, plasebo + TT 0.98 ± 0.32 µmol/l, vitamin C 0.97 ± 0.39 µmol/l, vitamin C + TT 0.91 ± 0.36 µmol/l, MVM 1.05 ± 0.31 µmol/l, MVM + TT 1.03 ± 0.33 µmol/l. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata kadar vitamin A tidak berbeda signifikan antara keenam perlakuan (p>0.05). Namun sesudah suplementasi 10 minggu, terjadi perubahan kadar vitamin A, yakni kadar vitamin A sampel yang mendapat perlakuan plasebo 0.95 ± 0.32 µmol/l, plasebo + TT 1.01 ± 0.33µmol/l, vitamin C 0.98 ± 0.26 µmol/l, vitamin C + TT 0.91 ± 0.26 µmol/l, MVM 1.13 ± 0.42 µmol/l, MVM + TT 1.15 ± 0.43 µmol/l. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata kadar vitamin A berbeda signifikan antara keenam perlakuan pada kemaknaan p=0.07. Hasil uji Anova dan uji lanjut BNT menunjukkan bahwa suplementasi MVM berpengaruh terhadap kenaikan kadar vitamin A (lampiran 6). Artinya suplementasi MVM selama 10 minggu mempengaruhi kenaikan kadar vitamin A, walaupun dengan kemaknaan p=0.07. Keadaan ini dapat dijelaskan karena dalam multivitamin mengandung vitamin A 700 µg, sehingga pemberian vitamin A selama 10 minggu mampu meningkatkan kadar vitamin A serum sampel. Oleh karena rata-rata kadar vitamin A serum sampel sebelum suplementasi sudah tidak dalam kategori defisiensi (<0.70 µmol/l) tetapi masih dalam tingkat suboptimal (<1.05 umol/l) (Gibson 2005), maka pengaruh suplemen MVM terhadap kenaikan kadar vitamin A tidak begitu besar (p=0.07). Alasan ini didukung dengan temuan Wolter et al. (2004), yakni suplementasi multivitamin selama 6 bulan meningkatkan beta-karoten, akan tetapi berlainan dengan temuan Mckay et al. (2000) suplementasi multivitamin meningkatkan vitamin C, dan vitamin E tetapi tidak meningkatkan vitamin A. Hal 85 ini mungkin karena dosis vitamin A yang diberikan lebih rendah yaitu 100 persen RDA sedangkan pada penelitian ini sedikit lebih tinggi yaitu 140 persen RDA. 30.0 30.0 25.0 25.0 20.0 17.9 18.8 17.9 14.3 13.3 % 15.0 16.7 16.7 12.5 10.0 10.0 sebelum sesudah 6.7 5.0 0.0 plasebo vit C MVM plas+TT vit C+TT MVM+TT Perlakuan Gambar 12 Persentase sampel kekurangan vitamin A sebelum dan sesudah penelitian Peningkatan kadar vitamin A serum sesudah suplementasi tersebut diikuti dengan makin sedikitnya persentase sampel yang menderita defisiensi vitamin A pada perlakuan MVM (Gambar 12). Vitamin E Vitamin E atau α-tokoferol merupakan antioksidan yang larut dalam lemak. Vitamin ini banyak terdapat dalam membran eritrosit dan lipoprotein plasma. Tokoferol terutama α-tokoferol telah diketahui sebagai antioksidan yang mampu mempertahankan integritas membran sel karena vitamin E terutama cincin fenolnya mampu memberikan ion hidrogennya kepada radikal bebas. Ion hidrogen dari α-tocoferol sangat efektif dan cepat bereaksi dengan beberapa radikal bebas dan menghentikannya sebelum menghancurkan membran sel dan komponenkomponen sel lainnya. Setelah memberikan ion hidrogennya vitamin E menjadi vitamin E teroksidasi dan dapat di regenerasi oleh senyawa pereduksi seperti vitamin C, dan NADPH. Oleh karena itu keberadaan vitamin C sangat membantu vitamin E untuk regenerasi dan nantinya akan dapat berperan kembali di dalam memutus rantai radikal bebas. Makin banyak vitamin E radikal yang terbentuk 86 maka makin banyak vitamin C untuk memperbaiki vitamin E radikal menjadi vitamin E yang bebas (E . + vitamin C menjadi Vitamin E + dehidro askorbat). Tabel 22 Rata-rata kadar vitamin E selama penelitian menurut perlakuan Sebelum intermediate Selisih b Sesudah Selisih c Selisih d Placeboa 8.9±2.2e 8.9±2.3 e -0.6±1.3 e 9.5±2.3 e 0.6±1.2 e 0.6±1.4 e Kadar Serum Vitamin E (µmol/L) Placebo+TTa Vit. Ca Vit. C+TTa MVMa e e e 8.4±2.2 8.6±2.6 8.7±2.3 8.9±2.9 e e e e 8.4±1.9 8.6±2.2 8.7±1.6 12.9±3.9 e e e e -0.01±1.5 0.05±1.3 0.04±1.8 3.9±3.1 e e e e 9.1±2.0 8.2±2.6 9.9±2.0 13.5±4.2 e e e e 0.68±1.6 0.6±1.1 1.3±1.4 0.64±2.9 e e e e 0.7±1.8 0.59±1.3 1.2±1.6 4.6±3.1 e MVM+TTa 9.0±2.5 e 13.0±3.4 e 4.0±3.1 e 13.6±3.1 e 0.57±2.2 e 4.59±2.5 e P 0.9431 0.0001 0.0001 0.0001 0.6461 0.0001 Keterangan: a Perlakuan. b Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi c Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate d Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi e x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat. 1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum suplementasi, rata-rata kadar vitamin E sampel yang mendapat perlakuan plasebo yakni 8.9 ± 2.2 µmol/L, plasebo+TT 8.4 ± 2.2 µmol/L, vitamin C 8.6 ± 2.6 µmol/L, vitamin C + TT 8.7 ± 2.3 µmol/L, MVM 8.9 ± 2.9 µmol/L dan MVM + TT 9.0 ± 2.5 µmol/L. Hasil statistik menunjukkan bahwa rata-rata kadar vitamin E tidak berbeda signifikan antara keenam perlakuan (p>0.05) (Tabel 22). Sesudah 6 minggu suplementasi terjadi perubahan kadar vitamin E, yakni kadar vitamin E sampel yang mendapat perlakuan plasebo 8.9 ± 2.3 µmol/L, Plasebo + TT 8.4 ± 1.9 µmol/L, vitamin C 8.6 ± 2.2 µmol/L, vitamin C + TT 8.7 ± 1.6 µmol/L, MVM 12.9 ± 3.9 µmol/L, MVM + TT 13.0 ± 3.4 µmol/L. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata kadar vitamin E tidak berbeda signifikan antara keenam perlakuan (p<0.05). Hasil Uji ANOVA dan uji lanjut BNT menunjukkan bahwa suplementasi MVM mempengaruhi kenaikan kadar vitamin E.(lampiran 7). Sesudah suplementasi 10 minggu, terjadi perubahan kadar vitamin E, yakni kadar vitamin E sampel yang mendapat perlakuan plasebo 9.5 ± 2.3 µmol/L, plasebo + TT 9.1 ± 1.9 µmol/L, vitamin C 9.2 ± 2.6 µmol/L, vitamin C + TT 9.9 ± 1.9 µmol/L, MVM 13.5 ± 4.2 µmol/L, MVM+TT 13.6 ± 3.1 µmol/L. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata kadar vitamin E berbeda signifikan antara keenam perlakuan (p<0.05) (Tabel 22). Hasil uji ANOVA dan uji lanjut BNT 87 menunjukkan bahwa suplementasi MVM mempengaruhi signifikan terhadap perubahan kadar vitamin E (Lampiran 7). Kenaikan kadar vitamin E yang cukup signifikan sesudah 6 minggu suplementasi, kemungkinan disebabkan karena sebelum suplementasi dijumpai banyak sampel yang mempunyai kadar vitamin E serum rendah (< 11.6 µmol/l), sehingga ketika mendapat tambahan asupan dari suplemen yang mengandung vitamin E 45 mg, tubuh menyerap lebih cepat. Temuan ini didukung dengan temuan Wolter et al. (2004), dimana kadar vitamin E meningkat setelah mendapat suplemen multivitamin yang mengandung vitamin E selama 6 bulan, serta memperbaiki status vitamin E, karena status vitamin E saat baseline rendah. Disamping itu kemungkinan vitamin E yang terdapat di dalam MVM digunakan oleh tubuh untuk menangkal radikal bebas karena sampel penelitian ini kebanyakan bekerja dengan posisi berdiri. 90.0 79.3 79.3 80.6 78.8 75.0 80.0 71.9 67.7 70.0 59.4 60.0 % 84.8 78.8 50.0 40.6 sebelum 40.0 27.3 30.0 sesudah 20.0 10.0 0.0 plasebo Vit C MVM plas+TT Vit C+TT MVM+TT Perlakuan Gambar 13 Persentase sampel kekurangan vitamin E sebelum dan sesudah penelitian Meningkatnya kadar vitamin E sesudah suplementasi diikuti pula dengan membaiknya status vitamin E sampel pada perlakuan MVM, sehingga persentase sampel yang mengalami defisiensi vitamin E sesudah suplementasi makin berkurang (Gambar 13). Temuan ini mendukung penelitian wolvers et al. (2006). Vitamin C Vitamin C merupakan antioksidan yang larut dalam air (aqueous antioxidant). Peranan vitamin C sebagai antioksidan, ditunjukkan dengan 88 kemampuan vitamin C dalam menyumbangkan elektron ke dalam reaksi biokimia intraseluler dan ekstraseluler sehingga vitamin C mampu menghilangkan senyawa oksigen reaktif di dalam sel seperti sel netrofil, monosit, sel retina (IOM 2000). Vitamin C juga diperlukan dalam proses regenerasi vitamin E teroksidasi. Oleh karena itu keberadaan vitamin C sangat membantu vitamin E untuk regenarsi dan nantinya akan dapat berperan kembali di dalam memutus ranta radikal bebas. Makin banyak vitamin E radikal yang terbentuk maka makin banyak vitamin C untuk memperbaiki vitamin E radikal menjadi vitamin E yang bebas. Vitamin C juga dapat meningkatkan penyerapan besi dan mempertahankan valensi besi dalam kondisi yang sesuai dengan fungsi enzim. Selain itu, vitamin C juga dapat menginduksi pelepasan besi Ferri dari ferritin dengan mereduksi besi menjadi ferro (Gropper et al. 2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum suplementasi kadar vitamin C sampel yang mendapat perlakuan plasebo 10.28 + 2.8 µmol/l, plasebo + TT 10.96 + 3.0 µmol/l, vitamin C 10.48 + 2.4 µmol/l, vitamin C + TT 11.04 + 3.4 µmol/l, MVM 12.55 + 3.3 µmol/l, MVM+ TT 11.22 + 3.0 µmol/l. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata kadar vitamin C antar keenam perlakuan tidak berbeda signifikan (p>0.05) (Tabel 23). Sesudah 6 minggu suplementasi, terjadi perubahan kadar vitamin C yaitu pada sampel yang mendapat perlakuan plasebo 9.8± 2.6 µmol/l, plasebo + TT 11.64 ± 3.6µmol/l, vitamin C 12.85 ± 4.2 µmol/l, vitamin C + TT 13.46 ± 6.0 µmol/l, MVM 12.11 ± 4.8 µmol/l, MVM + TT 10.94 ± 4.5 µmol/l. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata kadar vitamin C antar keenam perlakuan tidak berbeda signifikan (p>0.05). Sesudah 10 minggu suplementasi kadar vitamin C sampel yang mendapat perlakuan plasebo 9.79 + 2.2 µmol/l, plasebo +TT 10.44+3.0 µmol/l, vitamin C 15.13 ± 3.1 µmol/l, vitamin C +TT 15.04 ± 5.6 µmol/l, MVM 11.41 ± 3.7 µmol/l , MVM + TT 10.85 ± 3.0 µmol/l. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata kadar vitamin C antar keenam perlakuan berbeda signifikan (p<0.05). Hasil uji ANOVA dan uji lanjut BNT menunjukkan bahwa suplementasi vitamin C mempengaruhi kenaikan kadar vitamin C secara signifikan pada sampel yang mendapat vitamin C(Lampiran 8). 89 Tabel 23 Rata-rata kadar vitamin C selama penelitian menurut perlakuan Suplementasi sebelum intermediate Selisih b sesudah Selisih c Selisih d a Plasebo 10.28+2.8 e 9.8 + e 2.6 -0.5+ 3.0 e 9.79+ e 2.2 -0.02+ 2.5 e -0.48+ e 3.0 Kadar Vitamin C (umol/L) Plasebo + Vit. C + a a a TT TT Vit. C 10.96+ 10.48+ 11.04+ 3.0 e 2.4 e 3.4 e 11.64+ 12.85+ 13.46+ e e e 3.6 4.2 6.0 0.68+ 2.36+ 2.4+ 5.0 e 3.6 e 5.7 e 10.44+ 15.13+ 15.04+ e e e 3.0 3.1 5.6 -1.19+ 2.28+ 1.57+ 4.2 e 1.8 e 3.1 e -0.50+ 4.6+ 3.9+ e e e 3.1 2.5 5.9 a MVM 12.55+ 3.3 e 12.11+ e 4.8 -0.43+ 5.7 e 11.41+ e 3.7 -0.70+ 6.1 e -1.14+ e 5.19 MVM + a TT 11.22+ 3.0 e 10.94+ e 4.5 -0.28+ 4.3 e 10.85+ e 3.0 -0.09+ 5.5 e -0.37+ e 4.6 P 0177 1 0.088 1 0.097 1 0.000 1 0.046 1 0.000 1 Keterangan: a Perlakuan. Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi c Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate d Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi e x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat. 1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama b Hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil penelitian Wolvers et al. (2006), dimana suplementasi multivitamin mineral berpengaruh terhadap kenaikan kadar vitamin C. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena usia sampel Wolvers et al. (2006) antar 40-80 tahun sedangkan rentang usia penelitian ini 2045 tahun, dimana lansia memerlukan lebih beragam zat gizi karena menurunnya nafsu makan dan fungsi pencernaan sehingga mengganggu asupan dan penyerapan zat gizi. Pengaruh suplementasi vitamin C terhadap meningkatnya kadar vitamin C kemungkinan karena vitamin C dapat langsung diserap oleh tubuh tanpa mengalami interaksi dengan zat gizi lainnya. Sementara itu vitamin C yang terdapat di dalam MVM kemungkinan sebagian digunakan untuk membantu penyerapan zat gizi seperti zinc, vitamin A, dan juga membantu vitamin E setelah memutus rantai radikal bebas untuk kembali menjadi vitamin E bebas. Keterlibatan vitamin C sebagai bagian MVM terlihat tidak memperbaiki status di dalam darah, namun vitamin C sebagai single suplement nampak memperbaiki status vitamin C darah (Gambar 14). 90 90.0 80.0 81.0 76.2 70.0 62.5 60.9 60.0 % 47.8 50.0 60.9 54.2 62.5 58.3 47.8 40.0 sebelum 30.0 sesudah 13.0 20.0 8.7 10.0 0.0 plasebo Vit C MVM plas+TT VitC+TT MVM+TT Perlakuan Gambar 14 Persentase sampel kekurangan vitamin C sebelum dan sesudah penelitian Zinc Zinc sebagai bagian dari enzim atau sebagai kofaktor pada kegiatan lebih dari 200 enzim, antara lain sebagai bagian dari enzim kolagenase. Zinc juga berperan di dalam sintesis dan degradasi kolagen sehigga perperan di dalam pembentukan kulit, juga berperan di dalam sintesis jaringan ikat dan penyembuhan luka (Almatsier 2006). Zinc juga sebagai bagian dari antioksidan enzimatis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum suplementasi kadar zinc sampel yang mendapat perlakuan plasebo 78.43 ±8.0 ug/dL, plasebo + TT 82.36 ± 9.8 ug/dL, vitamin C 81.23 ± 11.72 ug/dL, vitamin C + TT 78.65 ±10.71 ug/dL, MVM 76.58 ± 8.19 ug/dL, dan MVM+TT 76.64 ±10.6 ug/dL. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata kadar zinc antar keenam perlakuan tidak berbeda signifikan (p>0.05). Sesudah suplementasi selama 6 minggu terjadi perubahan kadar zinc sampel, yaitu pada plasebo meningkat 7.5 µg/dl, plasebo + TT meningkat 3.4 µg/dl, vitamin C meningkat 0.8 µg/dl, vitamin C + TT meningkat 4.0 µg/dl, MVM meningkat 10.7 µg/dl, MVM + TT meningkat 7.1 µg/dl. Hasil uji Anova menunjukkan bahwa suplementasi berpengaruh nyata terhadap peningkatan kadar zinc dan uji lanjut menggunakan uji Beda Nyata terkecil (BNT) menunjukkan 91 bahwa terdapat perbedaan rata-rata kadar zinc yang signifikan antara perlakuan MVM dengan perlakuan vitamin C. (Lampiran 9). Hasil tersebut menunjukkan bahwa suplementasi MVM selama 6 minggu mampu menaikkan kadar zinc. Temuan ini mendukung teori bahwa penyerapan zat gizi dipengaruhi oleh status zat gizi di dalam tubuh. Bila di dalam tubuh kekurangan zat gizi maka lebih banyak pula jumlah zat gizi yang diserap (Londerdal 1988). Tabel 24 Rata-rata kadar zinc selama penelitian menurut perlakuan Suplemantasi Sebelum Intermediate Selisih b Sesudah Selisih c Selisih d a Plasebo 78.43+ e 8.05 85.90+ 7.2 e 7.47+ e 9.4 86.15+ 8.41 e 0.26+ e 9.18 7.73+ e 9.34 Plasebo + a TT 82.36+ e 9.84 85.71+ 7.05 e 3.35+ e 11.52 89.33+ 11.46 e 3.62+ e 11 6.97+ e 12.43 Kadar Zinc (ug/dL) Vit. C + a a TT Vit. C 81.23+ 78.65+ e e 11.72 10.71 82.07+ 82.65+ 8.02 e 10.48 e 0.84+ 4.00+ e e 10.24 12.73 84.13+ 83.06+ 12.62 e 12.15 e 2.06+ 0.41+ e e 10.12 13.01 2.90+ 4.41+ e e 10.62 13.27 a MVM 76.58+ e 8.19 87.32+ 10.43 e 10.74+ e 10.59 86.56+ 13.12 e -0.76+ e 13.77 9.97+ e 12.18 MVM a + TT 76.64+ e 10.58 83.73+ 8.84 e 7.09+ e 10.02 87.10+ 10.66 e 3.37+ e 10.55 10.47+ e 13.16 P 0.133 1 0.156 1 0.009 1 0.370 1 0.581 1 0.099 1 Keterangan: a Perlakuan. Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi c Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate d Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi e x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat. 1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama b Sesudah suplementasi kadar zinc sampel yang mendapat perlakuan plasebo 86.15 ± 8.4 µg/dl, plasebo +TT 89.33 ± 11.5 µg/dl, vitamin C 84.13 ± 12.6 µg/dl, vitamin C+TT 83.06 ±12.1 µg/dl, MVM 86.56 ± 13.1 µg/dl dan MVM+TT 87.10 ±10.6 µg/dl. Hasil Uji statistik menunjukkan bahwa kadar zinc keenam perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05). Tidak meningkatnya kadar zinc sesudah minggu ke10 diduga karena kadar zinc dalam darah sampel sesudah enam minggu suplementasi sudah melebihi kadar zinc normal (kadar zinc > 70 ug/dl), sehingga pemberian zinc tidak diserap oleh tubuh dengan cepat karena tubuh sudah mengalami kejenuhan (Tabel 24). Faktor lain penyebab tidak meningkatnya kadar zinc sesudah suplementasi selama 10 minggu adalah kemungkinan adanya zat penghalang yang terdapat 92 dalam makanan yang dikonsumsi oleh sampel penelitian ini, seperti serat dan phitat, sehingga menghalangi penyerapan zinc (FAO/WHO 2001; Almatsier 2006). Meningkatnya kadar zinc sesudah minggu ke-6 suplementasi diikuti pula dengan membaiknya status zinc sampel pada perlakuan MVM, sehingga persentase sampel yang mengalami defisiensi zinc pada perlakuan MVM sesudah suplementasi makin berkurang (Gambar 15). Pada Gambar 15 juga menunjukkan bahwa sampel yang mendapat suplemen vitamin C mengalami penurunan prevalensi defisiensi zinc, hal ini disebabkan karena vitamin C juga berperan dalam membantu penyerapan zinc seperti halnya vitamin C membantu penyerapan zat besi. Sementara itu sampel yang mendapat plasebo juga mengalami penurunan defisiensi zinc, hal ini sulit menjelaskannya, namun diduga karena pengaruh efek plasebo, dimana sampel tersugesti oleh perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini ( Read 2001). 20.0 18.0 16.0 14.0 12.0 % 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0 19.4 18.2 17.2 14.8 14.3 13.3 6.9 7.1 sebelum 3.0 0.0 plasebo 0.0 0.0 Vit C MVM sesudah plas+TT Vit C+TT MVM+TT Perlakuan Gambar 15 Persentase sampel kekurangan zinc sebelum dan minggu ke- 6 penelitian Selenium Selenium bekerjasama dengan vitamin E dalam peranannya sebagai antioksidan (Almatsier 2006). Selenium berperan di dalam sistem enzim untuk mencegah terjadinya radikal bebas dengan menurunkan konsentrasi hidrogen peroksida dalam sel, sedangkan vitamin E berfungsi untuk menghalangi bekerjanya radikal bebas setelah terbentuk (IOM 2000). Selenium berperan pula 93 di dalam regulasi reaksi redoks dan berfungsi sebagai antioksidan membantu mempertahankan integritas membran dan melindungi kerusakan DNA. Disamping itu selenium diperlukan untuk mencapai respon imun yang optimal dan juga dapat mempengaruhi sistem imunitas innate dan adaptive (Wintergerst et al. 2007). Rendahnya kadar selenium sebelum suplementasi kemungkinan karena dua hal, pertama mungkin karena asupan selenium yang rendah, atau selenium digunakan oleh tubuh untuk menangkal stres oksidatif akibat beban kerja yang tinggi. Sampel penelitian ini hampir setiap 2 minggu sekali bekerja lembur (malam hari) sehingga kurang istirahat dan kebanyakan bekerja dalam posisi berdiri. Aktifitas yang tinggi memerlukan oksigen yang tinggi dan produksi peroksida juga meningkat, sehingga berisiko tinggi mengalami stres oksidatif. Lebih jauh lagi, sebelum suplementasi tidak hanya status selenium yang rendah tetapi juga status vitamin E juga rendah. Vitamin E dan selenium saling bekerjasama dalam melindungi radikal bebas terutama radikal bebas yang merusak lipid di membran sel. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum suplementasi, rata-rata kadar selenium sampel yang mendapat perlakuan plasebo 0.42 + 0.08 µmol/L, plasebo+TT 0.47 + 0.10 µmol/L, vitamin C 0.42 + 0.17 µmol/L, vitamin C + TT 0.43 + 0.10 µmol/L, MVM 0.42 + 0.11 µmol/L dan MVM + TT 0.43 + 0.14 µmol/L. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata kadar selenium tidak berbeda signifikan antara keenam perlakuan (p>0.05) (Tabel 25). Sesudah 6 minggu suplementasi terjadi perubahan kadar selenium, yakni kadar selenium sampel yang mendapat perlakuan plasebo 0.47 + 0.11 µmol/L, plasebo + TT 0.51 + 0.15 µmol/L, vitamin C0.43 + 0.17 µmol/L, vitamin C + TT 0.50 + 0.10 0. µmol/L, MVM 0.49 + 0.13 µmol/L, dan MVM + TT 0.55 + 0.14 µmol/L. Hasil uji ANOVA dan BNT menunjukkan bahwa suplementasi MVM mempengaruhi kenaikan kadar selenium secara signifikan (p<0.05) (Lampiran 10). Tabel 25 Rata-rata kadar selenium selama penelitian menurut perlakuan Suplementasi Plaseboa Kadar Selenium (umol/L) Plasebo + Vit. C + TTa Vit. Ca TTa MVMa MVM + TTa P 94 Sebelum intermediate Selisih b Sesudah Selisih c Selisih d 0.42+ 0.47+ 0.42+ 0.43+ 0.42+ 0.43+ 0.08 0.10 0.17 0.10 0.11 0.14 e 0.47+ 0.11 e 0.05+ 0.06 e 0.57+ e 0.17 0.10+ 0.14 e 0.15+ 0.15 e e 0.51+ e 0.43+ 0.15 e 0.04+ 0.10 e 0.62+ e 0.18 0.11+ 0.18 e 0.14+ 0.18 e e 0.50+ 0.17 e 0.01+ 0.18 e 0.59+ e 0.33 0.16+ 0.32 e 0.17+ 0.31 e e 0.49+ 0.10 e 0.07+ 0.12 e 0.67+ e 0.23 0.15+ 0.20 e 0.24+ 0.26 e 0.13 e 0.07+ 0.09 e 0.68+ e 0.15 0.19+ 0.11 e 0.26+ 0.11 e 0.431 1 e 0.55+ 0.022 1 0.14 e 0.11+ 0.17 e 0.84+ e 0.30 0.29+ 0.23 e 0.40+ 0.32 e 0.037 1 0.000 1 0.003 1 0.000 1 Keterangan: a Perlakuan. b Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi c Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate d Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi e x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat. 1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama Sesudah 10 minggu suplementasi terjadi perubahan kadar selenium, yakni kadar selenium pada plasebo 0.57 + 0.17 µmol/L, plasebo + TT 0.62 + 0.18 µmol/L, vitamin C 0.59 + 0.33 µmol/L, vitamin C + TT 0.67 + 0.23 µmol/L, MVM 0.68 + 0.15 µmol/L, MVM + TT 0.84 + 0.30 µmol/L. Hasil uji ANOVA dan BNT menunjukkan bahwa suplementasi MVM mempengaruhi kenaikan kadar selenium secara signifikan (p<0.05) (Lampiran 10). Meningkatnya kadar selenium diduga karena rata-rata kadar selenium sampel sebelum suplementasi dalam keadaan defisiensi (<0.5 µmol/L) (Gibson 2005), sehingga ketika diberikan MVM yang mengandung selenium 110 µg (366 AKG) maka tubuh menyerap dengan cepat karena tubuh mengalami kekurangan selenium. 90.0 86.2 80.0 87.1 71.0 66.7 70.0 60.0 75.8 75.0 54.8 50.0 % 40.0 sebelum 34.5 24.2 30.0 sesudah 22.6 15.2 20.0 6.3 10.0 0.0 plasebo Vit C MVM plas+TT Vit C+TT MVM+TT Perlakuan 95 Gambar 16 Persentase sampel kekurangan selenium sebelum dan sesudah penelitian Meningkatnya kadar serum selenium sesudah suplementasi diikuti dengan makin berkurangnya persentase sampel yang mengalami defisiensi selenium pada perlakuan MVM (Gambar 16). Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Broome (2004) pemberian suplemen selenium selain memperbaiki status selenium juga meningkatkan fungsi imun. Hasil penelitian ini suplementasi MVM selain memperbaiki status selenium juga memperbaiki status imunitas non spesifik, di samping adanya kecenderungan sel-sel imun seperti neutrofil, limfosit berada dalam keadaan optimal. Besi Zat besi merupakan mineral mikro paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia yaitu sekitar 3-5 gram di dalam tubuh manusia dewasa. Zat besi mempunyai beberapa fungsi penting seperti sebagai alat angkut oksigen dari paruparu ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian dari berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh (Almatsier 2006). Kadar Hemoglobin (Hb) merupakan salah satu indikator status besi di dalam tubuh. Kekurangan zat besi yang ditandai dengan rendahnya kadar Hb disebut dengan anemia. Zat besi juga mempunyai peranan dalam sistem kekebalan tubuh, misalnya zat besi diperlukan oleh sel darah putih untuk menghancurkan bakteri. Fungsi sel darah putih terganggu bila tubuh kekurangan zat besi. Di samping itu laktoferin yang merupakan protein pengikat besi mempunyai peranan penting di dalam imunitas non-spesifik. Sebelum suplementasi rata-rata kadar Hb sampel yang mendapat perlakuan plasebo 13.2 ± 1.0 g/dl, plasebo + TT 13.4 ± 1.0 g/dl , vitamin C13.7 ± 1.1 g/dl, vitamin C + TT 13.7 ± 1.0 g/dl, MVM 13.5 ± 1.0 g/dl, MVM + TT 13.5 ± 1.3 g/dl. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata kadar Hb keenam perlakuan tidak berbeda signifikan (p>0.05). Tabel 26. Rata-rata Kadar Hb selama penelitian menurut perlakuan Hemoglobin (g/dl) Suplementsi Placebo a Placebo + TTa Vit. Ca Vit. C + TTa MVMa MVM + TTa P 96 Sebelum 13.2±1.0 e 13.4±1.0 e 13.7±1.1 e 13.7±1.0 e 13.5±1.0 e 13.5±1.3 e 0.412 1 Intermediate 13.4±1.2 e 13.6±1.2 e 13.8±1.0 e 13.7±1.2 e 13.6±1.2 e 13.6±1.3 e 0.737 1 0.1±1.2 e 0.2±1.09 e 0.1±0.8 e -0.0±1.2 e 0.2±1.2 e 0.1±1.2 e 0.947 1 13.6±1.1 e 13.7±1.3 e 13.6±1.0 e 13.4±1.4 e 13.7±1.4 e 13.5±1.3 e 0.816 1 -0.2±0.8 e -0.3±1.2 e 0.1±1.5 e -0.1±1.2 e 0.319 1 -0.1±1.1 e -0.3±1.4 e 0.2±1.5 e 0.0±1.3 e 0.107 1 Selisih b Sesudah Selisih c Selisih d Keterangan: 0.18±1.2 e 0.3±0.9 e 0.1±1.3 e 0.4±1.2 e a Perlakuan. Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi c Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate d Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi e x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat. 1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama b Sesudah 6 minggu suplementasi terjadi perubahan kadar Hb, yakni kadar Hb sampel yang mendapat perlakuan plasebo 13.4 ± 1.2 g/dl, plasebo + TT 13.6 ± 1.2 g/dl, vitamin C13.8 ± 1.0 g/dl, vitamin C + TT 13.7 ± 1.2 g/dl, MVM 13.6 ± 1.2 g/dl, MVM + TT 13.6 ± 1.3 g/dl. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata kadar Hb keenam perlakuan tidak berbeda signifikan (p>0.05). Sesudah suplementasi terjadi perubahan kadar Hb, yakni kadar Hb sampel yang mendapat perlakuan plasebo 13.6 ± 1.1 g/dl, plasebo + TT 13.7 ± 1.3 g/dl , vitamin C13.6 ± 1.0 g/dl, vitamin C + TT 13.4 ± 1.4 g/dl, MVM 13.7 ± 1.4 g/dl, MVM + TT 13.5 ± 1.3 g/dl. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata kadar Hb keenam perlakuan tidak berbeda signifikan (p>0.05) (Tabel 26). Dapat dikatakan bahwa baik suplemen vitamin C 1000 mg maupun suplemen MVM tidak mempengaruhi kenaikan kadar Hb. Kejadian ini mungkin karena kadar Hb sampel pada awal penelitian dalam keadaan normal, sehingga penambahan zat besi tidak berpengaruh terhadap kadar Hb. Kemungkinan lain juga karena kandungan zat besi didalam suplemen MVM rendah yaitu 5 mg. SOD (Superoksida Dismutase) Secara normal tubuh kita berada dalam keseimbangan antara produksi radikal bebas dengan antioksidan, baik antioksidan endogenous maupun antioksidan eksogenous. Akan tetapi perubahan gaya hidup stress dan aktifitas fisik yang tinggi dapat mengakibatkan terjadinya ketidak seimbangan tersebut (Bramlia 2008). SOD merupakan antioksidan enzimatis. Antioksidan enzimatis ini merupakan antioksidan endogenus. Selain SOD terdapat katalase dan glutathione 97 peroksidase (GSH-PX). Enzim-enzim ini bekerja dengan cara melindungi jaringan dari kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas oksigen seperti anion superoksida (O2- · ), radikal hidroksil (·OH) dan hidrogen peroksida (H2O2). Enzim SOD berfungsi sebagai katalisator reaksi dismutasi dari anion superoksida menjadi hidrogen peroksida (H2O2). Enzim ini melindungi tubuh dan mencegah terjadinya proses peradagan yang diakibatkan oleh radikal bebas. Sebenarnya enzim ini sudah ada dalam tubuh namun memerlukan bantuan zat zat gizi seperti Cu, Mn dan Zn agar bisa bekerja. Tabel 27 Rata-rata kadar SOD selama penelitian menurut perlakuan SOD (Unit/gr Hb) Suplementsi Plasebo a a Plasebo + TT Vit. Ca Vit. C + TTa MVMa MVM + TTa 1138.9+ 491.9 e 1221.7+ 820.9 e 82.8+ 905.4 e 1328.6+ 679.6 e 106.9+ 953.7 e 189.7+ 624.2 e 1311.0+ 1364.6+ 1199.1+ 1210.6+ 991.0+ 646.1 e 533.5 e 498.1 e 370.9 e 591.6e 1270.1+ 1362.6+ 1173.3+ 1138.3+ 1224.8+ intermediate 707.2 e 603.3 e 496.8 e 444.5 e 448.8 e -33.8+ -2.0+ -25.8+ -72.4+ 233.8+ Selisih b 959.2 e 755.8 e 615.8 e 643.8 e 624.4 e 1308.3+ 1386.8+ 1222.9+ 1311.8+ 1478.1+ Sesudah 413.7 e 599.8 e 405.7 e 484.4 e 592.2 e 24.2+ 49.6+ 173.5+ 253.3+ 31.1+ Selisih c 751 e 607.4 e 551.4 e 531.7 e 708 e -2.7+ 22.2+ 23.9+ 101.1+ 487.1+ Selisih d 633.9 e 937.5 e 607.0 e 692.5 e 622.1 e Keterangan: a Perlakuan. b Selisih Intermediate(minggu ke- 6 sesudah suplementasi) dengan sebelum suplementasi c Selisih sesudah suplementasi dengan intermediate d Selisih sesudah suplementasi dengan sebelum suplementasi e x ± SD ; (-) = menurun dari data sebelumnya; (+) meningkat. Sebelum 1 P 0.0651 0.810 1 0.599 1 0.544 1 0.745 1 0.028 1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama Sebelum suplementasi, rata-rata kadar selenium sampel yang mendapat perlakuan plasebo yakni 1311.0 + 591.6 unit/gr Hb, plasebo + TT 1364.6 + 646.1 unit/gr Hb, vitamin C 1199.1 + 533.5 unit/grHb, vitamin C + TT 1210.6 + 498.1 unit/gr Hb, MVM 1138.9 + 491.9 unit/grHb dan MVM + TT 991.0 + 370.9 unit/grHb. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata kadar SOD tidak berbeda signifikan antara keenam perlakuan (p>0.05) (Tabel 27). Sesudah suplementasi, terjadi perubahan kadar SOD yakni pada perlakuan plasebo menurun 2.7 unit/gr Hb, plasebo+TT meningkat 22.2 unit/gr Hb, Vitamin C meningkat 23.9 unit/gr Hb, vitamin C + TT meningkat 101.1 unit/gr Hb, MVM meningkat 487.1 unit/grHb, MVM + TT meningkat 189.7 unit/gr Hb. Hasil uji 98 ANOVA dan uji lanjut BNT menunjukkan bahwa suplementasi MVM mempengaruhi kenaikan kadar SOD secara signifikan (p<0.05) (Lampiran 11). Hal ini menunjukkan bahwa suplemen MVM mempengaruhi kenaikan kadar SOD. Temuan ini bisa dijelaskan karena kadar SOD sangat tergantung dari beberapa zat gizi mikro. Meningkatnya kadar SOD sesudah suplementasi dari sampel yang menerima MVM dapat dijelaskan karena di dalam suplemen ini mengandung Cu sebesar 0.9 mg dan seng 110 ug, dimana kedua zat gizi tersebut diperlukan oleh enzim SOD. Enzim SOD terdapat dalam semua organisme aerob dan sebagian besar terdapat dalam tingkat subseluler (intraseluler). Organisme aerob selalu membutuhkan oksigen untuk hidupnya, namun dalam setiap aktivitasnya dapat menimbulkan senyawa oksigen reaktif atau radikal bebas oksigen. Maka diperlukan keseimbangan antara antioksidan eksogenous (seperti vitamin C, vitamin A, vitamin E, selenium dan zinc) dengan antioksidan endogenous seperti SOD karena kelebihan salah satu dapat menjadi prooksidan yang berbahaya untuk kesehatan dan mengganggu fungsi imunitas (Brambilla 2008). Meningkatnya kadar SOD diatas diikuti dengan makin menurunnya persentase sampel yang mempunyai kadar SOD dibawah nilai normal pada perlakuan MVM sesudah suplementasi (Gambar 17). Artinya radikal bebas yang terdapat di dalam tubuh sampel yang mendapat MVM mengalami penurunan. 68.4 70.0 60.0 40.0 50.0 48.1 50.0 36.4 39.4 48.1 40.7 34.6 % 30.0 48.6 37.1 29.6 23.7 20.0 10.0 0.0 plasebo Vit C MVM plas+TT Vit C+TT MVM+TT Perlakuan sebelum sesudah 99 Gambar 17 Persentase sampel yang mempunyai kadar SOD kurang dari normal sebelum dan sesudah penelitian Penurunan radikal bebas pada sampel tersebut dapat dilihat dari makin menurunnya persentase sampel yang mempunyai jumlah SOD dibawah nilai normal (1102 – 1601 unit/gr Hb), artinya makin banyak persentase sampel yang mempunyai SOD dalam kategori normal. SOD sebagai antioksidan primer merubah radikal bebas superoksida menjadi hidrogen peroksida yang kurang reaktif. Hidrogen peroksida tersebut akan menjadi berbahaya bila didalam tubuh terdapat kelebihan besi ferro yang bebas. Salah satu penyebab terbentuknya besi ferro bebas tersebut bila asupan besi terutama asupan besi dari supplementasi besi yang tidak diimbangi dengan asupan protein yang cukup sehingga menimbulkan besi yang tidak terikat protein (Gropper et al. 2005). Peranan SOD dapat dilihat dari Gambar 18. Gambar 18 Pertahanan SOD terhadap radikal bebas superoksida Pengaruh Suplementasi pada Sampel Kekurangan Zat Gizi Antioksidan terhadap Respon Imun Kekurangan Vitamin A Seperti telah disebutkan di dalam bab sebelumnya bahwa vitamin A mempunyai peranan penting di dalam integritas sel epitel. Kekurangan vitamin A mengganggu sistem imun terutama perlindungan non spesifk karena integritas mukosa epitel terganggu. Tabel 28 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan vitamin A sebelum suplementasi 100 Suplementasi Sel Imun Plasebo+T Plasebo Vit C Vit C+TT MVM T Leukosit 6.0±1.4 8.0±2.8 8.0±0.8 6.8±1.7 8.0±2.8 Monosit 7.0±1.4 7.5±2.1 6.8±1.3 7.3±0.5 4.0±1.4 Neutrofil 40.5±4.9 57.5±2.1 53.0±1.8 46.5±79.3 50.0±2.8 1319.0± 2116.5± 2643.5± 1728.5± 2292.0± IgG 1467.9 2194.2 1919.2 1027.9 366.3 779.5± 998.5± 1190.0± 1102.5± 1449.5± CD4+ 487.2 631.4 392.1 361.2 605.8 877.5± 812.5± 757.3± 1016.5± 820.0± CD8+ 297.7 317.5 275.3 339.9 162.6 Keterangan:1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama. MVM+TT 11.6±6.2 7.0±1.2 55.6±8.1 3888.2±169 9.2 1184.8± 651.5 1269.2± 271.0 P 0.4211 0.1051 0.0711 0.3601 0.8831 0.1791 Tabel 29 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan vitamin A sesudah suplementasi Sel Imun Leukosit Monosit Neutrofil Suplementasi P Plasebo 6.5±9.0 Plasebo+TT 9.0±1.4 Vit C 8.5±1.7 Vit C+TT 8.8±1.7 MVP 7.0±2.8 MVP+TT 7.2±2.4 0.600 9.0±1.4 9.0±5.7 5.0±1.4 7.3±2.1 5.0±1.4 7.6±3.4 0.409 58.5±4.9 53.5±0.7 56.0±7.0 57.8±4.1 56.5±12.1 54.0±4.4 0.881 5194.0± 866.2 918.4± 386.7 781.4± 398.6 0.000 2781.5± 5202.5± 1597.0± 5177.5± 4150.5± 1274.9 772.9 1095.7 493.8 948.2 1044.0± 1060.8± 1030.0± 790.0± 754.5±5 CD4+ 589.7 200.4 181.8 383.4 7.3 702.5±3 906.5± 757.5±138.2 943.5± 930.0± CD8+ 1.8 135.1 256.5 835.8 Keterangan:1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama. IgG Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam keadaan kekurangan vitamin A tidak ada pengaruh suplementasi terhadap sel sel imun, hal ini terlihat tidak dijumpai perbedaan sel sel imun dari keenam perlakuan, baik sebelum dan sesudah suplementasi(p>0.05) (Tabel 28 dan 29). Kekurangan Vitamin C Kekuatan vitamin C sebagai antioksidan larut air disebabkan karena kemampuan vitamin C dalam mereduksi. Vitamin C juga sangat diperlukan di dalam meregenerasi vitamin E teroksidasi sebagai akibat dari kegiatan vitamin E memutus radikal bebas. Keterkaitan vitamin C dengan respon imun karena peranannya tersebut diatas. Vitamin C sebagai antioksidan melindungi sel dari kerusakan akibat radikal bebas. Disamping perananya meregenerasi vitamin E 1 1 1 1 0.810 1 0.952 1 101 sehingga vitamin E dapat bekerja kembali memutus rantai reaksi oleh radikal bebas yang banyak terjadi di membran sel sehingga melindungi membran sel dari kerusakan dengan demikian komunikasi antar sel tidak terganggu. Tabel 30 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan vitamin C sebelum suplementasi Suplementasi Sel Imun Plasebo Leukosit Monosit 8.5±1.9 6.5±1.1 52.8±7.8 Plasebo+T T 8.1±1.6 6.9±1.2 54.1±6.8 Vit C Vit C+TT 7.6±1.0 6.9±1.1 54.1±3.3 8.0±1.9 6.3±1.0 49.3±6.7 MVP 7.4±2.0 5.9±1.6 53.8±5. Neutrofil 6 1916.0± 2625.6± 2713.5± 2777.5± 2758.7± IgG 1382.7 1717.1 1441.0 1592.8 1847.9 1122.7± 1048.6± 986.6± 1083.9± 1094.9± CD4+ 407.7 371.1 288.7 231.6 421.2 810.6± 820.1± 1069.8± 769.6± 913.9± CD8+ 219.4 252.6 318.4 247.6 300.5 Keterangan:1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama. MVP+TT P 9.2±4.7 7.1±1.1 55.4±6.0 0.4891 0.1461 3484.3± 1741.1 1045.7± 474.5 1032.5± 357.5 0.3361 0.2391 0.9491 0.0501 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam keadaan kekurangan vitamin C tidak ada pengaruh suplementasi terhadap sel sel imun, hal ini terlihat tidak dijumpai perbedaan sel sel imun dari keenam perlakuan, baik sebelum dan sesudah suplementasi(p>0.05) (Tabel 30 dan 31). Tabel 31 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan vitamin C sesudah suplementasi Sel Imun Suplementasi Plasebo+T Plasebo Vit C Vit C+TT MVP T Leukosit 7.9±1.6 7.9±2.1 7.9±1.3 8.4±1.7 7.9±2.2 Monosit 6.5±2.1 7.7±2.8 6.5±1.9 7.2±2.9 5.7±1.8 Neutrofil 55.8±5.6 57.4±7.5 55.2±6.8 53.8±6.0 55.5±5.3 2821.4± 5205.6± 2989.4± 5245.0± 3473.1± IgG 1486.2 416.4 1408.9 459.9 1351.4 842.4± 920.0± 1037.0± 1194.0± 1028.5± CD4+ 196.5 200.7 357.6 239.8 310.7 785.4± 691.6± 812.2± 903.4± 790.2± CD8+ 286.4 194.7 276.2 324.1 205.8 Keterangan:1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama. MVP+TT P 7.9±1.2 7.4±2.8 54.3±5.7 5341.9± 434.3 1014.0± 328.3 895.9± 206.2 0.9691 0.3461 0.7401 0.0001 0.0591 0.3061 102 Kekurangan Vitamin E Peranan vitamin E sebagai antioksidan pemutus rantai reaksi radikal bebas sangat berkaitan dengan respon imun. Vitamin E melindungi radikal bebas yang akan merusak lapisan membran sel yang banyak mengandung PUFA, sehingga kerusakan membran sel dapat dicegah. Membran sel sangat menentukan komunikasi antar sel oleh karena itu kerusakan membran sel akan mengganggu komunikasi sel dan selanjutnya dapat mengganggu produksi sitokin dan lebih lanjut dapat menggangu produksi antibodi. Tabel 32 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan vitamin E sebelum suplementasi Sel Imun Suplementasi Plasebo Plasebo+TT Vit C Vit C+TT MVP Leukosit 8.5±1.9 8.3±1.6 7.7±1.2 8.0±1.9 7.9±2.0 Monosit 6.5±1.1 6.8±1.2 6.9±1.1 6.3±0.9 6.0±1.5 Neutrofil 52.8±7.8 54.1±6.4 53.7±3.2 49.3±6.7 54.8±5.5 2758.5± 1800.5± 2824.9± 2713.5± 2877.3± IgG 1847.9 1335.8 1680.1 1441.0 1510.6 1077.7± 997.3± 1083.9± 1106.4± 1122.7± CD4+ 376.1 324.1 231.6 358.2 407.7 913.9± 856.8± 850.3± 1069.8± 847.7± CD8+ 300.5 226.9 258.8 318.4 296.9 Keterangan:1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama. P MVP+TT 9.3±4.3 7.3±1.4 56.4±5.5 3120.1± 1677.5 990.1± 407.4 982.3± 304.8 0.4591 0.0581 0.0581 0.2481 0.8591 326.81 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam keadaan kekurangan vitamin E tidak ada pengaruh suplementasi terhadap sel sel imun, hal ini terlihat tidak dijumpai perbedaan sel sel imun dari keenam perlakuan, baik sebelum dan sesudah suplementasi(p>0.05) (Tabel 32 dan 33). Tabel 33 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan vitamin E sesudah suplementasi Sel Imun Leukosit Monosit Neutrofil IgG CD4+ CD8+ Suplementasi Plasebo 7.6±1.2 7.0±2.1 55.3±4.9 3017.5± 1603.2 970.8± 265.2 751.9± 260.6 Plasebo+T T 8.1±2.1 6.7±2.4 57.1±7.8 5088.3± 617.3 993.4± 380.4 808.8± 288.3 Vit C Vit C+TT MVP MVP+TT P 8.1±1.8 5.8±1.8 55.2±6.2 2473.6± 1317.9 1012.2± 292.3 795.2± 224.2 8.2±1.9 6.2±1.4 52.4±9.6 5354.6± 581.7 1145.2± 353.6 1109.2± 505.9 8.2±2.4 6.7±2.8 54.5±6.6 3409.6± 1417.2 1106.5± 296.6 905.4± 356.4 7.8±1.6 6.9±2.9 54.8±4.1 5239.8± 592.9 988.3± 314.2 891.4± 310.7 0.9251 0.7031 0.5731 0.0001 0.5881 0.0691 103 Keterangan:1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama. Kekurangan Zinc Zinc merupakan zat gizi mineral yang banyak berperan di dalam aktifitas enzim, salah satu peranannya adalah di dalam aktifitas enzim superoksida dismutase (SOD) yaitu salah satu antioksidan enzimatik. Produksi Radikal bebas yang berlebihan harus diimbangi dengan antioksidan, baik eksogenous dan endogenous seperti SOD tersebut. Radikal bebas dapat merusak struktur sel dan jaringan kemudian akan mengganggu respon imunitas. Kekurangan zinc dapat mengganggu aktifitas antioksidan SOD. Tanbel 34 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan Zinc sebelum suplementasi Sel Imun Suplementasi P Plasebo 7.8±2.2 Plasebo+TT 8.0±2.8 Vit C 8.0±0.8 Vit C+TT 6.8±1.7 MVP 7.3±2.2 MVP+TT 14.3±6.8 0.066 7.0±0.8 7.5±2.1 6.8±1.3 7.3±0.5 5.8±2.2 6.7±1.5 0.694 46.0±7.9 57.5±2.1 53.0±1.8 46.5±7.9 49.8±1.7 60.3±5.0 0.023 2237.0± 2116.5± 2643.5± 1728.5± 2477.8± 1409.1 2194.2 1919.2 1027.9 378.4 998.5± 1190.0± 1102.5± 1251.0± 914.8± CD4+ 631.4 392.1 361.2 596.5 337.5 1100.75± 812.5± 757.3± 1016.5± 785.5± CD8+ 311.4 317.5 275.3 334.0 169.0 Keterangan:1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama. 4914.7± 919.9 1419.7± 783.5 1401.0± 250.6 0.105 Leukosit Monosit Neutrofil IgG 1 1 1 1 0.829 1 0.071 1 Tabel 35 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan Zinc sesudah suplementasi Sel Imun Suplementasi Plasebo Plasebo+TT Vit C Vit C+TT MVP Leukosit 7.0±0.8 7.5±3.5 8.3±1.7 8.5±1.3 8.5±2.9 Monosit 7.8±2.1 5.5±0.7 5.8±2.2 5.5±1.3 8.3±4.7 Neutrofil 52.8±7.3 66.0±4.2 58.8±6.3 52.8±4.1 61.0±6.8 3050.0± 5520.5± 2217.3± 5245.3± 2911.5± IgG 798.9 516.9 971.3 543.9 1434.3 713± 967.8± 1357.0± 1064.8± 794.8± CD4+ 349.3 132.7 416.0 404.0 98.3 826.3± 535.0± 672.5± 1185.5± 744.8± CD8+ 215.3 134.4 180.9 374.1 334.4 Keterangan:1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama. MVP+TT 8.7±1.5 7.3±2.5 56.0±4.4 5537.0± 1128.2 1036.7± 445.3 988.3± 346.8 P 0.8351 0.6031 0.1081 0.0001 0.2171 0.1211 104 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam keadaan kekurangan Zinc tidak ada pengaruh suplementasi terhadap sel sel imun, hal ini terlihat tidak dijumpai perbedaan sel sel imun dari keenam perlakuan, baik sebelum dan sesudah suplementasi(p>0.05) (Tabel 34 dan 35). Kekurangan Selenium Seperti telah dijelaskan di dalam bab sebelumnya bahwa selenium mempunyai peranan penting di dalam enzim glutation peroksidase (GSH-Px). Enzim tersebut memegang peranan sebagai katalisator dalam pemecahan peroksida yang terbentuk di dalam tubuh menjadi ikatan yang tidak bersifat toksik. Glutation peroksidase adalah enzim antioksidan yang mengandung selenium pada sisi aktifnya. Tabel 36 Rata-rata jumlah sel imun pada sampel kekurangan Selenium sebelum suplementasi Sel Imun Suplementasi Plasebo Plasebo+TT Vit C Vit C+TT MVP Leukosit 8.5±1.9 8.1±1.6 7.7±1.2 8.2±1.7 7.9±1.9 Monosit 6.5±1.1 6.9±1.2 6.7±1.2 6.8±1.3 6.0±1.5 Neutrofil 52.8±7.8 54.1±6.8 52.8±3.9 49.8±6.3 54.4±5.6 1916.0± 2717.9± 2513.1± 3028.2± 2758.7± IgG 1382.7 1664.4 1420.5 1589.4 1847.9 1122.7± 1048.6± 1002.7± 1071.0± 1093.1± CD4+ 407.7 371.1 329.7 212.3 351.2 913.9± 810.6± 872.6± 1050.1± 885.7± CD8+ 300.5 219.4 257.3 348.9 327.4 Keterangan:1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama. MVP+TT 9.8±4.9 7.0±1.1 55.6±5.7 3372.9± 1704.2 1053.5± 453.2 1046.8± 344.5 P 0.2761 0.2491 0.1631 0.2831 0.9511 0.1901 Tabel 37 Jumlah sel imun pada sampel kekurangan Selenium sesudah suplementasi Sel Imun Leukosit Monosit Neutrofil IgG CD4+ CD8+ Suplementasi Plasebo Plasebo+TT Vit C 8.1±1.7 6.5±2.4 55.5±5.5 2883.5± 1500.0 1051.5± 286.7 824.3± 262.3 8.3±2.0 7.6±2.8 56.2±6.7 5165.4± 1596.0 1011.4± 409.4 792.2± 289.6 8.1±1.5 6.5±1.7 54.0±6.7 2921.9± 1321.9 993.7± 278.6 838.2± 246.0 Vit C+TT 8.4±1.5 7.0±2.6 54.8±8.6 5212.4± 1518.0 1070.8± 326.8 982.4± 411.6 MVP MVP+TT P 8.6±2.1 6.2±2.7 55.4±6.0 3191.4± 1499.2 1159.4± 279.6 923.1± 347.3 8.1±1.3 6.0±2.2 55.0±3.5 5407.6± 1402.6 1027.9± 285.7 969.9± 280.2 0.9511 0.5081 0.9551 0.0001 0.7061 0.4221 105 Keterangan:1 nilai-p dari analisis ragam (uji ANOVA) pada baris yang sama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam keadaan kekurangan Selenium tidak ada pengaruh suplementasi terhadap sel sel imun, hal ini terlihat tidak dijumpai perbedaan sel sel imun dari keenam perlakuan, baik sebelum dan sesudah suplementasi(p>0.05) (Tabel 36 dan 37). Tidak ditemukannya pengaruh suplementasi terhadap respon imun di dalam keadaan kekurangan zat gizi mikro yang bersifat zat gizi antioksidan kemungkinan karena kriteria inklusi sampel penelitian ini adalah orang dewasa sehat secara klinis (tidak mempunyai gejala maupun keluhan suatu penyakit) dan sebagian besar mempunyai status gizi secara antropometri dalam kategori baik sehingga sel sel imunitas masih berada dalam kondisi homeostasis (dalam kisaran normal) meskipun secara biokimia darah menunjukkan kekurangan beberapa zat gizi mikro. Temuan ini juga mendukung penelitian Ravaglia et al (2000) dimana subjek penelitian tersebut mempunyai status gizi antropometri baik tetapi mengalami kekurangan beberapa zat gizi mikro seperti selenium, zinc, vitamin A, vitamin E, folate, dan B6 dan hasil penelitian menemukan pengaruh suplementasi hanya bermakna pada perbaikan sel NK, namun tidak dijumpai pengaruh pada sel sel imun lainnya. Temuan ini juga mendukung temuan Kay et al. (2000) yang memberikan suplement zat gizi mikro pada lansia sehat, dan hasil penelitian hanya memperbaiki status zat gizi mikro dan status antioksidan tetapi tidak mempengaruhi produksi sitokin (sebagai parameter respon imun). Temuan ini juga mendukung penelitian wolvers et al.(2006) dimana hasilnya tidak menemukan peningkatan respon imun kecuali peningkatan respon DTH (delayedtype hypersensitivity) tetapi memperbaiki status gizi mikro. Akan tetapi temuan penelitian ini berbeda dengan hasil penelitain Kaiser et al. (2006) yang menggunakan subjek terinfeksi HIV kemudian di berikan suplementasi mikronutrient dan hasil penelitian menunjukkan perbaikan jumlah CD4+ secara signifikan. Hubungan Fungsi Imunitas Non-Spesifik dengan Imunitas Humoral dan CMI Sel NK berperan pada sistem imunitas non spesifik, tidak memerlukan paparan dalam pengenalan terhadap mikroba melalui molekul MHC. Sel NK 106 secara alamiah merupakan limfosit sitotoksik yang sudah ada sejak lahir yang berfungsi pada sistem imun non spesifik seluler. Jumlah dan aktivitasnya dapat ditingkatkan oleh sistem imun spesifik antara lain dengan pengaruh IL-2 dan IFN. Sel NK merupakan salah satu dari sistem imunitas non spesifik yang bekerja tanpa tergantung pada antibodi. Mekanisme fisiologi berupa komponen normal tubuh yang selalu ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk tubuh dan dengan cepat menyingkirkan mikroba tersebut. Jumlahnya dapat meningkat karena adanya infeksi dan sistem ini merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respon langsung (Baratawidjaja 2006). Hasil analisis regresi dengan faktor independent sel NK dan faktor dependen CD4+ menunjukkan bahwa sel NK mempengaruhi secara signifikan jumlah CD4+ (r2 = 0,102 , p = 0.000), dan juga mempengaruhi CD8+ (r2 = 0,023 , p = 0.024) (Lampiran 12). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara sel NK sebagai pertahanan non-spesifik dengan pertahanan humoral (CD4+), dan pertahanan seluler (CD8+). Temuan tersebut diperkuat oleh beberapa hasil penelitian yang di rangkum oleh Anderson (2005) bahwa sel NK mempunyai 2 efek perlindungan tubuh yaitu produksi sitokin seperti INF, TNF dan melalui efek sitotoksik dari granula yang diproduksi oleh membran sel NK. Dengan granula yang sitotoksik ini dapat membantu CD 8+ untuk menyingkirkan atau memusnahkan antigen intraseluler, dan perlindungan melalui produksi sitokin. Dengan demikian sel NK membantu proliferasi sel B untuk memacu sel plasma menghasilkan antibodi yang berperan dalam immunitas humoral. Pembahasan Umum Sampel penelitian ini adalah wanita usia subur yang berusia 20-45 tahun. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 15.7 persen sampel mengalami kekurangan vitamin A, 78.4 persen kekurangan vitamin E, 62.3 persen kekurangan viatmin C, 16.3 persen kekurangan zinc, dan 76.7 persen kekurangan selenium. Temuan ini mendukung pernyataan FAO/WHO dalam International Conference on Nutrition Tahun 1992, yang menyatakan bahwa wanita usia subur sebagai salah satu kelompok rawan kurang gizi, selain bayi, anak-anak,orang terlantar, ibu hamil dan menyusui. Kelompok lain yang rawan kekurangan gizi mikro adalah perokok 107 (Polidori et al. 2003; Pamuk 1994), individu yang terpapar oleh stres oksidatif (Romieu et al. 2008), terpapar polusi udara (Romieu 2005), pengonsumsi alkohol berat (Albanes et al. 1997), dan terkena penyakit infeksi (Barringer et al. 2003). Tubuh memerlukan vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup agar sistem imun dapat berfungsi secara optimal (Wintegrest et al. 2007). Oleh karena itu asupan dan status vitamin mineral yang rendah dapat menyebabkan menurunnya imunitas, dan kemudian mempengaruhi terjadinya infeksi. Keterkaitan vitamin dan mineral di dalam sistem imunitas adalah melalui peranan vitamin dan mineral sebagai zat gizi antioksidan. Zat gizi antioksidan diperlukan oleh tubuh antara lain untuk memproduksi dan menjaga keseimbangan sel sel imun (hematopoises), melindungi membran sel dari SOR, serta melawan mikroorganisme dapatan/adaptive). penyebab penyakit (imunitas bawaan/innate dan . Hasil penelitian menunjukkan bahwa MVM (multi vitamin-mineral) memberikan respon imunitas yaitu memperbaiki jumlah sel NK. Disamping itu suplementasi MVM menunjukkan dapat mengurangi radikal bebas yang terlihat dengan membaiknya status SOD, sementara itu suplemen vitamin C sebagai zat gizi tunggal hanya memperbaiki status vitamin C darah tetapi kurang kuat memperbaiki status SOD. Besarnya pengaruh suplemen MVM terhadap perbaikan jumlah sel NK sebagai sel yang berperan di dalam imunitas non spesifik dikarenakan MVM mengandung beberapa zat gizi mikro yang essensial sehingga bekerja optimal, misalnya vitamin A diperlukan untuk pertumbuhan dan diferensiasi sel, menjaga permukaan mukosa, memperbaiki integritas sel epitel. Zinc diperlukan di dalam proliferasi sel, sintesa kolagen, dan cell signaling, sintesa protein, menjaga sel-sel imun dalam range normal termasuk neutrofil, monosit, sel NK, sel B dan sel T. Sedangkan vitamin C bekerja melalui perbaikan kesehatan kulit sebagai peranannya di dalam sintesis kolagen, dimana kulit yang intake akan melindungi dari masuknya microorganisme melalui kulit, oleh karena itu pengaruh vitamin C saja terhadap perlindungan non-spesifik tidak sebesar suplemen MVM. Hasil penelitian ini mendukung review oleh Maggini et al. (2007) bahwa vitamin dan mineral tertentu seperti vitamin A, vitamin E, vitamin C, vitamin B6, 108 vitamin B12, zinc, selenium dan zat besi mempunyai peranan dalam respon imun. Sementara itu Calder et al. (2002) menambahkan bahwa sistem imun sangat ditentukan oleh komunikasi sel-sel untuk beberapa respon dan untuk integritas sel imun. Zat gizi antioksidan membantu integritas sel tersebut juga menurunkan kerusakan yang disebabkan oleh SOR pada membran dan reseptor. Disamping itu zat gizi antioksidan mengatur fungsi sel imun dengan mempengaruhi aktivitas redoks dan produksi sitokin. Oleh karena itu zat gizi tersebut membantu pertahanan tubuh pada tiga level yaitu pertahanan fisik (kulit/mukosa), seluler dan produksi antibodi. Oleh sebab itu kombinasi vitamin dan mineral dapat membantu sistem perlindungan tubuh bekerja dengan optimal (Wintergerst et al. 2007). Akan tetapi hasil penelitian ini belum menunjukkan pengaruh terhadap tiga level imunitas, tetapi hanya pada level non-spesifik, sedangkan pengaruh terhadap perlindungan yang lainnya hanya menunjukkan kecenderungan. Terbatasnya respon imun yang dipengaruhi oleh suplemen MVM maupun vitamin C kemungkinan karena sampel penelitian ini pada umumnya dalam kondisi sehat. Seperti yang disimpulkan oleh Wolvers et al. (2006) dari hasil penelitiannya bahwa perbaikan parameter imunitas pada populasi dengan status imunitas yang baik sangat terbatas. Sementara itu perbaikan sel NK pada penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Ravaglia et al. (2000), dimana suplementasi MVM meningkatkan aktivitas dan jumlah sel NK. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa suplementasi MVM memperbaiki beberapa status zat gizi mikro antara lain vitamin A, vitamin E, zinc, selenium, dan status SOD sebagai antioksidan primer. Sementara itu suplementasi vitamin C hanya memperbaiki status vitamin C saja, tidak memperbaiki status SOD. Temuan ini sejalan dengan temuan Preziosi et al. (1998), Barringer et al. (2003) dan Wolvers et al. (2006) bahwa suplementasi MVM menurunkan prevalensi kekurangan zat gizi mikro. Pada Tabel 38 disajikan ringkasan hasil penelitian. Tabel 38 Rangkuman Pengaruh suplementasi vitamin C dan multi vitaminmineral terhadap respon imun dan zat gizi antioksidan Variabel plasebo Vitamin C MVM 109 Respon Imunitas leukosit - - - monosit - - - neutrofil - - - Sel NK - ± + IgG - - - limfosit - - - CD4+ - - - CD8+ - - - Vitamin A - - + Vitamin C - + - Vitamin E - - + Selenium - - + Zinc - - + SOD - - + Status zat gizi antioksidan Keterangan: - tidak berpengaruh signifikan ± berpengaruh signifikan (p<0.10) + berpengaruh signifikan (p<0.05) KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Suplementasi multi vitamin-mineral (MVM) dapat memperbaiki jumlah sel Natural Killer (sel NK) secara signifikan (p<0.05). 2. Suplementasi MVM memperbaiki status vitamin A, vitamin E, selenium, sedangkan suplementasi vitamin C hanya memperbaiki status vitamin C saja. 110 3. Suplementasi MVM menurunkan radikal bebas dengan membaiknya status superoksida dismutase (SOD) sebagai antioksidan. 4. Vaksinasi tetanus toxoid (TT) meningkatkan titer IgG secara signifikan (p<0.05) dibandingkan tanpa vaksinasi TT. Saran Bagi program Pemberian suplement multi vitamin-mineral terutama yang bersifat antioksidan perlu dipertimbangkan untuk wanita pekerja. Bagi Peneliti Perlu penelitian lebih lanjut manfaat intervensi zat gizi antioksidan terhadap status imunitas pada berbagai level pekerja terutama yang berisiko terpapar stress oksidatif. DAFTAR PUSTAKA Albanes D, Virtamo J, Taylor PR, Rautalahti M, Pietinen P, Heinonen OP. 1997. Effect of Suplemental beta caroten, cigarette smoking, and alcohol consumption on serum carotenoids in the alpha tocopherol, beta carotene Cancer Prevention Study. Am J Clin Nutr; 66:366-72. Albers R, Antoine JM, Sicard RB, Calder PC, Gleeson M, Lesourd B, Samartin S, Sanderson IR, Loo JV, Van Dias FW, Watzl B. 2005. Markers to measure immunomodulation in human nutrition intervention studies. British Journal of Nutrition 94:452-481. Almatsier S. 2006. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Ames BN. 2006. Low micronutrient intake my accelarate the degenerative diseases of aging through allocation of scarce micronutrients by triage. PNAS 103(47):17589-17594. Anderson R, Oosthuizen R, Maritz R, Theron A, Van Rensburg AJ. 1980. The effects of increasing weekly doses of ascorbate on certain cellular and humoral immune functions in normal volunteers. Am J Clin Nutr 33:71-76 Anderson SK. 2005. Biology of Natural Killer cells: What is the relationship between Natural Killer cells and cancer? Will an increased number and/or function of Natural Killer cells result in lower cancer incidence? J. Nutr. 135:2910S. Andrianne B. 1993. Physiological role of antioxidant in the immune system. Symposium Antioxidant, Immune Response and Animal Function. Journal Dairy Sci 76:2789-2794. Atmarita dan Fallah TS. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat dalam Soekirman et al, editor. Widya Karya Pangan dan Gizi VII Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi; Jakarta, 17-19 Mei 2004 : LIPI, hlm 129-143. Awad, J.A., Morrow, J.D., Hill, K.E, Robert, L.J and Burk, R.F. 1994. Detection and localization of lipid peroxidation in selenium and vitamin E deficient rats using F2 isoprostanes. J Nutr 124: 810-816. Baratawidjaja. 2006. Immunologi dasar. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Barker D.J.P. 1998. Mothers, Babies and Health in Later Life. Second Edition.Brisbane,Australia. 112 Barringer TA, Kirk JK, Santaniello AC, Foley KL, Michielutta R. 2003. Effect of a multivitamin and mineral supplement on infection and quality of life. Ann Intern Med 138:365-371. Bender David A. 2003. Nutritional Biochemistry of the vitamins. Second edition. Cambridge University Press. Bendich A. 1993. Physiological Role of Antioxidants in the Immune System. J Dairy Sci 76:2789-2794. Bhaskaram P. 2001. Immunology of mild micronutrient deficiencies. British Journal of Nutrition 85(suppl. 2):S75-S80. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1998. Gerakan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta: BKKBN Black RE. 2001. Micronutrients in pregnancy. British Journal of Nutrition 85(Suppl. 2):S193-S197. Bland J. 1995. Vitamin C: The Future Is Now. Keats Publishing,Inc. Bleys J, Miller ER, Barriuso RP, Appel LJ, Guallar E. 2006. Vitamin-mineral supplementation and the progression of atherosclerosis: a meta-analysis of randomized controlled trials. Am J Clin Nutr ;84:880-7. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2004. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor HK.00.05.23.3644 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan. Jakarta: BPOM. Brambilla D, Mancuso C, Scuderi MR, Bosco P, Lempereur GC, Benedetto GD, Pezzino S, Bernardini R. 2008. The role of antioxidant supplement in immune system, neoplastic, and neurodegenerative disorders: a poin an assessment of the risk/benefit profile. Nutrition Journal 7:29-46. Brock JH, Mulero V. 2000. Cellular and molecular aspects of iron and immune function. Proc Nutr Soc 59:537-540. Broome CS, Francis M, Janet AMK, Francis A, Lowe NM, Hart A, Arthur JR, Jackson MJ. 2004. An increase in selenium intake improve immune function and poliovirus handling in adult with marginal selenium status. Am J Clin Nutr 10:154-162. Bunout D, Barrera G, Hirsch S, Gattas V, de la Maza MO, Haschke F, Steenhout P, Klassen P, Hager C, Avendano M, Petermann M, Munoz C. 2004. Effects of a nutritional supplement on the immune response and cytokine production in free-living Chilean elderly. J Parenter Enteral Nutr 28:348 354. 113 Burton GW, Traber MG, Acuff RV, Walters DN, Kayden H, Hughes L, Ingold KU. 1998. Human plasma and tissue alfa tokoferol concentration in response to supplementation with deuterated natural and syntetic vitamin E. Am J Clin Nutr 67;669-684. Calder PC, Field C, Gill HS. 2002. Nutrition and Immune Function.. London ,UK. Carol S and Arah K. 2001. Plasma saturated intakes of vitamin C confer maximal antioxidant protection to plasma. Journal of the American College of Nutrition 20(6):623-627. Chandra RK. 2002. Influence of micronutrient supplement on immune responses dan infection-related illness in 50-65 year old individuals. Nutrition Research 22:5-11. Christian P, West KP Jr. 1998. Interactions between zinc and vitamin A: an update. Am J Clin Nutr 68(suppl):435S-441S. _________, Khatry SK, Yamini S, Stalling R, leClerq SC, Shrestha SR, Pradhan EK, West KP Jr. 2001. Zinc supplementation might potentiate the effect of vitamin A in restoring night vision in pregnant Nepalase women. Am J Clin Nutr 73:1045-1051 (A). Chvapil, M. 1973. New aspects in the biological role of zinc: a stabilizer of macromolecules and biological membranes. Life Sci. 13:1041. In Bodwell.C.E and Erdman,Jr. JohnW. Nutrient Interactions .1988. New York and Basel. Cook JD, Watson SS, Simpson KM, et al. 1984. The effect of high ascorbic acid supplementation on body iron stores. Blood 64:721-726. Dalam. Allen, LH. Iron-ascorbic Acid and Iron-calcium Interactions and Their Relevance in Complementary Feeding. Department of Nutrition, University of California. DepKes RI. 1996. Pedoman Praktis Menilai Status Gizi Orang Dewasa. Jakarta: Depkes. Dijkhuizen MA, Wieringa FT. 2001. Vitamin A, Iron and Zinc Deficiency in Indonesia-Micronutrient Interaction and Effects of Supplementation. University of Wageningan: A Joint PhD Thesis. Dijkhuizen,MA, Wieringa,F.T, West,C.E, Muherdiyantiningsih, Muhilal (2001) Concurrement micronutrient deficiencies in Lactating mothers and their infents in Indonesia. Am.J.Clin.Nutr.73:786-791. 114 Preziosi P, Calan P, Herbeth B, Valeix P, Roussel A, Malvy D, Dauphin A, Arnaud J, Richard M, Briancon S, Favier A, Herberg S. 1998. Effect of supplementation with a Combination of Antioxidant Vitamin and Trace Elements, at Nutritional Doses, on Biochemical Indicators and Markers of The Antioxidant System in Adult Subjects. Journal of The American College of Nutrition, Vol 17,No3;244-249. FAO/WHO 2001. Human Vitamin and Mineral Requirement. Report of a joint FAO/WHO expert consultation. Bangkok, Thailand. Roma: Food and Nutrition Division. _________. 1992. International Conference on Nutrition. World Declaration and Plan of Action for Nutrition. Roma: FAO. Fernandes G, Jolly C, Lawrence R. 2006. Nutrition and Immun system di dalam Modern Nutrition in Health and Disease, 10 th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. Foote JA, Murphy SP, Wilkens LR, Hankin JH, Henderson BE, Kolonel LN. 2003. Factors associated with dietary supplement use among healthy adults of five ethnicities. Am J Epidemiol 157(10):888-897. Fuente M De La. 2002. Effect of antioxidants on immune system ageing. European Journal of Clinical Nutrition;56,suppl 3,55-58. Flore R, Gerardino L, Santoliquido A, Pola R, Flex A, Campli C Di, Pola P, Tondi P. 2004. Enhanced oxidative stress in workers with a standing occupation. Occup Environ Med. 2004; 61: 548-550. Garcia OP, Diaz M, Rossado JL, Allen LH. 2003. Ascorbic acid from lime juice does not improve the iron status of iron-deficient women in rural Mexico. Am J Clin Nutr 78:267-273. Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Ed ke-2. New York: Oxford University Press Glasziou PP and Mackerras DEM. 1993. Vitamin A supplementation in infectious disseases : a meta-analysis. BMJ 306:366-70 . Goodman Sandra. 1991. Vitamin C the master Nutrient. Keats Publishing.USA. Graat JM, Schouten EG, Kok FJ. 2002. Effect of Daily Vitamin E and Multivitamin mineral supplementation on Acute Respiratory Tract Infection in Elderly person. JAMA,288:715-721. Gropper S.C, Smith JL, Groff JL. 2005. Advanced Nutrition and Human Metabolism. International Student Edition. Thomson Wadsworth. USA. 115 Hara M, Tanaka, Hirota Y. 2005. Immune respon to influenza vaccine in healthy adults and the elderly: association with nutritional status. Vaccine 23:1457-1463. Hardinsyah. 2008 Prawidya Karya Pangan dan Gizi IX. LIPI Jakarta. Harvey LJ, Majsak-Newman G, Dainty JR, Lewis DJ, Langford NJ, Crews HM, Fairweather-Taits SJ. 2003. Adaptive responses in men fed low- and highcopper diets. Br J Nutr 90:161-168. Hathcock JN, Azzi A, Blumberg J, Bray T, Dickinson A, Frei B, Jialal I, Johnston CS, Kelly FJ, Kraemer K, Packer L, Parthasarathy S, Sies H, Traber MG. 2005. Vitamins E and C are safe across a broad range of intakes. Am J Clin Nutr 81:736-745. Hemilia H, E Chalker, B Treacy , B Douglas. 2007. Vitamin C for preventing and treating the common cold. Cochrane Database of Systematic Reviews , Issue 3. (Abstract). Huang Yao, Caballero B, Chang S, Alberg AJ, Samba RD, Schneyer C, Wilson RF, Cheng TY, Prokopowicz G, Barnes GJ II, Vassy J, Bass EB. 2007. Multivitamin/mineral supplements and prevention of chronic disease: Executive Summary. Am J Clin Nutr 85(suppl):265S-268S. [IOM] Institute of Medicine. 2000. Dietary Reference Intakes for Vitamin C, Vitamin E, Selenium, and Carotenoids. Washington DC: National Academy Press. International Market Research Report (IMRR). 2005. Johnston CS, Cox SK. 2001. Plasma-saturating intakes of vitamin C confer maximal antioxidant protection to plasma. Journal of American College of Nutrition 20:623-627. Kadiki AE dan Sutton AJ. 2005. Role of multivitamins and mineral supplements in preventing infections in elderly people:systematic review and meta analysis of randomized controlled trials. BMJ; 330;871. Kaiser J, Campa A, Ondercin J, Leoung G, Pless R, Baum M. 2006. Micronutrient Supplementation Increases CD4 count in HIV-Infected individuals on Highly Active Antiretroviral Theraphy: Prospective, Double Blinded, Placebo-Contrlled Trial. Journal Acquir Immune Defic Syndr 42:523-528. Kallner A, Hartmann D, Hornig D. 1979. Steady-state turnover and body pool of ascorbic acid in man. Am J Clin Nutr 32:530-539. Dalam. [IOM] Institute of Medicine. 2000. Dietary Reference Intakes for Vitamin C, Vitamin E, Selenium, and Carotenoids. Washington DC : National Academy Press. 116 Karyadi E, West CE, Schultink W, Nelwan ROHH, Gross R, Amin Z, Dolman WMV, Schlebusch, Meer J. 2002. A double blind, placebo-controlled study of vitamin A and Zinc supplementation in persons with tuberculosis in Indonesia: effects on clinical response and nutritional status. Am Journal Clin Ntr. 75:720-727. Kim JH, Kim MJ. 2004. Antioxidant status (vit A, vit C dan E) and its relationship to plasma cytokin levels in Korean elderly women living in Seoul. J. Community Nutrition 6(2):103-109. Kiremidjian-Schumacher L, Roy M, Wishe HI, Cohen MW, Stotzky G. 1996. Suplementation with selenium augments the function of natural killer and lymphokine activated killer cells. Biological Trace Element Research 52:227-239. Knight JA. 2000. Review: free radicals, antioxidant and immune system. Ann.Clin.Lab.Sci. 30:45-158. Koplan JP, Annest JL, Layde PM, Rubin GL. 1986. Nutrient intake and supplementation in the United States (NHANES II). Am J Public Health 76:287-289. Kotake-Nara E, Kushiro M, Zhang H, Sugawara T, Miyashita K, Nagao A. 2000. Carotenoids affect proliferation of human prostate cancer cells. J Nutr 131: 3303-3306. Lapido OA. 2000. Nutrition in pregnancy: mineral and vitamin supplements. Am J Clin Nutr 72(suppl):280S-290S. Lee Chun-Yung Jetty, Fan Wan. 2000. Vitamin E supplementation improves cell mediates immunity and oxidative stress of Asian men and women. J Nutr 130:2932-2937. Levine M, Conry-Cantilena C, Wang Y, Welch RW, Washko PW, Dhariwal KL, Park JB, Lazarev A, Graumlich JF, King J, Cantilena LR. 1996. Vitamin C pharmacokinetics in healthy volunteers: evidence for a recommended dietary allowance. PNAS 93(8):3704-3709 Linder MC and Hazegh-Azam M. 1996. Copper biochemistry and molecular bilaogy. Am J Clin Nutr 63:797S-811S. Long KZ, Montoya Y, Hertzmark E, Santos JI, Rosado JL. 2006. A double-blind, randomized clinical trial on the effect of vitamin A and zinc supplementation on diarrheal disease and respiratory tract infections in children in Mexico City, Mexico. Am J Clin Nutr ;83:693-700. Lonnerdal B. 1988. Vitamin mineral interaction. Di dalam: Bodwell CE and Erdman JW, editor. Nutrient Interactions. New York: Marcel Dekker Inc. 117 Lukito W, Wattanapenpaiboon N, Savige GS, Hutchinson P, Wahlqvist ML. 2004. Nutritional indicators, peripheral blood lymphocyte subsets and survival in an institutional elderly population. Asia Passific J Clin Nutr 13(1):107-112. Mateo GF, Acien AN, Barriuso RP, Guallar E. 2006. Selenium and Coronary heart disease: a meta-analysis. Am J Clin Nutr;84:762-73. McKay DL, Perrone G, Rasmussen H, Dallal G, Hartman W, Cao G, Prior RL, Roubenoff R, Blumberg JB. 2005. Multiple micronutrient supplementation improves anemia, micronutrient nutrient status, and growth of Vietnamese infants: Double-Blind, Randomized, Placebo-Controlled Trial. J. Nutr. 135:660S-665S. _________, Perrone G, Rasmussen H, Dallal G, Hartman W, Cao G, Prior RL, Roubenoff R, Blumberg JB. 2000. The effects of a multivitamin/mineral supplement on micronutrient status, antioxidant capacity and cytokine production in healthy older adults consuming a fortified diet. Journal of the American College of Nutrition 19:613-621. Marks D, Marks A, Smith C. 2000. Biokimia Kedokteran Dasar. ECG Meydani SN, Han SN, Wu D. 2005. Vitamin E and immune response in the aged: molecular mechanism and clinical implications. Immunol Rev 205:269 284. Miller ER III, Barriuso RP, Dalal D, Riemersma RA, Appel LJ, Guallar E. 2005. Meta-analysis: High-dosage vitamin E supplementation may increase all cause mortality. Ann Intern Med. 142:37-46. Muhilal dan Sulaeman, A. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Lemak. Di dalam : Soekirman et al, editor. dalam Widya Karya Pangan dan Gizi VIII “ Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi” ; Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta : LIPI, hlm 331-342. Navarro M, Wood RJ. 2003. Plasma Changes in Micronutrients Following a Multivitamin and Mineral Supplement in Healthy Adults. Journal of the American College of Nutrition 22(2):124-132. Nauss, K.M. 1986. Influence of vitamin A status on the immune system. In Vitamin A deficiency and its control. C.J. Bauernfeind, ed. Academic Press, Inc, Orlando,FL. Nieman DC. 2001. Does exercise alter immune function and respiratory infections? President’s Council on Physical Fitness and Sports. Research Digest 3(13). 118 NIH State of the Science Panel. 2007. National Institute of Health State-of-the Science Conference Statement: Multivitamin/mineral supplements and chronic disease prevention. Am J Clin Nutr 85:257S-264S. Olson. 1987. Recommended Dietary Intake (RDI) of Vitamin A in Humans. Am J Clin Nutr 45:704-16. Oppenheimer SJ. 2001. Iron and its relation to immunity and infectious disease. J Nutr 131:616S-635S. Pamuk ER, Byers T, Coates RJ, Vann JW, Sowell AL, Gunter EW, Glass D. 1994. Effect of smoking on serum nutrient concentrations in African American women. Am J Clin Nutr 59:891-895. Pauling L. Vitamin C and the Common Cold. W. H. Freeman, San Francisco; 1970. Payette H, Rola-Pleszczynski M, Ghadirian P. 1990. Nutrition factors in relation to cellular and regulatory immune variables in a free-living elderly opulation. Am J Clin Nutr 1990;52:927–32. Penn et al. 1991. Effect of dietary supplementation with vitamin A,C,dan E on cell mediated immunity function in elderly long stay patients: a randomized controlled trial. Age and Ageing 20:169-174. Peters EM. 1997. Exercise, immunology and upper respiratory tract infection. International Journal Of Sports Medicine 18(Suppl.1 ):S69-208. Peters EM, Goetzsche JM, Grobbelaar B, Noakes TD. 1993. Vitamin C supplementation reduces the incidence of postrace symptoms of Upper respiratory-tract infection in ultramarathon Runners. Am J Clin Nutr, 57:170-4. Piliang WG dan Al Haj SD. 2006. Fisiologi Nutrisi. Volume II. IPB Press. Polidori Cristina M, Patrizia M, Willhelm S, Sies H. 2003. Cigarette smoking cessation increases plasma levels of several antioxidants micronutrients and improves resistence towards oxidative challenge. British Journal of Nutr 90:147-150. Powell SR. 2000. The antioksidan properties of zinc. J Nutr 130:1447S-1454S. Prasad AS. 2000. Effect of Zn deficiency on immune functions. Journal of Trace Elements in Experimental Medicine 13:1-20. 119 Radimer K, Bindewald B, Hughes J, Ervin B, Swanson C, Picciano MF. 2004. Dietary supplement use by US adults: data from the National Health and Nutrition Examination Survey, 1999-2000. Am J Epidemiol 160(4):339 349. Rahman MM, Mahalanabis D, Hossain S, Wahed MA, Alvarez JO, Siber GR, Thompson C, Santhosam M, Fuchs GJ. 1999. Simultaneous vitamin A at routine immunization contact enhances antibody response to diphtheria vaccine in infants younger than six month. J Nutr 2192-2195. Rahman MJ, Protin S, Swapan KR, Shaikh M, Jobayer C, Tasnim A, Minnie M, David S, Jan A and Rubha R. 2005. Effect of Zn supplementation as adjunct therapy on the systemic immune reponses in shigellosis. Am J Clin Nutr 81:495-502. Rall LC and Meydani SN. 1993. Vitamin B6 and immune competence. Nutrition Review vol 51. No 8. Raqib R, Swapan KR, Jubayer M, Tasnim, Syeda. 2004. Effect of Zn supplementation on immune and inflammatory responses in pediatric patients with shigellosis. Am J Clin Nutr Vol 79(3):444-450. Ravaglia G, Forti P, Maioli F, Bastagli L, Facchini A, Mariani E, Savarino L, Sassi S, Cucinotta D, Lenaz G. 2000. Effects of micronutrients on natural killer cell immune functions in healthy free-living subjects aged > 90 y. Am J Clin Nutr 71:590-598. Ray K, Gupta SM, Bala M, Muralidhar S, Kumar J. 2006. CD4/CD8 Lymphocyte counts in healthy, HIV-positive individuals & AIDS patients. Indian J Med Res 124:319-330. Read NW. 2001. Placebo and Panacea: The healing effect of Nutritional Suplements. In Ransley JK, Donnelly JK, Read NW. Food and Nutritional Suplements 2001. New York.: Springer. Reifen Ram. 2008. Vitamin A as an anti-inflammatory agent. Cambridge University Press. Rink L and Kirchner H. 2000. Zn altered immune function and cytokine production. J Nutr 130:1407S-1411S. Roitt IM. 2003. Essential Immunology. Blackwell Science limite. Oxford. Romieu I, Castro-Giner F, Kunzli N, Sunyer J. 2008. Air pollution, oxidative stress and dietary supplementation: a review. Eur Respir J 31:179-196. Romieu I. 2005. Nutrition and lung health. Int J Tuberc Lung Dis 9:362-374. 120 Saidin M, Sukati, Muherdiyantiningsih, Rustan E. 2003. Pengaruh Pemberian Tablet Besi dan Vitamin E pada Kadar Hemoglobin dan Status Besi Wanita Usia Subur yang diduga Menderita Thalasemia Karier. Penelitian Gizi dan Makanan 26:1-9. Sandstrom B, Davidson L, Cederblad A, Lonnerdal B. Oral iron, dietary ligands, and zinc absorption. Am J Nutr 1985;115:411-4. Dalam. Whittaker P. 1998. Iron and zinc interactions in humans. Am J Nutr 68:442S-446S. _________. 2001. Micronutrient interactions: effects on absorption and bioavailability. British Journal of Nutrition 85(suppl 2.):S181-S185. Semba RD, Bloem MW. 2002. Review: The anemia of vitamin A deficiency: epidemiology and pathogenesis. Eroupean Journal of Clinical Nutrition 56 (4):271-281. Semba RD, Muhilal, Scott AL, Natadisastra G, Wirasasmita S, Mele L, Ridwan E, West KP Jr, Sommer A. 1992. Depressed Immune Response to Tetanus in Children with Vitamin A Deficiency. J. Nutr. 122:101-107, 1992. _________, Muhilal, Brian J. Ward, Griffin Diane E, Scott Alan L, Natadisastra Gantira, Keith P. West JR, Sommer A. 1993. Abnormal T-cell subset proportion in vitamin a-deficient children. The Lancet 341:5-8.(Abstract). _________. 1994. Vitamin A, Immunity, and infection. Clinical Infectious Diseases 19:489-499. Shankar AH, Prasad AS. 1998. Zn and immune fungtion: the biological basis of altered resistance to infection. Am J Clin Nutr 66S:515-463S. Silalahi J. 2006. Makanan Fungsional. Jakarta: Kanisius. Smith JC, Makdani D, Hegar A, Rao D, Douglass LW. 1999. Vitamin A and Zinc Supplementation of Preschool Children. Journal of the American College of Nutrition;18:213-222. Solomons 1988. Physiological interactions of minerals. Di dalam: Bodwell CE and Erdman JW, editor. Nutrient Interactions. New York: Marcel Dekker Inc. Sommer A, Katz J, Tarwotjo I. 1984. Increased risk of respiratory disease and diarrhea in children with preexisting mild vitamin A deficiency. Am J Clin Nutr 40:1090-1095. Stephensen CB. 2001. Vitamin A, infection, and immunity. Annu Rev Nutr 21:167-192. 121 Stipanuk MH. 2000. Biochemical and Physiological Aspects of Human Nutrition. Philadelphia: W.B. Saunders Company. Suharno D. 1993. Supplementation with vitamin A and iron for nutritional anaemia in pregnant women in West Java, Indonesia . Lancet 342: 1325 1328.(Abstract). Sumantran VN, Zhang R, Lee DS, Wicha MS. 2000. Differential regulation of apoptosis in normal versus transformed mammary epithelium by lutein and retinoic Acid. Cancer Epidemiology and Biomarkers Preview 9:257 263. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). 2001. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Dep Kes RI. Tortora GJ. 2004. Sixth Edition. Principles of Anatomy and Physiology. New York: Harper & Row. Trakatellis A, Dimitriadou A, Traketelli M. 1997. Pyridoxine deficiency: new approaches in immunosuppression and the chemotherapy. Postgrad Med J 73:617-662. Untoro J, Karyadi E, Wibowo L, Erhardt MW, Gross R. 2005. Multiple Micronutrient Supplements Improve Micronutrient Status and Anemia But Not Growth and Morbidity of Indonesian Infants: A Randomized, Double Blind, Placebo-Controlled Trial. J Nutr 135:639S-645S. US Food and Drug Administration, Center for Food Safety and Applied Nutrition. 2001. Overview of dietary supplements. http://www.cfsan.fda.gov/~dms /ds-oview.html#what [20 Mei 2008]. Villamor E, Fawzi WW. 2005. Effect of vitamin A suplementastion on immune respon and correlation with clinical outcomes. Clinical Microbiology Review 18(3): 446-464. Walker EM Jr, Walker SM. 2000. Effects of iron overload on the immune system. Annals of Clinical and Laboratory Science 30:354-365. Wintergerst ES, Maggini S, Beveridge S, Hornig DH. 2007. Selected vitamins and trace elements support immune function by strengtehening epithelial barriers and cellular and humoral immune responses. British Journal of Nutrition 98(suppl. 1):S29-S35. Womack J, Tien PC, Felman J, Shin JH, Fennie K, Anastos K, Cohen MH, Bacon MC, Minkoff H. 2007. Obesity and Immune Cell Counts in Women. Metabolism; 56(7):998-1004. 122 Word Bank. 2006. Repositioning Nutrition as Central to Development, A Strategy Large-Scale Action. Washington,DC.USA. Whittaker P. 1998. Iron and zinc interactions in humans. Am J Clin Nutr 68:442S 446S. Whiteside T and Herberman R. 1994. Mini review, Role of Human Natural Killer Cells in Health and Disease. Cinical and Diagnostic Laboratory Immunology, P 125-133. American Society for Microbiology. WHO. 1997. Vitamin A Suplements. A Guide To Their Use In The Treatment And Prevention Of Vitamin A Deficiency And Xeropthalma. 2nd Ed. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi, 2004. LIPI. Jakarta Indonesia. Winarsi H. 2007. Antioxidan Alami dan Radikal Bebas. Jakarta: Kanisius. Wintergerst ES, Maggini S, Hornig DH. 2007. Contribution of selected vitamins and trace elements to immune function. Ann Nutr Metb 51:301-323. Whiteside T dan Herberman R B. 1994. Minireview. Role of Human Natural Killer Cells in Health and Disease. Clinical and diagnostic Laboratory Immunology,p 125-133. Wolters M, Hermann S, Hahn A. 2004. Effects of 6-month multivitamin supplementation on serum concentrations of alpha-tocopherol, beta carotene, and vitamin C in healthy elderly women. Int Vitam Nutr Res 74(2):161-8. Wolvers DAW, Broekmans WMR, Logman MHGM, Wielen RPJ, Albers R. 2006. Effect of a mixture of micronutrients, but not of bovine colostrums concentrate, on immune function parameters in healthy volunteers: a randomized placebo-controlled study. Nutrition Journal 5:28. Wood RJ, Zheng JJ. 1997. High dietary calcium intakes reduce zinc absorption and balance in humans. Am J Clin Nutr 65:1803-1809. Woods HF. 2001. The Addition of Micronutrients to Food. Di dalam: Ransley JK, Donnelly JK, Read NW, editor. Food and Nutritional Supplements Their Role in Health and Disease. Jerman: Springer. Xia Yiming, Hill KE, Byrne DW, Xu J, Burk RF. 2005. Effectiveness of Selenium supplements in a low-selenium area of china. Am J Clin Nutr 81:829-34. Yetley EA. 2007. Multivitamin and multimineral dietary supplements: definitions, characterization, bioavailability, and drug interactions. Am J Clin Nutr 85:269S-276S. 123 Zeba A, Herman S, Noel R, Issiaka Z, Jeremi R, Robert TG, Davidson H, Najat M, Jean BO. 2008. Major reductions of malaria morbidity with combined vitamin A and Zinc suplementation in young children in Burkina Faso: a randomized double blind trial. 124 LAMPIRAN 125 Lampiran 1 Persetujuan etik (ethical clearance) 126 Lampiran 2 Formulir persetujuan untuk mengikuti penelitian (informed consent) SURAT PERSETUJUAN UNTUK MENGIKUTI PENELITIAN Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Umur : Alamat : telah mendapat penjelasan dan mengerti tentang penelitian “Pengaruh Suplementasi Multivitamin Mineral Terhadap Imunitas Humoral, Seluler, dan Status Zat Gizi Antioksidan“ dan setuju untuk ikut dalam penelitian ini, dengan catatan bahwa bila suatu waktu merasa dirugikan dalam bentuk apapun kami berhak untuk membatalkan persetujuan ini. Bogor, ............................ 2008 Mengetahui, Manager Perusahaan Yang menyetujui, ____________________ __________________ 127 Lampiran 3 Kuisioner identitas, antropometri, sosial ekonomi, pemeriksaan kesehatan, pemeriksaan klinis, konsumsi pangan, monitoring intervensi, dan monitoring morbiditas responden PENGARUH SUPLEMENTASI MULTIVITAMIN MINERAL TERHADAP RESPON IMUN, STATUS ANTIOKSIDAN, DAN PROFIL LIPID Tanggal Wawancara : …................... Kode : A/B/C Enumerator No. : ....................... : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : …………………………………………….. 2. Tanggal lahir/ Umur : ................................/ tahun 3. Status perkawinan : 2. 4. Pendidikan terakhir : 1. Tidak sekolah 1. Menikah Janda 2. Tidak tamat SD 3. Tamat SD 4.. Tamat SLTP 5. Tamat SLTA 6. Tamat D1/D3 7. Tamat S1 5. Jenis pekerjaan : 1. Pekerja tetap 2.. Tidak tetap 6. Devisi pekerjaan : 7. Merokok : 1. ya 2. tidak 8. Minum alkohol : 1. ya 2. tidak 9. Sedang berdiit : 2. Tidak ………………………….. 1. ya 128 10. Berapa kali ibu pernah melahirkan : 1. ................. kali 2. Jumlah anak hidup : .................. 3. Jumlah anak meninggal: .................. 4. Jumlah anak keguguran : ................. 11. Jumlah Anggota Keluarga : …. orang 12. Ikut serta KB : 1. ya 2. tidak Bila ya, lanjut no 13, bila tidak lanjut ke no.14 13. Jenis KB : 1. Pil 2. suntik (......bln/x, tgl.….) 3. IUD 4. Spiral 5. Steril 6. Kondom 7. Implant/susuk 14. Apakah ibu melakukan olah raga? 1. ya 2. tidak Bila ya, lanjut ke no.15, bila tidak stop 15. Jenis olah raga yang biasa dilakukan : a. Jogging b. Senam c. Badminton d. Lainnya………………… 16. Lama tiap kali olah raga………..menit 17. Berapa kali melakukan olah raga dalam 1 minggu? (……..kali/minggu) II. ANTROPOMETRI RESPONDEN 1. Berat badan : ..................kg 2. Tinggi badan : ..................cm 3. LILA : ..................cm 129 III. SOSIAL EKONOMI 1. Penghasilan istri per bulan Rp............................ 2. Penghasilan suami per bulan Rp............................. 3. Penghasilan tambahan istri per bulan Rp............................. 4. Penghasilan tambahan suami per bulan Rp............................. IV PEMERIKSAAN KESEHATAN Data Dasar Morbiditas 1. Apakah ibu sedang mendapat menstruasi ? 1. Ya 2. Tidak 2. Apakah dalam 2 bulan terakhir Ibu menderita sakit : Jenis penyakit Panas/demam Ya/tidak Jika ya, berapa hari Dibawa kemana* Batuk Pilek Diare Lainnya * : 1 = Puskesmas, 2= Rumah sakit, 3= Klinik, 4= Diobati sendiri 3. Apakah dalam 1 bulan terakhir hingga saat ini Ibu menderita sakit : Jenis penyakit Panas/demam Batuk Pilek Diare Lainnya Ya/tidak Jika ya, berapa hari Dibawa kemana* 130 * : 1 = Puskesmas, 2= Rumah sakit, 3= Klinik, 4= Diobati sendiri V. PEMERIKSAAN KLINIS Pemeriksaan Fisik Vital sign: TD:......... Suhu: N/…………. Nadi: N/…........ Pernafasan: N/............ 1. Keadaan umum: 2. Wajah 3. Mata: a. Conjungtiva mata b. Sklera mata c. Lainnya. 4. Telinga 5. Hidung 6. Tenggorokan 7. Mulut 8. Gigi 9. Leher 10. a. Jantung b. Thorax/paru-paru 11. Abdomen: a. Hati b. Limpa 12. Genital 13. Ekstremitas atas 14. Ekstremitas bawah 15. Kulit 1. tampak sehat 1. normal 1. normal 1. normal ............... 1.normal 1. normal 1. normal 1. normal 1. normal 1. normal 1. normal 1. normal 1. normal 1. normal 1. normal 1. normal 1. normal 1. normal 2. tampak sakit 2. ............. 2. pucat 2. ikterik ............... 2. tuli 2. .............. 2. ……...... 2. .………. 2. ………. 2............... 2............... 2. .............. 2. .............. 2. .............. 2. .............. 2. .............. 2. .............. 2. .............. Diagnosis kerja/kesimpulan: 1. Sehat 2. Tidak sehat, sebutkan...................... Anamnese penyakit yang pernah diderita sebelumnya/penyakit dahulu ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------VI. KONSUMSI PANGAN Recall 2 X 24 jam Hari Ke : Nama Responden Tanggal Waktu Nama : ............................. : ............................. Nama Bahan Petugas: ..................... Jumlah 131 Makanan/minuman Makanan URT Gram 1. Pagi 2. Siang 3. Malam Food Frequencies Questionare Nama Responden : ..................... Tanggal : ...................... Bahan makanan Frekuensi konsumsi makanan 1x /hr Nasi Petugas : ................. 2-3x /hr 3-5x /mg 1-2x /mg 2-3x /bln 1x /bl Tidak pernah 132 Mie Roti Jagung Biskuit Kacang Ijo Kacang Merah Melinjo Ubi Jalar Tempe Tahu Telur Oncom Ayam Daging Sapi Hati sapi Hati ayam Ikan segar Bayam Kangkung Daun singkong Kac.Panjang Selada air Sawi Daun katuk Jambu Biji Pepaya Jeruk Salak Susu bubuk Keju Lainnya VII. FORMULIR MONITORING INTERVENSI Kode No. Minggu ke Hari I : A/B/C : Tgl Nama Responden : Petugas : Minum Suplemen Ya Tidak Minggu ke Hari VI Tgl Minum Suplemen Ya Tidak 133 II VII III VIII IV IX V X VIII. DATA MONITORING MORBIDITAS Apakah dalam 1 minggu terakhir hingga saat ini Ibu menderita sakit : Jenis penyakit Panas/demam Batuk Ya/tidak Jika ya, berapa hari Dibawa kemana* 134 Pilek Diare Lainnya * : 1 = Puskesmas, 2= Rumah sakit, 3= Klinik, 4= Diobati sendiri Lampiran 4 Uji anova dan uji lanjut BNT data Sel NK minggu ke 10 suplementasi. Peubah dependen: Sel NK minggu ke-10 Sumber Suplementasi R(Suplementasi)(galat 1) Vaksinasi TT Suplementasi*Vaksinasi TT Error (galat 2) Total db 2 126 1 2 95 226 Jumlah Kuadrat 386385.89 5048636.34 38414.89 68117.14 3258810.67 8800364.93 Uji lanjut BNT Peubah dependen: Sel NK minggu ke-10 Kuadrat Tengah 193192.94 40068.54 38414.89 34058.57 34303.27 F 4.822 P 0.003 1.120 0.993 0.293 0.374 135 (I) Suplementasi Placebo Vit. C MVM (J) Suplementasi Vit. C MVM Placebo MVM Placebo Vit. C Selisih Rataan P 68.312 96.712(*) -68.312 28.400 -96.712(*) -28.400 0.072 0.011 0.072 0.455 0.011 0.455 Lampiran 5 Uji anova data titer IgG minggu ke 10 suplementasi. Peubah dependen: Titer IgG minggu ke-10 2 Jumlah Kuadrat 719277.8 Kuadrat Tengah 359638.9 F 0.257 P 0.7821 131 1 1833775.3 323324231.1 1399828.5 323324231.1 290.605 0.0001 2 125 662176.0 139073833.3 331088.0 1112590.7 0.297 0.7467 261 465613293.5 Sumber Suplementasi R(Suplementasi) (galat 1) Vaksinasi TT Suplementasi*Vaksinasi TT Error (galat 2) db Total 136 Lampiran 6 Uji anova dan uji lanjut BNT data vitamin A minggu ke 10 suplementasi. Peubah dependen: Vitamin A minggu ke-10 Sumber DF Jumlah Kuadrat F-Hitung PKuadrat Tengah Value Suplementasi 2 0.06890 0.03445 5.27060 0.0024 R(Suplementasi)-Galat 1 60 0.39215 0.00654 TT 1 0.00047 0.00047 0.05402 0.8972 Suplementasi*TT 4 0.01330 0.00333 0.38570 0.6807 Galat 2 110 0.94844 0.00862 Total 177 1.42325 Uji lanjut BNT Peubah dependen: Vitamin A minggu ke-10 (I) Suplementasi (J) Suplementasi Selisih Rataan (I- P 137 J) Placebo Vit. C MVM Vit. C MVM Placebo MVM Placebo Vit. C .0076 -.0076(*) -.0076 -.0447(*) .0076(*) .0447(*) .638 .022 .638 .006 .022 .006 Lampiran 7 Uji anova dan uji lanjut BNT data vitamin E Peubah dependen: Vitamin E minggu ke-6 Sumber Jumlah Kuadrat db Kuadrat Tengah F P Model 819.404 2 409.702 58.079 0.000 Suplementasi 819.404 2 409.702 58.079 0.000 Error 1319.128 187 7.05416 Total 2138.532 189 Uji lanjut BNT 138 Peubah dependen: Vitamin E minggu ke-6 (I) Suplementasi Placebo Vit. C MVM (J) Suplementasi Selisih Rataan P Vit. C -0.158 0.740 MVM -4.455(*) 0.000 0.158 0.740 MVM -4.297(*) 0.000 Placebo 4.455(*) 0.000 Vit. C 4.297(*) 0.000 Placebo Peubah dependen: Vitamin E minggu ke-10 Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Sumber db F P Suplementasi 2 900.603 450.3016 58.102 0.0001 R(Suplementasi) (galat 1) 95 736.268 7.7502 Vaksinasi TT 1 0.946 0.9460 0.126 0.7237 Suplementasi*Vaksinasi TT 2 2.189 1.0944 0.146 0.8648 Error (galat 2) 89 669.217 7.5193 Total 189 2309.223 Uji lanjut BNT Peubah dependen: Vitamin E minggu ke-10 (I) Suplementasi Placebo Vit. C MVM (J) Suplementasi Selisih Rataan P Vit. C -0.155 0.755 MVM -4.717(*) 0.000 0.155 0.755 MVM -4.562(*) 0.000 Placebo 4.717(*) 0.000 Vit. C 4.562(*) 0.000 Placebo 139 Lampiran 8 Uji anova dan uji lanjut BNT data vitamin C Peubah dependen: Selisih Kadar Vitamin C baseline dan minggu ke-6 Sumber Suplementasi DF Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah 2 628.319 314.15950 47 711.951 15.14789 TT 1 0.029 Suplementasi*TT 4 R(Suplementasi)- F-Hitung PValue 20.73948 0.001 0.02900 0.00233 0.8972 8.515 2.12875 0.17137 0.5674 83 1031.002 12.42171 137 2379.816 Galat 1 Galat 2 Total 140 (I) Suplementasi Placebo Vit. C (J) Suplementasi Selisih Rataan Vit. C -4.9484 .000 MVM -.9856 .193 Placebo 4.9484 .000 MVM 3.9628 .000 .9856 .193 -3.9628 .000 Placebo MVM P (I-J) Vit. C Lampiran 9 Uji anova dan uji lanjut BNT data selisih zinc baseline dan minggu ke-6 Peubah dependen: Selisih Zinc baseline dan minggu ke-6 Sumber Jumlah Kuadrat db Kuadrat Tengah F P Model 1270.784 2 635.392 5.390 0.005 Suplementasi 1270.784 2 635.392 5.390 0.005 Error 20631.261 175 117.893 Total 21902.045 177 Uji lanjut BNT Peubah dependen: Selisih Zinc baseline dan minggu ke-6 141 (I) Suplementasi Placebo Vit. C MVM (J) Suplementasi Selisih Rataan P Vit. C 2.90877 0.152 MVM -3.5576 0.072 Placebo -2.9088 0.152 -6.4664(*) 0.001 3.55762 0.072 6.46639(*) 0.001 MVM Placebo Vit. C Lampiran 10 Uji anova dan uji lanjut BNT data selenium Peubah dependen: Selisih Kadar Selenium baseline dan minggu ke-6 Sumber Jumlah Kuadrat db Kuadrat Tengah F P Model 693.66 2 346.83 3.381 0.036 Suplementasi 693.66 2 346.83 3.381 0.036 102.60 Error 18981.00 185 Total 20368.32 187 Uji lanjut BNT Peubah dependen: Selisih Kadar Selenium baseline dan minggu ke-6 (I) Suplementasi Placebo Vit. C (J) Suplementasi Selisih Rataan P Vit. C 0.1227 0.95 MVM -3.9765 0.03 Placebo -0.1227 0.95 MVM -4.0992 0.02 142 MVM Placebo 3.9765 0.03 Vit. C 4.0992 0.02 143 Peubah dependen: Selenium minggu ke-10 Sumber db Jumlah Kuadrat 0.8045 6.0213 Suplementasi 2 R(Suplementasi) 94 (galat 1) Vaksinasi TT 1 0.3752 Suplementasi*Vaksinasi TT 2 0.1511 Error (galat 2) 89 139073833.3 Total 188 139073840.7 Kuadrat Tengah 0.4022 0.0641 Placebo Vit. C MVM (J) Suplementasi Vit. C MVM Placebo MVM Placebo Vit. C P 6.2795 0.0124 0.3751 2.4x10-7 0.7580 0.0755 4.8x10-8 0.8063 1562627.3 Uji lanjut BNT Peubah dependen: Selenium minggu ke-10 (I) Suplementasi F Selisih Rataan P -0.037 -0.165(*) 0.037 -0.128(*) 0.165(*) 0.128(*) 0.388 0.000 0.388 0.003 0.000 0.003 144 Lampiran 11 Uji anova dan uji lanjut BNT data selisih SOD baseline dan minggu ke 10 Peubah dependen: Selisih Data SOD baseline dan minggu ke 10 Sumber db Suplementasi Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F P 2 551286 122 697312 5716 Vaksinasi TT 1 1352 1352 0.2617 0.8356 Suplementasi*Vaksinasi TT 2 298 149 0.0288 0.9858 R(Suplementasi) (galat 1) Error (galat 2) 120 Total 247 275643 48.2258 0.0001 619950 5166.25 1870198 Uji lanjut BNT Peubah dependen: Selisih Data SOD baseline dan minggu ke 10 (I) Suplementasi Placebo Vit. C MVM (J) Suplementasi Selisih Rataan P Vit. C -54.222 0.675 MVM -336.229 0.006 54.222 0.675 -282.007 0.023 Placebo 336.229(*) 0.006 Vit. C 282.007(*) 0.023 Placebo MVM 145 Lampiran 12 Hasil regresi sel NK dengan CD4+ dan CD8+ Peubah dependen: CD4+ Minggu ke-10 Prediktor: Sel NK Minggu ke-10 Jumlah Sumber Kuadrat Kuadrat db Regresi 2130840.7 1 Sisaan 18785967.4 225 Total 20916808.1 225 Tengah 2130840.710 F P 25.521 0.000 83493.188 Peubah dependen: CD4+ Minggu ke-10 Koefisien Tidak Baku Konstanta â Eror Baku 746.611 51.238 0.397 0.079 Sel NK Minggu ke-10 Koefisien Baku P â 0.000 0.319 0.000 R-kuadrat : 0.102 Peubah dependen: CD8+ Minggu ke-10 Prediktor: Sel NK Minggu ke-10 Jumlah Sumber Regresi Kuadrat Kuadrat 329714.4 db Tengah 1 329714.380 63406.896 Sisaan 14266551.7 225 Total 14596266.0 225 F P 5.200 0.024 Peubah dependen: CD8+ Minggu ke-10 Koefisien Tidak Baku Konstanta Sel NK Minggu ke-10 â Eror Baku 716.712 44.652 0.156 0.068 Koefisien Baku â P 0.000 0.15 R-kuadrat: 0.023 Lampiran 13 Pemeriksaan imunitas sel NK, CD4+, CD8+ 0.024 146 a. Metode : Flow Cytometri. b. Prinsip : Ketika darah ditambahkan dengan reagen, label fluorochrome antibodi dalam reagen mengikat secara spesifik terhadap permukaan leukosit antigen. Selama penyesuaian, sel-sel berjalan dengan cepat melewati paparan laser dan menghamburkan cahaya dari laser, kemudian sel-sel berwarna fluoresence (berpendar), penghaburan dan warna pendaran ini menjadi penanda, dideteksi oeh alat. Nk limfosit diidentfikasi sebagai CD3- dan CD16+ dan/atau CD56+, CD4 diidentitifikasi sebagai CD3dan CD4+, sedangkan CD8 +. diidenifikasikan sebagai CD3 dan CD4 c. Bahan : Sampel darah, Reagen BD TriTESTTM CD3 Fluoroscein isothiocyanate, Reagen (FITC) / CD16+ CD56 phycoerythrin, Reagen (PE) / CD45 peridinin chlorophyll protein. FACS lysing solution. d. Alat-alat : Facscalibur Becton Dickinson Simultest IMK tabung ukuran 12 mm x 75 mm, mikropipet, pipet tip, mixer vortex. : e. Cara kerja 1. Beri label pada tabung ukuran 12 mm x 75 mm dengan identifikasi sampel. 2. Pipet 20 µL reagen TriTESTTM CD3/ CD16+CD56/ CD45 kedalam dasar tabung. 3. Pipet 50 µL sampel darah yang telah diberi antikoagulan dan telah tercampur dengan baik kedalam dasar tabung. 4. Tutup tabung, kemudian vortex agar tercampur dengan baik. Inkubasi selama 15 menit di ruangan gelap pada suhu kamar (20-25oC). 5. Tambahkan 450 µL 1x FACS lysing solution kedalam tabung. 6. Tutup kembali tabung dan vortek agar tercampur dengan baik, inkubasi selama 15 menit di ruangan gelap pada suhu kamar (2025oC). 7. Sampel siap dianalisis dengan alat Flow cytometer. 8. Hasil seperti pada gambar. 147 Total limfosit Total limfosit Total limfosit Sel NK CD4 CD8 CD3 CD3 CD3 148 Lampiran 14 Pemeriksaan hemoglobin Tujuan Mengukur kadar hemoglobin. 1. Prinsip Hemoglobin oleh K3Fe (CN)6 akan diubah menjadi methemoglobin yang kemudian akan menjadi hemiglobin sianida (HiCN) oleh KCN. 2. Alat Fotometer. 3. Reagen a. Larutan Drabkins. b. Sianmethemoglobin standar (siap pakai). 4. Bahan Pemeriksaan a. Darah vena yang sudah diberi koagulan. b. Darah kapiler. 5. Cara Kerja a. Ke dalam tabung reaksi/botol kecil, dimasukkan 5,0 ml larutan Drabkins. b. Isaplah darah vena (EDTA)/kapiler 20 ul dengan pipet mikro atau pipet Sahli. c. Hapuslah kelebihan darah yang melekat pada bagian luar pipet dengan kain kasa kering/kertas tissue. d. Masukkan darah dalam pipet ke tabung reaksi yang berisi larutan Drabkins. e. Pipet dibilas beberapa kali dengan larutan Drabkins tersebut. f. Campur larutan ini baik-baik dengan cara menggoyang tabung secara perlahan-lahan hingga larutan homogen dan biarkan selama 3 menit. g. Baca dengan fotometer pada panjang gelombang 540 nm, sebagai blanko digunakan larutan Drabkins. 149 Lampiran 15 Metode hitung jenis leukosit 1. Tujuan Menghitung jumlah tiap-tiap jenis lekosit dalam darah. 2. Prinsip Terdapat perbedaan morfologi lekosit dan daya serap masing-masing jenis lekosit terhadap zat warna. 3. Alat a. Mikroskop. b. Kaca objek yang kering, bebas debu dan lemak. c. Differential counter. 4. Reagen a. Larutan Wright. b. Larutan penyangga dengan pH 6,4. 5. Bahan Pemeriksaan a. Darah vena dengan antikoagulan. b. Darah kapiler. 6. Cara Kerja a. Pembuatan sediaan apus darah • Teteskan satu tetes darah di atas kaca objek ± 2 cm dari tepi. Letakkan kaca tersebut di atas meja dengan darah di sebelah kanan. • Dengan tangan kanan letakkan kaca penggeser di sebelah kiri tetesan darah. • Gerakkan ke kanan menyentuh tetesan tersebut. • Biarkan darah menempel dan menyebar rata di pinggir kaca penggeser. • Segera geserkan kaca tersebut ke kiri dengan sudut 300 - 450. Jangan menekan kaca penggeser tersebut ke bawah. • Biarkan sediaan tersebut kering di udara, lalu tulislah nama pasien, tanggal, pada bagian tebal dari sediaan dengan pensil kaca. Ciri-ciri sediaan apus yang baik: • Panjang apusan ± 1 − 2 panjang kaca. 2 3 • Apusan makin ke ujung makin tipis. 150 b. Pewarnaan sediaan apus • Letakkan sediaan yang akan diwarnai pada rak pewarna dengan lapisan darah di atas. Kemudian teteskan kurang lebih 20 tetes larutan Wright sampai seluruh sediaan tertutup dan biarkan selama 2 menit. • Tanpa membuang larutan Wright, teteskan sama banyaknya larutan penyangga ke atas sediaan dan biarkan 5 menit, sambil ditiup sekalisekali agar merata. • Tanpa membuang larutan pewarna dan penyangga, siramlah sediaan itu dengan akuades sampai bersih. • Taruhlah sediaan dalam sikap lurus pada rak pengering. Biarkan kering pada suhu kamar. 7. Perhitungan Pilih daerah dimana lekosit dan eritrosit tersebar marata dan jelas, yaitu pada bagian hapusan yang tipis dengan lensa objek 10x. Periksa dan hitung dengan lensa obyektif 45x, setelah sediaan ditetesi dengan minyak immerse dan ditutup dengan kaca penutup. 8. Nilai Normal Basofil : 0 – 1% Eosinofil : 1 – 3% Batang : 2 – 6% Segmen : 50 – 70% Limfosit : 20 – 40% Monosit : 2 – 8% 151 Lampiran 16 Gambar Kegiatan Pengumpulan data Gambar penyuluhan dan pengarahan yang dilakukan oleh peneliti sebelum penelitian dilaksanakan. Gambar responden penelitian a b Gambar penimbangan berat badan (a) dan pengukuran tinggi badan (b) 152 a b Gambar pemeriksaan kesehatan oleh dokter (a) dan penggambilan darah sampel oleh peneliti (b) Gambar Vaksinasi Tetanus Toxoid a(i) a(ii) 153 a(iii) b Gambar wawancara konsumsi pangan responden (a i- iii) dan konsumsi suplemen oleh responden (b) 1