Inovasi Dalam Pendidikan Matematika di Indonesia

advertisement
INOVASI PENDIDIKAN
“PERUBAHAN-PERUBAHAN (INOVASI) DALAM PENDIDIKAN MAEMATIKA”
OLEH
KELOMPOK 9
1. JUSMAN ( G2 I1 12 001)
2. SUPRATMAN (G2 I1 12 009)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HALUOLEO
2013
PERUBAHAN-PERUBAHAN (INOVASI) DALAM PENDIDIKAN MAEMATIKA
A. Pendahuluan
Dikeluarkannya Permen No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) adalah merupakan
salah satu kelanjutan upaya pemerintah untuk memajukan pendidikan. Hal tersebut terlihat pada
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang
ini mengamanatkan pembaharuan yang besar dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Menurut Permen No. 22 Tahun 2006, mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua
peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan
berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Hal senada
juga diungkapkan oleh Soedjadi (2004) bahwa pendidikan matematika memiliki dua tujuan besar
yang meliputi: (1) tujuan yang bersifat formal yang memberi tekanan pada penataan nalar anak
serta pembentukan pribadi anak, dan (2) tujuan yang bersifat material yang memberi tekanan
pada penerapan matematika serta kemampuan memecahkan masalah matematika.
Dari tujuan di atas terlihat bahwa matematika sangat penting untuk menumbuhkan
penataan nalar atau kemampuan berpikir logis serta sikap positif siswa yang berguna dalam
mempelajari ilmu pengetahuan maupun dalam penerapan matematika dalam kehidupan seharihari. Sebagai landasan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan tersebut disusun
standar kompetensi dan kompetensi dasar matematika. Standar kompetensi dan kompetensi dasar
dijadikan sebagai landasan guru untuk menyusun program dan kegiatan belajar-mengajar di
kelas.
Upaya-upaya pembaharuan dalam sistem pendidikan tersebut dilakukan sebagai respon
dari banyaknya permasalahan dalam pendidikan di Indonesia. Permasalahan tersebut juga terjadi
pada mata pelajaran matematika. Masalah umum pada matematika seperti rendahnya daya saing
di ajang international, rendahnya rata-rata NEM nasional, serta rendahnya minat belajar
matematika, matematika terasa sulit karena banyak guru matematika mengajarkan matematika
dengan materi dan metode yang tidak menarik dimana guru menerangkan atau 'teacher telling'
sementara murid mencatat. Salah satu penyebab permasalahan tersebut adalah secara umum
pendekatan pengajaran matematika di Indonesia masih menggunakan pendekatan tradisional atau
mekanistik yang menekankan proses 'drill and practice', prosedural serta menggunakan rumus
dan algoritma sehingga siswa dilatih mengerjakan soal seperti mekanik atau mesin.
Konsekwensinya bila mereka diberikan soal yang beda dengan soal latihan mereka akan
membuat kesalahan atau 'error' seperti terjadi pada komputer. Begitu pula mereka tidak terbiasa
memecahkan masalah yang banyak di sekeliling mereka.
Perhatian pemerintah dan pakar pendidikan matematika diberbagai negara untuk
meningkatkan kemampuan matematika siswa dalam rangka mengatasi rendahnya aktivitas dan
hasil belajar matematika, telah diuji-cobakan penggunaan pembelajaran matematika secara
kontekstual dan humanistik seperti yang telah dikembangkan di negara-negara maju. Misalnya di
Belanda telah dikembangkan pendekatan pembelajaran dengan nama Realistic Mathematics
Education (RME). Di Amerika Serikat dikembangkan suatu pendekatan pembelajaran yang
disebut contextual teaching and learning. Menurut Becker dan Shimada (1997: 2), di negara
Sakura Jepang saat ini sedang dipopulerkan pendekatan yang dikenal the open-ended approach.
Di negara tetangga Singapura, pendekatan pembelajaran di sekolah dikenal dengan nama
concrete-victorial-abstract approach . Peningkatan aktivitas dan hasil belajar matematika siswa
diduga dapat dilakukan melalui perantaraan benda-benda konkrik dan gambar-gambar yang
menarik perhatian siswa. Leader, et al. (1995: 78), bahwa di negara Kangguru Australia sedang
dipopulerkan pembelajaran matematika melalui pemahaman konteks yang disebut mathematics
in context.
Sedangkan di Indonesia sendiri tengah dipopulerkan Pembelajaran Matematika Realistik
Indonesia atau disingkat PMRI. Pendekatan matematika realistik ini sesuai dengan perubahan
paradigma pembelajaran, yaitu dari paradigma mengajar ke paradigma belajar atau perubahan
paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru ke paradigma pembelajaran yang berpusat
pada siswa. Hal ini adalah salah satu upaya dalam rangka memperbaiki mutu pendidikan
matematika (Sahat Saragih).
B. Pembahasan
1. Mengenal Pendekatan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)
Realistic Mathematics Education (RME) yang di Indonesia lebih dikenal dengan
Pendekatan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) tidak dapat dipisahkan dari Institut
Freudenthal. Institut ini didirikan pada tahun 1971, berada di bawah Utrecht University, Belanda.
Nama institut diambil dari nama pendirinya, yaitu Profesor Hans Freudenthal (1905 – 1990).
Sejak tahun 1971, Institut Freudenthal mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap
pembelajaran matematika yang dikenal dengan RME (Realistic Mathematics Education). RME
menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika,
dan bagaimana matematika harus diajarkan. Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh
dipandang sebagai passive receivers of ready-made mathematics (penerima pasif matematika
yang sudah jadi). Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan
berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka
sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari berbagai situasi (konteks), yang dirasakan
bermakna sehingga menjadi sumber belajar. Konsep matematika muncul dari proses
matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang berkait dengan konteks (context-link
solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat dan pemahaman matematik ke tingkat
yang lebih formal. Model model yang muncul dari aktivitas matematik siswa dapat mendorong
terjadinya interaksi di kelas, sehingga mengarah pada level berpikir matematik yang lebih tinggi.
Dua pandangan penting beliau adalah ‘mathematics must be connected to reality and
mathematics as human activity’. Pertama, matematika harus dekat terhadap siswa dan harus
relevan dengan situasi kehidupan sehari-hari. Kedua, ia menekankan bahwa matematika sebagai
aktivitas manusia, sehingga siswa harus di beri kesempatan untuk belajar melakukan aktivitas
semua topik dalam matematika.
Menurut Soedjadi (2004), matematika realistik dikembangkan berdasarkan pandangan
Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan kegiatan manusia yang lebih
menekankan aktivitas siswa untuk mencari, menemukan, dan membangun sendiri pengetahuan
yang
diperlukan
sehingga
pembelajaran
menjadi
terpusat
pada
siswa.
Hans Freudenthal berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities)
dan harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMR mempunyai ciri
antara lain, bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk
menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru (Gravemeijer, 1994), dan
bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari
penjelajahan
berbagai
situasi
dan
persoalan
“dunia
riil”
(de
Lange,
1995).
RME adalah pendekatan pengajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang 'real' bagi siswa,
menekankan ketrampilan 'proses of doing mathematics', berdiskusi dan berkolaborasi,
berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri ('student
inventing' sebagai kebalikan dari 'teacher telling') dan pada akhirnya menggunakan matematika
itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok. Pada pendekatan ini
peran guru tak lebih dari seorang fasilitator, moderator atau evaluator sementara siswa berfikir,
mengkomunikasikan 'reasoningnya', melatih nuansa demokrasi dengan menghargai pendapat
orang lain.
Yang dimaksud “dunia riil” adalah segala sesuatu di luar matematika. Ia bisa berupa mata
pelajaran lain selain matematika, atau bidang ilmu yang berbeda dengan matematika, ataupun
kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita (Blum & Niss, 1989). Dunia riil diperlukan
untuk mengembangkan situasi kontekstual dalam menyusun materi kurikulum. Materi kurikulum
yang berisi rangkaian soal-soal kontekstual akan membantu proses pembelajaran yang bermakna
bagi siswa. Dalam PMR, proses belajar mempunyai peranan penting. Rute belajar (learning
route) di mana siswa mampu menemukan sendiri konsep dan ide matematika, harus dipetakan
(Gravemeijer, 1997). Sebagai konsekuensinya, guru harus mampu mengembangkan pengajaran
yang interaktif dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan kontribusi
terhadap proses belajar mereka.
Dari prinsip di atas diperoleh kesimpulan bahwa Pendekatan Matematika Realistik
(PMR) secara garis besar memiliki lima karakteristik. Menurut Treffers dan Van den HeuvelPanhuizen dalam Suharta (2005:2), karakteristik RME adalah menggunakan konteks “dunia
nyata”, model-model, produksi dan konstruksi siswa, interaktif dan keterkaitan (intertwinment)
dan dijelaskan sebagai berikut :
a) Menggunakan konteks “dunia nyata”
Dalam RME, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (inti) dari konsep yang
sesuai dari situasi nyata yang dinyatakan oleh De Lange sebagai matematisasi konseptual.
Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit.
Kemudian siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia
nyata (applied mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep
matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisi pengalaman
sehari-hari (mathematization of everyday experience) dan penerapan matematika dalam seharihari.
b) Menggunakan model-model (matematisasi)
Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan
oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self developed models merupakan jembatan
bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika
formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah
model situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi model-model
tersebut akan berubah menjadi model-of masalah tersebut. Melalui penalaran matematik modelof akan bergeser menjadi model-for masalah sejenis. Pada akhirnya, akan menjadi model
matematika formal.
c) Menggunakan produksi dan konstruksi
Dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada
bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi-strategi informal siswa yang
berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam
pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika
formal.
d) Menggunakan interaktif
Interaksi antar siswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME. Secara
eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak
setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk
informal siswa.
e) Menggunakan keterkaitan (intertwinment)
Dalam RME pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial. Jika dalam
pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan berpengaruh
pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan
pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmetika, aljabar, atau geometri tetapi juga
bidang lain. Menurut Sutarto Hadi, berdasarkan karakteristik tersebut RME mempunyai konsepsi
tentang siswa sebagai berikut:
1) Siswa memiliki seperangkat konsep laternatif tentang ide-ide matematika yang
mempengaruhi belajar selanjutnya;
2) Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya
sendiri;
3) Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi,
modifikasi,penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan;
4) Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat
ragam pengalaman;
5) Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan
mengerjakan matematik.
RME juga mempunyai konsepsi tentang guru sebagai berikut:
1) Guru hanya sebagai fasilitator belajar;
2) Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;
3) Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada
proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil;
dan
4) Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif
mengaitkan
kurikulum
dengan
dunia-riil,
baik
fisik
maupun
sosial.
Begitu pula RME mempunyai konsepsi tentang pembelajaran, bahwa pengajaran
matematika dengan pendekatan RME meliputi aspek-aspek berikut (De Lange, 1995 dalam
Sutarto Hadi):
a) Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai
dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam
pelajaran secara bermakna;
b) Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai dalam pelajaran tersebut;
c) Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal
terhadap persoalan/masalah yang diajukan;
d) Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan alasan
terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju
terhadap
jawaban
temannya,
menyatakan
ketidaksetujuan,
mencari
alternatif
penyelesaian yang lain; dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh
atau terhadap hasil pelajaran.
Sejalan dengan paradigma baru pendidikan sebagaimana yang dikemukakan oleh
Zamroni, (2000), pada aspek prilaku diharapkan siswa mempunyai ciri-ciri:
1)
di kelas mereka aktif dalam diskusi, mengajukan pertanyaan dan gagasan, serta aktif dalam
mencari bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa yang tengah dipelajari;
2)
mampu bekerja sama dengan membuat kelompok-kelompok belajar;
3)
bersifat demokratis, yakni berani menyampaikan gagasan, mempertahankan gagasan dan
sekaligus berani pula menerima gagasan orang lain;
4)
memiliki kepercayaan diri yang tinggi.
Menurut M. Asikin (2010), untuk mendesain suatu model pembelajaran berdasarkan
pendekatan realistik, model tersebut harus merepresentasikan karakteristik RME baik pada
tujuan,
materi,
metode
dan
evaluasi.
Dengan
rambu-rambu
sebagai
berikut.
1) Tujuan.
Tujuan haruslah mencakup ketiga level tujuan dalam RME yakni lower level, middle level,
and higher order level. Dua tujuan terakhir, menekankan pada kemampuan berargumentasi,
berkomunikasi dan pembentukan sikap kritis.
2) Materi.
Desain suatu ‘open material’ yang berangkat dari suatu situasi dalam realitas, berangkat
dari konteks yang berarti dalam kehidupan.
3) Aktivitas.
Aktivitas siswa diatur sehingga mereka dapat berinteraksi sesamanya, diskusi, negosiasi,
dan kolaborasi. Pada situasi ini siswa mempunyai kesempatan untuk bekerja, berfikir dan
berkomunikasi dengan menggunakan matematika. Peranan guru hanya sebatas fasilitator atau
pembimbing.
4) Evaluasi.
Materi evaluasi dibuat dalam bentuk ‘open question’ yang memancing siswa untuk
menjawab secara bebas dan menggunakan beragam strategi atau beragam jawaban (free
productions). Tahapan pembelajaran yang dilaksanakan di kelas, secara umum (menurut model
dari Connected Mathematics Project) terdiri dari tahap orientasi, tahap eksplorasi/penelusuran,
dan tahap penyimpulan.
Pada tahap orientasi selain disampaikan sasaran pembelajaran, pemberian masalah
kontekstual yang masih bersifat umum, diberikan pula masalah kontekstual yang sudah
mengarah ke sasaran pembelajaran. Sedangkan inti dari tahap eksplorasi adalah aktivitas siswa
yang dapat berupa: pemunculan gagasan atau pembentukan model, pengkomunikasian gagasan
atau model, pertukaran gagasan/pembukaan situasi konflik, negosiasi. Pada tahap penyimpulan
diberikan rangkuman, yang dilanjutkan dengan pemberian pertanyaan rangkuman (summary
questions) dan pemberian tugas rumah (M. Asikin, 2010).
1.
Adapun langkah-langkah pembelajaran pendekatan Realistic Mathematic Education
(RME) menurut Suharta (2005:5) adalah sebagai berikut. Aktivitas Guru Aktivitas Siswa
Guru memberikan siswa masalah kontekstual.
2.
Guru merespon secara positif jawaban siswa. Siswa diberi kesempatan untuk memikirkan
strategi siswa yang paling efektif.
3.
Guru mengarahkan siswa pada beberapa masalah kontekstual dan selanjutnya mengerjakan
masalah dengan menggunakan pengalaman mereka.
4.
Guru mendekati siswa sambil memberikan bantuan seperlunya.
5.
Guru mengenalkan istilah konsep.
6.
Guru memberikan tugas di rumah, yaitu mengerjakan soal atau membuat masalah cerita
serta jawabannya sesuai dengan matematika formal.
1) Siswa secara mandiri atau kelompok kecil mengerjakan masalah dengan strategistrategi informal.
2) Siswa memikirkan strategi yang paling efektif.
3) Siswa secara sendiri-sendiri atau berkelompok menyelesaikan masalah tersebut.
4) Beberapa siswa mengerjakan di papan tulis, melalui diskusi kelas, jawaban siswa
dikonfrontasikan.
5) Siswa merumuskan bentuk matematika formal.
6) Siswa mengerjakan tugas rumah dan menyerahkannya kepada guru.
2. PMRI (Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia) Suatu Inovasi Dalam Pendidikan
Matematika di Indonesia.
Perubahan paradigma pembelajaran dari pandangan mengajar ke pandangan belajar atau
pembelajaran yang berpusat pada guru ke pembelajaran yang berpusat pada siswa membawa
konsekuensi perubahan yang mendasar dalam proses pembelajaran di kelas. Perubahan tersebut
menuntut agar guru tidak lagi sebagai sumber informasi, melainkan sebagai teman belajar. Siswa
dipandang sebagai makhluk yang aktif dan memiliki kemampuan untuk membangun
pengetahuannya sendiri.
Untuk mendukung proses pembelajaran yang sesuai dengan perubahan tersebut dan
sesuai dengan tujuan pendidikan matematika, diperlukan suatu pengembangan materi pelajaran
matematika yang difokuskan pada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari (kontekstual) dan
disesuaikan dengan tingkat kognitif siswa, serta penggunaan metode evaluasi yang terintegrasi
pada proses pembelajaran tidak hanya berupa tes pada akhir pembelajaran (Subandar, 2001).
Ditinjau dari perubahan kurikulum yang saat ini sedang diberlakukan, yaitu Kurikulum 2006,
pendekatan matematika realistik adalah salah satu pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan
perubahan tersebut. Kurikulum 2006 mengamanatkan bahwa, dalam setiap kesempatan,
pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan
situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara
bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Dalam RME, pembelajaran diawali
dengan masalah kontekstual (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata yang dinyatakan
oleh De Lange sebagai matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan
mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian siswa dapat mengaplikasikan konsepkonsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata (applied mathematization). Oleh karena itu,
untuk menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu
diperhatikan matematisi pengalaman sehari-hari (mathematization of everyday experience) dan
penerapan matematika dalam sehari-hari.
Teori PMR sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti
konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (cotextual teaching and learning, disingkat CTL) .
Namun, baik pendekatan konstruktivis maupun CTL mewakili teori belajar secara umum, PMR
adalah suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika. Konsep PMR
sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang
didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan
mengembangkan daya nalar.
Matematika Realistik yang pertama kali dikembangkan di Negeri Belanda dan telah
menempatkan negara tersebut pada posisi ke-7 dari 38 negara peserta TIMSS tahun 1999 (Mullis
et al., 2000). Matematika realistik juga telah diadopsi oleh banyak negara maju seperti Inggris,
Jerman, Denmark, Spanyol, Portugal, Afrika Selatan, Brasilia, Amerika Serikat, Jepang, dan
Malaysia (Zulkardi, 2001). Salah satu hasil yang dicapai oleh negara-negara tersebut adalah
prestasi siswa yang meningkat, baik secara nasional maupun internasional (Romberg, 1998).
Hasil studi di Puerto Rico menyebutkan bahwa prestasi siswa yang mengikuti program
pembelajaran matematika dengan pendekatan matematika realistik berada pada persentil ke-90
ke atas (Turmudi, 2004; Haji, 2005), suatu prestasi yang sangat fantastis untuk mata pelajaran
matematika yang banyak dipandang siswa sebagai mata pelajaran yang sangat menakutkan dan
membosankan.
Di Indonesia, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan pendekatan
Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan pembelajaran tradisional. Beberapa penelitian tersebut antara lain adalah :
1) Penelitian yang dilakukan Fauzan (2002), menemukan bahwa hasil pembelajaran geometri
siswa kelas IV dan V SD dengan pendekatan matematika realistik pada tes akhir lebih tinggi
daripada pembelajaran secara tradisional.
2) Hasil penelitian Armanto (2002), menemukan bahwa hasil pembelajaran perkalian dan
pembagian bilangan besar siswa kelas IV SD dengan pendekatan matematika realistik lebih
baik daripada pembelajaran secara tradisional.
3) Penelitian yang dilaksanakan oleh Kamiluddin (2007:48), berkesimpulan bahwa hasil belajar
siswa kelas IV SD Negeri 8 Baruga Kendari pada pokok bahasan penjumlahan dan
pengurangan pecahan dapat ditingkatkan melalui pendekatan Realistic Mathematic
Education (RME).
4) Skripsi Hustiawan Cahyono (2009) menyimpulkan bahwa penerapan Pendekatan
Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia (PMRI) dapat meningkatkan mrestasi melajar
miswa pada materi Bangun Ruang di Kelas VIII D SMP Negeri 5 Malang.
Menurut Turmudi (2004), pembelajaran matematika dengan pendekatan matematika
realistik sekurang-kurangnya telah mengubah minat siswa menjadi lebih positif dalam
belajar matematika. Hal ini berarti bahwa pendekatan matematika realistik dapat
mengakibatkan adanya perubahan pandangan siswa terhadap matematika dari matematika
yang menakutkan dan membosankan ke matematika yang menyenangkan sehingga
keinginan untuk mempelajari matematika semakin besar.
Dengan adanya perubahan pandangan yang selama ini menganggap matematika sebagai
pelajaran yang menakutkan, diharapkan siswa mulai menyenangi, tertarik dan termotivasi untuk
belajar matematika. Sehingga tujuan pembelajaran matematika yaitu membekali peserta didik
dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan
bekerjasama akan lebih tercapai. Sebagai konsekuensinya perlu diperhatikan pendekatan
pembelajaran yang digunakan di kelas. Ruseffendi (2001) berpendapat bahwa untuk
membudayakan berpikir logis serta bersikap kritis dan kreatif proses pembelajaran dapat
dilakukan dengan pendekatan matematika realistik. Selanjutnya dikatakan, jika kita (guru) rajin
memperhatikan lingkungan dan mengaitkan pembelajaran matematika dengan lingkungan maka
besar kemungkinan berpikir logis siswa itu akan tumbuh.
Tujuan pendidikan matematika yang lain adalah penekanannya pada pembentukan sikap
siswa. Dalam proses pembelajaran matematika perlu diperhatikan sikap positif siswa terhadap
matematika. Hal ini penting mengingat sikap positif terhadap matematika berkorelasi positif
dengan prestasi belajar matematika (Ruseffendi, 1988). Untuk menumbuhkan sikap positif
terhadap matematika, perlu diperhatikan agar penyampaian matematika dapat menyenangkan,
mudah dipahami, tidak menakutkan, dan tunjukkan bahwa matematika banyak kegunaannya.
Oleh karena itu, materi harus dipilih dan disesuaikan dengan lingkungan yang berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari (kontekstual) dan tingkat kognitif siswa, dimulai dengan cara-cara
informal melalui pemodelan sebelum dengan cara formal. Hal ini sesuai dengan karakteristik
pendekatan matematika realistik.
Untuk mencapai tujuan pendidikan matematika tersebut, dapat dicapai melalui inovasi
proses pembelajaran matematika di kelas. Melakukan pembelajaran bermakna yang diharapkan
dapat mengembangkan kemampuan berpikir logis dan sikap siswa terhadap matematika. Perlu
perubahan pembelajaran dari paradigma mengajar ke paradigma belajar atau pembelajaran yang
berpusat pada guru ke pembelajaran yang berpusat pada siswa. Upayakan proses pembelajaran
yang menyenangkan. Tunjukkan bahwa matematika sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari
sehingga matematika tidak dipandang sebagai sesuatu yang menyeramkan. Penilaian harus
dilakukan terhadap keseluruhan, baik proses maupun hasil dalam rangka untuk memperbaiki
proses pembelajaran, bukan merupakan akhir dari proses pembelajaran. Perubahan paradigma
pembelajaran tersebut sesuai dengan paham konstruktivisme yang menyatakan bahwa
pengetahuan matematika tidak dapat diajarkan oleh guru, melainkan harus dibangun sendiri oleh
siswa. Paham ini mendasari pendekatan matematika realistik. Sehingga pendekatan matematika
realistik layak dipertimbangkan untuk digunakan di jenjang pendidikan dasar di Indonesia untuk
mencapai tujuan pembelajaran matematika. \Pada simpulan salah satu jurnal ilmiahnya, Sahat
Saragih menuliskan berdasarkan kajian teori yang telah dikemukakan maupun hasil penelitian
yang telah dilakukan baik di dalam negeri maupun di luar negeri menunjukkan bahwa
pendekatan matematika realistik layak dipertimbangkan untuk digunakan di jenjang pendidikan
dasar di Indonesia dalam rangka untuk meningkatkan berpikir logis dan sikap siswa terhadap
matematika yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam matematika.
3. Perkembangan PMRI (Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia) di Indonesia
RME awalnya dikembangkan di Belanda. Teori RME telah digunakan di beberapa
sekolah di Amerika Serikat (AS) sebagai bagian dari proyek kolaboratif, Matematika dalam
Konteks (MIC), antara Freudenthal Institute (FI), Utrecht University dan University Wisconsin.
Data menunjukkan bahwa kerjasama internasional ini telah menjadi perusahaan yang
bermanfaat, dalam arti bahwa 'hikmat praktek' dari bertahun-tahun di Belanda telah digunakan
sebagai titik awal bagi pengembangan kurikulum di Amerika Serikat. (de Lange, 1994). Setelah
siswa di beberapa distrik sekolah dari negara yang berbeda menggunakan bahan-bahan,
penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa prestasi siswa dalam ujian nasional meningkat pesat
(de Lange, 1998). Di Belanda, juga ada hasil positif dari penggunaan materi kurikulum RME.
Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) Hasil penelitian menunjukkan
bahwa siswa di Belanda mencetak gol yang sangat dalam matematika (Mullis et al. 2000).
Terinspirasi oleh filosofi RME tersebut, satu kelompok yang kemudian disebut Tim Pendidikan
Matematika
Realistik
Indonesia
(PMRI),
mengembangkan
suatu
pendekatan
untuk
meningkatkan pembelajaran matematika di sekolah-sekolah Indonesia. Hal ini dikenal sebagai
PMRI, sebuah adaptasi dari RME dalam Bahasa Indonesia. Hal ini dikembangkan melalui kajian
desain dalam kelas di Indonesia, kemudian menjadi gerakan untuk mereformasi pendidikan
matematika di Indonesia. Gerakan tidak hanya menerapkan cara baru pengajaran dan
pembelajaran matematika, tetapi dikaitkan dengan dorongan untuk mencapai transformasi sosial
di Indonesia.
1.
Pendekatan untuk mereformasi diadopsi oleh PMRI meliputi: Bottom-up pelaksanaan;
2.
Bahan dan kerangka kerja berdasarkan kelas dan dikembangkan melalui penelitian;
3.
Guru secara aktif terlibat dalam merancang penyelidikan dan mengembangkan bahan-bahan
yang terkait;
4.
Hari-demi-hari pelaksanaan strategi yang memungkinkan siswa untuk menjadi pemikir yang
lebih aktif;
5.
Konteks perkembangan dan materi yang secara langsung berkaitan dengan lingkungan
sekolah dan kepentingan murid.
Pada dasarnya, PMRI menggunakan strategi bottom-up, dengan pendekatan dan materi yang
sebagian besar dikembangkan di dalam kelas daripada di belakang meja petugas kurikulum.
Reformasi pendidikan matematika di Indonesia telah dimulai di kelas dan guru telah mengubah
pendekatan pengajaran matematika sebagai hasil dari keterlibatan mereka dengan bahan-bahan
baru, buku pelajaran, penyelidikan, eksperimen, in-service pendidikan dan pelatihan dalam kelas.
Eksperimen kelas ini tidak hanya menyediakan dasar untuk pengembangan dan penyempurnaan
teori PMRI, tetapi juga memberitahu mereka yang terlibat dalam pengembangan pelatihan bagi
para guru dan penulisan buku pelajaran siswa. Di Indonesia, tidak hanya menyediakan PMRI
sebagai pendekatan baru untuk mengajar matematika, tetapi juga cara baru berpikir tentang
tujuan dan praktek-praktek matematika sekolah. Perlu diakui bahwa hal itu tidak mudah untuk
menerapkan teori dan pendekatan PMRI dalam pengajaran dan pembelajaran matematika di
sekolah-sekolah Indonesia. Hal ini dikarenakan pendekatan pengajaran PMRI adalah
bertentangan dengan kemapanan pembelajaran yang berpusat pada guru dan asumsi transfer
pengetahuan kepada siswa.
Banyak komentator di sekolah-sekolah di Indonesia percaya bahwa kebanyakan inovasi
diperkenalkan ke sekolah-sekolah selama beberapa dekade tidak memiliki dampak signifikan
pada kualitas pendidikan. Oleh karena itu, diasumsikan oleh banyak pengamat, bahwa
pendekatan PMRI tidak akan menangkap pikiran guru, dan tidak akan sangat mempengaruhi
praktik kelas mereka. Akan tetapi sekarang kenyataan sudah cukup berbeda. Meskipun beberapa
guru belum menguasai filosofi PMRI dan belum mengadopsi pendekatan pengajaran yang
direkomendasikan, sebagian besar guru telah mengembangkan persepsi positif dari PMRI. Dan
PMRI hadir sebagai metode alternatif yang mungkin akan diperlukan dalam reformasi
matematika di sekolah. Guru-guru kini telah tumbuh menerima filosofi PMRI bahwa guru harus
membimbing siswa di dalam menemukan konsep-konsep matematika. Meskipun demikian, ada
beberapa yang menganggap pendekatan PMRI terlalu radikal dan karena itu tidak pernah
diterima oleh sebagian besar guru di Indonesia. Tim PMRI menyadari bahwa untuk menjadikan
sukses dalam menerapkan PMRI, guru dan siswa memerlukan materi kurikulum yang konsisten
dengan cita-cita dan konteks Indonesia. Bahan-bahan yang harus diperlukan tersedia dan
mendukung siswa berpikir, dan dapat membantu guru membimbing siswa dalam menemukan
kembali konsep-konsep matematika.
Mereka harus banyak mendukung guru dalam mengatur kegiatan belajar di kelas di mana
terdapat keragaman latar belakang murid. Jadi kegiatan dan konteks yang dipilih harus mudah
dikenal oleh para siswa, bahasa dan diagram harus sederhana dan jelas, sehingga mereka
memberikan dukungan maksimal bagi pengembangan konsep-konsep matematika (Hadi 2002).
Salah satu pendekatan untuk memenuhi persyaratan ini adalah bagi para pengembang kurikulum
dan penulis buku teks dari universitas untuk bekerja dengan guru. Secara singkat dapat dikatakan
bahwa untuk mengembangkan pendekatan RME dalam pembelajaran matematika di sekolahsekolah Indonesia perlu dilakukan berbagai perubahan seperti kurikulum, sikap/mental guru,
sikap/tingkah laku siswa, sikap/mental pemegang otoritas, pandangan masyarakat terhadap
belajar, khususnya dalam belajar matematika(M. Asikin, 2010). Agar berbagai dampak tersebut
akan dapat dikenali secara lebih dini, sehingga penerapan RME di Indonesia dapat berhasil,
maka menurut Slettenhaar (2000) dan Marpaung (2001) perlu beberapa upaya, antara lain (i)
melaksanakan uji coba di beberapa sekolah sambil melakukan penelitian pengembangan, (ii)
menatar guru-guru tentang RME, dan (iii) mengembangkan kurikulum matematika berbasis
RME Untuk mengembangkan dan mengimplementasikan RME di Indonesia memerlukan kerja
keras semua pihak. Tidak hanya bertumpu pada para pengembang atau para peneliti di perguruan
tinggi. Peran para guru matematika justeru sangat strategis. Oleh karena itu para guru harus
terlibat secara aktif dalam proses pengimplementasian RME. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari terulangnya berbagai kebijakan di bidang pendidikan yang terkesan selalu “top
down”dan hanya karena alasan “proyek” yang didanai dan harus dijalankan(M. Asikin : 2010).
C. Penutup
Secara umum hasil belajar matematika siswa dan penguasaan siswa terhadap konsepkonsep matematika masih berada dalam tataran rendah. Untuk meningkatkan hasil belajar
matematika siswa dan penguasaan siswa terhadap konsep dasar matematika guru diharapkan
mampu berkreasi dengan menerapkan model ataupun pendekatan dalam pembelajaran
matematika yang cocok. Model atau pendekatan ini haruslah sesuai dengan materi yang akan
diajarkan serta dapat mengoptimalkan suasana belajar.
Salah satu pendekatan yang membawa alam pikiran siswa ke dalam pembelajaran dan
melibatkan siswa secara aktif adalah pendekatan Realistic Mathematic Education (RME).
Pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) adalah suatu pendekatan yang menempatkan
realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran dimana siswa diberi kesempatan
untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan matematika formalnya melalui masalah-masalah
realitas yang ada. Dengan pendekatan ini siswa tidak hanya mudah menguasai konsep dan materi
pelajaran namun juga tidak cepat lupa dengan apa yang telah diperolehnya tersebut. Pendekatan
ini pula tepat diterapkan dalam mengajarkan konsep-konsep dasar dan diharapkan mampu
meningkatkan hasil belajar siswa. Singkat kata RME yang di Indonesia disebut PMRI dapat
dipandang sebagai suatu inovasi dalam pembelajaran matematika di samping pendekakanpendekatan pembelajaran inovatif yang lainnya.
DAFAR PUSTAKA
Asikin. M. 2001. REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME):Paradigma baru
pembelajaran Matematika. Makalah (Online). http:// www.edukasi-online.info/
(diakses pada tanggal 11 April 2010).
Cahyono, Hustiawan Adha. 2009. Penerapan Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik
Indonesia (PMRI) untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Pada Materi Bangun
Ruang di Kelas VIII D SMP Negeri 5 Malang. Skripsi, Program Studi Pendidikan
Matematika Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang.
Caslan. 2008. Implementasi Model Pembelajaran REALISTIC MATHEMATICEDUCATION
(RME) Untuk Meningkatkan Hasil Belajar SiswaKelas VI SD Negeri Limbangan 03
Tahun Pelajaran 2006/2007Dalam Pokok Bahasan Operasi Hitung Pada Bilangan
Pecahan. Skripsi. (On line) http://digilib.unnes.ac.id/(diakses pada tanggal 15
September 2007).
Eko Siswono. 2008. PMRI: Pembelajaran Matematika yang Mengembangkan Penalaran,
Kreativitas dan Kepribadian Siswa FMIPA UNESA Surabaya (On line)
http://tatagyes.files.wordpress.com/(diakses pada tanggal 10 September 2007).
Hadi, Sutarto. 2003. PMR: Menjadikan Pelajaran Matematika Lebih Bermakna Bagi Siswa
(Online).http://www.zainuri.wordpress.com/ (diakses pada tanggal 15 September
2007).
Nurliana, Anita. 2008. Usaha Peningkatan Hasil Belajar Matematika Melalui Aktivitas
Pembalajaran Dengan REALISTIC MATHEMATIC EDUCATION (RME) Pada
Pokok Bahasan Bangun Ruang di SMP Kelas VIII. Skripsi: UMS.
R.Soedjadi dan Sutarto Hadi. 2004: PMRI dan KBK dalam Era Otonomi . Buletin PMRI Edisi
III. Bandung. www.pmri.or.id/buletin/
Ruseffendi, ET. 1988. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya
dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Tarsito. Bandung.
Saranggih, Sahat. 2008. Menumbuhkembangkan Berpikir Logis dan Sikap Positif terhadap
Matematika melalui Pendekatan Matematika Realistik. Jurnal Ilmiah
Sembiring, Robert K., Sutarto Hadi, Maarten Dolk 2008. Reforming mathematics learning in
Indonesian classrooms through RME ZDM Mathematics Education (2008)
http://www.springerlink.com/
Soedjadi, R. 1999. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Depdikbud. Jakarta.
Suharta. 2005. Matematika Realistik Apa dan Bagaimana. (Online). http://www
.depdiknas.go.id (diakses pada tanggal 15 September 2007).
Yuniati, Asri. 2008. Keefektifan Model Pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME)
dan Creative Problem Solving (CPS) terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah
Peserta Didik Kelas VIII SMP Negeri 11 Semarang. Skripsi, Jurusan Matematika.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Semarang
Download