P ro sid ing Sem ina r Na siona l & Wo rkshop “Pe rkemba ngan Te rki ni Sa in s Fa rma si & K l in i k 5” | Padang , 6 -7 No vembe r 2015 Pola Pengobatan Anak dan Remaja dengan Diagnosis Demam Tifoid di Ruang Rawat Inap BLUD RS Ulin Banjarmasin (Drug Use Study in Children and Adolescent With Tgyphoid Fever Inpatient at BLUD RS Ulin Banjarmasin) Difa Intannia*; Rismaya Amini; & Valentina Meta S. Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat *Corresponding email: [email protected] ABSTRAK Angka kejadian kasus demam tifoid di Indonesia diperkirakan rata-rata 900.000 kasus pertahun dengan lebih dari 20.000 kematian Terapi demam tifoid bertujuan untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala serta mencegah terjadinya komplikasi. Penelitian ini bertujuan mengkaji pola pengobatan demam tifoid pada anak dan remaja di instalasi rawat inap BLUD RS Ulin Banjarmasin tahun 2013-2014. Penelitian ini merupakan jenis penelitian non-eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif secara retrospektif menggunakan data rekam medik dengan kriteria pasien anak dan remaja berusia 2-16 tahun yang didiagnosis akhir demam tifoid baik tanpa atau dengan penyakit penyerta. Diperoleh 48 rekam medik yang memenuhi kriteria, terapi antibiotik yang diberikan adalah 56.25% menggunakan Seftriakson, 39.58% menggunakan kloramfenikol dan 6.25% menggunakan sefiksim. Sedangakan terapi analgesic/antipiretik yang diberikan adalah 77.08% menggunakan parasetamol, 22.92% menggunakan metamizol dan 4.17 % menggunakan ibuprofen. Seftriakson dan parasetamol adalah obat terbanyak yang digunakan pada penderita anak dan remaja yang dirawat inap dengan diagnosis demam tifoid. Kata Kunci: pola pengobatan, demam tifoid, rawat inap, anak dan remaja PENDAHULUAN makanan dan minuman yang terkontaminasi Demam tifoid atau thypus abdominalis adalah penyakit infeksi sistemik yang (Rampengan., 2007). Kasus demam tifoid yang terjadi disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica diperkirakan 22 juta kasus dan 200.000 serotype typhi yang termasuk dalam famili diantaranya berhubungan dengan kematian di Enterobacteriaciae (Pary CM et al., 2002). seluruh dunia setiap tahunnya, sedangkan Bakteri ini menyerang saluran pencernaan yang demam paratifoid terjadi sekitar 6 juta kasus ditandai dengan demam lebih dari 7 hari, setiap tahunnya (CDC., 2015). Menurut World gangguan pada saluran cerna dan gangguan Health Organization (2003) demam tifoid masih kesadaran, masyarakat mengenal penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang penting di dengan nama Tipes atau thypus (Zulkoni., berbagai 2010). Penularan penyakit ini biasanya melalui Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2011 negara sedang berkembang. Departemen Kesehatan Republik Indonesia 210 P ro sid ing Sem ina r Na siona l & Wo rkshop “Pe rkemba ngan Te rki ni Sa in s Fa rma si & K l in i k 5” | Padang , 6 -7 No vembe r 2015 (2012), memperlihatkan bahwa Demam Tifoid dan Paratifoid menduduki peringkat ke 3 dari METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap survey di Rumah Sakit tahun 2010 menurut kode retrospektif karena data yang diambil adalah Daftar Tabulasi Dasar (DTD) sebanyak 55.098 catatan rekam medik penderita demam tifoid kasus dengan angka kematian sebesar 2,06%. anak dan remaja di BLUD Rumah Sakit Ulin Kasus demam tifoid ini umumnya deskriptif dengan pendekatan Banjarmasin yang sudah lampau. terdeteksi berdasarkan gejala klinis. Terapi Populasi penelitian ini adalah seluruh pada demam tifoid bertujuan untuk mencapai pasien demam tifoid anak dan remaja yang keadaan serta masuk ke ruang Rawat Inap BLUD Rumah Sakit Terapi Ulin Banjarmasin selama tahun 2013-2014. dengan Subjek yang diambil adalah seluruh populasi pertimbangan untuk perbaikan keadaan umum yang menyangkut kriteria inklusi dan kriteria penderita yaitu dapat diberikan terapi vitamin, eksklusi. Kriteria inklusi yaitu seluruh rekam antipiretik untuk demam dan kenyamanan medik pasien anak dan remaja berusia 2-16 penderita terutama untuk anak-anak, dan tahun yang didiagnosis akhir demam tifoid baik antiemetik diperlukan bila penderita mengalami tanpa atau dengan penyakit penyerta, dan muntah. Selain itu, penggunaan antibiotik kriteria eksklusi yaitu rekam medik yang tidak penting dalam pengobatan demam tifoid dan lengkap memuat status pasien. bebas mencegah simptomatik demam terjadinya dapat dan gejala komplikasi. diberikan harus segera diberikan bila diagnosis sudah Variabel terukur pada penelitian ini adalah dibuat (Kemenkes RI, 2013). karakteristik pasien yang terdiri dari jenis Gambaran pemberian terapi demam tifoid kelamin, khususnya antibiotika di tempat dan waktu pengobatan terdiri dari jenis antibiotika yang tertentu dapat berbeda-beda. Penelitian yang digunakan dan terapi lain selain antibiotika. dilakukan oleh Musnelina dkk tahun 2001-2002 Instrumen dari penelitian ini adalah rekam di Jakarta bahwa kloramfenikol merupakan medik pasien anak dan remaja penderita antibiotika yang paling banyak digunakan. demam tifoid di ruang rawat inap BLUD Rumah Sedangkan Sakit Ulin Banjarmasin. penelitian yang dilakukan di usia dan diagnosis akhir. Pola Yogyakarta bahwa antibiotik terbanyak yang digunakan pada tahun 2010 dan 2011 adalah HASIL DAN DISKUSI seftriakson (Siwi SU., 2011). Penelitian yang Penelitian ini dilakukan dengan mengambil dilakukan di RS Slamet Riyadi Surakarta tahun data rekam medis anak dan dewasa yang 2010-2011 antibiotik pada penderita demam dirawat inap di BLUD RS Ulin Banjarmasin tifoid cefotaxim dengan diagnosis akhir demam tifoid pada sebanyak 50 kasus (58,1%) (Fitrianggraini A., tahun 2013-2014. Hasil survey menunjukkan 2012). Oleh karena itu ingin dilakukan survey total populasi yang didapat adalah 112 sampel terhadap pola pengobatan demam tifoid pada pasien anak dan remaja yang berusia 2-16 tahun anak dan remaja di BLUD RS Ulin Banjarmasin. selama tahun 2013-2014, namun 64 tereksklusi yang digunakan adalah dengan beberapa alasan yaitu sebanyak 14 sampel tereksklusi karena rekam medik pasien 211 P ro sid ing Sem ina r Na siona l & Wo rkshop “Pe rkemba ngan Te rki ni Sa in s Fa rma si & K l in i k 5” | Padang , 6 -7 No vembe r 2015 tidak ditemukan dan 50 sampel tereksklusi karena tidak terdiagnosa pasien yang akan tifoid, dideskripsikan berdasarkan jenis kelamin, usia, sehingga jumlah sampel yang memenuhi kriteria dan penyakit penyerta yang dialami pasien. inklusi sebanyak 48 sampel. Berikut merupakan Tabel 2 memperlihatkan persentase distribusi karakteristik jenis kelamin, usia, dan penyakit penyerta yang pasien yang demam Karakteristik masuk dalam penelitian. dialami pasien demam tifoid anak dan remaja. Tabel 1. Persentase distribusi jenis kelamin, usia, dan penyakit penyerta pasien demam tifoid anak dan remaja di BLUD Rumah Sakit Ulin Banjarmasin pada periode tahun 2013-2014 Karakteristik Jumlah Persentase (N= 48) (%) Jenis kelamin Perempuan Laki-laki Usia 2-12 tahun (anak-anak) 13-16 tahun (remaja) Diagnosa akhir Demam tifoid tanpa penyakit penyerta/komplikasi Demam tifoid dengan penyakit penyerta/komplikasi Demam Berdarah Dengue (DBD) Malnutrisi Malaria + Infeksi Saluran Kemih (ISK) + TB Paru + Stomatitis Gastrointestinal Malaria + DBD + Trombositopeni + Anemia hiperkromik Tifoid Perforasi + DBD Tifoid Perforasi Malaria Stomatitis DBD + ISK Berdasarkan hasil analisis dapat dihitung 32 16 66,67 33,33 41 7 85.42 14,58 36 75.00 12 25,00 3 1 1 6.25 2.08 2.08 1 1 2.08 2.08 1 1 1 1 1 2.08 2.08 2.08 2.08 2.08 diketahui bahwa pasien yang menderita demam distribusi jenis kelamin, dan usia pasien demam tifoid tifoid anak dan remaja. Distribusi jenis kelamin (85.00%) dibandingkan dengan pasien remaja. terbanyak yaitu perempuan dengan persentase Anak-anak lebih rentan terhadap penyakit yang 66,67% (32 pasien), hal ini sesuai dengan hasil disebabkan oleh bakteri dibandingkan orang pada profil kesehatan 2011 bahwa perempuan dewasa karena sistem kekebalan tubuh anak yang belum paling banyk dirawat inap karena terbanyak berfungsi adalah secara pasien anak-anak sempurna, belum diagnosis demam tifoid dibandingkan dengan memperoleh berbagai antibodi yang diperlukan laki-laki. Belum ada data yang menunjukkan untuk menangkal infeksi, dan akibat pola bahwa jenis kelamin mempengaruhi angka tingkah laku anak yang lebih banyak berisiko kejadian demam tifoid, diketahui bahwa demam terpapar bakteri (Shea et al., 2002). Anak usia 6- tifoid dapat menyerang setiap orang tanpa 10 tahun mulai bersosialisasi dengan anak-anak melihat jenis kelamin. Berdasarkan usia pasien lainnya, mereka mulai tertarik mengkonsumsi 212 P ro sid ing Sem ina r Na siona l & Wo rkshop “Pe rkemba ngan Te rki ni Sa in s Fa rma si & K l in i k 5” | Padang , 6 -7 No vembe r 2015 makanan dan minuman dijalanan yang tidak sama dengan demam tifoid adalah demam diketahui dengan jelas kebersihan dari makanan hilang timbul, dapat disertai dengan sakit dan minuman tersebut. Selain itu, masa anak- kepala, nafsu makan menurun, sakit perut, mual anak merupakan masanya bermain di luar muntah, diare, dan dapat ditemui pembesaran rumah pada hepar dan limpa, yang membedakannya sehingga kurang memperhatikan kebersihan dan higienitas diri (Adisasmito, dengan 2006). Faktor lain seperti sanitasi lingkungan, berkeringat, nyeri otot sendi, anemia, dan pada tersedianya air bersih, daya tahan tubuh dan pemeriksaan hapusan darah tebal dan tipis kontaminasi susu oleh bakteri Salmonella typhi ditemukan parasit Plasmodium yang menyerang menyebabkan eritrosit (Kemenkes RI, 2014). anak-anak lebih berpotensi mengalami penyakit infeksi (Rahmawati & Winarto, 2010). demam Terapi tifoid utama adalah yang menggigil, diberikan pada penderita demam tifoid adalah antibiotika Demam tifoid tidak jarang dapat disertai disertai dengan obat-obat simptomatik untuk dengan penyakit lain. Penyakit penyerta yang mengatasi berbagai gejala klinis yang menyertai, paling banyak dialami pasien demam tifoid pada berikut merupakan pola pengobatan yang penelitian ini adalah demam berdarah dengue diberikan pada pasien demam tifoid anak dan dan malaria. Demam berdarah dengue (DBD) remaja dapat dilihat pada tabel 2. dan malaria adalah penyakit yang sering diduga atau sebagai sebelum paling banyak diberikan karena demam tifoid penegakkan diagnosis pada demam tifoid. merupakan penyakit yang disebabkan oleh Kedua penyakit ini memiliki gejala yang hampir bakteri Salmonella typhi. Jenis antibiotik yang mirip paling banyak digunakan adalah seftriakson dengan diagnosis gejala banding Antibiotik merupakan golongan obat yang demam tifoid pada umumnya. Gejala DBD yang juga terjadi pada (56.25%) demam tifoid seperti demam, nyeri kepala, (39.58%). Hasil ini sama dengan penelitian yang mialgia, ruam, nyeri perut, mual/muntah, dan dilakukan di RSU PKU Muhammadiyah Bantul dapat disertai pembesaran hepar dan limpa. adalah Bedanya, pada DBD terjadi demam tinggi 137,49DDD/100 patient-day pada tahun 2010 mendadak 2-7 hari, terjadi gusi berdarah, dan 290,37DDD/100 patient-day pada tahun mimisan, pemeriksaan 2011 (Siwi, SU., 2011). Berdasarkan penelitian leukopenia, pasien demam tifoid rawat inap di Rumah Sakit <100.000/ml), Muhammadiyah Palembang periode tahun 2010 tanda-tanda menyatakan bahwa seftriakson merupakan jenis dan dilihat pada penunjang dijumpai trombositopenia (trombosit serta terdapat kebocoran minimal plasma yang satu disebabkan diikuti dengan seftriakson, kloramfenikol yaitu sebesar oleh antibiotik pilihan terbanyak yang digunakan peningkatan permeabilitas pembuluh darah untuk pasien demam tifoid. Kloramfenikol seperti peningkatan hematokrit lebih dari 20% merupakan dibandingkan standar sesuai dengan umur dan banyak digunakan. Jenis antibiotik lain yang jenis kelamin, penurunan hematokrit lebih dari banyak 20% setelah mendapat terapi cairan, dan terjadi tiamfenikol, efusi pleura, ascites atau hipoproteinemia. amoksisilin, Sedangkan gejala pada penyakit malaria yang kombinasi (Saraswati et al., 2012). antibiotik digunakan pilihan kedua adalah ampisilin, kotrimoksazol, yang sefotaksim, siprofloksasin, dan antibiotik 213 P ro sid ing Sem ina r Na siona l & Wo rkshop “Pe rkemba ngan Te rki ni Sa in s Fa rma si & K l in i k 5” | Padang , 6 -7 No vembe r 2015 Tabel 2. Pola pengobatan pada pasien demam tifoid anak dan remaja dengan penyakit penyerta di BLUD Rumah Sakit Ulin Banjarmasin pada periode tahun 2013-2014 Terapi Jumlah Persentase Demam Tifoid Antibiotik Seftriakson 27 56.25 Kloramfenikol 19 39.58 Sefiksim 3 6.25 Sefotaksim 1 2.08 Kotrimoksazol 1 2.08 Analgesik/antipiretik Parasetamol 37 77.03 Metamizol 11 22.2 Ibuprofen 2 4.17 Vitamin 15 31.25 Antiulserasi Ranitidin 11 22.92 Sukralfat 1 2.08 Omeprazole 1 2.08 Acitral® 1 2.08 Antidiare (Nifuroksazid) 2 4.17 Cairan/suplemen diare Lacto b® 3 6.25 Zink 3 6.25 Protexin® 1 2.08 Oralit 1 2.08 Obat saluran Pernapasan Oxomemazin-Gliseril guaiakolat (GG) 5 10.42 Ambroxol 3 6.25 Salbutamol 1 2.08 Pseudoefedrin HCl-bromphendamin maleat1 2.08 dextromethorphan HBr Antiemetik Ondansetron 3 6.25 Metoklopramid 2 4.17 Domperidon 1 2.08 Laksatif Bisakodil 2 4.17 Mikrolax® supp. 1 2.08 Hepatoprotektor Curliv® 1 2.08 Aminofusin® 1 2.08 Non Demam Tifoid Antijamur Nistatin 2 4.17 Borax gliserin 1 2.08 Gentian violet 1 2.08 Antialergi Deksametason 1 2.08 Cetirizin 1 2.08 Diuretik (Furosemid) 1 2.08 Jika dibandingkan dengan pedoman terapi demam tifoid, meskipun pilihan antibiotika yang dikeluarkan oleh WHO tahun 2003 untuk terapi optimal adalah golongan seftriakson dan kloramfenikol termasuk dalam fluoroquinolon. Namun penggunaan Quinolone pilihan antibiotika yang digunakan dalam terapi (tidak dianjurkan untuk anak dibawah 18 tahun, 214 P ro sid ing Sem ina r Na siona l & Wo rkshop “Pe rkemba ngan Te rki ni Sa in s Fa rma si & K l in i k 5” | Padang , 6 -7 No vembe r 2015 karena dinilai mengganggu pertumbuhan tulang) (Kemenkes RI, 2013). (Kemenkes RI, 2013). Penggunaan analgesik/antipiretik yang banyak digunakan Sesuai dengan penelitian Handoyo (2011) pada penelitian ini adalah parasetamol dan yang menyatakan bahwa pada penggunaan golongan NSAID (metamizol dan ibuprofen). seftriakson rata-rata penurunan panas dan rata- Analgesik/antipiretik rata lama rawat lebih singkat dibandingkan mengurangi gejala seperti demam, dan sakit dengan penggunaan kepala (pusing). dengan penelitian kloramfenikol. yang Sesuai untuk oleh Vitamin merupakan terapi terbanyak ketiga Musnelina dkk (2004) mengenai efektivitas yang diberikan untuk pasien demam tifoid anak biaya pengobatan demam tifoid anak yang dan remaja pada penelitian ini. Pemberian dirawat di rumah sakit, pada kelompok yang vitamin dan mineral sangat penting untuk mendapatkan seftriakson memiliki efisiensi pasien yang menjalani perawatan di Rumah biaya yang lebih baik dibandingkan dengan Sakit untuk menjaga kondisi dan stamina tubuh kelompok yang mendapatkan kloramfenikol. pasien, terutama karena pasien yang lebih Menurut penelitian Sidabutar & Satari (2010) rentan menyatakan penggunaan Berdasarkan penelitian Nurjannah dkk (2012) seftriakson lama demam turun lebih cepat mengenai faktor yang berhubungan dengan sehingga lama terapi lebih singkat, efek samping lama hari rawat pasien demam tifoid di ruang lebih ringan, dan angka kekambuhan lebih rawat inap RSUD Pangkep menyatakan diet rendah dengan dukungan gizi dan pemberian vitamin bahwa dilakukan digunakan pada dibandingkan pada penggunaan kloramfenikol. penyakit (Pratiwi, 2010). serta mineral diperlukan untuk mendukung Penggunaan kloramfenikol masih cukup banyak, didukung oleh penelitian mengenai pola sensitivitas in vitro Salmonella typhi terhadap antibiotik terkena kloramfenikol, amoksisilin, dan keadaan pasien sehingga dapat mempersingkat lamanya perawatan. Gejala yang sering dialami pasien demam tifoid adalah gangguan saluran pencernaan. kotrimoksazol pada pasien yang berada di Gangguan Bagian Anak RSUD Ulin Banjarmasin, hasil disebabkan penggunaan obat saat perawatan di penelitian Salmonella Rumah sakit. Gangguan saluran pencernaan typhi sensitif terhadap kloramfenikol, (65%); yang biasanya dialami oleh pasien demam tifoid amoksisilin, (15%); dan kotrimoksazol, (80%); seperti nyeri perut, mual/muntah, dan diare. resisten Antiulserasi digunakan untuk menghilangkan menunjukkan terhadap bahwa kloramfenikol, (10%); saluran dan Antiulserasi yang paling banyak digunakan kloramfenikol, (25%) (Juwita S et al., 2013). yang dialami dapat gejala terhadap perut juga amoksisilin, (85%); dan kotrimoksazol, (20%); intermediat nyeri pencernaan pasien. adalah ranitidin. Salah satu antagonis reseptor Penggunaan obat terbanyak kedua yaitu H-2 yang paling banyak digunakan pada analgesik/antipiretik. Pengobatan ini sesuai kelompok anak sebagai pengobatan standar dengan gejala yang dialami oleh pasien demam terhadap ulkus peptikum adalah ranitidin. tifoid anak dan remaja yaitu demam sehingga Ranitidin efektif untuk menghilangkan gejala pemberian diperlukan nyeri pada episode akut dan mempercepat untuk kenyamanan pasien terutama anak-anak penyembuhan ulkus dengan toksisitas relatif analgesik/antipiretik 215 P ro sid ing Sem ina r Na siona l & Wo rkshop “Pe rkemba ngan Te rki ni Sa in s Fa rma si & K l in i k 5” | Padang , 6 -7 No vembe r 2015 ringan. Ranitidin lebih dipilih karena efektivitas, gejala klinis seperti hepatomegali. Pemberian keamanan dan kepraktisan penggunaannya nutrisi perbaikan hati ini terjadi pada 2 pasien, dalam untuk yaitu dengan curliv® dan nutrisi parenteral menyembuhkan ulkus, maupun terapi jangka aminofusin®. Terdapat pasien demam tifoid panjang untuk mencegah kekambuhan (Aziz, yang memiliki penyakit penyerta stomatitis dan 2002). gejala terapi Antidiare jangka diberikan pendek untuk sariawan sehingga pada terapinya mengurangi diberikan obat antijamur. Antialergi diberikan gejala diare yang terjadi pada pasien demam pada pasien yang mengeluh mengalami alergi tifoid. Antidiare yang digunakan pada pasien seperti gatal-gatal. Terdapat 1 pasien demam anak dan remaja pada penelitian ini yaitu tifoid dengan penyakit penyerta infeksi saluran nifuroksazid dan pemberian suplemen diare kemih yang diberikan diuretik yaitu furosemid yaitu cairan oralit, zink, probiotik seperti lacto untuk mengatasi sulit buang air kecil yang b® dan protexin®. Pengobatan diare dengan dialaminya. suplemen seperti prebiotik dan zink lebih dipilih karena prebiotik merupakan bakteri baik yang KESIMPULAN mempunyai efek menguntungkan bagi host dan Berdasarkan hasil analisis karakteristik dapat dipakai sebagai cara untuk pencegahan pasien anak dan remaja yang menjalani rawa dan pengobatan diare baik yang disebabkan inap di BLUD RS Ulin Banjarmasin yang rotavirus maupun mikroorganisme lain. Zink terbanyak digunakan efek kelompok anak (usia 2-12 tahun) (85.42%), dan protektif terhadap diare dan dapat menurunkan diagnosis demam tifoid tanpa komplikasi. kekambuhan (Rusdi et al., 2012). Terapi Terapi antibiotika yang digunakan adalah simptomatik yang diberikan untuk memperbaiki seftriakson (56.25%), kloramfenikol (39.58%), gejala sefiksim (6.25%), sefotaksim dan kotrimoksazol karena mual/muntah zink mempunyai pada pasien adalah dalah perempuan (66.67%), antiemetik. Antiemetik yang digunakan pada masing-masing 2.08%. Terapi pasien yaitu ondansetron, metoklopramid, dan antipiretik/analgesic yang digunakan adalah domperidon. Laksatif diberikan pada pasien parasetamol (77.03%), metamizol (22.2%) dan demam tifoid yang mengeluh konstipasi. ibuprofen (4.17%). Batuk merupakan salah satu gejala yang dapat dialami oleh pasien demam tifoid. Penggunaan obat saluran pernafasan ditujukan UCAPAN TERIMA KASIH Terima Kasih kepada BLUD RS Ulin untuk mengurangi gejala batuk yang dialami Banjarmasin dan Fakultas MIPA Universitas pasien. Pada pasien demam tifoid dapat ditemui Lambung Mangkurat. DAFTAR PUSTAKA Adisasmito, A.W. (2006). Penggunaan antibiotik pada terapi demam tifoid anak di rsab harapan kita. Sari Pediatri. 8(3): 174-180. Aziz, N. (2002). Peran antagonis reseptor h-2 dalam pengobatan ulkus peptikum. Sari Pediatri. 3(4): 222226. Depkes RI. (2012). Profil kesehatan Indonesia tahun 2011. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta Fitrianggraini A. (2012). Evaluasi pola penggunaan antibiotik pada pasien anak penderita demam tifoid di instalasi rawat inap RS Slamet Riyadi Surakarta 216 P ro sid ing Sem ina r Na siona l & Wo rkshop “Pe rkemba ngan Te rki ni Sa in s Fa rma si & K l in i k 5” | Padang , 6 -7 No vembe r 2015 tahun 2010-2011 (Skripsi). Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta Surakarta Handoyo, Y. (2011). Pengobatan penderita demam tifoid dengan seftriakson atau kloramfenikol di rumah sakit swasta tangerang. Bina Widya 22(4): 200-204 Juwita, S., E. Hartoyo & L. Y. Budiarti. 2013. Pola sensitivitas in vitro salmonella typhi terhadap antibiotik kloramfenikol, amoksisilin, dan kotrimoksazol. Berkala Kedokteran. 9(1): 21-29. Kemenkes RI. 2013. Sistematika pedoman pengendalian penyakit demam tifoid. kementrian kesehatan republik indonesia direktorat jendral pengendalian penyakit dan penyehat lingkungan, Jakarta. Kemenkes RI. 2014. Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Musnelina, L., A. F. Afdhal, A. Gani, & P. Andayani. 2004. Pola pemberian antibiotika pengobatan demam tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta tahun 2001-2002. Makara, Kesehatan. 8(1): 27-31. Newton AE, Routh JA & Mahon BE. (2015). Typhoid & paratyphoid fever (chapter 3: Infectious Diseases Related to Travel). CDC Nurjannah H.R., H. A. Alam & Y. Haskas. 2012. Faktor yang berhubungan dengan lama hari rawat pasien demam tifoid di ruang rawat inap RSUD Pangkep. ISSN 1(5): 1-7. Parry CM, Hien TT, Dougan G, et al.(2002). Typhoid fever. New Engl J Med, 22, 347, 1770–1782. Pratiwi, E. P., 2010. Evaluasi penggunaan antibiotika pada pasien anak penderita demam tifoid di instalasi rawat inap RSUD dr. Agoesdjam Ketapang periode juni 2008 – juni 2009. Skripsi Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Rahmawati, A. D. & Winarto. 2010. Analisis spasiotemporal kasus demam tifoid di kota semarang. Artikel Ilmiah. Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang. Rampengan, T. H. (2007). Penyakit infeksi tropik pada anak. EGC, Jakarta. Rusdi, N. K., B. Gultom & A. Wulandari. 2012. Evaluasi penggunaan obat diare terhadap kesesuaian obat dan dosis pada pasien anak rawat inap di rumah sakit umum daerah (RSUD) Budhi Asih Jakarta (data rekam medik periode 1 Juli – 31 Desember 2009). FARMASAINS 1(5): 240-245 Saraswati, N. A., Junaidi A.R., & M. Ulfa. 2012. Karakteristik tersangka demam tifoid pasien rawat inap di rumah sakit Muhammadiyah Palembang periode tahun 2010. Jurnal Syifa’MEDIKA. 3(1): 111. Shea, K., Florini, K., & Barlam, T. 2002. When Wonder Drugs Don’t Work: How Antibiotic Resistance Threatens Children, Seniors, And The Medically Vulnerable. Environmental Defense. Washington, DC. Sidabutar, S. & H. I. Satari. 2010. Pilihan terapi empiris demam tifoid pada anak: kloramfenikol atau seftriakson. Sari Pediatri. 11(6): 434-439 Siwi SU. (2011). Analisis penggunaan antibiotik pada terapi demam tifoid pasien rawat inap di RSU PKU Muhammadiyah Bantul pada tahun 2010 dan 2011 dengan metode atc/ddd. Zulkoni, A. (2010). Parasitologi. Nuha Medika, Yogyakarta. World Health Organization. (2003). Background document : The diagnosis, treatment and prevention of tifoid fever. World Health Organization, Geneva. 217