Pola Pengobatan Anak dan Remaja dengan Diagnosis Demam

advertisement
P ro sid ing Sem ina r Na siona l & Wo rkshop “Pe rkemba ngan Te rki ni Sa in s Fa rma si & K l in i k 5” | Padang , 6 -7 No vembe r 2015
Pola Pengobatan Anak dan Remaja dengan Diagnosis Demam
Tifoid di Ruang Rawat Inap BLUD RS Ulin Banjarmasin
(Drug Use Study in Children and Adolescent With Tgyphoid Fever Inpatient at BLUD
RS Ulin Banjarmasin)
Difa Intannia*; Rismaya Amini; & Valentina Meta S.
Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat
*Corresponding email: [email protected]
ABSTRAK
Angka kejadian kasus demam tifoid di Indonesia diperkirakan rata-rata 900.000 kasus pertahun
dengan lebih dari 20.000 kematian Terapi demam tifoid bertujuan untuk mencapai keadaan bebas
demam dan gejala serta mencegah terjadinya komplikasi. Penelitian ini bertujuan mengkaji pola
pengobatan demam tifoid pada anak dan remaja di instalasi rawat inap BLUD RS Ulin Banjarmasin tahun
2013-2014. Penelitian ini merupakan jenis penelitian non-eksperimental dengan rancangan penelitian
deskriptif secara retrospektif menggunakan data rekam medik dengan kriteria pasien anak dan remaja
berusia 2-16 tahun yang didiagnosis akhir demam tifoid baik tanpa atau dengan penyakit penyerta.
Diperoleh 48 rekam medik yang memenuhi kriteria, terapi antibiotik yang diberikan adalah 56.25%
menggunakan Seftriakson, 39.58% menggunakan kloramfenikol dan 6.25% menggunakan sefiksim.
Sedangakan terapi analgesic/antipiretik yang diberikan adalah 77.08% menggunakan parasetamol,
22.92% menggunakan metamizol dan 4.17 % menggunakan ibuprofen. Seftriakson dan parasetamol
adalah obat terbanyak yang digunakan pada penderita anak dan remaja yang dirawat inap dengan
diagnosis demam tifoid.
Kata Kunci: pola pengobatan, demam tifoid, rawat inap, anak dan remaja
PENDAHULUAN
makanan dan minuman yang terkontaminasi
Demam tifoid atau thypus abdominalis
adalah
penyakit
infeksi
sistemik
yang
(Rampengan., 2007).
Kasus
demam
tifoid
yang
terjadi
disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica
diperkirakan 22 juta kasus dan 200.000
serotype typhi yang termasuk dalam famili
diantaranya berhubungan dengan kematian di
Enterobacteriaciae (Pary CM et al., 2002).
seluruh dunia setiap tahunnya, sedangkan
Bakteri ini menyerang saluran pencernaan yang
demam paratifoid terjadi sekitar 6 juta kasus
ditandai dengan demam lebih dari 7 hari,
setiap tahunnya (CDC., 2015). Menurut World
gangguan pada saluran cerna dan gangguan
Health Organization (2003) demam tifoid masih
kesadaran, masyarakat mengenal penyakit ini
merupakan masalah kesehatan yang penting di
dengan nama Tipes atau thypus (Zulkoni.,
berbagai
2010). Penularan penyakit ini biasanya melalui
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2011
negara
sedang
berkembang.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia
210
P ro sid ing Sem ina r Na siona l & Wo rkshop “Pe rkemba ngan Te rki ni Sa in s Fa rma si & K l in i k 5” | Padang , 6 -7 No vembe r 2015
(2012), memperlihatkan bahwa Demam Tifoid
dan Paratifoid menduduki peringkat ke 3 dari
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian
10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap
survey
di Rumah Sakit tahun 2010 menurut kode
retrospektif karena data yang diambil adalah
Daftar Tabulasi Dasar (DTD) sebanyak 55.098
catatan rekam medik penderita demam tifoid
kasus dengan angka kematian sebesar 2,06%.
anak dan remaja di BLUD Rumah Sakit Ulin
Kasus demam tifoid ini umumnya
deskriptif
dengan
pendekatan
Banjarmasin yang sudah lampau.
terdeteksi berdasarkan gejala klinis. Terapi
Populasi penelitian ini adalah seluruh
pada demam tifoid bertujuan untuk mencapai
pasien demam tifoid anak dan remaja yang
keadaan
serta
masuk ke ruang Rawat Inap BLUD Rumah Sakit
Terapi
Ulin Banjarmasin selama tahun 2013-2014.
dengan
Subjek yang diambil adalah seluruh populasi
pertimbangan untuk perbaikan keadaan umum
yang menyangkut kriteria inklusi dan kriteria
penderita yaitu dapat diberikan terapi vitamin,
eksklusi. Kriteria inklusi yaitu seluruh rekam
antipiretik untuk demam dan kenyamanan
medik pasien anak dan remaja berusia 2-16
penderita terutama untuk anak-anak, dan
tahun yang didiagnosis akhir demam tifoid baik
antiemetik diperlukan bila penderita mengalami
tanpa atau dengan penyakit penyerta, dan
muntah. Selain itu, penggunaan antibiotik
kriteria eksklusi yaitu rekam medik yang tidak
penting dalam pengobatan demam tifoid dan
lengkap memuat status pasien.
bebas
mencegah
simptomatik
demam
terjadinya
dapat
dan
gejala
komplikasi.
diberikan
harus segera diberikan bila diagnosis sudah
Variabel terukur pada penelitian ini adalah
dibuat (Kemenkes RI, 2013).
karakteristik pasien yang terdiri dari jenis
Gambaran pemberian terapi demam tifoid
kelamin,
khususnya antibiotika di tempat dan waktu
pengobatan terdiri dari jenis antibiotika yang
tertentu dapat berbeda-beda. Penelitian yang
digunakan dan terapi lain selain antibiotika.
dilakukan oleh Musnelina dkk tahun 2001-2002
Instrumen dari penelitian ini adalah rekam
di Jakarta bahwa kloramfenikol merupakan
medik pasien anak dan remaja penderita
antibiotika yang paling banyak digunakan.
demam tifoid di ruang rawat inap BLUD Rumah
Sedangkan
Sakit Ulin Banjarmasin.
penelitian
yang
dilakukan
di
usia
dan
diagnosis
akhir.
Pola
Yogyakarta bahwa antibiotik terbanyak yang
digunakan pada tahun 2010 dan 2011 adalah
HASIL DAN DISKUSI
seftriakson (Siwi SU., 2011). Penelitian yang
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil
dilakukan di RS Slamet Riyadi Surakarta tahun
data rekam medis anak dan dewasa yang
2010-2011 antibiotik pada penderita demam
dirawat inap di BLUD RS Ulin Banjarmasin
tifoid
cefotaxim
dengan diagnosis akhir demam tifoid pada
sebanyak 50 kasus (58,1%) (Fitrianggraini A.,
tahun 2013-2014. Hasil survey menunjukkan
2012). Oleh karena itu ingin dilakukan survey
total populasi yang didapat adalah 112 sampel
terhadap pola pengobatan demam tifoid pada
pasien anak dan remaja yang berusia 2-16 tahun
anak dan remaja di BLUD RS Ulin Banjarmasin.
selama tahun 2013-2014, namun 64 tereksklusi
yang
digunakan
adalah
dengan beberapa alasan yaitu sebanyak 14
sampel tereksklusi karena rekam medik pasien
211
P ro sid ing Sem ina r Na siona l & Wo rkshop “Pe rkemba ngan Te rki ni Sa in s Fa rma si & K l in i k 5” | Padang , 6 -7 No vembe r 2015
tidak ditemukan dan 50 sampel tereksklusi
karena
tidak
terdiagnosa
pasien
yang
akan
tifoid,
dideskripsikan berdasarkan jenis kelamin, usia,
sehingga jumlah sampel yang memenuhi kriteria
dan penyakit penyerta yang dialami pasien.
inklusi sebanyak 48 sampel. Berikut merupakan
Tabel 2 memperlihatkan persentase distribusi
karakteristik
jenis kelamin, usia, dan penyakit penyerta yang
pasien
yang
demam
Karakteristik
masuk
dalam
penelitian.
dialami pasien demam tifoid anak dan remaja.
Tabel 1. Persentase distribusi jenis kelamin, usia, dan penyakit penyerta pasien demam tifoid anak dan
remaja di BLUD Rumah Sakit Ulin Banjarmasin pada periode tahun 2013-2014
Karakteristik
Jumlah
Persentase
(N= 48)
(%)
Jenis kelamin
Perempuan
Laki-laki
Usia
2-12 tahun (anak-anak)
13-16 tahun (remaja)
Diagnosa akhir
Demam tifoid tanpa penyakit
penyerta/komplikasi
Demam tifoid dengan penyakit
penyerta/komplikasi
Demam Berdarah Dengue (DBD)
Malnutrisi
Malaria + Infeksi Saluran Kemih (ISK) + TB
Paru + Stomatitis
Gastrointestinal
Malaria + DBD + Trombositopeni + Anemia
hiperkromik
Tifoid Perforasi + DBD
Tifoid Perforasi
Malaria
Stomatitis
DBD + ISK
Berdasarkan hasil analisis dapat dihitung
32
16
66,67
33,33
41
7
85.42
14,58
36
75.00
12
25,00
3
1
1
6.25
2.08
2.08
1
1
2.08
2.08
1
1
1
1
1
2.08
2.08
2.08
2.08
2.08
diketahui bahwa pasien yang menderita demam
distribusi jenis kelamin, dan usia pasien demam
tifoid
tifoid anak dan remaja. Distribusi jenis kelamin
(85.00%) dibandingkan dengan pasien remaja.
terbanyak yaitu perempuan dengan persentase
Anak-anak lebih rentan terhadap penyakit yang
66,67% (32 pasien), hal ini sesuai dengan hasil
disebabkan oleh bakteri dibandingkan orang
pada profil kesehatan 2011 bahwa perempuan
dewasa karena sistem kekebalan tubuh anak
yang
belum
paling
banyk
dirawat
inap
karena
terbanyak
berfungsi
adalah
secara
pasien
anak-anak
sempurna,
belum
diagnosis demam tifoid dibandingkan dengan
memperoleh berbagai antibodi yang diperlukan
laki-laki. Belum ada data yang menunjukkan
untuk menangkal infeksi, dan akibat pola
bahwa jenis kelamin mempengaruhi angka
tingkah laku anak yang lebih banyak berisiko
kejadian demam tifoid, diketahui bahwa demam
terpapar bakteri (Shea et al., 2002). Anak usia 6-
tifoid dapat menyerang setiap orang tanpa
10 tahun mulai bersosialisasi dengan anak-anak
melihat jenis kelamin. Berdasarkan usia pasien
lainnya, mereka mulai tertarik mengkonsumsi
212
P ro sid ing Sem ina r Na siona l & Wo rkshop “Pe rkemba ngan Te rki ni Sa in s Fa rma si & K l in i k 5” | Padang , 6 -7 No vembe r 2015
makanan dan minuman dijalanan yang tidak
sama dengan demam tifoid adalah demam
diketahui dengan jelas kebersihan dari makanan
hilang timbul, dapat disertai dengan sakit
dan minuman tersebut. Selain itu, masa anak-
kepala, nafsu makan menurun, sakit perut, mual
anak merupakan masanya bermain di luar
muntah, diare, dan dapat ditemui pembesaran
rumah
pada hepar dan limpa, yang membedakannya
sehingga
kurang
memperhatikan
kebersihan dan higienitas diri (Adisasmito,
dengan
2006). Faktor lain seperti sanitasi lingkungan,
berkeringat, nyeri otot sendi, anemia, dan pada
tersedianya air bersih, daya tahan tubuh dan
pemeriksaan hapusan darah tebal dan tipis
kontaminasi susu oleh bakteri Salmonella typhi
ditemukan parasit Plasmodium yang menyerang
menyebabkan
eritrosit (Kemenkes RI, 2014).
anak-anak
lebih
berpotensi
mengalami penyakit infeksi (Rahmawati &
Winarto, 2010).
demam
Terapi
tifoid
utama
adalah
yang
menggigil,
diberikan
pada
penderita demam tifoid adalah antibiotika
Demam tifoid tidak jarang dapat disertai
disertai dengan obat-obat simptomatik untuk
dengan penyakit lain. Penyakit penyerta yang
mengatasi berbagai gejala klinis yang menyertai,
paling banyak dialami pasien demam tifoid pada
berikut merupakan pola pengobatan yang
penelitian ini adalah demam berdarah dengue
diberikan pada pasien demam tifoid anak dan
dan malaria. Demam berdarah dengue (DBD)
remaja dapat dilihat pada tabel 2.
dan malaria adalah penyakit yang sering diduga
atau
sebagai
sebelum
paling banyak diberikan karena demam tifoid
penegakkan diagnosis pada demam tifoid.
merupakan penyakit yang disebabkan oleh
Kedua penyakit ini memiliki gejala yang hampir
bakteri Salmonella typhi. Jenis antibiotik yang
mirip
paling banyak digunakan adalah seftriakson
dengan
diagnosis
gejala
banding
Antibiotik merupakan golongan obat yang
demam
tifoid
pada
umumnya. Gejala DBD yang juga terjadi pada
(56.25%)
demam tifoid seperti demam, nyeri kepala,
(39.58%). Hasil ini sama dengan penelitian yang
mialgia, ruam, nyeri perut, mual/muntah, dan
dilakukan di RSU PKU Muhammadiyah Bantul
dapat disertai pembesaran hepar dan limpa.
adalah
Bedanya, pada DBD terjadi demam tinggi
137,49DDD/100 patient-day pada tahun 2010
mendadak 2-7 hari, terjadi gusi berdarah,
dan 290,37DDD/100 patient-day pada tahun
mimisan,
pemeriksaan
2011 (Siwi, SU., 2011). Berdasarkan penelitian
leukopenia,
pasien demam tifoid rawat inap di Rumah Sakit
<100.000/ml),
Muhammadiyah Palembang periode tahun 2010
tanda-tanda
menyatakan bahwa seftriakson merupakan jenis
dan
dilihat
pada
penunjang
dijumpai
trombositopenia
(trombosit
serta
terdapat
kebocoran
minimal
plasma
yang
satu
disebabkan
diikuti
dengan
seftriakson,
kloramfenikol
yaitu
sebesar
oleh
antibiotik pilihan terbanyak yang digunakan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah
untuk pasien demam tifoid. Kloramfenikol
seperti peningkatan hematokrit lebih dari 20%
merupakan
dibandingkan standar sesuai dengan umur dan
banyak digunakan. Jenis antibiotik lain yang
jenis kelamin, penurunan hematokrit lebih dari
banyak
20% setelah mendapat terapi cairan, dan terjadi
tiamfenikol,
efusi pleura, ascites atau hipoproteinemia.
amoksisilin,
Sedangkan gejala pada penyakit malaria yang
kombinasi (Saraswati et al., 2012).
antibiotik
digunakan
pilihan
kedua
adalah
ampisilin,
kotrimoksazol,
yang
sefotaksim,
siprofloksasin,
dan
antibiotik
213
P ro sid ing Sem ina r Na siona l & Wo rkshop “Pe rkemba ngan Te rki ni Sa in s Fa rma si & K l in i k 5” | Padang , 6 -7 No vembe r 2015
Tabel 2. Pola pengobatan pada pasien demam tifoid anak dan remaja dengan penyakit penyerta di
BLUD Rumah Sakit Ulin Banjarmasin pada periode tahun 2013-2014
Terapi
Jumlah
Persentase
Demam Tifoid
Antibiotik
Seftriakson
27
56.25
Kloramfenikol
19
39.58
Sefiksim
3
6.25
Sefotaksim
1
2.08
Kotrimoksazol
1
2.08
Analgesik/antipiretik
Parasetamol
37
77.03
Metamizol
11
22.2
Ibuprofen
2
4.17
Vitamin
15
31.25
Antiulserasi
Ranitidin
11
22.92
Sukralfat
1
2.08
Omeprazole
1
2.08
Acitral®
1
2.08
Antidiare (Nifuroksazid)
2
4.17
Cairan/suplemen diare
Lacto b®
3
6.25
Zink
3
6.25
Protexin®
1
2.08
Oralit
1
2.08
Obat saluran Pernapasan
Oxomemazin-Gliseril guaiakolat (GG)
5
10.42
Ambroxol
3
6.25
Salbutamol
1
2.08
Pseudoefedrin HCl-bromphendamin maleat1
2.08
dextromethorphan HBr
Antiemetik
Ondansetron
3
6.25
Metoklopramid
2
4.17
Domperidon
1
2.08
Laksatif
Bisakodil
2
4.17
Mikrolax® supp.
1
2.08
Hepatoprotektor
Curliv®
1
2.08
Aminofusin®
1
2.08
Non Demam Tifoid
Antijamur
Nistatin
2
4.17
Borax gliserin
1
2.08
Gentian violet
1
2.08
Antialergi
Deksametason
1
2.08
Cetirizin
1
2.08
Diuretik (Furosemid)
1
2.08
Jika dibandingkan dengan pedoman terapi
demam tifoid, meskipun pilihan antibiotika
yang dikeluarkan oleh WHO tahun 2003
untuk
terapi
optimal
adalah
golongan
seftriakson dan kloramfenikol termasuk dalam
fluoroquinolon. Namun penggunaan Quinolone
pilihan antibiotika yang digunakan dalam terapi
(tidak dianjurkan untuk anak dibawah 18 tahun,
214
P ro sid ing Sem ina r Na siona l & Wo rkshop “Pe rkemba ngan Te rki ni Sa in s Fa rma si & K l in i k 5” | Padang , 6 -7 No vembe r 2015
karena
dinilai
mengganggu
pertumbuhan
tulang) (Kemenkes RI, 2013).
(Kemenkes
RI,
2013).
Penggunaan
analgesik/antipiretik yang banyak digunakan
Sesuai dengan penelitian Handoyo (2011)
pada penelitian ini adalah parasetamol dan
yang menyatakan bahwa pada penggunaan
golongan NSAID (metamizol dan ibuprofen).
seftriakson rata-rata penurunan panas dan rata-
Analgesik/antipiretik
rata lama rawat lebih singkat dibandingkan
mengurangi gejala seperti demam, dan sakit
dengan
penggunaan
kepala (pusing).
dengan
penelitian
kloramfenikol.
yang
Sesuai
untuk
oleh
Vitamin merupakan terapi terbanyak ketiga
Musnelina dkk (2004) mengenai efektivitas
yang diberikan untuk pasien demam tifoid anak
biaya pengobatan demam tifoid anak yang
dan remaja pada penelitian ini. Pemberian
dirawat di rumah sakit, pada kelompok yang
vitamin dan mineral sangat penting untuk
mendapatkan seftriakson memiliki efisiensi
pasien yang menjalani perawatan di Rumah
biaya yang lebih baik dibandingkan dengan
Sakit untuk menjaga kondisi dan stamina tubuh
kelompok yang mendapatkan kloramfenikol.
pasien, terutama karena pasien yang lebih
Menurut penelitian Sidabutar & Satari (2010)
rentan
menyatakan
penggunaan
Berdasarkan penelitian Nurjannah dkk (2012)
seftriakson lama demam turun lebih cepat
mengenai faktor yang berhubungan dengan
sehingga lama terapi lebih singkat, efek samping
lama hari rawat pasien demam tifoid di ruang
lebih ringan, dan angka kekambuhan lebih
rawat inap RSUD Pangkep menyatakan diet
rendah
dengan dukungan gizi dan pemberian vitamin
bahwa
dilakukan
digunakan
pada
dibandingkan
pada
penggunaan
kloramfenikol.
penyakit
(Pratiwi,
2010).
serta mineral diperlukan untuk mendukung
Penggunaan kloramfenikol masih cukup
banyak, didukung oleh penelitian mengenai pola
sensitivitas in vitro Salmonella typhi terhadap
antibiotik
terkena
kloramfenikol,
amoksisilin,
dan
keadaan pasien sehingga dapat mempersingkat
lamanya perawatan.
Gejala yang sering dialami pasien demam
tifoid adalah gangguan saluran pencernaan.
kotrimoksazol pada pasien yang berada di
Gangguan
Bagian Anak RSUD Ulin Banjarmasin, hasil
disebabkan penggunaan obat saat perawatan di
penelitian
Salmonella
Rumah sakit. Gangguan saluran pencernaan
typhi sensitif terhadap kloramfenikol, (65%);
yang biasanya dialami oleh pasien demam tifoid
amoksisilin, (15%); dan kotrimoksazol, (80%);
seperti nyeri perut, mual/muntah, dan diare.
resisten
Antiulserasi digunakan untuk menghilangkan
menunjukkan
terhadap
bahwa
kloramfenikol,
(10%);
saluran
dan
Antiulserasi yang paling banyak digunakan
kloramfenikol,
(25%) (Juwita S et al., 2013).
yang
dialami
dapat
gejala
terhadap
perut
juga
amoksisilin, (85%); dan kotrimoksazol, (20%);
intermediat
nyeri
pencernaan
pasien.
adalah ranitidin. Salah satu antagonis reseptor
Penggunaan obat terbanyak kedua yaitu
H-2 yang paling banyak digunakan pada
analgesik/antipiretik. Pengobatan ini sesuai
kelompok anak sebagai pengobatan standar
dengan gejala yang dialami oleh pasien demam
terhadap ulkus peptikum adalah ranitidin.
tifoid anak dan remaja yaitu demam sehingga
Ranitidin efektif untuk menghilangkan gejala
pemberian
diperlukan
nyeri pada episode akut dan mempercepat
untuk kenyamanan pasien terutama anak-anak
penyembuhan ulkus dengan toksisitas relatif
analgesik/antipiretik
215
P ro sid ing Sem ina r Na siona l & Wo rkshop “Pe rkemba ngan Te rki ni Sa in s Fa rma si & K l in i k 5” | Padang , 6 -7 No vembe r 2015
ringan. Ranitidin lebih dipilih karena efektivitas,
gejala klinis seperti hepatomegali. Pemberian
keamanan dan kepraktisan penggunaannya
nutrisi perbaikan hati ini terjadi pada 2 pasien,
dalam
untuk
yaitu dengan curliv® dan nutrisi parenteral
menyembuhkan ulkus, maupun terapi jangka
aminofusin®. Terdapat pasien demam tifoid
panjang untuk mencegah kekambuhan (Aziz,
yang memiliki penyakit penyerta stomatitis dan
2002).
gejala
terapi
Antidiare
jangka
diberikan
pendek
untuk
sariawan
sehingga
pada
terapinya
mengurangi
diberikan obat antijamur. Antialergi diberikan
gejala diare yang terjadi pada pasien demam
pada pasien yang mengeluh mengalami alergi
tifoid. Antidiare yang digunakan pada pasien
seperti gatal-gatal. Terdapat 1 pasien demam
anak dan remaja pada penelitian ini yaitu
tifoid dengan penyakit penyerta infeksi saluran
nifuroksazid dan pemberian suplemen diare
kemih yang diberikan diuretik yaitu furosemid
yaitu cairan oralit, zink, probiotik seperti lacto
untuk mengatasi sulit buang air kecil yang
b® dan protexin®. Pengobatan diare dengan
dialaminya.
suplemen seperti prebiotik dan zink lebih dipilih
karena prebiotik merupakan bakteri baik yang
KESIMPULAN
mempunyai efek menguntungkan bagi host dan
Berdasarkan hasil analisis karakteristik
dapat dipakai sebagai cara untuk pencegahan
pasien anak dan remaja yang menjalani rawa
dan pengobatan diare baik yang disebabkan
inap di BLUD RS Ulin Banjarmasin yang
rotavirus maupun mikroorganisme lain. Zink
terbanyak
digunakan
efek
kelompok anak (usia 2-12 tahun) (85.42%), dan
protektif terhadap diare dan dapat menurunkan
diagnosis demam tifoid tanpa komplikasi.
kekambuhan (Rusdi et al., 2012). Terapi
Terapi antibiotika yang digunakan adalah
simptomatik yang diberikan untuk memperbaiki
seftriakson (56.25%), kloramfenikol (39.58%),
gejala
sefiksim (6.25%), sefotaksim dan kotrimoksazol
karena
mual/muntah
zink
mempunyai
pada
pasien
adalah
dalah
perempuan
(66.67%),
antiemetik. Antiemetik yang digunakan pada
masing-masing
2.08%.
Terapi
pasien yaitu ondansetron, metoklopramid, dan
antipiretik/analgesic yang digunakan adalah
domperidon. Laksatif diberikan pada pasien
parasetamol (77.03%), metamizol (22.2%) dan
demam tifoid yang mengeluh konstipasi.
ibuprofen (4.17%).
Batuk merupakan salah satu gejala yang
dapat dialami oleh pasien demam tifoid.
Penggunaan obat saluran pernafasan ditujukan
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima
Kasih
kepada
BLUD
RS
Ulin
untuk mengurangi gejala batuk yang dialami
Banjarmasin dan Fakultas MIPA Universitas
pasien. Pada pasien demam tifoid dapat ditemui
Lambung Mangkurat.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmito, A.W. (2006). Penggunaan antibiotik pada
terapi demam tifoid anak di rsab harapan kita. Sari
Pediatri. 8(3): 174-180.
Aziz, N. (2002). Peran antagonis reseptor h-2 dalam
pengobatan ulkus peptikum. Sari Pediatri. 3(4): 222226.
Depkes RI. (2012). Profil kesehatan Indonesia tahun
2011. Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta
Fitrianggraini A. (2012). Evaluasi pola penggunaan
antibiotik pada pasien anak penderita demam tifoid
di instalasi rawat inap RS Slamet Riyadi Surakarta
216
P ro sid ing Sem ina r Na siona l & Wo rkshop “Pe rkemba ngan Te rki ni Sa in s Fa rma si & K l in i k 5” | Padang , 6 -7 No vembe r 2015
tahun 2010-2011 (Skripsi). Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiyah Surakarta Surakarta
Handoyo, Y. (2011). Pengobatan penderita demam tifoid
dengan seftriakson atau kloramfenikol di rumah
sakit swasta tangerang. Bina Widya 22(4): 200-204
Juwita, S., E. Hartoyo & L. Y. Budiarti. 2013. Pola
sensitivitas in vitro salmonella typhi terhadap
antibiotik
kloramfenikol,
amoksisilin,
dan
kotrimoksazol. Berkala Kedokteran. 9(1): 21-29.
Kemenkes RI. 2013. Sistematika pedoman pengendalian
penyakit demam tifoid. kementrian kesehatan
republik indonesia direktorat jendral pengendalian
penyakit dan penyehat lingkungan, Jakarta.
Kemenkes RI. 2014. Panduan praktik klinis bagi dokter
di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Musnelina, L., A. F. Afdhal, A. Gani, & P. Andayani.
2004. Pola pemberian antibiotika pengobatan
demam tifoid anak di Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta tahun 2001-2002. Makara, Kesehatan. 8(1):
27-31.
Newton AE, Routh JA & Mahon BE. (2015). Typhoid &
paratyphoid fever (chapter 3: Infectious Diseases
Related to Travel). CDC
Nurjannah H.R., H. A. Alam & Y. Haskas. 2012. Faktor
yang berhubungan dengan lama hari rawat pasien
demam tifoid di ruang rawat inap RSUD Pangkep.
ISSN 1(5): 1-7.
Parry CM, Hien TT, Dougan G, et al.(2002). Typhoid
fever. New Engl J Med, 22, 347, 1770–1782.
Pratiwi, E. P., 2010. Evaluasi penggunaan antibiotika
pada pasien anak penderita demam tifoid di
instalasi rawat inap RSUD dr. Agoesdjam Ketapang
periode juni 2008 – juni 2009. Skripsi Fakultas
Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Rahmawati, A. D. & Winarto. 2010. Analisis
spasiotemporal kasus demam tifoid di kota
semarang. Artikel Ilmiah. Program Pendidikan
Sarjana
Kedokteran
Fakultas
Kedokteran
Universitas Diponegoro, Semarang.
Rampengan, T. H. (2007). Penyakit infeksi tropik pada
anak. EGC, Jakarta.
Rusdi, N. K., B. Gultom & A. Wulandari. 2012. Evaluasi
penggunaan obat diare terhadap kesesuaian obat
dan dosis pada pasien anak rawat inap di rumah
sakit umum daerah (RSUD) Budhi Asih Jakarta
(data rekam medik periode 1 Juli – 31 Desember
2009). FARMASAINS 1(5): 240-245
Saraswati, N. A., Junaidi A.R., & M. Ulfa. 2012.
Karakteristik tersangka demam tifoid pasien rawat
inap di rumah sakit Muhammadiyah Palembang
periode tahun 2010. Jurnal Syifa’MEDIKA. 3(1): 111.
Shea, K., Florini, K., & Barlam, T. 2002. When Wonder
Drugs Don’t Work: How Antibiotic Resistance
Threatens Children, Seniors, And The Medically
Vulnerable. Environmental Defense. Washington,
DC.
Sidabutar, S. & H. I. Satari. 2010. Pilihan terapi empiris
demam tifoid pada anak: kloramfenikol atau
seftriakson. Sari Pediatri. 11(6): 434-439
Siwi SU. (2011). Analisis penggunaan antibiotik pada
terapi demam tifoid pasien rawat inap di RSU PKU
Muhammadiyah Bantul pada tahun 2010 dan 2011
dengan metode atc/ddd.
Zulkoni, A. (2010). Parasitologi. Nuha Medika,
Yogyakarta.
World Health Organization. (2003). Background
document : The diagnosis, treatment and
prevention of tifoid fever. World Health
Organization, Geneva.
217
Download