Kajian Sosial Ekonomi Komunitas Desa terhadap

advertisement
Laporan Studi Pustaka (KPM 403)
KAJIAN SOSIAL EKONOMI KOMUNITAS DESA TERHADAP MASALAH
KETIMPANGAN AGRARIA DI DALAM KAWASAN PERKEBUNAN
(ENCLAVE)
MAULANA RIDWAN RAIS
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang berjudul “Kajian Sosial
Ekonomi Komunitas Desa terhadap Masalah Ketimpangan Agraria di dalam
Kawasan Perkebunan (Enclave)” benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum
pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun dan
tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain
kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini
saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan
pernyataan ini.
Bogor, Januari 2014
Maulana Ridwan Rais
NIM. I34110095
iii
ABSTRAK
MAULANA RIDWAN RAIS Kajian Sosial Ekonomi Komunitas Desa terhadap
Masalah Ketimpangan Agraria di dalam Kawasan Perkebunan (Enclave). Di bawah
bimbingan SATYAWAN SUNITO
Perkebunan merupakan kawasan produktif yang memiliki kekayaan sumber daya alam
(SDA) untuk dimanfaatkan dalam memenuhi kebutuhan makhluk hidup di sekitarnya.
Pembangunan kawasan perkebunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sekitar kawasan tersebut. Masyarakat desa yang berada di sekitar
perkebunan tentu saja mengalami dampak dan pengaruh sosial ekonomi terhadap
kegiatan perkebunan. Dampak positif yang timbul adalah terbukanya lapangan kerja
bagi masyarakat desa sekitar untuk bekerja di perusahaan perkebunan, pengaruhnya
yaitu peningkatan modal ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat.
Dampak negatif yang sering timbul adalah ketimpangan terhadap sumber-sumber
agraria yang dimanfaatkan bersama oleh pihak masyarakat ataupun pihak perusahaan
perkebunan, pengaruhnya yaitu masyarakat desa mengalami penyempitan atas
kepemilikan lahan pertanian. Oleh karena itu, tulisan ini akan menganalisis kajian sosial
ekonomi masyarakat sekitar kawasan perkebunan terhadap ketimpangan sumber daya
agraria di dalamnya.
Kata Kunci: ketimpangan agraria, masyarakat desa, perkebunan
ABSTRACT
MAULANA RIDWAN RAIS Socioeconomic study village community to the issue of
disparities of agrarian affairs in the plantation area (Enclave). Supervised by
SATYAWAN SUNITO
Plantation is the area in productive who has a fortune of natural resources to be
exploited in fulfilling the needs of living creatures around it. The development of
plantation aims to improve the welfare of the community around the area. The village
community nearby plantation of course have been to the activities and the influence of
socioeconomic plantation. A positive impact arising is increased employment
opportunities for the community the villages around to work in publicly-listed
plantation company , the impact of improved economic capital to meet the needs of
public life. The negative impact which often arises disparities against agrarian sources
being utilized together by the community nor parties parties plantation companies his
influence namely the village community experienced constriction on the ownership of
farmland. Because of it , this paper will analyze social and economic study of the
community around the plantation on disparities resources of agrarian affairs in it .
Keywords: disparities of agrarian affairs, rural communities, plantation
iv
KAJIAN SOSIAL EKONOMI KOMUNITAS DESA TERHADAP MASALAH
KETIMPANGAN AGRARIA DI DALAM KAWASAN PERKEBUNAN
(ENCLAVE)
Oleh
MAULANA RIDWAN RAIS
I34110095
Laporan Studi Pustaka
sebagai syarat kelulusan KPM 403
pada
Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
v
LEMBAR PENGESAHAN
Dengan ini menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang disusun oleh:
Nama Mahasiswa : Maulana Ridwan Rais
Nomor Pokok
: I34110095
Judul
: Kajian Sosial Ekonomi Komunitas Desa terhadap Masalah
Ketimpangan Agraria di dalam Kawasan Perkebunan (Enclave)
dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada
Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyrakat, Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Mannusia, Institut
Pertanian Bogor.
Disetujui oleh
Dr. Drs. Satyawan Sunito
Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Siti Amanah, Msc.
Ketua Departemen
Tanggal Pengesahan:
vi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
Studi Pustaka berjudul “Kajian Sosial Ekonomi Komunitas Desa terhadap Masalah
Ketimpangan Agraria di dalam Kawasan Perkebunan (Enclave)” ini dengan baik.
Laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan MK Studi
Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Drs. Satyawan Sunito
sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses
penulisan hingga penyelesaian laporan Studi Pustaka ini. Penulis juga menyampaikan
hormat dan terima kasih kepada orang tua tercinta, Ibu Maryamah dan Bapak H.
Maryono beserta Sri Yati Maryono, Ristin Nofita Maryono, dan Dewi Silfiah Maryono
sebagai kakak-kakak perempuan yang telah memberikan dukungan, bantuan, dan doa
bagi kelancaran penulisan Studi Pustaka ini. Penulis juga sampaikan terima kasih
kepada keluarga besar SKPM terutama teman-teman seperjuangan di SKPM 48 dan
teman-teman yang menyempatkan waktu untuk berdiskusi, saling bertukar pikiran,
membantu dan memotivasi penulis dalam penulisan dan penyelesaian Studi Pustaka ini.
Semoga laporan Studi Pustaka ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Januari 2014
Maulana Ridwan Rais
NIM. I34110095
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................iv
PENDAHULUAN ............................................................................................................1
Latar Belakang ...............................................................................................................1
Tujuan Tulisan ...............................................................................................................2
Metode Penulisan ...........................................................................................................2
RINGKASAN PUSTAKA ...............................................................................................3
1. Jurnal ‘Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap
Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan Rumah Tangga di Indonesia: Analisis
Imulasi dengan Sistem Neraca Sosial Ekonomi’ (Sri Hery Susilowati, Bonar
M. Sinaga, Wilson, H. Limbong, Erwidodo 2007) ..................................................3
2. Jurnal 'Transformasi Sistem Produksi Pertanian dan Struktur Agraria serta
Implikasinya Terhadap Diferensiasi Sosial dalam Komunitas Petani (Studi
Kasus pada Empat Komunitas Petani Kakao di Provinsi Sulawesi Tenggara
dan Nangroe Aceh Darussalam)’ (U. Fadjar, M.T.F. Sitorus, A.H. Darmawan,
dan S.M.P. Tjondronegoro 2008) ............................................................................4
3. Jurnal 'Kemiskinan Petani dan Strategi Nafkah Ganda Rumahtangga
Pedesaan’ (Titik Sumarti 2007) ...............................................................................6
4. Jurnal ‘Pengaruh Sosial Ekonomi, Produktivitas Pekebun, dan Manajemen
Usaha Tani terhadap Keputusan Pengembangan Usaha Tani Kelapa Sawit
Rakyat (Studi pada Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Keerom Provinsi
Papua)’ (Rory Cony Huwae, M. S. Idrus, dan Ubud Salim 2013) ..........................7
5. Jurnal 'Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat di sekitar Tanaman Industri di
Riau’ (Nurul Qomar, Syaiful Hadi, dan Ahmad Rifai 2008) ..................................8
6. Jurnal ‘Dampak Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) terhadap
Keadaan Sosial Ekonomi dan Ekologi Masyarakat Lokal’ (Pitaloka M. K.
Ningtyas dan Arya H. Dharmawan 2010) .............................................................10
7. Jurnal ‘Dampak Pengembangan Perkebunan Kelapa Rakyat Terhadap
Kemiskinan dan Perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir’ (Ahmad Aris,
Bambang Juanda, Akhmad Fauzi, dan Dedi Budiman Hakim 2010) ....................11
8. Jurnal ‘Studi Sosial Ekonomi Masyarakat pada Sistem Agroforestry di Desa
Lasiwala Kabupaten Sidrap’ (Iswara Gautama 2007) ...........................................12
9. Jurnal 'Kajian Dampak Perubahan Fungsi Kawasan Hutan terhadap
Masyarakat Sekitar’ (Sylviani 2008) .....................................................................14
10. Jurnal ‘Karakteristik dan Persepsi Masyarakat Daerah Penyangga Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak’ (Reny Sawitri dan Endro Subiandono 2011) .15
ii
11. Jurnal ‘Analisis Konflik Sumberdaya Hutan di Kawasan Konservasi’ (Ina
Marina dan Arya Hadi Dharmawan 2011) ............................................................17
12. Jurnal ‘Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria (Studi
Kasus di Kelurahan Mulyaharaja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor,
Jawa Barat)’(Martua Sihaloho, Arya Hadi Dharmawan, Said Rusli 2007) ...........18
RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN ........................................................................20
Struktur Sosial Ekonomi Sistem Perkebunan ..............................................................20
Ketimpangan Struktur Penguasaan ..............................................................................21
Ketimpangan Peruntukan dan Penggunaan Tanah ......................................................22
Struktur Ketenagakerjaan ............................................................................................24
SIMPULAN ....................................................................................................................26
Hasil Rangkuman dan Pembahasan .............................................................................26
Usulan Kerangka Analisis Baru ...................................................................................27
Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Skripsi ..............................................27
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................30
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................................31
iii
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Diferensiasi Sosial (Kelas) Menurut Lenin.................................................... 23
Gambar 2 Bagan Skematis Hubungan Antara Penguasaan Tanah, Sumber Pendapatan,
dan Distribusi Pendapatan .............................................................................................. 25
Gambar 3 Usulan Kerangka Analisis Baru ..................................................................... 27
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara agraris dengan tingkat komoditi hasil
perkebunan yang sangat tinggi. Hasil produksi tanaman di Indonesia didominasi oleh
perkebunan kelapa sawit, kelapa, karet, kopi, kakao, tebu, teh dan tembakau. Biro Pusat
Statistik (BPS) mencatat sampai dengan tahun 2013 kemarin ada 21.888 Ha luas
tanaman perkebunan berdasarkan dominasi jenis komoditi tanaman di Indonesia, hal ini
mengalami peningkatan sejak tahun 2012 yang tercatat hanya ada 21 265.4 Ha (BPS
2013)1. Peningkatan luas perkebunan di Indonesia berbanding lurus dengan
pemanfaatan hasil produksi tanaman sebagai penunjang dalam pemenuhan kebutuhan
hidup manusia.
Perkebunan merupakan kawasan produktif yang memiliki kekayaan sumber
daya alam (SDA) untuk dimanfaatkan dalam memenuhi kebutuhan makhluk hidup di
sekitarnya. Dimaksudkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
2004 Tentang Perkebunan Pasal 1 Ayat 1, “Perkebunan adalah segala kegiatan yang
mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam
ekosisitem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman
tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen
untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha dan masyarakat”. Perkebunan
berperan penting dalam pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan
kemakmuran dan kesajhteraan rakyat, dalam hal ini keterbukaan akses untuk rakyat
harus diwujudkan untuk mencapai hubungan yang harmonis antar pelaku usaha
perkebunan.
Sebagian besar masyarakat Indonesia hidup dan bermukim pada daerah
perdesaan dimana mereka bermata pencaharian sebagai petani untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, namun hal tersebut bergantung pada faktor alam yang ada. Dalam
UU RI Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Pasal 1 Ayat 9 dinyatakan bahwa,
“Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian,
termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi”. Dalam kutipan UU RI Nomor 6 Tahun 2014 tersebut dijelaskan
bahwa keadaan desa memang harus tepat pengelolaan sumber daya alamnya agar dapat
tercipta keseimbangan kehidupan sosial dan sebagai wujud mencapai kesejahteraan
ekonomi.
Ketimpangan merupakan suatu permasalahan yang tidak lepas dari tatanan
kehidupan pada sumber-sumber agraria yang dimanfaatkan oleh manusia. Dalam studi
permasalahan agraria ketimpangan yang terjadi di Indonesia mengenai struktur
penguasaannya, peruntukan dan penggunaan tanah, serta kemiskinan dan struktur
ketenagakerjaan. Pada tingkat makro kondisi ketimpangan penguasaan sumber-sumber
agraria kita sering temukan pada sektor kehutanan, perkebunan, bahkan pertanian
tanaman pangan. Ketimpangan yang terjadi terkait peruntukan dan penggunaan tanah
dapat kita ketahui dalam kasus alih fungsi dari tanah pertanian ke non-pertanian
berlangsung sangat cepat hal ini disebabkan oleh pembangunan yang bersifat sektoral.
Jumlah rakyat miskin memasuki orde baru menurun drastis, namun menimbulkan
permasalahan kesenjangan dengan berkurangnya tenaga kerja wanita serta munculnya
1
http://www.bps.go.id (diakses pada tanggal 17 Oktober 2014)
2
permasalahan penguasaan tanah yang berguna sebagai aset utama bagi petani (Wiradi,
2009).
Pola penyesuaian diri masyarakat desa dengan lingkungan perkebunan membuat
suatu rantai hubungan timbal balik yang bertujuan untuk saling memenuhi kebutuhan
hidup dan meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonominya. Adanya desa pada
kawasan perkebunan membuka segala jalan usaha bagi masyarakat untuk meningkatkan
taraf hidup terkait dengan komoditi yang ditanam pada perkebunan tersebut. Dalam hal
ini perkebunan juga berpeluang untuk memenuhi kebutuhan lapangan pekerjaan bagi
masyarakat desa sekitar, sebagai upaya pemberdayaan dan meningkatkan kesejahteraan
dengan membangun jaringan sosial ekonomi ketenagakerjaan petani pada desa
perkebunan.
Pemerintah Negara Indonesia telah membuat kebijakan sebagai tuntunan
regulasi terhadap pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat lokal. Hal ini dimuat
dalam UU nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Pasal 2
Ayat 3 yaitu, “Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut
pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat
dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara
hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur”. Pada penjelasan umum
terkait Undang-undang tersebut dijelaskan bahwa “Kehidupan rakyat agraris dalam
pemanfaatan bumi, air, dan ruang angkasa memiliki fungsi yang sangat penting, dalam
hal ini hukum agraria sangatlah penting sebagai alat untuk membangun masyarakat
yang adil dan makmur walaupun pada kenyataannya justru menghambat tercapai citacita tersebut”.
Tujuan Tulisan
Terkait dengan hal yang telah dipaparkan pada latar belakang penulisan, maka
tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis:
1. Bagaimana terbentuknya struktur sosial ekonomi komunitas desa di kawasan
perkebunan?
2. Bagaimana mekanisme ketimpangan agraria yang terjadi terhadap kesejahteraan
sosial ekonomi komunitas desa di kawasan perkebunan?
3. Bagaimana terjadinya ketimpangan agraria dalam sistem struktur sosial ekonomi
pada kondisi keterbatasan komunitas desa di kawasan perkebunan?
Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan studi pustaka ini mengacu pada
analisis data sekunder yang relevan terkait topik yang diajukan dalam penelitian. Data
yang digunakan berasal dari karya tulis ilmiah yang telah dipublikasikan seperti jurnal
ilmiah, skripsi, tesi, disertasi, dan buku-buku penelitian terkait topik yang akan ditulis.
Bahan pustaka yang dikumpulkan dan relevan maka harus dibaca untuk menggali
informasi terkait topik yang ditulis, kemudian membuat ringkasan sesuai dengan topik
yang akan diteliti. Dalam sebuah ringkasan yang telah dibuat, kemudian dijadikan suatu
analisis dan sintesis untuk menguji relevansi teori-teori dengan topik. Sebagai tahap
akhir perlu pengkajian hubungan keterkaitan teori tersebut lalu dijadikan sebuah
kerangka teori yang bertujuan sebagai perumusan masalah atas penelitian terhadap topik
yang dikaji.
RINGKASAN PUSTAKA
1. Judul
: Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor
Agroindustri terhadap Kemiskinan dan Distribusi
Pendapatan Rumah Tangga di Indonesia: Analisis
Imulasi dengan Sistem Neraca Sosial Ekonomi
Tahun
: 2007
Jenis pustaka
: Jurnal
Bentuk pustaka
: Elektronik
Nama penulis
: Sri Hery Susilowati, Bonar M. Sinaga, Wilson, H.
Limbong, Erwidodo
Kota dan nama
: Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
penerbit
Jalan Ahmad Yani 70 Bogor 16161
Nama jurnal
: Jurnal Agro Ekonomi
Volume (edisi): hal : Volume 25 (1): hal 11-36
Alamat URL
:
http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/JAE%20
25-1b.pdf
Tanggal diunduh
: 20 Oktober 2014
Pada masa Orde Baru pertumbuhan ekonomi meningkat sebesar 7 persen per
tahun dengan proses transformasi ekonomi sektor pertanian ke industri, dimana
industrialisasi banyak dinikmati kalangan atas sehingga menimbulkan fenomena trade
off terhadap pemerataan. Sekitar 69 persen dari 39,1 juta jiwa penduduk miskin tahun
1985-2006 tercatat berada di perdesaan yang mengandalkan pendapatan pada sektor
pertanian. Perjalanan menuju MDG’s 2015 menuntut Indonesia mampu menekan
kemiskinan sebanyak separuh jumlah penduduk miskin. Masalah kemiskinan dan
pemerataan dikarenakan kebijakan ekonomi yang hanya berorientasi pertumbuhan
terhadap industrialisasi. Industri yang berkembang bersifat foot loose industry, adalah
industri padat modal yang tidak mengutamakan sumber daya pertanian dalam negeri
dalam pemanfaatannya secara optimal sehingga tidak menimbulkan efek pada kalangan
bawah dan tidak efisien karena rapuh terhadap gejolak ekonomi dunia.
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis dampak berbagai kebijakan ekonomi di
sektor agroindustri terhadap kemiskinan dan distribusi pendapatan rumah tangga.
Kebijakan berupa kebijakan peningkatan investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor,
insentif pajak, dan redistribusi pendapatan rumah tangga dari golongan atas ke golongan
rendah.
Metode kerangka pemikiran digunakan penulis dalam menentukan pengaruh dan
masalah-masalah terkait penelitian. Pertumbuhan dan ketidakmerataan dalam hal ini
mengacu pada dampak pembangunan dan peningkatan pendapatan per kapita yang
belum sepenuhnya dinikmati oleh kelompok miskin. Strategi pembangunan ekonomi
melalui industrialisasi Indonesia, yaitu: 1) strategi substitusi impor yang berdifat padat
modal dan minim penyerapan tenaga kerja, 2) strategi promosi ekspor untuk
menciptakan arus modal luar negeri dengan penyerapan tenaga kerja yang tinggi, 3)
Strategi agricultural-demand-led industrialization (ADLI) merupakan industri yang
mengutamakan pemenuhan kebutuhan masyarkat luas dengan dampak positif bagi
kesejahteraan. Metode analisis digunakan sebagai pisau untuk menggali data akurat
terkait penelitian, yaitu: 1) analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) adalah
4
analisis pengganda dapat dinyatakan dalam persaman matriks (T=M aX), 2) analisis
Skenario Kebijakan untuk menganalisis kemiskinan dan pendapatan rumah tangga
menggunakan data Susenas, 3) analisis kemiskinan menggunakan indeks kemiskinan
Foster-Greer-Thorbecke atau FGT (Cockburn, 2001) dengan program DAD 4.3:
Distributive Analysis yang terbentuk dalam formula berisi variabel-variabel terkait
ukuran kemiskinan, 4) Analsis distribusi pendapatan rumah tangga dengan distribusi
Theil (Akita et al., 1999) yang menyatakan dua macam indeks yaitu berdasarkan pangsa
pendapatan (T) dan perdasarkan populasi (P). Jenis data utama yang digunakan adalah
SNSE dan Susenas yang sebaian besar bersumber dari BPS.
Analisis:
Merujuk metodologi yang telah dijelaskan menunjukan bahwa kebijakan
peningkatan ekspor, investasi, dan insentif pajak pada sektor agroindustri berpengaruh
besar dalam peningkatan pendapatan rumah tangga buruh tani dan golongan yang
lainnya. Secara otomatis hal tersebut mengurangi tingkat kemiskinan dan memperbaiki
distribusi pendapatan rumah tangga, sedangkan pengeluaran pemerintah pada
agoindustri kurang berpengaruh. Redistribusi pendapatan dari golongan atas ke rendah
sangat efektif mengurangi tingkat kesenjangan rumah tangga namun secara agregat
kebijakan ini menurunkan output nasional atau menghasilkan trade off ‘equity vs
growth’. Kebijakan di sektor agroindustri nonmakanan menurunkan tingkat kemiskinan
lebih besar dibandingkan kebijakan sektor makanan karena didukung peningkatan
penyediaan bahan baku industri, di sektor agroindustri makanan menurunkan tingkat
kesenjangan pendapatan rumah tangga lebih besar. Kebijakan yang telah dibahas
sebelumnya dapat benar-benar terlaksana jika tepat dialokasikan pada sektor
agroindustri prioritas, antara lain: karet, kayu lapis, bambu dan rotan, rokok, minuman,
dan pengolahan makanan sektor perikanan. Pemerintah perlu melakukan kebijakan
untuk mendorong peningkatan investasi kebijakan dan insentif pajak di sektor
agroindustri yang bertujuan ekspor, serta bagaimanapun akan lebih efektif jika
difokuskan pada agroindustri prioritas.
2. Judul
: Transformasi Sistem Produksi Pertanian dan
Struktur Agraria serta Implikasinya Terhadap
Diferensiasi Sosial dalam Komunitas Petani (Studi
Kasus pada Empat Komunitas Petani Kakao di
Provinsi Sulawesi Tenggara dan Nangroe Aceh
Darussalam)
Tahun
: 2008
Jenis pustaka
: Jurnal
Bentuk pustaka
: Elektronik
Nama penulis
: U. Fadjar, M.T.F. Sitorus, A.H. Dharmawan, dan
S.M.P. Tjondronegoro
Kota dan nama
: Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
penerbit
Jalan Ahmad Yani 70 Bogor 16161
Nama jurnal
: Jurnal Agro Ekonomi
Volume (edisi): hal : Volume 26 (2): hal 209-233
Alamat URL
: http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/JAE262e.pdf
Tanggal diunduh
: 20 Oktober 2014
5
Indonesia merupakan negara produksi tanaman komersil kakao yang telah
menjadi tumpuan masyarakat perdesaan untuk pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih
baik. Posisi kakao berada di ketiga pada tahun 2006 untuk luas tanaman perkebunan di
seluruh Indonesia. Penelitian ini mengambil studi kasus pada daerah Sulawesi Tenggara
dan Nangroe Aceh Darussalam (NAD), hal ini dikarenakan petani di luar Jawa sangat
agresif menggunakan sumber daya agraria lahan kering dan jumlah penduduk luar Jawa
terus meningkat sedangkan lahan pertanian baru sudah tidak banyak lagi yang dapat
digunakan. Menurut Ditjenbun (2007) kakao merupakan tanaman yang diekspor dalam
pemenuhan kebutuhan bahan baku hilir ini yang berada di negara maju ini diproduksi
sebagian besar para petani sekitar 78%.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis bagaimana dan sejauh mana
transformasi sistem produksi pertanian dan struktur agraria terjadi dalam komunitas
petani yang mengusahakan tanaman komersil kakao serta mengukur sejauh mana
implikasinya terhadap struktur sosial komunitas petani tersebut.
Metode penulisan kerangka pemikiran digunakan untuk mengetahui variabel
yang saling mempengaruhi terhadap penelitian yang telah dilakukan. Dalam proses
produksi pertanian sumberdaya agraria tetap menjadi kekuatan dan sumber penghasilan
petani. Dikemukakan Shanin (1990) sistem produksi akan mencakup kekuatan produksi
yang akan mempengaruhi hasil dan hubungan sosial produksi akan membentuk struktur
sosial dalam kekuatan produksi. Strategi penelitian menggunakan studi kasus historis
dan majemuk dengan menempatkan empat lokasi yang masing-masing dua dari
Sulawesi Tenggara dan NAD karena dua provinsi tersebut merupakan sentra
pengembangan kakao Indonesia. Metode pengumpulan data dengan wawancara
pengamatan lapang 30 responden per desa didukung dengan studi dokumen, untuk
menganalisis data digunakan metode kualitatif (penelusuran data historis) dan metode
kuantitatif (Cross Tabs SPSS).
Analisis:
Transformasi sistem produksi perladangan berpindah mendorong proses
transformasi agraria, dalam hal ini kepemilikan kolektif menjadi perorangan yang lebih
diperkuat status hukum yang tertulis. Akuisisi lahan menutup akses petani lapisan
miskin menguasai sumberdaya agraria semakin menghilang kemudian terpolarisasi,
namun dalam hubungan sosial moral tradisional masih bertahan untuk bagi hasil
produksi pertanian. Proses polarisasi dan stratifikasi kekuasaan sumberdaya membuat
ketimpangan, khususnya menurut pemikiran Karl Marx akan terbentuk petani borjuis
(berkuasa) dan petani proletar (tereksploitasai). Hasil penelitian di empat komunitas
tersebut menunjukkan lapisan petani terbagi menjadi dua dengan status tunggal serta
dengan status kombinasi. Petani penggarap buruh tani memiliki akses walaupun
sementara, sedangkan buruh tani mutlak sebagai tunakisma yang sama sekali tidak
memiliki akses. Dalam jangka pendek pengaturan penguasaan sumberdaya agraria yang
memberikan akses dengan kebijakan redistribusi pembukaan areal baru. Dalam jangka
panjang persoalan struktural harus membuat lapangan kerja sebagai cara untuk
penyerapan tenaga kerja untuk pertumbuhan kesejahteraan warga komunitas tersebut,
bila tidak demikian kemungkinan terjadinya involusi menyebabkan masyarakat berada
di bawah garis kemiskinan.
6
3. Judul
: Kemiskinan Petani dan Strategi Nafkah Ganda
Rumahtangga Pedesaan
Tahun
: 2007
Jenis pustaka
: Jurnal
Bentuk pustaka
: Elektronik
Nama penulis
: Titik Sumarti
Kota dan nama
: Departemen Sains Komunikasi dan
penerbit
Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi
Manusia Institut Pertanian Bogor
Nama jurnal
: Jurnal Sodality
Volume (edisi): hal : Volume 1 (2): hal 217-232
Alamat URL
:
http://jesl.journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/articl
e/viewFile/5930/4607
Tanggal diunduh
: 20 Oktober 2014
Dominasi subsektor perkebunan rakyat pada pangsa areal sekitar 80%
menunjukkan kesiapannya dalam menghadapi krisis ekonomi di Indonesia, karena pada
awal krisis hal tersebut mengalami peningkatan kesejahteraan rakyat akibat depresiasi
rupiah yang signifikan. Pada masa mendatang masalah akan dialami perkebunan rakyat
dalam hal pertumbuhan dan pemerataan pendapatan. Dampak krisis ekonomi yang
dirasakan masyarakat desa maupun kota pada saat ini adalah ledakan pengangguran,
daya beli menurun, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan meningkat. Dampak
sosial yang ditimbulkan bersumber pada krisis moral dan nilai-nilai luhur bangsa yaitu
disintegrasi sosial, kesenjangan sosial, dan tingginya kriminalitas. Dampak ekologi
dalam krisis tersebut terkait dengan terlantarnya sumberdaya alam perkebunan oleh
petani.
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji gejala kemiskinan petani kelapa di
Indragiri Hilir dan petani kelapa sawit di Kampar selama periode krisis ekonomi akibat
tekanan kelembagaan intervensi pasar yang telah membawa perubahan pada
kelembagaan ekonomi lokal (patronase dan KUD). Selanjutnya mengkaji strategi
nafkah ganda rumahtangga petani agar dapat meningkatkan taraf hidup yang
berkelanjutan.
Metodologi penelitian menggunakan batasan pengertian terkait dengan konsep
kemiskinan, kelembagaan ekonomi lokal, pola nafkah ganda, dan tindakan ekonomi.
Kerangka pemikiran sebagai cara untuk mengetahui variabel apa saja yang berpengaruh
dan mempengaruhi fenomena pada kedua kasus, serta mengidentifikasi aktivitas
lembagamaupun masyarakat yang terlibat. Studi penelitian ini merupakan kerjasama
antara Puslitbang Perkebunan dengan World Bank tahun 2000 mengenai Studi Produksi
Perkebunan Rakyat, lokasi yang dipilih yaitu perkebunan kelapa sawit rakyat Perebunan
Inti Rakyat-Transmigrasi (PIR-Trans) Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar dan
perkebunan kelapa rakyat di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri Hilir didiukung
validitas data dengan teknik triangulasi (subyek dan informan) serta teknik wawancara
pengamatan.
Analisis:
Memburuk dan anjloknya harga komoditi perkebunan pasca krisis membuat
kesejahteraan ekonomi masyarakat menurun, ketergantungan pihak luar sebagai
menopoli komoditi justru memperparah kemiskinan bagi petani. Interaksi yang dijalin
7
kelembagaan ekonomi lokal dengan kelembagaan intervensi pasar masih belum
memberi peluang meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, justru kesenjangan
sosial antar lapisan masyarakat timbul yang pada akhirnya membutuhkan tindakan
ekonomi sebagai pendorong investasi jangka panjang. Strategi penanggulangan
kemiskinan perlu didukung melalui pengembangan kapasitas komunitas mencakup
identifikasi pemimpin atau tokoh penggerak masyarakat, sumber dana yang
dimanfaatkan komunitas, kelembagaan lkal yang berperan, dan strategi pengembangan
jaringan. Tindakan penciptaan peluang usaha, peningkatan kapabilitas dan
penanggulangan usaha mendasari perilaku petani beragam lapisan dalam upaya
meningkatkan taraf hidup. Petani kaya memanfaatkan strategi pola nafkah ganda
menggunakan tenaga kerja sebagai akumulasi modal, petani miskin masih menerapkan
strategi bertahan hidup. Strategi tersebut sesuai dengan kondisi sosial budaya, struktur
sosial dan sumberdaya alam komunitas petani perkebunan.
4. Judul
: Pengaruh Sosial Ekonomi, Produktivitas Pekebun,
dan Manajemen Usaha Tani terhadap Keputusan
Pengembangan Usaha Tani Kelapa Sawit Rakyat
(Studi pada Perkebunan Kelapa Sawit di
Kabupaten Keerom Provinsi Papua)
: 2013
: Jurnal
: Elektronik
: Rory Cony Huwae, M. S. Idrus, dan Ubud Salim
: Stiper St, Thomas Aquinas Jayapura
Tahun
Jenis pustaka
Bentuk pustaka
Nama penulis
Kota dan nama
penerbit
Nama jurnal
: Jurnal Aplikasi Manajemen
Volume (edisi): hal : Volume 11 (1): hal 49-64
Alamat URL
:
http://www.jurnaljam.ub.ac.id/index.php/jam/arti
cle/viewFile/495/525
Tanggal diunduh
: 20 Oktober 2014
Perkebunan kelapa sawit di Provinsi Papua berpotensi untuk meraih peluang
karena mencakup beberapa hal, yaitu: 1) pangsa pasar dunia relatif mapan untuk harga
minyak, 2) memperluas segmen pasar pada pengembangan produk, 3) diversifikasi
usaha pada lahan pertanaman kelapa sawit terhadap usaha lainnya, 4) nilai tambah
dengan teknologi mendukung usaha diversifikasi produk sebagai nilai tambah
pemanfaatan dan efisiensi, 5) adanya industri rumah tangga, kecil, dan menengah, 6)
areal pengembangan yang luasnya 15,2 juta ha dan produk kelapa sawit dengan hasil
sampingannya bersifat ramah lingkungan. Hal tersebut terkait dengan upaya
menciptakan kesejahteran dan kemakmuran seluruh masyarakat Papua. Dalam hal ini
kebijakan pemerintah diperlukan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai pemerataan dan
keadilan sosial bagi terciptanya cita-cita masyarakat Papua.
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis secara empiris hal-hal sebagai berikut:
1) apakah sosial ekonomi mempengaruhi keputusan pengembangan masyarakat petani
kelapa sawit, 2) bagaimanakah pengaruh sosial ekonomi pada manajemen usaha tani, 3)
bagaimanakah dampak sosial ekonomi pada produktivitas para petani, 4) bagaimanakah
pengaruh produktivitas petani pada manajemen usaha tani, 5) bagaimana pengaruh
produktivitas petani pada keputusan pengembangan usaha kealpa sawit rakyat, 6)
8
bagaimana mempengaruhi keputusan pengembangan usaha tani dalam rangka
pengembangan kelapa sawit rakyat.
Metodologi penelitian dengan menggunakan pendekatan kuantitatif terkait
hubungan kausalitas dengan anaslisis SEM (Structural Equation Modelling) dan
didukung dengan pendekatan kualitatif menggunakan perspektif fenomenologi. Lokasi
penelitian di Kabupaten Keerom dengan jumlah populasi sebanyak 200 pekebun,
sampel tersebut diambil secara sensus. Dalam pengujian validitas instrumen dilakukan
dengan analisis faktor konfirmatori (CFA) dimana instrumen penelitian dikatakan valid
undimensional jika GFI > 0,90, sedangkan instrumen penelitian dinyatakan realibel jika
nilai contruct realibility (ρn) > 0,70. Analisis data dijelaskan secara deskriptif sebagai
gambaran kecenderungan responden terhadap pertanyaan terkait variabel penelitian,
adapun analisis kuantitatif dalam menguji hipotesis dan menghasilkan suatu model yang
layak, dan dukungan analisis kualitatif dengan cara meng-cluster informan sebagai hasil
analisis akan dibangun proporsisi dalam melengkapi hasil penelitian.
Analisis:
Dalam penelitian tersebut dirumuskan bahwa ada beberapa variabel yang terkait
dan saling mempengaruhi satu sama lain, yaitu: sosial ekonomi (X1), produktivitas
pekebun (Y1), manajemen usaha tani (Y2), keputusan pengembangan usaha tani kelapa
sawit rakyat (Y3). Sosial ekonomi dalam keputusan pengembangan usaha mempunyai
keterkaitan dengan beberapa faktor pemicu, antara lain: keterkaitan ke belakang dan
kurangnya dukungan pemerintah, kualitas mutu pendidikan masih terbatas,
pembangunan belum memenuhi manfaat sosial, komitmen masyarakat dan komitmen
pemerintah harus ditegakkan terkait pemberdayaan. Dalam menunjang manajemen
usaha tani pemerintah perlu tegas bergerak dalam kebijakan pertanian, agar terciptanya
tujuan yang terkoordinasi sesuai dengan perencanaan dan pengorganisasian usaha tani
tersebut. Terkait peningkatan produksi diperlukan kualitas sumber daya manusia dalam
penguasaan ilmu pengetahuan teknologi yang ototmatis dapat meningkatkan
produktivitas pekebun. Produktivitas pekebun tersebut diharapkan sesuai dengan
kebijakan peningkatan mutu, pertumbuhan ekonomi yang baik, program pemerintah
harus baik dan berorientasi pada petani pekebun. Kebijakan yang telah ditegakkan maka
akan menciptakan kesejahteraan dan pemerataan, dalam hal ini juga petani dituntut agar
lebih inovatif dalam manajemen usaha tani kelapa sawit.
5. Judul
: Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat di sekitar
Tanaman Industri di Riau
: 2008
: Jurnal
: Elektronik
: Nurul Qomar, Syaiful Hadi, dan Ahmad Rifai
: Fakultas Pertanian Universitas Riau
Tahun
Jenis pustaka
Bentuk pustaka
Nama penulis
Kota dan nama
penerbit
Nama jurnal
: Jurnal Industri dan Perkotaan
Volume (edisi): hal : Volume 12 (22): hal 1763-1769
Alamat URL
:
http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JIP/article/view
File/577/570
Tanggal diunduh
: 20 Oktober 2014
9
Pertumbuhan penduduk akan diikuti dengan peningkatan kebutuhan dasar hidup
masyarakat sebagai cara untuk adaptasi dan bertahan di tempat tinggalnya, hal ini jelas
tergambar dalam kehidupan masyarakat agraris yang harus meningkatkan permintaan
terhadap lahan pertanian dikarenakan jumlah penduduk meningkat. Perambahan hutan
menjadi hal yang berakibat buruk untuk pembukaan lahan pertanian khususnya di
daerah Sumatera, akan mengakibatkan krisis kesenjangan dan konflik terhadap tanaman
tersebut. Perusahaan Kehutanan memberikan bantuan untuk meredam konflik sosial
dengan pembangunan infrastruktur dan sarana-prasarana di desa, hal tersebut belum
dapat melepaskan masyarakat desa dari jeratan kemiskinan.
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis permasalahan apa saja yang terkait
dengan sosial ekonomi desa di sekitar Hutan Tanaman Industri (HTI) di Riau, hal ini
bermanfaat dalam penyusunan program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan
pengumpulan data primer dilakukan secara survei rumah tangga dan wawancara
mendalam dengan masyarakat, didukung dengan kuesioner. Parameter sodial ekonomi
yang digunakan dalam pengamatan adalah demografi, mata pencaharian, pendapatan
rumah tangga, kepemilikan lahan, interaksi masyarakat dengan hutan, dan permasalahan
sosial ekonomi lainnya. Lokasi peenlitian bertempat di Desa Teluk Meranti dan Pulau
Muda, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Kedua desa
tersebut berada di sekitar perusahaan HTI milik PT. Satria Perkasa Agung (sebelah
selatan Sungai Kampar) dan PT. RAPP (sebelah utara Sungai Kampar). Pola pertanian
di kedua desa penelitian masih dikategorikan tradisional, namun masuknya
industrialisasi perkebunan membuat Desa Teluk Meranti kini lebih unggul dalam
produksi kelapa sawit.
Analisis:
Bentuk penggunaan lahan pada kedua desa tersebut masih terpengaruh oleh
pasang-surut air laut, akibatnya resiko ombak besar akan mengancam pemukiman
penduduku sebelah selatan Sungai Kampar. Di Desa Teluk Meranti kepemilikan tanah
per rumah tangga sebesar 1,89 hektar yang lebih rendah daripada di Pulau Muda dengan
kepemilikannya hingga 3,13 hektar, namun kepemilikan lahan tersebut masih dominan
dimiliki oleh tuan tanah dikarenakan jumlah rumah tangga petani di kawasan tersebut
relatif sedikit. Sebagian besar penduduk kedua desa tersebut berprofesi sebagai petani,
antara petani dan buruh tani di sana bekerja pada sektosr padi sawah, palawija, karet,
dan kelapa sawit rakyat. Adapun diantara mereka yang menggantungkan hidupnya
sebagai nelayan yang mencari ikan di Sungai Kampar, hasil pemasaran pertanian dan
tangkapan nelayan dipasarkan seminggu sekali di pasar desa yang berguna sebagai
perdagangan pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat. Rata-rata penghasilan
masyarakat di kedua desa berkisar diantara Rp. 0,6-1,1 juta per bulan, namun beberapa
responden masih didapatkan yang berpenghasialan dibawah Rp. 0,5 juta per bulan.
Pengeluaran untuk pangan dan pemenuhan BBM di kedua desa masih yang tertinggi
dibandingkan dengan pemenfaatan pengeluaran dalam keperluan investasi yang masih
sangat kurang, tergambar bahwa perencanaan jangka panjang di kedua desa masih
belum menjadi prioritas rumah tangga. Kondisi tempat tinggal masyarakat di kedua desa
merupaka rumah layak huni dengan bahan baku lantai dan dinding kayu serta
beratapkan seng, namun seiring terbatasnya hutan alam dan pemberantasan pembalakan
liar membuat masyarakat sulit mendapatkan bahan baku kayu untuk perbaikan rumah
mereka. Dalam bidang kelembagaan di kedua desa berkembang dalam bidang sosial dan
ekonomi, pertanian, dan keagamaan, contohnya kelompok tani di Teluk Meranti
10
sebanyak 55 kelompok dan usaha simpan pinjam Desa Pulau Muda mendapat bantuan
Pemprov Riau dari Rp 500-700 juta.
6. Judul
Tahun
Jenis pustaka
Bentuk pustaka
Nama penulis
Kota dan nama
penerbit
Nama jurnal
Volume (edisi): hal
Alamat URL
Tanggal diunduh
: Dampak Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) terhadap
Keadaan Sosial Ekonomi dan Ekologi Masyarakat Lokal
: 2010
: Jurnal
: Ekonomi
: Pitaloka M. K. Ningtyas dan Arya H. Dharmawan
: Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
: Jurnal Sodality
: Volume 4 (3): hal 333-344
:
http://jamu.journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/viewFile/5840/45
: 20 Oktober 2014
Krisis agraria terkait dengan kelangkaan tanah sudah sering dihadapi masyarkat
Indonesia dikarenakan pertambahan jumlah penduduk yang otomatis menyebabkan
tanah semakin sempit, tanah memilik peran yang strategis dalam kehidupan masyarakat.
Benturan kepentingan terhadap tanah banyak menimbulkan dampak perubahan
ekonomi, sosial, dan ekosistem dalam tatanan kehidupan manusia. Mengatasi dampak
tersebut pemerintah membuat rancangan konstruktif untuk mengatasi terjadinya
kelangkaaan tanah dengan membuat Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN),
yang pertama kali nya berlangsung di Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor. Masalah
yang akan dianalisis penelitian ini terkait dengan terjadinya perubahan sosial ekonomi,
pengaruh tata ruang di desa, serta bagaimana persepsi masyrakat lokal terkait dengan
diadakannya program PPAN.
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji keadaan ekonomi masyarakat desa dengan
membandingkan keaadaan sebelum adanya PPAN, serta kajian terkait dengan pengaruh
tata guna lahan Kecamatan Jasinga serta memahami persepsi masyarakat lokal terhadap
PPAN. Dalam penelitian ini pertimbangan pemerintah diharapkan mampu menyusun
kebijakan-kebijakan pengelolaan tanah dan terciptanya keadilan dan keselarasan
masyarakat desa dengan kehidupan di lingkungannya.
Metodologi penelitian menggunakan pendekatan kualitatif melalui wawancara
mendalam untuk menggali informasi, sedangkan dalam mengambil data digunakan
pendekatan kuantitatif melalui survei dengan panduan kuesioner menerapkan purposive
sampling. Data primer didapat pada saat wawancara kepada informan dan responden
melalui pengamatan, serta didukung data sekunder melalui dokumen terkait data-data
lapang untuk melengkapi penelitian. Pemilihan informan dan responden dapat diketahui
melalui teknik bola salju (snow balling). Data primer dan sekunder direduksi dengan
penyederhanaan data yang didapat dalam penelitian. Penyederhanaan data dilakukan
untuk menajamkan, menggolongkan dan mengarahkan data yang sesuai dengan yang
diperlukan dalam penelitian.Lokasi penelitian ini di dua dusun Desa Pangradin
Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor pada bulan Mei-Juli 2010 lalu.
Analisis:
Tanah yang menjadi kajian penelitian ini merupakan eks Hak Guna Usaha
(HGU) PT. PP jasinga yang didistribusikan kepada masyarakat melalui PPAN,
perusahaan tersebut mengusahakan tanah untuk perkebunan karet. Masyarakat desa kini
11
memanfaatkannya dengan menanam pohon sengon, afrika, dan buah-buah secara
tumpangsari dengan singkong. Peralihan HGU menjadi kepemilikan pribadi
memberikan fenomena yang berbeda bagi struktur agraria di Desa Pangradin,
berdasarkan keterangan dari narasumber terkait hubungan dan interaksi sosial desa ini
mengalami perubahan dari kapitalis menjadi neo populis. Dalam hal tersebut sudah
tidak lagi berlaku tanah adat, kepemilikan kini bersifat pribadi (hak milik sendiri)
maupun keluarga (pengelolaan atas pergiliran anggota keluarga). Pada pengusahaannya
dikenal dengan sistem bagi hasil antara pemilik tanah dengan penggarap, pada
umumnya masyarakat desa mengusahakannya sebagai perkebunan dan persawahan.
Pembagian penguasaan tanah tidak lepas dari konflik yang timbul karena
ketidaksesuaian pembagian oleh kepala desa, karena ketidakjelasan pembagian dan
kurang sesuai dengan kriteria Badan Pertanahan Nasional (BPN). Timbulnya
kekecewaan jelas muncul saat distribusi yang tidak merata dikarenakan kedekatan
orang-orang tertentu dengan pemegang kekuasaan. Pada keadaan sosial ekonomi
masyarakat desa hanya terdapat pada status kepemilikan tanah saja, tetap saja mereka
masih hidup subsisten mengandalkan hasil kebun dan sawah untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Pada akhirnya PPAN ini diindikasikan oleh beberapa pihak
merupakan program yang gagal dalam meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial
dalam distribusi kepemilikan tanah.
7. Judul
: Dampak Pengembangan Perkebunan Kelapa
Rakyat Terhadap Kemiskinan dan Perekonomian
Kabupaten Indragiri Hilir
Tahun
: 2010
Jenis pustaka
: Jurnal
Bentuk pustaka
: Elektronik
Nama penulis
: Ahmad Aris, Bambang Juanda, Akhmad Fauzi,
dan Dedi Budiman Hakim
Kota dan nama
: Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
penerbit
Jalan Ahmad Yani 70 Bogor 16161
Nama jurnal
: Jurnal Agro Ekonomi
Volume (edisi): hal : Volume 28 (1): hal 69-94
Alamat URL
:
http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/JAE
%2028-1d.pdf
Tanggal diunduh
: 12 November 2014
Pengembangan ekonomi wilayah Kabupaten Indragiri Hilir terlihat bahwa peran
pada sektor pertanian yang merupakan sektor dominan terhadap pembentukan PDRB,
yaitu sebesar 44,86% (BPS, 2007). Komoditas yang unggul di daerah ini adalah kelapa
dengan luas areal mencapai 461.310 ha, dengan menempatkan Kabupaten Indragiri Hilir
sebagai penghasil kelapa terbesar di Indonesia. Menurut data Dinas Perkebunan dan
Kehutanan Kabupaten Indragiri Hilir pada tahun 2017 tercatat ada 387.552 ha
perkebunan kelapa rakyat dan 73.758 ha perkebunan swasta nasional milik PT. Pulau
Sambu Group. Pada kenyataannya justru Kabupaten Indragiri Hilir masih terjebak
dalam rantai kemiskinan dimana menempatkan posisi pertama dengan jumlah penduduk
miskin di Provinsi Riau. Fenomena kemiskinan ini memiliki sifat dan karakteristik yang
beragam, kemiskinan yang terjadi bukan hanya terkait dengan aspek ekonomi tetapi
juga menyangkut aspek sosial, budaya, politik, dan wilayah. Dalam rumusan masalah
yang akan diteliti berada pada batasan sebagai berikut, yaitu: 1) bagaimana peran sektor
12
kelapa terhadap perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir ditinjau dari aspek output,
PDRB dan tenaga kerja serta posisi keterkaitan sektor kelapa dan multiplier effect
terhadap output, nilai tambah bruto, pendapatan, dan tenaga kerja; 2) bagaimana
indikasi dan potensi kebocoran wilayah sektor kelapa serta dampaknya terhadap
perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir; 3) opsi kebijakan yang dapat meningkatkan
pendapatan dan mengurangi angka kemiskinan.
Tujuan penelitian ini yaitu menganalisis peran sektor kelapa terhadap
perekonomian, menganalisis kebocoran wilayah sektor kelapa, dan menganalisis
kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan dan mengurangi angka kemiskinan.
Sektor perekonomian yang dominan akan memberikan dampak baik bagi penyerapan
tenaga kerja, dengan demikian pendapatan dan kesejahteraan perekonomian masyarakat
meningkat.
Metodologi penelitian menggunakan pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi
(SNSE) dengan dilakukannya survei dan non survei. Data yang digunakan peneliti
berupa data primer dan sekunder, dengan jenis data tabel input-output (I-O) SNSE yang
bersumber dari instansi terkait (BPS dan Bappeda Kabupaten Indragiri Hilir). Penelitian
yang dilakukan di Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau ini berlangsung pada Bulan
November 2009 sampai Februari 2010.
Analisis:
Hasil SNSE menunjukkan peningkatan nilai tambah yang berjumlah sekitar
65,15% dari total output domestik, nilai tambah tersebut dihitung berdasarkan ssuplai
yang merupakan balas jasa faktor produksi tenaga kerja, modal (termasuk penyusutan),
dan pajak tak langsung. Rata-rata pendapatan pada kelompok rumah tangga pendapatan
tinggi di perkotaan mencapai Rp 79,19 juta per rumah tangga per tahun sedangkan
pendapatan kelompok rendah di perdesaan dengan rata-rata Rp 6,42 juta per rumah
tangga per tahun. Dalam hasil analisis sektor kelapa secara umum dapat ditinjau dari
aspek pembentukan output, nilai tambah bruto, dan serapan tenaga kerja terlihat masih
memiliki peran yang besar dan berarti bagi perekonomian serta mendorong
kesejahteraan rakyat. Kebocoran wilayah di sektor kelapa dominan pada sektor industri
akibat adanya aliran modal atau finansial yang keluar wilayah Inhil sebesar 57% dari
total pendapatan modal industri skala besar dan kebocoran terjadi pada aliran
pendapatan tenaga kerja sebesar 39%. Hal tersebut berdampak terhadap distribusi
pendapatan dan kemiskinan, dimana menuai kesenjangan pada kesejahteraan petani
yang nelum dapat menurunkan kemiskinan pada kelompok yang memiliki lahan sedikit
maupun buruh tani. Kebijakan investasi di sektor kelapa dan industri pengolahannya
hanya mampu menurunkan masalah kemiskinan rumah tangga dengan rata-rata 1,21%
di Kabupaten Inhil, perlu dilakukan upaya untuk menekan kebocoran terkait aliran
pendapatan modal dan pendapatan tenaga kerja yang keluar daerah.
8. Judul
Tahun
Jenis pustaka
Bentuk pustaka
Nama penulis
Kota dan nama
penerbit
: Studi Sosial Ekonomi Masyarakat pada Sistem
Agroforestry di Desa Lasiwala Kabupaten Sidrap
: 2007
: Jurnal
: Elektronik
: Iswara Gautama
: Laboratorium Pemanenan Hasil Hutan, Fakultas
Kehutanan, Program Studi Manajemen hutan,
13
Universitas Hasanuddin, Jl. Perinteis
Kemerdekaan Km. 10, Makassar 90245
Nama jurnal
: Jurnal Hutan dan Masyarakat
Volume (edisi): hal : Volume 2 (3): hal 319-328
Alamat URL
:
http://journal.unhas.ac.id/index.php/hm/article/vie
w/96
Tanggal diunduh
: 12 November 2014
Lahan perdesaan yang kini semakin sempit terkait usaha pertanian dikarenakan
oleh ledakan jumlah penduduk yang semakin menambah, akibatnya masyarakat
membuka lahan hutan untuk pertanian dan otomatis mengurangi lahan hutan. Sistem
agroforestry perlu diterapkan secara optimal agar pembukaan lahan hutan tetap
berlandaskan kelestarian lingkungan dengan mengkombinasikan tanaman hutan dan
pertanian sehingga dapat meningkatkan perekonomian petani di perdesaan. Masyarakat
Desa Lasiwala yang berada di hulu daerah aliran sungai (DAS) Rongkong Kecamatan
Pitu Riase Kabupaten Sidrap Provinsi Sulawesi Selatan sebagian besar aktivitas
hariannya bekerja pada usaha tani memanfaatkan lahan secara agroforestry.
Tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti terkait penelitian tersebut yaitu: 1)
Mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat, tingkat pendapatan petani pada sistem
agroforestry di Desa Lasiwala, 2) Menganalisis hubungan antara umur, tingkat
pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, pengalaman berusaha tani, luas lahan, dan
sistem agroforestry yang diterapkan dengan tingkat pendapatan. Penelitian yang
dilakukan di Desa Lasiwala Kecamatan Pitu Riase Kabupaten Sidrap Provinsi Sulawesi
Selatan selama tiga bulan pada Oktober sampai Desember 2006.
Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian berupa pengumpulan
data primer dan sekunder. Data primer diperoleh mealui observasi langsung dan
wawancara dengan kuesioner, sampel 40 orang petani yang melakukan agroforestry
dengan teknik pengambilan sampel secara purposive sampling. Data sekunder diperoleh
dari informasi instansi-instansi terkait untuk mengetahui keadaan fisik wilayah dan
sosial ekonomi masyarakat.
Analisis:
Penelitian ini menggambarkan suatu analisis terkait hubungan antar faktor-faktor
yang saling mempengaruhi satu sama lain. Faktor sosial ekonomi masyarakat yang
saling memengaruhi yaitu, sebagai berikut: umur, tingkat pendidikan, jumlah
tanggungan keluarga, karakteristik lahan, pengalaman berusaha tani agroforestry, kerja
sama produksi dan pemeliharaan. Hubungan antara umur dengan tingkat pendapatan
tidak berhubungan nyata karena pengelolaan sistem agroforestry dapat dilakukan semua
kelompok umur, kecendrungan umur produktif muda mencari pekerjaan di luar desa dan
tidak tertarik dengan usaha tani agroforestry. Hubungan tingkat pendidikan dengan
pendapatan tidak ada hubungan nyata karena usaha tani agroforestry belum menerapkan
teknologi yang membutuhkan kualifikasi tingkat pendidikan yang tinggi. Hubungan
jmlah tanggungan keluarga dengan tingkat pendapatan tidak ada hubungan yang nyata
karena masyarakat masih punya pekerjaan atau usaha lain di luar usaha tani agroforestry
sehingga biaya hidup keluarga bukan tergantung pada hasil usaha tani. Hubungan
pengalaman berusaha tani dengan tingkat pendapatan tidak terdapat hubungan karena
pengelolaan lahan dilakukan dengan kebiasaan turun-temurun, masih belum banyak
informasi baru untuk pengelolaan teknik usaha tani bagi masyarakat. Hubungan luas
lahan yang dikelola dengan tingkat pendapatan mempunyai hubungan yang nyata
14
karena perbedaan kepemilikan lahan yang bervariasi sehingga hasil yang masyarakat
peroleh berbeda-beda, semakin luas rata-rata pemilikan lahan maka meningkatkan ratarata pendapatan masyarakat dalam hasil panen. Hubungan sistem agroforestry yang
diterapkan dengan tingkat pendapatan terdapat hubungan nyata yang terjadi karena
ternak memiliki harga jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan komoditas yang
termasuk unsur agroforestry.
9. Judul
: Kajian Dampak Perubahan Fungsi Kawasan
Hutan terhadap Masyarakat Sekitar
Tahun
: 2008
Jenis pustaka
: Jurnal
Bentuk pustaka
: Elektronik
Nama penulis
: Sylviani
Kota dan nama
: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan
penerbit
Kehutanan, Bogor, Jalan Gunung Batu No. 5
Bogor, Jawa Barat
Nama jurnal
: Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan
Volume (edisi): hal : Volume 5 (3): hal 155-178
Alamat URL
:http://ejournal.forda-mof.org/ejournallitbang/index.php/JPSE/article/view/367/354
Tanggal diunduh
: 12 November 2014
Kebijakan perubahan fungsi kawasan hutan yang dilakukan mempunyai tujuan
untuk optimalisasi dan manfaat fungsi kawasan hutan secara lestari dan
berkesinambungan, sebelum penetapan adakalanya pemerintah melakukan sosialisasi
kepada masyarakat sekitar atau dalam kawasan hutan. Departemen Kehutanan berupaya
untuk menekan eksploitasi terhadap hutan dengan menetapkan moratorium konversi
hutan alam, dimana fungsi kawasan hutan disesuaikan dengan peraturan yaitu, sebagai
berikut: fungsi konservasi terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, fungsi
lindung hutan dalam mengatur pola siklus tumbuhan dan tata atur terhadap air, dan
fungsi produksi sebagai pemanfaatan hasil hutan dalam pemenuhan kebutuhan seharihari. Bagi fungsi produksi yang mengalami perubahan justru berdampak pada
kebutuhan hidup banyak masyarakat, sehingga perlu pertimbangan terkait keadaan
biofisik maupun potensi konflik mendatang.
Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui dampak perubahan fungsi
kawasan hutan produksi dan hutan lindung menjadi kawasan hutan konservasi dengan
fungsi taman nasional terhadap sosial ekonomi masyarakat seperti kondisi sosialnya
(pemilikan lahan, budaya dan aspek lainnya), kondisi ekonomi (mata pencaharian dan
pola hidup). Dampak lingkungan terhadapa ketersediaan air dan kelestarian hutan serta
dampak hukum terhadap status kepemilikan lahan dan dampak kelembagaan terhadap
pengelola kawasan dan instansi terkait.
Metodologi terkait penelitian yang dilakukan di tiga provinsi yaitu Taman
Nasional Batang Gadis (TNBG) Sumatera Utara, Taman Nasinal Bukit Duabelas
(TNDB) Jambi, dan Taman Nasional Sebangau (TNS) Kalimantan Tengah. Data
sekunder digunakan untuk mendukung kajian terkait dengan aspek sosial, ekonomi,
hukum, lingkungan dan kelembagaan baik formal maupun informal. Analisis data
dilakuakan dengan tabulasi selanjutnya pembahasan secara deskriptif baik dalam
15
kualitatif maupun kuantitatif dalam berbagai aspek terkait sosial, ekonomi, lingkungan,
kebijakan, dan kelembagaan.
Analisis:
Perubahan fungsi kawasan hutan produksi (HP) dan hutan lindung (HL) menjadi
taman nasional dilakukan agar mengurangi eksploitasi kayu serta menjaga kelestarian
keanekaragaman hayati, perubahan fungsi suatu kawasan tersebut mempunyai
konsekuensi yang berbeda-beda. Dari beberapa aspek sosial dan ekonomi yang
ditemukan di lapangan menunjukkan bahwa perubahan fungsi kawasan relatif tidak
berpengaruh nyata terhadap kondisi sosial masyarakat, diharapkan ada peningkatan
produksi hasil budidaya non kehutanan melalui ekstensifikasi agar memberantas praktik
illegal loging. Dampak sosial ekonomi terhadap lembaga yang mengelola kawasan
sebelum diambil alih oleh Balai TN seperti di Sumatera Utara masih terjadi konflik
dengan perusahaan pertambangan dimana sebagian areal berada pada kawasan TN.
Dampak pada aspek lingkungan yaitu intensitas kerusakan terhadap kawasan TN kecil
khususnya pencurian kayu dan perambahan hutan sehingga mengurangi ancaman
terhadapa banjir dan erosi. Dampak kelembagaan yaitu dengan peraturan pemerintah
dibentuknya balai taman nasional, balai tersebut bertugas melaksanaan pengelolaan
ekosistem dalam rangka konservasi keanekaragaman hayatu serta pelestarian alam
dengan membentuk sistem zonasi kawasan. Dampak hukum yang terjadi yaitu
penetapan UU No 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya pasal 29 yang mengatur tentang taman nasional sebagai bentuk
pelestarian alam. Koordinasi dengan instansi lainnya yang berkaitan dengan keberadaan
kawasan masih perlu dilakukan secara intensif, program yang akan direncanakan
hendaknya berkaitan dengan sektor pariwisata dan pemerintah setempat. Kolaborasi
pengelolaan kawasan taman nasional merupakan salah satu langkah awal koordinasi
yang dilakukan menuju kearah pengelolaan yang lebih efektif, efisien, optimal,
terkoordinasi, dan berkelanjutan.
10. Judul
: Karakteristik dan Persepsi Masyarakat Daerah
Penyangga Taman Nasional Gunung HalimunSalak
Tahun
: 2011
Jenis pustaka
: Jurnal
Bentuk pustaka
: Elektronik
Nama penulis
: Reny Sawitri dan Endro Subiandono
Kota dan nama
: Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi
penerbit
Jl. Gunung Batu No. 5 Po Box 165; Telp. 02518633234, 7520067; Fax 0251-8638111 Bogor
Nama jurnal
: Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam
Volume (edisi): hal : Volume 8 (3): hal 273-285
Alamat URL
:http://fordamof.org/files/08.Reny_Karakteristik_klm_.pdf
Tanggal diunduh
: 12 November 2014
Kawasan TNGHS yang cukup luas mencakup tiga kabupaten yaitu Kabupaten
Lebak (Banten), Kabupaten Sukabumi (Jawa Barat), dan Kabupaten Bogor (Jawa Barat)
terdapat potensi biologi, ekologi, dan geologi yang dipandang sangat berharga dan
menentukan bagi perkembangan masyarakat sekitarnya. Di daerah TNGHS terdapat
16
enclave baik perkebunan maupu lahan garapan pertanian dan pemukiman, contohnya
yaitu Perkebunan Teh Nirmala dan Cianten sedangkan lahan garapan pertanian
umumnya berupa sawah dan ladang yang dimiliki oleh masyarakat Kasepuhan Citorek.
Potensi biologi, ekologi, dan geologi di dalam kawasan TNGHS menarik minat
masyarakat untuk merambah kawasan dan melakukan perburuan liar yang merupakan
isu strategis berkaitan dengan kurangnya lahan garapan sebagai pendukung
kesejahteraan masyarakat yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani dan
buruh tani, potensi tersebut diharapkan dapat dikelola oleh Pemda untuk menambah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan memperhias pembangunan.
Tujuan dari penelitian adalah mengamati potensi biologi, ekologi, dan geologi
kawasan TNGHS yang mendukung sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat baik yang
terdapat di dalam kawasan maupun di daerah penyangga melalui identifikasi
karakteristik masyarakat, teknik pengelolaan lahan, tingkat pemanfaatan, dan persepsi
masyarakat.
Metodologi dalam penelitian pengamatan lapang yang dilakukan pada Juni 2009
di Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak yang terdapat lima desa yang berbatasan
langsung atau di enclave dengan Blok Cirotan dan Cimari. Lingkup lokasi pengamatan
lebih tepatnya yaitu Kampung Dengkleng (Desa Sukamulya), Kampung Cirotan Atas
(Desa Cihambali), Kampung Ciparay (Desa Citorek Timur), Kampung Lebak Sembada
(Desa Citorek Kidul), dan Kampung Naga (Desa Citorek Tengah). Pengumpulan data
sosial ekonomi, teknis pengelolaan lahan, dan pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat
dilakukan melalui wawancara menggunakan kuesioner. Data sekunder berasal dari
monografi desa dan studi literatur. Data dan informasi dkompilasi dalam bentuk tabel
yang dianalisis secara deskriptif dan evaluatif dari aspek biologi, ekologi, geologi,
sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di kawasan TNGHS dan daerah penyangga.
Persepsi masyarakat terhadap potensi kawasan dan pemanfaatannya terutama potensi
geologi berupa galian golongan B yaitu emas, yasonit, dan galena.
Analisis:
Karakteristik masyarakat di daerah penyangga dan kawasan hutan TNGHS di
Blok Cirotan dan Cimari pada lima kampung meliputi lima desa di Kecamatan Cibeber
mayoritas bekerja sebagai petani atau buruh tani serta bekerja di pertambangan khusus
beberapa kampung yang unsur geologinya terkandung logam golongan B, kepemilikan
lahan masyarakat yaitu atas taman nasional dan sebagian lahan tanah milik (enclave).
Persawahan di luar daerah kasepuhan umumnya ditanami dua kali per tahun dengan
padi lokal maupun padi unggul karena masyarakat ini akan menjual hasil padi langsung
pada saat setelah panen, pemilihan sistem penanaman di ladang/kebun secara
monokultur maupun agroforestry berkaitan dengan topografi dan kelerangan lahan.
Ketergantungan masyarakat sekitar kawasan maupun di dalam kawasan terhadap
sumberdaya hutan dapat diketahui dari kegiatan harian dalam memenuhi kebutuhan
hidup melalui pemanfaatan hasil hutan baik berupa jasa lingkungan maupun
keanekaragaman hayati. Keadaan yang terjadi di masyarakat tersebut perlu diketahui
agar pengelolaan potensi kawasan dapat diarahkan pada sistem kolaborasi yang akan
dilaksanakan oleh pihak terkait seperti masyarakat, pemerintah daerah, dan pengelola
kawasan. Persepsi masyarakat lebih banyak ditujukan pada pemanfataan potensi geologi
berupa pertambangan emas, tetapi bagi masyarakat Kp. Lebak Sembada, Ds. Citorek
Kidul sebaiknya areal tersebut dikembalikankepada fungsinya sebagai kawasan
konservasi untuk melestarikan sumber mata air.
17
11. Judul
: Analisis Konflik Sumberdaya Hutan di Kawasan
Konservasi
Tahun
: 2011
Jenis pustaka
: Jurnal
Bentuk pustaka
: Elektronik
Nama penulis
: Ina Marina dan Arya Hadi Dharmawan
Kota dan nama
: Departemen Sains Komunikasi dan
penerbit
Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi
Manusia Institut Pertanian Bogor
Nama jurnal
: Jurnal Sodality
Volume (edisi): hal : Volume 5 (1): hal 90-96
Alamat URL
:
http://jesl.journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/articl
e/viewFile/5830/4495
Tanggal diunduh
: 12 November 2014
Sumberdaya alam bagi masyarakat sudah menjadi bagian dari kehidupannya,
baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun politik. Pemerintah kemudian menetapkan
UU No. 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya,
kawasan konservasi mempunyai fungsi 3P (penyangga, pengawetan, pemanfaatan).
Kementerian Kehutanan pada tahun 2003 menetapkan kawasan TNGHS merupakan
kesatuan hamparan hutan dataran rendah dan pegunungan yang mempunyai
keanekaragaman hayati yang tinggi, sumber mata air bagi kepentingan kehidupan
masyarakat di sekitarnya yang perlu dilindungi dan dilestariakan. Sejak ratusan tahun
lalu masyarakat adat Kasepuhan telah melakukan pengelolaan hutan sesuai dengan adat
lokal. Masyarakat mengelola hutan berdasarkan dengan jenis-jenis hutan yang telah
dikategorikan oleh adat yaitu terdapat tiga jenis hutan, antara lain: Leuweung Tutupan,
Leuweung Titipan, dan Leuweung Bukaan. Pengelolaan ketiga jenis hutan ini diatur oleh
adat yang diwakilkan ketua adat (Abah).
Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui sejarah konflik dan pihakpihak yang terlibat dalam konflik sumberdaya alam, serta memahami bentuk-bentuk
penyelesaian yang telah dilakukan untuk meredam konflik di Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak.
Metodologi penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi
kasus, metode ini dipilih karena mampu memberikan pemahaman yang mendalam dan
rinci mengenai suatu peristiwa atau gejala sosial, serta mampu menggali realitas dan
proses sosial. Metode studi studi kasus pada pelaksanaannya di lapangan dilakukan
dengan menggunakan wawancara mendalam, pengamatan berperan serta terbatas,
maupun analisis data sekunder sebagai instrumennya. Strategi studi kasus yang
diterapkan oleh peneliti mampu menghindari terbatasnya pemahaman yang diikat oleh
suatu teori tertentu dan yang hanya berdasar pada penafsiran peneliti. Lokasi penelitian
dilakukan di Kampung Sinar Resmi, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kasepuhan
Sinar Resmi.
Analisis:
Konflik kehutanan di kawasan Gunung Halimun dimulai sejak tahun 1970-an
ketika hak pengelolaan hutan dipegang oleh Perhutani, saat itu terjadi tumpang tindih
antara hutan milik Perhutani dan hutan adat milik Kasepuhan. Kawasan ini sudah
termasuk dalam kawasan Perhutani, persoalan mulai terjadi saat aparat keamanan
18
melihay incu putu (masyarakat adat) Kasepuhan mulai membuka huma dengan
membabat bukit-bukit di daerah penyangga. Hal tersebut tidak menjadi persoalan yang
berkepanjangan, mengingat saat itu hubungan antara pihak Kasepuhan dengan Perhutani
dan Pemerintah daerah setempat terjalin dengan baik. Permasalahan yang terjadi dengan
Perhutani tidak hanya mengenai soal lahan, ada permasalahan lain yang terjadi di sana.
Menurut narasumber permasalahan muncul ketika Perhutani menjadikan kawasan hutan
titipan Kasepuhan sebagai kawasan hutan produksi. Menrut peraturan adat Kasepuhan
di dalam kawasan hutan titipan tidak boleh ada kegiatan ekonommi termasuk untuk
diproduksi massal, bertentangan dengan fungsi hutan produksi Perhutani yang
memfungsikan kawasan hutan tersebut untuk kegiatan ekonomi. Permasalahan ini tidak
sampai menimbulkan konflik yang keras, karena bisa diselesaikan dengan baik, dan
Perhutani memindahkan lokasi hutan produksinya ke luar wilayah hutan titipan.
Sumber-sumber konflik yaitu adanya perbedaan persepsi, kepentingan, tata nilai, dan
akuan hak kepemilikan. Perbedaan persepsi ketika pihak taman nasional menganggap
masyarakat sebagai perambah hutan, sedangkan masyarakat menganggap tamn nasional
mengambil lahan masyarakat. Pihak taman nasional memiliki kepentingan untuk
konservasi kawasan, sedangkan masyarakat memiliki ketergantungan pemenuhan
kebutuhan sehari-hari dalam kehidupannya. Kalim kepemilikan menjadi konflik utama
karena pihak taman nasional menganggap kawasan tersebut milik negara, sedangkan
masyarakat tidak memiliki hak untuk mengklaim tanah yang dianggap milik leluhur
mereka. Penyelesaiaan konflik dengan menawarkan Kasepuhan Cipta Gelar yang berada
pada enclave taman nasional agar dijadikan zona khusu budaya. Pengelolaan kawasan
oleh taman nasional ditolak oleh pihak Kasepuhan karena mereka lebih mengetahui
kebutuhan masyarakat mereka. Upaya yang dilakukan adalah negosiasi tetapi belum
menemui kesepakatan, proses mediasi perlu dilakukan untuk mengakomodasi keinginan
pihak-pihak yang berkonflik.
12. Judul
: Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan
Struktur Agraria (Studi Kasus di Kelurahan
Mulyaharaja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota
Bogor, Jawa Barat)
Tahun
: 2007
Jenis pustaka
: Jurnal
Bentuk pustaka
: Elektronik
Nama penulis
: Martua Sihaloho, Arya Hadi Dharmawan, Said
Rusli
Kota dan nama
: Departemen Sains Komunikasi dan
penerbit
Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi
Manusia Institut Pertanian Bogor
Nama jurnal
: Jurnal Sodality
Volume (edisi): hal : Volume 1 (2): hal 253-270
Alamat URL
:
http://ilkom.journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/art
icle/viewFile/5928/4605
Tanggal diunduh
: 12 November 2014
Pemanfaatan sumberdaya agraria merupakan salah satu kebutuhan berbagai
pihak dalam memnuhi kebutuhan harian, lahan atau tanah merupakan salah satu sumber
utama yang sangat penting dalam program pembangunan pertanian. Ketersediaan tanah
semakin berkurang seiring pertambahan jumlah penduduk dan perubahan program
19
pembangunan serta kebijakan melalui upaya konversi lahan. Konversi lahan pertanian
merupakan suatu perubahan sosial dimana masyarakat mengalami perubahan antar
ruang dan waktu. Kebutuhan pemukiman membuat perubahan pada desa-desa agraris di
jawa menjadi desa-desa industri karena keterbatasan lahan agraria. Lahan pertanian
produktif mengalami penurunan luas lahan, disatu sisi berupaya meningkatkan
penjualan nilai tanah kepada pihak-pihak pengguna permukiman, industri, ataupun
kepentingan pemerintah.
Tujuan penelitian untuk mengetahui dan menganalisis seberapa besar jumlah
lahan pertanian yang terkonversi menjadi peruntukan lain. Dalam memahami implikasi
tersebut terhadap perubahan struktur agraria menyangkut perubahan pola penguasaan
lahan, pola nafkah, dan hubungan pola produksi. Mengetahui dan menganalisis
implikasi ketimpangan struktur agraria terhadap kehidupan/kesejahteraan masyarakat
dalam hal pilihan mata pencaharian utama dan strategi lain (mata pencaharian non
pertanian).
Metode penelitian yang dilakukan di Kelurahan Mulyaharja, Kotamadya Bogor,
Jawa Barat pada bula April-Juni 2004 dengan pertimbangan lokasi tersebut merupakan
salah satu daerah pinggiran metropolitan dengan dengan masalah pembangunan yang
relatif tersentuh berbagai pihak. Strategi yang digunakan dengan pendekatan kualitatif
dengan pertimbangan studi kasus dalam proses pengkajian dan pengumpulan data
secara mendalam dan detail. Penelitian memadukan metode pengamatan, wawancara
mendalam, studi/analisis data dokumen/sekunder. Informasi diperoleh dari responden,
tokoh informan, diskusi kelompok dan juga kajian dokumen atau data sekunder yang
relevan. Data analisis primer dan sekunder kemudian dikaji dan dianalisis serta
dirumuskan menjadi sejumlah rangkaian argumentasi yang didukung oleh fakta empiris
di lapangan. Data yang telah direduksis kemudian diperlukan penyajian hingga
memungkinkan dilakukan menarik butri pokok hingga memperoleh kesimpulan utama.
Analisis:
Faktor yang menyebabkan konversi lahan yaitu aras makro dengan menyangkut
kebijakan pemerintah yang memberikan iklim kondusif bagi transformasi peruntukan
suatu kawasan dan pertumbuhan penduduk, serta aras mikro yang menyangkut
keterdesakan ekonomi, investasi pihak pemodal, proses alih hak milik atas tanah, dan
proses pengadaan tanah. Pola konversi yang umum di lokasi penelitian adalah
sistematik berpola enclave dan pola konversi yang unik atau spesifik lokal adalah
konversi masalah sosial dan konversi adaptasi agraris. Konversi lahan yang terjadi pada
umumnya lebih merupakan kehendak PT yang ingin menguasai lahan dan dapat
digunakan untuk berbagai kepentingan, pola nafkah yang khususnya pada generasi
muda sudah beralih ke sektor industri dalah hal usaha bengkel. Salah satu hal konkrit
yang perlu menjadi upaya dari seluruh pihak berkepentingan yang mengakses maupun
yang belum mengakses untuk meminimalkan laju konversi lahan. Perlu tindakan
mengatasi ketidakadilan agraria yaitu melakukan penguatan kelembagaan lokal
khusunya yang terkait langsung dengan pemilikan dan pengusahaan sumberdaya agraria
(tanah), merumuskan praktik-praktik redistribusi manfaat bagi warga yang kini tidak
mendapatkan tanah garapan misalnya dengan membuat batas maksimum tanah garapan
untuk suatu keluarga dan meingkatkan upah warga yang bekerja bagi perumahan PT.
RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN
Struktur Sosial Ekonomi Sistem Perkebunan
Perkebunan merupakan kekayaan nasional Belanda yang ditanamkan di
Indonesia sebesar 25%, yang merupakan 75% dari modal seluruhnya milik Indonesia di
samping modal Inggris, Perancis, dan Belgia 19% dan Amerika 3%. Keuntungan yang
dinikmati oleh kaum pemodal terbilang tinggi hingga ratusan juta rupiah, sedangkan
rakyat Indonesia hanya mendapatkan hasil sengsara yang berakibat kemiskinan,
kelaparan, buta huruf, dan kebodohan (Tauchid, 2009). Dalam penjelasan menurut
Tauchid tersebut bahwa sejak puluhan tahun lalu Negara Indonesia sudah terjajah
melalui kondisi dan sistem perkebunan yang tidak mensejahterakan tenaga kerja
perkebunan tersebut. Tenaga kerja perkebunan rela diupah kecil sehingga untuk menuju
kesejahteraan sangatlah sulit untuk diwujudkan, sampai saat ini petani perkebunan
tetaplah menjadi petani yang tidak jauh dari profesinya sebagai kuli. Kesejahteraan
petani perkebunan dapat terwujud apabila mereka memiliki sebagian lahan dan menjalin
kemitraan dengan baik kepada pihak perkebunan, tetapi hal ini masih tergolong sangat
jarang. Menurut UU RI Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan Pasal 1 Ayat 1
dijelaskan bahwa “Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman
tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai,
mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat”. Pada tahun 1997/1998
perkebunan besar di Indonesia mencapai angka 1.338 kebun dengan status penguasaan
perusahaan swasta atau pemerintah, dari jumlah tersebut terdapat 252 kebun merupakan
dalam status terlantar (Wiradi, 2009). Memasuki tahun 2000 bertambah 3,52 juta ha;
kemudian tahun 2005 tercatat bertambah 770 ribu ha; sejak tahun 2000-2012 sudah
tercatat mencapai 10 juta ha lahan perkebunan sawit ditanam di Indonesia. Pada tahun
2015 akan dialokasikan 20 juta ha lahan perkebunan sawit yang tersebar di pulau-pulau
besar Indonesia seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua (T. Li dan P.
Semedi, 2010; STPN, 2012). Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit dan karet tercatat
mengalami perkembangan dari tahun 1967-1997 namun pada sepuluh tahun terakhir
perkebunan kelapa sawit meningkat rata-rata sebesar 14% per tahun, jauh dari
peningkatan perkebunan karet yang hanya 2% per tahun. Luas areal perkebunan kelapa
sawit masih jauh di bawah luas areal perkebunan karet pada tahun 1997, namun struktur
kepemilikan pada kedua perkebunan tersebut terbalik. Perkebunan sawit dimiliki oleh
perusahaan, pemerintah, ataupun swasta dengan pangsa lahan sekitar 66%. Terbalik dari
perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet didominasi kepemilikannya oleh
perkebunan rakyat dengan presentase mencapai 83%.
Permasalahan agraria yang dihadapi saat ini di negara kita tidak lepas dari
konflik pada zaman kolonial yang ditelantarkan Belanda setelah memasuki era jajahan
Jepang. Rakyat mengolah tanah perkebunan yang ditinggalkan pengusaha asing dan
21
ditanami tanaman untuk perbekalan Jepang yang saat itu sedang menduduki Indonesia,
timbul persepsi rakyat melalui ijin pemerintah Jepang bahwa rakyat telah kembali
memperoleh hak atas tanah mereka (Wiradi, 2009). Tanah perkebunan besar akan
dibagikan kepada petani penggarap, dan sebagian tetap menjadi perkebunan besar yang
dikelola melalui koperasi-koperasi oleh negara (Tauchid, 1952; Wiradi, 2009). Pada
tahun 1949 muncul Konferensi Meja Bundar (KMB) sebagai suatu cara Belanda
memegang hak penguasaan atas tanah Indonesia yang dimaksudkan tanah tersebut harus
dikembalikan kepada pemegang haknya semula (pemodal asing). Terkait dengan sejarah
konflik agraria, sistem perkebunan besarsecara khusus harus dijelaskan dengan rinci
dikarenakan Indonesia sebagai negara yang bercirikan plantation economy yang
dominan. Sistem perkebunan besar juga merupakan sumber masuknya kapitalisme Barat
ke dalam negara dunia ketiga, kepentingan bahan mentah dan hasil tanaman tropis
negara ketiga yang digunakan sebagai hasil olahan oleh negara industri (Hayami et al,
1990:10; Wiradi, 2009). Sejarah menunjukkan bahwa sistem produksi perkebunan besar
mempunyai empat atribut penting (Mandle, 1983; Wiradi, 2009), yaitu: 1) berorientasi
ekspor dalam skala besar; 2) kebutuhan tenaga kerja sangat besar dibandingkan dengan
yang tersedia pada pasar domestik yang bebas; 3) mekanisme ekstra-pasar oleh aparatur
pemerintah guna memenuhi kebutuhan, dan mekanisme ini berhubungan dengan
penentuan hubungan sosial dalam masyarakat; dan 4) tumbuhnya budaya tertentu yang
memperkuat hubungan-hubungan sosial yang telah terbentuk. Menurut Wiradi (2009)
struktur agraria warisan kolonial merupakan ciri plantation estate dengan ketetntuan
bahwa tanah yang dikuasai sangat luas dan tidak mengenal batas maksimum serta relatif
bebas dari berbagai sarana kontrol sosial, sekalipun dalam kondisi yang terlantar.
Perkebunan besar dikelola sebuah birokrasi “plantokrasi” yang jahat dan tidak
terjangkau dalam kontrak sosial karena pada umumnya “enclave” yang terpisah dari
masyarakat.
Ketimpangan Struktur Penguasaan
Menurut Gunawan Wiradi (2009) ketimpangan dalam struktur penguasaan
merupakan susunan distribusi mengenai kepemilikan tanah secara formal maupun
penguasaan garapan/operasional terhadap sumber-sumber agraria, termasuk di
dalamnya sebaran alokasi atau peruntukan. Permasalahan tersebut sering kita temukan
pada tingkat makro terutama di sektor kehutanan, perkebunan, dan pertanian tanaman
pangan. Dalam UU Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan Pasal 10 Ayat 1
dijelaskan bahwa “Penggunaan tanah untuk usaha perkebunan, luas maksimum dan
minimumnya ditetapkan oleh Menteri, sednagkan pemberian hak atas tanah ditetapkan
oleh instansi yang berwenang di bidang pertanahan”. Tercatat dalam 30 tahun terakhir
antara 1968-1998 luas areal perkebunan meningkat dari yang keseluruhannya mencapai
4,96 juta ha menjadi 14,67 juta ha. Struktur penguasaan dari data sebelumnya dapat
memberikan gambaran kuat tentang gejala yang terjadi, yaitu: 1) terjadi incompatibility
dalam hal penyediaan tanah dalam hal ini pertanian rakyat tergusur menyebabkan
pertambahan jumlah perkebunan besar, serta tingginya modal swasta sektor kehutanan
22
yang menggeser kedudukan pemerintah, 2) kemudian incompatibility yang terjadi cukup
parah pada sektor internal pangan (Wiradi, 2001; Wiradi, 2009).
Menurut Wiradi dan Makali (1984) dalam Wiradi (2009) distribusi penguasaan
dalam gambaran mikro terkait ketimpangan diilustrasikan dengan data-data SDP/SAE
(Studi Dinamika Pedesaan/Survei Agro Ekonomi) yang dihasilkan survey berulang
dengan sampel desa di Jawa dan Sulawesi pada akhir 1970-an dan pada awal 1980-an
yang secara khusus meneliti berbagai aspek usaha tani padi sawah. Kepemilikan formal
tidak selalu menunjukkan penguasaan nyata atas tanah karena banyak cara untuk
penguasaan atas tanah, yaitu: sewa-menyewa, penyakapan, penggadaian yang semuanya
telah diatur dalam UUPA 1960. Bagi petani yang bukan pemilik dan tidak memiliki
tanah garapan, petani tersebut tergolong sebagai tunakisma mutlak. Gambaran di tingkat
mikro jauh lebih terlihat nyata menunjukkan kondisi ketimpangan dibandingkan pada
tingkat makro.
Ketimpangan Peruntukan dan Penggunaan Tanah
Administrasi pertanahan telah diletakkan oleh pihak yang menggunakannya
sebagai masalah legalisasi aset yang dipandang sebagai cara memerangi kemiskinan di
negara berkembang, dengan sertifikasi efektifitas pasar tanah dipercaya dapat
mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam legalisasi aset. Ketimpangan dan
kemiskinan bukan akibat ketidakmampuan dalam pemilikan (formal) terhadap suatu
sumber daya, melainkan disebabkan oleh konsentrasi dan diferensiasi penguasaan tanah
yang dilancarkan oleh pasar tanah. Pasar tanah dianggap memunculkan kembali,
menggeser, atau merubah konsentrasi penguasaan tanah. Keberadaan kapitalisme
dianggap sebagai penyebab utama perubahan struktur kesejahteraan berdasarkan luasan
penguasaan atas tanah melalui pemilikan modal (Wallece dan Williamson, 2006; Tim
Riset Sistematis, 2010).
Lenin (1985) dalam Wiradi (2009) menjelaskan tentang gejala diferensiasi
sebagai transisi suatu polarisasi yang menjadi antagonistis menurut kelas petani
kapitalis dan proletar, melalui polarisasi tersebut kelas petani menengah menghilang
jatuh menjadi kelas proletar ataupun naik menjadi kelas borjuis. Pandangan Lenin
digambarkan dalam bagan sebagai berikut.
23
TITIK AWAL
FASE TRANSISI
TITIK AKHIR
Petani Luas/Kaya
Kelas Borjuis
Petani Menengah
Homogen
Antagonistik
Petani
Miskin/Kecil
Buruh/Buruh Tani
Tunakisma
Kelas Proletar
Proses
proletarisasi
Proses
diferensiasi
Proses
polarisasi
Gambar 1
Diferensiasi Sosial (Kelas) Menurut Lenin
Figure 1
Kutipan gambar: Wiradi, 2009
Pada masa kepemimpinan seorang pembawa aliran baru populis atau disebut
neo-populis bernama Chayanov (1917), kelompok peneliti menguji pandanganpandangan agraria terdahulu melalui penelitian empiris serta mengambangkan metodemetode sendiri. Menurut Chayanov dalam Wiradi (2009) masyarakat tani merupakan
sebuah sistem ekonomi yang khas sehingga ilmu modern tdak sesuai dengan
penggambaran keadaan masyarakat tani, dalam hal tersebut tersusunlah teori mikro
ekonomi tani (peasant economics) sebagai pendukung teori makronya. Terdapat
proposisi pokok dengan empat proporsisi turunan dalam teori tersebut, sebagai berikut.
1. Masyarakat tani atau peasant society adalah masyarakat pedesaan yang tidak
meliputi pasar tenaga kerja di dalamnya, dan ekonomi merupakan hanya satuan
Usahatani Keluarga (UK), usaha tani yang tidak menggunakan upah melainkan
tenaga keluarga.
2. UK tidakbersifat profit maximization, hanya membangaun dan menjaga
keseimbangan consumer-labour ratio (C/L), yang disebut jugasubsisten.
Kegiatan kerja satuan keluarga tidak ditentukan oleh perhitungan obyektif
tentang keuntungan, tetapi penilaian subyektif tentang labour drudgery (selfexploitation of labour power).
3. Peasant society bagi semua rumah tangga terapat jangkauan terbuka terhadap
tanah garapan.
4. Besarnya keluarga mempengaruhi atas luas tanah yang digarapnya.
5. C/L mempengaruhi jam kerja bagi anggota usia dewasa (jika C/L naik maka jam
kerja bertambah dan output per hektar menjadi bertambah).
6. C/L mempengaruhi produktivitas tenaga kerja (output per tenaga kerja
bertambah dan terjadi proses self-exploitation of labour power).
24
7. Pada setiap rumah tangga, C/L menentuka nilai total output per kapita.
Struktur Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan merupakan masalah yang mencakup berbagai aspek serta
meliputi variasi sektoral dan regional, dan dapat diulas dari berbagai sudut pandang.
Penggambaran masalah tersebut dalam konteks struktur agraris masyarakat pedesaan
Jawa. Mengutip beberapa ahli dalam Wiradi (2009) pedesaan Jawa di luar penguasaan
tanah secara khusus dicirkan oleh aspek-aspek ketenegakerjaan, yaitu sebagai berikut:
1. Hasil penelitian Survei Agro Ekonomi (SAE) di 20 desa penghasil padi Jawa
menunjukkan kegiatan pra-panen sekitar 75-80% dari total penggunaan tenaga
kerja menggunakan tenaga kerja luar keluarga, proporsi penggunaan tenaga
kerja luar keluarga untuk kegiatan pra-panen sangat besar dan lebih besar lagi
ketika saat panen (Coliier dan Birowo, 1973; Wiradi, 2009). Dalam hal tersebut
berarti pedesaan Jawa tidak memiliki ciri umum dari dominasi tenaga kerja
keluarga atau “peasant society”.
2. Tenaga kerja luar keluarga merupakan tenaga upahan/bayaran, pertukaran
tenaga tanpa upah (exchang labour) sudah sulit ditemui pada masa kini menurut
beberapa studi.
3. Jutaan keluarga tunakisma dan hampir tunakisma menjadi buruh untuk
mendapatkan upah penghasilan, sekitar 30% dari tenaga kerja di sektor pertanian
memiliki pekerjaan utama sebagai “buruh tani” (Sensus Penduduk 1971, Seri E,
Tabel 35). Data makro yang menunjukkan tentang tunakisma memang tidak ada,
tetapi dengan berbagai indikator diterapkan pada Sensus Pertanian 1973 dan
Sensus Penduduk 1971 menunjukkan sekitar 49% rumah tangga pedesaan Jawa
adalah tunakisma (White dan Wiradi 1979; Wiradi, 2009).
4. Desa-desa dataran rendah yang padat jumlah penduduknya, proporsi tunakisma
tergolong tinggi karena ada yang sampai lebih dari 70% (Wiradi dan Makali
1984; Wiradi, 2009).
5. Kegiatan non-pertanian merupakan tambahan pendapatan yang sangat penting
bagi semua lapisan masyarakat pedesaan.
6. “Extreme occupational multiplicity” dengan suatu pembagian pekerjaan yang
sangat lentur di antara anggota-anggota rumah tangga sebagai dasar hidup di
pedesaan Jawa (White, 1981: 140; Wiradi, 2009). Pendapatan setiap rumah
tangga berasal dari sumber yang selalu berubah sesuai dengan kesempatan
terhadap musim, terhadapa “pasar tenaga”, dan terhadap waktu luang hariannya.
7. Kelembagaan hubungan kerja “tradisional” yang beragam dan erat, hal tersebut
berkaitan dengan transaksi tanah, penguasaan, dan transaksi hasil bumi.
Kaitan antara penguasaan tanah, pekerjaan di luar pertanian, dan ditribusi
pendapatan pada hakikatnya golongan petani luas yang mempunyai surplus pendapatan
mampu menginvestasinya pada usaha padat modal yang menghasilkan pendapatan yang
juga relatif besar (alat pengolahan hasil tani, berdagangan bermodalkan besar, dan
sebagainya). Petani kecil dan buruh tani hanya berpendapatan pas-pasan yang tidak
25
mencukupi kebutuhan hidup keluarganya saja, untuk memenuhi kebutuhan mereka pun
harus mencari pekerjaan non-pertanian misalnya kerajinan tangan, penjual minuman,
warung kecil, dan lain sebagainya (Sinaga dan White, 1979; Wiradi, 2009). Sebuah
skema menunjukkan gambaran tersebut, kita dapat lihat sebagai berikut.
Sumber-sumber Pendapatan
Kelas Penguasaan
Tanah
Pertanian Berbasis
Tanah
Pertanian Berbasis
Non-Tanah
Non-Pertanian
Surplus
Pertanian
I
II
III
IV
Biaya Hidup
Minimum
I = Petani besar/pemilik tanah luas
II = Petani menengah
III = Petani kecil
IV = Buruh tani tak bertanah
Gambar 2
Bagan Skematis Hubungan Antara Penguasaan Tanah, Sumber
Pendapatan, dan Distribusi Pendapatan
Figure 2cvsdKutipan
Gambar: Sinaga dan White (1979) dalam Wiradi (2009)
Petani pemilik tanah luas lebih mempunyai jangkauan terhadap sumber-sumber
non-pertanian, pada gilirannya melahirkan proses akumulasi modal dari investasi yang
saling menunjang baik di bidang pertanian maupun non-pertanian diantara golongan elit
desa. Pada golongan bawah secara kronis kekurangan sumberdaya kecuali tenaga kerja
sehingga keragaman pekerjaan yang dilakukannya lebih ke arah strategi bertahan hidup
(survival), saat kondisi demikian gejala ketimpangan menjadi semakin tajam karena
transformasi struktur ketenagakerjaan tidak terjadi.
Figure
26
SIMPULAN
Hasil Rangkuman dan Pembahasan
Kehidupan sosial masyarakat perkebunan tidak terlepas dari sistem sejarah yang
sebelumnya menguasai daerah perkebunan di seluruh Indonesia. Sebagaimana sistem
produksi perkebunan besar memiliki orientasi pada ekspor skala besar yang otomatis
membutuhkan tenaga kerja yang lebih besar, keterlibatan penting aparatur pemerintah
berpengaruh dalam hubungan mekanisme hubungan sosial, hingga tumbuhnya
kebudayaan yang memperkuat hubungan sosial tersebut. Struktur agraria warisan
kolonial memang memiliki ketentuan bahwa tanah yang dikuasai sangatlah luas dan
tidak memiliki batas maksimum dan terbebas dari berbagai sarana kontrol sosial, hal ini
akan membentuk lahan-lahan terlantar yang pada hakikatnya baik untuk dibagikan
kepada masyarakat dalam pemanfaatan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Pada masalah agraria di Indonesia ketimpangan dalam struktur penguasaan
merupakan susunan distribusi mengenai kepemilikan tanah secara formal maupun
penguasaan garapan/operasional terhadap sumber-sumber agraria, termasuk di
dalamnya sebaran alokasi atau peruntukan. Tercatat dalam 30 tahun terakhir antara
1968-1998 luas areal perkebunan meningkat dari yang keseluruhannya mencapai 4,96
juta ha menjadi 14,67 juta ha. Penguasaan lahan bagi pemilik masih diperoleh
permasalahan yang kebanyakan ketimpangan penguasaan tersebut dikarenakan
distribusi yang dilakukan masih belum sesuai dan merata, ataupun penerima hasil
distribusi tidak benar-benar dalam memanfaatkan lahan tersebut. Ketimpangan dan
kemiskinan bukan akibat ketidakmampuan dalam pemilikan (formal) terhadap suatu
sumber daya, melainkan disebabkan oleh konsentrasi dan diferensiasi penguasaan tanah
yang dilancarkan oleh pasar tanah. Pasar tanah dianggap memunculkan kembali,
menggeser, atau merubah konsentrasi penguasaan tanah. Keberadaan kapitalisme
dianggap sebagai penyebab utama perubahan struktur kesejahteraan berdasarkan luasan
penguasaan atas tanah melalui pemilikan modal (Wallece dan Williamson, 2006; Tim
Riset Sistematis, 2010). Lenin (1985) dalam Wiradi (2009) menjelaskan tentang gejala
diferensiasi sebagai transisi suatu polarisasi yang menjadi antagonistis menurut kelas
petani kapitalis dan proletar, melalui polarisasi tersebut kelas petani menengah
menghilang jatuh menjadi kelas proletar ataupun naik menjadi kelas borjuis.
Kaitan antara penguasaan tanah, pekerjaan di luar pertanian, dan disstribusi
pendapatan pada hakikatnya golongan petani luas yang mempunyai surplus pendapatan
mampu menginvestasinya pada usaha padat modal yang menghasilkan pendapatan yang
juga relatif besar (alat pengolahan hasil tani, berdagangan bermodalkan besar, dan
sebagainya). Petani kecil dan buruh tani hanya berpendapatan pas-pasan yang tidak
mencukupi kebutuhan hidup keluarganya saja, untuk memenuhi kebutuhan mereka pun
harus mencari pekerjaan non-pertanian misalnya kerajinan tangan, penjual minuman,
warung kecil, dan lain sebagainya (Sinaga dan White, 1979; Wiradi, 2009). Petani
pemilik tanah luas lebih mempunyai jangkauan terhadap sumber-sumber non-pertanian,
pada gilirannya melahirkan proses akumulasi modal dari investasi yang saling
menunjang baik di bidang pertanian maupun non-pertanian diantara golongan elit desa.
Pada golongan bawah secara kronis kekurangan sumberdaya kecuali tenaga kerja
sehingga keragaman pekerjaan yang dilakukannya lebih ke arah strategi bertahan hidup
(survival), saat kondisi demikian gejala ketimpangan menjadi semakin tajam karena
transformasi struktur ketenagakerjaan tidak terjadi.
27
Usulan Kerangka Analisis Baru
Gambar 3
Struktur Sistem Perkebunan
- Sosial
- Ekonomi
Struktur Penguasaan Sebaran atau
Distribusi atas Sumber-sumber
Agraria
- Mengenai status kepemilikan
(Penguasaan Secara Formal)
- Penguasaan Efektif
(Garapan/Operasional)
Sumber-sumber Pendapatan pada
Struktur Ketenagakerjaan
- Kegiatan Perekonomian Pertanian
Berbasis Tanah
- Kegiatan Perekonomian Pertanian
Berbasis Non-Tanah
- Kegiatan Perekonomian NonPertanian
Ketimpangan Perekonomian
Pertanian dalam Penggunaan dan
Peruntukan Lahan
- Petani Luas/Kaya
- Petani Menengah
- Petani Miskin
- Buruh Tani/Tunakisma
Figure 3
Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Skripsi
1. Bagaimana keadaan struktur sosial ekonomi komunitas desa di kawasan
perkebunan?
2. Bagaimana mekanisme ketimpangan dalam permasalahan agraria pada
keadaan sosial ekonomi komunitas desa di kawasan perkebunan?
3. Bagaimana dampak sistem perkebunan terhadap kesejahteraan komunitas
desa di kawasan perkebunan?
DAFTAR PUSTAKA
Aris A, Juanda B, Fauzi A, Hakim DB. 2010. Dampak Pengembangan Perkebunan
Kelapa Rakyat Terhadap Kemiskinan dan Perekonomian Kabupaten Indragiri
Hilir. Jurnal Agro Ekonomi. [Internet]. [dikutip 20 Oktober 2014]. Volume 28
(1): hal 69-94. Dapat diunduh melalui: http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/
pdffiles/JAE%2028-1d.pdf
Fadjar U, Sitorus MTF, Dharmawan AH, Tjondronegoro SMP. 2008. Transformasi
Sistem Produksi Pertanian dan Struktur Agraria serta Implikasinya Terhadap
Diferensiasi Sosial dalam Komunitas Petani (Studi Kasus pada Empat
Komunitas Petani Kakao di Provinsi Sulawesi Tenggara dan Nangroe Aceh
Darussalam). Jurnal Agro Ekonomi. [Internet]. [dikutip 20 Oktober 2014].
Volume
26
(2):
hal
209-233.
Dapat
diunduh
melalui:
http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/JAE26-2e.pdf
Gautama I. 2007. Studi Sosial Ekonomi Masyarakat pada Sistem Agroforestry di Desa
Lasiwala Kabupaten Sidrap. Jurnal Hutan dan Masyarakat. [Internet]. [dikutip
12 November 2014]. Volume 2 (3): hal 319-328. Dapat diunduh melalui:
http://journal.unhas.ac.id/index.php/ hm/article/view/96
Huwae RC, Idrus MS, Salim U. 2013. Pengaruh Sosial Ekonomi, Produktivitas
Pekebun, dan Manajemen Usaha Tani terhadap Keputusan Pengembangan
Usaha Tani Kelapa Sawit Rakyat (Studi pada Perkebunan Kelapa Sawit di
Kabupaten Keerom Provinsi Papua). Jurnal Aplikasi Manajemen. [Internet].
[dikutip 20 Oktober 2014]. Volume 11 (1): hal 49-64. Dapat diunduh melalui:
http://www.jurnaljam.ub.ac.id/index.php/jam/article/viewFile/495/525
Marina I, Dharmawan AH. 2011. Analisis Konflik Sumberdaya Hutan di Kawasan
Konservasi. Jurnal Sodality. [Internet]. [dikutip 12 November 2014]. Volume 5
(1): hal 90-96. Dapat diunduh melalui: http://jesl.journal.ipb.ac.id/index.php/
sodality/article/viewFile/5830/4495
Ningtyas PMK, Dharmawan AH. 2010. Dampak Program Pembaharuan Agraria
Nasional (PPAN) terhadap Keadaan Sosial Ekonomi dan Ekologi Masyarakat
Lokal. Jurnal Sodality. [Internet]. [dikutip 20 Oktober 2014]. Volume 4 (3): hal
333-344. Dapat diunduh melalui: http://jamu.journal.ipb.ac.id/index.php/
sodality/article/viewFile/5840/4505
Qomar N, Hadi S, Rifai A. 2008. Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat di sekitar
Tanaman Industri di Riau. Jurnal Industri dan Perkotaan. [Internet]. [dikutip 20
Oktober 2014]. Volume 12 (22): hal 1763-1769. Dapat diunduh melalui:
http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JIP/article/viewFile/577/570
Sawitri R, Subiandono E. 2011. Karakteristik dan Persepsi Masyarakat Daerah
Penyangga Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. : Jurnal Penelitian Hutan
dan Konservasi Alam. [Internet]. [dikutip 12 November 2014]. Volume 8 (3):
hal
273-285.
Dapat
diunduh
melalui:
http://fordamof.org/files/08.Reny_Karakteristik_klm_.pdf
Sihaloho M, Dharmawan AH, Rusli S. 2007. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan
Struktur Agraria (Studi Kasus di Kelurahan Mulyaharaja, Kecamatan Bogor
Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat). Jurnal Sodality. [Internet]. [dikutip 12
November 2014]. Volume 1 (2): hal 253-270. Dapat diunduh melalui:
http://ilkom.journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/viewFile/5928/4605
31
Sistematis, Tim Riset (2010). Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial,
Kesejahteraan Masyarakat, dan Keberlanjutan Ekologis. Penyunting: Laksmi A.
Savitri, Ahmad Nashih Luthfi, dan Amien Tohari. Yogyakarta. Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional (bekerjasama dengan Sajogyo Institute). 214 hlm.
STPN, Tim Peneliti (2012). Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia
Awal Abad 21 (Hasil Penelitian Sistematis STPN, 2012). Penyunting: Ahmad
Nashih Luthfi. Yogyakarta. Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. 225 hlm.
Sumarti T. 2007. Kemiskinan Petani dan Strategi Nafkah Ganda Rumahtangga
Pedesaan. Jurnal Sodality. [Internet]. [dikutip 20 Oktober 2014]. Volume 1 (2):
hal
217-232.
Dapat
diunduh
melalui:
http://jesl.journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/viewFile/5930/4607
Susilowati SH, Sinaga BM, Wilson, Limbong H, Erwidodo. 2007. Dampak Kebijakan
Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan
Rumah Tangga di Indonesia: Analisis Imulasi dengan Sistem Neraca Sosial
Ekonomi. Jurnal Agro Ekonomi. [Internet]. [dikutip 20 Oktober 2014]. Volume
25
(1):
hal
11-36.
Dapat
diunduh
melalui:
http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/JAE%2025-1b.pdf
Sylviani. 2008. Kajian Dampak Perubahan Fungsi Kawasan Hutan terhadap Masyarakat
Sekitar. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. [Internet]. [dikutip 12
November 2014]. Volume 5 (3): hal 155-178. Dapat diunduh melalui:
http://ejournal.forda-mof.org/ejournallitbang/index.php/JPSE/article/view/367/354
Tauchid, Mochammad (2009). Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan
Kemakmuran Rakyat Indonesia. Penyunting: Tim LIBRA. Yogyakarta. STPN
Press (bekerja sama dengan Persaudaraan Warga Tani). 691 hlm.
Wiradi, Gunawan (2009). Metodologi Studi Agraria: Karya Terpilih Gunawan Wiradi.
Penyunting: Moh. Shohibuddin. Bogor. Sajogyo Institute (bekerjasama dengan
Pusat Kajian Agraria IPB dan Departemen Sains KPM Fema IPB). 348 hlm.
Wiradi, Gunawan (2009). Seluk-beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria, dan
Penelitian Agraria. Penyunting: Moh. Shohibuddin. Bogor. Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional (STPN) Press dan Sajogyo Institute. 258 hlm.
RIWAYAT HIDUP
Maulana Ridwan Rais dilahirkan di Ciamis pada tanggal 25 Desember 1992,
terlahir sebagai anak bungsu dari empat bersaudara oleh pasangan H. Maryono dan
Maryamah. Pendidikan formal yang pernah dialami adalah TK Kartini Kota Tangerang
(1997-1999), SDS Kartini Kota Tangerang (1999-2005), SMPN 1 Kota Tangerang
(2005-2008), SMAN 7 Kota Tangerang (2008-2011). Pada tahun 2011 penulis diterima
menjadi mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
melalui jalur undangan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Penulis pernah aktif dalam dalam kepengurusan organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ekologi Manusia sebagai Biro Internal (2013-2015). Selain kepengurusan
organisasi, penulis juga pernah aktif sebagai kontingen olahraga dalam Olimpiade
Mahasiswa IPB mewakili Fema serta mewakili SKPM pada kejuaraan Fema Cup
“Espent” pada cabang olahraga sepak bola, bola basket, dan bola voli.
Download