KOMPOSISI MINERAL MAKRO DAN MIKRO DAGING UDANG RONGGENG (Harpiosquilla raphidea) AKIBAT PROSES PEREBUSAN Oleh: Afid Ihsanul Khotami C34104031 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN AFID IHSANUL KHOTAMI. C34104031. Komposisi Mineral Makro dan Mikro Daging Udang Ronggeng (Harpiosquilla raphidea) Akibat Proses Perebusan. Dibimbing oleh NURJANAH dan AGOES M. JACOEB Udang Ronggeng merupakan salah satu jenis krustase yang cukup diminati untuk dikonsumsi, terutama oleh masyarakat internasional. Udang ini tergolong komoditas penting dan memiliki harga yang relatif mahal. Udang ronggeng juga berpotensi sebagai pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat dengan cara diolah menjadi berbagai bahan masakan lezat dan gurih. Metode pengolahan yang paling banyak diterapkan dan dipelajari adalah pemanasan. Salah satu dari proses pemanasan tersebut adalah perebusan. Pengolahan berbagai jenis masakan udang dapat berpengaruh terhadap kandungan nutrisinya khususnya mineral. Mineral memiliki peranan yang sangat vital bagi tubuh manusia. Contoh mineral yaitu kalsium dan fosfor berfungsi dalam pembentukan tulang dan gigi, natrium berfungsi dalam membantu mempertahankan tekanan osmotik dan menjaga keseimbangan asam basa serta mineral makro lain yang keberadaannya penting bagi tubuh, dan seng memiliki peranan penting dalam transportasi oksigen ke jaringan hemoglobin dan dalam mekanisme oksidasi seluler. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ukuran dan bobot, rendemen, komposisi kimia, serta komposisi mineral makro dan mikro dari udang ronggeng (Harpiosquilla raphidea) pada kondisi segar dan setelah perebusan. Udang ronggeng yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Pasar Ikan Muara Angke, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara dengan berat rata-rata 206,08+12,80 g dan panjang rata-rata 30,08+1,59 cm. Rendemen udang ronggeng (Harpiosquilla raphidea) terdiri atas karapas 54,15 %; daging 41,27 %; dan jeroan 4,59 %, sedangkan pada udang ronggeng setelah perebusan mengalami penyusutan sebesar 32,90 %. Komposisi kimia daging udang ronggeng segar meliputi kadar air, abu, protein, dan lemak, masing-masing sebesar 76,55 % (bb); 5,42 % (bk); 87,08 % (bk); dan 6,52 % (bk), sedangkan setelah proses perebusan mengalami perubahan yaitu, kadar air 74,09 % (bb); abu 5,36 % (bk); protein 86,78 % (bk) dan lemak 3,20 % (bk). Komposisi mineral yang terkandung dalam daging udang ronggeng meliputi mineral makro dan mikro. Mineral makro yang terdapat pada daging udang ronggeng segar terdiri atas fosfor (P) sebesar 303,51 mg/100 g (bb); kalium (K) 256,12 mg/100 g (bb); kalsium (Ca) 130,66 mg/100 g (bb); magnesium (Mg) 124,34 mg/100 g (bb); dan natrium (Na) 36,46 mg/100 g (bb), sedangkan mineral mikro pada daging udang ronggeng meliputi: besi (Fe) sebesar 1,23 mg/100 g, tembaga (Cu) 0,39 mg/100 g; dan seng (Zn) 10,27 mg/100 g. Proses perebusan menyebabkan penurunan nilai kandungan mineral. Mineral makro setelah proses perebusan mengalami perubahan nilai yaitu: kalsium 27,63 mg/100 g; kalium 205,72 mg/100 g; natrium 25,88 mg/100 g; magnesium 75,42 mg/100 g; dan fosfor 296,74 mg/100 g, sedangkan kandungan mineral mikro setelah perebusan yaitu: besi 1,08 mg/100 g; tembaga 0,22 mg/ 100 g; dan seng 6,29 mg/ 100 g. KOMPOSISI MINERAL MAKRO DAN MIKRO DAGING UDANG RONGGENG (Harpiosquilla raphidea) AKIBAT PROSES PEREBUSAN Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Afid Ihsanul Khotami C34104031 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 Judul : KOMPOSISI MINERAL MAKRO DAN MIKRO DAGING UDANG RONGGENG (Harpiosquilla raphidea) AKIBAT PROSES PEREBUSAN Nama : Afid Ihsanul Khotami NRP : C34104031 Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Ir. Nurjanah, MS NIP. 19591013 198601 2 002 Dr.Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol. NIP. 19591127 198601 1 005 Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 19610410 198601 1 002 Tanggal Lulus: PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Komposisi Mineral Makro dan Mikro Daging Udang Ronggeng (Harpiosquilla raphidea) Akibat Proses Perebusan” adalah benar karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, September 2009 Afid Ihsanul Khotami C34104031 KATA PENGANTAR Alhamdulillah, penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Komposisi Mineral Makro dan Mikro Daging Udang Ronggeng (Harpiosquilla raphidea) Akibat Proses Perebusan” dengan baik dan tepat pada waktunya. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah membimbing, mengarahkan, serta membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada: 1. Ibu Ir. Nurjanah, MS dan Bapak Dr. Ir. Agoes M Jacoeb selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan tuntas. 2. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil dan Ir. Djoko Poernomo, B.Sc selaku dosen penguji atas masukan serta bimbingannya kepada penulis. 3. Ibu Desniar, S.Pi, M.Si selaku pembimbing akademik atas bimbingan dan dorongan semangatnya kepada penulis. 4. Seluruh dosen, staf Dept. THP (Mas Mail, Mas Ipul, Mas Zaky, Ibu Emma) serta Umi , terima kasih atas pengajaran, dukungan dan bantuannya selama ini kepada penulis. 5. Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M,Sc selaku Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan IPB, DR. Rimbawan selaku Direktur Kemahasiswaan, dan Bapak Bambang Riyanto S.Pi, M,Si yang telah banyak membimbing dan membantu penulis mengembangkan soft skill selama menjadi mahasiswa. 6. Kedua orangtua (H. Yusuf Anis dan Hj. Mardinah) yang senantiasa tiada henti-hentinya mendoakan anaknya mencapai kesuksesan dunia akhirat. 7. Kakak-kakak (Mas Anas, Bu Upik, Mbak Annik, Mas Ata, Mbak Nurul, Mbak Tina) dan Keponakan tercinta (Timpluk, Cempluk, dan Zidan) atas dukungan, bantuan, canda tawa, menyelesaikan skripsi ini. dan semangat kepada penulis untuk 8. Pak Dodi di Laboratorium PAU, terima kasih atas segala bantuannya selama penulis melakukan penelitian. 9. Sahabat-sahabat yang luar biasa di Kabinet Totalitas Perjuangan BEM KM IPB: Gema Buana Putra, Fahmi Hakim, Feri S, Cici Sugiharti, Nidia, Ruri, Betty, Gadiez (Sesmenku yang paling baik hati), M. Hamdani, Eka Febrial, Wahyu, Rudi, Shohib, Irvan, Wahyu, Duta, Yoghi, Eka Wulan, Yuyun, Vina, Ame, Melput, Mbak Ii, atas kebersamaan dan persahabatan selama di BEM KM. 10. Sahabat-sahabatku BOS 2008 (terutama Sylvia Amanda, terimakasih telah sangat banyak membantuku menyelesaikan amanah di BOS dan maaf jika banyak salah dan sering direpotkan olehku, Zulyadnan, Ubit, Rian, Dian, Idham, Yuni, Yudhi, Indah, Novan, Ajib, Vina, Cikun, Irvan, terimakasih banyak). 11. Sahabat-sahabatku THP 41: M. Hamdani dan Wisnu sahabat seperjuangan, An’im, Nuzul, Erlangga, Anang, Ubit, Yoghie, Wahyu, Dika, Haris, Boby, Fahmi, Alim, Enif, Dila, anak-anak lab Om Benk dan semuanya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas kebersamaan, bantuan, semangat dan doa. 12. Tim Penelitian Ronggeng (Dani, Wisnu, dan Dewi) akhirnya penulis menyusul jejak kalian. 13. Tim penelitian Kijing (Pur, Ane, dan Ullie) yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 14. Teman-teman THP 40 (Nono Hartono), THP 42 (Pril, Ale, Indri, Fathu, Aan, dkk), THP 43, dan THP 44 atas semangat dan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan seminar dan sidang . 15. Keluarga besar FKM C (selalu semangat dalam berdakwah, bikin terobosanterobosan baru biar lebih inovatif. 16. Keluarga besar Ikatan Alumni SMA Al-Islam 1 Surakarta cabang Bogor (TALAS BOGOR). Mas Budi, Mas Tisna, Mas Dzakir, Piu, Mba Uma, AnNisa, Angga, Mertina, dll. 17. Sahabat-sahabat terbaikku (Aditya PM, Shohib, Murtaqi), semoga kita diberikan kemudahan dan kesuksesan dunia akhirat. 18. Keluarga besar Al-Izzah (Komar, Dito Reynaldi, Mas Ince, Kopral, Aris, Sumarto, Nur, Wirudy, Imam, Bang Aut, Holil, dan lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu). Empat tahun di Al-Izzah banyak kenangankenangan indah bersama kalian. 19. Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara moril dan materiil selama penelitian dan penyusunan skripsi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa di dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Bogor, September 2009 Afid Ihsanul Khotami RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Boyolali pada tanggal 20 Januari 1986 sebagai putra kelima dari lima bersaudara pasangan Bapak Yusuf Anis dan Ibu Mardinah. Tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah I Kateguhan, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Sawit, Boyolali. Tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan formal di Sekolah Menengah Umum Al-Islam 1 Surakarta. Tahun 2004, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam organisasi intra kampus, diantaranya sebagai Staf Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) Forum Keluarga Muslim Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan periode 2004-2005; Staf Departemen Pengembangan Budaya, Olahraga, dan Seni (PBOS) Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (BEM FPIK) periode 2005-2006; Kepala Departemen PBOS BEM FPIK periode 2006-2007; Ketua Sanggar Silaturahim Mahasiswa Muslim (SASHIMI) Departemen Teknologi Hasil Perairan periode 2006-2007; serta diberikan amanah sebagai Menteri Budaya, Olahraga, dan Seni (BOS) Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) periode 2007-2008. Penulis pernah menjabat sebagai asisten Dosen mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Penulis juga pernah menerima beasiswa dari POM, Peningkatan Prestasi Ekstrakurikuler (PPE). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul ”Komposisi Mineral Makro dan Mikro Daging Udang Ronggeng (Harpiosquilla Raphidea) Akibat Proses Perebusan” dibawah bimbingan Ir. Nurjanah, MS dan Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.- Biol. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .............................................................................................vii DAFTAR TABEL ......................................................................................ix DAFTAR GAMBAR ..................................................................................x DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................xi 1. PENDAHULUAN ..............................................................................1 1.1. Latar Belakang ............................................................................1 1.2. Tujuan Penelitian.........................................................................2 2. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................3 2.1. Klasifikasi dan Deskripsi Udang Ronggeng (Harpiosquilla raphidea).............................................................3 2.2. Komposisi Kimia Udang .............................................................4 2.3. Mineral dan Fungsinya ................................................................5 2.3.1 Mineral makro ...................... ...............................................6 (a) Kalsium (Ca)...................... ...............................................6 (b) Kalium (K) ........................ ...............................................7 (c) Magnesium (Mg) ............... ...............................................8 (b) Natrium (Na) ..................... ...............................................8 (b) Fosfor (K).......................... ...............................................9 2.3.2 Mineral mikro .......................... ..........................................10 (a) Besi (Fe)......................... ...............................................10 (b) Seng (Zn) ....................... ...............................................11 (c) Tembaga (Cu)................. ...............................................11 (b) Iodium (I)....................... ...............................................12 2.4. Kelarutan Mineral............................................... .... ....................13 2.5. Pengaruh Perebusan....... ..............................................................14 2.6. Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS)....... .....................15 3. METODOLOGI ...............................................................................17 3.1. Waktu dan Tempat ....................................................................17 3.2. Alat dan Bahan ..........................................................................17 3.3. Metode Penelitian......................................................................17 3.3.1. Uji kesegaran udang ronggeng (SNI 01-2346-2006).........19 3.3.2. Uji sensori udang ronggeng (SNI 01-2346-2006) .............19 3.3.3. Rendemen udang ronggeng (SNI 19-1705-2000)..............20 3.3.4. Analisis proksimat ..........................................................20 (a) (b) (c) (d) Analisis kadar air (AOAC 1995)..................................20 Analisis kadar abu (AOAC 1995) ................................21 Analisis kadar protein (AOAC 1995)............................21 Analisis kadar lemak (AOAC 1995)..............................22 3.3.5. Analisis kandungan mineral ...........................................23 (a) Pengujian mineral Mg, Ca, K, Na, Zn, Cu, dan Fe (Fardiaz et al. 1990) ................................................23 (b) Pengujian fosfor (Apriyantono et al. 1989) ..................25 (c) Pengujian iodium (Raghuramulu et al. 1983 diacu dalam Irawan 2006) ...................................... .....26 4. HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................28 4.1. Karakteristik Udang Ronggeng (Harpiosquilla raphidea)..........28 4.2. Mutu Udang Ronggeng .............................................................29 4.3. Uji Sensori Udang Ronggeng dengan Perebusan 2 % NaCl.........30 4.4. Rendemen Udang Ronggeng .....................................................32 4.5. Komposisi Kimia Udang Ronggeng ..........................................33 4.5.1. Kadar air..........................................................................35 4.5.2. Kadar abu ........................................................................36 4.5.3. Kadar protein ...................................................................38 4.5.4. Kadar lemak.....................................................................39 4.6. Komposisi Mineral Udang Ronggeng .......................................40 4.6.1. Mineral makro .................................................................41 4.6.2. Mineral mikro .................................................................44 5. KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................47 5.1. Kesimpulan ...............................................................................47 5.2. Saran .........................................................................................47 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................48 LAMPIRAN ..............................................................................................53 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Komposisi kimia udang .................................................................... 5 2. Kandungan mineral pada udang........................... ...............................5 3. Pembuatan larutan standar mineral 1000 ppm ................................. 24 4. Ukuran panjang dan bobot udang ronggeng (Harpiosquilla raphidea)............................................................... 28 5. Nilai organoleptik daging udang ronggeng rebus 2 % NaCl ............ 31 6. Komposisi kimia beberapa jenis udang ........................................... 34 7. Komposisi kimia udang ronggeng segar dan rebus hasil penelitian ....................................................................................... 34 8. Komposisi mineral beberapa jenis udang ........................................ 41 9. Komposisi mineral makro udang ronggeng .................................... 41 10. Kandungan mineral mikro udang ronggeng.................................. ....44 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Udang ronggeng (Harpiosquilla raphidea) ......................................... 3 2. Diagram alir metode penelitian......................................................... 18 3. Morfologi udang ronggeng.................................................................29 4. Persentase rendemen udang ronggeng segar ..................................... 32 5. Persentase rendemen udang ronggeng rebus…… ............................. 33 6. Kadar air daging udang ronggeng segar dan rebus . …………………36 7. Kadar abu daging udang ronggeng segar dan rebus……......………..37 8. Kadar protein daging udang ronggeng segar dan rebus ..................... 38 9. Kadar lemak daging udang ronggeng segar dan rebus....................... 40 10. Kandungan mineral makro daging udang ronggeng segar dan rebus . 42 11. Kandungan mineral mikro daging udang ronggeng segar dan rebus.. 45 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Sampel udang ronggeng (Harpiosquilla raphidea)............................ 53 2. Data mentah ukuran udang ronggeng..................................................54 3. Lembar penilaian organoleptik udang segar (SNI-01-2346-2006).... 54 4. Lembar penilaian uji sensori udang rebus (SNI-01-2346-2006)……. 55 5. Data mentah uji kesegaran udang ronggeng ………………… .......... 56 6. Data mentah uji sensori udang ronggeng rebus ………………… .... .57 7. Rendemen udang ronggeng segar dan rebus ……………………… 58 8. Data mentah analisis proksimat ………..…… ................................. 58 9. Data mentah komposisi mineral udang ronggeng ………..……...... 58 1. 1.1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perairan Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya perikanan yang potensial, baik perikanan laut maupun tawar. Salah satu sumberdaya perikanan yang mendominasi adalah udang. Udang merupakan salah satu komoditas favorit bagi masyarakat lokal maupun internasional dalam beberapa tahun terakhir. Ekspor udang Indonesia cenderung stabil walaupun terkena dampak krisis global. Nilai produksi budidaya udang dapat mencapai 345.000 ton pada tahun 2008. Udang juga memiliki nilai yang tinggi untuk hasil perikanan tangkap (DKP 2008). Udang berpotensi sebagai pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat. Udang tergolong hewan yang memiliki kandungan nilai gizi, yaitu meliputi protein, asam amino, asam lemak, vitamin dan mineral. Udang telah diolah menjadi berbagai bahan masakan lezat dan gurih, bahkan jenis udang besar juga sudah sering digunakan untuk menggantikan lobster. Pengolahan pangan bertujuan untuk mendapatkan bahan pangan yang aman untuk dimakan sehingga nilai gizi yang dikandung bahan pangan tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal. Tujuan lain dari pengolahan yaitu agar bahan pangan tersebut dapat diterima, khususnya diterima secara sensori, yang meliputi penampakan, aroma, rasa, dan tekstur. Metode pengolahan pangan yang paling banyak diterapkan dan dipelajari adalah pemanasan. Salah satu dari proses pemanasan tersebut adalah perebusan (Apriyantono 2002). Pengolahan berbagai jenis masakan udang dapat berpengaruh terhadap kandungan nutrisi udang, salah satunya adalah mineral. Mineral merupakan zat gizi yang dikenal sebagai zat anorganik atau unsur hara. Jumlah minimum yang dibutuhkan manusia setiap harinya hanya sedikit dan umumnya kurang dari setengah gram. Meskipun demikian, mineral memegang peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh pada tingkat sel, jaringan, organ, maupun fungsi tubuh secara keseluruhan (Almatsier 2003). Mineral memiliki peranan yang sangat vital bagi tubuh manusia. Mineral makro seperti kalsium dan fosfor berfungsi dalam pembentukan tulang dan gigi, natrium berfungsi dalam membantu mempertahankan tekanan osmotik dan menjaga keseimbangan asam basa serta mineral makro lain yang keberadaannya penting bagi tubuh (Winarno 2008). Mineral mikro seperti seng memiliki peranan penting dalam transportasi oksigen ke jaringan hemoglobin dan dalam mekanisme oksidasi seluler (Almatsier 2003). Salah satu jenis udang yang tergolong komoditas penting dan juga memiliki harga yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan jenis udang lainnya adalah udang ronggeng (Harpiosquilla raphidea). Harga udang ronggeng dengan ukuran 20-25 cm (grade A) dalam keadaan hidup dapat mencapai Rp 24.500/ekor, ukuran 15-19 cm (grade B) memiliki harga Rp 12.000/ekor dan ukuran 10-14 cm (Grade C) memiliki harga Rp 3.000/ekor. Udang ronggeng dalam keadaan mati dijual dengan harga Rp 45.000/kg, sedangkan udang windu atau udang komersial lainnya dijual dengan kisaran (Rp 15.000-Rp 25.000)/kg. Udang ronggeng kurang dikomersialkan di Indonesia namun cukup diminati oleh negara-negara Asia seperti Cina, Jepang, Thailand, dan Hongkong (Thahar 2004). Informasi mengenai kandungan gizi udang ronggeng secara lengkap masih terbatas menyebabkan sumberdaya tersebut belum dimanfaatkan secara optimum sehingga belum banyak dilakukan upaya pengolahan udang ronggeng untuk memberikan nilai tambah ataupun mempertahankan mutu udang ronggeng sebaik mungkin. Salah satu informasi penting yang belum banyak diketahui dari udang ronggeng adalah komposisi mineral. Penelitian ini berguna untuk mengetahui kandungan gizi pada udang ronggeng khususnya mineral, agar menjadi informasi bagi masyarakat luas dan sebagai dasar pemanfaatan lebih lanjut sebagai sumberdaya pangan di masa depan. 1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan ukuran dan bobot tubuh, rendemen, komposisi kimia (kadar air, abu, lemak, dan protein kasar), serta komposisi mineral makro dan mikro udang ronggeng (Harpiosquilla raphidea) pada kondisi segar dan setelah perlakuan perebusan. 2. 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Deskripsi Udang Ronggeng (Harpiosquilla raphidea) Udang ronggeng merupakan salah satu spesies yang termasuk ke dalam Kelas Krustase. Pemberian namanya lebih didasarkan karena bentuk morfologinya yang menyerupai udang dan bentuk capit depannya seperti belalang sembah (praying mantis). Panjang udang ini dapat mencapai 30-35 cm. Karapas udang ini hanya menutupi sebagian kepala dan tiga segmen pertama dari toraks. Jenis udang ronggeng ini memiliki varietas yang beraneka warna, mulai dari warna gelap, coklat hingga yang berwarna terang (Motoyama et al. 2008). Morfologi udang ronggeng dapat dilihat pada Gambar 1. Udang ronggeng dapat diklasifikasikan menurut (Lovett 1981) sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Subkelas : Malacostraca Ordo : Stomatopoda Famili : Squillidae Genus : Harpiosquilla Spesies : Harpiosquilla raphidea Gambar 1. Udang ronggeng (Harpiosquilla raphidea). Udang ronggeng (Harpiosquilla raphidea) secara morfologi memiliki garis hitam pada bagian belakang antara antena dan ophthalmic somite, antenula yang menghasilkan zat warna hitam berpusat pada bagian tepi anterior, celah antara torasik somit, serta garis tepi antara anterior dan posterior pada karapas. Permukaan tubuhnya berwarna kekuningan, telson yang memiliki 6 buah duri kecil, antena sepasang, abdomen terdiri dari 10 ruas, antara satu bagian dengan bagian lain dipisah oleh garis hitam, uropod bagian dalam dan luar berwarna hitam dan mempunyai bulu-bulu halus, mempunyai celah torasik dengan tiga bagian propundus yang mempunyai duri-duri kecil yang tajam, telson dipisahkan oleh garis yang berwarna hitam (Manning 1969 diacu dalam Halomoan 1999). Keunikan lain dari udang ini yaitu mempunyai dua mata yang dapat berputar 360 derajat berfungsi sebagai radar. Kebiasaan udang ini bersembunyi dan berdiam diri di bebatuan dan balik karang sambil menunggu mangsanya. Udang ronggeng termasuk salah satu hewan karnivora yang dapat memangsa ikan dengan ukuran lima kali lebih besar dari tubuhnya (Patek et al. 2007). Udang ronggeng memiliki nama yang berbeda di berbagai daerah, antara lain udang ketak, udang lipan, udang mentadak. Udang cakrek atau udang plethok merupakan nama lokal yang dikenal di daerah Serang, Banten. Udang ronggeng di Australia terkenal dengan nama “prawn killers”, hal ini karena sifatnya yang agresif terutama pada saat akan menyerang dan membunuh mangsanya. Sepasang capitnya yang kuat dan kokoh sering digunakan untuk menarik perhatian mangsanya, kemudian menyergap dan mengoyaknya. Bahkan seekor udang ronggeng ini dapat membelah dan meretakkan gelas akuarium hanya dengan sekali pukulan dengan capitnya (Patek et al. 2007). 2.2 Komposisi Kimia Udang Udang seperti krustase pada umumnya mengandung astaksantin, yaitu suatu jenis karotenoid yang berwarna merah atau merah muda. Warna kebiruan pada udang segar dihasilkan oleh ikatan protein dengan astaksantin. Jika terkena panas maka ikatan protein dengan astaksantin akan terputus sehingga menghasilkan warna merah kekuningan (Frank 1980). Komposisi kimia dari udang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia udang Komposisi Konsentrasi (%) Air Abu Protein Lemak 65,69-75,86 1,20-1,30 17,77-20,31 0,92-1,73 Sumber : USDA (2006) Menurut Frank (1980) udang tergolong hewan yang kaya kandungan nilai gizi, hal ini disebabkan tingginya protein pada udang dengan 18 jenis asam amino yang terkandung di dalamnya. Udang juga memiliki kandungan vitamin yang beragam. Kandungan vitamin larut air yang terdapat pada udang adalah vitamin B dan C, sedangkan kandungan vitamin larut lemak yang terdapat pada udang adalah A, D, E, dan K. Selain memiliki kandungan protein, asam amino, dan vitamin, udang juga kaya kandungan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh. Mineral yang terkandung pada udang terdiri atas kelompok mineral makro dan mineral mikro. Komposisi mineral yang terkandung pada udang dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan mineral pada udang Jenis Mineral Natrium (Na) Kalium (K) Fosfor (P) Kalsium (Ca) Magnesium (Mg) Besi (Fe) Seng (Zn) Tembaga (Cu) Mangan (Mn) Selenium (Se) Konsentrasi 148 185 205 52,0 37,0 2,41 1,1 0,264 0,050 38,0 Satuan mg/100 g mg/100 g mg/100 g mg/100 g mg/100 g mg/100 g mg/100 g mg/100 g mg/100 g µg/100 g Sumber : USDA (2006) 2.3 Mineral dan Fungsinya Mineral adalah unsur-unsur kimia selain karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen yang dibutuhkan oleh tubuh. Sebagian besar unsur-unsur tersebut berupa garam anorganik dalam makanan, misalnya natrium klorida. Selain itu beberapa mineral juga terdapat dalam senyawa organik yaitu, sulfur dan fosfor yang merupakan penyusun berbagai protein (Kasmidjo 1992). Mineral berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur di dalam tubuh. Unsur mineral natrium, kalium, kalsium, magnesium, dan fosfor, terdapat dalam tubuh dengan jumlah yang cukup besar maka dikenal sebagai unsur mineral makro. Unsur mineral lain yaitu besi, iodium, tembaga, dan seng hanya terdapat dalam tubuh dalam jumlah yang kecil, karena itu disebut trace element atau mineral mikro (Winarno 2008). 2.3.1 Mineral makro Mineral makro merupakan unsur mineral pada tubuh manusia yang terdapat dalam jumlah besar. Mineral makro dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari (Kasmidjo 1992). Beberapa unsur mineral makro yang dibutuhkan oleh tubuh akan dijelaskan sebagai berikut: a. Kalsium (Ca) Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh. Sebagian besar kalsium terkonsentrasi dalam tulang rawan dan gigi, sisanya terdapat dalam cairan tubuh dan jaringan lunak (Winarno 2008). Kalsium berfungsi dalam pembentukan dan perkembangan tulang dan gigi. Tulang adalah campuran tulang rawan dan garam kalsium. Serat-serat protein tulang rawan membentuk jaringan, garam kalsium terutama fosfat yang diendapkan. Kalsium merupakan salah satu faktor terpenting yang dibutuhkan dalam proses pembekuan darah. Kalsium juga diperlukan untuk memelihara otot dan syaraf dalam tubuh agar berfungsi normal (Kasmidjo 1992). Kalsium dalam tubuh juga berfungsi mengukur proses biologis yang terjadi. Keperluan kalsium terbesar terjadi pada waktu pertumbuhan, tetapi kebutuhan kalsium juga masih diteruskan meskipun sudah mencapai usia dewasa. Pada proses pembentukan tulang, tulang baru akan dibentuk bersamaan dengan dihancurkannya tulang yang tua secara simultan (Williams 2005). Kandungan kalsium dari komoditas perairan sangat bervariasi tergantung dari spesiesnya. Tulang ikan merupakan sumber kalsium yang sangat baik. Komoditas lain yang memiliki kecenderungan kalsium tinggi adalah kerangkerangan dan Udang. Hal ini disebabkan komoditas tersebut memiliki cangkang atau karapas yang mengandung mineral dalam jumlah besar, salah satunya yaitu kalsium (Okuzumi dan Fujii 2000). Kekurangan kalsium ditandai dengan melunaknya tulang akibat matriks tulang yang tidak padat. Penyakit yang biasa terjadi karena kekurangan kalsium adalah osteoporosis atau penurunan masa tulang (Suhardjo dan Kusharto 1987). Wanita lebih rentan terhadap osteoporosis daripada pria karena massa tulang rangka wanita lebih kecil pada usia dewasa serta adanya periode kegagalan pertumbuhan tulang yang cepat setelah terjadinya menopause (Olson et al. 1988). Angka kecukupan gizi rata-rata mineral kalsium bagi bayi usia 0-12 bulan adalah sebesar 200-400 mg/hari, anak-anak usia 1-9 tahun sebesar 500-600 mg/hari, lakilaki dan wanita usia 18-19 tahun sebesar 1000 mg/hari, dan usia 19-65 tahun sebesar 800 mg/hari (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004). b. Kalium (K) Kalium merupakan unsur logam yang termasuk dalam kelompok logam alkali dengan simbol K dan sebagian besar garamnya digunakan dalam pengobatan. Kalium memiliki nomor atom 19 dengan berat atom 39,102 dan berat jenis 0,87. Kalium merupakan kation utama dalam sebagian besar sel (cairan intraseluler) dan otot (Harjono et al. 1996). Kalium berperan dalam pengaturan kandungan cairan sel. Kalium bersama dengan klorida membantu menjaga tekanan osmotik dan keseimbangan asam basa. Kalium juga membantu dalam mengaktivasi reaksi enzim, seperti piruvat kinase yang dapat menghasilkan asam piruvat dalam proses metabolisme karbohidrat (Winarno 2008). Kalium juga berperan dalam pengaturan fungsi otot. Kalium yang dikonsumsi dalam jumlah yang besar akan menurunkan tekanan darah, sehingga dapat mencegah penyakit darah tinggi (Okuzumi dan Fujii 2000). Kalium banyak terdapat pada sayur-sayuran, buah-buahan, dan tanaman lainnya. Kandungan kalium dari makanan tersebut dapat mencapai 10-100 kali lebih besar daripada kandungan natrium dalam makanan tersebut. Rasio kandungan kalium dan natrium cenderung berbeda pada produk perairan seperti udang tergantung dari spesiesnya (Okuzumi dan Fujii 2000). Kekurangan kalium dapat terjadi karena tubuh banyak kehilangan ion kalium melalui saluran pencernaan seperti muntah-muntah yang berlebihan atau diare yang berat. Kekurangan kalium dapat mengakibatkan lemah, letih, lesu, kehilangan nafsu makan dan kelumpuhan (Suhardjo dan Kusharto 1987). Angka kecukupan gizi kalium pada orang dewasa sehari-hari adalah sebesar 2000 mg (Almatsier 2003). c. Magnesium (Mg) Magnesium merupakan unsur logam dengan nomor atom 12 dan memiliki berat atom 24,312 dengan lambang Mg. Garam dari magnesium esensial di dalam gizi dan diperlukan untuk aktivitas enzim, terutama yang bertanggung jawab dalam fosforilasi oksidasi besi (Harjono et al. 1996). Magnesium memegang peranan penting dalam sistem enzim di dalam tubuh. Magnesium berfungsi sebagai katalisator dalam reaksi-reaksi biologik termasuk reaksi-reaksi yang berkaitan dengan metabolisme energi, karbohidrat, lipida, protein, dan asam nukleat serta dalam sintesis, degradasi, dan stabilitas bahan gen DNA. Magnesium juga berperan dalam transmisi saraf, kontraksi otot, pembekuan darah, dan mencegah kerusakan gigi dengan cara menahan kalsium di dalam email gigi (Almatsier 2003). Kandungan magnesium pada komoditas perairan berbeda-beda nilainya tergantung dari spesies. Jenis rumput laut memiliki kandungan magnesium lebih tinggi dibandingkan kerang-kerangan, udang dan ikan. Produk perikanan mengandung magnesium sebesar 20-50 mg/100 g, sementara jenis rumput laut memiliki kandungan sebesar 120-620 mg/100 g. Komoditas perairan tersebut berpotensi besar untuk mencukupi kebutuhan gizi rata-rata magnesium bagi manusia (Okuzumi dan Fujii 2000). Angka kecukupan gizi rata-rata magnesium bagi bayi umur 0-12 bulan adalah 25-55 mg/hari, anak-anak 1-9 tahun sebesar 60-120 mg/hari, laki-laki dan wanita 10-18 tahun sebesar 170-270 mg/hari, serta usia 19-65 tahun ke atas sebesar 270-300 mg/hari (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004). Kekurangan magnesium terjadi apabila kekurangan konsumsi protein dan energi. Kekurangan magnesium akan menyebabkan kurang nafsu makan, gangguan dalam pertumbuhan, koma, gagal jantung, lemah otot, kejang kaki, serta telapak kaki dan tangan gemetar (Almatsier 2003). d. Natrium (Na) Natrium banyak terdapat dalam plasma darah dan cairan di luar sel (ekstraseluler), beberapa diantaranya terdapat dalam tulang. Natrium dan klorida umumnya berhubungan sangat baik sebagai bahan makanan maupun fungsinya di dalam tubuh. Sebagai bagian terbesar dari cairan ekstraseluler, natrium dan klorida berfungsi membantu mempertahankan tekanan osmotik dan menjaga keseimbangan asam basa (Winarno 2008). Kekurangan natrium disebabkan oleh berkurangnya cairan ekstraseluler sehingga tekanan osmotik dalam tubuh menurun. Natrium dalam jumlah banyak akan menyebabkan orang muntah-muntah atau diare, kejang, dan kehilangan nafsu makan. Pada saat kadar natrium darah turun, maka perlu diberikan natrium dan air untuk mengembalikan keseimbangan (Almatsier 2003). Kelebihan kadar natrium akan menyebabkan hipertensi (tekanan darah tinggi), yang banyak ditemukan pada masyarakat yang mengkonsumsi natrium dalam jumlah besar seperti masyarakat Asia. Hal ini disebabkan oleh pola kebiasaan dalam mengkonsumsi makanan dengan kandungan natrium yang tinggi yaitu 7,6–8,2 gram per hari (Winarno 2008). Angka kecukupan gizi rata-rata natrium orang dewasa adalah 500-2400 mg/hari. Natrium dapat diperoleh dari makanan yang menggunakan garam dapur, susu, telur, daging, ikan, udang dan hasil laut lainnya (Almatsier 2003). e. Fosfor (P) Fosfor merupakan unsur mineral dengan lambang P dan memiliki nomor atom 15 dengan berat atom 30,974. Fosfor merupakan unsur esensial dalam diet, unsur ini merupakan komponen utama dalam fase mineral tulang dan terdapat secara berlimpah dalam semua jaringan (Harjono et al. 1996). Fosfor bersama dengan kalsium adalah penyusun tulang dan gigi yang sangat penting. Fosfor juga terdapat pada semua sel hidup dan diperlukan untuk pelepasan dan penyimpanan energi (Kasmidjo 1992). Fosfor ada di semua sel makhluk hidup, maka fosfor terdapat di dalam semua makanan terutama makanan kaya protein. Bahan makanan yang dapat dijadikan sumber fosfor yaitu daging, telur, susu, dan ikan (Almatsier 2003). Kandungan fosfor dalam produk perairan tergolong tinggi, menurut penelitian yang dilakukan nilai fosfor sekitar 100-300 mg/100 g (Okuzumi dan Fujii 2000). Kekurangan fosfor akan menyebabkan kerusakan tulang. Gejalanya adalah rasa lelah dan kurang nafsu makan. Kelebihan kadar fosfor akan menyebabkan ion fosfat mengikat kalsium sehingga dapat menimbulkan kejang (Almatsier 2003). Fosfor yang dikonsumsi tubuh dapat diabsorbsi antara 50-70 % pada kondisi normal (Groft dan Gropper 1999). Angka kecukupan gizi rata-rata fosfor bagi bayi usia 0-12 bulan adalah sebesar 100-225 mg/hari, anak-anak usia 1-9 tahun sebesar 400 mg/hari, laki-laki dan wanita usia 10-18 tahun sebesar 1000 mg/hari, serta usia 19-65 tahun sebesar 800 mg/hari (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004). 2.3.2 Mineral Mikro Mineral mikro merupakan mineral yang terdapat di dalam tubuh dalam jumlah yang kecil dan secara tetap terdapat dalam sistem biologis. Kebutuhan tubuh akan mineral mikro adalah kurang dari 100 mg sehari. Mineral mikro terdiri dari besi, iodium, seng, mangan, kobalt, fluorin, dan tembaga (Winarno 2008). Beberapa unsur mineral mikro yang dibutuhkan oleh manusia dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Besi (Fe) Besi merupakan unsur mineral dengan nomor atom 26 dan memiliki berat atom 55,847 dengan lambang Fe. Besi merupakan konstituen penting dari hemoglobin, sitokrom dan komponen lain sistem enzim pernapasan. Besi memiliki fungsi untuk transportasi oksigen ke jaringan (hemoglobin) dan dalam mekanisme oksidasi seluler. Penipisan cadangan besi dapat mengakibatkan anemia defisiensi besi (Harjono et al. 1996). Kandungan besi dari komoditas perairan sangat bervariasi. Udang dan ikan memiliki kandungan besi yang cenderung dibawah 1 mg/100 g. Kadar besi yang tinggi dari hasil perairan terdapat pada kerang-kerangan dan jenis rumput laut yaitu lebih dari 10 mg/100 g (Okuzumi dan Fujii 2000). Absorbsi besi merupakan proses yang kompleks. Banyaknya besi yang diserap sangat bergantung pada kebutuhan tubuh akan besi (Winarno 2008). Zat besi dapat diabsorbsi oleh tubuh pada kondisi normal sekitar 15 % dari makanan yang dikonsumsi, sedangkan pada kondisi kekurangan zat besi tubuh dapat mengarbsorpsi sampai dengan 35 % (Groft dan Gropper 1999). Kekurangan besi dapat mengakibatkan anemia, pertumbuhan terganggu, dan kehilangan nafsu makan. Anemia dapat diketahui dari kadar hemoglobin seseorang. Kadar hemoglobin normal pada pria dewasa 13 g/100 ml. Kekurangan besi banyak dialami bayi di bawah usia 2 tahun serta para ibu yang sedang mengandung dan menyusui (Winarno 2008). Angka kecukupan gizi rata-rata besi bayi 0-12 bulan adalah 0,5-7 mg/hari, anak-anak 1-9 tahun sebesar 8-10 mg/hari, laki-laki dan wanita 10-18 tahun sebesar 13-19 mg/hari, serta usia 19-65 tahun sebesar 13-26 mg/hari (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004). b. Seng (Zn) Seng merupakan unsur mineral dengan lambang Zn. Unsur seng ini memiliki berat atom 65,37 dan mempunyai nomor atom 30. Seng diperlukan dalam jumlah sangat kecil dalam tubuh, dan membentuk bagian yang esensial dari banyak enzim (misalnya karbonat anhidrase yang penting dalam metabolisme karbondioksida). Seng memiliki peranan dalam sintesis protein serta pembelahan sel. Defisiensi seng sering dihubungkan dengan anemia, tubuh pendek, penyembuhan luka terganggu dan geofagia (Harjono et al. 1996). Seng dalam protein nabati kurang tersedia dan lebih sulit digunakan oleh tubuh manusia daripada seng yang terdapat dalam protein hewani. Hal tersebut disebabkan oleh adanya asam fitat yang mampu mengikat ion-ion logam mineral (Winarno 2008). Sumber makanan penghasil seng yang baik adalah dari hasil perikanan. Kerang-kerangan memiliki kandungan seng lebih tinggi daripada udang dan ikan (Okuzumi dan Fujii 2000). Makanan lain yang juga dapat dijadikan sebagai sumber seng yaitu daging, telur, keju, susu, unggas, dan kacangkacangan (Almatsier 2003). Angka kecukupan gizi rata-rata seng bagi bayi umur 0-12 bulan adalah sebesar 1,3-7,5 mg/hari, anak-anak 1-9 tahun sebesar 8,2-11,2 mg/hari, laki-laki dan wanita 10-18 tahun sebesar 12,6-17,4 mg/hari, serta usia 19-65 tahun ke atas sebesar 9,3-13,4 mg/hari (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004). Kekurangan seng dapat terjadi pada golongan rentan, yaitu anak-anak, ibu hamil dan menyusui, serta orang tua. Kekurangan seng dapat mengakibatkan terjadinya diare, gangguan pertumbuhan, gangguan kematangan seksual, gangguan sistem saraf, sistem otak dan gangguan pada fungsi kekebalan (Almatsier 2003). c. Tembaga (Cu) Tembaga merupakan unsur mineral dengan lambang Cu, dan memiliki nomor atom 29. Sekitar 100-150 mg tembaga terdapat dalam tubuh orang dewasa dengan konsentrasi tertinggi terdapat pada hati, ginjal, rambut, dan otak. Tembaga berperan dalam beberapa kegiatan enzim pernafasan yaitu sebagai kofaktor bagi enzim tiroksinase dan sitokrom oksidase. Tembaga juga diperlukan dalam proses pertumbuhan sel-sel darah merah yang masih muda (Harjono et al. 1996). Studi mengenai tembaga pada hasil perairan lebih mengarah pada efek toksik yang ditimbulkan sebagai akibat polusi logam berat. Metabolisme tembaga pada hasil perairan belum jelas didefinisikan. Distribusi tembaga pada komoditas perairan memiliki kesamaan dengan mamalia (Halver 1989). Kekurangan tembaga umumnya terjadi pada bayi dan anak-anak yang mengalami kekurangan konsumsi protein (KKP). Kekurangan kadar tembaga akan menyebabkan terjadinya leukopenia (kekurangan sel darah putih), demineralisasi tulang dan kurangnya jumlah sel darah yang dihasilkan (Winarno 2008). Angka kecukupan gizi rata-rata dari tembaga yang aman untuk dikonsumsi dalam sehari adalah 1,5-3 mg, sumber makanan utama yang mengandung tembaga adalah tiram, hati, ginjal, unggas, dan coklat (Almatsier 2003). d. Iodium (I) Iodium merupakan trace element yang diperlukan oleh tubuh dalam jumlah yang sangat sedikit. Iodium dibutuhkan oleh kelenjar tiroid untuk pembentukan tirosin, hormon yang berperan dalam pengaturan kecepatan oksidasi nutrien dalam sel-sel tubuh. Tirosin adalah senyawa yang dibentuk oleh kombinasi antara iodium dengan asam amino tirosin (Kasmidjo 1992). Iodium terdapat dalam air laut dengan konsentrasi yang sangat rendah, namun organisme yang hidup di laut mempunyai kemampuan untuk menghimpunnya. Ikan laut dan rumput laut adalah sumber iodium yang sangat baik (Okuzumi dan Fujii 2000). Iodium sebagian besar diserap melalui usus kecil, tetapi beberapa diantaranya langsung masuk ke dalam saluran darah melalui dinding lambung. Iodium yang dicerna ke dalam kelenjar tiroid kadarnya 25 kali lebih tinggi dari iodium yang ada dalam darah. Membran tiroid mempunyai kapasitas spesifik untuk memindahkan iodium ke bagian belakang kelenjar. Iodium bergabung dengan molekul tirosin membentuk tiroksin dalam kelenjar tiroid (Winarno 2008). Angka kecukupan gizi rata-rata iodium bagi bayi umur 0-12 bulan adalah sebesar 90-120 µg/hari, anak-anak umur 1-9 tahun sebesar 120 µg/hari, laki-laki dan wanita 10-18 tahun sebesar 120-150 µg/hari, serta usia 19-65 tahun ke atas sebesar 150 µg/hari (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004). Kekurangan iodium dapat menyebabkan penyakit gondok, yang disebabkan oleh membesarnya kelenjar tiroid. Kretinisme juga merupakan gejala kekurangan iodium yang umumnya terjadi pada masa awal bayi dilahirkan, dan biasanya terjadi di daerah gondok endemik. Kekurangan iodium pada bayi menyebabkan pertumbuhan menjadi terhambat, wajahnya kasar dan membengkak, perut kembung dan membesar (Winarno 2008). 2.4 Kelarutan Mineral Mineral akan bersifat bioavailable (jumlah zat dari nutrisi bahan pangan yang dapat digunakan sepenuhnya oleh tubuh) apabila mineral tersebut dalam bentuk mineral terlarut, namun tidak semua mineral terlarut bersifat bioavailable. Mineral pada fungsi dan pemanfaatannya oleh tubuh diperlukan dalam kondisi mineral terlarut. Kondisi mineral terlarut diperlukan untuk memudahkan dalam penyerapan mineral di dalam tubuh (Newman dan Jagoe 1994). Sediaoetama (1993) menjelaskan, daya serap mineral dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah dari faktor pendorong dan faktor penghambat. Faktor pendorong dari daya larut mineral dapat memecah dan mereduksi molekulmolekul mineral tersebut menjadi bentuk yang memudahkan untuk diserap oleh tubuh. Faktor yang dapat dijadikan pendorong adalah suhu dan kondisi pH asam. Pada faktor penghambat, molekul-molekul mineral tersebut akan diikat dan membentuk senyawa yang tidak larut sehingga menyulitkan dalam hal penyerapan oleh tubuh. Faktor penghambat adalah kondisi pH basa, keberadaan serat dan asam fitat. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi ketersediaan mineral terlarut tersebut adalah interaksi antara mineral yang satu dengan mineral lainnya dan keberadaan vitamin. Mineral dengan jumlah muatan (valensi) yang sama akan bersaing satu sama lainnya untuk diabsorbsi. Mineral kalsium dan besi yang mempunyai bilangan valensi yang sama akan bersaing untuk diabsorbsi. Kalsium yang terlalu banyak dikonsumsi akan menghambat absorbsi zat besi. Keberadaan vitamin C akan meningkatkan absorbsi besi apabila dimakan dalam waktu bersamaan, sedangkan vitamin D akan meningkatkan daya absorbsi kalsium (Almatsier 2003). Faktor yang mempengaruhi absorbsi mineral adalah interaksi serat dengan mineral. Ketersediaan mineral banyak dipengaruhi oleh bahan nonmineral di dalam makanan. Asam fitat dalam serat kacang-kacangan dan asam oksalat dalam bayam mengikat mineral-mineral tertentu sehingga tidak dapat diabsorbsi. Makanan dengan kandungan serat yang tinggi (lebih dari 35 gram perhari) akan menghambat absorbsi dari kalsium, besi, seng dan magnesium (Almatsier 2003). 2.5 Pengaruh Perebusan Pengolahan pangan bertujuan untuk mendapatkan bahan pangan yang aman untuk dimakan sehingga nilai gizi yang dikandung bahan pangan tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal. Tujuan lain dari pengolahan yaitu agar bahan pangan tersebut dapat diterima, khususnya diterima secara sensori, yang meliputi penampakan, aroma, rasa, dan tekstur (kekerasan, kelembutan, konsistensi, kekenyalan, kerenyahan). Metode pengolahan pangan yang paling banyak diterapkan dan dipelajari adalah pemanasan, salah satu dari proses pemanasan tersebut adalah perebusan (Apriyantono 2002). Perebusan adalah cara memasak makanan dalam cairan yang sedang mendidih (suhu 100oC) (Widyati 2004). Perebusan udang dalam air merupakan salah satu jenis pengawetan waktu pendek yang dipakai di banyak negara terutama di Asia Tenggara. Keawetan produk ini bervariasi dari satu atau dua hari sampai beberapa bulan tergantung pada metode pengolahan. Perebusan udang dapat membunuh bakteri patogen dan pembusuk. Jenis bakteri yang terdapat pada udang yaitu Vibrio cholerae dan Clostridium perfringens (Kasmidjo 1992). Pembusukan yang biasanya terjadi akan dapat dihentikan akan tetapi perebusan tidak menghasilkan sterilisasi produk yang sempurna (Basmal et al. 1997). Perebusan merupakan cara termudah dan termurah untuk memproses produk lanjutan, akan tetapi tidak menambah jumlah zat gizi produk pada suatu tingkat yang berarti (Zaitsev et al. 1969). Perebusan akan mengurangi kadar air dalam badan ikan dan mematikan sebagian besar bakteri. Selain itu, perebusan bertujuan untuk menghentikan aktivitas enzim dan mengurangi kadar lemak dalam suatu bahan (Tanikawa 1985). Pengaruh pemanasan terhadap komponen daging ikan dapat menyebabkan perubahan fisik dan komposisi kimia ikan dan udang. Zaitsev et al. (1969) menjelaskan bahwa pada suhu 100 oC, protein akan terkoagulasi dan air dari dalam daging ikan dan udang akan keluar. Semakin tinggi suhu maka protein akan terhidrolisis dan terdenaturasi, albumin dan globulin akan terdenaturasi, kehilangan aktivitas enzim, terjadi peningkatan kandungan senyawa terekstrak bernitrogen, amonia, dan hidrogen sulfida dalam daging. Pemanasan air akan meningkatkan daya kelarutan pada suatu bahan. Perebusan juga mengakibatkan kehilangan beberapa zat gizi terutama zat-zat yang labil seperti asam askorbat dan mineral. Kerusakan zat gizi berlangsung secara berangsur-angsur bergantung dari proses pengolahannya (Kasmidjo 1992). Pemanasan bahan makanan dapat menghilangkan 30 % sampai 80 % nilai gizi makanan utamanya enzim, hormon, mineral organik dan vitamin-vitamin yang diperlukan oleh tubuh (Apriyantono 2002). Pemanasan dapat mengurangi daya tarik-menarik antara molekul-molekul air dan akan memberikan cukup energi pada molekul-molekul air tersebut sehingga dapat mengatasi daya tarik-menarik antar molekul dalam bahan tersebut. Karena itu daya kelarutan pada bahan yang melibatkan ikatan hidrogen, akan meningkat dengan meningkatnya suhu (Winarno 2008). 2.6 Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS) Spektrofotometer serapan atom (AAS) merupakan perangkat untuk menganalisis zat pada konsentrasi rendah. Logam yang mudah diuapkan seperti Cu, Zn, Pb, dan Cl umumnya ditentukan pada suhu rendah, sedangkan untuk unsur-unsur yang tidak mudah diatomisasi diperlukan suhu yang tinggi. Prinsip metode AAS adalah absorbsi cahaya oleh atom pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya (Khopkar 1990). Cara kerja alat ini berdasarkan penguapan larutan sampel, kemudian logam yang terkandung di dalamnya diubah menjadi atom bebas. Atom tersebut mengabsorbsi radiasi dari sumber cahaya yang dipancarkan dari lampu katoda yang mengandung unsur yang akan ditentukan. Banyaknya penyerapan radiasi kemudian diukur pada panjang gelombang tertentu menurut jenis logam mineralnya (Darmono 1995). Spektrofotometer serapan atom (AAS) mengukur radiasi yang diserap oleh atom-atom yang tereksitasi. Dewasa ini teknik AAS merupakan teknik terbaik dan paling sesuai dalam analisis unsur-unsur secara rutin dengan waktu yang diperlukan cukup cepat dan mudah. Instrumen untuk spektroskopi umumnya terdiri dari: (1) sumber radiasi; (2) wadah sampel; (3) monokromator; (4) detektor; dan (5) rekorder (Nur dan adijuwana 1989). Spektrofotometer serapan atom (AAS) merupakan alat yang canggih dalam analisis. Hal ini disebabkan oleh kecepatan analisisnya, ketelitiannya sampai tingkat runut dan tidak memerlukan pemisahan pendahuluan (Khopkar 1990). 3. 3.1 METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Maret 2009. Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Organoleptik Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Analisis Kimia dan Bioaktif, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, serta Laboratorium Kimia SEAMEO BIOTROP, Tajur, Bogor. 3.2 Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah termometer, timbangan analitik, oven, cawan porselen, desikator (analisis kadar air); tabung kjeldahl, destilator, buret (analisis kadar protein kasar); tabung reaksi, tabung kjeldahl, tabung sokhlet, gelas erlenmeyer, pemanas (analisis kadar lemak); tanur dan desikator (analisis kadar abu). Alat yang digunakan untuk analisis mineral antara lain Atomic Absorption spectrophotometer (AAS), kertas saring Whatman no. 541 atau Schleicher and schull no.589-1, hotplate, gelas piala, labu takar, gelas ukur, cawan porselin, timbangan analitik dengan kepekaan 0,1 mg, dan alatalat gelas khusus untuk analisis mineral dengan AAS. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah udang ronggeng (Harpiosquilla raphidea) yang diperoleh dari Pasar Ikan Muara Angke, Jakarta dengan kondisi segar. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis proksimat adalah akuades, HCl, H2SO4, NaOH, H3BO3, katalis selenium, dan pelarut heksana. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis mineral adalah HCl, ammonium molibdat, ammonium vanadat, asam nitrat, akuades mutu tinggi atau air bebas ion, dan larutan stok standar mineral 1000 ml/l. 3.3 Metode Penelitian Penelitian ini diawali dengan melakukan survei dan pengambilan bahan baku ke lapangan (Pasar Ikan Muara Angke, Jakarta) untuk memperoleh informasi tentang asal sampel dan cara penangkapan udang ronggeng. Kemudian dilakukan identifikasi, penentuan ukuran (panjang dan berat), pengukuran rendemen udang ronggeng (daging, cangkang dan jeroan) pada kondisi segar dan setelah perebusan. Proses perebusan menggunakan air selama 10 menit pada suhu 100 0C (Zaitsev et al. 1969). Dalam penelitian ini juga diamati tingkat kesegaran udang ronggeng dan dilakukan uji organoleptik mencakup cita rasa, tekstur, bau dan penampakan terhadap daging udang ronggeng rebus dengan penambahan garam NaCl 2% (b/v). Tahap selanjutnya yaitu, analisis proksimat (kadar air, abu, lemak dan protein), analisis mineral makro dan mikro udang ronggeng pada kondisi segar dan setelah perebusan dengan air pada suhu 100 0C selama 10 menit. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Pengujian kesegaran Udang ronggeng Perebusan dengan penambahan 2 % NaCl pada suhu 100 0C, selama 10 menit Identifikasi dan Penentuan ukuran dan bobot udang Perebusan pada air suhu 100 oC, +10 menit Udang segar (tanpa perebusan) Preparasi Preparasi Pengukuran rendemen daging, karapas dan jeroan dengan metode by different Rendemen daging segar Rendemen daging rebus Pengujian : 2. Analisis proksimat 3. Analisis makro mineral (P, Mg, Ca, K, Na) 4. Analisis mikro mineral (Zn, Fe, I, Cu) Gambar 2. Diagram alir metode penelitian Daging udang Pengujian sensori 3.3.1 Uji kesegaran udang ronggeng (SNI-01-2346-2006) Uji kesegaran identik dengan mutu, uji ini dilakukan oleh 30 orang panelis semi terlatih menggunakan lembar penilaian organoleptik udang segar berdasarkan SNI-01-2346-2006, spesifikasi yang dinilai adalah kenampakan, bau dan tekstur dengan nilai 1-9. Lembar penilaian organoleptik udang segar dapat dilihat pada Lampiran 3. Data yang diperoleh dari lembar penilaian ditabulasi dan ditentukan nilai mutunya dengan mencari rata-rata setiap panelis pada tingkat kepercayaan 95 %. Interval nilai mutu rata-rata dihitung dari setiap panelis menggunakan rumus sebagai berikut: P(x − (1,96.s n)) ≤ μ ≤ (x + (1,96.s n)) ≅ 95 % Keterangan: n : banyaknya panelis 2 S : keragaman nilai mutu 1,96 : koefisien standar deviasi pada taraf 95 % x : nilai mutu rata-rata xi : nilai mutu dari panelis ke-i, dimana i = 1,2,3......n s : simpangan baku nilai mutu 3.3.2 Uji sensori udang ronggeng (SNI-01-2346-2006) Uji sensori dilakukan oleh 30 orang panelis semi terlatih menggunakan lembar penilaian uji hedonik berdasarkan SNI-01-2346-2006, spesifikasi yang dinilai adalah kenampakan, bau, rasa dan tekstur dengan nilai 1-9. Lembar penilaian uji hedonik dapat dilihat pada Lampiran 4. Data yang diperoleh dari lembar penilaian ditabulasi dan ditentukan nilai mutunya dengan mencari rata-rata setiap panelis pada tingkat kepercayaan 95 %. Interval nilai mutu rata-rata dihitung dari setiap panelis menggunakan rumus sebagai berikut: Keterangan: n : Banyaknya panelis 2 S : Keragaman nilai mutu 1,96 : Koefisien standar deviasi pada taraf 95 % x : Nilai mutu rata-rata xi : Nilai mutu dari panelis ke i, dimana i = 1,2,3......n; s : Simpangan baku nilai mutu. 3.3.3 Rendemen udang ronggeng (SNI-19-1705-2000) Rendemen dihitung sebagai persentase bobot bagian tubuh udang dari bobot udang total. Bobot bagian tubuh udang diperoleh dengan metode by different, yaitu dengan menghitung bobot total udang, kemudian menghilangkan bagian tubuh yang ingin diketahui proporsinya, contohnya cangkang. Selisih yang diperoleh dari berat awal dengan pengurangan bagian selain cangkang (daging dan jeroan) menunjukkan bobot cangkang tersebut. Adapun perhitungan matematika rendemen sebagai berikut: 3.3.4 Analisis proksimat Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia yang ada pada suatu bahan. Analisis proksimat meliputi: analisis kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat. a. Analisis kadar air (AOAC 1995) Prinsip dari analisis kadar air yaitu untuk mengetahui kandungan air yang terdapat pada suatu bahan. Tahap pertama yang dilakukan pada analisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen ke dalam oven pada suhu 102-105 0C selama 30 menit. Cawan porselen yang telah dikeringkan diletakkan ke dalam desikator (30 menit) dan dibiarkan dingin kemudian ditimbang hingga beratnya konstan, kemudian cawan dan daging udang ronggeng seberat 1-2 gram ditimbang setelah terlebih dahulu dihomogenkan. Selanjutnya cawan tersebut dimasukkan 0 ke dalam oven dengan suhu 102-105 C selama 6 jam. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan hingga dingin kemudian ditimbang. Perhitungan kadar air pada udang ronggeng: % Kadar air = B−C x100 % B−A Keterangan: A = Berat cawan kosong (gram) B = Berat cawan dengan daging kijing (gram) C = Berat cawan dengan daging kijing setelah dikeringkan (gram). b. Analisis kadar abu (AOAC 1995) Prinsip dari analisis kadar abu yaitu untuk mengetahui jumlah abu yang terdapat pada suatu bahan terkait dengan mineral dari bahan organik yang dianalisis. Cawan yang akan digunakan dioven terlebih dahulu selama 30 menit pada suhu 105 0C, kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan ditimbang. Daging udang ronggeng sebanyak 1-2 gram yang telah dipotong kecil-kecil dan dihomogenkan dimasukkan ke dalam cawan abu porselen yang telah dioven. Selanjutnya Cawan tersebut dimasukkan ke dalam tungku secara bertahap hingga suhu 600 0C selama 2-3 jam. Proses pengabuan dilakukan sampai abu berwarna putih. Setelah itu cawan didinginkan selama 30 menit dan ditimbang beratnya. Kadar abu ditentukan dengan rumus: % Kadar abu = Keterangan: C−A x100 % B−A A = Berat cawan abu porselen kosong (gram) B = Berat cawan abu porselen dengan daging kijing (gram) C = Berat cawan abu porselen dengan daging kijing setelah dikeringkan (gram). c. Analisis kadar protein (AOAC 1995) Prinsip dari analisis protein, yaitu untuk mengetahui kandungan protein kasar pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap yaitu, destruksi, destilasi, dan titrasi. (1). Tahap destruksi Daging udang ronggeng ditimbang seberat 0,5 gram, kemudian dimasukkan ke dalam tabung kjeltec. Satu butir kjeltab dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 oC ditambahkan 10 ml air. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi bening. (2). Tahap destilasi Isi labu dituangkan ke dalam labu destilasi, lalu ditambahkan dengan aquades (50 ml). Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40 % sebanyak 20 ml. Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam erlemenyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (cairan methyl red dan brom cresol green) yang ada di bawah kodensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlemenyer. (3). Tahap titrasi Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan pada erlenmeyer berubah warna menjadi pink. Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut: d. Analisis kadar lemak (AOAC 1995) Daging udang ronggeng seberat 3 g (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2), dan disambungkan dengan tabung sokhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung sokhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi sokhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 0C dengan menggunakan pemanas listrik selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu sekitar 105 0C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Perhitungan kadar lemak pada daging udang ronggeng: Keterangan: W1 = Berat daging udang ronggeng (g) W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (g) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (g) 3.3.5 Analisis kandungan mineral Analisis mineral dilakukan untuk mengetahui profil atau komposisi mineral makro (natrium, kalium, kalsium, magnesium, dan fosfor) dan mineral mikro (seng, iodium, besi, dan tembaga) yang terdapat pada daging udang ronggeng dalam kondisi segar dan rebus. a. Pengujian mineral (Mg, Ca, K, Na, Zn, Cu, dan Fe) (Fardiaz et al. 1990) Prinsip penetapan mineral, yaitu sesudah penghilangan bahan-bahan organik dengan pengabuan kering atau basah, residu dilarutkan dalam asam encer. Larutan disebarkan dalam nyala api yang ada di dalam alat spektrofotometer serapan atom (AAS) sehingga absorpsi atau emisi logam dapat dianalisis dan diukur pada panjang gelombang tertentu. Sampel diabukan dengan metode pengabuan basah. Pada proses pengabuan basah, sampel ditimbang sebanyak 1 g, kemudian dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 150 ml. Kemudian ditambahkan 5 ml HNO3 ke dalam labu Erlenmeyer dan dibiarkan selama 1 jam. Setelah itu dipanaskan di atas hotplate selama ± 4 jam, dan didinginkan. Selanjutnya ditambahkan 0,4 ml H2SO4 pekat, kemudian dipanaskan kembali. Setelah terjadi perubahan warna dari coklat menjadi kuning bening, sampel tersebut ditambahkan campuran HClO4 dan HNO3 sebanyak 3 ml, dan dipanaskan kembali selama ± 15 menit, lalu ditambahkan 2 ml akuades dan 0,6 ml HCl pekat, kemudian dipanaskan kembali sampai larut dan didinginkan. Setelah larut, sampel tersebut kemudian diencerkan menjadi 100 ml di dalam labu takar. Larutan stok standar dari masing-masing mineral diencerkan dengan akuades sampai konsentrasinya berada pada kisaran kerja logam yang diinginkan. Larutan standar dapat dibuat dengan menggunakan bahan kimia yang tercantum pada Tabel 3. Tabel 3. Pembuatan stok larutan standar mineral 1000 ppm Bobot (g) per 500 ml larutan 1,248 Jenis Mineral Bahan kimia Kalsium (Ca) CaCO3 Tembaga (Cu) CuSO4.5H2O 2,962 Besi (Fe) Fe2(SO4)3(NH4)2SO4.H2O 4,316 Magnesium (Mg) MgSO4.7H2O 5,060 Kalium (K) KCl (dikeringkan ± 2 jam, 105 0C) 0,952 Natrium (Na) NaCl (dikeringkan ± 2 jam, 105 0C) 1,272 Seng (Zn) ZnSO4.7H2O 2,200 Sumber: Fardiaz (1990) Larutan standar, blanko dan contoh dialirkan ke dalam Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) merk Shimadzu tipe AA 680 flame emission. Kemudian diukur absorpbansi atau tinggi puncak dari standar blanko dan contoh pada panjang gelombang dan parameter yang sesuai untuk masing-masing mineral dengan spektrofotometer. Setelah diperolah absorbansi standar, hubungkan antara konsentrasi standar (sebagai sumbu Y) dengan absorban standar (sebagai sumbu X) sehingga diperoleh kurva standar mineral dengan persamaan garis linier y=ax+b yang digunakan untuk perhitungan konsentrasi larutan sampel. Konsentrasi larutan sampel dihitung dengan mengalikan a dengan absorbansi contoh. (keterangan: y= variabel terikat; a= kemiringan/gradient; x= variabel bebas; dan b= konstanta). Kadar mineral di dalam bahan dihitung dengan rumus: (a − b) x ml aliquot x fp 10 w Kadar Mineral basis basah Kadar mineral (mg/100g basis kering (bk)) = x 100 % (100% − % Kadar Air ) Kadar mineral (mg/100g basis basah (bb)) = Keterangan: a = konsentrasi larutan sampel (ppm) b = konsentrasi larutan blanko (ppm) fp = faktor pengenceran w = berat sampel (g) b. Pengujian fosfor (Apriyantono et al. 1989) Sampel diperlakukan dengan asam nitrat untuk mengubah semua metafosfat dan pirofosfat menjadi ortofosfat. Kemudian sampel diperlakukan dengan asam molibdat dan asam vanadat sehingga ortofosfat yang ada dalam sampel akan bereaksi dengan pereaksi-pereaksi tersebut dan membentuk kompleks asam vanadimolibdifosfat yang berwarna kuning orange, dan intensitas warnanya diukur dengan panjang gelombang 400 nm dan dibandingkan dengan standar fosfor yang telah diketahui konsentrasinya. Analisis sampel dilakukan dengan metode pengabuan basah, sebanyak 5 g sampel dimasukkan ke dalam gelas piala 150 ml, lalu ditambahkan 20 ml asam nitrat pekat, kemudian dididihkan selama 5 menit. Setelah itu didinginkan dan ditambahkan 5 ml asam sulfat pekat, lalu dipanaskan dan disempurnakan destruksinya dengan penambahan HNO3 setetes demi setetes sampai larutan tidak berwarna. Sampel dipanaskan sampai timbul asap putih, lalu didinginkan. Kemudian ditambahkan 15 ml akuades dan dididihkan lagi selama 10 menit, didinginkan dan larutan dipindahkan ke dalam labu takar 250 ml. Kemudian larutan diencerkan dengan akuades sampai tanda tera. Persiapan pereaksi, yaitu sebanyak 20 g ammonium molibdat dilarutkan dalam 400 ml akuades hangat (50 0C) untuk pembuatan pereaksi vanadatmolibdat. Selanjutnya sebanyak 1 g ammonium-vanadat dilarutkan dalam 300 ml akuades mendidih kemudian didinginkan. Secara perlahan ditambahkan 140 ml asam nitrat pekat, setelah itu dicampurkan kedua pereaksi larutan vanadat dan larutan molibdat dan diencerkan sampai volume 1 liter dengan akuades. Pembuatan larutan standar, sebanyak 3,834 g KH2PO4 dilarutkan dengan menggunakan akuades sampai 1000 ml, kemudian diambil 25 ml larutan tersebut dan dimasukkan ke dalam labu takar 250 ml dan diencerkan sampai tanda tera. Konsentrasi ini kemudian diencerkan untuk mendapatkan konsentrasi standar fosfor yaitu 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,8; 1 dan 2 ppm. Larutan sampel hasil pengabuan basah diambil sebanyak 10 ml, kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Sebanyak 40 ml akuades dan 25 ml pereaksi vanadat molibdat ditambahkan ke dalam sampel tersebut. Kemudian diencerkan dengan akuades sampai tanda tera. Selanjutnya sampel didiamkan selama 10 menit, diukur absorpbansi sampel pada panjang gelombang 400 nm. c. Pengujian iodium (Raghuramulu et al. 1983 diacu dalam Irawan 2006) Prinsip penetapan iodium, yaitu penetapan kuantitatif sejumlah iodin dalam sampel berdasarkan reduksi katalis ion ceri (Ce4+) menjadi ion cero (Ce3+) oleh iodin. Sebanyak 2 g sampel ditimbang, kemudian ditambahkan larutan campuran natrium karbonat 0,5 ml. Campuran sampel kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105-110 0C selama 2 jam. Sampel tersebut kemudian dipindahkan ke dalam tanur, kemudian suhu dinaikkan secara perlahan sampai suhu 500 0C selama 4-6 jam. Hasil pengabuan tersebut kemudian didinginkan dan ditambahkan 10 ml larutan arsenat, kemudian sampel disentrifuse pada kecepatan 2000 rpm selama 20 menit. Sebanyak 1,308 g KI dilarutkan dengan menggunakan akuades sampai dengan 1000 ml, untuk mendapatkan konsentrasi iodium 1000 ppm. Hasil konsentrasi ini kemudian diencerkan dengan menggunakan akuades untuk mendapatkan konsentrasi standar yaitu 0; 0,5; 1; 2; 4; ppm. Sebanyak 9 ml supernatan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian direndam dalam penangas air bersuhu 37 0C. setelah itu ke dalam supernatant tersebut ditambahkan larutan ceri ammonium sulfat 1 ml. selanjutnya diukur reduksi ceri (Ce4+) menjadi cero (Ce3+) oleh iodin pada kisaran panjang gelombang 420 nm. Kadar iodium di dalam bahan dihitung dengan rumus: 1 (µg/ 100g) = C x V x 100 B Keterangan: C = konsentrasi larutan sampel yang terbaca dari kurva standar V = volume sampel (ml) B = berat sampel (g) 4. 4.1 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Udang Ronggeng (Harpiosquilla raphidea) Udang ronggeng yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Pasar Ikan Muara Angke, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, Jakarta. Udang ronggeng ini merupakan hasil tangkapan nelayan di perairan Tangerang, Banten pada kedalaman + 15 meter. Udang ini ditangkap dengan menggunakan alat tangkap berupa jaring rampus (drift gillnet) yaitu alat tangkap dengan ukuran mata jaring 6 cm yang biasanya digunakan untuk menangkap kepiting dan ikan. Udang ronggeng yang digunakan dalam penelitian ini memiliki panjang baku rata-rata 24,63 cm, panjang total rata-rata 30,08 cm, dan bobot rata-rata sebesar 206,08 g. Rata-rata panjang total, panjang baku, lebar badan, dan panjang bagian tubuh lain dari udang ronggeng disajikan pada Tabel 4. Data pengukuran panjang, dan berat udang ronggeng dapat dilihat pada Lampiran 2. Tabel 4. Ukuran panjang dan bobot udang ronggeng (Harpiosquilla raphidea) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. Parameter Panjang total Panjang baku Panjang toraks Panjang abdomen Panjang kepala Panjang ekor (telson) Lebar badan Lebar toraks Lebar kepala Panjang uropod Panjang thoracopod 1 Panjang thoracopod 2 Panjang thoracopod 3-5 Panjang kaki jalan Panjang kaki renang Panjang gill Panjang gigi Panjang antena 1(tidak bercabang) Panjang antena 2 (bercabang) Panjang antena scale Bobot Satuan cm cm cm cm cm cm cm cm cm cm cm cm cm cm cm cm cm cm cm cm g Keterangan: menggunakan sampel 20 ekor udang ronggeng Nilai 30,08±1,59 24,63±1,68 5,09±0,54 10,95±0,61 6,18±0,83 4,00±0,67 5,53±0,63 3,11±0,34 3,93±0,50 6,20±0,53 6,44±0,96 18,86±1,21 6,44±0,50 4,95±0,38 3,31±0,51 0,91±0,17 1,28±0,24 4,93±0,26 8,65±0,23 3,98±0,21 206,08±12,80 Berdasarkan hasil identifikasi, udang ronggeng yang digunakan dalam penelitian ini merupakan spesies dari Harpiosquilla raphidea. Udang ronggeng termasuk ke dalam jenis udang karang, sama halnya dengan lobster karena habitatnya berada di daerah karang dan bebatuan yang umumnya memiliki substrat pasir halus berlumpur. Bentuk morfologi udang ronggeng lebih unik dibandingkan udang pada umumnya. Udang ronggeng memiliki kaki renang dan bentuk abdomen yang menyerupai bentuk pada udang, namun udang ronggeng tidak memiliki rostrum yang dapat digunakan sebagai alat pertahanan diri seperti terdapat pada udang lain. Alat pertahanan yang dimiliki udang ronggeng berupa sepasang capit yang sangat kuat dan tajam, selain itu capitnya berfungsi untuk menangkap dan mengoyak mangsanya. Gambar morfologi dari sampel udang ronggeng yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Morfologi udang ronggeng (Harpiosquilla raphidea) 4.2 Mutu Udang Ronggeng Pengamatan mutu organoleptik mempunyai peranan dan makna yang sangat besar dalam penilaian mutu produk pangan, baik sebagai bahan mentah industri maupun produk pangan olahan (Soekarto 1985). Penilaian organoleptik merupakan cara yang paling banyak dilakukan dalam menentukan tanda-tanda kesegaran komoditas hasil perikanan, karena lebih cepat dan lebih mudah dikerjakan, tidak memerlukan banyak peralatan serta tidak memerlukan laboratorium (Hadiwiyoto 1993). Nilai organoleptik kesegaran udang ronggeng disajikan pada Lampiran 5. Berdasarkan analisis statistika, dihasilkan nilai organoleptik udang ronggeng yaitu P (7,16 ≤ μ ≤ 7,63). Nilai tersebut merupakan interval nilai organoleptik udang ronggeng segar yang bisa dituliskan 7,16–7,63. Penulisan nilai akhir organoleptik udang segar diambil dari nilai terkecil yaitu 7,16 dan dibulatkan menjadi 7,0. Menurut SNI 01-2346-2006, nilai organoleptik berkisar antara 7-9 menyatakan bahwa udang ronggeng masih dalam kondisi segar. Udang ronggeng dalam keadaan segar memiliki ciri-ciri yaitu penampakan utuh, cangkang masih terlihat bercahaya dan sedikit bening, antar ruas toraks dan abdomen masih kokoh, kulit agak keras, kulit tidak mudah lepas dari daging, dan tidak terdapat noda hitam pada kulit, serta sambungan kepala dan toraks masih kuat. Udang ronggeng yang masih segar memperlihatkan tekstur daging kompak dan padat, namun kurang elastis, serta mengeluarkan bau segar spesifik jenis netral. Pengujian secara organoleptik diperlukan untuk mengetahui tingkat kesegaran pada udang ronggeng, karena tingkat kesegaran merupakan indikator bahwa suatu bahan pangan terutama bahan baku perikanan memiliki mutu yang baik (Hall dan Ahmad 1992). 4.3 Uji Sensori Udang Ronggeng dengan Perebusan 2 % NaCl Faktor utama yang mempengaruhi daya penerimaan konsumen terhadap makanan adalah rangsangan citarasa yang ditimbulkan oleh makanan. Penilaian citarasa makanan menggunakan indera manusia sebagai alat penilaian dikenal dengan istilah penilaian organoleptik/sensori. Cara ini sering disebut juga penilaian subjektif karena sepenuhnya tergantung pada kepekaan inderawi manusia. Pengujian organoleptik/sensori dapat dilakukan dalam berbagai cara, salah satu diantaranya adalah uji hedonik (Soekarto 1985). Uji sensori terhadap udang ronggeng rebus dilakukan oleh 30 orang panelis semi terlatih menggunakan lembar penilaian menurut SNI 01-2346-2006. Uji sensori yang dilakukan terhadap udang ronggeng rebus dengan perlakuan penambahan garam NaCl 2 % ini meliputi empat parameter uji yaitu penampakan, bau, rasa, dan tekstur. Penambahan garam NaCl 2 % ini mengacu pada kebiasaan masyarakat dalam mengolah produk pangan. Penentuan nilai kesukaan (hedonik) menggunakan analisis statistika pendugaan parameter bagi nilai tengah dan simpangan baku dengan rumus P ( x – (1,96. s/√n )) ≤ ( x + (1,96. s/√n )). Berdasarkan analisis statistika, dihasilkan nilai organoleptik udang ronggeng rebus seperti yang tertera pada Tabel 5, sedangkan nilai uji hedonik udang ronggeng rebus dapat dilihat pada Lampiran 6. Tabel 5. Nilai rata-rata organoleptik daging udang ronggeng rebus 2 % NaCl Parameter Interval Penampakan Bau Rasa Tekstur 7,42-7,92 6,71-7,88 7,02-8,31 7,13-8,46 Interpretasi (SNI 01-2346-2006) Suka Suka Suka Suka Tabel 5 menunjukkan bahwa tingkat penerimaan panelis terhadap penampakan daging udang ronggeng rebus adalah antara 7,42-7,92, yang secara deskriptif menyatakan suka (nilai= 7) terhadap penampakan udang ronggeng rebus. Panelis menyukai penampakan daging udang ronggeng masih utuh, daging berwarna merah muda, agak cerah dan bersih. Tingkat penerimaan panelis terhadap parameter lain yaitu aroma, rasa, dan tekstur udang ronggeng rebus menunjukkan nilai yang sama yaitu dalam kisaran nilai 7 yang berarti suka. Panelis menyukai rasa daging udang ronggeng yaitu rasa manis, gurih dan segar. Penambahan garam pada sampel udang ronggeng memberikan sumbangan besar pada cita rasa, karena penambahan garam 2-3 % akan mempertegas cita rasa suatu daging (Suzuki 1981). Garam merupakan komponen bahan makanan yang ditambahkan dan digunakan sebagai pemberi rasa pada bahan pangan, pelarut protein, pengawet dan meningkatkan daya ikat dari protein daging. Makanan yang mengandung kurang dari 0,3 % garam akan terasa hambar dan tidak disukai oleh konsumen (Winarno et al. 1980), sedangkan penggunaan garam yang semakin meningkat (lebih dari 5 %) mengakibatkan semakin tingginya protein yang terlarut dan cita rasa asli dari bahan justru akan hilang (Basmal et al. 1997). Penambahan garam disamping berfungsi untuk meningkatkan cita rasa, juga berperan sebagai pembentuk tekstur dan mengontrol pertumbuhan mikroorganisme (Rahayu et al. 1992). Perebusan juga mempengaruhi tekstur yaitu mengurangi kadar air dalam bahan baku, sehingga tekstur lebih kompak. Kombinasi perebusan dengan penambahan garam 2 % menghasilkan tekstur daging udang ronggeng yang elastis, kompak dan padat. 4.4 Rendemen Udang Ronggeng Rendemen merupakan suatu parameter yang paling penting untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu produk atau bahan pangan. Rendemen adalah persentase suatu bahan baku yang dimanfaatkan. Rendemen udang ronggeng segar yang diteliti meliputi daging, karapas, dan jeroan. Rendemen daging udang ronggeng segar dihitung berdasarkan persentase perbandingan bobot daging yang sudah diambil dari cangkang dan dipisahkan dengan jeroan terhadap bobot udang ronggeng segar. Persentase rendemen udang ronggeng segar dapat dilihat pada Gambar 4, sedangkan data pengukuran rendemen disajikan pada Lampiran 7. Gambar 4. Persentase rendemen udang ronggeng segar Gambar 4 menunjukkan bahwa udang ronggeng segar memiliki persentase rendemen daging sebesar 41,27 %, rendemen karapas yang merupakan bagian terbesar dari udang ronggeng sebesar 54,15 % dan rendemen jeroan termasuk gonad di dalamnya yaitu sebesar 4,59 %. Rendemen hasil perikanan berbeda-beda tergantung dari ukuran, berat, dan jenisnya. Secara umum rendemen udang dipengaruhi oleh ukuran dan pola pertumbuhan udang tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan udang yaitu, jenis udang, musim, jenis makanan yang tersedia, dan umur udang (Ngoan et al. 2000). Nilai rendemen dari karapas udang ronggeng yang cukup besar sangat potensial untuk dimanfaatkan untuk produk lain yaitu sebagai bahan baku pembuatan kitin dan kitosan, industri hiasan, pupuk, dan fortifikasi pakan ikan. Jeroan udang ronggeng dapat dijadikan sebagai pakan ternak. Pemanfaatan hasil perikanan seperti udang ronggeng ini diharapkan tidak hanya terbatas pada bagian yang dapat dimakan saja (edible portion) tetapi pada bagian hasil sampingnya juga bisa dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku kimia, industri farmasi dan lain-lain sehingga akan menerapkan proses produksi tanpa limbah (zero waste). Proses perebusan menyebabkan penyusutan berat rata-rata udang ronggeng segar dari 215,67 gram menjadi 144,00 gram, atau mengalami penyusutan sebesar 32,90 % dari berat rata-rata semula. Proses perebusan juga menyebabkan terjadi pengurangan komponen zat gizi lain yaitu protein, lemak, vitamin dan mineral bersamaan dengan keluarnya air dari udang. Total berat yang hilang selama pemasakan berlangsung dapat berkisar antara 20-30 % (Aitken dan Connel 1979). Rendemen udang ronggeng setelah proses perebusan dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Persentase rendemen udang ronggeng setelah perebusan Gambar 5 menunjukkan bahwa udang ronggeng rebus memiliki persentase rendemen daging sebesar 29,98 %, rendemen karapas yang merupakan bagian terbesar dari udang ronggeng sebesar 67,56 % dan rendemen jeroan termasuk gonad di dalamnya yaitu sebesar 2,46 %. Perebusan pada suhu 100 0C selama 10 menit menyebabkan persentase rendemen cangkang dari udang ronggeng menjadi sangat tinggi. Hal ini terjadi karena adanya pengurangan jumlah air bebas yang keluar dari daging dan jeroan dalam jumlah yang tinggi, sedangkan air yang terkandung dalam cangkang relatif sedikit. Daging mengalami penyusutan selama proses perebusan akibat dari sejumlah air yang keluar pada bahan sebagai uap air dan lemak yang dilepaskan dari daging (Mountney 1966). 4.5 Komposisi Kimia Udang Ronggeng Komposisi kimia yang terkandung dalam suatu bahan makanan menunjukkan seberapa besar kuantitas dan kualitas bahan tersebut memberikan asupan gizi sesuai kebutuhan manusia (Winarno 2008). Komposisi kimia yang terkandung dalam udang berbeda-beda tergantung pada spesies, makanan, habitat, Tingkat kematangan gonad, dan umur (Karakoltsidis et al. 1995). Komposisi kimia beberapa udang dapat dilihat pada Tabel 6. Salah satu cara untuk mengetahui kandungan gizi secara kasar adalah dengan analisis proksimat yang meliputi kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat. Hasil analisis proksimat daging udang ronggeng segar dan setelah perebusan dapat dilihat pada Tabel 7. Data tentang penentuan komposisi kimia daging udang ronggeng disajikan pada Lampiran 8. Tabel 6. Komposisi kimia beberapa daging udang Komposisi kimia rata-rata (% bb) Kadar air Kadar abu Kadar protein Kadar lemak Keterangan: Daging udang karang merah (Plesionika martia)a 78,7±0,17 20,0±0,3 1,1±0,24 1,6±0,03 Daging udang mawar (Parapenaeus longirostris)b Daging udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)c Daging udang pada umumnyad 82,2±0,6 14,2±1,3 2,6±0,9 1,0±0,1 81,35±0,97 0,64±0,06 17,43±0,89 0,15±0,03 75,86 1,2 20,31 1,73 a dan b (Oksuz et al. 2009), c (Irawan 2006), dan d (USDA 2006) Tabel 7. Komposisi kimia daging udang ronggeng segar dan rebus hasil penelitian Komposisi kimia rata-rata (%) Kadar air Kadar abu Kadar protein Kadar lemak Daging udang ronggeng segar Berat basah Berat kering 76,55 326,44 1,27 5,42 20,42 87,08 1,54 6,52 Daging udang ronggeng rebus Berat basah Berat kering 74,09 285,95 1,39 5,36 22,37 86,78 0,83 3,20 Keterangan: n=2 Tabel 7. menunjukkan komposisi kimia udang ronggeng segar dan rebus. Proses perebusan mengakibatkan perubahan nilai komposisi kimia. Perubahan nilai komposisi kimia udang ronggeng terjadi terhadap kadar air yaitu sebesar 76,55 % menjadi 74,09 % dan kadar lemak yaitu 1,54 % menjadi 0,83 %, sedangkan kadar abu mengalami perubahan nilai menjadi 1,39 % dan protein menjadi 22,37 %. Komposisi kimia udang ronggeng berdasarkan berat kering secara keseluruhan menunjukkan penurunan nilai. Perhitungan berdasarkan berat kering merupakan nilai sebenarnya dari perubahan kadar abu, protein, dan lemak. Pengaruh pemanasan terhadap komponen daging udang dapat menyebabkan perubahan fisik dan komposisi kimia. Protein akan terkoagulasi dan air dari dalam daging ikan akan keluar pada suhu 100 oC (Zaitsev et al. 1969). Perebusan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap kandungan vitamin B daripada perlakuan lainnya. Sejumlah besar tiamin, riboflavin dan niasin terkikis ke dalam air selama perebusan dan jumlahnya tergantung pada waktu dan luas permukaan perebusan (Soeparno 1994). Perebusan juga mengakibatkan kehilangan beberapa zat gizi terutama zat-zat yang labil seperti asam askorbat dan mineral. Kerusakan zat gizi berlangsung pengolahannya secara (Kasmidjo berangsur-angsur 1992). Pemanasan bergantung bahan dari proses makanan dapat menghilangkan 30 % sampai 80 % nilai gizi makanan utamanya enzim, hormon, mineral organik dan vitamin yang diperlukan oleh tubuh (Apriyantono 2002). 4.5.1 Kadar air Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa. Produk hasil perikanan umumnya memiliki kandungan air yang sangat tinggi. Tingginya kadar air pada bahan makanan akan memudahkan mikroorganisme untuk tumbuh, sehingga dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada bahan makanan. Rendahnya kadar air pada bahan makanan akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme sehingga memperpanjang daya simpan bahan makanan tersebut (Winarno 2008). Kadar air daging udang ronggeng segar dan matang dapat dilihat pada Gambar 6. Kadar air udang ronggeng segar tidak jauh berbeda dengan kadar air udang segar pada umumnya menurut USDA (2006) yaitu sebesar 75,86 %, namun nilai tersebut lebih kecil jika dibandingkan kadar air udang vannamei (Irawan 2006) dan udang karang merah (Oksuz et al. 2009) yaitu sebesar 81,35 % dan 78,70 %. Perbedaan kadar air ini dapat disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan hidup dan tingkat kesegaran organisme tersebut. Krustase secara umum memiliki kadar air sekitar 75-80 % (Sriket et al. 2007). Tingginya kadar air dapat menyebabkan produk perikanan tersebut mudah sekali mengalami kerusakan apabila tidak ditangani secara baik (Buckle et al. 1987). Gambar 6 menunjukkan kadar air rata-rata udang ronggeng mengalami penurunan setelah adanya proses perebusan. Penurunan kadar air udang ronggeng dari 76,55 % menjadi 74,09 % atau menurun sebesar 2,46 %. Gambar 6. Kadar air daging udang ronggeng segar dan rebus Penurunan kadar air disebabkan oleh faktor pengolahan dengan panas. Proses perebusan menyebabkan udang kehilangan beberapa zat gizi terutama zat yang bersifat labil yaitu air, sehingga daging udang mengalami pengurangan kadar air (Tranggono et al. 1988 diacu dalam Apriyantono 2002). Faktor yang mempengaruhi kecepatan pengurangan kadar air selama pemasakan dengan panas tersebut adalah luas permukaaan, konsentrasi zat terlarut dalam air panas dan pengadukan air (Harris dan Karmas 1989). 4.5.2 Kadar abu Bahan makanan mengandung lebih dari 95 % bahan organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral yang juga dikenal sebagai zat anorganik. Bahan-bahan organik terbakar saat proses pembakaran, namun zat anorganiknya tidak karena itulah disebut abu (Winarno 2008). Kadar abu memiliki hubungan dengan mineral suatu bahan yang sangat bervariasi, baik macam maupun jumlahnya. Kandungan abu dan komponennya tergantung pada jenis bahan dan proses pengabuannya (Sudarmadji dan Suhardi 1989). Kadar abu dapat digunakan sebagai petunjuk keberadaan banyaknya mineral suatu bahan. Kandungan abu pada udang secara umum berkisar antara 1-1,5 % (bb) (Sikorksi et al. 1990). Tabel 6 menunjukkan kadar abu udang ronggeng segar sebesar 1,27 % (bb). Nilai tersebut lebih tinggi bila dibandingkan kadar abu udang segar menurut USDA (2006) maupun udang vannamei (Irawan 2006) yaitu masing-masing sebesar 1,20 % dan 0,64 % (bb). Kadar abu udang ronggeng jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan udang karang merah dan udang mawar (Oksuz et al. 2009) yaitu dengan perbandingan 1:20. Perbedaan kadar abu dapat disebabkan oleh faktor makanan, spesies, jenis kelamin, dan umur komoditas (Oksuz et al. 2009). Gambar 7 menunjukkan bahwa kadar abu udang ronggeng segar berdasarkan berat kering sebesar 5,42 % berkurang menjadi 5,36 % setelah perebusan. Perebusan tidak menyebabkan penurunan kadar abu udang ronggeng yang signifikan yaitu hanya sebesar 0,06 %. Hal tersebut disebabkan garam mineral tidak nyata dipengaruhi oleh perlakuan fisika dan kimia, sejumlah mineral dapat dioksidasi oleh oksigen menjadi bentuk yang valensinya lebih tinggi, namun belum jelas pengaruhnya pada nilai gizi (Harris dan Karmas 1989). Gambar 7. Kadar abu daging udang ronggeng segar dan rebus Perebusan menyebabkan partikel-partikel mineral dalam bentuk padatan yang terikat oleh air terpecah sehingga membentuk struktur daging yang kompak dan padat. Perebusan juga menyebabkan terlarutnya sebagian mineral pada daging udang (Winarno 2008). Mineral bersifat mantap karena pengolahan, namun pengolahan dapat menyebabkan penyusutan mineral maksimal sebesar 3 % pada beberapa jenis sumber makanan (Harris dan Karmas 1989). 4.5.3 Kadar protein Protein merupakan zat makanan yang penting bagi tubuh, karena zat ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur nitrogen (N), karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O) yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat (Winarno 2008). Kadar protein udang ronggeng hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan kadar protein udang segar menurut USDA (2006) yaitu sebesar 20,31 %. Kadar protein udang ronggeng lebih tinggi jika dibandingkan dengan udang vannamei (Irawan 2006) sebesar 17,43 %. Udang pada umumnya memiliki kadar protein dan nilai biologis yang tinggi, sehingga jenis krustase ini digolongkan dalam hewan protein lengkap (Karsono 2007). Kadar protein pada udang tergantung dari beberapa faktor yaitu spesies, habitat, tingkat kematangan gonad dan jenis makanan (Yanar dan Celik 2006 diacu dalam Oksuz et al. 2009). Kadar protein udang ronggeng segar dan rebus dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8. Kadar protein daging udang ronggeng segar dan rebus Gambar 8 menunjukkan bahwa kadar protein udang ronggeng segar berdasarkan berat kering sebesar 87,08 % berkurang menjadi 86,78 % setelah perebusan. perebusan menyebabkan penurunan kadar protein udang ronggeng dalam jumlah kecil yaitu sebesar 0,30 %. Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian Reber dan Bert (1968) yang menyatakan perebusan udang dapat menurunkan persentase protein berdasarkan basis kering. Berbagai kondisi pemasakan di atas suhu 60 ºC dapat menyebabkan berkurangnya protein ikan dan udang seiring dengan berkurangnya kandungan komponen air terlarut (Tarr 1962). Pengolahan daging dengan menggunakan suhu tinggi akan menyebabkan denaturasi protein sehingga terjadi koagulasi dan menurunkan solubilitas atau daya kemampuan larutnya (Soeparno 1994). Pengaruh pemanasan terhadap komponen daging ikan dapat menyebabkan perubahan fisik dan komposisi kimia ikan dan udang. Protein yang terdapat dalam bahan makanan mulai terkoagulasi pada temperatur sekitar 30 oC dan terkoagulasi secara sempurna pada temperatur 60 oC, kemudian mulai terdenaturasi pada temperatur sekitar 45 o C. Protein yang terdenaturasi akan berkurang kemampuannya untuk menahan air, dan terjadilah kehilangan air. Kandungan gizi, termasuk protein yang terlarut atau yang telah berbentuk agregat-agregat ikut pula terbawa bersama air yang hilang (Aitken dan Connel 1979). 4.5.4 Kadar lemak Lemak dapat didefinisikan sebagai bahan-bahan yang dapat larut dalam eter, kloroform atau benzena, tetapi tidak dapat larut dalam air. Lemak merupakan ikatan gliserol yang bersifat trihidik dengan asam-asam lemak yang bersifat monobasik (Sediaoetama 1993). Hasil analisis kadar lemak pada Tabel 6 menunjukkan bahwa kadar lemak rata-rata udang ronggeng segar sebesar 1,54 % (bb). Kadar lemak ini tidak jauh berbeda dengan kadar lemak udang menurut USDA (2006) yaitu sebesar 1,73 %, namun lebih tinggi nilainya jika dibandingkan dengan jenis udang hasil penelitian Oksuz et al. (2009) dan Irawan (2006), yaitu udang mawar 1,01 % dan udang vannamei 0,15 %. Faktor-faktor yang mempengaruhi keragaman komposisi lemak antara lain spesies, musim penangkapan, letak geografis, tingkat kematangan gonad serta ukuran udang tersebut (Gokce et al. 2004). Selain itu, kandungan lemak juga dipengaruhi oleh lingkungan dan makanan yang dikonsumsi oleh udang tersebut. Berdasarkan jumlah lemak yang dikandung udang tersebut, maka udang ronggeng ini tergolong ke dalam jenis udang berlemak rendah karena kurang dari 5 % (Ackman 1982). Kadar lemak udang ronggeng segar dan rebus dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9. Kadar lemak daging udang ronggeng segar dan rebus Gambar 9 menunjukkan bahwa kadar lemak udang ronggeng segar berdasarkan berat kering sebesar 6,52 % berkurang menjadi 3,20 % setelah perebusan. perebusan menyebabkan penurunan kadar lemak udang ronggeng sebesar 3,32 % atau hampir setengah dari nilai semula. Perebusan telah menyebabkan lemak udang ronggeng terhidrolisis dan terdegradasi sehingga menghasilkan komponen-komponen lemak sederhana yaitu asam lemak bebas, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kadar lemak pada daging udang ronggeng (Connel 1979). 4.6 Komposisi Mineral Udang Ronggeng Mineral merupakan bagian dari tubuh dan memiliki peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ, maupun fungsi tubuh secara keseluruhan (Almatsier 2003). Mineral berperan dalam berbagai tahap metabolisme tubuh terutama sebagai kofaktor-kofaktor dalam aktivasi enzim (Belitz dan Grosch 2001 diacu dalam Oksuz et al. 2009). Mineral banyak terkandung dalam makanan nabati maupun hewani. Keberadaan mineral pada organisme perairan umumnya dipengaruhi oleh daya absorpsi makanan dari berbagai zat yang tersuspensi dalam perairan tempat tinggalnya. Kemampuan organisme untuk mengabsorpsi berbagai zat tersuspensi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kondisi suhu lingkungan, ukuran organisme, spesies, pH dan kondisi kelaparan dari organisme (Darmono 1995). Komposisi mineral dari beberapa jenis udang dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Komposisi mineral beberapa jenis udang Jenis Mineral Daging udang mawar (Parapenaeus longirostris)a Daging udang karang merah (Plesionika martia)b Daging udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)c Daging udang pada umumnya d Kalsium (Ca) Kalium (K) Natrium (Na) Fosfor (P) Magnesium (Mg) Seng (Zn) Besi (Fe) Tembaga (Cu) 49,5±9,41 99,6±10,63 87,6±7,91 93,3±5,71 38,2±2,15 0,6±0,05 1,8±0,27 0,2±0,07 32,20±11,2 64,49±8,84 57,48±14,98 134,46±18,24 57,90±8,48 0,59±0,06 0,20±0,09 0,28±0,03 66,07±5,32 85,23±6,94 144,99±16,43 111,98±5,65 32,41±0,44 52 185 148 205 37 3,63±1,42 - 1,1 2,41 0,264 Keterangan: Nilai dalam rata-rata ± SD mg/100 g (bb) a dan b (Oksuz et al. 2009), c (Irawan 2006), dan d (USDA 2006) 4.6.1 Mineral makro Mineral makro merupakan mineral yang dibutuhkan tubuh manusia dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari. Kelompok mineral makro terdiri dari kalsium, kalium, magnesium, natrium, sulfur, klor, dan fosfor (Winarno 2008). Penelitian ini tidak menyertakan sulfur dan klor dalam pembahasan. Informasi mengenai kandungan mineral makro yang terkandung pada udang ronggeng hasil penelitian disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Komposisi mineral makro udang ronggeng (Harpiosquilla raphidea) Jenis Mineral Kalsium Kalium Natrium Magnesium Fosfor Daging udang ronggeng segar basis basah basis kering 130,65±10,23 557,16±43,63 256,12±3,05 1092,17±13,00 36,46±2,55 155,48±10,86 124,34±6,20 530,21±26,44 303,51±8,99 1294,26±38,33 Daging udang ronggeng rebus basis basah basis kering 27,63±1,00 106,64±3,88 205,72±7,67 793,98±29,58 25,88±4,15 99,86±16,02 75,42±4,57 291,07±17,66 296,74±1,46 1145,25±5,65 Keterangan: Nilai dalam rata-rata ± SD mg/100 g Tabel 9 menunjukkan kandungan mineral makro terbesar pada daging udang ronggeng segar adalah fosfor yaitu sebesar 303,51 mg/100 g. Kandungan fosfor sebagai mineral makro terbesar dalam daging juga terdapat pada udang jenis lain diantaranya udang segar (USDA 2006) sebesar 52 mg/100 g, udang vannamei (Irawan 2006) sebesar 111,98 mg/100 g, udang karang merah dan udang mawar hasil penelitian Oksuz et al. (2009) sebesar 134,46 dan 93,30 mg/100 g. Fosfor bersama kalsium merupakan komponen utama penyusun tulang dan daging yang terdapat dalam semua jaringan dalam jumlah besar dan memiliki fungsi paling banyak dibandingkan mineral lainnya. Fosfor juga terdapat pada semua sel hidup dan diperlukan untuk pelepasan dan penyimpanan energi (Harjono et al. 1996). Fosfor yang terdapat di dalam jaringan keras yaitu tulang dan gigi memiliki kadar lebih rendah daripada kalsium, namun jika berada dalam jaringan lunak(daging) kadar fosfor jauh lebih tinggi dibandingkan kalsium (Sediaoetama 1993). Kandungan mineral makro lain yang dapat dianalisis pada daging udang ronggeng yaitu kalsium sebesar 130,66 mg/100 g, kalium 256,12 mg/100 g, magnesium 124,34 mg/100 g, dan natrium sebesar 36,46 mg/100 g. Kandungan mineral makro daging udang ronggeng secara umum mempunyai nilai lebih besar dari udang segar pada umumnya (USDA 2006), udang vannamei (Irawan 2006), udang karang merah dan udang mawar (Oksuz et al. 2009). Kandungan mineral makro daging udang ronggeng segar dan setelah perebusan dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10. Kandungan mineral makro daging udang ronggeng segar dan setelah perlakuan perebusan Gambar 10 menunjukkan kadar mineral makro daging udang ronggeng setelah proses perebusan mengalami penurunan. Kadar fosfor menurun menjadi sebesar 296,74 mg/100 g, kalsium 27,63 mg/100 g, kalium 205,72 mg/100 g, natrium 25,88 mg/100 g, dan magnesium 75,42 mg/100 g. Penurunan kadar mineral makro udang ronggeng terkait dengan penurunan kadar abu hasil uji proksimat. Pengolahan dengan panas mengakibatkan kehilangan beberapa zat gizi terutama zat-zat yang labil seperti mineral dan asam askorbat. Kerusakan zat gizi berlangsung secara berangsur-angsur bergantung dari cara proses pengolahan, seperti halnya perebusan (Winarno 2008). Perebusan menyebabkan pemanasan yang lebih merata pada bahan. Bahan berhubungan langsung dengan panas yang dihasilkan oleh air mendidih, mengakibatkan dinding sel bahan pangan cepat mengalami kerusakan dan terjadi proses keluarnya komponen-komponen penyusun suatu bahan seperti riboflavin, asam askorbat (vitamin C), tiamin, Co, Mg, P, Ca, Mn, protein, dan asam amino (Harikedua 1992). Penurunan kandungan mineral makro terbesar terjadi pada kalsium yaitu sebesar 103,03 mg/100 g, sedangkan penurunan terkecil terjadi pada fosfor yaitu sebesar 6,77 mg/100 g. Penurunan kadar kalsium pada daging udang ronggeng diduga disebabkan oleh keluarnya ion-ion kalsium dari dalam daging bersamaan dengan keluarnya air karena pengaruh pemanasan. Hal ini berdasarkan sifat ketersediaan kalsium pada daging yang tersebar dalam cairan ekstraseluler maupun intraseluler sehingga sangat peka terhadap suhu tinggi. Fosfor dalam daging udang ronggeng cenderung lebih stabil terhadap perebusan karena diduga berikatan kuat dengan unsur lain membentuk senyawa tertentu dalam daging sehingga tidak ikut terbawa dalam air rebusan (Prangdimurti 1992). Kalsium merupakan mineral utama pembentuk tulang. Sekitar 99 % kalsium berada dalam tubuh (Winarno 2008). Angka kecukupan gizi rata-rata kalsium bagi bayi usia 0-12 bulan yaitu sebesar 200-400 mg/hari, anak-anak usia 1-9 tahun sebesar 500-600 mg/hari, laki-laki dan wanita 10-18 tahun sebesar 1000 mg/hari, laki-laki dan wanita usia 19-65 tahun ke atas adalah sebesar 800 mg/hari (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004). Fosfor mempunyai beberapa fungsi di dalam tubuh manusia seperti pembentukan tulang dan gigi, pengatur keseimbangan asam dan basa serta mengaktifkan berbagai enzim. Kekurangan fosfor dapat mengakibatkan kerusakan pada tulang (Almatsier 2003). 4.6.2 Mineral mikro Mineral mikro merupakan mineral yang dibutuhkan tubuh manusia dalam jumlah kurang dari 100 mg sehari. Mineral mikro mempunyai peranan penting untuk kehidupan, kesehatan, dan reproduksi (Muchtadi et al. 1993). Kelompok mineral mikro terdiri dari besi, seng, tembaga, iodium, mangan, dan selenium. Informasi mengenai kandungan mineral mikro udang ronggeng hasil penelitian ini disajikan pada Tabel 10. Tabel.10 Kandungan mineral mikro udang ronggeng (Harpiosquilla raphidea) Jenis Mineral Seng Tembaga Besi Daging udang ronggeng segar basis basah 10,27±0,08 0,39±0,01 1,23±0,06 basis kering 43,80±0,36 1,66±0,06 5,23±0,26 Daging udang ronggeng rebus basis basah 6,29±0,01 0,23±0,01 1,08±0,04 basis kering 24,28±0,05 0,87±0,03 4,19±0,01 Keterangan: Nilai dalam rata-rata ± SD mg/ 100 g basis basah Mineral mikro pada daging udang ronggeng yang berhasil diukur adalah seng, tembaga, dan besi, sedangkan iodium tidak terdeteksi karena konsentrasi dalam sampel di bawah limit deteksi alat yaitu sebesar 0,09 ppm. Kadar mineral mikro tertinggi pada daging udang ronggeng adalah seng yaitu 10,27 mg/100 g, sedangkan nilai yang terendah adalah tembaga yaitu sebesar 0,39 mg/100 g. Kandungan seng sebagai mineral mikro terbesar dalam daging udang juga terdapat pada udang jenis lain yaitu udang karang merah (Oksuz et al. 2009) yaitu sebesar 0,59 mg/100 g. Kadar seng pada daging udang ronggeng hasil penelitian lebih tinggi dari udang ekonomis penting yaitu udang vannamei (Irawan 2006) sebesar 3,63 mg/100 g. Sebagian besar udang memiliki komposisi seng yang sebanding dengan kerang-kerangan namun lebih tinggi daripada ikan. Kandungan mineral mikro lain yang dapat dianalisis pada daging udang ronggeng yaitu besi sebesar 1,23 mg/100 g. Kandungan mineral mikro daging udang ronggeng segar dan setelah perebusan dapat dilihat pada Gambar 11. 12,00 10,0 0 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 Gambar 11. Kandungan mineral mikro udang ronggeng segar dan setelah perlakuan perebusan Gambar 11 menunjukkan kadar mineral mikro daging udang ronggeng setelah proses perebusan mengalami penurunan. Kadar seng menurun menjadi sebesar 6,29 mg/100 g, besi 1,08 mg/100 g, dan tembaga 0,23 mg/100 g. Pengolahan dengan panas mengakibatkan kehilangan beberapa zat gizi terutama zat-zat yang labil seperti mineral dan asam askorbat. Kerusakan zat gizi berlangsung secara berangsur-angsur tergantung dari cara dan lamanya proses perebusan (Winarno 2008). Pada proses perebusan bahan berhubungan langsung dengan panas yang dihasilkan oleh air mendidih, mengakibatkan dinding sel bahan pangan cepat mengalami kerusakan dan terjadi proses keluarnya komponen-komponen penyusun suatu bahan seperti riboflavin, asam askorbat, tiamin, Co, Mg, P, Ca, Mn, protein, dan asam amino (Harikedua 1992). Penurunan kandungan mineral mikro terbesar terjadi pada seng yaitu sebesar 3,98 mg/100 g, sedangkan penurunan terkecil terjadi pada besi yaitu sebesar 0,15 mg/100 g. Penurunan kadar seng pada daging udang ronggeng diduga disebabkan oleh keluarnya ion-ion seng dari dalam daging bersamaan dengan keluarnya air karena pengaruh pemanasan. Hal ini berdasarkan sifat ketersediaan seng pada daging yang tersebar di hampir jaringan tubuh terutama daging dan berfungsi dalam metabolisme tubuh seperti transpor vitamin, dimana vitamin termasuk salah satu zat gizi yang rentan hilang karena suhu tinggi. Proses perebusan daging udang ronggeng tidak menyebabkan mineral besi rusak namun dalam jumlah yang sedikit akan hilang bersama air rebusan sehingga kadar besi tidak mengalami penurunan nilai yang besar (Gaman dan sherrington 1992) Seng diperlukan dalam jumlah sangat sedikit dalam tubuh dan pembentuk bagian yang esensial dari enzim, misalnya karbonat anhidrase yang penting dalam metabolisme karbondioksida (Harjono et al. 1996). Kandungan seng dan tembaga pada daging udang ronggeng tergolong aman untuk dikonsumsi, karena kandungan seng dan tembaga pada makanan yang dapat ditoleransi tidak boleh melebihi 500 dan 50 mg/100 g (Oksuz et al. 2009). Angka kecukupan gizi ratarata seng bagi bayi usia 0-12 bulan adalah sebesar 1,3-7,5 mg/hari, anak-anak umur 1-9 tahun sebesar 8,2-11,2 mg/hari dan pria dan wanita umur 10-18 tahun sebesar 12,6-17,4 mg/hari, sedangkan usia 19-65 tahun sebesar 9,3-13,4 mg/hari (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004). 5. 5.1 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Udang ronggeng (Harpiosquilla raphidea) yang digunakan memiliki panjang rata-rata 30,08 cm dan berat rata-rata 206,08 g. Udang ronggeng memiliki rendemen terbesar berupa karapas yaitu sebesar 54,15 %. Perlakuan perebusan menyebabkan terjadinya penyusutan rendemen udang ronggeng sebesar 32,90 %. Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa daging udang ronggeng merupakan udang yang tergolong berprotein tinggi yaitu 20,42 % (bb) dan berlemak rendah 1,54 % (bb). Proses perebusan menyebabkan kadar air, abu, protein, lemak udang ronggeng mengalami penurunan. Kandungan mineral makro terbesar pada daging udang ronggeng segar adalah fosfor (P) yaitu sebesar 303,51 mg/100 g (bb), sedangkan mineral mikro terbesar adalah seng (Zn) yaitu 10,27 mg/100 g (bb). Mineral yang diteliti secara keseluruhan mengalami penurunan setelah proses perebusan. Penurunan terbesar kandungan mineral makro terjadi pada kandungan kalsium (Ca) yaitu 1/5 kali dari nilai semula, sedangkan pada mineral mikro terjadi pada seng (Zn) yaitu hampir setengah kali dari nilai semula. 5.2 Saran Berdasarkan penelitian ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai komposisi mineral daging ronggeng dengan perlakuan pengolahan pangan selain perebusan, analisis lebih lanjut mengenai kelarutan mineral, bioavailabilitas mineral secara in vitro dan in vivo serta dilakukan penelitian mengenai pemanfaatan rendemen karapas dan jeroan udang ronggeng. DAFTAR PUSTAKA Ackman RG. 1982. Seafood lipids. Di dalam: Shahidi F, Botta JR, editor. Seafoods: Chemistry, Processing Technology & Quality. London: Blackie Academic & Professional. Chapman & Hall. Aitken A dan Connel. 1979. Fish, In: Effect of heating on foodstuff, prietsley. Ed. Applied Science Publisher. Ltd. London. Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama AOAC [Association of Official Analytical Chemyst]. 1995. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington, Virginia, USA: Association of Official Analytical Chemist, Inc. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari N, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Analisis Pangan. Bogor : IPB Press. Apriyantono A. 2002. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi dan Keamanan Pangan. http://209.85.175.104/ [12 Mei 2009] Basmal J, Bagus SB, Utomo dan Taylor KDA. 1997. Pengaruh perebusan, penggaraman dan penyimpanan terhadap penurunan kandungan lisin yang terdapat dalam ikan pindang. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 3(2):54-62 [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2007. RSNI 01-2346-2006. Organoleptik Produk Perikanan. Jakarta : Dewan Standarisasi Nasional. Buckle KA, Fleet GH dan Wooton M. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan. Hari Purnomo dan Adiono. Jakarta: UI Press Connel JJ. 1979. Advances in Fish Science & Technology. London : Fishing News Book Ltd. Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi. Jakarta: UI Press [DKP] Departemen Perikanan dan Kelautan, Ditjen Perikanan Tangkap. 2008. Potensi Udang Indonesia. www.dkp.go.id. [20 Juni 2009] Fardiaz D, Slamet DS, Mahmud MK, Muhilal, Simarmata JP. 1990. Pedoman Analisis Zat Gizi. Jakarta: Departemen kesehatan RI, Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Pusat penelitian dan Pengembangan Gizi. Frank AL. 1980. Basic Food Chemistry. Westport : The AVI Publishing Company, Inc. Gaman PM, Sherrington KB. 1992. Ilmu Pangan: Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi, dan Mikrobiologi. Ed ke-2. Kasmidjo RB, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: The Science of Food: An Introduction to Food Science, Nutrition and Microbiology. Gokce M A, Tazbozan 0, Celik M, Tabakoglu S. 2004. Seasonal variation in proximate and fatty acid of female common sole (Solea solea). Food Chem. 88:419-423. Groft JL, Gropper SS. 1999. Advanced Nutrition and Human Metabolism. 3rd Edition. Wadsworth. Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta: Liberty. Hall GM dan Ahmad NH. 1992. Surimi and fish minced products. Fish Processing Technology. New York: Blackie Academic & Profesional. Halomoan M. 1999. Beberapa aspek biologi reproduksi udang ronggeng (Squilla harpax de haan) di Perairan Teluk Banten, Serang, Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Halver JE. 1989. Fish Nutrition. 2 nd ed. California: Academic Press Inc. Harikedua JW. 1992. Pengaruh Perebusan terhadap Kompoen Zat Gizi Ikan Layang (Decapterus ruselli) Khususnya Asam Lemak Tidak Jenuh Omega-3[tesis]. Bogor : Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Harjono RM, Oswari J, Ronardy DH, Santoso K, Setio M, Soenarno, Widianto G, Wijaya C, Winata I. 1996. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Harris RS dan Karmas E. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Edisi ke-2. Bandung: ITB-Press. Irawan A. 2006. Kandungan mineral cumi-cumi (Loligo sp) dan udang vannamei (Litopenaeus vannamei) serta pengaruh perebusan terhadap kelarutan mineral [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Karakoltsidis PA, Zotos A dan Costantinides M. 1995. Composition of the commercially important mediterranean finfish, crustaceans and molluscs. J Food Composition Anal. 8: 258-273 Karsono W. 2007. Udang kaya protein dan rendah kalori. www.sportindo.com [16 Mei 2009] Kasmidjo RB.1992. Ilmu Pangan, pengantar ilmu pangan, nutrisi dan Mikrobiologi Edisi Kedua. Yogyakarta : Gajah mada Unversity Press. Khopkar SM. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press Lovett DL. 1981. A Guide to The Shrimps, Prawns, Lobsters, And Crabs of Malaysia and Singapore. Faculty of Fisheries and Marine Science Universiti Pertanian Malaysia. Serdang, Selangor, Malaysia. Occasional Publication No.2 Motoyama K, Suma Y, Ishizaki S, Nagashima Y, Lu Y, Ushio H and Shiomi K. 2008. Identification of tropomyosins as major allergens in antarctic krill and mantis shrimp and their amino acid sequence characteristics. Marine Biotechnology Journal : 709-718 Mountney GJ. 1966. Poultry Product Technology. Westport,Connecticut: The AVI Publishing Company, Inc. Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1993. Metabolisme Zat Gizi. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian , Institut Pertanian Bogor. Newman MC, Jagoe CH. 1994. Ligans and the bioavailability of metals in aquatic environment. Di dalam: Hamelick JL, Bergman PF, Bergman HL, Benson WH, Editors. Bioavailability: Physical, Chemical, and Biological Interactions. Boca Raton: CRC Press. Ngoan LD , Lindberg JE, Ogle B dan Thomke S. 2000. Anatomical proportions and chemical and amino acid composition of common shrimp species in central vietnam. Asian-Aus. Journal. Anim.Sci. 13(10): 1422-1428. Nur MA, Adijuwana H. 1989. Teknik Spektroskopi dalam Analisis Biologis. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Oksuz A, Ozyilmaz A, Aktas M, Gercek G, dan Motte J. 2009. A comparative study on proksimat, mineral and fatty acid compositons of deep seawater rose shrimp (Parapenaeus longirostris,lucas 1846) and red shrimp (Plesionika martia, A. Milne-Edwards, 1883). Journal of Animal and Veterinary Advances 8 (1): 183-189. Medwell Journals Publishing Okuzumi M, Fujii T. 2000. Nutritional and Functional properties of Squid and Cuttlefish. Tokyo: National Cooperative Association of Squid Processors. Olson RE, Broquist HP, Chichester CO, Darby WJ, Stalvey RM. 1988. Pengetahuan gizi mutakhir mineral. Nasoetion AH dan Karyadi D, penerjemah. Jakarta: PT Gramedia. Terjemahan dari: Present Knowledge in Nutrition Patek SN, Nowroozi BN, Baio JE, Caldwell RL, dan Summers AP. 2007. Linkage mechanics and power amplification of the mantis shrimp’s strike. Journal of Experimental Biology 210, 3677-3688. Prangdimurti E. 1992. Interaksi Mineral dengan Senyawa Lain dalam Bahan Pangan. Bogor: Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor Rahayu WP, Ma’oen S, Suliantri S, Fardiaz S. 1992. Teknologi Fermentasi Produk Perikanan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB Rebert EF dan Bert MH. 1986. Protein quality of irradiated shrimp. J.Am Diet Assoc. 53:41 University of Florida Sediaoetama AD. 1993. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi di Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat Sikorsi ZE, Kolakowska dan Pan BS. 1990. The nutritive composition of the major groups of marine food organisms. Seafood: Resources, Nutritional Composition and Preservation. CRC. Press Florida, pp: 29-54 Soekarto ST.1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Bharatara Karya Aksara Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Ed-2. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Sriket S, Benjakul P, Visessanguan W dan Kijroongrojana K. 2007. Comparative studies on chemical composition and thermal properties of black tiger shrimp (Penaeus monodon) and white shrimp (Penaeus vannamei) meats. Food Chem. 103: 1199-1207. Sudarmadji S, Suhardi BH. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Penerbit Liberty Yogyakarta bekerjasama dengan PAU Pangan dan Gizi, UGM. Suhardjo, Kusharto CM. 1987. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Pusat Antar Universitas, Lembaga Sumberdaya Informasi Institut Pertanian Bogor. Suzuki T.1981. Fish and Krill Protein Processing Technology. Tokyo: Applied Science Publisher Ltd. Tanikawa E. 1985. Marine Product in Japan. Tokyo: Koseisha Koseikaku Co. Ltd. Tarr HL. 1962. Shellfish protein: Nutritive aspects. In Fish as Food. Vol. II. G. Borgstrom, Ed. P241. Academic Press Florida Thahar HN. 2004.Malapetaka Ancam Nelayan Manthis. www.Kompas.com [21 januari 2009]. USDA National Nutrien Database Reference. 2006. Shrimp Nutrition Information. www. Personal healthzone.com. [12 Februari 2009] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Widyati R. 2004. Pengetahuan Dasar Pengolahan Makanan Eropa. Jakarta : PT Grasindo. Williams MH. 2005. Dietary Supplements and Sports Performance: Minerals. Department of Exercise Science, Old Dominion University. Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT Gramedia Winarno FG. 2008. Kimia pangan dan Gizi. Edisi Revisi. Jakarta : PT Gramedia Zaitsev V, I. Kizevetter, L. Lagunov, T. Makarova, L. Minder, and V. Podsevalov. 1969. Fish Curing and Processing. Moscow: Mir Publisher. Lampiran 1. Sampel udang ronggeng yang diteliti Thoracopod 2 Toraks Thoracopod 3-5 Abdomen Uropod Antena 2 Telson Thoracopod 1 Antena 1 Gambar bagian-bagian tubuh udang ronggeng Lampiran 2. Data ukuran dan bobot udang ronggeng (Harpiosquilla raphidea) Udang ronggeng ke- Parameter 1 2 Panjang total (cm) 33 31.5 3 4 Panjang baku (cm) 27 25.5 24 27 27 26.5 29 23.5 24 25 24.5 24 27 28.5 25 26.5 24 28 24 26 Panjang toraks (cm) 5 5 5.5 6 5 4.5 6 4.5 5 5.5 5 5 6 6.5 5.5 5 5 6 5 5.5 Panjang kepala (cm) 7 6 6 7 7 6 7.5 5 5.5 6 6 5 7.5 8 6.5 7 6 7 6 7 Panjang ekor (telson) (cm) 5 4.5 4 5 4.5 4 5.5 3 4 4 3.5 3.5 4.5 5 4 4.5 4 4.5 3 3.5 Lebar badan (cm) 6 5.5 5 6 6 5 6.5 5 5 6 5.5 5 6.5 7 6 6.5 6 6.5 5 5.5 30 5 33 6 32 31 7 34.5 8 28 9 30 10 31.5 11 30 12 30.5 13 33 14 34 15 31.5 16 32 17 30.5 18 33 19 30 20 31 Lebar toraks (cm) 3.5 3 3 3.5 3.5 3 4 3 3 3 3 3 3.5 4 3 3.5 3 3.5 3 3 Lebar kepala (cm) 4.5 4 3.5 4.5 4 4 5 3.5 4 4 4 4 4.5 5 4 4.5 3.5 4.5 3 4 panjang uropod (cm) 7 6 6 7 6.25 6.25 7.25 5.75 6 6.5 6.5 6 7 7.5 6.25 7 6.25 7.25 6 6 panjang thoracopod 1 (cm) 8 7 7 8 8.25 7 8.5 6 6.25 6 5 5.5 7 7.25 6 6.6 6 7.25 5.75 6 panjang thoracopod 2 (cm) 20.5 19 19 20.5 20 20 22 18.8 19.3 20 18 18 20.5 22 20 21.5 19 20 18 19 panjang thoracpopod 3-5 (cm) 7.75 7 6.75 7.75 7.5 7 7.75 6.5 7 7 7 6.75 7.25 7.5 6 7 6 7 6.5 7 panjang kaki jalan (cm) 5.5 5 5 5.5 5 5 6.25 4.75 5 5 5 5 5 6 5 5 5 5.5 5 5 panjang kaki renang (cm) 4 3.5 3.5 4 3.5 3 4.5 3 3 3.5 3 3 4 4.5 3.5 3.5 3 3 3 3 panjang gill (cm) 1 0.8 0.8 1 1 0.75 1.25 0.5 1 1 1 1 1.25 1 1 1 1 1 0.75 0.8 panjang gigi (cm) 1.5 1 1 1.5 1.5 1.25 1.5 1 1.25 1.5 1 1 1.5 1.75 1.5 1.5 1.5 1.5 1 1.5 panjang antena 1(cm) 5.5 5 5.5 5.5 5 5 5.75 5 5 5 5.5 5 5.5 5 5 5 5 5 5 5 panjang antena 2 (cm) 9.5 9 9 9.5 9 9 9 8.75 9 9 9.5 9 9 9 8.75 9 9 9 9.5 9 panjang antena scale (cm) 4.5 4 4 4.5 4 4.5 4 4 4 4.5 4.25 4.25 4 4 4.25 4 4 4.25 4.5 4 Bobot (g) 229 214 209 231 236 219 242 198 201 211 206 205 225 227 216 221 201 219 205 201 panjang abdomen (cm) 12 11.5 11 11 12 12.5 10.8 11.5 11.5 11 10.8 11 12 12.5 12 11 12 12 11 11 Lampiran 3. Lembar penilaian organoleptik udang segar (SNI-01-2346-2006) Lampiran 4. Lembar penilaian uji hedonik (SNI-01-2346-2006) Lampiran 5. Data pengujian organoleptik kesegaran udang ronggeng Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Penampakan ABC 5 7 9 9 7 8 9 7 9 7 7 7 8 9 5 7 8 5 7 8 9 5 8 8 7 8 8 7 8 8 BCD 7 8 9 9 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 CDA 5 9 8 7 5 5 8 7 7 8 7 8 7 7 7 7 8 7 7 8 8 7 8 9 7 8 8 8 7 8 Bau ABC 7 7 8 9 8 7 7 8 8 9 7 7 8 8 7 7 8 5 7 8 7 7 9 8 8 9 9 7 7 9 BCD 7 8 8 8 8 7 7 8 9 9 7 7 8 8 7 7 8 7 7 8 8 7 9 8 8 8 8 7 7 9 Tekstur CDA 7 9 8 7 8 7 7 8 8 8 9 8 8 9 8 8 9 7 8 8 8 7 9 9 8 8 9 7 8 9 ABC 5 8 8 9 7 7 7 7 8 9 8 8 8 7 5 5 8 5 8 7 7 5 8 9 7 8 8 8 8 9 BCD 7 8 8 8 8 8 8 8 8 9 8 8 8 7 7 8 7 7 9 8 7 7 8 8 9 7 9 8 9 7 CDA 7 8 8 7 7 7 7 8 8 7 9 9 8 7 7 8 7 7 7 7 7 7 8 8 9 9 8 8 9 8 Lampiran 6. Data uji hedonik udang ronggeng rebus Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Penampakan A12 7 9 9 7 7 7 7 7 7 7 9 7 9 7 7 7 7 7 7 7 9 9 9 7 7 9 9 9 9 7 A47 7 9 7 7 7 7 7 9 7 7 7 9 7 7 7 7 7 7 7 7 9 7 9 9 7 9 9 9 7 7 A55 7 9 7 7 7 7 7 7 7 7 7 9 7 7 7 9 7 7 7 7 7 7 7 7 9 9 9 9 7 7 Bau A12 7 9 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 9 7 7 9 7 7 7 7 9 7 7 7 7 7 7 9 7 9 A47 7 9 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 9 9 7 7 7 9 Rasa A55 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 9 7 7 7 7 7 7 7 7 7 9 7 7 7 7 7 A12 9 7 7 9 7 7 7 7 7 7 7 9 9 7 7 7 7 7 9 9 7 7 7 9 7 7 9 9 7 7 A47 7 9 7 7 7 7 7 7 7 7 9 9 7 7 9 9 7 7 7 9 7 7 7 7 7 7 9 9 7 7 Daging/tekstur A55 7 9 7 9 7 9 7 7 7 7 7 7 7 9 7 7 7 7 7 9 9 7 7 7 9 7 9 9 7 7 A12 7 9 7 7 7 7 7 7 7 7 9 9 9 7 7 7 9 7 7 7 9 9 7 7 7 9 9 9 9 7 A47 7 9 7 7 7 7 7 7 9 7 7 9 7 7 9 9 7 7 9 7 7 9 9 9 7 9 9 7 9 9 A55 7 9 7 7 7 7 7 7 7 7 9 9 7 9 7 9 9 7 7 7 9 7 7 9 9 9 9 7 7 9 Lampiran 7. Rendemen udang ronggeng (Harpiosquilla raphidea) Udang Segar Berat Utuh A B C Rata-rata 173 153 132 152,67 Sampel Udang Segar A B C Rata-rata Sampel Udang Berat Segar Utuh A B C 179 229 239 Sampel Udang A B C Rata-rata Berat Daging 72 66 51 63,00 Rendemen Daging (%) 41,62 43,14 38,64 41,27 Berat Rebus Utuh 127 149 156 Rendemen lost selama perebusan (%) 29,05 34,93 34,73 32,90 Berat Lost 52 80 83 Berat Cangkang 93 81 74 82,67 Berat Jeroan 8 6 7 7,00 Rendemen Cangkang(%) 53,76 52,94 56,06 54,15 Berat tanpa cangkang 80 72 58 70,00 Rendemen Jeroan (%) 4,62 3,92 5,30 4,59 Berat Berat Berat Cangkang Daging Jeroan 85 102 105 Rendemen Cangkang (%) 66,93 68,46 67,31 67,56 36 44 50 6 3 1 Berat tanpa cangkang 42 47 51 Rendemen Daging (%) Rendemen Jeroan (%) 28,35 29,53 32,05 29,98 4,72 2,01 0,64 2,46 Lampiran 8. Data dan perhitungan komposisi kimia udang ronggeng Komposisi kimia rata-rata (%) Daging udang ronggeng segar Daging udang ronggeng rebus 76,55±0,94 1,27±0,01 20,42±0,17 1,53±0,12 74,09±0,35 1,39±0,04 22,72±0,31 0,83±0,03 Kadar air Kadar abu Kadar protein Kadar lemak Kadar Air: Data kadar air udang ronggeng segar: ulangan berat cawan 1 2 rata-rata 32,0552 27,7264 berat sampel 1,7344 1,7351 berat setelah dioven 32,4736 28,1216 kadar air (%) 75,88 77,22 76,55 STDEV 0,95 Data kadar air udang ronggeng rebus: ulangan 1 2 rata-rata berat cawan 28,5927 28,1365 berat sampel 1,8041 1,7984 berat setelah dioven 29,0645 28,5980 kadar air (%) 73,85 74,34 74,09 STDEV 0,35 Rumus Perhitungan: Keterangan: A = Berat cawan kosong (gram) B = Berat cawan dengan daging udang (gram) C = Berat cawan dengan daging udang setelah dikeringkan (gram). Contoh perhitungan kadar air: Berat cawan = 32,0552 gram Berat contoh = 1,7344 gram Berat cawan dan sampel kering = 32,4736 gram % Kadar air = Keterangan: B−C x100 % A A = Berat sampel basah (gram) B = Berat cawan dengan sampel udang basah (gram) C = Berat cawan dengan dagingudang setelah dikeringkan (gram). = 75,88 % Kadar Abu: Data kadar abu udang ronggeng segar : ulangan berat cawan 1 2 rata-rata 2,2470 187666 berat sampel 4,2473 4,0853 berat setelah ditanur 22,3004 18,8189 kadar abu (%) 1,26 1,28 1,27 STDEV 0,02 Data kadar abu udang ronggeng rebus : ulangan berat cawan 1 2 rata-rata 20,2242 22,2593 berat sampel 2,7183 3,0956 berat setelah ditanur 20,2628 22,3014 kadar abu (%) 1,42 1,36 1,39 STDEV 0,04 Rumus Perhitungan: Keterangan : A = Berat cawan abu porselen kosong (g) B = Berat cawan abu porselen dengan daging udang (g) C = Berat cawan abu porselen dengan daging udang setelah dikeringkan (g). Kadar Lemak : Data kadar lemak udang ronggeng segar : ulangan berat cawan 1 2 rata-rata 38,8393 38,2334 berat sampel 2,0001 2,0601 berat setelah dioven 38,8684 38,2667 kadar lemak (%) 1,45 1,62 1,54 STDEV 0,11 Data kadar lemak udang ronggeng rebus : ulangan berat cawan 1 2 rata-rata 41,4210 39,0916 Rumus perhitungan: berat sampel 2,2118 1,7284 berat setelah dioven 41,4398 39,1056 kadar lemak (%) 0,85 0,81 0,83 STDEV 0,03 Keterangan : W1 = Berat udang ronggeng (g) W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (g) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (g) Kadar Protein: Data kadar protein udang ronggeng segar: Ulangan 1 2 rata-rata berat sampel (gram) 0,2812 0,2941 titrasi H2SO4 (ml) 15,3 15,2 kadar protein (%) 20,95 19,90 20,42 STDEV 0,74 Data kadar protein udang ronggeng rebus: ulangan berat sampel 1 2 rata-rata 0,2173 0,2131 titrasi H2SO4 (ml) 12,5 12,6 kadar protein (%) STDEV 22,15 22,76 22,46 0,44 % Kadar Protein = % nitrogen x faktor konversi Lampiran 9. Data kandungan mineral udang ronggeng basis basah Jenis mineral Udang ronggeng segar Udang ronggeng rebus 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata Kalsium 137,89 123,42 130,66 28,34 26,92 27,63 Kalium 253,96 258,27 256,12 200,30 211,14 205,72 Natrium 34,66 38,26 36,46 22,94 28,81 25,88 Magnesium 119,95 128,72 124,34 72,18 78,65 75,42 Fosfor 309,86 297,15 303,51 297,77 295,70 296,74 Seng 10,33 10,21 10,27 6,3 6,28 6,29 Tembaga 0,40 0,38 0,39 0,23 0,22 0,23 Besi 1,27 1,18 1,23 1,082 1,087 1,08 - - - - - - Iodium Data kandungan mineral udang ronggeng basis kering Udang ronggeng segar Udang ronggeng rebus Jenis mineral 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata Kalsium Kalium Natrium Magnesium Fosfor Seng Tembaga Besi Iodium 588.02 1082.99 147.80 511.51 1321.36 44.05 1.71 5.42 0.00 526.31 1101.36 163.16 548.91 1267.16 43.54 1.62 5.05 0.00 557.16 1092.17 155.48 530.21 1294.26 43.80 1.66 5.23 0.00 109.38 773.06 88.54 278.58 1149.25 24.31 0.89 4.18 0.00 103.90 814.90 111.19 303.55 1141.26 24.24 0.85 4.20 0.00 106.64 793.98 99.86 291.07 1145.25 24.28 0.87 4.19 0.00