232 Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, Semarang 10 April 2010 hal. 232-240 DINAMIKA ORBIT KOMET Arsini dan M. Farchani Rosyid Kelompok Penelitian Kosmologi, Astrofisika, dan Fisika Matematik (KAM) Jurusan Fisika FMIPA UGM, Yogyakarta [email protected] [email protected] INTISARI Telah dikaji pengaruh nongravitasional pada gerak komet. Terbentuknya ekor komet ketika mendekati matahari berakibat komet kehilangan massanya secara terus menerus sehingga massa komet berkurang. Oleh karena itu, massa komet dapat dipandang sebagai fungsi waktu. Dalampenelitian ini, dipelajari dinamika orbit komet disebabkan komet kehilangan massa karena terbentuknya ekor. Terdapat tiga asumsi peninjauan gerak komet tersebut. Pertama, komet dianggap berbentuk bola. Kedua, komet dianggap berputar dengan cukup cepat sehingga mendapatkan radiasi matahari secara merata. Ketiga, Hamiltonian prinsip aksi terkecil merupakan yang paling mendasar. Kata kunci: komet, dinamika, nongravitasional I. PENDAHULUAN Pada abad ke-17, telah disadari bahwa komet merupakan benda langit yang tampak sangat spektakuler dengan ekor yang memanjang ke belakang mencapai jutaan kilometer dan kemunculannya yang tidak setiap saat (datang sewaktu-waktu atau secara periodik) telah menjadikan komet sebagai benda yang sangat menarik dan ditunggu-tunggu kehadirannya. Para astrofisikawan meyakini bahwa komet tersusun atas campuran es (baik air yang membeku maupun uap air yang membeku) dan debudebu. Sebagian es tersusun dari air (H2O), CO2, CO, NH3, dan lain-lain. Orbit komet juga mengalami evolusi, seperti halnya bintang dan planet. Pada model orbital, dengan mengungkapkan parameter-parameter non-gravitasional Marsden A, η, I, ф, s dan fp yang digunakan dengan enam unsur orbit, persamaan observasional diselesaikan dengan metode kuadrat terkecil. Model presisi gaya ini berhasil digunakan untuk memodelkan gerak komet berperiode pendek. Masalah Kepler yang dikenal dalam ilmu Fisika menarik untuk diteliti secara numerik dan telah banyak peneliti yang mempelajarinya. Salah satu di antaranya adalah Gombosi [Gombosi, dkk, 1997] yang melakukan penelitian dengan melakukan simulasi MHD yang hasilnya dapat menunjukkan interaksi antara atmosfer komet yang mengembang dengan magnetisasi angin matahari. Sebuah fenomena lain menarik untuk diteliti apabila masalah Kepler, yang dimodifikasi dengan menambahkan sebuah parameter gangguan yang mengakibatkan adanya perubahan bentuk orbit. Laju sublimasi, pelepasan debu-debu, laju ionisasi gas-gas dalam koma, variasi tekanan radiasi, dan kecepatan angin matahari. Dalam makalah ini dibahas lebih lanjut tentang dinamika bentuk dan ukuran orbit komet yang mengalami kehilangan massa. Persamaan orbit komet yang kehilangan massa akibat adanya tekanan radiasi dan angin matahari (terbentuknya ekor) diturunkan dari prinsip variasi. Prinsip variasi merupakan prinsip mendasar yang penerapannya dapat ditemukan pada berbagai persoalan fisika seperti optika, teori medan, dinamika uida, termodinamika, relativitas umum dan mekanika. Persamaan orbit komet yang kehilangan massa diturunkan dengan prinsip aksi terkecil. Dalam penelitian yang dipaparkan dalam jurnal-jurnal astrofisika telah dikembangkan berbagai macam gagasan yang terkait dengan gerak komet. Beberapa di antaranya adalah Szutowicz (2000), yang membahas tentang gangguan nongravitasional pada gerak periodik komet Wolf-Harrington. Pada artikel ini dibahas tentang evolusi orbit komet. Persamaan gerak komet dipengaruhi oleh gangguan semua planet. Krolikowska dan Sitarski (1996) membahas tentang pengaruh nongravitasional pada gerak komet. Jawaban terbaik menggunakan pemodelan pada komet dengan mengungkapkan parameter nongravitasional Marsden. Model ini digunakan untuk menentukan lima parameter nongravitasional A, η, I, ф, s dan fp bersama enam koreksi untuk unsur orbital, persamaan observasional diselesaikan dengan metode kuadrat terkecil. Gombosi, dkk (1997) memaparkan tentang hasil simulasi MHD interaksi antara atmosfer komet yang membentang dengan magnetisasi angin matahari. Angin matahari terus-menerus membawa ion-ion komet yang berasal dari inti. Pada artikel ini dapat ditunjukkan hasil simulasi secara detail untuk lingkungan plasma comet Hale-Bopp untuk angin matahari yang lambat dan yang cepat. Cravens dan Gombosi (2003) memaparkan bahwa inti komet aktif seperti komet Halley dekat dengan perihelion menghasilkan gas dan debu dalam jumlah yang besar. Hasil atmosfer komet atau koma membentang lebih dari satu juta kilometer dari ruang ketika beinteraksi dengan angin matahari. Pancaran sinar-X dari komet dihasilkan dari interaksi antara angin matahari dengan komet netral. ISSN 0853 - 0823 Arsini, dkk / Dinamika Orbit Komet 233 II. METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan merupakan suatu telaah teoretis-matematis dengan melakukan perhitungan-perhitungan. Sebagai penelitian yang bersifat telaah teoretis-matematis, tentu saja dilakukan tinjauan terhadap beberapa pustaka mengenai perhitungan-perhitungan dan model-model yang telah dikembangkan sebelumnya. Perhitungan numerik didasarkan pada data-data sekunder yang didapatkan pada berbagai makalah yang tersebar di berbagai jurnal ilmiah. II.1. Struktur Komet Secara teknis istilah "komet" menggambarkan astmosfer yang mengembang yang tersusun atas debu-debu dan gas-gas (baik yang netral maupun yang terionisasi) yang muncul di sekitar sebuah benda induk (disebut inti komet) yang berukuran cukup kecil dalam lintasan (orbit) eksentrik mengelilingi matahari. Dari astmosfer (disebut koma) yang mengembang di sekitar inti itu kemudian (oleh adanya angin dan tekanan radiasi matahari) terbentuk dua macam ekor, yakni ekor gas (ion) dan ekor debu, yang memanjang hingga 104 kilometer sampai 108 kilometer (Gambar 1). Kedua macam ekor komet itu belum tentu terlihat semuanya. Ukuran atmosfer dan ekor komet berubah sepanjang lintasannya: semakin dekat dengan matahari semakin besar ukuran atmosfer maupun ekor komet. Bahkan koma dan ekor komet lenyap pada saat komet berada jauh dari matahari. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas komet (terbentuknya atmosfer dan ekor komet) terkait dengan keberadaan matahari. Ekor ion selalu berbentuk lurus menjauhi matahari, sementara ekor debu sedikit melengkung. Hal ini disebabkan butir-butir debu cukup lembam (masif) untuk mempertahankan gerakannya semula. Gambar 1. Sebuah komet yang terlihat memiliki dua macam ekor: ekor ion yang tersusun atas ion-ion (atas) dan ekor debu (bawah). Struktur komet telah dipelajari sejak lama melalui pemodelan. Model paling awal adalah model onggokan pasir (1948) yang mengatakan bahwa komet adalah sekumpulan debu-debu yang saling terikat secara lemah oleh gravitasi. Model ini serta merta ditolak karena beberapa alasan. Pertama, pengamatan menunjukkan keberadaan inti yang cukup padat dan berukuran sangat kecil apabila dibandingkan dengan koma. Kedua, sekumpulan debu-debu yang saling terikat secara lemah semacam itu tentu akan tercerai-berai ketika bergerak di sekitar titik perihelionnya. Model berikutnya adalah model bola salju kotor (1950) yang diusulkan oleh Whipple. Menurut model ini, inti komet adalah bola es yang terisi oleh debu-debu meteorit di dalamnya. Inti komet memiliki porositas tinggi dan albedo rendah. Apabila inti komet mendekati matahari, radiasi matahari yang jatuh pada bola es tersebut menyebabkan bola es menyublim dengan membebaskan debu-debu yang tertanam dalam bola es sehingga terbentuklah koma yang tersusun atas gas-gas dan debu-debu. Model ini berhasil menjelaskan keberadaan koma dan ekor komet serta kebergantungan ukurannya pada jarak dari matahari. Model ini juga mampu menjelaskan penyimpangan gerakan komet dari gerak Keplerian (Keplerian motion) karena adanya gaya nongravitasional akibat pembebasan gas-gas dan debu-debu (Whipple, 1950). Beberapa misi ruang angkasa tak berawak yang dikirim untuk mendekati (bahkan menabrak) komet menunjukkan perlunya perbaikan bagi model bola es kotor. Maka beberapa modelpun diusulkan sejak tahun 1985. Model kumpulan puing-puing diusulkan oleh Weismann pada tahun 1986. Menurut Weismann, inti komet tersusun atas bongkahan-bongkahan es yang mengumpul melalui proses tumbukan dengan kecepatan rendah. Proses akresi lemah semacamini tidak mengakibatkan panas yang tinggi sehingga bongkahan-bongkahan es yang mengumpul itu tetap utuh. Ruang-ruang kosong yang terbentuk di antara bongkahan-bongkahan es itu sebagian terisi oleh debu-debu dan sebagian yang lain tetap kosong. Hal ini berakibat pada lebih rendahnya rapat massa inti komet keseluruhan apabila dibandingkan dengan rapat massa bongkahanbongkahan es penyusunnya (Weissman , 1986). Model yang lain diusulkan oleh Gombosi dan Houpis pada tahun 1986. Menurut model ini, komet tersusun ISSN 0853 - 0823 234 Arsini, dkk / Dinamika Orbit Komet atas bongkahan-bongkahan batu keras yang memiliki porositas tinggi yang disatukan oleh matrik es dan debu-debu. Matriks es inilah yang akan mengalami evaporasi sambil melepaskan debu-debu apabila terkena radiasi matahari (Gambar 2)(Gombosi dan Houpis, 1986). Secara keseluruhan, dari model-model yang telah diusulkan, tampak adanya kesepakatan para pakar bahwa terbentuknya koma berawal dari proses sublimasi es pada komet yang disebabkan oleh radiasi matahari yang jatuh pada komet. Sublimasi es ini berakibat pula pembebasan debu-debu meteorit yang tertanam dalam es itu. Akibatnya, koma (astmosfer) yang terbentuk tersusun atas gas dan debu-debu. Selanjutnya, oleh adanya tekanan radiasi matahari, debu-debu tersebut terdorong menjauhi matahari sehingga terbentuklah ekor debu. Ekor debu sedikit melengkung akibat kelembaman (inersia) partikel-partikel debu itu. Di samping itu, gas-gas dalam koma mengalami foto-ionisasi. Oleh adanya angin matahari yang tersusun oleh proton-proton dan elektron-elektron, ion-ion gas dalam koma tersebut terbawa atau terdorong menjauhi matahari sehingga terbentuklah ekor gas yang lurus. Terbentuknya koma dan ekor berakibat berkurangnya massa komet secara terus menerus. Jadi, komet kehilangan massanya selama mengorbit matahari. Sebagaimana telah dijelaskan di depan, sebuah komet mengalami kehilangan massa akibat terbentuknya koma dan ekor. Terbentuknya koma disebabkan oleh radiasi matahari yang mengakibatkan sublimasi bongkahan-bongkahan es penyusun inti komet. Sublimasi es menyebabkan pelepasan debu-debu yang tertanam dalam es. Sementara, ekor komet terbentuk karena tekanan radiasi dan angin matahari membawa debu-debu dan ion-ion gas-gas meninggalkan koma. Oleh karena itu, wajar apabila laju sublimasi, pelepasan debu-debu, laju ionisasi gas-gas dalam koma, variasi tekanan radiasi, dan kecepatan angin matahari "dicurigai" sebagai faktor-faktor yang memengaruhi laju kehilangan massa komet. Gambar 2. Model Inti Komet : (a) Model Kumpulan Puing-puing Weismann, (b) Model Gombosi dan Houpis. II.2. Angin matahari (Solar wind) Angin matahari dipandang sebagai penguapan atmosfer panas di dekat ruang hampa, terutama terdiri dari elektron dan proton, sebagian kecil ion-ion, serta mempunyai medan magnetik (Vernet , 2007). Teori Parker dikemukakan oleh E.N Parker pada tahun 1950. Menurut Parker atmosfer matahari dianggap sebagai uida, dengan asumsi bahwa semua kuantitas tidak bergantung waktu t, hanya bergantung jarak radial r. II.2.1. Angin matahari di dalam selubung Angin matahari di dalam selubung dapat dilihat pada Gambar 3. ISSN 0853 - 0823 Arsini, dkk / Dinamika Orbit Komet 235 Gambar 3. Angin matahari di dalam selubung. M adalah massa matahari, r0 adalah jari-jari matahari, r adalah jarak atmosfer matahari, v adalah kecepatan angin matahari (Meyer-Vernet, 2007). Persamaan tekanan yang terjadi di angin matahari dengan P tekanan, ρ rapat massa, kB konstanta Boltzman, T temperatur, µ massa per partikel. II.3. Masalah Dua Benda Pada Gambar 4, dua buah benda bermassa m1 dan m2 berada dalam suatu wilayah yang bebas dari medan gaya apapun. Jadi, medan gaya yang ada hanyalah medan gravitasi yang dilakukan oleh satu benda terhadap yang lain. Didefinisikan vektor r dan R berturut-turut sebagai dan Jadi, r adalah posisi benda kedua relatif terhadap benda pertama dan R adalah posisi pusat massa keduanya. Gambar 4. Vektor Posisi Dua Benda. Dari hukum Newton tentang gerak didapatkan persamaan gerak untuk masing-masing benda dan ISSN 0853 - 0823 236 Arsini, dkk / Dinamika Orbit Komet Dengan mengurangkan kedua persamaan itu satu dari yang lain didapatkan Dengan mudah dapat ditunjukkan bahwa Ini berarti bahwa pusat massa bergerak dengan kecepatan tetap. Selanjutnya persamaan (4) dapat dituliskan menjadi dengan M = m1+m2. Sekarang terlihat bahwa persamaan gerak tersebut tidak lain adalah persamaan gerak benda di bawah pengaruh medan terpusat Kepler, dengan k = GM. Jadi, penyelesaiannya adalah (Fowles dan Cassiday , 1993). II.4. Prinsip aksi terkecil : How Fundamental it is Prinsip variasi merupakan prinsip mendasar yang penerapannya dapat ditemukan pada berbagai persoalam fisika seperti optika (Lemons, 1997), teori medan (Goldstein, 1984), dinamika fluida (Berdichevsky, 2009), termodinamika (Anthony, 2005), relativitas umum (Frankel, 2004) dan mekanika (Goldstein, 1984). Selain itu, secara historis prinsip variasi juga digunakan untuk menentukan jarak terpendek antara dua titik pada permukaan, kurva turunan tercepat antara dua titik dan revolusi permukaan dari daerah minimum (Weinstock , 1974). II.5. Kalkulus Variasi Kalkulus variasi adalah bahasa alami semua prinsip variasi. Kalkulus variasi pertama kali muncul dari sebuah persoalan yang diterbitkan oleh Johann Bernoulli (1667 - 1748), yang mengubah Bernoulli menjadi "matematikawan tercerdas di seluruh dunia" pada tahun 1696. Kalkulus variasi mulai tumbuh dan berkembang pada akhir abad ketujuhbelas. Kalkulus variasi secara formal ditemukan oleh Leonhard Euler (1707-1783) pada awal abad kedelapanbelas. Joseph Lagrange (1736 - 1813) membantu perkembangan metode ini. Sekarang, kalkulus variasi digunakan sebagai perumuman metode variabel biasa dan diskritmaksimum dan minimum (Lemons , 1997). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Mengingat prinsip variasi merupakan prinsip mendasar yang penerapannya dapat ditemukan pada berbagai persoalan fisika, maka dalam menentukan persamaan gerak orbit komet yang kehilangan massa dapat juga menggunakan prinsip variasi. Persamaan gerak orbit komet yang kehilangan massa dapat dirumuskan dari persamaan energi dengan menggunakan Lagrangian Persamaan Euler Lagrange untuk sistem ini diturunkan sebagai berikut: ISSN 0853 - 0823 Arsini, dkk / Dinamika Orbit Komet 237 (8) (9) Jika persamaan (18) dikurangi persamaan (19) maka persamaan gerak orbit komet menjadi (10) dengan Persamaan (20) dapat dituliskan dalam bentuk dengan momentum sudut dituliskan menjadi dan asumsi laju kehilangan massa α ⁄r2 maka persamaan (14) dapat (15) sehingga didapatkan persamaan gerak orbit komet (16) Bagian sudut persamaan orbit komet diberikan oleh: (17) (18) (19) (20) Terlihat bahwa momentum sudut komet lestari meskipun tidak memenuhi hukum kedua Kepler. Tinjau persamaan gerak komet yang mengalami kehilangan massa pada persamaan (20). Persamaan (20) merupakan persamaan diferensial berderajat dua, yang jika diselesaikan dengan metode Runge-Kutta dan dengan menggunakan data massa matahari (M = 1,99×1030 kg), massa komet (m = 59,7×1024 kg), konstanta gravitasi (G = 6,672×1011 Nm2/kg2), posisi awal (r dengan x = 1,1×1011 m, y = 0,1×1011 m), kecepatan awal (v dengan vx = 0, vy = 2,83×104) m/s, laju kehilangan massa (f(r) diasumsikan 1/r2) maka didapatkan bentuk orbit komet yang mengalami kehilangan massa seperti tampak pada Gambar 5. ISSN 0853 - 0823 238 Arsini, dkk / Dinamika Orbit Komet Gambar 5. Orbit komet kehilangan massa. Gambar 5 digambarkan dalam koordinat kartesius dengan sumbu horizontal adalah sumbu x dan sumbu vertikal adalah sumbu y. Dari Gambar 5 dapat ditunjukkan bahwa bentuk orbit komet berubah, semakin lama semakin keluar. Perubahan bentuk orbit disebabkan komet kehilangan massa ketika mendekati matahari. Laju kehilangan massa komet dipengaruhi oleh tekanan radiasi dan kecepatan angin matahari. Sumber energi untuk terjadinya sublimasi adalah radiasi matahari yang jatuh pada permukaan komet yang menghadap ke matahari. Jadi, laju sublimasi bergantung pada intensitas radiasi (fluks energi) matahari pada permukaan komet itu dan albedo Bond (A) komet itu. Albedo Bond adalah nisbah radiasi matahari yang dipantulkan ke segala arah oleh permukaan komet terhadap radiasi total yang jatuh pada permukaan itu. Terdapat kesetimbangan energi antara energi sumber (radiasi yang jatuh pada permukaan inti komet) dan energi yang lepas yang terdiri dari radiasi termal inframerah, energi sublimasi, dan energi yang disebarkan ke seluruh inti melalui konduksi (Fernandez, 2005). Apabila komet yang ditinjau dianggap berbentuk bulat sempurna dengan jari-jari RN, maka kesetimbangan yang disebut di atas dapat ditulis sebagai dengan (1-A) adalah fraksi radiasi yang diserap oleh komet, AIR adalah albedo Bond sinar inframerah, F* adalah tetapan matahari yang besarnya 3,16x102 kal.cm-2s-1 , r adalah jarak komet dari matahari dinyatakan dalam satuan astronomis, kB tetapan Stefan-Boltzmann yang besarnya 1,38x10-23JK-1, Q adalah laju sublimasi total dinyatakan dengan molekul per detik, LS adalah panas laten sublimasi (latent heat of sublimation) tiap mol, κ(T) adalah konduktivitas termal bahan komet, dan τ adalah kedalaman optis koma. Laju sublimasi diperoleh sebagai jawaban bagi persamaan (21). Laju pelepasan massa debu-debu bergantung pada efisiensi hamburan tekanan radiasi (Qpr) menurut (Fulle , 2006) (22) dengan Cpr adalah tetapan yang nilainya 1,19×10-3 kgm-2, k suatu tetapan tak bersatuan yang berkaitan dengan fluks foton, ф fungsi distribusi dan 1 – µ adalah parameter yang didefinisikan oleh (23) dengan ρd rapat massa debu dan d diameter butiran debu. Karena keberadaan tetapan k, maka laju kehilangan massa karena pelepasan debu-debu berbanding terbalik dengan kuadrat jarak dari matahari. Gas-gas yang terbebaskan oleh sublimasi selanjutnya akan terionisasi oleh radiasi matahari. Ionion yang terbentuk tersebut terbawa oleh angin matahari (plasma yang disemburkan dari inferior matahari) menjauh ke arah radial hingga terlepas dari gravitasi inti komet. Oleh karena itu laju kehilangan massa komet juga bergantung pada laju produksi ion gas-gas dalam koma akibat proses fotoionisasi. Laju rapat fotoionisasi gas-gas dalam koma diberikan oleh (Gombosi, dkk , 1997) ISSN 0853 - 0823 Arsini, dkk / Dinamika Orbit Komet 239 (24) dengan Q adalah laju sublimasi, rc jarak dari inti komet, dan λ adalah skala panjang ionisasi. Dari laju rapat ionisasi ini diperoleh laju rapat kehilangan massa komet karena terbentuknya ekor ion sebagai (Gombosi, dkk , 1997) (25) dengan mc adalah massa rerata molekul/ion. Tekanan radiasi berbanding lurus dengan fluks radiasi. Sementara fluks radiasi berbanding terbalik dengan kuadrat jarak dari matahari. Pada jarak r dari matahari uks radiasi matahari diberikan oleh F(r) = F*/r2, dengan F* adalah tetapan matahari. Tekanan radiasi pada jarak r dari matahari diberikan oleh (26) dengan c cepat rambat cahaya dalam ruang hampa. III.1. Evolusi orbit komet Evolusi orbit komet 43P/Wolf-Harrington dengan memilih model sumber emisi diskrit pada permukaan inti dan persamaan gerak komet yang digabungkan dengan gangguan semua planet ditunjukkan dengan Gambar 7(Szutowicz (2000)) Gambar 6. Evolusi orbit komet 43P Model dengan gaya nongravitasional tersebut dibandingkan dengan model dengan gerak komet yang mengalami gangguan, dengan posisi nyata orbit komet dijelaskan dengan pengamatan astrometrik. Untuk gambar orbit komet yang kehilangan massa yang diselesaikan dengan program komputer, dapat dilihat pada Gambar 5. Dari Gambar 5 terlihat bahwa semakin massanya berkurang orbit komet semakin keluar. Bila dibandingkan dengan Gambar 6 dan Gambar 7 yang diperoleh dari pengamatan langsung terlihat ada persamaan bahwa orbit komet semakin lama semakin keluar, sehingga dapat disimpulkan bahwa perumusan penurunan gerak orbit komet dan program komputer yang dibuat benar. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Laju kehilangan massa komet memengaruhi bentuk orbit komet. Bentuk orbit komet semakin lama semakin keluar dengan asumsi komet kehilangan massa sebanding dengan 1/r2 . Laju kehilangan massa sebagai fungsi r, semakin dekat dengan matahari laju kehilangan massa semakin besar, semakin jauh dari matahari laju kehilangan massa semakin kecil. Dalam tulisan ini penulis telah menelaah pengaruh kehilangan massa pada komet dengan menganggap bahwa komet kehilangan massa sebanding dengan 1/ r2, serta perhitungan yang masih ISSN 0853 - 0823 240 Arsini, dkk / Dinamika Orbit Komet menggunakan perhitungan numerik sederhana. Lebih lanjut lagi dapat di telaah keadaan komet yang mendapat gangguan tidak hanya karena kehilangan massa karena tekanan radiasi matahari dan angin matahari, tetapi juga dengan menambahkan faktor gangguan dari planet-planet dengan menggunakan perhitungan komputasional yang lebih komplit, sehingga didapatkan visualisasi yang lebih baik. V. DAFTAR PUSTAKA Anthony, K.H., 2005. Variational and Extremum Principles in Macroscopic Systems, edisi pertama, Elsevier, London. hal.25-31 Berdichevsky, V.L., 2009. Variational Principles of Continuum Mechanics, Springer, New York. hal.389-403 Cravens, T.E.dan Gombosi, T.I., 2003.Cometary Magnetospheres: A Tutorial, Lawrence Fernandez, A.J., 2005, COMETS Nature, Dynamics, Origin, and their Cosmogonical Relevance, Springer, New York. Fowles, R.G., Cassiday, L.G., 1993, Analytical Mechanics, Harcourt Brace Publishers, Florida. Frankel, T., 2004, The Geometry of Physics An Introduction, edisi kedua, Cambridge University Press , New York. Fulle, M., 2006, The dust coma of the active Centaur P/2004 Al (LONEOS) :a CO driven environment, Astronomy and Astrophysics. 460, 935-944. Goldstein, H., 1984, Classical Mechanics, edisi kedua, hal 43-45 dan hal 570-587, Addison Wesley Publishing Company, Philippines. Gombosi, T.I.dkk, 1997, MHD Simulation of comets: The Plasma environment of Comet Hale-Bopp, Kluwer Academic Pubilshers. 79, 179-207. Gombosi, T.I. dan Houpis, H.L.F., 1986, An icy glue nucleus model of comet Halley, ESA Proceedings of the 20th ESLAB Symposium on the Exploration of Halley's comet, volume 2:Dust and nucleus, 397-401. Krolikowska, M. dan Sitarski, G., 1996, Evolution ot the orbit of comet 46P/Wirtanen during 19472013, Astron. Astrophys. 310, 992-998. Lemons, D.S., 1997, Perfect Form Variational Principles, methods, and application in Elementary Phycics, Princeton University Press, New Jersey. Meyer-Vernet, 2007, Basics of The Solar Wind, Cambridge University Press, New York. Rosyid, M.F., 2009, Pengantar Astrofisika dan Astronomi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Szutowicz, S., 2000, Active Regions on the surface of comet 43P/Wolf- Harrington determined from its nongravitational effects, Astron. Astrophys. 363, 323-334. Weissman, P.R., 1986, Are cometary nuclei primordial rubble piles?, Nature. 320, 242-244. Weinstock, R., 1974, Calculus of variations with Applications to Physics and Engineering, Stanford University, New York. Whipple, F.L., 1950, A comet model.I.The Acceleration of Comet Encke, Astrophys. J. 111, 375-394. ISSN 0853 - 0823