GAMBARAN HISTOMORFOLOGI HATI, USUS HALUS, DAN LIMPA PADA TIKUS HIPERGLIKEMIA YANG DIBERI EKSTRAK SAMBILOTO REZI ZAHRA AZIZA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Gambaran Histomorfologi Hati, Usus Halus, dan Limpa pada Tikus Hiperglikemia yang Diberi Ekstrak Sambiloto adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi atau kutipan yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Februari 2010 Rezi Zahra Aziza NRP B04051740 ABSTRACT REZI ZAHRA AZIZA. B04051740. Histomorphological Aspect of Liver, Small Intestine, and Spleen of Diabetic Model Rat that was Treated with Sambiloto Extract. Under direction of ADI WINARTO and EKOWATI HANDHARYANI The purpose of this study is to evaluate the histomorphological aspect of liver, small intestine, and spleen of diabetic model rats that were treated with sambiloto extract. Twenty-four male Spraque-Dawley rats were divided into 2 groups of models. Diabetic model group was induced by Streptozotocin (40 mg/kg BW) intra-peritonially, and a healthy group which recieved Phosphat Buffer Saline (PBS) pH 7.4 intra-peritonially. The both of groups were treated with sambioto daily within 4 weeks. Rat model of diabetes with low sugar levels and high at the time of sacrifice was observed as a distinct group. Observations on the liver, small intestine, and spleen of non-diabetic group showed that the provision does not affect the morphological sambiloto liver, small intestine, and spleen. Observations on liver of rat diabetic model with blood sugar levels are still high indicates a change in the form of congestion and degeneration, in the small intestine seen an increase in the number of Goblet cells and mitotic cells but did not find any picture of damage to the mucosal epithelium. Changes are seen in the spleen leads to degeneration until necrosa, and spleen increased with the emergence of readiness germinal centers. Evaluation of the liver, small intestine, and spleen model of diabetes with a decrease in blood sugar showed an improvement histomorfologis picture to approach the image on the non-diabetic group. Keyword :Diabetic, Sambiloto, Liver, Small Intestine, Spleen RINGKASAN REZI ZAHRA AZIZA. B04051740. Gambaran Histomorfologi Hati, Usus Halus, dan Limpa pada Tikus Hiperglikemia yang Diberi Ekstrak Sambiloto. Dibimbing oleh ADI WINARTO dan EKOWATI HANDHARYANI Perubahan gaya hidup masyarakat seperti meningkatnya konsumsi makanan cepat saji dan minuman ringan dapat memacu peningkatan berat badan. Individu yang memiliki kelebihan berat badan cenderung memiliki level antioksidan yang rendah dan produksi radikal bebas meningkat. Hal ini dapat menimbulkan resiko terjadinya Diabetes Mellitus (DM). DM sering dijumpai pada manusia, namun tidak jarang pula penyakit ini dapat dijumpai pada spesies lain seperti anjing dan kucing. Pengobatan DM biasanya menggunakan insulin, tetapi karena harga insulin relatif mahal maka sebagian masyarakat mencari alternatif pengobatan lain dengan menggunakan bahan-bahan alami. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa sambiloto mengandung lakton, flavonoid dan andrographolid. Mekanisme kerja andrographolid dalam tubuh yaitu dapat menimbulkan efek anti inflamasi. Zat andrographolid dari tanaman sambiloto juga diketahui dapat meningkatkan sistem kekebalan dengan menghasilkan sel darah putih untuk menghancurkan bakteri dan benda asing lainnya, serta mengaktifkan sistem limpa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histomorfologi hati, usus halus, dan limpa tikus hiperglikemia yang diberi ekstrak sambiloto. Sebanyak 24 ekor tikus putih jantan galur Spraque-Dawley dibagi menjadi dua kelompok perlakuan. Kelompok pertama adalah kelompok model diabetes, diinduksi dengan streptozotosin dengan dosis 40 mg/kg BB secara intra-peritonial. Kelompok kedua sebagai kelompok non-diabetes diberi Phosphat Buffer Saline (PBS) dengan pH 7,4 secara intra-peritonial. Kedua kelompok selanjutnya diberi ekstrak sambiloto dengan dosis setara 25 mg/kg BB setiap hari selama 4 minggu. Tikus model diabetes dengan kadar gula rendah dan tinggi pada saat dikorbankan diamati sebagai kelompok yang berbeda. Berdasarkan hasil pengamatan histomorfologis jaringan hati, terlihat perbedaan antara tikus non-diabetes dan tikus model diabetes yaitu terjadi perubahan pada hati model diabetes yang mengarah pada degenerasi sel. Gambaran histomorfologis hati tikus model non-diabetes secara umum tidak mengalami perubahan. Hepatosit model non-diabetes utuh dan seragam, serta batas sinusoidnya jelas. Sel Kupffer pada jaringan hati model non-diabetes didapatkan dalam jumlah yang cukup banyak. Hati pada tikus model dibetes yang masih menunjukkan kadar gula darah tinggi saat pengambilan sampel organ pada pengamatan mikroskopik ditemukan beberapa perubahan, yaitu terlihat adanya kongesti, pada hepatosit ditemukan adanya vakuol-vakuol pada sitoplasma, terdapat deratan sel dengan batas sel yang tidak jelas sehingga sitoplasma terlihat menyatu, pada sel yang mengalami kerusakan membran plasma tidak ditemukan adanya inti dari hepatosit, dan pada sel yang lain dapat ditemukan adanya hepatosit yang membesar dengan gambaran inti mengesankan terjadinya karioreksis. Pengamatan pada hati tikus model diabetes yang menunjukkan kadar gula darah yang rendah saat pengambilan sampel organ memperlihatkan adanya beberapa perubahan yang mengarah ke perbaikan struktur dibandingkan dengan model diabetes yang menunjukkan kadar gula darah lebih tinggi saat pengambilan sampel. Perubahan gambaran pada jaringan hati seperti sinusoid berisi darah dan degenerasi hepatosit masih dapat ditemukan namun dalam jumlah yang sudah jauh menurun. Gambaran sel dengan batas antar sel yang menghilang tidak banyak ditemukan. Sebagian besar lapang pandang dipenuhi dengan gambaran hepatosit yang mendekati pada tikus model non-diabetes. Pengamatan pada usus halus tikus dilakukan dengan melihat perbandingan jumlah sel Goblet dan sel mitotik dalam kripta Lieberkuhn pada kelompok nondiabetes dan kelompok diabetes baik yang rendah maupun yang tinggi. Hasil penghitungan menunjukkan jumlah sel Goblet pada 10 kripta usus kelompok nondiabetes adalah 93 buah, pada kelompok gula yang rendah sebanyak 103 buah dan pada kelompok gula yang tinggi sebanyak 108 buah. Penghitungan tersebut memperlihatkan adanya penambahan jumlah sel Goblet pada kelompok diabetes namun tidak terlalu nyata. Penghitungan sel mitosis pada 10 kripta dalam setiap perlakuan menunjukkan sel mitosis pada kelompok non-diabetes berjumlah 15, pada kelompok gula yang rendah 26 dan pada kelompok gula yang tinggi sebanyak 25 sel. Terlihat adanya peningkatan jumlah sel mitosis yang cukup nyata pada kelompok non-diabetes jika dibandingkan dengan kelompok diabetes. Pengamatan pada limpa memperlihatkan limpa pada tikus kelompok nondiabetes mengalami perubahan yaitu terjadi hiperplasia pulpa putih dengan munculnya pusat germinal pada daerah tepi. Perubahan yang terjadi disebabkan karena andrographolida yang terkandung dalam sambiloto bersifat meningkatkan sistem kekebalan dengan menghasilkan sel-sel darah putih untuk menghancurkan bakteri dan benda asing, serta mengaktifkan sistem limpa. Limpa pada tikus kelompok gula darah yang tinggi memperlihatkan adanya hemoragi parah pada daerah pulpa merah sehingga terjadi peningkatan jumlah hemosiderin di dekat daerah perdarahan. Sel limpa banyak yang berdegenerasi, nekrosa bahkan hingga lisis. Selain itu terlihat pula peningkatan jumlah sel megakaryosit pada jaringan limpa. Limpa pada tikus kelompok gula yang rendah terlihat mengalami gangguan, ditandai adanya hemoragi, jumlah pulpa putih menurun, bahkan ditemukan adanya sel yang berdegenerasi. Menurunnya jumlah pulpa putih menandakan bahwa limpa mengalami degenerasi. Evaluasi pada organ hati, usus halus, dan limpa model diabetes dengan gula darah yang menurun menunjukkan adanya perbaikan gambaran histomorfologis hingga mendekati gambaran pada kelompok non-diabetes. Kata Kunci : Diabetes, Sambiloto, Hati, Usus Halus, Limpa © Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa menvantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB GAMBARAN HISTOMORFOLOGI HATI, USUS HALUS, DAN LIMPA PADA TIKUS HIPERGLIKEMIA YANG DIBERI EKSTRAK SAMBILOTO REZI ZAHRA AZIZA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 HALAMAN PENGESAHAN Judul Skripsi : Gambaran Histomorfologi Hati, Usus Halus, dan Limpa pada Tikus Hiperglikemia yang Diberi Ekstrak Sambiloto Nama : Rezi Zahra Aziza NRP : B04051740 Disetujui, Drh. Adi Winarto, Ph.D Pembimbing I Drh. Ekowati Handharyani, MSi. Ph.D Pembimbing II Diketahui Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Dr. Nastiti Kusumorini 1962 1205 1987 03 2 001 Tanggal Lulus : PRAKATA Alhamdulillah, puji dan syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala petunjuk dan kemudahan yang diberikan sehingga karya ilmiah ini dapat penulis selesaikan. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan ummatnya hingga akhir zaman. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2008 ini ialah hiperglikemia, dengan judul “Gambaran Histomorfologi Hati, Usus Halus dan Limpa pada Tikus Hiperglikemia yang Diberi Ekstrak Sambiloto” yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedoktteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggitingginya penulis sampaikan kepada : 1. Ayah Muzaki Yusya (alm) dan Ibu Na’imatul Munawaroh, serta Aa Arvan, Teh Muftiri, dan Mba Reza yang selalu memberikan dukungan, do’a, semangat dan kasih sayang yang tak pernah terputus kepada penulis. 2. Drh. Adi Winarto, Ph.D dan drh. Ekowati Handharyani, MSi. Ph.D sebagai dosen pembimbing yang telah sabar meluangkan waktunya guna memberikan bimbingan, didikan, dan perhatian kepada penulis hingga terselesainya skripsi ini. 3. Dr. drh. Nurhidayat, MS. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi dan nasehat selama masa perkuliahan serta Dr. Drh. Sri Murtini, MSi. selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan guna memperbaiki skripsi ini. 4. Departemen Agama (Depag) RI yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama menjalani masa perkuliahan di IPB. 5. Pak Soleh, Pak Kasnadi, Pak Maman, serta Pak Iwan selaku staf Laboratorium Patologi dan Histologi yang telah banyak membantu selama penulis melakukan penelitian. 6. Teman seperjuangan dalam penelitian ini, Eria Faristasari Ibrahim (Rista), Denik, Destri, serta Vita atas bantuan dan kerjasamanya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. 7. Teman-teman CSS MORA, Goblet 42, Ornith, IMAKAHI, An-Nahl dan pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis. Penulis menyadari banyak kekurangan dalam tulisan ini, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Bogor, Februari 2010 Rezi Zahra Aziza B04051740 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banyumas pada tanggal 22 Desember 1987. Penulis adalah putri keempat dari empat bersaudara pasangan Bapak Muzaki Yusya, BA dan Ibu Na’imatul Munawaroh. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri Cibening II Purwakarta pada tahun 1999, kemudian melanjutkan pendidikan di MTs WI Kebarongan dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2005 penulis menyelesaikan studi dari MA WI Kebarongan, dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Departemen Agama (Depag). Setelah lulus Tahap Persiapan Bersama (TPB) penulis masuk ke Fakultas kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dengan pilihan pertama. Selama studi di IPB penulis mendapat bantuan beasiswa institusi yaitu dari Departemen Agama (Depag) RI hingga penulis menyelesaikan studi. Penulis juga aktif mengikuti beberapa organisasi intra dan ekstra kampus, antara lain; ketua Divisi Pendidikan Himpunan Minat dan Profesi Ornithologi dan Unggas tahun 2007-2008, ketua Divisi Kesekretariatan Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia cabang IPB tahun 2007-2008, anggota Dewan Keluarga Mushala AnNahl tahun 2006-2008, anggota Forum Mahasiswa Indonesia Tanggap Flu Burung, dan anggota Community of Santri Scholar, Ministry of Religious Affairs (CSS MORA). DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................ xii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiii I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.............................................................................. 1.2 Tujuan .......................................................................................... 1 2 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes melitus ........................................................................... 2.1.1 Sejarah Diabetes Mellitus .................................................. 2.1.2 Etiologi Diabetes Mellitus ................................................. 2.1.3 Klasifikasi Diabetes Mellitus ............................................. 2.1.4 Gejala Klinis dan Komplikasi Diabetes Mellitus................ 2.1.5 Diagnosa Diabetes Mellitus ............................................... 2.1.6 Patologi Diabetes Mellitus ................................................. 2.1.7 Pengobatan Diabetes Mellitus............................................ 2.2 Hati............................................................................................... 2.2.1 Anatomi Hati..................................................................... 2.2.2 Histologi Hati .................................................................... 2.2.3 Fungsi Hati........................................................................ 2.2.4 Patologi Hati ..................................................................... 2.3 Usus Halus.................................................................................... 2.3.1 Anatomi Usus Halus .......................................................... 2.3.2 Histologi Usus Halus ......................................................... 2.3.3 Fungsi Usus Halus............................................................. 2.3.4 Patologi Usus Halus .......................................................... 2.4 Limpa ........................................................................................... 2.4.1 Anatomi Limpa ................................................................. 2.4.2 Histologi Limpa ................................................................ 2.4.3 Fungsi Limpa .................................................................... 2.4.4 Patologi Limpa .................................................................. 2.5 Sambiloto ..................................................................................... 2.5.1 Klasifikasi Sambiloto ........................................................ 2.5.2 Morfologi Sambiloto ......................................................... 2.5.3 Kandungan Sambiloto ....................................................... 2.5.4 Khasiat Sambiloto ............................................................. 2.5.5 Mekanisme Kerja Zat Aktif Sambiloto .............................. 3 4 4 5 8 10 11 12 14 14 15 16 17 20 20 21 24 25 26 27 28 29 30 31 32 32 33 34 35 x 2.6 Streptozotosin(STZ)...................................................................... 36 III. BAHAN DAN METODOLOGI 3.1 Bahan dan Alat Penelitian ............................................................. 3.2 Metode Penelitian 3.2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................ 3.2.2 Hewan Penelitian .............................................................. 3.2.3 Pengelompokan Hewan Penelitian ..................................... 3.2.4 Pemberian STZ ................................................................. 3.2.5 Pemberian Sambiloto ........................................................ 3.2.6 Pengukuran Berat Badan dan Kadar Gula Darah................ 3.2.7 Pengambilan Organ ........................................................... 3.2.8 Pembuatan Preparat Histologis .......................................... 3.2.9 Pengamatan ....................................................................... 3.2.10 Analisa Data ...................................................................... 37 37 38 38 38 38 39 39 40 40 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penimbangan Berat Badan dan Pengukuran Gula Darah................ 4.2 Pengamatan Histologis .................................................................. 4.2.1 Hati ................................................................................... 4.2.2 Usus Halus ........................................................................ 4.2.3 Limpa................................................................................ 41 44 44 49 51 37 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ................................................................................... 56 5.2 Saran ............................................................................................ 56 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 57 xi DAFTAR TABEL Halaman 1 Hasil pengamatan histomorfologis hati.................................................... 44 2 Hasil pengamatan histomorfologis usus halus ......................................... 50 3 Hasil pengamatan histomorfologis limpa................................................. 52 xii DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Lobus hati dilihat dari anterior ............................................................... 14 2. Lobus hati dilihat dari inferior ................................................................ 16 3. Bagian usus halus .................................................................................. . 20 4. Limpa .................................................................................................... 26 5. Sambiloto .............................................................................................. 31 6. Sambiloto .............................................................................................. 32 7. Nilai rataan pertumbuhan berat badan .................................................... 41 8. Nilai rataan kadar gula darah.................................................................. 42 9A. Nilai kadar gula darah per waktu sampling ............................................. 43 9B. Nilai kadar gula darah per waktu sampling ............................................. 43 10. Gambaran histomorfologis hati kelompok non-diabetes ......................... 45 11. Gambaran histomorfologis hati kelompok diabetes tinggi ...................... 46 12. Gambaran histomorfologis hati kelompok diabetes rendah ..................... 47 13. Gambaran histomorfologis usus halus .................................................... 51 14. Gambaran histomorfologis limpa kelompok non-diabetes ...................... 52 15. Gambaran histomorfologis limpa kelompok diabetes tinggi ................... 54 16. Gambaran histomorfologis limpa kelompok diabetes rendah .................. 55 xiii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan gaya hidup masyarakat seperti meningkatnya konsumsi makanan cepat saji (fast food) dan minuman ringan (soft drink) yang mengandung lemak dan kadar gula yang tinggi dapat memacu peningkatan berat badan. Peningkatan yang disertai dengan kurangnya aktivitas fisik akan memacu timbulnya suatu penyakit, salah satunya Diabetes Mellitus (Anonim 2004). Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu istilah kedokteran untuk penyakit yang dikenal dengan nama penyakit gula, yaitu adanya cairan manis yang mengalir terus dalam darah. DM merupakan sekumpulan gejala yang timbul pada individu yang ditandai dengan kadar glukosa dalam darah melebihi jumlah normal (hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. Penyakit ini bersifat menahun atau kronis (Dalimartha 1997). Tidak seperti penyakit lain yang biasanya menunjukkan gejala penyakit yang khas dan mudah dikenali, penyakit ini agak berbeda. Lebih dari 50% penderita tidak menyadari bahwa dia sudah mengidap penyakit ini. Mereka baru berkonsultasi kepada dokter apabila merasa berat badannya turun dastris, sering buang air kecil di malam hari, merasa haus yang berlebihan dan beberapa gejala lainnya. Bila tidak ditangani lebih dini dan tidak melakukan pengobatan, maka timbul berbagai macam komplikasi kronis yang sering berakibat fatal seperti penyakit jantung, ginjal, kebutaan, impotensia, dan koma yang dapat menyebabkan kematian. Dallimutthe (2004) menuliskan bahwa menurut laporan International Diabetes Federation (IDF) jumlah penderita DM telah meningkat secara mengkhawatirkan. Global Diabetes Statistic melaporkan bahwa pada tahun 2003 terdapat 194 juta jiwa di dunia menderita DM dan akan menjadi 333 juta jiwa pada tahun 2025. Prevalensi DM penduduk Indonesia berusia 15 tahun sekitar 1,2-2,3%. Penyebab terjadinya DM karena aktivitas insulin yang tak memadai baik karena sekresi insulin yang berkurang atau karena adanya resistensi insulin pada jaringan yang peka insulin (Suharmiati 2003). Penyakit ini dapat terjadi sekunder akibat defisiensi insulin, atau akibat respon abnormal jaringan perifer 2 terhadap insulin. Kasus-kasus DM sekunder misalnya akibat pankreatitis kronik atau pankreatektomi total. Gejala awal yang terlihat berupa poliuri, polidipsi dan polifagi, penglihatan kabur, penurunan berat badan, dan hiperglikemia. DM sering dijumpai pada manusia, namun tidak jarang pula penyakit ini dapat dijumpai pada spesies lain seperti anjing dan kucing. Pada hewan percobaan keadaan DM dapat ditimbulkan dengan pankreatomi atau dengan pemberian zat kimia. Zat kimia sebagai induktor (diabetogen) yang bisa digunakan yaitu aloksan, streptozotosin, diaksoda, adrenalin, glukagon, dan EDTA, yang diberikan secara parenteral (Suharmiati 2003). Pengobatan DM biasanya menggunakan insulin, tetapi karena harga insulin relatif mahal maka sebagian masyarakat mencari alternatif pengobatan lain yaitu dengan menggunakan bahan-bahan alami (Dalimartha 1997). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sambiloto dapat menurunkan kadar glukosa dalam darah dan mengandung lakton, flavonoid, dan andrographolid (Wijayakusumah et al. 1994), serta saponin dan tannin (Syamsuhidayat & Hutapea 1991). Mekanisme kerja andrographolid dalam tubuh yaitu menimbulkan efek anti inflamasi dengan menstimulasi Adenocorticotrophic Hormone (ACTH) pada kelenjar hipofise anterior, selanjutnya ACTH akan merangsang korteks adrenal untuk membentuk kortisol yang memiliki efek anti inflamasi (Wenlong & Nie 1973). Zat andrographolid dari tanaman sambiloto diketahui dapat meningkatkan sistem kekebalan dengan menghasilkan sel darah putih serta mengaktifkan sistem limpa (Wibudi 2006). 1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Efek hipoglikemia sambiloto terhadap perubahan gambaran histomorfologis hati, usus halus, dan limpa pada tikus hiperglikemia 2. Gambaran histomorfologis hati, usus halus, dan limpa pada tikus hiperglikemia: a. Dengan kadar gula darah yang masih tinggi setelah pemberian sambiloto b. Dengan kadar gula darah telah menurun setelah pemberian sambiloto 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu bentuk penyakit yang menimpa kira-kira 2% populasi, dan kurang lebih 1 diantara 10.000 anak. DM dapat didefinisikan sebagai defisiensi insulin absolut atau relatif yang menimbulkan cacat pemakaian karbohidrat dengan meningkatnya kadar gula darah seluruhnya. Kadar gula darah dapat dideteksi dengan status berpuasa pada kadar lebih dari 6,7 mmol/l (120 mg/dl) atau 2 jam sesudah dosis 75 g glukosa oral dengan kadar lebih 10 mmol/l (180 mg/dl) (Spector 1993). Pendekatan terminologi menurut Misnadiarly (2006), DM merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia yaitu kondisi tubuh dengan kadar glukosa darah melebihi nilai normal. Kadar glukosa darah lebih dari 200 mg/dl, dan kadar glukosa darah puasa di atas atau sama dengan 126 mg/dl pada manusia dianggap sebagai batas DM. Saat ambang glukosa dalam ginjal berlebih, glukosa akan keluar melalui urin (glukosuria) dan menyebabkan diuresis osmotik (poliuria), dehidrasi serta peningkatan pemasukan cairan (polidipsia) (Dalimartha 1997). DM menduduki peringkat keempat pada daftar ranking pembunuh manusia. Kongres Federasi Diabetes Internasional di Paris tahun 2003 mengungkapkan bahwa sekitar 194 juta orang di dunia mengidap penyakit ini. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan pada tahun 2025 jumlah penderitanya akan melonjak sampai 333 juta orang. Di Indonesia predikat diabetesi mengenai lebih dari 2,5 juta orang dan diperkirakan terus bertambah (Mistra 2004). Pengaruh yang menonjol dari ketiadaan insulin diduga diakibatkan terutama oleh ketidakmampuan glukosa untuk memasuki sel-sel tubuh vital seperti otot dan hati tanpa insulin. Sebagai akibatnya glukosa darah meningkat, glukosa muncul dalam urin dan terdapat metabolisme lemak yang berlebihan untuk mengganti karbohidrat yang tidak lagi tersedia. Pemecahan lipid ini dapat berlanjut pada akumulasi asam keton yang dapat berpengaruh jelek terhadap otak dan menimbulkan koma (Spector 1993). 4 Glukosa yang dimakan, pada keadaan normal akan mengalami metabolisme sempurna menjadi karbondioksida dan air kira-kira 50%, 5% diubah menjadi glikogen dan kira-kira 30-40 % diubah menjadi lemak. Lain keadaanya pada penderita DM, semua proses tersebut terganggu karena glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga tidak dapat dimetabolisme, akibatnya energi terutama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak (Ganong 2002). 2.1.1 Sejarah Diabetes Mellitus Menurut Dallimutthe (2004), penyakit DM telah diketahui sejak ribuan tahun sebelum masehi. Ebers Papyrus menulis bahwa di Mesir sekitar tahun 1550 Sebelum Masehi (SM) terdapat suatu penyakit yang ditandai dengan banyak kencing. Di India, dalam buku Aryuveda (600 SM) dijumpai penyakit yang sama dimana urin penderita terasa manis dan disebut urin madu. Aretaceus menulis bahwa terdapat suatu penyakit yang ditandai dengan urin yang banyak. Willis adalah orang pertama pada tahun 1674 yang menuliskan penderita dengan urin banyak dan seperti madu disebut Diabetes Mellitus. Pada tahun 1921, Frederich Grant Banting, seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran di Toronto Kanada, mengangkat pankreas anjing kemudian mengekstrak pankreas tersebut. Anjing yang telah diangkat pankreasnya tersebut mengalami peningkatan kadar glukosa darah, kemudian setelah disuntik dengan ekstrak pankreas kadar glukosa darahnya turun, oleh karena ekstrak pankreas itu mengandung hormon yang disebut insulin. Ternyata hormon insulin inilah yang mengatur kadar glukosa dalam darah. 2.1.2 Etiologi Diabetes Melitus Kelainan yang disebabkan oleh defisiensi insulin disebut Diabetes Mellitus (DM) (Ganong 2002). Sebagian besar kasus DM disebabkan oleh rusaknya sel beta pankreas sehingga produksi insulin menjadi terhambat atau tidak ada sama sekali. Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan meningkatnya umur, maka toleransi terhadap glukosa juga meningkat. Intoleransi gula pada usia lanjut berkaitan dengan obesitas, aktivitas fisik yang kurang, berkurangnya massa otot, penyakit penyerta dan penggunaan obat-obatan sehingga terjadi penurunan sekresi insulin dan resistensi insulin (Misnadiarly 2006). DM merupakan penyakit yang 5 diturunkan atau diwariskan, bukan ditularkan. Para ahli kesehatan juga menyebutkan DM merupakan penyakit yang terpaut kromosom seks atau kelamin. Faktor herediter sering kali juga menyebabkan timbulnya DM melalui peningkatan kerentanan sel-sel beta terhadap penghancuran oleh virus atau mempermudah perkembangan antibodi autoimun melawan sel-sel beta. Obesitas juga merupakan salah satu penyebab terjadinya DM karena obesitas menurunkan jumlah reseptor insulin di dalam sel target insulin di seluruh tubuh, sehingga membuat jumlah insulin yang tersedia kurang efektif dalam meningkatkan efek metabolik insulin yang biasa (Guyton 1997). Menurut Mistra (2004), penyebab DM antara lain: Perubahan gaya hidup yang tidak sehat, lingkungan, dan usia Pola makan yang berubah kearah makanan cepat saji yang memiliki gengsi dan lemak tinggi Kebiasaan merokok Terdapat riwayat keluarga yang terkena DM (turunan) Stres menghadapi hidup atau persoalan lain Kegemukan Kerusakan kelenjar panreas (tidak lagi memproduksi hormon insulin atau sedikit memproduksi hormon tersebut) DM dapat disebabkan oleh gangguan endokrin lain, terutama hipofisa dan kelenjar adrenal serta dapat disebabkan karena kerusakan pankreas, misalnya oleh pankreatitis kronis atau oleh obat atau sindrom keturunan yang langka. Disamping itu terdapat DM kelompok lain, misalnya ibu yang mengandung atau subjek yang mengalami obesitas yang mengembangkan hiperglikemia namun kembali normal bila kehamilan telah usai atau berat badannya telah berkurang, meskipun dapat mempertahankan kerentanan yang meningkat terhadap DM kemudian. Namun bagian terbesar dari diabetes, yakni diabetes primer, disebabkan oleh penyakit lain yang tak dapat dikenal. 2.1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus Menurut Misnadiarly (2006), Diabetes Mellitus diklasifikasikan ke dalam dua tipe yaitu Diabetes Tipe I yaitu Diabetes Mellitus Tergantung Insulin atau 6 Diabetes Melitus Dependen-Insulin (IDDM) dan Tipe II yaitu Diabetes Tidak Tergantung Insulin atau Diabetes Mellitus Non-Dependen Insulin (NIDDM). Istilah tergantung insulin dalam konteks ini berarti bahwa diabetes dapat diperlihatkan berkaitan dengan penurunan absolut jumlah insulin dalam sirkulasi atau pankreas dan disembuhkan dengan pemberian insulin. Tidak tergantung insulin berarti bahwa biasanya tidak diperlihatkan adanya defisiensi absolut dalam sirkulasi, meskipun diabetes paling tidak dapat tanggap terhadap pemberian terapi insulin berlebihan (Spector 1993); a. Tipe I Diabetes Mellitus Tergantung Insulin atau Diabetes Melitus DependenInsulin (IDDM) adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai oleh rusaknya sel-sel beta penghasil insulin (Ganong 2002). Biasanya produksi insulin ada atau tidak sama sekali seperti pada juvenile diabetic. Hal ini terjadi karena ada reaksi autoimun berupa reaksi peradangan pada sel beta (Dallimutthe 2004). Peradangan menyebabkan kerusakan sel beta pankreas, sehingga sel beta pankreas tidak mampu membuat dan mengeluarkan insulin dalam kuantitas dan/atau kualitas yang cukup, bahkan kadang-kadang tidak terdapat sekresi insulin sama sekali. Dalam hal ini reseptor untuk insulin pada IDDM jumlah dan kualitasnya dalam keadaan normal. Berbagai faktor penentu etiopatologis IDDM telah dapat diidentifikasi, misalnya konstitusi genetik, immunologis, faktor lingkungan dan gangguan metabolisme serta endokrinologi. Menurut PERKENI (2002), Diabetes Mellitus tipe I memiliki karakteristik mudah terjadi ketoasidosis, pengobatannya harus dengan insulin, onset akut, penderita biasanya kurus, terjadi pada usia muda, didapatkan antibodi sel islet, 10% ada riwayat diabetes pada keluarga, 30-50% terjadi pada kembar identik (Misnadiarly 2006). b. Tipe II Diabetes Tidak Tergantung Insulin atau Diabetes Mellitus NonDependen Insulin (NIDDM) diduga terjadi akibat insufisiensi insulin dan retensi jaringan terhadap insulin. Pada penderita NIDDM dapat dijumpai kadar insulin lebih tinggi akan tetapi karena ada gangguan pada reseptor insulin, maka transport glukosa ke dalam sel terganggu. Akibatnya kadar glukosa darah akan terus meningkat. Pada keadaan ini penderita NIDDM sama dengan diabetes tipe I. Perbedaannya adalah Diabetes Mellitus tipe II 7 disamping kadar glukosanya meninggi, kadar insulinnya normal. Keadaan ini disebut resisten terhadap insulin (Dallimutthe 2004). Menurut PERKENI (2002), karakteristik dari Diabetes Mellitus tipe II yaitu sukar terjadi ketoasidosis, pengobatannya tidak harus menggunakan insulin, onsetnya lambat, penderitanya gemuk atau tidak gemuk, biasanya terjadi pada umur tua, tidak ada antibodi sel islet, 30% ada riwayat diabetes pada keluarga, 100% terjadi pada kembar identik. Menurut Soehadi (1989), terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan NIDDM, yaitu: 1. Faktor pankreas: - Adanya mutasi gen insulin, akan terbentuk molekul-molekul insulin yang abnormal dan secara biologis kurang aktif. - Terlalu banyak proinsulin yang tidak dapat dirubah menjadi insulin. - Terjadi keterlambatan sekresi insulin, meskipun mungkin produksi insulin cukup, sehingga glukosa sudah diabsorbsi masuk darah tapi insulin belum memadai jumlahnya. 2. Faktor darah: - Adanya insulin angiotensin antagonisme, misalnya antibodi terhadap insulin. - Meningkatnya pengikatan insulin oleh protein plasma. - Meningkatnya enzim yang merusak insulin atau mekanisme lain yang merusak insulin. - Meningkatnya hormon-hormon kontra insulin seperti kortisol, hormon pertumbuhan, katekolamin dan lain-lain. - Meningkatnya lemak darah. 3. Faktor perifer: - Jumlah reseptor insulin di sel berkurang (antara 20.000-30.000 buah): pada obesitas bahkan berkurang hingga 20.000 buah, pada orang normal jumlah reseptor 35.000 buah/sel. - Jumlah reseptor cukup tetapi kualitas reseptor jelek sehingga insulin tidak dapat bekerja secara efektif. 8 - Terdapat kelainan post-reseptor, sehingga proses glikolisis intraseluler terganggu. 4. Adanya kelainan campuran diantara faktor-faktor yang terdapat pada 1, 2 dan 3. Peningkatan kadar glukosa darah Diabetes Mellitus tipe I dan tipe II akan terus berlanjut, apabila kadar glukosa darah ini terus meninggi hingga melewati ambang batas ginjal, maka glukosa tersebut akan dikeluarkan melalui urin. Kejadian ini yang sering dilihat pada penderita Diabetes Mellitus, yaitu poliuri dan glukosuria. 2.1.4 Gejala Klinis dan Komplikasi Diabetes Mellitus Gejala klinis DM meliputi gejala-gejala pada stadium kompensasi dan dekompensasi pankreas, serta gejala-gejala kronik lainnya. Gejala-gejala pada stadium kompensasi misalnya polifagi, polidipsi, poliuri dan penurunan berat badan. Adanya gejala klinis hiperglikemia dan glukosuria akan menyebabkan tekanan osmotik di dalam tubuli ginjal naik dan menghambat reabsorbsi air. Karena terhambatnya reabsorbsi air ini menyebabkan penderita DM mengalami poliuria dan akibat adanya poliuria terus-menerus akan menyebabkan dehidrasi tingkat jaringan. Penderita DM tidak dapat memecah glukosa dalam darah sehingga akan menggunakan lemak tubuhnya untuk pengganti energi atau makanan bagi sel sehingga terbentuklah badan-badan keton yang menyebabkan terjadinya ketonemia dan ketonuria serta tubuh terlihat kurus. Adanya bendabenda keton di dalam darah akan menimbulkan terjadinya asidosis sehingga frekuensi nafas meningkat dan penderita mengalami koma (Ressang 1984). Pada keadaan koma kulit mukosa dan lidah tampak kekeringan, bulbus mata menjadi lunak, pernafasan menjadi lebih dalam serta nafas bau aseton (Mutschler 1991). Gejala-gejala kronik yang sering terjadi misalnya lemah badan, anoreksia, kesemutan, mata kabur, mialgia, artalgia, dan kemampuan seksual berkurang (Soehadi 1989). Mistra (2004) menyebutkan bahwa gula darah mungkin telah melewati ambang normal bila telah terlihat gejala-gejala sebagai berikut: Berat badan menurun walaupun makan dalam porsi yang tetap 9 Kadang, berat badan cenderung bertambah Gatal-gatal pada kelamin luar Sering buang air kecil terutama pada malam hari Sering kesemutan pada salah satu sisi bagian tubuh, terutama terasa pada kaki dan tangan Cepat merasa lapar atau haus Penglihatan kabur dan akibatnya sering berganti kaca mata Melahirkan bayi dengan berat lebih dari 4 kg Mudah timbul bisul atau abses dengan kesembuhan yang lama Gairah seksual menurun dan cenderung impotensi Jika ada luka terutama di kaki biasanya akan sulit sembuh dan cenderung terus melebar sehingga dapat diamputasi atau berakhir pada kematian DM mempunyai sejumlah komplikasi karena vaskulopati dan neuropati atau campuran keduanya (Soehadi 1989). Jika berjalan dalam jangka lama, jumlah komponen lipid yang berlebihan dalam sirkulasi dapat menjadi faktor utama dalam meningkatkan kecepatan penderita diabetes untuk mengembangkan ateroma dibandingkan dengan yang tidak menderita diabetes pada usia yang sama. Penderita diabetes juga mengalami degenerasi non-ateromatosa pada arteriola dan kapilernya, terutama di ginjal dan retina, menjurus kepada kegagalan ginjal dan kebutaan. Penderita diabetes juga memiliki peningkatan resiko infeksi, terutama dari tuberkulosis atau saluran kencing. Triat maut ateroma, mikroangiopati dan infeksi menerangkan peningkatan laju mortalitas penderita diabetes bila dibandingkan dengan populasi secara keseluruhan. Pengobatan yang cukup tentu saja telah sangat mengurangi laju kematian dari komplikasi akut seperti koma ketosis namun memiliki dampak yang kurang dramatik terhadap kematian oleh komplikasi yang panjang (Spector 1993). Komplikasi yang terjadi misalnya penyakit jantung, serangan otak yang biasanya diikuti kelumpuhan dan stroke, kerusakan pembuluh-pembuluh darah periferal biasanya mempengaruhi bagian tubuh bawah dan kaki, kerusakan ginjal (nephropati), kerusakan saraf (neuropati) yang dapat menyebabkan kelumpuhan (paralisis), impoten, dan penyakit mata (retinopati) karena retina mata penderita retinopati diabetik terganggu sehingga terjadi kehilangan sebagian atau 10 keseluruhan penglihatannya. Menurut laporan Komisi Diabetes Mellitus, penderita DM dapat mengalami 2 kali lebih mudah terkena trombosis serebri, 24 kali mudah terkena penyakit jantung koroner, 17 kali rentan terhadap kegagalan ginjal dan 5 kali lebih mudah terkena gangren, bilamana dibandingkan dengan orang non-Diabetes Mellitus. Meskipun gejala-gejala DM dapat diregulasi, namun komplikasi DM kronis jangka panjang dapat mengurangi lama perkiraan hidup sampai sepertiganya (Soehadi 1989). Menurut Mistra (2004), seringnya terjadi penyeburan gula di dalam pembuluh darah, lambat-laun tetapi pasti akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah secara global. Selanjutnya, berujung pada kerusakan organ- organ tubuh bagian dalam (komplikasi). Berikut ini komplikasi yang mungkin terjadi saat terkena DM: Gangguan atau kerusakan jantung Gangguan saraf otak yang menyebabkan stroke Gangguan kelamin, impotensi, atau disfungsi ereksi Gangguan atau kerusakan paru-paru (TBC) Gangguan atau kerusakan saraf tepi pada bagian tubuh sehingga sering kesemutan atau pegal sebelah tubuh Gangguan atau kerusakan ginjal dan bisa berakhir dengan gagal ginjal Gangguan atau kerusakan mata, seperti bertambahnya lapisan katarak pada lensa mata atau kebutaan total Gangren atau jika luka lama sembuhnya dan cenderung terus membusuk. Kadang berujung pada vonis amputasi Pada wanita hamil dapat berakibat keguguran, bayi lahir mati, keracunan kelahiran, bayi lahir dengan berat sampai 5 kg, dan terlalu banyak air ketuban. 2.1.5 Diagnosa Diabetes Melitus Kriteria diagnotik Diabetes Mellitus pada manusia dan gangguan toleransi glukosa menurut WHO 1985 dalam tulisan Misnadiarly (2006); 1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dl atau 2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 126 mg/dl atau 11 3. Kadar glukosa darah plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral). Cara umum yang digunakan untuk mendiagnosa penyakit diabetes didasarkan pada berbagai tes kimiawi terhadap urin dan darah (Guyton 1997). Pemeriksaan glukosa urin melalui tes sederhana atau tes kuantitatif laboratorium yang lebih rumit, yang mungkin dapat digunakan untuk menentukan jumlah glukosa yang hilang dalam urin. Jumlah glukosa yang dikeluarkan dalam urin orang normal pada umumnya sukar dihitung, sedangkan pada kasus diabetes glukosa yang dilepaskan jumlahnya dapat sedikit sampai banyak sekali sesuai dengan berat penyakit dan asupan karbohidratnya. Kadar glukosa darah puasa sewaktu pagi hari normalnya adalah 80 sampai 90 mg/dl, dan 110 mg/dl dipertimbangkan sebagai batas atas kadar normal. Penderita diabetes hampir selalu memiliki konsentrasi glukosa darah puasa diatas 110 mg/dl, bahkan diatas 140 mg/dl, dan uji toleransi glukosa hampir selalu abnormal. Diagnosa juga dapat dilakukan dengan mencium bau pernafasan penderita DM yang cenderung bau aseton akibat jumlah asam asetat yang meningkat pada penderita DM berat yang diubah menjadi aseton, aseton ini mudah menguap dan dikeluarkan dalam udara ekspirasi sehingga bau aseton dapat tercium pada nafas penderita diabetes. Asam keton juga dapat ditemukan dalam urin melalui cara kimia dan jumlah asam keton ini dipakai untuk menentukan tingkat penyakit DM. 2.1.6 Patologi Diabetes Melitus Menurut Ressang (1984), gambaran patologi anatomis penderita Diabetes Mellitus yang paling mencolok adalah terjadinya infiltrasi lemak pada hati dan ginjal sehingga hati dan ginjal terlihat membengkak dan berwarna kekuningan juga pada miokard sering kali berwarna kekuningan karena infiltrasi lemak dan degenerasi albuminoid. Pankreas mengecil dan tidak memperlihatkan perubahanperubahan makroskopik. Secara mikroskopik gambaran organ pankreas menunjukkan adanya perubahan secara kualitatif pada pulau-pulau Langerhans. Jumlah pulaunya berkurang sedangkan memperlihatkan degenerasi hidrofobik. sel-sel lainnya menunjukkan Disamping itu terlihat sklerosis pada pulau-pulau pankreas yang disebabkan oleh peradangan atau didahului dengan 12 degenerasi. Hewan percobaan pemberian zat-zat yang mempunyai efek toksik seperti alloksan dan ditizon atau derivatnya pada sel-sel pulau Langerhans dapat menimbulkan perubahan pada sel-sel pada diabetes yaitu : pengecilan pulau-pulau pankreas, pengurangan jumlah sel-sel B, degranulasi, dan vakuolisasi pada sel-sel tersebut. 2.1.7 Pengobatan Diabetes Melitus Diabetes Mellitus dapat ditanggulangi dengan pemberian obat, pengaturan diet secara maksimal untuk mengembalikan kadar glukosa darah, dan pemberian preparat hormonal. Pemberian obat hanya merupakan pelengkap diet, obat diberikan bila pengaturan diet secara maksimal tidak berhasil mengembalikan glukosa darah. Obat yang sering digunakan digolongkan sebagai berikut: Antidiabetik oral (hipoglikemik oral) Obat ini digunakan untuk membantu mengurangi kebutuhan insulin yang diberikan dari luar. Dalam keadaan gawat insulin tetap harus diberikan. Menurut Ganiswara (1995), antidiabetik oral tidak diindikasikan bagi penderita yang cenderung mendapat ketoasidosis. Bila hiperglikemia sudah terkontrol dengan antidiabetik oral dosis rendah maka dapat dilakukan pengaturan diet saja dan kerja fisik. Penderita yang membutuhkan dosis antidiabetik oral yang makin meningkat untuk mengontrol peninggian gula darahnya mungkin menunjukkan adanya kegagalan sekunder. Obat hipoglikemik oral digolongkan atas: Golongan sulfonil urea Obat ini dapat menurunkan kadar gula darah dengan cara merangsang sekresi insulin di pankreas dan meningkatkan efektivitasnya. Oleh karena itu obat ini cocok untuk penderita diabetes tipe II. Contoh obat golongan ini adalah glibenklamida, glikasida, glikuidon dan klorpromida (Sustrani et al. 2006) serta tolazomida dan tolbutamida (Laurence & Bennet 1992). Golongan biguanida Efek utama obat golongan ini adalah mengurangi produksi glukosa pada hati serta memperbaiki ambilan glukosa perifer. Obat yang termasuk 13 golongan ini adalah fenformin, buformin dan metformin (Ganiswara 1995). Insulin Insulin merupakan hormon yang penting untuk kehidupan. Hormon ini mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Insulin menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel-sel sebagian besar jaringan, menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan pembentukan glikogen dalam hati dan otot dan mencegah penguraian glikogen, menstimulasi pembentukan lemak dan protein dari glukosa. Semua proses ini menyebabkan kadar glukosa darah menurun. Kerja insulin lainnya adalah menaikkan pengambilan ion kalium ke dalam sel dan menurunkan kerja katabolik glukokortikoid dan hormon kelenjar tiroid (Mutschler 1991). Insulin dihasilkan oleh sel β pulau Langerhans yang berada di dalam kelenjar pankreas. Hormon ini merupakan suatu polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino (Ganiswara 1995). Insulin sering digunakan oleh penderita diabetes tipe I, sedangkan pada penderita diabetes tipe II digunakan apabila pemberian obat sudah tidak efektif. Glukagon Glukagon adalah suatu polipeptida yang terdiri dari 29 asam amino. Hormon ini dihasilkan oleh sel alfa pulau Langerhans. glukoneogenesis. Glukagon meningkatkan Efek ini mungkin sekali disebabkan oleh menyusutnya simpanan glikogen dalam hepar, karena dengan berkurangnya glikogen dalam hati proses deaminasi dan transaminasi menjadi lebih aktif. Adanya peningkatan kedua proses tersebut menyebabkan pembentukan kalori yang semakin besar juga. Glukagon terutama digunakan pada pengobatan hipoglikemia yang ditimbulkan oleh insulin. Hormon tersebut dapat diberikan secara intravena, intramuscular, atau subcutan 1 mg. Bila dalam 20 menit setelah pemberian glukagon subcutan penderita koma hipoglikemik tetap tidak sadar, maka glukosa intravena harus segera diberikan karena mungkin glikogen dalam hepar telah habis atau telah terjadi kerusakan otak yang menetap (Ganiswara 1995). 14 2.2 Hati Hati adalah organ terbesar dalam tubuh (Ressang 1984). Hati mendapat darah dari vena porta dan arteri hepatika yang akan menyuplai 40-50% oksigen dan kurang lebih setengah dari darah yang bersirkulasi akan menuju hati. Sebagian kecil darah dari arteri hepatika mengalir langsung masuk ke peripheral sinusoid (Jones et al. 2006). Vena porta, arteri hepatika dan saluran empedu akan bergabung dalam satu daerah vena portis (segitiga Kiernaan). Empedu akan disalurkan dari hati ke duodenum melalui saluran empedu intrahepatik dan ekstrahepatik (Guyton 1997). Gambar 1. Lobus hati, dilihat dari anterior (Shier et al. 2002). 2.2.1 Anatomi Hati Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh. Hati terletak di rongga perut di sebelah kanan, tepat di bawah difragma, berwarna merah kecoklatan. Hati terdiri dari beberapa lobus, tergantung pada spesiesnya (Harada et al. 1999). Hati memiliki dua lobus utama, kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan yang tidak terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiforme yang dapat dilihat dari luar. Ligamentum falsiforme berjalan dari hati ke diafragma dan dinding depan abdomen. Permukaan hati diliputi oleh peritoneum visceralis, kecuali daerah kecil pada permukaan posterior yang melekat langsung pada diafragma. Beberapa ligamentum yang merupakan lipatan peritoneum membantu menyokong hati. Di bawah peritoneum terdapat jaringan penyambung padat yang dinamakan kapsula Glisson, yang meliputi 15 seluruh permukaan organ; kapsula ini pada hilus atau porta hepatik di permukaan inferior melanjutkan diri ke dalam massa hati, membentuk cabang-cabang vena porta, arteri hepatika, dan saluran empedu (Wilson & Lester 1992). Hati bersama dengan jaringan ekstra hepatik dan beberapa hormon berperan dalam menjaga homeostatik pengaturan kadar glukosa yang stabil dalam darah (Suharmiati 2003). 2.2.2 Histologi Hati Unit fungsional dasar hati adalah lobus hati, yang berbentuk silindris. Hati terbagi menjadi beberapa lobus. Secara histologis lobus atau gelambir hati dibalut oleh kapsula. Ada dua macam kapsula yaitu kapsula fibrosa (Glisson) dan kapsula serosa. Lobus hati terdiri dari sel hati. Sel hati berbentuk polyhedral, berdiameter 20-25 mikron pada hewan dewasa, sedangkan pada hewan muda sekitar 2-7 mikron. Inti bulat terdapat di tengah-tengah dan kadang-kadang tampak lebih dari satu inti (Hartono 1992). Masing-masing lempeng hati tebalnya satu sampai dua sel, dan diantara sel yang berdekatan terdapat kanalikuli basilaris kecil yang mengalir ke duktus biliaris di dalam septum fibrosa yang memisahkan lobus hati yang berdekatan. Di dalam septum juga terdapat vena porta kecil yang menerima darah terutama dari vena saluran pencernaan melalui vena porta. Darah dari venula ini akan mengalir ke sinusoid hati dan bercabang yang terletak diantara lempeng-lempeng hati dan kemudian ke vena sentralis. Sirkulasi demikian menyebabkan sel hati terus-menerus terpapar oleh darah vena porta. Selain vena porta juga terdapat arteriol hati di dalam septum interlobularis. Sinusoid vena dan sel-sel hati dilapisi oleh dua tipe sel yaitu sel endotel khusus dan sel Kupffer yang merupakan makrofag jaringan yang mampu memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus hepatikus (Guyton 1997). Sel Kupffer merupakan makrofag spesifik dalam organ hati yang berasal dari monosit (Dellman & Brown 1992). Hati merupakan organ yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Hepatosit (sel parenkim hati) merupakan bagian terbesar dari organ hati. Hepatosit bertanggung jawab terhadap peran sentral hati dalam metabolisme. Sel-sel ini terletak diantara sinusoid yang terisi darah dan saluran empedu. Sel Kupffer melapisi sinusoid hati dan merupakan bagian penting dari sistem retikuloendotelial tubuh. 16 Gambar 2. Lobus hati, dilihat dari inferior (Shier et al. 2002). Menurut struktur dan fungsinya, lobulus hati dibagi menjadi tiga zona atau daerah yaitu daerah sentrolobuler, daerah tengah (midzonal) dan daerah periportal. Daerah sentrolobuler merupakan akhir dari mikrosirkulasi yang menerima darah dari pertukaran gas dan metabolit dengan sel-sel dari daerah tengah dan periportal. Hal ini menyebabkan daerah sentrolobuler lebih sensitif terhadap gangguan sirkulasi (iskemia, anoksia, kongesti) dan defisiensi nutrisi. Sebaliknya, daerah periportal dekat dengan pembuluh darah, menerima darah yang kaya O2 dan nutrisi. Akan tetapi, apabila ada senyawa yang bersifat toksik dalam darah, maka daerah ini akan terpapar terlebih dahulu. Hepatosit di daerah periportal mempunyai lebih banyak mitokondria sedangkan di daerah sentrolobuler mempunyai jumlah sitokrom p450 yang lebih banyak (Harada et al. 1999). 2.2.3 Fungsi Hati Hati adalah suatu organ yang besar, dapat meluas, dan organ venosa yang mampu bekerja sebagai suatu tempat penampungan darah yang bermakna disaat volume darah berlebihan dan mampu mensuplai darah ekstra di saat kekurangan volume darah (Guyton 1997). Beberapa fungsi hati menurut Ressang (1984) adalah : - sekresi empedu - metabolisme lemak - metabolisme zat telur - metabolisme hidrat arang - metabolisme besi 17 - fungsi detoksikasi - pembentukan sel darah merah - metabolisme dan penyimpanan penyakit Hati memiliki tiga fungsi yaitu fungsi vaskuler, fungsi metabolik serta fungsi sekresi dan ekskresi (Dellman & Brown 1992). Fungsi vaskuler berhubungan dengan proses penyimpanan dan penyaringan darah. Pada fungsi metabolik, sel hati merupakan suatu tempat reaksi kimia dengan laju metabolisme yang tinggi. Kemudian juga tempat mengolah dan mensintesa berbagai zat yang diangkut ke daerah tubuh lain (Herdt 2002). Sedangkan fungsi sekresi dan ekskresi berperan untuk produksi empedu yang mengalir melalui saluran empedu ke saluran pencernaan (Guyton 1997). Menurut Ganiswara (1995), hati berperan dalam pengaturan kadar glukosa dalam darah. Setelah makanan diabsorbsi di usus, glukosa dialirkan ke hati melalui vena porta. Sebagian lagi glukosa disimpan dalam bentuk glikogen. Setelah absorbsi selesai, glikogen dalam hati dipecah lagi menjadi glukosa. Pada keadaan normal persediaan glikogen dalam hati cukup untuk mempertahankan kadar glukosa darah selama beberapa jam, namun jika hati terganggu fungsinya akan mudah terjadi hiperglikemia atau hipoglikemia. Hati berfungsi sebagai penawar racun, dengan cara memusnahkan racun tersebut atau dengan menggandeng racun tersebut dengan senyawa lain sehingga sifat racunnya hilang atau melemah (Girindra 1988). Sebagian besar bahan toksik memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal. Setelah terjadi proses penyerapan, bahan toksik tersebut dibawa oleh vena porta hati ke hati. Darah dipasok melalui vena porta dan arteri hepatika serta disalurkan melalui vena sentralis kemudian vena hepatika, hingga akhirnya ke dalam vena kava (Lu 1995). Aliran darah yang membawa obat atau senyawa organik asing melewati sel-sel hati secara perlahan-lahan (Siswandono & Bambang 1995). 2.2.4 Patologi Hati Hati merupakan organ yang paling sering mengalami kerusakan. Ada dua alasan yang menyebabkan hati mudah terkena racun. Pertama, hati menerima 80% suplai darah dari vena porta yang mengalirkan darah dari sistem 18 gastrointestinal. Substansi zat-zat toksik termasuk tumbuhan, fungi, dan produk bakteri, juga logam, mineral dan zat-zat kimia lain yang diserap ke darah portal ditransportasikan ke hati. Kedua, hati menghasilkan enzim-enzim yang mempunyai biotransformasi pada berbagai macam zat eksogen dan endogen untuk dieliminasi oleh tubuh. Proses ini mungkin juga mengaktifkan beberapa zat menjadi bentuk yang lebih toksik dan dapat menyebabkan terjadinya perlukaan hati (Carlton & McGavin 1995). Bahan toksik dapat menyebabkan berbagai jenis kerusakan hati sebagai berikut: Degenerasi Degenerasi sel sering diartikan sebagai kehilangan stuktur normal sel sebelum kematian sel. Gambaran patologi dapat didefinisikan secara luas sebagai kehilangan struktur dan fungsi normal, biasanya progresif yang tidak ditimbulkan oleh induksi radang dan neoplasia. Degenerasi sel terkadang merupakan indikasi gangguan metabolisme yang meluas. Jenis umum degenerasi sel disebut perubahan melemak. Di sini globuli lemak (terutama trigliserida) dideposisikan pada sitoplasma dalam jumlah besar. Hal ini terjadi pada kondisi Diabetes Mellitus, malagizi, iskhemik dan anemia hebat (Spector 1993). Degenerasi suram (cloudy swelling), berbutir, albuminoid atau parenkim sering terlihat pada kejadian keracunan. Hati membesar, tepinya membulat, konsistensinya rapuh, sedangkan bidang sayatan belang atau beraspek seperti telah dimasak (Ressang 1984). Nekrosis Nekrosis hati adalah kematian sel hati. Kematian sel terjadi bersama dengan pecahnya membran plasma. Tidak ada perubahan ultrastruktural membran yang dapat dideteksi sebelum pecah, namun ada beberapa perubahan yang mendahului kematian sel. Perubahan morfologik awal antara lain berupa edema sitoplasma, dilatasi retikulum endoplasma dan disagregasi polisom. Terjadi akumulasi trigliserida sebagai butiran lemak dalam sel. Perubahan yang terjadi merupakan pembengkakan mitokondria progresif dengan kerusakan kista, pembengkakan sitoplasma, penghancuran organel dan inti dan pecahnya membran plasma. Nekrosis dapat bersifat fokal (sentral, 19 pertengahan, perifer) atau masif (Lu 1995). Nekrosis hati merupakan manifestasi toksik yang berbahaya tetapi tidak selalu kritis karena hati mempunyai kapasitas pertumbuhan kembali yang luar biasa. Pada umumnya nekrosa toksopatik hanya memerlukan waktu singkat untuk menimbulkan gejala klinis. Steatosis (perlemakan hati) Secara patologis hal yang dapat menyebabkan perlemakan adalah hipoksemi oleh karena hati tidak dapat membakar lemak atau karena adanya toksin yang menyebabkan penurunan fungsi lipolitik hati. Toksin yang dapat menyebabkan perlemakan toksik adalah antimon, arsen, alkohol, dan racun lain yang memerlukan banyak oksigen sehingga lemak tinggal tidak terbakar. Sirosis Hati Sirosis hati adalah pengerasan pada hati. Sirosis hati dicirikan dengan permukaan nodular, granular dan irregular, konsistensinya keras dan terjadi fibrosis difus. Sirosis dapat disebabkan oleh berbagai hal, akan tetapi dapat juga kausanya tidak diketahui. Pada umumnya bahan-bahan toksik dan parasit dapat menyebabkan sirosis hati (Ressang 1984). Menurut Spector (1993), sirosis berasal dari nekrosis sel tunggal karena kurangnya mekanisme perbaikan. Kemudian keadaan ini menyebabkan aktivitas fibroplastik dan pembentukan jaringan parut. Tidak cukupnya aliran darah dalam hati menjadi salah satu faktor pendukung. Pasca mati hati menunjukkan tanda-tanda pembusukan. Perubahan warna coklat menjadi hitam-hijau atau biru-hitam pada bidang caudalnya terjadi karena H2S di dalam usus bersenyawa dengan besi di dalam darah menjadi FeS. Pada sisi bidang cranial hati sering terlihat garis-garis pucat disebabkan oleh tekanan iga. Otolisis postmortal terlihat sebagai sarang-sarang suram, putih kelabu, yang mirip dengan sarang-sarang nekrosa. Akan tetapi secara mikroskopik sarangsarang ini dapat dibedakan dari nekrosa karena pembusukan tidak menimbulkan reaksi jaringan sama sekali, di sekitar sarang-sarang pasca mati tidak ditemukan infiltrasi sel-sel radang. 20 2.3 Usus Halus Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu duodenum, jejunum, dan ileum (Sturkie 1976). Usus halus merupakan tempat terjadinya pencernaan dan penyerapan makanan. Selaput lendir usus halus memiliki jonjot yang lembut dan menonjol seperi jari. Fungsi usus halus selain penggerak aliran pakan dalam usus juga untuk meningkatkan penyerapan sari makanan (Akoso 1993). Gambar 3. Tiga bagian dari usus halus, yaitu duodenum,jejunum dan ileum (Shier et al. 2002). 2.3.1 Anatomi Usus Halus Usus halus merupakan bagian dari sistem pencernaan yang terletak antara lambung dan usus besar yang merupakan tempat utama terjadinya pencernaan secara kimiawi dan penyerapan nutrisi. Usus halus dalam kerjanya dibantu oleh pankreas yang menghasilkan enzim yang digunakan dalam proses pencernaan. Secara normal usus halus terdiri dari duodenum, jejunum dan ileum. Duodenum merupakan bagian proximal dari usus halus yang melewati bagian kaudal dari permukaan kanan ventrikulus dan membentuk suatu lengkungan seperti huruf “U”. Diantara lengkungan “U” tersebut terdapat pankreas (Sisson & Grossman 1953) yang menghasilkan enzim amylase, lipase dan tripsin (North 1984). Jejunum dan ileum tidak memiliki batas yang jelas, untuk menentukan batas antara usus halus tersebut berdasarkan letak dari Meckel’s divertikulum (Sisson & Grossman 1953). Menurut Swenson (1953), panjang usus setiap spesies hewan bervariasi tergantung dari kebiasaan makan. Herbivora mempunyai usus yang lebih panjang 21 dibandingkan usus halus karnivora, hal ini disebabkan karena daging lebih mudah dicerna. 2.3.2 Histologi Usus Halus Usus halus terbagi menjadi tiga bagian yaitu duodenum, jejunum dan ileum. Daerah duodenum memiliki lipatan mukosa yang melingkar dan memiliki banyak vili. Daerah jejunum mirip dengan daerah duodenum. Ukuran vili jejunum lebih langsing, lebih kecil dan jumlahnya lebih sedikit daripada duodenum. Daerah ileum mirip dengan jejunum. Vili pada ileum membentuk kelompok. Daerah ileum tidak memiliki lipatan-lipatan mukosa (Banks & William 1993). Secara umum, struktur utama dari usus halus adalah membran mukosa, lamina propia, submukosa, jaringan limfatik, serosa dan lapisan muskuler. Sel epitel menutupi seluruh permukaan bebas dari membran mukosa dan berbentuk epitel silindris sebaris (Xu & Cranwell 2003). Pada lapis mukosa usus halus terdapat suatu bentuk khusus berupa vilivili. Vili memperluas permukaan area lumen serta mengefisienkan proses absorbsi. Selain itu pada mukosa usus juga ditemukan kripta-kripta usus. Kelenjar-kelenjar yang terdapat pada mukosa memiliki bentuk tubular sederhana. Pada daerah di bawah epithelium merupakan lamina propia. Lamina propia mengandung leukosit dan jaringan limfatik berupa nodul-nodul. Ditemukan nodul-nodul limfatik yang beragregasi membentuk Payer’s patches. Lapis submukosa usus halus terdiri dari jaringan ikat, pembuluh darah dan pembuluh limfatik (Xu & Cranwell 2003). Pada daerah submukosa duodenum terdapat sekelompok kelenjar berbentuk tubular seperti gulungan yang disebut dengan kelenjar Brunner. Kelenjar Brunner mensekresikan cairan mucus ke dalam kripta usus. Cairan mucus ini melubrikasi permukaan epithelium dan melindungi dari asam lambung (Frappier 1998). Pada daerah mukosa bagian dasar vili usus halus terdapat kripta Lieberkuhn. Kripta Lieberkuhn berbentuk lurus maupun tubular seperti struktur kelenjar yang dilapisi oleh sel epitel silindris sebaris. 22 Sel epitel usus halus terdiri dari empat macam sel yaitu (Bloom & Fawcett 1968; Telford & Bridgman 1995): - Sel penyerap berbentuk silindris dengan mikrovili berfungsi untuk menyerap sari makanan - Sel Goblet / sel mangkok, tersebar tidak teratur dan tidak merata pada epitel permukaan. Sel ini menghasilkan mucus yang berfungsi untuk melindungi mukosa - Sel Argentaffin / sel enterokhromafin, menghasilkan serotonin yang menstimulasi kontraksi otot polos, serta menyalurkan hormon seperti sekretin, gastrin dan kholesitokinin - Sel Paneth, berbentuk silindris atau pyramidal dengan inti bulat terletak di basal. Sel Paneth terletak di ujung kelenjar Liberkuhn, fundus dan sekum (pada unggas, karnivora dan babi sel ini tidak ada). Sel epitel yang terdapat dalam kelenjar kripta termasuk stem sel undifferentiated, sel Goblet, sel Paneth dan sel endokrin. Sel Goblet mensekresikan mucus dan memiliki fungsi yang sama dengan sel Goblet pada vili usus. Sel endokrin memproduksi berbagai macam hormon maupun peptide (Xu & Cranwell 2003). Sel Paneth merupakan sel eksokrin dengan granul-granul sekretori pada apikal sitoplasma. Granul-granul sekretori ini menghasilkan lisosim yang memiliki aktivitas antibakterial dan mengontrol mikrobiota. Stem sel yang belum terdiferensiasi memiliki kemampuan mitotik yang tinggi. Sel epitel baru yang tumbuh oleh proses mitosis dari stem sel berpindah ke atas sepanjang vili dan sering menembus ujung vili (Xu & Cranwell 2003). Peradangan pada usus halus (enteritis) yang subakut disertai dengan infiltrasi sel limfosit dan yang kronis bersifat proliferatif bisa terjadi (Nabib 1987). Dinding usus halus terdiri dari empat lapis yaitu mukosa, sub-mukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa (Swenson dalam Handaruwati 2000). Mukosa ini diselaputi oleh vili yang berkembang baik dan menyebabkan gambaran mukosa yang menyerupai beludru. Duodenum memiliki vili yang luas, berbentuk seperti daun, dan diameternya luas. Vili pada jejunum memiliki bentuk 23 seperti lidah pada bagian jejunum proksimal, dan seperti jari panjang pada bagian jejunum distal. Sedangkan ileum memiliki vili yang berbentuk menyerupai jari. Permukaan vili mempunyai tiga macam jenis sel, yaitu sel absorbtif, sel Goblet, dan sel Argentafin. Kripta Lieberkuhn atau kelenjar usus terdapat pada permukaan diantara vili yang meluas ke daerah muskularis mukosa. Lamina propia berbentuk jaringan ikat longgar yang merupakan pusat vili dan mengelilingi kelenjar usus. Bagian ini terdiri dari serabut kolagen dan elastik dalam jalinan serabut retikuler dimana dalam jalinan ini terdapat pembuluh darah, pembuluh limfe, leukosit, fibroblast, otot polos, sel plasma, dan sel mast (Dellman & Brown 1992). Muskularis mukosa terdiri dari lapis otot tipis yang halus. Lapisan sub-mukosa berupa jaringan ikat longgar yang didalamnya terdapat saraf, arteri, pembuluh limfe besar, vena, ganglion dari sistem saraf parasimpatikus, dan kumpulan badan sel saraf terlokalisasi yang merupakan elemen dari pleksus sub-mukosa. Pada duodenum terdapat kelenjar sub-mukosa atau yang disebut kelenjar Brunner (Swenson dalam Handaruwati 2000). Lapisan tunika muskularis terdiri dari dua lapis, yaitu lapis dalam yang tersusun melingkar dan lapis luar yang tersusun memanjang. Diantara kedua lapis tersebut terdapat jaringan ikat longgar yang mengandung Plexus Mientricus atau Plexus Aurbach. Pleksus ini bersama dengan Plexus Meissner yang terdapat pada sub-mukosa akan menginervasi kontraksi usus yang mencampur makanan dengan enzim, kemudian menggerakan makanan yang sudah dicerna agar kontak dengan permukaan sel-sel absorbsi lalu mendorongnya ke kaudal. Peristiwa pencernaan serta penyerapan dalam usus halus ditunjang oleh bentuk-bentuk khusus. Efisiensi penyerapan dapat ditingkatkan oleh tiga bentuk khusus yang memperluas areal penyerapan terhadap isi usus, yang pertama adalah dua pertiga bagian depan usus halus memiliki plika sirkularis yang menjulur ke arah lumen setinggi dua pertiganya. Pada ruminansia lipatan ini bersifat permanen, tetapi pada hampir semua hewan piara lain tampak pada usus yang sedang istirahat atau kososng, dan hilang bila usus mengembang. Kedua, permukaan selaput lendir menunjukkan penjuluran berbentuk jari yang disebut vili. Tinggi vili ini bervariasi (1,0-1,5 μm), tergantung pada daerah serta jenis hewan. Ketiga, adalah permukaan penyebaran ditingkatkan oleh mikrovili. 24 Mikrovili merupakan penjuluran sitoplasma pada permukaan bebas epitel vili (Dellman & Brown 1992). Permukaan bagian dalam dari usus halus adalah membran mukosa yang terdiri dari sel epitel kolumnar, beberapa diantaranya akan mengalami modifikasi dan membentuk sl Goblet guna produksi mukus. Di sebelah luar permukaan membran mukosa yang menyelimuti usus halus banyak terdapat vili yang berguna untuk absorbsi zat makanan (Frandson 1992). Dalam keadaan normal selaput lendir usus terlapisi oleh isi usus yang bercampur dengan getah usus, getah pankreas, empedu, lendir usus dan kuman-kuman. 2.3.3 Fungsi Usus Halus Pada usus halus terjadi gerakan peristaltik yang berperan mencampur digesta dengan cairan pankreas dan empedu. Usus halus menghasilkan enzim amilase, protease, dan lipase yang berfungsi memecah zat makanan menjadi bentuk yang lebih sederhana sehingga dapat diserap tubuh, selain itu usus halus juga melaksanakan pencernaan kimiawi serta memegang peranan penting dalam transfer material nutrisi dari lumen ke dalam pembuluh darah dan limfe (Moran 1985). Usus halus memiliki fungsi sebagai tempat penyaluran makanan dan penyerapan nutrisi ke dalam pembuluh darah dan pembuluh limfe. Dalam usus, asam lemah terutama akan berada dalam bentuk ion sehingga tidak mudah diserap, sedangkan basa lemah akan berada dalam bentuk ion-ion sehingga mudah diserap. Absorbsi usus akan lebih tinggi lagi dengan lamanya waktu kontak dan luasnya daerah permukaan vili dan mikrovili usus (Lu 1995). Usus halus meliputi duodenum, jejunum dan ileum. Fungsi duodenum dan jejunum ialah pencernaan dan penyerapan (absorbsi) sedangkan ileum untuk absorbsi makanan dan cairan. Duodenum merupakan tempat absorbsi besi dan folat. Duodenum juga menjadi tempat penting terjadinya pencampuran antara makanan dengan garam empedu dan enzim pankreas. Jejunum menjadi bagian dari usus halus yang paling banyak mengabsorbsi mikronutrien. Selain nutrien, obat juga diabsorbsi disini. Motilitas makanan yang melewati ileum lebih lambat daripada jejunum. Neurohormonal seperti glucagon-like peptide 1 dan 2, peptide YY dan neurotensin yang dilepas 25 oleh ileum terminal berperan memberikan efek trofik pada mukosa (Andra 2007). Pencernaan ingesta menjadi bentuk yang siap diserap, dimulai dengan bekerjanya enzim pankreas, empedu dari hati dan sekreta kelenjar usus. Peristiwa ini berlangsung di sepanjang usus halus. Efisiensi penyerapan dapat ditingkatkan oleh tiga bentuk yaitu plika sirkularis pada dua pertiga bagian depan, vili yang berbentuk jari dengan permukaan selaput lendir dan mikrovili yang merupakan penjuluran sitoplasma pada permukaan bebas epitel vili (Dellman & Brown 1992). Aktivitas pencernaan memerlukan sejumlah enzim dan banyak lendir untuk melindungi epitel terhadap kerusakan mekanik maupun iritasi enzim. Lendir dihasilkan oleh kelenjar submukosa dan sel Goblet di antara sel epitel (Himawan 1998). 2.3.4 Patologi Usus Halus Gangguan yang sering terjadi pada usus adalah obstruksi, perpindahan (hernia/eventration) dan peradangan usus (enteritis). Obstruksi akut pada usus lebih sering terjadi pada usus halus, sedangkan usus besar lebih sering tertimpa obstruksi kronis. Obstruksi akut dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok, menurut cara perkembangannya: Oklusi sederhana, berasal dari substansi mekanik dan sumbernya tidak tentu, namun secara umum dapat dibagi menjadi obstruksi intraluminal, obstruksi yang terjadi pada dinding usus atau obstruksi yang terjadi dari tekanan di perbatasan. Strangulasi, terjadi ketika selain terjadi oklusi pada usus juga terjadi oklusi pada pembuluh darah, biasanya pada vena namun dapat terjadi pada arteri dan vena. Ileum paralitik adalah obstruksi fungsional yang biasanya timbul karena reflek penghambatan, tetapi mungkin juga terjadi karena metabolik dan komplikasi dari hipokalemia. Eventration meliputi perpindahan bagian dari usus -biasanya usus halus- keluar dari ruang abdominal. peritoneum parietal. Bagian yang berpindah tidak dapat ditutup 26 Internal hernia, merupakan perpindahan usus melalui foramen normal atau patologik di dalam ruang abdominal tanpa terbentuk kantung hernia. Eksternal hernia, secara khas terdiri dari kantung hernia yang dibentuk sebagai kantung peritoneum parietal, menutupi kulit dan jaringan lunak tergantung pada lokasi hernia, cincin hernia dan isi hernia. Cincin hernia adalah pembuka dinding abdominal yang dapat terjadi secara dapatan atau alami seperti cincin inguinal. Isi hernia biasanya terdiri dari bagian omentum, bagian usus yang lebih bebas bergerak –biasanya usus halus- dan kadang-kadang organ viscera lainnya. Enteritis secara umum terjadi pada bagian manapun dari usus, namun karena peradangan lebih umum dan parah ketika menimpa usus halus, maka peradangan pada sekum, kolon dan rektum lebih dikenal dengan sebutan typhlitis, colitis dan proctitis. Pada banyak kasus, spesifik atau non-spesifik, perubahan menimpa keseluruhan bagian usus dan terkadang juga menimpa lambung sehingga dapat disebut gastroenteritis. Penyebabnya antara lain infeksi bakteri, virus, mikosis, protozoa, riket dan cacing, gangguan vaskular dan metabolik, toksin bakteri, keracunan zat kimia dan defisiensi nutrisi seperti vitamin B (Jubb et al. 1993). 2.4 Limpa Gambar 4. Limpa (Shier et al. 2002). Tubuh makhluk hidup memiliki kemampuan melawan berbagai jenis organisme atau toksin yang dapat merusak jaringan dan organ tubuh. Kemampuan ini disebut kekebalan yang merupakan hasil produksi dari jaringan 27 limfoid di dalam tubuh (Guyton 1997). Sistem jaringan limfoid dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok yaitu organ limfoid primer dan sekunder (Tizard 1988). Organ limfoid primer merupakan organ yang berfungsi mengatur produksi dan diferensiasi limfosit dan tempat pengaturan perkembangan limfosit. Sedangkan organ limfoid sekunder merupakan organ limfoid yang responsif terhadap stimulasi antigenik atau tempat interaksi limfosit-antigen dan pengontrolannya. Tizard (1988) dan Guyton (1997) mengelompokkan limpa sebagai salah satu organ limfoid sekunder. Limpa adalah jaringan limfoid yang membentuk organ paling besar dalam tubuh hewan. Limpa memiliki kapsula dan trabekula yang mengandung otot polos yang berperan memobilisasikan darah bila aktivitas fisiologik meningkat (Hartono 1989). 2.4.1 Anatomi Limpa Limpa adalah organ limfatik lunak yang terletak di sebelah kiri atas abdomen, di bawah tulang iga ke-9, 10 dan 11. Sumbu panjangnya paralel dengan iga ke-10. Limpa memiliki permukaan diafragmatik dan visceral, ujung superior dan inferior, serta batas anterior, posterior dan inferior. permukaan diafragmatik berhubungan dengan Bagian convex bagian costal diafragma. Permukaan visceral membentuk segitiga yang terbagi pada permukaan gastric, renal dan colic. Bagian punggung limpa memisahkan permukaan gastric (anterior) dengan permukaan renal (inferior). Pada bagian bawah, terdapat lengkungan, sebuah hilus, sebagai tempat pembuluh darah dan saraf. inferior rata dan berakhir pada flexura kiri colic. Ujung Ujung superior (apex) berhubungan langsung dengan tulang Thoracal 11. Batas anterior memisahkan diafragma dari permukaan gastric, batas posterior yang bulat memisahkan diafragma dengan permukaan renal dan batas inferior memisahkan diafragma dari permukaan colic. Ujung pankreas dapat menyentuh limpa diantara permukaan colic dan hilus (Leeson CR & Leeson TJ 1989). 28 2.4.2 Histologi Limpa Secara histologis limpa terdiri dari stoma (kapsula dan trabekula) dan parenkim (pulpa limpa). Selain itu sediaan histologi limpa juga terdiri dari banyak sel-sel darah merah dan sel-sel darah putih dan sangat menyerupai kelenjar-kelenjar limfe. Leeson et al. (1993) menerangkan bahwa kapsul dari limpa dilapisi oleh serosa yang terdiri dari serat kolagen, serat elastin dan beberapa otot polos, sedangkan trabekula tebal yang mengandung cabang-cabang besar arteri dan vena splenikus (lienalis) berjalan dari kapsula ke bagian dalam organ. Diantara trabekula terdapat anyaman serat retikulin yang menunjang parenkim limpa. Parenkim limpa terdiri dari dua bagian yaitu pulpa merah dan pulpa putih. Pulpa merah. Sebagian besar dari pulpa limpa berwarna merah dan mengandung banyak darah yang disimpan dalam jalinan retikuler. Pulpa merah terdiri dari arteriol pulpa, kapiler selubung serta kapiler terminal, sinus venous atau venula, dan bingkai limpa. Pulpa merah pada limpa ruminansia dan babi banyak mengandung sel-sel otot polos, sedangkan kuda dan anjing memiliki miofibroblas, sel yang mirip fibroblas tetapi memiliki sifat mirip otot polos (Dellman & Brown 1992). Pulpa putih. Pulpa putih adalah jaringan limfatik yang menyebar di seluruh limpa sebagai nodulus limpa dan seperti selubung limfatik periarterial. Nodulus dapat atau tidak dapat memiliki pusat kecambah yang aktif tergantung pada status fungsinya. Sel-sel utama dalam nodulus adalah limfosit B, sedangkan limfosit T berbatasan dengn tunika media, dan limfosit B membentuk daerah perifer pada selubung limfatik (Dellman & Brown 1992). Daerah marginal. Pada permukaan pulpa putih, retikulum membentuk beberapa lapis konsentris, yang langsung berbatasan dengan lapis terakhir adalah daerah marginal. Di daerah ini banyak terdapat makrofag dan populasi limfosit khusus. Semua unsur dari sel darah, demikian juga antigen, mengadakan kontak dengan makrofag dan limfosit setempat. Partikel yang mengambang dalam plasma darah difagositosis secara efisien oleh makrofag, dan merupakan kondisi ideal untuk penampilan antigen (Dellman & Brown 1992). 29 Ada beberapa teori mengenai hubungan antara arteriol dan venula pada limpa. Pertama adalah teori terbuka, yaitu darah akan mengalir keluar dari terminal arterial dalam pulpa merah sampai menemukan permulaan dari aliran venous. Kedua adalah teori tertutup, yaitu darah dari arteriol terminal masuk sinusoid atau sinus venous, valvulae aferen dan eferen dari sinus venous secara periodik membuka dan menutup. Hal ini memungkinkan terjadinya proses pengaliran, pengisian, penyimpanan dan pengosongan dari sinus venous. Pada proses penyimpanan sinus membesar dan makrofag mempergunakan kesempatan ini untuk mengangkut pecahan eritrosit. Teori terakhir adalah teori kombinasi yang merupakan gabungan antara teori terbuka dan tertutup yaitu bila limpa dalam kontraksi, sel retikulum epitel merapat sehingga membentuk sinus venous yang menghubungkan arteriola dan venula. Tapi bila limpa mengembang, susunan sel retikulum epitel agak merenggang sehingga darah dapat keluar dalam jaringan (Hartono 1989). 2.4.3 Fungsi Limpa Fungsi utama limpa ialah menyimpan darah yang tidak ikut dalam peredaran darah. Pengeluaran darah dari limpa disebabkan oleh kontraksi alat tubuh yang dapat ditimbulkan oleh emosi, kekurangan zat asam (kenaikan kadar CO2 darah, gerak badan ataupun kehilangan darah) dan pada perangsanganperangsangan nervus simpatikus pada umumnya (Ressang 1984). Menurut Tizard (2004) dan Boyd (1962), limpa berfungsi menyaring darah dan sebagai tempat penyimpanan eritrosit dan trombosit dan melaksanakan eritropoiesis pada fetus. Karena itu, limpa terbagi atas dua bagian : satu bagian untuk menyimpan eritrosit, untuk penjeratan antigen dan untuk eritropoiesis, yang disebut pulpa merah; dan bagian yang lain yang di dalamnya terjadi tanggap kebal yang disebut pulpa putih. Fungsi lain limpa menurut Ressang (1984) adalah : Membentuk sel-sel darah putih yaitu limfosit, yang ada hubungannya dengan pembentukan globulin (antibodi). Pada hewan muda limpa ikut membentuk eritrosit bersama sumsum tulang. 30 Pembinasaan eritrosit tua bersama dengan sumsum tulang dan sel RES hati. Oleh sebab itu limpa mengandung banyak lipid (kolesterol dan lesitin) dan besi. Hematin diubah limpa menjadi hemobilirubin. Menjaring kuman-kuman dari darah. Hal ini karena limpa terdiri dari banyak sel-sel RES. Ikut serta dalam metabolisme nitrogen terutama dalam pembentukan asam kemih. 2.4.4 Patologi Limpa Perubahan ukuran, warna dan konsistensi limpa biasanya disebabkan oleh respon limpa terhadap benda asing yang dapat menimbulkan proses-proses reaktif, sehingga ketika diamati sacara mikroskopis limpa terlihat membengkak. Infeksi pada tubuh akan merangsang sel-sel limfosit dalam organ limfoid untuk membentuk antibodi (Volk & Wheleer 1993). Jones et al. (2006) menyatakan bahwa pembesaran limpa bisa diakibatkan oleh beberapa mekanisme yang berbeda, yaitu gangguan sirkulasi, penyakit inflamasi, penyakit metabolik dan neoplasia. Menurut Thomas (1979), perubahan patolgi yang terjadi pada limpa dianggap berkenaan dengan bangunan trabekula, sinus pada pulpa merah dan pulpa putih, terutama pada kandungan darah, gambaran fibrosa, jumlah sel dan deposit lain. Perubahan ukuran dan warna limpa dapat terlihat dengan pemeriksaan mikroskopis (histologis) pada sejumlah sel-sel darah yang banyak mengisis ruang limpa di sinus-sinus dan pulpa, serta pembuluh darah limpa yang membendung (hiperemi). Konsistensi limpa dapat menjadi keras dan ukurannya membesar oleh karena pertumbuhan jaringan retikulum dan hiperplasia sel serta pertumbuhan jaringan Reticulo Endothelial system (RES) sehingga menghasilkan sel-sel besar dan pucat yang mengisi sinusoid-sinusoid limpa maupun pada folikel limpa (Thomas 1979). Pada kondisi septisemia, terjadi pembesaran limpa dengan kongesti akut dan degenerasi dari folikel limfoid serta hiperseluler dari area sinus (Jubb et al. 1993). 31 2.5 Sambiloto Gambar 5. Sambiloto (Syukur & Hernani 2002). Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) merupakan tanaman yang dapat tumbuh di ketinggian 1-1.600 m dpl atau dari dataran rendah sampai daerah pegunungan. Tanaman ini memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan setempat. Faktor iklim yang mempengaruhi pertumbuhan sambiloto adalah curah hujan dan suhu. Sambiloto dapat tumbuh dengan baik pada curah hujan 2000-3000 mm/tahun dan suhu udara 25-320C. Kelembapan yang dibutuhkan termasuk sedang, yaitu antara 70-90% dengan penyinaran agak tinggi (Mahendra 2005). Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) lebih dikenal sebagai tanaman obat yang dipakai oleh manusia (Soedibyo 1998). Tumbuhan ini tergolong ke dalam famili Acanthaceae dan termasuk tanaman terna (herba) dengan tinggi ±50cm (Syamsuhidayat & Hutapea 1991). Beberapa jenis tanah yang cocok untuk pertumbuhan sambiloto yaitu latosol, andosol dan regosol (Syukur & Hernani 2002). Ditinjau dari aspek toksikologi, berdasarkan kriteria Gleason, sambiloto termasuk ke dalam golongan yang Practically Non Toxic, mengingat dosis toksik akut (LD50) sebesar 1,2 mg/10 g BB. Efek toksisitas yang terlihat adalah depresi susunan pusat dan anggota gerak (Nuratmi et al. 1996). 32 2.5.1 Klasifikasi Sambiloto Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dalam klasifikasi menurut Syamsuhidayat dan Hutapea (1991), dikelompokkan sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledon Bangsa : Solanales Suku : Acanthaceae Genus : Andrographis Spesies : Andrographis paniculata Nees 2.5.2 Morfologi Sambiloto Gambar 6. Sambiloto (Mahendra 2005). Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) mempunyai tinggi sekitar 40 hingga 90 cm; dengan batang bersegi empat, nodus yang membesar dan banyak bercabang. Daun tunggal dengan letak berhadapan silang, bentuknya lanset dengan pangkal runcing dan ujung meruncing. Tepi daun rata, permukaan atas berwarna hijau tua dan permukaan bawah hijau muda. Panjang daun 2-8 cm, lebar 1-3 cm, bertangkai pendek. Bunga berwarna putih-ungu, keluar di ujung batang atau ketiak daun, tersusun dalam rangkaian berupa tandan. Buah bentuknya memanjang sampai jorong dengan panjang sekitar 1,5 cm dan lebar 0,5 cm, pangkal dan ujung tajam, bila masak akan pecah membujur menjadi 4 keping. Bijinya gepeng kecil, berwarna coklat muda, mudah diperbanyak dengan biji (Wijayakusumah et al. 1994). 33 Menurut Muhlisah (1998), Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) memiliki daun berbentuk lanset, tepi daun rata, penampang melintang, dengan letak saling berhadapan. Cabangnya berbentuk segi empat dan tidak berbulu. Daun bagian atas cabang berbentuk seperti daun pelindung. Memiliki bunga yang tegak dan bercabang-cabang. Bunga berbentuk tabung dan berbibir (bibir bunga atas berwarna putih dengan warna kuning di bagian kepala, sementara bibir bunga bawah berbentuk baji, berwarna ungu). Buah sambiloto berbentuk jorong dengan ujung yang tajam. Buah yang matang akan pecah menjadi empat keping. Semua bagian tanaman ini yang terdapat pada permukaan tanah (herba) bisa dimanfaatkan. Masyarakat umumnya mengolah sambiloto dengan cara dipotongpotong dan dikeringkan. Budidaya sambiloto dapat dilakukan dengan cara stek. Tanaman ini ditemukan di dataran rendah dan tinggi, dan di tempat naungan. Tanaman ini sering ditemukan tumbuh liar di tempat terbuka. Daerah penyebarannya dari dataran rendah sampai ketinggian 700 m di atas permukaan laut, tetapi sering ditemukan pula tumbuh di bawah ketinggian 100 m di atas permukaan laut (Muhlisah 1998). 2.5.3 Kandungan Sambiloto Daun dan batang tumbuhan ini rasanya sangat pahit karena mengandung senyawa yang disebut andrographolid yang merupakan senyawa keton terpena. Kadarnya dalam daun antara 2,5 sampai 4,8 % dari berat kering. Senyawa ini diduga merupakan salah satu zat aktif dari daun sambiloto yang juga banyak mengandung unsur-unsur mineral seperti kalium, natrium, dan asam kersik. Andrographolide ditemukan di limpa, jantung dan otak (Wijayakusumah et al. 1994). Tanaman ini juga mengandung lakton dan flavonoid. Lakton yang diisolasi dari daun dan percabangannya yaitu andrographolid (zat pahit), 14deoxy-andrographolid, neo-andrographolid, 11,12-didehydroandrographolid dan homoandrographolid. Juga terdapat flavonoid: alkan, keton, dan aldehida selain mineral seperti kalsium, kalium, natrium, dan asam kersik. Flavonoid diisolasi terbanyak dari akar yaitu polymethoxyflavone, andrographin, panicolin, mono-omethylwhigtin dan apigenin 7,4 dimethyl eter (Wijayakusumah et al. 1994). Flavonoid merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh 34 suatu tanaman, yang biasanya ditemui pada bagian daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga dan biji. Kandungan sambiloto yang lain adalah saponin dan tanin (Syamsuhidayat & Hutapea 1991). 2.5.4 Khasiat Sambiloto Andrographolid yang terkandung dalam lakton yang diisolasi dari daun (Wijayakusumah et al. 1991) bekerja sebagai zat anti inflamasi dengan cara menstimulir kerja kelenjar adrenal dalam menghasilkan hormon glukokortikosteroid (Wenlong & Nie 1973). Hormon ini mempunyai peranan penting dalam menghambat proses peradangan (inflamasi), migrasi leukosit, deposit fibrin dan pembentukan jaringan ikat. Hormon glukokortikosteroid menghambat peradangan dengan cara menghambat pembentukan media peradangan seperti prostaglandin tromboxanes dan leukotrienes yang mempengaruhi metabolisme asam arachidonat parasit (Cunningham 1994). Selain sebagai anti inflamasi, andrographolid juga immunostimulan khususnya dalam proses fagositosis. bertindak sebagai Hal tersebut telah dilakukan percobaan menggunakan sambiloto secara invitro dan invivo yang dilakukan dengan menggunakan zat aktif andrografolid dan ekstrak sambiloto dalam media larutan (cair) dengan menggunalkan mencit (mice). Hasil penelitian itu menyatakan bahwa andrographolid dan sambiloto, keduanya dapat menstimulasi kekebalan terhadap antigen, baik yang spesifik maupun nonspesifik (Mills & Bone 2000). Kekebalan spesifik ditandai dengan adanya peningkatan jumlah sel-sel limfosit dalam peredaran darah, sedangkan kekebalan nonspesifik ditandai dengan adanya peningkatan jumlah sel heterofil, eosinofil, basofil dan makrofag yang akan memfagosit benda asing yang masuk ke tubuh. Menurut Deng (1978), dehidroandrographolid juga berkhasiat sebagai anti radang dengan meningkatkan sintesa dan pituitary otak yang mengirimkan sinyal ke kelenjar adrenal untuk memproduksi kortisol yang merupakan anti radang alami. Flavonoid merupakan pigmen yang tersebar luas dalam bentuk senyawa glikogen dan aglikon yang larut dalam air. Salah satu fungsi flavonoid dalam tanaman adalah sebagai hormon pertumbuhan dan inhibitor enzim dengan mengkompleks protein. Flavonoid dapat menghambat perkembangan parasit 35 dengan bertindak sebagai inhibitor enzim. Mekanisme penghambatan yaitu dengan cara menghambat produksi enzim dan sintesis asam-asam nukleat atau protein (Rohimah 1997), melalui mekanisme tersebut pertumbuhan dan perkembangan parasit kemungkinan dapat ditekan. Saponin mempunyai dua jenis yaitu: glikosida triterpenoida alkohol dan glikosida struktur steroid. Saponin dapat mengurangi rasa sakit, mampu membunuh kuman dan merangsang pertumbuhan sel-sel baru pada kulit. Demikian pula dengan tanin, memiliki dua jenis, yaitu: tannin terhidrolisis dan tannin terkondensasi. Tannin memiliki sifat astringent yang berfungsi sebagai antidiare (Syamsuhidayat & Hutapea 1991). Sastrapaja et al. (1978) menyatakan bahwa tanaman sambiloto memiliki sifat antipiretik (meredam demam), analgesik (penghilang rasa sakit), menghilangkan panas dalam, detoksikan (penawar racun), anti radang dan detumescent ( mengecilkan pembengkakan). Tanaman ini dapat berperan dalam piknosis (penyusutan inti sel dalam bentuk padat dan terjadi ketika sel mati). Sambiloto mempunyai sifat bakteriostatik dan meningkatkan daya fagositosis sel darah putih. Menurut Nuratmi et al. (1996), sambiloto digunakan sebagai anti piretika, anti inflamasi, anti diuretika, analgesik, obat rematik, menurunkan kontraksi usus, anti diabetes, menambah nafsu makan dan memperbaiki saluran pencernaan. 2.5.5 Mekanisme Kerja Zat Aktif Sambiloto Mekanisme kerja andrographolid dalam tubuh yaitu dapat menimbulkan efek anti inflamasi dengan menstimulasi Adenocorticotrophic Hormone (ACTH) pada kelenjar hipofise anterior, selanjutnya ACTH akan merangsang korteks adrenal untuk membentuk kortisol yang memiliki efek anti inflamasi (Wenlong & Nie 1973). Zat andrographolid dari tanaman sambiloto diketahui dapat meningkatkan sistem kekebalan dengan menghasilkan sel darah putih untuk menghancurkan bakteri dan benda asing lainnya, serta mengaktifkan sistem limpa (Wibudi 2006). 36 2.6 Streptozotosin Streptozotosin mempunyai rumus kimia C8 H15N3O7. Biasanya digunakan sebagai anti kanker atau anti neoplastik karena sifatnya sebagai alkilating agent, terutama untuk mengobati kanker pankreas atau islet-cell carcinoma, namun juga dapat menyebabkan rusaknya sel penghasil insulin (Johnson 2002). Streptozotosin (STZ, Zanosar) merupakan senyawa hasil sintesis Streptomycetes achromogenes dan dapat digunakan untuk menginduksi diabetes pada hewan coba, baik Diabetes Mellitus tergantung insulin (IDDM) atau tidak tergantung insulin (NIDDM). Selain itu STZ juga berfungsi sebagai antibakteri spectrum luas, antitumor maupun sebagai bahan karsinogenik (Cooperstein & Watkins 1981). STZ terdiri dari 1-methyl-1-nitrosurea. Menurut Gordon dan Dan (1991), tikus yang diberi STZ akan mengalami kerusakan pada sel β pankreas yang menyebabkan perubahan yang nyata dalam metabolisme hepatik fase I dan fase II. Menurut Szkudelski (2001), efek diabetogenik STZ didapatkan dengan meningkatkan konsentrasi radikal bebas intraseluler atau dengan menurunkan kemampuan sel β untuk mempertahankan antioksidan. Dosis yang digunakan pada tikus untuk menginduksi IDDM secara intravena diantara 40-60 mg/kg BB, dapat juga diberikan secara intraperitoneal dengan dosis yang sama atau lebih tinggi, dan kurang efektif jika diberikan di bawah dosis 40 mg/dL. Pemberian STZ sebanyak 50 mg/kg BB secara intraperitoneal pada tikus dapat meningkatkan kadar glukosa darah sampai sekitar 15 mM (270 mg/dL) setelah 2 minggu. STZ adalah donor nitrit oksida (NO) yang ditemukan sebagai penyebab kerusakan sel pankreas, dengan cara meningkatkan aktivitas guanilil siklase. STZ dapat menghambat siklus Krebs, dan akibatnya konsumsi oksigen berkurang. Hal ini menyebabkan pembatasan produksi ATP dalam mitokondria yang menyebabkan deplesi nukleotida dalam sel β. Penggunaan STZ dapat menimbulkan efek samping, diantaranya anorexia, nausea, vomit, pembengkakan pada kaki dan alopesia (Johnson 2002). 37 BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain larutan Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%, alkohol 70%, alkohol 90%, alkohol 95%, alkohol absolut, xilol, parafin, aquades, pewarna histologi hematoksilin-eosin, entelan, ketamin, sambiloto, Phosphat Buffer Saline (PBS) dan streptozotosin (STZ). Peralatan yang digunakan antara lain spoit, kandang tikus, sonde lambung, scalpel, gunting, pinset, tissue proccessor, tissue embedding console, mikrotom, gelas objek, cover glass, timbangan digital, digital blood glucose meter dan mikroskop. 3.2 Metode Penelitian 3.2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni 2008 sampai bulan September 2008, di Laboratorium Patologi Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Histologi Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. 3.2.2 Hewan Penelitian Penelitian ini menggunakan 24 ekor tikus putih jantan dengan galur Sprague Dawley (Rattus norvegicus) yang berumur 8 minggu dengan kisaran berat badan 250 g. 38 3.2.3 Pengelompokkan Hewan Penelitian Tikus dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu: - Kelompok model non-diabetes yang diberi sambiloto - Kelompok model diabetes yang diberi sambiloto Kelompok model diabetes selanjutnya dievaluasi secara individu dengan mengambil 4 ekor tikus model diabetes yang mempunyai kadar gula darah tinggi (± 450 mg/dl) dan 4 ekor yang mempunyai kadar gula darah rendah (± 150 mg/dl) 3.2.4 Pemberian Streptozotosin Tikus yang terpilih untuk dijadikan model diabetes diinduksi dengan Streptozotosin (STZ) dengan dsis tunggal sebesar 40 mg/kg BB diberikan secara intraperitoneal. Sedangkan tikus yang terpilih sebagai model non-diabetes dengan cara yang sama diberikan Phosphat Buffer Saline (PBS) dengan pH 7,4. 3.2.5 Pemberian Sambiloto Bentuk sambiloto yang akan digunakan untuk perlakuan berupa seduhan serbuk kering dengan dosis setara dengan 25 mg/kgBB. Supernatan dari air seduhan yang telah diendapkan diambil sesuai dosis dan diberikan per oral. Sambiloto diberikan setiap hari pada semua kelompok pada pagi hari sebelum diberi pakan dengan menggunakan sonde lambung selama 4 minggu. 3.2.6 Berat Badan dan Kadar Gula Darah Penimbangan berat badan dilakukan dengan menggunakan timbangan digital skala 2 angka dibelakang koma. Penimbangan berat badan dilakukan 2 kali dalam seminggu. Pengukuran kadar gula darah dilakukan dengan menggunakan digital blood glucose meter. Pengukuran kadar gula darah dilakukan sekali dalam satu minggu setalah akhir pemberian sambiloto. 39 3.2.7 Pengambilan Organ Hati, Usus Halus, dan Limpa Pengambilan organ hati, usus halus, dan limpa dilakukan secara periodik yang dimulai pada akhir minggu ke 5. Selanjutnya pengambilan dilakukan setiap minggu masing-masing kelompok sebanyak 3 ekor. 3.2.8 Pembuatan Preparat Histologis Pembuatan preparat histologis pada organ hati, usus halus, dan limpa dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: Fiksasi Sediaan organ hati, usus halus, dan limpa direndam dalam larutan Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%, kemudian dipotong dengan ketebalan ± 3 mm dan potongannya dimasukkan ke dalam kaset jaringan. Dehidrasi Organ yang berada dalam kaset jaringan dimasukkan ke dalam gelas-gelas mesin tissue processor untuk dilakukan dehidrasi. Dehidrasi ini dilakukan bertahap dengan menggunakan alkohol yang konsentrasinya berbeda, dimulai dari konsentrasi 70%, 80%, 90%, 95%, alkohol absolut I dan alkohol absolut II masing-masing 2 jam. Setelah itu dilakukan proses penjernihan (clearing) dengan memasukkan sediaan ke dalam xilol I dan II masing-masing 2 jam. Perendaman dan Pencentakkan (Embedding) Paraffin dimasukkan ke dalam cetakan sampai setengah, kemudian potongan jaringan dimasukkan, selanjutnya cetakan ditambah dengan parafin hingga penuh dan dilabel. Proses pencetakan dilakukan dengan menggunakan tissue embedding console. Sediaan lalu dibekukan dan didinginkan sebelum dilakukan pemotongan dengan menggunakan mikrotom. Pemotongan (Sectioning) Jaringan dipotong dengan menggunakan rotary mycrotome dengan ketebalan 4-5 μm dan hasil potongan selanjutnya ditempelkan pada gelas objek, kemudian dikeringkan pada suhu ruang lalu disimpan dalam inkubator sampai dilakukan pewarnaan. 40 Pewarnaan Hematoksilin-Eosin Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) meruakan pewarnaan umum untuk melihat morfologi jaringan secara umum. Pada pewarnaan ini inti yang bersifat asam diwarnai dengan Hematoksilin (asidofilik) sedangkan sitoplasma diwarnai dengan Eosin (basofilik). Penggunaan pewarnaan ini dapat memvisualisasikan secara kontras bagian inti dan sitoplasma, sehingga gambaran mikroskopis jaringan dapat diamati dengan jelas. Pewarnaan HE diawali dengan proses deparafinasi dengan menggunakan xilol I, II dan III masing-masing selama 3 menit. Kemudian dilanjutkan dengan proses rehidrasi dengan menggunakan alkohol absolut I, II dan III masing-masing 3 menit, alkohol 95%, 90%, 80% dan 70% secara berurutan masing-masing selama 3 menit. Sediaan dicuci dengan air kran selama 10 menit dan dilanjutkan dengan air aquades selama 5 menit. Sediaan diwarnai dengan pewarna Hematoksilin selama 1 menit, kemudian dicuci dengan air kran selama 10 menit dan air aquades selama 5 menit. Setelah itu sediaan diwarnai dengan pewarna Eosin selama 5 menit dan dicuci kembali dengan air kran selama 10 menit dan air aquades selama 5 menit. Setelah sediaan diwarnai, dilakukan dehidrasi dengan alkohol 70%, 80%, 90% dan 95% masing-masing selama beberapa detik, dan dilanjutkan dengan alkohol 100% I, II dan III masing-masing 2 menit. Setelah itu dilakukan proses Clearing dengan xilol I, II dan III selama 3 menit dan ditutup dengan gelas penutup. 3.2.9 Pengamatan Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya untuk melihat perubahan morfologi secara umum dan perubahan sel-sel yang khas pada organ hati, usus halus, dan limpa pada semua kelompok tikus. 3.2.10 Analisa Data Analisa data hasil penimbangan berat badan, pengukuran kadar gula darah, serta pengamatan mikroskopis pada organ hati, usus halus, dan limpa dilakukan secara deskriptif. 41 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil penimbangan berat badan dan pengukuran gula darah tikus model selama penelitian Penimbangan berat badan menunjukkan bahwa pada awal penelitian berat badan tikus kelompok model diabetes mempunyai rataan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tikus kelompok non-diabetes, namun pada 2 minggu terakhir terjadi penurunan. Pada periode tersebut rataan berat badan tikus nondiabetes tetap meningkat sehingga nilai berat badan kedua kelompok pada akhir penelitian berada pada nilai yang sama (Gambar 7). Hal demikian sangat mungkin terkait dengan kondisi klinis diabetes yang diketahui pada periode tertentu dapat menyebabkan penurunan berat badan. 350.0 Berat Badan (g) 300.0 250.0 200.0 DB 150.0 nonDB 100.0 50.0 0.0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Penimbangan ke Gambar 7. Nilai Rataan Pertumbuhan Berat Badan Tikus Model. DB : Tikus Kelompok Diabetes, Non DB : Tikus Kelompok Non-diabetes Pengukuran kadar gula darah pada tikus model diabetes secara umum menunjukkan rataan nilai kadar gula darah dengan pola menurun pada akhir penelitian. Pada pengukuran terakhir gula darah tikus model diabetes mencapai nilai di bawah 200 mg/dl (Gambar 8). Data demikian mengindikasikan bahwa sambiloto mempunyai efek hipoglikemik yang cukup kuat. Pengukuran kadar gula darah pada kelompok non-diabetes setelah pemberian sambiloto selama 4 42 minggu menunjukkan nilai rataan tetap pada kisaran 100 mg/dl, walaupun Kadar Gula Darah (mg/dl) terdapat kecenderungan menurun pada periode akhir penelitian. 500.0 450.0 400.0 350.0 300.0 250.0 200.0 150.0 100.0 50.0 0.0 DB nonDB 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 Sampling ke Gambar 8. Nilai Kadar Gula Darah Rata-Rata Tikus Model. DB : Tikus Kelompok Diabetes, Non DB : Tikus Kelompok Non-diabetes Lebih jauh dari hasil gambaran nilai rataan kadar gula darah tikus model diabetes yang menunjukkan penurunan setelah pemberian sambiloto, dievaluasi secara individu untuk melihat pola respon model diabetes dengan kadar gula darah tinggi (270 – 450 mg/dl) dan kadar gula darah rendah (± 150 mg/dl). Evaluasi individu model diabetes dengan kadar gula darah tinggi dan rendah dilakukan dengan mengamati 4 ekor tikus model diabetes yang mempunyai kadar gula darah tinggi (270 – 450 mg/dl) dan 4 ekor tikus model diabetes dengan kadar gula darah rendah (± 150 mg/dl). Hasil pengamatan individu pada 4 ekor tikus model dengan kadar gula darah tinggi menunjukkan respon yang bervariasi dari individu yang (Gambar 9A). Nilai gula darah per waktu pengorbanan menunjukkan keragaman, yaitu terdapat nilai yang langsung menurun, meningkat, maupun berfluktuasi pada pemeriksaan pada minggu selanjutnya. Tikus model diabetes yang menunjukkan nilai gula darah diatas 250 mg/dl secara umum memperlihatkan penurunan nilai gula darah setelah pemberian sambiloto, namun sampel diabetes pada minggu ke-7 (DB 7) justru menunjukkan peningkatan pada minggu ke 3 pasca akhir pemberian sambiloto. 43 Kadar Gula Darah (mg/dl) 600 500 400 DB8 DB7 300 DB6 200 DB5 100 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Minggu ke Gambar 9A. Nilai Kadar Gula Darah per Waktu Sampling Tikus Model Diabetes dengan Nilai Kadar Gula Darah Awal Tinggi. DB 5 : Sampel Tikus Diabetes pada Minggu ke-5, DB 6 : Sampel Tikus Diabetes pada Minggu ke-6, DB 7 : Sampel Tikus Diabetes pada Minggu ke-7, DB 8 : Sampel Tikus Diabetes pada Minggu ke-8 Keragaman respon terhadap pemberian sambiloto juga ditemukan pada tikus model diabetes yang menunjukkan nilai kadar gula darah di bawah 150 mg/dl (Gambar 9B). Pada tikus sampel diabetes lain didapatkan pada minggu ke5 (DBr5) menunjukkan nilai kadar gula yang meningkat tajam (350 mg/dl) pada minggu pertama pasca akhir pemberian sambiloto, sementara tikus lain mendekati nilai kadar gula darah 100 mg/dl. Kadar Gula Darah (mg/dl) 400 350 300 DBr8 250 DBr7 200 DBr6 150 DBr5 100 50 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Minggu ke Gambar 9B. Nilai Kadar Gula Darah Per Waktu Sampling Tikus Model Diabetes dengan Nilai Kadar Gula Darah Awal Rendah DBr 5 : Sampel Tikus Diabetes pada Minggu ke-5, DBr 6 : Sampel Tikus Diabetes pada Minggu ke-6, DBr 7 : Sampel Tikus Diabetes pada Minggu ke-7, DBr 8 : Sampel Tikus Diabetes pada Minggu ke-8 Kondisi demikian mendorong dilakukannya evaluasi histologis terhadap organ hati, usus halus, dan limpa berdasar nilai kadar gula darah saat pengorbanan. 44 4.2 Hasil pengamatan histologis tikus model setelah pemberian seduhan sambiloto. 4.2.1 Hati Hasil pengamatan mikroskopis hati dengan metoda paraffin dan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) secara kualitatif disajikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa hasil pengamatan mikroskopis hati pada tikus model diabetes memperlihatkan adanya perubahan morfologis. Perubahan yang ditemukan dari hasil pengamatan mengindikasikan adanya perubahan yang mengarah pada ciri degenerasi dan adanya peningkatan respon sel-sel pertahanan organ hati. Gambaran sistem lobulasi sel-sel hati yang mengelilingi vena sentralis secara umum masih dapat dikenali pada seluruh bagian jaringan hati yang terpotong. Tabel 1. Hasil pengamatan mikroskopis hati dengan pewarnaan HE Kelompok Non-diabetes Hasil Pengamatan Tidak ada perubahan Kadar gula darah yang tinggi Kongesti Terdapat vakuol-vakuol pada sitoplsma hepatosit Batas hepatosit tidak jelas Beberapa inti hepatosit pecah (karioreksis) Ditemukan beberapa nukleolus hepatosit menghilang atau memadat Kadar gula darah yang rendah Hiperemi Beberapa batas hepatosit tidak jelas Ditemukan beberapa nukleolus hepatosit menghilang atau memadat Berdasarkan hasil pengamatan histomorfologis jaringan hati, terlihat perbedaan antara tikus non-diabetes dan tikus model diabetes yaitu terjadi perubahan pada hati model diabetes yang mengarah pada degenerasi hingga nekrosa sel. Gambaran histomorfologis hati tikus model non-diabetes secara umum tidak mengalami perubahan. Dapat dilihat hepatosit model non-diabetes utuh dan seragam, serta batas sinusoidnya jelas. Pengamatan lebih seksama dari kemunculan sel Kupffer pada jaringan hati model non-diabetes didapatkan kesan sangat mudah menemukannya dalam jumlah yang cukup banyak. Sel Kupffer 45 adalah makrofag jaringan yang mampu memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus hepatikus (Guyton 1997). Dellman (1989) menyatakan bahwa sel Kupffer merupakan makrofag spesifik dalam organ hati yang berasal dari monosit. Keberadaan sel Kupffer yang relatif mudah ditemukan ini sangat mungkin menggambarkan kondisi kesiapan atau kesiagaan tubuh dalam menghadapi materi yang merugikan. Gambaran histologis hati model non- diabetes disajikan pada Gambar 10. Gambaran histologis yang ditemukan pada tikus model non-diabetes merupakan acuan dalam penilaian tingkatan perubahan yang terjadi pada tikus model diabetes yang dikaji. Deskripsi pengamatan mikroskopis pada tikus model diabetes dengan pola pengamatan pada tikus model non-diabetes disampaikan berdasar jenjang perbaikan gambaran gula darah. Gambar 10. Gambaran histologis hati model non-diabetes. Dapat dilihat bahwa hepatosit utuh dan seragam (panah biru), batas antar sel jelas (panah kuning), dan terjadi peningkatan jumlah sel Kupffer (panah hitam). Hati tikus model dibetes yang masih menunjukkan kadar gula darah tinggi saat pengambilan sampel organ pada pengamatan mikroskopik ditemukan beberapa perubahan, yaitu terlihat adanya kongesti yang ditandai dengan keberadaan darah dalam pembuluh darah dan sinusoid. Pada kejadian yang kronis kongesti dapat mengakibatkan terjadinya perluasan sinusoid (dilatasi sinusoid) dan mendesak hepatosit yang akan menyebabkan hepatosit memipih dan mengalami atropi. Beberapa sel terlihat ukurannya tidak seragam dan nukleolus 46 sel memadat atau menghilang. Perubahan tersebut merupakan indikasi terjadinya degenerasi hepatosit. Pengamatan pada hepatosit ditemukan adanya vakuol- vakuol pada sitoplasma. Keberadaan vakuol pada sitoplasma ini dapat mengindikasikan adanya degenerasi vakuol yang sangat mungkin dikelirukan dengan gambaran degenerasi lemak. Perubahan gambaran mikroskopis hati tikus model diabetes dapat dilihat pada Gambar 11. Pada Gambar 11 juga dapat ditemukan adanya deratan sel dengan batas sel yang tidak jelas sehingga sitoplasma terlihat menyatu. Pada sel yang mengalami kerusakan membran plasma tidak ditemukan adanya inti dari hepatosit. Pada sel yang lain dapat ditemukan adanya hepatosit yang membesar dengan gambaran inti mengesankan terjadinya karioreksis. Gambar 11. Gambaran histologis hati tikus model diabetes dengan gula darah yang masih tinggi. Sinusoid hati berisi darah (panah kuning), sitoplasma hepatosit bervakuol (panah hitam), batas antar sel tidak jelas (panah hijau), inti sel pecah (panah biru), dan nukleolus menghilang (panah ungu). Pengamatan pada hati tikus model diabetes yang menunjukkan kadar gula darah yang rendah saat pengambilan sampel organ memperlihatkan adanya beberapa perubahan yang mengarah ke perbaikan struktur dibandingkan dengan model diabetes yang menunjukkan kadar gula darah lebih tinggi saat pengambilan sampel. Perubahan gambaran pada jaringan hati seperti sinusoid berisi darah dan degenerasi hepatosit masih dapat ditemukan namun dalam jumlah yang sudah jauh menurun. Gambaran sel dengan batas antar sel yang menghilang tidak 47 banyak ditemukan. Sebagian besar lapang pandang dipenuhi dengan gambaran hepatosit yang mendekati pada tikus model non-diabetes. Pada daerah sinusoid yang berisi sel darah tidak ditemukan adanya perubahan yang mengindikasikan terjadinya udema maupun perubahan patologis lainnya. Mempertimbangkan hal tersebut maka gambaran hiperemi yang terlihat dapat dipahami lebih menggambarkan perubahan yang terjadi karena teknis pengeluaran darah yang kurang sempurna (Gambar 12). Gambar 12. Gambaran histologis hati kelompok gula darah rendah. Dapat dilihat sinusoid berisi eritrosit (panah kuning), batas antar hepatosit tidak jelas (panah hijau), dan nukleolus hepatosit menghilang (panah biru). Perubahan yang terjadi pada tikus model diabetes terutama yang mempunyai kadar gula darah masih tinggi saat pengambilan sampel sangat mungkin berakibat pada ketidakmampuan hati untuk memobilisasi glukosa di dalam darah dan mengakibatkan terjadinya gangguan metabolisme sel. Hati merupakan organ yang berperan dalam pengaturan kadar glukosa dalam darah (Ganiswara 1995), sehingga kerusakan hepatosit akan mengurangi kemampuan dalam pengaturan gula darah. Keadaan sebaliknya ketika terjadi ketidakteraturan kadar glukosa dalam darah maka fungsi organ hati dapat terganggu bila terjadi dalam jangka yang panjang. Menurut Ressang (1984), kongesti adalah keadaan yang menggambarkan adanya darah secara berlebihan di dalam pembuluh darah pada daerah tertentu. 48 Kongesti mengakibatkan sirkulasi darah menjadi lambat sehingga oksigenasi ke jaringan menurun. Sel hati sangat peka terhadap kekurangan oksigen atau anoksia sehingga adanya kongesti mengganggu fungsi hati sebagai tempat metabolisme protein dan lemak. Pada kongesti akut hati membengkak dan terisi darah, sedangkan pada kongesti yang berjalan kronik menimbulkan penggenangan eritrosit di vena sentralis dan sinusoid-sinusoid di sekitarnya. Apabila terjadi kongesti kronik maka sinusoid yang melebar akan mendesak deretan sel hati (hepatosit) sekitar vena sentralis sehingga hepatosit mengalami atropi (mengecil). Kongesti disebut juga pembendungan darah di dalam pembuluh darah. Secara mikroskopik terlihat pembuluh kapiler dan vena berdilatasi dan berisi darah (Smith et al. 1972). Kongesti dapat disebabkan oleh adanya degenerasi atau nekrosa otot jantung. Adanya gangguan aliran darah dari jantung menyebabkan pembuluh darah melebar dengan aliran darah yang melambat. Hal ini mengakibatkan darah membendung di jaringan sehingga berkumpul membentuk pembendungan di pembuluh darah. Apabila kongesti terjadi secara kronik, maka akan menyebabkan peningkatan jaringan fibrosa pada dinding vena. Degenerasi merupakan perubahan morfologis dan penurunan fungsi sel yang bersifat sementara yang disebabkan oleh adanya gangguan metabolisme, anoksia, iskemia dan akibat senyawa-senyawa toksik. Berbagai kondisi tersebut menyebabkan berkurangnya energi sel sehingga merusak sel secara tidak langsung (Jubb et al. 1993). Penderita diabetes tidak dapat menggunakan glukosa dalam darah sebagai sumber energi sehingga sel mencari energi dari sumber lain, yaitu dengan memecah glikogen (glikogenolisis) dan pembentukan glukosa dari bahan-bahan selain karbohidrat (glukoneogenesis) di dalam hati, oksidasi lemak dalam sel lemak, dan katabolisme protein. Sejalan dengan proses glikogenolisis dan glukoneogenesis akan dihasilkan badan-badan keton sebagai produk samping. Badan-badan keton merupakan salah satu radikal bebas. Badan-badan keton merupakan zat yang berbahaya bagi tubuh sehingga keberadaannya dalam tubuh dapat mengganggu fisiologis organ-organ tubuh tempat ditemukannya. Secara makroskopik, hati yang mengalami degenerasi ukurannya menjadi lebih kecil dibandingkan dengan hati normal (Smith et al. 1972). Secara mikroskopik perubahan yang dapat terjadi pada hepatosit diantaranya adalah 49 piknosis (inti sel menjadi padat dan mengecil akibat degenerasi), karioreksis (pecahnya inti sel yang disertai dengan hancurnya kromatin), dan kariolisis (nekrobiosis yang tampak sebagai pembengkakan inti sel disusul dengan hilangnya kromatin) (Ressang 1984). Degenerasi vakuol merupakan kerusakan yang masih bersifat sementara (reversible), sehingga apabila paparan bahan toksik dihentikan sel yang mengalami kerusakan akan kembali normal. Degenerasi vakuol ditandai dengan kehadiran vakuol-vakuol di sitoplasma dan inti di tengah dengan batas antar sel tidak jelas. Sel membutuhkan ATP-ase untuk mengaktifkan pompa sodium-potasium dalam pengaturan keluar dan masuknya ion. Infeksi akut sel akan menyebabkan air dan protein tetap berada dalam sitoplasma. Pompa lapisan membran akan memindahkan ion dan air dengan cepat keluar dari sitosol dan masuk ke dalam retikulum endoplasma. Hal ini akan menyebabkan kebengkakan sel yang disebut degenerasi vakuol. Kebengkakan retikulum endoplasma akan menghambat sintesis protein, sehingga ribosom terlepas dari Rogh Endoplasmic Reticulum (RER). Karena sel gagal memperoleh energi yang bersumber dari mekanisme aerobik, maka untuk sementara sel berusaha memperoleh energi dari sumber mekanisme anaerobik (glikolisis). Kerusakan sel hati akan menginduksi kenaikan konsentrasi lipid peroksida darah. Pada level tertentu jika jumlah sel hati yang mengalami kerusakan terlalu tinggi, maka kerusakan sel akan bersifat permanen (irreversible) dan akhirnya terjadi kematian sel (apoptosis dan nekrosa). Menurut Lu (1995), ada beberapa perubahan yang mendahului nekrosa yaitu edema sitoplasma, dilatasi retikulum endoplasma, penghancuran inti dan organel sel serta pecahnya membran plasma. 4.2.2 Usus Halus Pengamatan pada usus halus tikus dilakukan dengan melihat perbandingan jumlah sel Goblet dan sel mitotik pada kripta Lieberkuhn pada kelompok nondiabetes dan kelompok diabetes baik yang rendah maupun yang tinggi. Setiap perlakuan dilihat kripta Lieberkuhnnya, lalu dihitung jumlah sel Goblet dan sel yang sedang bermitosis dalam 10 kripta (Tabel 2). 50 Tabel 2. Hasil pengamatan mikroskopis usus halus tikus setiap kelompok perlakuan Kelompok Non-diabetes Kadar gula darah yang tinggi Jumlah Sel Goblet dalam 10 kripta 93 108 Jumlah Sel Mitosis dalam 10 kripta 15 25 Kadar gula darah yang rendah 103 26 Hasil penghitungan menunjukkan jumlah sel Goblet pada 10 kripta usus kelompok non-diabetes adalah 93 buah, pada kelompok gula yang tinggi sebanyak 108 buah, dan pada kelompok gula yang rendah sebanyak 103 buah. Penghitungan tersebut memperlihatkan adanya penambahan jumlah sel Goblet pada kelompok diabetes namun tidak terlalu nyata. Hal ini menunjukkan bahwa sambiloto tidak dianggap sebagai zat yang berbahaya bagi tubuh sehingga tidak terlalu mempengaruhi keadaan fisiologis usus. Gambaran histologis usus halus disajikan dalam Gambar 13. Sel Goblet merupakan sel yang berfungsi mensekresikan sejumlah besar cairan intestin, yang terdiri dari air, elektrolit, mucin, IgA sekretori dan enzim-enzim. Rangsangan mekanik dan kimiawi merupakan hal yang penting dalam peningkatan sekresi intestin (Banks & William 1993). Siklus hidup sel Goblet tidak tentu, tergantung faktor yang mengatur sekresinya. Pelepasan mucin merupakan respon terhadap iritasi, dan endotoksin dari bakteri adalah hal yang paling merangsang sekresi ini. Pada iritasi ringan yang persisten, jumlah sel Goblet akan meningkat (Jubb et al. 1993). 51 Gambar 13. Gambaran histologis usus halus. Terlihat gambaran sel Goblet (panah biru), sel yang sedang bermitosis (panah hijau), dan kripta Lieberkuhn (panah kuning). Penghitungan sel mitosis pada 10 kripta dalam setiap perlakuan menunjukkan sel mitosis pada kelompok non-diabetes berjumlah 15, pada kelompok gula yang tinggi 25 dan pada kelompok gula yang rendah sebanyak 26 sel. Terlihat adanya peningkatan jumlah sel mitosis yang cukup nyata pada kelompok non-diabetes jika dibandingkan dengan kelompok diabetes. Hal ini dapat dikarenakan diabetes yang diderita tikus merusak epitel usus halus sehingga dibutuhkan pergantian sel epitel yang semakin cepat. Rastogi (1977) menyatakan bahwa sel epitel yang telah tua diganti oleh sel yang dihasilkan kripta Lieberkuhn. Fungsi utama kripta Lieberkuhn adalah untuk menjaga kesinambungan hidup sel epitel sehingga mitosis sering terlihat dalam kripta tersebut. Kripta Lieberkuhn juga mengandung limfosit intraepithelial, dan yang paling dominan adalah sel Tsupresor/cytotoxic (CD8-positif) (Krieken & Attilio 2007). Menurut Jubb et al. (1993), peningkatan jumlah relatif dan absolut epitel kripta dengan peningkatan indeks mitosis mengindikasikan perpanjangan siklus mitosis atau penundaan maturasi. Hal ini mungkin dikarenakan sel sedang terserang penyakit aktif. 4.2.3 Limpa Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) pada jaringan limpa dapat memfisualisasikan secara kontras pulpa putih yang mengambil warana 52 hematoksilin sehingga berwarna keunguan (asidofilik) dan pulpa merah yang mengambil warna eosin sehingga berwarna merah muda (basofilik). Pengamatan histologis limpa secara umum memperlihatkan peningkatan folikel limfoid yang mengindikasikan respon sistem kekebalan tubuh terhadap zat yang berbahaya bagi tubuh. Hasil pengamatan terhadap limpa disajikan dalam Tabel 3: Tabel 3. Hasil pengamatan histologis limpa dengan pewarnaan HE Kelompok Hasil Pengamatan Non-diabetes Terbentuk pusat germinal Kadar gula darah yang tinggi Terbentuk pusat germinal Hemorrhagi pada pulpa merah Degenerasi sel Nekrosa sel hingga lisis Terbentuk pusat germinal Jumlah pulpa putih menurun Hemoragi pada pulpa merah Degenerasi sel Kadar gula darah yang rendah Pengamatan pada limpa memperlihatkan limpa pada tikus kelompok nondiabetes mengalami hiperplasia pulpa putih dengan munculnya pusat germinal pada daerah tepi limpa. Gambaran histomorfologi limpa kelompok non-diabetes disajikan pada Gambar 14. Perubahan yang terjadi disebabkan karena andrographolida yang terkandung dalam sambiloto bersifat meningkatkan sistem kekebalan dengan menghasilkan sel-sel darah putih untuk menghancurkan bakteri dan benda asing, serta mengaktifkan sistem limpa (Wibudi 2006). Gambar 14. Gambaran mikroskopis limpa tikus model non-diabetes. Pulpa putih (panah ungu). 53 Tizard (1988) menyatakan bahwa bila terjadi rangsangan antigen, folikel primer akan membentuk folikel sekunder yang disebut juga pusat germinal. Pusat germinal ini diselubungi lapisan sel T yang dikenal sebagai zona mantel. Menurut Dellman dan Eurell (1998), salah satu reaksi terhadap adanya antigen adalah proliferasi limfoblas pada tepi luar selubung limfatik periarterial, lalu terbentuklah pusat germinal pada nodul limfatik. Jubb et al. (1993) menerangkan bahwa pusat germinal dari limpa memegang peranan penting dalam respon humoral, yaitu dengan memproduksi antibodi dan menentukan kelanjutan sel B memori ke organ limfoid sekunder. Limpa pada tikus kelompok gula darah yang tinggi memperlihatkan adanya hemoragi parah pada daerah pulpa merah sehingga terjadi peningkatan jumlah hemosiderin di dekat daerah perdarahan. Beberapa sel limpa mengalami degenerasi, nekrosa, bahkan hingga lisis. Selain itu terlihat pula peningkatan jumlah sel megakaryosit pada jaringan limpa serta terbentuk pusat germinal namun tak sebanyak pada kelompok non-diabetes dan kelompok diabetes dengan kadar gula darah rendah (Gambar 15). 54 Gambar 15. Gambaran mikroskopis limpa tikus model diabetes dengan kadar gula darah tinggi. Ditemukan adanya sel lisis (panah hijau), sel yang mengalami nekrosa (panah kuning), hemorrhagi (panah biru),hemosiderin (panah hitam), makrofag (panah ungu), dan degenerasi sel (panah merah). Limpa pada tikus kelompok gula yang rendah terlihat mengalami hemoragi dan jumlah pulpa putihnya menurun. Muncul pusat germinal namun tak sebanyak pada kelompok non-diabetes (Gambar 16). Menurunnya jumlah pulpa putih menandakan bahwa limpa mengalami degenerasi, seperti disebutkan Jubb et al. (1993), bahwa degenerasi pada limpa secara mikroskopik ditandai dengan penurunan jumlah dan ukuran pulpa putih. Hemoragi merupakan keluarnya darah dari pembuluh darah, baik keluar tubuh maupun di jaringan atau rongga tubuh (Smith et al. 1972). Hemoragi juga ditandai dengan meningkatnya jumlah hemosiderin. Hemosiderin adalah pigmen yang berasal dari zat besi. Pigmen ini biasanya terdapat di makrofag retikuler, tetapi pada keadaan hemosiderosis yang panjang dapat hadir pada jaringan penghubung. Jumlah hemosiderin menjadi signifikan saat jumlahnya berlebihan atau terjadi penundaan daur ulang (Jubb et al. 1993). 55 Gambar 16. Gambaran histologis limpa tikus model diabetes dengan kadar gula darah rendah. Dapat dilihat hemosiderin (panah hijau) dan terjadi hemorrhagi pada pulpa merah. Limpa melaksanakan eritropoiesis pada fetus (Tizard 1988). Eritropoiesis pada hewan biasanya diikuti dengan pembentukan megakaryosit (Jubb et al. 1993). Megakaryosit merupakan prekursor eritroid dan prekursor semua granulosit besar (Ward et al. 1999). Megakaryosit berfungsi sebagai prekursor pembentukan platelet yang nantinya akan membentuk eritrosit sebagai respon adanya hemorrhagi. Platelet atau keping-keping darah perifer akan meningkat apabila terjadi perdarahan atau infeksi akut. Fungsi limpa diantaranya adalah menyaring darah (Tizard 2004) dan membentuk sel-sel darah putih yaitu limfosit (Ressang 1984). Perubahan yang terjadi pada limpa kelompok diabetes baik yang rendah maupun tinggi disebabkan karena penyakit diabetes yang diderita tikus kelompok ini menyebabkan kadar gula dalam darah tinggi sehingga kerja limpa menjadi berat. 56 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Merujuk pada hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Pemberian sambiloto dapat menurunkan rata-rata kadar gula darah pada tikus model diabetes. 2. Terdapat keragaman respon individu pada tikus model diabetes terhadap pemberian sambiloto dalam menurunkan kadar gula darah. 3. Perbaikan gambaran mikromorfologi organ yang mengalami kerusakan selaras dengan efek hipoglikemia sambiloto. 4. Jaringan hati, usus halus dan limpa tikus non-diabetes tidak dirusak oleh pemberian sambiloto. 5.2 Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai : 1. Peran sambiloto dalam penyimpanan karbohidrat / gula dalam usus halus. 2. Peran sambiloto dalam proses penyimpanan karbohidrat / gula dalam hati. 3. Peran sambiloto dalam sistem pertahanan. 57 BAB VI DAFTAR PUSTAKA Akoso BT. 1993. Manual Kesehatan Unggas. Yogyakarta: Kanisius. Andra. 2007. Usus Memendek Malnutrisi Didapat. Farmacia. 6 (8). http://www.majalah_farmacia.com [10 Juli 2009]. Anonim. 2004. Vitamin E and diabetes: discover the antioxidant that helps ward off diabetes. http://www.thehealthierlife.co.uk/article/3008/vitamin-e-diabetes.html [8 Juli 2009] Banks, William J. 1993. Applied Veterinary Histology. 3th Ed. USA: William & Wilkins. Bloom W, Fawcett DW. 1968. A Textbook of Histology. 9th Ed. Philadelphia: Saunders. Boyd W. 1962. A Textbook of Pathology Structure and Function in Disease. 7th Ed. Philadelphia: Lea & Febiger. Carlthon WW, McGacin MD. 1995. Special Veterinary Pathology. 2nd Ed. St. Louis, Missouri: Mosby-Year Book. Inc. Cooperstein SJ, D Watkins. 1981. The Islets of Langerhans. New York: Academic Press, Inc. Cunningham JG. 1994. Textbook Of Veterinary Physiology. 2nd Ed. Philelphia. London. Toronto. Sydney. Tokyo: WB Saunders Company. Dalimartha S. 1997. Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan Diabetes Mellitus. Jakarta: Penebar Swadaya. Dallimutthe D. 2004. Diabetes Mellitus: Peranan Insulin, Reseptor Insulin dan Penanganannya. Medan: Universitas Sumatera Utara. Damjanov I. 2000. Buku Teks dan Atlas Berwarna Histologi. Pendit UB, penerjemah. Himawan M, editor. Jakarta: Widya Medika. Dellman HD, Brown EM. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner II. Ed ke-3. Hartono, penerjemah. Jakarta: UI Press. Dellman HD, Eurell JA. 1998. Textbook of Veterinary Histology. 5th Ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins 58 Deng WL. 1978. Preliminary Studies on the Pharmacology of the Andrographis Product Dihydroandrographolide Sodium Succinate. News Letters of Chinese Herb Med 8: pp 26-28. http://www.altcancer.com/and can.htm [8 Juli 2009] Frandson RD. 1992. Anatomi and Fisiologi Ternak. Ed ke-4. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Frappier B. 1998. Digestive System. Textbook of Veterinary Histology. 5th Ed. Dellman HD, Eurell JA, editor. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. Ganiswara SG. 1995. Farmakologi dan Terapi. Ed ke-4. Rianto, penerjemah. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. Ganong WF. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-20. Jakarta: EGC. Girindra A. 1988. Biokimia Patologi Hewan. Bogor: Pusat Antar Universitas IPB. Gordon GG, Dan S. 1991. Pengantar Metabolisme Obat. Iis Aisyah B, penerjemah. Jakarta: UI Press. Guyton AC. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Irawati Setiawan, penerjemah. Jakarta: EGC. Handaruwati Rr. 2000. Produksi Fraksi Minyak Tuna Kaya Asam Lemak Omega3 Melalui Reaksi Alkoholisis Enzimatis Menggunakan Lipase Rhizomucor miehei. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Harada T, Enomoto A, Boorman G, Maronpot RR. Liver and Gallbladder. In: Maronpot RR. 1999. Pathology of The Mouse. Reference and Atlas. 1 st Ed. Viena: Cache River Press. Hartono. 1989. Histologi Veteriner. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Hartono. 1992. Histologi Veteriner Organologi. Jilid II. Laboratorium Histologi. Jurusan Anatomi. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Herdt T. 2002. Gastrointestinal Physiology and Metabolism. In: Cunningham. Textbook Veterinary Physiology. 3th Ed. Philadelphia: WB Saunders Company. 59 Himawan S. 1998. Patologi. Ed ke-12. Bagian Patologi Anatomik. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. Johnson PA. 2002. Streptozotocin. http://www.answer.com/Streptozotocin [8 Juli 2009] Jones TC, Ronald DH, Norval WK. 2006. Veterinary Pathology. 6th Ed. USA: Blackwell Publishing Profesional. Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer N. 1993. Pathology of Domestic Animal. 4th Ed. 2nd Vol. London: Academic Press. Krieken J Han JM van, Attilio O. 2007. Hematopoietic System. In: Histology for Pathologists. 3 rd Ed. Stacey E Mills, editor. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Laurence DR, PN Bennet. 1992. Clinical Pharmacology. 7th Ed. Edinburgh, London, Madrid, Melbourne, New York, Tokyo: Churchil Livingstone. Leeson CR, TS Leeson. 1989. Human Structure. Philadelphia: B.C. Decker Inc. Leeson CR, TS Leeson, AA Paparo. 1993. Atlas Histologi. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar. Ed ke-2. Edi Nugroho, penerjemah. Jakarta: UI Press. Mahendra B. 2005. 13 Jenis Tanaman Obat Ampuh. Jakarta: Penebar Swadaya. Mills S, Bone K. 2000. Principle and Practice of Phylotherapt. Dhurchill Livingstone. pp: 202-267. Misnadiarly. 2006. Diabetes Mellitus: Gangren, Ulcer, Infeksi, Mengenal Gejala, Menanggulangi dan Mencegah Komplikasi. Jakarta: Pustaka Populer Obor. Mistra. 2004. 3 Jurus Melawan Diabetes Mellitus. Jakarta: Puspa Swara. Moran ET. 1985. Digestive Phisiology of Duck. Di dalam: Duck Production and World Practice. Farrel DJ, P Stapleton, editor. Armidale: University of England Muhlisah F. 1998. Tanaman Obat Keluarga (TOGA). Cetakan ke-4. Jakarta: Penebar Swadaya. Mutschler E. 1991. Dinamika Obat. Ed ke-5. Mathilda B. Widianto dan Anna Setiadi Ranti, penerjemah. Bandung: ITB. 60 Nabib R. 1987. Patologi Khusus Veteriner. Ed ke-2. Bogor: Proyek Peningkatan / Pengembangan Perguruan Tinggi IPB. North MO. 1984. Commercial Chicken Production Manual. Connecticut: Avi Publishing Company, Inc. Nuratmi B, Adjirni, Paramita DI. 1996. Beberapa Penelitian Farmakologis Sambiloto. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 3(1): 23-24. PERKENI. 2002. Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe II. Rastogi SC. 1977. Essentials of Animal Phisiology. New Delhi: Willey Eastern Limited. Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Ed ke-2. Denpasar: Bali Cattle Disease Investigation Unit. Rohimah. 1997. Identifikasi Flavonoid yang Memiliki Antifungal dari Damar (hopea mangarawan) dan Shorea leptosula [ Skripsi ]. Bogor: FMIPAIPB. Sastrapadja S. 1978. Tumbuhan Obat. Jakarta: Lembaga Tinggi Nasional. Shier D, J Butler, R Lewis. 2002. Hole’s Human Anatomy & Physiology. 9th Ed. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. Sisson S, Grossman JD. 1953. Anatomy of The Domestic Animal. Philadelphia: WB Saunders Company. Siswandono, Bambang S. 1995. Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga University Press. Smith, H. T and T. C. Jones. 1972. Veterinary Pathology. Philadelphia: Lea and Febiger. Soedibyo M. 1998. Alam Sumber Kesehatan Manfaat dan Kegunaan. Jakarta: Balai Pustaka. Soehadi K. 1989. Pengaruh Regulasi Diabetes Mellitus Terhadap Profil Spermiogram, Hormon Reproduksi dan Potensi Seks Pria. [Disertasi]. Surabaya: Universitas Airlangga. Spector WG, Spector TD. 1993. Pengantar Patologi Umum. Ed ke-3. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Sturkie PD. 1976. Avian Physiology. 3th Ed. New York: Springer-Verlang. 61 Suharmiati. 2003. Pengujian Bioaktivitas Anti Diabetes Mellitus Tumbuhan Obat. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Pusat Penelitian dan Pengembangan Pelayanan dan Teknologi Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Surabaya: Cermin Dunia Kedokteran No 140. Sustrani L et al. 2006. Diabetes. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Swenson MS. 1953. Duke’s Phisiology of Domestic Animals. 8th Ed. Ithaca: Corneli University Press. Syamsuhidayat SS, Hutapea JR. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (1). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Syukur C, Hernani. 2002. Budi Daya Tanaman Obat Komersial. Jakarta: Penebar Swadaya. Szkudelski T. 2001. The Mechanism of Alloxan and Streptozotocin Action In Beta Cell of The Rat Pancreas. Physiol 50: 536-546.. Telford IR, Bridgman CF. 1995. Introduction to Functional Histology. 2 nd Ed. New York: Harper Collins College. Thomas C. 1979. Colour Atlas and Textbook of Histopathology. 7 th Ed. Chicago: Richter G. W YearBook Medical Publishes, Inc. Tizard IR. 1988. Veterinary Immunology an Introduction. 3th Ed. Masduki P, Penerjemah. Surabaya: Airlangga University Press. Tizard IR. 2004. Veterinary Immunology an Introduction. 7th Ed. USA: WB Saunders Company. Volk WA, MF Wheleer. 1993. Basic Microbiology. Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Ward JM, Mann PC, Morishima H, Frith CH. 1999. Thymus, Spleen and Lymph Nodes. Di dalam : Maronpot RR, GA Boorman, BW Gaul, editor. Pathology of Mouse Reference and Atlas. Viena: Cache River Press. Wenlong DR, Nie JL. 1973. A Comparative of Four Lactones From A. paniculata. Pharmacology News. Vol 17 (4): 4-6. http://www.richnature.com/products/herbal/artic;es/alseason.html. [8 Juli 2009] Wibudi A. 2006. Mekanisme Kerja Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) Sebagai Anti Diabetes. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. 62 Wijayakusumah HMS, Dalimartha, Wirian AS. 1994. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia. Jilid 2. Jakarta: Pustaka Kartini. Wilson, Lester. 1992. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Buku I. Edisi ke-4. Sylvia AP & Lorraine MW, editor. Peter A, penerjemah. Jakarta: EGC. Xu, Cranwell PD. 2003. Gastrointestinal and Nutrition The Neonatal Pig. United Kingdom: Nottingham University Press.