1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hewan merupakan inang dari berbagai spesies jamur patogen yang juga infektif terhadap manusia. Sumber penularan jamur kepada manusia salah satunya diperantarai oleh hewan peliharaan. Penularan jamur dari satu inang ke inang lainnya dapat melalui kontak langsung maupun lewat perantara. Beberapa spesies jamur juga mudah beradaptasi dengan lingkungannya, dan berkembang sangat baik pada iklim tropis karena perubahan suhu udaranya tidak terlalu ekstrim (Tsui et al., 2001). Indonesia merupakan negara yang secara geografis terletak di garis khatulistiwa yang memiliki kelembaban udara tinggi. Bogor adalah salah satu kota di Indonesia yang memiliki curah hujan tinggi. Kota Bogor pada bulan Oktober 2012 berada pada kisaran suhu 21°C sampai 32°C dengan kelembaban udara 52% sampai 93%. Cuaca rata-rata pada bulan tersebut adalah hujan ringan yang turun hampir setiap hari (BMKG, 2012). Kondisi demikian sangat sesuai dengan lingkungan hidup jamur. Selain jamur mudah tumbuh di tempat yang lembab, penyakit kulit karena jamur (mikosis kutis) mudah menyebar dari satu hewan ke hewan lain melalui kontak fisik. Mikosis kutis dianggap menggangu oleh kebanyakan pemilik hewan karena merusak estetika dan mempengaruhi perilaku hewan, selain sifatnya yang zoonotik (Jamestown, 2010). Saat ini banyak metode pemeriksaan mikosis kutis secara klinis, salah satunya dengan menggunakan Wood’s lamp. Diagnostik menggunakan Wood’s lamp adalah salah satu screening test yang cepat untuk memeriksa infeksi mikosis kutis. Meskipun pemeriksaan dengan Wood’s lamp relatif mudah dan murah untuk dilakukan, tidak semua hewan yang datang berobat dikeluhkan oleh pemiliknya mengalami infeksi mikosis kutis sehingga kebanyakan tidak diperiksa apakah terjadi infeksi atau tidak. Infeksi mikosis kutis lebih banyak dilaporkan pemilik setelah gejala klinis muncul dan dirasakan mengganggu. Terapi antifungal pada akhirnya diberikan ketika hewan telah terinfeksi pada stadium klinis sehingga manajemen pengobatan hewan yang terinfeksi mikosis kutis membutuhkan waktu yang lebih panjang dan biaya perawatan yang lebih besar. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data frekuensi kasus mikosis kutis pada kucing dalam kurun waktu satu tahun dengan mengambil contoh data sekunder pasien di suatu klinik hewan, mendapatkan data positif dan negatif mikosis kutis dengan pemeriksaan langsung menggunakan metode Wood’s lamp screening test, mengetahui jenis mikosis kutis yang muncul ketika pemeriksaan menggunakan Wood’s lamp, dan menguraikan karakteristik kasus yang ditemukan beserta pengobatannya. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui manfaat dan kelebihan pemeriksaan mikosis kutis dengan menggunakan Wood’s lamp, memaparkan 2 faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran mikosis kutis sehingga dapat memutus rantai infeksi dengan manajemen perawatan hewan kesayangan yang tepat, dan memberikan informasi mengenai cara pengobatan hewan yang terinfeksi mikosis kutis. TINJAUAN PUSTAKA Mikosis pada Kucing dan Anjing Mikosis adalah penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan jamur (fungi) baik di dalam maupun permukaan tubuh. Diantara penyakit tersebut yang paling umum ditemukan adalah ringworm, sporotrichosis, dan aspergillosis (Boden 2005). Mikosis dapat digolongkan dalam beberapa kelompok: mikosis superfisial (superficial phaeohyphomycosis, tinea versicolor, black piedra, white piedra), mikosis kutis (dermatofitosis, dermatomikosis), mikosis subkutis (chromoblastomycosis, rhinosporidiasis, mycetoma, sporotrichosis, subcutaneous phaeohyphomycosis, lobomycosis), mikosis sistemik (deep) seperti blastomycosis, histoplasmosis, coccidiomycosis, paracoccidiomycosis; mikosis oportunis (candidiasis, cryptococcosis, aspergillosis), mikosis lain (otomycosis, occulomycosis), alergi terhadap fungi, mycetism dan mikotoksikosis (Rao, 2006). Bagan klasifikasi mikosis dapat dilihat pada Gambar 1. Interaksi kompleks antara faktor virulensi jamur dengan faktor pertahanan inangnya akan menentukan apakah infeksi jamur akan menimbulkan gejala klinis atau tidak. Infeksi bergantung pada ukuran inokulum dan sistem imunitas secara keseluruhan dari inang. Beberapa faktor virulensi (patogenitas) yang dimiliki oleh jamur adalah mampu menempel dengan sel inang melalui glikoprotein pada dinding sel, memproduksi kapsula yang mampu menahan fagositosis, memproduksi sitokin yang disebut Granulocyte Macrophage-Colony Stimulating Factor (GM-CSF), contohnya pada spesies Candida albicans yang menekan produksi komplemen, kemampuan menarik zat besi dari eritrosit (C. albicans), kemampuan mencederai inang dengan sekresi enzim keratinase, elastase dan kolagenase, pertahanan terhadap sel fagosit seperti pada jamur dimorfik, sekresi mikotoksin, memiliki kapasitas enzimatik yang unik, ketahanan terhadap perubahan suhu, kemampuan menahan pertahanan sistem sel mediator imun milik inang, dan permukaan yang hidrofobik (Kurtdede et al., 2007). Faktor pertahanan yang dimiliki oleh inang (Charmette et al., 2008) antara lain adalah pelindung fisik yaitu kulit dan membran mukus, asam lemak yang terkandung dalam kulit, pH dari kulit, permukaan mukus dan cairan tubuh, pergantian sel-sel epitel, flora normal, pelindung kimiawi diantaranya sekreta dan serum faktor, sebagian besar jamur adalah mesofil dan tidak dapat tumbuh pada 37°C, sel efektor natural (polimorf nuklear leukosit), dan sel-sel fagosit (monosit dan makrofag). Faktor predisposisi dari infeksi jamur diantaranya adalah terapi antibiotik yang panjang, penyakit yang mendahului (HIV, kanker, diabetes), usia, prosedur operasi, obat-obatan imunosupresif, terapi radiasi, kateterisasi yang tidak lege arts, obesitas, ketergantungan obat, transplantasi, aktivitas harian (DeBoer dan Moriello, 2006).