Enny SOEPRAPTO 18 Januari 2006 PERKEMBANGAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL (THE DEVELOPMENT OF INTERNATIONAL HUMAN RIGHTS LAW)* # Pokok Pengajar Hukum Hak Asasi Manusia di Fakultas Hukum Negeri dan Swasta di Indonesia Tahap II diselenggarakan atas kerja sama Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universites Islam Indonesia (Pus-HAM UII) Yogyakarta dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR). Oslo, Norwegia, Hotel Jogja Plaza, Yogyakarta, 23-27 Januari 2006. 0519-jf-a-r DAFTAR ISI i. Pendahuluan ..........................................................................................1 II. Perkembangan selama 1919-1945 ................................................2. III. Perkembangan selama 1945-1989 ................................................3 A. Piagam PBB 1945 ............................................................................. 3 B. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 .................................... : ........................................ 4 C. Instrumen "turunan" DUHAM 1948 ................................................... 5 (1) Instrumen hukum internasional mengenai hak asasi dan kebebasan fundamental .. •.................................... 6 (2) Instrumen hukum internasional menge nai hak asasi dan kebebasan fundamental yang bersifat tematis ................................................ 7 (A) Instrumen yang dibuat antara 10 Desember 1948 dan 16 Desember 1966 ........................................................................... 7 (B) Instrumen yang dibuat sesudah 16 Desember 1966 ....................................................8 D. "Hukum lunak" ("Soft-laws") ............................................................. 9 IV. Perkembangan sejak 1989 ..................................................................11 Konferensi Sedunia tentang HAM, 1993 .............................................12 V. Kejahatan menurut hukum internasional .............................................13 A. Piagam Tribunal Militer Internasional, 1945…………………………..14 B. Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida, 1948 .....................................14 C. Pasal 15 ayat 1 KIHSP 1966 ...........................................................15 D. Statuta Tribunal Kriminal Internasional untuk Bekas Yugoslavia, 1993 ........................................................15 E. Statuta Tribunal Internasional untuk Rwanda, 1994 .................................................................................17 F. Statuta [Roma] Mahkamah Pidana Inter nasional, 1998 17 G. Karakteristik umum kejahatan yang termasuk yurisdiksi pengadilan internasional sejak TMI 1945 sampai dengan ICC 1998 ...............................................19 VI. Catatan penutup ....................................................................... .................20 Catatan akhir ....................................................................................................22 Enny SOEPRAPTO 18 Januari 2006 PERKEMBANGAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL (THE DEVELOPMENT OF INTERNATIONAL HUMAN RIGHTS LAW) * I. PENDAHULUAN 1. Meskipun tidak menggunakan istilah "fundamental human rights" (hak manusia yang asasi) atau "human rights and fundamental freedoms" (hak manus1ia"dan kebebasan asasi) sebagaimana yang kita kenal sejak 1945,1 melainkan istilah "rights" (hak), atau "liberties" (kebebasan), atau "droits de 1'homme et du citoyen" (hak manusia dan warga negara), konsep hak asasi dan kebebasan fundamental, yang di Indonesia dikenal sebagai "hak asasi manusia" dengan akronimnya "HAM", sebagai konsep hak dan kebebasan yang melekat pada diri manusia yang harus dihormati dan dilindungi, lahir di tingkat nasional, khususnya di Inggris, Amerika Serikat, dan Prancis, pada abad ke-17 dan ke-18 dengan dikeluarkannya instrumen HAM nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan nasional atau instrumen deklaratif yang memuat ketentuan atau yang meagenai HAM, yakni: (a) Bill of Rights (judul lengkapnya berbunyi "An Act Declaring the Rights and Liberties of the Subjects and Settling the Succession of the Crown'") di Inggris pada 1688; (b) Virginia Declaration of Rights (yang disusun George Mason sebulan sebelum dikeluarkannya Declaration of Indepen= dence) di Amerika Serikat pada 1776; (c) Declaration of Independence (yang disusun Thomas Jefferson) di Amerika Serikat pada 1776; (d) Declaration des Droits de l'Homme et du Citoyen di Prancis pada 1789; dan (e) Bill of Rights di Amerika Serikat pada 1791.2 2. Pada abad ke-19 konsep penghormatan dan perlindungan HAM mulai berkembang di tingkat internasional, artinya dianut oleh komunitas bangsa-bangsa dalam hubungan antara mereka, sebagaimana dapat dilihat dari perkembangan berikut: (a) Pengutukan praktik perbudakan dalam Traktat3Perdamaian Paris, yang ci5uat ole" Inggris daa Prancis pada 1814; 3 # Pokok-pokok paparan pada Pelatihan Hukum Hak Asasi Manusia untuk Dosen Pengajar Hukum Hak Asasi Manusia di Fakultas Hukum Negeri dan Swasta di Indonesia Tahap II diselenggarakan atas kerja sama Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pus-HAM UII) Yogyakarta dengan Norwegian Centre for Human Rij~hts (NCHR) Oslo, Norwegia, Hotel Jogja Plaza, Yogyakarta, 23-27 Januari 2006. 0519-if-a-r (b) Pembentukan (.omite International de la Croix Rouge - CICR) (International Committee of the Red Cross - ICRC) (Komite Internasional Palang Merah - KIPM) pada 1863, yang memprakarsai penyusunan Convention for the Amelioration of the Wounded in Armies in the Field (Konvensi bggi Perbaikan Orang yang Luka dalam Tentara di Darat), 1864. 4 II. PERKEMBANGAN SELAMA 1919-1945 3. 1919 dapat dianggap sebagai tahun dimulainya penerimaan komunitas internasional bahwa penghormatan dan perlindungan hak asasi dan kebebasan fundamental manusia merupakan kewajiban komunitas internasional menurut hukum internasional, terutama dengan dibentuknya Liga Bangsa-Bangsa (LBB) (League of Nations) 4. Beberapa hal yang dapat dianggap sebagai perkembangan pengakuan komunitas internasional bahwa hak asasi dan kebebasan fundamental merupakan masalah internasional dan bahwa perlindungan hak asasi dan kebebasan fundamental merupakan masalah hukum internasional dapat dicatat, antara lain, sebagai berikut: (a) Pasal 22 Kovenan LBB yang mewajibkan negara-negara pemegang mandat wilayah yang ditempatkan di bawah mandat LBB (yakni wilayah "bekas jajahan yang belum mampu berdiri sendiri dalam kondisi berat dunia modern") untuk menjamin kebebasan keyakinan dan agama dan, dalam hubungan ini, dibentuknya Komisi Mandat Permanen guna mempelajari laporan yang harus dibuat oleh negara-negara pemegang mandat; (b) Pasal 23 Kovenan LBB yang menetapkan keharusan diperlakukannya rakyat wilayah-wilayah mandat secara adil; (c) Persetujuan Perdamaian 1919 dengan negara-negara Eropa Timur dan nagara-negara Balkan yang memuat ketentuan tentang perlindungan minoritas dan yang dalam kerangka pelaksanannya ketentuan-ketentuan tersebut diawasi oleh LBB dan di mana pihakpihak golongan minoritas yang merasa dilanggar haknya dapat mengajukan petisi kepada LBB; (d) Bagian XIII Traktat Versailles yang menetapkan dibentuknya Organisasi Perburuhan Internasional (OPI) (International Labour Organization) (ILO), yang bertujuan, antara lain, untuk memajukan standar yang lebih baik bagi kondisii kerja serta dukungan pada hak berserikat; (e) Diangkatnya Komisaris Tinggi untuk Pengungsi (Friedtjof Nansen) dan dibentuknya Kantor Internasional Nansen untuk Pengungsi (Nansen International Office for Refugees), yang bertugas melindungi hak asasi dan kebebasan fundamental pengungsi. 5. Kekejaman rezim Nazi Jerman sebelum, dan lebih-lebih, sejak dilancarkannya Perang Dunia II pada 1939, menanamkan keyakinan pada bangsa-bangsa yang menentang rezim ini mengenai pentingnya penghormatan hak asasi dan kebebasan fundamental bagi umat manusia secara keseluruhan. Ketetapan demikian sudah diambil jauh sebelum usainya Perang Dunia II, yakni ketika pada 1 Januari 1942, di Washington, D.C., Amerika Serikat, 26 bangsa yang melawan Kekuatan Poros (Axis Powers) menandatangani Deklarasi Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB), yang menyatakan dalam preambulnya, antara lain, tentang "esensialnya mempertahankan hidup, kebebasan, kemerdekaan dan kebebasan agama, dan melindungi hak [asasi] manusia serta keadilan dalam wilayah mereka sendiri dan juga di negeri lain". III. PERKEMBANGAN SELAMA 1945-1989 6. Kurun waktu 1945-1989 ini ditetapkan berdasarkan pertimbangan bahwa 1945 adalah tahun berakhirnya Perang Dunia II, terbentuknya PBB, mulainya era baru hubungan antarbangsa yang ditandai, terutama, oleh niat bersama untuk mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional, menyelesaikan persengketaan antarnegara secara damai, dekolonisasi sebagai perwujudan pengakuan hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, upaya komunitas internasional untuk memajukan penghormatan dan perlindungan hak asasi dan kebebasan fundamental dengan lahirnya DUHAM 1948 serta dua instrumen utama mengenai hak asasi dan kebebasan fundamental, yakni Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB) (1966) dan:-Kovenan-Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) (1966) yang tersebut dua terakhir merupakan instrumen internasional yang mengikat secara hukum -, lahirnya instrumen-instrumen internasional "turunan" DUHAM 1948 dan/atau KIHESB 1966 dan/atau KHISP 1966, baik yang mengikat secara hukum maupun yang bersifat anjuran ("soft laws"), namun yang, pada kurun waktu yang sama, juga ditandai o eh ketegangan-ketegangan hubungan antarbangsa karena "perang dingin" yang, pada gilirannya, berpengaruh pada upaya komunitas internasional untuk memajukan penghormatan dan perlindungan hak asasi dan kebebasan fundamental secara universal. 1989 adalah tahun berakhirnya "perang dingin" yang disusul oleh bubarnya pakta pertahanan salah satu kelompok negara yang semula terlibat dalam "perang dingin", disintegrasi Uni Soviet, demokratisasi negara-negara di Eropa Timur, beralihnva penganutan banyak negara dari ekonomi terencana ke ekonomi liberal, dan mengemukanya perhatian dan kepentingan komunitas internasional pada upaya pemajuan dan perlindungan hak asasi dan kebebasan fundamental di semua negara di dunia. A. PIAGAM PBB 1945 7. Piagam PBB,.yang diterima oleh lima puluh bangsa dalam pertemuan mereka di San Francisco, Amerika Serikat, pada 25 April-25 Juni 1945 mengukuhkan Deklarasi PBB 1942 (lihat supra, para 5) dalam paragraf preambuler kedua, Pasal 1 ayat 3, Pasal 55 huruf c, dan Pasal 56, yang masing-masing berbunyi sebagai berikut: (a) Paragraf preambuler kedua: "untuk menegaskan kepercayaan [kami] dalam hak manusia yaiig asasi, dalam martabat dan nilai orang [sebagai] manusia, dalam persamaan hak laki-laki dan perempuan serta persamaan hak bangsa besar dan kecil; ..."; (b) Pasal 1 ayat 3: "3. Untuk mencapai kerja sama internasional dalam pemecahan permasalahan yang bersifat ekonomis, sosial, kultural, atau humaniter, dan dalam pemajuan dan pendorongan penghormatan hak manusia dan kebebasan asasi bagi semua tanpa perbedaan mengenai ras, jenis kelamin, atau agama; ..."; (c) Pasal 55 huruf c: "c. penghormatan universal dan ketaatan pada hak manusia dan kebebasan asasi bagi semua tanpa perbedaan mengenai ras, jenis kelamin, dan agama."; (d) Pasal 56: "Semua Anggota berikrar untuk mengambil tindakan bersama dan terpisah dengan kerja sama dengan Organisasi [PBB] demi tercapainya maksud sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 55.". 8. Piagam PBB adalah sebuah instrumen internasional yang mengikat secara hukum negara-negara yang mengesahkannya. Oleh karena itu, ketentuanketentuan Piagam sebagaimana disebut dalam para 7(a)-(d) di atas, yang merupakan ketentuan hukum HAM internasional, harus dihormati, ditaati dan dilaksanakan oleh negara-negara pihak padanya, artinya negara-negara anggota PBB, sebagai kewajiban menurut hukum internasional. 9. Dengan ketentuan-ketentuan sebagaimana dikutip dalam supra, para 7(a)-(d) Piagam PBB 1945, pada hakikatnya, sudah mengawali penggarisan sebagian prinsip hak asasi dan kebebasan fundamental, yakni prinsip nondiskriminatif, yang dalam perkembangannya akan menjadi salah satu prinsip dasar instrumeninstrumen hak asasi dan kebebasan fundamental, baik instrumen internasional maupun peraturan perundang-undangan nasional. B. DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA (DUHAM) 1948 10. Upaya komunitas internasional untuk memantapkan pengakuan, penghormatan, dan perlindungan hak asasi dan kebebasan fundamental mencapai kulminasinya pada 10 Desember 1948 dengan diterima dan diproklamasikannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) (Universal Dec'aration of Human Rights) (UDHR) oleh Majelis Umum (MU) PBB. DUHAM 1948 merupakan "katalog" hak asasi dan kebebasan fundamental manusia dan yang terdiri atas tiga puluh pasal, dalam garis besarnya menetapkan hak dan kewajiban yang harus diakui dan dihormati oleh semua bangsa secara universal serta kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap orang. Hak dan kebebasan manusia yang tercantum dalam DUHAM 1948 dapat dikelompokkan dalam dua bidang besar, yakni: (a) Hak sipil dan politik (Pasal 3-Pasal 21); dan (b) Hak ekonomi, sosial, dan budaya (Pasal 22-27). 11. Pasal-pasal lainnya, yakni Pasal 28 menetapkan hak setiap orang yang bersifat umum, yakni hak atas tata sosial dan internasional yang menjamin terwujudnya hak dan kebebasan yang ditetapkan dalam DUHAM 1948, Pasal 29 menetapkan kewajiban setiap orang dalam hubungan dengan pelaksanaan hak dan kebebasan yang diatur dalam Pasal 1-Pasal 28, sedangkan Pasal 30 merupakan ketentuan "pengaman" yang menetapkan bahwa DUHAM 1948 tidak boleh ditafsirkan sebagai memberikan negara, kelompok, atau orang mana pun hak untuk menjalankan kegiatan atau melakukan tindak yang bertujuan menghancurkan hak dan kebebasan mana pun yang diatur dalam DUHAM 1948. 12. DUHAM 1948 memang bukan instrumen yang mengikat secara hukum per se, namun beberapa ketentuannya merupakan prinsip umum hukum (general principles of law) (perhatikan Pasal 38 ayat 1.c Statuta Mahkamah Internasional) atau mempunyai bobot hukum internasional kebiasaan, karena menjadi rujukan banyak instrumen internasional yang mengikat'-secara-hukum yang mengatur dan/atau menjabarkan secara lebih rinci aspek tertentu hak asasi dan/atau kebebasan fundamental tertentu yang termaktub pokoknya dalam DUHAM 1948, serta diterimanya secara luas dan digunakannya DUHAM 1948 oleh komunitas bangsa-bangsa sebagai tolok ukur perilaku negara galam hubungannya dengan hak asasi dan kebebasan fundamental. 6 C. INSTRUMEN "TURUNAN" DUHAM 1948 13. Sebagaimana dikemukakan sebe'.umnya, DUHAM 1948 bukanlah, stricto sensu, instrumen internasional yuridis melainkan instrumen internasional deklaratif yang memuat "katalog" hak asasi dan kebebasan fundamental yang harus dihormati dan dilindungi oleh semua bangsa secara universal (lihat supra, para 10 dan para 12). Agar ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam DUHAM 1948 mempunyai daya ikat secara hukum, maka ketentuan-ketentuan itu harus ditransformasikan dan dirinci dalam instrumen-instrumen hukum internasional mengenai hak asasi dan kebebasan fundamental. Maksud ini diupayakan oleh komunitas bangsa-bangsa, khususnya PBB, dengan mensponsori disusunnya instrumen-instrumen demikian yang dapat dibagi dalam dua jenis, yakni: (a) Pertama, instrumen-instrumen hukum internasional mengenai hak asasi dan kebebasan fundamental yang bersifat umum, dasar, dan induk; dan (b) Kedua, instrumen-instrumen hukum internasional mengenai hak asasi dan kebebasan fundamental yang bersifat tematis, artinya yang mengatur tema.hak asasi dan/atau kebebasan fundamental tertentu. (1) Instrumen hukum internasional mengenai hak asasi dan kebebasan fundamental yang bersifat umum, dasar, dan induk 14. Upaya komunitas internasional, khususnya PBB, guna menyusun instrumen hukum internasional mengenai hak asasi dan kebebasan fundamental telah berlangsung melalui proses parijang berikut: (a) Pada 1948 MUPBB meminta Komisi HAM PBB untuk menyusun rancangan kovenan, jadi instrumen yuridis, mengenai HAM beserta rancangan tindak pelaksanaannya; (b) (i) Pada 1949 MUPBB menerima sebuah resolusi yang menyatakan bahwa "penikmatan kebebasan sipil,dan politik serta kebebasan ekonomi, sosial, dan budaya bersifat berkaitan dan saling bergantung" (huruf tebal oleh penulis); (ii) Selaras dengan pernyataan ini MUPBB memutuskan memasukkan ke dalam rancangan kovenan [yang harus disusun oleh Komisi HAM PBB] dua pokok, yakni: Pertama: hak ekonomi, sosial, dan budaya; dan Kedua: pengakuan persamaan laki-laki dan perempuan dalam hak-hak tersebut, sebagaimana dinyatakan dalam Piagam PBB; (c) Pada 1952, 4engan resolusi 543(VI) 5 Februari 1952, MUPBB memutuskan pokok-pokok berikut: (i) meminta Komisi HAM PBB untuk merancang dua kovenan, yakni: pertama, kovenan yang akan mengatur hak ekonomi, sosial dan budaya; dan kedua, kovenan yang akan mengatur hak sipil dan politik; (ii) agar kovenan itu dapat diterima dan dibuka bagi penandatanganan secara serentak untuk menekankan kesatuan tujuan kedua kovenan tersebut, meminta (Komisi HAM PBB) untuk memasukkan sebanyak mungkin ketentuan yang sama dal;am kedua kovenan itu: (d) Pada 1953 dan 1954 Komisi HAM PBB menyelesaikan dua rancangan kovenan sebagaimana diminta dan dikehendaki oleh MUPBB (lihat huruf (c) di atas); (e) Pada 1954 MUPBB memutuskan untuk mempublikasikan rancangan naskah kedua kovenan itu seluas mungkin agar pemerintah-pemerintah dapat mernpelajarinya secara mendalam dan agar publik dapat menyampaikan opininya secara bebas. Untuk maksud ini MUPBB merekomendasikan agar Komisi Ketiga MUPBB (Sosial, Humaniter, dan Budaya) membahas kedua rancangan naskah kovenan tersebut; (f) Pada 1955 Komisi Ketiga MUPBB memulai pembahasan rancangan naskah dua kovenan sebagaimana dimaksud dalam huruf (c) di atas. Namun, baru pada 1966, atau sebelas tahun kemudian, rancangan naskah final kedua instrumen tersebut dapat diselesaikan, yakni: (i) Rancangan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya; dan (ii) Rancangan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik; (g) Selain menyelesaikan naskah final kedua rancangan Kedua kovenan tersebut dalam huruf (f) di atas, pada 1966 itu juga, Komisi Ketiga MUPBB, menyelesaikan pula penyusunan naskah Rancangan Protokol Opsional pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang menetapkan mekanisme internasional bagi penanganan komunikasi yang disampaikan oleh indi-vidu yang mengaku menjadi korban pelanggaran hak yang tercantum.dalam Kovenan Internasionall tentang Hak Sipil dan Politik; (h) Akhirnya, pada 16 Desember 1966, dengan resolusi 2200A(XXI), MUPBB menerima (adopted) ketiga instrumen hukum internasional mengenai hak asasi dan kebebasan fundamental tersebut huruf (f) dan (g) di atas. 15. Demikianlah perjalanan panjang proses penyusunan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB) serta Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP). Kedua kovenan ini, yang merupakan instrumen hukum internasional mengenai hukum internasional di bidang hak asasi dan kebebasan fundamental, yang -.merupakan transformasi ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam DUHAM 1948 yang bersifat deklaratif menjadi ketentuan-ketentuan yuridis serta dalam format yang lebih rinci, serta yang merupakan instrumen internasional tentang hak asasi dan kebebasan fundamental yang bersifat umum, dasar, dan induk, bersama dengan DUHAM 1948, lazim disebut sebagai "International Bill of Human Rights" (Undang-undang Internasional Hak Manusia). (2) Instrumen hukum internasional mengenai hak asasi dan kebebasan fundamental yang bersifat tematis (A) Instrumen yang dibuat antara 10 Desember 1948 dan 16 Desember 1966 16. Sementara PBB melakukan upaya penyusunan instrumen hukum internasional yang akan mentransformasikan ketentuan-ketentuan deklaratif yang tercandum dalam DUHAM 1948 menjadi ketentuanketentuan yuridis yang bersifat umum, dasar, dan induk yang, sebagaimana dideskripsikan dalam supra, para 14-16, berlangsung melalui proses negosiasi yang sulit dan berlangsung dalam waktu yang sangat lama, demi kebutuhan praktis dan mendesak, pada masa yang bersamaan PBB juga mensponsori pembuatan instrumen hukum internasional guna mentransformasikan dan menjabarkan tema deklaratif tertentu DUHAM 1948 menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat secara yuridis. Sejak diproklamasikannyq. DUHAM 1948 sampai [sebelum] diterimanya KIHESB 1966 dan KIHSP 1966 telah dibuat 'tujuh instrumen hukum internasional mengenai hak dan/atau kebebasan fundamental yang bersifat tematis sebagai tersebut di bawah ini, yang dalam paragraf-paragraf preambulnya (jadi dalam konsideransnya) masin--mas7tng merujuk, antara lain, merujuk ketentuan tertentu DUHAM 1948: 7 (a) Konvensi mengenai Status Pengungsi (diterima pada 28 Juli 1951 oleh Konferensi PBB (dari) Wakil-Wakil Berkuasa Penuh tentang Status Pengungsi dan Orang Tanpa Kewarganegaraan yang diselenggarakan berdasarkan resolusi MUPBB 429(V) tertanggal 14 DEsember 1950); (b) Konvensi tentang Hak Politik Perempuan (dibuka untuk penadatangan dan ratifikasi oleh resolusi MUPBB 640(VII) tertanggal 20 Desember 1952); (c) Konvensi tentang Status Orang Tanpa Kewarganegaraan (diterima pada 28 September 1954 oleh Konferensi Wakil-wakil Berkuasa Penuh yang diselenggarakan resolusi Dewan Ekogomi dan Sosial [PBB] 526A(XVII) tertanggal 26 April 1954); 8 (d) Konvensi Tambahan tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan Lembaga serta Praktik yang Serupa dengan Perbudakan (diterima pada 7 September 1956 oleh Konferensi Wakil-wakil Berkuasa Penuh yang diselenggarakan berdasarkan resolusi Dewan "Vconomi dan Sosial [PBB] 608(XXI) tertanggal 30 April 1956); 9 (e) Konvensi tentang Kewarganegaraan Perempuan [yang] Kawin (dibuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh resolusi MUPBB 1040(XI) tertanggal 29 Januari 1957); (f) Konvensi tentang Persetujuan untuk Perkawinan, Usia Minimum bagi Perkawinan, dan Pendaftaran Perkawinan (dibuka untuk penandatangan dan ratifikasi oleh resolusi MUPBB 1763A tertanggal 7 November 1962); (g) Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (diterima dan dibuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh MUPBB dengan resolusi 2106A(XX) tertanggal 21 Desember 1965). 17. Tersebut dalam para 16(a)-(g) di atas adalah tujuh instrumen hukum internasional mengenai hak asasi dan kebebasan fundamental yang bersifat tematis, artinya yang mengatur tema hak asasi dan/atau kebebasan fundamental tertentu, yang merujuk ketentuan tertentu dalam DUHAM 1948 dan yang mentransformasikannya menjadi ketentuan yuridis yang dibuat setelah diproklamasikannya DUHAM (10 Desember 1948) dan sebelum diterimanya Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (16 Desember 1966) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (16 Desember 1966). (B) Instrumen yang dibuat sesudah 16 Desember 1966 18. 16 Desember 1966 adalah tanggal diterimanya dua instrumen hukum internasional mengenai hak asasi dan kebebasan fundamental yang, sebagaimana disebut dalam supra, para 15, bersifat umum (artinya mencakup semua hak asasi dan kebebasan fundamental), dasar (artinya menetapkan halhal.yang sangat pokok dan konseptual), dan induk (artinya merupakan~hnkuthinternasional mengenaihak asasi dan kebebasan fundamental yang dapat menjadi rujukan utama, disamping instrumen deklaratif DUHAM 1948 yang dapat dianggap sebagai hukum internasional kebiasaan, bagi penyusunan instrumeninstrumen internasional lain, baik yang bersifat mengikat secara hukum maupun yang bersifat rekomendatif ("soft laws"), aspek atau tema tertentu hak asasi dan/atau kebebasan fundamental secara lebih rinci, sebagai penjabaran ketentuan-ketentuan yang bersifat umum dan pokok yang tercantum dalam KIHESP dan/atau KIHSP. 19. Sampai dibuatnya kertas ini, telah dibuat, setidak-tidaknya, tiga instrumen hukum internasional "turunan" KIHESP dan/atau KIHSP, yang paragraf-paragraf preambulernya merujuk pokok-pokok tertentu KIHESB dan/atau KIHSP (dan juga Piagam PBB dan/atau DUHAM). Ketiga instrumen termaksud adalah sebagai berikut: (a) Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (diterima dan dibuka untuk penandatanganan, ratifikasi, dan_ Aksesi oleh MUP.BB dengan resolusi 34/180 tertanggal 18 Desember 1979); (b) Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat (diterima dan dibuka untuk penandatanganan, ratifikasi, dan aksesi oleh MUPBB dengan resolusi 39/46 tertanggal 10 Desember 1984); (c) Konvensi tentang Hak Anak (diterima dan dibuka untuk penandatanganan, ratifikasi, dan aksesi dengan resolusi 44/25 tertanggal 20 November-1989). D. "HUKUM LUNAK" ("SOFT .LAWS") 20. Instrumen internasional yang sering disebut "hukum lunak" ("soft laws") adalah instrumen internasional mengenai atau yang berkenaan dengan hak asasi dan/atau kebebasan fundamental yang tidak tertuang dalam instrumen yur:L_dis (seperti,perjanjian internasional, konvensi, kovenan, persetujuan, statuta, atau protokol yang harus diratifikasi atau diaksesi oleh negara yang berkehendak menjadi pihak padanya dan yang mengikat secara hukum) melainkan yang tertuang dalam instrumen yang berbentuk lain yang tidak mengikat secara hukum melainkan [hanya] bersifat seruan atau rekomendasi. Meskipun tidak mengikat secara yuridis, ketentuan-ketentuan yang termuat dalam "hukum lunak" dapat dijadikan pedoman atau acuan para pejabat negara atau pihak yang berkepentingan yang bukan pejabat negara dalam menjalankan tugas dan fungsi masing-masing dan/atau dapat ditransformasikan menjadi peraturan perundangundangan nasional yang mengikat secara hukum dan/atau peraturan lain yang bersifat petunjuk pelaksanaan tugas. 21. "Hukum lunak" tersebut pada umumnya tertuang dalam instrumen internasional (deklarasi, ketentuan, prinsip, pedoman, dan sebagainya) dan yang diterima dan/atau diproklamasikan oleh MUPBB, atau badan PBB lainnya, badan khusus, atau konferensi internasional yang penyelenggaraannya disponsori oleh PBB. Di bawah ini dicatat sebagian "hukum lunak" termaksud dari demikian banyak "hukum lunak", khususnya yang pembuatannya disponsori oleh PBB ("hukum lunak" yang berkenaan dengan administrasi pengadilan saja dan yang pembuatannya disponsori oleh PBB berjumlah enam belas). 22. Karena terlampau banyak untuk disebut semua, di bawah ini hanya dicatat sejumlah "hukum lunak" yang dapat dianggap sebagai "turunan" KIHESB dan/atau KIHSP (karena dibuat sesudah dibuatnya kedua kovenan ini pada 16 Desember 1966 dan dirujuknya pokok-pokok relevan kedua instrumen tersebut dalani paragrafparagraf preambuler dan/atau ketentuan-ketentuan operatif "hukum lunak"), terutama', yang berkenaan dengan administrasi peradilan: (a) Dekiarasi tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Situasi Darurat dan Konflik Bersenjata (diproklamasikan oleh MUPBB dengan resolusi 3318(XXIX)-tertanggal 14 Desember 1974); (b) Standar Minimum Ketentuan bagi Perlakuan Orang yang Dipenjarakan (diterima oleh Kongres PBB I tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelaku Kejahatan, Jenewa, 1955, dan disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial [PBB] dengan resolusi 663C(XXIV) tertanggal 31 Juli 1957 dan 2076(LXII) tertanggal 13 Mei 1977; (c) Kode Perilaku Pejabat Penegak Hukum (diterima oleh MUPBB dengan resolusi 34/169 tertanggal 17 Desember 1979); (d) Dekiarasi tentang Penghapusan Segala Bentuk Ketidaktoleransian dan Diskriminasi yang Didasarkan pada Agama atau Kepercayaan (diproklamasikan oleh MUPBB tertanggal 25 November 1981); (e) Penjagaan (Safeguards) untuk Menjamin Perlindungan Hak Orang yang Menghadapi Hukuman Mati (diterima oleh Dewan Ekonomi dan Sosial [PBB] dengan resolusi 1984/50 tertanggal 25 Mei 1984); (f) Ketentuan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Pengadministrasian Peradilan Anak ("Ketentuan Beijing") (diterima oleh MUPBB dengan resolusi 40/33 tertanggal 29 November 1985); (g) Prinsip Dasar tentang Independensi Peradilan (diterima oleh Kongres PBB VII tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelaku Kejahatan, Milan, 26 Agustus-6"September 1985 dan dikukuhkan oleh MUPBB dengan resolusi 40/32 tertanggal 29 November 1985 dan 40/146 tertanggal 13 Desember 1985); (h) Dekiarasi tentang Prinsip Sosial dan Legal mengenai Perlindungan dan Kesejahteraan Anak, dengan Rujukan Khusus pada Penempatan Pengangkatan dan Adopsi secara Nasional dan Internasional) (diterima MUPBB dengan resolusi 41/85 tertanggal 3 Desember 1986); (i) Kumpulan Prinsip bagi Perlindungan Semua Orang yang Berada dalam Penahanan atau Pemenjaraan dalam Bentuk Apa pun (diterima oleh MUPBB dengan resolusi 43/173 tertanggal 9 Desember 1988); (j) Prinsip Dasar bagi Perlakuan terhadap Orang yang Dipenjarakan (diterima oleh MUPBB dengan resol.usi 45/111 tertanggal 14 Desember 1990); (k) Prinsip Dasar tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Pejabat Penegak Hukum (diterima oleh Kongres PBB VIII tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelaku Kejahatan, Havana, Kuba, 27 Agustus-7 September 1990); (1) Prinsip Dasar tentang Peran Pengacara (diterima oleh Kongres PBB VIII tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelaku Kejahatan, Havana, Kuba, 27 Agustus-7 September 1990); (m) Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Pencegahan Kejahatan Anak ("Pedoman Riyadh") *(diterima dan diproklamasikan oleh MUPBB dengan resolusi 45/112 tertanggal 14 Desember 1990); (n) Ketentuan Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Perlindungan Anak yang Diambil Kebebasannya (diterima oleh MUPBB dengan resolusi 45/113 tertanggal 14 Desember 1990); (o) Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (diterima oleh MUPBB dengan resolusi 47/133 tertanggal 18 Desember 1992); (p) Deklarasi tentang Hak Orang yang Termasuk Minoritas Rumpun Bangsa atau Etnis, Keagamaan, dan Bahasa (diterima oleh MUPBB dengan resolusi 47/135 tertanggal 18 Desember 1992). 23. "Hukum lunak" yang disebut dalam para 22 di atas hanya nieliputi sebagai "hukum lunak" yang berkenaan dengan pengadministrasian peradilan dan yang berkenaan dengan beberapa tema lain hak asasi dan kebebasan fundamental. "Hukum lunak" yang menyangkut tema lain, seperti tema yang berkenaan dengan tema kesejahteran, kemajuan, dan pembangunan sosial, tidak disebut, untuk menghindari terlampau panjangnya daftar. Di samping itu, sudah tentang masih terdapat banyak "hukum lunak" yang dibuat sesudah 1992 yang juga tidak disebut dalam para 22 di atas karena pertimbangan yang sama.10 IV. PERKEMBANGAN SEJAK 1989 24. 1989 adalah tahun yang dapat dianggap sebagai tahun berakhirnya "perang dingin", karena pada 1989 itulah diruntuhkannya tembol Berlin yang merupakan lambang "perang dingin". Berakhirnya "perang dingin" membawa implikasi perkembangan politis drastis di Eropa Timur, terutama dengan dibubarkannya Pakta Warsawa, disintegrasi Uni Soviet yang mengakibatkan republikrepublik yang semula menjadi komponen Uni Soviet memisahkan diri dan menjadi negara-negara merdeka, serta ditinggalkannya sosialisme sebagai landasan politik dan ekonomi oleh negaraneggara.di Eropa Timur. Sepanjang yang menyangkut hak asasi dan kebebasan fundamental dapat dicatat perkembangan berikut yang berlangsung di tingkat nasional dan internasional: (a) Di tingkat nasional dapa- dicatat pemberian perhatian terhadap pernghormatan dan perlindungan hak asasi dan kebebasan fundamental terutama di negara-negara yang sebelumnya menganut sistem sosialisme; dan (b) Di tingkat internasional meningkatnya penekanan pada permasalahan hak asasi inanusia dan kebebasan fundamental dalam hubungan antarbangsa. 25. Pergeseran juga terjadi dalam hubungan bilateral antara negara-negara Barat dan negara-negara berkembang. Selama "perang dingin" perhatian negaranegara Barat terhadap permasalahan hak asasi dan kebebasan fundamental sering ditundukkan pada kepentingan dalam hubunngan dengan "perang dingin", yakni berpihaknya negara yang bersangkutan pada Barat, meskipun rekaman jejak (track records) penghormatan dan perlindungan hak asasi dan kebebasan fundamental negara yang bersangkutan tidak baik. 26. Sangat meningkatnya perhatian komunitas internasional pada komitmen guna menghormati dan melindungi hak asasi dan kebebasan fundamental juga tercermin dalam meningkat drastisnya jumlah negara yang menjadi pihak pada KIHESB 1966 dan KIHSP 1966 sebagaimana dapat dicatat sebagai berikut: (a) Sampai 1990 (atau 24 tahun sejak dibuatnya kedua kovenan tersebut): (i) Jumlah negara pihak pada KIHESB: 91; (ii) Jumlah negara pi.hak pada KIHSP: 99; (b) Pertambahan negara yang menjadi pihak selama kurun waktu waktu 19912005 (atau selama 14 tahun): (i) Pada KIHESB: 61 (ii) Pada KIHSP: 56 (sehingga jumlah negara pihak pada KIHESB menjadi 152 pada 2005); (sehingga jumlah negara pihak pada KIHSP menjadi 155 pada 2005). KONFERENSI SEDUNIA TENTANG HAM, 1993 27. Indikasi lain yang menunjukkan bahwa hak asasi dan kebebasan fundamental tidak lagi merupakan pertikaian (contention) hubungan Barat-Timur khususnya (setelah berakhirnya "perang dingin") dan mengemukanya hak asasi dan kebebasan fundamental dalam hubungan internasional secara keseluruhan adalah terselenggaranya Konferensi Sedunia tentang. HAM (World Conference on Human Rights) di Wina pada 14-25 Juni 1993. 28. Konferensi Sedunia 1933 tersebut, yang menghasilkan Deklarasi dan Program Aksi Vienna (Vie.nna Declaration and Programme of Action), yang terdiri atas 16 paragra-f preambuler, 39 pasal Deklarasi, dan 100 pasal Program Aksi, menetapkan beberapa pokok tersebut di bawah ini yang sangat dasar sifatnya dalam perkembangan penghormatan dan perlindungan hak asasi dan kebebasan fundamental: (a) Penegasan tanggung jawab semua negara, sesuai dengan Piagam PBB, untuk mengembangkan dan mendorong penghormatan hak manusia dan kebebasan fundamental bagi semua, tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agaria (paragraf preambuler kelima); (b) Penegasan bahwa semua HAM adalah universal (universal), tidak terbagi (indivisable), saling bergantung (interdependent), dan saling berkait (interrelated) (Pasal 5 Deklarasi). 29. Benar bahwa dokumen Wina tersebut dalam para 28 di atas bukan dokumen yuridis sehingga negara-negara tidak terikat padanya. Namun demikian, dokumen Wina tersebut mempunyai arti politis yang sangat penting bagi kerja sama internasional guna meni_ngkatkan penghormatan dan perlindungan hak asasi dan kebebasan fundamental. Signifikansi dua pokok dokumen Wina yang dikutip dalam para 28 di atas adalah sebagai berikut: (a) Penegasan yang tersebut pertama mengingatkan semua negara akan tanggung jawabnya menurut hukum internasional untuk mengembangkan dan mendorong penghormatan hak asasi dan kebebasan fundamental di wilayah kekuasannya masing-masing tanpa diskriminasi; (b) Penegasan kedua yang mengakhiri polemik tentang klaim adanya nilai-nilai regional yang tidak harus sama satu dengan lainnya. Pokok tersebut dalam para 28(b) di atas jelas-jelas menegaskan pendirian komunitas internasional sifat-sifat HAM, yakni universalitas, tidak terbagi, saling bergantung, dan saling be rkait. V. KEJAHATAN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL 30. Memang, sampai sekarang, tidak ada instrumen internasional yang memuat definisi "kejahatan menurut hukum internasional" (crimes under international law) atau "kejahatan internasional" (international crimes). Meskipun demikian, pengertian konsep ini, yaitu konsep bahwa suatu kejahatan dianggap sebagai kejahatan menurut hukum internasional atau kejahatan internasional, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi karakteristik kejahatan yang bersangkutan serta konsep hukum internasional dan kesepakatan komunitas internasional dalam penanganan kejahatan demikian. Pengidentifikasian demikian dapat dilakukan dengan menyimak berbagai instrumen yuridis sejak Piagam Tribunal Militer Internasional (Charter of the International Military Tribunal) 8 Agustus 1945 (yang juga dikenal publik dengan sebutan "Piagam Tribunal Nuerenberg", karena sidang-sidangnya yang diadakan di Nuerenberg, Jerman) sampai Statuta (Roma) Mahkamah Pidana Internasional ([Rome] Statute of the InternationalCriminal Court) 17 Juli 1998 sertacesepaTcatan komunitas internasional, terutama PBB dalam penanganan kejahatan yang bersangkutan. A. PIAGAM TRIBUNAL MILITER INTERNASIONAL, 1945 31. Piagam Tribunal Militer Internasional (TMI) yang.t dilampirkan pada Persetujuan bagi Penuntutan dan Penghukuman Penjahat Perang Utama (dari) Poros Eropa (Agreement for the Prosecution and Punishment of the Major War Criminals od the European Axis), yang dibuat di London pada 8 Agustus 1945 (jadi sebelum adanya Piagam PBD 24 Oktober 1945), menetapkan, antara lain, pokbkpokok berikut: (a) Pemberlakuan. Piagam TMI secara retroaktif: Meskipun tidak expressis verbis, penetapan kewenangan TMI untuk mengadili dan menghukum penjahat perang utama (dari) Poros Eropa pada hakikatnya menetapkan pemberlakuan retroaktif Piagam TMI, karena augaan kejahatan yang dilakukan yang bersangkutan berlangsung selama Perang Dunia II sudah berakhir pada 7 Mei 1945 (di kawasan Eropa; di kawasan Asia-Pasifik pada 14 Agustus 1945); (chapeau, kalimat pertama); (b) Tanggung jawab individual: Piagam TMI mengintroduksikan konsep baru, meskipun berlingkup terbatas, yakni konsep individu sebagai subjek hukum internasional dengan menetapkan bahwa kejahatan yang berada di bawah yurisdiksi TMI merupakan tanggung jawab individual pelaku yang bersangkutan (chapeau, kalimat kedua) dan, sesuai dengan konsep ini, terdakwa yang bertindak berdasarkan perintah pemerintah atau atasannya tidak membebaskannva dari tanggung jawab (namun dapat dipertimbangkan dalam peringanan hukuman (Pasal 8); (c) Jenis kejahatan yang termasuk yurisdiksi TMI: Tanpa menyebutnya sebagai kejahatan menurut hukum internasional atau kejahatan internasional, tiga jenis atau kategori kejahatan tersebut di bawah ini dinyatakan sebagaill jenis atau kategori kejahatan yang termasuk yurisdiksi TMI: (i) Kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace); (ii) Kejahatan perang (war crimes); dan (iii) Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity); (d) Posisi resmi terdakwa tidak membebaskannya dari tanggung jawab: Posisi resmi terdakwa, baik sebagai kepala negara maupun sebagai pejabat yang bertangg'ing jawab dalam suatu instansi pemerintahan tidak akan dipertimbangkan sebagai alasan pembebasan tanggung jawab atau peringanan hukuman (Pasal 7). B. KONVENSI TENTANG PENCEGAHAN DAN PENGHUKUMAN KEJAHATAN GENOSIDA, 1948 32. Konvensi ini, yang disetujui dan diusulkan oleh MUPBB untuk ditandatangani, iratifikasi, atau diaksesi dengan resolusi 260A(III) tertanggal 9 Desember 1948, merujuk dalam salah satu paragraf preambulernya (paragraf preambuler pertama) resolusi MUPBB 96(I) tertanggal 11 Desember 1946 yang menyatakan bahwa "genosida adalah kejahatan menurut hukum internasional, (huruf tebal oleh penulis) bertentangan dengan semangat dan tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan dikutuk oleh dunia beradab". 33. Dengan demikian dapat dicatat bahwa resolusi MUPBB 96(I) tertanggal 11 Desember 1946 itulah instrumen internasional yang riencerminkan sikap komunitas internasional yang menyatakan bahwa genosida adalah "kejahatan menurut hukum internasional". C. PASAL 15 AYAT 2 KIHSP 1966 33. Pasal 15 ayat 2, yang merupakan ketentuan pengecualian terhadap konsep legalitas atau nonretroaktivitas yang tercantum dalam ayat 1, menyatakan dapat diadili dan dihukumnya seseorang karena melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukan perbuatan (omission) yang, pada saat dilakukannya perbuatan itu, perbuatan tersebut adalah perbuatan pidana "menurut prinsip umum hukum yang diakui oleh komunitas bangsa-bangsa" (huruf tebal oleh penulis). Pasal 15 ayat 2 KIHSP berbunyi selengkapnya sebagai berikut: "2. Tidak sesuatu pun dalam pasal ini boleh mengganggu pengadilan dan penghukuman seseorang karena suatu tindak atau karena tidak melakukan suatu tindak yang, pada saat dilakukan atau tidak dilakukannya tindak tersebut, adalah tindak pidana menurut prinsip umum hukum yang diakui oleh komunitas bangsa-bangsa." ("2. Nothing in this article sdhall prejudice the trial and punishment of any person for any act or omission which, at the time when it was committed, was criminal according to the general principles of law recognized by the community of nations.'). 34. Pasal 15 ayat 2 KIHSP tersebut, pada hakikatnya, membenarkan diberlakukannya secara retroaktif ketentuan hukum pidana dengan ketentuan bahwa perbuatan yang bersangkutan, pada waktu dilakukan, merupakan perbuatan pidana menurut prinsip umum-hukum yang diakui oleh komunitas bangsa-bangsa. Konsep ini mengukuhkan penerapan retroaktif Piagam TMI 1945, karena berbagai tindak yang termasuk salah satu jenis atau kategori kejahatan yang termasuk yurisdiksi TMI, seperti perang agresi dan perang dengan melanggar perjanjian internasional (kejahatan terhadap perdamaian), pelanggaran hukum dan kebiasaan perang (kejahatan perang), serta pembunuhan, pemusnahan, pembudakan, deportasi, tindak tak manusiawi lain terhadap penduduk sipil, persekusi atas dasar politis, rasial, atau keagamaan (kejahatan terhadap kemanusiaan), merupakan tindak yang oleh komunitas bangsa-bangsa diakui sebagai bersifat pidana, kapan pun tindak itu dilakukan. D. STATUTA TRIBUNAL YUGOSLAVIA, 1993 KRIMINAL INTERNASIONAL UNTUK BEKAS 35. Sebagaimana halnya Tribunal Nuerenberg (International Military Tribunal), 1945 dan Tribunal militer Tokyo (International Military Tribunal for the Far East),1948 Tribunal untuk Bekas Yugoslavia juga diberi nama Tribunal lnternasional dengan nama lengkap Tribunal Kriminal untuk Bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia - ICTY), yang diputuskan pembentukannya oleh Dewan Keamanan PBB (DKPBB) pada 1993 (resolusi S/RES/808 (1993) tertanggal 22 Februari 1993 dan yang statutanya diterima oleh DKPBB pada 1993 itu juga (resolusi S/RES/827 (1993) tertanggal 25 Mei 1993). 33. Resolusi DKPBB S/RES/808 tertanggal 22 Februari 1993 yeng memutuskan pembentukan ICTY menetapkan "penuntutah(,orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran berat hukum humaniter internasional yang dilakukan di wilayah bekas Yugoslavia sejak 1991" (huruf tebal oleh penulis). Kewenangan demikian dinyatakan [lagi] dalam Statuta ICTY yang diterima oleh DKPBB dengan resolusi S/RES/827 (1993 tertanggal 25 Mei 1993 (lihat para 32 di atas), yakni dalam Pasal 1 yang berjudul "Kewenangan Tribunal Internasional". 34. Selanjutnya, Pasal 2-Pasal 5 menetapkan jenis atau kategori kejahatan yang termasuk "kekuasaan" (power) ICTY, yakni: (a) Pelanggaran berat Konvensi-konvensi Jenewa 1949 (Grave breaches of the Geneva Convenstions of 1949) (Pasal 2); (b) Pelanggaran hukum atau kebiasaan perang (Violations of the laws or customs of war) (Pasal 3); (c) Genosida (Genocide) (Pasal 4); dan (d) Kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes against humanity) dalam hal''perbuatan [pidana] yang termasuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan ini dilakukan dalam konflik bersenjata (Pasal 5). 35. Ditafsirkan secara ketat, mandat ICTY sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Statutanya, sesungguhnya hanya meliputi kategori kejahatan sebagaimana tersebut dalam para 34(a) (pelanggaran berat Konvensi-konvensi Jenewa. 1949) dan 34(b) di atas (pelanggaran hukum atau kebiasaan perang), karena keduanya inilah yang merupakan pelanggaran berat hukum humaaiter internasional (serious violations of international humanitarian law). Dengan demikian, di samping pelanggaran berat hukum humaniter internasional, ICTY diberi kewenangan juga menangani kategori kejahatan yang bukan merupakan pelanggaran (berat) hukum humaniter internasional melainkan pelanggaran (berat) hukum HAM internasional, i.c. genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. 36. Sebagaimana halnya dengan Statuta Tribunal Nuerenbetg1945 dan Tribunal Tokyo 1946, Statuta ICTY juga berlaku retroaktif, karena meliput kejahatan yang terjadi di wilayah bekas Yugoslavia sejak 1991 (lihat Pasal 1), padahal Statuta ICTY baru berlaku sejak 25 Mei 1993 (lihat supra, para 32). 37. Konsep tanggung jawab [kriminal] individual, yang diintroduksikan oleh Statuta TMI 1945 dan Tribunal Tokyo 1946, juga dianuL oleh Statuta ICTY 1993 (lihat Pasal 7). E. STATUTA TRIBUNAL INTERNASIONAL UNTUK RWANDA, 1994 38. Keputusan DKPBB untuk membentuk dan menerima Statuta Tribunal Internasional untuk Rwanda (yang nama lengkapnya "International Criminal Tribunal for the Prosecution of Persons Responsible for Genocide and Other Serious Violations of International Humanitarian Law Committed in the Territory of Rwanda and Rwndan citizens responsible for genocide and other such violations committed in the territory of neighbouring States, between 1 January 1994 and 31 December 1994 dengan akronim "resmi" "The International Tribunal for Rwanda" namun yang lebih terkenal dengan diambil "ICTR" sebagai akronim "International Criminal Tribunal for Rwanda pada 8 November 1994 dengan resolusi S/RES/955. 39. Baik dari resolusi DKPBB tentang pembentukan dan penerimaan Statuta ICTY dan dari Statuta ICTR itu sendiri dapat dicatat beberapa karakteristik berikut yang, beberapa di antaranya, juga menjadi ciri Statuta TMI 1945 dan Statuta ICTY 1993: (a) Pemberlakuan retroaktif instrumen hukum yang bersangkutan: Pemberlakuan retroaktif Statuta ICTR dapat dicatat hal bahwa instrumen yuridis ini diterima oleh DKPBB pada 8 Nr.vember 1994 (lihat para 38 di atas) sedangkan peristiwa yangrtermasuk yurisdiksi ICTR,adalah pelanggaran yang sebagian besar waktu terjadi sebelum 8 November 1994, yakni yang terjadi antara 1 Januari 1994 sampai dengan 31 Desember 1994; (b) Kewenangan ICTR mencakup dua jenis atau dua kategori kejahatan, yakni, pertama, pelanggaran berat hukum humaniter internasional• (lihat paragraf operatif 1 resolusi DKPBB S/RES/955) dan, kedua, jenis kejahatan yang tidak termasuk kategori pelanggaran berat hukum humaniter internasional melainkan yang sudah dinyatakan sebagai kejahatan menurut hukum internasional, i.c. genosida (lihat paragraf operatif 1 resolusi S/RES/955 dan Pasal 1 Statuta) dan yang pernah termasuk yurisdiksi pengadilan internasional sebelumnya (TMI 1945 dan/atau ICTY 1993), yakni genosida (lihat para operatif 1 resolusi S/RES/955 serta Pasal 1 Statuta (pelanggaran berat hukum humaniter internasional), Pasal 2 (genosida), dan Pasal 3 (kejahatan terhadap kemanusiaan); (c) Penetapan konsep yang juga sudah diterapkan oleh TMI 1945 dan ICTY 1993, yakni konsep tanggung jawab pidana individual (individual criminal responsibility). F. STATUTA [ROMA] MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, 1998 40. Disponsori oleh PBB, di Roma, Italia, pada 15 Juni sampai dengan 17 Juli 1998, diselenggarakan Konferensi Diplomatik PBB untuk membentuk sebuah mahkamah pidana internasional yang bersifat independen dan permanen dengan yurisdiksi terhadap "kejahatan paling berat yang menjadi urusan komunitas internasional secara keseluruhan" (the most serious crimes of concern to the internationai community as a whole). 41. Akhirnya, pada 17 Juli 1998, konferensi yang dihadiri menerima instrumen hukum internasional yang menjadi dasar pembentukan mahkamah pidana internasional sebagaimana disebut dalam para 40 di atas dengan nama Statuta [Roma] Mahkamah Pidana Internasional [Rome Statute of tha International Criminal Court - ICC), yang mulai berlaku pada 1 Juli 2002. 42. Anfara ICC dan tribunal-tribunal internasional ad hoc yang pernah dibentuk atau yang'masih berfungsi (TMI 1945, Tribunal Toyko 1948, ICTY 1993, dan ICTR 1994) dapat dicatat perbedaan dan persamaan berikut: (a) ICC bersifat ermanen, sedangkan tribunal-tribunal internasional ad hoc yang dibentuk atau pernah dibentuk sebelumnya bersifat sementara; (b) Akta konstitutif, i.c. Statuta, ICC berlaku untuk kejahatan yang termasuk yurisdiksi ICC yang terjadi setelah [mulai] berlakunya Statutanya, jadi terhitung mulai 1 Juli 2002, dan tidak berlaku atau tidak dapat diberlakukan secara retroaktif sebagaimana halnya akta-akta konstitutif tribunal-tribunal internasional yang dibentuk atau pernah dibentuk sebelumnya; (c) Akta konstitutif ICC tertuang dalam instrumen hukum internasional, i.c perjanjian internasional, yang untuk menjadi pihak padanya, negara-negara yang bersangkutan harus melakukan dua tindak, yakni,,pertama, di tingkat nasional, dengan mengesahkannya menurut prosedur konstitusionalnya masing-masing dan, kedua, dengan menimpankan piagam ratifikasi, penerimaan, persetujuan,"atau aksesi (Persetujuan London 8 Agustus 1945 yang menetapkan dan melampirkan Piagam TMI - lihat supra, para 31 -, meskipun juga berhentuk perjanjian internasional namun disetujui oleli negara-negara pembuat dan negara-negara pihaknya untuk mulai berlaku sejak penandatanganannya, yakni 8 Agustus 1945. Statuta ICTY 1993 dan Statuta ICTR 1994 ditetapkan oleh DKPBB dengan resolusi, jadi tidak dalam bentuk perjanjian internasional yang memerlukan proses pengesahan di tingkat nasional serta proses ratifikasi, penerimaan, persetujuan, atau aksesi di tingkat internasional. Meskipun demikian, semua anggota PBB dituntut untuk mematuhi keputusan DKPBB); (d) Penegasan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menerapkan yurisdiksi pidana terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan internasional (pernyataan demikian tidak ada dalam instrumen konstitutif tribunal-tribunal internasional ad hoc yang ada atau pernah ada sebelumnya); (e) ICC bersifat melengkapi (complementary) yurisdiksi pidana nasional (sama halnya dengan yang tersebut (d) di atas); (f) Kategori atau jenis kejahatan yang termasuk yurisdikdiksi ICC sebagaimana disebut dalam batang tubuh Statutanya diklasifikasikan sebagai "kejahatan paling berat yang menjadi urusan komunitas internasional secara keseluruhan" (the most serious crimes of concern to the international community as a whole) ((fialam instrumen konstitutif TMI 1945, ICTY 1993, dan ICTR 1994 hanya disebut kategori atau jenis kejahatan yang termasuk yurisdiksi masing-masing tanpa mengklasifikannya secara umum); (g) Kategori atau jenis kejahatan yang termasuk yurisdikdiksi ICC sebagaian sama dengan yang termasuk dalam yurisdiksi TMI 1945, ICTY 1993, dan/atau ICTR 1994. Empat kategori atau (i) Kejahatan genosida (juga termasuk dalam Statuta ICTY 1993 dan Statuta ICTR 1994 (lihat supra, para 34 dan para 39(b) ); (ii) Kejahatan terhadap kemanusiaan (juga termasuk dalam Piagam TMI 1945, Statuta ICTY, dan Statuta ICTR 1994); (iii) Kejahatan perang (juga termasuk dalam mandat TMI 1945, ICTY 1993 (dengan istilah "pelanggaran hukum dan kebiasaan perang), tetapi tidak termamandat ICTR 1994 (mengenai mandat yang menyangkut pelanggaran bera' hukum humaniter internasional Statuta ICTR 1994 menujuk secara khusus [pelanggaran] Pasal 3 yang sama pada Konvensikonvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II, 1977); (iv) Kejahatan dgresi (tidak termasuk mandat TMI 1945, ICTY 1993, atau ICTR 1994); (h) Penetapan konsep tanggung jawab kriminal individial (yang juga dianut oleh TMI 1945, ICTY 1993, dan ICTR 1994). G. KARAKTERIS1'1K UMUM KEJAHATAN YANG TERMASUK YURISDIKSI PENGADILAN INTERNASIONAL SEJAit TMr 1945 SAMPAT DENGAN ICC 1998 43. Dari instrumen konstitutif pengadilan-pengadilan internasional yang pernah ada atau yang ada sejak 1945 (TMI 1945, ICTY 1993, ICTR 1994, ICC 1998) sebagaimana dirujuk dalam supra, para 31-33 dan para 35-42, dapat dicatat karakteristik umum mengenai kewenangan pengadilan-pengadilan internasional tersebut, khususnya yang .._berkenaan dengan .. yurisdiksi materiil (ratione materiae), yurisdiksi personal (ratione personae), yurisdiksi temporal (ratione temporis), dan kewajiban komunitas internasional sebagai berikut: (a) Yurisdiksi materiil: Jenis atau kategori kejahatan yang termasuk yurisdiksi pengadilanpengadilan internasional tersebut adalah jenis atau kategori kejahatan yang niat, bentuk tindak, dan akibatnya mengguncang secara sangat dalam hati nurani manusia yang beradab dan yang dipandang sebagai kepentingan komunitas internasional secaral eseluruhan untuk menuntut dan menghukum pelakunya, yakni: (i) Kejahatan terhadap perdamaian; (ii) Kejahatan perang; (iii) Pelanggaran berat hukum humaniter internasional; (iv) Kejahatan genosida; (v) Kejahatan terhadap kemanusiaan; (b) Yurisdiksi personal: Dikukuhkannya konsep tanggung jawab kriminal individual dalam hal terjadinya kejahatan sebagaimana disebut dalam huruf (a) d1i atas; (c) Yurisdiksi temporal: Dapat diberlakukannya secara retroaktif ketentuan yang relevan untuk kasus tertentu melalui pengadilan internasional yang bersifat ad hoc, bukan yang bersifat permanen; (d) Kewajiban negara: Kewajiban penuntutan dan penghukuman pelaku kejahatan sebagaimana tersebut dalam huruf (a) di atas merupakan kewajiban semua negara (erga omnes). 44. Meskipun hanya kejahatan genosida yang oleh MUPBB secara eksplisit diklasifikasikan sebagai "kejahatan menurut hukum internasional" (resolusi 96(I) tertanggal 11 Desember 1946 - lihat supra, para 32), memperhatikan ciri-ciri umum sebagaimana disebut dalam para 43 di atas, dapat kiranya disimpulkan bahwa, selain kejahatan genosida, kejahatan lain sebagaimana tersebut dalam para 43(a) di atas, yakni kerjahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, pelanggaran berat hukum humaniter, dan kejahatan terhadap kemanusiaan juga termasuk kejahatan menurut hukum internasional atau kejahatan internasional. 13 VI. CATATAN PENUTUP 45. Dari pokok-pokok yang dikemukakan dalam para 1-44 dapat kiranya dibuat catatan penutup berikut: (a) Hukum HAM internasional berkembang secara "embrionik" sejak 1919, terutama dengan terbentuk dan diambilnya tindaktindak, walaupun terbatas, bagi penghormatan dan perlindungan HAM oleh LBB; (b) Impetus baru perkembangan hukum HAM internasional terjadi dengan pembentukan PBB pada 1945 yang dalam Piagamnya menyatakan pemajuan dan pendorongan penghormatan HAM merupakan salah satu tujuan PBB; (c) Meskipun bukan instrumen internasional yuridis, DUHAM 1948 merupakan instrumen paling penting bagi pengembangan hukum internasional; (d) 1966 merupakan tahun bersejarah yang sangat penting dalam perkembangan hukum HAM internasional karena pada 1966 itulah komunitas internasional menerima dua instrumen yang mengikat secara hukum dan yang bersifat umum, dasar, dan induk, yakni KIHESB dan KIHSP, karena kedua instrumen ini kemudian "menurunkan" instrumen-instrumen hukum HAM internasional yang "hukum lunak" yang semuanya bertujuan memajukan penghormatan den perlindungan HAM secara universal; (e) Meskipun jenis atau bentuk kejahatan yang termasuk yurisdiksi TMI 1945, ICTY 1993, ICTR 1994, dan Statuta [Roma] ICC 1998 tidak dinyatakan oleh instrumen konstitutif masingmasing sebagai pelanggaran HAM per se, bentuk-bentuk perbuatan yang termasuk kategori kejahatan yang berada di bawah yurisdiksi TMI 1945 dan/atau ICTY 1993 dan/atau ICTR 1994 dan/atau ICC 1998, selain merupakan tindak pidana, juga merupakan pelanggaran hak asasi dan/atau kebebasan fundamental tertentu sebagaimana tercantum dalam DUHAM 1948 dan/atau KIHESB 1966 dan/atau KIHSP 1966; (f) Terbentuknya ICC pada 1998 merupakan raihan sangat penting upaya komunitas internasional untuk memastikan bahwa pelaku kejahatan menurut hukum internasional yang bentuk-bentuknya, merupakan juga pelanggaran hak asasi dan/atau kebebasan fundamental, akan.dituntut dan dihukum oleh pengadilan nasional atau pengadilan internasional. CATATAN AKHIR 1. (a) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1945 [mulai] menggunakan istilah "fundamental human rights" (hak manusia yang asasi) (paragraf preambuler kedua) dan "human rights and fundamental freedoms" (hak manusia dan kebebasan asasi) (Pasal 1.3 dan Pasal 55.c); (b) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 menggunakan istilah "human rights" (hak manusia) (judul, paragraf preambuler kedua, ketiga, dan keenam, serta paragraf awal diktum), "fundamental human rights" (hak manusia yang asasi) (paragraf preambuler kelima), dan "human rights and fundamental freedoms" (hak manusia dan kebebasan asasi) (paragraf preambuler keenam); (TT Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1950 menggunakan istilah "hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar manusia" Cjudul Bagian V), Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDSRI) 1950 menggunakan istilah "asas-asas dasar" (judul Bagian VI), sedangkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menggunakan istilah "hak asasi manusia" (judul Bab XA), demikian pula halnya dengan UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU 39/1999) yang juga menggunakan istilah "hak asasi manusia" yang di beberapa bagian UU 39/1999 dipergunakan akronimnya, yakni "HAM" (judul, pertimbangan, dasar hukum, diktum, serta sejumlah pasal dalam batang tubuh dan penjelasannya); (d) Memperhatikan huruf (c) di atas rupanya Indonesia menggunakan padanan istilah yang terdapat dalam paragraf preambuler kedua Piagam PBB 1945 (lihat (a) di atas) yang juga kemudian digunakan dalam paragraf preambuler kelima DUHAM 1948, yakni "fundamental human rights" yang padanannya bahasa Indonesia seharusnya berbunyi I'hak manusia yang asasi" namun padanan yang digunakan yang yang telah menjadi baku adalah "hak asasi manusia" dengan akronimnya "HAM". 2. Sesungguhnya merupakan pasal-pasal amendemen Konstitusi Amerika Serikat, yakni Amendemen I sampai dengan X, yang dibuat pada 1.791 dan yang terkenal dengan "Ten Original Amendments (Bill of Rights)" (Sepuluh Amendemen Asli (Undang-Undang Hak). 3. Konsep bilateral ini berkembang menjadi konsep internasional 112 tahun kemudian menjadi konsep internasional dengan dibuatnya sebuah konvensi internasional yang bertujuan menghapuskan perbudakan dan perdagangan budak, yakni Slavery Convention (Konvensi Perbudakan) 1926 (yang kemudian diubah dengan Protocol amending the Slavery Convention signed at Geneva on 25 September 1926 (Protokol Perubahan Konvensi Perbudakan yang ditandatangani di Jenewa pada 25 September 1926) yang dibuat pada 1953 dan selanjutnya ditambah dengan Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery (Konvensi Tambahan tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan Institusi serta Praktik Yang Serupa dengan Perbudakan) yang dibuat pada 1956. Konvensi 1864 ini, yang terdiri dari hanya sepuluh pasal, memuat asasasas yang masih berlaku sampai sekarang. Setelah mengalami beberapa kali perubahan, pelengkapan, dan perluasan lingkup berlakunya , yang juga mencakup perlindungan korban perang, termasuk perlindungan penduddk sipil dalam konflik bersenjata, asas-asas tersebut kemudian terangkum dalam empat Konvensi Jenewa 1949, yang kemudian ditambah dengan dua Protokol Tambahan pada 1977. Instrumen-instrumen internasional ini, yang sekarang dikenal sebagai instrumen hukum humaniter (humanitarian law), esensinya bertujuan melindungi hak asasi dan kebebasan fundamental orang-orang yang berada dalam situasi 4. konflik bersenjata, baik yang terlibat maupun yang tidak terlibat-di dalamnya. 5. (a) DUHAM diterima oleh MUPBB dengan pnmungutan suara r1engan hasil 48 setuju, tidak ada yang menolak, dan delapan abstain (Arab Saudi, Bielorusia, Cekoslowakia, Pdlandia, Ukrainia, Uni Afrika Selatan, Uni Soviet, dan Yugoslavia); (b) Pada Desember 1948 jumlah negara anggota PBB adalah 57. 6. Indonesia menyatakan bahwa, "bangsa Indonesia, sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum (huruf tebal oleh penulis) untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia ..." (lihat "Menimbang", huruf d, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Pernyataan demikian, yang tertuang dalam instrumen nasional yang mengikat secara hukum, i.c. undangundang, dapat diartikan bahwa Indonesia menerima DUHAM 1948 sebagai hukum internasional kebiasaan. 7. Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida diterima (adopted) oleh MUPBB pada 9 Desember 1948, jadi [sehari] sebelum diterima dan diproklamasikannya DUHAM pada 10 Desember 1948. Oleh karena itu paragrafparagraf preambuler Konvensi ini tidak merujuk DUHAM 1948 melainkan instrumen lain yang pernah dikeluarkan oleh MUPBB sebelumnya, yaitu Deklarasi yang dikeluarkan oleh MUPBB dalam reslusinya 96(I) tertanggal 11 Desember 1946 yang menyatakan bahwa "genosida adalah kejahatan menurut hukum internasional, bertentangan dengan semangat dan tujuan Perserikatan BangsaBangsa, dan dikutuk oleh dunia beradab". 8. Konvensi tentang Pengurangan Ketiadaan Kewarganegaraan, yang diterima pada 30 Agustus 1961 oleh Konferensi Wakil-wakil Berkuasa Penuh yang diadakan pada 1959 dan diselenggarakan lagi pada 1961 sesuai dengan resolusi MUPBB 896(IX) tertanggal 4 Desember 1954, hanya mempunyai dua paragraf preambuler, yang pertama merujuk resolusi MUPBB 896(IX) tertanggal 4 Desember 1954 tersebut dan, yang kedua [hanya] menyatakan keseyogyaan (desirability) untuk mengurangi ketiadaan kewarganegaraan dengan pembuatan perjanjian internasional. Rujuan pada DUHAM 1948 tidak ada. 9. Dua instrumen yang mengatur tema sejenis, yakni yang berkenaan dengan penghapusan perbudakan atau institusi_ lain yang serupa adalah Konvensi bagi Penindasan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Prostitusi Orang Lain (diterima oleh MUPBB dengan resolusi 317(IV) tertanggal 2 Desember 1949) dan Protokol Perubahan Konvensi Perbudakan yang Ditandatangani di Jenewa pada 25 September 1956 (diterima oleh MUPBB dengan resolusi 794(VIII) tertanggal 23 Oktober 1953), yang walaupun dibuat sesudah diterima dan diperoklamasikannya DUHAM 1948 tidak merujuk instrumen ini dalam paragraf-paragraf preambulernya. Paragraf-paragraf preambuler Konvensi tersebut pertama (1949) menyatakan perlu dikonsolidasikannya instrumen-instrumen yang mengatur permasalahan yang sama yang dibuat pada-1904, 1910, 1921, dan 1933. Paragraf preambuler Konvensi tersebut kedua, yang terdiri atas dua paragraf, [hanya] menyatakan perlu diteruskannya tugas dan fungsi Liga Bangsa-Bangsa menurut Konvensi Perbudakan 1926 oleh PBB. 10. Meskipun dibuat pada 1992, jadi melampaui kurun waktu yang diliput oleh Bab III kertas ini (1945-1989), "hukum lunak" tersebut para 22 (o) dan (p) dimasukkan dalam daftar demi kelengkapan rangkuman. 11. Piagam TMI 1945 tidak menyebut genosida dalam jenis kejahatan yang termasuk yurisdiksi TMI. Ketiadaan ini mungkin disehabkan oleh hal bahwa pengertian "genosida" sebagai kejahatan menurut hukum internasional baru disebut untuk pertama kali oleh MUPBB pada 1946 (resolusi MUPBB 96(I) tertanggal 11 Desember 1946). 12. Dalam daftar di bawah (a) ini tllak dimasukkan "kejahatan agresi" karena pengertian dan/atau unsur-unsu_ dan/atau bentuk-bentuknya, sampai dibuatnya kertas ini, belum dirumuskan dan/atau dibuat. Statuta [Roma] ICC hanya menyebutnya sebagai salah satu jenis atau kategori "kejahatan paling berat yang menjadi urusan komunitas internasional secara keseluruhan" dan termasuk yurisdiksi ICC, tetapi tidak memuat unsur-unsur dan/atau menyebut bentuk-bentuk kejahatannya.