Hubungan Kausalitas Jangka Panjang Investasi Pendidikan dengan Pertumbuhan Ekonomi: Studi Kasus Provinsi Aceh melalui Analisis Vector Autoregression (VAR):1 Riswandi2 Abstrak Sumber pendanaan pendidikan naik cukup signifikan sejak Aceh memperoleh otonomi khusus tahun 2001, namun capain indikator utama pendidikan khususnya mutu lulusan dan tata kelola pendidikan masih bervariasi sehingga dikhawatirkan investasi pendidikan belum menjadi determinan penting pertumbuhan ekonomi daerah. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana hubungan kausalitas jangka panjang investasi pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi Aceh. Data yang digunakan adalah data runtun waktu sebanyak 23 observasi (1984 – 2006). Analisis VAR, Impluse Response dan uji Granger Causality, uji unit roots dan kointegrasi Johansen dilakukan untuk mengetahui karakteristik hubungan jangka panjang antarvariabel. Temuan penelitian adalah, pertama, seluruh variabel penelitian terkointegrasi pada orde pertama, I(1). Kedua, dalam jangka panjang, kenaikan investasi pendidikan sebesar 1 persen meingkatkan pertumbuhan ekonomi Aceh sebesar 0,31 persen. Ketiga, berdasarkan model VAR(1), dalam jangka pendek investasi pendidikan belum signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh, namun tidak demikian halnya dalam jangka panjang. Hal ini didukung hasil uji Granger Causality bahwa dalam jangka pendek hanya ada satu hubungan kausalitas dari pertumbuhan ekonomi ke investasi pendidikan, sedangkan dalam jangka panjang hubungan kausalitas satu arah tidak langsung (indirect causality) justeru terjadi sebaliknya. Terakhir, berdasarkan analisis Impulse Response, respon pertumbuhan ekonomi dan investasi pendidikan adalah bersifat expansionary response dalam jangka panjang, tanpa mempertimbangkan shock variabel endogen apapun dan darimana (ordering) shock tersebut terjadi. Usulan kebijakan untuk pemerintah Aceh adalah pertama, shock apapun yang dapat mempengaruhi anggaran daerah sebaiknya tidak diikuti dengan pengurangan anggaran pendidikan. Kedua, Pemerintah Aceh perlu menyusun peraturan perundang-undangan tentang pemanfaatan anggaran pendidikan yang bersumber dari tambahan dana migas dan otonomi khusus. Kata kunci: investasi pendidikan, pertumbuhan ekonomi Aceh, kointegrasi, vector autoregression, impulse response, Granger causality Disampaikan pada Simposium Tahunan Penelitian Pendidikan di Jakarta, 4 – 6 Agustus 2009. Saat ini bekerja sebagai Sekretaris Eksekutif pada Pusat Kajian dan Informasi Ekonomi Aceh (pike Aceh). Riswandi dapat dihubungi di e-mail: [email protected]; www.pikeaceh.org 1 2 1 Bagian I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Investasi pendidikan atau modal manusia (human capital) telah menjadi salah satu determinan penting keberhasilan pembangunan ekonomi jangka panjang. Investasi pendidikan merupakan mesin perekonomian berbasis pengetahuan (knowledge-driven economy) yang memberikan kontribusi cukup signifikan terhadap peningkatan produktivitas tenaga kerja, penurunan pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan, peningkatan daya saing perdangangan, teknologi, kesehatan, stabilitas politik, hak asasi manusia dan demokrasi. Serangkaian penelitian3 telah dilakukan untuk menghubungkan bagaimana investasi modal manusia dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan manusia. Mayoritas hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif antara investasi modal manusia dan pertumbuhan ekonomi, meskipun sebagian kecil lagi gagal menjelaskan hubungan tersebut karena masalah metodologi dan data. Salah satu implikasi hasil temuan di atas adalah reorientasi kebijakan pembangunan ekonomi jangka panjang berbasis modal manusia di hampir sebagian negara di dunia. Tidak saja negara maju tetapi juga negara miskin mulai melakukan investasi modal manusia dalam jumlah yang relatif besar dengan cara peningkatan alokasi anggaran pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan, dan program magang. Sejalan hal tersebut, di Indonesia, UUD 1945 pasal 31 ayat 4 dan dan UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003 pasal 49 mengamanatkan pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengalokasikan sebesar 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan daerah untuk pendanaan pendidikan. Berbeda dengan provinsi lain di Indonesia, Pemerintahan Aceh sedikit lebih maju dalam hal pendanaan pendidikan. Sumber pendanaan pendidikan di Aceh mengalami peningkatan yang sangat besar sejak tahun 2001 dengan diberlakukannya UU No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Naggroe Aceh Darussalam4. Bahkan, pada tahun 2004, Aceh memiliki belanja pendidikan per kapita tertingi kedua setelah Provinsi Papua (Bank Dunia, 2006). Selanjutnya, seiring perubahan situasi politik dan perdamaian di Aceh, pendanaan pendidikan Aceh terus 3 Penelitian dengan topik investasi modal manusia mulai berkembang sejak pertengahan 1950-an sebagai respon lahirnya Teori Ekonomi Baru (new growth theory or endogenous growth theory) oleh Robert Solow. Teori ini menempatkan modal manusia sebagai faktor kunci dan dianggap sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi (engine of growth). 4 Menurut UU ini, pemerintah Aceh sekurang-kurangnya mengalokasikan 30% dari tambahan dana bagi hasil migas Aceh untuk biaya pendidikan. 2 memperoleh tambahan anggaran yang sangat signifikan5 setelah UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh diberlakukan. Dengan UU yang baru ini, alokasi anggaran pendidikan Aceh tidak saja bersumber dari 20% APBA (Angaraan Pendapatan dan Belanja Aceh) dan APBK (Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota) tetapi juga memperoleh tambahan sebesar 30% dari tambahan Dana Bagi Hasil minyak dan gas bumi yang diperoleh dari dana transfer pemerintah pusat. Bagaimana pemanfaatan dana pendidikan yang relatif cukup besar tersebut mampu menghasilkan produktivitas tenaga kerja yang lebih baik dan selanjutnya menjadi motor penggerak perekonomian Aceh adalah masalah utama yang sedang dihadapi bukan saja pemerintah Aceh tetapi juga pemangku kepentingan bidang pendidikan. Di satu sisi, anggaran pendidikan yang berlimpah menjadi sumber daya yang sangat penting untuk mencapai empat pilar pendidikan Aceh sebagaimana termaktub dalam Rencana Strategis Pendidikan Aceh 6, namun di sisi lain capain-capain indikator utama pendidikan khususnya kompetensi lulusan serta tata kelola pendidikan menunjukkan hasil yang bervariasi7. Tanpa adanya lulusan yang bermutu dan proses pendidikan yang efisien, pertumbuhan ekonomi yang bersinambungan dalam jangka panjang sulit untuk dicapai. Oleh karenanya penelitian ini dilakukan untuk menganalisis secara lebih dalam bagaimana hubungan kausalitas jangka panjang antara anggaran pendidikan dan pertumbuhan ekonomi Aceh. Selain itu penelitian ini diharapkan mampu mendeteksi seberapa besar kontribusi peningkatan anggaran pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi Aceh. Hanya sistem pendidikan yang bermutu mampu menghasilkan lulusan yang memiliki produktivitas tinggi dan mampu bersaing di pasar tenaga kerja. Selanjutnya, pasar tenaga kerja yang terlatih dan terdidik (educated and skilled-abundant-labour market) mampu menggerakan perekonomian secara signifikan dan berkelanjutan. 5 Tahun 2009, anggaran pendidikan Aceh mengalami kenaikan cukup signifikan menjadi sebesar 1,82 triliun atau sebesar 182 persen dibandingkan anggaran yang sama tahun 2007. 6 Empat pilar pendidikan Aceh yaitu peningkatan dan pemerataan akses, peningkatan mutu, tata kelola, dan pendidikan islami sebagaimana termaktub dalam visi Rencana Strategis Pendidikan Aceh, 2007 – 2011 yaitu “Terwujudnya pendidikan di Aceh yang merata untuk semua anak, berkualitas tinggi, bersifat islami, dan mampu menghasilkan lulusan yang kompetitif”. 7 Capaian indikator pendidikan khususnya di bidang perluasan akses pendidikan semakin membaik dan bahkan lebih tinggi dari target nasional. Per 2007, APM SD sebesar 94,66% sedikit lebih rendah dibandingkan target nasional sebesar 94,81%, sementara itu, APK SMP dan SMA sederajat berturut-turut, 96,59% dan 73,86% jauh lebih baik dibandingkan target nasionalnya berturut-turut sebesar 95% dan 64,20%. Di bidang peningkatan mutu dan daya saing pendidikan, capaian indikator nilai rata-rata UN SD sebesar 5,84 sedikit lebih baik dibandingkan target nasional sebesar 5,00, sedangkan di tingkat SMP/SMA sederajat sebesar 6,15 dan 6,33 masih jauh tertinggal dibandingkan target nasional sebesar 7 untuk keduannya (Dinas Pendidikan Aceh, 2008). 3 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan kausalitas antara anggaran pendidikan dan pertumbuhan ekonomi Aceh. Secara lebih khusus, tujuan penelitian ini adalah; (a) untuk menganalisis hubungan kausalitas antara anggaran pendidikan dan pertumbuhan ekonomi Aceh. (b) untuk menelusuri bagaima respon pertumbuhan ekonomi Aceh sebagai akibat perubahan anggaran pendidikan. (c) untuk menganalisis bagaimana karakteristik hubungan jangka panjang antara investasi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi Aceh. 1.3 Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Aceh. Data dan infomasi yang digunakan tidak saja pada level provinsi tetapi juga di 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Pengujian Model VAR, uji Granger Causality, Impulse Response dan uji Kointegrasi digunakan untuk menjawab masingmasing tujuan point (a), (b), dan (c). 1.4 Data dan Metode Penelitian Data Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang telah dikompilasi dan dipublikasikan oleh berbagai instansi, antara lain; Badan Perencanaan dan Pembangunan (BAPPEDA) Aceh, Dinas Pendidikan Aceh, dan Badan Pusat Statistik Aceh. Data runtun waktu (time series data) selama 23 observasi, periode 1984-2006, digunakan untuk menganalisis secara umum bagaimana hubungan kausalitas jangka panjang antarvariabel terjadi. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian inferensi dengan menggunakan model ekonometrika untuk menganalisis bagaimana hubungan kausalitas jangka panjang antara pertumbuhan ekonomi Aceh dan investasi pendidikan Aceh. Fungsi Produksi Coob-Douglas yang telah diperluas dengan memasukkan anggaran pendidikan sebagai proksi investasi manusia digunakan sebagai model dasar penelitian, sebagai berikut: Yt = AKtαLtβEtγ dimana Yt (1) adalah output, Kt adalah modal fisik, Lt adalah jumlah tenaga kerja, Et adalah anggaran pendidikan pemerintah, dan A adalah kemajuan teknologi. 4 Selanjutnya, persamaan (1) ditransformasikan dalam bentuk logaritma natural menjadi sebagai berikut: lyt = a + αlkt + llt γlet + εt dimana lyt (2) = logaritma output per kapita lkt = logaritma modal fisik llt = logaritma kesempatan kerja let = logaritma anggaran pendidikan pemerintah a = konstanta, dengan asumsi constant return to scale (A konstan) α, , γ = parameter yang akan diestimasi ε = error term t = tahun observasi Model VAR(1) dengan lag 1, misalnya, dapat diturunkan dari persamaan (2) untuk mengetahui bagaimana hubungan kausalitas anggaran pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi Aceh, sebagai berikut: lyt = a10 + a11 yt-1 + a12lkt-1 + a13llt-1 + a14let-1 + εyt (3) lkt = a20 + a21 yt-1 + a22lkt-1 + a23llt-1 + a24let-1 + εkt (4) llt = a30 + a31 yt-1 + a32lkt-1 + a33llt-1 + a34let-1 + εyt (5) let = a40 + a41 yt-1 + a42lkt-1 + a43llt-1 + a44let-1 + εet (6) Dalam penelitian ini, operasional variabel yang digunakan adalah sebagai berikut: (a) Logaritma PDRB (produk domestik regional bruto) digunakan sebagai proksi logaritma pertumbuhan ekonomi (lyt). (b) Logaritma pembentukan modal tetap bruto merupakan proksi logaritma modal fisik (lkt). (c) Logaritma kesempatan kerja (llt) adalah logaritma kesempatan kerja yang diproksi dengan jumlah angkatan kerja Aceh (penduduk berumur 15 tahun ke atas). (d) Logaritma pengeluaran pendidikan pemerintah per tenaga kerja (let) diproksi dengan pengeluaran pendidikan pemerintah provinsi Aceh yang dialokasi setiap tahun dari Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA). 5 Bagian II Kajian Teori 2.1 Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi Ilmu ekonomi pendidikan (economics of education) merupakan salah satu cabang ilmu ekonomi yang mengalami perkembangan cukup pesat sejak tahun 1960-an. Pada awal perkembangnya, Schultz (1961) menganalisis bahwa peningkatan pendapatan riil per kapita masyarakat America pada pertengahan abad ke-20 disebabkan pertumbuhan modal manusia. Selanjutnya, Lucas (1988) mempresentasikan sebuah model yang menjelaskan bahwa kekuatan yang mendorong pertumbuhan ekonomi adalah tingkat akumulasi modal manusia. Bahkan sebuah konferensi ekonomi Internasional yang diselenggarakan tahun 1963 telah menghasilkan sebuah prosiding yang berisi tentang beberapa hal penting berkaitan dengan kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi, profitabilitas investasi pendidikan (termasuk estimasi tingkat pengembalian sosial dan individu), peranan tenaga kerja terdidik dalam pembangunan ekonomi, perencanana dan pembiayaan pendidikan, dan efek pendidikan terhadap distribusi pendapatan dan kekayaan (Psacharopoulos, 1987). Sementara itu, bagaimana investasi pendidikan memberikan kontribusi positif dan langsung terhadap pertumbuhan ekonomi telah dibuktikan oleh berbagai hasil penelitian. Pertumbuhan ekonomi di beberapa negara maju lebih didorong oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas tenaga kerja, bukan pertumbuhan tanah dan modal fisik per pekerja. Terbukti bahwa negara-negara yang mengalami pertumbuhan pendapatan secara persisten juga memiliki pengeluaran yang besar di bidang pendidikan dan pelatihan untuk angkatan kerja mereka (Becker, 1993). Belassi dan Musila (2004) menggunakan prosedur estimati kointegrasi dan kesalahan residual (error correction model=ECM) untuk menginvestigasi dampak pengeluaran pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) riil Uganda selama periode 1965-1999. Penelitian ini juga memasukkan modal fisik dan tenaga kerja sebagai salah variabel penting yang mempengaruhi pertumbuhan dalam jangka panjang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan model ECM, dalam jangka pendek, secara rata-rata setiap kenaikan 1% pengeluaran pendidikan per tenaga kerja akan mendorong output nasional sekitar 0,04%. Sementara itu, dengan estimasi kointegrasi, dalam jangka panjang, secara rata-rata setiap kenaikan 1% pengeluaran pendidikan per tenaga kerja akan meningkatkan output nasional sekitar 0,6%. 6 Berbeda dengan pendekatan yang dilakukan penelitian di atas, Nour dan Muysken (2006) menggunakan pendekatan lain untuk menjelaskan bagaimana defisiensi sistem pendidikan dan banyaknya pekerja lokal dan asing yang tidak terlatih di negara-negara semenanjung Arab, khususnya Uni Emirat Arab, merupakan hambatan serius untuk mengurangi ketergantungan terhadap teknologi luar negeri dan merestrukturisasi perekonomian dari ketergantungan mereka terhadap ekspor minyak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa interaksi antara sistem pendidikan yang tidak memadai dan tingginya pasokan tenaga kerja asing yang tidak terlatih memiliki konsekuensi serius, seperti; tingkat keahlian yang rendah, penyelenggaraan pelatihan yang rendah, ketidaksesuain keahlian, transfer pengetahuan yang rendah, usaha-usaha yang terbatas untuk pengembangan teknologi lokal, ketergantungan terhadap teknologi luar negeri dan penurunan produktivitas. Mereka juga menemukan bahwa kuliatas pendidikan dan pelatihan yang rendah, kurangnya insentif untuk memotivasi interaksi yang efektif antara pemilik pengetahuan dan penerima pengetahuan, dan ketidaksesuaian keahlian merupakan faktor penting penghambat transfer pengetahuan. Sementara itu, Al-Yousif (2008) meneliti hubungan kausalitas antara pengeluaran pendidikan sebagai proksi modal manusia dan pertumbuhan ekonomi di 6 negara GCC 8 dengan menggunakan uji Granger Causality. Hasil penelitian menyatakan hasil yang beragam namun di hampir semua negara hanya terdapat hubungan kausalitas satu arah (unidirectional causality) yaitu dari manusia ke pertumbuhan ekonomi, tidak sebaliknya. Keragaman hasil penelitian ini disebabkan oleh karakteristik masing-masing negara dan penggunaan proksi modal manusia yang berbeda-beda. Lebih spesifik, Nomura (2007) meneliti bagaimana kontribusi investasi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dapat berubah-ubah jika tingkat pendidikan dan pemerataan pendidikan berbeda. Dengan menggunakan rata-rata tahun sekolah (average number of years of schooling) dan koefisien Gini masing-masing sebagai proksi tingkat pendidikan dan pemerataan pendidikan, hasil penelitian menunjukkan, pertama, kontribusi investasi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi lebih besar dan secara statistik lebih signifikan di negara-negara dengan tingkat pendidikan yang rendah dibandingkan di negara-negara dengan pemerataan pendidikan yang lebih baik. Meskipun dalam kenyataan peningkatan rata-rata tahun sekolah di negara tersebut relatif lebih rendah disebabkan oleh kurangnya tenaga pendidik dan infrastuktur pendidikan, biaya pendidikan yang tinggi, dan pasar modal yang tidak sempurna. Implikasi dari temuan ini adalah kebijakan pendidikan sebaiknya dirancang untuk meningkatkan pemerataan 8 GCC (Gulf Cooperation Council) adalah kerjasama negara-negara semenanjung Arab meliputi Saudai Arabia, Kuwait, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman dan Qatar, tidak termasuk Yaman. 7 pendidikan sebab peningkatan rata-rata tahun sekolah tanpa disertai peningkatan pemerataan pendidikan akan memiliki dampak yang kecil terhadap pertumbuhan ekonomi. 2.2 Keuntungan Individu dan Sosial Investasi Pendidikan Tidak satupun negara dapat mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan tanpa investasi modal manusia secara substansial. Pendidikan memperkaya pemahaman manusia dan dunia. Pendidikan juga meningkatkan kualitas hidup manusia dan manfaat sosial yang lebih luas baik untuk individu maupun masyarakat. Pendidikan meningkatkan produktivitas dan kreativitas tenaga kerja serta meningkatkan kewirausahaan dan kemajuan teknologi. Bahkan, pendidikan memainkan peran yang penting dalam menyelamatkan kemajuan sosial dan ekonomi dan meningkatkan distribusi pendapatan (Ozturk, 2001). Dampak positif investasi pendidikan tidak hanya memberikan keuntungan individu (private benefits) tetapi juga keuntungan sosial (social/public benefits). Investigasi dampak menyeluruh (total effect) investasi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi terus berlangsung dan mengalami perkembangan baik dari sisi metodologi maupun variabel yang diukur. Peneliti tidak hanya berfokus pada efek langsung (direct effect) atau manfaat individu (individual benefits) dari investasi pendidikan terhadap peningkatan pertumbuhan melalui peningkatan pendidikan dan keterampilan angkatan kerja tetapi juga menganalisis efek tidak langsung (indirect effect) investasi pendidikan terhadap kesehatan, pertumbuhan penduduk, demokrasi, HAM, stabilitas politik, kemiskinan, ketidakmeraan distribusi pendapatan, lingkungan dan tingkat kriminal. Mayoritas hasil penelitian mendukung tesis bahwa investasi pendidikan tidak saja memberikan keuntungan individu tetapi juga dampak sosial (spillover benefit atau social benefit atau externalities). Bahkan, Pscharopoulos dan Patrinos (2002) berkesimpulan bahwa tingkat pengembalian keuntungan sosial atau ekternalitas positif mungkin lebih baik dibandingkan tingkat pengembalian individu untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah, sedangkan untuk tingkat pendidikan tinggi justeru sebaliknya. Hasil ini juga didukung oleh temuan Keller (2006) bahwa tingkat partisipasi pendidikan dasar tidak memberikan signal keuntungan langsung (direct benefits) terhadap pertumbuhan perkapita, tetapi partisipasi pendidikan dasar menunjukkan indirect effect dengan menurunnya tingkat fertilitas yang cukup signifikan, menarik investasi modal fisik, meningkatkan angka partisipasi di tingkat pendidikan menengah, dan dampak tersebut selanjutnya meningkatnya pendapatan per kapita. Pada level pendidikan mana yang memberikan manfaat yang paling besar terhadap pertumbuhan ekonomi juga menjadi topik kajian yang menarik. Papageorgiou (2003) menunjukkan hasil regresi bahwa pendidikan dasar memberikan kontribusi pada produksi output 8 akhir saja sementara pendidikan tinggi memberikan kontribusi terhadap inovasi dan pengembangan teknologi. Atau dengan kata lain, sebagaimana yang ditemukan oleh Knowles (1997), bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan akan memberikan produktivitas yang tinggi karena semakin meningkatnya tambahan produk dari setiap tambahan tenaga kerja (marginal product of labour). Survey di 44 negara oleh Pscharopoulos (1981) telah memperkaya studi tentang pengukuran manfaat individu dan sosial investasi pendidikan. Beberapa temuannya adalah sebagai berikut: a) tingkat pengembalian pendidikan dasar adalah paling tinggi dibandingkan dengan tingkat pendidikan lainnya, termasuk pendidikan tinggi; b) tingkat pengembalian individu lebih besar dibandingkan pengembalian sosial, khususnya pada tingkat pendidikan tinggi/univesitas; c) tingkat pengembalian investasi pendidikan lebih tinggi 10 persen daripada tingkat pengembalian investasi fisik; dan d) tingkat pengembalian pendidikan di negara-negara berkembang lebih tinggi relatif terhadap pengembalian pendidikan di negara-negara yang lebih maju. 9 Bagian III Hasil dan Pembahasan 3.1 Anggaran Pendidikan Aceh Anggaran pendidikan Aceh cenderung mengalami peningkatan yang sangat signifikan setelah Aceh ditetapkan sebagai salah satu daerah dengan status otonomi khusus melalui UU No 18 Tahun 2001. Karena kekhususan ini, sejak tahun 2002 Pemerintah Aceh memperoleh tambahan Dana Bagi Hasil minyak dan gas bumi dengan komposisi 55 persen dari pertambangan minyak dan 40 persen dari pertambangan gas bumi. Dari tambahan pendapatan tersebut, Pemerintah Aceh wajib mengalokasikan sebesar 30 persen untuk pembiayan pendidikan. Dalam perkembangnya, selama periode 2003-2006, alokasi tambahan dana bagi hasil migas untuk sektor pendidikan terus menurun seiring dengan penurunan produksi migas Aceh. Grafik 3.1.1 : Trend Anggaran Pendidikan Aceh, Tahun 1995-2009 2,000 Miliar Rp 1,800 1,835 1,600 Implementasi UU No 18/2001 1,400 Implementasi UU No 11/2006 1,365 1,200 1,000 800 704 699 700 600 491 400 200 0 4 10 6 4 16 20 650 480 44 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun Sumber: Bappeda Aceh , 2009. Sejak UU Nomor 18 Tahun 2001 digantikan dengan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh dan efektif berlaku mulai tahun 2007, anggaran pendidikan Aceh kembali mengalami peningkatan sangat signifikan. Menurut undang-undang yang lahir akibat kesepakatan damai antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini, Pemerintah Aceh dapat menggunakan sebagian dari tambahan dana otonomi khusus sebesar 2% dari plafon 10 DAU nasional (Dana Alokasi Umum) selama 15 tahun (208-2022) dan 1% setelahnya selama 5 tahun (2023-228) untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Persentase alokasi dana otonomi khusus untuk sektor pendidikan tidak secara tegas diatur dalam undang-undang tersebut. Selanjutnya, mulai tahun 2009 menurut UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pemerintah Aceh demikian halnya dengan daerah lain juga memperoleh tambahan anggaran pendidikan dasar sebesar 0,5% dari Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa anggaran pendidikan Aceh sebesar 1,8 triliun tahun 2009 berasal dari tiga sumber utama yaitu 30 persen bagian dari tambahan dana bagi hasil migas, persentase tertentu dari dana otonomi khusus, dan 0,5 persen dari dana bagi hasil migas. Trend persentase anggaran pendidikan terhadap APBA terus mengalami penurunan sejak tahun 2004, namun tidak demikian halnya dengan persentase anggaran pendidikan terhadap PDRB, sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3.1.2. Penurunan persentase anggaran pendidikan terhadap APBA disebabkan meningkatnya APBA Aceh setelah mendapatkan tambahan dana yang sangat besar dari transfer pemerintah pusat dalam bentuk dana perimbangan dan dana otonomi khusus. Akibatnya, porsi anggaran pendidikan semakin lama semakin menurun. Sebaliknya, kenaikan persentase anggaran pendidikan terhadap PDRB lebih disebabkan oleh kecenderungan melemahnya kapasitas ekonomi daerah dalam menghasilkan produk dan jasa-jasa setelah terkena dampak bencana alam gempa dan tsunami. Grafik 3.1.2 : Persentase Anggaran Pendidikan Terhadap PDRB dan APBA, 1995 – 2008 50 Persen 44.80 45 45.95 40 33.19 35 27.68 30 22.75 25 17.61 20 15 10 5 0 16.06 14.58 6.84 0.01 1995 6.10 0.02 1996 0.01 1997 8.79 11.31 5.85 0.01 1998 0.04 1999 16.02 0.05 2000 0.12 2001 % PDRB 1.66 1.56 1.73 1.35 1.30 1.81 2002 2003 2004 2005 2006 2007 % APBA 4.14 2008 Tahun Anggaran Sumber: Bappeda Aceh (2009). 11 Semakin besar transfer dana pemerintah pusat ke Aceh, semakin sulit Pemerintah Aceh memenuhi kewajiban alokasi anggaran untuk pendidikan sebesar 20 persen dari APBA, sebagaimana diatur oleh amandemen keempat UUD 1945, UU No 20 Tahun 2003 dan UU No 11 Tahun 2006. Pemerintah Aceh hanya berfokus pada pemenuhan 30% anggaran pendidikan dari tambahan dana migas dan persentase tertentu dari dana otonomi khusus, sedangkan mandat alokasi 20 persen dari APBA untuk pembiayaan pendidikan belum teralisasi, kecuali untuk periode 2002-2006. Porsi anggaran pendidikan sebesar 16,02 pada tahun 2008 mencerminkan bahwa kriteria utama pembiayaan pendidikan seperti kecukupan pendanaan (adequacy of funding)9 belum terpenuhi. Kecukupan dana pendidikan dapat diukur dari persentase dana pendidikan terhadap produk domestik bruto (gross domestic bruto) dan dari anggaran pemerintah daerah, misalnya 8% dari GDP dan/atau 20% dari anggaran pemerintah dikategorikan cukup. Namun demikian, sejak akhir tahun 1970-an, Bank Dunia telah menginisiasi sejumlah ukuran-ukuran kecukupan yang ditujukan untuk mencapai tujuan sistem pendidikan (Benson, 1978), meliputi: (a) angka partisipasi di sekolah dasar; (b) persentase antara jumlah murid laki-laki dan murid perempuan menjelaskan seberapa besar kesempatan belajar untuk perempuan; (c) angka partisipasi di sekolah lanjutan pertama; dan (d) tingkat melek huruf Untuk menjamin tercapainya keempat ukuran tersebut, sistem pendidikan yang dibiayai secara cukup harus mencakup, antara lain: (a) ketersediaan guru dan ruang kelas di perkotaan maupun di pedesaan; (b) biaya per kapita untuk menjamin tercapainya tingkat minimum kompetensi dan komitmen guru-guru; (c) adanya alokasi pengeluaran untuk nutrisi atau kesehatan sehingga anak didik secara fisik mampu menerima proses pembelajaran dengan baik. Oleh karena itu, pada bagian selanjutnya, pembahasan lebih difokuskan pada bagaimana efek kecukupan dana pendidikan di Aceh terhadap pencapaian indikator utama pendidikan baik di bidang akses, mutu, maupun tata kelola. 9 Ada tiga kriteria utama pendanaan pendidikan meliputi kecukupan (adequacy of funding), effisiensi (efficiency), dan pemerataan (equity). 12 3.2 Pencapaian Indikator Pendidikan Aceh Pada bagian ini akan dipaparkan capaian indikator pendidikan Aceh baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota serta masalah yang dihadapi. Data yang ditampilkan bersumber dari Renstra Pendidikan Aceh dan Database Pendidikan hasil kerjasama Dinas Pendidikan Provinsi Aceh, Bappeda Provinsi Aceh dan UNICEF Banda Aceh. Beberapa indikator pendidikan yang dianalisa meliputi indikator pemerataan dan perluasan akses pendidikan, peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing, dan penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik. Pemerataan dan Perluasan Akses Pendidikan Grafik 3.2.1 menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin rendah tingkat partisipasi penduduk sekolah di Aceh. Pada jenjang pendidikan SD/MI, angka partisipasi masyarakat sangat tinggi bahkan melebihi norma nasional. Sementara itu, meskipun secara ratarata partisipasi sekolah pada level pendidikan menengah (SMP/MTs dan SMA/SMK/MA) lebih baik dibandingkan capaian secara nasional, indikator partisipasi pendidikan pada level ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Beberapa faktor penyebab semakin menurunnya angka partisipasi pendidikan di tingkat pendidikan menengah adalah semakin memburuknya perekonomian masyarakat dan anggaran pendidikan untuk pendidikan nonformal sangat terbatas. Di akhir tahun 2007, kondisi pendidikan nonformal di Aceh masih bergerak lambat; angka buta huruf penduduk berumur 15 tahun relatif tinggi yaitu 6,02%; jumlah peserta Paket A, B, dan C baru sekitar 31.480 orang; cakupan Paket A, B, dan C masih rendah sekitar 6,1% dari jumlah putus sekolah SD, SMP, dan SMA yang masing-masing sebesar 48.050 siswa, 97.629 siswa, dan 370.496 siswa. Produktivitas tenaga kerja tentu sangat rendah jika ternyata lebih dari 6% dari komposisi penduduk yang aktif secara ekonomi (15 tahun ke atas) masih tidak dapat membaca. Ada beberapa implikasi krusial terhadap peningkatan partisipasi sekolah di tingkat dasar di satu sisi dan penurunan partisipasi sekolah pada level pendidikan yang lebih tinggidi sisi yang lain. Pertama, pasar tenaga kerja profesional kemungkinan tidak dapat dipenuhi di tingkat lokal sehingga harus mengimpor tenaga kerja dari provinsi lain. Dengan demikian, efek ganda (multiplier effect) tambahan keuntungan peningkatan tenaga kerja di sektor tertentu terhadap pertumbuhan ekonomi Aceh lebih besar pada perekonomian daerah asal tenaga kerja tersebut dibandingkan perekonomian lokal. Di samping itu pertumbuhan ekonomi tanpa didukung oleh sumber daya manusia yang terampil dan terdidik (skilled and educated-induced economic growth) sulit dicapai dalam jangka panjang. Kedua, eksploitasi pekerja anak cenderung meningkat karena banyak lulusan sekolah dasar yang tidak meneruskan pendidikan ke level pendidikan yang lebih tinggi. Fenomena ini mengakibatkan perubahan kesejahteraan, sosial dan 13 ekonomi masyarakat ke level yang lebih baik akan sulit dicapai karena rendahnya produktivitas pekerja anak. Ketiga, orientasi politik terhadap alokasi anggaran sebaiknya mulai dilakukan dengan memberikan stimulus keuangan secara proporsional di jenjang semua jenjang pendidikan. Stimulus keuangan tidak hanya difokuskan pada sekolah dasar (SD/MI) dan sekolah menegah pertama (SMP/MTs) saja tetapi harus ditingkatkan pada sekolah menengah atas dan kejuruan (SMA/SMK/MA). Grafik 3.2.1: Trend Angka Partisipasi Kasar Menurut Jenjang Pendidikan, 1999-2005 (persen) 140 120 115,69 113,35 111,61 117,57 113,4 117,53 100 80 66,47 60 40 38,02 72,51 43,4 74,74 86,97 79,75 76,89 116,6 114,06 91,25 85,22 68,39 47,51 45,36 52,72 49,6 52,22 20 0 1999 2000 2001 2002 SD/MI 2003 SMP/MTs 2004 2005 NASIONAL SMA/SMK/MA Sumber: Renstra Pendidikan Aceh, 2007-2012. Sebagaimana diperlihatkan Grafik 3.2.2, rasio siswa per guru jauh lebih baik dibandingkan standar nasional, khususnya pada tingkat SD/MI. Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan guru secara umum telah terpenuhi di Aceh, kecuali distribusi guru beberapa bidang studi utama belum merata secara geografis antara perkotaan dan perdesaan. Berdasarkan kondisi tersebut, kebijakan penambahan guru oleh pemerintah daerah kurang populis, kecuali untuk guru kontrak menurut bidang studi yang ditempatkan di daerah terpencil dan tertinggal untuk mengurangi diskrepansi ketersediaan guru mata pelajaran. Grafik 3.2.2: Rasio Siswa per Guru Menurut Jenjang Pendidikan, Tahun 1999-2005 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 2000 2001 2002 SD/MI 2003 SMP/MTs 2004 2005 NASIONAL SMA/SMK/MA Sumber: Renstra Pendidikan Aceh, 2007-2012. 14 Sementara itu, rasio siswa per guru untuk SD/MI di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Aceh belum pada level yang mengkhawatirkan, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 3.2.1. Meskipun masih jauh dibawah standar nasional, secara rata-rata, rasio siswa per guru di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah kabupaten. Kota Lhokseumawe memiliki rasio tertinggi sebesar 1:17,29 dan diikuti Kabupaten Aceh Tamiang, Kota Subulussalam, dan Kota Langsa masing-masing sebesar 1:16,53; 1:16,59; dan 1:15,93. Sementara itu, rasio siswa per guru terendah terjadi di Kota Sabang sebesar 1:7,27. Gambar 3.2.1 : Rasio Siswa Per Guru SD/MI di Kabupaten/Kota Tahun Ajaran 2008/2009 Sumber: Dinas Pendidikan Aceh, Bappeda Aceh dan UNICEF Banda Aceh, 2009. Secara umum hampir di semua kabupaten/kota, kesempatan belajar anak didik perempuan SD/MI masih tertinggal dibandingkan dengan anak didik laki-laki, sebagaimana diperlihatkan Grafik 3.2.3. Pada tahun ajaran 2008/2009, hanya 48 persen saja merupakan murid perempuan dari total siswa sebanyak 638,489 orang. Kota Sabang dan Simeulue memiliki proporsi yang lebih seimbang antara siswa laki-laki dan perempuan, sedangkan Aceh Timur dan Aceh Utara memiliki proporsi yang lebih buruk. Meskipun proporsi kesempatan belajar antara anak laki-laki dan perempuan tidak terlalu buruk, pemerintah daerah harus tetap konsisten dalam jangka panjang untuk memberikan kesempatan belajar yang sama bagi mereka. Sejalan dengan ini, Boyte (2005) telah membuktikan secara empiris bahwa kesempatan belajar untuk perempuan secara positif dan sangat kuat mendorong pertumbuhan ekonomi. Pendidikan perempuan yang semakin baik dapat menambah harapan hidup dirinya dan keluarganya, mengurangi angka kematian, dan memberikan keuntungan sosial yang lebih luas. Yang paling penting adalah ketika pemerintah 15 memberikan dukungan kebijakan untuk meningkatkan partisipasi pendidikan perempuan, kebijakan tersebut akan memberikan dampak yang positif bagi pembangunan ekonomi di masa depan. Grafik 3.2.3: Jumlah SD/MI Siswa Laki-laki dan Perempuan di Kabupaten/Kota Tahun Ajaran 2008/2009 Sumber: Dinas Pendidikan Aceh, Bappeda Aceh dan UNICEF Banda Aceh, 2009. Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing Indikator rendahnya mutu pendidikan Aceh dapat dilihat dari indikator persentase kelulusan ujian nasional tahun 2006 yang belum menggembirakan (SMP/MTs sebesar 93,30%; SMA/MA sebesar 81,35%; dan SMK sebesar 77,56%). Indikator lain yang mempresentasikan masih rendahnya mutu pendidikan di Aceh adalah ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran yang sangat minim termasuk keadaan ruang kelas dan ketersediaan perpustakaan, sebagaimana diikhtisarkan Tabel 3.2.1 di bawah ini. Pada tingkat pendidikan dasar, hanya 3 persen dari total sekolah sebanyak 3.838 unit (3.152 SD, dan 523 MI) yang memiliki fasilitas gedung perpustakaan. Kerusakan ruang baik rusak ringan dan berat di SD/MI terutama disebabkan oleh konflik yang lalu dan usia gedung sekolah yang tua. Disamping itu, sebaran SD/MI yang memiliki fasilitas kualitas ruang sangat rendah berada di daerah perdesaan. Tabel 3.2.1 Keadaan Ruang Kelas dan Ketersediaan Perpustakaan menurut jenjang pendidikan di Aceh Tahun 2006 Kondisi/ketersediaan SD/MI (%) SMP/MTs (%) SMA/MA (%) Rusak ringan/sedang 33,06 19,06 14,85 Rusak berat 24,08 17,19 10,69 3 56,51 71,22 Perpustakaan Sumber: Kebijakan Umum APBA 2008. 16 Angka Mengulang di Aceh pada dasarnya cukup baik berada di bawah 1 persen, kecuali untuk tingkat SD/MI sebagaimana diperlihatkan pada Grafik 3.2.4 di bahwa ini. Angka mengulang sangat tinggi terjadi pada periode puncak konflik (khususnya tahun 2002 dan 2001) sehingga akses ke sekolah dan proses pembelajaran tidak efektif, terutama sekolah yang berada di daerah perdesaan dan konflik. Sementara itu, di tahun 2005, angka mengulang kembali mengalami kenaikan yang sangat signifikan terutama di tingkat SD/MI disebabkan oleh bencana alam dan tsunami sehingga mempengaruhi anak didik mengikuti ujian yang dilakukan di sekolah. Grafik 3.2.4: Angka Mengulang Menurut Jenjang Pendidikan Tahun 1999-2005 (dalam persen) 6 5 4 3 2 1 0 2000 2001 SD/MI 2002 2003 2004 SMP/MTs SMA/SMK/MA 2005 Sumber: Renstra Pendidikan Aceh, 2007-2012. Indikator mutu pendidikan Aceh masih rendah juga dapat dilihat pada kualifikasi dan kompetensi guru mengajar di kelas. Sebagaimana digambarkan pada Grafik 3.2.5, kualifikasi guru di tingkat SD/MI lebih didominasi oleh guru dengan pendidikan tertinggi setingkat diploma 3 ke bawah. Sebaran guru dengan lulusan sarjana juga tidak merata sehingga menyebabkan ketimpangan mutu pendidikan antardaerah, terutama daerah kabupaten dan kota. Guru dengan pendidikan sarjana lebih suka tinggal di daerah perkotaan dibandingkan guru dengan pendidikan yang lebih rendah. Kabupaten Simelue, misalnya, komposisi guru menurut pendidikan terakhir sangat kontras yaitu 94% guru hanya berijazah diploma 3 ke kebawah dan hanya 6% guru berijazah sarjana. Sementara itu, di Kota Sabang dan Banda Aceh, komposisi guru menurut kualifikasi pendidikan lebih seimbang. 17 Grafik 3.2.5: Guru SD/MI Menurut Pendidikan Terakhir Tahun 2009 SUBULUSSALAM LHOKSEUMAWE LANGSA SABANG BANDA ACEH PIDIE JAYA BENER MERIAH ACEH JAYA NAGAN RAYA ACEH TAMIANG GAYO LUES ACEH BARAT DAYA ≥ D4/S1 ≤ D3 ACEH UTARA BIREUEN PIDIE ACEH BESAR ACEH BARAT ACEH TENGAH ACEH TIMUR ACEH TENGGARA ACEH SELATAN SINGKIL SIMEULU 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Sumber: Dinas Pendidikan Aceh, Bappeda Aceh dan UNICEF Banda Aceh, 2009. Grafik 3.2.6 menunjukkan bahwa secara rata-rata, 54 persen sekolah SD/MI memiliki sumber air tanpa toilet di lingkungan sekolah dan 66 persen memiliki fasilitas toilet tanpa sumber air. Secara geografi, sekolah-sekolah di daerah terpencil dan susah dicapai mempunyai fasilitas toilet yang sangat buruk seperti di Aceh Timur, Gayo Lues, Aceh Tenggara, dan Singkil. Lebih dari 50 persen sekolah yang terletak di daerah tenggara Aceh tidak memiliki fasilitas toilet. Kondisi ini sangat buruk sehingga dapat mempengaruhi mutu dan proses pembelajaran di sekolah. Lingkungan yang sehat dan nyaman memberikan efek yang positif bagi proses pembelajaran dan juga bagi kesehatan anak didik, guru, dan juga lingkungan. Grafik 3.2.6: Persentase SD/MI Yang Memiliki Sumber Air dan Toilet Tahun 2009 Sumber: Dinas Pendidikan Aceh, Bappeda Aceh dan UNICEF Banda Aceh, 2009. 18 Penguatan Tata Kelola, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik Koefisiensi efisiensi internal merupakan indikator yang menunjukkan seberapa efisien sistem pendidikan yang dilakukan. Berbeda dengan efisiensi eksternal yang lebih melihat pada manfaat sistem pendidikan terhadap keadaan sosial, ekonomi dan budaya, koefisien efisiensi internal (KE) menunjukkan seberapa baik performa siswa di dalam sistem pendidikan. Faktor yang dapat digunakan untuk mengukur koefisien efisiensi internal meliputi Angka Bertahan, Angka Kelulusan, dan Jumlah Tahun Siswa. Grafik 3.2.7 memperlihatkan bahwa secara umum proses pembelajaran di Aceh lebih efisien dibandingkan capaian secara nasional, KE Aceh sebesar 93,43 persen dibandingkan capaian nasional sebesar 88,54 persen. Namun demikian, masih terdapat kesenjangan efisiensi proses pembelajaran antardaerah. KE tertinggi (tidak termasuk Banda Aceh) adalah Kabupaten Singkil sebesar 96,35 persen diikuti oleh Kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Besar masingmasing sebesar 95,83 persen dan 95,63 persen, sedangkan KE adalah di Kabupaten Aceh Barat Daya sebesar 79,95 persen. Grafik 3.2.7: Koefisiensi Efisiensi Internal SD/MI Tahun Ajaran 2008/09 NASIONAL NAD SUBULUSSALAM LHOKSEUMAWE LANGSA SABANG BANDA ACEH PIDIE JAYA BENER MERIAH ACEH JAYA NAGAN RAYA ACEH TAMIANG GAYO LUES ACEH BARAT DAYA ACEH UTARA BIREUEN PIDIE ACEH BESAR ACEH BARAT ACEH TENGAH ACEH TIMUR ACEH TENGGARA ACEH SELATAN SINGKIL SIMEULU 0 20 40 60 80 100 Sumber: Dinas Pendidikan Aceh, Bappeda Aceh dan UNICEF Banda Aceh, 2009. Catatan: Koefisien Efisiensi Internal Banda Aceh mencapai 101 persen. Angka ini tidak lazim sebab nilai proses pembelajaran paling efisien sebesar 100 persen. Nilai KE Banda Aceh mungkin disebabkan oleh data yang kurang valid sehingga dalam analisis ini diabaikan. 19 3.3 Hubungan Kausalitas Investasi Pendidikan dengan Pertumbuhan Ekonomi Aceh 3.3.1 Hasil Estimasi OLS dan Identifikasi Pelanggran Asumsi Klasik Tabel 3.3.1 mengihktisarkan hasil estimasi OLS (ordinary least square) terhadap model penelitian untuk mengetahui bagaimana hubungan logaritma modal fisik, logaritma tenaga kerja, dan logaritma investasi pendidikan terhadap logaritma pertumbuhan ekonomi Aceh. Meskipun memiliki kriteria statistik yang cukup baik (R2 dan uji F), hasil estimasi Model Lengkap (seluruh variabel independen diperhitungkan) ternyata menunjukkan hasil yang relatif kurang baik karena hanya variabel logaritma investasi pendidikan yang secara statistik signifikan menjelaskan pertumbuhan ekonomi. Hal ini kemungkinan disebabkan belum terpenuhinya asumsi-asumsi klasik (classical linear regression model, CLRM), akibatnya estimator yang dihasilkan dari model lengkap tersebut tidak lagi BLUE (best linear unbiased estimator). Jika asumsi klasik tersebut tidak terpenuhi, semua kesimpulan statistik yang dilakukan, misalnya uji t dan F tidak valid dan konsekuensinya adalah pengujian hipotesis juga tidak valid. Berdasarkan alasan tersebut di atas, berbagai model alternatif dibentuk untuk menjelaskan hubungan yang lebih rasional antarvariabel penelitian. Pada Model A (variabel logaritma modal fisik tidak diperhitungkan) dan Model B (tanpa variabel logartima tenaga kerja) menunjukkan hasil yang relatif lebih dibandingkan dengan Model C (tanpa variabel logaritma investasi pendidikan). Bahkan pada Model C, variabel logaritma investasi pendidikan tidak signifikan secara statistik dan memiliki hubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi sehingga dalam pembahasan selanjutnya tidak dipertimbangkan lagi. Untuk menghasilkan estimator yang BLUE, identifikasi dan pengujian berbagai pelanggaran asumsi klasik harus dilakukan terhadap seluruh model penelitian yang dipertimbangkan, seperti multikolinieriti, heteroskedastisitas, dan autokeralasi. Pada Model Lengkap, pelanggaran multikolinieriti diduga terjadi karena kolerasi antara logaritma modal fisik dan logaritma tenaga kerja relatif sangat tinggi10 yaitu sebesar 0,925 (Lampiran 2). Dengan demikian, sulit untuk menentukan bagaimana perubahan variabel independen secara individu mempengaruhi perubahan variabel dependen karena perubahan satu variabel independen ternyata juga mempengaruhi perubahan variabel independen yang memiliki korelasi tersebut. Indikator lain terjadinya multikolineariti adalah koefisien determinasi regresi tambahan baik lk dan ll terhadap variabel independen lainnya juga sangat tinggi yaitu sebesar 0,93 dan 0,89, kecuali pada regresi le terhadap variabel independen lainnya relatif lebih kecil yaitu sebesar 0,698 (Lampiran 2). Pada Model A, tidak terdapat pelanggaran autokorelasi, sedangkan pelanggaran 10 Gujarati (2004, 359) menjelaskan bahwa multikolineariti mungkin saja meyebabkan masalah yang serius jika koefisien korelasi antara dau regresor lebih tinggi dari 0,8. 20 heteroskedastisitas telah diperbaiki dengan menggunakan metode White’s heteroscedasticityconsistent standard errors. Sementara itu, pada Model B, tidak terdapat pelanggaran baik autokorelasi maupun hetoroskedastisitas. Dengan demikian, estimator pada kedua model yang dipertimbangkan dalam penelitian ini (Model A dan B) telah BLUE. Tabel 3.3.1 : Hasil Estimasi OLS Model Lengkap Model A (tanpa lk) Model B (tanpa ll) Model C (tanpa le) Konstanta -2.645391 (10.65712) -17.125***) (5.971)ª 3.589618**) (14.48378) 19.57357 (14.48378) Lk 0.249072 (0.154377) 0.332663***) (0.156519) 0.821275***) (0.156519) Ll 0.608892 (1.028408) 2.1263***) (0.4319)ª _ Le 0.202434***) (0.040069) 0.24986***) (0.02066)ª 0.190353***) (1.320544) R2 0.930833 0.9214 0.929557 0.837917 F-Stat 85.23283 117.158 131.9590 51.69671 DW-stat 0.987708 1.0515 0.966534 0.399348 Variabel Bebas _ -2.037088 (1.320544) _ Kriteria Statistik Sumber Catatan : Lampiran 1 untuk Model Lengkap, B dan C. Lampiran 2 untuk Model A : ( ) adalah nilai standard errors ( )ª adalah nilai heteroscedasticity-consistent standard errors (*), (**), (***) berarti bahwa masing-masing pada tingkat 10%, 5% dan 1% menolak Ho. Jika demikian, model mana yang paling sesuai untuk menjelaskan hubungan kausalitas jangka panjang antara investasi pendidikan dan pertumbuhan ekonomi Aceh? Untuk menjawab pertanyaan ini, pada bagian selanjutnya dibahas uji statistik secara formal untuk mengidentifikasi ketidakstasioneritasan (non-stationarity) atau dengan kata lain ada atau tidaknya akar- akar unit (unit roots) pada suatu variabel runtun waktu (time series). 3.3.2 Uji unit roots Esensi uji stasioner atau tidak stasioner suatu variabel runtun waktu adalah untuk menentukan bagaimana respon variabel tersebut terhadap guncangan atau shock yang terjadi. Pada runtun waktu yang stasioner, guncangan hanya bersifat sementara dan dalam jangka panjang pengaruh guncangan tersebut dieliminasi atau dihilangkan karena runtun waktu tersebut bergerak berlawanan terhadap nilai jangka panjang mereka. Dengan kata lain, runtun waktu yang tidak stasioner mengandung guncangan yang relatif permanen. Dengan demikian, nilai rata-rata 21 dan varian dari runtun waktu yang tidak stasioner akan bergantung pada waktu sehingga menyebabkan (a) tidak ada nilai rata-rata jangka panjang dari runtun waktu tersebut dan (b) varian akan bergantung pada waktu dan terus bergerak ke titik yang tak terhingga (infinity) (Asteriou dan Hall, 2007). Sebagaimana dirangkum dalam Tabel 3.3.2 di bawah ini, semua variabel penelitian setelah dilakukan first differencing adalah stasioner atau tidak mengandung akar-akar unit pada tingkat signifikansi 10 persen untuk logaritma pertumbuhan ekonomi, 5 persen untuk logaritma tenaga kerja dan logaritma investasi pendidikan, dan 1 persen untuk logaritma modal fisik, dengan mempertimbangkan konstanta. Dengan kata lain, seluruh variabel penelitian terintegrasi pada orde satu, I(1), setelah dilakukan fisrt differencing masing-masing pada tingkat signifikansinya. Implikasi uji unit roots ini adalah bahwa hasil estimasi OLS Model A dan B pada Tabel 3.3.1 di atas bukan hasil regresi yang salah (spurious regression)11. Tabel 3.3.2 : Hasil Uji Augmented Dickey-Fuller Model: xt = a1 + bxt + a2t + c k xt k v t ; H 0 : c 0; H a : c 0 Unit-roots tests at logarithmic levels: Variabel Konstanta lyt 1.721972 Konstanta dan Trend -1.609051 Tanpa Konstanta dan Trend 5.635272***) k lkt -1.948427 -2.838266 3.267577***) 1 llt -1.279687 -2.283666 1.460333 1 let -0.224007 -2.054672 1.161479 1 Konstanta Konstanta dan Trend k lyt -2.684882*) -3.114032 Tanpa Konstanta dan Trend - lkt -4.349321***) -4.696601***) - 1 llt -3.157677**) -3.305586*) -2.438896**) 1 let -3.031451**) -3.095013 -2.694479***) 1 1 Unit-roots tests at first difference: Variabel Sumber: Catatan: 1 Lampiran 3. (*), (**), (***) berarti bahwa masing-masing pada tingkat 10%, 5% dan 1% menolak Ho untuk nonstationer. Nilai k merupakan banyaknya lag yang paling optimal dengan menggunakan Akaike info criterion 11 Hampir sebagian besar variabel makroekonomi menggambarkan trend sehingga kemungkinan besar dalam model ekonometrik yang dibangun dari variabel tersebut menghasilkan regresi yang salah (spurious regression). Oleh sebab itu, uji akar-akar unit wajib dilakukan sehingga hasil regresi terhadap model yang dibentuk terbebas dari spurious regression. 22 3.3.3 Uji Kointegrasi Jika variabel ekonomi terkointegrasi maka hal ini menunjukkan adanya keseimbangan jangka panjang antarvariabel tersebut. Kointegrasi menjadi persyaratan paling penting terhadap semua model ekonomi yang menggunakan data runtun waktu nonstasioner. Bahkan terhadap variabel yang memiliki trend, kemungkinan adanya keseimbangan jangka panjang tetap ada. Jika variabel yang digunakan tidak terkointegrasi maka hasil estimasi akan menyesatkan dan tidak valid (spurious regression). Berdasarkan uji kointegrasi Johansen, Model A merupakan model penelitian yang paling baik karena adanya kointegrasi antarvariabel penelitian. Sementara itu, dalam Model B, nilai Likelihood Ratio lebih kecil dibandingkan nilai kritis pada tingkat signifikansi baik 5 persen maupun 10 persen sehingga Ho ditolak (Lampiran 4). Dengan kata lain, dalam Model A terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang logaritma pertumbuhan ekonomi dengan logaritma tenaga kerja dan logaritma investasi pendidikan, tidak demikian halnya pada Model B. Hasil Uji kointegrasi Model A adalah sebagai berikut: lyt = 8.691933 + 0.262110 llt + 0.312027 let (s.e) (0.64424) (7) (0.02800) Sumber: Lampiran 4 Berdasarkan uji kointegari Johansen, pada Model A terdapat satu persamaan kointegrasi antara pertumbuhan ekonomi dengan tenaga kerja dan investasi pendidikan pada tingkat signifikansi 5 persen. Hal ini berarti bahwa dalam jangka panjang, secara rata-rata, setiap kenaikan investasi pendidikan sebesar 1 persen akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Aceh sebesar 0,31 persen. Sementara itu, dalam jangka panjang, secara rata-rata, setiap kenaikan tenaga kerja sebesar 1 persen akan mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh sebesar 0,26 persen. Karena investasi pendidikan lebih elastis dibandingkan tenaga kerja, kebijakan pemerintah yang pro-pendidikan harus menjadi prioritas kebijakan strategis jangka panjang. 3.3.4 Model Vector Autoregression (VAR) dan Impulse Response Persamaan struktural di atas didukung oleh teori ekonomi yang kuat untuk menunjukkan bagaimana hubungan variabel di sebelah kanan (variabel independen atau bebas) menjelaskan variasi atau perilaku perubahan variabel di sebelah kiri (variabel dependen atau terikat). Model struktural tersebut selanjutnya diestimasi untuk menguji relevansi teori ekonomi tersebut. Namun, teori ekonomi sangat terbatas untuk menjelaskan hubungan yang lebih dinamis 23 antarvariabel. Bahkan, estimasi dan kesimpulan statistik sulit dilakukan karena variabel endogen mungkin saja berada baik di sebelah kanan maupun di sebelah kiri. Untuk mengatasi hal tersebut di atas, pendekatan alternatif dengan model nonstruktural seperti pendekatan VAR menjadi pilihan untuk menjelaskan hubungan dinamis antarvariabel. Karakteristik penting model VAR adalah semua variabel penelitian merupakan variabel endogen, hanya konstanta dan trend yang anggap sebagai variabel eksogen. Selain itu, εyt, εkt εlt εet pada persamaan (3, (4), (5), dan (6) berturut-turut merupakan vektor inovasi pertumbuhan ekonomi, modal fisik, tenaga kerja, dan investasi pendidikan. Dalam model VAR, analisis dinamis dapat digunakan untuk mendeteksi bagaiman respon variabel endogen terhadap persamaan VAR setiap perubahan setiap inovasi tersebut. Isu lain yang juga penting dalam model ini adalah penentuan jumlah lag persamaan VAR yang dapat ditentukan dengan menggunakan berbagai kriteria, misalnya Determinant Residual Covariance (IΩI), log Likehood ( ℓ ), Akaike Information Criteria (AIC), dan Schwarz Criteria (SC). Semakin kecil nilai kriteria tersebut, semakin baik model persamaan VAR. Dari Model A di atas, persamaan VAR (1) adalah persamaan yang paling cocok untuk menjelaskan hubungan dinamis antarvariabel penelitian. Berdasarkan uji t (nilai kritis t10%, 22 adalah 1,328), pada persamaan (8), hanya investasi pendidikan satu periode yang lalu secara statistik tidak signifikan menjelaskan pertumbuhan ekonomi saat ini. Dengan kata lain, investasi pendidikan dalam jangka pendek belum mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi Aceh. Sementara itu, pada persamaan (9), hanya pertumbuhan ekonomi satu periode tahun yang lalu tidak signifikan secara statistik menjelaskan perubahan tenaga kerja saat ini (Lampiran 5). lyt = -9,126136 + 0,864419 yt-1 + 0,779088 llt-1 + 0,030282 let-1 (8) llt = 1.977035 – 0,038111 yt-1 + 0,891347l lt-1 + 0,018421 let-1 (9) let = 24,53224 + 2,085642 yt-1 – 3,595095 llt-1 + 0,430853 let-1 (10) Sumber: Lampiran 5. Hasil Model VAR(1) yang telah diestimasi dapat digunakan untuk analisis lanjutan yang lebih dinamis dengan menggunakan propertis Impulse Response (IR)12. Analisis IR menelusuri efek guncangan/inovasi/shock terhadap nilai sekarang maupun yang akan datang dari variabel endogen. Efek shock tersebut sangat tergantung pada urutan atau ordering variabel endogen pada persamaan VAR. Jika terjadi shock investasi pendidikan (εet) maka efek terhadap perubahan variabel endogen akan berbeda, tergantung darimana urutan dimulai, apakah langsung ke nilai 12 Pada dasarnya, analisis lanjutan dari hasil estimasi model VAR meliputi analisis, variance decomposition, impulse response, dan uji Granger Causality. Dalam penelitian ini, analisis yang digunakan hanya dua analisis terakhir. 24 investasi pendidikan saat ini kemudian ditransformasikan ke pertumbuhan ekonomi dan selanjutnya ke tenaga kerja. Pada tulisan ini, fokus analisis hanya menjelaskan bagaimana shock yang terjadi mempengaruhi investasi pendidikan dan pertumbuhan ekonomi Aceh. Grafik 3.3.1 memperlihatkan fungsi IR yang menelusuri bagaimana respon investasi pendidikan akibat terjadinya shock atau inovasi pertumbuhan ekonomi (grafik kiri) dan bagaimana respon pertumbuhan ekonomi akibat adanya shock investasi pendidikan (grafik kanan), dengan urutan shock mulai dari ly, le, dan kemudian diteruskan ke ll. Setiap fungsi IR mengukur efek satu standar deviasi shock yang berasal dari setiap variabel endogen terhadap nilai variable endogen lainnya saat ini dan 15 tahun yang akan datang. Pada grafik kiri, satu unit shock pertumbuhan ekonomi pada periode pertama menyebabkan investasi pendidikan bergerak naik sebesar 0,58% dari titik asalnya. Setelah satu periode, efek ini bersifat fluktuatif dan kemudian shock pertumbuhan ekonomi kembali memiliki efek positif yang persisten terhadap investasi pendidikan setelah periode kesepuluh. Sementara itu, pada grafik kanan, shock investasi pendidikan belum memberikan efek apapun terhadap pertumbuhan ekonomi pada periode pertama. Namun, respon atau efek positif investasi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi bersifat seketika (immediate) dan persisten, tidak berfluktuatif sebagaimana shock pertumbuhan ekonomi terhadap investasi pendidikan. Dari penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa respon pertumbuhan ekonomi dan investasi pendidikan adalah bersifat expansionary response dalam jangka panjang, tanpa mempertimbangkan shock yang terjadi. Grafik 3.3.1: Impulse Response ly dan le dengan Ordering ly le ll Response to One S.D. Innovations ± 2 S.E. Response of LE to LY Response of LY to LE 0.8 0.20 0.6 0.15 0.4 0.10 0.2 0.05 0.0 0.00 -0.2 -0.05 2 4 6 8 10 12 14 2 4 6 8 10 12 14 Sumber: Lampiran 6. 25 Grafik 3.3.2 menunjukkan bahwa efek atau respon pertumbuhan ekonomi dan investasi pendidikan akibat adanya inovasi setiap variabel endogen sedikit berbeda jika urutan shock atau orderingnya dirubah menjadi dari le, ly dan kemudian diteruskan ke ll. Pada grafik kiri, shock pertumbuhan ekonomi belum memberikan efek apapun terhadap investasi pendidikan, paling tidak untuk periode pertama. Meskipun efek pertumbuhan ekonomi bersifat fluktuatif, efek kumulatif terbesar terjadi pada periode kedua yaitu setiap kenaikan satu unit shok pertumbuhan ekonomi menggerakan investasi pendidikan sebesar 2,12 persen dari titik awalnya. Sementara itu, pada grafik kanan, efek investasi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi bersifat langsung dan memiliki respon yang posisif dan konsisten dalam jangka panjang. Grafik 3.3.2: Impulse Response ly dan le dengan Ordering le ly ll Response to One S.D. Innovations ± 2 S.E. Response of LE to LY Response of LY to LE 0.8 0.20 0.6 0.15 0.4 0.10 0.2 0.05 0.0 0.00 -0.2 -0.05 2 4 6 8 10 12 14 2 4 6 8 10 12 14 Sumber: Lampiran 6. 3.3.5 Uji Granger Causality Kausalitas adalah konsep ekonometrik yang lebih tepat untuk menggambarkan hubungan antarvariabel daripada konsep korelasi. Jika investasi pendidikan menyebabkan pertumbuhan ekonomi berarti bahwa nilai pertumbuhan ekonomi saat ini dapat dijelaskan oleh nilai pertumbuhan ekonomi periode yang lalu dan kemudian dengan menambahkan nilai lag investasi pendidikan dapat memperkaya penjelasan tersebut. Pertumbuhan ekonomi dikatakan Granger caused oleh investasi pendidikan jika investasi pendidikan membantu memprediksi nilai pertumbuhan ekonomi dan tidak berarti bahwa nilai pertumbuhan ekonomi merupakan efek atau hasil dari investasi pendidikan. Dengan demikian, hubungan kausalitas menyatakan bahwa nilai suatu variabel (misal x) periode yang lalu dapat digunakan untuk menjelaskan nilai suatu variabel yang lain (misal y) periode sekarang. 26 Tabel 3.3.3 mengikhtisarkan bahwa hubungan sebab akibat antara pertumbuhan ekonomi dan investasi pendidikan sangat tergantung pada jumlah lag pada model VAR. Hubungan kausalitas pada VAR(1) menunjukkan bahwa pada tingkat signifikansi 5 persen hanya terdapat satu hubungan sebab akibat (unidirectional causality) yaitu dari pertumbuhan ekonomi ke investasi pendidikan, dan tidak sebaliknya. Identifikasi hubungan kausalitas ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Blis dan Klenow (2000), Hicks dan Kubisch (1984), Looney (1987) dan Brempong (1998). Sementara itu, jika uji Granger causality dari model VAR(5), hubungan kausalitas justeru terjadi sebaliknya yaitu dari investasi pendidikan ke pertumbuhan ekonomi, sama dengan temuan Al-Yousif (2008). Hasil ini mendukung temuan uji kointegrasi bahwa dalam jangka panjang investasi pendidikan merupakan determinan penting terhadap pertumbuhan ekonomi Aceh. Tabel 3.3.3 : Hasil Uji Granger Causality Model A Lag 1 Null Hypothesis: Lag 5 F-Stat. F-Stat. Prob. Prob. LL does not Granger Cause LY 5.73849 0.02706 1.91944 0.20923 LY does not Granger Cause LL 1.08637 0.31036 0.04857 0.99789 LE does not Granger Cause LY 0.04085 0.84197 1.46283 0.31181 LY does not Granger Cause LE 7.32303 0.01400 1.08499 0.44371 LE does not Granger Cause LL 2.88285 0.10585 0.90342 0.52805 LL does not Granger Cause LE 0.26789 0.61073 8.78643 0.00631 Sumber: Lampiran 7. Hasil uji kausalitas tersebut di atas tidak berarti bahwa dalam jangka pendek investasi pendidikan tidak memberikan dampak apapun terhadap pertumbuhan ekonomi Aceh. Arah kausalitas satu arah dari pertumbuhan ekonomi ke anggaran pendidikan ini tidak bermakna bahwa anggaran pendidikan tidak memiliki peran dalam mendorong perekonomian Aceh atau anggaran pendidikan bukan variabel eksogen. Namun, anggaran pendidikan yang dianggap sebagai investasi modal manusia mampu mendorong pembangunan ekonomi melalui peningkatan produktivitas tenaga kerja, kemajuan teknologi dan informasi. Dengan kata lain, pendidikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung (indirect causality) melalui peningkatan keahlian dan keterampilan tenaga kerja dan selanjutnya peningkatan produktivitas tenaga kerja akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Tesis ini didukung oleh adanya hubungan kausalitas satu arah dari tenaga kerja ke pertumbuhan ekonomi. 27 Bagian IV Simpulan dan Saran 4.1 Simpulan Beberapa simpulan dari tulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Anggaran pendidikan Aceh mengalami peningkatan yang sangat signifikan setelah Aceh ditetapkan sebagai salah satu daerah dengan status otonomi khusus. Bahkan, dengan ditandatangani perjanjian damai antara GAM dan RI, anggaran pendidikan Aceh meningkat sangat signifikan. 2. Pemerintah Aceh belum memenuhi persentase anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total APBA, kecuali pada periode 2002-2006. 3. Sumber anggaran pendidikan Aceh yang terus meningkat memberikan dampak terhadap pencapaian indikator pendidikan Aceh secara bervariasi. Di bidang pemerataan dan perluasan akses pendidikan, Angka Partisipasi Kasar (APK) pada jenjang SD/MI menunjukkan trend yang semakin baik, bahkan lebih tinggi daripada capaian secara nasional. Sebaliknya, APK untuk jenjang pendidikan menengah (SMP/MTs maupun SMA/SMK/MA) masih rendah. Rasio siswa per guru jauh lebih baik dibandingkan standar nasional, khusunya pada tingkat SD/MI, tetapi distribusi guru bidang studi belum merata antara daerah perkotaan dan perdesaan. Kesempatan belajar anak didik perempuan masih tertinggal dibandingkan dengan anak didik laki-laki, meskipun angkanya tidak terlalu buruk. Di bidang peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing, indikator persentase kelulusan ujian nasional belum menggembirakan. Ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran masih rendah termasuk ruang kelas dan perpustakaan, terutama sekolah SD/MI di daerah terpencil. Kualifikasi dan kompetensi guru masih rendah, bahkan khusu untuk SD/MI hampir 94 persen guru hanya lulus diploma 3 ke bawah. Sementara itu, di tingkat SD/MI, 54 persen sekolah SD/MI memiliki sumber air tanpa toilet dan 66 persen memiliki fasilitas toilet tanpa sumber air. Terakhir, di bidang penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik, capaian koefisiensi efisiensi internal di Aceh secara rata-rata melebihi capaian nasional. Hal ini mengindikasikan bahwa proses pembelajaran di Aceh lebih efisien dibandingkan capaian secara nasional. 4. Hubungan kausalitas jangka panjang antara investasi pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi dan karakteristiknya dapat disimpulkan sebagai berikut: (a) Berdasarkan hasil uji kointegrasi Johansen, dalam jangka panjang, setiap kenaikan 1 persen anggaran pendidikan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 0,31 28 persen. Sementara itu, setiap kenaikan tenaga kerja sebesar 1 persen akan mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh sebesar ,26 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam jangka panjang investasi pendidikan lebih elastis dibandingkan tenaga kerja, sehingga kebijakan pemerintah ‘pro-pendidikan’ harus dijadikan prioritas kebijakan strategis jangka panjang. (b) Model VAR (1) adalah merupakan model yang dapat menjelaskan hubungan kausalitas antara investasi pendidikan dan pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, analisis yang lebih dinamis berdasarkan model VAR(1) adalah analisis Impulse Response dan uji Granger Causality. (c) Berdasarkan fungsi Impulse Response, respon pertumbuhan ekonomi dan investasi pendidikan adalah bersifat expansionary response dalam jangka panjang, tanpa mempertimbangkan shock yang terjadi. Sementara itu, efek investasi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada ordering atau urutan shock yang terjadi. Jika shock diawali dari pertumbuhan ekonomi kemudian ditransformasi ke investasi pendidikan dan terakhir ke tenaga kerja, respon investasi pendidikan terhadap shock pertumbuhan ekonomi langsung dan positif. Sementara itu jika urutan shock dimulai dari investasi pendidikan kemudian ditransformasikan ke pertumbuhan ekonomi dan terakhir ke tenaga kerja, shock pertumbuhan ekonomi belum memberikan efek apapun terhadap investasi pendidikan dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang respon investasi pendidikan persisten dan positif. (d) Berdasarkan hasil uji Granger Causality, pada tingkat signifikansi 5 persen dalam jangka pendek hanya terdapat satu hubungan kausalitas (unidirectional causality) dari pertumbuhan ekonomi ke investasi pendidikan. Namun dalam jangka panjang, pendidikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung (indirect causality) melalui peningkatan keahlian dan keterampilan tenaga kerja dan selanjutnya peningkatan produktivitas tenaga kerja akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Tesis ini didukung oleh adanya hubungan kausalitas satu arah dari tenaga kerja ke pertumbuhan ekonomi. 5. Dari serangkaian uji yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa dalam jangka panjang investasi pendidikan sangat efektif menjadi determinan penting pertumbuhan ekonomi Aceh. Investasi pendidikan menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi melalui pendanaan sistem pendidikan yang bermutu dan efisien sehingga mampu meningkatkan mutu dan produktivitas tenaga kerja. 29 4.2 Saran Beberapa saran dari tulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah Aceh sebaiknya harus memenuhi anggaran pendidikan 20 persen dari total APBA, di samping tetap menjaga komitmen alokasi anggaran sebesar 30 persen dari tambahan dana migas untuk sektor pendidikan. 2. Pemerintah Aceh tidak mengurangi alokasi anggaran pendidikan akibat adanya shock jangka pendek karena terbukti secara empiris bahwa investasi pendidikan dalam jangka panjang memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Aceh. 3. Agar anggaran pendidikan memberikan dampak yang positif bagi pertumbuhan ekonomi Aceh, peraturan perundang-undangan, misalnya peraturan gubernur, perlu dikeluarkan untuk menghindari tumpang tindih pembiayaan pendidikan yang bersumber dari tambahan dana bagi hasil migas dan dana otonomi khusus. Selama ini, tumpang tindih pemanfaatan anggaran pendidikan terjadi baik antarprogram, antarSKPD (satuan kerja perangkat daerah) dan antarsumber pendanaan. Dengan demikian, reorientasi pemanfaatan anggaran pendidikan akan lebih merata, efisien, dan berkecukupan sehingga berdampak positif terhadap peningkatan mutu pendidikan dan selanjutnya meningkatkan produktivitas lulusan di pasar tenaga kerja 4. Pemerinta daerah perlu membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur secara eksplisit berapa persen bagian dari tambahan dana otonomi khusus sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006. 5. Kebijakan alokasi anggaran untuk jenjang pendidikan yang lain, misalnya pendidikan nonformal, juga harus menjadi prioritas kebijakan alokasi anggaran pemerintah Aceh. 30 Daftar Pustaka Al-Yousif, Y.K. (2008), ‘Expenditure and Economic Growth: Some Empirical Evidence from the GCC Countries’, Journal of Developing Areas, vol. 42, iss. 1, pp. 69-80 Asteriou, D. dan Hall, S.G. (2007), ‘Applied Econometrics: A Modern Approach’, Revised Edition, Palgrave Macmillan, New York. Bank Dunia (2006), ‘Analisis Pengeluaran Publik Aceh: Pengeluaran untuk Rekonstruksi dan Pengentasan Kemiskinan’, Jakarta. Belasi, W. dan Musila, J.W. (2000), ‘The Impact of Education Expenditure on Economic Growth in Uganda: Evidence from Time Series Data’, The Journal of Developing Areas, vol. 38 (1), pp123-133. Benson, C (1978) ‘Educational financing and government spending’, Theory into Practice, vol. 17, No. 4, pp. 341-347. Blis, M. and P. Klenow, P. (2000), ‘Does schooling cause growth’, American Economic Review, vol. 90, pp. 1160-1183. Boyte, L. (2005), ‘Female Education and Religiosity: Their Institutional Impacts on Economic Growth’, Atlantic Economic Journal, vol. 33, pp. 361–362. Brempong, G.K (1998), ‘The political economy of budgeting in Africa, 1971-1991’, Public Budgeting and Financial Management, vol. 9(4), pp. 590-616. Gujarati, D.N (2004), ‘Basic Econometric’, Fourth ed., McGraw-Hill, UK. Hicks, N.L. and Kubisch, A. (1984), ‘Cutting government expenditure in LDCs’, Finance and Development, vol. 21(3), pp. 37-39. Keller, K.R.I (2006), ‘Investment in Primary, Secondary, and Higher Education and the Effects on Economic Growth, Contemporary Economic Policy, vol. 24 (1), pp. 18-34. Knowles, S. (1997), ‘Which level of Schooling has the Greatest Economic Impact on Output?’, Applied Economics Letters, vol. 4, pp. 177-180. Looney, R.W. (1987), ‘The impact of political change, debt servicing and fiscal deficits on Argentinian budgetary priorities’, Journal of Economic Studies, vol. 14(3), pp. 23-40. Lucas, R. (1988), ‘On the Mechanisms of Economic Development’, Journal of Monetray Economics, vol. 22 (1), pp. 3-42. Nomura, T. (2007), ‘Contribution of Education and Educational Equality to Economic Growth’, Applied Economics Letters, vol. 14, pp. 627-630. 31 Nour, S. dan Muysken, J. (2006), ‘Deficiencies in Education and Poor Prospects for Economic Growth in the Gulf Countries: the Case of the UAE’, Journal of Development Studies, vol. 42 (6), pp. 957-980. Ozturk, I. (2001), ‘The Role of Education in Economic Development: A Theoretical Perspective’, Journal of Rural Development and Administration, vol. 33 (1), pp. 39-47. Papageorgiou, C. (2003), ‘Distinguishing between the Effects of Primary and Post-Primary Education on Economic Growth’, Review of Development Economics, vol. 7 (4), pp. 622635. Psacharopoulos, G. (ed.) (1987), ’Economics of Education: Research and Studies’, Pergamon Press, New York, pp. 1. Psacharopoulos, G. (1981), ‘Returns to education: an Updated International Comparison’, Comparative Education, vol. 17 (3), pp. 321-41. Psacharopoulos, G. dan Patrinos, H.A. (2002), ‘Returns to Investment in Education’, Policy Research Working Paper, The World Bank, Latin America and the Caribbean Region. Pemerintah Aceh (2008), ‘Qanun Pemerintah Aceh Nomor 5 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan’. Pemerintah Aceh (2005), ‘Rencana strategis (Renstra) pendidikan Nanggore Aceh Darussalam 2007-2012’, CV Guruminda, Banda Aceh. Pemerintah Indonesia (2006), ‘Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh’. Pemerintah Indonesia (2004), ‘Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah’. Pemerintah Indonesia (2003), ‘Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional’. Pemerintah Indonesia (2001), ‘Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Naggroe Aceh Darussalam’. Schultz, T.W. (1961), ’Investment in Human Capital’, American Economic Review, vol. 51 (1), pp. 1-17. 32