POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA DALAM PERSPEKTIF FILOSOFIS, YURIDIS DAN SOSIOLOGIS (POLITICS OF LAW GOVERNANCE OF COUNTRYSIDE IN PHILOSOPHIC PERPECTIVE, JURIDICIAL AND SOSIOLOGIC) Didik Sukriono Fakultas Hukum Universitas Kanjuruhan Malang Jl. Sodanco Supriadi No. 48 Malang, Telp. (0341) 801488, Ext. 330 ABSTRAK Desa (nama lainnya) dalam perspektif ekonomis, sosiologis, yuridis, politis dan historis, merupakan bentuk pemerintahan riil, demokratis, otonom dengan adat-istiadat dan hukumnya sendiri, serta relatif mandiri dari ”campur tangan” entitas kekuasaan dari luar. Tetapi ironisnya dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur desa menunjukkan inkonsistensi dan ketidaksesuaian, baik pada tataran asas, konsep maupun hirarkinya. Implikasi inkonsistensi tersebut, berdampak pada “hancurnya” kehidupan politik, ekonomi, hukum, dan sosial budaya di desa. Oleh karena itu, po lit ik hukum pemerintahan desa ke depan harus berlandaskan valid itas filo so fis, sosio logis dan yuridis dengan menempatkan “integrasi desa dan adat” dalam bentuk ”desa otonom” yang mengako modasi semangat dan po la self governing community. Desentralisasi dan demokratisasi merupakan kata kunci dan sekaligus tujuan serta fondasi politik dalam pembaharuan pemerintahan desa menuju ”human well being”. Kata Kunci: Politik Hukum, Pemerintahan Desa, Perspektif Filosofis, Sosiologis dan Yuridis ABSTRACT Countryside (other name) is in perspective of economics, sociologic, juridical, historical and political, representing real governmental form, democratic, autonomous with mores and its own law, and also relative is self-supporting the than " interference" power entities from outside. But ironically in so many law and regulation arranging countryside show and inconsistency of inappropriate, at arrangement of, concept and also its hierarchy. Implication of inconsistency is affecting at " destruction " of life of politics, economic, law, and cultural social in countryside. Therefore, politics law governance of countryside forwards base have validity to have to be philosophic, sociologic, and juridical by placing " countryside integration and custom" in the form of " autonomous countryside" which accommodate the spirit of and pattern of self governing community. Decentralization and democratization represent keyword and at the same time the target of and also political foundation in renewal of governance of countryside go to " human well being". Keywords: law politics, governance of countryside, philosophic perspective, sociologic and juridical. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Eksistensi desa dilihat dari perspektif ekonomis, sosiologis, yuridis, politis dan historis, pada hakekatnya merupakan bentuk pemerintahan yang riil, demokratis, otonom dengan tradisi, adat-istiadat dan hukumnya sendiri yang mengakar sangat kuat, serta relatif mandiri dari ”campur tangan” entitas kekuasaan dari luar. Tetapi ironisnya dalam berbagai kebijakan lebih ditempatkan sebagai ”objek kekuasaan” daripada ”subjek kekuasaan”. Peraturan perundangundangan yang mengatur desa selama ini menunjukkan inkonsistensi dan ketidaksesuaian antara UUD dengan UU organiknya, baik pada tataran asas, konsep maupun hirarkinya. Hal ini dapat dilihat pada kerangka pemikiran konstitusionalisme yaitu pemerintahan berdasarkan konstitusi dimana tercakup konsepsi bahwa secara struktural daya jangkau kekuasaan wewenang organisasi negara dalam mengatur pemerintahan hanya sampai pada tingkat kecamatan (I Dewa Gede Atmadja, 2008: 265). Artinya secara akademis semakin mempertegas bahwa organ yang berada di bawah struktur organisasi kecamatan dapat dianggap sebagai organ masyarakat dan masyarakat desa dapat disebut sebagai “self governing communities” (pemerintahan sendiri berbasis komunitas) yang sifatnya otonom. Semangat konsep “self governing communities” (pemerintahan sendiri berbasis komunitas) dan “local authority” (otoritas lokal), secara konstitusional telah dikukuhkan dalam Perubahan UUD 1945, Pasal 18 B ayat (1) dikenal dengan “otonomi khusus” dan ayat (2) pengakuan dan penghormatan pada “masyarakat hukum adat”, seperti desa di Jawa, Bali, dan Nagari di Minangkabau/ Sumatera Barat. Landasan pemikiran pengaturan desa yang mengakui dan menghargai keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat dalam UUD 1945 sebelum dan sesudah perubahan, tetapi dalam beberapa UU yang mengatur pemerintahan desa justru muncul kehendak untuk menyamaratakan (Homogenitas) bahkan cenderung mematikan demokrasi dan membuat ketergantungan desa pada Pemerintah Kabupaten atau Kota, Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Pusat (supra desa). Implikasi berubah-ubahnya politik hukum pemerintahan desa, berakibat pada hancurnya kehidupan politik, hukum, ekonomi dan sosial budaya di desa. Secara empirik dalam politik nampak hilangnya basis sosial (kepemimpinan, pranata sosial, lembaga-lembaga adat). Dalam bidang hukum, konsep penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dalam implementasinya telah menjadi alat untuk menghilangkan kedaulatan masyarakat adat atas sumberdaya alamnya. Bidang ekonomi, nampak dari sumberdaya alam masyarakat adat telah menjadi objek pemerintah dan pemodal swasta untuk mendirikan dan mengoperasikan proyek-proyek besar. Dan bidang sosial-budaya, yaitu dihilangkannya berbagai pengetahuan dan kearifan lokal milik masyarakat adat, seperti : sistem bera pada masyarakat Dani di Lembah Bilem, sistem sasi pada masyarakat Negeri Haruku, sistem perladangan berotasi pada masyarakat Dayak, dll (R. Yando Zakaria, 2000: 1), lihat juga (Sadu Wasistiono, 2006: 18). Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: (1) Apa landasan filosofis, yuridis dan sosiologis politik hukum pemerintahan desa sebelum dan sesudah perubahan Undang-Undang Dasar 1945?; (2) Mengapa politik hukum pemerintahan desa Sebelum dan Sesudah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 selalu berubah-ubah?; dan (3) Bagaimanakah arah politik hukum pemerintahan desa ke depan (Ius Constituendum) ? Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Hukum Normatif, yakni dilakukan untuk mengidentifikasi konsep dan asas-asas hukum dari berbagai peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk mengatur pemerintahan desa. Dalam hubungan ini, digunakan logika induktif dan logika deduktif (Johnny Ibrahim, 2006: 48). Beberapa pendekatan yang digunakan, adalah: (1) Pendekatan undang-undang (statute approach); (2) Pendekatan konseptual (conceptual approach); (3) Pendekatan sejarah (historical approach); (4) Pendekatan perbandingan (comparative approach); dan (5) Pendekatan filfasat (philosophy approach) (Johnny Ibrahim, 2006: 444). Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk melihat politik hukum pemerintahan desa dari aspek bentuk peraturan perundang-undangan, materi muatan, dasar ontologis, landasan filosofis, dan ratio-legis dari ketentuan undang-undang. Pendekatan konseptual digunakan untuk menemukan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Pendekatan sejarah digunakan untuk melacak sejarah lembaga-lembaga hukum dari waktu ke waktu (Satjipto Rahardjo, 2000: 255). Pendekatan perbandingan digunakan untuk menemukan perbedaan dan persamaan prinsip atau asas hukum dari berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan desa. Pendekatan filsafat digunakan untuk memperoleh pemahaman secara mendalam implikasi sosial dan efek penerapan peraturan perundangundangan yang mengatur desa terhadap masyarakat desa. Arah penelitian penelitian ini untuk mengkaji doktrin dan asas-asas hukum yang menjadi dasar pengaturan pemerintahan desa, mulai dari tataran dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Prosedur pengumpulan bahan hukum dengan menelusuri berbagai perundang-undangan yang meliputi legislation maupun regulation, dan juga delegated legislation dan delegated regulation. Adapun bahan hukum yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan peraturan perundang-undangan dianalisis secara kritis dengan menggunakan metode analisis kualitatif yuridis. Dalam kerangka memahami makna (sinnverstehen) dari teks hukum yang berlaku sekarang dan yang akan datang, dengan menggunakan metode hermeneutika yang meliputi metode interpretasi dan metode konstruksi (Johnny Ibrahim, 2006: 113). Adapun metode interpretasi atau penafsiran meliputi interpretasi gramatikal (menurut bahasa), teleologis (tujuan pembuatan aturan hukum), historis, komparatif, futuris, restriktif dan ekstensif. Sedangkan metode konstruksi hukum meliputi metode analogi, metode argumentem a-contrario, metode pengonkritan atau penyempitan hukum (rechtsvervijnings) dan metode fiksi. PEMBAHASAN Landasan Filosofis, Yuridis dan Sosiologis Politik Hukum Pemerintahan Desa 1. Landasan Filosofis Politik Hukum pemerintahan Desa Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Ditegaskan pula Indonesia adalah negara hukum yang berkedaulatan rakyat. Maknanya negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan konstitusi, bersendikan demokrasi, dan berbentuk republik kesatuan (Hanif Nurcholis, 2005: 48). Namun mengingat wilayah negara Indonesia sangat besar dengan rentang geografi yang luas dan kondisi sosial-budaya yang beragam, UUD 1945 kemudian mengatur perlunya pemerintahan daerah. Filosofi politik hukum pemerintahan desa, dapat dilihat dari ketentuan Pasal 18 UUD 1945 (sebelum perubahan): “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa”. Dan Pasal 18, UUD 1945 penjelasan II: “Dalam territoir Negara Indonesia terdapat kurang lebih 250 “Zelbesturendelandschappen” dan “Volksgemenschappen” seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerahdaerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa”. Secara eksplisit maupun implisit, pasal 18 UUD 1945 (sebelum perubahan) sudah berdasarkan teori filsafat dan cita hukum (rechtsidee) dalam Pancasila, yakni nilai keanekaragaman, perlindungan, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat. Kehendak diadakannya otonomi daerah dan daerah otonom, dimana daerah bersifat otonom (streek en locale rechtgemeen schappen) berdasarkan asas desentralisasi. Otonomi daerah menjadi sarana dalam mewujudkan proses pendemokratisasian pemerintahan hingga ke daerah-daerah. Sedangkan filosofi politik hukum pemerintahan desa sesudah Perubahan UUD 1945 dapat dilihat dari ketentuan pasal 18B UUD 1945, yaitu : (1). Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undangundang. (2). Negara mengakui kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masayarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Rechtsidee (cita hukum) pasal 18 B adalah : (1). pengakuan dan penghormatan terhadap satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa; (2). Pengakuan dan penghormatan terhadap satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa diatur dengan undang-undang; dan (3). negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dengan sebuah persyaratan, yaitu sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.\\ Pada tataran undang-undang, secara kronologis nampak sebagai berikut: (a) UU No. 1 Tahun 1945 merupakan peraturan desentralisasi pertama dan menempatkan desa sebagai letak otonomi terbawah serta sebagai kesatuan masyarakat yang berhak mengatur rumah tangga pemerintahannya sendiri (self governing community)(Bagir Manan, 1990: 183); (b) UU No. 22 Tahun 1948, memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap eksistensi desa sebagai kesatuan masyarakat yang memiliki asal usul dan berhak mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri (self governing community) dan mengarahkan desa (dan kota kecil) negeri, marga dan sebagainya menjadi Daerah Otonom Tingkat III (local self goverment) (Sadu Wasistiono, 2006: 20); (c) UU No. 1 Tahun 1957, filosofinya membagi daerah otonom menjadi dua jenis, yaitu daerah otonom biasa dan daerah swapraja dan mengusung filosofi keberagaman; (d) UU No. 19 Tahun 1965, filosofinya mengusung semangat penyeragaman (Desapraja) dan pembentukan daerah tingkat III; (e) UU No. 5 Tahun 1979, filosofisnya menyeragamkan nama , bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan desa; (f) UU No. 22 Tahun 1999, filosofinya mengedepankan semangat pengaturan desa dari tingkat nasional menuju ke tingkat daerah dan dari birokrasi menjadi institusi masyarakat lokal. Semangat dasar UU No. 22 Tahun 1999 adalah memberikan pengakuan terhadap keragaman dan keunikan desa (atau dengan nama lain) sebagai self-governing community sebagai manifestasi terhadap makna “istimewa” dalam Pasal 18 UUD 1945; (g) UU No. 32 Tahun 2004, filospfinya melokalisir desa sebagai subyek hukum yang mengelola kepentingan masyarakat setempat, bukan urusan atau kewenangan pemerintahan, seperti halnya daerah. Negara hanya “mengakui” keberadaan desa, tetapi tidak “membagi” kekuasaan pemerintahan kepada desa. Desa hanya diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat (self governing community), bukan disiapkan sebagai entitas otonom sebagai local self government. 2. Landasan Yuridis Politik Hukum Pemerintahan Desa Secara yuridis, inti ketentuan Pasal 18 UUD 1945 adalah dalam negara Indonesia terdapat pemerintahan daerah. Pemerintah daerah tersebut terdiri atas daerah besar dan daerah kecil. Pemerintah daerah yang dibentuk tersebut baik dalam daerah besar maupun daerah kecil harus memperhatikan dua hal: (1). dasar permusyawaratan dan (2). hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa. Yang dimaksud dengan harus memperhatikan dasar musyawarah adalah, pemerintahan daerah harus bersendikan demokrasi yang ciri utamanya ada musyawarah dalam dewan perwakilan rakyat. Sedangkan yang dimaksud dengan harus memperhatikan hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa adalah pemerintah daerah yang dibentuk tidak boleh secara sewenang-wenang menghapus daerah-daerah yang pada zaman Belanda merupakan daerah swapraja yang disebut zelfbesturende lanschappen dan kesatuan masyarakat hukum pribumi dengan sebutan volksgemenschappen zelfstandigemenschappen (Aan Eko Widiyanto dan Rachmad Syafa’at, 2006: 48). Landasan yuridis politik hukum pemerintahan desa nampak sebagai berikut: No. 1. 2. Perundangan Desa Regeringsreglement (RR) Mengatur tentang pengesahan dan pemilihan Kepala Desa dan Pemerintah Desa, serta hak Desa untuk mengatur dan Pasal 71, Tahun 1854. mengurus rumah tangganya sendiri. Osamu Seirei No. 7 Pemilihan dan pemberhentian kepala desa, dan sebutan kepala desa sebagai Kuco. tahun 2604 (1944) 3. UU No. 1 Tahun 1945 Tidak ada pengaturan tentang desa secara eksplisit 4 UU No. 22 Tahun 1948 5 UU No. 1 Tahun 1957 6 UU No. 19 Tahun 1965 7. UU No. 5 Tahun 1974 Kemungkinan atau mengarahkan desa sebagai Daerah Otonom Tingkat III Kemungkinan dibentuk Daerah Otonom Tingkat III, namun harus hati-hati Desa ditempatkan sebagai Daerah Tingkat III dengan tata dan sebutan Desapraja Mengaturan tentang pemerintahan Desa yang berdasar perundang-undangan tersendiri. atau 8. Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang GBHN 9. UU 5 Tahun 1979 10. UU 22 Tahun 1999 11. UU 32 Tahun 2004 Berisi: “… memperkuat pemerintahan desa agar makin mampu menggerakkan masyarakat datam partisipasinya dalam pembangunandan penyelenggaraan administrasi desa yang makin meluas dan efektif”. Untuk itu perlu disusun Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa. Desa berkedudukan langsung di bawah Camat, dimana Camat merupakan Kepala Wilayah yang menjalankan satuan pemerintahan vertikal (dekonsentrasi). Desa diatur dalam suatu undang-undang dengan Pemerintahan Daerah. Desa merupakan subsistem dari pemerintahan yang pengaturannya lebih lanjut diserahkan kepada daerah Kabupaten dengan membentuk Perda. Tanpa ada penjelasan lanjut mengenai subsistem, maka posisi desa berada di dalam atau di luar rumah tangga kabupaten. Desa kembali ditempatkan dalam undang-undang mengenai Pemerintahan Daerah, yang menempatkan desa di dalam pemerintahan Kabupaten/Kota. 3. Landasan Sosiologis Politik Hukum Pemerintahan Desa Eksistensi dan peranan desa yang sangat vital dalam kehidupan ketatanegaraan RI, telah disadari sejak the founding fathers dalam menyusun konstitusi RI. Secara tegas Soepomo pernah menyatakan perlunya menggunakan desa sebagai model dalam menyusun sistem pemerintahan RI, karena pemimpin harus bisa bersatu jiwa dengan rakyatnya seperti dalam tradisi pemerintahan desa pada masa itu. Soepomo juga menghendaki diakuinya otonomi desa (zelfbesturende landschappen) dalam sistem ketatanegaraan RI. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak asal-usul daerah tersebut. Uraian dari Penjelasan tersebut menggambarkan bahwa keinginan untuk membentuk self governing community yang bertumpu pada desa telah terdapat sejak penyusunan naskah asli UUD 1945, dengan menyebutnya sebagai zelfbesturende landschappen. Jika pemikiran itu diikuti sebenarnya yang diinginkan untuk menjadi karakter dari negara Indonesia adalah negara multikultural. Dalam sistem pemerintahan yang berkedaulatan rakyat, pemerintah daerah (kabupaten/kota) disebut sebagai local self government dan desa disebut sebagai self governing community. Ditinjau dari perspektif historis, desa sebagai komunitas otonom bahkan lebih tua dari kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan negara. Hal itulah yang menjadi landasan untuk memberikan posisi yang kuat dan otonom kepada desa dalam sistem demokrasi (www.forumdesa.org/mudik/mudik5/opini.php, 2009: 2) Faktor-Faktor Inkonsistensi Politik Hukum Pemerintahan Desa Politik hukum (legal policy) pemerintahan desa dalam berbagai peraturan perundangundangan, menunjukkan ketidakteraturan (inkonsistensi) atau berubah-ubah sejak jaman kolonial hingga saat ini. Inkonsistensi politik hukum pemerintahan desa itu disebabkan oleh: 1. Berbagai Kelemahan UUD 1945 (Sebelum dan Sesudah Perubahan) Sekalipun UUD 1945, mengandung aspirasi ke daulat an rakyat serta keadilan so sial, dan di beberapa pasalnya membuat jaminan hak asasi manusia dan hak warga negara, tetapi sulit dibantah bahwa UUD 1945 mengandung banyak kelemahan, diantaranya adalah : (a) UUD 1945 memberikan porsi kekuasaan besar pada Presiden; (b) UUD 1945 tidak cukup memuat sistem checks and balances; (c) UUD 1945 memuat ketentuan yang tidak jelas (vague) atau multi tafsir; (d) Adanya Penjelasan dalam UUD 1945 (sebelum perubahan); (e) UUD 1 94 5 meng and u ng ban yak k et ent uan yang har u s d iat ur d eng an UU (lo op h o les)(Abdul Mukthie Fadjar, 2007: 11-12, lihat juga Jimly Assiddiqie, 2006: 281, lihat juga Adnan Buyung Nasution, 2007: 4-5). 2 . Di na mi ka Perub ah an UUD Neg a ra Perjalanan ketatanegaraan NKRI sejak diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 telah beberapa kali mengalami perubahan (pergantian) konstitusi / UUD. Konstitusi / UUD yang pernah berlaku sebagai hukum dasar negara, yaitu Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 (periode pertama), Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) Tahun 1949, Undang-Undang Dasar Sementara RI Tahun 1950, Undang Undang Dasar RI Tahun 1945 setelah Dekrit Presiden (periode kedua), dan terakhir Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesudah perubahan (periode ketiga) (Mohammad Hatta, 1977: 7). Silih bergantinya UUD sebagai hukum dasar negara, secara langsung mempengaruhi pelaksanaan pemerintahan di Indonesia. Di sisi lain, juga berakibat pada revisi peraturanperaturan organik sebagai penjabaran atau pelaksanaan amanat yang terkandung dalam UUD tersebut. Peraturan organik harus disesuaikan dengan jiwa, semangat dan kaidah UUD yang sementara berlaku. Hal ini membuktikan bahwa undang-undang tentang pemerintahan daerah sebagai penjabaran kaidah UUD, dari waktu ke waktu berubah sesuai dengan kondisi politik, sistem pemerintahan, dan yang utama adalah UUD yang diberlakukan pada saat itu. Di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno (antara tahun 1945-1966/1967) pemerintahan NKRI mengacu pada UUD RI 1945 (hasil proklamasi), Konstitusi RIS 1949, UUDS RI 1950, dan UUD RI 1945 (hasil dekrit). Sementara, kepemimpinan Presiden Soeharto dan Presiden Habibie (antara tahun 1967- 1999) tetap mengacu pada UUD RI 1945 (hasil dekrit Presiden), dan kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarno Putri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (antara tahun 1999-sekarang) mengacu pada UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (hasil perubahan). Dalam perspektif struktur, rentang waktu perjalanan republik ini dengan kepemimpinan Presiden yang berbeda-beda, berpengaruh terhadap penafsiran makna pemerintahan daerah dalam wujud penerbitan UU pemerintahan daerah (desa). Hal ini disebabkan oleh visi politik dan sistem pemerintahan yang dijalankan berbeda serta penafsiran yang dilakukan dalam menyelenggarakan negara dan pemerintahan terhadap konstitusi yang berlaku pada saat itu (K.C. Wheare, 1966: 35, Lihat juga, Duto Sosialismanto, 2001: 13). 3. Konfigurasi Politik Pelaksanaan Pemerintahan Dinamika politik hukum pemerintahan desa, sejak awal kemerdekaan politik hukum pemerintahan daerah termasuk di dalamnya pemerintahan desa senantiasa digariskan melalui proses eksperimen yang tak pernah selesai. la selalu berubah dan diubah sesuai dengan perubahan konfigurasi politik. Perubahan itu menyangkut berbagai aspek dalam sistem otonomi, seperti aspek formal, materiil, nyata, seluas-luasnya, hubungan kekuasaan, cara pemilihan dan sebagainya, yang dalam praktiknya di lapangan senantiasa menimbulkan masalah yang berbenturan dengan budaya dan perilaku politik yang selalu mengalami tolak tarik antara elite dan massa (Moh. Mahfud MD., 2006: 224). Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap Undang-Undang atau kebijaksanaan pemerintah yang dikeluarkan atau ditetapkan mengenai otonomi dan desentralisasi, selalu sangat erat kaitannya atau sangat dipengaruhi oleh sistem politik, sistem pemerintahan atau suasana politik atau bahkan keinginan power elit pada suatu waktu atau orde (Warsito Utomo, 2000: 158-159). Konfigurasi politik pelaksanaan pemerintahan nampak sebagai berikut: (a) Awal kemerdekaan (UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, dan UU No. 1 Tahun 1957, lahir dari semangat demokrasi menyusul proklamasi kemerdekaan yang memang menggelorakan semangat kebebasan); (b) Periode Orde Lama (politik hukum otonomi daerah mengalami titik balik dari desentralisasi ke sentralisasi yang hampir mutlak. Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya, menganggap bahwa otonomi luas mengancam keutuhan bangsa dan karena itu otonomi harus disesuaikan dengan konsepsi Penpres No. 6 Tahun 1959 yang mempersempit otonomi daerah); (c) Periode Orde Baru (arah politik hukum Orde Baru berorientasi pada 3 (tiga) tantangan utama, yaitu: bagaimana membangun legitimasi sebagai penguasa, bagaimana membangun stabilitas demi pembangunan, dan bagaminana membangun kekuasaan sebagai pemerintah pusat yang mempunyai kewenangan di daerah-daerah. Untuk mencapai ketiga hal tersebut, penerapan use of authority menjadi lebih besar, luas dan kuat dari pada freedom for subordinate); (d) Periode Reformasi (arah politik hukum Orde Reformasi berorientasi pada tiga hal yaitu: (1) demokratisasi sistem pemerintahan, yakni demokratisasi pada tingkat nasional tidak dapat bertahan lama tanpa ditopang demokratisasi di tingkat daerah, (2) meningkatkan pelayanan publik, yakni desentralisasi diyakini akan mampu memangkas rigiditas birokrasi dan meningkatkan otoritas pemerintah daerah sehingga pelayanan kepada masyarakat akan lebih efisien, (3) kebijakan desentralisasi diharapkan akan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah untuk selanjutnya tercipta suatu tatanan pemerintahan yang responsif, akuntabel, dan terbuka bagi partisipasi masyarakat dalam proses perumusan kebijakan (Syarif Hidayat, 2007: 271) Arah Politik Hukum Pemerintahan Desa Ke Depan (Ius Constituendum) 1. Perspektif Filosofis Pertama, secara filosofis keberadaan desa menunjukkan bahwa sebelum tata pemerintahan di atasnya ada, desa telah terlebih dahulu ada. Oleh karena itu desa seharusnya menjadi landasan dan bagian dari tata pengaturan pemerintahan sesudahnya. Kedua, bangunan hukum desa merupakan fundamen bagi tatanegara Indonesia, artinya bangsa dan negara sebenarnya terletak di desa. Oleh karena itu pengaturan desa dalam perundang-undangan baik jenis dan hierarkinya akan menentukan jangkauan dan menentukan maju mundurnya desa yang berimplikasi pada pemerintahan yang ada di atasnya. Ketiga, Undang-Undang tentang pemerintahan desa merupakan instrumen untuk membangun kehidupan baru desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Kemandirian yang dimaksud adalah bukan kesendirian desa dalam menghidupi dirinya sendiri, tetapi terkait dengan dimensi keadilan yang berada dalam konteks relasi antara desa dengan supradesa (pusat dan daerah). Kemandirian desa berarti kapasitas dan inisiatif lokal yang kuat dalam gagasan, kehendak, dan kemauan desa yang berbasis pada kearifan lokal, komunalisme dan modal sosial. Sedang demokrasi adalah nilai dan sistem yang memberi bingkai tata pemerintahan desa. Secara konseptual demokrasi mengandung sejumlah prinsip dasar representasi, transparansi, akuntabilitas, responsivitas dan partisipasi, yang selanjutnya menjadi dasar pengelolaan kebijakan, perencanaan desa, pengelolaan keuangan desa dan pelayanan publik. Sedangkan kesejahteraan meliputi dua komponen besar, yakni penyediaan layanan dasar (pangan, papan, pendidikan dan kesehatan) dan pengembangan ekonomi desa yang berbasis pada potensi lokal. Desentralisasi memungkinkan alokasi sumberdaya pada desa, dan demokrasi memungkinkan pengelolaan sumberdaya desa berpihak pada rakyat desa. 2. Perspektif Sosiologis Pertama, secara sosiologis desa-desa yang beragam di seluruh Indonesai sejak dulu merupakan basis penghidupan masyarakat yang notabene mempunyai otonomi dalam mengelola tatakuasa dan tatakelola atas penduduk, pranata lokal dan sumberdaya ekonomi. Hal yang sama upaya untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur seperti yang diamanat dalam Pembukaan Undang-Undang dasar 1945, harus dimulai dengan paradigma pembangunan dari bawah (desa) karena sebagian besar penduduk Indonesia dengan segala permasalahannya berada di desa. Pembangunan yang cenderung berorientasi pada pertumbuhan dan bias kota, menyebabkan arus urbanisasi penduduk desa ke kota dan menyebabkan kemiskinan dan keterbelakangan di desa. Kedua, semua masyarakat lokal di Indonesia mempunyai kearifan lokal secara kuat yang mengandung “roh” kecukupan, keseimbangan dan keberlanjutan dalam mengelola sumberdaya alam dan penduduk. Oleh karena itu, ide pengaturan pemerintahan desa ke depan dimaksudkan untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan sosial, budaya, ekonomi dan politik desa. Ketiga, pengaturan tentang pemerintahan desa dimaksudkan untuk merespon proses globalisasi, yang ditandai oleh proses liberalisasi informasi, ekonomi, teknologi, budaya, dll. Tantangan ini diperlukan institusi negara yang lebih kuat dalam menghadapi dengan pembagian tugas dan kewenangan secara rasional antara negara dengan daerah (desa). Prinsip dasar yang harus dipegang dalam pembagian tugas dan kewenangan adalah daerah dan desa dapat ditempatkan sebagai kompartemenkompartemen fleksibel dalam negara dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan yang lebih mendasar adalah survival ability negara. 3. Perspektif Yuridis Pertama, Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan dan Pasal 18B UUD 1945 sesudah perubahan. Sejumlah isu yang terkandung dalam UUD 1945, Pasal 18 yang mengatur tentang pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Desa sebenarnya termasuk daerah kecil yang mempunyai hak-hak asal-usul dan bersifat istimewa. Dalam penjelasan juga ditegaskan bahwa “Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil”. Ini berarti bahwa daerah yang lebih kecil mencakup kabupaten / kota dan desa, atau setidak-tidaknya undang-undang juga memberikan kedudukan yang tepat terhadap keberadaan desa. Kedua, pengakuan dan penghormatan negara terhadap desa dalam konstitusi sebenarnya nampak jelas. Penjelasan Pasal 18 menyebutkan bahwa”dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya”. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan bersifat istimewa. Kalimat ini menegaskan bahwa NKRI harus mengakui keberadaan desa-desa di Indonesia yang bersifat beragam. Walaupun istilah desa hilang dalam UUD 1945 sesudah perubahan, tetapi klausul Pasal 18B ayat 2, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya...”, juga mengharuskan negara melakukan rekognisi terhadap kesatuankesatuan masyarakat hukum adat, yang di dalamnya mencakup desa, nagari, mukim, huta, sosor, kampung, marga, negeri dan sebagainya. Kebijakan sama seperti UU No. 11 / 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang mengakui kembali keberadaan mukim (berada di tengah kecamatan dan desa /gampong), Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Penetapan Kembali Negeri Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku. Ketiga, penyerahan urusan / kewenangan dari kabupaten / kota kepada desa sebenarnya tidak dikenal dalam teori desentralisasi. Oleh karena itu jika UU Desa disusun terpisah dar i UU Pemda, hal ini akan semakin mempertegas amanat dan makna Pasal 18 UUD 1945, sekaligus akan semakin memperjelas posisi atau kedudukan dan kewenangan desa atau memperjelas makna otonomi desa. SIMPULAN Filosofis keanekaragaman, perlindungan, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat, sebenarnya sudah menjadi cita hukum politik hukum pemerintahan desa dalam UUD 1945 (sebelum dan sesudah perubahan). Tetapi ide dasar pluralisme hukum dengan penempatan desa sebagai desa adat (self governing community) atau desa otonom (local self government), maupun desa administratif (local state government), secara bergant ian berubah-ubah seir ing dengan keberlakuan UU o rganiknya. Dinamika perubahan politik hukum pemerintahan desa tersebut, disebabkan oleh: berbagai kelemahan dari UUD 1945 (sebelum dan sesudah perubahan), d inamika perubahan UUD, dan konfigurasi politik pelaksanaan pemerintahan di Indonesia. Adapun arah politik hukum pemerintahan desa ke depan, dapat diatur dalam UU Desa yang berlaku nasional dengan nomenklatur “UU Pokok Pemerintahan Desa” dan UU Desa Khusus. Atau disisipkan pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang substansinya hanya mengatur pokok-pokok pemerintahan desa, dan untuk mengakomodasi keberagaman diatur dalam “Peraturan Daerah Propinsi”. DAFTAR PUSTAKA Aan Eko Widiyanto dan Rahmad Syafaat, 2006. Rekonstruksi Politik Hukum Pemerintahan Desa Dari Desa Terkooptasi dan marginal Menuju Desa Otonom dan Demokratik, Sekretariat Penguatan otonomi Desa, Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya Malang. Adnan Buyung Nasution, 2007. Arus Pemikiran Konstitusional, Kata Hasta Pustaka, Jakarta. A. Mukthie Fadjar, 2007. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta. Bagir Manan, 1990. Hubungan antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi Menurut UUD 1945, disertasi doktor dalam Hukum Tata Negara, Fak. Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung. Duto Sosialismanto, 2001. Hegemoni Negara, Ekonomi Politik Pedesaan Jawa, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta. Hanif Nurcholis, 2005. Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Gramedia Widiasarana Indonesia. I Dewa Gede Atmadja, 2008. Awig-Awig Desa Adat Bali : Suatu Analisis Hukum Tata Negara, Dalam Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan, Edisi Khusus Kumpulan Tulisan dalam rangka Purnabakti Prof. Dr. Siti Sundari Rangkuti, S.H., Airlangga University Press. Jimly Asshiddiqie, 2002. Konsolidasi Naskah UUD 1945 setelah Perubahan Keempat, Jakarta, Johnny Ibrahim, 2006. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang. K.C. Wheare, 1975. Modern Constitution, Oxford University Press, London-New York. Moh. Mahfud MD, 2006. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta. Mohammad Hatta, 1998. Masyarakat Kolonial dan Cita-Cita Demokrasi Sosial (1956), dalam Herbert Feith dan Lance Castle, ed., Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, LP3ES, Jakarta. R. Yando Zakaria, 2000. Abih Tandeh, Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baru, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta. Sadu Wasistiono, 2006. Prospek Pengembangan Desa, Lembaga Kajian Manajemen Pemerintahan Daeran, Fokus Media. Satjipto Rahardjo, 1991. Ilmu Hukum, Cet, Ke III, Citra Aditya Bakti, Bandung. Syarif Hidayat, 2007. Too Much Too Soon, Local Elite’s Perpective on and The Puzzle of Contemporary Indonesian Regional Autonomy Policy, Raja Grafindo Persada, Jakarta. www.forumdesa.org/mudik/mudik/opini.php, W. Riawan Tjandra (Staf pengajar FH dan Pasca Sarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan Ketua Litbang Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Wilayah DIY) Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum Perubahan dan Sesudah Perubahan. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat 1949. Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Komite Nasional Daerah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Desapraja Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang pemerintahan Desa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Daerah Kabupaten Agam, Nomor 12 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Nagari.