Konstelasi no 22 - FINAL (versi A4 12 hlm).qxd

advertisement
2
Indonesia Rawan Politik Dinasti
4
Politik Dinasti dalam
Demokrasi Semu
8
Akal Bulus Otoritarianisme
dalam Demokrasi
11
Kekuasaan Dinasti Politik
Narang di Kalimantan Tengah
no.3 0 m a r et 2 01 1
KONSTELASI
Analisis Berkala Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Menyepuh Kaleng
olitik tumbuh karena kompetisi. Tetapi lebih dari sekedar
bertumbuh, politik juga menuju
pada “yang adil”. Jadi, kompetisi
hanya disebut demokratis bila
arahnya menghasilkan keadilan.
Politik semacam itu mengandai kan kompetisi di antara subyeksubyek publik. Yaitu subyek-subyek yang memahami politik sebagai keutamaan keadilan, keutamaan kesetaraan, keutamaan kedaulatan rakyat. Pendeknya, subyeksubyek yang hendak merawat ide
dan perserikatan sebuah Republik.
Normativitas politik inilah yang
kini sedang ditinggalkan dalam
praktek kompetisi politik kita.
Pada skala nasional sampai
lokal, politik kita justru bergerak
berbalik dari ide keutamaan publik. Personalisasi politik telah
menghalangi partisipasi setara
warga negara dalam banyak Pilka da. Juga, upaya pewarisan ke kuasaan intra-keluarga, sudah terbaca bahkan ketika Pemilu 2014
masih jauh. Kekuasaan patronpatron politik di daerah telah
menjadikan politik sebagai urusan
“dinasti” tuan tanah, “dinasti”
sesepuh agama, “dinasti” petinggi
adat. Dalam ambisi yang sama,
tokoh-tokoh politik nasional juga
mengejar kekuasaan dengan pan-
P
dangan politik feodal sejenis.
Politik dinasti adalah bentuk
arogansi elit. Arogansi yang berasal
dari ketaksanggupan menyelenggarakan politik secara modern:
sarat ide, penuh argumen, dan
fasih pikiran. Gejala politik
dinasti pada kita, tampil bukan karena aristokrasi pikiran, melainkan
karena ambisi dan mentalitas
feodal.
Tetapi soal terburuk yang
hari-hari ini merebak dalam per bincangan politik publik adalah
pemaksaan pencitraan untuk
mendongkrak para pewaris politik
dinasti itu. Seperti menyepuh kaleng, upaya politik untuk menampilkan gemilau para pewaris tahta
itu tampak seperti pameran
murahan yang diorganisir oleh
para tukang sulap. Pemaksaan
pencitraan tentu saja memerlukan
kilau minimal dari si “tokoh”.
Tetapi bila yang minimal sekali pun tidak tersedia, maka pe warisan politik dinasti itu jadi
semacam penghinaan pada per adaban politik modern.
Jadi, bila olok-olok publik
tentang kualitas, kapasitas dan
integritas para pewaris tahta itu
merebak akhir-akhir ini, pertanda
bahwa ada keinginan yang kuat
dalam masyarakat kita untuk
mencari figur pemimpin yang
sungguh-sungguh berbasis pada
kekuatan pikiran, teruji dalam
kepemimpinan dan berintegritas
tinggi.
Kontras kualitas inilah yang
hendak kita perlihatkan dalam
proses dan dinamika politik yang
kian meninggi akhir-akhir ini.
Kontras itu harus dapat dibaca
secara saksama oleh seluruh
rakyat, karena kesempatan untuk
memperbaiki Indonesia tidak boleh lagi dipermainkan oleh pencitraan yang berbasis kelemahan,
kebodohan dan mediokrasi. Dalam sorotan akal sehat global, kita
seharusnya menutup muka, bukan
justru mempertebal dempul
wajah demi ambisi-ambisi feodalistik itu.
Wujud buruk dari demokrasi
adalah bila dia diisi oleh “yang
non-publik”. Demokrasi menyiapkan panggung untuk semua
“kepentingan yang bersaing”.
Tetapi bila kepentingan itu sendiri
bakal menghalangi kepentingan
yang lain, maka demokrasi harus
mencegahnya. Sekali lagi, demi
Indonesia yang bermutu, personalisasi politik, khususnya melalui
mental politik dinasti itu, adalah
penghinaan terhadap akal sehat
publik n RGX
www.p2d.org — konstelasi
1
analisis
Indonesia Rawan
inasti politik bukanlah gejala
khusus Indonesia. Sebut saja
dinasti politik yang kuat seperti
Kennedy, Bush, Nehru-KhanGandhi, atau Aquino di Philipina.
Mereka adalah keluarga-keluarga
yang mendidik anak-cucunya
supaya punya kesiapan bersaing
dalam politik, memenangkan
kekuasaan, mempertahankan kejayaan dinasti politik yang sudah
dibangun.
Kecenderungan sebuah ke luarga atau klan untuk mempertahankan kekuasaan tampak jelas
dalam sejarah. Mosca (1966/1896:
74) menulis, “setiap kelas, pada
faktanya jika bukan pada hukumnya, mempertunjukan kecenderungan untuk menjadi kumpulan orang seketurunan (hereditary).” Juga dalam politik. Dan
ketika posisi politik terbuka untuk
siapapun, ikatan keluarga yang
sudah berada dalam kekuasaan
akan berupaya untuk memperoleh
keuntungan dari situ. Sebuah
keluarga yang sudah berkuasa
akan berusaha tetap berkuasa.
D
Makna Politik Dinasti bagi
Demokrasi
Mereka yang tak keberatan dengan politik dinasti memandang
kecenderungan itu bukan masalah
bagi demokrasi sejauh sistem dan
aturannya tetap demokratis. Bahkan ada yang berargumen bahwa
dinasti politik bisa dipahami sebagai perwujudan bakat dan dorongan yang kuat untuk berpolitik yang diturunkan secara genetik, ditambah dengan pola asuh
dan sosialisasi yang fokus kepada
kehidupan politik. Dibandingkan
dengan orang-orang pada umum2
konstelasi — www.p2d.org
nya, orang dari keluarga yang pernah berkuasa punya banyak
kenalan, tahu seluk-beluk politik,
punya modal, dan trampil melakukan manuver politik. Mereka
sudah maju beberapa langkah dari
kebanyakan orang yang hendak
terlibat dalam politik sehingga
lebih besar peluangnya memenangkan persaingan.
Mereka yang peduli dengan
ketidaksempurnaan demokrasi
representatif yang bisa menghasilkan ketaksetaraan distribusi
kekuasaan mengajukan sejumlah
keberatan pada ide politik dinasti.
Pertama-tama, keberatan itu didasari oleh prinsip keadilan dan
kesetaraan. Distribusi kekuasaan
yang tak merata menghasilkan
keterlibatan dan kesejahteraan
yang tak merata pula. Masyarakat
dengan ketaksetaraan semacam itu
tak layak dipertahankan, bahkan
harus ditolak.
Keberatan lainnya didasari
oleh pertanyaan: Apakah dinasti
politik ada karena beberapa keluarga memang lebih mampu dan
berbakat ketimbang keluarga lain,
atau karena usaha mempertahankan dan memperbesar kekuasaan politik dengan segala cara,
baik secara halus maupun kasar,
oleh keluarga yang sudah ber kuasa? Akal-akalan sebuah keluarga untuk mempertahankan kekuasaan sudah banyak ditampilkan
di beberapa negara. Kecurangan
dan program-program hegemonik dijalankan sedemikian rupa
supaya sebuah keluarga tetap
berkuasa, lepas dari kemampuan
dan bakat politik.
Keberatan yang lebih prinsipil langsung menunjuk ketidakse-
taraan dalam dinasti politik dan
politik dinasti. Mereka yang
punya keberatan ini menegaskan,
politik dinasti merupakan wujud
dari kesalahan mengelola kehidupan bersama. Hubungan politik
yang seharusnya adalah hubungan
antara orang-orang yang masingmasing ikut mengambil peranan
sebagai “yang mengatur” dan
“diatur” dalam kehidupan bersama
nyata-nyata tidak berlangsung
ketika sebuah dinasti memegang
tampuk kekuasaan dalam waktu
lama, lalu menurunkan kekuasaan
itu kepada keturunannya. Lepas
dari prosedurnya (sahih dan legal
atau sebaliknya), secara substansial
politik dinasti merupakan wujud
dari penguasaan satu kelompok
atas kelompok lain. Jelas-jelas itu
bertentangan dengan keadilan dan
kesetaraan.
Kecenderungan Politik
Dinasti di Masyarakat
Indonesia
Ada banyak alasan untuk menyimpulkan politik dinasti dan
dinasti politik bisa tumbuh subur
di Indonesia, baik dilihat dari faktor budaya, kognitif-emosional,
maupun sosial-ekonomi. Kecen derungan pengkultusan tokoh
yang dikeliling sejumlah mitos,
jejak-jejak feodalisme yang masih
tampak jelas, struktur dan interaksi sosial yang masih tak egaliter,
dan kesenjangan antarwarga dalam ekonomi dan pendidikan, bisa
jadi alasan itu.
Kecenderungan mengkultusan tokoh mengindikasikan adanya
kecenderungan memandang kekuatan dan keutamaan tokoh sebagai sifat-sifat yang secara alami-
Politik Dinasti
ah terberi khusus pada orang tertentu. Lalu disusul anggapan,
tokoh itu dilindungi dan dijaga
martabatnya secara kodrati, termasuk martabat keluarganya. Keturunannya pun ikut dihormati dan
diunggulkan. Jika tokoh itu pernah berkuasa maka keturunannya
atau keluarganya dianggap pantas
juga berkuasa. Naturalisasi keunggulan tokoh tertentu beserta
keluarganya merupakan modal
bagi dinasti politik.
Indikasi feodalisme tampil
dominan di masyarakat Indonesia.
Penghormatan yang berlebihan
terhadap pejabat tinggi pemerintah, pelayanan yang berlebihan
oleh bawahan terhadap atasan,
memperlakukan istri dan anak
pejabat sebagai orang-orang yang
juga perlu dilayani dan diberi
fasilitas khusus, “perburuan” gelar
bangsawan, kebiasaan menghubung-hubungkan tokoh yang
sedang berkuasa dengan kerajaan
di masa lalu merupakan sebagian
dari contoh gejala yang kental
muatan feodalismenya.
Feodalisme sekaligus juga
menunjukkan struktur sosial yang
menempatkan orang-orang di
posisi-posisi yang tak setara. Ada
orang yang dianggap lebih tinggi
kedudukannya daripada orang
lain. Relasi sosial berlangsung
mengikuti ketaksetaraan struktural itu. Mereka yang ada di posisi
atas struktur akan lebih banyak
mendapatkan privilege dan fasilitas
sehingga akan menjadi pihak yang
lebih berkuasa dibanding orangorang yang ada di posisi bawah
pada struktur. Pertukaran sumberdaya dan pelayanan asimetris;
mereka yang di posisi bawah akan
Mereka yang
peduli dengan
ketidaksempurnaan
demokrasi
representatif yang
bisa menghasilkan
ketaksetaraan
distribusi kekuasaan
mengajukan sejumlah
keberatan pada
ide politik dinasti.
lebih banyak disedot sumberdayanya oleh yang berada di posisi
atas. Kekuasaan akan bertahan
bahkan menumpuk pada orangorang yang ada di posisi atas.
Dengan struktur sosial seperti ini,
keluarga-keluarga tertentu yang
berkuasa lebih mudah menjadi
dinasti.
Kesenjangan antarwarga dalam ekonomi dan pendidikan di
Indonesia juga bisa menjadi faktor
berkembangnya politik dinasti
dan dinasti politik di Indonesia.
Perbedaan tingkat ekonomi dan
pendidikan yang jauh bisa menghasilkan perbedaan status sosial
yang jauh pula, yang ujungujungnya bisa memunculkan per bedaan kelas sosial. Jika perbedaan
kelas itu digeneralisasi ke wilayah
politik maka bisa menghasilkan
elite-elite politik yang dianggap
lebih pantas berkuasa. Dipadukan
dengan kecenderungan pengkultusan individu dan feodalisme,
keluarga para elit itu pun dinilai
lebih
baik
dan
mampu
memimpin. Dalam situasi politik
seperti itu, pesepsi bahwa keluarga
tertentu lebih baik dan mampu
memimpin Indonesia lebih
mudah terbentuk sehingga lahan
untuk politik dinasti pun lebih
subur.
Dari psikologi kita mendapat
pemahaman bahwa pada diri tiap
orang ada kecenderungan untuk
mempertahan status quo sosial,
ekonomi, politik, dan budaya
(Jost, Pelham, & Carvallo, 2002;
Jost , Banaji, & Nosek 2004; Jost &
Hunyady, 2005; Kay et al, 2007).
Individu merasionalisasi apa yang
sedang berlangsung di masyarakat
sebagai situasi yang adil dan pada
tempatnya. Kecenderungan in terbentuk dalam rangka untuk menjaga makna diri, stabilitas ego, dan
keberhargaan kelompok. Maka,
orang mengembangkan mekanisme justifikasi sosial untuk
menjaga keseimbangan diri.
Sehingga, betapapun tak adilnya
situasi sosial Indonesia, ia dirasionalisasi sedemikian rupa
sehingga dipersepsi sebagai sistem
yang adil dan wajar. Dengan
kecenderungan justifikasi sistem
ini, situasi masyarakat Indonesia
dengan kondisi-kondisinya tersebut di atas dipertahankan,
termasuk kondisi-kondisi yang
menyuburkan politik dinasti.
Jika tak ada ikhtiar sungguhsungguh mengubah situasi Indonesia saat ini, peluang untuk
dibangunnya dinasti politik sangat
besar. Tumbuh suburnya dinasti
politik akan mengarahkan politik
Indonesia menjadi politik dinasti
yang bertentangan dengan politik
kesetaraan n BTX
www.p2d.org — konstelasi
3
analisis
Politik Dinasti dalam
etelah jatuhnya otoritarianisme Orde Baru, sebuah gejala
baru muncul dalam kehidupan
politik Indonesia, yakni menguatnya kekerabatan dalam politik
(kinship politics) atau kerap disebut
politik dinasti. Gejala ini banyak
ditemukan dalam politik lokal,
penandanya adalah posisi-posisi
penting dalam institusi politik
seperti pemerintahan dan legislatif diduduki oleh mereka yang
berada dalam satu garis keturunan. Sejumlah studi menunjukkan
bagaimana jaringan hubungan
kekerabatan menjadi landasan
penguasaan politik di tingkat
lokal (lihat Vedi Hadiz (2010),
Marcus Mietzner (2009), Michael
Buehler dan Paige Tan (2007),
Edward Aspinall dan Greg Fealy
(2003).
S
Penggerusan Demokrasi
Politik kekerabatan atau politik
dinasti telah lama muncul di alam
demokrasi. Ia menyita perhatian
dalam kaitannnya dengan ketidaksetaraan distribusi kekuasaan
politik sebagai refleksi dari ketaksempurnaan sistem demokrasi
representasi. Jika dirujuk ke
belakang, filsuf Italia Gaetano
Mosca, dalam karyanya The
Rulling Class (1980) menyatakan
bahwa “setiap kelas menunjukkan
tendensi untuk membangun suatu
tradisi turun-menurun di dalam
kenyataan, jika tidak bisa di dalam
aturan hukum”. Bahkan dalam
organisasi demokratis sekalipun,
jika sebuah kepemimpinan ter pi lih, ia akan membuat kekuasaannya sedemikian mapan agar sulit
untuk digeser atau digantikan,
bahkan menggerus prinsip-prin sip demokrasi di lapangan per mainan politiknya (Robert
4
konstelasi — www.p2d.org
Sumber Gambar: http://4.bp.blogspot.com/_lEGpxJ3wXT4/SzVtnrxOalI/AAAAAAAAAGo/AR1arxYp1QE/S660
Michels, 1962).
Gejala yang sama berlangsung
di dalam partai-partai politik na sional di Indonesia. Partai Demo krat (PD), misalnya, jalinan kelu arga Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) menduduki posisi-posisi
kunci dalam partai. Sebut saja
Edhie Baskoro Yudhoyono (anak)
menduduki posisi sekjen dan
anggota DPR, Hartanto Edhie
Wibowo (ipar) menduduki salah
Demokrasi Semu
/editorial.jpg
satu ketua departemen dan juga
anggota DPR, Hadi Utomo (ipar)
mantan ketua umum dan sekarang
duduk di dewan pembina, Agus
Hermanto (ipar) sebagai Ketua
Komisi Pemenangan Pemilu dan
Nurcahyo Anggorojati (keponakan) sebagai Sekretaris Komisi
Pemenangan Pemilu. Demikian
juga di dalam Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP),
keluarga Megawati Soekarnoputri
duduk di dalam posisi kunci dalam partai, seperti Puan Maharani
(anak) menduduki Ketua Bidang
Politik dan anggota DPR, Taufik
Kiemas (suami) sebagai Ketua
Dewan Pertimbangan Pusat (De perpu) dan Ketua MPR. Partaipartai lain juga menjalankan
praktik yang sama, hanya tidak semenonjol PD dan PDIP dalam
membangun dinasti politik. Jadi di
dalam partai-partai tersebut,
posisi-posisi strategis banyak didistribusikan atas dasar hubungan
kekeluargaan.
Pengaruh kekerabatan di
dalam partai politik ini bukan
hanya bisa dilihat dalam posisinya
di tubuh partai politik, melainkan
juga kedudukannya di DPR sebagai wakil partai. Sejumlah kerabat
Megawati, Amien Rais, SBY,
ataupun para petinggi partai lainnya masuk menjadi anggota DPR
melalui jalur partai. [lihat catatan
di akhir tulisan]
Bahaya dari politik dinasti
adalah hasratnya untuk mengekal kan diri dan melembagakannya
dalam kepolitikan. Sifat alamiahnya adalah kekuasaan politik
hendak dijalankan secara turuntemurun di atas garis trah dan
kekerabatan, bukan didasarkan
pada kualitas kepemimpinan,
tujuan-tujuan bersama, keputusan
dan kerja-kerja asosiatif . Pe ngekalan dan pelembagaan politik
dinasti dimungkinkan dengan
merajalelanya politik-uang. De mokrasi diubah tekstur nya se demikian rupa bukan lagi sebagai
ruang kontestasi ide, gagasan,
program dan ideologi, melainkan
pasar transaksi jual-beli kepentingan individu dan kelompokkekerabatan.
Robert Michels menilai bahwa kecenderungan oligarkis– yang dibangun atas dasar
hubungan keluarga– dalam tubuh
partai politik juga akan terus
terbawa ke dalam pemerintahan.
Kecenderungan oligarkis dalam
partai merupakan hukum besi
yang tak terhindarkan, bahkan
ketika par tai tersebut menjadi
partai yang berkuasa maka model
oligarkis akan juga diberlakukan
dalam pemerintahan. Bahkan
anggota parlemen akan menjadi
arogan dan membuat kesepakatan
dengan partai lain tanpa mempertimbangkan prinsip ideologis
partai mereka dan dukungan dari
para pemilih mereka. Dalam
partai yang demikian, para pe mimpinnya akan menilai dan
memperlakukan dirinya di atas
para anggota atau pengikut, tidak
lagi dalam hubungan keanggotaan
yang setara.
Politik dinasti dalam tubuh
partai akan diberlakukan pula jika
partai tersebut berhasil memperoleh kekuasaan politik. Terlebih,
politik dinasti akan coba dikekalkan dengan memperluas penguasaan posisi dan kedudukan
dalam politik agar bisa berlangsung selama mungkin. Hal ini bisa
kita lihat di dalam pemerintahan
SBY yang banyak menempatkan
kerabatnya di dalam posisi-posisi
penting di lembaga-lembaga
negara seperti Letjen (Purn)
Erwin Sudjono (ipar) yang
pernah menjabat Kasum TNI,
Mayjen Pramono Edhie Wibowo
(ipar) sebagai Pangkostrad, dan
www.p2d.org — konstelasi
5
Sumber Gambar: http://progreso-weekly.com/2/images/stories/democracy.bmp
Gatot Suwondo (ipar) sebagai
Presiden Direktur Bank BNI.
Demikian juga kerabatnya yang
lain yang ikut dalam berbagai
kegiatan bisnis dengan berbagai
perusahaan milik negara seperti
PT Pelni, PT Telkom, PT PLN
dan PT Kereta Api Indonesia
(Jakarta Post 15/11/2010).
Pelembagaan Politik Dinasti
dalam Demokrasi Semu
Pelembagaan politik dinasti dalam
partai politik dimungkinkan juga
oleh karena adanya kecenderung-
6
konstelasi — www.p2d.org
an personalisasi partai politik.
Istilah ini dikemukakan oleh
Norberto Bobbio (2003) untuk
merujuk pada partai yang dicipta kan oleh satu orang dan digunakan untuk kepentingan orang
tersebut. Jadi, partai personal
bukanlah partai yang dibangun
untuk tujuan-tujuan common good,
melainkan untuk tujuan pribadi.
Akibatnya, partai model ini hanya
akan bekerja untuk melayani kepentingan si tokoh, dan kemudian
keluarganya jika partai ini terus
ber tahan. Dari model partai
personal tersebut, politik dinasti
berkembang dan bermetamorfosa
menjadi partai kekerabatan. Hubungan kekerabatan para petinggi di tubuh partai akan
menentukan kedudukan, pembagian kekuasaan, dan kelak
mendominasi kebijakan.
Dalam situasi seperti ini maka
para fungsionaris kunci partai dan
bahkan calon-calon legislatif yang
muncul akan banyak diwarnai atas
dasar hubungan kekeluargaan atau
kerabat. Yang parah adalah jika
para pemimpin partai yang di -
tunjuk atas dasar kekerabatan tidak
memiliki kualitas dan kualifikasi
yang memadai untuk memimpin
atau menjadi anggota legislatif.
Kekuasaan politik seharusnya
diperebutkan dengan tujuan untuk menciptakan suatu tatanan
yang baik bagi semua, dan partai
politik merupakan alat untuk
mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Sementara partai kekerabatan dibangun untuk tujuan-tujuan
personal atau pribadi, dalam hal
ini sang pemimpin dengan keluarga dan kerabatnya. Dalam kondisi
politik yang demikian, telos politik
yakni menciptakan common good
atau kemaslahatan bagi semua
menjadi usang.
Politik dinasti di dalam partai
politik dimungkinkan tumbuh
saat cuaca demokrasi bersifat
semu. Demokrasi semu lebih berupa pasar transaksi kepentingan
pribadi, namun dengan menggunakan alat-alat kelengkapan
demokrasi seperti: partai politik,
lembaga dan institusi negara, serta
media massa. Peralatan sistem
demokrasi tersebut digunakan bukan untuk menopang sistem
demokrasi, melainkan memanipulasinya menjadi penopang sistem
oligarki. Politik dipersempit
menjadi ruang perebutan ke kuasaan politik dan penimbunan
kekayaan antar para oligarkis,
sementara rakyat kebanyakan dibayar untuk berduyun-duyun
melegalkan manipulasi tersebut
lewat pemilu, pilkada dan aksi-aksi
protes lainnya.
Di titik ini, cuaca demokrasi
hanya bisa dicerahkan dengan
membangun politik yang ber integritas. Pemimpin yang memiliki integritas dibutuhkan untuk
membuka selubung kepalsuan
demokrasi yang selama ini dipraktikkan sekaligus penghancuran oligarki n DHX
Jalinan Kekerabatan
di Lembaga Perwakilan Rakyat
konstelasi
1. Hubungan keluarga dengan Megawati (Ketua Umum PDIP): Taufik Kiemas
(suami), Nazaruddin Kiemas (ipar), Puan Maharani (putri), Puti Guntur
Soekarno (keponakan), M. Guruh Irianto Soekarno Putra (adik).
2. Hubungan keluarga dengan SBY (Ketua Dewan Pembina PD): Edhie
Baskoro Yudhoyono (anak), Hartanto Edhie Wibowo (ipar).
3. Hubungan keluarga dengan Amien Rais (pendiri PAN, Ketua Majelis
Pertimbangan Partai): Ahmad Mumtaz Rais (anak), Abdul Rozaq Rais (adik)
4. Lainnya
- Achmad Dimyati N. (PPP)-Irna Narulita (PPP): suami-istri
- Iqbal Alan Abdullah (Hanura)-Evita Nursanti (PDIP): suami-istri
- Marzuki Alie (Demokrat)-Asmawati (DPD Sumsel): suami-istri
- Nita Budhi Susanti (Demokrat)-Mudaffar Sjah (DPD Malut):
suami-istri
- Hikmat Tomet (Golkar)-Andika Hazrumy (DPD Banten): orang
tua-anak
- Sjarif Hasan (Demokrat)-Inggrid Kansil (Demokrat): suami-istri*
- Suryadharma Ali (PPP)-Wardatul Asriah (PPP): suami-istri**
- Agus Gumiwang (Golkar)-Ginandjar Kartasasmita (DPD Jawa
Barat): orang tua-anak***
*
Sjarif Hasan mundur dari DPR untuk mengisi pos menteri koperasi
dan UKM.
** Suryadharma Ali mundur dari DPR untuk mengisi pos menteri agama.
*** Ginandjar Kartasasmita mundur dari DPD untuk menjadi
anggota Wantimpres.
Sumber: diolah dari berbagai sumber
d ite rb it ka n o le h
Pe rhimp una n Pe nd id ika n
De mo kra s i (P2D)
Re d a ks i
Abdul Qodir Agil
Daniel Hutagalung
Donny Ardyanto
Fajrimei A. Gofar
Fitria Achmada
Hendrik A. Boli Tobi
Ikravany Hilman
Isfahani Ivan
Iwa Abdul Rozak
Otto Pratama
Rachland Nashidik
Rizki Setiawan
Robby Kurniawan
Robertus Robet
Sahat K Panggabean
Re d a ktur Ahli
Bagus Takwin
Richard Oh
Rocky Gerung
Ala ma t Re d a ks i
Jl. Maleo X No.25,
Bintaro Jaya Sektor 9,
Tangerang 15229
Tel: (021) 7452992
Fax: (021) 7451471
http://www.p2d.org
E-mail: [email protected]
www.p2d.org — konstelasi
7
analisis
Akal Bulus Otoritariani
alam diskursus politik di
Indonesia, demokrasi muncul sebagai lawan bagi rejim
politik yang memegang kekuasaan
secara monopolistis dan sentralistis
di tangan satu orang atau satu
keluarga. Kekuasaan individual
mentotalisasi “yang sosial”. Akibatnya kekuasaan “si penguasa”
melampaui “kedaulatan rakyat”.
Menerima demokrasi berarti
berupaya menjamin terwujudnya
kedaulatan rakyat, menolak dan
terus menerus menghindari monopoli kekuasaan oleh suatu rejim
politik individual. Yang kemudian
selalu menjadi persoalan dalam
sejarah adalah pikiran otoritarianisme, dalam arti upaya untuk
menjalankan kekuasaan secara
monopolistik dan sentralistik,
masih bisa hidup dengan tetap
memanfaatkan sistem demokrasi.
Bagaimana cara bekerjanya?
Coba Anda bayangkan situasi
ini: Pada suatu kongres partai,
Ketua Panitia Kongres berdiri
memberikan sambutan. Duduk
dengan takzim dihadapannya
Sang Ketua Partai yang bukan lain
adalah ibu dari Ketua Panitia
Kongres. Di samping Sang Ketua
Partai, duduk mendampingi
Ketua Dewan Pembina Partai
yang ternyata juga adalah bapak
Ketua Panitia atau suami dari
Sang Ketua. Sebuah partai diurus
oleh sebuah keluarga! Coba Anda
bayangkan juga apabila dalam
sebuah partai Ketua Dewan
Pembina dipimpin oleh suami,
dengan anggota istri dan kerabat,
sementara di jajaran eksekutifnya
duduk anak laki-laki Sang
Pembina. Apa yang keliru dengan
cara ini?
Penempatan anak-istri dan
D
8
konstelasi — www.p2d.org
Sumber Gambar: http://3.bp.blogspot.com/_odBaJYblNBc/TIw6M5MRWQI/AAAAAAAAAVI/guitRM-_wmk/s1
kerabat dalam partai politik terjadi dalam pikiran bahwa regenerasi
politik bisa dilakukan satu jalur
dengan regenerasi biologis. Inilah
politik dinasti dalam arti yang pa ling telanjang. Anak, istri atau
suami disiapkan sebagai penerus
kekuasaan. Di sini ada relasi antara
induk dengan anak. Sang bapak/
ibu diposisikan sebagai biang dari
‘kekuasaan kharismatis’ yang me lekat padanya, sementara si penerus adalah turunan yang oleh
karena kekuasaan kharismatis
biangnya ditetapkan sebagai pelanjut. Dengan demikian regenerasi kekuasaan muncul secara predeterministis dari kamar tidur si
biang atau induk. Arti regenerasi
semacam ini adalah kekuasaan
tetap berada di satu tangan atau
dalam satu tubuh politik. Akan
tetapi mereka perlu menyesuaikan
diri dengan prosedur dan norma
demokrasi, oleh karenanya sifat
kesatuan itu disebar atau dicicil ke
dalam derivatif biologisnya.
Politik dinasti adalah akal-
sme dalam Demokrasi
600/democracy.jpg
akalan paling kasar terhadap dan
di dalam demokrasi karena tujuan
utamanya adalah memonopoli
kekuasaan. Selain melakukan
penubuhan politik melalui ke turunannya, praktik politik dinasti
biasanya membentengi dirinya
dengan argumen-argumen sederhana dan tampak sesuai akal sehat.
Argumen utamanya bersifat pembelaan diri, bahwa anggota
keluarganya adalah warga negara
yang juga memiliki hak dan sudah
memiliki kesiapan diri jauh-jauh
hari. Argumen ini dimaksudkan
untuk memberi landasan “ala miah” bagi kemunculan anak,
istri, atau kerabat sehingga di mata
orang banyak seolah-olah mereka
sama sekali tidak memiliki keterhubungan dengan si biang.
Sementara di dalam lingkungan
yang sempit, para pengikut serta
hulu balang si biang secara
perlahan tapi pasti terus menerus
saling meyakinkan akan peranperan baru dari si turunan. Hipokrasi adalah sesuatu yang tak
terhindarkan dalam politik dinasti: ke luar mereka hendak terlihat
berjarak, alamiah dan demokratis
tapi ke dalam mereka mempersiapkan diri secara tertutup, kasar
bahkan mungkin dengan paksaan
oleh turunan tubuh-politiknya
Politik dinasti adalah percoba an monopoli terhadap kedaulatan
rakyat yang dilakukan secara
terencana seringkali secara sangat
modern dan “rasional”. Si turunan
disekolahkan, dijamin karirnya di
partai-partai tempat orang tua
mereka berkiprah. Dalam konteks
negara seperti Indonesia dan
Amerika Latin, politik dinasti
semakin mendapatkan kekuatannya karena tradisionalisme dan
sifat-sifat patrimonial masih
melekat kuat dalam struktur
masyarakat. Dalam politik lokal di
berbagai daerah, politik dinasti
biasanya dipraktikkan oleh jagoan
dan keluarga-keluarga kaya lama:
keluarga penguasa tanah, perkebunan, borjuis lama serta mantan
kapitalis-birokrat yang ber gelimang harta bisnis rente dari
jaman otoriter. Gagasan patrimonial memudahkan penerimaan
orang banyak akan peran individu
atau orang-orang besar dan kuat
yang bisa dilanjutkan ke anakcucu atau keluarga mereka.
Dalam kultur patrimonial itu,
mekanisme dan instrumen-instrumen seperti media massa dan
iklan politik bukannya me modernisir atau mengikis dinasti,
tetapi malah memperkuat dinasti.
Industri media tidak berpihak
kepada nilai-nilai demokrasi atau
keutamaan politik tertentu, melainkan kepada uang, dari sini
mereka tidak lebih dari sekadar
mesin reproduksi politik patrimonial dan dinasti politik.
Ada sejumlah penelitian empiris mengenai berapa besar
pengaruh dinasti terhadap tujuantujuan demokrasi salah satunya
adalah dengan mengukur preferensi politik dari para dinasti dalam
kepolitikan lokal. Ada banyak
bukti bahwa mereka memang
lebih banyak mengurusi kepentingan diri dan keluarganya,
menjadikan kekuasaan sebagai
jalan untuk memperkaya kroninya
semata-mata. Dengan melihat
karakter ini, maka kita bisa
memastikan bahwa politik dinasti
pada hakekatnya adalah keburukan dan secara gradual memang
dimaksudkan untuk memonopoli
kekuasaan. Namun demikian,
oleh karena ia dipraktikkan dalam
mekanisme gradual ia bisa lolos
dari ujian norma-norma dan diperbolehkan demokrasi modern.
Ia berbahaya dan terbelakang tapi
hampir pasti sulit dilarang melalui
jalan legal formal dalam suatu
sistem politik demokratis. Satusatunya cara supaya ia bisa kita
hindarkan adalah dengan mendidik orang banyak supaya makin
memahami arti dan tujuan politik
demokrasi modern n RBX
www.p2d.org — konstelasi
9
analisis
Kekuasaan Dinasti Politik N
ejak reformasi, dinasti politik
tumbuh subur bak cendawan
di musim hujan. Daftar calon
legislatif atau kandidat kepala
daerah banyak diisi oleh caloncalon pemimpin politik yang
mempunyai hubungan kekerabatan. Banyak diantara mereka yang
berhasil memenangkan pemilu
dan pilkada, wajar jika praktek
politik dinasti terus berkembang.
Salah satu contoh dari adanya
politik dinasti adalah dinasti
politik Narang di Kalimantan
Tengah. Aktivitas politik keluarga
Narang telah dimulai oleh August
Waldemar Narang, generasi pertama keluarga Narang. August
adalah seorang pengusaha sukses
dan juga politisi. Waldemar terjun
ke dunia politik dan menjadi
anggota DPRD Kalimantan Selatan dari Golkar pada era 1970an. Ia adalah ayah yang selalu
memotivasi anak-anaknya untuk
menjadi politisi terkemuka.
Aktivitas politik Keluarga
Narang kemudian berlanjut pada
Aries dan Asdy Narang yang me rupakan generasi ketiga dalam keluarga Narang yang meneruskan
karir politik keluarga.
S
Dari Generasi ke Generasi
Dekade 1980-an, raung motor
balap yang dikendarai oleh Aries
Marcorius Narang (crosser terkenal
di Kalimantan Selatan dan
Tengah) membahana dan menggetarkan sirkuit balap di Kaliman tan. Roda-roda motor lincah
menyusuri dan melewati pelbagai
trek yang ada di lintasan balap.
Memasuki era 2000-an, Sang
Crosser pensiun dari dunia balap,
setelah sempat menjadi Ketua
Ikatan Motor Indonesia (IMI)
10
konstelasi — www.p2d.org
Sumber Gambar: http://i107.photobucket.com/albums/m294/zytrexx/politic.jpg
Kalteng, untuk selanjutnya meniti
karir sebagai politisi. Karir politik
Aries Narang melesat secepat mo tor balap yang pernah dikendarai nya. Pada Pemilu 2004, ia terpilih
menjadi anggota dan sekaligus
Ketua DPRD Kota Palangkaraya.
Ia juga Ketua DPC PDIP Kota
Palangkaraya. Laju politiknya
makin berkibar dengan terpilih
sebagai anggota DPRD Provinsi
Kalteng periode 2009-2014.
arang di Kalimantan Tengah
Ayah Aries adalah Reinhard
Atu Narang. Saat ini menjabat
sebagai Ketua DPRD Kalteng dan
Ketua DPD PDIP Kalteng. Pada
awal karir politiknya, Atu Narang
adalah kader Golkar. Beliau
pernah menjabat sebagai bendahara Golkar dan anggota DPR
dari Golkar pada periode 19921997. Saat reformasi, Atu Narang
“lompat partai” ke PDIP. Meski
keanggotaanya relatif baru, ia terpilih sebagai Ketua DPD PDIP
Kalteng (tempo online, 22 Juli
2002). Dalam Pemilu Legislatif
2004 dan 2009, Atu terpilih menjadi anggota DPRD dan dua kali
pula dipilih menjadi Ketua
DPRD Kalteng.
Sang paman, Teras Narang
baru terpilih kembali sebagai
Gubernur Kalteng untuk periode
2010-2015. Seperti Aries, Teras
Narang juga mempunyai hobi
balap dan beberapa kali menjuarai
lomba balap di Kalimantan.
Selepas kuliah, Teras memulai
karirnya sebagai pengacara, dan
pernah terpilih menjadi Ketua
Ikadin Jakarta Timur. Teras juga
aktif berpolitik lewat PDIP.
Terpilih sebagai anggota DPR RI
pada Pemilu 1999 dan 2004, Teras
Narang kemudian mengundurkan
diri pada tahun 2005 untuk mencalonkan diri sebagai kandidat
Gubernur Kalteng. Ia menang dan
terpilih sebagai Gubernur Kalteng
kurun tahun 2005-2010.
Pujihastuti Narang adalah bibi
Aries. Saat menjadi caleg PDIP
untuk DPRD Kalteng, Pujihasti
tak mendapat cukup suara sehingga gagal terpilih. Akan tetapi, se orang caleg PDIP terpilih dari
daerah pemilihan Kalteng V
bernama Sri Hardjito mengundurkan diri sebelum dilantik
sebagai anggota DPRD Kalteng,
nama Pujihasti pun masuk menggantikan Sri Hardjito. Tak begitu
jelas alasan pengunduran diri Sri
Hardjito. Penunjukkan Pujihastuti
Narang oleh DPD PDIP Kalteng
untuk menggantikan Sri Hardjito
juga menimbulkan sejumlah tanya
(Warta Kalteng Online, 22 Mei
2009). Namun berbagai pertanyaan tak menghalangi terpilihnya
Pujihastuti Narang sebagai anggota
definitif DPRD Kalteng periode
2009-2014. Adapun adik bungsu
Aries, Asdy Narang berhasil menjadi anggota DPR RI dari daerah
pemilihan (dapil) Kalteng.
Layaknya trek motorcross, laju
politiknya sempat melalui medan
yang berat. Pada tahun 2008 Aries
Narang kalah dalam pilkada bupati Kabupaten Pulang Pisang,
Kalteng. Pada tahun 2009, saat
masih duduk sebagai Ketua
DPRD Palangkaraya, ia ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Kalteng dalam kasus
korupsi di DPRD Kota Palangkaraya (Warta Kalteng Online, 27 Mei
2009). Penetapan status tersangka
tindak pidana korupsi dan kekalahan pada pilkada, tak menghalangi kelihain Aries memacu roda
politiknya dalam Pemilu Legislatif
2009. Mesin partai dan keluarga
berhasil menjadikan Aries Narang
sebagai anggota DPRD Provinsi
Kalteng dengan perolehan suara
paling besar di antara caleg-caleg
lainnya. Bahkan status tersangka
korupsi tak menghalangi pelantikan Aries Narang sebagai anggota
DPRD. Pada tanggal 8 April 2010,
hakim Pengadilan Negeri Palangkaraya menjatuhkan vonis 1 tahun
penjara. Namun demikian, Aries
Narang mengajukan banding ke
Pengadilan Tinggi Kalteng. Sampai saat ini belum ada kelanjutan
dari kasus korupsi yang menimpa
Aries Narang, sehingga Aries tetap
menjalankan aktivitasnya.
www.p2d.org — konstelasi
11
Jalinan Etnis, Partai
dan Bisnis
Makin menguatnya kekuasaan
politik keluarga Narang di Kalteng terletak pada jalinan politik
etnis, partai dan bisnis. Bagaimana
jalinan itu bisa mendukung kekuasaan keluarga Narang, kita
perlu melihat peta politik Kalteng
baik dalam konteks lokal maupun
dalam hubungannya dengan politik nasional.
Provinsi Kalteng terbentuk
pada 23 Mei 1957. Provinsi ini
lepas dari provinsi induk Kalimantan Selatan (Kalsel), berdasarkan berdasarkan Undang-Undang
Darurat Nomor 10 Tahun 1957
tertanggal 23 Mei 1957. Pendirian
provinsi ini tidak semata persoalan
administrasi, tetapi ada unsur politik identitas suku Dayak. Provinsi
Kalteng ini disebut sebagai provinsi orang Dayak yang dibedakan
dengan provinsi Kalsel yang
disebut sebagai provinsi orang
Banjar (Gerry van Klinken,
KITLV & YOI, 2007).
Dalam konteks politik etnis di
Kalteng inilah, karir politik
Narang tumbuh dan berkembang.
Pada awalnya, keluarga Narang
membangun aktivitasnya di Kal sel. Ketika kembali ke Kalteng,
keluarga Narang dengan mudah
diterima dalam politik lokal, karena mereka berasal dari sub etnik
Dayak Ngaju. Dayak Ngaju adalah
suku yang paling dominan dalam
etnik Dayak di Kalteng.
Pada Maret 2003, Teras
Narang dinobatkan sebagai “Sang
Pangeran Dayak” sebuah gelar
prestisius dalam tradisi etnis
Dayak. Teras juga dikukuhkan
sebagai Ketua Majelis Adat Dayak
Nasional (MADN). Baru-baru
ini, Aries mendapat gelar “utus
gantung”, sebuah gelar tertinggi
dalam adat masyarakat Dayak di
Kalteng. Tingkat keterpilihan
12
konstelasi — www.p2d.org
Aktivitas politik
Keluarga Narang
kemudian berlanjut
pada Aries dan
Asdy Narang
yang merupakan
generasi ketiga
dalam keluarga
Narang yang
meneruskan karir
politik keluarga.
anggota keluarga Narang sangat
dipengaruhi oleh besarnya dukungan dari etnik Dayak.
Kekuasaan keluarga Narang
atas DPD PDIP Kalteng turut
memperkuat aktivitas politik
mereka. Atu Narang menjabat
sebagai Ketua DPD Kalteng. Teras
Narang duduk sebagai dewan
penasehat. Aries dipilih sebagai
Ketua DPC Kota Palangkaraya,
sedangkan Asdy didaulat sebagai
Ketua Taruna Merah Putih
(TMP) Kalimantan Selatan, salah
satu sayap organisasi PDIP. Posisiposisi penting DPD PDIP
Kalteng yang dikuasai oleh
keluarga Narang memudahkan
mereka untuk mengorbitkan atau
memperkokoh karir masingmasing anggota keluarga. Di
Kalteng, PDIP selalu menjadi
pemenang dalam pemilu legislatif
sejak 1999. Demikian juga dengan
pilpres 2004 dan 2009, DPD
PDIP Kalteng berhasil me menangkan Megawati sebagai
calon presiden. Tak mengheran kan, kalau ada anggota keluarga
Narang yang maju dalam politik
lokal dan nasional, mereka sering
mendapat hasil yang memuaskan.
Faktor lain yang mendukung
karir politik keluarga Narang
adalah kemampuan finansial. Sejak
dirintis oleh Waldemar Narang,
bisnis keluarga Narang terus
berkembang pesat, dan saat ini
dikelola oleh putra kedua Atu
Narang,
Andrey
Leonardo
Narang. Salah satu bisnis utama
keluarga Narang adalah distribusi
minyak. Andrey Narang adalah
ketua Himpunan Pengusaha
Swasta Nasional Minyak dan Gas
(Hiswana Migas) Kalteng.
Jalinan antara faktor politik
etnis, partai dan bisnis keluarga
menjadikan keluarga Narang
tahan uji terhadap berbagai faktor
yang menjadi penghambat mereka. Pada saat pemilu dan
pemilukada gubernur Kalteng, isu
agama sempat muncul. Keluarga
Narang beragama Kristen, sedangkan mayoritas warga Kalteng
beragama Islam. Tetapi isu agama
ternyata tak bisa menghalang
kemenangan keluarga Narang
dalam politik lokal.
Kuatnya jalinan politik etnis,
partai dan bisnis keluarga akan
sulit dilawan, terbukti ketika ada
kasus korupsi yang menimpa salah
satu anggota keluarga Narang, tak
bisa menghambat karir politik
keluarga Narang. Inilah bahaya
yang timbul dari dinasti politik.
Kebanyakan orang sering menilai
keberhasilan seorang pemimpin
akan menulari kerabatnya. Teras
Narang mungkin adalah pemimpin politik yang berhasil, tetapi
tidak berarti bahwa dengan
sendirinya seluruh keluarga juga
adalah politisi yang baik. Dinasti
politik akan menghambat tumbuhnya politik yang baik. Orang
harus dinilai atas kerja keras dan
prestasi individualnya, bukan karena menyandang nama keluarga
besar n HBX
Download