2 Indonesia Rawan Politik Dinasti 4 Politik Dinasti dalam Demokrasi Semu 8 Akal Bulus Otoritarianisme dalam Demokrasi 11 Kekuasaan Dinasti Politik Narang di Kalimantan Tengah no.3 0 m a r et 2 01 1 KONSTELASI Analisis Berkala Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) Menyepuh Kaleng olitik tumbuh karena kompetisi. Tetapi lebih dari sekedar bertumbuh, politik juga menuju pada “yang adil”. Jadi, kompetisi hanya disebut demokratis bila arahnya menghasilkan keadilan. Politik semacam itu mengandai kan kompetisi di antara subyeksubyek publik. Yaitu subyek-subyek yang memahami politik sebagai keutamaan keadilan, keutamaan kesetaraan, keutamaan kedaulatan rakyat. Pendeknya, subyeksubyek yang hendak merawat ide dan perserikatan sebuah Republik. Normativitas politik inilah yang kini sedang ditinggalkan dalam praktek kompetisi politik kita. Pada skala nasional sampai lokal, politik kita justru bergerak berbalik dari ide keutamaan publik. Personalisasi politik telah menghalangi partisipasi setara warga negara dalam banyak Pilka da. Juga, upaya pewarisan ke kuasaan intra-keluarga, sudah terbaca bahkan ketika Pemilu 2014 masih jauh. Kekuasaan patronpatron politik di daerah telah menjadikan politik sebagai urusan “dinasti” tuan tanah, “dinasti” sesepuh agama, “dinasti” petinggi adat. Dalam ambisi yang sama, tokoh-tokoh politik nasional juga mengejar kekuasaan dengan pan- P dangan politik feodal sejenis. Politik dinasti adalah bentuk arogansi elit. Arogansi yang berasal dari ketaksanggupan menyelenggarakan politik secara modern: sarat ide, penuh argumen, dan fasih pikiran. Gejala politik dinasti pada kita, tampil bukan karena aristokrasi pikiran, melainkan karena ambisi dan mentalitas feodal. Tetapi soal terburuk yang hari-hari ini merebak dalam per bincangan politik publik adalah pemaksaan pencitraan untuk mendongkrak para pewaris politik dinasti itu. Seperti menyepuh kaleng, upaya politik untuk menampilkan gemilau para pewaris tahta itu tampak seperti pameran murahan yang diorganisir oleh para tukang sulap. Pemaksaan pencitraan tentu saja memerlukan kilau minimal dari si “tokoh”. Tetapi bila yang minimal sekali pun tidak tersedia, maka pe warisan politik dinasti itu jadi semacam penghinaan pada per adaban politik modern. Jadi, bila olok-olok publik tentang kualitas, kapasitas dan integritas para pewaris tahta itu merebak akhir-akhir ini, pertanda bahwa ada keinginan yang kuat dalam masyarakat kita untuk mencari figur pemimpin yang sungguh-sungguh berbasis pada kekuatan pikiran, teruji dalam kepemimpinan dan berintegritas tinggi. Kontras kualitas inilah yang hendak kita perlihatkan dalam proses dan dinamika politik yang kian meninggi akhir-akhir ini. Kontras itu harus dapat dibaca secara saksama oleh seluruh rakyat, karena kesempatan untuk memperbaiki Indonesia tidak boleh lagi dipermainkan oleh pencitraan yang berbasis kelemahan, kebodohan dan mediokrasi. Dalam sorotan akal sehat global, kita seharusnya menutup muka, bukan justru mempertebal dempul wajah demi ambisi-ambisi feodalistik itu. Wujud buruk dari demokrasi adalah bila dia diisi oleh “yang non-publik”. Demokrasi menyiapkan panggung untuk semua “kepentingan yang bersaing”. Tetapi bila kepentingan itu sendiri bakal menghalangi kepentingan yang lain, maka demokrasi harus mencegahnya. Sekali lagi, demi Indonesia yang bermutu, personalisasi politik, khususnya melalui mental politik dinasti itu, adalah penghinaan terhadap akal sehat publik n RGX www.p2d.org — konstelasi 1 analisis Indonesia Rawan inasti politik bukanlah gejala khusus Indonesia. Sebut saja dinasti politik yang kuat seperti Kennedy, Bush, Nehru-KhanGandhi, atau Aquino di Philipina. Mereka adalah keluarga-keluarga yang mendidik anak-cucunya supaya punya kesiapan bersaing dalam politik, memenangkan kekuasaan, mempertahankan kejayaan dinasti politik yang sudah dibangun. Kecenderungan sebuah ke luarga atau klan untuk mempertahankan kekuasaan tampak jelas dalam sejarah. Mosca (1966/1896: 74) menulis, “setiap kelas, pada faktanya jika bukan pada hukumnya, mempertunjukan kecenderungan untuk menjadi kumpulan orang seketurunan (hereditary).” Juga dalam politik. Dan ketika posisi politik terbuka untuk siapapun, ikatan keluarga yang sudah berada dalam kekuasaan akan berupaya untuk memperoleh keuntungan dari situ. Sebuah keluarga yang sudah berkuasa akan berusaha tetap berkuasa. D Makna Politik Dinasti bagi Demokrasi Mereka yang tak keberatan dengan politik dinasti memandang kecenderungan itu bukan masalah bagi demokrasi sejauh sistem dan aturannya tetap demokratis. Bahkan ada yang berargumen bahwa dinasti politik bisa dipahami sebagai perwujudan bakat dan dorongan yang kuat untuk berpolitik yang diturunkan secara genetik, ditambah dengan pola asuh dan sosialisasi yang fokus kepada kehidupan politik. Dibandingkan dengan orang-orang pada umum2 konstelasi — www.p2d.org nya, orang dari keluarga yang pernah berkuasa punya banyak kenalan, tahu seluk-beluk politik, punya modal, dan trampil melakukan manuver politik. Mereka sudah maju beberapa langkah dari kebanyakan orang yang hendak terlibat dalam politik sehingga lebih besar peluangnya memenangkan persaingan. Mereka yang peduli dengan ketidaksempurnaan demokrasi representatif yang bisa menghasilkan ketaksetaraan distribusi kekuasaan mengajukan sejumlah keberatan pada ide politik dinasti. Pertama-tama, keberatan itu didasari oleh prinsip keadilan dan kesetaraan. Distribusi kekuasaan yang tak merata menghasilkan keterlibatan dan kesejahteraan yang tak merata pula. Masyarakat dengan ketaksetaraan semacam itu tak layak dipertahankan, bahkan harus ditolak. Keberatan lainnya didasari oleh pertanyaan: Apakah dinasti politik ada karena beberapa keluarga memang lebih mampu dan berbakat ketimbang keluarga lain, atau karena usaha mempertahankan dan memperbesar kekuasaan politik dengan segala cara, baik secara halus maupun kasar, oleh keluarga yang sudah ber kuasa? Akal-akalan sebuah keluarga untuk mempertahankan kekuasaan sudah banyak ditampilkan di beberapa negara. Kecurangan dan program-program hegemonik dijalankan sedemikian rupa supaya sebuah keluarga tetap berkuasa, lepas dari kemampuan dan bakat politik. Keberatan yang lebih prinsipil langsung menunjuk ketidakse- taraan dalam dinasti politik dan politik dinasti. Mereka yang punya keberatan ini menegaskan, politik dinasti merupakan wujud dari kesalahan mengelola kehidupan bersama. Hubungan politik yang seharusnya adalah hubungan antara orang-orang yang masingmasing ikut mengambil peranan sebagai “yang mengatur” dan “diatur” dalam kehidupan bersama nyata-nyata tidak berlangsung ketika sebuah dinasti memegang tampuk kekuasaan dalam waktu lama, lalu menurunkan kekuasaan itu kepada keturunannya. Lepas dari prosedurnya (sahih dan legal atau sebaliknya), secara substansial politik dinasti merupakan wujud dari penguasaan satu kelompok atas kelompok lain. Jelas-jelas itu bertentangan dengan keadilan dan kesetaraan. Kecenderungan Politik Dinasti di Masyarakat Indonesia Ada banyak alasan untuk menyimpulkan politik dinasti dan dinasti politik bisa tumbuh subur di Indonesia, baik dilihat dari faktor budaya, kognitif-emosional, maupun sosial-ekonomi. Kecen derungan pengkultusan tokoh yang dikeliling sejumlah mitos, jejak-jejak feodalisme yang masih tampak jelas, struktur dan interaksi sosial yang masih tak egaliter, dan kesenjangan antarwarga dalam ekonomi dan pendidikan, bisa jadi alasan itu. Kecenderungan mengkultusan tokoh mengindikasikan adanya kecenderungan memandang kekuatan dan keutamaan tokoh sebagai sifat-sifat yang secara alami- Politik Dinasti ah terberi khusus pada orang tertentu. Lalu disusul anggapan, tokoh itu dilindungi dan dijaga martabatnya secara kodrati, termasuk martabat keluarganya. Keturunannya pun ikut dihormati dan diunggulkan. Jika tokoh itu pernah berkuasa maka keturunannya atau keluarganya dianggap pantas juga berkuasa. Naturalisasi keunggulan tokoh tertentu beserta keluarganya merupakan modal bagi dinasti politik. Indikasi feodalisme tampil dominan di masyarakat Indonesia. Penghormatan yang berlebihan terhadap pejabat tinggi pemerintah, pelayanan yang berlebihan oleh bawahan terhadap atasan, memperlakukan istri dan anak pejabat sebagai orang-orang yang juga perlu dilayani dan diberi fasilitas khusus, “perburuan” gelar bangsawan, kebiasaan menghubung-hubungkan tokoh yang sedang berkuasa dengan kerajaan di masa lalu merupakan sebagian dari contoh gejala yang kental muatan feodalismenya. Feodalisme sekaligus juga menunjukkan struktur sosial yang menempatkan orang-orang di posisi-posisi yang tak setara. Ada orang yang dianggap lebih tinggi kedudukannya daripada orang lain. Relasi sosial berlangsung mengikuti ketaksetaraan struktural itu. Mereka yang ada di posisi atas struktur akan lebih banyak mendapatkan privilege dan fasilitas sehingga akan menjadi pihak yang lebih berkuasa dibanding orangorang yang ada di posisi bawah pada struktur. Pertukaran sumberdaya dan pelayanan asimetris; mereka yang di posisi bawah akan Mereka yang peduli dengan ketidaksempurnaan demokrasi representatif yang bisa menghasilkan ketaksetaraan distribusi kekuasaan mengajukan sejumlah keberatan pada ide politik dinasti. lebih banyak disedot sumberdayanya oleh yang berada di posisi atas. Kekuasaan akan bertahan bahkan menumpuk pada orangorang yang ada di posisi atas. Dengan struktur sosial seperti ini, keluarga-keluarga tertentu yang berkuasa lebih mudah menjadi dinasti. Kesenjangan antarwarga dalam ekonomi dan pendidikan di Indonesia juga bisa menjadi faktor berkembangnya politik dinasti dan dinasti politik di Indonesia. Perbedaan tingkat ekonomi dan pendidikan yang jauh bisa menghasilkan perbedaan status sosial yang jauh pula, yang ujungujungnya bisa memunculkan per bedaan kelas sosial. Jika perbedaan kelas itu digeneralisasi ke wilayah politik maka bisa menghasilkan elite-elite politik yang dianggap lebih pantas berkuasa. Dipadukan dengan kecenderungan pengkultusan individu dan feodalisme, keluarga para elit itu pun dinilai lebih baik dan mampu memimpin. Dalam situasi politik seperti itu, pesepsi bahwa keluarga tertentu lebih baik dan mampu memimpin Indonesia lebih mudah terbentuk sehingga lahan untuk politik dinasti pun lebih subur. Dari psikologi kita mendapat pemahaman bahwa pada diri tiap orang ada kecenderungan untuk mempertahan status quo sosial, ekonomi, politik, dan budaya (Jost, Pelham, & Carvallo, 2002; Jost , Banaji, & Nosek 2004; Jost & Hunyady, 2005; Kay et al, 2007). Individu merasionalisasi apa yang sedang berlangsung di masyarakat sebagai situasi yang adil dan pada tempatnya. Kecenderungan in terbentuk dalam rangka untuk menjaga makna diri, stabilitas ego, dan keberhargaan kelompok. Maka, orang mengembangkan mekanisme justifikasi sosial untuk menjaga keseimbangan diri. Sehingga, betapapun tak adilnya situasi sosial Indonesia, ia dirasionalisasi sedemikian rupa sehingga dipersepsi sebagai sistem yang adil dan wajar. Dengan kecenderungan justifikasi sistem ini, situasi masyarakat Indonesia dengan kondisi-kondisinya tersebut di atas dipertahankan, termasuk kondisi-kondisi yang menyuburkan politik dinasti. Jika tak ada ikhtiar sungguhsungguh mengubah situasi Indonesia saat ini, peluang untuk dibangunnya dinasti politik sangat besar. Tumbuh suburnya dinasti politik akan mengarahkan politik Indonesia menjadi politik dinasti yang bertentangan dengan politik kesetaraan n BTX www.p2d.org — konstelasi 3 analisis Politik Dinasti dalam etelah jatuhnya otoritarianisme Orde Baru, sebuah gejala baru muncul dalam kehidupan politik Indonesia, yakni menguatnya kekerabatan dalam politik (kinship politics) atau kerap disebut politik dinasti. Gejala ini banyak ditemukan dalam politik lokal, penandanya adalah posisi-posisi penting dalam institusi politik seperti pemerintahan dan legislatif diduduki oleh mereka yang berada dalam satu garis keturunan. Sejumlah studi menunjukkan bagaimana jaringan hubungan kekerabatan menjadi landasan penguasaan politik di tingkat lokal (lihat Vedi Hadiz (2010), Marcus Mietzner (2009), Michael Buehler dan Paige Tan (2007), Edward Aspinall dan Greg Fealy (2003). S Penggerusan Demokrasi Politik kekerabatan atau politik dinasti telah lama muncul di alam demokrasi. Ia menyita perhatian dalam kaitannnya dengan ketidaksetaraan distribusi kekuasaan politik sebagai refleksi dari ketaksempurnaan sistem demokrasi representasi. Jika dirujuk ke belakang, filsuf Italia Gaetano Mosca, dalam karyanya The Rulling Class (1980) menyatakan bahwa “setiap kelas menunjukkan tendensi untuk membangun suatu tradisi turun-menurun di dalam kenyataan, jika tidak bisa di dalam aturan hukum”. Bahkan dalam organisasi demokratis sekalipun, jika sebuah kepemimpinan ter pi lih, ia akan membuat kekuasaannya sedemikian mapan agar sulit untuk digeser atau digantikan, bahkan menggerus prinsip-prin sip demokrasi di lapangan per mainan politiknya (Robert 4 konstelasi — www.p2d.org Sumber Gambar: http://4.bp.blogspot.com/_lEGpxJ3wXT4/SzVtnrxOalI/AAAAAAAAAGo/AR1arxYp1QE/S660 Michels, 1962). Gejala yang sama berlangsung di dalam partai-partai politik na sional di Indonesia. Partai Demo krat (PD), misalnya, jalinan kelu arga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menduduki posisi-posisi kunci dalam partai. Sebut saja Edhie Baskoro Yudhoyono (anak) menduduki posisi sekjen dan anggota DPR, Hartanto Edhie Wibowo (ipar) menduduki salah Demokrasi Semu /editorial.jpg satu ketua departemen dan juga anggota DPR, Hadi Utomo (ipar) mantan ketua umum dan sekarang duduk di dewan pembina, Agus Hermanto (ipar) sebagai Ketua Komisi Pemenangan Pemilu dan Nurcahyo Anggorojati (keponakan) sebagai Sekretaris Komisi Pemenangan Pemilu. Demikian juga di dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), keluarga Megawati Soekarnoputri duduk di dalam posisi kunci dalam partai, seperti Puan Maharani (anak) menduduki Ketua Bidang Politik dan anggota DPR, Taufik Kiemas (suami) sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (De perpu) dan Ketua MPR. Partaipartai lain juga menjalankan praktik yang sama, hanya tidak semenonjol PD dan PDIP dalam membangun dinasti politik. Jadi di dalam partai-partai tersebut, posisi-posisi strategis banyak didistribusikan atas dasar hubungan kekeluargaan. Pengaruh kekerabatan di dalam partai politik ini bukan hanya bisa dilihat dalam posisinya di tubuh partai politik, melainkan juga kedudukannya di DPR sebagai wakil partai. Sejumlah kerabat Megawati, Amien Rais, SBY, ataupun para petinggi partai lainnya masuk menjadi anggota DPR melalui jalur partai. [lihat catatan di akhir tulisan] Bahaya dari politik dinasti adalah hasratnya untuk mengekal kan diri dan melembagakannya dalam kepolitikan. Sifat alamiahnya adalah kekuasaan politik hendak dijalankan secara turuntemurun di atas garis trah dan kekerabatan, bukan didasarkan pada kualitas kepemimpinan, tujuan-tujuan bersama, keputusan dan kerja-kerja asosiatif . Pe ngekalan dan pelembagaan politik dinasti dimungkinkan dengan merajalelanya politik-uang. De mokrasi diubah tekstur nya se demikian rupa bukan lagi sebagai ruang kontestasi ide, gagasan, program dan ideologi, melainkan pasar transaksi jual-beli kepentingan individu dan kelompokkekerabatan. Robert Michels menilai bahwa kecenderungan oligarkis– yang dibangun atas dasar hubungan keluarga– dalam tubuh partai politik juga akan terus terbawa ke dalam pemerintahan. Kecenderungan oligarkis dalam partai merupakan hukum besi yang tak terhindarkan, bahkan ketika par tai tersebut menjadi partai yang berkuasa maka model oligarkis akan juga diberlakukan dalam pemerintahan. Bahkan anggota parlemen akan menjadi arogan dan membuat kesepakatan dengan partai lain tanpa mempertimbangkan prinsip ideologis partai mereka dan dukungan dari para pemilih mereka. Dalam partai yang demikian, para pe mimpinnya akan menilai dan memperlakukan dirinya di atas para anggota atau pengikut, tidak lagi dalam hubungan keanggotaan yang setara. Politik dinasti dalam tubuh partai akan diberlakukan pula jika partai tersebut berhasil memperoleh kekuasaan politik. Terlebih, politik dinasti akan coba dikekalkan dengan memperluas penguasaan posisi dan kedudukan dalam politik agar bisa berlangsung selama mungkin. Hal ini bisa kita lihat di dalam pemerintahan SBY yang banyak menempatkan kerabatnya di dalam posisi-posisi penting di lembaga-lembaga negara seperti Letjen (Purn) Erwin Sudjono (ipar) yang pernah menjabat Kasum TNI, Mayjen Pramono Edhie Wibowo (ipar) sebagai Pangkostrad, dan www.p2d.org — konstelasi 5 Sumber Gambar: http://progreso-weekly.com/2/images/stories/democracy.bmp Gatot Suwondo (ipar) sebagai Presiden Direktur Bank BNI. Demikian juga kerabatnya yang lain yang ikut dalam berbagai kegiatan bisnis dengan berbagai perusahaan milik negara seperti PT Pelni, PT Telkom, PT PLN dan PT Kereta Api Indonesia (Jakarta Post 15/11/2010). Pelembagaan Politik Dinasti dalam Demokrasi Semu Pelembagaan politik dinasti dalam partai politik dimungkinkan juga oleh karena adanya kecenderung- 6 konstelasi — www.p2d.org an personalisasi partai politik. Istilah ini dikemukakan oleh Norberto Bobbio (2003) untuk merujuk pada partai yang dicipta kan oleh satu orang dan digunakan untuk kepentingan orang tersebut. Jadi, partai personal bukanlah partai yang dibangun untuk tujuan-tujuan common good, melainkan untuk tujuan pribadi. Akibatnya, partai model ini hanya akan bekerja untuk melayani kepentingan si tokoh, dan kemudian keluarganya jika partai ini terus ber tahan. Dari model partai personal tersebut, politik dinasti berkembang dan bermetamorfosa menjadi partai kekerabatan. Hubungan kekerabatan para petinggi di tubuh partai akan menentukan kedudukan, pembagian kekuasaan, dan kelak mendominasi kebijakan. Dalam situasi seperti ini maka para fungsionaris kunci partai dan bahkan calon-calon legislatif yang muncul akan banyak diwarnai atas dasar hubungan kekeluargaan atau kerabat. Yang parah adalah jika para pemimpin partai yang di - tunjuk atas dasar kekerabatan tidak memiliki kualitas dan kualifikasi yang memadai untuk memimpin atau menjadi anggota legislatif. Kekuasaan politik seharusnya diperebutkan dengan tujuan untuk menciptakan suatu tatanan yang baik bagi semua, dan partai politik merupakan alat untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Sementara partai kekerabatan dibangun untuk tujuan-tujuan personal atau pribadi, dalam hal ini sang pemimpin dengan keluarga dan kerabatnya. Dalam kondisi politik yang demikian, telos politik yakni menciptakan common good atau kemaslahatan bagi semua menjadi usang. Politik dinasti di dalam partai politik dimungkinkan tumbuh saat cuaca demokrasi bersifat semu. Demokrasi semu lebih berupa pasar transaksi kepentingan pribadi, namun dengan menggunakan alat-alat kelengkapan demokrasi seperti: partai politik, lembaga dan institusi negara, serta media massa. Peralatan sistem demokrasi tersebut digunakan bukan untuk menopang sistem demokrasi, melainkan memanipulasinya menjadi penopang sistem oligarki. Politik dipersempit menjadi ruang perebutan ke kuasaan politik dan penimbunan kekayaan antar para oligarkis, sementara rakyat kebanyakan dibayar untuk berduyun-duyun melegalkan manipulasi tersebut lewat pemilu, pilkada dan aksi-aksi protes lainnya. Di titik ini, cuaca demokrasi hanya bisa dicerahkan dengan membangun politik yang ber integritas. Pemimpin yang memiliki integritas dibutuhkan untuk membuka selubung kepalsuan demokrasi yang selama ini dipraktikkan sekaligus penghancuran oligarki n DHX Jalinan Kekerabatan di Lembaga Perwakilan Rakyat konstelasi 1. Hubungan keluarga dengan Megawati (Ketua Umum PDIP): Taufik Kiemas (suami), Nazaruddin Kiemas (ipar), Puan Maharani (putri), Puti Guntur Soekarno (keponakan), M. Guruh Irianto Soekarno Putra (adik). 2. Hubungan keluarga dengan SBY (Ketua Dewan Pembina PD): Edhie Baskoro Yudhoyono (anak), Hartanto Edhie Wibowo (ipar). 3. Hubungan keluarga dengan Amien Rais (pendiri PAN, Ketua Majelis Pertimbangan Partai): Ahmad Mumtaz Rais (anak), Abdul Rozaq Rais (adik) 4. Lainnya - Achmad Dimyati N. (PPP)-Irna Narulita (PPP): suami-istri - Iqbal Alan Abdullah (Hanura)-Evita Nursanti (PDIP): suami-istri - Marzuki Alie (Demokrat)-Asmawati (DPD Sumsel): suami-istri - Nita Budhi Susanti (Demokrat)-Mudaffar Sjah (DPD Malut): suami-istri - Hikmat Tomet (Golkar)-Andika Hazrumy (DPD Banten): orang tua-anak - Sjarif Hasan (Demokrat)-Inggrid Kansil (Demokrat): suami-istri* - Suryadharma Ali (PPP)-Wardatul Asriah (PPP): suami-istri** - Agus Gumiwang (Golkar)-Ginandjar Kartasasmita (DPD Jawa Barat): orang tua-anak*** * Sjarif Hasan mundur dari DPR untuk mengisi pos menteri koperasi dan UKM. ** Suryadharma Ali mundur dari DPR untuk mengisi pos menteri agama. *** Ginandjar Kartasasmita mundur dari DPD untuk menjadi anggota Wantimpres. Sumber: diolah dari berbagai sumber d ite rb it ka n o le h Pe rhimp una n Pe nd id ika n De mo kra s i (P2D) Re d a ks i Abdul Qodir Agil Daniel Hutagalung Donny Ardyanto Fajrimei A. Gofar Fitria Achmada Hendrik A. Boli Tobi Ikravany Hilman Isfahani Ivan Iwa Abdul Rozak Otto Pratama Rachland Nashidik Rizki Setiawan Robby Kurniawan Robertus Robet Sahat K Panggabean Re d a ktur Ahli Bagus Takwin Richard Oh Rocky Gerung Ala ma t Re d a ks i Jl. Maleo X No.25, Bintaro Jaya Sektor 9, Tangerang 15229 Tel: (021) 7452992 Fax: (021) 7451471 http://www.p2d.org E-mail: [email protected] www.p2d.org — konstelasi 7 analisis Akal Bulus Otoritariani alam diskursus politik di Indonesia, demokrasi muncul sebagai lawan bagi rejim politik yang memegang kekuasaan secara monopolistis dan sentralistis di tangan satu orang atau satu keluarga. Kekuasaan individual mentotalisasi “yang sosial”. Akibatnya kekuasaan “si penguasa” melampaui “kedaulatan rakyat”. Menerima demokrasi berarti berupaya menjamin terwujudnya kedaulatan rakyat, menolak dan terus menerus menghindari monopoli kekuasaan oleh suatu rejim politik individual. Yang kemudian selalu menjadi persoalan dalam sejarah adalah pikiran otoritarianisme, dalam arti upaya untuk menjalankan kekuasaan secara monopolistik dan sentralistik, masih bisa hidup dengan tetap memanfaatkan sistem demokrasi. Bagaimana cara bekerjanya? Coba Anda bayangkan situasi ini: Pada suatu kongres partai, Ketua Panitia Kongres berdiri memberikan sambutan. Duduk dengan takzim dihadapannya Sang Ketua Partai yang bukan lain adalah ibu dari Ketua Panitia Kongres. Di samping Sang Ketua Partai, duduk mendampingi Ketua Dewan Pembina Partai yang ternyata juga adalah bapak Ketua Panitia atau suami dari Sang Ketua. Sebuah partai diurus oleh sebuah keluarga! Coba Anda bayangkan juga apabila dalam sebuah partai Ketua Dewan Pembina dipimpin oleh suami, dengan anggota istri dan kerabat, sementara di jajaran eksekutifnya duduk anak laki-laki Sang Pembina. Apa yang keliru dengan cara ini? Penempatan anak-istri dan D 8 konstelasi — www.p2d.org Sumber Gambar: http://3.bp.blogspot.com/_odBaJYblNBc/TIw6M5MRWQI/AAAAAAAAAVI/guitRM-_wmk/s1 kerabat dalam partai politik terjadi dalam pikiran bahwa regenerasi politik bisa dilakukan satu jalur dengan regenerasi biologis. Inilah politik dinasti dalam arti yang pa ling telanjang. Anak, istri atau suami disiapkan sebagai penerus kekuasaan. Di sini ada relasi antara induk dengan anak. Sang bapak/ ibu diposisikan sebagai biang dari ‘kekuasaan kharismatis’ yang me lekat padanya, sementara si penerus adalah turunan yang oleh karena kekuasaan kharismatis biangnya ditetapkan sebagai pelanjut. Dengan demikian regenerasi kekuasaan muncul secara predeterministis dari kamar tidur si biang atau induk. Arti regenerasi semacam ini adalah kekuasaan tetap berada di satu tangan atau dalam satu tubuh politik. Akan tetapi mereka perlu menyesuaikan diri dengan prosedur dan norma demokrasi, oleh karenanya sifat kesatuan itu disebar atau dicicil ke dalam derivatif biologisnya. Politik dinasti adalah akal- sme dalam Demokrasi 600/democracy.jpg akalan paling kasar terhadap dan di dalam demokrasi karena tujuan utamanya adalah memonopoli kekuasaan. Selain melakukan penubuhan politik melalui ke turunannya, praktik politik dinasti biasanya membentengi dirinya dengan argumen-argumen sederhana dan tampak sesuai akal sehat. Argumen utamanya bersifat pembelaan diri, bahwa anggota keluarganya adalah warga negara yang juga memiliki hak dan sudah memiliki kesiapan diri jauh-jauh hari. Argumen ini dimaksudkan untuk memberi landasan “ala miah” bagi kemunculan anak, istri, atau kerabat sehingga di mata orang banyak seolah-olah mereka sama sekali tidak memiliki keterhubungan dengan si biang. Sementara di dalam lingkungan yang sempit, para pengikut serta hulu balang si biang secara perlahan tapi pasti terus menerus saling meyakinkan akan peranperan baru dari si turunan. Hipokrasi adalah sesuatu yang tak terhindarkan dalam politik dinasti: ke luar mereka hendak terlihat berjarak, alamiah dan demokratis tapi ke dalam mereka mempersiapkan diri secara tertutup, kasar bahkan mungkin dengan paksaan oleh turunan tubuh-politiknya Politik dinasti adalah percoba an monopoli terhadap kedaulatan rakyat yang dilakukan secara terencana seringkali secara sangat modern dan “rasional”. Si turunan disekolahkan, dijamin karirnya di partai-partai tempat orang tua mereka berkiprah. Dalam konteks negara seperti Indonesia dan Amerika Latin, politik dinasti semakin mendapatkan kekuatannya karena tradisionalisme dan sifat-sifat patrimonial masih melekat kuat dalam struktur masyarakat. Dalam politik lokal di berbagai daerah, politik dinasti biasanya dipraktikkan oleh jagoan dan keluarga-keluarga kaya lama: keluarga penguasa tanah, perkebunan, borjuis lama serta mantan kapitalis-birokrat yang ber gelimang harta bisnis rente dari jaman otoriter. Gagasan patrimonial memudahkan penerimaan orang banyak akan peran individu atau orang-orang besar dan kuat yang bisa dilanjutkan ke anakcucu atau keluarga mereka. Dalam kultur patrimonial itu, mekanisme dan instrumen-instrumen seperti media massa dan iklan politik bukannya me modernisir atau mengikis dinasti, tetapi malah memperkuat dinasti. Industri media tidak berpihak kepada nilai-nilai demokrasi atau keutamaan politik tertentu, melainkan kepada uang, dari sini mereka tidak lebih dari sekadar mesin reproduksi politik patrimonial dan dinasti politik. Ada sejumlah penelitian empiris mengenai berapa besar pengaruh dinasti terhadap tujuantujuan demokrasi salah satunya adalah dengan mengukur preferensi politik dari para dinasti dalam kepolitikan lokal. Ada banyak bukti bahwa mereka memang lebih banyak mengurusi kepentingan diri dan keluarganya, menjadikan kekuasaan sebagai jalan untuk memperkaya kroninya semata-mata. Dengan melihat karakter ini, maka kita bisa memastikan bahwa politik dinasti pada hakekatnya adalah keburukan dan secara gradual memang dimaksudkan untuk memonopoli kekuasaan. Namun demikian, oleh karena ia dipraktikkan dalam mekanisme gradual ia bisa lolos dari ujian norma-norma dan diperbolehkan demokrasi modern. Ia berbahaya dan terbelakang tapi hampir pasti sulit dilarang melalui jalan legal formal dalam suatu sistem politik demokratis. Satusatunya cara supaya ia bisa kita hindarkan adalah dengan mendidik orang banyak supaya makin memahami arti dan tujuan politik demokrasi modern n RBX www.p2d.org — konstelasi 9 analisis Kekuasaan Dinasti Politik N ejak reformasi, dinasti politik tumbuh subur bak cendawan di musim hujan. Daftar calon legislatif atau kandidat kepala daerah banyak diisi oleh caloncalon pemimpin politik yang mempunyai hubungan kekerabatan. Banyak diantara mereka yang berhasil memenangkan pemilu dan pilkada, wajar jika praktek politik dinasti terus berkembang. Salah satu contoh dari adanya politik dinasti adalah dinasti politik Narang di Kalimantan Tengah. Aktivitas politik keluarga Narang telah dimulai oleh August Waldemar Narang, generasi pertama keluarga Narang. August adalah seorang pengusaha sukses dan juga politisi. Waldemar terjun ke dunia politik dan menjadi anggota DPRD Kalimantan Selatan dari Golkar pada era 1970an. Ia adalah ayah yang selalu memotivasi anak-anaknya untuk menjadi politisi terkemuka. Aktivitas politik Keluarga Narang kemudian berlanjut pada Aries dan Asdy Narang yang me rupakan generasi ketiga dalam keluarga Narang yang meneruskan karir politik keluarga. S Dari Generasi ke Generasi Dekade 1980-an, raung motor balap yang dikendarai oleh Aries Marcorius Narang (crosser terkenal di Kalimantan Selatan dan Tengah) membahana dan menggetarkan sirkuit balap di Kaliman tan. Roda-roda motor lincah menyusuri dan melewati pelbagai trek yang ada di lintasan balap. Memasuki era 2000-an, Sang Crosser pensiun dari dunia balap, setelah sempat menjadi Ketua Ikatan Motor Indonesia (IMI) 10 konstelasi — www.p2d.org Sumber Gambar: http://i107.photobucket.com/albums/m294/zytrexx/politic.jpg Kalteng, untuk selanjutnya meniti karir sebagai politisi. Karir politik Aries Narang melesat secepat mo tor balap yang pernah dikendarai nya. Pada Pemilu 2004, ia terpilih menjadi anggota dan sekaligus Ketua DPRD Kota Palangkaraya. Ia juga Ketua DPC PDIP Kota Palangkaraya. Laju politiknya makin berkibar dengan terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi Kalteng periode 2009-2014. arang di Kalimantan Tengah Ayah Aries adalah Reinhard Atu Narang. Saat ini menjabat sebagai Ketua DPRD Kalteng dan Ketua DPD PDIP Kalteng. Pada awal karir politiknya, Atu Narang adalah kader Golkar. Beliau pernah menjabat sebagai bendahara Golkar dan anggota DPR dari Golkar pada periode 19921997. Saat reformasi, Atu Narang “lompat partai” ke PDIP. Meski keanggotaanya relatif baru, ia terpilih sebagai Ketua DPD PDIP Kalteng (tempo online, 22 Juli 2002). Dalam Pemilu Legislatif 2004 dan 2009, Atu terpilih menjadi anggota DPRD dan dua kali pula dipilih menjadi Ketua DPRD Kalteng. Sang paman, Teras Narang baru terpilih kembali sebagai Gubernur Kalteng untuk periode 2010-2015. Seperti Aries, Teras Narang juga mempunyai hobi balap dan beberapa kali menjuarai lomba balap di Kalimantan. Selepas kuliah, Teras memulai karirnya sebagai pengacara, dan pernah terpilih menjadi Ketua Ikadin Jakarta Timur. Teras juga aktif berpolitik lewat PDIP. Terpilih sebagai anggota DPR RI pada Pemilu 1999 dan 2004, Teras Narang kemudian mengundurkan diri pada tahun 2005 untuk mencalonkan diri sebagai kandidat Gubernur Kalteng. Ia menang dan terpilih sebagai Gubernur Kalteng kurun tahun 2005-2010. Pujihastuti Narang adalah bibi Aries. Saat menjadi caleg PDIP untuk DPRD Kalteng, Pujihasti tak mendapat cukup suara sehingga gagal terpilih. Akan tetapi, se orang caleg PDIP terpilih dari daerah pemilihan Kalteng V bernama Sri Hardjito mengundurkan diri sebelum dilantik sebagai anggota DPRD Kalteng, nama Pujihasti pun masuk menggantikan Sri Hardjito. Tak begitu jelas alasan pengunduran diri Sri Hardjito. Penunjukkan Pujihastuti Narang oleh DPD PDIP Kalteng untuk menggantikan Sri Hardjito juga menimbulkan sejumlah tanya (Warta Kalteng Online, 22 Mei 2009). Namun berbagai pertanyaan tak menghalangi terpilihnya Pujihastuti Narang sebagai anggota definitif DPRD Kalteng periode 2009-2014. Adapun adik bungsu Aries, Asdy Narang berhasil menjadi anggota DPR RI dari daerah pemilihan (dapil) Kalteng. Layaknya trek motorcross, laju politiknya sempat melalui medan yang berat. Pada tahun 2008 Aries Narang kalah dalam pilkada bupati Kabupaten Pulang Pisang, Kalteng. Pada tahun 2009, saat masih duduk sebagai Ketua DPRD Palangkaraya, ia ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Kalteng dalam kasus korupsi di DPRD Kota Palangkaraya (Warta Kalteng Online, 27 Mei 2009). Penetapan status tersangka tindak pidana korupsi dan kekalahan pada pilkada, tak menghalangi kelihain Aries memacu roda politiknya dalam Pemilu Legislatif 2009. Mesin partai dan keluarga berhasil menjadikan Aries Narang sebagai anggota DPRD Provinsi Kalteng dengan perolehan suara paling besar di antara caleg-caleg lainnya. Bahkan status tersangka korupsi tak menghalangi pelantikan Aries Narang sebagai anggota DPRD. Pada tanggal 8 April 2010, hakim Pengadilan Negeri Palangkaraya menjatuhkan vonis 1 tahun penjara. Namun demikian, Aries Narang mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Kalteng. Sampai saat ini belum ada kelanjutan dari kasus korupsi yang menimpa Aries Narang, sehingga Aries tetap menjalankan aktivitasnya. www.p2d.org — konstelasi 11 Jalinan Etnis, Partai dan Bisnis Makin menguatnya kekuasaan politik keluarga Narang di Kalteng terletak pada jalinan politik etnis, partai dan bisnis. Bagaimana jalinan itu bisa mendukung kekuasaan keluarga Narang, kita perlu melihat peta politik Kalteng baik dalam konteks lokal maupun dalam hubungannya dengan politik nasional. Provinsi Kalteng terbentuk pada 23 Mei 1957. Provinsi ini lepas dari provinsi induk Kalimantan Selatan (Kalsel), berdasarkan berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tertanggal 23 Mei 1957. Pendirian provinsi ini tidak semata persoalan administrasi, tetapi ada unsur politik identitas suku Dayak. Provinsi Kalteng ini disebut sebagai provinsi orang Dayak yang dibedakan dengan provinsi Kalsel yang disebut sebagai provinsi orang Banjar (Gerry van Klinken, KITLV & YOI, 2007). Dalam konteks politik etnis di Kalteng inilah, karir politik Narang tumbuh dan berkembang. Pada awalnya, keluarga Narang membangun aktivitasnya di Kal sel. Ketika kembali ke Kalteng, keluarga Narang dengan mudah diterima dalam politik lokal, karena mereka berasal dari sub etnik Dayak Ngaju. Dayak Ngaju adalah suku yang paling dominan dalam etnik Dayak di Kalteng. Pada Maret 2003, Teras Narang dinobatkan sebagai “Sang Pangeran Dayak” sebuah gelar prestisius dalam tradisi etnis Dayak. Teras juga dikukuhkan sebagai Ketua Majelis Adat Dayak Nasional (MADN). Baru-baru ini, Aries mendapat gelar “utus gantung”, sebuah gelar tertinggi dalam adat masyarakat Dayak di Kalteng. Tingkat keterpilihan 12 konstelasi — www.p2d.org Aktivitas politik Keluarga Narang kemudian berlanjut pada Aries dan Asdy Narang yang merupakan generasi ketiga dalam keluarga Narang yang meneruskan karir politik keluarga. anggota keluarga Narang sangat dipengaruhi oleh besarnya dukungan dari etnik Dayak. Kekuasaan keluarga Narang atas DPD PDIP Kalteng turut memperkuat aktivitas politik mereka. Atu Narang menjabat sebagai Ketua DPD Kalteng. Teras Narang duduk sebagai dewan penasehat. Aries dipilih sebagai Ketua DPC Kota Palangkaraya, sedangkan Asdy didaulat sebagai Ketua Taruna Merah Putih (TMP) Kalimantan Selatan, salah satu sayap organisasi PDIP. Posisiposisi penting DPD PDIP Kalteng yang dikuasai oleh keluarga Narang memudahkan mereka untuk mengorbitkan atau memperkokoh karir masingmasing anggota keluarga. Di Kalteng, PDIP selalu menjadi pemenang dalam pemilu legislatif sejak 1999. Demikian juga dengan pilpres 2004 dan 2009, DPD PDIP Kalteng berhasil me menangkan Megawati sebagai calon presiden. Tak mengheran kan, kalau ada anggota keluarga Narang yang maju dalam politik lokal dan nasional, mereka sering mendapat hasil yang memuaskan. Faktor lain yang mendukung karir politik keluarga Narang adalah kemampuan finansial. Sejak dirintis oleh Waldemar Narang, bisnis keluarga Narang terus berkembang pesat, dan saat ini dikelola oleh putra kedua Atu Narang, Andrey Leonardo Narang. Salah satu bisnis utama keluarga Narang adalah distribusi minyak. Andrey Narang adalah ketua Himpunan Pengusaha Swasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) Kalteng. Jalinan antara faktor politik etnis, partai dan bisnis keluarga menjadikan keluarga Narang tahan uji terhadap berbagai faktor yang menjadi penghambat mereka. Pada saat pemilu dan pemilukada gubernur Kalteng, isu agama sempat muncul. Keluarga Narang beragama Kristen, sedangkan mayoritas warga Kalteng beragama Islam. Tetapi isu agama ternyata tak bisa menghalang kemenangan keluarga Narang dalam politik lokal. Kuatnya jalinan politik etnis, partai dan bisnis keluarga akan sulit dilawan, terbukti ketika ada kasus korupsi yang menimpa salah satu anggota keluarga Narang, tak bisa menghambat karir politik keluarga Narang. Inilah bahaya yang timbul dari dinasti politik. Kebanyakan orang sering menilai keberhasilan seorang pemimpin akan menulari kerabatnya. Teras Narang mungkin adalah pemimpin politik yang berhasil, tetapi tidak berarti bahwa dengan sendirinya seluruh keluarga juga adalah politisi yang baik. Dinasti politik akan menghambat tumbuhnya politik yang baik. Orang harus dinilai atas kerja keras dan prestasi individualnya, bukan karena menyandang nama keluarga besar n HBX