BAB II LANDASAN TEORI II.1 Rerangka Teori dan Literatur II.1.1 Dasar Perpajakan II.1.1.1 Pengertian Pajak Banyak Definisi atau batasan pajak yang telah dikemukakan oleh para pakar, yang satu sama lainnya pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu merumuskan pengertian pajak sehingga mudah dipahami. Perbedaannya hanya terletak pada sudut pandang yang digunakan oleh masing-masing pakar pada saat merumuskan pengertian pajak. Adapun definisi pajak menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 adalah sebagai berikut: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, yang dikutip oleh Mardiasmo (2011;h1) pengertian pajak sebagai berikut: “ Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” 10 Yang dimaksud dengan kata “dapat dipaksakan” adalah bila utang pajak tidak dibayar, maka utang tersebut dapat ditagih dengan menggunakan kekuatan, seperti surat paksa dan sita serta adanya penyanderaan. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur yang melekat pada pengertian pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH yang dikutip oleh Mardiasmo (2011;h1) yaitu: 1. Iuran dari rakyat kepada negara Yang berhak memungut pajak hanyalah Negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang). 2. Berdasarkan undang-undang Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. 3. Tanpa jasa timbal balik atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaranpengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas. II.1.1.2 Fungsi Pajak Fungsi pajak seperti yang dikemukakan Waluyo (2011;h6) yaitu: 1. Fungsi Penerimaan (Budgetair) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh yaitu dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri. 11 2. Fungsi Mengatur (Reguler) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh yaitu dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras, sehingga dapat menekan konsumsi minuman keras. II.1.1.3 Syarat Pemungutan Pajak Seperti yang dikutip dalam buku Mardiasmo (2011:h2), agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan) Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantara mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak. 2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang- undang (Syarat Yuridis) Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik dari negara maupun warganya. 3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis) Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat. 12 4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil) Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya. 5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru. II.1.1.4 Teori Pemungutan Pajak Terdapat beberapa teori menurut Mardiasmo (2011:h3) yang menjelaskan atau memberikan justifikasi pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak, yaitu: 1. Teori Asuransi Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut. 2. Teori Kepentingan Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan masingmasing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar. 3. Teori Daya Pikul Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan dua pendekatan yaitu: 13 a. Unsur Objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. b. Unsur Subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi. 4. Teori Bakti Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah suatu kewajiban. 5. Teori Asas Daya Beli Memungut pajak berarti menari daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraab masyarakat. II.1.1.5 Pengelompokkan Pajak Menurut Mardiasmo (2011:h5), pajak dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: 1. Menurut golongannya a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. 2. Menurut sifatnya a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. 14 3. Menurut lembaga pemungutnya a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. II.1.1.6 Asas – Asas Pemungutan Pajak Menurut Waluyo (2011:h13) untuk mencapai tujuan pemungutan pajak perlu memegang teguh asas-asas pemungutan dalam memilih alternatif pemungutannya, sehingga terdapat keserasian pemungutan pajak dengan tujuan dan asas yang masih diperlukan lagi yaitu pemahaman atas perlakuan pajak tertentu. Menurut Adam Smith dalam buku An Inquiri into the Nature and Cause of the Wealth of Nations menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada asas-asas berikut: 1. Equality Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan sesuai dengan manfaat yang diterima. 2. Certainty Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu, Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran. 3. Convenience 15 Kapan Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak. 4. Economy Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang ditanggung Wajib Pajak. II.1.1.7 Cara Pemungutan Pajak Cara pemungutan pajak seperti yang dikemukakan Waluyo (2011:h16) adalah sebagai berikut: 1. Stelsel Pajak Cara pemungutan pajak dilakukan berdasarkan 3 (tiga) stelsel, adalah sebagai berikut: a. Stelsel nyata (riil stelsel) Pengenaan pajak didasarkan objek (penghasilan) yang nyata, sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui. Kelebihan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Kelemahannya adalah pajak dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui). b. Stelsel anggapan (fictive stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang, sebagai contoh; penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak telah dapat 16 ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada kenyataan yang sesungguhnya. c. Stelsel campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaaan yang sebenarnya. Apabila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar daripada pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah kekurangannya. Demikian pula sebaliknya, apabila lebih kecil, maka kelebihannya dapat diminta kembali. 2. Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi berikut ini: a. Official Assessment System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Ciri-ciri official assessment system adalah sebagai berikut: 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus. 2) Wajib Pajak bersifat pasif. 17 3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. b. Self Assessment System Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. c. Withholding System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. II.1.1.8 Tarif Pajak Menurut kutipan Waluyo (2011:h17) struktur tarif yang berhubungan dengan pola prosentase tarif pajak dikenal 4 (empat) macam tarif, adalah sebagai berikut: 1. Tarif Pajak Proporsional/ Sebanding Tarif pajak proporsional yaitu tarif pajak berupa persentase tetap terhadap jumlah berapa pun yang menjadi dasar pengenaan pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai 2. Tarif Pajak Progresif Tarif Pajak Progresif adalah tarif pajak yang prosentasenya menjadi lebih besar apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaannya semakin besar. Contoh : Pajak Penghasilan 18 Memperhatikan kenaikan tarifnya, tarif progresif dibagi menjadi beberapa tarif, sebagai berikut: a. Tarif Progresif Progresif Dalam hal ini kenaikan persentase pajaknya semakin besar. b. Tarif Progresif Tetap Kenaikan persentase pajaknya tetap. c. Tarif Progresif Degresif Kenaikan persentase pajaknya semakin kecil. 3. Tarif Pajak Degresif Tarif pajak degresif adalah persentase tarif pajak yang semakin menurun apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak menjadi semakin besar. 4. Tarif Pajak Tetap Dalam tarif pajak tetap ini adalah tarif berupa jumlah yang tetap (sama besarnya) terhadap berapa pun jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak. Oleh karena itu, besarnya pajak yang terutang adalah tetap. Contoh : Bea Meterai II.1.1.9 Hambatan Pemungutan Pajak Hambatan terhadap pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Mardiasmo (2011:h8) dapat dikelompokkan menjadi: 1. Perlawanan pasif Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan antara lain: a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat b. Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat. 19 c. 2. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik. Perlawanan aktif Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara lain: a. Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang. b. Tax evasion, usaha meringankan beban pajak, dengan cara melanggar undang-undang (menggelapkan pajak). II.1.2 Pajak Bumi dan Bangunan II.1.2.1 Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan kepada Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 yang telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Selain Undang-undang PBB di atas, berikut ini adalah beberapa peraturan pelaksanaan yang mendasari tentang pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan: 1. Undang-undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 2. Undang-undang No.1 Tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara; 3. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 4. Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; 20 5. Peraturan Pemerintah No.16 Tahun 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan PBB antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; II.1.2.2 Definisi Pajak Bumi dan Bangunan Definisi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menurut Undang-undang PBB Nomor 12 Tahun 1994 adalah iuran yang dikenakan terhadap pemilik, pemegang kekuasaan, penyewa dan yang memperoleh manfaat dari bumi dan atau bangunan. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/ atau perairan, yang termasuk dalam pengertian bangunan adalah: 1. Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel dan pabrik; 2. Jalan TOL; 3. Kolam renang; 4. Pagar mewah; 5. Tempat olahraga; 6. Galangan kapal, dermaga; 7. Taman mewah; 8. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; 9. Fasilitas lain yang memberikan manfaat Menurut Erly Suandy (2005:h61), Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang bersifat kebendaan dan besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek dan bumi 21 dan/atau tanah. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besar pajak. Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian PBB adalah iuran yang dikenakan terhadap orang atau badan yang secara nyata mempunyai hak, memiliki, menguasai dan memperoleh manfaat dari bumi dan bangunan. II.1.2.3 Asas Pajak Bumi dan Bangunan Menurut Mardiasmo (2011:h311), untuk memberikan kenyamanan bagi para wajib pajak, pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan diatur dalam beberapa asas yang meliputi: 1. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan. 2. Adanya kepastian hukum. 3. Mudah dimengerti dan adil. 4. Menghindari pajak berganda. II.1.2.4 Objek PBB dan Bukan Objek PBB Berikut ini adalah Objek PBB menurut Undang-undang PBB Nomor 12 Tahun 1994: 1. Yang menjadi objek pajak adalah bumi dan atau bangunan. 2. Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokkan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan penghitungan pajak terutang. Dengan menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: a. Letak 22 b. Peruntukan c. Pemanfaatan d. Kondisi lingkungan dan lain-lain Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: a. Bahan yang digunakan b. Rekayasa c. Letak d. Kondisi lingkungan dan lain-lain Didalam Undang-undang PBB Nomor 12 Tahun 1994 juga diatur beberapa objek pajak yang tidak dikenakan PBB yaitu: 1. Digunakan semata-mata untuk kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan,dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu. 2. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak. 3. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal balik. 4. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. 23 II.1.2.5 Subjek PBB Menurut Waluyo (2009:h157), Subjek Pajak dalam Pajak Bumi dan Bangunan adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian subjek pajak tersebut di atas menjadi Wajib Pajak PBB. Jika Subjek Pajak dalam waktu yang lama berada di luar wilayah letak Objek Pajak sedangkan perawatannya dikuasakan kepada orang atau badan, orang atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagai Wajib Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak. Namun penunjukkannya tersebut bukan merupakan bukti kepemilikan. Subjek Pajak yang ditetapkan seperti pada contoh di atas dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan Wajib Pajak terhadap Objek Pajak dimaksud. Apabila keterangan yang diajukan oleh Wajib Pajak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai Wajib Pajak dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud. Namun jika tidak disetujui, Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan disertai dengan alasan-alasan. Selanjutnya setelah jangka waktu satu bulan sejak diterima keterangan ternyata DJP tidak memberikan keputusan, keterangan yang pernah diajukan dianggap disetujui. II.1.2.6 Tarif PBB PBB mempunyai tarif tunggal (single tariff) sebesar 0,5% (lima persepuluh persen) yang berlaku sejak Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 sampai dengan sekarang. 24 II.1.2.7 Dasar Pengenaan Pajak Menurut Purno Murtopo,dkk (2011: h149), yang menjadi Dasar Pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang mempunyai pengertian harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru,atau nilai jual objek pajak pengganti. Berdasarkan pengertian NJOP tersebut terdapat 3 (tiga) pendekatan penilaian yang dapat dilakukan untuk menentukan besarnya NJOP, yaitu: 1. Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach) yaitu menentukan nilai suatu objek (property) dengan jalan membandingkan objek yang dinilai dengan objek lain yang sejenis yang telah diketahui nilai jualnya. Pendekatan ini disebut juga metode perbandingan harga 2. Pendekatan Biaya (Cost Approach) yaitu menentukan nilai suatu objek (property) dengan jalan menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut. Biaya yang diperhitungkan adalah biaya bangunan baru kemudian dikurangi dengan penyusutan yang ada. 3. Pendekatan Pendapatan (Income Approach) yaitu menentukan nilai suatu objek (property) dengan jalan mengkapitalisasikan pendapatan bersih dari objek tersebut dengan suatu tingkat kapitalisasi tertentu. Pendekatan ini disebut juga pendekatan kapitalisasi. NJOP ditetapkan oleh Menteri Keuangan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali daerah tertentu setiap tahun sesuai dengan perkembangan sosial dan ekonomi setempat. NJOP dikelompokkan ke dalam kelas-kelas yang disebut dengan klasifikasi NJOP baik untuk bumi maupun bangunan. 25 Mulai 1 Januari 2011, pengelompokkan kelas tanah dan atau bangunan mengacu pada PMK Nomor 150/PMK. 03/2010 menggantikan KMK Nomor 523/KMK.04/1998 di mana NJOP PBB untuk tanah dan bangunan tidak lagi dikelompokkan dalam kelas A dan B lagi. Akan tetapi, masing-masing tanah dan bangunan terdapat 100 kelas. Untuk sektor perkotaan dan pedesaan tanah atau bumi, kelas tertinggi adalah kelas 001 dengan NJOP sebesar Rp 68.545.000,- per m2 dan kelas terendah adalah kelas 100 dengan NJOP sebesar Rp 140,- per m2. Sedangkan untuk sektor perkotaan dan pedesaan bangunan, kelas tertinggi juga kelas 001 dengan NJOP Rp 15.250.000,- per m2 dan kelas terendah adalah kelas 040 dengan NJOP sebesar Rp 50.000,- per m2. II.1.2.8 Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Di dalam pengenaan PBB terdapat suatu batas nilai yang tidak dikenakan pajak yang disebut Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No: 201/KMK.04/2000 tanggal 6 Juni 2000 ditetapkan NJOPTKP maksimum sebesar Rp 12.000.000 (dua belas juga rupiah) per Wajib Pajak dan ditetapkan secara Regional. II.1.2.9 Dasar Penghitungan PBB Menurut Waluyo (2009:h161), Dasar Penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen) dari Nilai Jual Objek Pajak. Besarnya persentase Nilai Jual Kena Pajak ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2000 yang diberlakukan mulai tahun pajak 2001 yaitu: 1. Sebesar 40% (empat puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP); 26 a. Objek Pajak perkebunan b. Objek Pajak kehutanan c. Objek Pajak lainnya, yang apabila NJOP atas bumi dan bangunan sama atau lebih besar dari Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) 2. Sebesar 20% (dua puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP); a. Objek Pajak pertambangan b. Objek Pajak lainnya, yang apabila NJOP-nya kurang dari Rp 1.000.000.000,(satu milyar rupiah). Rumusan Pajak Bumi dan Bangunan: II.1.2.10 Pajak, Saatxdan Tempat Pajak Terutang PBB Terutang Tahun = Tarif Pajak [ % NJKP x (NJOP untuk Penghitungan Pajak – NJOPTKP)] Menurut Mardiasmo (2011:h319) tahun pajak, saat dan tempat pajak terutang , yaitu: 1. Tahun pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim, jangka waktu satu tahun takwim adalah dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember. 2. Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari. 3. Tempat pajak terutang: a. Untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta b. Untuk daerah lainnya, di wilayah Kabupaten atau Kota. II.1.2.10 SPOP, SPPT, dan SKP Berikut ini adalah mengenai SPOP, SPPT dan SKP menurut Mardiasmo (2011:h319): 1. Dalam rangka pendataan, subjek pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya dengan memakai SPOP 27 2. SPOP harus diisi dengan jelas, benar, lengkap, dan tepat waktu serta ditandatangani dan disampaikan kepada dirjen pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak selambat-lambatnya 30 hari setelah tanggal diterimanya SPOP oleh subjek pajak. 3. Dirjen Pajak akan menerbitkan SPPT berdasarkan SPOP yang diterimanya. 4. Dirjen Pajak dapat mengeluarkan surat ketetapan pajak dalam hal sebagai berikut: a. Apabila SPOP tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran. b. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak terutang (seharusnya) lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak. 5. Jumlah pajak terutang dalam SKP sebagaimana dimaksud nomor 4 huruf a adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% dihitung dari pokok pajak. 6. Jumah pajak yang terutang dalam SKPKB sebagaimana dimaksud dalam no.4 huruf b, adalah selisih pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dalam pajak terutang yang dihitung berdasarkan SPOP ditambah denda administrasi sebesar 25% dari selisih pajak yang terutang. Agar lebih mudah dipahami, berikut diberikan bagan penerbitan ketetapan: 28 Gambar II.1 Mekanisme Penerbitan Ketetapan Sumber : Materi Brevet Pajak A&B II.1.2.11 Tata Cara Pembayaran dan Penagihan Berikut tata cara pembayaran dan penagihan menurut Mardiasmo (2011:324): 1. Pajak yang terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak. 2. Pajak yang terutang berdasarkan SKP harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh wajib pajak. 3. Pajak yang terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. 4. Denda administrasi sebagaimana dimaksud no.3 di atas, ditambah dengan utang pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak (STP) 29 yang harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya STP oleh wajib pajak. 5. Pajak yang terutang dapat dibayar di Bank, Kantor Pos dan Giro, dan tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. 6. Tata cara pembayaran dan penagihan pajak diatur oleh Menteri Keuangan. 7. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) , surat ketetapan pajak, dan Surat Tagihan Pajak (STP) merupakan dasar penagihan pajak. 8. Jumlah pajak yang terutang berdasarkan STP yang tidak dibayarkan pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa. Agar lebih mudah dipahami, berikut bagan tata cara pembayaran dan penagihan : Gambar II.2 Tata Cara Pembayaran dan Penagihan PBB II.1.2.12 Pembagian Hasil Penerimaan PBB Dikemukakan oleh Waluyo (2009:h165) bahwa hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan merupakan penerimaan negara yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan imbangan pembagian sekurang-kurangnya 90% (Sembilan puluh persen) untuk Pemerintah Daerah Tingkat II dan Pemerintah Daerah Tingkat I 30 sebagai pendapatan daerah yang bersangkutan, sedangkan sisanya 10% merupakan bagian pemerintah pusat yang menurut PP No. 16 Tahun 2000 dibagikan kepada seluruh Daerah Kabupaten/Kota. Dengan memperhatikan pembagian tersebut terlihat bahwa hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan diarahkan untuk kepentingan masyarakat di Daerah Tingkat II. Imbangan pembagian hasil penerimaan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Berikut ini bagan pembagian hasil PBB agar memudahkan dalam dipahami: Gambar II.3 Pembagian Hasil Penerimaan PBB Sumber : Materi Brevet Pajak A&B 31