HIV-AIDS dan Tuberkulosis Rongga Mulut

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Sejumlah kondisi medis telah dihubungkan
dengan peningkatan risiko reaktivasi tuberkulosis apabila tanpa terapi infeksi laten tuberkulosis. Tidak ada studi yang melaporkan perkiraan risiko relatif obat penekan sistem imun,
seperti prednison, tetapi diasumsikan risiko
penggunaan jangka panjang obat kortikosteroid dosis tinggi adalah sama dengan penggunaan infliximab. Selain itu, tidak ada studi
yang memperkirakan derajat peningkatan
risiko pada penderita kanker baik dengan maupun tanpa kemoterapi.(1)
Tabel 4. Risiko Relatif Reaktivasi Tuberkulosis Individu
dengan Kondisi Medis yang Menurunkan Kontrol
Imunologi terhadap M. tuberculosis.(1)
bulan juga dapat mengurangi risiko reaktivasi
sebesar 65%.(18) Oleh karena itu, baik 6 bulan
maupun 9 bulan keduanya direkomendasikan, tetapi lebih dianjurkan paket 9 bulan.
Paket rekomendasi ke tiga adalah Rifampicin
selama 4 bulan, meskipun paket ini belum
secara langsung dievaluasi. Paket rifampicin
selama 3 bulan sama efektifnya dengan 6 bulan
isoniazid (INH) pada infeksi laten tuberkulosis
dan silikosis.(19)
Tabel 5. Paket Terapi Infeksi laten Tuberkulosis untuk
Mencegah Reaktivasi Penyakit Tuberkulosis pada Orang
Dewasa.(1)
Obat
Dosis
Interval dan Durasi
Respons pejamu yang penting dalam mengontrol infeksi laten antara lain: aktivasi makrofag,
mempertahankan struktur granuloma, sel-sel
T CD4 dan CD8, IFN-γ, dan TNF-α. Meskipun
demikian perlu juga diteliti kontribusi sitokinsitokin atau kemokin-kemokin lain, termasuk
faktor-faktor imun pejamu lain dalam peranannya untuk mengontrol infeksi laten tuberkulosis.
Di samping faktor-faktor penjamu, M. tuberculosis juga berperan menciptakan kondisi infeksi
laten tersebut melalui serangkaian mekanisme
atau strategi untuk menghindari eliminasi oleh
sistem imun pejamu. Mikobakterium dapat menunggu turunnya sistem imun untuk kembali
menyebabkan infeksi aktif tuberkulosis.
Setiap hari
Kondisi Medis
Risiko Relatif (95% CI)
Infeksi HIV lanjut
9.8 (8.1 - 13)
Bekas TB yang telah sembuh
5.2 (3.4 - 8.0)
Isoniazid
300 mg per oral
selama 6 - 9 bulan
Dua kali seminggu
Isoniazid
600 mg per oral
selama 6 - 9 bulan
Gagal Ginjal Kronis
2.4 (2.1 - 2.8)
Terapi Infliximab
2.0 (1.1 - 3.5)
Diabetes Tidak terkontrol
1.7 (1.5 - 2.2)
Setiap hari
Rifampicin
600 mg per oral
TINJAUAN PUSTAKA
Pertempuran konstan dan terus menerus antara
sistem imun pejamu dengan M. tuberculosis
umumnya terjadi di dalam granuloma. Keseimbangan dalam lingkungan imun lokal di granuloma ini akan menentukan apakah infeksi akan
tetap laten atau mengalami reaktivasi menjadi
infeksi aktif tuberkulosis. Penelitian-penelitian
lebih lanjut pada tingkat granuloma atau imunologi seluler akan makin menjelaskan mekanisme interaksi yang sangat kompleks ini.
HIV-AIDS dan Tuberkulosis Rongga Mulut
Anitasari S
Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman/PPDGS Bedah Mulut
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit dengan
frekuensi cukup tinggi di negara berkembang
seperti Indonesia. Sebagian besar penduduk,
terutama di daerah-daerah endemis TB merupakan pembawa bakteri TB walaupun tidak
menunjukkan gejala klinis (1,2).
Peningkatan jumlah penderita TB sangat mungkin
dengan meningkatnya jumlah penderita HIVAIDS karena penurunan sistem pertahanan tubuh
penderita HIV-AIDS memudahkan penularan
bakteri Mycobacterium tuberculosis (3-6).
Penderita TB dapat menunjukkan gejala klinis
di rongga mulut, walaupun sangat jarang dan
pada umumnya merupakan manifestasi sekunder dari TB paru. (7,8,9)
selama 4 bulan
Berat Badan Kurang (> 10%)
Gastrektomi
1.6 (1.1 - 2.2)
1.3 (1.1 - 1.7)
Semua kasus Diabetes
1.3 (1.1 - 1.4)
Silikosis
1.3 (1.1 - 1.7)
TERAPI INFEKSI LATEN TUBERKULOSIS
Sebuah serial penelitian klinik pembanding
plasebo (Placebo-Controlled Clinical Trial) yang
dilakukan oleh US Public Health Service (USPHS)
telah mengukuhkan efektivitas pemberian paket
pengobatan Isoniazid untuk mencegah reaktivasi
tuberkulosis di antara individu dengan infeksi
laten tuberkulosis.(17) Mekanisme kerja obat
ini diperkirakan untuk sterilisasi basili tuberkel
yang tidak aktif (quiescent tubercle bacilli) di
dalam granuloma. Hasil penelitian studi besar
di Eropa dan analisis penelitian USPHS mendapatkan bahwa 9 bulan terapi adalah durasi
yang optimal, sehingga masa durasi 9 bulan
ini menjadi rekomendasi durasi terapi infeksi
laten tuberkulosis. Terapi ini diharapkan dapat
mengurangi risiko reaktivasi penyakit sebesar
75-90%. Meskipun demikian durasi terapi 6
CDK 183/Vol.38 no.2/Maret - April 2011
DAFTAR PUSTAKA
Peranan program terapi infeksi laten tuberkulosis untuk mengontrol tuberkulosis tergantung pada prevalensi penyakit tuberkulosis di
suatu populasi. Jika prevalensi di populasi tersebut tinggi maka fokus program Kontrol TB
harus berupa pencegahan peningkatan munculnya infeksi laten tuberkulosis melalui identifikasi dan terapi kasus-kasus aktif secara tepat.
Setelah hal ini telah tercapai maka fokus selanjutnya dapat diarahkan untuk identifikasi
dan terapi individu dengan infeksi laten tuberkulosis. Mereka yang berisiko paling tinggi untuk
berkembangnya infeksi laten tuberkulosis menjadi penyakit aktif harus menjadi target terapi.(1)
1.
SIMPULAN
Infeksi laten M. tuberculosis menantang atau
menghambat usaha dunia untuk mengontrol
penyakit tuberkulosis. Kurangnya informasi
tentang kondisi basilus selama periode klinis
laten menyulitkan pembuatan model-model
penelitian di laboratorium. Model-model hewan
yang dapat merefleksikan kondisi tubuh manusia
juga sulit dibuat dan dipelajari. Meskipun
demikian sistem-sistem in vitro maupun in vivo
terus dikembangkan untuk memberikan kontribusi pemahaman kita tentang proses tuberkulosis laten ini.
11.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Harsburgh-Jr CR. Latent Tuberculosis Infection. In: Helden SHEKdPv, ed.
Handbook of Tuberculosis: Clinics, Diagnostics, Therapy and
Epidemiology. Weinheim: Wiley-VCH Verlag GmbH&Co; 2008.
Manabe YC, Bishai WR. Latent Mycobacterium tuberculosis-persistence, patience, and winning by waiting. Nat Med. 2000;6(12).
Tufariello JM, Chan J, Flynn JL. Latent tuberculosis: mechanisms of
host and bacillus that contribute to persistent infection. Lancet
Infect Dis. 2003 Sep;3(9):578-90.
Hertz CJ, Kiertscher SM, Godowski PJ. Microbial lipopeptides stimulates
dendritic cell maturation via Toll-like receptor 2. J Immunol. 2001;
166:2444-50.
Bodnar KA, Serbina NV, Flynn JL. Interaction of Mycobacterium tuberculosis with murine dendritic cells. Infect Immun. 2001;69:800-9.
Flynn JL, Chan J, Triebold KJ, Dalton DK, Stewart TA, Bloom BR. An
Essential Role for Interferon g in Resistance to Mycobacterium
tuberculosis Infection. J Exp Med.1993;178:2249-54.
Cooper AM, Dalton DK, Stewart TA, Griffen JP, Russell DG, Orme
IM. Disseminated tuberculosis in interferon gamma genedisrupted
mice. J Exp Med. 1993;178:2243-8.
Ottenhof TH, Kumararatne D, Cassanova JL. Novel human immunodeficiencies reveal the essential role of type-1 cytokines in immunity
to intracellular bacteria. Immunol Today. 1998;19:491-4.
Oddo M, Renno T, Attinger A, Bakker T, MacDonald HR, Meylan
PRA. Fas-ligand induced apoptosis of infected human macrophages reduces the viability of intracellular Mycobacterium
tuberculosis. J Immunol. 1998;160:5448-54.
Ting LM, Kim AC, Cattamanchi A, Ernst JD. Mycobacterium
tuberculosis inhibits IFN-gamma transcriptional responses without
inhibiting activation of STAT1. J Immunol. 1999;163(7):3898-906.
Maglione PJCJ. Killing mechanisms of the host against Mycobacterium tuberculosis. In: Kaufmann SHEBW, editor. Handbook of
Tuberculosis. Weinheim: Wiley-VCH; 2008.
Sturgill-Koszycki S, Schlesinger PH, Chakraborty P, Haddix PL,
Collins HL, Fok AK, et al. Lack of acidification in Mycobacterium phagosomes produced by exclusion of the vesicular proton- ATPase.
Science. 1994;263:678-81.
Jasmer RM, Nahid P, Hopewell P. Latent tuberculosis infection.
N Engl J Med. 2002;347(23).
Wang L, Turner MO, Elwood RK, Schulzer M, FitzGerald JM. A metaanalysis of the effect of Bacille Calmette Guerin vaccination on
tuberculin skin test measurements. Thorax. 2002;57:804-9.
Hopewell PC, Bloom BR. Tuberculosis and other mycobacterial
diseases. In: Murray, Nadel, Mason, Boushey, editors. Textbook of
Respiratory Medicine: W B Saunders Company; 2000.
Nahid P, Pai M, Hopewell PC. Advances in the diagnosis and
treatment of tuberculosis. Proc Am Thorac Soc. 2006;3:103-10.
Ferebee SH. Controlled chemoprophylaxis trials in tuberculosis.
Bibliotheca Tuberculosea. 1970;26:28-106.
Efficacy of various durations of isoniazid preventive therapy for
tuberculosis: five years of follow-up in the IUAT trial: International
Union against Tuberculosis Committee on Prophylaxis1982.
Service HC, Centre TR. A double-blind placebo-controlled clinical
trial of three antituberculosis chemoprophylaxis regimens in
patients with silicosis in Hong Kong. Am Rev Respir Dis. 1992;145:36-41.
105
Manifestasi TB di rongga mulut dapat berbentuk ulserasi di dorsum lidah, gingiva, dasar
mulut, mukosa bukal dan labial, palatum
molle, tersering ditemukan di lidah. Sedangkan
manifestasi HIV-AIDS di rongga mulut dapat
bermacam-macam, di antaranya juga dapat
berbentuk ulserasi. (2,5,7,8,10)
Ulserasi TB dan HIV-AIDS klinis sulit dibedakan,
terutama apabila penderita HIV-AIDS juga
penderita TB. Perlu keahlian untuk mendiagnosis penderita TB, HIV-AIDS dan penderita
HIV-AIDS disertai TB. (1)
TINJAUAN PUSTAKA
1. Tuberkulosis Rongga Mulut
Tuberkulosis rongga mulut (oral tuberculosis)
dapat primer, tetapi umumnya merupakan manifestasi sekunder tuberkulosis paru, (Eng, et al.,
1996, cit Von Arx, Husain, 2001). Pada umumnya lesi tuberkulosis terletak di lidah, kadangkadang juga di gusi, dasar mulut, palatum, bibir,
mukosa bukal. Di lidah dapat menyebabkan
makroglosia dan memberi kesan glossitis(2).
Pada TB rongga mulut dijumpai pembesaran
kelenjar limfe daerah preaurikular, trismus, trakheitis dan laringitis (2).Tipe lesi tuberkulosis rongga
mulut adalah granuloma, fissure, glossitis dan
ulkus (2,8,9,10).
106
Gambar 1: Manifestasi Tuberkulosis Rongga Mulut (11)
Gambaran klinis lesi ulkus TB rongga mulut
bervariasi (Gambar. 1); umumnya :
1. Tidak berbatas jelas
2. Terdapat granulasi pada dasar lesi.
3. Tidak selalu nyeri
Diagnosis banding ulkus TB rongga mulut
meliputi RAU (Recurrent Aphthous Ulceration),
traumatic ulcer, syphilitic ulcers dan keganasan
termasuk squamous cell carcinoma primer,
limfoma. Oleh karena itu biopsi/pemeriksaan
histopatologi sangat penting (2,12).
Jika histopatologis berbentuk granulomatosa,
diagnosis banding adalah sarkoid, Crohn’s disease, reaksi benda asing, sifilis tersier, dan Sindrom
Melkersson-Rosenthal (2).
Diperlukan juga pemeriksaan sputum untuk
mencari Mycobacterium tuberculosis dan pemeriksaan radiologi (3).
2. Manifestasi HIV Rongga Mulut
A. Thrush
Candida oral biasa ditemukan pada penderita
HIV/AIDS, jarang pada penderita non-HIV/AIDS.
B. Leukoplakia
Hiperkeratinisasi dan infeksi virus Epstein Barr sering
menimbulkan hairy leukoplakia yang jarang ditemukan pada penderita non-imunokompromis.
C. Gingivostomatitis
Kondisi rongga mulut penderita HIV-AIDS dapat
sangat buruk sehingga mudah terkena stomatitis.
Ulkus sangat sering terjadi pada penderita
HIV-AIDS, baik disebabkan infeksi atau trauma.
CDK 183/Vol.38 no.2/Maret - April 2011
TINJAUAN
TINJAUAN PUSTAKA
PUSTAKA
Ulkus yang disebabkan HIV mempunyai gambaran klinis:
1. Non-keratin
2. Terdapat pseudomembran
3. Ukuran lesi :
- Minor > 5 mm
- Mayor 1-3 cm
- Herpetiform 1-2 mm
4. Dapat lesi tunggal atau multipel
5. Nyeri
6. Kemerahan di sekitar ulkus
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
titer CD4+ < 100 sel/μL. Ulkus dapat ditemukan
di daerah mukosa bukal dan labial, palatum
molle, dan lidah (4, 5, 7,13)
PEMBAHASAN
Tuberkulosis masih endemik di daerah berkembang. Meningkatnya prevalensi penderita
HIV-AIDS, menyebabkan prevalensi penderita
TB juga meningkat karena penurunan sistem
pertahanan tubuh pada penderita HIV-AIDS
memunculkan manifestasi klinis pada pengidap
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Salah satu
manifestasi klinis, di antaranya ulserasi rongga
mulut (2,8,9,10).
Peningkatan TB pada penderita HIV-AIDS
menekankan pentingnya deteksi tuberkulosis
agar bisa diobati sedini mungkin (1,2).
PEMBAHASAN
Tuberkulosis masih endemik di daerah berkembang. Meningkatnya prevalensi penderita HIVAIDS, menyebabkan prevalensi penderita TB juga
meningkat karena penurunan sistem pertahanan
tubuh pada penderita HIV-AIDS memunculkan
manifestasi klinis pada pengidap bakteri Mycobacterium tuberculosis. Salah satu manifestasi
klinis, di antaranya ulserasi rongga mulut (2,8,9,10).
Peningkatan TB pada penderita HIV-AIDS menekankan pentingnya deteksi tuberkulosis agar
bisa diobati sedini mungkin (1,2). Perbedaan
ulkus TB dengan ulkus HIV-AIDS ialah pada
ulkus TB ditemukan granulasi di dasar lesi dan
tidak selalu nyeri sedangkan pada ulkus
HIV-AIDS terdapat pseudomembran, non
keratin dan nyeri (2,4,5,7-10)
Ulkus TB dan ulkus HIV-AIDS tidak dapat dibedakan berdasarkan lokasinya; umumnya penderita
TB rongga mulut adalah penderita TB paru karena
lesi di rongga mulut sebagian besar disebabkan
oleh sputum, walaupun penyebaran hematogen
dan limfogen juga pernah terjadi (2, 4,5,7-10).
SIMPULAN
Mengingat seringnya kasus HIV-AIDS disertai
tuberkulosis, sangat penting menentukan jenis
lesi rongga mulut.
Gambar 2: Ulkus pada Penderita HIV- AIDS (11)
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Anonim. HIV and Tuberculosis Fact Sheet, American Lung Association, 2007.
Von Arx DP, Husain A. Oral Tuberculosis, Br. Dental J 2001;198:420-22.
Hercline T, Amorosa JK. Tuberculosis, Emedicine, 2009.
Moazzez AH, Alvi A. Head and Neck Manifestation of AIDS in Adults, American Family Physician, 1998.
Vaseliu N, Kamiru H, Kabue. M. Oral Manifestation of HIV Infection, 2010.
WHO News, Bull.WHO 2000;78: 945-6.
Greenspan D, Greenspan J. Oral Manifestation of HIV Infection, Journal Watch HIV/AIDS Clinical Care. 1997.
Sharma SK, Mohan A. Extrapulmonary Tuberculosis, Indian J. Med Res 2004;120: 316-53.
Soni NK, Chatterji P, Nahata SK. Tuberculosis of the Tongue, Indian J Tub. 28:22-5.
Tas E, Sahin E, Vural S, Turkoz HK, Gursel AO. Upper Respiratory Tract Tuberculosis: Our Experience of
Three Cases and Review of Article, The Internet J. Otorhinolaryngol. 2007.6.
11. Mir MA. Atlas of Clinical Diagnosis, 2nd ed. 2003.
12. Riden K. Key Topics in Oral and Maxillofacial, 1st ed, Bio Scientific Pub. 1998.
13. Gori A, Ridolfo AL, D’Arminio Monforte A, Gramagliu A, Villa S, Moroni M. Impact of radiotherapy on oral
AIDS-related Kaposi’s sarcoma, International Conference on AIDS,1993; 9:395.
CDK 183/Vol.38 no.2/Maret - April 2011
107
Download