BAB III PEMBAHASAN A. Hubungan Negara Amerika Serikat dan

advertisement
BAB III
PEMBAHASAN
A. Hubungan Negara Amerika Serikat dan Kawasan Timur Tengah
1. Sejarah Hubungan Amerika Serikat dan Timur Tengah
Menurut Murray, hubungan internasional seperti halnya interaksi yang terjadi
dalam masyarakat pada umumnya dapat berbentuk kompetisi, konflik, dan kerjasama.
Namun demikian tidak ada masyarakat di dunia ini yang secara eksklusif hanya
mengadopsi satu bentuk interaksi.i Pada masa awal kerjasama dengan negara-negara
timur tengah, Amerika lebih memfokuskan pada upaya untuk meminimalisasi pengaruh
dari Uni Soviet dengan mendukung dan memberi bantuan militer dan ekonomi bagi
pemerintahan yang anti-Soviet.ii Namun dalam perkembangan selanjutnya keberadaan
pasukan Amerika Serikat tidak memperoleh apresiasi yang baik dari penduduk setempat
dan pada kelanjutannya menjadi pemicu munculnya gerakan-gerakan radikal.
Atas dasar itu, keberadaan militer Barat di Timur Tengah justru menjadi counter
productive karena memunculkan kemarahan bagi umat Islam yang kemudian melakukan
aktivitas jihad yang ditujukan untuk mengusir Barat dari Timur Tengah. Terdapat banyak
serangan terorisme yang dilakukan ke tempat-tempat yang penting bagi Amerika Serikat,
baik itu di dalam dan di luar negeri, mulai dari aksi pemboman terhadap sebuah hotel di
Yaman yang banyak dihuni oleh warga Amerika Serikat (1992), gedung World Trade
Center New York (1993), kampung militer di Riyadh Arab Saudi (1993), basis militer
Amerika di Dahran Arab Saudi (1996), kapal perang Amerika USS Cole di Yaman (2000)
dan yang paling mengejutkan yaitu peristiwa 11 September 2001.iii
Dalam konteks legalisme-moralisme keterlibatan peran budaya dan sejarah sangat
kuat dalam kecurigaan Amerika terhadap para Islamis. Konteks pertimbangan yang
muncul dalam kebijakan luar negeri untuk domain ini lebih cenderung berbasis ideologis
yang didasarkan pada nilai-nilai mendasar yang dianut oleh Amerika Serikat.iv Kumpulan
nilai, kepercayaan, sikap, tata cara dan gaya hidup yang dianut bersama menjadi
preferensi yang dipergunakan oleh para pemimpin Amerika dalam merumuskan
kebijakan luar negerinya.
Persepsi budaya orang Amerika cenderung menganggap bangsa Arab atau
Muslim berbahaya, tidak dapat dipercaya, tidak demokratis, barbar dan primitif. Sejak
awal 1980-an, segala peristiwa di dunia Muslim merupakan berita traumatis di Amerika
Serikat. Seorang Editor New York Times menulis bahwa berkat politik internasional saat
ini, satu bentuk rasialisme etnis meraih tempat terhormat di Amerika yaitu rasialisme
terhadap orang Arab (Muslim).v
Namun dibalik hubungan konfliktual yang terjadi, Amerika dan kawasan Timur
Tengah juga memiliki hubungan yang erat dalam bidang ekonomi terutama terkait jual
beli minyak bumi dan sumber daya alam lainnya. Timur Tengah sebagai produsen minyak
terbesar di dunia menjadi kolega penting bagi Amerika Serikat dalam mendukung
perekonomian kedua pihak. Untuk menjaga harmonisasi perdagangan ini, Amerika
Serikat berupaya menjalin kerjasama dengan beberapa negara dikawasan tersebut. Sejak
tahun 1930-an Amerika telah berusaha untuk menjalin kerjasama dengan negara-negara
Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Mesir, Kuwait, dan Iran (1953-1979).
Awal intervensi Amerika Serikat di Timur Tengah dimulai ketika terlibat dalam
perang teluk I yang melibatkan antara Irak dengan Kuwait. Dalam perkembangannya
konflik antara Irak dan Kuwait ini menjadi konflik Irak dan Amerika Serikat. George
Herbert Walker Bush adalah presiden Amerika Serikat yang mendeklarasikan perang
terhadap Irak pada 7 Agustus 1990. Selama Perang Irak-Iran, Amerika Serikat dan sekutu
sebenarnya memberikan bantuan ekonomi dan militer besar-besaran ke Irak. Tetapi
bantuan itu diberikan karena adanya kekhawatiran terhadap ancaman revolusi Islam
rezim Khomeini di Iran yang ingin menguasai Timur Tengah. Karena itu bagi Amerika
Serikat dan sekutu kekalahan Baghdad pada Perang irak-Iran harus dicegat sekuat
tenaga.
Dukungan Amerika Serikat terhadap Irak berbalik ketika Irak berbalik menganggu
kepentingan Amerika Serikat di Kuwait. Arab Saudi dan Kuwait adalah penopang
kebutuhan minyak Amerika. Selain itu Bush senior dan Saddam Hussein juga memiliki
pandangan yang sangat berbeda terkait dengan Israel. Bush adalah pemimpin yang
mendukung Israel, sementara Saddam sangat memusuhi Israel dan memberi dukungan
penuh terhadap Palestina. Maka untuk membela kepentingan tersebut maka tentara
multinasional yang dipelopori Amerika Serikat melakukan penyerangan ke wilayah Irak.
Invasi ini telah mengubah peta perpolitikan Timur Tengah. Amerika Serikat telah berhasil
membentuk koalisi yang membagi negara-negara Timur Tengah kedalam aliansi masingmasing, sehingga semakin jelas keadaan Timur Tengah yang semakin terpecah belah.
Ekonomi modern dunia abad 21 didorong oleh minyak bumi. Amerika Serikat
adalah konsumen terbesar produk minyak bumi di dunia, namun Amerika Serikat hanya
memiliki kurang dari tiga persen cadangan minyak global. Diperkirakan dua pertiga
terletak di Timur Tengah, sehingga berdiri pada alasan bahwa ketergantungan Amerika
Serikat pada minyak adalah dasar kebijakan Amerika di wilayah ini. Tidak ada
pemerintahan bisa membiarkan kepentingan yang paling penting untuk terancam. Selain
itu, sebagai konsumen, Amerika Serikat pasti memiliki keinginan untuk membayar lebih
murah untuk satu galon bensin. Amerika tergolong negara yang kecanduan minyak Timur
Tengah, khususnya minyak Arab Saudi. Untuk setengah abad terakhir, setiap presiden
memiliki pemahaman bahwa Amerika memiliki hubungan khusus dengan raja Arab Saudi,
penguasa mutlak minyak terbesar di dunia dan disusul oleh Irak. Pada dasarnya, keluarga
kerajaan memberikan akses besar bagi Amerika Serikat terhadap minyak bumi Saudi, dan
sebaliknya Amerika Serkat harus menjaga keamanan Saudi dari orang-orang seperti
Saddam Hussein, Osama bin Laden, dan ancaman lainnya untuk mempertahankan
oligarki Saudi.
Melihat dari fluktuasi sikap dan kebijakan Amerika tersebut, dapat kita simpulkan
bahwa terdapat tiga kepentingan utama Amerika Serikat di Timur Tengah yaitu minyak,
Israel, dan stabilitas kawasan Timur Tengah. Hal ini tentunya membutuhkan kesiapan
Amerika Serikat untuk tetap berbenah diri dan menciptakan segala kebijakan yang
mungkin dilakukan untuk menjaga kepentingan tersebut di Timur Tengah.
Perbedaan yang terjadi antara penyerangan Irak di era Bush senior dan Bush
junior adalah bahwa pada Perang Teluk I, Amerika tidak perlu mencari alasan-alasan lain
dalam melegitimasi perang. Tempo itu alasan penyerangan Irak ke Kuwait sudah cukup
membuat PBB memberi persetujuan untuk Amerika dalam menyerang Irak, sementara
dalam era Bush junior kawasan Timur Tengah tidak nampak konfliktual, sehingga dalam
hal ini dibutuhkan sebuah alasan yang dapat melegitimasi kebijakan baru di Timur
Tengah. Hingga terjadilah peristiwa penyerangan 11 September 2001 yang kebenarannya
menjadi dipertanyakan melihat fluktuasi konflik dan kepentingan Amerika di kawasan
Timur Tengah.
Peristiwa penyerangan WTC dan Pentagon mengingatkan pada sejarah
penyerangan Pearl Harlbour yang terjadi secara tiba-tiba dan Amerika Serikat yang sistem
keamanannya sangat diagungkan oleh dunia akhirnya bisa dilumpuhkan. Namun ada
perbedaan pearl Harbour dengan serangan 11 September 2001. Penyerangan Pearl
Harlbour dilakukan oleh pasukan militer Jepang, sehingga hal ini bisa menjadi alasan kuat
terjadinya peperangan, sementara penyerangan 11 September 2001 adalah peristiwa yang
disinyalir dilakukan oleh pembajak dari kelompok teroris yang tidak merepresentasikan
sebuah kewarganegaaran. Tentunya keadaan ini tidak cukup membuat legitimasi perang
terhadap kelompok dan negara-negara tertentu, sehingga simbol-simbol agama adalah
alternatif yang paling tepat untuk membenturkan sebuah entitas dengan entitas lainnya
yaitu Barat dengan Islam radikal. Benturan ini kemudian dikonstruksi dalam bentuk misi
suci Amerika dalam menjaga keamanan Amerika Serikat dan dunia dari ancaman orangorang jahat (terorisme).
Konstruksi ide tentang Amerika melawan kejahatan membuat masyarakat
Amerika dan masyarakat dunia memberikan simpati terhadap kebijakan Bush. Namun hal
itu belum cukup untuk melegitimasi perang, sehingga untuk menyokong komunikasi
yang baik dengan masyarakat, Bush kemudian menyampaikan justifikasi-justifikasi lainnya
untuk menyatakan bahwa Afghanistan dan Irak harus diperangi. Rupanya dendam sang
ayah Bush terhadap Saddam Hussein pada Perang Teluk I belum terselesaikan, sehingga
sang anak akhirnya mengambil alih dendam tersebut. Permusuhan antara Bush denga
Osama setelah meninggalnya Salem bin Laden, saudara kandung Osama juga perlu
diselesaikan dengan misi penumpasan Al-Qaeda dan Taliban di Afghanistan.
2. Kronologi Peristiwa Penyerangan 11 September 2001
Selasa, 11 September 2001, hari bersejarag yang lekat dalam ingatan warga
Amerika Serikat. Serangan teror menghantam jantung kota New York dengan
meruntuhkan menara kembar World Trade Centre (WTC). Selasa pagi, 19 pembajak dari
kelompok militan Al Qaeda membajak 4 pesawat jet penumpang dan menabrak
beberapa gedung penting di New York. Adapun rangkaian kronologi penyerangan
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Serangan pertama dilancarkan pada pukul 08.48 waktu setempat, sebuah
pesawat Boeing-767 milik American Airlines yang mengangkut 20.000 galon bahan
bakar jet menghantam Menara Gedung WTC bagian utara di New York. Tabrakan
tersebut meruntuhkan sebagian sisi gedung dan ratusan orang yang tengah
beraktivitas di dalamnya tewas di tempat.
b. Sekitar 16 menit kemudian yakni pada pukul 09. 04, pesawat Boeing-737 dari
maskapai yang sama terbang menukik tajam dan menabrak Menara Gedung WTC
bagian selatan yaitu tepatnya di lantai 60. Tabrakan itu menyebabkan ledakan
besar dan mengakibatkan bangunan terbakar dan runtuh.
c. Ketika perhatian jutaan masyarakat tertuju pada New York, pesawat ketiga
American Airlines Flight 77 mengitari ibu kota Washington DC dan menabrak sisi
barat kompleks markas militer Amerika yaitu Pentagon di Airlington, Virginia,
pukul 09.45.
d. Pesawat keempat jatuh di lapangan Somerset County, Pennsylvania. Diduga para
penumpang melakukan perlawanan terhadap empat pembajak di dalamnya. Kapal
terbang itu akhirnya terbalik dan menghantam tanah serta menelan korban
sebanyak 45 orang yang tewas di dalam pesawat. Sebagian kalangan mensinyalir
bahwa pesawat terakhir sebenarnya ditujukan ke Gedung Putih.vi
Pukul 10.30, menara kedua dari WTC dilaporkan sudah runtuh dan rata dengan
tanah. Gedung pencakar langit berstruktur baja dan berlantai 110 yang dibangun untuk
menahan hembusan angin 200 mil per jam itu nyatanya tak mampu menahan panas
akibat terbakarnya bahan bakar jet sehingga menyebabkan kepulan awan debu dan asap.
Berikut (gambar 5) adalah gambar penyerangan World Trade Center oleh pesawat
pembajak:
Gambar 5. Peristiwa Penyerangan World Trade Center pada 11 September 2001
Source: www.news.com.au
Gambar 5 menunjukkan detik-detik pesawat pembajak menabrakkan pesawatnya
ke gedung kedua WTC setelah pesawat pertama menabrak gedung utama WTC. Dalam
peristiwa ini 3.000 orang dinyatakan tewas termasuk 343 petugas pemadam kebakaran,
23 polisi New York, dan 37 polisi Port Authority yang meregang nyawa saat berjuang
mengevakuasi korban yang terjebak di dalam gedung, sepuluh ribu orang lainnya lukaluka, dan hanya enam orang yang berhasil selamat pada saat runtuhnya gedung WTC.vii
Teror yang ditujukan ke Amerika Serikat pada peristiwa 11 September bukanlah ulah aktor
tunggal berupa negara yang jahat atau rudal balistik atau kecanggihan teknologi biologi,
kimia, dan senjata pemusnah massal, sebagaimana yang pernah diramalkan oleh intelijen
dan pakar keamanan nasional.viii Penyerangan 11 September dipastikan Amerika
merupakan ulah kelompok suci dan radikal yang membajak pesawat dengan
menggunakan kekuatan multiplier.
Setelah diidentifikasi dalam waktu yang singkat, pemerintah Bush mengambil
kesimpulan bahwa kelompok yang melakukan serangan 11 September berasal dari salah
satu kelompok teroris Islam, yaitu Al Qaeda. Beberapa teroris dikabarkan telah tinggal di
Amerika selama setahun dan sebagian pernah ikut latihan penerbangan di sekolah
penerbangan komersil Amerika Serikat, sementara lainnya menyelinap beberapa bulan
sebelum 11 September 2001. Dua hari pasca penyerangan, Menteri Luar Negeri Amerika
Serikat Colin Powel menyatakan bahwa Osama Bin Laden adalah dalang peristiwa 11
September 2001.ix Hanya dalam tempo dua hari pihak Amerika telah mengumumkan
nama-nama 19 orang teroris yang diduga melakukan penyerangan tersebut.
Namun tidak semua orang menerima fakta bahwa penyerangan ini terjadi karena
ulah segelintir teroris. Sejumlah pihak akademisi, jurnalis, dan masyarakat kemudian
berlomba-lomba untuk mencari kebenaran peristiwa tersebut. Banyak masyarakat yang
menuntut diadakannya investigasi ulang terkait pelaku penyerangan 11 September 2001.
Hal ini didasari pada banyaknya kejanggalan yang terjadi sehingga menciptakan teoriteori konspirasi yang mendekonstruksi fakta peristiwa penyerangan yang disampaikan
sejumlah besar media Amerika. Kejanggalan yang paling penting dalam peristiwa ini
adalah bahwasanya gedung kembar tertinggi di dunia WTC dan gedung WTC-7 terjun
bebas dan rata dengan tanah hanya dalam waktu 15-20 detik.x
Dalam teori yang paling dekonstruktif, peristiwa 11 September bahkan dianggap
adalah sebuah rekayasa pemerintah Amerika Serikat yang membutuhkan suatu momen
penting sebagai titik awal perubahan kebijakan luar negeri Amerika. Peristiwa 11
September disinyalir sudah direncanakan dan diproyeksikan oleh The Project for the New
American Century (PNAC), yaitu think tank pertahanan keamanan Amerika Serikat.
Pemenang penghargaan jurnalis serta penulis, John Pilger menyatakan bahwa “two years
ago a project set up by the men who now surround George W. Bush said what America
needed was a new Pearl Harbor. Its published aims have, alarmingly, come true.”xi Hal ini
diperkuat oleh tulisan Bush sendiri dalam diarinya pada malam hari setelah serangan 11
September 2001 yang menyatakan The Pearl Harlbour of the 21st century took place today.
Peristiwa penyerangan Pearl Harlbour adalah titik awal perubahan haluan politik
luar negeri Amerika Serikat. Sebelum penyerangan Pearl Harlbour terjadi, Amerika Serikat
adalah negara besar yang tidak ikut campur tangan dengan perang dunia I yang
melibatkan negara-negara Eropa dan Asia. Jika agenda penyerangan WTC adalah sama
dengan agenda penyerangan Pearl Harlbour, maka hal ini menandai perubahan masif
dalam haluan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Dan berdasarkan realita yang terjadi
dilapangan, selepas peristiwa 11 September 2001 terjadi, kebijakan luar negeri Amerika
serikat berubah secara signifikan dari kebijakan untuk membendung berubah menjadi
kebijakan untuk menyerang.
Hal ini terwujud dalam dokumen pertahanan melawan terorisme bahwa salah satu
poin utamanya adalah kemampuan Amerika Serikat untuk melakukan tindakan
penyerangan dan penangkapan terhadap orang-orang dan negara yang dianggap teroris
atau yang mendukung teroris (preemptive strike). Kebijakan ini membuat Amerika Serikat
lebih leluasa untuk melakukan penyerangan dan invasi terhadap negara-negara yang
disinyalir Amerika merupakan bagian dari terorisme meskipun tanpa bukti yang memadai.
Agenda ini juga didukung oleh pandangan-pandangan skeptis dan teori teori konspirasi
yang menyatakan bahwa serangan 11 September 2001 adalah agenda pemerintahan Bush
untuk dijadikan sebagai titik balik perubahan kebijakan haluan Amerika yang dapat
melancarkan agenda tersembunyi Bush dan juga orang-orang terdekatnya.
Profesor Steven E. Jones dari Brigham Young University, Utah, menjelaskan hasil
penelitiannya bahwa runtuhnya menara kembar WTC tersebut adalah peristiwa yang
disengaja. Jones mengatakan bahwa hal yang dapat melumerkan besi baja dengan cepat
adalah zat yang dinamakan thermite. Dengan menggunakan thermite maka besi atau baja
dapat terbakar dan meleleh dengan cepat seperti mentega yang dihangatkan. Hal yang
dihasilkan oleh pembakaran thermite adalah asap berwarna putih, lelehan pijar api dan
percikan api. Uniknya semua kriteria itu muncul sebelum dan sesudah WTC ditabrak oleh
pesawat.xii Teori ini juga diperkuat dengan bukti bahwa WTC7 atau building 7 terlihat
meleleh sendiri tanpa adanya benturan dari pesawat yang menabrak dua gedung WTC
lainnya.
Teori kedua yang paling memukau adalah teori yang menyatakan bahwa benda
yang menabrak WTC bukanlah pesawat penumpang tetapi senjata penghancur atau
drone (pesawat tanpa awak). Seorang jurnalis FOX bernama Mark Burnback yang saat itu
berada di TKP dan melakukan laporan langsung dari Tempat Kejadian Perkara (TKP)
menyatakan:
It definitely did not look like a commercial plane. I did not see any windows on the
side. Again, it was not a normal flight that I’ve ever seen at an airport. It had a blue
logo on the front, and it did not look like it belonged in the area.xiii
Setelah semakin banyak bukti dan teori yang membuka banyak kemungkinan
untuk menyatakan kebenaran peristiwa 11 September maka rakyat juga semakin
mempertanyakan tanggung jawab pemerintah Amerika dalam menangani kasus
tersebut. Contohnya adalah kelompok yang menyatakan diri sebagai 9/11 Truth
Movement. Berikut adalah gambar demonstran Amerika yang menyebut kelompoknya
sebagai 9/11 Truth Movement.
Gambar 6. Aksi Demo Kelompok 9/11 Truth Movement
Sumber: en.wikipedia.org
Gambar 6 adalah aksi demo kelompok “9/11 Truth Movement.” Mereka melakukan
demo di Los Angeles pada bulan Oktober 2007 yang menuntut pemerintah untuk
menginvestigasi ulang dan menjelaskan kejanggalan-kejanggalan peristiwa 11 September
2001 tersebut. Selain kelompok tersebut, komisi khusus 9/11 juga menyatakan bahwa
pemerintah Amerika Serikat terlihat tertutup untuk melakukan investigasi mendalam dan
menyelesaikan perdebatan penyebab peristiwa 11 September tersebut.
Pada akhirnya, komisi khusus 9/11 menyatakan kemarahannya kepada khalayak
umum terkait sikap pihak gedung putih, dan juga terhadap pihak Central Inteligence
Agency (CIA) dan Federal Bureau of Investigation (FBI) yang terlihat berupaya menyimpan
rahasia dibalik peristiwa 11 September. Salah satu anggota komisi 9/11 menyatakan
kekesalannya dalam sebuah pernyataanya ke salah satu pers sebagai berikut:
It is a national scandal, this investigation is now compromised and “One of these
days we will have to get the full story because the 9-11 issue is so important to
America. But this White House wants to cover it up.”xiv
Pengacara senior John Farmer yang juga merupakan anggota dari komisi 9/11
menyatakan bahwa selama investigasi, pemerintah terkesan berupaya untuk menutupi
kebenaran peristiwa 11 September. Sangat sulit bagi komisi 9/11 untuk mengetahui motif
dibelakang tindakan tertutup pemerintah ini. Berikut adalah kutipan pernyataan John
Farmer:
At some level of the government, at some point in time… there was an agreement
not to tell the truth about what happened. I was shocked at how different the truth
was from the way it was described…. The tapes told a radically different story from
what had been told to us and the public for two years…. This is not spin. This is not
true.xv
Sampai saat ini, spekulasi dan konspirasi peristiwa 11 September masih terus
berlangsung dan berkembang. Namun belum ada kepastian mengenai peritiwa ini yang
diklarifikasi oleh pemerintah Amerika Serikat. Terlepas dari spekulasi itu semua, hal yang
menjadi sangat penting dalam penelitian ini adalah kenyataan bahwa peristiwa ini telah
menciptakan perubahan besar dalam konstelasi perpolitikan dan sistem keamanan dunia.
Peristiwa 11 September mengubah paradigma dunia yang membuat negara-negara
merasa siaga atas tindakan teroris yang bisa mengancam siapa saja dan kapan saja. Selain
itu peristiwa ini juga telah mengubah haluan kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang
sebelumnya lebih bersifat menjaga area dalam negeri (defensive), namun dengan adanya
peristiwa ini Amerika menjadi sangat agresif untuk melakukan tindakan menjaga
keamanan ke luar teritorinya (offensive).
B. Kebijakan Luar Negeri George Walker Bush Terhadap Afghanistan dan Irak
1. Proses Pembuatan Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat
Setelah Perang Dingin usai Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara
adikuasa di dunia sehingga banyak tatanan kehidupan internasional juga dipengaruhi
oleh kebijakan Amerika. Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History and the Last
Man menyatakan bahwa saat ini sejarah telah berakhir. Fukuyama berpendapat bahwa
umat manusia tidak ada pilihan lain selain daripada mengikuti pola kehidupan dan sistem
politik Amerika. Sikap unilateral Amerika Serikat menghendaki bahwa umat manusia
harus menerima segala kebijaksanaan Amerika Serikat karena itu adalah kebijaksanaan
yang benar bagi umat manusia dan buat setiap bangsa di dunia.xvi
Kebijakan luar negeri Amerika Serikat tergolong sebuah formulasi yang kompleks
karena harus menekankan fungsinya sebagai negara unilateral dan sebagai polisi dunia.
Secara umum kebijakan Amerika Serikat merupakan kebijakan yang disesuaikan dengan
konstelasi eksternal dan internal (global dan domestik). Proses pembuatan kebijakan luar
negeri Amerika Serikat harus melalui tahap-tahap yang dipengaruhi oleh banyak pihak,
seperti pihak eksekutif, legislatif, kelompok kepentingan, media dan pers, dan juga para
think tank atau epistemic community. Sementara ada banyak lembaga dan instansi dalam
pemerintah AS yang (berpotensi) mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika, ketika
fokus berada pada pengambilan keputusan kebijakan luar negeri, maka untuk sebagian
besar, presiden adalah aktor yang paling dominan.
Presiden tidak bertindak dalam situasi yang hampa, justru presiden sebenarnya
tunduk pada batasan tertentu. Namun karena beberapa faktor seperti beberapa
preseden, ambiguitas interpretasi peran presiden sebagaimana diatur dalam konstitusi,
dan kadang-kadang kurangnya kemauan kongres untuk secara efektif membatasi
presiden dalam tindakannya telah membuat presiden secara efektif menjadi pemegang
otoritas paling dominan dalam pengambilan keputusan kebijakan luar negeri Amerika.
Konstitusi Amerika secara eksplisit mendeskripsikan terkait pembagian kekuasaan
dalam membuat kebijakan luar negeri Amerika. Secara khusus presiden diberikan kuasa
untuk membuat perjanjian, yang mana dalam keadaan ini senat diberikan kuasa untuk
memberikan nasehat dan pertimbangan terhadap pembuatan perjanjian tersebut (artikel
2, bagian 2). Presiden adalah panglima tertinggi militer (artikel 2, bagian 2), namun hanya
kongreslah yang bisa menyatakan perang, dan dalam kekuasaan itu, kongres memiliki
kewenangan untuk mendefinisikan ancaman dari luar serta menetapkan tindakan yang
pantas sebagai ganjaran atas ancaman tersebut (artikel 1, bagian 8, ayat 10). Lebih
spesifik dalam konstitusi Amerika Serikat, kekuasaan presiden dalam hubungannya
dengan kebijakan luar negeri adalah sebagai berikut:
The President shall be Commander in Chief of the Army and Navy of the United
States…. He shall have Power, by and with the Advice and Consent of the Senate, to
make Treaties, …; and he shall nominate, and by and with the Advice and Consent of
the Senate, shall appoint Ambassadors, other public Ministers and Consuls, Judges of
the Supreme Court” (U.S. Constitution Art. 2, Sec. 2).
Secara konstitusional terlihat jelas bahwa setiap tindakan perang yang dilakukan
oleh Amerika dinyatakan sah setelah ada kerjasama antara pihak eksekutif (presiden) dan
pihak legislatif (kongres). Kongres adalah pihak satu-satunya yang sah untuk memberikan
kuasa mendeklarasikan perang. Namun demikian, selama abad ke-20 dan ke-21, presiden
Amerika telah sering terlibat dalam operasi militer tanpa persetujuan Kongres. Operasi ini
termasuk Perang Korea, Perang Vietnam, Operasi Badai Gurun, Perang Afghanistan
tahun 2001 dan Perang Irak tahun 2002. Meski belum ditemukan penjelasan tentang
alasan ketidakjelasan implementasi konstitusi ini, namun secara khusus bisa disimpulkan
bahwa ada beberapa gejala yang membuat hal ini terjadi.
Thomas R. Pickering, mantan wakil sekretaris negara untuk urusan politik pada
pemerintahan Bill Clinton menyatakan bahwa pemain yang paling berpengaruh dalam
kebijakan luar negeri Amerika sebenarnya adalah pihak-pihak kelas atas. Kelas atas yang
dimaksud adalah adalah presiden sebagai aktor paling dominan, kemudian ada juga
menteri luar negeri, menteri pertahanan, penasehat keamanan nasional, dan kepala staf
gabungan Amerika.xvii Terutama dalam menyelesakan isu isu high politics biasanya
kelompok ini menjadi ikon paling penting dalam merumuskan kebijakan luar negerinya.
Merujuk pada paparan tersebut maka bisa diambil kesimpulan bahwa dalam
kebijakan luar negeri perang Bush, orang-orang yang paling terlibat adalah Colin Powell
(Menteri Luar Negeri), Donald Rumsfeld dan Paul Wolfowitz (Menteri Pertahanan),
Condoleza Rice (Penasehat Keamanan Nasional), dan George John Tenet (Direktur
Central Inteligence Agency). Orang-orang tersebut bukanlah orang-orang baru dalam
pemerintahan, bahkan sebagian besar telah bekerja untuk Bush senior dan Bill Clinton.
Jajaran kelas atas tersebut juga disinyalir adalah orang-orang konservatif yang didukung
oleh kelompok hawkies Amerika.
Selain didukung Hawkies, sebagian besar jajaran kelas atas yang menjadi
punggawa white house pada pemerintahan Bush adalah orang-orang Kristen Evangelis.
Kristen Evangelis ini meliputi sekte episkopelian, prebisterian, metodis, dan sebagainya.
Orang-orang Bush yang berasal dari Kristen Evangelis adalah Colin Powel, Condolezza
Rice, serta penulis pidatonya yaitu Michael John Gerson. Dalam hubungan antara agama
dan politik, ada dua kelompok besar di Amerika yang memiliki pendirian masing-masing
dalam menentukan kebijakan Amerika Serikat, yaitu kelompok agama Militant
Internationalism (MI) dan Cooperative Internasionalism (CI). Kelompok MI adalah
kelompok Kristen evangelis yang didukung oleh Hawkies dan biasanya mendukung kubu
Republik konservatif, sementara kelompok CI adalah kelompok Kristen katolik, Yahudi,
dan sekte minoritas lainnya yang biasa mendukung kubu Demokrat.
Secara umum deklarasi perang Amerika baru dimulai sejak perang dunia II ketika
Amerika memutuskan untuk ikut dalam perang. Setelah perang dunia II, akhirnya
Amerika berhadapan dengan Uni Soviet sebagai dua negara yang saat itu paling berkuasa
namun memiliki basis ideologi yang berbeda. Sejak saat itu kebijakan luar negeri Amerika
Serikat lebih condong untuk membendung pengaruh Uni Soviet di negara-negara dunia
yang belum terkontaminasi. Keadaan ini mulai membuka jalan untuk Amerika Serikat
untuk keluar dari batas teritorialnya untuk mengimplementasikan kebijakan luar
negerinya, namun intensitasnya hanya berupa perang perpanjangan tangan (proxy war).
Setelah runtuhnya Uni Soviet, pada tahun 1970-an ekskalasi konflik antara
Amerika dan Soviet (menjadi Rusia) berkurang dan kedua negara mulai membina
kerjasama. Mulai saat itu Amerika menjadi negara tunggal sebagai negara super power
yang paling berpengaruh di dunia. Namun dalam dekade terakhir yang ditandai dengan
mulai tumbuhnya gerakan-gerakan radikal dan terorisme, peta kebijakan luar negeri
Amerika Serikat mengalami perubahan.
Setelah Uni Soviet runtuh, Amerika tidak memiliki musuh yang setara dengannya,
namun keadaan ini justru membuat Amerika lebih waspada terhadap negara dan
kawasan yang mulai bergerak maju atau mulai dianggap sebagai hambatan dalam
pencapaian tujuan Amerika. Ancaman politik Islam oleh para kelompok-kelompok
penting di Amerika Serikat disejajarkan dengan bahaya Komunisme Soviet yang
merupakan lawan ideologis baru bagi Amerika Serikat setelah runtuhnya komunisme.xviii
Untuk itu, pejabat Amerika Serikat diminta untuk membendung (contain) dan bukannya
melunakkan (appease) sang musuh baru, sehingga muncullah saran-saran terkait
kebijakan
pembendungan
yang
bersifat
mendahului
(preemptive).xix Kebijakan
preemptive ini tumbuh pasca penyerangan 11 September, peristiwa yang menandai
perubahan haluan kebijakan pertahanan dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat.
2. Serangan Militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan
Pemerintahan Bush telah bekerja sangat cepat dalam menyimpulkan dalang dari
serangan terorisme ke Amerika, dan dalang itu adalah Osama Bin Laden dengan
jaringannya Al-Qaeda yang bermarkas di Afghanistan sejak tahun 1996. Klaim tersebut
didukung oleh beberapa fakta yang yang memperkuat keterlibatan kelompok Al-Qaeda
pada serangan teroris 11 September 2001 diantaranya adalah, Osama Bin Laden
mengisyaratkan untuk berperang dengan Amerika Serikat (fatwa Osama Bin Laden
1998), kemudian dari 19 orang pembajak pesawat tersebut 3 orang diantaranya adalah
kelompok Al-Qaeda dan satu orang diantaranya juga pernah terlibat dalam serangan di
kedutaan Amerika Serikat di Kenya dan Tanzania.
Berdasarkan
penelusuran
terhadap
gerakan
pembajak
penyerangan
11
September, para penyidik menemukan beberapa diantara mereka sebelumnya sudah
bertemu dan secara teratur menerima uang dari orang-orang terdekat Osama bin Laden.
Al-Qaeda merupakan kelompok terorisme yang diciptakan oleh Osama antara tahun 1984
dan 1986 yang menampung dan merekrut para sukarelawan dari berbagai negara,
melatih dan kemudian mengirimkan prajurit tersebut ke Afghanistan melalui jaringanjaringan Al-Qaeda yang jumlahnya sangat banyak didunia.
Keputusan rezim Taliban (dibawah kepemimpinan Mullah Mohammed Omar)
untuk tidak menyerahkan Osama Bin Laden ke penmerintah Amerika kemudian dianggap
sebagai upaya pemerintah Afghanistan untuk melindungi terorisme. Amerika Serikat
berdalih bahwa serangan militer terhadap Afghanistan memiliki dasar alasan yang kuat,
yaitu bahwa rezim Taliban membiarkan wilayah Afghanistan dipakai oleh kelompok AlQaeda. Oleh karena itu, untuk menghancurkan rezim Al-Qaeda dan mencegah aksi teror
selanjutnya maka rezim Talibanpun harus dihancurkan. Bush menyampaikan dalam
sebuah pernyataannya ke pers, sebagai berikut:
Atas perintah saya, militer Amerika Serikat telah memulai serangan terhadap
kamp-kamp pelatihan teroris Al Qaeda dan instalasi militer rezim Taliban di
Afghanistan, lebih dari 2 minggu lalu, saya menyampaikan tuntutan yang jelas dan
spesifik terhadap para pemimpin Taliban: tutup kamp pelatihan teroris, serahkan
pemimpin Al Qaeda, dan kembalikan semua tawanan asing, termasuk warga AS
yang ditahan secara tak adil di negara mereka, tak satupun tuntutan itu dipenuhi,
dan kini, Taliban harus membayar harganya.xx
Akhirnya pada 07 Oktober 2001, Amerika dan aliansinya yaitu Inggris, secara resmi
memulai perang di Afghanistan. Bantuan logistik disponsori oleh Perancis, Jerman,
Kanada, dan Australia. Bantuan pasukan tentara didukung oleh pemberontak anti-taliban
yaitu Aliansi Utara (Northern Alliance). Maka pada hari itu Operation Enduring Freedom
resmi dimulai sebagai langkah awal war on terrorism. Serangan pertama dimulai sekitar
pukul 20.45 waktu Afghanistan.xxi Targetnya adalah instalasi pertahanan udara Taliban,
Kementerian Pertahanan, pusat komando di bandara, lapangan udara, jaringan listrik dan
fasilitas produksi energi lainnya.
Keseluruhan operasi militer dari tahun 2001-tahun 2007 adalah Operasi militer
sebagai berikut yaitu Operation Anaconda, Operation Volcano, Operation Khanjar, dan
Operation Kandahar. Namun hingga akhir tahun 2010, Mullah Omar dan Osama belum
dapat ditemukan oleh pasukan koalisi, kemudian Amerika Serikat memutuskan untuk
menghentikan misi tempur di Afghanistan dan memilih untuk fokus terhadap
pengembangan stabilitas keamanan di Afghanistan dibawah komando dari NATO.
Perang ini baru terbayar saat Osama diklaim tewas dalam sebuah penyerbuan
pada Mei 2011 di Pakistan. Osama mungkin sudah tewas namun Afghanistan belum
kunjung pulih dari dampak buruk perang tersebut. Pada 07 Desember 2004, Hamid Karzai
terpilih sebagai presiden pertama Afghanistan yang terpilih secara demokratis. Dan
meski negara itu mulai mengambil langkah pertama menuju demokrasi, masih ada sekitar
10 ribu tentara Amerika di sana.
Serangan
Amerika
Serikat
terhadap
Afghanistan
merupakan
fenomena
internasional yang menarik, setidaknya karena beberapa alasan. Pertama, serangan
Amerika ke Afghansitan merupakan suatu aksi militer internasional dalam skala yang
cukup besar. Kedua, karena aksi ini melibatkan salah satu negara adidaya dunia saat ini,
dan ketiga, Amerika Serikat melangsungkan invasi tersebut dengan mengabaikan peran
PBB secara eksplisit. Terakhir, invasi ini cenderung menerabas batas-batas sensitif perang
inter-state, karena kebetulan terjadi antara dua entitas dengan latar kultural yang lebih
luas (Barat dan Islam), khususnya bagi sebagian umat Islam yang kerapkali menganggap
serangan ini merupakan serangan terhadap identitas mereka secara kolektif/keseluruhan.
Fakta yang mengesankan adalah pendapat yang menyatakan bahwa penyerangan
Amerika ke Afghanistan bahkan telah direncanakan sebelum peristiwa 11 September
terjadi. Jaringan televisi dan media cetak Amerika Serikat merayakan kekalahan militer
rezim Taliban yang begitu cepat sebagai sebuah keberuntungan yang tidak
disangkasangka.xxii Mereka mengalihkan perhatian masyarakat dari sebuah kesimpulan
yang dihasilkan oleh setiap pengamat manapun mengenai peristiwa yang berlangsung
selama dua minggu itu, bahwa kemenangan kilat pasukan yang dipimpin oleh Amerika
tersebut sesungguhnya memperlihatkan perencanaan dan persiapan matang dari militer
AS, yang sudah pasti telah dimulai sebelum serangan terhadap WTC dan Pentagon
terjadi.
Informasi resmi yang dikeluarkan oleh Pentagon dan Gedung Putih mengenai
perang terhadap Afghanistan tersebut dianggap masih dapat dipertanyakan. Sumber lain
bahkan menuliskan secara lebih ekstrim, bahwa “Apa yang terjadi sesungguhnya adalah
intervensi AS telah direncanakan secara detil dan matang jauh sebelum serangan teroris
memberikan alasan final untuk menjalankan rencana tersebut.”xxiii Jika peristiwa 11
September tidak pernah terjadi, adalah sangat mungkin Amerika Serikat tetap
menyerang Afghanistan dalam kurun waktu yang tidak terlalu berbeda.xxiv Jika fakta ini
benar, maka legalitas perang yang diusung Bush di Afghanistan melahirkan pertanyaan
terkait kebenaran dibalik alasan penyerangan Afghanistan dan Osama. Fakta ini
menunjukkan bahwa kebijakan luar negeri Bush terhadap Afghanistan menyimpan
rahasia terselubung untuk kepentingan dan misi tertentu yang perlu dicari kebenarannya.
3. Serangan Militer Amerika Serikat ke Wilayah Irak
Sehari setelah peristiwa penyerangan, negara-negara timur tengah secara resmi
menyatakan belasungkawa kepada rakyat Amerika. Namun Irak, adalah satu-satunya
negara timur tengah yang tidak memberi dukungan kuat ke Amerika Serikat. Sebaliknya
presiden Irak, Saddam Hussein, berpendapat bahwa serangan teroris di tanah Amerika
memang tidak terelakkan, karena hal tersebut merupakan buah dari kebijakan luar negeri
Amerika sendiri.xxv Meski ini bukan alasan dasar penyerangan Amerika terhadap Irak,
namun kejadian ini telah memberikan indikasi bahwa sejak awal telah ada
ketidaksenangan antara Irak terhadap Amerika dan begitu juga sebaliknya. Tentu hal ini
tidak terlepas dari perang-perang sebelumnya yang telah melibatkan Irak dan Amerika
Serikat. Namun ternyata perang baru harus kembali hadir setelah peristiwa bersejarah 11
September 2001 meninggalkan indikasi buruk terhadap Irak.
Pemerintah Bush memvonis bahwa Irak memiliki peran dalam serangan teroris
pada tanggal 11 September 2001. Bahkan Donald Rumsfeld menyatakan bahwa Pentagon
dan CIA mempunyai bukti yang mengaitkan Irak dengan Al-Qaeda. Meskipun begitu
Rumsfeld menolak untuk membeberkan bukti-bukti intelijen yang menjadi dasar
pernyataannya itu. Secara khusus, perang Irak dilegalisasikan dengan tuduhan bahwa
Saddam Hussein memiliki bom nuklir dan senjata penghancur massal serta berkolaborasi
dengan kelompok teror Al Qaeda. Dalam pidato Bush yaitu state union address 2002,
Presiden Bush mengatakan bahwa ada tiga alasan besar alasan penyerangan ke Irak,
alasan tersebut adalah:
Iraq continues to flaunt its hostility toward America and to support terror. The Iraqi
regime has plotted to develop anthrax, and nerve gas, and nuclear weapons for over
a decade. This is a regime that has already used poison gas to murder thousands of
its own citizens -- leaving the bodies of mothers huddled over their dead
children. This is a regime that agreed to international inspections -- then kicked out
the inspectors. This is a regime that has something to hide from the civilized
world.xxvi
Saddam Hussein disinyalir menciptakan sebuah sistem pertahanan dalam negeri
yang mampu menangkal dan melibas setiap usaha kudeta dari golongan mayoritas Syiah
ataupun Kurdi. Sistem pertahanan itu bertitik berat pada pembangunan militer Irak dan
telah berupaya menumpaskan kelomp[ok oposisi dengan mengerahkan pasukan militer
Irak. Hal itulah yang membuat Irak di bawah pemerintahan Saddam terkenal dengan
sebutan Republic of Fear.xxvii Pada 1972, Saddam menasionalisasi banyak perusahaan
minyak yang dipegang oleh pihak asing. Tindakan itu bertujuan menghapus monopoli
Barat atas Irak sekaligus mengembalikan kekayaan Irak kepada rezim yang berkuasa.
Secara resmi, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyatakan bahwa alasan utama
penyerangan militer Amerika ke wilayah Irak adalah sebagai berikut:
1) Irak adalah negara yang memiliki relasi dengan Al-Qaeda. Saddam merupakan
sponsor dari gerakan radikal Al Qaeda
2) Saddam memiliki senjata biologi yang cukup untuk memproduksi lebih dari 25.000
liter anthrax dan memiliki cukup material untuk memproduksi lebih dari 38.000
liter botulinum toxin yang mampu membuat jutaan orang menderita dan mati
karena kesulitan bernapas.
3) Saddam Hussein memiliki program pengembangan senjata nuklir mutakhir,
memiliki desain senjata nuklir dan bekerja berdasarkan lima metode berbeda-beda
untuk memperkaya uranium menjadi sebuah bom.
4) Selain senjata pemusnah massal, Saddam Hussein juga disinyalir telah melakukan
pembunuhan kepada rakyatnya sendiri. Dia membungkam kebebasan berekspresi
dan membiarkan militer melakukan tindakan koersif terhadap rakyatnya, dimana
semua hal ini tergolong kedalam pelanggaran berat Hak Asasi Manusia.xxviii
Pada tanggal 18 Maret 2003, Presiden Bush mengeluarkan ultimatum kepada Irak,
bahwa dalam jangka waktu 48 jam, presiden Irak Saddam Hussein dan anak-anaknya
harus segera meninggalkan Irak. Ultimatum itu berakhir pada 20 Maret 2003 dan
beberapa jam sebelum perang dimulai, Amerika menghimbau agar tentara Irak tidak
melakukan perlawanan terhadap serangan tentara Amerika dan mengajak tentara Irak
untuk membangkang kepada Saddam Hussein. Akhirnya pada Kamis, 20 Maret 2003,
sebanyak 250.000 tentara Amerika Serikat didukung hampir 45.000 tentara Inggris, 2000
tentara Australia dan 200 tentara Polandia, menggempur dan memasuki wilayah Irak
melalui Kuwait. Tembakan salvo dari kapal induk Amerika ke udara wilayah Irak tanggal
20 Maret merupakan awal dari perang Amerika dan Irak.
Perang antara Amerika dan Irak berakhir pada 9 April 2003 dengan didudukinya
Baghdad oleh pasukan Amerika dan sekutunya. Saddam Hussein memang telah jatuh,
tetapi Irak tanpa Saddam Hussein ternyata bukanlah Irak yang damai, baik untuk Irak
sendiri maupun bagi kawasan Timur tengah. Irak kini telah menjelma menjadi negara
dengan kekerasan sektarian yang amat mengerikan. Meskipun pasukan Amerika telah
meninggalkan Irak, kekerasan sektarian antara kelompok Sunni, Syiah dan Kurdi belum
berhasil dipadamkan di Irak.xxix Kehadiran musuh baru yaitu Islamic State of Iraq and Syria
(ISIS) juga disinyalir oleh beberapa pengamat merupakan kelanjutan dari penyerangan
Irak tahun 2003.
C. Simbol-simbol Agama dalam Kebijakan Luar Negeri George W. Bush
1. Prinsip-prinsip Hidup Metodisme dan Definisi Lahir Baru
Secara eksplisit Bush menyatakan bahwa Bush adalah seorang jemaat Kristen
yang sudah mengalami pengalaman lahir kembali dan Bush mengalaminya setelah Bush
ikut menjadi jemaat di Gereja Metodis. Metodis muncul sebagai sebuah gerakan pada
abad kedelapan belas di Inggris sebagai reaksi terhadap kekuasaan absolut katolik yang
menyimpang di daratan Eropa. Metodisme merupakan bagian dari kebangkitan kaum
protestan evangelis yang berusaha untuk membawa pembaharuan rohani kepada
bangsa dan gereja Inggris dan juga untuk meningkatkan efektivitas pelayanan gereja,
serta reformasi aturan gereja terutama terkait perlindungan orang miskin.
Charles dan John Wesley adalah orang pertama yang menemukan dan memimpin
aliran metodis. John Wesley dan jemaat Metodis mula-mula menempatkan penekanan
utama pada kehidupan Kristen sejati, yaitu mewujudkan iman dan kasih dalam tindakan
nyata. Mengenai doktrin, Gereja Metodis tetap mengikuti teologi Wesleyan yaitu
kepercayaan pada dosa manusia, kekudusan Allah, keilahian Yesus Kristus, dan kematian,
penguburan, serta kebangkitan Yesus untuk keselamatan manusia yang juga sama halnya
dengan gereja-gereja Kristen lainnya. Inti dari semua ajaran metodis sebenarnya adalah
mencintai Kristus diatas segala-galanya, serta mencintai (memperlakukan) sesama
sebagaimana manusia mencintai (memperlakukan) dirinya sendiri.
Metodis menempatkan kepercayaan pada Alkitab dan menegaskan otoritas
Alkitab sebagai tonggak yang harus ditegakkan dalam kehidupan kristiani sejati. Hal ini
sesuai dengan yang tertulis dalam 2 Timotius 3:16 yang menyatakan “segala tulisan yang
diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan,
untuk memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” Berdasarkan
pemahaman tersebut John Wesley merumuskan empat kunci utama kehidupan
fundamental jemaat metodis mula-mula, yaitu sebagai berikut:
a. Manusia memiliki kehendak bebas untuk menolak dan menerima berita
keselamatan (free salvation)
b. Semua orang yang taat kepada Injil menurut ukuran pengetahuan yang diberikan
Tuhan kepada mereka akan diselamatkan (universal salvation)
c. Roh kudus akan memimpin dan mengawasi keselamatan manusia melalui
pengalaman batin dan spiritual (sure salvation)
d. Seorang Kristen harus dapat mengejar kesempurnaan Kristus dan memang
diberikan perintah untuk mengejar kekudusan sampai pada berakhirnya hidup
(full salvation)xxx
Selain empat kunci utama kehidupan fundamental tersebut, John Wesley
kemudian menetapkan tiga ajaran dasar utama yang harus dijadikan sebagai dasar hidup
jemaat metodis. Ajaran dasar tersebut adalah:
a. Mempertaruhkan seluruh kemampuan untuk menjauhi kejahatan/iblis dan
menghindari keterlibatan dalam perbuatan keji
b. Berlaku dan bertindak baik sebanyak mungkin dan ditujukan kepada lebih banyak
orang
c. Patuh dan taat terhadap firman yang disampaikan Tuhan Yang Maha Kuasaxxxi.
Inilah yang disebut panggilan atau call. Dengan adanya panggilan, maka pasti
harus ada misi atau mission yang harus dipertaruhkan dan diperjuangkan.
Jemaat metodis memiliki kewajiban untuk menanggung kesaksian Kristus yang
dapat ditunjukkan melalui sikap setia kepada Yesus Kristus, menjalani kehidupan yang
sesuai dengan kehidupan dan kesaksian firman Tuhan. Untuk memenuhi kewajiban ini,
jemaat harus merefleksikan secara kritis warisan alkitabiah dan warisan teologis,
berjuang untuk menyampaikan kesaksian dan injil kepada lebih banyak orang terutama
mereka yang tidak beriman kepada Tuhan. Dengan adanya pandangan yang demikian,
maka lahir baru (born again) adalah sebuah anugerah yang harus direspon dengan
mengambil keputusan untuk menerima Kristus sepenuhnya dalam hidup seorang
pengikut Kristus.
Lahir baru adalah revolusi spiritual yang terjadi bukan karena orang memutuskan
untuk lahir baru namun karena dia dipilih Tuhan untuk terlahir kembali. Tuhan hidup bagi
semua orang, tetapi tidak semua orang hidup di dalam Tuhan. Sejak Adam dan Hawa
melanggar perjanjian dengan Tuhan di Taman Eden, manusia adalah makhluk yang sudah
jatuh ke dalam dosa, mengutamakan keduniawian dan keinginan untuk melakukan halhal yang disenangi badaniah. Panggilan Tuhan sebenarnya diberikan kepada setiap orang
melalui pendengaran firman Tuhan, namun manusia memiliki kehendak bebas, sehingga
orang yang diurapi (annointed) dalam mendengar firman Tuhan dan bersedia untuk
menerima panggilan dan anugerah tersebut, merekalah yang disebut orang yang lahir
baru.xxxii
Tujuan dari lahir baru adalah untuk menempatkan Yesus sebagai raja dan
jurusselamat. Lahir baru menuntut keutamaan Kristus dalam kehidupan umat-Nya, ini
bermakna bahwa yang terutama dari yang utama adalah membangun relasi dengan
Tuhan, jika Tuhan sudah menjadi prioritas, hal-hal duniawi akan ditempatkan-Nya sesuai
dengan rancangan-Nya bagi umat-Nya.
Sebelum pengalaman lahir baru terjadi pada manusia, manusia adalah mati secara
rohani, dan secara moral manusia adalah makhluk egois dan suka memberontak, dan
secara hukum bersalah di hadapan Allah dan di bawah murka-Nya. Dalam ayat Alkitab
Yohannes 3:7+3 (John 3:7+3) dinyatakan “You must be born again. Unless one is born again
he cannot see the kingdom of God.” Dengan kata lain, kelahiran kembali adalah perkara
serius dan perkara kewajiban. John Piper, seorang pastur Kristiani, dalam bukunya yang
berjudul Finally Alive: What Happens when we are Born Again menyatakan tujuh
penjelasan Alkitab dari kondisi kita yang terpisah dari kelahiran baru dan mengapa lahir
baru adalah perihal serius.
1) Sebelum lahir baru, manusia secara rohani adalah mati karena pelanggaranpelanggaran dan dosa-dosa (Efesus 2: 1-2).
2) Sebelum lahir baru, manusia adalah orang-orang yang harus dimurkai (Efesus 2: 3).
3) Sebelum lahir baru, manusia lebih menyukai kegelapan daripada terang
(Yohannes 3: 19-20)
4) Sebelum lahir baru, hati manusia adalah keras seperti batu (Yehezkiel 36;26)
5) Sebelum lahir baru, manusia tidak dapat tunduk dan berkenan bagi Tuhan (Roma
8:7-8)
6) Sebelum lahir baru, kita tidak dapat menerima dan memahami firman Tuhan (1
korintus 2: 14)
7) Sebelum lahir baru, kita tidak dapat mengenal dan memuji Tuhan (Yohannes
6;44)xxxiii
Menurut pemaparan Bush, kondisi-kondisi ini adalah hal-hal yang dialami Bush
semasa sebelum mendapat karunia lahir baru. Meski telah dibaptis di gereja orangtua
Bush, namun Bush mengaku baru mengalami revolusi spiritual setelah diurapi firman
yang disampaikan oleh Bill Graham dan kemudian Bush mendapat panggilan untuk lahir
baru. Menurut Bush, dengan lahir baru, Bush telah meninggalkan segala dosa-dosa masa
lalunya dan mulai bertransformasi dalam hidup dalam pengenalan kerajaan Tuhan.
Berikut pernyataan Bush terkait pengalaman lahir baru yang dialami:
Reverend Graham planted a seed mustard in my soul, a seed that ever grewnover the
next year. He led me to the path, and I began walking. And it was the beginning of a
change in my life…. That weekend my faith took on a new meaning. It was the
beginning of a new walk where I would recommit my heart to Jesus Christ. I know
we are all sinners, but I’ve accepted Jesus Christ as my personal savior.xxxiv
Setelah mengalami pengalaman spiritual lahir baru, Bush mulai terbuka untuk
menunjukkan dan membicarakan terkait keyakinan dan kepercayaannya dengan orangorang yang ditemui. Setelah Bush menjabat sebagai gubernur, Bush menunjukkan sisi
religiusitasnya secara eksplisit melalui pernyataan-pernyataan resmi dan juga pidatopidatonya. Dalam biografinya, Bush menyatakan bahwa Bush menunjukkan sisi
religiusitasnya sebagai bagian dari pekerjaan yang ilahi yaitu memberi kesaksian kepada
banyak
orang
terkait
dengan
anugerah
yang
telah
menyucikannya
dan
menyelamatkannya.xxxv
2. Makna dan Alasan Penggunaan Simbol Agama dalam Kebijakan Luar Negeri George W.
Bush
Penggunaan simbol-simbol agama oleh presiden-presiden Amerika Serikat
bukanlah sebuah fenomena baru namun Bush adalah presiden yang unik dalam
memadukan agama dan politik. Alasan yang membuat Bush berbeda dengan pemimpin
pendahulunya adalah bahwa simbol agama yang digunakan Bush tidak hanya
menggambarkan bentuk tujuan akhir dari suatu kebijakan, tetapi juga mewarnai cara
pandang Bush dalam melihat dan membuat realitas menjadi penting karena ada agama
sebagai fondasi pendukungnya. Fakta bahwa kekejaman serangan 11 September 2001
yang secara humanis dapat dilihat dan dirasakan oleh semua negara tentu tidak
membutuhkan simbol agama untuk menguraikannya. Tetapi Bush dengan sistematis
menggunakan simbol agama untuk mendefinisikan batas-batas dalam memahami
mengapa serangan terjadi dan bagaimana seharusnya masyarakat Amerika yang baik dan
patriotic merespon peristiwa ini. Ini adalah kunci yang membuat simbol agama dalam
kebijakan luar negeri Bush menjadi penting.
Bush adalah pemimpin yang mampu menghubungkan ruang antara cita-cita
Amerika (American ideals) dan kepentingan Amerika (American interest) dengan
menggunakan simbol-simbol agama. Dalam sebuah debat presiden sebelum peristiwa 11
September 2001, ketika dihubungkan dengan kebijakan luar negeri terkait kebijakan
Clinton sebelumnya, Bush pernah menyatakan “It really depends on how our nation
conducts itself in foreign policy. If we are an arrogant nation, they’ll resent us. If we are
humbly nation, but strong they’ll welcome us.”xxxvi Pernyataan Bush menunjukkan
keinginan Bush untuk membawa Amerika sebagai negara yang ramah dan rendah hati di
dunia internasional, namun pernyataan ini berubah total setelah peristiwa 11 September
terjadi, Bush menyatakan:
My vision shifted dramatically after September the 11th because I now realize the
stakes. I realize the world has changed. No longer would the United States be a
humble nation but one chosen by God to lead the world. Our nation is choosen by
God and commissioned by history to be a model to the world of justice and inclusion
and diversity without division.xxxvii
Pernyataan ini sekaligus mengukuhkan bahwa kebijakan Bush untuk mengubah
rezim di Afghanistan dan Irak adalah implementasi visi Bush untuk menegakkan
kebebasan di belahan dunia yang masih diliputi rezim otoriter. Bush juga menegaskan
bahwa kebebasan bukanlah hadiah Amerika kepada dunia, tetapi kebebasan adalah
pemberian Tuhan kepada setiap orang dan masyarakat dunia. Tuhan sebagai pemegang
otoritas tertinggi adalah sumber dari kebebasan bagi setiap orang. Ini mengimplikasikan
bahwa tugas untuk memberikan kebebasan kepada negara yang masih otoriter adalah
merupakan penegakan hukum Tuhan yang dipikul oleh Amerika.
Pada malam inagurasi kedua setelah masa periode pertama yang masih diliputi
dengan kekacauan dan ketidakpastian, Bush dengan tegas menyatakan bahwa Amerika
Serikat telah memperjuangkan martabat dan nilai manusia, karena Amerika adalah
generasi yang memikul kuasa dari Maker of Heaven and Earth.xxxviii Dan status Amerika
sebagai pembawa citra Allah secara otomatis memberikan kuasa bagi Amerika untuk
memberikan hak bagi semua orang terutama hak untuk menentukan nasib sendiri dan
hak untuk bebas dari kekuasaan sewenang-wenang.
Lebih lanjut, dalam memetakan dan memaknai kebijakan luar negerinya, Bush
menyatakan bahwa Amerika Serikat memiliki panggilan dan misi dari sang kuasa yaitu
pencipta langit dan bumi dan segala isinya untuk mengenakan baju prajurit dan
melaksanakan tugas mulia dari Kristus.xxxix Panggilan dan misi (calling and mission) adalah
dua simbol penting dalam kristiani. Dalam Alkitab dinyatakan bahwa setiap orang
memiliki panggilan masing-masing dari Kristus untuk menjalankan misi yang ilahi.
Terdapat banyak sekali ayat dalam Alkitab yang menguraikan tentang panggilan Kristus.
Salah satu ayat yang menyatakan panggilan Kristus tersebut adalah 2 Timotius 1:9 yaitu:
Dialah yang menyelamatkan kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan
perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan kasih karunia-Nya sendiri,
yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan
zaman.xl
Setiap panggilan yang diberikan Kristus kepada jemaatnya pasti diiringi dengan
maksud yang sudah ditetapkan Tuhan. Panggilan setiap orang berbeda, ada yang
terpanggil untuk melayani, untuk menghibur, untuk membawa damai, dan lain
sebagainya. Sebagai perwakilan dari Amerika Serikat, Bush seolah menyampaikan bahwa
Amerika Serikat adalah negara yang terpanggil untuk maksud yang universal yaitu
menegakkan kebebasan dan mengalahkan kekuatan yang menghalanginya yaitu iblis.
Kutipan yang berhubungan dengan Amerika yang memiliki misi dan panggilan khusus
adalah sebagai berikut:
Pidato Sidang Bersama Kongres dan Negara, 20 September 2001.
Great harm has been done to us. We have suffered great loss. And in our grief and
anger we have found our mission and our moment. Freedom and fear are at war.
The advance of human freedom, the great achievement of our time, and the great
hope of every time now depends on us....The course of this conflict is not known, yet
its outcome is certain. Freedom and fear, justice and cruelty, have always been at
war, and we know that God is not neutral between them.
Pidato State of the Union, 28 Januari 2002
We can't stop short. If we stop now, leaving terror camps intact and terror states
unchecked, our sense of security would be false and temporary. History has called
America and our allies to action, and it is both our responsibility and our privilege to
fight freedom's fight.xli
Pidato State of the Union, 28 Januari 2003
Our fourth goal is to apply the compassion of America to the deepest problems of
America. For so many in our country, the homeless and the fatherless, the addicted,
the need is great. Yet there's power, wonder-working power, in the goodness and
idealism and faith of the American people. Americans are a free people, who know
that freedom is the right of every person and the future of every nation. The
liberty we prize is not America's gift to the world. It is God's gift to humanity.
Pidato diatas kapal USS Abraham Lincoln, 1 Mei 2003
All of you, all in this generation of our military, have taken up the highest calling of
history: You were defending your country and protecting the innocent from harm.
And wherever you go, you carry a message of hope, a message that is ancient and
ever new. In the words of the prophet Isaiah, "To the captives, come out; and to
those in darkness, be free.
Pidato State of the Union, 20 Januari 2004
I believe that God has planted in every human heart the desire to live in freedom.
And even when that desire is crushed by tyranny for decades, it will rise again. ...
America is a nation with a mission, and that mission comes from our most basic
beliefs. We have no desire to dominate, no ambitions of empire. Our aim is a
democratic peace, a peace founded upon the dignity and rights of every man and
woman. America acts in this cause with friends and allies at our side, yet we
understand our special calling: This great republic will lead the cause of freedom.
Jika kita perhatikan penyebutan misi dan panggilan dalam kutipan tersebut maka
dapat diinterpretasikan bahwa Bush sedang menciptakan jurang pemisah antara Bush
(masyarakat Amerika) dengan musuh (pelaku terror). Bush melalui kata panggilan
memberikan definisi bahwa peristiwa 11 September bukan hanya peristiwa kriminal,
namun peristiwa ini terjadi karena Tuhan memiliki panggilan untuk Amerika untuk
menakhlukkan kejahatan tersebut. Tuhan memilih Amerika karena Tuhan tahu Amerika
sanggup melakukannya.
Dalam kepercayaan kristiani panggilan Tuhan bukanlah panggilan yang bisa disiasiakan. Panggilan bukan rencana kita tetapi itu adalah rancangan Tuhan. Umat Kristen
percaya bahwa rancangan Tuhan adalah rancangan yang terbaik dan jauh lebih baik jika
kita mengosongkan diri kita untuk menepati panggilan yang Tuhan berikan.xlii Pemilihan
diksi panggilan dalam pidato Bush hendak mengarahkan bahwa Amerika tidak bisa
menyia-nyiakan panggilan ini dan pilihan terbaik adalah memenuhi panggilan tersebut.
Bush tidak berhenti hanya pada penyampaian bahwa Amerika memiliki panggilan
tetapi Bush juga mendeklarasikan poin yang menjadi panggilan Tuhan bagi Amerika.
Secara rinci dalam pidato-pidato Bush ada tiga poin yang menjadi panggilan Amerika
yaitu, pertama, melindungi orang-orang yang tidak bersalah dari pelaku kejahatan
(teroris), kedua, menegakkan kebebasan bagi semua umat karena kebebasan adalah
hadian Tuhan, ketiga, Amerika memiliki panggilan untuk melawan pemerintahan tirani
yang menghambat kebebasan manusia. Melalui pernyataan tersebut secara tersirat Bush
mendeklarasikan bahwa misi Amerika sebagai penegak kebebasan adalah sama dengan
misi Tuhan yang memberikan kebebasan bagi umatnya. Hal ini mengimplikasikan bahwa
Bush menggunakan simbol agama calling dan mission untuk mempengaruhi masyarakat
domestik Amerika secara khusus bahwa kebijakan apapun yang diambil Bush untuk
menaklukkan kejahatan tersebut maka hal itu adalah sesuai dengan panggilan Tuhan dan
memiliki tujuan yang ilahi.
Selain frase call and mission, frase yang paling sering muncul dan paling konfliktual
dalam pidato Bush adalah frase good and evil dan light and darkness. Frase good and evil
memiliki makna yang begitu dalam untuk membuat pemisahan antara dua hal yang
sangat berbeda dan bahkan tidak bisa disatukan. Berdasarkan ayat-ayat Alkitab, iblis
(baal atau mamon) adalah kekuatan yang selalu bertolak belakang dengan kekuasaan
Yesus. Iblis akan selalu ada sebab iblis tercipta bersamaan dengan terciptanya bumi,
namun poin yang menjadi sangat penting adalah bahwa siapa saja yang ingin mengikut
Yesus berarti harus mampu memusuhi dan mengalahkan keinginan iblis. Tuhan sendiri
telah mengalahkan kekuatan iblis melalui kebangkitan-Nya, sehingga setiap orang yang
dipanggil oleh Yesus juga memiliki kuasa yang sama dengan Tuhan untuk menaklukkan
kekuatan gelap dan kekuatan iblis tersebut. Hal ini juga dapat dijabarkan bahwa Amerika
sebagai pihak Tuhan juga memiliki kuasa yang sama untuk menaklukkan iblis dan
kejahatan. Amerika berhak untuk memerangi iblis dan telah dijamin kemenangannya.
Berdasarkan paparan tersebut maka bisa diinterpretasi bahwa dengan
menggunakan simbol good and evil, Bush terlihat menciptakan jarak pemisah yang sangat
luas antara Amerika yang baik dan teroris (serta pendukungnya) yang jahat. Ini juga
bermakna bahwa tidak ada yang bisa menyatukan antara kelompok yang baik dan yang
jahat, hasil akhir satu-satunya yang bisa ditempuh adalah harus mengalahkan satu pihak
dan kemenangan di pihak yang lain. Hal itu sesuai dengan khotbah Yohannes yaitu salah
satu rasul dalam perjanjian baru yang menyatakan dalam Yohannes 1;4-5 “Dalam Dia ada
hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya didalam kegelapan dan
kegelapan itu tidak menguasainya.”xliii Dalam ayat ini Yohannes menyampaikan bahwa
terang atau dalam bahasa yang lebih umum yaitu good sudah pasti menang dari
kejahatan atau evil. Ini berarti Amerika sebagai pihak baik sudah dipastikan untuk
memenangkan pertempuran tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bush pada
pertemuan keagamaan pada 30 Maret 2002, Bush menyatakan “we can be confident that
evil may be present and it may be strong, but it will not prevail.”xliv
Untuk melihat lebih dalam, maka perlu diperhatikan kutipan penyampaian simbol
good and evil oleh Bush. Berikut adalah kutipan pidato dan pernyataan resmi Bush yang
menggunakan frase good and evil, sebagai berikut:
Address to the Nation, September 11, 2001
America was targeted for attack because we're the brightest beacon for freedom
and opportunity in the world. And no one will keep that light from shining. ...
Tonight, I ask for your prayers for all those who grieve, for the children whose
worlds have been shattered, for all whose sense of safety and security has been
threatened. And I pray they will be comforted by a power greater than any of us,
spoken through the ages in Psalm 23 “Even though I walk through the valley of the
shadow of death, I fear no evil, for You are with me.”
Pidato singkat pada “National Day of Prayer and Remembrance, di Gereja Katedral
Nasional, 14 September 2001
Just three days removed from these events, Americans do not yet have the distance
of history. But our responsibility to history is already clear: to answer these attacks
and rid the world of evil.
Pidato Sidang Bersama Kongres dan Negara, 20 September 2001
On September the 11th, enemies of freedom committed an act of war against our
country.... Our nation this generation will lift a dark threat of violence from our
people and our future.
Pidato State of the Union Address, 29 Januari 2002
Those of us who have lived through these challenging times have been changed by
them. We've come to know truths that we will never question: evil is real, and it
must be opposed.
Pidato Kelulusan di West Point (Graduation speech), 01 Juni 2002
That it is somehow undiplomatic or impolite to speak the language of right and
wrong. I disagree. Different circumstances require different methods, but not
different moralities. Moral truth is the same in every culture, in every time, and in
every place. Targeting innocent civilians for murder is always and everywhere wrong.
Brutality against women is always and everywhere wrong. There can be no neutrality
between justice and cruelty, between the innocent and the guilty. We are in a
conflict between good and evil, and America will call evil by its name.
Pidat0 singkat “Remarks to the Nation,” di Pulau Ellis, 11 September 2002
Ours is the cause of human dignity; freedom guided by conscience and guarded by
peace. This ideal of America is the hope of all mankind. That hope still lights our way.
And the light shines in the darkness. And the darkness will not overcome it.
Pidato Kenegaraan “Adress to the Nation”, 11 September 2001
The search is underway for those who are behind these evil acts. …. We will make no
distinction between the terrorists who committed these acts and those who
harbour them.
Bush melalui frase good and evil menunjukkan bahwa iblis benar-benar ada dan
memiliki kuasa untuk memerangi kebaikan. Bush juga menyampaikan gagasan bahwa
Allah tidak menghentikan kejahatan (iblis) terjadi, atau menghambat individu untuk
dicobai oleh yang jahat. Oleh karena itu melalui simbol agama ini, Bush menyarankan
bahwa Amerika sebagai negara yang terpilih harus menakhlukkan kejahatan daripada
menyerahkan dirinya untuk kejahatan. Mengingat pernyataan yang disampaikan adalah
pada masa penyerangan 11 September dapat ditafsirkan bahwa Bush berusaha untuk
melibatkan kiasan bangsa yang terpilih (choosen nation) untuk menunjang keberanian
dari publik Amerika untuk memperkuat tekad pribadi untuk memerangi iblis.
Doktrin Bush melalui frase good and evil secara tersirat juga menyampaikan
bahwa setiap negara harus mengambil posisi untuk bergabung bersama Amerika (good)
atau bersama dengan teroris (evil), dan tidak ada pilihan abstain. Hal ini sesuai dengan
kepercayaan Kristen yang menyatakan bahwa tidak ada pilihan setengah-setengah dalam
mengikut Kristus. Hanya ada dua pilihan antara ikut Kristus atau tidak sama sekali. Hal ini
sesuai dengan ayat Alkitab dari Wahyu 3:15-16 yang menyatakan sebagai berikut:
Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau tidak dingin dan tidak panas. Alangkah
baiknya jika engkau dingin atau panas! Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan
tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku.xlv
Secara spesifik Campbell dan Jamieson dalam artikel ilmiah yang berjudul
President George W. Bush, Presidential Rhetoric and Constructions of Otherness, Post 9/11,
menyatakan bahwa penggunaan simbol agama dalam kebijakan Bush pada dasarnya
adalah untuk memudahkan Bush dalam berkomunikasi dengan masyarakatnya. Semakin
paham masyarakat terhadap maksud Bush, dan semakin terpengaruh masyarakat
terhadap ide Bush, maka semakin mudah Bush membuat keputusan untuk
menyelesaikan problema yang dihadapi bangsanya.xlvi
Campbell menyoroti perlunya presiden untuk mengadopsi bahasa yang sesuai
dengan perannya dalam berbagai kondisi masyarakat. Campbell menyatakan bahwa
dalam perannya sebagai imam, Bush bisa menyatakan perang terhadap kejahatan (evil),
dan dalam perannya sebagai panglima tertinggi, Bush bisa menyatakan perang terhadap
terror (war on terror). Campbell menegaskan bahwa Bush menggunakan bahasa agama
seperti pendeta, karena sifat traumatis pasca serangan 11 September membutuhkan
peran imam untuk membangkitkan dan menyatukan negara bersama-sama.
Situasi duka masyarakat Amerika Serikat begitu besar setelah serangan 11
September 2001, masyarakat Amerika berada dalam situasi kaget, takut, sedih, dan
membutuhkan pertanggung-jawaban pelaku. Amerika berduka atas kematian 3.000
orang anggota masyarakatnya. Dalam keadaan duka ini, Bush melihat bahwa masyarakat
butuh kebangkitan dan kepulihan. Situasi ini juga membuat Bush untuk mengambil
pilihan untuk menempatkan peran yang bisa mengayomi kebutuhan masyarakatnya
sekaligus membentuk kebijakan yang harus diambil dalam melawan kejahatan dan
musuh yang bertekad menghancurkan Amerika.
Sebelum peristiwa 11 September, reputasi Bush sebagai presiden tidak terlalu
mendapatkan tempat dihati masyarakat Amerika, sehingga pemerintahan Bush
tergolong kurang mendapat dukungan publik. Kemenangan Bush dari Al Gore adalah
kemenangan yang ditentukan oleh mahkamah agung Amerika, bukan rakyat Amerika.xlvii
Melihat keadaan yang demikian, Bush tidak menyia-nyiakan peristiwa serangan 11
September 2001 sebagai momentum untuk memulai komunikasinya dengan rakayat
Amerika. Situasi duka pasca 11 September adalah situasi yang paling tepat untuk
menggiring opini publik serta untuk menggerakkan nasionalisme masyarakat. Dengan
menggunakan retorika agama yang terutama sangat sesuai dengan keadaan yang
berlangsung, maka penggunaan simbol-simbol agama sangat efektif untuk menarik
intensi dan emosi masyarakat.
Menurut Ty Solomon, penggunaan simbol-simbol agama dalam kebijakan luar
negeri Bush terutama yang dituangkan dalam pidatonya bermakna untuk memberikan
kebangkitan (resurrection) pada masyarakat Amerika. Penelitian ini berpendapat bahwa
dalam konteks situasi retoris, Bush memenuhi tuntutan situasi dengan baik, yaitu untuk
meyakinkan dan menenangkan ketakutan dan meningkatkan kepercayaan diri bangsa.
Analisis Edwards dalam artikel ilmiahnya yang berjudul Presidential Rhetoric: What
Difference Does it Make?, memberikan kesimpulan yang berbeda dari pandangan
Campbell. Edwards menyatakan bahwa Bush menggunakan simbol-simbol agama
Kristen, yang sedikit banyak berhubungan paralel dengan simbol agama dari perang di
masa lalu, memiliki maksud tertentu. Dapat dikatakan bahwa alasan Bush menggunakan
simbol agama tersebut adalah untuk melakukan manipulasi dalam membaca serangan 11
September 2001 sebagai ancaman nasional dan internasional, sehingga pengambilan
keputusan untuk perang adalah tindakan yang sah untuk dilakukan. Dengan kata lain
simbol agama digunakan untuk menarik dukungan publik dalam memberikan legitimasi
kebijakan Bush yaitu War on Terror baik di Afghanistan maupun Irak.
Secara politis simbol-simbol agama yang digunakan Bush memang efektif. Dalam
kasus ini efektif didefenisikan adalah bahwa simbol-simbol agama Bush mampu membuat
agenda politiknya berhasil dan diterima oleh pihak-pihak yang dituju. Pendapat ini
beranjak dari argumen bahwa Bush sengaja menggunakan simbol-simbol agama Kristen
yang sudah sangat akrab dengan hampir 70% telinga masyarakat Amerika. Jika rakyat
mampu berhubungan dengan penggunaan simbol-simbol agama yang berulangkali
digunakan serta menggunakan simbol-simbol yang telah mendarah daging, yang
kemudian diikat ke dasar pemikiran untuk terlibat dalam konflik, ini membuat masyarakat
Amerika memberi dukungan terhadap perang yang dideklarasikan Bush. Penggunaan
berbagai jenis simbol yang dijelaskan sebelumnya tampaknya membuat lebih mudah bagi
presiden Bush untuk berkomunikasi dan membentuk opini rakyat Amerika.
Jika Bush mampu membingkai perang melalui budaya dan agama sehingga bisa
menyatukan perspektif yang sama bahwa Amerika telah menjadi sasaran teroris karena
kebebasan yang dijunjung, maka dalam hal ini Amerika memiliki hak untuk bertahan (self
defense) dan memerangi kejahatan/teroris (progressive and preemptive strike) tersebut.
Simbol-simbol agama Bush berjalan efektif secara politis ditandai dengan persentase
dukungan yang diterima oleh Bush dari masyarakat dalam perang di Afghanistan dan
Irak. Selain itu dalam pemilu yang kedua, Bush juga mendapat dukungan yang begitu
masif dari kaum Evangelis Amerika yang akhirya memberi kemenangan bagi Bush untuk
menjadi presiden dua periode. Pandangan ini didukung oleh hasil survei dari Baylor
religion yang dapat dilihat dalam grafik 1.
Grafik 1. Sikap Pro-perang Masyarakat Amerika (Afiliasi Politik dan Agama)
Source: Baylor Religion Survey
Dalam grafik 1 dapat kita lihat bahwa masyarakat yang cenderung pro terhadap
perang Afghanistan dan Irak adalah pihak-pihak dan masyarakat agamawi atau yang
banyak berkolaborasi dengan agama (gereja). Sementara politikus yang pro terhadap
perang adalah kaum republik konservatif yang sebagian besar adalah kaum Evangelis. Hal
ini mengimplikasikan munculnya perubahan dalam sikap masyarakat Amerika tentang
peran agama dalam politik yang mana simbol-simbol agama Bush telah mampu
mengonstruksi masyarakat Amerika bahwa mereka sedang memerangi iblis dan
kejahatan.
Selain itu, melalui penyebutan good and evil dan juga axis of evil, Bush
menempatkan Afghanistan dan Irak sebagai musuh Amerika. Hal ini secara tidak
langsung telah mengonstruksi pola pikir masyarakat Amerika dan juga masyarakat
internasional mengenai keberadaan musuh dan teroris di timur tengah. Melalui frase
good and evil yang dalam bahasa politiknya adalah war on terrorism, Amerika telah
mengkonstruksi masyarakat domestiknya dan masyarakat dunia bahwa dunia sedang
berada dalam posisi sangat terancam.
Amerika tidak ingin menjadi aktor tunggal yang secara terang-terangan melawan
negara-negara yang dianggap teroris, maka dari itu penggunaan simbol agama dan
seruan untuk memerangi teroris terus dilakukan untuk menghimpun dukungan negaranegara atas kebijakan tersebut dan secara tidak langsung Amerika ingin mengaburkan
anggapan-anggapan dibalik terjadinya peristiwa 11 September, yang beberapa
diantaranya yaitu mulai adanya pandangan bahwa tidak mungkin Al-Qaeda menyerang
secara langsung wilayah Amerika apabila tidak ada penyebabnya yang mungkin saja
berasal dari tindakan-tindakan dan kebijakan Amerika yang sebelumnya telah
diimplementasikan di Timur tengah.xlviii
Mao Zedong pernah menyampaikan sebuah frase “politics is war without
bloodshed, while war is politics with bloodshed.” Politik adalah perang tanpa darah,
sementara perang adalah politik yang berdarah-darah. Perang adalah isu yang dipolitisasi.
Suatu perang dapat terjadi tergantung dari bagaimana pihak yang merasa perlu perang
ini dapat melihat, merasakan, menggambarkan, membayangkan dan berbicara tentang
orang (negara) lain dari cara mereka mengkonstruksikan perbedaan antara dirinya
dengan orang (negara) lain. Sederhananya suatu perang bisa dilegalisasikan tergantung
bagaimana pihak mempolitisasi suatu isu agar dianggap penting dan pantas untuk
diperangi, sehingga penggunaan simbol agama boleh dikatakan sebagai alat Bush untuk
mempolitisasi isu terorisme menjadi perang yang legal bagi Amerika.
Selain itu, simbol agama yang digunakan Bush juga dapat diaplikasikan dalam two
level games. Selain untuk mengkonstruksi masyarakat domestik, simbol agama ini juga
ditujukan ke negara-negara Afghanistan dan Irak dan secara umum terhadap Timur
Tengah. Pasca serangan 11 September, Bush menyatakan misinya ke Afghanistan adalah
crusade yang tentu sudah memiliki makna yang mengundang ingatan kembali terhadap
kebrutalan perang antara Kristen dan Islam selam beratus-ratus tahun. Penyebutan iblis
atau evil terhadap kaum teroris yaitu Afghanistan dan Irak dimaksudkan untuk
membangkitkan kemarahan dari pihak musuh. Jika ditelaah secara singkat definisi iblis
sejatinya adalah makhluk yang selalu jahat dan sangat dibenci oleh Allah. Hal ini
digunakan untuk mengundang amarah dari negara dan kelompok yang dituduh teroris,
sehingga dengan demikian mereka akan berjuang untuk melakukan penolakan dan
perlawanan terhadap kebijakan Amerika. Dengan adanya sikap penolakan dan
perlawanan dari para pejuang Islam di Afghanistan dan Irak membuat perang Amerika
semakin terlihat legal dan sah karena menunjukkan bahwa Amerika tidak menjalani
perang satu pihak saja, tetapi menghadapi perang yang bergolak di dua sisi.
3. Anomali Implementasi Kebijakan George W. Bush terhadap nilai-nilai Kristen
Setiap orang Kristen tentu berharap untuk menemukan panggilan yang setia
kepada Kristus. Tetapi pernyataan presiden yang percaya bahwa Amerika adalah sebuah
negara yang memenuhi misi yang diberikan Allah dan bahwa Bush melayani bangsa
Amerika karena memikul janji ilahi bisa menjadi sebuah teologi yang meresahkan dan
menimbulkan ambiguitas. Kutipan Alkitab dan kutipan lagu rohani yang digunakan Bush
memang otentik, tetapi kesalahan dalam menempatkan kutipan tersebut membuat
maknanya berbeda dari konteks aslinya. Selain itu penyisipan simbol-simbol agama dalam
kebijakan Bush dengan tujuan mendapatkan legitimasi atas tindakan pemerintahan Bush
adalah perilaku menyesatkan.
Pada pidato kenegaraan tahun 2003, presiden menyampaikan sebuah frase yang
mudah dikenali karena merupakan frase yang terkenal dari sebuah lagu rohani Kristen.
Bush mengatakan “The need is great. Yet there's power, wonder-working power, in the
goodness and idealism and faith of the American people.” Frase yang menjadi penting
adalah wonder working power. Frase ini bermakna kuasa supranatural yang selalu bekerja
untuk menciptakan kebaikan. Tetapi lagu itu sebenarnya memiliki makna yang berbeda.
Lirik lagu yang sebenarnya adalah power, power, wonder-working power in the blood of
the Lamb. Lagu ini menuangkan tentang kuasa Kristus dalam karya penyelamatan
manusia, bukan karya penyelamatan dan kekuatan rakyat Amerika, atau orang, atau
negara manapun.xlix
John Walis (editor of liberal evangelical magazine Sojourners) menyatakan bahwa
penggunaan simbol agama dalam kebijakan luar negeri Amerika adalah sebuah periode
yang bisa digambarkan dengan istilah “speak softly but carry a big stick.”l Walis
mengatakan bahwa penggunaan simbol agama dalam kebijakan Bush adalah teologi
yang keliru. Kebijakan Bush telah menciptakan kebingungan antara tujuan Tuhan yang
sejati dengan kepentingan terbaik Amerika. Secara spesifik Walis ingin menyatakan
bahwa penggunaan simbol-simbol agama dalam kebijakan luar negeri telah menyalahi
makna yang ilahi, dan bahkan simbol-simbol agama yang digunakan Bush sebenarnya
dibuat untuk memenuhi kepentingan dan tujuan yang lain, berikut kutipan pernyataan
Walis:
The speeches contain biblical language and hymnology, but often misused or often
put in a different context, and the meaning has been changed. The meaning of the
hymns and the meaning of that biblical text has been changed to serve another
purpose. That's my concern, when all of a sudden it's supporting American foreign
policy, when it wasn't about American foreign policy. It's about the light of Christ in
the world. It was about the word of God in history. It wasn't about the American
people and their values. So he's changing the meaning of the words, and that to me
is disconcerting.li
Teolog Martin Marty menyuarakan perhatiannya terhadap simbol-simbol agama
Bush dengan menyatakan bahwa masalah dari penggunaan simbol agama ini bukan
terletak pada kesungguhan iman Bush, tetapi masalahnya adalah bukti pendirian bahwa
Bush sedang memikul panggilan Tuhan tidak dapat dipertanggungajawabkan. Bagi Marty
keadaan ini justru menciptakan kebingungan untuk membedakan iman sejati dengan
ideologi nasional. Menurut Marty jika kita mengkaji terkait simbol yang digunakan Bush
yaitu penggunaan frase Amerika yang disebut sebagai free nation, beacon, dan light,
maka simbol ini mengimplikasikan nilai-nilai sekulerisme Amerika yang liberalis dan
menjunjung kebebasan, dan bukan nilai-nilai kristiani.
Secara teologi penggunaan simbol-simbol agama oleh Bush telah mengakibatkan
distorsi yang begitu dalam terhadap kekristenan. Bush telah mempolitisasi nilai-nilai
agama Kristen menjadi sebuah alat untuk menunjang legitimasi kebijakan yang bertolak
belakang dengan simbol-simbol agama tersebut. Jadi sangat tepat jika penggunaan
simbol-simbol agama dalam kebijakan luar negeri Amerika digambarkan dengan
metafora speak softly but carry a big stick. Tongkat besar dibalik simbol-simbol agama
menjadi penting untuk ditelaah untuk memahami lebih dalam terkait anomali simbolsimbol agama yang diusung Bush dengan implementasinya dilapangan. Terdapat banyak
indikasi dan penyelewengan yang terjadi antara simbol agama yang digunakan Bush
dengan realitas yang terjadi dalam invasi Afghanistan dan Irak. Beberapa indikasi
penyimpangan tersebut adalah:
a. Setelah peristiwa 11 September, Presiden Bush segera mengklasifikasi tindakan
penyerangan tersebut sebagai aksi terorisme, yang mana berada dalam definisi
hukum domestik Amerika Serikat pada waktu itu. Segera setelah konsultasi
dengan Menteri Luar Negeri Powell, Bush mengambil keputusan untuk
mendeklarasikan war on terror. Namun tindakan perang ini bukanlah seperti
defenisi perang tradisional. Tindakan perang adalah serangan militer oleh salah
satu negara terhadap negara lain. Dan sejauh ini tidak ada bukti yang dihasilkan
bahwa negara Afghanistan menyerang Amerika Serikat atau ikut menyetujui dan
mendukung serangan 11 September tersebut. Ini bukan perang yang ideal.
Sebelumnya telah ada perjanjian yaitu Konvensi Sabotase Montreal yang
mengatur akses Amerika dan Afghanistan ke mahkamah internasional untuk
menyelesaikan kasus antara dua negara termasuk ekstradisi Bin Laden dari
Amerika. Namun Amerika mengabaikan perjanjanjian ini dan juga 12 perjanjian
internasional lainnya yang mengatur tentang penanganan terorisme yang
mengatur tentang perlunya opsi diplomasi sebelum mengambil tindakan untuk
berperang. Pada tahun 2009, Direktur FBI Mueller dan wakil direktur CIA secara
terbuka menyatakan bahwa 15 dari 19 orang pelaku penyerangan 11 September
berasal dari Arab Saudi, namun Afghanistan sudah terlanjur menjadi korban
keganasan invasi Amerika ke Afghanistan sebagai akibat dari peristiwa 11
September.
b. Baik invasi terhadap Afghanistan maupun Irak tidak pernah disahkan dan tidak
pernah mendapat mandat dari Dewan Keamanan PBB, sehingga secara teknis
perang terhadap Afghanistan dan Irak adalah ilegal di bawah hukum internasional.
Ini merupakan tindakan dan perang agresi oleh Amerika Serikat terhadap
Afghanistan dan Irak. Bush memang menyampaikan rencana perang Afghanistan
dan Irak ke PBB, namun kedua resolusi tersebut tidak mendapat persetujuan PBB.
Dalam dua resolusi yang disampaikan Bush ditemukan bahwa Bush menggunakan
resolusi yang sama dengan resolusi yang digunakan Bush senior untuk
melaksanakan perang musim gugur tahun 1990 untuk melegitimasi perang
terhadap Irak.
c. Perang Irak dan perang Afghanistan tidak mendapatkan persetujuan dari kongres.
Sebelum perang, Bush menghadap Kongres untuk mendapatkan otorisasi untuk
pergi berperang. Belajar dari pengalaman Franklin D. Roosevelt yang dituduh
sebagai diktator undang-undang, Bush berupaya mendapat persetujuan kongres.
Namun Bush gagal mendapatkan persetujuan dan deklarasi perang. Kongres tidak
pernah menyatakan perang terhadap Afghanistan atau terhadap siapa pun.
Sehingga secara konstitusional tidak ada deklarasi perang yang sah terhadap
Afghanistan dan Irak dan seharusnya ini merupakan pelanggaran terhadap hukum
perang internasional.
d. Perang di Afghanistan berlangsung sangat brutal dan terlihat keluar dari tujuan
utama yaitu menyerang pelaku terorisme. Pesawat membom sebuah rumah sakit
dikota Herat, lebih dari 100 orang meninggal. Sebuah masjid sebuah desa dekat
Herat juga terkena serangan bom cluster dan bahan peledak armor. Lebih dari 25
bom menghancurkan desa Kama Ado, membunuh antara 100 dan 200 warga sipil,
dan pemboman di desa di Khan-e-Mairaj Uddin menewaskan sedikitnya 50 warga,
dan masih banyak lagi korban-korban sipil lainnya.lii
e. Meski dibungkus dengan simbol-simbol agama namun tongkat dibalik semua itu
adalah invasi yang didorong oleh keuntungan. Perang Afghanistan sebagian besar
adalah perang penakhlukan dan penjarahan ekonomi dan sumber daya alam. Di
bawah pendudukan Amerika dan sekutu, kekayaan mineral ini dijadwalkan akan
dikelola setelah Afganistan telah ditenangkan oleh segelintir konglomerat
pertambangan multinasional. Menurut Olga Borisova, invasi atau perang melawan
terorisme yang dipimpin Amerika telah diubah menjadi kebijakan kolonial untuk
agenda menambah kekayaan. Agenda akhir Amerika dan sekutu adalah
menguasai cadangan gas alam Afghanistan, serta mencegah perkembangan
persaingan dengan Rusia, Iran dan Tiongkok terkait kepentingan energi di
Afghanistan.liii Untuk Irak sendiri, misi yang benar adalah menggulingkan Saddam
Hussein yang anti Amerika dan kemudian mendirikan pemerintahan yang pro
Amerika, sehingga cadangan minyak yang terbesar kedua di Timur tengah
tersebut dapat menyuplai kebutuhan minyak Amerika.
Bukti-bukti tersebut adalah beberapa indikasi yang menunjukkan anomali yang
begitu besar dari misi utama Bush yang hendak mengalahkan dan menghanguskan
kelompok teroris. Misi ini telah menyebar menjadi misi menyebarkan demokrasi dan misi
pencarian
sumber
daya
alam.
Selain
itu
korban-korban
yang
berjatuhan
mengimplikasikan kebrutalan perang yang sangat berbeda dengan konsep kekristenan
yang disampaikan oleh Bush dalam pidato dan pernyataan resminya di media.
Nilai-nilai metodisme ala Wesley yang dijunjung Bush sangat berbeda dengan
kebijakan perang Bush di Afghanistan dan Irak. Wesley melakukan penolakan terhadap
absolutisme gereja Inggris melalui penginjilan bukan melalui perang. Kristen yang terlahir
kembali adalah Kristen yang menghidupi perjanjian baru bukan perjanjian lama. Kasih
menjadi dasar satu-satunya kehidupan umat kristiani. Meski pada akhirnya Bush
mengambil kebijakan untuk rekonsiliasi di Afghanistan dan Irak, namun deviasi
penyimpangan misi perang yang telah merambah ke bidang politik, ekonomi, dan
geopolitik telah merubah makna lahir baru Kristen menjadi kerakusan. Keadaan Irak dan
Afghanistan setelah Bush mengalahkan evil yang ada didalamnya tidak menunjukkan ada
implikasi mengubah keadaan menjadi lebih baik. Konflik dan misi ini justru berubah
menjadi cerita beruntun yang selalu menyisahkan kejadian dan kejahatan baru di tanah
Afghanistan dan Irak.
4. Respon dan Dampak Penggunaan Simbol Agama dalam Kebijakan Luar Negeri George
W. Bush
Simbol-simbol agama yang digunakan Bush selama pemerintahannya telah lama
menjadi sorotan kaum agamawi dan juga kaum akademis. Penggunaan simbol agama
yang semakin intens pasca 11 September membuat isu tentang peradaban menjadi isu
yang penting dibahas, terutama ketika dikaitkan dengan prediksi karya ilmiah Samuel P.
Huntington terkait dengan potensi konflik di masa depan yang diliputi oleh konflik
peradaban. Peradaban Barat dan Islam yang selalu dipertarungkan dalam bukunya juga
membuat peristiwa ini semakin terlihat lebih nyata. Hal ini terkait dengan deklarasi
pelaku penyerangan 11 September yang dalam beberapa bukti menunjukkan bahwa
sekelompok pelaku ini adalah orang-orang yang menjalankan perintah Allah yang
dipercaya oleh orang Islam.liv Misi ini disinyalir dilakukan oleh pelaku (radikal Islam)
terhadap Amerika yang dianggap kafir dan kapitalis.
Pelaku penyerangan 11 September yang disinyalir merupakan kelompok Al-Qaeda
secara tidak langsung telah merepresentasikan negara Arab dan agama Islam yang
radikal. Sementara Amerika sebagai pihak korban adalah sebuah peradaban Barat
dengan agama terbesarnya yaitu Kristen. Perbedaan peradaban yang begitu jelas ini
membuat peradaban sangat relevan untuk isu tersebut. Penggunaan simbol agama
dalam kebijakan Luar Negeri Bush telah membawa dampak yang direspon oleh kalangan
domestik Amerika Serikat maupun kalangan yang menjadi sasaran kebijakan Bush yaitu
Afghanistan dan Irak atau secara umum kawasan Timur Tengah.
Dalam domestik Amerika, penggunaan simbol agama sepertinya membawa angin
segar bagi sebagian besar penganut Kristen Evangelis (Militant Internasionalism).
Keagamaan Bush dan penggunaan simbol agama Bush juga disinyalir merupakan
keterlibatan pengaruh Kristen Evangelis. Simbol agama dalam kebijakan luar negeri Bush
tidak dapat dibantah memiliki pengaruh emosional yang kuat dengan masyarakatnya.
Simbol agama tersebut mampu menjawab pertanyaan Amerika terkait alasan
penyerangan teroris ke wilayah Amerika dan mampu membentuk respon terbaik Amerika
dalam melawan tindakan penyerangan 11 September tersebut.
Hasil
jajak
pendapat
yang
dilakukan
beliefnet.com
pada
tahun
2004
menggambarkan variasi dalam reaksi populer untuk simbol-simbol agama Presiden Bush
dalam domestik Amerika. Lebih dari setengah masyarakat Amerika (62%) yang disurvei
mengatakan bahwa mereka menyukai penggunaan simbol –simbol agama dalam
kebijakan luar negeri Bush. Mereka juga menyatakan bahwa penggunaan simbol agama
Bush mengimplikasikan kepemimpinan yang baik. Di sisi lain, hampir tiga dari sepuluh
responden mengkritik kebiasaan presiden untuk berbicara tentang agama dalam
intensitas yang tinggi. Mereka menyatakan bahwa simbol agam tersebut tidak relevan
dan hanya digunakan sebagai alat politik.lv
Badan yang lain yaitu Pew Global Research Center juga menemukan data yang
sama dengan beliefnet yaitu survei yang dilakukan dari tahun 2004-2008. Survei Pew
Global Research Center mengambarkan bahwa sejak peristiwa 11 September sampai tahun
2004 sebelum pemilu, Bush memiliki citra yang sangat positif dalam masyarakat Amerika.
Citra positif yang dimaksud yaitu meliputi poin religius, berjiwa kepemimpinan, memiliki
integritas yang tinggi, dan juga dapat diandalkan. Meskipun demikian, 20% dari
masyarakat
yang disurvei menyatakan bahwa Bush adalah seorang pembohong.lvi
Berikut (tabel 1) adalah tabel hasil survei yang terkait dengan citra Bush dalam domestik
Amerika:
Tabel 1. Hasil Survei Terkait Citra Bush dalam Domestik Amerika
Sumber: www.pewglobal.org
Berdasarkan data pada tabel 1 dapat dibaca bahwa sebagian besar masyarakat
Amerika merasa nyaman dengan penggunaan simbol-simbol agama dalam kebijakan luar
negeri Bush, padahal pada awal kepemimpinannya Bush sangat tidak populer dan tidak
mendapat dukungan publik Amerika. Meskipun mayoritas masyarakat Amerika
mendukung penggunaan simbol-simbol agama dalam kebijakan Bush, namun tidak bagi
mereka yang beragama Islam ataupun kelompok minoritas di Amerika.
Bush mulai menyebut Islam setelah penyerangan 11 September 2001. Bush tidak
pernah langsung menyebut agama Islam atau muslim sebelum 11 September 2001, namun
enam bulan setelah peristiwa penyerangan tersebut, Bush telah menyebut agama Islam
92 kali dan menyebut Islam 28 kali dalam pidatonya sepanjang bulan September setelah
11 September terjadi. Meskipun dalam pidatonya Bush sering menggambarkan Islam
dalam tensi positif, namun penyebutan Islam secara berulang-ulang membuat tensi
agama ini menjadi sedikit bergeser dari nilai positifnya. Pada pidatonya pada 20
September 2001, Bush menyatakan:
The terrorists practice a fringe form of Islamic extremism that has been rejected by
Muslim scholars and the vast majority of Muslim clerics, a fringe movement that
perverts the peaceful teachings of Islam. The terrorists’ directive commands them to
kill Christians and Jews, to kill all Americans, and make no distinction among military
and civilians, including women and children.lvii
Bush membuat pemisahan antara Islam yang damai dan Islam yang ekstremis,
namun penyebutan Islam secara berulang-ulang dalam tensi yang sedang genting pasca
11 September 2001 justru membuat pemisahan peradaban antara Amerika dan Islam
semakin buruk. Benturan peradaban ini semakin terasa ketika awalnya Presiden Bush
menggunakan istilah crusade atau perang salib untuk menggambarkan misi Amerika
untuk melawan kekuatan iblis atau evil yang melakukan kejahatan di tanah Amerika, dan
pelakunya adalah orang Arab dan orang Muslim.
Istilah perang salib memiliki makna historis yang membawa kembali peristiwa
pembunuhan massal pejuang Islam dan orang-orang Kristen. Perang salib telah
mengembalikan ingatan pada tindakan kekejaman operasi militer terhadap dunia Islam
oleh para ksatria Kristen yang berupaya menguasai Yerusalem dalam kurun waktu
beratus-ratus tahun. Namun untuk menghindari kesalah-pahaman, presiden Bush
menyatakan menyesal dengan penggunaan istilah tersebut dan menyatakan bahwa
terdapat perbedaan penting antara Muslim yang menjunjung kebaikan dan muslim yang
melakukan tindakan iblis.
Dalam kesempatan lain, Presiden Bush juga awalnya memproklamirkan operasi
militer infinite justice operation untuk menggambarkan kampanye militer Amerika di
Afghanistan. Secara historis frase tersebut menggambarkan ayat alkitab yang
menunjukkan pertempuran akhir dunia antara kekuatan baik dan kekuatan jahat. Dalam
istilah lain disebut Armageddon yaitu misi orang-orang Kristen dalam menakhlukkan
kejahatan. Hal ini kemudian direvisi Bush secepat mungkin menjadi Operation Enduring
Freedom Meski segera direvisi, namun dua insiden ini telah meninggalkan kekhawatiran
dunia Arab dan Muslim terkait masa depan umatnya.
Selain kedua peristiwa tersebut, penggunaan simb0l-simbol agama Kristen dalam
pidato dan pernyataan resmi Bush ketika mendeskripsikan misinya di Timur Tengah
semakin mempertajam kekuatan konflik peradaban antara Barat dan Islam. Mayoritas
orang Arab dan Muslim percaya bahwa tragedi 11 September telah menciptakan dua
dampak yang begitu besar bagi kawasan dan agama tersebut. Pertama, fakta bahwa
pembajak telah melakukan distorsi ayat-ayat Al-Quran untuk membenarkan perjuangan
politik mereka telah membuat citra Islam sebagai agama yang damai dipertanyakan. Para
pembajak yang mewakili Islam seolah menunjukkan kepada dunia bahwa Islam adalah
agama yang diliputi kekerasan dan misi yang irasional. Kedua, tindakan para penyerang
dengan menciptakan korban yang begitu besar telah memberi perngatan pertama terkait
keselamatan dan keamanan banyak komunitas muslim dalam menghadapi kemungkinan
permusuhan dan pembalasan pihak Amerika dan pihak pihak yang merasa terpancing
untuk mendukung Amerika seperti Kristen Eropa.
Ormas Islam dan organisasi politik Mesir memberikan tanggapan terhadap
penggunaan simbol-simbol agama dalam operasi kebijakan luar negeri Bush. Simbolsimbol agama yang digunakan Bush ternyata membangunkan pemikiran-pemikiran yang
semakin konfliktual bagi orang Islam di Timur Tengah. Sejumlah ormas dan organisasi
politik Mesir mengangggap tindakan yang dilakukan AS terhadap Afghanistan pasca
serangan 11 September hanya merupakan alasan dasar yang pada gilirannya akan
merambah terhadap semua wilayah Islam di Timur Tengah setelah Afghanistan.
Permusuhan dan peperangan yang dikobarkan Amerika tidak lain merupakan kelanjutan
dari Perang Salib terhadap Islam dan meramba ke berbagai wilayah Islam yang
melakukan penolakan terhadap misi Amerika. Sikap dan pandangan ini terutama
diperlihatkan oleh organisasi-organisasi seperti Jamaah Ikhwanul Muslimin, Hizbul Amal
dzi Tawajjuh Islami dan Hizbu Syariah.lviii
Majdi Ahmad Hussain, Sekjen Hizbul Amal Mesir kemudian menegaskan bahwa
peperangan yang tengah dikobarkan Amerika tidak lain adalah kelanjutan Perang Salib
terhadap Islam. Amerika sengaja memadukan antara terorisme dan Islam untuk
menggempur Islam. Hussain menyatakan bahwa Amerika dan Timur Tengah sekarang
berada di ambang Perang Salib, yang merupakan perpanjangan perang terhadap Irak,
Sudan dan Afghanistan, serta embargo terhadap Iran, Libia dan Somalia.lix Pandangan
bahwa fenomena Perang Afghanistan merupakan suatu perang berlatar identitas, kultur,
dan agama menyebabkan tersebarnya rasa paranoid antara kedua belah pihak (Islam dan
Amerika) dan jika hal seperti ini terus berlanjut dan terjustifikasi, maka hal itu beresiko
memunculkan suatu konflik dalam skala yang lebih luas.
Adian Husaini, seorang peneliti Indonesia, dalam bukunya menyatakan bahwa
benturan peradaban adalah sesuatu yang diciptakan dan dipromosikan oleh Huntington
(sebagai bagian dari kaum neokonservatif) agar Barat dengan segera melakukan
tindakan pre-emptive strike terhadap Islam. Husaini juga melihat bahwa penamaan teroris
adalah bagian dari kampanye ini, yang merupakan kampanye lanjutan terhadap musuh
besar Amerika.lx Sependapat dengan pandangan tersebut, penulis kontroversial Salman
Rushdie bahkan juga meyakinkan bahwa perang Afghanistan dan Irak memang tentang
Islam, khususnya merujuk pada hal yang disebutnya kaum Islamis, yakni kaum muslim
yang memiliki agenda politik untuk menjadi kelompok dominan yang berkuasa.lxi
Lebih lanjut, Muhammad Abbas dalam bukunya yang berjudul “Bukan, Tapi
Perang terhadap Islam,” kembali menambah deretan argumen yang memandang bahwa
serangan Amerika Serikat ke Afghanistan adalah salah satu langkah kecil dari permainan
besarnya untuk mendominasi dunia dan menghancurkan Islam. Abbas juga menyatakan
bahwa tindakan-tindakan imperialis Amerika Serikat tidaklah dilatari oleh kepentingan
ekonomi namun murni karena kebencian terhadap suatu entitas penyaing peradaban
Barat selama berabad-abad yaitu yang bernama Islam.lxii
Penggunaan simbol agama telah membawa dampak traumatis bagi masyarakat
muslim di Amerika maupun Timur Tengah. Muslim Timur Tengah merasa waspada terkait
pembalasan yang dicetuskan di Timur Tengah, sementara Muslim Amerika takut akan
penilaian negatif terhadap komunitasnya. Dampak paling besar yang dirasakan muslim
Amerika dan Timur Tengah sebagai implikasi dari konstruksi benturan peradaban yang
diusung Bush telah menciptakan klimaks dari islamophobia. Sebenarnya islamophobia
telah dikenal sejak tahun 1980-an, namun Islamophobia menjadi suatu istilah yang popular
setelah peristiwa 11 September 2001. Islamophobia yang berupa ketakutan, kebencian
terhadap Islam, muslim dan budaya Islam berdasarkan streotip dan prasangka,
mendorong sebagian masyarakat untuk mengkategorikan Islam sebagai ajaran yang
penuh dengan kekerasan, tidak demokratis, tidak mengenal toleransi, dan lain
sebagainya.
Mayoritas Muslim Amerika (53%) menyatakan bahwa kehidupan sebagai Muslim di
Amerika menjadi lebih sulit sejak terjadinya serangan teoris pada 11 September 2001.lxiii
Hal ini terjadi akibat kekeliruan persepsi mengenai Islam pada kalangan masyarakat
maupun pemerintah. Berdasarkan laporan dari Council on American-Islamic Relations
(CAIR) lima hari setelah peristiwa 11 September jumlah kejadian anti-muslim mencapai 210
kejadian. Tanggal 20 september 2001, CAIR mendokumentasikan 500 kejadian.
Kekerasan terhadap Muslim semakin meningkat jumlahnya pasca 11 September
2001. Kasus-kasus ini meliputi pemecatan seorang pekerja wanita muslim di sebuah
perusahaan di St. Louis karena tidak melepas jilbab yang dikenakan, kekerasan terhadap
seorang pemilik toko asal Pakistan yang ditembak mati oleh orang yang tidak dikenal,
pembunuhan terhadap seorang sikh karena memiliki wajah serupa orang Timur Tengah,
dan penembakan beberapa peluru ke jendela Masjid di Irving, dan lain sebagainya. Di
Chicago ditemukan sebuah pawai sekitar 300 pemuda Amerika yang mendeklarasikan
sebagai kelompok anti-Arab dengan melambaikan bendera Amerika dan berusaha untuk
masuk ke sebuah Masjid di Bridgeview. Colin Zaremba, salah satu demonstran
menyatakan “saya bangga menjadi orang Amerika dan aku benci orang-orang Arab dan
akan selalu begitu.”lxiv
Tidak dapat dipungkiri bahwa isu peradaban menjadi isu yang sangat berpotensi
sebagai pemicu konflik di tengah-tengah masyarakat. Bush telah menunjukkan bahwa
simbol-simbol agama bisa menjadi pisau bermata dua, disatu sisi bisa memberikan rasa
aman untuk masyarakatya dan juga menciptakan kerusuhan disisi lain.
i
Raymond W. Murray, Sociology for a Democratic Society, Apleton-Century-Crofits, Inc., New York, 1950. hal.
239.
ii
Savory, loc.cit.
iii
Hugh Goddard, A History of Christian-Muslim Relations, Edinburgh: Edinburgh University Press, 2000, hal.
5.
iv
R.M. Savory,”Christendom vs. Islam: Interaction and Co-existence,”
http://www.renaisance.com.pk/main.html, diakses 23 Maret 2016, 14.30 WIB, Surakarta.
v
Fawaz A. Gergez, America and Political Islam: Clash of Civilization or Clash of Interest?, Edisi Indonesia :
Amerika dan Politik Islam : Benturan Peradaban atau Benturan Kepentingan?, Jakarta, AlvaBet, Cet.1,
September 2012, hal. 5-6.
vi
Huffpost Politics,“September 11 Timeline: A Chronology Of The Key Events That Shaped 9/11,”
http://www.huffingtonpost.com/2013/09/11/september-11-timeline_n_3901837.html, diakses pada 07 Maret
2016, 21.30 WIB, Surakarta.
vii
Ibid.
viii
Michel Chossudovsky,”THE 9/11 READER. The September 11, 2001 Terror Attacks,”
http://www.globalresearch.ca/the-911-reader-the-september-11-2001-terror-attacks/5303012, diakses pada 24
Maret 2016, 20.00 WIB, Surakarta.
ix
Ibid.
x
Ibid.
xi
Enver Masud, 9/11 Unveiled: Second edition, The wisdom Fund, Arlington, 2008, hal. 6.
xii
Dave Thomas,” The 9/11 Truth Movement: The Top Conspiracy Theory, a Decade Later,” Center for
Inquiry, Volume 35.4,
http://www.csicop.org/si/show/the_9_11_truth_movement_the_top_conspiracy_theory_a_decade_later,
diakses pada 12 Maret 2016, 16.00 WIB, Surakarta.
xiii
Muhammad, Radityo, “Video ini buktikan gedung WTC hancur bukan karena pesawat,”
http://www.merdeka.com/dunia/video-ini-buktikan-gedung-wtc-hancur-bukan-karena-pesawat-14-tahunserangan-11-september.html, diakses pada 02 Februari 2016, 10.30 WIB, Surakarta.
xiv
Washingtonsblog Staff, “The 9/11 Commission Didn’t Believe the Government … So Why Should We?,”
http://www.washingtonsblog.com/2015/03/911-commissioners-didnt-believe-government.html, diakses pada
14 Maret 2016, 11.00WIB, Surakarta.
xv
Ibid.
xvi
James Atlas,”What is Fukuyama saying? And to whom is he saying it?,” The New York Times,
http://www.nytimes.com/1989/10/22/magazine/what-is-fukuyama-saying-and-to-whom-is-he-sayingit.html?pagewanted=all, diakses pada 03 Maret 2016, 17.00 WIB, Surakarta.
xvii
Eric D, Newson, “US Foreign Policy: the making of US foreign policy,” An electronic Journal of the US
Department of State, Vol 5, no. 1, US Department of State Press, Washington, 2000.
xviii
Ibid.
xix
Fawaz A. Gergez, America and Political Islam : Clash of Civilization or Clash of Interest?
Edisi Indonesia, Amerika danPolitik Islam : Benturan Peradaban atau Benturan Kepentingan?, Jakarta,
AlvaBet, Cet.1, September 2012, Hal. 14-15.
xx
Ellin Y. Kristanti,” 7-10-2001: Amerika Serikat Kobarkan Perang di Afghanistan,”
http://news.liputan6.com/read/2115168/7-10-2001-amerika-serikat-kobarkan-perang-di-afghanistan, diakses
pada 04 Maret 2016, 20.00 WIB, Surakarta.
xxi
Ibid.
xxii
Patrick Martin,“US planned war in Afghanistan long before September 11,”
https://www.wsws.org/en/articles/2001/11/afgh-n20.html, diakses pada 10 Maret 2016, 12.30 WIB, Surakarta.
xxiii
Ibid.
xxiv
Ibid.
xxv
Special Report, Would an Invasion of Iraq Be a “Just War”? United States Institute of Peace, Washinton,
2003, hal. 2.
xxvi
White House Archive,”State of the Union George W Bush,” http://georgewbushwhitehouse.archives.gov/stateoftheunion/2002/, diakses pada 12 Maret 2016, 08.30 WIB, Surakarta.
xxvii
Special Report, loc cit.
xxviii
Ibid.
xxix
Ibid.
xxx
Richard P. Heitzenrater, Wesley and the People Called Methodist, Nashville, Tenn., 1995.
xxxi
Mary Fairchild, “Methodist Church Beliefs and Practices: Understanding the Precepts and Distinctions of
Methodism,” http://christianity.about.com/od/devotionals/a/Methodist.htm, diakses pada 05 Maret 2016,
19.00 WIB, Surakarta.
xxxii
John Piper, Finally Alive: What Happens when We are Born Again, Christian Focus Publications, Inggris,
2009.
xxxiii
Ibid.
Hugh Urban, Religion and Secrecy in the Bush Administration: the Gentleman, the Prince, and the
Simulacrum, Ohio, Ohio State university press, 2004.
xxxv
Ibid.
xxxvi
Kevin R. den Dulk, dan Mark J.Rozell, George W. Bush, Religion, and Foreign Policy: Personal, Global, and
Domestic Contexts, The review of Faith and International affairs, Routledge, 2004.
xxxvii
Ibid.
xxxviii
Ibid.
xxxix
Ibid.
xl
Alkitab King James Version, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2012.
xli
White House Archive,”State of the Union George W Bush,” http://georgewbushwhitehouse.archives.gov/stateoftheunion/2002/, diakses pada 12 Maret 2016, 08.30 WIB, Surakarta.
xlii
John Piper,”Finally Alive: What Happens when We are Born Again,” Christian Focus Publications; Inggris,
2009.
xliii
Alkitab King James Version, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, Cetakan 2012.
xliv
Paula R.V. Dalziel, President George W. Bush, Presidential Rhetoric and Constructions of Otherness, Post
9/11, Edge Hill University, Lancashire, 2004.
xlv
Alkitab King James Version, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, Cetakan 2012.
xlvi
Paula R.V Dalziel, loc.cit.
xlvii
Ibid.
xlviii
Ibid.
xlix
Jim Wallis,”Dangerous Religion - Bush's Theology of Empire,”
http://www.informationclearinghouse.info/article5402.htm, diakses pada 21 Maret 2016, 17.30 WIB,
Surakarta.
l
James P. Pfifner dan Roger H. Davidson, Understanding the Presidency, Pearson Longman, New York, 2010.
li
PBS,”The spirituality of George W. Bush: Interview Jim Wallis,”
http://www.pbs.org/wgbh/pages/frontline/shows/jesus/interviews/wallis.html, diakses pada 22 Maret 2016,
10.00 WIB, Surakarta.
lii
Francis A. Boyle,“The Illegalities of Bush’s War on Afghanistan,”
http://www.counterpunch.org/2002/09/17/the-illegalities-of-bush-s-war-on-afghanistan/, diakses pada 18
Maret 2016, 19.30 WIB, Surakarta.
liii
Michel Chossudovsky,“The War is Worth Waging: Afghanistan’s Vast Reserves of Minerals and Natural
Gas,” http://www.globalresearch.ca/the-war-is-worth-waging-afghanistan-s-vast-reserves-of-minerals-andnatural-gas/19769, diakses pada 21 Maret 2016, 14.00 WIB, Surakarta.
liv
Muhammad, Abbas, Bukan, Tapi Perang terhadap Islam, Wacana ilmiah Press, Solo, 2004, hal. 22-24.
lv
David Aikman,”Christianity Makes George Bush A Better President,”
http://www.beliefnet.com/News/Politics/2004/10/Christianity-Makes-George-Bush-A-BetterPresident.aspx#MPDTmrIqrmkC6iYI.99, diakses pada 24 Maret 2016, 08.30 WIB, Surakarta.
lvi
PewGlobal,”Global Public Opinion in the Bush Years (2001-2008),”
http://www.pewglobal.org/2008/12/18/global-public-opinion-in-the-bush-years-2001-2008/, diakses pada 22
Maret 2016, 13.00 WIB, Surakarta.
lvii
Black, Amy E, With God on Our Side: Religion in George W.Bush’s Foreign Policy Speeches, American
Political Science Association,501 College Ave, Wheaton College, Illinois, 2004.
lviii
ES. Soepriyadi, Perang Salib Jilid Dua-Wajah Dunia Pasca Kiamat Kecil Amerika Serikat, Lembaga Kajian dan
Penelitian Dunia Islam Sinergi, Jakarta, 2001, hal. 147.
lix
Ibid.
lx
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Gema Insani,
Jakarta, 2005, hal. 131-147.
lxi
Salman Rushdie,”Yes, This Is About Islam,”
http://www.nytimes.com/2001/11/02/opinion/02RUSH.html?ex=1233723600&en=a2f3d913babef792&ei=5070,
diakses pada 18 Maret 2016, 09.50 WIB, Surakarta.
lxii
Muhammad ‘Abbas, Bukan, Tapi Perang terhadap Islam, Wacana ilmiah Press, Solo, 2004, hal. 22-24.
lxiii
Religious Tolerance, “Aftermath of the 9/11 terrorist attack: Attacks on Muslims and others,”
http://www.religioustolerance.org/reac_ter1.htm, diakses pada 22 Maret 2016, 09.30 WIB, Surakarta.
lxiv
Ibid.
xxxiv
Download