BAB III PEMBAHASAN A. Hubungan Negara Amerika Serikat dan Kawasan Timur Tengah 1. Sejarah Hubungan Amerika Serikat dan Timur Tengah Menurut Murray, hubungan internasional seperti halnya interaksi yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya dapat berbentuk kompetisi, konflik, dan kerjasama. Namun demikian tidak ada masyarakat di dunia ini yang secara eksklusif hanya mengadopsi satu bentuk interaksi.i Pada masa awal kerjasama dengan negara-negara timur tengah, Amerika lebih memfokuskan pada upaya untuk meminimalisasi pengaruh dari Uni Soviet dengan mendukung dan memberi bantuan militer dan ekonomi bagi pemerintahan yang anti-Soviet.ii Namun dalam perkembangan selanjutnya keberadaan pasukan Amerika Serikat tidak memperoleh apresiasi yang baik dari penduduk setempat dan pada kelanjutannya menjadi pemicu munculnya gerakan-gerakan radikal. Atas dasar itu, keberadaan militer Barat di Timur Tengah justru menjadi counter productive karena memunculkan kemarahan bagi umat Islam yang kemudian melakukan aktivitas jihad yang ditujukan untuk mengusir Barat dari Timur Tengah. Terdapat banyak serangan terorisme yang dilakukan ke tempat-tempat yang penting bagi Amerika Serikat, baik itu di dalam dan di luar negeri, mulai dari aksi pemboman terhadap sebuah hotel di Yaman yang banyak dihuni oleh warga Amerika Serikat (1992), gedung World Trade Center New York (1993), kampung militer di Riyadh Arab Saudi (1993), basis militer Amerika di Dahran Arab Saudi (1996), kapal perang Amerika USS Cole di Yaman (2000) dan yang paling mengejutkan yaitu peristiwa 11 September 2001.iii Dalam konteks legalisme-moralisme keterlibatan peran budaya dan sejarah sangat kuat dalam kecurigaan Amerika terhadap para Islamis. Konteks pertimbangan yang muncul dalam kebijakan luar negeri untuk domain ini lebih cenderung berbasis ideologis yang didasarkan pada nilai-nilai mendasar yang dianut oleh Amerika Serikat.iv Kumpulan nilai, kepercayaan, sikap, tata cara dan gaya hidup yang dianut bersama menjadi preferensi yang dipergunakan oleh para pemimpin Amerika dalam merumuskan kebijakan luar negerinya. Persepsi budaya orang Amerika cenderung menganggap bangsa Arab atau Muslim berbahaya, tidak dapat dipercaya, tidak demokratis, barbar dan primitif. Sejak awal 1980-an, segala peristiwa di dunia Muslim merupakan berita traumatis di Amerika Serikat. Seorang Editor New York Times menulis bahwa berkat politik internasional saat ini, satu bentuk rasialisme etnis meraih tempat terhormat di Amerika yaitu rasialisme terhadap orang Arab (Muslim).v Namun dibalik hubungan konfliktual yang terjadi, Amerika dan kawasan Timur Tengah juga memiliki hubungan yang erat dalam bidang ekonomi terutama terkait jual beli minyak bumi dan sumber daya alam lainnya. Timur Tengah sebagai produsen minyak terbesar di dunia menjadi kolega penting bagi Amerika Serikat dalam mendukung perekonomian kedua pihak. Untuk menjaga harmonisasi perdagangan ini, Amerika Serikat berupaya menjalin kerjasama dengan beberapa negara dikawasan tersebut. Sejak tahun 1930-an Amerika telah berusaha untuk menjalin kerjasama dengan negara-negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Mesir, Kuwait, dan Iran (1953-1979). Awal intervensi Amerika Serikat di Timur Tengah dimulai ketika terlibat dalam perang teluk I yang melibatkan antara Irak dengan Kuwait. Dalam perkembangannya konflik antara Irak dan Kuwait ini menjadi konflik Irak dan Amerika Serikat. George Herbert Walker Bush adalah presiden Amerika Serikat yang mendeklarasikan perang terhadap Irak pada 7 Agustus 1990. Selama Perang Irak-Iran, Amerika Serikat dan sekutu sebenarnya memberikan bantuan ekonomi dan militer besar-besaran ke Irak. Tetapi bantuan itu diberikan karena adanya kekhawatiran terhadap ancaman revolusi Islam rezim Khomeini di Iran yang ingin menguasai Timur Tengah. Karena itu bagi Amerika Serikat dan sekutu kekalahan Baghdad pada Perang irak-Iran harus dicegat sekuat tenaga. Dukungan Amerika Serikat terhadap Irak berbalik ketika Irak berbalik menganggu kepentingan Amerika Serikat di Kuwait. Arab Saudi dan Kuwait adalah penopang kebutuhan minyak Amerika. Selain itu Bush senior dan Saddam Hussein juga memiliki pandangan yang sangat berbeda terkait dengan Israel. Bush adalah pemimpin yang mendukung Israel, sementara Saddam sangat memusuhi Israel dan memberi dukungan penuh terhadap Palestina. Maka untuk membela kepentingan tersebut maka tentara multinasional yang dipelopori Amerika Serikat melakukan penyerangan ke wilayah Irak. Invasi ini telah mengubah peta perpolitikan Timur Tengah. Amerika Serikat telah berhasil membentuk koalisi yang membagi negara-negara Timur Tengah kedalam aliansi masingmasing, sehingga semakin jelas keadaan Timur Tengah yang semakin terpecah belah. Ekonomi modern dunia abad 21 didorong oleh minyak bumi. Amerika Serikat adalah konsumen terbesar produk minyak bumi di dunia, namun Amerika Serikat hanya memiliki kurang dari tiga persen cadangan minyak global. Diperkirakan dua pertiga terletak di Timur Tengah, sehingga berdiri pada alasan bahwa ketergantungan Amerika Serikat pada minyak adalah dasar kebijakan Amerika di wilayah ini. Tidak ada pemerintahan bisa membiarkan kepentingan yang paling penting untuk terancam. Selain itu, sebagai konsumen, Amerika Serikat pasti memiliki keinginan untuk membayar lebih murah untuk satu galon bensin. Amerika tergolong negara yang kecanduan minyak Timur Tengah, khususnya minyak Arab Saudi. Untuk setengah abad terakhir, setiap presiden memiliki pemahaman bahwa Amerika memiliki hubungan khusus dengan raja Arab Saudi, penguasa mutlak minyak terbesar di dunia dan disusul oleh Irak. Pada dasarnya, keluarga kerajaan memberikan akses besar bagi Amerika Serikat terhadap minyak bumi Saudi, dan sebaliknya Amerika Serkat harus menjaga keamanan Saudi dari orang-orang seperti Saddam Hussein, Osama bin Laden, dan ancaman lainnya untuk mempertahankan oligarki Saudi. Melihat dari fluktuasi sikap dan kebijakan Amerika tersebut, dapat kita simpulkan bahwa terdapat tiga kepentingan utama Amerika Serikat di Timur Tengah yaitu minyak, Israel, dan stabilitas kawasan Timur Tengah. Hal ini tentunya membutuhkan kesiapan Amerika Serikat untuk tetap berbenah diri dan menciptakan segala kebijakan yang mungkin dilakukan untuk menjaga kepentingan tersebut di Timur Tengah. Perbedaan yang terjadi antara penyerangan Irak di era Bush senior dan Bush junior adalah bahwa pada Perang Teluk I, Amerika tidak perlu mencari alasan-alasan lain dalam melegitimasi perang. Tempo itu alasan penyerangan Irak ke Kuwait sudah cukup membuat PBB memberi persetujuan untuk Amerika dalam menyerang Irak, sementara dalam era Bush junior kawasan Timur Tengah tidak nampak konfliktual, sehingga dalam hal ini dibutuhkan sebuah alasan yang dapat melegitimasi kebijakan baru di Timur Tengah. Hingga terjadilah peristiwa penyerangan 11 September 2001 yang kebenarannya menjadi dipertanyakan melihat fluktuasi konflik dan kepentingan Amerika di kawasan Timur Tengah. Peristiwa penyerangan WTC dan Pentagon mengingatkan pada sejarah penyerangan Pearl Harlbour yang terjadi secara tiba-tiba dan Amerika Serikat yang sistem keamanannya sangat diagungkan oleh dunia akhirnya bisa dilumpuhkan. Namun ada perbedaan pearl Harbour dengan serangan 11 September 2001. Penyerangan Pearl Harlbour dilakukan oleh pasukan militer Jepang, sehingga hal ini bisa menjadi alasan kuat terjadinya peperangan, sementara penyerangan 11 September 2001 adalah peristiwa yang disinyalir dilakukan oleh pembajak dari kelompok teroris yang tidak merepresentasikan sebuah kewarganegaaran. Tentunya keadaan ini tidak cukup membuat legitimasi perang terhadap kelompok dan negara-negara tertentu, sehingga simbol-simbol agama adalah alternatif yang paling tepat untuk membenturkan sebuah entitas dengan entitas lainnya yaitu Barat dengan Islam radikal. Benturan ini kemudian dikonstruksi dalam bentuk misi suci Amerika dalam menjaga keamanan Amerika Serikat dan dunia dari ancaman orangorang jahat (terorisme). Konstruksi ide tentang Amerika melawan kejahatan membuat masyarakat Amerika dan masyarakat dunia memberikan simpati terhadap kebijakan Bush. Namun hal itu belum cukup untuk melegitimasi perang, sehingga untuk menyokong komunikasi yang baik dengan masyarakat, Bush kemudian menyampaikan justifikasi-justifikasi lainnya untuk menyatakan bahwa Afghanistan dan Irak harus diperangi. Rupanya dendam sang ayah Bush terhadap Saddam Hussein pada Perang Teluk I belum terselesaikan, sehingga sang anak akhirnya mengambil alih dendam tersebut. Permusuhan antara Bush denga Osama setelah meninggalnya Salem bin Laden, saudara kandung Osama juga perlu diselesaikan dengan misi penumpasan Al-Qaeda dan Taliban di Afghanistan. 2. Kronologi Peristiwa Penyerangan 11 September 2001 Selasa, 11 September 2001, hari bersejarag yang lekat dalam ingatan warga Amerika Serikat. Serangan teror menghantam jantung kota New York dengan meruntuhkan menara kembar World Trade Centre (WTC). Selasa pagi, 19 pembajak dari kelompok militan Al Qaeda membajak 4 pesawat jet penumpang dan menabrak beberapa gedung penting di New York. Adapun rangkaian kronologi penyerangan tersebut adalah sebagai berikut: a. Serangan pertama dilancarkan pada pukul 08.48 waktu setempat, sebuah pesawat Boeing-767 milik American Airlines yang mengangkut 20.000 galon bahan bakar jet menghantam Menara Gedung WTC bagian utara di New York. Tabrakan tersebut meruntuhkan sebagian sisi gedung dan ratusan orang yang tengah beraktivitas di dalamnya tewas di tempat. b. Sekitar 16 menit kemudian yakni pada pukul 09. 04, pesawat Boeing-737 dari maskapai yang sama terbang menukik tajam dan menabrak Menara Gedung WTC bagian selatan yaitu tepatnya di lantai 60. Tabrakan itu menyebabkan ledakan besar dan mengakibatkan bangunan terbakar dan runtuh. c. Ketika perhatian jutaan masyarakat tertuju pada New York, pesawat ketiga American Airlines Flight 77 mengitari ibu kota Washington DC dan menabrak sisi barat kompleks markas militer Amerika yaitu Pentagon di Airlington, Virginia, pukul 09.45. d. Pesawat keempat jatuh di lapangan Somerset County, Pennsylvania. Diduga para penumpang melakukan perlawanan terhadap empat pembajak di dalamnya. Kapal terbang itu akhirnya terbalik dan menghantam tanah serta menelan korban sebanyak 45 orang yang tewas di dalam pesawat. Sebagian kalangan mensinyalir bahwa pesawat terakhir sebenarnya ditujukan ke Gedung Putih.vi Pukul 10.30, menara kedua dari WTC dilaporkan sudah runtuh dan rata dengan tanah. Gedung pencakar langit berstruktur baja dan berlantai 110 yang dibangun untuk menahan hembusan angin 200 mil per jam itu nyatanya tak mampu menahan panas akibat terbakarnya bahan bakar jet sehingga menyebabkan kepulan awan debu dan asap. Berikut (gambar 5) adalah gambar penyerangan World Trade Center oleh pesawat pembajak: Gambar 5. Peristiwa Penyerangan World Trade Center pada 11 September 2001 Source: www.news.com.au Gambar 5 menunjukkan detik-detik pesawat pembajak menabrakkan pesawatnya ke gedung kedua WTC setelah pesawat pertama menabrak gedung utama WTC. Dalam peristiwa ini 3.000 orang dinyatakan tewas termasuk 343 petugas pemadam kebakaran, 23 polisi New York, dan 37 polisi Port Authority yang meregang nyawa saat berjuang mengevakuasi korban yang terjebak di dalam gedung, sepuluh ribu orang lainnya lukaluka, dan hanya enam orang yang berhasil selamat pada saat runtuhnya gedung WTC.vii Teror yang ditujukan ke Amerika Serikat pada peristiwa 11 September bukanlah ulah aktor tunggal berupa negara yang jahat atau rudal balistik atau kecanggihan teknologi biologi, kimia, dan senjata pemusnah massal, sebagaimana yang pernah diramalkan oleh intelijen dan pakar keamanan nasional.viii Penyerangan 11 September dipastikan Amerika merupakan ulah kelompok suci dan radikal yang membajak pesawat dengan menggunakan kekuatan multiplier. Setelah diidentifikasi dalam waktu yang singkat, pemerintah Bush mengambil kesimpulan bahwa kelompok yang melakukan serangan 11 September berasal dari salah satu kelompok teroris Islam, yaitu Al Qaeda. Beberapa teroris dikabarkan telah tinggal di Amerika selama setahun dan sebagian pernah ikut latihan penerbangan di sekolah penerbangan komersil Amerika Serikat, sementara lainnya menyelinap beberapa bulan sebelum 11 September 2001. Dua hari pasca penyerangan, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Colin Powel menyatakan bahwa Osama Bin Laden adalah dalang peristiwa 11 September 2001.ix Hanya dalam tempo dua hari pihak Amerika telah mengumumkan nama-nama 19 orang teroris yang diduga melakukan penyerangan tersebut. Namun tidak semua orang menerima fakta bahwa penyerangan ini terjadi karena ulah segelintir teroris. Sejumlah pihak akademisi, jurnalis, dan masyarakat kemudian berlomba-lomba untuk mencari kebenaran peristiwa tersebut. Banyak masyarakat yang menuntut diadakannya investigasi ulang terkait pelaku penyerangan 11 September 2001. Hal ini didasari pada banyaknya kejanggalan yang terjadi sehingga menciptakan teoriteori konspirasi yang mendekonstruksi fakta peristiwa penyerangan yang disampaikan sejumlah besar media Amerika. Kejanggalan yang paling penting dalam peristiwa ini adalah bahwasanya gedung kembar tertinggi di dunia WTC dan gedung WTC-7 terjun bebas dan rata dengan tanah hanya dalam waktu 15-20 detik.x Dalam teori yang paling dekonstruktif, peristiwa 11 September bahkan dianggap adalah sebuah rekayasa pemerintah Amerika Serikat yang membutuhkan suatu momen penting sebagai titik awal perubahan kebijakan luar negeri Amerika. Peristiwa 11 September disinyalir sudah direncanakan dan diproyeksikan oleh The Project for the New American Century (PNAC), yaitu think tank pertahanan keamanan Amerika Serikat. Pemenang penghargaan jurnalis serta penulis, John Pilger menyatakan bahwa “two years ago a project set up by the men who now surround George W. Bush said what America needed was a new Pearl Harbor. Its published aims have, alarmingly, come true.”xi Hal ini diperkuat oleh tulisan Bush sendiri dalam diarinya pada malam hari setelah serangan 11 September 2001 yang menyatakan The Pearl Harlbour of the 21st century took place today. Peristiwa penyerangan Pearl Harlbour adalah titik awal perubahan haluan politik luar negeri Amerika Serikat. Sebelum penyerangan Pearl Harlbour terjadi, Amerika Serikat adalah negara besar yang tidak ikut campur tangan dengan perang dunia I yang melibatkan negara-negara Eropa dan Asia. Jika agenda penyerangan WTC adalah sama dengan agenda penyerangan Pearl Harlbour, maka hal ini menandai perubahan masif dalam haluan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Dan berdasarkan realita yang terjadi dilapangan, selepas peristiwa 11 September 2001 terjadi, kebijakan luar negeri Amerika serikat berubah secara signifikan dari kebijakan untuk membendung berubah menjadi kebijakan untuk menyerang. Hal ini terwujud dalam dokumen pertahanan melawan terorisme bahwa salah satu poin utamanya adalah kemampuan Amerika Serikat untuk melakukan tindakan penyerangan dan penangkapan terhadap orang-orang dan negara yang dianggap teroris atau yang mendukung teroris (preemptive strike). Kebijakan ini membuat Amerika Serikat lebih leluasa untuk melakukan penyerangan dan invasi terhadap negara-negara yang disinyalir Amerika merupakan bagian dari terorisme meskipun tanpa bukti yang memadai. Agenda ini juga didukung oleh pandangan-pandangan skeptis dan teori teori konspirasi yang menyatakan bahwa serangan 11 September 2001 adalah agenda pemerintahan Bush untuk dijadikan sebagai titik balik perubahan kebijakan haluan Amerika yang dapat melancarkan agenda tersembunyi Bush dan juga orang-orang terdekatnya. Profesor Steven E. Jones dari Brigham Young University, Utah, menjelaskan hasil penelitiannya bahwa runtuhnya menara kembar WTC tersebut adalah peristiwa yang disengaja. Jones mengatakan bahwa hal yang dapat melumerkan besi baja dengan cepat adalah zat yang dinamakan thermite. Dengan menggunakan thermite maka besi atau baja dapat terbakar dan meleleh dengan cepat seperti mentega yang dihangatkan. Hal yang dihasilkan oleh pembakaran thermite adalah asap berwarna putih, lelehan pijar api dan percikan api. Uniknya semua kriteria itu muncul sebelum dan sesudah WTC ditabrak oleh pesawat.xii Teori ini juga diperkuat dengan bukti bahwa WTC7 atau building 7 terlihat meleleh sendiri tanpa adanya benturan dari pesawat yang menabrak dua gedung WTC lainnya. Teori kedua yang paling memukau adalah teori yang menyatakan bahwa benda yang menabrak WTC bukanlah pesawat penumpang tetapi senjata penghancur atau drone (pesawat tanpa awak). Seorang jurnalis FOX bernama Mark Burnback yang saat itu berada di TKP dan melakukan laporan langsung dari Tempat Kejadian Perkara (TKP) menyatakan: It definitely did not look like a commercial plane. I did not see any windows on the side. Again, it was not a normal flight that I’ve ever seen at an airport. It had a blue logo on the front, and it did not look like it belonged in the area.xiii Setelah semakin banyak bukti dan teori yang membuka banyak kemungkinan untuk menyatakan kebenaran peristiwa 11 September maka rakyat juga semakin mempertanyakan tanggung jawab pemerintah Amerika dalam menangani kasus tersebut. Contohnya adalah kelompok yang menyatakan diri sebagai 9/11 Truth Movement. Berikut adalah gambar demonstran Amerika yang menyebut kelompoknya sebagai 9/11 Truth Movement. Gambar 6. Aksi Demo Kelompok 9/11 Truth Movement Sumber: en.wikipedia.org Gambar 6 adalah aksi demo kelompok “9/11 Truth Movement.” Mereka melakukan demo di Los Angeles pada bulan Oktober 2007 yang menuntut pemerintah untuk menginvestigasi ulang dan menjelaskan kejanggalan-kejanggalan peristiwa 11 September 2001 tersebut. Selain kelompok tersebut, komisi khusus 9/11 juga menyatakan bahwa pemerintah Amerika Serikat terlihat tertutup untuk melakukan investigasi mendalam dan menyelesaikan perdebatan penyebab peristiwa 11 September tersebut. Pada akhirnya, komisi khusus 9/11 menyatakan kemarahannya kepada khalayak umum terkait sikap pihak gedung putih, dan juga terhadap pihak Central Inteligence Agency (CIA) dan Federal Bureau of Investigation (FBI) yang terlihat berupaya menyimpan rahasia dibalik peristiwa 11 September. Salah satu anggota komisi 9/11 menyatakan kekesalannya dalam sebuah pernyataanya ke salah satu pers sebagai berikut: It is a national scandal, this investigation is now compromised and “One of these days we will have to get the full story because the 9-11 issue is so important to America. But this White House wants to cover it up.”xiv Pengacara senior John Farmer yang juga merupakan anggota dari komisi 9/11 menyatakan bahwa selama investigasi, pemerintah terkesan berupaya untuk menutupi kebenaran peristiwa 11 September. Sangat sulit bagi komisi 9/11 untuk mengetahui motif dibelakang tindakan tertutup pemerintah ini. Berikut adalah kutipan pernyataan John Farmer: At some level of the government, at some point in time… there was an agreement not to tell the truth about what happened. I was shocked at how different the truth was from the way it was described…. The tapes told a radically different story from what had been told to us and the public for two years…. This is not spin. This is not true.xv Sampai saat ini, spekulasi dan konspirasi peristiwa 11 September masih terus berlangsung dan berkembang. Namun belum ada kepastian mengenai peritiwa ini yang diklarifikasi oleh pemerintah Amerika Serikat. Terlepas dari spekulasi itu semua, hal yang menjadi sangat penting dalam penelitian ini adalah kenyataan bahwa peristiwa ini telah menciptakan perubahan besar dalam konstelasi perpolitikan dan sistem keamanan dunia. Peristiwa 11 September mengubah paradigma dunia yang membuat negara-negara merasa siaga atas tindakan teroris yang bisa mengancam siapa saja dan kapan saja. Selain itu peristiwa ini juga telah mengubah haluan kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang sebelumnya lebih bersifat menjaga area dalam negeri (defensive), namun dengan adanya peristiwa ini Amerika menjadi sangat agresif untuk melakukan tindakan menjaga keamanan ke luar teritorinya (offensive). B. Kebijakan Luar Negeri George Walker Bush Terhadap Afghanistan dan Irak 1. Proses Pembuatan Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Setelah Perang Dingin usai Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara adikuasa di dunia sehingga banyak tatanan kehidupan internasional juga dipengaruhi oleh kebijakan Amerika. Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History and the Last Man menyatakan bahwa saat ini sejarah telah berakhir. Fukuyama berpendapat bahwa umat manusia tidak ada pilihan lain selain daripada mengikuti pola kehidupan dan sistem politik Amerika. Sikap unilateral Amerika Serikat menghendaki bahwa umat manusia harus menerima segala kebijaksanaan Amerika Serikat karena itu adalah kebijaksanaan yang benar bagi umat manusia dan buat setiap bangsa di dunia.xvi Kebijakan luar negeri Amerika Serikat tergolong sebuah formulasi yang kompleks karena harus menekankan fungsinya sebagai negara unilateral dan sebagai polisi dunia. Secara umum kebijakan Amerika Serikat merupakan kebijakan yang disesuaikan dengan konstelasi eksternal dan internal (global dan domestik). Proses pembuatan kebijakan luar negeri Amerika Serikat harus melalui tahap-tahap yang dipengaruhi oleh banyak pihak, seperti pihak eksekutif, legislatif, kelompok kepentingan, media dan pers, dan juga para think tank atau epistemic community. Sementara ada banyak lembaga dan instansi dalam pemerintah AS yang (berpotensi) mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika, ketika fokus berada pada pengambilan keputusan kebijakan luar negeri, maka untuk sebagian besar, presiden adalah aktor yang paling dominan. Presiden tidak bertindak dalam situasi yang hampa, justru presiden sebenarnya tunduk pada batasan tertentu. Namun karena beberapa faktor seperti beberapa preseden, ambiguitas interpretasi peran presiden sebagaimana diatur dalam konstitusi, dan kadang-kadang kurangnya kemauan kongres untuk secara efektif membatasi presiden dalam tindakannya telah membuat presiden secara efektif menjadi pemegang otoritas paling dominan dalam pengambilan keputusan kebijakan luar negeri Amerika. Konstitusi Amerika secara eksplisit mendeskripsikan terkait pembagian kekuasaan dalam membuat kebijakan luar negeri Amerika. Secara khusus presiden diberikan kuasa untuk membuat perjanjian, yang mana dalam keadaan ini senat diberikan kuasa untuk memberikan nasehat dan pertimbangan terhadap pembuatan perjanjian tersebut (artikel 2, bagian 2). Presiden adalah panglima tertinggi militer (artikel 2, bagian 2), namun hanya kongreslah yang bisa menyatakan perang, dan dalam kekuasaan itu, kongres memiliki kewenangan untuk mendefinisikan ancaman dari luar serta menetapkan tindakan yang pantas sebagai ganjaran atas ancaman tersebut (artikel 1, bagian 8, ayat 10). Lebih spesifik dalam konstitusi Amerika Serikat, kekuasaan presiden dalam hubungannya dengan kebijakan luar negeri adalah sebagai berikut: The President shall be Commander in Chief of the Army and Navy of the United States…. He shall have Power, by and with the Advice and Consent of the Senate, to make Treaties, …; and he shall nominate, and by and with the Advice and Consent of the Senate, shall appoint Ambassadors, other public Ministers and Consuls, Judges of the Supreme Court” (U.S. Constitution Art. 2, Sec. 2). Secara konstitusional terlihat jelas bahwa setiap tindakan perang yang dilakukan oleh Amerika dinyatakan sah setelah ada kerjasama antara pihak eksekutif (presiden) dan pihak legislatif (kongres). Kongres adalah pihak satu-satunya yang sah untuk memberikan kuasa mendeklarasikan perang. Namun demikian, selama abad ke-20 dan ke-21, presiden Amerika telah sering terlibat dalam operasi militer tanpa persetujuan Kongres. Operasi ini termasuk Perang Korea, Perang Vietnam, Operasi Badai Gurun, Perang Afghanistan tahun 2001 dan Perang Irak tahun 2002. Meski belum ditemukan penjelasan tentang alasan ketidakjelasan implementasi konstitusi ini, namun secara khusus bisa disimpulkan bahwa ada beberapa gejala yang membuat hal ini terjadi. Thomas R. Pickering, mantan wakil sekretaris negara untuk urusan politik pada pemerintahan Bill Clinton menyatakan bahwa pemain yang paling berpengaruh dalam kebijakan luar negeri Amerika sebenarnya adalah pihak-pihak kelas atas. Kelas atas yang dimaksud adalah adalah presiden sebagai aktor paling dominan, kemudian ada juga menteri luar negeri, menteri pertahanan, penasehat keamanan nasional, dan kepala staf gabungan Amerika.xvii Terutama dalam menyelesakan isu isu high politics biasanya kelompok ini menjadi ikon paling penting dalam merumuskan kebijakan luar negerinya. Merujuk pada paparan tersebut maka bisa diambil kesimpulan bahwa dalam kebijakan luar negeri perang Bush, orang-orang yang paling terlibat adalah Colin Powell (Menteri Luar Negeri), Donald Rumsfeld dan Paul Wolfowitz (Menteri Pertahanan), Condoleza Rice (Penasehat Keamanan Nasional), dan George John Tenet (Direktur Central Inteligence Agency). Orang-orang tersebut bukanlah orang-orang baru dalam pemerintahan, bahkan sebagian besar telah bekerja untuk Bush senior dan Bill Clinton. Jajaran kelas atas tersebut juga disinyalir adalah orang-orang konservatif yang didukung oleh kelompok hawkies Amerika. Selain didukung Hawkies, sebagian besar jajaran kelas atas yang menjadi punggawa white house pada pemerintahan Bush adalah orang-orang Kristen Evangelis. Kristen Evangelis ini meliputi sekte episkopelian, prebisterian, metodis, dan sebagainya. Orang-orang Bush yang berasal dari Kristen Evangelis adalah Colin Powel, Condolezza Rice, serta penulis pidatonya yaitu Michael John Gerson. Dalam hubungan antara agama dan politik, ada dua kelompok besar di Amerika yang memiliki pendirian masing-masing dalam menentukan kebijakan Amerika Serikat, yaitu kelompok agama Militant Internationalism (MI) dan Cooperative Internasionalism (CI). Kelompok MI adalah kelompok Kristen evangelis yang didukung oleh Hawkies dan biasanya mendukung kubu Republik konservatif, sementara kelompok CI adalah kelompok Kristen katolik, Yahudi, dan sekte minoritas lainnya yang biasa mendukung kubu Demokrat. Secara umum deklarasi perang Amerika baru dimulai sejak perang dunia II ketika Amerika memutuskan untuk ikut dalam perang. Setelah perang dunia II, akhirnya Amerika berhadapan dengan Uni Soviet sebagai dua negara yang saat itu paling berkuasa namun memiliki basis ideologi yang berbeda. Sejak saat itu kebijakan luar negeri Amerika Serikat lebih condong untuk membendung pengaruh Uni Soviet di negara-negara dunia yang belum terkontaminasi. Keadaan ini mulai membuka jalan untuk Amerika Serikat untuk keluar dari batas teritorialnya untuk mengimplementasikan kebijakan luar negerinya, namun intensitasnya hanya berupa perang perpanjangan tangan (proxy war). Setelah runtuhnya Uni Soviet, pada tahun 1970-an ekskalasi konflik antara Amerika dan Soviet (menjadi Rusia) berkurang dan kedua negara mulai membina kerjasama. Mulai saat itu Amerika menjadi negara tunggal sebagai negara super power yang paling berpengaruh di dunia. Namun dalam dekade terakhir yang ditandai dengan mulai tumbuhnya gerakan-gerakan radikal dan terorisme, peta kebijakan luar negeri Amerika Serikat mengalami perubahan. Setelah Uni Soviet runtuh, Amerika tidak memiliki musuh yang setara dengannya, namun keadaan ini justru membuat Amerika lebih waspada terhadap negara dan kawasan yang mulai bergerak maju atau mulai dianggap sebagai hambatan dalam pencapaian tujuan Amerika. Ancaman politik Islam oleh para kelompok-kelompok penting di Amerika Serikat disejajarkan dengan bahaya Komunisme Soviet yang merupakan lawan ideologis baru bagi Amerika Serikat setelah runtuhnya komunisme.xviii Untuk itu, pejabat Amerika Serikat diminta untuk membendung (contain) dan bukannya melunakkan (appease) sang musuh baru, sehingga muncullah saran-saran terkait kebijakan pembendungan yang bersifat mendahului (preemptive).xix Kebijakan preemptive ini tumbuh pasca penyerangan 11 September, peristiwa yang menandai perubahan haluan kebijakan pertahanan dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. 2. Serangan Militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan Pemerintahan Bush telah bekerja sangat cepat dalam menyimpulkan dalang dari serangan terorisme ke Amerika, dan dalang itu adalah Osama Bin Laden dengan jaringannya Al-Qaeda yang bermarkas di Afghanistan sejak tahun 1996. Klaim tersebut didukung oleh beberapa fakta yang yang memperkuat keterlibatan kelompok Al-Qaeda pada serangan teroris 11 September 2001 diantaranya adalah, Osama Bin Laden mengisyaratkan untuk berperang dengan Amerika Serikat (fatwa Osama Bin Laden 1998), kemudian dari 19 orang pembajak pesawat tersebut 3 orang diantaranya adalah kelompok Al-Qaeda dan satu orang diantaranya juga pernah terlibat dalam serangan di kedutaan Amerika Serikat di Kenya dan Tanzania. Berdasarkan penelusuran terhadap gerakan pembajak penyerangan 11 September, para penyidik menemukan beberapa diantara mereka sebelumnya sudah bertemu dan secara teratur menerima uang dari orang-orang terdekat Osama bin Laden. Al-Qaeda merupakan kelompok terorisme yang diciptakan oleh Osama antara tahun 1984 dan 1986 yang menampung dan merekrut para sukarelawan dari berbagai negara, melatih dan kemudian mengirimkan prajurit tersebut ke Afghanistan melalui jaringanjaringan Al-Qaeda yang jumlahnya sangat banyak didunia. Keputusan rezim Taliban (dibawah kepemimpinan Mullah Mohammed Omar) untuk tidak menyerahkan Osama Bin Laden ke penmerintah Amerika kemudian dianggap sebagai upaya pemerintah Afghanistan untuk melindungi terorisme. Amerika Serikat berdalih bahwa serangan militer terhadap Afghanistan memiliki dasar alasan yang kuat, yaitu bahwa rezim Taliban membiarkan wilayah Afghanistan dipakai oleh kelompok AlQaeda. Oleh karena itu, untuk menghancurkan rezim Al-Qaeda dan mencegah aksi teror selanjutnya maka rezim Talibanpun harus dihancurkan. Bush menyampaikan dalam sebuah pernyataannya ke pers, sebagai berikut: Atas perintah saya, militer Amerika Serikat telah memulai serangan terhadap kamp-kamp pelatihan teroris Al Qaeda dan instalasi militer rezim Taliban di Afghanistan, lebih dari 2 minggu lalu, saya menyampaikan tuntutan yang jelas dan spesifik terhadap para pemimpin Taliban: tutup kamp pelatihan teroris, serahkan pemimpin Al Qaeda, dan kembalikan semua tawanan asing, termasuk warga AS yang ditahan secara tak adil di negara mereka, tak satupun tuntutan itu dipenuhi, dan kini, Taliban harus membayar harganya.xx Akhirnya pada 07 Oktober 2001, Amerika dan aliansinya yaitu Inggris, secara resmi memulai perang di Afghanistan. Bantuan logistik disponsori oleh Perancis, Jerman, Kanada, dan Australia. Bantuan pasukan tentara didukung oleh pemberontak anti-taliban yaitu Aliansi Utara (Northern Alliance). Maka pada hari itu Operation Enduring Freedom resmi dimulai sebagai langkah awal war on terrorism. Serangan pertama dimulai sekitar pukul 20.45 waktu Afghanistan.xxi Targetnya adalah instalasi pertahanan udara Taliban, Kementerian Pertahanan, pusat komando di bandara, lapangan udara, jaringan listrik dan fasilitas produksi energi lainnya. Keseluruhan operasi militer dari tahun 2001-tahun 2007 adalah Operasi militer sebagai berikut yaitu Operation Anaconda, Operation Volcano, Operation Khanjar, dan Operation Kandahar. Namun hingga akhir tahun 2010, Mullah Omar dan Osama belum dapat ditemukan oleh pasukan koalisi, kemudian Amerika Serikat memutuskan untuk menghentikan misi tempur di Afghanistan dan memilih untuk fokus terhadap pengembangan stabilitas keamanan di Afghanistan dibawah komando dari NATO. Perang ini baru terbayar saat Osama diklaim tewas dalam sebuah penyerbuan pada Mei 2011 di Pakistan. Osama mungkin sudah tewas namun Afghanistan belum kunjung pulih dari dampak buruk perang tersebut. Pada 07 Desember 2004, Hamid Karzai terpilih sebagai presiden pertama Afghanistan yang terpilih secara demokratis. Dan meski negara itu mulai mengambil langkah pertama menuju demokrasi, masih ada sekitar 10 ribu tentara Amerika di sana. Serangan Amerika Serikat terhadap Afghanistan merupakan fenomena internasional yang menarik, setidaknya karena beberapa alasan. Pertama, serangan Amerika ke Afghansitan merupakan suatu aksi militer internasional dalam skala yang cukup besar. Kedua, karena aksi ini melibatkan salah satu negara adidaya dunia saat ini, dan ketiga, Amerika Serikat melangsungkan invasi tersebut dengan mengabaikan peran PBB secara eksplisit. Terakhir, invasi ini cenderung menerabas batas-batas sensitif perang inter-state, karena kebetulan terjadi antara dua entitas dengan latar kultural yang lebih luas (Barat dan Islam), khususnya bagi sebagian umat Islam yang kerapkali menganggap serangan ini merupakan serangan terhadap identitas mereka secara kolektif/keseluruhan. Fakta yang mengesankan adalah pendapat yang menyatakan bahwa penyerangan Amerika ke Afghanistan bahkan telah direncanakan sebelum peristiwa 11 September terjadi. Jaringan televisi dan media cetak Amerika Serikat merayakan kekalahan militer rezim Taliban yang begitu cepat sebagai sebuah keberuntungan yang tidak disangkasangka.xxii Mereka mengalihkan perhatian masyarakat dari sebuah kesimpulan yang dihasilkan oleh setiap pengamat manapun mengenai peristiwa yang berlangsung selama dua minggu itu, bahwa kemenangan kilat pasukan yang dipimpin oleh Amerika tersebut sesungguhnya memperlihatkan perencanaan dan persiapan matang dari militer AS, yang sudah pasti telah dimulai sebelum serangan terhadap WTC dan Pentagon terjadi. Informasi resmi yang dikeluarkan oleh Pentagon dan Gedung Putih mengenai perang terhadap Afghanistan tersebut dianggap masih dapat dipertanyakan. Sumber lain bahkan menuliskan secara lebih ekstrim, bahwa “Apa yang terjadi sesungguhnya adalah intervensi AS telah direncanakan secara detil dan matang jauh sebelum serangan teroris memberikan alasan final untuk menjalankan rencana tersebut.”xxiii Jika peristiwa 11 September tidak pernah terjadi, adalah sangat mungkin Amerika Serikat tetap menyerang Afghanistan dalam kurun waktu yang tidak terlalu berbeda.xxiv Jika fakta ini benar, maka legalitas perang yang diusung Bush di Afghanistan melahirkan pertanyaan terkait kebenaran dibalik alasan penyerangan Afghanistan dan Osama. Fakta ini menunjukkan bahwa kebijakan luar negeri Bush terhadap Afghanistan menyimpan rahasia terselubung untuk kepentingan dan misi tertentu yang perlu dicari kebenarannya. 3. Serangan Militer Amerika Serikat ke Wilayah Irak Sehari setelah peristiwa penyerangan, negara-negara timur tengah secara resmi menyatakan belasungkawa kepada rakyat Amerika. Namun Irak, adalah satu-satunya negara timur tengah yang tidak memberi dukungan kuat ke Amerika Serikat. Sebaliknya presiden Irak, Saddam Hussein, berpendapat bahwa serangan teroris di tanah Amerika memang tidak terelakkan, karena hal tersebut merupakan buah dari kebijakan luar negeri Amerika sendiri.xxv Meski ini bukan alasan dasar penyerangan Amerika terhadap Irak, namun kejadian ini telah memberikan indikasi bahwa sejak awal telah ada ketidaksenangan antara Irak terhadap Amerika dan begitu juga sebaliknya. Tentu hal ini tidak terlepas dari perang-perang sebelumnya yang telah melibatkan Irak dan Amerika Serikat. Namun ternyata perang baru harus kembali hadir setelah peristiwa bersejarah 11 September 2001 meninggalkan indikasi buruk terhadap Irak. Pemerintah Bush memvonis bahwa Irak memiliki peran dalam serangan teroris pada tanggal 11 September 2001. Bahkan Donald Rumsfeld menyatakan bahwa Pentagon dan CIA mempunyai bukti yang mengaitkan Irak dengan Al-Qaeda. Meskipun begitu Rumsfeld menolak untuk membeberkan bukti-bukti intelijen yang menjadi dasar pernyataannya itu. Secara khusus, perang Irak dilegalisasikan dengan tuduhan bahwa Saddam Hussein memiliki bom nuklir dan senjata penghancur massal serta berkolaborasi dengan kelompok teror Al Qaeda. Dalam pidato Bush yaitu state union address 2002, Presiden Bush mengatakan bahwa ada tiga alasan besar alasan penyerangan ke Irak, alasan tersebut adalah: Iraq continues to flaunt its hostility toward America and to support terror. The Iraqi regime has plotted to develop anthrax, and nerve gas, and nuclear weapons for over a decade. This is a regime that has already used poison gas to murder thousands of its own citizens -- leaving the bodies of mothers huddled over their dead children. This is a regime that agreed to international inspections -- then kicked out the inspectors. This is a regime that has something to hide from the civilized world.xxvi Saddam Hussein disinyalir menciptakan sebuah sistem pertahanan dalam negeri yang mampu menangkal dan melibas setiap usaha kudeta dari golongan mayoritas Syiah ataupun Kurdi. Sistem pertahanan itu bertitik berat pada pembangunan militer Irak dan telah berupaya menumpaskan kelomp[ok oposisi dengan mengerahkan pasukan militer Irak. Hal itulah yang membuat Irak di bawah pemerintahan Saddam terkenal dengan sebutan Republic of Fear.xxvii Pada 1972, Saddam menasionalisasi banyak perusahaan minyak yang dipegang oleh pihak asing. Tindakan itu bertujuan menghapus monopoli Barat atas Irak sekaligus mengembalikan kekayaan Irak kepada rezim yang berkuasa. Secara resmi, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyatakan bahwa alasan utama penyerangan militer Amerika ke wilayah Irak adalah sebagai berikut: 1) Irak adalah negara yang memiliki relasi dengan Al-Qaeda. Saddam merupakan sponsor dari gerakan radikal Al Qaeda 2) Saddam memiliki senjata biologi yang cukup untuk memproduksi lebih dari 25.000 liter anthrax dan memiliki cukup material untuk memproduksi lebih dari 38.000 liter botulinum toxin yang mampu membuat jutaan orang menderita dan mati karena kesulitan bernapas. 3) Saddam Hussein memiliki program pengembangan senjata nuklir mutakhir, memiliki desain senjata nuklir dan bekerja berdasarkan lima metode berbeda-beda untuk memperkaya uranium menjadi sebuah bom. 4) Selain senjata pemusnah massal, Saddam Hussein juga disinyalir telah melakukan pembunuhan kepada rakyatnya sendiri. Dia membungkam kebebasan berekspresi dan membiarkan militer melakukan tindakan koersif terhadap rakyatnya, dimana semua hal ini tergolong kedalam pelanggaran berat Hak Asasi Manusia.xxviii Pada tanggal 18 Maret 2003, Presiden Bush mengeluarkan ultimatum kepada Irak, bahwa dalam jangka waktu 48 jam, presiden Irak Saddam Hussein dan anak-anaknya harus segera meninggalkan Irak. Ultimatum itu berakhir pada 20 Maret 2003 dan beberapa jam sebelum perang dimulai, Amerika menghimbau agar tentara Irak tidak melakukan perlawanan terhadap serangan tentara Amerika dan mengajak tentara Irak untuk membangkang kepada Saddam Hussein. Akhirnya pada Kamis, 20 Maret 2003, sebanyak 250.000 tentara Amerika Serikat didukung hampir 45.000 tentara Inggris, 2000 tentara Australia dan 200 tentara Polandia, menggempur dan memasuki wilayah Irak melalui Kuwait. Tembakan salvo dari kapal induk Amerika ke udara wilayah Irak tanggal 20 Maret merupakan awal dari perang Amerika dan Irak. Perang antara Amerika dan Irak berakhir pada 9 April 2003 dengan didudukinya Baghdad oleh pasukan Amerika dan sekutunya. Saddam Hussein memang telah jatuh, tetapi Irak tanpa Saddam Hussein ternyata bukanlah Irak yang damai, baik untuk Irak sendiri maupun bagi kawasan Timur tengah. Irak kini telah menjelma menjadi negara dengan kekerasan sektarian yang amat mengerikan. Meskipun pasukan Amerika telah meninggalkan Irak, kekerasan sektarian antara kelompok Sunni, Syiah dan Kurdi belum berhasil dipadamkan di Irak.xxix Kehadiran musuh baru yaitu Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) juga disinyalir oleh beberapa pengamat merupakan kelanjutan dari penyerangan Irak tahun 2003. C. Simbol-simbol Agama dalam Kebijakan Luar Negeri George W. Bush 1. Prinsip-prinsip Hidup Metodisme dan Definisi Lahir Baru Secara eksplisit Bush menyatakan bahwa Bush adalah seorang jemaat Kristen yang sudah mengalami pengalaman lahir kembali dan Bush mengalaminya setelah Bush ikut menjadi jemaat di Gereja Metodis. Metodis muncul sebagai sebuah gerakan pada abad kedelapan belas di Inggris sebagai reaksi terhadap kekuasaan absolut katolik yang menyimpang di daratan Eropa. Metodisme merupakan bagian dari kebangkitan kaum protestan evangelis yang berusaha untuk membawa pembaharuan rohani kepada bangsa dan gereja Inggris dan juga untuk meningkatkan efektivitas pelayanan gereja, serta reformasi aturan gereja terutama terkait perlindungan orang miskin. Charles dan John Wesley adalah orang pertama yang menemukan dan memimpin aliran metodis. John Wesley dan jemaat Metodis mula-mula menempatkan penekanan utama pada kehidupan Kristen sejati, yaitu mewujudkan iman dan kasih dalam tindakan nyata. Mengenai doktrin, Gereja Metodis tetap mengikuti teologi Wesleyan yaitu kepercayaan pada dosa manusia, kekudusan Allah, keilahian Yesus Kristus, dan kematian, penguburan, serta kebangkitan Yesus untuk keselamatan manusia yang juga sama halnya dengan gereja-gereja Kristen lainnya. Inti dari semua ajaran metodis sebenarnya adalah mencintai Kristus diatas segala-galanya, serta mencintai (memperlakukan) sesama sebagaimana manusia mencintai (memperlakukan) dirinya sendiri. Metodis menempatkan kepercayaan pada Alkitab dan menegaskan otoritas Alkitab sebagai tonggak yang harus ditegakkan dalam kehidupan kristiani sejati. Hal ini sesuai dengan yang tertulis dalam 2 Timotius 3:16 yang menyatakan “segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” Berdasarkan pemahaman tersebut John Wesley merumuskan empat kunci utama kehidupan fundamental jemaat metodis mula-mula, yaitu sebagai berikut: a. Manusia memiliki kehendak bebas untuk menolak dan menerima berita keselamatan (free salvation) b. Semua orang yang taat kepada Injil menurut ukuran pengetahuan yang diberikan Tuhan kepada mereka akan diselamatkan (universal salvation) c. Roh kudus akan memimpin dan mengawasi keselamatan manusia melalui pengalaman batin dan spiritual (sure salvation) d. Seorang Kristen harus dapat mengejar kesempurnaan Kristus dan memang diberikan perintah untuk mengejar kekudusan sampai pada berakhirnya hidup (full salvation)xxx Selain empat kunci utama kehidupan fundamental tersebut, John Wesley kemudian menetapkan tiga ajaran dasar utama yang harus dijadikan sebagai dasar hidup jemaat metodis. Ajaran dasar tersebut adalah: a. Mempertaruhkan seluruh kemampuan untuk menjauhi kejahatan/iblis dan menghindari keterlibatan dalam perbuatan keji b. Berlaku dan bertindak baik sebanyak mungkin dan ditujukan kepada lebih banyak orang c. Patuh dan taat terhadap firman yang disampaikan Tuhan Yang Maha Kuasaxxxi. Inilah yang disebut panggilan atau call. Dengan adanya panggilan, maka pasti harus ada misi atau mission yang harus dipertaruhkan dan diperjuangkan. Jemaat metodis memiliki kewajiban untuk menanggung kesaksian Kristus yang dapat ditunjukkan melalui sikap setia kepada Yesus Kristus, menjalani kehidupan yang sesuai dengan kehidupan dan kesaksian firman Tuhan. Untuk memenuhi kewajiban ini, jemaat harus merefleksikan secara kritis warisan alkitabiah dan warisan teologis, berjuang untuk menyampaikan kesaksian dan injil kepada lebih banyak orang terutama mereka yang tidak beriman kepada Tuhan. Dengan adanya pandangan yang demikian, maka lahir baru (born again) adalah sebuah anugerah yang harus direspon dengan mengambil keputusan untuk menerima Kristus sepenuhnya dalam hidup seorang pengikut Kristus. Lahir baru adalah revolusi spiritual yang terjadi bukan karena orang memutuskan untuk lahir baru namun karena dia dipilih Tuhan untuk terlahir kembali. Tuhan hidup bagi semua orang, tetapi tidak semua orang hidup di dalam Tuhan. Sejak Adam dan Hawa melanggar perjanjian dengan Tuhan di Taman Eden, manusia adalah makhluk yang sudah jatuh ke dalam dosa, mengutamakan keduniawian dan keinginan untuk melakukan halhal yang disenangi badaniah. Panggilan Tuhan sebenarnya diberikan kepada setiap orang melalui pendengaran firman Tuhan, namun manusia memiliki kehendak bebas, sehingga orang yang diurapi (annointed) dalam mendengar firman Tuhan dan bersedia untuk menerima panggilan dan anugerah tersebut, merekalah yang disebut orang yang lahir baru.xxxii Tujuan dari lahir baru adalah untuk menempatkan Yesus sebagai raja dan jurusselamat. Lahir baru menuntut keutamaan Kristus dalam kehidupan umat-Nya, ini bermakna bahwa yang terutama dari yang utama adalah membangun relasi dengan Tuhan, jika Tuhan sudah menjadi prioritas, hal-hal duniawi akan ditempatkan-Nya sesuai dengan rancangan-Nya bagi umat-Nya. Sebelum pengalaman lahir baru terjadi pada manusia, manusia adalah mati secara rohani, dan secara moral manusia adalah makhluk egois dan suka memberontak, dan secara hukum bersalah di hadapan Allah dan di bawah murka-Nya. Dalam ayat Alkitab Yohannes 3:7+3 (John 3:7+3) dinyatakan “You must be born again. Unless one is born again he cannot see the kingdom of God.” Dengan kata lain, kelahiran kembali adalah perkara serius dan perkara kewajiban. John Piper, seorang pastur Kristiani, dalam bukunya yang berjudul Finally Alive: What Happens when we are Born Again menyatakan tujuh penjelasan Alkitab dari kondisi kita yang terpisah dari kelahiran baru dan mengapa lahir baru adalah perihal serius. 1) Sebelum lahir baru, manusia secara rohani adalah mati karena pelanggaranpelanggaran dan dosa-dosa (Efesus 2: 1-2). 2) Sebelum lahir baru, manusia adalah orang-orang yang harus dimurkai (Efesus 2: 3). 3) Sebelum lahir baru, manusia lebih menyukai kegelapan daripada terang (Yohannes 3: 19-20) 4) Sebelum lahir baru, hati manusia adalah keras seperti batu (Yehezkiel 36;26) 5) Sebelum lahir baru, manusia tidak dapat tunduk dan berkenan bagi Tuhan (Roma 8:7-8) 6) Sebelum lahir baru, kita tidak dapat menerima dan memahami firman Tuhan (1 korintus 2: 14) 7) Sebelum lahir baru, kita tidak dapat mengenal dan memuji Tuhan (Yohannes 6;44)xxxiii Menurut pemaparan Bush, kondisi-kondisi ini adalah hal-hal yang dialami Bush semasa sebelum mendapat karunia lahir baru. Meski telah dibaptis di gereja orangtua Bush, namun Bush mengaku baru mengalami revolusi spiritual setelah diurapi firman yang disampaikan oleh Bill Graham dan kemudian Bush mendapat panggilan untuk lahir baru. Menurut Bush, dengan lahir baru, Bush telah meninggalkan segala dosa-dosa masa lalunya dan mulai bertransformasi dalam hidup dalam pengenalan kerajaan Tuhan. Berikut pernyataan Bush terkait pengalaman lahir baru yang dialami: Reverend Graham planted a seed mustard in my soul, a seed that ever grewnover the next year. He led me to the path, and I began walking. And it was the beginning of a change in my life…. That weekend my faith took on a new meaning. It was the beginning of a new walk where I would recommit my heart to Jesus Christ. I know we are all sinners, but I’ve accepted Jesus Christ as my personal savior.xxxiv Setelah mengalami pengalaman spiritual lahir baru, Bush mulai terbuka untuk menunjukkan dan membicarakan terkait keyakinan dan kepercayaannya dengan orangorang yang ditemui. Setelah Bush menjabat sebagai gubernur, Bush menunjukkan sisi religiusitasnya secara eksplisit melalui pernyataan-pernyataan resmi dan juga pidatopidatonya. Dalam biografinya, Bush menyatakan bahwa Bush menunjukkan sisi religiusitasnya sebagai bagian dari pekerjaan yang ilahi yaitu memberi kesaksian kepada banyak orang terkait dengan anugerah yang telah menyucikannya dan menyelamatkannya.xxxv 2. Makna dan Alasan Penggunaan Simbol Agama dalam Kebijakan Luar Negeri George W. Bush Penggunaan simbol-simbol agama oleh presiden-presiden Amerika Serikat bukanlah sebuah fenomena baru namun Bush adalah presiden yang unik dalam memadukan agama dan politik. Alasan yang membuat Bush berbeda dengan pemimpin pendahulunya adalah bahwa simbol agama yang digunakan Bush tidak hanya menggambarkan bentuk tujuan akhir dari suatu kebijakan, tetapi juga mewarnai cara pandang Bush dalam melihat dan membuat realitas menjadi penting karena ada agama sebagai fondasi pendukungnya. Fakta bahwa kekejaman serangan 11 September 2001 yang secara humanis dapat dilihat dan dirasakan oleh semua negara tentu tidak membutuhkan simbol agama untuk menguraikannya. Tetapi Bush dengan sistematis menggunakan simbol agama untuk mendefinisikan batas-batas dalam memahami mengapa serangan terjadi dan bagaimana seharusnya masyarakat Amerika yang baik dan patriotic merespon peristiwa ini. Ini adalah kunci yang membuat simbol agama dalam kebijakan luar negeri Bush menjadi penting. Bush adalah pemimpin yang mampu menghubungkan ruang antara cita-cita Amerika (American ideals) dan kepentingan Amerika (American interest) dengan menggunakan simbol-simbol agama. Dalam sebuah debat presiden sebelum peristiwa 11 September 2001, ketika dihubungkan dengan kebijakan luar negeri terkait kebijakan Clinton sebelumnya, Bush pernah menyatakan “It really depends on how our nation conducts itself in foreign policy. If we are an arrogant nation, they’ll resent us. If we are humbly nation, but strong they’ll welcome us.”xxxvi Pernyataan Bush menunjukkan keinginan Bush untuk membawa Amerika sebagai negara yang ramah dan rendah hati di dunia internasional, namun pernyataan ini berubah total setelah peristiwa 11 September terjadi, Bush menyatakan: My vision shifted dramatically after September the 11th because I now realize the stakes. I realize the world has changed. No longer would the United States be a humble nation but one chosen by God to lead the world. Our nation is choosen by God and commissioned by history to be a model to the world of justice and inclusion and diversity without division.xxxvii Pernyataan ini sekaligus mengukuhkan bahwa kebijakan Bush untuk mengubah rezim di Afghanistan dan Irak adalah implementasi visi Bush untuk menegakkan kebebasan di belahan dunia yang masih diliputi rezim otoriter. Bush juga menegaskan bahwa kebebasan bukanlah hadiah Amerika kepada dunia, tetapi kebebasan adalah pemberian Tuhan kepada setiap orang dan masyarakat dunia. Tuhan sebagai pemegang otoritas tertinggi adalah sumber dari kebebasan bagi setiap orang. Ini mengimplikasikan bahwa tugas untuk memberikan kebebasan kepada negara yang masih otoriter adalah merupakan penegakan hukum Tuhan yang dipikul oleh Amerika. Pada malam inagurasi kedua setelah masa periode pertama yang masih diliputi dengan kekacauan dan ketidakpastian, Bush dengan tegas menyatakan bahwa Amerika Serikat telah memperjuangkan martabat dan nilai manusia, karena Amerika adalah generasi yang memikul kuasa dari Maker of Heaven and Earth.xxxviii Dan status Amerika sebagai pembawa citra Allah secara otomatis memberikan kuasa bagi Amerika untuk memberikan hak bagi semua orang terutama hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak untuk bebas dari kekuasaan sewenang-wenang. Lebih lanjut, dalam memetakan dan memaknai kebijakan luar negerinya, Bush menyatakan bahwa Amerika Serikat memiliki panggilan dan misi dari sang kuasa yaitu pencipta langit dan bumi dan segala isinya untuk mengenakan baju prajurit dan melaksanakan tugas mulia dari Kristus.xxxix Panggilan dan misi (calling and mission) adalah dua simbol penting dalam kristiani. Dalam Alkitab dinyatakan bahwa setiap orang memiliki panggilan masing-masing dari Kristus untuk menjalankan misi yang ilahi. Terdapat banyak sekali ayat dalam Alkitab yang menguraikan tentang panggilan Kristus. Salah satu ayat yang menyatakan panggilan Kristus tersebut adalah 2 Timotius 1:9 yaitu: Dialah yang menyelamatkan kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan kasih karunia-Nya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman.xl Setiap panggilan yang diberikan Kristus kepada jemaatnya pasti diiringi dengan maksud yang sudah ditetapkan Tuhan. Panggilan setiap orang berbeda, ada yang terpanggil untuk melayani, untuk menghibur, untuk membawa damai, dan lain sebagainya. Sebagai perwakilan dari Amerika Serikat, Bush seolah menyampaikan bahwa Amerika Serikat adalah negara yang terpanggil untuk maksud yang universal yaitu menegakkan kebebasan dan mengalahkan kekuatan yang menghalanginya yaitu iblis. Kutipan yang berhubungan dengan Amerika yang memiliki misi dan panggilan khusus adalah sebagai berikut: Pidato Sidang Bersama Kongres dan Negara, 20 September 2001. Great harm has been done to us. We have suffered great loss. And in our grief and anger we have found our mission and our moment. Freedom and fear are at war. The advance of human freedom, the great achievement of our time, and the great hope of every time now depends on us....The course of this conflict is not known, yet its outcome is certain. Freedom and fear, justice and cruelty, have always been at war, and we know that God is not neutral between them. Pidato State of the Union, 28 Januari 2002 We can't stop short. If we stop now, leaving terror camps intact and terror states unchecked, our sense of security would be false and temporary. History has called America and our allies to action, and it is both our responsibility and our privilege to fight freedom's fight.xli Pidato State of the Union, 28 Januari 2003 Our fourth goal is to apply the compassion of America to the deepest problems of America. For so many in our country, the homeless and the fatherless, the addicted, the need is great. Yet there's power, wonder-working power, in the goodness and idealism and faith of the American people. Americans are a free people, who know that freedom is the right of every person and the future of every nation. The liberty we prize is not America's gift to the world. It is God's gift to humanity. Pidato diatas kapal USS Abraham Lincoln, 1 Mei 2003 All of you, all in this generation of our military, have taken up the highest calling of history: You were defending your country and protecting the innocent from harm. And wherever you go, you carry a message of hope, a message that is ancient and ever new. In the words of the prophet Isaiah, "To the captives, come out; and to those in darkness, be free. Pidato State of the Union, 20 Januari 2004 I believe that God has planted in every human heart the desire to live in freedom. And even when that desire is crushed by tyranny for decades, it will rise again. ... America is a nation with a mission, and that mission comes from our most basic beliefs. We have no desire to dominate, no ambitions of empire. Our aim is a democratic peace, a peace founded upon the dignity and rights of every man and woman. America acts in this cause with friends and allies at our side, yet we understand our special calling: This great republic will lead the cause of freedom. Jika kita perhatikan penyebutan misi dan panggilan dalam kutipan tersebut maka dapat diinterpretasikan bahwa Bush sedang menciptakan jurang pemisah antara Bush (masyarakat Amerika) dengan musuh (pelaku terror). Bush melalui kata panggilan memberikan definisi bahwa peristiwa 11 September bukan hanya peristiwa kriminal, namun peristiwa ini terjadi karena Tuhan memiliki panggilan untuk Amerika untuk menakhlukkan kejahatan tersebut. Tuhan memilih Amerika karena Tuhan tahu Amerika sanggup melakukannya. Dalam kepercayaan kristiani panggilan Tuhan bukanlah panggilan yang bisa disiasiakan. Panggilan bukan rencana kita tetapi itu adalah rancangan Tuhan. Umat Kristen percaya bahwa rancangan Tuhan adalah rancangan yang terbaik dan jauh lebih baik jika kita mengosongkan diri kita untuk menepati panggilan yang Tuhan berikan.xlii Pemilihan diksi panggilan dalam pidato Bush hendak mengarahkan bahwa Amerika tidak bisa menyia-nyiakan panggilan ini dan pilihan terbaik adalah memenuhi panggilan tersebut. Bush tidak berhenti hanya pada penyampaian bahwa Amerika memiliki panggilan tetapi Bush juga mendeklarasikan poin yang menjadi panggilan Tuhan bagi Amerika. Secara rinci dalam pidato-pidato Bush ada tiga poin yang menjadi panggilan Amerika yaitu, pertama, melindungi orang-orang yang tidak bersalah dari pelaku kejahatan (teroris), kedua, menegakkan kebebasan bagi semua umat karena kebebasan adalah hadian Tuhan, ketiga, Amerika memiliki panggilan untuk melawan pemerintahan tirani yang menghambat kebebasan manusia. Melalui pernyataan tersebut secara tersirat Bush mendeklarasikan bahwa misi Amerika sebagai penegak kebebasan adalah sama dengan misi Tuhan yang memberikan kebebasan bagi umatnya. Hal ini mengimplikasikan bahwa Bush menggunakan simbol agama calling dan mission untuk mempengaruhi masyarakat domestik Amerika secara khusus bahwa kebijakan apapun yang diambil Bush untuk menaklukkan kejahatan tersebut maka hal itu adalah sesuai dengan panggilan Tuhan dan memiliki tujuan yang ilahi. Selain frase call and mission, frase yang paling sering muncul dan paling konfliktual dalam pidato Bush adalah frase good and evil dan light and darkness. Frase good and evil memiliki makna yang begitu dalam untuk membuat pemisahan antara dua hal yang sangat berbeda dan bahkan tidak bisa disatukan. Berdasarkan ayat-ayat Alkitab, iblis (baal atau mamon) adalah kekuatan yang selalu bertolak belakang dengan kekuasaan Yesus. Iblis akan selalu ada sebab iblis tercipta bersamaan dengan terciptanya bumi, namun poin yang menjadi sangat penting adalah bahwa siapa saja yang ingin mengikut Yesus berarti harus mampu memusuhi dan mengalahkan keinginan iblis. Tuhan sendiri telah mengalahkan kekuatan iblis melalui kebangkitan-Nya, sehingga setiap orang yang dipanggil oleh Yesus juga memiliki kuasa yang sama dengan Tuhan untuk menaklukkan kekuatan gelap dan kekuatan iblis tersebut. Hal ini juga dapat dijabarkan bahwa Amerika sebagai pihak Tuhan juga memiliki kuasa yang sama untuk menaklukkan iblis dan kejahatan. Amerika berhak untuk memerangi iblis dan telah dijamin kemenangannya. Berdasarkan paparan tersebut maka bisa diinterpretasi bahwa dengan menggunakan simbol good and evil, Bush terlihat menciptakan jarak pemisah yang sangat luas antara Amerika yang baik dan teroris (serta pendukungnya) yang jahat. Ini juga bermakna bahwa tidak ada yang bisa menyatukan antara kelompok yang baik dan yang jahat, hasil akhir satu-satunya yang bisa ditempuh adalah harus mengalahkan satu pihak dan kemenangan di pihak yang lain. Hal itu sesuai dengan khotbah Yohannes yaitu salah satu rasul dalam perjanjian baru yang menyatakan dalam Yohannes 1;4-5 “Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya didalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya.”xliii Dalam ayat ini Yohannes menyampaikan bahwa terang atau dalam bahasa yang lebih umum yaitu good sudah pasti menang dari kejahatan atau evil. Ini berarti Amerika sebagai pihak baik sudah dipastikan untuk memenangkan pertempuran tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bush pada pertemuan keagamaan pada 30 Maret 2002, Bush menyatakan “we can be confident that evil may be present and it may be strong, but it will not prevail.”xliv Untuk melihat lebih dalam, maka perlu diperhatikan kutipan penyampaian simbol good and evil oleh Bush. Berikut adalah kutipan pidato dan pernyataan resmi Bush yang menggunakan frase good and evil, sebagai berikut: Address to the Nation, September 11, 2001 America was targeted for attack because we're the brightest beacon for freedom and opportunity in the world. And no one will keep that light from shining. ... Tonight, I ask for your prayers for all those who grieve, for the children whose worlds have been shattered, for all whose sense of safety and security has been threatened. And I pray they will be comforted by a power greater than any of us, spoken through the ages in Psalm 23 “Even though I walk through the valley of the shadow of death, I fear no evil, for You are with me.” Pidato singkat pada “National Day of Prayer and Remembrance, di Gereja Katedral Nasional, 14 September 2001 Just three days removed from these events, Americans do not yet have the distance of history. But our responsibility to history is already clear: to answer these attacks and rid the world of evil. Pidato Sidang Bersama Kongres dan Negara, 20 September 2001 On September the 11th, enemies of freedom committed an act of war against our country.... Our nation this generation will lift a dark threat of violence from our people and our future. Pidato State of the Union Address, 29 Januari 2002 Those of us who have lived through these challenging times have been changed by them. We've come to know truths that we will never question: evil is real, and it must be opposed. Pidato Kelulusan di West Point (Graduation speech), 01 Juni 2002 That it is somehow undiplomatic or impolite to speak the language of right and wrong. I disagree. Different circumstances require different methods, but not different moralities. Moral truth is the same in every culture, in every time, and in every place. Targeting innocent civilians for murder is always and everywhere wrong. Brutality against women is always and everywhere wrong. There can be no neutrality between justice and cruelty, between the innocent and the guilty. We are in a conflict between good and evil, and America will call evil by its name. Pidat0 singkat “Remarks to the Nation,” di Pulau Ellis, 11 September 2002 Ours is the cause of human dignity; freedom guided by conscience and guarded by peace. This ideal of America is the hope of all mankind. That hope still lights our way. And the light shines in the darkness. And the darkness will not overcome it. Pidato Kenegaraan “Adress to the Nation”, 11 September 2001 The search is underway for those who are behind these evil acts. …. We will make no distinction between the terrorists who committed these acts and those who harbour them. Bush melalui frase good and evil menunjukkan bahwa iblis benar-benar ada dan memiliki kuasa untuk memerangi kebaikan. Bush juga menyampaikan gagasan bahwa Allah tidak menghentikan kejahatan (iblis) terjadi, atau menghambat individu untuk dicobai oleh yang jahat. Oleh karena itu melalui simbol agama ini, Bush menyarankan bahwa Amerika sebagai negara yang terpilih harus menakhlukkan kejahatan daripada menyerahkan dirinya untuk kejahatan. Mengingat pernyataan yang disampaikan adalah pada masa penyerangan 11 September dapat ditafsirkan bahwa Bush berusaha untuk melibatkan kiasan bangsa yang terpilih (choosen nation) untuk menunjang keberanian dari publik Amerika untuk memperkuat tekad pribadi untuk memerangi iblis. Doktrin Bush melalui frase good and evil secara tersirat juga menyampaikan bahwa setiap negara harus mengambil posisi untuk bergabung bersama Amerika (good) atau bersama dengan teroris (evil), dan tidak ada pilihan abstain. Hal ini sesuai dengan kepercayaan Kristen yang menyatakan bahwa tidak ada pilihan setengah-setengah dalam mengikut Kristus. Hanya ada dua pilihan antara ikut Kristus atau tidak sama sekali. Hal ini sesuai dengan ayat Alkitab dari Wahyu 3:15-16 yang menyatakan sebagai berikut: Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau tidak dingin dan tidak panas. Alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas! Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku.xlv Secara spesifik Campbell dan Jamieson dalam artikel ilmiah yang berjudul President George W. Bush, Presidential Rhetoric and Constructions of Otherness, Post 9/11, menyatakan bahwa penggunaan simbol agama dalam kebijakan Bush pada dasarnya adalah untuk memudahkan Bush dalam berkomunikasi dengan masyarakatnya. Semakin paham masyarakat terhadap maksud Bush, dan semakin terpengaruh masyarakat terhadap ide Bush, maka semakin mudah Bush membuat keputusan untuk menyelesaikan problema yang dihadapi bangsanya.xlvi Campbell menyoroti perlunya presiden untuk mengadopsi bahasa yang sesuai dengan perannya dalam berbagai kondisi masyarakat. Campbell menyatakan bahwa dalam perannya sebagai imam, Bush bisa menyatakan perang terhadap kejahatan (evil), dan dalam perannya sebagai panglima tertinggi, Bush bisa menyatakan perang terhadap terror (war on terror). Campbell menegaskan bahwa Bush menggunakan bahasa agama seperti pendeta, karena sifat traumatis pasca serangan 11 September membutuhkan peran imam untuk membangkitkan dan menyatukan negara bersama-sama. Situasi duka masyarakat Amerika Serikat begitu besar setelah serangan 11 September 2001, masyarakat Amerika berada dalam situasi kaget, takut, sedih, dan membutuhkan pertanggung-jawaban pelaku. Amerika berduka atas kematian 3.000 orang anggota masyarakatnya. Dalam keadaan duka ini, Bush melihat bahwa masyarakat butuh kebangkitan dan kepulihan. Situasi ini juga membuat Bush untuk mengambil pilihan untuk menempatkan peran yang bisa mengayomi kebutuhan masyarakatnya sekaligus membentuk kebijakan yang harus diambil dalam melawan kejahatan dan musuh yang bertekad menghancurkan Amerika. Sebelum peristiwa 11 September, reputasi Bush sebagai presiden tidak terlalu mendapatkan tempat dihati masyarakat Amerika, sehingga pemerintahan Bush tergolong kurang mendapat dukungan publik. Kemenangan Bush dari Al Gore adalah kemenangan yang ditentukan oleh mahkamah agung Amerika, bukan rakyat Amerika.xlvii Melihat keadaan yang demikian, Bush tidak menyia-nyiakan peristiwa serangan 11 September 2001 sebagai momentum untuk memulai komunikasinya dengan rakayat Amerika. Situasi duka pasca 11 September adalah situasi yang paling tepat untuk menggiring opini publik serta untuk menggerakkan nasionalisme masyarakat. Dengan menggunakan retorika agama yang terutama sangat sesuai dengan keadaan yang berlangsung, maka penggunaan simbol-simbol agama sangat efektif untuk menarik intensi dan emosi masyarakat. Menurut Ty Solomon, penggunaan simbol-simbol agama dalam kebijakan luar negeri Bush terutama yang dituangkan dalam pidatonya bermakna untuk memberikan kebangkitan (resurrection) pada masyarakat Amerika. Penelitian ini berpendapat bahwa dalam konteks situasi retoris, Bush memenuhi tuntutan situasi dengan baik, yaitu untuk meyakinkan dan menenangkan ketakutan dan meningkatkan kepercayaan diri bangsa. Analisis Edwards dalam artikel ilmiahnya yang berjudul Presidential Rhetoric: What Difference Does it Make?, memberikan kesimpulan yang berbeda dari pandangan Campbell. Edwards menyatakan bahwa Bush menggunakan simbol-simbol agama Kristen, yang sedikit banyak berhubungan paralel dengan simbol agama dari perang di masa lalu, memiliki maksud tertentu. Dapat dikatakan bahwa alasan Bush menggunakan simbol agama tersebut adalah untuk melakukan manipulasi dalam membaca serangan 11 September 2001 sebagai ancaman nasional dan internasional, sehingga pengambilan keputusan untuk perang adalah tindakan yang sah untuk dilakukan. Dengan kata lain simbol agama digunakan untuk menarik dukungan publik dalam memberikan legitimasi kebijakan Bush yaitu War on Terror baik di Afghanistan maupun Irak. Secara politis simbol-simbol agama yang digunakan Bush memang efektif. Dalam kasus ini efektif didefenisikan adalah bahwa simbol-simbol agama Bush mampu membuat agenda politiknya berhasil dan diterima oleh pihak-pihak yang dituju. Pendapat ini beranjak dari argumen bahwa Bush sengaja menggunakan simbol-simbol agama Kristen yang sudah sangat akrab dengan hampir 70% telinga masyarakat Amerika. Jika rakyat mampu berhubungan dengan penggunaan simbol-simbol agama yang berulangkali digunakan serta menggunakan simbol-simbol yang telah mendarah daging, yang kemudian diikat ke dasar pemikiran untuk terlibat dalam konflik, ini membuat masyarakat Amerika memberi dukungan terhadap perang yang dideklarasikan Bush. Penggunaan berbagai jenis simbol yang dijelaskan sebelumnya tampaknya membuat lebih mudah bagi presiden Bush untuk berkomunikasi dan membentuk opini rakyat Amerika. Jika Bush mampu membingkai perang melalui budaya dan agama sehingga bisa menyatukan perspektif yang sama bahwa Amerika telah menjadi sasaran teroris karena kebebasan yang dijunjung, maka dalam hal ini Amerika memiliki hak untuk bertahan (self defense) dan memerangi kejahatan/teroris (progressive and preemptive strike) tersebut. Simbol-simbol agama Bush berjalan efektif secara politis ditandai dengan persentase dukungan yang diterima oleh Bush dari masyarakat dalam perang di Afghanistan dan Irak. Selain itu dalam pemilu yang kedua, Bush juga mendapat dukungan yang begitu masif dari kaum Evangelis Amerika yang akhirya memberi kemenangan bagi Bush untuk menjadi presiden dua periode. Pandangan ini didukung oleh hasil survei dari Baylor religion yang dapat dilihat dalam grafik 1. Grafik 1. Sikap Pro-perang Masyarakat Amerika (Afiliasi Politik dan Agama) Source: Baylor Religion Survey Dalam grafik 1 dapat kita lihat bahwa masyarakat yang cenderung pro terhadap perang Afghanistan dan Irak adalah pihak-pihak dan masyarakat agamawi atau yang banyak berkolaborasi dengan agama (gereja). Sementara politikus yang pro terhadap perang adalah kaum republik konservatif yang sebagian besar adalah kaum Evangelis. Hal ini mengimplikasikan munculnya perubahan dalam sikap masyarakat Amerika tentang peran agama dalam politik yang mana simbol-simbol agama Bush telah mampu mengonstruksi masyarakat Amerika bahwa mereka sedang memerangi iblis dan kejahatan. Selain itu, melalui penyebutan good and evil dan juga axis of evil, Bush menempatkan Afghanistan dan Irak sebagai musuh Amerika. Hal ini secara tidak langsung telah mengonstruksi pola pikir masyarakat Amerika dan juga masyarakat internasional mengenai keberadaan musuh dan teroris di timur tengah. Melalui frase good and evil yang dalam bahasa politiknya adalah war on terrorism, Amerika telah mengkonstruksi masyarakat domestiknya dan masyarakat dunia bahwa dunia sedang berada dalam posisi sangat terancam. Amerika tidak ingin menjadi aktor tunggal yang secara terang-terangan melawan negara-negara yang dianggap teroris, maka dari itu penggunaan simbol agama dan seruan untuk memerangi teroris terus dilakukan untuk menghimpun dukungan negaranegara atas kebijakan tersebut dan secara tidak langsung Amerika ingin mengaburkan anggapan-anggapan dibalik terjadinya peristiwa 11 September, yang beberapa diantaranya yaitu mulai adanya pandangan bahwa tidak mungkin Al-Qaeda menyerang secara langsung wilayah Amerika apabila tidak ada penyebabnya yang mungkin saja berasal dari tindakan-tindakan dan kebijakan Amerika yang sebelumnya telah diimplementasikan di Timur tengah.xlviii Mao Zedong pernah menyampaikan sebuah frase “politics is war without bloodshed, while war is politics with bloodshed.” Politik adalah perang tanpa darah, sementara perang adalah politik yang berdarah-darah. Perang adalah isu yang dipolitisasi. Suatu perang dapat terjadi tergantung dari bagaimana pihak yang merasa perlu perang ini dapat melihat, merasakan, menggambarkan, membayangkan dan berbicara tentang orang (negara) lain dari cara mereka mengkonstruksikan perbedaan antara dirinya dengan orang (negara) lain. Sederhananya suatu perang bisa dilegalisasikan tergantung bagaimana pihak mempolitisasi suatu isu agar dianggap penting dan pantas untuk diperangi, sehingga penggunaan simbol agama boleh dikatakan sebagai alat Bush untuk mempolitisasi isu terorisme menjadi perang yang legal bagi Amerika. Selain itu, simbol agama yang digunakan Bush juga dapat diaplikasikan dalam two level games. Selain untuk mengkonstruksi masyarakat domestik, simbol agama ini juga ditujukan ke negara-negara Afghanistan dan Irak dan secara umum terhadap Timur Tengah. Pasca serangan 11 September, Bush menyatakan misinya ke Afghanistan adalah crusade yang tentu sudah memiliki makna yang mengundang ingatan kembali terhadap kebrutalan perang antara Kristen dan Islam selam beratus-ratus tahun. Penyebutan iblis atau evil terhadap kaum teroris yaitu Afghanistan dan Irak dimaksudkan untuk membangkitkan kemarahan dari pihak musuh. Jika ditelaah secara singkat definisi iblis sejatinya adalah makhluk yang selalu jahat dan sangat dibenci oleh Allah. Hal ini digunakan untuk mengundang amarah dari negara dan kelompok yang dituduh teroris, sehingga dengan demikian mereka akan berjuang untuk melakukan penolakan dan perlawanan terhadap kebijakan Amerika. Dengan adanya sikap penolakan dan perlawanan dari para pejuang Islam di Afghanistan dan Irak membuat perang Amerika semakin terlihat legal dan sah karena menunjukkan bahwa Amerika tidak menjalani perang satu pihak saja, tetapi menghadapi perang yang bergolak di dua sisi. 3. Anomali Implementasi Kebijakan George W. Bush terhadap nilai-nilai Kristen Setiap orang Kristen tentu berharap untuk menemukan panggilan yang setia kepada Kristus. Tetapi pernyataan presiden yang percaya bahwa Amerika adalah sebuah negara yang memenuhi misi yang diberikan Allah dan bahwa Bush melayani bangsa Amerika karena memikul janji ilahi bisa menjadi sebuah teologi yang meresahkan dan menimbulkan ambiguitas. Kutipan Alkitab dan kutipan lagu rohani yang digunakan Bush memang otentik, tetapi kesalahan dalam menempatkan kutipan tersebut membuat maknanya berbeda dari konteks aslinya. Selain itu penyisipan simbol-simbol agama dalam kebijakan Bush dengan tujuan mendapatkan legitimasi atas tindakan pemerintahan Bush adalah perilaku menyesatkan. Pada pidato kenegaraan tahun 2003, presiden menyampaikan sebuah frase yang mudah dikenali karena merupakan frase yang terkenal dari sebuah lagu rohani Kristen. Bush mengatakan “The need is great. Yet there's power, wonder-working power, in the goodness and idealism and faith of the American people.” Frase yang menjadi penting adalah wonder working power. Frase ini bermakna kuasa supranatural yang selalu bekerja untuk menciptakan kebaikan. Tetapi lagu itu sebenarnya memiliki makna yang berbeda. Lirik lagu yang sebenarnya adalah power, power, wonder-working power in the blood of the Lamb. Lagu ini menuangkan tentang kuasa Kristus dalam karya penyelamatan manusia, bukan karya penyelamatan dan kekuatan rakyat Amerika, atau orang, atau negara manapun.xlix John Walis (editor of liberal evangelical magazine Sojourners) menyatakan bahwa penggunaan simbol agama dalam kebijakan luar negeri Amerika adalah sebuah periode yang bisa digambarkan dengan istilah “speak softly but carry a big stick.”l Walis mengatakan bahwa penggunaan simbol agama dalam kebijakan Bush adalah teologi yang keliru. Kebijakan Bush telah menciptakan kebingungan antara tujuan Tuhan yang sejati dengan kepentingan terbaik Amerika. Secara spesifik Walis ingin menyatakan bahwa penggunaan simbol-simbol agama dalam kebijakan luar negeri telah menyalahi makna yang ilahi, dan bahkan simbol-simbol agama yang digunakan Bush sebenarnya dibuat untuk memenuhi kepentingan dan tujuan yang lain, berikut kutipan pernyataan Walis: The speeches contain biblical language and hymnology, but often misused or often put in a different context, and the meaning has been changed. The meaning of the hymns and the meaning of that biblical text has been changed to serve another purpose. That's my concern, when all of a sudden it's supporting American foreign policy, when it wasn't about American foreign policy. It's about the light of Christ in the world. It was about the word of God in history. It wasn't about the American people and their values. So he's changing the meaning of the words, and that to me is disconcerting.li Teolog Martin Marty menyuarakan perhatiannya terhadap simbol-simbol agama Bush dengan menyatakan bahwa masalah dari penggunaan simbol agama ini bukan terletak pada kesungguhan iman Bush, tetapi masalahnya adalah bukti pendirian bahwa Bush sedang memikul panggilan Tuhan tidak dapat dipertanggungajawabkan. Bagi Marty keadaan ini justru menciptakan kebingungan untuk membedakan iman sejati dengan ideologi nasional. Menurut Marty jika kita mengkaji terkait simbol yang digunakan Bush yaitu penggunaan frase Amerika yang disebut sebagai free nation, beacon, dan light, maka simbol ini mengimplikasikan nilai-nilai sekulerisme Amerika yang liberalis dan menjunjung kebebasan, dan bukan nilai-nilai kristiani. Secara teologi penggunaan simbol-simbol agama oleh Bush telah mengakibatkan distorsi yang begitu dalam terhadap kekristenan. Bush telah mempolitisasi nilai-nilai agama Kristen menjadi sebuah alat untuk menunjang legitimasi kebijakan yang bertolak belakang dengan simbol-simbol agama tersebut. Jadi sangat tepat jika penggunaan simbol-simbol agama dalam kebijakan luar negeri Amerika digambarkan dengan metafora speak softly but carry a big stick. Tongkat besar dibalik simbol-simbol agama menjadi penting untuk ditelaah untuk memahami lebih dalam terkait anomali simbolsimbol agama yang diusung Bush dengan implementasinya dilapangan. Terdapat banyak indikasi dan penyelewengan yang terjadi antara simbol agama yang digunakan Bush dengan realitas yang terjadi dalam invasi Afghanistan dan Irak. Beberapa indikasi penyimpangan tersebut adalah: a. Setelah peristiwa 11 September, Presiden Bush segera mengklasifikasi tindakan penyerangan tersebut sebagai aksi terorisme, yang mana berada dalam definisi hukum domestik Amerika Serikat pada waktu itu. Segera setelah konsultasi dengan Menteri Luar Negeri Powell, Bush mengambil keputusan untuk mendeklarasikan war on terror. Namun tindakan perang ini bukanlah seperti defenisi perang tradisional. Tindakan perang adalah serangan militer oleh salah satu negara terhadap negara lain. Dan sejauh ini tidak ada bukti yang dihasilkan bahwa negara Afghanistan menyerang Amerika Serikat atau ikut menyetujui dan mendukung serangan 11 September tersebut. Ini bukan perang yang ideal. Sebelumnya telah ada perjanjian yaitu Konvensi Sabotase Montreal yang mengatur akses Amerika dan Afghanistan ke mahkamah internasional untuk menyelesaikan kasus antara dua negara termasuk ekstradisi Bin Laden dari Amerika. Namun Amerika mengabaikan perjanjanjian ini dan juga 12 perjanjian internasional lainnya yang mengatur tentang penanganan terorisme yang mengatur tentang perlunya opsi diplomasi sebelum mengambil tindakan untuk berperang. Pada tahun 2009, Direktur FBI Mueller dan wakil direktur CIA secara terbuka menyatakan bahwa 15 dari 19 orang pelaku penyerangan 11 September berasal dari Arab Saudi, namun Afghanistan sudah terlanjur menjadi korban keganasan invasi Amerika ke Afghanistan sebagai akibat dari peristiwa 11 September. b. Baik invasi terhadap Afghanistan maupun Irak tidak pernah disahkan dan tidak pernah mendapat mandat dari Dewan Keamanan PBB, sehingga secara teknis perang terhadap Afghanistan dan Irak adalah ilegal di bawah hukum internasional. Ini merupakan tindakan dan perang agresi oleh Amerika Serikat terhadap Afghanistan dan Irak. Bush memang menyampaikan rencana perang Afghanistan dan Irak ke PBB, namun kedua resolusi tersebut tidak mendapat persetujuan PBB. Dalam dua resolusi yang disampaikan Bush ditemukan bahwa Bush menggunakan resolusi yang sama dengan resolusi yang digunakan Bush senior untuk melaksanakan perang musim gugur tahun 1990 untuk melegitimasi perang terhadap Irak. c. Perang Irak dan perang Afghanistan tidak mendapatkan persetujuan dari kongres. Sebelum perang, Bush menghadap Kongres untuk mendapatkan otorisasi untuk pergi berperang. Belajar dari pengalaman Franklin D. Roosevelt yang dituduh sebagai diktator undang-undang, Bush berupaya mendapat persetujuan kongres. Namun Bush gagal mendapatkan persetujuan dan deklarasi perang. Kongres tidak pernah menyatakan perang terhadap Afghanistan atau terhadap siapa pun. Sehingga secara konstitusional tidak ada deklarasi perang yang sah terhadap Afghanistan dan Irak dan seharusnya ini merupakan pelanggaran terhadap hukum perang internasional. d. Perang di Afghanistan berlangsung sangat brutal dan terlihat keluar dari tujuan utama yaitu menyerang pelaku terorisme. Pesawat membom sebuah rumah sakit dikota Herat, lebih dari 100 orang meninggal. Sebuah masjid sebuah desa dekat Herat juga terkena serangan bom cluster dan bahan peledak armor. Lebih dari 25 bom menghancurkan desa Kama Ado, membunuh antara 100 dan 200 warga sipil, dan pemboman di desa di Khan-e-Mairaj Uddin menewaskan sedikitnya 50 warga, dan masih banyak lagi korban-korban sipil lainnya.lii e. Meski dibungkus dengan simbol-simbol agama namun tongkat dibalik semua itu adalah invasi yang didorong oleh keuntungan. Perang Afghanistan sebagian besar adalah perang penakhlukan dan penjarahan ekonomi dan sumber daya alam. Di bawah pendudukan Amerika dan sekutu, kekayaan mineral ini dijadwalkan akan dikelola setelah Afganistan telah ditenangkan oleh segelintir konglomerat pertambangan multinasional. Menurut Olga Borisova, invasi atau perang melawan terorisme yang dipimpin Amerika telah diubah menjadi kebijakan kolonial untuk agenda menambah kekayaan. Agenda akhir Amerika dan sekutu adalah menguasai cadangan gas alam Afghanistan, serta mencegah perkembangan persaingan dengan Rusia, Iran dan Tiongkok terkait kepentingan energi di Afghanistan.liii Untuk Irak sendiri, misi yang benar adalah menggulingkan Saddam Hussein yang anti Amerika dan kemudian mendirikan pemerintahan yang pro Amerika, sehingga cadangan minyak yang terbesar kedua di Timur tengah tersebut dapat menyuplai kebutuhan minyak Amerika. Bukti-bukti tersebut adalah beberapa indikasi yang menunjukkan anomali yang begitu besar dari misi utama Bush yang hendak mengalahkan dan menghanguskan kelompok teroris. Misi ini telah menyebar menjadi misi menyebarkan demokrasi dan misi pencarian sumber daya alam. Selain itu korban-korban yang berjatuhan mengimplikasikan kebrutalan perang yang sangat berbeda dengan konsep kekristenan yang disampaikan oleh Bush dalam pidato dan pernyataan resminya di media. Nilai-nilai metodisme ala Wesley yang dijunjung Bush sangat berbeda dengan kebijakan perang Bush di Afghanistan dan Irak. Wesley melakukan penolakan terhadap absolutisme gereja Inggris melalui penginjilan bukan melalui perang. Kristen yang terlahir kembali adalah Kristen yang menghidupi perjanjian baru bukan perjanjian lama. Kasih menjadi dasar satu-satunya kehidupan umat kristiani. Meski pada akhirnya Bush mengambil kebijakan untuk rekonsiliasi di Afghanistan dan Irak, namun deviasi penyimpangan misi perang yang telah merambah ke bidang politik, ekonomi, dan geopolitik telah merubah makna lahir baru Kristen menjadi kerakusan. Keadaan Irak dan Afghanistan setelah Bush mengalahkan evil yang ada didalamnya tidak menunjukkan ada implikasi mengubah keadaan menjadi lebih baik. Konflik dan misi ini justru berubah menjadi cerita beruntun yang selalu menyisahkan kejadian dan kejahatan baru di tanah Afghanistan dan Irak. 4. Respon dan Dampak Penggunaan Simbol Agama dalam Kebijakan Luar Negeri George W. Bush Simbol-simbol agama yang digunakan Bush selama pemerintahannya telah lama menjadi sorotan kaum agamawi dan juga kaum akademis. Penggunaan simbol agama yang semakin intens pasca 11 September membuat isu tentang peradaban menjadi isu yang penting dibahas, terutama ketika dikaitkan dengan prediksi karya ilmiah Samuel P. Huntington terkait dengan potensi konflik di masa depan yang diliputi oleh konflik peradaban. Peradaban Barat dan Islam yang selalu dipertarungkan dalam bukunya juga membuat peristiwa ini semakin terlihat lebih nyata. Hal ini terkait dengan deklarasi pelaku penyerangan 11 September yang dalam beberapa bukti menunjukkan bahwa sekelompok pelaku ini adalah orang-orang yang menjalankan perintah Allah yang dipercaya oleh orang Islam.liv Misi ini disinyalir dilakukan oleh pelaku (radikal Islam) terhadap Amerika yang dianggap kafir dan kapitalis. Pelaku penyerangan 11 September yang disinyalir merupakan kelompok Al-Qaeda secara tidak langsung telah merepresentasikan negara Arab dan agama Islam yang radikal. Sementara Amerika sebagai pihak korban adalah sebuah peradaban Barat dengan agama terbesarnya yaitu Kristen. Perbedaan peradaban yang begitu jelas ini membuat peradaban sangat relevan untuk isu tersebut. Penggunaan simbol agama dalam kebijakan Luar Negeri Bush telah membawa dampak yang direspon oleh kalangan domestik Amerika Serikat maupun kalangan yang menjadi sasaran kebijakan Bush yaitu Afghanistan dan Irak atau secara umum kawasan Timur Tengah. Dalam domestik Amerika, penggunaan simbol agama sepertinya membawa angin segar bagi sebagian besar penganut Kristen Evangelis (Militant Internasionalism). Keagamaan Bush dan penggunaan simbol agama Bush juga disinyalir merupakan keterlibatan pengaruh Kristen Evangelis. Simbol agama dalam kebijakan luar negeri Bush tidak dapat dibantah memiliki pengaruh emosional yang kuat dengan masyarakatnya. Simbol agama tersebut mampu menjawab pertanyaan Amerika terkait alasan penyerangan teroris ke wilayah Amerika dan mampu membentuk respon terbaik Amerika dalam melawan tindakan penyerangan 11 September tersebut. Hasil jajak pendapat yang dilakukan beliefnet.com pada tahun 2004 menggambarkan variasi dalam reaksi populer untuk simbol-simbol agama Presiden Bush dalam domestik Amerika. Lebih dari setengah masyarakat Amerika (62%) yang disurvei mengatakan bahwa mereka menyukai penggunaan simbol –simbol agama dalam kebijakan luar negeri Bush. Mereka juga menyatakan bahwa penggunaan simbol agama Bush mengimplikasikan kepemimpinan yang baik. Di sisi lain, hampir tiga dari sepuluh responden mengkritik kebiasaan presiden untuk berbicara tentang agama dalam intensitas yang tinggi. Mereka menyatakan bahwa simbol agam tersebut tidak relevan dan hanya digunakan sebagai alat politik.lv Badan yang lain yaitu Pew Global Research Center juga menemukan data yang sama dengan beliefnet yaitu survei yang dilakukan dari tahun 2004-2008. Survei Pew Global Research Center mengambarkan bahwa sejak peristiwa 11 September sampai tahun 2004 sebelum pemilu, Bush memiliki citra yang sangat positif dalam masyarakat Amerika. Citra positif yang dimaksud yaitu meliputi poin religius, berjiwa kepemimpinan, memiliki integritas yang tinggi, dan juga dapat diandalkan. Meskipun demikian, 20% dari masyarakat yang disurvei menyatakan bahwa Bush adalah seorang pembohong.lvi Berikut (tabel 1) adalah tabel hasil survei yang terkait dengan citra Bush dalam domestik Amerika: Tabel 1. Hasil Survei Terkait Citra Bush dalam Domestik Amerika Sumber: www.pewglobal.org Berdasarkan data pada tabel 1 dapat dibaca bahwa sebagian besar masyarakat Amerika merasa nyaman dengan penggunaan simbol-simbol agama dalam kebijakan luar negeri Bush, padahal pada awal kepemimpinannya Bush sangat tidak populer dan tidak mendapat dukungan publik Amerika. Meskipun mayoritas masyarakat Amerika mendukung penggunaan simbol-simbol agama dalam kebijakan Bush, namun tidak bagi mereka yang beragama Islam ataupun kelompok minoritas di Amerika. Bush mulai menyebut Islam setelah penyerangan 11 September 2001. Bush tidak pernah langsung menyebut agama Islam atau muslim sebelum 11 September 2001, namun enam bulan setelah peristiwa penyerangan tersebut, Bush telah menyebut agama Islam 92 kali dan menyebut Islam 28 kali dalam pidatonya sepanjang bulan September setelah 11 September terjadi. Meskipun dalam pidatonya Bush sering menggambarkan Islam dalam tensi positif, namun penyebutan Islam secara berulang-ulang membuat tensi agama ini menjadi sedikit bergeser dari nilai positifnya. Pada pidatonya pada 20 September 2001, Bush menyatakan: The terrorists practice a fringe form of Islamic extremism that has been rejected by Muslim scholars and the vast majority of Muslim clerics, a fringe movement that perverts the peaceful teachings of Islam. The terrorists’ directive commands them to kill Christians and Jews, to kill all Americans, and make no distinction among military and civilians, including women and children.lvii Bush membuat pemisahan antara Islam yang damai dan Islam yang ekstremis, namun penyebutan Islam secara berulang-ulang dalam tensi yang sedang genting pasca 11 September 2001 justru membuat pemisahan peradaban antara Amerika dan Islam semakin buruk. Benturan peradaban ini semakin terasa ketika awalnya Presiden Bush menggunakan istilah crusade atau perang salib untuk menggambarkan misi Amerika untuk melawan kekuatan iblis atau evil yang melakukan kejahatan di tanah Amerika, dan pelakunya adalah orang Arab dan orang Muslim. Istilah perang salib memiliki makna historis yang membawa kembali peristiwa pembunuhan massal pejuang Islam dan orang-orang Kristen. Perang salib telah mengembalikan ingatan pada tindakan kekejaman operasi militer terhadap dunia Islam oleh para ksatria Kristen yang berupaya menguasai Yerusalem dalam kurun waktu beratus-ratus tahun. Namun untuk menghindari kesalah-pahaman, presiden Bush menyatakan menyesal dengan penggunaan istilah tersebut dan menyatakan bahwa terdapat perbedaan penting antara Muslim yang menjunjung kebaikan dan muslim yang melakukan tindakan iblis. Dalam kesempatan lain, Presiden Bush juga awalnya memproklamirkan operasi militer infinite justice operation untuk menggambarkan kampanye militer Amerika di Afghanistan. Secara historis frase tersebut menggambarkan ayat alkitab yang menunjukkan pertempuran akhir dunia antara kekuatan baik dan kekuatan jahat. Dalam istilah lain disebut Armageddon yaitu misi orang-orang Kristen dalam menakhlukkan kejahatan. Hal ini kemudian direvisi Bush secepat mungkin menjadi Operation Enduring Freedom Meski segera direvisi, namun dua insiden ini telah meninggalkan kekhawatiran dunia Arab dan Muslim terkait masa depan umatnya. Selain kedua peristiwa tersebut, penggunaan simb0l-simbol agama Kristen dalam pidato dan pernyataan resmi Bush ketika mendeskripsikan misinya di Timur Tengah semakin mempertajam kekuatan konflik peradaban antara Barat dan Islam. Mayoritas orang Arab dan Muslim percaya bahwa tragedi 11 September telah menciptakan dua dampak yang begitu besar bagi kawasan dan agama tersebut. Pertama, fakta bahwa pembajak telah melakukan distorsi ayat-ayat Al-Quran untuk membenarkan perjuangan politik mereka telah membuat citra Islam sebagai agama yang damai dipertanyakan. Para pembajak yang mewakili Islam seolah menunjukkan kepada dunia bahwa Islam adalah agama yang diliputi kekerasan dan misi yang irasional. Kedua, tindakan para penyerang dengan menciptakan korban yang begitu besar telah memberi perngatan pertama terkait keselamatan dan keamanan banyak komunitas muslim dalam menghadapi kemungkinan permusuhan dan pembalasan pihak Amerika dan pihak pihak yang merasa terpancing untuk mendukung Amerika seperti Kristen Eropa. Ormas Islam dan organisasi politik Mesir memberikan tanggapan terhadap penggunaan simbol-simbol agama dalam operasi kebijakan luar negeri Bush. Simbolsimbol agama yang digunakan Bush ternyata membangunkan pemikiran-pemikiran yang semakin konfliktual bagi orang Islam di Timur Tengah. Sejumlah ormas dan organisasi politik Mesir mengangggap tindakan yang dilakukan AS terhadap Afghanistan pasca serangan 11 September hanya merupakan alasan dasar yang pada gilirannya akan merambah terhadap semua wilayah Islam di Timur Tengah setelah Afghanistan. Permusuhan dan peperangan yang dikobarkan Amerika tidak lain merupakan kelanjutan dari Perang Salib terhadap Islam dan meramba ke berbagai wilayah Islam yang melakukan penolakan terhadap misi Amerika. Sikap dan pandangan ini terutama diperlihatkan oleh organisasi-organisasi seperti Jamaah Ikhwanul Muslimin, Hizbul Amal dzi Tawajjuh Islami dan Hizbu Syariah.lviii Majdi Ahmad Hussain, Sekjen Hizbul Amal Mesir kemudian menegaskan bahwa peperangan yang tengah dikobarkan Amerika tidak lain adalah kelanjutan Perang Salib terhadap Islam. Amerika sengaja memadukan antara terorisme dan Islam untuk menggempur Islam. Hussain menyatakan bahwa Amerika dan Timur Tengah sekarang berada di ambang Perang Salib, yang merupakan perpanjangan perang terhadap Irak, Sudan dan Afghanistan, serta embargo terhadap Iran, Libia dan Somalia.lix Pandangan bahwa fenomena Perang Afghanistan merupakan suatu perang berlatar identitas, kultur, dan agama menyebabkan tersebarnya rasa paranoid antara kedua belah pihak (Islam dan Amerika) dan jika hal seperti ini terus berlanjut dan terjustifikasi, maka hal itu beresiko memunculkan suatu konflik dalam skala yang lebih luas. Adian Husaini, seorang peneliti Indonesia, dalam bukunya menyatakan bahwa benturan peradaban adalah sesuatu yang diciptakan dan dipromosikan oleh Huntington (sebagai bagian dari kaum neokonservatif) agar Barat dengan segera melakukan tindakan pre-emptive strike terhadap Islam. Husaini juga melihat bahwa penamaan teroris adalah bagian dari kampanye ini, yang merupakan kampanye lanjutan terhadap musuh besar Amerika.lx Sependapat dengan pandangan tersebut, penulis kontroversial Salman Rushdie bahkan juga meyakinkan bahwa perang Afghanistan dan Irak memang tentang Islam, khususnya merujuk pada hal yang disebutnya kaum Islamis, yakni kaum muslim yang memiliki agenda politik untuk menjadi kelompok dominan yang berkuasa.lxi Lebih lanjut, Muhammad Abbas dalam bukunya yang berjudul “Bukan, Tapi Perang terhadap Islam,” kembali menambah deretan argumen yang memandang bahwa serangan Amerika Serikat ke Afghanistan adalah salah satu langkah kecil dari permainan besarnya untuk mendominasi dunia dan menghancurkan Islam. Abbas juga menyatakan bahwa tindakan-tindakan imperialis Amerika Serikat tidaklah dilatari oleh kepentingan ekonomi namun murni karena kebencian terhadap suatu entitas penyaing peradaban Barat selama berabad-abad yaitu yang bernama Islam.lxii Penggunaan simbol agama telah membawa dampak traumatis bagi masyarakat muslim di Amerika maupun Timur Tengah. Muslim Timur Tengah merasa waspada terkait pembalasan yang dicetuskan di Timur Tengah, sementara Muslim Amerika takut akan penilaian negatif terhadap komunitasnya. Dampak paling besar yang dirasakan muslim Amerika dan Timur Tengah sebagai implikasi dari konstruksi benturan peradaban yang diusung Bush telah menciptakan klimaks dari islamophobia. Sebenarnya islamophobia telah dikenal sejak tahun 1980-an, namun Islamophobia menjadi suatu istilah yang popular setelah peristiwa 11 September 2001. Islamophobia yang berupa ketakutan, kebencian terhadap Islam, muslim dan budaya Islam berdasarkan streotip dan prasangka, mendorong sebagian masyarakat untuk mengkategorikan Islam sebagai ajaran yang penuh dengan kekerasan, tidak demokratis, tidak mengenal toleransi, dan lain sebagainya. Mayoritas Muslim Amerika (53%) menyatakan bahwa kehidupan sebagai Muslim di Amerika menjadi lebih sulit sejak terjadinya serangan teoris pada 11 September 2001.lxiii Hal ini terjadi akibat kekeliruan persepsi mengenai Islam pada kalangan masyarakat maupun pemerintah. Berdasarkan laporan dari Council on American-Islamic Relations (CAIR) lima hari setelah peristiwa 11 September jumlah kejadian anti-muslim mencapai 210 kejadian. Tanggal 20 september 2001, CAIR mendokumentasikan 500 kejadian. Kekerasan terhadap Muslim semakin meningkat jumlahnya pasca 11 September 2001. Kasus-kasus ini meliputi pemecatan seorang pekerja wanita muslim di sebuah perusahaan di St. Louis karena tidak melepas jilbab yang dikenakan, kekerasan terhadap seorang pemilik toko asal Pakistan yang ditembak mati oleh orang yang tidak dikenal, pembunuhan terhadap seorang sikh karena memiliki wajah serupa orang Timur Tengah, dan penembakan beberapa peluru ke jendela Masjid di Irving, dan lain sebagainya. Di Chicago ditemukan sebuah pawai sekitar 300 pemuda Amerika yang mendeklarasikan sebagai kelompok anti-Arab dengan melambaikan bendera Amerika dan berusaha untuk masuk ke sebuah Masjid di Bridgeview. Colin Zaremba, salah satu demonstran menyatakan “saya bangga menjadi orang Amerika dan aku benci orang-orang Arab dan akan selalu begitu.”lxiv Tidak dapat dipungkiri bahwa isu peradaban menjadi isu yang sangat berpotensi sebagai pemicu konflik di tengah-tengah masyarakat. Bush telah menunjukkan bahwa simbol-simbol agama bisa menjadi pisau bermata dua, disatu sisi bisa memberikan rasa aman untuk masyarakatya dan juga menciptakan kerusuhan disisi lain. i Raymond W. Murray, Sociology for a Democratic Society, Apleton-Century-Crofits, Inc., New York, 1950. hal. 239. ii Savory, loc.cit. iii Hugh Goddard, A History of Christian-Muslim Relations, Edinburgh: Edinburgh University Press, 2000, hal. 5. iv R.M. Savory,”Christendom vs. Islam: Interaction and Co-existence,” http://www.renaisance.com.pk/main.html, diakses 23 Maret 2016, 14.30 WIB, Surakarta. v Fawaz A. Gergez, America and Political Islam: Clash of Civilization or Clash of Interest?, Edisi Indonesia : Amerika dan Politik Islam : Benturan Peradaban atau Benturan Kepentingan?, Jakarta, AlvaBet, Cet.1, September 2012, hal. 5-6. vi Huffpost Politics,“September 11 Timeline: A Chronology Of The Key Events That Shaped 9/11,” http://www.huffingtonpost.com/2013/09/11/september-11-timeline_n_3901837.html, diakses pada 07 Maret 2016, 21.30 WIB, Surakarta. vii Ibid. viii Michel Chossudovsky,”THE 9/11 READER. The September 11, 2001 Terror Attacks,” http://www.globalresearch.ca/the-911-reader-the-september-11-2001-terror-attacks/5303012, diakses pada 24 Maret 2016, 20.00 WIB, Surakarta. ix Ibid. x Ibid. xi Enver Masud, 9/11 Unveiled: Second edition, The wisdom Fund, Arlington, 2008, hal. 6. xii Dave Thomas,” The 9/11 Truth Movement: The Top Conspiracy Theory, a Decade Later,” Center for Inquiry, Volume 35.4, http://www.csicop.org/si/show/the_9_11_truth_movement_the_top_conspiracy_theory_a_decade_later, diakses pada 12 Maret 2016, 16.00 WIB, Surakarta. xiii Muhammad, Radityo, “Video ini buktikan gedung WTC hancur bukan karena pesawat,” http://www.merdeka.com/dunia/video-ini-buktikan-gedung-wtc-hancur-bukan-karena-pesawat-14-tahunserangan-11-september.html, diakses pada 02 Februari 2016, 10.30 WIB, Surakarta. xiv Washingtonsblog Staff, “The 9/11 Commission Didn’t Believe the Government … So Why Should We?,” http://www.washingtonsblog.com/2015/03/911-commissioners-didnt-believe-government.html, diakses pada 14 Maret 2016, 11.00WIB, Surakarta. xv Ibid. xvi James Atlas,”What is Fukuyama saying? And to whom is he saying it?,” The New York Times, http://www.nytimes.com/1989/10/22/magazine/what-is-fukuyama-saying-and-to-whom-is-he-sayingit.html?pagewanted=all, diakses pada 03 Maret 2016, 17.00 WIB, Surakarta. xvii Eric D, Newson, “US Foreign Policy: the making of US foreign policy,” An electronic Journal of the US Department of State, Vol 5, no. 1, US Department of State Press, Washington, 2000. xviii Ibid. xix Fawaz A. Gergez, America and Political Islam : Clash of Civilization or Clash of Interest? Edisi Indonesia, Amerika danPolitik Islam : Benturan Peradaban atau Benturan Kepentingan?, Jakarta, AlvaBet, Cet.1, September 2012, Hal. 14-15. xx Ellin Y. Kristanti,” 7-10-2001: Amerika Serikat Kobarkan Perang di Afghanistan,” http://news.liputan6.com/read/2115168/7-10-2001-amerika-serikat-kobarkan-perang-di-afghanistan, diakses pada 04 Maret 2016, 20.00 WIB, Surakarta. xxi Ibid. xxii Patrick Martin,“US planned war in Afghanistan long before September 11,” https://www.wsws.org/en/articles/2001/11/afgh-n20.html, diakses pada 10 Maret 2016, 12.30 WIB, Surakarta. xxiii Ibid. xxiv Ibid. xxv Special Report, Would an Invasion of Iraq Be a “Just War”? United States Institute of Peace, Washinton, 2003, hal. 2. xxvi White House Archive,”State of the Union George W Bush,” http://georgewbushwhitehouse.archives.gov/stateoftheunion/2002/, diakses pada 12 Maret 2016, 08.30 WIB, Surakarta. xxvii Special Report, loc cit. xxviii Ibid. xxix Ibid. xxx Richard P. Heitzenrater, Wesley and the People Called Methodist, Nashville, Tenn., 1995. xxxi Mary Fairchild, “Methodist Church Beliefs and Practices: Understanding the Precepts and Distinctions of Methodism,” http://christianity.about.com/od/devotionals/a/Methodist.htm, diakses pada 05 Maret 2016, 19.00 WIB, Surakarta. xxxii John Piper, Finally Alive: What Happens when We are Born Again, Christian Focus Publications, Inggris, 2009. xxxiii Ibid. Hugh Urban, Religion and Secrecy in the Bush Administration: the Gentleman, the Prince, and the Simulacrum, Ohio, Ohio State university press, 2004. xxxv Ibid. xxxvi Kevin R. den Dulk, dan Mark J.Rozell, George W. Bush, Religion, and Foreign Policy: Personal, Global, and Domestic Contexts, The review of Faith and International affairs, Routledge, 2004. xxxvii Ibid. xxxviii Ibid. xxxix Ibid. xl Alkitab King James Version, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2012. xli White House Archive,”State of the Union George W Bush,” http://georgewbushwhitehouse.archives.gov/stateoftheunion/2002/, diakses pada 12 Maret 2016, 08.30 WIB, Surakarta. xlii John Piper,”Finally Alive: What Happens when We are Born Again,” Christian Focus Publications; Inggris, 2009. xliii Alkitab King James Version, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, Cetakan 2012. xliv Paula R.V. Dalziel, President George W. Bush, Presidential Rhetoric and Constructions of Otherness, Post 9/11, Edge Hill University, Lancashire, 2004. xlv Alkitab King James Version, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, Cetakan 2012. xlvi Paula R.V Dalziel, loc.cit. xlvii Ibid. xlviii Ibid. xlix Jim Wallis,”Dangerous Religion - Bush's Theology of Empire,” http://www.informationclearinghouse.info/article5402.htm, diakses pada 21 Maret 2016, 17.30 WIB, Surakarta. l James P. Pfifner dan Roger H. Davidson, Understanding the Presidency, Pearson Longman, New York, 2010. li PBS,”The spirituality of George W. Bush: Interview Jim Wallis,” http://www.pbs.org/wgbh/pages/frontline/shows/jesus/interviews/wallis.html, diakses pada 22 Maret 2016, 10.00 WIB, Surakarta. lii Francis A. Boyle,“The Illegalities of Bush’s War on Afghanistan,” http://www.counterpunch.org/2002/09/17/the-illegalities-of-bush-s-war-on-afghanistan/, diakses pada 18 Maret 2016, 19.30 WIB, Surakarta. liii Michel Chossudovsky,“The War is Worth Waging: Afghanistan’s Vast Reserves of Minerals and Natural Gas,” http://www.globalresearch.ca/the-war-is-worth-waging-afghanistan-s-vast-reserves-of-minerals-andnatural-gas/19769, diakses pada 21 Maret 2016, 14.00 WIB, Surakarta. liv Muhammad, Abbas, Bukan, Tapi Perang terhadap Islam, Wacana ilmiah Press, Solo, 2004, hal. 22-24. lv David Aikman,”Christianity Makes George Bush A Better President,” http://www.beliefnet.com/News/Politics/2004/10/Christianity-Makes-George-Bush-A-BetterPresident.aspx#MPDTmrIqrmkC6iYI.99, diakses pada 24 Maret 2016, 08.30 WIB, Surakarta. lvi PewGlobal,”Global Public Opinion in the Bush Years (2001-2008),” http://www.pewglobal.org/2008/12/18/global-public-opinion-in-the-bush-years-2001-2008/, diakses pada 22 Maret 2016, 13.00 WIB, Surakarta. lvii Black, Amy E, With God on Our Side: Religion in George W.Bush’s Foreign Policy Speeches, American Political Science Association,501 College Ave, Wheaton College, Illinois, 2004. lviii ES. Soepriyadi, Perang Salib Jilid Dua-Wajah Dunia Pasca Kiamat Kecil Amerika Serikat, Lembaga Kajian dan Penelitian Dunia Islam Sinergi, Jakarta, 2001, hal. 147. lix Ibid. lx Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Gema Insani, Jakarta, 2005, hal. 131-147. lxi Salman Rushdie,”Yes, This Is About Islam,” http://www.nytimes.com/2001/11/02/opinion/02RUSH.html?ex=1233723600&en=a2f3d913babef792&ei=5070, diakses pada 18 Maret 2016, 09.50 WIB, Surakarta. lxii Muhammad ‘Abbas, Bukan, Tapi Perang terhadap Islam, Wacana ilmiah Press, Solo, 2004, hal. 22-24. lxiii Religious Tolerance, “Aftermath of the 9/11 terrorist attack: Attacks on Muslims and others,” http://www.religioustolerance.org/reac_ter1.htm, diakses pada 22 Maret 2016, 09.30 WIB, Surakarta. lxiv Ibid. xxxiv