Komang Shary K., NPM 1206238633 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia LTM Pemicu 3 Modul Penginderaan Patogenesis, Patofisiologi, dan Manifestasi Klinis Kanker Nasofaring Pendahuluan Di Indonesia, karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang terbanyak ditemukan untuk daerah kepala dan leher (60%). Tumor ini sulit dideteksi dini dan tidak mudah diperiksa oleh tenaga kesehatan yang bukan ahli sehingga seringkali tumor ini baru terdeteksi ketika sudah berada pada tahap yang lebih lanjut.[1] Oleh karena itu, mempelajari patogenesis, patofisiologi, dan manifestasi klinis kanker nasofaring penting untuk lebih mengenal karakteristik tumor ini. Pada LTM ini akan dibahas patogenesis, patofisiologi, dan manifestasi klinis kanker nasofaring. Isi 1. Patogenesis Molekuler Kanker Nasofaring 1.1 Patogenesis Molekuler Kanker Pengetahuan mengenai patogenesis molekuler kanker secara umum dibutuhkan untuk memahami patogenesis kanker nasofaring. Terdapat beberapa prinsip yang perlu diketahui mengenai dasar terbentuknya kanker, dan prosesnya terangkum dalam Gambar 1. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: Karsinogenesis bermula dari kerusakan genetik yang nonletal. Kerusakan ini dapat disebabkan oleh agen yang terdapat di lingkungan, seperti zat kimia, radiasi, atau virus. Selain itu, Agen ini bisa juga diturunkan melalui germ line. Akan tetapi, mutase juga dapat terjadi secara acak dan tidak terduga. Sebuah tumor berasal dari satu sel precursor yang rusak dan mengalami ekspansi klonal. Gambar 1. Langkah-langkah karsinogenesis. [2] 1 Gen yang menjadi target kerusakan adalah empat kelas gen regulator normal: protoonkogen yang mempromosikan pertumbuhan, gen supresor tumor yang menginhibisi pertumbuhan, gen pengatur apoptosis, dan gen yang terlibat dalam reparasi DNA. Karsinogenesis terdiri dari banyak langkah pada tingkat genetik maupun fenotipe akibat banyak mutasi. Hasilnya, neoplasma dapat berprogresi menjadi ganas, dengan karakteristik neoplasma ganas seperti pertumbuhan berlebihan, invasi local, dan kemampuan metastasis yang jauh. Jadi, jika disimpulkan, sel yang normal mula-mula terpajan agen yang dapat merusak DNA. Apabila reparasi DNA gagal terjadi karena gen-gen pengatur pertumbuhan sel rusak, maka sel akan mengalami pertumbuhan klonal yang tak terkontrol. Lama-lama, terjadi progresi tumor yang dapat berujung pada neoplasma yang malignan. Neoplasma malignan memiliki karakteristik berupa invasi dan metastasis.[2] Pada metastasis, sel tumor terlepas dari massa primer, memasuki aliran darah atau sistem limfatik, lalu tumbuh di tempat yang jauh dari situs awalnya. Proses metastasis terdiri dari invasi sel tumor ke matriks ekstraseluler, diseminasi vaskular, penempatan sel tumor, dan kolonisasi. Melalui studi pada manusia dan tikus, ditemukan bahwa metastasis tidak selalu timbul, meski jutaan sel terlepas dalam sirkulasi setiap harinya dari suatu tumor. Hal ini disebabkan oleh berbagai mekanisme control (misalnya sistem imun adaptif dan induksi apoptosis) yang mengatur setiap langkah dari proses metastasis sehingga tidak semua sel dapat bertahan hidup.[2] Langkah-langkah metastasis terangkum pada Gambar 2. 1.2 Patogenesis NPC Kanker nasofaring (NPC) merupakan tumor ganas yang diasosiasikan dengan virus EBV (EpsteinBarr virus). Telah ditemukan bahwa perkembangan NPC Gambar 2. Langkah-langkah metastasis. [2] salah satunya dipengaruhi faktor risiko yang sudah sering dikemukakan yaitu kenaikan titer antibody anti-EBV yang konsisten. Akan tetapi, mekanisme molekuler dan hubungan patofisiologis dari karsinogenesis terkait EBV masih belum sepenuhnya 2 jelas.[3] Selain itu, meski NPC seringkali diasosiasikan dengan EBV, EBV tidak mengubah sel-sel epitel nasofaring menjadi sel-sel klon yang proliferative, meski ia dapat mentransformasi sel B primer. Agar terbentuk NPC, mula-mula dibutuhkan infeksi laten dan litik EBV yang diduga disokong oleh perubahan genetik yang dapat diidentifikasi pada epitel nasofaring premalignan. Setelah itu infeksi laten dan litik terjadi dan menghasilkan produk-produk tertentu, barulah ekspansi klonal dan transformasi sel epitel nasofaring premalignan menjadi sel kanker. Selain faktor genetik, faktor lingkungan berupa konsumsi karsinogen dalam diet pada masa kanak-kanak juga dapat mengakibatkan akumulasi dari lesi genetik dan peningkatan risiko NPC. Selain diet, faktor-faktor lainnya adalah pajanan zat-zat kimia pada pekerjaan, misalnya formaldehida dan debu kayu yang mengakibatkan inflamasi kronis di nasofaring.[4] Seperti yang telah dijelaskan, setelah faktor genetik dan lingkungan merangsang perubahan pada epitel nasofaring, virus EBV memperparah keadaan epitel tersebut. Virus EBV menginfeksi sel NPC secara laten. Virus ini kemudian memasuki fase infeksi litik yang produktif. Tumor NPC diketahui mengekspresikan tiga protein yang dikode EBV, RNA kecil dan mikroRNA. Protein-protein yang diekspresikan di antaranya adalah EBNA1, LMP1, dan LMP2. Dalam perkembangan NPC, diduga LMP1 memiliki peran sentral. LMP1 disekresi melalui eksosom dan masuk ke dalam sel-sel yang tidak terinfeksi EBV melalui endositosis. LMP1 juga mempengaruhi lingkungan di sekeliling tumor. LMP1 merupakan onkogen primer yang dapat meniru fungsi salah satu reseptor TNF, yakni CD40. Akibatnya, ia dapat menginisasi beberapa pathway persinyalan yang merangsang perubahan fenotip dan morfologi sel epitel. LMP 1 juga mengakibatkan peningkatan EMT (epithelial-mesenchymal transition).[3] Pada proses EMT, sel-sel karsinoma akan menurunkan penanda epitel tertentu dan meningkatkan penanda mesenkim tertentu sehingga menimbulkan perkembangan fenotip promigratori yang penting dalam metastasis.[2] Oleh karena itu, LMP1 juga berperan dalam menimbulkan sifat metastasis dari NPC. Peningkatan EMT oleh LMP1 ini diikuti dengan ekspresi penanda sel punca kanker/sel progenitor kanker serta pemberian sifat-sifat mirip sel punca/sel progenitor kepada sel.[3] Protein-protein lainnya serta ekspresi RNA virus juga memiliki peranan dalam karsinogenesis NPC, contohnya LMP2 yang mempertahankan latensi virus. [3] Peran-peran protein dan RNA serta proses patogenesis NPC terangkum dalam Gambar 3. 3 Gambar 3. Patogenesis NPC. [3] 2. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis Gejala-gejala NPC dapat dibagikan menjadi 4 kategori: (1) gejala terkait massa nasofaring seperti epistaxis, obstruksi, dan nasal discharge; (2) gejala terkait disfungsi tuba Eustachius seperti berkurangnya pendengaran dan tinnitus; (3) gejala terkait keterlibatan basis cranii (erosi) seperti sakit kepala, diplopia, rasa sakit pada wajah, dan baal/paresthesia; dan (4) massa pada leher.[5] Pada pemicu ini, pasien mengalami beberapa gejala: merasa adanya benjolan (massa) di leher kanan yang semakin besar yang terlihat sejak 3 bulan yang lalu, tidak nyeri dan imobil mimisan ringan 6 bulan yang lalu berkurangnya pendengaran telinga kanan, rasa penuh pada telinga, serta munculnya bunyi pada telinga sejak setahun yang lalu munculnya penglihatan ganda berkurangnya penciuman dan tersumbatnya hidung Dari gejala-gejala tersebut, tampak bahwa pasien mengalami gejala-gejala dari keempat kategori. Pada gejala terkait massa nasofaring, ia mengalami epistaxis dan obstruksi. Untuk gejala terkait disfungsi tuba Eustachius ia mengalami berkurangnya pendengaran serta tinnitus. Untuk keterlibatan basis cranii, ia mengalami penglihatan ganda. Terakhir, ia juga memiliki massa pada leher. Patofisiologi berikut akan membahas satu persatu bagaimana gejala-gejala tersebut dapat timbul. 4 2.1. Massa pada Leher Massa pada leher yang dapat dipalpasi merupakan gejala paling umum dari NPC. Sebanyak 60% pasien datang mencari bantuan medis akibat gejala ini. Penyebab munculnya massa pada leher adalah metastasis tumor ke kelenjar getah bening (nodus limfatik) bagian Gambar 4. Presentasi gejala-gejala NPC. [6] servikal.[6] Pembesaran kelenjar getah bening bagian leher disebut juga limfadenomati servikal. Gejala ini sesungguhnya umum ditemui pada penyakit yang menyerang kepala dan leher, dan evaluasinya dapat membantu menentukan etiologi dan proses patologis yang terjadi. Kelenjar getah bening yang nyeri dan mengalami inflamasi menandakan adanya inflamasi akut, yang biasanya terjadi akibat infeksi sedangkan elenjar getah bening yang volumenya besar, tegas (firm), dan elastis (rubbery) seringkali menandakan adanya limfoma.[7] Tedapat sistem tingkatan (level) dalam menggambarkan pembesaran kelenjar getah bening untuk mengevaluasi persebaran tumor primer kepala dan leher. Dengan menentukan jumlah tingkatan kelenjar getah bening dan ukurannya dokter dapat menentukan tata laksana dan prognosis pasien. Berikut adalah tingkatan-tingkatan pembesaran kelenjar getah bening: Level 1: mulai dari garis tengah segitiga submental sampai tingkat kelenjar submandibular Level 2: dari basis tulang tengkorak sampai tingkat tulang hyoid, anterior dari bagian posterior musculus sternocleidomastoideus Level 3: mulai bagian bawah tulang hyoid sampai ke bagian bawah arkus krikoid, dan anterior dari batas posterior sternocleidomastoideus sampai garis tengah Level 4: mulai dari bagian bawah krikoid sampai ke bagian atas manubrium sterni, dan anterior dari batas posterior musculus sternocleidomastoideus Level 5: posterior sternocleidomastoideus dari dan musculus bagian anterior musculus trapezius, di atas klavikula Level 6: di bawah tulang hyoid dan di atas sternal notch Gambar 5. Tingkat-tingkat kelenjar getah bening. [8] Level 7: di bawah sternal notch [7] 5 Metastasis pada NPC biasanya terletak di bagian superior, yaitu level 5 atas dan level 2. Metastasis yang pertama diawali dengan kelenjar-kelenjar di daerah retrofaring. Terkadang dapat ditemukan pasien dengan pembesaran awal di kelenjar level 3, dan lebih jarang lagi kelenjar level 4. Apabila dibiarkan dalam jangka waktu yang lama, pembesaran kelenjar ini dapat berujung pada nekrosis sentral dan pembentukan abses.[6] 2.2. Gejala Terkait Massa di Nasofaring Gejala terkait massa di nasofaring yang dialami pasien pada pemicu ini adalah mimisan ringan, hiposmia, serta penyumbatan (obstruksi) hidung. Mimisan atau perdarahan dari hidung disebut juga dengan epistaksis. Epistaksis dapat disebabkan berbagai hal, misalnya trauma ringan, kelainan pembuluh darah local, infeksi lokal, dan tumor.[9] Menurut studi Suzina dan Hamzah (2003), perdarahan dari hidung merupakan keluhan paling umum kedua yang muncul pada awal-awal penyakit. Gejala ini tidak muncul pada pasien dengan lesi yang jinak sehingga riwayat epistaksis dikatakan sebagai indikasi keganasan.[10] Gangguan indera penghidu dapat terjadi akibat terhalangnya partikel bau untuk sampai ke reseptor atau kelainan nervus olfaktorius. Hiposmia seperti pada kasus ini dapat terjadi akibat obstruksi oleh tumor di rongga nasal yang menghalangi partikel bau untuk sampai ke reseptor indera penghidu.[11] 2.3. Gejala Terkait Disfungsi Tuba Eustachius Pasien pada pemicu mengalami gangguan pendengaran berupa penurunan pendengaran dan munculnya suara pada telinga. Gangguan-gangguan ini dapat disebabkan oleh disfungsi tuba Eustachius. Tuli (deafness) termasuk gejala yang umum ditemui pada penderita NPC.[6,10] Dalam kasus ini, hilangnya pendengaran berupa gangguan konduktif. Penyebabnya adalah otitis media dengan efusi yang merupakan dampak dari disfungsi tuba Eustachius.[6] Otitis media dengan efusi memiliki karakteristik efusi nonpurulen di telinga tengah dengan gejala rasa penuh pada telinga atau hilangnya pendengaran. Otitis media dengan efusi bisa jadi merupakan resolusi dari otitis media akut atau terjadi tanpa otitis media akut.[12] Tuba Eustachius merupakan organ yang memiliki 3 fungsi: keseimbangan tekanan antara telinga tengah dan telinga luar, klirens sekresi, dan perlindungan telinga tengah. Pada hewan coba, ditemukan bahwa ligase tuba Eustachius secara konsisten berujung pada munculnya efusi telinga tengah yang persisten. Efusi ini kemudian menetap karena gagal mengalami klirens. Faktor-faktor 6 yang dapat mengalami klirens gagal di antaranya adalah disfungsi silier, hiperviskositas efusi, edema mukosa, dan (kemungkinan) gradient tekanan yang kurang baik. [12] Gangguan pendengaran berupa sensasi suara tanpa adanya rangsangan dari luar disebut juga sebagai tinitus. Suara ini muncul akibat aktivitas elektrik di area auditorius yang bukan berasal dari bunyi eksternal, tetapi dari sumber impuls abnormal di dalam tubuh pasien. Tinitus dapat terdengar berupa suara mendenging, menderu, mendesis, dan lain-lain. Tinitus dapat terjadi akibat gangguan konduksi, misalnya pada sumbatan liang telinga karena serumen atau tumor, otitis media, otosklerosis, dan lain-lain.[13] 2.4. Gejala Terkait Keterlibatan Basis Cranii Rongga tengkorak terletak dekat dengan nasofaring dan terhubungkan melalui beberapa lubang.[1] Meluasnya tumor sampai ke daerah intrakranial atau mengerosi clivus dapat menyebabkan gangguan nervus cranialis. Nervus yang paling umum terpengaruhi adalah nervus V, dilanjutkan dengan VI, IX, X, dan XII.[6] Apabila tumor menjalar lewat foramen laserum, saraf cranialis III, IV, VI, dan bisa juga V akan terkena. Manifestasi yang dapat ditemukan contohnya neuralgia trigeminal dan diplopia. Apabila menjalar lewat foramen jugulare, maka saraf cranialis yang terkena adalah nervus IX, X, XI, dan XII. Gangguan pada nervus-nervus ini disebut sindrom Jackson. Tumor juga dapat mengenai seluruh saraf otak dan mendestruksi tulang tengkorak. Pada kasus yang demikian, prognosis biasanya buruk.[1] Pandangan ganda yang dialami pasien disebut juga dengan diplopia. Diplopia dapat terbagi menjadi monocular (apabila tetap terjadi bila salah satu mata ditutup) dan binocular (dapat sembuh bila salah satu mata ditutup). Kebanyakan kasus di emerjensi merupakan diplopia binokuler dengan kelumpuhan nervus VI. Diplopia monocular terjadi karena masalah mata terkait distorsi jalan masuk cahaya sedangkan diplopia binocular terjadi karena tergesernya aksis visual, misalnya akibat disfungsi musculus oculomotor atau disfungsi nervus cranialis. Selain nervus VI, diplopia binokuler juga dapat diakibatkan oleh nervus III dan IV. Ketiga nervus ini menginervasi otot-otot yang menggerakkan bola mata. Kerusakan dapat terjadi pada satu nervus maupun kombinasi. Kompresi nervus, misalnya oleh tumor yang berinfiltrasi, dapat menghasilkan kombinasi kelumpuhan nervus III, IV, dan VI yang bisa disertai baal pada daerah periorbital dan wajah serta nyeri retroorbital, proptosis, dan kongesti vena.[14] Kesimpulan dan Keterkaitan dengan Pemicu Karsinoma nasofaring timbul akibat kombinasi interaksi faktor genetik, lingkungan, dan virus. Karsinoma nasofaring dapat memiliki 4 macam manifestasi,dalam berbagai sistem: massa pada leher 7 akibat metastasis tumor, gejala indera penghidu yang diakibatkan oleh massa tumor, disfungsi tuba Eustachius, serta gangguan pada nervus cranialis seperti diplopia. Gejala-gejala ini konsisten dengan yang telah dialami Tn. Andreas (pasien pada pemicu) yakni mimisan, diplopia, munculnya benjolan pada leher, berkurangnya pendengaran, tinnitus, hiposmia, dan hidung tersumbat. Oleh karena itu, kemungkinan Tn. Andreas mengalami kanker nasofaring. Daftar Pustaka: 1. Rozin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring. In: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher, Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. 2. Stricker TP, Kumar V. Neoplasia. In: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC, editors. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease, Eighth Edition. Philadelphia: Saunders; 2010. 3. Yoshizaki T, Kondo S, Wakisaka N, Murono S, Endo K, Sugimoto H, et al. Pathogenic role of Epstein-Barr virus latent membrane protein-1 in the development of nasopharyngeal carcinoma. Cancer Lett. 2013 May 12; 337:1-7. doi: 10/1016/j.canlet.2013.05.018. 4. Tsao SW, Yip YL, Tsang CM, Pang PS, Lau VMY, Zhang G, et al. Etiological factors of nasopharyngeal carcinoma. Oral oncol. 2014 Mar 12; 50:330-338. doi: 10.1016/j.oraloncology.2014.02.006. 5. Petersson F. Nasopharyngeal carcinoma: A review. Seminars in Diagnostic Pathology. 2015; 32:54-73. Doi: 10.1053/j.semdp.2015.02.021. 6. Tan L, Loh T. Benign and Malignant Tumors of the Nasopharynx. In: Flint PW, Haughey BH, Lund V, Niparko JK, Robbins KT, Thomas JR, et al, editors. Cummings Otolaryngology, Sixth Edition. Philadelphia: Saunders; 2015. 7. Drake RL, Vogl AW, Mitchell AWM. Gray’s Basic Anatomy. London: Churchill Livingstone; 2012. 8. Dhanutai K, Hemprich A, Pausch NC, Pitak-Arnnop P. Response to “Gingival squamous cell carcinoma: A diagnostic impediment”. J Indian Soc Periodontol. 2012; 16:300-301. Doi: 10.4103/0972-124X.100899. 9. Mangunkusumo E, Wardani RS. Epistaksis. In: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher, Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. 10. Suzina SAH, Hamzah M. Clinical Presentation of Patients with Nasopharyngeal Carcinoma. Med J Malaysia. 2003 October; 58:539-545. 11. Mangunkusumo E. Gangguan Penghidu. In: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher, Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. 12. Higgins TS. Otitis Media With Effusion [Internet]. 2015 [updated 2015 Feb 20; cited 2015 Apr 1]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/858990-overview 13. Bashiruddin J, Sosialisman. Tinitus. In: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher, Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. 14. Guluma K. Diplopia. In: Marx JA, Hockberger RS, Walls RM, editors. Rosen’s Emergency Medicine, Eighth Edition. Philadelphia: Saunders; 2014. 8