BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Konsep Kerangka Konsep dibutuhkan untuk mempermudah dalam memahami sebuah kasus dalam bentuk tabel, diagram atau semacamnya seperti kerangka dibawah ini yang menjelaskan tentang kronologis singkat kasus sengketa saham TPI antara PT.Berkah Karya Bersama dengan PT.Citra Televisi Pendidikan Indonesia yang mempunyai 2 putusan pengadilan berbeda yaitu Putusan Mahkamah Agung dengan Putusan Arbitrase sehingga menimbulkan kebingungan antara para pihak tentang putusan manakah yang lebih berwenang dalam kasus ini. TPI PT.BERKAH KARYA BERSAMA PT.Citra Televisi Pendidikan Indonesia Putusan Mahkamah Agung Putusan Arbitrase Siapa yang menang? aa Gambar 2.1 : Kerangka Konsep Keterangan : : Sengketa : Menghasilkan B. Arbitrase 1. Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia Tentang Arbitrase Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umumyang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Sebelum UU Arbitrase dan APS diberlakukan, peraturan yang digunakan sebagai dasar pemeriksaan arbitrase di Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:-52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227).1 Kemudian pada tahun 1970, dasar pemeriksaan arbitrase kembali mendapat pengaturan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pada penjelasan Pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase diperbolehkan, namun putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi (executoir) dari pengadilan.2 Dengan persetujuan DPR, Presiden Republik Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie mengesahkan UU Arbitrase dan APS pada tanggal 12 Agustus 1999 sebagai dasar pengaturan arbitrase di Indonesia. Sebagaimana tertulis dalam Pasal 2 UU Arbitrase dan APS, Undang undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara Hukum Online, “Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagaimana diundangkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872, selanjutnya disebut Penjelasan UU Arbitrase dan APS”. (On-line), tersedia di WWW: http://www.hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/lt4c5133d42cfc8/parent/815 ( 10 Juni 2015). 2 Ibid. 1 69 arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa. UU Arbitrase dan APS adalah dasar keberadaan arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan umum Indonesia. Dalam Penjelasan Umum UU Arbitrase dan APS, dijelaskan terdapat beberapa keuntungan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan melalui proses peradilan, yaitu : a. Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin b. Keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari c. Para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya e. Para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase f.Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan. Arbitrase dalam UU Arbitrase dan APS didefinisikan sebagai cara penyelesaian sengketa dagang di luar pengadilan. Arbitrase dipilih berdasarkan perjanjian arbitrase tertulis yang dibuat oleh para pihak yang berselisih. Pasal 1 ayat 1 UU Arbitrase dan APS menentukan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dari pengertian Pasal 1 ayat 1 UU Arbitrase dan APS tersebut jelas bahwa yang menjadi dasar dari arbitrase adalah perjanjian di antara para pihak sendiri, yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa apa yang telah diperjanjikan oleh para pihak mengikat mereka sebagai undang–undang. Selanjutnya di dalam Pasal 1 ayat 8 UU Arbitrase dan APS, disebutkan bahwa Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, di mana lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU Arbitrase dan APS, yang dapat diselesaikan melalui Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah sengketa atau perbedaan pendapat yang timbul atau mungkin timbul antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah diperjanjikan sebelumnya bahwa penyelesaiannya akan ditentukan dengan cara arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa. Yurisdiksi arbitrase muncul ketika ada klausul mengenai pilihan yurisdiksi atau pilihan forum di dalam perjanjian, yang menyebutkan bahwa arbitrase merupakan badan penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di antara mereka. Klausula tersebut disebut sebagai klausula arbitrase. Pasal 1 ayat 3 UU Arbitrase dan APS mengartikan perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian arbitrase timbul karena adanya kesepakatan berupa : 1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau 2. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa. Perjanjian arbitrase atau diletakkan kepada perjanjian klausula arbitrase merupakan tambahan yang pokok. Keberadaannya hanya sebagai tambahan kepada perjanjian pokok, dan sama sekali tidak mempengaruhi pelaksanaan pemenuhan perjanjian. Untuk dapat mengetahui lebih jelas letak klausula arbitrase dalam suatu perjanjian, dapat ditemukan pada perjanjian antara PT Berkah Karya Bersama dengan Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut. Keduanya menandatangani investment agreement tertanggal 23 Agustus 2002 yang mengakibatkan 75% saham TPI beralih kepada PT Berkah Karya Bersama. Investment agreement tersebut terkandung klausula arbitrase yaitu pada pasal 13.2, pasal 13.3 dan pasal 13.4 dan pasal 13.7 71 Pasal 13.2 “Segala sengketa yang timbul diantara Para pihak yang berasaldari atau terkait dengan Perjanjian ini, termasuk tetapi tidak terbatas pada, pertanyaan apapun terkait dengan penafsiran, keabsahan pelaksanaan, keefektifan dan pemutusan hak atau kewajiban dari pihak manapun akan diselesaikan secara musyawarah”; Pasal 13.3 “Apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah oleh Para pihak, maka sengketa tersebut harus diselesaikan secara eksklusif dan bersifat final melalui arbitrase di Jakarta menurut Peraturan Badan Arbitrase Nasional Indonesia”; Pasal 13.4 “Pasal 13 ini merupakan suatu Klausula Arbitrase yang tercakup dalam pengertian menurut Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (12 Agustus 1999) dan tidak dapat dicabut serta mengikat Para Pihak untuk menyerahkan sengketa kepada arbitrase bersifat final dan mengikat sesuai dengan hukum dan ketentuan-ketentuan di dalam Perjanjian ini”;3 Pasal 13.7 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya berwenang untuk pelaksanaan (eksekusi) dari putusan arbitrase Indonesia (BANI). Pada perjanjian diatas terdapat klausula arbitrase dalam bentuk pacta de compromittendo (klausula arbitrase yang dibuat pada saat sebelum terjadi sengketa). Adanya klausula arbitrase tersebut dipersiapkan untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin timbul antara para pihak. Dalam investment agreement tersebut telah disebutkan adanya pemilihan arbitrase sebagai penyelesaian apabila terjadi sengketa dikemudian hari. Kesepakatan mengenai arbitrase sebagai lembaga yang dipilih oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka harus dibuat secara tertulis. 3 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 PK/Pdt/2014” (On-line), tersedia di WWW: http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/d21492ac727b66a570075df168197d07 (20 Maret 2015). Perjanjian arbitrase harus dibuat secara tertulis dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) UU Arbitrase dan APS.4 Dalam hal perjanjian arbitrase dibuat oleh para pihak di mana kesepakatan mengenai arbitrase dibuat setelah sengketa terjadi, Pasal 9 UU Arbitrase dan APS mengatur ketentuan-ketentuannya. Disebutkan dalam pasal tersebut bahwa tidak hanya tertulis dan ditandatangani para pihak, perjanjian arbitrase memiliki syarat syarat materiil yang harus dipenuhi. Jika syarat-syarat materiil yang ditentukan tersebut tidak dipenuhi, akan berakibat perjanjian yang dibuat oleh para pihak menjadi batal. Hal tersebut sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 9 UU Arbitrase dan APS sebagai berikut : 1. Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. 2. Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris. 3. Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat : a) masalah yang dipersengketakan; b) nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; c) nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase; d) tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan; e) nama lengkap sekretaris; f) jangka waktu penyelesaian sengketa; g) pernyataan kesediaan dari arbiter; dan h) pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesalan sengketa melalui arbitrase. 4 Hukum Online, “Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa Pasal 4 ayat 2” (On-line), tersedia di WWW: http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/815/nprt/572/uu-no-30-tahun-1999-arbitrase-danalternatif-penyelesaian-sengketa (19 juni 2015). 73 4. Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum.5 Dengan adanya klausula arbitrase di dalam perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa, arbitrase akan memiliki kompetensi absolut. Arbitrase menjadi satu-satunya lembaga yang berwenang memeriksa dan mengadili sengketa yang timbul dari perjanjian atau kontrak dengan klausula arbitrase atau sengketa yang dibuatkan perjanjian arbitrase setelahnya. Kewenangan absolut arbitrase yang timbul dari adanya suatu klausula atau perjanjian arbitrase dipertegas dengan yang dinyatakan selanjutnya dalam Pasal 3 UU Arbitrase dan APS, yaitu bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Selanjutnya yurisdiksi tersebut dikuatkan dalam Pasal 11 ayat 1 UU Arbitrase dan APS yang menentukan bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.6 Dalam ayat 2 disebutkan bahwa “Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal tertentu yang ditetapkan dalam UU Arbitrase dan APS.”7 Obyek sengketa yang menjadi kewenangan arbitrase ditentukan dalam Pasal 5 UU Arbitrase dan APS. Di dalam pasal ini disebutkan sebagai berikut: 1. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. 5 Ibid., pasal 9 6 Ibid., Pasal 11 ayat (1) 7 Ibid., Pasal 11 ayat (2) 2. Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Sesuai dengan ketentuan pasal 5 UU Arbitrase dan APS di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sengketa yang menjadi obyek pemeriksaan arbitrase adalah sengketa di bidang perdagangan dan sengketa mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Dalam UU Arbitrase dan APS ini tidak diberikan penjelasan mengenai apa yang termasuk dalam bidang perdagangan tersebut. Namun jika menghubungkan dengan Penjelasan pasal 66, maka dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan ruang lingkup perdagangan tersebut adalah kegiatan-kegiatan antara lain di bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak kekayaan intelektual. Ketentuan sengketa mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa tidak dijelaskan secara lanjut di dalam penjelasan UU Arbitrase dan APS. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, hak adalah “milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang atau aturan), dan wewenang menurut hukum.8 Jika melihat dari pengertian hak tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan tidak dikuasai sepenuhnya oleh seseorang karena hak adalah sesuatu yang melekat pada diri seseorang dan dimiliki oleh orang tersebut. Sehingga sepanjang sengketa yang dimohonkan pada arbitrase adalah sengketa hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa, maka sengketa tersebut dapat menjadi obyek pemeriksaan arbitrase. 8 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia ( On-Line), tersedia di WWW: http://bahasa.cs.ui.ac.id/kbbi.php?keyword=hak&varbidang=all&vardialek=all&varragam=all&varkel as=all&submit=kasus=kamus (25 mei 2015) 75 Selanjutnya Pasal 5 ayat 2 UU Arbitrase dan APS menentukan bahwa sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Menurut sistem hukum perdata Indonesia, semua hubungan hukum dapat diadakan perdamaian. Sehingga dapat dilihat bahwa yang menjadi obyek dari arbitrase adalah sengketa keperdataan secara luas, meliputi bidang perdagangan, mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa serta sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan dapat diadakan perdamaian. Sepanjang terdapat klausula arbitrase dalam kontrak di antara para pihak, maka penyelesaian sengketa perdagangan dan hak dapat diserahkan kepada arbitrase. Sehingga tidak terdapat batas mengenai sengketa perdata jenis apa yang dapat diperiksa dan diputus melalui arbitrase kecuali dibatasi atau diatur sendiri oleh undang-undang. Seluruh sengketa perdata masuk sebagai obyek kewenangan arbitrase. sengketa perdagangan masuk dalam ruang lingkup keperdataan. Sengketa mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa juga merupakan sengketa perdata. Dan selanjutnya, seluruh sengketa perdata menurut peraturan perundang-undangan dapat diadakan perdamaian. 2. Prosedur Pelaksanaan Arbitrase Mengenai prosedur pelaksanaan arbitrase, UU Arbitrase dan APS mengatur tentang cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase pada Bab IV tentang Acara yang Berlaku di Hadapan Majelis Arbitrase. Pada bab ini terdapat dua bagian yaitu Bagian Pertama yang mengatur tentang Acara Arbitrase dan Bagian Kedua yang mengatur tentang Saksi dan Saksi Ahli. Bagian Pertama terdiri dari 22 (dua puluh dua) pasal yaitu Pasal 27 sampai dengan Pasal 48 yang secara keseluruhan mengatur tentang Acara Arbitrase sedangkan Bagian Kedua terdiri dari tiga pasal yang mengatur tentang Saksi dan Saksi Ahli yaitu pada Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51. Pada Pasal 27 UU Arbitrase dan APS disebutkan bahwa ”Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup”. Pasal ini memberikan perlindungan kepada para pihak yang berusaha menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase dari teraksesnya segala hal yang berkaitan dengan sengketa ke pihak luar yang tidak mempunyai kepentingan atau keterkaitan di dalamnya. Hal ini menjadi keuntungan yang tidak bisa didapatkan jika menyelesaikan sengketa melalui pengadilan karena adanya asas persidangan yang terbuka pada hukum acara perdata yang dimaksudkan agar ada kontrol sosial dari masyarakat atas jalannya sidang peradilan sehingga diperoleh keputusan hakim yang obyektif, tidak berat sebelah dan tidak memihak. Hal tersebut diatur dalam Pasal 17 dan 18 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diubah oleh Undang-Undang No.35 Tahun 1999.9 Sebelum dimulai proses arbitrase, para pihak dan arbiter atau majelis arbitrase harus menetapkan bahasa yang digunakan dalam pelaksanaan proses arbitrase. Pasal 28 UU Arbitrase dan APS menentukan bahwa bahasa yang digunakan dalam semua proses arbitrase adalah Bahasa Indonesia. Namun pasal ini juga memberikan perkecualian untuk penggunaan bahasa yang lain apabila para pihak dan arbiter menyetujuinya. Begitu pula dengan tempat pelaksanaan acara arbitrase. Tempat arbitrase ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase, kecuali ditentukan sendiri oleh para pihak. Para pihak harus menentukan secara tegas, tertulis dan bebas mengenai acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan dengan syarat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU Arbitrase dan APS. Hal ini diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU Arbitrase dan APS. Jika para pihak dan arbiter tidak menentukan sendiri acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan, maka sengketa tersebut akan diperiksa dan diputus menurut ketentuan dalam UU Arbitrase dan APS. 9 Hukum Online, “Undang-Undang No.14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 17 dan 18 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang No.35 Tahun 1999” (On-line) tersedia di WWW: http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/17485/node/2/uuno-35-tahun-1999-perubahan-atas-undang-undang-nomor-14-tahun-1970-tentang-ketentuanketentuan-pokok-kekuasaan-kehakiman (20 Mei 2015). 77 Putusan arbitrase diberikan oleh arbiter setelah selesainya proses pemeriksaan sengketa. Putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup. Pasal 54 UU Arbitrase dan APS menentukan bahwa putusan harus memuat hal-hal sebagai berikut : 1. kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA"; 2. nama lengkap dan alamat para pihak; 3. uraian singkat sengketa; 4. pendirian para pihak; 5. nama lengkap dan alamat arbiter; 6. pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai keseluruhan sengketa; 7. pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis arbitrase; 8. amar putusan; 9. tempat dan tanggal putusan; dan 10. tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase. Meskipun tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase wajib, namun tidak ditandatanganinya putusan arbitrase oleh salah seorang arbiter dengan alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan. Akan tetapi alasan tentang tidak adanya tanda tersebut harus dicantumkan dalam putusan. Kemudian, dalam putusan harus ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut harus dilaksanakan. Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 64 UU Arbitrase dan APS. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Apabila ada pihak yang tidak bersedia melaksanakan Putusan Arbitrase secara sukarela, maka putusan arbitrase akan dilaksanakan berdasarkan perintah eksekusi Ketua Pengadilan Negeri setempat atas permohonan salah satu pihak yang berkepentingan. Menurut Pasal 61 UU Arbitrase dan APS, agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaannya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan oleh salah satu pihak pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Setelah didaftarkan kepada kepaniteraan pengadilan negeri, putusan arbitrase akan dimohonkan pelaksanan eksekusinya kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pasal 64 UU Arbitrase dan APS menyatakan bahwa putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri, dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Di dalam penjelasan UU Arbitrase dan APS, tidak disebutkan pendaftaran putusan arbitrase dilakukan di kepaniteraan pengadilan mana. Namun Yahya Harahap dalam bukunya berjudul Arbitrase menjelaskan sebagai berikut : “Pengadilan negeri yang berwenang untuk mengeksekusi adalah berpedoman pada ketentuan kewenangan relatif. Patokan untuk menentukan kewenangan relatif didasarkan pada tempat putusan diambil. Pengadilan yang berwenang untuk mengeksekusinya ialah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat di mana putusan diambil. Patokan penentuan kewenangan relatif ini dalam hal ini, sama dengan penggarisan yang berlaku terhadap eksekusi putusan Pengadilan”.10 Namun ketentuan ini tidak mengurangi kemungkinan untuk mendelegasikan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri yang lain. Misalnya putusan arbitrase diambil di Bandung, karena para pihak atau mahkamah arbitrase yang ditunjuk menetapkan kota Bandung sebagai tempat kedudukan arbitrase (place of arbitration). Dari segi tempat pengambilan putusan, pelaksanaan eksekusi jatuh menjadi kewenangan relatif Pengadilan Negeri Bandung. Akan tetapi ternyata semua atau sebagian barang yang akan dieksekusi, terletak di daerah hukum Pengadilan Negeri Semarang. Dalam kasus ini, yang menjalankan eksekusi ialah Pengadilan Negeri Semarang berdasar pendelegasian dari Pengadilan Negeri Bandung. Selanjutnya menurut Yahya Harahap sebagai berikut : “Pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase dilakukan oleh Pengadilan Negeri dimaksudkan bahwa pada hakekatnya badan atau mahkamah arbitrase 10 Yahya Harahap, Arbitrase. (Jakarta: Pustaka Kartini, 1991), hlm.392. 79 adalah badan swasta dan bukan badan kekuasaan resmi. Selain itu, arbitrase tidak memiliki perangkat jurusita yang khusus berfungsi melaksanakan perintah eksekusi.”11 Menurut Pasal 60 UU Arbitrase dan APS, putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat. Dengan kata lain seperti putusan yang mempunyai kekekuatan hukum tetap. Sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Pasal 62 UU Arbitrase dan APS menentukan sebelum memberi perintah pelaksanaan, Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan Pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun. Pasal 70 UU Arbitrase dan APS menentukan, terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut : 1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu. 2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan. 3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Sesungguhnya UU Arbitrase dan APS telah jelas memberikan kompetensi absolut bagi arbitrase untuk memeriksa sengketa yang timbul dari perjanjian dengan klausul arbitrase didalamnya. Putusan arbitrase juga diberikan kekuatan untuk dapat dieksekusi kecuali dalam proses pengambilan putusan arbitrase tersebut terdapat perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum disini adalah terdapatnya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh arbiter dalam proses pemeriksaan 11 Ibid. hlm.391. dan pengambilan putusan suatu sengketa di arbitrase, bukan sengketa perbuatan melawan hukum di antara para pihak. UU Arbitrase APS tidak membatasi sengketa perdata dalam jenis apa yang dapat diperiksa dan diputus oleh arbitrase. Semua sengketa perdata dapat menjadi kewenangan arbitrase sepanjang di antara para pihak terdapat klausul arbitrase dalam perjanjian mereka atau mereka sepakat membuat perjanjian arbitrase. 3. Pendapat Para Ahli Tentang Arbitrase Dalam Black’s Law Dictionary, arbitrase berarti “A method of dispute resolution involving one or more neutral third parties who are usually agreed to by the disputing parties and whose decisions is binding”.12 Subekti menjabarkan arbitrase sebagai : “Suatu lembaga penyelesaian sengketa di luar peradilan formal pada pengadilan, di mana hukum memberikan kekuatan yang sama untuk putusan badan arbitrase sebagaimana hukum memberikan kekuatan yang sama pada putusan pengadilan tingkat akhir, dan keputusan dapat dijalankan atau dieksekusi atas perintah Kepala Pengadilan Negeri”.13 Dalam bukunya yang lain, Arbitrase Perdagangan, Subekti menjelaskan bahwa Kata arbitrase berasal dari bahasa Latin arbitrare yang artinya kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut “kebijaksanaan“. Dikaitkannya istilah arbitrase dengan kebijaksanaan seperti memberi petunjuk bahwa majelis arbitrase tidak perlu memperhatikan hukum dalam menyelesaikan sengketa para pihak, akan tetapi cukup mendasarkan pada kebijaksanaan saja. Pandangan ini keliru karena arbiter juga menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan oleh hakim di pengadilan.14 Arbitrase Menurut Sudikno Mertokusumo adalah : 12 Bryan A. Garner, Black‟s Law Dictionary, Edisi Ketujuh, (Minnesota : West Group, 1999) 13 R.Subekti , Aneka Perjanjian, (Bandung : PT.Citra Aditya, 1995).hlm.3. 14 R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bandung : Bina Cipta, 1981), hlm.1-3. hlm.100. 81 “Arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit atau arbiter atau wasit.”15 Arbitrase menurut Rene David adalah : “Arbitration is a devise whereby the settlement of a question, which is of interest for two or more persons, is entrusted to one or more other persons – the arbitrator or arbitrators – who derive their powers from a private agreement, not from the authorities of a state, and who are to proceed and decide the case on the basis of such an agreement.”16 Maka dapat disimpulkan bahwa secara umum arbitrase adalah suatu proses di mana dua pihak atau lebih menyerahkan sengketa mereka kepada satu orang atau lebih yang tidak memihak/imparsial yang disebut arbiter, untuk memperoleh suatu putusan yang final dan mengikat. Dari pengertian itu terdapat tiga hal yang utama, yaitu : a) Adanya suatu sengketa; b) Kesepakatan untuk menyerahkan ke pihak ketiga; dan c) Putusan final dan mengikat akan dijatuhkan. Arbitase memiliki tiga karakteristik. Menurut Gary B. Born ketiga karakteristik tersebut sebagai berikut : First, arbitration is consensual – the parties must agree to arbitrate their differences. Second, arbitrations are resolved by non-governmental decisionmakers – arbitrators do not act as government agents, but are private persons selected by parties. Third, arbitration produces a definitive and binding award, which is capable of enforcement through national courts.17 15 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu pengantar, (Yogyakarta Penerbit Liberty, 1999), hlm.144. 16 Rene David, Arbitration in International Trade, Deventer/Netherlands : (Kluwer Law and Taxation Publishers, 1985), hlm.5. 17 Gary B. Born, International Commercial Arbitration in the United States Commentary and Materials, (Deventer The Netherland : Kluwer Law and Taxation Publishers, 1994), hlm.1. Dalam perdagangan dunia, banyak pihak takut untuk menyelesaikan perselisihan di lembaga peradilan dan lebih memilih arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan.18 Hal ini telah diterapkan dalam setiap sistem beberapa negara, baik di negara maju atau berkembang.19 Biasanya, orang memilih arbitrase daripada peradilan formal sebagai pilihan hukum penyelesaian sengketa dalam pembuatan perjanjian. Hal ini karena arbitrase memiliki beberapa keuntungan. Menurut R. Gaitskeel, arbitrase memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan litigasi meliputi : 1. Privacy and confidentiality – arbitration allows the parties to keep their disputes private and confidential. This is of course in contrast to the very 2. public nature of litigation before the courts. However, confidentiality can be lost if one of the parties attempts to appeal an award before the court. 3. Enforceability – internationally, arbitration awards are readily enforceable in many countries under the 1958 New York Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards. 4. Flexibility and formality – the fact that the parties have agreed to resolve disputes privately allows them control over the procedure, including the manner in which evidence is provided and witnessed examined. 5. Technical expertise – the parties are free to decide and agree upon the arbitrator (or arbitrators) to decide the dispute. 6. Speed in cost – for many small construction disputes arbitration is significantly quicker and cheaper than litigation. 7. Neutrality – arbitration is politically neutral means of dispute resolution. Internationally, parties are often reluctant to rely upon the local courts for resolving disputes if one of the parties is a state entity, and therefore arbitration at a neutral venue is the general compromise. 8. Finality – arbitration is a final form of dispute resolution, with only very limited grounds for challenge. These generally relate to improper 18 Erman, Rajagukguk. Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta : Chandra Pratama, 2000). Hal 1. 19 Sudargo Gautama, Undang-undang Arbitrase Baru 1999, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hlm.2. 83 procedure or conduct by the tribunals, such as, for example, bias on the part of one of the arbitrators.20 Arbitrase dilaksanakan berdasarkan kesepakatan para pihak dalam bentuk perjanjian arbitrase. Munir Fuady menulis dalam bukunya bahwa dalam pengetahuan hukum mengenai arbitrase terdapat dua jenis perjanjian arbitrase. Keduanya adalah sebagai berikut : 1. Pactum De Compromitendo (klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa) Meskipun secara harafiah Pactum De Compromitendo memiliki makna “acta compromis” (Kesepakatan memilih penyelesaian sengketa melalui Arbitrase yang dilakukan setelah timbul sengketa), namun keduanya berbeda. Perbedaannya adalah dalam penerapannya. Pactum De Compromitendo merupakan perjanjian di antara para pihak untuk memilih arbitrase yang dibuat sebelum sengketa terjadi. Sehingga para pihak menyatakan bahwa mereka akan memilih arbitrase ketika ada sengketa yang timbul di antara para pihak dari suatu perjanjian tertentu atau transkasi bisnis di kemudian hari.21 2. acta compromis Yang dimaksud dengan acta compromis adalah Kesepakatan memilih penyelesaian sengketa melalui Arbitrase yang dilakukan setelah timbul sengketa. Perjanjian dibuat setelah adanya sengketa di antara para pihak.22 Klausula arbitrase adalah salah satu aspek penting dalam arbitrase. Klausula arbitrase yang dibuat oleh para pihak untuk menyerahkan setiap sengketa kepada arbitrase merupakan dasar hukum bagi eksistensi arbitrase. Badan atau majelis arbitrase akan berfungsi hanya dengan adanya perjanjian ini.23 20 Robert Gaitskell, Engineers‟ Dispute Resolution Handbook, (London : Thomas Telford Publishing, 2006), hlm.57. 21 Munir Fuady, Arbitrase Nasional:Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hlm.118. 22 Ibid, hlm.119. 23 Huala Adolf, Syarat Tertulis Dan Independensi Klausul Arbitrase, (Indonesia Arbitration Quarterly Newsletter Number 6/2009), hlm.24. Fungsi utama dari perjanjian arbitrase adalah sebagai sumber kewenangan dari peradilan arbitrase, karena peradilan arbitrase hanya dapat melaksanakan kekuasaan memeriksa dan mengadili suatu sengketa karena para pihak sepakat memberikan kekuasaan demikian. Kesepakatan yang dibuat para pihak melahirkan hukum.24 Klausula arbitrase disebutkan oleh Gabrielle Kaufmann-Kohler and Thomas Schults harus memenuhi persyaratan formal dan material sebagai berikut: An arbitration clause must generally meet formal and substantive validity requirements, including written form, arbitrability (in the sense that the subject matter of the dispute must be capable of settlement by way of arbitration), and consent.25 Karakteristik penting mengenai perjanjian arbitrase adalah keharusan syarat tertulis. UU Arbitrase dan APS mensyaratkan para pihak untuk mengadakan perjanjian tertulis dalam Pasal 1 ayat 1. Syarat tertulisnya suatu perjanjian arbitrase memiliki beberapa tujuan, di antaranya adalah sebagai berikut : 1. Mengikuti apa yang diharuskan oleh undang-undang atau hukum; dan 2. Untuk kepastian hukum bagi kompetensi badan arbitrase.26 Karakteristik penting lain dari klausul arbitrase adalah sifat otonom atau independensi. Istilah yang juga digunakan adalah doktrin separabilitas dari klausul arbitrase. Menurut doktrin ini, meskipun klausula arbitrase adalah salah satu klausula dalam suatu kontrak, namun klausula ini tidaklah merupakan bagian atau tambahan dari kontrak tersebut. Sehingga, batal atau berakhirnya kontrak tidak serta merta membatalkan klausula arbitrase.27 Dalam perjanjian arbitrase, terdapat dua kontrak yang terpisah. Kontrak pertama adalah kontrak yang memuat hak dan kewajiban para pihak terkait bidang perdagangan yang mereka sepakati. Selanjutnya, kontrak kedua adalah kontrak yang 24 Ibid. Gabrielle Kaufmann-Kohler and Thomas Schults, Online Dispute Resolution: Challenges for Contemporary Justice, (Kluwer Law International, The Hague, 2004), hlm.138. 26 Huala Adolf, Syarat Tertulis Dan Independensi Klausul Arbitrase, Op.Cit . hlm.26-27 27 Ibid, hlm.28-29. 25 85 berisi kewajiban bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari kontrak berisi hak dan kewajiban tadi melalui arbitrase.28 Sengketa yang menjadi kewenangan arbitrase untuk memeriksa dan mengadili di Indonesia menurut UU Arbitrase dan APS adalah sengketa perdata. Sesuai Pasal 5 ayat 1 UU Arbitrase dan APS, arbitrase memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengadili sengketa perdagangan dan mengenai hak yang dikuasai sepenuhnya oleh para pihak sesuai hukum dan peraturan perundang undangan. Dengan kata lain, sengketa yang diselesaikan di arbitrase adalah sengketa keperdataan, baik berbentuk wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum. Sedangkan menurut Pasal 5 ayat 2 UU Arbitrase dan APS, sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Menurut sistem hukum perdata di Indonesia, semua hubungan hukum dapat diadakan perdamaian. Oleh karenanya, semua sengketa yang timbul dari hubungan hukum dalam bidang perdata dapat diselesaikan melalui arbitrase.29 Priyatna Abdurrasyid menyatakan dalam bukunya berjudul Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar mengenai kompetensi dan wewenang BANI sebagai berikut : “Di dalam pasal 1 Anggaran Dasar BANI dirumuskan bahwa BANI diberi wewenang oleh para pihak yang bersengketa untuk memeriksa dan mengadili semua sengketa perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, industri, keuangan, dan lain-lain yang bersifat nasional maupun internasional. Ketentuan mengenai wewenang BANI tersebut sesuai dengan pengertian yang berkembang di luar negeri, yang tercakup dalam kata-kata Commercial Arbitration.”30 Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa sengketa yang menjadi kewenangan arbitrase di Indonesia untuk memeriksa dan mengadili adalah sengketa 28 Ibid, hlm.29. Sutan Remy Sjahdeni, Penyelesaian Sengketa Perbankan Melalui Arbitrase, (Indonesia Arbitration Quarterly Newsletter Number 6/2009), hlm.3-4. 30 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar, (Cetakan Kesatu, PT. Fikahati Aneska bekerjasama dengan BANI, 2002), hlm.228. 29 perdata yang timbul dalam bidang perdagangan. Sengketa perdata dalam praktik yang terjadi di masyarakat meliputi sengketa wanprestasi dan sengketa perbuatan melawan hukum. Sehingga sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul dari para pihak yang terikat dengan klausula arbitrase, dapat diperiksa dan diputus oleh arbitrase. Sengketa atau perkara yang sudah memiliki klausula arbitrase tidak dapat diajukan ke Pengadilan Negeri. Dan untuk perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya tidak dapat diajukan lagi ke Pengadilan Negeri, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum dalam proses pemeriksaan dan pengambilan putusan arbitrase. Dalam hal ada perbuatan melawan hukum dalam proses pengambilan putusan demikian yang mengakibatkan kerugian pada pihak yang dikalahkan, maka pihak yang dirugikan dapat menggugat ke Pengadilan Negeri atas dasar perbuatan melawan hukum dalam hal pengambilan putusan arbitrase yang tidak berdasar itikad baik, melanggar ketertiban umum (public policy), bertentangan dengan hukum dan kepatutan serta Pasal 70 UU Arbitrase dan APS. Menurut Pasal 21 UU Arbitrase dan APS dinyatakan bahwa: Arbiter atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut. Terhadap persetujuan para pihak dalam memuat perjanjian arbitrase baik dalam bentuk pactum de compromittendo (Kesepakatan untuk memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang dilakukan sebelum timbul sengketa) maupun akta kompromis (sesudah terjadinya sengketa) yang mengesampingkan kompetensi pengadilan, terdapat dua aliran sebagai berikut : 1. Klausula arbitrase : bukan publik orde Aliran ini berpendapat bahwa arbitrase tidak bersifat absolut. Klausul tersebut harus dipertahankan para pihak sehingga akan tetap mengikat. Apabila sengketa yang timbul dari perjanjian yang mengandung klausul arbitrase diajukan salah satu pihak ke pengadilan, pengadilan berwenang mengadili. Kewenangan baru gugur apabila pihak tergugat mengajukan eksepsi akan adanya klausul arbitrase. 2. Klausula arbitrase : pacta sunt servanda 87 Aliran ini bertitik tolak dari doktrin hukum yang mengajarkan bahwa semua persetujuan yang sah akan mengikat dan menjadi undang undang bagi para pihak. Oleh karena itu, setiap persetujuan hanya dapat gugur (ditarik kembali) atas kesepakatan bersama para pihak. 31 Kajian terhadap kasus di atas menggunakan beberapa asas dan teori untuk mencari kepastian hukum dalam menjawab rumusan masalah yang ada, untuk itu perlu dijelaskan asas-asas dan teori- teori yaitu : 1. Asas pacta sunt servanda secara positif telah dituangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang berintikan : a. Setiap perjanjian mengikat kepada para pihak; b. Kekuatan mengikatnya serupa dengan ketentuan undang-undang; c. Hanya dapat ditarik kembali atas persetujuan bersama para pihak; Bertitik tolak dari prinsip pacta sunt servanda, aliran klausula arbitrase: pacta sunt servanda berpendapat bahwa setiap perjanjian yang memuat klausul arbitrase: a. Mengikat secara mutlak kepada para pihak; b. Kewenangan memeriksa dan memutus sengketa yang timbul menjadi kewenangan absolut. 2. Asas Lex specialis derogat legi generalis adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis) Menurut Bagir Manan , ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu: a. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut; b. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undangundang) 31 Feby Wisana, Sukarno Aburaera dan M. Said Karim,“Kewenangan Badan Peradilan Memeriksa Sengketa Dengan Klausula”. Tersedia di WWW:http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/85987e0a735579aa1c407c750129c985.pdf (25 Mei 2015). c. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis.32 3. Prinsip Final dan Binding Akibat atau dampak hukum putusan arbitrase bagi para pihak adalah bersifat final dan binding. Prinsip ini tercermin di dalam ketentuan Pasal 60 UU Arbitrase yang berbunyi “Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.” Maksud putusan bersifat final adalah putusan Mahkamah Arbitrase merupakan putusan tingkat pertama dan tingkat terakhir. Artinya terhadap putusan arbitrase tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Menurut Yahya Harahap, klausula arbitrase merupakan pacta sunt servanda, bukan publik orde. Karena klausula arbitrase adalah kesepakatan yang dituangkan oleh para pihak dalam perjanjian, maka asas asas yang terkandung dalam pacta sunt servanda dan Pasal 1338 KUHPerdata berlaku sepenuhnya terhadap klausula arbitrase. Adapun acuan penerapannya adalah sebagai berikut : 1. Persetujuan arbitrase mengikat secara mutlak kepada para pihak 2. Oleh karena itu, apabila timbul persengketaan dari apa yang telah mereka perjanjikan, kewenangan untuk menyelesaikan dan memutus sengketa “mutlak” menjadi kewenangan arbitrase 3. Dengan demikian, pengadilan tidak berwenang memeriksa dan mengadili sengketa secara mutlak 4. Dan gugurnya klausula arbitrase hanya terjadi apabila secara tegas ditarik kembali atas kesepakatan para pihak 5. Serta tidak dapat dibenarkan hukum penarikan secara diam-diam, apalagi penarikan secara sepihak.33 Sejak para pihak menyepakati perjanjian arbitrase, para pihak secara otomatis dan mutlak telah terikat. Kemutlakan keterikatan kepada perjanjian arbitrase 32 Hukum Online, “Mengenai Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis” (On-line) tersedia di WWW: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt509fb7e13bd25/mengenai-asas-lex-specialisderogat-legi-generalis (12 Januari 2016) 33 Yahya Harahap, Arbitrase, Op,Cit, hlm.129. 89 memberikan kewenangan absolut bagi arbitrase untuk memeriksa dan memutus penyelesaian sengketa yang timbul dari perjanjian di antara para pihak tersebut. Oleh karenanya, ada atau tidak adanya eksepsi yang diajukan, Pengadilan harus tunduk kepada ketentuan UU Arbitrase dan APS dan menyatakan diri tidak berwenang mengadili.34 Sehingga adanya perjanjian abitrase di antara para pihak untuk menyelesaikan sengketa keperdataan yang akan timbul atau yang timbul di dari perjanjian antara mereka, memberikan kewenangan absolut bagi arbitrase untuk memeriksa dan mengadili sengketa tersebut. Dan sepanjang sengketa di antara para pihak adalah sengketa perdata dan dapat diadakan perdamaian, arbitrase menjadi lembaga penyelesaian sengketa yang berwenang. Sengketa perdata yang dapat diperiksa tidak hanya sengketa wanprestasi yang timbul dari perjanjian para pihak, akan tetapi juga sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul dari hubungan hukum keperdataan di antara para pihak. Lalu dalam penulisan skripsi ini, teori yang digunakan adalah pemikiran Jeremy Bentham yang dikenal dengan utilitarianisme dan teori kepastian hukum, Jeremy Bentham berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan sematamata apa yang berfaedah bagi orang. Menurut Teory Utilitis, tujuan hukum ialah menjamin adanya kebahagian sebesar-besarnya pada orang sebanyak-banyaknya. Kepastian melalui hukum bagi perseorangan merupakan tujuan utama dari pada hukum. Dalam hal ini pendapat Bentham dititik beratkan pada hal-hal yang berfaedah dan bersifat umum. Kemudian yang dimaksud dengan “Asas Kepastian Hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara Undang-undang adalah keputusan kehendak dari satu pihak yaitu negara sementara perjanjian adalah keputusan kehendak dari dua pihak. Dengan kata lain, orang terikat pada perjanjian berdasarkan atas kehendaknya sendiri, berbeda dengan undang-undang di mana keterikatan pihak adalah terlepas dari kehendaknya.35 34 35 Ibid. hlm.130. Meydora Cahya Nugrahenti, “Kewenangan arbitrase dalam memeriksa dan memutus sengketa perbuatan melawan hukum: studi-studi putusan pengadilan” (On-line), tersedia di WWW:http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334187T32566Meydora%20Cahya%20Nugrahenti.pd f (25 september 2015) 4. Badan Arbitrase Nasional Indonesia a. Sejarah BANI Pada tanggal 3 Desember 1977, kurang lebih 22 tahun sebelum dibuatnya UU No.30 Tahun 1999, atas prakarsa dari Prof.R.Subekti,S.H. (Mantan Ketua Mahkamah Agung), Harjono Tjitrosubono,S.H. (Ketua Ikatan Advokat Indonesia), dan Prof Dr. Priyatna Abdurrasyid sengketa komersial yang bersifat otonom dan independen. Pendirian BANI ini didukung penuh oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia, yaitu oleh Marsekal (purn) Suwoto Sukendar (Ketua) dan Julius Tahya (anggota pengurus). Selain itu pendirian ini juga telah mendapat restu dari Menteri Kehakiman, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Ketua Bappenas dan juga Presiden Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Anggaran Dasar BANI, BANI adalah sebuah badan yang didirikan atas prakarsa KADIN Indonesia, yang bertujuan untuk memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul mengenai soal-soal perdagangan, industri dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional. BANI merupakan lembaga peradilan yang mempunyai status yang bebas, otonom dan juga independen, artinya BANI tidak dapat di intervensi oleh kekuasaan yang lain, selayaknya lembaga peradilan yang independen. Dengan demikian, BANI diharapkan dapat bersikap objektif, adil, dan jujur dalam memandang dan memutuskan perkara yang dihadapinya nanti. Salah satu hal yang dapat menunjukkan keindependenan BANI adalah dengan metode pengangkatan kepengurusannya yang untuk pertama kali diangkat oleh Ketua KADIN, dan selanjutnya berbentuk yayasan. Proses pembentukan yayasan inilah yang dapat menunjukkan kemandirian dan indepedensi BANI, sebagai lembaga yang bukan berada di bawah kepentingan lembaga (KADIN). Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48 tahun 2009), metode penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah diakui, di mana dinyatakan bahwa upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan Negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. 91 Pengaturan penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini diberikan pengaturan secara umum dalam Bab XII Pasal 58 sampai dengan Pasal 61 UU No.48 Tahun 2009. Lembaga BANI berkedudukan di Jakarta dan memiliki kantor perwakilan di beberapa kota besar di Indonesia di antaranya adalah Surabaya, Denpasar, Bandung, Medan, Pontianak, Palembang, dan Batam.36 b. Tujuan dan Lingkup Kegiatan BANI Pada dasarnya, BANI merupakan lembaga yang menyelenggarakan penyelesaian sengketa yang timbul sehubungan dengan perjanjian perjanjian atau transaksi bisnis mengenai soal perdagangan, industri, dan keuangan. Dalam menjalankan kegiatan dilapangan usaha bisnis, merupakan suatu kebutuhan mutlak agar suatu sengketa dapat di tangani dan diselesaikan secara cepat dan adil. Hal ini dikarenakan semakin lambat sengketa tersebut diselesaikan akan semakin besar pula biaya dan juga kerugian yang dapat diderita oleh para pelaku usaha. Untuk mencapai penyelesaian suatu sengketa secara cepat dan adil tersebut, maka para pelaku usaha akhirnya memilih metode penyelesaian sengketa berupa arbitrase sebagai bentuk penyelesaian yang lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan mengupayakan penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Di sinilah BANI berperan sebagai lembaga independen yang menyediakan sarana-sarana untuk menyelenggarakan proses arbitrase tersebut serta ahli-ahli (experts) yang berpengalaman dan kompeten sebagai arbiter, yang memberikan pertimbangan-pertimbangannya berdasarkan keahlian serta hukum yang ada dalam bentuk putusan arbitrase. Secara umum BANI didirikan untuk tujuan berikut. a. Dalam rangka turut serta dalam upaya penegakan hukum di Indonesia menyelenggarakan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang terjadi diberbagai sektor perdagangan, industri dan keuangan, melalui arbitrase dan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya 36 Tentang BANI Arbitration Centre (On-line), tersedia di WWW:http://www.baniarbitration.org/ina/about.php (10 Mei 2015). antara lain di bidang-bidang Korporasi, Asuransi, Lembaga Keuangan, Fabrikasi, Hak Kekayaan Intelektual, Lisensi, Franchise, Konstruksi, Pelayaran/maritim, Lingkungan Hidup, Penginderaan Jarak Jauh, dan lain-lain dalam lingkup peraturan perundang-undangan dan kebiasaan internasional. b. Menyediakan jasa-jasa bagi penyelenggaraan penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya, seperti negiosiasi, mediasi, konsiliasi dan pemberian pendapat yang mengikat sesuai dengan Peraturan Prosedur BANI atau peraturan prosedur lainnya yang disepakati oleh para pihak yang berkepentingan. c. Bertindak secara otonom dan independen dalam penegakan hukum dan keadilan. d. Menyelenggarakan pengkajian dan riset serta program-program pelatihan/pendidikan mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. C. Peradilan yang Berkaitan Dengan Putusan Arbitrase 1. Kekuasaan Kehakiman Hukum sebagai sarana untuk mengatur kepentingan masyarakat dengan segala tugas dan fungsinya tentu saja harus ditegakkan, dan oleh karena itu maka diperlukan aparat atau lembaga yang harus mengawasi pelaksanaan/penegakan hukum tersebut. Dalam penjelasan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dikatakan: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48 tahun 2009), “metode penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah diakui, di mana dinyatakan bahwa upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di 93 luar pengadilan Negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa".37 Pengaturan penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini diberikan pengaturan secara umum dalam Bab XII Pasal 58 sampai dengan Pasal 61 UU No.48 Tahun 2009. Kewenangan Absolut Peradilan Adanya suatu kepentingan yang dapat menyebabkan timbulnya suatu sengketa akan menimbulkan permasalahan mengenai kompetensi. “Kompetensi juga dapat disebut yurisdiksi, yang di dalam lingkungan kekuasaan kehakiman berarti kewenangan pengadilan untuk mengadili atau pengadilan yang berwenang mengadili sengketa tertentu sesuai dengan ketentuan yang digariskan peraturan perundang-undangan”.38 Keberadaan UU Arbitrase dan APS yang memperkuat yurisdiksi arbitrase dan lebih memberikan kepastian hukum kepada pengadilan negeri untuk tidak memiliki yurisdiksi atas sengketa yang terjadi dari suatu kontrak yang mengandung klausul arbitrase ternyata masih disikapi berbeda oleh hakim-hakim pengadilan. Dalam beberapa kasus, pengadilan negeri menyatakan berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa di antara para pihak yang telah terikat dengan klausul arbitrase. Meskipun demikian, dalam beberapa kasus lainnya pengadilan negeri tunduk pada ketentuan Pasal 11 UU Arbitrase dan APS dan menyatakan tidak berwenang memeriksa dan memutus sengketa yang timbul dari kontrak yang mengandung klausul arbitrase. Salah satu alasan yang menjadi dasar dan pertimbangan hakim pada pengadilan negeri dalam menyatakan dirinya berwenang memeriksa dan memutus sengketa di antara para pihak yang telah terikat dengan klausul arbitrase adalah bahwa sengketa yang terjadi di antara para pihak tersebut merupakan sengketa perbuatan melawan hukum. Hakim berpendapat bahwa 37 Hukum Online, “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman” (On-line) tersedia di WWW: http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4b01297e9d172/nprt/2/uu-no-48-tahun-2009kekuasaan-kehakiman (25 Mei 2015) 38 Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. (Jakarta, Sinar Grafika. 2005). hlm. 179. arbitrase hanya berwenang memeriksa dan memutus sengketa yang berkenaan dengan perselisihan atas pelaksanaan dari suatu kontrak yang mengandung klausul arbitrase. Oleh karenanya arbitrase dipandang hanya berwenang memeriksa dan memutus sengketa wanprestasi. Perbuatan melawan hukum dinilai menjadi kewenangan dari pengadilan negeri. 2. Yurisprudensi MA Tentang Kewenangan Badan Arbitrase Menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Bahkan Pasal 11 ayat (2) menegaskan bahwa Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Sebelum berlakunya undang-undang tersebut, landasan hukum yang menentukan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili sengketa antara para pihak yang telah bersepakat bila dalam perjanjian terdapat klausul arbitrase dirasakan oleh masyarakat tidak tegas, tidak pasti, dan tidak kuat. Selalu saja Pengadilan Negeri menyatakan berwenang mengadili perkaraperkara yang timbul dari perjanjian sekalipun di dalam perjanjian itu telah secara tegas dimuat klausul arbitrase. Untung sekali Mahkamah Agung berpendirian tegas bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaraperkara yang telah disepakati oleh para pihak bahwa sengketa yang timbul di antara mereka akan diselesaikan melalui lembaga arbitrase apakah di dalam perjanjian di antara mereka dicantumkan suatu klausul arbitrase. Sikap Mahkamah Agung yang demikian itu terlihat dari beberapa putusan Mahkamah Agung sebagaimana digambarkan di bawah ini. Mahkamah Agung RI dalam putusannya No. 225 K/Sip/1976 tanggal 30 September 1983 menegaskan pendiriannya bahwa klausula arbitrase bagi pihak‑pihak, mempunyai kekuatan sebagai undang-undang yang harus ditaati.39 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Putusan Mahkamah Agung RI No. 225 K/Sip/1976” (On-line) tersedia di WWW: http://putusan.mahkamahagung.go.id/main/pencarian/?q=Putusan+Mahkamah+Agung+RI+No.+225+ K%2FSip%2F1976 (25 Mei 2015). 39 95 Pendirian tersebut telah pula dianut dalam putusan Mahkamah Agung RI No. 2424 K/Sip/1981 tanggal 22 Februari 1982 dan No. 455 K/Sip/1982 tanggal 27 Januari 1983. Dengan kata lain asas “pacta sunt servanda”, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata, dihormati oleh Mahkamah Agung RI. Bahkan dalam putusan yang lain, yaitu putusannya No. 3992 K/Pdt/1984 tanggal 4 Mei 1988, Mahkamah Agung RI yang menguatkan putusan pengadilan tingkat banding yang berpendirian bahwa kewenangan memeriksa sengketa yang timbul dari perjanjian yang memuat klausul arbitrase, mutlak menjadi yurisdiksi arbitrase. Selanjutnya pula di dalam putusannya No. 3179 L/Pdt/1984 tanggal 4 Mei 1988, Mahkamah Agung RI berpendirian bahwa apabila di dalam perjanjian dimuat klausul arbitrase, maka Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan, baik dalam konvensi maupun rekonvensi. Oleh karena putusanputusan Mahkamah Agung menunjukkan sikap yang konsisten dari Mahkamah Agung, maka putusan-putusan tersebut di atas telah dapat disebut sebagai yurisprudensi. Berikut Yurisprudensi dari putusan Mahkamah Agung : a. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 197/Pdt.G/1991, tertanggal 4 Juni 1991; Para Pihak Christine Hartini Tjakra vs. Syamsulrizal Anis, Cs; “…Pertentangan dan perselisihan dari atau sehubungan dengan perjanjian atau pelaksanaannya (termasuk perselisihan/sengketa keabsahan perjanjian ini) akan diselesaikan melalui arbitrase oleh Badan Arbitrase yang terdiri dari 3 (tiga) anggota yang akan bersidang di Jakarta dalam bahasa Inggris berdasarkan “The Rule of The United Nation Centre For International Trade (UNCITRAL Rules)”; b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 455 K/Sip/1982, tanggal 27 Januari 1987 Para Pihak PT Maskapai Asuransi Ramayana vs Sohadi Kawilarang; “Dalam Polis Kecelakaan Pribadi Nomor 210/PA/20.318 tanggal 10 Agustus 1978 dicantumkan bahwa “pertikaian berkenaan dengan polis ini, diselesaikan dalam tingkat tertinggi di Jakarta oleh 3 orang juri pemisah (arbitrase)”; “Meskipun hal ini tidak diajukan oleh pihak Tergugat namun berdasarkan Pasal 134 RIB Hakim berwenang untuk menambahkan pertimbangan dan alasan hukum secara jabatan. Dengan demikian Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini. Pasal 3 Undang Undang Nomor 14/1970 (khusus memori penjelasan). Pasal 134 RIB jo. Pasal 377 RIB jo. Pasal 615 dan seterusnya Rv”; c. Putusan Mahkamah Agung Nomor 794 K/Sip/1982, tanggal 27 Januari 1983; Para pihak PT Asuransi Royal Indrapura vs Sohadi Kawilarang. “Terlepas dari alasan kasasi, putusan Pengadilan Tinggi/Pengadilan Negeri harus dibatalkan dengan alasan Mahkamah Agung sendiri karena Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum”; “Dalam Policy Nomor 49/00137/08, tanggal 10 Agustus 1978 di bawah bagian tentang Conditions telah diuraikan bahwa : “all differences arising out of this Policy shall be reffered to the decision of an arbitrator to be appointed in writing by the parties in diferrence or if they cannot agree upon a single arbitrator”. Dengan demikian Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara ini, sesuai Pasal 3 Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970 khususnya memori penjelasan pasal tersebut”; d. Putusan Mahkamah Agung Nomor 3179 K/Pdt/1984, tanggal 4 Mei 1988;Para Pihak: PT Arpeni Pratama Ocean Line vs. PT Shorea Mas; “Kewenangan Pengadilan memeriksa perkara dalam hal klausula arbitrase. Dalam hal ada klausula arbitrase, Pengadilan tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan, baik dalam konvensi maupun dalam rekonvensi”; “Melepaskan klausul arbitrase harus dilakukan secara tegas dan dengan suatu persetujuan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Pasal 377 RIB jo. Pasal 615 dan seterusnya Rv”; 97 e. Putusan Mahkamah Agung Nomor 117/1983 tertanggal 1 Oktober 1983; Para Pihak: Ahju Forestry Company Ltd. vs. Sutomo Dirut PTl Balapan Jaya; “Keberatan Pemohon kasasi yang menyatakan behwa ketentuan mengenai dewan arbitrase disebutkan dalam Basic Agreement for Joint Venture telah mengikat Para pihak sebagai undang-undang (Pasal 1338 BW), dan karenanya putusan Judex Facti telah bertentangan dengan Pasal 615 Rv dibenarkan”; “Mahkamah Agung membatalkan putusan Judex Facti dan menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berkuasa mengadili perkara itu. Pasal 377 RIB dan Pasal 615 dan seterusnya Rv”; f.Putusan Mahkamah Agung Nomor 2924 K/Sip/1981, tanggal 8 Pebruari 1982; Para Pihak: Lioe Lian Tang vs. Union Des Transports Aeriens/UTA; “….dari segi kompetensi absolut pun Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini, karena dalam Pasal 5 dari Perjanjian Sewa tanggal 15 Juni 1976 disebutkan bahwa dalam hal tidak tercapainya kesepakatan ganti rugi masalahnya akan diajukan kepada seorang arbiter”;40 40 Op. Cit