1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan Emosional 2.1.1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kecerdasan Emosional
2.1.1
Definisi Emosi
Kata emosi dalam bahasa Inggris adalah emotion yang berasal dari
bahasa latin, yaitu movere, yang berarti menggerakkan atau bergerak (Goleman,
2007). Selain itu, Kartono (2011) mendefinisikan emosi sebagai getaran jiwa,
keharuan, dan renjana (rasa hati yang kuat). Sedangkan berdasarkan kamus
Oxford English Dictionary (Goleman, 2007) emosi merupakan setiap kegiatan
atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat
atau meluap-luap.
Pada dasarnya emosi ialah dorongan untuk bertindak, rencana seketika
untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh
evolusi (Goleman, 2007). Sedangkan menurut Lanawati (1999), emosi
merupakan keadaan perasaan yang banyak berpengaruh pada perilaku.
Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsang dari luar dan dalam diri
individu. Emosi berkaitan
dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran.
Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia.
2.1.2
Macam-macam Emosi
Goleman (2007) mengemukakan beberapa macam emosi, diantaranya
adalah:
1. Emosi Cinta
Cinta atau perasaan kasih sayang adalah serangkaian reaksi di seluruh
tubuh yang membangkitkan keadaan menenangkan dan memuaskan,
akibatnya memudahkahkan terjalinnya kerjasama.
7
8
2. Emosi Bahagia
emosi bahagia mendorong meningkatnya kegiatan di pusat otak,
menenangkan
perasaan,
meningkatkan
energi,
dan
menghambat
perasaan negatif. Emosi bahagia mengistirahatkan tubuh secara
menyeluruh, menimbulkan kesiapan jiwa, dan antusias untuk menghadapi
tugas-tugas kehidupan.
3. Emosi Sedih
perasaan sedih mendorong penyesuaian diri, menurunkan energi, tetapi
kalau berlebihan kesedihan akan memperlambat metabolisme tubuh.
Apabila rasa sedih diikuti introspeksi, dapat menciptakan kesempatan
untuk merenung sampai akhirnya semangat pulih.
4. Emosi Takut
perasaan takut membuat sirkuit-sirkuit di pusat otak memicu reproduksi
hormon yang membuat tubuh waspada, awas, siap bertindak. Emosi takut
mendorong otot-otot rangka besar, seperti kaki dan tangan siap bergerak.
Emosi takut juga menimbulkan wajah pucat dan darah terasa dingin.
5. Emosi Terkejut
perasaan takut mendorong alis mata naik, bidak mata melebar sehingga
cahaya lebih banyak masuk ke retina. Hasilnya adalah intonasi tentang
peristiwa yang diterima menjadi baik sehingga memudahkan untuk
memahami apa yang sebenarnya terjadi.
6. Emosi Marah
perasaan marah mendorong meningkatnya detak jantung, membanjirnya
hormon seperti adrenalin membangkitkan energi untuk bertindak luar
biasa.
9
7. Emosi Cemas
inti segala kecemasan adalah kekhawatiran. Isi pokok kekhawatiran
adalah kewaspadaan terhadap bahaya yang mungkin timbul. Rasa cemas
memacu pemusatan perhatian pada ancaman yang sedang dihadapi.
Rasa cemas juga memaksa otak untuk memikirkan terus-menerus
bagaimana mengatasi masalah yang dihadapi, akibatnya mengabaikan
hal lainnya.
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi pada dasarnya
adalah dorongan untuk bertindak (Goleman, 2007). Jadi berbagai macam emosi
itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap
stimulus yang ada.
Menurut Mayer (Goleman, 2007) orang cenderung menganut gaya-gaya
khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu:
1. Sadar diri
Peka terhadap perasaan atau suasana hati yang dialami. Mandiri,
kesehatan jiwanya bagus, dan cenderung berpendapat positif
akan kehidupan. Tidak larut dalam permasalahan yang dihadapi.
2. Tenggelam dalam permasalahan
Merasa dikuasai oleh emosi dan tak berdaya untuk melepaskan
diri, mudah marah, tidak peka terhadap perasaannya, merasa
tidak mempunyai kendali atas kehidupan emosional yang dimiliki,
sehingga larut dalam masalahnya dan tidak mencari perspektif
baru.
3. Pasrah
Peka terhadap perasaan yang dirasakan, namun cenderung
menerima begitu saja suasana hatinya, sehingga tidak berusaha
10
untuk mengubahnya. Pasrah terbagi atas dua jenis. Pertama,
individu yang terbiasa dengan suasana hati yang menyenangkan,
dengan demikian motivasi untuk merubahnya rendah. Kedua
ialah individu yang peka terhadap suasana hatinya, rawan
terhadap suasana hati yang buruk namun menerimanya dengan
sikap
yang
tidak
hirau,
tak
melakukan
apa-apa
untuk
mengubahnya meskipun tertekan.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah
suatu perasaan (afek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah
laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.
2.1.3
Kecerdasan Emosional
Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan oleh psikolog Peter
Salovey dan John Mayer pada tahun 1990 (Saphiro, 2001). Salovey dan Mayer
(dalam Shapiro, 2001), menyatakan bahwa kecerdasan emosional ialah
himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan
memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain,
memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing
pikiran dan tindakan. Sedangkan Baron (dalam Goleman, 2007) mendefinisikan
kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan
sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam
mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.
Menurut Robbins (2003), kecerdasan emosional merujuk pada satu
keanekeragaman keterampilan, kapabilitas, dan kompetensi kognitif, yang
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam menghadapi
tuntutan dan tekanan lingkungan. Kecerdasan emosional bukanlah lawan
kecerdasan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada
11
tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, kecerdasan emosional
tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan (Shapiro, 2001).
Menurut Gardner (dalam Goleman, 2007)
mengatakan bahwa bukan
hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses
dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh
varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik,
interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan interpersonal dan intrapersonal ini
dinamakan kecerdasan pribadi oleh Gardner dan Daniel Goleman menyebutnya
sebagai kecerdasan emosional.
Gardner (dalam Goleman, 2007), menyatakan bahwa kecerdasan pribadi
terdiri dari kecerdasan antar pribadi, yaitu kemampuan untuk memahami orang
lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana
bekerja bahu membahu dengan kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra
pribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri.
Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri
yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal
tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif. Dan dalam rumusan
lain, Gardner (dalam Goleman, 2007) menyatakan bahwa inti kecerdasan antar
pribadi ialah mencakup kemampuan untuk membedakan dan menanggapi
dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain. Dalam
kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia
mencantumkan
kemampuan
akses
untuk
menuju
perasaan-perasaan
membedakan
diri
perasaan-perasaan
seseorang
tersebut
dan
serta
memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku.
Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut,
Salovey (dalam Goleman, 2007) memilih kecerdasan interpersonal dan
kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap
12
kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional
adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi,
memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan
untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
Goleman
(2007),
mengemukakan
kecerdasan
emosional
adalah
kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi,
menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan
kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Skala kecerdasan emosional terdiri dari aspek mengenali emosi diri, mengelola
emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati),
bekerjasama dengan orang lain.
2.1.4. Kemampuan Utama Kecerdasan Emosional
Salovey (dalam Goleman, 2007), menempatkan kecerdasan pribadi
Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya
dan memperluas kemampuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu:
a. Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali
perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari
kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri
sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri.
Menurut Mayer (Goleman, 2007) kesadaran diri adalah waspada terhadap
suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada
maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh
emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun
merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi
sehingga individu mudah menguasai emosi.
13
b. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam
menangani
perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai
keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan
tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi
berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan
mengoyak kestabilan kita. Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk
menghibur
diri
sendiri,
melepaskan
kecemasan,
kemurungan
atau
ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan
untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.
c. Memotivasi Diri Sendiri
Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang
berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan
mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang
positif, yaitu antusiasme, gairah, optimis dan keyakinan diri.
d. Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut
Goleman (2007), kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau
peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki
kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang
tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain
sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap
perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
Penelitian Rosenthal (dalam Goleman, 2007) menunjukkan bahwa orangorang yang mampu membaca perasaan dan isyarat nonverbal lebih mampu
menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan
lebih peka. Nowicki (dalam Goleman, 2007), ahli psikologi menjelaskan
14
bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi
dengan baik akan terus menerus merasa frustasi. Seseorang yang mampu
membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin
mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui
emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk
membaca perasaan orang lain.
e. Membina Hubungan
Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang
menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi.
Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam
keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang
diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.
Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan
sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena
mampu berkomunikasi yang lancar dengan orang lain. Orang-orang ini
populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan
karena kemampuannya berkomunikasi. Ramah tamah, baik hati, hormat dan
disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu
membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa
berkembang
dilihat
dari
banyaknya
hubungan
interpersonal
yang
dilakukannya.
2.1.5. Komponen Kecerdasan Emosional
Komponen dasar dari kecerdasan emosional menurut Covey (2005) ialah:
a. Kesadaran Diri
Kemampuan untuk merefleksikan kehidupan diri sendiri, menumbuhkan
pengetahuan mengenai diri sendiri, dan menggunakan kemampuan
15
tersebut untuk memperbaiki diri sendiri, serta untuk mengatasi kelemahan
diri.
b. Motivasi Diri
Pemicu timbulnya semangat diri yang meliputi visi, nilai-nilai, tujuan,
harapan, hasrat, dan gairah yang menjadi prioritas-prioritas seseorang.
c. Pengaturan diri sendiri
Kemampuan untuk mengelola diri sendiri agar mampu mencapai visi dan
nilai-nilai pribadi.
d. Empati
Kemampuan untuk memahami orang, cara orang lain memandang, dan
merasakan berbagai hal.
e. Keahlian sosial
Berkaitan dengan bagaimana cara mengatasi perbedaan, memecahkan
masalah, menghasilkan solusi kreatif, dan berinteraksi secara optimal
untuk mengejar tujuan-tujuan bersama.
2.2
Agresi
2.2.1
Definisi Agresi
Berdasarkan kamus Bahasa Indonesia (Alwi, 2007), definisi agresi ialah
cenderung (ingin) menyerang kepada sesuatu yang dipandang sebagai hal yang
mengecewakan, menghalangi atau menghambat. Menurut Berkowitz (dalam
Sarwono & Meinarno, 2009), agresi ialah tindakan melukai yang disengaja oleh
seseorang/institusi terhadap orang/institusi lain yang sejatinya disengaja. Agresi
merupakan segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau
melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari perlakuan itu
(Baron & Richardson, dalam Krahe, 2005). Hal ini didukung oleh pernyataan
Myers (2012), yaitu agresi merupakan perilaku fisik atau verbal yang bertujuan
16
untuk menyakiti orang lain. Sedangkan menurut Baron (2005) agresi ialah segala
bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup
orang lain yang terdorong untuk menghindari perlakuan itu.
Sedangkan Dodge & Pettit (dalam Calvete, E & Orue, I., 2010)
berpendapat bahwa perilaku agresi adalah sebuah fenomena yang kompleks,
dimana terdapat resiko campur tangan termasuk genetis, neurologis, variabel
biologi, konteks sosial budaya, dan pengalaman hidup awal antara lain dilihat
untuk tinjauan.
Dari beberapa definisi mengenai agresi tersebut, Maka dapat disimpulkan
bahwa agresi merupakan suatu tindakan yang dilakukan secara sadar oleh
individu yang dapat merusak barang tertentu, membahayakan dan melanggar
hak-hak individu lain serta menyakiti individu, baik fisik maupun mental.
2.2.2
Teori Mengenai Agresi
Agresi dapat ditinjau dari berbagai aspek, sehingga banyak teori yang
mengemukakan mengenai agresi. Menurut Baron & Byrne (2005) ada berbagai
model atau sudut pandang teoritis yang menjelaskan agresi, diantaranya ialah:
2.2.2.1 Teori Insting
Freud (Baron & Byrne, 2005), menyatakan bahwa agresi timbul karena
adanya keinginan untuk mati (death wish atau thanatos) yang kuat dimiliki oleh
semua orang. Insting ini awalnya memiliki tujuan self-destruction, tetapi arahnya
segera diubah menuju orang lain.
Tidak hanya Freud, Lorenz (dalam Baron & Byrne, 2005) mengemukakan
bahwa agresi muncul terutama dari insting berkelahi bawaan yang dimiliki oleh
makhluk hidup. Insting ini berkembang selama terjadinya evolusi karena hal
17
tersebut menolong untuk memastikan bahwa hanya individu yang terkuat yang
akan menurunkan gennya pada generasi berikutnya.
2.2.2.2 Teori Dorongan
Teori dorongan agresi berdasarkan kondisi-kondisi eksternal, terutama
frustasi membangkitkan motif yang kuat untuk menyakiti orang lain. Dorongan
agresif ini kemudian menimbulkan agresi terbuka (Baron & Byrne, 2005).
Kondisi eksternal
(misalnya,
Gambarfrustasi,
kondisi lingkungan yang
tidak menyenangkan
Dorongan untuk
menyakiti atau
melukai orang
lain
Agresi
yang
nyata
Gambar. 2.1 Teori dorongan agresi.
*Sumber Baron & Byrne (2005). Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.
Menurut Berkowitz (dalam Baron & Byrne, 2005) frustasi mengakibatkan
terangsangnya suatu dorongan yang tujuan utamanya adalah menyakiti
beberapa orang atau objek, terutama yang dipersepsikan sebagai penyebab
frustasi. Namun teori hipotesis frustasi-agresi (frustration aggression hyphotesis)
dianggap masih lemah.
2.2.2.3 Teori General Affective Aggression Model (GAAM)
Pada teori ini, tidak hanya berfokus pada satu faktor saja sebagai
penyebab agresi, namun mengembangkan berbagai bidang psikologi untuk
mendapatkan pemahaman tambahan mengenai faktor-faktor yang memainkan
peran dalam kemunculan perilaku agresi. Anderson (dalam Baron & Byrne,
2005) melakukan pendekatan General Affective Aggression Model (GAAM).
Menurut teori ini, agresi dipicu oleh berbagai variabel input, seperti aspek-aspek
dari situasi saat ini (kategori pertama) atau kecenderungan dibawa individu
ketika menghadapi sesuatu (kategori kedua).
18
Hal ini memengaruhi keterangsangan, tahap afektif, dan kognisi. Variabel
yang termasuk dalam kategori pertama meliputi frustasi, bentuk serangan
tertentu dari orang lain, pemaparan terhadap tingkah laku agresif orang lain,
munculnya objek yang diasosiasikan dengan agresi (seperti senjata), dan segala
hal yang dapat membuat individu merasa tidak nyaman. Pada kategori kedua,
meliputi trait yang mendorong individu untuk melakukan agresi, sikap dan belief
tertentu terhadap kekerasan, nilai mengenai kekerasan, dan keterampilan
spesifik yang terkait pada agresi.
Variabel situasional dan individual tersebut kemudian dapat menimbulkan
agresi yang terbuka (overt) melalui pengaruh dari tiga proses dasar. Yaitu,
keterangsangan (variabel yang dapat meningkatkan keterangsangan fisiologis
dan antusiasme, keadaan afektif (variabel yang dapat membangkitkan emosi
negatif), dan kognisi (variabel yang dapat membuat inidividu memiliki pemikiran
kebencian atau membawa ingatan kebencian atau permusuhan dalam pikiran)
(Baron & Byrne, 2005).
Variabel input
Provokasi
Afektivitas negatif
Frustasi
Trait mudah marah
Pemaparan terhadap model agresif
Belief mengenai agresi
Tanda yang berhubungan dengan agresi
Nilai-nilai proagresi
Penyebab dari afek tidak nyaman/negatif
Pola tingkah laku tipe A
Bias atribusional hostile
Keterangsangan
Keadaan afektif
Dll.Kognisi agresif
Agresi
Gambar 2.2 General Affective Aggression Model (GAAM).
*Sumber Baron & Byrne (2005). Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.
19
2.2.2.4 Teori Belajar Sosial
Bandura (dalam Myers, 2012), mengemukakan teori tentang agresi yang
disebut teori belajar sosial (social-learning theory). Menurut Bandura, individu
belajar agresi tidak hanya dengan merasakan dampak perbuatannya, tetapi juga
dengan mengamati orang lain. Sama seperti individu yang mempelajari sesuatu
dengan
melihat
orang
lain
dalam
berperilaku
dan
memperhatikan
konsekuensinya yang diterima. Bandura yakin bahwa dalam kehidupan individu
terpapar model agresi dalam keluarga, kelompok masyarakat, dan media massa.
Patterson, dkk. (dalam Myers, 2012) menyatakan bahwa anak yang
agresif secara fisik cenderung memiliki orangtua yang sering melakukan tindak
kekerasan pada anak mereka seperti memberikan hukuman fisik dengan tujuan
mendisiplinkan anak dengan memberikan contoh agresi, misalnya memukul,
menampar, dan lain sebagainya. Para orangtua ini biasanya memiliki orangtua
yang sering memberi hukuman fisik juga (Bandura & Walters, 1959; Straus &
Gelles, 1980, dalam Myers, 2012). Perilaku menghukum dengan cara agresi
yang dilakukan para orangtua dapat meningkat menjadi suatu penganiayaan
meskipun sebagian besar anak yang mengalami kekerasan yang telah dilakukan
orangtuanya tidak menjadi orangtua yang kasar juga nantinya, namun, 30% dari
mereka juga menyiksa anaknya (Kaufman & Zigler, 1987; Widom, 1989, dalam
Myers, 2012).
Triandis (dalam Myers, 2012), menyatakan bahwa pengaruh keluarga
juga muncul dalam tingkat kekerasan yang tinggi dalam budaya dan keluarga
tanpa adanya seorang ayah. Hal ini dibenarkan oleh Lykken (dalam Myers, 2012)
yang memperkirakan bahwa anak yang dibesarkan tanpa sosok ayah tujuh kali
lipat lebih rentan menjadi korban kekerasan, keluar dari sekolah, menjadi
pelarian, menjadi sosok orangtua remaja tanpa pernikahan, serta melakukan
kejahatan dengan kekerasan. Dalam hal ini, yang menjadi penekanannya ialah
20
pada korelasi, jika ayah tidak hadir, maka resiko munculnya perilaku agresi
menjadi meningkat.
Selain keluarga, lingkungan sosial juga dapat menjadi model untuk ditiru.
Kelompok masyarakat yang sering melakukan tindakan kejahatan cenderung
memberikan model pembelajaran bagi orang lain untuk melakukan tindakan
agresif yang serupa. Suatu penelitian remaja yang dilakukan oleh Bingenheiner
dkk pada tahun 2005 di Chicago menyatakan bahwa remaja yang sama-sama
memiliki resiko menghadapi kekerasan dan pernah melihat kekerasan senjata
memiliki resiko ganda untuk melakukan kekerasan juga (dalam Myers, 2012).
Individu mempelajari respon agresi dengan mengalami dan mengamati
model yang mencontohkan untuk berbuat agresi (Myers, 2012). Tindakan agresi
tersebut dimotivasi oleh berbagai pengalaman yang tidak menyenangkan
(afersive) seperti frustasi, sedih, dan penghinaan yang diterimanya. Pengalaman
tertentu membangkitkan emosional. Namun keputusan untuk bertindak agresi
atau tidak bergantung pada konsekuensi yang diperkirakan (Bandura, 1979,
dalam Myers, 2012).
2.2.3
Macam-macam Agresi
Strube dkk (dalam Baron & Byrne, 2005), menyatakan bahwa jenis agresi
terbagi dua, diantaranya ialah:
1. Hostile Aggression
Hostile aggression atau agresi rasa benci ini bertujuan untuk melakukan
kekerasan pada korbannya. Cenderung bersifat reaktif yang terjadi
sebagai jawaban atas tantangan, rasa nyeri, ancaman, atau kekecewaan
(Bailey, dalam Mangunwibawa, 2004). Selain itu, situasi yang tidak
menyenangkan dapat memicu agresi dengan memancing pikiran benci,
rasa benci, dan keterbangkitan fisik. Sehingga individu cenderung
21
mengartikan segala sesuatu menjadi berbahaya dan bereaksi agresif
(Anderson, Deuser, & DeNeve, 1995, dalam Myers, 2012). Sedangkan
Myers
(2012) menyatakan bahwa
hostile aggression merupakan
ungkapan kemarahan yang bertujuan untuk melukai, merusak, bahkan
dapat merugikan orang lain. Perilaku jenis ini disebut juga dengan agresi
jenis panas. Akibat dari agresi ini tidak dipikirkan oleh pelaku dan pelaku
memang tidak peduli jika akibat perbuatannya lebih banyak menimbulkan
kerugian daripada manfaat.
2. Agresi instrumental
Agresi instrumental bukan bertujuan untuk menyakiti korban tetapi untuk
mencapai tujuan lain tertentu, seperti akses pada sumber daya yang
berharga. Perilaku agresi ini merupakan alat bagi individu untuk
mencapai apa yang diharapkannya (Bailey, dalam Mangunwibawa,
2004). Contohnya pujian, penghargaan, kekuasaan, dan lain sebagainya.
Agresi ini hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu (Myers,
2012).
Battencourt, Talley, Valentine, dan Benjamin (2006), juga menyatakan
bahwa agresi terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Agresi reaktif
Individu cenderung lebih bersikap memusuhi tanggapan terhadap
ancaman atau provokasi. Persepsi ancaman maupun pengalaman
kemarahan mendorong individu untuk membalas dengan sikap
reaktif agresif. Tujuan dari agresi reaktif ialah untuk balas dendam
atau ganti rugi terhadap perlakuan tidak menyenangkan yang
pernah diterima sebelumnya.
22
2. Agresi proaktif
Tujuan dari agresi proaktif ialah untuk mendapatkan sumber daya
atau kontrol atas orang lain sehingga dapat mengintimidasi orang
lain dan tidak perlu menanggapi provokasi.
Sedangkan Buss & Perry (1992) menyimpulkan bahwa ada empat faktor
yang merupakan subtrait dari agresi yaitu physical aggression, verbal
aggression, anger, dan hostility yang membentuk trait kepribadian agresi. Berikut
ini adalah penjelasan mengenai 4 domain atau dimensi agresi menurut Buss
dan Perry (1992):
1. Physical aggression
Tindakan menyakiti, mengganggu, atau membahayakan orang
lain melalui respon motorik dalam bentuk fisik sebagai bentuk kemarahan
atau agresi seperti mencubit, memukul, dan lain sebagainya. Perilaku
tersebut dapat diobservasi (overt).
2. Verbal aggression
Tindakan yang dapat diamati dan memiliki kecenderungan untuk
menyerang orang lain dengan tindakan menyakiti, mengganggu, atau
membahayakan orang secara verbal seperti cacian, mengumpat,
membentak dan lain sebagainya.
3. Anger
Reaksi afektif berupa dorongan fisiologis sebagai tahap persiapan
agresi. Beberapa bentuk anger adalah perasaan marah, kesal, sebal, dan
bagaimana mengontrol hal tersebut. Termasuk di dalamnya adalah
irritability, yaitu mengenai temperamental, kecenderungan untuk cepat
marah, dan kesulitan mengendalikan amarah.
23
4. Hostility
Tergolong kedalam agresi covert (tidak kelihatan). Hostility
mewakili komponen kognitif yang terdiri dari resentment seperti cemburu
dan
iri
terhadap
orang
lain,
dan
suspicion
seperti
adanya
ketidakpercayaan dan kekhawatiran.
2.2.4
Sumber-sumber Pengaruh Perilaku Agresi
Menurut Kartono (2002) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
agresi pada remaja meliputi:
1) Kondisi pribadi remaja, yaitu kelainan yang dibawa sejak lahir baik
fisik maupun psikis, lemahnya kontrol diri terhadap pengaruh
lingkungan, kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan
dan kurangnya dasar keagamaan.
2) Lingkungan rumah dan keluarga yang kurang memberikan kasih
sayang dan perhatian orang tua sehingga remaja mencarinya
dalam kelompok sebayanya, kurangnya komunikasi sesama
anggota keluarga, status ekonomi keluarga yang rendah, ada
penolakan dari ayah maupun ibu, serta keluarga yang kurang
harmonis.
3) Lingkungan masyarakat yang kurang sehat, keterbelakangan
pendidikan pada masyarakat, kurangnya pengawasan terhadap
remaja serta pengaruh norma-norma baru yang ada diluar.
4) Lingkungan sekolah, seperti kurangnya fasilitas pendidikan
sebagai tempat penyaluran bakat dan minat remaja, kurangnya
perhatian guru, tata cara disiplin yang terlalu kaku atau normanorma pendidikan yang kurang diterapkan.
24
Menurut Baron & Byrne (2005) hal-hal yang dapat memengaruhi
perilaku agresi diantaranya ialah:
1
Faktor Sosial
1) Frustasi
Frustasi selalu mengarah ke salah satu bentuk agresi, dan agresi
selalu berasal dari frustasi (Dollard at all, 1939, dalam Baron & Byrne,
2005). Menurut Barkowitz (dalam Gerungan, 2009) Frustasi yang
disebabkan oleh tidak terpenuhinya harapan atau goal atas hubungan
sosial, tidak secara langsung menyebabkan agresi, namun frustasi
dapat merangsang terjadinya perilaku agresi. Orang-orang mengalami
frustasi apabila maksud dan keinginan yang diperjuangkan dengan
intensif mengalami hambatan atau kegagalan. Sehingga, akibat dari
frustasi itu mungkin akan timbul perasaan agresif.
Selain itu, Berkowitz (dalam Myers, 2012) menyatakan bahwa
pengalaman yang tidak menyenangkan merupakan pemicu dasar dari
agresi permusuhan. Frustasi merupakan salah satu bentuk yang tidak
menyenangkan. Namun, segala peristiwa tidak mengenakan, baik
penghinaan,
menimbulkan
cacian,
luapan
rasa
sakit,
emosi.
dan
Bahkan
lain
sebagainya
kondisi
depresi
dapat
dapat
meningkatkan suatu permusuhan dan perilaku agresif.
2) Provokasi
Kritik yang kasar serta tidak sopan yang dapat menyerang diri
sendiri dan bukan merupakan kritik terhadap perilaku diri yang salah,
merupakan provokasi yang kuat sehingga dapat memunculkan
perilaku agresi.Kita cenderung untuk membalas, memberikan agresi
25
sebanyak yang kita terima, terutama jika orang tersebut menyakiti diri
kita (Chermack, Berman, & Taylor, 1997; Ohbuchi & Kambara, 1985,
dalam Baron & Byrne, 2005).
3) Agresi yang Dipindahkan
Agresi ini merupakan hasil provokasi yang ia tahan, kemudian
sewaktu-waktu ia luapkan pada seseorang yang bukan sumber dari
provokasi awal yang kuat (Dollard dkk, 1939, dalam Baron & Byrne,
2005).
4) Kekerasan pada Media
Beberapa
film
menggambarkan
adegan-adegan
kekerasan,
bahkan terkadang lebih banyak daripada kenyataan sebenarnya
(Reiss & Roth, waters, et all, dalam Baron & Byrne, 2005). Makin
banyak film atau program televisi dengan kandungan kekerasan,
maka makin tinggi tingkat agresi. Selain film, dapat terjadi pula
“copycat crimes”, dimana suatu kejahatan yang dilaporkan di media
kemudian ditiru oleh orang-orang. Dampak lain dari kekerasan pada
media ialah timbulnya efek disensitisasi. Setelah individu menonton
banyak adegan kekerasan, individu tersebut menjadi acuh pada
kesakitan dan penderitaan orang lain.
Meinarno (dalam Sarwono & Meinarno, 2009), menyatakan bahwa
khusus untuk media massa televisi yang merupakan media tontonan
dan secara alami memiliki kesempatan yang lebih tinggi bagi
pemirsanya untuk mengamati apa yang disampaikan secara jelas
dibandingkan media massa lainnya. Sehingga kekerasan pada
tayangan televisi menjadi modelling bagi masyarakat. Semakin
banyak adegan kekerasan yang ditonton di televisi, maka individu
26
tersebut semakin agresif (Eron, 1987; Turner dkk., 1986, dalam
Murray, 2008).
Media lain yang menyebabkan seseorang berperilaku agresi ialah
video games. Saat ini banyak sekali remaja yang sering memainkan
permainan
komputer
dengan
adegan-adegan
kekerasan
atau
penyerangan, sehingga mereka belajar dari model pada permainan
tersebut (Myers, 2012). Pada penelitian Anderson (dalam Myers,
2012) menghasilkan lima dampak konsisten dari suatu permainan
yang
berisi
kekerasan.
Diantaranya
ialah
meningkatkan
keterangsangan fisik, meningkakan pikiran agresif, meningkatkan
perasaan agresif, meningkatkan perilaku agresif, dan mengurangi
perilaku prososial.
Selain televisi dan video games, tayangan pornografi merupakan
salah satu penyebab seseorang melakukan tindakan agresi.
Pornografi yang menggambarkan agresi seksual sebagai sesuatu
yang
menyenangkan
bagi
korban,
meningkatkan
penerimaan
terhadap penggunaan paksaan dalam relasi seksual (Myers, 2012).
5) Keterangsangan yang Meningkat
Keterangsangan
dapat
berasal
dari
sumber-sumber
yang
bervariasi seperti partisipan dalam permainan kompetitif (Christy,
Gelfand, & Hartmann, dalam Baron & Byrne, 2005), jenis olahraga
yang keras (Zilmann, 1979, dalam Baron & Byrne, 2005), serta musik
tertentu (Rogers & Ketcher, 1979, dalam Baron & Byrne, 2005).
Frustasi, suhu yang panas, serta penghinaan dapat memperkuat
terjadinya keterangsangan fisik. Ketika hal demikian terjadi, maka
27
keterangsangan fisik, pikiran serta perasaan bermusuhan, sehingga
dapat menimbulkan perilaku agresif (Myers, 2012).
6) Keterangsangan Seksual
Hubungan antara keterangsangan seksual dengan agresi bersifat
curvilinear. Keterangsangan seksual ringan mengurangi agresi hingga
tingkat yang lebih rendah daripada yang ditunjukkan oleh tidak
adanya keterangsangan, sedangkan keterangsangan yang lebih tinggi
malah meningkatkan agresi di atas tingkat ketiadaan keterangsangan.
Hal
ini
disebabkan
karena
materi
erotis
yang
ringan
akan
memunculkan perasaan-perasaan positif yang menghambat agresi,
sedangkan stimulus seksual yang lebih eksplisit akan memunculkan
perasaan negatif sehingga meningkatkan agresi (Zillmann, 1984,
dalam Baron & Byrne, 2005).
2
Faktor Kultural
Beberapa norma di suatu Negara mengizinkan adanya tindakan agresi
untuk mempertahankan harga dirinya yang telah dinodai oleh orang lain.
Yosep (2007) menyatakan bahwa adanya norma dapat membantu
mendefinisikan ekspresi agresi mana yang dapat diterima atau tidak
dapat
diterima.
Sehingga
dapat
membantu
individu
untuk
mengekpresikan marah dengan cara yang asertif. Ekspresi kemarahan
sangat dipengaruhi oleh apa yang diterima dalam suatu budaya.
28
3
Faktor Personal
1) Pola Perilaku Tipe A
Pola perilaku tipe A (Type A behavior pattern) merupakan tipe
kepribadian yang kompetitif, selalu dalam keadaan terburu-buru,
mudah tersinggung dan agresi (Glass, 1977; Stube, 1989, dalam
Baron & Byrne, 2005). Individu tipe A cenderung melakukan agresi
hostile, dimana tujuan utamanya ialah untuk melakukan kekerasan
pada korban (Strube, dkk., 1984, dalam Baron & Byrne, 2005).
Sedangkan individu yang tidak sangat kompetitif, yang tidak selalu
bertanding dengan waktu, dan yang tidak mudah kehilangan kendali
dikategorikan pola perilaku tipe B (type B behavior pattern) (Baron &
Byrne, 2005).
2) Narsisme
Individu yang memiliki tingkat narsisme yang tinggi, dapat
menunjukkan perilaku agresi yang tinggi juga dibandingkan orang
lain. Hal ini disebabkan karena ia memiliki keraguan yang
mengganggu mengenai kebenaran ego mereka yang besar sehingga
bereaksi pada tindakan kekerasan atau hinaan kepada individu lain
sebagai bentuk rasa marah.
3) Hostile Attributional Bias
Atribusi berperan pada reaksi kita terhadap perilaku orang lain,
terutama pada provokasi nyata yang memengaruhi perilaku agresi.
Hal ini mengacu pada tendensi untuk mempersepsikan maksud atau
motif hostile dalam tindakan orang lain ketika tindakan ini dirasa
ambigu. Ketika individu memiliki bias atribusional hostile yang tinggi,
ia jarang mempersepsikan tindakan hostile yang dilakukan orang lain
29
sebagai ketidaksengajaan, namun mengasumsikan bahwa tindakan
provokasi tersebut memang sengaja dilakukan, dan individu tersebut
segera melawan membalasnya.
4) Perbedaan Gender
Umumnya pria cenderung melakukan tindakan agresi secara
langsung ditujukan kepada targetnya, seperti memaki, mendorong,
berteriak, dan lain sebagainya. Sedangkan wanita cenderung
melakukan agresi secara tidak langsung, seperti bergunjing masalah
orang lain. Tindakan ini memungkinkan individu menutupi identitasnya
dari target yang dituju. Sehingga, target tidak dapat mengetahui siapa
pelakunya. Pada tahun-tahun awal sekolah, perbedaan gender dalam
hal agresi menjadi tampak jelas. Menurut Condry dan Ross (dalam
Hogg & Vaughan, 2002) sejak awal masa anak-anak, laki-laki
cenderung lebih agresif daripada wanita.
Begitupula
Maccobay
&
Jacklin
(dalam
Santrock,
2003)
menyatakan bahwa kebanyakan laki-laki lebih agresif daripada
kebanyakan wanita. Anak laki-laki pada umumnya memperlihatkan
tingkat agresi fisik yang lebih tinggi daripada perempuan. Hocker
(dalam sarwono, 2000) menyebutkan bahwa perbedaan proses
sosialisasi
antara
pria
dan
wanita
menghasilkan
perbedaan
agresivitas antara keduanya. Perbedaan ini mudah terlihat dalam
tingkah laku bermain. Anak laki-laki melakukan permainan yang
menuntut kekuatan motorik, bersifat ekspansif dan agresif (bermain
bola, perang-perangan) sedangkan anak perempuan melakukan
permainan yang menuntut kehalusan motorik dan non agresif (masakmasakan, bermain boneka). Darvill dan Cheyne (dalam Hetherington,
1999) menyatakan bahwa pola agresi pada laki-laki dan perempuan
30
berbeda dalam cara tertentu. Laki-laki cenderung membalas setelah
diserang daripada perempuan. Selain itu, remaja pria cenderung
terlibat dalam agresi pada pria lainnya dibandingkan dengan wanita,
sedangkan bagi wanita perbedaan ini tidak terjadi.
4
Faktor Situasional
1) Temperatur
Suhu dapat berkorelasi positif dengan perilaku agresi. Iklim yang
berlangsung temporer memiliki pengaruh terhadap perilaku. Saat
cuaca panas, tindakan kekerasan lebih sering terjadi (Anderson &
Anderson, 1984; Cohn, 1993; Cotton, 1981, 1986; Harries & Stadler,
1988; Rotton & Frey, 1985, dalam Myers, 2012). Suatu penelitian
yang dilakukan oleh Griffitt (dalam Myers, 2012) menyatakan bahwa
individu yang berada pada ruangan dengan temperatur tinggi
(melebihi 90 ‘F ) merasa lebih lelah, agresif, dan menunjukkan sikap
bermusuhan
dengan
orang
asing.
Penelitian
berikutnya
mengungkapkan bahwa panas juga dapat memicu tindakan balas
dendam (Bell, 1980; Rule dkk, 1987, dalam Myers, 2012).
2) Alkohol
Gantner dan Taylor (dalam Baron & Byrne, 2005) menyatakan
bahwa alkohol mungkin merupakan salah satu faktor situasional yang
berkontribusi pada munculnya agresi, dan bahwa dampak seperti ini
dapat menjadi kuat khususnya untuk orang-orang yang tidak biasa
terlibat dalam tindakan agresi.
31
2.2.5 Perkembangan Agresi
Loeber dan Hay (dalam Krahe, 2005) menyatakan bahwa sampai batas
tertentu agresi bersifat normatif umur (age-normatif) terutama dikalangan anakanak dan remaja. Ini berarti bahwa perilaku yang dilakukan dengan niat
menyakiti orang lain diperlihatkan, paling tidak sekali-sekali, oleh banyak atau
kebanyakan anggota kelompok umur ini. Tetapi, ada sejumlah anak dan remaja
yang menyimpang dari proses perkembangan normal ini.
Perilaku agresi akan berubah tingkat dan polanya pada masa remaja dan
pada masa dewasa-muda. Perubahan penting pada perilaku agresif tersebut
karena lebih terorganisasi secara sosial. Selanjutnya Loeber dan Stouthamer
(dalam Krahe, 2005) mengatakan bahwa perilaku agresi terus menurun
sebagaimana fungsi umur. Sikap agesif ini dapat terjadi pada semua kalangan
masyarakat, tetapi akan beragam tingkat agresifnya. Biasanya mereka
melakukan tindakan agresi dalam tingkatan yang berbeda, dalam cara yang
berbeda, dan untuk alasan yang berbeda (Krahe, 2005).
2.3 Remaja
2.3.1 Definisi Remaja
Remaja dalam bahasa Inggris ialah adolescent yang berasal dari kata latin,
yakni adolescence yang artinya tumbuh kearah kematangan fisik dan sosial
psikologis (Gunarsa & Gunarsa, 2008). Steinberg (2002), menyatakan bahwa
remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak dan dewasa, yang
berarti tumbuh menuju kematangan. Santrock (2003) dan Papalia, Olds, dan
Feldman (2007), menambahkan pernyataan Steinberg dengan menyebutkan
terjadinya perubahan kognitif, biologis dan sosio-emosional pada masa remaja.
Untuk menentukkan rentang usia remaja, Papalia, Olds, dan Feldman
(2007) menyatakan usia remaja ialah individu yang berusia antara 11-21 tahun.
32
Sedangkan WHO (dalam Sarwono, 2006) membatasi usia remaja dengan
dimulai pada usia 10 hingga 20 tahun. Hurlock (2011) menyebutkan masa
remaja dimulai dari usia 13 hingga 21 tahun. Hurlock membagi usia remaja
menjadi dua bagian, yaitu:
1) Remaja awal (Early Adolecence)
Awal masa remaja berlangsung kira-kira 13 hingga 16 sampai 17 tahun
(Hurlock, 2011). Sedangkan Santrock menyatakan usia remaja awal
berkisar 11 hingga 14 tahun atau setara dengan tingkat pendidikan
menengah pertama.
2) Remaja akhir (Late Adolescence)
Santrock (2003), menyatakan usia remja akhir berkisar 15 hingga 19
tahun. Pada usia ini, remaja berada pada tingkat pendidikan menengah
atau sudah masuk di universitas. Umumnya pada usia ini, remaja sudah
muncul minat terhadap karir, pasangan, dan sudah mulai memikirkan
masa depannya. Hurlock (2011) lebih memberikan batas usia yang lebih
panjang, yaitu dimulai dengan usia 17 sampai dengan 21 tahun.
Di Indonesia, sulit untuk menentukan batas usia remaja, hal ini
disebabkan beragamnya budaya, suku, ekonomi dan pendidikan yang
berbeda. Sebagai acuan, maka dapat digunakan batasan usia 11 hingga
24 tahun dan belum menikah untuk remaja Indonesia (Sarwono, 2006).
Kartono (2008), membagi batas usia remaja menjadi tiga bagian,
diantaranya ialah:
1. Remaja Awal (12-15 Tahun)
Pada masa ini, remaja mengalami perubahan jasmani yang sangat pesat
dan perkembangan intelektual yang sangat intensif sehingga minat anak
33
pada dunia luar sangat besar dan pada saat ini remaja tidak mau
dianggap kanak-kanak lagi namun sebelum bisa meninggalkan pola
kekanak-kanakannya. Selain itu pada masa ini remaja sering merasa
sunyi, ragu-ragu, tidak stabil, tidak puas dan merasa kecewa.
2. Remaja Pertengahan (15-18 Tahun)
Kepribadian remaja pada masa ini masih kekanak-kanakan tetapi pada
masa remaja ini timbul unsur baru yaitu kesadaran akan kepribadian dan
kehidupan badaniah sendiri. Remaja mulai menentukan nilai-nilai tertentu
dan melakukan perenungan terhadap pemikiran filosofis dan etis. Maka
dari perasaan yang penuh keraguan pada masa remaja awal maka pada
rentan usia ini mulai timbul kemantapan pada diri sendiri. Rasa percaya
diri pada remaja menimbulkan kesanggupan pada dirinya untuk
melakukan penilaian terhadap tingkah laku yang dilakukannya. Selain itu
pada masa ini remaja menemukan diri sendiri atau jati dirnya.
3. Remaja Akhir (18-21 Tahun)
Pada masa ini remaja sudah mantap dan stabil. Remaja sudah mengenal
dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang digariskan sendiri dengan
keberanian. Remaja mulai memahami arah hidupnya dan menyadari
tujuan
hidupnya.
Remaja
sudah
mempunyai
pendirian
berdasarkan satu pola yang jelas yang baru ditemukannya.
tertentu
34
2.3.2 Ciri-ciri Masa Remaja
Masa remaja dapat dibedakan dengan masa sebelumnya (kanak-kanak)
dengan masa selanjutnya (dewasa). Menurut Hurlock (2011) Ciri-ciri tersebut
ialah:
1. Masa Remaja Sebagai Periode yang Penting
Semua masa memiliki kadar kepentingan yang berbeda. Pada masa
remaja perkembangan fisik cepat terjadi disertai cepatnya perkembangan
mental. Hal ini terjadi pada remaja usia 12 sampai 16 tahun (Tanner,
dalam Hurlock 2011). Semua perkembangan tersebut menimbulkan
perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai, dan
minat baru.
2. Masa Remaja sebagai Periode Peralihan
Peralihan merupakan perkembangan ke tahap selanjutnya. Remaja
berasal dari masa kanak-kanak, dan banyak ciri yang umumnya dianggap
sebagai ciri khas masa remaja sudah ada pada akhir masa kanak-kanak.
Dalam setiap periode peralihan, status individu tidaklah jelas dan terdapat
keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada masa ini, remaja
bukanlah kanak-kanak sehingga ia akan dituntut untuk bersikap lebih
dewasa. Namun, jika ia bersikap terlalu dewasa, maka ia akan dianggap
terlalu berlebihan dalam berpikir.
3. Masa Remaja sebagai Periode Perubahan
Beberapa perubahan pada masa remaja, diantaranya ialah meningginya
emosi, perubahan tubuh, minat serta perannya di lingkungan, nilai-nilai,
dan sikap ambivalen terhadap setiap perubahan.
4. Masa Remaja sebagai Usia Bermasalah
Masa remaja merupakan masa yang sering bermasalah dan sulit diatasi.
Hal ini disebabkan ketidakmampuan mereka untuk mengatasi sendiri
35
masalahnya menurut cara yang mereka yakini. Mereka menolak untuk
dibantu oleh orangtuanya dan merasa mampu menyelesaikan sendiri.
Sehingga ketika ia tidak sanggup untuk mengatasi masalahnya, maka
timbul permasalahan baru.
5. Masa Remaja sebagai Masa Mencari Identitas
Erikson (dalam Hurlock, 2011) menyatakan identitas diri yang dicari
remaja merupakan usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa
peranannya dalam masyarakat, dan bagaimana masa depannya.
6. Masa Remaja sebagai Usia yang Menimbulkan Ketakutan
Timbulnya stereotip yang menganggap bahwa orang dewasa mempunyai
pandangan yang buruk tentang remaja, membuat peralihan remaja ke
masa dewasa menjadi sulit. Hal ini menimbulkan banyak pertentangan
dengan orangtua sehingga timbulnya jarak diantara mereka yang
menghalangi anak untuk meminta bantuan orangtua dalam mengatasi
berbagai masalahnya.
7. Masa Remaja sebagai Masa Tidak Realistik
Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kacamata dirinya,
bukan memandang dengan apa adanya. Sehingga selalu timbul
keinginan yang tidak realistik. Meningginya emosi merupakan ciri dari
awal masa remaja. Semakin tidak realistik cita-citanya, maka ia akan
semakin marah ketika apa yang diharapkannya tidak terwujud.
8. Masa Remaja sebagai Ambang Masa Dewasa
Semakin remaja menuju masa dewasa, mereka akan merasa gelisah
dengan stereotip yang menggambarkan masa dewasa merupakan masa
yang sulit. Sehingga mereka mencoba untuk berperilaku dan berpakaian
seperti orang dewasa.
36
2.3.3 Perkembangan Masa Remaja
Tahap perkembangan pada masa remaja dibagi menjadi tiga bagian,
diantaranya ialah:
1. Perkembangan Biologis
Menurut Santrock (2003) perubahan fisik yang terjadi pada remaja
tampak terlihat pada saat masa pubertas, yaitu meningkatnya tinggi dan
berat badan serta kematangan sosial. Diantara perubahan fisik itu, yang
terbesar
pengaruhnya
pertumbuhan
tubuh
pada
(badan
perkembangan
menjadi
jiwa
semakin
remaja
lebar
dan
adalah
tinggi).
Selanjutnya, mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan
haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda
seksual sekunder yang tumbuh (Sarwono, 2006). Selain itu, Santrock
(2003) menambahkan bahwa perubahan biologis pada remaja terjadi
pada perkembangan otak, perubahan hormon, dan semua refleks
perubahan biologis.
2. Kognitif
Piaget (dalam Santrock, 2003) mengidentifikasikan remaja ke dalam
masa perkembangan operasi formal. Pada masa remaja terjadi
perubahan dalam proses berpikir dan kecerdasan (Santrock, 2003). Pada
tahap ini, remaja dapat mengembangkan kemampuannya dalam
melakukan abstraksi terhadap penalaran, membuat kemungkinankemungkinan yang dapat terjadi berdasarkan informasi yang diperoleh
serta menyusun rencana-rencana berdasarkan pengalaman masa lalu
(Papalia, Olds, Feldman, 2007).
3. Psikososial
Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit ialah yang
berhubungan dengan penyesuaian sosial. Untuk mencapai tujuan dari
37
pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian
baru. Yang terpenting dan tersulit ialah penyesuaian diri dengan
meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam berperilaku
sosial, pengelompokkan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam dukungan
dan penolakan sosial, dan nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin
(Hurlock, 2011). Sedangkan Santrock (2003) mengungkapkan bahwa
pada transisi sosial remaja mengalami perubahan dalam hubungan
individu dengan manusia lain yaitu dalam emosi, kepribadian, dan peran
dari konteks sosial dalam perkembangan. Papalia, Olds, & Feldman
(2007), menyatakan perubahan psikososial meliputi pencarian identitas
diri, seksualitas, dan interaksi remaja dengan keluarga, teman, serta
masyarakat.
WHO (dalam Sarwono, 2006) mendefinisikan remaja lebih bersifat
konseptual. Tiga kriteria perkembangan remaja, yaitu:
1. Biologis
Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tandatanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan
seksual.
2. Psikologis
Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi
dari kanak-kanak menjadi dewasa.
3. Sosial ekonomi
Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh
kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2008) bahwa secara umum ada 2 faktor
yang mempengaruhi perkembangan individu (bersifat dichotomy), yakni:
a. Faktor endogen (nature)
38
Dalam pandangan ini dinyatakan bahwa perubahan-perubahan fisik
maupun psikis dipengaruhi oleh faktor internal yang bersifat herediter
yaitu yang diturunkan orang tuanya, misalnya tinggi badan, bakat
minat, kecerdasan, dan lain sebagainya.
b. Faktor exogen (nurture)
Pandangan faktor exogen menyatakan bahwa perubahan dan
perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
berasal dari luar individu itu sendiri. Faktor ini diantaranya berupa
lingkungan fisik, contohnya letak geografis, cuaca, iklim, dan lain
sebagainya. Maupun lingkungan sosial seperti tetangga, teman,
lembaga pendidikan, lembaga sosial, dan sebagainya.
2.4 Kerangka Berpikir
Dewasa ini, perilaku agresi remaja seperti berbuat anarkis, berlaku kasar,
tidak sopan, dan dapat merugikan orang lain sudah menjadi hal yang lumrah di
Indonesia. Setiap tahun kejahatan yang dilakukan oleh remaja semakin
meningkat (Tambunan, 2001). Agresi merupakan segala bentuk perilaku yang
dimaksudkan untuk melukai orang lain baik secara fisik maupun mental
(Berkowitz, 1993, dalam Sarwono & Meinarno, 2009). Banyak faktor yang
mempengaruhi perilaku agresi, salah satunya ialah kecerdasan emosional.
Goleman (2007) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan
seseorang untuk mengendalikan emosi dirinya sendiri, mengenal perasaan
orang lain dan dapat menjaga hubungan dengan orang lain. Dari definisi
tersebut, Goleman (2007) membagi kecerdasan emosional dalam lima dimensi,
yaitu, dimensi kesadaran diri, kontrol diri, motivasi diri, empati, serta keterampilan
sosial.
39
Goleman (dalam Feldman, Olds, & Papalia, 2007), menyatakan bahwa
kecerdasan emosional sebagian besar terbentuk pada masa remaja, karena
pada masa ini otak mulai bekerja untuk mengontrol bagaimana seseorang akan
bersikap berdasarkan kematangan emosinya. Remaja yang terlalu mengikuti
emosinya yang tidak stabil memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk
melakukan perilaku-perilaku negatif seperti narkotika, melakukan seks diluar
nikah, pelanggaran aturan di sekolah, dan sebagainya (Sarwono, 2006). Begitu
pula dengan Lazzari (2000) yang menyatakan bahwa perilaku negatif berupa
kekerasan, penyalahgunaan obat-obatan, serta kenakalan remaja yang lain
berhubungan dengan kecerdasan emosional.
Kasus-Kasus Kekerasan Pada Remaja
Kecerdasan Emosional
Agresi
Kemampuan Mengenali
Emosi Diri
Kemampuan Mengelola
Emosi
Kemampuan Memotivasi
Diri
Kemampuan Memahami
Orang Lain
Kemampuan Membina
Hubungan
Agresi Fisik (Phisical
Aggression)
Agresi Verbal (Verbal
Aggression)
Agresi Marah (Anger)
Agresi Benci
(Hostillity)
Gambar 2.3 Kerangka Berpikir
Keterangan Gambar:
:
Meningkat
:
Dimensinya
:
Menurun
:
Menyebabkan
:
Disebabkan
:
Berhubungan
Download