DISKUSI KASUS BATUK DISUSUN OLEH: Kelompok G: Raymond Surya 0906508421 Liana Srisawitri 0906554346 Muncieto Andreas 0906508314 Valencia Livia 0906639953 Adityo Budiarso 0906507740 Wynne Oktaviane L 0906640015 D Winoyoko S 0706258965 Narasumber: Dr. dr. Zulkifli Amin, SpPD-KP dr. Nafrialdi, PhD, SpPD MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA NOVEMBER 2013 1 HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Saya yang bertandatangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa laporan ini dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia. Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada kami. Mengetahui, ( ) Raymond Surya ( ) Valencia Livia 2 ( ( ) Liana Srisawitri ) Adityo Budiarso ( ( ) Muncieto Andreas ) Wynne Oktaviane L ( ) D Winoyoko S BAB I ILUSTRASI KASUS 1. 1. IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. E Jenis Kelamin : Perempuan Usia : 59 tahun Alamat : Jl. Melur VII/19, Tugu Utara, Koja, Jakarta Agama : Islam Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Status pernikahan : Menikah Pendidikan terakhir : SD Jaminan : KJS Tanggal kunjungan : 7 November 2013 ke Puskesmas Kecamatan Koja ANAMNESIS Amamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 7 November 2013. Keluhan Utama Pasien datang ke Puskesmas Kecamatan Koja dengan keluhan batuk sejak 3 hari sebelum kunjungan. Riwayat Penyakit Sekarang Tiga hari sebelum kunjungan, pasien datang ke Puskesmas Koja mengeluh batuk disertai dahak berwarna putih. Pasien merasa demam sejak 3 hari sebelum kunjungan. Pasien juga merasa sesak napas dan keringat malam. Terdapat riwayat penurunan berat badan sejak beberapa bulan sebelum kunjungan, namun pasien tidak ingat berapa kg dalam berapa bulan. Sebelumnya, pasien sudah pernah datang juga ke Puskesmas 2 bulan yang lalu karena keluhan batuk berdahak warna putih, sudah sempat membaik namun batuk muncul kembali sejak 3 hari sebelum kunjungan. Saat kunjungan pasien 2 bulan yang lalu, pasien sudah pernah dilakukan pemeriksaan sputum BTA dan hasilnya negatif. Hasil rontgen pasien 3 pada bulan September menunjukkan terdapat infiltrat bilateral. Pasien juga sudah pernah dirujuk ke RSUD Koja dan jawaban dari spesialis paru adalah pasien mengalami TB paru dengan lesi minimal, BTA negatif. Sejak tiga hari sebelum kunjungan pasien diberikan pengobatan OAT. Pasien juga memiliki riwayat OAT pada tanggal 21/6/2012 di RSUD Koja. Riwayat Penyakit Dahulu Hipertensi diketahui pasien sejak 1 bulan yang lalu, DM negatif, penyakit jantung negatif, penyakit asma negatif, riwayat TB 1 tahun yang lalu. Riwayat Penyakit Keluarga Hipertensi negatif, DM negatif, penyakit jantung negatif, penyakit paru negatif, penyakit asma negatif Riwayat Sosial Saat ini pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga yang sehari-hari tinggal di rumah. Di rumah, pasien tinggal bersama anak dan menantunya. Pasien berobat menggunakan Kartu Jakarta Sehat (KJS). 2. PEMERIKSAAN FISIS Pemeriksaan fisis dilakukan pada tanggal 7 November 2013 Kesadaran : compos mentis Keadaan umum : tampak sakit ringan Keadaan gizi : kurang Tinggi badan : 150 cm Berat badan : 38 kg Indeks massa tubuh : 16,89 kg/m2 Tanda vital 1. Tekanan darah : 170/80 mmHg 2. Frekuensi nadi : 84 x/menit 3. Suhu : afebris 4. Frekuensi napas : 18x/menit Status generalis 4 Kulit : sawo matang, turgor kulit baik Kepala : normocephal, deformitas (-) Rambut : hitam bercampur uban, persebaran merata, tidak mudah dicabut Mata : konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-) Hidung : deformitas (-), deviasi septum (-), secret (-) Telinga : liang telinga lapang, membran timpani intak, serumen minimal Tenggorokan : tenang, faring hiperemis (-), T1/T1, ovula di tengah Gigi dan Mulut : oral hygiene baik Leher : JVP 5-2 cmH2O, tidak ada pembesaran KGB dan tiroid Jantung : 1. Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat 2. Palpasi : iktus kordis teraba di sela iga 5 3. Perkusi : batas jantung kanan pada sela iga 4 linea sternalis dekstra batas jantung kiri di sela iga 5, 1 jari lateral linea midklavikula sinistra pinggang jantung di sela iga 3 linea parasternal kiri 3. Auskultasi Paru : BJ I-II normal, reguler, murmur (-), gallop (-) : 4. Inspeksi : simetris statis dinamis 5. Palpasi : ekspansi dada sama kanan-kiri, fremitus kanan-kiri sama 6. Perkusi : sonor-sonor 7. Auskultasi : vesikular +/+, tidak ada wheezing, ronki basah kasar +/ + Abdomen : datar, lemas, nyeri tekan epigastrium (+), hepar teraba 1-2 jari bawah arcus costae kanan Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/- 3. PEMERIKSAAN PENUNJANG 4. Laboratorium (9/9/2013): DPL = 13,9 / 44 / 8200 / 344000 5 Cr 0,5 BTA Juni 2012 -/-/BTA 9/9/2013 -/-/BTA 30/9/2013 -/-/USG (4/11/2013): Hepatomegali lobus kanan 1. RINGKASAN Pasien wanita berusia 59 tahun datang dengan keluhan batuk sejak 3 hari sebelum kunjungan. Demam (+), sesak napas (+), keringat malam (+) sejak 3 hari sebelum kunjungan. Riwayat penurunan berat badan (+) sejak beberapa bulan sebelum kunjungan. Pasien sudah pernah datang juga ke Puskesmas 2 bulan yang lalu dan dilakukan sputum BTA (hasil negatif). Hasil rontgen bulan September menunjukkan terdapat infiltrat bilateral. Sejak tiga hari sebelum kunjungan pasien diberikan pengobatan OAT. Pasien juga memiliki riwayat OAT pada tanggal 21/6/2012 di RSUD Koja. Dari pemeriksaan fisik didapatkan TD 170/80 mmHg, konjungtiva anemis, terdengar ronki basah kasar di kedua lapang paru, hepar teraba 1-2 jari di bawah arcus costae kanan. Dari hasil laboratorium, didapatkan sputum BTA negatif. Dari USG didapatkan adanya hepatomegali lobus kanan. 1. DAFTAR MASALAH 1. CAP 2. TB on OAT 3. Hipertensi grade II 4. Hepatomegali TATALAKSANA 1. Cefixime 2x100 mg 2. Ambroxol 3x30 mg 3. Paracetamol 2x500 mg 4. OAT lanjutkan (kategori 2) 5. Amlodipin 1x10 mg 1. Captopril 2x25 mg 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. Pneumonia Komunitas (CAP) Pneumonia komunitas (CAP) dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, virus, maupun protozoa. Penyebab tersering adalah Streptococcus pneumoniae. Bakteri penyebab CAP dapat diklasifikasikan menjadi bakteri tipikal dan bakteri atipikal. Yang termasuk bakteri tipikal antara lain Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus (pada pasien tertentu), dan bakteri gram negatif seperti Mycoplasma pneumonia dan Pseudomonas Aeruginosa. Bakteri yang tergolong atipik antara lain Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae (pada pasien rawat inap), dan Legionella spp.1 Biasanya gejala berupa demam dengan takikardia. Dapat pula disertai keluhan menggigil atau berkeringat. Gejala lainnya adalah batuk yang dapat berupa batuk kering maupun batuk dengan sputum mukoid, purulen, atau disertai darah. Pasien juga dapat mengalami sesak napas. Gejala nyeri dada pleuritik juga dapat dialami pasien bila terdapat keterlibatan pleura. Hampir 20% pasien mengalami gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, atau diare. Gejala-gejala lainnya meliputi kelelahan, sakit kepala, nyeri otot, dan nyeri sendi.1 Pada pemeriksaan fisik biasa ditemukan peningkatan frekuensi napas, penggunaan otot bantu napas, melemahnya fremitus, dan perubahan bunyi perkusi menjadi redup hingga pekak. Pada auskultasi dapat ditemukan ronkhi, bunyi napas bronkial, atau pleural friction rub. Diagnosis banding CAP antara lain bronkhitis akut, bronkhitis kronik eksaserbasi akut, emboli paru, gagal jantung, pnemonitis radiasi. Pemeriksaan radiologi seringkali dan dibutuhkan untuk menyingkirkan diagnosis banding.1 Menurut kriteria PDPI, diagnosis pasti CAP dapat ditegakkan bila didapatkan infiltrat baru atau progresif pada foto toraks ditambah dua atau lebih gejala-gejala: batuk-batuk bertambah, perubahan karakteristik dahak (purulen), suhu aksila 38o C atau adanya demam, tanda-tanda konsolidasi, bunyi napas bronkial, dan ronki, serta jumlah leukosit ≥10.000 atau <4500. Derajat CAP dapat ditentukan dengan skor Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT).2 7 8 Menurut kriteria PDPI, indikasi rawat inap CAP adalah sebagai berikut.2 1. Skor PORT lebih dari 70 2. Skor port kurang dari 70 dengan salah satu kriteria: frekuensi napas > 30 kali/menit, PaO2 atau FiO2 <250 mmHg, kelainan bilateral paru pada foto toraks, terdapat keterlibatan 2 lobus pada foto toraks, tekanan darah sistolik <90 mmHg, tekanan darah diastolik <60 mmHg, atau pneumonia pada pengguna NAPZA. Sementara itu, kriteria pasien yang membutuhkan perawatan intensif adalah memiliki 1 dari dua gejala mayor (membutuhkan ventilasi mekanik, membutuhkan vasopresor selama lebih dari 4 jam) atau memiliki 2 dari gejala minor (PaO2/FiO2 < 250 mmHg, foto toraks menunjukkan kelainan paru bilateral, tekanan darah sistolik < 90 mmHg). Gambar 1. Penentuan Skor PORT2 Etiologi CAP umumnya tidak dapat ditentukan hanya dengan pemeriksaan klinis. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menentukan etiologi CAP antara lain pewarnaan gram dan kultur sputum, kultur darah, pemeriksaan antigen, PCR, dan pemeriksaan serologi.1 9 Gambar 2. Terapi Empiris CAP Menurut PDPI2 Faktor modifikasi adalah keadaan yang dapat menambah risiko infeksi dengan patogen spesifik seperti S. pneumoniae resisten penisilin. Faktor modifikasi meliputi:2 1. Pneumokokus resisten penisilin: usia>65 tahun, menggunakan beta laktam selama tiga bulan terakhir, pecandu alkohol, memiliki gangguan kekebalan, memiliki penyakit penyerta multipel. 2. Bakteri enterik Gram negatif: tinggal di rumah jompo, mempunyai penyakit jantung atau paru, mempunyai penyakit multipel, terdapat riwayat penggunaan antibiotik. 3. Pseudomonas aeruginosa: bronkiektasis, menggunakan kortikosteroid >10 mg/hari, menggunakan antibiotik spektrum luas > 7 hari dalam bulan terakhir, gizi kurang. II. TB paru on OAT Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB, yaitu Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini terutama menyerang organ paru, tetapi dapat menyerang organ-orang lain. Sumber penularan adalah pasien TB paru positif melalui bersin atau batuk sehingga kuman TB dalam bentuk percikan dahak terlepas ke udara.3 10 Gejala utama tuberkulosis adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih yang dapat diikuti dengan dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala tersebut juga dapat ditemukan pada penyakit paru lainnya, seperti bronkitis kronik, bronkiektasis, dan kanker paru, sehingga dibutuhkan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung menegakkan untuk diagnosis. Pemeriksaan dahak Gambar 3. Alur Diagnosis TB Paru3 secara mikroskopis langsung dilakukan dengan pengambilan sampel dahak sebanyak 3 kali, yaitu Sewaktu-Pagi-Sewaktu. Pemeriksaan foto toraks dapat dilakukan tetapi tidak dapat menggantikan peran pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.3 Pengobatan tuberkulosis untuk lini pertama terbagi menjadi kategori 1 dan kategori 2. Kategori 1 diperuntukkan pasien baru TB paru positif, pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif, dan TB ekstraparu. Kategori 2 diperuntukkan pasien kambuh, pasien gagal, dan pasien dengan pengobatan setelah putus berobat. Pengobatan kategori 1 (2RHZE/4RH) meliputi pengobatan tahap intensif selama 2 bulan berupa Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, dan Etambutol diikuti tahap lanjutan berupa rifampisin dan isonizid. Pengobatan kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) meliputi pengobatan tahap intensif berupa 2 bulan Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Etambutol, dan Streptomisin dan 1 bulan Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, dan Etambutol yang diikuti tahap lanjutan berupa selama 5 bulan Rifampisin, Isoniazid, dan Etambutol masing-masing pemberiannya 3 kali seminggu.3 III. Hipertensi Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai di seluruh dunia. Tingkat morbiditas dan mortalitas karena hipertensi masih sangat tinggi akibat 11 dari kerusakan organ multiple yang dapat terjadi.1 Berdasarkan rekomendasi dari JNC 7 klasifikasi tekanan darah untuk orang dewasa berusia 18 tahun atau lebih adalah sebagai berikut:4 • Normal: sistolik lebih rendah dari 120 mmHg, diastolik lebih rendah dari 80 mmHg • Prehipertensi: sistolik 120-139 mmHg atau diastolik 80-89 mmHg • Derajat 1: sistolik 140-159 mmHg atau diastolik 90-99 mmHg • Derajat 2: sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 100 mmHg Klasifikasi di atas didasarkan pada rata-rata 2 atau lebih pengukuran dalam rentang waktu 2 hari.4 Selain pembagian berdasarkan tekanan darah, hipertensi dapat dikategorikan menjadi hipertensi primer dan sekunder. Hipertensi primer (esensial) merupakan hipertensi yang terjadi tanpa adanya penyebab. Sekitar 90-95% orang dewasa dengan hipertensi memiliki hipertensi primer, sedangkan sisanya merupakan hipertensi sekunder. Hipertensi sekunder merupakan hipertensi yang diketahui penyebabnya. Terkadang, pasien yang mengalami hipertensi tidak ditemukan gejala apapun selain tekanan darah tinggi. Biasanya gejala klinis akan muncul setelah pasien mengalami hipertensi selama bertahun-tahun, misalnya nyeri kepala, penglihatan menjadi kabur, pusing, nyeri tengkuk, dan lain-lain.1 Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk diagnosis hipertensi adalah pengukuran tekanan darah sebanyak 2 kali atau lebih dalam rentang waktu 2 hari. Selain itu, karena hipertensi dapat menyebabkan banyak komplikasi maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan juga terhadap target organ yang mungkin terkena, misalnya jantung, ginjal, mata dan otak.1,4 Beberapa contoh pemeriksaan yang dapat dilakukan misalnya melakukan pemeriksaan EKG dan profil lipid untuk melihat apakah sudah ada komplikasi ke jantung dan pembuluh darah; Ur/Cr dan urinalisis untuk melihat apakah ada komplikasi ke ginjal; dan pemeriksaan mata untuk melihat apakah terdapat retinopati hipertensi.4 Berikut adalah algoritma tatalaksana hipertensi: 12 Gambar 4. Algoritma Tatalaksana Hipertensi4 Terapi non-farmakologi yang dianjurkan berupa perubahan gaya hidup dimana sebaiknya pasien mengurangi berat badannya (untuk pasien yang kelebihan berat badan), mengurangi konsumsi garam, mengurangi jumlah alcohol, berhenti merokok, melakukan aktivitas fisik secara teratur, dan menghindari stress.4 Terapi farmakologis dapat dibagi menjadi 2, yaitu:5 a. First line • Diuretics • Beta blockers • ACE-inhibitors • ARB • Ca antagonist a. Second line 1. Adrenergic neuron inhibitors 13 2. Central α2-agonist 3. Direct vasodilator IV. Hepatomegali Hepatomegali bukan merupakan tanda yang jelas untuk penyakit liver karena ukuran dan bentuk hepar bervariasi di antara pasien dan kesulitan untuk melakukan pemeriksaan hepar dengan palpasi dan perkusi. Hepatomegali biasa disertai dengan rasa tertekan atau nyeri tekan pada kuadran kanan atas. Rasa nyeri ini disebabkan oleh peregangan kapsula glisson dan biasanya disebabkan oleh hepatitis virus akut, kongesti hepar akut, dan sebagainya. Sementara itu, hepatomegali yang terjadi secara bertahap dapat tidak disertai nyeri.1,6 Gambar 5.Penyakit-Penyakit dengan Gejala Hepatomegali6 Nyeri tekan yang dirasakan pada hepatomegali perlu dibedakan dengan nyeri yang disebabkan oleh penyakit organ lain yang juga terletak pada abdomen kuadran kanan atas. Pemeriksaan USG dapat dilakukan untuk membedakan hepatomegali difus dan sirkumskripta, memeriksa homogenitas struktur hepar, menentukan apakah terdapat foci, nodul, kista, dan sebagainya, serta mengkonfirmasi adanya 14 hepatomegali. Pemeriksaan lebih lanjut yang dapat dilakukan antara lain CT abdomen, angio-CT, angiografi, dan biopsi liver.6 BAB III PENGKAJIAN MASALAH I. Pneumonia Komunitas (CAP) Atas dasar: Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan batuk sejak 3 hari sebelum kunjungan. Batuk berdahak putih dan dialami terus-menerus. Pasien juga mengalami demam sejak tiga hari sebelum kunjungan. Pasien juga mengeluhkan sesak napas dan keringat malam. Pada pemeriksaan fisik di dapatkan ronkhi basah kasar di kedua lapang paru. Keluhan-keluhan yang dialami pasien ini dipikirkan karena infeksi paru akut, bukan karena TB yang dimiliki pasien, karena gejala-gejala bersifat akut dan pasien sedang dalam pengobatan OAT bulan kedua. Rencana diagnosis: Foto polos toraks, pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL). Foto polos toraks dilakukan untuk menegakkan diagnosis CAP dengan membandingkan hasilnya dengan foto polos terakhir yang dimiliki pasien saat pasien datang untuk berobat TB. Pemeriksaan DPL dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat leukositosis yang biasanya timbul pada pneumonia. Rencana tatalaksana: - Cefixime 2x100 mg - Paracetamol 2x500 mg - Ambroxol 3x30 mg Cefixime merupakan antibiotik yang diberikan dengan tujuan mengatasi infeksi (CAP) pada pasien. Cefixime merupakan antibiotic golongan sefalosporin generasi ketiga, bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri, dengan cakupan lebih luas terhadap bakteri Gram negatif. Efek samping cefixime adalah diare dan keluhan saluran cerna lainnya. Waktu paruh cefixime adalah 3-4 jam dan diekskresi terutama melalui ginjal. Penggunaan cefixime bersama dengan streptomisin meningkatkan risiko kerusakan ginjal.7,8 Ambroxol merupakan agen mukolitik yang bekerja dengan memecah benang-benang mukopolisakarida dan 15 mukoprotein sputum. Efek samping ambroxol berupa mual dan peningkatan transaminase serum.9 Ambroxol diberikan untuk mengatasi batuk berdahak yang dialami pasien. Parasetamol diberikan untuk mengatasi demam yang dialami pasien. Mekanisme kerja parasetamol dalam menurunkan demam diduga melalui mekanisme sentral. Parasetamol dalam dosis toksik dapat menyebabkan nekrosis hati.10 Penggunaan isoniazid bersama parasetamol dapat meningkatkan efek toksik parasetamol terhadap hati dengan mekanisme yang belum diketahui. II. TB paru on OAT Atas dasar riwayat batuk berdahak putih sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit disertai penurunan berat badan dalam beberapa bulan yang dinyatakan TB paru lesi minimal BTA negatif dan batuk yang muncul kembali dalam 3 hari sebelum masuk rumah sakit disertai dahak berwarna putih, keringat malam hari, dan sesak napas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ronki basah kasar pada kedua lapang paru disertai fremitus yang melemah di basal paru. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan BTA pada Juni 2012 -/-/-, 9 September 2013 -/-/-, dan 30 September 2013 -/-/-. Pasien juga memiliki riwayat TB paru yang sudah diberikan obat anti tuberkulosis (OAT) pada 1 tahun sebelum masuk rumah sakit. Dipikirkan TB paru lesi minimal BTA negatif pada riwayat pengobatan OAT lini pertama. Alasannya adalah batuk berdahak putih, keringat malam hari, sesak napas, dan penurunan berat badan dalam beberapa bulan serta didapatkan ronkhi basah kasar pada kedua lapang paru dan fremitus melemah di basal paru. Tanda dan gejala tersebut juga bisa didapatkan pada penyakit paru-paru lain sehingga perlu dilakukan pemeriksaan sputum BTA. Namun, pada pasien ini juga didapatkan sputum BTA negatif (-/-/-) dalam 2 kali pemeriksaan. Riwayat TB paru pada 1 tahun lalu menunjukkan bahwa penyakit TB paru saat ini bukan kasus baru dan perlu ditanyakan kembali bagaimana pengobatan yang telah dilakukan pada TB paru 1 tahun lalu. Pada kasus ini penegakan diagnosis ini perlu memberikan terapi antibiotik non-OAT spektrum luas selain fluorokuinolon dan melihat apakah ada perbaikan atau tidak. Setelah itu bisa dilanjutkan sesuai dengan algoritma yang telah tersedia, yaitu jika terdapat perbaikan menandakan bukan TB sedangkan jika tidak terdapat perbaikan perlu dilakukan pemeriksaan sputum BTA kembali dan foto toraks jika diperlukan. 16 Rencana diagnosis: Berdasarkan hasil sputum yang telah didapatkan, yaitu -/-/-, perlu diberikan antibiotik spektrum luas non-OAT selain fluorokuinolon. Selain itu, pada TB paru BTA negatif juga disarankan pemeriksaan foto toraks dan pemeriksaan kultur untuk memastikan diagnosis. Oleh karena TB paru BTA negatif juga banyak didapatkan pada kasus HIV, terdapat kecurigaan terhadap kasus HIV sehingga perlu ditanyakan kembali hal-hal yang berkaitan dengan gejala AIDS dan faktor resiko yang dimiliki serta pemeriksaan HIV. Rencana tatalaksana: Pasien dilanjutkan pengobatan OAT lini kedua sesuai pedoman nasional pengendalian tuberkulosis pada pasien yang telah mendapatkan pengobatan OAT sebelumnya, yaitu 2RHZES/RHZE/5RHE. III. Hipertensi grade II Atas dasar: dari anamnesis didapatkan pasien didiagnosis hipertensi sejak 1 bulan sebelum kunjungan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 170/80 mmHg. Jika melihat klasifikasi dari JNC VII, pasien ini masuk ke dalam hipertensi grade II. Rencana diagnosis: Pengukuran tekanan darah secara berkala Pada kasus ini, pengukuran tekanan darah secara berkala dilakukan untuk melihat apakah terapi yang diberikan sudah dapat mencapai target tekanan darah yang ingin dicapai. Namun, sebaiknya perlu dilakukan pula beberapa pemeriksaan untuk melihat apakah sudah ada komplikasi dari hipertensi ini karena kebanyakan pasien hipertensi tidak memiliki gejala sehingga ada kemungkinan sudah ada komplikasi ke organ lainnya. Beberapa contoh pemeriksaan yang dapat dilakukan misalnya melakukan pemeriksaan EKG dan profil lipid untuk melihat apakah sudah ada komplikasi ke jantung dan pembuluh darah; Ur/Cr dan urinalisis untuk melihat 17 apakah ada komplikasi ke ginjal; dan pemeriksaan mata untuk melihat apakah terdapat retinopati hipertensi.4 Rencana tatalaksana: - Modifikasi gaya hidup - Amlodipin 1x10 mg - Captopril 2x25 mg Selain pemberian terapi farmakologi, pasien juga perlu tetap diedukasi mengenai terapi non-farmakologi yaitu modifikasi gaya hidup. Untuk terapi farmakologinya, pada pasien ini diberikan amlodipin dan captopril sebagai obat antihipertensi. Sesuai dengan algoritma tatalaksana hipertensi grade II, perlu diberikan 2 kombinasi obat untuk dapat mencapai target tekanan darah yang diinginkan. Amlodipin merupakan golongan Ca antagonist, sedangkan captopril merupakan golongan ACE-inhibitor. Kedua obat ini merupakan salah satu kombinasi yang dapat digunakan untuk menurunkan tekanan darah pada hipertensi grade II. Namun, perlu diperhatikan karena kedua obat ini dimetabolisme di hati jadi perlu dipantau juga fungsi hati terutama pada pasien ini karena pada pasien ditemukan adanya hepatomegali dan usia yang lanjut. IV. Hepatomegali Atas dasar: Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan epigastrium dan hepar teraba 1-2 jari di bawah arcus costae kanan. Pada pemeriksaan USG abdomen didapatkan hepatomegali lobus kanan. Dipikirkan hepatomegali pada pasien disebabkan karena efek samping OAT yang didapatkan pasien. Gangguan hepar adalah efek samping yang umum terjadi pada penggunaan pirazinamid. Pada pemberian pirazinamid dengan dosis 3 gram per hari, gejala gangguan hati muncul pada sekitar 15% kasus.11 Rifampisin juga dapat menimbulkan hepatotoksisitas. Insidens terjadinya ikterus pada penggunaan rifampisin bertambah pada pasien dengan penyakit hati kronik, pengguna alkohol, dan lansia. Seperti halnya rifampisin dan pirazinamid, isoniazid juga dapat menyebabkan ikterus dan kerusakan hati yang bersifat fatal 18 (nekrosis multilobular). Penggunaan isoniazid oleh pasien yang telah memiiki gangguan fungsi hati akan memperparah kerusakan hati.11 Rencana diagnosis: Pemeriksaan SGOT/SGPT, bilirubin total, direk, indirek. Rencana tatalaksana: Belum ada, menunggu hasil pemeriksaan. 19 DAFTAR PUSTAKA 1. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s principles of internal medicine. ed.18. New York: McGraw-Hill; 2012. 2. PDPI. Pneumonia komuniti. Jakarta:PDPI; 2003.h.13-21. 3. Surya A, Basri C, Kamso S, editor. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. ed.2. Jakarta: Kementrian Kesehatan; 2011. 4. Reference card from the seventh report of the joint national committee on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure (JNC 7). Diunduh dari http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/hypertension/phycard.pdf. Diakses pada tanggal 10 November 2013, pukul 20.00. 5. Nafrialdi. Antihipertensi. Dalam: Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.h.341-60. 6. Kuntz E, Kuntz HD. Hepatology: textbook and atlas. ed.3. Wetzlar: Springer; 2008.h.219-20. 7. Katzung, BG. Basic and clinical pharmacology. ed. 10. San Fransisco: McGrawHill; 2006. 8. Istiantoro YH, Gan VHS. Penisilin, sefalosporin, dan antibiotic betalaktam lainnya. Dalam: Gunawan SG. Farmakologi dan terapi. ed.5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.h.686. 9. Estuningtyas A, Arif A. Obat lokal. Dalam: Gunawan SG. Farmakologi dan terapi. ed.5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.h.532. 10. Wilmana PF, Gan S. Analgesik-antipiretik, analgesik anti-inflamasi nonsteroid, dan obat gangguan sendi lainnya. Dalam: Gunawan SG. Farmakologi dan terapi. ed.5. Jakarta: BalaiPenerbit FKUI; 2008.h.238. 11. Istiantoro YH, Setiabudy R. Tuberkulostatik dan leprostatik. Dalam: Gunawan SG. Farmakologi dan terapi. ed.5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.h.615-9. 20