DISKUSI KASUS BATUK DISUSUN OLEH: Kelompok G: Raymond

advertisement
DISKUSI KASUS
BATUK
DISUSUN OLEH:
Kelompok G:
Raymond Surya
0906508421
Liana Srisawitri
0906554346
Muncieto Andreas
0906508314
Valencia Livia
0906639953
Adityo Budiarso
0906507740
Wynne Oktaviane L
0906640015
D Winoyoko S
0706258965
Narasumber:
Dr. dr. Zulkifli Amin, SpPD-KP
dr. Nafrialdi, PhD, SpPD
MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
NOVEMBER 2013
1
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Saya yang bertandatangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa
laporan ini dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan
dengan benar tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di
Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh
Universitas Indonesia kepada kami.
Mengetahui,
(
)
Raymond Surya
(
)
Valencia Livia
2
(
(
)
Liana Srisawitri
)
Adityo Budiarso
(
(
)
Muncieto Andreas
)
Wynne Oktaviane L
(
)
D Winoyoko S
BAB I
ILUSTRASI KASUS
1.
1.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. E
Jenis Kelamin
: Perempuan
Usia
: 59 tahun
Alamat
: Jl. Melur VII/19, Tugu Utara, Koja, Jakarta
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Status pernikahan
: Menikah
Pendidikan terakhir
: SD
Jaminan
: KJS
Tanggal kunjungan
: 7 November 2013 ke Puskesmas Kecamatan Koja
ANAMNESIS
Amamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 7 November 2013.
Keluhan Utama
Pasien datang ke Puskesmas Kecamatan Koja dengan keluhan batuk sejak 3 hari
sebelum kunjungan.
Riwayat Penyakit Sekarang
Tiga hari sebelum kunjungan, pasien datang ke Puskesmas Koja
mengeluh batuk disertai dahak berwarna putih. Pasien merasa demam sejak 3
hari sebelum kunjungan. Pasien juga merasa sesak napas dan keringat malam.
Terdapat riwayat penurunan berat badan sejak beberapa bulan sebelum
kunjungan, namun pasien tidak ingat berapa kg dalam berapa bulan.
Sebelumnya, pasien sudah pernah datang juga ke Puskesmas 2 bulan yang lalu
karena keluhan batuk berdahak warna putih, sudah sempat membaik namun
batuk muncul kembali sejak 3 hari sebelum kunjungan.
Saat kunjungan pasien 2 bulan yang lalu, pasien sudah pernah
dilakukan pemeriksaan sputum BTA dan hasilnya negatif. Hasil rontgen pasien
3
pada bulan September menunjukkan terdapat infiltrat bilateral. Pasien juga
sudah pernah dirujuk ke RSUD Koja dan jawaban dari spesialis paru adalah
pasien mengalami TB paru dengan lesi minimal, BTA negatif. Sejak tiga hari
sebelum kunjungan pasien diberikan pengobatan OAT. Pasien juga memiliki
riwayat OAT pada tanggal 21/6/2012 di RSUD Koja.
Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi diketahui pasien sejak 1 bulan yang lalu, DM negatif, penyakit
jantung negatif, penyakit asma negatif, riwayat TB 1 tahun yang lalu.
Riwayat Penyakit Keluarga
Hipertensi negatif, DM negatif, penyakit jantung negatif, penyakit paru negatif,
penyakit asma negatif
Riwayat Sosial
Saat ini pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga yang sehari-hari tinggal di
rumah. Di rumah, pasien tinggal bersama anak dan menantunya. Pasien berobat
menggunakan Kartu Jakarta Sehat (KJS).
2.
PEMERIKSAAN FISIS
Pemeriksaan fisis dilakukan pada tanggal 7 November 2013
Kesadaran
: compos mentis
Keadaan umum
: tampak sakit ringan
Keadaan gizi
: kurang
Tinggi badan
: 150 cm
Berat badan
: 38 kg
Indeks massa tubuh
: 16,89 kg/m2
Tanda vital
1. Tekanan darah
: 170/80 mmHg
2. Frekuensi nadi
: 84 x/menit
3. Suhu
: afebris
4. Frekuensi napas : 18x/menit
Status generalis
4
Kulit
: sawo matang, turgor kulit baik
Kepala
: normocephal, deformitas (-)
Rambut
: hitam bercampur uban, persebaran merata, tidak mudah
dicabut
Mata
: konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-)
Hidung
: deformitas (-), deviasi septum (-), secret (-)
Telinga
: liang telinga lapang, membran timpani intak, serumen
minimal
Tenggorokan
: tenang, faring hiperemis (-), T1/T1, ovula di tengah
Gigi dan Mulut : oral hygiene baik
Leher
: JVP 5-2 cmH2O, tidak ada pembesaran KGB dan tiroid
Jantung
:
1. Inspeksi
: iktus kordis tidak terlihat
2. Palpasi
: iktus kordis teraba di sela iga 5
3. Perkusi
: batas jantung kanan pada sela iga 4 linea sternalis
dekstra
batas jantung kiri di sela iga 5, 1 jari lateral linea
midklavikula sinistra
pinggang jantung di sela iga 3 linea parasternal kiri
3. Auskultasi
Paru
: BJ I-II normal, reguler, murmur (-), gallop (-)
:
4. Inspeksi
: simetris statis dinamis
5. Palpasi
: ekspansi dada sama kanan-kiri, fremitus kanan-kiri
sama
6. Perkusi
: sonor-sonor
7. Auskultasi
: vesikular +/+, tidak ada wheezing, ronki basah kasar +/
+
Abdomen
: datar, lemas, nyeri tekan epigastrium (+), hepar teraba 1-2 jari
bawah arcus costae kanan
Ekstremitas
: akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-
3.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
4.
Laboratorium
(9/9/2013): DPL = 13,9 / 44 / 8200 / 344000
5
Cr 0,5
BTA Juni 2012 -/-/BTA 9/9/2013 -/-/BTA 30/9/2013 -/-/USG (4/11/2013): Hepatomegali lobus kanan
1.
RINGKASAN
Pasien wanita berusia 59 tahun datang dengan keluhan batuk sejak 3
hari sebelum kunjungan. Demam (+), sesak napas (+), keringat malam (+) sejak
3 hari sebelum kunjungan. Riwayat penurunan berat badan (+) sejak beberapa
bulan sebelum kunjungan. Pasien sudah pernah datang juga ke Puskesmas 2
bulan yang lalu dan dilakukan sputum BTA (hasil negatif). Hasil rontgen bulan
September menunjukkan terdapat infiltrat bilateral. Sejak tiga hari sebelum
kunjungan pasien diberikan pengobatan OAT. Pasien juga memiliki riwayat
OAT pada tanggal 21/6/2012 di RSUD Koja. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
TD 170/80 mmHg, konjungtiva anemis, terdengar ronki basah kasar di kedua
lapang paru, hepar teraba 1-2 jari di bawah arcus costae kanan. Dari hasil
laboratorium, didapatkan sputum BTA negatif. Dari USG didapatkan adanya
hepatomegali lobus kanan.
1.
DAFTAR MASALAH
1. CAP
2. TB on OAT
3. Hipertensi grade II
4. Hepatomegali
TATALAKSANA
1. Cefixime 2x100 mg
2. Ambroxol 3x30 mg
3. Paracetamol 2x500 mg
4. OAT lanjutkan (kategori 2)
5. Amlodipin 1x10 mg
1. Captopril 2x25 mg
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.
Pneumonia Komunitas (CAP)
Pneumonia komunitas (CAP) dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, virus,
maupun protozoa. Penyebab tersering adalah Streptococcus pneumoniae. Bakteri
penyebab CAP dapat diklasifikasikan menjadi bakteri tipikal dan bakteri atipikal.
Yang termasuk bakteri tipikal antara lain Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae, Staphylococcus aureus (pada pasien tertentu), dan bakteri gram negatif
seperti Mycoplasma pneumonia dan Pseudomonas Aeruginosa. Bakteri yang
tergolong atipik antara lain Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae (pada
pasien rawat inap), dan Legionella spp.1
Biasanya gejala berupa demam dengan takikardia. Dapat pula disertai keluhan
menggigil atau berkeringat. Gejala lainnya adalah batuk yang dapat berupa batuk
kering maupun batuk dengan sputum mukoid, purulen, atau disertai darah. Pasien
juga dapat mengalami sesak napas. Gejala nyeri dada pleuritik juga dapat dialami
pasien bila terdapat keterlibatan pleura. Hampir 20% pasien mengalami gejala
gastrointestinal seperti mual, muntah, atau diare. Gejala-gejala lainnya meliputi
kelelahan, sakit kepala, nyeri otot, dan nyeri sendi.1
Pada pemeriksaan fisik biasa ditemukan peningkatan frekuensi napas,
penggunaan otot bantu napas, melemahnya fremitus, dan perubahan bunyi perkusi
menjadi redup hingga pekak. Pada auskultasi dapat ditemukan ronkhi, bunyi napas
bronkial, atau pleural friction rub. Diagnosis banding CAP antara lain bronkhitis
akut, bronkhitis kronik eksaserbasi akut, emboli paru, gagal jantung,
pnemonitis
radiasi.
Pemeriksaan
radiologi
seringkali
dan
dibutuhkan
untuk
menyingkirkan diagnosis banding.1
Menurut kriteria PDPI, diagnosis pasti CAP dapat ditegakkan bila didapatkan
infiltrat baru atau progresif pada foto toraks ditambah dua atau lebih gejala-gejala:
batuk-batuk bertambah, perubahan karakteristik dahak (purulen), suhu aksila 38o C
atau adanya demam, tanda-tanda konsolidasi, bunyi napas bronkial, dan ronki, serta
jumlah leukosit ≥10.000 atau <4500. Derajat CAP dapat ditentukan dengan skor
Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT).2
7
8
Menurut kriteria PDPI, indikasi rawat inap CAP adalah sebagai berikut.2
1. Skor PORT lebih dari 70
2. Skor port kurang dari 70 dengan salah satu kriteria: frekuensi napas > 30
kali/menit, PaO2 atau FiO2 <250 mmHg, kelainan bilateral paru pada foto toraks,
terdapat keterlibatan 2 lobus pada foto toraks, tekanan darah sistolik <90 mmHg,
tekanan darah diastolik <60 mmHg, atau pneumonia pada pengguna NAPZA.
Sementara itu, kriteria pasien yang membutuhkan perawatan intensif adalah
memiliki 1 dari dua gejala mayor (membutuhkan ventilasi mekanik, membutuhkan
vasopresor selama lebih dari 4 jam) atau memiliki 2 dari gejala minor (PaO2/FiO2 <
250 mmHg, foto toraks menunjukkan kelainan paru bilateral, tekanan darah sistolik <
90 mmHg).
Gambar 1. Penentuan Skor PORT2
Etiologi CAP umumnya tidak dapat ditentukan hanya dengan pemeriksaan
klinis. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menentukan etiologi
CAP antara lain pewarnaan gram dan kultur sputum, kultur darah, pemeriksaan
antigen, PCR, dan pemeriksaan serologi.1
9
Gambar 2. Terapi Empiris CAP Menurut PDPI2
Faktor modifikasi adalah keadaan yang dapat menambah risiko infeksi dengan
patogen spesifik seperti S. pneumoniae resisten penisilin. Faktor modifikasi meliputi:2
1. Pneumokokus resisten penisilin: usia>65 tahun, menggunakan beta laktam selama
tiga bulan terakhir, pecandu alkohol, memiliki gangguan kekebalan, memiliki
penyakit penyerta multipel.
2. Bakteri enterik Gram negatif: tinggal di rumah jompo, mempunyai penyakit
jantung atau paru, mempunyai penyakit multipel, terdapat riwayat penggunaan
antibiotik.
3. Pseudomonas aeruginosa: bronkiektasis, menggunakan kortikosteroid >10 mg/hari,
menggunakan antibiotik spektrum luas > 7 hari dalam bulan terakhir, gizi kurang.
II.
TB paru on OAT
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB, yaitu Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini terutama menyerang organ paru,
tetapi dapat menyerang organ-orang lain. Sumber penularan adalah pasien TB paru
positif melalui bersin atau batuk sehingga kuman TB dalam bentuk percikan dahak
terlepas ke udara.3
10
Gejala utama tuberkulosis adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih yang dapat diikuti dengan dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas,
badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat
malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala tersebut
juga dapat ditemukan pada penyakit paru lainnya, seperti bronkitis kronik,
bronkiektasis, dan kanker paru, sehingga dibutuhkan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis
langsung
menegakkan
untuk
diagnosis.
Pemeriksaan
dahak
Gambar 3. Alur Diagnosis TB Paru3
secara
mikroskopis langsung dilakukan
dengan
pengambilan
sampel
dahak sebanyak 3 kali, yaitu
Sewaktu-Pagi-Sewaktu.
Pemeriksaan foto toraks dapat
dilakukan
tetapi
tidak
dapat
menggantikan peran pemeriksaan
dahak
secara
mikroskopis
langsung.3
Pengobatan tuberkulosis untuk lini pertama terbagi menjadi kategori 1 dan
kategori 2. Kategori 1 diperuntukkan pasien baru TB paru positif, pasien TB paru
BTA negatif foto toraks positif, dan TB ekstraparu. Kategori 2 diperuntukkan pasien
kambuh, pasien gagal, dan pasien dengan pengobatan setelah putus berobat.
Pengobatan kategori 1 (2RHZE/4RH) meliputi pengobatan tahap intensif selama 2
bulan berupa Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, dan Etambutol
diikuti tahap
lanjutan berupa rifampisin dan isonizid. Pengobatan kategori 2 (2HRZES/ HRZE/
5H3R3E3) meliputi pengobatan tahap intensif berupa 2 bulan Rifampisin, Isoniazid,
Pirazinamid, Etambutol, dan Streptomisin dan 1 bulan Rifampisin, Isoniazid,
Pirazinamid, dan Etambutol yang diikuti tahap lanjutan berupa selama 5 bulan
Rifampisin, Isoniazid, dan Etambutol
masing-masing pemberiannya 3 kali
seminggu.3
III.
Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai di seluruh
dunia. Tingkat morbiditas dan mortalitas karena hipertensi masih sangat tinggi akibat
11
dari kerusakan organ multiple yang dapat terjadi.1 Berdasarkan rekomendasi dari
JNC 7 klasifikasi tekanan darah untuk orang dewasa berusia 18 tahun atau lebih
adalah sebagai berikut:4
•
Normal: sistolik lebih rendah dari 120 mmHg, diastolik lebih rendah
dari 80 mmHg
•
Prehipertensi: sistolik 120-139 mmHg atau diastolik 80-89 mmHg
•
Derajat 1: sistolik 140-159 mmHg atau diastolik 90-99 mmHg
•
Derajat 2: sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 100 mmHg
Klasifikasi di atas didasarkan pada rata-rata 2 atau lebih pengukuran dalam
rentang waktu 2 hari.4 Selain pembagian berdasarkan tekanan darah, hipertensi dapat
dikategorikan menjadi hipertensi primer dan sekunder. Hipertensi primer (esensial)
merupakan hipertensi yang terjadi tanpa adanya penyebab. Sekitar 90-95% orang
dewasa dengan hipertensi memiliki hipertensi primer, sedangkan sisanya merupakan
hipertensi sekunder. Hipertensi sekunder merupakan hipertensi yang diketahui
penyebabnya.
Terkadang, pasien yang mengalami hipertensi tidak ditemukan gejala apapun
selain tekanan darah tinggi. Biasanya gejala klinis akan muncul setelah pasien
mengalami hipertensi selama bertahun-tahun, misalnya nyeri kepala, penglihatan
menjadi kabur, pusing, nyeri tengkuk, dan lain-lain.1 Pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk diagnosis hipertensi adalah pengukuran tekanan darah sebanyak 2
kali atau lebih dalam rentang waktu 2 hari. Selain itu, karena hipertensi dapat
menyebabkan banyak komplikasi maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan juga
terhadap target organ yang mungkin terkena, misalnya jantung, ginjal, mata dan
otak.1,4
Beberapa contoh pemeriksaan yang dapat dilakukan misalnya melakukan
pemeriksaan EKG dan profil lipid untuk melihat apakah sudah ada komplikasi ke
jantung dan pembuluh darah; Ur/Cr dan urinalisis untuk melihat apakah ada
komplikasi ke ginjal; dan pemeriksaan mata untuk melihat apakah terdapat retinopati
hipertensi.4
Berikut adalah algoritma tatalaksana hipertensi:
12
Gambar 4. Algoritma Tatalaksana Hipertensi4
Terapi non-farmakologi yang dianjurkan berupa perubahan gaya hidup dimana
sebaiknya pasien mengurangi berat badannya (untuk pasien yang kelebihan berat
badan), mengurangi konsumsi garam, mengurangi jumlah alcohol, berhenti merokok,
melakukan aktivitas fisik secara teratur, dan menghindari stress.4
Terapi farmakologis dapat dibagi menjadi 2, yaitu:5
a. First line
• Diuretics
• Beta blockers
• ACE-inhibitors
• ARB
• Ca antagonist
a. Second line
1. Adrenergic neuron inhibitors
13
2. Central α2-agonist
3. Direct vasodilator
IV.
Hepatomegali
Hepatomegali bukan merupakan tanda yang jelas untuk penyakit liver karena
ukuran dan bentuk hepar bervariasi di antara pasien dan kesulitan untuk melakukan
pemeriksaan hepar dengan palpasi dan perkusi. Hepatomegali biasa disertai dengan
rasa tertekan atau nyeri tekan pada kuadran kanan atas. Rasa nyeri ini disebabkan oleh
peregangan kapsula glisson dan biasanya disebabkan oleh hepatitis virus akut,
kongesti hepar akut, dan sebagainya. Sementara itu, hepatomegali yang terjadi secara
bertahap dapat tidak disertai nyeri.1,6
Gambar 5.Penyakit-Penyakit dengan Gejala Hepatomegali6
Nyeri tekan yang dirasakan pada hepatomegali perlu dibedakan dengan nyeri
yang disebabkan oleh penyakit organ lain yang juga terletak pada abdomen kuadran
kanan atas. Pemeriksaan USG dapat dilakukan untuk membedakan hepatomegali
difus dan sirkumskripta, memeriksa homogenitas struktur hepar, menentukan apakah
terdapat foci, nodul, kista, dan sebagainya, serta mengkonfirmasi adanya
14
hepatomegali. Pemeriksaan lebih lanjut yang dapat dilakukan antara lain CT
abdomen, angio-CT, angiografi, dan biopsi liver.6
BAB III
PENGKAJIAN MASALAH
I.
Pneumonia Komunitas (CAP)
Atas dasar: Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan batuk sejak 3 hari
sebelum kunjungan. Batuk berdahak putih dan dialami terus-menerus. Pasien juga
mengalami demam sejak tiga hari sebelum kunjungan. Pasien juga mengeluhkan
sesak napas dan keringat malam. Pada pemeriksaan fisik di dapatkan ronkhi basah
kasar di kedua lapang paru. Keluhan-keluhan yang dialami pasien ini dipikirkan
karena infeksi paru akut, bukan karena TB yang dimiliki pasien, karena gejala-gejala
bersifat akut dan pasien sedang dalam pengobatan OAT bulan kedua.
Rencana diagnosis:
Foto polos toraks, pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL). Foto polos toraks
dilakukan untuk menegakkan diagnosis CAP dengan membandingkan hasilnya
dengan foto polos terakhir yang dimiliki pasien saat pasien datang untuk berobat TB.
Pemeriksaan DPL dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat leukositosis yang
biasanya timbul pada pneumonia.
Rencana tatalaksana:
- Cefixime 2x100 mg
- Paracetamol 2x500 mg
- Ambroxol 3x30 mg
Cefixime merupakan antibiotik yang diberikan dengan tujuan mengatasi
infeksi (CAP) pada pasien. Cefixime merupakan antibiotic golongan sefalosporin
generasi ketiga, bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri, dengan
cakupan lebih luas terhadap bakteri Gram negatif. Efek samping cefixime adalah
diare dan keluhan saluran cerna lainnya. Waktu paruh cefixime adalah 3-4 jam dan
diekskresi terutama melalui ginjal. Penggunaan cefixime bersama dengan
streptomisin meningkatkan risiko kerusakan ginjal.7,8 Ambroxol merupakan agen
mukolitik yang bekerja dengan memecah benang-benang mukopolisakarida dan
15
mukoprotein sputum. Efek samping ambroxol berupa mual dan peningkatan
transaminase serum.9 Ambroxol diberikan untuk mengatasi batuk berdahak yang
dialami pasien. Parasetamol diberikan untuk mengatasi demam yang dialami pasien.
Mekanisme kerja parasetamol dalam menurunkan demam diduga melalui mekanisme
sentral. Parasetamol dalam dosis toksik dapat menyebabkan nekrosis hati.10
Penggunaan isoniazid bersama parasetamol dapat meningkatkan efek toksik
parasetamol terhadap hati dengan mekanisme yang belum diketahui.
II.
TB paru on OAT
Atas dasar riwayat batuk berdahak putih sejak 2 bulan sebelum masuk rumah
sakit disertai penurunan berat badan dalam beberapa bulan yang dinyatakan TB paru
lesi minimal BTA negatif dan batuk yang muncul kembali dalam 3 hari sebelum
masuk rumah sakit disertai dahak berwarna putih, keringat malam hari, dan sesak
napas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ronki basah kasar pada kedua lapang paru
disertai fremitus yang melemah di basal paru. Pada pemeriksaan penunjang
didapatkan BTA pada Juni 2012 -/-/-, 9 September 2013 -/-/-, dan 30 September 2013
-/-/-. Pasien juga memiliki riwayat TB paru yang sudah diberikan obat anti
tuberkulosis (OAT) pada 1 tahun sebelum masuk rumah sakit.
Dipikirkan TB paru lesi minimal BTA negatif pada riwayat pengobatan OAT
lini pertama. Alasannya adalah batuk berdahak putih, keringat malam hari, sesak
napas, dan penurunan berat badan dalam beberapa bulan serta didapatkan ronkhi
basah kasar pada kedua lapang paru dan fremitus melemah di basal paru. Tanda dan
gejala tersebut juga bisa didapatkan pada penyakit paru-paru lain sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan sputum BTA. Namun, pada pasien ini juga didapatkan sputum
BTA negatif (-/-/-) dalam 2 kali pemeriksaan.
Riwayat TB paru pada 1 tahun lalu menunjukkan bahwa penyakit TB paru
saat ini bukan kasus baru dan perlu ditanyakan kembali bagaimana pengobatan yang
telah dilakukan pada TB paru 1 tahun lalu.
Pada kasus ini penegakan diagnosis ini perlu memberikan terapi antibiotik
non-OAT spektrum luas selain fluorokuinolon dan melihat apakah ada perbaikan atau
tidak. Setelah itu bisa dilanjutkan sesuai dengan algoritma yang telah tersedia, yaitu
jika terdapat perbaikan menandakan bukan TB sedangkan jika tidak terdapat
perbaikan perlu dilakukan pemeriksaan sputum BTA kembali dan foto toraks jika
diperlukan.
16
Rencana diagnosis:
Berdasarkan hasil sputum yang telah didapatkan, yaitu -/-/-, perlu diberikan
antibiotik spektrum luas non-OAT selain fluorokuinolon. Selain itu, pada TB paru
BTA negatif juga disarankan pemeriksaan foto toraks dan pemeriksaan kultur untuk
memastikan diagnosis.
Oleh karena TB paru BTA negatif juga banyak didapatkan pada kasus HIV,
terdapat kecurigaan terhadap kasus HIV sehingga perlu ditanyakan kembali hal-hal
yang berkaitan dengan gejala AIDS dan faktor resiko yang dimiliki serta pemeriksaan
HIV.
Rencana tatalaksana:
Pasien dilanjutkan pengobatan OAT lini kedua sesuai pedoman nasional
pengendalian tuberkulosis pada pasien yang telah mendapatkan pengobatan OAT
sebelumnya, yaitu 2RHZES/RHZE/5RHE.
III.
Hipertensi grade II
Atas dasar: dari anamnesis didapatkan pasien didiagnosis hipertensi sejak 1
bulan sebelum kunjungan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 170/80
mmHg. Jika melihat klasifikasi dari JNC VII, pasien ini masuk ke dalam hipertensi
grade II.
Rencana diagnosis:
Pengukuran tekanan darah secara berkala
Pada kasus ini, pengukuran tekanan darah secara berkala dilakukan untuk
melihat apakah terapi yang diberikan sudah dapat mencapai target tekanan darah yang
ingin dicapai. Namun, sebaiknya perlu dilakukan pula beberapa pemeriksaan untuk
melihat apakah sudah ada komplikasi dari hipertensi ini karena kebanyakan pasien
hipertensi tidak memiliki gejala sehingga ada kemungkinan sudah ada komplikasi ke
organ lainnya. Beberapa contoh pemeriksaan yang dapat dilakukan misalnya
melakukan pemeriksaan EKG dan profil lipid untuk melihat apakah sudah ada
komplikasi ke jantung dan pembuluh darah; Ur/Cr dan urinalisis untuk melihat
17
apakah ada komplikasi ke ginjal; dan pemeriksaan mata untuk melihat apakah
terdapat retinopati hipertensi.4
Rencana tatalaksana:
- Modifikasi gaya hidup
- Amlodipin 1x10 mg
- Captopril 2x25 mg
Selain pemberian terapi farmakologi, pasien juga perlu tetap diedukasi
mengenai terapi non-farmakologi yaitu modifikasi gaya hidup. Untuk terapi
farmakologinya, pada pasien ini diberikan amlodipin dan captopril sebagai obat
antihipertensi. Sesuai dengan algoritma tatalaksana hipertensi grade II, perlu
diberikan 2 kombinasi obat untuk dapat mencapai target tekanan darah yang
diinginkan. Amlodipin merupakan golongan Ca antagonist, sedangkan captopril
merupakan golongan ACE-inhibitor. Kedua obat ini merupakan salah satu kombinasi
yang dapat digunakan untuk menurunkan tekanan darah pada hipertensi grade II.
Namun, perlu diperhatikan karena kedua obat ini dimetabolisme di hati jadi perlu
dipantau juga fungsi hati terutama pada pasien ini karena pada pasien ditemukan
adanya hepatomegali dan usia yang lanjut.
IV.
Hepatomegali
Atas dasar: Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan epigastrium dan
hepar teraba 1-2 jari di bawah arcus costae kanan. Pada pemeriksaan USG abdomen
didapatkan hepatomegali lobus kanan. Dipikirkan hepatomegali pada pasien
disebabkan karena efek samping OAT yang didapatkan pasien. Gangguan hepar
adalah efek samping yang umum terjadi pada penggunaan pirazinamid. Pada
pemberian pirazinamid dengan dosis 3 gram per hari, gejala gangguan hati muncul
pada sekitar 15% kasus.11
Rifampisin juga dapat menimbulkan hepatotoksisitas. Insidens terjadinya
ikterus pada penggunaan rifampisin bertambah pada pasien dengan penyakit hati
kronik, pengguna alkohol, dan lansia. Seperti halnya rifampisin dan pirazinamid,
isoniazid juga dapat menyebabkan ikterus dan kerusakan hati yang bersifat fatal
18
(nekrosis multilobular). Penggunaan isoniazid oleh pasien yang telah memiiki
gangguan fungsi hati akan memperparah kerusakan hati.11
Rencana diagnosis:
Pemeriksaan SGOT/SGPT, bilirubin total, direk, indirek.
Rencana tatalaksana:
Belum ada, menunggu hasil pemeriksaan.
19
DAFTAR PUSTAKA
1.
Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s
principles of internal medicine. ed.18. New York: McGraw-Hill; 2012.
2.
PDPI. Pneumonia komuniti. Jakarta:PDPI; 2003.h.13-21.
3.
Surya A, Basri C, Kamso S, editor. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis.
ed.2. Jakarta: Kementrian Kesehatan; 2011.
4.
Reference card from the seventh report of the joint national committee on
prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure (JNC 7).
Diunduh
dari
http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/hypertension/phycard.pdf.
Diakses pada tanggal 10 November 2013, pukul 20.00.
5.
Nafrialdi. Antihipertensi. Dalam: Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2009.h.341-60.
6.
Kuntz E, Kuntz HD. Hepatology: textbook and atlas. ed.3. Wetzlar: Springer;
2008.h.219-20.
7.
Katzung, BG. Basic and clinical pharmacology. ed. 10. San Fransisco: McGrawHill; 2006.
8.
Istiantoro YH, Gan VHS. Penisilin, sefalosporin, dan antibiotic betalaktam
lainnya. Dalam: Gunawan SG. Farmakologi dan terapi. ed.5. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2008.h.686.
9.
Estuningtyas A, Arif A. Obat lokal. Dalam: Gunawan SG. Farmakologi dan
terapi. ed.5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.h.532.
10. Wilmana PF, Gan S. Analgesik-antipiretik, analgesik anti-inflamasi nonsteroid,
dan obat gangguan sendi lainnya. Dalam: Gunawan SG. Farmakologi dan terapi.
ed.5. Jakarta: BalaiPenerbit FKUI; 2008.h.238.
11. Istiantoro YH, Setiabudy R. Tuberkulostatik dan leprostatik. Dalam: Gunawan
SG. Farmakologi dan terapi. ed.5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.h.615-9.
20
Download