BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berakhirnya Perang Dunia Kedua yang dimenangkan oleh tentara Sekutu (dimotori oleh Amerika Serikat) telah membuka babak baru dalam sejarah politik Korea. Kemenangan tentara sekutu atas tentara Jepang merupakan akhir dari penjajahan Jepang terhadap bangsa Korea. Bercita-cita menjadi bangsa yang mandiri dan berdaulat pasca pendudukan Jepang, bangsa Korea berada dibawah kontrol negara-negara pemenang perang dunia II1. Amerika Serikat dan Uni Soviet sepakat untuk membagi Semenanjung Korea menjadi dua bagian. Korea terbagi pada garis lintang 38 derajat menjadi Korea Utara dan Korea Selatan. Uni Soviet menguasai bagian utara dan terbentuk menjadi Democratic people's Republic of Korea, sementara Amerika Serikat menduduki bagian selatan dan berdiri sebagai Republic of Korea. Baik Korea Utara maupun Korea Selatan sama-sama mengadopsi ideologi yang dimiliki oleh negara yang pernah menguasainya dan terlibat dalam persaingan ideologi hingga pada masa sekarang. Pemisahan Semenanjung Korea tersebut merupakan awal dari pengenalan teknologi nuklir oleh Korea Utara. Korea Utara mcndapatkan ilmu tentang nuklir secara tidak langsung dari Uni Soviet, yaitu ketika dilakukan penelitian mengenai penambangan biji monazit oleh Uni Soviet2. Pengembangan energi nuklir Korea Utara telah dimulai sejak tahun 1965 berupa 1 Yang Seung-Yoon dan Mohtar Mas’oed, Politik, Ekonomi, Masyarakat Korea: Poko-pokok Kepentingan dan Permasalahannya, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2003, hal. 114. 2 Biji Monazit mengandung thorium dan uranium-oksida yang dapat diubah menjadi bahan fisil, http://www.cns.miis.edu/reseach/korea/nuc/chr4789.htm. 1 pembangunan reaktor nuklir model Uni Soviet untuk tujuan penelitian di Yongbyon. Pada tahun 1970 Korea Utara kembali membangun reaktor nuklir yang kedua. Korea Utara menandatangani Perjanjian Non Proliferasi Nuklir pada tahun 1985, dan pada tahun 1989 kegiatan nuklir Korea Utara terdeteksi oleh satelit komersial Perancis. Krisis nuklir Korea Utara dimulai pertama kali saat Korea Utara menarik diri dari Nuclear Non Proliferation (NPT) atau Perjanjian non-proliferasi nuklir pada tahun 1993. Tindakan Korea Utara menarik diri dari NPT jelas menimbulkan reaksi dunia, khususnya Amerika Serikat. Korea Utara menandatangani pernyataan sepakat untuk menaati peijanjian NPT itu dengan International Atom and Energi Agency (IAEA) atau Badan tenaga atom internasional pada Januari 1992. Sebagai syarat untuk perjanjian itu, pihak IAEA melakukan 6 kali inspeksi di Korea Utara dan menemukan bukti bahwa beberapa kilogram plutonium yang bisa membuat senjata nuklir telah diekstrak. Hal ini berbeda jauh dengan laporan Korea Utara yang mengatakan kepada IAEA bahwa mereka hanya mengekstraksi 90 gram bahan nuklir dari fasilitas nuklinya .3 Dengan hasil itu. IAEA segera meminta pelaksanaan inspeksi khusus, namun Korea Utara menolak permintaan itu dan menarik diri dari NPT sebagai aksi protes. Hampir setahun penuh negosiasi dilakukan namun gagal, kemudian konflik tentang masalah nuklir Korea itu sempat membawa krisis yang hampir menyebabkan terjadinya perang pada Juni 1994. Puncak dari krisis nuklir tahap pertama terjadi pada tahun 1998 dimana Korea Utara meluncurkan rudal Taepodong-1 dengan jangkauan jelajah 1.700 km sebagai uji coba. Pada tanggal 23 Desember 2002, Korea Utara kembali mengejutkan masyarakat internasional 3 dengan mengumumkan secara resmi pengaktifan kembali program http://www.world.kbs.co.kr/../faq_01.htm 2 nuklimya. Pyongyang menyebutkan bahwa pihaknya sengaja membuka fasilitas nuklimya karena Korea Utara mengalami krisis energi. Pyongyang berpendapat bahwa kepemillikan senjata nuklir merupakan hak negara berdaulat untuk mempertahankan kebebasan bangsa, keamanan negara dan mencegah perang. Atas dasar premis tersebut, Korea Utara menolak untuk patuh pada ketentuan intemasional. Sikap Korea Utara ini dibuktikan dengan pengusiran terhadap tim inspeksi Badan Tenaga Atom Intemasional (IAEA) pada tanggal 31 Desember 2002 dan penarikan diri Korea Utara dari Traktat Nonproliferasi pada tanggal 9 Januari 2003. Pada bulan Juli 2006, Korea Utara kembali meluncurkan Taepodong-2 yang memiliki jangkauan tembak lebih jauh. Tindakan ini mendapat kecaman dari Amerika Serikat dan juga negara-negara didunia. PBB kemudian memberikan sanksi embargo keuangan dan militer yang keras terhadap Korea Utara, yang dituangkan dalam Resolusi 1718 Tahun 2006. Dorongan dan tekanan dari sejumlah pihak untuk menjatuhkan sanksi yang lebih keras terhadap Korea Utara akan dianggap atau sama artinya dengan mengajak perang. Pak Gil Yon, Duta Besar Korea Utara untuk PBB mengatakan bahwa “Jika Amerika menambah tekanan terhadap Korea Utara, kami akan terus melakukan aksi-aksi balasan. Kami menganggap itu sebagai ajakan perang”.4 Korea Utara menolak mentah-mentah Resolusi 1718 yang telah diberlakukan oleh DK PBB. Semakin banyak sanksi yang diterima maka semakin kuat pula respon yang akan diberikan oleh Korea Utara. Pada tanggal 26 Mei 2009 dunia kembali dibuat gempar oleh uji coba nuklir Korea Utara. Uji coba nuklir Korea Utara tersebut mengakibatkan terjadinya gempa dengan kekuatan 4,5 skala richter. Diperkirakan ledakan dahsyat tersebut dihasilkan dari peledak seberat 20 ton, yang setara 4 http://www.suaramerdeka.com/harian/0610/16/nas03.htm 3 dengan bom-bom Amerika yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945. Presiden Amerika Barack Obama menyatakan program nuklir Korea Utara itu merupakan ancaman besar terhadap perdamaian dunia. Uji coba nuklir ini telah melanggar Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1718. Semua Uji coba nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara, mendapat banyak kecaman dari dunia internasional. Bukan hanya dari negara-negara Barat tetapi juga oleh Cina dan Rusia yang mempunyai hubungan yang dekat dengan Korea Utara. Tekanan dari dunia internasional ini tampaknya tidak membuat Korea Utara menghentikan langkahnya. Sebaliknya Korea Utara lebih memperlihatkan sikap menantang, dengan tetap mengadakan uji coba nuklir. Situasi ini tentu saja menimbulkan ketegangan dan menghambat penciptaan stabilitas keamanan internasional khususnya di wilayah Asia Timur. Kedahsyatan senjata pemusnah massal Korea Utara diduga melampaui Irak. Program “plutonium-bed nuclear” di Yongbyon dan “highly-enriched-uranium” (LIEU) nuclear programme dianggap lebih berbahaya dibandingkan dengan senjata kimia dan biologi Irak. Para pakar .nuklir memperkirakan bahwa sebe]um tahun 1994 Korea Utara memproduksi dua senjata nuklir. Jika program ini berjalan terus, maka saat ini diperkirakan Korea Utara sudah memproduksi 5 sampai 7 senjata nuklir. 5 Masalah ini mendapat perhatian serius oleh pemerintahan Amerika Serikat. Amerika beranggapan bahwa masalah nuklir Korea Utara sangat membahayakan kehidupan dunia. Dengan latar belakang alasan yang hampir sama, Amerika Serikat telah menginvasi Irak yang disinyalir mempunyai senjata pemusnah massal, walaupun pada akhimya pernyataan yang 5 Kompas, 18 Oktober 2006, hal. 6. 4 diyakini oleh Amerika Serikat tersebut tidak terbukti. Apabila dibandingkan dengan Korea Utara yang secara terang-terangan telah beberapa kali melakukan uji coba senjata nuklir maka logikanya, jika Irak dan Korea Utara sama-sama mempunyai senjata pemusnah massal, seharusnya Amerika Serikat melakukan tindakan yang sama untuk kedua negara ini, Irak sudah diserang, namun hal ini tidak membuat Amerika Serikat melakukan invasi ke Korea Utara. Pendekatan Amerika Serikat terkesan tidak begitu agresif dan lebih cenderung memperlihatkan kesabaran melalui proses perundingan. Usaha perundingan yang dilakukan oleh Amerika Serikat untuk menghentikan Korea Utara dalam pengembangan Nuklir dilakukan secara bilateral, dengan cara bertahap. Upaya ini juga dilakukan melalui perundingan multilateral atau lebih dikenal dengan sebutan perundingan Six Party Talks yaitu dengan melibatkan beberapa negera lain yakni, Korea Utara, Korea Selatan, Cina, Jepang , Rusia dan Amerika Serikat sendiri. B. Perumusan Masalah Dari latar belakang masalah diatas, maka permasalahannya adalah: Mengapa dan bagaimana Amerika Serikat memilih jalan damai melalui diplomasi sebagai cara penyelesaian kasus nuklir Korea Utara? C. Tinjauan Pustaka Sudah banyak kajian tentang Nuklir Korea Utara baik yang dilakukan oleh para akademisi dalam negeri dan Luar Negeri. Salah seorang penulis Daniel Pinkston dari the Center for Nonproliferation Studies in Monterey, California dalam “Why Nuclear Weapons May Be In North Korea’s National Interests” menyatakan bahwa Pyongyang dapat mengembangkan senjata nuklirnya menjadi “sebuah gudang senjata nuklir dengan 5 kapabilitas penyerangan nomor dua”, hal ini mengurangi risiko penyerangan oleh Amerika Serikat. Potensi kerusakan diperkirakan akan sangat besar dan mahal apabila Amerika Serikat tetap akan melakukan penyerangan ke Korea Utara. Walaupun Pinkston juga mengakui bahwa senjata nuklir Korea Utara tidak begitu akurat.6 Pada saat ini Amerika Serikat menempatkan sekitar 169.000 orang tentara dalam menjaga kestabilan keamanan di Irak.7 Tentu saja, Amerika Serikat akan memikirkan lebih lanjut apabila ingin membuka pos militer yang baru. Menurut pemerintah Korea Selatan, apabila Amerika Serikat ingin menyerang Korea Utara maka Amerika membutuhkan sekitar 690.000 tentara dan 2.000 pesawat terbang. Hal ini diperkirakan akan melibatkan sekurang-kurangnya 70 persen dari US Marines, 50 persen US Air Force, 40 persen dari US Navy, dan ratusan ribu tentara.8 Jika dihitung, diperkirakan bahwa jika invasi ke Korea Utara dilakukan maka Amerika Serikat membutuhkan kekuatan militer empat kali lebih banyak dibandingkan dengan yang diturunkan Amerika Serikat di Irak. Hal ini juga yang membuat pengambil keputusan di White House tidak memilih opsi militer ketika menangani masalah Korea Utara9. Disatu sisi, hal lain yang menjadi pertimbangan tidak dilakukannya pre-emptive strike oleh Amerika Serikat adalah apabila invasi dilakukan maka hal ini akan memicu dimulainya perlombaan senjata di kawasan Asia Timur, negara-negara non senjata nuklir seperti Jepang dan Korea Selatan bisa saja berubah menjadi negara dengan senjata nuklir karena mereka memang mempunyai kemampuan dan potensi untuk itu. Terlebih lagi Cina yang memang selama ini disinyalir sudah memiliki teknologi nuklir. Maka untuk mencari jalan yang lebih aman, Amerika Serikat lebih menjaga kelanjutan kestabilan keamanan di kawasan Asia Timur. 6 http://www.pinr.com/report.php?ac=view_report&report_id=78&language_id=1 Kompas 17 September 2007, hal. 10 8 http://www.pinr.com/report.php?ac=view_report&report_id=78&language_id=1 9 Kenneth Quiinones “North Korea’s Multilateral Strtegy in the Six Party Talks”, Sekai Huo, Juni 2004. hal 34. 7 6 Sejalan dengan Pinkston diatas, Jhon Spanier dalam ‘American Foreign Policy Since World Warld II’ mengatakan bahwa “ketakutan memainkan peran yang lebih besar daripada harapan dalam menghindari sebuah perang”. 10 Hal ini menunjukan bahwa walaupun senjata nuklir diciptakan untuk perang, suatu negara yang mempunyai senjata nuklir akan berpikir berkali-kali apabila menghadapi pihak lawan yang juga mempunyai nuklir karena adanya ketakutan yang lebih besar apabila terjadi perang nuklir. Pernyataan ini mengartikan bahwa para pemimpin di dunia ini berusaha untuk menghindari perang nuklir karena masalah ini sangat membahayakan kehidupan dunia apabila betul-betul terjadi. Berkaitan dengan pernyataan-pernyataan tersebut diatas maka penulis sepakat bahwa ada lebih dan satu faktor yang berperan dalam pengambilan kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat, di mana faktor-faktor ini saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Dalam menentukan suatu kebijakan politik luar negeri sebuah pemerintahan dipengaruhi oleh tujuantujuan yang ingin dicapai, sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Tujuan-tujuan yang dimaksud tersebut misalnya: tujuan politik, keamanan dan tujuan ekonomi. Kepentingan nasional merupakan proses politik yang ditentukan oleh pengambil kebijakan atau para penentu kebijakan. Output dari hasil pengambilan kebijakan oleh pemerintah Amerika Serikat terhadap masalah nuklir Korea Utara dan sikapnya yang berani dimana negara ini telah beberapa kali mengadakan uji coba senjata nuklir adalah dengan pendekatan melalui perundinganperundingan. 10 Abba Eban, The Diplomacy, International Affair in thr Modern Age, hal 293 7 Selain itu, Qardania Zahrani, menulis thesis tentang Analisis Security Complex Antara Negara di Asia Timur Pasca Perang Dingin, menjelaskan bahwa di Asia Timur masalah Nuklir Korea Utara merupakan faktor yang menjadi Pattern of Enmity dan konflik antar Negara di kawasan Asia Timur. Dalam Thesis tersebut dikatakan bahwa pengembangan Nuklir Korea Utara merupakan suatu isu yang sangat signifikan sebab merupakan suatu ancaman dan perdamaian dan keamanan dunia, terutama di Kawasan semenanjung Korea dan Negara-ngara lainnya di Kawasan Asia Timur.11 D. Kerangka Teori Untuk membahas penelitian ini dengan lebih mendalam maka akan digunakan teori Decison Making yang ditulis oleh Richard C. Snyder. Cs. yang mengatakan bahwa di dalam membuat suatu keputusan dalam menentukan kebijakan luar negeri suatu negara akan ditentukan oleh internal (domestik) setting dan eksternal (internasional) setting 12. Internal setting merupakan struktur dalam negeri suatu negara yang secara umum meliputi politik domestik, politik publik, posisi geografi, kesediaan kemampuan (seperti faktor ekonomi, militer, sumber daya dll), budaya politik atau nilai-nilai sosial (imperatif dan ideologi). Eksternal setting, pada umumnya menunjukkan beberapa faktor dan kondisi di luar batasbatas teritorial dari negara. Juga berbagai tindakan dan reaksi negara lain dan juga masyarakatnya serta dunia internasional. Keterkaitan faktor-faktor dan kondisi 11 Qardania Zahrani, Analisis Scurity Complex Antara Negara di Asia Timur Pasca Perang Dingin, Thesis di S2 Hubungan Internasional FISIPOL UGM, tahun 2007, hal 44. 12 Richard C. Snyder, HW Bruck nd Burton Sapin, Foreign Policy and Decision Making: An Approach to the Study of International Politics, the Free Press, New York, 1962, hal. 60-70 8 tersebut dalam situasi tertentu akan sangat tergantung pada perilaku, persepsi, penilaian dan tujuan dari decision makers13. Melihat pada teori Snyder dan kawan-kawan dalam menghadapi masalah nuklir Korea Utara, para pembuat keputusan di Amerika Serikat sangat mempertimbangkan setting internal (domestik) seperti persepsi pemerintah terhadap kepemimpinan Korea Utara, juga akan dilihat reaksi para legislatif dalam menghadapi masalah ini, serta bagaimana reaksi Interest Groups yang mempengaruhi pembuatan keputusan politik luar negeri Amerika Serikat. Sedangkan faktor eksternal (internasional) para pembuat keputusan harus mempertimbangkan secara jeli masalah yang terjadi di setting intemasional seperti stabilitas kawasan, ancaman-ancaman yang akan terjadi serta reaksi dunia internasional dalam pembuatan keputusan. Setting internal dan setting eksternal dalam pembuatan keputusan juga dipengaruhi oleh persepsi 14 para pembuat keputusan, persepsi ini merupakan pendapat atau asumsi dari para elit, para akademisi atau para pelaku pembuat keputusan itu sendiri. Dalam sistem politik di Amerika, Konstitusi Amerika Serikat membagi-bagi peran dan tanggung jawab dalarn pembentukan kebijakan luar negeri. Presiden dan dewan eksekutif benanggungjawab dalam menjalankan kebijakan luar negeri, akan tetapi hal ini tetap dikontrol oleh Kongres. Sebagai contoh, dalam suatu perjanjian Presiden mempunyai kekuasaan untuk menandatangani perjanjian tersebut, tetapi penandatanganan itu dilakukan setelah mendapat masukan dan persetujuan dari Kongres. 15 Sejak kejadian 11 September 2001, Amerika Serikat semakin teryakinkan bahwa doktrin 13 Ibid, hal 65 Spanier, J 1983. American Foreign Policy Since World War II. New York: CBS College Publishing. 15 Mark Webber dan Michael Smith, Foreign Policy in a Transformed World, hal. 117. 14 9 pre-emptive strike harus digunakan sebagai tulang punggung strategi keamanan nasional. Aksi militer dianggap sukses karena mayoritas rakyat Amerika Serikat mendukung, teknologi militer unggul serta korban tentara relatif kecil. Akibatnya kaum neo-conservative sebagai pembela doktrin pre-emptive strike semakin kuat pengaruhnya dalam pengambilan keputusan politik. Kuatnya pengaruh neo-conservative membuka jalan dipilihnya opsi perang sebagai instrument utama kebijakan luar negeri. Dalam strategi keamanan nasionalnya disebutkan bahwa jika sebuah negara atau organisasi teroris mengembangkan senjata pemusnah massal dan hal itu dinilai mengancam kepentingan Amerika Serikat, maka tanpa menunggu jatuhnya korban, Amerika Serikat akan mengambil tindakan pre-emptive. Doktrin pre-emptive strike berasumsi bahwa “lebih baik mendahului menyerang ketimbang didahului”. Tapi dalam kasus kepemilikan nuklir Korea Utara, Amerika Serikat nampaknya lebih mengedepankan langkah-langkah diplomasi daripada preemptive strike. Hal ini dibuktikan dengan diadakannya perundingan-perundingan yang diselenggarakan baik melalui perundingan bilateral antara Amerika Serikat dan Korea Utara. Kemudian diikuti oleh serangkaian perundingan-perundingan multilateral yang disebut ‘six party talks’ yaitu yang dilakukan oleh enam pihak yakni: Amerika Serikat, Rusia, Cina, Korea Selatan, Jepang dan Korea Utara. E. Hipotesa Berdasarkan kerangka analisa di atas, maka hipotesa dari penelitian ini ialah: Pertama, Kebijakan Luar Negeri yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap perkembangan Nuklir di Korea Utara lebih menitikan beratkan pada jalan damai melalui perundingan dan pada intervensi 10 seperti yang pernah dilakukannya terhadap Irak disebabkan beberapa pertimbangan yang masuk dari faktor domestik yakni, persepsi Amerika Serikat terhadap Pemimpin Korea Utara Kim Joong II, adanya perbedaan pendapat di kalangan Kongres serta tekanan dari Interest Group serta pertimbangan ekonomi dalam negeri. Kemudian adapun faktor lain yang menjadi pertimbangan bagi decison makers yakni mempertimbangkan faktor Internasional yang mengarahkan Amerika Serikat untuk tidak melakukan intervensi tapi menggunakan diplomasi dalam penyelesaian Nuklir Korea Utara antara lain mejaga Stabilitas keamanan di Kawasan Asia Timur, pentingnya Korea Utara bagi Amerika, adanya perbedaan persepsi sesama anggota Six Paily Talks. F. Metode Penelitian Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan oleh penulis adalah menggunakan penelitian kualitatif yang menurut Cassel and Simon merupakan metode penelitian ilmu sosial yang berusaha melakukan deskripsi dan interpretasi secara akurat makna dari gejala yang terjadi dalam konteks sosial. Metode ini menekankan pada pengumpulan dan analisis teks tertulis atau terucapkan.16 Dengan metode studi pustaka yaitu melalui buku-buku, artikel yang dimuat di internet, majalah dan Koran. Kemudian data-data lain yang dapat diakses melalui situs-situs pemerintah Amerika Serikat tentang data politik dan pemerintahannya. Tentunya dalam pengertian bahwa metode yang penulis gunakan lebih menekankan pada interpretasi terhadap teksteks dari 16 Bambang Cipto, Tekanan Amerika terhadap Indonesia Kajian ats Kebijakan Luar Negeri Clinton terhadap Indonesia, hal 32, dikutip dalam Chaterine Cassel and Gillian Symon., 1994, Qualitative Methods in Organizational Research, London: Sage Publication, hal 3-4. 11 semua sumber data tersebut diatas. Oleh karena itu, studi ini akan lebih berorientasi pada studi pustaka. Semua data- data tersebut akan dikumpulkan dan kemudian untuk dianalisis yaitu mengenai fenomena pengambilan kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat dalam interaksinya dengan Korea Utara. G. Jangkauan Penelitian Penelitian ini akan dimulai pada tahun 1993 dan diakhir pada tahun 2009. Ada beberapa alasan mengapa dimulai pada tahun 1993 disebabkan pada tahun itu dunia dikejutkan dengan menarik dirinya Korea Utara dari Perjanjian NPT. Tindakan Korea Utara ini menjadi sorotan dunia karena kekhawatiran akan adanya penyalahgunaan nuklir untuk mengancam kehidupan manusia di dunia. Pada saat itulah perhatian dunia mulai menyorot nuklir Korea Utara. Diakhiri penelitian pada tahun 2009 karena sesuai dengan data yang dimiliki. H. Sistematika Penulisan Penulisan ini akan diawali dengan Bab I di mana penulis akan mengantarkan pembaca dengan latar belakang masalah, rumusan permasalahan, tinjauan pustaka, kerangka teori, hipotesa, dan metode penulisan. Kemudian pada Bab II penulis akan memaparkan tentang perkembangan Nuklir Korea Utara, keterlibatan Korea Utara dalam NPT serta ancaman-ancaman yang diberikan oleh Korea Utara dengan adanya pengembangan dan uji coba nuklir. 12 Bab III akan menjelaskan alasan dari kebijakan yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap perkembangan Nuklir di Korea Utara, yaitu Amerika Serikat lebih memilih Diplomasi atau perundingan dibanding invasi. Disini akan dilihat dari faktor Domestik dan Intemasional. Kemudian dalam Bab IV merupakan penjelasan dari kebijakan yang diambil oleh Amerika Serikat dalam menghadapi kasus tersebut dimulai dengan beberapa perundingan antara Amerika Serikat dan Korea Utara. Kemudian diikuti oleh China, sehingga terbentuknya Six Party Talks. Serta bentuk-bentuk nyata dari kebijakan Amerika Serikat terhadap Korea Utara di semenanjung Korea. Bab V merupakan bagian penutup. 13