BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perubahan

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perubahan Fisiologi pada Ginjal Selama Kehamilan
Kehamilan adalah rangkaian peristiwa yang baru terjadi bila ovum dibuahi
dan pembuahan ovum akhirnya berkembang sampai menjadi fetus yang aterm.
Masa kehamilan dimulai dan konsepsi sampai lahirnya janin. Lamanya hamil
normal adalah 280 hari (40 minggu atau 9 bulan 7 hari) dihitung dari hari
pertama haid terahir (Guyton, 2007).
Menurut Williams (2005) terjadi perubahan pada ginjal selama kehamilan.
Ukuran ginjal sedikit bertambah besar selama kehamilan. Bailey dan Rollenston
(1971), misalnya menemukan bahwa ginjal 1,5 cm lebih panjang selama masa
nifas awal dibanding ketika diukur bulan kemudian. Laju filtrasi glomerulus
(GFR) dan aliran plasma ginjal (RPF) meningkat pada awal kehamilan, GFR
sebanyak 50 % pada awal trimester kedua, dan RPF tidak cukup banyak
(Chesley,1963; Dunlop,1981). Kalakrein, protease jaringan yang disintesis dalam
sel tubulus distal ginjal meningkat pada beberapa kondisi yang berhubungan
dengan meningkatnya perfusi glomerular pada individu yang tidak hamil. Selama
kehamilan konsentrasi kreatinin dan ureum plasma normalnya menurun akibat
meningkatnya filtrasi glomerulus. Sewaktu-waktu, konsentrasi urea dapat
menjadi sedemikian rendah sehingga mengesankan cendrung mengakumulasi air
dalam bentuk edema dependen, dapat terjadi pada malam hari, saat berbaring,
mereka memobilisasi cairan ini dan mengekskresikan lewat ginjal.
Dalam kehamilan reabsorbsi ditubulus tidak terjadi perubahan sehingga
lebih banyak dikeluarkan urea, asam urik, glukosa, asam amino, asam folik.
Proteinuria normalnya tidak terjadi selama kehamilan, kecuali kadang-kadang
dalam jumlah yang sangat kecil pada waktu atau segera setelah persalinan yang
berat (Wiknjosastro, 2006).
Higby dan rekan (1994) mengukur ekskresi protein
pada 270 wanita
normal selama kehamilan. Rerata ekskresi 24 jam mereka adalah 115 mg dan
batas atas derajat kepercayaan 95 % adalah 260 mg/hari.
Universitas Sumatera Utara
Tidak ada perbedaan yang signifikan pada tiap trimester. Mereka juga
menunjukan bahwa ekskresi albumin minimal dan berkisar antara 5 sampai 30
mg/hari.
Pada wanita tidak hamil dijumpai protein dalam urin sekitar 18 mg/jam.
Wanita hamil normal jumlah protein dalam urin bisa mencapai 300 mg/24jam.
Dikatakan patologis jika kadar protein dalam urinnya di atas 300 mg/24 jam.
Proteinuria dapat dideteksi dengan alat “dipstik reagents test”, tetapi dapat
memberikan 26% positif palsu karena adanya sel-sel pus atau negatif palsu
karena gravitasi <1030 dan pH≥8. Untuk menghindari hal tersebut diagnosis
proteinuria dilakukan pada urin tengah (midstream) atau urin 24 jam (Tanjung,
2004)
2.2. Proteinuria
2.2.1. Definisi Proteinuria
Jumlah protein normal dalam urin adalah <150 mg/hari. Sebagian besar dari
protein merupakan hasil dari glikoprotein kental yang disekresikan secara
fisiologis oleh sel tubulus, yang dinamakan “protein Tamm-Horsfall”. Protein
dalam jumlah yang banyak diindentifikasikan adanya penyakit ginjal yang
signifikan (Davey, 2005).
Menurut Bawazier (2006) proteinuria didefinisikan sebagai terdapatnya
protein dalam urin manusia yang melebihi nilai normal yaitu lebih dari 150
mg/hari atau pada anak-anak lebih dari 140 mg/m2. Biasanya proteinuria baru
dikatakan patologis bila kadarnya melebihi 200 mg/hari pada beberapa kali
pemeriksaan dalam waktu yang berbeda. Ada yang mengatakan proteinuria
persisten jika protein urin telah menetap selama 3 bulan atau lebih dan jumlahnya
biasanya hanya sedikit dari atas nilai normal.
2.2.2. Patofisiologi proteinuria
Menurut Bawazier (2006) Proteinuria dapat meningkat melalui salah satu cara
dari ke-4 jalan dibawah ini :
Universitas Sumatera Utara
1. Perubahan permeabilitas glomerulus yang mengikuti peningkatan filtrasi dari
protein plasma normal terutama albumin.
2. Kegagalan tubulus mengabsorbsi sejumlah kecil protein yang normal difiltrasi
3. Filtrasi glomerulus dari sirkulasi abnormal, Low Molecular Weight Protein
(LMWP) dalam jumlah melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus.
4. Sekresi yang meningkat dari makuloprotein uroepitel dan sekresi IgA
(Imunoglobulin A) dalam respon untuk inflamasi.
Derajat proteinuria dan komposisi protein pada urin tergantung mekanisme
jejas pada ginjal yang berakibat hilangnya protein. Sejumlah besar protein secara
normal melewati kapiler glomerulus tetapi tidak memasuki urin. Muatan dan
selektivitas dinding glomerulus mencegah transportasi albumin, globulin dan
protein dengan berat molekul besar lainnya untuk menembus dinding glomerulus.
Jika sawar ini rusak, terdapat kebocoran protein plasma dalam urin (protein
glomerulus). Protein yang lebih kecil (<20kDal) secara bebas disaring tetapi
diabsorbsi
kembali oleh tubulus proksimal. Pada individu normal ekskresi
kurang dari 150 mg/hari dari protein total dan albumin hanya sekitar 30 mg/hari ;
sisa protein pada urin akan diekskresi oleh tubulus (Tamm Horsfall,
Imunoglobulin A dan Urokinase) atau sejumlah kecil β-2 mikroglobulin,
apoprotein, enzim dan hormon peptida.
Dalam keadaan normal glomerulus endotel membentuk barier yang
menghalangi sel maupun partikel lain menembus dindingnya. Membran basalis
glomerulus menangkap protein besar (>100 kDal) sementara foot processes dari
epitel/podosit akan memungkinkan lewatnya air dan zat terlarut kecil untuk
transpor melalui saluran yang sempit. Saluran ini ditutupi oleh anion glikoprotein
yang kaya akan glutamat, aspartat, dan asam silat yang bermuatan negatif pada
pH fisiologis. Muatan negatif akan menghalagi transpor molekul anion seperti
albumin.
2.2.3. Protein Fisiologis
Menurut Bawazier (2006) Dalam mendiagnosis adanya kelainan atau
penyakit ginjal tidak selalu adanya proteinuria. Proteinuria juga dapat ditemukan
Universitas Sumatera Utara
dalam keadaan fisiologis yang jumlahnya kurang dari 200 mg/hari dan bersifat
sementara. Pada keadaan demam tinggi, gagal jantung, latihan fisik yang kuat
dapat mencapai lebih dari 1 gram/hari. Proteinuria fisiologis dapat terjadi pada
masa remaja dan juga pada pasien lordotik ( ortostatik proteinuria).
2.2.4. Protein Patologis
Menurut Bawazier (2006) indikator perburukan fungsi ginjal merupakan
manifestasi dari penyakit ginjal. Dikatakan patologis bila protein dalam urin lebih
dari 150 mg / 24 jam atau 200 mg / 24 jam. 3 macam proteinuria patologis:
a. Proteinuria glomerulus
Bentuk ini hampir disemua penyakit ginjal, dimana albumin protein yang
dominan pada urin (60-90%) pada urin, sedangkan sisanya protein dengan berat
molekul rendah ditemukan hanya dalam jumlah sedikit. Ada 2 faktor utama
sebagai penyebab filtrasi glomerulus meningkat yaitu ketika barier filtrasi diubah
oleh penyakit yang dipengaruhi oleh glomerulus pada sejumlah kapasitas tubulus
yang berlebihan menyebabkan proteinuria. Dan faktor kedua yaitu peningkatan
tekanan kapiler glomerulus menyebabkan gangguan hemodinamik. Filtrasi
menyebabkan proteinuria glomerulus oleh tekanan difus yang meningkat tanpa
perubahan apapun pada permeabilitas intrinsik dinding kapiler glomerulus.
Akibat terjadinya kebocoran pada glomerulus yang berhubungan dengan
kenaikan permeabilitas membran basal glomerulus terhadap protein akan
menyebabkan timbulnya proteinuria. Contoh dari proteinuria glomerulus,
mikroalbuminuria (jumlah 30-300 mg/hari), normal: tidak lebih dari 30 mg/hari,
merupakan marker penurunan faal ginjal LFG dan penyakit kardiovaskular
sistemik. proteinuria klinis, jumlahnya 1-5 mg/hari.
b. Proteinuria tubular
Ditemukannya protein berat molekul rendah antara 100-150 mg/hari
terdiri atas β-2 mikroglobulin. Disebabkan karena renal tubular asidosis (RTA),
sarkoidosis, sindrom Fankoni, pielonefritis kronis dan akibat cangkok ginjal.
Universitas Sumatera Utara
c. Overflow proteinuria
Ekskresi protein dengan berat molekul < 40000 Dalton
→ Light Chain
Imunoglobulin, protein ini disebut dengan protein Bences Jones. Terjadi karena
kelainan filtrasi dari glomerulus dan kemampuan reabsorbsi tubulus proksimal.
2.3. Pre eklamsia/Eklamsia
2.3.1. Definisi
Pre-eklamsia adalah sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya
perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel. Proteinuria adalah satu dari
tiga tanda penting dari pre-eklamsia (Williams, 2005). Penyakit dengan tandatanda hipertensi, edema dan proteinuria yang timbul pada kehamilan. Penyakit ini
umumnya terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan atau pada trimester terakhir
(Cunningham, 1995).
Pre-eklamsia merupakan kumpulan gejala yang timbul pada ibu hamil,
bersalin dan dalam masa nifas yang terdiri dalam trias yaitu hipertensi,
proteinuria, dan edema. Ibu hamil tersebut tidak menunjukan tanda-tanda
kelainan vaskular atau hipertensi sebelumnya (Mochtar R, 1998).
Hacker, Moore (2001) pre-eklamsia dapat disebut sebagai hipertensi yang
diinduksi-kehamilan atau penyakit hipertensi akut pada kehamilan. Pre-eklamsia
tidak semata-mata terjadi pada wanita muda pada kehamilan pertamanya.
Sedangkan eklamsia didefinisikan sebagai penambahan kejang umum pada
sindrom pre-eklamsia ringan atau berat. Pre-eklamsia/eklamsia merupakan
kumpulan gejala yang timbul pada ibu hamil, bersalin dan dalam masa nifas yang
terdiri dari trias yaitu hipertensi, proteinuria dan edema yang kadang-kadang
disertai konvulsi sampai koma.
Eklamsia didiagnosis bila pada wanita dengan kriteria klinis pre-eklamsia,
timbul kejang-kejang yang bukan disebabkan oleh penyakit neurologis lain
seperti epilepsi (Cunningham, F.Gary, 1995). Eklamsia adalah gejala preeklamsia berat disertai dengan kejang dan diikuti dengan koma (Manuaba, 2007).
Menurut Wibowo dan Rachimhadi (2006) eklamsia timbul pada wanita
hamil atau dalam masa nifas dengan tanda – tanda pre-eklamsia. Pada wanita
yang menderita eklamsia timbul serangan kejang yang diikuti oleh koma.
Universitas Sumatera Utara
Hipertensi adalah tekanan darah yang meningkat di atas tekanan darah normal.
Hipertensi dapat ditegakkan jika terdapat kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih
di atas tekanan yang biasa ditemukan atau mencapai 140 mmHg atau lebih, atau
terdapat kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih di atas tekanan yang biasa
ditemukan atau mencapai 90 mmHg atau lebih. Pengukuran tekanan darah
tersebut minimal dilakukan sebanyak dua kali dengan selang waktu enam jam
dalam keadaan istirahat. Edema adalah terdapatnya sejumlah besar cairan yang
abnormal pada ruang interstisial pada tubuh. Edema biasanya dapat dinilai dari
kenaikan berat badan, yaitu bila terjadi kenaikan berat badan sebanyak satu
kilogram per minggu, serta adanya pembengkakan pada daerah kaki, jari tangan,
dan wajah. Proteinuria adalah terdapatnya protein di dalam urin, yang dalam
keadaan normal seharusnya tidak ditemukan. Proteinuria dapat ditegakkan jika
ditemukan protein dengan konsentrasi lebih dari 0,3 g/liter dalam urin 24 jam,
ataupun didapatkan hasil 1+ atau 2+ pada pemeriksaan kualitatif terhadap urin
kateter atau midstream yang diambil minimal dua kali dengan selang waktu enam
jam.
2.3.2. Etiologi dan Faktor Risiko
Penyebab pre-eklamsia/eklamsia sampai sekarang masih belum diketahui.
Telah banyak teori yang menerangkan namun belum dapat memberi jawaban
yang memuaskan. Banyak teori-teori dikemukakan para ahli yang mencoba
menerangkan penyebabnya, oleh karena itu disebut “penyakit teori”. Namun
belum ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori yang sekarang ini
dipakai sebagai penyebab Pre-eklampsia adalah teori “iskemia plasenta”. Namun
teori ini belum dapat menerangkan semua hal yang berkaitan dengan penyakit
ini.
Rupanya
tidak
hanya
satu
faktor
yang
menyebabkan
pre-
eklampsia/eklampsia. Diantara faktor-faktor yang ditemukan sering kali sukar
ditentukan mana yang sebab dan mana yang akibat (Mochtar, 1998).
Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan perkiraan etiologi dari
kelainan tersebut di atas, sehingga kelainan ini sering dikenal sebagai The disease
of theory (Dalam Artikasari, 2009). Teori- teori tersebut antara lain :
Universitas Sumatera Utara
1. Peran prostasiklin dan tromboksan
Pada pre-eklamsia didapatkan kerusakan endotel vaskular, sehingga terjadi
penurunan produksi prostasiklin (PGI2) yang pada kehamilan normal
meningkat, aktivasi pengumpalan dan fibrinolisis, yang kemudian akan diganti
dengan trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III
sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan
tromboxan (TxA2) dan serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan
endotel.
2. Peran faktor imunologis
Pre-eklamsia sering terjadi pada kehamilan pertama. Hal ini dapat diterangkan
bahwa kehamilan pertama pembentukan blocking antibodies terhadap antigen
plasenta tidak sempurna, yang semakin sempurna pada kehamilan berikutnya.
Dalam Artikasari (2009) ada beberapa data yang mendukung adanya sistem
imun pada penderita pre-eklamsia :
a. Beberapa wanita dengan pre eklamsia/eklamsia mempunyai komplek
imun dalam serum.
b. Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi sistem komplemen.
pada pre eklamsia/eklamsia dengan proteinuria.
3. Peran faktor genetik
Beberapa bukti yang menunjukan peran faktor genetik pada kejadian preeklamsia antara lain:
a. Pre -eklamsia hanya terjadi pada manusia
b. Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekuensi pre-eklamsia pada
anak-anak dari ibu yang menderita pre-eklamsia
c. Peran Renin-Angiotensin-Aldosteron Sytem (RAAS)
Faktor risiko pre-eklamsia meliputi kondisi medis yang berpotensi menyebabkan
kelainan mikrovaskular, seperti diabetes melitus, hipertensi kronis, dan kelainan
vaskular jaringan ikat, sindrom antibodi fosfolipid dan nefropati. Faktor risiko
lain berhubungan dengan kehamilan itu sendiri atau dapat spesifik terhadap ibu
atau ayah dari janin.
Berbagai faktor risiko pre eklamsia (Wibowo dan Rachimhadi, 2006)
:
Universitas Sumatera Utara
1. Faktor yang berhubungan dengan kehamilan
a. Kelainan kromosom
b. Mola Hydatidosa
c. Hydrops fetalis
d. Kehamilan multifetus
e. Inseminasi multifetus
f. Kelainan struktur kongenital
2. Faktor spesifik maternal
a. Primigravida
b. Usia >35 tahun
c. Usia <20 tahun
d. Ras kulit hitam
e. Riwayat pre-eklamsia pada keluarga
f. Nulipara
g. Pre-eklamsia pada kehamilan sebelumnya
h. Stres
2.3.3. Klasifikasi dan Gejala Klinis
Pre-eklamsia digolongkan ke dalam pre-eklamsia ringan dan pre-eklamsia
berat (Mochtar, 1998). Dengan gejala dan tanda sebagai berikut :
Pre-eklamsia ringan :
1. Tekanan darah sistolik 140 atau kenaikan 30 mmHg dengan interval
pemeriksaan 6 jam
2. Tekanan darah diastolik 90 atau kenaikan 15 mmHg
dengan interval
pemeriksaan 6 jam
3. Kenaikan berat badan 1 kg atau lebih dalam seminggu
4. Proteinuria 0,3 gr atau lebih dengan tingkat kualitatif plus sampai 2 pada urin
kateter atau urin aliran pertengahan.
Menurut (Wibowo dan Rachimhadi, 2006) tanda pre-eklamsia dibagi atas :
Bila satu diantara gejala dan tanda diketemukan pada ibu hamil sudah dapat
digolongkan pre-eklamsia berat :
Universitas Sumatera Utara
1. Tekanan darah 160/110 mmHg atau tekanan darah diastolik >110 mmHg.
2. Oliguria, urin kurang dari 400 cc/24 jam
3. Proteinuria lebih dari 3 gr/liter
4. Keluhan subjektif
a. Nyeri epigastrium
b. Gangguan penglihatan
c. Nyeri kepala
d. Edema paru dan sianosis
e. Gangguan kesadaran
5. Pemeriksaan
a. kadar enzim hati meningkat disertai ikterus
b. perdarahan pada retina
c. trombosit kurang dari 100.000/mm
Peningkatan gejala dan tanda pre-ekalmsia berat memberikan petunjuk
akan terjadi eklamsia, yang mempunyai prognosa buruk dengan angka kematian
maternal yang tinggi.
Menurut Tanjung, 2004 bahwa pentingnya untuk deteksi proteinuria dalam
diagnosis dan penaganan hipertensi dalam kehamilan. Proteinuria merupakan
gejala yang terakhir timbul. Eklamsia dapat terjadi tanpa proteinuria. Proteinuria
merupakan indikator pada janin. Berat badan lahir rendah, kematian perinatal dan
resiko terhadap kematian ibu meningkat pada pre-eklamsia dengan proteinuria.
Kejang tanpa penyebab lain merupakan diagnosis eklamsia. Kejang merupakan
salah satu tanda dari gejala dan tanda gangguan serebral pada pre eklamsia.
Tanda – tanda serebral yang lain pada pre-eklamsia antara lain sakit kepala
(82,5%), pusing, tinnitus, gangguan visus (44,4), gangguan mental dan nyeri
perut(19%).
Universitas Sumatera Utara
2.3.4. Perubahan Fisiologi Patologi
Pada
pre-eklamsia
terjadi
vasokonsentrasi
sehingga
menimbulkan
gangguan metabolisme endorgan dan secara umum terjadi perubahan patologi anatomi (nekrosis, perdarahan dan edema). Pre-eklamsia dapat menganggu
banyak sistem organ vital (Manuaba, 1998).
Derajat keparahannya tergantung medis atau obsetri. Gangguan organ pada preeklamsia meliputi (Wibowo dan Rachimhadi, 2006) :
1. Perubahan pada plasenta dan uterus
Menurunya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta.
Pada hipertensi yang lama akan terjadi gangguan pertumbuhan janin. Pada
hipertensi yang terjadi lebih pendek bisa menimbulkan gawat janin,
dikarenakan kurang oksigenasi. Kenaikan tonus otot uterus dan kepekaan
tanpa perangsangan sering didapatkan pada pre-eklamsia, sehingga mudah
terjadi partus prematurus. Kehidupan janin sangat tergantung pada keadaan
plasenta. Kesanggupan plasenta memberikan nutrisi dan gas yang dibutuhkan
janin tergantung kepada aliran darah ke plasenta. Kegagalan invasi trofoblas
gelombang kedua menyebabkan sebagian arteri spiralis terutama dalam
lapisan miometrium tidak mengalami dilatasi sehingga terjadi hipoperfusi
darah ke plasenta dan menyebabkan aktivasi/disfungsi endotel dan pembuluh
darah ibu. Aktivasi endotel menyebabkan dan memberikan kontribusi terhadap
terjadinya kelainan koagulasi dan fibrolisis.
2. Perubahan pada ginjal
Perubahan pada ginjal disebabkan aliran darah ke dalam ginjal menurun,
sehingga menyebabkan filtrasi glomerulus berkurang. Kelainan pada ginjal
yang penting ialah dalam hubungan proteinuria dan retensi garam dan air.
Mekanisme retensi garam dan air belum diketahui benar, tetapi disangka
akibat perubahan dalam perbandingan antara tingkat filtrasi glomerulus dan
tingkat penyerapan kembali oleh tubulus. Pada kehamilan penyerapan ini
meningkat sesuai dengan kenaikan filtrasi glomerulus. Penurunan filtrasi
glomerulus akibat spasmus arteriolus ginjal menyebabkan filtrasi natrium
melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi garam dan dengan
Universitas Sumatera Utara
demikian juga retensi air. Peranan kelenjer adrenal dalam retensi garam dan
air belum diketahui benar. Fltrasi glomerulus pada pre-eklamsia dapat
menurun sampai 50% dari normal sehingga menyebabkan diuresis turun. Pada
keadaan lanjut dapat terjadi oliguria dan anuria. Pada ginjal terjadi kelainan
glomerulus dimana sel endotel mengalami hipertropi dan pembengkakan yang
disebut glomeruloendoteliosis. Klierens glomerular asam urat menurun
sehingga kadar asam urat di dalam darah meningkat. Kerusakan endotel
menyebabkan albumin bocor melalui glomerulus dan keluar melalui urine
(proteinuria) dan albumin juga keluar dari pembuluh darah (ekstravasasi) ke
ruang intersisisal sehingga terjadi hipoalbunemia sehingga tekanan onkotik
menurun dan terjadi hipovolemia dan hemokonsentrasi. Pada kehamilan
normal terjadi hipercalciuria, pada pre eklamsia/eklamsia sebaliknya terjadi
hipocalciuria. Natrium juga bisa terganggu sehingga terjadi retensi dan edema.
3. Perubahan pada retina
Pada pre-eklamsia tampak edema retina, spasme setempat atau menyeluruh
pada satu atau beberapa arteri jarang terjadi perdarahan atau eksudat.
Retinopati arteriosklerotik pada pre-eklamsia akan terlihat bilamana didasari
penyakit hipertensi yang menahun. Spasme arteri retina yang nyata
menunjukan adanya pre-eklamsia berat. Pada pre-eklamsia pelepasan retina
oleh karena edema intraokuler merupakan indikasi untuk pengakhiran
kehamilan segera. Biasanya retina akan melekat kembali dalam dua hari
sampai dua bulan setelah persalinan. Gangguan penglihatan secara tetap jarang
ditemukan. Skotoma, diplopia, dan ambliopia pada pre-eklamsia merupakan
gejala yang menunjukan akan terjadi eklamsia. Keadaan ini disebabkan oleh
perubahan aliran darah di dalam pusat penglihatan di kortek serebri atau
retina.
4. Perubahan pada otak
McCall melaporkan bahwa resistensi pembuluh darah pada hipertensi dalam
kehamilan lebih meninggi lagi pada pre-eklamsia. Walaupun demikian, aliran
ke otak dan pemakaian oksigen pada pre-eklamsia tetap dalam tetap dalam
batas normal. Pada umumnya semua jaringan mempunyai “autoregulatian”
Universitas Sumatera Utara
untuk mengatur perfusi darah ke jaringan termasuk otak. Bila tekanan darah
melebihi batas, autoregulasi tidak dapat bekerja maka jaringan akan
mengalami perubahan, endotel akan mengalami kebocoran sehingga plasma
darah dan eritrosit akan keluar dari pembuluh darah ke jaringan ekstravaskuler
dan akan terjadi perdarahan bercak atau perdarahan intrakranial. Pada
hipertensi kronis terjadi hipertrofi pembuluh darah sehingga pada tekanan
darah yang sama pada hipertensi kronik bisa asimptomatik atau hanya sakit
kepala saja.
5. Perubahan pada paru-paru
Edema pulmonum bisa terjadi pada pre-eklamsia dan eklamsia, bisa
kardiogenik atau non kardiogenik dan biasanya timbul pada
waktu post
partum. Edema pulmonum bisa terjadi karena pemberian cairan yang
berlebihan. Tekanan onkotik yang menurun karena albuminemia, penggunaan
kristaloid untuk menggantikan transfusi darah dan sintesis albumin yang
menurun dari hati. Edema paru-paru merupakan sebab utama kematian
penderita
pre-eklamsia.
Komplikasi
ini
biasanya
disebabkan
oleh
dekompensasio kordis kiri.
6. Metabolisme air dan elektrolit
Hemokonsentrasi yang menyertai pre-eklamsia/eklamsia tidak diketahui
sebabnya. Terjadi pergeseran cairan dari ruang intravaskuler ke ruang
interstisial, diikuti oleh kenaikan hematokrit, protein serum meningkat dan
bertambahnya edema menyebabkan volume darah berkurang, viskositas darah
meningkat, waktu peredaran tepi lebih lama. Karena itu, aliran darah di
berbagai aliran tubuh mengurang, dengan akibat hipoksia. Dengan perbaikan
keadaan, hemokonsentrasi berkurang sehingga turunnya hematokrit dapat
dipakai sebagai ukuran tentang berhasilnya pengobatan. Jumlah air dan
natrium pada penderita pre-eklamsia lebih banyak daripada wanita hamil
biasa. Kadar kreatinin dan ureum pada pre-eklamsia tidak meningkat kecuali
jika oliguria atau anuria. Protein serum total, perbandingan albumin globulin
dan tekanan osmotik plasma menurun pada pre-eklamsia, kecuali pada
penyakit berat dengan hemokonsentrasi.
Universitas Sumatera Utara
7. System kardiovaskuler
Volume plasma pada pre-eklamsia menurun dengan penyebab yang tidak
diketahui. Timbulnya hipertensi karena pelepasan vasokontriktor yang
dihasilkan sebagai kompensasi terhadap hipoperfusi darah pada uterus. Pada
pre-eklamsia terjadi kenaikan cardiac output dengan peningkatan tahanan
perifer yang tidak sesuai. Terjadinya hipertensi disebabkan vasokontriksi
pembuluh darah yang menyebabkan resisitensi vaskuler perifer meningkat.
Vasokontriksi terjadi karena hiperesponsif dari pembuluh darah terhadap
vasokontiktor terutama terhadap angiotensin II. Endotel menghasilkan sitokin
yang menurunkan aktivitas antioksidan.
8. Aktivasi trombosit
Trombosit memegang peranan penting dalam menjaga integritas pembuluh
darah dengan menutup luka dimana terjadi kerusakan endotel. Jika ada
kerusakan endotel, sistem koagulasi dan trombosit akan diaktivasi. Trombosit
akan melekat (adhesi) dengan membran basalis yang terpapar, kemudian akan
terjadi agregasi trombosit selanjutnya akan terbentuk plak trombosit - fibrin
(thrombus) disekitar luka dan restraksi bekuan sehingga luka benar – benar
tertutup. Pada pre-eklamsia terjadi aktivasi trombosit yang ekstensif
dibandigkan dengan HN. Pada kehamilan dibutuhkan jumlah trombosit yang
lebih besar. Pada pre-eklamsia jumlah kebutuhan ini lebih besar lagi karena
adanya kerusakan endotel. Kerusakan endotel menyebabkan aktivasi trombosit
dilanjutkan dengan agregasi dan pembentukan trombus. Jika kebutuhan ini
tidak dipenuhi maka jumlah trombosit akan menurun dan menimbulkan
sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated, Liver enzym, Low platelet).
Meningkatnya ekspresi CD63 pada trimester I merupakan faktor resiko akan
terjadinya pre eklamsia terutama bila disertai dengan peningkatan tekanan
darah diastolik (Konijinenberg dkk,1997)
2.3.5. Diagnosis
Diagnosis awal harus diutamakan bila diinginkan angka morbiditas dan
mortalitas rendah bagi ibu dan anaknya. Pada umumnya diagnosis pre-eklamsia
Universitas Sumatera Utara
didasarkan atas adanya 2 dari trias tanda utama, yaitu hipertensi, edema dan
proteinuria. Dan pada eklamsia ditandai dengan adanya hipertensi dan kejang.
Hal in berguna untuk kepentingan statistik, tetapi dapat merugikan penderita
karena tiap tanda dapat merupakan kendatipun ditemukan tersendiri. Untuk
menegakkan diagnosis perlu dilakukan uji diagnositik pada pre-eklamsia
(Wibowo dan Rachimhadi, 2006).
1. Uji diagnostik dasar
a. Pengukuran tekanan darah
b. Analisis protein dalam urin
c. Pemeriksaan edema
d. Pengukuran tinggi fundus uteri
e. Pemeriksaan funduskopik
2. Uji laboratorium dasar
a. Evaluasi hematologik (hematokrit, jumlah trombosit, morfologi
eritrosit pada sediaan apus darah tepi)
b. Pemeriksaan
fungsi
hati
(bilirubin,
protein
serum,
aspartat
aminotransferase, dan sebagainya).
c. Pemeriksaaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin).
2.3.6. Penatalaksanaan
Tujuan dasar penatalaksanaan untuk setiap kehamilan dengan penyulit preeklamsia adalah (Cunningham, 2005):
1. Terminasi kehamilan dengan trauma sekecil mungkin bagi ibu dan janinnya.
2. Lahirnya bayi yang kemudian dapat berkembang.
3. Pemulihan sempurna kesehatan ibu.
Penanganan menurut berdasarkan klasifikasinya (Mochtar, 1998):
1. Pre-eklamsia Ringan
Pengobatan hanya bersifat simtomatis selain rawat inap, maka penderita dapat
dirawat jalan dengan skema periksa ulang yang lebih sering, misalnya 2 kali
seminggu. Penanganan pada penderita rawat jalan atau rawat inap adalah dengan
istirahat di tempat tidur, diit rendah garam. Diuretika dan obat anti hipertensi
Universitas Sumatera Utara
tidak dianjurkan, karena obat ini tidak begitu bermanfaat, bahkan bisa menutupi
tanda dan gejala pre-eklamsia berat. Dengan cara tersebut pre-eklamsia ringan
jadi tenang dan hilang, ibu hamil dapat dipulangkan dan diperiksa ulang sering
dari biasa.
Pre-eklamsia Berat - Eklamsia
a. Kehamilan kurang dari 37 minggu
1) Berikan suntikan sulfas magnetikus dengan dosis 8 gr intramuskular,
kemudian disusul dengan injeksi tambahan 4 gr intramuskular setiap 4
jam.
2) Jika ada perbaikan jalannya penyakit, pemberian sulfas megnestikus
dapat diteruskan lagi selama 24 jam sampai kriteria pre-eklamsia
ringan
3) Selanjutnya ibu dirawat, diperiksa, dan keadaan janin dimonitor, serta
berat badan ditimbang seperti pada pre-eklamsia ringan, sambil
mengawasi timbulnya lagi gejala.
4) Jika dengan terapi di atas tidak ada perbaikan, dilakukan terminasi
kehamilan dengan induksi partus atau tindakan lain tergantung
keadaan
b. Kehamilan lebih dari 37 minggu
1) Penderita dirawat inap
a. Istirahat mutlak dan ditempatkan dalam kamar isolasi
b. Berikan diit rendah garam dan tinggi protein
c. Berikan suntikan sulfus magnesikus 8 gr intramuskular
d. Suntikan dapat diulang dengan dosis 4 gr setiap 4 jam
e. Infus dektrosa 5% dan Ringer laktat
2) Berikan obat anti hipertensi
3) Diuretika tidak diberikan kecuali bila terdapat edema
4) Segera pemberian sulfas magnestikus kedua, dilakukan induksi partus
dengan atau tanpa amniotomi. Untuk induksi dipakai oksitosin 10
satuan dalam infus tetes.
Universitas Sumatera Utara
5) Jangan berikan methrgin postpartum, kecuali bila terjadi perdarahan
yang disebabkan atonia uteri
6) Kala II dipersingkat dengan ekstraksi vakum atau forsep, jadi ibu
dilarang untuk mengedan
7) Bila ada indikasi obsetrik dilakukan seksio sesarea
Menurut Wibowo dan Rachimhadi (2006) penanganan pre-eklamsia berat harus
ditangani dengan aktif. Pada penderita yang masuk ke rumah sakit sudah dengan
tanda dan gejala pre-eklamsia berat segera harus diberi sedativa yang kuat untuk
mencegah timbulnya kejang-kejang. Apabila sesudah 12-24 jam bahaya akut
sudah diatasi, dapat dipikirkan cara yang terbaik untuk menghentikan kehamilan.
Tindakan ini perlu untuk mencegah terjadinya bahaya eklamsia.
Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang-kejang dapat diberikan:
1. Larutan sulfas magnesikus 40 % sebanyak 10 ml (4 gram) disuntikan
secara intramuskular.
2. Klorpromazin 50 mg intramuskular
3. Dizepam 20 mg intramuskular.
Penggunaan obat hipotensif pada pre-eklamsia berat perlu dilakukan karena
dengan menurunkasn tekanan darah kemungkinan kejang dan apopleksia serebri
menjadi lebih kecil. Apabila terdapat oliguria, sebaiknya penderita diberi glukosa
20% secara intravena.
2.3.7 Komplikasi
Komplikasi terberat adalah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita pre-eklamsia dan eklamsia.
Komplikasi dibawah ini yang biasa terjadi pada pre-eklamsia berat dan eklamsia
(Wibowo dan Rachimhadi, 2006) :
1) Solusio plasenta
Komplikasi ini terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan lebih
sering
terjadi pada pre-eklamsia.
2) Hipofibrinogenemia
Universitas Sumatera Utara
Biasanya terjadi pada pre-eklamsia berat. Oleh karena itu dianjurkan untuk
pemeriksaan kadar fibrinogen secara berkala.
3) Hemolisis
Penderita dengan pre-eklamsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala
klinik hemolisis yang dikenal dengan ikterus. Belum diketahui dengan pasti
apakah ini merupakan kerusakkan sel hati atau destruksi sel darah merah.
Nekrosis periportal hati yang sering ditemukan pada autopsi penderita
eklamsia dapat menerangkan ikterus tersebut.
4) Perdarahan otak
Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal penderita
eklamsia.
5) Kelainan mata
Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang
berlangsung sampai
seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina. Hal
ini merupakan tanda gawat akan terjadi apopleksia serebri.
6) Edema paru-paru
Paru-paru menunjukkan berbagai tingkat edema dan perubahan karena
bronkopneumonia sebagai akibat aspirasi. Kadang-kadang ditemukan abses
paru-paru.
7) Nekrosis hati
Nekrosis periportal hati pada pre-eklamsia/eklamsia merupakan akibat
vasospasme arteriole umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklamsia, tetapi
ternyata juga dapat ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat
diketahui dengan pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.
8) Sindroma HELLP yaitu haemolysis, elevated liver enzymes dan low platelet
Merupakan sindrom kumpulan gejala klinis berupa gangguan fungsi hati,
hepatoseluler (peningkatan enzim hati [SGPT,SGOT], gejala subjektif [cepat
lelah, mual, muntah, nyeri epigastrium]), hemolisis akibat kerusakan membran
eritrosit oleh radikal bebas asam lemak jenuh dan tak jenuh. Trombositopenia
(<150.000/cc), agregasi (adhesi trombosit di dinding vaskuler), kerusakan
tromboksan (vasokonstriktor kuat), lisosom (Manuaba, 2007).
Universitas Sumatera Utara
9) Kelainan ginjal
Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma
sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur yang lainnya. Kelainan
lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.
10) Komplikasi lain
Lidah tergigit, trauma dan fraktur karena jatuh akibat kejang- kejang
pneumonia aspirasi dan DIC (disseminated intravascular cogulation). DIC
adalah penyakit gangguan sistem koagualsi terutama gangguan thrombin.
Karekteristik dari DIC adalah meningkatnya produksi thrombin dalam
pembuluh darah disertai dengna meningkatnya keluar-masuk fibrinogen dan
trombosit. Gejala DIC mirip dengan sindroma HELLP dimana terjadi
gangguan thrombin tetapi pada mikroangiopati gangguan utama adalah
pemakaian trombosit meningkat, tetapi kadar fibrinogen normal dan tidak
ada koagulopati.
11) Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra-uterin.
Universitas Sumatera Utara
Download