10 larutan elektrolit yang homogen. Pada larutan yang telah homogen dengan laju stirring yang sama ditambahkan larutan elektrolit KI+I2 sebanyak 10 ml dengan konsentrasi 0.3 M tanpa annealing. Setelah itu, stirring dilanjutkan dengan laju 250 rpm hingga homogen. Campuran larutan kitosan/PEG/KI+I2 yang telah homogen tersebut membentuk gel yang selanjutnya didinginkan pada suhu ruang. ITO/kitosan-PEG-KI+I2. Sedangkan pengukuran parameter fotovoltaik dilakukan menggunakan rangkaian sel surya seperti pada Gambar 11. Pembuatan Sel Fotoelektrokimia Untuk tiap sampel film SnS yang telah dibuat sebelumnya, pada sisi substrat ITO yang berlapiskan SnS ditutup dengan pita perekat sebagai pembatas sehingga terdapat area yang tidak tertutupi seluas 0,25 cm2. Pada area yang tidak tertutupi tersebut ditetesi dengan 1-2 tetes gel elektrolit kitosan/PEG/KI+I2 dengan molaritas yang sama yakni 0.3 M. Selanjutnya diletakkan substrat ITO lain yang tidak dilapisi SnS. Kedua sisi ITO dijepit dengan menggunakan klip binder agar posisi substrat tidak bergeser. Elektroda kerja yang telah dibuat kemudian diletakkan dengan posisi substrat yang berlapis SnS di bagian atas. Dengan demikian, diperoleh struktur sel fotoelektrokimia padat seperti pada Gambar 10. Gambar 10. Struktur sel fotoelektrokimia berbasis SnSKitosan/PEG/KI+I2. Karakterisasi Arus-Tegangan Karakterisasi arus-tegangan (I-V) dilakukan dalam keadaan gelap dan terang yang diukur menggunakan alat Keithly 2400 Source Meter. Pengukuran dilakukan dengan menghubungkan elektroda positif pada kontak ITO/SnS, dan elektroda negatif pada kontak Gambar 11. Rangkaian pengukuran karakterisasi I-V. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Deposisi Film Timah Sulfida Ada 3 proses penting dalam pembentukan film timah sulfida (SnS) dengan metode CBD, yaitu proses nucleation center dan pembentukan ion per ion (mekanisme heterogen), mekanisme hydroxide cluster, dan mekanisme dekomposisi ion kompleks. Pada proses nucleation center dan pembentukan ion per ion terjadi proses pembentukan ion Sn2+ dan S2-. Ion-ion tersebut tersebar ke dalam larutan untuk membentuk SnS. Kristal SnS pada substrat terikat satu dengan yang lainnya oleh gaya van der waals. Pertumbuhan kristal SnS berlangsung hingga prekursor dalam larutan habis. Pada mekanisme hydroxide cluster, partikel koloid hidroksida (OH-) tersebar ke substrat dan menempel pada substrat, selanjutnya partikel tersebut bereaksi dengan ion S2- . Pada reaksi ini terjadi pergantian antara ion S2- dan ion OH-. Partikel-partikel SnS yang terbentuk mulai menempel dan melekat satu sama lain untuk membentuk suatu kesatuan film. Pada mekanisme dekomposisi ion kompleks, terjadi penguraian komposisi kompleks dari Sn-ligand menjadi SnS dan proses selanjutnya hingga membentuk film. Kompleks antara ion 10 11 logam dan ligand diperlukan untuk mencegah terjadinya presipitasi.6 Untuk mendapatkan film yang berkualitas dengan CBD, reaksi yang terjadi di dalam larutan harus berlangsung perlahan. Pembentukan film SnS dapat dipahami melalui reaksi berikut: [Sn(TEA)]2+ + CH3CSNH2 + 2OH- → SnS+TEA+CH3CONH2+H2O (5) Saat deposisi, ion Sn2+ membentuk ikatan dengan ligand-TEA membentuk [Sn]TEA untuk mencegah terjadinya presipitasi sehingga fase lain yang tidak diinginkan seperti [Sn(OH)2] untuk kompleks ini dapat dicegah. Selanjutnya kompleks dipecah untuk membuat ikatan dengan ion S2- dan komponen lain pembentuk SnS hingga terbentuklah SnS. Persamaan yang serupa dapat ditulis dengan mengganti TEA dengan TSC.6 Ada 3 sumber sulfur di dalam pendeposisian SnS yaitu natrium thiosulfat (Na2S2O3), thiourea (SCN2H4), dan thioacetamida (CH3CSNH2). Ketika menggunakan natrium tiosulfat dan thiourea presipitasi berlangsung sangat cepat yang menyebabkan film tidak terbentuk sehingga dalam penelitian ini sumber sulfur yang digunakan adalah thioacetamida. Agen kompleks seperti natrium hidroksida (NH4OH), trietanolamine (TEA), dan trisodium sitrat (TSC) dibutuhkan sebagai komponen pendukung pembentuk film SnS. Konsentrasi agen kompleks sangat berpengaruh dalam pembentukan film. NH4OH berperan sebagai kontrol di dalam larutan sedangkan TEA dan TSC berperan sebagai agen kompleks untuk katalisis film. Pada laju deposisi yang rendah, jika konsentrasi NH4OH rendah maka film yang terbentuk sangat tipis. TEA berperan dalam mengurangi laju reaksi, jika TEA sedikit atau tidak ada maka presipitasi berlangsung sangat cepat sehingga film tidak terbentuk pada substrat. TSC bersama EDTA merupakan garam pembentuk agen kompleks tetapi TSC memberikan hasil yang lebih baik sehingga pada penelitian ini digunakanlah TSC. Pelarut etilen glikol berperan dalam menentukan daya lekat dan morfologi film.6 Lamanya waktu dan suhu deposisi mempengaruhi karakteristik film yang dihasilkan. Jika suhu rendah, struktur yang terbentuk cenderung amorf. Pada temperatur ≥ 80oC, adhesi film miskin sehingga film cenderung tipis.6 Jika deposisi berlangsung singkat maka film yang dihasilkan cenderung tipis.28 Pada penelitian ini lama deposisi yaitu 1 jam 20 menit dan suhu deposisi 80oC sehingga film yang dihasilkan cenderung tipis. Hasil Karakterisasi XRD Film SnS yang telah dibuat dikarakterisasi struktur kristalnya menggunakan X-Ray Diffractometer (XRD) dengan sumber cahaya Cu dengan tegangan 30 kV dan arus 30 mA di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Bahan (P3IB) Badan Teknologi Nuklir Nasional, Serpong. Gambar 12. Pola difraksi film pada permukaan substrat ITO sampel S1. Pola difraksi film pada permukaan substrat ITO untuk sampel S1 ditunjukkan oleh Gambar 12. Puncak yang muncul pada 2θ 32.633 dan 41.326 merupakan puncak untuk SnS yang bersesuaian dengan orientasi bidang pada (040), (200) (JCPDS no 39-0354). Puncak pada 2θ 37.205 dan 61.459 11 12 merupakan puncak untuk SnO2 yang bersesuaian dengan orientasi bidang pada (200), (310) (JCPDS no 77-0449). Puncak pada 2θ 30.148, 50.436, dan 55.407 merupakan puncak untuk SnS2 yang bersesuaian dengan orientasi bidang pada (002), (110), (103) (JCPDS no 23-0677). Sedangkan puncak pada 2θ 21.154, 35.06, dan 60.013 merupakan puncak untuk InSn2O7-x atau ITO yang bersesuaian dengan orientasi bidang pada (222), (400), (622) (JCPDS no 391058). Gambar 14. Pola difraksi film pada permukaan substrat ITO sampel S3. Gambar 13. Pola difraksi film pada permukaan substrat ITO sampel S2. Pola difraksi film pada permukaan substrat ITO untuk sampel S2 ditunjukkan oleh Gambar 13. Puncak yang muncul pada 2θ 22.62 dan 30.625 merupakan puncak untuk SnS yang bersesuaian dengan orientasi bidang pada (110), (101) (JCPDS no 39-0354). Puncak pada 2θ 37.237 merupakan puncak untuk SnO2 yang bersesuaian dengan orientasi bidang pada (200) (JCPDS no 77-0449). Puncak pada 2θ 30.11, 50.394, dan 55.256 merupakan puncak untuk SnS2 yang bersesuaian dengan orientasi bidang pada (002), (110), (103) (JCPDS no 23-0677). Sedangkan puncak pada 2θ 21.122, 35.022, dan 59.889 merupakan puncak untuk InSn2O7-x atau ITO yang bersesuaian dengan orientasi bidang pada (222), (400), (622) (JCPDS no 391058). Pola difraksi film pada permukaan substrat ITO untuk sampel S3 ditunjukkan oleh Gambar 14. Puncak pada 2θ 26.916, 37.179, dan 71.036 merupakan puncak untuk SnO2 yang bersesuaian dengan orientasi bidang pada (110), (200), (202) (JCPDS no 770449). Puncak pada 2θ 30.052 dan 50.334 merupakan puncak untuk SnS2 yang bersesuaian dengan orientasi bidang pada (002), (110) (JCPDS no 230677). Sedangkan puncak pada 2θ 21.084, 34.953, dan 59.879 merupakan puncak untuk InSn2O7-x atau ITO yang bersesuaian dengan orientasi bidang pada (222), (400), (622) (JCPDS no 391058). Gambar 15. Pola difraksi film pada permukaan substrat ITO sampel S4. 12 13 Pola difraksi film pada permukaan substrat ITO untuk sampel S4 ditunjukkan oleh Gambar 15. Puncak yang muncul pada 2θ 45.151 dan 69.603 merupakan puncak untuk SnS yang bersesuaian dengan orientasi bidang pada (002), (311) (JCPDS no 39-0354). Puncak pada 2θ 30.104 dan 50.443 merupakan puncak untuk SnS2 yang bersesuaian dengan orientasi bidang pada (002), (110) (JCPDS no 23-0677). Sedangkan puncak pada 2θ 35.02 dan 60.057 merupakan puncak untuk InSn2O7-x atau ITO yang bersesuaian dengan orientasi bidang pada (400), (622) (JCPDS no 39-1058). Data XRD menunjukkan bahwa SnS telah tumbuh pada permukaan ITO. Pembentukan SnS diawali dengan hidrolisis thioacetamida dengan proses penjenuhan yang tinggi dalam larutan. Namun, pada film juga terbentuk fase lain yakni SnS2. SnS2 terbentuk karena terjadi kelebihan ion S2- dan ion H+ pada reaksi hidrotermal baik selama deposisi SnS maupun ketika dipanaskan (annealing) yang dapat dijelaskan17 melalui reaksi berikut: Sn+S SnS (6) 2− SnS Sn + S (7) 2Sn2+ +4H+ +O2 2Sn4+ +2H2O (8) Sn4+ +2S2− SnS2↓ (9) 2+ Pada pola XRD, SnO2 terbentuk karena adanya oksidasi SnS akibat terjadi pengikatan oksigen dari udara ketika proses deposisi dan annealing sedangkan munculnya puncak ITO dapat disebabkan karena terlalu tipisnya film SnS yang terbentuk sehingga kristalinitas ITO yang lebih kuat menutupi kristalinitas SnS.29 Struktur kristal dapat dipengaruhi oleh karakteristik dari sumber Sn dan S, substrat dan prekursor yang digunakan, suhu, dan proses pengadukan selama deposisi film. Struktur kristal SnS dapat berupa ortorombik, kubik, dan campuran keduanya bergantung pada metode deposisi yang digunakan. Hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa film SnS yang dihasilkan umumnya memiliki fase ortorombik. Fase kubik pada film dapat terbentuk jika metode deposisi seperti CBD dilakukan pada suhu rendah.28 Puncak SnS yang terbentuk dalam penelitian ini memiliki struktur ortorombik yang bersesuaian dengan JCPDS no 39-0354. Puncak sudut 2θ SnS yang paling mendekati literatur terdapat pada sampel S2 yakni sampel dengan annealing 100oC dengan 2θ sebesar 22.62 dan 30.625. Puncak SnS2 yang turut terbentuk pada deposisi SnS memiliki struktur kristal heksagonal sesuai dengan JCPDS no 23-0677. Hasil Karakterisasi Serapan Optik Karakterisasi serapan optik film timah sulfida dilakukan di Laboratorium Spektroskopi Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Pada penelitian ini dibuat empat sampel, yaitu sampel tanpa annealing (S1) dan sampel dengan annealing 100oC (S2), 200oC (S3), dan 300oC (S4). Hasil karakterisasi serapan optik film timah sulfida dapat dilihat pada Gambar 16. Gambar 16. Hubungan absorbansi dan panjang gelombang untuk film timah sulfida tanpa annealing dan dengan annealing 100oC, 200o C, dan 300oC. Karakterisasi serapan optik diukur dengan menggunakan alat spektrofotometer UV-Vis untuk mengetahui spektrum serapan dari film timah sulfida yang dibuat. Pengukuran 13 14 nilai serapan (absorbansi) optik terhadap panjang gelombang dilakukan untuk menentukan daerah serapan film tipis melalui pita-pita serapan. Serapan optik sampel dipindai pada rentang panjang nm. Kurva gelombang 300-900 penyerapan yang terukur merupakan fungsi panjang gelombang yang disebut spektrum serapan. Karakteristik serapan keempat sampel memiliki luas spektrum serapan yang lebar yakni pada panjang gelombang 400-700 nm pada daerah cahaya tampak. Terlihat bahwa film SnS menyerap dengan kuat pada panjang gelombang sekitar 400-500 nm dengan serapan maksimum terjadi pada 440-490 nm yang diidentifikasi sebagai pita biru Daerah serapan tersebut menunjukkan daerah serapan spesifik film SnS. Hal ini sesuai dengan literatur yang memperlihatkan bahwa pita absorbansi SnS yakni pada panjang gelombang 400 -750 nm.6 Celah energi yang dihasilkan pada keempat sampel berturut-turut adalah 2.0 eV, 1.87 eV, 1.96 eV, dan 1.96 eV (Lampiran 6). Annealing menyebabkan terjadi pergeseran tepi absorpsi. Terlihat pula bahwa annealing mempengaruhi besarnya celah energi.28 Celah energi sampel S2 paling mendekati celah energi SnS dimana rentang celah energi SnS berada pada 1.3–1.8 eV. Sedangkan untuk ketiga sampel lainnya lebih mendekati celah energi SnS2 dimana rentang celah energi SnS2 berada pada 2.05–2.4 eV. Hasil Pembuatan Elektrolit Polimer Padat Sel fotoelektrokimia yang dibuat dalam penelitian ini berbasis elektrolit polimer padat. Elektrolit polimer pada dasarnya terdiri dari polimer dan garam yang secara bersama membentuk pasangan redoks. Pada penelitian ini elektrolit padat yang digunakan merupakan campuran dari polimer kitosan-PEG dan garam KI+I2. Polimer kitosan berperan sebagai polielektrolit kationik dan bersama-sama PEG berperan sebagai matriks pembentuk gel pada film. Gel polimer elektrolit didesain untuk memfasilitasi transport ion pada medium. Garam KI+I2 merupakan pasangan redoks yang berfungsi sebagai mediator dalam transport muatan. Mediator dalam elektrolit padat berperan untuk menggantikan elektron yang hilang selama proses penyerapan cahaya. Elektrolit padat memiliki sifat konduktif ionik dan dapat berfungsi sebagai hole transpor pada piranti sel surya fotoelektrokimia. Namun, penggunaan elektrolit padat pada sel surya akan menambah resistansi secara keseluruhan sehingga menyebabkan kecilnya arus yang dihasilkan.30 Hasil Pembuatan Sel Fotoelektrokimia Pada penelitian ini telah dibuat empat film SnS yakni sampel S1, S2, S3, dan S4 seperti yang ditunjukkan pada Tabel (halaman 9). Sel fotoelektrokimia yang dibuat terdiri dari film SnS sebagai elektroda semikonduktor, polimer kitosan/PEG/KI+I2 sebagai elektrolit padat dan substrat ITO sebagai elektroda lawan. Substrat ITO yang digunakan dalam penelitian memiliki dimensi kaca yang berbeda untuk tiap sampel. Sel fotoelektrokimia yang dibuat ketika dihubungkan dengan rangkaian luar memiliki struktur seperti pada Gambar 17. Pengujian sel dilakukan dengan menghubungkan multimeter pada kedua sisi ITO, dimana tepi substrat ITO dengan lapisan SnS sebagai elektroda positif (fotoanoda) dan tepi substrat ITO tanpa lapisan SnS sebagai elektroda negatif (katoda). Gambar17. Struktur sel fotoelektrokimia berbasis fotoelektroda SnS dan elektrolit polimer padat kitosan/ PEG/KI+I2 ketika dihubungkan dengan rangkaian luar. 14 15 Hasil Karakterisasi Arus-Tegangan Karakterisasi untuk mengetahui ada tidaknya efek fotovoltaik pada sampel dilakukan dengan karakterisasi arustegangan (I-V) yaitu pengujian nilai arus dan tegangan yang keluar dari keempat sampel yang telah dibuat dengan sumber cahaya matahari. Rangkaian pengukuran tegangan diperlihatkan pada Gambar 18. Hasil pengukuran tegangan untuk keempat sampel S1, S2, S3, dan S4 berturut-turut adalah 20 mV, 80 mV, 120 mV, dan 20 mV (Lampiran 7). Gambar 18. Rangkaian pengukuran tegangan rangkaian buka (Voc) pada sel fotoelektrokimia berbasis timah sulfidakitosan/PEG/KI+I2. Nilai tegangan terbesar dihasilkan oleh sampel S3 ketika dibandingkan dengan keluaran tegangan dari ketiga sampel lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh karakteristik film yang terbentuk didominasi oleh SnS2 dimana SnS2 cocok diaplikasikan sebagai sel fotoelektrokimia sehingga sel dapat bekerja secara maksimal dibandingkan sampel S2 yang lebih memiliki karakteristik SnS. Tidak terukurnya nilai arus dapat diakibatkan oleh beberapa faktor, diantaranya karena penggunaan elektrolit padat yang dapat meningkatkan resistansi sehingga transpor muatan oleh elektrolit padat menjadi kurang maksimal. Amperemeter yang digunakan dalam skala milimeter sehingga tidak dapat membaca keluaran arus yan sangat kecil (misal dalam skala mikro). Hal ini mengakibatkan kerja sel surya berbasis fotoelektroda timah sulfida dan elektrolit padat kitosan/PEG/KI+I2 untuk kajian efek fotovoltaik menjadi tidak maksimal. Karakterisasi I-V yang selanjutnya dilakukan menggunakan alat Keithly 2400 Source Meter dengan sumber cahaya berasal dari lampu dengan intensitas lampu sebesar 20 mW/cm2. Tiap sampel diuji dalam dua keadaan yakni kondisi terang (disinari) dan gelap (tidak disinari). Hasil karakterisasi ditunjukkan oleh Gambar 19 (a), (b), (c), dan (d) yang menunjukkan kurva hasil karakteristik I-V pada kondisi gelap dan terang. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa keempat sampel yang dibuat telah bersifat fotovoltaik karena sel telah mampu menghasilkan tegangan. Sel tersebut juga telah bersifat dioda karena distribusi arus dan tegangan yang dihasilkan tidak linear dan tidak simetris. Karakterisasi ini memberikan gambaran kondisi yang terjadi ketika sel surya mendapat tegangan bias maju dan tegangan bias mundur. Bias maju terjadi ketika tegangan bernilai positif dan arus mulai meningkat, sedangkan bias mundur terjadi ketika tegangan bernilai negatif dan tidak ada arus yang mengalir. (a) 15