BAB IV.PERTAHANAN TUBUH

advertisement
BAB IV
PERTAHANAN TUBUH
Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit pada manusia
dan hewan masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara. Secara
umum mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit disebut
patogen. Patogen yang telah masuk akan menimbulkan penyakit
dengan pelbagai mekanisme. Segala macam mikroorganisme yang
menginvasi vertebrata akan berhadapan dengan imunitas innate
sebagai pertahanan pertama yang terjadi beberapa menit setelah
infeksi. Imunitas adaptif akan timbul apabila pertahanan pertama ini
tidak mampu mengeliminasi patogen yang masuk.
Imunitas innate
spontan
(cepat: 0-4 jam)
Infeksi
Imunitas innate
tidak spontan
(segera: 4-96 jam)
Infeksi
Respon imunitas
adaptive
(lambat: > 96 jam)
Infeksi
Pengenalan oleh
efektor nonspesifik
Pemusnahan agen
penginfeksi
Perekrutan sel
efektor
Pengenalan, aktifasi
sel efektor
Transpor antigen
menuju organ limfoid
Pengenalan oleh sel
T dan B naive
Pemusnahan agen
penginfeksi
Ekspansi klon dan
diferensiasi sel
efektor
Pemusnahan agen
penginfeksi
Gambar 24. Respon terhadap infeksi terdiri dari tiga fase. Fase tersebut
adalah fase imunitas innate spontan, fase imunitas innate tidak spontan, dan fase
imunitas adaptif. Dua fase pertama tidak memerlukan spesifikasi antigen,
artinya semua antigen akan dikenali oleh sistem imun yang bekerja pada dua
fase pertama ini. Fase ketiga adalah fase imunitas adaptif. Fase ini memerlukan
reseptor yang spesifik yang terbentuk dari gene rearrangement. Imunitas adaptif
bekerja pada fase akhir, sebab sangat sedikit sel B dan sel T yang mengenali
antigen yang masuk. Sebelum sel B dan sel T berdiferensiasi menjadi sel efektor
yang dapat mengeliminasi patogen, sel limfosit tersebut melakukan proliferasi.
35
Pertahanan pertama tidak dapat menuntaskan tugasnya antara
lain karena besarnya jumlah invader yang masuk, cacat genetik,
maupun lemahnya sistem pertahanan itu sendiri akibat kurang gizi.
Sel-sel epitel pada permukaan tubuh mempunyai peran penting
sebagai penghalang masuknya mikroorganisme dalam tubuh. Sekresi
kelenjar minyak maupun keringat juga mempunyai peran dalam
sistem pertahanan pertama. Makrofag dan neutrofil merupakan
komponen selluler pertahanan pertama yang bersifat fagosit,
sedangkan NK berperan sebagai sitotoksik pada pertahanan pertama.
NK merupakan sel yang memiliki jalur sama dengan sel limfosit
hanya saja tidak mempunyai antigen khusus yang dikenali pada
targetnya. NK mengenali sel yang mengalami kanker dengan cara
mendeteksi penurunan ekspresi molekul MHC.
Mamalia rentan terhadap infeksi patogen. Patogen pada
awalnya mengadakan kontak dengan host, selanjutnya menyebabkan
infeksi dan sakit pada host. Satu patogen dengan yang lain
mempunyai perbedaan struktur yang sangat besar pada molekul
permukaan dan cara melakukan infeksi, sehingga diperlukan strategi
yang berbeda dalam tubuh host untuk melakukan sistem pertahanan.
Garis pertama pertahanan tubuh telah tersedia dan siap menghalangi
dan menolak invader setiap saat. Permukaan sel-sel epitel
menyebabkan patogen tetap berada di luar dan sulit mengadakan
penetrasi. Kulit misalnya, menghalangi penempelan patogen dengan
cara menghasilkan enzim antimikrobia dan peptida. Kulit juga
menghasilkan minyak yang dapat membunuh beberapa patogen.
Virus, bakteri, dan parasit yang berhasil menjebolkan pertahanan
pertama akan segera berhadapan dengan makrofag pada jaringan.
Makrofag mempunyai reseptor permukaan yang dapat mengikat dan
memfagosit bermacam-macam patogen. Peristiwa ini pada gilirannya
akan menyebabkan respon inflamasi yang dapat menyebabkan
terjadinya akumulasi protein plasma, termasuk komponen
komplemen yang menjadi bagian humoral imunitas innate , dan aktivitas
fagosit oleh neutrofil pada daerah infeksi. Imunitas innate merupakan
garis pertahanan pertama yang secara langsung dapat bekerja
nonspesifik jika ada patogen yang masuk. Imunitas innate ini tidak
berubah kemampuannya jika pada waktu yang lain terinfeksi baik
patogen yang sama maupun berbeda, karena tidak mempunyai
memori setelah terjadinya infeksi. Kerja imunitas innate ini pada
umumnya berhasil menghalangi terjadinya infeksi. Apabila imunitas
36
innate tidak berhasil mengeliminasi agen penginfeksi, makrofag dan sel
lain yang telah teraktivasi pada respon innate akan segera membantu
inisiasi respon imunitas adaptif.
Pengenalan Antigen Oleh Sel B dan T.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tubuh dipertahankan
dengan imunitas innate, tetapi sistem tersebut hanya mengontrol
patogen yang mempunyai susunan molekul tertentu atau patogen
tersebut menginduksi tersintesisnya interferon atau molekul efektor
lain. Imunitas innate tidak membentuk memori dan imunitas innate ini
bekerja dengan reseptor yang dikode di dalam genom. Imunitas innate
sangat penting untuk menjaga agar patogen tidak berkembang bebas
di dalam tubuh, namun imunitas innate tidak memiliki sifat yang
dimiliki inunitas adaptif. Imunitas adaptif memiliki memori yang
bertahan dalam waktu sangat lama terhadap antigen spesifik. Untuk
mengenali dan melawan patogen yang memiliki diversitas tinggi,
limfosit sebagai komponen imunitas adaptif telah berkembang dan
dapat mengenali diversitas yang tinggi dari antigen bakteri, virus, dan
organisme penyebab penyakit lainnya. Molekul pengenalan sel B
adalah imunoglobulin, Ig. Imunoglobulin diproduksi oleh sel B dalam
keadaan yang sangat beragam sesuai dengan keragaman antigen.
Setiap sel B memproduksi imunoglobulin tunggal. Imunoglobulin
yang berada pada permukaan sel berfungsi sebagai reseptor sel untuk
suatu antigen yang disebut B-cell receptor (BCR). Imunoglobulin
disekresi dalam bentuk antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma yaitu
sel B yang teraktivasi. Sekresi antibodi yang mengikat patogen atau
substansi beracun yang diproduksi patogen pada ekstraselluler,
merupakan peranan utama sel B pada imunitas adaptif.
Antibodi merupakan molekul pertama yang diketahui terlibat
pada pengenalan antigen secara spesifik. Molekul antibodi
mempunyai dua peranan yang terpisah: pertama mengikat molekul
patogen untuk meningkatkan respon imun, kedua untuk merekrut selsel imunokompeten dan molekul efektor lainnya ketika antibodi
tersebut telah berikatan dengan targetnya. Sebagai contoh, ikatan
antibodi pada virus akan memberikan reaksi netralisasi di samping
memberi penanda pada virus tersebut agar mudah dikenali oleh sel
fagosit dan komplemen. Dua fungsi tersebut terpisah pada molekul
37
antibodi, satu bagian terspesifikasi untuk mengenali dan mengikat
patogen atau antigen, sedangkan bagian lain terlibat pada mekanisme
efektor lain. Sisi ikatan pada molekul antigen mempunyai variasi yang
sangat beragam yang selanjutnya dikenal sebagai daerah variabel.
Keberagaman antibodi memungkinkan pengenalan antigen yang
berbeda-beda, dan populasi keseluruhan (repertoire) antibodi yang
terbuat pada setiap individu keragamannya demikian besar untuk
memastikan bahwa setiap struktur antigen asing akan ada yang
mengenali. Bagian antibodi yang terlibat untuk fungsi efektor pada
sistem imun tidak mempunyai variasi sebagaimana bagian variabel
sehingga bagian tersebut disebut bagian konstan. Bagian konstan ini
memiliki lima bentuk utama, yang mana setiap bentuk berfungsi
untuk mengaktifkan mekanisme efektor yang berbeda. Reseptor sel B
yang berikatan dengan membran tidak mempunyai fungsi efektor,
karena bagian konstan tetap berada di dalam membran sel B. Bagian
konstan yang berada di dalam membran sel berfungsi mentransmisi
signal yang menyebabkan sel B teraktivasi dan terjadinya ekspansi
klon dan produksi antibodi spesifik, ketika variabel mengikat antigen
yang spesifik. Molekul yang digunakan sel T untuk mengenal antigen
merupakan protein yang terikat pada membran dan berfungsi sebagai
pemberi signal pada sel T sehingga mengalami aktivasi. Molekul itu
selanjutnya disebut reseptor sel T (T-cell receptor/TCR). TCR sangat
dekat hubungannya dengan imunoglobulin baik pada struktur
molekulnya yang mempunyai bagian variabel (V region) dan bagian
konstan (C region) maupun pada mekanisme pembentukan diversitas
molekul yang sangat tinggi. Namun demikian reseptor sel T
mempunyai perbedaan penting dengan reseptor sel B, dimana
reseptor sel T tidak dapat mengenali dan mengikat antigen secara
langsung. Reseptor sel T hanya mengenali fragmen peptida pendek
dari protein patogen yang terikat molekul MHC pada permukaan sel
lain. Molekul MHC merupakan glikoprotein yang disandi oleh gen
dalam klaster yang besar yang disebut major histocompatibility complex
(MHC). Sifat khas molekul ini adalah adanya celah pada permukaan
paling luar. Celah yang ada pada molekul MHC ini berfungsi untuk
mengikat berbagai macam peptida. Pada suatu populasi molekul
MHC mempunyai variasi genetik yang sangat tinggi. Pada setiap
individu memiliki sampai 12 varian molekul MHC, sehingga
memungkinkan presentasi berbagai macam peptida yang berasal dari
38
patogen. Reseptor sel T mengenali peptida patogen maupun sifat dari
molekul MHC yang mengikat peptida itu. Pengenalan dengan cara ini
memberikan dimensi patogen yang lebih spesifik pada TCR yang
dikenal dengan istilah restriksi MHC (MHC restriction). Istilah ini
sangat tepat karena semua reseptor sel T bersifat spesifik tidak saja
pada peptida antigen asing, namun juga terkait kombinasi antara
peptida dengan molekul MHC. Meskipun sel B dan sel T mengenali
molekul asing dengan cara yang berbeda, namun kedua reseptor sel
tersebut mempunyai struktur yang sama.
sisi ikatan antigen
N-terminal
ikatan
disulfida
karbohidrat
daerah variabel
ikatan
disulfida
daerah konstan
C-terminal
Gambar 25. Struktur molekul antibodi. Panel (a) menggambarkan diagram
pita yang didasarkan pada pengamatan kristallografi antibodi IgG,
menunjukkan kerangka rantai polipeptida. Tiga protein globular membentuk
struktur IgG menyerupai huruf Y. Dua sisi ikatan antigen terletak pada ujung
kedua lengan yang diikatkan pada badan antibodi dengan ikatan yang sangat
fleksibel. Panel (b) merupakan skema yang menjelaskan panel (a). Pada panel
(b) ditunjukkan komposisi empat rantai dan domain yang menyususn tiap-tiap
rantai. Panel (c) merupakan simplikasi skema molekul antibodi.
39
Struktur Molekul Antibodi.
Antibodi merupakan reseptor sel B yang disekresi, sehingga
identik dengan reseptor sel B itu sendiri kecuali pada C-terminal dari
bagian konstan rantai berat. Pada reseptor sel B, C-terminal pada
membran berupa squence yang bersifat hidrofobik, dan pada antibodi
C-terminal berupa squence yang bersifat hidrofilik yang
memungkinkan terjadinya sekresi molekul tersebut. Antibodi bersifat
terlarut dan disekresi dalam jumlah yang besar sehingga mudah
diperoleh dan mudah dipelajari. Molekul antibodi secara garis besar
digambarkan sebagi huruf ”Y”. Tiga skema struktur antibodi yang
diperoleh dari sinar-X kristalografi diperlihatkan pada Gambar 21.
Semua antibodi disusun dengan cara yang sama dari pasangan
polipeptida rantai berat dan ringan dan secara umum protein itu
dinamakan imunoglobulin. Secara umum imunoglobulin dibagi
menjadi lima kelas yang berbeda yakni: IgM, IgD, IgG, IgA, dan IgE
yang dapat dibedakan pada bagian konstannya (C region).
rantai
ringan
ikatan
disulfida
rantai
berat
Gambar
26.
Molekul
imunoglobulin terdiri dari dua
tipe rantai protein yaitu rantai
ringan dan rantai berat. Setiap
molekul imunoglobulin tersusun
atas rantai ringan dan rantai berat
sebagaimana yang ditunjukkan
pada gambar. Rantai ringan dan
rantai berat dihubungkan dengan
ikatan disulfida sehingga setiap
rantai berat berikatan dengan
rantai ringan dan dua rantai berat
saling berikatan satu sama lain.
Antibodi IgG Terdiri Dari Empat Rantai Polipeptida.
Antibodi IgG merupakan molekul besar dengan berat
molekul sekitar 150 kDa, terdiri dari dua rantai polipeptida yang
berbeda. Rantai berat (rantai H) berkisar 50 kDa, sedangkan rantai
40
ringan (rantai L) berkisar 25 kDa. Setiap molekul IgG mempunyai
dua rantai H dan dua rantai L. Dua rantai berat satu sama lain
dihubungkan dengan ikatan disulfida, dan setiap rantai H
dihubungkan dengan rantai L dengan ikatan disulfida. Pada setiap tipe
molekul imunoglobulin, dua rantai H dan dua rantai L identik satu
sama lain yang menjadikan molekul antibodi mempunyai dua sisi
ikatan dengan antigen yang identik. Dua tipe rantai ringan yang
dikenal dengan istilah rantai lamda (λ) dan kappa (ĸ) ditemukan pada
antibodi. Imunoglobulin tertentu hanya memiliki salah satu rantai
lamda (λ) atau kappa (ĸ), dan tidak pernah kedua-duanya ada
bersama-sama.Tidak ditemukan perbedaan fungsi antara antibodi
yang memiliki rantai lamda (λ) dan kappa (gen ĸ). Rasio rantai ringan
lamda (λ) dan kappa (ĸ) berbeda-beda antara spesies satu dengan yang
lain. Pada mencit rasio rantai lamda (λ) dan kappa (ĸ) 1 :20,
sedangkan pada manusia 1 : 2 dan pada lembu 20:1. Rasio yang
berbeda-beda ini sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Distorsi
rasio rantai lamda (λ) dan kappa (ĸ) terkadang dijadikan untuk
mendeteksi adanya kelainan proliferasi klon sel B. Rantai lamda (λ)
dan kappa (ĸ) diekspresikan dengan rasio identik pada semua sel B,
sehingga kelebihan lamda (λ) pada manusia misalnya, menjadi indikasi
adanya tumor yang bersal dari sel B yang memproduksi rantai lamda
(λ). Kelas antibodi didasarkan pada struktur rantai berat. Ada lima
kelas utama (isotipe) rantai berat, beberapa di antaranya mempunyai
subtype, dan hal ini menentukan fungsi aktivitas molekul antibodi.
Lima kelas utama imunoglobulin adalah imunoglobulin M (IgM),
imunoglobulin D (IgD), imunoglobulin G (IgG), imunoglobulin A
(IgA), dan imunoglobulin E (IgE). Masing-masing rantai beratnya
ditandai dengan simbul berturut-turut (µ, δ, γ, α, dan ε). IgG
merupakan imunoglobulin yang jumlahnya berlimpah dan
mempunyai beberapa subkelas (pada manusia IgG1, 2, 3, dan 4).
Fungsi yang berbeda dari imunoglobulin ditentukan oleh bagian
ujung karbon rantai berat, dan sama sekali tidak terkait dengan rantai
ringan. Secara umum sifat struktur dari seluruh isotipe sama, dan
pada buku ini kita akan membahas IgG yang merupakan isotipe
imunoglobulin paling banyak pada plasma.
41
Imunoglobulin Tersusun Atas Bagian Konstan dan Variabel.
Urutan asam amino rantai berat dan ringan dari suatu
imunoglobulin telah diketahui dan menunjukkan dua sifat penting
molekul antibodi. Pertama, masing-masing rantai terdiri dari urutan
yang sama, meskipun tidak identik. Masing-masing tersusun atas 110
asam amino. Setiap pengulangan urutan asam amino berhubungan
dengan kepadatan struktur protein yang menyusun setiap bagian
imunoglobulin yang selanjutnya disebut domain. Rantai ringan
tersusun oleh dua domain, sedangkan rantai berat IgG tersusun atas
empat domain. Diduga rantai imunoglobulin berevolusi dengan
mengadakan duplikasi gen yang awalnya berupa domain tunggal. Sifat
penting kedua yang ditunjukkan oleh urutan asam amino terminal
pada rantai ringan dan rantai berat adalah adanya perbedaan urutan
asam amino yang sangat menyolok pada setiap antibodi yang
dihasilkan oleh klon sel B yang berbeda. Asam amino terminal pada
daerah variabel baik dari rantai ringan maupun berat (VL dan VH)
secara bersama-sama membentuk bagian V antibodi yang
menentukan kemampuannya mengikat antigen spesifik. Domain
konstan dari rantai ringan dan berat (CL dan CH) akan membentuk
bagian konstan (C region) antibodi.
Antibodi Dapat Dipecah Menjadi Fragmen Yang Tidak Kehilangan
Fungsi.
Domain protein yang digambarkan di atas berhubungan satu
sama lain membentuk domain globular. Suatu antibodi terdiri atas
tiga protein globular yang mempunyai ukuran yang sama yang
digabungkan oleh polipeptida yang disebut hinge region. Setiap lengan
dari bentuk ”Y” dibentuk dari gabungan rantai ringan dengan amino
terminal yang separuhnya berasal dari rantai berat. Badan ”Y”
dibentuk dari bagian yang sama dari dua rantai berat. Gabungan
rantai ringan dan berat berupa pasangan, contohnya domain VL dan
VH, demikian juga domain CH1 dan CL. Domain CH3 berpasangan
dengan domain yang sama-sama berasal dari rantai berat, sedangkan
domain CH2 tidak berinteraksi satu sama lain. Pada domain CH2
terdapat rantai karbohidrat namun didak terjadi interaksi satu sama
lain. Dua sisi pengikat antigen terbentuk dari pasangan domain VL
42
dan VH pada ujung lengan ”Y”. Enzim proteolitik (protease) yang
dapat memecah urutan polipeptida digunakan untuk menganalisis
molekul antibodi dan digunakan untuk menentukan fungsi bagianbagian molekul tersebut. Pemecahan molekul antibodi dengan
menggunakan protease papain akan menghasilkan tiga fragmen. Dua
fragmen mempunyai sifat identik yang berfungsi sebagai sisi ikatan
untuk antigen. Fragmen ini selanjutnya disebut fragmen Fab, yang
menyatakan kependekan dari Fragment antigen binding. Fragmen Fab
berupa dua lengan yang identik dari molekul antibodi. Fragmen Fab
terdiri dari seluruh molekul rantai ringan berpasangan dengan domain
VH dan CH1 dari rantai berat. Fragmen lain berupa molekul yang tidak
mengandung sisi ikat terhadap antigen dan fragmen tersebut mudah
menjadi kristal (crystallize readily) sehingga disebut fragmen Fc, yang
menyatakan kependekan dari Fragment crystallizable. Fragmen Fc
merupakan pasangan domain CH2 dan CH3 dan merupakan bagian
molekul antibodi yang berinteraksi dengan molekul efektor dan sel.
Perbedaan fungsi di antara isotipe rantai berat terletak pada fragmen
Fc. Fragmen protein yang diperoleh setelah proteolisis ditentukan
oleh letak pemutusan molekul antibodi oleh enzim proteolitik itu
yang berhubungan dengan ikatan disulfida pada dua rantai berat.
Ikatan disulfida itu terletak pada bagian hinge antara domain CH1 dan
CH2. Papain membelah molekul antibodi pada asam amino terminal
pada ikatan disulfida. Pembelahan dengan menggunakan papain akan
menghasilkan dua lengan identik yang berupa fragmen Fab,
sedangkan fragmen Fc carboxy-terminal dari rantai berat tetap
lengket. Enzim proteolitik yang lain pepsin misalnya, mempunyai sisi
pembelahan yang berbeda dari yang dilakukan papain. Secara umum
pepsin melakukan pembelahan pada daerah yang sama dengan yang
dilakukan papain namun bekerja pada carboxy-terminal dari ikatan
disulfida. Pembelahan dengan enzim pepsin ini akan menghasilkan
satu fragmen F(ab’) dimana dua lengan pengikat antigen itu tetap
bersatu. Pada pembelahan dengan enzim pepsin rantai berat terbelah
menjadi beberapa fragmen kecil. Fragmen F(ab’) mempunyai sifat
yang sama sekali tidak berubah dengan ketika berada pada molekul
antibodi yang utuh, namun tidak dapat berinteraksi dengan molekul
efektor.
43
Pembelahan antibodi oleh enzim papain
Fab
Fab
Fc
Pembelahan antibodi oleh enzim pepsin
(Fab’)2
pFc’
Gambar 27. Molekul antibodi yang berbentuk huruf Y dapat dipotongpotong dengan menggunakan enzim protease. Papain memotong molekul
imunoglobulin menjadi tiga bagian: dua fragmen Fab dan satu fragmen Fc.
Fragmen Fab berisi bagian V (variabel) yang berfungsi mengikat antigen.
Fragmen Fc merupakan fragmen yang mudah menjadi kristal dan berisi bagian
C (konstan). Pepsin memotong molekul imunoglobulin menghasilkan satu
fragmen F(ab’)2 dan banyak fragmen kecil Fc. Fragmen paling besar disebut
pFc’. F(ab’)2 ditulis dengan tanda kurung sebab berisi sedikit lebih banyak asam
amino daripada Fab, termasuk sistein yang membentuk ikatan disulfida.
Rekayasa genetika sekarang memungkinkan membuat
kontruksi bermacam-macam antibodi. Satu tipe yang penting adalah
Fab yang hanya terdiri dari domain V dari rantai berat yang diikatkan
dengan peptida sintetik pada domain V dari rantai ringan. Fragmen
seperti itu selanjutnya dikenal dengan single-chain Fv, yang menyatakan
44
Fragmen variabel. Molekul Fv berpotensi menjadi agen terapi karena
ukurannya yang kecil sehingga memungkinkan menembus jaringan
dengan mudah. Molekul semacam ini bisa digabungkan dengan
protein toksin yang menghasilkan imunotoksin yang berpotensi untuk
aplikasi klinik, misalnya pada terapi tumor jika molekul Fv spesifik
untuk antigen tumor.
Imunoglobulin Bersifat Fleksibel Utamanya Pada Daerah
Hinge.
Daerah hinge yang menghubungkan fragmen Fc dan Fab
pada molekul antibodi merupakan pengikat yang fleksibel, yang
memungkinkan pergerakan bebas dari dua lengan Fab. Hal ini telah
diperlihatkan dengan pengamatan mikroskop elektron pada
pengamatan antibodi yang mengikat hapten. Hapten merupakan
molekul kecil berukuran sebesar bagian khusus tirosin, yaitu sebesar
sisi ikat pada rantai tirosin. Hapten dapat dikenali antibodi dan dapat
menstimuli produksi antibodi antihapten jika hapten terikat pada
protein besar (carrier). Antigen yang dibuat dari dua molekul hapten
yang identik yang dihubungkan dengan ikatan yang pendek dan
fleksibel dapat menggabungkan antibodi antihapten membentuk
dimer, trimer, tetramer, dan seterusnya yang dapat diamati gengan
mikroskop elektron. Bentuk susunan antibodi komplek dengan
hapten yang bermacam-macam ini menunjukkan bahwa sisi hinge
antibodi sangat fleksibel. Fleksibelitas juga ditemukan pada
penghubung antara domain V dan C, yang memungkinkan
pembengkokan dan rotasi domain V terhadap domain C. Fleksibelitas
pada kedua sisi hinge dan penghubung V-C memungkinkan
terjadinya ikatan dua lengan molekul antibodi terhadap targetnya
dengan jarak yang bervariasi. Fleksibelitas pada daerah hinge juga
memungkinkan antibodi berinteraksi dengan protein yang memediasi
mekanisme kerja efektor.
45
Sudut antara lengan adalah 0o
Sudut antara lengan adalah 60o
Sudut antara lengan adalah 90o
Gambar 28. Lengan antibodi dihubungkan dengan hinge yang fleksibel.
Suatu antigen yang terdiri dari dua molekul hapten yang dapat melakukan ikatan
silang (cross-link) pada sisi ikat yang terletak pada antibodi digunakan untuk
membentuk komplek antigen:antibodi, dapat diamati dengan mikroskop
elektron. Bentuk linier, segi tiga, dan segi empat dapat diamati. Sudut yang
dibentuk antar lengan antibodi sangat bervariasi, yang menunjukkan bahwa
hubungan antar lengan sangat fleksibel (sumber: Murphy, 2008)
Domain Molekul Imunoglobulin Mempunyai Struktur Yang Mirip.
Rantai ringan dan berat suatu imunoglobulin tersusun atas
domain protein yang dapat dibedakan satu sama lain. Domain protein
itu semuanya mempunyai struktur yang mirip. Didasarkan pada
bentuk tiga dimensi ada perbedaan yang menyolok antara domain V
dan C. Setiap domain terdiri dari dua helai β, yang merupakan elemen
struktur protein yang terbentuk dari rantai polipeptida. Helai itu
dilekatkan dengan jembatan disulfida yang membentuk struktur
silinder, yang disebut tabung β. Perbedaan lipatan-lipatan pada
struktur yang terjadi pada domain imunoglobulin diistilahkan
imunoglobulin fold. Domain yang berbentuk silinder terbuka
berfungsi untuk menunjukkan bagaimana rantai polipeptida melipat
46
untuk membentuk masing-masing helai β dan bagaimana rantai
tersebut membentuk loops yang fleksibel dan dapat dengan mudah
berganti arah. Perbedaan utama antara domain V dan C adalah
bahwa domain V lebih besar dan mempunyai gulungan lebih banyak.
Pada molekul imunoglobulin loop yang fleksibel dari domain V
membentuk sisi ikatan dengan antigen. Banyak asam amino yang
umumnya menyusun domain C dan V dari suatu rantai
imunoglobulin menempati pusat pelipatan dan sangat penting untuk
menjaga stabilitas imunoglobulin. Oleh karena itu, protein yang
mempunyai urutan sama dengan yang ada pada imunoglobulin diduga
membentuk domain yang sama dengan imunoglobulin. Dugaan
tersebut selama ini telah dibuktikan dengan pengamatan
menggunakan teknik crystallography. Domain yang mempunyai
kemiripan dengan imunoglobulin itu banyak ditemukan pada protein
yang terlibat pada sistem imun dan pada protein yang terlibat pada
pengenalan pada sistem syaraf dan jaringan lain. Imunoglobulin dan
reseptor sel T termasuk superfamili imunoglobulin. Molekul antibodi
IgG tersusun atas empat macam rantai polipeptida, yang terdiri dari
dari dua rantai ringan yang identik dan rantai berat yang identik pula.
IgG membentuk struktur yang fleksibel menyerupai huruf “Y”. Setiap
rantai dari keempat rantai yang ada mempunyai bagian variabel (V)
pada ujung asam amino penyusunnya yang berfungsi sebagai sisi
ikatan dengan antigen. Di samping bagian variabel pada setiap rantai
ada bagian konstan (C) yang menentukan isotipe. Isotipe dari rantai
berat menentukan fungsi dan sifat suatu antibodi. Rantai ringan
berikatan dengan rantai berat dengan ikatan non-kovalen dan dengan
ikatan disulfida. Bagian V dari rantai berat dan ringan membentuk
pasangan yang menyusun kedua lengan antibodi sebagai sisi ikatan
antigen yang terletak pada ujung lengan ”Y”. Dua lengan yang
dimiliki molekul imunoglobulin memungkinkan terjadinya ikatan
silang pada antigen (cross-link) dan dapat mengikat antigen lebih
stabil. Bagian badan dari ”Y”, atau fragmen Fc tersusun atas domain
carboxy-terminal dari rantai berat. Bagian lengan dan badan dari
molekul imunoglobulin dihubungkan dengan bagian yang sangat
fleksibel yang disebut bagian hinge. Fragmen Fc dan bagian hinge
berbeda untuk setiap isotipe sehingga fungsinyapun berbeda. Namun
demikian semua antibodi mempunyai kemiripan struktur, dimana
setiap antibodi mempunyai bagian-bagian yang sama walaupun ada
perbedaan pada beberapa urutan asam amino.
47
Domain rantai ringan C
Domain rantai ringan V
N-terminal
C-terminal
strand β
strand β
ikatan disulfida
Penyusunan strand β
ikatan disulfida
ikatan disulfida
Gambar 29. Domain konstan dan variabel imunoglobulin. Panel atas
menunjukkan skema pelipatan struktur domain konstan (C) dan variabel (V)
rantai ringan. Setiap domain berupa struktur berbentuk silinder dimana rantai
polipeptida (strand β) bergerak dengan arah berlawanan (antiparallel) terpaket
bersama membentuk dua lembar β (ditunjukkan dengan warna kuning dan hijau
pada diagram domain C) yang dilekatkan bersama dengan ikatan disulfida. Cara
rantai polipeptida melipat untuk membentuk struktur akhir dapat dilihat lebih
jelas ketika lembar dibuka seperti yang terlihat pada panel bawah. Strand β
diurutkan dengan abjad berdasarkan susunan urutan asam amino pada domain.
Susunan setiap lembar β bersifat unik untuk setiap domain imunoglobulin.
Strand β C’ dan C” ada pada domain V dan tidak ada pada domain C.
Karakteristik susunan empat-strand plus tiga-strand (tipe domain C) dan empatstrand plus lima-strand (tipe domain V) merupakan model dasar pembentuk
domain imunoglobulin, yang ditemukan pada seluruh protein penyusun
antibodi maupun reseptor sel T.
48
Interaksi Antibodi Dengan Antigen.
Sebelumnya telah dijelaskan struktur molekul antibodi dan
bagaimana bagian V dari rantai ringan dan berat melipat dan
berpasangan untuk membentuk sisi ikat antigen. Dalam bab ini akan
dijelaskan berbagai macam cara antigen berikatan dengan molekul
antibodi dan sekaligus menjawab pertanyaan bagaimana variasi urutan
domain V dari antibodi dapat menentukan antigen spesifik. Bagian V
dari molekul antibodi berbeda satu sama lain. Namun keragaman
urutan asam amino dari bagian V molekul antibodi tidak terjadi pada
seluruh segmen V, tetapi terfokus pada bagian tertentu dari domain
itu. Distribusi asam amino pada daerah variabel dapat diamati pada
variability plot yang diilustrasikan pada Gambar 26. Pada gambar
tersebut urutan asam amino dari berbagai macam antibodi
dibandingkan. Tiga segmen yang berbeda dari daerah variabel yang
berasal dari domain VL dan VH dapat diidentifikasi. Segmen tersebut
ditunjukkan dengan daerah hipervariabel dan dinotasikan dengan
HV1, HV2, dan HV3. Pada rantai ringan hipervariabel itu berasal dari
residu urutan asam amino berturut-turut: 28-35, 49-59, dan 92-103.
Bagian domain yang paling banyak berubah-ubah adalah HV3. Bagian
domain V yang terletak di antara hipervariabel yang bersifat lebih
permanen dan tidak banyak berubah adalah bagian kerangka
(framework region). Pada setiap domain V ada empat bagian
kerangka yaitu FR1, FR2, FR3, dan FR4. Bagian kerangka
membentuk helaian β yang menyebabkan terbentuknya struktur
rangka pada domain, dimana urutan asam amino pada hipervariabel
berhubungan dengan tiga gelung pada tepi luar silinder β, yang
berdampingan pada domain yang melipat. Keragaman urutan asam
amino tidak saja terfokus pada tempat tertentu pada domain V, tetapi
juga terlokalisasi pada tempat tertentu pada permukaan molekul. Jika
domain VL dan VH berpasangan pada molekul antibodi, gulungan
hipervariabel dari masing-masing domain ikut bersama, membentuk
hipervariabel tunggal pada ujung lengan molekul antibodi.
Hipervariabel merupakan sisi ikat antigen (antigen-binding site/
ABS). Tiga gulungan hipervariabel menentukan spesifikasi suatu
antigen pada molekul antibodi dengan cara membentuk
komplementer permukaan antigen yang dikenal dengan istilah
complementarity-determining region/CDR (CDR1, CDR2, dan
CDR3). CDR dari domain VL dan VH berkontribusi membentuk
49
ABS, sehingga kombinasi rantai berat dan ringan yang menentukan
spesifikasi terhadap antigen bukan salah satu rantai. Jadi, satu cara
sistem imun membentuk antibodi yang mempunyai spesifikasi yang
berbeda dengan cara membuat kombinasi yang berbeda pada rantai
ringan dan berat pada bagian V. Cara menghasilkan keragaman ini
dikenal dengan istilah combinatorial diversity.
Daerah V rantai ringan
Variabelitas
Variabelitas
Daerah V rantai berat
Gambar 30. Pada domain V terdapat daerah yang terpisah dari
hipervariabel. Perbandingan urutan asam amino yang berasal dari domain
rantai berat dan ringan menunjukkan adanya keragaman seperti yang terlihat
pada plot. Pada setiap posisi asam amino tingkat variabelitas (keragaman)
merupakan rasio perbedaan asam amino yang terlihat pada semua urutan
(sequence) terhadap frekuensi asam amino yang paling sering keluar. Tiga daerah
hipervariabel (HV1, HV2, dan HV3) diperlihatkan dan sering disebut
complementarity-determining region (CDR1, CDR2, dan CDR3). Daerah
tersebut diapit oleh daerah dengan keragaman rendah yang dikenal dengan
nama framework region (FR1, FR2, FR3, dan FR4).
50
Ikatan Antibodi:Antigen Melalui Kontak Dengan Asam Amino Pada
CDR, dan Tergantung Bentuk dan Ukuran Antigen.
Pada penemuan awal adanya ikatan antigen dengan antibodi,
satu-satunya sumber antibodi monoklonal adalah sel tumor yang
mensekresi antibodi. Antigen yang menyebabkan sel tumor
mensekresi monoklonal antibodi masih belum diketahui, sehingga
banyak sekali senyawa yang harus disekrining untuk mengidentifikasi
ligan yang dapat digunakan untuk mempelajari ikatan antigen. Secara
umum substansi yang ditemukan berikatan dengan antibodi adalah
hapten seperti fosforilkolin atau vitamin K1. Analisis struktur antara
ikatan komplek antibodi dengan ligan hapten menjadi bukti langsung
yang pertama bahwa hipervariabel membentuk antigen binding site
(ABS), dan menunjukkan dasar struktural adanya spesifikasi antara
antibodi dengan hapten-nya. Setelah penemuan pembuatan
monoklonal antibodi, sekarang memungkinkan membuat monoklonal
antibodi dengan berbagai macam spesifikasi untuk suatu antigen.
Penemuan-penemuan itu dapat menjelaskan dengan detail bagaimana
antibodi berinteraksi dengan antigen. Permukaan molekul antibodi
yang terbentuk dari CDR rantai ringan dan berat yang berdampingan
memunculkan terjadinya ABS. Urutan asam amino pada CDR
berbeda pada antibodi yang berbeda, sehingga struktur ABS pun
berbeda pada setiap antibodi yang berbeda. Secara umum diketahui
bahwa antibodi akan mengikat ligan yang mempunyai permukaan
komplementer dengan molekul antibodi itu, khususnya dengan ABS.
Antigen kecil seperti hapten atau peptida pendek umumnya
menempati celah antara domain V dari rantai ringan dan berat pada
molekul antibodi. Antigen lain contohnya molekul protein yang
ukurannya sama atau lebih besar dari antibodi itu sendiri tidak dapat
menempati celah yang ada pada ABS. Dalam hal ini molekul
pembentuk ABS yaitu VL dan VH memperluas permukaan melibatkan
seluruh CDR dan dalam hal tertentu mengubah kerangka antibodi.
51
Daerah V rantai ringan
Variabelitas
sisi ikat
antigen
(ABS)
Gambar 31. Hipervariabel terletak terpisah pada struktur daerah V.
Daerah hipervariabel yang berada pada struktur domain V dapat dilihat bahwa
hipervariabel terletak pada suatu tempat dengan struktur yang terlipat. Pada
molekul antibodi, pasangan rantai ringan dan berat masing-masing membawa
hipervariabel dan membentuk hipervariabel tunggal. Hipervariabel tunggal
inilah yang menyusun terjadinya antigen-binding site (ABS, sisi ikat antigen)
yang terletak pada ujung lengan molekul antibodi.
Antibodi Mengikat Permukaan Antigen.
Fungsi biologi antibodi adalah untuk mengikat patogen dan
produk yang dihasilkan patogen itu, dan untuk memfasilitasi
pembuangan material tersebut dari tubuh. Antibodi secara umum
mengenali bagian kecil saja dari molekul besar misalnya protein
maupun polisakarida. Struktur yang dikenali antibodi ini biasanya
disebut epitop atau antigenic determinant (AD). Beberapa patogen
mempunyai selubung polisakarida. Pengenalan antibodi terhadap
epitop yang berasal dari subunit gula sangat penting untuk melindungi
tubuh dari patogen itu. Banyak antigen yang berasal dari protein
52
dapat membangkitkan sistem imun yang menghasilkan antibodi.
Antibodi yang melawan virus mengenali protein selubung virus.
Dalam hal ini, struktur yang dikenali antibodi itu terletak pada
permukaan protein. Sisi yang dikenali antibodi itu tersusun dari asam
amino dari bagian yang berbeda pada rantai polipeptida itu. AD
seperti yang disebut di atas dikenal dengan istilah conformational atau
epitop diskontinyu, sebab struktur yang dikenali tersusun atas segmen
protein yang diskontinyu dalam urutan asam amino antigen namun
berada bersama pada struktur tiga dimensi. Sebaliknya epitop yang
tersusun oleh segmen tunggal rantai polipeptida disebut kontinyu atau
epitop liniar. Meskipun kebanyakan antibodi bekerja mengenali
antigen secara utuh, dan merupakan protein yang mengenali epitop
diskontinyu, namun beberapa hanya mengenali fragmen peptida
protein. Sebaliknya, antibodi yang bekerja pada peptida suatu protein
atau peptida sintetik yang mempunyai hubungan komplementer
dengan antibodi itu biasanya dapat berikatan dengan protein alami.
Sekarang telah mampu dibuat antibodi yang dibangkitkan dari peptida
sintetik dengan tujuan membuat vaksin untuk melawan patogen.
Gambar 32. Antigen dapat berikatan dengan antibodi pada lekuk atau
pada permukaan yang cukup luas pada ABS. Panel pada baris atas
menunjukkan skematik yang mewakili sisi ikat pada fragmen Fab suatu
53
antibodi: kiri berbentuk kantung, tengah berbentuk lekukan, dan kanan
berbentuk permukaan luas. Di bawahnya merupakan contoh masing-masing
tipe. Panel a: mewakili interaksi antigen peptida kecil dengan komplementer-nya
(CDR) yang ada pada fragmen Fab yang terlihat masuk pada ABS. ABS dilihat
dari posisi atas dan samping. Panel b: komplek antibodi:HIV, peptida berikatan
pada lekukan yang tersusun atas domain V dari rantai ringan dan berat. Panel c:
komplek antibodi HyHe15:lisozim putih telur. Permukaan molekul lisozim dilapisi
pada ABS. Secara keseluruhan enam CDR antibodi terlibat pada ikatan
komplek HyHe15:lisozim (sumber: Murphy, 2008).
Interaksi Antigen-Antibodi Melibatkan Banyak Energi.
Interaksi antara antibodi dengan antigennya dapat diganggu
dengan konsentrasi asam yang tinggi, pH ekstrim, detergen, dan juga
oleh kompetisi epitopnya sendiri. Ikatan antibodi dengan antigen
bersifat reversibel dan ikatannya berbentuk non-kovalen. Interaksi
elektrostatik terjadi antara rantai asam amino bermuatan, sebagai
bentuk jembatan garam. Interaksi juga terjadi antara muatan listrik
yang mempunyai dua kutup berbeda, seperti pada ikatan hidrogen,
atau dapat melibatkan ikatan van der Waals. Konsentrasi garam yang
tinggi dan pH yang ekstrim dapat mengganggu ikatan antigenantibodi dengan cara melemahkan interaksi elektrostatik dan atau
melemahkan ikatan hidrogen. Pengetahuan ini diperoleh pada
pemurnian antigen menggunakan antibodi yang diikat pada kolom,
atau sebaliknya pemurnian antibodi. Interaksi hidrofobik terjadi
ketika dua permukaan hidrofobik ada secara bersama-sama untuk
menghindari air. Kekuatan interaksi hidrofobik sebanding dengan
daerah permukaan yang tersembunyi dari air. Untuk beberapa
antigen, interaksi hidrofobik dapat menggambarkan besarnya energi
ikatan. Dalam suatu hal, molekul air terperangkap pada kantungkantung pada bidang pemisah antara antigen dan antibodi. Molekul
air yang terperangkap itu berkontribusi pada terjadinya ikatan antigenantibodi, terutama antara kutup residu asam amino. Kontribusi energi
pada keseluruhan interaksi sangat tergantung dengan antibodi dan
antigen yang terlibat. Perbedaan yang menyolok antara interaksi
antibodi:antigen dan interaksi protein:protein yang lain adalah bahwa
antibodi mempunyai banyak asam amino aromatik pada ABS-nya,
sedangkan pada interaksi protein:protein yang lain tidak demikian.
Asam amino aromatik ini terutama berperan pada interaksi van der
Waals dan hidrofobik, dan terkadang berperan pada ikatan hidrogen.
54
Secara umum, ikatan van der Waals dan hidrofobik bekerja pada
kisaran yang sangat pendek dan berperan untuk menarik secara
bersama dua permukaan molekul yang saling komplementer satu
sama lain. Jika yang satu merupakan celah yang lain harus bentukan
pengisi celah itu agar terjadi ikatan yang cocok. Sebaliknya, interaksi
elektrostatik antara sisi rantai yang bermuatan, dan ikatan hidrogen
yang menghubungkan atom oksigen dan atau nitrogen
mengakomodasi sifat khusus atau menghasilkan gugus reaktif dan
menguatkan interaksi antigen:antibodi.
Ikatan
kovalen
Gaya
non- Asal
elektrostatik
Ikatan hidrogen
Gaya tarik antar muatan
yang berbeda
Hidrogen dipakai bersama
di
antara
atom
elektronegatif (N, O)
Gaya van der Fluktuasi awan elektron di
sekitar
molekul
Waals
mempolarisasi atom-atom
di dekatnya pada arah yang
berlawanan
Gaya hidrofobik Golongan
hidrofobik
berinteraksi sangat lemah
dengan air dan cenderung
untuk mengumpul dan
menolak molekul air. Gaya
tarik guga melibatkan gaya
van der Waals.
Gambar 33. Ikatan non-kovalen yang menggabungkan komplek
antigen:antibodi. Sebagian besar ikatan antigen:antibodi menggunakan tenaga
van der Waals. Ikatan kovalen tidak pernah terjadi antara antigen dengan
antibodi alami. Ikatan kovalen antigen:antibodi hanya terbentuk setelah adanya
modifikasi molekul antibodi.
55
Pada peristiwa ikatan lisozim dari putih telur dengan antibodi
D1.3, ikatan hidrogen yang kuat terbentuk antara antibodi dan
glutamin yang menjulur antara domain VH dan VL. Lisozim dari ayam
hutan dan burung kalkun mempunyai asam amino pada glutamin
dengan tempat yang berbeda dan tidak dapat berikatan dengan
antibodi D1.3. Pada komplek lisozim putih telur dengan antibodi
HyHe15, dua jembatan garam antara dua basa arginin pada
permukaan lisozim berinteraksi dengan asam glutamat, salah satu
asam glutamat itu berasal dari gulungan VHCDR1 dan CDR2.
Lisozim yang tidak mempunyai satu dari dua macam arginin
menunjukkan afinitas 1000 kali lebih rendah dari lisozim yang
mempunyai kedua-nya. Meskipun adanya komplementer memegang
peranan sangat penting pada interaksi antigen:antibodi, interaksi
elekstrostatik dan ikatan hidrogen nampaknya menjadi penentu
afinitas antibodi. Pada antibodi yang telah dipelajari dengan seksama
menunjukkan bahwa hanya sedikit residu yang dapat memberikan
kontribusi utama pada energi ikatan.
rantai
berat
rantai
ringan
residu
glutamin
lisozim
56
Gambar
34.
Komplek
lisozim dengan antibodi
D1.3. Interaksi fragmen Fab
D1.3 dengan lisozim putih
telur ayam. Masing-masing
bagian ditunjukkan pada
gambar. Residu glutamin
menonjol antara dua domain
V dari ABS dan membuat
ikatan hidrogen yang penting
untuk
terjadinya
ikatan
antigen-antibodi
(sumber:
Murphy, 2008).
Analisis pada komplek antigen:antibodi menggunakan sinar X
–kristalografi
menunjukkan
bahwa
bagian
hipervariabel
(complementarity-determining regions) dari bagian V suatu imunoglobulin
menentukan spesifikasi antibodi. Molekul antibodi melakukan kontak
dengan antigen pada permukaan antigen yang membawa
komplementer antibodi itu. Interaksi elektrostatik, ikatan hidrogen,
gaya van der Waals, dan interaksi hidrofobik secara keseluruhan dapat
mendukung terjadinya ikatan antigen dan antibodi. Rantai asam
amino pada sebagian besar atau seluruh hipervariabel melakukan
kontak dengan antigen dan menentukan baik spesifikasi maupun
afinitas interaksi. Bagian lain dari V region memainkan peranan kecil
pada kontak langsung dengan antigen namun memberi kontribusi
atas stabilnya struktur kerangka hipervariabel di samping membantu
penentuan posisi dan konformasi hipervariabel itu. Antibodi
mengikat protein antigen pada permukaan protein melalui kontak
dengan residu yang diskontinyu pada struktur molekul protein
antigen itu. Antibodi juga dapat mengikat fragmen peptida yang
berasal dari digesti protein, sehingga dapat digunakan untuk
mendeteksi asal-usul protein. Peptida yang berikatan dengan antibodi
menempati celah di antara bagian V rantai ringan dan berat, dimana
peptida itu melakukan kontak dengan sebagian hipervariabel dan
tidak perlu seluruh hipervariabel terlibat. Model di atas juga berlaku
untuk mengikat antigen yang berupa karbohidrat dan molekul kecil
seperti hapten. Ikatan antibodi dengan antigen pada aspek biologi
mahluk hidup ditujukan untuk membantu eliminasi patogen yang
menginfeksi.
Pengenalan Antigen oleh Sel T.
Tidak seperti imunoglobulin yang dapat berinteraksi dengan
patogen dan juga bahan toksik yang dihasilkannya pada daerah
ekstraselluler, sel T hanya dapat mengenali antigen asing yang telah
dipresentasikan pada permukaan sel. Antigen itu dapat berasal dari
virus patogen atau bakteri intraselluler yang melakukan replikasi di
dalam sel. Antigen juga dapat berasal dari patogen atau produk dari
potogen yang telah diinternalisasi sel dengan mekanisme endositosis.
57
Sel T dapat mendeteksi adanya patogen intraselluler setelah sel yang
terinfeksi mempresentasikan fragmen peptida asing yang berasal dari
protein patogen. Peptida asing ini diangkat ke permukaan sel oleh
glikoprotein yang merupakan molekul khusus pada host yang
fungsinya telah terspesialisasi. Glikoprotein ini disandi oleh gen yang
sangat panjang yang pertama kali teridentifiaksi pada transplantasi
organ. Glikoprotein ini mempunyai efek sangat kuat pada reaksi
imunitas pada kasus transplantasi organ. Oleh karena itulah gen
penyandi itu dinamakan major histocompatibility complex (MHC),
dan glikoprotein yang mengikat peptida itu disebut molekul MHC.
Pengenalan antigen dalam bentuk fragmen peptida kecil yang terikat
oleh molekul MHC dan dipresentasikan pada permukaan sel
merupakan ciri khusus yang dimiliki sel T dan tidak pada sel B. Sel T
mempunyai reseptor (TCR~T cell receptor) yang sangat besar
variasinya sehingga sel T dapat diandalkan perannya dalam membantu
eliminasi berbagai macam patogen. Struktur gen yang menyandi TCR
mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan gen yang menyandi
molekul antibodi. Namun demikian ada perbedaan yang sangat
penting antara TCR dan imunogobulin yang terefleksi pada cara
pengenalan antigen oleh TCR, dan TCR tidak pernah menjadi
molekul efektor sebagaimana yang terjadi pada molekul
imunoglobulin.
Reseptor Antigen Sel T Mirip Fragmen Fab Pada Imunoglobulin.
Reseptor sel T pertama kali diidentifikasi dengan antibodi
monoklonal yang mengikat satu macam klon sel T dan tidak mengikat
klon yang lain. Antibodi itu dapat menghambat secara spesifik
pengenalan antigen oleh klon itu, atau antibodi itu secara spesifik
mengaktifkan klon tersebut. Antibodi dapat digunakan untuk
menentukan fungsi protein tertentu yang telah dibentuk dari hasil
ekspresi suatu gen. Dalam hal ini diketahui bahwa beberapa antibodi
dapat bersifat sebagai agonist, artinya ketika antibodi berikatan
dengan molekul targetnya akan terjadi perubahan konformasi pada
ikatan itu sehingga terbentuk signal transduksi yang mengaktifkan gen
58
sehingga terjadi transkripsi dan selanjutnya translasi. Contoh antibodi
agonist ini adalah anti-CD3. Ikatan anti-CD3 terhadap molekul CD3
dapat digunakan untuk mengaktifkan sel T, yaitu berperan mengganti
interaksi TCR dengan MHC:peptida, apabila peptida spesifik itu tidak
diketahui. Sebaliknya, antibodi dapat bersifat sebagai antagonist, yaitu
menghambat terjadinya ikatan reseptor dengan ligannya, karena
reseptor yang pada keadaan normal akan berikatan dengan ligannya
telah diblok oleh antibodi itu dengan ikatan yang spesifik. Ikatan
antibodi pada reseptor ini dapat menghambat fungsi alami
ligan:reseptor. Antibodi dengan berbagai macam sifat ini (clonotypic)
akhirnya dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa setiap sel T
mempunyai TCR kurang lebih sebanyak 30.000 molekul yang presis
sama pada permukaan sel. Setiap reseptor terdiri dari dua rantai
polipeptida yang berbeda yakni T-cell receptor α (TCRα) dan β (TCRβ)
yang dihubungkan dengan ikatan disulfida. Heterodimer α:β
mempunyai struktur yang sangat mirip dengan fragmen Fab molekul
imunoglobulin dan berperanan sebagai molekul pengenalan antigen
pada sebagian besar sel T. Ada grup kecil sel T yang memiliki
reseptor dengan rantai yang berbeda dengan heterodimer α:β. Rantai
tersebut berupa polipeptida yang ditandai dengan γ dan δ. Reseptor
sel T yang berupa γ:δ mempunyai sifat pengenalan antigen yang
berbeda dengan TCR α:β, dan fungsi sel T yang membawa reseptor
γ:δ belum semuanya diketahui. Pada buku ini istilah TCR terkait
dengan heterodimer α:β, kecuali secara khusus disebutkan γ:δ. TCR
mempunyai perbedaan dengan imunoglobulin yang ada pada
membran sel B. TCR hanya memiliki satu sisi ikat antigen, sedangkan
reseptor sel B (BCR, B-cell receptor) mempunyai dua sisi ikat antigen.
Perbedaan lain adalah bahwa TCR tidak pernah disekresikan
sedangkan BCR disekresikan dalam bentuk antibodi. Pengkajian
struktur dan fungsi TCR α:β berasal dari studi cDNA yang menyandi
rantai TCR α:β. Urutan asam amino yang diprediksi dari cDNA yang
menyandi TCR α:β menunjukkan dengan jelas bahwa kedua rantai α
dan β mempunyai bagian variabel (V) yang homolog dengan domain
V yang ada pada rantai imunoglobulin. Rantai α:β juga mempunyai
daerah konstan (C) yang homolog dengan domain C yang ada pada
59
rantai imunoglobulin di samping terdapat bagian hinge pendek yang
terdiri dari residu sistein penyusun ikatan disulfida. Setiap rantai α:β
menancap pada lipid bilayer dengan domain protein transmembran
yang bersifat hidrofobik dan rantai (ekor) yang menembus sampai
sitoplasma. TCR dalam bentuk tiga dimensi telah ditemukan. Struktur
TCR pada dasarnya sama dengan fragmen Fab pada molekul
antibodi. Lipatan rantai TCR mempunyai pola yang sama dengan
fragmen Fab pada imunoglobulin meskipun pada akhirnya
strukturnya nampak lebih pendek dan lebih luas. Namun ada
perbedaan pada TCR dengan fragmen Fab. Perbedaan yang paling
jelas antara keduanya bahwa pada TCR domain Cα tidak melipat
sebagaimana yang terjadi pada rantai imunoglobulin. Separuh domain
yang sejajar dengan domain Cβ membentuk alas β sama seperti yang
terdapat pada imunoglobulin, namun separuh domain yang lain
terbentuk dari gulungan yang renggang dan segmen α heliks yang
pendek. Ikatan disulfida intramolekul yang pada imunoglobulin
normalnya menggabungkan dua strand β, pada domain Cα
menggabungkan strand β pada segmen α heliks.
Infeksi.
Penyakit infeksi hanya akan terjadi apabila pertahanan
pertama (pertahanan innate) tidak dapat mengatasi patogen yang
masuk. Tubuh kita selalu terpapar oleh mikroorganisme yang berada
pada lingkungan kita di samping patogen yang telah ada di dalam
tubuh akibat infeksi sebelumnya. Sel-sel epitel baik eksternal maupun
internal merupakan tempat bertemunya agen penginfeksi pada tubuh
kita. Mukosa sepanjang saluran pernafasan merupakan jalan masuk
mikroorganisme akibat adanya kontaminasi udara yang kita hirup.
Mukosa pada saluran pencernakan merupakan jalan masuk
mikroorganisme yang berada pada makanan maupun air yang kita
minum. Adanya luka dan gigitan serangga memungkinkan terjadinya
penetrasi mikroorganisme melalui kulit. Demikian juga sentuhan
langsung antar individu juga memberikan peluang terjadinya infeksi
melalui kulit maupun alat reproduksi.
60
Rute masuk
Rute Infeksi Patogen
Cara
Patogen
penyebaran
Penyakit
Partikel
Virus
terhidup oleh Influenza
Neisseria
pernafasan
Influenza
Meningococca
l meningitis
Permukaan Mukosa
Lintasan Udara
miningitidis
Sistem
pencernakan
Sistem reproduksi
Epitel eksternal
Permukaan luar
Luka dan lecet
Gigitan serangga
Air atau makanan
yang
terkontaminasi
Kontak fisik
Salmonela
typhi
Rotavirus
Treponema
palium
Tipus
Diarrhea
Kontak fisik
Lecet
kecil
kulit
Luka tertusuk
Menangani
hewan
terinfeksi
Gigitan
nyamuk (Aedes
aegypti)
Gigitan
serangga
Gigitan
nyamuk
(Anopheles)
Tinea pedis
Bacillus
anthracis
Clostridium
tetani
Pasteurella
tularensis
Flavivirus
Athlete’s foot
Anthrax
Tetanus
Tularemia
Borrelia
burgdorferi
Syphilis
Demam
kuning
Penyakit lyme
Malaria
Plamodium
spp
Gambar 35. Patogen dapat menginfeksi melalui berbagai macam rute.
Pada kenyataannya walaupun tubuh kita selalu terpapar oleh
berbagai macam mikroorganisme kejadian infeksi sangat jarang. Hal
ini menunjukkan bahwa sel-sel epitel tubuh merupakan penghalang
yang efektif terhadap masuknya mikroorganisme. Apabila sel-sel
epitel mengalami luka, sel-sel tersebut akan segera terganti dengan
61
cepat. Faktor lain yang menyebabkan rendahnya terjadi penyakit
infeksi adalah berjalannya imunitas innate jika invader berhasil
menerobos masuk jaringan. Rendahnya terjadinya infeksi ini
menunjukkan betapa besar jumlah patogen yang tereliminasi setiap
saat pada tubuh kita. Apabila patogen yang berhasil masuk pada
tubuh kita sangat kuat atau sangat banyak akan memungkinkan
patahnya pertahanan innate dan akan terjadi infeksi yang bersifat lokal
dan selanjutnya bisa menyebar ke tempat lain. Penyebaran patogen
selalu menimbulkan respon inflamasi yang disertai perekrutan sel-sel
imunokompeten di samping molekul-molekul efektor yang berguna
untuk tujuan eliminasi patogen itu. Imunitas innate yang diinduksi
oleh suatu patogen akan berlangsung selama beberapa hari dan dapat
mulai bekerja beberapa menit setelah patogen masuk, sedangkan
imunitas adaptif akan dimulai saat antigen dipresentasikan pada
daerah limfoid periferal misalnya pada lymph node dan spleen.
Imunitas adaptif bersifat spesifik, artinya setiap klone sel tertentu
hanya bertanggung jawab pada satu macam antigen. Imunitas adaptif
merupakan pertahanan yang sangat penting karena menyisakan sel-sel
memori yang sangat berguna apabila pada waktu yang berbeda terjadi
infeksi lagi oleh patogen yang sama. Sel-sel memori mempunyai
respon yang sangat kuat dan cepat terhadap invader yang pernah
datang sebelumnya, sehingga mampu mengatasi invader dalam jumlah
yang besar.
62
PELEKATAN PADAEPITEL
INFEKSI LOKAL, PENETRASI
PADA EPITEL
INFEKSI LOKAL PADA
JARINGAN
IMUNITAS ADAPTIF
PERLINDUNGAN TERHADAP INFEKSI
Flora normal
Faktor kimia lokal
Fagosit (terutama pada paru)
Penyembuhan luka diinduksi
Protein dan peptida
antimikrobia, fagosit, dan
komplemen menghancurkan
mikroorganisme yang
menginfeksi
Aktivasi sel T
Komplemen
Fagosit, sitokin, sel NK
Aktivasi makrofag
Sel dendritik bermigrasi ke
lymph node untuk
memulai imunitas adaptif
Agen penginfeksi
dibersihkan oleh antibodi
spesifik, aktivasi makrofag
oleh pengaruh sel T dan
sel T killer
Gambar 36. Infeksi dan responnya dapat dibagi menjadi beberapa
tahapan. Pada gambar ini diilustrasikan mikroorganisme penginfeksi yang
masuk melalui luka pada kulit. Agen penginfeksi pertama kali harus melekat
pada sel epitel dan menembus sel itu. Sistem imun innate lokal dapat mencegah
invader menetap ditempat itu dengan cara mengeliminasi. Imunitas innate juga
dapat menahan penginfeksi. Imunitas innate dapat membawa agen penginfeksi
menggunakan sel dendritik dan masuk pada lymph node terdekat. Sesampainya
sel dendritik yang membawa agen penginfeksi pada lymph node, akan terjadi
inisiasi imunitas adaptif yang berakhir dengan pembersihan host dari agen
penginfeksi. Peranan sel T γδ pada mekanisme ini belum terjelaskan.
Garis Pertahan Pertama.
Sel-sel epitel yang melapisi tubuh kita baik eksternal maupun
internal merupakan bagian yang sangat penting sebagai garis
pertahanan pertama. Sel-sel tersebut sebagai penghalang antara
lingkungan yang banyak mengandung patogen dengan jaringan yang
berada di bawah epitel itu. Sel-sel epitel satu dengan yang lain
dihubungkan oleh pengikat ”tight junction’ yang sangat kuat dan
rapat sehingga berfungsi sebagai penghalang yang kedap terhadap
lingkungan di luarnya. Sel epitel menyusun kulit dan seluruh organ
yang berongga (tubular), misalnya saluran pencernakan, saluran
pernafasan, dan saluran reproduksi. Infeksi hanya akan terjadi apabila
pertahanan pertama ini berhasil dipatahkan oleh agen patogen. Kulit
kita berupa permukaan yang kering dan memiliki keratin yang kedap
sehingga relatif kuat menghalangi masuknya agen-agen patogen. Pada
umumnya agen-agen patogen masuk dan menginfeksi tubuh melewati
63
epitel internal dan luka pada permukaan kulit. Pentingnya epitel
sebagai sistem pertahanan dapat dilihat dari kejadian luka bakar dan
luka operasi. Pada dua kejadian ini infeksi bahkan sepsis menjadi
penyebab utama mortalitas dan morbiditas (kematian dan
penderitaan). Dalam keadaan normal tanpa luka, pada umumnya
patogen menembus sel epitel dengan berikatan dengan molekul di
permukaan sel epitel internal. Ikatan yang spesifik antara patogen
dengan molekul yang ada di permukaan sel epitel internal
memungkinkan patogen menginfeksi sel epitel itu bahkan
merusaknya sehingga sel-sel epitel sebagai pertahanan pertama dapat
dijebol. Pada patogen yang telah membuat koloni, ikatan patogen
dengan molekul permukaan sel epitel mencegah tersapunya patogen
baik oleh udara maupun cairan yang melewati permukaan epitel itu.
Sel-sel epitel internal dikenal dengan dengan sebutan mucosal epitelia
sebab sel-sel tersebut mensekresikan mucus yaitu suatu cairan yang
kental dan lengket. Mucus mengandung bermacam-macam
glikoprotein yang disebut mucin. Pada dasarnya kesempatan
mikroorganisme untuk mengadakan penetrasi pada epitel internal ini
sangat kecil karena mucus akan menyelubungi mikroorganisme itu,
dan pada saluran pernafasan mikroorganisme dapat disapu oleh
mucus yang digerakkan dengan kuat oleh silia sel epitel. Diri kita telah
didesain sangat sempurna oleh Allah, Tuhan seluruh makhluk. Hanya
orang yang paling celaka yang mengingkari desain yang teramat
sempurna ini. Bersin merupakan satu contoh agar mikroorganisme
yang berada di permukaan epitel internal tidak berhasil mengadakan
penetrasi melalui ikatan molekul permukaan. Kontraksi mendadak
pada proses bersin akan memukul keluar atau melepaskan
mikroorganisme yang berusaha mengadakan ikatan dengan sel epitel
internal. Pentingnya cairan mucus dalam membersihkan agen-agen
penginfeksi dapat diketahui pada individu yang kehilangan
kemampuan memproduksi mucus maupun lemahnya pergerakan silia.
Individu semacam itu akan menunjukkan fakta mudahnya terjadi
infeksi pada paru-paru oleh bakteri yang mengadakan koloni pada
permukaan sel-sel epitel. Pada usus gerakan peristaltik tidak saja
penting untuk menggerakkan makanan namun juga untuk
menghindari ikatan mikroorganisme secara konstan dan bahkan
menggiring agen-agen penginfeksi keluar. Apabila gerakan peristaltik
64
ini sangat lemah bakteri pada daerah lumen akan mengalami
perkembangan sangat pesat dan memperbesar peluang terjadinya
infeksi pada saluran pencernakan. Permukaan sel epitel tidak saja
merupakan penghalang fisik bagi agen-agen penginfeksi, namun selsel tersebut juga mensekresi substansi kimia yang bersifat
antimikrobia atau mampu menghambat perkembangan bakteri.
Enzim lisosom merupakan enzim antibakteri yang disekresi oleh
kelenjar salifa dan kelenjar air mata. Lambung yang mempunyai
kondisi keasaman dengan pH yang sangat rendah demikian juga alat
pencernakan bagian atas dapat dijadikan penghalang terjadinya suatu
infeksi. Sel Paneth yang terletak pada dasar crypt pada usus halus
menghasilkan antibakteri dan anti jamur yaitu cryptidin atau αdefensin. Sel Paneth tepatnya berada di bawah epithelial stem cells.
Antimikrobia lain yang berupa peptida, β-defensins, dibuat pada
epitel lain, terutama pada kulit dan sepanjang saluran pernafasan.
Peptida antimikrobia mempunyai peranan pada sistem pertahanan,
termasuk imunitas pada gigitan serangga. Peptida-peptida yang
disebut di atas umumnya bersifat kation yang dapat membunuh
bakteri dengan merusak membran sel. Tipe antimikrobia lain dapat
berupa protein yang disekresi ke dalam cairan yang melapisi
permukaan epitel pada paru-paru. Cairan tersebut berisi dua macam
protein yakni protein A dan D yang mampu berikatan dan melingkupi
patogen. Pengikatan dan pelingkupan patogen tersebut memudahkan
kerja makrofag untuk memfagositnya. Makrofag umumnya
meninggalkan jaringan subepitelial dan masuk alveoli paru-paru.
Penyelubungan partikel dengan protein untuk memfasilitasi proses
fagositosis disebut opsonisasi. Selain pertahanan yang telah disebutkan
sebelumnya, kebanyakan permukaan epitelial bersentuhan dengan
flora non-patogen yang berkompetisi dengan mikroorganisme
patogen dalam perolehan nutrisi maupun domisili pada permukaan
sel. Flora normal dapat menghasilkan zat antimikrobia seperti
colicins berupa protein yang diproduksi oleh Escherichia coli. Colicins
melindungi permukaan sel dari pembentukan koloni oleh bakteri lain.
Apabila bakteri non-patogen mati akibat pengaruh antibiotika, maka
bakteri patogen akan menggantikan posisinya dan menimbulkan
penyakit.
65
Peranan Epitel Sebagai Penghalang Infeksi
Mekanik
Sel epitel disatukan dengan tight juction
Aliran udara dan cairan menembus epitel
Pergerakan mukus oleh silia
Kimia
Asam lemak (kulit)
Enzim: Lisosom (saliva, keringat, air mata)
pepsin (usus)
Peptida antibakteri; defensin (kulit, usus);
cryptidins (intestin)
Mikrobiologi
Flora normal berkompetisi dengan bakteri
patogen untuk memperoleh makanan dan
melekat pada epitel dan dapat menghasilkan
substansi antibakteri
Gambar 37. Permukaan epitel merupakan pelindung mekanik, kimia, dan
penghalang langsung bagi agen penginfeksi.
Fagositosis.
Makrofag akan segera mengenali mikroorganisme yang
berhasil menembus epitel. Makrofag umumnya menempati jaringanjaringan dan segera mengeliminasi mikroorganisme yang berusaha
mengadakan penggandaan. Makrofag merupakan bentuk dewasa
monosit yang meninggalkan sirkulasi darah dan menempati jaringanjaringan di seluruh tubuh. Makrofag ditemukan dalam jumlah yang
banyak pada jaringan-jaringan pengikat, terutama pada alat
pencernakan, interstitium dan alveoli paru-paru, sepanjang pembuluh
darah tertentu pada hati yang dikenal dengan nama sel Kupffer, pada
seluruh jaringan limpa yang berperan untuk menghancurkan sel darah
yang sudah tua. Makrofag dikenal sebagai fagosit mononuklear.
Fagosit kedua yang sangat penting adalah neutrofil. Neutrofil
merupakan fagosit polimorfonuklear yang mempunyai umur pendek
dan sangat besar jumlahnya pada darah namun tidak ditemukan pada
jaringan individu normal. Baik makrofag maupun neutrofil keduaduanya sangat penting pada imunitas innate karena keduanya dapat
melakukan pengenalan nonspesifik, menelan, dan menghancurkan
patogen tanpa memerlukan bantuan sistem imunitas adaptif.
Makrofag merupakan sel pertahanan yang pertama kali bertemu
antigen pada suatu jaringan namun segera diperkuat dengan
rekrutmen neutrofil dalam jumlah besar pada sisi infeksi.
66
Makrofag dan neutrofil mengenali patogen dengan
menggunakan reseptor pada permukaan sel yang dapat membedakan
antara antigen asing dan self-antigen. Reseptor mannosa yang
terdapat pada makrofag tidak terdapat pada monosit atau neutrofil.
Reseptor scavenger yang mengikat ligan-ligan bermuatan dan CD14
yang merupakan reseptor lipopolysacharide (LPS) bakteri ditemukan
baik pada makrofag maupun monosit. Patogen dapat berinteraksi
dengan makrofag dan neutrofil melalui reseptor komplemen yang
berada pada kedua sel tersebut. Sistem komplemen dapat teraktivasi
dengan cepat oleh adanya infeksi dan membentuk protein
komplemen yang berfungsi mengopsonisasi patogen yang masuk
jaringan. Ligasi reseptor permukaan yang berada pada permukaan sel
fogosit dengan patogen menyebabkan terjadinya proses fagositosis
yang diikuti kematian patogen akibat reaksi enzim proteolitik.
Fagositosis merupakan proses aktif, dimana patogen yang terikat
segera dikelilingi oleh membran sel fagosit dengan penjuluran
sitoplasma dan segera diinternalisasi ke dalam vesikel bermembran
yang disebut fagosom. Di samping bersifat fagosit makrofag dan
neutrofil mempunyai granula lisosom yang berisi enzim, protein, dan
peptida yang memperantarai respon antimikrobia intraselluler.
Fagosom dapat mengadakan fusi dengan beberapa lisosom
membentuk fagolisosom. Pada fagolisosom ini kandungan lisosom
dikeluarkan untuk menghancurkan patogen. Selama proses
fagositosis, makrofag dan neutrofil menghasilkan molekul toksik
untuk membantu pembunuhan mikroorganisme yang ditelan oleh selsel tersebut. Molekul toksik yang paling penting adalah hidrogen
peroksida (H2O2), anion superoxide (O2-), dan nitric oxide (NO), yang
langsung meracuni bakteri. Produk-produk toksik tersebut dihasilkan
oleh oksidasi NADPH yang berada pada lisosom dan enzim lain
melalui proses yang disebut respiratory burst. Peristiwa ini diikuti
dengan melonjaknya konsumsi oksigen. Neutrofil merupakan sel yang
mempunyai umur pendek, dan segera mati setelah melakukan
fagositosis. Neutrofil yang mati ini merupakan bagian terbesar pada
nanah yang terbentuk selama infeksi. Sebaliknya makrofag,
merupakan sel yang mempunyai masa hidup panjang dan selalu
membentuk lisosom baru setelah menyelesaikan fagositosis.
Seseorang yang cacat genetik dimana tidak mempunyai kemampuan
mengoksidasi NADPH maka sel fagosit orang tersebut tidak dapat
membentuk zat toksik/racun yang berasal dari modifikasi oksigen.
67
Sebagai konsekuensinya sel fagosit tidak mampu membunuh
mikroorganisme yang ditelan dan tidak dapat mengeliminasi patogen.
Seseorang dengan kondisi genetik tersebut sangat rentan pada infeksi
baik bakteri maupun jamur, terutama pada bayi. Makrofag dapat
merespon dengan cepat mikroorganisme yang masuk, dan hal ini
sangat penting untuk menghindari menetapnya patogen. Sejak awal
perkembangan imunologi para ilmuwan percaya bahwa makrofag
berperan pada setiap sitem pertahanan. Saat ini lebih jelas bahwa
invertebrata seperti bintang laut hanya menggunakan makrofag
sebagai sistem pertahanan untuk melawan infeksi. Walaupun kejadian
yang ada pada invertebrata bukan permasalahan pada manusia
maupun vertebrata lain, namun membuktikan bahwa makrofag
merupakan respon innate yang menjadi pertahanan paling depan
untuk mengatasi invasi mikroorganisme pada suatu individu.
Makrofag mngekspresikan
reseptor untuk berbagai
konstituen bakteri
reseptor
manosa
Ikatan bakteri pada reseptor makrofag
menginisiasi sekresi sitokin dan
lipid yang memediasi inflamasi
mediator
Inflamasi (lipid)
reseptor LPS
(CD14)
kemokin
TLR-4
reseptor
glukan
sitokin
reseptor
scavenger
Makrofag menelan dan
mencerna bakteri
lisosom
fagolisosom
fagosom
Gambar 38. Makrofag yang menelan patogen dapat menginisiasi reaksi
inflamasi. Makrofag membawa bermacam-macam reseptor yang cocok untuk
berbagai komponen bakteri termasuk reseptor untuk karbohidrat yang dibawa
bakteri (reseptor manosa dan glukan), reseptor LPS (lipida), reseptor Toll
(TLR), dan reseptor scavenger. Ikatan bakteri dengan reseptor yang ada
menyebabkan terjadinya fagositosis. Signal dari reseptor Toll menyebabkan
tersekresinya sitokin proinflamasi seperti IL-1β, IL-6, dan TNF-α.
68
Mekanisme
Asidifikasi
Produk spesifik
pH= ~3.5 -4.0, bakteriostatik atau
bakteriosida
Produk toksik yang Superoksida O2-, hidrogen peroksida H2O2,
berasal dari oksigen
oksigen singlet 1 O •2 , radikal hidroksil OH • ,
OCl hipohalit
Nitrogen
oksida Oksida nitrit NO
toksik
Peptida antimikrobia Protein defensin dan kationik
Enzimatis
Lisozime yang melarutkan dinding sel
beberapa bakteri gram positif. Asam
hidrolase, menghancurkan bakteri
Kompetitor
Lactoferrin (mengikat Fe) dan protein yang
mengikat vitamin B12
Gambar 39. Agen anti bakteri (bakteriosida) diproduksi atau dilepaskan
oleh sel fagosit pada waktu mencerna mikroorganisme. Sebagian besar
agen bakteriosida dihasilkan oleh makrofag dan neutrofil. Beberapa agen
bakteriosida bersifat toksik, sedangkan yang lain contohnya lactoferrin, bekerja
dengan cara mengikat nutrisi essensial dan mencegah nutrien itu dikonsumsi
bakteri. Beberapa substansi dapat dilepaskan sel fagosit dan berinteraksi dengan
larva cacing parasit yang telah diselubungi antibodi dan juga berinteraksi dengan
jaringan host. Karena agen tersebut mampu berinteraksi dengan sel host dan
juga memberi efek toksik pada jaringan host, aktivasi sel fagosit dapat
menimbulkan kerusakan pada jaringan host selama proses infeksi.
Sifat utama yang membedakan mikroorganisme patogen
dengan non-patogen adalah kemampuannya menghadapi pertahanan
innate. Mikroorganisme patogen telah mengembangkan strategi untuk
menghindari penghancuran oleh makrofag. Banyak bakteri patogen
melindungi dirinya dengan kapsul tebal berupa polisakarida yang tidak
dikenal oleh reseptor fagosit. Mycobacteria mempunyai strategi untuk
hidup di dalam fagosom makrofag dengan cara menghalangi fusi
fagosom-lisosom. Apabila strategi untuk menghindari imunitas inate
tidak dimiliki oleh bakteri maka bakteri harus masuk ke dalam tubuh
dalam jumlah yang banyak untuk terjadinya infeksi. Hal yang sangat
penting jika terjadi interaksi makrofag dengan bakteri adalah
terjadinya aktivasi makrofag untuk mensekresi sitokin dan mediator
lain yang menginisiasi proses inflamasi. Patogen menjadi penyebab
69
terjadinya sekresi sitokin dengan adanya signal yang merambat dari
ikatan reseptor pada sel fagosit dengan antigen. Reseptor yang
memberikan signal adanya antigen dan menyebabkan sekresi sitokin
itu juga penting untuk membangkitkan ekspresi molekul kostimulator
pada makrofag dan sel dendritik. Sel dendritik termasuk sel fagosit
yang berada pada jaringan. Terekspresinya molekul kostimulator
memudahkan inisiasi imunitas adaptif. Sitokin yang dihasilkan
makrofag mempunyai kontribusi penting pada inflamasi lokal dan
respon imun non-adaptif beberapa hari setelah terjadinya infeksi.
Inflamasi.
Inflamasi merupakan kejadian penting pada sistem
pertahanan tubuh. Inflamasi mempunyai tiga peranan penting untuk
melawan infeksi. Pertama, inflamasi membantu rekrutmen molekulmolekul efektor dan sel-sel imunokompeten pada daerah yang
terinfeksi, sehingga memperbesar daya bunuh makrofag terhadap
mikroorganisme invader. Molekul efektor dapat berupa sitokin,
komplemen, maupun antibodi. Adanya molekul efektor terutama
antibodi dan komplemen akan mengefektifkan kerja sel fagosit
khususnya makrofag. Kedua, sebagai penghalang penyebaran infeksi,
dan ketiga untuk memacu perbaikan jaringan yang luka. Inflamasi
pada daerah infeksi dimulai dengan adanya respon makrofag terhadap
patogen. Inflamasi mempunyai ciri-cri antara lain: rasa sakit,
kemerahan, panas, dan membengkak pada daerah infeksi. Kejadian
tersebut merupakan refleksi tiga perubahan pembuluh darah pada
daerah yang terinfeksi itu. Pertama, bertambah besarnya diameter
vascular, sehingga meningkatkan aliran darah di daerah itu.
Berhubungan dengan membesarnya diameter vaskuler dan aliran
darah yang cepat menyebabkan panas dan kemerahan. Kejadian ini
akan menurunkan kecepatan aliran darah pada pembuluh darah kecil.
Kedua meningkatnya ekspresi molekul adhesi pada sel endotel
pembuluh darah. Peningkatan ekspresi molekul adhesi pada sel-sel
endotel memudahkan melekatnya sel-sel leukosit menempel pada
dinding-dinding endotel. Kombinasi antara ekspresi molekul adhesi
dan lambatnya aliran darah pada pembuluh kecil memberi
kesempatan leukosit menempel pada sel endotel dan bermigrasi
masuk jaringan yang terinfeksi, proses ini dikenal dengan extravasation.
Semua perubahan tersebut dimulai oleh sitokin yang diproduksi oleh
70
makrofag yang mengalami aktivasi. Apabila inflamasi telah terjadi, sel
yang pertama kali terekrut ke daerah inflamasi adalah neutrofil.
Neutrofil diikuti oleh monosit, dan setelah berada di dalam jaringan,
monosit akan segera berdiferensiasi menjadi makrofag. Pada tahap
berikutnya sel darah putih yang lain seperti eosinofil dan sel-sel
limfosit juga masuk ke daerah yang terinfeksi. Perubahan ketiga pada
pembuluh darah di daerah infeksi adalah peningkatan permeabilitas
vaskuler. Pada kejadian ini sel-sel endotel tidak lagi saling berikatan
kuat satu sama lain, melainkan saling renggang satu sama lain
sehingga cairan dan protein dalam darah akan keluar pembuluh dan
terakumulasi pada jaringan. Hal ini menimbulkan bengkak (adema),
rasa sakit, dan terjadi akumulasi protein plasma yang membantu
sistem pertahanan. Perubahan di atas diinduksi oleh berbagai faktor
inflamasi yang diproduksi akibat pengenalan suatu patogen. Di antara
faktor inflamasi itu ada yang berupa lipid yang dibentuk oleh
makrofag dengan cara degradasi membran fosfolipid. Degradasi
membran lipid dilakukan dengan mekanisme enzimatis. Lipid
tersebut meliputi leukotrienes, prostagladins, dan platelet activating factor
(PAF). Kerja lipid yang memacu inflamsi segera diikuti oleh sitokin
dan kemokin yang disintesis dan disekresi makrofag yang teraktivasi
oleh patogen. Salah satu sitokin yang diproduksi makrofag adalah
tumor-necosis factor-α (TNF- α) yang sangat penting peranannya
sebagai aktivator sel endotel. Pengenalan patogen juga memicu
terjadinya inflamasi melalui jalur komplemen. Salah satu substansi
penting yang dihasilkan setelah reaksi komplemen adalah C5a. C5a
merupakan peptida yang memperantarai terjadinya inflamasi dengan
berbagai macam aktivitas. C5a selain meningkatkan permeabilitas
vasculer dan ekspresi molekul adhesi juga berfungsi sebagai
chemoattractant untuk menarik neutrofil dan monosit, serta
mengaktifkan sel mast dan fagositosis. Pengaruh C5a terhadap sel-sel
tersebut mengakibatkan terjadinya pelepasan granula yang berisi
histamin dan TNF- α yang merupakan molekul penting pada proses
inflamasi. Apabila terjadi luka, maka pembuluh darah yang terluka
akan memicu dua sistem proteksi enzimatis. Pertama, sistem kinin,
yaitu sistem enzimatis pada protein plasma yang dipicu oleh
kerusakan jaringan sehingga terbentuk berapa mediator inflamasi
termasuk bradykinin yang merupakan vasoaktif peptida. Bradykinin
menyebabkan peningkatan permeabilitas membran vaskuler dan
71
menyebabkan influx/aliran protein plasma pada daerah yang terluka.
Kerja bradykinin juga menyebabkan rasa sakit, sehingga penderita
merasa tidak nyaman, dan bahkan menyebabkan bagian tubuh sulit
untuk digerakkan. Keadaan ini penting untuk menjaga agar
penyebaran agen penginfeksi dapat dibatasi. Kedua, sistem koagulasi,
yaitu sistem enzimatis pada enzim plasma yang dipicu oleh kerusakan
pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya penggumpalan
yang dapat menghalangi masuknya mikroorganisme ke dalam aliran
darah. Dua sistem di atas sangat penting pada respon inflamasi
terhadap patogen meskipun tidak terjadi luka pada jaringan, sebab
keduanya juga terpicu oleh aktivasi sel endotel. Dalam hitungan menit
setelah terjadinya penetrasi patogen pada jaringan, akan segera terjadi
respon inflamasi yang menyebabkan terjadinya aliran protein dan sel
yang berguna untuk mengontrol infeksi. Respon inflamasi itu juga
merupakan penghalang langsung bagi penyebaran infeksi dan
membuat host menyadari kejadian yang sedang berlangsung pada
tubuh.
Sistem Komplemen Dan Imunitas Innate.
Komplemen merupakan komponen plasma darah yang tidak
stabil oleh pemanasan. Komplemen membantu opsonisasi bakteri
oleh antibodi sehingga antibodi dapat membunuh bakteri. Pada
penemuan pertama, komplemen dianggap efektor yang merupakan
bagian mekanisme kerja antibodi, namun akhirnya diketahui bahwa
komplemen dapat diaktifkan pada awal terjadinya infeksi walaupun
tidak terdapat antibodi. Hal ini dapat diketahui pada percobaan
dengan model mencit RAG-/- yang tidak memiliki sel B. Saat ini sudah
terjelaskan bahwa komplemen merupakan bagian imunitas innate.
Sistem komplemen terdiri dari berbagai macam protein plasma yang
bereaksi satu sama lain untuk mengopsonisasi patogen. Sistem
komplemen ini akhirnya menginduksi inflamasi yang berguna untuk
melawan patogen. Komplemen ada yang berupa enzim protease yang
dapat teraktivasi dengan sendirinya melalui pemecahan secara
proteolitik. Enzim demikian ini disebut zimogen yang pertama kali
ditemukan pada usus. Enzim pencernakan misalnya pepsin, disimpan
di dalam sel dan disekresi dalam keadaan nonaktif
berupa
pepsinogen, dan hanya berubah menjadi pepsin pada lingkungan
asam pada lambung. Pada sistem komplemen, prekursor zimogen
72
terdistribusi luas pada seluruh cairan tubuh dan jaringan tanpa
menyebabkan kerugian. Pada daerah yang terinfeksi, prekursor
zimogen akan teraktivasi secara lokal dan memicu terjadinya
inflamasi. Sistem komplemen dapat aktif melalui serangkaian reaksi
enzimatis. Komplemen enzim yang telah aktif yang dibentuk dari
prekursor zimogen-nya akan bekerja pada substratnya yang berupa
zimogen lain, sehingga zimogen yang disebut terakhir dapat berubah
menjadi enzim yang aktif. Serangkaian proses ini terus belanjut,
sehingga membentuk jalur reaksi komplemen (complement pathway).
Dengan cara ini sejumlah kecil komplemen yang teraktivasi akan
mempunyai dampak besar karena diikuti serangkaian reaksi
komplemen berikutnya. Dalam tubuh terdapat mekanisme yang dapat
mengontrol aktivasi komplemen ini, meskipun belum sepenuhnya
diketahui. Sistem pembekuan darah merupakan contoh lain yang
merupakan hasil dari serangkaian reaksi enzimatis. Pada kasus ini,
luka yang terjadi pada dinding pembuluh darah akan menyebabkan
terbentuknya thrombus dalam jumlah yang sangat besar. Ada tiga
jalur berbeda yang memungkinkan komplemen dapat teraktifkan pada
permukaan patogen. Tiga jalur tersebut ditentukan oleh molekul yang
memulai aktivasi itu. Namun demikian hasil akhir dari tiga jalur itu
akan membentuk molekul efektor yang sama. Sistem komplemen
mempunyai tiga jalan dalam melawan infeksi. Pertama sistem
komplemen akan menghasilkan protein komplemen dalam jumlah
yang sangat besar yang berikatan secara kovalen dengan patogen,
mengopsonisasi patogen tersebut agar proses fagositosis oleh sel
fagosit yang mempunyai reseptor komplemen semakin mudah.
Kedua, fragmen kecil protein komplemen bertindak sebagai
chemoattractant untuk merekrut sel-sel fagosit di daerah dimana
komplemen mengalami aktivasi, dan juga mengaktifkan fagosit
tersebut. Ketiga, komplemen yang paling akhir dalam rangkaian
aktivasi mampu merusak bakteri tertentu dengan membuat lubang
pada membran bakteri.
Sistem komplemen merupakan satu paket protein plasma
yang bekerja bersama-sama untuk menyerang patogen ekstraselluler.
Aktivasi komplemen dapat terjadi secara spontan oleh rangsangan
patogen atau rangsangan antibodi yang berikatan pada patogen.
Mekanisme ini menyebabkan patogen terselubungi protein
komplemen yang memudahkan makrofag untuk menelan, atau
73
bahkan patogen dapat dibunuh secara langsung. Sistem komplemen
merupakan salah satu mekanisme penting pada sistem pertahanan
tubuh yang mengenali patogen penginfeksi. Ada tiga jalur aktivasi
komplemen: jalur klasik, dipacu langsung oleh patogen atau secara
tidak langsung dipacu oleh antibodi yang melekat pada permukaan
patogen; jalur MB-lektin; dan jalur alternatif yang dapat menyebabkan
amplifikasi dua jalur lainnya. Tiga jalur tersebut dapat teraktivasi
secara terpisah oleh antibodi yang berbeda sebagai bagian dari
imunitas innate. Kejadian pertama pada reaksi komplemen adalah
reaksi pemecahan dimana hasil pemecahan itu berupa molekul yang
berikatan secara kovalen dengan permukaan patogen dan mempunyai
kontribusi untuk mengaktifkan komplemen berikutnya. Jalur aktivasi
itu lebih efisien dengan adanya pembentukan enzim C3 konvertase,
yang memecahkan molekul C3 untuk menghasilkan C3b. Ikatan
sejumlah besar molekul C3b terhadap patogen merupakan kejadian
sentral pada aktivasi komplemen. Komponen komplemen yang
terikat pada permukaan patogen, terutama ikatan C3b pada patogen
dan bentuk fragmen inaktifnya, dikenali oleh reseptor komplemen
pada sel fagosit. Selanjutnya sel fagosit akan menelan patogen yang
diopsonisasi oleh C3b dan fragmen inaktifnya. Pecahan berupa
fragmen kecil dari molekul C3, C4, dan terutama C5, mempunyai
daya rekrut sel fagosit menuju daerah infeksi dan mengaktifkan sel
fagosit tersebut dengan cara berikatan pada reseptor spesifik yang
terletak pada fagosit. Reseptor tersebut tergabung pada protein G
yang akan memberikan signal aktivasi setelah adanya rangsangan yang
diterima dari fragmen complemen. C3b yang berikatan dengan C3
konvertase akan memulai tahap akhir reaksi, yaitu berikatan dengan
C5 agar lebih mudah dipecahkan oleh C2b atau Bb. Fragmen besar
C5b memicu serangkaian membrane attack complex yang memungkinkan
patogen tertentu mengalami lisis. Aktivasi komponen komplemen
diregulasi dengan sistem yang ketat untuk menjaga kerusakan jaringan
akibat salah sasaran pada sel host. Sistem regulasi juga memastikan
bahwa komponen komplemen pada plasma tidak teraktivasi spontan.
Dalam homeostasis yang normal aktivasi komponen komplemen
hanya terjadi jika tubuh dengan sengaja menghendaki terjadinya
aktivasi. Dewasa ini (tahun, 2009), sel T regulator khususnya
CD4+CD25+ ditengarahi sebagi regulator umum tingkat sel yang
memiliki peranan kuat untuk mengadakan supresi terhadap sel
efektor maupun molekul efektor yang tidak dikehendaki.
74
JALUR KLASIK
Komplek
antigen:antibodi
JALUR MB-LECTIN
Lektin berikatan dengan
permukaan patogen
JALUR ALTERNATIF
Permukaan
patogen
Aktivasi komplemen
Perekrutan sel-sel
inflamator
Opsonisasi
patogen
Pembunuhan
patogen
Gambar 40. Skematik reaksi komplemen. Ada tiga jalur aktivasi
komplemen. Pertama adalah jalur klasik, yang dipicu oleh antibodi atau oleh
ikatan langsung komplemen componen C1q pada permukaan patogen. Kedua
jalur MB-lektin yang dipicu oleh lektin yang mengikat mannan. Ketiga jalur
alternatif, yang dipicu secara langsung pada permukaan patogen. Semua jalur di
atas menghasilkan aktivitas enzim, yang pada gilirannya memunculkan molekul
efektor komplemen. Konsekuensi dari ketiga aktivitas jalur komplemen itu
adalah terjadinya opsonisasi patogen, perekrutan sel inflamator, dan
pembunuhan patogen secara langsung.
Komplemen Memberi Tanda Patogen Agar Dihancurkan Sel Fagosit.
Pada awal infeksi, serangkaian reaksi komplemen dapat
diaktivasi pada permukaan patogen dengan salah satu cara
sebagaimana dijelaskan di atas. Cara yang paling umum yang disebut
classical pathway (jalur klasik) adalah terjadinya ikatan C1q pada
permukaan patogen. C1q merupakan protein pertama yang teraktivasi
pada sistem komplemen. C1q dapat pula diaktifkan pada mekanisme
imunitas adaptif dengan mekanisme ikatan C1q dengan
antibodi:antigen komplek. Sistem komplemen dapat dikatakan kunci
penghubung antara imunitas innate dan imunitas adaptif. Mannanbinding lectin pathway (MB-lektin pathway) dimulai ketika lectin
(lektin) yang merupakan protein serum berikatan dengan karbohidrat
yang mengandung mannosa pada bakteri maupun virus. Alternatif
pathway (jalur alternatif) dapat dimulai apabila komponen komplemen
yang teraktivasi dengan tiba-tiba berikatan dengan patogen. Masingmasing jalur mengikuti serangkaian reaksi untuk membentuk protease
yang disebut C3 konvertase. Reaksi terbentuknya C3 konvertase ini
75
merupakan awal aktivasi komplemen, dan terdiri dari serangkaian
reaksi enzimatis yang mana zimogen yang merupakan komplemen
non-aktif segera dipecah menjadi dua fragmen. Bagian yang lebih
besar dari hasil pemecahan zimogen itu merupakan protease serin yang
aktif. Protease yang aktif ditahan pada permukaan patogen. Kondisi
ini memberikan pengaruh terhadap komplemen zimogen berikutnya
yang juga dipecahkan dan diaktivasi pada permukaan patogen
tersebut. Sebaliknya fragmen kecil berupa peptida dari pemecahan
zimogen ini akan dibebaskan dan dapat berperan sebagai mediator
terlarut. C3 konvertase yang dibentuk pada awal aktivasi komplemen
berikatan secara kovalen pada permukaan patogen. Pada tempat ini
C3 konvertase memotong komponen komplemen C3 menjadi C3b
yang merupakan molekul efektor utama pada sistem komplemen, dan
C3a yang merupakan peptida mediator inflamasi. Molekul C3b
berperan sebagai opsonin yang berikatan kovalen pada patogen
sehingga patogen menjadi target sel fagosit yang mempunyai reseptor
C3b. Molekul C3b juga berikatan dengan C3 konvertase untuk
membentuk C5 konvertase yang menghasilkan peptida kecil yang
paling penting sebagai mediator inflamasi yaitu C5a, dan juga fragmen
aktif yang besar , C5b yang menginisiasi berakhirnya aktivasi
komplemen. Aktivasi komplemen ini pada akhirnya membentuk
serangkaian proses reaksi polimerisasi yang mana komponen
komplemen terakhir bergabung membentuk membrane-attack complex,
yang membentuk pore (pori-pori) pada membran sel patogen yang
dapat menyebabkan kematian patogen tersebut. Semua komponen
komplemen pada classical pathway (jalur klasik) dan membrane-attack
complex diberi tanda huruf besar “C” diikuti dengan nomor.
Komplemen diberi nama sesuai dengan urutan ditemukannya, misal
C1, C2, dan C3 menggambarkan urutan ditemukannya. Urutan
penemuan ini tidak sesuai dengan serangkaian reaksi yang terjadi pada
komplemen. Urutan reaksi komplemen adalah: C1-C4-C2-C3-C4-C5C6-C7-C8-C9. Hasil dari reaksi pemecahan zimogen ditulis dengan
huruf kecil. Fragmen besar ditulis dengan huruf ’b’ sedangkan
fragmen kecil ditulis dengan huruf ’a’. Sebagai contoh C4 akan
mengalami pemecahan menjadi C4b yang merupakan fragmen besar
yang berikatan kovalen dengan permukaan antigen, dan C4a yang
berupa fragmen kecil yang berperan sebagai molekul pro-inflamasi.
Komponen pada alternatif pathway (jalur alternatif) tidak diberi
penomoran, namun ditandai dengan huruf besar yang berbeda, misal
76
faktor B dan faktor D. Sama halnya dengan classical pathway/jalur
klasik hasil pemecahan komponen tersebut ditandai dengan huruf
kecil. Fragmen besar dari pemecahan komponen B adalah Bb dan
fragmen kecilnya adalah Ba. Pada jalur mannosa-binding lectin
pathway, enzim yang pertama kali diaktivasi adalah mannan-binding
lectin-associated serin protease MASP-1 dan MASP-2, selanjutnya urutan
reaksinya sama dengan jalur klasik. Komponen komplemen yang
teraktivasi sering ditandai dengan garis horisontal di atasnya misal
C2b, namun pada buku ini kita tidak menggunakannya. Untuk
diketahui bahwa pada sebagian buku dan bahkan publikasi ilmiah
masih menggunakan C2a untuk menyatakan fragmen besar dari C2.
Pada buku ini kita tetap menggunakan C2b untuk menyatakan
fragmen aktif besar dari C2. Pengaktifan C3 konvertase sangat
penting peranannya pada aktivasi komplemen, sampai terbentuk
molekul efektor, yang menginisiasi tahapan akhir reaksi komplemen.
Pada jalur klasik dan jalur MB-lektin, C3 konvertase dibentuk dari
penyatuan molekul C2b dengan C4b pada membran patogen. Pada
jalur alternatif C3 konvertase dibentuk dari penyatuan molekul C3b
dengan Bb pada membran patogen. Jalur alternatif dapat berperan
sebagai perluasan bagi ketiga jalur yang ada karena jalur alternatif
dimulai dengan pengikatan molekul C3b. Kerja sistem imun yang
mempunyai potensi terjadinya inflamasi dan juga destruksi seperti
halnya komplemen, mempunyai potensi membahayakan tubuh host,
sehingga perlu regulasi yang sangat ketat dan teliti. Salah satu prinsip
yang harus ada pada sitem komplemen ini adalah adanya inaktivasi
dengan cepat apabila komponen komplemen ini tidak berikatan
dengan permukaan patogen. Ada beberapa titik regulasi yang
dilakukan oleh protein regulator pada setiap jalur aktivasi
komplemen. Protein regulator bekerja pada komponen komplemen
yang mengalami aktivasi pada permukaan sel host, sehingga sel host
terhindar dari efek destruktif komplemen.
Kejadian awal dari ketiga jalur aktivasi komplemen melibatkan
serangkaian reaksi pemecahan yang berakhir pada terjadinya
pembentukan C3 konvertase yang merupakan enzim aktif. C3
konvertase memecahkan komponen komplemen C3 menjadi C3b
dan C3a. Terbentuknya C3 konvertase merupakan titik dimana tiga
jalur mulai memisah mengambil jalannya sendiri-sendiri dan setelah
itu pula efektor komplemen utama mulai terbentuk. C3b berikatan
secara kovalen dengan membran sel bakteri dan mengopsonisasi
77
bakteri, sehingga memudahkan sel fagosit menelan bakteri tersebut.
C3a merupakan peptida yang memediasi terjadinya inflamasi lokal.
C5a dan C5b dihasilkan melalui pemecahan C5 oleh C5 konvertase.
C5 konvertase terbentuk dari ikatan C3b terhadap C3 konvertase.
C5a juga merupakan peptida yang memediasi inflamasi. C5b memicu
reaksi akhir dimana komponen terakhir komplemen bergabung pada
membrane-attack complex yang dapat menimbulkan kerusakan membran
patogen tertentu. C4a terbentuk dari pemecahan C4 selama reaksi
awal dari lajur klasik, dan tidak merupakan kerja dari C3 konvertase.
C4a juga peptida inflamator namun efeknya sangat lemah. C4b yang
merupakan fragmen besar hasil pemecahan C4 merupakan molekul
opsonin yang lemah. Meskipun komponen aktivasi pada jalur klasik
pertama kali ditemukan sebagai jalur yang terpicu oleh adanya
antibodi, sekarang telah diketahui bahwa molekul C1q dapat
mengaktifkan jalur klasik dengan cara berikatan langsung dengan
permukaan patogen, yang juga dengan serentak mengaktifkan jalur
MB-lektin dengan cara berikatan dengan antibodi yang telah berikatan
dengan permukaan patogen. Pada jalur MB-lektin, MASP mewakili
serin protease yang berasosiasi dengan MB-lektin.
Jalur Klasik Dimulai oleh Aktivasi Komplek C1.
Jalur klasik mempunyai peranan baik pada imunitas innate
maupun imunitas adaptif. Komponen pertama jalur klasik ini, C1q,
menghubungkan imunitas adaptif humoral dengan sistem
komplemen dengan berikatan dengan antibodi yang telah
mengadakan ikatan dengan antigen. Namun demikian, C1q, dapat
secara langsung berikatan dengan antigen tertentu tanpa
membutuhkan antibodi. Dalam keadaan ini aktivasi komplemen
dapat terjadi walaupun tidak ada ikatan antara antigen:antibodi. C1q
merupakan bagian dari komplek C1. Komplek C1 terdiri dari molekul
tunggal C1q yang berikatan dengan C1r dan C1s. C1q merupakan
protein yang mengikat gula, dan adanya ikatan itu sangat tergantung
dengan adanya kalsium (calcium-dependent sugar-binding protein). Molekul
C1q merupakan lektin yang digolongkan dalam kollektin, famili
protein. Golongan kollektin ini mengandung molekul yang
menyerupai kollagen dan lektin domain, sehingga dinamakan
kollektin. C1q mempunyai enam kepala globular, yang mana satu
sama lain saling berikatan dan dikelilingi oleh molekul komplek
(C1r:C1s)2. Ikatan kepala globular yang melibatkan lebih dari satu
78
molekul C1q pada permukaan patogen dapat menyebabkan
perubahan konformasi pada molekul (C1r:C1s)2, yang dapat
menyebabkan reaksi autokatalitik enzimatis pada C1r. C1r yang telah
mengalami aktivasi akan memutuskan ikatannya dengan C1s untuk
membentuk serin protease yang aktif.
C1 merupakan protein pertama pada aktivasi komplemen
jalur klasik. C1 merupakan molekul komplek dari C1q, C1r, dan C1s.
C1q tersusun atas enam subunit yang identik dengan kepala globular
dan ekor yang panjang menyerupai kollagen. Ekor bergabung
mengikat pada dua molekul C1r dan C1s, membentuk molekul
komplek C1 yang terdiri dari C1q:C1r2:C1s2. Kepala dapat berikatan
dengan bagian konstan dari molekul imunoglobulin atau secara
langsung pada permukaan patogen, yang menyebabkan perubahan
konformasi pada C1r, yang kemudian memecahkan dan mengaktifkan
Zimogen C1s. Sekali teraktivasi, enzim C1s akan mempengaruhi dua
komponen berikutnya pada jalur klasik, yaitu memecahkan C4 dan
kemudian C2 untuk membentuk dua fragmen besar C4b dan C2b,
yang bersama-sama membentuk molekul C3 konvertase pada jalur
klasik. Pada langkah pertama, C1s memecahkan C4 untuk
membentuk C4b, yang berikatan secara kovalen dengan permukaan
patogen. Ikatan kovalen C4b pada permukaan bakteri kemudian
mengikat satu molekul C2, yang menyebabkan C2 mudah dipecahkan
oleh C1s. C1s memecahkan C2 sehingga terbentuk fragmen besar
C2b. Molekul C2b merupakan serin protease. Komplek antara C4d
dan serin protease C2b menempati permukaan patogen sebagai C3
konvertase pada jalur klasik. Peranan C3 konvertase yang paling
penting adalah untuk memecahkan sejumlah besar molekul C3
sehingga terbentuk fragmen besar C3b yang berfungsi untuk
melingkupi permukaan patogen. Pada waktu yang bersamaan hasil
pemecahan C3 yang berupa fragmen kecil C3a memulai respon
inflamasi lokal. Aktivasi komplemen jalur klasik membentuk C3
konvertase yang mendeposit sejumlah besar molekul C3b pada
permukaan patogen. Pemecahan C4 oleh C1s mengekpos grup reaktif
pada molekul C4b yang memungkinkan molekul itu berikatan dengan
permukaan patogen. Molekul C4b kemudian mengikat C2, yang
membuat molekul itu lebih mudah dipecahkan oleh C1s. Fragmen
besar C2b merupakan protease aktif dari komponen C3 konvertase,
yang memecahkan banyak molekul C3 sehingga terbentuk C3b dan
C3a. C3b berikatan dengan permukaan patogen sedangkan C3a
merupakan molekul yang memediasi inflamasi.
79
Jalur MB-lektin Homolog Dengan Jalur Klasik.
Jalur MB-lektin menggunakan protein yang sangat mirip
dengan Cq1 untuk memicu serangkaian reaksi komplemen. Protein
tersebut dikenal sebagai mannan-binding lectin (MBL) pathway, yang
merupakan kollektin, menyerupai Cq1. Mannan-binding lectin
mengikat residu manosa dan gula tertentu yang lain, yang akhirnya
membentuk susunan yang memudahkan terjadinya ikatan dengan
patogen. Pada sel vertebrata untuk melindungi dari serangan
komplem sel-selnya tertutup oleh gula lain terutama asam sialik. MBL
dapat menginisiasi aktivasi komplemen dengan cara berikatan dengan
permukaan patogen. Pada plasma individu yang normal konsentrasi
MBL sangat rendah. Produksi MBL pada liver akan meningkat selama
reaksi fase akut pada imunitas innate. MB-lektin membentuk komplek
dengan protease serin yang sama dengan komplemen C1 komplek.
MBL membentuk klaster dua sampai enam kepala yang mengikat
karbohidrat di sekeliling pusat collagen-like stalk. Struktur ini dapat
dilihat dengan mikroskop elektron. Struktur itu nampak seperti bunga
tulip. Dua protease serin, berasosiasi dengan komplek tersebut.
Masing-masing adalah MBL-associated serin protease (MASP)-1 dan
2. Sewaktu terjadi ikatan MBL pada permukaan bakteri, protease serin
teraktivasi dan kemudian mengaktifkan sistem komplemen dengan
cara memecahkan dan mengaktifkan C4 dan C2. Mannan-binding
lectin, seperti C1q, berupa molekul dengan enam kepala yang
membentuk komplek dengan dua zimogen protease. Pada mannanbinding lectin komplek (MBL complex) zimogen protease itu adalah
MASP-1 dan MASP-2. MASP-1 dan MASP-2 homolog dengan C1r
dan C1s, dan keempat enzim tersebut kemungkinan berasal dari
evolusi gen yang sama. Ketika komplek MBL berikatan dengan
permukaan patogen, MASP-1 dan MASP-2 teraktivasi untuk
memecahkan C4 dan C2, sehingga pada jalur MB-lektin menginisiasi
aktivasi komplemen dengan cara yang sama dengan jalur klasik, yaitu
membentuk C3 konvertase dari ikatan C2b dan C4b. Seseorang yang
mempunyai defisiensi pada mannan-binding lectin akan mengalami
infeksi yang relatif tinggi selama anak-anak, hal ini menunjukkan
pentingnya jalur MB-lektin sebagai alat pertahanan tubuh.
Kerentanan terhadap infeksi akibat defisiensi MBL ini
menggambarkan pentingnya imunitas innate pada anak-anak sebelum
imun adaptif berkembang dan setelah transfer antibodi maternal
lewat plasenta serta kolostrum telah terputus.
80
Aktivasi Komplemen Dijaga Pada Permukaan Patogen.
Telah dijelaskan bahwa pada jalur klasik dan jalur MB-lektin
pada aktivasi komplemen dimulai dengan ikatan protein pada
permukaan patogen. Selama proses pengaktifan serangkaian enzim
itu, lokalisasi tempat pengaktifan pada tempat yang sama sangat
penting. Aktivasi C3 harus tepat pada permukaan patogen, dan tidak
pada plasma ataupun pada permukaan sel host. Mekanisme ini dapat
terjadi karena adanya ikatan kovalen C4b pada permukaan patogen.
Pemecahan C4 akan mengekspos ikatan thioester reaktif yang ada
pada molekul C4b. Pada imunitas innate, pemecahan C4 dikatalisa
oleh ikatan C1 atau MBL pada permukaan patogen, dan C4b dapat
mengikat protein atau karbohidrat yang paling dekat pada permukaan
patogen. Apabila C4b tidak membentuk ikatan ini dengan cepat,
ikatan thioester akan dipatahkan oleh reaksi hidrolisis air. Reaksi
hidrolisis ini menyebabkan molekul C4b menjadi tidak aktif dan
bersifat ireversibel. Mekanisme ini penting untuk menghindari
penyebaran molekul C4d dari sisi pengaktifan pada permukaan
patogen. C2 dapat dipecahkan dengan mudah oleh C1s hanya jika
molekul itu diikat oleh molekul C4b, dan fragmen besar C2b serin
protease juga dijaga untuk tetap berada pada permukaan patogen.
C2b serin protease yang tetap berasosiasi dengan C4b akan
membentuk C3 konvertase. Aktivasi molekul C3 juga terjadi pada
permukaan patogen, dan selanjutnya hasil aktivasi yang berupa C3b
segera di-non-aktifkan kecuali jika C3b segera mengadakan ikatan
kovalen dengan permukaan patogen sebagaimana yang dilakukan
molekul C4b. Dengan demikian opsonisasi hanya terjadi pada tempat
dimana komplemen diaktifkan.
Hidrolisis C3 Menyebabkan Inisiasi Jalur Alternatif Komplemen
Jalur ketiga pengaktifan komplemen disebut jalur alternatif,
sebab jalur ini diketahui sebagai jalur ”alternatif” setelah jalur klasik
ditemukan. Jalur alternatif dapat berlangsung pada berbagai macam
permukaan mikrobia tanpa adanya antibodi, dan menjadi penyebab
terbentuknya C3 konvertase yang berbeda-beda yang ditandai dengan
C3b dan Bb. Berbeda dengan jalur klasik dan jalur MB-lektin, jalur
alternatif tidak tergantung pada protein yang berikatan dengan
patogen (patogen-binding protein) untuk menginisiasi pengaktifan
81
reaksi komplemen. Jalur alternatif menginisiasi pengaktifan sistem
komplemen dengan cara menghidrolisis molekul C3 secara spontan.
Pada jalur alternatif juga terdapat mekanisme yang menjaga agar jalur
aktivasi terjadi pada permukaan patogen. Pemecahan C4 akan
mengekspos ikatan thioester yang aktif yang menyebabkan fragmen
besar C4b berikatan secara kovalen dengan molekul permukaan
bakteri. Molekul C4 terdiri dari rantai α, β, dan γ dengan thioester
yang menutupi rantai α. Rantai α akan terekspos ketika terjadi
pemutusan rantai tersebut oleh C1s untuk membentuk C4b. Ikatan
thioester secara cepat mengalami hidrolisis (dipecahkan oleh molekul
air), dan menonaktifkan C4b kecuali thioester tersebut bereaksi
dengan hidroksil atau gugus amino untuk membentuk ikatan kovalen
dengan molekul pada permukaan patogen. Protein C3 homolog
mempunyai ikatan thioester reaktif identik yang juga terekspos pada
fragmen C3b ketika molekul C3 dipecahkan oleh C2b. Ikatan kovalen
antara C3b dan C4b memungkinkan molekul-molekul itu berfungsi
sebagai opsonin dan penting untuk menjaga agar komplemen tetap
aktif pada permukaan patogen. C3 terdapat dalam jumlah yang besar
pada plasma, dan C3b diproduksi dengan cepat dengan cara
pemecahan spontan yang dikenal dengan istilah ’tickover’.
Pembentukan C3b dimulai dengan cara hidrolisis spontan pada ikatan
thioester molekul C3 untuk membentuk C3(H2O) yang mempunyai
perubahan konformasi. C3(H2O) mempunyai kemampuan mengikat
protein plasma, faktor B. Ikatan faktor B dengan C3(H2O)
menyebabkan protease plasma, faktor D, memecahkan faktor B
menjadi Ba dan Bb. Molekul Bb berasosiasi dengan C3(H2O)
membentuk komplek C3(H2O)Bb. C3(H2O)Bb merupakan fluid-fase
(fase cair) C3 konvertase. Meskipun C3(H2O)Bb terbentuk dalam
jumlah yang sedikit namun dapat memecahkan sejumlah besar
molekul C3 menjadi C3a dan C3b. Sebagian besar molekul C3b dinon-aktifkan dengan reaksi hidrolisis, namun sebagian berikatan
secara kovalen pada permukaan patogen maupun sel host melalui
grup thioester yang reaktif. C3b yang mengadakan ikatan dengan
patogen dapat mengikat faktor B. Ikatan C3b:faktor B akan merekrut
faktor D dan menyebabkan pecahnya faktor B menjadi fragmen kecil
Ba dan fragmen besar aktif, Bb. Mekanisme di atas menghasilkan C3
konvertase, C3b, Bb.
82
Ketika C3b berikatan dengan permukaan sel host, protein
regulator yang ada pada plasma dan pada membran sel host
bergabung untuk mencegah aktivasi komplemen. Protein regulator
berinteraksi dengan C3b untuk mencegah terbentuknya konvertase
atau memacu terjadinya disosiasi pada molekul C3b. Reseptor
komplemen 1 (CR1) dan decay-accelerating factor (DAF) berkompetisi
dengan faktor B untuk berikatan dengan C3b pada permukaan sel
dan dapat menggeser Bb dari konvertase yang telah terbentuk.
Terbentuknya konvertase juga dapat dicegah dengan memecahkan
molekul C3b menjadi derivat non-aktif iC3b. Pembentukan iC3b dari
C3b dilakukan oleh protease plasma, faktor I. Faktor I melakukan
kerjanya dengan mengadakan konjugasi dengan CR1, MCP (membrane
cofactor of proteolysis), dan faktor H. Faktor H merupakan protein
regulator pada plasma yang mengikat C3b. Sebagaimana CR1, faktor
H
mempunyai kemampuan kompetisi dengan faktor B dan
menggeser Bb dari posisi konvertase. Di samping itu faktor H dapat
berperan sebagai kofaktor untuk faktor I. Faktor H lebih mudah
untuk berikatan dengan C3b yang terikat pada sel vertebrata karena
faktor H mempunyai afinitas ikatan pada residu asam sialik yang ada
pada permukaan sel vertebrata bukan pada patogen. Sebaliknya pada
permukaan patogen tidak mempunyai protein regulator untuk
komplemen maupun residu asam sialik, sehingga C3b konvertase, Bb
dapat terbentuk dan diam pada permukaan patogen. Proses ini diatur
oleh faktor P yakni properdin yang berikatan dengan berbagai macam
permukaan mikrobia dan menstabilkan konvertase pada tempat
tersebut. Individu dengan defisiensi faktor P akan rentan terhadap
infeksi Neisseria sp. Sekali terbentuk C3b konvertase, Bb, akan
memecahkan molekul C3 menjadi C3b yang dapat berikatan dengan
patogen maupun menginisiasi lagi jalur aktivasi komplemen dengan
membentuk C3b konvertase, Bb yang baru. Jadi jalur alternatif dapat
diaktifkan dengan mekanisme aktivasi yang telah berlangsung pada
permukaan patogen, namun tidak pada permukaan sel host.
Komplemen yang teraktivasi melalui jalur alternatif menyerang
patogen sementara itu menghindari sel host yang dilindungi oleh
protein regulator. Komponen komplemen C3 terpecah secara
spontan membentuk C3(H2O) yang mempunyai kemampuan
berikatan dengan faktor B. Faktor B yang telah berikatan akan
dipecahkan oleh faktor D. C3 konvertase terlarut memecahkan C3
83
menjadi C3a dan C3b, yang dapat melekat pada permukaan sel host
maupun patogen. C3b yang berikatan secara kovalen dengan dengan
faktor B menyebabkan faktor B dipecahkan oleh faktor D menjadi
Bb. Molekul Bb tetap berikatan dengan C3b membentuk C3
konvertase, dan Ba dibebaskan. Apabila C3b, Bb terbentuk pada
permukaan sel host, molekul itu segera dinonaktifkan oleh protein
komplemen regulator yang diekspresikan oleh sel host. Di antara
komplemen regulator itu adalah reseptor komplemen 1 (CR1), decayaccelerating factor (DAF), dan membrane cofactor of proteolysis (MCP).
Permukaan sel host juga mempunyai daya ikat dengan faktor H dari
plasma. CR1, DAF, dan faktor H menggeser Bb dari C3b, dan CR1,
MCP, dan faktor H mengkatalisis pemecahan C3b yang telah terikat
pada permukaan sel oleh protease faktor I sehingga menjadi C3b
inaktif (iC3b). Permukaan bakteri tidak mengekspresikan protein
komplemen regulator dan mempunyai kecenderungan mengikat
faktor P (properdin), yang menstabilkan aktivitas molekul konvertase
C3b,Bb. Konvertase ini mempunyai kesamaan dengan molekul
C4b,2b yang terdapat pada jalur klasik.
C3 konvertase dihasilkan dari aktivasi jalur klasik dan MBlektin (C4b,2b) dan berbeda dari jalur alternatif (C3b,Bb). Sistem
komplemen ini mempunyai hubungan evolusi antar protein
komplemen. Komplemen zimogen, faktor B dan C2 merupakan
protein yang mempunyai hubungan dekat yang disandi oleh gen
homolog yang letaknya berdekatan. Gen tersebut berdekatan dengan
gen penyandi MHC pada kromosom 6 pada manusia. Komplemen
urutan berikutnya C3 dan C4 keduanya mempunyai ikatan thioester
dan memungkinkan terjadinya ikatan kovalen antara C3 konvertase
terhadap permukaan patogen. Ada satu komponen pada jalur
alternatif yang menunjukkan tidak ada hubungan dengan jalur klasik
dan jalur MB-lektin, yaitu yang menginisiasi serin protease, faktor D.
Faktor D merupakan satu-satunya protease aktif pada sistem
komplemen yang bersirkulasi sebagai enzim aktif. Hal di atas sangat
penting peranannya untuk menginisiasi jalur alternatif melalui
pemecahan spontan C3, dan untuk melindungi host, sebab faktor D
tidak memiliki substrat lain kecuali faktor B ketika mengikat C3b.
Dengan demikian faktor D hanya menemukan substratnya pada
sitoplasma pada level yang rendah, dan pada permukaan patogen
apabila pengaktifan komplemen melalui jalur alternatif berlangsung.
84
Perbandingan antara jalur aktivasi yang berbeda-beda
menggambarkan prinsip umum bahwa mekanisme efektor pada
sistem imun yang dapat diaktivasi secara non-spesifik pada akhirnya
berkembang menjadi bagian dari sistem pertahanan adaptif. Aktivasi
komplemen jalur alternatif dapat mengamplifikasi jalur klasik dan
jalur MB-lektin dengan cara pembentukan C3 konvertase jalur
alternatif dan mendeposit molekul C3b pada patogen. C3b yang
dideposit oleh jalur klasik atau MB-lektin dapat mengikat faktor B,
dan membuat faktor B lebih mudah dipecah oleh faktor D. Komplek
C3b:Bb merupakan C3 konvertase dari jalur alternatif dari suatu
aktivasi dan kerja komplemen, seperti halnya C2b:2b, mengakibatkan
terjadinya deposit molekul C3b pada permukaan patogen. Pada
aktivasi komplemen terdapat hubungan yang dekat antara faktorfaktor yang terlibat pada jalur alternatif, MB-lektin, dan klasik.
Kebanyakan faktor-faktor tersebut merupakan molekul identik atau
produk suatu gen yang telah melakukan duplikasi dan kemudian
terjadi diversitas pada sequence. C4 dan C3 merupakan protein
homolog dan mempunyai ikatan thioester yang tidak stabil yang
dengan itu fragmen besarnya yang berupa C4b dan C3b, berikatan
kovalen pada membran. Gen yang menyandi protein C2 dan B
berdekatan pada region MHC kelas III dan muncul dengan adanya
duplikasi gen. Faktor H, CR1, dan protein regulator C4bp
mempunyai sequen yang sama yang umumnya dimiliki protein yang
mempunyai sifat regulator terhadap komplemen. Divergensi yang
paling besar di antara jalur komplemen pada inisiasinya: pada jalur
klasik, komplek C1 berikatan baik dengan patogen atau antibodi dan
pada tahap akhir pengkonversian ikatan antibodi menjadi aktivitas
enzim pada permukaan tertentu; pada jalur MB-lektin, mannanbinding lectin (MBL) berasosiasi dengan serin protease, yang
mengaktifkan serin protease yang berasosiasi dengan MBL (MASP)
yang memberikan fungsi sama dengan C1r:C1s, sedangkan pada jalur
alternatif aktivitas enzimatik itu dihasilkan oleh faktor D.
Permukaan patogen yang mengikat C3 konvertase akan
merekrut fragmen C3b dalam jumlah besar dan menghasilkan
aktivitas C5 konvertase. Pembentukan C3 konvertase merupakan titik
penting dimana tiga jalur aktivasi komplemen pada titik tersebut
menyebar/bercabang. Pada titik ini baik jalur klasik maupun jalur
MB-lektin C4b,2b konvertase, dan jalur alternatif C3b,Bb konvertase
mempunyai aktivitas yang sama. Pada titik ini jalur-jalur tersebut
85
mempunyai peran yang sama untuk memulai proses yang terjadi
berikutnya. Jalur tersebut keduanya memecah C3 menjadi C3b dan
C3a. C3b berikatan secara kovalen melalui ikatan thioester pada
molekul permukaan patogen. Apabila ikatan kovalen ini tidak terjadi,
C3b akan mengalami hidrolisis. C3 merupakan protein komplemen
yang terbesar pada plasma dengan konsentrasi 1.2 mg/mL, dan
mencapai 1000 molekul. C3b dapat berikatan di sekitar C3 konvertase
tunggal yang sedang aktif. Jadi pengaruh utama pada aktivasi
komplemen adalah mendeposit C3b dalam jumlah besar pada
patogen dan C3b membentuk ikatan kovalen yang memberikan signal
pada sel fagosit untuk melakukan penghancuran. Komponen
komplemen C5 akan pecah apabila terikat oleh molekul C3b yang
merupakan bagian komplek C5 konvertase. C5 konvertase akan
terbentuk jika C3b berikatan dengan C3 konvertase (C4b,2b) dari
jalur klasik maupun jalur MBL untuk membentuk C4b,2b,3b, atau C3
konvertase (C3b,Bb) berikatan dengan C3b membentuk C3b2,Bb. C5
berikatan dengan C3b. C5 dipecahkan oleh enzim C2b atau Bb
untuk membentuk C5b dan mediator inflamasi C5a. Berbeda dengan
C3b dan C4b, C5b tidak terikat secara kovalen pada permukaan sel.
Terbentuknya C5b menginisiasi penggabungan komponen
komplemen akhir (terminal). Tahap berikutnya adalah pembentukan
C5 konvertase. Pada jalur klasik dan jalur MB-lektin, C5 konvertase
dibentuk dengan adanya ikatan C3b dengan C4b,2b untuk
membentuk C4b,2b,3b. Dengan cara yang sama, C5 konvertase jalur
alternatif dibentuk dari ikatan C3b pada C3 konvertase untuk
membentuk C3b2, Bb. C5 ditangkap oleh C5 konvertase kompleks
melalui akseptor yang terletak pada C3, dan selanjutnya lebih mudah
membelah oleh pengaruh aktivitas serin protease C2b atau Bb. Reaksi
pembentukan C5b dan C5a, lebih rendah dibandingkan dengan
pemecahan C3, sedangkan C5 hanya dapat dipecahkan jika berikatan
dengan C3b yang merupakan bagian dari C5 konvertase komplek.
Jadi pengaktifan komplemen dengan jalur alternatif maupun jalur
MB-lektin dan klasik menyebabkan terjadinya ikatan sejumlah besar
molekul C3b pada permukaan patogen, pembentukan molekul C5b,
dan pembebasan C3a dan C5a.
Patogen yang berikatan dengan komplemen mengalami
fagositosis yang diperantarai reseptor komplemen. Peranan
komplemen yang terpenting adalah untuk memfasilitasi pengambilan
dan penghancuran patogen oleh sel fagosit. Kejadian tersebut
86
berlangsung dengan adanya ikatan reseptor komplemen (CRs) pada
sel fagosit dengan sisi komplemen yang tengah berikatan dengan
patogen. Reseptor komplemen akan mengikat patogen yang telah
diopsonisasi oleh komponen komplemen. Opsonisasi patogen
merupakan fungsi utama C3b dan derivatnya yang berupa enzim
proteolitik. C4b juga berfungsi sebagai molekul opsonin namun
kemampuannya relatif rendah. Hal ini dikarenakan pembentukan
molekul C3b jauh lebih besar dibanding C4b. Ada beberapa macam
reseptor yang spesifik untuk suatu komplemen dan fragmen
komplemen. CR1 and CR3 terutama penting untuk menginduksi
proses fagositosis bakteri dengan komponen komplemen pada
permukaannya. CR2 ditemukan terutama pada sel B, dimana CR2
juga merupakan bagian dari ko-reseptor sel B. CR2 juga merupakan
reseptor tempat masuknya virus Epstein-Barr yang menginfeksi sel B.
CR1 dan CR2 mempunyai struktur serupa dengan protein regulator
yang mengatur komplemen yang mengikat C3b dan C4b. CR3 dan
CR4 merupakan integrin, di mana CR3 diketahui sangat penting
untuk adhesi leukosit dan migrasinya, sedangkan CR4 diketahui
terlibat pada proses fagositosis. Reseptor C5a dan C3a adalah tujuh
buah reseptor yang berpasangan dengan protein G. Anafilotoksin
C5a dapat meningkatkan fagosistosis mikroorganisme yang telah
teropsonisasi. Aktivasi komplemen baik melalui jalur alternatif
maupun jalur MBL, menyebabkan penumpukan C3b pada
permukaan mikroorganisme. C3b dapat berikatan dengan reseptor
komplemen CR1 pada permukaan fagosit, namun ikatan C3b:CR1
tidak cukup untuk memicu proses fagositosis oleh makrofag. Sel
fagosit juga mengekspresikan reseptor anafilotoksin C5a. Ikatan C5a
pada reseptornya akan memicu terjadinya fagosit mikroorganisme.
Saat ini diketahui ada lima macam reseptor komplemen. Dari
kelima reseptor tersebut CR1 (CD35) yang merupakan reseptor untuk
C3b merupakan reseptor yang paling lengkap penjelasannya. CR1
(CD35) diekspresikan makrofag dan sel leukosit polimorfonukleus.
Ikatan C3b pada CR1 tidak dapat mengaktifkan makrofag melakukan
fagositosis, namun ikatan tersebut dapat mendorong terjadinya
fagositosis jika ada komponen imun yang menjadi mediasi aktivasi
makrofag. Sebagai contoh, fragmen komplemen C5a dapat
mengaktivasi makrofag untuk memfagosit bakteri yang telah
berikatan dengan reseptor CR1. C5a berikatan dengan reseptor lain
yang ada pada permukaan makrofag. Reseptor untuk
C5a
87
mempunyai tujuh membran yang membentang luas. Reseptor untuk
C5a ini berpasangan dengan protein G yaitu protein intraselluler yang
berikatan dengan nukleutida guanin. Pasangan dengan protein G ini
memungkinkan penghantaran signal oleh reseptor C5a. Protein yang
berupa matrik ekstraselluler seperti misalnya fibronektin juga
mempunyai kontribusi terjadinya aktivitas fagositosis. Ketika terjadi
perekrutan sel fagosit pada jaringan konektif akan terjadi kontak sel
tersebut dengan matrik ekstraselluler yang menyebabkan aktivasi sel
fagosit. Molekul C3a mempunyai peran penting pada proses inflamasi
seperti halnya C5a. Namun demikian dua molekul itu mempunyai
perbedaan di antaranya adalah diketahuinya bahwa C3a tidak
mempunyai daya chemoattractant.
Tiga reseptor komplemen yang lain adalah –CR2 yang dikenal
dengan CD21, CR3 (CD11b:CD18), dan CR4 (CD11c:CD18). CR4
berikatan dengan C3b inaktif yang tersisa pada permukaan patogen.
C3b merupakan komponen komplemen yang dapat dipecah menjadi
derivat yang tidak dapat membentuk konvertase aktif. Salah satu
contoh bentuk inaktif C3b adalah iC3b. iC3b dapat bertindak sebagi
opsonin bagi dirinya sendiri ketika terjadi ikatan dengan reseptor
komplemen CR2 atau CR3. Tidak sama dengan ikatan iC3b:CR1,
ikatan iC3b:CR3 mempunyai kemampuan merangsang terjadinya
fagositosis. Produk kedua hasil pemecahan C3b yang berupa C3dg,
berikatan dengan CR2 saja. CR2 ditemukan pada sel B sebagai bagian
dari koreseptor komplek yang dapat membantu peningkatan signal
yang diterima dari reseptor spesifik yaitu imunoglobulin yang
berikatan dengan antigen spesifik. Sehingga sel B yang memiliki
reseptor spesifik untuk patogen tertentu akan menerima signal yang
kuat apabila patogen tersebut diselubungi oleh C3dg. Dengan
demikian aktivasi komplemen dapat berkontribusi pada menguatnya
respon antibodi. Ini merupakan suatu contoh bagaimana imun
humoral innate dapat membantu mengaktivasi imunitas humoral
adaptif sejalan dengan kontribusi makrofag dan sel dendritik sebagai
respon selluler innate yang menginisiasi terjadinya respon sel T.
Peranan penting opsinisasi oleh C3b dan fragmen inaktifnya pada
patogen ekstraselluler dapat dilihat pada individu yang secara genetika
dinonaktifkan gen penyandinya. Individu yang tidak dapat
menghasilkan molekul C3 atau molekul yang dapat mengkatalisa
deposisi C3b menunjukkna kerentanan terhadap infeksi bakteri dari
luar.
88
Fragmen Kecil Komplemen Dapat Menginisiasi Inflamasi Lokal.
Fragmen kecil komplemen C3a, C4a, dan C5a bekerja pada
reseptor spesifik sehingga menyebabkan terjadinya inflamasi lokal.
Apabila fragmen-fragmen komplemen itu dihasilkan dalam jumlah
yang banyak, atau diinjeksikan dalam periode yang inten akan
menimbulkan shock yang menyerupai reaksi alergi yang melibatkan
IgE. Reaksi yang ditimbulkan oleh fragmen komplemen itu
diistilahkan anaphylactic shock dan fragmen-fragmen kecil komplemen
itu disebut anafilotoksin. Dari ketiga fragmen komplemen tersebut di
atas C5a merupakan fragmen yang paling stabil dan memiliki aktivitas
biologi dengan spesifitas yang tinggi. Ketiga fragmen komplemen
tersebut di atas menyebabkan terjadinya kontraksi otot polos dan
meningkatkan permeabilitas vaskuler. C5a dan C3a juga
mempengaruhi sel endotel sepanjang pembuluh darah untuk
mempresentasikan molekul adhesi. Molekul C3a dan C5a dapat
mengaktifkan sel mast yang berada pada jaringan submukosa untuk
menghasilkan histamin dan TNF-α . Dua sitokin yang disebut
terakhir ini juga mempunyai efek peningkatan permeabilitas vaskuler.
Hasil kerja C5a dan C3a menyebabkan terjadinya rekrutmen antibodi,
komplemen, sel fagosit pada daerah yang terinfeksi, dan
meningkatkan terjadinya aliran pada daerah luka untuk mempercepat
pergerakan APC yang telah mempresentasikan antigen patogen
menuju limph node terdekat. Dengan demikian C5a dan C3a juga
berkontribusi pada inisiasi imunitas adaptif. C5a juga berperan
langsung pada neutrofil dan monosit sehingga mempunyai daya lekat
pada dinding pembuluh darah dan pembuluh limfa, bergerak menuju
deposisi antigen, dan kemampuan menelan partikel, dan juga
meningkatkan ekspresi CR1 dan CR3 pada permukaan kedua sel
tersebut. C5a dengan bantuan komponen komplemen yang lain
mempunyai pengaruh pada penghancuran patogen oleh sel fagosit,
sedangkan C3a serta C4a juga mempunyai kontribusi walaupun relatif
kecil. C5a dan C3a memberikan signal melalui reseptor protein
transmembran pada neutrofil dan monosit sehingga mengaktifkan
protein G. Pengaruh C5a terhadap neutrofil dan makrofag analog
dengan pengaruh kemokin yang juga mempengaruhi protein G untuk
mengontrol migrasi sel. Inflamasi lokal dapat diinduksi dengan
fragmen komplemen kecil, terutama C5a. Fragmen komplemen kecil
mempunyai tingkat keaktifan yang berbeda-beda. C5a lebih aktif
daripada C3a, sedang C3a lebih aktif daripada C4a. Fragmen
89
Download