Majalah Kedokteran Andalas Vol.22. No.2. Juli - Desember 1998 83 LAPORAN KASUS BRONKOPNEUMONIA DAN PERITONITIS DIFFUSA Rayendra*, Zulkarnain Arsyad** *Peserta PPDS Penyakit Dalam FK. Unand/RSUP DR. M. Djamil Padang * Bagian Penyakit Dalam FK. Unand/RSUP DR. M. Djamil Padang Abstrak Di negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, penyakit infeksi masih menjadi masalah utama di bidang kesehatan dengan angka kesakitan dan kematian yang masih tinggi, salah satunya adalah Bronkopneumonia. Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga 1986 pneumonia menduduki urutan pertama penyebab kematian di Indonesia. Penyakit ini ditandai dengan peradangan akut pada paru yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, maupun jamur. Dalam perkembangannya penyakit ini dapat menyebar ke jaringan sekitar, seperti peritonium, darah ataupun otak. Dilaporkan seorang pasien, laki-laki, 65 tahun, masuk ke bagian penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak 8 Januari 1997 dengan keluhan utama demam sejak 15 hari yang lalu. Pasien mengeluhkan sesak nafas dan batuk tidak berdarah. Dari pemeriksaan fisik ditemukan pasien dengan keadaan umum sedang, konjungtiva anemis. Jantung dalam batas normal. Paru ditemukan ronchi basah halus di bagian belakang paru kiri dan kanan, bronchovesikuler terdengar saat auskultasi. Hati teraba dan limfa serta ginjal tak teraba. Hari ke-24 rawatan pasien mengeluhkan nyeri perut. Pada pemeriksaan ditemukan tanda-tanda peritonitis. Akhirnya pasien didiagnosis dengan Bronkopneumonia Dupleks dengan peritonitis diffusa. Kata Kunci : Infeksi, Bronkopneumonia, paru, peritonium. Majalah Kedokteran Andalas Vol.22. No.2. Juli – Desember 1998 Majalah Kedokteran Andalas Vol.22. No.2. Juli - Desember 1998 83 ABSTRACT At the dvelopment countries, example Indonesia, the infection diseases still became main problem in health sector with morbidity and mortality rate still high, the example is Bronchopneumonia. As Based of Hose hold health Survey at 1986, the Bronchopnemonia became first cause of death in Indonesia. The Disease is acut inflammation at lung that can caused by bacterial, virus and fungal. In the development, the disease can widespread to network tissue, example peritonium, blood and brain. We habe been reported a patient, male, 65 years old was cared at Internal Department, M. Djamil Hospital since Januari, 8 1997 with main complain fever since five teen days ago. The patient was feel dipsnoe and couhg not blooding. From physical examination, we found that patient moderatly illness, conjungtiva anemic. Hearth was normally. From lung, we found wet of fine ronchi at lung back right and left and bronchovasiculer was heared by auscultation. Liver was palpable and spleen and kidney were palpable. At 24 days care, the patient feel abdominal pain. From physical examination, we found peritonitis signs. At finally, the patient was diagnosed with Duplex Bronchopneumonia with diffuse peritonitis. key words; Infection, Broncopneumonia, lung, peritonium PENDAHULUAN Di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, faktor infeksi masih merupakan masalah utama di bidang kesehatan. Infeksi yang paling sering adalah infeksi saluran nafas. Saluran nafas dan paru merupakan organ yang paling sering terkena infeksi oleh karena organ ini berhubungan langsung dengan dunia luar.(2.4.7.8) Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh mikro organisme (bakteri, virus, jamur, parasit dan lain sebagainya). Secara anatomis, pneumonia dapat diklasifikasikan sebagai pneumonia lobaris, penumonia segmentalis dan pneumonia lobularis, yang lebih di kenal sebagai bronkopneumonia dan biasanya mengenai paru bagian bawah.(2-5) Epidemiologi Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran nafas yang terbanyak dilaporkan dan sering merupakan penyebab kematian di seluruh dunia. Di Inggris pneumonia menyebabkan kematian 10 kali lebih banyak dari pada infeksi lain. Di Amerika merupakan penyebab kematian urutan ke-15. Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986, pneumonia tergolong penyakit infeksi akut saluran nafas, merupakan penyakit terbanyak dijumpai dan sebagai penyebab kematian urutan pertama.(2.7) Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi ini meliputi; mekanisme pertahanan paru (bentuk dan anatomi saluran nafas, refleks batuk, sistem mukosilier, sistem fagositosis), kolonisasi bakteri saluran nafas (jika jumlah bakteri semakin Majalah Kedokteran Andalas Vol.22. No.2. Juli – Desember 1998 Majalah Kedokteran Andalas Vol.22. No.2. Juli - Desember 1998 meningkat dan mencapai suatu konsentrasi tertentu, maka kuman ini akan masuk ke saluran nafas bawah dan jika terdapat kegagalan sistem pembersihan saluran nafas, maka akan timbul manifetasi penyakit) dan pembersihan saluran nafas terhadap bahan infeksius (refleks batuk, penyempitan saluran nafas, imunitas humoral). Etiologi Pneumonia dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan protozoa. Kuman yang sering ditemukan pada infeksi saluran nafas bawah adalah Streptococcus pneumonia, Streptococcus pyogenes dan (4.5) Staphylococcus aureus. Patogenesis Dalam keadaan sehat, pada paru tidak terjadi pertumbuhan mikro organisme, hal ini di sebabkan adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan akibat ketidak seimbangan antara daya tahan tubuh, mikro organisme dan lingkungan. Masuknya mikro organisme ke saluran nafas dan paru dapat melalui : inhalasi langsung dari udara, aspirasi bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring, perluasan langsung dari tempat lain dan penyebaran hematogen. Gambaran klinis Biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas akut bagian atas, selama beberapa hari kemudian di ikuti dengan demam mengigil, sakit tenggorokan, nyeri otot dan sendi, 84 batuk dengan sputum mukoid dan purulen dan kadang-kadang berdarah. Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas, suara nafas bronchial. Didapatkan ronchi basah halus yang kemudian menjadi ronchi basah kasar pada stadium resolusi. Secara klinis penumonia dapat di bagi atas : a. Community acquired pneumonia. b. Hospital acquired pneumonia. c. Pneumonia in the immune compromise host. Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan peningkatan leukosit lebih dari 10.000/mm. Jika disebabkan virus atau mikoplasma leukosit dapat ditemukan normal atau menurun. Hitung jenis leukosit di dapat pergeseran ke kiri, juga terjadi peningkatan LED. Kultur darah positif pada 20%-25% penderita yang sudah di obati. Radiologi merupakan petunjuk kearah diagnosis etiologi adanya gambaran konsolidasi dengan air bronkogram, menunjukkan pneumonia lobaris yang disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan disebabkan oleh Klebsiella, infiltrasi bilateral disebabkan oleh Pseudomonas dan adanya gambaran retikular yang difus biasanya disebabkan oleh Mikoplasma dan virus.(3.4.6) Penatalaksanaan Meliputi penatalaksanaan umum, yang meliputi pemberian oksigen, infus untuk rehidrasi dan koreksi Majalah Kedokteran Andalas Vol.22. No.2. Juli – Desember 1998 Majalah Kedokteran Andalas Vol.22. No.2. Juli - Desember 1998 elektrolit, mukolitik dan ekspektoran dan obat penurun panas. Pengobatan kausal ditujukkan untuk mikro organisme penyebab. KASUS Seorang pasien laki-laki, umur 65 tahun, suku Minang, masuk RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 8 Januari 1997 dengan keluhan utama demam sejak 15 hari yang lalu. Riwayat penyakit Demam sejak 15 hari yang lalu, tidak begitu tinggi, tidak menggigil dan kadang-kadang berkeringat. Batuk sejak 15 hari yang lalu, berdahak, warna putih kekuningan, tidak berdarah. Sesak nafas sejak 10 hari yang lalu, terus-menerus, meningkat saat batuk. Badan terasa letih dan kepala kadang sakit. Nafsu makan berkurang sejak sakit. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya dan tidak ada keluarga yang menderita penyakit seperti ini. Pemeriksaan fisik Keadaan umum sedang, kesadaran komposmentis cooperatif, Tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 90x/menit, nafas 36 x/menit dan suhu 38C. Kulit dan selaput lendir pucat, konjungtiva anemis dan sklera tidak ekterik. JVP 5 – 2 cm H2O. Jantung tidak membesar, irama teratur, bising tidak ada. Paru simeteris kiri dan kanan, nafas bronchovesikuler terdengar pada bagian belakang paru kiri dan kanan, 85 ronchi basah halus nyaring terdengar pada bagian belakang paru kiri dan kanan. Perut tidak membuncit, Hepar teraba 2 jari di bawah arcus costa, kenyal rata, tajam, nyeri tekan tidak ada. Limfa tidak teraba. Ginjal ballotement negatif, bising usus positif normal. Ekstremitas tidak ada kelainan. Laboratorium Hb 6,7 gr%, Leukosit 6700/mm. DC 0/2/1/71/26/0, LED 147/154, retikulosit 16 per mil, Hematokrit 20%, Eritrosit 2 juta sel/mm, gambaran darah tepi menunjukkan normositer normokrom, anisositosis dan poikilositosis. Protein urine positif, reduksi negatif, bilirubin negatif, sedimen ditemukan leukosit positif 1, gambaran lain normal. Diagnosis sementara Bronkopneumonia dupleks + cystitis + anemia normositik normokrom e.c hemolitik. Pengobatan Istirahat, anti biotika, ekspektoran dan roborontia. Penderita dianjurkan untuk pemeriksan kultur dan test sensitivitas sputum dan urine, Ro foto thorak, EKG, gula darah, BMP, Fe serum, TIBC, SGPT, SGOT dan USG abdomen. Pada hari kedua keadaan umum pasien membaik, sesak nafas dan batuk berkurang. Ronchi basah halus nyaring Majalah Kedokteran Andalas Vol.22. No.2. Juli – Desember 1998 Majalah Kedokteran Andalas Vol.22. No.2. Juli - Desember 1998 masih terdengar pada kedua basal paru. Terapi diteruskan. Pada hari keempat, demam tidak ada, batuk berkurang, hasil laboratorium menunjukkan BTA negatif, SGPT 70 u/l, SGPT 41 u/l, gula darah 110 mg%, Rotgent foto thorak tidak ditemukan kelainan pada jantung dan paru. Diagnosis dan pengobatan tetap. Pada hari ke-7, pasien demam, batuk positif, ronchi basah halus nyaring positif di basal paru. Hasil BMP menunjukkan gambaran anemia yang sesuai dengan hemolitik. Diagnosis kerja : Bronkopneumonia duplek + Cystitis + anemia normositik normokrom e.c haemolitik. Hari ke-11 ditemukan hasil kultur urine dengan koloni kuman 10.000/ml. Hari ke-14 hasil kultur sputum menunjukkan pertumbuhan Enterobacter hafniae yang sensitif dengan Cefuroksin, Ciprofloksasin, Cefotaksim, Kloramfenikol, Tetrasiklin dan Kanamisin. Terapi : Ampisilin di ganti dengan Ciprofloxacin 2 x 500 mg. Hari ke-16 hasil USG menunjukkan gambaran hepatomegali oleh karena proses non spesifik. Hari ke-24 pasien mengeluhkan nyeri perut, mual dan muntah tidak ada. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan nyeri tekan dan nyeri lepas, defans muscular positif. Bising usus positif normal. Ro foto abdomen menunjukkan gambaran air fluid level. Hasil konsul bedah menunjukkan diagnosis Peritonitis difus e.c TBC usus. Pasien direncanakan untuk terapi konservatif. Keadaan pasien yang makin memburuk menyebabkan pasien 86 di anjurkan untuk tindakan laparatomi eksplorasi. Hari ke-24 keadaan pasien makin memburuk, pasien akhirnya meninggal dunia dengan penyebab kematian di duga syok septik. DISKUSI Telah dilaporkan kasus seorang pasien laki-laki umur 65 tahun yang di rawat di bangsal penyakit dalam dengan diagnosis kerja Bronchopneumonia duplek dengan cystitis dan anemia normositer normokrom e.c hemolitik. Dasar diagnosis pada pasien ini : pada anamnesa terdapat demam sejak 15 hari yang lalu, batuk-batuk dan sesak nafas sejak 10 hari yang lalu. Pada pemeriksaan fisik ditemukan pada bagian basal paru sonor, bronkovesikuler, ronkhi basah, halus nyaring. Hasil laboratorium, darah Hb 6,7 gr%, leukosit 11.600 sel/mm, LED 146/154, retikulositosis, hasil BMP sesuai dengan anemia hemolitik, urine menunjukkan gambaran protein positif dan leukosit urine positif satu. Selama follow up keadaan bronkopneumonia, cystitis dan anemia dapat ditanggulangi, yang dapat di lihat dari adanya perbaikan klinis yang ditandai dengan pengurangan batuk, sesak nafas dan demam. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan lagi ronchi basah halus nyaring di basal paru. Hb meningkat menjadi 11 gr% dan leukosit 9600 sel/mm. Namun pada pasien kemudian berkembang peritonitis. Diagnosis peritonitis difus ditegakkan dengan adanya nyeri perut, defans musculer, nyeri tekan dan nyeri Majalah Kedokteran Andalas Vol.22. No.2. Juli – Desember 1998 Majalah Kedokteran Andalas Vol.22. No.2. Juli - Desember 1998 lepas pada pemeriksaan abdomen. Pada rontgen foto abdomen menunjukkan gambaran air fluid level. Pasien dikonsultasikan ke bagian bedah, yang menyatakan kemungkinan diagnosis pasien adalah peritonitis difus e.c TBC usus dengan anjuran terapi konservatif. Namun pada konsul ulang berkaitan dengan keadaan pasien yang semakin memburuk bagian bedah menganjurkan tindakan laparatomi eksplorasi. Namun mengingat keadaan umum pasien yang memburuk dianjurkan untuk memperbaiki keadaan umum terlebih dahulu sambil mempersiapkan tindakan operasi. Pada hari ke-23 kondisi pasien makin memburuk dan akhirnya meninggal. Penyebab kematian di duga oleh karena syok septik. 87 5. Wallach J. Pneumonia. In: Interpretation of diagnostic test. Litle Brown & Co. 1996. 144 – 6. 6. Amin M dkk. Pneumonia. Dalam: Ilmu penyakit Paru. Air Langga University Press. 1989. 42 – 50. 7. Prianti ZS. Infeksi paru non tuberculosis. Dalam: Pulmonologi klinik.Balai PenerbitFKUI.1992.87– 94. 8. Faridawati, R. Penatalaksanaan pneumoni bakteri. Cermin Dunia Kedokteran. 1995: 101; 10 – 12. 9. Hidayat S. Jong W. Gawat abdomen dalam buku ajar ilmu bedah. EGC. Jakarta. 1996. 221 – 39. KEPUSTAKAAN 1. Bahar, A. Diagnosis dan penatalaksanaan pneumonia pada pasien usia lanjut. Dalam: Perkembangan mutakhir Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FKUI. 1996. 151 – 61. 2. Yunus F. Penatalaksanaan infeksi saluran nafas. Cermin Dunia Kedokteran. 1995: 101; 10 – 2. 3. Reynolds HY. Pneumonia. In: Horrison’s principles of internal medicine. McGraw Hill. Philadelphia. 1991.1064 – 9. 4. Yusuf, I. Pneumonia bakterialis. Dalam: Ilmu Penyakit Dalam jilid II. Balai Penerbit FKUI. 1990. 695 – 705. Majalah Kedokteran Andalas Vol.22. No.2. Juli – Desember 1998