PARLEMEN DALAM PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN

advertisement
PARLEMEN DALAM PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA
DAN RELEVANSINYA DENGAN DOKTRIN
KETATANEGARAAN ISLAM
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
MUHAMMAD FAWWAZ HADI BIN ISMAIL
NIM: 108045200022
KONSENTRASI SIYASAH SYARIYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431 H / 2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PARLEMEN DALAM PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN
MALAYSIA
DAN
RELEVANSINYA
DENGAN
DOKTRIN
KETATANEGARAAN ISLAM, telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada
17 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana
Syariah (S.Sy)
pada
Program Studi
Jinayah Siyasah
Konsentrasi
Ketatanegaraan Islam (Siyasah Syariyyah).
Jakarta, 17 Juni 2010
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
dtt
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.
Nip: 19550505 198203 1 012
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua
: Dr. Asmawi, M.Ag.
NIP: 19721010 199703 1 008
(..……...dtt………)
2. Sekretaris
: Sri Hidayati, M.Ag.
NIP: 19710215 199703 2 002
(..….......dtt………)
3. Pembimbing
: Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA ,MM.
NIP: 19550505 198203 1 012
(..……...dtt………)
4. Penguji I
: JM. Muslimin, MA, PhD.
NIP. 150 295 489
(..……...dtt………)
5. Penguji II
: Asep Saefuddin Jahar, MA, PhD.
NIP: 19691216 199603 1 001
(..…...…dtt………)
PARLEMEN DALAM PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA DAN
RELEVANSINYA DENGAN DOKTRIN
KETATANEGARAAN ISLAM
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Muhammad Fawwaz Hadi Bin Ismail
NIM: 108045200022
Di Bawah Bimbingan
dtt
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP: 19550505 198203 1012
KONSENTRASI SIYASAH SYARIYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yaang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 20 April 2010
Muhammad Fawwaz Hadi Bin Ismail
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Yang Maha
Esa, Yang Maha Kaya, Yang Maha Pencipta, Yang Maha Mengetahui Segala Sesuatu
yang ada di langit dan di bumi, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Puji syukur penulis panjatkan
kehadirat-Nya, atas segala nikmat dan karunia-Nya, dan semua yang telah
dianugerahkan-Nya kepada penulis.
Sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada pembawa risalah
Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya, yang telah
menunjukkan jalan hidayah dan pembuka ilmu pengetahuan dengan agama Islam.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi yang
berjudul "Parlemen Dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia Dan Relevansinya
Dengan Doktrin Ketatanegaraan Islam" ini,
masih
banyak
kekurangan
dan
kelemahan yang dimiliki penulis. Namun berkat bantuan dan dorongan dari
semua pihak, akhirnya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Untuk
itu penulis mengucapkan terima kasih secara khusus yang sedalam-
dalamnya kepada:
1. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr.
Komaruddin Hidayat.
i
2. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof.
Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, yang juga merangkap dosen
pembimbing penulis atas segala bimbingan dan tunjuk ajar beliau dalam
penulisan skripsi ini, semoga mendapat balasan baik dari Allah SWT.
3. Ketua dan Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah; Dr. Asmawi, M.Ag, dan Sri
Hidayati, M.Ag, yang keduanya telah memberikan kemudahan administratif
dan bimbingan akademik sejak awal perkuliahan, yang dengan sabar telah
memberikan banyak masukan dan saran sehingga skripsi ini dapat selesai
dengan baik.
4. Segenap dosen dan karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya
dosen dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum, para karyawan
Perpustakaan Fakultas Syariah Dan Hukum, juga para karyawan Perpustakaan
Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Ayahanda dan ibunda tercinta, Ismail Salleh dan Siti Jamilah Haji Mustaffa,
atas kasih sayang dan pengorbanan kepada penulis selama menimba ilmu,
juga kepada adik-adik; Faiz, Faris, Fawzan, Ira, Jee, Falahi dan Faduli.
6. Tuan Guru Haji Harun Taib; pengerusi Ahli Majlis Mesyuarat KUDQI dan
seluruh Ahli Majlis Mesyuarat KUDQI, pensyarah dan staf Kolej Universiti
Darul Quran Islamiyyah yang telah memberi ruang dan kesempatan untuk
menuntut ilmu yang bermanfaat, para mahasiswa dan mahasiswi dari KUDQI,
MPMKUDQI dan HESIS. Juga kepada ustaz-ustaz dan teman di Madrasah
ii
Mazahirul Ulum, Binjai Bongkok, Marang, khususnya Ustaz Nor, Bob,
Syahrin, Tole, Haji Zainul dan Amir.
7. Teman-teman seperjuangan selama di Indonesia; Madyu, Pian, Keri, Ayohsu,
Pulloh, Pa, Najib, Sepu, Zaki, Hilman, Zaid, Amir, Razman, Mamat, Biki,
Stopa, Harun, Baha, Kacah, Adi, Muaz, Za, Pudin, Beri, Duan, Mukhsin,
Faris, serta teman-teman di Asrama Putri UIN dan kost. Juga teman dari
APID, KIDU dan IPA yang tidak dapat penulis sebut semuanya di sini karena
keterbatasan ruang, semoga teguran dan tunjuk ajar dari kalian semua
mendapat ganjaran dari-Nya.
Penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik
dari semua yang telah mereka berikan dan lakukan untuk penulis khususnya dan
kepada semua pihak pada umumnya. Penulis juga menyampaikan harapan yang besar
agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri dan pembaca sekalian,
semoga Allah SWT menjadikan skripsi ini sebagai satu amal yang baik disisi-Nya.
Akhir kata, segala yang baik datang dari-Nya dan yang kurang baik terbit dari
kelemahan dan kekurangan diri penulis sendiri.
Jakarta: ______20 April 2010 M
5 Jamadil Awal 1431 H
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..................................................................1
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah.............................................6
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian.......................................................7
D. Tinjauan Pustaka..............................................................................8
E. Metode Penelitian..........................................................................11
F. Sistemetika Penulisan....................................................................15
BAB II
KEPEMIMPINAN DAN KEKUASAAN
A. Kepemimpinan Dan Kekuasaan Dalam Ilmu Politik Moderen.....17
B. Kepemimpinan Dan Kekuasaan Dalam Politik Islam...................23
1. Konsep Musyawarah Dalam Islam..........................................31
2. Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi Dan Ahlu al-Iktiyar........................37
3. Demokrasi Dalam Islam..........................................................42
iv
BAB III
PARLEMEN MENURUT PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN
MALAYSIA
A. Parlemen Malaysia........................................................................48
B. Komponen Parlemen Malaysia.....................................................49
C. Fungsi Parlemen...........................................................................54
D. Hak Dan Wewenang Parlemen.....................................................57
BAB IV
TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP
PARLEMEN MENURUT PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN
MALAYSIA
A. Agama Dan Negara Dalam Kajian Ketatanegaraan Islam............60
B. Persamaan Parlemen Malaysia Dengan Konsep Pemerintahan
Islam..............................................................................................66
C. Perbedaan Parlemen Malaysia Dengan Konsep Pemerintahan
Islam..............................................................................................69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................75
B. Saran-saran....................................................................................77
Daftar Pustaka...........................................................................................................79
Lampiran
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
a. Padanan Aksara
Huruf
Huruf
Arab
Latin
‫ا‬
Keterangan
tidak dilambangkan
‫ب‬
b
be
‫ت‬
t
te
‫ث‬
ts
te dan es
‫ج‬
j
je
‫ح‬
h
ha dengan garis di bawah
‫خ‬
kh
ka dan ha
‫د‬
d
de
‫ذ‬
dz
de dan zet
‫ر‬
r
er
‫ز‬
z
zet
‫س‬
s
es
‫ش‬
sy
es dan ye
‫ص‬
s
es dengan garis di bawah
‫ض‬
d
de dengan garis di bawah
‫ط‬
t
te dengan garis di bawah
‫ظ‬
z
zet dengan garis di bawah
‫ع‬
„
koma terbalik diatas hadap kanan
‫غ‬
gh
ge dan ha
‫ؼ‬
f
ef
‫ؽ‬
q
ki
‫ؾ‬
k
ka
‫ؿ‬
l
el
‫ـ‬
m
em
‫ف‬
n
en
‫و‬
w
we
‫هػ‬
h
ha
‫ء‬
`
apostrof
‫ي‬
y
ye
vi
b. Vokal
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
َ
a
fathah
i
u
kasra
dammah
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ai
a dan i
au
a dan u
Tanda Vokal Latin
Keterangan
â
î
û
a dengan topi di atas
i dengan topi di atas
u dengan topi di atas
ِ
ُ
Adapun Vokal Rangkap
Tanda Vokal Arab
‫َ ي‬
‫َ و‬
c. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab
‫ػَػا‬
‫ــــِــي‬
‫ــــُـــو‬
d. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf )‫(اؿ‬,
dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun
huruf qamariyyah. Contoh ‫ = الشمسية‬al-syamsiyyah, ‫ = القمرية‬al-qamariyyah.
e. Tasydîd
Dalam alih-aksara, tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda tasydîd itu. Tetapi hal ini tidak berlaku
jika huruf yang menerima tasydîd itu terletak setelah kata sandang yang diikuti
huruf-huruf samsiyyah.
f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. begitu juga jika ta marbûtah tersebut
diikuti kata sifat (na‘t). Namun jika ta marbûtah diikuti kata benda (ism), maka
huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/.
g. Huruf Kapital
Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang,
maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan
huruf awal atau kata sandangnya . Contoh ‫ = البخاري‬al-Bukhâri.
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kedaulatan adalah suatu hal yang memiliki makna penting dan mendalam
bagi sesuatu negara. Kedaulatan, menurut Georg Jellinek1, apabila merujuk
kepada suatu negara, maka ia merupakan kekuasaan yang tertinggi. Sedangkan
apabila ke luar, kedaulatan merupakan
kekuasaan yang tidak tunduk pada
kekuasaan yang lain.
Teori hukum tatanegara mengenal adanya lima bentuk kedaulatan;
kedaulatan Tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan negara, kedaulatan hukum, dan
kedaulatan rakyat. Bentuk yang terakhir yaitu kedaulatan rakyat merupakan
konsep yang sehingga kini paling banyak diusung oleh berbagai negara melaui
konsep negara demokrasi.
Mengikut teori demokrasi, maka rakyatlah yang berdaulat. Rakyat yang
berdaulat ini mempunyai suatu kemauan yang oleh Jean-Jacques Rousseau2
1
Dilahirkan tanggal 16 Juni 1851 di Leipzig, Georg Jellinek adalah seorang filosofis Jerman
yang terkenal. Antara karyanya termasuk artikel berjudul The Declaration Of The Right Of Man And
The Citizen yang ditulisnya pada tahun 1895. Dalam artikel ini beliau sedikit mengkritik Revolusi
Prancis. Beliau meninggal dunia pada tanggal 12 Januari 1911 di Heidelberg, Jerman.
2
Jean-Jacques Rousseau dilahirkan di Geneva, Prancis pada tanggal 28 Juni 1712.
Pemikirannya banyak mempengaruhi tercetusnya Revolusi Prancis. Karya tulisnya yang terkenal
adalah Emilie atau On Education, yang menekankan permasalahan kewarganegaraan. Beliau
meninggal dunia pada 2 Juli 1778 di Ermanonville.
1
2
disebut general will.3 Pada awal kemunculannya yaitu sekitar 400 SM, konsep ini
dilaksanakan secara menyeluruh dimana setiap anggota masyarakat mempunyai
hak untuk menyampaikan aspirasinya secara langsung kepada pemimpin tanpa
terkecuali. Dalam perkembangannya, pelaksanaan konsep tersebut menemui
banyak kendala seiring makin banyaknya jumlah penduduk dan luasnya wilayah
negara, maka rakyat tidak dapat lagi menyampaikan aspirasinya secara langsung
kepada pemimpin karena masalah-masalah tersebut. Selanjutnya, demokrasi tidak
langsung atau yang biasa disebut demokrasi perwakilan menjadi pilihan untuk
mengganti demokrasi langsung yang tidak bisa dilaksanakan dengan tuntas itu.
Disini, rakyat sebagai pemegang kedaulatan mengamanatkan suaranya melalui
para wakil yang dipilih oleh mereka melalui proses pemilu dan duduk dalam
suatu lembaga yang biasa disebut sebagai Parlemen.
Secara umumnya, negara yang mempunyai badan Parlemen disebut
menganut sistem parlementer, dan termasuk juga negara Malaysia. Sistem
parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan dimana Parlemen memiliki peran
penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini Parlemen memiliki wewenang dalam
mengangkat
Perdana
Menteri
dan
Parlemen
pun
dapat
menjatuhkan
pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya.
Inilah sebagaimana yang diamalkan di negara Malaysia. Pada zaman moderen ini,
3
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama , 2007),
cet. 30, h. 173.
3
tugas utama badan Parlemen adalah melakukan fungsi legislatif, yaitu membuat
undang-undang.
Di dalam Islam, lembaga yang hampir sama dengan Parlemen adalah Ahlu
al-Halli Wa al-Aqdi, diartikan sebagai “orang-orang yang mempunyai wewenang
untuk melonggarkan dan mengikat”. Istilah ini dirumuskan oleh ulama fikih
sebagai sebutan bagi orang-orang yang bertindak sebagai wakil umat untuk
menyuarakan hati nurani mereka kepada pemimpin.4 Imam Al-Mawardi5 dan
beberapa ulama lainnya menyebutnya sebagai Ahlu al-Ikhtiyar yang berarti
“orang-orang yang mempunyai kualifikasi untuk memilih”. 6 Yang dimaksudkan
dengan memilih disini adalah, memilih pemerintah atau kepala negara. Allah
SWT menggariskan bahwa dalam umat harus ada pemimpin yang menjadi
pengganti dan penerus fungsi kenabian untuk menjaga agar terselenggaranya
ajaran agama, memegang kendali politik, membuat kebijakan yang dilandasi
syariat agama dan menyatukan umat.7
Ahlu al-Ikhtiyar juga bisa diartikan sebagai sekelompok orang yang
bertugas
memilih
pemimpin
lewat
jalan
musyawarah
kemudiannya
4
J. Suyuthi Pulungan, MA, Fiqh Siyasah, Ajaran Sejarah Dan Pemikiran, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002) , cet. 5, h. 66.
5
Dilahirkan di Basrah pada tahun 972 M dengan nama Abu Al-Hasan Ali Ibnu Habib AlMawardi, beliau antara ilmuan Islam yang unggul. Gurunya termasuk Sheikh Abd al-Hamid dan
Sheikh Abdallah al-Baqi. Antara karangannya yang dikenali adalah al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Qanun
al-Wazarah dan Nasihat al-Muluk. Beliau meninggal dunia pada tahun 1058.
6
7
M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), cet. 1, h. 176.
Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara Dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2000), cet. 5, h. 14.
4
mengajukannya kepada rakyat untuk dibaiat oleh mereka. Imam Muhammad Abu
Zahrah8 menyebut di dalam kitabnya Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, “Apabila
dasar pemerintahan Islam bersifat musyawarah maka pemilihan itu juga harus
bersifat musyawarah”. Tapi apabila tidak mungkin untuk melakukan musyawarah
antara seluruh individu rakyat, maka musyawarah hanya bisa dilakukan antara
kelompok orang yang mewakili rakyat dan apa yang mereka putuskan sama
dengan keputusan seluruh individu rakyat.9 Jadi disini dapat dilihat seolah-olah
ada persamaan antara Ahlu al-Ikhtiyar dan Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi.
Pada masa yang sama, Parlemen juga adalah wakil bagi rakyat, cuma
perwakilan mereka adalah melalui partai politik yang menunjukkan mereka
sebagai calon untuk bertanding dalam pemilu. Hal ini dinamakan perwakilan
yang bersifat politik (political representation).10
Sistem pemerintahan di Malaysia bermodelkan sistem parlementer
Westminster, warisan Penguasa Kolonial Britania. Tetapi di dalam prakteknya,
kekuasaan lebih terpusat di eksekutif daripada di legislatif, dan judikatif
diperlemah oleh tekanan berkelanjutan dari pemerintah selama zaman mantan
8
Dilahirkan pada tahun 1898 dan meninggala pada tahun 1978, Imam Abu Zahrah adalah
intelek dan pemikir di Cairo. Beliau juga adalah profesor di Universtas Al-Azhar dan juga di
Universitas Cairo. Karyanya termasuk biografi Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad dan
Imam Syafie.
9
Farid Abdul Khalid, Fikih Politik Islam, (Jakarta: Penerbit Amzah, 2005), cet. 5, h. 108-109.
10
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007),
cet. 30, h. 175.
5
Perdana Menteri, Tun Dr. Mahathir Mohammad11, menyebabkan kekuasaan
judikatif itu dibagikan antara pemerintah persekutuan dan pemerintah negeri
(negara bagian).
Kekuasaan legislator dibagi antara legislator Persekutuan12 dan legislator
negeri. Parlemen13 Malaysia adalah parlemen berbentuk bikameral, terdiri dari
Yang di-Pertuan Agong14 yang juga sebagai kepala negara; dewan rendah yaitu
Dewan Rakyat (mirip "Dewan Perwakilan Rakyat" di Indonesia); dan Dewan
Negara (mirip "Dewan Perwakilan Daerah" di Indonesia). 222 anggota Dewan
Rakyat dipilih dari daerah pemilihan beranggota-tunggal yang diatur berdasarkan
jumlah penduduk untuk periode jabatan terlama 5 tahun. Bagi Dewan Negara
pula, 70 Senator bertugas untuk periode jabatan 3 tahun; 26 di antaranya ditunjuk
oleh 13 majelis negara bagian (masing-masing mengirimkan dua utusan), dua
mewakili wilayah persekutuan Kuala Lumpur, masing-masing satu mewakili
wilayah persekutuan Labuan dan Putrajaya, dan 40 diangkat oleh Yang di-Pertuan
Agong atas nasehat Perdana Menteri. Di samping Parlemen di tingkat
persekutuan, masing-masing negara bagian memiliki dewan legislatif unikameral
11
Mantan perdana menteri Malaysia yang keempat, memegang tampuk pemerintahan
Malaysia selama hampir 22 tahun bermula 1981 hingga 2003.
12
Yang diartikan sebagai Persekutuan adalah Persekutuan Tanah Melayu atau Malaysia,
terbentuk pada tanggal 16 September 1963, terdiri dari 11 buah negeri di Tanah Melayu dan 2 buah
negeri Borneo yaitu Sabah dan Sarawak. Kemudian setelah kemerdekaan Malaysia pada tanggal 31
Augustus 1957, Kuala Lumpur di jadikan wilayah khusus, sebagai ibukota Persekutuan sekaligus
sebagai pusat pemerintahan dan pentadbiran. Ini menjadikan negeri anggota Persekutuan Malaysia
sebanyak 14 buah negeri.
13
Ejaan dan sebutan bagi parlemen Malaysia adalah dengan huruf “i”, yaitu sebagai Parlimen.
14
Yang di-Pertuan Agong adalah kepala negara, juga sebagai kepala agama Islam di Malaysia.
6
(Dewan Undangan Negeri) yang para anggotanya dipilih dari daerah-daerah
pemilihan beranggota-tunggal. Pemilihan umum untuk memilih anggota Parlemen
Malaysia dijalankan biasanya empat tahun sekali, dengan pemilihan umum
terakhir pada Maret 2008.
Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan
mengkaji lebih dalam dalam permasalahan Parlemen sebagai badan perundangundangan tertinggi di negara Malaysia dan sejauh mana ia relevan dengan kaidah
dan konsep ketatanegaraan dalam Islam sehingga penulis angkat menjadi judul
skripsi “Parlemen Dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia Dan
Relevansinya Dengan Doktrin Ketatanegaraan Islam”.
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian berbentuk skripsi sudah seharusnya di dalamnya memuat
perbatasan masalah agar penelitian lebih terarah dan fokus. Untuk itu penulis
membatasi permasalahan dalam penelitian skripsi ini mengenai Parlemen dalam
Perlembagaan Persekutuan Malaysia, apakah ia relevan dengan Ketatanegaraan
Islam.
7
2. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Bagaimana kedudukan dan kewenangan Parlemen di Malaysia
menurut konstitusi ?
2) Bagaimanakah peran negara Malaysia dalam menerap konsep Islam di
dalam Parlemen ?
3) Apakah sistem pemerintahan Malaysia sejalan dan konsisten dengan
konsep Ketatanegaraan Islam ?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai, antaranya:
1. Memberikan gambaran dan informasi mengenai Parlemen sebagai badan
perundang-undangan tertinggi di Malaysia serta kedudukan dan fungsinya
sebagaimana diatur dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia.
2. Untuk mengetahui apakah negara Malaysia telah mempraktekkan konsep
Ketatanegaraan Islam dalam Parlemen.
3. Untuk menggali relevansi antara Ketatanegaraan Malaysia dengan
Ketatanegaraan Islam.
8
Adapun manfaat yang ingin dicapai oleh penulis dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Memberikan pemahaman terhadap masyarakat luas tentang perspektif
hukum ketatanegaraan Islam terhadap Parlemen Malaysia.
2. Sebagai satu sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah
keilmuan di bidang fiqh siyasah dalam konteks ketatanegaraan di
Malaysia.
3. Dapat dijadikan rujukan bagi para akademis dan para pencinta ilmu
Ketatanegaraan Islam.
D. Tinjauan Pustaka
Tinjauan studi terdahulu yang penulis maksudkan adalah dengan melihat
kajian yang membahas dalam tema yang hampir sama, namun pada substansi
yang berbeda. Adapun yang penulis akan masukkan dalam perbandingan ini
adalah berbagai literatur mulai dari skripsi, buku, jurnal, artikel dan lainnya.
Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya
penelitian tersebut.
Penelitian Mohammad Adnin bin Yahya, “Konsep Negara Islam di
Malaysia (menurut UMNO dan PAS)”, 2006. Penelitian ini membahas mengenai
9
penerapan nilai-nilai Islam yang ada di Malaysia mulai dari sudut pandang pihak
pemerintah (UMNO) maupun dari pihak pembangkang (PAS).
Penelitian yang ditulis oleh Ahmad Baihakki Bin Arifin yang berjudul
“Hak-hak Politik Warga Negara Dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia”,
tahun 2008. Penelitian ini membahas tentang hak-hak politik warga negara
Malaysia sebagaimana yang diatur di dalam konstitusi Malaysia
Adapun referensi yang berbentuk buku, seperti buku karya Tun Mohd
Salleh Abas yang berjudul “Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di
Malaysia”, tahun 2006. Di dalam buku ini ada menerangkan dan membahas
berkenaan Parlemen Malaysia yang mencakup keanggotaannya, wewenangnya,
dan hak-hak badan tersebut.
Buku kedua, karya Abdul Aziz Bari yang berjudul “Perlembagaan
Malaysia, Asas-Asas Dan Masalah”, tahun 2001. Buku ini membahas berkenaan
Perlembagaan Malaysia dan segala permasalahan yang berkaitan dengannya.
Buku ketiga, karya Tuan Guru Haji Abdul Hadi Awang, tentang prinsipprinsip negara Islam, ditulis dalam salah satu bab pada bukunya yang berjudul
“Sistem Pemerintahan Negara Islam”. Pokok masalah yang dibicarakan adalah
prinsip keadilan dalam prinsip-prinsip dasar pada negara Islam.
Buku keempat, karya Imam Al-Mawardi berjudul “Al-Ahkam AsSultaniyyah”. Buku ini memang terkenal sebagai buku yang membahaskan
berkenaan konsep pemerintahan menurut Islam. Aspek-aspek pengurusan negara
10
dalam Islam seperti Imamah, Khalifah, Musyawarah, dan lain-lain dibahaskan
secara rinci dan lengkap.
Buku kelima, “Pentadbiran Undang-Undang Islam di Malaysia” karya
Muhamad Arifin. Buku ini membahaskan perkembangan undang-undang Islam di
Malaysia, federalism dan pembahagian kuasa membentuk undang-undang Islam
antara Kerajaan Pusat dan Kerajaan Negeri.
Dari beberapa kajian (review) terdahulu di atas, khususnya mengenai
Parlemen sebagai badan legislatif Malaysia, penulis belum menemukan tulisan
yang membahas atau mengkaji berkenaan badan tersebut dari sudut pandang
Ketatanegaraan Islam. Penelitian Mohammad Adnin bin Yahya hanya membahas
nilai-nilai Islam yang ada di Malaysia dari sudut pandang partai politik di
Malaysia. Demikian juga dengan penelitian kedua, walaupun fokus kajiannya
adalah Perlembagaan Persekutuan Malaysia, tetapi hanya menjelaskan seputar
hak-hak politik warganegara sahaja. Maka karena masih belum ada penelitian
yang membahaskan berkenaan Parlemen Malaysia secara khusus, penulis merasa
tertarik untuk membahaskan berkenaan badan tersebut yang kemudiannya dilihat
pula dari sudut pandang Ketatanegaraan Islam.
11
E. Metode Penelitian
Metode bermaksud cara; yaitu cara bagaimana penelitian ini dilakukan.
Ahli-ahli hukum mendefinisikan “metode penelitian” sebagai:
1. Soerjono Soekanto: Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah,
yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, dengan
jalan menganalisisnya. Di samping itu, juga diadakan pemeriksaan yang
mendalam
terhadap
faktor
hukum
tersebut,
untuk
kemudian
mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang
timbul dalam gejala yang bersangkutan. 15
2. Soetandyo Wignyosoebroto: Penelitian hukum adalah seluruh upaya untuk
mencari dan menemukan jawaban yang benar
mengenai suatu
permasalahan. Untuk menjawab segala macam permasalahan, diperlukan
hasil penelitian yang cermat dan sahih untuk menjelaskan permasalahan
tersebut.16
3. Teuku Mohammad Radhie: Keseluruhan aktivitas berdasarkan disiplin
ilmiah untuk mengumpulkan, mengklasifikasikan, menganalisis dan
menginterpretasi fakta serta hubungan di lapangan hukum dan lapangan
lain-lain yang relevan bagi kehidupan hukum, dan berdasarkan
pengetahuan yang diperoleh dapat dikembangkan prinsip-prinsipilmu
15
16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1981), h. 43.
Soetandyo Wignyosoebroto, Sebuah Pengantar Kearah Pembinaan Penelitian Hukum,
(Jakarta: Departemen Kehakiman, 1995), h. 4.
12
pengetahuan dan cara-cara ilmiah untuk menanggapi berbagai fakta dan
hubungan tersebut.17
Seterusnya untuk lebih mempermudah pemahaman berkenaan kerangka
penelitian ini, penulis membagikannya kepada 6 poin utama:
1. Jenis Penelitian
Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library
Recearch), yaitu penelitian yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan
menelusuri berbagai literatur, karena memang pada dasarnya sumber data yang
hendak digali lebih terfokus pada studi pustaka. Dengan demikian penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Deskriptif disini dimaksudkan dengan
membuat deskripsi secara sistematis dengan melihat dan menganalisis data-data
secara kualitatif. Kemudian penulis menggunakan pendekatan komparatif, dengan
membuat perbandingan antara Ketatanegaraan Malaysia dengan Ketatanegaraan
Islam.
2. Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah Parlemen sebagaimana yang diatur
dalam Perlembagaan Pesekutuan Malaysia.
17
Teuku Mohammad Radhie, Penelitian Hukum Dalam Pembinaan Dan Pembaharuan
Hukum Nasional, (Jakarta: Departemen Kehakiman, 1974), h. 14.
13
3. Sumber Data
Data yang terhimpun dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer didapat dari dari sumber-sumber pokok yaitu konstitusi
Malaysia (Perlembagaan Persekutuan Malaysia) dan buku-buku serta literaturliteratur yang yang berkaitan dengannya, sedangkan data sekunder pula didapat
dari karya-karya dan tulisan-tulisan yang dibuat oleh para ahli ketatanegaraan
baik dalam ketatanegaraan Islam maupun ketatanegaraan Malaysia serta bahan
yang di fikir relevan. Yang termasuk dalam data primer seperti buku berjudul
“Perlembagaan Malaysia”18; buku ini berisi teks asli konstitusi Malaysia
(Perlembagaan Persekutuan), buku “Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di
Malaysia”19; yang di dalam buku ini ada menerangkan dan membahas berkenaan
Parlemen Malaysia yang mencakup keanggotaannya, wewenangnya, dan hak-hak
badan tersebut, buku “Al-Ahkam As-Sultaniyyah”20 yang menjelaskan berkenaan
badan pemerintahan dalam Islam, sistem khilafah, musyawarah dan imamah.
Seterusnya, data sekunder pula termasuk kamus, jurnal dan artikel. Data sekunder
yang penulis gunakan termasuk “Kamus Besar Bahasa Indonesia” dan “Kamus
Ilmiah Kontemporer”, juga koran dan artikel digital.
18
Lembaga Penyelidikan Undang-Undang,
International Law Book Sevices, 2007).
Perlembagaan
Persekutuan,
(Selangor:
19
Tun Mohd. Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di Malaysia, (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2006).
20
Imam Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Dalam
Syariat Islam, penerjemah Fadli Bahri, (Jakarta: PT Darul Falah, 2007) cet. 3.
14
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan dan faktual, teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dengan data-data
kualitatif, dengan mencari bahan-bahan yang terkait serta mempunyai relevansi
dengan penelitian. Adapun teknik penulisan yang penulis gunakan adalah
dokumentasi; riset pustaka dilakukan dengan cara menghimpun data-data
kepustakaan yang terkait dan mempunyai relevansi dengan tema penelitian.
5. Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis dengan pendekatan
komparatif, yaitu menganalisis data yang telah dikumpulkan yang berisi
informasi, pendapat dan konsep Parlemen dalam konstitusi negara Malaysia dan
membuat perbandingan dengan Doktrin Ketatanegaraan Islam.
6. Teknik Penulisan
Penulisan skripsi ini adalah berdasar dan berpedomankan pada buku
“Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2007”.
15
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dan memperoleh gambaran yang utuh serta
menyeluruh, penulis membahagikan penulisan skipsi ini pada lima (5) bab, tiaptiap bab terdiri dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut:
Bab I
Merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan dan manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II
Bab ini membahas konsep kepemimpinan dan kekuasaan dalam Islam,
serta jabatan, badan atau lembaga pemerintahan dalam Islam yang
mencakup konsep Musyawarah, Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi, Ahlu alIkhtiyar dan kementerian.
Bab III
Pembahasan dalam bab III ini tentang sejarah Parlemen sebagai badan
perundang-undangan tertinggi di negara Malaysia, serta kedudukan
dan fungsi Parlemen menurut Pelembagaan Persekutuan Malaysia.
Bab IV
Bab IV ini berisi analisis Ketatanegaraan Islam terhadap Parlemen
menurut Perlembagaan Persekutuan Malaysia, persamaan Konsep
Pemerintahan Islam dengan Kerajaan Malaysia, dan perbedaan
Konsep Pemerintahan Islam dengan Kerajaan Malaysia.
16
Bab V
Merupakan bab penutup, yang berisi kesimpulan bagi skripsi serta
saran.
BAB II
KEPEMIMPINAN DAN KEKUASAAN
A. Kepemimpinan Dan Kekuasaan Dalam Ilmu Politik Moderen
Kekuasaan dipandang sebagai gejala yang selalu terdapat dalam proses
politik, namun diantara ilmuwan politik tidak ada kesepakatan mengenai makna
kekuasaan. Beberapa diantaranya bahkan menganjurkan agar agar konsep
kekuasaan ditinggalkan karena bersifat kabur, dan berkonotasi emosional.
Namun, tampaknya politik tanpa kekuasaan bagaikan agama tanpa moral.1
Kata politik berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan sifat
peribadi atau perbuatan. Secara lekslikal, asal kata tersebut berarti acting or
judging wisely, well judged, prudent. Kata ini terambil dari kata Latin politicus
dan bahasa Yunani (Greek) politicos yang berarti relating to a citizen. Kedua kata
tersebut juga berasal dari kata polis yang bermakna city “kota”, politic kemudian
diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu: Segala urusan dan
tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan sesuatu
negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau kelicikan dan juga
dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politik. 2
Politik merupakan kata kolektif yang mempunyai pemikiran-pemikiran yang
1
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2007), cet. 6, h. 57.
2
Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1995), cet 2, h. 34.
17
18
bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan.3
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia politik diartikan sebagai ilmu
pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, segala urusan dan
tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau
terhadap negara lain, kebijakan cara bertindak (dalam menghadapi atau
menangani suatu masalah).4
Dalam sejarah, istilah politik pertama kali dikenal melalui buku karya
Plato5 yang berjudul Politeia atau dikenal juga dengan Republic. Kemudian
setelah itu ada juga karya dari Aristotles6 dengan judul serupa. Di dalam isi kedua
buku tersebut, terdapat kecenderungan menghubungkan politik dengan negara
(pemerintahan).7
Pada dasarnya politik mempunyai ruang lingkup negara, membicarakan
politik pada akhirnya adalah membicarakan negara, karena teori politik
menyelidiki negara sebagai sebuah lembaga politik yang mempengaruhi hidup
masyarakat, selain itu politik juga menyelidiki ide-ide, asas-asas, sejarah
3
Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Bary, Kamus Ilmiah Kontemporer, h. 608.
4
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet 3, h. 886.
5
Lahir sekitar tahun 427 SM, Plato adalah seorang filsuf Yunani Kuno. Karena beliau
merupakan salah seorang murid Socrates, maka pemikirannya banyak dipengaruhi oleh gurunya itu.
Bukunya yang terkenal adalah Republik (dalam bahasa Yunani disebut Politeia yang bermaksud
„negeri‟). Beliau meninggal sekitar tahun 347 SM.
6
Aristotles adalah murid dari Plato, lahir sekitar tahun 322 SM dan meninggal sekitar 384
SM. Bersama Plato dan Socrates (guru Plato), mereka bertiga dianggap sebagai filsuf paling
berpengaruh pada zaman tersebut.
7
Abdul Hadi Awang, Islam & Demokrasi, (Selangor: PTS Islamika, 2007), cet. 1, h. 11.
19
pembentukan negara, tujuan negara, bentuk negara dan hakekat negara. 8 Politik
ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat
undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang
merugikan bagi kepentingan manusia. 9
Miriam Budiarjo mengatakan bahwa untuk melaksanakan kebijakankebijakan politik, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority),
yang akan dipakai baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan
konflik yang mungkin timbul dalam proses pelaksaan kebijakan-kebijakan itu.
Cara-cara yang digunakan dapat bersifat persuasi (meyakinkan), dan jika perlu
bersifat paksaan (coercion).10
Dalam perbendaharaan ilmu politik terdapat sejumlah konsep yang
berkaitan erat dengan konsep kekuasaan seperti pengaruh (influence), persuasi
(persuation), manipulasi (manipulation), coercion, force, dan kewenangan
(authority). Keenam konsep ini merupakan bentuk-bentuk kekuasaan yang
perbedaannya akan lebih jelas dalam uraian berikut ini.
Influence adalah kemampuan untuk untuk memepengaruhi orang lain agar
mengubah sikap dan perilakunya secara sukarela. Yang dimaksud dengan
persuation ialah kemampuan meyakinkan orang lain dengan argumentasi untuk
melakukan sesuatu. Penggunaan pengaruh, dalam hal ini orang yang dipengaruhi
8
Abdul Rasyid, Ilmu Politik Islam, (Bandung: Pustaka, 2001), cet. 1, h. 26-28.
9
Mohd. Mufid, Politik dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), cet. 1, h. 9.
10
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007),
cet. 30, h. 8.
20
tidak menyadari bahwa tingkahlakunya sebenarnya mematuhi keinginan
pemegang kekuasaan, dan ini juga disebut sebagai manipulasi.
Pengertian coercion ialah peragaan kekuasaan atau ancaman paksaan yang
dilakukan oleh seseorang atau kelompok terhadap pihak lain agar bersikap dan
berperilaku sesuai dengan kehendak pihak pemilik kekuasaan, termasuk sikap dan
perilakunya yang bertentangan dengan kehendak yang dipengaruhi. Yand
dimaksud dengan force pula ialah penggunaan tekanan fisik seperti membatasi
kebebasan, menimbulkan rasa sakit ataupun membatasi pemenuhan kebutuhan
biologis terhadap pihak lain agar melakukan sesuatu.11
Seterusnya, kekuasaan merupakan konsep yang berkaitan dengan perilaku.
Menurut Robert Dahl, A dikatakan memiliki kekuasaan atas B apabila A dapat
mempengaruhi
B
untuk
melakukan
sesuatu.12
Maksudnya
apabila
A
mempengaruhi B untuk melakukan sesuatau yang sesuai dengan kehendak B
maka maka hubungan ini tidak dapat diartikan sebagai kekuasaan. Walaupun
demikian, rumusan ko0nsep kekuasaan tersebut masih masih harus dilengkapi
karena tidak setiap orang, kelompok atau negara dapat mempengaruhi walaupun
memiliki kekuasaan. Oleh karena itu, kekuasaan secara umum diartikan sebagai
“kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimiliki untuk
mempengaruhi perilaku pihak lain sehingga pihak tersebut berperilaku sesuai
29.
11
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2007), cet. 6, h. 57.
12
Robert Dahl, Modern Political Analysis, (New Delhi: Prentice Hall of India, 1977), cet. 1 h.
21
dengan kehendak pihak yang mempengaruhi”. Secara lebih sempit, kekuasaan
politik dapat dirumuskan sebagai “kemampuan menggunakan sumber-sumber
pengaruh untuk mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan
politik sehingga keputusan itu menguntungkan dirinya, kelompoknya atau
masyarakat pada umumnya”. 13
Apabila mendefinisikan kekuasaan, ada ilmuwan yang menyebutnya
sebagai kewenangan, tapi pada hakikatnya kekuasaan tidak semestinya
kewenangan. Kewenangan adalah kekuasaaan, namun kekuasaan tidak selalu
berupa kewenangan. Kedua bentuk pengaruh ini dibedakan dalam keabsahannya.
Kewenangan merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan (legitimate power),
sedangkan kekuasaan tidak selalu memiliki keabsahan. Apabila kekuasaan politik
dirumuskan
sebagai
kemampuan
menggunakan
sumber-sumber
untuk
mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik maka
kewenangan merupakan “hak moral untuk membuat dan melaksanakan keputusan
politik”. Dalam hal ini, hak moral yang sesuai dengan nilai dan norma
masyarakat, termasuk peraturan perundang-undangan. 14
Seterusnya, apabila membincangkan berkenaan konsep kekuasaan pasti
tidak dapat mengelak daripada menyebut perihal legitimasi. Seperti konsep
kekuasaan dan kewenangan, legitimasi juga merupakan hubungan antara
pemimpin dan yang dipimpin. Konsep legitimasi berkaitan dengan sikap
13
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2007), cet. 6, h. 58.
14
Ibid, h. 85.
22
masyarakat terhadap kewenangan. Artinya, apabila masyarakat menerima dan
mengakui hak moral peminpin utuk membuat dan melaksanakan keputusan yang
mengikat masyarakat maka kewenagan itu dikatakan sebagai berlegitimasi.
Maksudnya, legitimasi merupakan “penerimaan dan pengakuan masyarakat
terhadap hak moral pemimpin untuk memerintah, membuat, dan melaksanakan
keputusan politik”.
Hanya anggota masyarakat yang dapat memberikan legitimasi pada
kewenangan pemimpin yang memerintah. Pihak yang memerintah tidak dapat
legitimasi atas kewenangannya sendiri. Peminpin dapat mengklaim kewenangan
dan berusaha untuk meyakinkan masyarakat bahwa kewenangannya sah, namun
hanya masyarakat yang dapat menentukan apakah kewenangan itu berlegitimasi
atau tidak.
Berdasarkan pengertian legitimasi, dapat dibedakan pengertian kekuasaan,
kewenangan, dan legitimasi. Apabila kekuasaan diartikan sebagai kemampuan
untuk menggunakan sumber-sumber untu mempengaruhi proses politik,
sedangkan kewenangan merupakan hak moral untuk menggunakan sumbersumber yang membuat dan melaksanakan keputusan politik (hak pemerintah),
maka legitimasi adalah “penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak
moral kewenangan”.
Walaupun ketiga-tiga komponen ini seakan-akan sama, masih ada
perbedaan yang ketara. Antaranya adalah, hubungan antara pemimpin dan yang
23
dipimpin pada kewenangan dan pada legitimasi. Pada legitimasi, hubungan itu
lebih ditentukan (dominan) pada pihak yang dipimpin karena penerimaan dan
pengakuan atas kewenangan hanya dapat berasal daripada pihak yang diperintah.
Pada kewenangan pula, hubungan itu lebih ditentukan oleh pemimpin karena
pihak yang berwenang untuk memerintah dapat memaksakan keputusannya
terhadap masyarakat (pihak yang diperintah) dan masyarakat wajib mentaati
kewenangan tersebut.15
B. Kepemimpinan Dan Kekuasaan Dalam Politik Islam
Apa yang ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah dari hukum-hukum
konstitusional dan etika-etika politik tinggi dianggap sesuatu yang wajib diikuti
dalam pemerintahan Islam. Hal ini mempunyai pengaruh besar dalam membentuk
gambaran Islam untuk sebuah negara, tugas-tugasnya dan ciri khas sistem hukum
di dalamnya, juga spesialisasi kewenangan yang berada di dalamnya.
Prinsip-prinsip konstitusional ini dianggap seperti hak-hak Allah dalam
bidang politik karena sejauh mana hal itu dianggap sebagai hak umat Islam untuk
menuntut para penguasa agar menghormati prinsip-prinsip konstitusional atau
etika-etika politik ini dan agar bersedia turun dari jabatan politik mereka dalam
pemerintahan, sejauh itu pula hal tersebut menjadi kewajiban atas umat Islam
dengan kapasitasnya sebagai satu kelompok, dan juga kewajiban tiap-tiap orang
15
Ibid, h. 93.
24
yang mampu dalam kapasitasnya sebagai individu masyarakat untuk memegang
erat prinsip-prinsip ini dan mengajak orang lain untuk memegangnya serta
mencari penyelesaian padanya.16
Secara bahasa kata politik Islam terdiri dari dua kata yaitu politik dan
Islam. Istilah politik di dalam literatur ketatanegaraan Islam dikenal dengan
istilah siyâsah yang berarti “cerdik atau bijaksana”.17 Siyâsah berasal dari kata
sâsa-yasûsu-siyâsatan, yang berarti “mengurus kepentingan seseorang”. Dalam
kamus al-Muhîth dikatakan: sustu al-ra’iyyata siyâsatan: amartuhâ wa nahaituhâ
(saya mengatur rakyat dengan mengunakan politik: Saya memerintah dan
melarangnya).18 Mengenai penjelasan kata siyâsah ini dapat ditemukan dalam
buku Fiqh Siyasah karangan Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, disebutkan
bahwa dikalangan para ahli fiqih siyasah terdapat tiga pendapat mengenai asal
kata siyâsah, yaitu:
1. Sebagaimana dianut Al-Maqrizi19, kata siyâsah berasal dari bahasa
Mongol yakni dari kata yasah yang mendapat imbuhan huruf sin berbaris
kasrah diawalnya sehingga dibaca siyâsah. Pendapat tersebut didasarkan
kepada sebuah kitab undang-undang milik Genghis Khan yang berjudul
16
Farid Abdul Khalid, Fikih Politik Islam, (Jakarta: AMZAH, 2005), cet. 1, h. 1.
17
Rifyal Ka‟bah, Politik dan Hukum dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Khairul Bayan, 2005), cet. 1,
18
Muhammad bin Ya‟qub Al-Fairuz Abadi, al-Qâmûs al-Muhîth, (Bairut: Dâr al-Fikir, 1995),
h. 111.
h. 496.
19
Taqi Ad-Din Ahmad Ibnu Abd Al-Qadir Ibnu Muhammad Al-Maqrizi, lahir tahun 1364 di
Cairo dan meninggal pada tahun 1442.
25
Ilyasa yang berisi panduan pengelolaan negara dan berbagai bentuk
hukuman berat bagi pelaku tindak pidana tertentu. Sepeninggal Genghis
Khan, kitab undang-undang tersebut diwariskan secara turun temurun
kepada anak-anaknya yang secara bergantian memimpin kerajaan Mughal
di India Persia, seperti umat Muslim generasi pertama mewarisi Al-Quran
dari Nabi Muhammad SAW. Setelah raja-raja India memeluk Islam, isi
kitab ilyasa itu kemudian dimodifikasi dengan memuat hal-hal yang
bersumber dari ajaran Islam, semisal penyerahan otoritas ibadah dan
kasus-kasus hukum yang bertalian dengan syariat Islam kepada qadhi alqudhat (hakim agung).
2. Sebagaimana dianut Ibnu Taghi Birdi20, siyâsah berasal dari campuran
tiga bahasa, yakni Bahasa Persia, Turki dan Mongol. Partikel si dalam
Bahasa Persia berarti 30. sedangkan yasa merupakan kosakata Bahasa
Turki dan Mongol yang berarti “larangan”, dan karena itu, ia dapat juga
dimaknai sebagai hukum dan aturan.
3. Semisal dianut Ibnu Manzhur21, siyâsah berasal dari Bahasa Arab, yakni
bentuk mashdar dari tashrifan kata sâsa-yasûsu-siyâsatan,22 yang semula
berarti mengatur, memelihara, atau melatih binatang, khususnya kuda.
20
Yusuf Abu Al-Mahasin Ibnu Taghi Birdi, seorang ahli sejarah pada zaman
Mamluk. Lahir pada tahun 1409 dan meninggal pada 1470.
21
kerajaan
Muhammad Ibnu Mukarram Ibnu Ali Ibnu Ahmad Ibnu Manzhur Al-Ansari Al-Ifriqi AlMisri Al-Khazradschi Jamaladin Al-Fadl, lahir sekitar bulan Juni 1233. Beliau adalah penulis kitab
Lisân al-‘Arab yang terkenal. Meninggal sekitar bulan Januari 1312.
22
Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, (Bairut: Dâr Al-Shadir, 1968), Jilid 6, h. 108.
26
Sejalan dengan makna yang disebut terakhir ini, seseorang yang
profesinya sebagai pemelihara kuda, dalam Bahasa Arab disebut sa’is.
Kata sa’is yang berarti memelihara kuda ini sekarang telah masuk
kedalam kosa kata Bahasa Inggeris yang ditulis menjadi syce. Dalam
literatur Yahudi juga ada penggunaan istilah yang agak mirip dengan
makna awal dari kata sasa itu yakni istilah sus, yang berarti kuda.23
Secara kasar, politik atau siyâsah mempunyai makna mengatur urusan
umat, baik dalam negeri maupun luar negeri. Politik dilaksanakan baik oleh
negara (pemerintah) maupun umat (rakyat), negara adalah institusi yang mengatur
urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat atau rakyat mengoreksi
(muhasabah) pemerintah dalam melakukan tugasnya. 24
Teori tentang politik dalam Islam telah banyak dikemukakan oleh para
ulama baik di masa lampau atau pun di masa kini. Hal ini mudah dipahami,
karena masalah politik termasuk ruang lingkup ijtihad yang memungkinkan
kepada para ulama untuk mengkaji setiap masa. 25 Dalam hal ini Al-Quran dan AsSunnah tidak memberikan ketentuan yang pasti mengenai politik. Dalam AlQuran tidak ditemukan konsep tentang politik umat Islam untuk diaplikasikan
pada setiap tempat dan zaman. Karena jika hal ini ada, berarti Al-Quran
23
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam,
(Jakarta: Erlangga, 2008), cet. 1, h. 2-4.
24
Abdul Qadim Zallum, Afkaru Siyasiyah, edisi Indonesia:
diterjemahkan oleh Abu Faiz, (Bangil: Al-Izzah, 2004), cet. 2, h. 11.
25
Pemikiran Politik Islam,
Inu Kencana, Al-Quran dan Ilmu Politik, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), cet. I, h.75.
27
menghambat dinamika perkembangan umat. Adalah suatu kebijaksanaan AlQuran untuk membiarkan hal ini dipecahkan oleh nalar manusia sebagai suatu
kemampuan dan perkembangan zaman. Kendati demikian Al-Quran memberikan
prinsip-prinsip dasar bagi kehidupan bermasyarakat.26
Seterusnya, pelaksanaan negara menurut tuntutan Islam juga hampir
serupa dengan pelaksanaan shalat jamaah di mana ada pemimpin negara sebagai
imam, rakyat sebagai makmum, warga masyarakat sebagai jama‟ah, konstitusi
dan peraturan perundang-undangan sebagai tata cara dan bacaan shalat, tujuan
negara sebagai terlihat dari tujuan shalat, antara lain mencegah perbuatan keji dan
mungkar, dan lain-lain. 27 Shalat jamaah juga mengenal koreksi terhadap imam
dan penggantian imam yang mirip seperti yang dilakukan terhadap kepemimpinan
negara dalam sistem moderen. Sebagai agama yang menyeluruh, Islam tidak
hanya mengatur dimensi hubungan antara manusia dan khaliknya, tetapi juga
antara sesama manusia. Selama 23 tahun dakwah kenabian Muhammad SAW,
kedua dimensi ini berhasil dilaksanakannya dengan baik. Pada masa 13 tahun
pertama, Nabi Muhammad SAW menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat
Mekah dengan penekanan pada aspek akidah dan ibadah.
26
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Sejarah dan Pemikiran ,(Jakarta: UI Press,
1993), h. 41.
27
h. 56.
Rifyal Ka‟bah, Politik dan Hukum Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Khairul Bayan, 2005), cet. I,
28
Mengenai kepemimpinan kepala negara, Islam lebih memperkenalkannya
pada awal pemerintahan Islam saat dipegang oleh Khulafaur Rasyidun, hal ini
dikarenakan Nabi Muhammad SAW tidak diangkat melalui suksesi melainkan
melalui pesan-pesan yang disampaikannya dalam Al-Quran, itupun sebagai
realisasi dari dakwahnya sebagai seorang Nabi. Jadi, kepemimpinan Nabi
Muhammad SAW sebagai kepala negara di Madinah adalah menyatu dengan
tugas-tugas kerasulannya. Karena itu, beliau hanya bertanggung jawab
sepenuhnya kepada Allah SWT.28 Persoalan pertama yang muncul setelah Nabi
Muhammad SAW wafat (632 M / 10 H) adalah perihal penggantinya. Semasa
hidupnya, Nabi Muhammad SAW memang tidak pernah menunjuk siapa yang
akan menggantikan kepemimpinannya kelak. Beliau juga tidak memberi petunjuk
tentang cara pengangkatan
penggantinya (khalifah). Ketiadaan petunjuk ini
menimbulkan permasalahan dikalangan umat Islam setelah Nabi Muhammad
SAW wafat sehingga hampir membawa perpecahan antara kaum Muhajirin dan
kaum Anshar. Bahkan jenazah beliau sendiri „terlantar‟ oleh seputar pembicaraan
khalifah.29
Hampir semua ahli sejarah Islam sepakat bahwa persoalan pertama yang
muncul dalam sejarah umat Islam adalah masalah politik atau persoalan imamah,
28
29
Ibid, h. 44.
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press,
1993), h. 32.
29
yakni masalah penggantian Nabi Muhammad SAW selaku kepala negara. 30 Ibnu
Jamaah31 dalam menerangkan hak-hak pemimpin telah berkata bahwa seseorang
itu hendaklah mengetahui bahwa hak pemimpin adalah besar. Oleh sebab itu,
berinteraksilah dengannnya dengan menghormati dan memuliakannya. Firman
Allah SWT Q.S An-Nisa‟ (4): 59
ِ َّ
ِ ‫َطيعوا اللَّو وأ‬
ِ
‫ول َوأ ُْوِِل األ َْم ِر ِمْن ُك ْم فَِإ ْن تَنَ َاز ْعتُ ْم ِِف َش ْي ٍء فَ ُرُّدوهُ إِ ََل‬
َ ‫الر ُس‬
َّ ‫َط ُيعوا‬
َ ‫ين‬
َ َ ُ ‫آمنُوا أ‬
َ ‫{يَا أَيُّ َها الذ‬
ِ ِ ِ ِ
ِ
ِ
ِ ‫الرس‬
.)59/‫َح َس ُن تَأْ ِويالً }(النساء‬
َ ‫ول إِ ْن ُكنتُ ْم تُ ْؤمنُو َن بِاللَّو َوالْيَ ْوم اآلخ ِر َذل‬
ْ ‫ك َخْي ٌر َوأ‬
ُ َّ ‫اللَّو َو‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.” (Q.S: An-Nisa‟/ 4:59)
Dalam ayat ini, Allah SWT menyuruh manusia untuk taat kepada Allah,
rasul-Nya dan juga kepada para pemimpin dan penguasa. Akan tetapi jika para
penguasa bersikap zalim dan menyuruh kepada maksiat, maka ketika itu rakyat
harus merujuk kembali kepada Allah dan rasul-Nya. Seterusnya lagi, “Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya)”, maka „kamu‟ di dalam ayat ini adalah
30
Ridwan HR, Fikih Politik (Gagasan, Harapan dan Kenyataan), (Yogyakarta: FH UII Press,
2007), cet. I, h. 243.
31
Badruddin Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu Sa‟dillah Ibnu Jamaah Ibnu Hazim Ibnu Shakr
Ibnu Abdillah Al-Kinary. Ia lahir di Hamwa, Mesir pada tahun 1241 dan meninggal pada tahun 1333.
Beliau adalah ahli hukum, ahli pendidikan, ahli tafsir, ahli hadis dan juru dakwah pada zamannya.
Tetapi beliau lebih dikenali sebagai ahli hukum karena tugasnya sebagai haki m di Syam dan Mesir.
30
umum, ditujukan juga kepada para penguasa dan pemimpin. Jika ada perselisihan
antara mereka, haruslah merujuk kepada Allah dan rasul-Nya. Yang dimaksudkan
dengan “Allah dan rasul-Nya” adalah Al-Quran dan As-Sunnah sebagai pegangan
utama umat Islam.
Para ulama daripada kalangan pemimpin Islam menjunjung tinggi
kehormatan mereka dan mendengar suruhan mereka walaupun mereka bersifat
zuhud dan warak dan tidak mengimpikan kedudukan dan pangkat di dunia ini.
Sesungguhnya Allah menjadikan pemimpin itu sebagai benteng kepada yang
lemah daripada yang kuat dan kepada yang dizalimi daripada yang menzalimi.
Sekiranya tiada pemerhatian daripada Allah yang diwakilkan kepada pemimpin
ini nescaya tidak berlaku keamanan dan hilanglah hak asasi manusia, firman
Allah SWT Q.S Al-Baqarah (2): 251
ِْ ‫{فَ هزموىم بِِإ ْذ ِن اللَّ ِو وقَتل داوود جالُوت وآتَاه اللَّو الْم ْلك و‬
‫ْمةَ َو َعلَّ َموُ ِِمَّا يَ َشاءُ َولَ ْوالَ َدفْ ُع اللَّ ِو‬
ْ ُ َُ َ
َ ‫اْلك‬
َ َ ُ ُ ُ َ َ َ ُ َُ ََ َ
.)251/‫ت األ َْر ُ َولَ ِك َّن اللَّوَ ذُو فَ ْ ٍل َعلَ الْ َعالَ ِم َ }(ال قرة‬
ْ َ ‫َّاس بَ ْع َ ُه ْم بَِ ْع ٍ لََ َس‬
َ ‫الن‬
Artinya: “Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia
dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah
mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (Q.S: AlBaqarah/ 2:251)
31
1. Konsep Musyawarah Dalam Islam
Secara etimologis, musyawarah berasal dari kata “syawara” yang pada
mulanya bermakna “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian
berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau
dikeluarkan dari yang lain, termasuk pendapat. Musyawarah dapat juga berarti
mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya
digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.
Karena kata musyawarah adalah bentuk mashdar dari kata kerja syawara
yang dari segi jenisnya termasuk kata kerja mufa’alah (perbuatan yang dilakukan
timbal balik), maka musyawarah haruslah bersifat dialogis, bukan monologis.
Semua anggota musyawarah bebas mengemukakan pendapatnya. Dengan
kebebasan berdialog itulah diharapkan dapat diketahui kelemahan pendapat yang
dikemukakan, sehingga keputusan yang dihasilkan tidak lagi mengandung
kelemahan.32
32
http://saoskerupuk.co.cc/musyawarah_dan_demokrasi_dalam_islam.html diakses tanggal
30/3/2010 jam 13:40 WIB.
32
Para ulama memberikan definisi kata musyawarah sesuai dengan disiplin
ilmu yang dimilikinya, antara lain:
a. Abd Al-Rahman Abd. Al-Khaliq mendefinisikan musyawarah sebagai
“Eksplorasi pendapat orang-orang yang berpengalaman untuk mencapai
sesuatu yang paling dekat dengan kebenaran”.33
b. Abd Al-Hamid Ismail Al-Anshari mengatakan musyawarah adalah
“Ekplorasi pendapat umat atau orang-orang yang mewakili mereka,
tentang persoalan-persoalan yang umum yang
berkaitan dengan
kemaslahatan umum pula”. Dari definisi ini dapat dipahami bahwa umat
mempunyai hak untuk diminta pendapatnya dalam memilih pemerintah
yang diinginkan mereka, dan hak untuk diminta pendapat dalam
memecahkan atau menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang
penting. Dengan demikian, umat mempunyai hak untuk mengawasi,
mengkritik, meluruskan, dan mengemukakan mosi kepada pemerintah. 34
c. Ibnu Al-Arabi mengatakan bahwa musyawarah adalah “Pertemuan guna
membahas permasalahan; masing-masing mereka saling bermusyawarah
dan mengemukakan pendapat yang dimiliki”.35
33
Abd Al-Rahman Abd. Al-Khaliq, Al-Syuura Fi Zhilli Nidzham al-Hukm al-Islam, (Kuwait:
Al-Dar Al-Salafiyyah, 1975), h. 14.
34
Abd Al-Hamid Ismail Al-Anshari, Al-Syuura Wa Atsaruha Fi Al-Dimuqrathiyyah, (Cairo:
Al-Maktabah Al-Salafiyyah, 1981), h. 4.
35
Ibnu Al-Arabi, Al-Ahkam Al-Quran, (Beirut:Dar Al-Fikr, 1988), jilid 1, h. 389.
33
d. Mahmud Muhammad Babbali mengemukakan bahwa musyawarah
merupakan “ Saling tukar menukar pendapat guna memperoleh yang
mendekati kebenaran; maka karena itu, musyawarah sekaligus merupakan
bentuk dari tolong menolong, saling menasihati, kemauan yang kuat untuk
menegakkan kebenaran dan tawakkal kepada Allah SWT”. 36
e. Beliau juga mengatakan lagi, musyawarah adalah “Saling bertukar
pandangan atau pendapat dengan orang lain dalam satu tema tertentu
untuk sampai pada pendapat yang paling benar”. 37
f. Ismail Al-Badawy mengatakan bahwa musyawarah adalah “usaha
menghasilkan kebenaran setelah eksplorasi terhadap pendapat-pendapat
orang lain”. 38
Musyawarah termasuk perkara yang sistem dan batasannya tidak dibuat,
sebagai rahmat untuk manusia dan bukan karena lupa. Memberikan keleluasan
dan memberikan hak penuh kepada mereka untuk memilih apa yang bisa diterima
oleh akal dan dipahami oleh manusia, dan selama tujuannya adalah dasar
Musyawarah serta untuk menciptakan undang-undang yang adil yang
menyatukan rakyat bukan menceraikan dan mengadakan perpecahan dikalangan
mereka.
36
Mahmud Muhammad Babbali, Al-Syuura Suluk Wa Al-Iltizam, (Makkah: Maktabah AlTsaqafah, 1986), h. 19.
37
38
Ibid, h. 5.
Ismail Al-Badawy, Mabda’ Al-Syuura Fi Al-Syariat Al-Islamiyyah, (Cairo: Dar Al-Fikr AlArabi, 1981), h. 7.
34
Alasan Islam untuk tidak membuat satu sistem bagi Musyawarah sama
alasannya dengan alasan Islam tidak membuat satu sistem politik yang
merincikan hukum khilafah, untuk memberi kebebasan kepada umat untuk
membuat keputusan berdasarkan akal selagimana keputusan itu sesuai dengan
ketentuan syariat.
Abu Bakar RA selalu menyelesaikan perkara dengan bermusyawarah
dengan para sahabat beliau. Apabila beliau dihadapkan dengan suatu
permasalahan dan permasalahan tersebut tidak dapat beliau temukan di dalam AlQuran dan As-Sunnah, maka beliau akan bermusyawarah dengan para sahabat.
Jika semua mereka semuanya sepakat atas satu keputusan berdasarkan
Musyawarah itu, beliau akan memutuskan permasalahan tersebut dengan
keputusan itu.39
Mayoritas ulama Islam dan pakar undang-undang konstitusional
meletakkan Musyawarah sebagai kewajiban keislaman dan prinsip konstitusional
yang pokok di atas prinsip-prinsip umum dan dasar-dasar baku yang telah
ditetapkan oleh nash-nash Al-Quran dan hadis-hadis Nabawi. Oleh karena itu,
Musyawarah ini lazim dan tidak ada alasan bagi seorangpun untuk
meninggalkannya. 40 Firman Allah SWT Q.S Ali Imran (3): 159
39
Ridwan HR, Fikih Politik (Gagasan, Harapan dan Kenyataan), (Yogyakarta: FH UII Press,
2007), cet. I, h. 78.
40
Farid Abdul Khalid, Fikih Politik Islam, (Jakarta: AMZAH, 2005), cet. 1, h. 35.
35
ِ ‫{فَاعف عْن هم و‬
ِ
ُّ ‫ت فَتَ َوَّك ْل َعلَ اللَّ ِو إِ َّن اللَّوَ ُُِي‬
َ ‫ب الْ ُمتَ َوِّكل‬
َ ‫استَ ْغ ْر ََلُ ْم َو َشا ِوْرُى ْم ِِف األ َْم ِر فَِإذَا َعَزْم‬
ْ َ ُْ َ ُ ْ
.)159/‫}(آل عمران‬
Artinya: “Maka maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya.” (Q.S: Ali Imran/ 3:159)
Dengan nash yang tegas ini, „dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu‟, Islam menetapkan prinsip ini dalam sistem pemerintahan
hingga Rasulullah SAW sendiri melakukannya. Ini adalah ketetapan yang pasti
dan tidak meninggalkan keraguan dalam hati umat Islam bahwa Musyawarah
merupakan prinsip dasar dan bahwa sistem pemerintahan berdasarkan Islam
ditegakkan atas prinsip ini. 41
Dapat dipastikan bahwa pandangan yang terkuat dikalangan ulama tentang
hukum Musyawarah adalah wajib, diwajibkan atas para penguasa untuk meminta
pendapat rakyat dalam segala perkara umum. Musyawarah adalah kewajiban
yang diwajibkan atas para penguasa dan juga rakyat. Penguasa harus
bermusyawarah dalam setiap perkara pemerintahan, administrasi, politik, dan
pembuatan perundang-undangan. Juga dalam setiap hal yang menyangkut
kemaslahatan individual dan kemaslahatan umum. Rakyat juga harus memberikan
41
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran, (Jakarta: Gema Insani, 2006), jilid 3, cet. 2, h. 294.
36
pendapatnya kepada penguasa dengan pendapat yang mereka anggap baik dalam
perkara-perkara di atas, baik penguasa meminta pendapat mereka ataupun tidak. 42
Keengganan penguasa atau pemimpin untuk bermusyawarah dengan
orang lain dari orang-orang yang pantas untuk diminta pendapatnya dan hanya
berpegang dengan pendapatnya sendiri, dianggap suatu sikap diktator. Sikap
diktator membawa kepada kezaliman dan kezaliman membawa kepada kebencian
Allah SWT dan kegelapan pada hari kiamat. Allah SWT mengharamkan rahmatNya atas diri penguasa atau pemimpin tersebut dan menjadikannya tersingkirkan
dikalangan rakyat. Sikap diktator ini sememangnya dilarang dalam Islam dan
pada hakikatnya adalah suatu pemaksaan dan ketakburan. 43 Firman Allah SWT
Q.S Al-Ghaasyiyah (88): 22
.)22/‫ت َعلَْي ِه ْم ِِبُ َسْي ِط ٍر }(الغاشية‬
َ ‫{لَ ْس‬
Artinya: “Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (Q.S: AlGhaasyiyah/ 88:22)
Maksudnya adalah para penguasa dan pemimpin tidak berkuasa total
terhadap rakyatnya, jika mereka menyuruh kepada maksiat dan dosa maka rakyat
diberi hak untuk mengingkari mereka dan merujuk kepada Al-Quran dan AsSunnah. Ini sesuai dengan firman Allah SWT di dalam Al-Quran, surah An-Nisa‟
ayat 59 seperti yang telah disebut.
42
Farid Abdul Khalid, Fikih Politik Islam, (Jakarta: AMZAH, 2005), cet. 1, h. 58.
43
Ibid, h. 61.
37
Apabila seorang penguasa bermusyawarah dengan orang bawahannya
atau rakyatnya, sementara sebagian mereka menegurnya bahwa apa yang harus
diikuti adalah Al-Quran dan As-Sunnah maka ketika ini sang pemerintah harus
tunduk pada keduanya. Di sini seseorang tidak boleh taat kepada siapa pun untuk
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah,
meskipun dia berkedudukan tinggi dan mempunyai status sosial yang mapan di
dunia.
Apabila ada permasalahan yang diperselisihkan oleh umat, maka setiap
orang dari mereka mengeluarkan pendapatnya yang terarah dan tepat, mengacu
pada Al-Quran dan As-Sunnah. Oleh karenanya, setiap pendapat yang
mempunyai kesamaan dengan apa yang tertera dalam keduanya maka haruslah
diperhitungkan untuk dipakai. 44
Konsep Musyawarah ini dapat dilihat pelaksanaanya dalam Ahlu al-Halli
Wa al-Aqdi atau Ahlu al-Ikhtiyar, yang banyak disebut oleh ulama-ulama fikih
dan tafsir di dalam kitab-kitab mereka.
2. Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi Dan Ahlu al-Ikhtiyar
Penulis tidak menemukan baik di dalam Al-Quran atau As-Sunnah
sebutan atau spesifikasi apa yang dimaksudkan dengan Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi
44
Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar’iyah, Etika Politik Islam, penerjemah Rofi‟ Munawwar,
(Surabaya: Risalah Gusti, 2005), cet. 3, h. 223.
38
dan Ahlu al-Ikhtiyar ini. Tujuan Islam tidak membuat satu sistem khusus dan
tidak merinci-rincikannya agar rakyat ikut adil dalam perkara Musyawarah, dan
rincian partisipasi atau adilnya itu diserahkan kepada mereka. Perkara perincian
itu juga berbeda-beda sesuai dengan perbedaan sosial kemasyarakatan di satu
masa dan satu tempat.
Istilah Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi mulai timbul dalam kitab-kitab para ahli
tafsir dan ahli fikih setelah masa Rasulullah SAW. Mereka berbeda pendapat
seputar definisisi Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi dan juga Ahlu al-Ikhtiyar. Imam AlMawardi dan beberapa ulama lainnya menyebutnya dengan Ahlu al-Ikhtiyar,
yaitu “orang-orang yang mempunyai kualifikasi untuk memilih”. 45 Dalam
hubungan ini, Dr. Abdul Karim Zaidan menyebut “Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi ialah
orang-orang yang berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberikan
kepercayaan kepada mereka. Para rakyat menyetujui pendapat wakil-wakil itu
karena ikhlas, konsekuen, takwa, adil, dan kecemerlangan pikiran serta kegigihan
mereka dalam memeperjuangkan kepentingan rakyatnya”.
Paradigma pemikiran ulama fikih merumuskan istilah Ahlu al-Halli Wa
al-Aqdi didasarkan pada sistem pemilihan empat khalifah pertama yang
dilaksanakan oleh para tokoh sahabat yang mewakili dua golongan; Anshar dan
Muhajirin. Mereka ini oleh ulama fikih diklaim sebagai Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi
yang bertindak sebagai wakil umat. Walaupun sesungguhnya pemilihan itu,
45
M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), cet. 1, h. 176.
39
khususnya pemilihan Abu Bakar dan Ali lebih bersifat spontan atas dasar
tanggungjawab umum terhadap kelangsungan keutuhan umat dan agama, namun
keduanya mendapat pengakuan dari umat. Hanya Umar yang membentuk satu
kumpulan sahabat yang beranggotakan enam orang untuk memilih khalifah
sesudah ia wafat.46
Adapun secara bahasa, istilah Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi terdiri dari tiga
kalimat: 1- Ahlu, yang berarti orang yang berhak atau memiliki, 2- Halli, yang
berarti melepaskan, menyesuaikan, memecahkan, 3- Aqdi, yang berarti mengikat,
mengadakan, membentuk. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan pengertian
Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi mengikut bahasa adalah "Orang-orang yang memiliki
pengetahuan (ahlinya), yang mampu melepaskan, menyesuaikan, memecahkan
permasalahan umat, menetapkan urusan-urusan umat dan mengadakan serta
membentuk sistem/peraturan”.47
Tentang bilangan keanggotaan Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi sehingga
pengangkatan imam (khalifah) atau pembuatan ssesuatu keputusan oleh mereka
dianggap sah, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
Sekelompok ulama berpendapat, bahwa pemilihan imam (khalifah) tidak
sah kecuali dengan dihadiri seluruh anggota Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi bagi setiap
daerah, agar imam yang mereka angkat diterima seluruh lapisan masyarakat dan
46
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah, Dan Pemikiran, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002), cet. 5, h. 67.
47
http://mediafathulkhoir.blogspot.com/2008/12/ahlul-halli-wal-aqdi.html
23/3/2010 jam 13:30 WIB.
diakses
tanggal
40
mereka semua tunduk pada kepemimpinannya. Pendapat ini berhujah dengan
peristiwa pembaiatan (pengangkatan) Abu Bakar RA.
Kelompok ulama yang lain berpendapat bahwa minimal lembaga yang
memilih imam yaitu Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi itu beranggotakan lima orang,
kemudian mereka sepakat mengangkat khalifah, atau salah seorang dari mereka
sendiri diangkat menjadi khalifah dengan mendapat restu dari empat anggota
yang lain.
Para ulama di Kufah berpendapat bahwa Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi
dianggap sah dengan tiga orang. Salah seorang dari mereka bertiga ditunjuk
sebagai imam (khalifah) dengan persetujuan dua anggota yang lain. Jadi salah
seorang dari mereka diangkat menjadi imam dengan dan dua yang lainnya
menjadi saksi sebagaimana akad pernikahan dianggap sah dengan dihadiri satu
orang wali dan dua orang saksi.
Kelompok lain berpendapat bahwa Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi sah dengan
hanya satu orang, karena Abbas Bin Abdul Muthalib RA berkata kepada Ali Bin
Abi Thalib RA, ”Bentangkan tanganmu, aku membaitmu, agar orang-orang
berkata bahwa paman Rasulullah SAW telah membait keponakannya kemudian
tidak ada dua orang yang berbeda pendapat tentang dirimu”. Selain itu lagi,
sesungguhnya menurut mereka permasalahan ini adalah permasalahan hukum dan
hukum itu sah dengan hanya satu orang.48
48
Imam Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Dalam
Syariat Islam, penerjemah Fadli Bahri, (Jakarta: PT Darul Falah, 2007), cet. 3, h. 5.
41
Mengenai syarat-syarat para anggota Ahlu al-Iktiyar, Imam Al-Mawardi
memberi gambaran bahwa mereka harus memiliki tiga kriteria, yaitu:
1. Adil dengan cukup segala syarat-syarat untuk dikatakan sebagai adil.
2. Mempunyai ilmu yang membuatnya mampu memilih siapa yang
difikirkan layak untuk menjadi imam sesuai dengan kriteria yang telah
ditetapkan.
3. Wawasan dan sikap bijaksana yang membuatnya mampu memilih siapa
yang paling tepat untuk menjadi imam yang paling efektif dan paling ahli
dalam mengelola segala kepentingan. 49
Jika anggota Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi mengadakan sidang untuk memilih
pemimpin, mereka harus mempelajari data pribadi orang-orang yang mempunyai
kriteria kepemimpinan kemudian mereka memilih siapa di antara orang-orang
tersebut yang paling banyak kelebihannya, paling lengkap kriterianya, paling
segera ditaati rakyat dan mereka tidak menolak membaiatnya. 50
Tentang hubungan antara Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi dan rakyat, mereka
mewakili rakyat dalam melaksanakan haknya untuk memilih kepala negara.
Mereka adalah wakil-wakil rakyat dalam melaksanakan hak pilih, yang secara
tidak langsung pula berarti pilihan mereka adalah pilihan rakyat. Menurut Rasyid
Ridha, tugas Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi selain dari hak pilih, adalah menjatuhkan
49
Ibid, h. 3.
50
Ibid, h. 6.
42
khalifah jika terdapat hal-hal yang mengharuskan pemecatannya. Al-Mawardi
juga berpendapat jika kepala negara melakukan tindakan yang bertentangan
dengan agama, rakyat dan Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi berhak untuk menyampaikan
mosi tidak percaya kepadanya.51
3. Demokrasi Dalam Islam
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena
kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal
dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi moderen.
Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi bagi
demokrasi moderen telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan
perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat,
dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai
pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci
tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat
ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
51
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah, Dan Pemikiran, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002), cet. 5, h. 70-71.
43
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu
negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan rakyat) atas
negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi
ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk
diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan
berada dalam peringkat yangg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan
independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga
negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip
checks and balances.
Menurut Sadek J. Sulaymân, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip
yang menjadi standar baku. Diantaranya:
1. Kebebasan berbicara setiap warga negara.
2. Pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak
didukung kembali atau harus diganti.
3. Kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol
minoritas.
4. Peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik
rakyat.
5. Pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
6. Supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum).
44
7. Semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu.
Dalam permasalahan demokrasi ini, para ulama berbeda pandangan. Ada
yang mengatakan bahwa demokrasi haram karena berbeda dengan prinsip-prinsip
Islam, dan ada yang mengatakan bahwa ia diperbolehkan.
Al-Maududi52 secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak
mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat
untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk
dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya,
Al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang
bersifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum
Tuhan). Tentu saja bukan teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad
pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas kepada para pendeta
Seorang intelektual Pakistan, M. Iqbal53 mengatakan, sejalan dengan
kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi
spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama.
Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang
bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya,
52
Syed Abu A‟la Al-Maududi dilahirkan pada tanggal 25 September 1903 di Hyderabad, India
dan meninggal dunia pada 22 September 1979 di Amerika Serikat. Beliau adalah ulama tafsir, hadis,
fikih dan politik di India/Pakistan.
53
Muhammad Iqbal lahir di desa Sialkot, Punjab, India pada tanggal 9 November 1877 dan
meninggal di Lahore, India pada 21 April 1938. Beliau merupakan seorang pemikir Islam, filsuf
sekaligus penyair.
45
menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah
kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah
konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi
yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi secara mutlak, melainkan prakteknya
yang berkembang di Barat. Lalu Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi
sebagai berikut:
1. Tauhid sebagai landasan asasi.
2. Kepatuhan pada hukum.
3. Toleransi sesama warga.
4. Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.
5. Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.
Seorang ulama lagi, Muhammad Imarah54 mengatakan bahwa Islam tidak
menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak.
Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara
mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan
tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum
tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum
sesuai dengan prinsip yang digariskan-Nya serta berijtihad untuk sesuatu yang
tidak diatur oleh ketentuan Allah. Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’
54
Muhammad Imarah lahir pada tahun 1931 di desa Qarwah-Qalain, Mesir. Karya tulisnya
yang terkenal adalah al-Qawmiyah al-Arabiyah.
46
(legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan
menjabarkan) hukum-Nya.
Dr. Yusuf Al-Qardhawi55 pula berkata, substasi demokrasi sejalan dengan
Islam. Menurutnya lagi, hal tersebut bisa dilihat pada beberapa perkara. Misalnya:
1. Dalam demokrasi, proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk
mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus
keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu
yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak
seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di
belakangnya.
2. Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan
dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan
nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.
3. Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa
yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya
layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat
yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah
untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
55
Seorang pemikir dan ulama moderen, Dr. Yusuf Al-Qardhawi dilahirkan pada tanggal 9
September 1926 di desa Safat Turab, Mesir. Merupakan Graduan Universitas Al-Azhar Cairo.
Pendapat dan pemikiran belaiau memiliki kesamaan dengan pemikiran Hassan Al-Banna, tidak salah
kerana beliau menjadikan Hassan Al-Banna sebgai contoh tauladan.
47
4. Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak
bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang
tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah
dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi
khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak
terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga,
mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka.
Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat
jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang
diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara
tegas. Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta
otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang
sejalan dengan Islam.
Salim Ali Al-Bahnasawi mengatakan, demokrasi mengandung sisi yang
baik yang tidak bertentangan dengan Islam dan pada masa yang sama masih
memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah
adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara,
sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah
pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. 56
56
http://nsudiana.wordpress.com/2008/01/19/demokrasi-dalam-pandangan-islam/
tanggal 23/3.2010 jam 13:40 WIB.
diakses
BAB III
PARLEMEN MENURUT PERLEMBAGAAN
PERSEKUTUAN MALAYSIA
A. Parlemen Malaysia
Secara umumnya, Parlemen merupakan majlis pembuat undang-undang
(legislatif). Terdapat 2 jenis Parlemen iaitu unikameral (satu dewan) atau yang
bikameral (dwikameral). Parlimen bikameral terdiri daripada satu dewan rendah
dimana ahlinya dipilih dalam pemilu dan dewan tinggi yang biasanya ahli
ditunjuk. Walapun sistem lain seperti trikameral wujud, mereka amat jarang.
Nama parlemen berasal dari perkataan Prancis, parlement, dengan parler
bermaksud “bercakap” : maka parlement berarti "tempat untuk bercakap atau
berbincang"; suatu perhimpunan atau perjumpaan dimana ahlinya berbincang
tentang isu-isu semasa. Parlemen yang paling terkenal adalah Parlemen Inggris,
yang biasanya digelar "Ibu parlemen-parlemen" kerana banyak negara
Komanwel1 mengasaskan kerajaan mereka pada sistem Wesminster, yang
berdasarkan pada Parlemen Inggris.2
1
Negara-Negara Komanwel atau Komanwel (Commonwealth) sahaja merupakan satu
persatuan yang terdiri dari negara-negara berdaulat yang ditubuhkan atau pernah ditakluk oleh pihak
Inggris kecuali negara Mozambique (bekas taklukan Portugis) dan Rwanda (bekas taklukan Belgium).
Bukan semua ahlinya mengiktiraf ratu Inggris, Ratu Elizabeth II sebagai ketua negara. Negara-negara
yang mengambilnya sebagai ketua negara dikenali sebagai Kerajaan Komanwel atau "Commonwealth
Realm". Bagaimanapun, mayoritas ahlinya adalah berbentuk republik, dan sebagian yang lain
mempunyai raja tersendiri. Contohnya seperti Malaysia, Brunei, dan Tonga, yang mempunyai
48
49
Di Malaysia, Perlembagaan Persekutuan mengatur bahwa Parlemen
adalah badan pemerintahan tertinggi yang bertindak membuat dan menggubal
undang-undang bagi Persekutuan. Parlemen Malaysia terdiri dari tiga badan yaitu
Yang di-Pertuan Agong, Dewan Negara, dan Dewan Rakyat.
B. Komponen Parlemen Malaysia
Sebagaimana yang telah penulis kemukakan, Parlemen Malaysia
mempunyai tiga kompenen utama yaitu; Yang di-Pertuan Agong, Dewan Negara,
dan Dewan Rakyat, maka keaggotaan Parlemen Malaysia adalah berbeda
berdasarkan ketiga-tiga komponen tersebut.
Yang di-Pertuan Agong sebagai kepala Parlemen dipilih dari Raja-Raja
Melayu3, setiap lima tahun sekali atau apabila Yang di-Pertuan Agong
sebelumnya meninggal dunia, hilang kelayakan sebagai Yang di-Pertuan Agong
Raja/Monarki sendiri. Namun demikian semua ahli Komanwel menganggap Ratu Inggris, Ratu
Elizabeth II sebagai kepala Komanwel.
2
3
http://ms.wikipedia.org/wiki/Parlimen diakses tanggal 31/3/2010 jam 12:00 WIB.
Raja-Raja Melayu bermaksud Sultan bagi 14 negara bagian di Malaysia yaitu Sultan Abdul
Halim Muazzam Shah Ibni Almarhum Sultan Badli Shah (Kedah), Sultan Haji Ahmad Shah AlMusta’in Billah Ibni Almarhum Sultan Abu Bakar Riayatuddin Al-Mua’zzam Shah (Pahang), Sultan
Sharafuddin Idris Shah Ibni Almarhum Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah (Selangor), Sultan Azlan
Muhibuddin Shah (Perak), Sultan Ismail Petra (Kelantan), Raja Syed Sirajuddin Billah Ibni Almarhum
Jamalullail (Perlis), Sultan Al-Wathiqu Billah Tuanku Mizan Zainal Abidin Ibni Almarhum Sultan
Mahmud Al-Muktafi Billah Shah (Terengganu), Sultan Iskandar Ibni Almarhum Sultan Ismail Petra
(Johor), Tuan Yang Terhormat Abdurrahman Abbas (Pulau Pinang), Tuan Yang Terhormat Dato’
Asnan Rafiq (Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur), Tuan Yang Terhormat Khalil Yaakob (Melaka),
Yang Besar Tuan Besar Seri Menanti Tengku Mukhriz (Negeri Sembilan), Tuan Yang Terhormat
Abang Ahmad Sallehuddin Abang Dareng (Sarawak) dan Tuan Yang Terhormat Dato’ Musa Adnan
(Sabah).
50
atau tidak dapat menjalankan tugas sebagai Yang di-Pertuan Agong karena
sesuatu hal yang menghalang. 4 Periode jabatan Yang di-Pertuan Agong adalah
selama lima tahun, dan boleh melepaskan jabatan dengan menulis surat kepada
Majelis Raja-Raja.5 Yang di-Pertuan Agong sekarang (2010) adalah Sultan6 bagi
negeri7 Terengganu yaitu Sultan Al-Wathiqu Billah Tuanku Mizan Zainal Abidin
Ibni Almarhum Sultan Mahmud Al-Muktafi Billah Shah.
Dewan Negara adalah Majlis Tinggi atau Senat 8, ia mempunyai
keanggotaan dari tiga kumpulan yaitu: 1- Anggota yang ditunjuk oleh tiap-tiap
Dewan Negeri9 dan bilangannya adalah dua orang bagi setiap negara bagian di
Malaysia. 2- Dua orang ditunjuk oleh Yang di-Pertuan Agong untuk mewakili
Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur dan seorang untuk mewakili Labuan. 3Anggota yang ditunjuk secara khusus oleh Yang di-Pertuan Agong dan
bilangannya empat puluh orang.10
4
Pasal 33A dan 34 Perlembagaan Persekutuan.
5
Tun Mohd. Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di Malaysia, (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2006), cet. 3, h. 61.
6
Sultan adalah kepala agama bagi agama Islam di setiap negara bagian di Malaysia.
7
Negeri bermaksud negara bagian.
8
Team Penyusun ILB, Malaysia Kita, Panduan Dan Rujukan Untuk Peperiksaan Am
Kerajaan, (Selangor: International Law Book Service, 2005), cet. 6, h. 200.
9
Dewan Negeri adalah dewan rendah di tingkat negeri (negara bagian).
10
Pasal 45(1) Perlembagaan Persekutuan.
51
Ahli yang ditunjuk secara khusus oleh Yang di-Pertuan Agong adalah para
pakar di dalam bidang perkhidmatan umum dan telah menyumbang jasa di dalam
bidangnya. Contohnya para ahli di dalam lapangan perniagaan, akademik, seni,
atau orang yang dipikirkan dapat menyampaikan aspirasi kaum minoritas di
Malaysia. 11
Periode jabatan bagi anggota Dewan Negara adalah tiga tahun dan
pembubaran Parlemen tidak menjejaskan periode jabatan mereka,12 tapi jika
seseorang itu dilantik untuk memegang keanggotaan Dewan Negara karena
menggantikan ahli sebelumnya yang meninggal dunia atau yang melepaskan
jabatan dengan rela, maka tempoh jabatan bagi anggota tersebut adalah selama
periode jabatan yang masih tersisa dari periode jabatan anggota yang
digantikannya.
Seorang anggota Dewan Negara boleh melepaskan jabatannya dengan
menulis surat kepada Yang Dipertua Dewan13. Jika seorang anggota Dewan
Negara tidak hadir didalam perjumpaan Dewan Negara selama enam bulan
11
Ibid, pasal 45(2).
12
Ibid, pasal 45(3).
13
Yang dimaksudkan dengan Yang Dipertua Dewan adalah kepala bagi Dewan Negara. Ia
dipilih dari anggota Dewan Negara sendiri dan jika masih belum ada yang memegang jabatan ini,
dewan tidak bisa membincangkan sesuatu apapun melainkan perbincangan untuk memilih Yang
Dipertua tersebut sahaja.
52
dengan tidak mendapat izin dari Yang Dipertua Dewan, maka ia bisa hilang
kelayakan untuk memegang jabatannya di dalam Dewan Negara. 14
Dewan Rakyat pula adalah komponen ketiga dalam Parlemen Malaysia,
merupakan satu badan khas untuk rakyat menyuarakan aspirasi mereka kepada
pemerintah yang disampaikan oleh wakil-wakil mereka. Kesemua anggota Dewan
Rakyat dipilih melalui proses pemilu, yang di negara Malaysia dijalankan setiap
empat tahun sekali. Jumlah ahli Dewan Rakyat adalah sebanyak 222 orang15,
dengan rincian sebagai berikut:
1. Dua puluh enam orang dari negara bagian Johor.
2. Lima belas orang dari negara bagian Kedah.
3. Empat belas orang dari negara bagian Kelantan.
4. Enam orang dari negara bagian Melaka.
5. Delapan orang dari negara bagian Negeri Sembilan.
6. Empat belas orang dari negara bagian Pahang.
7. Tiga belas orang dari negara bagian Pulau Pinang.
8. Dua puluh empat orang dari negara bagian Perak.
9. Tiga orang dari negara bagian Perlis.
10. Dua puluh lima orang dari negara bagian Sabah.
11. Dua puluh delapan orang dari negara bagian Sarawak.
14
Tun Mohd. Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di Malaysia, (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2006), cet. 3, h. 68-70.
15
Pasal 46(1) Perlembagaan Persekutuan.
53
12. Dua puluh dua orang dari negara bagian Selangor.
13. Delapan orang dari negara bagian Terengganu.
14. Tiga belas orang dari Wilayah-wilayah Persekutuan, yaitu sebelas orang
dari Kuala Lumpur, seorang dari Labuan dan seorang dari Putrajaya. 16
Periode jabatan bagi anggota Dewan Rakyat akan berakhir apabila
Parlemen dibubarkan oleh Yang di-Pertuan Agong, yang kebiasaannya diikuti
oleh pemilihan umum untuk memilih anggota-anggota baru bagi sesi berikutnya,
dan pemilu ini biasanya dijalankan empat tahun sekali di Malaysia. Anggota
Dewan Rakyat juga boleh berhenti dari jabatannya dengan menulis surat kepada
Yang Dipertua Dewan Rakyat.17
Selain itu, terdapat juga ketentuan yang mengatur siapa saja yang layak
menjadi ahli Parlemen Malaysia. Mengikut ketentuan itu, orang-orang yang
termasuk di dalam senarai ini dikatakan sebagai tidak layak untuk menjadi ahli
Parlemen:
1. Orang tidak waras; orang gila; orang tidak siuman.
2. Orang bankrup, selagimana ia tidak mendapat pernyataan bertulis
daripada pengadilan bahwa ia telah bebas dari kebangkrupannya.
16
Team Penyusun ILB, Malaysia Kita, Panduan Dan Rujukan Untuk Peperiksaan Am
Kerajaan, (Selangor: International Law Book Service, 2005), cet. 6, h. 203.
17
Setaraf dengan Yang Dipertua Dewan Negara.
54
3. Orang yang telah memegang jabatan di dalam pentadbiran dan
perkhidmatan umum, termasuk hakim-hakim pengadilan, ahli-ahli SPR18.
4. Mana-mana orang yang memegang jabatan yang dianggap oleh
Perlembagaan Persekutuan bahwa jabatannya itu sebagai jabatan bergaji
tetap dan tidak layak untuk menjadi ahli Parlemen.
5. Seseorang yang mempunyai rekod kesalahan dan telah dibicarakan di
pengadilan, serta telah dihukum penjara sekurang-kurangnya satu tahun
dan denda tidak kurang dari RM2000.00.
6. Seseorang yang dengan sengaja dan rela mendapat taraf warganegara di
mana-mana negara di luar Persekutuan.19
Bagi Dewan Negara, seseorang itu haruslah sekurang-kurangnya berusia
21 tahun dan bagi Dewan Negara pula berusia sekurang-kurangnya 30 tahun
untuk dianggap layak menjadi ahli. 20
C. Fungsi Parlemen
Sebagaimana fungsi kebanyakan Parlemen di dunia, Parlemen Malaysia
juga bertindak sebagai badan pembuat dan penggubal undang-undang. Ini jelas
18
SPR adalah kependekan dari Suruhanjaya Pilihan Raya, satu badan yang mengatur
ketentuan bagi pemilu di Malaysia, setaraf dengan Komisi Pemilihan Umum bagi Republik Indonesia.
19
Team Penyusun ILB, Malaysia Kita, Panduan Dan Rujukan Untuk Peperiksaan Am
Kerajaan, (Selangor: International Law Book Service, 2005), cet. 6, h. 204.
20
Tun Mohd. Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di Malaysia, (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2006), cet. 3, h. 74.
55
sebagaimana yang diatur di dalam Perlembagaan Persekutuan bab 4 pasal
44:“Kuasa Perundangan Persekutuan terletak pada Parlimen… 21”.
Dari segi sejarah, kuasa membuat undang-undang sememangnya ada pada
tangan raja. Parlemen hanyalah sebagai badan penasehat raja sahaja. Tetapi
dengan perubahan zaman, kuasa mutlak yang dipunyai oleh raja dalam membuat
undang-undang telah beransur-ansur berkurangan sedikit demi sedikit, sehingga
pada akhirnya wewenang raja yang tinggal hanyalah setakat memberi persetujuan
kepada undang-undang yang telah diluluskan oleh dua dewan Parlemen, yaitu
Dewan Rakyat dan Dewan Negara. 22
Menurut sejarah Malaysia, pada zaman Kerajaan Melayu Kuno, kuasa
membuat undang-undang memang terletak pada tangan raja secara mutlak.
Kemudiannya semasa zaman pra-kemerdekaan Malaysia, pihak Inggris mencoba
untuk memisahkan kuasa pemerintahan dari tangan raja-raja dengan membuat
undang-undang yang mengatur batasan wewenang dan kuasa raja sehingga raja
tidak bisa mencampuri urusan pemerintahan negara Malaysia. Salah satu daripada
wewenang raja yang telah dibatasi oleh pihak Inggris adalah hak untuk membuat
undang-undang. Pihak Inggris memberikan syarat untuk ia melepaskan negara
Malaysia dari kuasa taklukannya, bahwa setelah merdeka, Malaysia harus
menggunakan undang-undang berbasiskan undang-undang Inggris dan menerima
21
Lembaga Penyelidikan Undang-Undang, Perlembagaan Persekutuan, (International Law
Book Sevices, Selangor, 2007), h. 29.
22
Tun Mohd. Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di Malaysia, (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2006), cet. 3, h. 82.
56
Perlembagaan Persekutuan sebagai konstitusi negara. Karena Malaysia terpaksa
menggunakan Perlembagaan Persekutuan sebagai konstitusi, dan karena
konstitusi ini mengatur bahwa kuasa memebuat undang-undang terletak pada
tangan badan yang akan dibentuk dan diberi nama Parlemen, maka Inggris telah
berhasil membatasi wewenang raja-raja dalam membuat undang-undang.
Parlemen juga harus mengadakan persidangan setiap enam bulan sekali
untuk membincangkan hal-hal kepentingan umum, dan hal ini penting untuk
menjaga kepentingan rakyat.23
Berkenaan fungsi Parlemen Malaysia sebagai pembuat undang-undang,
hal itu dengan cara Dewan Rakyat dan Dewan Negara meluluskan satu undangundang yang kemudiannya dipersetujukan oleh Yang di-Pertuan Agong.
Seterusnya undang-undang tersebut akan disahkan pula oleh pengadilan.
Undang-undang baru boleh dimulakan di mana-mana dewan, tetapi
undang-undang yang terkait dengan kewangan hendaklah dimulai di Dewan
Rakyat, karena Dewan Rakyat lebih berkuasa dalam hal kewangan ketimbang
Dewan Negara. Undang-undang yang dibuat oleh Parlemen, jika bertentangan
dengan Perlembagaan Persekutuan, boleh digugat di pengadilan melainkan jika
undang-undang darurat.24
Akan tetapi secara realitasnya, wewenang membuat undang-undang lebih
dominan pada Dewan Rakyat karena undang-undang yang akan dibentuk akan
23
Ibid, h. 78.
24
Pasal 4(3) Perlembagaan Persekutuan.
57
dibincangkan di Dewan Rakyat terlebih dahulu. Menurut Pasal 68 Perlembagaan
Persekutuan, Dewan Negara hanya berkuasa untuk menangguhkan pembuatan
undang-undang itu sahaja. Ia tidak mempunyai kuasa untuk menolak undangundang yang telah dipersetujukan di Dewan Rakyat, juga tidak mempunyai kuasa
untuk membuat sebarang perubahan terhadap undang-undang tersebut.25
D. Hak Dan Wewenang Parlemen
Setiap badan tertinggi sesuatu negara seperti Parlemen mesti mempunyai
hak-hak keutamaan untuk membolehkan badan tersebut menjalankan tugasnya
dengan sempurna. Begitu juga dengan Parlemen Malaysia, ia mempunyai hak
keutamaan yang tersendiri dan hak tersebut menjadi sebagian dari undang-undang
Malaysia. 26 Sebagian dari hak-hak keutamaan Parlemen Malaysia adalah:
1. Hak untuk menentukan bahwa seseorang ahlinya telah hilang kelayakan
untuk memegang jabatan di dalam dewan.
2. Hak membuat aturan untuk menjaga ketertiban perjalanan gerak kerjanya.
3. Hak untuk menghalang seseorang yang bukan ahlinya daripada
menghadiri persidangan dewan dan menangkap sesiapa yang dianggap
membuat kekacauan di dalam dewan.
25
Tun Mohd. Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di Malaysia, (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2006), cet. 3, h. 94.
26
Akta Parlemen 1911-1.
58
4. Hak mendenda seseorang ahlinya atau yang bukan ahlinya jika melakukan
sesuatu kesalahan terhadap dewan.
5. Hak mengeluarkan surat perintah untuk menangkap seseorang yang
melakukan kesalahan terhadapnya dan membolehkan petugas yang
menjalankan tugas penangkapan tersebut untuk memasuki rumah
kediaman orang yang hendak ditangkap itu.
6. Hak mengeluarkan gugatan untuk memanggil sesiapa sebagai saksi di
dalam persidangan dewan.
7. Hak untuk memaksa saksi bercakap benar dan melepaskan saksi dari
menjawab pertanyaan yang diajukan.
8. Hak untuk menentukan bahwa sesuatu perbicaraan di dalam dewan sah
ataupun tidak, dengan keputusan ini tidak bisa digugat di mana-mana
pengadilan. 27
Parlemen Malaysia juga mempunyai beberapa keistimewaan sebagaimana
yang diatur di dalam Pasal 63 Perlembagaan Persekutuan, yaitu:
1.
Keabsahan mana-mana keputusan yang diambil semasa persidangan
Parlemen tidak boleh dipersoalkan dan digugat dalam mana-mana
pengadilan.
2.
Sesiapapun tidak boleh dibicarakan di dalam mana-mana pengadilan
karena apa-apa jua tutur katanya di dalam persidangan Parlemen. 28 Ini
27
Tun Mohd. Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di Malaysia, (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2006), cet. 3, h. 95-96.
59
bermarti seseorang anggota Parlemen atau bukan anggota Parlemen yang
dipanggil untuk memberi keterangan di dalam persidangan Parlemen
sebagai saksi, berhak untuk berbicara dengan bebas. Akan tetapi
kebebasan ini bukan berarti bahwa seseorang bisa bercakap semaunya
tanpa menghiraukan sensitiviti dewan. Yang Dipertua Dewan yang juga
sebagai pengerusi persidangan dewan berhak mengawal segala kata-kata
dan percakapan di dalam dewan untuk memelihara ketenteraman.29
28
29
Pasal 63(2) Perlembagaan Persekutuan.
Ahmad Mohamed Ibrahim dan Ahilemah Joned, Sistem Undang-Undang Di Malaysia,
(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 1986), cet. 2, h. 171.
BAB IV
TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP PARLEMEN
MENURUT PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA
A. Agama Dan Negara Dalam Kajian Ketatanegaraan Islam
Polemik hubungan agama dan negara masih menjadi perdebatan yang
tidak berkesudahan dibanyak negara Muslim sampai saat ini. Apakah agama
menjadi wilayah privat individu warga negara ataukah masuk dalam wilayah yang
harus diatur oleh negara? Bagaimana mengurai dan menjelaskan hubungan agama
dan negara juga menjadi persoalan yang belum menemukan solusi atau jawaban
yang dapat dijadikan pedoman bersama. Sekilas berkenaann kata „agama‟ dan
„negara‟:
1. Kata „agama‟ berasal dari bahasa Sanskreta yang berarti tradisi, tidak
bergerak, peraturan. Sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia
disebutkan bahwa ”Agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada
Tuhan, atau juga kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan
tersebut”.1 Agama dalam bahasa arab pula adalah din, yang artinya taat,
takut dan setia, paksaan, tekanan, penghambaan, perendahan diri,
pemerintahan, kekuasaan, siasat, balasan, adat, pengalaman hidup,
perhitungan amal. Sinonim kata din dalam bahasa arab ialah milah.
1
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 10.
60
61
Bedanya, milah lebih memberikan titik berat pada ketetapan, aturan,
hukum, tata tertib, atau doktrin ketimbang kata din itu.2 Sedangkan
Endang Saifuddin Anshari mendefinisikan bahwa agama pada umumnya
merupakan suatu sistema ‟tata keimanan‟ atau ‟tata keyakinan‟ atas
adanya suatu yang mutlak diluar manusia. Selain itu ia juga merupakan
sistem ‟tata peribadahan‟ manusia kepada sesuatu yang dianggap Yang
Mutlak, juga sebagai sistema norma ‟tata kaidah‟ yang mengatur
hubungan antar manusia serta manusia dengan alam lainnya sesuai dan
sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadahan itu.3
2. Definisi „negara‟ dalam Kamu Bahasa Indonesia disebutkan bahwa negara
adalah “Suatu kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah
tertentu yang diorganisasi dibawah lembaga politik dan pemerintah yang
efektif,
mempunyai kesatuan politik,
berdaulat
sehingga
berhak
menentukan tujuan nasionalnya”. 4 Dalam Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia pula dijelaskan bahwa „negara‟ sebagai “Wilayah yang dihuni
oleh masyarakat sebagai warga sah yang mengatur daerah tersebut sesuai
2
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama diakses tanggal 21 Juni 2010 jam 11:00 WIB.
3
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma dan
Sistem Islam, (Jakarta: GIP, 2004), h. 30.
4
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 685.
62
dengan aturan perundang-undangan yang berlaku”.5 Adapun menurut ahli
ketatanegaraan pula:
a. Georg Jellinek: Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok
manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
b. George Wilhelm Friedrich Hegel: Negara merupakan organisasi
kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual
dan kemerdekaan universal.
c. Prof. Mr. Soenarko: Negara ialah organisasi masyarakat yang
mempunyai daerah tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku
sepenuhnya sebagai sebuah kedaulatan.
d. Aristoteles: Negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi
beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya,
dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama.6
Menurut M. Natsir 7, negara bukanlah suatu badan yang tersendiri yang
menjadi tujuan. Dan dengan "persatuan agama dan negara" yang dimaksudkan,
bukanlah bahwa agama itu cukup sekadar dimasuk-masukkan saja disana sini
kepada negara itu. Urusan kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah
suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Islam. Yang menjadi tujuan adalah
5
6
7
Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jombang: Penerbit Lintas Media), h. 370.
http://id.wikipedia.org/wiki/Negara diakses tanggal 21 Juni 2010 jam 11:00 WIB.
Mohammad Natsir, lahir di Sumatera Barat, Indonesia pada tanggal 17 Juli 1908. Beliau
adalah Presiden Republik Indonesia yang kelima sekaligus pemimpin Partai Marsyumi, juga seorang
tokoh Islam terkemuka di Indonesia. Karyanya yang terkenal adalah buku berjudul Capita Selecta.
Beliau meninggal di Jakarta pada 6 Februari 1993.
63
kesempurnaan berlakunya undang-undang Tuhan, baik yang berkenaan dengan
kehidupan manusia sendiri (sebagai individu), ataupun sebagai anggota dari
masyarakat. Baik yang berkenaan dengan kehidupan dunia yang fana ini, ataupun
yang berhubungan kehidupan akhirat kelak.8
Dapat dibuat kesimpulan dari pandangan M. Natsir berkenaan hubungan
antara agama dan negara dari tulisannya “Berhakim Pada Sejarah” bahwa:
1. Agama Islam mempunyai aturan yang berkenaan dengan hukum-hukum
kenegaraan dan uqubat (pidana) dan muamalah yang semuanya itu adalah
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari agama Islam itu sendiri.
2. Orang yang tidak mau negara menjalankan semua peraturan agama Islam
yang berhubungan dengan hal tersebut pada hakekatnya bukan
memisahkan agama dari negara, malainkan melemparkan sebagian dari
hukum-hukum Islam.
3. Islam bersifat demokratis tetapi tidak semua hal (termasuk hukum-hukum
tetap) harus distem pula lebih dulu dalam Parlemen.
4. Kalau kekuasaan ada dalam tangan orang Islam, orang-orang beragama
lain tak usah khawatir. Mereka akan mendapat kebebasan beragama secara
luas.
5. Orang yang tidak mau mendasarkan negara kepada hukum-hukum Islam
dengan alasan tidak mau merusakkan hati orang yang bukan beragama
Islam, sebenarnya berlaku zalim kepada orang Islam sendiri yang
8
Ajib Rosidi, M. Natsir Sebuah Biografi, (Jakarta: Grimukti Pasaka, 1990), h. 294.
64
bilangannya 20 kali lebih banyak. Ini berarti merusakkan hak-hak
mayoritas, bukan lantaran hak-hak itu berlawanan dengan hak-hak dan
kepentingan minoritas tapi semata-mata takut kalau-kalau pihak minoritas
itu tidak suka.
6. Masalah agama dan negara ini memang suatu masalah yang penting. Tapi
ini tidak berarti bahwa masalah-masalah shalat, zakat, haji dan sebagainya
tidak dibincangkan sama sekali. 9
Di kalangan umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang
hubungan antara Islam dan ketatanegaraan. Ada yang mengatakan bahwa Islam
bukanlah semata-mata agama dengan pengertian Barat, yakni hanya menyangkut
hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang
sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan
manusia termasuk kehidupan bernegara. Para penganut aliran ini pada umumnya
berpendirian bahwa:
1. Islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula
antara lain sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam
bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan
Islam. Dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan
Barat.
9
http://www.scribd.com/doc/15779945/Agama-Dan-Negara-Pandangan-M-Natsir
tanggal 21 Juni 2010 jam 22:55 WIB.
diakses
65
2. Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani adalah
sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan empat
Khulafaur Rasyidun.
Terdapat juga sebagian umat Islam daripada kalangan orang yang
terpengaruh dengan pemikiran Barat menolak bahwa dalam Islam ada kenegaraan
atau ia datang hanya untuk memerintah satu umat saja dan hanya mengatur
hubungan antara semua manusia, dan menyangka bahwa agama hanyalah sekadar
hubungan antara manusia dengan Tuhan dan agama tidak harus mencampuri
urusan sosial, politik dan kehakiman. Pandangan kedua ini adalah dari kelompok
paham Sekularisme10, dan paham ini mulai timbul dari masyarakat Nasrani, di
mana terdapat pertembungan antara gereja dengan ilmu dan antara gereja dengan
negara. Oleh itu mereka membuat satu kaidah yang menyebut “Berikanlah apa
yang berkaitan dengan raja kepada raja dan apa yang berkaitan dengan Tuhan
kepada Tuhan”.11
Sebenarnya agama Islam sangat berhubungan dengan negara, mengatur
umat dan urusan-urusan ekonomi, sosial dan sebagainya. Islam yang diturunkan
oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yaitu satu agama yang
10
Gerakan atau paham yang mengatakan bahwa agama harus terpisah dari kehidupan duniawi.
11
Abdul Hadi Awang, Islam & Demokrasi, (Selangor: PTS Islamika, 2007), cet. 1, h. 9.
66
mempunyai kesempurnaan dan mencakup seluruh urusan kehidupan.12 Firman
Allah SWT Q.S Al-Maidah (5): 3
ِ
ِ
ِ
‫اضطَُّر ِِف‬
ْ ‫يت لَ ُك ْم ا ِإل ْسالَ َم ِدينًا فَ َم ْن‬
ُ ‫{الْيَ ْوَم أَ ْك َم ْل‬
ُ ‫ت َعلَْي ُك ْم ن ْع َم ِِت َوَرض‬
ُ ‫ت لَ ُك ْم دينَ ُك ْم َوأَْْتَ ْم‬
ِ ُ َ َّ‫َْم ٍة َي ر انِ ٍة ِإل ٍْة فَِ َّ الل‬
.)۳/‫يم}(املائدة‬
‫َ ٌر‬
َ َُ َ ْ َ َ
‫ور َر ٌر‬
Artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa
sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (Q.S: Al-Maidah/ 5:3)
B. Persamaan Parlemen Malaysia Dengan Konsep Pemerintahan Islam
Pemerintahan Islam yaitu pemerintahan yang dilaksanakan menurut
prinsip ajaran Islam. Ini tidak bermakna bahwa pemerintahan Islam itu bersifat
teokratik mutlak sebagaimana yang didakwakan oleh sebagian pihak atau seperti
yang pernah muncul dalam agama-agama lain. Oleh karena itu ajaran agama lain
itu lebih tertumpu kepada aspek-aspek tertentu seperti ajaran moral, maka
keadaan demikian memberi ruang kepada pemerintah dan pemimpin kalangan
tersebut menguatkan kekuasaan pemerintahan menurut keinginan mereka sendiri.
Oleh karena itu ajaran agama mereka tidak bersifat menyeluruh, membolehkan
pemimpin mereka mengklaim bahwa apa yang mereka perintahkan adalah
12
Khalid Ali Muhammad Al-Anbariy, Sistem Politik Islam Menurut Pandangan Al-Quran,
Al-Hadis Dan Pendapat Ulama Salaf, (Selangor: Digipress, 2008), h.10-12.
67
perintah agama yang mesti dipatuhi. Dari sudut lain kita lihat bahwa pelaksanaan
Pemerintahan Islam adalah lebih luas karena ia dilaksanakan oleh semua manusia,
bukan kepada beberapa individu atau kumpulan ahli-ahli agama saja.
Dari sudut pandang dalam konsep pemerintahan, Parlemen Malaysia juga
selaras dan sejalan dengan konsep Ketatanegaraan Islam. Ia juga memiliki
persamaan uang menunjukkan bahwa di Malaysia juga ada mengamalkan sistem
pemerintahan berlandaskan syariat Islam, diantaranya:
1. Musyawarah
Pemerintahan di Malaysia berasaskan sistem musyawarah, pemuafakatan
dan konsultasi. Dasar dan polisi negara diputuskan dalam musyawarah berbagai
tingkat, sama ada di tingkat Kabinet maupun di tingkat Parlemen. Kejayaan
meletakkan Islam sebagai agama Persekutuan dalam Perlembagaan Malaysia
(konstitusi) adalah hasil daripada musyawarah dan pemuafakatan semua kaum
pada peringkat awal kemerdekaan negara Malaysia dahulu. Oleh karena itu,
pendekatan dan nilai yang dibawa oleh Islam dalam bentuk yang ada dapat
diterima oleh semua dan tentunya kerana nilai dan pendekatan tersebut bersifat
menyeluruh.
Secara khususnya, konsep Musyawarah dapat dilihat dalam pelaksanaan
Parlemen Malaysia. Sesuatu undang-undang akan dibincangkan (bermusyawarah)
di Dewan Rakyat dan Dewan Negara sebelum ia diluluskan sebagai undangundang rasmi. Di sini konsep Musyawarah dapat berjalan dengan baik karena
68
para anggota Dewan Rakyat dan Dewan Negara akan bermusyawarah dengan
teliti sebelum mengambil sesuatu keputusan.
2. Demokrasi
Prinsip demokrasi yang dianjurkan Islam dapat dilihat dari sudut
pemilihan anggota Dewan Rakyat sebagai salah satu komponen Parlemen
Malaysia. Setiap individu rakyat akan memilih para wakil mereka melalui proses
pemilu untuk menyuarakan inspirasi dan isi hati mereka kepada pemerintah di
dalam Parlemen. Wakil-wakil rakyat ini bertanggungjawab dalam menjaga hak
dan kepentingan rakyat, dengan menbincangkan hal-hal yang menjadi
kepentingan rakyat umum di dalam persidangan dewan.
Rasyid Ridha13 berkata, ”Demikianlah, dikalangan umat harus ada orangorang yang memiliki kearifan dan kecerdasan dalam mengatur kemaslahatan
masyarakat, serta mampu menyelesaikan masalah-masalah pertahanan, serta
masalah-masalah kemasyarakatan dan politik. Itulah yang disebut dengan ahli
syura atau Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi di dalam Islam. Pengangkatan khalifah
tidaklah dibenarkan kecuali apabila mereka itulah yang memilihnya serta
membaiatnya dengan kerelaan. Mereka itulah yang disebut dengan wakil rakyat
atau wakil masyarakat”.14
13
Muhammad Rasyid Bin Ali Ridha Bin Syamsuddin Bin Baha‟uddin Al-Qalmuni AlHusaini, dilahirkan pada tahun 1865 dan meninggal pada 1935. Seorang intelektual Islam dari Suriah
yang mejadi penerus gagasan modernisme Islam. Kitabnya yang terkenal adalah Tafsir Al-Manaar.
14
Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manaar, (Cairo: Maktabah Al-Qahirah,1960), cet. 4, jilid 3, h. 11.
69
C. Perbedaan Parlemen Malaysia Dengan Konsep Ketatanegaraan Islam
Pelaksanaan hukum-hukum Allah SWT sebenarnya akan membawa
kebaikan kepada masyarakat manusia di Malaysia, ini yang terdiri atas berbagaibagai bangsa dan kaum agama. Karena hukum-hukum itu mengandung jaminan
keadilan, kebenaran dan pemeliharaan hak masing-masing. Yang dapat
menimbulkan keadaan juga membawa kepada sesuatu hasil yang negatif dari
pelaksanaan hukum-hukum Allah ialah kecurigaan dan kesanksian orang-orang
bukan Islam terhadap Islam itu. Mereka mungkin mengambil langkah-langkah
yang tidak benar jika hukum-hukum Islam dilaksanakan.
Sistem pemerintahan di Malaysia khususnya dalam perjalanan badan
Parlemen, juga memiliki persamaan dengan sistem pemerintahan Islam. Ini telah
disebutkan oleh penulis bahwa ciri persamaan tersebut diantaranya adalah
Musyawarah, dan demokrasi. Adapun masih terdapat perbedaan antara Parlemen
Malaysia dan konsep pemerintahan Islam, antaranya:
1. Kelayakan menjadi ahli Parlemen
Seperti yang telah penulis jelaskan pada BAB III, untuk menjadi ahli
Parlemen Malaysia terdapat syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi. Ini
sebagaimana yang diatur dalam konstitusi Malaysia (Perlembagaan Persekutuan).
Akan tetapi di dalam syarat-syarat tersebut tidak disebutkan bahwa penganut
Islam didahulukan untuk memegang jabatan ahli Parlemen Malaysia. Penulis
beranggapan bahwa ini tidak wajar, karena Islam adalah agama rasmi bagi
70
Malaysia dan mayoritas penduduk Malaysia beragama Islam. Seharusnya
penganut Islam didahulukan untuk menjadi ahli Parlemen. Di dalam sistem Ahlu
al-Halli Wa al-Aqdi, anggotanya harus seorang Islam yang adil. Adapun dalam
sistem parlementer khususnya di dalam Parlemen Malaysia, anggotanya tidak
harus beragama Islam. Memang tidak bisa untuk keanggotaan Parlemen Malaysia
hanya untuk orang-orang Islam karena penduduk Malaysia berbilang agama,
tetapi seharusnya orang Islam didahulukan memandangkan mayoritas penduduk
adalah beragama Islam dan agama rasmi negara Malaysia adalah Islam. Ini
bertujuan bagi menjaga kedudukan agama Islam di Malaysia.
Ahli Parlemen Malaysia khususnya ahli Dewan Rakyat dipilih oleh rakyat
100%, tidak ada sebarang syarat yang mengatur bahwa ahli yang dipilih oleh
rakyat itu benar-benar seorang yang boleh membawa aspirasi mereka dengan
tuntas. Bisa saja yang menjadi wakil rakyat itu seorang koruptor, atau seorang
yang zalim. Ini karena tidak ada sebarang tapisan lagi setelah seseorang itu dipilih
oleh rakyat. Jika seseorang individu telah dipilih oleh rakyat dan rakyat
mendukungnya, maka ia sah menjadi ahli Dewan Rakyat tanpa dilihat dan diteliti
latarbelakangnya.
Sesungguhnya mereka yang memegang kuasa perundangan dalam sistem
politik Islam adalah para ulama dan mujtahid, dan kekuasaan mereka pula hanya
terbatas kepada dua perkara:
71
a. Hanya melibatkan perkara yang sudah ada nas atau dalil dari Al-Quran
dan As-Sunnah. Tugas mereka adalah dengan memahami dalil tersebut
serta menerangkan hukum yang terdapat di dalamnya menggunakan
ilmu Usul Fikih. 15
b. Jika melibatkan perkara yang tidak ada dalil dari Al-Quran dan AsSunnah,
mereka akan berijtihad
mengikut
ketetapan syariat,
menggunakan kelengkapan ilmu dan peraturannya.
Mereka ini adalah golongan umat Islam yang terpilih, berbeda dengan
dengan sistem Parlementer yang jelas tidak menbatasi demokrasi dengan
menggunakan demokrasi yang dianjurkan barat. Kedaulatan benar-benar
diletakkan 100% pada tangan rakyat, ahli Parlemen dipilih oleh rakyat melalui
proses pemilu dan jika mereka itu terpilih, akan langsung dinobatkan sebagai ahli
Parlemen tanpa harus memiliki kelayakan akademis atau agama. Syarat minimum
seringkali cukup sekadar bisa membaca dan menulis. 16
2. Dasar pembuatan undang-undang oleh Parlemen
Parlemen Malaysia adalah badan legislator, yaitu badan pembuat dan
pengubah undang-undang. Parlemen Malaysia boleh membuat undang-undang
dengan menggunakan asas konstitusi yang asli sebagai rujukan (Perlembagaan
15
Khalid Ali Muhammad Al-Anbariy, Sistem Politik Islam Menurut Pandangan Al-Quran, AlHadis Dan Pendapat Ulama Salaf, (Selangor: Digipress, 2008), h. 257.
16
Ibid, h. 258.
72
Persekutuan). Menurut penulis, seharusnya yang digunakan sebagai rujukan
adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Firman Allah SWT Q.S Al-An‟am (6): 155
ِ
.)155/‫َننلْنَااُ َُ َارٌر فَااَِّ ُعواُ َوااَّ ُوا لَ َعلَّ ُك ْم اُ ْر َ ُو َ }(األنعام‬
‫{ َوَ َ ا كَ ٌر‬
َ ‫اا أ‬
Artinya: “Dan Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang
diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi
rahmat.” (Q.S: Al-An‟am/ 6:155)
Di dalam ayat ini, Allah SWT menyuruh agar umat-Nya mengikuti ajaran
kitab-Nya. Ini supaya tidak berlaku penyelewengan di dalam kekuasaan. Terdapat
juga satu hadith Nabi SAW yang mengatakan bahwa umat Islam tidak akan sesat
selagimana mengikut ajaran Al-Quran dan As-Sunnah.
Dalam Islam, Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi bertugas dengan megikut aturan
syariat Islam, mereka berpedomankan Al-Quran dan As-Sunnah. Mereka tidak
akan membahas hal-hal yang telah menjadi aturan Allah dan rasul-Nya, yang
sudah jelas nash-nash dari Al-Quran dan As-Sunnah. Sedangkan dalam sistem
parlemen, hukum atau undang-undang apapun (termasuk hukum yang telah
ditetapkan Allah) bisa dintrepetasikan dan bahkan diubah selama hal itu
disepakati seluruh anggota Parlemen atau jika dikehendaki rakyat.
Karena Malaysia menggunakan undang-undang Inggris sebagai asas,
pernah terjadi kasus dimana undang-undang yang telah dibuat di negara bagian
Terengganu (Qanun Hudud Dan Qishas), dan undang-undang ini secara yuridis
telah sah tapi tidak dapat diberlakukan karena terdapat kendala yaitu karena
73
undang-undang yang baru dibentuk tersebut dikatakan bertentangan dengan
aturan perundang-undangan Perlembagaan Persekutuan.
Aturan Perlembagaan Persekutuan menyebut bahwa jika ada mana-mana
undang-undang yang bertentangan dengannya, maka undang-undang yang
berlaku adalah undang-undang Perlembagaan Persekutuan dan undang-undang
yang bertentangan tersebut bisa dibatalkan. 17 Pasal 75 Perlembagaan Persekutuan
pula menyebut bahwa undang-undang negara bagian jika bertentangan dengan
undang-undang Persekutuan adalah terbatal setakat mana yang bertentangan itu. 18
Perlu diketahui bahwa Qanun Hudud Dan Qishas ini merupakan produk
hukum yang dihasilkan ketika partai PAS 19 (partai oposisi di Malaysia) menang
dalam pemilu tahun 1999 di Terengganu yang kemudian berkuasa hingga tahun
2004. Pelaksanaannya tidak sempat direalisasikan, karena pada tahun 2004 PAS
kalah dalam pemilu. Partai UMNO 20 yang berkuasa sejak pemilu 2004 dan
pemilu 2008 yang mengambil alih pemerintahan, memilih untuk tidak
mengamandemen ataupun menghapuskan qanun tersebut. Keengganan UMNO
Terengganu melaksanakan Qanun Hudud Dan Qishas ini pernah disinggung
17
Pasal 4(1) Perlembagaan Persekutuan.
18
Pasal 75 Perlembagaan Persekutuan.
19
PAS adalah kependekan dari Partai Islam se-Malaysia, merupakan partai berbasiskan Islam.
20
UMNO adalah kependekan dari United Malay Nation Organisation, merupakan partai
nasionalis, juga partai pemerintah di Malaysia.
74
dalam persidangan oleh ahli Dewan Undangan Negeri21 dari PAS, tetapi jawaban
dari pihak UMNO adalah bahwa selama ini belum ada kasus berkaitan dengan
pelanggaran qanun ini, sehingga pihaknya tidak dapat melaksanakannya. 22
21
22
Badan perundang-undangan rendah di tingkat negara bagian.
Koran Harakah Daily versi digital, edisi 18 Oktober 2007 diakses dari
http://www.harakahdaily.net/index.php?option=com_content&task=view&id=10310&Itemid=50 pada
21 Juni 2010 jam 11:30 WIB.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menguraikan dan menjelaskan mengenai badan Parlemen seperti
yang diatur di dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia, maka pada akhir
uraian penulis dapat menyimpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan tema
tersebut:
1. Malaysia adalah sebuah negara yang mengamalkan sistem parlementer,
dengan konstitusinya (Perlembagaan Persekutuan) mengatur badan
Parlemen sebagai badan yang bertugas dalam membuat dan merubah
undang-undang. Parlemen Malaysia terdiri dari tiga komponen utama;
Yang di-Pertuan Agong, Dewan Negara dan Dewan Rakyat. Metode
pemilihan dan pengangkatan ahli-ahli Dewan Negara dan Dewan Rakyat
adalah melalui jalan ditunjuk oleh Yang di-Pertuan Agong dan melalui
proses pemilu. Ahli yang ditunjuk oleh Yang di-Pertuan Agong adalah
orang-orang yang dianggap telah menyumbang jasa dalam perkhidmatan
umum, juga orang yang dipikirkan dapat menyampaikan aspirasi kaum
minoritas di Malaysia. Pemilu pula dijalankan biasanya selang empat
tahun di Malaysia untuk memilih ahli Dewan Rakyat.
75
76
2. Peran negara Malaysia dalam menerapkan konsep ketatanegaraan Islam
dalam pelaksanaan badan Parlemen adalah dengan mengatur bahwa ahli
Parlemen adalah dipilih melalui proses pemilu. Disini dapat dilihat bahwa
terdapat persamaan antara sistem pemerintahan negara Malaysia dengan
sistem Islam, karena dalam Islam terdapat teori demokrasi, dan
pelaksanaan demokrasi ada dalam pelaksanan badan Parlemen Malaysia.
Negara Malaysia juga masih mengamalkan sistem musyawarah; dalam
proses membuat undang-undang dewan-dewan Parlemen akan duduk
membincangkannya secara rinci dan di sini dapat dilihat terdapat ciri-ciri
musyawarah seperti yang dianjurkan Islam.
3. Secara keseluruhannya, sistem pemerintahan Malaysia masih tidak
konsisten dengan konsep Ketatanegaraan Islam karena terdapat banyak
kekurangan dan kelemahan, misalnya sistem perundang-undangan dan
pemerintahan Malaysia tidak menjamin keberadaan orang-orang beragama
Islam; orang-orang kafir bisa menjatuhkan orang Islam dengan cara
menjadi mayoritas dan dominan dalam pentadbiran. Juga bahwa undangundang asas di Malaysia berbasiskan undang-undang Inggris, bukan
berbasiskan Al-Quran dan Al-Hadis seperti yang dikehendaki Islam.
Perbedaan
antara sistem pemerintahan negara Malaysia dan sistem
pemerintahan Islam juga lebih banyak ketimbang persamaan antara
keduanya.
77
Walaupun sistem pemerintahan Malaysia masih jauh dari mencapai
kedudukan sebagai sistem pemerintahan Islam, bisa dikatakan bahwa masih ada
sedikit persamaan diantara keduanya. Semoga dengan sedikit persamaan tersebut,
suatu hari nanti negara Malaysia benar-benar menjadi sebuah negara Islam.
B. Saran-saran
Sedikit banyaknya, menurut penulis masih terdapat kekurangan dalam
sistem pemerintahan Malaysia, khususnya di dalam perjalanan dan pentadbiran
badan Parlemennya. Untuk menjadikan negara Malaysia benar-benar konsisten
dengan apa yang dianjurkan dengan konsep Islam, maka beberapa perubahan
perlu dilakukan, antaranya adalah:
1. Undang-undang Islam hendaklah dijadikan sebagai undang-undang asas
dan undang-undang utama di Malaysia.
2. Satu peruntukan hendaklah dibuat di dalam konstitusi Malaysia
(Perlembagaan Persekutuan), bahwa mana-mana undang-undang yang
telah sedia ada atau yang akan dibuat oleh Parlemen haruslah sejalan
dengan undang-undang Islam, dan dalam proses pembuatan undangundang baru pula, haruslah menjadikan undang-undang Islam sebagai
sumber rujukan asas. Jika ada mana-mana undang yang bertentangan
dengan undang-undang Islam, maka ia hendaklah dibatalkan.
78
3. Satu badan khusus yang terdiri dari kalangan pakar, ahli manajemen dan
ulama perlu diwujudkan bagi menilai pribadi dan kelayakan para anggota
Parlemen Malaysia, adakah mereka benar-benar bisa menjalankan tugas
dengan berkesan, khususnya seperti yang dikehendaki Islam.
4. Peruntukan-peruntukan berkenaan badan pemerintahan seperti badan
eksekutif, legislatif dan judikatif mesti menjamin keberadaan dan
keutamaan orang-orang yang beragama Islam.
Walaupun terdapat sedikit banyaknya kekurangan dalam pemerintahan
dan perundang-undangan di Malaysia, penulis menghargai dan berterima kasih
seikhlas-ikhlasnya
kepada
kerajaan
Malaysia,
karena
keharmonian dan
kemakmuran yang dirasakan oleh penulis sendiri selama menjadi bagian dari
masyarakat Malaysia sangat terkesan. Penulis juga menghormati komitmen
individu-individu yang berada di dalam pemerintahan negara Malaysia yang telah
berusaha keras untuk kesejahteraan rakyat Malaysia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran Al-Karim.
Abadi, Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz, al-Qâmûs al-Muhîth, Bairut: Dâr al-Fikir,
1995.
Abas, Tun. Mohd Salleh, Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan di Malaysia,
Ampang/ Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan: Dawama Sdn. Bhd, 2006.
Al-Anbariy, Khalid Ali Muhammad, Sistem Politik Islam Menurut Pandangan AlQuran, Al-Hadis Dan Pendapat Ulama Salaf, Selangor: Digipress, 2008.
Al-Anshari, Abd Al-Hamid Ismail, Al-Syuura Wa Atsaruha Fi Al-Dimuqrathiyyah,
Cairo: Al-Maktabah Al-Salafiyyah, 1981.
Al-Arabi, Ibnu, Al-Ahkam Al-Quran, Beirut:Dar Al-Fikr, 1988, jilid 1.
Al-Badawy, Ismail, Mabda’ Al-Syuura Fi Al-Syariat Al-Islamiyyah, Cairo: Dar AlFikr Al-Arabi, 1981.
Al-Khaliq, Abd al-Rahman Abd. Al-Syuura Fi Zhilli Nidzham al-Hukm al-Islam,
Kuwait: al-Dar al-Salafiyyah, 1975.
Al-Mawardi, Imam, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Hukum-Hukum Penyelenggaraan
Dalam Syariat Islam, penerjemah Fadli Bahri, Jakarta: PT Darul Falah, 2007,
cet. 3.
______________, Imam, Hukum Tata Negara Dan Kepemimpinan Dalam Takaran
Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Anshari, Endang Saifuddin, Wawasan Islam Pokok-Pokok Pikiran Tentang
Paradigma dan Sistem Islam, Jakarta: GIP, 2004.
Awang, Abdul Hadi, Islam & Demokrasi, Selangor: PTS Islamika, 2007, cet. 1.
Babbali, Mahmud Muhammad, Al-Syuura Suluk Wa Al-Iltizam, Makkah: Maktabah
Al-Tsaqafah, 1986.
Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2007, cet. 30.
79
80
Dahl, Robert, Modern Political Analysis, New Delhi: Prentice Hall of India, 1977,
cet. 1.
Departmen Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahan, PT Syaamil Cipta Media.
Ibrahim, Ahmad Mohamed, dan Joned, Ahilemah, Sistem Undang-Undang Di
Malaysia, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 1986.
Ka’bah, Rifyal, Politik dan Hukum Dalam Al-Qur’an, Jakarta: Khairul Bayan, 2005,
cet. 1.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997.
Kencana, Inu, Al-Quran Dan Ilmu Politik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996, cet. 1.
Khalid, Farid Abdul, Fikih Politik Islam, Jakarta: Penerbit Amzah, 2005, cet. 1.
Lembaga Penyelidikan Undang-Undang, Perlembagaan Persekutuan, International
Law Book Sevices, Selangor, 2007.
Manzhur, Ibnu, Lisân al-‘Arab, Beirut: Dâr Al-Shadir, 1968.
Mufid, Mohd., Politik dalam Perspektif Islam, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004, cet.
1.
Partanto, Pius A. dan al-Bary, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Kontemporer.
Penasihat Undang-Undang MDC, Perlembagaan Persekutuan Berserta Index, Kuala
Lumpur: MDC Publishers, 2008, cet. 13.
Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah, Ajaran Sejarah Dan Pemikiran, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002, cet. 5.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indoesia, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, cet 3.
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Jakarta: Gema Insani, 2006, jilid 3, cet. 2.
Radhie, Teuku Mohammad, Penelitian Hukum Dalam Pembinaan Dan Pembaharuan
Hukum Nasional, Jakarta: Departemen Kehakiman, 1974.
81
Rais, M. Dhiauddin, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, cet. 1.
Rasyid, Abdul, Ilmu Politik Islam, Bandung: Pustaka, 2001, cet.1.
Ridha, Rasyid, Tafsir Al-Manaar, Cairo: Maktabah Al-Qahirah,1960, cet. 4, jilid 3.
Ridwan, HR, Fikih Politik (Gagasan, Harapan dan Kenyataan), Yogyakarta: FH UII
Press, 2007, cet. 1.
Rosidi, Ajib, M. Natsir Sebuah Biografi, Jakarta: Grimukti Pasaka, 1990.
Salim, Abd. Muin, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran,
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995, cet 2.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI
Press, 1993.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1981.
Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia, 2007, cet. 6.
Syarif, Mujar Ibnu, dan Zada, Khamami, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran
Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008, cet. 1.
Taimiyah, Ibnu, Siyasah Syar’iyah, Etika Politik Islam, penerjemah Rofi’
Munawwar, Surabaya: Risalah Gusti, 2005, cet. 3.
Team Penyusun ILB, Malaysia Kita, Panduan Dan Rujukan Untuk Peperiksaan Am
Kerajaan, Selangor: International Law Book Service, 2005.
Wignyosoebroto, Soetandyo, Sebuah Pengantar Kearah Pembinaan Penelitian
Hukum, Jakarta: Departemen Kehakiman, 1995.
WS, Indrawan, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jombang: Penerbit Lintas Media.
Zallum, Abdul Qadim, Afkaru Siyasiyah, edisi Indonesia: Pemikiran Politik Islam,
diterjemahkan oleh Abu Faiz, Bangil: Al-Izzah, 2004, cet. 2.
Situs Internet:
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama
82
http://id.wikipedia.org/wiki/Negara
http://mediafathulkhoir.blogspot.com/2008/12/ahlul-halli-wal-aqdi.html
http://saoskerupuk.co.cc/musyawarah_dan_demokrasi_dalam_islam.html
http://nsudiana.wordpress.com/2008/01/19/demokrasi-dalam-pandangan-islam/
http://www.scribd.com/doc/15779945/Agama-Dan-Negara-Pandangan-M-Natsir
http://www.harakahdaily.net/index.php?option=com_content&task=view&id=10310
&Itemid=50
Page 1 of 5
LAMPIRAN
Perkara 4(1) Perlembagaan Persekutuan
(1) Perlembagaan ini adalah undang-undang utama Persekutuan dan apa-apa
undang-undang yang diluluskan selepas Hari Merdeka dan yang berlawanan
dengan Perlembagaan ini hendaklah terbatal setakat yang terbatal itu.
Perkara 44 Perlembagaan Persekutuan
Kuasa perundangan Persekutuan hendaklah terletak hak pada Parlimen yang
hendaklah terdiri daripada Yang di-Pertuan Agong dan dua Majlis Parlimen yang
dikenali sebagai Dewan Negara dan Dewan Rakyat.
Perkara 33(A) Perlembagaan Persekutuan
(1) Jika Yang di-Pertuan Agong dipertuduh atas suatu kesalahan di bawah manamanaundang-undang dalam Mahkamah Khas yang ditubuhkan di bawah
Bahagian XV dia hendaklah terhenti menjalankan fungsi Yang di-Pertuan
Agong.
(2) Tempoh Yang di-Pertuan Agong terhenti, di bawah Fasal (1), menjalankan
fungsi Yang di-Pertuan Agong hendaklah disifatkan menjadi sebahagian
daripada tempoh jawatan Yang di-Pertuan Agong yang diperuntukkan dalam
Fasal (3) Perkara 32.
Page 2 of 5
Perkara 34 Perlembagaan Persekutuan
(1) Yang di-Pertuan Agong tidak boleh menjalankan fungsinya sebagai Raja
Negerinya kecuali fungsinya sebagai Ketua agama Islam.
(2) Yang di-Pertuan Agong tidak boleh memegang apa-apa jawatan yang baginya
ada apa-apa saraan.
(3) Yang di-Pertuan Agong tidak boleh melibatkan diri secara aktif dalam apaapa perusahaan komersil.
(4) Yang di-Pertuan Agong tidak boleh menerima apa-apa jenis emolumen yang
kena dibayar atau terakru kepadanya sebagai Raja Negerinya di bawah
peruntukan Perlembagaan Negeri itu atau peruntukan mana-mana undangundang Negeri.
(5) Yang di-Pertuan Agong tidak boleh, tanpa persetujuan Majlis Raja-Raja,
meninggalkan Persekutuan selama lebih daripada lima belas hari, kecuali
semasa lawatan Negara ke suatu negara lain.
Perkara 45 Perlembagaan Persekutuan
(1) Tertakluk kepada Fasal 4, Dewan Negara hendaklah terdiri daripada ahli-ahli
dipilih dan dilantik seperti yang berikut:
(a) dua orang ahli bagi setiap Negeri hendaklah dipilih mengikut Jadual
Ketujuh dan
Page 3 of 5
(b) dua orang ahli bagi Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, seorang ahli bagi
Wilayah Persekutuan Labuan dan seorang ahli bagi Wilayah Persekutuan
Putrajaya hendaklah dilantik oleh Yang di-Pertuan Agong; dan
(c) empat puluh ahli hendaklah dilantik oleh Yang di-Pertuan Agong.
(2) Ahli-ahli yaang akan dilantik oleh Yang di-Pertuan Agong hendaklah orang
yang pada pendapatnya telah memberikan perkhidmatan awam yang
cemerlang atau telah mencapai keunggulan dalam profesion, perdagangan,
perindustrian, pertanian, aktiviti kebudayaan atau perkhidmatan sosial atau
yang mewakili ras minoriti atau berkebolehan mewakili kepentingan orang
asli.
(3) Tempoh jawatan seseorang ahli Dewan Negara ialah tiga tahun dan tempoh
itu tidaklah tersentuh dengan pembubaran Parlimen.
Perkara 46 Perlembagaan Persekutuan
(1) Dewan Rakyat hendaklah terdiri daripada dua ratus dua puluh dua orang ahli
dipilih.
(2) Maka hendaklah ada:
(a) Dua ratus sembilan orang ahli dari Negeri-negeri di Malaysia seperti yang
berikut:
i.
dua puluh enam orang ahli dari Johor;
ii.
lima belas orangn ahli dari Kedah;
iii.
empat belas orang ahli dari Kelantan;
Page 4 of 5
iv.
enam orang ahli dari Melaka;
v.
lapan orang ahli dari Negeri Sembialan;
vi.
empat belas orang ahli dari Pahang;
vii.
tiga belas orang ahli dari Pulau Pinang;
viii.
dua puluh empat orang ahli dari Perak;
ix.
tiga orang ahli dari Perlis;
x.
dua puluh lima orang ahli dari Sabah;
xi.
dua puluh satu orang ahli dari Sarawak;
xii.
dua puluh dua orang ahli dari Selangor; dan
xiii.
lapan orang ahli dari Terengganu; dan
(b) tiga belas orang ahli dari Wilayah-Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur,
Labuan dan Putrajaya seperti berikut:
i.
sebelas orang ahli dari Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur;
ii.
seorang ahli dari Wilayah Persekutuan Labuan;
iii.
seorang ahli dari Wilayah Persekutuan Putrajaya.
Perkara 4(3) Perlembagaan Persekutuan
(3) Kesahan mana-mana undang-undang yang dibuat oleh Parlimen atau Badan
Perundangan mana-mana negeri tidak boleh dipersoalkan atas alasan bahawa
undang-undang itu membuat peruntukan berkenaan dengan apa-apa perkara
yang berkenaan dengannya Parlimen atau, mengikut mana-mana yang
berkenaan, Badan Perundangan Negeri itu tidak mempunyai kuasa untuk
Page 5 of 5
membuat undang-undang, kecuali dalam prosiding untuk mendapatkan suatu
penetapan bahawa undang-undang itu adalah tidak sah atas alasan itu atau:
(a) undang-undang itu mengenakan sekatan-sekatan ke atas hak yang disebut
dengan Perkara 9(2) tetapi tidak berhubungan dengan perkara-perkara
yang disebut dalam Perkara itu; atau
(b) undang-undang itu mengenakan mana-mana sekatan yang disebut dalam
Perkara 10(2) tetapi sekatan-sekatan itu tidak disifatkan perlu atau suai
manfaat oleh Parlimen bagi maksud-maksud yang disebut dalam Perkara
itu.
Perkara 63(2) Perlembagaan Persekutuan
(2) Tiada seorang pun boleh dikenakan apa-apa prosiding dalam mana-mana
mahkamah berkenaan dengan apa-apa jua yang dikatakan atau apa-apa undi
yang diberikan olehnya semasa mengambil bahagian dalam apa-apa prosiding
mana-mana satu Majlis Parlimen atau mana-mana jawatankuasanya.
Perkara 75 Perlembagaan Persekutuan
Jika mana-mana undang-undang Negeri adalah berlawanan dengan sesuatu undangundang persekutuan, maka undang-undang persekutuan itu hendaklah dipakai dan
undang-undang Negeri itu hendaklah terbatal, setakat mana ianya berlawanan dengan
undang-undang persekutuan itu.
Download