PARLEMEN DALAM PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA DAN RELEVANSINYA DENGAN DOKTRIN KETATANEGARAAN ISLAM Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: MUHAMMAD FAWWAZ HADI BIN ISMAIL NIM: 108045200022 KONSENTRASI SIYASAH SYARIYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H / 2010 M PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul PARLEMEN DALAM PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA DAN RELEVANSINYA DENGAN DOKTRIN KETATANEGARAAN ISLAM, telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 17 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Ketatanegaraan Islam (Siyasah Syariyyah). Jakarta, 17 Juni 2010 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum dtt Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Nip: 19550505 198203 1 012 PANITIA UJIAN MUNAQASYAH 1. Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag. NIP: 19721010 199703 1 008 (..……...dtt………) 2. Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag. NIP: 19710215 199703 2 002 (..….......dtt………) 3. Pembimbing : Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA ,MM. NIP: 19550505 198203 1 012 (..……...dtt………) 4. Penguji I : JM. Muslimin, MA, PhD. NIP. 150 295 489 (..……...dtt………) 5. Penguji II : Asep Saefuddin Jahar, MA, PhD. NIP: 19691216 199603 1 001 (..…...…dtt………) PARLEMEN DALAM PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA DAN RELEVANSINYA DENGAN DOKTRIN KETATANEGARAAN ISLAM Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: Muhammad Fawwaz Hadi Bin Ismail NIM: 108045200022 Di Bawah Bimbingan dtt Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP: 19550505 198203 1012 KONSENTRASI SIYASAH SYARIYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yaang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 20 April 2010 Muhammad Fawwaz Hadi Bin Ismail KATA PENGANTAR Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Yang Maha Esa, Yang Maha Kaya, Yang Maha Pencipta, Yang Maha Mengetahui Segala Sesuatu yang ada di langit dan di bumi, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat-Nya, atas segala nikmat dan karunia-Nya, dan semua yang telah dianugerahkan-Nya kepada penulis. Sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada pembawa risalah Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya, yang telah menunjukkan jalan hidayah dan pembuka ilmu pengetahuan dengan agama Islam. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi yang berjudul "Parlemen Dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia Dan Relevansinya Dengan Doktrin Ketatanegaraan Islam" ini, masih banyak kekurangan dan kelemahan yang dimiliki penulis. Namun berkat bantuan dan dorongan dari semua pihak, akhirnya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih secara khusus yang sedalam- dalamnya kepada: 1. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Komaruddin Hidayat. i 2. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, yang juga merangkap dosen pembimbing penulis atas segala bimbingan dan tunjuk ajar beliau dalam penulisan skripsi ini, semoga mendapat balasan baik dari Allah SWT. 3. Ketua dan Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah; Dr. Asmawi, M.Ag, dan Sri Hidayati, M.Ag, yang keduanya telah memberikan kemudahan administratif dan bimbingan akademik sejak awal perkuliahan, yang dengan sabar telah memberikan banyak masukan dan saran sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. 4. Segenap dosen dan karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya dosen dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum, para karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah Dan Hukum, juga para karyawan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Ayahanda dan ibunda tercinta, Ismail Salleh dan Siti Jamilah Haji Mustaffa, atas kasih sayang dan pengorbanan kepada penulis selama menimba ilmu, juga kepada adik-adik; Faiz, Faris, Fawzan, Ira, Jee, Falahi dan Faduli. 6. Tuan Guru Haji Harun Taib; pengerusi Ahli Majlis Mesyuarat KUDQI dan seluruh Ahli Majlis Mesyuarat KUDQI, pensyarah dan staf Kolej Universiti Darul Quran Islamiyyah yang telah memberi ruang dan kesempatan untuk menuntut ilmu yang bermanfaat, para mahasiswa dan mahasiswi dari KUDQI, MPMKUDQI dan HESIS. Juga kepada ustaz-ustaz dan teman di Madrasah ii Mazahirul Ulum, Binjai Bongkok, Marang, khususnya Ustaz Nor, Bob, Syahrin, Tole, Haji Zainul dan Amir. 7. Teman-teman seperjuangan selama di Indonesia; Madyu, Pian, Keri, Ayohsu, Pulloh, Pa, Najib, Sepu, Zaki, Hilman, Zaid, Amir, Razman, Mamat, Biki, Stopa, Harun, Baha, Kacah, Adi, Muaz, Za, Pudin, Beri, Duan, Mukhsin, Faris, serta teman-teman di Asrama Putri UIN dan kost. Juga teman dari APID, KIDU dan IPA yang tidak dapat penulis sebut semuanya di sini karena keterbatasan ruang, semoga teguran dan tunjuk ajar dari kalian semua mendapat ganjaran dari-Nya. Penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik dari semua yang telah mereka berikan dan lakukan untuk penulis khususnya dan kepada semua pihak pada umumnya. Penulis juga menyampaikan harapan yang besar agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri dan pembaca sekalian, semoga Allah SWT menjadikan skripsi ini sebagai satu amal yang baik disisi-Nya. Akhir kata, segala yang baik datang dari-Nya dan yang kurang baik terbit dari kelemahan dan kekurangan diri penulis sendiri. Jakarta: ______20 April 2010 M 5 Jamadil Awal 1431 H Penulis iii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.................................................................................................i DAFTAR ISI...............................................................................................................iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..................................................................1 B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah.............................................6 C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian.......................................................7 D. Tinjauan Pustaka..............................................................................8 E. Metode Penelitian..........................................................................11 F. Sistemetika Penulisan....................................................................15 BAB II KEPEMIMPINAN DAN KEKUASAAN A. Kepemimpinan Dan Kekuasaan Dalam Ilmu Politik Moderen.....17 B. Kepemimpinan Dan Kekuasaan Dalam Politik Islam...................23 1. Konsep Musyawarah Dalam Islam..........................................31 2. Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi Dan Ahlu al-Iktiyar........................37 3. Demokrasi Dalam Islam..........................................................42 iv BAB III PARLEMEN MENURUT PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA A. Parlemen Malaysia........................................................................48 B. Komponen Parlemen Malaysia.....................................................49 C. Fungsi Parlemen...........................................................................54 D. Hak Dan Wewenang Parlemen.....................................................57 BAB IV TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP PARLEMEN MENURUT PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA A. Agama Dan Negara Dalam Kajian Ketatanegaraan Islam............60 B. Persamaan Parlemen Malaysia Dengan Konsep Pemerintahan Islam..............................................................................................66 C. Perbedaan Parlemen Malaysia Dengan Konsep Pemerintahan Islam..............................................................................................69 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan....................................................................................75 B. Saran-saran....................................................................................77 Daftar Pustaka...........................................................................................................79 Lampiran v PEDOMAN TRANSLITERASI a. Padanan Aksara Huruf Huruf Arab Latin ا Keterangan tidak dilambangkan ب b be ت t te ث ts te dan es ج j je ح h ha dengan garis di bawah خ kh ka dan ha د d de ذ dz de dan zet ر r er ز z zet س s es ش sy es dan ye ص s es dengan garis di bawah ض d de dengan garis di bawah ط t te dengan garis di bawah ظ z zet dengan garis di bawah ع „ koma terbalik diatas hadap kanan غ gh ge dan ha ؼ f ef ؽ q ki ؾ k ka ؿ l el ـ m em ف n en و w we هػ h ha ء ` apostrof ي y ye vi b. Vokal Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan َ a fathah i u kasra dammah Tanda Vokal Latin Keterangan ai a dan i au a dan u Tanda Vokal Latin Keterangan â î û a dengan topi di atas i dengan topi di atas u dengan topi di atas ِ ُ Adapun Vokal Rangkap Tanda Vokal Arab َ ي َ و c. Vokal Panjang Tanda Vokal Arab ػَػا ــــِــي ــــُـــو d. Kata Sandang Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf )(اؿ, dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh = الشمسيةal-syamsiyyah, = القمريةal-qamariyyah. e. Tasydîd Dalam alih-aksara, tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda tasydîd itu. Tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tasydîd itu terletak setelah kata sandang yang diikuti huruf-huruf samsiyyah. f. Ta Marbûtah Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. begitu juga jika ta marbûtah tersebut diikuti kata sifat (na‘t). Namun jika ta marbûtah diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/. g. Huruf Kapital Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya . Contoh = البخاريal-Bukhâri. vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedaulatan adalah suatu hal yang memiliki makna penting dan mendalam bagi sesuatu negara. Kedaulatan, menurut Georg Jellinek1, apabila merujuk kepada suatu negara, maka ia merupakan kekuasaan yang tertinggi. Sedangkan apabila ke luar, kedaulatan merupakan kekuasaan yang tidak tunduk pada kekuasaan yang lain. Teori hukum tatanegara mengenal adanya lima bentuk kedaulatan; kedaulatan Tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan negara, kedaulatan hukum, dan kedaulatan rakyat. Bentuk yang terakhir yaitu kedaulatan rakyat merupakan konsep yang sehingga kini paling banyak diusung oleh berbagai negara melaui konsep negara demokrasi. Mengikut teori demokrasi, maka rakyatlah yang berdaulat. Rakyat yang berdaulat ini mempunyai suatu kemauan yang oleh Jean-Jacques Rousseau2 1 Dilahirkan tanggal 16 Juni 1851 di Leipzig, Georg Jellinek adalah seorang filosofis Jerman yang terkenal. Antara karyanya termasuk artikel berjudul The Declaration Of The Right Of Man And The Citizen yang ditulisnya pada tahun 1895. Dalam artikel ini beliau sedikit mengkritik Revolusi Prancis. Beliau meninggal dunia pada tanggal 12 Januari 1911 di Heidelberg, Jerman. 2 Jean-Jacques Rousseau dilahirkan di Geneva, Prancis pada tanggal 28 Juni 1712. Pemikirannya banyak mempengaruhi tercetusnya Revolusi Prancis. Karya tulisnya yang terkenal adalah Emilie atau On Education, yang menekankan permasalahan kewarganegaraan. Beliau meninggal dunia pada 2 Juli 1778 di Ermanonville. 1 2 disebut general will.3 Pada awal kemunculannya yaitu sekitar 400 SM, konsep ini dilaksanakan secara menyeluruh dimana setiap anggota masyarakat mempunyai hak untuk menyampaikan aspirasinya secara langsung kepada pemimpin tanpa terkecuali. Dalam perkembangannya, pelaksanaan konsep tersebut menemui banyak kendala seiring makin banyaknya jumlah penduduk dan luasnya wilayah negara, maka rakyat tidak dapat lagi menyampaikan aspirasinya secara langsung kepada pemimpin karena masalah-masalah tersebut. Selanjutnya, demokrasi tidak langsung atau yang biasa disebut demokrasi perwakilan menjadi pilihan untuk mengganti demokrasi langsung yang tidak bisa dilaksanakan dengan tuntas itu. Disini, rakyat sebagai pemegang kedaulatan mengamanatkan suaranya melalui para wakil yang dipilih oleh mereka melalui proses pemilu dan duduk dalam suatu lembaga yang biasa disebut sebagai Parlemen. Secara umumnya, negara yang mempunyai badan Parlemen disebut menganut sistem parlementer, dan termasuk juga negara Malaysia. Sistem parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan dimana Parlemen memiliki peran penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini Parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat Perdana Menteri dan Parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Inilah sebagaimana yang diamalkan di negara Malaysia. Pada zaman moderen ini, 3 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama , 2007), cet. 30, h. 173. 3 tugas utama badan Parlemen adalah melakukan fungsi legislatif, yaitu membuat undang-undang. Di dalam Islam, lembaga yang hampir sama dengan Parlemen adalah Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi, diartikan sebagai “orang-orang yang mempunyai wewenang untuk melonggarkan dan mengikat”. Istilah ini dirumuskan oleh ulama fikih sebagai sebutan bagi orang-orang yang bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka kepada pemimpin.4 Imam Al-Mawardi5 dan beberapa ulama lainnya menyebutnya sebagai Ahlu al-Ikhtiyar yang berarti “orang-orang yang mempunyai kualifikasi untuk memilih”. 6 Yang dimaksudkan dengan memilih disini adalah, memilih pemerintah atau kepala negara. Allah SWT menggariskan bahwa dalam umat harus ada pemimpin yang menjadi pengganti dan penerus fungsi kenabian untuk menjaga agar terselenggaranya ajaran agama, memegang kendali politik, membuat kebijakan yang dilandasi syariat agama dan menyatukan umat.7 Ahlu al-Ikhtiyar juga bisa diartikan sebagai sekelompok orang yang bertugas memilih pemimpin lewat jalan musyawarah kemudiannya 4 J. Suyuthi Pulungan, MA, Fiqh Siyasah, Ajaran Sejarah Dan Pemikiran, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002) , cet. 5, h. 66. 5 Dilahirkan di Basrah pada tahun 972 M dengan nama Abu Al-Hasan Ali Ibnu Habib AlMawardi, beliau antara ilmuan Islam yang unggul. Gurunya termasuk Sheikh Abd al-Hamid dan Sheikh Abdallah al-Baqi. Antara karangannya yang dikenali adalah al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Qanun al-Wazarah dan Nasihat al-Muluk. Beliau meninggal dunia pada tahun 1058. 6 7 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), cet. 1, h. 176. Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara Dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), cet. 5, h. 14. 4 mengajukannya kepada rakyat untuk dibaiat oleh mereka. Imam Muhammad Abu Zahrah8 menyebut di dalam kitabnya Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, “Apabila dasar pemerintahan Islam bersifat musyawarah maka pemilihan itu juga harus bersifat musyawarah”. Tapi apabila tidak mungkin untuk melakukan musyawarah antara seluruh individu rakyat, maka musyawarah hanya bisa dilakukan antara kelompok orang yang mewakili rakyat dan apa yang mereka putuskan sama dengan keputusan seluruh individu rakyat.9 Jadi disini dapat dilihat seolah-olah ada persamaan antara Ahlu al-Ikhtiyar dan Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi. Pada masa yang sama, Parlemen juga adalah wakil bagi rakyat, cuma perwakilan mereka adalah melalui partai politik yang menunjukkan mereka sebagai calon untuk bertanding dalam pemilu. Hal ini dinamakan perwakilan yang bersifat politik (political representation).10 Sistem pemerintahan di Malaysia bermodelkan sistem parlementer Westminster, warisan Penguasa Kolonial Britania. Tetapi di dalam prakteknya, kekuasaan lebih terpusat di eksekutif daripada di legislatif, dan judikatif diperlemah oleh tekanan berkelanjutan dari pemerintah selama zaman mantan 8 Dilahirkan pada tahun 1898 dan meninggala pada tahun 1978, Imam Abu Zahrah adalah intelek dan pemikir di Cairo. Beliau juga adalah profesor di Universtas Al-Azhar dan juga di Universitas Cairo. Karyanya termasuk biografi Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Syafie. 9 Farid Abdul Khalid, Fikih Politik Islam, (Jakarta: Penerbit Amzah, 2005), cet. 5, h. 108-109. 10 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), cet. 30, h. 175. 5 Perdana Menteri, Tun Dr. Mahathir Mohammad11, menyebabkan kekuasaan judikatif itu dibagikan antara pemerintah persekutuan dan pemerintah negeri (negara bagian). Kekuasaan legislator dibagi antara legislator Persekutuan12 dan legislator negeri. Parlemen13 Malaysia adalah parlemen berbentuk bikameral, terdiri dari Yang di-Pertuan Agong14 yang juga sebagai kepala negara; dewan rendah yaitu Dewan Rakyat (mirip "Dewan Perwakilan Rakyat" di Indonesia); dan Dewan Negara (mirip "Dewan Perwakilan Daerah" di Indonesia). 222 anggota Dewan Rakyat dipilih dari daerah pemilihan beranggota-tunggal yang diatur berdasarkan jumlah penduduk untuk periode jabatan terlama 5 tahun. Bagi Dewan Negara pula, 70 Senator bertugas untuk periode jabatan 3 tahun; 26 di antaranya ditunjuk oleh 13 majelis negara bagian (masing-masing mengirimkan dua utusan), dua mewakili wilayah persekutuan Kuala Lumpur, masing-masing satu mewakili wilayah persekutuan Labuan dan Putrajaya, dan 40 diangkat oleh Yang di-Pertuan Agong atas nasehat Perdana Menteri. Di samping Parlemen di tingkat persekutuan, masing-masing negara bagian memiliki dewan legislatif unikameral 11 Mantan perdana menteri Malaysia yang keempat, memegang tampuk pemerintahan Malaysia selama hampir 22 tahun bermula 1981 hingga 2003. 12 Yang diartikan sebagai Persekutuan adalah Persekutuan Tanah Melayu atau Malaysia, terbentuk pada tanggal 16 September 1963, terdiri dari 11 buah negeri di Tanah Melayu dan 2 buah negeri Borneo yaitu Sabah dan Sarawak. Kemudian setelah kemerdekaan Malaysia pada tanggal 31 Augustus 1957, Kuala Lumpur di jadikan wilayah khusus, sebagai ibukota Persekutuan sekaligus sebagai pusat pemerintahan dan pentadbiran. Ini menjadikan negeri anggota Persekutuan Malaysia sebanyak 14 buah negeri. 13 Ejaan dan sebutan bagi parlemen Malaysia adalah dengan huruf “i”, yaitu sebagai Parlimen. 14 Yang di-Pertuan Agong adalah kepala negara, juga sebagai kepala agama Islam di Malaysia. 6 (Dewan Undangan Negeri) yang para anggotanya dipilih dari daerah-daerah pemilihan beranggota-tunggal. Pemilihan umum untuk memilih anggota Parlemen Malaysia dijalankan biasanya empat tahun sekali, dengan pemilihan umum terakhir pada Maret 2008. Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih dalam dalam permasalahan Parlemen sebagai badan perundangundangan tertinggi di negara Malaysia dan sejauh mana ia relevan dengan kaidah dan konsep ketatanegaraan dalam Islam sehingga penulis angkat menjadi judul skripsi “Parlemen Dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia Dan Relevansinya Dengan Doktrin Ketatanegaraan Islam”. B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Dalam penelitian berbentuk skripsi sudah seharusnya di dalamnya memuat perbatasan masalah agar penelitian lebih terarah dan fokus. Untuk itu penulis membatasi permasalahan dalam penelitian skripsi ini mengenai Parlemen dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia, apakah ia relevan dengan Ketatanegaraan Islam. 7 2. Perumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Bagaimana kedudukan dan kewenangan Parlemen di Malaysia menurut konstitusi ? 2) Bagaimanakah peran negara Malaysia dalam menerap konsep Islam di dalam Parlemen ? 3) Apakah sistem pemerintahan Malaysia sejalan dan konsisten dengan konsep Ketatanegaraan Islam ? C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai, antaranya: 1. Memberikan gambaran dan informasi mengenai Parlemen sebagai badan perundang-undangan tertinggi di Malaysia serta kedudukan dan fungsinya sebagaimana diatur dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia. 2. Untuk mengetahui apakah negara Malaysia telah mempraktekkan konsep Ketatanegaraan Islam dalam Parlemen. 3. Untuk menggali relevansi antara Ketatanegaraan Malaysia dengan Ketatanegaraan Islam. 8 Adapun manfaat yang ingin dicapai oleh penulis dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Memberikan pemahaman terhadap masyarakat luas tentang perspektif hukum ketatanegaraan Islam terhadap Parlemen Malaysia. 2. Sebagai satu sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuan di bidang fiqh siyasah dalam konteks ketatanegaraan di Malaysia. 3. Dapat dijadikan rujukan bagi para akademis dan para pencinta ilmu Ketatanegaraan Islam. D. Tinjauan Pustaka Tinjauan studi terdahulu yang penulis maksudkan adalah dengan melihat kajian yang membahas dalam tema yang hampir sama, namun pada substansi yang berbeda. Adapun yang penulis akan masukkan dalam perbandingan ini adalah berbagai literatur mulai dari skripsi, buku, jurnal, artikel dan lainnya. Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut. Penelitian Mohammad Adnin bin Yahya, “Konsep Negara Islam di Malaysia (menurut UMNO dan PAS)”, 2006. Penelitian ini membahas mengenai 9 penerapan nilai-nilai Islam yang ada di Malaysia mulai dari sudut pandang pihak pemerintah (UMNO) maupun dari pihak pembangkang (PAS). Penelitian yang ditulis oleh Ahmad Baihakki Bin Arifin yang berjudul “Hak-hak Politik Warga Negara Dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia”, tahun 2008. Penelitian ini membahas tentang hak-hak politik warga negara Malaysia sebagaimana yang diatur di dalam konstitusi Malaysia Adapun referensi yang berbentuk buku, seperti buku karya Tun Mohd Salleh Abas yang berjudul “Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di Malaysia”, tahun 2006. Di dalam buku ini ada menerangkan dan membahas berkenaan Parlemen Malaysia yang mencakup keanggotaannya, wewenangnya, dan hak-hak badan tersebut. Buku kedua, karya Abdul Aziz Bari yang berjudul “Perlembagaan Malaysia, Asas-Asas Dan Masalah”, tahun 2001. Buku ini membahas berkenaan Perlembagaan Malaysia dan segala permasalahan yang berkaitan dengannya. Buku ketiga, karya Tuan Guru Haji Abdul Hadi Awang, tentang prinsipprinsip negara Islam, ditulis dalam salah satu bab pada bukunya yang berjudul “Sistem Pemerintahan Negara Islam”. Pokok masalah yang dibicarakan adalah prinsip keadilan dalam prinsip-prinsip dasar pada negara Islam. Buku keempat, karya Imam Al-Mawardi berjudul “Al-Ahkam AsSultaniyyah”. Buku ini memang terkenal sebagai buku yang membahaskan berkenaan konsep pemerintahan menurut Islam. Aspek-aspek pengurusan negara 10 dalam Islam seperti Imamah, Khalifah, Musyawarah, dan lain-lain dibahaskan secara rinci dan lengkap. Buku kelima, “Pentadbiran Undang-Undang Islam di Malaysia” karya Muhamad Arifin. Buku ini membahaskan perkembangan undang-undang Islam di Malaysia, federalism dan pembahagian kuasa membentuk undang-undang Islam antara Kerajaan Pusat dan Kerajaan Negeri. Dari beberapa kajian (review) terdahulu di atas, khususnya mengenai Parlemen sebagai badan legislatif Malaysia, penulis belum menemukan tulisan yang membahas atau mengkaji berkenaan badan tersebut dari sudut pandang Ketatanegaraan Islam. Penelitian Mohammad Adnin bin Yahya hanya membahas nilai-nilai Islam yang ada di Malaysia dari sudut pandang partai politik di Malaysia. Demikian juga dengan penelitian kedua, walaupun fokus kajiannya adalah Perlembagaan Persekutuan Malaysia, tetapi hanya menjelaskan seputar hak-hak politik warganegara sahaja. Maka karena masih belum ada penelitian yang membahaskan berkenaan Parlemen Malaysia secara khusus, penulis merasa tertarik untuk membahaskan berkenaan badan tersebut yang kemudiannya dilihat pula dari sudut pandang Ketatanegaraan Islam. 11 E. Metode Penelitian Metode bermaksud cara; yaitu cara bagaimana penelitian ini dilakukan. Ahli-ahli hukum mendefinisikan “metode penelitian” sebagai: 1. Soerjono Soekanto: Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, dengan jalan menganalisisnya. Di samping itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap faktor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan. 15 2. Soetandyo Wignyosoebroto: Penelitian hukum adalah seluruh upaya untuk mencari dan menemukan jawaban yang benar mengenai suatu permasalahan. Untuk menjawab segala macam permasalahan, diperlukan hasil penelitian yang cermat dan sahih untuk menjelaskan permasalahan tersebut.16 3. Teuku Mohammad Radhie: Keseluruhan aktivitas berdasarkan disiplin ilmiah untuk mengumpulkan, mengklasifikasikan, menganalisis dan menginterpretasi fakta serta hubungan di lapangan hukum dan lapangan lain-lain yang relevan bagi kehidupan hukum, dan berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dapat dikembangkan prinsip-prinsipilmu 15 16 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1981), h. 43. Soetandyo Wignyosoebroto, Sebuah Pengantar Kearah Pembinaan Penelitian Hukum, (Jakarta: Departemen Kehakiman, 1995), h. 4. 12 pengetahuan dan cara-cara ilmiah untuk menanggapi berbagai fakta dan hubungan tersebut.17 Seterusnya untuk lebih mempermudah pemahaman berkenaan kerangka penelitian ini, penulis membagikannya kepada 6 poin utama: 1. Jenis Penelitian Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Recearch), yaitu penelitian yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur, karena memang pada dasarnya sumber data yang hendak digali lebih terfokus pada studi pustaka. Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Deskriptif disini dimaksudkan dengan membuat deskripsi secara sistematis dengan melihat dan menganalisis data-data secara kualitatif. Kemudian penulis menggunakan pendekatan komparatif, dengan membuat perbandingan antara Ketatanegaraan Malaysia dengan Ketatanegaraan Islam. 2. Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah Parlemen sebagaimana yang diatur dalam Perlembagaan Pesekutuan Malaysia. 17 Teuku Mohammad Radhie, Penelitian Hukum Dalam Pembinaan Dan Pembaharuan Hukum Nasional, (Jakarta: Departemen Kehakiman, 1974), h. 14. 13 3. Sumber Data Data yang terhimpun dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer didapat dari dari sumber-sumber pokok yaitu konstitusi Malaysia (Perlembagaan Persekutuan Malaysia) dan buku-buku serta literaturliteratur yang yang berkaitan dengannya, sedangkan data sekunder pula didapat dari karya-karya dan tulisan-tulisan yang dibuat oleh para ahli ketatanegaraan baik dalam ketatanegaraan Islam maupun ketatanegaraan Malaysia serta bahan yang di fikir relevan. Yang termasuk dalam data primer seperti buku berjudul “Perlembagaan Malaysia”18; buku ini berisi teks asli konstitusi Malaysia (Perlembagaan Persekutuan), buku “Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di Malaysia”19; yang di dalam buku ini ada menerangkan dan membahas berkenaan Parlemen Malaysia yang mencakup keanggotaannya, wewenangnya, dan hak-hak badan tersebut, buku “Al-Ahkam As-Sultaniyyah”20 yang menjelaskan berkenaan badan pemerintahan dalam Islam, sistem khilafah, musyawarah dan imamah. Seterusnya, data sekunder pula termasuk kamus, jurnal dan artikel. Data sekunder yang penulis gunakan termasuk “Kamus Besar Bahasa Indonesia” dan “Kamus Ilmiah Kontemporer”, juga koran dan artikel digital. 18 Lembaga Penyelidikan Undang-Undang, International Law Book Sevices, 2007). Perlembagaan Persekutuan, (Selangor: 19 Tun Mohd. Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2006). 20 Imam Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Dalam Syariat Islam, penerjemah Fadli Bahri, (Jakarta: PT Darul Falah, 2007) cet. 3. 14 4. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan dan faktual, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dengan data-data kualitatif, dengan mencari bahan-bahan yang terkait serta mempunyai relevansi dengan penelitian. Adapun teknik penulisan yang penulis gunakan adalah dokumentasi; riset pustaka dilakukan dengan cara menghimpun data-data kepustakaan yang terkait dan mempunyai relevansi dengan tema penelitian. 5. Analisis Data Analisis data yang digunakan adalah analisis dengan pendekatan komparatif, yaitu menganalisis data yang telah dikumpulkan yang berisi informasi, pendapat dan konsep Parlemen dalam konstitusi negara Malaysia dan membuat perbandingan dengan Doktrin Ketatanegaraan Islam. 6. Teknik Penulisan Penulisan skripsi ini adalah berdasar dan berpedomankan pada buku “Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007”. 15 F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah dan memperoleh gambaran yang utuh serta menyeluruh, penulis membahagikan penulisan skipsi ini pada lima (5) bab, tiaptiap bab terdiri dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut: Bab I Merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II Bab ini membahas konsep kepemimpinan dan kekuasaan dalam Islam, serta jabatan, badan atau lembaga pemerintahan dalam Islam yang mencakup konsep Musyawarah, Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi, Ahlu alIkhtiyar dan kementerian. Bab III Pembahasan dalam bab III ini tentang sejarah Parlemen sebagai badan perundang-undangan tertinggi di negara Malaysia, serta kedudukan dan fungsi Parlemen menurut Pelembagaan Persekutuan Malaysia. Bab IV Bab IV ini berisi analisis Ketatanegaraan Islam terhadap Parlemen menurut Perlembagaan Persekutuan Malaysia, persamaan Konsep Pemerintahan Islam dengan Kerajaan Malaysia, dan perbedaan Konsep Pemerintahan Islam dengan Kerajaan Malaysia. 16 Bab V Merupakan bab penutup, yang berisi kesimpulan bagi skripsi serta saran. BAB II KEPEMIMPINAN DAN KEKUASAAN A. Kepemimpinan Dan Kekuasaan Dalam Ilmu Politik Moderen Kekuasaan dipandang sebagai gejala yang selalu terdapat dalam proses politik, namun diantara ilmuwan politik tidak ada kesepakatan mengenai makna kekuasaan. Beberapa diantaranya bahkan menganjurkan agar agar konsep kekuasaan ditinggalkan karena bersifat kabur, dan berkonotasi emosional. Namun, tampaknya politik tanpa kekuasaan bagaikan agama tanpa moral.1 Kata politik berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan sifat peribadi atau perbuatan. Secara lekslikal, asal kata tersebut berarti acting or judging wisely, well judged, prudent. Kata ini terambil dari kata Latin politicus dan bahasa Yunani (Greek) politicos yang berarti relating to a citizen. Kedua kata tersebut juga berasal dari kata polis yang bermakna city “kota”, politic kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu: Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau kelicikan dan juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politik. 2 Politik merupakan kata kolektif yang mempunyai pemikiran-pemikiran yang 1 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2007), cet. 6, h. 57. 2 Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), cet 2, h. 34. 17 18 bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan.3 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia politik diartikan sebagai ilmu pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain, kebijakan cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah).4 Dalam sejarah, istilah politik pertama kali dikenal melalui buku karya Plato5 yang berjudul Politeia atau dikenal juga dengan Republic. Kemudian setelah itu ada juga karya dari Aristotles6 dengan judul serupa. Di dalam isi kedua buku tersebut, terdapat kecenderungan menghubungkan politik dengan negara (pemerintahan).7 Pada dasarnya politik mempunyai ruang lingkup negara, membicarakan politik pada akhirnya adalah membicarakan negara, karena teori politik menyelidiki negara sebagai sebuah lembaga politik yang mempengaruhi hidup masyarakat, selain itu politik juga menyelidiki ide-ide, asas-asas, sejarah 3 Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Bary, Kamus Ilmiah Kontemporer, h. 608. 4 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet 3, h. 886. 5 Lahir sekitar tahun 427 SM, Plato adalah seorang filsuf Yunani Kuno. Karena beliau merupakan salah seorang murid Socrates, maka pemikirannya banyak dipengaruhi oleh gurunya itu. Bukunya yang terkenal adalah Republik (dalam bahasa Yunani disebut Politeia yang bermaksud „negeri‟). Beliau meninggal sekitar tahun 347 SM. 6 Aristotles adalah murid dari Plato, lahir sekitar tahun 322 SM dan meninggal sekitar 384 SM. Bersama Plato dan Socrates (guru Plato), mereka bertiga dianggap sebagai filsuf paling berpengaruh pada zaman tersebut. 7 Abdul Hadi Awang, Islam & Demokrasi, (Selangor: PTS Islamika, 2007), cet. 1, h. 11. 19 pembentukan negara, tujuan negara, bentuk negara dan hakekat negara. 8 Politik ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia. 9 Miriam Budiarjo mengatakan bahwa untuk melaksanakan kebijakankebijakan politik, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority), yang akan dipakai baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses pelaksaan kebijakan-kebijakan itu. Cara-cara yang digunakan dapat bersifat persuasi (meyakinkan), dan jika perlu bersifat paksaan (coercion).10 Dalam perbendaharaan ilmu politik terdapat sejumlah konsep yang berkaitan erat dengan konsep kekuasaan seperti pengaruh (influence), persuasi (persuation), manipulasi (manipulation), coercion, force, dan kewenangan (authority). Keenam konsep ini merupakan bentuk-bentuk kekuasaan yang perbedaannya akan lebih jelas dalam uraian berikut ini. Influence adalah kemampuan untuk untuk memepengaruhi orang lain agar mengubah sikap dan perilakunya secara sukarela. Yang dimaksud dengan persuation ialah kemampuan meyakinkan orang lain dengan argumentasi untuk melakukan sesuatu. Penggunaan pengaruh, dalam hal ini orang yang dipengaruhi 8 Abdul Rasyid, Ilmu Politik Islam, (Bandung: Pustaka, 2001), cet. 1, h. 26-28. 9 Mohd. Mufid, Politik dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), cet. 1, h. 9. 10 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), cet. 30, h. 8. 20 tidak menyadari bahwa tingkahlakunya sebenarnya mematuhi keinginan pemegang kekuasaan, dan ini juga disebut sebagai manipulasi. Pengertian coercion ialah peragaan kekuasaan atau ancaman paksaan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok terhadap pihak lain agar bersikap dan berperilaku sesuai dengan kehendak pihak pemilik kekuasaan, termasuk sikap dan perilakunya yang bertentangan dengan kehendak yang dipengaruhi. Yand dimaksud dengan force pula ialah penggunaan tekanan fisik seperti membatasi kebebasan, menimbulkan rasa sakit ataupun membatasi pemenuhan kebutuhan biologis terhadap pihak lain agar melakukan sesuatu.11 Seterusnya, kekuasaan merupakan konsep yang berkaitan dengan perilaku. Menurut Robert Dahl, A dikatakan memiliki kekuasaan atas B apabila A dapat mempengaruhi B untuk melakukan sesuatu.12 Maksudnya apabila A mempengaruhi B untuk melakukan sesuatau yang sesuai dengan kehendak B maka maka hubungan ini tidak dapat diartikan sebagai kekuasaan. Walaupun demikian, rumusan ko0nsep kekuasaan tersebut masih masih harus dilengkapi karena tidak setiap orang, kelompok atau negara dapat mempengaruhi walaupun memiliki kekuasaan. Oleh karena itu, kekuasaan secara umum diartikan sebagai “kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimiliki untuk mempengaruhi perilaku pihak lain sehingga pihak tersebut berperilaku sesuai 29. 11 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2007), cet. 6, h. 57. 12 Robert Dahl, Modern Political Analysis, (New Delhi: Prentice Hall of India, 1977), cet. 1 h. 21 dengan kehendak pihak yang mempengaruhi”. Secara lebih sempit, kekuasaan politik dapat dirumuskan sebagai “kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh untuk mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik sehingga keputusan itu menguntungkan dirinya, kelompoknya atau masyarakat pada umumnya”. 13 Apabila mendefinisikan kekuasaan, ada ilmuwan yang menyebutnya sebagai kewenangan, tapi pada hakikatnya kekuasaan tidak semestinya kewenangan. Kewenangan adalah kekuasaaan, namun kekuasaan tidak selalu berupa kewenangan. Kedua bentuk pengaruh ini dibedakan dalam keabsahannya. Kewenangan merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan (legitimate power), sedangkan kekuasaan tidak selalu memiliki keabsahan. Apabila kekuasaan politik dirumuskan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber untuk mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik maka kewenangan merupakan “hak moral untuk membuat dan melaksanakan keputusan politik”. Dalam hal ini, hak moral yang sesuai dengan nilai dan norma masyarakat, termasuk peraturan perundang-undangan. 14 Seterusnya, apabila membincangkan berkenaan konsep kekuasaan pasti tidak dapat mengelak daripada menyebut perihal legitimasi. Seperti konsep kekuasaan dan kewenangan, legitimasi juga merupakan hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin. Konsep legitimasi berkaitan dengan sikap 13 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2007), cet. 6, h. 58. 14 Ibid, h. 85. 22 masyarakat terhadap kewenangan. Artinya, apabila masyarakat menerima dan mengakui hak moral peminpin utuk membuat dan melaksanakan keputusan yang mengikat masyarakat maka kewenagan itu dikatakan sebagai berlegitimasi. Maksudnya, legitimasi merupakan “penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin untuk memerintah, membuat, dan melaksanakan keputusan politik”. Hanya anggota masyarakat yang dapat memberikan legitimasi pada kewenangan pemimpin yang memerintah. Pihak yang memerintah tidak dapat legitimasi atas kewenangannya sendiri. Peminpin dapat mengklaim kewenangan dan berusaha untuk meyakinkan masyarakat bahwa kewenangannya sah, namun hanya masyarakat yang dapat menentukan apakah kewenangan itu berlegitimasi atau tidak. Berdasarkan pengertian legitimasi, dapat dibedakan pengertian kekuasaan, kewenangan, dan legitimasi. Apabila kekuasaan diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber untu mempengaruhi proses politik, sedangkan kewenangan merupakan hak moral untuk menggunakan sumbersumber yang membuat dan melaksanakan keputusan politik (hak pemerintah), maka legitimasi adalah “penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral kewenangan”. Walaupun ketiga-tiga komponen ini seakan-akan sama, masih ada perbedaan yang ketara. Antaranya adalah, hubungan antara pemimpin dan yang 23 dipimpin pada kewenangan dan pada legitimasi. Pada legitimasi, hubungan itu lebih ditentukan (dominan) pada pihak yang dipimpin karena penerimaan dan pengakuan atas kewenangan hanya dapat berasal daripada pihak yang diperintah. Pada kewenangan pula, hubungan itu lebih ditentukan oleh pemimpin karena pihak yang berwenang untuk memerintah dapat memaksakan keputusannya terhadap masyarakat (pihak yang diperintah) dan masyarakat wajib mentaati kewenangan tersebut.15 B. Kepemimpinan Dan Kekuasaan Dalam Politik Islam Apa yang ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah dari hukum-hukum konstitusional dan etika-etika politik tinggi dianggap sesuatu yang wajib diikuti dalam pemerintahan Islam. Hal ini mempunyai pengaruh besar dalam membentuk gambaran Islam untuk sebuah negara, tugas-tugasnya dan ciri khas sistem hukum di dalamnya, juga spesialisasi kewenangan yang berada di dalamnya. Prinsip-prinsip konstitusional ini dianggap seperti hak-hak Allah dalam bidang politik karena sejauh mana hal itu dianggap sebagai hak umat Islam untuk menuntut para penguasa agar menghormati prinsip-prinsip konstitusional atau etika-etika politik ini dan agar bersedia turun dari jabatan politik mereka dalam pemerintahan, sejauh itu pula hal tersebut menjadi kewajiban atas umat Islam dengan kapasitasnya sebagai satu kelompok, dan juga kewajiban tiap-tiap orang 15 Ibid, h. 93. 24 yang mampu dalam kapasitasnya sebagai individu masyarakat untuk memegang erat prinsip-prinsip ini dan mengajak orang lain untuk memegangnya serta mencari penyelesaian padanya.16 Secara bahasa kata politik Islam terdiri dari dua kata yaitu politik dan Islam. Istilah politik di dalam literatur ketatanegaraan Islam dikenal dengan istilah siyâsah yang berarti “cerdik atau bijaksana”.17 Siyâsah berasal dari kata sâsa-yasûsu-siyâsatan, yang berarti “mengurus kepentingan seseorang”. Dalam kamus al-Muhîth dikatakan: sustu al-ra’iyyata siyâsatan: amartuhâ wa nahaituhâ (saya mengatur rakyat dengan mengunakan politik: Saya memerintah dan melarangnya).18 Mengenai penjelasan kata siyâsah ini dapat ditemukan dalam buku Fiqh Siyasah karangan Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, disebutkan bahwa dikalangan para ahli fiqih siyasah terdapat tiga pendapat mengenai asal kata siyâsah, yaitu: 1. Sebagaimana dianut Al-Maqrizi19, kata siyâsah berasal dari bahasa Mongol yakni dari kata yasah yang mendapat imbuhan huruf sin berbaris kasrah diawalnya sehingga dibaca siyâsah. Pendapat tersebut didasarkan kepada sebuah kitab undang-undang milik Genghis Khan yang berjudul 16 Farid Abdul Khalid, Fikih Politik Islam, (Jakarta: AMZAH, 2005), cet. 1, h. 1. 17 Rifyal Ka‟bah, Politik dan Hukum dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Khairul Bayan, 2005), cet. 1, 18 Muhammad bin Ya‟qub Al-Fairuz Abadi, al-Qâmûs al-Muhîth, (Bairut: Dâr al-Fikir, 1995), h. 111. h. 496. 19 Taqi Ad-Din Ahmad Ibnu Abd Al-Qadir Ibnu Muhammad Al-Maqrizi, lahir tahun 1364 di Cairo dan meninggal pada tahun 1442. 25 Ilyasa yang berisi panduan pengelolaan negara dan berbagai bentuk hukuman berat bagi pelaku tindak pidana tertentu. Sepeninggal Genghis Khan, kitab undang-undang tersebut diwariskan secara turun temurun kepada anak-anaknya yang secara bergantian memimpin kerajaan Mughal di India Persia, seperti umat Muslim generasi pertama mewarisi Al-Quran dari Nabi Muhammad SAW. Setelah raja-raja India memeluk Islam, isi kitab ilyasa itu kemudian dimodifikasi dengan memuat hal-hal yang bersumber dari ajaran Islam, semisal penyerahan otoritas ibadah dan kasus-kasus hukum yang bertalian dengan syariat Islam kepada qadhi alqudhat (hakim agung). 2. Sebagaimana dianut Ibnu Taghi Birdi20, siyâsah berasal dari campuran tiga bahasa, yakni Bahasa Persia, Turki dan Mongol. Partikel si dalam Bahasa Persia berarti 30. sedangkan yasa merupakan kosakata Bahasa Turki dan Mongol yang berarti “larangan”, dan karena itu, ia dapat juga dimaknai sebagai hukum dan aturan. 3. Semisal dianut Ibnu Manzhur21, siyâsah berasal dari Bahasa Arab, yakni bentuk mashdar dari tashrifan kata sâsa-yasûsu-siyâsatan,22 yang semula berarti mengatur, memelihara, atau melatih binatang, khususnya kuda. 20 Yusuf Abu Al-Mahasin Ibnu Taghi Birdi, seorang ahli sejarah pada zaman Mamluk. Lahir pada tahun 1409 dan meninggal pada 1470. 21 kerajaan Muhammad Ibnu Mukarram Ibnu Ali Ibnu Ahmad Ibnu Manzhur Al-Ansari Al-Ifriqi AlMisri Al-Khazradschi Jamaladin Al-Fadl, lahir sekitar bulan Juni 1233. Beliau adalah penulis kitab Lisân al-‘Arab yang terkenal. Meninggal sekitar bulan Januari 1312. 22 Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, (Bairut: Dâr Al-Shadir, 1968), Jilid 6, h. 108. 26 Sejalan dengan makna yang disebut terakhir ini, seseorang yang profesinya sebagai pemelihara kuda, dalam Bahasa Arab disebut sa’is. Kata sa’is yang berarti memelihara kuda ini sekarang telah masuk kedalam kosa kata Bahasa Inggeris yang ditulis menjadi syce. Dalam literatur Yahudi juga ada penggunaan istilah yang agak mirip dengan makna awal dari kata sasa itu yakni istilah sus, yang berarti kuda.23 Secara kasar, politik atau siyâsah mempunyai makna mengatur urusan umat, baik dalam negeri maupun luar negeri. Politik dilaksanakan baik oleh negara (pemerintah) maupun umat (rakyat), negara adalah institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat atau rakyat mengoreksi (muhasabah) pemerintah dalam melakukan tugasnya. 24 Teori tentang politik dalam Islam telah banyak dikemukakan oleh para ulama baik di masa lampau atau pun di masa kini. Hal ini mudah dipahami, karena masalah politik termasuk ruang lingkup ijtihad yang memungkinkan kepada para ulama untuk mengkaji setiap masa. 25 Dalam hal ini Al-Quran dan AsSunnah tidak memberikan ketentuan yang pasti mengenai politik. Dalam AlQuran tidak ditemukan konsep tentang politik umat Islam untuk diaplikasikan pada setiap tempat dan zaman. Karena jika hal ini ada, berarti Al-Quran 23 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), cet. 1, h. 2-4. 24 Abdul Qadim Zallum, Afkaru Siyasiyah, edisi Indonesia: diterjemahkan oleh Abu Faiz, (Bangil: Al-Izzah, 2004), cet. 2, h. 11. 25 Pemikiran Politik Islam, Inu Kencana, Al-Quran dan Ilmu Politik, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), cet. I, h.75. 27 menghambat dinamika perkembangan umat. Adalah suatu kebijaksanaan AlQuran untuk membiarkan hal ini dipecahkan oleh nalar manusia sebagai suatu kemampuan dan perkembangan zaman. Kendati demikian Al-Quran memberikan prinsip-prinsip dasar bagi kehidupan bermasyarakat.26 Seterusnya, pelaksanaan negara menurut tuntutan Islam juga hampir serupa dengan pelaksanaan shalat jamaah di mana ada pemimpin negara sebagai imam, rakyat sebagai makmum, warga masyarakat sebagai jama‟ah, konstitusi dan peraturan perundang-undangan sebagai tata cara dan bacaan shalat, tujuan negara sebagai terlihat dari tujuan shalat, antara lain mencegah perbuatan keji dan mungkar, dan lain-lain. 27 Shalat jamaah juga mengenal koreksi terhadap imam dan penggantian imam yang mirip seperti yang dilakukan terhadap kepemimpinan negara dalam sistem moderen. Sebagai agama yang menyeluruh, Islam tidak hanya mengatur dimensi hubungan antara manusia dan khaliknya, tetapi juga antara sesama manusia. Selama 23 tahun dakwah kenabian Muhammad SAW, kedua dimensi ini berhasil dilaksanakannya dengan baik. Pada masa 13 tahun pertama, Nabi Muhammad SAW menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Mekah dengan penekanan pada aspek akidah dan ibadah. 26 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Sejarah dan Pemikiran ,(Jakarta: UI Press, 1993), h. 41. 27 h. 56. Rifyal Ka‟bah, Politik dan Hukum Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Khairul Bayan, 2005), cet. I, 28 Mengenai kepemimpinan kepala negara, Islam lebih memperkenalkannya pada awal pemerintahan Islam saat dipegang oleh Khulafaur Rasyidun, hal ini dikarenakan Nabi Muhammad SAW tidak diangkat melalui suksesi melainkan melalui pesan-pesan yang disampaikannya dalam Al-Quran, itupun sebagai realisasi dari dakwahnya sebagai seorang Nabi. Jadi, kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negara di Madinah adalah menyatu dengan tugas-tugas kerasulannya. Karena itu, beliau hanya bertanggung jawab sepenuhnya kepada Allah SWT.28 Persoalan pertama yang muncul setelah Nabi Muhammad SAW wafat (632 M / 10 H) adalah perihal penggantinya. Semasa hidupnya, Nabi Muhammad SAW memang tidak pernah menunjuk siapa yang akan menggantikan kepemimpinannya kelak. Beliau juga tidak memberi petunjuk tentang cara pengangkatan penggantinya (khalifah). Ketiadaan petunjuk ini menimbulkan permasalahan dikalangan umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat sehingga hampir membawa perpecahan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Bahkan jenazah beliau sendiri „terlantar‟ oleh seputar pembicaraan khalifah.29 Hampir semua ahli sejarah Islam sepakat bahwa persoalan pertama yang muncul dalam sejarah umat Islam adalah masalah politik atau persoalan imamah, 28 29 Ibid, h. 44. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 32. 29 yakni masalah penggantian Nabi Muhammad SAW selaku kepala negara. 30 Ibnu Jamaah31 dalam menerangkan hak-hak pemimpin telah berkata bahwa seseorang itu hendaklah mengetahui bahwa hak pemimpin adalah besar. Oleh sebab itu, berinteraksilah dengannnya dengan menghormati dan memuliakannya. Firman Allah SWT Q.S An-Nisa‟ (4): 59 ِ َّ ِ َطيعوا اللَّو وأ ِ ول َوأ ُْوِِل األ َْم ِر ِمْن ُك ْم فَِإ ْن تَنَ َاز ْعتُ ْم ِِف َش ْي ٍء فَ ُرُّدوهُ إِ ََل َ الر ُس َّ َط ُيعوا َ ين َ َ ُ آمنُوا أ َ {يَا أَيُّ َها الذ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ الرس .)59/َح َس ُن تَأْ ِويالً }(النساء َ ول إِ ْن ُكنتُ ْم تُ ْؤمنُو َن بِاللَّو َوالْيَ ْوم اآلخ ِر َذل ْ ك َخْي ٌر َوأ ُ َّ اللَّو َو Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S: An-Nisa‟/ 4:59) Dalam ayat ini, Allah SWT menyuruh manusia untuk taat kepada Allah, rasul-Nya dan juga kepada para pemimpin dan penguasa. Akan tetapi jika para penguasa bersikap zalim dan menyuruh kepada maksiat, maka ketika itu rakyat harus merujuk kembali kepada Allah dan rasul-Nya. Seterusnya lagi, “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya)”, maka „kamu‟ di dalam ayat ini adalah 30 Ridwan HR, Fikih Politik (Gagasan, Harapan dan Kenyataan), (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), cet. I, h. 243. 31 Badruddin Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu Sa‟dillah Ibnu Jamaah Ibnu Hazim Ibnu Shakr Ibnu Abdillah Al-Kinary. Ia lahir di Hamwa, Mesir pada tahun 1241 dan meninggal pada tahun 1333. Beliau adalah ahli hukum, ahli pendidikan, ahli tafsir, ahli hadis dan juru dakwah pada zamannya. Tetapi beliau lebih dikenali sebagai ahli hukum karena tugasnya sebagai haki m di Syam dan Mesir. 30 umum, ditujukan juga kepada para penguasa dan pemimpin. Jika ada perselisihan antara mereka, haruslah merujuk kepada Allah dan rasul-Nya. Yang dimaksudkan dengan “Allah dan rasul-Nya” adalah Al-Quran dan As-Sunnah sebagai pegangan utama umat Islam. Para ulama daripada kalangan pemimpin Islam menjunjung tinggi kehormatan mereka dan mendengar suruhan mereka walaupun mereka bersifat zuhud dan warak dan tidak mengimpikan kedudukan dan pangkat di dunia ini. Sesungguhnya Allah menjadikan pemimpin itu sebagai benteng kepada yang lemah daripada yang kuat dan kepada yang dizalimi daripada yang menzalimi. Sekiranya tiada pemerhatian daripada Allah yang diwakilkan kepada pemimpin ini nescaya tidak berlaku keamanan dan hilanglah hak asasi manusia, firman Allah SWT Q.S Al-Baqarah (2): 251 ِْ {فَ هزموىم بِِإ ْذ ِن اللَّ ِو وقَتل داوود جالُوت وآتَاه اللَّو الْم ْلك و ْمةَ َو َعلَّ َموُ ِِمَّا يَ َشاءُ َولَ ْوالَ َدفْ ُع اللَّ ِو ْ ُ َُ َ َ اْلك َ َ ُ ُ ُ َ َ َ ُ َُ ََ َ .)251/ت األ َْر ُ َولَ ِك َّن اللَّوَ ذُو فَ ْ ٍل َعلَ الْ َعالَ ِم َ }(ال قرة ْ َ َّاس بَ ْع َ ُه ْم بَِ ْع ٍ لََ َس َ الن Artinya: “Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (Q.S: AlBaqarah/ 2:251) 31 1. Konsep Musyawarah Dalam Islam Secara etimologis, musyawarah berasal dari kata “syawara” yang pada mulanya bermakna “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain, termasuk pendapat. Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya. Karena kata musyawarah adalah bentuk mashdar dari kata kerja syawara yang dari segi jenisnya termasuk kata kerja mufa’alah (perbuatan yang dilakukan timbal balik), maka musyawarah haruslah bersifat dialogis, bukan monologis. Semua anggota musyawarah bebas mengemukakan pendapatnya. Dengan kebebasan berdialog itulah diharapkan dapat diketahui kelemahan pendapat yang dikemukakan, sehingga keputusan yang dihasilkan tidak lagi mengandung kelemahan.32 32 http://saoskerupuk.co.cc/musyawarah_dan_demokrasi_dalam_islam.html diakses tanggal 30/3/2010 jam 13:40 WIB. 32 Para ulama memberikan definisi kata musyawarah sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya, antara lain: a. Abd Al-Rahman Abd. Al-Khaliq mendefinisikan musyawarah sebagai “Eksplorasi pendapat orang-orang yang berpengalaman untuk mencapai sesuatu yang paling dekat dengan kebenaran”.33 b. Abd Al-Hamid Ismail Al-Anshari mengatakan musyawarah adalah “Ekplorasi pendapat umat atau orang-orang yang mewakili mereka, tentang persoalan-persoalan yang umum yang berkaitan dengan kemaslahatan umum pula”. Dari definisi ini dapat dipahami bahwa umat mempunyai hak untuk diminta pendapatnya dalam memilih pemerintah yang diinginkan mereka, dan hak untuk diminta pendapat dalam memecahkan atau menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang penting. Dengan demikian, umat mempunyai hak untuk mengawasi, mengkritik, meluruskan, dan mengemukakan mosi kepada pemerintah. 34 c. Ibnu Al-Arabi mengatakan bahwa musyawarah adalah “Pertemuan guna membahas permasalahan; masing-masing mereka saling bermusyawarah dan mengemukakan pendapat yang dimiliki”.35 33 Abd Al-Rahman Abd. Al-Khaliq, Al-Syuura Fi Zhilli Nidzham al-Hukm al-Islam, (Kuwait: Al-Dar Al-Salafiyyah, 1975), h. 14. 34 Abd Al-Hamid Ismail Al-Anshari, Al-Syuura Wa Atsaruha Fi Al-Dimuqrathiyyah, (Cairo: Al-Maktabah Al-Salafiyyah, 1981), h. 4. 35 Ibnu Al-Arabi, Al-Ahkam Al-Quran, (Beirut:Dar Al-Fikr, 1988), jilid 1, h. 389. 33 d. Mahmud Muhammad Babbali mengemukakan bahwa musyawarah merupakan “ Saling tukar menukar pendapat guna memperoleh yang mendekati kebenaran; maka karena itu, musyawarah sekaligus merupakan bentuk dari tolong menolong, saling menasihati, kemauan yang kuat untuk menegakkan kebenaran dan tawakkal kepada Allah SWT”. 36 e. Beliau juga mengatakan lagi, musyawarah adalah “Saling bertukar pandangan atau pendapat dengan orang lain dalam satu tema tertentu untuk sampai pada pendapat yang paling benar”. 37 f. Ismail Al-Badawy mengatakan bahwa musyawarah adalah “usaha menghasilkan kebenaran setelah eksplorasi terhadap pendapat-pendapat orang lain”. 38 Musyawarah termasuk perkara yang sistem dan batasannya tidak dibuat, sebagai rahmat untuk manusia dan bukan karena lupa. Memberikan keleluasan dan memberikan hak penuh kepada mereka untuk memilih apa yang bisa diterima oleh akal dan dipahami oleh manusia, dan selama tujuannya adalah dasar Musyawarah serta untuk menciptakan undang-undang yang adil yang menyatukan rakyat bukan menceraikan dan mengadakan perpecahan dikalangan mereka. 36 Mahmud Muhammad Babbali, Al-Syuura Suluk Wa Al-Iltizam, (Makkah: Maktabah AlTsaqafah, 1986), h. 19. 37 38 Ibid, h. 5. Ismail Al-Badawy, Mabda’ Al-Syuura Fi Al-Syariat Al-Islamiyyah, (Cairo: Dar Al-Fikr AlArabi, 1981), h. 7. 34 Alasan Islam untuk tidak membuat satu sistem bagi Musyawarah sama alasannya dengan alasan Islam tidak membuat satu sistem politik yang merincikan hukum khilafah, untuk memberi kebebasan kepada umat untuk membuat keputusan berdasarkan akal selagimana keputusan itu sesuai dengan ketentuan syariat. Abu Bakar RA selalu menyelesaikan perkara dengan bermusyawarah dengan para sahabat beliau. Apabila beliau dihadapkan dengan suatu permasalahan dan permasalahan tersebut tidak dapat beliau temukan di dalam AlQuran dan As-Sunnah, maka beliau akan bermusyawarah dengan para sahabat. Jika semua mereka semuanya sepakat atas satu keputusan berdasarkan Musyawarah itu, beliau akan memutuskan permasalahan tersebut dengan keputusan itu.39 Mayoritas ulama Islam dan pakar undang-undang konstitusional meletakkan Musyawarah sebagai kewajiban keislaman dan prinsip konstitusional yang pokok di atas prinsip-prinsip umum dan dasar-dasar baku yang telah ditetapkan oleh nash-nash Al-Quran dan hadis-hadis Nabawi. Oleh karena itu, Musyawarah ini lazim dan tidak ada alasan bagi seorangpun untuk meninggalkannya. 40 Firman Allah SWT Q.S Ali Imran (3): 159 39 Ridwan HR, Fikih Politik (Gagasan, Harapan dan Kenyataan), (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), cet. I, h. 78. 40 Farid Abdul Khalid, Fikih Politik Islam, (Jakarta: AMZAH, 2005), cet. 1, h. 35. 35 ِ {فَاعف عْن هم و ِ ُّ ت فَتَ َوَّك ْل َعلَ اللَّ ِو إِ َّن اللَّوَ ُُِي َ ب الْ ُمتَ َوِّكل َ استَ ْغ ْر ََلُ ْم َو َشا ِوْرُى ْم ِِف األ َْم ِر فَِإذَا َعَزْم ْ َ ُْ َ ُ ْ .)159/}(آل عمران Artinya: “Maka maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya.” (Q.S: Ali Imran/ 3:159) Dengan nash yang tegas ini, „dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu‟, Islam menetapkan prinsip ini dalam sistem pemerintahan hingga Rasulullah SAW sendiri melakukannya. Ini adalah ketetapan yang pasti dan tidak meninggalkan keraguan dalam hati umat Islam bahwa Musyawarah merupakan prinsip dasar dan bahwa sistem pemerintahan berdasarkan Islam ditegakkan atas prinsip ini. 41 Dapat dipastikan bahwa pandangan yang terkuat dikalangan ulama tentang hukum Musyawarah adalah wajib, diwajibkan atas para penguasa untuk meminta pendapat rakyat dalam segala perkara umum. Musyawarah adalah kewajiban yang diwajibkan atas para penguasa dan juga rakyat. Penguasa harus bermusyawarah dalam setiap perkara pemerintahan, administrasi, politik, dan pembuatan perundang-undangan. Juga dalam setiap hal yang menyangkut kemaslahatan individual dan kemaslahatan umum. Rakyat juga harus memberikan 41 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran, (Jakarta: Gema Insani, 2006), jilid 3, cet. 2, h. 294. 36 pendapatnya kepada penguasa dengan pendapat yang mereka anggap baik dalam perkara-perkara di atas, baik penguasa meminta pendapat mereka ataupun tidak. 42 Keengganan penguasa atau pemimpin untuk bermusyawarah dengan orang lain dari orang-orang yang pantas untuk diminta pendapatnya dan hanya berpegang dengan pendapatnya sendiri, dianggap suatu sikap diktator. Sikap diktator membawa kepada kezaliman dan kezaliman membawa kepada kebencian Allah SWT dan kegelapan pada hari kiamat. Allah SWT mengharamkan rahmatNya atas diri penguasa atau pemimpin tersebut dan menjadikannya tersingkirkan dikalangan rakyat. Sikap diktator ini sememangnya dilarang dalam Islam dan pada hakikatnya adalah suatu pemaksaan dan ketakburan. 43 Firman Allah SWT Q.S Al-Ghaasyiyah (88): 22 .)22/ت َعلَْي ِه ْم ِِبُ َسْي ِط ٍر }(الغاشية َ {لَ ْس Artinya: “Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (Q.S: AlGhaasyiyah/ 88:22) Maksudnya adalah para penguasa dan pemimpin tidak berkuasa total terhadap rakyatnya, jika mereka menyuruh kepada maksiat dan dosa maka rakyat diberi hak untuk mengingkari mereka dan merujuk kepada Al-Quran dan AsSunnah. Ini sesuai dengan firman Allah SWT di dalam Al-Quran, surah An-Nisa‟ ayat 59 seperti yang telah disebut. 42 Farid Abdul Khalid, Fikih Politik Islam, (Jakarta: AMZAH, 2005), cet. 1, h. 58. 43 Ibid, h. 61. 37 Apabila seorang penguasa bermusyawarah dengan orang bawahannya atau rakyatnya, sementara sebagian mereka menegurnya bahwa apa yang harus diikuti adalah Al-Quran dan As-Sunnah maka ketika ini sang pemerintah harus tunduk pada keduanya. Di sini seseorang tidak boleh taat kepada siapa pun untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, meskipun dia berkedudukan tinggi dan mempunyai status sosial yang mapan di dunia. Apabila ada permasalahan yang diperselisihkan oleh umat, maka setiap orang dari mereka mengeluarkan pendapatnya yang terarah dan tepat, mengacu pada Al-Quran dan As-Sunnah. Oleh karenanya, setiap pendapat yang mempunyai kesamaan dengan apa yang tertera dalam keduanya maka haruslah diperhitungkan untuk dipakai. 44 Konsep Musyawarah ini dapat dilihat pelaksanaanya dalam Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi atau Ahlu al-Ikhtiyar, yang banyak disebut oleh ulama-ulama fikih dan tafsir di dalam kitab-kitab mereka. 2. Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi Dan Ahlu al-Ikhtiyar Penulis tidak menemukan baik di dalam Al-Quran atau As-Sunnah sebutan atau spesifikasi apa yang dimaksudkan dengan Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi 44 Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar’iyah, Etika Politik Islam, penerjemah Rofi‟ Munawwar, (Surabaya: Risalah Gusti, 2005), cet. 3, h. 223. 38 dan Ahlu al-Ikhtiyar ini. Tujuan Islam tidak membuat satu sistem khusus dan tidak merinci-rincikannya agar rakyat ikut adil dalam perkara Musyawarah, dan rincian partisipasi atau adilnya itu diserahkan kepada mereka. Perkara perincian itu juga berbeda-beda sesuai dengan perbedaan sosial kemasyarakatan di satu masa dan satu tempat. Istilah Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi mulai timbul dalam kitab-kitab para ahli tafsir dan ahli fikih setelah masa Rasulullah SAW. Mereka berbeda pendapat seputar definisisi Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi dan juga Ahlu al-Ikhtiyar. Imam AlMawardi dan beberapa ulama lainnya menyebutnya dengan Ahlu al-Ikhtiyar, yaitu “orang-orang yang mempunyai kualifikasi untuk memilih”. 45 Dalam hubungan ini, Dr. Abdul Karim Zaidan menyebut “Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi ialah orang-orang yang berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberikan kepercayaan kepada mereka. Para rakyat menyetujui pendapat wakil-wakil itu karena ikhlas, konsekuen, takwa, adil, dan kecemerlangan pikiran serta kegigihan mereka dalam memeperjuangkan kepentingan rakyatnya”. Paradigma pemikiran ulama fikih merumuskan istilah Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi didasarkan pada sistem pemilihan empat khalifah pertama yang dilaksanakan oleh para tokoh sahabat yang mewakili dua golongan; Anshar dan Muhajirin. Mereka ini oleh ulama fikih diklaim sebagai Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi yang bertindak sebagai wakil umat. Walaupun sesungguhnya pemilihan itu, 45 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), cet. 1, h. 176. 39 khususnya pemilihan Abu Bakar dan Ali lebih bersifat spontan atas dasar tanggungjawab umum terhadap kelangsungan keutuhan umat dan agama, namun keduanya mendapat pengakuan dari umat. Hanya Umar yang membentuk satu kumpulan sahabat yang beranggotakan enam orang untuk memilih khalifah sesudah ia wafat.46 Adapun secara bahasa, istilah Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi terdiri dari tiga kalimat: 1- Ahlu, yang berarti orang yang berhak atau memiliki, 2- Halli, yang berarti melepaskan, menyesuaikan, memecahkan, 3- Aqdi, yang berarti mengikat, mengadakan, membentuk. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan pengertian Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi mengikut bahasa adalah "Orang-orang yang memiliki pengetahuan (ahlinya), yang mampu melepaskan, menyesuaikan, memecahkan permasalahan umat, menetapkan urusan-urusan umat dan mengadakan serta membentuk sistem/peraturan”.47 Tentang bilangan keanggotaan Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi sehingga pengangkatan imam (khalifah) atau pembuatan ssesuatu keputusan oleh mereka dianggap sah, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sekelompok ulama berpendapat, bahwa pemilihan imam (khalifah) tidak sah kecuali dengan dihadiri seluruh anggota Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi bagi setiap daerah, agar imam yang mereka angkat diterima seluruh lapisan masyarakat dan 46 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah, Dan Pemikiran, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), cet. 5, h. 67. 47 http://mediafathulkhoir.blogspot.com/2008/12/ahlul-halli-wal-aqdi.html 23/3/2010 jam 13:30 WIB. diakses tanggal 40 mereka semua tunduk pada kepemimpinannya. Pendapat ini berhujah dengan peristiwa pembaiatan (pengangkatan) Abu Bakar RA. Kelompok ulama yang lain berpendapat bahwa minimal lembaga yang memilih imam yaitu Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi itu beranggotakan lima orang, kemudian mereka sepakat mengangkat khalifah, atau salah seorang dari mereka sendiri diangkat menjadi khalifah dengan mendapat restu dari empat anggota yang lain. Para ulama di Kufah berpendapat bahwa Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi dianggap sah dengan tiga orang. Salah seorang dari mereka bertiga ditunjuk sebagai imam (khalifah) dengan persetujuan dua anggota yang lain. Jadi salah seorang dari mereka diangkat menjadi imam dengan dan dua yang lainnya menjadi saksi sebagaimana akad pernikahan dianggap sah dengan dihadiri satu orang wali dan dua orang saksi. Kelompok lain berpendapat bahwa Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi sah dengan hanya satu orang, karena Abbas Bin Abdul Muthalib RA berkata kepada Ali Bin Abi Thalib RA, ”Bentangkan tanganmu, aku membaitmu, agar orang-orang berkata bahwa paman Rasulullah SAW telah membait keponakannya kemudian tidak ada dua orang yang berbeda pendapat tentang dirimu”. Selain itu lagi, sesungguhnya menurut mereka permasalahan ini adalah permasalahan hukum dan hukum itu sah dengan hanya satu orang.48 48 Imam Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Dalam Syariat Islam, penerjemah Fadli Bahri, (Jakarta: PT Darul Falah, 2007), cet. 3, h. 5. 41 Mengenai syarat-syarat para anggota Ahlu al-Iktiyar, Imam Al-Mawardi memberi gambaran bahwa mereka harus memiliki tiga kriteria, yaitu: 1. Adil dengan cukup segala syarat-syarat untuk dikatakan sebagai adil. 2. Mempunyai ilmu yang membuatnya mampu memilih siapa yang difikirkan layak untuk menjadi imam sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. 3. Wawasan dan sikap bijaksana yang membuatnya mampu memilih siapa yang paling tepat untuk menjadi imam yang paling efektif dan paling ahli dalam mengelola segala kepentingan. 49 Jika anggota Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi mengadakan sidang untuk memilih pemimpin, mereka harus mempelajari data pribadi orang-orang yang mempunyai kriteria kepemimpinan kemudian mereka memilih siapa di antara orang-orang tersebut yang paling banyak kelebihannya, paling lengkap kriterianya, paling segera ditaati rakyat dan mereka tidak menolak membaiatnya. 50 Tentang hubungan antara Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi dan rakyat, mereka mewakili rakyat dalam melaksanakan haknya untuk memilih kepala negara. Mereka adalah wakil-wakil rakyat dalam melaksanakan hak pilih, yang secara tidak langsung pula berarti pilihan mereka adalah pilihan rakyat. Menurut Rasyid Ridha, tugas Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi selain dari hak pilih, adalah menjatuhkan 49 Ibid, h. 3. 50 Ibid, h. 6. 42 khalifah jika terdapat hal-hal yang mengharuskan pemecatannya. Al-Mawardi juga berpendapat jika kepala negara melakukan tindakan yang bertentangan dengan agama, rakyat dan Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi berhak untuk menyampaikan mosi tidak percaya kepadanya.51 3. Demokrasi Dalam Islam Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi moderen. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi bagi demokrasi moderen telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara. Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara. 51 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah, Dan Pemikiran, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), cet. 5, h. 70-71. 43 Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan rakyat) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yangg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances. Menurut Sadek J. Sulaymân, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip yang menjadi standar baku. Diantaranya: 1. Kebebasan berbicara setiap warga negara. 2. Pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau harus diganti. 3. Kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas. 4. Peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat. 5. Pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. 6. Supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum). 44 7. Semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu. Dalam permasalahan demokrasi ini, para ulama berbeda pandangan. Ada yang mengatakan bahwa demokrasi haram karena berbeda dengan prinsip-prinsip Islam, dan ada yang mengatakan bahwa ia diperbolehkan. Al-Maududi52 secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, Al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas kepada para pendeta Seorang intelektual Pakistan, M. Iqbal53 mengatakan, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, 52 Syed Abu A‟la Al-Maududi dilahirkan pada tanggal 25 September 1903 di Hyderabad, India dan meninggal dunia pada 22 September 1979 di Amerika Serikat. Beliau adalah ulama tafsir, hadis, fikih dan politik di India/Pakistan. 53 Muhammad Iqbal lahir di desa Sialkot, Punjab, India pada tanggal 9 November 1877 dan meninggal di Lahore, India pada 21 April 1938. Beliau merupakan seorang pemikir Islam, filsuf sekaligus penyair. 45 menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi secara mutlak, melainkan prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut: 1. Tauhid sebagai landasan asasi. 2. Kepatuhan pada hukum. 3. Toleransi sesama warga. 4. Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit. 5. Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad. Seorang ulama lagi, Muhammad Imarah54 mengatakan bahwa Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan-Nya serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah. Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ 54 Muhammad Imarah lahir pada tahun 1931 di desa Qarwah-Qalain, Mesir. Karya tulisnya yang terkenal adalah al-Qawmiyah al-Arabiyah. 46 (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya. Dr. Yusuf Al-Qardhawi55 pula berkata, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Menurutnya lagi, hal tersebut bisa dilihat pada beberapa perkara. Misalnya: 1. Dalam demokrasi, proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya. 2. Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam. 3. Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan. 55 Seorang pemikir dan ulama moderen, Dr. Yusuf Al-Qardhawi dilahirkan pada tanggal 9 September 1926 di desa Safat Turab, Mesir. Merupakan Graduan Universitas Al-Azhar Cairo. Pendapat dan pemikiran belaiau memiliki kesamaan dengan pemikiran Hassan Al-Banna, tidak salah kerana beliau menjadikan Hassan Al-Banna sebgai contoh tauladan. 47 4. Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas. Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam. Salim Ali Al-Bahnasawi mengatakan, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan Islam dan pada masa yang sama masih memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. 56 56 http://nsudiana.wordpress.com/2008/01/19/demokrasi-dalam-pandangan-islam/ tanggal 23/3.2010 jam 13:40 WIB. diakses BAB III PARLEMEN MENURUT PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA A. Parlemen Malaysia Secara umumnya, Parlemen merupakan majlis pembuat undang-undang (legislatif). Terdapat 2 jenis Parlemen iaitu unikameral (satu dewan) atau yang bikameral (dwikameral). Parlimen bikameral terdiri daripada satu dewan rendah dimana ahlinya dipilih dalam pemilu dan dewan tinggi yang biasanya ahli ditunjuk. Walapun sistem lain seperti trikameral wujud, mereka amat jarang. Nama parlemen berasal dari perkataan Prancis, parlement, dengan parler bermaksud “bercakap” : maka parlement berarti "tempat untuk bercakap atau berbincang"; suatu perhimpunan atau perjumpaan dimana ahlinya berbincang tentang isu-isu semasa. Parlemen yang paling terkenal adalah Parlemen Inggris, yang biasanya digelar "Ibu parlemen-parlemen" kerana banyak negara Komanwel1 mengasaskan kerajaan mereka pada sistem Wesminster, yang berdasarkan pada Parlemen Inggris.2 1 Negara-Negara Komanwel atau Komanwel (Commonwealth) sahaja merupakan satu persatuan yang terdiri dari negara-negara berdaulat yang ditubuhkan atau pernah ditakluk oleh pihak Inggris kecuali negara Mozambique (bekas taklukan Portugis) dan Rwanda (bekas taklukan Belgium). Bukan semua ahlinya mengiktiraf ratu Inggris, Ratu Elizabeth II sebagai ketua negara. Negara-negara yang mengambilnya sebagai ketua negara dikenali sebagai Kerajaan Komanwel atau "Commonwealth Realm". Bagaimanapun, mayoritas ahlinya adalah berbentuk republik, dan sebagian yang lain mempunyai raja tersendiri. Contohnya seperti Malaysia, Brunei, dan Tonga, yang mempunyai 48 49 Di Malaysia, Perlembagaan Persekutuan mengatur bahwa Parlemen adalah badan pemerintahan tertinggi yang bertindak membuat dan menggubal undang-undang bagi Persekutuan. Parlemen Malaysia terdiri dari tiga badan yaitu Yang di-Pertuan Agong, Dewan Negara, dan Dewan Rakyat. B. Komponen Parlemen Malaysia Sebagaimana yang telah penulis kemukakan, Parlemen Malaysia mempunyai tiga kompenen utama yaitu; Yang di-Pertuan Agong, Dewan Negara, dan Dewan Rakyat, maka keaggotaan Parlemen Malaysia adalah berbeda berdasarkan ketiga-tiga komponen tersebut. Yang di-Pertuan Agong sebagai kepala Parlemen dipilih dari Raja-Raja Melayu3, setiap lima tahun sekali atau apabila Yang di-Pertuan Agong sebelumnya meninggal dunia, hilang kelayakan sebagai Yang di-Pertuan Agong Raja/Monarki sendiri. Namun demikian semua ahli Komanwel menganggap Ratu Inggris, Ratu Elizabeth II sebagai kepala Komanwel. 2 3 http://ms.wikipedia.org/wiki/Parlimen diakses tanggal 31/3/2010 jam 12:00 WIB. Raja-Raja Melayu bermaksud Sultan bagi 14 negara bagian di Malaysia yaitu Sultan Abdul Halim Muazzam Shah Ibni Almarhum Sultan Badli Shah (Kedah), Sultan Haji Ahmad Shah AlMusta’in Billah Ibni Almarhum Sultan Abu Bakar Riayatuddin Al-Mua’zzam Shah (Pahang), Sultan Sharafuddin Idris Shah Ibni Almarhum Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah (Selangor), Sultan Azlan Muhibuddin Shah (Perak), Sultan Ismail Petra (Kelantan), Raja Syed Sirajuddin Billah Ibni Almarhum Jamalullail (Perlis), Sultan Al-Wathiqu Billah Tuanku Mizan Zainal Abidin Ibni Almarhum Sultan Mahmud Al-Muktafi Billah Shah (Terengganu), Sultan Iskandar Ibni Almarhum Sultan Ismail Petra (Johor), Tuan Yang Terhormat Abdurrahman Abbas (Pulau Pinang), Tuan Yang Terhormat Dato’ Asnan Rafiq (Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur), Tuan Yang Terhormat Khalil Yaakob (Melaka), Yang Besar Tuan Besar Seri Menanti Tengku Mukhriz (Negeri Sembilan), Tuan Yang Terhormat Abang Ahmad Sallehuddin Abang Dareng (Sarawak) dan Tuan Yang Terhormat Dato’ Musa Adnan (Sabah). 50 atau tidak dapat menjalankan tugas sebagai Yang di-Pertuan Agong karena sesuatu hal yang menghalang. 4 Periode jabatan Yang di-Pertuan Agong adalah selama lima tahun, dan boleh melepaskan jabatan dengan menulis surat kepada Majelis Raja-Raja.5 Yang di-Pertuan Agong sekarang (2010) adalah Sultan6 bagi negeri7 Terengganu yaitu Sultan Al-Wathiqu Billah Tuanku Mizan Zainal Abidin Ibni Almarhum Sultan Mahmud Al-Muktafi Billah Shah. Dewan Negara adalah Majlis Tinggi atau Senat 8, ia mempunyai keanggotaan dari tiga kumpulan yaitu: 1- Anggota yang ditunjuk oleh tiap-tiap Dewan Negeri9 dan bilangannya adalah dua orang bagi setiap negara bagian di Malaysia. 2- Dua orang ditunjuk oleh Yang di-Pertuan Agong untuk mewakili Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur dan seorang untuk mewakili Labuan. 3Anggota yang ditunjuk secara khusus oleh Yang di-Pertuan Agong dan bilangannya empat puluh orang.10 4 Pasal 33A dan 34 Perlembagaan Persekutuan. 5 Tun Mohd. Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2006), cet. 3, h. 61. 6 Sultan adalah kepala agama bagi agama Islam di setiap negara bagian di Malaysia. 7 Negeri bermaksud negara bagian. 8 Team Penyusun ILB, Malaysia Kita, Panduan Dan Rujukan Untuk Peperiksaan Am Kerajaan, (Selangor: International Law Book Service, 2005), cet. 6, h. 200. 9 Dewan Negeri adalah dewan rendah di tingkat negeri (negara bagian). 10 Pasal 45(1) Perlembagaan Persekutuan. 51 Ahli yang ditunjuk secara khusus oleh Yang di-Pertuan Agong adalah para pakar di dalam bidang perkhidmatan umum dan telah menyumbang jasa di dalam bidangnya. Contohnya para ahli di dalam lapangan perniagaan, akademik, seni, atau orang yang dipikirkan dapat menyampaikan aspirasi kaum minoritas di Malaysia. 11 Periode jabatan bagi anggota Dewan Negara adalah tiga tahun dan pembubaran Parlemen tidak menjejaskan periode jabatan mereka,12 tapi jika seseorang itu dilantik untuk memegang keanggotaan Dewan Negara karena menggantikan ahli sebelumnya yang meninggal dunia atau yang melepaskan jabatan dengan rela, maka tempoh jabatan bagi anggota tersebut adalah selama periode jabatan yang masih tersisa dari periode jabatan anggota yang digantikannya. Seorang anggota Dewan Negara boleh melepaskan jabatannya dengan menulis surat kepada Yang Dipertua Dewan13. Jika seorang anggota Dewan Negara tidak hadir didalam perjumpaan Dewan Negara selama enam bulan 11 Ibid, pasal 45(2). 12 Ibid, pasal 45(3). 13 Yang dimaksudkan dengan Yang Dipertua Dewan adalah kepala bagi Dewan Negara. Ia dipilih dari anggota Dewan Negara sendiri dan jika masih belum ada yang memegang jabatan ini, dewan tidak bisa membincangkan sesuatu apapun melainkan perbincangan untuk memilih Yang Dipertua tersebut sahaja. 52 dengan tidak mendapat izin dari Yang Dipertua Dewan, maka ia bisa hilang kelayakan untuk memegang jabatannya di dalam Dewan Negara. 14 Dewan Rakyat pula adalah komponen ketiga dalam Parlemen Malaysia, merupakan satu badan khas untuk rakyat menyuarakan aspirasi mereka kepada pemerintah yang disampaikan oleh wakil-wakil mereka. Kesemua anggota Dewan Rakyat dipilih melalui proses pemilu, yang di negara Malaysia dijalankan setiap empat tahun sekali. Jumlah ahli Dewan Rakyat adalah sebanyak 222 orang15, dengan rincian sebagai berikut: 1. Dua puluh enam orang dari negara bagian Johor. 2. Lima belas orang dari negara bagian Kedah. 3. Empat belas orang dari negara bagian Kelantan. 4. Enam orang dari negara bagian Melaka. 5. Delapan orang dari negara bagian Negeri Sembilan. 6. Empat belas orang dari negara bagian Pahang. 7. Tiga belas orang dari negara bagian Pulau Pinang. 8. Dua puluh empat orang dari negara bagian Perak. 9. Tiga orang dari negara bagian Perlis. 10. Dua puluh lima orang dari negara bagian Sabah. 11. Dua puluh delapan orang dari negara bagian Sarawak. 14 Tun Mohd. Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2006), cet. 3, h. 68-70. 15 Pasal 46(1) Perlembagaan Persekutuan. 53 12. Dua puluh dua orang dari negara bagian Selangor. 13. Delapan orang dari negara bagian Terengganu. 14. Tiga belas orang dari Wilayah-wilayah Persekutuan, yaitu sebelas orang dari Kuala Lumpur, seorang dari Labuan dan seorang dari Putrajaya. 16 Periode jabatan bagi anggota Dewan Rakyat akan berakhir apabila Parlemen dibubarkan oleh Yang di-Pertuan Agong, yang kebiasaannya diikuti oleh pemilihan umum untuk memilih anggota-anggota baru bagi sesi berikutnya, dan pemilu ini biasanya dijalankan empat tahun sekali di Malaysia. Anggota Dewan Rakyat juga boleh berhenti dari jabatannya dengan menulis surat kepada Yang Dipertua Dewan Rakyat.17 Selain itu, terdapat juga ketentuan yang mengatur siapa saja yang layak menjadi ahli Parlemen Malaysia. Mengikut ketentuan itu, orang-orang yang termasuk di dalam senarai ini dikatakan sebagai tidak layak untuk menjadi ahli Parlemen: 1. Orang tidak waras; orang gila; orang tidak siuman. 2. Orang bankrup, selagimana ia tidak mendapat pernyataan bertulis daripada pengadilan bahwa ia telah bebas dari kebangkrupannya. 16 Team Penyusun ILB, Malaysia Kita, Panduan Dan Rujukan Untuk Peperiksaan Am Kerajaan, (Selangor: International Law Book Service, 2005), cet. 6, h. 203. 17 Setaraf dengan Yang Dipertua Dewan Negara. 54 3. Orang yang telah memegang jabatan di dalam pentadbiran dan perkhidmatan umum, termasuk hakim-hakim pengadilan, ahli-ahli SPR18. 4. Mana-mana orang yang memegang jabatan yang dianggap oleh Perlembagaan Persekutuan bahwa jabatannya itu sebagai jabatan bergaji tetap dan tidak layak untuk menjadi ahli Parlemen. 5. Seseorang yang mempunyai rekod kesalahan dan telah dibicarakan di pengadilan, serta telah dihukum penjara sekurang-kurangnya satu tahun dan denda tidak kurang dari RM2000.00. 6. Seseorang yang dengan sengaja dan rela mendapat taraf warganegara di mana-mana negara di luar Persekutuan.19 Bagi Dewan Negara, seseorang itu haruslah sekurang-kurangnya berusia 21 tahun dan bagi Dewan Negara pula berusia sekurang-kurangnya 30 tahun untuk dianggap layak menjadi ahli. 20 C. Fungsi Parlemen Sebagaimana fungsi kebanyakan Parlemen di dunia, Parlemen Malaysia juga bertindak sebagai badan pembuat dan penggubal undang-undang. Ini jelas 18 SPR adalah kependekan dari Suruhanjaya Pilihan Raya, satu badan yang mengatur ketentuan bagi pemilu di Malaysia, setaraf dengan Komisi Pemilihan Umum bagi Republik Indonesia. 19 Team Penyusun ILB, Malaysia Kita, Panduan Dan Rujukan Untuk Peperiksaan Am Kerajaan, (Selangor: International Law Book Service, 2005), cet. 6, h. 204. 20 Tun Mohd. Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2006), cet. 3, h. 74. 55 sebagaimana yang diatur di dalam Perlembagaan Persekutuan bab 4 pasal 44:“Kuasa Perundangan Persekutuan terletak pada Parlimen… 21”. Dari segi sejarah, kuasa membuat undang-undang sememangnya ada pada tangan raja. Parlemen hanyalah sebagai badan penasehat raja sahaja. Tetapi dengan perubahan zaman, kuasa mutlak yang dipunyai oleh raja dalam membuat undang-undang telah beransur-ansur berkurangan sedikit demi sedikit, sehingga pada akhirnya wewenang raja yang tinggal hanyalah setakat memberi persetujuan kepada undang-undang yang telah diluluskan oleh dua dewan Parlemen, yaitu Dewan Rakyat dan Dewan Negara. 22 Menurut sejarah Malaysia, pada zaman Kerajaan Melayu Kuno, kuasa membuat undang-undang memang terletak pada tangan raja secara mutlak. Kemudiannya semasa zaman pra-kemerdekaan Malaysia, pihak Inggris mencoba untuk memisahkan kuasa pemerintahan dari tangan raja-raja dengan membuat undang-undang yang mengatur batasan wewenang dan kuasa raja sehingga raja tidak bisa mencampuri urusan pemerintahan negara Malaysia. Salah satu daripada wewenang raja yang telah dibatasi oleh pihak Inggris adalah hak untuk membuat undang-undang. Pihak Inggris memberikan syarat untuk ia melepaskan negara Malaysia dari kuasa taklukannya, bahwa setelah merdeka, Malaysia harus menggunakan undang-undang berbasiskan undang-undang Inggris dan menerima 21 Lembaga Penyelidikan Undang-Undang, Perlembagaan Persekutuan, (International Law Book Sevices, Selangor, 2007), h. 29. 22 Tun Mohd. Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2006), cet. 3, h. 82. 56 Perlembagaan Persekutuan sebagai konstitusi negara. Karena Malaysia terpaksa menggunakan Perlembagaan Persekutuan sebagai konstitusi, dan karena konstitusi ini mengatur bahwa kuasa memebuat undang-undang terletak pada tangan badan yang akan dibentuk dan diberi nama Parlemen, maka Inggris telah berhasil membatasi wewenang raja-raja dalam membuat undang-undang. Parlemen juga harus mengadakan persidangan setiap enam bulan sekali untuk membincangkan hal-hal kepentingan umum, dan hal ini penting untuk menjaga kepentingan rakyat.23 Berkenaan fungsi Parlemen Malaysia sebagai pembuat undang-undang, hal itu dengan cara Dewan Rakyat dan Dewan Negara meluluskan satu undangundang yang kemudiannya dipersetujukan oleh Yang di-Pertuan Agong. Seterusnya undang-undang tersebut akan disahkan pula oleh pengadilan. Undang-undang baru boleh dimulakan di mana-mana dewan, tetapi undang-undang yang terkait dengan kewangan hendaklah dimulai di Dewan Rakyat, karena Dewan Rakyat lebih berkuasa dalam hal kewangan ketimbang Dewan Negara. Undang-undang yang dibuat oleh Parlemen, jika bertentangan dengan Perlembagaan Persekutuan, boleh digugat di pengadilan melainkan jika undang-undang darurat.24 Akan tetapi secara realitasnya, wewenang membuat undang-undang lebih dominan pada Dewan Rakyat karena undang-undang yang akan dibentuk akan 23 Ibid, h. 78. 24 Pasal 4(3) Perlembagaan Persekutuan. 57 dibincangkan di Dewan Rakyat terlebih dahulu. Menurut Pasal 68 Perlembagaan Persekutuan, Dewan Negara hanya berkuasa untuk menangguhkan pembuatan undang-undang itu sahaja. Ia tidak mempunyai kuasa untuk menolak undangundang yang telah dipersetujukan di Dewan Rakyat, juga tidak mempunyai kuasa untuk membuat sebarang perubahan terhadap undang-undang tersebut.25 D. Hak Dan Wewenang Parlemen Setiap badan tertinggi sesuatu negara seperti Parlemen mesti mempunyai hak-hak keutamaan untuk membolehkan badan tersebut menjalankan tugasnya dengan sempurna. Begitu juga dengan Parlemen Malaysia, ia mempunyai hak keutamaan yang tersendiri dan hak tersebut menjadi sebagian dari undang-undang Malaysia. 26 Sebagian dari hak-hak keutamaan Parlemen Malaysia adalah: 1. Hak untuk menentukan bahwa seseorang ahlinya telah hilang kelayakan untuk memegang jabatan di dalam dewan. 2. Hak membuat aturan untuk menjaga ketertiban perjalanan gerak kerjanya. 3. Hak untuk menghalang seseorang yang bukan ahlinya daripada menghadiri persidangan dewan dan menangkap sesiapa yang dianggap membuat kekacauan di dalam dewan. 25 Tun Mohd. Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2006), cet. 3, h. 94. 26 Akta Parlemen 1911-1. 58 4. Hak mendenda seseorang ahlinya atau yang bukan ahlinya jika melakukan sesuatu kesalahan terhadap dewan. 5. Hak mengeluarkan surat perintah untuk menangkap seseorang yang melakukan kesalahan terhadapnya dan membolehkan petugas yang menjalankan tugas penangkapan tersebut untuk memasuki rumah kediaman orang yang hendak ditangkap itu. 6. Hak mengeluarkan gugatan untuk memanggil sesiapa sebagai saksi di dalam persidangan dewan. 7. Hak untuk memaksa saksi bercakap benar dan melepaskan saksi dari menjawab pertanyaan yang diajukan. 8. Hak untuk menentukan bahwa sesuatu perbicaraan di dalam dewan sah ataupun tidak, dengan keputusan ini tidak bisa digugat di mana-mana pengadilan. 27 Parlemen Malaysia juga mempunyai beberapa keistimewaan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 63 Perlembagaan Persekutuan, yaitu: 1. Keabsahan mana-mana keputusan yang diambil semasa persidangan Parlemen tidak boleh dipersoalkan dan digugat dalam mana-mana pengadilan. 2. Sesiapapun tidak boleh dibicarakan di dalam mana-mana pengadilan karena apa-apa jua tutur katanya di dalam persidangan Parlemen. 28 Ini 27 Tun Mohd. Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2006), cet. 3, h. 95-96. 59 bermarti seseorang anggota Parlemen atau bukan anggota Parlemen yang dipanggil untuk memberi keterangan di dalam persidangan Parlemen sebagai saksi, berhak untuk berbicara dengan bebas. Akan tetapi kebebasan ini bukan berarti bahwa seseorang bisa bercakap semaunya tanpa menghiraukan sensitiviti dewan. Yang Dipertua Dewan yang juga sebagai pengerusi persidangan dewan berhak mengawal segala kata-kata dan percakapan di dalam dewan untuk memelihara ketenteraman.29 28 29 Pasal 63(2) Perlembagaan Persekutuan. Ahmad Mohamed Ibrahim dan Ahilemah Joned, Sistem Undang-Undang Di Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 1986), cet. 2, h. 171. BAB IV TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP PARLEMEN MENURUT PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA A. Agama Dan Negara Dalam Kajian Ketatanegaraan Islam Polemik hubungan agama dan negara masih menjadi perdebatan yang tidak berkesudahan dibanyak negara Muslim sampai saat ini. Apakah agama menjadi wilayah privat individu warga negara ataukah masuk dalam wilayah yang harus diatur oleh negara? Bagaimana mengurai dan menjelaskan hubungan agama dan negara juga menjadi persoalan yang belum menemukan solusi atau jawaban yang dapat dijadikan pedoman bersama. Sekilas berkenaann kata „agama‟ dan „negara‟: 1. Kata „agama‟ berasal dari bahasa Sanskreta yang berarti tradisi, tidak bergerak, peraturan. Sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa ”Agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut”.1 Agama dalam bahasa arab pula adalah din, yang artinya taat, takut dan setia, paksaan, tekanan, penghambaan, perendahan diri, pemerintahan, kekuasaan, siasat, balasan, adat, pengalaman hidup, perhitungan amal. Sinonim kata din dalam bahasa arab ialah milah. 1 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 10. 60 61 Bedanya, milah lebih memberikan titik berat pada ketetapan, aturan, hukum, tata tertib, atau doktrin ketimbang kata din itu.2 Sedangkan Endang Saifuddin Anshari mendefinisikan bahwa agama pada umumnya merupakan suatu sistema ‟tata keimanan‟ atau ‟tata keyakinan‟ atas adanya suatu yang mutlak diluar manusia. Selain itu ia juga merupakan sistem ‟tata peribadahan‟ manusia kepada sesuatu yang dianggap Yang Mutlak, juga sebagai sistema norma ‟tata kaidah‟ yang mengatur hubungan antar manusia serta manusia dengan alam lainnya sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadahan itu.3 2. Definisi „negara‟ dalam Kamu Bahasa Indonesia disebutkan bahwa negara adalah “Suatu kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi dibawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya”. 4 Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia pula dijelaskan bahwa „negara‟ sebagai “Wilayah yang dihuni oleh masyarakat sebagai warga sah yang mengatur daerah tersebut sesuai 2 http://id.wikipedia.org/wiki/Agama diakses tanggal 21 Juni 2010 jam 11:00 WIB. 3 Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma dan Sistem Islam, (Jakarta: GIP, 2004), h. 30. 4 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 685. 62 dengan aturan perundang-undangan yang berlaku”.5 Adapun menurut ahli ketatanegaraan pula: a. Georg Jellinek: Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu. b. George Wilhelm Friedrich Hegel: Negara merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal. c. Prof. Mr. Soenarko: Negara ialah organisasi masyarakat yang mempunyai daerah tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai sebuah kedaulatan. d. Aristoteles: Negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama.6 Menurut M. Natsir 7, negara bukanlah suatu badan yang tersendiri yang menjadi tujuan. Dan dengan "persatuan agama dan negara" yang dimaksudkan, bukanlah bahwa agama itu cukup sekadar dimasuk-masukkan saja disana sini kepada negara itu. Urusan kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Islam. Yang menjadi tujuan adalah 5 6 7 Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jombang: Penerbit Lintas Media), h. 370. http://id.wikipedia.org/wiki/Negara diakses tanggal 21 Juni 2010 jam 11:00 WIB. Mohammad Natsir, lahir di Sumatera Barat, Indonesia pada tanggal 17 Juli 1908. Beliau adalah Presiden Republik Indonesia yang kelima sekaligus pemimpin Partai Marsyumi, juga seorang tokoh Islam terkemuka di Indonesia. Karyanya yang terkenal adalah buku berjudul Capita Selecta. Beliau meninggal di Jakarta pada 6 Februari 1993. 63 kesempurnaan berlakunya undang-undang Tuhan, baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sendiri (sebagai individu), ataupun sebagai anggota dari masyarakat. Baik yang berkenaan dengan kehidupan dunia yang fana ini, ataupun yang berhubungan kehidupan akhirat kelak.8 Dapat dibuat kesimpulan dari pandangan M. Natsir berkenaan hubungan antara agama dan negara dari tulisannya “Berhakim Pada Sejarah” bahwa: 1. Agama Islam mempunyai aturan yang berkenaan dengan hukum-hukum kenegaraan dan uqubat (pidana) dan muamalah yang semuanya itu adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari agama Islam itu sendiri. 2. Orang yang tidak mau negara menjalankan semua peraturan agama Islam yang berhubungan dengan hal tersebut pada hakekatnya bukan memisahkan agama dari negara, malainkan melemparkan sebagian dari hukum-hukum Islam. 3. Islam bersifat demokratis tetapi tidak semua hal (termasuk hukum-hukum tetap) harus distem pula lebih dulu dalam Parlemen. 4. Kalau kekuasaan ada dalam tangan orang Islam, orang-orang beragama lain tak usah khawatir. Mereka akan mendapat kebebasan beragama secara luas. 5. Orang yang tidak mau mendasarkan negara kepada hukum-hukum Islam dengan alasan tidak mau merusakkan hati orang yang bukan beragama Islam, sebenarnya berlaku zalim kepada orang Islam sendiri yang 8 Ajib Rosidi, M. Natsir Sebuah Biografi, (Jakarta: Grimukti Pasaka, 1990), h. 294. 64 bilangannya 20 kali lebih banyak. Ini berarti merusakkan hak-hak mayoritas, bukan lantaran hak-hak itu berlawanan dengan hak-hak dan kepentingan minoritas tapi semata-mata takut kalau-kalau pihak minoritas itu tidak suka. 6. Masalah agama dan negara ini memang suatu masalah yang penting. Tapi ini tidak berarti bahwa masalah-masalah shalat, zakat, haji dan sebagainya tidak dibincangkan sama sekali. 9 Di kalangan umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan. Ada yang mengatakan bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dengan pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Para penganut aliran ini pada umumnya berpendirian bahwa: 1. Islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam. Dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat. 9 http://www.scribd.com/doc/15779945/Agama-Dan-Negara-Pandangan-M-Natsir tanggal 21 Juni 2010 jam 22:55 WIB. diakses 65 2. Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan empat Khulafaur Rasyidun. Terdapat juga sebagian umat Islam daripada kalangan orang yang terpengaruh dengan pemikiran Barat menolak bahwa dalam Islam ada kenegaraan atau ia datang hanya untuk memerintah satu umat saja dan hanya mengatur hubungan antara semua manusia, dan menyangka bahwa agama hanyalah sekadar hubungan antara manusia dengan Tuhan dan agama tidak harus mencampuri urusan sosial, politik dan kehakiman. Pandangan kedua ini adalah dari kelompok paham Sekularisme10, dan paham ini mulai timbul dari masyarakat Nasrani, di mana terdapat pertembungan antara gereja dengan ilmu dan antara gereja dengan negara. Oleh itu mereka membuat satu kaidah yang menyebut “Berikanlah apa yang berkaitan dengan raja kepada raja dan apa yang berkaitan dengan Tuhan kepada Tuhan”.11 Sebenarnya agama Islam sangat berhubungan dengan negara, mengatur umat dan urusan-urusan ekonomi, sosial dan sebagainya. Islam yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yaitu satu agama yang 10 Gerakan atau paham yang mengatakan bahwa agama harus terpisah dari kehidupan duniawi. 11 Abdul Hadi Awang, Islam & Demokrasi, (Selangor: PTS Islamika, 2007), cet. 1, h. 9. 66 mempunyai kesempurnaan dan mencakup seluruh urusan kehidupan.12 Firman Allah SWT Q.S Al-Maidah (5): 3 ِ ِ ِ اضطَُّر ِِف ْ يت لَ ُك ْم ا ِإل ْسالَ َم ِدينًا فَ َم ْن ُ {الْيَ ْوَم أَ ْك َم ْل ُ ت َعلَْي ُك ْم ن ْع َم ِِت َوَرض ُ ت لَ ُك ْم دينَ ُك ْم َوأَْْتَ ْم ِ ُ َ ََّْم ٍة َي ر انِ ٍة ِإل ٍْة فَِ َّ الل .)۳/يم}(املائدة َ ٌر َ َُ َ ْ َ َ ور َر ٌر Artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S: Al-Maidah/ 5:3) B. Persamaan Parlemen Malaysia Dengan Konsep Pemerintahan Islam Pemerintahan Islam yaitu pemerintahan yang dilaksanakan menurut prinsip ajaran Islam. Ini tidak bermakna bahwa pemerintahan Islam itu bersifat teokratik mutlak sebagaimana yang didakwakan oleh sebagian pihak atau seperti yang pernah muncul dalam agama-agama lain. Oleh karena itu ajaran agama lain itu lebih tertumpu kepada aspek-aspek tertentu seperti ajaran moral, maka keadaan demikian memberi ruang kepada pemerintah dan pemimpin kalangan tersebut menguatkan kekuasaan pemerintahan menurut keinginan mereka sendiri. Oleh karena itu ajaran agama mereka tidak bersifat menyeluruh, membolehkan pemimpin mereka mengklaim bahwa apa yang mereka perintahkan adalah 12 Khalid Ali Muhammad Al-Anbariy, Sistem Politik Islam Menurut Pandangan Al-Quran, Al-Hadis Dan Pendapat Ulama Salaf, (Selangor: Digipress, 2008), h.10-12. 67 perintah agama yang mesti dipatuhi. Dari sudut lain kita lihat bahwa pelaksanaan Pemerintahan Islam adalah lebih luas karena ia dilaksanakan oleh semua manusia, bukan kepada beberapa individu atau kumpulan ahli-ahli agama saja. Dari sudut pandang dalam konsep pemerintahan, Parlemen Malaysia juga selaras dan sejalan dengan konsep Ketatanegaraan Islam. Ia juga memiliki persamaan uang menunjukkan bahwa di Malaysia juga ada mengamalkan sistem pemerintahan berlandaskan syariat Islam, diantaranya: 1. Musyawarah Pemerintahan di Malaysia berasaskan sistem musyawarah, pemuafakatan dan konsultasi. Dasar dan polisi negara diputuskan dalam musyawarah berbagai tingkat, sama ada di tingkat Kabinet maupun di tingkat Parlemen. Kejayaan meletakkan Islam sebagai agama Persekutuan dalam Perlembagaan Malaysia (konstitusi) adalah hasil daripada musyawarah dan pemuafakatan semua kaum pada peringkat awal kemerdekaan negara Malaysia dahulu. Oleh karena itu, pendekatan dan nilai yang dibawa oleh Islam dalam bentuk yang ada dapat diterima oleh semua dan tentunya kerana nilai dan pendekatan tersebut bersifat menyeluruh. Secara khususnya, konsep Musyawarah dapat dilihat dalam pelaksanaan Parlemen Malaysia. Sesuatu undang-undang akan dibincangkan (bermusyawarah) di Dewan Rakyat dan Dewan Negara sebelum ia diluluskan sebagai undangundang rasmi. Di sini konsep Musyawarah dapat berjalan dengan baik karena 68 para anggota Dewan Rakyat dan Dewan Negara akan bermusyawarah dengan teliti sebelum mengambil sesuatu keputusan. 2. Demokrasi Prinsip demokrasi yang dianjurkan Islam dapat dilihat dari sudut pemilihan anggota Dewan Rakyat sebagai salah satu komponen Parlemen Malaysia. Setiap individu rakyat akan memilih para wakil mereka melalui proses pemilu untuk menyuarakan inspirasi dan isi hati mereka kepada pemerintah di dalam Parlemen. Wakil-wakil rakyat ini bertanggungjawab dalam menjaga hak dan kepentingan rakyat, dengan menbincangkan hal-hal yang menjadi kepentingan rakyat umum di dalam persidangan dewan. Rasyid Ridha13 berkata, ”Demikianlah, dikalangan umat harus ada orangorang yang memiliki kearifan dan kecerdasan dalam mengatur kemaslahatan masyarakat, serta mampu menyelesaikan masalah-masalah pertahanan, serta masalah-masalah kemasyarakatan dan politik. Itulah yang disebut dengan ahli syura atau Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi di dalam Islam. Pengangkatan khalifah tidaklah dibenarkan kecuali apabila mereka itulah yang memilihnya serta membaiatnya dengan kerelaan. Mereka itulah yang disebut dengan wakil rakyat atau wakil masyarakat”.14 13 Muhammad Rasyid Bin Ali Ridha Bin Syamsuddin Bin Baha‟uddin Al-Qalmuni AlHusaini, dilahirkan pada tahun 1865 dan meninggal pada 1935. Seorang intelektual Islam dari Suriah yang mejadi penerus gagasan modernisme Islam. Kitabnya yang terkenal adalah Tafsir Al-Manaar. 14 Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manaar, (Cairo: Maktabah Al-Qahirah,1960), cet. 4, jilid 3, h. 11. 69 C. Perbedaan Parlemen Malaysia Dengan Konsep Ketatanegaraan Islam Pelaksanaan hukum-hukum Allah SWT sebenarnya akan membawa kebaikan kepada masyarakat manusia di Malaysia, ini yang terdiri atas berbagaibagai bangsa dan kaum agama. Karena hukum-hukum itu mengandung jaminan keadilan, kebenaran dan pemeliharaan hak masing-masing. Yang dapat menimbulkan keadaan juga membawa kepada sesuatu hasil yang negatif dari pelaksanaan hukum-hukum Allah ialah kecurigaan dan kesanksian orang-orang bukan Islam terhadap Islam itu. Mereka mungkin mengambil langkah-langkah yang tidak benar jika hukum-hukum Islam dilaksanakan. Sistem pemerintahan di Malaysia khususnya dalam perjalanan badan Parlemen, juga memiliki persamaan dengan sistem pemerintahan Islam. Ini telah disebutkan oleh penulis bahwa ciri persamaan tersebut diantaranya adalah Musyawarah, dan demokrasi. Adapun masih terdapat perbedaan antara Parlemen Malaysia dan konsep pemerintahan Islam, antaranya: 1. Kelayakan menjadi ahli Parlemen Seperti yang telah penulis jelaskan pada BAB III, untuk menjadi ahli Parlemen Malaysia terdapat syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi. Ini sebagaimana yang diatur dalam konstitusi Malaysia (Perlembagaan Persekutuan). Akan tetapi di dalam syarat-syarat tersebut tidak disebutkan bahwa penganut Islam didahulukan untuk memegang jabatan ahli Parlemen Malaysia. Penulis beranggapan bahwa ini tidak wajar, karena Islam adalah agama rasmi bagi 70 Malaysia dan mayoritas penduduk Malaysia beragama Islam. Seharusnya penganut Islam didahulukan untuk menjadi ahli Parlemen. Di dalam sistem Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi, anggotanya harus seorang Islam yang adil. Adapun dalam sistem parlementer khususnya di dalam Parlemen Malaysia, anggotanya tidak harus beragama Islam. Memang tidak bisa untuk keanggotaan Parlemen Malaysia hanya untuk orang-orang Islam karena penduduk Malaysia berbilang agama, tetapi seharusnya orang Islam didahulukan memandangkan mayoritas penduduk adalah beragama Islam dan agama rasmi negara Malaysia adalah Islam. Ini bertujuan bagi menjaga kedudukan agama Islam di Malaysia. Ahli Parlemen Malaysia khususnya ahli Dewan Rakyat dipilih oleh rakyat 100%, tidak ada sebarang syarat yang mengatur bahwa ahli yang dipilih oleh rakyat itu benar-benar seorang yang boleh membawa aspirasi mereka dengan tuntas. Bisa saja yang menjadi wakil rakyat itu seorang koruptor, atau seorang yang zalim. Ini karena tidak ada sebarang tapisan lagi setelah seseorang itu dipilih oleh rakyat. Jika seseorang individu telah dipilih oleh rakyat dan rakyat mendukungnya, maka ia sah menjadi ahli Dewan Rakyat tanpa dilihat dan diteliti latarbelakangnya. Sesungguhnya mereka yang memegang kuasa perundangan dalam sistem politik Islam adalah para ulama dan mujtahid, dan kekuasaan mereka pula hanya terbatas kepada dua perkara: 71 a. Hanya melibatkan perkara yang sudah ada nas atau dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah. Tugas mereka adalah dengan memahami dalil tersebut serta menerangkan hukum yang terdapat di dalamnya menggunakan ilmu Usul Fikih. 15 b. Jika melibatkan perkara yang tidak ada dalil dari Al-Quran dan AsSunnah, mereka akan berijtihad mengikut ketetapan syariat, menggunakan kelengkapan ilmu dan peraturannya. Mereka ini adalah golongan umat Islam yang terpilih, berbeda dengan dengan sistem Parlementer yang jelas tidak menbatasi demokrasi dengan menggunakan demokrasi yang dianjurkan barat. Kedaulatan benar-benar diletakkan 100% pada tangan rakyat, ahli Parlemen dipilih oleh rakyat melalui proses pemilu dan jika mereka itu terpilih, akan langsung dinobatkan sebagai ahli Parlemen tanpa harus memiliki kelayakan akademis atau agama. Syarat minimum seringkali cukup sekadar bisa membaca dan menulis. 16 2. Dasar pembuatan undang-undang oleh Parlemen Parlemen Malaysia adalah badan legislator, yaitu badan pembuat dan pengubah undang-undang. Parlemen Malaysia boleh membuat undang-undang dengan menggunakan asas konstitusi yang asli sebagai rujukan (Perlembagaan 15 Khalid Ali Muhammad Al-Anbariy, Sistem Politik Islam Menurut Pandangan Al-Quran, AlHadis Dan Pendapat Ulama Salaf, (Selangor: Digipress, 2008), h. 257. 16 Ibid, h. 258. 72 Persekutuan). Menurut penulis, seharusnya yang digunakan sebagai rujukan adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Firman Allah SWT Q.S Al-An‟am (6): 155 ِ .)155/َننلْنَااُ َُ َارٌر فَااَِّ ُعواُ َوااَّ ُوا لَ َعلَّ ُك ْم اُ ْر َ ُو َ }(األنعام { َوَ َ ا كَ ٌر َ اا أ Artinya: “Dan Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (Q.S: Al-An‟am/ 6:155) Di dalam ayat ini, Allah SWT menyuruh agar umat-Nya mengikuti ajaran kitab-Nya. Ini supaya tidak berlaku penyelewengan di dalam kekuasaan. Terdapat juga satu hadith Nabi SAW yang mengatakan bahwa umat Islam tidak akan sesat selagimana mengikut ajaran Al-Quran dan As-Sunnah. Dalam Islam, Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi bertugas dengan megikut aturan syariat Islam, mereka berpedomankan Al-Quran dan As-Sunnah. Mereka tidak akan membahas hal-hal yang telah menjadi aturan Allah dan rasul-Nya, yang sudah jelas nash-nash dari Al-Quran dan As-Sunnah. Sedangkan dalam sistem parlemen, hukum atau undang-undang apapun (termasuk hukum yang telah ditetapkan Allah) bisa dintrepetasikan dan bahkan diubah selama hal itu disepakati seluruh anggota Parlemen atau jika dikehendaki rakyat. Karena Malaysia menggunakan undang-undang Inggris sebagai asas, pernah terjadi kasus dimana undang-undang yang telah dibuat di negara bagian Terengganu (Qanun Hudud Dan Qishas), dan undang-undang ini secara yuridis telah sah tapi tidak dapat diberlakukan karena terdapat kendala yaitu karena 73 undang-undang yang baru dibentuk tersebut dikatakan bertentangan dengan aturan perundang-undangan Perlembagaan Persekutuan. Aturan Perlembagaan Persekutuan menyebut bahwa jika ada mana-mana undang-undang yang bertentangan dengannya, maka undang-undang yang berlaku adalah undang-undang Perlembagaan Persekutuan dan undang-undang yang bertentangan tersebut bisa dibatalkan. 17 Pasal 75 Perlembagaan Persekutuan pula menyebut bahwa undang-undang negara bagian jika bertentangan dengan undang-undang Persekutuan adalah terbatal setakat mana yang bertentangan itu. 18 Perlu diketahui bahwa Qanun Hudud Dan Qishas ini merupakan produk hukum yang dihasilkan ketika partai PAS 19 (partai oposisi di Malaysia) menang dalam pemilu tahun 1999 di Terengganu yang kemudian berkuasa hingga tahun 2004. Pelaksanaannya tidak sempat direalisasikan, karena pada tahun 2004 PAS kalah dalam pemilu. Partai UMNO 20 yang berkuasa sejak pemilu 2004 dan pemilu 2008 yang mengambil alih pemerintahan, memilih untuk tidak mengamandemen ataupun menghapuskan qanun tersebut. Keengganan UMNO Terengganu melaksanakan Qanun Hudud Dan Qishas ini pernah disinggung 17 Pasal 4(1) Perlembagaan Persekutuan. 18 Pasal 75 Perlembagaan Persekutuan. 19 PAS adalah kependekan dari Partai Islam se-Malaysia, merupakan partai berbasiskan Islam. 20 UMNO adalah kependekan dari United Malay Nation Organisation, merupakan partai nasionalis, juga partai pemerintah di Malaysia. 74 dalam persidangan oleh ahli Dewan Undangan Negeri21 dari PAS, tetapi jawaban dari pihak UMNO adalah bahwa selama ini belum ada kasus berkaitan dengan pelanggaran qanun ini, sehingga pihaknya tidak dapat melaksanakannya. 22 21 22 Badan perundang-undangan rendah di tingkat negara bagian. Koran Harakah Daily versi digital, edisi 18 Oktober 2007 diakses dari http://www.harakahdaily.net/index.php?option=com_content&task=view&id=10310&Itemid=50 pada 21 Juni 2010 jam 11:30 WIB. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah menguraikan dan menjelaskan mengenai badan Parlemen seperti yang diatur di dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia, maka pada akhir uraian penulis dapat menyimpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan tema tersebut: 1. Malaysia adalah sebuah negara yang mengamalkan sistem parlementer, dengan konstitusinya (Perlembagaan Persekutuan) mengatur badan Parlemen sebagai badan yang bertugas dalam membuat dan merubah undang-undang. Parlemen Malaysia terdiri dari tiga komponen utama; Yang di-Pertuan Agong, Dewan Negara dan Dewan Rakyat. Metode pemilihan dan pengangkatan ahli-ahli Dewan Negara dan Dewan Rakyat adalah melalui jalan ditunjuk oleh Yang di-Pertuan Agong dan melalui proses pemilu. Ahli yang ditunjuk oleh Yang di-Pertuan Agong adalah orang-orang yang dianggap telah menyumbang jasa dalam perkhidmatan umum, juga orang yang dipikirkan dapat menyampaikan aspirasi kaum minoritas di Malaysia. Pemilu pula dijalankan biasanya selang empat tahun di Malaysia untuk memilih ahli Dewan Rakyat. 75 76 2. Peran negara Malaysia dalam menerapkan konsep ketatanegaraan Islam dalam pelaksanaan badan Parlemen adalah dengan mengatur bahwa ahli Parlemen adalah dipilih melalui proses pemilu. Disini dapat dilihat bahwa terdapat persamaan antara sistem pemerintahan negara Malaysia dengan sistem Islam, karena dalam Islam terdapat teori demokrasi, dan pelaksanaan demokrasi ada dalam pelaksanan badan Parlemen Malaysia. Negara Malaysia juga masih mengamalkan sistem musyawarah; dalam proses membuat undang-undang dewan-dewan Parlemen akan duduk membincangkannya secara rinci dan di sini dapat dilihat terdapat ciri-ciri musyawarah seperti yang dianjurkan Islam. 3. Secara keseluruhannya, sistem pemerintahan Malaysia masih tidak konsisten dengan konsep Ketatanegaraan Islam karena terdapat banyak kekurangan dan kelemahan, misalnya sistem perundang-undangan dan pemerintahan Malaysia tidak menjamin keberadaan orang-orang beragama Islam; orang-orang kafir bisa menjatuhkan orang Islam dengan cara menjadi mayoritas dan dominan dalam pentadbiran. Juga bahwa undangundang asas di Malaysia berbasiskan undang-undang Inggris, bukan berbasiskan Al-Quran dan Al-Hadis seperti yang dikehendaki Islam. Perbedaan antara sistem pemerintahan negara Malaysia dan sistem pemerintahan Islam juga lebih banyak ketimbang persamaan antara keduanya. 77 Walaupun sistem pemerintahan Malaysia masih jauh dari mencapai kedudukan sebagai sistem pemerintahan Islam, bisa dikatakan bahwa masih ada sedikit persamaan diantara keduanya. Semoga dengan sedikit persamaan tersebut, suatu hari nanti negara Malaysia benar-benar menjadi sebuah negara Islam. B. Saran-saran Sedikit banyaknya, menurut penulis masih terdapat kekurangan dalam sistem pemerintahan Malaysia, khususnya di dalam perjalanan dan pentadbiran badan Parlemennya. Untuk menjadikan negara Malaysia benar-benar konsisten dengan apa yang dianjurkan dengan konsep Islam, maka beberapa perubahan perlu dilakukan, antaranya adalah: 1. Undang-undang Islam hendaklah dijadikan sebagai undang-undang asas dan undang-undang utama di Malaysia. 2. Satu peruntukan hendaklah dibuat di dalam konstitusi Malaysia (Perlembagaan Persekutuan), bahwa mana-mana undang-undang yang telah sedia ada atau yang akan dibuat oleh Parlemen haruslah sejalan dengan undang-undang Islam, dan dalam proses pembuatan undangundang baru pula, haruslah menjadikan undang-undang Islam sebagai sumber rujukan asas. Jika ada mana-mana undang yang bertentangan dengan undang-undang Islam, maka ia hendaklah dibatalkan. 78 3. Satu badan khusus yang terdiri dari kalangan pakar, ahli manajemen dan ulama perlu diwujudkan bagi menilai pribadi dan kelayakan para anggota Parlemen Malaysia, adakah mereka benar-benar bisa menjalankan tugas dengan berkesan, khususnya seperti yang dikehendaki Islam. 4. Peruntukan-peruntukan berkenaan badan pemerintahan seperti badan eksekutif, legislatif dan judikatif mesti menjamin keberadaan dan keutamaan orang-orang yang beragama Islam. Walaupun terdapat sedikit banyaknya kekurangan dalam pemerintahan dan perundang-undangan di Malaysia, penulis menghargai dan berterima kasih seikhlas-ikhlasnya kepada kerajaan Malaysia, karena keharmonian dan kemakmuran yang dirasakan oleh penulis sendiri selama menjadi bagian dari masyarakat Malaysia sangat terkesan. Penulis juga menghormati komitmen individu-individu yang berada di dalam pemerintahan negara Malaysia yang telah berusaha keras untuk kesejahteraan rakyat Malaysia. DAFTAR PUSTAKA Al-Quran Al-Karim. Abadi, Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz, al-Qâmûs al-Muhîth, Bairut: Dâr al-Fikir, 1995. Abas, Tun. Mohd Salleh, Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan di Malaysia, Ampang/ Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan: Dawama Sdn. Bhd, 2006. Al-Anbariy, Khalid Ali Muhammad, Sistem Politik Islam Menurut Pandangan AlQuran, Al-Hadis Dan Pendapat Ulama Salaf, Selangor: Digipress, 2008. Al-Anshari, Abd Al-Hamid Ismail, Al-Syuura Wa Atsaruha Fi Al-Dimuqrathiyyah, Cairo: Al-Maktabah Al-Salafiyyah, 1981. Al-Arabi, Ibnu, Al-Ahkam Al-Quran, Beirut:Dar Al-Fikr, 1988, jilid 1. Al-Badawy, Ismail, Mabda’ Al-Syuura Fi Al-Syariat Al-Islamiyyah, Cairo: Dar AlFikr Al-Arabi, 1981. Al-Khaliq, Abd al-Rahman Abd. Al-Syuura Fi Zhilli Nidzham al-Hukm al-Islam, Kuwait: al-Dar al-Salafiyyah, 1975. Al-Mawardi, Imam, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Dalam Syariat Islam, penerjemah Fadli Bahri, Jakarta: PT Darul Falah, 2007, cet. 3. ______________, Imam, Hukum Tata Negara Dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2000. Anshari, Endang Saifuddin, Wawasan Islam Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma dan Sistem Islam, Jakarta: GIP, 2004. Awang, Abdul Hadi, Islam & Demokrasi, Selangor: PTS Islamika, 2007, cet. 1. Babbali, Mahmud Muhammad, Al-Syuura Suluk Wa Al-Iltizam, Makkah: Maktabah Al-Tsaqafah, 1986. Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007, cet. 30. 79 80 Dahl, Robert, Modern Political Analysis, New Delhi: Prentice Hall of India, 1977, cet. 1. Departmen Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahan, PT Syaamil Cipta Media. Ibrahim, Ahmad Mohamed, dan Joned, Ahilemah, Sistem Undang-Undang Di Malaysia, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 1986. Ka’bah, Rifyal, Politik dan Hukum Dalam Al-Qur’an, Jakarta: Khairul Bayan, 2005, cet. 1. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997. Kencana, Inu, Al-Quran Dan Ilmu Politik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996, cet. 1. Khalid, Farid Abdul, Fikih Politik Islam, Jakarta: Penerbit Amzah, 2005, cet. 1. Lembaga Penyelidikan Undang-Undang, Perlembagaan Persekutuan, International Law Book Sevices, Selangor, 2007. Manzhur, Ibnu, Lisân al-‘Arab, Beirut: Dâr Al-Shadir, 1968. Mufid, Mohd., Politik dalam Perspektif Islam, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004, cet. 1. Partanto, Pius A. dan al-Bary, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Kontemporer. Penasihat Undang-Undang MDC, Perlembagaan Persekutuan Berserta Index, Kuala Lumpur: MDC Publishers, 2008, cet. 13. Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah, Ajaran Sejarah Dan Pemikiran, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, cet. 5. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indoesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, cet 3. Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Jakarta: Gema Insani, 2006, jilid 3, cet. 2. Radhie, Teuku Mohammad, Penelitian Hukum Dalam Pembinaan Dan Pembaharuan Hukum Nasional, Jakarta: Departemen Kehakiman, 1974. 81 Rais, M. Dhiauddin, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, cet. 1. Rasyid, Abdul, Ilmu Politik Islam, Bandung: Pustaka, 2001, cet.1. Ridha, Rasyid, Tafsir Al-Manaar, Cairo: Maktabah Al-Qahirah,1960, cet. 4, jilid 3. Ridwan, HR, Fikih Politik (Gagasan, Harapan dan Kenyataan), Yogyakarta: FH UII Press, 2007, cet. 1. Rosidi, Ajib, M. Natsir Sebuah Biografi, Jakarta: Grimukti Pasaka, 1990. Salim, Abd. Muin, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995, cet 2. Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1993. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1981. Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia, 2007, cet. 6. Syarif, Mujar Ibnu, dan Zada, Khamami, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008, cet. 1. Taimiyah, Ibnu, Siyasah Syar’iyah, Etika Politik Islam, penerjemah Rofi’ Munawwar, Surabaya: Risalah Gusti, 2005, cet. 3. Team Penyusun ILB, Malaysia Kita, Panduan Dan Rujukan Untuk Peperiksaan Am Kerajaan, Selangor: International Law Book Service, 2005. Wignyosoebroto, Soetandyo, Sebuah Pengantar Kearah Pembinaan Penelitian Hukum, Jakarta: Departemen Kehakiman, 1995. WS, Indrawan, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jombang: Penerbit Lintas Media. Zallum, Abdul Qadim, Afkaru Siyasiyah, edisi Indonesia: Pemikiran Politik Islam, diterjemahkan oleh Abu Faiz, Bangil: Al-Izzah, 2004, cet. 2. Situs Internet: http://id.wikipedia.org/wiki/Agama 82 http://id.wikipedia.org/wiki/Negara http://mediafathulkhoir.blogspot.com/2008/12/ahlul-halli-wal-aqdi.html http://saoskerupuk.co.cc/musyawarah_dan_demokrasi_dalam_islam.html http://nsudiana.wordpress.com/2008/01/19/demokrasi-dalam-pandangan-islam/ http://www.scribd.com/doc/15779945/Agama-Dan-Negara-Pandangan-M-Natsir http://www.harakahdaily.net/index.php?option=com_content&task=view&id=10310 &Itemid=50 Page 1 of 5 LAMPIRAN Perkara 4(1) Perlembagaan Persekutuan (1) Perlembagaan ini adalah undang-undang utama Persekutuan dan apa-apa undang-undang yang diluluskan selepas Hari Merdeka dan yang berlawanan dengan Perlembagaan ini hendaklah terbatal setakat yang terbatal itu. Perkara 44 Perlembagaan Persekutuan Kuasa perundangan Persekutuan hendaklah terletak hak pada Parlimen yang hendaklah terdiri daripada Yang di-Pertuan Agong dan dua Majlis Parlimen yang dikenali sebagai Dewan Negara dan Dewan Rakyat. Perkara 33(A) Perlembagaan Persekutuan (1) Jika Yang di-Pertuan Agong dipertuduh atas suatu kesalahan di bawah manamanaundang-undang dalam Mahkamah Khas yang ditubuhkan di bawah Bahagian XV dia hendaklah terhenti menjalankan fungsi Yang di-Pertuan Agong. (2) Tempoh Yang di-Pertuan Agong terhenti, di bawah Fasal (1), menjalankan fungsi Yang di-Pertuan Agong hendaklah disifatkan menjadi sebahagian daripada tempoh jawatan Yang di-Pertuan Agong yang diperuntukkan dalam Fasal (3) Perkara 32. Page 2 of 5 Perkara 34 Perlembagaan Persekutuan (1) Yang di-Pertuan Agong tidak boleh menjalankan fungsinya sebagai Raja Negerinya kecuali fungsinya sebagai Ketua agama Islam. (2) Yang di-Pertuan Agong tidak boleh memegang apa-apa jawatan yang baginya ada apa-apa saraan. (3) Yang di-Pertuan Agong tidak boleh melibatkan diri secara aktif dalam apaapa perusahaan komersil. (4) Yang di-Pertuan Agong tidak boleh menerima apa-apa jenis emolumen yang kena dibayar atau terakru kepadanya sebagai Raja Negerinya di bawah peruntukan Perlembagaan Negeri itu atau peruntukan mana-mana undangundang Negeri. (5) Yang di-Pertuan Agong tidak boleh, tanpa persetujuan Majlis Raja-Raja, meninggalkan Persekutuan selama lebih daripada lima belas hari, kecuali semasa lawatan Negara ke suatu negara lain. Perkara 45 Perlembagaan Persekutuan (1) Tertakluk kepada Fasal 4, Dewan Negara hendaklah terdiri daripada ahli-ahli dipilih dan dilantik seperti yang berikut: (a) dua orang ahli bagi setiap Negeri hendaklah dipilih mengikut Jadual Ketujuh dan Page 3 of 5 (b) dua orang ahli bagi Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, seorang ahli bagi Wilayah Persekutuan Labuan dan seorang ahli bagi Wilayah Persekutuan Putrajaya hendaklah dilantik oleh Yang di-Pertuan Agong; dan (c) empat puluh ahli hendaklah dilantik oleh Yang di-Pertuan Agong. (2) Ahli-ahli yaang akan dilantik oleh Yang di-Pertuan Agong hendaklah orang yang pada pendapatnya telah memberikan perkhidmatan awam yang cemerlang atau telah mencapai keunggulan dalam profesion, perdagangan, perindustrian, pertanian, aktiviti kebudayaan atau perkhidmatan sosial atau yang mewakili ras minoriti atau berkebolehan mewakili kepentingan orang asli. (3) Tempoh jawatan seseorang ahli Dewan Negara ialah tiga tahun dan tempoh itu tidaklah tersentuh dengan pembubaran Parlimen. Perkara 46 Perlembagaan Persekutuan (1) Dewan Rakyat hendaklah terdiri daripada dua ratus dua puluh dua orang ahli dipilih. (2) Maka hendaklah ada: (a) Dua ratus sembilan orang ahli dari Negeri-negeri di Malaysia seperti yang berikut: i. dua puluh enam orang ahli dari Johor; ii. lima belas orangn ahli dari Kedah; iii. empat belas orang ahli dari Kelantan; Page 4 of 5 iv. enam orang ahli dari Melaka; v. lapan orang ahli dari Negeri Sembialan; vi. empat belas orang ahli dari Pahang; vii. tiga belas orang ahli dari Pulau Pinang; viii. dua puluh empat orang ahli dari Perak; ix. tiga orang ahli dari Perlis; x. dua puluh lima orang ahli dari Sabah; xi. dua puluh satu orang ahli dari Sarawak; xii. dua puluh dua orang ahli dari Selangor; dan xiii. lapan orang ahli dari Terengganu; dan (b) tiga belas orang ahli dari Wilayah-Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Labuan dan Putrajaya seperti berikut: i. sebelas orang ahli dari Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur; ii. seorang ahli dari Wilayah Persekutuan Labuan; iii. seorang ahli dari Wilayah Persekutuan Putrajaya. Perkara 4(3) Perlembagaan Persekutuan (3) Kesahan mana-mana undang-undang yang dibuat oleh Parlimen atau Badan Perundangan mana-mana negeri tidak boleh dipersoalkan atas alasan bahawa undang-undang itu membuat peruntukan berkenaan dengan apa-apa perkara yang berkenaan dengannya Parlimen atau, mengikut mana-mana yang berkenaan, Badan Perundangan Negeri itu tidak mempunyai kuasa untuk Page 5 of 5 membuat undang-undang, kecuali dalam prosiding untuk mendapatkan suatu penetapan bahawa undang-undang itu adalah tidak sah atas alasan itu atau: (a) undang-undang itu mengenakan sekatan-sekatan ke atas hak yang disebut dengan Perkara 9(2) tetapi tidak berhubungan dengan perkara-perkara yang disebut dalam Perkara itu; atau (b) undang-undang itu mengenakan mana-mana sekatan yang disebut dalam Perkara 10(2) tetapi sekatan-sekatan itu tidak disifatkan perlu atau suai manfaat oleh Parlimen bagi maksud-maksud yang disebut dalam Perkara itu. Perkara 63(2) Perlembagaan Persekutuan (2) Tiada seorang pun boleh dikenakan apa-apa prosiding dalam mana-mana mahkamah berkenaan dengan apa-apa jua yang dikatakan atau apa-apa undi yang diberikan olehnya semasa mengambil bahagian dalam apa-apa prosiding mana-mana satu Majlis Parlimen atau mana-mana jawatankuasanya. Perkara 75 Perlembagaan Persekutuan Jika mana-mana undang-undang Negeri adalah berlawanan dengan sesuatu undangundang persekutuan, maka undang-undang persekutuan itu hendaklah dipakai dan undang-undang Negeri itu hendaklah terbatal, setakat mana ianya berlawanan dengan undang-undang persekutuan itu.