BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Keamanan manusia berkembang menjadi isu penting dalam hubungan internasional terutama sejak awal tahun 90-an, seiring dengan berakhirnya Perang Dingin. Konsep keamanan tradisional yang berpusat pada keamanan negara, kemudian bergeser pada keamanan individu. Dalam Human Development Report United Nation Development Programme (UNDP) tahun 1994, keamanan manusia ini digambarkan sebagai ―freedom from fear‖ dan “freedom from want”. Keamanan manusia mencakup tujuh aspek keamanan individu yaitu economic security, food security, health security, environmental security, personal security, community security dan political security. Negara-negara yang menyatakan memakai konsep keamanan manusia ini sebagai panduan kebijakan luar negerinya di antaranya adalah Jepang dan Kanada. 121 Pada tahun 90-an Kanada aktif mempromosikan keamanan manusia, Kanada memprakarsai Ottawa Convention yang isinya berupa kesepakatan untuk melarang penggunaan anti-personal landmines. Kanada bergabung bersama 12 negara lain yaitu Austria, Chili, Kosta Rika, Yunani, Irlandia, Yordania, Mali, Belanda, Norwegia, Switzerland, Slovenia dan Thailand membentuk Human Security Network (HSN). Kanada bersama negara-negara HSN ini menyelenggarakan sejumlah pertemuan tingkat menteri yang membahas isu-isu seperti hak asasi manusia, pencegahan konflik, HIV/AIDS dan health security. Pada 2001, Canadian International Commission on Intervention and State Sovereignty (ICISS) mempelopori pembahasan mengenai konsep responsibility to protect (R2P) dalam mempromosikan perdamaian dan keamanan manusia.122 121 Shahrbanou Tadjbaksh dan Anuradha M. Chenoy,. Human Security Concepts and Implications, New York , Routledge, 2007. 122 Ibid, hal. 23 1 Pada 2001 serangan kelompok terorisme di Amerika membawa warna baru dalam politik internasional. Peristiwa serangan kelompok Al-Qaeda terhadap gedung World Trade Center pada 11 September menjadi pemicu munculnya gagasan “war on terrorism” yang digagas oleh Amerika Serikat. Peristiwa tersebut telah menimbulkan banyak kerugian dan korban jiwa bagi Amerika. Bagi Kanada sendiri, setidaknya 24 warga negaranya juga menjadi korban dalam kejadian tersebut.123 Amerika di bawah kepemimpinan George W. Bush Jr, lalu mengajak negara lain, terutama anggota North Atlantic Treaty Organisation (NATO), untuk turut serta melancarkan perang terhadap terorisme. Seruan Amerika ini sangat gencar dilakukan. Sejumlah negara kemudian dicurigai menjadi tempat persembunyian kelompok-kelompok teroris. Menurut Amerika salah satu negara yang menjadi sarang teroris adalah Afghanistan. Afghanistan di bawah kepemimpinan Taliban, yang dicurigai telah melindungi kelompok Al-Qaeda dan sikap pemerintahan Taliban yang dianggap tidak mau bekerja sama oleh Amerika, menyebabkan Afghanistan kemudian menjadi target operasi “war on terrorism” Amerika. Keputusan untuk menginvasi Afghanistan ini dikeluarkan oleh pemerintah Bush pada Oktober 2001, selang sebulan dari peristiwa 11 September. Invasi Amerika ke Afghanistan yang dinamai Operation Enduring Freedom, secara resmi dijalankan di Afghanistan pada 7 Oktober 2001 dan masih berlangsung sampai saat ini. Invasi Amerika ini juga didukung oleh negara-negara NATO termasuk Kanada. Kanada berjanji untuk mendukung Amerika dalam invasinya. Respon awal Kanada adalah dengan mengizinkan pasukan angkatan bersenjatanya yang sedang dalam misi pertukaran dengan militer Amerika untuk ikut membantu dalam Operation Enduring Freedom (OEF) Amerika ini. Lalu diikuti dengan penempatan kapal perang dan personil angkatan laut Kanada untuk menjaga wilayah perairan Asia barat daya. Akhirnya pemerintah Kanada mengirimkan 123 “List of Canadian Victims of 9-11” diakses dari http://www.ctvnews.ca/list-of-canadianvictims-of-9-11-1.693626 pada 11 Januari 2012 2 pasukannya ke wilayah Afghanistan. Ada banyak misi militer Kanada di Afghanistan dari 2002 - 2011.124Afghanistan kemudian menjadi penerima bantuan dan pasukan militer terbesar dari Kanada. 125 Mulai 2002 - 2011 Pemerintah Kanada mengucurkan bantuan sebesar $ 1,2 milyar. Padahal sebelumnya frekuensi hubungan Kanada dan Afghanistan bisa dikatakan sangat rendah. Penulis tertarik untuk membahas keterlibatan Kanada di Afghanistan mulai 2002 sampai 2011, di mana banyak sekali kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kanada dalam operasinya di Afghanistan. Bahkan Afghanistan kemudian menjadi penerima bantuan terbesar Kanada meskipun Afghanistan secara langsung tidak memiliki aspek kepentingan nasional yang vital terhadap Kanada. Penulis ingin membahas mengapa pemerintah Kanada menggunakan keamanan manusia dalam keterlibatannya di Afghanistan pasca invasi dan bagaimana Pemerintah Kanada menjalankan konsep keamanan manusia-nya ini di Afghanistan. Sehingga penulis merumuskan pertanyaan sebagai berikut : 2. Rumusan Masalah 1. Mengapa Kanada menggunakan keamanan manusia dalam keterlibatannya di Afghanistan ? 2. Bagaimana Kanada menerapkan keamanan manusia dalam keterlibatannya di Afghanistan (tahun 2002-2011) ? 3. Jangkauan Penelitian Penelitian ini akan difokuskan pada periode pasca invasi yaitu pada 2002 sampai 2011, saat di mana Kanada memutuskan untuk menarik pasukannya dari Afghanistan. 124 “Canada in Afghanistan (2001-2010 ") diakses dari http://www.thememoryproject2.com/docs/DbHistoricaDominion/documents/Afghan_LearningToo ls_ENG_v1.pdf pada 14 November 2011 125 Julian Wright, “Canada in Afghanistan, assessing 3-D Approach‖ diakses dari http://www.irpp.org/miscpubs/archive/wright_cigi.pdf, pada 13 Jan 2012. 3 4. Tinjauan Pustaka Untuk tinjauan pustaka penulis akan membahas beberapa tulisan yang membahas mengenai konsep-konsep keamanan manusia dalam praktek kebijakan luar negeri. Ada beberapa pendapat mengenai bagaimana konsep keamanan manusia ini dijadikan panduan dalam kebijakan atau tindakan suatu negara. Menurut beberapa akademisi luasnya cakupan konsep keamanan manusia memberikan kemudahan dan fleksibilitas bagi para pembuat kebijakan untuk memberikan pendekatan mereka masing-masing terhadap suatu isu. Ada juga pendapat yang pesimis dalam melihat penerapan konsep keamanan manusia ke dalam kebijakan luar negeri suatu negara, karena konsepnya yang masih tidak jelas dan terbatas pada moral dan etika pergaulan internasional, terutama jika dihadapkan dengan kepentingan nasional negara tersebut. Sascha Wertes dan Tobias Debiel126 menulis bahwa konsep keamanan manusia memang memiliki sifat yang beraneka bentuknya. Sehingga untuk menganalisa konsepsi keamanan manusia dalam kebijakan luar negeri suatu negara harus dianalisa dari perspektif aktor-aktor yang berbeda, yang pendekatannya terhadap motif utama (leitmotif) bisa jadi merupakan gambaran dari latar belakang yang spesifik dan pilihan kebijakan dari aktor tersebut. Dengan memahami mengapa keamanan manusia ini menarik bagi aktor yang berbeda dan mengapa mereka menekankan varian atau prioritas yang berbeda, bisa memudahkan akademisi untuk menunjukkan di mana kesempatan paling besar untuk menjalankan kebijakan-kebijakan gabungan. Pada kasus Jepang, didapatkan penjelasan bahwa konsep keamanan manusia dalam kebijakan Official Developmental Aid (ODA) Jepang merefleksikan nilai masyarakat Jepang yang didedikasikan untuk perdamaian dan sikap anti-militer. Keamanan manusia dalam kasus Jepang juga dilihat sebagai upaya para pembuat kebijakan Jepang untuk meningkatkan peran Jepang dalam perdamaian dan keamanan internasional. Wertes dan Debiel menyimpulkan 126 Tobias Debiel dan Sascha Werthes (ed), Human Security on Foreign Policy Agendas, Changes, Concepts and Cases., INEF Report, Essen, University of Duisberg, 2006. hal.16 4 bahwa dalam hubungannya dengan strategi dan instrument kebijakan, fleksibilitas konsep keamanan manusia ini membuat beragam aktor dapat memberikan pendekatan dengan cara mereka sendiri, dan di lain pihak juga menawarkan peluang untuk menjalankan kebijakan-kebijakan gabungan. Otto von Feigenblatt127 menganalisa paradigma keamanan manusia yang dipakai Jepang dalam kebijakan luar negerinya terutama bantuan luar negeri Jepang dengan menggunakan pendekatan Konstruktivis untuk menunjukkan bagaimana penggunaan bahasa keamanan manusia dalam bantuan luar negeri Jepang memiliki dampak yang sangat penting tidak hanya pada keseluruhan implementasi kebijakan makro ekonomi tapi juga pada formulasi, perencanaan dan implementasi masing-masing proyek yang didanai oleh Official Development Assistance (ODA) Jepang. Feigenblatt menggambarkan bahwa pembuatan kebijakan adalah proses yang kompleks dan melibatkan banyak aktor pembuat kebijakan dan faktor yang menyertainya, dan kebijakan ODA Jepang adalah hasil dari negosiasi yang kompleks dan interaksi antar pembuat kebijakan baik di dalam maupun di luar Jepang dalam menanggapi lingkungan nasional dan internasional. Di sini Jepang bisa menempatkan konsep keamanan manusia sejalan dengan kepentingan nasional Jepang. Dengan latar belakang dan sejarah Jepang sebagai negara imperialis, upaya Jepang mempromosikan keamanan manusia adalah salah satu cara bagi Jepang agar mendapatkan pengakuan atas kontribusinya dalam perdamaian dan keamanan internasional. Menurut Rodger A. Payne dalam tulisannya ―Human Security and American Foreign Policy‖ 128 , yang menganalisa konsep keamanan manusia dalam kebijakan luar negeri Amerika, menemukan bahwa meski Amerika tidak 127 Otto von Feigenblatt, “Japan and Human Security : 21st Century Official Development Policy Apologetic and Discursive Co-Optation ―, Paper dipresentasikan di MAIDS Chulalongkorn University, 9 Agustus 2007, diakses dari http://humansecurityconf.polsci.chula.ac.th/Documents/Presentations/Otto.pdf pada 10 November 2011 128 Rodger A. Payne, ―Human Security and American Foreign Policy”, paper dipresentasikan di University of Missouri, Columbia, MO, March 2004 diakses dari http://louisville.academia.edu/RodgerPayne/Papers/553518/_Human_Security_and_American_For eign_Policy_ pada 4 Oktober 2011 5 secara gamblang menyatakan memakai konsep keamanan manusia sebagai panduan kebijakan luar negerinya, serta beberapa kali memiliki pandangan berbeda terhadap kesepakatan-kesepakatan internasional yang berkaitan dengan isu-isu keamanan manusia seperti misalnya Mine Ban Treaty dan Protokol Kyoto, namun bukan berarti Amerika sama sekali tidak memperhatikan isu-isu keamanan manusia dalam kebijakannya. Jadi negara yang memakai konsep keamanan manusia ini bisa fokus pada satu atau banyak dari jenis ancaman terhadap individu dan bisa memakai cara yang berbeda untuk mendapatkan security tersebut. Terkadang suatu negara membuat kebijakan yang mempromosikan tatanan dunia yang alasannya secara umum sama dengan tujuan keamanan manusia, ada juga negara yang tidak menyebut konsep keamanan manusia secara langsung tapi dengan memakai istilah lain. Meskipun suatu negara tidak secara eksplisit menggunakan konsep keamanan manusia sebagai panduan dalam pembuatan kebijakannya, namun tiaptiap kebijakan domestik ataupun luar negeri yang ditujukan demi kebaikan dan kepentingan manusia dapat dianggap turut mempromosikan keamanan manusia. Sementara itu T.S Hataley dan Kim Richard Nossal dalam tulisan mereka yang berjudul The Limits of the Human Security Agenda : The Case of Canada‘s Response to the Timor Crisis129, mencoba melihat tindakan-tindakan yang diambil oleh Pemerintah Kanada di bawah Perdana Menteri Chretien dan Menteri Luar Negeri Lloyd Axworthy dalam merespon krisis di Timor Timur pada 1999, dengan melihat konsep keamanan manusia dalam kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kanada. Meskipun banyak sekali aspek-aspek dari keamanan manusia yang seharusnya ditanggapi oleh Kanada dengan sigap, guna menjaga keberlangsungan keamanan warga Timor. Keengganan dan kelambanan Pemerintah Kanada dalam merespon krisis Timor ini menurut Hataley dan Nossal dikarenakan motif politik utama atau kepentingan Kanada dalam kasus Timor Timur ini sangat sedikit. Di sini terlihat bahwa realpolitik-lah yang memainkan 129 T.S Hataley dan Kim Richard Nossal ,”The Limits of The Human Security Agenda : The Case of Canada‟s Response to the Timor Crisis” , Global Change, Peace and Security, Vol 16, no. 1, February 2004, Carfax Publishing. 6 peran besar dalam kebijakan Kanada, aspek keamanan manusia yang walaupun sempat menjadi agenda besar Kanada, terlihat kecil sekali perannya dalam kebijakan Kanada terhadap krisis Timor. Sampai akhirnya Kanada memutuskan untuk mengirimkan pasukan penjaga perdamaiannya ke Timor Timur, alasannya bukanlah karena sepenuhnya faktor keamanan manusia yang diusung Pemerintah Kanada masa itu, namun lebih karena tekanan dari masyarakat Kanada yang menginginkan keterlibatan Kanada untuk turut serta membantu penyelesaian krisis ini, guna mengangkat citra Kanada di mata dunia. Kedua penulis ini menutup tulisan mereka dengan kesimpulan bahwa sangat sulit bagi sebuah pemerintahan untuk mewujudkan retorika keamanan manusia ke dalam agenda nyata ataupun ke dalam inisiatif kebijakan konkrit, dan ketika suatu pemerintahan harus memilih antara keamanan orang lain dan keamanan warganya sendiri, maka negara akan lebih cenderung untuk mengamankan dirinya terlebih dahulu. Hataley dan Nossal melihat bahwa konsep keamanan manusia sangat sulit diterapkan pada realitas politik yang konkrit, meskipun negara itu sendiri telah mengusung konsep keamanan manusia dalam panduan kebijakan politik luar negerinya, seperti Kanada. Tetap saja ada faktor-faktor yang lebih besar yang kemudian mempengaruhi suatu negara untuk mengambil kebijakan, meskipun keamanan manusia itu sendiri tidak betul-betul diabaikan, hanya saja kemudian menjadi alasan nomor sekian dari alasan-alasan utama lainnya. Sementara itu Asteris Huliaras dan Nikolaos Tzifakis dalam tulisan mereka yang berjudul ―Contextual Approaches to Human Security‖ 130 memakai kasus Balkan untuk melihat sejauh apa Pemerintah Kanada dan Jepang yang merupakan promotor wacana keamanan manusia mewujudkan ide dan konsep keamanan manusia dalam kebijakan luar negeri mereka dan melihat bagaimana pendekatan yang digunakan kedua negara tersebut terhadap wilayah Balkan. Huliaras dan Tzifakis memilih Balkan karena pasca Perang Dingin daerah ini 130 Asteris Huliaras dan Nikolaos Tzifakis, “Contextual Approaches to Human Security”, International Journal, 2007, Vol.62.No.3 page 557-575 7 menghadapi banyak masalah keamanan manusia, dan sementara itu baik Pemerintah Kanada ataupun Jepang tidak mempunyai kepentingan nasional yang vital terhadap daerah tersebut. Pendekatan freedom from fear Kanada dan freedom from want Jepang yang mereka kembangkan merupakan usaha dari masing-masing negara ini untuk mengadaptasi konsep keamanan manusia ke dalam konteks instrumen kebijakan mereka yang lebih spesifik dan juga didasarkan pada motivasi masing-masing pemerintah, bukan karena kebutuhan dari masalah keamanan manusia itu sendiri. Pendekatan keamanan manusia Jepang dan Kanada dikonstruksikan dalam sebuah kerangka yang merefleksikan pertemuan baik itu dari faktor sistem internasional dan faktor domestik. Pendekatan mereka ini mewakili keistimewaan konteksusaha spesifik untuk menyesuaikan konsep dengan persepsi yang sudah ada. Dalam kenyataannya, perspektif Jepang dan Kanada berusaha untuk mengharmonisasikan konsep keamanan manusia dengan prioritas dan kepentingan nasional mereka yang lainnya. Menurut Huliaras dan Tzifakis, ternyata kebijakan Kanada dan Jepang terhadap kawasan Balkan tidak banyak banyak dipengaruhi oleh prioritas-prioritas keamanan manusia. Kedua penulis ini menyimpulkan bahwa kebijakan Kanada di Balkan jelas didasarkan pada prinsip peacekeeping, meski alasan pendorong keterlibatannya memang sangat politis. Sebagian secara ideologis karena visi Menteri Luar Negeri Lloyd Axworthy mengenai keamanan manusia dan sebagian lagi karena komitmen Kanada pada aliansi Atlantik (NATO). Bantuan pembangunan dari Pemerintah Kanada lebih terbatas. Namun bantuan pembangunan ini juga didasari motivasi politik. Alasan komersial nampaknya bukan menjadi alasan bantuan Kanada karena kepentingan ekonomi Kanada di wilayah Balkan sangat minimal. Sementara untuk Jepang sendiri, secara keseluruhan motivasi ekonomi dan politiklah yang mempengaruhi bantuan Jepang di Balkan. Pertimbangan ekonomi yang mempengaruhi bantuan Jepang di Balkan timur, sementara motivasi politik 8 (dikaitkan pada usaha Jepang untuk duduk sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB dan pada persepsi pemerintah Jepang mengenai keamanan manusia) menjadi lebih penting dalam bantuan Jepang di Balkan Barat. Meskipun begitu bantuan Jepang untuk Balkan masih terbatas. Wacana keamanan manusia yang diperkenalkan dalam politik luar negeri Jepang nampaknya tidak membawa pengaruh besar terhadap kebijakan Jepang di wilayah Balkan. Meski praktek keamanan manusia Jepang di Balkan masih sangat terbatas, tapi dari sudut pandang lain, pembedaan program bantuan, instrumen yang digunakan serta komitmen Jepang di Balkan, menunjukkan pemahaman yang jelas hubungan penting bahwa agenda keamanan manusia membantu cara penanganan terhadap masalah-masalah yang ada di Balkan. Studi kasus Balkan ini memberikan bukti bahwa Jepang dan Kanada memberikan bantuan yang signifikan terhadap stabilisasi Balkan. Tetapi jika melihat bantuan yang diberikan Kanada dan Jepang (di luar bantuan militer Kanada yang sangat besar dan mengesankan, yang menunjukkan komitmen pada prinsip keamanan manusia) bantuan kedua negara ini bisa dibilang kecil, tidak hanya jika dibandingkan dengan bantuan yang diberikan aktor internasional lainnya, tapi juga jika dibandingkan dengan persentase anggaran bantuan masingmasing negara ini sendiri. Dari perspektif Realis, pendekatan keamanan manusia Jepang –dan sedikit- dan Kanada hanya dimaksudkan untuk memberi bentuk baru dan efektifitas untuk kebijakan yang sudah ada dan yang equivalent dengan kebijakan yang sudah ada, bukannya membentuk kembali instrument dan kebijakan yang sudah ada sebelumnya. Meskipun begitu, pendekatan Kanada dan Jepang juga merefleksikan “garis ketergantungan” yang dinamis yang menghasilkan sebuah trend yang memperkuat negara masing-masing. Di sini Huliaras dan Tzifakis juga menggaris bawahi kefleksibelan konsep keamanan manusia yang menyebabkan tiap negara bisa mencari sendiri cara yang tepat untuk memakai konsep ini ke dalam agenda kebijakan luar negeri mereka. 9 Jasmin H. Cheung-Gertler dalam tulisannya ―A Model Power for a Troubled World? Canadian National Interest and Human Security‖131 menganalisa perkembangan kepentingan nasional Kanada dikaitkan dengan konsep keamanan manusia yang pada masa pemerintahan Menteri Luar Negeri Llyod Axworthy dijadikan panduan dalam kebijakan-kebijakan luar negeri Kanada. Setelah Axworthy tidak lagi menjabat, pendekatan keamanan manusia dalam kebijakan luar negeri Kanada menghadapi tantangan karena adanya perubahan iklim politik domestik dan internasional. Pasca peristiwa 11 September, pembuatan kebijakan publik mengadaptasi kombinasi antara ketakutan dan ancaman yang lebih mengutamakan keamanan publik, counterterrorism dan pengeluaran untuk pertahanan dibanding hak asasi manusia, bantuan asing dan pembangunan internasioal. Dari tulisan-tulisan di atas penulis melihat bahwa konsep keamanan manusia yang diusung suatu negara seperti Kanada, bisa mengalami pasang surut dalam implementasinya ke dalam kebijakan. Karena dalam pembuatan kebijakan, ternyata keamanan manusia tidak selalu murni dijalankan sebagai konsep yang mendasari sebuah kebijakan, terutama jika dihadapkan pada kepentingan nasional, situasi politik internasional dan kondisi-kondisi domestik. Akan tetapi karena fleksibilitas yang dimiliki oleh konsep keamanan manusia, maka konsep ini bisa tetap dijalankan dalam derajat tertentu dalam politik luar negeri suatu negara. Oleh karena itu penelitian ini akan dimaksudkan untuk melihat sejauh apa suatu negara, dalam hal ini Pemerintah Kanada, menerapkan konsep keamanan manusia ini (yang nantinya akan dilihat sebagai norma keamanan manusia) dengan menspesifikkan pada kasus keterlibatan Kanada di Afghanistan. Dari beberapa literatur yang telah penulis baca, maka penulis memutuskan menggunakan teori norma internasional terutama yang berasal dari pendekatan Konstruktivis. Hal ini untuk melihat mengapa Kanada menggunakan konsep keamanan manusia dalam kebijakannya 131 terhadap Afghanistan, Jasmin H. Cheung-Gertler, “A Model Power for a Troubled World ? Canadian National Interests and Human Security in the 21st Century”,International Journal, Vol. 62, No.3 10 karena Konstruktivis menilai norma, nilai dan ide (struktur non-materi) sama pentingnya dengan struktur materi dalam memengaruhi tindakan negara dan keamanan manusia sebagai sebuah norma atau idea yang sedang berkembang dalam hubungan internasional akan dapat dilihat sebagai faktor yang memengaruhi kebijakan aktor negara yang menerima norma keamanan manusia, dalam kasus ini adalah Kanada. 5. Kerangka Pemikiran 5.1 Teori Norma Internasional Menurut Gary Goertz dan Paul F. Diehl 132 , norma internasional memiliki empat elemen atau ciri khas yaitu : 1. Regularity and consistency of behaviour, yaitu tingkah laku yang konsisten dari para aktor, norma tidak dilihat dari bagaimana cara berpikir tetapi melalui tingkah laku. Ada keteraturan dan konsistensi dalam tingkah laku aktor. 2. Its relationship to self-interest : bahwa norma dan dampaknya terhadap tingkah laku tidak bisa dipisahkan dari isu-isu power dan self-interest. Dengan mengetahui dua aspek tadi yaitu power dan self-interest kita bisa memahami dampak nyata dari norma terhadap tingkah laku. 3. Sanction : ada sanksi yang diterapkan dalam pelaksanaan norma, namun sanksi itu sendiri tidak harus selalu berhubungan dengan hukum, namun bisa berupa pandangan dari masyarakat internasional atau kecaman. Sanksi bisa berkaitan atau didorong oleh hal-hal yang dianggap tabu dalam suatu komunitas. 4. Normative : berkaitan dengan soal moral dan etika, bahwa norma berarti normative, ada isu-isu mengenai keadilan dan hak dalam sebuah moral atau karakteristik. 132 Garry Goertz dan Paul F. Diehl. Toward a theroty of International Norms : Some Conceptual and Measurement Issues dalam The Journal of Conflict Resolution, Vol.36, No.4 (Dec.,1992). 11 Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink 133 mengatakan bahwa norma tidak bisa dilepaskan dari penilaian sebuah komunitas atau masyarakat, artinya memerlukan semacam persetujuan bersama. Apa yang dianggap baik oleh masyarakat bisa menjadi norma, sedangkan yang tidak sesuai dengan penilaian masyarakat akan dianggap melawan norma. Finnemore dan Sikkink sendiri tidak menekankan pada berapa jumlah tertentu mengenai berapa banyak aktor yang menerima suatu norma. Norma bisa saja bersifat regional, tidak global. Meski dalam suatu komunitas , norma-norma lebih bersifat berkelanjutan daripada dikotomi, dengan norma berbeda menuntut tingkat kesepakatan yang berbeda pula. Untuk melihat bagaimana efek norma terhadap perilaku negara, penting untuk mengoperasionalisasikan sebuah norma dengan cara yang membedakan norma dari perilaku negara atau non-negara yang dirancang untuk dijelaskan. Harus dibedakan antara norm existence atau kekuatan norma dari perubahan aktual perilaku dalam operasionalisasi. Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink juga menjelaskan bagaimana pengaruh dari suatu norma dapat dilihat dalam tiga proses tahapan norm life cycle, pertama adalah norm emergence, tahap kedua adalah norm cascade dan yang terakhir adalah internalization. Di dalam tahap norm emergence, yang menjadi ciri khas nya adalah adanya persuasi dari norm enterpreuner (aktor yang memunculkan suatu norma baru). Norm enterpreneur ini akan berusaha untuk meyakinkan para pemimpin negara, terutama negara-negara besar untuk mulai memakai norma baru ini. Sedangkan ciri dari tahap kedua norm cascade adalah adanya upaya dari para 133 Martha Finnemore dan Katrhryn Sikkink. International Norms and Political Change dalam International Organization, Vol. 52, No.4, 1998. 12 pemimpin negara yang telah memakai norma baru ini agar negara lainnya juga turut memakai norma tersebut, alasan diterimanya norma ini oleh suatu populasi negara sendiri bervariasi, bisa jadi karena suatu negara ingin memperbesar legitimasinya di dunia atau karena para pemimpin negara ingin menambah kepercayaan diri dengan mulai memakai suatu norma yang telah dianut secara bersama. Tahap dua ini akan berujung pada tahap internalization, di mana suatu norma baru sudah tidak lagi diperdebatkan dan diterima begitu saja oleh negaranegara yang ada. Ketika pertama kali diperkenalkan dalam Human Development Report dari UNDP pada 1994, keamanan manusia telah menjadi konsep baru dalam dunia internasional. Dari sini beberapa negara seperti Jepang dan Kanada mulai mengadopsi konsep ini ke dalam politik luar negeri mereka. Jepang dan Kanada ini bisa dikategorikan sebagai norm enterpreneur, yang kemudian terus mempromosikan dan melakukan penelitian dalam mengembangkan pendekatanpendekatan untuk dapat mencapai tujuan-tujuan keamanan manusia. Saat ini semakin banyak negara yang concern mengenai keamanan manusia, sudah banyak perjanjian dan kerjasama yang diadakan dalam rangka mengurangi ancaman terhadap keamanan manusia. Kanada dalam perkembangannya mempunyai pendekatan sendiri dalam menjalankan konsep keamanan manusia ini. Melihat perkembangannya, konsep keamanan manusia sudah bisa dikatakan sebagai sebuah norma yang mulai dijalankan oleh banyak negara di dunia, maka tindakantindakan yang mengancam atau bertentangan dengan keamanan manusia akan menjadi sorotan dan bisa mendapat kecaman. 5.2 Konsep Keamanan manusia Pendekatan keamanan manusia menekankan dan menerima bahwa tekanan sosial ekonomi yang ekstrim, arus pengungsi dan migrasi lintas batas, terorisme transnasional, diskriminasi dan tindakan represif dari elite yang otoriter, perdagangan senjata ilegal dan narkotika merupakan hasil atau akar dari ketidakamanan manusia di dunia yang saling tergantung, dan pendekatan 13 keamanan yang hanya berfokus pada keamanan negara sudah tidak memadai lagi. Untuk mendapatkan hasil dan yang lebih penting lagi untuk mendapatkan akar penyebab ketidakamanan dunia sekarang ini, UNDP mengeluarkan sebuah konsep yang komprehensif mengenai keamanan manusia. Konsep keamanan manusia ini mencakup perspektif yang melihat keamanan manusia sebagai freedom from fear yang mencakup ancaman yang mengancam fisik dan integritas psikologis manusia dan juga perspektif freedom from want yang luas, yang menunjukan ancaman terhadap kondisi sosial ekonomi manusia. 134 Berdasarkan Human Development Report dari UNDP tahun 1994, ada tujuh komponen dalam keamanan manusia : ekonomi, pangan, kesehatan, lingkungan, personal, komunitas dan politik. 135 Dari ke tujuh komponen itu bisa digolongkan ke dalam sudut pandang freedom from fear atau freedom from want. Sehingga ada ruang yang sangat luas untuk mengimplementasikan konsep keamanan manusia ke dalam kebijakan. Seperti yang dikatakan oleh Wertes dan Debiel136 bahwa dalam hubungannya dengan strategi dan instrumen kebijakan, fleksibilitas konsep keamanan manusia ini membuat beragam aktor dapat memberikan pendekatan dengan cara mereka sendiri, dan di lain pihak juga menawarkan peluang untuk menjalankan kebijakan-kebijakan gabungan. Menurut Sharbanou Tadjbakhsh 137 , keamanan manusia sebagai kebijakan luar negeri adalah suatu kesempatan bagi negara-negara middle power untuk mendapatkan perhatian dan status dalam arena internasional. Namun sebagai suatu pilihan kebijakan luar negeri menunjukkan kepentingan pemerintah pada kesejahteraan masyarakat di negara lain ketimbang di masyarakat negaranya sendiri, sehingga terkadang bisa memunculkan kecurigaan. Kanada sebagai negara middle power telah berhasil memanfaatkan munculnya gagasan baru 134 Tobias Debiel dan Sascha Werthes, op.cit., hal.10 Shahrbanou Tadjbaksh dan Anuradha M. Chenoy, Op.Cit. hal. 15 136 Tobias Debiel dan Sascha Werthes, loc cit. 137 Sharbanou Tadjbakhsh, Human Security : Concepts and Implications. Centre d‟etudes et de recherches internationales, Sciences Po, 2005. Diakses dari http://www.cerisciencespo.com/publica/etude/etude117_118.pdf pada 10 November 2011 135 14 mengenai konsep keamanan manusia ini dengan memakainya sebagai kerangka dalam pembuatan kebijakan luar negerinya. Di panggung internasional, Kanada memiliki tempat tersendiri sebagai negara yang peduli terhadap keamanan manusia, menggalang pertemuan dan kerjasama untuk membahas masalahmasalah berkaitan dengan keamanan manusia. Masih menurut Tadjbakhsh, seperangkat kebijakan keamanan manusia harus terdiri dari beberapa hal seperti ; pencegahan terjadinya konflik, menangani efek dari konflik tersebut terhadap manusia, membangun mekanisme untuk mencegah konflik tersebut muncul kembali. Hal ini membutuhkan baik itu respon terhadap situasi darurat jangka pendek dan jangka panjang serta strategi pencegahan. Kebijakan keamanan manusia juga harus multi dimensi, karena ancaman terhadap keamanan manusia itu sendiri memiliki banyak sisi dan saling terkoneksi. Dengan banyaknya penyebab krisis itu sendiri, diperlukan pendekatan antar disiplin dengan mengombinasikan strategi ekonomi, politik dan sosiologi. Pendekatan ini harus fleksibel dan mampu merespon kondisi dan situasi yang cepat berubah. Kanada memiliki pendekatan sendiri dalam pelaksanaan konsep keamanan manusia ini, dengan memfokuskan kebijakan mereka pada pendekatan freedom from fear. Dengan fokus pada pendekatan freedom from fear tersebut Kanada menerapkan kebijakannya di Afghanistan, keamanan Afghanistan menjadi perhatian penting pemerintah Kanada, meskipun tetap dengan tidak mengabaikan aspek lain seperti pembangunan. Dalam website resminya, pemerintah Kanada menyatakan bahwa tujuan Kanada adalah ―to leave Afghanistan to Afghans, better governed and self-sustaining, more stable and secure, and never again a safe haven for terrorists. Because without security, there can be no development.”138 6. Argumen Utama 1. Kanada menggunakan keamanan manusia dalam keterlibatnnya di Afghanistan agar perilakunya dapat kembali sesuai dengan norma 138 Transcript: Canada's achievements in Afghanistan, diakses dari http://www.afghanistan.gc.ca/canadaafghanistan/multimedia/trans_2011_10_21.aspx?lang=eng&v iew=d, pada 10 Januari 2011 15 keamanan manusia. Sebagai sebuah norma yang diadopsi oleh Kanada, keamanan manusia memberikan batasan, petunjuk dan arahan mengenai tingkah laku yang patut atau layak untuk dijalankan terhadap suatu isu. Penerimaan keamanan manusia dalam politik luar negeri Kanada juga memberikan identitas baru bagi Kanada yaitu sebagai norm entrepreuner keamanan manusia, yang membuat Kanada harus menjaga dan menjalankan tindakan-tindakan yang sesuai dengan norma keamanan manusia untuk dapat mempertahankan identitasnya tadi. Dengan menerapkan keamanan manusia di Afghanistan, bisa mengakomodir beberapa kepentingan Kanada sekaligus yaitu mempertahankan pengaruh dan identitasnya sebagai norm entrpreneur di mata komunitas internasional dan juga menjaga hubungan baik dengan Amerika dan NATO. 2. Kanada menggunakan pendekatan freedom from fear dalam penerapan konsep keamanan manusia-nya di Afghanistan. Dengan pendekatan 3D atau Whole of Government sebagai upaya untuk mengatasi masalah failed states dari segala sisi, Kanada mengintegrasikan defense, development dan diplomacy dalam satu pendekatan. Pelaksanaan program-program Kanada di Afghanistan tidak mudah, dengan situasi dan kondisi keamanan serta masalah koordinasi dan komando di lapangan serta tantangan-tanganan lainnya yang berpotensi menggagalkan misi Kanada. Bahkan banyak juga yang mengkritisi tindakan Kanada di Afghanistan yang mengejar tujuantujuan keamanan manusia dengan menggunakan kekuatan militer. 7. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang dilakukan lewat studi kepustakaan, menggunakan sumber-sumber seperti buku, jurnal, koran dan situs internet. 16 dengan 8. Sistematika Penulisan BAB I : Bab ini terdiri dari pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, jangkauan penelitian, tinjauan pustaka, konsep pemikiran, argumen utama, metode penelitian serta sistematika penulisan yang akan digunakan dalam penelitian ini selanjutnya. BAB II : Dalam bab ini penulis akan menggunakan teori norma internasional dari perspektif Konstruktivis untuk melihat keamanan manusia sebagai sebuah norma dan kemudian menjabarkan bagaimana norma keamanan manusia ini membentuk identitas baru bagi Kanada sebagai norm entrepreuner dan posisi konsep ini dalam tindakan-tindakan Kanada di luar negeri. BAB III hubungan : Bab ini akan membahas mengenai perubahan dalam internasional sebagai akibat peristiwa 11 September yang memposisikan Afghanistan sebagai isu penting dan bagaimana Kanada meresponnya, lalu dilanjutkan dengan menguraikan interaksi Kanada dan Afghanistan. BAB IV : Dalam bab ini penulis akan menjawab bagaimana penerapan keamanan manusia dalam keterlibatan Kanada di Afghanistan pada periode 2002-2011. BAB V : Bab ini akan berisi jawaban dan kesimpulan dari pertanyaan-pertanyaan penelitian yang telah diajukan. 17