KRITIK TERHADAP KONSEP KEADILAN JENDER DALAM PENAFSIRAN AMINA WADUD Skripsi: Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Agama Disusun Oleh: Ahmad Dziya’ Udin 1112034000162 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/ 2016 M KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Assalamualaikum Wr. Wb. Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya kepada penilis, sehigga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kritik Terhadap Konsep Keadilan Jender Dalam Penafsiran Amina Wadud” Shalawat serta salam senantiasa selalu tercurah kepda junjungan nabi Muhammad SAW, sang teladan yang telah membawa kita ke zaman kebaikan. Selawat serta salam senantiasa selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, sang teladan yang telah membawa kita ke zaman kebaikan. Selan itu ucapan terima kasih juga saya khususkan kepada ayahanda Abdul Mukhid dan ibunda Siti Maslikhah selaku orang tua penulis yang telah sabar membesarkan saya hingga saat ini. Juga tidak lupa kepada Qurratul Uyun, sebagai kakak. Irsyadu Ibad dan Ayatu Lailatil Khusnah sebagai adik kandung penulis yang telah mendukung secara moril. Penelitian ini merupakan tugas akhir yang harus diselesaikan sebagai syarat guna meraih gelar Sarjana Agama jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian penelitian ini. oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin menghaturkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu hingga selesainya penyusunan penelitian ini baik secara langsung maupun tidak langsung kepada: v 1. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan para pembantu Dekan Fakultas Ushuluddin. 2. Ibu Dr. Lilik Ummi kaltsum. MA selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Dan Ibu Banun Binaningrum, MA. selaku Sekertaris Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. 3. Bapak Dr. Yusuf Rahman. MA selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membantu, mengarahkan, membina dan meluangkan waktunya untuk penyelesaian penelititan ini. Juga tak lupa kepada Bapak Muslih, Lc., MA. selaku dosen pembimbing akademik. 4. Seluruh jajaran dosen jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Seluruh staf Tata Usaha serta Karyawan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.yang telah membantu mempermudah syarat administrasi dll. 6. Seluruh anggota kelas Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan moril. Temanteman di FORMALA, IMAGE, HIMAM Ciputat dll, 7. Dan seluruh hal yang terkait dengan penulis khususnya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. vi Semoga penelitian ini bermanfaat dan semoga Allah SWT senantiasa meridhoi setiap langkah kita, Aamiin ya rabbal aalamin. Jakarta, 31 Agustus 2016 Penulis Ahmad Dziya’ Udin vii ABSTRAK Ahmad Dziya’ Udin “Kritik Terhadap Konsep Keadilan Jender Dalam Penafsiran Amina Wadud”. Laki-laki dan perempuan adalah manusia dengan jenis kelamin yang berbeda, perbedaan ini bisa dikarenakan faktor kandungan hormonal dan anatomi biologisya, karena berbedanya tersebut dimungkinkan laki-laki dan perempuan memiliki perannya masing-masing. Penyesuaian peran dan harapan peran dihadirkan tidak sebagai upaya untuk membatasi jenis kelamin tertentu. Namun lebih pada upaya pemberian rasa keadilan, terhormat dan bermartabat. Meskipun demikian konstruksi tersebut tidak berdiri dalam kerangka yang kaku. Amina Wadud, salah satu aktifis feminis muslim yang selama ini sepak terjangnya dianggap kontroversial, karena telah mendekonstruksi sebuah pemaknaan terhadap doktrinasi agama, baik dalam ranah konseptual, maupun wilayah praktis, menjadi menarik ketika meninjau penafsirannya mengenai keadilan jender dalam al-Qur’an. Penelitian ini bertujuan untuk mengajukan kritik terhadap konsep keadilan jender yang diusung oleh Amina Wadud. Sebagai sebuah penelitian pustaka (library research), skripsi ini bersumber dari bahan-bahan primer yang berupa tulisan-tulisan Wadud serta bahan-bahan sekunder berupa buku, jurnal, disertasi dan tulisan ilmiah lainnya. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Wadud tidak menjelaskan secara rinci bagaimana mengubah mekanisme yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an tersebut menjadi jauh lebih adil dalam hal talak, persaksian, dan dalam hak waris. Wadud hanya ingin menghilangkan kesewenang-wenangan hak spesial yang diterima oleh laki-laki atas perempuan. Bagi Wadud harusnya pelebihan itu diperuntukan untuk membangun hubungan yang saling melengkapi. Wadud tidak menjelaskan secara detail bagaimana mekanisme adil yang diidamkannya. Namun, semangat Wadud untuk menghilangkan kesewenang-wenangan atas hak spesial yang diterima oleh laki-laki atas perempuan patut diapresiasi. Kata kunci : Amina Wadud, Kritik, dan Keadilan viii PEDOMAN TRANSLITERASI1 Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin: Huruf Arab Huruf Latin Keterangan ا Tidak dilambangkan ب B Be ت T Te ث Ts Te dan es ج J J ح H H dengan garis bawah خ Kh Ka dan ha د D De ذ Dz De dan zet ر R Er ز Z Zet 1 Amsal Bakhtiar, dkk, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2012-2013, (Jakarta: Biro Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h.381 ix س S Es ش Sy Es dan ye ص S Es dengan garis bawah ض D De dengan garis bawah ط T Te dengan garis bawah ظ Z Zet dengan garis bawah ع ‘ Koma terbalik di atas hadap kanan غ Gh Ge dan ha ف F Ef ق Q Ki ك K Ka ل L El م M Em ن N En و W We x ه H Ha ˋ ء Apstrog ي Y Ye Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah berikut ini: Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan __/ A Fatẖah ―ِ I Kasrah ِ_ U Dammah Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: xi Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan __ي/ Ai A dan i __و/ Au A dan u Vokal Panjang Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu: Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ىا ȃ A dengan topi diatas ىي Î I dengan topi diatas ىو Ȗ U dengan topi diatas Kata Sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu الdialihaksarakan menjadi huruf /ǀ/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijȃl bukan ar-rijȃl, al-dîwȃn bukan ad-dîwȃn. Syaddah (Tasydîd) Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda ( ِ )dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu xii dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata adh dhoruuroh tidak ditulis ad-darȗrah melainkan al-darȗrah, demikian seterusnya. Ta Marbȗtah Berkatan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbȗtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbȗtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbȗtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3). Contoh: No Kata Arab Alih Aksara 1 طريقة Tarîqah 2 الجامعة اﻹسالمية al-jȃmiʻah al-islȃmiyyah 3 وحدة الوجود waẖdat al-wujȗd Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan xiii yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperintahkan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (contoh: Abȗ Hȃmid al-Ghazȃlî bukan Abȗ Hȃmid Al-Ghazȃlî, al-Kindi bukan Al-Kindi. Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis denga cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialih aksarakan meskipun akar katanya berasal dari kata Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbȃnî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nȗr al-Dîn al-Rȃnîrî. xiv DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................... i ABSTRAK ....................................................................................................................... viii KATA PENGANTAR..............................................................................................v TRANSLITERASI...........................................................................................................ix DAFTAR ISI..................................................................................................................... xv BAB I..................................................................................................................................1 PENDAHULUAN..............................................................................................................1 A. Latar Belakang ........................................................................................................... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................................. 6 C. Tujuan dan Manfaat ................................................................................................... 7 D. Tinjauan Pustaka ........................................................................................................ 7 E. Metode Penelitian ..................................................................................................... 15 F. Sistematika Penulisan ............................................................................................... 17 BAB II..............................................................................................................................19 KEADILAN JENDER DALAM PANDANGAN MUFASIR DAN AKTIVIS .......... 19 A. Pengertian Adil ..................................................................................................... 19 B. Pengertian kesetaraan gender ............................................................................... 20 A. Konsep keadilan dan kesetaraan jender menurut mufasir dan aktifis ................... 21 B. Konsep Keadilan dan Kesetaraan Jender menurut Mufasir Kontemporer ........... 25 C. Konsep Keadilan dan Kesetaraan Jender Menurut Aktivis Jender ....................... 32 BAB III.............................................................................................................................37 PEMIKIRAN DAN BIOGRAFI AMINA WADUD.....................................................37 A. Biografi Amina Wadud...........................................................................................37 B. Pemikiran Amina Wadud (Hermeneutika Tauhid)..................................................41 BAB IV ............................................................................................................................. 45 A. Contoh Ayat yang Berbicara Tentang Keadilan Jender ........................................... 47 1. Ayat Tentang Kadar Pembagian Harta Waris Antara Laki-Laki dan Perempuan (an-Nisa’ 4:11, 12, 176) ............................................................................................ 47 xv 2. Ayat Tentang Hak Talak Suami dan Kemampuan Khulu’ Seorang Istri (alBaqarah 2:229-231) .................................................................................................. 57 3. Ayat Tentang Bobot Persaksian Laki-laki dan Perempuan (al-Baqarah 2: 282) .. 64 BAB V .............................................................................................................................. 71 KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................................... 71 A. KESIMPULAN ........................................................................................................ 71 B. SARAN .................................................................................................................... 72 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 73 xvi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 Laki-laki dan perempuan adalah mahluk Tuhan yang sama, meskipun demikian antara laki-laki dan perempuan tetap memiliki sisi yang berbeda. 2 Adanya perbedaan tersebut mengindikasikan bahwa keduanya tidak dapat dipersamakan secara penuh dalam segala hal, karena mempersamakan seutuhnya dalam dua hal yang jelas-jelas berbeda menjadikan salah satu dari keduanya menyimpang dari kodratnya, dan itu merupakan sebuah bentuk pelecehan. Namun tidak memberi hak-hak mereka sebagai manusia yang dianugerahi kodrat dan kehormatan yang tidak kalah dengan apa yang di anugerahkan Allah kepada laki- 1 Dalam kapasitas manusia sebagai makhluk tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya memiliki potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Seperti diterangkan al-Qu’ran. ِ ِ َيأايُّ اها الن ِ ِ َّ اَّللِ أاتْ اقا ُكم إِ َّن َّ وًب اوقاباائِ ال لِتا اع اارفُوا إِ َّن أا ْكارام ُُ ْم ِِنْ اد َّاس إ ََّّن اخلا ْقناا ُك ْم م ْن ذا اك ٍر اوأُنْثاى او اج اعلْناا ُك ْم ُش ُع ا ا ٌاَّللا اِل ٌيم اخبي ْ ُ “Wahai manusia. Sungguh. Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersukusuku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah maha mengetahui, Maha teliti” (Al-Qur’an QS. Al-Hujurât / 49: 13. cet, Kementrian Agama thn 2012, h. 745). (Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender (Jakarta: Paramadina 2014, h. 248) 2 Ada dua perbedaan yang dikenal antara laki-laki dan perempuan, pertama. perbedaan Nature (yang berarti sifat alamiah dari segi biologis atau kodrati ciptaan Tuhan karena itu bersifat tetap dan tidak berubah), seperti perbedaan perempuan mengandung, melahirkan, dan menyusui sedangkan laki-laki punya penis, sperma dll. (Husein Muhammad, Fiqh Perempuan:Rrefleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2001, h, 8. Kedua. Nurture perbedaan karena konstruksi sosial dan faktor budaya, dengan melihat bahwa komposisi kimia dan struktur biologis perempuan berbeda dengan lakilaki, faktor ini yang kemudian menentukan status dan peran yang dimainkan keduanya. (Jamhari dan Ismatu Ropi, Citra Perempuan dalam Islam: Pandangan Ormas Keagamaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 81. 1 2 3 laki juga merupakan bentuk pelecehan. Sebuah pranata yang adil kemudian dibutuhkan sebagai bahan mediasi antara persamaan dan perbedaan keduanya. Salah satunya dengan pembagian struktur fungsional dan peran yang ideal. Al-Qur’an sebagai salah satu pedoman hidup umat manusia (muslim) banyak berbicara tentang laki-laki dan perempuan beserta hak dan kewajibannya. 4 5 Al-Qur’an juga menetapkan kerangka sosial, politik dan moral, namun bagi 6 Wadud kesemuanya itu tidak diungkapkan secara pasti. Sedangkan menurut pakar yurisprudensi Islam, ‘Abd al-Wahâb Khalâf’ sesuatu hal yang sangat diperinci penjelasannya dalam al-Qur’an merupakan hukum yang pasti yang tidak 7 membutuhkan ruang ijtihad lagi , dan penjelasan mengenai hukum Islam yang diterangkan secara rinci dalam al-Qur’an ada pada hukum keluarga dan dalam kasus pembagian harta waris. 8 Berbicara tentang perbedaan sudut pandang dalam menafsirkan al-Qur’an baik yang mengatakan pastinya sebuah hukum keluarga dan tidak pastinya pranata hukum keluarga dalam Islam oleh sementara ulama atau cendekiawan, bisa jadi karena menggebu-gebunya semangat mereka dalam menampik bias atau meluruskan kekeliruan, kesalahpahaman, dan pengamalan umat tentang ajaran agama, sementara mereka sering kali melampaui batas sehingga lahir pandangan 3 Quraish Shihab, Perempuan (Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2005), h. 34. Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan lil’âlamîn (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 205. 5 Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2003), h. 43. 6 Lihat, Amina Wadud, Quran Menurut Perempuan, Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan, tarj Abdullah ali (Jakarta: Serambi, 2006), h. 184. 7 ‘Abd al-Wahâb Khalâf’, Ỉlm Ushul Fiqh (Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islâmiyyah, 2004), h. 60. 8 Depag RI, Tafsir al-Quran Tematik: Kedudukan dan Peran Perempuan (T.tp.: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 170. 4 3 9 yang justru tidak sejalan dengan pandangan agama. Semangat yang tinggi juga sering lahir karena keinginan Mufasir dalam meredam superioritas laki-laki yang justru memperoleh justifikasi dari agama. Terlebih teks-teks suci keislaman dalam konteks ini adalah al-Qur’an dan Hadis, dulu. 11 10 maupun produk tafsir ulama-ulama Semangat yang tinggi tersebut menjadikan para Mufasir mengkaburkan pesan-pesan agama yang sebenarnya. Amina Wadud Muhsin, salah satu tokoh feminis muslim kontroversial, karena telah mendobrak dinding paradigma konvensional yang dipertahankan selama empat belas abad sebelumnya. 12 Pendobrakan ini dilakukan oleh Amina bukan hanya pada ranah konseptual, tetapi juga dibuktikan pada ranah praksis. 13 Pada Jumat 18 Maret 2005, dunia Islam disuguhi tontonan yang ganjil, ketika Amina menjadi khotib sekaligus memimpin shalat Jumat di sebuah Gereja Katedral di Sundram Tagore Gallery 137 Greene Street. 14 Terhadap kasus ini, Syaikh al-Azhar, Muhammad Sayyid al-Tantâwî di Mesir menyatakan 9 Shihab, Perempuan, h. 34. Umma Farida, “Teks-teks Keislaman Dalam Kajian Kaum Feminis: Telaah Terhadap Pendekatan Studi Islam Dari Kalangan Feminis Muslim”. PALASTReN, Vol. III, No. 2, (Desember 2010): h. 204. 11 Shinta Nurani, “Implikasi Tafsir Klasik Terhadap Subordinat Gender: Perempuan Sebagai Makhluk Kedua”. Muwazah, Vol. VII, No. 2, (Desember 2015): h. 132. 10 12 Sokhi Huda, Kontroversi Hak dan Peran Perempuan dalam Pemikiran Kontemporer Amina Wadud (Jombang: Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng. T.th) 13 Kontroversi Wadud tersebut bukan hanya dilakukan satu kali, yang di memungkinkan Wadud hanya berupaya menunjukan bahwa dirinya berani menjadi khatib dan Imam shalat Jumat. Wadud juga meyakini bahwa hal seperti itu sah-sah saja. Di buktikan dengan menjadi Imam sekaligus khatib di Pusat Pendidikan Muslim MEC (Muslim Educational Center) Oxford, sekaligus menjadi pembuka konferensi Islam dan Feminisme yang di gelar di Wolfson College, Oxford. (https://www.arrahmah.com/read/2008/10/22/2497-jumatan-amina-wadud-manipulasihadits-ala-feminisme.html) 14 Adian Husaini, “Hermeneutika Feminis: Satu Kajian Kritis”. al-Insan Jurnal Kajian Islam, Vol II, No. 3, (2006): h. 100. 4 keberatannya dan Syaikh Yûsuf al-Qardhawî memvonis aksi tersebut tidak Islami dan bid’ah. 15 Wadud juga menolak adanya perbedaan-perbedaan esensial yang disandarkan pada laki-laki dan perempuan, karena bagi Wadud nilai-nilai yang dinisbahkan kepada berbagai perbedaan peran menggambarkan perempuan sebagai manusia yang lemah, 16 seperti halnya kecenderungan umum masyarakat yang selalu melimpahkan segala bentuk perawatan anak kepada perempuan. Pembagian kerja ini sekalipun sesuai dengan sebagian keluarga, namun bagaimanapun juga pembagian ini hanyalah salah satu solusi dan tidak di atur dengan tegas dalam al-Qur’an. 17 Meski demikian, Perbedaan peran di atas tidak selamanya berimplikasi negatif terhadap superioritas inheren laki-laki atas perempuan seperti kecemasan Wadud selama ini. 18 Perbedaan dalam hal peran publik bisa juga berfungsi sebagai nilai untuk mencapai tatanan yang adil dan terhormat sebagai keberlangsungan sistem kehidupan masyarakat atau keluarga. 19 Kegelisahan Wadud terkait fungsi peran lintas gender seolah menjebak Wadud dalam konsep keadilan yang diidamkannya dengan solusi menyeluruh yang dibicarakan al-Qur’an, seperti formula pembagian harta waris dua banding yang dinilainya salah. 20 Penilaian salah terhadap pembagian harta waris dua banding satu bisa terjadi dikarenakan banyak hal, di antaranya adalah: Pertama: karena melihat perempuan secara individual, bukan sebagai bagian dari anggota 15 Sokhi Huda, Kontroversi Hak Wadud, Quran Menurut, h. 25. 17 Wadud, Quran Menurut, h. 155. 18 Lihat, Wadud, Quran Menurut, h. 110. 19 Disarikan dari. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat (Jakarta: Mizan Pustaka, 1996), h. 301-311. 20 Wadud, Quran Menurut, h. 150 16 5 keluarga yang terdiri dari sepasang suami dan istri yang saling melengkapi. Kedua: karena pandangan tersebut bersifat parsial, artinya memahami ayat-ayat al-Qur’an secara sepotong-sepotong sedangkan ayat-ayat al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. 21 Kegelisahan Wadud juga nampak ketika menafsirkan QS. al-Nisâ’ / 4: 34. Ayat ini dipandang sebagai satu-satunya ayat yang paling penting terkait hubungan laki-laki dan perempuan. Laki-laki Qawâm ʻalâ perempuan hanya dibatasi berdasarkan dua hal yaitu; pelebihan seperti apa yang diberikan dan apa yang laki-laki belanjakan dari harta mereka untuk menafkahi perempuan, jika dua syarat ini tidak terpenuhi maka laki-laki tidak bisa di nilai Qawâm atas perempuan. Di dalam keluarga tiap-tiap anggota memiliki tanggung jawab tertentu. Berdasarkan alasan biologis yang jelas, tanggung jawab utama perempuan adalah melahirkan anak, sedangkan kewajiban laki-laki harus sama pentingnya, menjaga agar perempuan tidak terbebani peran tambahan yang dapat membahayakan kewajiban utamanya, berarti segala sesuatu yang dibutuhkan perempuan dalam menunaikan kewajibannya dengan nyaman harus disediakan dalam masyarakat, dalam hal ini laki-laki berhak dalam perlindungan fisik maupun nafkah materi, jika tidak maka itu merupakan penindasan serius terhadap perempuan. 22 Skenario ideal di atas mengandaikan suatu hubungan yang adil dan saling bergantung, namun itu tidak selamanya sejalan dengan realitas saat ini, seperti yang dialami negara-negara dengan kelebihan jumlah penduduk seperti India dan 21 Depag RI, Tafsir al-Quran tematik: Kedudukan dan Peran Perempuan (T.tp.: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 196. 22 Wadud, Quran Menurut, h. 121-126. 6 Cina, atau dalam masyarakat kapitalis seperti Amerika yang mana pendapatan tunggal tidak lagi memungkinkan untuk menopang gaya hidup yang tinggi. 23 Model ayat yang terkesan mendiskreditkan jenis kelamin tertentu banyak lagi terdapat dalam al-Qur’an, seperti halnya ayat tentang bobot persaksian lakilaki dan perempuan ( QS. al-Baqarah / 2: 282), ayat tentang kepemilikan hak talak suami dan kemampuan khulu’ seorang istri (QS. al-Baqarah / 2:229-231). Bagaimana kemudian Wadud memformulasikan ayat-ayat di atas menjadi adil yang ideal, dan bagaimana Mufasir memahami keadilan, keadilan yang dipandang sebagai pesan utama al-Qur’an, dalam hal ini keadilan harusnya diartikan sebagai keseimbangan, bukan sebagai sebuah kesamaan. 24 B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan oleh penulis, Berdasarkan masalah di atas, dan mengingat pembahasan yang begitu luas mengenai konsep keadilan penelitian ini memfokuskan diri hanya pada “KRITIK TERHADAP KONSEP KEADILAN JENDER DALAM PENAFSIRAN AMINA WADUD”, dalam buku “Qur’an and Women: Rereading Sacred Text from Woman’s Perspective”. Pada ayat-ayat tentang kadar pembagian harta waris antara laki-laki dan perempuan (QS. al-Nisâ’ / 4:11), ayat tentang hak talak suami dan kemampuan khulu’ seorang istri (QS. al-Baqarah / 2:229-231), ayat tentang bobot persaksian laki-laki dan perempuan (QS. al- 23 Wadud, Quran Menurut, h. 127. Depag RI. Tafsir al-Quran tematik: Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik (T.tp.: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 62. 24 7 Baqarah / 2: 282), dan ayat-ayat tentang persamaan potensi laki-laki dan perempuan (QS. al-Nahl / 16: 96, Âli‘imrân / 3: 195, QS. al-An‘âm / 6: 165) 2. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, maka dapatlah di rumuskan masalah yang hendak dijawab, yaitu: Bagaimana Kritik terhadap konsep keadilan Jender dalam Penafsiran Amina Wadud ? C. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan Penelitian Untuk menguji model keadilan jender dalam penasiran Amina Wadud. Sebagai bacaan alternatif terhadap pemikiran feminis Muslim. 2. Manfaat Penelitian A. Manfaat secara teoritis; penelitian ini bermanfaat untuk menguji atau mengembangkan cara pandang Wadud dalam memahami keadilan gender. B. Manfaat secara praktis; penelitian ini bermanfaat sebagai bahan bacaan alternatif dalam mata kuliah Kajian Gender maupun Kajian Modern Terhadap al-Qur’an. D. Tinjauan Pustaka Penelitian yang membahas tema perempuan dalam Islam memang senantiasa menarik untuk dilakukan. Banyak faktor yang melatarbelakangi hal tersebut, salah satunya adalah masih adanya gap antara yang ideal dan yang terjadi terkait dengan isu perempuan. Namun jika membahas tentang perempuan dalam kajian Islam kontemporer. Banyak nama yang tidak boleh dilupakan. Salah satunya adalah Amina Wadud Muhsin. Dia membawa angin segar pemikiran 8 25 tentang keadilan jender dalam Islam. Hal ini yang kemudian mendorong banyak intelektual untuk mencoba mengkaji epistemologi pemikirannya, terutama mengenai diskursus perempuan dalam Islam. Secara sederhana kajian mengenai pemikiran wadud ini dapat diklasifikasikan menjadi tujuh. Pertama, kajian yang menitiberatkan pada kepemimpinan dalam keluarga. Semisal dalam karya Hanum Rahmawati. “pemikiran Amina Wadud tentang Kepemimpinan dalam Keluarga: Studi Perbandingan dalam Hukum Islam”. 26 Dalam karya ini Hanum menekankan perhatiannya terhadap sikap Wadud mengenai kepemimpinan dalam keluarga yang tidak hanya dimanipulasi oleh lakilaki, tetapi wanita juga memiliki peran dan posisi sebagai pemimpin dalam keluarga. Hanum juga membandingkan Amina dengan ulama-ulama terdahulu dan memfokuskan pada kajian kepemimpinan dalam keluarga. Kajian lain yang menekankan pada kepemimpinan dalam keluarga dapat dilihat pada tulisan Nurul Yatim yang berjudul “Pandangan Mahmud Syaltut dan Amina Wadud tentang konsep Kepemimpinan dalam Keluarga”. 27 Skripsi yang ditulis oleh Nurul Yatim sama dengan yang ditulis oleh Hanum Rahmawati, letak perbedaannya pada upaya komparatif Nurul. Dalam membandingkan pemikiran tokoh Mahmud Syaltut dengan Amina. Karena ternyata Mahmud Saltut memandang bahwa tugas laki-laki adalah pemimpin dalam keluarga. Hal ini tidak 25 Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, h. 47. 26 Hanum Rahmawati. “Pemikiran Amina Wadud tentang Kepemimpinan Dalam Keluarga: Studi Perbandingan dalam Hukum Islam,” (Skripsi S1 Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2002). 27 Nurul Yatim, “Pandangan Mahmud Syaltut dan Amina Wadud tentang Konsep Kepemimpinan dalam Keluarga,” (Skripsi S1 Perbandingan Madzhab Dan Hukum Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarat, 2008). 9 lebih tugas khusus yang telah disesuaikan dengan kemampuan kodrati laki-laki atas perempuan. Kedua, kajian yang menitiberatkan pada pandangan Amina mengenai hak waris. Sebagai misal adalah karya Retna Wulandari, “Perempuan dalam Sistem 28 Kewarisan Menurut Amina Wadud Muhsin”. Retna dalam skripsi ini membahas tentang perempuan dalam sistem kewarisan menurut Amina, dia mengatakan adanya unsur diskriminatif terhdap wanita dalam hukum waris Islam karena dari sekian ayat al-Qur’an wanita selalu mendapatkan warisan lebih sedikit dari pada laki-laki. Hal ini menjadi fokus perhatian penulis dalam mengkaji pandangan Amina sebagai seorang yang secara representatif mengusung wacana kesetaraan dan keadilan. Ketiga. Kajian yang mengambil fokus bagian pada nusyuz. Sebagai misal adalah karya Dakwatul Khairoh, “Analisis terhadap Pemikiran Amina Wadud 29 tentang Nusyuz Ditinjau dari Maslahah Mursalah”. Skripsi ini ingin menyampaikan pemikiran Amina tentang nusyuz di tinjau dari maslahah mursalah. Khairoh mendeskripsikan pemikiran Amina Wadud tentang nusyuz yang dianalisis dari maslahah mursalah. Dengan alasan apabila nusyuz ditinjau dari analisis maslahah tidak lagi dimonopoli oleh kaum perempuan sebagai istri akan tetapi juga berlaku bagi suami. Kajian lain yang menekankan pada masalah nusyuz dapat dilihat juga pada tulisan Husni Mubarok, “Nusyuz : Studi Komparatif Imam asy-Syafi’i dan Amina 28 Retna Wulandari, “Perempuan dalam Sistem Kewarisan Menurut Amina Wadud Muhsin,” (Skripsi S1 fakultas Syari’ah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006). 29 Dakwatul Chairoh, “Analisis Terhadap Pemikiran Amina Wadud tentang Nusyuz ditinjau dari Maslahah Mursalah,” (Skripsi S1 Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2006). 10 Wadud”. 30 Skripsi ini berfokus pada kajian adanya ikatan antara suami-isteri yaitu hak isteri untuk dipenuhi oleh suami dan sebaliknya, serta hak bersama yang harus ditanggung bersama. Bila hak dan kewajiban yang ada dalam rumah tangga terpenuhi sesuai porsinya masing-masing, maka akan tercipta keluarga yang baik serta harmonis dan sebaliknya apabila hak dan kewajiban tidak dilaksanakan dengan baik oleh suami atau isteri, maka akan menumbuhkan konflik yang dapat merongrong stabilitas keluarga tersebut. Kalau al-Qur’an menyebutnya sebagai Nusyuz, Wadud dan Imam Asy-Syafi’i berbeda pendapat dalam menetapkan pemukulan sebagai salah satu solusi penyelesaian nusyuz di mana Wadud tidak setuju menyertakan tindakan ini dalam solusi penyelesaian nusyuz. Adapun dalam penetapan solusi bagi suami nusyuz kedua ulama tersebut juga berbeda pendapat. Imam asy-Syafi’i cenderung berpandangan bahwa pihak isteri adalah pihak yang lemah dan solusinya adalah al-Sulhu ala al-inkar dalam proses perdamaian (sulhu). Sedangkan Wadud menolak solusi penyelesaian nusyuz oleh suami. Kajian lain yang menekankan pada masalah nusyuz dapat dilihat pada tulisan Siti Khomsiatun, “Nusyus dalam Pandangan Zamakhsari dalam alKasysyaf dan Amina Wadud dalam Quran and Women (study kompratif)”. 31 Skripsi ini fokus membahas tentang konflik dalam keluarga secara global, keluarga sakinah bukan keluarga yang tidak punya masalah tetapi keluarga yang 30 Husni Mubarok, “Nuyuz : Studi Komparatif Imam asy-Syafi’i dan Amina Wadud,” (Skripsi S1 Perbandingan Madzhab Dan Hukum Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarat, 2009). 31 Siti Khomsiatun, “Nusyus dalam pandangan Zamakhsari dalam al-Kasysyaf dan Amina Wadud dalam Qur’an and Women (study kompratif),” (Skripsi S1fakultas Usuluddin, Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2013). 11 bisa mencari solusi ketika terjadi konflik keluarga. Dalam skripsi ini juga penulis membahas tentang menagemen konflik. Keempat, Kajian yang menekankan pada poligami dapat dilihat juga pada tulisan Iis Kartika, “Poligami dalam Pandangan Amina Wadud Muhsin dan 32 Wahbah Az-Zuhaili”. Skripsi ini ingin mendiskripsikan seorang istri yang dipoligami karena alasan yang cendrung memojokkan istri sebagai penyebab dari suaminya berpoligami seperti mandul, ingin banyak anak dan alasan kesehatan. Kajian lain yang menekankan pada poligami dapat dilihat pada tulisan Inin Nastain, “Istimbat Hukum Muhammad Abduh dan Amina Wadud Muhsin Dalam 33 Hal Istri Mandul Sebagai Alasan Poligami”. Skripsi ini secara substansi sama dengan yang di atas, yang membedakan hanya perbandingan tokoh. kajian lain yang menitiberatkan pada permasalahan poligami seperti yang dilakukan oleh Nur Chabibah, “Studi Analisis Hukum Islam Terhadap pemikiran 34 Amina Wadud Tentang Tidak diperbolehkannya Poligami”. Nur Chabibah mencoba menjawab pertanyaan tentang Bagaimana epistimologi dan latar belakang yang digunakan Wadud dalam pengambilan hukum tentang pelarangan poligami. Sehingga pada akhir skripsi ini berbicara tentang boleh tidaknya poligami harus dipahami secara kaffah, kalaupun alasan suami berpoligami karena 32 Iis Kartika, “Poligami dalam Pandangan Amina Wadud Muhsin dan Wahbah AzZuhaili,” (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarat, 2007). 33 Inin Nastain, “Istimbat Hukum Muhammad Abduh dan Amina Wadud Muhsin dalam Hal Istri Mandul Sebagai Alasan Poligami,” (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarat, 2007). 34 Nur Chabibah, “Studi Analisis Hukum Islam Terhadap pemikiran Amina Wadud Tentang Tidak Diperbolehkannya Poligami,” (Skripsi S1Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2009). 12 istri mandul atau alasan lainnya yang oleh undang undang atau hukum Islam itu diperbolehkan. Kelima. Kajian yang menekankan pada kesetaraan jender dapat dilihat juga pada Sulaiman. “Kesetaraan Jender (Dalam Pemikiran Amina Wadud dan 35 Siti Musdah Mulia)”. Skripsi ini sama dengan yang diatas yang membahas tentang jender, perpedaanya hanya pada perpaduan dua tokoh feminis, dalam skripsi ini tokohnya Amina dan Siti Musdah Mulia. Kajian lain yang menitiberatkan pada wanita dalam ranah sosial (kesetaraan jender) seperti yang dilakukan oleh Habibi Ibnu HS, “Kesetaraan 36 Jender dalam al-Qur’an Perspektif Amina Wadud”. Skripsi ini membahas tentang Amina yang ingin membangkitkan peran perempuan dalam kesetaraan dan relasi gender, dengan berprinsip pada keadilan sosial dan kesetaraan gender. Dia juga ingin menyelamatkan perempuan dari konservatifisme Islam. Menurut Wadud banyak hal yang menyebabkan penafsiran miring tentang perempuan; kultur masyarakat, kesalahan paradigma, latar belakang para mufasir yang kebanyakan laki-laki. Keenam. Kajian yang menekankan pada peran wanita dalam ruang publik dapat dilihat juga pada Yuslam Chanafi, “Perbandingan Antara Saksi Perempuan 37 dengan Laki-Laki”. Skripsi ini membahas tentang kekuatan kesaksian wanita baik dalam muamalah atau yang lainnya. Menurut Wadud, bahwa adanya dua 35 Sulaiman. “Kesetaraan Jender (Dalam Pemikiran Amina Wadud dan Siti Musdah Mulia),” (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarat, 2006). 36 Habibi Ibnu HS, “Kesetaraan Jender dalam al-Qur’an Perspektif Amina Wadud” (Skripsi S1 Ushuluddin, Universitas Islam Syarif Hidatullah Jakarta, 2007). 37 Yuslam Chanafi, “Perbandingan Antara Saksi Perempuan Dengan Laki-Laki,” (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007). 13 saksi perempuan sama dengan satu saksi laki-laki, karena dalam masyarakat umumnya perempuan mudah dipaksa, sehingga jika saksi yang dihadirkan hanya seorang perempuan, maka ia akan menjadi sasaran empuk kaum pria tertentu yang ingin memaksanya agar memberi kesaksian palsu, dan jika ada dua orang saksi perempuan mereka bisa saling mendukung satu sama lain; jika yang seorang lupa (tudilla), maka seorang lagi dapat mengingatkannya (tudzakkira) akan perjanjian muamalah. Kajian lain yang menitiberatkan pada peran wanita dalam ruang publik seperti yang dilakukan Ahmad Baidowi. “Tafsir Feminis (Studi Pemikiran Amina 38 Wadud dan Nash Hamid Abu Zaid)”. Dalam disertasi ini Baidawi menguraikan gagasan Amina Wadud dan Nasr Hamid Abu Zaid dengan menggunakan pendekatan filosofis hermeneutis untuk mengungkap asumsi-asumsi filosofis mengenai penafsiran feminis. Dari analisis disertasinya mengungkap bahwa kedua tokoh feminis muslim ini memahami tafsir bukan sebagai tindakan menjelaskan teks-teks al-Qur’an secara aktual sebagaimana yang lazim dilakukan para penafsir tradisional. Keduanya memahami penafsiran sebagai upaya mengaitkan teks alQur’an dengan problem realitas kontemporer dalam rangka menemukan solusi yang qurani atas berbagai problem masyarakat saat ini, terutama yang sangat menyudutkan eksistensi wanita. Ketujuh. Kajian yang menitiberatkan pada permasalahan wanita sebagai imamah seperti yang dilakukan oleh Kokom Komariah, “Pandangan Ulama tentang Imam Salat Perempuan: Telaah Kritis Terhadap 38 Pemikiran Amina Ahmad Baidowi. “Tafsir Feminis (Studi Pemikiran Amina Wadud dan Nash Hamid Abu Zaid),” (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarat, 2011). 14 Wadud”. 39 Skripsi ini membahas tentang Pandangan ulama tentang imam salat perempuan, pada tahun 1994 Amina menyampaikan khotbah Jum’at di Masjid Claremont, Cape Town, Afrika Selatan, dan pada Jum’at, 18 Maret 2005, 100 orang laki-laki dan perempuan menyelenggarakan shalat Jumat di sebuah gereja Anglikan, hal memicu respons dari pihak-pihak yang setuju dengan tindakannya ini. Sedangkan Syekh Yusuf Qardhawi, serta Syekh al-Azhar Mesir, Muhammad Sayyid al-Thanthawi mengajukan keberatan atas aksi Amina Wadud ini. Adapun beberapa literatur pembahasan terkait adil adalah: “Berbuat Adil Jalan Menuju Bahagia”. 40 Dalam buku ini penulisnya membahas tentang sifat adil yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin (Ulil Amri) dan balasan dari Allah bagi orang yang berlaku adil, serta balasan bagi orang yang berbuat zalim. “Konsep Adil dalam Poligami (Analisis Perspektif Hukum Islam dan 41 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Syarif Hidatullah jakarta, 2010. Skripsi ini membahas tentang sikap adil yang harusnya dilakukan oleh seorang suami yang melakukan poligami, didasarkan pada hukum Islam dan hukum Negara. Sifat adil seperti apa yang harusnya dilakukan oleh suami kepada anak dan istri, adalah dalam pembagian waktu berkumpul bersama keluarga. 39 Kokom Komariah, “Pandangan Ulama Tentang Imam Salat Perempuan: Telaah Kritis Terhadap Pemikiran Amina Wadud,” (Skripsi S1 Fakultas Syariahdan Hukum, Universitas Islam Syarif Hidatullah Jakarta, 2006). 40 Yusuf Abdullah Daghfaq, “Berbuat Adil Jalan Menuju Bahagia”. (Jakarta: Gema Insani Press. 1992) 41 Abdul Khoir, Konsep Adil dalam Poligami (Analisis Perspektif Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Syarif Hidatullah jakarta, 2010) 15 42 “Analisis Konsep Adil Berpoligami Perspektif Hukum Islam”. Skripsi ini hampir sama dengan skripsi di atas hanya saja sifat adil yang di kaji dalam skripsi ini berfokus pada keadilan yang harusnya dilakukan oleh seorang suami ketika dia berpoligami menurut hukum Islam. “Keadilan dalam al-Quran (Analisis Kata al-Qisth Pada Berbagai 43 Ayat)”. Pada skripsi ini penulis mencoba membahas tentang konsep keadilan dalam al-Quran lewat kata al-Qisth. Keadilan yang bersifat seimbang, dipakai untuk menjelaskan sifat orang-orang yang berilmu. Juga perlakuan terhadap hakhak anak yatim. Maupun ketika berjual beli. Pembahasan tentang keadilan dalam al-Qur’an masih bisa diperluas lagi. Dari penjelasan mengenai literatur di atas terdapat sejumlah persamaan dengan apa yang akan penulis kaji dari alasan sisi epistemologi, mengapa Amina Wadud memahami ayat al-Qur’an seperti itu, dan perbedaannya ada pada “ Kritik Terhadap Konsep Keadilan Atas Penafsiran Amina Wadud” hal inilah yang menjadikan skripsi ini menjadi layak di lakukan. E. Metode Penelitian Dalam penulisan ini, nantinya digunakan beberapa metode sebagai berikut : a. Metode Pengumpulan Data 42 Nuri Faat, Analisis Konsep Adil Berpoligami Perspektif Hukum Islam”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Syarif Hidatullah jakarta, 2007. 43 Alfionitazkiyah, Keadilan dalam al-Quran (Analisis Kata Al-Qisth Pada Berbagai Ayat)”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Syarif Hidatullah jakarta, 2014 16 Penelitian merupakan jenis ini termasuk penelitian jenis kualitatif penelitian (library research),44 dengan pengalian bahan-bahan pustaka yang koheren dengan obyek pembahasan,45 yakni dengan cara menuliskan, mengedit, mengklasifikasikan, mereduksi, dan menyajikan data. Data diambil dari berbagai sumber tertulis, sumber yang dimaksud adalah berupa buku-buku, bahan-bahan dokumentasi dan sebagainya. b. Sumber Data Penelitian ini menggunakan sumber data kepustakaan yang berkaitan dengan penafsiran Amina. Sumber data yang dimaksud dalam penelitian adalah subyek dari mana data diperoleh. Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah: 1. Sumber data primer Sumber data primer adalah sumber pokok penelitian skripsi ini. Adapun data primer dalam penelitian ini adalah al-Qur’an dan buku karya Amina Wadud Muhsin yang berjudul: “Quran Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan”. Terjemah Abdullah Ali (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006) 2. Sumber data sekunder Sumber data sekunder adalah sumber informasi yang tidak secara langsung mempunyai wewenang dan tanggung jawab terhadap informasi 44 library research juga disebut sebagai kajian pustaka. kajian literatur yang merupakan sebuah uraian atau deskripsi tentang literatur yang relevan dengan bidang atau topik tertentu.Memberikan tinjauan mengenai apa yang telah dibahas atau dibicarakan oleh peneliti atan penulis. teori dan hipotesis yang mendukung, permasalahan penelitian yang diajukan atan dinyatakan, metode dan metodologi yang sesuai. Lihat Punaji Setyosari. Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan (Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2013), h. 95. 45 Ronny H Sumintro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, cet. Ke-4 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), h. 15. 17 yang ada. Adapun yang dijadikan sumber sekunder dalam skripsi ini adalah buku-buku, kamus, jurnal, dan karya lain yang relevan dengan pembahasan tersebut. c. Metode Analisis Data Analisa data dalam skripsi ini penulis menggunakan metode kualitatif dengan metode deskriptif analisis. Dan metode analisis kritis. Sedangkan pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan deduktif-analitik, sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan mengambarkan atau melukiskan keadaan sebuah subyek atau obyek penelitian.46 Mempelajari karya tokoh yang bersangkutan dengan membuat analisis mengenai semua konsep pokok satu persatu, agar dapat dibangun suatu sintesis. Pola pikir ini digunakan untuk menganalisis pembacaan ulang al-Qur’an yang bersemangat keadilan versi Amina Wadud Muhsin. Sehingga dapat ditarik kesimpulan yang bisa menguatkan ataupun melemahkan pendapatnya. d. Teknik Penulisan Panduan penulisan skripsi ini berdasarkan pada Pedoman penulisan skripsi47 yang terdapat dalam Pedoman Akademik Tahun 2012/2013 Program Strata 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. yang diterbitkan oleh Biro Adimistrasi dan Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulisan catatan kaki untuk kutipan kedua dan seterusnya, hanya menyertakan nama populer penulis atau nama belakang dan dua kata dari judul beserta halaman. 46 Hadawi Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995), h. 63. 47 Tim Penyusun, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2012/2013 (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2012), h. 351. 18 F. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini disusun menjadi empat bab. Bab I merupakan pendahuluan yang berisi asumsi-asumsi yang melatarbelakangi pemilihan tema penelitian ini, kemudian rumusan masalah yang akan dijawab dalam skripsi ini. Tujuan dan kegunaan dari penelitian, telaah terhadap buku-buku atau tulisantulisan lain yang pernah dilakukan sebelumnya mengenai tema ini, serta pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini. Karena pembahasan dalam skripsi ini terfokus pada Kritik Terhadap Konsep Keadilan Jender. Maka penulis menjadikan Bab ke II untuk menelaah model-model penafsiran tentang keadilan yang telah dilakukan oleh para mufasir-mufasir dan para aktifis jender. Biografi dan pemikiran Amina Wadud penulis kemukakan pada BAB III. Berikut bagaimana Wadud mengunakan metode Hermeneutika Tauhid dalam menafsirkan al-Qur’an yang di adopsi dari Fazlur Rahman. Yaitu teori doubel movement. Penafsiran Amina Wadud mengenai keadilan jender dalam al-Quran, penulis kemukakan dalam Bab IV. Penulis mencoba mengumpulkan ayat-ayat alQuran yang terkesan timpang jender, kemudian menguraikan bagaimana penafsiran Amina Wadud terhadap ayat-ayat tersebut, dan bagaimana seharusnya konsep keadilan ideal bagi kebanyakan ulama tafsir dalam merespon konsepsi Amina Wadud. Kajian ini akan diakhiri dengan Bab V yang berisi kesimpulan dari pembahasan secara keseluruhan, dan saran-saran penyusun dalam kaitannya dengan penulisan ini. BAB II KEADILAN JENDER DALAM PANDANGAN MUFASIR DAN AKTIVIS A. Pengertian Adil Menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBI) adil diartikan sebagai (1) sama berat, tidak berat sebelah; dan tidak memihak. (2) berpihak pada kebenaran dan (3) sepatutnya tidak sewenang-wenang.1 Kata adil dalam bahasa Indonesia awalnya diserap dari kata ‘adl dalam bahasa arab yang terambil dari kata ‘adala yang terdiri dari huruf ‘ain, dal dan lam. Rangkaian huruf ini kemudian menghasilkan dua makna yang bertolak belakang yaitu “lurus dan sama” serta “bengkok dan berbeda”.2 Dari makna pertama kata ‘adl bisa diartikan sebagai menetapkan suatu hukum dengan benar. Jadi seorang yang ‘adl adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu mengunakan ukuran yang sama, “persamaan itulah yang merupakan makna asal kata ‘adl.3 Kedua, ‘adl dalam arti ‘seimbang’. Bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang sesuai dengan kelayakannya sehingga terdapat kesesuaian kedudukan dan fungsinya dibanding dengan individu lain.4 Sedangkan dalam bahasa Inggris kata adil diterjemahkan sebagai just.5 Arti kata Inggris itu kira-kira sama dengan yang dimaksud oleh kata adil dalam bahasa Indonesia.6 1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 4. 2 Ibnu Faris, Mu’jam Maqâyis al-Lugah, (t.t: t.p, t.th. Vol III), h. 745. 3 Ensiklopedi al-Qur’an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 5. 4 Hafidz Taqiyuddin, Argumen Keadilan dalam Hukum Waris Islam: Studi Konsep ‘Awl dan Radd, (Tangerang Selatan: Cinta Buku Media, 2014), h. 18. 5 John M.Echols dan Hassan Shadly, Kamus Inggis- Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1996), h. 338. 6 Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 369. 19 20 Firdaus al-Hisyam dan Rudy Hariyanto mengatakan bahwa kata adil diartikan sebagai. Just, fair, impartial, rightful, lawful, honest (secara pantas, adil, tidak berat sebelah, berdasarkan keadilan, hukum yang sah, lurus hati).7 Sedangkan adil secara istilah (umum) merupakan arti dari ‘meletakkan sesuatu pada tempatnya’.8 B. Pengertian kesetaraan gender Kata setara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berasal dari kata tara yang berarti yang sama (tingkatannya, kedudukannya) kemudian mendapatkan tambahan kata depan se- menjadi setara yang berarti sejajar (sama tingginya), sama tingkatnya (kedudukannya), sebanding, sepadan atau seimbang.9 Dalam bahasa Inggris, kesetaraan dikenal dengan equality, yang bermakna persamaan.10 Setara juga dapat diartikan sebagai seimbang, tidak berat sebelah dan tidak membeda-bedakan.11 Sehingga kesetaraan gender dapat diartikan sebagai wujud kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hakhaknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas, serta kesamaan dalam menikmati hasil 7 Firdaus al-Hisyam dan Rudy Hariyanto, Kamus Lengkap 3 Bahasa: Arab Indonesia Inggris, (Surabaya: Gitamedia Press, 2006), h. 523. 8 Basri Iba Asghary, Solusi al-Quran tentang Problem Sosial Politik Budaya, (Jakarta: PT Reineka Cipta, 1994), h. 116. 9 http://kbbi.web.id/tara http://kbbi.web.id/tara 10 John M.Echols dan Hassan Shadly, Kamus Inggis- Indonesia, h. 217. 11 Elvira Suryani, Sosialisasi Kesetaraan Gender pada Pegawai Kantor Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi. Jurnal Kybernan, Vol. I, No, 2 (September 2010), h. 6. 21 pembangunan tersebut. Kesetaraan juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.12 Kesetaraan bukan berarti semua orang identik sama. Kesetaraan hanya dapat dipahami dalam hal-hal yang paling fundamental dan tertentu.13 Seperti halnya yang telah diuraikan diatas, kesetaraan lebih cenderung bermakna memberikan perlakuan yang sama dalam hal-hal yang mendasar, sebagai hak dasar kemanusiaan. C. Konsep Keadilan dan Kesetaraan Jender Menurut Mufasir dan Aktifis 1. Konsep Keadilan dan Kesetaraan Jender menurut Mufasir Klasik: al- Zamakhsyarî14, dan al-Qurtubî15 Dalam memahami tentang ketidakmampuan seorang suami berbuat adil diantara istri-istrinya seperti yang tertera dalam surah QS. al-Nisâ’ / 4: 129. AlQurtubî menafsirkan dengan kondisi manusia yang diciptakan dalam kapasitas tidak memiliki (kemampuan mengontrol kecenderungan) hatinya kepada 12 Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara: Respon Islam Terhadap Isu-isu Aktual (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014), hal. 62. 13 Saut Hamonangan Sirait, Politik Kristen di Indonesia: Suatu Tinjauan Etis (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), hal. 31. 14 Nama aslinya adalah Abû al-Qâsim Jârullâh Mahmud ibn Umar al-Zamakhsyarî alKhawarizmi, lahir tanggal 27 Rajab 467 H/ 8 Maret 1075 M di Zamakhsyar, sebuah desa di Khawarizm (Turkistan), Ayahnya adalah seorang Imam Masjid di desa Zamakhsyar, Tidak banyak yang diketahui tentang latar belakang keluarga al-Zamakhsyarî. Yang jelas bahwa keluarganya adalah keluarga yang taat terhadap ilmu juga taat dalam beribadah. Pada tahun 526 H ia menetap selama tiga tahun di Makkah, dan dikota inilah ia menulis karya monumentalnya “Tafsir al-Kasyaf An Haqo’iq al-Tanzil Wa 'Uyun Al-Aqawil Fi Wujuh Al-Ta'wil “ ia di kenal menganut faham Mu’tazilah sehingga berimplikasi pada karya tafsirnya yang lebih tendensius rasionalitas, di kenal dengan tafsir al-Ra’yi. (Faizah Ali Syibromalisi, dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern (Tangerang Selatan: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011, 40-43) 15 Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh, alAnshari al-Khazraji al-Qurthubi. Lahir di Spanyol pada tahun 580 H bertepatan dengan tahun 1184 M. Seorang ulama besar, ahli fiqh, tafsir dan hukum, memiliki kearifan dan wawasan luas. Ia bermadzhabkan Maliki, Tafsirnya al-Jami; li ahkam al-Qur’an, merupakan suatu karya ensiklopedi yang menyatukan hadits dengan masalah-masalah ibadah, hukum dan linguistik. Dan informasi tentang kehidupannya hanya sedikit sekali diketahui. (Muhammad Ayub, Qur’an dan Penafsirnya (Pustaka Firdaus, t, tp, t,th. H.9). 22 sebagain atas sebagain yang lain (istri-istri). Karna kecenderungan ini bersifat nonmateri, maka manusia tidak memiliki kendali untuk membaginya dengan adil. maka dari itu, menurut al-Qurtubî yang diambil dari riwayat mujahid. Seorang suami dilarang dengan sengaja berbuat jelek terhadap mereka (istri-istri), tetapi (suami) berkewajiban untuk menyamaratakan dalam membagi dan memberi nafkah.karena hal itulah yang bisa diusahakan (lakukan).16 Konsep pemahaman tentang keadilan dan kesetaraan pada al-Qurtubî bisa di ambil dari penafsirannya tentang ayat-ayat al-Qur’an yang menyingung tentang keadilan dan kesetaraan dalam hubunganya dengan kemanusiaan. Karena pada masa itu sulit sekali dimungkinkan telah berkembang perdebatan tentang kajian feminis secara intens. Dan terfokus. menyoal tentang keadilan gender dalam penafsiran al-Qurtubî, tidak bisa dilepaskan dari pembahasan menyangkut ayat al-Nisa 34. Al-Qurtubî menafsirkan ayat di atas dengan pelebihan atau (Qawâm-nya) laki-laki atas perempuan dikarenakan laki-laki memiliki kewajiban memberikan nafkah dan mahar, atau pengutamaan tersebut bisa juga dikarenakan secara kapasitas intelektual dan menejerial, sehingga laki-laki diberikan kewajiban mengurusi perempuan.17 bisa dikatakan, secara tidak langsung al-Qurtubî menilai al-Qur’an memberikan mekanisme yang adil menyangkut relasi laki-laki dan perempuan. Terutama dalam urusan rumah tangga. Sehingga pembagian harta waris yang diatur dengan sangat rinci dalam al-Qur’an merupakan suatu kesatuan yang adil dalam ketetapan-Nya. 16 Syaikh Imâm Al-Qurtubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân. Tarj, Ahmad Rijali Kadir (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), Vol, 5, h. .965. 17 Al-Qurtubî, Al-Jâmi’, Vol, 5. h. 393. 23 Ayat di atas juga dipahami sebagai petunjuk dalam menetapkan kewajiban laki-laki dalam mendidik istri, sehingga ketika para istri-istri sudah menjaga hakhak suaminya, maka tidak diperbolehkan seorang laki-laki (suami) berlaku buruk terhadap istrinya.18 Dari pemahaman diatas kemudian menghasilkan kesimpulan bahwa dimungkinkan adanya pemahaman bahwa al-Qurtubî membedakan antara keadilan berdasarkan pembagian nafkah antara istri-istri yang dinikahi dengan pembagian adil dalam hak waris. Dikarnakan keduanya memiliki masalah yang berbeda. Pembagian hak waris dinilai adil dikarnakan bobot dan tangungan di antara laki-laki dan perempuan berbeda. Sedangkan pembagian nafkah pada istriistri yang dinikahi harus sama-rata baru bisa dikatakan adil. Sedangkan ketika membahas tentang mekanisme persaksian, yaitu dua saksi laki-laki dalam hal transaksi keuangan, yang boleh digantikan dengan seorang laki-laki dan dua orang perempuan, al-Qurtubî mengatakan mekanisme yang demikian bisa diganti dengan satu orang laki-laki saja. Ataupun dua orang perempuan saja, dengan disertai sumpah. Namun Imâm ‘Abu Hanîfah beserta pengikutnya membantah alternatif tersebut, karena bagi mereka ketentuan Allah dalam masalah persaksian telah ditetapkan berdasarkan perannya masingmasing.19 Pembagian peran inilah yang mempengaruhi bobot persaksian laki-laki dan perempuan. Sedangkan menurut al-Zamakhsyarî, persaksian antara seorang laki-laki dan dua peremuan hanya dibolehkan dalam masalah transaksi finansial, tidak 18 19 Al-Qurtubî, Al-Jâmi’, Vol, 3. h. 394. Al-Qurtubî, Al-Jâmi’, Vol, 3. h. 868. 24 dibolehkan dalam masalah hudûd, dan qisâs. Sedangkan dua persaksian dua perempuan tersebut untuk mengingatkan, jika sebagian saksi lupa, satunya lagi bisa mengingatkan. Namun Zamakhsyarî tidak menerangkan lebih detail mengapa perempuan diprediksi lupa20 Sedangkan ketika menafsirkan QS. al-Nisâ’ / 4: 11. Al-Zamakhsyarî mengatakan bahwa ketetapan yang memerintahkan pembagian waris bagi anak perempuan adalah sama dengan seorang laki-laki, hal ini merupakan ketentuan yang adil dan membawa pada kemaslahatan.21 Al-‘Alûsî berpandangan bahwa dengan ayat ini, manusia tidak sepatutnya mempertanyakan hukum Allah tentang warisan, mengapa yang satu lebih besar bagiannya di banding yang lain, atau mengapa ada yang mendapat bagian ada pula yang tidak.22 Ayat-ayat al-Qur’an lain yang dinilai diskriminatif terhadap perempuan adalah. QS. Al-Baqarah / 2: 229, untuk meresponnya al-Qurtubî mengatakan, bahwa batas maksimal talak yang bisa dirujuk kembali adalah dua kali talak, hal ini juga dimaksudkan sebagai penghapusan terhadap apa yang telah menjadi kebiasaan masa lampau, namun jika setelah terjadi talak dua dan dikehendaki rujuk kembali, suami boleh merujuk istrinya lagi dengan memperlakukannya dengan baik. Ataupun jika memilih menceraikannya, maka seyogyanya 20 ‘Abi al-Qâsim Jârullah Mahmûd bin ‘Umar al-Zamakhsyarî al-Khowarizmi, Tafsir alKasyâf An Haqo’iq al-Tanzil Wa 'Uyun Al-Aqawil Fi Wujuh Al-Ta'wil (Lebanon: Dar al-Ma’arif, 2009), H .155 21 al-Zamakhsyarî, Tafsir al-Kasyâf, h. 222. 22 Syihâb al-Dîn al-Sayid Mahmûd al-‘Alûsî al-Baghdadi, Rûh al-Ma’ânî fi Tafsîr alQur’ân al-‘Azim wa al-Sab’ al-Matsânî (Lebanon: Ihya’ al-Turats al-Arabi.), h. Vol IV, h.228 25 meninggalkan dengan syarat memenuhi segala haknya tanpa berbuat zalim.23 Dengan demikian hak talak yang di berikan terhadap suami, bukan mencerminkan sikap diskriminatif dan arogan, melainkan sikap adil, karena disertai dengan prasyarat lain. 2. Konsep Keadilan dan Kesetaraan Jender menurut Mufasir Kontemporer: Sayyid Qutb,24 ‘Alî al-Sâbûnî,25 dan Quraish shihab.26 Dalam pandangan Quraish Shihab laki-laki dan perempuan adalah manusia yang sama, dikarnakan keduanya bersumber dari ayah dan ibu yang sama.27 ي ي ي ي ٍ ض ُك ْم يم ْن بَ ْع ض ُ يع َع َم َل َعام ٍل مْن ُك ْم م ْن ذَ َك ٍر أ َْو أُنْثَى بَ ْع ِاب ََلُْم َربُّ ُه ْم أي ْ َف َ استَ َج ُ َّن ََل أُض 23 Al-Qurtubi, Al-Jâmi’, Vol, 3, h. 277 Nama lengkapnya Sayyid Qutb Ibrâhim Husin Shazalî. Dilahirkan pada 9 Oktober 1906 di sebuah desa di Hulu Mesir, Kampung Musyah, Asyut, Mesir. Ayahnya Haji Quthb Ibrahim berasal dari keluarga berada dan sangat di segani. Ibunya bernama Fâtimah Husin ‘Uthmân yang juga erasal dari keluarga berada dan terhormat. Ia mendapatkan pendidikan resmi di sekolah yang terleta di kampungnya tahun 1912 dan tamat pada tahun 1918 di Kota Kuttab. Pada tahun 1925 M, ia masuk ke institusi diklat keguruan, dan lulus tiga tahun kemudian, setelah itu melanjutkan studi ke Universitas Dâr al-‘Ulûm (Universitas Mesir Moderen) hingga memperoleh gelar sarjana. Sayyid Qutb mengalami pergolakan pemikiran, dari seorang sastrawan kemudian menjadi seorang yang “fanatik” terhadap Islam sepulang dari Amerika. (Salah Abdul Fattah, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, terj. Salafuddin Abu Sayyid (Solo: Era Intermedia, 2001, h. 44). 25 ‘Alî bin Jamil al-Sâbûnî dilahirkan pada tahun 1347 H/1928 M. Seorang dosen di fakultas Syari’ah dan Dirasah Islamiyah di Makkah. Kecilnya belajar di Suria sampai tingkat Tsanawiyah. Kemudian meneruskan belajar di Universitas al-Azhar Mesir, sehingga mendapatkan gelar Lc tahun 1952. Setelah itu al-Sâbunî meneruskan belajar di Universitas yang sama dan mendapatkan gelar Magister pada tahun 1954 dalam bidang spesialisasi hukum syar’i. Dan pada tahun 1381 H, ia menyusun karya monumentalnya Safwah al-Tafâsîr. Kitab ini terdiri dari tiga juz dan mengabungkan antara model bi al-Ma’tsûr dan bi al-Ma’qûl (‘Alî al-Sâbûnî, Safwah alTafâsîr (Beirut: Dâr al-Qur’ân al-Karîm, 1981), vol.I. h. 20. 26 M. Quraish Shihab, MA. Lahir di Rappang Sulawesi Selatan, 16 Februari 1944, Beliau berasal dari keturunan Arab yang terpelajar, ayahnya bernama Abdur Rahman Shihab (19051986), alumni Jami’atul Khair. Salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pendidikan formal Quraish Shihab di mulai dari sekolah dasar di Ujung Pandang, kemudian melanjutkan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di Malang sambil nyantri di Darul Hadis al-Falaqiyyah. Untuk mendalami studi keislaman Shihab di kirim oleh ayahnya ke al-Azhar Kairo pada tahun 1958 lebih dari 40 judul buku ditulisnya, di antara karya-karyanya yang paling sering di baca dan apresiasi adalah Membumikan al-Qur’an (1994), Tafsir al-Mishbah (2003) Dia Ada Di Mana-Mana (2004) dan masih banyak lain. (Hilman Latif dan Zezen Zainal, Islam dan Urusan Kemanusiaan (Jakarta: Serambi Ilmu. 2015), h. 168). 27 Shihab, Perempuan, h. 6. 24 26 Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), Sungguh Aku tidak menyia-nyiakan amalan orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempua, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain (ali-Imran 3:195) Ayat di atas mengandung arti bahwa sebagian laki-laki berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma laki-laki dan sebagian yang lain (umat manusia yang berjenis perempuan) demikian juga halnya, dan tidak ada perbedaan diantara mereka dari segi asal kejadian serta kemanusiaannya. 28 Yang membedakan kemuliaan antara keduanya di sisi Allah hanyalah kadar ketaqwaan, bukan keturunan, suku atau jenis kelamin tertentu. Tabiat kemanusiaan laki-laki dan perempuan hampir (dapat dikatakan) dalam batasan yang sama. Allah telah menganugrahkan kepada perempuan, sebagaimana menganugrahkan kepada laki-laki, potensi yang cukup untuk memikul aneka tangung jawab.29 Meskipun demikian, Allah juga telah menetapkan kodrat pada setiap sesuatu seperti dalam QS. al-Qamar / 54: 49. إ اَّن ُك ال َش ْي ٍء َخلَ ْقنَاهُ بيَق َد ٍر “Sesungguhnya sesuatu Kami ciptakan dengan qadar” Qadar diartikan sebagai ukuran-ukuran atau sifat-sifat yang ditetapkan oleh Allah swt pada segala sesuatu. Demikian juga laki-laki dan perempuan, keduanya sebagai makhluk individu dan jenis kelamin memiliki kodratnya masing-masing,30 sehingga mempersamakan seutuhnya dua hal yang jelas berbeda juga merupakan sebuah ketidak tepatan. 28 Lebih baik bagi masyarakat untuk M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat (Jakarta: Mizan Pustaka, 1996), h. 299. 29 Shihab, Perempuan, h. 6. 7. 30 Atik Wartini, “Tafsir Feminis M. Quraish Shihab: Telaah Ayat-ayat Gender dalam Tafsir al-Misbah”, PALASTReN, Vol. VI, No. 2, (Desember 2013): h. 485. 27 menjadikan laki-laki tetap laki-laki dan perempuan tetap perempuan.31 Laki-laki dan perempuan tetaplah manusia yang sama, sebagai hamba Tuhan yang dimuliakan asal kejadiannya, namun juga berbeda. Meskipun demikian, perbedaan tersebut tidak mengurangi kedudukan salah satu pihak dan melebihkan yang lain.32 Menurut Quraish Shihab perbedaan laki-laki dan perempuan bukan hanya terletak pada perbedaan sex (jenis kelamin) yang nampak pada fisik, yang kemudian melahirkan kecenderungan psikologis tertentu, juga terdapat pada kandungan struktur biologis diantara keduanya. Struktur kromosom laki-laki dan perempuan juga berbeda. Seorang manusia yang terlahir sebagai laki-laki memiliki pasangan kromosom X dan Y, sedangkan pasangan kromosom bagi perempuan terdiri dari X dan X. Selain itu perbedaan hormonal antara laki-laki dan perempuan juga berbeda. Kadar darah merah pada perempuan lebih sedikit dibanding laki-laki, begitu juga pada kemampuan bernafas perempuan lebih rendah dari laki-laki, dan otot-ototmya tidak sekekar laki-laki.33 Paru-paru laki-laki menghirup udara lebih banyak dari perempuan,dan denyut jantung perempuan lebih cepat dari laki-laki. Hal demikian tersebut kemudian mempengaruhi kecenderungan masing-masing jenis kelamin dalam pekerjaan dan sifat. Laki-laki secara umum cenderung pada 31 Shihab, Perempuan, h. 6. Shihab, Perempuan, h. 6. 33 M. Quraish Shihab, Dia Ada Dimana-mana, Tangan Tuhan di balik Setiap Fenomena (Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2013), h. 158. 32 28 tantangan dan perkelahian. Seperti olahraga dan berburu, sedangkan perempuan cenderung pada kedamaian dan keramahan, seperti merias diri dan kecantikan.34 Kerangka di atas tersebut kemudian dijadikan Quraish Shihab dalam membangun landasan teologis dalam memandang kesetaraan dan keadilan gender. Yang kemudian menghasilkan berbagai rumusan sebagai berikut. Laki-laki dan perempuan adalah mahluk yang sama dari sisi kemanusiaan dan berhak mendapatkan berbagai bentuk perlakuan yang sama, baik dalam hak mendapatkan perlakuan hukum, belajar, mengajar, hak dibidang politik, keamanan, hak perlakuan baik dan lain-lain.35 Namun dari sekian banyak hak kesamaan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, ada pula hal-hal yang telah diatur dengan jelas dalam al-Qur’an, yang bisa jadi mengambarkan sesuatu yang tidak setara (tidak adil). Seperti. 1. Bagian anak laki-laki dalam warisan dua kali bagian perempuan. 2. Kesaksian perempuan setengah dari kesaksian laki-laki. 3. Keharusan adanya wali bagi perempuan dalam pernikahan. 4. Hak perceraian berada ditangan suami. Ketetapan hukum yang demikian itu tidak lain adalah penyesuaian yang sangat adil terhadap berbagai macam perbedaan kodrat, jati diri, fungsi serta peran baik laki-laki maupun perempuan.36 Ini semua harusnya dipahami sebagai 34 Shihab, Perempuan, h. 8-14. M. Quraish Shihab, Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual: Kumpulan Makalah Seminar (Jakarta: INIS, 1993), h. 11-16. 36 Shihab, Perempuan, h. 287. 35 29 kebijakan Tuhan dalam mementukan kemaslahatan bersama dunia dan akhirat, bukan sebagai tuduhan akan Tuhan yang maskulin. Keadilan menurut Quraish Shihab dalam hubungan manusia antar lawan jenis bisa dilihat dari penafsiranya terhadap kata tuqsitu dan ta’dilu dalam QS. alNisâ’ / 4: 3. Kedua kata tersebut diartikan sebagai adil, tetapi sebagian ulamaulama ada yang membedakan dengan mengatakan tuqsitu adalah berlaku adil antara dua orang atau lebih. Sedangkan ‘adl (adil) adalah berlaku baik terhadap orang lain maupun diri sendiri, walaupun keadilan tersebut, bisa saja tidak menyenangkan salah satu pihak.37 Pengertian di atas bisa mengindikasikan bahwa menurut Quraish Shihab relasi yang adil lintas jender bukanlah berbicara tentang persamaan dan kesamaan dalam segala hak, melainkan pada penganugrahan peran, fungsi yang proporsional dan menugaskan masing-masing sesuai kemampuannya.38 Boleh jadi rumusan yang demikian itu tidak disukai lantaran mendiskreditkan jenis kelamin tertentu. Tetapi ketetapan Tuhan tetaplah KetetapanNya, manusia boleh saja tidak menyukainya padahal itu teramat baik baginya, sedangkan bisa saja manusia sangat menyukainya padahal itu teramat buruk bagi Tuhannya. Menurut ‘Alî al-Sâbûnî perbedaan laki-laki dan perempuan hanya terdapat pada ranah praktis, bukan pada wilayah spiritual, misalnya dalam hal talak, sekalipun suami memiliki satu tingkatan lebih tinggi dari istrinya, istri juga tetap memiliki hak sebagaimana halnya laki-laki yaitu: seperti bergaul dengan baik, 37 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan dan Keserasian al-Qur’an Vol, 2. (Tangerang Selatan: Lentera Hati. 2007), h. 337. 38 M Quraish Shihab, Perempuan, h. 6. 30 melenyapkan kemadharatan dll. Jadi meski laki-laki memiliki keistimewaan, hal ini hanya diperuntukan pada aspek pemberian nafkah dan kepemimpinan sebuah keluarga, bukan derajat kemuliaan.39 Sedangkan menurut Sayyid Qutb, yang dimaksud hak seimbang seorang istri dengan kewajibannya dalam surah al-Baqarah ayat 228 adalah hak menerima nafkah, dan yang dimaksud dengan kewajiban adalah kewajiban menahan diri dan tidak menyembunyikan apa apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya. Agar terlihat jelas, kehamilan atau tidaknya. Sedangkan yang dimaksud para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari istrinya. Konteks ayat ini dimaksudkan pelebihan dalam merujuki istrinya, hak ini diberikan kepada suami karena suami yang menjatuhkan talak, tidak masuk akal jika suami yang menjatuhkan talak namun yang diberikan hak rujuk adalah istri. Sehingga dapat dipadami bahwa pelebihan laki-laki satu tingkat diatas perempuan tersebut sifatnya khusus, bukan bersifat umum seperti yang dipahami kebanyakan orang dan dijadikan dalil yang tidak pada tempatnya.40 Sedangkan Qutb ketika mesepon QS. al-Baqarah / 2: 282. Tentang persaksian laki-laki dan perempuan. Pengutamaan kaum laki-laki dalam menjadi saksi dari pada perempuan dikarnakan faktor struktur fungsional, dimana pada umumnya laki-laki yang banyak melakukan transaksi dan perjanjian dalam masyarakat normal. Di mana perempuan tidak perlu bekerja untuk membiyayai hidupnya, jika perempuan terpaksa bekerja, maka dimungkinkan perempuan telah 39 ‘Alî al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr. tarj, KH. Yasin (Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2010),. vol.1, h. 298. 40 Sayyid Qutb, Fî Zilâl al-Qur’ân. Terj. Aunur Rafiq Shaleh Tamhid Vol. 2 ( Jakarta: Rabbani Press 2001), . Vol. 1. h. 745. 31 merusak sifat keibuan dan kewanitaanya. Serta mengabaikan tugas utamanya. Sistem yang demikian juga didesain untuk meminimalisir kelupaan perempuan, dikarenakan kurangnya pengalaman sehingga dia tidak memahami seluruh rincian sistem perjanjian.41 Menurut ‘Alî al-Sâbûnî, alternatif lain yang dimungkinkan dalam menggantikan persaksian dua orang laki-laki adalah satu orang laki-laki dan dua orang perempuan, dalam hal ini tidak dapat dinilai sama antara satu laki-laki dengan dua orang perempuan, yang memungkinkan diadakannya pergantian menjadi empat orang perempuan, jika tidak ditemukan seorang laki-laki. Karena pada umumnya ingatan perempuan kurang mumpuni, sehingga kehadiran satu laki-laki dibutuhkan sebagai penginggat dua perempuan.42 Sedangkan dalam hal pembagian pusaka waris ‘Alî al-Sâbûnî tidak banyak berkomentar, menurutnya pembagian harta waris yang ditetapkan perinciannya oleh Allah adalah amanat dalam ketentuan waris supaya yang pemberi waris bisa berbuat adil terhadap anak-anaknya. Dan hukum-hukum tersebut merupakan syariat Allah yang telah ditentukan supaya hambanya mengamalkan dan tidak melampaui batas.43 Sayyid Qutb mengatakan, ketetapan dalam hukum waris tersebut bukan mengisyaratkan bahwa al-Qur’an bersifat pilih kasih terhadap laki-laki dan mengalahkan perempuan. Melainkan menyangkut masalah keseimbangan dan keadilan dalam pembentukan keluarga dan dalam sistem sosial Islam. Karena laki-laki menikah dengan seorang perempuan dan berkewajiban menghidupi anak 41 Sayyid Qutb, Fî Zilâl al-Qur’ân. Terj. vol. 2, h. 123. 124. Al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, tarj, Vol.1. h. 377. 43 Al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, tarj, Vol.1. h. 607 42 32 istrinya dalam segala keadaan, baik ketika bersamanya atau ketika diceraikan darinya. Wanita tidak berkewajiban memberi nafkah kepada suami dan anakanaknya, sehingga wajar jika laki-laki menerima dua kali bagian perempuan. Oleh sebab itu, ketetapan ini mengisyaratkan sebuah sistem yang harmoni lagi berkeadilan. Sekaligus pembagian yang bijaksana.44 3. Konsep Keadilan dan Kesetaraan Jender Menurut Aktivis Jender: Riffat Hassan,45 dan Musda Mulia46 Dalam mengawali pembahasan tentang konsep kesetaraan gender Riffat Hasan memulai landasan teologisnya dengan kajian tentang asal mula penciptaan manusia, sebab menurutnya akar persoalan kesetaraan dan ketidaksetaraan lakilaki dan perempuan dimulai dari konsep penciptaan perempuan.47 Menurutnya Allah menciptakan perempuan dan laki-laki setara, mereka diciptakan secara serempak dan sama dalam substansinya, sama pula caranya, dan 44 Sayyid Qutb, Fî Zilâl al-Qur’ân. Terj. Vol 2, h. 675. Riffat Hassan adalah seorang feminis Muslimah kelahiran Lahore, Kota tua di Negara Islam Pakistan pada tahun 1943, belum ada informasi yang jelas terkait kapan Riffat dilahirkan, yang jelas ia berasal dari keluarga Sayyid (gelar kehormatan bagi orang-orang yang merupakan keturunan Nabi) kelas atas, ia adalah salah seorang putri dari sembilan bersaudara. Ayahnya biasa dipanggil “Bagum Shahibah”, sementara ibunya merupakan anak dari seorang penyair, dramawan dan ilmuwan terkemuka, bernama Hakim Ahmad Shuja. Riffat di besarkan dari keluarga yang sangat tradisional dan patriarkhi sejati, sehingga sangat wajar jika pemikiran Riffat menolak dengan tegas kesewenang-wenangan laki-laki atas perempuan, terbukti dengan upayanya dalam memahami Hadits-Hadits yang Bernada misoginis. (Riffat Hassan, “Feminisme dan al-Qur’an”, Jurnal Ulumul Qur’an. No. 09, Vol. II, Tahun 1991, h. 86). 46 Musdah Mulia, 3 Maret 1958 kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, Musda merupakan anak pertama dari 6 bersaudara dari pasangan Mustamin Abdul Fatah dan Buaidah Achmad. dikenal sebagai aktivis feminisme Indonesia. Doktor di bidang pemikiran politik Islam UIN Syarif Hidayatullah ini dikenal luas ketika mengusung “Buku Pembaruan Hukum Islam : Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (KHI)” atas nama Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama, yang akhirnya menimbulkan kontroversi di masyarakat karena kental nuansa feminisnya. Muara dari draft KHI- yang akhirnya gagal-tersebut sarat dengan ide-ide feminisme, gender, pluralisme, ham dan demokrasi. (Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaharu Keagamaan (Bandung: Mizan Media Utama, 2005). 47 Mutrofin, Kesetaraan Gender dalam Pandangan Amina Wadud dan Riffat Hassan, Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol III, No I (Juni, 2013), h. 254. 45 33 dalam ibadah keduanya mempunyai pahala yang sama.48 Tetapi pada kenyataannya masih terjadi kesenjangan antara ideal normatif dengan historis empiris-realistis.49 Salah satunya adalah penafsiran mengenai versi tulang rusuk yang kemudian membangun asumsi, bahwa perempuan pertama (Hawa) diciptakan dari laki-laki (tulang rusuk Adam) dan karena itu kedudukan perempuan tidak setara dengan laki -laki. Yang dikemudian hari melahirkan angapan bahwa laki-laki menguasai perempuan.50 Bagi Riffat fakta diatas merupakan sesuatu kekeliruan teologis. Al-Qur’an sendiri tidak memuat sekalipun konsep penciptaan perempuan ala kitab kejadian. Persepsi tentang perempuan yang bersifat diskriminatif dalam tradisi Islam tidak berakar pada al-Qur’an (sumber tertinggi Islam) tapi pada Hadits. Pemahaman tersebut termuat dalam banyak kitab dengan redaksi yang berbeda-beda dengan maksud yang sama.51 Salah satunya adalah hadits yang terdapat pada jâmi’ alSahîh nya al-Bukhari. ٍ ي ي ي الضلَ يع أ َْع ََلهُ فَيإ ْن ِت يم ْن يضلَ ٍع َوإي ان أ َْع َو َج َش ْيء يف ي ْ صوا يِبلنِ َساء خريا فَيإ ِن َن ُخل َق ْو ُ استَ ْو ذَهب ي صوا يِبلنيِ َس ياء خريا َ َْ ْ َيمهُ َك َس ْرتَهُ َوإي ْن تََرْكتَهُ َلْ يََزْل أ َْع َو َج ف ُ استَ ْو ُ ت تُق " perlakukan perempuan dengan baik, karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk dan bagian yang bengkok dari tulang rusuk adalah bagian teratas, maka jika engkau coba meluruskannya, ia akan patah, tetapi jika engkau membiarkannya sebagaimana adanya, ia akan tinggal bengkok. Karena itu perlakukanlah perempuan dengan baik."52 48 Mutrofin, Kesetaraan Gender, h. 257. Putut Ahmad Su’adi, Pemikiran Fazlur Rahman dan Riffat Hasan Tentang Kesetaraan Gender dalam Islam. Skripsi, Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas Adab. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008), h. 128. 50 Komaruddin Hidayat, dll. Agama dalam Dialog, Pencerahan Perdamaian dan Masa Depan (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2003), h. 452. 51 Hidayat, dll. Agama dalam, h. 450. 52 Muhammad bin Ismail al-Bukhari “Sahih al-Bukhârî” hadits ke 5185 (Ttp: h. 1073) 49 34 Dari bunyi hadits tersebut kemudian hampir semua kaum muslimin percaya bahwa perempuan pertama (hawwa) diciptakan dari tulang rusuk adam, 53 Pemahaman tersebut kemudian menjadikan seolah-olah kepustakaan hadits telah mengantikan tempat ajaran al-Qur’an sendiri, paling tidak sejauh menyangkut isu penciptaan perempuan. 54 sebuah analisis Terhadap diskripsi al-Qur’an tentang penciptaan perempuan menunjuk bahwa Al-Quran menggunakan istilah dan perumpamaan dalam konteks baik feminim ataupun maskulin untuk memberi gambaran bahwa penciptaan manusia berasal dari sumber tunggal. Seperti bunyi ayat: “wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. (Q.S. al-Nisâ’ / 4:1).55 Dari ayat di atas kemudian dipahami Riffat bahwa al-Quran tidak mengadakan pembedaan antara penciptaan laki-laki dan perempuan. Keteranganketerangan tersebut secara implisit terkandung dalam banyak surat lagi. 53 Hidayat, dll. Agama dalam, h. 450. Fatima Mernissi, Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah (Yogyakarta: LSPPA (Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak, 2000), hal. 77. 55 Al-Qur’an surah an-Nisa 4: 1. cet, Kementrian Agama thn 2012, h. 99. 54 35 Menurut Riffat Jika diihat lebih dalam lagi, sebenarnya ide-ide dan sikapsikap negatif terhadap perempuan yang ada dimasyarakat muslim pada umumnya berakar pada teologi, kendatipun nantinya ada perbaikan-perbaikan secara statistik baik seperti dalam hak-hak pendidikan, pekerjaan dan hak-hak sosial serta politik, perempuan akan tetap diperlakukan secara kasar dan diskriminatif jika landasan teologisnya tetap misoginis dan tidak dibongkar dalam tradisi Islam. Perempuan tidak akan berkembang sepenuhnya atau menjadi manusia seutuhnya, manusia yang bebas dari ketakutan dan rasa bersalah, bisa berdiri sejajar dengan laki-laki dalam pandangan Tuhan.56 Secara spesifik Riffat tidak dengan jelas menyingung bagaimana pandangannya tentang keadilan dalam relasi laki-laki dan perempuan. Kesimpulan dari pemikiran Riffat menunjukan bahwa laki-laki dan perempuan telah diciptakan setara oleh Allah, sebab jika laki-laki dan perempuan telah diciptakan setara oleh Allah sebagai penentu nilai-nilai tertinggi, maka dikemudian hari tidak bisa berubah menjadi tidak setara, begitu juga sebaliknya.57 Sedangkan Bagi Musda Mulia kehadiran Islam sendiri membawa angin segar pembaharuan dalam relasi hubungan laki-laki dan perempuan secara adil, sepertihalnya larangan memperlakukan perempuan seperti benda yang dikendalikan oleh orang tau dan keluarganya yang laki-laki, dalam hal pernikahan, perempuan harus dilibatkan untuk dimintai pendapat ketika hendak 56 57 Fatima Mernissi, Riffat Hassan, Setara di, h. 49. Fatima Mernissi, Riffat Hassan, Setara di, h. 55. 36 dinikahkan.58 Demikian yang terjadi pada masa Nabi, ketika putrinya hendak dilamar seseorang, Nabi meminta pendapat putrinya terlebih dulu. Keadilan dalam al-Qur’an juga bisa dilihat dari pemberian hak kepada perempuan yang hendak dinikahi dalam menentukan sendiri maskawin yang dikehendakinya.59 Dan harta prerogative tersebut tidak dapat diutak-atik oleh suaminya, baik setelah ketika perempuan masih menjadi istrinya, ataupun sudah diceraikannya.60 Keadilan yang lain juga bisa didapati pada persoalan perceraian, bagi perempuan yang dicerai oleh suaminya, masih berhak atas nafkah dan tempat tinggal serta tidak boleh disakiti baik fisik maupun psikis. Keadilan juga bisa dirasakan oleh perempuan diranah publik, seperti akses dalam aktivitas mencari ilmu, mencari nafkah, melakukan transaksi, bahkan aktivitas politik, asal semua itu dilakukan dengan cara yang terhormat lagi bermartabat. 61 Demikianlah keadilan reformasi Hukum Islam yang dibawa oleh alQur’an, keadilan memang tidak menafikan perbedaan diantara laki-laki dan perempuan, namun keadilan juga tidak dapat dijadikan alasan untuk membedabedakan suatu jenis kelamin tertentu.62 58 Musda Mulia, Indahnya Islam Menyuarakan Kesetaraan dan Keadilan Gender ( Yogyakarta: Nauvan Pustaka, 2014), h. 21. 59 Musda, Indahnya Islam, h. 21. 60 An-Nisa, 4: 20. 61 Musda, Indahnya Islam, h. 26. 62 Musda, Indahnya Islam, h. 28. BAB III PEMIKIRAN DAN BIOGRAFI AMINA WADUD A. Biografi Amina Wadud Amina Wadud terlahir dengan nama Maria Teasley. Beliau dilahirkan di Maryland, Amerika pada 25 September 1952. Nama orang tuanya tidak diketahui, namun bapaknya adalah seorang pendeta yang taat. Beliau mengakui bahwa beliau tidak begitu dekat dengan ayahnya dan ayahnya tidak banyak mempengaruhi mendapatkan pandangannya. Dalam usianya 20 tahun beliau Hidayah. Ketertarikannya terhadap Islam, khususnya dalam masalah konsep keadilan dalam Islam, mengantarkannya untuk mengucapkan dua kalimah syahadah setelah menikah dengan seseorang laki-laki muslim,1 pada hari yang ia namakan “Thanks giving day”, tahun 1972. I did not enter Islam with any eyes closed againts structure and personal experiences of injustice that continue to exist. In my “personal transition,”most often called conversion, however, I focused with hope and idealisme to find greater acces to Allah as al-Wadud, the Loving God of Justice.2 Walaupuan Amina Wadud sseorang mukallaf, namun ketekunan dalam melakukan studi keislaman, ia menjadi Guru Besar Studi Islam pada jurusan Filsafat dan Agama di Universitas Virginia Comminwealth. Ia menyelesaikan studi di Universitas Michigan dan mendapat gelar MA (1982) dan Ph. D (1988). 1 Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Kaukaba, 2013), h. 78. 2 Lihat Amina Wadud, Inside The Gender Jihad Women’s Reform In Islam, (England: Oneworld Oxford), h. 2. 37 38 Selain bahasa Inggris, Amina Wadud juga menguasai beberapa bahasa lain seperti Arab, Turki, Spanyol, Prancis dan German. Maka tidak mengherankan bila ia sering mendapatkan kehormatan menjadi dosen tamu pada universitas di beberapa negara. Antara lain: Universitas Commonwealth, Virginia: Asisten Profesor di Lembaga Studi Filsafat & Agama, tahun 1992 – 1997, 1998 dan menjadi Profesor penuh pada tahun 1999. Fakultas Ketuhanan Harvard Cambridge, sebagai dosen Magister Studi Wanita di Lembaga Penelitian Program Agama & menjadi Dosen Terbang, 1997-1998. Universitas Islam Internasional; Asisten Profesor di Lembaga Pengetahuan & Peninggalan Islam Wahyu, 1989-1992. Universitas di Michigan; Asisten Riset Pengembangan Bahan-Bahan Pengajaran Bahasa Arab, 1984-1986. Dan masih banyak lagi. Dalam beberapa organisasi ia pun memiliki jabatan penting, di antaranya:3 1. Anggota Akedemi Agama Amerika (AAOR), 1989-2001 2. Anggota Dewan Konggres WCRP, 1999-2004 3. Anggota Eksekutif Komite WCRP, 1992-2004 4. Anggota inti SIS (Sister in Islam) Forum Malaysia tahun 1989 5. Editor Gender Issu pada Jurnal “The American Muslim” 1994-1995. 6. Editor Jurnal “Lintas Budaya” Virgia Commenwealth University, 1996. 7. Editorial Jurnal “Hukum dan Agama”, 1996-2001 8. Instruktur pada lembaga kursus Studi Islam untuk Dewasa di Islamic Community Center of Philadelphia; 1982-1984. 9. Ketua Komite Gabungan Peneliti Studi Agama dan Studi tentang Amerika- Afrika, 1996-1997. 3 Lihat pada e-mail: [email protected]. 39 10. Ketua Koordinator Komite Perempuan (WCC), 1999-2004 11. Pembawa Acara di sebuah stasiun televisi pada acara “Focus on alIslam”, 1993-1995. Wadud termasuk tokoh feminis muslim yang cukup produktif, walaupun ia baru menulis dua karya ilmiah dalam bentuk buku, namun ia sudah banyak menulis puluhan bahkan ratusan dalam bentuk artikel yang dimuat dalam beberapa jurnal, seminar-seminar, dan beberapa proposal research (proposal penelitian) dalam bidang perempuan, gender, agama, pluralisme dan kemanusiaan. Karya-karya tersebut antara lain; A. Buku ● Amina Wadud Muhsin, Qur’an and Women: Rereading the Sacred Text form a Women’s perspective, (Oxford University Press: 1999). ● Amina Wadud Muhsin, Inside The Gender Jihad Women’s Reform In Islam, (England: Oneworld Oxford) B. Artikel ● Alternatif Penafsiran Terhadap Al-Qur’an dan Strategi Kekuasaan Wanita Muslim, dalam buku “Tirai Kekuasaan: Aktivitas Keilmuan Wanita Muslim”, Editorial Gisela Webb, Syracuse University Press, 1999. ● Gender, Budaya dan Agama: Sebuah Perspektif Islam, dalam buku “Gender, Budaya dan Agama: Kesederajatan di Hadapan Tuhan dan Ketidak sederajatan di Hadapan Laki-laki”, Editorial Norani Othman dan Cecilia Ng, Persatuan Sains Sosial, Kuala lumpur Malaysia, 1995. ● Mencari Suara Wanita dalam al-Qur’an, dalam Orbis Book, SCM Press, 1998. 40 ● Muslim Amerika; Etnis Bangsa dan Kemajuan Islam, dalam buku “Kemajuan Islam; Keadilan, Gender dan Pluralisme” Editorial Omid Safi, Oxford: One World Publication, 2002. ● Parameter Pengertian al-Qur’an terhadap Peran Perempuan dalam Konteks dunia Modern, dalam Jurnal “Islamic Quarterly”, edisi Juli, 1992. ● Kesepahaman Muslim-Kristen, Georgetown University, Washington DC. ● Qur’an, Syari’ah dan Hak Politik Wanita Muslim, makalah Simposium “Hukum Syari’ah dan Negara Modern” Kualalumpur Malaysia, 1994. ● Wanita Muslim antara Kewarganegaraan dan Keyakinan, dalam Jurnal “Women and Citizenship”. ● Wanita Muslim sebagai Minoritas, dalam “Journal of Muslim Minority Affairs”, London, 1998. ● Ayat 4:34; Sebuah Konsep Kedinamisan Hubungan antara Perempuan dan Laki-laki dalam Islam, dalam Malaysian Law News, Edisi Juli, 1990.4 Dari pergumulan sebagai aktivis perempuan dalam upaya memperjungkan keadilan gender, ia berpendapat bahwa selama ini sistem relasi laki-laki dan perempuan di banyak negara sering kali mencerminkan adanya bias patriarkhi sehingga mereka kurang mendapat keadilan yang proporsional. Karya-karya Amina Wadud tersebut merupakan bukti kegelisahan intelektualnya mengenai ketidakadilan di masyarakat. Maka ia mencoba melakukan rekonstruksi metodologis tentang bagaimana menafsirkan al-Qur’an agar dapat menghasilkan sebuah penafsiran yang sensitif gender dan berkeadilan. 4 Mutrofin, “Kesetaraan Gender dalam Pandangan Amina Wadud dan Riffat Hassan”. Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol III , No 1. Juni 2013, h. 240. 41 B. Pemikiran Amina Wadud (Hermeneutika Tauhid) Adapun yang dimaksud dengan model hermeneutika adalah salah satu bentuk metode penafsiran yang dalam pengoprasiannya dimaksudkan untuk memperoleh kesimpulan makna suatu teks atau ayat, Disini Wadud menawarkan hermeneutika kritisnya yang cukup berbeda dengan yang lainnya, meskipun hermenutika ini diklaim “baru”, tapi dengan penuh kejujuran, Wadud mengakui bahwa ia terinspirasi dan bahkan sengaja mengggunakan metode yang pernah ditawarkan oleh Fazlur Rahman.5 Dengan jujur Amina Wadud Muhsin katakan: Thus, I attempt to use the method of Qur’ᾱnic interpretation proposed by Fazlur Rahman ( Pakistan United Stated 1919-1988)6 yaitu “ Hermenutika Tauhid” adalah cara memahami al-Qur’an dengan mengunakan tiga model pendekatan. Yaitu:7 1. Dalam konteks apa al-Qur’an diwahyukan. Hal ini bisa dipahami sebagai asbab al-Nuzul sebuah ayat ataupun surat. 2. Komposisi gramatikal teks (bagaimana al-Qur’an menuturkan pesan yang dinyatakan). 3. Bagaimana bunyi teks secara keseluruhan. Weltanschaung atau pandangan dunianya. sehingga bisa dipahami sebuah pemahaman yang utuh. Secara perinci aktivitas di atas diuraikan sebagai berikut; 1) ayat yang hendak diinterpretasi harus dicarikan konteks-konteks yang meliputinya baik bersifat mikro maupun makro, 2) selanjutnya, ayat tersebut harus diletakkan dalam tema-tema yang sama yang ada di dalam al-Qur’an untuk dikomparasi dan 5 Amina Wadud. Quran Menurut Perempuan h. 19. M. Masrur dalam buku M. Yusron, Dkk, Studi Kitab Tafsir Kajian Kontemporer, (Yogyakarta: Teras, 2006), h. 88. 7 Amina Wadud. Quran Menurut Perempuan, h. 19. 6 42 dianalisis, 3) kemudian, bahasa dan struktur sintaksis yang sama yang ada di dalam al-Qur’an harus juga dianalisa, 4) selanjutnya, perlu juga menganalisa ayat tersebut dengan prinsip-prinsil al-Qur’an yang menolaknya.8 Seringkali perbedaaan pendapat di antara para pakar berawal dari perbedaan penekanan terhadap salah satu dari ketiga aspek di atas.9 Salah satu dari tujuan hermeneutika kritis tauhidnya adalah menjelaskan dinamika antara hal-hal yang univesal dan partikular dalam al-Qur’an. Wadud mengelompokkan tafsīr-tafsīr tentang perempuan menjadi tiga kategori:10 1. Metode Tradisional Menurut Wadud model tafsir ini menggunakan pokok bahasan tertentu sesuai dengan minat dan kemampuan mufassirnya, seperti hukum (fiqih), nahwu, shorof, sejarah, tasawuf dan lain sebagainya. meski semua penekanan ini bisa menimbulkan perbedaan, namun terdapat kesamaan diantara karya-karya ini yaitu dengan metodelogi atomistik. Mungkin saja ada pembahasan mengenai hubungan antara ayat satu dengan ayat yang lainnya. Namun, ketiadaan metode hermeneutika atau metodelogi yang menghubungkan antara ide, struktur sintaksis, atau tema yang serupa membuat pembacanya gagal menangkap weltanchaung alQur’an. Lebih lanjut menurut Wadud, tafsir model tradisional ini terkesan eksklusif, ditulis hanya oleh kaum laki-laki. Tidaklah mengherankan kalau hanya kesadaran dan pengalaman kaum pria yang diakomodasikan di dalamnya. Padahal mestinya pengalaman, visi dan perspektif kaum perempuan juga harus masuk di 8 M. Rusydi. “Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam al-Qur’an Menurut Amina Wadud”, Jurnal MIQOT. Vol. XXXVIII No. 2. Juli-Desember 2014, h. 282. 9 Amina Wadud. Quran Menurut Perempuan h. 19. 10 Amina Wadud. Quran Menurut Perempuan, h. 16-18. 43 dalamnya, sehingga tidak terjadi bias patriarki yang bisa memicu dan memacu kepada ketidakadilan gender dalam kehidupan keluarga atau masyarakat.11 2. Tafsir Reaktif, Yaitu tafsir yang berisi reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah hambatan yang dialami perempuan yang dianggap berasal dari al-Qur’an. Persoalan yang dibahas dan metode yang digunakan seringkali berasal dari gagasan kaum feminis dan rasionalis,12 yang melihat keterpasungan perempuan sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat yang dilekatkan dengan alQur’an. Dalam kategori inilah banyak perempuan atau orang yang menentang kuat pesan al-Qur’an (atau lebih tepatnya, islam). Mereka menggunakan status perempuan yang lemah dalam masyarakat muslim sebagai pembenaran atas “reaksi” mereka.13 Namun, reaksi mereka juga tidak mampu membedakan antara penafsiran dan teks al-Qur’an. Tujuan yang ingin dicapai dan metode yang digunakan sering kali berasal dari cita-cita dan pemikiran kaum feminis. tapi tanpa dibarengi analisis yang komprehensif terhadap ayat-ayat yang bersangkutan menyebabkan mereka memperbaiki kedudukan perempuan berdasarkan alasanalasan yang sama sekali tidak sejalan. 3.Tafsir holistik Tafsir holistik adalah tafsir yang menggunakan metode penafsiran yang komprehensif dan mengaitkannya dengan berbagai persoalan sosial, moral, 11 Amina Wadud. Quran Menurut Perempuan, h. 16-17. Andik Wahyun Muqoyyidin, “Wacana Kesetaraan Gender: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Gerakan Feminisme Islam”, Jurnal Al-Ulum. Vol. 13. No, II, Desember 2013, h. 505. 13 Amina Wadud. Quran Menurut Perempuan, h. 17. 12 44 ekonomi, plotik, termasuk isu-isu perempuan yang muncul di era modernitas.14 Dalam kategori inilah Wadud memposisikan karyanya. Kategori ini relatif baru, dan belum ada kajian substansial yang secara khusus membahas isu perempuan dari sudut pandang keseluruhan al-Qur’an dan prinsip-prinsip utamanya. Wadud bermaksud menyusun “pembacaan” al-Qur’an berdasarkan pengalaman perempuan, tanpa melibatkan steorotipe yang sudah menjadi kerangka penafsiran laki-laki. Tak pelak lagi, pembacaan seperti ini akan bertabrakan dengan sebagian kesimpulan yang telah ada. Karena Wadud sedang menganalisis teks al-Qur’an, bukan tafsirnya. Meski demikian menurut Wadud tidak ada metode penafsiran al-Qur’an yang benar-benar objektif. Setiap mufasir menetapkan beberapa pilihan subjektif, Uraian tafsir mereka sebagian mencerminkan pilihan subjektif itu dan tidak selalu mencerminkan maksud dari teks yang mereka tafsirkan.15 14 Nor Saidah. “Bidadari dalam Konstruksi Tafsir al qur’an: Analisis Gender atas Pemikiran Amina Wadud Muhsin dalam Penafsiran Al Qur’an”. PALASTREN, Vol. VI, No. 2, Desember 2013, h. 457. 15 . Amina Wadud. Quran Menurut Perempuan, h. 16. BAB IV KRITIK TERHADAP PENAFSIRAN AMINA WADUD TENTANG KONSEP KEADILAN Permasalahan mengenai jender sudah terjadi sekian lama. Perdebatan tentang laki-laki dan perempuan apakah berbeda ataukah sama, berbeda untuk sebagaian kasus dan sama dalam kasus yang lain ataukah laki-laki dan perempuan sesungguhnya sama dalam segala hal. Perdebatan semacam ini memang tidak ada habisnya, persoalan yang demikian adanya kemudian menggerakkan para pakar untuk merumuskan alternatif terbaik dalam merespon keduanya, dengan menghadirkan pemikiran tentang kesetaraan dan keadilan jender. Bagi para ulama dan pemikir muslim, landasan teori dalam menghasilkan dua jenis pemikiran tersebut sama-sama bersumber dari Al-Qur’an, hadits nabi dan pendapat-pendapat ilmiah lainnya. Perdebatan yang demikian tersebut sebenarnya tidak menjadikan masalah selama tidak berdampak negatif terhadap struktur kemasyarakatan dan tatanan sosial yang egaliter. Pada kenyataannya, yang terjadi di masyarakat perbedaan fungsi dan peran sosial dipandang negatif, sebab akan berimplikasi terhadap kesewenang-wenangan laki-laki atas perempuan.1 Wacana tentang keadilan jender dimulai Wadud dengan pertanyaanpertanyaan dasar yang menetapkan basis paradigmatik bagi makna kemanusiaan. Pertanyaan-pertanyaan seperti; apakah perempuan sama dengan laki-laki; berbeda 1 Ansori, Penafsiran Ayat-ayat Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab (Jakarta: Visindo Media Pustaka. 2008), h. 1. 45 46 atau tidak identik; sama dan tidak sederajat, berbeda dan sederajat2, berbeda dan tidak sedrajat ataukah sama dan sederajat. Berbagai pertanyaan di atas, Wadud cenderung memilih antara laki-laki dan perempuan memiliki beberapa perbedaan, namun perbedaan-perbedaan tersebut tidak terkait dengan hal-hal dasar.3 Perbedaan dasar di sini sering diartikan sebagai perbedaan unsur kemanusiaan, ketakwaan, dan potensi spiritual diantara keduanya.4 Wadud sendiri berpendapat bahwa perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang terekam dalam al-Qur’an bertujuan untuk membangun hubungan fungsional yang harmonis, saling mendukung dan menjadikan masyarakat berjalan lancar dalam memenuhi kebutuhannya. Namun al-Qur’an tidak mendukung peran tunggal, tentang seperangkat peran yang dikhususkan untuk laki-laki, dan bagi perempuan di semua tempat.5 Seperti halnya ayat yang menerangkan tentang Qawâm-nya laki-laki atas perempuan, bagi Wadud Qawâm-nya laki-laki atas perempuan tersebut bukan berarti tanpa syarat, Qawâm-nya laki-laki atau dalam hal ini berarti suami ditentukan atas apa yang mereka nafkahkan untuk membiayai hidup perempuan (istri), berbanding lurus dengan ketetapan pelebihan materi dalam hal waris. Ini menunjukkan adanya hubungan timbal balik, antara hak istimewa berupa 2 Wadud, Quran Menurut, h. 180. Wadud, Quran Menurut, h. 25. 4 Lihat, Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender (Jakarta: Paramadina 2014) 5 Wadud, Quran Menurut, h. 28. 3 47 pelebihan materi dan tangung jawab pemberian nafkah. Meski demikian Wadud menilai pelebihan seperti itu tidak bersifat mutlak, hanya saja lebih disukai. 6 Pemahaman di atas mengindikasikan bahwa adanya ketetapan yang adil menyangkut pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam al-Qur’an. Hal ini akan berdampak pada pemahaman, ketetapan persaksian, talaq dan saksi, yang akan dibahas selanjutnya. A. Contoh Ayat yang Berbicara Tentang Keadilan Jender 1. Ayat Tentang Kadar Pembagian Harta Waris7 Antara Laki-Laki dan Perempuan (QS. Al-Nisâ’ / 4:11, 12, 176) Sebelum membahas tentang prinsip-prinsip keadilan dalam rincian sistem kewarisan, al-Qur’an terlebih dulu menetapkan prinsip-prinsip umum sebagai upaya pemberian hak-hak perempuan dan anak-anak yang terampas dan terzalimi semasa Jahiliyah. 8 ِ ص ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ يب ِِمَّا تَ َرَك الْ َوالِ َد ِان َو ْاْلَقْ َربُو َن ٌ يب ِمَّا تَ َرَك الْ َوال َدان َو ْاْلَقْ َربُو َن َوللن َساء نَص ٌ َل ِلر َجال ن ِ ِ ِ وضا ً ِمَّا قَ َّل مْنهُ أ َْو َكثَُر نَصيبًا َم ْف ُر Artinya: Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagian perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan 6 Wadud, Quran Menurut, h. 122. Ketentuan bagian warisan dalam Islam didasarkan pada beberapa faktor. Pertama, tingkat kekerabatan ahli waris (baik laki-laki atau perempuan) dan orang yang meninggal. Semakin dekatnya hubungan kekerabatan, maka semakin besar bagian warisan yang diterima. Kedua, kedudukan tingkat generasi. Generasi muda dari kalangan pewaris yang masa depannya masih panjang terkadang memperoleh bagian yang lebih besar diabanding generasi tua, tanpa memandang kelelakiannya atau kewanitaannya. Tiga, tanggung jawab untuk menanggung kehidupan keluarga. Poin inilah yang terkadang membedakan bagian hak waris antara laki-laki dan perempuan, walau berada pada tingkat kekerabatan yang sama. Sebab kedudukan anak laki-laki menanggung nafkah istri dan keluarganya. Sedang perempuan tidak dibebankan tanggung jawab tersebut. Lihat, Muhammad Imarah, Pengantar dalam Shalahuddin Sûltan, Mirats al-Mar’ah wa al-Qadiyyah al-Musawah. (Kairo: Dâr Nahdrah Misr, 1999), h. 4. 8 Quthb, Fi Zilalil, h.667. 7 48 kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (QS. Al-Nisâ’ / 4: 7) Prinsip-prinsip umum yang di atas tersebut kemudian diperinci lagi menjadi beberapa bagian, bagian untuk seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan seperti yang tertera dalam surah QS. al-Nisâ’ / 4:11. ِ ِ ْ َلذ َك ِر ِمثْل َح ِظ ْاْلُنْثَي َّ ِاَّلل ِِف أ َْوََل ِد ُكم ل ْي ْ َُّ يُوصي ُك ُم ُ Artinya: Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian harta waris untuk) anak-anakmu, (yaitu) pembagian seorang anak lakilaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Pembagian dua banding satu yang demikian tersebut meskipun cocok dengan jumhur mufasir namun bagi sebagian lain struktur yang demikian dinilai kurang mencerminkan rasa keadilan, jika didialogkan dengan masa sekarang, di mana peran perempuan hampir setingkat dengan laki-laki sebagai pencari nafkah, untuk menunjang kebutuhan pokok yang semakin tidak terjangkau jika hanya menjadi beban satu orang saja. 9 Bagi Wadud pembagian harta waris yang demikian itu (dua banding satu) bukanlah satu-satunya model pembagian harta waris dalam Islam, melainkan salah satu tawaran dari beberapa penetapan proporsional yang bisa dilakukan. 10 Menurut Munawir Sjadzali, formula pembagian dua banding satu pada kasus waris di atas tidak lagi mencerminkan semangat keadilan. 11 Asghar Ali Engineer juga menyatakan bahwa pembagian warisan sebagaimana tertera pada ayat di atas 9 Arif Subhan, dkk, Citra Perempuan dalam Islam Pandangan Ormas Keagamaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 44. 10 Wadud, Quran Menurut, h.150. 11 Arif Subhan, dkk. Citra Perempuan, h. 43. 49 12 bukanlah ketetapan yang final. Artinya ketetapan warisan dua banding satu (2:1) itu dapat berubah menjadi satu banding satu. (1:1) Pembagian ini (1:1) pada masa Nabi SAW tidak dilakukan dengan alasan sistem yang dianut kala itu masih bersifat patriarkal. Di samping itu, bila dilihat dari aspek sosial ekonomi saat itu, beban keluarga atau nafkah sepenuhnya menjadi tanggung jawab laki-laki, sehingga perolehan harta laki-laki harus lebih banyak. Inilah latar sosial yang melahirkan rumusan dua banding satu (2:1). 13 Bila saat ini banyak perempuan sudah bekerja dan tidak jarang dari mereka menjadi tulang punggung keluarga, maka pembagian tersebut (2:1) harusnya dapat berubah. Argumen di atas terbukti lemah. Di samping karena ketetapan waris itu sendiri sudah dianggap final (QS. al-Nisâ’ / 4 :13- 14), juga dalam memahami hak waris Wadud mengunakan perspektif kesetaraan bukan perspektif keadilan. Jika yang digunakan adalah perspektif keadilan maka akan didapati sebuah pemahaman yang seimbang. Telah dijelaskan bahwa salah satu makna adil adalah keseimbangan. 14 Dalam hal ini al-Qur’an menetapkan posisinya sebagai keseimbangan bukan kesamaan. Perdebatan-perdebatan tentang takaran adil dalam pembagian harta waris di atas apakah dua banding satu atau satu banding satu tampaknya tidak memperhatikan sebuah kasus secara menyeluruh. Pertama: takaran dua bagian perempuan sama dengan satu bagian laki-laki, dinilai tidak adil, karena hanya 12 Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, Cet. I, 1994), h. 101-106. Atau. M. Hajir Mutawakkil, “Keadilan Islam dalam Persoalan Gender.” Jurnal Kalimah. Vol. 12, No. 1, (Maret 2014), h. 82. 13 Wadud, Quran Menurut, h. 117-118. 14 Hafidz Taqiyuddin, Argumen Keadilan dalam Hukum Waris Islam: Studi Konsep ‘Awl dan Radd (Tangerang Selatan: Cinta Buku Media, 2014), h. 18. 50 dilihat dari perspektif perempuan sebagai individu yang berdiri sendiri, bukan sebagai bagian dari anggota keluarga yang terdiri dari sepasang suami dan istri yang saling melengkapi. Kedua: karena pandangan tersebut bersifat parsial, artinya memahami ayat-ayat al-Qur’an secara sepotong-sepotong sedangkan ayatayat al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pandangan di atas mengindikasikan bahwa wadud 15 mengunakan pendekatan kesetaraan bukan keadilan. Jika mengunakan perspektif keadilan. Maka dua banding satu sudah mewakili keseluruhan model pembagian harta secara proporsional. Beritu juga beban nafkah dan keluarga bukan hanya pada saat masa Nabi menjadi tangung jawab suami, tetapi juga saat ini. Sehingga alasan kontekstual yang di ajukan Wadud terkesan lemah. Sedangkan jika terdapat kondisi tertentu yang memungkinkan perempuan memerlukan harta waris lebih banyak dari laki-laki, baik karena sebuah kasus yang khusus yaitu, seorang suami yang harusnya menafkahi jatuh sakit dan beban menafkahi harus jatuh pada perempuan. Meskipun dimungkinkan adanya alasan demikian. Namun tidak lantas hak waris yang di berikan kepada perempuan lebih banyak. Ataupun sama dengan yang diberikan kepada laki-laki. Karena bilangan yang setengah bagian seorang istri dari saudara laki-lakinya, Juga berbanding lurus dengan bilangan satu banding setengah suaminya dari saudara perempuannya. 15 Depag RI, Tafsir al-Quran Tematik: Kedudukan dan Peran Perempuan (T.tp.: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 196. 51 Sedangkan jika seorang perempuan itu belum menikah, maka beban nafkahnya di tangung oleh kakak laki-lakinya. 16 Sehingga tidak ada alasan bagi perempuan meminta harta pembagian waris lebih banyak ataupun setara dengan laki-laki. Karena jika memperhatikan keseluruhan hukum keluarga dalam Islam, sistem demikian bukan hanya memperhatikan faktor naf’un. Juga memberikan tempat terhormat dan rasa manusiawi kepada perempuan. jika dilihat secara utuh al-Qur’an telah menetapkan pembagian yang sangat rinci. Seperti dalam (QS. Al-Nisâ’ / 4 :11, 12, 176) ِ ِ ْ َْي فَِإ ْن ُك َّن نِساء فَو َق اثْنَ ت ِ ْ َلذ َك ِر ِمثْل َح ِظ ْاْلُنْثَي َّ ِاَّلل ِِف أ َْوََل ِد ُكم ل ْي فَلَ ُه َّن ْ ًَ ْ َُّ يُوصي ُك ُم ُ ِ اح َد ًة فَلَها النِصف وِْلَب وي ِه لِ ُك ِل و ِ ثُلُثَا ما تَرَكوإِ ْن َكانَت و س ِِمَّا تَ َرَك إِ ْن َكا َن ُّ اح ٍد ِمْن ُه َما ْ ََ َ ُ ْ َ َ َ ْ ََ َ ُ الس ُد ِ س ِم ْن بَ ْد ِد ُّ ث فَِإ ْن َكا َن لَهُ إِ ْخ َوةٌ فَِِلُِم ِه ُ ُلَهُ َولَ ٌد فَِإ ْن ََلْ يَ ُك ْن لَهُ َولَ ٌد َوَوِرثَهُ أَبَ َواهُ فَِل ُِم ِه الثُّل ُ الس ُد ِ ِ ٍِ اَّللِ إِ َّن َّ يض ًة ِم َن َ ب لَ ُك ْم نَ ْف ًدا فَ ِر ُ َوصيَّة يُوصي ِبَا أ َْو َديْ ٍن ءَ َاَب ُؤُك ْم َوأَبْنَا ُؤُك ْم ََل تَ ْد ُرو َن أَيُّ ُه ْم أَقْ َر ِ ِ يما َّ ً يما َحك ً اَّللَ َكا َن َعل Artinya: Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian harta waris untuk) anak-anakmu, (yaitu) pembagian seorang anak lakilaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak-anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian harta masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu bapaknya (saja), maka ibu bapaknya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapatkan seperenam (pembagianpembagian di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. (QS. Al-Nisâ’ / 4 :11) 16 islam/ http://agama.galihpamungkas.com/2016/04/28/tanggung-jawab-saudara-lelaki-dalam- 52 ِ الربُ ُع ِِمَّا ُّ اج ُك ْم إِ ْن ََلْ يَ ُك ْن ََلُ َّن َولَ ٌدفَِإ ْن َكا َن ََلُ َّن َولَ ٌد فَلَ ُك ُم ُ ص ْ َولَ ُك ْم ن ُ ف َما تَ َرَك أ َْزَو ِ ٍِ ِ ِ الربُ ُع ِِمَّا تَ َرْكتُ ْم إِ ْن ََلْ يَ ُك ْن لَ ُك ْم َولَ ٌد فَِإ ْن َكا َن لَ ُك ْم ُّ ْي ِِبَا أ َْو َديْ ٍن َوََلُ َّن َ تَ َرْك َن م ْن بَ ْدد َوصيَّة يُوص ِ ِ ٍِ ِ ِ ِ ث َك َللَةً أَ ِو ُ ور ُ َُولَ ٌد فَلَ ُه َّن الث ُُّم ُن ِمَّا تَ َرْكتُ ْم م ْن بَ ْدد َوصيَّة ت َ ُوصو َن ِبَا أ َْو َديْ ٍن َوإ ْن َكا َن َر ُج ٌل ي ِ ِ َخ أَو أُخت فَلِ ُك ِل و ك فَ ُه ْم ُشَرَكاءُ ِِف ُّ اح ٍد ِمْن ُه َما َ س فَِإ ْن َكانُوا أَ ْكثَ َر ِم ْن ذَل ٌ ْ ْ ٌ ْامَرأَةٌ َولَهُ أ َ ُ الس ُد ِ ِاَّلل عل َِّ ار و ِصيَّةً ِمن ٍِ ِ ِ ِ ٍ َ وصى ِِبَا أ َْو َديْ ٍن َغْي ر ُم يم َ ُالثُّلُث م ْن بَ ْدد َوصيَّة ي ٌ يم َحل ٌ َ َُّ اَّلل َو َ ض َ َ Dan bagimu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istriistrimu) itu mempunyai anak , maka kamu mendapatkan seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (setelah di bayar) hutangnya, para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) hutang-hutangmu. Jika seseorang meninggal, baik lakilaki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu) maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Dengan demikianlah ketentuan Allah. Allah maha Mengetahui, Maha Penyayang (QS. Al-Nisâ’ / 4 :12) ِ ف َما َّ ك قُ ِل َ َاَّللُ يُ ْفتِي ُك ْم ِِف الْ َك َللَِة إِ ِن ْام ُرٌؤ َهل َ َيَ ْستَ ْفتُون ٌ ُخ ُ ص ْ س لَهُ َولَ ٌد َولَهُ أ ْ ت فَلَ َها ن َ ك لَْي ِ َْي فَلَهما الثُّلُث ِ ِ ِ ًان ِِمَّا تَ َرَك َوإِ ْن َكانُوا إِ ْخ َوة َ ُ ْ َتَ َرَك َوُه َو يَِرثُ َها إ ْن ََلْ يَ ُك ْن ََلَا َولَ ٌد فَإ ْن َكانَتَا اثْنَ ت )671(ِر َج ًاَل َونِ َساءً فَلِ َّلذ َك ِر ِمثْ ُل َح ِظ ْاْلُنْثَيَ ْينِيُبَ ِ ُْي َّاَّللُ لَ ُك ْم أَ ْن تَ ِضلُّوا َو َّاَّللُ بِ ُك ِل َش ْي ٍء َعلِ ٌيم Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu). Jika seorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan. Maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudara yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudarasaudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. Al-Nisâ’ / 4 :176) 53 Jika mengikuti skema pembagian harta waris dalam al-Qur’an di atas maka akan didapati pemahaman: A. Perempuan tidak selamanya mewarisi setengah bagian laki-laki. Presentasi jatah waris yang diberikan pada perempuan setengah dari laki-laki itu hanya 17 terdapat pada beberapa kasus : 1. Ketika perempuan berada dalam posisi sebagai anak perempuan bersama laki-laki, maka bagiannya adalah satu perdua (1⁄2), satu bagian untuk laki- laki sama dengan dua bagian untuk perempuan. 2. Ketika perempuan berada pada posisi sebagai ibu bersama ayah, dan yang mewariskan tidak meninggalkan anak-anak, maka bagian seorang ibu adalah satu pertiga (1⁄3) 3. Ketika perempuan berada dalam posisi sebagai saudara perempuan kandung (dari ) ayah bersama saudara laki-laki kandung (dari ayah), dan yang mewariskan tidak meninggalkan anak. Maka bagianya adalah satu perdua (1⁄2), satu untuk perempuan dan dua untuk laki-laki. B. Perempuan juga terkadang mendapatkan bagian yang sama dengan laki-laki pada beberapa kasus seperti: 1. Ketika perempuan berada dalam posisi sebagai ibu yang ditinggalkan bersama ayah, dan pada saat yang bersamaan si mayit meninggalkan anakanak baik laki-laki atau perempuan. Ayah dan ibu mendapat bagian sama yaitu satu perenam (1⁄6), dan sisanya di bagikan kepada istri atau suami yang ditinggalkan dan kerabat termasuk anak dan saudara simayit. 17 Depag RI, Tafsir al-Quran tematik: Kedudukan dan Peran Perempuan (T.tp.: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 197. 54 2. Ketika perempuan dan laki-laki berada dalam posisi sebagai saudara perempuan seibu, dan si mayit tidak meningalkan ayah dan anak-anak. Bagiannya adalah satu seperenam (1⁄6), Baik untuk laki-laki maupun perempuan. Meskipun demikian pembagian harta waris bagi Wadud tetap harus memperhatikan faktor anggota, kombinasi dan kemanfaatan. Misalnya jika dalam suatu keluarga yang terdiri dari seorang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan, kemudian sang ibu yang janda dirawat dan dinafkahi oleh salah seorang anak perempuannya, mengapa anak laki-laki harus menerima bagain yang lebih besar? Mungkin bukan ini keputusanya jika diperhatikan naf’un yang nyata bagi ahli waris tertentu. 18 Pemikiran Wadud yang demikian tersebut terkesan mikro, karena hanya dilihat dari asas keperempuanan bukan berangkat dari asas maslahat makro keseimbangan sebuah keluarga besar. Jika berangkat dari asas maslahat maka struktur dua banding satu cukup adil, di mana pertama karena pembagian dua banding satu tidak terjadi pada setiap laki-laki dan perempuan, pembagian seperti itu hanya untuk sebuah struktur ketika ada anak laki-laki dan perempuan dan seperti yang tertera di atas. Kedua, seorang ibu yang janda bukan sekedar sebagai beban finansial yang tidak membawa modal apa-apa ketika ikut anak perempuan, ibu yang janda tersebut juga membawa bagian hak waris dari suaminya yang meninggal, yaitu satu perdelapan. 18 19 Wadud, Quran Menurut, h. 151. فَِإ ْن َكا َن لَ ُك ْم َولَ ٌد فَلَ ُه َّن الث ُُّم ُن ِِمَّا تَ َرْكتُ ْم19 Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (QS. Al-Nisâ’ / 4 :12) 55 Ketiga, pembagaian dua banding satu menurut perhitungan sederhana sebenarnya sama dengan satu banding satu. Bagian dua milik laki-laki tersebut juga untuk diberikan pada istri dan keluarganya, sementara bagian perempuan yang hanya satu tidaklah demikian. Harta yang satu itu hanya miliknya seorang. 20 Jika dua per satu bagian yang dimiliki suami dari harta warisannya digabungkan dengan kepunyaan istri yang setengah dari yang dimiliki saudara laki-lakinya maka akan menghasilkan bilangan yang sama. Keempat, jika presentasi pembagian waris antara anak-laki-laki dan perempuan disamakan yaitu satu banding satu, maka mengandaikan semua sistem dari hukum keluarga juga harus 21 ikut diubah, seperti halnya tentang bayaran mahar , keharusan memberi nafkah 22 bagi anak , istri, 23 dll. Jika hal yang demikian tersebut masih dinilai belum juga adil, Allah telah 24 menetapkan hak prerogative berupa wasiat kepada calon pemberi waris sebelum 20 M. Hajir Mutawakkil. Keadilan Islam dalam Persoalan Gender. Jurnal kalimah. Vol. 12, No. 1, (Maret 2014), h. 82. َوءَاتُوا النِ َساءَ َص ُدقَاِتِِ َّن ِ ِْنلَةً فَِإ ْن ِط ْ َب لَ ُك ْم َع ْن َش ْي ٍء ِمْنهُ نَ ْف ًسا فَ ُكلُوهُ َهنِيئًا َم ِريئ ًًا21 Dan berikanlah mahar (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati. (QS. Al-Nisâ’ / 4 :4) 22 Para ulama sepakat berkesimpulan bahwa anak yang masih kecil menjadi kewajian ayah. Dan kewajiban ini menurut mayoritas ulama dari kalangan madzhab syafi’I, hanafi dan maliki berlangsung sampai balig bagi anak laki-laki dan sampai menikah bagi perempuan (Depag RI, Tafsir al-Quran tematik: Kedudukan dan Peran Perempuan (T.tp.: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 186.) ِِ ِ ِ 23 ٍ ض ُه ْم َعلَى بَ ْد ض َوِبَا أَنْ َف ُقوا ِم ْن أ َْم َواَلِِ ْم ُ الر َج َّ َّل َ اَّللُ بَ ْد َ ال قَ َّو ُامو َن َعلَى الن َساء بَا فَض “Laki-laki(suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karna Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya, (QS. Al-Nisâ’ / 4 :34) ِ ِ ِ ِ ِ ِ 24 ْي َ ب َعلَْي ُك ْم إِذَا َح َ ْي َِبلْ َم ْدُروف َحقًّا َعلَى الْ ُمتَّق َ ِت إِ ْن تَ َرَك َخْي ًرا الْ َوصيَّةُ للْ َوال َديْ ِن َو ْاْلَقْ َرب ُ َح َد ُك ُم الْ َم ْو َ ضَر أ َ ُكت Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah / 2:180) Bolehnya Pemberian wasiat kepada ahli waris ini terjadi perbedaan pendapat, ada yang mengatakan bahwa wasiat terhadap ahli waris adalah tidak di perbolehkan, sedangkan bagi Ulama 56 meninggal, agar mewasiatkan sesuai kerelaan hatinya dan takaran yang adil menurut perhitungan kemanusiaannya. Jadi pandangan stereotip terhadap perempuan yang dikaitkan dengan porsi pembagian warisan satu banding dua mestinya tidak menimbulkan problem jika masyarakat konsisten dengan pranata dan tatanan yang dianjurkan dalam Islam. 25 Karena manusia tidak mempunyai pengetahuan dan kearifan yang cukup dalam menentukan rezeki, termasuk pembagian harta waris, manusia sering kali bersifat egois sehingga dibutuhkan ketetapan Tuhan yang Maha Adil. 26 Kemungkinan yang lain adalah, karena mekanisme tafsir al-Qur’an menunjukan bahwa ayat yang diperinci penjabarannya dalam al-Qur’an menunjukan bahwa itu 27 adalah Qat’i al-dâlâlah. Keterangan ayat-ayat di atas pun sangat jelas mengingatkan bahwa pembagian waris adalah ketetapan Allah. Allah sendiri yang menentukan batas-batasnya, sambil menjanjikan surga bagi yang mematuhi-Nya dan kekekalan neraka bagi yang mengingkari-Nya. 28 Imamiyah, membolehkan berwasiat meskipun terhadap ahli waris selama tidak lebih dari satu sepertiga dari harta yang ditinggalkan oleh si mayit. (Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, h. 240) 25 Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan dalam Islam (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan jender. 1999), h. 29. 26 M. Quraish Shihab, Al-Lubab, Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah alQur’an (Tangerang: Lentera Hati, 2012), h. 172. 27 Qat’i al- dâlâlah adalah nash yang menunjuk pada makna tertentu yang tidak mengandung kemungkinan untuk dita’wil (dipalingkan dari makna asalnya) dan tidak ada celah atau peluang untuk memahaminya selain makna tersebut. (‘Abd al-Wahâb Khalâf’, ‘Ilm ‘Ushûl Fiqh (Kuwait:Dâr al-Fikr, Cet. XII, t.t.), hal. 35) ِ ِ َّات ََت ِري ِمن ََتتِها ْاْلَنْهار خالِ ِد َِّ تِْلك ح ُدود28 ٍ ِ ك الْ َف ْوُز َّ اَّلل َوَم ْن يُ ِط ِع َ ين ف َيها َو َذل ُ ُ َ َ َ ُ َ َ ْ ْ ْ اَّللَ َوَر ُسولَهُ يُ ْدخ ْلهُ َجن ِ ِ ِ ِ ِ )وَم ْن يَ ْد ْي َّ ص ٌ اب ُم ِه َ اَّللَ َوَر ُسولَهُ َويَتَ َد َّد ُح ُد ٌ ودهُ يُ ْدخلْهُ ََن ًرا َخال ًدا ف َيها َولَهُ َع َذ َ 61(الْ َدظ ُيم Itulah batas-batas hukum Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dia akan memasukkannya ke dalam surge-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal didalamnya dan itulah kemenangan yang agung. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar batas-batas hukum-Nya, niscahya Allah memasukkannya kedalam api Neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapatkan azab yang menghinakan. (QS. AnNisâ’ / 4:13-14) 57 2. Ayat Tentang Hak Talak Suami dan Kemampuan Khulu’ Seorang Istri ( QS. Al-Baqarah / 2:229-231) Perceraian adalah hal terakhir yang dapat dilakukan ketika sebuah hubungan suami istri sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Sebelum suami istri sampai pada keputusan perceraian, ada cara-cara dan panduan dalam memperbaiki hubungan agar kembali harmonis seperti sedia kala, sehingga wajar jika nalar qurani menghendaki perujukan secara damai. Meskipun perceraian sendiri dihalalkan oleh Allah, namun perceraian juga merupakan hal yang paling dibenci 29 Allah. Jika memang terpaksa harus diadakan perceraian sebagai jalan satu- satunya yang terbaik, maka seyogyanya harus dilakukan secara damai pula. Mekanisme perceraian yang diatur cukup jelas dan rinci dalam al-Qur’an akhir-akhir ini mendapat banyak perhatian, misalnya kekuasaan laki-laki dalam menceraikan. Dalam hal perceraian Wadud berpendapat bahwa ketetapan yang memberikan kelebihan kepada laki-laki adalah sebagai indikasi ketidakadilan terhadap perempuan, yakni, laki-laki mempunyai kekuasan untuk menjatuhkan talak, berbeda dengan perempuan. Kekuasaan laki-laki ini mendapat perhatian dalam reformasi hukum Islam modern. Telah banyak ditemukan dalam beberapa kasus, diharuskan kepada lakilaki sebelum menceraikan istrinya agar menghadap pengadilan terlebih dahulu. Pengadilan bertindak sebagai atau menunjuk seorang juru damai untuk . أبغض احللل إىل هللا تداىل الطلق29 (Perbuatan) halal yang paling dibenci Allah adalah Thalaq ; (Sunan Abu Dawud no.2178) 58 musyawarah, sebagaimana tercantum dalam al-Qur'an surat al-Nisa’ ayat 34, 35, 30 dan 128. . Menurut Wadud kealpaan al-Quran dalam penyebutan tentang perempuan yang menceraikan suaminya, membawa pada pemahaman bahwa perempuan tidak dapat melakukannya. Kesimpulan tersebut bertentangan dengan kebiasaan di zaman pra-Islam, di mana seorang perempuan hanya cukup dengan mengubah pintu masuk tendanya ke arah lain, untuk menunjukan putusnya sebuah hubungan perkawinan dengan seorang laki-laki. 31 Jika demikian adanya kedatangan Islam terkesan malah mempersempit ruang gerak kaum perempuan. Namun hal yang penting yang dikehendaki al-Qur’an sebenarnya adalah perujukan atau perceraian secara damai dan dua arah. Wadud mempertegas bahwa al-Qur'an menerapkan dengan langkah yang jelas untuk mencegah pencampakan dan perceraian sepihak terhadap perempuan. Al-Qur'an juga menetapkan perlindungan kehormatan keturunan terhadap keduanya. 32 َٰ َّ ُۢ س ٓ س ٖۗن َو ََل يَ ِح ُّل لَ ُك ۡم أَن ت َۡأ ُخذُواْ ِم َّما َ َٰ اكُ بِ َمعۡ ُروفٍ أ َ ۡو ت َۡس ِري ُۢ ُح بِإ ِ ۡح َ َۡان فَإِم ِ ِۖ ٱلطلَ ُق َم َّرت ٓ َّ َءات َۡيت ُ ُمو ُه َّن ش َۡيا ِل ِ َّ َٱَِّ فَإ ِ ۡن ِخ ۡتت ُ ۡم أ َ ََّل يُ ِيي َما ُحوُوو ٱَّ فَ َا ِۖ َّ ََل أَن َيخَافَا ٓ أ َ ََّل يُ ِيي َما ُحوُوو ۡ َِّٱ َّ َٱَِّ فَ َا ت َعۡ تَوُوه َۚا َو َمن يَتَعَوَّ ُحوُوو َّ ُعلَ ۡي ِه َما فِي َما ۡٱفتَوَ ۡت بِ ِهۦٖۗ تِل َك ُحوُوو َ ُجنَا َح ٓ َٰ َّ َفَأ ُ ْو َٰلَئِ َك ُه ُم ٱلظ ِل ُمون Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal baik bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduannya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar 30 Ernita Dewi, “Pemikiran Amina Wadud Tentang Rekonstruksi Penafsiran Berbasis Metode Hermeneutika” Jurnal Substantia Vol. 15, No. 2, (Oktober 2013), h.158. 31 Amina Wadud. Quran Menurut Perempuan, h. 138. 32 Ernita Dewi, “Pemikiran Amina Wadud Tentang Rekonstruksi Penafsiran Berbasis Metode Hermeneutika.” Jurnal Substantia Vol. 15, No. 2, (Oktober 2013), h.158. 59 33 hukum-hukum Allah, maka itulah orang-orang zalim . (QS. Al-Baqarah / 2:229) َ طلَّيَ َها فَ َا ت َِح ُّل لَهُۥ ِم ُۢن بَعۡ و ُ َحت َّ َٰى ت َن ِك َح زَ ۡو ًجا غ َۡي َرهُۥٖۗ فَإ ِن َ فَإِن طلَّيَ َها َف َا ُجنَا َح َ علَ ۡي ِه َما ٓ أَن يَت ََرا َج َعا ٓ ِلن ِ َّ ُٱَّ َوتِ ۡل َك ُحوُوو ِ ٖۗ َّ َظنَّا ٓ أَن يُ ِيي َما ُحوُوو ٱَّ يُ َبيِنُ َها ِليَ ۡوم َ َ ۡع م ل ََي ُ ون Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan. (QS. Al-Baqarah / 2:230) َ َو ِلذَا ۚ س ِر ُحو ُه َّن بِ َمعۡ ُر وف َ سا ٓ َء فَبَلَ ۡغنَ أ َ َجلَ ُه َّن فَأَمۡ ِس ُكو ُه َّن بِ َمعۡ ُروفٍ أ َ ۡو َ ِطلَّ ۡيت ُ ُم ٱلن َ ض َر ٗارا ِلت َعۡ تَوُو ۚاْ َو َمن َي ۡت َع ۡل َٰذَ ِل َك فَيَ ۡو ت ِ َسهُۥۚ َو ََل تَت َّ ِخذُ ٓواْ َءا َٰي ِ َو ََل تُمۡ ِس ُكو ُه َّن َ ظلَ َم ن َۡت ۡ ۡ ُ ب َوٱل ِح ۡك َم ِة يَ ِع ظ ُكم َّ ت َّ َ ٱَِّ ُه ُز ٗو ۚا َو ۡٱذ ُك ُرواْ نِعۡ َم ِ َ علَ ۡي ُكم ِمنَ ٱل ِك َٰت َ علَ ۡي ُك ۡم َو َما ٓ أَنزَ َل َ َِّٱ َ ْ ْ َ ُ َّ ُ ۡ ٱَّ َو ع ِليم َ ٍٱَّ بِك ِل ش َۡيء َ َّ ٱعل ُم ٓوا أ َّن َ َّ بِ ِهۦۚ َوٱتيوا Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai (akhir) idahnya, maka tahanlah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik (pula). Dan janganlah kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk manzalimi mereka. Barang siapa melakukan demikian, maka dia telah menzalimi dirinya sendiri. dan janganlah kamu jadikan ayat-ayat Allah sebagai bahan ejekan. Ingatlah nikmat Allah kepada kamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepada kamu yaitu Kitab (al-Qur’an) dan Hikmah (Sunnah), untuk memberi pengajaran kepadamu. Dan bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah / 2:231) Prosedur perceraian yang ditunjukan ayat di atas tersebut cukup menunjukan rasa adil jika dilihat dari maslahatnya. Hak talak secara langsung hanya diberikan kepada laki-laki salah satunya adalah, jika istri diberi wewenang 33 Ayat ini turun lantaran sebuah kasus yang diriwayatkan dari at-Tirmidzi, al-Hakim dan yang lain. Dari Aisyah, dia berkata “dulu orang laki-laki bebas mencerai istrinya, dan menjadi suaminya kembali jika merujukinya, walaupun telah menceraikan istrinya seratus kali. Hingga pada suatu ketika ada seorang laki-laki berkata pada istrinya, “Demi Allah, aku tidak akan menceraikanmu sehingga engkau berpisah denganku. Dan saya, tidak akan menaungimu selamanya”.dengan heran sang istri kemudian bertanya “Bagaimana hal itu bisa terjadi” suaminya kemudian menjawab “Aku akan menceraikanmu, dan setiap kali iddahmu akan habis, maka aku merujukmu kembali”. kemudian sang istri menghadap Rasulullah dan mengadukan perihal suaminya. Dalam bebrapa saat Rasulullah terdiam, sehingga turunlah ayat ini. (Jalaluddin asSuyuthi, Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an, terj. Tim Abdul Hayyie, (Jakarta: Gema Insani press. 2008), h. 96. 60 menjatuhkan talak secara langsung maka suami bisa mengalami kerugian berganda. Pertama, tidak terciptanya ketenangan yang merupakan tujuan kehidupan berumah tangga. dan, hilangnya mahar dan uang belanja yang pernah diberikan dalam rangka melaksanakan perkawinan. 34 Kedua, dimungkinkan adanya rekayasa perkawinan jika istri memiliki hak talak secara langsung, yaitu menceraikan suaminya tanpa imbalan (khulu’). Disamping mendapatkan mahar yang diperoleh dari suaminya yang ditalak, juga antara lain dapat nikah dengan laki-laki lain setelah perceraian, yang boleh jadi adalah kekasihnya sebelum perceraian. 35 Meskipun laki-laki memiliki hak talak secara langsung, laki-laki tetap tidak dibolehkan menjatuhkan talak kapan saja dan di mana saja. 36 Laki-laki dibolehkan menjatuhkan talak dengan berbagai syarat. Ikrimah mengatakan, ketika istrinya dalam keadaan bersih, seorang laki-laki (suami) dapat juga menceraikan istrinya jika seorang istri sedang hamil dan diketahui jelas kehamilannya. Tidak boleh menjatuhkan talak sedang dia telah melakukan hubungan badan sedangkan suami tidak mengetahui apakah istrinya hamil apa tidak. 37 Ketetapan ini diperuntukkan dalam rangka menghindari anggapan bahwa laki-laki bisa semena-mena menjatuhkan talak terhadap istrinya. 34 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2000), vol. 1, h. 462. 35 Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 462. ِِ ِ ِ َيأَيُّها النَِِّب إِذَا طَلَّ ْقتم النِساء فَطَلِ ُق36 َصوا الْدِ َّدة ُّ َ َ ُ ْ وه َّن لددَِّت َّن َوأ ُ َح َ َ ُُ Wahai Nabi apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu idah itu, (al-Talâq. 65: 1) 37 Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, tarj. M. Abdul Ghoffar dan Abu Ihsan al-Atsari ( Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’I, 2005. Vol 8), h. 208. 61 Alasan di atas juga sebagai bukti bahwa al-Qur’an tidak lantas mencabut hak talak dari perempuan. Perempuan tetap bisa mengajukan talak dengan kata lain khulu’, yaitu istri membayar suami untuk menceraikannya. Hal ini dilakukan sebagai upaya pengembalian atas mahar dan nafkah yang telah di berikan oleh pihak suami selama pernikahan 38 dan menunjukan bahwa rumah tangga mereka memang benar-benar tidak dapat dipertahankan lagi. 39 Pembayaran dari istri untuk menceraikan dirinya tersebut bisa saja disalahgunakan oleh suami, untuk menghilangkan kesan bahwa suami bisa jadi mendapatkan untung dari pengembalian mahar dan nafkah dari istri, padahal yang menjadi musabab pengajuan cerai istri adalah kemadharatan suami. Istri yang mengajukan gugatan cerai tidak selamanya harus mengembalikan mahar dan nafkah yang pernah diberikan suaminya. Menurut Madzhab Abu Hanifah, jika yang mendatangkan kemadharatan adalah suaminya, maka prinsipnya suami tidak boleh mengambil sesuatu dari istrinya, jika yang menjadi penyebab adalah sang istri maka suami boleh mengambil kembali apa yang pernah diberikannya, dan tidak boleh lebih dari pemberiannya. 40 Alasan yang ketiga, adanya ketidakstabilan emosional 41 dari perempuan, yang tidak dimiliki laki-laki. Seperti ketika perempuan mengalami dismenore 42 38 Lilik Ummi Kaltsum dan Abd. Muqsith Ghazali, Tafsir Ayat-ayat Ahkam (Tangerang Selatan: UIN Press, 2015), h. 232. 39 Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 462. 40 Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 462. 41 Ketidakstabilan emosi terjadi pada remaja saat mengalami dismenore. Penyebab timbulnya ketidakstabilan emosi ini adalah menurunnya hormon esterogen dan progesteron saat menstruasi. Penurunan hormon tersebut, memicu terjadinya penurunan sintesis hormon serotonin dan GABA. Hormon ini bertugas mengatur rasa senang dalam tubuh. Jika hormon ini menurun kadarnya dalam tubuh, maka pada akhirnya menyebabkan mood dan emosi seseorang menjadi tidak stabil (Lauralee, Sherwood, Fisiologi Tubuh Manusia dari Sel ke Sistem (Jakarta : EGC, 2012) 62 atau dalam keadaan menopause. 43 Waktu-waktu tersebut dimungkinkan rawan terhadap jatuhnya talak jika perempuan diberi wewenang talak secara langsung. Alasan yang keempat, tangung jawab menafkahi anak tetap menjadi beban suami (laki-laki) meskipun telah terjadi perceraian. Jika hak talak juga diberikan kepada perempuan (istri) bisa merugikan pihak suami yang harus tetap menafkahi anakanaknya. Meskipun anak itu berada dalam kuasa ibu, dan sang ibu sudah menikah lagi. Beberapa pernyataan diatas, kemudian bisa disimpulkan bahwa ketetapan al-Qur’an yang demikian sangat mencerminkan keadilan, dengan mempertimbangkan sisi maslahat dan madharatnya. Keterangan-keterangan yang dibawa al-Qur’an tersebut juga menunjukan nilai adil bukan diskriminatis, dilihat dari penghormatan kepada wanita, Misalnya. batas maksimal seorang suami dalam menceraikan istrinya hanya mendapatkan dua kali kesempatan. Hal ini berbeda dengan masa awal-awal Islam di mana talak boleh dilakukan dalam jumlah yang tidak terbatas, sehingga seorang suami boleh merujuki istri yang ditalaknya dalam masa iddahnya, 42 Dismenore didefinisikan sebagai nyeri yang terjadi sebelum dan saat menstruasi. Dismenore juga diartikan sebagai gangguan sekunder menstruasi yang terjadi sebelum, saat atau sesudah menstruasi. Dismenore umumnya dimulai 2–3 tahun setelah menarche (haid pada saat pertama kali). Dismenore yang terjadi pada umumnya adalah dismenore primer, dikarenakan dismenore ini berkaitan dengan siklus pelepasan sel telur (ovulasi) yang ada pada saat menstruasi (Harel, Zeev dan Paula J. Adams Hillard. (2008). “Pain : Dysmenorrhea.” Dalam Paula J. Adams Hillard, The 5-minute Obstetrics and Gynecology Consult (Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer bussines, 2008), h. 30-31. 43 Menopause adalah berhentinya secara fisiologi siklus menstruasi yang berkaitan dengan tingkat lanjut usia perempuan. biasanya seorang perempuan yang mengalami menopause alamiah sama sekali tidak dapat mengetahui apakah saat menstruasi tertentu benar-benar merupakan manstruasinya yang terakhir sampai satu tahun berlalu. Menopause kadang-kadang disebut sebagai perubahan kehidupan (Laily Hanifah, dkk, Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas di Usia Lanjut (Jakarta: Yayasan Mitra INTI. 2010), h.29. 63 kemudian ditalak lagi dan dirujuk lagi dengan tujuan menyusahkan hati istrinya, 44 seperti yang menjadi sebab turun ayat 229 diatas. ِ ِ َ وإِ ْن ُك َّن أ ورُه َّن َ ض ْد َن َحَْلَ ُه َّن فَِإ ْن أ َْر َ َُوَلت َحَْ ٍل فَأَنْف ُقوا َعلَْي ِه َّن َح ََّّت ي ُ ُض ْد َن لَ ُك ْم فَآت ُ وه َّن أ َ ُج َ Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan kandungannya, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah imbalan kepadamu. (QS. Al-Talâq / 65: 6) Sekalipun suami telah menceraikan istrinya, al-Qur’an tetap memberikan jaminan nafkah bagi istrinya, jika istrinya sedang hamil, maka jaminan nafkah tersebut sampai istri selesai melahirkan anaknya, tidak hanya cukup sampai disitu, terlebih al-Qur’an juga menganjurkan dalam pemberian imbalan kepada mantan istri yang menyusukan anaknya. Penghormatan pada perempuan (istri) juga diterangkan oleh al-Qur’an. َ َولِذَا ضلُو ُه َّن أَن يَن ِك ۡحنَ أ َ ۡز َٰ َو َج ُه َّن لِذَا ُ ۡسا ٓ َء فَبَلَ ۡغنَ أ َ َجلَ ُه َّن فَ َا ت َع َ ِطلَّ ۡيت ُ ُم ٱلن ُ ع ِ َّ ظ ِب ِهۦ َمن َكانَ ِمن ُك ۡم ي ُۡؤ ِم ُن ِب ٱَّ َو ۡٱليَ ۡو ِم ۡٱۡلٓ ِخ ٖۗ ِر ِ ٖۗ ض ۡواْ بَ ۡينَ ُهم ِب ۡٱل َمعۡ ُر َ وف َٰذَ ِل َك يُو َ ت َٰ ََر ۡ ۚ َٱَُّ َيعۡ لَ ُم َوأَنت ُ ۡم ََل ت َعۡ لَ ُمون َّ َٰذَ ِل ُك ۡم أ َ ۡز َك َٰى لَ ُك ۡم َوأَط َه ُر َو Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai idahnya, maka jangan kamu halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya. Apabila telah terjalin kecoaokan diantara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang diantara kamu yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Itu lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak. (QS. AlBaqarah / 2:232) Ayat di atas berbicara tentang istri yang ditalak dan telah habis masa iddahnya, dan tidak ada halangan lain yang ditetapkan agama terhadapnya, maka perempuan (istri) dibolehkan menikahi calon suaminya yang baru dan tidak dibolehkan mantan suami dan walinya, menghalang-halangi pernikahan mereka. Yaitu para wanita itu dibolehkan menetapkan sendiri masa depannya dan menjadi 44 Sayyid Qutb, Fî Zilâl. Vol. 2, h.746. 64 haknya secara penuh. Karena janda lebih berhak atas dirinya dari pada orang lain, demikian sabda Nabi. 45 Begitu juga ketika wanita yang telah dinikahi oleh orang lain kemudian telah bercerai, dan mantan suami yang sebelumnya ingin kembali menikahinya, wanita (mantan istri) memiliki hak menolaknya jika tidak menghendaki demikian, dan boleh juga menerimannya, jika wanita tersebut ridho menjadi istrinya kembali. 46 Larangan dalam menghalangi wanita yang dicerai, baik oleh suami dan walinya untuk menentukan sendiri masa depannya. ataupun penghargaan atas tidak berkenannya wanita dinikahi kembali oleh mantan suaminya di atas, menunjukan bahwa nasehat yang dibawa al-Qur’an sangat demokratis. Reformasi hukum demikian tersebut bertujuan memberikan jaminan keamanan dan tempat terhormat bagi perempuan, dan jika dilihat secara menyeluruh dari pertimbanganpertimbangan diatas akan didapati pemahaman yang adil mengenai hak talak tersebut. 3. Ayat Tentang Bobot Persaksian Laki-laki dan Perempuan (QS. Al-Baqarah / 2: 282) Wadud memulai penjabarannya tentang mempertanyakan potensi perempuan dalam persaksian. persaksian 47 dengan Apakah saksi seorang laki-laki setara dengan dua saksi perempuan, atau sama baiknya satu laki-laki 45 Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol.I. h. 468. Qutb, Fî Zilâl. Vol 2, h.746. 47 Menurut Wahbah Zuhaili definisi dari persaksian adalah suatu pemberitahuan (pernyataan) yang benar untuk membuktikan suatu kebenaran dengan lafazd syahadat di depan pengadilan” (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqi Al-Islâmi wa Adillâtuhu, juz VI (Damaskus: Dar Al-Fik. 1989), h. 388. 46 65 dengan dua orang perempuan secara absolut. 48 Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian mendorong diskusi-diskusi kecil. Ketika dihadapkan dengan QS. AlBaqarah / 2: 282 س ٗمى فَ ۡٱكتُبُو ۚهُ َو ۡليَ ۡكتُب ب َّۡينَ ُك ۡم َ َٰ ٓيَأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُ ٓواْ ِلذَا تَوَايَنتُم بِوَ ۡي ٍن ِللَ َٰ ٓى أ َ َجل ُّم ۚ َّ ُعلَّ َمه علَ ۡي ِه ٌ ِب َكات ُ ُۢ َِكات َ ٱَُّ فَ ۡل َي ۡكت ُ ۡب َو ۡليُمۡ ِل ِل ٱلَّذِي َ ب َك َما َ ُ ب أَن َي ۡكت َ ب ِب ۡٱل َع ۡو ۚ ِل َو ََل َي ۡأ ۡ ٱََّ َربَّهُۥ َو ََل يَ ۡبخ س ِتي ًها أ َ ۡو َّ ق َ َس ِم ۡنهُ ش َۡي ۚا فَإِن َكانَ ٱلَّذِي َ علَ ۡي ِه ۡٱل َح ُّق ِ َّ ۡٱل َح ُّق َو ۡليَت ۡ ض ِعيتًا أ َ ۡو ََل يَ ۡست َِطي ُع أ َن ي ُِم َّل ُه َو فَ ۡليُمۡ ِل ۡل َو ِليُّهُۥ بِ ۡٱلعَ ۡو ۚ ِل َو ش ِهيوَ ۡي ِن ِمن َ ْٱست َۡش ِهوُوا َ َ َ َّ ُّ ض ۡونَ ِمنَ ٱل َض َّل َ َان ِم َّمن ت َۡر ِ ش َهوَآ ِء أن ت ِ ِر َجا ِل ُك ۡ ِۖم فَإِن ل ۡم َي ُكونَا َر ُجلَ ۡي ِن فَ َر ُجل َوٱمۡ َرأت ۚ ُّ ب ٱل عواْ َو ََل ت َۡس ُم ٓواْ أَن ُ ُش َهوَآ ُء لِذَا َما و َ لِ ۡحوَ َٰى ُه َما فَتُذَ ِك َر لِ ۡحوَ َٰى ُه َما ۡٱۡل ُ ۡخ َر َٰۚى َو ََل يَ ۡأ ُ س َّ ٱَّ َوأ َ ۡق َو ُم ِلل ِ َّ َط ِعنو ش َٰ َهوَةِ َوأ َ ۡون َٰ َٓى أ َ ََّل ً ِيرا أ َ ۡو َكب ً ص ِغ َ يرا لِلَ َٰ ٓى أ َ َج ِل ِهۦۚ َٰذَ ِل ُك ۡم أ َ ۡق َ ُت َۡكتُبُوه ٓ َّ ت َۡرت َاب ُٓواْ ِل علَ ۡي ُك ۡم ُجنَا ٌح أ َ ََّل ت َۡكتُبُوه َٖۗا ُ اض َر ٗة تُو َ س ِ َل أَن ت َ ُكونَ تِ َٰ َج َرة ً َح َ ِيرونَ َها بَ ۡينَ ُك ۡم فَلَ ۡي ُۢ ۚ ْوق ِب ُك ۡ ٖۗم َوٱت َّيُوا ُ س َ ضا ٓ َّر َكا ِتب َو ََل ُ ُش ِهيو َولِن ت َۡت َعلُواْ فَإِنَّهُۥ ف َ َُوأ َ ۡش ِهو ُٓواْ ِلذَا تَبَا َيعۡ ت ُ ۡۚم َو ََل ي ٖۗ َّ ٱَّ َويُعَ ِل ُم ُك ُم ع ِليم َّ ٱَُّ َو َ ٍٱَُّ بِ ُك ِل ش َۡيء َ ِۖ َّ Hai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan hutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah seorang penulis menolak sebagamana Allah telah mengajarkan kepadannya, maka hendaklah dia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertaqwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikitpun dari padannya, jika yang berhutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaanya), atau tidak mampu mendiktekannya sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang lakilaki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan diantara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar, yang demikian itu lebih adil disisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu pada ketidakraguan, kecuali jika hal itu termasuk perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertaqwalah kepada Allah, Allah memberi pengajaran kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. 48 Amina Wadud. Quran Menurut Perempuan, h. 146. 66 Merespon keterangan ayat diatas, Wadud lebih menyukai penafsiran dengan mengunakan susunan struktur kata. Dua saksi perempuan tersebut diartikan sebagai penguat dan pengingat. Jadi meskipun dua orang, tiap-tiap perempuan memiliki fungsi yang berbeda, 49 sehingga dalam hal ini tidak bisa disamakan kedudukan dua perempuan dengan satu laki-laki. Masing-masing perempuan memiliki fungsinya sendiri-sendiri. Bagi Wadud satu saksi laki-laki ditambah satu kesatuan berupa dua saksi perempuan tidaklah sama dengan formula dua banding satu seperti halnya perhitungan dalam pembagian waris, sebab jika (formulanya sama dengan dua banding satu) tidak demikian maka empat saksi perempuan bisa mengantikan dua saksi laki-laki, tetapi al-Qur’an 50 tidak memberikan alternatif itu. Ayat di atas memang penting untuk keadaan tertentu, namun bisa jadi ayat itu telah usang dalam rangka merespon kehidupan saat ini, di mana ide untuk menjadikan dua saksi perempuan yang satu sebagai saksi dan satunya lagi sebagai pengingat dan penguat untuk menghindari penyelewengan dalam memberikan kesaksian, karena pada saat itu perempuan mudah sekali ditekan. Jika hanya satu saksi laki-laki dan satu saksi perempuan, maka perempuan akan menjadi sasaran pemaksaan oleh oknum yang ingin mencabut kesaksiannya, dan bakalan berbeda kalau ada dua saksi perempuan, mereka akan saling mendukung satu sama lain. Khususnya jika dilihat dari penafsiran kata (tudilla) jika dia berbuat salah. (tudzakkir) maka yang satunya lagi dapat mengingatkan. 49 Wadud. Quran Menurut, h.147. Wadud. Quran Menurut ,h.148. 51 Wadud. Quran Menurut, h.148. 50 51 67 Ayat di atas juga bersifat spesifik, hanya diperuntukkan dalam hal perjanjian finansial dan tidak dimaksud untuk diberlakukan umum. Namun tetap saja setiap kali al-Qur’an menerangkan tentang kesaksian tanpa menyebutkan jenis kelamin, penafsiran yang bersifat androsentris kemudian menyimpulkan bahwa kesaksian itu hanya bisa dilakukan oleh laki-laki. Formula yang diterapkan mengharuskan dua kali jumlah perempuan sama dengan satu laki-laki, tidak hanya terjadi dalam menjadi saksi. Hal ini yang dikemudian hari juga berdampak pada berbagai aspek partisipasi perempuan lainnya. 52 Padahal Islam sendiri tidak membeda-bedakan baik laki-laki maupun perempuan dalam hal-hal pokok seperti halnya hak dalam bidang politik, pekerjaan dan lain sebagainya. 53 hak memperoleh pelajaran, hak memilih 54 Meskipun demikian Wadud tetap berkeberatan dengan pembatasan dua saksi perempuan sama dengan satu saksi laki-laki dalam hal finansial, yang diberlakukan juga pada perkara lain. Idealnya bagi Wadud hendaknya penghadiran saksi pada suatu perkara bukan ditentukan berdasarkan jenis kelamin, melainkan siapa saja yang dianggap mampu menjadi saksi, maka berhak untuk 52 Wadud. Quran Menurut, h.149. ِ ِ ِ ِ 53 ِ ٍ ض ُه ْم أ َْولِيَاءُ بَ ْد َّ يمو َن َالص َلة ُ ات بَ ْد ُ ََوالْ ُم ْؤمنُو َن َوالْ ُم ْؤمن ُ ض ََيْ ُمُرو َن َبلْ َم ْدُروف َويَْن َه ْو َن َع ِن الْ ُمْن َك ِر َويُق َّ َويُ ْؤتُو َن اَّللَ َع ِز ٌيز َح ِك ٌيم َّ اَّللُ إِ َّن َّ ك َسيَ ْر ََحُ ُه ُم َّ الزَكا َة َويُ ِط ُيدو َن َ ِاَّللَ َوَر ُسولَهُ أُولَئ “dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagaian mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (at-Taubah 9:71) Kata auliya diatas mengandung makna, mencakup kerjasama, bantuan, dan penguasaan, sedangkan “menyuruh mengerjakan yang ma’ruf” mencakup segala segi kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritikan terhadap penguasa (Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan dalam Islam (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan jender. 1999), h. 30. 54 Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan, h. 30. 68 menjadi saksi. 55 Kesaksian laki-laki yang mempunyai bobot seperti hal di atas adalah laki-laki yang memang bergelut di bidangnya sehingga betul-betul menguasai masalahnya. Namun, jika perempuan yang bergelut di bidang tersebut bisa jadi kesaksiannya lebih unggul dari laki-laki. Kunci dari masalah ini adalah penguasaan terhadap masalah bukan karena faktor laki-laki atau perempuan. 56 Keberatan Wadud di atas nampaknya tidak beralasan, jika meninjau model perundang-undangan Islam yang menyeluruh, di mana dua saksi wanita disamakan dengan satu laki-laki ini tidak selamannya seperti itu. Model persaksian seperti itu hanya terdapat pada kesaksian atas harta dan hak-hak harta. Termasuk dalam hal ini, akad syirkah (kerjasama), ijārah (sewa menyewa), uqud al-damân (transaksi jaminan) faskh uqūd (pembatalan transaksi) dan qatl alkhata’ (pembunuhan yang keliru). 57 Begitu juga menurut madzhab Hanafi, mereka membenarkan kesaksian perempuan yang berkaitan dengan harta, persoalan rumah tangga, seperti talak dan rujuk, dan segala sesuatu kecuali dalam soal kriminal. Hal ini berbeda dengan pandangan madzhab Maliki yang hanya membolehkan perempuan menjadi saksi dalam hal-hal yang berkaitan dengan harta benda. 58 Selain itu ada juga hal-hal yang hanya bisa dipersaksikan oleh laki-laki, seperti halnya dalam kasus hudûd. Namun terjadi diperbedaan pandangan di antara ulama dalam hal ini, apakah perempuan memang tidak dibolehkan menjadi saksi dalam hal hudûd. Meskipun demikian, hal ini dilakukan bukan sebagai 55 Wadud. Quran Menurut, h. 149. Arif Subhan, dkk. Citra Perempuan dalam Islam Pandangan Ormas Keagamaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 128. 57 . Al-Ghazali, al-Wâsit Fi al-Madzhâb Vol.7, (Kairo: Dâr al-Salâm, 1417 H), h. 366. 58 Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 1. h. 566. 56 69 upaya mendiskriminasikan peran perempuan, melainkan untuk menghadirkan fakta hukum yang sebenar-benarnya. Bukan bias kebenaran dikarnakan bercampurnya kesaksian sebenarnya dengan rasa empati, sensitif dan emosional yang dimiliki perempuan. 59 Meskipun demikian, tidak selamanya laki-laki lebih unggul dari perempuan dalam hal persaksian. Bahkan ada model perkara-perkara yang hanya bisa diputuskan dengan menerima kesaksian perempuan, kepemilikan tersebut dikarnakan perempuan (mereka) memiliki akses untuk memasuki wilayah tersebut, seperti halnya kesaksian perempuan mengenai kehamilan, haid, keperawanan dan aib perempuan. 60 Peraturan tentang persaksian juga memperhitungkan faktor-faktor fungsional, di mana laki-laki (suami) baiknya bertugas di ruang publik untuk menyediakan kecukupan nafkah bagi anak dan istrinya dan perempuan (istri) baiknya berada di ruang domestik, sebagai pembina rumah tangga dan memberi perhatian bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa anak-anaknya. demikian hasil dari 61 Jika hitungan kesaksian dua orang perempuan sama dengan kesaksian satu laki-laki. Hal ini cukup masuk akal dilihat dari fungsinya pada tatanan sosial Islam, bahwa perempuan cenderung tidak berhubungan dengan masalah-masalah keuangan dan harta kekayaan. Kesaksian dua perempuan sama dengan satu laki-laki, bukan sekedar berbicara tentang nominal jenis kelamin yang berbeda, tetapi juga menyangkut 59 Qutb, Fî Zilâl, Vol. I. h.124. Depag RI, Tafsir al-Quran tematik: Kedudukan dan Peran Perempuan (T.tp.: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 239. Lihat juga. Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, terj. M. Abdul Goffar. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2007), h. 605. 61 Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol.I. h. 567. 60 70 bagian dari sistem hukum keluarga yang lain. Ketidakberhubungannya perempuan dengan masalah keuangan dan harta kekayaan itulah yang menjadikan ingatan perempuan dimungkinkan mudah lupa. Kemampuan daya ingat perempuan yang demikian bukan karena perempuan memang kurang dari segi intelektual, melainkan karena objek yang menjadi perhatiannya berbeda. 62 Bagi Sayyid Qutb yang menjadi penyebab kemungkinan lupanya perempuan dalam persaksian bukan hanya karena tidak berkecimpungnya perempuan dalam masalah-masalah tersebut, juga pengaruh faktor emosional, dan sifat sensitive, padahal kesaksian untuk satu kontrak perjanjian menuntut seseorang untuk terbebas dari pengaruh emosional semaksimal mungkin, dan hanya berpegang pada fakta. 63 Inilah yang menjadikan kesaksian dua perempuan dihitung sama dengan satu laki-laki. 62 63 Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol.I. h. 567. Qutb, Fî Zilâl. Vol. I. h.124. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Skripsi ini menyimpulkan bahwa konsep keadilan yang dipaparkan oleh Wadud tidak menjelaskan secara rinci dan hanya terkesan mendekontruksi sebuah penafsiran lama, tanpa ada muatan solusi. Wadud dalam hal waris-mewaris, mengatakan perempuan bisa mendapatkan bagian lebih banyak daripada laki-laki untuk sebuah kasus tertentu, namun sayangnya, beliau tidak menghadirkan mekanisme pembagian waris yang sesuai dengan apa yang beliau usung. Begitu juga dalam pembahasan talak, Wadud hanya mengugat bahwa ada kesan tidak adil, karena al-Qur’an hanya membicarakan laki-laki yang menceraikan istrinya, padahal dalam kebiasaan masyarakat arab pra Islam, perempuan bisa dengan mudah menceraikan suaminya. jika mempertimbangkan faktor-faktor lain bahwa hak prerogatif laki-laki dalam menceraikan bukanlah berdiri sendiri. juga menyangkut seperangkat kewajiban seperti halnya pemberian mahar, tanggung jawab nafkah baik ketika seorang perempuan masih menjadi istri ataupun sesudah diceraikan, dan lain-lain. demikian akan didapati bahwa ketetapan talak yang diatur dalam al-Quran cukup menunjukan rasa adil. Salah satu pembahasan yang lumayan rinci hanya pada persaksian. Dalam hal persaksian, Wadud mengatakan bahwa struktur dua perempuan sama dengan seorang laki-laki dalam persoalan finansial, tidak berarti sepenuhnya sama, karena keberadaan seorang laki-laki yang digabungkan dengan dua orang perempuan, berbeda fungsi dan kegunaan. Komponen yang demikian tersebut juga tidak bisa 71 72 diberlakukan pada perkara lain, baginya sebuah persaksian tidak harus ditentukan oleh besar kecilnya bilangan sebuah jenis kelamin, melainkan sebuah kecakapan dan kemampuan seseorang saksi dalam bidang tersebut. Namun dalam ketetapan Hukum Islam, persaksian dalam hal finansial adalah satu dari sekian subsistem yang ditetapkan menurut kemampuan, dan potensi seorang saksi dalam persaksiannya, seperti halnya, dalam hal Hudud, dan Qishas laki-laki lebih berhak menjadi saksi, sedangkan dalam hal-hal yang menjadi wilayah perempuan, hanya kaum perempuan yang dibolehkan menjadi saksi. Permasalahan diatas hanyalah sebuah subsistem dari sistem keseluruhan dalam Islam, sehingga jika menghendaki sebuah perubahan, yang diubah bukan hanya terbatas pada komponen-komponen kecil, namun melainkan seperangkat aturan hukum yang saling berhubungan. B. SARAN 1. Institusi Pendidikan Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dan bahan kajian dalam mata kuliah Kajian Gender maupun Kajian Modern terhadap alQur’an. 2. Peneliti Selanjutnya Peneliti selanjutnya diharapkan bisa memperluas variabel penelitian mengenai pembagian peran wanita karir dalam kehidupan berumah tangg DAFTAR PUSTAKA Al-‘Alûsî al-Baghdadi, Syihâb al-Dîn al-Sayid Mahmûd. Rûh al-Ma’ânî fi Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azim wa al-Sab’ al-Matsânî. Lebanon: Ihya’ al-Turats alArabi. Anshori LAL. Penafsiran Ayat-ayat Jender Menurut Muhamad Quraish Shihab. Jakarta: Visindo Media Pustaka, 2008. Ansori. Penafsiran Ayat-ayat Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab. Jakarta: Visindo Media Pustaka, 2008. Asghary, Basri Iba. Solusi al-Quran tentang Problem Sosial Politik Budaya. Jakarta: PT Reineka Cipta, 1994. Ayub, Muhammad. Qur’an dan Penafsirnya. Pustaka Firdaus. t, tp, t,th. Depag RI. Tafsir al-Quran tematik: Kedudukan dan Peran Perempuan. T.tp: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012. --------. Tafsir al-Quran tematik: Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik. T.tp: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2005. Dewi, Ernita. Pemikiran Amina Wadud Tentang Rekonstruksi Penafsiran Berbasis Metode Hermeneutika. Jurnal Substantia Vol. 15, No. 2, Oktober 2013 . h.158. Echols, John M., dan Shadly, Hassan. Kamus Inggis- Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka, 1996. Engineer, Asghar Ali. Hak-hak Perempuan dalam Islam, Terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, Cet. I, 1994. Ensiklopedi al-Qur’an: Kajian Kosakata. Jakarta: Lentera Hati, 2007. Farida, Umma. “Teks-teks Keislaman dalam Kajian Kaum Feminis: Telaah Terhadap Pendekatan Studi Islam Dari Kalangan Feminis Muslim”. PALASTReN, Vol. III, No. 2, (Desember 2010): h. 203-229. Al-Ghazali. al-Wasit Fil-Madhab Vol 7. Kairo: Darul-Salam, 1417 H. H Sumintro, Ronny. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Hanifah, Laily., dkk. Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas di Usia Lanjut. Jakarta: Yayasan Mitra INTI. 2010. Harel, Zeev., dan Paula J, Adams Hillard. (2008). “Pain : Dysmenorrhea.” Dalam Paula J. Adams Hillard, The 5-minute Obstetrics and Gynecology Consult. Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer bussines, 2008: h. 30-31 Hassan, Riffat. “Feminisme dan al-Qur’an”, Jurnal Ulumul Qur’an. No. 09, Vol. II, Tahun 1991 Hidayat, Komaruddin., dkk. Agama dalam Dialog, Pencerahan Perdamaian dan Masa Depan. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2003. Al-Hisyam, Firdaus., dan Hariyanto, Rudy. Kamus Lengkap 3 Bahasa: Arab Indonesia Inggris. Surabaya: Gitamedia Press, 2006. http://kbbi.web.id/tara http://kbbi.web.id/tara Huda, Sokhi. “Kontroversi Hak dan Peran Perempuan dalam Pemikiran Konteporer Amina Wadud”. Jombang: Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng. T.Th. Husaini, Adian. “Hermeneutika Feminis: Satu Kajian Kritis” al-Insan Jurnal Kajian Islam, (Vol II, No. 3, 2006): h, 100-105. Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, tarj. M. Abdul Ghoffar dan Abu Ihsan al-Atsari Vol 8. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’I, 2005. Ismail, Nurjannah. Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2003. Jamhari dan Ropi, Ismatu. Citra Perempuan dalam Islam: Pandangan Ormas Keagamaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. Kaltsum, Lilik Ummi dan Abd. Muqsith Ghazali. Tafsir Ayat-ayat Ahkam, Tangerang Selatan: UIN Press, 2015. Khallāf, Ảbdul Wahhab. ‘Ilm Usûl Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah alIslāmiyyah, 2004. Al-Khowarizmi, ‘Abi al-Qâsim Jârullah Mahmûd bin ‘Umar al-Zamakhsyarî. Tafsir al-Kasyâf An Haqo’iq al-Tanzil Wa 'Uyun Al-Aqawil Fi Wujuh AlTa'wil. Lebanon: Dar al-Ma’arif, 2009. Mernissi, Fatima., dan Hassan, Riffat. Setara di Hadapan Allah. Yogyakarta: LSPPA Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak, 2000. Misrawi, Zuhairi. Al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan lil’âlamîn. Jakarta: Grasindo, 2010. Muhammad, Husein. “Bukan Soal Tubuh Tapi Ruh”, Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Vol, 18, No 2. (Mei 2013): h. 103-113. --------. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender,. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2001. Mulia, Musda. Indahnya Islam Menyuarakan Kesetaraan dan Keadilan Gender. Yogyakarta: Nauvan Pustaka, 2014. Musa, Ali Masykur. Membumikan Islam Nusantara: Respon Islam Terhadap Isuisu Aktual. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014. Muslikhati, Siti. Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam. Jakarta: Gema Insani, 2004. Mutawakkil, Hajir. “Keadilan Islam dalam Persoalan Gender”. Jurnal kalimah, Vol. 12, No. 1, Maret 2014. h. 82. Mutrofin. “Kesetaraan Gender dalam Pandangan Amina Wadud dan Riffat Hassan”. Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol III, No I (Juni, 2013), h. 254. Muqoyyidin, Andik Wahyun. “Wacana Kesetaraan Gender: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Gerakan Feminisme Islam”. Jurnal Al-Ulum, Vol. 13. No, II, (Desember 2013): 491-512. Nawawi, Hadawi. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995. Nurani, Shinta. “Implikasi Tafsir Klasik Terhadap Subordinat Gender: Perempuan Sebagai Makhluk Kedua”. Muwazah, Vol. VII, No. 2, (Desember 2015): h. 131-145. Al-Qurtubî, Syaikh Imâm. Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân. Tarj, Ahmad Rijali Kadir. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008. Qutb, Sayyid. Fî Zilâl al-Qur’ân. Terj. Aunur Rafiq Shaleh Tamhid Vol 2. Jakarta: Rabbani Press, 2001. Rahardjo, Dawam. Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsepkonsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 2002. Rusydi, Muhammad. “Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam al-Qur’an Menurut Amina Wadud”. Jurnal MIQOT. Vol. XXXVIII No. 2. (Juli-Desember 2014) Salah, Abdul Fattah. Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Solo: Era Intermedia, 2001 Saidah, Nor. “Bidadari dalam Konstruksi Tafsir al qur’an: Analisis Gender atas Pemikiran Amina Wadud Muhsin dalam Penafsiran Al Qur’an”. PALASTREN, Vol. VI, No. 2, (Desember 2013): 441-472. Setyosari, Punaji. Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan. Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2013. al-Sâbûnî, ‘Alî. Safwah al-Tafâsîr. tarj, KH. Yasin Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2010Jakarta: Pustaka Azzam, 2008. Sherwood ,Lauralee. Fisiologi Tubuh Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC, 2012 Shihab, M. Quraish. Perempuan. Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2005. --------. Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2000. --------. Wawasan Al-Quran Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. Jakarta: Mizan Pustaka, 1996. --------. Dia Ada Dimana-mana, Tangan Tuhan di balik Setiap Fenomena. Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2013. --------.Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual: Kumpulan Makalah Seminar. Jakarta: INIS, 1993. Sirait, Saut Hamonangan. Politik Kristen di Indonesia: Suatu Tinjauan Etis. Jakarta: Gunung Mulia, 2006. Syibromalisi, Faizah Ali., dan Azizy, Jauhar. Membahas Kitab Tafsir KlasikModern,(Tangerang Selatan: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011. Su’adi, Putut Ahmad. Pemikiran Fazlur Rahman dan Riffat Hasan Tentang Kesetaraan Gender dalam Islam. Skripsi Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas Adab. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008. Subhan, Arif., dkk. Citra Perempuan dalam Islam Pandangan Ormas Keagamaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. Sultan, Shalahuddin. Mirats al-Mar’ah wa al-Qadiyyah al-Musawah. Kairo: Dar Nahdrah Misr, 1999. Suryani, Elvira. “Sosialisasi Kesetaraan Gender pada Pegawai Kantor Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi”. Jurnal Kybernan, Vol. I, No, 2 (September 2010). Al-Suy‘uti, Jalaluddin. Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an. terj. Tim Abdul Hayyie. Jakarta: Gema Insani press, 2008. Taqiyuddin, Hafidz. Argumen Keadilan dalam Hukum Waris Islam: Studi Konsep ‘Awl dan Radd. Tangerang Selatan: Cinta Buku Media, 2014. Tim Penyusun. Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2012/2013. Ciputat: UIN Jakarta Press, 2012. Umar, Nasarrudin. Argumen Kesetaraan Gender. Jakarta: Paramadina, 2014. --------. Kodrat Perempuan dalam Islam. Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999. Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad. Fiqih Wanita terj. M. Abdul Goffar. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007. Wadud, Amina. Quran Menurut Perempuan, Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan. tarj Abdullah Ali. Jakarta: Serambi, 2006. --------. Inside The Gender Jihad Women’s Reform In Islam. England: Oneworld Oxford. Wartini, Atik. “Tafsir Feminis M Quraish Shihab: Telaah Ayat-ayat Gender dalam Tafsir al-Misbah”. PALASTReN, Vol. VI, No. 2, (Desember 2013): 473494. Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islâmi wa Adillâtuhu, juz VI. Damaskus: Dar Al-Fik. 1989.