Yohanes 10:40-42 - GRII Kelapa Gading

advertisement
Khotbah Minggu (07 Juli 2013)
Ringkasan Khotbah
GRII Kelapa Gading
Pengkhotbah : Pdt. Billy Kristanto, Th.D Tema : …....….…..……………...….........
Nas Alkitab
: .............................................................................................................
681/720
Tahun ke-14
Hidup Menyenangkan Tuhan atau Manusia?
Pdt. Billy Kristanto, Th.D.
30 Juni 2013
Lukas 3:21-22
Pada hari ini kita akan mempelajari
peristiwa yang sangat penting yaitu Yesus
Kristus sendiri yang juga di baptis, tentu saja
waktu kita membicarakan bagian ini, ada
perbedaan yaitu baptisan yang dialami oleh
Yesus Kristus yang dilakukan oleh Yohanes
Pembaptis, berbeda dengan bukan hanya
baptisan yang kita alami, tetapi juga baptisan
yang dialami oleh orang banyak pada saat itu,
yang juga dibaptis oleh Yohanes Pembaptis.
Maka waktu kita membaca di dalam ayat 21,
distinction ini juga nampak waktu kita
membaca, di situ dikatakan, seluruh orang
banyak telah di baptis oleh Yohanes
Pembaptis, sebagai baptisan pertobatan,
sehingga mereka dilayakkan untuk menerima
injil yang datang di dalam Yesus Kristus
melalui satu tindakan pertobatan tersebut,
tetapi tentu saja ini bukan baptisan yang
diterima oleh Yesus Kristus. Karena Yesus
dibaptis bukan di dalam pengertian
pertobatan, Yesus tidak membutuhkan
pertobatan,
saudara
dan
saya
yang
membutuhkan pertobatan. Tetapi Yesus di
sini dikatakan dibaptis untuk meneguhkan
kontinuitas pelayanan dari Yohanes Pembaptis
menuju kepada Yesus Kristus. Kalau di dalam
versi dari Matius, kita membahas ada tekanan
di situ, perkataan dari Yohanes Pembaptis
yang mengatakan, demikian terjadi supaya
genaplah apa yang diperintahkan oleh Tuhan,
tetapi dalam bagian ini kita tidak membaca
bagian tersebut. Tapi ada perbedaan
perspektif, bagaimana Yesus dengan jelas
digambarkan
sebagai
seseorang
yang
melanjutkan atau meneruskan pekerjaan dari
pada Yohanes Pembaptis, maksudnya adalah
di dalam ayat 18 dikatakan, bahwa Yohanes,
setelah dia menegor raja Herodes, kemudian
dia dimasukkan ke dalam penjara, lalu kita
masuk ke dalam ayat 21. Ini tidak dimengerti
secara kronologis historikal, karena kalau kita
mengerti secara kronologis historikal akan
sangat kesulitan, karena di dalam ayat 18, 19
dikatakan, Yohanes Pembaptis ke penjara, lalu
setelah itu bagaimana Yesus dibaptis, apakah
Yesus dibaptis di dalam penjara? Atau minta
ijin Herodes dahulu mau dibaptis oleh
GRII KG 681/720 (hal 4)
Yohanes Pembaptis dst., padahal dia sudah
dipenjara? Tetapi kita bukan mengerti secara
kronologis historikal seperti itu, Lukas mau
menghadirkan di dalam satu gambaran bahwa
Yohanes Pembaptis dipenjara, setelah di
penjara, di dalam akhir dari masa pelayanan
yang
Tuhan
percayakan
di
dalam
kehidupannya, kemudian Yesus Kristus
memulai pelayananNya dengan inaugurasi
atau pentahbisan dari Allah Bapa sendiri.
Yesus di baptis, tetapi ada keunikannya,
berbeda dengan orang-orang lain yang juga
di baptis oleh Yohanes Pembaptis. Waktu
Yesus di baptis di situ dikatakan, “langit itu
terbuka, lalu Roh Kudus turun di dalam rupa
burung merpati ke atasNya”, langit terbuka,
itu satu motif di dalam alkitab sejak dari
Perjanjian Lama, di dalam PL itu seringkali
dikatakan, waktu langit terbuka, itu Tuhan
menyatakan penghukumanNya, misalnya, di
dalam peristiwa air bah, langit dibuka, lalu air
yang ada di langit itu diturunkan oleh Tuhan,
lalu menjadi penghukuman, penghakiman
bagi orang-orang yang hidup di dalam dosa,
dalam zaman Nuh. Kita bisa membaca ayat ini
dalam pengertian seperti itu atau bisa juga
membaca di dalam pengertian yang
sebaliknya, yang pasti ada satu transformasi
motif. Karena sebagaimana biasa, waktu
langit terbuka, termasuk juga dalam
peristiwa Sodom dan Gomora, Tuhan
menjatuhkan dari langit belerang dsb., tetapi
di sini menjadi satu berita kasih karunia,
Yesus sudah datang bukan untuk menghakimi,
tetapi untuk menyelamatkan orang-orang
yang berdosa, menyelamatkan saudara dan
saya. Kalau Tuhan menghakimi, tidak ada satu
orang pun yang bisa luput, karena setiap
orang dari pada kita berdosa dan kita hidup
dalam satu zaman yang semakin lama
bergerak ke arah semakin sekuler, orang
semakin tidak mengerti apa artinya dosa, hal
ini sudah menjangkiti dunia barat.
Saya baru mengikuti satu konferensi
tentang Heidelberg katekismus, lalu di situ
ada perdebatan tentang bagaimana orang
masih bisa menghayati relevansi dari pada
Heidelberg katekismus (salah satu pengakuan
iman reformed), ada beberapa pembawa
acara yang kemudian memberikan satu
GRII KG 681/720 (hal 1)
Hidup Menyenangkan Tuhan atau Manusia?
pendapat bahwa pengakuan ini sudah harus
diganti, karena tidak cocok lagi dengan cara
pikir orang modern, karena pengakuan ini
sudah 450 tahun yang lalu. Tetapi masih ada
juga pembawa acara yang coba mengkaitkan,
toh masih ada hal yang relevan dst. Yang pasti
dalam diskusi itu ada satu kata yang memang
seringkali sulit untuk dipahami yaitu waktu
ada pertanyaan mulai dengan satu kalimat,
“apakah penghiburanmu yang satu-satunya
baik di dalam kehidupan atupun kematian,
what is thy only comfort in life and death?”.
Pertanyaan pertama dalam Heidelberg
katekismus membuka kalimat seperti itu.
Waktu kita bicara tentang penghiburan, orang
yang tidak tahu-menahu atau tidak jujur di
dalam kehidupannya tentang penderitaan, kita
tidak akan bisa membicarakan tentang
penghiburan, karena penghiburan itu hanya
relevan bagi orang-orang yang sadar bahwa
dia hidup di dalam penderitaan.
Secara menarik, kalimat penghiburan kan
bukan
bicara
tentang
apakah
kebahagiaanmu? Karena kebahagiaan kan bisa
sangat subyektif, orang bisa berbicara tentang
kesenangan, oh saya bahagia kalau saya dapat
mobil mewah, kalau saya menikah, kalau saya
dapat pekerjaan yang gajinya besar dsb., jadi
kebahagiaan bisa banyak sekali artinya. Tetapi
waktu bicara tentang penghiburan, apakah
pengiburanmu satu-satunya? Pertanyaan itu
mengasumsikan, apakah engkau sadar,
engkau di dalam keadaan yang miserable,
yang kasihan dan karena itu engkau
membutuhkan penghiburan? Itu yang ada
dibalik pertanyaan tersebut, maka orangorang yang terus-menerus menghidupi satu
kehidupan yang seperti, bahagia, tidak ada
persoalan, senyum terus, kuat terus, tidak ada
air mata, tidak ada kesusahan, tidak ada
kesedihan, waktu ditanyakan kalimat ini “what
is thy only comfort, apakah penghiburanmu
satu-satunya?”,
dia
akan
bengong.
Penghiburan apa? Saya ini bukan orang susah,
saya orang yang berhasil, saya bukan orang
yang sedih, saya orang yang kuat, dst., ketika
kita membicarakan penghiburan kalimat yang
pertama itu menjadi tidak relevan di dalam
kehidupan orang modern, yang sekali lagi, ya
memang sering berpura-pura.
Kita percaya, di dalam kehidupan
manusia tidak ada satu orang pun yang tidak
menderita, tapi apakah orang itu jujur,
apakah orang itu terbuka di dalam
pergumulan dengan penderitaan tersebut,
apakah orang itu mau mengakui bahwa dia
memang berada di dalam penderitaan? Ada
orang-orang
yang
berusaha
menutup
penderitaannya dengan berbagai macam
aksesoris,
termasuk
aksesoris
rohani,
kompensasi supaya tidak kelihatan bahwa dia
susah, bahwa dia di dalam pergumulan, maka
Hidup Menyenangkan Tuhan atau Manusia?
dia coba untuk membangun satu benteng,
supaya orang tidak melihat kesulitan tersebut,
ketidakjujuran di dalam kehidupan manusia.
Kalau kita sudah bersikap seperti ini, maka
saya percaya, pertanyaan pertama dari
Heidelberg katekismus menjadi sangat tidak
relevan. Sebenarnya bukan Heidelberg
katekismus yang tidak relevan, kita yang tidak
relevan dengan firman Tuhan, karena kita
tidak jujur, karena tidak mau hidup apa
adanya, karena kita tidak terbuka dihadapan
Tuhan dan juga akhirnya dihadapan manusia.
Jadi waktu seseorang sadar bahwa dia
berada di dalam penderitaan dan alkitab
mengatakan, penderitaan yang terbesar
adalah manusia sudah jatuh di dalam dosa
dan mereka tidak bisa keluar dari padanya,
saudara dan saya, kita semua tidak bisa keluar
daripada jerat dosa itu, inilah penderitaan
yang terbesar di dalam kehidupan manusia.
Manusia bahkan tidak mampu untuk memiliki
dirinya sendiri, tidak bisa menjadi tuan atas
kehidupannya, dia menjadi budak dari dosa,
maka waktu Heidelberg katekismus bertanya,
apakah penghiburanmu satu-satunya? Di
jawab dengan satu jawaban sederhana yaitu
bahwa aku menjadi milik Yesus Kristus, ini
penghiburan terbesar, kita dimiliki oleh
Tuhan. Karena kita sendiri tidak sanggup
untuk memiliki diri kita sendiri, saudara dan
saya, kita pikir kita sanggup untuk memiliki
diri kita sendiri, saya memiliki saya pun
sebetulnya menurut firman Tuhan itu tidak
ada kesanggupan. Karena kita cenderung
untuk menyakiti diri kita sendiri, bahkan
menyakiti orang-orang yang ada disekitar kita,
kita tidak tahu bagaimana untuk membuat
kehidupan kita berbahagia dengan jalan dan
bijaksana kita sendiri. Maka waktu dikatakan
bahwa aku adalah milik Kristus, sungguhsungguh adalah penghiburan yang terbesar,
kita menjadi milik Kristus artinya Kristus yang
akan take care, yang akan merawat kehidupan
kita dari awal sampai dengan akhir, Dia yang
memulai iman di dalam kehidupan kita akan
menggenapkan dan menyempurnakan sampai
pada akhirnya. Itu adalah penghiburan di
dalam kehidupan manusia. Kalau kita sadar,
kalau kita jujur, kalau kita rendah hati bahwa
kita dari dalam satu keadaan yang miserable,
di dalam satu keadaan yang sulit, di dalam
satu keadaan yang kasihan, di dalam satu
keadaan yang terpuruk, maka injil menjadi
sesuatu yang masih relevan di dalam
kehidupan manusia.
Tanpa pengertian terbukalah langit di
dalam
aspek
penghakiman
atau
penghukuman Tuhan, seperti Sodom dan
Gomora atau orang-orang berdosa yang ada
di dalam zaman Nuh, tanpa pengertian ini,
maka kita akan sulit untuk menghayati apa
artinya langit terbuka dan Tuhan bukan
GRII KG 681/720 (hal 2)
menghukum tetapi menyatakan kasih
karuniaNya. Bukankah kekristenan seringkali
dituduh sebagai agama murahan? Bukankah
iman kristen seringkali dilecehkan sebagai
satu gambaran…aah itu orang-orang kristen
berbuat dosa tidak apa-apa, nanti tinggal
datang kepada Yesus Kristus minta ampun,
semua dosanya akan diampuni, betapapun
jahatnya, bukankah seringkali ada gambaran
karikatural seperti itu? Memang masuk akal,
kenapa? Karena tanpa penghayatan seseorang
akan dosa, akan seriusnya kejahatan manusia
dan akan kengerian betapa dahsyatnya murka
Allah, maka orang cenderung tidak bisa
mengerti tentang injil karunia, akhirnya masuk
di dalam gambaran karikatural seperti itu. Kok
enak sekali ya, hidup berdosa lalu diampuni,
berdosa lagi diampuni lagi, itu gambaran
terlalu murahan, manusia tidak membayar apa
yang sudah dia tabur akhirnya, lalu manusia
dengan begitu mudahnya menyerahkan
kepada Yesus Kristus untuk mengampuni, dst.,
maka terjadilah gambaran distorsi yang
seperti itu. Tetapi kalau kita memahami secara
benar, sekali lagi, berita dari Yohanes
Pembaptis, penghakiman, gambaran tentang
seperti apa yang dicatat dalam ayat 17, “alat
penampi
sudah
ditanganNya
untuk
membersihkan tempat pengirikanNya dan
untuk mengumpulkan gandumNya ke dalam
lumbungNya, tetapi debu jerami itu akan
dibakarNya
dalam
api
yang
tidak
terpadamkan”, ini satu kalimat yang keras.
Tanpa berita ini, sulit untuk menghayati
apa artinya langit terbuka, lalu Roh Kudus
turun di dalam rupa merpati, ke atas diri
Yesus, menjadi satu berita kash karunia yang
membebaskan kita dari dosa. Saya rindu,
kalimat seperti ini bukan hanya terjadi waktu
kita bertobat sekali seumur hidup itu, tetapi
juga di dalam ulangan-ulangan secara
repetitive di dalam kehidupan kita sehari-hari.
Waktu kita melihat bahwa kita masih
bergumul, bagaimana kita terus-menerus
membiarkan Roh Kudus itu bekerja di dalam
kehidupan kita untuk mematikan keinginan
manusia lama yang sudah disalibkan bersama
dengan Kristus.
Waktu kita membaca di dalam ayat 22,
kita mendapati satu prinsip yang sangat padat
diucapkan oleh Bapa yang di sorga kepada
Yesus Kristus di dalam peristiwa pentahbisan
ini, saya percaya di dalam bagian ini waktu
kita membaca, langit terbuka, Roh Kudus
turun keatasNya, itu sangat khusus, itu
particularly dialami oleh Yesus Kristus dan
berbeda dengan seluruh orang banyak yang
dibaptis oleh Yohanes Pembaptis. Tapi ayat 22
waktu Bapa memberikan kalimat kepada
Yesus Kristus ini menjadi satu prinsip yang
mendasari kehidupan kita sebagai human
being, sebagai manusia, ada 3 prinsip:
Pertama, tentang identitas, karena di sini
Bapa meneguhkan identitas Yesus sebagai
Sang Anak, sebagai satu-satunya Anak, Anak
yang tunggal, “Engkaulah AnakKu yang
Kukasihi”. Baptisan itu adalah satu penyataan
pengumuman identitas, sebagaimana yang
dibangun, diberikan oleh Tuhan sendiri di
dalam
kehidupan
kita.
Baptisan
itu
menyatakan identitas yang diberikan Tuhan di
dalam diri kita, bukan identitas yang kita cari
sendiri atau yang diberikan dunia. Di dalam
kehidupan kita, identitas berusaha dibangun
dari luar, pertanyaan siapa kamu, siapa saya,
itu menurut dunia dibangun berdasarkan apa
yang kita peroleh, apa yang kita achieve. Siapa
kamu? Oh saya orang kaya, maksudnya adalah
berapa banyak uang saya, itu menentukan
identitas saya, ini cara dunia. Siapa kamu? Oh
saya jenderal, maksudnya saya bukan kopral,
jadi identitas kita dibangun berdasarkan
power, dibangun berdasarkan jabatan yang
kita miliki di dalam dunia ini, lalu membentuk
identitas kita. Jadi apa yang kita achieve, apa
yang kita peroleh, apa yang dapat kita raih di
dalam dunia ini, hal itu kemudian membentuk
identitas kita. Tetapi ini bukan jalan kristen,
jalan kristen tidak membangun di dalam cara
seperti ini, dunia terus berusaha menarik kita
di dalam pembangunan identitas yang salah
seperti ini. Orang-orang yang terus-menerus
berusaha untuk membangun identitas diri dari
apa yang dia capai, dari apa yang dia peroleh.
Bahkan Yesus pun waktu kita membaca,
setelah Dia mengalami peristiwa inaugurasi,
pentahbisan, masuk di dalam pencobaan di
padang gurun, dikatakan, iblis pun mencobai
Yesus dengan berusaha untuk merontokkan
identitasNya dengan cara, Yesus disuruh
membangun,
membuktikan
identitasNya
bahwa Dia adalah Anak Allah dengan
achievement bisa mengubah batu menjadi
roti. Yesus pasti mempunyai kuasa mengubah
batu menjadi roti, itu bukan persoalan, Yesus
itu bisa, bukan tidak bisa, lalu kenapa Yesus
tetap tidak melakukan? Karena Dia bukan
membangun identitasNya dengan cara seperti
itu, bukan membangun satu identiitas Anak
Allah dengan berusaha untuk membuktikan,
dengan sanggup melakukan ini, maka itu
membuktikan bahwa Dia adalah Anak Allah.
Kita bukan membangun identitas kita dengan
cara apa yang kita lakukan, bukan, justru
identitas kita itu menjadi dasar dari apa yang
kita lakukan, mengapa saya bertindak seperti
itu? Karena saya memiliki identitas ini dan
bukan saya memiliki identitas ini karena saya
bertindak itu, bukan, itu sesuatu pembentukan
yang terbalik.
Identitas itu diberikan oleh Tuhan sendri
sudah mulai dari penciptaan mula-mula,
original creation, waktu kita membaca,
manusia itu diberikan identitas, created in the
GRII KG 681/720 (hal 3)
image of God. Tetapi manusia, kalau kita baca
pada saat peristiwa menara babel, manusia
tidak puas dengan identitas yang diberikan
oleh Tuhan. Manusia berusaha mencari nama,
manusia berkumpul menjadi satu lalu
membangun satu menara yang sampai
menuju ke langit, manusia mencari nama,
padahal manusia sudah diberikan nama,
Adam, Adam itu satu nama bukan? Tetapi
manusia tidak puas dengan identitas yang
diberikan oleh Tuhan. Sekali lagi, dunia akan
terus menyeret kita untuk membangun
identitas kita dengan cara-cara seperti,
membuktikan diri, berusaha sekeras mungkin
supaya dihargai oleh orang lain, berusaha
sekeras mungkin untuk membuktikan diri
supaya orang mengenal siapa saya. Saya
pernah share, kita hidup di dalam satu dunia
yang melakukan scaning, waktu kita masuk ke
satu toko di scaning dulu, orang ini kira-kira
kekuatan ekonominya berapa banyak? Lalu
kita juga merasa terganggu juga, kenapa
orang scaning kita seperti itu? Lalu mungkin
juga, jangan-jangan kita juga berusaha untuk
membuktikan diri supaya tidak dihina orang
lain, dst., karena kita memang hidup di dalam
budaya yang ketakutan untuk dihina dan
keserakahan untuk dihormati dst.
Tetapi
alkitab
memberikan
kita
pengertian bahwa kita bukan membangun
identitas kita dengan cara seperti itu, tidak,
kita bukan membangun identitas kita dengan
membuktikan diri, apa yang kita capai, apa
yang kita kerjakan lalu membuat orang lain
tertarik dan memberikan kita selamat karena
keberhasilan kita, bukan seperti itu. Tetapi
dengan identitas yang diberikan oleh Bapa
sendiri, Engkaulah AnakKu, kalimat ini cukup
dan bagi Yesus juga cukup, tidak perlu
dibuktikan dihadapan iblis waktu Dia dicobai,
tidak perlu. Dan karena bagi Yesus cukup,
maka harusnya bagi saudara dan saya juga
cukup, mau identitas apa lagi? Engkaulah
AnakKu, kita juga bisa mengatakan bahwa
kita juga anak Allah bukan? Seperti Yesus
yang adalah Anak Allah dan kita diadopsi di
dalam Yesus Kristus menjadi anak Allah,
bukankah itu satu identitas yang sangat mulia
dan tinggi? Tetapi manusia di dalam
kejatuhannya waktu kita membaca di dalam
kitab Kejadian 3, dia tidak puas dengan
identitas ini, dia ingin menjadi seperti Allah,
seperti saya mau menjadi setara dengan Allah.
Itu iblis menularkan ambisi liarnya, ambisi
keberdosaannya di dalam diri manusia, waktu
manusia berusaha menjadi seperti Allah di
dalam pengertian yang keliru. Tetapi
berbahagialah kita kalau kita sadar bahwa kita
adalah anak Allah dan karena itu kita
melakukan pekerjaan seorang anak Allah. Dari
identitas, kita bertindak, kita melakukan, kita
merasakan, kita mengekspresikan diri kita,
dasarnya adalah pengenalan identitas yang
benar, engkau adalah anak Allah. Apakah kita
bertindak, berkelakuan, berkata-kata seperti
seorang anak Allah?
Kedua, dalam ayat ini dikatakan,
“Engkaulah AnakKu yang Kukasihi”, ada
seorang penafsir mengatakan, ini juga adalah
basic
human
need
yaitu
kebutuhan
penerimaan, acceptance, Kukasihi. Bapa
memberikan satu statement ini kepada Sang
Anak dan juga kepada saudara dan saya, kita
adalah orang-orang yang dikasihi oleh Tuhan
dan kasih itu begitu sempurna, kasih yang
dinyatakan diatas kayu salib, kasih yang
menerima kita apa adanya. Sehingga kita tidak
perlu membuktikan diri supaya kita dikasihi,
tidak perlu, kita datang di dalam kegagalan,
kerentanan, kehinaan dan kebobrokan kita
dan Tuhan menerima kita apa adanya di
dalam kasihNya yang sempurna, kasih yang
mengampuni dan kasih yang memeluk. Ada
banyak orang yang bergumul di dalam
persoalan cinta kasih, saya tidak tahu saudara
lahir di dalam keluarga seperti apa, tetapi
saya sendiri mengamati di dalam kehidupan
saya sehari-hari, keluarga kita kan selalu tidak
sempurna. Ketidaksempurnaan itu ada
macam-macam, ada yang sangat tidak
sempurna sampai keluarga yang broken home,
meskipun tidak broken home, tetap tidak
sempurna juga. Di dalam persoalan keluarga
kita tidak bisa mendapati diri kita dikasihi
secara sempurna dan ada orang yang
memiliki sensitivitas kepekaan seperti terlalu
tinggi, hidupnya seperti diombang-ambingkan
satu pertanyaan antara penerimaan atau
penolakan? Dia menjadi orang yang sangat
sensitif dalam hal seperti itu.
Waktu seseorang bergumul dalam
keadaan seperti ini, dia akan sulit sekali untuk
mengasihi orang lain, sesamanya dan juga
termasuk mengasihi Tuhan dengan bebas.
Karena dia selalu ada pertanyaan, kenapa dia
tidak mengasihi saya? Kenapa dia tidak
menerima saya? Kenapa saya kurang
diperhatikan? Dst., pergumulan yang tidak
selesai-selesai, mencari penerimaan, mencari
seseorang yang menghargai dia, sedikit mirip
dengan persoalan identitas, tapi ada nuansa
yang berbeda. Allah yang mengasihi kita
dengan sempurna, waktu kita di dalam dunia
berusaha untuk mencari penerimaan, kita
akan exhausted, akan kelelahan, karena dunia
kita adalah dunia yang tidak sanggup
mengasihi, bahkan keluarga kita pun, orang
yang paling dekat dengan kita adalah orangorang yang juga tidak bisa mengasih kita
secara sempurna, baik papa, mama, suami
istri atau anak. Bagaimana kita bisa
mengharapkan kasih yang sempurna dari
mereka seperti kita mengharapkan kasih
Tuhan sendiri?
Maka Yesus di sini dikatakan, Engkaulah
AnakKu
yang
Kukasihi,
Bapa
tidak
mengatakan, Engkaulah AnakKu yang akan
dikasihi oleh mereka ini yang ada di sini,
tidak, Yesus tidak menerima kalimat seperti
GRII KG 681/720 (hal 4)
itu. Yesus tidak menerima kalimat, Engkaulah
AnakKu yang dikasihi oleh Yohanes
Pembaptis, tidak, karena Yohanes Pembaptis
pun juga bisa kecewa pada Yesus Kristus.
Yohanes Pembaptis menjadi discourage waktu
dia berada di dalam penjara (memang tidak
dibahas di sini), tetapi di dalam injil yang lain
dikatakan, Yohanes Pembaptis bertanya-tanya,
betulkah Dia Mesias? Mengapa Dia tidak
membebaskan saya dari penjara? Padahal di
dalam kutipan kitab nabi-nabi dalam PL
dikatakan, Dia bukan hanya menyembuhkan
orang yang buta menjadi celik, orang lumpuh
menjadi berjalan, tapi orang dalam penjara
juga akan keluar, tetapi saya tetap di dalam
penjara? Sebetulnya ini Mesias yang asli atau
bukan? Kalau Yesus membangun diriNya di
dalam penerimaan Yohanes Pembaptis, maka
pelayananNya akan sangat rapuh, demikian
juga saudara dan saya, waktu kita
membangun di dalam kehidupan, kita
meletakkan pada kasih sesama kita atau kasih
seorang istri, kasih seorang suami, kasih
keluarga atau kasih orang-orang yang dekat
dengan kita, maka kita akan menghidupi satu
kehidupan yang sangat rentan. Tidak ada
orang yang bisa mengasihi kita secara
sempurna, tidak ada orang yang bisa
menerima secara sempurna sampai tidak
pernah melukai sama sekali, kecuali Tuhan.
Berbahagialah mereka yang membangun
kehidupan penerimaan ini di dalam Yesus
Kristus yang menerima kita apa adanya.
Hanya orang-orang yang menerima
penerimaan seperti itu dia bisa mengasihi
sesamanya dengan bebas, karena dia tidak
ada motif mencari penerimaan bagi dirinya
sendiri lagi. Sekali lagi, orang yang masih
terus-menerus bergumul tentang penerimaan
untuk dirinya, waktu dia mengasihi orang lain,
dia bukan mengasihi orang lain, dia berusaha
untuk mencari penerimaan atas dirinya sendiri,
wah bahaya sekali pelayanan yang dikerjakan
seperti ini. Pelayanan menabur kesan, saya
melayani ini supaya saya dikenang, supaya
saya kelihatan bagus, supaya orang kagum
kepada saya, supaya saya kelihatan sebagai
orang yang wah, supaya saya kelihatan
sebagai orang yang baik, maka saya melayani
dia, saya tersenyum kepada dia, ini bukan
tulus, supaya orang melihat sebenarnya saya
orang yang suka tersenyum, ramah dst.
Membangun image, itu satu kehidupan yang
berpusat kepada diri sendiri, bukan satu
kehidupan yang mempermuliakan Tuhan,
tetapi satu kehidupan yang berpusat kepada
diri sendiri. Kasihan sekali orang-orang yang
terus-menerus bergumul dengan persoalan
penerimaan yang tidak selesai-selesai seperti
ini, akhirnya seluruh kehidupannya itu
dibangun
untuk
mengalami,
untuk
mendapatkan penerimaan dari sesama
manusia. Bagus tidak saya mengerjakan ini,
bagus kan? Kagum kan? Hebat kan?
Orang seperti ini tidak mengerti apa
yang dikatakan Bapa di sini kepada Yesus
Kristus, Engkaulah AnakKu yang Kukasihi,
kalimat ini cukup, kasih Tuhan itu cukup, ini
bukan berarti lalu kita menganggap sepi
semua penerimaan manusia, bukan. Yesus pun
memberikan diriNya untuk dilayani, waktu Dia
diurapi oleh seorang perempuan yang
berdosa, Yesus menyambut penerimaan
pelayanan tersebut, bahkan menegur Yudas
yang berpura-pura memperhatian orang
miskin dsb. Tetapi yang dimaksudkan di sini,
bahwa Yesus mencukupkan diriNya dengan
kasih yang sempurna dari BapaNya dan ini
menjadi satu kekuatan pelayanan, Dia tidak
pernah mencari muka, Dia tidak pernah
mencari perhatian, Dia tidak pernah di dalam
pelayananNya
itu
berusaha
untuk
mendapatkan sekedar penerimaan dari
manusia, tidak. Tetapi Dia melakukan segala
sesuatu dengan tulus justru karena Dia sudah
diterima secara sempurna, dikasihi secara
sempurna oleh BapaNya yang di sorga. Kita
rindu di dalam kehidupan kita, khususnya
yang hari ini menerima Baptis, Sidi dan
Atestasi juga mempunyai satu kekuatan
kepribadian seperti ini, kepribadian yang kuat,
waktu kita berhasil, waktu kita bisa menerima
dengan apa adanya penerimaan Tuhan di
dalam kehidupan kita.
Ketiga, kepadaMulah Aku berkenan,
perkenanan Allah, pleasing God and only
pleasing God, hanya menyenangkan Tuhan,
mencari perkenanan Tuhan. Penafsir tadi
mengatakan, ini juga salah satu dari basic
human need, yaitu persoalan tentang security,
persoalan kemananan, menurut Maslow itu
termasuk salah satu dari basic human need
yang terakhir, aktualisasi diri dsb., kita tidak
mengikuti teorinya dia. Tetapi banyak pemikir
di dalam dunia ini yang mengatakan, memang
persoalan security itu adalah persoalan yang
paling dasar di dalam kehidupan manusia.
Manusia tidak bisa hidup tanpa security, tidak
bisa hidup tanpa keamanan, kita hidup
berkeluarga, kita mau secure dan saya
percaya, waktu kita menjalankan secure, ini
bukan cuma sekedar kas untuk wanita saja,
tetapi
laki-laki
juga
sesungguhnya
membutuhkan
security
di
dalam
kehidupannya. Entah wanita atau pria,
keduanya
membutuhkan
security,
membutuhkan kemananan, satu keadaan
yang tidak menggelisahkan, keadaan seperti
itu, keamanan dibangun dengan apa?
Menurut alkitab dibangun waktu kita
berusaha
untuk
terus-menerus
hidup
menyenangkan Tuhan, lawan katanya adalah
hidup menyenangkan manusia.
Hidup menyenangkan manusia, itu
membuat kita hidup sangat tidak secure,
hidup gelisah, karena kita sudah berusaha
menyenangkan bagaimanapun ternyata dia
tidak puas. Akhirnya kita semakin gelisah, lalu
sudah disenangkan pun, hari ini senang, hari
GRII KG 681/720 (hal 1)
Hidup Menyenangkan Tuhan atau Manusia?
ini menerima, lalu besok sudah melupakan,
akhirnya gelisah lagi, hari ini memuji saya,
besok mencaci maki saya, hari ini
mengangkat, besok merendahkan dst., lalu
orang membangun di dalam keadaan seperti
itu, sangat kasihan sekali orang yang berusaha
untuk memperkenan manusia. Entah itu di
dalam kehidupan keluarga atau bahkan dalam
kehidupan pekerjaan kita, kan ada batas
waktu kita berusaha menyenangkan orang
lain, mau sampai mana? Orang yang
disenangkan juga tidak mengerti bahwa kita
sudah berusaha untuk menyenangkan dia,
tidak
ketemu
standarnya
atau
kita
berkompetisi dengan orang lain, juga
berusaha menyenangkan dia, akhirnya masuk
di dalam keadaan luar biasa insecure, sangat
tidak secure dan kultur kebudayaan kita itu
biasa menghidupi dengan cara seperti ini,
sekali lagi, satu kebudayaan saling mencari
muka, saling menyenangkan muka. Tetapi
Yesus membangun kehidupanNya dengan
terus-menerus mencari perkenanan dari
BapaNya yang di sorga, Dia datang untuk satu
tujuan yaitu menggenapkan kehendak Bapa
yang di sorga, bukan untuk mencari
kesenangan manusia.
Kalau
Yesus
mencari
kesenangan
manusia, Dia akan menjadi orang yang sangat
kasihan, Dia tidak lagi akan melakukan
pekerjaan Tuhan, demikian juga saudara dan
saya. Waktu kita berusaha untuk mencari
perkenanan manusia, waktu kita berusaha
untuk menyenangkan manusia, kehidupan kita
akan masuk dalam satu kegelisahan yang
tidak habis-habis. Tetapi jangan lupa, bukan
hanya
menyenangkan
manusia
dalam
pengertian menyenangkan manusia orang
lain, tetapi kita juga bisa jatuh ke dalam dosa
menyenangkan diri sendiri. Mungkin bukan
cari
muka,
tetapi
berusaha
untuk
menyenangkan diri sendiri, memperkenanan
diri sendiri, bukan memperkenan Tuhan,
orang yang terus-menerus mencari dirinya
sendiri, alkitab dengan jelas mengatakan, dia
akan kehilangan, barangsiapa mencari
nyawanya, dia justru kehilangan nyawanya,
barangsiapa mengejar dirinya sendiri, dia akan
kehilangan dirinya sendiri. Mendapatkan diri
bukan berusaha untuk menyelamatkan, tetapi
dengan mengorbankannya bagi Tuhan, itu
dia menyelamatkan dirinya sendiri.
Sekali lagi, Heidelberg katekismus
mengatakan, kita ini milik Kristus, itu satu
penghiburan yang tinggi, penghiburang yang
satu-satunya baik di dalam kehidupan ini atau
di dalam kematian. Kita ini milik Kristus,
maka waktu kehidupan kita berusaha untuk
menyenangkan Kristus, itu menjadi satu
kehidupan yang betul-betul paling bermakna,
yang bisa dihidupi oleh seorang manusia.
tetapi waktu seseorang berusaha untuk
Hidup Menyenangkan Tuhan atau Manusia?
menyenangkan dirinya sendiri dengan satu
pikiran, “saya adalah milik saya sendiri”,
“saya adalah milik keluarga saya”, “keluarga
saya adalah milik saya” dan tidak ada milik
Kristus di situ, maka yang terjadi adalah kita
berusaha saling memperkenan satu dengan
yang lain, lalu masuk di dalam kebudayaan
sungkanisme. Sungkanisme itu juga ada
batasnya, satu saat akan meledak juga,
kehidupan seperti itu sebetulnya tidak bisa
dihidupi, terlalu rentan, terlalu rapuh. Orang
yang di dalam kehidupannya, baik dia
memperkenan sesamanya, memperkenan
orang lain atau memperkenan dirinya sendiri,
maka dia tidak akan mengalami sekuritas yang
sejati seperti yang diberikan Bapa kepada
Yesus. Yesus yang seumur hidupNya terusmenerus berusaha untuk memperkenan
Tuhan, waktu memperkenan Tuhan kadang
bisa ada konflik dengan memperkenan
manusia.
Tetapi kita percaya orang-orang seperti
itu yang memelihara integritas hidup yang
sesungguhnya, integritas rohani seperti yang
diajarakan oleh firman Tuhan. Kita teringat
kepada seorang Petrus waktu dia sendiri juga
berada di dalam konflik, seorang Petrus yang
sangat punya kelemahan tentang hal ini, dia
orang yang takut-takut, takut-takut kepada
sesama dan sepertinya ini tidak langsung
beres di dalam kehidupannnya. Paulus pernah
mencatat, ini bahkan setelah peristiwa Yesus
sudah merestorasi dia, kita tahu Petrus jatuh
di dalam dosa kegagalan dia berusaha untuk
menyenangkan
manusia,
akhirnya
dia
menghianati Yesus, dia menyangkal Yesus, lalu
Yesus memulihkan dia, tapi masih juga punya
kelemahan ini. Waktu Paulus mencatat di
dalam surat Galatia, dikatakan disitu
bagaimana Petrus makan bersama dengan
orang-orang yang tidak disunat, kemudian
datang orang-orang Yahudi, lalu Petrus purapura mengundurkan diri, seolah-olah dia tidak
pernah makan bersama dengan orang-orang
yang tidak berusunat tersebut. Masih
berusaha untuk mencari perkenan muka
manusia, lalu Paulus menegur dia, karena itu
satu perbuatan kemunafikan dst. Tapi kita
membaca
di
dalam
kesaksian
yang
mempermuliakan Tuhan, yang dicatat di
dalam Kisah Para Rasul, bagaimana waktu dia
berada di dalam konflik, masih ada pilihan
mau
menyenangkan
Tuhan
atau
menyenangkan manusia, di situ dia dengan
berani di dalam kepenuhan Roh Kudus
mengatakan, silahkan kamu tentukan sendiri,
mana yang lebih baik, takut kepada Allah atau
takut kepada manusia? (Waktu di dalam
peristiwa dia menyembuhkan seseorang di
pintu gerbang, lalu di situ dipersoalkan
menjadi satu tindakan yang melawan hukum
taurat).
GRII KG 681/720 (hal 2)
Kita rindu di dalam kehidupan kita ada
pengalaman-pengalaman seperti ini, mungkin
tidak harus setiap hari, tetapi waktu datang
saat-saat seperti ini kita bisa memilih dengan
tepat,
siapa
yang
kita
senangkan,
menyenangkan Tuhan atau menyenangkan
manusia, menyenangkan diri sendiri atau
mempekenan
Tuhan?
Yesus
seumur
hidupNya, Dia membangun di dalam satu
kehidupan
yang
terus-menerus
menyenangkan BapaNya yang di sorga dan di
dalam keadaan seperti ini, masuk ke dalam
berbagai macam penderitaan, krisis, masuk ke
dalam berbagai macam pergumulan yang
begitu berat, Dia tetap secure, Dia tetap tidak
tergoncangkan, karena Dia hanya memiliki
satu goal di dalam kehidupanNya yaitu
bagaimana menyenangkan BapaNya. Kiranya
ini menjadi satu kehidupan yang juga hadir di
dalam kehidupan kita dan kiranya Tuhan
memberkati kita semua. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa
oleh pengkhotbah (AS)
GRII KG 681/720 (hal 3)
Download