Kala Yesus Naik ke Surga Kenaikan Yesus ke surga bukan untuk kepentingan diri sendiri, bukan sekadar kembali ke asal, bukan “mudik” atau “pulang kampung. Weinata Sairin Gereja-gereja di Indonesia dan di seluruh dunia, pada 29 Mei 2014 memperingati secara khusus Hari Kenaikan Yesus ke Surga. Hari Natal (kelahiran Yesus), Hari Jumat Agung (kematian Yesus), Hari Paskah (Kebangkitan Yesus dari kematian), dan Hari Kenaikan Yesus ke Surga adalah titik-titik penting sejarah kehidupan Yesus, yang mendapat perhatian utama dari gereja-gereja dan umat Kristen. Keempat hari raya gerejawi itu memiliki keterkaitan satu sama lain, dan diperingati terusmenerus sepanjang zaman. Selain empat hari raya gerejawi itu, dalam hubungan dengan Yesus, gereja-gereja dan umat Kristen mengenal hari kedatangan Yesus yang kedua kali, saat sejarah dunia ini akan berakhir dan apa yang biasa disebut dengan hari kiamat itu akan terjadi. Menurut kepercayaan Kristen, ada paradoks antara Natal dan kedatangan Yesus yang kedua kali, Yesus datang dengan penuh kemuliaan. Gereja-gereja amat menantikan kedatangan Yesus yang kedua, yang dipercaya akan memberi perspektif baru bagi gereja dan umat Kristen. Dalam konteks itu, gereja hidup dalam suatu ketegangan kreatif, ketegangan dalam menanti kedatangan Yesus yang kedua kali, yang mesti diisi dengan pelayanan dan karya terbaik. Alkitab memang tidak memberikan waktu definitif, kapan peristiwa kedatangan Yesus kedua akan terjadi. Adanya kelaparan, gempa bumi, perang antarbangsa, munculnya nabi palsu, kedurhakaan manusia bertambah, kasih antarmanusia tidak lagi bersemi, dicatat Alkitab sebagai tanda-tanda yang mendahului hari kiamat. Bukan Hari Raya Seremonial Umat Kristen Indonesia patut bersyukur karena Hari Kenaikan Yesus 2014 dirasakan dalam sebuah hari libur nasional. Umat Kristen dapat melaksanakan ibadahnya dengan baik. Pada 2003, secara gegabah pemerintah memundurkan Hari Kenaikan Yesus yang seharusnya 29 Mei 2003, menjadi Jumat 30 Mei 2013, dengan alasan hari raya itu bersifat seremonial dan bukan ritual sehingga bisa dimundurkan. Pemerintah dalam konteks ini telah bertindak sangat jauh dengan mengintervensi agama, yang bukan domainnya. Presiden dan wakil presiden baru nanti, siapa pun ia, tidak boleh mengulangi hal itu. Ketika pemerintah melecehkan kesucian agama dengan memundurkan hari raya keagamaan, yang bukan bagian dari ranahnya. Peristiwa kenaikan Yesus ke surga merupakan kulminasi dan klimaks dari rangkaian pelayanan yang Yesus lakukan di tengah dunia untuk menyelamatkan umat manusia. Ada banyak aspek yang amat mendasar yang penting dicatat dalam hubungan dengan kenaikan Yesus ke surga. Kala Yesus terangkat ke surga, dan awan menutupi-Nya. Hal ini memberikan pesan Yesus ada dalam kemuliaan. Makna awan dalam Alkitab Perjanjian Lama adalah ungkapan dari kemuliaan dan kehadiran Allah (Kel 40:39; 1 Raj 8:10-11). Yesus bukan dari dunia ini, Ia tidak terikat dan terbelenggu pada dunia, Ia kembali ke “habitat”-Nya yang awal, Ia naik ke surga karena Ia memiliki kodrat ilahi. Sekaligus dengan itu, Ia mempunyai bagian dalam kemuliaan Allah, bahkan Ia berkuasa untuk memerintah di surga dan di Bumi. Itulah juga makna hakiki tatkala Yesus diberi gelar Mesias (Ibr: masyiakh) atau Kristus (Yun: khristos) yang berarti “Ia yang diurapi”, sebuah gelar yang memiliki keterhubungan dengan peran, kapasitas, dan kompetensi yang Ia miliki. Ini bukan gelar sembarangan, apalagi gelar palsu yang diperoleh dengan cara melawan hukum. Kenaikan Yesus ke surga bukan untuk kepentingan diri sendiri, bukan sekadar kembali ke asal, bukan “mudik” atau “pulang kampung,” tetapi ada misi mulia, yaitu menyiapkan tempat bagi umatNya, pada masa depan. Yesus menjadi pionir menyiapkan tempat nyaman dan abadi bagi manusia untuk dihidupinya pada masa depan dalam ruang waktu baru. Yesus menyatakan, “Aku pergi menyediakan tempat bagimu (Yoh 14:2b). “Pergi” adalah sebuah kata kerja sehingga selalu memiliki pengertian dinamik. Pergi berarti tidak berdiam diri, duduk santai; pergi justru memanifestasi dalam tindakan yang bergerak, berangkat menuju ke suatu tempat, arah, atau wilayah. Peristiwa Kenaikan Yesus harus diartikan sebagai pemuliaan terhadap Yesus Kristus. Alkitab mengatakan, Ia ada “di sebelah kanan Allah, setelah Ia naik ke sorga sesudah segala malaikat, kuasa, dan kekuatan ditaklukkan kepada-Nya” (1 Ptr 3:22); Allah sangat meninggikan Dia (Flp 2:9); Ia adalah Tuhan atas segala sesuatu (Ef 1:22). Kemuliaan dan kuasa benar-benar ada pada Yesus Kristus; kenaikan-Nya ke surga menegaskan hal itu. Kekuatan baru Gereja dan umat Kristen harus bersyukur atas pesan-pesan Alkitab seperti ini. Yesus yang menjadi Tuhan dan Kepala Gereja adalah Yesus Kristus yang memiliki kemuliaan dan kuasa. Penderitaan, rasa terpuruk, posisi marjinal dan minoritas, situasi diskriminasi yang selama ini seolah menjadi stigma dari kekristenan, dalam perspektif kenaikan Yesus ke surga memiliki perspektif baru. Gereja dan umat Kristen memiliki kekuatan baru menjadikan kekristenan sebuah komunitas yang bermakna dan diperhitungkan. Menghidupi zaman seperti ini memang penuh ketegangan. Itu karena jadwal waktu kedatangan Yesus kedua kali amat rahasia dan tak bisa diprediksi manusia. Ketegangan itu seharusnya mampu mendorong kreativitas gereja dan umat Kristiani mengembangkan bentuk-bentuk pelayanan yang baru di tengah realitas dunia yang sedang berubah. Kepergian-Nya adalah kepergian yang menyediakan, dengan misi mulia menyediakan tempat bagi umat manusia yang percaya kepada-Nya. Realitas ini semestinya menyadarkan gereja dan umat Kristiani untuk tidak terjebak dalam situasi membelenggu diri dengan tempat, locus, di sini di bumi ini, melainkan kepada yang di sana, pada keakanan, pada tempat dan lokasi yang Yesus sediakan. Peristiwa kenaikan Yesus ke surga memiliki makna amat strategis. Gereja-gereja dan umat Kristen mengalami penguatan, penghiburan, bahkan pencerahan, karena Yesus Kristus pulang ke rumah Bapa, naik ke surga untuk menyiapkan tempat bagi umat-Nya. Bukan lari dari tanggung jawab atau kenyataan, melainkan justru mengemban tugas dan tanggung jawab baru, yaitu mempersiapkan segala sesuatu bagi kepentingan umat pada masa depan. Kondisi ini harus memotivasi gereja-gereja dan umat Kristen untuk meningkatkan kualitas pelayanannya di dunia. Tugas-tugas penyembuhan, pembebasan dari kebodohan, perlindungan HAM, peningkatan harkat dan martabat manusia, concern terhadap orang-orang marjinal yang dulu dilakukan Yesus, kini mesti ditangani gereja dan umat Kristen. Tugas-tugas menguatkan dan menghibur orang-orang yang berduka, terluka, tersingkir, mereka yang menjadi korban kejahatan seksual, korban terorisme, korban konflik, harus dilayani gereja. Gereja tidak boleh diam dan bisu! (*) Penulis adalah teolog, anggota BSNP, menulis tesis S-2 tentang Muhammadiyah, di STT Jakarta.