GONG 1 G O N G 1.1. Pendahuluan Dalam buku ini kita akan mempelajari banyak hal yang berhubungan dengan satu alat musik yang secara teknis disebut gong. Anda mungkin sudah terbiasa mengenal sebuah gong. Alat musik lazimnya terbuat dari logam, bentuknya bundar besar, dengan pencu atau benjolan bulat di tengah, dan biasanya digantung dengan tali pada sebuah bingkai penopang. Dalam bahasa Jawa dan Bali, alat semacam ini sering disebut gong, atau dalam bahasa Sunda dan Betawi, goong. Dalam bahasa-bahasa lain alat ini memiliki nama yang berbeda-beda. Dalam bahasa Toba, gong dinamai ogung, sedangkan dalam bahasa Melayu, tawak . Di Jawa, gong yang besar disebut gong tetapi ada yang lebih kecil yang dinamai kempul, dan ada beberapa macam lain lagi yang disebut kenong, kethuk, kempyang, bonang, dan bende. Dalam bahasa Anakalang, Sumba, gong disebut mabakul. Gbr. 1.1: Gong, Sunda 2 GONG Gbr. 1.2: Gong dan kempul, Jawa Tengah (ukuran permukaannya lebih besar daripada ukuran badannya) Gbr.1.3: Gong, Vietnam Gbr. 1.4: Gong datar, Tibet Gbr. 1.5: Ilustrasi rangkaian gong kecil di atas sebuah rak (ukuran permukaannya hampir sama dengan ukuran badannya) GONG 3 Pusat getaran Dalam bahasa Inggris, istilah gong muncul pertama kali sekitar tahun 1600, dan barangkali dipinjam dari Indonesia. Ketika ahli akustika mulai melakukan penggolongan terhadap alat-alat musik, istilah gong dipilih sebagai istilah baku untuk mewadahi semua alat musik yang terbuat dari logam dan bentuknya bundar, baik yang berpencu maupun yang tidak, dengan ukuran diameter dan kedalaman yang bervariasi. Istilah tersebut sekarang menjadi istilah teknis atau ilmiah yang mengacu pada semua alat musik yang memiliki ciri dan prinsip bunyi yang sama dengan gong Jawa (berpencu) dan gong Cina (tanpa pencu). Prinsip bunyi gong yang dimaksud di sini adalah sebagai berikut: apabila gong dipukul, maka pusat getaran terkuat terletak di bagian tengah permukaan alat. Jika gong memiliki pencu, getaran terkuat terletak di pencu, sedangkan kalau tanpa pencu getaran terkuat tetap berada di tengah permukaan. Getaran inilah yang sampai pada telinga kita sebagai bunyi. (Lihat bab 2.) Coba membandingkan prinsip bunyi gong dengan lonceng. Pada lonceng, pusat getarannya terletak di ujung atau bibirnya. Perbedaan prinsip ini bisa dibuktikan dengan cara meredam bunyinya. Untuk meredam suara gong, peganglah bagian pencu (jika ada). Sedangkan untuk meredam suara lonceng, bibir Gbr. 1.6: Gong datar, Cina lonceng dipegang atau rongganya ditutup. Buku ini dengan sengaja menggunakan istilah gong agar bisa menampung semua alat musik yang memiliki prinsip bunyi yang disebut di atas. Jadi, sekalipun banyak masyarakat Gbr. 1.7: Gong, Kalimantan menggunakan nama sendiri-sendiri untuk alat tersebut, buku ini tetap menggunakan istilah gong. Gong (dalam arti luas ini) banyak terdapat di Indonesia dan Asia Tenggara, serta negara-negara Ensambel lain di Asia. (sekumpulan alat musik yang Gbr. 1.8: Lonceng dimainkan bersama-sama) yang 4 GONG menggunakan gong sangat beraneka ragam. Ada ensambel yang hanya menggunakan beberapa gong, tanpa alat lain. Namun ada juga ensambel yang menggunakan satu gong saja ditambah dengan beberapa alat musik lain, seperti biola, akordeon, dan gendang. Di samping itu, terdapat pula ensambel yang menggabungkan beberapa gong dengan alat musik lainnya, dan sebagainya. Peranan gong dalam sebuah ensambel beraneka ragam pula. Ada ensambel yang menggunakan serangkaian gong yang terus-menerus membawakan lagu utama, sementara ada ensambel lain yang menggunakan gong sesekali saja. Selain itu, masih banyak peranan lain dari gong dalam ensambel tertentu. Gbr. 1.9: Satu dari empat ogung Batak Toba, Sumatera Utara Gbr. 1.10: Gong gantung, Nias Gbr. 1.11: Ensambel gong dari Sumba Barat GONG Gbr. 1.12: Gong di atas rak, Pulau Bintan, Riau Kepulauan (ensambel Mak Yong) 5 Gbr. 1.13: Gong gantung dari Tolaki, Sulawesi Tenggara Gbr. 1.14: Saronen, arakan gong, Madura Gbr. 1.15: Gong gantung dari Sunda Gbr. 1.16: Khong wong yai, rangkaian gong melingkar, Thailand 6 GONG Gbr. 1.17: Calempung (rangkaian gong), masyarakat Petalangan, Kabupaten Kampar, Propinsi Riau Gbr. 1.18: Gong gantung dari Filipina Gbr. 1.19: Arakan gong, Lombok Gbr. 1.21: Kromong, rangkaian gong, Betawi Gbr. 1.20: Bebonangan, arakan gong, Bali Gbr. 1.22: Bonang, gamelan degung, Sunda Gbr. 1.23: Gong waning, Sikka, Flores GONG Gbr. 1.24: Talempong pacik , Sumatera Barat 7 Gbr. 1.25: Gong gantung, Timor Gbr. 1.26: Reyong, rangkaian gong, Bali Dalam buku ini, gong bukan satu-satunya fokus kita. Namun gong menjadi “kendaraan” untuk menjelaskan topik-topik lain yang berkaitan. Topik-topik yang akan dibahas dalam buku ini, antara lain: 8 GONG Gong sebagai alat musik. Gong tunggal, atau seperangkat gong yang terdapat di Indonesia dan luar negeri. Ensambel-ensambel di Indonesia yang menggunakan gong. Jenis alat musik lain yang dimainkan bersama dengan gong. Berbagai peranan gong dalam komposisi atau susunan musik. Beberapa teknik susunan musik yang seringkali terdapat dalam permainan gong atau ensambel yang melibatkan gong. Penggunaan teknik susunan musik tadi, namun diterapkan pada alat musik lain: alat musik bertabung bambu, berbilah logam, rebana, atau dawai bambu/kawat, serta suara manusia. Fungsi sosial gong dan ensambel dengan gong. 1.2. Ensambel dengan Gong VIDEO CD VCD 1, track 2 Videoklip pengantar: Ensambel gong Nusantara Dalam buku ini, kita akan berfokus pada berbagai macam ensambel yang menggunakan gong, baik di Indonesia maupun mancanegara. Barangkali ensambel gong yang paling dikenal baik di Indonesia maupun di mancanegara adalah ensambel gamelan Jawa dan Bali. Namun masih banyak ensambel dengan gong lainnya di Nusantara, dan tidak semua disebut dengan gamelan. Di bawah ini, ada beberapa contoh ensambel di Indonesia yang menggunakan gong. Coba perhatikan keanekaragaman susunan alat musik dalam ensambel di bawah ini: Ensambel untuk ronggeng Melayu dari Sumatera. Ensambel itu terdiri atas biola, vokal, akordion, dua gendang, dan satu gong gantung (tetawak). Gondang sabangunan dari Sumatera Utara. Ensambel itu terdiri atas taganing (lima gendang yang dilaras untuk membawa lagu), satu gendang besar lagi, serunai, hesek (alat perkusi kecil), dan ogung (empat gong, masing-masing dengan pemain sendiri). Gong waning dari Kabupaten Sikka, Flores. Ensambel itu terdiri atas lima buah gong (masing-masing dipegang oleh satu pemain), dua gendang, dan bambu panjang yang dipukul. Ensambel untuk begandang dari masyarakat Jalai, Kalimantan Barat. Ensambel itu terdiri atas kelinang (delapan gong kecil yang disusun di atas rak dan dimainkan oleh seorang pemain), satu atau dua tawak (gong gantung dengan badan [kedalaman] panjang), tiga GONG 9 babandih (gong dengan badan lebih pendek daripada tawak dan posisinya dipeluk oleh pemain), dan gendang. Ensambel untuk gandrung dari Banyuwangi, Jawa Timur. Ensambel itu terdiri atas dua biola, vokal, gendang, dua gong kecil (kethuk) dalam rak, serta satu gong gantung. Gamelan Jawa yang umum di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Ensambel itu terdiri atas rebab (alat dawai yang digesek), vokal laki-laki, vokal perempuan, beberapa macam alat bilahan logam, gambang (alat bilahan kayu), celempung (alat dawai yang dipetik), beberapa kendhang (gendang), suling, dua bonang (masing-masing terdiri dari 10-14 gong kecil di atas rak; setiap bonang dimainkan oleh seorang pemain), kenong (beberapa gong berukuran sedang, dengan badan [kedalaman] panjang dan diletakkan di atas rak; alat musik itu dimainkan oleh seorang pemain), kethuk-kempyang (dua gong kecil dan diletakkan di atas rak), kempul (beberapa gong berukuran sedang dengan ukuran badan lebih pendek, digantung dengan tali pada tiang penopang; alat musik itu dimainkan oleh seorang pemain), gong suwukan (gong gantung, besarnya di antara kempul dan gong ageng), dan gong ageng (gong gantung paling besar). 1.3. Di Mana Gong Dijumpai? Gong bisa ditemukan dalam ensambel-ensambel di berbagai wilayah di Indonesia, tidak hanya di tempat asalnya. Coba bayangkan gitar atau biola: sekalipun keduanya berasal dari Eropa tetapi saat ini telah tersebar di seluruh Indonesia. Begitu pula dengan gong. Penduduk yang berpindah seringkali membawa serta alat musik mereka ke tempat yang baru. Dan seorang raja zaman dahulu, bisa saja menghadiahkan sebuah gamelan kepada kerajaan lain, lalu gamelan itu menjadi lambang kebesaran di istana baru. Ensambel gong juga ditemukan di luar Indonesia, terutama di kawasan Asia Tenggara. Misalnya, ensambel piphat di Thailand, pin peat di Kamboja, piphat atau sep nyai di Laos, hsaing waing di Myanmar, gamelan Trengganu di Malaysia, kulintang di Filipina, dan ensambel “gong datar” (tanpa pencu) di kawasan pegunungan Vietnam dan Filipina. VIDEO CD VCD 1, track 3 Ensambel gong Mancanegara; VCD 2, track 36 Gerantung (gong datar), Pak Pak, Sumatera Utara 10 GONG Gbr. 1.27a Gbr. 1.27b Gbr. 1.27a & 1.27b: Bonang dalam gamelan di Boven Digoel, Papua Di Boven Digoel, Papua, tempat tahanan politik di zaman kolonial Belanda, ada alat-alat musik sejenis gamelan Jawa. Alat musiknya direkayasa dari bendabenda yang ada di sekitar lingkungan tahanan dan dimainkan untuk menumpahkan kerinduan akan tempat asal mereka. Bonang, misalnya, dibuat dari rantang besi (tempat makanan) oleh tahanan yang berasal dari Jawa. Secara akustika, prinsipnya sama dengan gong datar. Sementara itu, di Kraton Kasunanan, Surakarta, juga terdapat seperangkat Gamelan Genta, yang kabarnya dihadiahkan oleh Raja Siam, sekitar abad kesembilanbelas. Secara akustika, prinsipnya sama dengan lonceng (genta). Gbr 1. 28 Bonang, dalam perangkat Gamelan Genta milik Kraton Kasunanan Surakarta, yang kabarnya dihadiahkan oleh Raja Siam, sekitar abad kesembilanbelas. Gbr. 1.29: Talempong duduak, Sumatera Barat GONG 11 Gbr. 1.30: Pin peat, Kamboja Gbr. 1.31: Gong renteng, Cirebon Gbr. 1.32: Gamelan Jawa Tengah Gbr. 1.33: Ensambel gong dari Kalimantan 12 GONG Gbr. 1.34a Gbr. 1.34b Gbr. 1.34a & 1.34b: Gong datar, Filipina GONG 13 Gong tersebar bahkan sampai ke Jepang, Australia, Eropa, dan Amerika. Kemajuan teknologi, industri media, dan transportasi, telah meningkatkan pergaulan seni budaya antarbangsa. Perkembangan fungsi musikal dan pergaulan budaya antarbangsa memungkinkan musik gong dari Indonesia semakin dikenal, dipakai, dan dinikmati di berbagai penjuru dunia. Pada umumnya, musik Indonesia yang dikenal di luar Asia Tenggara adalah musik gamelan dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Bali. Di Eropa, Jepang, Amerika, Australia, dan Selandia Baru musik gamelan ini bahkan menjadi salah satu bahan ajar pendidikan seni di sekolah menengah dan universitas. Saat ini di Amerika diperkirakan terdapat lebih dari dua ratus gamelan dan ensambel lainnya dari Indonesia. Ensambel itu merupakan buatan Indonesia asli atau modifikasi orang Amerika. Berbagai ajang festival gamelan juga sering diselenggarakan di beberapa wilayah mancanegara. International Gamelan Festival pertama, yang diadakan pada tahun 1986, bahkan diselenggarakan di Vancouver, Kanada. Jadi, alat musik gong dari Indonesia sudah dikenal luas di dunia. 1.4. Gong Sekarang Ini Tidak semua musik gamelan yang terdapat di luar negeri diciptakan dengan gaya tradisional (dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Bali). Ada pula yang dibuat dengan gaya kreasi baru. Komponis dari Indonesia atau luar negeri menciptakan komposisi musik itu dengan alat musik tradisional dan atau alat-alat musik baru buatan setempat. Di Indonesia, musik gamelan kreasi baru yang diciptakan oleh komponis Indonesia dipelajari juga di perguruan tinggi dan sanggar. Sedikitnya ada tiga golongan komponis baru, yaitu: VIDEO CD VCD 1, track 4 – 8 Komposisi Baru 1. Komponis yang menciptakan komposisi baru untuk gamelan standar. Komponis Indonesia yang termasuk dalam golongan ini adalah, antara lain, Rahayu Supanggah, Al. Suwardi, dan I. M. Harjito. Mereka berasal dari tradisi gamelan Surakarta. Komponis lain adalah Dewa Putu Berata dan Dewa Ketut Alit dari Sanggar Çudamani di Bali. I Wayan Sadra dan I Nyoman Windha juga berangkat dari tradisi di Bali. Para komponis ini bisa saja memakai teknik-teknik yang umum (standar) dalam suatu komposisi. Mereka juga bisa menggunakan teknik baru yang inovatif, atau mencampur teknik standar dan teknik baru. Komponis Barat yang menciptakan komposisi baru untuk gamelan standar, umumnya membuat komposisi untuk gamelan 14 GONG Bali, terutama untuk gong kebyar. Misalnya, Michael Tenzer dan Evan Ziporyn. Komponis-komponis terkadang melibatkan alat lain yang berasal dari luar tradisi gamelan ke dalam komposisinya. I. M. Harjito, misalnya, pernah membuat komposisi untuk gamelan Jawa, lalu ditambah dengan bagpipe Skotlandia. 2. Komponis yang membuat komposisi untuk gamelan kreasi. Ada komponis yang tertarik dengan konsep gamelan dan alat-alatnya, tetapi ingin membuat alat-alat sendiri berdasarkan prinsip akustik gamelan. Di Amerika, ensambel-ensambel kreasi ini sering disebut American gamelan (“gamelan buatan Amerika”). Komponis yang terkenal dalam bidang ini adalah mendiang Lou Harrison. Bisa juga menyebut nama Barbara Benary. Di Indonesia, nama Al. Suwardi perlu dicatat. Ia pernah membuat gamelan genta. Seluruh alatnya terbuat dari genta (atau lonceng). Selain itu ada pula Rahayu Supanggah, yang membuat “Gamelan Mr. Black” dengan gong datar (jenis bende). Gbr 1. 36: Gamelan Mr. Black, Rahayu Supanggah, menggunakan jenis gong datar (bende) Gbr. 1.35: Gamelan “Padhang Moncar”, University of Wellington, Selandia Baru Gbr. 1.37: bagpipe GONG 15 Gbr. 1.38: Gamelan “Evergreen” dari Kanada Gbr. 1.39: Gamelan Genta, karya Al. Suwardi 3. Penggolongan yang terakhir adalah komponis yang menulis komposisi untuk orkes dan alat-alat musik Barat dengan menggunakan kesan dan pengaruh dari suara gamelan. Komponis yang termasuk dalam golongan ini di antaranya adalah Claude Debussy. Komponis Perancis ini mendengar gamelan Jawa dalam pameran di Paris pada tahun 1889. Kemudian ia membuat komposisi piano berdasarkan kesan yang didapatnya. Selain itu, ada pula Colin McPhee (dari Kanada) dan Benjamin Britten (dari Inggris) yang memasukkan lagu gaya Bali ke dalam beberapa komposisinya. Mereka juga berusaha meniru timbre (warna suara) dan komposisi gamelan Bali pada alat-alat musik Barat. Beberapa musisi Indonesia, seperti Bubi Chen, dan Band Krakatau juga pernah membuat komposisi untuk alat-alat musik Barat setelah mendapat inspirasi dari gamelan Sunda. 16 GONG Kebudayaan Dong Son di Vietnam— Asal-usul Gong di Indonesia? Gendang perunggu Masa prasejarah di Asia Tenggara mencatat suatu periode yang disebut dengan “periode Dong Son.” Istilah Dong Son diambil dari nama sebuah desa di tepi Sungai Ma, di Provinsi Thanh Hoa, Vietnam Utara. Desa itu merupakan situs yang digali oleh arkeolog sekitar tahun 1930-an. Di tempat itu banyak ditemukan peninggalan barang kuno dari tahun 500-100 SM. Situs-situs lain dengan barang-barang sejenis banyak ditemukan kemudian. Namun, kebudayaan yang diwakili oleh barang-barang sejenis ini umumnya dirujuk pada nama tempat ditemukannya pertama kali, yaitu Dong Son. Pada masa itu, teknologi pembuatan barang dari perunggu sudah ada. Hal itu dibuktikan dengan temuan salah satu alat yang disebut gendang perunggu. Meski bentuknya seperti gendang (muka atau tutupnya bukan terbuat dari kulit melainkan dari logam), secara akustika gendang perunggu itu adalah sejenis gong. Gbr. 1.40: Moko dari Alor, NTT GONG 17 Gbr. 1.41: Peta lokasi Dong Son, Vietnam dan tempat penemuan gendang perunggu di Indonesia. Ada juga beberapa lokasi di Maluku (Pulau Leti, Sarua, Buru, Gorom) dan di Papua (Kepala Burung) yang tidak kelihatan di peta ini. 18 GONG Gendang perunggu masuk di kepulauan Indonesia, kemungkinan dari Vietnam, pada kurun waktu 500 tahun pertama Masehi. Gendang perunggu ditemukan atau diketahui pernah ada di Sumatera; Jawa; Bali; Sumbawa; Selayar; Seram; Kei dan pulau-pulau lain di Maluku; Roti dan pulau-pulau lain di Nusa Tenggara Timur; dan di daerah Kepala Burung Papua Barat. Bahkan sampai sekarang, alat itu masih terdapat di Pulau Alor (NTT): gendang perunggu (yang dibuat di Jawa pada abad ke-19 dan ke-20) masih tetap dipakai sebagai uang mahar atau perangkat upacara. Alat itu dimainkan sebagai alat perkusi (bukan sebagai alat pembawa melodi). Pada masa awal gendang perunggu masuk di kepulauan Indonesia, masyarakat Indonesia belum mengenal teknologi pembuatan alat logam. Ini menunjukkan bahwa gendang perunggu bukan berasal dari Indonesia. Mungkin alat itu dibarter dengan produk dan hasil bumi Indonesia, atau barangkali sebagai alat kebesaran raja. Sebuah gendang perunggu yang ditemukan di Yunnan (Tiongkok) dan diperkirakan dibuat sekitar tahun 200 SM (gambar 1.44) menunjukkan bahwa gendang perunggu pernah dimainkan sebagai alat musik (paling tidak di Tiongkok, masih belum terbukti di Nusantara). Permukaan gendang itu menggambarkan adegan pertunjukan yang menggunakan sederetan gendang perunggu. Masing-masing gendang itu dimainkan oleh seorang pemain yang sedang memegang alat pemukul. Pada gambar tersebut, terlihat ada pemukul yang sedang menyentuh gendang, sementara yang lainnya berada di atas. Itu menjelaskan bahwa tidak semua gendang dibunyikan secara serentak. Gbr. 1.42: Moko (gendang perunggu) dari Alor, NTT, dipakai sebagai bagian dari perangkat upacara GONG Gbr. 1.43: Gendang perunggu dari Selayar, Sulawesi, dilihat dari sisi atas dan samping 19 20 GONG Gbr. 1.44: Gendang perunggu dari Yunnan, Tiongkok, tahun 200 SM.; tampak miniatur sederetan gendang perunggu yang sedang dimainkan GONG Asal-usul Gong Kapan masyarakat Indonesia mulai membuat alat-alat dari logam (termasuk gong)? Sekali lagi belum ada penjelasan yang pasti. Akan tetapi, pakar arkeologi, Peter Bellwood, mengatakan bahwa terdapat bukti kegiatan pembuatan logam di Bali sebelum tahun 200M., dan di beberapa daerah lain di Indonesia—seperti Jawa, Madura, Sumatera bagian selatan, Riau, Flores, Kepulauan Talaud— sebelum tahun 500 M. Perkiraan kegiatan itu agak berdekatan waktunya dengan perkiraan masuknya gendang perunggu ke Indonesia. Ada teori yang mengatakan bahwa gong sebagai alat musik merupakan perkembangan dari gendang perunggu. Jika kedalaman gendang perunggu diperpendek, alat tersebut menjadi semacam gong datar (tanpa pencu). Saat ini, gong datar lebih umum dijumpai di pegunungan Vietnam dan Filipina, daripada di Indonesia. Sedangkan gong berpencu umum ditemukan di berbagai wilayah di Asia Tenggara. Benarkah sejarah perkembangan gong dimulai dari gendang perunggu kepada gong datar, lalu menjadi gong berpencu? Di manakah kedua jenis gong ini diciptakan? Ada kemungkinan, penciptaan itu terjadi di daratan Asia Tenggara, kemudian masuk ke Nusantara. Akan tetapi, tidak mustahil (meskipun belum terbukti) gendang perunggu itu diadaptasi menjadi gong datar dan gong berpencu di Nusantara. Atau bisa juga diperkirakan bahwa gong mulamula masuk ke Indonesia bukan hanya sebagai gendang perunggu, tetapi sudah dalam bentuk gong datar, kemudian bentuk gong itu diberi pencu di Indonesia. Yang jelas, berdasarkan sumber tertulis dari abad ke-12 dan sesudahnya, para ahli yakin bahwa gong kecil (berpencu) sudah menjadi alat musik di Jawa pada zaman itu. Alat musik itu digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang. Pada dinding candi-candi yang dibangun pada abad ke-14 di Jawa Timur juga dijumpai relief gong. Bagaimanapun alat musik gong menyebar ke banyak daerah di Nusantara maupun di Asia Tenggara, yang pasti masing-masing daerah tersebut saat ini telah mengembangkan keunikan musiknya sendiri-sendiri. 21 22 GONG