PEMANTAUAN HAMA PENYAKIT IKAN HIAS GOLONGAN TETRA DAN EVALUASINYA TERHADAP PARAMETER LINGKUNGAN AQUATIK DI WILAYAH JABOTABEK DIKRY NOVEL SHATRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN B'OGOR BOGOK 2006 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul : PEMANTAUAN HAMA PENYAKIT IKAN HIAS GOLONGAN TETRA DAN EVALUASINYA TERHADAP PARAMETER LINGKUNGAN AQUATIK DI WILAYAH JABOTABEK, merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belurn pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Mei 2006 Dikry Novel Shatrie NRP : B. 151020071 ABSTRAK DIKRY NOVEL SHATRIE. Pemantauan Hama Penyakit Ikan Hias Golongan Tetra Dan Evaluasinya Terhadap Parameter Lingkungan Aquatik di Wilayah Jabotabek. Dibimbing oleh FACHRIYAN H. PASARIBU, ETTY RIANI dan DEW1 RATIH AGUNGPRIYONO. Ekspor ikan hias dari Indonesia hanya sebesar 15 % dari seluruh total ekspor ikan hias dunia. Salah satu penyebabnya adalah banyaknya penyakitpenyakit ikan yang disebabkan oleh bakteri, parasit dan jamur. Pengamatan pada 4 lokasi ikan hias Tetra di Bogor, Cibinong, Bekasi dan Tangerang dilakukan selama bulan Pebruari sampai Juli 2005. Data yang diambil ditujukan untuk mengetahui hubungan antara parameter kualitas air, seperti suhu, pH, DO, kesadahan, nitrat dan nitrit; dengan kejadian penyakit. Data yang didapat kemudian dianalisa menggunakan analisa regresi sederhana dan T-test. Berdasarkan pengarnatan diketahui bahwa 66% dari total 1500 ekor sampel ikan tetra terinfeksi oleh bakteri, parasit dan jamur. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa suhu air merupakan faktor yang paling berperan terhadap kejadian penyakit pada ikan. Bila suhu air meningkat, maka jumlah kejadian penyakit bakterial meningkat Persentase penyakit yang disebabkan oleh Aeromonas hydrophila mencapai 23% dan Pseudomonas j7uorescens mencapai 14,80%. Sedangkan bila suhu air menurun, maka angka kejadian penyakit yang disebabkan oleh parasit dan jamur akan meningkat. Persentase kejadian penyakit yang disebabkan oleh Dactylogvrus sp adalah 10,13 %, sedangkan Gyrodactylus sp 9,87 %, Argulus sp 5,27 %. dan Saprolegnia sp 3,27 %. Dengan uji histopatologi ditemukan adanya myositis, peritonitis dan enteritis dari non spesifik viral dan beberapa kista Pleistophora sp. di dalam jaringan otot ikan yang sehat. Penelitian membuktikan bahwa menj'aga suhu air sangat penting untuk meminimalisasi kerugian yang disebabkan oleh organisme-organisme patogen pada ikan dan uji histopatologi dapat dipertimbangkan sebagai cara yang efektif untuk memastikan kesehatan ikan. Abstract DIKRY NOVEL SHATRIE. Tetra Fish Diseases Monitoring and Its Evaluation to Aquatic Environment Parameters in the Jabotabek Area. Under the direction of FACHRIYAN H. PASARIBU, ETTY RIANI and DEW1 RATIH AGUNGPRIYONO Indonesian ornamental freshwater fish only retain 15% of total exporting ornamental freshwater fish all over the world. This matter is due by numerous causes offish disease such as bacterial, parasites and fungal infection. Disease of tetrafish which sampled from some fishes collectedfrom Bogor, Cibinong, Bekasi and Tangerang areas were monitored during February up to July 2005. The data were interrelated with water quality parameters such as air and water temperature, pH, DO, hardness, ammonia and nitrite content and analyzed using simple linear regression and T-test. Disease monitoring showed that 66% from 1500 tetra fishes were infected by bacterial, parasite and fungi. The data's statistic evaluation demonstrated that the water temperature was appeared to be the most significant factor that influences the appearance of variousfish diseases. The incidence of Aeromonas hydrophila got to 23.07% and Pseudomonas fluorescens was 14.80%. The incidences of bacterial disease rose when the water temperature increases. However, the parasites and fungal infection had a tendency to increase while water ternperature was decreased. The incidence of parasites such as Dacfylogyrus sp., Gyrodactylus sp., and Argulus sp. are 10.13%, 9.87%, and 5.2 7%, respectively and Saprolegnia sp., fungal infection is 3.27%. Myositis, peritonitis and non spec@c viral enteritis were observed by histopathology examination and some protozoan Pleistophora sp. cyst observed within the muscular tissue from fish which clinically healthy. The study pointed that maintaining water temperature is very important in order to minimize several damages from pathogenic organism infish and histopathology examination could be a handy tool to ensure health status offish. O Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor,,tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam beniuk apapun, baik cetak,fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya PEMANTAUAN HAMA PENYAKIT IKAN HIAS GOLONGAN TETRA DAN EVALUASINYA TERHADAP PARAMETER LINGKUNGAN AQUATIK DI WILAYAH JABOTABEK DIKRY NOVEL SHATRIE Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sains Veteriner SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 Judul Tesis : Pemantauan Harna Penyakit Ikan Hias Golongan Tetra Dan Nama NRP Evaluasinya Terhadap Parameter Lingkungan Aquatik di Wilayah Jabotabek : Dikry Novel Shatrie : B 151020071 Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. drh. Fachriyan H.Pasaribu Ketua Dr. Ir. dttv Riani. M.S. Anggota drh. Dewi Ratih Anunapriyono, Ph.D. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Sains Veteriner n ah Pascasarjana f M.S. PRAKATA Segala puji bagi Allah Azza Wa Ja'Alla, pencipta langit dan burni, pemilik sekalian ilmu dan hakim atas segala sesuatu urusan. Sesungguhnya karena berkah dan rahrnatNya penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun untuk memenuhi tugas yang diberikan dalam proses penyelesaian studi di Program Sains Veteriner - Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Tema penelitian yang dikerjakan adalah pemantauan dan evaluasi hama penyakit untuk mengetahui korelasi dan pola penyebaran penyakit ikan hias golongan tetra di wilayah Jabotabek dengan perubahan suhu udara. Terima kasih yang tak terhingga kami sampaikan kepada para dosen pembimbing, Prof. Dr.drh. Fachriyan H. Pasaribu, Dr. Ir. Etty Riani, MS. d m drh. Dewi Ratih Agungpriyono Ph.D., yang telah bersedia untuk menjadi pembimbing kami, dan membagikan ilmunya yang tidak ternilai kepada kami selaku mahasiswa. Demikian juga kepada anak dan isteri tercinta atas dukungan dan doanya. Disadari bahwa banyak kekurangan yang ada dalam penelitian ini, oleh karena itu diperlukan saran dan pertimbangan untuk menyempurnakannya lebih lanjut. Bogor, Mei 2006 Dikry Novel Shatrie Penulis dilahirkan di kota Bogor pada tanggal 20 November 1968 dari pasangan Moedrik Shatrie (Alm.) dan Nurlaila. Penulis merupakan anak pertarna dari dua bersaudara. Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bogor dan pada tahun 1988 melanjutkan ke Sekolah Ahli Usaha Perikanan, Jurusan Akuakultur di Jakarta, dan lulus pada tahun 1991. Pada tahun 1994 melanjutkan ke Fakultas Perikanan, Jurusan Budidaya, Universitas Juanda Bogor. Pada tahun 2002 menempuh pendidikan pada program Magister Sains Veteriner di Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 1992 penulis bekerja sebagai staff pada Balai Karantina Ikan Soekarno-Hatta, Pusat Karantina Pertanian, Departemen Pertanian. Tahun 2001 sampai sekarang penulis bekerja pada Pusat Karantina Ikan, Departemen Kelautan dan Perikanan, di Jakarta. DAFTAR IS1 Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................. ... Vlll DAFTAR GAMBAR ............................................................................. DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... PENDAHULUAN .................................................................................. Latar Belakang ............................................................................ Tujuan Penelitian ........................................................................ Perumusan Masalah Penelitian ................................................... Hipotesa ...................................................................................... Manfaat Penelitian ...................................................................... TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... Kualitas Air dan Kesehatan Ikan ................................................ Suhu Air ...................................................................................... pH (Derajat Keasaman) .............................................................. Oksigen Terlarut ......................................................................... Kesadahan ................................................................................... Kadar Amonia (NH3) ................................................................. Kadar Nitrit (N02) ..................................................................... Ikan Hias Golongan Tetra........................................................... Penyakit-penyakit pada Ikan ..................................................... Sistem dan Regulasi Karantina .................................................. BAHAN DAN METODA ...................................................................... Tempat dan Waktu .................................................................... Sampel Ikan dan Metode Pemeriksaan ....................................... Sampel Air dan Metode Pemeriksaan .......................................... .. Kerangka Kerja Penelltian .......................................................... Analisis Pengolahan Data ........................................................... 22 22 22 23 23 24 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... Parameter Kualitas Air ................ ...... ...................................... Suhu Air ..................................................................................... pH ............................................................................................... Oksigen Terlarut (DO) ............................................................... Kesadahan Air ........................................................................... Amonia ....................................................................................... Nitrit ........................................................................................... Persentase Kejadian Penyakit ..................................................... A eromonus hydrophila ............................................................... P.seudomonus.fluorcscens .......................................................... Korelasi antara Suhu Air dan Prevalensi Penyakit Bakterial ..... Hasil Pemeriksaan Histopatologi ............................................. Argulu.s.sp ................................................................................... Dactylo~ru.s.sl~ .......................................................................... 25 31 32 33 33 34 35 35 36 37 38 39 41 42 44 Gyrodactylus sp .......................................................................... Korelasi antara Suhu Air dan Prevalensi Penyakit Parasiter ...... Saprolegnia sp ............................................................................ Korelasi antara Suhu Air dan Prevalensi Penyakit Fungi ........... Daerah Identifikasi Penyakit ...................................................... KESIMPULAN ...................................................................................... SARAN .................................................................................................. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. LAMPIRAN ........................................................................................... DAFTAR TABEL Halaman Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan .............................. Hubungan kadar oksigen terlarut dengan suhu air .............................. Kation penyusun kesadahan dan anion penyusunnya .......................... Klasifikasi nilai kesadahan air .............................................................. Toksisitas akut (LDS096 jam) arnonia tak terionisasi pada organisme akuatik .................................................................................................. Hubungan pH dan suhu terhadap kadar amonia total .......................... Parameter kualitas air yang diamati dan lokasi pengamatannya.......... Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sampel ikan di lokasi A (Bogor) per bulan penelitian .................................................. Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sampel ikan di lokasi B (Cibinong) per bulan penelitian ............................................. Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sampel ikan di lokasi C (Bekasi) per bulan penelitian ................................................. Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sarnpel ikan di lokasi D (Tangerang) per bulan penelitian ........................................... Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sampel ikan. .. selama 25 minggu penelltian ................................................................ Perbandingan kualitas air penelitian dengan standar Langdon ........... Rata-rata suhu air dan angka prevalensi (%) penyakit dari 4 daerah penelitian .............................................................................................. DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Serpae tetra longfin (Hyphessobrycon serpae) ....................................... 2. Rossy tetra (Hyphessobrycon roseus) ..................................................... 3. Neon tetra (Paracheirodon innesi).......................................................... 4 . Red nose tetra (Hemigrammus bleheri) .................................................. 5 . Emperor tetra (Nematobrycon palmery) ................................................. .. ........................................................................ 6 . Kerangka kerja penel~t~an 7. Grafik hubungan suhu air dengan prevalensi penyakit ikan tetra di lokasi A (Bogor)...................................................................................... 8 . Grafik hubungan suhu air dengan prevalensi penyakit ikan tetra di lokasi B (Cibinong) ................................................................................. 9. Grafik hubungan suhu air dengan prevalensi penyakit ikan tetra di lokasi C (Bekasi) ..................................................................................... 10. Grafik hubungan suhu air dengan prevalensi penyakit ikan tetra di lokasi D (Tangerang)............................................................................... 11. Grafik hubungan suhu air rata-rata dengan prevalensi penyakit ikan tetra di semua lokasi penelitian ............................................................... 12 Sebaran suhu air dengan prevalensi penyakit ......................................... 13. Ikan tetra dengan infeksi Aeromonas hydrophila ................................... 14. Ikan tetra dengan infeksi Pseudomonas.fluorescens............................... 15. Korelasi suhu air dengan penyakit bakterial ........................................... 16. Kista Pleistophora sp.............................................................................. 17. Arplus sp................................................................................................ 18. Dactylogirus sp....................................................................................... 19. Gyrodactylus sp.............................. .... .............................................. 20. Korelasi suhu air dengan penyakit parasiter ........................................... 2 1. Ikan tetra dengan infeksi Saprolegnia sp................................................ 22. Korelasi suhu air dengan penyakit fungi .................................................. DAFTAR LAMPIRAN Halaman Kualitas air dan kejadian penyakit yang ditemukan................................ 57 Hasil pemeriksaan kualitas air dan persentase kejadian penyakit ........... 59 Rata-rata seluruh kualitas air dan prevalensi kejadian penyakit ............. 61 Analisa regresi dan korelasi suhu air dan prevalensi A.hydrophila ........ 62 Analisa regresi dan korelasi suhu air dan prevalensi P.Juorescens ........ 63 Analisa regresi dan korelasi suhu air dan prevalensi Argulus sp............ 64 Analisa regresi dan korelasi suhu air dan prevalensi Dactylog~russp ... 65 Analisa regresi dan korelasi suhu air dan prevalensi Gyrodactylus sp ... 66 Analisa regresi dan korelasi suhu air dan prevalensi Saprolegnia sp..... 67 Data hama dan penyakit ikan yang dilalulintaskan................................. 68 Rataan data penelitian selama bulan Februari-April 2005 ...................... 69 Rataan data penelitian selama bulan Mei - Juli 2005 .............................. 70 Rataan data penelitian selama bulan Agustus 2005 ................................ 71 Metoda pemeriksaan sampel ikan ........................................................... 72 Hasil isolasi dan identifikasi bakteri ..................................................... 85 Data curah hujan ...................................................................................... 87 Lampiran KEPMEN . NO . 17/MEN/2003............................................ 88 PENDAHULUAN Latar Belakang Kegiatan perikanan di Indonesia terus mengalami kemajuan dengan semakin meningkatnya lalu lintas komoditas perikanan antar pulau maupun antar negara. Kegiatan ekspor perikanan mempunyai peranan cukup strategis bagi Indonesia, karena saat ini ikan merupakan komoditi ekspor non migas yang cukup banyak menyumbang devisa negara. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya pengusaha ikan, baik skala kecil maupun skala besar dan meningkatnya aktifitas ekspor dan impor. Komoditas yang diperdagangkan tidak hanya ikan-ikan konsumsi, tapi juga komoditas ikan hias. Tingginya minat para pengusaha ini didorong oleh tingginya permintaan akan komoditas perikanan dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Namun berbagai kendala, terutama hama dan penyakit ikan, seringkali menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi para petanilpengusaha ikan. Semakin maraknya perdagangan antar pulau dan antar negara, memberikan peluang semakin banyaknya penyakit-penyakit ikan yang ditemukan di Indonesia. Penyakit golongan bakteri yang banyak ditemukan dalam budidaya perikanan di Indonesia, seperti Aeromanas sp., Vibrio sp., Pseudomonas sp. dan lain-lain, telah menimbulkan kerugian bagi para petanilpengusaha ikan. Selain penyakit ikan yang disebabkan oleh bakteri, ditemukan pula penyakit ikan yang disebabkan oleh parasit seperti Argulus sp., Dactylogvrus sp., Gyrodactylus sp., Lerneae sp. dan fungi (Saprolegnia sp). Ikan-ikan jenis tetra merupakan ikan yang banyak dibudidayakan oleh petani di Indonesia, karena permintaan terhadap jenis ini sangat besar, sehingga menarik bagi para petani untuk membudidayakannya. Narnun ikan sangat bergantung pada lingkungannya, terutarna kualitas air tempat hidupnya, yang bukan saja akan mempengaruhi kehidupan ikan, namun juga merupakan ha1 yang mempengaruhi kesehatan ikan. Ada beberapa parameter kualitas air yang hams selalu dipantau, parameter tersebut adalah: suhu air, pH, oksigen terlarut (DO), kesadahan, kadar amonia dan kadar nitrit. Perubahan pada salah satu parameter kualitas air secara mendadak, terutarna suhu air akan menyebabkan perubahan-perubahan pada parameter kualitas air yang lainnya, sehingga perubahan-perubahan ini akan menyebabkan stres pada ikan yang pada akhirnya dapat menimbulkan penyakit (Langdon 1988; Effendi 2000). Bila dalam suatu perairan terjadi peningkatan kadar arnonia dan nitrat, terjadi perubahan pH (tidak optimum) dan kesadahan serta tingginya bahan organik, maka akan menyebabkan stres pada ikan. Stres adalah kondisi dimana ikan tidak mampu mempertahankan keadaan fisiologis norrnalnya karena berbagai faktor penyebab: Penyebab kimiawi, seperti: kualitas air yang buruk, rendahnya DO, pH yang tidak tepat, polusi, komposisi diet, nitrat dan buangan metabolisme. Penyebab biologis, seperti: padat tebar tinggi, spesies ikan lain, mikroorganisme patogenik dan non patogenik, serta parasit internal dan eksternal. Penyebab fisik, seperti: suhu yang merupakan salah satu parameter kualitas air yang paling berpengaruh pada sistem imun ikan, cahaya, suara dan kadar gasgas terlarut Penyebab prosedural, seperti: handling, shipping dan pengobatan terhadap suatu penyakit (Floyd 200 1). Kesehatan ikan merupakan syarat utama kelayakan sebagai ikan hias komersial. Kondisi ikan hias yang sehat sangat dibutuhkan dalam pemasaran maupun pengangkutan, terutarna untuk ekspor, karena membutuhkan waktu perjalanan yang lama. Untuk mengetahui ikan hias yang benar-benar sehat dan tidak membawa bibit penyakit dibutuhkan pemeriksaan laboratoriurn, yang pada saat ini harus dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Karantina Ikan. Bila ikan dinyatakan sehat, maka ikan diberikan ijin untuk dilalulintaskan dan Unit Pelaksana Teknis Karantina 1kan akan mengeluarkan swat keterangan layak ekspor. Unit Pelaksana Teknis Karantina Ikan adalah lembaga pemerintah yang berfungsi mencegah masuknya dan tersebarnya penyakit ikan karantina yang berpotensi menyebarkan penyakit ke dalam lingkungan keldi dalarn wilayah Republik Indonesia, baik yang berasal dari luar negeri maupun dari suatu daerah ke daerah lain di dalam wilayah Republik Indonesia. Program kzrantina untuk ikan secara khas melibatkan suatu protokol pemeriksaan yaitu penggunaan hewan ' uji coba untuk mengetahui adanya agen penyakit, sertifikasi, pengeluaran suatu sertifikat yang menyatakan bahwa kelompok hewan tertentu atau suatu fasilitas produksi telah diperiksa dan bebas dari infeksi oleh patogen tertentu (Arthur 1996). Karantina Indonesia sudah selangkah lebih maju, karena Indonesia merupakan negara Asia Tenggara pertama yang menetapkan jasa pemeriksaan karantina yang diatur dalam UU Karantina tahun 1992 (Arthur 1995), yang implementasinya dituangkan dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 17 tahun 2003. Selain ha1 tersebut di atas, juga dilakukan kerjasama regional dan internasional untuk mencegah masuknya suatu penyakit baru. Di dalam pelaksanaannya, petugas karantina ikan hams mengetahui jenisjenis hama dan penyakit karantina beserta media pembawanya yang ada di suatu daerah. Hal ini diperlukan untuk mencegah masuk dan tersebarnya hama dan penyakit ikan karantina dari suatu area ke area lain. Oleh karena itu dibutuhkan suatu datatinformasi mengensti penyebaran hama dan penyakit ikan karantina di dalam wilayah negara Indonesia dalam bentuk peta daerah sebar hama dan penyakit ikan karantina, sehingga dapat dilakukan prediksi mengenai penyakit yang biasanya terjadi pada suatu spesies ikan dalam suatu musim. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memantau dan mengevaluasi prevalensi hama penyakit ikan bakterial, ektoparasit dan fungi pada ikan hias golongan tetra terhadap parameter kualitas air di lokasi ekspotir ikan hias di daerah Bogor, Cibinong, Bekasi dan Tangerang . Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi informasi tentang prevalensi penyakit ikan khususnya ikan hias golongan tetra di daerah Bogor, Cibinong, Bekasi dan Tangerang yang banyak dilalulintaskan di sekitar Jabotabek. Perurnusan Masalah Penelitian Berdasarkan data pemantauan yang dilakukan oleh Balai Karantina Ikan Soekarno-Hatta, Jakarta, antara tahur. 2000 - 2004, diketahui bahwa tingkat penyebaran penyakit-penyakit parasiter, bakterial dan jamur pada ikan-ikan yang ' dibudidayakan, semakin meningkat. Hal ini sangat mempengaruhi mutu dan jumlah ikan yang diekspor dari Indonesia. Tingginya permintaan pasar terhadap ikan-ikan jenis tetra dan mudah dalarn pembudidayaannya, menyebabkan ekspor ikan hias dari Indonesia, terutama ikan hias air tawar, didominasi oleh ikan jenis ini. Selain masalah yang disebabkan oleh penyakit, rendahnya tingkat ekspor ikan hias ~ndonesiajuga disebabkan kurangnya pengetahuan para eksportir tentang negara-negara importir di luar negeri, sehingga hampir semua eksportir ikan hias di Indonesia hanya mengekspor ke Singapura, yang kemudian mengekspor lagi ikan-ikan tersebut ke seluruh dunia. Sampai saat ini Singapura merupakan negara pengekpor ikan hias terbesar di dunia (Dinas Perikanan - Jabar 2005). Mutu ikan hias sangat dipengaruhi oleh kondisi kesehatannya, yang berkaitan langsung dengan kualitas air di lingkungan hidupnya. Parameter- parameter kualitas air saling mempengaruhi satu sama lain, sehingga pola penyebaran penyakit ikan diduga mempunyai hubungan dengan parameter kualitas air. Di antara masalah-masalah tersebut di atas, informasi tentang hubungan antara kualitas ikan di tingkat eksportir dan kualitas air tempat ikan itu dipelihara masih minim, untuk itu diperlukan suatu penelitian yang mengamati hubungan antara liejadian penyakit dengan parameter kualitas air. Bila didapatkan suatu pola hubungan antara parameter kualitas air dan kemungkinan penyebaran penyakit ikan, maka langkah-langkah antisipatif dan preventif dapat segera diambil untuk mencegah kerugian yang lebih meluas. Hipotesa Diduga terdapat suatu pola hubungan antara kualitas air (suhu, pH, kesadahan, kadar amonia, kadar nitrit dan jumlah oksigen terlarut) dengan penyebaran beberapa penyakit ikan yang akan digambarkan oleh angka persentase kejadian penyakit untuk mendapatkan skala rasio yang akan digunakan dalam pengujian hipatesa secara kuantitatif. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dalam melakukan prediksi penyebaran penyakit ikan berdasarkan perubahan-perubahan pada parameter kualitas air. Sehingga dapat segera diambil tindakan antisipatif dan preventif untuk mencegah meluasnya kerugian. Mengetahui pola penyebaran penyakit ikan dan korelasinya dengan perubahan kualitas air akan membentuk suatu sistem deteksi dini yang sangat bermanfaat untuk perkembangan dan perlindungan pada kegiatan budidaya ikan di Indonesia. TINJAUAN PUSTAKA Kualitas Air dan Kesehatan Ikan Studi mengenai penyebaran penyakit pada suatu populasi sangat membutuhkan pemahaman mengenai asosiasi atau hubungan-hubungan yang terjadi antara inang, agen dan lingkungan sekitarnya. Tingkat hubungan ini akan menentukan tingkat kerapatan ruang dan waktu kejadian infeksi penyakit, iklim akan sangat mempengaruhi daya hidup inang, vektor dan agen patogen, serta mempengaruhi secara langsung tingkat distribusi vektor (Thrusfield 1995). Agen patogen yang terlibat pada timbulnya penyakit pada ikan, tidak dapat bekerja sendiri untuk menimbulkan infeksi pada ikan, harus terdapat faktor predisposisi sebagai pemicu stres (stressor), ha1 ini dapat berupa perubahan kualitas air, toksin dan perubahan siklus hidup (Hanson & Grizzle 1985). Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1990, tentang pengendalian pencemaran air, mendefinisikan kualitas air adalah sifat air dan kandungan mahluk hidup, zat, energi atau komponen lain dalam air. Kualitas air dinyatakan dengan beberapa parameter (Anonim 1990), yaitu: 1. Parameter fisika (suhu; kekeruhan, padatan terlarut dan sebagainya.) 2. Parameter kimia (pH, oksigen terlarut, kadar logam d m sebagainya.j 3. Parameter biologi blankton, bakteri dan sebagainya.) Kualitas air dalam suatu usaha akuakultur harus diperhatikan dengan seksama karena sangat mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan, adapun beberapa parameter kualitas air yang sangat berpengaruh pada ikan adalah suhu, pH, oksigen terlarut, kesadahan, kadar NO2 dan kadar NH3 (Alabaster & Loyd 1980). Suhu Air Ikan adalah hewan ektoterm atau poikiloterm yang suhu tubuhnya tergantung pada suhu lingkungannya. Oleh karena itu suhu lingkungan sangat ' besar pengaruhnya bagi kesehatan ikan, terutama apabila suhu berada di luar kisaran suhu optimalnya. Suhu air dipengaruhi oleh musim, letak geografis, ketinggian, sirkulasi udara, penutupan awan, adanya aliran dan kedalaman. Perubahan suhu akan berpengaruh secara langsung terhadap proses fisika, kimia dan biologi air. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi, volatilisasi, dan akan mengakibatkan penurunan kadar kelarutan gas dalam air, seperti : 02, C02, N2, CH4 dan sebagainya. (Effendi 2000). Kecepatan metabolisme ikan tergantung pada suhu air. Penurunan suhu air akan menyebabkan kecepatan metabolisme ikan akan menurun, demikian juga sebaliknya metabolisme ikan akan meningkat sejalan dengan peningkatan suhu air. Beberapa faktor lain seperti : sistem imun, proses penyembuhan penyakit dan proses pencemaan makanan juga sangat dipengaruhi oleh suhu air. Penurunan suhu akan menyebabkan daya tahan ikan menurun, sehingga ikan mudah terinfeksi oleh agen patogen (Langdon 1988). pH (Derajat Keasaman) Menurut Effendi (2000) pH atau derajat keasaman menggambarkan keberadaan ion hidrogen yang bersifat asam, konsentrasi ion hidrogen pada air gll, sedangkan nilai disosiasi air (Kw) adalah 10-l4 murni netral adalah 1 x pada suhu 25' C, sehingga nilai pH dapat digambarkan sesuai dengan reaksi sebagai berikut : 2 H 2 0 +========l) H30+ + OH- H20 [H'] +========+ + [OH] = Kw H+ + OH- ; KW = 10-l4 [ ~ ~ ] = ~ w / [ 0 ~ ~ = 1 0 ~ ~ ~ / 1 0; -O~H=- =1l 0~ -~~~g /gl ./ l p H = -Log lo [H'] = Log lo 1 / [H'] Sehingga klasifikasi nilai pH air adalah : pH=7 : netral 7<pH<14 : basa / alkali Tebbut (1992) berpendapat bahwa pH hanya menggambarkan konsentrasi ion hidrogen, sedangkan Mackereth el a1 (1989) berpe~idapatbanwa pH berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas, dalam ha1 ini pada pH < 5 alkalinitas akan mencapai nol, sehingga semakin tinggi nilai pH akan menyebabkan nilai alkalinitas semakin meningkat dan akan semakin sedikit kadar karbondioksida bebas. Toksisitas suatu senyawa kimia juga dipengaruhi oleh pH, senyawa amonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan dengan pH rendah, bila pH meningkat maka jumlah amonium yang tak terionisasi (unionized) juga akan meningkat dan pada keadaan ini akan bersifat toksik (Tebbut 1992). Biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH, dan rata-rata lebih menyukai kisaran pH 7 - 8,5 , fenomena ini berkaitan dengan proses biokimiawi air seperti nitrifikasi yang dipengaruhi oleh pH, dimana proses nitrifikasi akan berakhir pada pH rendah (asam). Toksisitas logam juga akan meningkat pada pH rendah (Novotny & Olem 1994). Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabei 1. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan Nilai pH 6,O - 6,5 I Pengaruh -Keanekaragaman plankton dan benthos mengalami sedikit penurunan I -Kelimpahan total biomasa dan produktivitas tak berubah I 5,s - 6,O I -Keanekaragaman plankton dan benthos mengalami penurunan .I -Kelimpahan total biomasa dan produktivitas sedikit berubah -Algae hijau berfilamen tampak pada zona litoral 5,O - 5,5 I yang semakin besar I I I -Kelimpahan total biomasa zooplankton dan benthos menurun I 4,5 - 5,O I -Algae hijau berfilamen tampak semakin banyak pada m n a litoral I -Proses nitrifikasi terhambat I I -Keanekaragaman plankton, perifiton dan benthos mengalami penurunan I I I I I I I -Keanekaragaman plankton, perifiton dan benthos mengalami penurunan I yang besar -Kelimpahan total biomasa zooplankton dan benthos menurun I -Algae hijau berfilamen tampak semakin banyak. I .I :Proses nitrifikasi terhambat II Sumber : Novotny dan Olem, 1994 I I Oksigen ~ e r l a r u (Dissolve t Oxygen) Kadar oksigen terlarut di perairan alarni akan bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen akan semakin berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, ketinggian dan berkurangnya tekanan atmosfer, semakin tinggi suatu tempat dari perrnukaan laut, maka tekanan atmosfer akan semakin rendah, yang mengakibatkan akan semakin sedikit oksigen yang terlarut dalam air. Kadar oksigen terlarut pada perairan tawar berkisar antara 15 mgll pada suhu 0' C dan 8 mgll pada suhu 25' C, sedangkan pada perairan laut berkisar antara 11 mgll pada suhu 0' C dan 7 mgll pada suhu 25' C. (Mc. Neely et a1 1979). Pengaruh perubahan suhu terhadap oksigen terlarut dapat dilihat pada Tabel 2. . Tabel 2. Hubungan kadar oksigen terlarut dengan suhu air Suhu (O C) Oksigen Terlarut (mg~~) Suhu c) Oksigen Terlarut (mg~~) Suhu Oksigen Terlarut (mcr/~) 0 14,62 14 - 10,3 1 7,83 1 14,22 15 10,08 2 13,83 16 9,87 3 13,46 17 9,66 4 13,ll 18 9,47 5 12,77 19 9,28 6 20 9,09 7 12,45 12,14 21 8,9 1 8 11,84 22 8,74 9 10 11,56 1 1,29 23 8,58 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 24 8,42 38 6,62 11 1 1,03 10,78 10,54 25 8,26 39 6,s 1 26 8,11 40 6,4 1 27 7,97 12 13 e e c) 7,69 7,56 7,43 7,30 7,18 7,OQ 6,95 6,84 6,73 Catatan :pengukuran pada tekanan udara 760 mm Hg. Sumber : Cole, 1988 Kadar oksigen pada perairan alarni biasanya kurang dari 10 mgll. Sumber oksigen terlarut yang masuk ke dalam perairan alami berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer sekitar 35 % dan aktifitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton, kadar oksigen di atmosfer biasanya berkisar pada angka 210 mg/l (Novotny & Olem 1994). Kebutuhan oksigen terlarut tidak sama pada setiap jenis ikan, bahkan pada jenis ikan yang sama akan terdapat perbedaan, tergantung pada suhu air tempat hidupnya. Jika dalam perairan tidak terdapat senyawa beracun, maka kandungan oksigen minimum yang diperlukan adalah sekitar 2 mgll, dan kadar ini sudah cukup untuk memberikan kehidupan yang normal bagi organisme akuatik (Langdon 1988). Kesadahan Kesadahan (hardness) adalah gambaran kation logam divalen (bervalensi 2), kation-kation ini dapat bereaksi dengan sabun dan membentuk endapan presipitat (presipitasi). Selain itu kation-kation ini dapat bereaksi dengan anionanion yang terdapat di dalam air dan akan membentuk endapan atau karat pada barang logam. Tingkat kesadahan pada air tawar ditentukan oleh jurnlah kalsium dan magnesi-urn, dimana kalsium dan magnesium ini akan berikatan dengan anion penyusun sifat alkalinitas yaitu bikarbonat dan karbonat, sehingga kesadahan akan mempengaruhi stabilitas pH air (Effendi 2000). Kation dan anion penyusunnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kation penyusun kesadahan dan anion penyusunnya Kation Ca Anion HC03- '+ so4'- Mg 2+ I I Sumber : Sawyer & Mc Carty, 1978 I Klasifikasi kesadahan menurut Effendi (2000) didasarkan pada 2 hal, yaitu: 1. Berdasarkan ion logam, atau kesadahan kalsium dan kesadahan magnesium 2. Berdasarkan anion yang berasosiasi dengan ion logam, yait~ikesadahan karborlat dan kesadahan non-karbonat. Nilai kesadahan total = kesadahan kalsium + kesadahan magnesium Sedangkan untuk mendapatkan kadar kalsium dan magnesium dari nilai kesadahan, menurut Cole (1988) adalah sebagai berikut : Kadar kalsium (mg / 1) = 0,4 x kesadahan kalsium Kadar magnesium (mg/l) = 0,243 x kesadahan magnesium. Air dengan kesadahan tinggi mempunyai kandungan kalsiurn, magnesium, karbonat dan sulfat yang tinggi, air jenis ini bila dipanaskan akan membentuk deposit kerak (Brown 1987). Tetapi kesadahan yang tinggi tidak memiliki pengaruh langsung pada kesehatan manusia, bahkan kesadahan tinggi dapat menghambat sifat toksik logam berat, dimana kalsium dan magnesium akan membentuk senyawa kompleks dengan logam berat. Timbal (Pb) dengan kadar 1 mg/l akan bersifat toksik pada ikan yang di air dengan kesadahan rendah (so# water), tetapi kadar timbal yang sama tidak mematikan ikan yang hidup di air dengan kesadahan 150 mg/l CaC03 (Tebbut 1992). Air dengan nilai kesadahan kurang dari 120 mg/l CaC03, dan melebihi 500 mg/l CaC03 dianggap kurang baik bagi keperluan rumah tangga, pertanian dan industri. Air sadah (150 - 300 mg/l CaC03) disukai oleh organisme akuatik sebagai lingkungan hidupnya (Effendi 2000). Klasifikasi dalam penilaian nilai kesadahan dapat dilihat dalam Tabel 4. Tabel 4. Klasifikasi nilai kesadahan air I I Kesadahan (rngll CaCO3) < 50 / I Klasifikasi Air Lunak (soft) I 50 - 150 I I Menengah (moderatelyhard) I 150 - 300 Sadah (hard) > 300 Sangat sadah (very hard) Sumber : Peavy et a1 1985 Kadar Amonia (NH3) Sumber arnonia di perairan adalah hasil penguraian nitrogen organik, yang berasal dari protein dan urea, dan nitrogen anorganik yang berasal dari dekomposisi bahan organik yang telah mati, seperti tumbuhan dan biota laut yang dilakuksn oleh mikroba melali~i proses amoriifikasi, dengar, reaksi.sebagai berikut: N organik + O2 3 NH3-N + 0 AmoniJikasi 3 2 NO2-N + 0 2 3 NO3-N Nitr$kasi Amonia dan bentuk garamnya sangat mudah larut dalam air dan akan membentuk ion amonium sebagai bentuk transisinya. Tinja yang berasal dari biota akuatik, reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi udara atmosfer, limbah industri dan domestik merupakan sumber amonia yang lain (Effendi 2000). Pada pH 7 atau kurang, sebagian besar amonia akan mengalami ionisasi dan pada pH yang lebih besar dari 7, amonia tak terionisasi dan bersifat toksik (Novotny Olem 1994). Avertebrata akuatik memiliki toleransi yang lebih tinggi terhadap toksisitas amonia bila dibandingkan dengan ikan, karena pada ikan kadar amonia yang terlalu tinggi akan mengakibatkan gangguan pada proses pengikatan oksigen oleh darah dan akan menyebabkan sufokasi (Effendi 2000). Kadar amonia bebas pada perairan alami biasanya kurang dari 0,l mg/l (Mc Neely et al. 1979) dan kadar amonia bebas yang talc terionisasi (NH3) pada perairan tawar sebaiknya tidak melebihi 0,02 mg/l karena sifat toksiknya pada organisme akuatik. Pada kadar lebih dari 0,2 mg/l bersifat toksik bagi ikan (Sawyer & Mc Carty 1978). Konsentrasi pemaparan ammonia yang bersifat toksik bagi biota hewan air dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Toksisitas akut (L,D5096 jam) amonia tak terionisasi pada organisme akuatik Spesies 96 jam (mg/l) Oligochaeta Limnodrillus hoffmeisteri 199 Gastropoda Lymnaea stagnalis Crustacea Gammarus pulex Asellus aquaticus Ephemeroptera (Mayfly) Baetis rhodani (nymph) Trichoptera (Caddisfly) Hydropsyche angust ipennis (larva) Chironomidae C'hironornus riparzrs (larva) Sumber : Moore, 199 1 190 291 293 197 390 197 Amonia yang terukur di perairan adalah amonia total yang terdiri dari NH3 dan N H ~ +~ersentase . amonia bebas akan meningkat sejalan dengan peningkatan pH dan suhu air. Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan meningkat dengan penurunan kadar oksigen terlarut, pH dan suhu (Boyd 1988). Hubungan ammonia bebas (NH3 ) terhadap ammonia total (dalam %) dapat dilihat pada Tabel 6. Hubungan pH dan suhu terhadap kadar amonia total Sumber : Boyd, 1988 Kadar Nitrit (NOz) Kadar nitrit di perairan alami pada umumnya akan lebih rendah dari kadar nitrat, karena nitrit bersifat tidak stabil bila terdapat oksigen. Nitrit adalah be~ltuk peralihan antara arnonia dan nitrat (nitrifikasi), dan juga bentuk peralihan antara nitrat dan gas nitrogen (denitrifikasi), denitrifikasi adalah reduksi nitrat oleh aktivitas mikroba yang berlangsung pada kondisi anaerob (Novotny & Olem 1994). Nitrit menggambarkan adanya proses biologis perubahan bahan organik dengan kadar oksigen terlarut sangat rendah. Kadar nitrit di perairan alami sekitar 0,001 mgll, dan sebaiknya tidak melebihi 0,06 mg/l (Anonim 1987). Namun demikian menurut Sawyer & Mc Carty (1978) kadar nitrit jarang sekali melebihi 1 mg/l. Sumber nitrit adalah limbah industri dan limbah domestik, kadar nitrit lebih dari 0,05 mg/l bersifat toksik bagi organisme akuatik yang sensitif. Nitrit lebih bersifai toksik dibandingkan nitrat terhadap hewan dan manusia, batas aman kadar nitrit pada air minum menurut WHO sebaiknya tidak melebihi 1 mg/l, karena konsumsi nitrit yang berlebihan akan menyebabkan terganggunya proses pengikatan oksigen oleh hemoglobin darah yang selanjutnya akan membentuk methemoglobin yang tidak mampu mengikat oksigen (Moore 1991). Ikan Hias Golongan Tetra Ikan-ikan yang akan dijadikan obyek pengamatan adalah jenis-jenis ikan tetra sebagai berikut: 1. Serpae tetra (Hyphessobrycon serpae atau Hyphessobrycon eques) Serpae tetra dikenal juga dengan sebutan blood characin. Ikan ini berukuran maksimum 4 cm, dengan suhu berkisar 24 - 28°C dan pH 5,5 - 73. Ikan ini adalah ikan yang mudah dibudidayakan Adapun klasifikasi ikan serpae tetra adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum Chordata Class Actinopterygii Ordo Characiformes Family Characidae Genus Hyplr essobrycon Spesies Hyplressobrycon serpae. Spesies Hyphessobrycon serpae atau serpae tetra dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Serpae tetra longfin (Hyphessobryconserpae) Sumber : (www.badmanstropica1fish.com). 2. Rossy Tetra (Hyphessobrycon bentosi) Rossy tetra adalah kerabat dekat dari serpae tetra. Ikan ini berukuran maksimum 4 cm, dengan suhu bekisar 24 - 28°C dan pH 5,5 - 7,5. Ikan ini adalah ikan yang mudah dibudidayakan Klasifikasi ikan rossy tetra adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum Chordata Class Actinopterygii Ordo Characiformes Family Characidae Genus Hyphessobrycon Spesies Hyphessobrycon bentosi Spesies Hyphessobrycon bentosi atau rossy tetra dapat dilihat pada Garnbar 2. Gambar 2. Rossy tetra (Hyphessobryconroseus) Sumber : (www.badmanstropicalfish.com~ 3. Neon Tetra (Paracheirodon innesi) Neon tetra adalah ikan kecil dengan warna yang sangat terang. Ikan ini jarang mencapai panjang lebih dari 4 cm. Ikan jenis tetra ini dinarnakan neon karena adanya garis yang memanjang dari mata sampai ekor yang berwarna biru kehijau-hijauan seperti neon. Ikan neon tetra dapat hidup pada kisaran pH 6 6,5 dan suhu 22" - 24°C . Adapun klasifikasi ikan neon tetra adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum Chordata Class Actinopterygii Ordo Characiformes Famili Characidae Genus Paracheirodon Spesies Paracheirodon innesi Spesies Paracheirodon innesi atau Neon tetra dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Neon Tetra (Paracheirodoninnesi) Surnber: (htt~:iiwww.centralvets.com) 4. Red Nose Tetra (Hemigrammusbleheri) Nama umumnya adalah red-nose tetra atau rummy-nose tetra. Ikan ini berasal dari benua Afrika dan meruipakan ikan yang mudah dibudidayakan. Ikan red nose tetra dapat hidup dengan baik pada kisaran pH 6 - 6,5 dan pada suhu 22" - 26°C. Klasifikasi ikan red nose tetra dapat dilihat di bawah ini : Kingdom : Phylum Subphylum Animalia Chordata : Class Vertebrata Actinopterygii Sub Class : Neopterygii Ordo Characiformes Famili Characidae Genus Hemigrammus (Gill 1858) Species Hemigrammus bleheri (GCry and Mahnert 1986) Spesies Hemigrammus bleheri atau red nose tetra dapat dilihat pa& Gambar 4. Gambar 4. Red nose tetra (Hemigrammus bleheri) Sumber : (www.research.arnnh.org) 5. Emperor Tetra (Nematobrycon palmery) Narna lain dari ikan ini adalah rainbow tetra., ukuran ikan emperor tetra dewasa dapat mencapai 5 cm. Ikan ini dapat hidup dalam pH 5 - 7,8 dan pada kisaran suhu 23 - 27°C. Klasifikasi ikan emperor tetra dapat dilihat di bawah ini: Kingdom : Phylum Subphylum Chordata : Class Sub Class Ordo Animalia Vertebrata Actinopterygii : Neopterygii Characiformes Genus Nematobiycon Spesies Nematobrycon palmery. Spesies Nematobiycon palmeiy atau emperor tetra dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Emperor tetra (Nematobryconpalmery) Sumber : (n~p:iifre~naquarium.ab~~t.com) Penyakit-penyakit pada Ikan 1. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Menurut Wikipedia Indonesia tahun 2006, bakteri, berasal dari bahasa Latin bacterium (jamak, bacteria), yang berarti kelompok raksasa dari organisme hidup. Mereka sangatlah kecil (mikroskopik) dan kebanyakan uniselular (bersel tunggal), dengan struktur sel yang relatif sederhana tanpa nukleuslinti sel, cytoskeleton, dan organelle lain seperti mitokondria dan kloroplas. Bakteri merupakan prokaryota, untuk membedakan mereka dengan organisme yang memiliki sel lebih kompleks, disebut eukaryota. Istilah "bakteri" telah diterapkan untuk semua prokaryote atau untuk kelompok besar mereka. Bakteri adalah organisme yang paling berkelimpahan dari semua organisme yang ada. Mereka berada di mana-mana, di tanah, air, dan sebagai simbiosis dari organisme lain. Banyak pathogen merupakan bakteri. Kebanyakan berukuran kecil, biasanya hanya berukuran 0,5-5 pm, meskipun ada jenis tertentu yang dapat mencapai diameter hingga 0,3 mm. Mereka umumnya memiliki dinding sel, seperti sel hewan dan jamur, tetapi dengan komposisi yang sangat berbeda (peptidoglycan). Menurut Munday (1988) ada dua cara penularan penyakit yang disebabkan oleh bakteri, yaitu: secara vertikal dan secara horisontal. Cara vertikal, yaitu: penularan bakteri dari induk ke anak ikan melalui darah dan kemudian ke dalam telur atau menempel di luar telur dengan cairan ovarium, seperti pada Aeromonas salmonicida. Sedangkan penularan secara horisontal, yaitu melalui kontak langsung antara ikan yang sakit dengan ikan yang tidak sakit, atau melalui medium air yang telah mengandung bakteri, seperti pada Vibrio sp., Aeromonas hydrophila dan Pseudomonas sp. Virulensi bakteri dipengaruhi oleh banyak faktor. Bakteri-bakteri Gram negatif menghasilkan endotoksin yang dilepaskan ketika sel mati atau terdisintegrasi. Endotoksin ini adalah dinding sel bakteri yang tersusun atas komponen-komponen lipopolisakarida (terutama bagian lipid A). Untuk meningkatkan virulensi toksinnya, kebanyakan dari bakteri juga menghasilkan enzim ekstraseluler yang menyerang sel-sel ikan sehat (Anonim 2006b). Pada Aeromonas hydrophila, faktor permukaan yang berhubungan dengan pili dari lapisan -5 asam liposakarida dan faktor enzim ekstra seluler yaitu siderophore untuk mengakuisisi besi dan mengatur eksoenzim dan eksotoksin, seperti anterotoksin, lipase dan protease, merupakan faktor yang berperan. Selain itu, peranan kualitas air dalam suatu mekanisme kejadian penyakit juga hams menjadi pertimbangan. Peranan dari faktor-faktor yang menentukan virulensi oleh bakteri patogenik itu, menjadi pertimbangan penting selama masa infeksi dan penularan untuk mengetahui etiologi penyakit (Anonim 2006b). Tujuan utama suatu infeksi oleh bakteri adalah untuk menyerang sistim pertahanan inang. Pada saat bakteri dapat menyerang sistim imun dan menemukan tempat yang tepat, bakteri berkembang dengan cepat dan mengalahkan pertahanan inang, sehingga terjadilah penyakit. 2. Penyakit yang disebabkan oleh parasit Semua ikan adalah inang potensial bagi parasit. Parasit dalam jumlah kecil adalah ha1 yang biasa dan mungkin hanya tidak berbahaya, namun semua parasit bisa bereproduksi dengan cepat dan dalam kondisi yang tepat dapat dengan cepat akan menjadi ancaman bagi ikan dalam kolam atau akuarium (Anonim 2006b). Tipe parasit ada dua, yaitu: endoparasit dan ektoparasit. Endoparasit adalah parasit yang ditemukan di dalarn jaringan dan organ-organ dalzm, dan jarang ditemukan pada ikan hias. Ektoparasit adalah parasit yang ditemukan pada bagian luar tubuh ikan seperti pada kulit, sirip dan insang. Terbatasnya kontak antar ikan akan mencegah parasit berpindah ke inang yang baru. Namun dalam industri perikanan, dimana kepadatan ikan tinggi, ikan terus menerus melakukan kontak satu sama lain sehingga parasit juga terus menerus ditularkan antar ikan. Hal ini meningkatkan survival rate juvenil yang baru menetas dan simpanan kista di dalam kolam atau akuariurn. Ektopzrasit dapat menyebabkan kerusakan pada integumen karena aktifitas makan dan atau perpindahan mereka yang terus menerus (karena mereka menempel menggunakan pengait). Iritasi yang disebabkan ektoparasit menyebabkan produksi lendir yang berlebihan sehingga menyebabkan masalah pernapasan apabila sudah mempengaruhi insang. Parasit golongan ektoparasit misalnya berbagai jenis monogenea ( Gyrodactylus spp., Dactylogyrus spp., Neobenedenia spp.) kutu ikan (Argulus sp.); sealice (Caligus sp., Lepeophtheirus salmonis), gill maggot (Ergasilus sp.); mites (Hydroacarus). 3. Penyakit yang disebabkan oleh jamur Jamur adalah penyakit yang biasa ditemukan pada ikan. Kebanyakan infeksi fi~ngimelibatkan jamur air dari kelas Oomycetes. Jamur ini yang paling sering ditemukan adalah Saprolegnia sp., fungi yang berfilamen. Fungi ini makan dengan mensekresi enzim pencernaan diatas area disekitarnya. Enzim ini menghancurkan sel-sel jaringan sehingga memungkinkan bagi fungi untuk menyerap nutrien seperti protein dan karbohidrat. Saprolegnia sp. adalah appotrooph (yang biasanya memakan material organik mati seperti buangan ikan, sisa pakan dan lain-lain), tetapi saprolegnia merupakan parasit opertunis, yang bisa mengambil kesempatan untuk menginfeksi ikan-ikan yang stres. Jarnur bereproduksi dengan melepaskan sprora, jamur ini sangat tahan terhadap kekeringan dan serangan kimia sehingga spora Saprolegnia sp. biasanya ditemukan pada semua kolam dan tangki. Saprolegnia sp. adalah infeksi sekunder yang paling banyak ditemukan setelah terjadinya kerusaltan integurnen ikan (kulit dan insang) yang disebabkan oleh infeksi bakteri, para~itdan virus. Faktor pemicu lainnya termasuk polusi air dan padat penebaran yang tinggi. Walaupun jarang terjadi, Saprolegnia sp. dapat menjadi patogen primer, terutama karena menurunnya suhu sehingga sistim imun menurun. Sistim Regulasi Karantina Ikan Pelaksanaan pengendalian tingkat penyebaran harna dan penyakit ikan karantina diatur dalarn Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : Kep.17lMed2003, tentang penetapan jenis-jenis hama dan penyakit ikan karantina, golongan, media pembawa dan sebarannya. Jenis harna dan penyakit karantina yang ditetapkan meliputi : virus (18 spesies), bakteri (1 1 spesies), parasit (17 spesies) dan mikotik (5 spesies). Pemeriksaan untuk tindakan pencegahan dan penangkalan bagi penyakit ikan dan organisme akuatik yang dilakukan di Balai Karantina Ikan di Bandara SoekarnoHatta meliputi pemeriksaan fisik, gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. Penemuan hama dan penyakit ikan di laboratorium akan didokumentasikan sebelu~n dilakukan tindakan karantina pada ikan atau organisme akuatik yang bersangkutan. Tindakan karantina dilaksanakan sesuai dengan : 1. Undang-Undang nomor 16 tahun 1992, tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan . 2. Peraturan Pemerintah nomor 15 tahun 2002, tentang Karantina Ikan. 3. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor Kep.29lMen12002, tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Karantina Ikan. BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di 4 lokasi penarnpungan eksportir ikan hias yang terletak di Bogor, Cibinong, Bekasi dan Tangerang, dengan menggunakan peralatan standar pemeriksaan Balai Besar Karantina Ikan, Bandara SukarnoHatta. Pemeriksaan sampel ikan akan dilaksanakan di Laboratorium Karantina, Balai Besar Karantina Ikan Bandara Soekarno-Hatta dan Balai Uji Standar Karantina Ikan Jakarta. Penelitian dilaksanakan selama 25 minggu pada rentang bulan Februari - Agustus 2005. Sampel Ikan dan Metoda Pemeriksaan Sampel ikan yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan hias golongan tetra dengan jurnlah sampel 3 ekor x 5 jenis ikan hias tetra per minggu yang diambil dari-4 lokasi peternakan ikan hias di Jabotabek, dengan jenis-jenis ikan sebagai berikut : 1. Serpae tetra (Hyphessobrycon serpae atau Hyphessobrycon eques) 2. Rossy tetra (Hyphessobrycon bentosi) 3 . Neon tetra (Paracheirodon innesi) 4. Red nose tetra (Hemigrammus bleheri) 5. Emperor tetra (Nematobrycon palmery) Metoda pemeriksaan yang dilakukan pada sampel ikan meliputi : 1. Pemeriksaan preparat ulas darah dan cairan tubuh dengan isolasi dan identifikasi bakteri yang berasal dari insang dan hepatopankreas. 2. Identifikasi parasit dengan melakukan pemeriksaan patologi makroskopis, pemeriksaan sediaan natif insang dan kerokan kulit dan sirip dilakukan untuk identifikasi parasit yang diarnati dibawah mikroskop. 3. Uj i pemeri ksaan histopatologi untuk melengkapi pemeriksaan makroskopis. Jumlah kejadian penyakit &an dibedakan menjadi 3 golongan yaitu bakteria!, parasiter dan fungi yarlg dinyatakan dalam persentase dari jumlah sarnpel yang diambil. Pemeriksaan terhadap penyakit viral tidak dilakukan pada penelitian ini. Sampel Air dan Metoda Pemeriksaan Sampel air diambil dari 4 lokasi peternakan ikan hias di Jabotabek. Pada setiap sampel air akan dilakukan pemeriksaan parameter-parameter kualitas air yang sangat berpengaruh pada ikan, yaitu: suhu air, pH, oksigen terlarut, kesadahan, kadar amonia dan kadar nitrit (Alabaster & Loyd 1980). Parameter pemeriksaan kualitas air ini merupakan parameter standar pemeriksaan Balai Karantina Ikan di Indonesia. Adapun parameter kualitas air dan lokasi pengambilan sampel air dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah ini: Tabel 7. Parameter kualitas air yang diamati dan lokasi pengamatannya No. Parameter yang diamati Lokasi pengamatan 1. Suhu in situ 2. pH in situ 3. Oksigen terlarut in situ 4. Kadar Amonia Laboratoriurn 5. Kadar Nitrit Laboratorium 6. Kesadahan Laboratorium Kerangka Kerja Penelitian Pelaksanaan penelitian ini dimulai dengan menentukan tempat dan waktu pengambilan sampel. Setelah tempat dan pengambilan sampel ditentukan, maka penelitian mulai dilakukan dengan mengambil data suhu udara lingkungan bersamaan dengan pemeriksaan sampel air dan pengukuran beberapa parameter kualitas air secara in situ.(suhu air, pH dan DO), sebagian sampel air di bawa ke laboratorium untuk melanjutkan pemeriksaan parameter kualitas (kesadahan, kadar arnonia dan nitrit). Untuk mengidentifikasi hama dan penyakit ikan diambil sampel ikan dan selanjutnya dilakukan pengamatan di laboratorium (detail prosedur pada Lampiran 14) dan hasilnya dicocokkan dengan daftar hama dan penyakit ikan karantina. Adapun kerangka kerja penelitian dapat dilihat dari skema pada Gambar 6 sebagai berikut: I Sarnpel Kualitas Air Sarnpel Ikan I I Perneriksaan Penyakit Ikan Hama dan Penyakit Ikan I Korelasi antara Kualitas Air dengan Penyakit I k a n Daftar penyakit karantina Kep.l7/Men/Z003 Jenis-jenis Hama dan penyakit ikan karantina I Gambar 6. Kerangka kerja penelitian Analisis Pengolahan Data Data-data yang diperoleh pada penelitian ini, terutama rataan kualitas air dan persentase kejadian penyakit (prevalensi), dianalisis dengan regresi linear sederhana dan korelasi, dengan model sbb : Keterangan : Y = Variabel tak bebas kuantitatif dan terukur X = Variabel bebas Po= Konstanta = Koefisien regresi E, = Simpangan hasil pendugaan dari nilai sebenarnya, (Steel & Torrie 1991;Mattjik & Sumertajaya 2002) Uji signifikansi menggunakan uji-t dan tingkat korelasi akan dinyatakan dalam koefisien determinasi (Steel & Torrie 1991;Mattjik & Sumertajaya 2002). Pada analisa data regresi dan antara kualitas air dan jumlah kejadian penyakit, parameter kualitas air yang paling berpengaruh (suhu air), akan digunakan sebagai variabel bebas (X) dan jumlah kejadian penyakit menjadi variabel tak bebas (Y). HASIL DAN PEMBAHASAN Rataan hasil pemeriksaan kualitas air dan persentase kejadian penyakit pada sarnpel ikan di lokasi A (Bogor) disajikan pada Lampiran 11, 12, 13, Tabel 8 d m Garnbar 7 sebagai berikut: Tabel 8. Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sarnpel ikan di lokasi A (Bogor) per bulan penelitian. Deskripsi Suhu udara ("C) Suhu air("C) PH DO Kesadahan (mg/l CaC03) Amonia (mgll) Nitrit (mgll) Jenis harna penyakit : (%) Aeromonas hydrophila Pseudomonasfluorescens Argulus sp. Dactylogyrus sp. Gyrodactylus sp. Saprolegnia sp. Feb 26.5 23.8 6.8 7.9 147.3 0.02 0.03 Mar 26.8 24.3 6.8 7.9 150.0 0.02 0.03 13.3 11.7 20.0 21.7 20.0 13.3 16.7 8.3 20.0 21.7 18.3 15.0 BULAN Mei Jun 28.5 28.3 24.8 25.5 7.0 7.1 7.9 7.9 148.8 148.8 0.02 0.02 0.03 0.03 31.7 16.7 11.7 11.7 16.7 11.7 , 30.0 20.0 10.0 13.3 15.0 11.7 Jul 28.5 25.5 7.3 7.9 150.5 0.02 0.03 Ags 28.0 25.0 7.3 7.9 152.0 0.02 0.03 35.0 25.0 10.0 10.0 11.7 8.3 33.3 20.0 13.3 6.7 13.3 13.3 - -A. +P. Suhu hydmphila AuoreSCBN -A@ussP. ~ b 2 t Y l ~ ~ ~ ' p ' +GymdtKtylus=P. +SapidWasp- Feb Mrr AP~ Mei Jun Jld Agu Wan Gambar 7. Grafik hubungan suhu air dengan prevalensi penyakit ikan tetra di lokasi A (Bogor). Dari Tabel 8 dan Garnbar 7, dapat diketahui bahwa terdapat kecenderungan adanya korelasi antara suhu air dengan prevalensi penyakit bakterial, parasiter dan fungi. Dalam ha1 ini bila suhu air naik, maka prevalensi bakterial akan cenderung naik, sedangkan prevalensi parasiter dan dan fungi cenderung akan turun. Sehingga pada bulan-bulan musim hujan, prevalensi bakterial cenderung rendah sedangkan parasiter dan fimgi cenderung tinggi. Keadaan yang sebaliknya terjadi di bulan-bulan musim kemarau. Hal ini sesuai dengan pendapat (Davis et al. 1980) yang menyatakan bahwa pada suhu yang lebih rendah dari suhu optimumnya, akan menghambat proses sintesa protein yang disebabkan oleh lemahnya ikatan lipid sehingga pertumbuhan bakteri akan menurun. Sedangkankan siklus hidup parasit dan jamur akan lebih panjang pada saat suhu lebih, sehingga tingkat prevalensinya akan menurun. Rataan hasil pemeriksaan kualitas air dan persentase kejadian penyakit pada sampel ikan di lokasi B (Cibinong) disajikan pada Lampiran 11, 12, 13, Tabel 9 dan Gambar 8 sebagai berikut: Tabel 9. Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sampel ikan di lokasi B (Cibinong) per bulan penelitian. Deskripsi Suhu udara (OC) Suhu air("C) PH DO (rngll) Kesadahan (rng/l CaCO3) Amonia (mg/l) Nitrit (mgil) Jenis harna penyakit : (%) Aerontonus Iydroplr ilu Pseudomonas~uorescens Argulus sp. Dactylogyrus sp. Gyrodactylus sp. Saprolegnia sp. Feb 26.5 23.5 6.9 7.9 148.0 0.02 0.03 Mar 27.3 24.8 6.8 8.0 148.5 0.02 0.03 28.5 25.0 6.9 8.0 149.8 0.02 0.03 13.3 13.3 10.0 18.3 20.0 6.7 15.0 13.3 1.7 11.7 13.3 0.0 20.0 16.7 1.7 10.0 5.0 0.0 Apr BULAN Mei Jun 29.0 29.5 25.5 25.8 7.0 7.1 7.9 7.9 148.8 149.8 0.02 0.02 0.03 0.03 25.C 20.0 3.3 8.3 10.0 0.0 23.3 20.0 0.0 6.7 6.7 0.0 Jul 30.0 26.3 7.2 7.9 150.0 0.02 0.03 Ags 30.0 26.0 7.1 7.9 150.0 0.02 0.03 23.3 20.0 0.0 10.0 5.0 0.0 26.7 20.0 0.0 13.3 0.0 0.0 Feb Ma- Mei Jm Jul Bulan Gambar 8. Grafik hubungan suhu air dengan prevalensi penyakit ikan tetra di lokasi B (Cibinong). Dari Tabel 9 dan Gambar 8 dapat diketahui bahwa terdapat kecenderungan adanya korelasi antara suhu air dengan prevalensi penyakit bakterial, parasiter dan fungi, dalam hal ini bila suhu air naik maka prevalensi bakterial akan cenderung naik, sedangkan parasiter dan dan fungi cenderung akan turun. Sehingga pada bulan-bulan musim hujan prevalensi bakterial cenderung rendah, sedangkan parasiter dan fungi cenderung tinggi. Keadaan sebaliknya terjadi di bulan-bulan musim kemarau. Hal ini sesuai dengan pendapat (Davis et al. 1980) yang menyatakan bahwa pada suhu yang lebih rendah dari suhu optimurnnya, akan menghambat proses sintesa protein yang disebabkan oleh lemahnya ikatan lipid sehingga perturnbuhan bakteri akan menurun. Sedangkankan siklus hidup parasit dan jamur akan lebih panjang pada saat suhu lebih, sehingga tingkat prevalensinya akan menurun Rataan hasil pemeriksaan kualitas air dan persentase kejadian penyakit pada sarnpel ikan di lokasi C (Bekasi) disajikan pada Lampiran 11, 12, 13 dan Tabel 10 serta Gambar 9 sebagai berikut: Tabel 10. Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sarnpel ikan di lokasi C (Bekasi) per bulan penelitian. Deskripsi Suhu udara ("C) Suhu air("C) PH DO (mg/l) Kesadahan (mg/l CaCO3) Amonia (mg/l) Nitrit (mg/l) Jenis hama penyakit : (%) Aeromonas hydrophila Pseudomonas_fluorescens Argulus sp. Dactylogvrus sp. Gyrodactylus sp. Saprolegnia sp. Feb Feb 28.5 23.3 7.2 7.9 148.5 0.02 0.03 I Mar I BULAN Mei Jun 30.0 30.5 25.5 26.0 7.1 7.2 7.9 8.0 148.5 148.5 0.02 0.02 0.03 0.03 Apr Jul 30.3 26.0 7.2 7.9 147.5 0.02 0.03 Ags 32.0 26.0 7.2 7.9 147.0 0.02 0.03 20.0 6.7 6.7 13.3 11.7 0.0 Mei Jun AW Wan Gambar 9. Grafik hubungan suhu air dengan prevalensi penyakit ikan tetra di lokasi C (Bekasi). Dari Tabel 10 dan Gambar 9 dapat diketahui bahwa terdapat kecenderungan adanya korelasi antara suhu air dengan prevalensi penyakit bakterial, parasiter dan fungi, dalam hal ini bila suhu air naik maka prevalensi bakterial akan cenderung naik, sedangkan parasiter dan dan fungi cenderung akan turun. Sehingga pada bulan-bulan musim hujan prevalensi bakterial cenderung rendah sedangkan parasiter dan fungi cenderung tinggi. Keadaan yang sebaliknya terjadi pada bulan-bulan di musim kemarau. Hal ini sesuai dengan pendapat (Davis et al. 1980) yang menyatakan bahwa pada suhu yang lebih rendah dari suhu optimwnnya, akan menghambat proses sintesa protein yang disebabkan oleh lemahnya ikatan lipid sehingga pertumbuhan bakteri akan menurun. Sedangkankan siklus hidup parasit dan jamur akan lebih panjang pada saat suhu lebih, sehingga tingkat prevalensinya akan menurun. Rataan hasil pemeriksaan kualitas air dan persentase kejadian penyakit pada sampel ikan di lokasi D (Tangerang) disajikan pada Lampiran 11, 12, 13 dan Tabel 11 serta Gambar 10 sebagai berikut: Tabel 11. Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sampel ikan di lokasi D (Tangerang) per bulan penelitian. Deskripsi Feb ( Mar I Apr ( BULAN Mei Jun I I I Jul Ags - suhu hydrophila +P. RwresOens -A. -A@ussp. *DktylOgyM SP. -Gyrodactylus SP. tswdegniasp. Feb Mar Me1 Jun Jul Butan Gambar 10 Grafik hubungan suhu air dengan prevalensi penyakit ikan tetra di lokasi D (Tanggerang). Dari Tabel 11 dan Gambar 10 dapat diketahui bahwa terdapat kecenderungan adanya korelasi antara suhu air dengan prevalensi penyakit bakterial, parasiter dan fungi, dalam ha1 ini bila suhu air naik maka prevalensi bakterial akan cenderung naik, sedangkan parasiter dan dan fungi cenderung akan turun. Sehingga pada bulan-bulan musim hujan prevalensi bakterial cenderung rendah, sedangkan parasiter dan fungi cenderung tinggi. Keadaan yang sebaliknya terjadi pada bulan-bulan musim kemarau. Hal ini sesuai dengan pendapat (Davis et al. 1980) yang menyatakan bahwa pada suhu yang lebih rendah dari suhu optimumnya; akan menghambat proses sintesa protein yang disebabkan oleh lemahnya ikatan lipid sehingga pertumbuhan bakteri akan menurun. Sedangkankan siklus hidup parasit dan jamur akan lebih panjang pada saat suhu lebih, sehingga tingkat prevalensinya akan menurun. Rataan hasil pemeriksaan kualitas air dan persentase kejadian penyakit pada sarnpel ikan yang bertujuan mengetahui perbandingan prevalensi kejadian penyakit selama bulan Februari hingga Agustus 2005 di lokasi-lokasi yang berbeda di Jabotabek dapat dilihat pada Tabel 12 dan Gambar 11, serta Lampiran 2. Tabel 12. Rata-rata kualitas air clan persentase penyakit pada sampel ikan selama 25 minggu penelitian Deskripsi Suhu udara (OC) Suhu air("C) PH DO (mgfl) Kesadahan (mgll CaC03) Amonia (mgll) Nitrit (mg/l) Jenis hama penyakit : (%) Aeromonas hydrophila Pseudomonasfluorescens Argulus sp. DactyIogyrus sp. Gyrodactylus sp. Saprolegnia sp. S u h u Bogor Cibinong Bekasi *A. hydrophila *P. mr€- Tanggerang LOKASI PENELlTlAN Gambar 11. Hubungan suhu air rata-rata dengan prevalensi penyakit ikan tetra di semua lokasi penelitian. Dari Tabel 12 dan Gambar 11 dapat diketahui bahwa rataan hasil pemeriksaan pada sampel air selama 25 minggu menunjukkan suatu h a i l yang hampir seragam, lokasi-lokasi pemeriksaan yang berbeda (A di Bogor, B di Cibinong, C di Bekasi dan D di Tangerang) yang secara klimatologi agak berbeda, tampak telah di antisipasi oleh pengelola lokasi penampungan 1 peternakan ikan dengan manajemen air yang cukup baik. Selisih suhu air dan parameter mutu air lainnya di lokasi Cibinong, Bekasi dan Tangerang yang secara klimatologi memiliki suhu lingkungan yang lebih panas, dengan lokasi terletak di Bogor dengan suhu lingkungan yang lebih rendah, tarnpak telah mendekati seragam, yang berarti pengusaha di lokasi Cibinong, Bekasi dan Tangerang berusaha untuk memperbaiki kualitas air dengan manajemen yang cukup intensif. Paramete* b a l i t a s Air Perbandingan rata-rata nilai parameter kualitas air selama 25 minggu penelitian (Lampiran 2) dengan kualitas air menurut Langdon (1988) dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Perbandingan kualitas air penelitian dengan standar Langdon. Deskripsi Suhu udara (" C) Suhu air (" C) pH DO (mgll) Kesadahan (mgll) Amonia (mgll) Nitrit ( m ~ l l ) A 27,8 24,72 6.99 7.87 149.48 0.02 0.03 Langdon Lokasi Penelitian Aman I Bahaya D C B 29.76 30.32 28.52 Tergantung spesies 25,24 25,34 25,16 7.16 7.25 6,7 - 8,6 <4-5 ;>9-10 6.98 <3 >O 7.87 7.87 7.91 >200 149.16 148.44 150.92 20 - 200 >0,2- 1,O <0,02 0.02 0.02 0.02 >2,0 <O, 1 0.03 0.03 0.03 Sumber : Langdon (1988) Keterangan : A=Bogor, B=Cibinong, C=Bekasi, D=Tangerang Suhu air Secara umum tampak bahwa semua parameter kualitas air telah menunjukkan kisaran angka aman bila dibandingkan dengan standar kualitas air menurut Langdon (1988), tetapi pada rata-rata parameter suhu air terdapat perbedaan yang dapat menggambarkan stratifikasi suhu air pada masing-masing lokasi dan akan berpengaruh pada kesehatan ikm. Tabel 13 menunjukkan bahwa rataan suhu air terendah ditemukan di lokasi A (Bogor), yaitu 24,72 "C; selanjutnya B (Cibinong), yaitu 25,16 "C; C (Bekasi),yaitu 25,24 "C; dan D (Tangerang) 25,34 "C. Lebih lanjut Effendi (2000) menyatakan bahwa suhu air akan sangat dipengaruhi oleh musim, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, awan, aliran air, kedalaman air dan perubahan suhu akan berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi air. Hal ini tampaknya sesuai dengan hasil penelitian dalam ha1 ini lokasi A (Bogor) adalah lokasi tertinggi di antara ke 3 lokasi yang lain, sedangkan lokasi D (Tangerang) adalah lokasi terendah. Suhu lingkungan tempat tinggal adalah salah satu komponen dalam faktor determinan makroklimat yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan suatu populasi (Thrusfield 1995 ; Slauson et al. 1990), dalam ha1 ini suhu air adalah faktor determinan yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan ikan yang hidup di dalarnnya. Perbedaan psda suhu air juga dipengaruhi oleh suhu udara lingkungan. Boyd (1988) menyatakan bahwa strata suhu pada permukaan air hingga kedalaman 1 meter dari permukaannya, disebut sebagai lapisan epilimnion dan akan terpengaruhi oleh suhu lingkungan sekitarnya antara 2 O C -4 OC. Tingkat kejernihan air juga sangat mempengaruhi penyerapan panas udara lingkungan, ha1 ini disebabkan oleh adanya penyerapan panas udara lingkungan oleh partikelpartikel yang terdapat dalam air, sehingga bila air semakin keruh maka tingkat penyerapan panas akan semakin cepat dan semakin tinggi panas yang diserapnya. pH pH berhubungan erat dengan kesadahan air. Kesadahan air berhngsi sebagai buffer dalarn perairan, yang menjaga fluktuasi ion-ion dalam air, sehingga nilai pH menjadi stabil. Rataan nilai pH air pada sampel air relatif hampir seragam di semua lokasi, Tebbut (1992) menyatakan bahwa pH hanya menggarnbarkan konsentrasi ion hidrogen, karena molekul air akan selalu membentuk keseimbangan reaksi antara ion H: d m OH-., pH dan asiditas adalah dua ha1 yang agak berbeda karena asiditas air dipengaruhi oleh 2 komponen, yaitu jumlah asam (asam kuat atau asam lemah) dm konsentrasi ion hidrogen, sehingga asiditas lebih menggambarkan kemampuan air untuk menetralkan sifat basa hingga mencapai pH tertentu (base-neutralizing capacity : BNC) (Anonim 1976). Rataan hasil penelitian pada Ta.bel 13 menunjukkan bahwa ke empat lokasi memiliki rataan pH yang hampir sama, yaitu: A (Bogor) sebesar 6,99; B (Cibinong) sebesar 6,98; C (Bekasi) sebesar 7,16; dan D (Tangerang) sebesar 7,25. Perbandingan dengan parameter kualitas air yang arnan untuk mahluk hidup menurut Langdon (1988), yaitu pada kisaran pH 6,7 - 8,6, menguatkan hasil penelitian bahwa pH air sampel dalam batas aman lingkungan hidup untuk ikan hias. Oksigen terlarut (DO) Oksigen terlarut dapat dikatakan sebagai faktor paling penting dalam kehidupan ikan. Tanpa oksigen terlarut dalam air ikan tidak dapat hidup. Kadar kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh banyak faktor: diantaranyz suhu. . Makin tinggi suhu, maka kelarutan oksigen dalam air semakin rendah. Padahal semakin tinggi suhu, metabolisme juga meningkat sehingga kebutuhan oksigen pun meningkat (Anonim 1992). Kurangnya kandungan oksigen terlarut pada akuariurn dapat menjadi salah satu faktor penyebab stress pada ikan. Dalam keadaan stress, pemafasan pada ikan meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat. Hal ini mendorong ikan untuk melepaskan cadangan sel darah merah ke dalam sirkulasi darah. Keadaan ini menyebabkan menurunnya fungsi osmoregulasi ikan dan gangguan pada sistem pertahanan terhadap penyakit (Floyd 2001). Rataan hasil pemeriksaan sampel air untuk kadar oksigen terlarut (DO) pada Tabel 13 memberikan hasil yang relatif seragam, yaitu: A (Bogor) sebesar 7,87 mgll; B (Cibinong) sebesar 7,91 mg/l; C (Bekasi) sebesar 7,87 mg/l; dan D (Tangerang) sebesar 7,87 mgll; dan menurut Langdon (1988) masih berada dalam kisaran aman untuk mahluk hidup, yaitu > 6 mg/l . Effendi (2000) menyatakan bahwa kadar oksigen terlarut sangat bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen akan berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, bertambahnya ketinggian dan berkurangnya tekanan atmosfer. Kesadahan air Kesadahan air menggambarkan kadar kation logarn divalen yang dapat bereaksi dengan anion-anion dalam air dan akan membentuk endapan atau karat pada logam, sedangkan pada air tawar kation divalen yang terbanyak adalah kalsium dan magnesium yang akan berikatan dengan anion penyusun alkalinitas yaitu bikarbonat dan karbonat (Effendi 2000). Kesadahan air sangat berpengaruh pada pH dan kestabilan pH. Selain itu, kesadahan juga akan mempengaruhi toksisitas dari banyak substansi yang ada di perairan. Peranan yang tidak kalah penting dari kesadahan adalah peranannya dalam menjaga kestabilan osmoregulasi pada ikan. Osmoregulasi adalah proses penting bagi 'ikan untuk menjaga keseimbangan konsentrasi ion-ion dalam tubuhnya. Apabila proses osmoregulasi terganggu, maka ikan tidak bisa menjaga keseimbangan ion-ion dalam tubuhnya, sehingga ikan air tawar akan menyerap air secara berlebihan dari lingkungan (Anonim 2006a). Kesadahan air yang tinggi menunjukkan bahwa air tersebut mengandung kalsiurn, magnesium, karbonat dan sulfat yang tinggi (Brown 1987). Kesadahan yang tinggi membuat proses osmoregulasi lebih mudah bagi ikan karena lebih sedikit air yang masuk dan sangat penting dalam kasus-kasus infeksi bakteri, dimana air dapat mengalir masuk ke jaringan yang terbuka (Anonim 2006a). Setiap spesies ikan mempunyai kebutuhan akan tingkat kesadahan air yang berbeda-beda. Kebanyakan ikan-ikan hias air tawar memerlukan total kesadahan antara 100 - 300 mglliter CaC03. Rataan hasil pemeriksaan sampel air untuk kesadahan pada Tabel 13, memberikan hasil yang relatif seragam, yaitu: A (Bogor) sebesar 149,48 mgll; B (Cibinong) sebesar 149,16 mgll; C (Bekasi) sebesar 148,44 mgll; dan D (Tangerang) 150,92 mgll; dan menurut Langdon (1988) masih berada dalam kisaran aman untuk mahluk hidup, yaitu pada kisaran 20 - 200 mgll. Amonia Kadar amonia dalslln air sangat dipengaruhi oleh pH, karena sebagian besar amonia akan mengalami ionisasi pada pH 7 atau kurang, sedangkan pada pH di atas 7 amonia tidak terionisasi dan akan bersifat toksik (Novotny & Olem 1994). Rataan hasil pemeriksaan sampel air untuk kadar amonia pada Tabel 13, memberikan hasil yang sama untuk keempat lokasi yaitu 0,02 mgll, yang menunjukkan bahwa rataan kadar amonia masih berada dalam batas aman menurut Langdon (1 988), yaitu < 0,02 mg/l. Nitrit Sumber nitrit adalah limbah yang terdapat dalam air, karena adanya nitrit menggarnbarkan adanya proses biologis perubahan bahan organik dengan kadar oksigen terlarut yang rendah (Moore 1991 ; Sawyer & Mc Carty 1978). Selain itu nitrit tidak stabil bila terdapat oksigen. Rataan hasil pemeriksaan sampel air untuk kadar nitri t, memberikan hasil yang seragam yai!u 0,03 nlgll, dan menurut Langdon (1988) rataan kadar nitrit sampel air masih berada dalam kisaran aman untuk mahluk hidup, yaitu < 0,l mgll. Persentase Kejadian Penyakit Pada penelitian ini diperiksa sebanyak 1500 ekor sampel ikan tetra dari empat lokasi yang berbeda selama 25 minggu, atau 15 ekor sampel ikan dengan 5 jenis yang berbeda per minggu ( 3 ekor per jenis ikan). Jenis penyakit yang ditemukan dinyatakan sebagai persentase dari jumlah sampel yang diperiksa per minggu per lokasi atau : Persentase kejadian penyakit = nil5 x 100 %, dalam ha1 ini n = jumlah kasus I Persentase kejadian penyakit yang tampak perbedaan yang cukup tinggi di antara masing-masing lokasi dapat dilihat pada Gambar 12. Secara urnum tampak bahwa kasus penyakit bakterial lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan penyakit parasiter. Sedangkan kasus fungi (Saprolegnia sp.) hanya ditemukan di lokasi A (Bogor) dan B (Cibinong) dengan persentase kejadian penyakit 12,OO . Rataan Suhu Air (C) +A. hydrophila +Dactylogyrus sp. P.fluorescens X Gyrodactylus sp. Argulus sp Sapmlegnia sp I Gambar 12. Sebaran suhu air dengan prevalensi penyakit Aeromonas hydrophila Aeromonas hydrophila adalah bakteri Gram negatif, batang dengan ujung membulat, berdiameter 0.3-1.0 pm X 1.0-3.5 pm., tidak mempunyai tahapan spors, motil, dan merupakan bakteri fakultatif anaerobic. Aeromonas hydrophila tumbuh optimal pada suhu 22-28"C, bahkan kadang-kadang dapat tumbuh dengan baik pada suhu 37°C. Persentase penyakit yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila tertinggi didapatkan di lokasi C (Bekasi) sebesar 25,87%.kemudian berturut-turut di lokasi A (Bogor ) 25,07 %, D (Tangerang) 2 1,07 % dan B (Cibinong) 20,27%. Gejala yang tampak pada sampel ikan akibat infeksi bakteri ini adalah adanya luka-luka pada permukaan tubuh, kerontokan sirip dan perdarahan pada otot, dan dapat dilihat pada Gambar 13 Luka terbuka pada ikan yang terinfeksi Aeromonas biasanya ditemukan pada bagian kulit kepala, bagian tengah badan dan daerah dorsal ikan, karakterisitik dari luka-luka ini disebut dengan epizootic ulcerative syndrome ( E U S ) (Rahrnan et al. 2002). atau disebut juga dengan furunculosis (Rabaan et al. 200 1 ). Hasit analisa statistika untuk mengetahui korelasi antara suhu air dan prevalensi penyakit yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila (Lampiran 4) di empat lokasi penelitian memberikan hasil korelasi yang sangat signifikan (P > 0,Ol) dengan persamaan regresi : Y = - 109,73 + 5,28 Xi + e, dan koefisien determinasi 0,7407 atau 74,07 % keragarnan penyakit yang disebabkan oleh Aeromonas hydrophila dapat diterangkan oleh faktor suhu air. Pada dasamya Aeromonas hydrophila bukan patogen utarna, untuk menjadi patogen diperlukan kondisi stres yang disebabkan oleh perubahan lingkungan seperti : densitas yang tinggi, kenaikan suhu air, kelarutan oksigen yang rendah dan adanya partikel organik dalam jumlah yang cukup besar dalarn air (Munday 1988). Gambar 13. Ikan tetra dengan infeksi Aeromonas hydrophila Secara umum tampak bahwa kejadian penyakit yang disebabkan oleh Aeromonas hydrophila ada di setiap lokasi penelitian, sehingga dapat dikatakan bahwa bakteri ini endemis untuk daerah Jabotabek. Hal ini dikuatkan oleh hasil penelitian Dalimunthe (1989) yang menyimpulkan bahwa bakteri Gram negatif adalah bakteri yang paling banyak menimbulkan penyakit pada ikan dan lebih kurang 63,6 % mikroorganisme penyebab penyakit bakterial pada ikan-ikan air tawar termasuk dalam genus Aeromonas sp., yang telah tersebar ke seluruh dunia. Pseudomonnsjluorescens Pseudomonns ,fluorescens adalah bakteri Gram negatif, berbentuk batang, berukuran 0.5 - 0 .8pm X 1 - 3 pm, aerobik, motil dengan polar flagella, oksidatif, kemoorganotropik metabolisme, tidak memerlukan faktor organik untuk tumbuh. Pseudornonasfluorescens turnbuh dengan optimal pada suhu 24 - 30°C. Taksonomi Pseudomonas Juorescens adalah sebagai berikut: Phylum: Proteobacteria, Klas: Gammaproteobacteria, Ordo: Pseudomonadales, Famili: Pseudomonadaceae,Genus: Pseudomonas, Spesies: Pseudomonas jluorescens (Migula 1895). Infeksi oleh bakteri ini biasa terjadi pada ikan karper, ikan nila merah, ikan hias tropis dan ikan jenis-jenis salmon, timbulnya gejala klinis berhubungan langsung dengan stres lingkungan, terutarna suhu air yang tinggi dan densitas yang tinggi (Munday 1988). Kasus penyakit yang disebabkan oleh Pseudomonas jluorescens ditemukan di iokasi A (Bogor) 16,00%, B (Cibinong) 17,33%, C (Bekasi) 16,27% dan D (Tangerang) 9,6 %. Pada Gambar 14 dapat dilihat gejala yang tampak pada sampel ikan akibat infeksi bakteri ini adalah adanya perdarahan otot, perdarahan peritoneum, perdarahan pada pangkal sirip. Gambar 14. Ikan tetra dengan infeksi Pseudomonas~uorescens Hasil analisa statistika untuk mengetahui korelasi antara suhu air dan prevalensi penyakit yarig ciisebabkan oleh bakteri Pseudomonas fluorescens (Lampiran 5 ) di empat lokasi penelitian memberikan hasil korelasi yang sangat signifikan (P > 0,Ol) dengan persamaan regresi : Y = - 109,02 + 4,93 Xi + e, dan koefisien determinasi 0,8094 atau 80,94% keragarnan penyakit yang disebabkan oleh Pseudomonasfluorescens dapat diterangkan oleh faktor suhu air. Korelasi antara suhu air dan prevalensi penyakit bakterial Suata ha1 yang menarik bahwa terdapat pola regresi yang sama di dapatkan pada persamaan regresi penyakit yang disebabkan oleh Aeromonas hydrophila dan Pseudomonasfluorescens , dalam ha1 ini bila suhu air meningkat maka angka prevalensi juga akan meningkat. Kecenderungan antara peningkatan suhu air dan peningkatan prevalensi kejadian penyakit dapat dilihat pada Ganlbar 1 5. Langdon (1988) yang menyatakan bahwa bila suhu air meningkat secara fluktuatif maka terdapat kecenderungan peningkatan kecepatan multiplikasi patogen, terutama bakteri, atau dengan kata lain suhu air yang sangat dipengaruhi oleh suhu udara, akan mempunyai pengaruh kuat pada jumlah kejadian penyakit bakterial pada ikan. Kemungkinan lain yang berkaitan dengan ha1 ini adalah pada suhu air yang tinggi maka kadar oksigen terlarut akan menurun, sedangkan pada saat yang sama laju metabolisme pada ikan akan meningkat, termasuk diantaranya adalah kebutuhan oksigen semakin meningkat (Whiting & Carolane 1983 ; Chessman & Robinson 1987 ; Mc.Neely et al. 1979), sehingga terdapat kecenderungan ikan tidak mendapatkan kebutuhan oksigen dengan cukup, dan ha1 ini akan bersifat sebagai stresor pada ikan. Umumnya, penyakit penyakit bakterial pada ikan hias disebabkan oleh bakteri opertunistik, dimana kebanyakan infeksi bakteri itu disebabkan perubahan dalarn hubungan bakteri dan ikan. Bakteri-bakteri ini sudah ada diperairan tetapi tidak selalu dapat menyebabkan peyakit pada ikan. Dalarn kondisi normal, bakteri-bakteri ini tidak terlalu berbahaya bagi kesehatan ikan, karena ikan mampu bertahan terhadap serangan penyakit dengan berbagai mekanisme sistem imun. Namun, jika jumlah atau virulensi patogen meningkat dan daya tahan ikan menurun karena adanya faktor-faktor penyebab stres, baik itu secara kimia maupun secara fisika., maka ikan akan terinfeksi (Anonim 2006a). Bakteri opportunis akan menjadi patogenik bila: terjadi kerusakan integumen (kulit) karena abrasi akibat aktifitas parasit atau karena kerusakan secara kimia (akibat ammonia, nitrit atau tinggi rendahnya pH), dikarenakan pertahanan normal tertekan akibat perubahan lingkungan dan penyakit seperti: buruknya kualitas air, parasit, padat tebar tinggi, dan perubahan suhu. Hal yang sama didapatkan dari hasil penelitian Callinan (1988) yang menunjukkan adanya korelasi yang positif antara peningkatan suhu air dengan jurnlah kejadian penyakit oleh infeksi Aeromonas hydrophila dan Pseudomonas ji'uorescens pada ikan Geotria australis. Kebanyakan bakteri dapat berkembang dengan baik pada suhu lebih dari 30°C, dan kisaran tekanan osmosis dan pH yang besar. Orgarisme ini dapat dengan mudah menyesuaikan diri dan memperbaiki struktur dan fungsi makromolekulnya. Pzda saat suhu meningkat biosintesa ellzim lneningkat pula. Tapi pada suhu yang rendah, laju pertumbuhan menjadi terhambat, karena menurunnya kepadatan membran lipid, yang ditandai dengan menurunnya sintesa protein (Davis et al. 1980). Hal ini membuktikan bahwa pada saat suhu meningkat kegiatan pertumbuhan bakteri akan meningkat pula, sehingga prevalensi bakteri banyak terjadi pada saat suhu air lebih hangat. 35 30 25 3 5 20 c -? 15 0 !I! 0. 10 5 0 23 23.5 24 24.5 25 25.5 26 26.5 Rataan Suhu Air (C) A.hydmphib (Y= 109,73+5,28 X h L i n e a r (A.hydrophila C/= -109,73+6,28 Xi*) P.fluorescens (Y= -109,02+4,93Xi+e) --Linear (P.fluoruscens (Y= -109,02+4,93Xi+e)) Gambar 15. Korelasi suhu air dengan penyakit bakterial Hasil pemeriksaan histopatologi Pemeriksaan histopatologi digunakan untuk menambah data yang berasal dari temuan secara makroskopis dan isolasi parasit, pada penelitian digunakan sampel ikan hias sehat dari lokasi B (Cibinong) dan Lokasi A(Bogor). Hasil pemeriksaan pada sampel ikan sehat dari lokasi A(Bogor) menunjukkan adanya myositis dan peritonitis, juga ditemukan adanya kista protozoa (Pleistophora sp.) pada otot. Hasil pemeriksaan histopatologi dapat dilihat pada Gambar 16. Pleistophora sp. terrnasuk agen penyakit golongan 1 yang berarti ikan pembawa penyakit hams dimusnahkan menurut Kepmen no 17 tahun 2003. Hasil pemeriksaan patalogi anatomi pada beberapa sampel ikan yang tidak menunjukkan gejala klinis atau terlihat dalam keadaan sehat yang berasal dari lokasi B (Cibinong) memberikan hasil bakterial peritonitis dan enteritis viral non spesifik. Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan bahwa walaupun sampel ikan tidak menunjukkan gejala klinis yang terlihat, tetapi ternyata hasil pemeriksaan membuktikan bahwa sampel ikan terinfeksi oleh bakteri patogen, virus dan protozoa. Gambar 16. Kista Pleistophora sp., pada jaringan otot ikan Neon Tetra yang mengalami peradangan graqulomatosa. (K= kista Pleistophora sp., G=: fokus granuloma), pewarnaan H&E Pleistophora hyphessobrycon diketahui menyerang 18 jenis ikan tetra, beberapa jenis ciclid seperti, manvis, dan cyprinid, seperti barb dan rasbora, juga dapat terinfeksi. Gejalanya warna ikan memucat dan disertai hilangnya garis merah. Bila infeksinya ringan tidak terlihat adanya gejalanya. Bila infeksinya berat (parah) akan kehilangan warna merah dan timbul bercak-bercak di bawah kulit. Organ lain yang diserang adalah usus, ovarium. Penyakit ini baru narnpak setelah 2 - 4 minggu. Ukuran spora 4 x 6pm. Pansporoblast berukuran 26 - 33pm. Setiap spora mempunyai satu polar filament dan mengandung sporoplasma (BUS -Jakarta 2005,. Canning & Hazard 1982). Argulus sp. Argulus sp. (Gambar 1'7) termasuk kelas crusfacea yang berbentuk iiutu penghisap darah, gejala klinis yang khas pada ikan adalah adanya erosi pada epidermis (Butler 2005, Robert 2005, Widayanti 2003). Ektoparasit ini digolongkan dalarn subklas branchiura, ditemukan pada ikan air tawar dan ikan laut, menyebabkan kerugian yang sangat besar pada industri budidaya salmon (Heckmann 2003). Gambar 17. Argulus sp. KOH, pembesaran 400 x. Kejadian penyakit yang disebabkan oleh Argulus sp. ditemukan di lokasi A (Bogor) 14,67 %, B (Cibinong) 2,67 %, C (Bekasi) 2,93% dan D (Tangerang) 0,80%. Angka prevalensi di lokasi A (Bogor) tertinggi diantara ke tiga lokasi yang iain, diduga ha1 ini disebabkan oleh metoda pemeliharaan ikan di lokasi A yang ditampung di dalam kolam di luar ruangan, sedangkan di tiga lokasi yang lain ikan dipelihara di dalarn akuarium di dalam ruangan. Hal ini sesuai dengan pendapat Heckmann (2003) yang menyatakan bahwa Argulus sp. mudah ditemukan pada ikan liar atau ikan yang dipelihara dalam kolam dan jarang ditemukan pada ikan yang dipelihara dalam akuarium. Hasil analisa statistika untuk mengetahui korelasi antara suhu air dan prevalensi penyakit yang disebabkan oleh Argulus sp. (Larnpiran 6) di empat lokasi penelitian memberikan hasil korelasi yang sangat signifikan (P > 0,Ol) dengan persamaan regresi : Y = 84,75 - 3,16 Xi + e, dan koefisien determinasi 0,6667 atau 66,67% keragaman penyakit yang disebabkan oleh Argulus sp. dapat diterangkan oleh faktor suhu air. Dactylogyrus sp. Dactyloayrus sp. adalah klas trematoda, sub klas monogenea yang mempunyai ciri-ciri: bentuknya pipih menyerupai daun, mempunyai 4 (empat) titik mata, sepasang kait besar dan 7 (tujuh) pasang kait kecil (Gambar 18). Dactylogyrus sp. adalah parasit ovivipar yang bertelur dan biasanya menempel pada insang. Telur itu kemudian berkembang menjadi onchomiricidium yang menempel pada ikan dan menyerang ikan-ikan pada air tawar. Target organ pada ikan umumnya adalah insang (Grabda 1991). Parasit dewasa akan melekat pada insang kemudian telurnya menetas menjadi larva yang dinarnai onchomiricidium yang kemudian mencari ikan lain dan menginfeksi ikan tersebut. Kejadian penyakit yang disebabkan oleh Dactylogyrus sp. terdapat di semua lokasi penelitian, dengan prevalensi 16,OO % (A), 10,93 % (B), 6,67% (C) dan 6,93 % (D). Gambar 18. Dactylogyrus sp. carmine, 400 x. Hasil analisa statistika untuk mengetahui korelasi antara suhu air dan prevalensi penyakit yang disebabkan oleh Dactylogyrus sp. (Lampiran 7 ) di empat lokasi penelitian memberikan hasil korelasi yang sangat signifikan (P > 0,Ol) dengan persamaan regresi : Y = 119,7 - 4,36 Xi + e, dan koefisien determinasi 0,7030 atau 70,30% keragaman penyakit yang disebabkan oleh Dactylogyrus sp. dapat diterangkan oleh faktor suhu air. Gyrodactylus sp. Gyrodacty1u.s sp. ternlasuk pada klas trematoda, sub klas monogenea yang mempunyai ciri-ciri: bentuk kepala menyerupai huruf V, ada 2 (dua) pasang titik mata, vivar, menginfeksi sebagian besar jenis ikan, mempunyai 2 (dua) kait besar dengan 16 kait kecil, mempunyai organ untuk menempel (haptor), menyerang kulit sirip dan insang (Garnbar 19). Siklus hidupnya, parasit dewasa menghasilkan larva yang dilepaskan ke perairan dan menempel dengan cepat ke inang lain. Gejala klinis akibat parasit ini adalah ikan benvarna pucat, sirip melipat, kulit berlendir, terdapat bintik darah pada kulit dan pangkal sirip, insang tidak dapat menutup, terdapat perdarahan pada insang (Butler 2005, Robert 2005, Widayanti 2003). Kejadian penyakit yang disebabkan oleh Gyrodactylus sp. terdapat di semua lokasi penelitian, dengan persentase kejadian penyakit 16,27 % (A, Bogor), 9,6 % (ByCibinong), 7,2% (C, Bekasi) dan 6,4% (D, Tangerang). Hasil analisa statistika untuk mengetahui korelasi antara suhu air dan prevalensi penyakit yang disebabkan oleh Gyrodactylus sp. (Lampiran 8) di empat lokasi penelitian memberikan hasil korelasi yang sangat signifikan (P > 0,Ol) dengan persamaan regresi : Y = 118,82 - 4,34 Xi + e, dan koefisien determinasi 0,6950 atau 69,50 % keragaman penyakit yang disebabkan oleh Gyrodactylus sp. dapat diterangkan oleh faktor suhu air. Gambar 19. Gyrodactylus sp. carmine, 400 X Korelasi antara suhu air dan prevalensi penyakit parasiter ~ u a t uha1 yang menarik bahwa terdapat pola regresi yang sama di dapatkan pada persamaan regresi penyakit yang disebabkan oleh Dactylagyrus sp. dan Gyrodactylus sp., dalam ha1 ini bila suhu air menurun maka angka prevalensi juga akan meningkat. Terdapat suatu hubungan yang erat antara rendahnya suhu air dan tejadinya penyakit yang disebabkan oleh protozoa pada ikan, seperti yang ditemukan pada Paralichthys dentatus yang terinfeksi oleh Trypanoplasma bullocki (Burreson & Zwerner 1984). Langdon et al. (1985) menyatakan bahwa terjadinya infeksi parasiter pada ikan disebabkan oleh faktor predisposisi yang disebabkan bila suhu air semakin rendah maka respon imun ikan juga akan semakin menurun. Penelitian ini mengindikasikan bahwa suhu merupakan faktor penting pada terjadinya kelimpahan parasit, terutama monogenea (Koskivaara 1992). Siklus hidup parasit sangat tergantung oleh suhu. Proses dalam siklus hidup parasit akan terharnbat jika suhu meningkat dan akan lebih cepat pada suhu rendah.. Namun, hams diingat bahwa suhu bukan satu-satunya faktor yang berperan dalam perturnbuhan parasit, karena peningkatan populasi parasit memang terjadi pada saat suhu menurun (Chubb 1977). Untuk mengetahui hubungan prevalensi kejadian penyakit parasiter dengan suhu air dapat dilihat pada Gambar 20. Argulus sp (Y*,75 3,16Xi*e) 20 x 15 X c. 55 '5 = 10 t 6 0 -a - Dactylogyrus sp (Y=119.7 - 4,36Xi*e) Gyrodactylus sp ( Y 4 18,82 - 4,34Xi*6) Linear (Argulus sp (Y384,75 - 3,16Xi*e)) .-Linear (Dactylogyrus sp - - ( ~ 4 1 9 ,4,36xi*e)) ~ Linear (Gyrodactylus sp ( Y 4 18,82 4 , 3 4 X i ) ) 5 - 0 23 23.5 24 24.5 25 25.5 26 26.5 Rataan Suhu Air (C) Gambar 20. Korelasi suhu air dengan penyakit parasiter Saprolegnia sp. Saprolegnia sp. adalah genus dari jamur yang menginfeksi ikan dan telur ikan air tawar. Saprolegnia sp. adalah jamur air yang mempunyai oogonia dan oospora.Perkembang-biakkannya secara a-seksual. Ujung hyphanya membesar d m diisi dengan protoplasma padat yang akan membentuk suatu oogonium berbentuk bola. Telur berbentuk bola terpisah dari protoplasma d m membentuk oospora. Oospora dapat bertahan terhadap gangguan cuaca dan iklim selama bertahun-tahun, dan akan memulai kehidupan yang baru apabila kondisi sudah memungkinkan. Pada penelitian hanya satu jenis fungi yang ditemukan sebagai penyebab kejadian penyakit fungi pada sampel ikan hias penelitian, yaitu Saprolegnia sp. Kejadian penyakit yang disebabkan oleh Saprolegnia sp. ditemukan di lokasi A (Bogor) 12,OO %.dan B (Cibinong) 1,07 %, ha1 di duga berkaitan dengan suhu udara dan suhu air yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan 2 lokasi yang lain. Gejala klinis pada ikan yang terinfeksi oleh Saprolegnia sp., menampakkan koloni fungi berbentuk seperti kapas benvarna putih atau abu-abu pada kulit atau insang, pada kasus berat akan terjadi kerusakan jaringan yang menyebabkan terjadinya nekrosis (Carlson 2005). Jenis fungi ini biasa ditemukan pada air tawar, air yang kotor dan tanah yang basah, dapat hidup pada rentang suhu antara 3" C - 3 1" C, tetapi jauh lebih subur pada air yang dingin (Butler 2005; Carlson 2005; Robert 2005). Pada Gambar 2 1 terlihat jamur Saprolegnia sp. yang menyerang kulit ikan. Hal ini terlihat adanya hyphae yaitu filamen yang terbentuk dari jamur saprolegnia fase dewasa, dan terlihat mycelium yaitu kumpulan hyphae yang membentuk masa yang penarnpakannya seperti kapas. Hasil analisa statistika untuk mengetahui korelasi antara suhu air dan prevalensi penyakit yang disebabkan oleh Saprolegnia sp. (Larnpiran 9) di empat lokasi penelitian memberikan hasil korelasi yang sangat signifikan (P > 0,Ol) dengan persamaan regresi : Y = 30,71 - 1,09 Xi + e, d m koefisien determinasi 0,353 1 atau 35,3 1 % keragaman penyakit yang disebabkan oleh Saprolegnia sp. dapat diterangkan oleh faktor suhu air. Gambar 21. Ikan tetra dengan infeksi Saprolegnia sp. Infeksi fungi ini biasa disebut dengan saprolegniasis dan biasa terjadi sebagai infeksi sekunder setelah terjadi kerusakan integumen kulit dan insang pada ikan karena infeksi parasit, bakteri atau virus, dengan faktor predisposisi densitas yang tinggi dan rendahnya mutu air. Sangat jarang fungi ini menjadi patogen secara primer, tetapi pada beberapa kasus infeksi primer oleh fungi ini berkaitan erat dengan suhu air yang rendah, yang mungkin menyebabkan turunnya imunitas pada ikan (Anonim 2005). Korelasi antara suhu air dan prevalensi penyakit fungi Dari persamaan regresi dapat diketahui bahwa terdapat kecenderungan kejadian penyakit fungi akan semakin meningkat dengan semakin turunnya suhu air (Garnbar 22). Penyakit yang disebabkan oleh jamur (fungi) adalah penyakit yang biasa ditemukan pada ikan air tawar dan dipotensiasi oleh adanya stres akibat turunnya kualitas air , perubahan suhu air, tekanan secara fisik (Anonim 2005 ; Carlson 2005). 7 9 8 7 :-6 0 $ 4 3 2 1 0 23 23.5 24 24.5 25 25.5 26 26.5 Rataan Suhu Air (C) Saprolegnia sp L i n e a r (Saprolegnia sp) Gambar 22. Korelasi suhu air dengan penyakit fungi Daerah Identifikasi Penyakit Dari hasil identifikasi kejadian penyakit pada ikan hias golongan tetra selama 25 minggu (Februari-Agustus 2005) (Lampiran 2) di dapatkan angka prevalensi kejadian penyakit di empat lokasi (Bogor, Cibinong, Bekasi dan Tangerang) disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Rata-rata suhu air dan angka prevalensi (%) penyakit dari 4 daerah identifikasi pada bulan Februari - Agustus 2005. Agen Penyakit Suhu air("C) Aeromonas hydrophila (%) Pseudomonasfluorescens(%) Argulus sp. (%) Dactyloflrus sp. (YO) Gyrodactylus sp. (%) Saprolegnia sp. (%) Bogor Cibinong Bekasi Tangerang 24,72 25.07 16.00 14.67 16.00 16.27 12.00 25,16 20.27 17.33 2.67 10.93 9.60 1.07 25,24 25.87 16.27 2.93 6.67 7.20 0.00 25,34 21.07 9.60 0.80 6.93 6.40 0.00 Berdasarkan data pada Tabel 12, Gambar 15, 20, 22 dan analisa regresi linear sederhana didapatkan bahwa terdapat kecenderungan : Peningkatan prevalensi penyakit bakterial terjadi pada musim kemarau. Peningkatan prevalensi penyakit parasiter terjadi pada musim hujan Peningkatan prevalensi penyakit fungi terjadi pada musim hujan Konfirmasi data penyakit ikan yang ditemukan oleh Balai Karantina Ikan-Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, pada bulan Februari-Agustus 2005 (Lampiran 1O), hanya dapat mengkonfirmasi keberadaan hama penyakit yang telah ditemukan pada penelitian ini, sedangkan data kuantitatif prevalensi kejadian penyakit tidak dapat dikonfirmasikan dalam penelitian ini karena data tidak ada. KESIMPULAN Dari -basil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa perubahan pada salah satu parameter kualitas air, yaitu suhu air akan memberikan pengaruh langsung pada angka prevalensi kejadian penyakit ikan hias golongan Tetra. Berdasarkan persamaan regresi, dapat dilihat bahwa : Prevalensi penyakit bakterial (Aeromonas hydrophila & Pseudomonas fluorescens) akan meningkat sejalan dengan peningkatan suhu air. Prevalensi penyakit parasiter (Argullus sp., Dactylog~rus sp., Gyrodactylus sp.) dan mikosis (Saprolegnia sp.) akan meningkat sejalan dengan penurunan suhu air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyakit bakterial (Aeromonas hydrophila & Pseudomonas fluorescens) adalah endemis di daerah penelitian (Bogor, Cibinong, Bekasi d m Tangerang), ha1 yang sama ditemukan pada penyakit parasiter. Prevalensi rata-rata kejadian penyakit di Bogor, Cibinong, Bekasi dan Tangerang pada 1500 ekor sampel ikan hias jenis tetra antara bulan FebruariAgustus 2005 adalah sebagai berikut Aeromonas hydrophila 23,07 %, Pszudomonas fluorescens 14,80 %, Argulus sp. 10,13 %, Gyrodactylus sp 9,87 %, Saprolegnia sp. 5,27 %, Dactylogyrus sp. 3,27 %, sehingga 66 % sampel ikan dalam kondisi sakit dan hanya 34 % sampel ikan dalam kondisi sehat. Pemeriksaan histopatologi diperlukdpenting dilakukan pada prosedur pemeriksaan karantina ikan untuk mengetahui infeksi pada jaringan, sehingga hasil yang didapat lebih akurat. SARAN Pengontrolan parameter kualitas air secara terus-menerus dan sistematik dapat digunakan sebagai salah satu prasyarat ekspor-impor bagi perusahaan ikan hias di Jabotabek. Perlu diadakan program monitoring dan surveilance yang dilakukan secara teratur. Diperlukan suatu sistem pemeriksaan laboratorium lengkap, cepat dan akurat, terutama untuk bibit ikan dengan memasukkan pemeriksaan histopatologi sebagai salah komponen pemeriksaan yang harus dilakukan. Diperlukan penelitian lebih lanjut di tingkat petani budidaya ikan untuk mengetahui pola penyebaran hama penyakit secara menyeluruh. DAFTAR PUSTAKA Alabaster JS, Loyd R. 1980. Water quality criteria for freshwater fish. FA0 / Buttenvorths. New York. Arthur, J.R., 1995. Efforts to prevent the international spread of diseases of aquatic organisms, with emphasis on the Southeast Asian Region. In M.Shatiff, J.R. Arthur and R.P. Subasinghe. (eds.) Diseases in Asian Aquaculture II. Proceedings of the 2nd Symposium on Diseases in Asian Aquaculture, 24-29 October, 1993, Phuket, Thailand. Asian Fish. Soc., Fish Health Sect., Kuala Lumpur. (In press). Arthur, J.R. 1996. Fish and shellfish quarantine: the reality for Asia-Pacific. In Health Management in Asian Aquaculture. In R.P. Subasinghe, J.R. Arthur & M. Shariff (eds.). Proceedings of the Regional Expert Consultation on Aquaculture Health Management in Asia and the PaclJic p. 11-28. [Anonim] 1976. Standard methods for the examination of water and wastewater. 4" edition. American Public Health Association. Washington DC. p 1193. [Anonim] 1987. Canadian water quality. Canadian Council of Resource and Environment Ministers. Ontario. Canada. [Anonim] 1990. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 20. Tahun 1990. tentang : Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta. [Anonim] 2005. Fish fungus - Saprolegnia sp.. http:Nwww.fishdoc.co.uk/diseasel fungus.htm [Maret 20051. [Anonim] 2006a. Fish metabolism. http:Nwww.fishdoc.co.uk/metabolism.htm [Pebruari 20061. [Anonim] 2006b. Fish diseases. http://www.fishdoc.co.uWdisease.htm [Pebruari 20061. Boyd CE. 1988. Water quality in warmwater fish ponds. 4thprinting. Auburn University Agricultural Experiment Station. Alabama. Brown AL. 1987. Freshwater ecology. Heinemann Educational Books. London. Burreson EM, Zwerner DE. 1984. Junevile summer flounder, Paralichthys dentatus, mortalities in the western Atlantic Ocean caused by the hemoflagellate Trypanoplasma bullocki : evidence from field and experimental studies. Helgol. Meeresunters. 37. 343-352. [BUS] Balai Uji Standar. 2005. Metode Pemeriksaan,HPIK golongan parasit. Jakarta: DKP. ' Butler R. 2005. Disease that affect tropical freshwater fish. http://fish.mongabay. com/disease.htm [Juli 20051. Callinan RB. 1988. Disease of Australian native fishes. Fish Diseases. Refresher course for Veterinarians. Proceeding 106. Post Graduate Committee in Veterinary Science. University of Sydney. pp : 459. Canning, EU., Hazard, EI. 1982. Genus Pleistophora Gurley 1893, an assemblage of at least three genera. J. Protozool29.39-49. Carlson RE. 2005. Saprolegnia - water fungus. http://www.koivet.com/ html/articles [8 Juni 20051. Chessman BC, Robinson DP. 1987. Some effects of the 1982-83 drought on water quality and macro invertebrate fauna in the lower La Trobe River Victoria. Aust.J.Mar.Freshw.Res. 38.289-299. Chubb, J. C. 1977. Seasonal occurrence of helminthes in freshwater fish. Part I. Monogenea. Adv. Parasitol : 15.~133- 199. Cole GA. 1988. Textbook of lirnnology. 3rdedition. Waveland Press.1nc. Illinois. pp:40 1. Davis, BD., Dulbecco, R, Eisen, H.N, Ginsberg, HS. 1980. Microbiology 31d edition. Harper and Row Publisher. Philladelphia. pp 1355. Dalimunthe N. 1989. Pola kepekaan Aeromonas hydrophila terhadap beberapa antibiotika. (skripsi). Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Effendi H. 2000. Telaahan kualitas air. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. Grabda, J. 1991. Marine fish parasitology : An outline. John Willey & Son Ltd. USA. pp 306. Hanson LA, Grizzle JM. 1985. Nitrite-induced predisposition of channel catfish to bacterial diseases. Prog.Fish.Cult. 47. pp : 98-101. Heckmann R. 2003. Other ectoparasites infesting fish; Copepods, Branchiurans, Isopods, Mites and Bivalves. Aquaculture Magazine NovemberIDecember 2003. pp : 1 - 7. Koskivaara, .M. 1992. Environmental factors affecting monogeneans parasitic on freshwater fishes. Farasitol Today 8. p.339-342. Langdon JS. 1988. History and causes of fish kill. Fish Diseases. Refresher course for ~eierinarians.Proceeding 106. Post Graduate Committee in Veterinary Science. University of Sydney. Langdon JS, Gudkovs N, Humprey JD, Saxon EC. 1985. Deaths in Australian freshwater fishes associated with Chilodonella hexasticha infection. Aust.Vet.J.62(12). 409-412. Mackereth FJH., Heron J. Talling JF. 1989. Water Analysis. Freshwater Biological Association. Cumbria. UK. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan percobaan. Jilid 1. Edisi 2. IPB Press. Bogor. Mc Neely RN. Nelmanis VP and Dwyer L. 1979. Water quality source book, A guide to water quality parameter. Inland Water Directorate. Water Quality Branch. Ottawa. Canada. pp : 89. Moore JW. 1991. Inorganic contaminants of surface water. Springer-Verlag. New York. pp:334. Munday BL. 1988. Bacterial disease of fish. Fish Diseases. Refresher course for Veterinarians. Proceeding 106. pp : 101- 108. Post Graduate Committee in Veterinary Science. University of Sydney. Novotny V , Olem H. 1994. Water quality prevention, identification and management of diffuse pollution. Van Nostrans Reinhold. New York. Pp : 1054. Peavy HS. Rowe DR. Tchobanoglous. 1985. Environmental engineering. Mc Graw-Hill International Editions. Singapore. pp :,699. Rabaan AA; Gryllos I, Tomas JM, Shaw JG. 2001. Motility and the polar flagellum are required for Aeromonas caviae adherence to HEp-2 cells. Infection and Immunity.69:7(4257-4267). Rahrnan M, Navarro PC, Kuhn I, Huys G, Swings J, Mollby R. 2002. Identification and characterization of pathogenic Aeromonas veronii biovar sobria associated with epizootic ulcerative syndrome in fish in Bangladesh. Applied and Environmental Microbiology. 68:2 (650 - 655). Robert F. . 2005. Freshwater fish infectious www.wetwebmedia.com [Juli 20051. and parasitic disease. Sawyer CN, Mc Carty PL. 1978. Chemistry for environmental engineering. 3rd edition. hlc Graw-Hill Book Company. Tokyo. pp: 532. Slauson DO, Cooper BJ, Suter MM. 1990. Mechanism of disease. 2".edition. Williams & Wilkins. Baltimore. Steel RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan prosedur statistika : Suatu pendekatan biometrik. Edisi ke 2, Grarnedia Pustaka Utama. Jakarta. Thrusfield M. 1995. Veterinary epidemiology. 2nd.Edition. Blackwell Science Ltd. Cambridge. Tebbut THY. 1992. Principles of water quality control. 4" edition. Pergamon Press. Oxford. Whiting CE, Carolane RK. 1983. Fish farming and the drought. Aust.Aquacult. 4(21), 8 - 12. Widayanti R. 2003. Parasit pada ikan. Pelatihan Dasar Karantina Ikan. Pusat Karantina Ikan. PMPSDMP. Ciawi. Yunchis, 0 . N. 1988. Some ecological factors affecting the monogenean infection of roach. In: Investigation of monogeneans in the USSR. Scarlato. p. 62 -65. Lampiran 1. Kualitas air dan kejadian penyakit yang ditemukan dari 15 ekor sampel ikan per minggu Tahun : 2005 LOKMI zC~~~UONG NlTRlT Tahun :2005 OD3 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 OC3 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 093 10.03 0.03 0031 0.03 0.03 0.03 I JERIS PERVAKIT : 1 . Ae m a oms bvdmphla 2Pseudomnasfhorescens 3. A r g u m @. 4. &clyhgyrur sp. 5 Gvrw'actvbs sp. 6. Sepm e.q:qniesp. 2 2 2 3 4 2 2 2 1 4 3 1 2 2 2 2 2 2 2 3 1 1 2 2 0 2 2 0 3 2 0 2 2 0 1 1 0 3 2 1 2 2 0 2 2 0 1 3 0 2 4 2 1 2 0 1 2 1 0 2 0 0 4 3 0 2 1 0 4 3 0 1 0 0 3 3 1 1 0 0 4 3 0 1 2 0 4 3 1 2 2 0 3 4 3 0 1 2 0 3 3 0 1 1 0 1 3 0 1 1 0 3 0 1 0 0 0.72 I 4 ' 3 3 ~ 1 2 0 3 3 0 2 1 0 1 4 3 3 0 0 1 2 0 2 0 0 4 3 0 1 0 0 4 3 0 2 0 0 76 65 0 10 41 36 4 Lampiran 1. Lanjutan L O W 1 1. HEKASI Tahun : ZOO5 Tahun : Z M 5 Lampiran 2. Hasil pemeriksaan kualitas air dan presentasi kejadian penyakit yang ditemukan LOKMI z CIIIIWMIG Tahun : 2005 Lampiran 2. Laniutan LOKRSI 3. BEKAQ LDKA514. TmGE M U G Tahun : 2005 Tahun : 2005 Lampiran 3. Rata-rata seluruh kualitas air dan prevalensi yang ditemukan selama 25 minggu di 4 lokasi Tahun : 2005 Lampiran 4. Analisis regresi dan korelasi rataan suhu air dan prevalensi Aeromonas hydrophikc Xi No. Sampel Rataan suhu slr 23,50 1 23,75 2 24,OO 3 24,OO 4 24,50 5 24,50 6 7 24.75 24,50 8 9 24,50 10 25.38 25,25 11 25,25 12 25,50 13 25,50 14 25,75 15 25,OO 16 25.75 17 25,75 18 25.50 19 25,75 20 2575 21 26,OO 22 26,OO 23 25,75 24 26,OO 25 627,88 I n Rataan 25,12 394.227,02 FnFn Y A.hydmphila 15,00 15,OO 15,OO 16,67 16,67 20,OO 21,67 21,67 21.67 20.00 25,OO 25,OO 25,OO 25,OO 26,67 28,33 25.00 26,67 23.33 26,67 23,33 25.00 26,67 31,67 30,OO 576,67 23,07 332.544,44 - pi = nIXiYi ExiIYi I n XiY XiXi W 552,25 22500 352,50 356,25 564,06 225,OO 360,OO 576,OO 22500 277,78 400,OO 576.00 277,78 600,25 408,33 490,OO 600,25 400,OO 469,44 536,25 61256 469,44 530,83 600,25 600,25 469.44 530,83 400,OO 507,50 643,89 631,251 637,56 625.00 637,56 631,25 625.00 650,251 625,OO 637.50 625,OO 637,50 650,25 686,67 663,06 711,11 802,78 708,33 625,OO 643,75 663,06 625.00 686,67 663,06 711,11 650,25 544,44 595,OO 711.11 686,67 663,06 600,83 663,06 544.44 62500 650,OO 676,OO 711,ll 693,33 676,OO 815,42 1002,78 663,06 780,OO 676,OO 900,OO 14.556,67 15.783,02 13.827,78 1 XiXi - ( 1 Xi)(EXi) TABEL ANALISIS SlDlK RAGAM SK Regresi Galat Total 40 : p l == 0 I i : p l =I=0 db 1 23 24 JK 389,61 136,39 526,OO KT 389,61 593 F hitung 65,70 P0.05 4,28 PO.O1 7,88 Kesimpulan Tolak Ho sangat siqnifikan Tolak Ho bila F hitung lebih besar atau sama dengan F tabel Suhu air berpengaruh sangat signifikan pada kejadian penyakit bakterial (P> 0,Ol) Koefisien Determinasi : JWUJKT 0,7407 74.07% keragaman kejadian penyakit bakterial A.hydrophiia dapat diterangkan faktor suhu air Lampiran 5. Analisis regresi dan korelasi rataan suhu air dan prevalensi Pseudomonas jluorescens No. Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 I n Rataan ynyn Y Xi RataanSuhu Air P.fluorescens 10.00 23.50 10.00 23.75 6.67 24.00 10.00 24.00 8.33 24.50 8.33 24.50 11.67 24.75 11.67 24.50 13.33 24.50 16.67 e25.38 15.00 25.25 15.00 25.25 15.00 25.50 16.67 25.50 15.00 25.75 16.67 25.00 25.75 16.67 20.00 25.75 16.67 25.50 18.33 25.75 20.00 25.75 20.00 26.00 26.00 20.00 18.33 25.75 26.00 20.00 627.88 370.00 14.80 25.12 136,900.00 394,227.02 - XiY XiXi W 100.00 552.25 235.00 100.00 237.50 564.06 44.44 576.00 160.00 100.00 240.00 576.00 69.44 204.17 600.25 69.44 204.17 600.25 136.11 612.56 288.75 136.11 600.25 285.83 177.78 600.25 326.67 277.78 643.89 422.92 225.00 637.56 378.75 225.00 637.56 378.75 225.00 382.50 650.25 277.78 650.25 425.00 225.00 663.06 386.25 277.78 625.00 416.67 277.78 429.1 7 663.06 400.00 663.06 515.00 277.78 650.25 425.00 336.1 1 472.08 663.06 400.00 515.00 663.06 400.00 520.00 676.00 400.00 520.00 676.00 336.1 1 472.08 663.06 400.00 520.00 676.00 9,361.25 15.783.02 5,894.44 - pi = n I X i Y i Z x i I Y i I n IXiXi ( 1 Xi)(IXi) SK Regresi Galat Total 40: p l == 0 i i : p l =I= 0 db 1 23 24 JK 338.69 79.75 418.44 KT 338.69 3.47 F hitung 97.68 P0.05 4,28 PO.O1 7.88 Kesimpulan Tolak Ho sangat signifikan Tolak Ho bila F hitung lebih besar atau sama dengan F tabel Suhu air berpengaruh sangat signifikan pada kejadian penyakit bakterial (P> 0,Ol) Koefisien Determinasi : JKRIJKT 0.8094 80.94% keragaman kejadian penyakit bakterial P.fluorescens dapat diterangkan faktor suhu air Lampiran 6. Analisis regresi dan korelasi rataan suhu air dan prevalensi Argulus sp. No. Xi Y Sampel Rataan suhu air 1 23.50 2 23.75 24.00 3 4 24.00 24.50 5 6 24.50 7 24.75 24.50 8 24.50 9 10 25.38 11 25.25 12 25.25 13 25.50 14 25.50 15 25.75 16 25.00 17 25.75 18 25.75 19 25.50 20 25.75 21 25.75 22 26.00 23 -26.00 24 25.75 25 26.00 627.88 zn Rataan 25.12 394,227.02 TnFn XiY Argulus sp. 11.67 10.00 10.00 8.33 10.00 5.00 6.67 6.67 3.33 5.00 5.00 8.33 5.00 5.00 5.00 1.67 3.33 3.33 3.33 1.67 3.33 1.67 1.67 3.33 3.33 131.67 5.27 17,336.11 - pi = nxXiYi ExiZY i I rl XiXi 552.25 274.17 237.50 564.06 576.00 240.00 576.00 200.00 245.00 600.25 600.25 122.50 612.56 165.00 600.25 163.33 81.67 600.25 643.89 126.88 637.56 126.25 210.42 637.56 127.50 650.25 650.25 127.50 663.06 128.75 625.00 41.67 663.06 85.83 663.06 85.83 650.25 85.00 42.92 663.06 85.83 663.06 43.33 676.00 43.33 676.00 663.06 85.83 86.67 676.00 3,262.71 15,783.02 YY 136.11 100.00 100.00 69.44 100.00 25.00 44.44 44.44 11.11 25.00 25.00 69.44 25.00 25.00 25.00 2.78 11.11 11.11 11.11 2.78 11.11 2.78 2.78 11.11 11.11 902.78 I:XiXi - ( 1 Xi)(xXi) TABEL ANALISIS SlDlK RAGAM SK Regresi Galat Total db 1 23 24 JK 139.56 69.77 209.33 KT 139.56 3.03 F hitung 46.01 P0.05 4,28 PO.O1 7.88 Kesirnpulan Tolak Ho sangat signifikan Tolak Ho bila F hitung lebih besar atau sarna dengan F tabel Suhu air berpengaruh sangat signifikan pada kejadian (P> 0,Ol) Koefisien Determinasi : JKRIJKT 0.6667 66.67% keragarnan kejadian penyakit Argulus sp. dapat diterangkan oleh faktor suhu air 65 Lampiran 7. Analisis regresi dan korelasi rataan suhu air dan prevalensi Dactylogyrus sp. Xi Y Rataan suhu air Dactylogyrus sp. 23,50 18,33 23,75 16,67 24,W 16,67 24,OO 13,33 24,50 15,OO 24,50 11,67 13,33 24,75 24,50 10.00 11,67 24,50 25.38 10,OO .25,25 15,OO 25,25 6,67 8,33 25,50 25,50 6,67 25,75 8,33 8,33 25,OO 25,75 6,67 25,75 8,33 25,50 6,67 25,75 8,33 25,75 6,67 26,OO 3,33 26,OO 10,OO 25,75 5,OO 26,OO 8,33 627,88 253,33 25,12 10,13 394.227,02 64.177,78 No. Sarnpel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 I n Rataan Fnxn pi XiY XiXi W 552,25 430,83 336,ll 395,83 564,06 277,78 576,OO 277,78 400,OO 320,OO 576,OO 177,78 600,25 367,50 225,OO 285,83 600,25 136,ll 330,OO 612,56 177,78 245,OO 600,25 100,OO 285,83 600,25 136,ll 253,75 643,89 100.00 378,751 637,56 225,OO 168,33 637,56 44,44 212.50 69,44 650,25 170,OO 650,25 44,44 214,58 663,06 69.44 208,33 625,OO 69,44 171,67 663,06 44,44 214,58 663,06 69,44 170,OO 650,25 44,44 214,58 663,06 69,44 171,67 44,44 663,06 86,67 676.00 11,ll 260,OO 676,OO 100,OO 128,75 663,06 25,OO 216,67 676,OO 69,44 6.301,67 15.783,02 2.944,44 - = n z x i ~-i ExixYi I n 1XiXi (2: Xi)(zXi) TABEL ANALISIS SlDlK RAGAM SK Regresi Galat Total Ho: p i ==0 Hi: p l = / = 0 db 1 23 24 JK 265,28 112,06 377,33 KT 265,28 4,87 F hitung 54,45 P0.05 4,28 PO.01 7,88 Kesimpulan Tolak Ho sangat signifikan Tolak Ho bila F hlung lebih besar atau sama dengan F tabel Suhu air berpengaruh sangat signifikan pada kejadian penyakit (P> 0,Ol) : JKRIJKT 0.7030 Koefisien Determinasi 70,30% keragaman kejadian penyakl Dactylogyms sp. dapat diterangkan oleh faktor suhu air Lampiran 8. Analisis regresi dan korelasi rataan suhu air dan prevalensi Gyrodactylus sp. No. Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 I n Rataan FnFn Xi Y Rataan suhu air Gyrodactylussp. 23,50 13,33 23,75 16,67 24.00 16,67 24,OO 15,OO 24,50 13,33 24,50 13,33 15,OO 24,75 13,33 24,50 8,33 24,50 10,OO 25,38 25,25 10,OO 25,25 6,67 25,50 6,67 10,OO 25,50 25,75 6.67 25,OO 13,33 25,75 8,33 25,75 8,33 25,50 5,OO 25,75 8.33 25,75 6.67 6.67 26,OO 26,OO 8,33 25,75 3,33 26,OO 3,33 627,88 246,67 25.12 9,87 394.227,02 60.844.44 - XiY XiXi YY 313,33 395,83 400,OO 360.00 326,67 326,67 371,25 326,67 204,17 253,75 252,50 168,33 170,OO 255,OO 171,67 333,33 214,58 214,58 127,50 214,58 171,67 173,33 216,67 85,83 86,67 6.134,58 552,25 564,06 576,OO 576,OO 600,25 600.25 612,56 600,25 600,25 643.89 637,56 637,56 650.25 650,25 663,06 625,OO 663.06 663,06 650,25 663,06 663,06 676,OO 676,OO 663,06 676,OO 15.783,02 177,78 277,78 277,78 225,OO 177,78 177,78 225,OO 177,78 69,44 100,OO 100,OO 44,44 44,44 100,OO 44,44 177,78 69,44 69,44 25,OO 69,44 44,44 44,44 69,44 11,11 11,11 2.81 1,11 - pi = nzXiYi - ZxizYi 1 n ): XiXi ( 1 Xi)(xXi) SK db Regresi 1 Galat Total 23 Ho: p l = = 0 Hi: p l =/=0 24 JK 262.23 115,lO 377,33 KT 262,23 5,OO F hitung P0.05 PO.O1 52,40 4,28 7.88 Kesimpuian Tolak Ho sangat signifikan Tolak Ho bila F hitung lebih besar atau sama dengan F tabel Suhu air berpengaruh sangat signifikan pada kejadian penyakii (P> 0,Ol) Koefisien Determinasi : JKRIJKT 0,6950 69,5056 keragaman kejadian penyakit parasit Gyrodscfylus sp dapat diterangkan oleh faktor suhu air 67 Lampiran 9. Analisis regresi dan korelasi rataan suhu air dan prevalensi Saprolegnia sp. No. Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 I n Rataan TnTn Xi Rataan suhu air .23,50 23,75 24,OO 24,OO 24,50 24,50 24,75 24,50 24,50 25,38 25,25 25,25 25,50 25,50 25,75 25,OO 25.75 25,75 25,50 25.75 25,75 26,OO '26,OO 25,75 26,OO 627.88 25,12 394.227,02 Y Saprolegnia sp. 8,33 3,33 5,OO 3,33 3,33 3,33 5,OO 3,33 3,33 3,33 1,67 3,33 3,33 3,33 3,33 1,67 3,33 3,33 1,67 3,33 1,67 1,67 1,67 3,33 3,33 81,67 3,27 6.669,44 - XiY XiXi YY 195,83 79,17 120,OO 80,OO 81,67 81,67 123,75 81,67 81,67 84,58 42,08 84,17 85,OO 85,OO 85,83 41,67 85,83 85,83 42,50 85,83 42,92 43,33 43,33 85,83 552,25 564,06 576,OO 576,OO 600,25 600,25 612,56 600,25 600,25 643,89 637,56 637,56 650,25 650,25 663,06 625,OO 663,06 663,06 650,25 663,06 663,06 676,OO 676,OO 663,06 676,OO 15.783.02 69.44 11,ll 25,OO 11,ll 11,ll 11,ll 25,OO 11,ll 11,ll 11,ll 2,78 11,ll 11,ll 11,ll 11,ll 2,78 11,ll 11,11 2,78 11,ll 2,78 2,78 2,78 11,ll 11,ll 313.89 86,67 2.035,83 1 - pi = nEXiYi 1 x i p i I n 1XiXi ( 1 Xi)(EXi) TABEL ANALISIS SlDlK RAGAM SK Regresi Galat Total l o : p l ==0 i i : p l =/=O db JK KT F hitung P0.05 PO.01 1 16.63 16.63 12.55 4,28 7,88 23 24 30,48 47.1 1 1.33 Kesimpulan Tolak Ho sangat signifikan Tolak Ho bila F hitung lebih besar atau sama dengan F tabel Suhu air berpengaruh sangat signifikan pada kejadian penyakit (P> 0,Ol) Koefisien Determinasi : JKFUJKT 0,3531 35,31% keragaman kejadian penyakit Saprolegniasis dapat diterangkan oleh faktor suhu air Lampiran 10. Data pemantauan hama dan penyakit ikan pada ikan hias yang dilalulintaskan melalui Bandara Soekarno-Hatta ,Jakarta Tahun 2005 JANUARI Ehlh 2526 Suhu Air Hama A. IpdrqphdIa Penyakit A. canar PEBRUARI 25-26 @ro&cQlus q Tridwrdina F'orficolla IcWiopBirus mitrflis Agdas Lerneu A. hydrophila A. caviar Pdeis'mnas shigalloich Aeronvms sp Fknrbacfrr Dacijdoglrus muli$Iis ~ r o d a c b l u sp s Trichordina VorficeUa k MiopiJnms ml6plic Argulw Lrnra Cop~poda 5i,proIegn&2 aprdepn Plm'dmonas s h i p b i d s Awomonec q FlaxibacdPr Aaci$ogms mUn$Iis JIlLl ?hlan 26-27 S u h Air ~ Hama A. canao P q M t A. hydrqhira A pmta A. mbia Psludonmas m k p h j l a P.& m i & P. dcaigonos P.$xonscans Aloaligsnesforcal~s Lucfobaciflw ~ p . ~richordma Ic.lsthlopthirus mltgMis Dadylog)lms&plijlis us AGUSWS 26-27 A caM'ae A. hydrophila A. p ~ d a A. s r b h Psudonvnas muRophyla P. dim&b P. alcaigmms P.jfuone+ons Akdgrnufircdis LrdokiYUs sp ~?~hordinff khtwptlaPua mltlfilis hzctylaglms multfilis rgulus MARET 25-26 A. caviae A. hydrophils A. pucafn A. wrbia Psoudomna makophyb P. dim'mmta P. alcaigrnrs P.$uorrjcons Alcaliggnrsjorcab's Lactobacillus sp. Tn'chorlfina IchflpopfhirusmrlQ~Yis I ) a c f ~ 4 0 ~ r wlhj'ibj us Argulus SEPTEMBER 25-26 A. hydrophila A. cavisr PIris'mna sbigelloidj Arm m n a l sp Floxibacfer Dactybglrvs mlfrfjhj Gyrcdacfp!usJP Tfichordina Vorticona Ichtiopt hirw d h f i l i s ~rgulus Lgrnea Gpepoda &prolegnia APRIL A caviae A hydrophila A pucaia A sorbia Psrmdomona mallophyla P. dimmm?a P. alcuiganrs P.jluorrxons AdcaBgmm$rcabj Laciobac illus sp. Edc honiina khibyopfhirus m&Flis Qc@logrus mI6Yilis &plus OKMBER 25-26 JUM 26-27 ME1 26-27 26-27 A. cavias A. hydrophila A. pucata A. xrbia Psoudomnas malfoph@ P. dimimifa P. alcaigums P.jluor~mns AkaligrnesfbrcaliJ Lndobacillus p. Trichordina Ic hfhyopf h u mlfifilis ~ hci$ogy m s muli$lis Armlus A cavdae A hjdmphila Apucata A wrbia Pseudornonas mlfophyh P. dinim'ta P. alcaiganes P.f[wrrscpnr Akaligunos/orc& h d o h c i l l u s y. Trichordina l c h f h y o p f h ~mu&@ljs u~ l;bcfilogyrus ml@Yis /b.,pluj NOPEMBEB 25-26 DESEMBER 25-26 A hydrophila A coriae Pkisimonac jhigeFoads Amnwnas sp FbrjbacfPr h p ! o g m s mltifdiij Qradacbbs jp bic hoxfina Vortierlla Ichtiopthims mulfifilis ~rgulus Lmta A. hydrophila A. cavia Pdrismrms shigelloids Agromms sp Fdrxibacf~r Dpcfylopm s md$!is Cigrodacfylus sp Tricbrdim Vorticrlla khfiapthirus nrmlb~Iis Argulus Lrnra A hj dmphila A caviae Pleisimonas shiglloids Ammoms q Rexfbacfer DzQlogyrus mIt$lTis Qmdacfilus q Trichordina Vortiealk Ichthpthims mlfijWs * ~ l w Lmra @@Po& fip~olegnia Copepoda Saprdsgnia C6pepoda xapdegnia Lampiran 1 1. Rataan data penelitian selama bulan Februari s/d April 2005 Larnpiran 12. Rataan data penelitian selama bulan Mei s/d Juli 2005 Lampiran 13. Rataan data penelitian selama Agustus 2005 Lampiran 14 : Metoda pemeriksaan sampel ikan Pemeriksaan bakteri I. Alat dan bahan No 1 2 3 4 5 6 7 8 Alat Dissecting set Jarum ose Cover glass Objek glass Petridisk Bunsen Mikropipet Vortex 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 Bahan Ikan sarnpel NaCl fisiologis steril Aquades steril Alkohol70 % KOH3%&KOH10% Larutan H202 3 % dan 30 % Parafin cair Media Triptic Soy Agar (TSA) 1.5 %, 3 % dan 6.5 % Larutan Kovacs Neraca elektrik Mikroskop (stereo, Kertas saring binokuler, trinokuler) Stick oxidase Centrifuge Escullin Inkubator Media OIF, Media M I 0 dan SIM Refrigerator Media Simmons Citrate Agar (SCA) Spider Triple Sugar Iron Agar (TSIA) Penggerus Nutrien gelatin Pipet Media glukosa, sukrosa, sukrosa I1 dan maltosa Microtube Media MR dan Media VP Broth Laminar air flow Media Blood Agar Base Tabung reaksi Lysin Iron Agar (LIA) dan Kingler Iron Agar (KIA) Media uj i nitrat Nutrient Agar (NA) Mc. Conkey Agar Gram A (larutan kristal violet) Pewarnaan Gram Gram B (larutan iodine) Gram C (Alkohol70 %) Gram D (Safranin) 11. Tahapan pemeriksaan Untuk mengetahui bakteri yang menginfeksi ikan diperlukan beberapa langkah. Langkah-langkah tersebut adalah : 2.1. Melakukan pengamatan fisik terhadap kondisi tubuh ikan sampel, dengan cara: a. ~ k n ~ u kpanjang ur ikan b. Menimbang berat ikan c. Menentukan jenis kelamin ikan d. Memeriksa kondisi ikan dan kelainan fisik (ekstemal) yang meliputi kulit, insang, lendir, sirip, dan lain-lain. e. Memeriksa kelainan organ dalam (internal) yang meliputi hati, ginjal, limpa, usus, jantung, dan lain-lain. 2.2. Setelah melakukan pemeriksaan kondisi tubuh ikan, kemudian dilanjutkan dengan pengarnbilan sampel untuk pemeriksaan bakteri, dengan melakukan langkah-langkah seperti berikut : a. Mengambil organ insang dan hepatopankreas secara aseptis untuk melakukan pengujian bakteri b. Dengan menggunakan ose yang sebelurnnya dibakar sampai ujungnya merah diatas nyala bunsen, ose ditempelkan pada bagian organ lalu digoreskan pada media agar TSA dengan cara dioleskan secarz zig-zag didekat nyala bunsen. c. Sedangkan daging ikan digerus sampai halus ditambah NaCl fisiologis kemudian dicentrifus 1000 rpm selama 15 menit. Selanjutnya supernatan diambil dengan menggunakan mikropipet untuk diteteskan pada media umum yaitu larutan TSA untuk ditumbuhkan. d. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 - 48 jam. e. Bakteri yang turnbuh dari hasil inkubasi selama 24 jam, dimurnikan lagi berdasarkan warna, bentuk dan ukuran koloni yang ada menggunakan TSA 1.5 %, 3 % dan 6.5 % agar dapat dilihat keefektifan turnbuhnya. Lalu diinkubasi lagi pada suhu 37°C selama 24 jam. 111. Tahapan identifikasi Setelah diperoleh koloni bakteri, maka dilakukan uji biokimia terhadap koloni tersebut. Uji-uji yang dilakukan meliputi uji utama, yang merupakan uji biokimia, yang terdiri dari uji Gram; uji katalase; uji oksidase; uji motilitas dengan cara hanging drop (tetes gantung); uji motilitas dengan media kultur; uji OIF (oksidatiflfermentatif) dan uji glukosa, dan kemudian dilanjutkan dengan uji lanjutan. Tujuan dari uji utama adalah untuk menentukan golongan suatu bakteri, sedangkan uji lanjutan bertujuan untuk menentukan spesies suatu bakteri. Uji lanjutan terdiri dari uji haemolysis, uji nitrat, uji lysin / LIA, uji TSIAIKIA, uji TSA, uji Mc. Conkey, uji gelatin, uji MRNP, uji sukrosa, uji maltosa dan uji manitol dan uji escullin. A. Uji utama 1. Uji Gram Pewarnaan Gram Tujuan pewarnaan Gram adalah untuk mengetahui apakah suatu bakteri termasuk bakteri Gram positif atau bakteri Gram negatif. Pewarnaan Gram dilakukan dengan cara sebagai berikut : menteteskan aquades secara terpisah sebanyak 3 tetes diatas kaca preparat. > mengambil 1 (satu) ose bakteri, kemudian suspensikan dengan tetesan pertarna. Selanjutnya dilakukan pengenceran. > kemudian difiksasi diatas nyala bunsen agar bakteri menempel pada kaca preparat tanpa merusak sel bakteri. setelah itu ditetesi dengan kristal violet A selama 1 menit, lalu dicuci dengan air mengalir dan dikering-anginkan tetesi dengan iodine selama 1 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir dan dikering-anginkan > tetesi dengan alkohol 70 % selama 30 detik, kemudian dicuci dengan air mengalir dan dikering-anginkar~ > tetesi dengan safranin selama 2 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir dan dikering-anginkan > setelah itu dilakukan pengamatan di bawah mikroskop dengan pembesaran 40x - 1000x, jika berwarna biru berarti Gram positif (+) dan jika berwarna merah berarti Gram negatif (-). pewarnaan Gram dapat juga digunakan untuk mengetahui bentuk dari bakteri. KOH Uji KOH merupakan salah satu cara untuk menentukan bakteri tersebut termasuk gram positif (+) atau gram negatif (-). Uji KOH dilakukan dengan cara sebagai berikut : > > nienteteskan KOH 3 % dan 30 % di atas objek glass kemudian mengambil satu ose bakteri dicelupkan dalarn larutan KOH 3% lalu diangkat, ulangi beberapa kali > kemudian dipindahkan ke larutan KOH 30%, jika hasil pengamatan berlendir berarti bakteri tesebut adalah Gram negatif (-), bila tidak berlendir berarti bakteri tersebut adalah Gram positif (+). 2. Uji katalase Uji ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya enzim katalase pada bakteri. Uji katalase dilakukan dengan cara sebagai berikut : P larutan H2023% dan 30% diteteskan pada objek glass. > setelah itu satu ose bakteri dicelupkan kedalam larutan H2023% dilanjutkan ke larutan H20230%; bila bakteri terlihat menghasilkan gelembung (busa) maka bakteri tersebut bersifat katalase positif (+); jika tidak menghasilkankan gelembung (busa) maka bakteri tersebut bersifat katalase negatif (-). 3. Uji oksidase Uji oksidase bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya enzim oksidase pada bakteri. Oksidase bersifat positif apabila "stick oksidase" I kertas saring berubah warna menjadi ungu, dan oksidase negatif apabila tidak berubah warna. Uji oksidase dilakukan dengan cara sebagai berikut : > mengambil inokulum bakteri dari media TSA dengan jarum ose. 3 kemudian dioleskan pada kertas saring yang telah ditetesi dengan larutan kovacs. 3 lalu dioleskan pada chytochrom stick oxidase. mengamati perubahan warna. Apabila stick oxidaselkertas saring berubah warna menjadi b i d u n g u pekat maka berarti oksidase positif (+), dan apabila tidak berubah warna, maka berarti oksidase negatif (-). Uji motilitas dengan cara "hanging drop" (tetes gantung) 4. Tujuan dari uji motilitas adalah untuk mengetahui pergerakan bakteri. Uji dilakukan dengan cara sebagai berikut : 3 menetesi cover glass dengan aquades, kemudian suspensikan satu ose bakteri dalam aquadest tersebut. 3 menempelkan objek glass dengan cekungan ditengahnya pada cover glass (tetesan hams tetap dalam cekungan, tidak menyentuh slide). 3 amati dibawah mikroskop untuk melihat pergerakan bakteri. Uji motilitas dengan media kultur 5. Uji ini juga bertujuan untuk mengetahui pergerakan bakteri. Media yang digunakan untuk uji ini adalah media SIM (Sulfit Indole Motility) dan M I 0 (Motility Indole Omithin). Uji ini dilakukan dengan cara sebagai berikut : 3 satu ose bakteri secara tegak lurus diinokulasikan ditengah media. P diinkubasi pada suhu 3 7 ' ~selama 24 jam. 3 bakteri motil akan tumbuh menyebar dari garis tusukan, sedangkan bakteri non motil hanya turnbuh pada garis tusukan. 6. Uji O/F (oksidatiflfermentatif) Uji O/F bertujuan untuk mengetahui sifat oksidasi dan fermentasi bakteri terhadap glukosa. Uji O/F dilakukan dengan cara sebagai berikut : bakteri pada dua media O/F dalam tabung reaksi diinokulasikan. 3 menambahkan parafin cair steril pada salah satu tabung reaksi untuk menghalangi hubungan dengan udara. P diinkubasi pada suhu 3 7 ' ~selama 24 jam. > bakteri bersifat fermentatif jika kedua media berubah warna menjadi kuning, sedangkan bakteri bersifat oksidatif; jika media yang terbuka benvarna kuning sedangkan media yang tertutup parafin tidak berubah; dan jika kedua tabung tidak berubah wama (hijau) maka bersifat not testable. 7. Uji glukosa Pengujian ini bertujuan untuk mendeterminasi kemampuan bakteri dalam mencemalmendegradasi glukosa dan menghasilkan asam (acid). Uji glukosa dilakukan dengan cara sebagai berikut : > mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril. Masukkan ke tabung kocok dengan ose tersebut kemudian tutup kembali. > > > diinkubasi pada suhu 3 7 ' ~selama 24 jam. hasil pengujian dapat diamati berdasarkan perubahan wama. jika warna media berubah dari merah menjadi kuning, berarti positif (+) sedangkan jika benvarna merah berarti negatif (-). B. Uji Lanjutan 1. Uji haemolisis Uji haemolisis adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan bakteri dalam mencerna sel darah merah. Dari uji tersebut dapat diketahui apakah bakteri tersebut a haemolisin, P haemolisin, atau y haemolisin. Dikatakan a haemoiisin apabila wama agar disekeliling koloni memudar tetapi tidak terdapat clear zone, p haemolisin apabila wama agar di sekeliling koloni memudar dan terdapat clear zone, dan y haemolisin apabila tidak terdapat perubahan pada agar. Uji haemolisis dilakukan dengan cara sebagai berikut : > mengambil satu ose bakteri dari biakan murni kemudian goreskan pada permukaan blood agar secara zig-zag. > > 2. diinkubasi pada suhu 3 7 ' ~selama 24 jam lalu dilakukan pengamatan. Uji nitrat Tujuan uji nitrat adalah untuk mengetahui kemampuan suatu bakteri mengubah nitrat menjadi nitrit. Uji nitrat dilakukan dengan cara sebagai berikut : > mengambil satu ose bakteri dengm janim ose steril, lalu di masukkan ke dalam tabung kocok bersarna-sama dengan ose tersebut, kemudian tutup kernbali. . > > diinkubasi pada suhu 3 7 ' ~ selama 24 jam. mengamati perubahan warna; jika warna media berubah menjadi merah, maka artinya positif (+) dan apabila tidak terjadi perubahan warna (kuning bening) maka berarti negatif (-). 3. Uji Simrnon's citrate Tujuan dari uji sitrat adalah untuk mengetahui kemampuan bakteri untuk memanfaatkan sitrat sebagai sumber karbon. Uji sitrat dilakukan dengan cara sebagai berikut : > mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril, lalu digoreskan pada permukaan miring agar. > > diinkubasi pada suhu 3 7 ' ~selama 24 jam. mengamati perubahan warna; jika warna media berubah menjadi biru, maka berarti positif (+), dan jika warna media tetap hijau, maka berarti negatif (-). 4. Uji lysin / LIA Tujuan dari uji lysin adalah untuk mengetahui kemampuan bakteri memproduksi lysin. Uji lysin dilakukan dengan cara sebagai berikut : > mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril, lalu digoreskan pada permukaan miring agar. > > diinkbbasi pada suhu 3 7 ' ~ selama 24 jam. mengamati perubahan warna; jika bakteri tumbuh pada permukaan agar dan warnanya ungu tua, maka artinya positif (+) dan jika tidak terdapat perubahan, maka berarti negatif (-). 5. Uji TSIA 1 KIA Tujuan dilakukan uji TSIAIKIA adalah untuk mendeterminasi kemampuan bakteri menggunakan gabungan beberapa karbohidrat khusus Uji TSIA dilakukan dengan cara sebagai berikut : mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril, lalu digoreskan pada permukaan miring agar. P diinkubasi pada suhu 3 7 ' ~ selama 24 jam. P mengamati perubahan baik slant maupun tusukkan jika berubah merah berarti reaksi alkali (K), jika berubah kuning berarti reaksi asam (A) dan jika tidak berubah maka berarti not reaction (NR). 9 Mengamati pembentukan gas pada tusukan jika terbentuk gas (G). 6. Uji Triptic Soy Agar (TSA) Tujuan dari uji ini adalah untuk melihat kemampuan bakteri untuk tumbuh pada suhu tertentu. Uji TSA dilakukan dengan cara sebagai berikut : P mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril, lalu digoreskan pada permukaan agar secara zig-zag. P diinkubasi pada suhu 22°C dan 42°C selama 24 jam. > hasil pengujian dapat diamati berdasarkan tumbuh tidaknya bakteri pada media jika tumbuh maka berarti positif (+) dan jika tidak tumbuh berarti negatif (-). 7. Uji Mc. Conkey Mc. Conkey agar merupakan meedia selektif untuk mengisolasi bakteri Salmonella, Shigella dan bakteri berbentuk coli. Uji NA dilakukan dengan cara sebagai berikut : 9 mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril, lalu digoreskan pada permukazn agar secara zig-zag. P diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. 9 hasil pengujian dapat diamati berdasarkan tumbuh tidaknya bakteri pada media, jika tumbuh maka artinyapositif (+), dan jika tidak turnbuh berarti negatif (-). 8. Uji gelatin Tujuan dari uji gelatin adalah untuk mengamati produksi enzim proteolitik gelatinase. Uji gelatin dilakukan dengan cara sebagai berikut : 9 menginokulasi medium gelatin dalam tabung dengan cara tusukan tegak. 9 diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. P setelah itu dimasukkan dalam refrigerator selama 30 menit > hasil pengujian dapat dibaca jika terjadi pencairan medium maka reaksi positif (+) dan jika medium memadat pada suhu rendah maka reaksi negatif (-). 9. Uji M R I V P ~ u j u &dari uji ini adalah untuk melihat kemampuan bakteri memfermentasi glukosa untuk menghasilkan asam. Uji MR 1 VP dilakukan dengan cara sebagai berikut : 9 menginokulasikan bakteri dalam media MR 1 VP 9 diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam > setelah itu menambahkan indikator methyl red sebanyak 5 tetes untuk MR, sedangkan untuk VP tambahkan 6 tetes reagen a - Napthol 40 % dan 1 tetes KOH 40 %, kemudian kocok. 9 mengamati perubahan warna; jika permukaan berwarna merah, maka berarti positif (+) sedangkan jika permukaan berwarna kuning, maka artinya negatif (-). 10. Uji sukrosa Uji sukrosa dilakukan dengan cara sebagai berikut : > mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril, kemudian masukkan ke dalam tabung kocok bersama-sama dengan jarum ose, lalu ditutup kembali. P diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. > mengamati perubahan warna; jika warna media berubah, maka berarti positif (+) sedangkan jika warna tidak berubah (ungu), maka artinya negatif (-). 11. Uji maltosa dan uji manitol Uji maltosa dilakukan dengan cara sebagai berikut : 9 mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril, kemudian dimasukkan ke dalam tabung kocok bersama-sama dengan ose tersebut, lalu tutup kembali. P diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. > mengamzti perubahan warna; jika warna media berubah menjadi kuning, lnaka artinya positif (-k) sedangkan jika warna tidak berubah (merah muda), maka berarti negatif (-). 12. Uji escullin Uji escullin dilakukan dengan cara sebagai berikut : P mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril, lalu dimasukkan ke dalarn tabung kocok bersam-sama dengan ose tersebut, kemudian tutup kembali. 9 diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. > mengamati perubahan warna yang terjadi; jika warna media berubah menjadi kuning, maka artinya positif (+) dan jika warna tidak berubah (merah muda), maka artinya negatif (-). Pemeriksaan parasit eksternal I. Alat dan Bahan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11. Alat Dissecting set Narnpan bedah Neraca elektrik Mistar Deck glass Objek glass Bunsen Mikroskop Mounting Pewarnaan Bahan Ikan sampel NaCl fisiologis steril Aquades Alkohol70% Formalin 10% KOH 10% Alkohol bertingkat berupa alkohol 35%, 50%, 70% dan 90% Xylol Entellan Pewarna giemsa dan carmin red Tahapan pemeriksaan 2.1. Melakukan pengamatan secara fisik terhadap kondisi tubuh ikan sampel antara lain dengan cara: a. Mengukur panjang ikan b. Menimbang berat ikan c. Menentukan jenis kelamin ikan d. Memeriksa kondisi ikan dan kelainan fisik (eksternal) yang meliputi kulit, insang, lendir, sirip, dan lain-lain. e. Memeriksa kelainan organ dalarn (internal) yang rneliputi hati, ginjal, limpa, usus, jantung, dm lain-lain. 2.2. Melakukan nekropsi berupa pemeriksaan parasit eksternal, dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut : a. Mengambil kerokan lendir kulit dari permukaan tubuh serta sirip dan potongan insang (eksternal), sedangkan untuk organ dalam (internal) dilakukan pembedahan untuk melihat kelainan patologi pada organ dalam b. Kemudian diletakkan pada slidelobjek glass yang telah diberi NaCl fisiologis c. Mengamati dengan mikroskop, dengan pembesaran 40 x - 100 x. 2.3. Melakukan pewarnaan parasit. Prosedur yang dilakukan adalah sebagai berikut: a. Pewarnaan Dactylogyrus sp, Gyrodactylus sp. - melakukan fiksasi pada potongan insang dengan menggunakan alkohol 70 % selama 3 menit - mewarnai preparat dengan meneteskan pewarna giemsa - kemudian dicuci dengan air mengalir - lalu dilakukan mounting menggunakan entellan. b. Pewarnaan Argulus sp - melakukan fiksasi menggunakan forrnalin 10% selama 3 menit - kemudian preparat ditetesi larutan KOH 10 % selama 3 inenit - lalu dilanjutkan dengan proses dehidrasi menggunakan alkohol bertingkat yaitu dengan alkohol 35 %, 50 %, 70% dan 90 %, selama 1 - 3 menit - setelah itu dilakukan clearing menggunakan xylol selama 1 - 3 menit - kemudian melakukan mounting menggunakan entellan 111. Angka Prevalensi kejadian penyakit parasiter Setelah didapatkan hasil dan jumlah perhitungan parasit, kemudian dihitung jumlah prevalensi penyakit yang disebabkan parasit menggunakan rumus : Jumlah Ikan yang Terinfeksi Prevalensi (%) x = Jumlah Ikan yang Diperiksa 100% dengan Pemeriksaan fungi eksternal Alat dan Bahan I. No 1 2 3 4 5 6 7 8 11. Alat Dissecting set Narnpan bedah Neraca elektrik Mistar Deck glass Objek glass Bunsen Mikroskop Bahan Ikan sampel NaCl fisiologis steril Aquades Alkohol70% Formalin 10% KOH 10% Alkohol bertingkat berupa alkohol 35%, 50%, 70% dan 90% Xylol Tahapan pemeriksaan 2.1. Melakukan pengamatan terhadap kondisi tubuh ikan sampel antara lain : a. Mengukur panjang ikan b. Menimbang berat ikan c. Manentukan jenis kelamin ikan d. Memeriksa kondisi ikan dan kelainan fisik (eksternal) yang meliputi kulit, insang, lendir, sirip, dan lain-lain. e. Memeriksa kelainan organ dalam (internal) yang meliputi hati, ginjal, limpa, usus, jantung, dan lain-lain. 2.2. Melakukan nekropsi berupa pemeriksaan fungi eksternal, dengan cara: a. Mengarnbil kerokan lendir kulit dari permukaan tubuh serta sirip dan potongan insang (eksternal), sedangkan untuk organ dalam (internal) dilakukan pembedahan untuk melihat kelainan patologi pada organ dalam b. Kemudian diletakkan pada slide 1 objek glass yang telah diberi NaCl fisiologis c. Diamati dengan mikroskop pada pembesaran 40 x - 100 x. 111. Angka Prevalensi kejadian penyakit mikotik Setelah didapatkan hasil dan jumlah perhitungan fungi, kemudian dihitung jumlah prevalensi periyakit yang disebabkan fungi dengan menggunakan rumus : Jumlah Ikan yang Terinfeksi Prevalensi ( O h ) x = 100% Jumlah Ikan yang Diperiksa Pemeriksaan histopatologi Ikan yang telah dieuthanasia dengan suhu rendah, kemudian difiksasi ke dalarn larutan buffer formalin 10 % Tubuh ikan di iris memanjang dan diproses secara rutin untuk pembuatan sediaan histopatologi di Bagian Patologi FKH-IPB. Sediaan histopat diwarnai dengan pewarna umum jaringan HeamtoxyllinEosin dan diamati di bawah mikroskop. Larnpiran 15. Hasil isolasi dan identifikasi bakterj Bakteri UJI UTAMA Motilitas Tetes Gantung Media Kultur Bentuk Gram Aerornonas sp. Batang - + + - Pseudornonas sp. Batang - + + -- Katalase Oksidase 0IF Glukosa + F + + 0 + - UJI LANJUTAN Bakteri Hemolisis Aeronronas hydrophila + Pseudornonas fluorescens -- Nitrat Citrat + Lysin -- TSIAIKIA TSA Mc.Conkey + Gelatin MRNP + + + Sukrosa + + Maltosa + + Manitol + Escullin Lampiran 16. Data curah hujan Data Curah Hujan tahun 2005 Wilayah Bekasi Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika Data Curah Hujan Tahun 2005 Wtlayah Tangerang Jan 507119 lPeb (22Z11 lMar 1206113 lApr 115618 lMei (22714 lJun 1162110 lJul 1- lAgs 1157111 lSep )61R lOkt 1212110 lNop )241110 lDes 1- I Sumber . Badan Meteorologi dan Geofisika DATA CURAH HUJAN Pos Hujan : Cibinong Tahun 2005 I Sumber . Badan Meteorolo~id ~ Geofisika n I Larnpiran 16. Lanjutan DATA CURAH HUJAN Pos Hujan : Bogor Tahun 2005 Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika Lampiran 17. Lampiran KEPMEN. NO. 17/MEN/2003 Lampiran : Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP.l7/MEN/ZW3 Tentang Penetapan Jenis-jenis Hama dan Penyakit lkan Karantina. Golongan. Media Pembawa dan Sebarannya JENlSJENlS HAMA DAN PENYAKIT MAN KARANTINA, GOLONGAN, MENDIA PEMBAWA DAN SEBARANNYA NO ORGAFilSME 1 PENYEBAB 2 Egi MEDIA PEMBAWA IKAN INANG 5 NAMA PENYAKlT 3 4 BUKAN INANG 6 NEGARA IDAERAH PENYEBARAN LUAR NEGERl INDONESIA 7 8 VIRUS : 1. Herpes v'rus lclaluri I Channel camsh virus Disease (CCVD) Channel catfish (Ictaluius punctafus)Ilctaluris lkan air tawar Amerika Serikat. Honduras. Belum ditemukan 2. Rhabdovirus Carpio I Spring Vfaemia of Carp (SCV) 6 Swimbladder lnflamation (SBI) Mas (Cypnnus carpio). lkan hias lkan air tawar Asia Tenggara. Eropa. Negara Mediterania Timur Tengah Belum ditemukan 3 I Infectious Pancreatic N m s i s (IPN) Salrncmidae. Non Salmonidae terutama ikan subtropis lkan air tawar dan air laut Empa. Amerika Serikat. Jepang. Korea. Taiwan. Chilli Australia Belum ditemukan 4. IHN-virus (RhabdOvirus) I lnfecticus Haematopoetic N m s i s (IHN) Salmonidae lkan air tawar dan air laut Amerika Serikat. Jepang Eropa. Australia Belum diiemukan 5 I Lymphocystis Kakap putih (Lates cakanfer). lkan sebelah (Retodes eiumei). Kerapu (Ephephelus sp). Lobster (PBnuEius sp). Tirarn Cichlasoma symsphilum lkan air tawar dan air laut Amerika. Eropa. Australia. Afrika. Asia. Guatemala. IPN-virus (Birnavirus) I(Birnawrus) (Lim?hocystis wws) Bali 6. IHHN-virus (Parvovirus) I Infection Hypodermal and Haemacopoietic Necrosis Disease (IHHN) Penaeide Udang laut Amerika Tengah. Amerika Selatan, Negara lndo Pasifik (Hawai dan Guam). Amerika Serikat Jawa. Bali. Sumatera 7. BP-wtus (Baculovirus) I Bacubvirus Penaei Disease (BPD) Penaeus slylirostris Udang laut Taiwan. Malaysia. Thailand Philipina, lndo Pacifc. Australia. Afrika. Eropa Selatan. Amerika Serikat. Jepang Belum ditemukan 8. MBvirus (Baculovirus) I Monodon Baculovirus Disease Udang Windu (Penacus monodon) Udang laut Taiwan. Asia Tenggara, lndo Pasifik. Australia, Afrika. Eropa Selatan. Amerika Serikat. Jawa. Bali. Sumatera. Sulawesi NO ORGANISME 1 PENYEBAB 2 zE MEDIA PEMBAWA IKAN INANG NAMA PENYAKIT 3 4 5 NEGARAIDAERAHPENYEBARAN INDONESIA LUAR NEGERl 8 7 BUKAN INANG 6 9. BMN-virus (Bculovirus) I B a C u l ~ v i Migutgland ~s Necmsis Vlrus Disease (BMNVD) Penaeus jeponicus Udang laut Asia Tenggara. Australia Jepang Belum Diiemukan 10. YKvirus (Bawbvirus) I Yellow ~ e aDisease i Udang windu (Penaeus rnonodon) penaide Thailand. Taiwan. Australia Jawa, Sumut. Dl Aceh. KaRmantan Bafat. Sulsd 11. HP-virus (Picronavirus) I Hepatopancreatic Parvovirus (HPV) Penaide dan Udang galah (Macrobrachiurnspp) Udang air lawar dan air laut Australia. China. Kwea Taiwan. Philipina. Malaysia. Singapura. Kenya. Kuwait Israel Jawa Tengah. Jawa Timur. Sul-i Selatan. Sumatera Utara 12. TSvirus (Picronavi~s) I Taura Syndme (TS) Penaide Udang laut Amerika Serikat. Amerika Latin Belum ditemukan 13. SEMBvirus (Baculovirus) I WhRe Spot Disease Penaide Udang laut. Crustacea laut (artemia) Asia Tenggara Jawa. Sumatera. Sulawesi, M E . Ball 14. GE-viw ( P i i s ) I Golden Eye Disease (GED)ISl=PY Grouper D i a s e Kerapu (Epinephehcr sp) lkan laut Singapura. Australia. Malaysia Sumatera Utam 15. LOP-vicus I Lymphoid Organ Parvovifus (LOPV) Wang windu (penaeus monodon) Australia Sumatera Ulwa 16. TCEvkus (Baculovi~s) I Type C Baculo Virus VCBW Wang windu (Penaeus monodon) Australia Sumatera Ulam Sulawesi Selatan 17. VNN-vhs ( P i s ) I V i Nervous Neaosis Kerapu (Epimpheh sp). Kakap (LuQcenus sp). Europbn bass (Momna labax). Turgot (Scopthahnus maximus). Pard fish (Opfegnamus fasciatus) Jepang. Thailand. Australia. Tahiti. Perands. Norwegia Bali. Lampung Jawa Eropa. Jepang. Rusla. Israel. Kwea. Amerika Serikat. Malaysia Jawa WNV) 18. Herpssnsnm cypn'n' I Fsh Pox. EpiWiana PapMosum (Herpasvirus of-) Cypcindae Ikon air tawar non Cypnnidae NO ORGANISME PENYEBAB 2 1 Fs NAMA PENYAKIT MEDIA PEMBAWA IKAN INANG 3 4 5 1. A e m n a s I FUN~W~OS~S Salmonidae. Cyprinidae Anguilldae. Ranidae 2. Renibactchumsalmoninarum I Bacterial Kidney Disease (BKD) 3. hfj&aderium mannum -tium chebnel hlywbaderium btuitum II F i Tuberculosis 4. &ocafdia W o k spisiesnya) I Nocardasis 5. Edwardskia tafda II Edwardstellosis Emphisemateous Putrefadive-Dii of Cat5sh (EPDC) 6. EdwafdskXaictakmri I Enterk Septicaemia of C a m (ESC) 7. s b w o o x w s s p p II Streptococcosis BUKAN INANG 6 NEGARA IDAERAH PENYEBARAN INDONESIA LUAR NEGERI 8 7 BAKTERIA : I(dicekyangasa1)Uar~') (Fish Mycobaderiosis) lkan air tawar dan lkan air laut Amerika Serikat. Jepang, Eroph. Australia Jawa. Dl Aceh Salmonidae (chinook, chun, sock eye, pink, ceho, cherry, atlantik salmon) lkan air tawar dan lkan air laut Amerika Serikat, Jepang, Perancjs Empa. Australia. Kanada. Inggris. Jennan, Iceland. Spanyol. Chilli. Italy. Yugoslavia Belum ditemukan lkan air tawar :Gurame (Osphmnemus gurame). Cupang (&fa spknder). Katak lembu (Rana cahsbiana). Salmonidae. Gud (Gadus morchua). Karper l b n air tawar dan lkan air laut Amerika Serikat. Jepang, Perancis. Thailand. Empa, lnggris Jawa. Sumatera. Bafi, Sulawesi Utara lkan air tawar : Yellow tail (Seriola gungueradiafa). Sepat (Tkhogaster pectolaris)dan ikan air laut lkan air tawar dan lkan air laut Amerika Sefikat. Jepang. Empa. Asia, Australia Belum diiemukan Chanel catfsi h (Ictabrus punctstus). Sidat (AnguiNa spp). Salmonidae. .N ib {Omochmmis sp) Bulu babi (Diadema sefosum) Lele (Clarias spp). LabiJabi (Tnbnyx ca!tflagineous). Mas koki (Carsssius aurahcr). Gurame (Osphronemus gurame). Molusca lkan air tawar dan lkan air laut Empa. Jepang. Taiwan Thailand. Amerika Serikat. Malaysia . Jawa. Sumatera. Kalimantan Chanel caffish (Ictabruspundatus). Lele lokal (Clarias batraws) Anguilla. Yellow TaB. Flounder, Kura-kura, Buaya. Lele Dumbo (Cladas gariepinus). Gold Fish. Belanak (Mug'lsp) lkan air tawar Amerika Serikal. Amerlka Selatan Belum dnemukan lkan air tawar dan air laut. Katak (Rana sp), S i t (AnguiIa spp) lkan air tawar dan air laut Eropa. Jepang, Taiwan, Afrika selatan. singapore Jawa. Sumatera Sulawesi * NO ORGANISME PENYEBAB 2 I 2: MEDIA PEMBAWA IKAN INANG 5 NAMA PENYAKIT 4 3 NEGARAIDAERAHPENYEBARAN INDONESIA LUAR NEGERI 8 7 BUKAN INANG 6 8 Pasteurelli piscida II Pasteurellosis lkan laut tewtama Red Grouper. Stripedbass (Mcrone sexatillis), Salmonidae. Mas kokl (Camsius aumtus). Lele (Clerias spp), Katak lembu (Rena catesbiane), White Perch (Roccus emekanus dan Momne americanus),Yellow Tail (Seriola qulnquimdieta), Red Sea Brem, Black Sea Brem, Parrot Bass (Oplegnathuspuncatus), Kerapu Lumpur (Elpnephelus tauvina) lkan air tawar dan air laut Eropa, Taiwan, Australia Amerika Serikat, Jepang Jawa, Sumatera Utara 9, Yeninia wckeM[dicek) iI Enteric Red Mouth Disease (ERM) Salmonidae, Mas Koki (Caiassius aumtus). NNa (Omochmrnis niloticus) Sidat (Anguilla anguille, Mas (Cypfiunus caplo), Lele (Clarias batracus), Jelawat (Leptobadus hoeveni) Rainbow Trout lkan air tawar dan air iaut Australia, Kanada. inggris, Amerika Serikat Jawa, Surnatera Barat, Rleu, Kalimantan Selatan 10. Aerccoccus vifidans var I Gamtemi Udang kanng (Homerus emericenus). Udang karang (Homerus vulgems), Udang cokiat (Penaeus szbcus), Crab (Cancer horatu), Blue Crab (Calllnectes sapidus), Caliomia Spiny Lobster (Panulirus spp) Udang laut, Lobster, Crayfish Amerika Serikat, Kanada Eropa Belum ditemukan I Red Spot Disease Sidat Jepang (Anguilla~aponlce), Sldal Eropa (Angullla anguille), Kakap Putih (Lates calcalifer). Kerapu ayu, Salmon Jepang, Tawan, Malaysia, Skotlandia, Finlandia Belum ditemukan 1 Myxobous (Myxosoma) cerebralis I Whi~lingDisease SalmonMae lkan air tawar dan air iaut Amerika Serlkat, Eropa. Rusla, Jepang, Selandia Baru, Taiwan Beium ditemukan 2. Pleistophorahyphessobrycon I Pleistophorosis Neon tetra (Hyphessobfycon innese ) lkan air tawar Amerika Serikat, Eropa Jawa Barat 3. Pleistuphom anguillarum I Pleistophwosis Eel (Anguillajeponica ) lkan air tawar Jepang 4. Ceratomyxa shasta I Ceratomyxosis Salmo galadneri lkan air tawar dan air laut Amerika Serikat, Kanada Homari 11. Pseudomonas anguillaseptice PARASIT : NO ORGANISME 2 1 5 PENYEBAB Henneguya exillis Ezk: MEDIA PEMBAWA IKAN INANG 5 NAMA PENYAKIT 3 4 NEGARA IDAERAH PENYEBARAN INDONESIA LUAR NEGERI 7 8 BUKAN INANG 6 I Henneguyan Disease Channel caMsh (Ictalums punctatus), lkan air tawar dan Tambakan (Helostoma temminckii), Mas Koki air laut (Caracius aufatus), Jambal slam (Pangaslus sutchii). Tawes (Punctius javanicus ) Amerika Serikat Jawa, Riau I Cotton Shrimp Disease Penaeidae Udang laut Arnerika Serikat Sumatera Utara Thelohania penael I Cotton Shrimp Disease Panaedae Udang laut Amerika Serikat Sumatera Utara 8. Bonamia ostrease I Bonamiosis Tiram (Ostrea edulis) Tiram (Ostrea spp) Kerang-kerangan iaut Eropa. Amerika Utara. Selandia Baru 9. Haplosporidiumnelsonii I Haplosporidiosis Tiram (Crasscstrea virginice) Kerang-kerengan laut Pantai Atlantik. Amerika Utara Belum diemukan 10. Haplosporidiumcostak I Haplosporidiosis Tiram (Crassostrea virginice) Kerang-kerangan laut Pantai Atlantik, Amerika Utara Belum dlemukan 1 1. MarteNia refringes I Marteiliosis Tiram (Ostre edulis) Kerang-karangan laut Prancis. Spanyol, Belanda Belurn dllemukan 12 Marte'lia sydneyii I Marteiliosis Tiram (Crassostrea commercialis) Kerang-kerangan laut Pantai Atlantik, Amerika Utara Belum diemukan 13. Perkinsus mannus I Perkinsiosis Tiram (Crasso,+treavirginica) Kerang-kerangan laut Pantai Atlantik, Amerika Utara Belum dllemukan 14. Ergasilus sieboldi II Ergasiliosis Salmonidae. Cyprinidae lkan air lawar dan ikan air laut Jepang, Eropa, Amerika Jawa Barat 15 Nosema sp I Penyakii tumor putii Jambal alam (Pangasius sutchii) lkan air tawar Thailand Jawa Barat 16. Lytoceatus parvulus II Lytoceatosis Lele (Clarias spp r lkan air tawar, Cacing sutera 17. Paragonimuspulmonalis I Paragonirniasis Crayfish (Enocheir slnensis) Kepling air tawar 6 . Thelohan~aduorara 7 Jawa China, Thailand, Amerika Selatan, Afrlke, India, Taiwan. Phiilpina, Jepang, Korea Jawa, Sumatera NO ORGANISME PENYEBAB 2 1 zi NAMA PENYAKrr 4 3 MEDIA PEMBAWA IKAN INANG 5 BUKAN INANG 6 NEGARA IDAERAH PENYEBARAN INDONESIA LUAR NEGERI 8 7 hlIKOTIK : 1. lchthyophonus hofferi I Sand paper disease. Swinging Diseases. lchthyoporosis Cluepea harengus Salmo galrdnen Salvelinus fontinalis. Swmber scomberus Hyphessobrycanhetemhabdus lkan air tawar dan ikan air laut Arnerika Serikat. Eropa Belurn diiemukan 2. Branchiomyces sanguins I Branchiomymsis lkan Mas (Cyprinus carpio), Mas Koki (Carasius auratvs), Tinca-tinca. Salmonidae (Gastemsteusacuelatvs). Pike (Esox Lucius) lkan air tawar dan ikan air laut Jerman. Pdandia. Italia. Jepang, India. Arnerika Serikat Belum diternukan 3. Brancbiomyces demQmne I Branchiornycosis lkan Mas (Cyprinus carpo), Mas Koki (Carasiusaurafus). Tinca-tine.. Salmonidae (Gasterosteus acuelatvs). Pike (Esox Luuus) lkan air tawar dan ikan air laut Jerman. Cekoslwakia. Itali. Polandia. Jepang. India dan Amerika Serikat Belum diternukan 4. Anphamyces astaci I Aphanornpis Lobster air tawar (Asracus-astacus ) Sea Mullet, Y e l h Fin Bream. Sand Whiing Crab (Eriotreir ainensis). Lele (Clarias sp). lkan air tawar dan ikan air laut Eropa, Australia, Jepang. Thailand, dan Philipina Jawa Barat 5. Aphanomyces invadens I EUS (Epizootic Ulcerative Syndmrne) Gurame (Ospdtmnemous gournmy), Climbing Perch (Anabastesludneus). Silver Peizh (Bidyanus bydianus). Bdanak (Mugil sp). Indian Carp. Gabus (Ophiocephalus striatvs) lkan air tawar Pakistas. Kamboja. Nepal. Vetnarn. Thailand. Mesir. Arnerika Serikat. Bangladesh. Belum diiemukan