Pemantauan hama penyakit ikan hias golongan

advertisement
PEMANTAUAN HAMA PENYAKIT IKAN HIAS
GOLONGAN TETRA DAN EVALUASINYA
TERHADAP PARAMETER LINGKUNGAN AQUATIK
DI WILAYAH JABOTABEK
DIKRY NOVEL SHATRIE
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN B'OGOR
BOGOK
2006
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam
tesis saya yang berjudul : PEMANTAUAN HAMA PENYAKIT IKAN HIAS
GOLONGAN TETRA DAN EVALUASINYA TERHADAP PARAMETER
LINGKUNGAN AQUATIK DI WILAYAH JABOTABEK, merupakan gagasan
atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi
Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Tesis ini belurn pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program
sejenis di perguruan tinggi lain.
Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan
dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Mei 2006
Dikry Novel Shatrie
NRP : B. 151020071
ABSTRAK
DIKRY NOVEL SHATRIE. Pemantauan Hama Penyakit Ikan Hias
Golongan Tetra Dan Evaluasinya Terhadap Parameter Lingkungan Aquatik
di Wilayah Jabotabek. Dibimbing oleh FACHRIYAN H. PASARIBU, ETTY
RIANI dan DEW1 RATIH AGUNGPRIYONO.
Ekspor ikan hias dari Indonesia hanya sebesar 15 % dari seluruh total
ekspor ikan hias dunia. Salah satu penyebabnya adalah banyaknya penyakitpenyakit ikan yang disebabkan oleh bakteri, parasit dan jamur. Pengamatan pada 4
lokasi ikan hias Tetra di Bogor, Cibinong, Bekasi dan Tangerang dilakukan
selama bulan Pebruari sampai Juli 2005. Data yang diambil ditujukan untuk
mengetahui hubungan antara parameter kualitas air, seperti suhu, pH, DO,
kesadahan, nitrat dan nitrit; dengan kejadian penyakit. Data yang didapat
kemudian dianalisa menggunakan analisa regresi sederhana dan T-test.
Berdasarkan pengarnatan diketahui bahwa 66% dari total 1500 ekor sampel ikan
tetra terinfeksi oleh bakteri, parasit dan jamur. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa
suhu air merupakan faktor yang paling berperan terhadap kejadian penyakit pada
ikan. Bila suhu air meningkat, maka jumlah kejadian penyakit bakterial
meningkat Persentase penyakit yang disebabkan oleh Aeromonas hydrophila
mencapai 23% dan Pseudomonas j7uorescens mencapai 14,80%. Sedangkan bila
suhu air menurun, maka angka kejadian penyakit yang disebabkan oleh parasit
dan jamur akan meningkat. Persentase kejadian penyakit yang disebabkan oleh
Dactylogvrus sp adalah 10,13 %, sedangkan Gyrodactylus sp 9,87 %, Argulus sp
5,27 %. dan Saprolegnia sp 3,27 %. Dengan uji histopatologi ditemukan adanya
myositis, peritonitis dan enteritis dari non spesifik viral dan beberapa kista
Pleistophora sp. di dalam jaringan otot ikan yang sehat. Penelitian membuktikan
bahwa menj'aga suhu air sangat penting untuk meminimalisasi kerugian yang
disebabkan oleh organisme-organisme patogen pada ikan dan uji histopatologi
dapat dipertimbangkan sebagai cara yang efektif untuk memastikan kesehatan
ikan.
Abstract
DIKRY NOVEL SHATRIE. Tetra Fish Diseases Monitoring and Its Evaluation
to Aquatic Environment Parameters in the Jabotabek Area. Under the direction of
FACHRIYAN H. PASARIBU, ETTY RIANI and DEW1 RATIH
AGUNGPRIYONO
Indonesian ornamental freshwater fish only retain 15% of total exporting
ornamental freshwater fish all over the world. This matter is due by numerous
causes offish disease such as bacterial, parasites and fungal infection. Disease of
tetrafish which sampled from some fishes collectedfrom Bogor, Cibinong, Bekasi
and Tangerang areas were monitored during February up to July 2005. The data
were interrelated with water quality parameters such as air and water
temperature, pH, DO, hardness, ammonia and nitrite content and analyzed using
simple linear regression and T-test. Disease monitoring showed that 66% from
1500 tetra fishes were infected by bacterial, parasite and fungi. The data's
statistic evaluation demonstrated that the water temperature was appeared to be
the most significant factor that influences the appearance of variousfish diseases.
The incidence of Aeromonas hydrophila got to 23.07% and Pseudomonas
fluorescens was 14.80%. The incidences of bacterial disease rose when the water
temperature increases. However, the parasites and fungal infection had a
tendency to increase while water ternperature was decreased. The incidence of
parasites such as Dacfylogyrus sp., Gyrodactylus sp., and Argulus sp. are
10.13%, 9.87%, and 5.2 7%, respectively and Saprolegnia sp., fungal infection is
3.27%. Myositis, peritonitis and non spec@c viral enteritis were observed by
histopathology examination and some protozoan Pleistophora sp. cyst observed
within the muscular tissue from fish which clinically healthy. The study pointed
that maintaining water temperature is very important in order to minimize several
damages from pathogenic organism infish and histopathology examination could
be a handy tool to ensure health status offish.
O Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor,,tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
beniuk apapun, baik cetak,fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya
PEMANTAUAN HAMA PENYAKIT IKAN HIAS
GOLONGAN TETRA DAN EVALUASINYA
TERHADAP PARAMETER LINGKUNGAN AQUATIK
DI WILAYAH JABOTABEK
DIKRY NOVEL SHATRIE
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Sains Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
Judul Tesis
: Pemantauan Harna Penyakit Ikan Hias Golongan Tetra Dan
Nama
NRP
Evaluasinya Terhadap Parameter Lingkungan Aquatik di
Wilayah Jabotabek
: Dikry Novel Shatrie
: B 151020071
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. drh. Fachriyan H.Pasaribu
Ketua
Dr. Ir. dttv Riani. M.S.
Anggota
drh. Dewi Ratih Anunapriyono, Ph.D.
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Sains Veteriner
n
ah Pascasarjana
f
M.S.
PRAKATA
Segala puji bagi Allah Azza Wa Ja'Alla, pencipta langit dan burni, pemilik
sekalian ilmu dan hakim atas segala sesuatu urusan. Sesungguhnya karena berkah
dan rahrnatNya penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan.
Tesis ini disusun untuk memenuhi tugas yang diberikan dalam proses
penyelesaian studi di Program Sains Veteriner - Sekolah Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Tema penelitian yang dikerjakan adalah pemantauan dan evaluasi hama
penyakit untuk mengetahui korelasi dan pola penyebaran penyakit ikan hias
golongan tetra di wilayah Jabotabek dengan perubahan suhu udara.
Terima kasih yang tak terhingga kami sampaikan kepada para dosen
pembimbing, Prof. Dr.drh. Fachriyan H. Pasaribu, Dr. Ir. Etty Riani, MS. d m
drh. Dewi Ratih Agungpriyono Ph.D., yang telah bersedia untuk menjadi
pembimbing kami, dan membagikan ilmunya yang tidak ternilai kepada kami
selaku mahasiswa. Demikian juga kepada anak dan isteri tercinta atas dukungan
dan doanya.
Disadari bahwa banyak kekurangan yang ada dalam penelitian ini, oleh
karena itu diperlukan saran dan pertimbangan untuk menyempurnakannya lebih
lanjut.
Bogor,
Mei 2006
Dikry Novel Shatrie
Penulis dilahirkan di kota Bogor pada tanggal 20 November 1968 dari
pasangan Moedrik Shatrie (Alm.) dan Nurlaila. Penulis merupakan anak pertarna
dari dua bersaudara.
Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bogor dan pada tahun 1988
melanjutkan ke Sekolah Ahli Usaha Perikanan, Jurusan Akuakultur di Jakarta, dan
lulus pada tahun 1991. Pada tahun 1994 melanjutkan ke Fakultas Perikanan,
Jurusan Budidaya, Universitas Juanda Bogor. Pada tahun 2002 menempuh
pendidikan pada program Magister Sains Veteriner di Sekolah Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor.
Sejak tahun 1992 penulis bekerja sebagai staff pada Balai Karantina Ikan
Soekarno-Hatta, Pusat Karantina Pertanian, Departemen Pertanian. Tahun 2001
sampai sekarang penulis bekerja pada Pusat Karantina Ikan, Departemen Kelautan
dan Perikanan, di Jakarta.
DAFTAR IS1
Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................................................
...
Vlll
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
PENDAHULUAN ..................................................................................
Latar Belakang ............................................................................
Tujuan Penelitian ........................................................................
Perumusan Masalah Penelitian ...................................................
Hipotesa ......................................................................................
Manfaat Penelitian ......................................................................
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
Kualitas Air dan Kesehatan Ikan ................................................
Suhu Air ......................................................................................
pH (Derajat Keasaman) ..............................................................
Oksigen Terlarut .........................................................................
Kesadahan ...................................................................................
Kadar Amonia (NH3) .................................................................
Kadar Nitrit (N02) .....................................................................
Ikan Hias Golongan Tetra...........................................................
Penyakit-penyakit pada Ikan .....................................................
Sistem dan Regulasi Karantina ..................................................
BAHAN DAN METODA ......................................................................
Tempat dan Waktu ....................................................................
Sampel Ikan dan Metode Pemeriksaan .......................................
Sampel Air dan Metode Pemeriksaan ..........................................
..
Kerangka Kerja Penelltian ..........................................................
Analisis Pengolahan Data ...........................................................
22
22
22
23
23
24
HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................
Parameter Kualitas Air ................
......
......................................
Suhu Air .....................................................................................
pH ...............................................................................................
Oksigen Terlarut (DO) ...............................................................
Kesadahan Air ...........................................................................
Amonia .......................................................................................
Nitrit ...........................................................................................
Persentase Kejadian Penyakit .....................................................
A eromonus hydrophila ...............................................................
P.seudomonus.fluorcscens ..........................................................
Korelasi antara Suhu Air dan Prevalensi Penyakit Bakterial .....
Hasil Pemeriksaan Histopatologi .............................................
Argulu.s.sp ...................................................................................
Dactylo~ru.s.sl~
..........................................................................
25
31
32
33
33
34
35
35
36
37
38
39
41
42
44
Gyrodactylus sp ..........................................................................
Korelasi antara Suhu Air dan Prevalensi Penyakit Parasiter ......
Saprolegnia sp ............................................................................
Korelasi antara Suhu Air dan Prevalensi Penyakit Fungi ...........
Daerah Identifikasi Penyakit ......................................................
KESIMPULAN ......................................................................................
SARAN ..................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
LAMPIRAN ...........................................................................................
DAFTAR TABEL
Halaman
Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan ..............................
Hubungan kadar oksigen terlarut dengan suhu air ..............................
Kation penyusun kesadahan dan anion penyusunnya ..........................
Klasifikasi nilai kesadahan air ..............................................................
Toksisitas akut (LDS096 jam) arnonia tak terionisasi pada organisme
akuatik ..................................................................................................
Hubungan pH dan suhu terhadap kadar amonia total ..........................
Parameter kualitas air yang diamati dan lokasi pengamatannya..........
Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sampel ikan di
lokasi A (Bogor) per bulan penelitian ..................................................
Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sampel ikan di
lokasi B (Cibinong) per bulan penelitian .............................................
Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sampel ikan di
lokasi C (Bekasi) per bulan penelitian .................................................
Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sarnpel ikan di
lokasi D (Tangerang) per bulan penelitian ...........................................
Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sampel ikan.
..
selama 25 minggu penelltian ................................................................
Perbandingan kualitas air penelitian dengan standar Langdon ...........
Rata-rata suhu air dan angka prevalensi (%) penyakit dari 4 daerah
penelitian ..............................................................................................
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Serpae tetra longfin (Hyphessobrycon serpae) .......................................
2. Rossy tetra (Hyphessobrycon roseus) .....................................................
3. Neon tetra (Paracheirodon innesi)..........................................................
4 . Red nose tetra (Hemigrammus bleheri) ..................................................
5 . Emperor tetra (Nematobrycon palmery) .................................................
..
........................................................................
6 . Kerangka kerja penel~t~an
7. Grafik hubungan suhu air dengan prevalensi penyakit ikan tetra di
lokasi A (Bogor)......................................................................................
8 . Grafik hubungan suhu air dengan prevalensi penyakit ikan tetra di
lokasi B (Cibinong) .................................................................................
9. Grafik hubungan suhu air dengan prevalensi penyakit ikan tetra di
lokasi C (Bekasi) .....................................................................................
10. Grafik hubungan suhu air dengan prevalensi penyakit ikan tetra di
lokasi D (Tangerang)...............................................................................
11. Grafik hubungan suhu air rata-rata dengan prevalensi penyakit ikan
tetra di semua lokasi penelitian ...............................................................
12 Sebaran suhu air dengan prevalensi penyakit .........................................
13. Ikan tetra dengan infeksi Aeromonas hydrophila ...................................
14. Ikan tetra dengan infeksi Pseudomonas.fluorescens...............................
15. Korelasi suhu air dengan penyakit bakterial ...........................................
16. Kista Pleistophora sp..............................................................................
17. Arplus sp................................................................................................
18. Dactylogirus sp.......................................................................................
19. Gyrodactylus sp..............................
....
..............................................
20. Korelasi suhu air dengan penyakit parasiter ...........................................
2 1. Ikan tetra dengan infeksi Saprolegnia sp................................................
22. Korelasi suhu air dengan penyakit fungi ..................................................
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Kualitas air dan kejadian penyakit yang ditemukan................................ 57
Hasil pemeriksaan kualitas air dan persentase kejadian penyakit ........... 59
Rata-rata seluruh kualitas air dan prevalensi kejadian penyakit ............. 61
Analisa regresi dan korelasi suhu air dan prevalensi A.hydrophila ........ 62
Analisa regresi dan korelasi suhu air dan prevalensi P.Juorescens ........ 63
Analisa regresi dan korelasi suhu air dan prevalensi Argulus sp............ 64
Analisa regresi dan korelasi suhu air dan prevalensi Dactylog~russp ... 65
Analisa regresi dan korelasi suhu air dan prevalensi Gyrodactylus sp ... 66
Analisa regresi dan korelasi suhu air dan prevalensi Saprolegnia sp..... 67
Data hama dan penyakit ikan yang dilalulintaskan................................. 68
Rataan data penelitian selama bulan Februari-April 2005 ...................... 69
Rataan data penelitian selama bulan Mei - Juli 2005 .............................. 70
Rataan data penelitian selama bulan Agustus 2005 ................................ 71
Metoda pemeriksaan sampel ikan ........................................................... 72
Hasil isolasi dan identifikasi bakteri .....................................................
85
Data curah hujan ...................................................................................... 87
Lampiran KEPMEN . NO . 17/MEN/2003............................................
88
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kegiatan perikanan di Indonesia terus mengalami kemajuan dengan
semakin meningkatnya lalu lintas komoditas perikanan antar pulau maupun antar
negara. Kegiatan ekspor perikanan mempunyai peranan cukup strategis bagi
Indonesia, karena saat ini ikan merupakan komoditi ekspor non migas yang cukup
banyak menyumbang devisa negara. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya
pengusaha ikan, baik skala kecil maupun skala besar dan meningkatnya aktifitas
ekspor dan impor. Komoditas yang diperdagangkan tidak hanya ikan-ikan
konsumsi, tapi juga komoditas ikan hias.
Tingginya minat para pengusaha ini didorong oleh tingginya permintaan
akan komoditas perikanan dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Namun
berbagai kendala, terutama hama dan penyakit ikan, seringkali menyebabkan
kerugian yang tidak sedikit bagi para petanilpengusaha ikan.
Semakin maraknya perdagangan antar pulau dan antar negara,
memberikan peluang semakin banyaknya penyakit-penyakit ikan yang ditemukan
di Indonesia. Penyakit golongan bakteri yang banyak ditemukan dalam budidaya
perikanan di Indonesia, seperti Aeromanas sp., Vibrio sp., Pseudomonas sp. dan
lain-lain, telah menimbulkan kerugian bagi para petanilpengusaha ikan. Selain
penyakit ikan yang disebabkan oleh bakteri, ditemukan pula penyakit ikan yang
disebabkan oleh parasit seperti Argulus sp., Dactylogvrus sp., Gyrodactylus sp.,
Lerneae sp. dan fungi (Saprolegnia sp).
Ikan-ikan jenis tetra merupakan ikan yang banyak dibudidayakan oleh
petani di Indonesia, karena permintaan terhadap jenis ini sangat besar, sehingga
menarik bagi para petani untuk membudidayakannya. Narnun ikan sangat
bergantung pada lingkungannya, terutarna kualitas air tempat hidupnya, yang
bukan saja akan mempengaruhi kehidupan ikan, namun juga merupakan ha1 yang
mempengaruhi kesehatan ikan.
Ada beberapa parameter kualitas air yang hams selalu dipantau, parameter
tersebut adalah: suhu air, pH, oksigen terlarut (DO), kesadahan, kadar amonia dan
kadar nitrit. Perubahan pada salah satu parameter kualitas air secara mendadak,
terutarna suhu air akan menyebabkan perubahan-perubahan pada parameter
kualitas air yang lainnya, sehingga perubahan-perubahan ini akan menyebabkan
stres pada ikan yang pada akhirnya dapat menimbulkan penyakit (Langdon 1988;
Effendi 2000). Bila dalam suatu perairan terjadi peningkatan kadar arnonia dan
nitrat, terjadi perubahan pH (tidak optimum) dan kesadahan serta tingginya bahan
organik, maka akan menyebabkan stres pada ikan.
Stres adalah kondisi dimana ikan tidak mampu mempertahankan keadaan
fisiologis norrnalnya karena berbagai faktor penyebab:
Penyebab kimiawi, seperti: kualitas air yang buruk, rendahnya DO, pH yang
tidak tepat, polusi, komposisi diet, nitrat dan buangan metabolisme.
Penyebab biologis, seperti: padat tebar tinggi, spesies ikan lain, mikroorganisme
patogenik dan non patogenik, serta parasit internal dan eksternal.
Penyebab fisik, seperti: suhu yang merupakan salah satu parameter kualitas air
yang paling berpengaruh pada sistem imun ikan, cahaya, suara dan kadar gasgas terlarut
Penyebab prosedural, seperti: handling, shipping dan pengobatan terhadap suatu
penyakit (Floyd 200 1).
Kesehatan ikan merupakan syarat utama kelayakan sebagai ikan hias
komersial. Kondisi ikan hias yang sehat sangat dibutuhkan dalam pemasaran
maupun pengangkutan, terutarna untuk ekspor, karena membutuhkan waktu
perjalanan yang lama.
Untuk mengetahui ikan hias yang benar-benar sehat dan tidak membawa
bibit penyakit dibutuhkan pemeriksaan laboratoriurn, yang pada saat ini harus
dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Karantina Ikan. Bila ikan dinyatakan sehat,
maka ikan diberikan ijin untuk dilalulintaskan dan
Unit Pelaksana Teknis
Karantina 1kan akan mengeluarkan swat keterangan layak ekspor.
Unit Pelaksana Teknis Karantina Ikan adalah lembaga pemerintah yang
berfungsi mencegah masuknya dan tersebarnya penyakit ikan karantina yang
berpotensi menyebarkan penyakit ke dalam lingkungan keldi dalarn wilayah
Republik Indonesia, baik yang berasal dari luar negeri maupun dari suatu daerah
ke daerah lain di dalam wilayah Republik Indonesia. Program kzrantina untuk
ikan secara khas melibatkan suatu protokol pemeriksaan yaitu penggunaan hewan
'
uji coba untuk mengetahui adanya agen penyakit, sertifikasi, pengeluaran suatu
sertifikat yang menyatakan bahwa kelompok hewan tertentu atau suatu fasilitas
produksi telah diperiksa dan bebas dari infeksi oleh patogen tertentu (Arthur
1996).
Karantina Indonesia sudah selangkah lebih maju, karena Indonesia
merupakan negara Asia Tenggara pertama yang menetapkan jasa pemeriksaan
karantina yang diatur dalam UU Karantina tahun 1992 (Arthur 1995), yang
implementasinya dituangkan dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
No 17 tahun 2003. Selain ha1 tersebut di atas, juga dilakukan kerjasama regional
dan internasional untuk mencegah masuknya suatu penyakit baru.
Di dalam pelaksanaannya, petugas karantina ikan hams mengetahui jenisjenis hama dan penyakit karantina beserta media pembawanya yang ada di suatu
daerah. Hal ini diperlukan untuk mencegah masuk dan tersebarnya hama dan
penyakit ikan karantina dari suatu area ke area lain. Oleh karena itu dibutuhkan
suatu datatinformasi mengensti penyebaran hama dan penyakit ikan karantina di
dalam wilayah negara Indonesia dalam bentuk peta daerah sebar hama dan
penyakit ikan karantina, sehingga dapat dilakukan prediksi mengenai penyakit
yang biasanya terjadi pada suatu spesies ikan dalam suatu musim.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memantau dan mengevaluasi prevalensi
hama penyakit ikan bakterial, ektoparasit dan fungi pada ikan hias golongan tetra
terhadap parameter kualitas air di lokasi ekspotir ikan hias di daerah Bogor,
Cibinong, Bekasi dan Tangerang .
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi informasi tentang prevalensi
penyakit ikan khususnya ikan hias golongan tetra di daerah Bogor, Cibinong,
Bekasi dan Tangerang yang banyak dilalulintaskan di sekitar Jabotabek.
Perurnusan Masalah Penelitian
Berdasarkan data pemantauan yang dilakukan oleh Balai Karantina Ikan
Soekarno-Hatta, Jakarta, antara tahur. 2000 - 2004, diketahui bahwa tingkat
penyebaran penyakit-penyakit parasiter, bakterial dan jamur pada ikan-ikan yang
'
dibudidayakan, semakin meningkat. Hal ini sangat mempengaruhi mutu dan
jumlah ikan yang diekspor dari Indonesia. Tingginya permintaan pasar terhadap
ikan-ikan jenis tetra dan mudah dalarn pembudidayaannya, menyebabkan ekspor
ikan hias dari Indonesia, terutama ikan hias air tawar, didominasi oleh ikan jenis
ini. Selain masalah yang disebabkan oleh penyakit, rendahnya tingkat ekspor ikan
hias ~ndonesiajuga disebabkan kurangnya pengetahuan para eksportir tentang
negara-negara importir di luar negeri, sehingga hampir semua eksportir ikan hias
di Indonesia hanya mengekspor ke Singapura, yang kemudian mengekspor lagi
ikan-ikan tersebut ke seluruh dunia. Sampai saat ini Singapura merupakan negara
pengekpor ikan hias terbesar di dunia (Dinas Perikanan - Jabar 2005).
Mutu ikan hias sangat dipengaruhi oleh kondisi kesehatannya, yang
berkaitan langsung dengan kualitas air di lingkungan hidupnya.
Parameter-
parameter kualitas air saling mempengaruhi satu sama lain, sehingga pola
penyebaran penyakit ikan diduga mempunyai hubungan dengan parameter
kualitas air.
Di antara masalah-masalah tersebut di atas, informasi tentang hubungan
antara kualitas ikan di tingkat eksportir dan kualitas air tempat ikan itu dipelihara
masih minim, untuk itu diperlukan suatu penelitian yang mengamati hubungan
antara liejadian penyakit dengan parameter kualitas air. Bila didapatkan suatu pola
hubungan antara parameter kualitas air dan kemungkinan penyebaran penyakit
ikan, maka langkah-langkah antisipatif dan preventif dapat segera diambil untuk
mencegah kerugian yang lebih meluas.
Hipotesa
Diduga terdapat suatu pola hubungan antara kualitas air (suhu, pH,
kesadahan, kadar amonia, kadar nitrit dan jumlah oksigen terlarut) dengan
penyebaran beberapa penyakit ikan yang akan digambarkan oleh angka persentase
kejadian penyakit untuk mendapatkan skala rasio yang akan digunakan dalam
pengujian hipatesa secara kuantitatif.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dalam
melakukan prediksi penyebaran penyakit ikan berdasarkan perubahan-perubahan
pada parameter kualitas air. Sehingga dapat segera diambil tindakan antisipatif
dan preventif untuk mencegah meluasnya kerugian.
Mengetahui pola penyebaran penyakit ikan dan korelasinya dengan
perubahan kualitas air akan membentuk suatu sistem deteksi dini yang sangat
bermanfaat untuk perkembangan dan perlindungan pada kegiatan budidaya ikan di
Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA
Kualitas Air dan Kesehatan Ikan
Studi mengenai penyebaran penyakit pada suatu populasi sangat
membutuhkan pemahaman mengenai asosiasi atau hubungan-hubungan yang
terjadi antara inang, agen dan lingkungan sekitarnya. Tingkat hubungan ini akan
menentukan tingkat kerapatan ruang dan waktu kejadian infeksi penyakit, iklim
akan sangat mempengaruhi daya hidup inang, vektor dan agen patogen, serta
mempengaruhi secara langsung tingkat distribusi vektor (Thrusfield 1995). Agen
patogen yang terlibat pada timbulnya penyakit pada ikan, tidak dapat bekerja
sendiri untuk menimbulkan infeksi pada ikan, harus terdapat faktor predisposisi
sebagai pemicu stres (stressor), ha1 ini dapat berupa perubahan kualitas air, toksin
dan perubahan siklus hidup (Hanson & Grizzle 1985).
Peraturan Pemerintah No. 20 tahun
1990, tentang pengendalian
pencemaran air, mendefinisikan kualitas air adalah sifat air dan kandungan
mahluk hidup, zat, energi atau komponen lain dalam air. Kualitas air dinyatakan
dengan beberapa parameter (Anonim 1990), yaitu:
1. Parameter fisika (suhu; kekeruhan, padatan terlarut dan sebagainya.)
2. Parameter kimia (pH, oksigen terlarut, kadar logam d m sebagainya.j
3. Parameter biologi blankton, bakteri dan sebagainya.)
Kualitas air dalam suatu usaha akuakultur harus diperhatikan dengan
seksama karena sangat mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan, adapun
beberapa parameter kualitas air yang sangat berpengaruh pada ikan adalah suhu,
pH, oksigen terlarut, kesadahan, kadar NO2 dan kadar NH3 (Alabaster & Loyd
1980).
Suhu Air
Ikan adalah hewan ektoterm atau poikiloterm yang suhu tubuhnya
tergantung pada suhu lingkungannya. Oleh karena itu suhu lingkungan sangat
'
besar pengaruhnya bagi kesehatan ikan, terutama apabila suhu berada di luar
kisaran suhu optimalnya.
Suhu air dipengaruhi oleh musim, letak geografis, ketinggian, sirkulasi
udara, penutupan awan, adanya aliran dan kedalaman. Perubahan suhu akan
berpengaruh secara langsung terhadap proses fisika, kimia dan biologi air.
Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi,
volatilisasi, dan akan mengakibatkan penurunan kadar kelarutan gas dalam air,
seperti : 02, C02, N2, CH4 dan sebagainya. (Effendi 2000).
Kecepatan metabolisme ikan tergantung pada suhu air. Penurunan suhu air
akan menyebabkan kecepatan metabolisme ikan akan menurun, demikian juga
sebaliknya metabolisme ikan akan meningkat sejalan dengan peningkatan suhu
air. Beberapa faktor lain seperti : sistem imun, proses penyembuhan penyakit dan
proses pencemaan makanan juga sangat dipengaruhi oleh suhu air. Penurunan
suhu akan menyebabkan daya tahan ikan menurun, sehingga ikan mudah
terinfeksi oleh agen patogen (Langdon 1988).
pH (Derajat Keasaman)
Menurut Effendi (2000) pH atau derajat keasaman menggambarkan
keberadaan ion hidrogen yang bersifat asam, konsentrasi ion hidrogen pada air
gll, sedangkan nilai disosiasi air (Kw) adalah 10-l4
murni netral adalah 1 x
pada suhu 25' C, sehingga nilai pH dapat digambarkan sesuai dengan reaksi
sebagai berikut :
2 H 2 0 +========l)
H30+ + OH-
H20
[H']
+========+
+ [OH] = Kw
H+ + OH-
; KW = 10-l4
[ ~ ~ ] = ~ w / [ 0 ~ ~ = 1 0 ~ ~ ~ / 1 0; -O~H=- =1l 0~ -~~~g /gl ./ l
p H = -Log
lo
[H']
= Log lo
1 / [H']
Sehingga klasifikasi nilai pH air adalah :
pH=7
: netral
7<pH<14
: basa / alkali
Tebbut (1992) berpendapat bahwa pH hanya menggambarkan konsentrasi
ion hidrogen, sedangkan Mackereth el a1 (1989) berpe~idapatbanwa pH berkaitan
erat dengan karbondioksida dan alkalinitas, dalam ha1 ini pada pH < 5 alkalinitas
akan mencapai nol, sehingga semakin tinggi nilai pH akan menyebabkan nilai
alkalinitas semakin meningkat dan akan semakin sedikit kadar karbondioksida
bebas.
Toksisitas suatu senyawa kimia juga dipengaruhi oleh pH, senyawa
amonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan dengan pH
rendah, bila pH meningkat maka jumlah amonium yang tak terionisasi (unionized)
juga akan meningkat dan pada keadaan ini akan bersifat toksik (Tebbut 1992).
Biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH, dan rata-rata lebih menyukai
kisaran pH 7 - 8,5 , fenomena ini berkaitan dengan proses biokimiawi air seperti
nitrifikasi yang dipengaruhi oleh pH, dimana proses nitrifikasi akan berakhir pada
pH rendah (asam). Toksisitas logam juga akan meningkat pada pH rendah
(Novotny & Olem 1994). Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabei 1. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan
Nilai pH
6,O - 6,5
I
Pengaruh
-Keanekaragaman plankton dan benthos mengalami sedikit penurunan
I -Kelimpahan total biomasa dan produktivitas tak berubah
I
5,s - 6,O
I
-Keanekaragaman plankton dan benthos mengalami penurunan
.I -Kelimpahan total biomasa dan produktivitas sedikit berubah
-Algae hijau berfilamen tampak pada zona litoral
5,O - 5,5
I yang semakin besar
I
I
I -Kelimpahan total biomasa zooplankton dan benthos menurun
I
4,5 - 5,O
I
-Algae hijau berfilamen tampak semakin banyak pada m n a litoral
I -Proses nitrifikasi terhambat
I
I
-Keanekaragaman plankton, perifiton dan benthos mengalami penurunan
I
I
I
I
I
I
I
-Keanekaragaman plankton, perifiton dan benthos mengalami penurunan
I yang besar
-Kelimpahan total biomasa zooplankton dan benthos menurun
I
-Algae hijau berfilamen tampak semakin banyak.
I
.I :Proses nitrifikasi terhambat
II
Sumber : Novotny dan Olem, 1994
I
I
Oksigen ~ e r l a r u (Dissolve
t
Oxygen)
Kadar oksigen terlarut di perairan alarni akan bervariasi tergantung pada
suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen akan semakin
berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, ketinggian dan berkurangnya
tekanan atmosfer, semakin tinggi suatu tempat dari perrnukaan laut, maka tekanan
atmosfer akan semakin rendah, yang mengakibatkan akan semakin sedikit oksigen
yang terlarut dalam air. Kadar oksigen terlarut pada perairan tawar berkisar antara
15 mgll pada suhu 0' C dan 8 mgll pada suhu 25' C, sedangkan pada perairan laut
berkisar antara 11 mgll pada suhu 0' C dan 7 mgll pada suhu 25' C. (Mc. Neely et
a1 1979). Pengaruh perubahan suhu terhadap oksigen terlarut dapat dilihat pada
Tabel 2.
.
Tabel 2. Hubungan kadar oksigen terlarut dengan suhu air
Suhu
(O C)
Oksigen Terlarut
(mg~~)
Suhu
c)
Oksigen Terlarut
(mg~~)
Suhu
Oksigen Terlarut
(mcr/~)
0
14,62
14
-
10,3 1
7,83
1
14,22
15
10,08
2
13,83
16
9,87
3
13,46
17
9,66
4
13,ll
18
9,47
5
12,77
19
9,28
6
20
9,09
7
12,45
12,14
21
8,9 1
8
11,84
22
8,74
9
10
11,56
1 1,29
23
8,58
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
24
8,42
38
6,62
11
1 1,03
10,78
10,54
25
8,26
39
6,s 1
26
8,11
40
6,4 1
27
7,97
12
13
e
e c)
7,69
7,56
7,43
7,30
7,18
7,OQ
6,95
6,84
6,73
Catatan :pengukuran pada tekanan udara 760 mm Hg.
Sumber : Cole, 1988
Kadar oksigen pada perairan alarni biasanya kurang dari 10 mgll. Sumber
oksigen terlarut yang masuk ke dalam perairan alami berasal dari difusi oksigen
yang terdapat di atmosfer sekitar 35 % dan aktifitas fotosintesis oleh tumbuhan air
dan fitoplankton, kadar oksigen di atmosfer biasanya berkisar pada angka 210
mg/l (Novotny & Olem 1994).
Kebutuhan oksigen terlarut tidak sama pada setiap jenis ikan, bahkan pada
jenis ikan yang sama akan terdapat perbedaan, tergantung pada suhu air tempat
hidupnya. Jika dalam perairan tidak terdapat senyawa beracun, maka kandungan
oksigen minimum yang diperlukan adalah sekitar 2 mgll, dan kadar ini sudah
cukup untuk memberikan kehidupan yang normal bagi organisme akuatik
(Langdon 1988).
Kesadahan
Kesadahan (hardness) adalah gambaran kation logam divalen (bervalensi
2), kation-kation ini dapat bereaksi dengan sabun dan membentuk endapan
presipitat (presipitasi). Selain itu kation-kation ini dapat bereaksi dengan anionanion yang terdapat di dalam air dan akan membentuk endapan atau karat pada
barang logam. Tingkat kesadahan pada air tawar ditentukan oleh jurnlah kalsium
dan magnesi-urn, dimana kalsium dan magnesium ini akan berikatan dengan anion
penyusun sifat alkalinitas yaitu bikarbonat dan karbonat, sehingga kesadahan akan
mempengaruhi stabilitas pH air (Effendi 2000). Kation dan anion penyusunnya
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kation penyusun kesadahan dan anion penyusunnya
Kation
Ca
Anion
HC03-
'+
so4'-
Mg 2+
I
I
Sumber : Sawyer & Mc Carty, 1978
I
Klasifikasi kesadahan menurut Effendi (2000) didasarkan pada 2 hal,
yaitu:
1. Berdasarkan ion logam, atau kesadahan kalsium dan kesadahan
magnesium
2. Berdasarkan anion yang berasosiasi dengan ion logam, yait~ikesadahan
karborlat dan kesadahan non-karbonat.
Nilai kesadahan total = kesadahan kalsium + kesadahan magnesium
Sedangkan untuk mendapatkan kadar kalsium dan magnesium dari nilai
kesadahan, menurut Cole (1988) adalah sebagai berikut :
Kadar kalsium (mg / 1) = 0,4 x kesadahan kalsium
Kadar magnesium (mg/l) = 0,243 x kesadahan magnesium.
Air dengan kesadahan tinggi mempunyai kandungan kalsiurn, magnesium,
karbonat dan sulfat yang tinggi, air jenis ini bila dipanaskan akan membentuk
deposit kerak (Brown 1987). Tetapi kesadahan yang tinggi tidak memiliki
pengaruh langsung pada kesehatan manusia, bahkan kesadahan tinggi dapat
menghambat sifat toksik logam berat, dimana kalsium dan magnesium akan
membentuk senyawa kompleks dengan logam berat. Timbal (Pb) dengan kadar 1
mg/l akan bersifat toksik pada ikan yang di air dengan kesadahan rendah (so#
water), tetapi kadar timbal yang sama tidak mematikan ikan yang hidup di air
dengan kesadahan 150 mg/l CaC03 (Tebbut 1992).
Air dengan nilai kesadahan kurang dari 120 mg/l CaC03, dan melebihi
500 mg/l CaC03 dianggap kurang baik bagi keperluan rumah tangga, pertanian
dan industri. Air sadah (150 - 300 mg/l CaC03) disukai oleh organisme akuatik
sebagai lingkungan hidupnya (Effendi 2000). Klasifikasi dalam penilaian nilai
kesadahan dapat dilihat dalam Tabel 4.
Tabel 4. Klasifikasi nilai kesadahan air
I
I
Kesadahan (rngll CaCO3)
< 50
/
I
Klasifikasi Air
Lunak (soft)
I
50 - 150
I
I
Menengah (moderatelyhard)
I
150 - 300
Sadah (hard)
> 300
Sangat sadah (very hard)
Sumber : Peavy et a1 1985
Kadar Amonia (NH3)
Sumber arnonia di perairan adalah hasil penguraian nitrogen organik, yang
berasal dari protein dan urea, dan nitrogen anorganik yang berasal dari
dekomposisi bahan organik yang telah mati, seperti tumbuhan dan biota laut yang
dilakuksn oleh mikroba melali~i proses amoriifikasi, dengar, reaksi.sebagai
berikut:
N organik + O2
3
NH3-N + 0
AmoniJikasi
3
2
NO2-N + 0
2
3 NO3-N
Nitr$kasi
Amonia dan bentuk garamnya sangat mudah larut dalam air dan akan membentuk
ion amonium sebagai bentuk transisinya. Tinja yang berasal dari biota akuatik,
reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi udara atmosfer, limbah
industri dan domestik merupakan sumber amonia yang lain (Effendi 2000).
Pada pH 7 atau kurang, sebagian besar amonia akan mengalami ionisasi
dan pada pH yang lebih besar dari 7, amonia tak terionisasi dan bersifat toksik
(Novotny
Olem 1994). Avertebrata akuatik memiliki toleransi yang lebih
tinggi terhadap toksisitas amonia bila dibandingkan dengan ikan, karena pada ikan
kadar amonia yang terlalu tinggi akan mengakibatkan gangguan pada proses
pengikatan oksigen oleh darah dan akan menyebabkan sufokasi (Effendi 2000).
Kadar amonia bebas pada perairan alami biasanya kurang dari 0,l mg/l
(Mc Neely et al. 1979) dan kadar amonia bebas yang talc terionisasi (NH3) pada
perairan tawar sebaiknya tidak melebihi 0,02 mg/l karena sifat toksiknya pada
organisme akuatik. Pada kadar lebih dari 0,2 mg/l bersifat toksik bagi ikan
(Sawyer & Mc Carty 1978). Konsentrasi pemaparan ammonia yang bersifat toksik
bagi biota hewan air dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Toksisitas akut (L,D5096 jam) amonia tak terionisasi pada organisme
akuatik
Spesies
96 jam (mg/l)
Oligochaeta
Limnodrillus hoffmeisteri
199
Gastropoda
Lymnaea stagnalis
Crustacea
Gammarus pulex
Asellus aquaticus
Ephemeroptera (Mayfly)
Baetis rhodani (nymph)
Trichoptera (Caddisfly)
Hydropsyche angust ipennis (larva)
Chironomidae
C'hironornus riparzrs (larva)
Sumber : Moore, 199 1
190
291
293
197
390
197
Amonia yang terukur di perairan adalah amonia total yang terdiri dari NH3
dan N H ~ +~ersentase
.
amonia bebas akan meningkat sejalan dengan peningkatan
pH dan suhu air. Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan meningkat
dengan penurunan kadar oksigen terlarut, pH dan suhu (Boyd 1988). Hubungan
ammonia bebas (NH3 ) terhadap ammonia total (dalam %) dapat dilihat pada
Tabel 6. Hubungan pH dan suhu terhadap kadar amonia total
Sumber : Boyd, 1988
Kadar Nitrit (NOz)
Kadar nitrit di perairan alami pada umumnya akan lebih rendah dari kadar
nitrat, karena nitrit bersifat tidak stabil bila terdapat oksigen. Nitrit adalah be~ltuk
peralihan antara arnonia dan nitrat (nitrifikasi), dan juga bentuk peralihan antara
nitrat dan gas nitrogen (denitrifikasi), denitrifikasi adalah reduksi nitrat oleh
aktivitas mikroba yang berlangsung pada kondisi anaerob (Novotny & Olem
1994).
Nitrit menggambarkan adanya proses biologis perubahan bahan organik
dengan kadar oksigen terlarut sangat rendah. Kadar nitrit di perairan alami sekitar
0,001 mgll, dan sebaiknya tidak melebihi 0,06 mg/l (Anonim
1987). Namun
demikian menurut Sawyer & Mc Carty (1978) kadar nitrit jarang sekali melebihi
1 mg/l.
Sumber nitrit adalah limbah industri dan limbah domestik, kadar nitrit
lebih dari 0,05 mg/l bersifat toksik bagi organisme akuatik yang sensitif. Nitrit
lebih bersifai toksik dibandingkan nitrat terhadap hewan dan manusia, batas aman
kadar nitrit pada air minum menurut WHO sebaiknya tidak melebihi 1 mg/l,
karena konsumsi nitrit yang berlebihan akan menyebabkan terganggunya proses
pengikatan oksigen oleh hemoglobin darah yang selanjutnya akan membentuk
methemoglobin yang tidak mampu mengikat oksigen (Moore 1991).
Ikan Hias Golongan Tetra
Ikan-ikan yang akan dijadikan obyek pengamatan adalah jenis-jenis ikan
tetra sebagai berikut:
1. Serpae tetra (Hyphessobrycon serpae atau Hyphessobrycon eques)
Serpae tetra dikenal juga dengan sebutan blood characin. Ikan ini
berukuran maksimum 4 cm, dengan suhu berkisar 24 - 28°C dan pH 5,5 - 73.
Ikan ini adalah ikan yang mudah dibudidayakan Adapun klasifikasi ikan serpae
tetra adalah sebagai berikut:
Kingdom
:
Animalia
Phylum
Chordata
Class
Actinopterygii
Ordo
Characiformes
Family
Characidae
Genus
Hyplr essobrycon
Spesies
Hyplressobrycon serpae.
Spesies Hyphessobrycon serpae atau serpae tetra dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Serpae tetra longfin (Hyphessobryconserpae)
Sumber : (www.badmanstropica1fish.com).
2. Rossy Tetra (Hyphessobrycon bentosi)
Rossy tetra adalah kerabat dekat dari serpae tetra. Ikan ini berukuran
maksimum 4 cm, dengan suhu bekisar 24 - 28°C dan pH 5,5 - 7,5. Ikan ini adalah
ikan yang mudah dibudidayakan
Klasifikasi ikan rossy tetra adalah sebagai berikut:
Kingdom
:
Animalia
Phylum
Chordata
Class
Actinopterygii
Ordo
Characiformes
Family
Characidae
Genus
Hyphessobrycon
Spesies
Hyphessobrycon bentosi
Spesies Hyphessobrycon bentosi atau rossy tetra dapat dilihat pada
Garnbar 2.
Gambar 2. Rossy tetra (Hyphessobryconroseus)
Sumber : (www.badmanstropicalfish.com~
3. Neon Tetra (Paracheirodon innesi)
Neon tetra adalah ikan kecil dengan warna yang sangat terang. Ikan ini
jarang mencapai panjang lebih dari 4 cm. Ikan jenis tetra ini dinarnakan neon
karena adanya garis yang memanjang dari mata sampai ekor yang berwarna biru
kehijau-hijauan seperti neon.
Ikan neon tetra dapat hidup pada kisaran pH 6 6,5 dan suhu 22" - 24°C .
Adapun klasifikasi ikan neon tetra adalah sebagai berikut:
Kingdom
:
Animalia
Phylum
Chordata
Class
Actinopterygii
Ordo
Characiformes
Famili
Characidae
Genus
Paracheirodon
Spesies
Paracheirodon innesi
Spesies Paracheirodon innesi atau Neon tetra dapat dilihat pada
Gambar 3.
Gambar 3. Neon Tetra (Paracheirodoninnesi)
Surnber: (htt~:iiwww.centralvets.com)
4. Red Nose Tetra (Hemigrammusbleheri)
Nama umumnya adalah red-nose tetra atau rummy-nose tetra. Ikan ini
berasal dari benua Afrika dan meruipakan ikan yang mudah dibudidayakan. Ikan
red nose tetra dapat hidup dengan baik pada kisaran pH 6 - 6,5 dan pada suhu
22" - 26°C.
Klasifikasi ikan red nose tetra dapat dilihat di bawah ini :
Kingdom
:
Phylum
Subphylum
Animalia
Chordata
:
Class
Vertebrata
Actinopterygii
Sub Class
:
Neopterygii
Ordo
Characiformes
Famili
Characidae
Genus
Hemigrammus (Gill 1858)
Species
Hemigrammus bleheri (GCry and Mahnert 1986)
Spesies Hemigrammus bleheri atau red nose tetra dapat dilihat pa&
Gambar 4.
Gambar 4. Red nose tetra (Hemigrammus bleheri)
Sumber : (www.research.arnnh.org)
5. Emperor Tetra (Nematobrycon palmery)
Narna lain dari ikan ini adalah rainbow tetra., ukuran ikan emperor tetra
dewasa dapat mencapai 5 cm. Ikan ini dapat hidup dalam pH 5 - 7,8 dan pada
kisaran suhu 23 - 27°C. Klasifikasi ikan emperor tetra dapat dilihat di bawah ini:
Kingdom
:
Phylum
Subphylum
Chordata
:
Class
Sub Class
Ordo
Animalia
Vertebrata
Actinopterygii
:
Neopterygii
Characiformes
Genus
Nematobiycon
Spesies
Nematobrycon palmery.
Spesies Nematobiycon palmeiy atau emperor tetra dapat dilihat pada
Gambar 5.
Gambar 5. Emperor tetra (Nematobryconpalmery)
Sumber : (n~p:iifre~naquarium.ab~~t.com)
Penyakit-penyakit pada Ikan
1. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Menurut Wikipedia Indonesia tahun 2006, bakteri, berasal dari bahasa
Latin bacterium (jamak, bacteria), yang berarti kelompok raksasa dari organisme
hidup. Mereka sangatlah kecil (mikroskopik) dan kebanyakan uniselular (bersel
tunggal), dengan struktur sel yang relatif sederhana tanpa nukleuslinti sel,
cytoskeleton, dan organelle lain seperti mitokondria dan kloroplas. Bakteri
merupakan prokaryota, untuk membedakan mereka dengan organisme yang
memiliki sel lebih kompleks, disebut eukaryota. Istilah "bakteri" telah diterapkan
untuk semua prokaryote atau untuk kelompok besar mereka.
Bakteri adalah organisme yang paling berkelimpahan dari semua
organisme yang ada. Mereka berada di mana-mana, di tanah, air, dan sebagai
simbiosis dari organisme lain. Banyak pathogen merupakan bakteri. Kebanyakan
berukuran kecil, biasanya hanya berukuran 0,5-5 pm, meskipun ada jenis tertentu
yang dapat mencapai diameter hingga 0,3 mm. Mereka umumnya memiliki
dinding sel, seperti sel hewan dan jamur, tetapi dengan komposisi yang sangat
berbeda (peptidoglycan).
Menurut Munday (1988) ada dua cara penularan penyakit yang disebabkan
oleh bakteri, yaitu: secara vertikal dan secara horisontal. Cara vertikal, yaitu:
penularan bakteri dari induk ke anak ikan melalui darah dan kemudian ke dalam
telur atau menempel di luar telur dengan cairan ovarium, seperti pada Aeromonas
salmonicida. Sedangkan penularan secara horisontal, yaitu melalui kontak
langsung antara ikan yang sakit dengan ikan yang tidak sakit, atau melalui
medium air yang telah mengandung bakteri, seperti pada Vibrio sp., Aeromonas
hydrophila dan Pseudomonas sp.
Virulensi bakteri dipengaruhi oleh banyak faktor. Bakteri-bakteri Gram
negatif menghasilkan endotoksin yang dilepaskan ketika sel mati atau
terdisintegrasi. Endotoksin ini adalah dinding sel bakteri yang tersusun atas
komponen-komponen
lipopolisakarida (terutama bagian lipid A). Untuk
meningkatkan virulensi toksinnya, kebanyakan dari bakteri juga menghasilkan
enzim ekstraseluler yang menyerang sel-sel ikan sehat (Anonim 2006b).
Pada Aeromonas hydrophila, faktor permukaan yang berhubungan dengan
pili dari lapisan -5 asam liposakarida dan faktor enzim ekstra seluler yaitu
siderophore untuk mengakuisisi besi dan mengatur eksoenzim dan eksotoksin,
seperti anterotoksin, lipase dan protease, merupakan faktor yang berperan. Selain
itu, peranan kualitas air dalam suatu mekanisme kejadian penyakit juga hams
menjadi pertimbangan. Peranan dari faktor-faktor yang menentukan virulensi oleh
bakteri patogenik itu, menjadi pertimbangan penting selama masa infeksi dan
penularan untuk mengetahui etiologi penyakit (Anonim 2006b).
Tujuan utama suatu infeksi oleh bakteri adalah untuk menyerang sistim
pertahanan inang. Pada saat bakteri dapat menyerang sistim imun dan menemukan
tempat yang tepat, bakteri berkembang dengan cepat dan mengalahkan pertahanan
inang, sehingga terjadilah penyakit.
2. Penyakit yang disebabkan oleh parasit
Semua ikan adalah inang potensial bagi parasit. Parasit dalam jumlah kecil
adalah ha1 yang biasa dan mungkin hanya tidak berbahaya, namun semua parasit
bisa bereproduksi dengan cepat dan dalam kondisi yang tepat dapat dengan cepat
akan menjadi ancaman bagi ikan dalam kolam atau akuarium (Anonim 2006b).
Tipe parasit ada dua, yaitu: endoparasit dan ektoparasit. Endoparasit
adalah parasit yang ditemukan di dalarn jaringan dan organ-organ dalzm, dan
jarang ditemukan pada ikan hias. Ektoparasit adalah parasit yang ditemukan pada
bagian luar tubuh ikan seperti pada kulit, sirip dan insang.
Terbatasnya kontak antar ikan akan mencegah parasit berpindah ke inang
yang baru. Namun dalam industri perikanan, dimana kepadatan ikan tinggi, ikan
terus menerus melakukan kontak satu sama lain sehingga parasit juga terus
menerus ditularkan antar ikan. Hal ini meningkatkan survival rate juvenil yang
baru menetas dan simpanan kista di dalam kolam atau akuariurn.
Ektopzrasit dapat menyebabkan kerusakan pada integumen karena aktifitas
makan dan atau perpindahan mereka yang terus menerus (karena mereka
menempel
menggunakan
pengait).
Iritasi
yang
disebabkan
ektoparasit
menyebabkan produksi lendir yang berlebihan sehingga menyebabkan masalah
pernapasan apabila sudah mempengaruhi insang. Parasit golongan ektoparasit
misalnya berbagai jenis monogenea ( Gyrodactylus spp., Dactylogyrus spp.,
Neobenedenia spp.) kutu ikan (Argulus sp.); sealice (Caligus sp., Lepeophtheirus
salmonis), gill maggot (Ergasilus sp.); mites (Hydroacarus).
3. Penyakit yang disebabkan oleh jamur
Jamur adalah penyakit yang biasa ditemukan pada ikan. Kebanyakan
infeksi fi~ngimelibatkan jamur air dari kelas Oomycetes. Jamur ini yang paling
sering ditemukan adalah Saprolegnia sp., fungi yang berfilamen. Fungi ini makan
dengan mensekresi enzim pencernaan diatas area disekitarnya. Enzim ini
menghancurkan sel-sel jaringan sehingga memungkinkan bagi fungi untuk
menyerap nutrien seperti
protein dan karbohidrat. Saprolegnia sp. adalah
appotrooph (yang biasanya memakan material organik mati seperti buangan ikan,
sisa pakan dan lain-lain), tetapi saprolegnia merupakan parasit opertunis, yang
bisa mengambil kesempatan untuk menginfeksi ikan-ikan yang stres. Jarnur
bereproduksi dengan melepaskan sprora, jamur ini sangat tahan terhadap
kekeringan dan serangan kimia sehingga spora Saprolegnia sp. biasanya
ditemukan pada semua kolam dan tangki. Saprolegnia sp. adalah infeksi sekunder
yang paling banyak ditemukan setelah terjadinya kerusaltan integurnen ikan (kulit
dan insang) yang disebabkan oleh infeksi bakteri, para~itdan virus. Faktor pemicu
lainnya termasuk polusi air dan padat penebaran yang tinggi. Walaupun jarang
terjadi, Saprolegnia sp. dapat menjadi patogen primer, terutama karena
menurunnya suhu sehingga sistim imun menurun.
Sistim Regulasi Karantina Ikan
Pelaksanaan pengendalian tingkat penyebaran harna dan penyakit ikan
karantina diatur dalarn Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor :
Kep.17lMed2003, tentang penetapan jenis-jenis hama dan penyakit ikan
karantina, golongan, media pembawa dan sebarannya.
Jenis harna dan penyakit karantina yang ditetapkan meliputi : virus (18
spesies), bakteri (1 1 spesies), parasit (17 spesies) dan mikotik (5 spesies).
Pemeriksaan untuk tindakan pencegahan dan penangkalan bagi penyakit ikan dan
organisme akuatik yang dilakukan di Balai Karantina Ikan di Bandara SoekarnoHatta meliputi pemeriksaan fisik, gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium.
Penemuan
hama
dan
penyakit
ikan
di
laboratorium
akan
didokumentasikan sebelu~n dilakukan tindakan karantina pada ikan atau
organisme akuatik yang bersangkutan. Tindakan karantina dilaksanakan sesuai
dengan :
1. Undang-Undang nomor 16 tahun 1992, tentang Karantina Hewan,
Ikan dan Tumbuhan .
2. Peraturan Pemerintah nomor 15 tahun 2002, tentang Karantina
Ikan.
3. Keputusan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
nomor
Kep.29lMen12002, tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit
Pelaksana Teknis Karantina Ikan.
BAHAN DAN METODA
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di 4 lokasi penarnpungan eksportir ikan hias yang
terletak di Bogor, Cibinong, Bekasi dan Tangerang, dengan menggunakan
peralatan standar pemeriksaan Balai Besar Karantina Ikan, Bandara SukarnoHatta.
Pemeriksaan sampel ikan akan dilaksanakan di Laboratorium Karantina,
Balai Besar Karantina Ikan Bandara Soekarno-Hatta dan Balai Uji Standar
Karantina Ikan Jakarta. Penelitian dilaksanakan selama 25 minggu pada rentang
bulan Februari - Agustus 2005.
Sampel Ikan dan Metoda Pemeriksaan
Sampel ikan yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan hias golongan
tetra dengan jurnlah sampel 3 ekor x 5 jenis ikan hias tetra per minggu yang
diambil dari-4 lokasi peternakan ikan hias di Jabotabek, dengan jenis-jenis ikan
sebagai berikut :
1. Serpae tetra (Hyphessobrycon serpae atau Hyphessobrycon eques)
2. Rossy tetra (Hyphessobrycon bentosi)
3 . Neon tetra (Paracheirodon innesi)
4. Red nose tetra (Hemigrammus bleheri)
5. Emperor tetra (Nematobrycon palmery)
Metoda pemeriksaan yang dilakukan pada sampel ikan meliputi :
1.
Pemeriksaan preparat ulas darah dan cairan tubuh dengan isolasi dan
identifikasi bakteri yang berasal dari insang dan hepatopankreas.
2. Identifikasi parasit dengan melakukan pemeriksaan patologi makroskopis,
pemeriksaan sediaan natif insang dan kerokan kulit dan sirip dilakukan untuk
identifikasi parasit yang diarnati dibawah mikroskop.
3.
Uj i pemeri ksaan histopatologi untuk melengkapi pemeriksaan makroskopis.
Jumlah kejadian penyakit &an dibedakan menjadi 3 golongan yaitu
bakteria!, parasiter dan fungi yarlg dinyatakan dalam persentase dari jumlah
sarnpel yang diambil. Pemeriksaan terhadap penyakit viral tidak dilakukan pada
penelitian ini.
Sampel Air dan Metoda Pemeriksaan
Sampel air diambil dari 4 lokasi peternakan ikan hias di Jabotabek. Pada
setiap sampel air akan dilakukan pemeriksaan parameter-parameter kualitas air
yang sangat berpengaruh pada ikan, yaitu: suhu air, pH, oksigen terlarut,
kesadahan, kadar amonia dan kadar nitrit (Alabaster & Loyd 1980). Parameter
pemeriksaan kualitas air ini merupakan parameter standar pemeriksaan Balai
Karantina Ikan di Indonesia.
Adapun parameter kualitas air dan lokasi pengambilan sampel air dapat
dilihat pada Tabel 7 di bawah ini:
Tabel 7. Parameter kualitas air yang diamati dan lokasi pengamatannya
No.
Parameter yang diamati
Lokasi pengamatan
1.
Suhu
in situ
2.
pH
in situ
3.
Oksigen terlarut
in situ
4.
Kadar Amonia
Laboratoriurn
5.
Kadar Nitrit
Laboratorium
6.
Kesadahan
Laboratorium
Kerangka Kerja Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini dimulai dengan menentukan tempat dan waktu
pengambilan sampel. Setelah tempat dan pengambilan sampel ditentukan, maka
penelitian mulai dilakukan dengan mengambil data suhu udara lingkungan
bersamaan dengan pemeriksaan sampel air dan pengukuran beberapa parameter
kualitas air secara in situ.(suhu air, pH dan DO), sebagian sampel air di bawa ke
laboratorium untuk melanjutkan pemeriksaan parameter kualitas (kesadahan,
kadar arnonia dan nitrit).
Untuk mengidentifikasi hama dan penyakit ikan diambil sampel ikan dan
selanjutnya dilakukan pengamatan di laboratorium (detail prosedur pada
Lampiran 14) dan hasilnya dicocokkan dengan daftar hama dan penyakit ikan
karantina. Adapun kerangka kerja penelitian dapat dilihat dari skema pada
Gambar 6 sebagai berikut:
I
Sarnpel Kualitas Air
Sarnpel Ikan
I
I
Perneriksaan
Penyakit Ikan
Hama dan Penyakit Ikan
I
Korelasi antara Kualitas
Air dengan Penyakit I k a n
Daftar penyakit
karantina
Kep.l7/Men/Z003
Jenis-jenis
Hama dan penyakit
ikan karantina
I
Gambar 6. Kerangka kerja penelitian
Analisis Pengolahan Data
Data-data yang diperoleh pada penelitian ini, terutama rataan kualitas air
dan persentase kejadian penyakit (prevalensi), dianalisis dengan regresi linear
sederhana dan korelasi, dengan model sbb :
Keterangan : Y = Variabel tak bebas kuantitatif dan terukur
X = Variabel bebas
Po= Konstanta
= Koefisien regresi
E,
= Simpangan hasil pendugaan dari nilai sebenarnya,
(Steel & Torrie 1991;Mattjik & Sumertajaya 2002)
Uji signifikansi menggunakan uji-t dan tingkat korelasi akan dinyatakan
dalam koefisien determinasi (Steel & Torrie 1991;Mattjik & Sumertajaya 2002).
Pada analisa data regresi dan antara kualitas air dan jumlah kejadian
penyakit, parameter kualitas air yang paling berpengaruh (suhu air), akan
digunakan sebagai variabel bebas (X) dan jumlah kejadian penyakit menjadi
variabel tak bebas (Y).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rataan hasil pemeriksaan kualitas air dan persentase kejadian penyakit
pada sarnpel ikan di lokasi A (Bogor) disajikan pada Lampiran 11, 12, 13, Tabel 8
d m Garnbar 7 sebagai berikut:
Tabel 8. Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sarnpel ikan di
lokasi A (Bogor) per bulan penelitian.
Deskripsi
Suhu udara ("C)
Suhu air("C)
PH
DO
Kesadahan (mg/l CaC03)
Amonia (mgll)
Nitrit (mgll)
Jenis harna penyakit : (%)
Aeromonas hydrophila
Pseudomonasfluorescens
Argulus sp.
Dactylogyrus sp.
Gyrodactylus sp.
Saprolegnia sp.
Feb
26.5
23.8
6.8
7.9
147.3
0.02
0.03
Mar
26.8
24.3
6.8
7.9
150.0
0.02
0.03
13.3
11.7
20.0
21.7
20.0
13.3
16.7
8.3
20.0
21.7
18.3
15.0
BULAN
Mei
Jun
28.5
28.3
24.8
25.5
7.0
7.1
7.9
7.9
148.8 148.8
0.02
0.02
0.03
0.03
31.7
16.7
11.7
11.7
16.7
11.7
,
30.0
20.0
10.0
13.3
15.0
11.7
Jul
28.5
25.5
7.3
7.9
150.5
0.02
0.03
Ags
28.0
25.0
7.3
7.9
152.0
0.02
0.03
35.0
25.0
10.0
10.0
11.7
8.3
33.3
20.0
13.3
6.7
13.3
13.3
-
-A.
+P.
Suhu
hydmphila
AuoreSCBN
-A@ussP.
~ b 2 t Y l ~ ~ ~ ' p '
+GymdtKtylus=P.
+SapidWasp-
Feb
Mrr
AP~
Mei
Jun
Jld
Agu
Wan
Gambar 7. Grafik hubungan suhu air dengan prevalensi penyakit ikan tetra di
lokasi A (Bogor).
Dari Tabel 8 dan Garnbar 7, dapat diketahui bahwa terdapat
kecenderungan adanya korelasi antara suhu air dengan prevalensi penyakit
bakterial, parasiter dan fungi. Dalam ha1 ini bila suhu air naik, maka prevalensi
bakterial akan cenderung naik, sedangkan prevalensi parasiter dan dan fungi
cenderung akan turun. Sehingga pada bulan-bulan musim hujan, prevalensi
bakterial cenderung rendah sedangkan parasiter dan fimgi cenderung tinggi.
Keadaan yang sebaliknya terjadi di bulan-bulan musim kemarau. Hal ini sesuai
dengan pendapat (Davis et al. 1980) yang menyatakan bahwa pada suhu yang
lebih rendah dari suhu optimumnya, akan menghambat proses sintesa protein
yang disebabkan oleh lemahnya ikatan lipid sehingga pertumbuhan bakteri akan
menurun. Sedangkankan siklus hidup parasit dan jamur akan lebih panjang pada
saat suhu lebih, sehingga tingkat prevalensinya akan menurun.
Rataan hasil pemeriksaan kualitas air dan persentase kejadian penyakit
pada sampel ikan di lokasi B (Cibinong) disajikan pada Lampiran 11, 12, 13,
Tabel 9 dan Gambar 8 sebagai berikut:
Tabel 9. Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sampel ikan di
lokasi B (Cibinong) per bulan penelitian.
Deskripsi
Suhu udara (OC)
Suhu air("C)
PH
DO (rngll)
Kesadahan (rng/l CaCO3)
Amonia (mg/l)
Nitrit (mgil)
Jenis harna penyakit : (%)
Aerontonus Iydroplr ilu
Pseudomonas~uorescens
Argulus sp.
Dactylogyrus sp.
Gyrodactylus sp.
Saprolegnia sp.
Feb
26.5
23.5
6.9
7.9
148.0
0.02
0.03
Mar
27.3
24.8
6.8
8.0
148.5
0.02
0.03
28.5
25.0
6.9
8.0
149.8
0.02
0.03
13.3
13.3
10.0
18.3
20.0
6.7
15.0
13.3
1.7
11.7
13.3
0.0
20.0
16.7
1.7
10.0
5.0
0.0
Apr
BULAN
Mei
Jun
29.0
29.5
25.5
25.8
7.0
7.1
7.9
7.9
148.8 149.8
0.02
0.02
0.03
0.03
25.C
20.0
3.3
8.3
10.0
0.0
23.3
20.0
0.0
6.7
6.7
0.0
Jul
30.0
26.3
7.2
7.9
150.0
0.02
0.03
Ags
30.0
26.0
7.1
7.9
150.0
0.02
0.03
23.3
20.0
0.0
10.0
5.0
0.0
26.7
20.0
0.0
13.3
0.0
0.0
Feb
Ma-
Mei
Jm
Jul
Bulan
Gambar 8. Grafik hubungan suhu air dengan prevalensi penyakit ikan tetra di
lokasi B (Cibinong).
Dari Tabel 9 dan Gambar 8 dapat diketahui bahwa terdapat kecenderungan
adanya korelasi antara suhu air dengan prevalensi penyakit bakterial, parasiter dan
fungi, dalam hal ini bila suhu air naik maka prevalensi bakterial akan cenderung
naik, sedangkan parasiter dan dan fungi cenderung akan turun. Sehingga pada
bulan-bulan musim hujan prevalensi bakterial cenderung rendah, sedangkan
parasiter dan fungi cenderung tinggi. Keadaan sebaliknya terjadi di bulan-bulan
musim kemarau. Hal ini sesuai dengan pendapat (Davis et al. 1980) yang
menyatakan bahwa pada suhu yang lebih rendah dari suhu optimurnnya, akan
menghambat proses sintesa protein yang disebabkan oleh lemahnya ikatan lipid
sehingga perturnbuhan bakteri akan menurun. Sedangkankan siklus hidup parasit
dan jamur akan lebih panjang pada saat suhu lebih, sehingga tingkat prevalensinya
akan menurun
Rataan hasil pemeriksaan kualitas air dan persentase kejadian penyakit
pada sarnpel ikan di lokasi C (Bekasi) disajikan pada Lampiran 11, 12, 13 dan
Tabel 10 serta Gambar 9 sebagai berikut:
Tabel 10. Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sarnpel ikan di
lokasi C (Bekasi) per bulan penelitian.
Deskripsi
Suhu udara ("C)
Suhu air("C)
PH
DO (mg/l)
Kesadahan (mg/l CaCO3)
Amonia (mg/l)
Nitrit (mg/l)
Jenis hama penyakit : (%)
Aeromonas hydrophila
Pseudomonas_fluorescens
Argulus sp.
Dactylogvrus sp.
Gyrodactylus sp.
Saprolegnia sp.
Feb
Feb
28.5
23.3
7.2
7.9
148.5
0.02
0.03
I
Mar
I
BULAN
Mei
Jun
30.0
30.5
25.5
26.0
7.1
7.2
7.9
8.0
148.5 148.5
0.02
0.02
0.03
0.03
Apr
Jul
30.3
26.0
7.2
7.9
147.5
0.02
0.03
Ags
32.0
26.0
7.2
7.9
147.0
0.02
0.03
20.0
6.7
6.7
13.3
11.7
0.0
Mei
Jun
AW
Wan
Gambar 9. Grafik hubungan suhu air dengan prevalensi penyakit ikan tetra di
lokasi C (Bekasi).
Dari Tabel 10 dan Gambar 9 dapat diketahui bahwa terdapat
kecenderungan adanya korelasi antara suhu air dengan prevalensi penyakit
bakterial, parasiter dan fungi, dalam hal ini bila suhu air naik maka prevalensi
bakterial akan cenderung naik, sedangkan parasiter dan dan fungi cenderung akan
turun. Sehingga pada bulan-bulan musim hujan prevalensi bakterial cenderung
rendah sedangkan parasiter dan fungi cenderung tinggi. Keadaan yang sebaliknya
terjadi pada bulan-bulan di musim kemarau. Hal ini sesuai dengan pendapat
(Davis et al. 1980) yang menyatakan bahwa pada suhu yang lebih rendah dari
suhu optimwnnya, akan menghambat proses sintesa protein yang disebabkan oleh
lemahnya
ikatan lipid
sehingga pertumbuhan bakteri
akan
menurun.
Sedangkankan siklus hidup parasit dan jamur akan lebih panjang pada saat suhu
lebih, sehingga tingkat prevalensinya akan menurun.
Rataan hasil pemeriksaan kualitas air dan persentase kejadian penyakit
pada sampel ikan di lokasi D (Tangerang) disajikan pada Lampiran 11, 12, 13
dan Tabel 11 serta Gambar 10 sebagai berikut:
Tabel 11. Rata-rata kualitas air dan persentase penyakit pada sampel ikan di
lokasi D (Tangerang) per bulan penelitian.
Deskripsi
Feb
(
Mar
I
Apr
(
BULAN
Mei
Jun
I
I
I
Jul
Ags
-
suhu
hydrophila
+P.
RwresOens
-A.
-A@ussp.
*DktylOgyM
SP.
-Gyrodactylus
SP.
tswdegniasp.
Feb
Mar
Me1
Jun
Jul
Butan
Gambar 10 Grafik hubungan suhu air dengan prevalensi penyakit ikan tetra di
lokasi D (Tanggerang).
Dari Tabel 11 dan Gambar 10 dapat diketahui bahwa terdapat
kecenderungan adanya korelasi antara suhu air dengan prevalensi penyakit
bakterial, parasiter dan fungi, dalam ha1 ini bila suhu air naik maka prevalensi
bakterial akan cenderung naik, sedangkan parasiter dan dan fungi cenderung akan
turun. Sehingga pada bulan-bulan musim hujan prevalensi bakterial cenderung
rendah, sedangkan parasiter dan fungi cenderung tinggi. Keadaan yang sebaliknya
terjadi pada bulan-bulan musim kemarau. Hal ini sesuai dengan pendapat (Davis
et al. 1980) yang menyatakan bahwa pada suhu yang lebih rendah dari suhu
optimumnya; akan menghambat proses sintesa protein yang disebabkan oleh
lemahnya
ikatan
lipid
sehingga pertumbuhan
bakteri
akan
menurun.
Sedangkankan siklus hidup parasit dan jamur akan lebih panjang pada saat suhu
lebih, sehingga tingkat prevalensinya akan menurun.
Rataan hasil pemeriksaan kualitas air dan persentase kejadian penyakit
pada sarnpel ikan yang bertujuan mengetahui perbandingan prevalensi kejadian
penyakit selama bulan Februari hingga Agustus 2005 di lokasi-lokasi yang
berbeda
di Jabotabek
dapat dilihat pada Tabel 12 dan Gambar 11, serta
Lampiran 2.
Tabel 12. Rata-rata kualitas air clan persentase penyakit pada sampel ikan selama
25 minggu penelitian
Deskripsi
Suhu udara (OC)
Suhu air("C)
PH
DO (mgfl)
Kesadahan (mgll CaC03)
Amonia (mgll)
Nitrit (mg/l)
Jenis hama penyakit : (%)
Aeromonas hydrophila
Pseudomonasfluorescens
Argulus sp.
DactyIogyrus sp.
Gyrodactylus sp.
Saprolegnia sp.
S u h u
Bogor
Cibinong
Bekasi
*A.
hydrophila
*P.
mr€-
Tanggerang
LOKASI PENELlTlAN
Gambar 11. Hubungan suhu air rata-rata dengan prevalensi penyakit ikan tetra
di semua lokasi penelitian.
Dari Tabel 12 dan Gambar 11 dapat diketahui bahwa rataan hasil
pemeriksaan pada sampel air selama 25 minggu menunjukkan suatu h a i l yang
hampir seragam, lokasi-lokasi pemeriksaan yang berbeda (A di Bogor, B di
Cibinong, C di Bekasi dan D di Tangerang) yang secara klimatologi agak berbeda,
tampak telah di antisipasi oleh pengelola lokasi penampungan 1 peternakan ikan
dengan manajemen air yang cukup baik.
Selisih suhu air dan parameter mutu air lainnya di lokasi Cibinong, Bekasi
dan Tangerang yang secara klimatologi memiliki suhu lingkungan yang lebih
panas, dengan lokasi terletak di Bogor dengan suhu lingkungan yang lebih rendah,
tarnpak telah mendekati seragam, yang berarti pengusaha di lokasi Cibinong,
Bekasi dan Tangerang berusaha untuk memperbaiki kualitas air dengan
manajemen yang cukup intensif.
Paramete* b a l i t a s Air
Perbandingan rata-rata nilai parameter kualitas air selama 25 minggu
penelitian (Lampiran 2) dengan kualitas air menurut Langdon (1988) dapat dilihat
pada Tabel 13.
Tabel 13. Perbandingan kualitas air penelitian dengan standar Langdon.
Deskripsi
Suhu udara (" C)
Suhu air (" C)
pH
DO (mgll)
Kesadahan (mgll)
Amonia (mgll)
Nitrit ( m ~ l l )
A
27,8
24,72
6.99
7.87
149.48
0.02
0.03
Langdon
Lokasi Penelitian
Aman I Bahaya
D
C
B
29.76 30.32
28.52
Tergantung spesies
25,24 25,34
25,16
7.16
7.25
6,7 - 8,6 <4-5 ;>9-10
6.98
<3
>O
7.87
7.87
7.91
>200
149.16 148.44 150.92 20 - 200
>0,2- 1,O
<0,02
0.02
0.02
0.02
>2,0
<O, 1
0.03
0.03
0.03
Sumber : Langdon (1988)
Keterangan : A=Bogor, B=Cibinong, C=Bekasi, D=Tangerang
Suhu air
Secara umum tampak bahwa semua parameter kualitas air telah
menunjukkan kisaran angka aman bila dibandingkan dengan standar kualitas air
menurut Langdon (1988), tetapi pada rata-rata parameter suhu air terdapat
perbedaan yang dapat menggambarkan stratifikasi suhu air pada masing-masing
lokasi dan akan berpengaruh pada kesehatan ikm. Tabel 13 menunjukkan bahwa
rataan suhu air terendah ditemukan di lokasi A (Bogor), yaitu 24,72 "C;
selanjutnya B (Cibinong), yaitu 25,16 "C; C (Bekasi),yaitu 25,24 "C; dan D
(Tangerang) 25,34 "C.
Lebih lanjut Effendi (2000) menyatakan bahwa suhu air akan sangat
dipengaruhi oleh musim, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, awan,
aliran air, kedalaman air dan perubahan suhu akan berpengaruh terhadap proses
fisika, kimia dan biologi air. Hal ini tampaknya sesuai dengan hasil penelitian
dalam ha1 ini lokasi A (Bogor) adalah lokasi tertinggi di antara ke 3 lokasi yang
lain, sedangkan lokasi D (Tangerang) adalah lokasi terendah.
Suhu lingkungan tempat tinggal adalah salah satu komponen dalam faktor
determinan makroklimat yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan suatu
populasi (Thrusfield 1995 ; Slauson et al. 1990), dalam ha1 ini suhu air adalah
faktor determinan yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan ikan yang hidup di
dalarnnya.
Perbedaan psda suhu air juga dipengaruhi oleh suhu udara lingkungan.
Boyd (1988) menyatakan bahwa strata suhu pada permukaan air hingga
kedalaman 1 meter dari permukaannya, disebut sebagai lapisan epilimnion dan
akan terpengaruhi oleh suhu lingkungan sekitarnya antara 2
O C
-4
OC.
Tingkat
kejernihan air juga sangat mempengaruhi penyerapan panas udara lingkungan, ha1
ini disebabkan oleh adanya penyerapan panas udara lingkungan oleh partikelpartikel yang terdapat dalam air, sehingga bila air semakin keruh maka tingkat
penyerapan panas akan semakin cepat dan semakin tinggi panas yang diserapnya.
pH
pH berhubungan erat dengan kesadahan air. Kesadahan air berhngsi
sebagai buffer dalarn perairan, yang menjaga fluktuasi ion-ion dalam air, sehingga
nilai pH menjadi stabil.
Rataan nilai pH air pada sampel air relatif hampir seragam di semua
lokasi, Tebbut (1992) menyatakan bahwa pH hanya menggarnbarkan konsentrasi
ion hidrogen, karena molekul air akan selalu membentuk keseimbangan reaksi
antara ion H: d m OH-., pH dan asiditas adalah dua ha1 yang agak berbeda karena
asiditas air dipengaruhi oleh 2 komponen, yaitu jumlah asam (asam kuat atau
asam
lemah)
dm
konsentrasi
ion
hidrogen,
sehingga
asiditas
lebih
menggambarkan kemampuan air untuk menetralkan sifat basa hingga mencapai
pH tertentu (base-neutralizing capacity : BNC) (Anonim 1976).
Rataan hasil penelitian pada Ta.bel 13 menunjukkan bahwa ke empat
lokasi memiliki rataan pH yang hampir sama, yaitu: A (Bogor) sebesar 6,99; B
(Cibinong) sebesar 6,98; C (Bekasi) sebesar 7,16; dan D (Tangerang) sebesar
7,25. Perbandingan dengan parameter kualitas air yang arnan untuk mahluk hidup
menurut Langdon (1988), yaitu pada kisaran pH 6,7 - 8,6, menguatkan hasil
penelitian bahwa pH air sampel dalam batas aman lingkungan hidup untuk ikan
hias.
Oksigen terlarut (DO)
Oksigen terlarut dapat dikatakan sebagai faktor paling penting dalam
kehidupan ikan. Tanpa oksigen terlarut dalam air ikan tidak dapat hidup. Kadar
kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh banyak faktor: diantaranyz suhu. .
Makin tinggi suhu, maka kelarutan oksigen dalam air semakin rendah. Padahal
semakin tinggi suhu, metabolisme juga meningkat sehingga kebutuhan oksigen
pun meningkat (Anonim 1992).
Kurangnya kandungan oksigen terlarut pada akuariurn dapat menjadi salah
satu faktor penyebab stress pada ikan. Dalam keadaan stress, pemafasan pada
ikan meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat. Hal ini mendorong ikan
untuk melepaskan cadangan sel darah merah ke dalam sirkulasi darah. Keadaan
ini menyebabkan menurunnya fungsi osmoregulasi ikan dan gangguan pada
sistem pertahanan terhadap penyakit (Floyd 2001).
Rataan hasil pemeriksaan sampel air untuk kadar oksigen terlarut (DO)
pada Tabel 13 memberikan hasil yang relatif seragam, yaitu: A (Bogor) sebesar
7,87 mgll; B (Cibinong) sebesar 7,91 mg/l; C (Bekasi) sebesar 7,87 mg/l; dan D
(Tangerang) sebesar 7,87 mgll; dan menurut Langdon (1988) masih berada dalam
kisaran aman untuk mahluk hidup, yaitu > 6 mg/l .
Effendi (2000) menyatakan bahwa kadar oksigen terlarut sangat bervariasi,
tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Kadar
oksigen akan berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, bertambahnya
ketinggian dan berkurangnya tekanan atmosfer.
Kesadahan air
Kesadahan air menggambarkan kadar kation logarn divalen yang dapat
bereaksi dengan anion-anion dalam air dan akan membentuk endapan atau karat
pada logam, sedangkan pada air tawar kation divalen yang terbanyak adalah
kalsium dan magnesium yang akan berikatan dengan anion penyusun alkalinitas
yaitu bikarbonat dan karbonat (Effendi 2000).
Kesadahan air sangat berpengaruh pada pH dan kestabilan pH. Selain itu,
kesadahan juga akan mempengaruhi toksisitas dari banyak substansi yang ada di
perairan. Peranan yang tidak kalah penting dari kesadahan adalah peranannya
dalam menjaga kestabilan osmoregulasi pada ikan. Osmoregulasi adalah proses
penting bagi 'ikan untuk menjaga keseimbangan konsentrasi ion-ion dalam
tubuhnya. Apabila proses osmoregulasi terganggu, maka ikan tidak bisa menjaga
keseimbangan ion-ion dalam tubuhnya, sehingga ikan air tawar akan menyerap air
secara berlebihan dari lingkungan (Anonim 2006a).
Kesadahan air yang tinggi menunjukkan bahwa air tersebut mengandung
kalsiurn, magnesium, karbonat dan sulfat yang tinggi (Brown 1987). Kesadahan
yang tinggi membuat proses osmoregulasi lebih mudah bagi ikan karena lebih
sedikit air yang masuk dan sangat penting dalam kasus-kasus infeksi bakteri,
dimana air dapat mengalir masuk ke jaringan yang terbuka (Anonim 2006a).
Setiap spesies ikan mempunyai kebutuhan akan tingkat kesadahan air yang
berbeda-beda. Kebanyakan ikan-ikan hias air tawar memerlukan total kesadahan
antara 100 - 300 mglliter CaC03.
Rataan hasil pemeriksaan sampel air untuk kesadahan pada Tabel 13,
memberikan hasil yang relatif seragam, yaitu: A (Bogor) sebesar 149,48 mgll; B
(Cibinong) sebesar 149,16 mgll; C (Bekasi) sebesar 148,44 mgll; dan D
(Tangerang) 150,92 mgll; dan menurut Langdon (1988) masih berada dalam
kisaran aman untuk mahluk hidup, yaitu pada kisaran 20 - 200 mgll.
Amonia
Kadar amonia dalslln air sangat dipengaruhi oleh pH, karena sebagian
besar amonia akan mengalami ionisasi pada pH 7 atau kurang, sedangkan pada pH
di atas 7 amonia tidak terionisasi dan akan bersifat toksik (Novotny & Olem
1994).
Rataan hasil pemeriksaan sampel air untuk kadar amonia pada Tabel 13,
memberikan hasil yang sama untuk keempat lokasi yaitu 0,02 mgll, yang
menunjukkan bahwa rataan kadar amonia masih berada dalam batas aman
menurut Langdon (1 988), yaitu < 0,02 mg/l.
Nitrit
Sumber nitrit adalah limbah yang terdapat dalam air, karena adanya nitrit
menggarnbarkan adanya proses biologis perubahan bahan organik dengan kadar
oksigen terlarut yang rendah (Moore 1991 ; Sawyer & Mc Carty 1978). Selain itu
nitrit tidak stabil bila terdapat oksigen.
Rataan hasil pemeriksaan sampel air untuk kadar nitri t, memberikan hasil
yang seragam yai!u 0,03 nlgll, dan menurut Langdon (1988) rataan kadar nitrit
sampel air masih berada dalam kisaran aman untuk mahluk hidup, yaitu < 0,l
mgll.
Persentase Kejadian Penyakit
Pada penelitian ini diperiksa sebanyak 1500 ekor sampel ikan tetra dari
empat lokasi yang berbeda selama 25 minggu, atau 15 ekor sampel ikan dengan 5
jenis yang berbeda per minggu ( 3 ekor per jenis ikan).
Jenis penyakit yang ditemukan dinyatakan sebagai persentase dari jumlah
sampel yang diperiksa per minggu per lokasi atau :
Persentase kejadian penyakit = nil5 x 100 %, dalam ha1 ini n = jumlah kasus
I
Persentase kejadian penyakit yang tampak perbedaan yang cukup tinggi di
antara masing-masing lokasi dapat dilihat pada Gambar 12. Secara urnum tampak
bahwa kasus penyakit bakterial lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan
penyakit parasiter. Sedangkan kasus fungi (Saprolegnia sp.) hanya ditemukan di
lokasi A (Bogor) dan B (Cibinong) dengan persentase kejadian penyakit 12,OO
.
Rataan Suhu Air (C)
+A. hydrophila
+Dactylogyrus sp.
P.fluorescens
X Gyrodactylus sp.
Argulus sp
Sapmlegnia sp
I
Gambar 12. Sebaran suhu air dengan prevalensi penyakit
Aeromonas hydrophila
Aeromonas hydrophila adalah bakteri Gram negatif, batang dengan
ujung membulat, berdiameter 0.3-1.0 pm X 1.0-3.5 pm., tidak mempunyai
tahapan spors, motil, dan merupakan bakteri fakultatif anaerobic. Aeromonas
hydrophila tumbuh optimal pada suhu 22-28"C, bahkan kadang-kadang dapat
tumbuh dengan baik pada suhu 37°C.
Persentase penyakit yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila
tertinggi didapatkan di lokasi C (Bekasi) sebesar 25,87%.kemudian berturut-turut
di lokasi A (Bogor ) 25,07 %, D (Tangerang) 2 1,07 % dan B (Cibinong) 20,27%.
Gejala yang tampak pada sampel ikan akibat infeksi bakteri ini adalah
adanya luka-luka pada permukaan tubuh, kerontokan sirip dan perdarahan pada
otot, dan dapat dilihat pada Gambar 13 Luka terbuka pada ikan yang terinfeksi
Aeromonas biasanya ditemukan pada bagian kulit kepala, bagian tengah badan
dan daerah dorsal ikan, karakterisitik dari luka-luka ini disebut dengan epizootic
ulcerative syndrome ( E U S ) (Rahrnan et al. 2002). atau disebut juga dengan
furunculosis (Rabaan et al. 200 1 ).
Hasit analisa statistika untuk mengetahui korelasi antara suhu air dan
prevalensi penyakit yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila
(Lampiran 4) di empat lokasi penelitian memberikan hasil korelasi yang sangat
signifikan (P > 0,Ol) dengan persamaan regresi : Y
=
- 109,73 + 5,28 Xi + e, dan
koefisien determinasi 0,7407 atau 74,07 % keragarnan penyakit yang disebabkan
oleh Aeromonas hydrophila dapat diterangkan oleh faktor suhu air.
Pada dasamya Aeromonas hydrophila
bukan patogen utarna, untuk
menjadi patogen diperlukan kondisi stres yang disebabkan oleh perubahan
lingkungan
seperti : densitas yang tinggi, kenaikan suhu air, kelarutan oksigen
yang rendah dan adanya partikel organik dalam jumlah yang cukup besar dalarn
air (Munday 1988).
Gambar 13. Ikan tetra dengan infeksi Aeromonas hydrophila
Secara umum tampak bahwa kejadian penyakit yang disebabkan oleh
Aeromonas hydrophila ada di setiap lokasi penelitian, sehingga dapat dikatakan
bahwa bakteri ini endemis untuk daerah Jabotabek. Hal ini dikuatkan oleh hasil
penelitian Dalimunthe (1989) yang menyimpulkan bahwa bakteri Gram negatif
adalah bakteri yang paling banyak menimbulkan penyakit pada ikan dan lebih
kurang 63,6 % mikroorganisme penyebab penyakit bakterial pada ikan-ikan air
tawar termasuk dalam genus Aeromonas sp., yang telah tersebar ke seluruh dunia.
Pseudomonnsjluorescens
Pseudomonns ,fluorescens adalah bakteri Gram negatif, berbentuk batang,
berukuran 0.5
-
0 .8pm X 1 - 3 pm, aerobik, motil dengan polar flagella,
oksidatif, kemoorganotropik metabolisme, tidak memerlukan faktor organik untuk
tumbuh. Pseudornonasfluorescens turnbuh dengan optimal pada suhu 24 - 30°C.
Taksonomi
Pseudomonas Juorescens
adalah
sebagai
berikut:
Phylum:
Proteobacteria, Klas: Gammaproteobacteria, Ordo: Pseudomonadales, Famili:
Pseudomonadaceae,Genus: Pseudomonas, Spesies: Pseudomonas jluorescens
(Migula 1895).
Infeksi oleh bakteri ini biasa terjadi pada ikan karper, ikan nila merah,
ikan hias tropis dan ikan jenis-jenis salmon, timbulnya gejala klinis berhubungan
langsung dengan stres lingkungan, terutarna suhu air yang tinggi dan densitas
yang tinggi (Munday 1988).
Kasus penyakit yang disebabkan oleh Pseudomonas jluorescens
ditemukan di iokasi A (Bogor) 16,00%, B (Cibinong) 17,33%, C (Bekasi) 16,27%
dan D (Tangerang) 9,6 %. Pada Gambar 14 dapat dilihat gejala yang tampak pada
sampel ikan akibat infeksi bakteri ini adalah adanya perdarahan otot, perdarahan
peritoneum, perdarahan pada pangkal sirip.
Gambar 14. Ikan tetra dengan infeksi Pseudomonas~uorescens
Hasil analisa statistika untuk mengetahui korelasi antara suhu air dan
prevalensi penyakit yarig ciisebabkan oleh bakteri Pseudomonas fluorescens
(Lampiran 5 ) di empat lokasi penelitian memberikan hasil korelasi yang sangat
signifikan (P > 0,Ol) dengan persamaan regresi : Y
=
- 109,02 + 4,93 Xi + e, dan
koefisien determinasi 0,8094 atau 80,94% keragarnan penyakit yang disebabkan
oleh Pseudomonasfluorescens dapat diterangkan oleh faktor suhu air.
Korelasi antara suhu air dan prevalensi penyakit bakterial
Suata ha1 yang menarik bahwa terdapat pola regresi yang sama di
dapatkan pada persamaan regresi penyakit yang disebabkan oleh Aeromonas
hydrophila dan Pseudomonasfluorescens , dalam ha1 ini bila suhu air meningkat
maka angka prevalensi juga akan meningkat. Kecenderungan antara peningkatan
suhu air
dan
peningkatan prevalensi kejadian penyakit dapat dilihat pada
Ganlbar 1 5.
Langdon (1988) yang menyatakan bahwa bila suhu air meningkat secara
fluktuatif maka terdapat kecenderungan peningkatan kecepatan multiplikasi
patogen, terutama bakteri, atau dengan kata lain suhu air yang sangat dipengaruhi
oleh suhu udara, akan mempunyai pengaruh kuat pada jumlah kejadian penyakit
bakterial pada ikan.
Kemungkinan lain yang berkaitan dengan ha1 ini adalah pada suhu air
yang tinggi maka kadar oksigen terlarut akan menurun, sedangkan pada saat yang
sama laju metabolisme pada ikan akan meningkat, termasuk diantaranya adalah
kebutuhan oksigen semakin meningkat (Whiting & Carolane 1983 ; Chessman &
Robinson 1987 ; Mc.Neely et al. 1979), sehingga terdapat kecenderungan ikan
tidak mendapatkan kebutuhan oksigen dengan cukup, dan ha1 ini akan bersifat
sebagai stresor pada ikan.
Umumnya, penyakit penyakit bakterial pada ikan hias disebabkan oleh
bakteri opertunistik, dimana kebanyakan infeksi bakteri itu disebabkan perubahan
dalarn hubungan bakteri dan ikan. Bakteri-bakteri ini sudah ada diperairan tetapi
tidak selalu dapat menyebabkan peyakit pada ikan. Dalarn kondisi normal,
bakteri-bakteri ini tidak terlalu berbahaya bagi kesehatan ikan, karena ikan
mampu bertahan terhadap serangan penyakit dengan berbagai mekanisme sistem
imun. Namun, jika jumlah atau virulensi patogen meningkat dan daya tahan ikan
menurun karena adanya faktor-faktor penyebab stres, baik itu secara kimia
maupun secara fisika., maka ikan akan terinfeksi (Anonim 2006a).
Bakteri opportunis akan menjadi patogenik bila: terjadi kerusakan
integumen (kulit) karena abrasi akibat aktifitas parasit atau karena kerusakan
secara kimia (akibat ammonia, nitrit atau tinggi rendahnya pH), dikarenakan
pertahanan normal tertekan akibat perubahan lingkungan dan penyakit seperti:
buruknya kualitas air, parasit, padat tebar tinggi, dan perubahan suhu.
Hal yang sama didapatkan dari hasil penelitian Callinan (1988) yang
menunjukkan adanya korelasi yang positif antara peningkatan suhu air dengan
jurnlah kejadian penyakit oleh infeksi Aeromonas hydrophila dan Pseudomonas
ji'uorescens pada ikan Geotria australis. Kebanyakan bakteri dapat berkembang
dengan baik pada suhu lebih dari 30°C, dan kisaran tekanan osmosis dan pH yang
besar. Orgarisme ini dapat dengan mudah menyesuaikan diri dan memperbaiki
struktur dan fungsi
makromolekulnya. Pzda saat suhu meningkat biosintesa
ellzim lneningkat pula. Tapi pada suhu yang rendah, laju pertumbuhan menjadi
terhambat, karena menurunnya kepadatan membran lipid, yang ditandai dengan
menurunnya sintesa protein (Davis et al. 1980). Hal ini membuktikan bahwa pada
saat suhu meningkat kegiatan pertumbuhan bakteri akan meningkat pula, sehingga
prevalensi bakteri banyak terjadi pada saat suhu air lebih hangat.
35
30
25
3
5 20
c
-? 15
0
!I!
0.
10
5
0
23
23.5
24
24.5
25
25.5
26
26.5
Rataan Suhu Air (C)
A.hydmphib (Y= 109,73+5,28 X h
L i n e a r (A.hydrophila C/= -109,73+6,28 Xi*)
P.fluorescens (Y= -109,02+4,93Xi+e)
--Linear
(P.fluoruscens (Y= -109,02+4,93Xi+e))
Gambar 15. Korelasi suhu air dengan penyakit bakterial
Hasil pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi digunakan untuk menambah data yang berasal
dari temuan secara makroskopis dan isolasi parasit, pada penelitian digunakan
sampel ikan hias sehat dari lokasi B (Cibinong) dan Lokasi A(Bogor). Hasil
pemeriksaan pada sampel ikan sehat dari lokasi A(Bogor) menunjukkan adanya
myositis dan peritonitis, juga ditemukan adanya kista protozoa (Pleistophora sp.)
pada otot. Hasil pemeriksaan histopatologi dapat dilihat pada Gambar 16.
Pleistophora sp. terrnasuk agen penyakit golongan 1 yang berarti ikan pembawa
penyakit hams dimusnahkan menurut Kepmen no 17 tahun 2003.
Hasil pemeriksaan patalogi anatomi pada beberapa sampel ikan yang tidak
menunjukkan gejala klinis atau terlihat dalam keadaan sehat yang berasal dari
lokasi B (Cibinong) memberikan hasil bakterial peritonitis dan enteritis viral non
spesifik.
Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan bahwa walaupun sampel
ikan tidak menunjukkan gejala klinis yang terlihat, tetapi ternyata hasil
pemeriksaan membuktikan bahwa sampel ikan terinfeksi oleh bakteri patogen,
virus dan protozoa.
Gambar 16. Kista Pleistophora sp., pada jaringan otot ikan Neon Tetra yang
mengalami peradangan graqulomatosa. (K= kista Pleistophora sp.,
G=: fokus granuloma), pewarnaan H&E
Pleistophora hyphessobrycon diketahui menyerang 18 jenis ikan tetra,
beberapa jenis ciclid seperti, manvis, dan cyprinid, seperti barb dan rasbora, juga
dapat terinfeksi. Gejalanya warna ikan memucat dan disertai hilangnya garis
merah. Bila infeksinya ringan tidak terlihat adanya gejalanya. Bila infeksinya
berat (parah) akan kehilangan warna merah dan timbul bercak-bercak di bawah
kulit. Organ lain yang diserang adalah usus, ovarium. Penyakit ini baru narnpak
setelah 2 - 4 minggu. Ukuran spora 4 x 6pm. Pansporoblast berukuran 26 - 33pm.
Setiap spora mempunyai satu polar filament dan mengandung sporoplasma (BUS
-Jakarta 2005,. Canning & Hazard 1982).
Argulus sp.
Argulus sp. (Gambar 1'7) termasuk kelas crusfacea yang berbentuk iiutu
penghisap darah, gejala klinis yang khas pada ikan adalah adanya erosi pada
epidermis (Butler 2005, Robert 2005, Widayanti 2003). Ektoparasit ini
digolongkan dalarn subklas branchiura, ditemukan pada ikan air tawar dan ikan
laut, menyebabkan kerugian yang sangat besar pada industri budidaya salmon
(Heckmann 2003).
Gambar 17. Argulus sp. KOH, pembesaran 400 x.
Kejadian penyakit yang disebabkan oleh Argulus sp. ditemukan di lokasi
A (Bogor) 14,67 %, B (Cibinong) 2,67 %, C (Bekasi) 2,93% dan D (Tangerang)
0,80%. Angka prevalensi di lokasi A (Bogor) tertinggi diantara ke tiga lokasi yang
iain, diduga ha1 ini disebabkan oleh metoda pemeliharaan ikan di lokasi A yang
ditampung di dalam kolam di luar ruangan, sedangkan di tiga lokasi yang lain
ikan dipelihara di dalarn akuarium di dalam ruangan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Heckmann (2003) yang menyatakan bahwa Argulus sp. mudah
ditemukan pada ikan liar atau ikan yang dipelihara dalam kolam dan jarang
ditemukan pada ikan yang dipelihara dalam akuarium.
Hasil analisa statistika untuk mengetahui korelasi antara suhu air dan
prevalensi penyakit yang disebabkan oleh Argulus sp. (Larnpiran 6) di empat
lokasi penelitian memberikan hasil korelasi yang sangat signifikan (P > 0,Ol)
dengan persamaan regresi : Y
=
84,75 - 3,16 Xi
+ e, dan koefisien determinasi
0,6667 atau 66,67% keragaman penyakit yang disebabkan oleh Argulus sp. dapat
diterangkan oleh faktor suhu air.
Dactylogyrus sp.
Dactyloayrus sp. adalah klas trematoda, sub klas monogenea yang
mempunyai ciri-ciri: bentuknya pipih menyerupai daun, mempunyai 4 (empat)
titik mata, sepasang kait besar dan 7 (tujuh) pasang kait kecil (Gambar 18).
Dactylogyrus sp. adalah parasit ovivipar yang bertelur dan biasanya menempel
pada insang. Telur itu kemudian berkembang menjadi onchomiricidium yang
menempel pada ikan dan menyerang ikan-ikan pada air tawar. Target organ pada
ikan umumnya adalah insang (Grabda 1991). Parasit dewasa akan melekat pada
insang kemudian telurnya menetas menjadi larva yang dinarnai onchomiricidium
yang kemudian mencari ikan lain dan menginfeksi ikan tersebut. Kejadian
penyakit yang disebabkan oleh Dactylogyrus sp. terdapat di semua lokasi
penelitian,
dengan
prevalensi 16,OO % (A), 10,93 % (B), 6,67% (C) dan
6,93 % (D).
Gambar 18. Dactylogyrus sp. carmine, 400 x.
Hasil analisa statistika untuk mengetahui korelasi antara suhu air dan
prevalensi penyakit yang disebabkan oleh Dactylogyrus sp. (Lampiran 7 ) di
empat lokasi penelitian memberikan hasil korelasi yang sangat signifikan (P >
0,Ol) dengan persamaan regresi : Y
=
119,7 - 4,36 Xi
+ e,
dan koefisien
determinasi 0,7030 atau 70,30% keragaman penyakit yang disebabkan oleh
Dactylogyrus sp. dapat diterangkan oleh faktor suhu air.
Gyrodactylus sp.
Gyrodacty1u.s sp. ternlasuk pada klas trematoda, sub klas monogenea yang
mempunyai ciri-ciri: bentuk kepala menyerupai huruf V, ada 2 (dua) pasang titik
mata, vivar, menginfeksi sebagian besar jenis ikan, mempunyai 2 (dua) kait besar
dengan 16 kait kecil, mempunyai organ untuk menempel (haptor), menyerang
kulit sirip dan insang
(Garnbar 19). Siklus hidupnya, parasit dewasa
menghasilkan larva yang dilepaskan ke perairan dan menempel dengan cepat ke
inang lain.
Gejala klinis akibat parasit ini adalah ikan benvarna pucat, sirip melipat,
kulit berlendir, terdapat bintik darah pada kulit dan pangkal sirip, insang tidak
dapat menutup, terdapat perdarahan pada insang (Butler 2005, Robert 2005,
Widayanti 2003).
Kejadian penyakit yang disebabkan oleh Gyrodactylus sp. terdapat di
semua lokasi penelitian, dengan persentase kejadian penyakit 16,27 % (A, Bogor),
9,6 % (ByCibinong), 7,2% (C, Bekasi) dan 6,4% (D, Tangerang).
Hasil analisa statistika untuk mengetahui korelasi antara suhu air dan
prevalensi penyakit yang disebabkan oleh Gyrodactylus sp. (Lampiran 8) di
empat lokasi penelitian memberikan hasil korelasi yang sangat signifikan (P >
0,Ol) dengan persamaan regresi : Y
=
118,82 - 4,34 Xi
+ e, dan koefisien
determinasi 0,6950 atau 69,50 % keragaman penyakit yang disebabkan oleh
Gyrodactylus sp. dapat diterangkan oleh faktor suhu air.
Gambar 19. Gyrodactylus sp. carmine, 400 X
Korelasi antara suhu air dan prevalensi penyakit parasiter
~ u a t uha1 yang menarik bahwa terdapat pola regresi yang sama di
dapatkan pada persamaan regresi penyakit yang disebabkan oleh Dactylagyrus sp.
dan Gyrodactylus sp., dalam ha1 ini bila suhu air menurun maka angka prevalensi
juga akan meningkat.
Terdapat suatu hubungan yang erat antara rendahnya suhu air dan
tejadinya penyakit yang disebabkan oleh protozoa pada ikan, seperti yang
ditemukan pada Paralichthys dentatus yang terinfeksi oleh Trypanoplasma
bullocki (Burreson & Zwerner 1984). Langdon et al. (1985) menyatakan bahwa
terjadinya infeksi parasiter pada ikan disebabkan oleh faktor predisposisi yang
disebabkan bila suhu air semakin rendah maka respon imun ikan juga akan
semakin menurun.
Penelitian ini mengindikasikan bahwa suhu merupakan faktor penting
pada terjadinya kelimpahan parasit, terutama monogenea (Koskivaara 1992).
Siklus hidup parasit sangat tergantung oleh suhu. Proses dalam siklus hidup
parasit akan terharnbat jika suhu meningkat dan akan lebih cepat pada suhu
rendah.. Namun, hams diingat bahwa suhu bukan satu-satunya faktor yang
berperan dalam perturnbuhan parasit, karena peningkatan populasi parasit
memang terjadi pada saat suhu menurun (Chubb 1977).
Untuk mengetahui hubungan
prevalensi kejadian penyakit parasiter
dengan suhu air dapat dilihat pada Gambar 20.
Argulus sp (Y*,75
3,16Xi*e)
20
x
15
X
c.
55
'5
= 10
t
6
0
-a
-
Dactylogyrus sp (Y=119.7
- 4,36Xi*e)
Gyrodactylus sp
( Y 4 18,82 - 4,34Xi*6)
Linear (Argulus sp
(Y384,75 - 3,16Xi*e))
.-Linear (Dactylogyrus sp
-
-
( ~ 4 1 9 ,4,36xi*e))
~
Linear (Gyrodactylus sp
( Y 4 18,82 4 , 3 4 X i ) )
5
-
0
23
23.5
24
24.5
25
25.5
26
26.5
Rataan Suhu Air (C)
Gambar 20. Korelasi suhu air dengan penyakit parasiter
Saprolegnia sp.
Saprolegnia sp. adalah genus dari jamur yang menginfeksi ikan dan telur
ikan air tawar. Saprolegnia sp. adalah jamur air yang mempunyai oogonia dan
oospora.Perkembang-biakkannya secara a-seksual. Ujung hyphanya membesar
d m diisi dengan protoplasma padat yang akan membentuk suatu oogonium
berbentuk bola. Telur berbentuk bola terpisah dari protoplasma d m membentuk
oospora. Oospora dapat bertahan terhadap gangguan cuaca dan iklim selama
bertahun-tahun, dan akan memulai kehidupan yang baru apabila kondisi sudah
memungkinkan.
Pada penelitian hanya satu jenis fungi yang ditemukan sebagai penyebab
kejadian penyakit fungi pada sampel ikan hias penelitian, yaitu Saprolegnia sp.
Kejadian penyakit yang disebabkan oleh Saprolegnia sp. ditemukan di lokasi A
(Bogor) 12,OO %.dan B (Cibinong) 1,07 %, ha1 di duga berkaitan dengan suhu
udara dan suhu air yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan 2 lokasi yang
lain.
Gejala klinis pada
ikan yang terinfeksi
oleh Saprolegnia sp.,
menampakkan koloni fungi berbentuk seperti kapas benvarna putih atau abu-abu
pada kulit atau insang, pada kasus berat akan terjadi kerusakan jaringan yang
menyebabkan terjadinya nekrosis (Carlson 2005).
Jenis fungi ini biasa ditemukan pada air tawar, air yang kotor dan tanah
yang basah, dapat hidup pada rentang suhu antara 3" C - 3 1" C, tetapi jauh lebih
subur pada air yang dingin (Butler 2005; Carlson 2005; Robert 2005).
Pada Gambar 2 1 terlihat jamur Saprolegnia sp. yang menyerang kulit ikan.
Hal ini terlihat adanya hyphae yaitu filamen yang terbentuk dari jamur saprolegnia
fase dewasa, dan terlihat mycelium yaitu kumpulan hyphae yang membentuk
masa yang penarnpakannya seperti kapas.
Hasil analisa statistika untuk mengetahui korelasi antara suhu air dan
prevalensi penyakit yang disebabkan oleh Saprolegnia sp. (Larnpiran 9) di empat
lokasi penelitian memberikan hasil korelasi yang sangat signifikan (P > 0,Ol)
dengan persamaan regresi : Y
=
30,71 - 1,09 Xi
+ e, d m
koefisien determinasi
0,353 1 atau 35,3 1 % keragaman penyakit yang disebabkan oleh Saprolegnia sp.
dapat diterangkan oleh faktor suhu air.
Gambar 21. Ikan tetra dengan infeksi Saprolegnia sp.
Infeksi fungi ini biasa disebut dengan saprolegniasis dan biasa terjadi
sebagai infeksi sekunder setelah terjadi kerusakan integumen kulit dan insang
pada ikan karena infeksi parasit, bakteri atau virus, dengan faktor predisposisi
densitas yang tinggi dan rendahnya mutu air. Sangat jarang fungi ini menjadi
patogen secara primer, tetapi pada beberapa kasus infeksi primer oleh fungi ini
berkaitan erat dengan suhu air yang rendah, yang mungkin menyebabkan turunnya
imunitas pada ikan (Anonim 2005).
Korelasi antara suhu air dan prevalensi penyakit fungi
Dari persamaan regresi dapat diketahui bahwa terdapat kecenderungan
kejadian penyakit fungi akan semakin meningkat dengan semakin turunnya suhu
air (Garnbar 22). Penyakit yang disebabkan oleh jamur (fungi) adalah penyakit
yang biasa ditemukan pada ikan air tawar dan dipotensiasi oleh adanya stres
akibat turunnya kualitas air , perubahan suhu air, tekanan secara fisik (Anonim
2005 ; Carlson 2005).
7
9
8
7
:-6
0
$ 4
3
2
1
0
23
23.5
24
24.5
25
25.5
26
26.5
Rataan Suhu Air (C)
Saprolegnia sp L i n e a r (Saprolegnia sp)
Gambar 22. Korelasi suhu air dengan penyakit fungi
Daerah Identifikasi Penyakit
Dari hasil identifikasi kejadian penyakit pada ikan hias golongan tetra
selama 25 minggu (Februari-Agustus 2005) (Lampiran 2) di dapatkan angka
prevalensi kejadian penyakit di empat lokasi (Bogor, Cibinong, Bekasi dan
Tangerang) disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Rata-rata suhu air dan angka prevalensi (%) penyakit dari 4
daerah identifikasi pada bulan Februari - Agustus 2005.
Agen Penyakit
Suhu air("C)
Aeromonas hydrophila (%)
Pseudomonasfluorescens(%)
Argulus sp. (%)
Dactyloflrus sp. (YO)
Gyrodactylus sp. (%)
Saprolegnia sp. (%)
Bogor Cibinong Bekasi Tangerang
24,72
25.07
16.00
14.67
16.00
16.27
12.00
25,16
20.27
17.33
2.67
10.93
9.60
1.07
25,24
25.87
16.27
2.93
6.67
7.20
0.00
25,34
21.07
9.60
0.80
6.93
6.40
0.00
Berdasarkan data pada Tabel 12, Gambar 15, 20, 22 dan analisa regresi
linear sederhana didapatkan bahwa terdapat kecenderungan :
Peningkatan prevalensi penyakit bakterial terjadi pada musim
kemarau.
Peningkatan prevalensi penyakit parasiter terjadi pada musim hujan
Peningkatan prevalensi penyakit fungi terjadi pada musim hujan
Konfirmasi
data penyakit ikan yang ditemukan oleh Balai Karantina
Ikan-Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, pada bulan Februari-Agustus 2005
(Lampiran 1O), hanya dapat mengkonfirmasi keberadaan hama penyakit yang
telah ditemukan pada penelitian ini, sedangkan data kuantitatif prevalensi kejadian
penyakit tidak dapat dikonfirmasikan dalam penelitian ini karena data tidak ada.
KESIMPULAN
Dari -basil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa perubahan
pada salah satu parameter kualitas air, yaitu suhu air akan memberikan pengaruh
langsung pada angka prevalensi kejadian penyakit ikan hias golongan Tetra.
Berdasarkan persamaan regresi, dapat dilihat bahwa :
Prevalensi penyakit bakterial (Aeromonas hydrophila & Pseudomonas
fluorescens) akan meningkat sejalan dengan peningkatan suhu air.
Prevalensi
penyakit
parasiter
(Argullus
sp.,
Dactylog~rus sp.,
Gyrodactylus sp.) dan mikosis (Saprolegnia sp.) akan meningkat sejalan
dengan penurunan suhu air.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyakit bakterial (Aeromonas
hydrophila & Pseudomonas fluorescens) adalah endemis di daerah penelitian
(Bogor, Cibinong, Bekasi d m Tangerang), ha1 yang sama ditemukan pada
penyakit parasiter.
Prevalensi rata-rata kejadian penyakit di Bogor, Cibinong, Bekasi dan
Tangerang pada 1500 ekor sampel ikan hias jenis tetra antara bulan FebruariAgustus 2005 adalah sebagai berikut Aeromonas hydrophila 23,07 %,
Pszudomonas fluorescens 14,80 %, Argulus sp.
10,13 %, Gyrodactylus sp 9,87 %, Saprolegnia sp.
5,27 %, Dactylogyrus sp.
3,27 %, sehingga 66 %
sampel ikan dalam kondisi sakit dan hanya 34 % sampel ikan dalam kondisi sehat.
Pemeriksaan histopatologi diperlukdpenting dilakukan pada prosedur
pemeriksaan karantina ikan untuk mengetahui infeksi pada jaringan, sehingga
hasil yang didapat lebih akurat.
SARAN
Pengontrolan parameter kualitas air secara terus-menerus dan sistematik
dapat digunakan sebagai salah satu prasyarat ekspor-impor bagi perusahaan ikan
hias di Jabotabek.
Perlu diadakan program monitoring dan surveilance yang dilakukan secara
teratur.
Diperlukan suatu sistem pemeriksaan laboratorium lengkap, cepat dan
akurat, terutama untuk bibit ikan dengan memasukkan pemeriksaan histopatologi
sebagai salah komponen pemeriksaan yang harus dilakukan.
Diperlukan penelitian lebih lanjut di tingkat petani budidaya ikan untuk
mengetahui pola penyebaran hama penyakit secara menyeluruh.
DAFTAR PUSTAKA
Alabaster JS, Loyd R. 1980. Water quality criteria for freshwater fish. FA0 /
Buttenvorths. New York.
Arthur, J.R., 1995. Efforts to prevent the international spread of diseases of
aquatic organisms, with emphasis on the Southeast Asian Region. In
M.Shatiff, J.R. Arthur and R.P. Subasinghe. (eds.) Diseases in Asian
Aquaculture II. Proceedings of the 2nd Symposium on Diseases in Asian
Aquaculture, 24-29 October, 1993, Phuket, Thailand. Asian Fish. Soc., Fish
Health Sect., Kuala Lumpur. (In press).
Arthur, J.R. 1996. Fish and shellfish quarantine: the reality for Asia-Pacific. In
Health Management in Asian Aquaculture. In R.P. Subasinghe, J.R. Arthur
& M. Shariff (eds.). Proceedings of the Regional Expert Consultation on
Aquaculture Health Management in Asia and the PaclJic p. 11-28.
[Anonim] 1976. Standard methods for the examination of water and wastewater.
4" edition. American Public Health Association. Washington DC. p 1193.
[Anonim] 1987. Canadian water quality. Canadian Council of Resource and
Environment Ministers. Ontario. Canada.
[Anonim] 1990. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 20. Tahun 1990.
tentang : Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta.
[Anonim] 2005. Fish fungus - Saprolegnia sp.. http:Nwww.fishdoc.co.uk/diseasel
fungus.htm [Maret 20051.
[Anonim] 2006a. Fish metabolism. http:Nwww.fishdoc.co.uk/metabolism.htm
[Pebruari 20061.
[Anonim] 2006b. Fish diseases. http://www.fishdoc.co.uWdisease.htm [Pebruari
20061.
Boyd CE. 1988. Water quality in warmwater fish ponds. 4thprinting. Auburn
University Agricultural Experiment Station. Alabama.
Brown AL. 1987. Freshwater ecology. Heinemann Educational Books. London.
Burreson EM, Zwerner DE. 1984. Junevile summer flounder, Paralichthys
dentatus, mortalities in the western Atlantic Ocean caused by the
hemoflagellate Trypanoplasma bullocki : evidence from field and
experimental studies. Helgol. Meeresunters. 37. 343-352.
[BUS] Balai Uji Standar. 2005. Metode Pemeriksaan,HPIK golongan parasit.
Jakarta: DKP.
'
Butler R. 2005. Disease that affect tropical freshwater fish. http://fish.mongabay.
com/disease.htm [Juli 20051.
Callinan RB. 1988. Disease of Australian native fishes. Fish Diseases. Refresher
course for Veterinarians. Proceeding 106. Post Graduate Committee in
Veterinary Science. University of Sydney. pp : 459.
Canning, EU., Hazard, EI. 1982. Genus Pleistophora Gurley 1893, an assemblage
of at least three genera. J. Protozool29.39-49.
Carlson RE. 2005. Saprolegnia - water fungus. http://www.koivet.com/
html/articles [8 Juni 20051.
Chessman BC, Robinson DP. 1987. Some effects of the 1982-83 drought on water
quality and macro invertebrate fauna in the lower La Trobe River Victoria.
Aust.J.Mar.Freshw.Res. 38.289-299.
Chubb, J. C. 1977. Seasonal occurrence of helminthes in freshwater fish. Part I.
Monogenea. Adv. Parasitol : 15.~133- 199.
Cole GA. 1988. Textbook of lirnnology. 3rdedition. Waveland Press.1nc. Illinois.
pp:40 1.
Davis, BD., Dulbecco, R, Eisen, H.N, Ginsberg, HS. 1980. Microbiology 31d
edition. Harper and Row Publisher. Philladelphia. pp 1355.
Dalimunthe N. 1989. Pola kepekaan Aeromonas hydrophila terhadap beberapa
antibiotika. (skripsi). Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.
Effendi H. 2000. Telaahan kualitas air. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.
Grabda, J. 1991. Marine fish parasitology : An outline. John Willey & Son Ltd.
USA. pp 306.
Hanson LA, Grizzle JM. 1985. Nitrite-induced predisposition of channel catfish to
bacterial diseases. Prog.Fish.Cult. 47. pp : 98-101.
Heckmann R. 2003. Other ectoparasites infesting fish; Copepods, Branchiurans,
Isopods, Mites and Bivalves. Aquaculture Magazine NovemberIDecember
2003. pp : 1 - 7.
Koskivaara, .M. 1992. Environmental factors affecting monogeneans parasitic on
freshwater fishes. Farasitol Today 8. p.339-342.
Langdon JS. 1988. History and causes of fish kill. Fish Diseases. Refresher course
for ~eierinarians.Proceeding 106. Post Graduate Committee in Veterinary
Science. University of Sydney.
Langdon JS, Gudkovs N, Humprey JD, Saxon EC. 1985. Deaths in Australian
freshwater fishes associated with Chilodonella hexasticha infection.
Aust.Vet.J.62(12). 409-412.
Mackereth FJH., Heron J. Talling JF. 1989. Water Analysis. Freshwater
Biological Association. Cumbria. UK.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan percobaan. Jilid 1. Edisi 2. IPB
Press. Bogor.
Mc Neely RN. Nelmanis VP and Dwyer L. 1979. Water quality source book, A
guide to water quality parameter. Inland Water Directorate. Water Quality
Branch. Ottawa. Canada. pp : 89.
Moore JW. 1991. Inorganic contaminants of surface water. Springer-Verlag. New
York. pp:334.
Munday BL. 1988. Bacterial disease of fish. Fish Diseases. Refresher course for
Veterinarians. Proceeding 106. pp : 101- 108. Post Graduate Committee in
Veterinary Science. University of Sydney.
Novotny V , Olem H. 1994. Water quality prevention, identification and
management of diffuse pollution. Van Nostrans Reinhold. New York. Pp :
1054.
Peavy HS. Rowe DR. Tchobanoglous. 1985. Environmental engineering. Mc
Graw-Hill International Editions. Singapore. pp :,699.
Rabaan AA; Gryllos I, Tomas JM, Shaw JG. 2001. Motility and the polar
flagellum are required for Aeromonas caviae adherence to HEp-2 cells.
Infection and Immunity.69:7(4257-4267).
Rahrnan M, Navarro PC, Kuhn I, Huys G, Swings J, Mollby R. 2002.
Identification and characterization of pathogenic Aeromonas veronii biovar
sobria associated with epizootic ulcerative syndrome in fish in Bangladesh.
Applied and Environmental Microbiology. 68:2 (650 - 655).
Robert F. . 2005. Freshwater fish infectious
www.wetwebmedia.com [Juli 20051.
and
parasitic
disease.
Sawyer CN, Mc Carty PL. 1978. Chemistry for environmental engineering. 3rd
edition. hlc Graw-Hill Book Company. Tokyo. pp: 532.
Slauson DO, Cooper BJ, Suter MM. 1990. Mechanism of disease. 2".edition.
Williams & Wilkins. Baltimore.
Steel RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan prosedur statistika : Suatu pendekatan
biometrik. Edisi ke 2, Grarnedia Pustaka Utama. Jakarta.
Thrusfield M. 1995. Veterinary epidemiology. 2nd.Edition. Blackwell Science
Ltd. Cambridge.
Tebbut THY. 1992. Principles of water quality control. 4" edition. Pergamon
Press. Oxford.
Whiting CE, Carolane RK. 1983. Fish farming and the drought. Aust.Aquacult.
4(21), 8 - 12.
Widayanti R. 2003. Parasit pada ikan. Pelatihan Dasar Karantina Ikan. Pusat
Karantina Ikan. PMPSDMP. Ciawi.
Yunchis, 0 . N. 1988. Some ecological factors affecting the monogenean infection
of roach. In: Investigation of monogeneans in the USSR. Scarlato. p. 62 -65.
Lampiran 1. Kualitas air dan kejadian penyakit yang ditemukan dari 15 ekor sampel ikan per minggu
Tahun : 2005
LOKMI
zC~~~UONG
NlTRlT
Tahun :2005
OD3 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 OC3 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 093 10.03 0.03 0031 0.03 0.03 0.03
I
JERIS PERVAKIT :
1 . Ae m a oms bvdmphla
2Pseudomnasfhorescens
3. A r g u m @.
4. &clyhgyrur sp.
5 Gvrw'actvbs sp.
6. Sepm e.q:qniesp.
2
2
2
3
4
2
2
2
1
4
3
1
2
2
2
2
2
2
2
3
1
1
2
2
0
2
2
0
3
2
0
2
2
0
1
1
0
3
2
1
2
2
0
2
2
0
1
3
0
2
4
2 1 2
0
1
2
1
0
2
0
0
4
3
0
2
1
0
4
3
0
1
0
0
3
3
1
1
0
0
4
3
0
1
2
0
4
3
1
2
2
0
3
4
3
0
1
2
0
3
3
0
1
1
0
1
3
0
1
1
0
3
0
1
0
0
0.72
I
4
'
3
3
~
1
2
0
3
3
0
2
1
0
1
4
3
3
0
0
1
2
0
2
0
0
4
3
0
1
0
0
4
3
0
2
0
0
76
65
0 10
41
36
4
Lampiran 1. Lanjutan
L O W 1 1. HEKASI
Tahun : ZOO5
Tahun : Z M 5
Lampiran 2. Hasil pemeriksaan kualitas air dan presentasi kejadian penyakit yang ditemukan
LOKMI
z CIIIIWMIG
Tahun : 2005
Lampiran 2. Laniutan
LOKRSI 3. BEKAQ
LDKA514. TmGE M U G
Tahun : 2005
Tahun : 2005
Lampiran 3. Rata-rata seluruh kualitas air dan prevalensi yang ditemukan selama 25 minggu di 4 lokasi
Tahun : 2005
Lampiran 4. Analisis regresi dan korelasi rataan suhu air dan prevalensi Aeromonas
hydrophikc
Xi
No.
Sampel Rataan suhu slr
23,50
1
23,75
2
24,OO
3
24,OO
4
24,50
5
24,50
6
7
24.75
24,50
8
9
24,50
10
25.38
25,25
11
25,25
12
25,50
13
25,50
14
25,75
15
25,OO
16
25.75
17
25,75
18
25.50
19
25,75
20
2575
21
26,OO
22
26,OO
23
25,75
24
26,OO
25
627,88
I n
Rataan
25,12
394.227,02
FnFn
Y
A.hydmphila
15,00
15,OO
15,OO
16,67
16,67
20,OO
21,67
21,67
21.67
20.00
25,OO
25,OO
25,OO
25,OO
26,67
28,33
25.00
26,67
23.33
26,67
23,33
25.00
26,67
31,67
30,OO
576,67
23,07
332.544,44
-
pi = nIXiYi ExiIYi I n
XiY
XiXi
W
552,25
22500
352,50
356,25
564,06
225,OO
360,OO
576,OO
22500
277,78
400,OO
576.00
277,78
600,25
408,33
490,OO
600,25
400,OO
469,44
536,25
61256
469,44
530,83
600,25
600,25
469.44
530,83
400,OO
507,50
643,89
631,251
637,56
625.00
637,56
631,25
625.00
650,251
625,OO
637.50
625,OO
637,50
650,25
686,67
663,06
711,11
802,78
708,33
625,OO
643,75
663,06
625.00
686,67
663,06
711,11
650,25
544,44
595,OO
711.11
686,67
663,06
600,83
663,06
544.44
62500
650,OO
676,OO
711,ll
693,33
676,OO
815,42
1002,78
663,06
780,OO
676,OO
900,OO
14.556,67 15.783,02 13.827,78
1 XiXi - ( 1 Xi)(EXi)
TABEL ANALISIS SlDlK RAGAM
SK
Regresi
Galat
Total
40 : p l == 0
I i : p l =I=0
db
1
23
24
JK
389,61
136,39
526,OO
KT
389,61
593
F hitung
65,70
P0.05
4,28
PO.O1
7,88
Kesimpulan
Tolak Ho
sangat
siqnifikan
Tolak Ho bila F hitung lebih besar atau sama dengan F tabel
Suhu air berpengaruh sangat signifikan pada kejadian penyakit bakterial (P> 0,Ol)
Koefisien Determinasi
: JWUJKT
0,7407
74.07% keragaman kejadian penyakit bakterial A.hydrophiia dapat diterangkan
faktor suhu air
Lampiran 5. Analisis regresi dan korelasi rataan suhu air dan prevalensi Pseudomonas
jluorescens
No.
Sampel
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
I n
Rataan
ynyn
Y
Xi
RataanSuhu Air P.fluorescens
10.00
23.50
10.00
23.75
6.67
24.00
10.00
24.00
8.33
24.50
8.33
24.50
11.67
24.75
11.67
24.50
13.33
24.50
16.67
e25.38
15.00
25.25
15.00
25.25
15.00
25.50
16.67
25.50
15.00
25.75
16.67
25.00
25.75
16.67
20.00
25.75
16.67
25.50
18.33
25.75
20.00
25.75
20.00
26.00
26.00
20.00
18.33
25.75
26.00
20.00
627.88
370.00
14.80
25.12
136,900.00
394,227.02
-
XiY
XiXi
W
100.00
552.25
235.00
100.00
237.50
564.06
44.44
576.00
160.00
100.00
240.00
576.00
69.44
204.17
600.25
69.44
204.17
600.25
136.11
612.56
288.75
136.11
600.25
285.83
177.78
600.25
326.67
277.78
643.89
422.92
225.00
637.56
378.75
225.00
637.56
378.75
225.00
382.50
650.25
277.78
650.25
425.00
225.00
663.06
386.25
277.78
625.00
416.67
277.78
429.1 7
663.06
400.00
663.06
515.00
277.78
650.25
425.00
336.1 1
472.08
663.06
400.00
515.00
663.06
400.00
520.00
676.00
400.00
520.00
676.00
336.1 1
472.08
663.06
400.00
520.00
676.00
9,361.25 15.783.02 5,894.44
-
pi = n I X i Y i Z x i I Y i I n IXiXi ( 1 Xi)(IXi)
SK
Regresi
Galat
Total
40: p l == 0
i i : p l =I= 0
db
1
23
24
JK
338.69
79.75
418.44
KT
338.69
3.47
F hitung
97.68
P0.05
4,28
PO.O1
7.88
Kesimpulan
Tolak Ho
sangat
signifikan
Tolak Ho bila F hitung lebih besar atau sama dengan F tabel
Suhu air berpengaruh sangat signifikan pada kejadian penyakit bakterial (P> 0,Ol)
Koefisien Determinasi
: JKRIJKT
0.8094
80.94% keragaman kejadian penyakit bakterial P.fluorescens dapat diterangkan
faktor suhu air
Lampiran 6. Analisis regresi dan korelasi rataan suhu air dan prevalensi Argulus sp.
No.
Xi
Y
Sampel Rataan suhu air
1
23.50
2
23.75
24.00
3
4
24.00
24.50
5
6
24.50
7
24.75
24.50
8
24.50
9
10
25.38
11
25.25
12
25.25
13
25.50
14
25.50
15
25.75
16
25.00
17
25.75
18
25.75
19
25.50
20
25.75
21
25.75
22
26.00
23
-26.00
24
25.75
25
26.00
627.88
zn
Rataan
25.12
394,227.02
TnFn
XiY
Argulus sp.
11.67
10.00
10.00
8.33
10.00
5.00
6.67
6.67
3.33
5.00
5.00
8.33
5.00
5.00
5.00
1.67
3.33
3.33
3.33
1.67
3.33
1.67
1.67
3.33
3.33
131.67
5.27
17,336.11
-
pi = nxXiYi ExiZY i I
rl
XiXi
552.25
274.17
237.50
564.06
576.00
240.00
576.00
200.00
245.00
600.25
600.25
122.50
612.56
165.00
600.25
163.33
81.67
600.25
643.89
126.88
637.56
126.25
210.42
637.56
127.50
650.25
650.25
127.50
663.06
128.75
625.00
41.67
663.06
85.83
663.06
85.83
650.25
85.00
42.92
663.06
85.83
663.06
43.33
676.00
43.33
676.00
663.06
85.83
86.67
676.00
3,262.71 15,783.02
YY
136.11
100.00
100.00
69.44
100.00
25.00
44.44
44.44
11.11
25.00
25.00
69.44
25.00
25.00
25.00
2.78
11.11
11.11
11.11
2.78
11.11
2.78
2.78
11.11
11.11
902.78
I:XiXi - ( 1 Xi)(xXi)
TABEL ANALISIS SlDlK RAGAM
SK
Regresi
Galat
Total
db
1
23
24
JK
139.56
69.77
209.33
KT
139.56
3.03
F hitung
46.01
P0.05
4,28
PO.O1
7.88
Kesirnpulan
Tolak Ho
sangat
signifikan
Tolak Ho bila F hitung lebih besar atau sarna dengan F tabel
Suhu air berpengaruh sangat signifikan pada kejadian (P> 0,Ol)
Koefisien Determinasi
: JKRIJKT
0.6667
66.67% keragarnan kejadian penyakit Argulus sp. dapat diterangkan oleh
faktor suhu air
65
Lampiran 7. Analisis regresi dan korelasi rataan suhu air dan prevalensi Dactylogyrus sp.
Xi
Y
Rataan suhu air Dactylogyrus sp.
23,50
18,33
23,75
16,67
24,W
16,67
24,OO
13,33
24,50
15,OO
24,50
11,67
13,33
24,75
24,50
10.00
11,67
24,50
25.38
10,OO
.25,25
15,OO
25,25
6,67
8,33
25,50
25,50
6,67
25,75
8,33
8,33
25,OO
25,75
6,67
25,75
8,33
25,50
6,67
25,75
8,33
25,75
6,67
26,OO
3,33
26,OO
10,OO
25,75
5,OO
26,OO
8,33
627,88
253,33
25,12
10,13
394.227,02
64.177,78
No.
Sarnpel
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
I n
Rataan
Fnxn
pi
XiY
XiXi
W
552,25
430,83
336,ll
395,83
564,06
277,78
576,OO
277,78
400,OO
320,OO
576,OO
177,78
600,25
367,50
225,OO
285,83
600,25
136,ll
330,OO
612,56
177,78
245,OO
600,25
100,OO
285,83
600,25
136,ll
253,75
643,89
100.00
378,751
637,56
225,OO
168,33
637,56
44,44
212.50
69,44
650,25
170,OO
650,25
44,44
214,58
663,06
69.44
208,33
625,OO
69,44
171,67
663,06
44,44
214,58
663,06
69,44
170,OO
650,25
44,44
214,58
663,06
69,44
171,67
44,44
663,06
86,67
676.00
11,ll
260,OO
676,OO
100,OO
128,75
663,06
25,OO
216,67
676,OO
69,44
6.301,67 15.783,02 2.944,44
-
= n z x i ~-i ExixYi I n 1XiXi (2: Xi)(zXi)
TABEL ANALISIS SlDlK RAGAM
SK
Regresi
Galat
Total
Ho: p i ==0
Hi: p l = / = 0
db
1
23
24
JK
265,28
112,06
377,33
KT
265,28
4,87
F hitung
54,45
P0.05
4,28
PO.01
7,88
Kesimpulan
Tolak Ho
sangat
signifikan
Tolak Ho bila F hlung lebih besar atau sama dengan F tabel
Suhu air berpengaruh sangat signifikan pada kejadian penyakit (P> 0,Ol)
: JKRIJKT
0.7030
Koefisien Determinasi
70,30% keragaman kejadian penyakl Dactylogyms sp. dapat diterangkan oleh
faktor suhu air
Lampiran 8. Analisis regresi dan korelasi rataan suhu air dan prevalensi Gyrodactylus sp.
No.
Sampel
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
I n
Rataan
FnFn
Xi
Y
Rataan suhu air Gyrodactylussp.
23,50
13,33
23,75
16,67
24.00
16,67
24,OO
15,OO
24,50
13,33
24,50
13,33
15,OO
24,75
13,33
24,50
8,33
24,50
10,OO
25,38
25,25
10,OO
25,25
6,67
25,50
6,67
10,OO
25,50
25,75
6.67
25,OO
13,33
25,75
8,33
25,75
8,33
25,50
5,OO
25,75
8.33
25,75
6.67
6.67
26,OO
26,OO
8,33
25,75
3,33
26,OO
3,33
627,88
246,67
25.12
9,87
394.227,02
60.844.44
-
XiY
XiXi
YY
313,33
395,83
400,OO
360.00
326,67
326,67
371,25
326,67
204,17
253,75
252,50
168,33
170,OO
255,OO
171,67
333,33
214,58
214,58
127,50
214,58
171,67
173,33
216,67
85,83
86,67
6.134,58
552,25
564,06
576,OO
576,OO
600,25
600.25
612,56
600,25
600,25
643.89
637,56
637,56
650.25
650,25
663,06
625,OO
663.06
663,06
650,25
663,06
663,06
676,OO
676,OO
663,06
676,OO
15.783,02
177,78
277,78
277,78
225,OO
177,78
177,78
225,OO
177,78
69,44
100,OO
100,OO
44,44
44,44
100,OO
44,44
177,78
69,44
69,44
25,OO
69,44
44,44
44,44
69,44
11,11
11,11
2.81 1,11
-
pi = nzXiYi - ZxizYi 1 n ): XiXi ( 1 Xi)(xXi)
SK
db
Regresi
1
Galat
Total
23
Ho: p l = = 0
Hi: p l =/=0
24
JK
262.23
115,lO
377,33
KT
262,23
5,OO
F hitung
P0.05
PO.O1
52,40
4,28
7.88
Kesimpuian
Tolak Ho
sangat
signifikan
Tolak Ho bila F hitung lebih besar atau sama dengan F tabel
Suhu air berpengaruh sangat signifikan pada kejadian penyakii (P> 0,Ol)
Koefisien Determinasi
: JKRIJKT 0,6950
69,5056 keragaman kejadian penyakit parasit Gyrodscfylus sp dapat
diterangkan oleh faktor suhu air
67
Lampiran 9. Analisis regresi dan korelasi rataan suhu air dan prevalensi Saprolegnia sp.
No.
Sampel
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
I n
Rataan
TnTn
Xi
Rataan suhu air
.23,50
23,75
24,OO
24,OO
24,50
24,50
24,75
24,50
24,50
25,38
25,25
25,25
25,50
25,50
25,75
25,OO
25.75
25,75
25,50
25.75
25,75
26,OO
'26,OO
25,75
26,OO
627.88
25,12
394.227,02
Y
Saprolegnia sp.
8,33
3,33
5,OO
3,33
3,33
3,33
5,OO
3,33
3,33
3,33
1,67
3,33
3,33
3,33
3,33
1,67
3,33
3,33
1,67
3,33
1,67
1,67
1,67
3,33
3,33
81,67
3,27
6.669,44
-
XiY
XiXi
YY
195,83
79,17
120,OO
80,OO
81,67
81,67
123,75
81,67
81,67
84,58
42,08
84,17
85,OO
85,OO
85,83
41,67
85,83
85,83
42,50
85,83
42,92
43,33
43,33
85,83
552,25
564,06
576,OO
576,OO
600,25
600,25
612,56
600,25
600,25
643,89
637,56
637,56
650,25
650,25
663,06
625,OO
663,06
663,06
650,25
663,06
663,06
676,OO
676,OO
663,06
676,OO
15.783.02
69.44
11,ll
25,OO
11,ll
11,ll
11,ll
25,OO
11,ll
11,ll
11,ll
2,78
11,ll
11,ll
11,ll
11,ll
2,78
11,ll
11,11
2,78
11,ll
2,78
2,78
2,78
11,ll
11,ll
313.89
86,67
2.035,83
1
-
pi = nEXiYi 1 x i p i I n 1XiXi ( 1 Xi)(EXi)
TABEL ANALISIS SlDlK RAGAM
SK
Regresi
Galat
Total
l o : p l ==0
i i : p l =/=O
db
JK
KT
F hitung
P0.05
PO.01
1
16.63
16.63
12.55
4,28
7,88
23
24
30,48
47.1 1
1.33
Kesimpulan
Tolak Ho
sangat
signifikan
Tolak Ho bila F hitung lebih besar atau sama dengan F tabel
Suhu air berpengaruh sangat signifikan pada kejadian penyakit (P> 0,Ol)
Koefisien Determinasi
: JKFUJKT
0,3531
35,31% keragaman kejadian penyakit Saprolegniasis dapat diterangkan oleh
faktor suhu air
Lampiran 10. Data pemantauan hama dan penyakit ikan pada ikan hias yang dilalulintaskan melalui Bandara Soekarno-Hatta ,Jakarta
Tahun 2005
JANUARI
Ehlh
2526
Suhu Air
Hama A. IpdrqphdIa
Penyakit A. canar
PEBRUARI
25-26
@ro&cQlus q
Tridwrdina
F'orficolla
IcWiopBirus mitrflis
Agdas
Lerneu
A. hydrophila
A. caviar
Pdeis'mnas shigalloich
Aeronvms sp
Fknrbacfrr
Dacijdoglrus muli$Iis
~ r o d a c b l u sp
s
Trichordina
VorficeUa
k MiopiJnms ml6plic
Argulw
Lrnra
Cop~poda
5i,proIegn&2
aprdepn
Plm'dmonas s h i p b i d s
Awomonec q
FlaxibacdPr
Aaci$ogms mUn$Iis
JIlLl
?hlan
26-27
S u h Air
~
Hama A. canao
P q M t A. hydrqhira
A pmta
A. mbia
Psludonmas m k p h j l a
P.& m i &
P. dcaigonos
P.$xonscans
Aloaligsnesforcal~s
Lucfobaciflw ~ p .
~richordma
Ic.lsthlopthirus mltgMis
Dadylog)lms&plijlis
us
AGUSWS
26-27
A caM'ae
A. hydrophila
A. p ~ d a
A. s r b h
Psudonvnas muRophyla
P. dim&b
P. alcaigmms
P.jfuone+ons
Akdgrnufircdis
LrdokiYUs sp
~?~hordinff
khtwptlaPua mltlfilis
hzctylaglms multfilis
rgulus
MARET
25-26
A. caviae
A. hydrophils
A. pucafn
A. wrbia
Psoudomna makophyb
P. dim'mmta
P. alcaigrnrs
P.$uorrjcons
Alcaliggnrsjorcab's
Lactobacillus sp.
Tn'chorlfina
IchflpopfhirusmrlQ~Yis
I ) a c f ~ 4 0 ~ r wlhj'ibj
us
Argulus
SEPTEMBER
25-26
A. hydrophila
A. cavisr
PIris'mna sbigelloidj
Arm m n a l sp
Floxibacfer
Dactybglrvs mlfrfjhj
Gyrcdacfp!usJP
Tfichordina
Vorticona
Ichtiopt hirw d h f i l i s
~rgulus
Lgrnea
Gpepoda
&prolegnia
APRIL
A caviae
A hydrophila
A pucaia
A sorbia
Psrmdomona mallophyla
P. dimmm?a
P. alcuiganrs
P.jluorrxons
AdcaBgmm$rcabj
Laciobac illus sp.
Edc honiina
khibyopfhirus m&Flis
Qc@logrus mI6Yilis
&plus
OKMBER
25-26
JUM
26-27
ME1
26-27
26-27
A. cavias
A. hydrophila
A. pucata
A. xrbia
Psoudomnas malfoph@
P. dimimifa
P. alcaigums
P.jluor~mns
AkaligrnesfbrcaliJ
Lndobacillus p.
Trichordina
Ic hfhyopf h u mlfifilis
~
hci$ogy m s muli$lis
Armlus
A cavdae
A hjdmphila
Apucata
A wrbia
Pseudornonas mlfophyh
P. dinim'ta
P. alcaiganes
P.f[wrrscpnr
Akaligunos/orc&
h d o h c i l l u s y.
Trichordina
l c h f h y o p f h ~mu&@ljs
u~
l;bcfilogyrus ml@Yis
/b.,pluj
NOPEMBEB
25-26
DESEMBER
25-26
A hydrophila
A coriae
Pkisimonac jhigeFoads
Amnwnas sp
FbrjbacfPr
h p ! o g m s mltifdiij
Qradacbbs jp
bic hoxfina
Vortierlla
Ichtiopthims mulfifilis
~rgulus
Lmta
A. hydrophila
A. cavia
Pdrismrms shigelloids
Agromms sp
Fdrxibacf~r
Dpcfylopm s md$!is
Cigrodacfylus sp
Tricbrdim
Vorticrlla
khfiapthirus nrmlb~Iis
Argulus
Lrnra
A hj dmphila
A caviae
Pleisimonas shiglloids
Ammoms q
Rexfbacfer
DzQlogyrus mIt$lTis
Qmdacfilus q
Trichordina
Vortiealk
Ichthpthims mlfijWs
* ~ l w
Lmra
@@Po&
fip~olegnia
Copepoda
Saprdsgnia
C6pepoda
xapdegnia
Lampiran 1 1. Rataan data penelitian selama bulan Februari s/d April 2005
Larnpiran 12. Rataan data penelitian selama bulan Mei s/d Juli 2005
Lampiran 13. Rataan data penelitian selama Agustus 2005
Lampiran 14 : Metoda pemeriksaan sampel ikan
Pemeriksaan bakteri
I.
Alat dan bahan
No
1
2
3
4
5
6
7
8
Alat
Dissecting set
Jarum ose
Cover glass
Objek glass
Petridisk
Bunsen
Mikropipet
Vortex
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
Bahan
Ikan sarnpel
NaCl fisiologis steril
Aquades steril
Alkohol70 %
KOH3%&KOH10%
Larutan H202 3 % dan 30 %
Parafin cair
Media Triptic Soy Agar (TSA) 1.5 %, 3 % dan
6.5 %
Larutan Kovacs
Neraca elektrik
Mikroskop
(stereo, Kertas saring
binokuler, trinokuler)
Stick oxidase
Centrifuge
Escullin
Inkubator
Media OIF, Media M I 0 dan SIM
Refrigerator
Media Simmons Citrate Agar (SCA)
Spider
Triple Sugar Iron Agar (TSIA)
Penggerus
Nutrien gelatin
Pipet
Media glukosa, sukrosa, sukrosa I1 dan maltosa
Microtube
Media MR dan Media VP Broth
Laminar air flow
Media Blood Agar Base
Tabung reaksi
Lysin Iron Agar (LIA) dan Kingler Iron Agar
(KIA)
Media uj i nitrat
Nutrient Agar (NA)
Mc. Conkey Agar
Gram A (larutan kristal violet)
Pewarnaan Gram
Gram B (larutan iodine)
Gram C (Alkohol70 %)
Gram D (Safranin)
11. Tahapan pemeriksaan
Untuk mengetahui bakteri yang menginfeksi ikan diperlukan beberapa
langkah. Langkah-langkah tersebut adalah :
2.1. Melakukan pengamatan fisik terhadap kondisi tubuh ikan sampel, dengan
cara:
a. ~ k n ~ u kpanjang
ur
ikan
b. Menimbang berat ikan
c. Menentukan jenis kelamin ikan
d. Memeriksa kondisi ikan dan kelainan fisik (ekstemal) yang meliputi
kulit, insang, lendir, sirip, dan lain-lain.
e. Memeriksa kelainan organ dalam (internal) yang meliputi hati, ginjal,
limpa, usus, jantung, dan lain-lain.
2.2. Setelah melakukan pemeriksaan kondisi tubuh ikan, kemudian dilanjutkan
dengan pengarnbilan sampel untuk pemeriksaan bakteri, dengan melakukan
langkah-langkah seperti berikut :
a. Mengambil organ insang dan hepatopankreas secara aseptis untuk
melakukan pengujian bakteri
b. Dengan menggunakan ose yang sebelurnnya dibakar sampai ujungnya
merah diatas nyala bunsen, ose ditempelkan pada bagian organ lalu
digoreskan pada media agar TSA dengan cara dioleskan secarz zig-zag
didekat nyala bunsen.
c. Sedangkan daging ikan digerus sampai halus ditambah NaCl fisiologis
kemudian dicentrifus 1000 rpm selama 15 menit. Selanjutnya
supernatan diambil dengan menggunakan mikropipet untuk diteteskan
pada media umum yaitu larutan TSA untuk ditumbuhkan.
d. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 - 48 jam.
e. Bakteri yang turnbuh dari hasil inkubasi selama 24 jam, dimurnikan lagi
berdasarkan warna, bentuk dan ukuran koloni yang ada menggunakan
TSA 1.5 %, 3 % dan 6.5 % agar dapat dilihat keefektifan turnbuhnya.
Lalu diinkubasi lagi pada suhu 37°C selama 24 jam.
111. Tahapan identifikasi
Setelah diperoleh koloni bakteri, maka dilakukan uji biokimia terhadap
koloni tersebut. Uji-uji yang dilakukan meliputi uji utama, yang merupakan uji
biokimia, yang terdiri dari uji Gram; uji katalase; uji oksidase; uji motilitas
dengan cara hanging drop (tetes gantung); uji motilitas dengan media kultur; uji
OIF (oksidatiflfermentatif) dan uji glukosa, dan kemudian dilanjutkan dengan uji
lanjutan.
Tujuan dari uji utama adalah untuk menentukan golongan suatu bakteri,
sedangkan uji lanjutan bertujuan untuk menentukan spesies suatu bakteri. Uji
lanjutan terdiri dari uji haemolysis, uji nitrat, uji lysin / LIA, uji TSIAIKIA, uji
TSA, uji Mc. Conkey, uji gelatin, uji MRNP, uji sukrosa, uji maltosa dan uji
manitol dan uji escullin.
A. Uji utama
1.
Uji Gram
Pewarnaan Gram
Tujuan pewarnaan Gram adalah untuk mengetahui apakah suatu
bakteri termasuk bakteri Gram positif atau bakteri Gram negatif. Pewarnaan
Gram dilakukan dengan cara sebagai berikut : menteteskan aquades secara
terpisah sebanyak 3 tetes diatas kaca preparat.
>
mengambil 1 (satu) ose bakteri, kemudian suspensikan dengan tetesan
pertarna. Selanjutnya dilakukan pengenceran.
>
kemudian difiksasi diatas nyala bunsen agar bakteri menempel pada
kaca preparat tanpa merusak sel bakteri.
setelah itu ditetesi dengan kristal violet A selama 1 menit, lalu dicuci
dengan air mengalir dan dikering-anginkan
tetesi dengan iodine selama 1 menit, kemudian dicuci dengan air
mengalir dan dikering-anginkan
>
tetesi dengan alkohol 70 % selama 30 detik, kemudian dicuci dengan
air mengalir dan dikering-anginkar~
>
tetesi dengan safranin selama 2 menit, kemudian dicuci dengan air
mengalir dan dikering-anginkan
>
setelah itu dilakukan pengamatan di bawah mikroskop dengan
pembesaran 40x - 1000x, jika berwarna biru berarti Gram positif (+)
dan jika berwarna merah berarti Gram negatif (-).
pewarnaan Gram dapat juga digunakan untuk mengetahui bentuk dari
bakteri.
KOH
Uji KOH merupakan salah satu cara untuk menentukan bakteri
tersebut termasuk gram positif (+) atau gram negatif (-). Uji KOH dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
>
>
nienteteskan KOH 3 % dan 30 % di atas objek glass
kemudian mengambil satu ose bakteri dicelupkan dalarn larutan KOH
3% lalu diangkat, ulangi beberapa kali
>
kemudian dipindahkan ke larutan KOH 30%, jika hasil pengamatan
berlendir berarti bakteri tesebut adalah Gram negatif (-), bila tidak
berlendir berarti bakteri tersebut adalah Gram positif (+).
2.
Uji katalase
Uji ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya enzim katalase pada bakteri.
Uji katalase dilakukan dengan cara sebagai berikut :
P larutan H2023% dan 30% diteteskan pada objek glass.
>
setelah itu satu ose bakteri dicelupkan kedalam larutan H2023%
dilanjutkan ke larutan H20230%; bila bakteri terlihat menghasilkan
gelembung (busa) maka bakteri tersebut bersifat katalase positif (+); jika
tidak menghasilkankan gelembung (busa) maka bakteri tersebut bersifat
katalase negatif (-).
3.
Uji oksidase
Uji oksidase bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya enzim oksidase
pada bakteri. Oksidase bersifat positif apabila "stick oksidase" I kertas saring
berubah warna menjadi ungu, dan oksidase negatif apabila tidak berubah warna.
Uji oksidase dilakukan dengan cara sebagai berikut :
>
mengambil inokulum bakteri dari media TSA dengan jarum ose.
3 kemudian dioleskan pada kertas saring yang telah ditetesi dengan larutan
kovacs.
3 lalu dioleskan pada chytochrom stick oxidase.
mengamati perubahan warna. Apabila stick oxidaselkertas saring berubah
warna menjadi b i d u n g u pekat maka berarti oksidase positif (+), dan
apabila tidak berubah warna, maka berarti oksidase negatif (-).
Uji motilitas dengan cara "hanging drop" (tetes gantung)
4.
Tujuan dari uji motilitas adalah untuk mengetahui pergerakan bakteri. Uji
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
3 menetesi cover glass dengan aquades, kemudian suspensikan satu ose
bakteri dalam aquadest tersebut.
3 menempelkan objek glass dengan cekungan ditengahnya pada cover glass
(tetesan hams tetap dalam cekungan, tidak menyentuh slide).
3 amati dibawah mikroskop untuk melihat pergerakan bakteri.
Uji motilitas dengan media kultur
5.
Uji ini juga bertujuan untuk mengetahui pergerakan bakteri. Media yang
digunakan untuk uji ini adalah media SIM (Sulfit Indole Motility) dan M I 0
(Motility Indole Omithin). Uji ini dilakukan dengan cara sebagai berikut :
3 satu ose bakteri secara tegak lurus diinokulasikan ditengah media.
P diinkubasi pada suhu 3 7 ' ~selama 24 jam.
3 bakteri motil akan tumbuh menyebar dari garis tusukan, sedangkan bakteri
non motil hanya turnbuh pada garis tusukan.
6.
Uji O/F (oksidatiflfermentatif)
Uji O/F bertujuan untuk mengetahui sifat oksidasi dan fermentasi bakteri
terhadap glukosa. Uji O/F dilakukan dengan cara sebagai berikut :
bakteri pada dua media O/F dalam tabung reaksi diinokulasikan.
3 menambahkan parafin cair steril pada salah satu tabung reaksi untuk
menghalangi hubungan dengan udara.
P diinkubasi pada suhu 3 7 ' ~selama 24 jam.
>
bakteri bersifat fermentatif jika kedua media berubah warna menjadi
kuning, sedangkan bakteri bersifat oksidatif; jika media yang terbuka
benvarna kuning sedangkan media yang tertutup parafin tidak berubah;
dan jika kedua tabung tidak berubah wama (hijau) maka bersifat not
testable.
7.
Uji glukosa
Pengujian ini bertujuan untuk mendeterminasi kemampuan bakteri dalam
mencemalmendegradasi
glukosa dan menghasilkan asam (acid). Uji glukosa
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
>
mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril. Masukkan ke tabung
kocok dengan ose tersebut kemudian tutup kembali.
>
>
>
diinkubasi pada suhu 3 7 ' ~selama 24 jam.
hasil pengujian dapat diamati berdasarkan perubahan wama.
jika warna media berubah dari merah menjadi kuning, berarti positif (+)
sedangkan jika benvarna merah berarti negatif (-).
B. Uji Lanjutan
1. Uji haemolisis
Uji haemolisis adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan
bakteri dalam mencerna sel darah merah. Dari uji tersebut dapat diketahui apakah
bakteri tersebut a haemolisin,
P
haemolisin, atau y haemolisin. Dikatakan a
haemoiisin apabila wama agar disekeliling koloni memudar tetapi tidak terdapat
clear zone,
p haemolisin apabila wama agar di sekeliling koloni memudar dan
terdapat clear zone, dan y haemolisin apabila tidak terdapat perubahan pada agar.
Uji haemolisis dilakukan dengan cara sebagai berikut :
>
mengambil satu ose bakteri dari biakan murni kemudian goreskan pada
permukaan blood agar secara zig-zag.
>
>
2.
diinkubasi pada suhu 3 7 ' ~selama 24 jam
lalu dilakukan pengamatan.
Uji nitrat
Tujuan uji nitrat adalah untuk mengetahui kemampuan suatu bakteri
mengubah nitrat menjadi nitrit. Uji nitrat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
>
mengambil satu ose bakteri dengm janim ose steril, lalu di masukkan ke
dalam tabung kocok bersarna-sama dengan ose tersebut, kemudian tutup
kernbali.
.
>
>
diinkubasi pada suhu 3 7 ' ~ selama 24 jam.
mengamati perubahan warna; jika warna media berubah menjadi merah,
maka artinya positif (+) dan apabila tidak terjadi perubahan warna (kuning
bening) maka berarti negatif (-).
3.
Uji Simrnon's citrate
Tujuan dari uji sitrat adalah untuk mengetahui kemampuan bakteri untuk
memanfaatkan sitrat sebagai sumber karbon. Uji sitrat dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
>
mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril, lalu digoreskan pada
permukaan miring agar.
>
>
diinkubasi pada suhu 3 7 ' ~selama 24 jam.
mengamati perubahan warna; jika warna media berubah menjadi biru,
maka berarti positif (+), dan jika warna media tetap hijau, maka berarti
negatif (-).
4.
Uji lysin / LIA
Tujuan dari uji lysin adalah untuk mengetahui kemampuan bakteri
memproduksi lysin. Uji lysin dilakukan dengan cara sebagai berikut :
>
mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril, lalu digoreskan pada
permukaan miring agar.
>
>
diinkbbasi pada suhu 3 7 ' ~ selama 24 jam.
mengamati perubahan warna; jika bakteri tumbuh pada permukaan agar
dan warnanya ungu tua, maka artinya positif (+) dan jika tidak terdapat
perubahan, maka berarti negatif (-).
5.
Uji TSIA 1 KIA
Tujuan dilakukan uji TSIAIKIA adalah untuk mendeterminasi kemampuan
bakteri menggunakan gabungan beberapa karbohidrat khusus Uji TSIA dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril, lalu digoreskan pada
permukaan miring agar.
P diinkubasi pada suhu 3 7 ' ~ selama 24 jam.
P mengamati perubahan baik slant maupun tusukkan jika berubah merah
berarti reaksi alkali (K), jika berubah kuning berarti reaksi asam (A) dan
jika tidak berubah maka berarti not reaction (NR).
9 Mengamati pembentukan gas pada tusukan jika terbentuk gas (G).
6.
Uji Triptic Soy Agar (TSA)
Tujuan dari uji ini adalah untuk melihat kemampuan bakteri untuk tumbuh
pada suhu tertentu. Uji TSA dilakukan dengan cara sebagai berikut :
P mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril, lalu digoreskan pada
permukaan agar secara zig-zag.
P diinkubasi pada suhu 22°C dan 42°C selama 24 jam.
>
hasil pengujian dapat diamati berdasarkan tumbuh tidaknya bakteri pada
media jika tumbuh maka berarti positif (+) dan jika tidak tumbuh berarti
negatif (-).
7.
Uji Mc. Conkey
Mc. Conkey agar merupakan meedia selektif untuk mengisolasi bakteri
Salmonella, Shigella dan bakteri berbentuk coli. Uji NA dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
9 mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril, lalu digoreskan pada
permukazn agar secara zig-zag.
P diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam.
9 hasil pengujian dapat diamati berdasarkan tumbuh tidaknya bakteri pada
media, jika tumbuh maka artinyapositif (+), dan jika tidak turnbuh berarti
negatif (-).
8.
Uji gelatin
Tujuan dari uji gelatin adalah untuk mengamati produksi enzim proteolitik
gelatinase. Uji gelatin dilakukan dengan cara sebagai berikut :
9 menginokulasi medium gelatin dalam tabung dengan cara tusukan tegak.
9 diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam.
P setelah itu dimasukkan dalam refrigerator selama 30 menit
>
hasil pengujian dapat dibaca jika terjadi pencairan medium maka reaksi
positif (+) dan jika medium memadat pada suhu rendah maka reaksi
negatif (-).
9.
Uji M R I V P
~ u j u &dari uji ini adalah untuk melihat kemampuan bakteri memfermentasi
glukosa untuk menghasilkan asam. Uji MR 1 VP dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
9 menginokulasikan bakteri dalam media MR 1 VP
9 diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam
>
setelah itu menambahkan indikator methyl red sebanyak 5 tetes untuk MR,
sedangkan untuk VP tambahkan 6 tetes reagen a - Napthol 40 % dan 1
tetes KOH 40 %, kemudian kocok.
9 mengamati perubahan warna; jika permukaan berwarna merah, maka
berarti positif (+) sedangkan jika permukaan berwarna kuning, maka
artinya negatif (-).
10. Uji sukrosa
Uji sukrosa dilakukan dengan cara sebagai berikut :
>
mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril, kemudian masukkan
ke dalam tabung kocok bersama-sama dengan jarum ose, lalu ditutup
kembali.
P diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam.
>
mengamati perubahan warna; jika warna media berubah, maka berarti
positif (+) sedangkan jika warna tidak berubah (ungu), maka artinya
negatif (-).
11.
Uji maltosa dan uji manitol
Uji maltosa dilakukan dengan cara sebagai berikut :
9 mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril, kemudian dimasukkan
ke dalam tabung kocok bersama-sama dengan ose tersebut, lalu tutup
kembali.
P diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam.
>
mengamzti perubahan warna; jika warna media berubah menjadi kuning,
lnaka artinya positif (-k) sedangkan jika warna tidak berubah (merah
muda), maka berarti negatif (-).
12. Uji escullin
Uji escullin dilakukan dengan cara sebagai berikut :
P mengambil satu ose bakteri dengan jarum ose steril, lalu dimasukkan ke
dalarn tabung kocok bersam-sama dengan ose tersebut, kemudian tutup
kembali.
9 diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam.
>
mengamati perubahan warna yang terjadi; jika warna media berubah
menjadi kuning, maka artinya positif (+) dan jika warna tidak berubah
(merah muda), maka artinya negatif (-).
Pemeriksaan parasit eksternal
I.
Alat dan Bahan
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11.
Alat
Dissecting set
Narnpan bedah
Neraca elektrik
Mistar
Deck glass
Objek glass
Bunsen
Mikroskop
Mounting
Pewarnaan
Bahan
Ikan sampel
NaCl fisiologis steril
Aquades
Alkohol70%
Formalin 10%
KOH 10%
Alkohol bertingkat berupa alkohol 35%,
50%, 70% dan 90%
Xylol
Entellan
Pewarna giemsa dan carmin red
Tahapan pemeriksaan
2.1. Melakukan pengamatan secara fisik terhadap kondisi tubuh ikan sampel
antara lain dengan cara:
a. Mengukur panjang ikan
b. Menimbang berat ikan
c. Menentukan jenis kelamin ikan
d. Memeriksa kondisi ikan dan kelainan fisik (eksternal) yang meliputi kulit,
insang, lendir, sirip, dan lain-lain.
e. Memeriksa kelainan organ dalarn (internal) yang rneliputi hati, ginjal,
limpa, usus, jantung, dm lain-lain.
2.2. Melakukan nekropsi berupa pemeriksaan parasit eksternal, dengan melakukan
langkah-langkah sebagai berikut :
a. Mengambil kerokan lendir kulit dari permukaan tubuh serta sirip dan
potongan
insang (eksternal), sedangkan untuk organ dalam (internal)
dilakukan pembedahan untuk melihat kelainan patologi pada organ dalam
b. Kemudian diletakkan
pada slidelobjek glass yang telah diberi NaCl
fisiologis
c. Mengamati dengan mikroskop, dengan pembesaran 40 x - 100 x.
2.3. Melakukan pewarnaan parasit.
Prosedur yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Pewarnaan Dactylogyrus sp, Gyrodactylus sp.
-
melakukan fiksasi pada potongan insang dengan menggunakan alkohol
70 % selama 3 menit
- mewarnai preparat dengan meneteskan pewarna giemsa
- kemudian dicuci dengan air mengalir
- lalu dilakukan mounting menggunakan entellan.
b. Pewarnaan Argulus sp
- melakukan fiksasi menggunakan forrnalin 10% selama 3 menit
- kemudian preparat ditetesi larutan KOH 10 % selama 3 inenit
-
lalu dilanjutkan dengan proses dehidrasi menggunakan alkohol
bertingkat yaitu dengan alkohol 35 %, 50 %, 70% dan 90 %, selama
1 - 3 menit
- setelah itu dilakukan clearing menggunakan xylol selama 1 - 3 menit
-
kemudian melakukan mounting menggunakan entellan
111. Angka Prevalensi kejadian penyakit parasiter
Setelah didapatkan hasil dan jumlah perhitungan parasit, kemudian
dihitung jumlah
prevalensi
penyakit
yang
disebabkan
parasit
menggunakan rumus :
Jumlah Ikan yang Terinfeksi
Prevalensi (%)
x
=
Jumlah Ikan yang Diperiksa
100%
dengan
Pemeriksaan fungi eksternal
Alat dan Bahan
I.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
11.
Alat
Dissecting set
Narnpan bedah
Neraca elektrik
Mistar
Deck glass
Objek glass
Bunsen
Mikroskop
Bahan
Ikan sampel
NaCl fisiologis steril
Aquades
Alkohol70%
Formalin 10%
KOH 10%
Alkohol bertingkat berupa alkohol 35%,
50%, 70% dan 90%
Xylol
Tahapan pemeriksaan
2.1. Melakukan pengamatan terhadap kondisi tubuh ikan sampel antara lain :
a. Mengukur panjang ikan
b. Menimbang berat ikan
c. Manentukan jenis kelamin ikan
d. Memeriksa kondisi ikan dan kelainan fisik (eksternal) yang meliputi kulit,
insang, lendir, sirip, dan lain-lain.
e. Memeriksa kelainan organ dalam (internal) yang meliputi hati, ginjal,
limpa, usus, jantung, dan lain-lain.
2.2. Melakukan nekropsi berupa pemeriksaan fungi eksternal, dengan cara:
a. Mengarnbil kerokan lendir kulit dari permukaan tubuh serta sirip dan
potongan
insang (eksternal), sedangkan untuk organ dalam (internal)
dilakukan pembedahan untuk melihat kelainan patologi pada organ dalam
b. Kemudian diletakkan pada slide 1 objek glass yang telah diberi NaCl
fisiologis
c. Diamati dengan mikroskop pada pembesaran 40 x - 100 x.
111. Angka Prevalensi kejadian penyakit mikotik
Setelah didapatkan hasil dan jumlah perhitungan fungi, kemudian dihitung
jumlah prevalensi periyakit yang disebabkan fungi dengan menggunakan rumus :
Jumlah Ikan yang Terinfeksi
Prevalensi ( O h )
x
=
100%
Jumlah Ikan yang Diperiksa
Pemeriksaan histopatologi
Ikan yang telah dieuthanasia dengan suhu rendah, kemudian difiksasi ke
dalarn larutan buffer formalin 10 %
Tubuh ikan di iris memanjang dan diproses secara rutin untuk pembuatan
sediaan histopatologi di Bagian Patologi FKH-IPB.
Sediaan histopat diwarnai dengan pewarna umum jaringan HeamtoxyllinEosin dan diamati di bawah mikroskop.
Larnpiran 15. Hasil isolasi dan identifikasi bakterj
Bakteri
UJI UTAMA
Motilitas
Tetes Gantung Media Kultur
Bentuk
Gram
Aerornonas sp.
Batang
-
+
+
-
Pseudornonas sp.
Batang
-
+
+
--
Katalase Oksidase
0IF
Glukosa
+
F
+
+
0
+
-
UJI LANJUTAN
Bakteri
Hemolisis
Aeronronas hydrophila
+
Pseudornonas fluorescens
--
Nitrat
Citrat
+
Lysin
--
TSIAIKIA
TSA
Mc.Conkey
+
Gelatin
MRNP
+
+
+
Sukrosa
+
+
Maltosa
+
+
Manitol
+
Escullin
Lampiran 16. Data curah hujan
Data Curah Hujan tahun 2005 Wilayah Bekasi
Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika
Data Curah Hujan Tahun 2005 Wtlayah Tangerang
Jan
507119
lPeb
(22Z11
lMar
1206113
lApr
115618
lMei
(22714
lJun
1162110
lJul
1-
lAgs
1157111
lSep
)61R
lOkt
1212110
lNop
)241110
lDes
1-
I
Sumber . Badan Meteorologi dan Geofisika
DATA CURAH HUJAN
Pos Hujan : Cibinong
Tahun 2005
I
Sumber . Badan Meteorolo~id ~ Geofisika
n
I
Larnpiran 16. Lanjutan
DATA CURAH HUJAN
Pos Hujan : Bogor
Tahun 2005
Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika
Lampiran 17. Lampiran KEPMEN. NO. 17/MEN/2003
Lampiran : Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor : KEP.l7/MEN/ZW3
Tentang Penetapan Jenis-jenis Hama dan Penyakit lkan
Karantina. Golongan. Media Pembawa dan Sebarannya
JENlSJENlS HAMA DAN PENYAKIT MAN KARANTINA, GOLONGAN, MENDIA PEMBAWA DAN SEBARANNYA
NO ORGAFilSME
1
PENYEBAB
2
Egi
MEDIA PEMBAWA
IKAN INANG
5
NAMA PENYAKlT
3
4
BUKAN INANG
6
NEGARA IDAERAH PENYEBARAN
LUAR NEGERl
INDONESIA
7
8
VIRUS :
1. Herpes v'rus lclaluri
I
Channel camsh virus
Disease (CCVD)
Channel catfish
(Ictaluius punctafus)Ilctaluris
lkan air tawar
Amerika Serikat. Honduras.
Belum ditemukan
2. Rhabdovirus Carpio
I
Spring Vfaemia of Carp (SCV) 6
Swimbladder lnflamation (SBI)
Mas (Cypnnus carpio).
lkan hias
lkan air tawar
Asia Tenggara. Eropa.
Negara Mediterania
Timur Tengah
Belum ditemukan
3
I
Infectious Pancreatic
N m s i s (IPN)
Salrncmidae.
Non Salmonidae terutama ikan subtropis
lkan air tawar
dan air laut
Empa. Amerika Serikat.
Jepang. Korea. Taiwan. Chilli
Australia
Belum ditemukan
4. IHN-virus (RhabdOvirus)
I
lnfecticus Haematopoetic
N m s i s (IHN)
Salmonidae
lkan air tawar
dan air laut
Amerika Serikat. Jepang
Eropa. Australia
Belum diiemukan
5
I
Lymphocystis
Kakap putih (Lates cakanfer).
lkan sebelah (Retodes eiumei).
Kerapu (Ephephelus sp).
Lobster (PBnuEius sp).
Tirarn Cichlasoma symsphilum
lkan air tawar
dan air laut
Amerika. Eropa. Australia.
Afrika. Asia. Guatemala.
IPN-virus (Birnavirus)
I(Birnawrus)
(Lim?hocystis wws)
Bali
6. IHHN-virus (Parvovirus)
I
Infection Hypodermal
and Haemacopoietic
Necrosis Disease (IHHN)
Penaeide
Udang laut
Amerika Tengah. Amerika
Selatan, Negara
lndo Pasifik (Hawai dan
Guam). Amerika Serikat
Jawa. Bali.
Sumatera
7. BP-wtus (Baculovirus)
I
Bacubvirus Penaei
Disease (BPD)
Penaeus slylirostris
Udang laut
Taiwan. Malaysia. Thailand
Philipina, lndo Pacifc.
Australia. Afrika. Eropa
Selatan. Amerika Serikat.
Jepang
Belum ditemukan
8. MBvirus (Baculovirus)
I
Monodon Baculovirus
Disease
Udang Windu (Penacus monodon)
Udang laut
Taiwan. Asia Tenggara, lndo
Pasifik. Australia, Afrika.
Eropa Selatan. Amerika Serikat.
Jawa. Bali.
Sumatera.
Sulawesi
NO ORGANISME
1
PENYEBAB
2
zE
MEDIA PEMBAWA
IKAN INANG
NAMA PENYAKIT
3
4
5
NEGARAIDAERAHPENYEBARAN
INDONESIA
LUAR NEGERl
8
7
BUKAN INANG
6
9. BMN-virus (Bculovirus)
I
B a C u l ~ v i Migutgland
~s
Necmsis Vlrus Disease
(BMNVD)
Penaeus jeponicus
Udang laut
Asia Tenggara. Australia
Jepang
Belum Diiemukan
10. YKvirus (Bawbvirus)
I
Yellow ~ e aDisease
i
Udang windu (Penaeus rnonodon)
penaide
Thailand. Taiwan. Australia
Jawa, Sumut.
Dl Aceh. KaRmantan
Bafat. Sulsd
11. HP-virus (Picronavirus)
I
Hepatopancreatic
Parvovirus (HPV)
Penaide dan Udang galah
(Macrobrachiurnspp)
Udang air lawar dan
air laut
Australia. China. Kwea
Taiwan. Philipina.
Malaysia. Singapura.
Kenya. Kuwait Israel
Jawa Tengah. Jawa
Timur. Sul-i
Selatan. Sumatera
Utara
12. TSvirus (Picronavi~s)
I
Taura Syndme (TS)
Penaide
Udang laut
Amerika Serikat. Amerika Latin
Belum ditemukan
13. SEMBvirus (Baculovirus)
I
WhRe Spot Disease
Penaide
Udang laut. Crustacea
laut (artemia)
Asia Tenggara
Jawa. Sumatera.
Sulawesi, M E . Ball
14. GE-viw ( P i i s )
I
Golden Eye Disease
(GED)ISl=PY
Grouper D i a s e
Kerapu (Epinephehcr sp)
lkan laut
Singapura. Australia. Malaysia
Sumatera Utam
15. LOP-vicus
I
Lymphoid Organ
Parvovifus (LOPV)
Wang windu (penaeus monodon)
Australia
Sumatera Ulwa
16. TCEvkus (Baculovi~s)
I
Type C Baculo Virus
VCBW
Wang windu (Penaeus monodon)
Australia
Sumatera Ulam
Sulawesi Selatan
17. VNN-vhs ( P i s )
I
V i Nervous Neaosis
Kerapu (Epimpheh sp). Kakap
(LuQcenus sp). Europbn bass
(Momna labax). Turgot (Scopthahnus
maximus). Pard fish (Opfegnamus
fasciatus)
Jepang. Thailand. Australia.
Tahiti. Perands. Norwegia
Bali. Lampung
Jawa
Eropa. Jepang. Rusla.
Israel. Kwea. Amerika Serikat.
Malaysia
Jawa
WNV)
18. Herpssnsnm
cypn'n'
I
Fsh Pox. EpiWiana
PapMosum (Herpasvirus
of-)
Cypcindae
Ikon air tawar non
Cypnnidae
NO ORGANISME
PENYEBAB
2
1
Fs
NAMA PENYAKIT
MEDIA PEMBAWA
IKAN INANG
3
4
5
1. A e m n a s
I
FUN~W~OS~S
Salmonidae. Cyprinidae
Anguilldae. Ranidae
2. Renibactchumsalmoninarum
I
Bacterial Kidney Disease
(BKD)
3. hfj&aderium mannum
-tium
chebnel
hlywbaderium btuitum
II
F i Tuberculosis
4. &ocafdia W o k spisiesnya)
I
Nocardasis
5. Edwardskia tafda
II
Edwardstellosis
Emphisemateous
Putrefadive-Dii
of Cat5sh (EPDC)
6. EdwafdskXaictakmri
I
Enterk Septicaemia of
C a m (ESC)
7. s b w o o x w s s p p
II
Streptococcosis
BUKAN INANG
6
NEGARA IDAERAH PENYEBARAN
INDONESIA
LUAR NEGERI
8
7
BAKTERIA :
I(dicekyangasa1)Uar~')
(Fish Mycobaderiosis)
lkan air tawar dan
lkan air laut
Amerika Serikat. Jepang, Eroph.
Australia
Jawa. Dl Aceh
Salmonidae (chinook, chun, sock eye, pink,
ceho, cherry, atlantik salmon)
lkan air tawar dan
lkan air laut
Amerika Serikat, Jepang, Perancjs
Empa. Australia. Kanada. Inggris.
Jennan, Iceland. Spanyol. Chilli.
Italy. Yugoslavia
Belum ditemukan
lkan air tawar :Gurame (Osphmnemus
gurame). Cupang (&fa spknder).
Katak lembu (Rana cahsbiana).
Salmonidae. Gud (Gadus morchua). Karper
l b n air tawar dan
lkan air laut
Amerika Serikat. Jepang, Perancis.
Thailand. Empa, lnggris
Jawa. Sumatera.
Bafi, Sulawesi Utara
lkan air tawar : Yellow tail (Seriola
gungueradiafa). Sepat (Tkhogaster
pectolaris)dan ikan air laut
lkan air tawar dan
lkan air laut
Amerika Sefikat. Jepang. Empa.
Asia, Australia
Belum diiemukan
Chanel catfsi h (Ictabrus punctstus).
Sidat (AnguiNa spp). Salmonidae.
.N
ib {Omochmmis sp)
Bulu babi (Diadema sefosum)
Lele (Clarias spp). LabiJabi (Tnbnyx
ca!tflagineous). Mas koki (Carsssius
aurahcr). Gurame (Osphronemus
gurame). Molusca
lkan air tawar dan
lkan air laut
Empa. Jepang. Taiwan
Thailand. Amerika Serikat.
Malaysia .
Jawa. Sumatera.
Kalimantan
Chanel caffish (Ictabruspundatus).
Lele lokal (Clarias batraws)
Anguilla. Yellow TaB. Flounder, Kura-kura,
Buaya. Lele Dumbo (Cladas gariepinus).
Gold Fish. Belanak (Mug'lsp)
lkan air tawar
Amerika Serikal. Amerlka
Selatan
Belum dnemukan
lkan air tawar dan air laut. Katak
(Rana sp), S i t (AnguiIa spp)
lkan air tawar dan
air laut
Eropa. Jepang, Taiwan,
Afrika selatan. singapore
Jawa. Sumatera
Sulawesi
*
NO ORGANISME
PENYEBAB
2
I
2:
MEDIA PEMBAWA
IKAN INANG
5
NAMA PENYAKIT
4
3
NEGARAIDAERAHPENYEBARAN
INDONESIA
LUAR NEGERI
8
7
BUKAN INANG
6
8 Pasteurelli piscida
II
Pasteurellosis
lkan laut tewtama Red Grouper.
Stripedbass (Mcrone sexatillis),
Salmonidae. Mas kokl (Camsius
aumtus). Lele (Clerias spp),
Katak lembu (Rena catesbiane), White
Perch (Roccus emekanus dan Momne
americanus),Yellow Tail (Seriola
qulnquimdieta), Red Sea Brem, Black Sea
Brem, Parrot Bass (Oplegnathuspuncatus),
Kerapu Lumpur (Elpnephelus tauvina)
lkan air tawar dan
air laut
Eropa, Taiwan, Australia
Amerika Serikat, Jepang
Jawa, Sumatera
Utara
9, Yeninia wckeM[dicek)
iI
Enteric Red Mouth
Disease (ERM)
Salmonidae, Mas Koki (Caiassius
aumtus). NNa (Omochmrnis niloticus)
Sidat (Anguilla anguille,
Mas (Cypfiunus caplo),
Lele (Clarias batracus),
Jelawat (Leptobadus hoeveni)
Rainbow Trout
lkan air tawar dan
air iaut
Australia, Kanada. inggris,
Amerika Serikat
Jawa, Surnatera
Barat, Rleu,
Kalimantan Selatan
10. Aerccoccus vifidans var
I
Gamtemi
Udang kanng (Homerus emericenus).
Udang karang (Homerus vulgems),
Udang cokiat (Penaeus szbcus),
Crab (Cancer horatu), Blue Crab
(Calllnectes sapidus), Caliomia Spiny
Lobster (Panulirus spp)
Udang laut, Lobster,
Crayfish
Amerika Serikat, Kanada
Eropa
Belum ditemukan
I
Red Spot Disease
Sidat Jepang (Anguilla~aponlce),
Sldal Eropa (Angullla anguille),
Kakap Putih (Lates calcalifer).
Kerapu ayu, Salmon
Jepang, Tawan, Malaysia,
Skotlandia, Finlandia
Belum ditemukan
1 Myxobous (Myxosoma)
cerebralis
I
Whi~lingDisease
SalmonMae
lkan air tawar dan
air iaut
Amerika Serlkat, Eropa. Rusla,
Jepang, Selandia Baru, Taiwan
Beium ditemukan
2. Pleistophorahyphessobrycon
I
Pleistophorosis
Neon tetra (Hyphessobfycon innese )
lkan air tawar
Amerika Serikat, Eropa
Jawa Barat
3. Pleistuphom anguillarum
I
Pleistophwosis
Eel (Anguillajeponica )
lkan air tawar
Jepang
4. Ceratomyxa shasta
I
Ceratomyxosis
Salmo galadneri
lkan air tawar dan
air laut
Amerika Serikat, Kanada
Homari
11. Pseudomonas anguillaseptice
PARASIT :
NO ORGANISME
2
1
5
PENYEBAB
Henneguya exillis
Ezk:
MEDIA PEMBAWA
IKAN INANG
5
NAMA PENYAKIT
3
4
NEGARA IDAERAH PENYEBARAN
INDONESIA
LUAR NEGERI
7
8
BUKAN INANG
6
I
Henneguyan Disease
Channel caMsh (Ictalums punctatus),
lkan air tawar dan
Tambakan (Helostoma temminckii), Mas Koki air laut
(Caracius aufatus), Jambal slam
(Pangaslus sutchii). Tawes (Punctius
javanicus )
Amerika Serikat
Jawa, Riau
I
Cotton Shrimp Disease
Penaeidae
Udang laut
Arnerika Serikat
Sumatera Utara
Thelohania penael
I
Cotton Shrimp Disease
Panaedae
Udang laut
Amerika Serikat
Sumatera Utara
8. Bonamia ostrease
I
Bonamiosis
Tiram (Ostrea edulis)
Tiram (Ostrea spp)
Kerang-kerangan iaut
Eropa. Amerika Utara.
Selandia Baru
9. Haplosporidiumnelsonii
I
Haplosporidiosis
Tiram (Crasscstrea virginice)
Kerang-kerengan laut
Pantai Atlantik. Amerika Utara
Belum diemukan
10. Haplosporidiumcostak
I
Haplosporidiosis
Tiram (Crassostrea virginice)
Kerang-kerangan laut
Pantai Atlantik, Amerika Utara
Belum dlemukan
1 1. MarteNia refringes
I
Marteiliosis
Tiram (Ostre edulis)
Kerang-karangan laut
Prancis. Spanyol, Belanda
Belurn dllemukan
12 Marte'lia sydneyii
I
Marteiliosis
Tiram (Crassostrea commercialis)
Kerang-kerangan laut
Pantai Atlantik, Amerika Utara
Belum diemukan
13. Perkinsus mannus
I
Perkinsiosis
Tiram (Crasso,+treavirginica)
Kerang-kerangan laut
Pantai Atlantik, Amerika Utara
Belum dllemukan
14. Ergasilus sieboldi
II
Ergasiliosis
Salmonidae. Cyprinidae
lkan air lawar dan
ikan air laut
Jepang, Eropa, Amerika
Jawa Barat
15 Nosema sp
I
Penyakii tumor putii
Jambal alam (Pangasius sutchii)
lkan air tawar
Thailand
Jawa Barat
16. Lytoceatus parvulus
II
Lytoceatosis
Lele (Clarias spp r
lkan air tawar, Cacing
sutera
17. Paragonimuspulmonalis
I
Paragonirniasis
Crayfish (Enocheir slnensis)
Kepling air tawar
6 . Thelohan~aduorara
7
Jawa
China, Thailand,
Amerika Selatan, Afrlke,
India, Taiwan. Phiilpina,
Jepang, Korea
Jawa, Sumatera
NO ORGANISME
PENYEBAB
2
1
zi
NAMA PENYAKrr
4
3
MEDIA PEMBAWA
IKAN INANG
5
BUKAN INANG
6
NEGARA IDAERAH PENYEBARAN
INDONESIA
LUAR NEGERI
8
7
hlIKOTIK :
1. lchthyophonus hofferi
I
Sand paper disease.
Swinging Diseases.
lchthyoporosis
Cluepea harengus Salmo galrdnen
Salvelinus fontinalis.
Swmber scomberus
Hyphessobrycanhetemhabdus
lkan air tawar dan
ikan air laut
Arnerika Serikat. Eropa
Belurn diiemukan
2. Branchiomyces sanguins
I
Branchiomymsis
lkan Mas (Cyprinus carpio),
Mas Koki (Carasius auratvs),
Tinca-tinca.
Salmonidae (Gastemsteusacuelatvs).
Pike (Esox Lucius)
lkan air tawar dan
ikan air laut
Jerman. Pdandia. Italia.
Jepang, India. Arnerika Serikat
Belum diternukan
3. Brancbiomyces demQmne
I
Branchiornycosis
lkan Mas (Cyprinus carpo),
Mas Koki (Carasiusaurafus).
Tinca-tine..
Salmonidae (Gasterosteus acuelatvs).
Pike (Esox Luuus)
lkan air tawar dan
ikan air laut
Jerman. Cekoslwakia.
Itali. Polandia. Jepang.
India dan Amerika
Serikat
Belum diternukan
4. Anphamyces astaci
I
Aphanornpis
Lobster air tawar (Asracus-astacus )
Sea Mullet, Y e l h Fin
Bream. Sand Whiing
Crab (Eriotreir ainensis).
Lele (Clarias sp).
lkan air tawar dan
ikan air laut
Eropa, Australia,
Jepang. Thailand, dan
Philipina
Jawa Barat
5. Aphanomyces invadens
I
EUS (Epizootic Ulcerative
Syndmrne)
Gurame (Ospdtmnemous gournmy),
Climbing Perch (Anabastesludneus).
Silver Peizh (Bidyanus bydianus).
Bdanak (Mugil sp). Indian Carp.
Gabus (Ophiocephalus striatvs)
lkan air tawar
Pakistas. Kamboja. Nepal.
Vetnarn. Thailand. Mesir.
Arnerika Serikat. Bangladesh.
Belum diiemukan
Download