STUDI KERASIONALAN PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN PNEUMONIA RAWAT JALAN DI BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT (BKPM) WILAYAH MAGELANG PERIODE MEI-AGUSTUS 2016 BERDASARKAN KATEGORI TEPAT OBAT, TEPAT DOSIS DAN TEPAT PASIEN ARTIKEL Oleh : RISKA DWI UTOMO 050214A003 PROGRAM STUDI FARMASI UNIVERSITAS NGUDI WALUYO UNGARAN FEBRUARI, 2017 STUDI KERASIONALAN PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN PNEUMONIA RAWAT JALAN DI BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT (BKPM) WILAYAH MAGELANG PERIODE MEI-AGUSTUS 2016 BERDASARKAN KATEGORI TEPAT OBAT, TEPAT DOSIS DAN TEPAT PASIEN ARTIKEL diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi Oleh : RISKA DWI UTOMO 050214A003 PROGRAM STUDI FARMASI UNIVERSITAS NGUDI WALUYO UNGARAN FEBRUARI, 2017 HALAMAN PENGESAHAN Artikel berjudul : STUDI STUDI KERASIONALAN KERASIONALAN PENGGUNAAN PENGGUNAAN OBAT OBAT PADA PADA PASIEN PASIEN PNEUMONIA PNEUMONIA RAWAT RAWAT JALAN JALAN DI DI BALAI BALAI KESEHATAN KESEHATAN PARU PARU MASYARAKAT (BKPM) WILAYAH MAGELANG PERIODE MEIMASYARAKAT (BKPM) WILAYAH MAGELANG PERIODE AGUSTUS 2016 BERDASARKAN KATEGORI TEPATTEPAT OBAT, MEI-AGUSTUS 2016 BERDASARKAN KATEGORI TEPAT DOSIS DANDAN TEPAT PASIEN OBAT, TEPAT DOSIS TEPAT PASIEN Disusun oleh: RISKA DWI UTOMO NIM. 050214A003 PROGRAM STUDI FARMASI UNIVERSITAS NGUDI WALUYO telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing dan telah diperkenankan untuk diujikan. Ungaran, Februari 2017 Pembimbing Utama Nova Hasani F, S.Farm., M.Sc., Apt. NIDN. 0611118401 STUDI KERASIONALAN PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN PNEUMONIA RAWAT JALAN DI BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT (BKPM) WILAYAH MAGELANG PERIODE MEI-AGUSTUS 2016 BERDASARKAN KATEGORI TEPAT OBAT, TEPAT DOSIS DAN TEPAT PASIEN Nova Hasani Fudianti1, Richa Yuswantina1, Riska Dwi Utomo1 1 Program Studi Farmasi Universitas Ngudi Waluyo Email : [email protected] ABSTRAK Pneumonia merupakan infeksi di ujung bronkhiol dan alveoli yangdapat disebabkan oleh bakteri, jamur, virus dan parasit. Pengobatan pneumonia terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Penggunaan obat harus rasional untuk menjaga mutu pelayanan dan keamanan obat. Penelitian ini bertujuan adalah untuk mengetahui kerasionalan penggunaan obat pneumonia pasien rawat jalan berdasarkan kategori ketepatan obat, ketepatan dosis dan ketepatan pasien di BKPM Wilayah Magelang periode Mei – Agustus 2016. Penelitian ini berupa penelitian non eksperimental. Pengambilan data dilakukan dengan total sampling secara retrospektif. Penelitian dilakukan terhadap 86 data rekam medis pasien pneumonia. Analisis data kerasionalan penggunaan obat dibandingkan dengan standar terapi Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia di Indonesia dan Drug Information Handbook. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pasien pneumonia pada laki-laki sama dengan perempuan 50% dan terbanyak pada umur 56-65 tahun sebesar 31,40%. Obat antibiotik yang banyak digunakan yaitu golongan sefalosporin cefixime sebesar 73,26% dan obat non antibiotik yaitu Glyceril Guaiacholat sebesar 21,64%. Ketepatan obat antibiotik sebesar 95,36% dan ketepatan obat non antibiotik sebesar 98,35%. Pasien dengan ketepatan dosis antibiotik sebesar 20,94% dan non antibiotik sebesar 84,60%. Ketepatan pasien sebesar 100%. Kerasionalan penggunaan obat kategori tepat obat sebanyak 95,36% tepat obat antibiotik dan 98,35% tepat obat non antibiotik; kategori tepat dosis sebanyak 20,94% tepat dosis antibiotik dan 84,60% tepat dosis non antibiotik; serta kategori tepat pasien sebanyak 100%. Kata kunci : pneumonia, kerasionalan, tepat obat, tepat dosis, tepat pasien ABSTRACT Pneumonia is an infection in the end of bronkhiol and alveoli that can be caused by bacteria, fungi, virus and parasyte. Treatment of pneumonia consist of antibiotics and supportive treatment. Use of drugs must be rational to mantain quality of service and safety of drug. This research is aimed to know the rationality of drug use in outpatient patients with pneumonia based on the appropiate of drug, dose and patient in BKPM Magelang region period May – August 2016. The research was a non eksperimental. Data collection was performed by total sampling retrospectively. The research was conducted on 86 medical records of pneumonia patients. The data analyzed the rationality of drug use comparable with standard therapy Guidelines for Diagnosis and Management of Pneumonia in Indonesia and Drug Information Handbook. 1 The result of research indicated that the pneumonia patients in male and female with equal percentage by 50% and mostly at age 56-65 years old by 31,40%. Antibiotic drug widely used was the class of cephalosporins cefixime by 73,26% and nonantibiotic drug was Glyceril Guaiacholat by 21,64%. Appropiate antibiotic drug was 95,36% and appropiate non-antibiotic drug was 98,35%. The patients with appropiate antibiotic dose were 20,94% and non antibiotic were 84,60%. Appropiate patient was 100%. The rationality of drug use with appropiate of drug category, shows that 95,36% for appropiate antibiotic drug and 98,35% for appropiate non-antibiotic drug; in appropiatedose category shows that 20,94% for appropiate antibiotic drugs dose and 84,60% for appropiate non-antibiotic drugs dose; and appropiate of patient category is 100%. Keywords : pneumonia, rationality, appropiate drug, appropiate dose, appropiate patient PENDAHULUAN Pneumonia merupakan infeksi di ujung bronkhiol dan alveoli yang dapat disebabkan oleh berbagai patogen seperti bakteri, jamur, virus dan parasit. Pneumonia dapat terjadi sepanjang tahun dan dapat melanda semua usia3. Insidensi pneumonia pada anak <5 tahun di negara maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun, sedangkan di negara berkembang 10-20 kasus/100 anak/tahun5. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, pneumonia merupakan penyebab kematian kedua setelah diare (15,5% diantara semua balita) dan selalu berada pada daftar 10 penyakit terbesar setiap tahunnya di fasilitas kesehatan10. Pengobatan pneumonia terdiriatas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya12. Penggunaan obat yang tidak rasional, menjadi masalah dalam pelayanan kesehatan karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi. Penggunaan obat dikatakan tidak rasional apabila kemungkinan memberikan manfaat sangat kecil atau tidak ada samasekali, sehingga tidak sebanding dengan kemungkinan efek samping atau biayanya16. Ketidak-rasionalan penggunaan obat yang sering terjadi adalah polifarmasi, penggunaan obat non essensial, penggunaan antimikroba yang tidak tepat, penggunaan injeksi secara berlebihan, penulisan resep yang tidak sesuai dengan pedoman klinis, ketidakpatuhan pasien (non-compliency) dan pengobatan sendiri secara tidak tepat9. Penggunaan obat yang rasional merupakan upaya yang penting dalam rangka menjamin mutu pelayanan kesehatan dan keamanan penggunaan obat15. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kerasionalan penggunaan obat pada pasien pneumonia di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Wilayah Magelang berdasarkan tepat obat, tepat dosis dan tepat pasien METODE Penelitian ini adalah penelitian non eksperimental menggunakan rancangan deskriptif dengan pendekatan secara retrospektif. Data penelitian menggunakan data sekunder yaitu data rekam medis pasien. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh pasien pneumonia di BKPM Wilayah Magelang periode Mei-Agustus 2016. Kriteria sampel yang digunakan dalam penelitian harus memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Kriteria inklusi merupakan persyaratan umum yang dapat 2 diikutsertakan ke dalam penelitian. Kriteria inklusi antara lain : Pasien pneumonia rawat jalan dan catatan rekam medis yang lengkap. Kriteria eksklusi merupakan keadaan yang menyebabkan subjek yang memenuhi kriteri inklusi tidak dapat diikutsertakan. Kriteria eksklusi yaitu pasien dengan catatan rekam medis yang tidak terbaca atau sobek. Setelah dilakukan studi pendahuluan diperoleh jumlah sampel hanya sebanyak 86 sampel. Sehingga teknik pengambilan sampel menggunakan teknik Total Sampling yaitu teknik pengambilan sampel didasarkan jumlah total populasi atau sampel yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalahAnalisis Deskriptif. Data yang didapatkan diolah dengan cara frekuensi dibagi dengan jumlah sampel dikali 100 persen, f P= ×100% n Keterangan:P = Persentase f = Frekuensi n = Jumlah total observasi Menggunakan rumus tersebut, dihitung persentase karakteristik pasien meliputi persentase jenis kelamin dan persentase umur serta dilakukan perhitungan persentase obat pneumonia yang digunakan. Selanjutnya data yang diperoleh dibandingkan guna analisis kerasionalan dengan standar terapi yang telah ditetapkan yaitu Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia di Indonesiauntuk analisis ketepatan obat dan Drug Information Handbook untuk analisis ketepatan dosis dan ketepatan pasien. Mengukur persentase kerasionalan penggunaan obat yang terdiri atas tepat obat, tepat dosis, dan tepat pasien dihitung dengan menggunakan rumus : jumlah kasus tepat obat % tepat obat = ×100% jumlah kasus jumlah kasus tepat dosis % tepat dosis = ×100% jumlah kasus jumlah kasus tepat pasien % tepat pasien = ×100% jumlah kasus HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pasien Tabel 1. Distribusi Karakteristik Pasien Pneumonia Rawat Jalan di BKPM Wilayah Magelang Periode Mei-Agustus 2016 Kategori Pasien Jenis Kelamin Laki-laki Umur Jumlah Jumlah Total Persentase (%) % Total Perempuan 43 43 86 50 50 100 0-5 tahun 6-11 tahun 12-16 tahun 17-25 tahun 26-35 tahun 36-45 tahun 46-55 tahun 56-65 tahun >65 tahun 5 4 5 6 8 8 11 27 12 86 5,81 4,65 5,81 6,98 9,30 9,30 12,79 31,40 13,96 100 Karakteristik pasien dalam penelitian meliputi data jenis kelamin pasien dan umur pasien. Data karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin pada penelitian 3 menggunakan data jenis kelamin laki–laki dan perempuan untuk mengetahui pengaruh jenis kelamin terhadap tingkat penyebaran penyakit pneumonia. Pada tabel 1 diketahui dari total 86 sampel, jumlah pasien pneumonia perempuan dan laki-laki memiliki jumlah sama yaitu 50% atau masing-masing sebanyak 43 orang. Hal ini menunjukkan bahwa jenis kelamin perempuan maupun laki-laki mempunyai peluang yang sama menderita pneumonia. Peran gender atau jenis kelamin sebagai faktor risiko pneumonia masih belum jelas, seperti hasil studi yang tidak konsisten. Dalam studi yang dilakukan, dua penelitian memberikan hasil laki-laki menjadi faktor risiko pneumonia komuniti, tapi tidak menunjukkan faktor yang signifikan pada dua studi lain7. Beberapa penelitian memberikan hasil yang berbeda-beda terkait jenis kelamin pada penyakit pneumonia. Meskipun secara umum hampir semua penelitian menyatakan secara konsisten bahwa jenis kelamin laki-laki lebih berisiko terkena pneumonia, hal ini disebabkan diameter saluran pernapasan anak laki-laki lebih kecil dibandingkan dengan anak perempuan atau adanya perbedaan dalam daya tahan tubuh antara anak laki-laki dan perempuan, namun ada beberapa yang menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna15. Banyak faktor yang dapat meningkatkan resiko pneumonia komuniti diantaranya kebiasaan merokok, penyakit kronis (penyakit kardiovaskuler, penyakit paru, diabetes melitus, dan gagal ginjal), keadaan imunodefisiensi dan faktor lingkungan. Selain itu, gaya hidup juga turut mempengaruhi angka kejadian pneumonia komuniti2. Data umur pasien digunakan untuk mengetahui pengaruh bertambahnya umur terhadap penyakit pneumonia. Kategori umur pada penelitian ini menggunakan kategori umur menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2009) yang dibagi menjadi 9 kelompok umur yaitu masa balita (0-5 tahun), masa kanak-kanak (6-11 tahun), masa remaja awal (12-16 tahun), masa remaja akhir (17-25 tahun), dewasa awal (26-35 tahun), dewasa akhir (36-45 tahun), lansia awal (46-55 tahun), lansia akhir (56-65 tahun) dan manula (65 tahun ke atas). Tabel 1 menunjukkan jumlah pasien pneumonia lebih banyak dialami pada pasien dengan rentang umur 55-65 tahun sebanyak 31,4% diikuti rentang umur >65 tahun (13,96%) dan 46-55 tahun (12,79%). Berkaitan dengan data tersebut dapat disimpulkan hasil penelitian yang diperoleh berbeda dari teori yang menyebutkan bahwa kelompok umur >65 tahun dan balita lebih beresiko terserang pneumonia. Hasil penelitian juga memperlihatkan pada kelompok umur 0-5 tahun sampai kelompok umur 6-11 tahun mengalami penurunan. Kemudian meningkat mulai kelompok yang lebih tua, dimungkinkan karena kelompok usia yang lebih muda cenderung lebih rentan terinfeksi oleh mikroorganisme. Umur mempunyai pengaruh signifikan terhadap kejadian pneumonia karena beberapa alasan antara lain : pertama, bertambahnya umur memberikan penurunan efek pada fisiologi paru-paru yang ditandai hilangnya elastisitas. Kedua, umur berkaitan dengan penurunan respon imun serta yang terakhir adalah umur juga terkait tingginya kejadian kondisi komorbid yang berdampak pada frekuensi dan prognosis pneumonia8. Selain usia lanjut, balita juga rentan terhadap pneumonia dikarenakan sistem imun tubuh belum berkembang secara lengkap17. Studi pada subjek manusia sehat bahwa penambahan usia membawa perubahan penting pada respons imun alami dan adaptif, disebut immunosenescence. Konsekuensi klinis immunosenescence meliputi peningkatan kerentanan infeksi, keganasan dan penyakit autoimun, penurunan respons vaksinasi serta gangguan proses penyembuhan luka pada pasien usia lanjut13. 4 Gambaran Penggunan Obat Terapi pada pneumonia dibagi menjadi terapi antibiotik dan terapi supportif/simptomatis (non antibiotik). Gambaran penggunaan obat bertujuan untuk mengetahui distribusi obat antibiotik dan obat non antibiotik yang digunakan pada penderita pneumonia di BKPM Wilayah Magelang. Tabel 2. Distribusi Penggunaan Antibiotik Pasien Pneumonia Rawat Jalan di BKPM Wilayah Magelang Periode Mei-Agustus 2016 Golongan Tunggal : Sefalosporin Nama Obat Jumlah Persentase (%) Cefixime Cefadroxil Azitromycin Levofloxacin Amoxicilin 63 13 4 3 1 73,26 15,12 4,65 3,49 1,16 2 86 2,32 100 Makrolid Kuinolon Penicilin Kombinasi : Cefixime – Azitromycin Total : Pengobatan pneumonia di BKPM Wilayah Magelang antibiotik diberikan dengan dua cara pemberian yaitu pemberian antibiotik monoterapi dan kombinasi. Penggunaan antibiotik secara empiris dari hasil penelitian di dominasi monoterapi antibiotik, pemakaian paling banyak pada antibiotik cefixime dengan persentase 73,26%. Kombinasi antibiotik yang digunakan yaitu cefixime−azitromycin hanya sebesar 2,32%. Tabel 3. Distribusi Obat Non Antibiotik Pasien Pneumonia Rawat Jalan di BKPM Wilayah Magelang Periode Mei-Agustus 2016 Kelas Terapi Bronkodilator Agonis Reseptor β-2 Adrenergik Antihistamin Kortikosteroid Mukolitik Antasida Ekspektoran Antagonis Reseptor H-2 Analgesik Antipiretik Antihipertensi Antitusif Vitamin Antifibrinolitik NSAID Total : Nama Obat Aminofilin Salbutamol Cetirizine Metil Prednisolon Dexametason Ambroxol N-Asetilsistein Antacid Gliseril Guaiakolat OBH Ranitidin Parasetamol Amlodipin Codein Vitamin B Complex Vitamin C Neurodex Curcuma Becefort Vitamin K Asam Traneksamat Profen Na Diklofenak Jumlah 36 40 8 33 10 14 7 3 66 11 7 20 8 3 1 3 13 7 3 1 6 4 1 305 Persentase (%) 11,80 13,12 2,62 10,82 3,29 4,59 2,30 0,98 21,64 3,61 2,30 6,54 2,62 0,98 0,33 0,98 4,26 2,30 0,98 0,33 1,97 1,31 0,33 100 5 Cefixime merupakan salah satu antibiotik golongan sefalosporin generasi tiga yang digunakan khususnya untuk penderita ISPA dan demam typhoid. Cefixime memiliki spektrum antibakteri yang luas terhadap mikroorganisme gram-positif dan gram-negatif. Cefixime memiliki aktivitas yang poten terhadap organisme gram-positif seperti Streptococcus sp, Streptococcus pneumoniae dan gram-negatif seperti Branhamella catarrhalis, Escherichia coli, Proteus sp, Haemophillus influenzae. Cara kerjanya adalah sebagai bakterisidal1. Sefalosporin termasuk ke dalam golongan obat βlaktam yang mempunyai mekanisme kerja sebagai penghambat selektif dari sintesis dinding sel bakteri, sehingga menghambat pertumbuhan bakteri saat bakteri melakukan pembelahan6. Obat supportif atau simptomatis biasanya diberikan sebagai pendamping atau pendukung obat antibiotik pada penderita pneumonia, dengan tujuan untuk mengatasi gejala-gejala yang dialami pasien.Obat simptomatis (non antibiotik) yang paling banyak digunakan adalah obat golongan ekspektoran dengan persentase 25,25% diikuti dengan golongan obat kortikosteroid dengan persentase 14,11%; obat agonis reseptor β-2 adrenergik 13,12%; obat bronkodilator 11,80%; obat vitamin 9,18% dan obat mukolitik sebesar 6,89%. Kerasionalan Penggunaan Obat Kerasionalan penggunaan obat perlu diperhatikan agar pasien mendapatkan obat secara tepat dan adekuat sesuai kebutuhan klinis. Penelitian kerasionalan penggunaan obat untuk mengetahui penggunaan obat pada pasien pneumonia dalam diberikan secara rasional atau belum. Kategori kerasionalan obat yang digunakan adalah kategori tepat obat, tepat dosis dan tepat pasien. Tabel 4. Ketepatan Obat Antibiotik dan Non Antibiotik Pasien Pneumonia Rawat Jalan di BKPM Wilayah Magelang Periode Mei-Agustus 2016 Antibiotik Non Antibiotik Tepat Obat 82 Persentase 95,36% Tidak Tepat Obat 4 Persentase 4,64% Total 86 300 98,35% 5 1,65% 305 Tepat obat adalah pemilihan obat sesuai dan aman bagi pasien. Pemilihan obat yang tidak tepat dapat menyebabkan pengobatan yang tidak optimal4. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan kerasionalan penggunaan obat pneumonia berdasarkan tepat obat untuk jenis obat antibiotik dari total 86 sampel pasien diperoleh ketepatan antibiotik sebesar 95,36% dan jumlah pasien yang tidak tepat sebanyak 4 pasien (4,64%). Sedangkan ketepatan non antibiotik mencapai 98,35% atau sebanyak 300 kali peresepan. Tabel 5. Ketepatan Dosis Antibiotik dan Non Antibiotik Pasien Pneumonia Rawat Jalan di BKPM Wilayah Magelang Periode Mei-Agustus 2016 Antibiotik Non Antibiotik Tepat Dosis 18 Persentase 20,94% Tidak Tepat Dosis 68 Persentase 79,06% Total 86 258 84,60% 47 15,40% 305 Ketepatan dosis ditinjau dari jumlah (miligram) obat per hari yang dikonsumsi pasien. Hasil penelitian menunjukkan ketepatan dosis antibiotik pada pasien pneumonia rawat jalan di BKPM Wilayah Magelang sebesar 20,94% sudah tepat dosis, sisanya 79,06% tidak tepat dosis. Jumlah kasus tidak tepat dosis antibiotik mencapai 68 pasien. Sebagian besar jumlah ketidaktepatan dosis antibiotik terjadi pada kurang dosis 6 cefixime tablet yang dipakai oleh sejumlah 59 pasien (68,61%). Pemberian dosis yang kurang mengakibatkan obat dalam keadaan subterapetik sehingga dosis tidak adekuat dan tidak memberikan efek terapi. Selain itu, obat golongan antibiotik jika diberikan kurang dari lama terapi yang dibutuhkan akan berdampak timbulnya resistensi pada antibiotik tersebut. Hal ini merupakan masalah kesehatan yang serius dan dapat menambah biaya terapi bagi pasien. Selanjutnya analisa ketepatan dosis obat non antibiotik pada 86 pasien dengan total penggunaan non antibiotik sebanyak 305 kali peresepan. Hasil penelitian setelah dilakukan perhitungan dan analisa, obat non antibiotik sudah tepat dosis sebesar 84,60% atau 258 peresepan dengan sisa 15,40% (47 peresepan) yang termasuk kategori tidak tepat dosis. Pemberian dosis yang kurang menyebabkan efek obat tidak optimal sedangkan pemberian dosis yang berlebihan dapat menyebabkan meningkatnya risiko efek samping obat. Tabel 6. Ketepatan Pasien Pneumonia Rawat Jalan di BKPM Wilayah Magelang Periode Mei-Agustus 2016 Ketepatan pasien Jumlah Persentase (%) Tepat pasien 86 100% Tidak tepat pasien Suatu obat dapat dikatakan tepat pasien apabila penggunaan obat tersebut sesuai dengan kondisi patologis dan fisiologis masing-masing pasien serta tidak adanya kontraindikasi atau riwayat alergi pasien terhadap obat yang dikonsumsi. Berdasarkan analisa ketepatan pasien terhadap obat antibiotik maupun non antibiotik pada pasien pneumonia di BKPM Wilayah Magelang sebanyak 100% tepat pasien, yang dibuktikan dengan tidak adanya pada rekam medis pasien tercantum atau tertulis kontraindikasi dan riwayat alergi. Dalam teori penelitian, obat yang digunakan pasien mempertimbangkan kondisi patofisiologis tubuh pasien bersangkutan. Riwayat alergi maupun penyakit penyerta kelainan hati, gangguan ginjal serta kondisi khusus seperti wanita hamil, laktasi, balita dan lansia harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat. KESIMPULAN 1. Karakteristik pasien perempuan dan laki-laki masing-masing sebanyak 50% dengan rentang umur tertinggi penderita yaitu 56-65 tahun (31,40%). 2. Obat antibiotik yang sering dipakai adalah obat cefixime sebanyak 74,26% dan obat non antibiotik adalah Glyceril Guaiacholat sebesar 21,64%. 3. Kerasionalan penggunaan obat kategori tepat obat sebanyak 95,36% tepat obat antibiotik dan 98,35% tepat obat non antibiotik ; kategori tepat dosis sebanyak 20,94% tepat dosis antibiotik dan 84,60% tepat dosis non antibiotik; serta kategori tepat pasien sebanyak 100%. UCAPAN TERIMA KASIH Seluruh civitas akademika Universitas Ngudi Waluyo Ungaran, seluruh karyawan Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Wilayah Magelang, Bapak Ibu saya tercinta serta saudara-saudara saya. 7 DAFTAR PUSTAKA 1. AHFS. (2010). AHFS drug information. American Society of Health-System Pharmacy. USA : ASHP Incorporation. 2. Dahlan Z. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat-Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 3. Depkes RI. (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan. Jakarta: Depkes RI. 4. Gunawan, S.G. (2007).Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Hal 667-719. Jakarta: Penerbit FKUIs. 5. IDAI. (2009). Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: IDAI. 6. Istiantoro, Y.H, dan Gan. V.G.H. (2007). Penisilin, Sefalosporin dan Antibiotik Betalaktam Lainnya dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima. Jakarta: Editor Sulistia G. Ganiswara. 7. Jordi, Almirall. Mateu Sera-Prat, Ignasi Bolibar. (2015). Risk factors for community-acquired pneumonia in adults: Recommendations for its prevention.Journal: Community Acquired Infection. volume 2. P: 32-37. 8. José M. Sahuquillo-Arce,Rosario Menéndez,Raúl Méndez,Isabel AmaraElori,Rafael Zalacain,Alberto Capelastegui,Javier Aspa,Luis Borderías,Juan J. Martín-Villasclaras, Salvador Bello Inmaculada Alfageme,Felipe Rodriguez De Castro,Jordi Rello,Luis Molinos,Juan Ruiz-ManzanoAntoni Torres. (2016). Agerelated Risk Factors For Bacterial Aetiology in Community-Acquired Pneumonia. Journal: APSR. resp.12851. 9. Kemenkes RI. (2006). Permenkes: Kebijakan Obat Nasional. Jakarta: Kemenkes RI 10. Kemenkes RI. (2010). Buletin Jendela Epidemiologi: Pneumonia Balita Volume 3. Jakarta: Kemenkes RI. 11. Kemenkes RI. (2011).PedomanUmumPenggunaanAntibiotik.Jakarta: Kemenkes RI. pp:1-60. 12. PDPI. (2003). Pneumonia Komuniti: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Persatuan Dokter Paru Indonesia. 13. Putri, Rizki Maulidya. (2014). Tinjauan Imunologi Pneumonia Pada Pasien Geriatri. CDK-212/ vol. 41 no. 1. 14. Sastramihardja. HS. (1997). Penggunaan Obat yang Rasional di Tempat Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia. 15. Sunyataningkamto. (2004). The Role of Indoor Air Pollution and Other Factors in The Incidence of Pneumonia in Under-five Children. Pediatrica Indonesiana, pp. Vol.44; 1-2. 16. Vance, Ma & Millington, Wr. (1986). Principle Of Irrational Drug Therapy. International Journal of Health Sciences 16 (3), 355-361. 17. WHO.(2001). Model Prescribing Information: Drug Used In Bacterial Infections. Geneva. Hal 4-6. 8