Pengaruh penyakit penyerta pada pasien Meningitis Tuberkulosis Uni Gamayani Abstrak Latar belakang : Meningitis tuberculosis masih merupakan penyebab kematian dan kesakitan yang cukup tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran hubungan antara penyakit penyerta pada meningitis tuberculosis yang mempengaruhi kematian pada pasien meningitis tuberkulosis. Bahan dan metoda penelitian : Penelitian ini dilakukan pada pasien Meningitis Tuberkulosis yang dirawat di Bagian/SMF Ilmu penyakit Saraf RSHS mulai tanggal 1 Januari 1999 sampai 30 Juni 2001. Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasional yang dilakukan secara retrospektif. Hasil Penelitian : Selama penelitian didapatkan 162 pasien meningitis tuberculosis yang terdiri dari 88 laki-laki dan 74 wanita. Pada penelitian didapatkan 19 % stadium I, 44% stadium II, 37 % stadium III. Penyakit penyerta ditemukan pada 82% (133 orang) pasien, yaitu satu penyakit penyerta pada 21 % pasien,, dua penyakit penyerta pada 49 % pasien dan lebih dari dua penyakit penyerta pada 12 % pasien.. Prognosis pasien meningitis tuberculosis yang disertai dengan penyakit penyerta adalah : Tanpa penyakit penyerta 10 % meninggal, dengan satu penyakit penyerta 12 % meninggal, dengan dua penyakit penyerta 26 % meninggal dan dengan lebih dari dua penyerta meninggal 34 % meninggal. Dari uji perhitungan menunjukkan adanya hubungan antara banyaknya penyakit penyerta dengan risiko terjadinya kematian pada pasien meningitis tuberculosis (p = 0.001). Kesimpulan : Terdapat hubungan antara banyaknya penyakit penyerta dengan risiko kematian pada pasien meningitis tuberkolosis. Kata Kunci : Meningitis Tuberkulosis, penyakit penyerta, kematian Pengaruh penyakit penyerta pada pasien Meningitis Tuberkulosis PENDAHULUAN Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh mikobakterium tuberculosis. Penyakit ini ditemukan baik di nagara maju maupun di Negara yang sedang berkembang termasuk di Indonesia. Diperkirakan kurang lebih 1,7 milyar orang atau sepertiga penduduk dunia terinfeksi oleh mikobakterium tuberculosis (Barnes, 1993; WHO 2000). Meningitis tuberculosis biasanya terjadi sekunder dari infeksi tuberculosis di tempat lain dalami tubuh, terutama dari paru-paru. Indonesia menduduki peringkat ketiga dari 22 negara dengan insidensi kasus tuberculosis tertinggi di dunia (Dye, 1999). Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1980 dan 1986 didapatkan bahwa tuberculosis adalah penyebab kematian ke empat di Indonesia, sedangkan SKRT tahun 1992 didapatkan bahwa tuberculosis adalah penyebab kematian kedua setelah penyakit kardiovaskuler (dikutip dari aditama, 1999). Diagnosa dini dan pengobatan yang sesegera mungkin adalah kunci keberhasilan dari program penanggulangan tuberculosis ( JJaramillo, 1998). Diagnosis klinis meningitis tuberculosis ditegakkan berdasarkan Medical Research Counsil of Great Britain 1948, yaitu (Lancet,1948) : Stadium I : Sedikit atau tanpa gejala klinis meningitis, tanpa parese, dalam keadaan kondisi umum yang baik dan dalam keadaan sadar penuhh. Stadium II : Keadaan diantara stadium dini dan lanjut Stadium III : Tampak sakit berat, stupor atau koma, parese yang berat. Diagnosis yang benar dan penanganan yang cepat sangat mempengaruhi prognosis pada penderita. Tuberkulosis susunan saraf pusat (SSP) merupakan 1 – 10 % bagian dari seluruh bentuk infeksi tuberculosis, dan karakteristik berupa meningitis tuberculosis dan tuberkuloma. Penemuan ini menunjukkan bahwa tuberculosis SSP adalah penyebab kesakitan dan kematian diantara seluruh penderita tuberculosis (Arvanitakis, 1998). Tuberkulosis SSP merupakan bentuk tuberculosis ekstra paru yang paling penting dan paling serius. Insidensi tuberculosis SSP berhubungan langsung dengan prevalensi dari infeksi tuberculosis pada umumnya. Di Negara berkembang, tuberculosis SSP adalah penyakit yang terutama mengenai usia yang lebih muda, dan biasanya pada anakanak. Walaupun begitu, akhir-akhir ini para peneliti melaporkan peningkatan insidensi pada usia dewasa (Singh, 1985); Friedman 1994). Di RSHS angka kejadian meningitis tuberculosis dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 1991 terdapat 40 pasien meningitis tuberculosis dari total 141 pasien infeksi SSP dan saraf tepi, tahun 1993 terdapat 45 pasien dari total 167 pasien. Tampak bahwa meningitis tuberculosis menduduki tempat utama dibandingkan dengan seluruh infeksi SSP (Gunawan, 1995). Diagnosis meningitis tuberculosis berdasarkan kombinasi dari temuan klinik, manifestasi cairan likuor serebrospinalis termasuk hipoglikorasia (kadar glukosa dalam likuor renadah) dan adanya kuman tuberculosis pada sediaan apus atau kultur (Swartz, 1987; feng, 1997). Diagnosis klinis meningitis tuberculosis dapat ditegakkan berdasarkan Medical rsearch Counsil of Great Britain, selain itu dapat juga dengan menggunakan criteria Ogawa, 1987, yaitu : Definite bila kultur mikobakterium tuberculosis positif dari likuor serebrospinalis atau diagnose meningitis tuberkilosis ditegakkan melalui otopsi. Probable : gambaran pleositosis dari LCS, kultur bakteri atau jamur negative dan disertai dengan salah satu dari : uji tuberculin poitif, ditemukannya tuberculosis diluar SSP atau tuberculosis aktif sebelumnya, kadar glukosa LCS kurang dari 2.2 mmol/L (40 mg/dl) dan kadar protein lebih dari o.6 g/L (Ogawa, 1987). Diagnosis tuberculosis SSP sulit ditegakkan, untuk menghindari keterlambatan penanganan dan prognosisnya yang buruk, maka pengobatan biasanya berdasarkan pada diagnosis perkiraan, yaitu bila gejala dan tanda klinik mengarah ke diagnosis tuberculosis (Watson, 1993; Perera, 1994). Cara pemeriksaan yang lebih sensitive telah ditemukan untuk mmendapatkan antibody yang spesifik terhadap antigen mikobakterium dan enzim yang spesifik terhadap antigen mikobakterium dan enzim yang spesifik yang berasal dari limfosit T dari LCS pasien infeksi tuberculosis (Daniel 1987). Polymerase Chain Reaction dapat memberikan diagnose yang cepat dan dapat diandalkan dalam mendiagnosis meningitis tuberculosis walaupun bila kuman sedikit dapat memberikan kemungkinan nilai yang salah. (Baran, 2000). Pemeriksaan penunjang lain adalah Computed Tomography Scan (CT scan) yang dapat menunjukkan meningitiss basalis, hidrosefalus, vaskulitis maupun tuberkuloma (prabhakar, 1997). Kematian pada pasien meningitis tuberculosis dipengaruhi oleh stadium penyakitnya, pasien meningitis stadium 1 dapat sembuh sempurna, dibandingkan dengan stadium 2 maupun stadium 3. Demikian pula gejala sisa yang menyertainya (tendon, 1978). Walaupun perawatan optimal serta obat-obatan antituberkulosis yang efektif telah diberikan, tetapi selama perawatan dapat terjadi komplikasi atau pwnyakit enyerta yang dapat mempengaruhi mortalitas dan morbiditas pasien . (Garcia Monco, 1999). Delapan puluh tujuh persen pasien disertai satu atau lebih komplikasi neurologis selama perawatan di rumah sakit, yaitu : gangguan mental, hemiplegic, paraplegi, gerakan involunter atau kelumpuhan saraf otak, serta pada 32 % pasien yang bertahan hidup disertai gejala sisa gangguan neurologis (Ogawa, 1987). Selain gangguan neurologis, pasien meningitis sering juga disertai dengan penyakit penyerta seperti infeksi paru, sampai dengan sepsis gangguan metabolic seperti hiponatremia maupun hipokalemia, Penyakit-penyakit ini akan memperburuk prognosis pada pasien meningitis tuberculosis. Dari uraian diatas tampak bahwa disatu pihak ternyata angka kejadian meningitis tuberculosis sangat tinggi, namun penelitian mengenai bagaimana penyakit penyerta non neurologi yang menyertai dapat mempengaruhi prognosis pasien belum banyak dilakukan. Maka hal ini mendorong penulis untuk melakukan penelitian mengenai hubungan tersebut. IDENTIFIKASI MASALAH Adakah hubungan antara penyakit penyerta terhadap kematian pada pasien meningitis tuberculosis. TUJUAN PENELITIAN Mendapatkan gambaran hubungan antara penyakit penyerta non neurologis dengan meningitis tuberculosis. Dan pengaruhnya terhadap kematian pasien. KEGUNAAN PENELITIAN Dengan mengetahui hubungan antara penyakit penyerta pada pasien meningitis tuberculosis diharapkan sedini mungkin memberikan penanganan sehingga dapat mengurangi angka kematian yang diakibatkannya. METODA PENELITIAN Jenis penelitian adalah deskriptif analitik yang dilakukan secara retrospektif. LOKASI DAN LAMA PENELITIAN Lokasi : Instalasi Rawat Inap bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran – RSUP Dr. Hasan Sadikin bandung. Lama Penelitian : 18 bulan mulai dari 1 Januari 1999 sampai dengan 30 Juni 2000. HASIL PENELITIAN Selama periode penelitian didapatkan kasus meningitis tuberculosis yang dirawat di bagian Saraf adalah 162 orang yang terdiri dari 88 orang pria dan 74 orang wanita. Karakteristik penderita meningitis tuberculosis adalah sebagai berikut. Tabel 1. Karakteristik penderita meningitis tuberculosis. Karakteristik penderita meningitis tuberkulosis Jumlah N = 162 % Jenis kelamin Laki-laki Permpuan 88 74 54 46 Usia (tahun) 15 – 19 20 – 29 30 – 39 40 – 49 50 - 58 32 52 46 21 11 20 32 28 13 7 Tingkat pendidikan SD SMP SMA Akademi/Perguruan Tinggi 44 60 48 10 27 37 30 6 Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Buruh Pelajar Karyawan Tidak bekerja 32 60 48 11 11 30 37 30 7 7 Tabel 2. Stadium Penyakit Meningitis Tuberkulosis Stadium Penyakit Stadium I Stadium II Stadium III Jumlah Jumlah N = 162 31 71 60 162 % 19 44 37 100 Tabel 3. Penyakit penyerta pada pasien Meningitis Tuberkulosis Penyakit penyerta Tanpa penyakit penyerta Satu penyakit penyerta Dua penyakit penyerta Tiga penyakit penyerta atau lebih Jumlah Jumlah 29 34 79 20 162 % 18 21 49 12 100 Hidup % 90 89 74 65 Meninggal % 10 12 26 34 Tabel 4. Kematian pada pasien meningitis TBC Penyakit penyerta Tanpa penyakit penyerta Satu penyakit penyerta Dua penyakit penyerta Tiga penyakit penyerta atau lebih Penyakit penyerta : Infeksi paru sekunder, gangguan metabolic, sepsis, infeksi saluran kemih. Tabel 5. Hubungan antara prognosis dan penyakit penyerta pada pasien meningitis TBC Prognosis Meninggal Hidup Tanpa penyakit penyerta Satu penyakit penyerta Dua penyakit penyerta Tiga penyakit penyerta Jumlah 3 26 4 30 20 59 8 12 35 127 p < 0.001 p dihitung berdasarkan uji Chi kuadrat. Dapat terlihat prognosis semakin buruk apabila pada penyakit meningitis TBC disertai dengan semakin banyaknya penyakit penyerta. DISKUSI Pada penelitian ini selama kurun waktu penelitian didapatkan 162 pasien dengan diagnosis meningitis tuberculosis. Usia berkisar antara 15 sampai 57 tahun, dengan usia terbanyak pada 20 sampai 29 tahun. Tingkat pendidikan penderita bervariasi dari SD sampai Perguruan Tinggi, dengan terbanyak pada tingkat SMP. Pekerjaan penderita juga bervariasi dari Ibu Rumah Tangga, buruh, pelajar, karyawan dan tidak bekerja, dengan buruh sebagai pekerjaan yang terbanyak. Dari data ini dapat terlihat bahwa meningitis tuberculosis menyerang terbanyak pada usia produktif, pendidikan menengah dan pekerjaan yang berisiko tinggi untuk mendapatkan infeksi tuberculosis. Menurut ditama, tiga perempat kasus tuberculosis berusia 15 – 49 tahun dan dari seluruh kasus baru yang ditemukan di Indonesia sebagian besar mengenai wanita dengan usia produktif (Aditama, 1999) Pada saat dirawat, pasien meningitis tuberculosis berada pada stadium II, disusul dengan stadium lll dan stadium l. Hal ini menunjukkan bahwa pasien sudah dalam keaadaan penyakit yang lanjut saat mulai perawatan. Hal ini memungkinkan penyakit meningitis tuberculosis disertai dengan penyakit penyerta lain yang mungkin dapat memperburuk keadaan penderita. Pada penelitian sebelumnya Gunadharma mendapatkan 20.5 % pasien dengan stadium l, 60.3 % stadium ll dan 19,2% sstadium lll (Gunadharma 1999). Dari penelitian ini tampaknya sebagian besar pasien datang dan dirawat di RSHS dalam keadaan stadium lanjut. Keadaan ini dapat disebakan karena pemeriksa atau petugas medis sebelumnya tidak waspada terhadap adanya meningitis tuberculosis. Dibeberapa Negara diagnose dini sangat jarang dapat ditegakkan, keterlambatan diagnosis disebabkan karena factor pasien atau sarana atau petugas pelayanan kesehatan sendiri (Jaramillo, 1998). Friedman menyatakan bahwaa gambaran awitan meningitis tuberculosis biasanya tidak jelas yang didahului oleh gejala prodromal selama dua minggu sebelum masuk Rumah sakit (Friedman, 1994). Gambaran klinik dan karakteristik meningitis tuberculosis yang sangat bervariasi dan tidak spesifik, saling tumpang tindih dengan infeksi SSP lain, sindroma vaskuler dan SOL (Daniel, 1987). Kemungkina karena sebab tersebut diatas , maka pae pasien datang dengan stadium lanjut ke Rumah sakit. Pada saat penderita dirawat penyakit penyerta yang ada pada pasien yang terbanyak adalah 2 penyakit penyerta, disusul dengan satu penyakit penyerta, tanpa penyakit penyerta, tiga penyakit penyerta dan tiga penyakit penyerta atau lebih.. Penyakit penyerta ini terdiri dari infeksi paru sekunder, gangguan metabolic, sepsia, dan infeksi saluran kemih. Dari penelitian ini, karena sebagian besar penderita datang dengan meningitis tuberculosis stadium lanjut maka kemungkinan penderita sudah disertai dengan penyakit penyerta yang akan memperberat penyakit meningitisnya. Prognosis pada pasien meningitis yang dihubungkan dengan ada atau tidaknya penyakit penyerta adalah sebagai berikut : Penderita dengan tiga penyakit penyerta 60 % meninggal dunia, dua penyakit penyerta 30 % meningal dunia, satu penyakit penyerta 13 % meninggal dunia dan tanpa penyakit penyerta 10 % meninggal dunia. Dari data tersebut, didapatkan bahwa prognosis penderita meningitis tuberculosis lebih buruk dengan adanya penyakit penyerta yang lebih banyak (p < 0.001). KESIMPULAN Terdapat hubungan antara banyaknya penyakit penyerta dengan risiko kematian pada pasien meningitis tuberculosis. DAFTAR PUSTAKA Aditama TJ, 1999. Tuberkulosis Diagnosis, Terapi dan masalahnya, Edisi II, Jakarta, Lab Mikobakteriologi RSUP Perahabatan/WHO Collaborating Centre for Tuberculosis dan Bagian Pulmonologi FKUI/RSUP Persahabatan Arvanitakis Z at all, 1998. Micobacterium tuberculosis molecular variation in CNS infection evidence for strain dependenr neurovirulence, Meurology ; 50 : 1827 – 32. Baran J Jr; Riederer KM; Khatib R. 2000. Tuberculous meningitis, Eur J Clin Microbiol Infect Dis; 19(1) : 47 - 50 Barnes PF, Susan A Barrows, 1993. Tuberculosis in the 1990s, Annual Internal Medicine : 400 – 10 Daniel TM. 1987. New approaches to the rapid diagnosis of tuberculous meningitis. The Journal og infectious Disease ; 155 (4) : 599 - 601 Feng Y, Liu L, Zhang S. 1997. Clinical and pathological manifestations in 129 patients with tuberculous meningitis. 20(3):161 – 3 (abstract) Friedman LN (Ed), 1994. Tuberculosis current concepts and treatment, CRC Press, USA: 128 – 32 Garcia-Monco JC 1999. Central Neurvous System Infections Central Nervous System Tuberculosis, Neurologic Clinics, WB Saunders Co. 17 : 737 – 59 Gunadharma S. 1999 . Berbagai masalah yang mempengaruhi prognosa pasien meningitis tuberkkulosis di bag?SMF Ilmu Penyakit Saraff FKUP-RSHS Bandung periode 1994 - 1998 Gunawan D, 1995. Infeksi Susunan Saraf Pusat di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Buletin Neurologi Psikiatri Neurochirurgi, Vol 1, No 2, (8) : 30 – 40 Jaramillo E. 1998. Pulmonary Tuberculosis and Health Seeking behavior : How to get a delayed diagnosis in Cali, Columbia, tropical Medicine and International Health. 3 : 138 – 44 Less AJ, Marshall J, McLeod AF. 1980. Cerebral Tuberculomas developing during treatment of tuberculous meningitis, The Lancet, 7: 1208 – 11 Ogawa SK, Smith MA, Brennesel DJ. 1987. Tuberculous meningitis in urban medical center, Medicine, Vol 66, No 4 : 317 – 26 Perera J, Chandrasekharan, Karunanayake EH. 1994. PCR base detection of mycobacterium tuberculosis : Effect of sample preparation, Southeast Asian J Tropmed Public Health, 25 (4) : 693 – 9 Prabakar SA. 1997. CNS Tuberculosis. Neurology India; 45(3) : 1 - 9 Singh NK, Singh P, Tripathi K, Srivastava PK, Singh DS, 1985. Prognostic Faktors and sequelae of tuberculous meningitis in adults, J. Indiana MA, 83 : 50 – 52 Tandon PN, 1978. Tuberculous meningitis (cranial and spinal) in Vinken PJ, Bruyn GW. Handbook of clinical neurology, Vol 33, Part 1, North Holland Publishing Co. Amsterdam : 195 - 262 Watson JDG, Shnier RC, Seale JP. 1993. Central Nervous System tuberculosis in Australia ; a report of 22 cases, The Medical Journal of Australia, 158 : 408 - 13 Wise J. 1998. WHO identifies 16 countries struggling to control tuberculosis. British Medical Journal ; 316 : 955