Metode Penelitian Iii - sipadu isi surakarta

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
Tinjauan Mata Kuliah
Pendekatan kualitatif memiliki ciri-ciri unik yang membedakannya
dengan pendekatan kuantitatif. Keunikan ciri-ciri inilah yang akan membangun
konsep dan definisi pendekatan kualitatif. Namun, karena kelahiran pendekatan
kualittatif melampaui fase historis yang panjang, maka cakupan definisinya pun
bersifat lumer. Makna konsep dan istilah penelitian kualitatif sebagaimana disebut
oleh Denzin dan Lincoln (1994:2) berkaitan dan sekaligus merepresentasikan
fase-fase perkembangan tersebut.
Pada fase awal, pengembangan cara analisis dan konseptual dalam studistudi kualitatif masih menunjukkan ‘sisa-sisa’ positivisme, termasuk pula istilahistilah yang digunakan. Alsa (2004:29-30) menyebut istilah penelitian lapangan
(field research) dalam kajian sosiologi dan antropologi, sementara di bidang
psikologi dan pendidikan lazim digunakan istilah penelitian naturalistik atau
paradigma naturalistik, meskipun periset ilmu sosial menolaknya dan menyatakan
bahwa dalam reperensi kualitatif istilah paradigma naturalistik tidak ditemukan.
Selain kedua istilah tersebut, terdapat berbagai istilah yang digunakan atau
dirujukkan dalam penelitian kualitatif, seperti etnografi, studi kasus, interpretif,
fenomenologi dan sebagainya.
Istilah-istilah tersebut digunakan oleh periset
dalam konteks waktu yang berbeda-beda. Lantaran definisinya yang bersifat
kontekstual itu, takrif atau definisi penelitian kualitatif pun sukar diwujudkan.
Namun demikian para ilmuwan humaniora selalu hendak mewujudkannya.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
2
Tinjauan Instruksional Umum (TIU)
Setelah menyelesaikan mata kuliah metode penelitian III (studi lapangan/
field research) mahasiswa mampu melakukan pengamatan (observasi) dan
wawancara dengan metode tertentu sesuai bidang kajiannya. Tujuan Interaksional
Umum (TIU) akan dapat dicapai apabila pemahanan teoritis dirangkai praktik
kuliah lapangan, yaitu belajar melakukan observasi dan wawancara. Pemahaman
teoritis dilakukan dengan tatapmuka sebelas (13) kali dengan mahasiswa dan
sebanyak empat (3) kali observasi (pengamatan) lapangan yang dirangkai dengan
diskusi hasil observasi dan wawancara di kelas. Total kegiatan perkuliahan dari
adalah 13 kali tatap muka dalam satu semester. Ujian/tugas harian dinilai dari
pelaksanaan tugas observasi dan wawancara. Ujian tengah semester dinilai dari
laporan tertulis pengamamatan tahap satu.
Ujian semester adalah laporan
keseluruhan tugas pengamatan dan wawancara yang sudah dirangkai dengan
kerangka konseptual.
Baik dan buruk kinerja mahasiswa ketika melakukan latihan observasi,
wawancara, penyusunan laporan sangat berkaitan dengan pemahaman metodologi
secara teoritis, kemampuan mengidentifikasi masalah, dan ketajaman interpretasi
atau berimajinasi/proses berpikir yang banyak dipengaruhi oleh keluasan
wawasan yang diperoleh dari hasil membaca dan berdiskusi. Mendiskusikan hasil
latihan observasi dan wawancara menjadi sangat penting agar mahasiswa bersikap
terbuka, mengakui kekurangan-kekurangannya, menerima saran dan kritik dari
dosen, dan rekan-rekan sejawat. Pada perinsipnya mata kuliah ini juga melatih
keterbukaan dan belajar menumbuhkan sikap objektif. Hal tersebut dijadikan
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
3
pertimbangan baku dalam proses penilaian pada tugas/ujian harian, ujian tengah
semester, dan ujian akhir semester. Untuk itu, disarankan pada awal perkuliahan
agar mahasiswa betul-betul memperhatikan setiap komponen mata kuliah metode
penelitian III (studi lapangan).
Manfaat.
Mata kulaih metode peleitian III (studi lapangan atau field work)
bermanfaat untuk membentuk sikap ilmiah mahasiswa. Apabila sikap ilmiah
sudah terbentuk, maka akan lebih memungkinkan menghasil tenaga peneliti yang
handal di bidang seni.
Seperti diketahui penelitian bidang seni menyangkut
bidang-bidang yang sangat kompleks alias tidak pernah bersifat sederhana,
terutama yang berkenaan dengan isi atau konten yang berkaitan probelma sosial,
budaya, agama atau kepercayaan, politik/ideologi, dan ekonomi. Oleh karena itu,
peneliti seni petunjukan yang berada pada ranah tradisi setidaknya harus memiliki
wawasan tersebut jika ingin menjadi peneliti yang baik. Mahasiswa harus mulai
sadar, bahwa bidang seni pertunjukan tidak melulu menyangkut hal-hal yang ada
kaitannya dengan persoalan praktik berkesenian atau yang berkaitan dengan tenik
penyajian seni untuk meraih daya-daya estetik belaka. Aspek estetik merupakan
orientasi utama seniman dalam menciptakan karya seninya. Aspek estetik juga
merupakan ranah kajian tersendiri. Di balik itu, tersembunyi banyak hal; tentang
kekuasaan politik, ideologi, keagamaan, budaya, dan sebagainya yang harus juga
diungkap dalam suatu penelitian. Oleh karena itu, wawasan budaya, baik mikro
dan makro dibutuhkan. Metodologi merupakan tatacara untuk memperoleh data.
Dengan cara demikian kompleksitas kandungan isi suatu seni dapat diungkap.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
4
Deskripsi Mata Kuliah
Definisi penelitian jumlahnya cukup banyak. Apabila harus merujuk
definisi yang pasti, rumusan Denzin dan Lincoln (1994) kiranya cukup
representatif untuk digunakan. Kedua penulis tersebut memberi batasan penelitian
kualitatif sebagai kajian yang multimethod in focuse, involving an interpretive,
naturalistic approach to its subject matter. Ditambahkan pula bahwa qualitative
researchers study thing in their natural settings, attempting to make a sense of or
interpret, phenomena in term of meanings people bring to them. Rumusan lain
yang juga perlu dipertimbangan adalah rumusan McMillan & Schumacher
(2001:395) yang menyebut penelitian kualitatif sebagai inquiry in which
reseachers collect data in fase to fase situations by interacting with selected
person in their settings (field research).
Mengingat lenturnya dua rumusan tersebut, mungkin lebih mudah
memahami penelitian kualitatif dengan menempatkannya secara diametral sebagai
pembanding terhadap penelitian kuantitatif. Di bandingkan dengan penelitian
kuantitatif, penelitian kualitatif memiliki karakteristik sebagai berikut.
1. Data penelitian diperoleh secara langsung dari lapangan, dan bukan dari
laboratorium atau penelitian yang terkontrol.
2. Penggalian data dilakukan secara alamiah, melakukan kunjungan pada
situasi-situasi alamiah subjek.
3. Untuk memperoleh makna baru dalam bentuk kategori-kategori jawaban,
periset wajib mengembangakan situasi dialogis sebagai situasi alamiah.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
5
Pemahaman melalui perbandingan tetap mengundang kerancuan yang
bisa mengaburkan pengertian penelitian kualittatif. Istilah ‘alamiah’ (naturalis)
misalnya, memunculkan pertanyaan; apakah kajian kuantitatif tidak memiliki
peluang untuk dilakukan dalam situasi alamiah?
Tujuan Intruksional Khusus
TIK
1 dan 2
setelah mengiukuti kuliah ini penelitian mahasiwa dapat
menjelaskan paradigama: kedudukan dan fungsi dalam proses
penelitian
TIK
3
setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjalaskan
perbedaan paradigma dan pandangan dunia
TIK
4
setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan
elemen-elemen pandangan dunia.
TIK
5
setelah melakukan observasi mahasiswa dapat menjelaskan
karakteristik fenomena yang diamatinya.
TIK
6
setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan
paradigma pengetahuan dan sosial
TIK
7 dan 8
setelah mengiktui kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan
paradigma dan ideologi
TIK
9 dan 10
setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan
karakteristik pendekatan kulitatif
TIK
12
TIK
13
Setelah melakukan pengamatan dan wawancara tahap kedua
mahasiswa lebih baik pemahamannya tentang gejala yang
diamati.
setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan
pengertian dan teknik overasional pengamatan
TIK
14
mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan teknik
wawancara.
TIK
15
setelah melakukan pengamatan dan wawancara mahasiswa
dapat memperbaikan teknik pengumpulan data setelah
TIK
16
setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa dapat menjelaska
reliabilitas, validitas data kulitatif, teknik analisa data studi
kualitatif, dan penyusunan laporan peneltian.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
6
BAB II
.
PARADIGMA PENELITIAN
TIK 1
setelah mengiukuti kuliah ini penelitian mahasiwa dapat menjelaskan
paradigama: kedudukan dan fungsi dalam proses penelitian
Cara bijaksana untuk mengantisipasi kerancuan yang timbul dalam upaya
memahami penelitian kualitatif adalah dengan mendudukkan penelitian kualitatif
sebagai bagian integral dari bangunan paradigma keilmuan. Paradigma merupakan
seperangkat ‘proposisi’ (pernyataan) yang menerangkan tentang persepsi dunia
dan kehidupan secara umum (Poerwandari, 1994:14). Pengertian paradigma bisa
disetarakan dengan perspektif atau sudut pAndang, selain juga dimaknai sebagai
ideologi dan praktik suatu komunitas ilmuwan penganut suatu pandangan yang
sama atas realitas, memiliki seperangkat kriteria yang sama untuk menilai
aktivitas penelitian, dan menggunakan metode serupa (Mulyana, 2003:9).
Pengertian lainnya dikemukakan oleh Erving Goffman yang menyebut paradigma
sebagai kerangka (frame), yakni intepretive scheme that people use to simplify
and make sense of some aspect of the world.
Secara umum dalam ilmu sosial (termasuk juga dalam ilmu humniora)
terdapat
dua
paradigma,
yakni
paradigma
positivistik
dan
interpretif
(Poerwandari, 1994:13). Dua paradigma ini memiliki asumsi dasar berlainan yang
implikasinya ditemukan dalam cara kerja dan cara membaca fenomena yang
dihadapi. Dalam kajian keilmuan dan penelitian, paradigma positivistik diyakini
melahirkan pendekatan kuantitatif, sedangkan paradigma interpretif melahirkan
pendekatan kualitatif. Pada Tabel 2.1 disajikan perbedaan perspektif dari kedua
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
7
paradigma tersebut dan ditambah satu paradigma yang lain, yaitu paradigma
kritis.
Tabel 2.1
Perspektif dalam Ilmu-Ilmu Sosial
KRITERIA
POSITIVISME
* Objektif
R
E
A
L
I
T
A
S
M
A
N
U
S
I
A
INTERPRETIF
* Subjektif
* Dipersepsikan melalui * Diciptakan, bukan
indra.
ditemukan
* Dipersepsikan seragam * Diinterpretasikan
* Diatur hukum-hukum
universal.
* Terintegrasi dengan
baik demi kebaikan
semua.
* Individu rasional
* Mengikuti hukum di
luar diri
* Tdk memiliki
kebebasan kehendak
* Didasarkan pada
hukum dan prosedur
ketat
* Pencipta dunia
* Memberi arti pada
dunia
* Tdk dibatasi
hukum diluar diri
* Menciptakan
rangkaian makna
* Didasarkan
pengetahuan
sehari-hari.
KRITIS
* Berada di antara
subjektivitas dan objektifitas
* Merupakan satu hal yang
kompleks
* Diciptakan manusia, bukan
ada dengan sendirinya
* Berada dalam ketegangan,
penuh kontradiksi
* Didasarkan pada mekanisme
operasi dan eksploitasi
terhadap pihak yang lemah
* Dinamis pencipta nasib
* Menglami brain-washing,
diarahkan secara tdk tepat,
dikondisikan
* Dihalangi dari realisasi
potensinya secara penuh.
* Di antara positivisme dan
interpretif, kondisi-kondisi
sosial membentuk kehidupan
I
tetapi hal tersebut dpt diubah.
* Deduktif
* Induktif .
* Membebaskan dan
L
memampukan.
* Nomotetik (didasarkan * Ideografis.
* Mendasarkan diri pada upaya
hukum2 umum).
pemampuan..
M
* Didasarkan pada
* Didasarkan
* Menjelaskan dinamikaimpresi indera.
intepretasi
dinamika sistem yang tercipta.
U
* Bebas nilai.
* Tdk bebas nilai..
* Tidak bebas nilai.
* Menjelaskan fakta,
* Menginterpretasika * Mengungkap yang di balik
TUJUAN
penyebab, dan efek.
n dunia.
permukaan
PENELITI
* Meramalkan.
* Memahami
* Mengungkap mitos dan ilusi
AN
kehidupan sosial
* Menekankan terbukanya
* Menekankan fakta
* Menekankan
keyakinan keliru
(objektif, di luar).
makna.
* Menekankan
* Menekankan
* Menekankan pembebasan,
peramalan.
pemahaman.
pemampuan.
Sumber: E. Kristi Purwandari. 1994. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian
Psikologi. LPSP3, Fak. Psikologi, Universitas Indonesia. Jakarta,
hlm.19-21. Adaptasi oleh Dr. Agus Salim, MS.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
8
Apabila dicermati perbedaan itu, lebih mudah mendudukkan studi
kualitatif sebagai paradigma daripada sebagai teknik belaka, karena paradigmalah
yang menentukan secara detil teknik-teknik suatu kajian dalam penelitian. Dengan
demikian, ketepatan dan konsistensi ‘paradigma-teknik-logika’ menjadi penting.
Bisa saja suatu laporan studi ‘bergaya kualitatif’, meskipun semangat dan logika
yang dibangun bersifat kuantitatif. Pemikiran semacam ini secara eksplisit ditegaskan dalam ‘metode penelitian sosial’ dengan pendekatan kualitatif sebagai
paradigma yang memiliki pola berpikir dan logika kuantifikasi. Akibatnya,
paradigma penelitian kualitatif memuat sejumlah pikiran, catatan, dan angkaangka yang bersifat kuantitatif-statistis. Sejalan dengan itu, Mochtar Buchori
(1982), mempertajam dua pendekatan penelitian, kuantitatif dan kualitatif, sebagai
per-sambungan. Dalam praktik penelitian, dua pendekatan itu dapat digunakan
berselang-seling sehingga berbentuk spiral bersambung, tergantung logika yang
digunakan. Hubungan antara paradigma dan tindakan penelitian bersifat langsung,
yakni mencakup pemberlakuan cara-cara berpikir dan pengembangan konsep
tindakan penelitian. Untuk itu, lihat gambar 2.1.
Gambar 2.1
Alur Hubungan Paradigma dan Tindakan Penelitian




Perspektif
Kerangka konseptual
Perangkat asumsi
Perangkat nilai
Perangkat gagasan
Mempengaruhi
Persepsi
Mempengaruhi
Tindakan
Sumber: Deddy Mulyana, 2003. Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru
Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya. Rosda Karya, Bandung.
hlm. 8-12.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
9
Agar tidak terjebak pada pemahaman yang bersifat tunggal (sempit) dengan
paradigma, perlu kiranya diketahui pengertian, ruang lingkup atau kaitannya
dengan hal lain, dan fungsi paradigma yang berkembang di dunia ilmu. Berikut
ini disertakan beberapa dimensi mengenai hal tersebut
1.1 Paradigma dan Pandangan Dunia.
TIK 2
setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjalaskan perbedaan
paradigma dan pandangan dunia.
Proses pembentukan paradigma berlangsung secara evolusioner. Di
dalamnya, substansi ilmu (subject matter) berada pada tahap ‘stigmatized’ dan
tahap ‘pre-paradigmatic’ (Parijs, Philippe Van, 1981:xi-xv) dalam Salim,
2006:95-95). Tahap ‘stigmatized’ menAndai penerapan praktis ilmu pengetahuan
di dalam masyarakat, sedangkan tahap ‘pre-paradigmatic’ memandang makna
sebagai ‘stAndard way of doing things’.
Keduanya menjadi pengenal utama
sebelum ilmuwan memasuki suatu komunitas yang sangat pekat dengan berbagai
persyaratan dan tata kerja ilmu pengetahuan. Proses ini menempatkan percaturan
paradigma sebagai unsur penentu yang akan mengarahkan dan menjadi kiblat
berpikir bagi ilmuwan atau komunitasnya. Konsekuensinya, pembentukan
paradigma pun dilakukan dalam tahap-tahap berpikir tertentu yang secara sadar
mengarahkan ‘artikulasi’ masyarakat secara evolusioner.
Namun demikian ada pula yang memandang pembentukan paradigma
berlangsung secara revolusioner.
Kelompok revolusioner menempatkan teori
kritis (Marxis) sebagai penggerak utama.
Mereka melihat ilmu pengetahuan
sebagai ‘nilai’ (value) yang bisa diterima sebagai kebenaran, atau sebaliknya.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
10
Kelompok ini melihat bahwa pembentukan paradigma ilmu membutuhkan sikap
searah, tegas, dan penuh resiko.
Pergantian paradigma adalah proses ‘alih
keyakinan’, semacam religious conversion yang berpengaruh terhadap institusiinstitusi masyarakat, baik kekuatan politik, ekonomi, sosial, dan budaya (Salim,
2006: 96).
Paradigma adalah metafisika sistem berpikir yang berbasis pada ontologi,
epistemologi, dan metodologi. Paradigma memuat berbagai pandangan yang
membedakan, memperjelas, dan mempertajam orientasi berpikir seseorang.
Dengan demikian, paradigma membawa konsekuensi praktis bagi perilaku, cara
berpikir, interpretasi, dan kebijakan dalam pemelihan masalah (Salim, 2006:9697). Namun demikian, paradigma ada kalanya perlu dipahami secara berbeda
dengan teori dan pandangan dunia.
Teori memang bukan pandangan dunia, tetapi di antara keduanya
memiliki titik singgung. Meskipun teori dinyatakan bebas nilai, pada
kenyataannya ia juga merupakan repfleksi dari pandangan dunia tertentu, dalam
hal ini pandangan dunia yang berakar dari tradisi positivisme. Peneliti perlu
mencari teori karena teori memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut.
1. Sebagai
identifikasi
menampilkan
awal
kesenjangan,
dari
masalah
bagian-bagian
penelitian
yang
dengan
lemah,
dan
ketidaksesuaian dengan penelitian-penelitian terdahulu. Fungsi ini
memberikan suatu perangkat konseptual dan memberikan alasan
perlunya penyelidikan.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
11
2. Untuk mngumpulak semua konstruk atau konsep yang berkaitan
dengan penelitian. Melalui teori kita dapat membuat pertanyaanpertanyaan yang terinci sebagai pokok masalah penelitian.
3. Untuk menampilkan hubungan antara variabel-variabel yang telah
diselidiki. Melalui proses ini peneliti dapat membandingkan topik
penelitian dengan penemuan-penemuan terdahulu. Oleh kerna itu,
penemuan-penemuan tersebut mempunyai fungsi menjelaskan gejalagejala.
Di dalam kasus ini, topik sekripsi, tesis, atau desertasi
merupakan inti dari gejala.
Mari kita mengambil “kreativitas” sebagai topik. Tentan saja di dalam
pencarian teori, kita menjelaskan kreativitas melalui kepustakaan,baik yang
merupakan kepustakaan konseptual maupun yang berkaitan dengan kepustakaaan
peneltian yang menampilkan pembahasan tentang perbedaan pandangan atas
pengertian kreativitas, dan tentang proses yang mempengaruhi kreativitas, dan
tentang hubungan dengan tingkat umur, jenis kelamin, pencapain prestasi,
pemikiran yang mendalam, kemampuan mental, kepribadian, pemecahan masalah,
konsep pribadi (self consept), status sosial ekonomi, dan komposisi penulisannya.
Proses ini menempatkan kreativitas pada kedudukan yang sebenarnya di tengahtengah teori yang mengarahkan peneliti untuk mengidentifikasi variabel atau
variabel-variabel yang tidak konsisten.
Sekarang peneliti dapat menyelidiki
variabel-variabel lain yang berkaitan dengan kreativitas (Sevilla, 1993:30-31). Di
sini perlu dipahami seputar pandangan dunia, yang menyangkut konsep, elemen,
dan perbedaannya dari paradigma berpikir (Maliki, 2004: 7).
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
12
Pandangan dunia, menurut Marvin E. Olsen, Dora G. Lodwick, dan Riley
E. Dunlap (dalam Maliki, 2004: 8), dilihat dari segi isi memuat semua hal dan dari
segi pengikut bersifat menyebar. Dalam catatan yang berjudul Viewing the World
Ecologically, Olsen dan kawan-kawan menulis, bahwa dalam budaya masyarakat,
pandangan dunia yang dominan biasanya merupakan bagian dari totalitas
kehidupan manusia serta menyangkut seluruh aspek kehidupan.
Gambaran
tentang segala sesuatu dimunculkan dari persepsi yang diperoleh dari pandangan
terhadap dunia sekitar. Pandangan dunia yang dominan pada umumnya dimiliki
dan dijadikan pegangan oleh hampir seluruh anggota masyarakat, maka biasanya
pandangan dunia itu menjadi lAndasan masyarakat mendefinisikan realitas sosial.
Pandangan dunia yang dimaksudkan oleh olsen dan kawan-kawan ialah
“teropong mental”, atau peta kognisi dan persepsi yang senantiasa dipakai untuk
merumuskan cara hidup di tengah kehidupan masyarakat. Menurut Olsen,
pandangan dunia yang berlaku di masyarakat bukan fenomena tunggal.
Pandangan dunia tidak hadir sendirian, melainkan diiringi oleh berbagai
pandangan dunia lain, atau pandangan dunia alternatif. Misalnya, pandangan
dunia masyarakat industrial di kalangan masyarakat Barat modern. Pandangan
industrial itu pada waktu yang bersamaan disertai dengan muncul satu atau
beberapa alternatif pandangan dunia, seperti Pandangan Dunia Post-Industrial.
Pandangan dunia alternatif biasanya tidak dimiliki oleh mayoritas anggota
masyarakat, meskipun para pengikut biasanya beranggapan, bahwa pandangannya
itulah yang seharusnya berlaku. Kendaki demikian, pandangan alternatif itu
bagaimanapun juga bermaksud untuk menyentuh seluruh kehidupan manusia.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
13
Hanya masalahnya, seberapa jauh manusia dapat mengaktualisasikan
pandangan dunia ke tengah kehidupan di mana ia hidup. Faktor obyektif, yaitu
faktor struktural maupun kultural yang harus diperhitungkan. Demikian pula
masalah yang subyektif juga harus mendapatkan perhatian dalam proses transaksi
yang dilakukan oleh setiap individu.
Dalam hal ini, Olsen dan kawan-kawan (dalam Maliki, 2004:9)
menemukan realitas yang pada umumnya orang suka menunjukkan dan
beranggapan, bahwa mereka menjaga konsistensi antara tindakan dengan
pandangan dunia yang dimilikinya, yang relatif utuh dan terjaga.
Berbagai
peristiwa yang mereka hadapi, diantisipasi dan direspon berdasarkan cara-cara
yang dinilainya sejalan dengan pandangan dunia yang mereka miliki, walaupun
kenyataannya sering tidak menggambarkan konsistensi itu. Sekedar contoh,
seorang pemimpin politik berpandangan, bahwa memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan publik merupakan sebuah keharusan, tetapi ternyata tidak
sedikit pemimpin bertindak tidak jujur. Mereka tidak sepenuhnya memperhatikan
kepentingan publik, kendati demikian mereka tidak mau dikatakan mengabaikannya. Mereka memilih berkilah dengan mengatakan itulah yang bisa dia lakukan
yang terbaik dalam situasi yang ada. Dengan demikian, mereka berusaha mencitrakan diri sebagai seorang yang senantiasa konsisten dengan pandangan
dunianya, dan menolak dinyatakan menyimpang dari keyakinan pribadi maupun
keyakinan kolektif. Dengan begitu, tentu saja mereka akan menolak dikatakan
sebagai pemimpin politik yang telah bertindak atas dasar kepentingan mereka
sendiri.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
14
Dikalangan para seniman kesenian tradisi tertentu yang berpandangan
sempit adakalanya enggan melakukan perubahan bentuk ekspresinya. Alasannya,
bahwa mereka khawatir kena kutuk para leluhur atau hal-hal lain yang dianggap
tidak patut, padahal pada setiap generasi, sengaja atau tidak, besar atau kecil, dan
disadari atau tidak seringkali kesenian tradisi leluhur yang mereka warisi
dipertunjukkan secara berbeda, namun tidak diakui sebagai hal yang sudah
berubah. Merekapun menolak dinilai telah berubah, apalagi dikatakan meninggalkan tradisi leluhur mereka.
Sikap para pewaris kesenian tradisi seperti itu
menunjukkan adanya kontradiksi di antara pandangan dunia yang mereka anut
dengan realitas kehidupan yang mereka jalani. Sikap yang berupaya melanggengkan staus quo tersebut biasanya dibiarkan saja sampai mereka benar-benar tahu
dan sadar bahwa peradaban dunia disekitar mereka hidup telah berubah.
Ketika tindakan seorang pemimpin politik yang menyimpang dari
pandangan dunianya, bisa saja diabaikan dan di “excuse”, tanpa terlalu
mempersoalkan akibat dari tindakan itu. Hal seperti itu bisa saja terjadi kalau
aktor politik itu dapat mengalihkan model pemahaman peristiwa dengan
membangun argumen, misalnya apa yang mereka lakukan itu sebagai sesuatu
yang secara fungsional memang diperlukan. Dengan kata lain, “kebohongan
umum” boleh dan perlu dilakukan untuk kepentingan “keamanan nasional”. Jadi,
pandangan dunia seseorang bisa saja dan sering mengandung sejumlah
kontradiksi (Maliki, 2004:10).
Kontradiksi dalam praktik sering dijumpai, misalnya ketika kita banyak
menyaksikan orang yang mencoba melawan perubahan dengan keras, tetapi
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
15
ditengah situasi semacam itu ternyata banyak individu, disadari atau tidak,
sesungguhnya sedang mengubah pandangan mereka dari pandangan dunia yang
satu kepada pandangan dunia yang lain. Sebagai implikasi dari istilah “berubah”,
biasanya menyangkut perubahan total dari cara seseorang memandang dunia
(Maliki, 2004:10).
Sama halnya dengan pandangan dunia yang dominan yang berlaku dalam
suatu budaya masyarakat, bisa saja terjadi dalam perjalanan waktu tertentu,
mengalami perubahan drastis, sehingga memunculkan pandangan dunia yang baru
sama sekali tentang sebuah realitas.
Kalau hal itu terjadi, maka perubahan
pandangan dunia tersebut akan segera berpengaruh cepat terhadap seluruh
kehidupan sosial dan perubahan budaya maupun struktur sosial masyarakat secara
keseluruhan (Maliki, 2004:10).
1.2 Elemen Pandangan Dunia
TIK 3
setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan elemen
elemen pandangan dunia.
Seperti telah dikemukakan,pandangan dunia terdiri atas keyakiannkeyakinan atau sistem keyakinan serta nilai-nilai sosial yang terkait dengan sistem
sosial yang ada.
Atas dasar pemikiran itu, olsen dan kawan-kawan (maliki,
2004:10-11) berargumentasi bahwa pandangan dunia yang komprehenship
biasanya menyangkut elemen-elemen yang amat kompleks dan luas. Dengan
demikian, untuk memahami pandangan dunia secara tak terelekkan harus dimulai
dengan mempelajari keyakinan-keyakinan atau sistem keyakinan serta nilai-nilai
sosial tersebut.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
16
Keyakian dimata Olsen dan kawan-kawan (maliki, 2004:11) adalah
gagasan spesifik mengenai berbagai aspek kehidupan yang diyakini sebagai
sebuah kebenaran oleh pemiliknya, tanpa memperdulikan munculnya berbagai
fakta yang menyimpang dari apa yang diyakini tersebut. Satu contoh misalnya,
ada orang yang pada saat ini masih percaya bahwa dunia ini datar, meskipun telah
ada foto yang diambil dari udara yang menunjukkan bumi ini bulat. Sebuah
survei yang dilakukan tahun 1988 di Amerika Serikat menemukan data bahwa
sepertiga mahasiswa percaya bawa hantu itu ada, dan dua perlima di antara
mereka yakin bahwa ia bisa berkomunikasi dengan orang-orang yang telah mati
(Eve, 1988).
Dalam fenomena sosial, terdapat keyakinan seputar pengelompokkan
orang, semacam munculnya pandangan bahwa orang kulit hitam adalah imferior
secara mental terhadap orang-orang kulit putih, atau bahwa setiap orang miskin
harus bertanggung jawab secara pribadi sebagai akibat dari sikap malas mereka.
Keyakinan bahwa pandangan dunia tentang masyarakat industri, secara teknologis
cepat atau lambat akan menemukan jalan keluar dari krisi ekonomi maupun sosial.
Keyakinan yang dominan dari pandangan Post-industri adalah bahwa seluruh
kehidupan, termasuk kehidupan manusia, merupakan bagian tak terpisahkan dari
ekosistem dunia dan bentuk kehidupan itu muncul tiada lain sebagai produk dan
hukum alamiah dari sistem dunia itu sendiri (Maliki, 2004:11).
Sistem keyakinan merupakan dasar-dasar inter-relasi keyakian dari
berbagai keyakinan yang berkaitan dengan kondisi sosial atau tipe aktivitas yang
beraneka ragam. Dengan demikian, sistem keyakinan bersifat kompleks
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
17
dibandingkan dengan keyakinan spesifik yang ada di dalamnya. Keyakinan
spesifik yang menjadi bagian dari sistem keyakinan cenderung berbentuk kurang
lebih merupakan kesatuan dari keseluruhan (more-or-less integrated whole),
meskipun keyakinan tersebut bisa saja memperhatikan banyak inkonsistensi
secara internal. Sistem keyakinan yang sangat populer sejak awal abad ini, yakni
Darwinisme Sosial, meyakini bahwa kehidupan sosial merupakan perjuangan dan
dominasi terus-menerus, ditandai dengan persingan tanpa ujung. Mereka yang
paling siap dan bekerja keras akan berhasil dalam persaingan itu, sedangkan
mereka yang terkalahkan adalah mereka yang secara umum memang tidak siap
dan atau inferior. Sebagai konsekuensinya adalah bahwa ketidakadilan sosial
ekonomi di samping merupakan sesuatu yang bersifat alamiah, juga merupakan
sesuatu yang dibenarkan, sementara itu upaya-upaya merduksi ketidakadilan
melalui program publik tidak akan mengubah apa-apa dan bahkan cenderung akan
gagal (Maliki, 2004:12).
Sistem keyakinan yang tak kalah tua, dan selama ini menimbulkan
kontroversi, adalah Creationisme. Didasarkan kepada penafsiran Bible, sistem
keyakinan itu menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang ada
seperti sekarang ini sejak 10.000 ribu tahun, sehingga teori yang menyatakan
evolusi biologi tentang homo sapiens selama beberapa juta tahun, tidak benar.
Manusia adalah sosok makhluk hidup yang unik, secara khusus dikehendaki oleh
Sang Pencipta, dan memiliki mandat suci untuk mengatur seluruh bentuk
kehidupan.
Sistem keyakinan ini jelas bertolak belakang dengan Pandangan
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
18
Dunia Post-industrial yang menyatakan bahwa manusia tiada lain adalah bagian
dari alam (dalam Maliki, 2004:12-13).
Keyakinan spesifik adalah petak bangunan (building block) dari
pandangan dunia, sedangkan sistem keyakinan menyediakan kerangka atau
bingkai yang dibutuhkannya. Bagaimana pun, pandangan dunia yang menyeluruh
lebih luas dan lebih mencakup daripada keyakinan-keyakinan partikular atau
sistem keyakinan. Oleh karena keyakinan, seperti keyakinan adanya hantu atau
keyakinan tentang penciptaan, terbatas dalam beberapa aspek kehidupan, maka
pandangan dunia mencakup banyak bahkan seluruh kehidupan dunia. Pandangan
dunia dengan demikian memuat keyakinan dan sistem keyakinan yang tak
terhitung jumlahnya, yang beberapa di antaranya saling berkaitan satu sama lain,
sementara yang lain tidak terkait atau bahkan bertentangan satu sama lain.
Pandangan dunia di kalangan Islam misalnya, tidak hanya menyangkut sistem
keyakinan mengenai asal-usul hak azasi manusia, tetapi juga menyangkut
keyakinan-keyakinan dan sistem keyakinan mengani hubungan interpersonal,
kehidupan keluarga, aktuivitas ekonomi, kehidupan politik, hak-hak azasi
manusia, serta seluruh makna dan tujuan hidup (Maliki, 2004:13).
Pada umumnya, setiap orang cenderung lebih menyadari akan keyakinankeyakinan serta sistem keyakinannya masing-masing dan di saat yang lain
kadang-kadang memilih memodifikasi atau bahkan menolaknya. Sangat berbeda
halnya dengan pandangan dunia kita, ia merupakan kerangka fundamental yang
menyeluruh untuk menyerap dan menafsirkan kehidupan sosial secara taken for
granted hampir sepanjang waktu (Maliki, 2004:13)
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
19
Hal yang terkait erat dengan keyakinan-keyakinan atau sistem keyakinan
adalah nilai-nilai sosial, seperti soal baik atau buruk, sesuatu yang diinginkan atau
ditolak dalam kehidupan sosial. Jika keyakinan atau sistem keyakinan merupakan
pernyataan mengenai apa sesungguhnya yang dipikirkan (misalnya persediaan
minyak itu terbatas), maka nilai sosial merupakan ekspresi bagaimana seharusnya
kita memandang sesuatu (misalnya preskripsi yang menyatakan, bahwa sedapat
mungkin harus digunakan sumber energi yang dapat diperbaharui). Keyakinan
dan nilai-nilai biasanya sangat berkaitan erat satu sama lain. Umpamanya, kita
harus percaya, bahwa keuntungan yang diterima seseorang dalam kehidupan ini,
merupakan hasil kerja dan prestasi individual, maka kita sangat menghargai nilainilai persaingan dalam kerja dan pendapatan. Sebaliknya, jika percaya bahwa
kemiskinan akibat dari meluasnya deskriminasi dan eksploitasi, maka tanpa raguragu kebijakan nilai-nilai sosial akan kita arahkan untuk menghapus praktikpraktik diskriminasi dan eksploitasi itu (Maliki, 2004:14).
TIK 4
setelah melakukan observasi mahasiswa
karakteristik fenomena yang diamatinya.
dapat
menjelaskan
1.3 Paradigma Pengetahuan dan Sosial
TIK 5
setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan
paradigma pengetahuan dan sosial
Banyak tulisan yang muncul belakangan ini yang menyetarakan
paradigma dengan pandangan dunia, meskipun sebenarnya kedua konsep tersebut
tidaklah dapat disetarakan. Lebih dari itu, sangat penting memisahkan paradigma
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
20
pengetahuan maupun paradigma sosial. Konsep paradigma pertamakali diterapkan
dalam karya ilmiah. Oleh karena itu, sangat relevan masalah ini dikaji terlebih
dahulu dari konteks ilmiah sebelum memasuki penggunaan dalam kehidupan
sosial (Maliki, 2004:14).
Konsep paradigma pengetahuan dipopularisasikan oleh Thomas Khun
(1970) dalam rangka menjelaskan cara-cara kerja dan mengembangkan ilmu
pengetahuan. Paradigma pengetahuan merupakan perspektuif intelektual yang
dalam kondisi normal memberikan pedoman kerja terhadap ilmuwan yang
membentuk “masyarakat ilmiah” dalam disiplin tertentu. Dengan istilah lain,
Robert Winslow Friedrichs (1970:55), paradigma ilmiah diartikan sebagai
“gambaran intelektual yang daripadanya dapat ditentukan suatu objek kajian”
(dalam Maliki, 2004:15).
Perspektif intelektual itu menentukan apa yang membentuk “ilmu
pengetahuan normal” dalam komunitas ilmiah pada waktu tertentu dan mendasari
hampir semua pembentukan teori serta penelitian yang dilakukan oleh praktisinya.
Ia mencakup prediksi-prediksi eksplisit maupun implisit mengenai karakteristik
fenomena yang dikaji, keyakinan yang berlaku dan teori-teori mengenai struktur
dan fungsidari fenomena-fenomena tersebut, aturan formal maupun informal yang
mempertimbangkan cara di mana fenomen-fenomena tersebut dikaji, serta merupakan stAndar evluasi ilmu pengetahuan. George Ritzer (1975:7) mengatakan:
paradigma adalah gambaran fundamental mengenai subyek ilmu
pengetahuan. Ia memberikan batasan mengenai apa yang harus dikaji,
pertanyaan yang harus diajukan, bagaimana harus dijawab, dan aturanaturan yang harus diikuti dalam memahami jawaban yang diperoleh.
Paradigma ialah unit konsesus yang amat luas dalam ilmu pengetahuan
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
21
dan dipakai untuk melakukan pemilahan masyarakat ilmu pengetahuan
(sub masyarakat) yang satu dengan masyarakat pengetahuan yang lain.
Tanpa paradigma pengetahuan untuk memandu, mengintegrasikan dan
menafsirkan karya mereka, para ilmuwan hanya akan menciptakan informasi yang
bersifat random. Dengan paradigma ilmiah itu, mereka akan dapat memformulasikan teori yang dapat mengorganisasikan pengetahuan dan memberikannya makna. Dalam pandangan Khun (1970:16-17) dirumuskan:
tidak ada kehidupan semesta yang dapat diinterpretasikan tanpa
sekurang-kurangnya beberapa bentuk teori dan keyakinan metodologik
implisit yang berkaitan satu sama lain yang memungkinkan untuk
melakukan seleksi, evaluasi dan bersikap kritis.
Khun dan beberapa ahli sejarah pengetahuan memiliki keterbatasan
dalam membahas paradigma ilmu pengetahuan. Meskipun demikian, konsep paradigma dapat diterapkan dalam banyak kehidupan yang lain. Khun memperoleh
gagasan mengenai paradigma itu sendiri dari sejarah dan sastra yang kemudian
diciptakannya untuk dunia ilmiah. Hal ini memperlihatkan bahwa pemikirannya
dipengaruhi oleh keyakinan dan nilai-nilai non ilmiah (Maliki, 2004:16).
1.4 Paradigma Sosial
Jika konsep paradigma dapat diterapkan dalam ranah ilmu pengetahuan,
masuk akal untuk diandaikan bahwa paradigma juga dapat diterapkan untuk
merintis jalan bagi mereka yang memikirkan berbagai aspek kehidupan sosial.
Sejak tahun 1970-an, sejumlah ahli sosiologi melakukannya. Stephen Cotgrove
(1982) mengontraskan “Paradigma Dominan” dengan “Paradigma Ekologi
Alternatif” untuk membahas perubahan pandangan dunia. Riley Dunlap dan Kent
Van Liere (1978,1983) membahas “paradigma lingkungan baru” yang ber-
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
22
kembang di kalangan environmentalisme kontemporer dan mengontraskan dengan
“Paradigma Dominan”. Lester Milbrath (1984) membahas “paradigma perbedaan
keyakinan dalam masyarakat modern” (dalam Maliki, 2004:17).
Dalam kajian ini, digunakan konsep paradigma sosial dengan mengacu
pada orientasi perseptual dan kognitif yang dipakai oleh masyarakat komunikatif
untuk memahami dan menjelaskan aspek-aspek tertentu dalam kehidupan sosial.
Paradigma sosial dengan demikian lebih terbatas dan tidak selalu diterima oleh
seluruh anggota masyarakat. Sebutlah kalangan masyarakat tertentu ini dengan
“masyarakat komunikatif” atau “masyarakat ilmiah” yang memakai paradigma
ilmiah—mengindikasikan bahwa jelas nyata tumbuh berkembang pola-pola
komunikasi di antara mereka untuk menciptakan paradigma sosial. Paradigma
sosial hanya berlaku pada aspek-aspek tertentu dari kehidupan ini dan bukan
aspek menyeluruh dari kehidupan sosial. Biasanya aspek-aspek itu adalah topiktopik yang dijadikan perhatian oleh masyarakat komunikatif sehingga kemudian
topik itulah yang dijadikan sebagai objek (Maliki, 2004:17-18).
Secara ringkas, paradigma sosial lebih terbatas dalam lingkup dan
penerimaan dari pandangan dunia yang berlaku, sehingga budaya masyarakat
lebih merupakan ranah di mana banyak paradigma sosial tumbuh berkembang
lebih banyak dari pada pandangan dunia. Komposisi elemen paradigma sosial
sama dengan komposisi pandangan dunia—baik dalam komponen dasar,
keyakinan-keyakinan atau sistem keyakinan dan nilai-nilai yang terkait. Stephen
Cotgrove (1982:6) menyatakan bahwa paradigma memberikan kerangka makna,
sehingga pengalaman memiliki makna dan dapat dipahami. Namun demikian ia
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
23
bersifat normatif dan juga berdimensi kognitif, yang tidak hanya menunjukkan
“apa”, akan tetapi juga “bagaimana seharusnya”. Paradigma sosial dengan
demikian dapat diartikan sebagai “miniatur pandangan dunia” yang dilakukan
oleh masyarakat komunikasi.
Evaluasi
1.
2.
3.
4.
5.
bagaimana cara mengantisipasi kerancuan dalam peleitian kualitatif?
Apa istilah lain untuk peneltian kualitatif?
Sebutkan karakteristik penelitian kualitatif?
Apa perbedaan paradigma postivistik dan paradigma iterpretatif?
Bagaimana kedudukan pewris seni tradisi dalam konteks pandangan
dunia?
6. Bagaimana pandangan industri terhadap orang miskin?
7. Bagaimana pandangan post-industri tentang dunia?
8. Bagaimana pandngan Khun tetang pardigma pengetahuan?
9. Kapan paradigma sosial berlaku?
10. Bagaimana konsep pardigma sosial?
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
24
BAB III
PARADIGMA DAN IDEOLOGI
TIK 6 dan 7
setelah mengiktui kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan
paradigma dan ideologi
Konsep ideologi sering dipakai bergantian, baik dengan pandangan dunia
maupun paradigma dalam pembahasan pengetahuan sosial, dan pengetahuan
sehari-hari. Alasan prinsipil dari pencampuran konseptual semacam itu adalah
bahwa ideologi selalu umncul dari pandangan dunia atau paradigma sosial.
Sebuah ideologi adalah argumen yang mnucul dari pandangan dunia atau
paradigma sosial yang digunakan sekelompok orang untk menjustifikasi
tindakan mereka (Kinloch, 1981).
Dengan kata lain, pandangan dunia maupun paradigma sosial—terutama
yang disebut terakhir—dapat diubah menjadi ideologi oleh sekelompok orang dan
dimanfaatkan untuk menjustifikasi berbagai tindakannya. Kecenderungan umum
untuk mengubah paradigama sosial ke dalam ideologi digambarkan oleh Stephen
Cotgrove (1982:88) sebagai berikut.
Paradigma bukan hanya merupakan keyakinan tentang kata-kata yang
diinginkan dan dimaksudkan menuntun tindakan, juga mempunyai
legitimasi atau justifikasi terhadap sebab-sebab tindakan. Olej karena itu
dikatakan, paradigma berfungsi sebagai ideologi. Dengan demikian,
mereka yang menganggap paradigma akan menghadapi persoalan
justifikasi terhadap dukungan tindakannya. Konflik atas apa yang dimunculkan paradigma yang digunakan mengarahkan danenjustifikasi
tindakan adalah bagian dari proses politik. Perjuangan untuk membuat
pardigma agar berlaku universal merupakan perjuangan kekuasaan.
Alasan mengadopsi dan mempromosikan ideologi adalah untuk menjelaskan dan menjustifikasi serta melegitimasi tindakan maupun tujuan seseorang.
Jika tindakan dan tujuan orang dapat dihubungkan dengan keberadaan pandangan
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
25
hidup atau paradigma sosial dengan menegaskan dan mempromosikan ide-idenya
itu sebagai sebuah ideologi, maka tindakan-tindakan mereka itu akan lebih memungkinkan untuk bisa dipahami oleh orang lain dalam sebuah masyarakat
(Maliki, 2004:20).
Menyuarakan pesan ideologi adalah persoalan yang krusial. Jika hal itu
dilakukan pada awal terjadinya gerakan sosial yang dimaksudkan untuk menggerakkan perubahan sosial, penyebaran ideologi itu akan sangat menentukan,
karena hal ini memberikan dukungan yang menarik serta dapat menjustifikasi
gerakan dimaksud. Sementara itu, ideologi acapkali juga dipakai secara meluas
oleh elit yang mapa untuk menjelaskan dan melegitimasi penggunaan kekuasaan
serta kontrol maupun status privilese mereka (Kinloch dalam Maliki, 2004:20).
Sebagaimana dasar pandangan dunia dan paradigma sosial, ideologi
terdiri atas keyakinan-keyakinan atau sistem keyakinan dan nilai-nilai. Namun
ketika ide seperti itu diangkat sebagai sebuah ideologi, maka yang sangat
mendasar adalah bagaimana merumuskan secara jelas dan dengan istilah yang
sederhana, sehingga dapat dipahami dengan mudah oleh setiap orang. Rumusannya haruslah dipilihkan kata-kata yang dapat menumbuhkan pesan emosional
yang kuat dan positif. Sebuah ideologi, juga seperti paradigma sosial, dilihat dari
penganutnya yang terbatas di kalangan sekelompok masyarakat, meskipun
proponen mereka lebih kecil dalam jumlah, tetapi lebih memiliki rasa keterikatan
yang tinggi dibanding masyarakat komunikasi (Maliki, 2004:21).
Hal itu
menguatkan ikatan intern kelompok sosial yang oleh kelompok luar dilihat
sebagai ikatan yang sangat solid, bersatu, guyub dan sebagainya.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
26
3.1 Karakteristik Ideologi
Sebagaimana ditunjukkan implikasinya ketika pandangan dunia dan atau
paradigma sosial ditransformasikan ke dalam ideologi, maka ia menunjukkan dua
karakteristik. Pertama, ideologi diformulasi dan ditaati oleh penganutnya dimaksudkan untuk tujuan tertentu. Pandangan dunia industrial, misalnya, secara
spontan akan menumbuhkan implikasi tumbuhnya masyarakat yang sangat terindustrialisasikan. Dalam konteks masyarakat yang dibingkai oleh pandangan
dunia industri kemudian tumbuh secara gradual paradigma teknologi sosial. Pada
saatnya kemudian, teknologi menjadi begitu sentral dalam masyarakat.
Sementara itu, masyarakat industri tersebut akan disertai dengan munculnya
ideologi kapitalisme pasar. Ideologi ini merupakan sebuah implikasi dari
munculnya pandangan dunia dan paradigma sosial para teoritisi ekonomi Barat
serta kalangan pemuka bisnis. Ideologi itu mereka gunakan untuk menjelaskan
dan melegitimasi bentuk-bentuk sistem ekonomi industri tertentu (Maliki,
2004:21).
Kedua, ideologi dipakai oleh proponennya untuk tujuan politik. Dalam
memperjuangkan tujuan politik, mereka cenderung memakai ideologi, bukan
pandangan dunia atau paradigma sosial. Berbeda dengan itu, ketika pandangan
dunia atau paradigma diubah menjadi ideologi oleh sekelompok orang—elit
dominan, pemimpin gerakan sosial, kelas sosial yang kuat, masya-rakat etnik atau
sejumlah kelompok lainnya—mereka menggunakannya sebgai instrumen pendorong dan penguat kekuasaan, privilese, tindakan dan tujuan mereka. Singkat
kata, ideologi selalu merupakan simbol senjata politik. Para teoritisi Marxian
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
27
suka menyatakan bahwa ideologi, dengan berbagai bentukn (ideologi agama,
ideologi
etik, ideologi
peraturan perundangan,
ideologi
politik) selalu
mengekspresikan posisi kelas (class positions) (Maliki, 2004:22).
Meski demikian, Louis Althusser dalam tulisan Ideology and Ideological
State Aparatusse (notes towards an Investigation), mengutip The German Ideology karya Karl Marx, menegaskan bahwa ideologi terbagi menjadi ideologi
menyeluruh (ideoplogy in general) dan ideologi partikular, misalnya ideologi
regional dan ideologi kelas. Ideologi dalam dimensi menyeluruh (ideology in
general) tidak memiliki sejarah (ideology has no history), karena ia hanya sebuah
impian yang dibangun oleh mereka yang memiliki kekuasaan. Di samping itu,
ideologi tidak memiliki sejarahnya sendiri, karena murni ilusi, impian belaka,
tidak lebih dari ide tanpa makna, kosong dan sebatas refleksi dari sejarah yang sesungguhnya. Implikasi atas pemahaman idologi dalam dimensi total seperti itu,
hanya menumbuhkan ketidaksadaran (inconsciousness) masyarakat (Maliki,
2004:23).
Karl Mannheim, tokoh yang banyak membahas ideologi pun mengidentifikasi dua tipa ideologi yang berbeda. Ideologi partikular diciptakan oleh
sekelompok masyarakat tertentu yang menjustifikasi kepentingan dan perhatian
mereka, sedangkan ideologi total mengekspresikan mode berpikir yang berlaku
dalam masyarakat (Maliki, 2004:24).
Dalam konteks ini, ideologi partikular biasanya muncul dari paradigma
sosial spesifik, sednagkan ideologi total pada umumnya merupaka ekspresi dari
pandangan dunia yang luas yang menuyebar di tengah-tengah kehidupan
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
28
masyarakat serta membentuk pemikiran seluruh warganya.
Oleh karena itu,
pemahaman tentang ideologi menjadi sangat kompleks (Maliki, 2004:24).
Olsen dan kawan-kawan, misalnya kemudian lebih cenderung memakai
konsep “ideologi” sebagaimana dalam pengertian yang sempit, persis seperti yang
dimaksud Mannheim dengan istilah “ideologi partikular”, ideologi yang terkait
dengan perjuangan kelompok masyarakat (bukan kelas) tertentu.
3.2 Fungsi Ideologi
Mengapa orang menciptakan ideologi dari pandangan dunia dan
paradigma sosial, serta mengklaim menjadi “kebenaran yang pasti”? Jawaban
parsial mengenai pertanyaan ini ada pada fungsi yang menyatakan, bahwa
ideologi dibentuk untuk kepentingan manusia. Tiga fungsi penting bagi individu
memberikan makna, menyederhanakan kehidupan dan memberikan makna,
menyederhanakan kehidupan dan menciptakan kepastian.
Fungsi ini juga
menjadikan pandangan dunia dan paradigma sosial berjalan meskipun tidak
terlalu eksplisit dibanding ideologi (Maliki, 2004:24).
Ideologi yang memadai akan memberikan kemudahan orang memberikan
makna terhadap semua peristiwa sosial, aktivitas dan kecenderungan muncul
secara “unintelligible”. Ideologi menempatkan mereka dalam rangka referensi
yang membentuk konteks yang jelas dengan memberikan makna kepada konteks
itu. Misalnya, jika kita cemas melihat begitu banyak konflik di kalangan bangsabangsa Timur Tengah saat ini, ideologi kita dapat menjelaskan bahwa semua
peristiwa itu merupakan bagian dari perjuangan terus-menerus dalam rangka
“pembebasan dunia ketiga” dari “imperialisme kapitalisme” (Maliki, 2004:24).
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
29
Ideologi yang memadai juga mentransformasi perbedaan yang kompleks
dalam kehidupan sosial ke dalam tema penelusuran yang sederhana. Hal ini
dimungkinkan dengan cara menawarkan rumusan abstrak dalam bentuk slogan
atau frasa yang sederhana yang dapat diaplikasikan untuk memecahkan semua
bentuk kesulitan dan situasi yang kompleks. Jika kita percaya bahwa komunisme
adalah “kerajaan setan”, lalu bagaimanapun Uni Soviet—yang kini telah terpecahpecah—tampak sebagai sosok yang selalu mencoba menyebarkan totalitariansme
ke seluruh dunia. Di sisi lain, kita percaya bahwa komunisme mencoba mereduksi
ketidakadilan sosial ekonomi, sehinga beberapa tindakan Soviet saat itu menjadi
nampak lebih masuk akal (Maliki, 2004:24).
Dapat ditambahkan bahwa ideologi yang bagus memberikan kepada
penganutnya kepastian absolut
yang mereka—dan hanya mereka—tahu
kebenarannya. Ideologi cenderung menjadi sangat intoleran terhadap semua caracara berfikir yang lain. Bagi para penganut setianya, dalam ideologi partikular, di
dunia ini tidak hanya ada satu cara yang memungkinkan untuk melihat dunia;
ideologi hanya merupakan kebenaran yang mungkin. Siapapun yang tidak menjadi bagian dari cara berpikir itu tidak bisa diberi pengertian, disalahpahami atau
keluar dari realitas. Dalam perdebataan belakangan ini mengenai aborsi misalnya,
para pendukung pandangan “hak untuk hidup”, yakin sepenuhnya bahwa aborsi
merupakan perlawanan terhadap imperasi moral, bahwa kehidupan seluruh
manusia adalah suci dan selalu dilindungi, sehingga ideologi para penganut
“prochoice” secara moral jelas disalahpahami (Maliki, 2004:25).
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
30
Fungsi yang diperlihatkan ideologi—dan juga pangdangan dunia dan
paradigma sosial pada umumnya, disebut oleh Pieter L. Berger dan Thomas
Lukmann sebagai “konstruksi sosial mengenai realiotas”, yang juga ia sebut
sebagai bentuik pengetahuan taken for granted di tengah masyarakat. Untuk itu
Berger dan Luckmann menggambarkan sebagai berikut.
Betapa pengetahuan taken for granted di tengah masyarakat bisa
berkoeksistensi dengan pengetahuan, atau dalam tingkat tertentu
memberikan kerangka berpikir di tengah-tengah banyak hal yang tidak
diketahui menjadi diketahui di kemudian hari. Ada pengetahuan yang
dipelajari dalam kaitan dengan sosialisasi dan yang memberikan mediasi
bagi internalisasi dalam kesadaran individu mengenai struktur obyektif
dunia sosial. Pengetahuan, dalam pengertian ini, berada dalam jantung
dialektika masyarakat secara mendasar. Ia juga mengobyektivasikan
dunia ini melalui bahasa dan aparatus kognisi didasarkan pada bahasa.
Begitulah, pengetahuan mengatur pengetahuan menjadi sesuatu subyek
yang bisa terpahami sebagai sebuah realitas (dalam Maliki, 2004:25-26).
Dari uraian panjang lebar di atas, dapat ditarik benang merah yang
menghubungkan antara teori, paradigma (paradigma pengetahuan maupun
paradigma sosial), pandangan dunia (yang memuat keyakinan spesifik dan sistem
keyakinan) serta ideologi (in general maupun
particular).
Masing-masing
memiliki wilayah sendiri-sendiri, tetapi paradigma (terutama paradigma sosial)
dan pandangan dunia bisa diubah menjadi ideologi.
Ketika menjadi sebuah
ideologi, paradigma sosial dan pandangan dunia, bukan hanya menjadi
pengetahuan taken for granted, tetapi juga menjustifikasi dan melegitimasi
tindakan. Di sisi lain, dalam tradisi Marxian, ideologi (yang bisa saja muncul dari
paradigma sosial dan pandangan dunia) bisa mengalienasi aktor serta menumbuhkan kesadaran semu (false consciousness) di tengah masyarakat (maliki, 2004:26).
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
31
Teori (sosial) adalah relasi proposisi yang dibangun di dalam tradisi atau
perspektif paradigmatik tertentu. Oleh karena itu, teori sosial juga bersinggungan
langsung atau tidak langsung dengan pandangan dunia maupun ideologi tertentu.
Dengan kata lain, teori (sosial) merupakan fungsi dari ideologi tertentu. Demikian
pula sebaliknya, sehingga tidak ada teori yang bebas dari pandangan dunia, dan
bebas dari ideologi. Dengan kata lain, tidak ada teori yang benar-benar bebas
nilai (Maliki, 2004:26).
Teori sosial merupakan instrumen yang sangat bermanfaat untuk
membaca realitas kehidupan manusia dalam interaksinya dengan sesama. Dengan
teori sosial, seseorang dapat menghimpun informasi yang lebih spesifik dan
kemudian dapat memanfaatkannya—bukan saja untuk dapat membangun teori
lebih lanjut, tetapi juga dapat digunakan untuk mendudukkanperjuangan dalam
pergumulan hidup (survival of the fittest) yang memang kompleks dan penuh
persingan ketat (maliki, 2004:27).
Orang mengira bahwa teori sosial hanya menjadi monopoli para
akademisi dan atau kalangan profesional. Teori sosial bisa saja dimanfaatkan oleh
siapa saja, sehingga bagi mereka yang berhasil mengambil manfaatnya akan
memperoleh berbagai kemudahan tertentu.
Hampir semua orang, baik yang
berada dalam kelas sosial tertentu, umur, gender, ras, etnis, budaya maupun
agama, menyadari atau tidak, menjalankan prinsip-prinsip yang dikembangkan
oleh teori sosial, meskipun bisa jadi teori sosial itu tidak sepenuhnya disadari oleh
pemakainya (Maliki,2004:27). Kesadaran teorits itu hanya dimiliki oleh para
terpelajar pada tingkat tertentu, sedang orang awam tidak memiliki kesadaran itu.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
32
Teori sosial kontemporer berkembang pesat terutama sejak awal abad ke18. Namun sesesungguhnya harus dicatat pula, bahwa pada awal abad tengah,
seorang putra Tunisia—Afrika Utara, bernama Abdul Rahman Ibnu Khaldun yang
lahir 13 Mei 1332 dan meninggal pada 1406 telah memulai merintis ilmu sosial
(Maliki, 2004:27).
Ibnu Khaldun telah melahirkan karya besar yang mendasari pemikiran
sosiologi kontemporer. Ia memiliki komitmen yang kuat terhadap kajian
masyarakat yang mendasarkan kepada penelitian empirik serta mencari faktorfaktor penyebab munculnya berbagai fenomena sosial. Ia menaruh perhatian besar
kepada persoalan kelembagaan atau institusi sosial dan inter-relasinya—baik
dalam kelembagaan politik maupun ekonomi. Ia dikenal dengan tulisannya
tentang perbandingan masyarakat primitif dan modern. Ibnu Khaldun dicatat
sebagai pemikir yang produktif dan memberikan sumbangan yang bermakna bagi
perkembangan teori sosial di kemudian hari (Maliki,2004:27).
Sejak itulah masyarakat, pemikir, dan ilmuwan sosial mengenal tokohtokoh besar dengan berbagai proposisi, perspektif, dan paradigma pemikiran yang
mereka gulirkan. Misalnya Aguste Comte yang terkenal dengan hukum “tiga
tahap” yang memandang perkembangan kehidupan masyarakat ditandai dengan
dominasi pengetahuan (positivistik), ilmu tentang kealaman. Setelah itu, muncul
Herbert Spencer, seorang penganut positivistik yang ingin meletakkan posisi
manusia sebagai individu yang lebih bermakna di tengah kehidupan sosial yang
merangkak terus dan menuju pada tataran harmoni serta serba keteraturan (dalam
Maliki, 2004:28).
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
33
Emile Durkheim mencoba meneruskan pemikiran linearitas. Ia percaya
bahwa masyarakat yang hidup di dunia modern semakin kehilangan perekat moral
dari pada masyarakat yang hidup sebelumnya. Oleh karena itu, Durkheim
mengajak untuk mempedulikan nilai-nilai kolektif, dari mana masyarakat
seharusnya membangun kehidupan yang kohesif (dalam Maliki, 2004:28).
Sejarah perkembangan teori sosial memang begitu kompleks yang diwarnai dengan munculnya berbagai perspektif pemikiran yang beragam. Pemikiran Comte, Spencer, Durkheim, dan penganut lain memunculkan teori struktural
fungsional.
Dalam jangka waktu yang cukup lama gagasan ini memperoleh
tempat yang sangat sentral dalam ilmu sosial. Tidak ada mahasiswa yang ingin
mempelajari ilmu sosial tanpa membedah perspektif ini (Maliki, 2004:28).
Sejalan dengan munculnya krisis Pasca Perng Dunia II dan dilanjutkan
dengan krirsis Pasca Perang Dingin, perspektif struktural fungsional memperoleh
berbagai sorotan tajam. Kredibilitasnya mengalami sorotan tajam—terutama
dalam menjawab berbagai perkembangan yang menggambarkan berbagai ketegangan dalam masyarakat saat memasuki abad ke 21. Sorotan terutama diarahkan kepada corak perspektif struktural fungsional yang cenderung konservatif. Perspektif ini cenderung menekankan keseimbangan, cenderung mendukung
status quo, homeostatika dan kurang peka terhadap terjadinya berbagai
ketegangan, konflik, serta perubahan-perubahan yang cepat (Maliki, 2004:28-29).
Gagasan dan berbagai ide Talcot Parson, tokoh besar teori fungsional ini,
menjadi bahan sorotan. Tesisnya yang menyatakan bahwa masyarakat adalah
sebuah sistem yang terintegrasi, tertata dalam strktur, memiliki fungsi yang rapi
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
34
dan harmoni, tidak mampu menjelaskan berbagai konflik dan ketegangan yang
terjadi—justru di masa manusia berada dalam puncak perkembangan intelektualnya (Maliki, 2004:29). Namun demikian, perspektif struktural fungsional masih
memiliki kontribusi tersendiri, sehingga banyak pemikir kontemporer, seperti
Robert N. Bellah, Cliford Geertz dan seterusnya belum sepenuhnya meninggalkan sejumlah asumsi yang ditawarkan perspektif ini. Jeffrey Alexander, prihatin
terhadap masa depan teori struktural fungsional lalu melihatnya secara kritis.
Kritik Jeffrey ini lalu memunculkan “neo-fungsionalisme”.
Benarkah kehidupan berjalan tertib dan kohesif? Dalam praktek memang
ada tertib sosial dan kohesi. Kendati begitu, praktek juga tidak menutup kenyataan
yang bertolak belakang. Begitulah teriak Karl Marx. Ia “menertawakan” mereka
yang menyatakan dunia sedang mengarah ke tatanan yang harmoni dan tertib.
Dunia, kata Marx, justru mengarah ke tatanan yang serba timpang, eksplosif,
penuh dengan praktek penindasan terhadap kaum lemah, petani, dan kaum buruh.
Penindasan serba eksploitasi itu dilakukan oleh kaum kapitalis (Maliki, 2004:29).
Sampai di sini, dapat dibaca bahwa teori sosial terbelah-belah. Dalam
satu paradigma bisa melahirkan beberapa perspektif teoritik. Dalam paradigma
fakta sosial terdapat teori struktural fungsional yang kemudian memunculkan teori
alternatif yang mengkritiknya, yaitu teori strktural konflik. Dalam teori struktural
fungsional lebih di kedepankan “tertib” sosial. Di lain pihak, dalam teori
struktural konflik dikedepankan “ketegangan” atau konflik sosial. Kehidupan
sosial digambarkan penuh konflik akibat perbedaan kepentingan. Berbeda dengan
tertib sosial, digambarkan kohesi, integrasi, stabilitas, kordinasi fungsional, dan
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
35
berbagai mekanisme konsensus. Sementara itu, di balik perspektif konflik diketengahkan koersi, perubahan, dan disintegrasi (Maliki, 2004:30).
Kedua perspektif yang bertolak belakang itu, dapat digambarkan ke
dua teori sosial, yaitu teori sosial keteraturan dan teori sosial konflik. Berikut ini
tabel teori sosial keteraturan dan teori sosial konflik,
Gambar 3.1
Dua Teori Sosial
“keteraturan” dan “ Konflik
Persektif Pengembangan Masyarakat
Keteraturan atau Integritas
Konflik atau Koersi
Stabilitas
Perubahan
Integritas
Konflik
Kordinasi Fungsional
Disintegrasi
Konsesus
Koersi
Fokus Kajian
Regulasi
Perubahan Radikal
Status Quo
Perubahan Radikal
Tertib Sosial
Konflik Struktural
Konsesus
Mode Dominasi
Integrasi dan Kohesi Sosial
Kontradiksi
Solidaritas
Emasipasi
Pemenuhan Kepuasan
Deprivasi
Aktualitas
Potensialitas
(Maliki, 2004:30)
Perlu dicatat, bahwa perspektif keteraturan atau regulasi maupun konflik atau perubahan radikal memiliki varian yang begitu banyak. Varian itu terdapat terutama
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
36
dalam perspektif konflik, terasa begitu kaya dengan varian-varian pemikiran, baik
yang perubahan radikal, maupun radikal humanis seperti yang dikembangkan oleh
Habermas dari mazab Frankfurt.
Habermas tidak hanya ingin mengalihkan
perhatiannya kepada persoalan-persoalan makro, tetapi juga ke ranah mikro,
bahkan tidak saja objektif, tetapi juga ke dalam dimensi subyektif, dengan
memanfaatkan jasa dari kalangan psikoanalis yang dipelopori Sigmund Freud dan
diteruskan oleh Carl Gustave Jung (Maliki, 2004:31).
Di sisi lain, Weber datang dan memperkaya khasanah teori sosial melalui
ranah berpikir berparadigma definisi sosial. Weber menawarkan gagasan-gagasan
teoritik yang amat kaya. Di sini karya Weber dipersandingkan dengan para
penganut perspektif struktural fungsional dan mereka yang berspektif kritis serta
dari kalangan pemikir psikolog behavioristik. Mencernati ranah subyektif, Weber
melihat dunia modern berada dalam ancaman sistem rasionalitas yang dikembangkan oleh begitu banyak aktor. Rasionalitas tindakan, baik yang instrumental
maupun rasionalitas nilai, menjadi penjara besi (iron age) yang tidak menyediakan ruang lagi bagi manusia modern untuk menghindar (Maliki, 2004:31).
Suara-suara untuk menempatkan individu sebagai subyek dan fokus
perhatian seperti yang dilantunkan Weber ini sudah lama mencuat. George Simel
menyatakan, bahwa perkembangan masyarakat, pertumbuhan kota merupakan
refleksi dari karakteristik kepribadian orang perorang yang ada di dalamnya. Di
sisi lain, George Herbert Mead menyatakan, bahwa pikiran manusia dan konsepkonsep tentang diri (the self) dibentuk oleh dunia sosial dan pengalamanpengalamannya. Penekanan tentang pentingnya konsep tentang diri (the self) me-
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
37
munculkan pandangan tentang idealisme subyektif yang ekstrim yang melahirkan
perspektif “solipsisme” yang mengandaikan, bahwa tidak ada kehidupan di luar
sensasi yang ditangkap oleh body and mind seseorang, dan biasanya dikaitkan
dengan karya pendeta Irlandia, Bishop Berkeley (1685-1753). Lingkungan fisik
atau kultural, pohon, gunung, sungai, bangunan dan lain-lain menjadi real dalam
pikiran manusia. Obyek-obyek ini tidak memiliki eksistensi di luar persepsi ideal
manusia (Maliki, 2004:32).
Sampai di sini terasa bahwa teori sosial bergerak dari kutub ekstrim ke
kutub ekstrim yang lain. Dari paradigma yang satu ke paradigma yang lain, baik
dalam domain obyektif maupun subyektif, dalam realitas mikro maupun makro.
Dari ketegangan domain makro dan mikro, Anthony Giddens hadir dengan teori
strukrasi yang mencoba menengahi ketegangan itu agar yang makro dapat bersentuhan dengan yang mikro. Keduanya bukan merupakan “dualisme”, melainkan
realitas yang harus digambarkan sebagai “dualitas”. Langkah-langkah Giddens
itu diikuti oleh Bailey, Fararo, dan Hechter. Sementara itu Alexander, Collins,
Smelser, dan juga Ritzermengembangkan teori baru. Ritzer menyodorkan konsep
“meta-teoritik” dengan mencoba mendeskripsikan dimensi-dimensi makro-mikro
dan subyektif-subyektif dalam satu bagan konseptual yang memadai. Langkah
yang ditempuhnya paling tidak dapat membendung munculnya ekstrimitas teori
sosial. George Ritzer (1996), membagi teori sosial ke dalam tiga jenis paradigma,
yaitu:
1. paradigma fakta sosial, yang di dalamnya termasuk teori struktural
fungsional dan struktural konflik;
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
38
2. paradigma definisi dosial, termasuk teori-teori konstruktivisme sosial,
seperti interaksionisme simbolik, etnografi, dan etnometodologi; dan
3. paradigma perilaku sosial yang di dalam termasuk teori pertukaran
(exchange theory) dan pilihan rasional (rational choices) (Maliki,
2004:32-33).
Gibson Burrell dan Gareth Morgan memetakan teori sosial lebih terinci
menjadi empat jenis paradigma, yakni:
1. paradigma radikal humanis, termasuk teori kritis (Critical theory),
anarchistic individualism, dan eksistensialisme Perancis;
2. paradigma radikal strukturalis, termasuk teori Marxian Mediteranian
Kontemporer, teori konflik, dan teori sosial Rus;
3. paradigma interpretive, termasuk teori fenomenologi, hermeneutics;
4. paradigma fungsionalis, termasuk di dalamnya teori-teori interaksionisme dan tindakan sosial, teori integratif, teori sistem sosial, dan
teori obyektivisme.
Dua paradigma pertama menekankan pada teori perubahan radikal, sedangkan dua
pradigma terakhir menekankan kepada teori-teori sosial regulasi. Jika teori sosial
Russian, teori sistem sosial, dan terutama teori obyektifisme berada di kutub
obyektif, maka eksistensialisme Perancis, fenomenologi, dan terutama teori
solipsisme menempati kutub lainnya, yakni dalam ranah subyektif.
paradigma teori sosial tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
Keempat
39
Gambar 3.2
Teori Sosial Perubahan Radikal
Paradigma Humanisme Radikal
Individualisme
Anarchistik
S
U
B
Y
E
K
T
I
F
Eksistesialisme
Perancis
S
O
Teori
L
Kritik
I
P Fenomenologi Hermeneutik
S
I
Sosiologi
Fenomenologi
S
M
E
Paradigma Intretive
Teori Sosial Regulasi
Paradigma Strukturalisme Radikal
Marxian
Mediteranian
Komtemporer
Teori
Sosial
Teori Konflik
Teori
Integrati
Teori
Sistem
Sosial
Obyektivisme
O
B
Y
E
K
T
I
F
Teori Interaksionisme
Dan Tindakan Sosial
Paradigma Fungsionalist
(dalam Maliki, 2004:35)
Sementara itu, teori-teori yang cenderung di tengah (midle range theor)
yang berada dalam domain teori perubahan radikal antara lain teori kritis,
individualisme anarchistik, dan Marxian Mediterianisme Kontemporer, sedangkan
yang berada dalam domain teori sosial regulasi adalah teoru Hermeneutik, serta
teori interaksionisme dan tindakan sosial. Selebihnya lihat bagan di atas.
Evaluasi
1. Bagaimana ideologi muncul?
2. Apa alasan mengadopsi dan mempromosikan ideologi?
3. Bagaimana paradima sosial diubah menjadi ideologi menurut pandangan
Stephen Cotgrove?
4. Mengapa teori sosial tidak bisa bebas dari pandangan dunia dan ideologi?
5. Apa manfaat teori sosial?
6. Bagaimana George Ritzer membagi teori sosial ke dalam paradigma?
7. Bagaimana Anthony Giddens menengahi ketegangan teori sosial mikro
dan makro?
8. Jelaskan pandngan George Herbert Mead mengenai pikiran manusia dan
pembentukan konsep-konsep tentang diri (the self)?
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
40
BAB IV
PENDEKATAN KUALITATIF
TIK 8 dan 9
Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat
karakteristik pendekatan kualitatif
menjelaskan
Pendekatan kualitatif dimengerti sebagai lawan pendekatan kuantitatif
yang didasarkan pada positivism. Asumsi dasar persepektif interpretif dan kritis
tersebut dapat digunakan untuk menunjuk ciri-ciri atau karakteristik definitif studi
kualitatif yang membedakannya dengan penelitian kuantitaif. Dari dua perspektif
itu, dapat dikemukakan beberapa ciri pendekatan kualitatif. Data kualitatif yang
lebih merupakan wajud kata-kata daripada deretan angka-angka, senantiasa
menjadi bahan utama bagi ilmu-ilmu sosial tertentu, terutama dalam bidang
antropologi, sejarah, dan ilmu politik. Data kualititatif sangat menarik.
Data
kualitatif merupakan sumber dari deskripsi yang luas dan berlandasan kokoh,
serta memuat penjelasan tentang proses-proses yang terjadi dalam lingkup
setempat. Dengan data kualitatif kita dapat mengikuti dan memahami alur
peristiwa secara kronologis, menilai sebab-akibat dalam lingkup pikiran orangorang setempat, dan memperoleh penjelasan yang banyak dan bermanfaat. Data
kualitatif lebih condong dapat membimbing peneliti untuk memperoleh
penemuan-penemuan yang tak diduga sebelumnya dn untuk membentuk kerangka
teroritis baru; data tersebut membantu para penelitiuntuk melangkah lebih jauh
dari praduga dan kerangka kerja awal (Miles, 1992:2).
Menurut Smith (dalam Miles dan A. Michael Huberman, 1992:2),
penemuan-penemuan dari penelitian kualitatif mempunyai mutu “yang tidak dapat
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
41
disangkal”. Kata-kata, khususnya bilamana disusun ke dalam bentuk cerita atau
peristiwa, mempunyai kesan yang lebih nyata, hidup, dan penuh makna, seringkali
jauh lebih meyakinkan pembacanya, peneliti lainnya, pembuat kebijakan, praktisi,
daripada
halaman-halaman
yang
penuh
dengan
angka-angka.
Tidak
mengherankan semakin banyak peneliti yang tertarik pada pengumpulan data
kualitatif. Para peneliti antropolog pun dengan tenang mengumandangkan pada
peneliti di bidang lainnya yang sedang terlibat pada berbagai perputaran kegiatan
penelitian (Wolcott, 1980), agar waspada terhadap lompatan yang mendesak ini.
Tidak jarang terjadi “studi kasus” yang dangkal, namun perluasan penelitian
kualitatif terus berlanjut dengan dorongn-dorongan yang cukup besar dari para
ahli metodologi (misalnya, Snow 1974; Cronbach, 1975; Campbell, 1975; Cook
dan Campbell, 1979), yang semula ‘keras kepala” pada pendekatan yang
berorientasi kuantitatif pada permasalahan tentang generalisasi pengetahuan yang
valid, selanjutnya beralih secara sungguh-sungguh menuju sikap mendukung pada
penelitian kualitatif yang sarat dengan konteks itu.
Tuntutan untuk meaksanakan pnelitian kualitatif yang tepat cukup besar.
Mengumpulkandata kualitatif merupakan suatu pekerjaan yang itensif, biasanya
memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Catatan-catatan
lapangan sedemikian banyaknya, sehingga cenderung terjadi penumpukan data
yang
verlebihan.
Mungkin
dibutuhkan
waktu
bertahun-tahun
untuk
menganalisisnya secara seksama. Untutan-tuntutan umum ini telah ditambah pula
dengan hal-hal lainnya. Penelitian kualitatif bukan lagi semata-mata kawasan
kerja peneliti lapangan yang bekerja sendirian membenankan diri dalam suatu
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
42
altar (setting) lokal, tetapi saat ini sering menjadi usaha-usaha “situs ganda,
metode ganda” Smith dan Louis, (dalam Miles dan A. Michael Huberman,
1992:2), yaitu suatu gabungan penelitian kualitatif dan kuantitatif yang dilakukan
oleh suatu tim peneliti dengan menggunakan metode pengumpulan data dan alisis
yang diformalkan dan dikomparasikan (Herriott dan Firestone, 1983).
Peneliti mendapatkan masalah-masalah riil dengan hasil penelitian
kualitatif. Sekalipun penelitian melampui kasus tunggal yang biasanya sampai
pada situs berganda (multiple site), namun bagian terbesar dari data tak
memungkinkannya menentukan sebuah sampel dari begitu banyak kasus. Dengan
demikian peneliti dihadapkan pada masalah serius tentang penarikan sampel.
Apakah kasus-kasus teruji merupakan suatu sampel dari suatu cakupan yang luas?
Dengan perkataan lain, apakah penelitian kualitatif mempu menggenerlisir
penemuan-penemuan yang diperoleh?
Kenyatan bahwa kata-kata seringkali
memuat makna terselubung, dan lambang yang kabur, maka kemungkinan
munculnya peneliti yang berpraduga tampaknya sangat besar, dan oleh karena itu
seyogyanya peneliti memperhatikan replikabilitas dari analisis kualitatif.
Pertanyaan yang paling dalam dan tidak jelas untk kajian-kajian kualitatif
terletak pada permasalahan tersebut. Miles mengemukakan, bahwa
Kesulitan yang paling utama dan serius dalam penggunaan data kualitatif
adalah metode-metode analisisnya yang tidak dirumuskan dengan
memadai. Bagi data kualitatif, memang terdapat kaidah-kaidah jelas
yang digunakan oleh peneliti. Namun bagi penganalisis yang berhadapan
dengan suatu bank data kualitatif, dan yang memiliki pedoman yang amat
sedikit sebagai pelindung terhadap khayalan pribadi, membiarkan begitu
saja muncaulan data yang tidak valid dan tak dapat dipercaya untuk
sidang pembaca ilmiah dan para pembuat kebijakan. Bagaimana dapat
yakin, bahwa suatu penemuan “berakar pada kenyataan”, “tak dapat
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
43
disangkal” memperoleh data yang tak diduga sebelumnya,” atau tidak,
jika dalam kenyataannya terjadai hal yang salah?
4.1
Studi dalam Situasi Alamiah (naturalistic inquiry).
Alih-alih memanipulasi setting penelitian, seorang peneliti kualitatif
melakukan studi terhadap fenomena tertentu dalam situasi ‘apa adanya’. Fokus
kajian bisa berupa orang, kelompok orang, interaksi yang berkembang, yang
semua didudukkan dalam konteksnya yang alamiah. Ciri ini sama sekali berbeda
dengan studi eksperimental yang memerlukan treatment group atau sejenisnya
yang di dalamnya fokus penelitian dimanipulasi sedemikian rupa untuk memberi
justifikasi terhadap hipotesis yang dibangun.
4.2 Analisis Deduktif versus Induktif
Seorang periset kuantitatif bergerak dari konsep-konsep umum yang
sebelumnya telah dipilih (adanya pengaruh Grand Theory dalam bentuk narasi
besar), kemudian dengan prosedur tertentu memberlakukan konsep-konsep umum
tersebut pada fokus kajiannya (dalam bentuk hipotesa penelitian). Dengan kata
lain berangkat dari prinsip-prinsip umum menuju ke khusus. Cara berpikir ini
sama dengan proses berpikir deduktif menuju proses berpikir induktif.
Gambar 4.1
Pendekatan Deduktif
Teori
Hipotesis
Konsep
Data
Teori dan Hipotasis
Didukung atau ditolak
Sebaliknya, para periset kualitatif tidak membatasi hanya mencari
justifikasi atas praduga yang dibangun, tetapi lebih berorientasi pada pemahaman
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
44
situasi di lapangan. Sesudah diperoleh temuan awal yang disesuaikan dengan
logika lapangan, periset kualitattif membangun finding dalam bentuk hipotesahipotesa empirik.
Gambar 4.2
Pendekatan Induktif
Data
Uraian dan KonsepKonsep berdasarkan
Data Lapangan
Teori
Menerangkan
Data
4.3 Kontak Personal Langsung
Selama ini kedekatan jarak antara peneliti dengan subjek studi dianggap
sebagai pangkal bias atau tidak menciptakan kondisi obyektif. Namun sebaliknya,
dalam penelitian kualitatif kedekatan dengan fokus studi justru menjadi kunci.
Hanya dengan kedekatan semacam itu data yang diperlukan dapat diperoleh
secara maksimal dan temuan studi dianggap benar, bahwa yang akan diperoleh
dan dideskripsikan oleh periset merupakan kenyataan yang sesungguhnya
berkembang, dan bukan rekaan atau asumsi awal yang dibangun periset tentang
objek studi mereka.
4.4 Perspektif Holistik
Holistik artinya menyeluruh. Penelitian kualitatif bergerak dari suatu
asumsi, bahwa fenomena merupakan suatu jejaringan yang kompleks.
Oleh
karena itu, suatu totalitas dipandang lebih berharga dari pada penjumlahan bagianbagian yang menyusun fenomena tersebut.
Perspektif holistik dapat dicapai
melalui pendekatan multimethod yang terencana sesuai dengan sifat masingmasing informasi yang dibutuhkan periset.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
45
4.5 Perspektif Dinamis
Gejala sosial dipandang sebagai gejala unik dan tidak statis dalam ruang
dan waktu. Demikian pula gejala sosial tidak dipandang seragam antar waktu dan
tempat yang berbeda. Selalu beragam. Gejala sosial adalah gejala yang kaya
nuansa dan warna alami yang beragam yang harus didekati sesuai dengan
komposisi masalah yang berbeda-beda.
4.6 Orientasi pada Kasus Unik.
Apabila penelitian kuantitaif bersifat melebar, penelitian kualitatif
bersifat ‘mendalam’. Periset kualitatif berupaya melakukan penelitian terhadap
kasus-kasus kecil dan peneliti kualitatif mengkajinya secara tuntas.
Tidak
mengherankan apabila salah satu metode yang digunakan dalam penelitian
kualitatif adalah studi kasus yang kemudian menjadi prasyarat sebelum metodemetode yang lain dan digunakan sebagai pelengkap.
Penelitian kasus termasuk ke dalam salah satu jenis penelitian deskrptif.
Sebelum membicarakan lebih lanjut tentang studi kasus perlu dijelaskan terlebih
dahulu induknya, yaitu metode deskripsi.
4.7
Sifat Metode Deskriptif
Metode deskriptif dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang
keadaan-keadaan nyata sekarang (sedang berlangsung). Tujuan utana metode ini
adalah untuk menggambar sifat suatu keadaan yang sedang berlangsung dan
memeriksa sebab-sebab segala sesuatu terjadi. Mendeskripsikan metode penelitan
deskriptif sebagai kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka
menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan dalam keadaan yang sedang
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
46
berjalan. Itulah pokok penelitiannya. Penelitian deskriptif tdak memiliki kekuatan
untuk mengontrol seluruh hal yang sedang berlangsung dan hanya dapat
mengukru apa yang ada (Sevilla, 1992:71)
4.7.1. Cara Memperoleh Informasi Deskriktif
Berikut ini diuraikan beberapa cara untuk memperoleh satu informasi
deskriptif.
a.
metode yang paling digunakan, misal di dalam pengumpulan data
yang mengenai sikap dan pendapat kelompok orang adalah dengan
meminta mereka untuk memberikan informasi penting. Informasinya
mungkin dapat diperoleh dengan wawancara pribadi atau melalui
survei surat-menyurat.
Data yang penelitian kumpulkan dapa
informasi aktual atau hanya terdiri dari beberapa pendapat. Tipe
penyelidikan
ini
dogolongkan
sebagai
daftar
pertanyaan
(questionnaire) atau peneliti daftar pendapat (opinionnaire studies).
Penelitian ini disebut laporan pribadi (self reporting).
b.
Cara kedua melalui pengamatan. Salah ciri penting dalam metode ini
adalah berkomunikasi langsu ng antara peneliti dengan responden
yang dipiih untuk diselidiki. Pengamatan menurut Helmstadter (dalam
Sevilla, 1992:72) digolong atas tiga , yaitu pengamatan yang memusat
pad tingkah laku sesungguhnya responden. Hal tersebut tergolong
dalam analisis kegiatan, dan anaisis tugas atau analisis proses.
Pengamatan yang dipusatkan pada hasil tingkah laku responden
disebut analisi hasil.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
Tujuan utama pengamatan adalah untuk
47
menentukan seperangkat keadaan tingkah laku responden .metode
penyelidikan ini disebut analisis keadaan (situation analysis).
c.
Cara ketiga adalah menggunakan alat-alat atau insrumen survei
deskriptif utuk melkaukan pada responden. Suatu penelitian yang
menetapkan patokan-patokan yang lain disebut survei normatif.
Namun apabila penelitian memprasyaratkan kombinasi dari beberapa
penelitian terhadap beberapa kelompok yang mewakili yang
memerluka
pendekatkan
longitudinal,
hasilnya
dapat
disebut
pengembangan (developmental study).
4.7.2. Kegunaan Penelitian Deskriptif
Penelitian deskriptif digunakan secara luas. Salah satu alasannya adalah
bahwa metode ini meliputi lebih banyak segi dibanding dengan metode-metode
penelitian lain, banyak memberi sumbangan kepada ilmu pengetahuan melalui
pembarian
informasi
keadaan
mutakhir,
dan
dapat
membantu
peneliti
mengidentifikasi faktor-faktor yang berguna untuk percobaan. Metode ini dpat
digunakan untuk menggambarkan situasi-situasi tertentu. Alasan lian metoede
digunakan secara luas adala bahwa data yang dikumpulkan dianggap bermanfaat
dalam membantu peneliti menyesuaikan diri untuk memecahkan masalah dalam
lkehidupan sehari-hari dan dapat diterapkan pada berbagai macam masalah.
Metode deskriptif juga membantu mengetahui bagimana caranya mencapai tujuan
(Sevilla, 1992:73).
4.7.3. Jenis-jenis Penelitian Deskritif
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
48
Pada umumnya peneltian-penelitian deskriptif terdiri atas berbagai jenis,
yaitu studi kasus, survei, penelitian pengembangan (developmental study),
penelitian lanjutan (follow up study), analisis dokumen, analisis kecenderungan
(trend analysis), dan Penelitian korelasi (correlatinal study).
4.7.3.1 Studi Kasus
Apabila peneliti melakukan penelitian yang terinci mengenai seseorang
atau suatu unit selama kurun waktu tertentu, peneliti melakukan studi kasus.
metode ini melibatkan penelitian yang mendalam dan pemerikasaan secara total
tingakh laku seorang individu. peneliti akan memperhatikan bagaimana tingkah
laku individu itu berubah ketika individu itu menyesuaikan diri dan memberi
reaksi terhadap lignkungan.
peneliti akan menemukan dan mengidentifikasi
semua variabel penting yang mempunyai sumbangan terhadap riwayat atau
pengembangan subjek. ini berarti peneliti melakukan pengumpulan data yang
meliputi pengalaman-pengalaman masa lampau dan keadaan lingkungan subjek.
ini berarti pula bahwa data yang dikumpulkan termasuk pengalaman lampau dan
keadaan sekarang individu tersebut, termasuk lingkunganya. peneliti berusaha
menemukan hubungan antara faktor-faktor tersebut (Sevilla dkk, 1992:74).
studi kasus
kadang-kadang melibatikan penelitian unit sosial terkecil
seperti perkumpulan, keluarga, sekolah dan kelompok remaja. Dalam mencari
pemecahan masalah-masalah penting, peneliti membutuhkan unit tersebut.
Penelitian di bidang pedalangan atau kelompok kesenian seni pertunjukan
menggambarkan studi kasus, dapat merupakan pemecahan masalah manfaat
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
49
individu, seperti dalang pertunjukan wayang kulit,
misalnya analisis lakon
pertunjukan wayang kulit untuk memperoleh generalisir yang masuk akal
metode studi kasus memberi beberapa keuntungan. keuntungan utama,
peneliti dapat melakukan kajian lebih mendalam.
dengan penelitian lebih
mendalam peneliti seluruh kepribadian seorang seniman dalang atau seniman
seniman lainnya dengan memperhatikan keadaan sekarang, pengalaman masa
lampau, latar belakang lingkungan (Sevilla dkk, 1992:74), dan mungkin juga
dapat diketahui motivasinya dalam berkarya seni.
.
4.8 Netralitas Empatik
Mengambil jarak dengan objek studi merupakan keharusan dalam studi
kuantitatif. Pasalnya, kedekatan periset dengan objek kajian dikhawatirkan menghasilkan temuan yang bias. Positivisme yang mendasari penelitian kuantitatif
memandang ilmu sebagai bebas nilai. Sebaliknya, pendekatan kualitatif memandang doktrin ilmu yang bebas nilai atau bebas kepentingan sebagai ilusi kaum
positivis. Objektivitas murni tidak pernah ada pandangan pendekatan kualitatif,
bahkan santo teori kritis Jurgen Hubermas menyebutkan, bahwa represi terhadap
kepentingan adalah kepentingan itu sendiri. Pilihan atas topik studi, dengan
sendirinya sudah menunjukkan adanya unsur subyektivitas. Dalam hal ini, para
teoritisi kualitatif menganjurkan istilah empatihic neutrality sebagai alternatif
terhadap doktrin objektivitas. Sifat ‘empati’ merujuk pada sikap periset terhadap
subjek kajian, sementara netralitas merujuk pada sikap periset terhadap hasil
penelitian. Belakangan, para periset yang berafiliasi dengan Frankfurt School
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
50
bahkan menganjurkan agar periset pun turut serta dalam proses perubahan yang
dituntut oleh hasil penelitian mereka.
Sebagai perangkat pengetahuan perlu dipahami perbedaan obyektivisme
dan subyektivisme. Obyektivisme memencilkan obyek atau sasaran peneltian,
mengintroduksi pemisahan antara pengamat dengan yang diamati, menyingkirkan
peneliti ke posisi luar. Pengamatan subyektivitas peneliti diabaikan, dikurung
selama waktu penelitian. Subyektivitas dilihat, selalu atas nama keobyektivitasan,
sebagai pengganggu proses penelitian. Tradisi obyektivis mencurahkan perhatian
pada metode-metode observasi dan produksiyang lebih sering bersandar pada
kuantifikasi; ini merupakan gambaran obsesif tentang alat pengukuran yang
tepat;konsepsei global tentang kerangka analisis didasari oleh ide bahwa suatu
tatanan yang sudah terbentuk sebelumnya akan terjadi kembali, di mana aktor
tidak sadar akan makna tindakannya: “keajeganI”, universalitas, kestabilan dari
tatanan tersebut yang dapat dianalisis (Coulon, 2008:60-61).
Subyektivisme bertentangan dengan konsep tersebut: obyek bukan lagi
satu kesatuan yang terpisah, ia selalu berkaitan dengan penelitiannya; tidak ada
keterputusan
epistemologi,
kepentingan
memperhitungkan keterlibatan peneliti.
obyektivitas
praktik
akan
Subyektivitas disusun kembali dan
dianalisis sebagai sesuatu fenomena yang merupakan bagian dari ranah yang
diamati, diperhitungkan secara heuristik; metode-metode yang digunakan lebih
menonjolkan analisis kualitatif, keunikan yang dapat mengandung arti,segalanya
seperti yang tidak terukur; kerangka tindakan sosial merupakan hasil dari suatu
bangunan yang berkelanjutan, dari auatu norma yang terus-menerus oleh para
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
51
aktor sendiri, subyektivisme merehabilitasi transisi, kecenderungan dan kekhasan
(Coulon, 2008:61-62).
Pada dasarnya ketidakcocokan antara obyektivisme dan subyektivime
dari sudut tindakan sosial dan peran yang dihubungkan dengan aktor. Apakah
ketidakcocokan ini dimanipulasi tanpadiketahui melalui urutan kejadian yang
mendahuluinya?
Kerja sosiolog adalah memunculkan pemaknaan yang
tersembunyi, menghalau pekerjaan gelap determinisme sosial. Atau, apakah aktor
memiliki kemampuan di dalam kegitan sehari-harinya, untuk menalar, memahami
dan menafsirkan tindakannya? Peran sisiolog dalam hal ini adalah menganalisis
persepektif aktor sepanjnang kegiatan sehari-hari. Singkatnya apakah aktor
mempengaruhi atau dipengaruhi? (Coulon, 2008:62).
Dapat diterka akibat dari munculnya pertentangan tersebut dalam ranah
sosiologi.
Dua sudut pandang yang berlawanan tentang lembaga: yang satu
memberi batas, bahwa lembaga sebagai bentuk sosial yang terlepas dari aktor,
seperti seperangkat norma-norma yang dipaksakan kepada mereka; yang lainnya
melihat secara terbalik hubungan yang dibangun para anggotanya dengan
lembaganya.
Mereka melihat sebagai pembentuk lembaga terus-menerus.
Masalah ini sangat mendasar. Pertentangan epistemologi bukan sesuatu yang
baru, tetapi telah muncul sejak awal pemikiran sosialogi dengan dua konsepsi
ilmu (praktik, rasioanl) hubungan aktor dengan kerasionalannya tersebut dan
dengan pemaknaan tindakan-tindakan tersebut (Coulon, 2008:62-63).
4.9 Fleksibilitas Desain.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
52
Desain penelitian kualitatif tidak ditentukan sejak awal, karena subjek
penelitian dianggap dinamis. Pendekatan semacam ini diperlukan untuk memperoleh data yang kaya (beragam) dari (fenomena empirik yang muncul), karena
salah satu validitas temuan studi kualitatif adalah kekayaan informasi dan status
sampel, dan bukan jumlah sampel. Pendekatan semacam ini dimaksudkan untuk
mengantisipasi berbagai hal yang mungkin tidak diperhitungkan dalam desain
sebelumnya yang telah ditentukan secara kaku (before hand). Hal ini merupakan
sala satu strategi penelitian, dan bahkan menjadi salah satu ciri penelitian
kualitatif.
4.10 Periset sebagai Instrumen Kunci
Manusia adalah satu-satunya instrumen yang mampu menjaga naturalitas
setting penelitian. Oleh karena itu, hanya menggunakan manusia sebagai alat
pengumpul data informasi yang valid akan diperoleh. Manusia satu-satunya alat
yang dapat berhubungan secara wajar dengan subjek lain, serta dapat memahami
kaitan antarkenyataan yang ada dalam latar studi. Periset menyusun objektivitas
data lapangan dengan cara membangun ‘pemahaman’ yang mendekati setting
lapangan melalui dialog ulang dengan sumber-sumber lain (cross-check) dan
mendiskusikan temuan lapangan dengan teman-teman sekolega.
Sembilan ciri studi kualitatif di atas sama sekali berbeda dengan karakter
pradigma positivis-kuantitatif sehingga menghasilkan metodologi yang berlainan
dengan metodologi kuantitatif. Metodologi adalah proses, prinsip, dan prosedur
pendekatan terhadap suatu masalah untuk mencari jawaban. Dalam pengertian
yang paling sederhana, metodologi dapat pula diartikan sebagai pendekatan umum
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
53
yang digunakan untuk mengkaji topik penelitian. Metodologi dan teknik-teknik
studi semestinya merupakan representasi dari asumsi-asumsi teoritis yang
digunakan secara konsisten. Sebagaimana dikatakan oleh Collier, pendekatanpendekatan epistemologi harus konsisten dengan asumsi-asumsi ontologis yang
mendasari perspektif kualitatif yang kemudian melahirkan sejumlah strategi
penelitian, seperti studi kasus (case study), fenomenologi, etnometodologi,
grounded theory, dan metode biografi.
Studi kasus atau Penelitian Kasus (case study), adalah penelitian tentang
status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari
keseluruhan personalitas (Maxfield, 1930). Studi kasus berusaha untuk menemukan sesuatu seacar alami dan tidak untuk pengujian hipotesis (Tashakkori
dan Charles Teddlie, 2010:58). Subjek penelitian bisa individu, kelompok,
lembaga, maupun masyarakat.
Dalam studi kasus peneliti ingin mempelajari
secara intensif latar belakang serta interaksi lingkungan dari unit-unit sosial yang
dijadikan subjek studi. Tujuan studi kasus adalah untuk memberi gambaran secara
mendetil tentang latar belakang, sifat-sifat, serta karakter-karakter yang khas dari
suatu kasus, ataupun status dari individu, yang kemudian, dari sifat-sifat khas itu
didijadikan sesuatu yang bersifat umum.
Pada mulanya studi kasus banyak
digunakan dalam penelitian obat-obatan dengan tujuan diagnosa, tetapi kemudian
digunakan secara meluas pada bidang-bidang yang lain (Nazir, 1981:66-67).
Hasil dari studi kasus merupakan suatu generalisasi dari pola-pola khusus
yang tipikal dari individu, kelompok, lembaga, masyarakat, dan sebagainya.
Tergantung dari tujuannya, ruang studi kasus dapat mencakup segmen atau bagian
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
54
tertentu atau mencakup keseluruhan siklus kehidupan individu, kelompok,
lembaga, dan masyarakat, baik dengan penekanan pada faktor-faktor kasus
tertentu, ataupun keseluruhan faktor-faktor dan fenomena-fenomena. Studi kasus
lebih menekankan kajian pada variabel yang cukup banyak pada jumlah unit yang
kecil. Hal ini berbeda dengan metode survei, di mana peneliti cenderung mengevaluasi variabel yang lebih sedikit tetapi dengan jumlah sampel yang lebih besar
(Nazir, 1981:67).
Studi kasus banyak digunakan untuk meneliti desa, kota besar,
sekelompok manusia droup out, para napi, para pemimpin, dan sebagainya. Jika
digunakan untuk meneliti kelompok, maka perlu dipisahkan atau diisolasikan
kelompok-kelompok dalam onggokan yang homogen (Nazir, 1981:67).
Studi kasus mempunyai banyak kelemahan di samping memiliki faktor
keunggulan. Kelemahan studi kasus disebabkan oleh faktor:
1. anggota sampel terlalu kecil, sehingga sulit dibuat inferensi populasi;
2. sangat dipengaruhi oleh pandangan subjek dalam pemilihan kasus;
3. adanya sifat khas yang terlalu dibesar-besarkan;
4. kurangnya objektivitas yang dapat disebabkan karena kasus yang diteliti
cocok dengan konsep yang dimiliki peneliti;
5. penempatan dan pengikutsertaan data dalam konteks yang bermakna
menjurus pada interpretasi subjektif (Nazir, 1981:67).
Studi kasus mempunyai keunggulan sebagai berikut:
1. suatu studi untuk mendukung studi-studi yang besar dikemudian hari.
2. memberikan hipotesa-hipotesa untuk penelitian lanjutan.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
55
3. studi kasus dapat digunakan sebagai contoh ilustrasi, baik dalam
perumusan masalah, penggunaan statistik dalam menganalisa data, serta
cara-cara perumusan generalisasi dan kesimpulan.
Berikuti ini adalah sebuah contoh studi kasus tentang mahasiswa
Program Studi S-1 Pedalangan yang tidak dapat menguasai teknik mendalang
dengan baik kerena berbagai sebab, yaitu:
1. sejarah perguruan tinggi dan rumah tangga mahasiswa;
2. status sekarang mahasiswa tersebut;
3. diagnosa terhadap kesukaran-kesukaran mahasiswa untuk mendalang;
4. sebab-sebab kekurangan mahasiswa dalam mendalang; dan
5. mengukur hasil dari pengajaran.
Langkah-langkah pokok dalam meneliti kasus adalah sebagai berikut:
1. rumuskan tujuan penelitian;
2. tentukan unit-unit studi, sifat-sifat tertentu yang akan diteliti dan
hubungan apa yang akan dikaji serta proses-proses apa yang akan
menuntun penelitian.
3. Tentukan rancangan serta pendekatan dalam memilih unit-unit dan teknik
pengumpulan data yang digunakan.
4. Sumber-sumber data apa yang tersedia;
5. Kumpulkan data;
6. Organisasikan informasi dan data yang terkumpul dan analisa untuk
membuat interpretasi serta generalisir; dan
7. Susun laporan dengan memberikan kesimpulan serta implikasi dari
penelitian (Nazir, 1981:68).
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
56
Mengenai studi kasus, Robert E. Stake (dalam Denzin and Lincoln, 1994:
237) membedakannya ke dalam tiga jenis, yaitu:
(1) studi kasus intrinsik, yakni studi dilakukan karena suatu kasus yang
menarik dan periset berupaya memahaminya secara mendalam;
(2) studi kasus instrumental, yakni studi kasus yang dilakukan untuk memperoleh pemahaman tentang suatu masalah atau pembaharuan teori;
(3) Studi kasus kolektif atau studi kasus instrumental yang diperluas, yakni
studi atas sejumlah kasus yang dilakukan secara simultan guna memperoleh pemahaman yang lebih baik atas masalah tertentu.
4.10 Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah proses umum yang peneliti lalui untuk mendapatkan
teori. Mencari kepystakaan yang terkait adalah tugas yang segera dilakukan, lalu
menyusun secara teratur dan rapi untuk diperguankan dalam keperluan penelitian.
Gay (1976) barpendapat bahwa kajian pustaka meliputi pengidentifikasian secara
sistematis, penemuan, dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasiinformasi yang berkaitan dengan masalah penelitian. Kajian pustaka memiliki
beberapa fungsi sebagai berikaut.
1. Menyediakan kerangka konsepsi atau keragka teori untuk penelitian
yang direncanakan.
2. Menyediakan informasi tentang penelitian-penelitian yang lalu yang
berhubngan dengan penelitian yang akan dilakukan.
Proses ini
menghindari pengulangan (duplikasi) yang tidak disengaja dari
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
57
penelitian-penelitian terdahulu dan membimbing peneliti pada apa
yang hendak diselidiki.
3. Memberi rasa percaya diri sebab melalui kajian pustaka semua
konstruk yang berhubungan dengan penelitian telah tersedia. Oleh
karena itu, peneliti menguasaiinformasi mengani subjek penelitian.
4. Memberi informasi tentang metode-metode penelitian, populasi,
sampel, instrumen pengumpulan data, dan perhitungan statistik yang
digunakan pada penelitian-penelitian sebelumnya.
Jika peneliti
berhasil dalam kajian pustaka, maka peneliti membutuhkan bimbingan
yang sedikit dari pembimbing, karena pertanyaan yang akan dijawab
dapat terjawab melalui kajian pustaka yang dilakukan pada tahapawal
penelitian.
5. Menyediakan
temuan-temuan
dan
kesimpulan-kesimpulam
penyelidikan terdahulu yang dapat dihubungakan dengan penemuan
dan kesimpulan peneliti.
Pernyataan tersebut memberikan isyarat bahwa peneliti telah memiliki
topik, dan sekarang tinggal mengkaji kepustakaan untuk membuat kerangka
konsepsi atau kerangka teori. Kajian pustaka dapat pula berfungsi dalam keadaan
belum memunyai topik yang pasti. Oleh karena itu, pengkajian kepustakaan
diperlukan oleh peneliti, agar dapat menemukan topik yang lebih sesuai. Banyak
peneliti menggunakan jalan ini dalam mengidentifikasi jalan penelitiannya.
Mereka menemui kesulitan dalam menyusun masalah.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
58
Mengkaji bahan-bahan pustaka setelah peneliti memilih topik akan lebih
pasti dan terkonsentrasi. Kecenderungan peneliti pada awal pengkajian pustaka
adalah mempergunakan kesempatan untuk mencari kepustakaan di kepustakaan
atau di tempat lain, termasuk bahan-bahan diperpustakaan sendiri. Memang hal
ini adalah sesuatu yang wajar karena peneliti berhasrat untuk mengumpulkan
khasanah pengetahuan yang berhubungan dengan penelitiannya.
Namun
demikian beberapa peneliti merasa bahwa tinjauan pustaka seakan-akan sia-sai.
Ini terjadi apabila topik itu merupakan hal baru sehingga kepustakaan penelitian
sangat terbatas.
Walaupun demikian, pasti ada kepustakaan konseptual yang
berkaitan dengan konsep-konsepyang telah ditulis. Ini seharus dicatat dan dikaji
oleh peneliti (Sevilla, dkk., 1993:32-33).
Fox
(1969)
membedakan
kepustakaan konseptual.
antara
kepustakaan
penelitian
dengan
Kepustakaan penelitian meliputi laporan-laporan
penelitian yang telah diterbitkan, sedangkan kepustakaan konseptual meliputi
artikel-artikel atau buku-buku yang ditulis oleh para ahli
yang memberikan
pendapat, pengalaman, teori-teori, atau ide-ide tentang apa yang baik dan apa
yang buruk, hal-hal yang diinginkan dan hal-hal yang tidak diinginkan di dalam
bidang masalah (Sevilla, dkk., 1993:32-33).
. Ketika peneliti menjelajahi bahan-bahan bacaan di perpustakaan, harus
diperiksa baik kepustakaan penelitian maupun kepustakaan konseptual. Setelah
memperoleh kepustakan, perhatian utama diarahkan pada pertanyaan tentang
kesesuaiannya dengan masalah peneltian. Untuk menentukan sesuai tidaknya
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
59
kepustakaan tersebut dengan penelitian adalah tergantung dari pertimbangan
peneliti sendari (Sevilla, dkk., 1993:33-34).
Evaluasi
1.
2.
3.
4.
Apa yang mejadi data utama penelitian kualitatif ?
Bagaimana manfaat data kualitatif?
Apa keunggulan penelitian kualitatif menurut Smith?
Bagaimana dan siapa tokoh-tokoh yang semula “keras kepala” dengan
penelitian kuantitaif yang kemudian mempromosikan penelitian kualitatif?
5. Mengapa data berupa kata-kata seringkali memiliki kelemahan dalam
pelitian kualitatif?
6. Apa kelemahan metode analisis kualitatif?
7. Apa perbedaan studi kasus dan kajian survey?
8. Sebutkan kelemahan studi kasus?
9. Hal apa yang ditekankan pada studi kasus?
10. Jelaskan langkah-langkah pokok studi kasus?
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
60
BAB V
IMPLEMENTASI PERSPEKTIF KUALITATIF
DALAM PENELITIAN
TIK 10
setelah melakukan observasi dan wawancara mahasiswa dapat mengrti
kisaran isi data.
Sudah digariskan, bahwa beberapa prosedur tetap harus dilewati dalam
peneliti-an, seperti penentuan setting, pengambilan sampel, pengumpulan dan
analisis data, serta penarikan kesimpulan. Hanya saja terdapat perbedaan antara
perspektif kuantitatif dengan perspektif kualitatif.
5.1 Pengambilan Sampel
Dalam penelitian kualitatif, istilah sampel tidak lazim digunakan, karena
setiap subjek adalah informan yang dilihat sebagai kasus dalam suatu kejadian
(event) tertentu. Itu sebabnya disebut kasus atau informan. Namun istilah sampel
tetap dipakai hanya untuk menunjuk adanya sejumlah subjek (Salim, 2006: 12).
Pengambilan sampel individual atau situasi (bias seleksi) bisa mengandung konsekuensi pada validitas internal sebuah temuan penelitian. Misalnya, keterlibatan antara dua variabel bisa diakibatkan oleh kepAndaian memilih
individu-individu yang diobservasi (Tashakkori dan Charles Teddlie, 2010:114).
Pernah ada pandangan, bahwa semakin besar jumlah sampel, semakin
baik dan semakin kokoh temuan dan simpulan yang dapat dibangun. Pendapat ini
benar, namun jumlah sampel yang besar membatasi kedalaman kajian, sebab
peneliti akan disibukkan dengan hal-hal ‘permukaan’ pada setiap sampel. Sesuai
karakter pendekatan kualitatif yang lebih investigatif, pengambilan sampel lebih
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
61
ditekankan pada kualitas sampel, bukan kuantitas. Karakteristik pengambilan
sampel dalam penelitian kualitatif sebagai berikut.
1. Tidak diarahkan pada jumlah yang besar, melainkan pada kekhususan
kasus (spesifik) sesuai masalah penelitian.
2. Tidak dipastikan sejak awal, namun bisa diubah sesuai perkembangan
pemahaman dan kebutuhan selama proses studi.
3. Tidak diarahkan pada keterwakilan atau representasi, melainkan kecocokan pada konteks (Salim, 2006:12).
Dengan demikian, dalam studi kualitatif digunakan model pengambilan sampel
purposif sesuai tujuan studi, meskipun pada praktiknya cara yang ditempuh tidaklah tunggal, tetapi model purposif bervariasi, seperti digambarkan pada tabel 5.1
Tabel 5.1
Variasi Pengambilan Sampel Kualitatif
PROSEDUR
SAMPLING
Sampel ekstrim
atau menyimpang
URAIAN
Sampel diambil dari kasus-kasus istimewa, paling tinggi,
paling rendah, tingkat pendidikan terendah, paling banyak
buta huruf, paling......................
Sampel berfokus
pada intensitas
Sampel diambil dari kasus yang diperkirakan mewakili
Sampel dengan
variasi maksimum
Sampel diambil dari masing-masing variasi yang mewakili
Sampel Homogen
Sampel diambil dari subsub-kelompok homogen dan
(penghayatan terhadap fenomena secara inten.
tema-tema sentral.
menghindari penambahan variasi.
Sampel kasus
tipikal
Sampel diambil dari kasus yang mewakili kelompok normal
Sampel purposit
Sampel diambil dari variasi yang berkembang dalam objek
dari fenomena yang diteliti.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
62
terstratifikasi
kajian, bukan untuk menangkap masalah mendasar
melainkan menangkap variasi-variasi besar yang
berkembang itu sendiri.
Sampel kritis
Dilakukan dalam situasi yang mendesak, sampel diambil
dari kelompok paling ‘kritis’, misalnya kelompok yang
paling mampu atau sebaliknya yang paling tidak mampu.
Teknik bola salju
Sampel diambil dari informan kunci, kemudian ditambah
dan diluaskan menurut sampel informasi pertama. Begitu
setrusnya.
Sampel dengan
kriteria tertentu
Sampel diambil dari kasus yang paling tidak memenuhi
Sampel
berdasarkan teori
Sampel ditentukan berdasarkan kriteria tertentu yang telah
kriteria penting tertentu yang ditentukan sebelumnya.
digariskan oleh studi-studi sebelumnya (dibangun dari
asumsi awal).
Sumber: E. Kristi Purwandari. 1994. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian
Psikologi, LPSP3, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Jakarta,
hlm.55-60. Adaptasi oleh Salim, 2006:13.
5.2 Bias dan Kesalahan dalam Pengambilan Sampel
Seharusnya menjadi jelas, bahwa kepercayaan kita dalam melakukan
generalisasi sampel ke sebuah populasi sangat tergantung pada tingkat “keterwakilan” individu-individu atau kejadian/kondisi. Sebelum pembahasan tentang
proses pengambilan sampel, perlu dibedakan antara “kesalahan pengambilan
sampel (sampling bias). Kesalahan pengambilan sampel adalah acak. Setiap kali
peneliti memilih individu, teks, situasi, atau setiap “unit penelitian”, maka unit
pengamatan tersebut akan tampak berbeda dari populasi keseluruhan. Oleh karena
itu, peneliti selalu mempunyai kesalahan dalam menggeneralisasi populasi itu.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
63
Populasi adalah kumpulan individu sebuah species yang mempunyai potensi
untuk berbiak silang antar satu individu dengan individu yang lain (Jasin,
2002:164). Umumnya, ketika peneliti memilih secara random unit yang relatif
besar untuk obyek pengamatan/kajian, jika beberapa unit berbeda dari “populasi
unit-unit” dari sudut tertentu (misalnya, jika beberapa orang secara ekonomi
dirugikan), maka perbedaan ini dibatalkan oleh unit lain yang berbeda dari
populasi lain. Sebagai contoh, jika ada individu-individu yang berpendidikan
tinggi dalam sampel peneliti, namun juga ada individu-individu berpendidikan
rendah, maka keseluruhan “gambar” dari kelompok itu relatif seimbang
(Tashakkori dan Charles Teddlie, 2010:116).
Untuk mengamankan asumsi keseimbangan semacam itu, dalam
pemilihan unityang dilakukan secara acak peneliti harus memasukan jumlah
sampel yang relatif besar dalam pengamatan/kajian. Dapatkah Anda secara acak
memilih lima sekolah menengah atas dan berasumsui bahwa siswa-siswa dalam
sampel tersebut mewakili “rata-rata” populasi (yakni, bahwa kesalahan-kesalahan
dalam pengambilan sampel menghapus stu sama lain)? dapatkah Anda memilih
sembilan sekolah secara acak, mewawancarai semua guru di sekolah tersebut, dan
berasumsi bahwa Anda memiliki sampel yang mereperesentasikan para guru
karena sekolah dipilih secara acak? Akhirnya, dapatkah Anda mengamati tiga
ruang gawat darurat di wilayah suatu negara dan membuat kesimpulan tentang
ruang gawat secara umum? Kami berharap sekarang menjadi jelas bagi Anda
bahwa jawaban atas semua pertanyaan tersebut adalah negatif. Untuk kesalahan
pengambilan sampel yang mendekati nol, peneliti perlu membuat sampel dalam
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
64
jumlah yang relatif besar. Jika peneliti tidak dapat memilih unit sampel studi
dalam jumlah relatif besar, peneliti akan mendapatkan hasil yang lebih dapat dipercya dan meyakinkan jika memilih unit sampel tersebut berdasarkan informasi
yang berhubungan dengan karakteristik mereka, bukan berdasarkan pemeilihan
acak (Tashakkori dan Charles Teddlie, 2010:116-17).
Jumlah pengamatan dalam kajian peneliti bisa mempengaruhi validitas
internal dan eksternal temuan peneliti. Validitas eksternal biasanya diperluas
dengan sejumlah besar pengamatan atau kasus yang mewakili. Istilah “mewakili”
perlu diperhatikan.
Namun, kemampuan generaliasi tidak dapat ditingkatkan
dengan menambahkan individu atau pengamatan yang tidak sejenis dengan situasi
kelompok utama dari penelitian. Di samping kebutuhan untuk menggeneralisir,
dalam penelitian kuantitatif, ukuran sampel berdampak pada “validitas simpulan
statistik suatu temuan” dengan memengaruhi batas kesalahan dan uji kekuatan
statistik untuk mendeteksi akibatnya (Tashakkori dan Charles Teddlie, 2010:117).
Tidak seperti kesalahan dalam pengambilan sampel (sampling error),
“bias pengambilan sampel” bersifat sistematis (tidak acak). Contoh, untuk kajian
kelompok belajar, Anda “secara acak” memilih satu dari lima siswa yang berada
di perpustakaan pada Jum’at sore, Anda mungkin melakukan bias pengambilan
sampel yang tidak mewakili pandangan “rata-rata” anak sekolah. Hal ini benar
karena siswa yang berada di perpustakaan pada Jum’at sore itu bisa jadi berbeda
dari populasi keseluruhan siswa-siswa di kampus. Tidak seperti sampling error,
penambahan ukuran sampel tidaklah mengurangi bias pada sampel.
Jelaslah
bahwa simpulan atas sampel yang bias tidak dapat dianggap mewakili populasi
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
65
(contohnya, suatu temuan memiliki transferability yang rendah atau validitas
eksternal yang rendah) (Tashakkori dan Charles Teddlie, 2010:118).
5.2.1 Sampel Acak dan Sampel Terencana
Apa yang bisa Anda lakukan jika unit pengambilan sampel terdiri dari
kelompok utuh individu seperti sekolah atau klinik (“kelompok sampling”) dan
Anda tidak dapat memilih jumlah yang cukup besar dari unit atau kelompok ini
untuk mengurangi kesalahan dalam pengambilan sampel? Mungkin lebih baik
memilih unit tidak secara acak, tetapi berdasarkan pada informasi yang telah Anda
miliki tentang unit tersebut. Sebagai contoh, jika komposisi ras/etnis sekolah
dalam sampel dianggap penting bagi pertanyaan penelitian, maka Anda harus
memilih sekolah yang memiliki keragaman ras/etnis (satu sekolah yang minoritasnya tinggi, satu sekolah yang minorotas rendah, dan satu sekolah yang minorotasnya seimbang). Jenis pengambilan sampel ini secara khusus digunakan dalam
proyek penelitian sekala kecil yang mendalam pada kajian kualitatif yang mengamati/mengkaji sejumlah unit kecil (Tashakkori dan Charles Teddlie,
2010:118-19).
5.2.2
Jenis-Jenis Sampel dan Prosedur Pemilihannya
Prosedur pengambilan sampel secara acak (probality) dan pengambilan
sampel secara terencana (purposive) berhubungan dengan pendekatan kualitatif
dan kuantitaif. Kebanyakan prosedur tersebut dapat digunakan pada kedua jenis
penelitian. Dalam kebiasaan penelitian kualitatif dan kuantitatif metode
pengambilan sampel seringkali dibahas secara tertutup dan sepertinya hanya ada
satu teknik pengambilan sampel yang duigunakan dalam satu kajian. Namun
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
66
tidak demikian dalam studi penelitian ilmu perilaku sosial, di mana peneliti akan
menggunakan kombinasi teknik pengambilan sampel yang dirasakan paling tepat
untuk kajiannya. Sesuai tuntutan kajian mungkin saja diperlukan teknik pengambilan sampel bertingkat selain kelompok. Terdapat juga kemungkinan
menerapkan pengambilan sampel secara kombinasi antara pengambilan sampel
secara acak dan terencana untuk tiap-tiap tingkat sesuai atau didasarkan atas jenis
pertanyaan, bukan semata-mata berdasarkan atas pendekatan kuantitatif atau
kualitatif (Tashakkori dan Charles Teddlie, 2010:120-21).
Tabel 5.2
Strategi Pengambilan Sampel Acak
Jenis Sampel
Penjelasan dan Prosedur Pengambilan Sampel
Pengambilan
Setiap individu dalam populasi memiliki kesempatan yang
Sampel Acak
sama dan bebas untuk dipilih dalam kajian. Sampel didapat-
Sederhana
kan melalui seleksi secara kebetulan, berdasarkan tabel angka
acak, atau komputer yang memprogram angka secara acak.
Pengambilan
Berdasarkan jumlah yang diperlukan dalam sampel, setiap
Sampel Acak
pada target populasi diseleksi untuk sampel. Metode ini dapat
secara
digunakan hanya jika daftar diurutkan secara acak dari
Sistematis
populasi sudah tersedia.
Pengambilan
Ini digunakan ketika perbandingan dari sub-kelompok (strata)
Sampel Acak
diketahui dalam populasi; pemilahan dilakukan secara acak
terstrata
dari setiap strata.
proporsional
Perbandingan setiap sub kelompok di dalam sampel sama
dengan proporsi setiap sub-kelompok di dalam populasi.
Nonproporsional Tidak memerhatikan perbandingan dalam populasi, sampel
memasukkan jumlah yang sama dari individu pada setiap subkelompok. Hasilnya dapat digeneralisasikan ke sub-populasi
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
67
daripada terhadap populasi keseluruhan. Strategi pengambilan
sampel ini berguna untuk populasi di mana beberapa kelompok
minoritas tidak memiliki proporsi yang cukup besar yang
mewakili pengambilan sampel acak sederhana digunakan.
Pengambilan
Kelompok individu yang telah terbentuk dalam populasi
Sampel Acak
dipilih sebagai unit pengambilan sampel, karena kelompok
berdasarkan
tersebut merupakan bagian dari pemilahan, secara relatif
Kelompok
sejumlah besar kelompok harus dipilih. Sampel lima sekolah
yang dipilih secara acak bukan merupakan sampel acak
kelompok yang benar.
Pengambilan
Ini menggabungkan teknik pengambilan sampel kelompok
Sampel
dengan sampel lainnya. Sebagai contoh, pertama memilih
Kelompok
kelompok seperti sekolah daerah, kemudian dalam setiap
berbagai
kelompok memilih individu/sekolah secara acak atau dengan
Tingkatan
atribut tertentu yang sama dengan sampel yang telah dibagibagi berdasar tingkatan.
Catatan: strategi pengambilan sampel ini dapat digunakan dalam penelitian
kualitatif.
Tabel 5.3
Strategi Pengambilan Sampel Terencana
Jenis Sampel
Penjelasan dan Prodsedur Pengambilan Sampel
Pengambilan Sampel
Pemilihan
individu-individu/kelompok-kelompok
berdasarkan
Terencana
pada pertanyaan/tujuan khusus penelitian sebagai penggantui
pengambilan sampel secara acak dan berdasar atas informasi yang
tersedia tentang individu/kelompok tersebut.
Pengambilan Sampel
Kasus-kasus dipilih berdasarkan persamaan kualitas dan/atau
atas keseragaman
besaran atributnya.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
Tanpa mempertimbangkan ukuran sampel
68
dan tergantung pada tujuan dari kajian, bisa dipilih kasus yang
ekstrim atau menyimpang/aneh yang memiliki intensitas tinggi
pada atributnya, atau rata-rata/bersifat khas.
Pengambilan Sampel
Hal ini sama dengan pengambilan sampel terstrata tetapi tidak
Terencana yang
acak dan terencana, cara yang sesuai. Kasus dipilih secara tidak
terstrata
acak(sukarela, terdsedia, dsb) dari setiap sub-kelompok populasi
yang sedang dikaji. Dalam penelitian yang bersifat sosiologis,
juga dikenal sebagai “pengambilan sampel berdasarkan quota.
Pengambilan Sampel
Memilih individu berdasarkan informasi yang diperoleh dari
Bola Salju atau
anggota sampel lain yang telah dipilih atau dari individu lainnya.
berantai
Karena setiap orang baru memiliki potensi untuk memberikan
informasi lebih dari yang lain pada kasus terkait, sampaui
berkembang dengan cepat sebagaimana kajian itu berlanjut.
Pengambilan Sampel
Bermula dari sampel kecil dan melanjutkan pengambilan sampel
secara Berurutan
hingga mencapai tingkat tertentu yang diinginkan .
dalam
kelompok diskusi misalnya, pengambilan sampel berhenti ketika
kelompok baru menambah sedikit atau tidak pada ide-ide/tematema baru atas hal-hal yang telah diperoleh pada kelompok
sebelumnya (kejenuhan).
Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakuak berdasarkan kketersediaan dan
secara Mudah
mudahnya pengumpulan data daripada berdasarkan kecocokan
dengan tujuan/pertanyaan penelitian.
Sampel tersebut juga
memasukkan apa yang diketahui sebagai “sampel tangkapan”
(kelompok atau individu yang dapat ditemui oleh peneliti seperti
halnya siswa di kelas), “sampel sukarela”, sampel yang didapat
secara tidak sengaja, dan sebagainya.
Catatan: strategi pengambilan sampel tersebut dapat digunakan, baik penelitian
kualitatif maupun kuantitatif.
<
Usai menentukan sumber data dan sampel dilakukan pengumpulan data.
Pada tahap ini, dua hal utama yang harus diperhatikan, yakni cara dan instrumen
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
69
pengumpulan data.
Teknik pengumpulan data yang lazim dilakukan dalam
penelitian kualitatif adalah observasi dan wawancara. Pengumpulan data yang
lebih spesifik dari masing-masing teknik tersebut dikenal sebagai observasi
melihat (participant observation) dan wawancara mendalam (in-depth interview).
Evaluasi
TIK 11
Mahasiswa melakukan pengamatan dan wawancara di lokasi yang
sama untuk memperdalam dan memperluas fenomena yang dikaji
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
70
BAB VI.
OBSERVASI
TIK 12
setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan
pengertian dan teknik overasioanl obserasi
Denzin & Lincoln (1994:378) menyebutkan dua prinsip pokok yang
mencirikan teknik observasi dalam tradisi penelitian kualitatif. Pertama, observer
kualitatif tidak boleh mencampuri urusan subjek penelitian. Oleh karena itu,
keduanya mengatakan, bahwa .....of the hallmarks of qualitative observation has
traditionally been its noninterventionism. Kedua, observer penelitian kualitatif
harus menjaga sisi alamiah subjek penelitian. Untuk itu dikatakan, bahwa
Qualitatif obervation is fundamentally naturalistic in essence; it occures
in the natural context of accurrence, among the actors who would
naturally be participating in the interaction, and follows the natural
system of everyday life.
Observasi dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap pertama adalah pemilihan setting. Bila periset sudah mendapat setting sesuai dengan kepentingan
studinya, dapat langsung memulai pengumpulan data. Namun terdapat tahapan
kecil yang harus dilewati, yakni memperoleh ijin masuk (entree) ke dalam setting,
baik diperoleh secara formal maupun informal, tergantung sistem sosial yang berkembang di dalam setting. Observer yang bekerja sendiri bisa langsung memulai
pengumpulan data. Bila bekerja di dalam tim, perlu diadakan pelatihan bagi
pengumpul data. Aktivitas pengumpulan data dilakukan secara terus-menerus
hingga mencapai titik jenuh (saturation) (Salim, 2006: 14).
Di dalam observasi, hasil yang diperoleh periset adalah perasaan melibat
dalam subjek penelitian. Tetapi periset harus memiliki garis demarkasi yang tegas
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
71
agar tidak larut di dalam bejana peristiwa milik subjek yang sedang diteliti.
Dengan demikian, periset dikatakan—dalam adagium Jawa—sebagai ‘melu ngeli
nanging ora keli’ (maksudnya, ikut terjun dalam arus tetapi ikut dalam pusaran
arus) (Salim, 2006: 14).
Observasi yang lazim dilakukan dalam studi kualitatif adalah observasi
melibat. Terdapat berbagai observasi yang masing-masing menyangkut beberapa
isu, yakni:
1. tingkat keterlibatan periset;
2. fokus yang diamati;
3. sikap periset;
4. nama pengamatan.
Ada observasi yang menuntut periset untuk terlibat aktif dalam setting penelitian.
Sebaliknya, ada pula observasi yang justru menuntut periset terlibat secara pasip.
Ada periset yang menutupi identitas dirinya selama kegiatan observasi, tetapi ada
pula periset yang memilih membuka diri. Pilihan terhadap salah satu dari
keduanya atau dikombinasikan bergantung pada situasi dan kebutuhan yang
seringkali berkembang selama aktivitas penelitian berlangsung.
Spreadly (1980: 58-59) dalam bukunya berjudul Participant Observation,
membuat lima klasifikasi observasi terlibat yang dikutip dari beberapa peneliti
sosial.
Masing-masing klasifikasi berbeda tingkat keterlibatannya sehingga
tingkat kesahihan data yang dikumpulkan berbeda. Hal ini berpengaruh terhadap
kualitas hasil penelitian. Adapun ke lima klasifikasi tersebut dapat dilihat pada
tabel 8.1 berikut.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
72
Tabel 6.1
Tipe Observasi Melibat
DEGREE OF INVOLVMENT
TYPE OF PARTICIPATION
High
Complete
Active
Moderat
Low
(No involvment)
Passive
Non-participation
Permasalahan lain yang masih mengganjal di seputar observasi adalah
menyangkut validitas temuan, karena dalam pemaparan temuan observasi biasanya terdapat bias interpretasi periset. Mata manusia memungkinkan untuk
mengamati lingkungan sehingga diperoleh pengetahuan yang dibutuhkan. Namun
amatan bisa mengarah pada hal-hal di luar keperluan riset.
Hal ini dihindri
dalamn penelitian, meskipun dapat memperluas cakrawala pengetahuan.
Ini
berarti tidak semua hal yang ada dalam sasaran observasi dapat diamati, sehingga
hasil observasinya tidak lengkap dan tidak terfokus. Lagi pula pikiran orang
merupakan produk masyarakat di mana ia hidup. Oleh karena itu tidak mungkin
orang memperoleh pengetahuan dan kesimpulan objektif, bebas dari pengaruh
perkembangan jaman dan pola-pola konseptual yang ada pada saat manusia itu
hidup. Selain itu, ilmuwan atau intelektual tidak bisa bersikap objektif atau
bersikap bebas nilai dalam membangun perspektif pemikirannya.
Intelektual
haruslah bersikap kritis dalam memahami perilaku masyaraktnya dan berorientasi
untuk menjadikan orang menyadari apa yang harus dikerjakan sesuai dengan
tujuan yang mereka inginkan dalam perubahan masyarakat. Mereka harus peka
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
73
dan membangun hubungan secara eksplisit dengan perkembangan masyarakatnya,
sembari secara sosial membangun ‘pengetahuan’ (Maliki, 2004:195).
Dalam
observasi, apa yang oleh orang lain dianggap fakta yang terinderakan, bisa saja
tidak dianggap fakta oleh observer. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh sifat fakta
sosial yang selalu berubah (lihat Harsja W. Bachtiar dalam Koentjaraningrat,
1991:109). Untuk mengurangi hal ini, dapat ditempuh beberapa cara. Cara yang
paling lazim adalah memperpanjang pengamatan. Cara lainnya, misalnya tidak
menggunakan observer tunggal, tetapi observer jamak dan pemaparan laporan
temuan studi dengan menggunakan verisimilitude, yakni gaya tulisan yang
mendekatkan pembaca kepada subjek yang diteliti. Untuk meng-hindari bias
interpretasi periset, laporan harus ditulis dalam gaya deskriptif dan bukan
interpretatif. Berikut adalah contoh penulisan interpretatif dan deskriptif. Bias
interpretasi periset dan overgeneralisasi. Contoh:
Situasi hubungan atau interaksi yang terjadi di PKJT dan ASKI, terutama
antara Gendhon dengan seniman-seniman pengikut, mengingatkan pada
suatu bentuk kelembagaan kekuasaan yang dualistik. Dalam hal ini,
seorang penguasa atau pemimpin dalam masyarakat yang sekaligus
memegang kekuasaan jasmani dan rohani. Kelembagaan seperti itu
biasanya disebut kelembagaan “Raja-Pendeta” (Rustopo, 2001:338).
Evaluasi
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
74
BAB VII
WAWANCARA
TIK 13
setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan
teknik wawancara.
Wawancara merupakan salah satu kegiatan dalam penelitian kualitatif
dalam bentuk dialog atau tanya jawab antara informan/responden dengan peneliti
selaku pewawancara untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan dalam
suatu penelitian. Agar kepentingan tersebut dapat dicapai dengan baik sesuai
tujuan, peneliti terdahulu telah mengembangkan enam bentuk strategi wawancara,
yaitu jenis wawancara, struktur wawancara, syarat membuat pertanyaan, pedoman
wawancara, wawancara dengan panel, dan pencatatan wawancara.
7.1 Jenis Wawancara
Pada umumnya para peneliti mengenal dua jenis wawancara, yaitu:
(1) wawancara berencana atau standardized interview; dan
(2) wawancara tak-berencana atau unstandardized interview.
Dalam wawancara berencana selalu disediakan daftar pertanyaan yang
sebelumnya telah disusun. Semua informan diseleksi dan kepadanya diajukan
daftar pertanyaan yang sama dalam tata urutan yang seragam. Urutan dan keseragaman itu penting untuk mendapatkan nilai seragam yang sama. Jika tidak
akan sukar dibandingkan satu dengan yang lain. Wawancara berencana ini sama
dengan kuesioner yang diajukan kepada responden secara lisan. Wawancara
semacam ini bertujuan untuk mengukur pendapat umum atau tujuan komparatif.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
75
Wawancara berencana ini jarang digunakan dalam penelitian yang bertujuan
untuk mengumpulkan data informasi (Koentjaraningrat, 1991:138-39).
Dalam wawancara tak berencana tidak disiapkan daftar pertanyaan
dengan tata urut tetap. Meskipun demikian metode wawancara tak berencana
dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1. metode wawancara berstruktur atau structured interview; dan
2. metode wawancara tak berstruktur atau unstructured interview.
Wawancara tak berstruktur (unstructured interview) juga dapat
dibedakan menjadi dua golongan, yaitu:
1. wawancara yang berfokus atau focused interview; dan
2. wawancara bebas atau free interview.
Wawancara yang berfokus biasanya terdiri atas pertanyaan yang tidak berstruktur,
tetapi harus selalu terpusat pada satu pokok permasalahan. Adapun pada wawancara bebas tidak memiliki pusat. Pada wawancara ini pewawancara beralih-alih
pokok wawancara dari pokok masalah yang satu ke yang lain sehingga data yang
terkumpul bisa beragam (Koentjaraningrat, 1991:139).
Selain wawancara tersebut, masih ada suatu macam wawancara lain,
yaitu wawancara sambil lalu atau casual interview. Sebenarnya model wawacara
ini juga merupakan wawancara tak berencana, tetapi informan tidak diseleksi
secara teliti, hanya dijumpai secara kebetulan atau sambil lalu di berbagai tempat
dan peristiwa di mana peneliti dapat bertemu dengan banyak orang. Metode
wawancara yang digunakan bisa berupa wawancara berstruktur, sistem berfokus,
atau sistem bebas (Koentjaraningrat, 1991:140).
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
76
Dipandang dari sudut bentuknya wawancara dapat digolongan menjadi
dua jenis, yaitu:
1. wawancara tertutup atau closed interview; dan
2. wawancara terbuka atau open interview.
Wawancara tertutup terdiri atas pertanyaan-pertanyaan yang menghendaki
jawaban-jawaban yang terbatas.
Bahkan ada pertanyaan yang hanya meng-
hendaki jawaban, ‘ya’ atau ‘tidak’. Berlawanan dengan wawancara terbuka, pertanyaan yang diajukan kepada responden atau informan menghendaki jawaban
yang tidak terbatas.
Dengan kata lain, informan dapat memberi keterangan-
keterangan dan cerita-cerita yang panjang.
Seluruh jenis wawancara yang telah dibicara tersebut dapat diringkas
ulang dalam bagan berikut ini.
Tabel 7.1
Ringkasan Model-Model Wawancara
1. W. Brencana
2. W. Tak Berencana
3. W. Sambil Lalu
W.struktur
W. Tak Berstruktur
W. Berfokus
W. Bebas
W. Tertutup
W. Terbuka
Sumber: Kontjaraningrat. 1991. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. p.140
Data dalam penelitian kualitatif biasanya berupa kata-kata. Oleh karena
itu, wawancara merupakan perangkat yang sedemikian penting. Dalam wawancra
terstruktur, bahan-bahan wawancara disiapkan secara ketat. Sebaliknya dalam
wawancara tak-berstruktur menghindari ketatnya struktur bahan. Akan tetapi
belakangan muncul juga model wawancara kelompok (group intervie) yang
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
77
kemudian melahirkan model pengambilan data dengan teknik Focus Group
Discussion (FGD). Jenis yang terakhir ini merupakan perangkat wawancara yang
dilakukan secara simultan terhadap sejumlah individu, baik dalam situasi formal
maupun informal (Fontana & Frey. 1994). Biasanya wawancara dalam penelitian
kualitatif berlangsung dari alur umum ke khusus. Wawancara alur umum biasanya
bertujuan untuk memberikan deskripsi dan orientasi awal periset prihal masalah
dan subjek yang dikaji. Tema-tema yang muncul pada tahap ini kemudian
diperdalam, dikonfirmasikan pada wawancara berikutnya, demikian seterusnya
hingga mencapai titik jenuh. Dalam keadaan berwawancara tentang masalah yang
mengandung titik minat, periset kualitatif dapat melkukan loncatan materi
wawancara kepada responden yang secara natural memiliki informasi yang lebih
banyak dan menjadi informan yang lebih penting (Salim, 2006:17).
7.2 Struktur Wawancara
Dari sisi struktur, wawancara dibedakan menjadi empat model, yakni:
1. wawancara alamiah-informal;
2. wawancara dengan pedoman umum;
3. wawancara dengan pedoman terstandar terbuka;
4. wawancara tidak langsung.
Pada model pertama, wawancara alamiah-informal, peneliti mengembangkan
pertanyaan-pertanyaan secara spontan selama terjadinya percakapan antara periset
dengan responden.
Pada model kedua, wawancara dengan pedoman umum,
peneliti hanya menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang telah
disiapkan sesuai materi penelitian, yakni tema-tema yang harus diwawancarakan.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
78
Pemilihan tema disesuaikan dengan tujuan studi dan teori-teori yang digunakan.
Dalam model ini, penting bagi periset untuk menentukan ‘konsep pencakup’
(covering term) dan ‘konsep tercakup’ (included term). Pada model ketiga,
wawancara dengan pedoman terstAndar terbuka, biasa digunakan bila wawancara
melibatkan bayak pengumpul data. Model ini ditempuh dengan membatasi jumlah
variasi temuan yang muncul. Pada model empat, wawancara tidak langsung,
merupakan teknik wawancara seperti pada model tiga, yaitu dilakukan oleh
beberapa orang pengambil data (enumerator) yang karena suatu hal tidak dapat
dilakukan sendiri oleh periset (Salim, 2006:17).
Bias dan hambatan bisa ditemukan dalam pelaksanaan wawancara yang
pada umumnya berasal dari keterbatasan etnik, ketidaksamaan budaya, perbedaan
agama, perbedaan kelas sosial, dan perbedaan usia. Hambatan tersebut bersifat
struktural. Oleh sebab itu, harus diatasi pula secara struktural. Sebagai misal,
keputusan peneliti untuk melibatkan enumerator, ada baiknya dipilih anggota
yang memiliki kesamaan etnik, agama, kelas sosial, dan usia agar membantu
pengumpulan informasi secara lebih terbuka dan bersifat natural.
Keempat struktur wawancara yang telah dipaparkan tersebut dapat
digunakan secara bersama-sama di dalam satu studi.
Namun, apapun model
wawancara yang dipilih, hal terpenting yang herus dimiliki oleh peneliti kualitatif
adalah keterampilan, kreativitas, dan kekuatan imfrovisasi dalam melakukan
wawancara. Di samping itu, peneliti dituntut untuk menunjuikkan sikap yang
fleksibel, objektif, dan tidak cenderung mengadili, empatik, persuasif, dan
bersedia menjadi good listener terhadap subjek yang siteliti (Salim, 2006:18).
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
79
Poko-pokok wawancara biasanya berkenaan dengan tiga tema sentral,
yakni tingkah laku, sistem nilai, dan perasaan subjek penelitian. Pertanyaan juga
perlu didesain agar bisa mendapatkan jawaban yang valid. Pertanyaan sebaiknya
didesain dalm bentuk terbuka, bersifat netral, tidak diwarnai oleh nilai-nilai
tertentu atau bersifat mengarahkan. Selain itu, perlu dihindarkan pula istilahistilah teknis (Salim, 2006:18).
7.3 Syarat Membuat Pertanyaan
Untuk semua bentuk wawancara, termasuk wawancara tertutup dan
terbuka, peneliti harus mengajukan pertanyaan secara jelas dan kongkret, agar
informan atau responden tidak bingung, ragu-ragu atau kabur dalam memberikan
jawaban. Untuk itu, terdapat beberapa syarat dalam mengajukan pertanyaan,
yaitu:
1. peneliti perlu menghindari penggunaan kata-kata yang memiliki dua atau
lebih arti.
2. ajukan pertanaayn singkat, jelas, dan bersifat spesifik.
3. ajukan pertanyaan kongkret dengan petunjuk waktu dan lokasi yang jelas.
Misalnya, dimanakah Anda waktu masih muda? (maksud pertanyaan ini
kurang jelas). Lebih baik dajukan rumusan pertanyaan seperti, pada waktu
anda masih bersekolah di SMA, Anda tinggal di kota mana?
4. ajukan pertanyaan kongkret yang terkait dengan pengalaman informan.
Misalnya, apabila pemain kendang Anda sering salah atau tidak pas
mengiringi pertunjukan wayang kulit yang Anda lakukan, apa keputusan
yang Anda ambil untuk pertunjukan berikutnya?
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
80
5. peneliti sebaiknya menyebut semua alternatif jawaban yang diberikan oleh
informan atau responden atas pertanyaan Anda, atau sebaliknya tidak
menyebut sama sekali suatu alternatif. Misalnya, apakah pesinden tercantik diberi honorarium terbesar?
Pertanyaan tersebut kurang baik,
karena informan atau responden akan buru-buru menjawab “ya” atau
“tidak” tanpa mengindahkan aturan main yang lain dalam memberi
honorarium terhadap pengrawit wayang kulit dari dalang yang dijadikan
informan. Aturan main itu bisa saja berupa senioritas atau masa kerja,
profesionalitas dengan tingkat kemampuan yang melebihi rata-rata
pengrawit yang lain dan sebagainya. Dalam menghadapi kasus seperti ini
sebaiknya formulasi kalimat tanya diubah sebagai berikut. Pemberian
honorarium para pengrawit dan sinden biasanya berdasarkan apa?
6. dalam wawancara mengenai sesuatu yang bisa membuat informan merasa
malu, canggung, atau kagok, sebaiknya digunakan istilah yang dapat
menghaluskan konsep atau membuatnya netral (euphemisme). Misalnya,
dari pada menggunakan istilah “menghajar anak” lebih baik digunakan
istilah “memarahi anak”.
Dari pada menggunakan istilah “selingkuh
dengan wanita lain”, lebih baik digunakan istilah bergaul dengan wanita
lain sampai sejauh-jauhnya”. Kalau respon atau informan Anda seorang
terpelajar, adakalanya digunakan istilah asing yang kedengaran intelek dan
halus, misalnya istilah “memarahi anak” diganti dengan istilah “mendisiplinkan anak”, demikian seterusnya.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
81
7. gaya pertanyaan adakalanya perlu dinetralkan tanpa bermaksud mengubah
arti, makdsud atau tujuan, agar suasana pembicaraan seakan-akan beralih,
misalnya kepada orang yang pernah kena pengaruh komunis. Isi pokok
pertanyaan yang hendak diajukan misalnya, apakah sebelum tahun 1965
Anda menjadi anggota BTI? Lebih baik bertanya: apakah sebelum tahun
1965 Anda berhasil melawan berbagai tekanan BTI dan menolak menjadi
anggotaan organisasi itu?
8. gaya bertanya dalam wawancara juga sebaiknya tidak membuat informan
atau responden merasa tersudutkan. Contoh, kalau Anda hendak mengganti seorang “pengendang” yang kurang trampil dalam mengiringi pertunjukan wayang kulit Anda, apakah Anda suka nyemoni atau menyindir
dihadapan banyak orang atau penonton? Pertanyaan tersebut mungkin
lebih baik dari pada, kalau pengendang Anda kurang trampil, apakah Anda
langsung memarahinya pada saat dipanggung atau langsung menggantinya
dengan pengendang yang lebih handal pada saat itu juga?
9. peneliti patut menghindarkan pertanyaan yang terpaksa dijawab secara
positif oleh informan atau responden, sekalipun sesungguhnya jawaban itu
mengandung pengingkaran yang bersifat negatif alias bohong. Misalnya,
apakah Anda pernah melakukan coitus (selingkuh/bersetubuh) dengan
seorang sinden?.
Pertanyaan ini dengan mudah dijawab “tidak” oleh
informan atau responden (misalnya seorang dalang terkenal yang laris).
10. dalam wawancara, katakanlah dengan seorang dalang hebat yang laris,
yang harus menilai orang ketiga misalnya seorang pesinden cantik..
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
82
Penilaian yang diminta kepada informan/responden tersebut misalnya
tentang sifat positif dan negatif pihak ketiga (sinden cantik) tersebut.
Gaya pertanyaan menjadi misalnya, “dari kepribadian sinden “S” yang
cantik itu, sifat apa yang paling Anda sukai, dan sifat apa yang paling
Anda benci?
Sumber:
Koentjaraningrat, 1991. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. Hal:141-42.
Syarat pertanyaan yang diajukan pewawancara tersebut masih dapat diperluas
untuk diterapkan dan dibiasakan. Agar wawancara dapat menarik sebanyak
mungkin informasi/data dan rapport yang baik diperlukan kelihaian, pengalaman,
dan bakat. Salah satu cara untuk mengantisipasi hal itu dapat ditempuh dengan
jalan pengakraban dengan semua informan.
Durasi waktu wawancara dibatasi oleh waktu dan tenaga dari informan
dan pewawancara. Wawancara maksimal dapat dilakukan selama tiga jam (90
menit) kecuali dengan sistem “ngobrol”. Wawancara berencana dan wawancara
berfokus biasanya kurang dari tiga jam, karena peneliti membaca secara ketat
daftar pertanyaan dan mencatat jawaban informan. Hal ini dapat menyebabkan
jemu dan lelah, serta harus diantisipasi dengan cara menambah volume kunjungan, misalnya dua atau tiga kali kunjungan. Setiap kunjungan diupayakan suatu
rangkaian pertanyaan untuk memperoleh informasi/data yang utuh, bulat, atau
lengkap tentang sub-sub unit yang digali (Koentjaraniongrat, 1991:143).
Wawancara berstruktur seperti wawancara psikoterapi, atau wawancara
untuk pengumpulan data individu, dan wawancara dengan metode genealogi
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
83
seringkali berlangsung lama, bahkan dalam puluhan kali kunjungan. Kemampuan
waktu menjawab dari informan ada kalanya perlu diperpanjang atau dengan jalan
mengajukan selingan pertanyaan tertutup dan terbuka, agar informan atau
responden punya kesempatan untuk mengeluarkan isi hatinya atau untuk berbicara
tentang dirinya. Batas waktu berwawancara perlu juga mempertimbangkan kesibukan dan waktu senggang terbaik yang telah disepakati, agar informan dapat
menjawab pertanyaan dengan baik (Koentjaraniongrat, 1991:143-44).
7.4 Pedoman Wawancara
Peneliti perlu menyusun pedoman atau panduan wawancara agar tidak
kehabisan pertanyaan, sehingga mencari-cari pertanyaan di luar konteks.
Pertanyaan operasional ini harus dirumuskan dengan sempurna berdasarkan
pengetahuan tertentu peneliti tentang subjek penelitian. Isi pertanyaan harus jelas,
supaya dapat menggali data untuk menjawab permasalahan penelitian.
Dalam
wawancara berencana dan berstruktur, pewawancara tidak akan kehabisan
pertanyaan, karena tingggal membaca setiap kelimat tanya yang sudah disusun
sebelumnya dengan seksama. Berbeda halnya dengan wawancara tak berstruktur,
baik yang berfokus maupun yang bebas. Setiap kali akan melakukan wawancara,
harus disiapkan sejumlah pertanyaan operasional, selain juga bisa dikembangkan
pada saat berwawancara. Demikian seterusnya sehingga peneliti tidak kehabisan
pertanyaan sesuai fokus penelitiannya. Jumlah pertanyaan yang diajukan
disesuikan dengan tingkat keluasan obyek kajian. Semua catatan atau daftar
pertanyaan yang digunakan dalam melakukan wawancara itu disebut dengan
pedoman wawancara atau interview guide (Koentjaraningrat, 1991:144).
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
84
7.5 Wawancara dengan Panel
Wawancara dengan panel merupakan satu strategi wawancara dengan
cara mengumpulkan sejumlah responden atau informan yang telah diseleksi.
Strategi wawancara ini berguna untuk penelitian tambahan yang bermaksud untuk
mengumpulkan ‘pendapat umum’ mengenai suatu masalah atau peristiwa. Kalau
diwawancarai
secara
terpisah sendiri-sendiri,
seringkali
orang memiliki
kecenderungan untuk membesar-besarkan keadaan, karena informan mendapat
kesempatan untuk memberi keterangan yang kurang benar. Sebaliknya, kalau
diwawancarai bersama-sama dengan orang lain dalam kelompok, kehadiran orang
lain akan menahan dan membatasinya (Koentjaraningrat, 1991:151).
Suatu kelompok informan/responden yang diwawancara mengenai
pendapat mereka tentang suatu peristiwa, biasanya terdiri atas individu-individu
yang mewakili berbagai golongan dan lapisan masyarakat yang ada.
Dalam
wawancara, para anggota panel dapat saling batas-membatasi, maupun saling isimengisi (Lazarsfield, Fiske dalam Kontjaraningrat, 1991:151).
7.6 Pencatatan Wawancara
Pencatatan data hasil wawancara merupakan suatu aspek utama yang
amat penting dalam wawancara, karena kalau pencatatan tidak dilakukan dengan
semestinya, sebagian dari data akan hilang, dan banyak usaha wawancara akan
sisa-sia belaka. Adapun pencatatan wawancara dapat dilakukan dengan lima cara,
yaitu:
1. pencatatan langsung
2. pencatatan dari ingatan;
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
85
3. pencatatan dengan alat recording;
4. pencatatan dengan field rating;
5. pencatatan dengan field coding.
Pencatatan Langsung.
Pencatatan langsung pada suatu wawancara
merupakan cara yang terbaik untuk memelihara data hasil wawancara. Para ahli
psikologi mewajibkan para penelitinya mencatat jawaban informan setepat
mungkin, kata demi kata, karena data psikologi dapat dilihat justru dalam detil
dari ucapan orang.
Sebaliknya, peneliti ilmu sosial lain cukup puas dengan
pencatatan isi dari jawaban-jawaban (sesaat setelah wawancara), walaupun
pencatatan isi sudah tentu harus setepat-tepatnya (Kontjaraningrat, 1991:152).
Wawancara untuk penelitian genealogi biasanya membutuhkan suatu
lembaran kertas lebar, paling sedikit empat kertas ukuran folio untuk mencatat
tanda-tanda genealogi tertentu, seperti nama dan istilah kerabat untuk berbagai
catatan tambahan. Peneliti juga dapat menggunakan buku catatan biasa untuk
mencatat bagian-bagian silsilah, tetapi setiap lembar/helai kertas harus diberi
tanda atau kode agar nanti dapat disambung-sambung informasinya pada lembar
kertas yang lebar. Namun demikian ada pendapat yang mengatakan, bahwa
peneliti yang mencatat langsung wawancaranya di hadapan informan pada
umumnya bisa mempengaruhi suasana dan mengganggu kelancaran wawancara,
karena informan bisa ragu-ragu dan curiga.
Akibatnya keabraban suasana
bercakap-cakap dalam wawancara akan terganggu. Oleh karena itu, dianjurkan
melakukan wawancara tanpa pencatatan langsung. Jawaban informan diingatingat dan disimpan dalam ingatan dan pencatatan dilakukan usai wawancara.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
86
Dalam wawancara dengan pencatatan dari ingatan peneliti tidak perlu
membawa buku catatan dan wawancara dapat dilakukan seperti orang mengobrol
dan tidak mengganggu rapport wawancara. Wawancara seperti ini hanya terdapat
pada wawancara tak terencana, sedangkan pada wawancara berstruktur tidak
mungkin dikerjakan tanpa pencatatan langsung. Hanya wawancara tak berstruktur
dan wawancara sambil lalu saja yang dapat dilakukan tanpa buku catatan.
Wawancara dengan mencatat ingatan bisa melupakan sebagian keterangan
penting, sehinga sari-sari yang ditonjolkan informan hilang. Oleh sebab itu perlu
dipertimbangkan, bahwa lebih baik sedikit terganggu dengan pencatatan langsung
dari pada kehilangan data penting dari informan (Kontjaranigrat, 1991:152-53).
Pencatatan dengan alat recording. Alat-alat semacam ini pada masa
sekarang amat memudahkan wawancara, karena dapat mencatat jawaban secara
tepat sampai pada detil-detil yang kecil. Sekarang, alat-alat elektronik berukuran
kecil yang mudah dibawa, tanpa aliran l;istrik, dan persiapan tidak terlalu rumit,
dan dapat diletakkan secara tidak menyolok. Selain itu, kalau informan sempat
mendengarkan suaranya sendiri mungkin ingin memperbaiki atau mengubah
pernyataannya (Koentjaraningrat, 1991:153).
Mengetik suara hasil wawancara dari tape membutuhkan waktu sekitar
lima jam, sehingga mengetik hasil wawancara menjadi mahal. Itulah sebabnya
banyak peneliti menyimpan hasil wawancara dalam kaset-kaset tape recorder,
setelah kaset-kaset itu didaftar dan diklasifikasikan isinya. Pada waktu peneliti
menyusun
laporan, peneliti
(Koentjaraningrat, 1991:154).
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
menganalisa bahannya langsung dari
tape
87
Pencatan dengan Angka atau Kata-kata yang menilai. Pencatatan serupa
itu yang dalam ilmu sosiologi sering disebut dengan istilah field rating, dilakukan
oleh peneliti pada wawancara berencana.
formulir
pengisian
mengenai
data
Peneliti membuat kuesioner atau
yang
hendak
dikumpulkan,
dan
mempertimbangkan jawaban yang dapat digolongkan ke dalam beberapa
golongan dengan diberi angka nilai kata nilai. Misalnya orang ingin mengukur
tanggapan dan penilaian umum mengenai fungsi pertunjukan wayang ritual
“ruwatan” di suatu tempat dengan wawancara suatu sampel dari informan
(diadaptasi dari Koentjaraningrat, 1991:154).
Jawaban yang diberikan oleh seluruh informan tidak dicatat seluruhnya
oleh peneliti, tetapi dinilai (diberi rating) dengan enam kata yang tetap, yaitu:
1. amat berguna sekali;
2. amat berguna;
3. berguna;
4. tak berguna;
5. merugikan; dan
6. tak menilai. (Koentjaraningrat, 1991:154).
Pengukuran pendapat umum tentang suatu hal atau suatu peristiwa dalam
masyarakat biasanya dilakukan dengan metode kuesioner biasa. Akan tetapi ada
baiknya juga dilakukan dengan metode field rating sebagai tambahan terhadap
metode kuesioner untuk memperdalam pengertian peneliti. Cara ini bertujuan
untuk membandingkan kemungkinan terjadi perbedaan hasil kuesioner (yang diisi
oleh responden) dengan wawancara field rating. Biasanya terdapat perbedaan
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
88
hasil pengumpulan data di antara keduanya. Perbedaan itu disebabkan karena
tidak adanya komunikasi antara informan dengan peneliti. Gerak, sikap, nada dan
tekanan suara, serta ekspresi wajah informan yang diobservasi turut menentukan
penilaiannya terhadap jawaban informan (Koentjaraningrat, 1991:154-55).
7.7 Pencatatan Data dengan Kode.
Pencatatan serupa itu, yang di dalam ilmu sosial disebut filed coding
hampir sama dengan metode field rating. Hanya saja peneliti tidak memberi nilai
jawaban informan. Jawaban informan diberi kode saja, suatu leter atau tanda lain
untuk mengkhiaskan jawaban-jawaban ke dalam kerangka permasalahan
penelitian.
Metode pencatatan serupa itu, dapat dilakukan dalam wawancara
berencana.
Metode ini paling cocok digunakan dalam wawancara yang
menggunakan pertanyaan-pertanyaan tertutup. Hal yang termudah dikode adalah
jawaban “ya” atau “tidak”, sehingga diberi kode positif atau negatif
(Koentjaraningrat, 1991:155).
7.8 Instrumentasi
Perangkat instrumentasi diperlukan untuk memperoleh kekayaan
informasi. Namun mengingat sifat fleksibilitas desain dalam penelitian kualitatif,
instrumentasi tidak merupakan hal yang kaku. Miles dan Huberman (1992:59-61)
mengajukan tiga argumen yang melatari instrumen penelitian kualitatif, yakni:
1. Tidak ada instrument sebelumnya. Argumentasi ini menyatakan bahwa
sebelum dilakukan pengambilan data, peneliti kualitatif tidak perlu
menentukan teknik dan instrumen terlebih dahulu. Teknik dan
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
89
instrumen yang paling mungkin baru disusun dan dan ditetapkan
bersamaan dengan aktivitas pengumpulan data.
2. Banyak instrumentasi sebelumnya. Argumen ini menyatakan bahwa
peneliti mengetahui benar prihal yang diburu. Tidak ada alasan untuk
tidak merencanakan sebelumnya, bagaimana mengumpulkan informasi.
3. Tergantung. Argumen ini menganggap bahwa kehadiran atau penggunaan instrumentasi sangat bergantung pada penelitian itu sendiri.
Setelah memperhatikan ketiga argumen tersebut dan di luar keberadaan
peneliti sebagai instrumen, maka penggunaan instrumen dalam penelitian
kualitatif biasanya dilakukan dengan mengambil jalan tengah, yakni dengan
menggunakan instrumen tambahan, sepanjang hal tersebut tidak mempengaruhi
sisi alamiah dari aktivitas penggalian data (Salim, 2006:19).
7.9 Pengetahuan Praktis dan Ilmiah
Pembentukan visibitas tatanan sosial memerlukan byektivasi yang bukan
hanya kegiatan ilmiah. Bagi penelitian seni kegiatan ilmiah itu sendiri adalah
hasil pegetuhuan praktis yang dapat menjadi suatu obyek peneltian atau kajian.
Kajian seni terlembaga atas dasar pengenalam kemampuan berpikir, merenung,
menafsirka kemampuan yang khas dari aktor sosial yang disebut dengan istilah
seniman (Cuolon,2008:58-59).
Kemampuan praktis tiada lain adalah kemapuan menafsirkan segala yang
dimiliki oleh individu seniman praktisi, pengamat seni, kritikus seni, dan
budayawan, serta masyarakat awam dalam ritunitas disekitar kegiatan seni.
Prosedur diatur oleh pengetahuan umum. Penafsiran ditampilakan sebagai ha yag
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
90
tidak terpisahkan dari tindakan senina dan karyanya dan sebagai sesuatu yang
terbagi dan menjadi milik masyarakat dan aktor itu sendiri. Modus pengetahuan
ilmiah tidak berbeda dengan modus pengetahuan praktis ketika mempertemukan
kedua modus tersebut dalam sebuah kajian. Naturalistik bahasa ungkap yang
dipakai terkadang terintervensi kode-kode bahasa ilmiah yang bisa menyebabkan
pergeseran-pergeseran makna budaya jika tidak dicermati dalam sikap yang super
hati-hati. Hal ini memprasyaratkan bahwa pengetahuan yang mendalam tenatng
dunia pratik seni dibutuhkan oleh peneliti.
Evakuasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Jelaskan pengertian wawancara?
Jelaskan jenis-jenis wawancara?
Apa perbedaan anatara wawancara berstruktr dan tak berstruktr?
Apa yang dimaksud dengan wawancara terfokus?
Pertanyaan yang bagaimana patut dihindarkan dalam wawancara?
Bagaimana kelemahan wawancara tak terencana?
Bagaimana pendapat Miles dan Huberman tentang instrumentasi?
Kebutuhan instrumentasi penelitian tergantung penelti. Apa arti kata
tergantung pada kelimat terseut?
TIK 14
Mahaisiswa melakukan pengamatan dan wawacara sebagai tindak
lanjut dan pemantapan pengamatan dan wawancara terdahulu,
sehingga fenomena yang diteiti semakin jelas sosoknya.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
91
BAB VIII.
RELIABILITAS DAN VALIDITAS DATA KUALITATIF
TIK 15
: setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa dapat
menjelaska reliabilitas dan validitas data kulaitatif
Kata kunci dalam penggunaan metode penelitian kualitatif adalah adanya
pergeseran yang cukup berarti dari aspek-aspek ontologi, epistemologi, dan
metodologi dalam ilmu pengetahuan. Alur berpikir dalam metode kualitatif bersifat historis, interaksional, dan struktural. Metode ini berupaya mengidentifikasi
keragaman yang melekat pada setiap kajian, baik yang berbentuk pengujian
terhadap masalah utama, isu personal, sampai dengan masalah pribadi yang
dibatasi oleh fakta historis. Tatkala terjadi tarik menarik antara pengalaman yang
dimiliki dan sumber penelitiannya, dalam diri periset kualitatif berkembang suatu
kesadaran diri (sefl-consciousness) untuk berpikir secara reflektif, historis, dan
biografis. Implikasi penting dari hal ini adalah perlunya usaha untuk menemukan
strategi dari penelitian empiris yang akan menghubungkan pengalaman hidup,
keluasan masyarakat, dan struktur kebudayaan (Salim, 2004:105).
Lebih jauh, periset kualitatif mengAndaikan penelitian sebagai ‘proses
aksi-refleksi-aksi; yaitu interaksi antara orang luar dengan orang yang sudah tidak
lagi menempatkan dirinya sebagai pakar, malinkan sebagai ‘kawan’, ‘teman’, atau
‘saudara’, bagi masyarakat setempat. Periset menjalankan fungsi sebagai katalisator bagi perkembangan masyarakat setempat. Dari sini dapat dikatakan, bahwa
sumber-sumber perdebatan penting dari proses penelitian itu adalah penduduk
yang dapat memberikan kontribusi dalam bentuk gagasan, informasi, wawasan,
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
92
dan lebih dari semua itu menyediakan kontek bagi penelitian (Fernandes &
Tandon, 1993:xxx). Penelitian kualitatif memiliki spesifikasi dalam epistemologi
realis, dan mengimplikasikan suatu kerangka yang berkembang dari konteks lokal
yang kecil namun fungsional. Metode-metode pengumpulan data dan metode
analisis data harus pula menyumbang ke arah pemahaman atas situasi makro
dalam konteks makronya (Salim, 2004:105).
Metode-metode penelitian harus mengarah pad tindakan.
Tendensi
tradisional dan konvensional dalam penelitian sosial yang menjadi ‘pseudoobjektif’ dan yang menyembunyikan premis-premis nilai dalam pendekatan
partikuler harus memberi tempat bagi kajian yang secara sadar difokuskan pada
penduduk agar menjadi perantara (agen) perubahan. Pengetahuan dan hasil-hasil
yang dipelajari tidak lagi dibatasi oleh periset, melainkan justru dimiliki bersama
oleh semua penduduk. Mengetahui tindakan manusia, yakni apakah yindakan
tersebut bermakna bagi pelakunya, merupakan hal yang cukup penting bagi
periset. Berkenaan dengan hal ini, Stuart A. Schlegel (1977) mengemukakan
secara singkat tiga aspek pokok dalam tingkah laku manusia, yaitu:
1. manusia selalu bertindak sesuai dengan makna (yang dimiliki, dan dialami demi mendapatkan pertimbangan dan juga semua unsur
kehidupan, baik fisik maupun non fisik). Dengan demikian, manusia
akan memiliki makna yang beragam objek, terinci, dan mendalam,
sehingga menjadikan dirinya cenderung lebih bersifat personal.
2. makna yang muncul selalu dihasilkan dari interaksi sosial antar orang
perorang;
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
93
3. manusia harus selalu dapat menafsirkan makna dari hal yang ia
terima, sebelum ia sendiri mampu bertindak sesua dengan makna
tersebut (Salim, 2004:106).
Dalam mengumpulkan data lapangan, periset sosial sering mengabaikan
makna, karena hal itu dinilainya tidak penting dan
cenderung menganggap
tingkah laku manusia sebagai suatu respon atas serangkaian rangsangan yang berasal dari luar akal para pelakunya. Sosiolog, biasa mengabaikan perilaku seseorang dan mereduksinya sebagai buah dari status dan peran sosial, nilai budaya
ataupun kesadaran kelompok. Dengan kata lain, munculnya tingkah laku disebabkan oleh alasan-alasan lain di luar pikiran pelakunya, dan bukan disebabkan oleh
alasan-alasan yang terdapat dalam pikirannya. Oleh karena itu, para sosiolog
mengatakan, bahwa makna tidak harus dipertimbangkan (Salim, 2004:106).
Mempersoalkan makan perilaku manusia memang unik dan menarik.
Bagi para pendukung realisme, makan objek hanyalah sebagian dari objek itu
sendiri (simply part of the object itself). Pendek kata, makna hanya lahir dari
objek itu sendiri. Bagaimana periset dapat melihat utuh tidaknya suatu bangunan,
sementara hanya melihatnya dari satu sisi? Pertanyaan kritis semacam ini bertentangan dengan kelompk idealis-postivis yang berpandangan bahwa makna lahir
dari penginderaan, ingatan, sikap, dan lin-lain. Dengan kata lain, makna adalah
apa yang dipikirkan oleh pengamat itu sendiri (whatever the observer thinks about
it) (Salim, 2004:107).
Kedua pendapat tersebut akan menjelaskan kedudukan penelitian
kualitatif, utamanya perihal objektif yang didasarkan atas kepercayaan pada data-
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
94
data lapangan. Pemahaman tentang makna sesungguhnya tidak perlu diperdebatkan secara tajam, pasalnya makna akan selalu muncul sebagai hasil dari interaksi
sosial. Untuk dapat mengartikan makna, periset hanya perlu mempercayai bahwa
apa yang ditangkap indera adalah betul-betul informasi yang dibutuhkan dalam
penelitian kualitatif. Sayangnya, selama ini banyak orang tidak percaya terhadap
hasil penelitian kualitatif. Aspek epistemologis, upaya untuk mendekatkan subjek
dan objek penelitian sedari awal disangsikan lantaran hal itu dapat melahirkan
‘bias’ yang secara sistematis sudah melekat pada proses kegiatan penelitian. Dari
aspek metodologi, prinsip partisipasi dan dialektika memang dapat muncul bersama dan saling melengkapi. Masalahnya, bagaimana periset dapat menjamin
‘objektivitas’ informasi dari para aktor sosial? Dalam penelitian etnografi, kesangsian itu telah melahirkan sejumlah krisis reperensi, sementara model triangulasi memerlukan persiapan waktu yang cukup panjang (salim, 2004:107).
Sebetulnya para periset kualitatif telah berusaha menunjukkan adanya
prosedur yang melekat dan spesifik dalam kegiatan penelitian. Strauss & Corbin
(1990) dalam proses analisis data untuk Grounded Theory, misalnya, telah
menempatkan adanya ‘kesatuan perbandingan’ (constantly comparing), yaitu
semacam kesatuan alngkah untuk menggunakan cara berpikir logika induktif dan
deduktif. Keterampilan ini ditunjukkan dengan cara membuat kartu-kartu untuk
memberi urutan sistematika yang logis, sebab setiap periset memiliki keterbatasan
daya ingat dan kepiawaian dalam mengola data. Selanjutnya dalam untuk
meningkatkan objektivitas data dalam pelaksanaan studi kasus, Yin (1989) telah
menggunkan tiga langkah utama, yaitu:
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
95
1. periset membuat pola-pola perbandinganantara hasil yang dicapai
dengan pola ramalan yang berasal dari teori;
2. periset membuat kerangka penjelasan (explanation building) dan
melihat linkege hubungan kausal, dan atau penyelidikan yang masuk
akal, atau penjelasan sebaliknya. Periset dapat pula membuat
penjelasan pada setiap kasus.
3. Periset membuat analisis time-series (time-series analysis), yaitu
ketentuan waktu pada setiap kejadian. Hal itu sama dengan analisis
time series dalam kegiatan eksperimen dan quasi-eksperimen.
9.1 Reliabilitas
Sebagaimana dibahas sebelumnya, penelitian kualitatif memiliki kriteria
reliabilitas (keterAndalan) dan validitas (kesahihan). Reliabilitas mempersoalkan
prihal keterukuran, sedangkan validitas mempersoalkan ketepatan instrumen
dalam kaitan dengan temuan di lapangan. Jadi dalam penelitian kuantitatif,
pengertian reliabilitas lebih menunjuk pada aspek keterAndalan, yaitu tingkat
kepercayaan dan konsistensi indikator penelitian. Ini berbeda dengan cakupan
reliabilitas dalam penelitian kualitatif, yaitu: quixotix reliability (kepercayaan dari
lamunan), diachronic reliability (kepercayaan menurut sejarah) dan synchronic
reliability (kepercayaan karena kesesuaian). Menurut Jerome Kirk and Marc L.
Miller (1985:42-43), masalah reliabilitas penelitian kualitatif menyangkut temuan
yang hidup setiap hari. Masalah kepercayaan sangat tergantung pada esensi
eksplisit dari setiap prosedur kegiatan penelitian sehingga berguna untuk membedakan beberapa macam reliabilitas (Salim, 2004:108).
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
96
Quixotic reliability berikisar pada keadaan, yakni digunakannya satu
metode observasi secara teratur di lapangan untuk menghasilkan ukuran yang
tidak berubah. Masalah yang dapat timbul dari jenis reliabilitas ini adalah
pengertian yang dapat menyesatkan lantaran sepenuhnya tergantung pada periset
dalam melakukan pengelolaan data. Tidak jarang suatu percakapan menjadi bias,
tidak ditafsirkan dengan makna yang lebih kaya (padahal menurut sang pelaku,
peristiwanya cukup sederhana) (Salim, 2004:108).
Diachronic Reliability menunjuk pada kegiatan observasi yang atabil
atau teratur di suatu waktu. Dalam pengertian yang konvensional, reliabilitas
menurut konteks sejarah diakronis menunjuk pada adanya persamaan kegiatan
pengukuran atau temuan yang selalu berbeda di setiap waktu.
Akibatnya,
ketepatan informasi dalam bentuk data sangat tergantung pada konteks periodisasi
waktunya.
Setiap peristiwa dihasilkan dari yang mengalir dan kondisi yang
berbeda, sehingga timbul keragaman dan persamaan (Salim, 2004:109).
Synchronic Reliability menunjuk pada persamaan kegiatan observasi
dalam periode waktu yang sama.
Berbeda dengan dua reliabilitas terdahulu,
sychronic reliability menunjuk kepada kesesuaian setiap kegiatan observasi. Pada
kegiatan observasi dalam struktur masyarakat yang berbeda, wajar dan alamiah
bila seringkali didapati persamaan fenomena sosial. Hal ini dapat dicari dan
dirunut dari pola-pola kebudayaan yang melingkupinya (Salim, 2004:109).
9.2 Validitas
Tidak ada penelitian yang dapat secara sempurna mengontrol dan
mengukur dengan instrumen yang tepat. Semua alat pengukuran mengandung
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
97
keraguan; apakah alat-alat tersebut benar-benar dapat digunakan untuk mengetahui secara tepat berbagai indikator yang hendak diketahui. Dalam penelitian
kualitatif, diakui oleh berbagai kalngan, bahwa peralatan yang dipakai mengandung tingkat ketepatan yang sangat terbatas. Hal ini jauh berbeda dengan
penelitian laboratorium yang mendukung penelitian dalam bidang ilmu
pengetahuan alam dan teknologi. Ketepatan penggunaan instrumen sangat bergantung pada persoalan penelitian dan pada hubungannya dengan teori yang
digunakan (Salim, 2004:109).
Untuk memahami validitas penelitian kualoitatif, kiranya mensyaratkan
penguasaan pengetahuan mendasar tentang penggunaan atau penerapan teori
penelitian (mencakup cara berpikir paradigmatik) yang menjadi acuan utama
dalam pembuatan instrumen penelitian. Pengetahuan mendasar tersebut mencakup
persoalan:
1. Apakah instrumen penelitian dapat menggali sosok masalah yang
seharusnya di dapat di lapangan sesuai dengan keberadaan teori
penelitian yang digunakan?
2. Bagaimana dari setiap bagian dari penelitian tersebut dapat menjadi
tAnda adanya hubungan sebab-akibat (sehingga dapat diperkirakan
lingkup generalisasi yang menjadi dasar simpulan, kekuatan teori
yang diaras secara empirik, serta pemahaman yang baik dan unsur
replika yang rterjadi di lapangan (Salim, 2004110).
Untuk menjawab dua masalah tersebut, Luther (1993) menyebut lima
bentuk validitas, yaitu: reflective validity, ironic validity, neo-pragmatic validity,
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
98
rhizomatic validity, dan situated validity.
Penamaan masing-masing validitas
tersebut melukiskan tantangan dan tuntutan dari setiap konsepsi validitas.
Menurut Luther, penelitian kualitatif dianggap sah sepanjang masing-masing alat
pengukurnya dilekati oleh lima macam validitas tersebut.
1. Refelctive Validity. Validitas ini harus dapat merefleksi setiap unsur
yang hendak diukur, misalnya bagaimana merefleksi ukuran pendapat
individu dalam suatu komunitas bila dibandingkan dengan pendapat
kelompok? Apa ukuran yang dapat diambil?
2. Ironic Validity. Ukuran sah tidaknya suatu instrumen sebenarnya baru
dalam penjajagan, sebab semua ukuran yang dipakai dapat meniadakan ukuran yang lain, tergantung pada masalah riil yang dihadapi.
Demikian pula sebaliknya, setiap ukuran mungkin pula tidak lebih
dari yang lain. Jadi, selalu ada kemungkinan untuk menentukan jenis
alat ukur yang paling pas untuk masalah yang dikaji.
3. Neo-pragmatic Validity. Tampaknya posisi periset dalam penelitian
kualitatif menjadi cukup sulit untuk mendapatkan pokok kebenaran
dalam ilmu pengetahuan, sebab periset akan selalu menghadapi
wacana yang sangat beragam. Kebenaran ilmu hanya di dapat dalam
kerangka kerja yang mengutamakan kritik terhadap berbagai masalah
yang dihadapi.
4. Rhizomatic Validity. Validitas ini memberi gambaran bahwa tidak ada
peristiwa yang terjadi secara linear, tetapi merupakan kejadian dengan
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
99
banyak perhatian sehingga banyak cerita yang dapat diungkap sebagai
kebenaran yang sahih.
5. Situated Validity.
Validitas ini ingin menggambarkan bila periset
ingin melihat, misalnya kebenaran validitas veminis dalam situasi
yang didominasi oleh pengaruh pria, sementara perempuan ingin
mengekspresikan perilakunya secara beragam, seperti penampilan,
emosi, dan sifat keibuannya. Dalam kehidupan perempuan Indonesia,
perjuangan feminisme mungkin tidak tertuju pada persamaan hak,
tetapi lebih kepada toleransi dan empati dari kedudukan seksual
mereka yang berbeda. Jadi, dalam penelitian kualitatif, persoalan
konteks merupakan faktor dominan dalam menganalisis situasi atau
fenomena sosial tertentu (Salim, 2004:111).
Pendapat yang lebih sederhana dari pendapat Luther di atas dikemukakan
oleh Jerome Kirk and L. Miller (1985:22-28). Menurut mereka, validitas
penelitian kualitatif memiliki tiga tampilan utama, yaitu: apperent validity,
instrumental validity, dan theoritical validity.
1. Apparent Validity. Validitas ini menggambarkan keadaan nyata dari
fenomena sosial yang diteliti, melalui prosedur pengamatan yang jelas
dengann harapan agar dihasilkan data yang valid. Meski jenis validitas ini
jarang dijumpai dalam penelitian sosial, tetapi untuk beberapa kasus
tertentu dan berdasarkan teori yang tepat dapat diperoleh keadaan yang ‘on
the face of thing’ (mendapat sesuatu yang nyata seperti yang dipikirkan).
Untuk mendekatkan keadaan nyata tersebut, konsep penelitian yang
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
100
tergambar dalam indikator-indikator penelitian harus memiliki kejelaskan
sehingga bisa memperoleh respon yang sesuai dari para informan.
2. Instrumental Validity.
Validitas instrumental ini menyAndarkan pada
prosedur penerimaan yang valid. Validitas ini juga menunjukkan kepada
penggunaan praktis dan sejumlah kriteria yang harus dimiliki oleh
instrumental penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, validitas
instrumental diarahkan pada kemampuan alat penelitian dalam mendapatkan informasi yang lengkap, tepat, dan sesuai dengan tujuan penelitian.
Oleh karena itu,acuan utamanya adalah pada kemampuan periset dalam
menyampaikan sejumlah pertanyaan agar dapat dimengerti oleh pihak
informan. Selain itu, juga kemampuan periset untuk membaca seluas
mungkin dan secara tepat (memperkecil bias yang mungkin timbul atas
informasi yang diberikan oleh informan.
3. Theoritical Validity. Validitas teoritis dapat pula disebut sebaga validitas
gagasan atau validitas konsepsional yang menempatkan validitas dari sisi
substansi teori yang digunakan. Dalam hal ini juga dilihat jenis paradigma
yang mendasari pembentukannya. Sebagai contoh, pengertian tentang
konsep ‘anomie’ sebagaimana yang digagas Dhurkheim akan sangat tergantung kepada model kebudayaan dari masyarakat pendukungnya. Jenis
masyarakat industri bagaimanakah yang mengakibatkan timbulnya
perilaku tersebut?
Jadi, keberadaan konsep reliabilitas dan validitas laksana dua sisi dari satu
mata uang.
Keduanya tidak terpisah satu dengan yang lain.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
Reliabilitas
101
berhubungan dengan tingkat kehandalan data, dan validitas berhubungan dengan
kesahihan data. Dalam konteks ini, hal terpenting dari setiap penelitian kualitatif
adalah checking the reliability, yaitu bagaimana kekuatan data dapat menggambarkan keaslian dan kesederhanaan nyata dari setiap informan. Suatu isu yang
menarik akan membuat periset etnografi berani mengambila sikap untuk mengadakan penelitian ulang agar kemudian diperoleh temuan yang lebih menarik.
Sedangkan checking the validity berhubungan dengan evaluasi awal dari kegiatan
penelitian di lapangan, yang penuh perhatian terhadap situasi penelitian di
lapangan, waktu dan sispa informan yang hendak ditemui, terhadap masalah
penelitian, dan terhadap aklat yang akan digunakan (Salim, 2004: 111-12).
Terma-terma yang berkembang di seputar validitas dalam penelitian
kualitatif berbeda dengan terma-terma yang berkembang dalam penelitian
kuantitatif. Seperti disebut oleh Guba dan Lincoln (dalam Denzin dan Lincoln,
1994:114; Poerwandari, 1994:116-29), sampai saat ini terdapat empat terma paralel
antara kajian kualitatif dan kuantitatif di seputar validitas penelitian, seperti pada gambar
berikut.
Gambar 9.1
Paralelitas Kajian Kualitatif dan Kuantitatif
Kualitatif
Kuantitatif
Cridibility
berpadanan dengan
validitas internal
Transferability
berpadanan dengan
validitas eksternal
Dependability
berpadanan dengan
realibility/keajegan
Confirmability
berpadanan dengan
objektivitas
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
102
Di samping itu, terdapat penjelasan lain yang menyebutkan adanya empat
konsepsi validitas dalam penelitian kualitatif, yakni
1. validitas kumulatif;
2. validitas komunikatif;
3. validitas argumentatif; dan
4. validitas ekologis.
Validitas kumulatif mengacu pada kesamaan atau keserupaan antara satu temuan
studi dengan temuan studi lainnya tentang topik yang sama.
Validitas
komunikatif mengacu pada derajat konfirmasi temuan dan analisi temuan kepada
subjek penelitian. Validitas argumentatif merujuk pada kekuatan dan kesesuaian
logika dan rasionalitas yang dibangun peneliti dalam merepresentasikan hasil
studi dan analisisnya yang dapat dibuktikan secara terbalik dengan data mentah.
Validitas ekologis mengacu pada derajat pemenuhan karakter natural studi (Salim,
2006:20).
Secara umum, langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk menjaga dan
meningkatkan kredibilitas dalam studi kualitatif adalah memperpajang dalam
keikutsertaan dalam setting penelitian dan triangiulasi.
Cara lainnya, adalah
ketekunan pengamatan, pemeriksaan sejawat (peer validation), analisis kasus
negatif, dan kecukupan referensial. Triangulasi adalah upaya memeriksa validitas
data dengan memanfaatkan hal lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau
pembanding ( Moleong, 2000:178). Triangulasi dapat dilakukan atas dasar sumber
data, teknik pengambilan data, waktu, dan teori. Untuk itu kerja triangyulasi dapat
dilakukan dalam empat langkah, yaitu:
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
103
1. Data yang diperoleh pada satu kesempatan diperiksa kembali kebenarannya pada kesempatan yang lain;
2. Data hasil obervasi dengan data wawancara;
3. Data wawancara dengan dokumen terkait, termasuk teori pendukung; dan
4. Data dari narasumber tertentu dengan narasumber lain.
Evaluasi
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
104
BAB IX.
ANALISIS DATA STUDI KUALITATIf
TIK 16
Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa dapat menjelaskan
dan mengaplikan dalam tugas.
‘Data don’t for themselves’, demikian kata banyak penulis. Penelitian yang kaya
data tidak akan berarti jika data tersebut tidak dirangkai dalam struktur makna
yang baik. Proses analisis data studi kualitatif digambarkan oleh Strauss & Corbin
sebagai berikut.
...data are broken down to discrete parts, closely exemined, compared for
similarittes and differences, and question are asked about the phenomena
as reflected in the data. Through this process, one’s own and others’
assumptions about phenomena are questioned or explored, leading to the
new discoveries.
Senada dengan pernyataan itu, Jorgensen (Poerwandari, 1994) menyebut analisis
sebagai:
...a breaking up, separating or disassembling of research materials into
pieces, parts, elements, or units. With the facts broken down into
manageable pieces, the researcher sorts and shifs them, searching for
types, classes, sequences, patters, or wholes.
Gambar 10.1
Komponen Analisis Data Model Alir
(flow model)
Masa Pengumpulan Data
..........................................................
Reduksi Data
--------------------------------------Antiipasi
Selama
Pasca
Penyajian Data
--------------------------------------Antiipasi
Selama
Pasca
Penarikan Kesimpulan/Verifikasi
--------------------------------------Antiipasi
Selama
Pasca
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
A
N
A
L
I
S
A
105
Sumber: Matthew B. Miles & A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data
Kualitatif. Jakarta: UI Press. Hlm. 18.
Perlu di sini ditandaskan mengenai reduksi data, karena sangat erat
kaitannya dengan substansi penelitian. Reduksi data diartikan sebagai proses
pemilihan, pemusatan perhatian pada penyerderhanaan, pengabstraan, dan
transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.
Reduksi data berlagsung terus-menerus selama proyek yang berkonotasi kualitatif.
Bahka data benar-benar terkumpul antisipasi akan adanya reduksi datasudah
tampak waktu penelitiannya memutuskan (acapkali tanpa disadari sepenuhnya)
kerangka konseptual wilayah penelitian, permasalah penelitian, pendekatan
pengumpulan data yang mana dipilihnya. Selama pengumpulan data berlangsung,
terjadi tahapan reduksi selanjutnya (membuat ringkasan, mengkode, menelusur
tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, menulis memo).
Reduksi
data/proses transformasi ini berlanjut terus sesudah penelitian lapangan, sampai
laporan akhir lengkap tersusun (Miles dan A. Michael Huberman, 1992:16).
Reduksi bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis. Ia merupakan
bagian dari analisis.
Pilihan-pilihan peneliti tentang bagian data mana yang
dikode, mana yang dibuang, pola-pola mana yang meringkas sejumlah bagian
yang tersebar, cerita=cerita apa yang berkebang, semuanya itu merupakan pilihanpilihan analisis. Reduksi data merupakan satu bentuk analisis yang menajamkan,
menggolongkan,mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi
data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan final dapat
ditarik dan verifikasi (Miles dan A. Michael Huberman, 1992:16).
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
106
Secara sederhana dapat dijelaskan, bahwa dengan reduksi data kita tidak
mengartikannya sebagai kuantifikasi. Data kualitatif dapat disederhanakan dan
ditransformasi kedalam aneka macam cara, melalui seleksi yang ketat, melalui
ringkasan atau uraian singkat, menggolongkannya ke dalam satu pola yang lebih
luas, dan sebagainya. Kadangkala dapat juga mengubah data ke dalam agkaangka atau peringkat-peringkat (misalnya, seorang penganalisis memutuskan
untuk memandang kondisi wilayah penelitian ke dalam suatu kategori “tinggi”
atau “menengah” daam hal pemusatan administrasinya), tetapi tindakan seperti ini
tidak selalu bijaksana. Bahkan kalau tindak itu tampaknya sebagai satu strtegi
analitik yang baik, pedomannya sebagai berikut. Biarkan saja angka-angka dan
kata-katauntuk menguraikan angka-angka itu ada berama-sama dengan anailisis
anda berikutnya. Dengan cara itu, peneliti dapat menepis data yangada dari
konteks di mana data itu terjadi atau diperoleh (Miles dan A. Michael Huberman,
1992:16-17).
Berbeda dari analisis data pada studi kuantitatif – yang dilakukan sesuai
dengan aktivitas pengumpulan data, proses analisis data kualitatif berlangsung
selama dan pasca pengumpulan data. Proses analisis mengalir dari tahap awal
hingga tahap penarikan kesimpulan hasil studi. Miles dan Huberman mengatakan
analisis data kualitatif sebagai model alir (flow model) (Salim, 2006:21).
Meskipun demikian, proses analisis tidak menjadi kaku oleh batasanbatasan kronologis tersebut. Komponen-komponen analisis data (yang mencakup
reduksi, penyajian data, dan penarikan simpulan) secara interaktif saling
berhubungan selama dan sesudah pengumpulan data.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
Karakter analisis data
107
kualitatif yang demikian disebut pula sebagai model analisis interaktif (Salim,
2006:22).
Gambar 10.2.
Komponen Analisis Data Model Interaktif
(Interactive Model)
PENGUMPULAN
DATA
PENYAJIAN DATA
REDUKSI DATA
KESIMPULAN
&VERIFIKASI
Sumber: Matthew B. Miles & A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data
Kualitatif. Jakarta: UI Press. hlm. 20.
Proses-proses analisis kualitatif dapat dijelaskan ke dalam tiga langkah berikut.
1. Reduksi data (data reduction), yaitu proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, abstraksi, dan transformasi data kasar
yang diperoleh di lapangan studi.
2. Penyajian data (data display), yaitu deskripsi kumpulan informasi tersusun
yang memungkinkan untuk penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Penyajian data kualitatif yang lazim digunakan adalah dalam
bentuk teks naratif.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
108
3. Penarikan
kesimpulan
verification).
dan
verifikasi
(conclusion
drawing
and
Dari permulaan pengumpulan data, peneliti kualitatif
mencari makna dari setiap gejala yang diperolehnya di lapangan, mencatat
keteraturan atau pola penjelasan dan konfigurasi yang mungkin ada, alur
kausalitas, dan proposisi. Periset yang berkompeten akan menangani
kesimpulan-kesimpulan itu secara longgar, tetap terbuka dan skeptis, tetapi
kesimpulan telah disediakan. Selama penelitian masih berlangsung, setiap
kesimpulan yang ditetapkan akan terus-menerus diverifikasi hingga benarbenar diperoleh konklusi yang valid dan kokoh (Salim, 2006:23).
Dengan memperhatikan dua model alur analisis di atas, secara teknis proses
analisis dapat diilustrasikan seperti skema gambar 10.3.
Gambar 10.
Alur Teknis Analisis
DATA
KATA
TEMA
KATEGORI
HUBUNGAN
..........................................................................................................
KUNCI
KATEGORI
Sumber: E. Kristi Poerwandari, 1994. Pendekatan kualitatif dalam Penelitian
Pskologi, LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Jakarta:95.
Dengan alur tersebut, periset kualitatif mula-mula akan membaca hasil
catatan lapangan, mendengarkan rekaman wawancara, membaca transkrip
wawancara untuk mendapatkan pemahaman tentang kasus yang dikaji.
Pada
tahap ini periset dapat menambahkan beberapa catatan yang mungkin diperlukan.
Catatan bisa berupa kesimpulan sementara, atau insight yang muncul begitu saja.
Pada tahap selanjutnya, periset dapat menggunakan sisi lain dari lembar catatan
lapangan atau transkripsi untuk menuliskan tema, kata kunci, atau kata-kata teknis
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
109
yang muncul. Setelah itu, periset dapat melanjutkan aktivitas analisis dengan
membuat latar seluruh tema yang muncul dan mulai memikirkan hubungan yang
mungkin di antara tema-tema yang muncul. Terakhir, berdasarkan catatan yang
dimiliki, periset dapat membuat ‘master pola’ yang ditemukan dan siap untuk
dilaporkan sebagai hasil akhir studi. Pembuatan master pola dari subjek penelitian
dalam masalah tertentu, dapat dilakukan dengan memberi pemaknaan melalui
penjelasan berbagai teori yang relevan. Seringkali pemaknaan itu hanya menghasilkan sejumlah kategori awal dari statemen yang dibutuhkan sebagai temuan
dalam penelitian.
Dengan mengembangkan suatu teori kategori awal ini
kemudian dibaca sehingga menghasilkan pemaknaan baru dalam bentuk hipotesa
awal. Buku yang ditulis oleh Sudarko (2003), Pakeliran Padat: Pembentukan dan
Penyebarannya yang disusun berdasarkan penelitian tesisnya, baru menghasilkan
kesimpulan atas konsep pakeliran padat dan hipotesa tentang penyebarannya.
Demi posisi yang lebih baik, simpulan konsep dan hipotesa temuan tadi masih
memungkinkan untuk diperdalam melalui dialog diskursus dengan berbagai teori
budaya, humaniora, dan ilmu-ilmu sosial yang relevan, sehingga dapat menghasilkan temuan baru yang secara teoritis menunjang teori pedalangan. Hal yang perlu
diingat, sebagaimana yang dimaksud oleh Miles dan Huberman, bahwa keseluruhan proses tersebut berjalan secara mengalir dan interaktif (lihat ilustrasi
gambar 10.3).
Untuk mendukung proses analisis data, diperlukan sistem manajemen
data yang handal. Perolehan setumpuk data lapangan yang telah memakan tenaga
dan biaya banyak, bisa jadi akan sia-sia jika tidak dikelola dengan baik. Oleh
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
110
karena itu, baik data mentah maupun data terproses tetap penting untuk dikelola.
Untuk memudahkan pengorganisasian dan penggunaannya tatkala suatu kali
diperlukan, data tersebut perlu diberi kode-kode tertentu secara jelas. Pemberian
kode biasanya menyangkut kriteria tertentu—misalnya tema data atau topik studi,
model pengumpulan data, lokasi, subjek, dan sebagainya yang dimaksudkan untuk
memudahkan penelusuran dan pemakaiannya. Selain untuk mendukung proses
studi yang tengah berjalan, keberadaan data untuk mendukung proses studi yang
tengah berjalan dan yang juga sangat penting bagi pengembangan studi selanjutnya. Misalnya, kelak periset ingin menguji teori yang telah dibangunnya. Di lain
pihak, data tersebut tetap merupakan sumber inspirasi yang sangat kaya bagi
pengembangan penelitian lainnya (Salim, 2006:23-25).
XI. KUALITAS PENGUKURAN DAN KESIMPULAN
Salah satu perhatian utama peneliti kuantitatif adalah untuk meyakinkan,
bahwa data dikumpulkan dengan cara tepat dan dapat dipercaya. Pada tarap permukaan, isu tersebut tidaklah begitu penting bagi peneliti kualitastif tradisional,
karena mereka secara khusus tidak merancang instrumen yang terperinci untuk
mengukur variabel dan temanya untuk suatu peneliti lanjutan. Namun demikian,
peneliti kualitatif memberikan perhatian terhadap kualitas informasi yang
mendasari kesimpulan/inferensi penelitian.
Tidak seperti peneliti kuantitatif, peneliti kualitatif telah mengombinasikan kualitas data/informasi (dikatakan kembali sebagai yang layak dipercaya dan
hal yang dapat dipertanggungjawabkan) dengan kualitas rancangan tersebut
(sebagai validitas eksternal dan internal).
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
Beberapa peneliti kualitatif telah
111
merumuskan kembali masalah validitas kualitas rancangan penelitiasn ini sebagai
desain penelitian dengan kemampuan untuk dapat dipindahkan dan memiliki
kredibiltas (transferability dan credibility). Seperti telah diuraikan, dari perspektif
kuantitatif, kualitas pengukuran adalah pelengkap data/informasi yang dikumpulkan selama proses penelitian, sementara validitas internal dan eksternal adalah
atribut dari kesimpulan atau inferensi setelah semua data/informasi diproses/dianalisis. Seperti halnya validitas internal/eksternal yang merupakan bagian utama
dari tujuan akhir penelitian, validitas/reliabilitas pengukuran adalah bagian dari
proses (alat) menuju kesimpulan akhir tersebut.
Peneliti kualitatif belum membuat batasan yang jelas antara dua
komponen tersebut. Alasan utama adalah kurangnya perbedaan antara kualitas
data/informasi dan kualitas inferensi/kesimpulan dalam tradisi kualitatif, karena
pengumpulan dan analisis data terjalin begitu dekat. Hal ini bisa jelas dalam
perbandingan prosedur penelitian kuantitatif dan kualitatif. Para peneliti
kuantitatif mengumpulkan data, menguji kualitasnya (validitas dan reliabilitas),
dan kemudian meneruskan ke analisis data. Kesimpulan dibuat setelah langkahlangkah tersebut dan dievaluasi dalam kerangka kualitas kesimpulan (validitas
internal) dan kemampuan generalisasinya. Di sisi lain, peneliti kualitatif melakukan “analisis data” pada saat mereka mengumpulkan informasi, membuat
inferensi/kesimpulan, mengumpulkan informasi tambahan dan “menganalisisnya”
setelah atau sedang membuat inferensi lanjutan dan meneruskannya.
Dalam
penelitian semacam itu sukar dipisahkan antara evaluasi kualitas data dan kualitas
inferensi, tetapi dapat dipercaya bahwa kriteria untuk melakukan evaluasi tidak
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
112
perlu sama, karena dua aspek tersebut haruslah dievaluasi secara terpisah
(Tashakkori dan Charles Teddlie, 2010:125-26).
Alur penting yang kedua dari kegiatan analisis adalah penyajian data.
Suatu pnyajian data dibatasi sebagai sekumpulan inforasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tidakan. Beraneka
penyajian ditemukan dalam kehidupan sehari-hari muali dari alat pengukur
bensin, surat kabar, sampai layar komputer. Dengan melihat penyajian-penyajian
dapat dipahami apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan—lebih jauh
menganalisis atau mengambil tindakan—berdasarkan atas pemahaman yang
didapat dari penyajian-penyajian tersebut (Miles dan A. Michael Huberman,
1992:17).
Penyajian yang paling sering digunakan pada data kualitatif di masa lalu
adalah bentuk teks naratif. Teks dalam bentuk, katakanlah, 3.600 halaman catatan
lapangan, adalah sangat tidak praktis. Teks tersebut terpencar-pencar, bagian demi
bagian dan bukan simultan, terutama kurang baik dan berlebihan. Dari kondisi itu
peneliti mudah tergelincir, untuk bertindak ceroboh dan gegabah mengambil
kesimpulan yang memihak, tersekat-sekat, dan tak berdasar. Manusia tidak cukup
mampu sebagai pemroses informasi yang besar jumlahnya; kecenderugan
koqnitifnya menyederhanakan informasi yang kompleks ke dalam satuan bentuk
(Gestalt) dan selektif atau konfigurasi yang mudah dipahami, seperti informasi
yang gamblang, misalnya peristiwa mengasyikan. Teks naratif apabila melebihi
kemampuan manusia untuk memproses membawa peneliti mencari pola-pola
yang sederhana (Miles dan A. Michael Huberman, 1992:17).
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
113
Tiga jenis kegiatan analisis dan kegiatan pengumpulan data (lihat gamber
berikut ini) merupakan proses siklus dan interaktif. Peneliti hars siap bergerak di
antara empat (4) “sumbu” selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolakbalik di antara kegiatan reduksi, penyajian dan penarikam kesimpulan/verifikasi
selama sisa waktu penelitian. Pengkodean data misalnya (reduksi data), menjurus
ke arah gagasan-gagasan baru guna dimasukkan ke dalam matrik penyajian data.
Pencatatan data memersyaratkan reduksi data selanjutnya. Begitu matriks terisi,
kesimpulan awal dapat ditarik, tetapi menggiring pada pengambilan keputusan
(misalnya) untuk menambah kolom lagi pada matrik itu untuk dapat menguji
kesimpulan tersebut (Miles dan A. Michael Huberman, 1992:19-20).
Pengumpuland
Data
Penyajian Data
Reduksi Data
Kesimpulan/
verifikasi
Gambar 9.1
Komponen-komponen Analisis Data: Model Interaktif
Sumber: (Miles dan A. Michael Huberman, 1992:20).
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
114
XII. PENULISAN LAPORAN
Beban kerja penelitian kualitatif memakan waktu dan energi yang cukup
besar. Hal ini dapat menimbulkan situasi kebosanan yang langsung maupun tidak
langsung akan mempengaruhi kualitas studi. Penolakan responden, responden
yang kurang ‘cerdas’, hasrat untuk segera mengambil kesimpulan, deadline yang
diberikan oleh lembaga donor adalah godaan yang paling mengasyikkan bagi
periset kualitatif. Setumpuk data lapangan atau interview berdurasi 90 menit lebih
daripada mencukupi untuk menstimulasi timbulnya frustasi pada periset. Apabila
sudah demikian, akankah studi kualitatif, yang hampir seluruhnya mengAndalkan
validitasnya pada kapasitas personal periset, dapat disebut valid dan memenuhi
kriteria akademik? Jika demikian halnya, kapan periset kualitatif harus menulis
laporan penelitian? Persoalannya bukan semata-mata masalah waktu (kapan),
melainkan masalah energi yang akan dipilih untuk menulis laporan (Salim,
2006:25).
Sebagaimana dijelaskan oleh Miles dan Huberman, periset kualitatif
semestinya bisa menulis laporan sembari mengumpulkan data. Senada dengan
pendapat ini, James Spreadly (1997:55-57) mengajukan konsep ‘strategi maju
bertahap’. Disebut ‘maju’ lantaran periset menulis sejak awal penelitian, dan
‘bertahap’ berarti periset mengurangi tahap-tahap aktivitasnya sejalan dengan alur
analisis yang dilakukannya. Tegasnya, menurut Spreadly, periset kualitatif harus
‘menulis sejak awal’. Model ini sangat menguntungkan periset kualitatif. Dengan
menulis sejak awal, besar kemungkinan periset masih teringat konteks data yang
diperolehnya. Perlu diingat bahwa konteks dan situasi yang melingkupi data
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
115
sangat berarti bagi laporan studi kualitatif (ingat anjuran penggunaan
verisimilitude di atas). Kenyataan lain yang harus dimiliki oleh periset kualittatif
adalah kesediaan untuk berubah ketika kenyataan di lapangan menghadirkan
fenomena yang sama sekali berbeda, atau jauh dari asumsi awal. Kesiapan mental
semacam itu dibutuhkan sebab seringkali periset lapangan menjumpai batu
sandungan yang besar tatkala terjadi pemaknaan baru atas objek temuannya
(Salim, 2006:25-26).
XV. EPILOG
Pendekatan kualitatif atas positivisme bukan tidak mungkin mengalami
titik jenuh. Oleh karena itu, keterbukaan dan inklusivisme internal dari periset
merupakan satu-satunya penjamin bagi keberlangsungan dan pengembangan riset
khususnya dan disiplin ilmu pada umumnya. Dominasi pendekatan kuantitatif
dalam pengambilan keputusan pemerintah selama ini terbukti telah membawa
dampak negatif. Semua itu, tidak serta merta harus ditanggalkan, melainkan justru
harus ditemani dengan informasi yang lebih kaya, yakni informasi dan data yang
bersifat kualitatif. Sikap eksklusif atas suatu paradigma dan metode hanya akan
membuat pembangunan ilmu pengetahuan mengalami inbreeding, tampak
berkembang namun sesungguhnya berjalan di tempat. Sejauh ini kemajuan
wacana penelitian kualitatif di tanah air tampak menggembirakan. Buku-buku
karya para akademisi bertebaran di toko-toko, dan substansi pendekatan kualitatif
juga mengalami pembiakan sesuai bidang ilmu yang ditekuni.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
116
DAFTAR PUSTAKA
Asmadi Alsa. 2004. Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif serta Kombinasinya
dalam Penelitian Psikologi. Yogyakart: Pustaka Pelajar.
Cotgrove, Stephen. 1982. The Science of Sociology: An Introduction of
Sociology. London: George Allan & Unwin.
Coulon, Alain. 2008. Etnometodolgi. Penerjemah: Jimmy PH. PAAT. Ampenan:
Lengger.
Dunlap, Riley E. (ed). 1983. Sociological Theory and The Environment.
Jasin, Maskoeri. 2002. Ilmu Alamiah Dasar: untuk Perguruan Tinggi Non
Eksakta dan Umum. Jakarta: PT Raja Gramfindo Persada.
Khun, Thomas. The Structure of Scientific Revolusions: Peran Paradigma dalam
Revolusi Sains. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Koentjaraningrat, 1991. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Maliki, Zainuddin. 2004. Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik. Surabya:
LPAM.
Milbrath, Lester. 1984. Environmentalist: Vanguard for a New Society. Albany
New York: Suny Press.
Miles, Matthew B. Dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif:
Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press.
Mulyana, Deddy. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Rosda Karya.
Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Poerwandari, E. Kristi. 1994. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi.
Jakarta: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Ritzer, George. 1975. Sociology A Multiple Paradigm Science. Boston: Allyn and
Bacon.
Rustopo, 2001. Gendhon Humardani Sang Gladiator: Arsitek Kehidupan Seni
Tradisi Modern. Yogyakarta: Yayasan Mahavhira bekerjasama dengan
Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation.
Salim, Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: Buku Sumber untuk
Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
117
Spreadly, James. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sudarko, 2003. Pakeliran Padat: Pemdukkan dan Penyebarannya. Karanganyar:
Citra Etnika Surakarta.
Tashakkori, Abbas dan Charles Teddlie.
2010. Mixed Methodology
Mengombinasikan Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
Download