1 BAB I PENDAHULUAN Tinjauan Mata Kuliah Pendekatan kualitatif memiliki ciri-ciri unik yang membedakannya dengan pendekatan kuantitatif. Keunikan ciri-ciri inilah yang akan membangun konsep dan definisi pendekatan kualitatif. Namun, karena kelahiran pendekatan kualittatif melampaui fase historis yang panjang, maka cakupan definisinya pun bersifat lumer. Makna konsep dan istilah penelitian kualitatif sebagaimana disebut oleh Denzin dan Lincoln (1994:2) berkaitan dan sekaligus merepresentasikan fase-fase perkembangan tersebut. Pada fase awal, pengembangan cara analisis dan konseptual dalam studistudi kualitatif masih menunjukkan ‘sisa-sisa’ positivisme, termasuk pula istilahistilah yang digunakan. Alsa (2004:29-30) menyebut istilah penelitian lapangan (field research) dalam kajian sosiologi dan antropologi, sementara di bidang psikologi dan pendidikan lazim digunakan istilah penelitian naturalistik atau paradigma naturalistik, meskipun periset ilmu sosial menolaknya dan menyatakan bahwa dalam reperensi kualitatif istilah paradigma naturalistik tidak ditemukan. Selain kedua istilah tersebut, terdapat berbagai istilah yang digunakan atau dirujukkan dalam penelitian kualitatif, seperti etnografi, studi kasus, interpretif, fenomenologi dan sebagainya. Istilah-istilah tersebut digunakan oleh periset dalam konteks waktu yang berbeda-beda. Lantaran definisinya yang bersifat kontekstual itu, takrif atau definisi penelitian kualitatif pun sukar diwujudkan. Namun demikian para ilmuwan humaniora selalu hendak mewujudkannya. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 2 Tinjauan Instruksional Umum (TIU) Setelah menyelesaikan mata kuliah metode penelitian III (studi lapangan/ field research) mahasiswa mampu melakukan pengamatan (observasi) dan wawancara dengan metode tertentu sesuai bidang kajiannya. Tujuan Interaksional Umum (TIU) akan dapat dicapai apabila pemahanan teoritis dirangkai praktik kuliah lapangan, yaitu belajar melakukan observasi dan wawancara. Pemahaman teoritis dilakukan dengan tatapmuka sebelas (13) kali dengan mahasiswa dan sebanyak empat (3) kali observasi (pengamatan) lapangan yang dirangkai dengan diskusi hasil observasi dan wawancara di kelas. Total kegiatan perkuliahan dari adalah 13 kali tatap muka dalam satu semester. Ujian/tugas harian dinilai dari pelaksanaan tugas observasi dan wawancara. Ujian tengah semester dinilai dari laporan tertulis pengamamatan tahap satu. Ujian semester adalah laporan keseluruhan tugas pengamatan dan wawancara yang sudah dirangkai dengan kerangka konseptual. Baik dan buruk kinerja mahasiswa ketika melakukan latihan observasi, wawancara, penyusunan laporan sangat berkaitan dengan pemahaman metodologi secara teoritis, kemampuan mengidentifikasi masalah, dan ketajaman interpretasi atau berimajinasi/proses berpikir yang banyak dipengaruhi oleh keluasan wawasan yang diperoleh dari hasil membaca dan berdiskusi. Mendiskusikan hasil latihan observasi dan wawancara menjadi sangat penting agar mahasiswa bersikap terbuka, mengakui kekurangan-kekurangannya, menerima saran dan kritik dari dosen, dan rekan-rekan sejawat. Pada perinsipnya mata kuliah ini juga melatih keterbukaan dan belajar menumbuhkan sikap objektif. Hal tersebut dijadikan Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 3 pertimbangan baku dalam proses penilaian pada tugas/ujian harian, ujian tengah semester, dan ujian akhir semester. Untuk itu, disarankan pada awal perkuliahan agar mahasiswa betul-betul memperhatikan setiap komponen mata kuliah metode penelitian III (studi lapangan). Manfaat. Mata kulaih metode peleitian III (studi lapangan atau field work) bermanfaat untuk membentuk sikap ilmiah mahasiswa. Apabila sikap ilmiah sudah terbentuk, maka akan lebih memungkinkan menghasil tenaga peneliti yang handal di bidang seni. Seperti diketahui penelitian bidang seni menyangkut bidang-bidang yang sangat kompleks alias tidak pernah bersifat sederhana, terutama yang berkenaan dengan isi atau konten yang berkaitan probelma sosial, budaya, agama atau kepercayaan, politik/ideologi, dan ekonomi. Oleh karena itu, peneliti seni petunjukan yang berada pada ranah tradisi setidaknya harus memiliki wawasan tersebut jika ingin menjadi peneliti yang baik. Mahasiswa harus mulai sadar, bahwa bidang seni pertunjukan tidak melulu menyangkut hal-hal yang ada kaitannya dengan persoalan praktik berkesenian atau yang berkaitan dengan tenik penyajian seni untuk meraih daya-daya estetik belaka. Aspek estetik merupakan orientasi utama seniman dalam menciptakan karya seninya. Aspek estetik juga merupakan ranah kajian tersendiri. Di balik itu, tersembunyi banyak hal; tentang kekuasaan politik, ideologi, keagamaan, budaya, dan sebagainya yang harus juga diungkap dalam suatu penelitian. Oleh karena itu, wawasan budaya, baik mikro dan makro dibutuhkan. Metodologi merupakan tatacara untuk memperoleh data. Dengan cara demikian kompleksitas kandungan isi suatu seni dapat diungkap. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 4 Deskripsi Mata Kuliah Definisi penelitian jumlahnya cukup banyak. Apabila harus merujuk definisi yang pasti, rumusan Denzin dan Lincoln (1994) kiranya cukup representatif untuk digunakan. Kedua penulis tersebut memberi batasan penelitian kualitatif sebagai kajian yang multimethod in focuse, involving an interpretive, naturalistic approach to its subject matter. Ditambahkan pula bahwa qualitative researchers study thing in their natural settings, attempting to make a sense of or interpret, phenomena in term of meanings people bring to them. Rumusan lain yang juga perlu dipertimbangan adalah rumusan McMillan & Schumacher (2001:395) yang menyebut penelitian kualitatif sebagai inquiry in which reseachers collect data in fase to fase situations by interacting with selected person in their settings (field research). Mengingat lenturnya dua rumusan tersebut, mungkin lebih mudah memahami penelitian kualitatif dengan menempatkannya secara diametral sebagai pembanding terhadap penelitian kuantitatif. Di bandingkan dengan penelitian kuantitatif, penelitian kualitatif memiliki karakteristik sebagai berikut. 1. Data penelitian diperoleh secara langsung dari lapangan, dan bukan dari laboratorium atau penelitian yang terkontrol. 2. Penggalian data dilakukan secara alamiah, melakukan kunjungan pada situasi-situasi alamiah subjek. 3. Untuk memperoleh makna baru dalam bentuk kategori-kategori jawaban, periset wajib mengembangakan situasi dialogis sebagai situasi alamiah. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 5 Pemahaman melalui perbandingan tetap mengundang kerancuan yang bisa mengaburkan pengertian penelitian kualittatif. Istilah ‘alamiah’ (naturalis) misalnya, memunculkan pertanyaan; apakah kajian kuantitatif tidak memiliki peluang untuk dilakukan dalam situasi alamiah? Tujuan Intruksional Khusus TIK 1 dan 2 setelah mengiukuti kuliah ini penelitian mahasiwa dapat menjelaskan paradigama: kedudukan dan fungsi dalam proses penelitian TIK 3 setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjalaskan perbedaan paradigma dan pandangan dunia TIK 4 setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan elemen-elemen pandangan dunia. TIK 5 setelah melakukan observasi mahasiswa dapat menjelaskan karakteristik fenomena yang diamatinya. TIK 6 setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan paradigma pengetahuan dan sosial TIK 7 dan 8 setelah mengiktui kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan paradigma dan ideologi TIK 9 dan 10 setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan karakteristik pendekatan kulitatif TIK 12 TIK 13 Setelah melakukan pengamatan dan wawancara tahap kedua mahasiswa lebih baik pemahamannya tentang gejala yang diamati. setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan pengertian dan teknik overasional pengamatan TIK 14 mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan teknik wawancara. TIK 15 setelah melakukan pengamatan dan wawancara mahasiswa dapat memperbaikan teknik pengumpulan data setelah TIK 16 setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa dapat menjelaska reliabilitas, validitas data kulitatif, teknik analisa data studi kualitatif, dan penyusunan laporan peneltian. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 6 BAB II . PARADIGMA PENELITIAN TIK 1 setelah mengiukuti kuliah ini penelitian mahasiwa dapat menjelaskan paradigama: kedudukan dan fungsi dalam proses penelitian Cara bijaksana untuk mengantisipasi kerancuan yang timbul dalam upaya memahami penelitian kualitatif adalah dengan mendudukkan penelitian kualitatif sebagai bagian integral dari bangunan paradigma keilmuan. Paradigma merupakan seperangkat ‘proposisi’ (pernyataan) yang menerangkan tentang persepsi dunia dan kehidupan secara umum (Poerwandari, 1994:14). Pengertian paradigma bisa disetarakan dengan perspektif atau sudut pAndang, selain juga dimaknai sebagai ideologi dan praktik suatu komunitas ilmuwan penganut suatu pandangan yang sama atas realitas, memiliki seperangkat kriteria yang sama untuk menilai aktivitas penelitian, dan menggunakan metode serupa (Mulyana, 2003:9). Pengertian lainnya dikemukakan oleh Erving Goffman yang menyebut paradigma sebagai kerangka (frame), yakni intepretive scheme that people use to simplify and make sense of some aspect of the world. Secara umum dalam ilmu sosial (termasuk juga dalam ilmu humniora) terdapat dua paradigma, yakni paradigma positivistik dan interpretif (Poerwandari, 1994:13). Dua paradigma ini memiliki asumsi dasar berlainan yang implikasinya ditemukan dalam cara kerja dan cara membaca fenomena yang dihadapi. Dalam kajian keilmuan dan penelitian, paradigma positivistik diyakini melahirkan pendekatan kuantitatif, sedangkan paradigma interpretif melahirkan pendekatan kualitatif. Pada Tabel 2.1 disajikan perbedaan perspektif dari kedua Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 7 paradigma tersebut dan ditambah satu paradigma yang lain, yaitu paradigma kritis. Tabel 2.1 Perspektif dalam Ilmu-Ilmu Sosial KRITERIA POSITIVISME * Objektif R E A L I T A S M A N U S I A INTERPRETIF * Subjektif * Dipersepsikan melalui * Diciptakan, bukan indra. ditemukan * Dipersepsikan seragam * Diinterpretasikan * Diatur hukum-hukum universal. * Terintegrasi dengan baik demi kebaikan semua. * Individu rasional * Mengikuti hukum di luar diri * Tdk memiliki kebebasan kehendak * Didasarkan pada hukum dan prosedur ketat * Pencipta dunia * Memberi arti pada dunia * Tdk dibatasi hukum diluar diri * Menciptakan rangkaian makna * Didasarkan pengetahuan sehari-hari. KRITIS * Berada di antara subjektivitas dan objektifitas * Merupakan satu hal yang kompleks * Diciptakan manusia, bukan ada dengan sendirinya * Berada dalam ketegangan, penuh kontradiksi * Didasarkan pada mekanisme operasi dan eksploitasi terhadap pihak yang lemah * Dinamis pencipta nasib * Menglami brain-washing, diarahkan secara tdk tepat, dikondisikan * Dihalangi dari realisasi potensinya secara penuh. * Di antara positivisme dan interpretif, kondisi-kondisi sosial membentuk kehidupan I tetapi hal tersebut dpt diubah. * Deduktif * Induktif . * Membebaskan dan L memampukan. * Nomotetik (didasarkan * Ideografis. * Mendasarkan diri pada upaya hukum2 umum). pemampuan.. M * Didasarkan pada * Didasarkan * Menjelaskan dinamikaimpresi indera. intepretasi dinamika sistem yang tercipta. U * Bebas nilai. * Tdk bebas nilai.. * Tidak bebas nilai. * Menjelaskan fakta, * Menginterpretasika * Mengungkap yang di balik TUJUAN penyebab, dan efek. n dunia. permukaan PENELITI * Meramalkan. * Memahami * Mengungkap mitos dan ilusi AN kehidupan sosial * Menekankan terbukanya * Menekankan fakta * Menekankan keyakinan keliru (objektif, di luar). makna. * Menekankan * Menekankan * Menekankan pembebasan, peramalan. pemahaman. pemampuan. Sumber: E. Kristi Purwandari. 1994. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. LPSP3, Fak. Psikologi, Universitas Indonesia. Jakarta, hlm.19-21. Adaptasi oleh Dr. Agus Salim, MS. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 8 Apabila dicermati perbedaan itu, lebih mudah mendudukkan studi kualitatif sebagai paradigma daripada sebagai teknik belaka, karena paradigmalah yang menentukan secara detil teknik-teknik suatu kajian dalam penelitian. Dengan demikian, ketepatan dan konsistensi ‘paradigma-teknik-logika’ menjadi penting. Bisa saja suatu laporan studi ‘bergaya kualitatif’, meskipun semangat dan logika yang dibangun bersifat kuantitatif. Pemikiran semacam ini secara eksplisit ditegaskan dalam ‘metode penelitian sosial’ dengan pendekatan kualitatif sebagai paradigma yang memiliki pola berpikir dan logika kuantifikasi. Akibatnya, paradigma penelitian kualitatif memuat sejumlah pikiran, catatan, dan angkaangka yang bersifat kuantitatif-statistis. Sejalan dengan itu, Mochtar Buchori (1982), mempertajam dua pendekatan penelitian, kuantitatif dan kualitatif, sebagai per-sambungan. Dalam praktik penelitian, dua pendekatan itu dapat digunakan berselang-seling sehingga berbentuk spiral bersambung, tergantung logika yang digunakan. Hubungan antara paradigma dan tindakan penelitian bersifat langsung, yakni mencakup pemberlakuan cara-cara berpikir dan pengembangan konsep tindakan penelitian. Untuk itu, lihat gambar 2.1. Gambar 2.1 Alur Hubungan Paradigma dan Tindakan Penelitian Perspektif Kerangka konseptual Perangkat asumsi Perangkat nilai Perangkat gagasan Mempengaruhi Persepsi Mempengaruhi Tindakan Sumber: Deddy Mulyana, 2003. Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya. Rosda Karya, Bandung. hlm. 8-12. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 9 Agar tidak terjebak pada pemahaman yang bersifat tunggal (sempit) dengan paradigma, perlu kiranya diketahui pengertian, ruang lingkup atau kaitannya dengan hal lain, dan fungsi paradigma yang berkembang di dunia ilmu. Berikut ini disertakan beberapa dimensi mengenai hal tersebut 1.1 Paradigma dan Pandangan Dunia. TIK 2 setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjalaskan perbedaan paradigma dan pandangan dunia. Proses pembentukan paradigma berlangsung secara evolusioner. Di dalamnya, substansi ilmu (subject matter) berada pada tahap ‘stigmatized’ dan tahap ‘pre-paradigmatic’ (Parijs, Philippe Van, 1981:xi-xv) dalam Salim, 2006:95-95). Tahap ‘stigmatized’ menAndai penerapan praktis ilmu pengetahuan di dalam masyarakat, sedangkan tahap ‘pre-paradigmatic’ memandang makna sebagai ‘stAndard way of doing things’. Keduanya menjadi pengenal utama sebelum ilmuwan memasuki suatu komunitas yang sangat pekat dengan berbagai persyaratan dan tata kerja ilmu pengetahuan. Proses ini menempatkan percaturan paradigma sebagai unsur penentu yang akan mengarahkan dan menjadi kiblat berpikir bagi ilmuwan atau komunitasnya. Konsekuensinya, pembentukan paradigma pun dilakukan dalam tahap-tahap berpikir tertentu yang secara sadar mengarahkan ‘artikulasi’ masyarakat secara evolusioner. Namun demikian ada pula yang memandang pembentukan paradigma berlangsung secara revolusioner. Kelompok revolusioner menempatkan teori kritis (Marxis) sebagai penggerak utama. Mereka melihat ilmu pengetahuan sebagai ‘nilai’ (value) yang bisa diterima sebagai kebenaran, atau sebaliknya. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 10 Kelompok ini melihat bahwa pembentukan paradigma ilmu membutuhkan sikap searah, tegas, dan penuh resiko. Pergantian paradigma adalah proses ‘alih keyakinan’, semacam religious conversion yang berpengaruh terhadap institusiinstitusi masyarakat, baik kekuatan politik, ekonomi, sosial, dan budaya (Salim, 2006: 96). Paradigma adalah metafisika sistem berpikir yang berbasis pada ontologi, epistemologi, dan metodologi. Paradigma memuat berbagai pandangan yang membedakan, memperjelas, dan mempertajam orientasi berpikir seseorang. Dengan demikian, paradigma membawa konsekuensi praktis bagi perilaku, cara berpikir, interpretasi, dan kebijakan dalam pemelihan masalah (Salim, 2006:9697). Namun demikian, paradigma ada kalanya perlu dipahami secara berbeda dengan teori dan pandangan dunia. Teori memang bukan pandangan dunia, tetapi di antara keduanya memiliki titik singgung. Meskipun teori dinyatakan bebas nilai, pada kenyataannya ia juga merupakan repfleksi dari pandangan dunia tertentu, dalam hal ini pandangan dunia yang berakar dari tradisi positivisme. Peneliti perlu mencari teori karena teori memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut. 1. Sebagai identifikasi menampilkan awal kesenjangan, dari masalah bagian-bagian penelitian yang dengan lemah, dan ketidaksesuaian dengan penelitian-penelitian terdahulu. Fungsi ini memberikan suatu perangkat konseptual dan memberikan alasan perlunya penyelidikan. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 11 2. Untuk mngumpulak semua konstruk atau konsep yang berkaitan dengan penelitian. Melalui teori kita dapat membuat pertanyaanpertanyaan yang terinci sebagai pokok masalah penelitian. 3. Untuk menampilkan hubungan antara variabel-variabel yang telah diselidiki. Melalui proses ini peneliti dapat membandingkan topik penelitian dengan penemuan-penemuan terdahulu. Oleh kerna itu, penemuan-penemuan tersebut mempunyai fungsi menjelaskan gejalagejala. Di dalam kasus ini, topik sekripsi, tesis, atau desertasi merupakan inti dari gejala. Mari kita mengambil “kreativitas” sebagai topik. Tentan saja di dalam pencarian teori, kita menjelaskan kreativitas melalui kepustakaan,baik yang merupakan kepustakaan konseptual maupun yang berkaitan dengan kepustakaaan peneltian yang menampilkan pembahasan tentang perbedaan pandangan atas pengertian kreativitas, dan tentang proses yang mempengaruhi kreativitas, dan tentang hubungan dengan tingkat umur, jenis kelamin, pencapain prestasi, pemikiran yang mendalam, kemampuan mental, kepribadian, pemecahan masalah, konsep pribadi (self consept), status sosial ekonomi, dan komposisi penulisannya. Proses ini menempatkan kreativitas pada kedudukan yang sebenarnya di tengahtengah teori yang mengarahkan peneliti untuk mengidentifikasi variabel atau variabel-variabel yang tidak konsisten. Sekarang peneliti dapat menyelidiki variabel-variabel lain yang berkaitan dengan kreativitas (Sevilla, 1993:30-31). Di sini perlu dipahami seputar pandangan dunia, yang menyangkut konsep, elemen, dan perbedaannya dari paradigma berpikir (Maliki, 2004: 7). Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 12 Pandangan dunia, menurut Marvin E. Olsen, Dora G. Lodwick, dan Riley E. Dunlap (dalam Maliki, 2004: 8), dilihat dari segi isi memuat semua hal dan dari segi pengikut bersifat menyebar. Dalam catatan yang berjudul Viewing the World Ecologically, Olsen dan kawan-kawan menulis, bahwa dalam budaya masyarakat, pandangan dunia yang dominan biasanya merupakan bagian dari totalitas kehidupan manusia serta menyangkut seluruh aspek kehidupan. Gambaran tentang segala sesuatu dimunculkan dari persepsi yang diperoleh dari pandangan terhadap dunia sekitar. Pandangan dunia yang dominan pada umumnya dimiliki dan dijadikan pegangan oleh hampir seluruh anggota masyarakat, maka biasanya pandangan dunia itu menjadi lAndasan masyarakat mendefinisikan realitas sosial. Pandangan dunia yang dimaksudkan oleh olsen dan kawan-kawan ialah “teropong mental”, atau peta kognisi dan persepsi yang senantiasa dipakai untuk merumuskan cara hidup di tengah kehidupan masyarakat. Menurut Olsen, pandangan dunia yang berlaku di masyarakat bukan fenomena tunggal. Pandangan dunia tidak hadir sendirian, melainkan diiringi oleh berbagai pandangan dunia lain, atau pandangan dunia alternatif. Misalnya, pandangan dunia masyarakat industrial di kalangan masyarakat Barat modern. Pandangan industrial itu pada waktu yang bersamaan disertai dengan muncul satu atau beberapa alternatif pandangan dunia, seperti Pandangan Dunia Post-Industrial. Pandangan dunia alternatif biasanya tidak dimiliki oleh mayoritas anggota masyarakat, meskipun para pengikut biasanya beranggapan, bahwa pandangannya itulah yang seharusnya berlaku. Kendaki demikian, pandangan alternatif itu bagaimanapun juga bermaksud untuk menyentuh seluruh kehidupan manusia. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 13 Hanya masalahnya, seberapa jauh manusia dapat mengaktualisasikan pandangan dunia ke tengah kehidupan di mana ia hidup. Faktor obyektif, yaitu faktor struktural maupun kultural yang harus diperhitungkan. Demikian pula masalah yang subyektif juga harus mendapatkan perhatian dalam proses transaksi yang dilakukan oleh setiap individu. Dalam hal ini, Olsen dan kawan-kawan (dalam Maliki, 2004:9) menemukan realitas yang pada umumnya orang suka menunjukkan dan beranggapan, bahwa mereka menjaga konsistensi antara tindakan dengan pandangan dunia yang dimilikinya, yang relatif utuh dan terjaga. Berbagai peristiwa yang mereka hadapi, diantisipasi dan direspon berdasarkan cara-cara yang dinilainya sejalan dengan pandangan dunia yang mereka miliki, walaupun kenyataannya sering tidak menggambarkan konsistensi itu. Sekedar contoh, seorang pemimpin politik berpandangan, bahwa memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan publik merupakan sebuah keharusan, tetapi ternyata tidak sedikit pemimpin bertindak tidak jujur. Mereka tidak sepenuhnya memperhatikan kepentingan publik, kendati demikian mereka tidak mau dikatakan mengabaikannya. Mereka memilih berkilah dengan mengatakan itulah yang bisa dia lakukan yang terbaik dalam situasi yang ada. Dengan demikian, mereka berusaha mencitrakan diri sebagai seorang yang senantiasa konsisten dengan pandangan dunianya, dan menolak dinyatakan menyimpang dari keyakinan pribadi maupun keyakinan kolektif. Dengan begitu, tentu saja mereka akan menolak dikatakan sebagai pemimpin politik yang telah bertindak atas dasar kepentingan mereka sendiri. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 14 Dikalangan para seniman kesenian tradisi tertentu yang berpandangan sempit adakalanya enggan melakukan perubahan bentuk ekspresinya. Alasannya, bahwa mereka khawatir kena kutuk para leluhur atau hal-hal lain yang dianggap tidak patut, padahal pada setiap generasi, sengaja atau tidak, besar atau kecil, dan disadari atau tidak seringkali kesenian tradisi leluhur yang mereka warisi dipertunjukkan secara berbeda, namun tidak diakui sebagai hal yang sudah berubah. Merekapun menolak dinilai telah berubah, apalagi dikatakan meninggalkan tradisi leluhur mereka. Sikap para pewaris kesenian tradisi seperti itu menunjukkan adanya kontradiksi di antara pandangan dunia yang mereka anut dengan realitas kehidupan yang mereka jalani. Sikap yang berupaya melanggengkan staus quo tersebut biasanya dibiarkan saja sampai mereka benar-benar tahu dan sadar bahwa peradaban dunia disekitar mereka hidup telah berubah. Ketika tindakan seorang pemimpin politik yang menyimpang dari pandangan dunianya, bisa saja diabaikan dan di “excuse”, tanpa terlalu mempersoalkan akibat dari tindakan itu. Hal seperti itu bisa saja terjadi kalau aktor politik itu dapat mengalihkan model pemahaman peristiwa dengan membangun argumen, misalnya apa yang mereka lakukan itu sebagai sesuatu yang secara fungsional memang diperlukan. Dengan kata lain, “kebohongan umum” boleh dan perlu dilakukan untuk kepentingan “keamanan nasional”. Jadi, pandangan dunia seseorang bisa saja dan sering mengandung sejumlah kontradiksi (Maliki, 2004:10). Kontradiksi dalam praktik sering dijumpai, misalnya ketika kita banyak menyaksikan orang yang mencoba melawan perubahan dengan keras, tetapi Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 15 ditengah situasi semacam itu ternyata banyak individu, disadari atau tidak, sesungguhnya sedang mengubah pandangan mereka dari pandangan dunia yang satu kepada pandangan dunia yang lain. Sebagai implikasi dari istilah “berubah”, biasanya menyangkut perubahan total dari cara seseorang memandang dunia (Maliki, 2004:10). Sama halnya dengan pandangan dunia yang dominan yang berlaku dalam suatu budaya masyarakat, bisa saja terjadi dalam perjalanan waktu tertentu, mengalami perubahan drastis, sehingga memunculkan pandangan dunia yang baru sama sekali tentang sebuah realitas. Kalau hal itu terjadi, maka perubahan pandangan dunia tersebut akan segera berpengaruh cepat terhadap seluruh kehidupan sosial dan perubahan budaya maupun struktur sosial masyarakat secara keseluruhan (Maliki, 2004:10). 1.2 Elemen Pandangan Dunia TIK 3 setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan elemen elemen pandangan dunia. Seperti telah dikemukakan,pandangan dunia terdiri atas keyakiannkeyakinan atau sistem keyakinan serta nilai-nilai sosial yang terkait dengan sistem sosial yang ada. Atas dasar pemikiran itu, olsen dan kawan-kawan (maliki, 2004:10-11) berargumentasi bahwa pandangan dunia yang komprehenship biasanya menyangkut elemen-elemen yang amat kompleks dan luas. Dengan demikian, untuk memahami pandangan dunia secara tak terelekkan harus dimulai dengan mempelajari keyakinan-keyakinan atau sistem keyakinan serta nilai-nilai sosial tersebut. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 16 Keyakian dimata Olsen dan kawan-kawan (maliki, 2004:11) adalah gagasan spesifik mengenai berbagai aspek kehidupan yang diyakini sebagai sebuah kebenaran oleh pemiliknya, tanpa memperdulikan munculnya berbagai fakta yang menyimpang dari apa yang diyakini tersebut. Satu contoh misalnya, ada orang yang pada saat ini masih percaya bahwa dunia ini datar, meskipun telah ada foto yang diambil dari udara yang menunjukkan bumi ini bulat. Sebuah survei yang dilakukan tahun 1988 di Amerika Serikat menemukan data bahwa sepertiga mahasiswa percaya bawa hantu itu ada, dan dua perlima di antara mereka yakin bahwa ia bisa berkomunikasi dengan orang-orang yang telah mati (Eve, 1988). Dalam fenomena sosial, terdapat keyakinan seputar pengelompokkan orang, semacam munculnya pandangan bahwa orang kulit hitam adalah imferior secara mental terhadap orang-orang kulit putih, atau bahwa setiap orang miskin harus bertanggung jawab secara pribadi sebagai akibat dari sikap malas mereka. Keyakinan bahwa pandangan dunia tentang masyarakat industri, secara teknologis cepat atau lambat akan menemukan jalan keluar dari krisi ekonomi maupun sosial. Keyakinan yang dominan dari pandangan Post-industri adalah bahwa seluruh kehidupan, termasuk kehidupan manusia, merupakan bagian tak terpisahkan dari ekosistem dunia dan bentuk kehidupan itu muncul tiada lain sebagai produk dan hukum alamiah dari sistem dunia itu sendiri (Maliki, 2004:11). Sistem keyakinan merupakan dasar-dasar inter-relasi keyakian dari berbagai keyakinan yang berkaitan dengan kondisi sosial atau tipe aktivitas yang beraneka ragam. Dengan demikian, sistem keyakinan bersifat kompleks Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 17 dibandingkan dengan keyakinan spesifik yang ada di dalamnya. Keyakinan spesifik yang menjadi bagian dari sistem keyakinan cenderung berbentuk kurang lebih merupakan kesatuan dari keseluruhan (more-or-less integrated whole), meskipun keyakinan tersebut bisa saja memperhatikan banyak inkonsistensi secara internal. Sistem keyakinan yang sangat populer sejak awal abad ini, yakni Darwinisme Sosial, meyakini bahwa kehidupan sosial merupakan perjuangan dan dominasi terus-menerus, ditandai dengan persingan tanpa ujung. Mereka yang paling siap dan bekerja keras akan berhasil dalam persaingan itu, sedangkan mereka yang terkalahkan adalah mereka yang secara umum memang tidak siap dan atau inferior. Sebagai konsekuensinya adalah bahwa ketidakadilan sosial ekonomi di samping merupakan sesuatu yang bersifat alamiah, juga merupakan sesuatu yang dibenarkan, sementara itu upaya-upaya merduksi ketidakadilan melalui program publik tidak akan mengubah apa-apa dan bahkan cenderung akan gagal (Maliki, 2004:12). Sistem keyakinan yang tak kalah tua, dan selama ini menimbulkan kontroversi, adalah Creationisme. Didasarkan kepada penafsiran Bible, sistem keyakinan itu menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang ada seperti sekarang ini sejak 10.000 ribu tahun, sehingga teori yang menyatakan evolusi biologi tentang homo sapiens selama beberapa juta tahun, tidak benar. Manusia adalah sosok makhluk hidup yang unik, secara khusus dikehendaki oleh Sang Pencipta, dan memiliki mandat suci untuk mengatur seluruh bentuk kehidupan. Sistem keyakinan ini jelas bertolak belakang dengan Pandangan Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 18 Dunia Post-industrial yang menyatakan bahwa manusia tiada lain adalah bagian dari alam (dalam Maliki, 2004:12-13). Keyakinan spesifik adalah petak bangunan (building block) dari pandangan dunia, sedangkan sistem keyakinan menyediakan kerangka atau bingkai yang dibutuhkannya. Bagaimana pun, pandangan dunia yang menyeluruh lebih luas dan lebih mencakup daripada keyakinan-keyakinan partikular atau sistem keyakinan. Oleh karena keyakinan, seperti keyakinan adanya hantu atau keyakinan tentang penciptaan, terbatas dalam beberapa aspek kehidupan, maka pandangan dunia mencakup banyak bahkan seluruh kehidupan dunia. Pandangan dunia dengan demikian memuat keyakinan dan sistem keyakinan yang tak terhitung jumlahnya, yang beberapa di antaranya saling berkaitan satu sama lain, sementara yang lain tidak terkait atau bahkan bertentangan satu sama lain. Pandangan dunia di kalangan Islam misalnya, tidak hanya menyangkut sistem keyakinan mengenai asal-usul hak azasi manusia, tetapi juga menyangkut keyakinan-keyakinan dan sistem keyakinan mengani hubungan interpersonal, kehidupan keluarga, aktuivitas ekonomi, kehidupan politik, hak-hak azasi manusia, serta seluruh makna dan tujuan hidup (Maliki, 2004:13). Pada umumnya, setiap orang cenderung lebih menyadari akan keyakinankeyakinan serta sistem keyakinannya masing-masing dan di saat yang lain kadang-kadang memilih memodifikasi atau bahkan menolaknya. Sangat berbeda halnya dengan pandangan dunia kita, ia merupakan kerangka fundamental yang menyeluruh untuk menyerap dan menafsirkan kehidupan sosial secara taken for granted hampir sepanjang waktu (Maliki, 2004:13) Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 19 Hal yang terkait erat dengan keyakinan-keyakinan atau sistem keyakinan adalah nilai-nilai sosial, seperti soal baik atau buruk, sesuatu yang diinginkan atau ditolak dalam kehidupan sosial. Jika keyakinan atau sistem keyakinan merupakan pernyataan mengenai apa sesungguhnya yang dipikirkan (misalnya persediaan minyak itu terbatas), maka nilai sosial merupakan ekspresi bagaimana seharusnya kita memandang sesuatu (misalnya preskripsi yang menyatakan, bahwa sedapat mungkin harus digunakan sumber energi yang dapat diperbaharui). Keyakinan dan nilai-nilai biasanya sangat berkaitan erat satu sama lain. Umpamanya, kita harus percaya, bahwa keuntungan yang diterima seseorang dalam kehidupan ini, merupakan hasil kerja dan prestasi individual, maka kita sangat menghargai nilainilai persaingan dalam kerja dan pendapatan. Sebaliknya, jika percaya bahwa kemiskinan akibat dari meluasnya deskriminasi dan eksploitasi, maka tanpa raguragu kebijakan nilai-nilai sosial akan kita arahkan untuk menghapus praktikpraktik diskriminasi dan eksploitasi itu (Maliki, 2004:14). TIK 4 setelah melakukan observasi mahasiswa karakteristik fenomena yang diamatinya. dapat menjelaskan 1.3 Paradigma Pengetahuan dan Sosial TIK 5 setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan paradigma pengetahuan dan sosial Banyak tulisan yang muncul belakangan ini yang menyetarakan paradigma dengan pandangan dunia, meskipun sebenarnya kedua konsep tersebut tidaklah dapat disetarakan. Lebih dari itu, sangat penting memisahkan paradigma Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 20 pengetahuan maupun paradigma sosial. Konsep paradigma pertamakali diterapkan dalam karya ilmiah. Oleh karena itu, sangat relevan masalah ini dikaji terlebih dahulu dari konteks ilmiah sebelum memasuki penggunaan dalam kehidupan sosial (Maliki, 2004:14). Konsep paradigma pengetahuan dipopularisasikan oleh Thomas Khun (1970) dalam rangka menjelaskan cara-cara kerja dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Paradigma pengetahuan merupakan perspektuif intelektual yang dalam kondisi normal memberikan pedoman kerja terhadap ilmuwan yang membentuk “masyarakat ilmiah” dalam disiplin tertentu. Dengan istilah lain, Robert Winslow Friedrichs (1970:55), paradigma ilmiah diartikan sebagai “gambaran intelektual yang daripadanya dapat ditentukan suatu objek kajian” (dalam Maliki, 2004:15). Perspektif intelektual itu menentukan apa yang membentuk “ilmu pengetahuan normal” dalam komunitas ilmiah pada waktu tertentu dan mendasari hampir semua pembentukan teori serta penelitian yang dilakukan oleh praktisinya. Ia mencakup prediksi-prediksi eksplisit maupun implisit mengenai karakteristik fenomena yang dikaji, keyakinan yang berlaku dan teori-teori mengenai struktur dan fungsidari fenomena-fenomena tersebut, aturan formal maupun informal yang mempertimbangkan cara di mana fenomen-fenomena tersebut dikaji, serta merupakan stAndar evluasi ilmu pengetahuan. George Ritzer (1975:7) mengatakan: paradigma adalah gambaran fundamental mengenai subyek ilmu pengetahuan. Ia memberikan batasan mengenai apa yang harus dikaji, pertanyaan yang harus diajukan, bagaimana harus dijawab, dan aturanaturan yang harus diikuti dalam memahami jawaban yang diperoleh. Paradigma ialah unit konsesus yang amat luas dalam ilmu pengetahuan Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 21 dan dipakai untuk melakukan pemilahan masyarakat ilmu pengetahuan (sub masyarakat) yang satu dengan masyarakat pengetahuan yang lain. Tanpa paradigma pengetahuan untuk memandu, mengintegrasikan dan menafsirkan karya mereka, para ilmuwan hanya akan menciptakan informasi yang bersifat random. Dengan paradigma ilmiah itu, mereka akan dapat memformulasikan teori yang dapat mengorganisasikan pengetahuan dan memberikannya makna. Dalam pandangan Khun (1970:16-17) dirumuskan: tidak ada kehidupan semesta yang dapat diinterpretasikan tanpa sekurang-kurangnya beberapa bentuk teori dan keyakinan metodologik implisit yang berkaitan satu sama lain yang memungkinkan untuk melakukan seleksi, evaluasi dan bersikap kritis. Khun dan beberapa ahli sejarah pengetahuan memiliki keterbatasan dalam membahas paradigma ilmu pengetahuan. Meskipun demikian, konsep paradigma dapat diterapkan dalam banyak kehidupan yang lain. Khun memperoleh gagasan mengenai paradigma itu sendiri dari sejarah dan sastra yang kemudian diciptakannya untuk dunia ilmiah. Hal ini memperlihatkan bahwa pemikirannya dipengaruhi oleh keyakinan dan nilai-nilai non ilmiah (Maliki, 2004:16). 1.4 Paradigma Sosial Jika konsep paradigma dapat diterapkan dalam ranah ilmu pengetahuan, masuk akal untuk diandaikan bahwa paradigma juga dapat diterapkan untuk merintis jalan bagi mereka yang memikirkan berbagai aspek kehidupan sosial. Sejak tahun 1970-an, sejumlah ahli sosiologi melakukannya. Stephen Cotgrove (1982) mengontraskan “Paradigma Dominan” dengan “Paradigma Ekologi Alternatif” untuk membahas perubahan pandangan dunia. Riley Dunlap dan Kent Van Liere (1978,1983) membahas “paradigma lingkungan baru” yang ber- Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 22 kembang di kalangan environmentalisme kontemporer dan mengontraskan dengan “Paradigma Dominan”. Lester Milbrath (1984) membahas “paradigma perbedaan keyakinan dalam masyarakat modern” (dalam Maliki, 2004:17). Dalam kajian ini, digunakan konsep paradigma sosial dengan mengacu pada orientasi perseptual dan kognitif yang dipakai oleh masyarakat komunikatif untuk memahami dan menjelaskan aspek-aspek tertentu dalam kehidupan sosial. Paradigma sosial dengan demikian lebih terbatas dan tidak selalu diterima oleh seluruh anggota masyarakat. Sebutlah kalangan masyarakat tertentu ini dengan “masyarakat komunikatif” atau “masyarakat ilmiah” yang memakai paradigma ilmiah—mengindikasikan bahwa jelas nyata tumbuh berkembang pola-pola komunikasi di antara mereka untuk menciptakan paradigma sosial. Paradigma sosial hanya berlaku pada aspek-aspek tertentu dari kehidupan ini dan bukan aspek menyeluruh dari kehidupan sosial. Biasanya aspek-aspek itu adalah topiktopik yang dijadikan perhatian oleh masyarakat komunikatif sehingga kemudian topik itulah yang dijadikan sebagai objek (Maliki, 2004:17-18). Secara ringkas, paradigma sosial lebih terbatas dalam lingkup dan penerimaan dari pandangan dunia yang berlaku, sehingga budaya masyarakat lebih merupakan ranah di mana banyak paradigma sosial tumbuh berkembang lebih banyak dari pada pandangan dunia. Komposisi elemen paradigma sosial sama dengan komposisi pandangan dunia—baik dalam komponen dasar, keyakinan-keyakinan atau sistem keyakinan dan nilai-nilai yang terkait. Stephen Cotgrove (1982:6) menyatakan bahwa paradigma memberikan kerangka makna, sehingga pengalaman memiliki makna dan dapat dipahami. Namun demikian ia Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 23 bersifat normatif dan juga berdimensi kognitif, yang tidak hanya menunjukkan “apa”, akan tetapi juga “bagaimana seharusnya”. Paradigma sosial dengan demikian dapat diartikan sebagai “miniatur pandangan dunia” yang dilakukan oleh masyarakat komunikasi. Evaluasi 1. 2. 3. 4. 5. bagaimana cara mengantisipasi kerancuan dalam peleitian kualitatif? Apa istilah lain untuk peneltian kualitatif? Sebutkan karakteristik penelitian kualitatif? Apa perbedaan paradigma postivistik dan paradigma iterpretatif? Bagaimana kedudukan pewris seni tradisi dalam konteks pandangan dunia? 6. Bagaimana pandangan industri terhadap orang miskin? 7. Bagaimana pandangan post-industri tentang dunia? 8. Bagaimana pandngan Khun tetang pardigma pengetahuan? 9. Kapan paradigma sosial berlaku? 10. Bagaimana konsep pardigma sosial? Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 24 BAB III PARADIGMA DAN IDEOLOGI TIK 6 dan 7 setelah mengiktui kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan paradigma dan ideologi Konsep ideologi sering dipakai bergantian, baik dengan pandangan dunia maupun paradigma dalam pembahasan pengetahuan sosial, dan pengetahuan sehari-hari. Alasan prinsipil dari pencampuran konseptual semacam itu adalah bahwa ideologi selalu umncul dari pandangan dunia atau paradigma sosial. Sebuah ideologi adalah argumen yang mnucul dari pandangan dunia atau paradigma sosial yang digunakan sekelompok orang untk menjustifikasi tindakan mereka (Kinloch, 1981). Dengan kata lain, pandangan dunia maupun paradigma sosial—terutama yang disebut terakhir—dapat diubah menjadi ideologi oleh sekelompok orang dan dimanfaatkan untuk menjustifikasi berbagai tindakannya. Kecenderungan umum untuk mengubah paradigama sosial ke dalam ideologi digambarkan oleh Stephen Cotgrove (1982:88) sebagai berikut. Paradigma bukan hanya merupakan keyakinan tentang kata-kata yang diinginkan dan dimaksudkan menuntun tindakan, juga mempunyai legitimasi atau justifikasi terhadap sebab-sebab tindakan. Olej karena itu dikatakan, paradigma berfungsi sebagai ideologi. Dengan demikian, mereka yang menganggap paradigma akan menghadapi persoalan justifikasi terhadap dukungan tindakannya. Konflik atas apa yang dimunculkan paradigma yang digunakan mengarahkan danenjustifikasi tindakan adalah bagian dari proses politik. Perjuangan untuk membuat pardigma agar berlaku universal merupakan perjuangan kekuasaan. Alasan mengadopsi dan mempromosikan ideologi adalah untuk menjelaskan dan menjustifikasi serta melegitimasi tindakan maupun tujuan seseorang. Jika tindakan dan tujuan orang dapat dihubungkan dengan keberadaan pandangan Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 25 hidup atau paradigma sosial dengan menegaskan dan mempromosikan ide-idenya itu sebagai sebuah ideologi, maka tindakan-tindakan mereka itu akan lebih memungkinkan untuk bisa dipahami oleh orang lain dalam sebuah masyarakat (Maliki, 2004:20). Menyuarakan pesan ideologi adalah persoalan yang krusial. Jika hal itu dilakukan pada awal terjadinya gerakan sosial yang dimaksudkan untuk menggerakkan perubahan sosial, penyebaran ideologi itu akan sangat menentukan, karena hal ini memberikan dukungan yang menarik serta dapat menjustifikasi gerakan dimaksud. Sementara itu, ideologi acapkali juga dipakai secara meluas oleh elit yang mapa untuk menjelaskan dan melegitimasi penggunaan kekuasaan serta kontrol maupun status privilese mereka (Kinloch dalam Maliki, 2004:20). Sebagaimana dasar pandangan dunia dan paradigma sosial, ideologi terdiri atas keyakinan-keyakinan atau sistem keyakinan dan nilai-nilai. Namun ketika ide seperti itu diangkat sebagai sebuah ideologi, maka yang sangat mendasar adalah bagaimana merumuskan secara jelas dan dengan istilah yang sederhana, sehingga dapat dipahami dengan mudah oleh setiap orang. Rumusannya haruslah dipilihkan kata-kata yang dapat menumbuhkan pesan emosional yang kuat dan positif. Sebuah ideologi, juga seperti paradigma sosial, dilihat dari penganutnya yang terbatas di kalangan sekelompok masyarakat, meskipun proponen mereka lebih kecil dalam jumlah, tetapi lebih memiliki rasa keterikatan yang tinggi dibanding masyarakat komunikasi (Maliki, 2004:21). Hal itu menguatkan ikatan intern kelompok sosial yang oleh kelompok luar dilihat sebagai ikatan yang sangat solid, bersatu, guyub dan sebagainya. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 26 3.1 Karakteristik Ideologi Sebagaimana ditunjukkan implikasinya ketika pandangan dunia dan atau paradigma sosial ditransformasikan ke dalam ideologi, maka ia menunjukkan dua karakteristik. Pertama, ideologi diformulasi dan ditaati oleh penganutnya dimaksudkan untuk tujuan tertentu. Pandangan dunia industrial, misalnya, secara spontan akan menumbuhkan implikasi tumbuhnya masyarakat yang sangat terindustrialisasikan. Dalam konteks masyarakat yang dibingkai oleh pandangan dunia industri kemudian tumbuh secara gradual paradigma teknologi sosial. Pada saatnya kemudian, teknologi menjadi begitu sentral dalam masyarakat. Sementara itu, masyarakat industri tersebut akan disertai dengan munculnya ideologi kapitalisme pasar. Ideologi ini merupakan sebuah implikasi dari munculnya pandangan dunia dan paradigma sosial para teoritisi ekonomi Barat serta kalangan pemuka bisnis. Ideologi itu mereka gunakan untuk menjelaskan dan melegitimasi bentuk-bentuk sistem ekonomi industri tertentu (Maliki, 2004:21). Kedua, ideologi dipakai oleh proponennya untuk tujuan politik. Dalam memperjuangkan tujuan politik, mereka cenderung memakai ideologi, bukan pandangan dunia atau paradigma sosial. Berbeda dengan itu, ketika pandangan dunia atau paradigma diubah menjadi ideologi oleh sekelompok orang—elit dominan, pemimpin gerakan sosial, kelas sosial yang kuat, masya-rakat etnik atau sejumlah kelompok lainnya—mereka menggunakannya sebgai instrumen pendorong dan penguat kekuasaan, privilese, tindakan dan tujuan mereka. Singkat kata, ideologi selalu merupakan simbol senjata politik. Para teoritisi Marxian Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 27 suka menyatakan bahwa ideologi, dengan berbagai bentukn (ideologi agama, ideologi etik, ideologi peraturan perundangan, ideologi politik) selalu mengekspresikan posisi kelas (class positions) (Maliki, 2004:22). Meski demikian, Louis Althusser dalam tulisan Ideology and Ideological State Aparatusse (notes towards an Investigation), mengutip The German Ideology karya Karl Marx, menegaskan bahwa ideologi terbagi menjadi ideologi menyeluruh (ideoplogy in general) dan ideologi partikular, misalnya ideologi regional dan ideologi kelas. Ideologi dalam dimensi menyeluruh (ideology in general) tidak memiliki sejarah (ideology has no history), karena ia hanya sebuah impian yang dibangun oleh mereka yang memiliki kekuasaan. Di samping itu, ideologi tidak memiliki sejarahnya sendiri, karena murni ilusi, impian belaka, tidak lebih dari ide tanpa makna, kosong dan sebatas refleksi dari sejarah yang sesungguhnya. Implikasi atas pemahaman idologi dalam dimensi total seperti itu, hanya menumbuhkan ketidaksadaran (inconsciousness) masyarakat (Maliki, 2004:23). Karl Mannheim, tokoh yang banyak membahas ideologi pun mengidentifikasi dua tipa ideologi yang berbeda. Ideologi partikular diciptakan oleh sekelompok masyarakat tertentu yang menjustifikasi kepentingan dan perhatian mereka, sedangkan ideologi total mengekspresikan mode berpikir yang berlaku dalam masyarakat (Maliki, 2004:24). Dalam konteks ini, ideologi partikular biasanya muncul dari paradigma sosial spesifik, sednagkan ideologi total pada umumnya merupaka ekspresi dari pandangan dunia yang luas yang menuyebar di tengah-tengah kehidupan Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 28 masyarakat serta membentuk pemikiran seluruh warganya. Oleh karena itu, pemahaman tentang ideologi menjadi sangat kompleks (Maliki, 2004:24). Olsen dan kawan-kawan, misalnya kemudian lebih cenderung memakai konsep “ideologi” sebagaimana dalam pengertian yang sempit, persis seperti yang dimaksud Mannheim dengan istilah “ideologi partikular”, ideologi yang terkait dengan perjuangan kelompok masyarakat (bukan kelas) tertentu. 3.2 Fungsi Ideologi Mengapa orang menciptakan ideologi dari pandangan dunia dan paradigma sosial, serta mengklaim menjadi “kebenaran yang pasti”? Jawaban parsial mengenai pertanyaan ini ada pada fungsi yang menyatakan, bahwa ideologi dibentuk untuk kepentingan manusia. Tiga fungsi penting bagi individu memberikan makna, menyederhanakan kehidupan dan memberikan makna, menyederhanakan kehidupan dan menciptakan kepastian. Fungsi ini juga menjadikan pandangan dunia dan paradigma sosial berjalan meskipun tidak terlalu eksplisit dibanding ideologi (Maliki, 2004:24). Ideologi yang memadai akan memberikan kemudahan orang memberikan makna terhadap semua peristiwa sosial, aktivitas dan kecenderungan muncul secara “unintelligible”. Ideologi menempatkan mereka dalam rangka referensi yang membentuk konteks yang jelas dengan memberikan makna kepada konteks itu. Misalnya, jika kita cemas melihat begitu banyak konflik di kalangan bangsabangsa Timur Tengah saat ini, ideologi kita dapat menjelaskan bahwa semua peristiwa itu merupakan bagian dari perjuangan terus-menerus dalam rangka “pembebasan dunia ketiga” dari “imperialisme kapitalisme” (Maliki, 2004:24). Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 29 Ideologi yang memadai juga mentransformasi perbedaan yang kompleks dalam kehidupan sosial ke dalam tema penelusuran yang sederhana. Hal ini dimungkinkan dengan cara menawarkan rumusan abstrak dalam bentuk slogan atau frasa yang sederhana yang dapat diaplikasikan untuk memecahkan semua bentuk kesulitan dan situasi yang kompleks. Jika kita percaya bahwa komunisme adalah “kerajaan setan”, lalu bagaimanapun Uni Soviet—yang kini telah terpecahpecah—tampak sebagai sosok yang selalu mencoba menyebarkan totalitariansme ke seluruh dunia. Di sisi lain, kita percaya bahwa komunisme mencoba mereduksi ketidakadilan sosial ekonomi, sehinga beberapa tindakan Soviet saat itu menjadi nampak lebih masuk akal (Maliki, 2004:24). Dapat ditambahkan bahwa ideologi yang bagus memberikan kepada penganutnya kepastian absolut yang mereka—dan hanya mereka—tahu kebenarannya. Ideologi cenderung menjadi sangat intoleran terhadap semua caracara berfikir yang lain. Bagi para penganut setianya, dalam ideologi partikular, di dunia ini tidak hanya ada satu cara yang memungkinkan untuk melihat dunia; ideologi hanya merupakan kebenaran yang mungkin. Siapapun yang tidak menjadi bagian dari cara berpikir itu tidak bisa diberi pengertian, disalahpahami atau keluar dari realitas. Dalam perdebataan belakangan ini mengenai aborsi misalnya, para pendukung pandangan “hak untuk hidup”, yakin sepenuhnya bahwa aborsi merupakan perlawanan terhadap imperasi moral, bahwa kehidupan seluruh manusia adalah suci dan selalu dilindungi, sehingga ideologi para penganut “prochoice” secara moral jelas disalahpahami (Maliki, 2004:25). Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 30 Fungsi yang diperlihatkan ideologi—dan juga pangdangan dunia dan paradigma sosial pada umumnya, disebut oleh Pieter L. Berger dan Thomas Lukmann sebagai “konstruksi sosial mengenai realiotas”, yang juga ia sebut sebagai bentuik pengetahuan taken for granted di tengah masyarakat. Untuk itu Berger dan Luckmann menggambarkan sebagai berikut. Betapa pengetahuan taken for granted di tengah masyarakat bisa berkoeksistensi dengan pengetahuan, atau dalam tingkat tertentu memberikan kerangka berpikir di tengah-tengah banyak hal yang tidak diketahui menjadi diketahui di kemudian hari. Ada pengetahuan yang dipelajari dalam kaitan dengan sosialisasi dan yang memberikan mediasi bagi internalisasi dalam kesadaran individu mengenai struktur obyektif dunia sosial. Pengetahuan, dalam pengertian ini, berada dalam jantung dialektika masyarakat secara mendasar. Ia juga mengobyektivasikan dunia ini melalui bahasa dan aparatus kognisi didasarkan pada bahasa. Begitulah, pengetahuan mengatur pengetahuan menjadi sesuatu subyek yang bisa terpahami sebagai sebuah realitas (dalam Maliki, 2004:25-26). Dari uraian panjang lebar di atas, dapat ditarik benang merah yang menghubungkan antara teori, paradigma (paradigma pengetahuan maupun paradigma sosial), pandangan dunia (yang memuat keyakinan spesifik dan sistem keyakinan) serta ideologi (in general maupun particular). Masing-masing memiliki wilayah sendiri-sendiri, tetapi paradigma (terutama paradigma sosial) dan pandangan dunia bisa diubah menjadi ideologi. Ketika menjadi sebuah ideologi, paradigma sosial dan pandangan dunia, bukan hanya menjadi pengetahuan taken for granted, tetapi juga menjustifikasi dan melegitimasi tindakan. Di sisi lain, dalam tradisi Marxian, ideologi (yang bisa saja muncul dari paradigma sosial dan pandangan dunia) bisa mengalienasi aktor serta menumbuhkan kesadaran semu (false consciousness) di tengah masyarakat (maliki, 2004:26). Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 31 Teori (sosial) adalah relasi proposisi yang dibangun di dalam tradisi atau perspektif paradigmatik tertentu. Oleh karena itu, teori sosial juga bersinggungan langsung atau tidak langsung dengan pandangan dunia maupun ideologi tertentu. Dengan kata lain, teori (sosial) merupakan fungsi dari ideologi tertentu. Demikian pula sebaliknya, sehingga tidak ada teori yang bebas dari pandangan dunia, dan bebas dari ideologi. Dengan kata lain, tidak ada teori yang benar-benar bebas nilai (Maliki, 2004:26). Teori sosial merupakan instrumen yang sangat bermanfaat untuk membaca realitas kehidupan manusia dalam interaksinya dengan sesama. Dengan teori sosial, seseorang dapat menghimpun informasi yang lebih spesifik dan kemudian dapat memanfaatkannya—bukan saja untuk dapat membangun teori lebih lanjut, tetapi juga dapat digunakan untuk mendudukkanperjuangan dalam pergumulan hidup (survival of the fittest) yang memang kompleks dan penuh persingan ketat (maliki, 2004:27). Orang mengira bahwa teori sosial hanya menjadi monopoli para akademisi dan atau kalangan profesional. Teori sosial bisa saja dimanfaatkan oleh siapa saja, sehingga bagi mereka yang berhasil mengambil manfaatnya akan memperoleh berbagai kemudahan tertentu. Hampir semua orang, baik yang berada dalam kelas sosial tertentu, umur, gender, ras, etnis, budaya maupun agama, menyadari atau tidak, menjalankan prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh teori sosial, meskipun bisa jadi teori sosial itu tidak sepenuhnya disadari oleh pemakainya (Maliki,2004:27). Kesadaran teorits itu hanya dimiliki oleh para terpelajar pada tingkat tertentu, sedang orang awam tidak memiliki kesadaran itu. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 32 Teori sosial kontemporer berkembang pesat terutama sejak awal abad ke18. Namun sesesungguhnya harus dicatat pula, bahwa pada awal abad tengah, seorang putra Tunisia—Afrika Utara, bernama Abdul Rahman Ibnu Khaldun yang lahir 13 Mei 1332 dan meninggal pada 1406 telah memulai merintis ilmu sosial (Maliki, 2004:27). Ibnu Khaldun telah melahirkan karya besar yang mendasari pemikiran sosiologi kontemporer. Ia memiliki komitmen yang kuat terhadap kajian masyarakat yang mendasarkan kepada penelitian empirik serta mencari faktorfaktor penyebab munculnya berbagai fenomena sosial. Ia menaruh perhatian besar kepada persoalan kelembagaan atau institusi sosial dan inter-relasinya—baik dalam kelembagaan politik maupun ekonomi. Ia dikenal dengan tulisannya tentang perbandingan masyarakat primitif dan modern. Ibnu Khaldun dicatat sebagai pemikir yang produktif dan memberikan sumbangan yang bermakna bagi perkembangan teori sosial di kemudian hari (Maliki,2004:27). Sejak itulah masyarakat, pemikir, dan ilmuwan sosial mengenal tokohtokoh besar dengan berbagai proposisi, perspektif, dan paradigma pemikiran yang mereka gulirkan. Misalnya Aguste Comte yang terkenal dengan hukum “tiga tahap” yang memandang perkembangan kehidupan masyarakat ditandai dengan dominasi pengetahuan (positivistik), ilmu tentang kealaman. Setelah itu, muncul Herbert Spencer, seorang penganut positivistik yang ingin meletakkan posisi manusia sebagai individu yang lebih bermakna di tengah kehidupan sosial yang merangkak terus dan menuju pada tataran harmoni serta serba keteraturan (dalam Maliki, 2004:28). Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 33 Emile Durkheim mencoba meneruskan pemikiran linearitas. Ia percaya bahwa masyarakat yang hidup di dunia modern semakin kehilangan perekat moral dari pada masyarakat yang hidup sebelumnya. Oleh karena itu, Durkheim mengajak untuk mempedulikan nilai-nilai kolektif, dari mana masyarakat seharusnya membangun kehidupan yang kohesif (dalam Maliki, 2004:28). Sejarah perkembangan teori sosial memang begitu kompleks yang diwarnai dengan munculnya berbagai perspektif pemikiran yang beragam. Pemikiran Comte, Spencer, Durkheim, dan penganut lain memunculkan teori struktural fungsional. Dalam jangka waktu yang cukup lama gagasan ini memperoleh tempat yang sangat sentral dalam ilmu sosial. Tidak ada mahasiswa yang ingin mempelajari ilmu sosial tanpa membedah perspektif ini (Maliki, 2004:28). Sejalan dengan munculnya krisis Pasca Perng Dunia II dan dilanjutkan dengan krirsis Pasca Perang Dingin, perspektif struktural fungsional memperoleh berbagai sorotan tajam. Kredibilitasnya mengalami sorotan tajam—terutama dalam menjawab berbagai perkembangan yang menggambarkan berbagai ketegangan dalam masyarakat saat memasuki abad ke 21. Sorotan terutama diarahkan kepada corak perspektif struktural fungsional yang cenderung konservatif. Perspektif ini cenderung menekankan keseimbangan, cenderung mendukung status quo, homeostatika dan kurang peka terhadap terjadinya berbagai ketegangan, konflik, serta perubahan-perubahan yang cepat (Maliki, 2004:28-29). Gagasan dan berbagai ide Talcot Parson, tokoh besar teori fungsional ini, menjadi bahan sorotan. Tesisnya yang menyatakan bahwa masyarakat adalah sebuah sistem yang terintegrasi, tertata dalam strktur, memiliki fungsi yang rapi Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 34 dan harmoni, tidak mampu menjelaskan berbagai konflik dan ketegangan yang terjadi—justru di masa manusia berada dalam puncak perkembangan intelektualnya (Maliki, 2004:29). Namun demikian, perspektif struktural fungsional masih memiliki kontribusi tersendiri, sehingga banyak pemikir kontemporer, seperti Robert N. Bellah, Cliford Geertz dan seterusnya belum sepenuhnya meninggalkan sejumlah asumsi yang ditawarkan perspektif ini. Jeffrey Alexander, prihatin terhadap masa depan teori struktural fungsional lalu melihatnya secara kritis. Kritik Jeffrey ini lalu memunculkan “neo-fungsionalisme”. Benarkah kehidupan berjalan tertib dan kohesif? Dalam praktek memang ada tertib sosial dan kohesi. Kendati begitu, praktek juga tidak menutup kenyataan yang bertolak belakang. Begitulah teriak Karl Marx. Ia “menertawakan” mereka yang menyatakan dunia sedang mengarah ke tatanan yang harmoni dan tertib. Dunia, kata Marx, justru mengarah ke tatanan yang serba timpang, eksplosif, penuh dengan praktek penindasan terhadap kaum lemah, petani, dan kaum buruh. Penindasan serba eksploitasi itu dilakukan oleh kaum kapitalis (Maliki, 2004:29). Sampai di sini, dapat dibaca bahwa teori sosial terbelah-belah. Dalam satu paradigma bisa melahirkan beberapa perspektif teoritik. Dalam paradigma fakta sosial terdapat teori struktural fungsional yang kemudian memunculkan teori alternatif yang mengkritiknya, yaitu teori strktural konflik. Dalam teori struktural fungsional lebih di kedepankan “tertib” sosial. Di lain pihak, dalam teori struktural konflik dikedepankan “ketegangan” atau konflik sosial. Kehidupan sosial digambarkan penuh konflik akibat perbedaan kepentingan. Berbeda dengan tertib sosial, digambarkan kohesi, integrasi, stabilitas, kordinasi fungsional, dan Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 35 berbagai mekanisme konsensus. Sementara itu, di balik perspektif konflik diketengahkan koersi, perubahan, dan disintegrasi (Maliki, 2004:30). Kedua perspektif yang bertolak belakang itu, dapat digambarkan ke dua teori sosial, yaitu teori sosial keteraturan dan teori sosial konflik. Berikut ini tabel teori sosial keteraturan dan teori sosial konflik, Gambar 3.1 Dua Teori Sosial “keteraturan” dan “ Konflik Persektif Pengembangan Masyarakat Keteraturan atau Integritas Konflik atau Koersi Stabilitas Perubahan Integritas Konflik Kordinasi Fungsional Disintegrasi Konsesus Koersi Fokus Kajian Regulasi Perubahan Radikal Status Quo Perubahan Radikal Tertib Sosial Konflik Struktural Konsesus Mode Dominasi Integrasi dan Kohesi Sosial Kontradiksi Solidaritas Emasipasi Pemenuhan Kepuasan Deprivasi Aktualitas Potensialitas (Maliki, 2004:30) Perlu dicatat, bahwa perspektif keteraturan atau regulasi maupun konflik atau perubahan radikal memiliki varian yang begitu banyak. Varian itu terdapat terutama Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 36 dalam perspektif konflik, terasa begitu kaya dengan varian-varian pemikiran, baik yang perubahan radikal, maupun radikal humanis seperti yang dikembangkan oleh Habermas dari mazab Frankfurt. Habermas tidak hanya ingin mengalihkan perhatiannya kepada persoalan-persoalan makro, tetapi juga ke ranah mikro, bahkan tidak saja objektif, tetapi juga ke dalam dimensi subyektif, dengan memanfaatkan jasa dari kalangan psikoanalis yang dipelopori Sigmund Freud dan diteruskan oleh Carl Gustave Jung (Maliki, 2004:31). Di sisi lain, Weber datang dan memperkaya khasanah teori sosial melalui ranah berpikir berparadigma definisi sosial. Weber menawarkan gagasan-gagasan teoritik yang amat kaya. Di sini karya Weber dipersandingkan dengan para penganut perspektif struktural fungsional dan mereka yang berspektif kritis serta dari kalangan pemikir psikolog behavioristik. Mencernati ranah subyektif, Weber melihat dunia modern berada dalam ancaman sistem rasionalitas yang dikembangkan oleh begitu banyak aktor. Rasionalitas tindakan, baik yang instrumental maupun rasionalitas nilai, menjadi penjara besi (iron age) yang tidak menyediakan ruang lagi bagi manusia modern untuk menghindar (Maliki, 2004:31). Suara-suara untuk menempatkan individu sebagai subyek dan fokus perhatian seperti yang dilantunkan Weber ini sudah lama mencuat. George Simel menyatakan, bahwa perkembangan masyarakat, pertumbuhan kota merupakan refleksi dari karakteristik kepribadian orang perorang yang ada di dalamnya. Di sisi lain, George Herbert Mead menyatakan, bahwa pikiran manusia dan konsepkonsep tentang diri (the self) dibentuk oleh dunia sosial dan pengalamanpengalamannya. Penekanan tentang pentingnya konsep tentang diri (the self) me- Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 37 munculkan pandangan tentang idealisme subyektif yang ekstrim yang melahirkan perspektif “solipsisme” yang mengandaikan, bahwa tidak ada kehidupan di luar sensasi yang ditangkap oleh body and mind seseorang, dan biasanya dikaitkan dengan karya pendeta Irlandia, Bishop Berkeley (1685-1753). Lingkungan fisik atau kultural, pohon, gunung, sungai, bangunan dan lain-lain menjadi real dalam pikiran manusia. Obyek-obyek ini tidak memiliki eksistensi di luar persepsi ideal manusia (Maliki, 2004:32). Sampai di sini terasa bahwa teori sosial bergerak dari kutub ekstrim ke kutub ekstrim yang lain. Dari paradigma yang satu ke paradigma yang lain, baik dalam domain obyektif maupun subyektif, dalam realitas mikro maupun makro. Dari ketegangan domain makro dan mikro, Anthony Giddens hadir dengan teori strukrasi yang mencoba menengahi ketegangan itu agar yang makro dapat bersentuhan dengan yang mikro. Keduanya bukan merupakan “dualisme”, melainkan realitas yang harus digambarkan sebagai “dualitas”. Langkah-langkah Giddens itu diikuti oleh Bailey, Fararo, dan Hechter. Sementara itu Alexander, Collins, Smelser, dan juga Ritzermengembangkan teori baru. Ritzer menyodorkan konsep “meta-teoritik” dengan mencoba mendeskripsikan dimensi-dimensi makro-mikro dan subyektif-subyektif dalam satu bagan konseptual yang memadai. Langkah yang ditempuhnya paling tidak dapat membendung munculnya ekstrimitas teori sosial. George Ritzer (1996), membagi teori sosial ke dalam tiga jenis paradigma, yaitu: 1. paradigma fakta sosial, yang di dalamnya termasuk teori struktural fungsional dan struktural konflik; Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 38 2. paradigma definisi dosial, termasuk teori-teori konstruktivisme sosial, seperti interaksionisme simbolik, etnografi, dan etnometodologi; dan 3. paradigma perilaku sosial yang di dalam termasuk teori pertukaran (exchange theory) dan pilihan rasional (rational choices) (Maliki, 2004:32-33). Gibson Burrell dan Gareth Morgan memetakan teori sosial lebih terinci menjadi empat jenis paradigma, yakni: 1. paradigma radikal humanis, termasuk teori kritis (Critical theory), anarchistic individualism, dan eksistensialisme Perancis; 2. paradigma radikal strukturalis, termasuk teori Marxian Mediteranian Kontemporer, teori konflik, dan teori sosial Rus; 3. paradigma interpretive, termasuk teori fenomenologi, hermeneutics; 4. paradigma fungsionalis, termasuk di dalamnya teori-teori interaksionisme dan tindakan sosial, teori integratif, teori sistem sosial, dan teori obyektivisme. Dua paradigma pertama menekankan pada teori perubahan radikal, sedangkan dua pradigma terakhir menekankan kepada teori-teori sosial regulasi. Jika teori sosial Russian, teori sistem sosial, dan terutama teori obyektifisme berada di kutub obyektif, maka eksistensialisme Perancis, fenomenologi, dan terutama teori solipsisme menempati kutub lainnya, yakni dalam ranah subyektif. paradigma teori sosial tersebut dapat digambarkan sebagai berikut. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. Keempat 39 Gambar 3.2 Teori Sosial Perubahan Radikal Paradigma Humanisme Radikal Individualisme Anarchistik S U B Y E K T I F Eksistesialisme Perancis S O Teori L Kritik I P Fenomenologi Hermeneutik S I Sosiologi Fenomenologi S M E Paradigma Intretive Teori Sosial Regulasi Paradigma Strukturalisme Radikal Marxian Mediteranian Komtemporer Teori Sosial Teori Konflik Teori Integrati Teori Sistem Sosial Obyektivisme O B Y E K T I F Teori Interaksionisme Dan Tindakan Sosial Paradigma Fungsionalist (dalam Maliki, 2004:35) Sementara itu, teori-teori yang cenderung di tengah (midle range theor) yang berada dalam domain teori perubahan radikal antara lain teori kritis, individualisme anarchistik, dan Marxian Mediterianisme Kontemporer, sedangkan yang berada dalam domain teori sosial regulasi adalah teoru Hermeneutik, serta teori interaksionisme dan tindakan sosial. Selebihnya lihat bagan di atas. Evaluasi 1. Bagaimana ideologi muncul? 2. Apa alasan mengadopsi dan mempromosikan ideologi? 3. Bagaimana paradima sosial diubah menjadi ideologi menurut pandangan Stephen Cotgrove? 4. Mengapa teori sosial tidak bisa bebas dari pandangan dunia dan ideologi? 5. Apa manfaat teori sosial? 6. Bagaimana George Ritzer membagi teori sosial ke dalam paradigma? 7. Bagaimana Anthony Giddens menengahi ketegangan teori sosial mikro dan makro? 8. Jelaskan pandngan George Herbert Mead mengenai pikiran manusia dan pembentukan konsep-konsep tentang diri (the self)? Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 40 BAB IV PENDEKATAN KUALITATIF TIK 8 dan 9 Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat karakteristik pendekatan kualitatif menjelaskan Pendekatan kualitatif dimengerti sebagai lawan pendekatan kuantitatif yang didasarkan pada positivism. Asumsi dasar persepektif interpretif dan kritis tersebut dapat digunakan untuk menunjuk ciri-ciri atau karakteristik definitif studi kualitatif yang membedakannya dengan penelitian kuantitaif. Dari dua perspektif itu, dapat dikemukakan beberapa ciri pendekatan kualitatif. Data kualitatif yang lebih merupakan wajud kata-kata daripada deretan angka-angka, senantiasa menjadi bahan utama bagi ilmu-ilmu sosial tertentu, terutama dalam bidang antropologi, sejarah, dan ilmu politik. Data kualititatif sangat menarik. Data kualitatif merupakan sumber dari deskripsi yang luas dan berlandasan kokoh, serta memuat penjelasan tentang proses-proses yang terjadi dalam lingkup setempat. Dengan data kualitatif kita dapat mengikuti dan memahami alur peristiwa secara kronologis, menilai sebab-akibat dalam lingkup pikiran orangorang setempat, dan memperoleh penjelasan yang banyak dan bermanfaat. Data kualitatif lebih condong dapat membimbing peneliti untuk memperoleh penemuan-penemuan yang tak diduga sebelumnya dn untuk membentuk kerangka teroritis baru; data tersebut membantu para penelitiuntuk melangkah lebih jauh dari praduga dan kerangka kerja awal (Miles, 1992:2). Menurut Smith (dalam Miles dan A. Michael Huberman, 1992:2), penemuan-penemuan dari penelitian kualitatif mempunyai mutu “yang tidak dapat Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 41 disangkal”. Kata-kata, khususnya bilamana disusun ke dalam bentuk cerita atau peristiwa, mempunyai kesan yang lebih nyata, hidup, dan penuh makna, seringkali jauh lebih meyakinkan pembacanya, peneliti lainnya, pembuat kebijakan, praktisi, daripada halaman-halaman yang penuh dengan angka-angka. Tidak mengherankan semakin banyak peneliti yang tertarik pada pengumpulan data kualitatif. Para peneliti antropolog pun dengan tenang mengumandangkan pada peneliti di bidang lainnya yang sedang terlibat pada berbagai perputaran kegiatan penelitian (Wolcott, 1980), agar waspada terhadap lompatan yang mendesak ini. Tidak jarang terjadi “studi kasus” yang dangkal, namun perluasan penelitian kualitatif terus berlanjut dengan dorongn-dorongan yang cukup besar dari para ahli metodologi (misalnya, Snow 1974; Cronbach, 1975; Campbell, 1975; Cook dan Campbell, 1979), yang semula ‘keras kepala” pada pendekatan yang berorientasi kuantitatif pada permasalahan tentang generalisasi pengetahuan yang valid, selanjutnya beralih secara sungguh-sungguh menuju sikap mendukung pada penelitian kualitatif yang sarat dengan konteks itu. Tuntutan untuk meaksanakan pnelitian kualitatif yang tepat cukup besar. Mengumpulkandata kualitatif merupakan suatu pekerjaan yang itensif, biasanya memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Catatan-catatan lapangan sedemikian banyaknya, sehingga cenderung terjadi penumpukan data yang verlebihan. Mungkin dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menganalisisnya secara seksama. Untutan-tuntutan umum ini telah ditambah pula dengan hal-hal lainnya. Penelitian kualitatif bukan lagi semata-mata kawasan kerja peneliti lapangan yang bekerja sendirian membenankan diri dalam suatu Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 42 altar (setting) lokal, tetapi saat ini sering menjadi usaha-usaha “situs ganda, metode ganda” Smith dan Louis, (dalam Miles dan A. Michael Huberman, 1992:2), yaitu suatu gabungan penelitian kualitatif dan kuantitatif yang dilakukan oleh suatu tim peneliti dengan menggunakan metode pengumpulan data dan alisis yang diformalkan dan dikomparasikan (Herriott dan Firestone, 1983). Peneliti mendapatkan masalah-masalah riil dengan hasil penelitian kualitatif. Sekalipun penelitian melampui kasus tunggal yang biasanya sampai pada situs berganda (multiple site), namun bagian terbesar dari data tak memungkinkannya menentukan sebuah sampel dari begitu banyak kasus. Dengan demikian peneliti dihadapkan pada masalah serius tentang penarikan sampel. Apakah kasus-kasus teruji merupakan suatu sampel dari suatu cakupan yang luas? Dengan perkataan lain, apakah penelitian kualitatif mempu menggenerlisir penemuan-penemuan yang diperoleh? Kenyatan bahwa kata-kata seringkali memuat makna terselubung, dan lambang yang kabur, maka kemungkinan munculnya peneliti yang berpraduga tampaknya sangat besar, dan oleh karena itu seyogyanya peneliti memperhatikan replikabilitas dari analisis kualitatif. Pertanyaan yang paling dalam dan tidak jelas untk kajian-kajian kualitatif terletak pada permasalahan tersebut. Miles mengemukakan, bahwa Kesulitan yang paling utama dan serius dalam penggunaan data kualitatif adalah metode-metode analisisnya yang tidak dirumuskan dengan memadai. Bagi data kualitatif, memang terdapat kaidah-kaidah jelas yang digunakan oleh peneliti. Namun bagi penganalisis yang berhadapan dengan suatu bank data kualitatif, dan yang memiliki pedoman yang amat sedikit sebagai pelindung terhadap khayalan pribadi, membiarkan begitu saja muncaulan data yang tidak valid dan tak dapat dipercaya untuk sidang pembaca ilmiah dan para pembuat kebijakan. Bagaimana dapat yakin, bahwa suatu penemuan “berakar pada kenyataan”, “tak dapat Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 43 disangkal” memperoleh data yang tak diduga sebelumnya,” atau tidak, jika dalam kenyataannya terjadai hal yang salah? 4.1 Studi dalam Situasi Alamiah (naturalistic inquiry). Alih-alih memanipulasi setting penelitian, seorang peneliti kualitatif melakukan studi terhadap fenomena tertentu dalam situasi ‘apa adanya’. Fokus kajian bisa berupa orang, kelompok orang, interaksi yang berkembang, yang semua didudukkan dalam konteksnya yang alamiah. Ciri ini sama sekali berbeda dengan studi eksperimental yang memerlukan treatment group atau sejenisnya yang di dalamnya fokus penelitian dimanipulasi sedemikian rupa untuk memberi justifikasi terhadap hipotesis yang dibangun. 4.2 Analisis Deduktif versus Induktif Seorang periset kuantitatif bergerak dari konsep-konsep umum yang sebelumnya telah dipilih (adanya pengaruh Grand Theory dalam bentuk narasi besar), kemudian dengan prosedur tertentu memberlakukan konsep-konsep umum tersebut pada fokus kajiannya (dalam bentuk hipotesa penelitian). Dengan kata lain berangkat dari prinsip-prinsip umum menuju ke khusus. Cara berpikir ini sama dengan proses berpikir deduktif menuju proses berpikir induktif. Gambar 4.1 Pendekatan Deduktif Teori Hipotesis Konsep Data Teori dan Hipotasis Didukung atau ditolak Sebaliknya, para periset kualitatif tidak membatasi hanya mencari justifikasi atas praduga yang dibangun, tetapi lebih berorientasi pada pemahaman Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 44 situasi di lapangan. Sesudah diperoleh temuan awal yang disesuaikan dengan logika lapangan, periset kualitattif membangun finding dalam bentuk hipotesahipotesa empirik. Gambar 4.2 Pendekatan Induktif Data Uraian dan KonsepKonsep berdasarkan Data Lapangan Teori Menerangkan Data 4.3 Kontak Personal Langsung Selama ini kedekatan jarak antara peneliti dengan subjek studi dianggap sebagai pangkal bias atau tidak menciptakan kondisi obyektif. Namun sebaliknya, dalam penelitian kualitatif kedekatan dengan fokus studi justru menjadi kunci. Hanya dengan kedekatan semacam itu data yang diperlukan dapat diperoleh secara maksimal dan temuan studi dianggap benar, bahwa yang akan diperoleh dan dideskripsikan oleh periset merupakan kenyataan yang sesungguhnya berkembang, dan bukan rekaan atau asumsi awal yang dibangun periset tentang objek studi mereka. 4.4 Perspektif Holistik Holistik artinya menyeluruh. Penelitian kualitatif bergerak dari suatu asumsi, bahwa fenomena merupakan suatu jejaringan yang kompleks. Oleh karena itu, suatu totalitas dipandang lebih berharga dari pada penjumlahan bagianbagian yang menyusun fenomena tersebut. Perspektif holistik dapat dicapai melalui pendekatan multimethod yang terencana sesuai dengan sifat masingmasing informasi yang dibutuhkan periset. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 45 4.5 Perspektif Dinamis Gejala sosial dipandang sebagai gejala unik dan tidak statis dalam ruang dan waktu. Demikian pula gejala sosial tidak dipandang seragam antar waktu dan tempat yang berbeda. Selalu beragam. Gejala sosial adalah gejala yang kaya nuansa dan warna alami yang beragam yang harus didekati sesuai dengan komposisi masalah yang berbeda-beda. 4.6 Orientasi pada Kasus Unik. Apabila penelitian kuantitaif bersifat melebar, penelitian kualitatif bersifat ‘mendalam’. Periset kualitatif berupaya melakukan penelitian terhadap kasus-kasus kecil dan peneliti kualitatif mengkajinya secara tuntas. Tidak mengherankan apabila salah satu metode yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah studi kasus yang kemudian menjadi prasyarat sebelum metodemetode yang lain dan digunakan sebagai pelengkap. Penelitian kasus termasuk ke dalam salah satu jenis penelitian deskrptif. Sebelum membicarakan lebih lanjut tentang studi kasus perlu dijelaskan terlebih dahulu induknya, yaitu metode deskripsi. 4.7 Sifat Metode Deskriptif Metode deskriptif dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan nyata sekarang (sedang berlangsung). Tujuan utana metode ini adalah untuk menggambar sifat suatu keadaan yang sedang berlangsung dan memeriksa sebab-sebab segala sesuatu terjadi. Mendeskripsikan metode penelitan deskriptif sebagai kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan dalam keadaan yang sedang Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 46 berjalan. Itulah pokok penelitiannya. Penelitian deskriptif tdak memiliki kekuatan untuk mengontrol seluruh hal yang sedang berlangsung dan hanya dapat mengukru apa yang ada (Sevilla, 1992:71) 4.7.1. Cara Memperoleh Informasi Deskriktif Berikut ini diuraikan beberapa cara untuk memperoleh satu informasi deskriptif. a. metode yang paling digunakan, misal di dalam pengumpulan data yang mengenai sikap dan pendapat kelompok orang adalah dengan meminta mereka untuk memberikan informasi penting. Informasinya mungkin dapat diperoleh dengan wawancara pribadi atau melalui survei surat-menyurat. Data yang penelitian kumpulkan dapa informasi aktual atau hanya terdiri dari beberapa pendapat. Tipe penyelidikan ini dogolongkan sebagai daftar pertanyaan (questionnaire) atau peneliti daftar pendapat (opinionnaire studies). Penelitian ini disebut laporan pribadi (self reporting). b. Cara kedua melalui pengamatan. Salah ciri penting dalam metode ini adalah berkomunikasi langsu ng antara peneliti dengan responden yang dipiih untuk diselidiki. Pengamatan menurut Helmstadter (dalam Sevilla, 1992:72) digolong atas tiga , yaitu pengamatan yang memusat pad tingkah laku sesungguhnya responden. Hal tersebut tergolong dalam analisis kegiatan, dan anaisis tugas atau analisis proses. Pengamatan yang dipusatkan pada hasil tingkah laku responden disebut analisi hasil. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. Tujuan utama pengamatan adalah untuk 47 menentukan seperangkat keadaan tingkah laku responden .metode penyelidikan ini disebut analisis keadaan (situation analysis). c. Cara ketiga adalah menggunakan alat-alat atau insrumen survei deskriptif utuk melkaukan pada responden. Suatu penelitian yang menetapkan patokan-patokan yang lain disebut survei normatif. Namun apabila penelitian memprasyaratkan kombinasi dari beberapa penelitian terhadap beberapa kelompok yang mewakili yang memerluka pendekatkan longitudinal, hasilnya dapat disebut pengembangan (developmental study). 4.7.2. Kegunaan Penelitian Deskriptif Penelitian deskriptif digunakan secara luas. Salah satu alasannya adalah bahwa metode ini meliputi lebih banyak segi dibanding dengan metode-metode penelitian lain, banyak memberi sumbangan kepada ilmu pengetahuan melalui pembarian informasi keadaan mutakhir, dan dapat membantu peneliti mengidentifikasi faktor-faktor yang berguna untuk percobaan. Metode ini dpat digunakan untuk menggambarkan situasi-situasi tertentu. Alasan lian metoede digunakan secara luas adala bahwa data yang dikumpulkan dianggap bermanfaat dalam membantu peneliti menyesuaikan diri untuk memecahkan masalah dalam lkehidupan sehari-hari dan dapat diterapkan pada berbagai macam masalah. Metode deskriptif juga membantu mengetahui bagimana caranya mencapai tujuan (Sevilla, 1992:73). 4.7.3. Jenis-jenis Penelitian Deskritif Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 48 Pada umumnya peneltian-penelitian deskriptif terdiri atas berbagai jenis, yaitu studi kasus, survei, penelitian pengembangan (developmental study), penelitian lanjutan (follow up study), analisis dokumen, analisis kecenderungan (trend analysis), dan Penelitian korelasi (correlatinal study). 4.7.3.1 Studi Kasus Apabila peneliti melakukan penelitian yang terinci mengenai seseorang atau suatu unit selama kurun waktu tertentu, peneliti melakukan studi kasus. metode ini melibatkan penelitian yang mendalam dan pemerikasaan secara total tingakh laku seorang individu. peneliti akan memperhatikan bagaimana tingkah laku individu itu berubah ketika individu itu menyesuaikan diri dan memberi reaksi terhadap lignkungan. peneliti akan menemukan dan mengidentifikasi semua variabel penting yang mempunyai sumbangan terhadap riwayat atau pengembangan subjek. ini berarti peneliti melakukan pengumpulan data yang meliputi pengalaman-pengalaman masa lampau dan keadaan lingkungan subjek. ini berarti pula bahwa data yang dikumpulkan termasuk pengalaman lampau dan keadaan sekarang individu tersebut, termasuk lingkunganya. peneliti berusaha menemukan hubungan antara faktor-faktor tersebut (Sevilla dkk, 1992:74). studi kasus kadang-kadang melibatikan penelitian unit sosial terkecil seperti perkumpulan, keluarga, sekolah dan kelompok remaja. Dalam mencari pemecahan masalah-masalah penting, peneliti membutuhkan unit tersebut. Penelitian di bidang pedalangan atau kelompok kesenian seni pertunjukan menggambarkan studi kasus, dapat merupakan pemecahan masalah manfaat Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 49 individu, seperti dalang pertunjukan wayang kulit, misalnya analisis lakon pertunjukan wayang kulit untuk memperoleh generalisir yang masuk akal metode studi kasus memberi beberapa keuntungan. keuntungan utama, peneliti dapat melakukan kajian lebih mendalam. dengan penelitian lebih mendalam peneliti seluruh kepribadian seorang seniman dalang atau seniman seniman lainnya dengan memperhatikan keadaan sekarang, pengalaman masa lampau, latar belakang lingkungan (Sevilla dkk, 1992:74), dan mungkin juga dapat diketahui motivasinya dalam berkarya seni. . 4.8 Netralitas Empatik Mengambil jarak dengan objek studi merupakan keharusan dalam studi kuantitatif. Pasalnya, kedekatan periset dengan objek kajian dikhawatirkan menghasilkan temuan yang bias. Positivisme yang mendasari penelitian kuantitatif memandang ilmu sebagai bebas nilai. Sebaliknya, pendekatan kualitatif memandang doktrin ilmu yang bebas nilai atau bebas kepentingan sebagai ilusi kaum positivis. Objektivitas murni tidak pernah ada pandangan pendekatan kualitatif, bahkan santo teori kritis Jurgen Hubermas menyebutkan, bahwa represi terhadap kepentingan adalah kepentingan itu sendiri. Pilihan atas topik studi, dengan sendirinya sudah menunjukkan adanya unsur subyektivitas. Dalam hal ini, para teoritisi kualitatif menganjurkan istilah empatihic neutrality sebagai alternatif terhadap doktrin objektivitas. Sifat ‘empati’ merujuk pada sikap periset terhadap subjek kajian, sementara netralitas merujuk pada sikap periset terhadap hasil penelitian. Belakangan, para periset yang berafiliasi dengan Frankfurt School Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 50 bahkan menganjurkan agar periset pun turut serta dalam proses perubahan yang dituntut oleh hasil penelitian mereka. Sebagai perangkat pengetahuan perlu dipahami perbedaan obyektivisme dan subyektivisme. Obyektivisme memencilkan obyek atau sasaran peneltian, mengintroduksi pemisahan antara pengamat dengan yang diamati, menyingkirkan peneliti ke posisi luar. Pengamatan subyektivitas peneliti diabaikan, dikurung selama waktu penelitian. Subyektivitas dilihat, selalu atas nama keobyektivitasan, sebagai pengganggu proses penelitian. Tradisi obyektivis mencurahkan perhatian pada metode-metode observasi dan produksiyang lebih sering bersandar pada kuantifikasi; ini merupakan gambaran obsesif tentang alat pengukuran yang tepat;konsepsei global tentang kerangka analisis didasari oleh ide bahwa suatu tatanan yang sudah terbentuk sebelumnya akan terjadi kembali, di mana aktor tidak sadar akan makna tindakannya: “keajeganI”, universalitas, kestabilan dari tatanan tersebut yang dapat dianalisis (Coulon, 2008:60-61). Subyektivisme bertentangan dengan konsep tersebut: obyek bukan lagi satu kesatuan yang terpisah, ia selalu berkaitan dengan penelitiannya; tidak ada keterputusan epistemologi, kepentingan memperhitungkan keterlibatan peneliti. obyektivitas praktik akan Subyektivitas disusun kembali dan dianalisis sebagai sesuatu fenomena yang merupakan bagian dari ranah yang diamati, diperhitungkan secara heuristik; metode-metode yang digunakan lebih menonjolkan analisis kualitatif, keunikan yang dapat mengandung arti,segalanya seperti yang tidak terukur; kerangka tindakan sosial merupakan hasil dari suatu bangunan yang berkelanjutan, dari auatu norma yang terus-menerus oleh para Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 51 aktor sendiri, subyektivisme merehabilitasi transisi, kecenderungan dan kekhasan (Coulon, 2008:61-62). Pada dasarnya ketidakcocokan antara obyektivisme dan subyektivime dari sudut tindakan sosial dan peran yang dihubungkan dengan aktor. Apakah ketidakcocokan ini dimanipulasi tanpadiketahui melalui urutan kejadian yang mendahuluinya? Kerja sosiolog adalah memunculkan pemaknaan yang tersembunyi, menghalau pekerjaan gelap determinisme sosial. Atau, apakah aktor memiliki kemampuan di dalam kegitan sehari-harinya, untuk menalar, memahami dan menafsirkan tindakannya? Peran sisiolog dalam hal ini adalah menganalisis persepektif aktor sepanjnang kegiatan sehari-hari. Singkatnya apakah aktor mempengaruhi atau dipengaruhi? (Coulon, 2008:62). Dapat diterka akibat dari munculnya pertentangan tersebut dalam ranah sosiologi. Dua sudut pandang yang berlawanan tentang lembaga: yang satu memberi batas, bahwa lembaga sebagai bentuk sosial yang terlepas dari aktor, seperti seperangkat norma-norma yang dipaksakan kepada mereka; yang lainnya melihat secara terbalik hubungan yang dibangun para anggotanya dengan lembaganya. Mereka melihat sebagai pembentuk lembaga terus-menerus. Masalah ini sangat mendasar. Pertentangan epistemologi bukan sesuatu yang baru, tetapi telah muncul sejak awal pemikiran sosialogi dengan dua konsepsi ilmu (praktik, rasioanl) hubungan aktor dengan kerasionalannya tersebut dan dengan pemaknaan tindakan-tindakan tersebut (Coulon, 2008:62-63). 4.9 Fleksibilitas Desain. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 52 Desain penelitian kualitatif tidak ditentukan sejak awal, karena subjek penelitian dianggap dinamis. Pendekatan semacam ini diperlukan untuk memperoleh data yang kaya (beragam) dari (fenomena empirik yang muncul), karena salah satu validitas temuan studi kualitatif adalah kekayaan informasi dan status sampel, dan bukan jumlah sampel. Pendekatan semacam ini dimaksudkan untuk mengantisipasi berbagai hal yang mungkin tidak diperhitungkan dalam desain sebelumnya yang telah ditentukan secara kaku (before hand). Hal ini merupakan sala satu strategi penelitian, dan bahkan menjadi salah satu ciri penelitian kualitatif. 4.10 Periset sebagai Instrumen Kunci Manusia adalah satu-satunya instrumen yang mampu menjaga naturalitas setting penelitian. Oleh karena itu, hanya menggunakan manusia sebagai alat pengumpul data informasi yang valid akan diperoleh. Manusia satu-satunya alat yang dapat berhubungan secara wajar dengan subjek lain, serta dapat memahami kaitan antarkenyataan yang ada dalam latar studi. Periset menyusun objektivitas data lapangan dengan cara membangun ‘pemahaman’ yang mendekati setting lapangan melalui dialog ulang dengan sumber-sumber lain (cross-check) dan mendiskusikan temuan lapangan dengan teman-teman sekolega. Sembilan ciri studi kualitatif di atas sama sekali berbeda dengan karakter pradigma positivis-kuantitatif sehingga menghasilkan metodologi yang berlainan dengan metodologi kuantitatif. Metodologi adalah proses, prinsip, dan prosedur pendekatan terhadap suatu masalah untuk mencari jawaban. Dalam pengertian yang paling sederhana, metodologi dapat pula diartikan sebagai pendekatan umum Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 53 yang digunakan untuk mengkaji topik penelitian. Metodologi dan teknik-teknik studi semestinya merupakan representasi dari asumsi-asumsi teoritis yang digunakan secara konsisten. Sebagaimana dikatakan oleh Collier, pendekatanpendekatan epistemologi harus konsisten dengan asumsi-asumsi ontologis yang mendasari perspektif kualitatif yang kemudian melahirkan sejumlah strategi penelitian, seperti studi kasus (case study), fenomenologi, etnometodologi, grounded theory, dan metode biografi. Studi kasus atau Penelitian Kasus (case study), adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas (Maxfield, 1930). Studi kasus berusaha untuk menemukan sesuatu seacar alami dan tidak untuk pengujian hipotesis (Tashakkori dan Charles Teddlie, 2010:58). Subjek penelitian bisa individu, kelompok, lembaga, maupun masyarakat. Dalam studi kasus peneliti ingin mempelajari secara intensif latar belakang serta interaksi lingkungan dari unit-unit sosial yang dijadikan subjek studi. Tujuan studi kasus adalah untuk memberi gambaran secara mendetil tentang latar belakang, sifat-sifat, serta karakter-karakter yang khas dari suatu kasus, ataupun status dari individu, yang kemudian, dari sifat-sifat khas itu didijadikan sesuatu yang bersifat umum. Pada mulanya studi kasus banyak digunakan dalam penelitian obat-obatan dengan tujuan diagnosa, tetapi kemudian digunakan secara meluas pada bidang-bidang yang lain (Nazir, 1981:66-67). Hasil dari studi kasus merupakan suatu generalisasi dari pola-pola khusus yang tipikal dari individu, kelompok, lembaga, masyarakat, dan sebagainya. Tergantung dari tujuannya, ruang studi kasus dapat mencakup segmen atau bagian Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 54 tertentu atau mencakup keseluruhan siklus kehidupan individu, kelompok, lembaga, dan masyarakat, baik dengan penekanan pada faktor-faktor kasus tertentu, ataupun keseluruhan faktor-faktor dan fenomena-fenomena. Studi kasus lebih menekankan kajian pada variabel yang cukup banyak pada jumlah unit yang kecil. Hal ini berbeda dengan metode survei, di mana peneliti cenderung mengevaluasi variabel yang lebih sedikit tetapi dengan jumlah sampel yang lebih besar (Nazir, 1981:67). Studi kasus banyak digunakan untuk meneliti desa, kota besar, sekelompok manusia droup out, para napi, para pemimpin, dan sebagainya. Jika digunakan untuk meneliti kelompok, maka perlu dipisahkan atau diisolasikan kelompok-kelompok dalam onggokan yang homogen (Nazir, 1981:67). Studi kasus mempunyai banyak kelemahan di samping memiliki faktor keunggulan. Kelemahan studi kasus disebabkan oleh faktor: 1. anggota sampel terlalu kecil, sehingga sulit dibuat inferensi populasi; 2. sangat dipengaruhi oleh pandangan subjek dalam pemilihan kasus; 3. adanya sifat khas yang terlalu dibesar-besarkan; 4. kurangnya objektivitas yang dapat disebabkan karena kasus yang diteliti cocok dengan konsep yang dimiliki peneliti; 5. penempatan dan pengikutsertaan data dalam konteks yang bermakna menjurus pada interpretasi subjektif (Nazir, 1981:67). Studi kasus mempunyai keunggulan sebagai berikut: 1. suatu studi untuk mendukung studi-studi yang besar dikemudian hari. 2. memberikan hipotesa-hipotesa untuk penelitian lanjutan. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 55 3. studi kasus dapat digunakan sebagai contoh ilustrasi, baik dalam perumusan masalah, penggunaan statistik dalam menganalisa data, serta cara-cara perumusan generalisasi dan kesimpulan. Berikuti ini adalah sebuah contoh studi kasus tentang mahasiswa Program Studi S-1 Pedalangan yang tidak dapat menguasai teknik mendalang dengan baik kerena berbagai sebab, yaitu: 1. sejarah perguruan tinggi dan rumah tangga mahasiswa; 2. status sekarang mahasiswa tersebut; 3. diagnosa terhadap kesukaran-kesukaran mahasiswa untuk mendalang; 4. sebab-sebab kekurangan mahasiswa dalam mendalang; dan 5. mengukur hasil dari pengajaran. Langkah-langkah pokok dalam meneliti kasus adalah sebagai berikut: 1. rumuskan tujuan penelitian; 2. tentukan unit-unit studi, sifat-sifat tertentu yang akan diteliti dan hubungan apa yang akan dikaji serta proses-proses apa yang akan menuntun penelitian. 3. Tentukan rancangan serta pendekatan dalam memilih unit-unit dan teknik pengumpulan data yang digunakan. 4. Sumber-sumber data apa yang tersedia; 5. Kumpulkan data; 6. Organisasikan informasi dan data yang terkumpul dan analisa untuk membuat interpretasi serta generalisir; dan 7. Susun laporan dengan memberikan kesimpulan serta implikasi dari penelitian (Nazir, 1981:68). Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 56 Mengenai studi kasus, Robert E. Stake (dalam Denzin and Lincoln, 1994: 237) membedakannya ke dalam tiga jenis, yaitu: (1) studi kasus intrinsik, yakni studi dilakukan karena suatu kasus yang menarik dan periset berupaya memahaminya secara mendalam; (2) studi kasus instrumental, yakni studi kasus yang dilakukan untuk memperoleh pemahaman tentang suatu masalah atau pembaharuan teori; (3) Studi kasus kolektif atau studi kasus instrumental yang diperluas, yakni studi atas sejumlah kasus yang dilakukan secara simultan guna memperoleh pemahaman yang lebih baik atas masalah tertentu. 4.10 Kajian Pustaka Kajian pustaka adalah proses umum yang peneliti lalui untuk mendapatkan teori. Mencari kepystakaan yang terkait adalah tugas yang segera dilakukan, lalu menyusun secara teratur dan rapi untuk diperguankan dalam keperluan penelitian. Gay (1976) barpendapat bahwa kajian pustaka meliputi pengidentifikasian secara sistematis, penemuan, dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasiinformasi yang berkaitan dengan masalah penelitian. Kajian pustaka memiliki beberapa fungsi sebagai berikaut. 1. Menyediakan kerangka konsepsi atau keragka teori untuk penelitian yang direncanakan. 2. Menyediakan informasi tentang penelitian-penelitian yang lalu yang berhubngan dengan penelitian yang akan dilakukan. Proses ini menghindari pengulangan (duplikasi) yang tidak disengaja dari Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 57 penelitian-penelitian terdahulu dan membimbing peneliti pada apa yang hendak diselidiki. 3. Memberi rasa percaya diri sebab melalui kajian pustaka semua konstruk yang berhubungan dengan penelitian telah tersedia. Oleh karena itu, peneliti menguasaiinformasi mengani subjek penelitian. 4. Memberi informasi tentang metode-metode penelitian, populasi, sampel, instrumen pengumpulan data, dan perhitungan statistik yang digunakan pada penelitian-penelitian sebelumnya. Jika peneliti berhasil dalam kajian pustaka, maka peneliti membutuhkan bimbingan yang sedikit dari pembimbing, karena pertanyaan yang akan dijawab dapat terjawab melalui kajian pustaka yang dilakukan pada tahapawal penelitian. 5. Menyediakan temuan-temuan dan kesimpulan-kesimpulam penyelidikan terdahulu yang dapat dihubungakan dengan penemuan dan kesimpulan peneliti. Pernyataan tersebut memberikan isyarat bahwa peneliti telah memiliki topik, dan sekarang tinggal mengkaji kepustakaan untuk membuat kerangka konsepsi atau kerangka teori. Kajian pustaka dapat pula berfungsi dalam keadaan belum memunyai topik yang pasti. Oleh karena itu, pengkajian kepustakaan diperlukan oleh peneliti, agar dapat menemukan topik yang lebih sesuai. Banyak peneliti menggunakan jalan ini dalam mengidentifikasi jalan penelitiannya. Mereka menemui kesulitan dalam menyusun masalah. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 58 Mengkaji bahan-bahan pustaka setelah peneliti memilih topik akan lebih pasti dan terkonsentrasi. Kecenderungan peneliti pada awal pengkajian pustaka adalah mempergunakan kesempatan untuk mencari kepustakaan di kepustakaan atau di tempat lain, termasuk bahan-bahan diperpustakaan sendiri. Memang hal ini adalah sesuatu yang wajar karena peneliti berhasrat untuk mengumpulkan khasanah pengetahuan yang berhubungan dengan penelitiannya. Namun demikian beberapa peneliti merasa bahwa tinjauan pustaka seakan-akan sia-sai. Ini terjadi apabila topik itu merupakan hal baru sehingga kepustakaan penelitian sangat terbatas. Walaupun demikian, pasti ada kepustakaan konseptual yang berkaitan dengan konsep-konsepyang telah ditulis. Ini seharus dicatat dan dikaji oleh peneliti (Sevilla, dkk., 1993:32-33). Fox (1969) membedakan kepustakaan konseptual. antara kepustakaan penelitian dengan Kepustakaan penelitian meliputi laporan-laporan penelitian yang telah diterbitkan, sedangkan kepustakaan konseptual meliputi artikel-artikel atau buku-buku yang ditulis oleh para ahli yang memberikan pendapat, pengalaman, teori-teori, atau ide-ide tentang apa yang baik dan apa yang buruk, hal-hal yang diinginkan dan hal-hal yang tidak diinginkan di dalam bidang masalah (Sevilla, dkk., 1993:32-33). . Ketika peneliti menjelajahi bahan-bahan bacaan di perpustakaan, harus diperiksa baik kepustakaan penelitian maupun kepustakaan konseptual. Setelah memperoleh kepustakan, perhatian utama diarahkan pada pertanyaan tentang kesesuaiannya dengan masalah peneltian. Untuk menentukan sesuai tidaknya Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 59 kepustakaan tersebut dengan penelitian adalah tergantung dari pertimbangan peneliti sendari (Sevilla, dkk., 1993:33-34). Evaluasi 1. 2. 3. 4. Apa yang mejadi data utama penelitian kualitatif ? Bagaimana manfaat data kualitatif? Apa keunggulan penelitian kualitatif menurut Smith? Bagaimana dan siapa tokoh-tokoh yang semula “keras kepala” dengan penelitian kuantitaif yang kemudian mempromosikan penelitian kualitatif? 5. Mengapa data berupa kata-kata seringkali memiliki kelemahan dalam pelitian kualitatif? 6. Apa kelemahan metode analisis kualitatif? 7. Apa perbedaan studi kasus dan kajian survey? 8. Sebutkan kelemahan studi kasus? 9. Hal apa yang ditekankan pada studi kasus? 10. Jelaskan langkah-langkah pokok studi kasus? Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 60 BAB V IMPLEMENTASI PERSPEKTIF KUALITATIF DALAM PENELITIAN TIK 10 setelah melakukan observasi dan wawancara mahasiswa dapat mengrti kisaran isi data. Sudah digariskan, bahwa beberapa prosedur tetap harus dilewati dalam peneliti-an, seperti penentuan setting, pengambilan sampel, pengumpulan dan analisis data, serta penarikan kesimpulan. Hanya saja terdapat perbedaan antara perspektif kuantitatif dengan perspektif kualitatif. 5.1 Pengambilan Sampel Dalam penelitian kualitatif, istilah sampel tidak lazim digunakan, karena setiap subjek adalah informan yang dilihat sebagai kasus dalam suatu kejadian (event) tertentu. Itu sebabnya disebut kasus atau informan. Namun istilah sampel tetap dipakai hanya untuk menunjuk adanya sejumlah subjek (Salim, 2006: 12). Pengambilan sampel individual atau situasi (bias seleksi) bisa mengandung konsekuensi pada validitas internal sebuah temuan penelitian. Misalnya, keterlibatan antara dua variabel bisa diakibatkan oleh kepAndaian memilih individu-individu yang diobservasi (Tashakkori dan Charles Teddlie, 2010:114). Pernah ada pandangan, bahwa semakin besar jumlah sampel, semakin baik dan semakin kokoh temuan dan simpulan yang dapat dibangun. Pendapat ini benar, namun jumlah sampel yang besar membatasi kedalaman kajian, sebab peneliti akan disibukkan dengan hal-hal ‘permukaan’ pada setiap sampel. Sesuai karakter pendekatan kualitatif yang lebih investigatif, pengambilan sampel lebih Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 61 ditekankan pada kualitas sampel, bukan kuantitas. Karakteristik pengambilan sampel dalam penelitian kualitatif sebagai berikut. 1. Tidak diarahkan pada jumlah yang besar, melainkan pada kekhususan kasus (spesifik) sesuai masalah penelitian. 2. Tidak dipastikan sejak awal, namun bisa diubah sesuai perkembangan pemahaman dan kebutuhan selama proses studi. 3. Tidak diarahkan pada keterwakilan atau representasi, melainkan kecocokan pada konteks (Salim, 2006:12). Dengan demikian, dalam studi kualitatif digunakan model pengambilan sampel purposif sesuai tujuan studi, meskipun pada praktiknya cara yang ditempuh tidaklah tunggal, tetapi model purposif bervariasi, seperti digambarkan pada tabel 5.1 Tabel 5.1 Variasi Pengambilan Sampel Kualitatif PROSEDUR SAMPLING Sampel ekstrim atau menyimpang URAIAN Sampel diambil dari kasus-kasus istimewa, paling tinggi, paling rendah, tingkat pendidikan terendah, paling banyak buta huruf, paling...................... Sampel berfokus pada intensitas Sampel diambil dari kasus yang diperkirakan mewakili Sampel dengan variasi maksimum Sampel diambil dari masing-masing variasi yang mewakili Sampel Homogen Sampel diambil dari subsub-kelompok homogen dan (penghayatan terhadap fenomena secara inten. tema-tema sentral. menghindari penambahan variasi. Sampel kasus tipikal Sampel diambil dari kasus yang mewakili kelompok normal Sampel purposit Sampel diambil dari variasi yang berkembang dalam objek dari fenomena yang diteliti. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 62 terstratifikasi kajian, bukan untuk menangkap masalah mendasar melainkan menangkap variasi-variasi besar yang berkembang itu sendiri. Sampel kritis Dilakukan dalam situasi yang mendesak, sampel diambil dari kelompok paling ‘kritis’, misalnya kelompok yang paling mampu atau sebaliknya yang paling tidak mampu. Teknik bola salju Sampel diambil dari informan kunci, kemudian ditambah dan diluaskan menurut sampel informasi pertama. Begitu setrusnya. Sampel dengan kriteria tertentu Sampel diambil dari kasus yang paling tidak memenuhi Sampel berdasarkan teori Sampel ditentukan berdasarkan kriteria tertentu yang telah kriteria penting tertentu yang ditentukan sebelumnya. digariskan oleh studi-studi sebelumnya (dibangun dari asumsi awal). Sumber: E. Kristi Purwandari. 1994. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi, LPSP3, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Jakarta, hlm.55-60. Adaptasi oleh Salim, 2006:13. 5.2 Bias dan Kesalahan dalam Pengambilan Sampel Seharusnya menjadi jelas, bahwa kepercayaan kita dalam melakukan generalisasi sampel ke sebuah populasi sangat tergantung pada tingkat “keterwakilan” individu-individu atau kejadian/kondisi. Sebelum pembahasan tentang proses pengambilan sampel, perlu dibedakan antara “kesalahan pengambilan sampel (sampling bias). Kesalahan pengambilan sampel adalah acak. Setiap kali peneliti memilih individu, teks, situasi, atau setiap “unit penelitian”, maka unit pengamatan tersebut akan tampak berbeda dari populasi keseluruhan. Oleh karena itu, peneliti selalu mempunyai kesalahan dalam menggeneralisasi populasi itu. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 63 Populasi adalah kumpulan individu sebuah species yang mempunyai potensi untuk berbiak silang antar satu individu dengan individu yang lain (Jasin, 2002:164). Umumnya, ketika peneliti memilih secara random unit yang relatif besar untuk obyek pengamatan/kajian, jika beberapa unit berbeda dari “populasi unit-unit” dari sudut tertentu (misalnya, jika beberapa orang secara ekonomi dirugikan), maka perbedaan ini dibatalkan oleh unit lain yang berbeda dari populasi lain. Sebagai contoh, jika ada individu-individu yang berpendidikan tinggi dalam sampel peneliti, namun juga ada individu-individu berpendidikan rendah, maka keseluruhan “gambar” dari kelompok itu relatif seimbang (Tashakkori dan Charles Teddlie, 2010:116). Untuk mengamankan asumsi keseimbangan semacam itu, dalam pemilihan unityang dilakukan secara acak peneliti harus memasukan jumlah sampel yang relatif besar dalam pengamatan/kajian. Dapatkah Anda secara acak memilih lima sekolah menengah atas dan berasumsui bahwa siswa-siswa dalam sampel tersebut mewakili “rata-rata” populasi (yakni, bahwa kesalahan-kesalahan dalam pengambilan sampel menghapus stu sama lain)? dapatkah Anda memilih sembilan sekolah secara acak, mewawancarai semua guru di sekolah tersebut, dan berasumsi bahwa Anda memiliki sampel yang mereperesentasikan para guru karena sekolah dipilih secara acak? Akhirnya, dapatkah Anda mengamati tiga ruang gawat darurat di wilayah suatu negara dan membuat kesimpulan tentang ruang gawat secara umum? Kami berharap sekarang menjadi jelas bagi Anda bahwa jawaban atas semua pertanyaan tersebut adalah negatif. Untuk kesalahan pengambilan sampel yang mendekati nol, peneliti perlu membuat sampel dalam Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 64 jumlah yang relatif besar. Jika peneliti tidak dapat memilih unit sampel studi dalam jumlah relatif besar, peneliti akan mendapatkan hasil yang lebih dapat dipercya dan meyakinkan jika memilih unit sampel tersebut berdasarkan informasi yang berhubungan dengan karakteristik mereka, bukan berdasarkan pemeilihan acak (Tashakkori dan Charles Teddlie, 2010:116-17). Jumlah pengamatan dalam kajian peneliti bisa mempengaruhi validitas internal dan eksternal temuan peneliti. Validitas eksternal biasanya diperluas dengan sejumlah besar pengamatan atau kasus yang mewakili. Istilah “mewakili” perlu diperhatikan. Namun, kemampuan generaliasi tidak dapat ditingkatkan dengan menambahkan individu atau pengamatan yang tidak sejenis dengan situasi kelompok utama dari penelitian. Di samping kebutuhan untuk menggeneralisir, dalam penelitian kuantitatif, ukuran sampel berdampak pada “validitas simpulan statistik suatu temuan” dengan memengaruhi batas kesalahan dan uji kekuatan statistik untuk mendeteksi akibatnya (Tashakkori dan Charles Teddlie, 2010:117). Tidak seperti kesalahan dalam pengambilan sampel (sampling error), “bias pengambilan sampel” bersifat sistematis (tidak acak). Contoh, untuk kajian kelompok belajar, Anda “secara acak” memilih satu dari lima siswa yang berada di perpustakaan pada Jum’at sore, Anda mungkin melakukan bias pengambilan sampel yang tidak mewakili pandangan “rata-rata” anak sekolah. Hal ini benar karena siswa yang berada di perpustakaan pada Jum’at sore itu bisa jadi berbeda dari populasi keseluruhan siswa-siswa di kampus. Tidak seperti sampling error, penambahan ukuran sampel tidaklah mengurangi bias pada sampel. Jelaslah bahwa simpulan atas sampel yang bias tidak dapat dianggap mewakili populasi Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 65 (contohnya, suatu temuan memiliki transferability yang rendah atau validitas eksternal yang rendah) (Tashakkori dan Charles Teddlie, 2010:118). 5.2.1 Sampel Acak dan Sampel Terencana Apa yang bisa Anda lakukan jika unit pengambilan sampel terdiri dari kelompok utuh individu seperti sekolah atau klinik (“kelompok sampling”) dan Anda tidak dapat memilih jumlah yang cukup besar dari unit atau kelompok ini untuk mengurangi kesalahan dalam pengambilan sampel? Mungkin lebih baik memilih unit tidak secara acak, tetapi berdasarkan pada informasi yang telah Anda miliki tentang unit tersebut. Sebagai contoh, jika komposisi ras/etnis sekolah dalam sampel dianggap penting bagi pertanyaan penelitian, maka Anda harus memilih sekolah yang memiliki keragaman ras/etnis (satu sekolah yang minoritasnya tinggi, satu sekolah yang minorotas rendah, dan satu sekolah yang minorotasnya seimbang). Jenis pengambilan sampel ini secara khusus digunakan dalam proyek penelitian sekala kecil yang mendalam pada kajian kualitatif yang mengamati/mengkaji sejumlah unit kecil (Tashakkori dan Charles Teddlie, 2010:118-19). 5.2.2 Jenis-Jenis Sampel dan Prosedur Pemilihannya Prosedur pengambilan sampel secara acak (probality) dan pengambilan sampel secara terencana (purposive) berhubungan dengan pendekatan kualitatif dan kuantitaif. Kebanyakan prosedur tersebut dapat digunakan pada kedua jenis penelitian. Dalam kebiasaan penelitian kualitatif dan kuantitatif metode pengambilan sampel seringkali dibahas secara tertutup dan sepertinya hanya ada satu teknik pengambilan sampel yang duigunakan dalam satu kajian. Namun Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 66 tidak demikian dalam studi penelitian ilmu perilaku sosial, di mana peneliti akan menggunakan kombinasi teknik pengambilan sampel yang dirasakan paling tepat untuk kajiannya. Sesuai tuntutan kajian mungkin saja diperlukan teknik pengambilan sampel bertingkat selain kelompok. Terdapat juga kemungkinan menerapkan pengambilan sampel secara kombinasi antara pengambilan sampel secara acak dan terencana untuk tiap-tiap tingkat sesuai atau didasarkan atas jenis pertanyaan, bukan semata-mata berdasarkan atas pendekatan kuantitatif atau kualitatif (Tashakkori dan Charles Teddlie, 2010:120-21). Tabel 5.2 Strategi Pengambilan Sampel Acak Jenis Sampel Penjelasan dan Prosedur Pengambilan Sampel Pengambilan Setiap individu dalam populasi memiliki kesempatan yang Sampel Acak sama dan bebas untuk dipilih dalam kajian. Sampel didapat- Sederhana kan melalui seleksi secara kebetulan, berdasarkan tabel angka acak, atau komputer yang memprogram angka secara acak. Pengambilan Berdasarkan jumlah yang diperlukan dalam sampel, setiap Sampel Acak pada target populasi diseleksi untuk sampel. Metode ini dapat secara digunakan hanya jika daftar diurutkan secara acak dari Sistematis populasi sudah tersedia. Pengambilan Ini digunakan ketika perbandingan dari sub-kelompok (strata) Sampel Acak diketahui dalam populasi; pemilahan dilakukan secara acak terstrata dari setiap strata. proporsional Perbandingan setiap sub kelompok di dalam sampel sama dengan proporsi setiap sub-kelompok di dalam populasi. Nonproporsional Tidak memerhatikan perbandingan dalam populasi, sampel memasukkan jumlah yang sama dari individu pada setiap subkelompok. Hasilnya dapat digeneralisasikan ke sub-populasi Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 67 daripada terhadap populasi keseluruhan. Strategi pengambilan sampel ini berguna untuk populasi di mana beberapa kelompok minoritas tidak memiliki proporsi yang cukup besar yang mewakili pengambilan sampel acak sederhana digunakan. Pengambilan Kelompok individu yang telah terbentuk dalam populasi Sampel Acak dipilih sebagai unit pengambilan sampel, karena kelompok berdasarkan tersebut merupakan bagian dari pemilahan, secara relatif Kelompok sejumlah besar kelompok harus dipilih. Sampel lima sekolah yang dipilih secara acak bukan merupakan sampel acak kelompok yang benar. Pengambilan Ini menggabungkan teknik pengambilan sampel kelompok Sampel dengan sampel lainnya. Sebagai contoh, pertama memilih Kelompok kelompok seperti sekolah daerah, kemudian dalam setiap berbagai kelompok memilih individu/sekolah secara acak atau dengan Tingkatan atribut tertentu yang sama dengan sampel yang telah dibagibagi berdasar tingkatan. Catatan: strategi pengambilan sampel ini dapat digunakan dalam penelitian kualitatif. Tabel 5.3 Strategi Pengambilan Sampel Terencana Jenis Sampel Penjelasan dan Prodsedur Pengambilan Sampel Pengambilan Sampel Pemilihan individu-individu/kelompok-kelompok berdasarkan Terencana pada pertanyaan/tujuan khusus penelitian sebagai penggantui pengambilan sampel secara acak dan berdasar atas informasi yang tersedia tentang individu/kelompok tersebut. Pengambilan Sampel Kasus-kasus dipilih berdasarkan persamaan kualitas dan/atau atas keseragaman besaran atributnya. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. Tanpa mempertimbangkan ukuran sampel 68 dan tergantung pada tujuan dari kajian, bisa dipilih kasus yang ekstrim atau menyimpang/aneh yang memiliki intensitas tinggi pada atributnya, atau rata-rata/bersifat khas. Pengambilan Sampel Hal ini sama dengan pengambilan sampel terstrata tetapi tidak Terencana yang acak dan terencana, cara yang sesuai. Kasus dipilih secara tidak terstrata acak(sukarela, terdsedia, dsb) dari setiap sub-kelompok populasi yang sedang dikaji. Dalam penelitian yang bersifat sosiologis, juga dikenal sebagai “pengambilan sampel berdasarkan quota. Pengambilan Sampel Memilih individu berdasarkan informasi yang diperoleh dari Bola Salju atau anggota sampel lain yang telah dipilih atau dari individu lainnya. berantai Karena setiap orang baru memiliki potensi untuk memberikan informasi lebih dari yang lain pada kasus terkait, sampaui berkembang dengan cepat sebagaimana kajian itu berlanjut. Pengambilan Sampel Bermula dari sampel kecil dan melanjutkan pengambilan sampel secara Berurutan hingga mencapai tingkat tertentu yang diinginkan . dalam kelompok diskusi misalnya, pengambilan sampel berhenti ketika kelompok baru menambah sedikit atau tidak pada ide-ide/tematema baru atas hal-hal yang telah diperoleh pada kelompok sebelumnya (kejenuhan). Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakuak berdasarkan kketersediaan dan secara Mudah mudahnya pengumpulan data daripada berdasarkan kecocokan dengan tujuan/pertanyaan penelitian. Sampel tersebut juga memasukkan apa yang diketahui sebagai “sampel tangkapan” (kelompok atau individu yang dapat ditemui oleh peneliti seperti halnya siswa di kelas), “sampel sukarela”, sampel yang didapat secara tidak sengaja, dan sebagainya. Catatan: strategi pengambilan sampel tersebut dapat digunakan, baik penelitian kualitatif maupun kuantitatif. < Usai menentukan sumber data dan sampel dilakukan pengumpulan data. Pada tahap ini, dua hal utama yang harus diperhatikan, yakni cara dan instrumen Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 69 pengumpulan data. Teknik pengumpulan data yang lazim dilakukan dalam penelitian kualitatif adalah observasi dan wawancara. Pengumpulan data yang lebih spesifik dari masing-masing teknik tersebut dikenal sebagai observasi melihat (participant observation) dan wawancara mendalam (in-depth interview). Evaluasi TIK 11 Mahasiswa melakukan pengamatan dan wawancara di lokasi yang sama untuk memperdalam dan memperluas fenomena yang dikaji Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 70 BAB VI. OBSERVASI TIK 12 setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan pengertian dan teknik overasioanl obserasi Denzin & Lincoln (1994:378) menyebutkan dua prinsip pokok yang mencirikan teknik observasi dalam tradisi penelitian kualitatif. Pertama, observer kualitatif tidak boleh mencampuri urusan subjek penelitian. Oleh karena itu, keduanya mengatakan, bahwa .....of the hallmarks of qualitative observation has traditionally been its noninterventionism. Kedua, observer penelitian kualitatif harus menjaga sisi alamiah subjek penelitian. Untuk itu dikatakan, bahwa Qualitatif obervation is fundamentally naturalistic in essence; it occures in the natural context of accurrence, among the actors who would naturally be participating in the interaction, and follows the natural system of everyday life. Observasi dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap pertama adalah pemilihan setting. Bila periset sudah mendapat setting sesuai dengan kepentingan studinya, dapat langsung memulai pengumpulan data. Namun terdapat tahapan kecil yang harus dilewati, yakni memperoleh ijin masuk (entree) ke dalam setting, baik diperoleh secara formal maupun informal, tergantung sistem sosial yang berkembang di dalam setting. Observer yang bekerja sendiri bisa langsung memulai pengumpulan data. Bila bekerja di dalam tim, perlu diadakan pelatihan bagi pengumpul data. Aktivitas pengumpulan data dilakukan secara terus-menerus hingga mencapai titik jenuh (saturation) (Salim, 2006: 14). Di dalam observasi, hasil yang diperoleh periset adalah perasaan melibat dalam subjek penelitian. Tetapi periset harus memiliki garis demarkasi yang tegas Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 71 agar tidak larut di dalam bejana peristiwa milik subjek yang sedang diteliti. Dengan demikian, periset dikatakan—dalam adagium Jawa—sebagai ‘melu ngeli nanging ora keli’ (maksudnya, ikut terjun dalam arus tetapi ikut dalam pusaran arus) (Salim, 2006: 14). Observasi yang lazim dilakukan dalam studi kualitatif adalah observasi melibat. Terdapat berbagai observasi yang masing-masing menyangkut beberapa isu, yakni: 1. tingkat keterlibatan periset; 2. fokus yang diamati; 3. sikap periset; 4. nama pengamatan. Ada observasi yang menuntut periset untuk terlibat aktif dalam setting penelitian. Sebaliknya, ada pula observasi yang justru menuntut periset terlibat secara pasip. Ada periset yang menutupi identitas dirinya selama kegiatan observasi, tetapi ada pula periset yang memilih membuka diri. Pilihan terhadap salah satu dari keduanya atau dikombinasikan bergantung pada situasi dan kebutuhan yang seringkali berkembang selama aktivitas penelitian berlangsung. Spreadly (1980: 58-59) dalam bukunya berjudul Participant Observation, membuat lima klasifikasi observasi terlibat yang dikutip dari beberapa peneliti sosial. Masing-masing klasifikasi berbeda tingkat keterlibatannya sehingga tingkat kesahihan data yang dikumpulkan berbeda. Hal ini berpengaruh terhadap kualitas hasil penelitian. Adapun ke lima klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel 8.1 berikut. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 72 Tabel 6.1 Tipe Observasi Melibat DEGREE OF INVOLVMENT TYPE OF PARTICIPATION High Complete Active Moderat Low (No involvment) Passive Non-participation Permasalahan lain yang masih mengganjal di seputar observasi adalah menyangkut validitas temuan, karena dalam pemaparan temuan observasi biasanya terdapat bias interpretasi periset. Mata manusia memungkinkan untuk mengamati lingkungan sehingga diperoleh pengetahuan yang dibutuhkan. Namun amatan bisa mengarah pada hal-hal di luar keperluan riset. Hal ini dihindri dalamn penelitian, meskipun dapat memperluas cakrawala pengetahuan. Ini berarti tidak semua hal yang ada dalam sasaran observasi dapat diamati, sehingga hasil observasinya tidak lengkap dan tidak terfokus. Lagi pula pikiran orang merupakan produk masyarakat di mana ia hidup. Oleh karena itu tidak mungkin orang memperoleh pengetahuan dan kesimpulan objektif, bebas dari pengaruh perkembangan jaman dan pola-pola konseptual yang ada pada saat manusia itu hidup. Selain itu, ilmuwan atau intelektual tidak bisa bersikap objektif atau bersikap bebas nilai dalam membangun perspektif pemikirannya. Intelektual haruslah bersikap kritis dalam memahami perilaku masyaraktnya dan berorientasi untuk menjadikan orang menyadari apa yang harus dikerjakan sesuai dengan tujuan yang mereka inginkan dalam perubahan masyarakat. Mereka harus peka Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 73 dan membangun hubungan secara eksplisit dengan perkembangan masyarakatnya, sembari secara sosial membangun ‘pengetahuan’ (Maliki, 2004:195). Dalam observasi, apa yang oleh orang lain dianggap fakta yang terinderakan, bisa saja tidak dianggap fakta oleh observer. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh sifat fakta sosial yang selalu berubah (lihat Harsja W. Bachtiar dalam Koentjaraningrat, 1991:109). Untuk mengurangi hal ini, dapat ditempuh beberapa cara. Cara yang paling lazim adalah memperpanjang pengamatan. Cara lainnya, misalnya tidak menggunakan observer tunggal, tetapi observer jamak dan pemaparan laporan temuan studi dengan menggunakan verisimilitude, yakni gaya tulisan yang mendekatkan pembaca kepada subjek yang diteliti. Untuk meng-hindari bias interpretasi periset, laporan harus ditulis dalam gaya deskriptif dan bukan interpretatif. Berikut adalah contoh penulisan interpretatif dan deskriptif. Bias interpretasi periset dan overgeneralisasi. Contoh: Situasi hubungan atau interaksi yang terjadi di PKJT dan ASKI, terutama antara Gendhon dengan seniman-seniman pengikut, mengingatkan pada suatu bentuk kelembagaan kekuasaan yang dualistik. Dalam hal ini, seorang penguasa atau pemimpin dalam masyarakat yang sekaligus memegang kekuasaan jasmani dan rohani. Kelembagaan seperti itu biasanya disebut kelembagaan “Raja-Pendeta” (Rustopo, 2001:338). Evaluasi Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 74 BAB VII WAWANCARA TIK 13 setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan teknik wawancara. Wawancara merupakan salah satu kegiatan dalam penelitian kualitatif dalam bentuk dialog atau tanya jawab antara informan/responden dengan peneliti selaku pewawancara untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan dalam suatu penelitian. Agar kepentingan tersebut dapat dicapai dengan baik sesuai tujuan, peneliti terdahulu telah mengembangkan enam bentuk strategi wawancara, yaitu jenis wawancara, struktur wawancara, syarat membuat pertanyaan, pedoman wawancara, wawancara dengan panel, dan pencatatan wawancara. 7.1 Jenis Wawancara Pada umumnya para peneliti mengenal dua jenis wawancara, yaitu: (1) wawancara berencana atau standardized interview; dan (2) wawancara tak-berencana atau unstandardized interview. Dalam wawancara berencana selalu disediakan daftar pertanyaan yang sebelumnya telah disusun. Semua informan diseleksi dan kepadanya diajukan daftar pertanyaan yang sama dalam tata urutan yang seragam. Urutan dan keseragaman itu penting untuk mendapatkan nilai seragam yang sama. Jika tidak akan sukar dibandingkan satu dengan yang lain. Wawancara berencana ini sama dengan kuesioner yang diajukan kepada responden secara lisan. Wawancara semacam ini bertujuan untuk mengukur pendapat umum atau tujuan komparatif. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 75 Wawancara berencana ini jarang digunakan dalam penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data informasi (Koentjaraningrat, 1991:138-39). Dalam wawancara tak berencana tidak disiapkan daftar pertanyaan dengan tata urut tetap. Meskipun demikian metode wawancara tak berencana dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu: 1. metode wawancara berstruktur atau structured interview; dan 2. metode wawancara tak berstruktur atau unstructured interview. Wawancara tak berstruktur (unstructured interview) juga dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu: 1. wawancara yang berfokus atau focused interview; dan 2. wawancara bebas atau free interview. Wawancara yang berfokus biasanya terdiri atas pertanyaan yang tidak berstruktur, tetapi harus selalu terpusat pada satu pokok permasalahan. Adapun pada wawancara bebas tidak memiliki pusat. Pada wawancara ini pewawancara beralih-alih pokok wawancara dari pokok masalah yang satu ke yang lain sehingga data yang terkumpul bisa beragam (Koentjaraningrat, 1991:139). Selain wawancara tersebut, masih ada suatu macam wawancara lain, yaitu wawancara sambil lalu atau casual interview. Sebenarnya model wawacara ini juga merupakan wawancara tak berencana, tetapi informan tidak diseleksi secara teliti, hanya dijumpai secara kebetulan atau sambil lalu di berbagai tempat dan peristiwa di mana peneliti dapat bertemu dengan banyak orang. Metode wawancara yang digunakan bisa berupa wawancara berstruktur, sistem berfokus, atau sistem bebas (Koentjaraningrat, 1991:140). Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 76 Dipandang dari sudut bentuknya wawancara dapat digolongan menjadi dua jenis, yaitu: 1. wawancara tertutup atau closed interview; dan 2. wawancara terbuka atau open interview. Wawancara tertutup terdiri atas pertanyaan-pertanyaan yang menghendaki jawaban-jawaban yang terbatas. Bahkan ada pertanyaan yang hanya meng- hendaki jawaban, ‘ya’ atau ‘tidak’. Berlawanan dengan wawancara terbuka, pertanyaan yang diajukan kepada responden atau informan menghendaki jawaban yang tidak terbatas. Dengan kata lain, informan dapat memberi keterangan- keterangan dan cerita-cerita yang panjang. Seluruh jenis wawancara yang telah dibicara tersebut dapat diringkas ulang dalam bagan berikut ini. Tabel 7.1 Ringkasan Model-Model Wawancara 1. W. Brencana 2. W. Tak Berencana 3. W. Sambil Lalu W.struktur W. Tak Berstruktur W. Berfokus W. Bebas W. Tertutup W. Terbuka Sumber: Kontjaraningrat. 1991. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. p.140 Data dalam penelitian kualitatif biasanya berupa kata-kata. Oleh karena itu, wawancara merupakan perangkat yang sedemikian penting. Dalam wawancra terstruktur, bahan-bahan wawancara disiapkan secara ketat. Sebaliknya dalam wawancara tak-berstruktur menghindari ketatnya struktur bahan. Akan tetapi belakangan muncul juga model wawancara kelompok (group intervie) yang Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 77 kemudian melahirkan model pengambilan data dengan teknik Focus Group Discussion (FGD). Jenis yang terakhir ini merupakan perangkat wawancara yang dilakukan secara simultan terhadap sejumlah individu, baik dalam situasi formal maupun informal (Fontana & Frey. 1994). Biasanya wawancara dalam penelitian kualitatif berlangsung dari alur umum ke khusus. Wawancara alur umum biasanya bertujuan untuk memberikan deskripsi dan orientasi awal periset prihal masalah dan subjek yang dikaji. Tema-tema yang muncul pada tahap ini kemudian diperdalam, dikonfirmasikan pada wawancara berikutnya, demikian seterusnya hingga mencapai titik jenuh. Dalam keadaan berwawancara tentang masalah yang mengandung titik minat, periset kualitatif dapat melkukan loncatan materi wawancara kepada responden yang secara natural memiliki informasi yang lebih banyak dan menjadi informan yang lebih penting (Salim, 2006:17). 7.2 Struktur Wawancara Dari sisi struktur, wawancara dibedakan menjadi empat model, yakni: 1. wawancara alamiah-informal; 2. wawancara dengan pedoman umum; 3. wawancara dengan pedoman terstandar terbuka; 4. wawancara tidak langsung. Pada model pertama, wawancara alamiah-informal, peneliti mengembangkan pertanyaan-pertanyaan secara spontan selama terjadinya percakapan antara periset dengan responden. Pada model kedua, wawancara dengan pedoman umum, peneliti hanya menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang telah disiapkan sesuai materi penelitian, yakni tema-tema yang harus diwawancarakan. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 78 Pemilihan tema disesuaikan dengan tujuan studi dan teori-teori yang digunakan. Dalam model ini, penting bagi periset untuk menentukan ‘konsep pencakup’ (covering term) dan ‘konsep tercakup’ (included term). Pada model ketiga, wawancara dengan pedoman terstAndar terbuka, biasa digunakan bila wawancara melibatkan bayak pengumpul data. Model ini ditempuh dengan membatasi jumlah variasi temuan yang muncul. Pada model empat, wawancara tidak langsung, merupakan teknik wawancara seperti pada model tiga, yaitu dilakukan oleh beberapa orang pengambil data (enumerator) yang karena suatu hal tidak dapat dilakukan sendiri oleh periset (Salim, 2006:17). Bias dan hambatan bisa ditemukan dalam pelaksanaan wawancara yang pada umumnya berasal dari keterbatasan etnik, ketidaksamaan budaya, perbedaan agama, perbedaan kelas sosial, dan perbedaan usia. Hambatan tersebut bersifat struktural. Oleh sebab itu, harus diatasi pula secara struktural. Sebagai misal, keputusan peneliti untuk melibatkan enumerator, ada baiknya dipilih anggota yang memiliki kesamaan etnik, agama, kelas sosial, dan usia agar membantu pengumpulan informasi secara lebih terbuka dan bersifat natural. Keempat struktur wawancara yang telah dipaparkan tersebut dapat digunakan secara bersama-sama di dalam satu studi. Namun, apapun model wawancara yang dipilih, hal terpenting yang herus dimiliki oleh peneliti kualitatif adalah keterampilan, kreativitas, dan kekuatan imfrovisasi dalam melakukan wawancara. Di samping itu, peneliti dituntut untuk menunjuikkan sikap yang fleksibel, objektif, dan tidak cenderung mengadili, empatik, persuasif, dan bersedia menjadi good listener terhadap subjek yang siteliti (Salim, 2006:18). Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 79 Poko-pokok wawancara biasanya berkenaan dengan tiga tema sentral, yakni tingkah laku, sistem nilai, dan perasaan subjek penelitian. Pertanyaan juga perlu didesain agar bisa mendapatkan jawaban yang valid. Pertanyaan sebaiknya didesain dalm bentuk terbuka, bersifat netral, tidak diwarnai oleh nilai-nilai tertentu atau bersifat mengarahkan. Selain itu, perlu dihindarkan pula istilahistilah teknis (Salim, 2006:18). 7.3 Syarat Membuat Pertanyaan Untuk semua bentuk wawancara, termasuk wawancara tertutup dan terbuka, peneliti harus mengajukan pertanyaan secara jelas dan kongkret, agar informan atau responden tidak bingung, ragu-ragu atau kabur dalam memberikan jawaban. Untuk itu, terdapat beberapa syarat dalam mengajukan pertanyaan, yaitu: 1. peneliti perlu menghindari penggunaan kata-kata yang memiliki dua atau lebih arti. 2. ajukan pertanaayn singkat, jelas, dan bersifat spesifik. 3. ajukan pertanyaan kongkret dengan petunjuk waktu dan lokasi yang jelas. Misalnya, dimanakah Anda waktu masih muda? (maksud pertanyaan ini kurang jelas). Lebih baik dajukan rumusan pertanyaan seperti, pada waktu anda masih bersekolah di SMA, Anda tinggal di kota mana? 4. ajukan pertanyaan kongkret yang terkait dengan pengalaman informan. Misalnya, apabila pemain kendang Anda sering salah atau tidak pas mengiringi pertunjukan wayang kulit yang Anda lakukan, apa keputusan yang Anda ambil untuk pertunjukan berikutnya? Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 80 5. peneliti sebaiknya menyebut semua alternatif jawaban yang diberikan oleh informan atau responden atas pertanyaan Anda, atau sebaliknya tidak menyebut sama sekali suatu alternatif. Misalnya, apakah pesinden tercantik diberi honorarium terbesar? Pertanyaan tersebut kurang baik, karena informan atau responden akan buru-buru menjawab “ya” atau “tidak” tanpa mengindahkan aturan main yang lain dalam memberi honorarium terhadap pengrawit wayang kulit dari dalang yang dijadikan informan. Aturan main itu bisa saja berupa senioritas atau masa kerja, profesionalitas dengan tingkat kemampuan yang melebihi rata-rata pengrawit yang lain dan sebagainya. Dalam menghadapi kasus seperti ini sebaiknya formulasi kalimat tanya diubah sebagai berikut. Pemberian honorarium para pengrawit dan sinden biasanya berdasarkan apa? 6. dalam wawancara mengenai sesuatu yang bisa membuat informan merasa malu, canggung, atau kagok, sebaiknya digunakan istilah yang dapat menghaluskan konsep atau membuatnya netral (euphemisme). Misalnya, dari pada menggunakan istilah “menghajar anak” lebih baik digunakan istilah “memarahi anak”. Dari pada menggunakan istilah “selingkuh dengan wanita lain”, lebih baik digunakan istilah bergaul dengan wanita lain sampai sejauh-jauhnya”. Kalau respon atau informan Anda seorang terpelajar, adakalanya digunakan istilah asing yang kedengaran intelek dan halus, misalnya istilah “memarahi anak” diganti dengan istilah “mendisiplinkan anak”, demikian seterusnya. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 81 7. gaya pertanyaan adakalanya perlu dinetralkan tanpa bermaksud mengubah arti, makdsud atau tujuan, agar suasana pembicaraan seakan-akan beralih, misalnya kepada orang yang pernah kena pengaruh komunis. Isi pokok pertanyaan yang hendak diajukan misalnya, apakah sebelum tahun 1965 Anda menjadi anggota BTI? Lebih baik bertanya: apakah sebelum tahun 1965 Anda berhasil melawan berbagai tekanan BTI dan menolak menjadi anggotaan organisasi itu? 8. gaya bertanya dalam wawancara juga sebaiknya tidak membuat informan atau responden merasa tersudutkan. Contoh, kalau Anda hendak mengganti seorang “pengendang” yang kurang trampil dalam mengiringi pertunjukan wayang kulit Anda, apakah Anda suka nyemoni atau menyindir dihadapan banyak orang atau penonton? Pertanyaan tersebut mungkin lebih baik dari pada, kalau pengendang Anda kurang trampil, apakah Anda langsung memarahinya pada saat dipanggung atau langsung menggantinya dengan pengendang yang lebih handal pada saat itu juga? 9. peneliti patut menghindarkan pertanyaan yang terpaksa dijawab secara positif oleh informan atau responden, sekalipun sesungguhnya jawaban itu mengandung pengingkaran yang bersifat negatif alias bohong. Misalnya, apakah Anda pernah melakukan coitus (selingkuh/bersetubuh) dengan seorang sinden?. Pertanyaan ini dengan mudah dijawab “tidak” oleh informan atau responden (misalnya seorang dalang terkenal yang laris). 10. dalam wawancara, katakanlah dengan seorang dalang hebat yang laris, yang harus menilai orang ketiga misalnya seorang pesinden cantik.. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 82 Penilaian yang diminta kepada informan/responden tersebut misalnya tentang sifat positif dan negatif pihak ketiga (sinden cantik) tersebut. Gaya pertanyaan menjadi misalnya, “dari kepribadian sinden “S” yang cantik itu, sifat apa yang paling Anda sukai, dan sifat apa yang paling Anda benci? Sumber: Koentjaraningrat, 1991. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal:141-42. Syarat pertanyaan yang diajukan pewawancara tersebut masih dapat diperluas untuk diterapkan dan dibiasakan. Agar wawancara dapat menarik sebanyak mungkin informasi/data dan rapport yang baik diperlukan kelihaian, pengalaman, dan bakat. Salah satu cara untuk mengantisipasi hal itu dapat ditempuh dengan jalan pengakraban dengan semua informan. Durasi waktu wawancara dibatasi oleh waktu dan tenaga dari informan dan pewawancara. Wawancara maksimal dapat dilakukan selama tiga jam (90 menit) kecuali dengan sistem “ngobrol”. Wawancara berencana dan wawancara berfokus biasanya kurang dari tiga jam, karena peneliti membaca secara ketat daftar pertanyaan dan mencatat jawaban informan. Hal ini dapat menyebabkan jemu dan lelah, serta harus diantisipasi dengan cara menambah volume kunjungan, misalnya dua atau tiga kali kunjungan. Setiap kunjungan diupayakan suatu rangkaian pertanyaan untuk memperoleh informasi/data yang utuh, bulat, atau lengkap tentang sub-sub unit yang digali (Koentjaraniongrat, 1991:143). Wawancara berstruktur seperti wawancara psikoterapi, atau wawancara untuk pengumpulan data individu, dan wawancara dengan metode genealogi Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 83 seringkali berlangsung lama, bahkan dalam puluhan kali kunjungan. Kemampuan waktu menjawab dari informan ada kalanya perlu diperpanjang atau dengan jalan mengajukan selingan pertanyaan tertutup dan terbuka, agar informan atau responden punya kesempatan untuk mengeluarkan isi hatinya atau untuk berbicara tentang dirinya. Batas waktu berwawancara perlu juga mempertimbangkan kesibukan dan waktu senggang terbaik yang telah disepakati, agar informan dapat menjawab pertanyaan dengan baik (Koentjaraniongrat, 1991:143-44). 7.4 Pedoman Wawancara Peneliti perlu menyusun pedoman atau panduan wawancara agar tidak kehabisan pertanyaan, sehingga mencari-cari pertanyaan di luar konteks. Pertanyaan operasional ini harus dirumuskan dengan sempurna berdasarkan pengetahuan tertentu peneliti tentang subjek penelitian. Isi pertanyaan harus jelas, supaya dapat menggali data untuk menjawab permasalahan penelitian. Dalam wawancara berencana dan berstruktur, pewawancara tidak akan kehabisan pertanyaan, karena tingggal membaca setiap kelimat tanya yang sudah disusun sebelumnya dengan seksama. Berbeda halnya dengan wawancara tak berstruktur, baik yang berfokus maupun yang bebas. Setiap kali akan melakukan wawancara, harus disiapkan sejumlah pertanyaan operasional, selain juga bisa dikembangkan pada saat berwawancara. Demikian seterusnya sehingga peneliti tidak kehabisan pertanyaan sesuai fokus penelitiannya. Jumlah pertanyaan yang diajukan disesuikan dengan tingkat keluasan obyek kajian. Semua catatan atau daftar pertanyaan yang digunakan dalam melakukan wawancara itu disebut dengan pedoman wawancara atau interview guide (Koentjaraningrat, 1991:144). Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 84 7.5 Wawancara dengan Panel Wawancara dengan panel merupakan satu strategi wawancara dengan cara mengumpulkan sejumlah responden atau informan yang telah diseleksi. Strategi wawancara ini berguna untuk penelitian tambahan yang bermaksud untuk mengumpulkan ‘pendapat umum’ mengenai suatu masalah atau peristiwa. Kalau diwawancarai secara terpisah sendiri-sendiri, seringkali orang memiliki kecenderungan untuk membesar-besarkan keadaan, karena informan mendapat kesempatan untuk memberi keterangan yang kurang benar. Sebaliknya, kalau diwawancarai bersama-sama dengan orang lain dalam kelompok, kehadiran orang lain akan menahan dan membatasinya (Koentjaraningrat, 1991:151). Suatu kelompok informan/responden yang diwawancara mengenai pendapat mereka tentang suatu peristiwa, biasanya terdiri atas individu-individu yang mewakili berbagai golongan dan lapisan masyarakat yang ada. Dalam wawancara, para anggota panel dapat saling batas-membatasi, maupun saling isimengisi (Lazarsfield, Fiske dalam Kontjaraningrat, 1991:151). 7.6 Pencatatan Wawancara Pencatatan data hasil wawancara merupakan suatu aspek utama yang amat penting dalam wawancara, karena kalau pencatatan tidak dilakukan dengan semestinya, sebagian dari data akan hilang, dan banyak usaha wawancara akan sisa-sia belaka. Adapun pencatatan wawancara dapat dilakukan dengan lima cara, yaitu: 1. pencatatan langsung 2. pencatatan dari ingatan; Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 85 3. pencatatan dengan alat recording; 4. pencatatan dengan field rating; 5. pencatatan dengan field coding. Pencatatan Langsung. Pencatatan langsung pada suatu wawancara merupakan cara yang terbaik untuk memelihara data hasil wawancara. Para ahli psikologi mewajibkan para penelitinya mencatat jawaban informan setepat mungkin, kata demi kata, karena data psikologi dapat dilihat justru dalam detil dari ucapan orang. Sebaliknya, peneliti ilmu sosial lain cukup puas dengan pencatatan isi dari jawaban-jawaban (sesaat setelah wawancara), walaupun pencatatan isi sudah tentu harus setepat-tepatnya (Kontjaraningrat, 1991:152). Wawancara untuk penelitian genealogi biasanya membutuhkan suatu lembaran kertas lebar, paling sedikit empat kertas ukuran folio untuk mencatat tanda-tanda genealogi tertentu, seperti nama dan istilah kerabat untuk berbagai catatan tambahan. Peneliti juga dapat menggunakan buku catatan biasa untuk mencatat bagian-bagian silsilah, tetapi setiap lembar/helai kertas harus diberi tanda atau kode agar nanti dapat disambung-sambung informasinya pada lembar kertas yang lebar. Namun demikian ada pendapat yang mengatakan, bahwa peneliti yang mencatat langsung wawancaranya di hadapan informan pada umumnya bisa mempengaruhi suasana dan mengganggu kelancaran wawancara, karena informan bisa ragu-ragu dan curiga. Akibatnya keabraban suasana bercakap-cakap dalam wawancara akan terganggu. Oleh karena itu, dianjurkan melakukan wawancara tanpa pencatatan langsung. Jawaban informan diingatingat dan disimpan dalam ingatan dan pencatatan dilakukan usai wawancara. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 86 Dalam wawancara dengan pencatatan dari ingatan peneliti tidak perlu membawa buku catatan dan wawancara dapat dilakukan seperti orang mengobrol dan tidak mengganggu rapport wawancara. Wawancara seperti ini hanya terdapat pada wawancara tak terencana, sedangkan pada wawancara berstruktur tidak mungkin dikerjakan tanpa pencatatan langsung. Hanya wawancara tak berstruktur dan wawancara sambil lalu saja yang dapat dilakukan tanpa buku catatan. Wawancara dengan mencatat ingatan bisa melupakan sebagian keterangan penting, sehinga sari-sari yang ditonjolkan informan hilang. Oleh sebab itu perlu dipertimbangkan, bahwa lebih baik sedikit terganggu dengan pencatatan langsung dari pada kehilangan data penting dari informan (Kontjaranigrat, 1991:152-53). Pencatatan dengan alat recording. Alat-alat semacam ini pada masa sekarang amat memudahkan wawancara, karena dapat mencatat jawaban secara tepat sampai pada detil-detil yang kecil. Sekarang, alat-alat elektronik berukuran kecil yang mudah dibawa, tanpa aliran l;istrik, dan persiapan tidak terlalu rumit, dan dapat diletakkan secara tidak menyolok. Selain itu, kalau informan sempat mendengarkan suaranya sendiri mungkin ingin memperbaiki atau mengubah pernyataannya (Koentjaraningrat, 1991:153). Mengetik suara hasil wawancara dari tape membutuhkan waktu sekitar lima jam, sehingga mengetik hasil wawancara menjadi mahal. Itulah sebabnya banyak peneliti menyimpan hasil wawancara dalam kaset-kaset tape recorder, setelah kaset-kaset itu didaftar dan diklasifikasikan isinya. Pada waktu peneliti menyusun laporan, peneliti (Koentjaraningrat, 1991:154). Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. menganalisa bahannya langsung dari tape 87 Pencatan dengan Angka atau Kata-kata yang menilai. Pencatatan serupa itu yang dalam ilmu sosiologi sering disebut dengan istilah field rating, dilakukan oleh peneliti pada wawancara berencana. formulir pengisian mengenai data Peneliti membuat kuesioner atau yang hendak dikumpulkan, dan mempertimbangkan jawaban yang dapat digolongkan ke dalam beberapa golongan dengan diberi angka nilai kata nilai. Misalnya orang ingin mengukur tanggapan dan penilaian umum mengenai fungsi pertunjukan wayang ritual “ruwatan” di suatu tempat dengan wawancara suatu sampel dari informan (diadaptasi dari Koentjaraningrat, 1991:154). Jawaban yang diberikan oleh seluruh informan tidak dicatat seluruhnya oleh peneliti, tetapi dinilai (diberi rating) dengan enam kata yang tetap, yaitu: 1. amat berguna sekali; 2. amat berguna; 3. berguna; 4. tak berguna; 5. merugikan; dan 6. tak menilai. (Koentjaraningrat, 1991:154). Pengukuran pendapat umum tentang suatu hal atau suatu peristiwa dalam masyarakat biasanya dilakukan dengan metode kuesioner biasa. Akan tetapi ada baiknya juga dilakukan dengan metode field rating sebagai tambahan terhadap metode kuesioner untuk memperdalam pengertian peneliti. Cara ini bertujuan untuk membandingkan kemungkinan terjadi perbedaan hasil kuesioner (yang diisi oleh responden) dengan wawancara field rating. Biasanya terdapat perbedaan Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 88 hasil pengumpulan data di antara keduanya. Perbedaan itu disebabkan karena tidak adanya komunikasi antara informan dengan peneliti. Gerak, sikap, nada dan tekanan suara, serta ekspresi wajah informan yang diobservasi turut menentukan penilaiannya terhadap jawaban informan (Koentjaraningrat, 1991:154-55). 7.7 Pencatatan Data dengan Kode. Pencatatan serupa itu, yang di dalam ilmu sosial disebut filed coding hampir sama dengan metode field rating. Hanya saja peneliti tidak memberi nilai jawaban informan. Jawaban informan diberi kode saja, suatu leter atau tanda lain untuk mengkhiaskan jawaban-jawaban ke dalam kerangka permasalahan penelitian. Metode pencatatan serupa itu, dapat dilakukan dalam wawancara berencana. Metode ini paling cocok digunakan dalam wawancara yang menggunakan pertanyaan-pertanyaan tertutup. Hal yang termudah dikode adalah jawaban “ya” atau “tidak”, sehingga diberi kode positif atau negatif (Koentjaraningrat, 1991:155). 7.8 Instrumentasi Perangkat instrumentasi diperlukan untuk memperoleh kekayaan informasi. Namun mengingat sifat fleksibilitas desain dalam penelitian kualitatif, instrumentasi tidak merupakan hal yang kaku. Miles dan Huberman (1992:59-61) mengajukan tiga argumen yang melatari instrumen penelitian kualitatif, yakni: 1. Tidak ada instrument sebelumnya. Argumentasi ini menyatakan bahwa sebelum dilakukan pengambilan data, peneliti kualitatif tidak perlu menentukan teknik dan instrumen terlebih dahulu. Teknik dan Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 89 instrumen yang paling mungkin baru disusun dan dan ditetapkan bersamaan dengan aktivitas pengumpulan data. 2. Banyak instrumentasi sebelumnya. Argumen ini menyatakan bahwa peneliti mengetahui benar prihal yang diburu. Tidak ada alasan untuk tidak merencanakan sebelumnya, bagaimana mengumpulkan informasi. 3. Tergantung. Argumen ini menganggap bahwa kehadiran atau penggunaan instrumentasi sangat bergantung pada penelitian itu sendiri. Setelah memperhatikan ketiga argumen tersebut dan di luar keberadaan peneliti sebagai instrumen, maka penggunaan instrumen dalam penelitian kualitatif biasanya dilakukan dengan mengambil jalan tengah, yakni dengan menggunakan instrumen tambahan, sepanjang hal tersebut tidak mempengaruhi sisi alamiah dari aktivitas penggalian data (Salim, 2006:19). 7.9 Pengetahuan Praktis dan Ilmiah Pembentukan visibitas tatanan sosial memerlukan byektivasi yang bukan hanya kegiatan ilmiah. Bagi penelitian seni kegiatan ilmiah itu sendiri adalah hasil pegetuhuan praktis yang dapat menjadi suatu obyek peneltian atau kajian. Kajian seni terlembaga atas dasar pengenalam kemampuan berpikir, merenung, menafsirka kemampuan yang khas dari aktor sosial yang disebut dengan istilah seniman (Cuolon,2008:58-59). Kemampuan praktis tiada lain adalah kemapuan menafsirkan segala yang dimiliki oleh individu seniman praktisi, pengamat seni, kritikus seni, dan budayawan, serta masyarakat awam dalam ritunitas disekitar kegiatan seni. Prosedur diatur oleh pengetahuan umum. Penafsiran ditampilakan sebagai ha yag Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 90 tidak terpisahkan dari tindakan senina dan karyanya dan sebagai sesuatu yang terbagi dan menjadi milik masyarakat dan aktor itu sendiri. Modus pengetahuan ilmiah tidak berbeda dengan modus pengetahuan praktis ketika mempertemukan kedua modus tersebut dalam sebuah kajian. Naturalistik bahasa ungkap yang dipakai terkadang terintervensi kode-kode bahasa ilmiah yang bisa menyebabkan pergeseran-pergeseran makna budaya jika tidak dicermati dalam sikap yang super hati-hati. Hal ini memprasyaratkan bahwa pengetahuan yang mendalam tenatng dunia pratik seni dibutuhkan oleh peneliti. Evakuasi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Jelaskan pengertian wawancara? Jelaskan jenis-jenis wawancara? Apa perbedaan anatara wawancara berstruktr dan tak berstruktr? Apa yang dimaksud dengan wawancara terfokus? Pertanyaan yang bagaimana patut dihindarkan dalam wawancara? Bagaimana kelemahan wawancara tak terencana? Bagaimana pendapat Miles dan Huberman tentang instrumentasi? Kebutuhan instrumentasi penelitian tergantung penelti. Apa arti kata tergantung pada kelimat terseut? TIK 14 Mahaisiswa melakukan pengamatan dan wawacara sebagai tindak lanjut dan pemantapan pengamatan dan wawancara terdahulu, sehingga fenomena yang diteiti semakin jelas sosoknya. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 91 BAB VIII. RELIABILITAS DAN VALIDITAS DATA KUALITATIF TIK 15 : setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa dapat menjelaska reliabilitas dan validitas data kulaitatif Kata kunci dalam penggunaan metode penelitian kualitatif adalah adanya pergeseran yang cukup berarti dari aspek-aspek ontologi, epistemologi, dan metodologi dalam ilmu pengetahuan. Alur berpikir dalam metode kualitatif bersifat historis, interaksional, dan struktural. Metode ini berupaya mengidentifikasi keragaman yang melekat pada setiap kajian, baik yang berbentuk pengujian terhadap masalah utama, isu personal, sampai dengan masalah pribadi yang dibatasi oleh fakta historis. Tatkala terjadi tarik menarik antara pengalaman yang dimiliki dan sumber penelitiannya, dalam diri periset kualitatif berkembang suatu kesadaran diri (sefl-consciousness) untuk berpikir secara reflektif, historis, dan biografis. Implikasi penting dari hal ini adalah perlunya usaha untuk menemukan strategi dari penelitian empiris yang akan menghubungkan pengalaman hidup, keluasan masyarakat, dan struktur kebudayaan (Salim, 2004:105). Lebih jauh, periset kualitatif mengAndaikan penelitian sebagai ‘proses aksi-refleksi-aksi; yaitu interaksi antara orang luar dengan orang yang sudah tidak lagi menempatkan dirinya sebagai pakar, malinkan sebagai ‘kawan’, ‘teman’, atau ‘saudara’, bagi masyarakat setempat. Periset menjalankan fungsi sebagai katalisator bagi perkembangan masyarakat setempat. Dari sini dapat dikatakan, bahwa sumber-sumber perdebatan penting dari proses penelitian itu adalah penduduk yang dapat memberikan kontribusi dalam bentuk gagasan, informasi, wawasan, Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 92 dan lebih dari semua itu menyediakan kontek bagi penelitian (Fernandes & Tandon, 1993:xxx). Penelitian kualitatif memiliki spesifikasi dalam epistemologi realis, dan mengimplikasikan suatu kerangka yang berkembang dari konteks lokal yang kecil namun fungsional. Metode-metode pengumpulan data dan metode analisis data harus pula menyumbang ke arah pemahaman atas situasi makro dalam konteks makronya (Salim, 2004:105). Metode-metode penelitian harus mengarah pad tindakan. Tendensi tradisional dan konvensional dalam penelitian sosial yang menjadi ‘pseudoobjektif’ dan yang menyembunyikan premis-premis nilai dalam pendekatan partikuler harus memberi tempat bagi kajian yang secara sadar difokuskan pada penduduk agar menjadi perantara (agen) perubahan. Pengetahuan dan hasil-hasil yang dipelajari tidak lagi dibatasi oleh periset, melainkan justru dimiliki bersama oleh semua penduduk. Mengetahui tindakan manusia, yakni apakah yindakan tersebut bermakna bagi pelakunya, merupakan hal yang cukup penting bagi periset. Berkenaan dengan hal ini, Stuart A. Schlegel (1977) mengemukakan secara singkat tiga aspek pokok dalam tingkah laku manusia, yaitu: 1. manusia selalu bertindak sesuai dengan makna (yang dimiliki, dan dialami demi mendapatkan pertimbangan dan juga semua unsur kehidupan, baik fisik maupun non fisik). Dengan demikian, manusia akan memiliki makna yang beragam objek, terinci, dan mendalam, sehingga menjadikan dirinya cenderung lebih bersifat personal. 2. makna yang muncul selalu dihasilkan dari interaksi sosial antar orang perorang; Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 93 3. manusia harus selalu dapat menafsirkan makna dari hal yang ia terima, sebelum ia sendiri mampu bertindak sesua dengan makna tersebut (Salim, 2004:106). Dalam mengumpulkan data lapangan, periset sosial sering mengabaikan makna, karena hal itu dinilainya tidak penting dan cenderung menganggap tingkah laku manusia sebagai suatu respon atas serangkaian rangsangan yang berasal dari luar akal para pelakunya. Sosiolog, biasa mengabaikan perilaku seseorang dan mereduksinya sebagai buah dari status dan peran sosial, nilai budaya ataupun kesadaran kelompok. Dengan kata lain, munculnya tingkah laku disebabkan oleh alasan-alasan lain di luar pikiran pelakunya, dan bukan disebabkan oleh alasan-alasan yang terdapat dalam pikirannya. Oleh karena itu, para sosiolog mengatakan, bahwa makna tidak harus dipertimbangkan (Salim, 2004:106). Mempersoalkan makan perilaku manusia memang unik dan menarik. Bagi para pendukung realisme, makan objek hanyalah sebagian dari objek itu sendiri (simply part of the object itself). Pendek kata, makna hanya lahir dari objek itu sendiri. Bagaimana periset dapat melihat utuh tidaknya suatu bangunan, sementara hanya melihatnya dari satu sisi? Pertanyaan kritis semacam ini bertentangan dengan kelompk idealis-postivis yang berpandangan bahwa makna lahir dari penginderaan, ingatan, sikap, dan lin-lain. Dengan kata lain, makna adalah apa yang dipikirkan oleh pengamat itu sendiri (whatever the observer thinks about it) (Salim, 2004:107). Kedua pendapat tersebut akan menjelaskan kedudukan penelitian kualitatif, utamanya perihal objektif yang didasarkan atas kepercayaan pada data- Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 94 data lapangan. Pemahaman tentang makna sesungguhnya tidak perlu diperdebatkan secara tajam, pasalnya makna akan selalu muncul sebagai hasil dari interaksi sosial. Untuk dapat mengartikan makna, periset hanya perlu mempercayai bahwa apa yang ditangkap indera adalah betul-betul informasi yang dibutuhkan dalam penelitian kualitatif. Sayangnya, selama ini banyak orang tidak percaya terhadap hasil penelitian kualitatif. Aspek epistemologis, upaya untuk mendekatkan subjek dan objek penelitian sedari awal disangsikan lantaran hal itu dapat melahirkan ‘bias’ yang secara sistematis sudah melekat pada proses kegiatan penelitian. Dari aspek metodologi, prinsip partisipasi dan dialektika memang dapat muncul bersama dan saling melengkapi. Masalahnya, bagaimana periset dapat menjamin ‘objektivitas’ informasi dari para aktor sosial? Dalam penelitian etnografi, kesangsian itu telah melahirkan sejumlah krisis reperensi, sementara model triangulasi memerlukan persiapan waktu yang cukup panjang (salim, 2004:107). Sebetulnya para periset kualitatif telah berusaha menunjukkan adanya prosedur yang melekat dan spesifik dalam kegiatan penelitian. Strauss & Corbin (1990) dalam proses analisis data untuk Grounded Theory, misalnya, telah menempatkan adanya ‘kesatuan perbandingan’ (constantly comparing), yaitu semacam kesatuan alngkah untuk menggunakan cara berpikir logika induktif dan deduktif. Keterampilan ini ditunjukkan dengan cara membuat kartu-kartu untuk memberi urutan sistematika yang logis, sebab setiap periset memiliki keterbatasan daya ingat dan kepiawaian dalam mengola data. Selanjutnya dalam untuk meningkatkan objektivitas data dalam pelaksanaan studi kasus, Yin (1989) telah menggunkan tiga langkah utama, yaitu: Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 95 1. periset membuat pola-pola perbandinganantara hasil yang dicapai dengan pola ramalan yang berasal dari teori; 2. periset membuat kerangka penjelasan (explanation building) dan melihat linkege hubungan kausal, dan atau penyelidikan yang masuk akal, atau penjelasan sebaliknya. Periset dapat pula membuat penjelasan pada setiap kasus. 3. Periset membuat analisis time-series (time-series analysis), yaitu ketentuan waktu pada setiap kejadian. Hal itu sama dengan analisis time series dalam kegiatan eksperimen dan quasi-eksperimen. 9.1 Reliabilitas Sebagaimana dibahas sebelumnya, penelitian kualitatif memiliki kriteria reliabilitas (keterAndalan) dan validitas (kesahihan). Reliabilitas mempersoalkan prihal keterukuran, sedangkan validitas mempersoalkan ketepatan instrumen dalam kaitan dengan temuan di lapangan. Jadi dalam penelitian kuantitatif, pengertian reliabilitas lebih menunjuk pada aspek keterAndalan, yaitu tingkat kepercayaan dan konsistensi indikator penelitian. Ini berbeda dengan cakupan reliabilitas dalam penelitian kualitatif, yaitu: quixotix reliability (kepercayaan dari lamunan), diachronic reliability (kepercayaan menurut sejarah) dan synchronic reliability (kepercayaan karena kesesuaian). Menurut Jerome Kirk and Marc L. Miller (1985:42-43), masalah reliabilitas penelitian kualitatif menyangkut temuan yang hidup setiap hari. Masalah kepercayaan sangat tergantung pada esensi eksplisit dari setiap prosedur kegiatan penelitian sehingga berguna untuk membedakan beberapa macam reliabilitas (Salim, 2004:108). Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 96 Quixotic reliability berikisar pada keadaan, yakni digunakannya satu metode observasi secara teratur di lapangan untuk menghasilkan ukuran yang tidak berubah. Masalah yang dapat timbul dari jenis reliabilitas ini adalah pengertian yang dapat menyesatkan lantaran sepenuhnya tergantung pada periset dalam melakukan pengelolaan data. Tidak jarang suatu percakapan menjadi bias, tidak ditafsirkan dengan makna yang lebih kaya (padahal menurut sang pelaku, peristiwanya cukup sederhana) (Salim, 2004:108). Diachronic Reliability menunjuk pada kegiatan observasi yang atabil atau teratur di suatu waktu. Dalam pengertian yang konvensional, reliabilitas menurut konteks sejarah diakronis menunjuk pada adanya persamaan kegiatan pengukuran atau temuan yang selalu berbeda di setiap waktu. Akibatnya, ketepatan informasi dalam bentuk data sangat tergantung pada konteks periodisasi waktunya. Setiap peristiwa dihasilkan dari yang mengalir dan kondisi yang berbeda, sehingga timbul keragaman dan persamaan (Salim, 2004:109). Synchronic Reliability menunjuk pada persamaan kegiatan observasi dalam periode waktu yang sama. Berbeda dengan dua reliabilitas terdahulu, sychronic reliability menunjuk kepada kesesuaian setiap kegiatan observasi. Pada kegiatan observasi dalam struktur masyarakat yang berbeda, wajar dan alamiah bila seringkali didapati persamaan fenomena sosial. Hal ini dapat dicari dan dirunut dari pola-pola kebudayaan yang melingkupinya (Salim, 2004:109). 9.2 Validitas Tidak ada penelitian yang dapat secara sempurna mengontrol dan mengukur dengan instrumen yang tepat. Semua alat pengukuran mengandung Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 97 keraguan; apakah alat-alat tersebut benar-benar dapat digunakan untuk mengetahui secara tepat berbagai indikator yang hendak diketahui. Dalam penelitian kualitatif, diakui oleh berbagai kalngan, bahwa peralatan yang dipakai mengandung tingkat ketepatan yang sangat terbatas. Hal ini jauh berbeda dengan penelitian laboratorium yang mendukung penelitian dalam bidang ilmu pengetahuan alam dan teknologi. Ketepatan penggunaan instrumen sangat bergantung pada persoalan penelitian dan pada hubungannya dengan teori yang digunakan (Salim, 2004:109). Untuk memahami validitas penelitian kualoitatif, kiranya mensyaratkan penguasaan pengetahuan mendasar tentang penggunaan atau penerapan teori penelitian (mencakup cara berpikir paradigmatik) yang menjadi acuan utama dalam pembuatan instrumen penelitian. Pengetahuan mendasar tersebut mencakup persoalan: 1. Apakah instrumen penelitian dapat menggali sosok masalah yang seharusnya di dapat di lapangan sesuai dengan keberadaan teori penelitian yang digunakan? 2. Bagaimana dari setiap bagian dari penelitian tersebut dapat menjadi tAnda adanya hubungan sebab-akibat (sehingga dapat diperkirakan lingkup generalisasi yang menjadi dasar simpulan, kekuatan teori yang diaras secara empirik, serta pemahaman yang baik dan unsur replika yang rterjadi di lapangan (Salim, 2004110). Untuk menjawab dua masalah tersebut, Luther (1993) menyebut lima bentuk validitas, yaitu: reflective validity, ironic validity, neo-pragmatic validity, Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 98 rhizomatic validity, dan situated validity. Penamaan masing-masing validitas tersebut melukiskan tantangan dan tuntutan dari setiap konsepsi validitas. Menurut Luther, penelitian kualitatif dianggap sah sepanjang masing-masing alat pengukurnya dilekati oleh lima macam validitas tersebut. 1. Refelctive Validity. Validitas ini harus dapat merefleksi setiap unsur yang hendak diukur, misalnya bagaimana merefleksi ukuran pendapat individu dalam suatu komunitas bila dibandingkan dengan pendapat kelompok? Apa ukuran yang dapat diambil? 2. Ironic Validity. Ukuran sah tidaknya suatu instrumen sebenarnya baru dalam penjajagan, sebab semua ukuran yang dipakai dapat meniadakan ukuran yang lain, tergantung pada masalah riil yang dihadapi. Demikian pula sebaliknya, setiap ukuran mungkin pula tidak lebih dari yang lain. Jadi, selalu ada kemungkinan untuk menentukan jenis alat ukur yang paling pas untuk masalah yang dikaji. 3. Neo-pragmatic Validity. Tampaknya posisi periset dalam penelitian kualitatif menjadi cukup sulit untuk mendapatkan pokok kebenaran dalam ilmu pengetahuan, sebab periset akan selalu menghadapi wacana yang sangat beragam. Kebenaran ilmu hanya di dapat dalam kerangka kerja yang mengutamakan kritik terhadap berbagai masalah yang dihadapi. 4. Rhizomatic Validity. Validitas ini memberi gambaran bahwa tidak ada peristiwa yang terjadi secara linear, tetapi merupakan kejadian dengan Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 99 banyak perhatian sehingga banyak cerita yang dapat diungkap sebagai kebenaran yang sahih. 5. Situated Validity. Validitas ini ingin menggambarkan bila periset ingin melihat, misalnya kebenaran validitas veminis dalam situasi yang didominasi oleh pengaruh pria, sementara perempuan ingin mengekspresikan perilakunya secara beragam, seperti penampilan, emosi, dan sifat keibuannya. Dalam kehidupan perempuan Indonesia, perjuangan feminisme mungkin tidak tertuju pada persamaan hak, tetapi lebih kepada toleransi dan empati dari kedudukan seksual mereka yang berbeda. Jadi, dalam penelitian kualitatif, persoalan konteks merupakan faktor dominan dalam menganalisis situasi atau fenomena sosial tertentu (Salim, 2004:111). Pendapat yang lebih sederhana dari pendapat Luther di atas dikemukakan oleh Jerome Kirk and L. Miller (1985:22-28). Menurut mereka, validitas penelitian kualitatif memiliki tiga tampilan utama, yaitu: apperent validity, instrumental validity, dan theoritical validity. 1. Apparent Validity. Validitas ini menggambarkan keadaan nyata dari fenomena sosial yang diteliti, melalui prosedur pengamatan yang jelas dengann harapan agar dihasilkan data yang valid. Meski jenis validitas ini jarang dijumpai dalam penelitian sosial, tetapi untuk beberapa kasus tertentu dan berdasarkan teori yang tepat dapat diperoleh keadaan yang ‘on the face of thing’ (mendapat sesuatu yang nyata seperti yang dipikirkan). Untuk mendekatkan keadaan nyata tersebut, konsep penelitian yang Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 100 tergambar dalam indikator-indikator penelitian harus memiliki kejelaskan sehingga bisa memperoleh respon yang sesuai dari para informan. 2. Instrumental Validity. Validitas instrumental ini menyAndarkan pada prosedur penerimaan yang valid. Validitas ini juga menunjukkan kepada penggunaan praktis dan sejumlah kriteria yang harus dimiliki oleh instrumental penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, validitas instrumental diarahkan pada kemampuan alat penelitian dalam mendapatkan informasi yang lengkap, tepat, dan sesuai dengan tujuan penelitian. Oleh karena itu,acuan utamanya adalah pada kemampuan periset dalam menyampaikan sejumlah pertanyaan agar dapat dimengerti oleh pihak informan. Selain itu, juga kemampuan periset untuk membaca seluas mungkin dan secara tepat (memperkecil bias yang mungkin timbul atas informasi yang diberikan oleh informan. 3. Theoritical Validity. Validitas teoritis dapat pula disebut sebaga validitas gagasan atau validitas konsepsional yang menempatkan validitas dari sisi substansi teori yang digunakan. Dalam hal ini juga dilihat jenis paradigma yang mendasari pembentukannya. Sebagai contoh, pengertian tentang konsep ‘anomie’ sebagaimana yang digagas Dhurkheim akan sangat tergantung kepada model kebudayaan dari masyarakat pendukungnya. Jenis masyarakat industri bagaimanakah yang mengakibatkan timbulnya perilaku tersebut? Jadi, keberadaan konsep reliabilitas dan validitas laksana dua sisi dari satu mata uang. Keduanya tidak terpisah satu dengan yang lain. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. Reliabilitas 101 berhubungan dengan tingkat kehandalan data, dan validitas berhubungan dengan kesahihan data. Dalam konteks ini, hal terpenting dari setiap penelitian kualitatif adalah checking the reliability, yaitu bagaimana kekuatan data dapat menggambarkan keaslian dan kesederhanaan nyata dari setiap informan. Suatu isu yang menarik akan membuat periset etnografi berani mengambila sikap untuk mengadakan penelitian ulang agar kemudian diperoleh temuan yang lebih menarik. Sedangkan checking the validity berhubungan dengan evaluasi awal dari kegiatan penelitian di lapangan, yang penuh perhatian terhadap situasi penelitian di lapangan, waktu dan sispa informan yang hendak ditemui, terhadap masalah penelitian, dan terhadap aklat yang akan digunakan (Salim, 2004: 111-12). Terma-terma yang berkembang di seputar validitas dalam penelitian kualitatif berbeda dengan terma-terma yang berkembang dalam penelitian kuantitatif. Seperti disebut oleh Guba dan Lincoln (dalam Denzin dan Lincoln, 1994:114; Poerwandari, 1994:116-29), sampai saat ini terdapat empat terma paralel antara kajian kualitatif dan kuantitatif di seputar validitas penelitian, seperti pada gambar berikut. Gambar 9.1 Paralelitas Kajian Kualitatif dan Kuantitatif Kualitatif Kuantitatif Cridibility berpadanan dengan validitas internal Transferability berpadanan dengan validitas eksternal Dependability berpadanan dengan realibility/keajegan Confirmability berpadanan dengan objektivitas Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 102 Di samping itu, terdapat penjelasan lain yang menyebutkan adanya empat konsepsi validitas dalam penelitian kualitatif, yakni 1. validitas kumulatif; 2. validitas komunikatif; 3. validitas argumentatif; dan 4. validitas ekologis. Validitas kumulatif mengacu pada kesamaan atau keserupaan antara satu temuan studi dengan temuan studi lainnya tentang topik yang sama. Validitas komunikatif mengacu pada derajat konfirmasi temuan dan analisi temuan kepada subjek penelitian. Validitas argumentatif merujuk pada kekuatan dan kesesuaian logika dan rasionalitas yang dibangun peneliti dalam merepresentasikan hasil studi dan analisisnya yang dapat dibuktikan secara terbalik dengan data mentah. Validitas ekologis mengacu pada derajat pemenuhan karakter natural studi (Salim, 2006:20). Secara umum, langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk menjaga dan meningkatkan kredibilitas dalam studi kualitatif adalah memperpajang dalam keikutsertaan dalam setting penelitian dan triangiulasi. Cara lainnya, adalah ketekunan pengamatan, pemeriksaan sejawat (peer validation), analisis kasus negatif, dan kecukupan referensial. Triangulasi adalah upaya memeriksa validitas data dengan memanfaatkan hal lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau pembanding ( Moleong, 2000:178). Triangulasi dapat dilakukan atas dasar sumber data, teknik pengambilan data, waktu, dan teori. Untuk itu kerja triangyulasi dapat dilakukan dalam empat langkah, yaitu: Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 103 1. Data yang diperoleh pada satu kesempatan diperiksa kembali kebenarannya pada kesempatan yang lain; 2. Data hasil obervasi dengan data wawancara; 3. Data wawancara dengan dokumen terkait, termasuk teori pendukung; dan 4. Data dari narasumber tertentu dengan narasumber lain. Evaluasi Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 104 BAB IX. ANALISIS DATA STUDI KUALITATIf TIK 16 Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa dapat menjelaskan dan mengaplikan dalam tugas. ‘Data don’t for themselves’, demikian kata banyak penulis. Penelitian yang kaya data tidak akan berarti jika data tersebut tidak dirangkai dalam struktur makna yang baik. Proses analisis data studi kualitatif digambarkan oleh Strauss & Corbin sebagai berikut. ...data are broken down to discrete parts, closely exemined, compared for similarittes and differences, and question are asked about the phenomena as reflected in the data. Through this process, one’s own and others’ assumptions about phenomena are questioned or explored, leading to the new discoveries. Senada dengan pernyataan itu, Jorgensen (Poerwandari, 1994) menyebut analisis sebagai: ...a breaking up, separating or disassembling of research materials into pieces, parts, elements, or units. With the facts broken down into manageable pieces, the researcher sorts and shifs them, searching for types, classes, sequences, patters, or wholes. Gambar 10.1 Komponen Analisis Data Model Alir (flow model) Masa Pengumpulan Data .......................................................... Reduksi Data --------------------------------------Antiipasi Selama Pasca Penyajian Data --------------------------------------Antiipasi Selama Pasca Penarikan Kesimpulan/Verifikasi --------------------------------------Antiipasi Selama Pasca Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. A N A L I S A 105 Sumber: Matthew B. Miles & A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. Hlm. 18. Perlu di sini ditandaskan mengenai reduksi data, karena sangat erat kaitannya dengan substansi penelitian. Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyerderhanaan, pengabstraan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlagsung terus-menerus selama proyek yang berkonotasi kualitatif. Bahka data benar-benar terkumpul antisipasi akan adanya reduksi datasudah tampak waktu penelitiannya memutuskan (acapkali tanpa disadari sepenuhnya) kerangka konseptual wilayah penelitian, permasalah penelitian, pendekatan pengumpulan data yang mana dipilihnya. Selama pengumpulan data berlangsung, terjadi tahapan reduksi selanjutnya (membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, menulis memo). Reduksi data/proses transformasi ini berlanjut terus sesudah penelitian lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun (Miles dan A. Michael Huberman, 1992:16). Reduksi bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis. Ia merupakan bagian dari analisis. Pilihan-pilihan peneliti tentang bagian data mana yang dikode, mana yang dibuang, pola-pola mana yang meringkas sejumlah bagian yang tersebar, cerita=cerita apa yang berkebang, semuanya itu merupakan pilihanpilihan analisis. Reduksi data merupakan satu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan,mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan final dapat ditarik dan verifikasi (Miles dan A. Michael Huberman, 1992:16). Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 106 Secara sederhana dapat dijelaskan, bahwa dengan reduksi data kita tidak mengartikannya sebagai kuantifikasi. Data kualitatif dapat disederhanakan dan ditransformasi kedalam aneka macam cara, melalui seleksi yang ketat, melalui ringkasan atau uraian singkat, menggolongkannya ke dalam satu pola yang lebih luas, dan sebagainya. Kadangkala dapat juga mengubah data ke dalam agkaangka atau peringkat-peringkat (misalnya, seorang penganalisis memutuskan untuk memandang kondisi wilayah penelitian ke dalam suatu kategori “tinggi” atau “menengah” daam hal pemusatan administrasinya), tetapi tindakan seperti ini tidak selalu bijaksana. Bahkan kalau tindak itu tampaknya sebagai satu strtegi analitik yang baik, pedomannya sebagai berikut. Biarkan saja angka-angka dan kata-katauntuk menguraikan angka-angka itu ada berama-sama dengan anailisis anda berikutnya. Dengan cara itu, peneliti dapat menepis data yangada dari konteks di mana data itu terjadi atau diperoleh (Miles dan A. Michael Huberman, 1992:16-17). Berbeda dari analisis data pada studi kuantitatif – yang dilakukan sesuai dengan aktivitas pengumpulan data, proses analisis data kualitatif berlangsung selama dan pasca pengumpulan data. Proses analisis mengalir dari tahap awal hingga tahap penarikan kesimpulan hasil studi. Miles dan Huberman mengatakan analisis data kualitatif sebagai model alir (flow model) (Salim, 2006:21). Meskipun demikian, proses analisis tidak menjadi kaku oleh batasanbatasan kronologis tersebut. Komponen-komponen analisis data (yang mencakup reduksi, penyajian data, dan penarikan simpulan) secara interaktif saling berhubungan selama dan sesudah pengumpulan data. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. Karakter analisis data 107 kualitatif yang demikian disebut pula sebagai model analisis interaktif (Salim, 2006:22). Gambar 10.2. Komponen Analisis Data Model Interaktif (Interactive Model) PENGUMPULAN DATA PENYAJIAN DATA REDUKSI DATA KESIMPULAN &VERIFIKASI Sumber: Matthew B. Miles & A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. hlm. 20. Proses-proses analisis kualitatif dapat dijelaskan ke dalam tiga langkah berikut. 1. Reduksi data (data reduction), yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, abstraksi, dan transformasi data kasar yang diperoleh di lapangan studi. 2. Penyajian data (data display), yaitu deskripsi kumpulan informasi tersusun yang memungkinkan untuk penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif yang lazim digunakan adalah dalam bentuk teks naratif. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 108 3. Penarikan kesimpulan verification). dan verifikasi (conclusion drawing and Dari permulaan pengumpulan data, peneliti kualitatif mencari makna dari setiap gejala yang diperolehnya di lapangan, mencatat keteraturan atau pola penjelasan dan konfigurasi yang mungkin ada, alur kausalitas, dan proposisi. Periset yang berkompeten akan menangani kesimpulan-kesimpulan itu secara longgar, tetap terbuka dan skeptis, tetapi kesimpulan telah disediakan. Selama penelitian masih berlangsung, setiap kesimpulan yang ditetapkan akan terus-menerus diverifikasi hingga benarbenar diperoleh konklusi yang valid dan kokoh (Salim, 2006:23). Dengan memperhatikan dua model alur analisis di atas, secara teknis proses analisis dapat diilustrasikan seperti skema gambar 10.3. Gambar 10. Alur Teknis Analisis DATA KATA TEMA KATEGORI HUBUNGAN .......................................................................................................... KUNCI KATEGORI Sumber: E. Kristi Poerwandari, 1994. Pendekatan kualitatif dalam Penelitian Pskologi, LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Jakarta:95. Dengan alur tersebut, periset kualitatif mula-mula akan membaca hasil catatan lapangan, mendengarkan rekaman wawancara, membaca transkrip wawancara untuk mendapatkan pemahaman tentang kasus yang dikaji. Pada tahap ini periset dapat menambahkan beberapa catatan yang mungkin diperlukan. Catatan bisa berupa kesimpulan sementara, atau insight yang muncul begitu saja. Pada tahap selanjutnya, periset dapat menggunakan sisi lain dari lembar catatan lapangan atau transkripsi untuk menuliskan tema, kata kunci, atau kata-kata teknis Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 109 yang muncul. Setelah itu, periset dapat melanjutkan aktivitas analisis dengan membuat latar seluruh tema yang muncul dan mulai memikirkan hubungan yang mungkin di antara tema-tema yang muncul. Terakhir, berdasarkan catatan yang dimiliki, periset dapat membuat ‘master pola’ yang ditemukan dan siap untuk dilaporkan sebagai hasil akhir studi. Pembuatan master pola dari subjek penelitian dalam masalah tertentu, dapat dilakukan dengan memberi pemaknaan melalui penjelasan berbagai teori yang relevan. Seringkali pemaknaan itu hanya menghasilkan sejumlah kategori awal dari statemen yang dibutuhkan sebagai temuan dalam penelitian. Dengan mengembangkan suatu teori kategori awal ini kemudian dibaca sehingga menghasilkan pemaknaan baru dalam bentuk hipotesa awal. Buku yang ditulis oleh Sudarko (2003), Pakeliran Padat: Pembentukan dan Penyebarannya yang disusun berdasarkan penelitian tesisnya, baru menghasilkan kesimpulan atas konsep pakeliran padat dan hipotesa tentang penyebarannya. Demi posisi yang lebih baik, simpulan konsep dan hipotesa temuan tadi masih memungkinkan untuk diperdalam melalui dialog diskursus dengan berbagai teori budaya, humaniora, dan ilmu-ilmu sosial yang relevan, sehingga dapat menghasilkan temuan baru yang secara teoritis menunjang teori pedalangan. Hal yang perlu diingat, sebagaimana yang dimaksud oleh Miles dan Huberman, bahwa keseluruhan proses tersebut berjalan secara mengalir dan interaktif (lihat ilustrasi gambar 10.3). Untuk mendukung proses analisis data, diperlukan sistem manajemen data yang handal. Perolehan setumpuk data lapangan yang telah memakan tenaga dan biaya banyak, bisa jadi akan sia-sia jika tidak dikelola dengan baik. Oleh Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 110 karena itu, baik data mentah maupun data terproses tetap penting untuk dikelola. Untuk memudahkan pengorganisasian dan penggunaannya tatkala suatu kali diperlukan, data tersebut perlu diberi kode-kode tertentu secara jelas. Pemberian kode biasanya menyangkut kriteria tertentu—misalnya tema data atau topik studi, model pengumpulan data, lokasi, subjek, dan sebagainya yang dimaksudkan untuk memudahkan penelusuran dan pemakaiannya. Selain untuk mendukung proses studi yang tengah berjalan, keberadaan data untuk mendukung proses studi yang tengah berjalan dan yang juga sangat penting bagi pengembangan studi selanjutnya. Misalnya, kelak periset ingin menguji teori yang telah dibangunnya. Di lain pihak, data tersebut tetap merupakan sumber inspirasi yang sangat kaya bagi pengembangan penelitian lainnya (Salim, 2006:23-25). XI. KUALITAS PENGUKURAN DAN KESIMPULAN Salah satu perhatian utama peneliti kuantitatif adalah untuk meyakinkan, bahwa data dikumpulkan dengan cara tepat dan dapat dipercaya. Pada tarap permukaan, isu tersebut tidaklah begitu penting bagi peneliti kualitastif tradisional, karena mereka secara khusus tidak merancang instrumen yang terperinci untuk mengukur variabel dan temanya untuk suatu peneliti lanjutan. Namun demikian, peneliti kualitatif memberikan perhatian terhadap kualitas informasi yang mendasari kesimpulan/inferensi penelitian. Tidak seperti peneliti kuantitatif, peneliti kualitatif telah mengombinasikan kualitas data/informasi (dikatakan kembali sebagai yang layak dipercaya dan hal yang dapat dipertanggungjawabkan) dengan kualitas rancangan tersebut (sebagai validitas eksternal dan internal). Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. Beberapa peneliti kualitatif telah 111 merumuskan kembali masalah validitas kualitas rancangan penelitiasn ini sebagai desain penelitian dengan kemampuan untuk dapat dipindahkan dan memiliki kredibiltas (transferability dan credibility). Seperti telah diuraikan, dari perspektif kuantitatif, kualitas pengukuran adalah pelengkap data/informasi yang dikumpulkan selama proses penelitian, sementara validitas internal dan eksternal adalah atribut dari kesimpulan atau inferensi setelah semua data/informasi diproses/dianalisis. Seperti halnya validitas internal/eksternal yang merupakan bagian utama dari tujuan akhir penelitian, validitas/reliabilitas pengukuran adalah bagian dari proses (alat) menuju kesimpulan akhir tersebut. Peneliti kualitatif belum membuat batasan yang jelas antara dua komponen tersebut. Alasan utama adalah kurangnya perbedaan antara kualitas data/informasi dan kualitas inferensi/kesimpulan dalam tradisi kualitatif, karena pengumpulan dan analisis data terjalin begitu dekat. Hal ini bisa jelas dalam perbandingan prosedur penelitian kuantitatif dan kualitatif. Para peneliti kuantitatif mengumpulkan data, menguji kualitasnya (validitas dan reliabilitas), dan kemudian meneruskan ke analisis data. Kesimpulan dibuat setelah langkahlangkah tersebut dan dievaluasi dalam kerangka kualitas kesimpulan (validitas internal) dan kemampuan generalisasinya. Di sisi lain, peneliti kualitatif melakukan “analisis data” pada saat mereka mengumpulkan informasi, membuat inferensi/kesimpulan, mengumpulkan informasi tambahan dan “menganalisisnya” setelah atau sedang membuat inferensi lanjutan dan meneruskannya. Dalam penelitian semacam itu sukar dipisahkan antara evaluasi kualitas data dan kualitas inferensi, tetapi dapat dipercaya bahwa kriteria untuk melakukan evaluasi tidak Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 112 perlu sama, karena dua aspek tersebut haruslah dievaluasi secara terpisah (Tashakkori dan Charles Teddlie, 2010:125-26). Alur penting yang kedua dari kegiatan analisis adalah penyajian data. Suatu pnyajian data dibatasi sebagai sekumpulan inforasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tidakan. Beraneka penyajian ditemukan dalam kehidupan sehari-hari muali dari alat pengukur bensin, surat kabar, sampai layar komputer. Dengan melihat penyajian-penyajian dapat dipahami apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan—lebih jauh menganalisis atau mengambil tindakan—berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari penyajian-penyajian tersebut (Miles dan A. Michael Huberman, 1992:17). Penyajian yang paling sering digunakan pada data kualitatif di masa lalu adalah bentuk teks naratif. Teks dalam bentuk, katakanlah, 3.600 halaman catatan lapangan, adalah sangat tidak praktis. Teks tersebut terpencar-pencar, bagian demi bagian dan bukan simultan, terutama kurang baik dan berlebihan. Dari kondisi itu peneliti mudah tergelincir, untuk bertindak ceroboh dan gegabah mengambil kesimpulan yang memihak, tersekat-sekat, dan tak berdasar. Manusia tidak cukup mampu sebagai pemroses informasi yang besar jumlahnya; kecenderugan koqnitifnya menyederhanakan informasi yang kompleks ke dalam satuan bentuk (Gestalt) dan selektif atau konfigurasi yang mudah dipahami, seperti informasi yang gamblang, misalnya peristiwa mengasyikan. Teks naratif apabila melebihi kemampuan manusia untuk memproses membawa peneliti mencari pola-pola yang sederhana (Miles dan A. Michael Huberman, 1992:17). Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 113 Tiga jenis kegiatan analisis dan kegiatan pengumpulan data (lihat gamber berikut ini) merupakan proses siklus dan interaktif. Peneliti hars siap bergerak di antara empat (4) “sumbu” selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolakbalik di antara kegiatan reduksi, penyajian dan penarikam kesimpulan/verifikasi selama sisa waktu penelitian. Pengkodean data misalnya (reduksi data), menjurus ke arah gagasan-gagasan baru guna dimasukkan ke dalam matrik penyajian data. Pencatatan data memersyaratkan reduksi data selanjutnya. Begitu matriks terisi, kesimpulan awal dapat ditarik, tetapi menggiring pada pengambilan keputusan (misalnya) untuk menambah kolom lagi pada matrik itu untuk dapat menguji kesimpulan tersebut (Miles dan A. Michael Huberman, 1992:19-20). Pengumpuland Data Penyajian Data Reduksi Data Kesimpulan/ verifikasi Gambar 9.1 Komponen-komponen Analisis Data: Model Interaktif Sumber: (Miles dan A. Michael Huberman, 1992:20). Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 114 XII. PENULISAN LAPORAN Beban kerja penelitian kualitatif memakan waktu dan energi yang cukup besar. Hal ini dapat menimbulkan situasi kebosanan yang langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kualitas studi. Penolakan responden, responden yang kurang ‘cerdas’, hasrat untuk segera mengambil kesimpulan, deadline yang diberikan oleh lembaga donor adalah godaan yang paling mengasyikkan bagi periset kualitatif. Setumpuk data lapangan atau interview berdurasi 90 menit lebih daripada mencukupi untuk menstimulasi timbulnya frustasi pada periset. Apabila sudah demikian, akankah studi kualitatif, yang hampir seluruhnya mengAndalkan validitasnya pada kapasitas personal periset, dapat disebut valid dan memenuhi kriteria akademik? Jika demikian halnya, kapan periset kualitatif harus menulis laporan penelitian? Persoalannya bukan semata-mata masalah waktu (kapan), melainkan masalah energi yang akan dipilih untuk menulis laporan (Salim, 2006:25). Sebagaimana dijelaskan oleh Miles dan Huberman, periset kualitatif semestinya bisa menulis laporan sembari mengumpulkan data. Senada dengan pendapat ini, James Spreadly (1997:55-57) mengajukan konsep ‘strategi maju bertahap’. Disebut ‘maju’ lantaran periset menulis sejak awal penelitian, dan ‘bertahap’ berarti periset mengurangi tahap-tahap aktivitasnya sejalan dengan alur analisis yang dilakukannya. Tegasnya, menurut Spreadly, periset kualitatif harus ‘menulis sejak awal’. Model ini sangat menguntungkan periset kualitatif. Dengan menulis sejak awal, besar kemungkinan periset masih teringat konteks data yang diperolehnya. Perlu diingat bahwa konteks dan situasi yang melingkupi data Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 115 sangat berarti bagi laporan studi kualitatif (ingat anjuran penggunaan verisimilitude di atas). Kenyataan lain yang harus dimiliki oleh periset kualittatif adalah kesediaan untuk berubah ketika kenyataan di lapangan menghadirkan fenomena yang sama sekali berbeda, atau jauh dari asumsi awal. Kesiapan mental semacam itu dibutuhkan sebab seringkali periset lapangan menjumpai batu sandungan yang besar tatkala terjadi pemaknaan baru atas objek temuannya (Salim, 2006:25-26). XV. EPILOG Pendekatan kualitatif atas positivisme bukan tidak mungkin mengalami titik jenuh. Oleh karena itu, keterbukaan dan inklusivisme internal dari periset merupakan satu-satunya penjamin bagi keberlangsungan dan pengembangan riset khususnya dan disiplin ilmu pada umumnya. Dominasi pendekatan kuantitatif dalam pengambilan keputusan pemerintah selama ini terbukti telah membawa dampak negatif. Semua itu, tidak serta merta harus ditanggalkan, melainkan justru harus ditemani dengan informasi yang lebih kaya, yakni informasi dan data yang bersifat kualitatif. Sikap eksklusif atas suatu paradigma dan metode hanya akan membuat pembangunan ilmu pengetahuan mengalami inbreeding, tampak berkembang namun sesungguhnya berjalan di tempat. Sejauh ini kemajuan wacana penelitian kualitatif di tanah air tampak menggembirakan. Buku-buku karya para akademisi bertebaran di toko-toko, dan substansi pendekatan kualitatif juga mengalami pembiakan sesuai bidang ilmu yang ditekuni. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 116 DAFTAR PUSTAKA Asmadi Alsa. 2004. Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif serta Kombinasinya dalam Penelitian Psikologi. Yogyakart: Pustaka Pelajar. Cotgrove, Stephen. 1982. The Science of Sociology: An Introduction of Sociology. London: George Allan & Unwin. Coulon, Alain. 2008. Etnometodolgi. Penerjemah: Jimmy PH. PAAT. Ampenan: Lengger. Dunlap, Riley E. (ed). 1983. Sociological Theory and The Environment. Jasin, Maskoeri. 2002. Ilmu Alamiah Dasar: untuk Perguruan Tinggi Non Eksakta dan Umum. Jakarta: PT Raja Gramfindo Persada. Khun, Thomas. The Structure of Scientific Revolusions: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Bandung: Remaja Rosdakarya. Koentjaraningrat, 1991. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Maliki, Zainuddin. 2004. Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik. Surabya: LPAM. Milbrath, Lester. 1984. Environmentalist: Vanguard for a New Society. Albany New York: Suny Press. Miles, Matthew B. Dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press. Mulyana, Deddy. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Rosda Karya. Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Poerwandari, E. Kristi. 1994. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Ritzer, George. 1975. Sociology A Multiple Paradigm Science. Boston: Allyn and Bacon. Rustopo, 2001. Gendhon Humardani Sang Gladiator: Arsitek Kehidupan Seni Tradisi Modern. Yogyakarta: Yayasan Mahavhira bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation. Salim, Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: Buku Sumber untuk Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Tiara Wacana. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. 117 Spreadly, James. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Sudarko, 2003. Pakeliran Padat: Pemdukkan dan Penyebarannya. Karanganyar: Citra Etnika Surakarta. Tashakkori, Abbas dan Charles Teddlie. 2010. Mixed Methodology Mengombinasikan Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.