bab i pengantar ilmu sosial dan budaya dasar

advertisement
BAB I
PENGANTAR ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR
A. HAKIKAT, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
1. Hakikat Ilmu Soaial dan Budaya Dasar (ISBD)
Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) merupakan Matakuliah
Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) dengan visi “Berkembangnya
mahasiswa sebagai manusia terpelajar yang kritis, peka dan arif dalam
memahami keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia yang
dilandasi nilai-nilai estetika, etika, dan mmoral dalam kehidupan
bermasyarakat”. Adapun misinya adalah “Memberikan landasan dan
wawasan yang luas, serta menumbuhkan sikap kritis, pekam dan arif pada
mahasiswa untuk memahami keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan
manusia dalam kehidupan bermasyarakat selaku individu dan makhluk
social yang beradab serta bertanggung jawab terhadap sumber daya dan
lingkungannya”.
ISBD bukanlah suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, melainkan
suatu rangkaian pengetahuan mengenai aspek-aspek yang paling dasar
yang ada dalam kehidupan manusia sebagai makhluk social yang
berbudaya, dan masalah-masalah yang terwujud daripadanya. Selain itu,
mata kuliah ini pada prinsipnya sebagai pengatur dasar menuju pengenalan
teori ilmu-ilmu social dan kebudayaan sehingga diharapkan mahasiswa
dapat memiliki wawasan keilmuan yang bersifat multidisipliner tentang
keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
2. Tujuan Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD)
Berdasarkan hakikat keilmuan di atas, maka tujuan Ilmu Sosial dan
Budaya Dasar (ISBD) yang merupakan bagian dari Matakuliah
Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) adalah:
a.
Mengembangkan kesadaran mahasiswa menguasai pengetahuan
tentang keanekaragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia
sebagai individu dan makhluk social dalam kehidupan bermasyarakat.
b.
Menumbuhkan sikap kritis, peka dan arif dalam memahami
keragaman, kesederajatan, dan kemartabatan manusia dengan
landasan nilai estetika, etika, dan moral
dalam kehidupan
bermasyarakat.
c.
Memberikan landasan pengetahuan dan wawasan yang luas serta
keyakinan
kepada
mahasiswa
sebagai
bekal
bagi
hidup
bermasyarakat, selaku individu dan makhluk social yag beradab
dalam mempraktikkan pengetahuan akademik dan keahliannya dan
mampu memecahkan maalah social budaya secara arif.
3. Ruang Lingkup Mata Kuliah Pengantar Ilmu Sosial Dan Budaya
(ISBD)
Untuk mewujudkan visi, misi dan tujuan mata kuliah Ilmu Sosial
dan Budaya Dasar (ISBD) pada perguruan tinggi, berikut ini adalah ruang
lingkup dan sub bahasannya.
a. Pengantar Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD)
1. Hakikat dan ruang lingkup ISBD
2. ISBD sebagai MBB dan pendidikan umum; dan
3. ISBD sebagai alternative pemecahan masalah social budaya
b. Manusia sebagai Makhluk Budaya:
1. Hakikat manusia sebagai makhluk budaya;
2. Apresiasi terhadap kemanusiaan dan kebudayaan;
3. Etika dan estetika berbudaya
4. Memanusiakan manusia melalui pemahaman konep-konsep dasar
manusia; dan
5. Problematika kebudayaan
c. Manusia sebagai Individu dan Makhluk Sosial;
1. Hakikat manusia sebagai individu dan makhluk social;
2. Fungsi dan peran manusia sebagai individu dan makhluk social;
3. Dinamika interaksi social; dan
4. Dilema antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat;
d. Manusia dan Peradaban
1. Hakikat peradaban;
2. Manusia sebagai makhluk beradab dan masyarakat adab;
3. Evolusi budaya dan wujud peradaban dalam kehidupan socialbudaya;
4. Dinamika peradaban global; dan
5. Problematika peradaban pada kehidupan manusia
e. Manusia, Keragaman dan Kesetaraan;
1. Hakikat keragaman dan kesetaraan manusia;
2. Kemajemukan dalam dinamikan social dan budaya;
3. Keraganan dan kesetaraan sebagai kekayaan social, budaya bangsa;
dan
4. Problematika keragaman dan kesetaraan serta solusinya dalam
kehidupan masyarakat dan negara
f. Manusia, Nilai, Moral, dan Hukum
1. Hakikat, fungsi, dan perwujudan nilai, oral dan hukum dalam
kehidupan manusia, masyarakat dan negara;
2. Keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan sebagai wujud masyarakat
yang bermoral dan menaati hukum dan
3. Problematika nilai, moral, dan hokum dalam masyarakat dan
negara
g. Manusia, Sains, Teknologi dan Seni:
1. Hakikat dan makna sains, teknologi dan seni bagi manusia;
2. dampak penyalahgunaan IPTEKS pada kehidupan social dan
budaya; dan
3. Problematika pemanfaatan IPTEKS di Indonesia
h. Manusia dan Lingkungan
1. Hakikat dan makna lingkungan bagi manusia;
2. Kualitas penduduk dan lingkungan terhadap kesejahteraan manusia
3. Problematika lingkungan social-budaya yang dihadapi masyarakat;
dan
4. Isu-isu penting tentang persoalan lintas budaya dan bangsa.
B. ISBD SEBAGAI MBB DAN PENDIDIKAN UMUM
ISBD sebagai bagian dari Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat
(MBB) mempunyai tema pokok, yaitu hubungan timbale balik antara manusia
dengan lingkungannya. Dengan wawasan tersebut diharapkan perguruan
tinggi mampu menghasilkan tenaga ahli dengan tigas jenis kemampuan secara
simultan, yang meliputi:
1. Kemampuan personal: para tenaga ahli diharapkan memiliki pengetahuan
sehingga mampu menunjukkan sikap, tingkah laku dan tidnakan yang
mencerminkan kepribadian Indonesia, memahami dan mengenal nilai-nilai
keragaman, kemasyarakatan dan kenegaraan, serta memiliki pandangan
yang luas dan kepekaan terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh
masyarakat Indonesia.
2. Kemampuan akademis; kemampuan untuk berkomunikasi secara ilmiah
baik lisan maupun tulisan, mengusai peralatan analiss, maupun berpikir
logis, kritis, istematis, analisis, memiliki kemampuan konsepsional untuk
mengidentifikasi dan merumuskan masalah yang dihadapi, serta mampu
menawarkan alternative pemacahannya.
3. Kemampuan professional: kemampuan dalam bidang profesi sesuai
keahlian bersangjutan, para ahli diharapkan memiliki pengetahuan dan
ketrampilan yang tinggi dalam bidang profesinya.
C. ISBD SEBAGAI ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH SOSIALBUDAYA
Dengan bekal wawasan, sikap, dan perilaku melalui mata kuliah Ilmu
Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) diharapkan mahasiswa dapat menjadi
manusia yang memiliki kemampuan personal, kemampuan akademik dan
kemampuan professional sehingga para lulusan akan mampu mengenali
masalah dan mengatasi masalah tersebut dengan bijaksana. Dengan itu
problematika kemanusiaan dan peradaban manusia merupakan fakta objektif
yang penting dikenali secara menunjung tinggi pemikiran serta nilai-nilai
luhur tradisi.
Di samping diurai kondisi objektif konteks keindonesiaan, buku ini
juga mengulas lesson learns atau pelajaran berharga dari akta atau fenomena
social yang terjadi di sekitar lingkungan kita baik yang dialami secara
langsung atau tidak langsung dalam perspektif lintas keilmuan secara
simultan. Pendekatan multidisipliner dipilih guna menstimulus mahasiswa
berpikir terbuka dan kritis atas apa yang didengar, dimengerti, dipahami, dan
dikonsepsikannya selama ini agar dapat didiskusikan dan dikomunikasikan
menjadi pengetahuan yang ilmiah.
BAB II
MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BERBUDAYA
BERETIKA DAN BERESTETIKA
A. KEBUDAYAAN
1. Pengertian Kebudayaan
Kata “Kebudayaan” dan “culture”. Kata “kebudayaan” berasal
dari kata Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang
berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian ke-budaya-an dapat
diartikan : “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Ada sarjana lain
yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk
budi-daya,budi-daya, yang berarti “daya dari budi”. 6 Karena itu mereka
membedakan “budaya” dari “kebudayaan”. Demikianlah “budaya”
adalah “daya dari budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan
“kebudayaan” adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu.7 Dalam istilah
“antropologi-budaya” perbedaan itu ditiadakan. Kata “budaya” di sini
hanya dipakai sebagai suatu singkatan saja dari “kebudayaan” dengan arti
yang sama.
Adapun kata cultur, yang merupakan kata asing yang sama artinya
dengan “kebudayaan” berasal dari kata Latin colore yangt berarti
“mengolah, menegrjakan”, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari
arti ini berkembang arti culture sebagai “segala daya upaya serta tindakan
manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam”.
4.
Lihatlah karangan A. Davis, Social Class Influences Upon Learning (1948) : Hlm. 59
5.
Lihatlah buku pelejaran A. Hoebel, Man in the Primitive World. An Introduction to
Anthropology. New York, Mc Graw Hill (1958 : hlm. 152 – 153).
6.
Lihat buku P.J. Zoetmulder, Cultuur, Oost en West. Amsterdam, C.P.J. van der Peet
(1951).
7.
Lihatlah karangan M.M. Djojodigoeno, Azsz-Azas Sosiologi (1958) : hlm. 24 – 27.
Dua sarjana Antropologi Al Kroeber dan C Kluckhon pernah
mengumpulkan sebanyak mungkin definisi tentang kebudayaan, ternyata
bahwa ada paling sedikit 160 buah definisi, ke 160 buah definisi itu,
kemudian mereka analisa, dicari latar belakang, prinsip beberapa tipe
definisi antara lain :
1) E. B. Tylor, budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang
meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan,
hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang
didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
2) R. Linton, kebudayaan dapat dipandang sebagian konfigurasi
tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku dipelajari, di
mana unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota
masyarakat lainnya.
3) Koentjaraningrat,
mengartikan
bahwa
kebudayaan
adalah
keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia dengan belajar.
4) Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, mengatakan bahwa
kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.
5) Herkovits, kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang
diciptakan oleh manusia.
Dengan demikian, kebudayaan atau budaya menyangkut keseluruhan
aspek kehidupan manusia baik material maupun non-material. Sebagian
besar ahli yang mengartikan kebudayaan seperti ini kemungkinan besar
sangat dipengaruhi oleh pandangan evolusionisme, yaitu suatu suatu teori
yang mengataakan bahwa kebudayaan itu akan berkembang dari tahapan
yang sederhana menuju tahapan yang lebih kompleks.
2. Tiga Wujud Kebudayaan
Pengarang buku ini setuju sekali dengan pendapat seorang ahli
sosiologi, Talcott Parsons yang bersama dengan seorang ahli antropologi
A.L. Kroeber pernah menganjurkan untuk membedakan secara tajam
wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide-ide dan konsep-konsep
dari wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas
manusia yang berpola.10 Maka, serupa dengan J.J. Honigmann yang
dalam buku pelajaran antropologinya yang berjudul The World of Man
(1959 : hlm. 11 – 12) membedakan adanya tiga “gejala kebudayaan”,
yaitu (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts, pengarang berpendirian
bahwa kebudayaan itu ada tiga wujudnya, yaitu :
1.
Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, ggasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
2.
Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat.
3.
Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifat-sifatnya
abstrak, tak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepalakepala, atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran warga
masyarakat tadi menyatakan gagasan mereka tadi dalam tulisan, maka
lokasi dari kebudayaan ideal penulis warga masyarakat bersangkutan.
Sekarang kebudayaan ideal juga banyak tersimpan dalam disk, arsip,
koleksi micro film dan mikrofish, kartu komputer, silinder, dan pita
komputer.
Ide-ide dan gagasan-gagasan manusia banyak yang hidup bersama
dalam suatu masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasangagasan itu tidak berada lepas satu dari yang lain, melainkan selalu
berkaitan, menjadi suatu sistem. Para ahli antropologi dan sosiologi
menyebut sistem ini sistem budaya, atau cultural system. Dalam Bahasa
Indonesia terdapat juga istilah lain yang sangat tepat untuk menyebut
wujud ideal dari kebudayaan ini, yaitu adat, atau adat-istiadat untuk
bentuk jamaknya.
Wujud kedua dari kebudayaan yang disebut sistem sosial atau
social system, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri.
Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang
berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan lain dari detik ke
detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola
tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas
manusia-manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial itu bersifat
konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan
didokumentasi.
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik, dan tak
memerlukan banyak penjelasan. Karena berupa seluruh total dari hasil
fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam
masyarakat, maka sifatnya paling konkret, dan berupa benda-benda atau
hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto. Ada benda-benda yang
sangat besar seperti pabrik baja : ada benda-benda yang amat kompleks
dan canggih, seperti komputer berkapasitas tinggi; atau benda-benda
yang besar dan bergerak, suatu kapal tangki minyak; ada bangunan hasil
seni arsitek seperti suatu candi yang indah; atau ada pula benda-benda
kecil seperti kain batik, atau yang lebih kecil lagi, yaitu kancing baju.
Ketiga wujud dari kebudayaan terurai diatas, dalam kenyataan
kehidupan masyarakat tentu tak terpisah satu dengan lain. Kebudayaan
ideal dan adat istiadat mengatur dan memebri arah kepada tindakan dan
karya manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun tindakan dan
karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya.
Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup
tertentu yang makin lama makin menjauh manusia dari lingkungan
alamiahnya sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya,
bahkan juga cara berpikirnya.
Sehubungan ketiga wujud dari kebudayaan tadi erat berkaitan, toh
untuk keperluan analisa perlu diadakan pemisahan yang tajam antara
tiap-tiap wujud itu. Hal ini sering dilupakan; tidak hanya dalam diskusidiskusi atau dalam pekerjaan sehari-hari ketiga wujud dari kebudayaan
tadi sering dikacaukan, melainkan juga dalam analisa ilmiah oleh para
sarjana yang menamakan dirinya ahli kebudayaan atau ahli masyarakat,
dan sering tidak dapat dibuat pemisahan yang tajam antara ketiga hal
terurai di atas.
Seorang sarjana antropologi dapat meneliti hanya sistem budaya,
atau adat dari suatu kebudayaan tertentu. Dalam pekerjaan itu ia akan
mengkhususkan perhatiannya terutama pada cita-cita, nilai-nilai budaya,
dan pandangan hidup, norma-norma dan hukum, pengetahuan dan
keyakinan dari manusia yang menjadi warga masyarakat yang
bersangkutan. Ia dapat juga meneliti tindakan, aktivitas-aktivitas dan
karya manusia itu sendiri, tetapi dapat juga mengkhususkan perhatiannya
pada hasil dari karya manusia yang bisa berupa benda peralatan, benda
kesenian, atau bangunan-bangunan.
Semua unsur kebudayaan dapat dipandang dari sudut ketika wujud
masing-masing tadi. Sebagai contoh dapat kita ambil misalnya
Universitas
Muhammadiyah
Surakarta.
sebagai
sualu
lembaga
pendidikan tinggi, universitas tersebut merupakan suatu unsur dalam
rangka kebudayaan Indonesia sebagai keseluruhan. Maka oleh karena itu
universitas dapat merupakan suatu unsur kebudayaan yang ideal, yang
pada khususnya terdiri dari cita-cita universitas, norma-norma untuk para
karyawan, dosen atau mahasiswanya, aturan ujian, pandanganpandangan, baik yang bersifat ilmiah maupun yang populer, dan
sebainya. Sebaliknya, Iniversitas Muhammadiyah Surakarta juga terdiri
dari suatu rangkaian aktivitas dan tindakan dimana manusia saling
berhubungan atau berinteraksi dalam hal melaksanakan berbagai macam
hal. Ada orang yang memberi kuliah, ada lainnya yang mendengarkan
dan mencatat kuliah-kuliah tadi, ada orang yang menguji, ada lainnya
yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ujian tadi, ada orang
yang mengetik surat-surat, lainnya lagi mengatur buku, dan sebagainya.
Namun, lepas dari itu semua, orang dapat juga mengadakan penelitian
tentang Universitas Muhammadiyah Surakartatanpa memperhatikan halhal tersebut di atas. Ia hanya memperhatikan universitas sebagai
himpunan benda fisik yang harus diinventarisasi. Itulah sebabnya ia
hanya melihat Universitas Muhammadiyah Surakarta sebagai suatu suatu
kompleks
gedung-gedung,
ruang-ruang,
sekumpulan
meja
tulis,
komputer, timbunan-timbunan dan alat-alat lainnya saja.
3. Unsur-Unsur Kebudayaan Universal
Unsur-unsur Kebudayaan Universal. Keseluruhan dri tindakan
manuia yang beropla itu berkisar sekitar pranata-pranata tertentu yang
amat banyak jumlahnya; dengan demikian sebenarnya suatu masyarakat
yang luas selalu dapat kita perinci ke dalam pranata-pranata yang khusus.
Sejajar dengan itu suatu kebudayaan yang luas itu selalu dapat pila kita
perinci ke dalam unsur-unsurnya yang khusus.
Para sarjana antropologi yang biasa menanggapi suatu kebudayaan
(misalnya kebudayaan Minangkabau, kebudayaan Bali, atau kebudayaan
Jepang) sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi, pada waktu analisa
membagi keseluruhan itu ke dalam unsur-unsur besar yang disebut
“unsur-unsur kebudayaan universal” atau cultural universals. Istilah
universal itu menunjukkan bahwa unsur-unur tadi bersifat universal, jadi
unur-unsur tadi ada dan bisa didapatkan di dalam semua kebudayaan dari
semua bangsa dimanapun di dunia. Mengenai apa yang diebut cultural
universals itu, ada beberapa pandangan yang berbeda di antara para
sarjana antropologi. Berbagai pandangan yang berbeda itu serta alasan
perbedaannya diuraikan oleh C. Kluckhohn dalam sebuah karangan yang
berjudul Universal Categories of Cilture (1953).14 Dengan mengambil
sari dari berbagai karangan tentang unsur-unsur kebudayaan universal
yang disusun oleh beberapa sarjana antropologi itu, ada tujuh unsur
kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh
unsur yang dapat lita sebut sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di
dunia itu adalah :
1.
Bahasa
2.
Sistem Pengetahuan
3.
Organisasi Sosial
4.
Sistem peralatan hidup dan teknologi
5.
Sistem mats pencaharian hidup
6.
Sistem religi
7.
Kesenian
Tiap-tiap unsur kebudayaan universal sudah tentu juga menjelma dalam
ketiga wujud kebudayaan terurai di atas, yaitu wujudnya yang berupa
sistem budaya, yang berupa sistem social, dan yang berupa unsur-unsur
kebudayaan
mempunyai
fisik.
Dengan
wujudnya
demikian
sebagai
sistem
konsep-konsep,
ekonomi
misalnya
rencana-rencana,
kebijaksanaan, adat istiadat yang berhubungan dengan ekonomi, tetapi
mempunyai juga wujudnya yang berupa tindakan-tindakan dan interaksi
berpola antara produsen, tengkulak, pedagang, ahli transpor,
pengecer dengan konsumen, dan kecuali itu dalam sistem ekonomi
terdapat juga unsur-unsurnya yang berupa peralatan, komoditi, dan
benda-benda ekonomi. Demikian juga sistem religi misalnya mempunyai
wujudnya sebagai sistem keyakinan, dan gagasan-gagasan tentang 'Puhan,
dews-dews, roh-roh halus, neraka, sorga dan sebagainya, tetapi mempunyai
juga wujudnya yang berupa upacara-upacara, baik yang bersifat musiman
maupun yang kadangkala, dan kecuali itu setiap sistem religi juga
mempunyai wujud sebagai benda-benda suci dan benda-benda religius.
Contoh lain adalah unsur universal kesenian yang dapat berwujud gagasangagasan, ciptaan-ciptaan pikiran, ceritera-ceritera dan syair-syair yang
indah. Namun kesenian juga dapat berwujud tindakan-tindakan
interaksi berpola antara seniman pencipta, seniman penyelenggara, sponsor kesenian, pendengar, penonton, dan konsumen hasil kesenian; tetapi
kecuali itu semua kesenian juga berupa bends-bends indah, candi, kain
tenun yang indah, bends-bends kerajinan, dan sebagainya.
Unsur pokok kebudayaan (menurut Bronislaw Malinowski) :

Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota
masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya.

Organisasi ekonomi.

Alat-alat dan lembaga pendidikan.

Organisasi kekuatan.
Melville J. Herkovits menyebut unsur pokok kebudayaan adalah :

Alat-alat teknologi

Sisten ekonomi

Keluarga

Kekuasaan politik
4. Sifat-Sifat Kebudayaan
Kendati kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat itu
tidak sama, eperti di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku
bangsa yang berbeda, tetapi setiap kebudayaan mempunyai ciri atau ifat
yang sama. Sifat tersebut bukan diartikan secara spesifik, melainkan
bersiifat universal. Di mana sifat-sifat budaya itu akan memiliki ciri-ciri
yang sama bagi semua kebudayaan manusia tanpa membedakan faktor
ras, lingkungan alam, atau pendidikan. Yaitu sifat hakiki yang berlaku
umum bagi semua budaya di mana pun.
Sifat hakiki dari kebudayaan tersebut antara lain :
1. Budaya terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia.
2. Budaya telah ada terlebih dahulu daripada lahirnya suatu generasi
tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang
bersangkutan.
3. Budaya diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah
lakunya.
4. Budaya
mencakup
aturan-aturan
yang
berisikan
kewajiban-
kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakantindakan yang dilarang, dan tindakan-tindakan yang diizinkan.
5.
Manusia sebagai Pencipta dan Pengguna Kebudayaan
Tercipta atau terwujudnya suatu kebudayaan adalah sebagai hasil
interaksi antara manusia dengan segala isi alam raya ini. Manusia yang
telah dilengkapi Tuhan dengan akal clan pikirannya menjadikan mereka
khalifah di muka bumi clan diberikan kemampuan yang disebutkan oleh
Supartono (dalam Rafael Raga Maran, 1999:36) sebagai daya manusia.
Manusia memiliki kemampuan daya antara lain akal, intelegensia, dan
intuisi; perasaan dan emosi; kemauan; fantasi; dan perilaku.
Dengan sumber-sumber kemampuan daya manusia tersebut,
nyatalah bahwa manusia menciptakan kebudayaan. Ada hubungan
dialektika antara manusia dan kebudayaan. Kebudayaan adalah produk
manusia, namun manusia itu sendiri adalah produk kebudayaan. Dengan
kata lain, kebudayaan ada karena ada manusia penciptanya dan manusia
dapat
hidup
Kebudayaan
di
akan
tengah
terus
kebudayaan
hidup
manakala
yang
ada
diciptakannya.
manusia
sebagai
pendukungnya. Dialektika ini didasarkan pada pendapat Peter L. Berger,
yang
menyebutkan
sebagai
dialektika
fundamental.
Dialektika
fundamental ini terdiri dari tiga tahap: tahap eksternalisasi, tahap
objektivasi, dan tahap internalisasi.
Tahap eksternalisasi adalah proses pencurahan diri manusia
secara terus-menerus ke dalam dunia melalui aktivitas fisik dan mental.
Tahap objektivitas adalah tahap aktivitas manusia menghasilkan suatu
realita objektif, yang berada di luar diri manusia. Tahap internalisasi
adalah tahap di mana realitas objektif hasil ciptaan manusia diserap oleh
manusia kembali. Jadi, ada hubungan berkelanjutan antara realitas
internal dengan realitas eksternal. (Yusdi Ahmad, Makalah, 2006 : 5)
Kebudayaan mempunyai kegunaan yang sangat besar bagi manusia.
Bermacam-macam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan
anggotanya seperti kekuatan alam maupun kekuatan lain yang tidak selalu
baiknya. Kecuali itu, manusia memerlukan kepuasan baik di bidang
spiritual maupun material. Kebutuhan-kebutuhan tersebut dipenuhi oleh
kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri.
Hasil karya manusia menimbulkan teknologi yang mempunyai
kegunaan utama dalam melindungi manusia terhadap lingkungan
alamnya. Sehingga kebudayaan memiliki peran sebagai:
1. Suatu hubungan pedoman antarmanusia atau kelompoknya.
2. Wadah untuk menyalurkan perasaan-perasaan dan kemampuan
kemampuan lain.
3. Sebagai pembimbing kehidupan clan penghidupan manusia.
4. Pembeda manusia clan binatang.
5. Petunjuk-petunjuk tentang bagaimana manusia harus bertindak
dan berperilaku di dalam pergaulan.
6. Pengaturan agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya
bertindak, berbuat, menentukan sikapnya jika berhubungan dengan
orang lain.
7. Sebagai modal dasar pembangunan.
Manusia merupakan makhluk yang berbudaya, melalui akalnya
manusia dapat mengembangkan kebudayaan. Begitu pula manusia
hidup dan tergantung pada kebudayaan sebagai hasil ciptaannya.
Kebudayaan juga memberikan aturan bagi manusia dalam mengolah
lingkungan dengan teknologi hasil ciptaannya.
Kebudayaan mempunyai fungsi yang besar bagi manusia dan
masyarakat, berbagai macam kekuatan harus dihadapi manusia dan
masyarakat seperti kekuatan alam dan kekuatan lain. Selain itu manusia
dan masyarakat memerlukan kepuasan baik secara spiritual maupun
materil.
Kebudayaan masyarakat tersebut sebagian besar dipenuhi oleh
kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri. Hasil karya
masyarakat melahirkan teknologi atau kebudayaan kebendaan yang
mempunyai kegunaan utama dalam melindungi masyarakat terhadap
lingkungan di dalamnya.
Dalam tindakan untuk melindungi diri dari lingkungan alam, pada
taraf permulaan manusia bersikap menyerah dan semata-mata bertindak
di dalam batas-batas untuk melindungi dirinya. Keadaan yang berbeda
pada masyarakat yang telah kompleks, di mana taraf kebudayaannya lebih
tinggi. Hasil karya tersebut yaitu teknologi yang memberikan
kemungkinan yang luas untuk memanfaatkan hasil alam bahkan
menguasai alam.
6.
Pengaruh Kebudayaan Terhadap Lingkungan
Budaya yang dikembangkan oleh manusia akan berimplikasi pada
lingkungan tempat kebudayaan itu berkembang. Suatu kebudayaan
memancarkan suatu ciri khas dari masyarakatnya yang tampak dari luar,
artinya orang asing. Dengan menganalisis pengaruh akibat budaya terhadap
lingkungan seseorang dapat mengetahui, mengapa suatu lingkungan
tertentu akan berbeda dengan lingkungan lainnya dan menghasilkan
kebudayaan yang berbeda pula.
Usaha untuk menjelaskan perilaku manusia sebagai perilaku
budaya dalam kaidah dengan lingkungannya, terlebih lagi perspektif
lintas budaya akan mengandung
banyak variabel yang saling
berhubungan dalam keseluruhan sistem terbuka. Pendekatan yang saling
berhubungan dengan psikologi lingkungan adalah pendekatan sistem
yang melihat rangkaian sistemik antara beberapa subsistem yang ada
dalam melihat kenyataan lingkungan total yang melingkupi satuan
budaya yang ada.
Beberapa variabel yang berhubungan dengan masalah kebudayaan
dan lingkungan:

Physical Environment, menunjuk pada lingkungan natural seperti:
temperatur, curah hujan, iklim, wilayah geografis, flora, dan
fauna.

Cultural Social Environment, meliputi aspek-aspek kebudayaan
beserta proses sosialisasi seperti: normanorma, adat istiadat, dan
nilai-nilai.

Environmental Orientation and Representation, mengacu pada
persepsi dan kepercayaan kognitif yang berbedabeda pada setiap
masyarakat mengenai lingkungannya.

Environmental
Behavior
and
Process, meliputi
bagaimana
masyarakat menggunakan lingkungan dalam hubungan sosial.

Out Carries Product, meliputi hasil tindakan manusia seperti
membangun rumah, komunitas, kota beserta usaha-usaha
manusia dalam memodifikasi lingkungan fisik seperti budaya
pertanian dan iklim.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kebudayaan yang
berlaku dan dikembangkan dalam lingkungan tertentu berimplikasi
terhadap pola tata laku, norma, nilai dan aspek kehidupan lainnya yang
akan menjadi ciri khas suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya
7.
Proses dan Perkembangan Kebudayaan
Sebagaimana diketahui bahwa kebudayaan adalah hasil cipta,
karsa dan rasa manusia oleh karenanya kebudayaan mengalami
perubahan dan perkembangannya sejalan dengan perkembangan manusia
itu. Perkembangan tersebut dimaksudkan untuk kepentingan manusia
sendiri, karena kebudayaan diciptakan oleh dan untuk manusia.
Perkembangan kebudayaan terhadap dinamika kehidupan
seseorang
bersifat
kompleks,
dan
memiliki
eksistensi
clan
berkesinambungan dan juga menjadi warisan sosial. Seseorang mampu
memengaruhi kebudayaan dan memberikan peluang untuk terjadinya
perubahan kebudayaan.
Kebudayaan yang dimiliki suatu kelompok sosial tidak akan
terhindar dari pengaruh kebudayaan kelompok-kelompok lain dengan
adanya kontak-kontak antar kelompok atau melalui proses difusi. Suatu
kelompok sosial; akan mengadopsi suatu kebudayaan tertentu
bilamana kebudayaan tersebut berguna untuk mengatasi atau memenuhi
tuntutan yang dihadapinya.
Pengadopsian suatu kebudayaan tidak terlepas dari pengaruh
faktor-faktor lingkungan fisik. Misalnya iklim, topografi sumber daya
alam dan sejenisnya. Sebagai contoh: orang-orang yang hidup di
daerah yang kondisi lahan atau tanahnya subur (produktif) akan
mendorong terciptanya suatu kehidupan yang favourable untuk memproduksi bahan pangan. Jadi, terjadi suatu proses keserasian antara
lingkungan fisik dengan kebudayaan yang terbentuk di lingkungan
tersebut, kemudian ada keserasian juga antara kebudayaan masyarakat
yang satu dengan kebudayaan masyarakat tetangga dekat. Kondisi
lingkungan seperti ini memberikan peluang untuk berkembangnya
peradaban (kebudayaan) yang lebih maju. Misalnya, dibangun sistem
irigasi, teknologi pengolahan lahan dan makanan, dan lain sebagainya.
Kebudayaan dari suatu kelompok sosial tidak secara komplet
ditentukan oleh lingkungan fisik saja, namun lingkungan tersebut sekadar
memberikan peluang untuk terbentuknya sebuah kebudayaan. Dari waktu
ke waktu, kebudayaan berkembang seiring dengan majunya teknologi
(dalam hal ini adalah sistem telekomunikasi) yang sangat berperan dalam
kehidupan setiap manusia.
Perkembangan
zaman
mendorong
terjadinya
perubahan-
perubahan di segala bidang, termasuk dalam hal kebudayaan. Mau tidak
mau kebudayaan yang dianut suatu
kelompok sosial akan bergeser. Cepat atau lambat pergeseran ini
akan
menimbulkan
konflik
antara
kelompok-kelompok
yang
menghendaki perubahan dengan kelompok-kelompok yang tidak
menghendaki perubahan. Suatu kamunitas dalam kelompok sosial bisa
saja menginginkan adanya perubahan dalam kebudayaan yang mereka
anut, dengan alasan sudah tidak sesuai lagi dengan zaman yang mereka
hadapi saat ini. Namun, perubahan kebudayaan ini kadang kala
disalahartikan menjadi suatu penyimpang Kebudayaan. Interpretasi ini
mengambil dasar pada adanya budaya-budaya baru yang tumbuh dalam
komunitas mereka yang bertentangan dengan keyakinan mereka
sebagai penganut kebudayaan tradisional selama turun-temurun.
Hal yang terpenting dalam proses pengembangan kebudayaan
adalah dengan adanya kontrol atau kendali terhadap perilaku reguler
(yang tampak) yang ditampilkan oleh para penganut kebudayaan.
Karena tidak jarang perilaku yang ditampilkan sangat bertolak belakang
dengan budaya yang dianut di dalam kelompok sosialnya. Yang
diperlukan di sini adalah kontrol sosial yang ada di masyarakat, yang
menjadi suatu 'cambuk' bagi komunitas yang menganut kebudayaan
tersebut. Sehingga mereka dapat memilah-milah, mana kebudayaan yang
sesuai dan mana yang tidak sesuai.
8.
Problematika Kebudayaan
Beberapa Problematika Kebudayaan antara lain:
1.
Hambatan budaya yang berkaitan dengan pandangan hidup dan
sistem kepercayaan.
Keterkaitan orang Jawa terhadap tanah yang mereka tempati secara
turun-temurun diyakini sebagai pemberi berkah kehidupan. Mereka
enggan meninggalkan kampung halamannya atau beralih pola hidup
sebagai petani. Padahal hidup mereka umumnya miskin.
2.
Hambatan budaya yang berkaitan dengan perbedaan persepsi atau
sudut pandang hambatan budaya yang berkaitan
dengan
perbedaan persepsi atau sudut pandang ini dapat terjadi antara
masyarakat dan pelaksana pembangunan. Contohnya, program
Keluarga Berencana atau KB semula ditolak masyarakat,
mereka beranggapan bahwa banyak anak banyak rezeki.
3.
Hambatan budaya berkaitan dengan faktor psikologi atau kejiwaan.
Upaya untuk mentransmigrasikan penduduk dari daerah yang
terkena bencana alam banyak mengalami kesulitan. Hal ini
disebabkan karena adanya kekhawatiran penduduk bahwa di
tempat
yang baru
hidup
mereka
akan
lebih
dibandingkan dengan hidup mereka di tempat yang lama.
sengsara
4.
Masyarakat yang terasing clan kurang komunikasi dengan
masyarakat luar.
Masyarakat daerah-daerah terpencil yang kurang komunikasi
dengan masyarakat luar, karena pengetahuannya serba terbatas,
seolah-olah
tertutup
untuk
menerima
program-program
pembangunan.
5.
Sikap tradisionalisme yang berprasangka buruk terhadap halhal baru.
Sikap ini sangat mengagung-agungkan budaya tradisional
sedemikian rupa, yang menganggap hal-hal baru itu akan merusak
tatanan hidup mereka yang sudah mereka miliki secara turuntemurun.
6 . Sikap Etnosentrisme.
Sikap etnosentrisme adalah sikap yang mengagungkan budaya suku
bangsanya sendiri dan menganggap rendah budaya suku bangsa
lain. Sikap semacam ini akan mudah memicu timbulnya kasuskasus sara, yakni pertentangan suku, agama, ras, dan antargolongan.
Kebudayaan yang berkembang dalam suatu wilayah seperti
Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari beberapa suku
bangsa
dan
budaya
yang
beraneka
ragam.
Masing-masing
kebudayaan itu dianggap sebagai satu ciri khas daerah lokal. Yang
terkadang justru menimbulkan sikap etnosentrisme pada anggota
masyarakat dalam memandang kebudayaan orang lain.
Sikap
etnosentrisme
dapat
menimbulkan
kecenderungan
perpecahan dengan sikap kelakuan yang lebih tinggi terhadap
budaya lain.
7.
,
Perkembangan IPTEK sebagai hasil dari kebudayaan, sering kali
disalahgunakan oleh manusia, sebagai contoh nuklir dan bom
dibuat justru untuk menghancurkan manusia bukan untuk
melestarikan suatu generasi, obat-obatan diciptakan untuk
kesehatan tetapi dalam penggunaannya banyak disalahgunakan
yang justru mengganggu kesehatan manusia.
9.
Perubahan Kebudayaan
Sebagaimana
diketahui
bahwa
kebudayaan
mengalami
perkembangan (dinamis) seiring dengan perkembangan manusia itu
sendiri, oleh karenanya tidak ada kebudayaan yang bersifat statis. Dengan
demikian, kebudayaan akan mengalami perubahan. Ada lima faktor yang
menjadi penyebab perubahan kebudayaan, yaitu:
a. Perubahan lingkungan alam.
b. Perubahan yang disebabkan adanya kontak dengan suatu
kelompok lain.
c. Perubahan karena adanya penemuan (discovery).
d. Perubahan yang terjadi karena suatu masyarakat atau bangsa
mengadopsi beberapa elemen kebudayaan material yang telah
dikembangkan oleh bangsa lain di tempat lain.
e. Perubahan yang terjadi karena suatu bangsa memodifikasi cara
hidupnya
dengan
mengadopsi
suatu
pengetahuan
atau
kepercayaan baru, atau karena perubahan dalam pandangan
hidup dan konsepsinya tentang realitas.
Namun, perubahan kebudayaan sebagai hasil cipta, karsa, dan
rasa manusia adalah tentu saja perubahan yang memberi nilai manfaat
bagi manusia dan kemanusiaan, bukan sebaliknya, yaitu yang akan
memusnahkan manusia sebagai pencipta kebudayaan tersebut.
B.
ETIKA
1.
Pengertian Etika
Seperti halnya dengan banyak istilah yang menyangkut
"etika" berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam
bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa;
padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan,
sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya ,adalah:
adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi lafar belakang bagi
terbentuknya istilah "etika" yang oleh filsuf Yunani besar
Aristoteles (384-322 s.M.) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat
moral. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka
"etika" berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu
tentang adat kebiasaan. Tapi menelusuri arti etimologis saja
belum
cukup
untuk
mengerti
apa
yang
dalam
buku
ini
dimaksudkan dengan istilah "etika".
Mendengar keterangan etimologis ini, mungkin kita teringat
bahwa dalam bahasa Indonesia pun kata "ethos" cu kup banyak
dipakai, misalnya dalam kombinasi "ethos kerja", "ethos profesi",
dan sebagainya. Memang ini suatu kata yang diterima dalam
bahasa Indonesia dari bahasa Yunani (dan karena itu sebaiknya
dipertahankan ejaan aslinya "ethos"), tapi tidak langsung
melainkan melalui bahasa Inggris, di mana-seperti dalam
banyak bahasa modern lain-kata itu termasuk kosa kata yang
baku. Dalam buku ini kita akan memanfaatkan juga istilah "ethos"
ini.
Kata yang cukup dekat dengan "etika" adalah "moral". Kata
terakhir ini berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang
berarti juga: kebiasaan, adat. Dalam bahasa Inggris dan banyak
bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia (pertama kali dimuat
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988), kata mores masih
dipakai dalam arti yang sama. Jadi, etimologi kata "etika" sama
dengan etimologi kata "moral", karena keduanya berasal dari kata
yang berarti adat kebiasaan. Hanya bahasa asalnya berbeda: yang
pertama berasal dari bahasa Yunani, sedang yang kedua dari
bahasa Latin
Sekarang kita kembali ke istilah "etika". Setelah mempelajari dulu asal-usulnya, sekarang kita berusaha menyimak
artinya. Salah satu cara terbaik untuk mencari arti sebuah kata
adalah melihat dalam kamus. Mengenai kata “etika" ada
perbedaan yang mencolok, jika kita meembandingkan apa yang
dikatakan dalam kamus yang lama dengan kamus, yang baru.
Dal am
Kamus
Umum
Bahasa
Indonesia
yang
lama
(Poerwadarminta, sejak 1953) "etika" dijelaskan sebagai: "ilmu
pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)". Jadi, kamus lama
hanya mengenal satu arti, yaitu etika sebagai ilmu. Seandainya
penjelasan ini benar dan kita membaca dalam koran "Dalam dunia
bisnis etika merosot terus", maka kata "etika" di sini hanya bisa
berarti "etika sebagai ilmu". Tapi yang dimaksudkan dalam kalimat
seperti itu ternyata bukan etika sebagai
ilmu. Kita bisa
menyimpulkan bahwa kamus lama dalam penjelasannya tidak
lengkap. Jika kita melihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
baru (Departemen Pendidikan Kebudayaan, 1988), di situ "etika"
dijelaskan dengan membedakan tiga arti: “1). ilmu tentang apa
yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan
dengan akhlak;
'DalamKamusBesarBahcuaIndonesia edisi ke-2 (1991) dan edisi ke-3 (2001) ada perubahan. Di situ dimuat dua
entri: "etik" dan "etika". Etik meliputi arti ke-2 dan ke-3 dari "etika" dalam edisi 1988, sedangkan "etika"
(dalam edisi 1991 dan 2001) dikhususkan untuk ilmunya. Sehingga "etika" dimengerti sebagai ilmu tentang "etik",
Mengapa ada perubahan ini? Karena para ahli bahasa berpendapat bahwa istilah dengan akhiran-"ika" harus dipakai
untuk menunjukkan ilmu. Seperti misalnya "statistika" adalah ilmu tentang "statistik". Demikian keinginan para ahli
bahasa. Tetapi dalam bahasa sehari-sehari keinginan ini tidak (belum?)
3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan
atau masyarakat". Kamus baru ini memang lebih lengkap. Dengan
penjelasan ini dapat kita mengerti kalimat seperti "Dalam dunia
bisnis etika merosot terus", karena di sini "etika" ternyata dipakai
dalam arti yang ketiga.
Setelah mempelajari penjelasan kamus, kami memilih tetap
membedakan tiga arti mrngenai kata "etika" ini. Tetapi urutannya
mungkin lebih baik terbalik, karena arti ke-3 dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia edisi 1998 lebih mendasar daripada arti pertama, sehingga
sebaiknya ditempatkan di depan. Perumusannya juga bisa dipertajam lagi.
Dengan demikian kita sampai pada tiga arti berikut ini. Pertama, kata "etika"
bisa dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya. Misalnya, jika orang berbicara tentang "etika suku-suku
Indian", "etika agama Budha", "etika Protestan" (ingat akan buku
termasyhur Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism), maka tidak dimaksudkan "ilmu", melainkan arti pertama
tadi. Secara singkat, arti ini bisa dirumuskan juga sebagai "sistem nilai". Dan
boleh dicatat lagi, sistem nilai itu bisa berfungsi dalam hidup manusia
perorangan maupun pada taraf sosial. Kedua, "etika" berarti juga: kumpulan
asas atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Beberapa
tahun yang lalu oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia
diterbitkan sebuah kode etik untuk rumah sakit yang diberi judul:
"Etika Rumah Sakit Indonesia" (1986), disingkatkan sebagai ERSI. Di sini
dengan "etika" jelas dimaksudkan kode etik. Ketiga, "etika" mempunyai
arti lagi: ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika baru menjadi
ilmu,
diikuti. Dan yang kita teliti di sini adalah bagaimana istilah ini pada kenyataannya dipakai
dalam masyarakat, bukan bagaimana seharusnya dipakai menurut norma ilmu bahasa. Karena
itu untuk maksud kita penjelasan dari edisi 1988 masih bisa dianggap paling tepat .
bila kemungkinan-kemungkinan etis (asa-asas dan nilai-nilai tentang
yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu
masyarakat-sering kali tanpa disadari-menjadi bahan refleksi bagi
suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan
filsafat moral.
Tentang kata "moral" sudah kita lihat bahwa etimologi nya
sama dengan "etika", sekalipun hahasa asalnya berbeda. Jika sekarang kita
memandang arti kata "moral", perlu kita simpulkan bahwa artinya
(sekurang-kurangnya arti yang relevan untuk kita, di samping arti lain
yang tidak perlu disinggung di sini) sama dengan "etika" menurut arti
pertama tadi, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan
bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Kita mengatakan, misalnya, bahwa perbuatan seseorang tidak bermoral.
Dengan itu dimaksud bahwa kita menganggap perbuatan orang itu
niclanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam
masyarakat. Atau kita mengatakan bahwa kelompok pemakai narkotika
mempunyai moral yang bejat, artinya, mereka berpegang pada nilai dan
norma yang tidak baik.
"Moralitas" (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang
pada dasarnya sama dengan "moral", hanya ada nada lebih abstrak. Kita
berbicara tentang "moralitas suatu perbuatan", artinya, segi moral suatu
perbuatan atau baik buruknya. Moralitas adalah sifat moral atau
keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan bai dan buruk
2. Etiket Dan Etika
Dalam rangka menjernihkan istilah, harus kita simak lagi
perbedaan antara "etika" dan "etiket". Kerap kali dua istilah ini
dicampuradukkan begitu saja, padahal perbedaan di antaranya
sangat hakiki.
2
Stanley L. Jaki. “Decision -making in Business : Amoral?” dalam C. van Dam and L.N.
Stallaert, Trends in Busine Ethics, Leiden / Boston, Martinus Nijhoff, 1978, hlm. 1 -10.
"Etika" di sini berarti "moral" dan "etiket" berarti "sopan
santun (tentu saja, di samping arti lain: "secarik kertas yang
ditempelkan pada botol atau kemasan barang ). Jika kita
melihat asal-usulnya, sebetulnya tidak ada hubungan antara dua
istilah ini. Hal itu menjadi lebih jelas, jika kita membandingkan bentuk kata dalam bahasa Inggris, yaitu ethics da n etiquette.
Tetapi dipandang menurut artinya, dua istilah ini memang
dekat satu sama lain.
Di samping perbedaan, ada juga peramaan. Mari kita
mulai
dengan
persamaan
itu.
Pertama,
etika
dan
etiket
menyangkut perilaku manusia. Istilah-istilah ini hanya kita pakai
mengenai manusia. Hewan tidak mengenal etika maupun etiket.
Kedua, baik etika maupun etiket mengatur perilaku manusia
secara normatif, artinya, memberi norma bagi perilaku manusia
dan dengan demikian rnenyatakan apa yang harus dilakukan
atau tidak boleh dilakukan. Justru karena sifat normatif ini
kedua istilah tersebut mudah dicampuradukkan.
Namun demikian, ada beberapa perbedaan sangat penting
antara etika dan etiket. Di sini kita akan mempelajari sepintas
empat macam perbedaan.
*
Etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan
manusia. Di antara beberapa cara yang mungkin, etiket
menunjukkan cara yang tepat, artinya, cara yang diharapkan serta ditentukan dalam suatu kalangan ter tentu.
Misalnya, jika saya menyerahkan sesuatu kepada atasan,
saya harus menyerahkannya dengan menggunakan tangan
kanan.
Dianggap
melanggar
etiket,
bila
orang
menyerahkan sesuatu dengan tangan kiri. Tetapi etika tidak
terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan; etika
memberi
norma
tentang
perbuatan itu sendiri.
Etika
menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh di lakukan ya atau tidak. Mengambil barang milik orang lain
tanpa izin, tidak pernah diperbolehkan. "Jangan men curi"
merupakan suatu norma etika. Apakah orang men curi
dengan tangan kanan atau tangan kiri di sini sama
sekali tidak relevan. Norma etis tidak terbatas pada cara
perbuatan dilakukan, melainkan menyangkut perbuatan itu
sendiri.
*
Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada
orang lain hadir atau tidak ada saksi mata, maka etiket
tidak berlaku. Misalnya, ada banyak peraturan etiket yang
mengatur cara kita makan. Dianggap melanggar etiket,
bila kita makan sambil berbunyi atau dengan me letakkan
kaki di atas meja, dan sebagainya. Tapi kalau saya makan
sendiri, saya tidak melanggar etiket, bila makan dengan cara
demikian. Sebaliknya, etika selalu berlaku, juga kalau tidak ada
saksi mata. Etika tidak tergantung pada hadir tidaknya orang
lain. Larangan untuk mencuri selalu btrlaku, entah ada orang
lain, hadir atau tidak. Barang yang dipinjam selalu harus
dikembalikan, juga jika pemiliknya sudah lupa.
*
Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu
kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain.
Contoh yang jelas adalah makan dengan tangan atau tersendawa
waktu makan. Lain halnya dengan etika. Etika jauh lebih absolut.
"Jangan
mencuri",
"jangan
berbohong",
"jangan
membunuh" merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak bisa
ditawar-tawar atau mudah diberi "dispensasi". Memang benar,
ada kesulitan cukup besar mengenai keabsolutan prinsip-prinsip
etis yang akan dibicarakan lagi dalam buku ini. Tapi tidak bisa
diragukan, relativitas etiket jauh lebih jelas dan jauh lebih mudah
terjadi.
* Jika kita berbicara tentang etiket, kita hanya memandang manusia
dari segi lahiriah saja, sedang etika menyangkut manusia dari
segi dalam. Bisa saja orang tampil sebagai "musang berbulu
ayam": dari luar sangat sopan clan halus, tapi di dalam penuh
kebusukan. Banyak penipu berhasil dengan maksud jahat
mereka, justru karena penampilannya begitu halus dan menawan
hati, sehingga mudah meyakinkan orang lain. Tidak merupakan
kontradiksi, jika seseorang selalu berpegang pada etiket dan
sekaligus bersikap munafik. Tapi orang yang etis sifatnya tidak
mungkin bersikap munafik, sebab seandainya dia munafik,
hal itu dengan sendirinya berarti ia tidak bersikap etis. Di sini
memang ada kontradiksi. Orang yang bersikap etis adalah
orang yang sungguh-sungguh baik. Sudah jelaslah kiranya
bahwa perbedaan terakhir ini paling penting di antara empat
perbedaan yang dibahas tadi.
Setelah mempelajari perbedaan antara etika clan etiket ini,
barangkali tidak sulit untuk disetujui bahwa konsekuensinya
cukup besar, jika dua istilah ini dicampuradukkan tanpa berpikir lebih
panjang. Bisa sampai fatal dari segi etis, bila orang menganggap
etiket saja apa yang sebenarnya termasuk lingkup moral. Juga tentang
istilah-istilah lain yang kita pakai dalam konteks ini haruslah jelas
kita kita makudkan atau etiket. Misalnya, jika kita berbicara tentang
"suila", "kesusilaan", "tata krama", "budi pekerti", kita mengambil
itilah-istilah ini dari lingkup etika atau dari lingkup etiket!
Karena ketidakjelasan itu dalam buku ini kita tidak akan
menggunakan kata seperti "kesusilaan". Di sisi lain, istilah yang
jelas termauk lingkup etika janganlah diperlakukan seolah-olah
termasuk linkkup etiket. Menurut pendapat kami, hal itu
dilakukan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi 1988)
tentang kata "moralitas" yang dijelaskan sebagai "sopan santun,
segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat sopan
santun". Padahal, sesuai dengan pemakaian intemasional sudah
menjadi kebiasaan umum memasukkan "moralitas" ke dalam
lingkup etika, bukan lingkup etiket.
3.
Teori-Teori Etiket
a) Hedonisme
Sepanjang sejarah barangkali tidak ada filsafat moral
yang lebih mudah dimengerti dan akibatnya tersebar lebih luas
seperti hedonisme ini. Maka tidak mengherankan, jika pandangan
ini sudah timbul pada awal sejarah filsafat. Atas pertanyaan "apa
yang menjadi hal yang terbaik bagi manusia", para hedonis
menjawab: kesenangan (hedone dalam bahasa Yunani). Adalah
baik apa yang memuaskan keinginan kita, apa yang meningkatkan
kuantitas kesenangan atau kenikmatan dalam diri kita.
Dalam filsafat Yunani hedonisme sudah ditemukan pada
Aristippos dari Kyrene (sekitar 433-355 s.M.), seorang murid
Sokrates. Sokrates telah bertanya tentang tujuan terakhir bagi
kehidupan manusia atau apa yang sungguh-sungguh baik bagi
manusia, tapi ia sendiri tidak memberikan jawaban yang jelas atas
pertanyaan itu clan hanya mengeritik jawaban-jawaban yang
dikemukakan oleh orang lain. Aristippos menjawab: yang
sungguh baik bagi manusia adalah kesenangan. Hal itu terbukti
karena sudah sejak masa kecilnya manusia merasa tertarik
akan kesenangan dan bila telah tercapai ia tidak mencari
sesuatu yang lain lagi. Sebaliknya, ia selalu menjauhkan diri
dari ketidaksenangan. Bagi Aristippos kesenangan itu bersifat
badani belaka, karena hakikatnya tidak lain daripada gerak
dalam badan.
Mengenai gerak itu ia membedakan tiga
kemungkinan: gerak yang kasar dan itulah ketidaksenangan,
misalnya, rasa sakit; gerak yang halus dan itulah kesenangan;
sedangkan tiadanya gerak merupakan suatu keadaan netral,
misalnya, jika kita tidur. Aristippos menekankan lagi bahwa
kesenangan harus dimengerti sebagai kesenangan aktual, bukan
kesenangan dari masa lampau dan kesenangan di masa
mendatang. Sebab, hal-hal terakhir ini hanyalah ingatan akan atau
antisipasi atas kesenangan. Yang baik dalam arti
yang
sebenarnya adalah kenikmatan kini dan di sini. Jika kita
melihat pandangan Aristippos ini sebagai keseluruhan, perlu kita
simpulkan bahwa ia mengerti kesenangan sebagai badani,
aktual dan individual.
Akan tetapi, ada batas untuk mencari kesenangan. Aristippos pun mengakui perlunya pengendalian diri, sebagaimana
sudah diajarkan oleh gurunya, Sokrates. Dalam pada itu
mengakui perlunya pengendalian diri tidak sama dengan
meninggalkan kesenangan. Yang penting ialah mempergunakan
kesenangan dengan baik dan tidak membiarkan diri terbawa
olehnya, sebagaimana menggunakan kuda atau perahu tidak
berarti meninggalkannya, tapi menguasainya menurut kehendak
kita. Konon, kepada teman-teman yang mengeritiknya karena
hubungannya dengan seorang wanita penghibur kelas tinggi
yang bernama Lais ia menjawab: "Saya memiliki Lais, ia tidak
memiliki saya". Secara konsekuen ia berpendapat juga bahwa
manusia harus membatasi diri pada kesenangan yang diperoleh
dengan mudah dan tidak perlu mengusahakan kesenangan
dengan susah payah serta bekerja keras.
Filsuf Yunani lain yang melanjutkan hedonisme adalah
Epikuros (341-270 s.M.), yang memimpin sebuah sekolah filsafat
di Athena. Epikuros pun melihat kesenangan (hedone) sebagai
tujuan kehidupan manusia. Menurut kodratnya setiap manusia
mencari kesenangan, tapi pengertiannya tentang kesenangan
lebih luas daripada pandangan Aristippos. Walaupun tubuh
manusia merupakan "asas serta akar" segala kesenangan dan
akibatnya kesenangan badani harus dianggap paling hakiki,
namun Epikuros mengakui adanya kesenangan yang melebihi
tahap badani. Dalam sepucuk surat ia menulis: "Bila kami
mempertahankan bahwa kesenangan adalah tujuannya, kami
tidak maksudkan kesenangan inderawi, tapi kebebasan dari nyeri
dalam tubuh kita dan kebebasan dari keresahan dalam jiwa"
(Surat kepada Menoikeus). Tapi kesenangan rohani itu hanyalah
bentuk yang diperhalus dari kesenangan badani. la juga tidak
membatasi kesenangan pada kesenangan aktual saja. Dalam
menilai kesenangan, menurut Epikuros kita harus memandang
kehidupan sebagai keseluruhan termasuk juga masa lampau dan
masa depan.
Biarpun pada dasarnya setiap kesenangan bisa dinilai
baik, namun itu tidak berarti bahwa setiap kesenangan harus
dimanfaatkan juga. Dalam hal ini pentinglah pembedaan yang
diajukan Epikuros antara tiga macam keinginan: keinginan
alamiah yang perlu (seperti makanan), keinginan alamiah yang
tidak perlu (seperti makanan yang enak), dan keinginan yang siasia (seperti kekayaan). Hanya keinginan macam pertama harus
dipuaskan dan pemuasannya secara terbatas menghasilkan
kesenangan paling besar. Karena itu Epikuros menganjurkan
semacam "pola hidup sederhana". Orang bijaksana akan berusaha
sedapat mungkin hidup terlepas dari keinginan. Dengan demikian
manusia akan mencapai ataraxia, ketenangan jiwa atau keadaan
jiwa seimbang yang tidak membiarkan diri terganggu oleh hal-hal
yang lain. Ataraxia begitu penting bagi Epikuros, sehingga ia
menyebutnya juga tujuan kehidupan manusia (di samping
kesenangan). Ataraxia berperanan bagi jiwa, seperti kesehatan
bagi badan. Orang bijaksana yang memperoleh ketenangan jiwa
itu akan berhasil mengusir segala macam ketakutan (untuk
kematian, dewa-dewa dan suratan nasib), menjauhkan diri dari
kehidupan politik dan menikmati pergaulan dengan sahabat.
b.
Eudemonisme
Pandangan ini berasal dari filsuf Yunani besar, Aris toteles (384-322 s.M.). Dalam bukunya, Ethika Nikomakhei«, ia
mulai dengan menegaskan bahwa dalam setiap kegiatannya
manusia mengejar suatu tujuan. Bisa dikatakan juga, dalam setiap
perbuatan kita ingin mencapai sesuatu yang baik bagi kita.
Scring kali kita mencari suatu tujuan untuk mencapai suatu
tujuan lain lagi. Misalnya, kita minum obat untuk bisa tidur dan
kita
tidur
untuk
dapat
memulihkan
kesehatan.
Timbul
pertanyaan, apakah ada juga tujuan yang, dikejar karena dirinya
sendiri dan bukan karena sesuatu yang lain lagi; apakah ada
kebaikan terakhir yang tidaG dicari demi sesuatu yang lain lagi.
Menurut Aristoteles (semua orang akan menyetujui bahwa tujuan
tertinggi ini dalam terminologi modern kita bisa mengatakan:
makna
terakhir
hidup
manusia
adalah
kebahagiaan
(eudaimonia). Tapi jika semua orang mudah menyepakati
kebahagiaan sebagai tujuan terakhir hidup manusia, itu belum
memecahkan semua kesulitan, karena dengan kebahagiaan mereka mengerti banyak hal yang berbeda-beda. Ada yang
mengatakan bahwa kesenangan adalah kebahagiaan, ada yang
berpendapat
bahwa
uang
dan
kekayaan
adalah
inti
kebahagiaan dan ada pula yang menganggap status sosial atau
nama baik sebagai kebahagiaan. Tapi Aristoteles beranggapan
bahwa semua hal itu tidak bisa diterima sebagai tujuan
terakhir. Kekayaan, misalnya, paling-paling bisa dianggap
tujuan untuk mencapai suatu tujuan lain. Karena itu masih tetap
tinggal pertanyaan: apa itu kebahagiaan
Menurut Aristoteles, seseorang mencapai tujuan terakhir
dengan menjalankan fungsinya dengan baik. Tujuan terakhir
pemain suling adalah main dengan baik. Tujuan terakhir tukang
sepatu adalah membikin sepatu yang baik. Nah, jika manusia
menjalankan fungsinya sebagai manusia dengan baik, ia juga
mencapai tujuan terakhirnya atau kebahagiaan. Apakah fungsi
yang khas bagi manusia itu? Apakah keunggulan manusia,
dibandingkan
dengan
makhluk-makhluk lain? Aristoteles
menjawab: akal budi atau rasio. Karena itu manusia mencapai
kebahagiaan dengan menjalankan secara paling baik kegiatankegiatan rasionalnya. Dan tidak cukup ia melakukan demikian
beberapa kali saja, tapi harus sebagai suatu sikap tetap. Hal
itu berarti bahwa kegiatan-kegiatan rasional itu harus dijalankan
dengan disertai keutamaan. Bagi Aristoteles ada dua macam
keutamaan:
keutamaan
intelektual
dan keutamaan moral.
Keutamaan intelektual menyempurnakan langsung rasio itu
sendiri. Dengan keutamaan-keutamaan moral rasio menjalankan
pilihan-pilihan yang perlu diadakan dalam hidup sehari-hari.
Khususnya keutamaan-keutamaan moral ini dibahas Aristoteles
dengan panjang lebar. Keutamaan seperti keberanian dan
kemurahan hati merupakan pilihan yang dilaksanakan oleh
rasio. Dalam hal ini rasio menentukan jalan tengah antara dua
ekstrem yang berlawanan. Atau dengan kata lain, keutamaan
adalah keseimbangan antara "kurang" dan "terlalu banyak".
Misalnya, keberanian adalah keutamaan yang memilih jalan
tengah antara sikap gegabah dan sikap pengecut; kemurahan
hati adalah keutamaan yang mencari jalan tengah antara kekikiran
dan pemborosan. Keutamaan yang menentukan jaIan tengah itu
oleh Aristoteles disebut phronesis (kebijaksanaan praktis).
Phronesis
menentukan
apa
yang bisa dianggap
berkeutamaan dalam suatu situasi konkret.
sebagai
Disini perlu dicatat bahwa Aristoteles (dan seluruh tradisi pemikiran Yunani) tidak mengerti
kebahagiaan dalam arti modern, yaitu kebahagiaan subyektif (merasa happy). Dengan
kebahagiaan dimaksudkannya keadaan manuia demikian rupa, ehingga segala sesuatu yang
seharusnya ada memang ada padanya (well-being)
Karena itu keutamaan ini merupakan inti seluruh kehidupan
moral.
Sekali lagi perlu ditekankan bahwa tidaklah cukup kita
kebetulan atau satu kali saja mengadakan pilihan rasional yang
tepat dalam perbuatan ldta sehari-hari. Baru ada keutamaan jika
kita bisa menentukan jalan tengah di antara ekstrem-ekstrem itu
dengan suatu sikap tetap. Menurut Aristoteles, manusia adalah
baik dalam arti moral, jika selalu mengadakan pilihan-pilihan
rasional yang tepat dalam perbuatan-perbuatan moralnya dan
mencapai keunggulan dalam penalaran intelektual. Orang seperti
itu adalah bahagia. Kebahagiaan itu akan disertai kesenangan juga,
walaupun kesenangan tidak merupakan inti yang sebenarnya dari
kebahagiaan.
c.
Utilitarisme
1. Utilitarisme Klasik
Aliran ini berasal dari tradisi pemikiran moral di United
Kingdom dan di kemudian hari berpengaruh ke seluruh
kawasan yang berbahasa Inggris. Filsuf Skotlandia, David
Hume (1711-1776), sudah memberi sumbangan penting ke
arah perkembangan aliran ini, tapi utilitarisme menurut
bentuk lebih matang berasal dari filsuf Inggris Jeremy Bentham
(1748-1832), dengan bukunya Introduction to the Principles of
Morals and Legislation (1789). Utilitarisme dimaksudnya
sebagai dasar etis untuk membaharui hukum Inggris,
khususnya hukum pidana. Jadi, ia tidak ingin menciptakan
suatu teori moral abstrak, tetapi mempunyai maksud sangat
konkret. la berpendapat bahwa tujuan hukum adalah
memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi yang disebut hak-hak kodrati. Karena itu ia beranggapan bahwa
klasifikasi kejahatan, umpamanya, dalam sistem hukum
Inggris sudah ketinggalan zaman dan harus diganti. Bentham mengusulkan suatu klasifikasi kejahatan yang didasarkan atas berat tidaknya pelanggaran dan yang terakhir
ini diukur berdasarkan kesusahan atau penderitaan yang
diakibatkannya terhadap para korban dan masyarakat. Suatu
pelanggaran yang tidak merugikan orang lain, menurut
Bentham sebaiknya tidak dianggap sebagai tindakan kriminal,
seperti misalnya pelanggaran seksual yang dilakukan atas
dasar suka sama suka.
Bentham mulai dengan menekankan bahwa umat
manusia menurut kodratnya ditempatkan di bawah pemerintahan dua penguasa yang berdaulat: ketidaksenangan dan
kesenangan Menurut kodratnya manusia menghindari ketidaksenangan dan mencari kesenangan. Kebahagiaan tercapai,
jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Dalam
hal
ini
Bentham
sebenarnya
melanjutkan
begitu
saja
hedonisme klasik.
Karena menurut kodratnya tingkah laku manusia
terarah pada kebahagiaan, maka suatu perbuatan dapat dinilai
baik
atau
buruk,
sejauh
dapat
meningkatkan
atau
mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Dalam
hal ini Bentham meninggalkan hedonisme individualistis dan
egoistis
dengan
menekankan
bahwa
kebahagiaan
itu
menyangkut seluruh umat manusia. Moralitas suatu tindakan
harus ditentukan dengan menimbang kegunaannya untuk
mencapai kebahagiaan umat manusia. Dengan demikian
Bentham sampai pada the principle of utility yang
4
”Nature has placed mankind under the governance of two sovereign masters :
pain and pleasure”.
berbunyi: the greatest happiness of the greatest number,
kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar". Prinsip
kegunaan ini menjadi norma untuk tindakan-tindakan kita
pribadi maupun untuk kebijaksanaan pemerintah, misalnya,
dalam menentukan hukum pidana.
Menurut Bentham, prinsip kegunaan tadi harus
diterapkan
secara
kuantitatif
belaka.
Karena
kualitas
kesenangan selalu sama, satu-satunya aspeknya yang bisa
berbeda adalah kuantitasnya 5 Bukan saja the greatest number
tapi juga the greatest happiness dapat diperhitungkan. Untuk
itu ia mengembangkan the hedonistic calculus. Sumbersumber
kesenangan
dapat
diukur
dan
diperhitungkan
menurut intensitas dan lamanya perasaan yang diambil
daripadanya, menurut akibatnya, menurut kepastian akan
dapat menghasilkan perasaan itu, menurut jauh dekatnya
perasaan, menurut kemurnian serta jangkauan perasaan, dan
sebagainya. Perhitungan ini akan menghasilkan saldo positif,
jika kredit (kesenangan) melebihi debetnya (ketidaksenangan).
Salah satu contoh adalah cara Bentham memperhitungkan
kadar moral dari perbuatan minum minuman keras sampai mabuk. Hasil perhitungan itu dapat digambarkan sebagai berikut:
'Dalam suatu kalimat yang terkenal ia mengatakan: "QualitN , of pleasure being
equal, oushpin is as good as poetry" (Karena kualitas kesenangan selalu sarna,
pusnprn sama baik seperti puisi). Yang dimaksud dengan pushpin adalah sejenis
permainan anak.
KEMABUKAN
Ketidaksenangan
Kesenangan (kredit)
Lamanya
: Singkat
Intensitas
Akibat
: - kemiskinan
- nama buruk
: membawa
banyak
Kepastian
: kesenangan
- tidak sanggup
bekerja
Kemurnian
kesenangan pasti
Jauh/dekat
: terjadi
: dapat diragukan
kesenangan
( dalam keadaan
timbul cepat
mabuk sring
tercampur unsur
ketidaksenangan)
Seandainya tidak ada segi negatif, maka keadaan
mabuk akan merupakan sesuatu yang secara moral baik.
Tapi sebagai keseluruhan saldo adalah negatif dan menurut
Bentham malah sangat negatif, sehingga kemabukan harus
dinilai secara moral sangat jelek. Moralitas semua perbuatan
dapat diperhitungkan dengan cara sejenis.
Utilitarisme diperhalus dan diperkukuh lagi oleh filsuf
Inggris besar, John Stuart Mill (1806-1873), dalam bukunya
Utilitarianism (1864). Dari pendapatnya patut disebut di sini
dua hal. Pertama, ia mengeritik pandangan Bentham bahwa
kesenangan
dan
kebahagiaan
harus
diukur
secara
kuantitatif.
6
”It is better to be a human being dissatisfied than a pig satisfied; better to be
Socrates dissatisfied than a fool satisfied” (Lebih baik menjadi seorang manusia
yang tidak puas daripada seorang yang tidak puas daripada seekor babi yang
puas; lebih baik menjadi Sokrates yang tidak puas daripada seorang tolol yang
puas).
Ia berpendapat bahwa kualitasnya perlu dipertimbangkan
juga, karena ada kesenangan yang lebih tinggi mutunya dan
ada yang lebih rendah. Kesenangan manusia harus dinilai
lebih tinggi daripada kesenangan hewan, tegasnya, dan
kesenangan orang seperti Sokrates lebih bermutu daripada
kesenangan orang tolol. Tetapi kualitas kebahagiaan dapat
diukur juga secara empiris, yaitu kita harus berpedoman
pada orang yang bijaksana dan berpengalaman dalam hal
ini. Orang seperti itu dapat memberi kepastian tentang mutu
kesenangan.
Pikiran Mill yang kedua yang pantas disebut di sini
adalah bahwa kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah
kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian,
bukan kebahagiaan satu orang saja yang barangkali
bertindak sebagai pelaku utama. Raja dan seorang bawahan
dalam hal ini harus diperlakukan sama. Kebahagiaan satu
orang tidak pernah boleh dianggap lebih penting daripada
kebahagiaan orang lain. Menurut perkataan Mill sendiri:
everybody to count for one, nobody to count for more than
one. Dengan demikian suatu perbuatan dinilai baik, jika
kebahagiaan melebihi ketidakbahagiaan, di mana kebahagiaan
semua orang yang terlibat dihitung dengan cara yang sama.
2. Utilitarisme Aturan
Suatu percobaan yang menarik untuk mengatasi
kritikan berat yang dikemukakan terhadap utilitarisme adalah
meni bedakan antara dua macam utilitarisme: utilitarisme pcu
buatan dan utilitarisme aturan. Hal itu dikemukakan antara
lain oleh filsuf Inggris-Amerika Stephen Toulmin.8
8
S.E. Toulmin, The Place of Reason in Ethics, Cambridge, Cambridge Univet sity
Press, 1949.
Toulmin dan kawan-kawannya menegaskan bahwa prinsip
keguna,tidak harus diterapkan atas salah satu perbuatan
bagaimana dipikirkan dalam utilitarisme klasik), melainkan
atas aturan-aturan moral yang mengatur perbuatanpeiIm.ttan kita. Orang sebaiknya tidak bertanya "apakah
akan tiiperoleh kebahagiaan paling besar untuk paling
banyal, orang, jika seseorang menepati janjinya dalam situasi
tertentu?" Yang harus ditanyakan adalah: "apakah aturan
moral 'orang harus menepati janjinya' merupakan aturan yang
paling berguna bagi masyarakat atau, sebaliknya, aturan
'orang tidak perlu menepati janji' menyumbangkan paling
banyak untuk kebahagiaan paling banyak orang?" Tanpa
ragu-ragu dapat kita jawab bahwa aturan "orang harus
menepati janji" pasti paling berguna dan karena itu harus
diterima sebagai aturan moral. Juga kesulitan-kesulitan lain
terhadap utilitarisme, seperti hak manusia atau perlunya
keadilan, akan hilang dengan sendirinya, asal prinsip kegunaan diterapkan atas aturannya dan bukan atas perbuatan satu demi satu.
Filsuf seperti Richard B.Brandt melangkah lebih jauh
lagi dengan mengusulkan agar bukan aturan moral satu
demi
satu,
melainkan
sistem
aturan
moral
sebagai
keseluruhan diuji dengan prinsip kegunaan. Kalau begitu,
perbuatan adalah baik secara moral, bila sesuai dengan
aturan yang berfungsi dalam sistem aturan moral yang
paling berguna bagi suatu masyarakat.
Utilitarisme aturan ini merupakan sebuah varian yang
menarik dari utilitarisme. Perlu diakui bahwa dengan
demikian kita bisa lolos dari banyak kesulitan yang melekat
pada utilitarisme perbuatan. Namun demikian, utilitarisme
aturan ini sendiri tidak tanpg kesulitan juga. Kesulitan utama
timbul, jika terjadi konflik antara dua aturan moral. Misalnya,
seorang bapak keluarga mencuri uang untuk dapat membeli
obat yang sangat dibutuhkan bagi anaknya. Jika anak itu
tidak minum obat tersebut, segera ia akan mad. Bapak itu
sudah berusaha seribu satu cara untuk memperoleh uang
yang sangat diperlukan itu, tapi selalu gagal. Tinggal
kemungkinan terakhir ini: mencuri. Di sini terdapat konflik
antara dua aturan moral: "orang tidak boleh mencuri" dan
"orang
tua
harus
berusaha
sekuat
tenaga
untuk
menyelamatkan anaknya". Dari dua aturan moral ini, yang
mana paling penting? Untuk menjawab pertanyaan ini
harus kita lihat situasi konkret. Dan mungkin kebanyakan
orang akan mengatakan bahwa dalam situasi konkret tadi
bapak keluarga itu boleh saja mencuri, asal dengan itu ia
tidak terlalu merugikan orang lain. Akan tetapi, apakah
dengan demikian kita tidak meninggalkan utilitarisme aturan
dan terjerumus ke dalam utilitarisme perbuatan? Rupanya
memang demikian.
4. Deontologi
Semua sistem etika yang dibahas sampai di sini
memperhatikan hasil perbuatan. Baik tidaknya perbuatan
dianggap tergantung pada konsekuensinya. Karena itu
sistem-sistem ini disebut juga sistem konsekuensialistis.
Masih ada cara lain untuk mengatakan hal yang sama.
Sistem-sistem etika yang dibicarakan sebelumnya semua
berorientasi pada tujuan perbuatan. Dalam utilitarisme,
umpamanya,
tujuan
perbuatan-perbuatan
moral
adalah
memaksimalkan kegunaan atau kebahagiaan bagi sebanyak
mungkin orang. Karena itu bisa dikatakan juga bahwa semua
sistem itu bersifat teleologis (= terarah pada tujuan).
Sekarang kita akan memandang suatu sistem etika
yang
tidak
mengukur
baik
tidaknya
suatu
perbuatan
berdasarkan hasilnya, melainkan semata-mata berdasarkan
maksud si pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut. Kita
bisa mengatakan juga bahwa sistem ini tidak menyoroti
tujuan yang dipilih bagi perbuatan atau keputusan kita,
melainkan semata-mata wajib tidaknya perbuatan dan
keputusan kita. Teori yang dimaksudkan ini biasanya disebut
deontologi (kata Yunani deon berarti: apa yang harus
dilakukan; kewajiban).
BAB III
MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK: INDIVIDU, SOSIAL DAN
CIPTAAN TUHAN
A.
Manusia sebagai Indvidu
Manusia adalah makhluk individu. Sebagai makhluk individu berarti
makhluk yang tidak dapat dibagi-bagi, tidak dapat dipisah-pisahkan antara
jiwa dan raganya. Kata "individu" berasal dari kata latin individuum,
artinya tidak terbagi. Jadi, kata itu mengandung pengertian sebagai suatu
sebutan yang dapat dipakai untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling
kecil dan terbatas. Dalam ilmu sosial paham individu menyangkut
tabiatnya dengan kehidupan jiwanya yang majemuk, memegang peranan
dalam pergaulan hidup manusia. Individu bukan berarti menusia sebagai
suatu keseluruhan yang tak dapat dibagi melainkan sebagai kesatuan yang
terbatas, yaitu sebagai manusia perorangan, (Soelaeman, 2001:113).
Manusia sebagai makhluk individu, tidak hanya dalam arti makhluk
keseluruhan jiwa raga, melainkan juga dalam arti bahwa tiap-tiap orang itu
merupakan pribadi (individu) yang khas menurut corak kepribadiannya,
termasuk kecakapan-kecakapan serta kelemahan-kelemahannya. Individu
adalah seorang manusia yang tidak hanya memiliki peranan yang khas di
dalam lingkungan sosialnya, melainkan juga memiliki kepribadian serta
pola tingkah laku spesifik dirinya. Persepsi terhadap individu atau hasil
pengamatan manusia dengan segala maknanya merupakan suatu keutuhan ciptaan Tuhan yang mempunyai tiga aspek melekat pada
dirinya, yaitu aspek organik jasmaniah, aspek psikis rohaniah, dan
aspek sosial kebersamaan. Ketiga aspek tersebut saling mempengaruhi,
keguncangan pada satu aspek akan membawa akibat pada aspek yang
lainnya (Soelaeman, 2001:114).
Untuk menjadi suatu individu yang "mandiri" harus melalui proses
yang panjang. Tahap pertama, melalui proses pemantapan pergaulan
yang dilakukan di lingkungan keluarga. Dalam lingkungan keluarga ini
secara bertahap karakter yang khas akan terbentuk dan mengendap
lewat sentuhan-sentuhan interaksi: etika, estetika, dan moral agama.
Sejak manusia dilahirkan, ia membutuhkan proses pergaulan dengan
orang lain untuk memenuhi kebutuhan batiniah dan lahiriah yang
membentuk dirinya. Menurut Sigmund Freud, super ego pribadi
manusia sudah mulai terbentuk pada saat manusia berumur 56 tahun
(Gerungan, 1980:29).
Makna manusia menjadi individu apabila pola tingkah lakunya
hampir identik dengan tingkah laku masa yang bersangkutan. Proses
yang meningkatkan ciri-ciri individualitas pada seseorang sampai
menjadi dirinya sendiri disebut proses individualisasi atau aktualisasi
diri. Individu dibebani berbagai peranan yang berasal dari kondisi
kebersamaan hidup, maka muncul struktur masyarakat yang akan
menentukan kemantapan masyarakat. Individu dalam bertingkah laku
menurut pribadinya ada tiga kemungkinan: menyimpang dari norma
kolektif, kehilangan individualitasnya atau takhluk terhadap kolektif, dan
mempengaruhi masyarakat seperti adanya tokoh pahlawan atau pengacau.
Mencari titik optimum antara dua pola tingkah laku (sebagai individu dan
sebagai anggota masyarakat) dalam situasi yang senantiasa berubah,
memberi konotasi "matang" atau "dewasa" dalam konteks sosial. Sebutan
"baik" atau "tidak baik" pengaruh individu terhadap masyarakat adalah
relatif
(Soelaeman,
2001:114).
Bertolak
dari
proses
penjabaran
individualisasi manusia dalam masyarakat tersebut menunjukkan bahwa
manusia memiliki perilaku yang didorong oleh aspek individu dan aspek
sosial.
Manusia sebagai individu memiliki unsur jasmani dan rohani; unsur
fisik dan psikis; unsur jiwa dan raga. Seseorang dikatakan sebagai individu
bila unsur-unsur tersebut menyatu dalam dirinya. Unsur-unsur yang terdapat
dalam diri manusia tersebut tidak dapat terbagi apalagi terpisahkan. Jika
unsur-unsur tersebut tidak dapat menyatu maka seseorang tidak dapat
disebut sebagai individu. Oleh sebab itu, orang yang sudah mati disebut
"jasad" atau "mayat" karena yang tinggal hanya raga, jiwanya sudah tidak
ada. Raga tidak dapat hidup sebagaimana manusia utuh selaku individu
apabila tanpa jiwa. Dengan kata lain, yang disebut manusia sebagai
makhluk individu mencerminkan adanya satuan terkecil yang tidak dapat
terbagi lagi tetapi memiliki unsur-unsur jasmani dan rohani atau fisik dan
psikis, atau jiwa dan raga yang utuh menyatu.
Meskipun semua manusia sebagai individu memiliki unsur jiwa dan
raga yang menyatu, tetapi antara satu orang dengan orang yang lainnya
memiliki perbedaan dan kekhasannya baik secara fisik dan psikis. Secara
fisik misalnya, ada yang berambut ikal tetapi juga ada yang berambut
lurus, ada yang gemuk atau kurus, tinggi atau pendek, dan seterusnya.
Secara psikis juga ada perbedaan, misalnya ada yang pemalu, pemarah,
penyabar, periang, dan lain-lain. Dengan kata lain, individu dapat
dikenali dengan mudah melalui aspek fisik maupun psikisnya.
Manusia selaku makhluk individu di samping memiliki keinginankeinginan atau motif-motif juga memiliki kebutuhan-kebutuhan secara
pribadi. Motif-motif yang melatarbelakangi manusia selaku individu
berbuat sesuatu memiliki ciri-ciri sebagai berikut: bisa bersifat
majemuk, berubah-ubah, dan berbeda-beda, atau bahkan bisa jadi tidak
disadari oleh individu. Adapun manusia selaku individu juga
membutuhkan berbagai kebutuhan, antara lain: kebutuhan fisiologis
(pakaian, pangan, tempat, seks, dan kesejahteraan individu), yang
kemudian disebut sebagai kebutuhan primer; kebutuhan rasa aman;
kebutuhan akan rasa afeksi (yaitu kebutuhan untuk menjalin hubungan
atau keakraban dengan orang lain); kebutuhan akan harga diri (esteem
needs); kebutuhan untuk mengetahui dan memahami (need to know and
understand); kebutuhan rasa estetika (aesthetic needs); kebutuhan
untuk aktualisasi diri (self actualization); kebutuhan transendence,
yaitu kebutuhan untuk mengetahui dan menyelami dunia di luar dirinya
seperti spiritualitas dan rasa religiusitas (berkeyakinan akan keberadaan
Tuhan).
Dengan adanya kebutuhan pribadi itulah manusia selaku individu
mempunyai hubungan dengan dirinya sendiri, yaitu ada dorongan untuk
mengabdi kepada dirinya sendiri. Tindakan-tindakannya diarahkan
untuk memenuhi kepentingan pribadinya meskipun dalam kapasitasnya
bisa jadi menjadi bentuk perbuatan yang bernilai pengabdian kepada
masyarakatriya. Untuk itulah perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh
motivasinya dalam melakukan aktivitasnya. Motivasi atau dorongan
perilaku tersebut memiliki kekuatan yang berbeda-beda. Berbagai bentuk
motivasi individu tersebut berupa: kebutuhan untuk berbuat lebih baik
dari orang lain (achievement); kebutuhan untuk memuji, menyesuaikan
diri, dan mengikuti pendapat orang lain (defence); kebutuhan untuk
membuat rencana secara teratur (order); kebutuhan untuk menarik
perhatian orang lain dan berusaha menjadi pusat perhatian (exhibition);
kebutuhan untuk mandiri, tidak mau tergantung orang lain dan tidak mau
diperintah
orang
lain
(autonomy);
kebutuhan
untuk
menjalin
persahabatan dengan orang lain, kesetiaan, berpartisipasi (affiliation);
kebutuhan untuk memahami perasaan dan mengetahui tingkah laku orang
lain (intraception); kebutuhan untuk mendapatkan simpati, bantuan, dan
kasih sayang orang lain (succorance); kebutuhan untuk bertahan pada
pendapatnya,
menguasai,
memimpin,
menasehati
orang
lain
(dominance); kebutuhan akan rasa berdosa, salah, perlu diberi hukuman
(abasement); kebutuhan untuk membantu, menolong, dan simpati kepada
orang lain (nurturance); kebutuhan untuk melakukan perubahanperubahan, tidak menyukai rutinitas (channge); kebutuhan untuk
bertahan pada suatu pekerjaan; tidak suka diganggu (endurance);
kebutuhan untuk aktivitas sosial individu dalam mendekati lawan jenis,
mencintai lawan jenis (heterosexuality); kebutuhan untuk mengkritik,
membantah, menyalahkan, senang terhadap
Semua perilaku individu yang didorong oleh keinginan memenuhi
kebutuhan primer dan motivasi yang melekat pada pribadinya dapat
menjadi tolak ukur kepribadian seseorang dalam aktivitas sosialnya.
Sinyalemen ini menjadi indikasi atau pertanda seberapa besar makna
individu tersebut berperan dalam kehidupan, sehingga eksistensinya
sebagai manusia individu dapat diakui memiliki makna, baik secara
pribadi maupun terhadap lingkungannya. Manusia sebagai individu
akan memiliki arti bagi kehidupannya apabila peran dirinya bermakna
bagi orang lain, keluarga, maupun masyarakat secara luas. Salah satu
tanggung jawab manusia selaku pribadi yaitu membawa dirinya ke jalan
yang lurus, sehingga terpelihara iman dan Islamnya, serta selalu ingat
kepada Allah dan bersyukurlah karena nikmat Allah. Sebagaimana yang
difirmankan Allah dalam alQur'an, Surat al-Fatihah, ayat 5 dan 6; alBaqarah, ayat 21, 152, dan 153, dan seterunya.
B. Manusia sebagai Makhluk Sosial
Pada hakekatnya, manusia merupakan makhluk sosial di samping
sifat-sifat lainnya yang secara pribadi dimiliki. Secara alami keberadaan
manusia membutuhkan hubungan dengan orang lain, manusia mempunyai
dorongan untuk berhubungan dengan lingkungan sosial di sekitarnya.
Untuk itu, perlu dilihat makna sosial itu sendiri baik secara kebahasaan
maupun dari aktivitas simbolis yang dilakukannya. Secara etimologi, istilah
"sosial" berasal dari bahasa Latin socius yang artinya teman, perikatan.
Jadi, secara etimologi manusia sebagai makhluk sosial adalah makhluk yang
berteman, memiliki perikatan antara satu orang dengan orang yang lain. Istilah
sosial ini menekankan adanya relasi atau interaksi antar manusia, baik itu
relasi seorang individu dengan seorang individu yang lain, individu dengan
kelompok, atau. kelompok dengan kelompok.
Interaksi sosial ini dapat terjadi di lingkungan keluarga maupun di
masyarakat secara luas. Keluarga merupakan kelompok primer yang paling
penting di masyarakat. Keluarga merupakan sebuah group yang terbentuk atas
dasar hubungan pernikahan antara laki-laki dan wanita, yang berlangsung
lama untuk mendapatkan keturunan dan membesarkan anak-anaknya. Oleh
sebab itu, dalam hubungan keluarga ini memiliki lima macam sifat yang
menjadi indikasi terbentuknya masyarakat dalam arti keluarga, yaitu:
hubungan suami-istri, bentuk pernikahan untuk pemeliharaan hubungan
suami-istri, memiliki susunan atau formulasi istilah untuk menghitung
keturunan, memiliki harta benda yang menjadi milik keluarga, dan bertempat
tinggal bersama. Masing-masing individu yang terhimpun dalam satu keluarga
di samping memiliki hak dan kewajiban, juga bertanggung jawab atas
keselamatan keluarganya agar selalu dalam keadaan Iman dan Islam, sehingga
kelak di akhirat terhindar dari api neraka. Untuk itulah di dalam al-Qur'an,
Surat al-Baqarah 2:132 ditegaskan : "...janganlah mati kecuali dalam
keadaan memeluk agama Islam."
Sementara itu, pengertian masyarakat secara luas adalah menunjuk
pada sekelompok orang yang memiliki perasaan tertentu, sehingga
menimbulkan keeratan hubungan di antara anggota-anggotanya. Mereka
memiliki rasa persatuan karena memiliki kebiasaan atau kebudavaan yang
sama, logat bahasa yang sama, asal-usul yang sama, dan bertempat tinggal
dalam batas geografis yang sama. Keeratan hubungan ini lebih dirasakan
anggota masyarakatnya daripada oleh orang lain. Mereka memiliki ikatan
norma-norma dan adapt istiadat yang sama, sehingga masing-masing
merasa memiliki dan merasa bertanggung jawab atas keutuhan masyarakatnya.
Kesadaran manusia sebagai anggota masyarakat ini dalam lingkup
yang lebih besar lagi adalah bangsa, dan negara. Sebagai makhluk sosial,
manusia
menyadari
keberadaannya
berdasarkan
keturunan
dari
pendahulunya yang memiliki identitas asal-muasal suku bangsa sehingga
memiliki
kapasitas
tanggung
jawab
terhadap
kelangsungan
suku
bangsanya. Demikian juga dalam hal kehidupan bernegara, manusia
sebagai makhluk sosiai tidak terlepas dari kehidupan bernegara. Mereka
memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya.
Untuk itu, mereka juga harus memenuhi tanggung jawabnya sebagai warga
negara yang baik. Tugas dan tanggung jawab manusia sebagai warga
negara adalah ikut menjaga keutuhan serta tegaknya negara, dan memenuhi
segala peraturan perundang-undangan yang berlaku.
C. Manusia sebagai Makhluk Tuhan
Kesadaran manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial
hendaknya tidak mengabaikan eksistensinya sebagai makhluk Tuhan. Bentuk
dari tanggung jawab manusia terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat,
dan negara merupakan. bagian dari bentuk pengabdian dan penghambaan
diri terhadap Tuhan. Dengan kata lain, aktivitas manusia sebagai makhluk
individu dan makhluk sosial adalah representasi kesadaran diri manusia atas
pertanggungjawaban manusia kepada Tuhan. Segala bentuk tanggung jawab
pribadi dan sosialnya adalah manifestasi diri sebagai hamba Tuhan, atas
amanah-Nya untuk menjadi khalifah di muka bumi. Dengan demikian, upaya
untuk dapat memayu hayuning bawana (selalu berusaha mempercantik
kecantikan dunia) dapat dilakukan dengan budi pekerti atau perilaku yang
arif dan bijaksana. Menusia sebagai makhluk Tuhan juga memiliki
kewajiban untuk selalu berdakwah dan menebarkan amar ma'ruf nahi
mungkar. Kewajiban berdakwah ini disampaikan dalam Q.S. Ali Imran
3:104, yang artinya kurang lebih demikian: "Dan hendaklah ada di antara
kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada
yang ma'ruf dan meneegah dari yang munkar; merekalah orang-orang
yang beruntung" (Ilyas, 2003:182-183).
D. Dinamika Interaksi Sosial : Akulturasi, Asimilasi, Dan Inovasi
1. Akulturasi Budaya
Adalah proses sosial yang timbul apabila suatu kelompok
manusia dengan suatu kebudayaan tertentu sedemikian rupa dipengaruhi
oleh unsur-unsur suatu kebudayaan lain sehingga unsur-unsur lain itu
diterima dan disesuaikan dengan unsur-unsur kebudayaan sendiri tanpa
menyebabkan hilangnya identitas kebudayaan asli. Contoh yang
muncul adalah ketika pihak pribumi mulai menerima penggunaan gaya
hidup, seperti bahasa, mode pakaian, dan sopan santun ala barat.
Kajian akulturasi meliputi lima hal pokok, demikian yang
dikemukakan Koentjaraningrat (1997):
1. Masalah mengenai metode untuk mengobservasi, mencatat dan
melukiskan suatu proses akulturasi dalam suatu masyarakat.
2. Masalah mengenai unsur-unsur kebudayaan yang mudah diterima
dan yang sukar diterima oleh masyarakat penerima.
3. Masalah unsur kebudayaan mana saja yang mudah diganti dan
diubah dan unsur kebudayaan mana saja yang tidak mudah diganti
dan diubah oleh unsur-unsur kebudayaan asing.
4. Masalah mengenai individu-individu apa yang mudah dan cepat
menerima, dan individu-individu apa yang sukar dan lambat
menerima unsur-unsur kebudayaan asing.
5. Masalah mengenai ketegangan-ketegangan sosial yang timbul
akibat adanya akulturasi.
Dampak akulturasi terhadap masyarakat meniscayakan seorang
peneliti perlu memerhatikan beberapa hal berikut:
1. Keadaan masyarakat penerima sebelum proses akulturasi mulai
berjalan.
2. Individu-individu dari kebudayaan asing yang membawa unsurunsur kebudayaan asing itu.
3. Saluran-saluran yang dilalui oleh unsur-unsur kebudayaan asing
untuk masuk ke dalam kebudayaan penerima.
4. Bagian-bagian dari masyarakat penerima yang terkena pengaruh
unsur-unsur kebudayaan asing tadi.
5. Reaksi para individu yang terkena unsur-unsur kebudayaan asing.
2. Asimilasi Budaya
Proses asimilasi dapat terjadi jika terjadi hal-hal sebagai berikut :
1. Kelompok-kelompok manusia dengan latar belakang kebudayaan
yang berbeda-beda.
2. Kelompok manusia ini saling bergaul secara intensif dalam kurun
waktu yang lama.
3. Pertemuan budaya-budaya antar kelompok itu masing-masing
berubah watak khasnya dan unsur-unsur kebudayaannya saling
berubah sehingga memunculkan suatu watak kebudayaan yang
baru/campuran.
Faktor penghambat adanya proses asimilasi budaya:
1. Kurangnya pengetahuan terhadap unsur kebudayaan yang dihadapi
(dapat) bersumber dari pendatang ataupun penduduk asli.
2. Sifat takut terhadap kebudayaan yang dihadapi.
3. Perasaan ego dan superioritas yang ada pada individu-individu dari
suatu kebudayaan terhadap kelompok lain.
Faktor yang memudahkan/penarik terjadinya asimilasi budaya:
a. Faktor toleransi, kelakuan saling menerima dan memberi dalam
struktur himpunan masyarakat.
b. Faktor kemanfataan timbal balik, memberi manfaat kepada dua
belah pihak
c. Faktor
simpati,
pemahaman
saling
menghargai
dan
memperlakukan pihak lain secara baik.
3. Inovasi (Pembaruan) Campuran, Bermanfaat Bagi Proses Asimilasi
Proses pembaruan (inovasi) dapat digolongkan dalam bentuk:
a. Discovery, atau penemuan unsur-unsur kebudayaan yang baru
berupa gagasan individu atau kelompok.
b. Invention,
atau
tindak
lanjut
inovasi
berupa
penerimaan, dan penerapan proses oleh masyarakat.
pengakuan,
BAB IV
PEMAHAMAN KONSEP – KONSEP MANUSIAWI
A. Manusia dan Keadilan
Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak
dan kewajiban. Jika kita mengakui hak hidup kita, maka mau tidak mau kita
wajib untuk mempertahankan hak hidup itu dengan bekerja keras tanpa
merugikan orang lain. Sebab orang lain pun memiliki hak hidup yang sama
dengan kita. Jadi, keadilan pada dasarnya terletak pada keseimbangan atau
keharmonisan antara menuntut hak dan menjalankan kewajiban.
Setiap harinya kehidupan manusia selalu dihadapkan dengan masalah
keadilan dan ketidakadilan. Oleh karena itu, permasalahan keadilan dan
ketidakadilan tidak pemah surut mengilhami kreativitas manusia untuk
berimajinasi. Maka terciptalah berbagai bentuk karya seni, seperti: seni drama,
puisi, novel, musik, film, lukis dan sebagainya. Karya-karya sastra seperti:
Mahabarata, Ramayana, Marsinah Menggugat, Kabut Sutra Ungu, Ponirah
Terpidana, Roro Mendud, Siti Nurbaya, Bekisar Merah adalah cerita-cerita
yang berimplikasi pada nuansa keadilan dan ketidakadilan.
Dalam Islam keharusan untuk menjaga kebenaran dan keadilan telah
diperintah oleh Allah dalam al-Qur'an, Surat An-Nisaa', Ayat 105 berikut,
yang artinya: "Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa
yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi
penantang (orang-orang yang tidak bersalah), karena (membela) orangorang yang khianat". Sementara itu, dalam ajaran Konghucu disebutkan
bahwa keadilan dapat terwujud jika setiap anggota masyarakat bisa men jalankan fungsi dan peranannya masing-masing. Tokoh-tokoh filsafat
seperti Plato dan Aristoteles juga tidak mau ketinggalan untuk
melontarkan konsep keadilan tersebut. Plato pernah mengatakan bahwa
keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dari masyarakat
yang membuat dan menjaga kesatuannya. Sedangkan, Aristoteles
berpendapat keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama
diperlakukan secara sama, dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan
secara tidak sama pula (justice is done when equals are treated equally).
Berdasarkan macamnya keadilan dapat dibedakan menjadi tiga
macam: keadilan legal (moral, lebih cocok dengan pendapat Plato);
keadilan distributif (seperti pendapat Aristoteles); keadilan komunikatif
adalah keadilan yang bertujuan memelihara pertahanan, ketertiban
masyarakat dan kesejahteraan umum.
Keadilan sudah menjadi masalah universal, namun tidak menarik
untuk diperbincangkan jika dibanding dengan masalah ketidakadilan.
Karena dalam kenyataannya keadilan menunjukkan keragaman persepsi,
implementasi atau pun upaya pemenuhannya. Keragaman semacam itu
bisa jadi tidak akan ditemukan dalam hal ketidakadilan. Ketidaka dilan
dalam suatu masyarakat seringkali dibiarkan begitu saja oleh anggota
masyarakat yang bersangkutan. Kendati banyak teori membuktikan kalau
ketidakadilan merupakan akibat logis dari suatu sistem yang berlaku,
baik ekonomi, sosial, atau pun politik dalam suatu masyarakat. Akan
tetapi, berbagai praktik ketidakadilan ini sering ditolak oleh anggota masyarakat
yang merasakannya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa penolakan terhadap praktik-praktik ketidakadilan telah jadi suatu nilai universal, yang berarti
diikuti oleh hampir semua masyarakat yang ada di dunia ini. Isu ketidakadilan
juga telah menjadi isu menarik untuk memunculkan gerakan protes oleh
kelompok-kelompok tertentu, misalnya: kasus Munir, Prita Mulyasari, maupun
Bibit-Candra dan lain-lain. "Kenyataan ketidakadilan ini sering mengusik nurani
seniman untuk berbuat sesuatu sesuai kapasitasnya sebagai seniman, misalnya
Ratna Sarumpait dengan Nyanyian Bawah Tanah, Rendra dengan puisi-puisi
Reformasinya, Bob The Geldof dengan We Are The World, Kantatatakwa dan
para musisi reformis lain dengan syair-syair reformisnya, dalam bidang
perfilman Ponirah Terpidana, Laskar Pelangi, dan lain-lain.
B. Manusia dan Penderitaan
Kata penderitaan berasal dari kata "derita" (dhra dalam bahasa
Sansekerta), artinya: menahan atau menanggung sesuatu yang tidak
menyenangkan, baik itu secara lahir maupun batin. Penderitaan tidak pernah
dipisahkan dari kehidupan manusia, yang berupa keluh kesah, kesengsaraan,
kelaparan, kekenyangan, kepanasan, dan lain-lain. Dalam kitab suci agama
manapun terdapat banyak surat dan ayat yang menguraikan adanya
penderitaan yang dialami oleh manusia. Hal tersebut berisi tentang peringatan
bagi manusia akan adanya penderitaan. Akan tetapi, pada umumnya manusia
kurang memperhatikan hal-hal seperti itu, sehingga mereka mengalami
penderitaan. Seperti dalam al-Qur'an, Surat al-Balad, Ayat 4, telah diserukan
yang kurang lebih atinya sebagai berikut: "Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia berada dalam susah payah. "
Dengan seruan itu menandakan bahwa manusia sebagai makhiuk hidup,
hidupnya penuh dengan perjuangan. la harus dapat bekerja keras untuk
kelangsungan hidupnya. la harus mampu menaklukkan alam; menghadapi
masyarakat sekelilingnya, dan tidak boleh lupa bertakwa kepada Tuhan.
Apabila manusia melalaikan salah satu dari padanya, atau kurang sungguhsungguh menghadapinya, akibatnya manusia akan menderita. Penderitaan ini
bisa terjadi kapan saja dan kepada siapa saja. Penderitaan datang dan pergi
tidak pandang bulu. Untuk itulah, manusia harus bekerja keras agar terlepas
dari penderitaan. Berbagai kasus penderitaan dalam kehidupan manusia
sering dijadikan salah satu gagasan atau tema dalam bentuk karya seni,
misalnya: Epos Ramayana, Mahabarata, Romeo dan Yuliet, Laila Majnun,
Roro Mendud, dan sebagainya.
Tidak saja dalam bentuk karya seni, kisah-kisah penderitaan juga dialami
oleh tokoh-tokoh sejarah keagamaan dan kenenegaraan, seperti apa yang
dialami oleh Sidarta Budha Gautama, Nabi Isa, Nabi lbrahim, Nabi
Muhammad saw, dan seterusnya. Dalam tokoh kenegaraan dapat dibaca
autobiografinya Jendral Sudirman, Bung Kamo, Hamka, Bung Hatta, dan
sebagainya. Dalam realitas zaman yang sekarang ini terjadi berbagai
penderitaan telah menimpa bumi pertiwi yang seolah-olah tidak pernah
berhenti, antara lain mulai dari bencana alam yang berupa gempa, tanah
longsor, banjir, kecelakaan lalu lintas, kebakaran, penggusuran, penyakit, dan
lain-lain.
Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi modern berita-berita
tentang penderitaan akan mudah tersebar luas melalui media massa. Beritaberita tentang sebab-sebab penderitaan manusia, seperti: kelaparan,
kebakaran, banjir, perang, wabah penyakit dan berbagai peristiwa lain yang
menyedihkan selalu menghiasi media massa setiap hari. Berita-berita itu akan
menggugah hati nurani manusia untuk berbuat sesuatu sesuai dengan kerelaan, kesanggupan, kemampuan dan tekadnya masing-masing. Para
dermawan dan sukarelawan segera bertindak untuk berbuat sesuatu
membantu mengatasi penderitaan tersebut, baik melalui perorangan maupun
organisasi-organisasi
kemanusiaan.
Dengan
mempelajari
kasus-kasus
penderitaan manusia, berarti belajar tentang sikap, nilai, harga diri,
ketamakan, dan kesombongan manusia. Semua itu bermanfaat untuk
memperdalam dan memperluas persepsi, tanggapan, wawasan, penghayatan,
dan penalaran bagi yang mempelajarinya.
1. Penderitaan Sebagai Fenomena Universal
Musibah
yang
berupa
bencana
alam,
kecelakaan,
penindasan,
perbudakan, kemiskinan, kelaparan, perang merupakan hal yang dapat
menyebabkan datangnya penderitaan manusia. Penderitaan tidak
mengenal ruang dan waktu, dapat terjadi pada kehidupan masa laiu, kini,
dan masa yang akan datang. Semakin tinggi tingkat kebutuhan dan
tuntutan hidup manusia maka akan semakin tinggi pula tingkat intensitas
penderitaannya. Manusia pada zaman apa pun jika merasa kebutuhannya
tidak terpenuhi maka akan merasakan penderitaan itu. Penderitaan
sebagai fenomena universal, di samping tidak mengenal ruang dan
waktu juga dapat menimpa siapa saja. Orang-orang yang dianggap suci,
bahkan para nabi juga dapat tertimpa apa yang dinamakan penderitaan
tersebut.
2. Penderitaan Sebagai Anak Penguasaan
Di samping banyak faktor yang telah disebutkan di atas, penderitaan
tidak jarang justru disebabkan oleh faktor manusia itu sendiri. Banyak
bukti telah menunjukkan bahwa penderitaan itu bisa terjadi karena juga
ulah tangan-tangan manusia itu sendiri. Siapa yang menyulut perang?
Mengapa ada bencana alam, seperti banjir, kebakaran hutan, kecelakaan,
wabah penyakit dan sebagainya? Semua itu bisa dikembalikan pada ulah
manusia itu sendiri. Apalagi jika berbicara tentang penindasan, kemiskinan, penggusuran, perbudakan, kriminalitas, semuanya melibatkan
unsur manusia itu sendiri.
Manusia pada dasarnya adalah penyebab utama adanya penderitaan.
Penderitaaan manusia yang satu tidak bisa dilepaskan dari ulah manusia
lainnya. Ini sernua sulit terbantahkan, karena penderitaan itu pada
dasarnya merupakan anak penguasaan, jarang sebagai anak kebebasan.
Firman Allah dalam al-Qur'an Surat an-Nisaa', ayat 79, menyebutkan:
"Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja
bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami
mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah
menjadi saksi. "
Firman Allah di atas mengisyaratkan bahwa pada dasarnya
penderitaan manusia itu sebagai buah dari praktik penguasaan manusia itu
sendiri. Dalam menanggapi hal tersebut manusia sering memiliki cara
pandang yang berbeda-beda, tergantung pada profesinya masing-masing.
Seorang ilmuwan menangkap gejolak masyarakatnya melalui sektor
penalaran keilmuan yang dianutnya, sedang bagi seorang pemimpin
menangkapnya lewat saringan politik yang dianut. Berbeda dengan
sastrawan atau seniman, ia bebas dalam mencari kebenaran tidak sekedar
dibatasi oleh sektor penalaran dan kepentingan politik tertentu, melainkan
lebih bisa untuk membawa suara hati nurani masyarakatnya. Dengan daya
pengamatan dan getar rasanya yang lebih lembut seorang seniman mampu
untuk menyuarakan fenomena penderitaan itu. Media ekspresi yang
dipakainya tanpa batas, tiada syarat apa pun yang harus dipenuhi kecuali
tuntutan estetika. Karya sastra yang dengan vokal menyuarakan
penderitaan masyarakat antara lain adalah karya Mochtar Lubis berjudul
Harimau Harimau, Perjalanan Hitam (Muspa Edow), Mencoba Tidak
Menyerah (Yudhistira ANM), Jentera Lepas (Ashadi Siregar), Bekisar
Merah (Ahmad Tohari), dan sebagainya.
C. Manusia dan Cinta Kasih
Cinta adalah paduan rasa simpati antara dua makhluk, yang tidak
hanya terbatas antara wanita dengan pria. Cinta juga bisa diibaratkan sebagai
seni sebagaimana halnya bentuk seni lainnya, maka diperlukan pengetahuan
dan latihan untuk menggapainya. Cinta tidak lebih dari sekedar perasaan
menyenangkan, maka untuk mengalaminya harus terjatuh ke dalamnya. Hal
tersebut didasarkan oleh berbagai pendapat berikut: Pertama, orang melihat
cinta pertama-tama sebagai masalah dicintai dan bukan masalah mencintai.
Hal ini akan mendorong manusia untuk selalu mempermasalahkan
bagaimana supaya dicintai, atau supaya menarik orang lain. Kedua, orang
memandang masalah cinta adalah masalah objek, bukan masalah bakat. Hal ini
mendorong manusia untuk berpikir bahwa mencintai orang lain itu adalah soal
sederhana, yang sulit justru mencari objek yang tepat untuk mencintai atau
dicintai. Ketiga, cinta tidak perlu dipelajari. Di dalamnya ada pencampuradukkan antara pengalaman mulai pertama jatuh cinta dan keadaan tetap berada
dalam cinta.
Sementara itu, Erich Fromm mengajukan premis cinta sebagai suatu seni.
Sebagai suatu seni cinta memerlukan pengetahuan dan latihan. Cinta adalah
suatu kegiatan, bukan merupakan pengaruh yang pasif. Salah satu esensi dari
cinta adalah adanya kreativitas dalam diri seseorang, terutama dalam aspek
memberi dan bukan hanya menerima. Kata cinta mempunyai hubungan
pengertian dengan konstruksi lain, seperti kasih sayang, kemesraan, belas
kasihan, dan aktivitas pemujaan.
Secara longgar, kasih sayang dapat diartikan sebagai perasaan sayang,
perasaan cinta, atau perasaan suka kepada seseorang. Dalam kasih sayang
paling tidak dituntut adanya dua pihak yang terlibat di dalamnya, yaitu orang
yang mencurahkan perasaan sayang, cinta atau suka, dan seseorang yang
memperoleh curahan kasih sayang atau cinta. Dalam pengalaman hidup seharihari, kehidupan seseorang akan memiliki arti jika mendapatkan perhatian dari
orang lain. Jika demikian, perhatian merupakan salah satu unsur dasar dari cinta
kasih.
Pengertian kasih sayang menurut Purwadarminta adalah perasaan sayang,
perasaan cinta, atau perasaan suka kepada seseorang. Dalam kehidupan
berumah tangga kasih sayang merupakan kunci kebahagiaan. Kasih sayang
merupakan pertumbuhan dari cinta, yang unsur-unsurnya meliputi: tanggung
jawab, pengorbanan, kejujuran, saling percaya, saling pengertian, saling
terbuka. Kasih sayang dapat dirasakan bukan hanya oleh suami-istri, anak-anak
yang telah dewasa, namun siapa pun berhak mengalaminya.
Berbagai bentuk ilustrasi kasih sayang juga diungkap dalam karya sastra,
misalnya: Novel Anisah karya Yati Maryati Miharja mengisahkan orang tua
yang malu dengan kelahiran anaknya, kemudian bayinya dibuang atau diserahkan kepada orang lain (hal ini merupakan bentuk pelanggaran tehadap nilai
kehidupan, nilai cinta, dan norma kemesraan); Novel Ibu Kita, Raminten
karya Muhammad Ali mengisahkan seorang ibu yang menyerahkan anakanaknya kepada orang lain karena terdesak oleh faktor ekonomi; Anakku karya
J.E. Tatengkeng bercerita tentang kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya
yang telah mati; Novel Salah Asuhan karya Abdul Muis tentang kasih sayang
yang berlebihan, sehingga anaknya jadi sombong, pemboros, tidak saleh, dan
tidak menghormati orang tua. Bertolak dari kasus hubungan kasih sayang
antara orang tua dan anak dapat diilustrasikan dalam bagan berikut.
ORANG TUA
ANAK
AKTIF
AKTIF
PASIF
Intim, mesra, saling
Orang tua kurang
mencintai, saling
perhatian.
menghargai, saling
membutuhkan.
PASIF
Anak jadi takut, minder,
Dingin, tidak ada kasih
kurang berani dalam
sayang.
masyarakat, tidak berani
menyatakan pendapat, tidak
mampu berdiri sendiri.
Sebelum memberikan kasih sayangnya kepada orang lain, sudah barang
tentu orang tersebut terlebih dahulu harus bisa memberikan kasih sayangnya
pada diri sendiri secara wajar. Kondisi demikian sudah diajarkan dalam ajaran
Islam melalui riwayat perjalanan Nabi Muhammad saw ketika hendak ke
Mekah. Pada waktu itu bulan puasa, tidak sedikit tentara yang sudah letih,
maka beliau meminta semangkuk air. Air tersebut dipertunjukkan kepada
umum lalu diminumnya agar dapat diikuti oleh para pengikutnya. Ketika
diketahui di antara mereka masih ada yang tetap berpuasa, maka marahlah
beliau
seraya
bersabda,
"Mereka
bermaksiat...mereka
bermaksiat!"
Kemudian, ketika Nabi melihat banyak orang berkerumun dengan
mengembangkan sehelai kain untuk melindungi salah seorang yang terlentang
di jalan dari terik matahari, Nabi bertanya, "Kenapa orang ini?" "Musafir
sedang berpuasa ya Rasulullah," jawab mereka. Lalu Nabi berkata, "Tidak
baik berpuasa sementara musafir. Terimalah dispensasi Allah itu dan jangan
disia-siakan:"
Peristiwa di atas mengandung pengertian bahwa kasih sayang dalam
Islam ditempatkan pada posisi yang cukup tinggi, karena sama dengan
peribadatan. Seperti yang dicontohkan di atas bahwa orang yang melakukan
ibadah puasa dianggap bermaksiat ketika dalam kondisi kecapaian masih
melakukannya. Sehingga ia dianggap menyiksa diri dan berarti tidak
memiliki rasa kasih sayang pada diri sendiri.
Dengan cinta maka kehidupan ini ada. Manusia berbuat atau melakukan
sesuatu karena dorongan perasaan cinta. Bukan hanya manusia, binatang
pun sesungguhnya berbuat sesuatu karena dorongan perasaan cinta.
Bedanya manusia dalam berbuat sesuatu atas kesadaran akal, sedangkan
binatang berbuat karena nalurinya.
Dalam diri manusia terdapat dua hal yang dapat menggerakkan
perilaku, yaitu akal-budi dan nafsu. Perasaan cinta dapat dipengaruhi oleh
dua sumber tersebut, yaitu perasaan cinta yang digerakkan oleh akal dan
budi, serta perasaan cinta yang digerakkan oleh nafsu. Cinta pertama disebut
tanpa pamrih atau cinta sejati, sedangkan yang kedua cinta nafsu atau cinta
pamrih. Cinta tanpa pamrih adalah cinta kebaikan hati, sedangkan cinta
pamrih atau cinta nafsu disebut cinta utilitaris atau yang bermanfaat,
artinya mengindahkan kepentingan diri sendiri. Pengorbanan adalah suatu
kebahagiaan, ketidakmampuan membahagiakan atau meringankan beban
yang dicintai atau yang dikasihi adalah suatu penderitaan.
D. Manusia dan Keindahan
Tidak sedikit orang membuang uang, tenaga, dan waktu untuk menikmati
keindahan. Keindahan, keserasian, renungan, dan kehalusan setiap hari dialami
dan dinikmati oleh manusia. Semakin tinggi pengetahuan seseorang, semakin
besar pula hasrat dan keinginan seseorang untuk menghargai keindahan. Penghayatan arti dan fungsi keindahan itu berarti akan memperluas wawasan,
pandangan, penalaran, dan persepsi calon sarjana.
Keindahan dari kata indah, artinya bagus, permai, cantik, elok, molek, dan
sebagainya. Benda yang mempunyai sifat indah ialah segala hasil seni
(meskipun tidak semuanya), pemandangan alam (pantai, pegunungan, danau,
bunga-bunga di lereng pegunungan), manusia (wajah, mata, bibir, hidung,
rambut, kaki, tubuh), rumah (halaman, tatanan perabot rumah tangga, dan
sebagainya), suara, warna dan seterusnya. Kawasan keindahan manusia sangat
luas, seluas keanekaragaman manusia dan sesuai dengan perkembangan
peradaban teknologi, sosial dan budaya. Keindahan merupakan bagian
kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan di mana pun, kapan pun dan
oleh siapa pun.
Keindahan adalah identik dengan kebenaran. Keduanya mempunyai nilai
sama yaitu abadi, dan mempunyai daya tarik yang selalu bertambah. Yang tidak
mengandung kebenaran berarti tidak indah, karenanya tiruan lukisan Monalisa
bisa jadi tidak indah karena dasarnya tidak benar. Keindahan juga bersifat
universal, artinya tidak terikat oleh selera perorangan, waktu dan tempat, selera
mode, kedaerahan atau lokal.
Pandangan Plato tentang keindahan dapat dibagi jadi dua, yaitu: tentang
dunia idea dan tentang dunia nyata. Menurut Plato, kesederhanaan adalah ciri
khas keindahan, baik dalam alam maupun dalam karya seni. Pandangan yang
kedua adalah punya keistimewaan, karena tidak melepaskan diri dari
pengalaman indrawi yang merupakan unsur konstruktif dari pengalaman
estetis dan keindahan dalam pengertian sehari-hari.
Dalam hal ini Plato amat menghargai dan menekankan pengetahuan
murni (episteme) yang mengungguli segala pengetahuan semu (doxa). Dalam
hal keindahan, Plato amat menekankan arti suatu idea (eidos), dan yang lain
dari idea itu hanyalah berhala-berhala (eidola, dalam bahasa Inggris: idols)
saja. Berkenaan dengan keindahan ini terdapat tiga pandangan yang dapat
diacu: Pertama, keindahan berdasarkan keseimbangan, keteraturan, ukuran
dan sebagainya. Pandangan ini berasal dari Pythagoras, Plato, dan Thomas.
Kedua, keindahan merupakan jalan menuju kontemplasi. Pandangan ini
nampak dalam pikiran Plato, Plotinos, Agustinus. Keindahan itu sendiri
pertama-tama dianggap berada di luar dan lepas dari subjek, yang biasanya
dengan penekanan bahwa keindahan itu ada di "seberang". Ketiga, perhatian
akan apa yang secara empiris terjadi dalam diri subjek termuat dalam
pandangan Aristoteles dan Thomas. Keduanya menyajikan penyelidikan
terhadap pengalaman manusia secara aposteriori-empiris (Sutrisno &
Verhaak, 1994:25-34).
Berbicara tentang keindahan mau tidak mau memang harus menengok ke
jaman Yunani Kuno pada abad ke-18. Menurut The Liang Gie, dalam
bukunya Garis Besar Esietik diterangkan bahwa istilah keindahan dalam
bahasa Inggris dapat diterjemahkan menjadi beautiful, Perancis beau, Italia
dan Spanyol hello. Kata-kata tersebut berasal dari bahasa Latin helium. Akar
kata dari istilah tersebut adalah bonum yang berarti kebaikan, lalu mempunyai
bentuk pengecilan menjadi bonellum dan akhirnya dipendekkan ditulis helium.
Dalam bahasa Inggris untuk membedakan antara sesuatu yang berkualitas
abstrak dengan sebuah benda tertentu yang indah sering digunakan istilah
beauty (keindahan) dan the beautiful (benda atau hal yang indah). Dalam
pembahasan filsafat, kedua hal tersebut sering dicampuradukkan. Di sisi lain,
pengertian keindahan juga sering dijabarkan dalam pengertian: 1) keindahan
dalam arti luas; 2) keindahan dalam arti estetik murni; 3) keindahan dalam arti
terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan.
Menurut The Liang Gie, keindahan dalam arti luas mengandung pengertian
ide kebaikan, watak, hukum, pikiran, pendapat, dan sebagainya. Misalnya,
Plato menyebut watak yang indah dan hukum yang indah, sedangkan
Aristoteles merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang baik dan juga
menyenangkan. Plotinus mengatakan tentang ilmu yang indah dan kebijakan
yang indah. Orang Yunani di samping berbicara tentang buah pikiran yang
indah dan adat kebiasaan yang indah, juga mengenal keindahan dalam arti
estetik (symmetria), yaitu suatu keindahan berdasarkan penglihatan (seperti seni
pahat, arsitektur) dan harmonia yaitu keindahan berdasarkan pendengaran
(musik). Bertolak dari anggapan-anggapan tersebut maka keindahan dalam arti
luas dapat diklasifikasikan menjadi: keindahan seni, keindahan alam, keindahan
moral, dan keindahan intelektual. Adapun keindahan dalam arti estetik murni
menyangkut pengalaman estetik seseorang dalam hubungannya dengan segala
sesuatu yang diserapnya. Sedangkan, keindahan dalam arti yang terbatas mem-
punyai arti yang lebih sempit lagi, sehingga hanya menyangkut benda-benda
yang dapat diserap dengan penglihatan, yakni keindahan bentuk dan warna.
Bertolak dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keindahan adalah
sejumlah kualita pokok tertentu yang terdapat pada suatu hal. Kualita adalah
kesatuan (unity), keseimbangan (balance), dan kebalikan (contrast). Dengan
begitu, keindahan itu tersusun dari berbagai keselarasan dan kebalikan dan garis,
warna, bentuk, nada, dan kata-kata. Ada pula yang berpendapat, keindahan itu
suatu kumpulan dari hubungan-hubungan yang selaras dalam suatu benda dan
diantara benda itu dengan si pengamat. Dengan kata lain, ciri-ciri keindahan
menyangkut kualitas hakiki dari segala benda yang mengandung kesatuan
(unity), keseimbangan (balance), keselarasan (harmoni), kesimetrisan
(symetry), dan pertentangan (contrast). Yang berarti pula bahwa keindahan itu
tersusun dari keselarasan dan pertentangan dari garis, warna, bentuk, nada, dan
kata-kata.
Dewasa ini filsuf seni merumuskan keindahan sebagai kesatuan hubungan
yang terdapat antara penerapan-penerapan indrawi (beauty is unity of formal
realitions of our sense perceptions). Adapun filsuf lain menghubungkan
pengertian keindahan dengan ide kesenangan (pleasure), yaitu sesuatu yang
menyenangkan bagi penglihatan atau pendengaran. Filsuf abad pertengahan,
Thomas Aquinos (1225-1274) mengatakan, keindahan adalah sesuatu yang
menyenangkan bilamana dilihat (id qoud visum placet). Dalam estetika
modern orang lebih suka berbicara tentang seni dan estetika, karena
merupakan gejala konkret yang dapat ditelaah dengan pengalaman secara
empirik dan penguraian sistematik. Deitgan demikian, pengalaman estetika
dan seni tidak lagi sekedar pengalaman abstrak.
E. Manusia Tanggung Jawab
Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau
perbuatannya, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Dengan
begitu, tanggung jawab dapat diartikan sebagai perwujudan kesadaran akan
kewajibannya. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang bertanggung
jawab, karena manusia di samping sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial, juga merupakan makhluk Tuhan. Manusia dituntut untuk bertanggung
jawab, karena ia mementaskan sejumlah peranan dalam konteks sosial,
individual, dan teologis.
Dalam konteks sosial manusia merupakan makhluk sosial. la tidak dapat
hidup sendirian dengan perangkat nilai-nilai menurut seleranya sendiri. Nilainilai yang diperankan seseorang dalam jalinan sosial harus dipertanggungjawabkan, sehingga tidak mengganggu konsensus nilai yang telah
disetujui bersama. Sedangkan, masalah tanggung jawab dalam kontelcs
individual terkait erat dengan konteks teologis. Manusia sebagai makhluk
individu artinya harus bertanggung jawab kepada dirinya sendiri dalam
keseimbangan jasmani dan rohani, serta mempertanggungjawabkannya
kepada Tuhan. Tanggung jawab manusia kepada dirinya akan lebih kuat
intensitasnya jika ia memiliki kesadaran yang lebih mendalam. Tanggung
jawab terhadap diri sendiri ini muncul karena ada keyakinan terhadap suatu
nilai, bahwa apa yang diperbuat cepat atau lambat akan berdampak pada
dirinya (sebagai wujud tanggung jawab).
Tidak jauh berbeda dengan tanggung jawab pribadi, tanggung jawab
manusia terhadap Tuhan timbul karena ada kesadaran manusia akan
keyakinannya terhadap nilai-nilai. Nilai-nilai ini bersumber dari ajaran
agamanya. Menurut keyakinan agama, manusia dituntut tanggung jawabnya
kepada kewajiban-kewajibannya sebagai hamba Allah di muka bumi. Dalam
al-Qur'an Allah telah memperingatkan manusia agar tidak lupa akan tugas
dan kewajibannya, seperti dalam Surat al-Anfal, ayat 27-28, yang arti
harafiahnya kurang lebih demikian: "Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan juga
janganlah
kamu
mengkhianati
amanat-amanat
yang
dipercayakan
kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah bahwa hartamu dan
anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi
Allahlah pahala yang besar."
Tanggung jawab dalam konteks pergaulan manusia adalah keberanian.
Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang berani menanggung
resiko atas segala yang menjadi tanggung jawabnya. la akan berlaku jujur
kepada dirinya dan jujur terhadap orang lain, mandiri dan tidak pengecut.
Orang yang demikian akan berusaha melalui seluruh potensi dalam dirinya
dengan rasa penuh tanggung jawab. la mau berkorban demi kepentingan
orang lain.
Tanggung jawab erat kaitannya dengan kewajiban. Kewajiban adalah
sesuatu yang dibebankan terhadap seseorang. Kewajiban merupakan
bandingan terhadap hak dan dapat juga tidak mengacu kepada hak. Adapun
tanggung jawab yang dimaksud adalah tanggung jawab terhadap kewajiban
yang diembannya. Pembagian kewajiban orang per orang sangat ditentukan
oleh keadaan hidup masingmasing orang. Status dan peranan seseorang
dalam masyarakat sangat menentukan kewajiban tersebut. Secara garis
besar pembagian kewajiban dapat dibedakan menjadi dua bagian, antara
lain:
1. Kewajiban
terbatas:
kewajiban
yang
tanggung
jawabnya
diberlakukan kepada setiap orang adalah sama. Misalnya, undangundang yang melarang pembunuhan, pencurian, dan perkosaan bagi
pelanggarnya dapat dikenakan hukuman-hukuman.
2. Kewajiban tidak terbatas: kewajiban yang tanggung jawabnya
diberlakukan kepada semua orang. Tanggung jawab terhadap
kewajiban ini nilainya lebih tinggi, sebab dijalankan oleh suara
hati, seperti keadilan dan kebajikan.
Orang yang bertanggung jawab akan dapat merasakan kebahagiaan
apabila telah dapat menunaikan kewajibannya. Sebaliknya, orang yang
tidak bertanggung jawab akan menghadapi kesulitan karena telah
menyimpang dari aturan, norma, atau nilai-nilai yang berlaku. Problem
utama yang terasa di zaman sekarang adalah menurunnya perasaan moral
dan rasa hormat diri untuk menegakkan rasa tanggung jawab. Orang yang
memiliki rasa tanggung jawab akan berlaku adil atau mencoba untuk
berbuat
adil,
karena
ia
tahu
apa
yang
dilakukan
akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Akan tetapi, karena runtuhnya
nilai-nilai moral yang dipegangnya ada kecenderungan orang yang hendak
bertanggung jawab justru dianggap tidak adil. Orang sekarang sudah berani
membuat kesaksian-kesaksian kebenaran menurut isi hatinya sendiri.
Indikasi atau sinyalemen perilaku manusia semacam ini telah difirmankan
Allah, dalam al-Qur'an, Surat al-Baqarah, Ayat 204, yang artinya kurang
lebih demikian: "Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya
tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada
Allah (Atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penentang yang
paling keras."
Adapun macam-macam tanggung jawab yang melekat pada diri
manusia antara lain meliputi:
1. Tanggung jawab pribadi
Manusia sebagai
individu memiliki
pribadi
yang utuh dalam
berpendapat, berperasaan, berangan-angan, dan bertindak apa saja.
Akan tetapi, sebagai individu juga harus berani bertanggung jawab terhadap apa yang diperbuatnya. Seorang gadis tak dilarang untuk
berasyik-masyuk menikmati masa muda dengan menjalin pergaulan
yang sebebas-bebasnya. Akan tetapi, jika lupa daratan dan terjadilah
peristiwa Layu Sebelum Berkembang seperti yang pernah dijadikan
judul film atau lagu oleh para seniman kita itu, ia harus berani
menanggung resiko itu secara pribadi. Biasanya kesadaran batin baru
timbul ketika predikat tersebut telah disandangnya. Konflik yang
dialami gadis tersebut merupakan akibat dari rasa tanggung jawab
terhadap dirinya sendiri.
2. Tanggung jawab kepada keluarga
Keluarga
merupakan
unit
terkecil
dari
kelompok
masyarakat.
Pengertian keluarga (inti) atau nuclear family meliputi: ayah, ibu, dan
anak-anak yang belum menikah. Sebagai anggota keluarga, setiap orang
harus bertanggung jawab kepada dirinya maupun keluarga. Tanggung
jawab ini tidak hanya dalam bentuk kesejahteraan dan keselamatan fisik
maupun pendidikan secara lahiriah, tetapi juga menyangkut nama baik
yang tertuju pada pendidikan dan kehidupan dunia akhirat. Perbuatan
Sukartono dan Tini dalam Belenggu-nya Armyn Pane merupakan contoh
suami dan istri yang tidak bertanggung jawab; Guru Isa yang mengambil
barang-barang sekolah untuk dijual karena demi menunjukkan rasa
tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga merupakan contoh
perbuatan yang melanggar norma hukum, susila, dan moral-baca pula
Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis.
3. Tanggung jawab kepada masyarakat
Manusia adalah makhluk sosial. Manusia sebagai anggota masyarakat dan
berada di tengah-tangah masyarakat. Karena itu, dalam berpikir,
bertingkah laku, berbicara dan segala aktivitas manusia terikat oleh
masyarakat. Maka, sudah sepantasnya apabila segala tingkah laku dan
perbuatannya harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Dalam
Salah Asuhan, karya Abdul Muis, tokoh Hanafi akhirnya bersedia
memakai pakaian adat di dalam pesta perkawinannya. Hal itu merupakan
bentuk tanggung jawab terhadap masyarakat.
4. Tanggung jawab kepada bangsa dan negara
Sebagai warga negara, setiap orang bertanggung jawab terhadap negara
dan bangsanya. Dalam novel Burung-Burung Manyar karya Y.B.
Mangun Wijaya, tokoh Teto yang sudah bekerja di negeri asing melihat
adanya manipulasi komputer terhadap bangsa dan negara. Untuk itu, ia
merasa terpanggil untuk membongkamya, meskipun harus menjadi
korban
pemecatan
dan
perusahaan.
Contoh
lain
adalah
tokoh
Kumbakarna dalam Ramayana yang rela mati melawan Rama dengan
alasan membela tanah air.
5. Tanggung jawab kepada Tuhan
Manusia sehagai makhluk ciptaan Tuhan dapat mengembangkan diri
sendiri dengan sarana-sarana pada dirinya, seperti akal, pikiran, perasaan,
dan anggota tubuhnya. Semua itu atas kuasa Tuhan. Untuk itu, apa pun
yang dilakukan harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Dalam A1Qur'an juga ditegaskan bahwa barang siapa yang beriman dan bertakwa
akan mendapatkan kebaikan kelak, sedangkan yang mendustakan
kebenaran akan mendapatkan balasan di neraka. Hal itu dapat dilihat
dalam surat az-Zumar, Ayat 32-34.
F. Pengabdian
1. Pengabdian kepada keluarga
Dalam kehidupan berkeluarga tidak terlepas dari rasa cinta dan kasih
sayang. Setiap bentuk kasih sayang dan cinta diperlukan suatu
pengorbanan dan pengabdian sebagai wujud tanggung jawab. Dalam
suatu kehidupan keluarga wujud tanggung jawab dapat dilakukan dengan
berbagai bentuk pengabdian. Seorang kepala rumah tangga (ayah)
bekerja keras, berangkat pagi pulang malam untuk mencukupi kebutuhan
hidup rumah tangganya. Hal tersebut merupakan bentuk pengabdian dan
tanggung jawab kepada keluarga.
Kisah Siti Nurbaya yang bersedia kawin dengan Datuk Maringgih demi
menebus hutang ayahnya. Sikap Siti Nurbaya ini sebagai bentuk
pengabdian
terhadap
keluarga.
Kisah
lain
yang
mencerminkan
pengabdian kepada keluarga, antara lain: dalam kisah Kabut Sutra Ungu
karya Ike Supomo, tokoh Miranti tidak segera kawin karena cintanya
pada almarhum suaminya; Kisah cinta Hamid dan Zaenab dalam Di
Bawah Lindungan Ka'bah karya Hamka.
2. Pengabdian kepada masyarakat
Manusia sebagai anggota masyarakat tidak dapat hidup tanpa orang lain.
Maka sebagai wujud tanggung jawabnya kepada masyarakat, ia harus
menampakkan
pengabdian
dirinya
kepada
masyarakat.
Bentuk
pengabdian diri ini dapat diwujudkan melalui partisipasi dalam aktivitas
di masyarakat, termasuk di dalamnya menjaga nama baik suatu warga.
Suatu kisah yang ditulis Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk
tokoh Srintil mengorbankan masa depan dan keperawanannya hanya
untuk melestarikan tradisi ronggeng pada peradaban budaya masyarakat
waktu itu. Film berjudul Sumpah Pocong, yang dibintangi Rano Karno,
mencerminkan
bentuk
peradaban
masyarakat
untuk
meminta
pertanggungan jawab dari warganya yang dianggap menyimpang
perilakunya.
3. Pengabdian kepada negara
Manusia pada hakekatnya adalah bagian dari suatu bangsa, yang
menjadi warga negara suatu pemerintahan negara. Oleh karenanya,
sebagai warga negara perlu menunjukkan peran dan pengabdiannya
kepada negara di mana pun mereka berada. Pengabdian kepada negara
ini merupakan wujud cintanya kepada tanah air. Banyak contoh
pengabdian kepada bangsa dan negara yang telah ditunjukkan oleh
para pahlawan dan pejuang kenegaraan, seperti Pangeran Diponegoro,
Jendral Sudirman, Bung Karno dan Bung Hatta, dan sebagainya. Mereka berjuang mengabdikan diri demi tegaknya negara Indonesia dari
cengkeraman penjajah. Kisah dalam film Perlawanan Sepuluh
Nopember, Pangeran Diponegoro, Cut Nya Dien merupakan contoh
kisah-kisah yang memperlihatkan pengabdian kepada negara. Dalam
karya sastra misalnya: Untung Suropati karya Abdul Muis, tokoh Teto
dalam Burung-Burung Manyar karya Romo Mangun, tokoh Basukamo
dalam Mahabarata, Kumbakarno dalam Ramayana.
4. Pengabdian kepada Tuhan
Manusia ada di dunia tidak dengan sendirinya muncul, melainkan ada
yang menciptakan. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia wajib
mengabdi kepada Tuhan. Dalam al-Qur'an, Surat adz Dzari-yat, Ayat
56, disebutkan bahwa manusia dan jin diciptakan oleh Allah tidak lain
hanya untuk mengabdi kepada-Nya. Pengabdian kepada Tuhan berarti
penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Semua perilaku dan
peribadatan manusia hendaknya hanya ditujukan kepada Allah untuk
mendapatkan ridho-Nya. Sikap seperti itu merupakan wujud tanggung
jawab manusia kepada Tuhan.
Implementasi pengabdian kepada Tuhan dapat pula diwujudkan
dalam bentuk karya seni, seperti dalam puisinya Amir Hamzah yang
berjudul PadaMu jua! Novelis Hamka dengan cerita Di Bawah
Lindungan Ka'bah. Dalam dunia perfilman nasional muncul tema-tema
Titian Rambut Dibelah Tujuh, Sunan Kalijogo, dan lain-lain.
G. Manusia dan Pandangan Hidup
Pandangan hidup terdiri atas cita-cita, kebajikan dan sikap hidup.
Cita-cita, kebajikan, dan sikap hidup itu tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia. Manusia dapat berkembang mencapai kemajuan dalam
berbagai bidang ilmu karena terdorong oleh cita-citanya. Dinamika masyarakat akan terwujud dengan adanya cita-cita dan pandangan hidup tersebut.
Cita-cita dapat berarti angan-angan, keinginan, harapan, dan tujuan. Setiap
orang tua berkeinginan agar anaknya berhasil dikemudian hari. Adapun
kadar atau tingkat cita-cita, kebijakan, dan sikap hidup itu berbeda-beda
sangat bergantung pada,tingkat pendidikan, pergaulan, dan lingkungan
masing-masing.
Keinginan ada yang baik dan ada yang buruk. Keinginan yang baik
bersifat luhur dicapai dengan tidak merugikan orang lain dan juga tidak
merugikan diri sendiri. Keinginan buruk adalah keinginan yang dapat
merugikan orang lain sekaligus diri sendiri. Misalnya, orang yang
berkeinginan baik jika ingin kaya tentu dengan jalan bekerja keras, tidak
sebaliknya berperilaku buruk mengambil jalan pintas dengan merampok.
Untuk itulah, setiap keinginan dan tujuan harus didasarkan pada suatu
kesadaran yang lebih tinggi, yaitu menjadi hamba Allah yang benar-benar
bertaqwa. Dalam al-Qur'an, Surat al-Hujurat, Ayat 13, difirmankan:
"...Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah ialah orang-orang
yang paling tagwa..." Ada tiga katagori keadaan hati seseorang, yaitu:
berhati keras, berhati lunak, berhati lemah. Orang yang berhati keras, tidak
berhenti berusaha sebelum cita-citanya tercapai. la tidak menghiraukan
rintangan, tantangan dan segala kesulitan yang dihadapi. Orang yang
demikian, biasanya mencapai hasil yang gemilang dan sukses di dalam
hidupnya, misalnya: tokoh-tokoh pemimpin seperti Gajah Mada, Sukarno,
Muh. Hatta, dan sebagainya. Dalam dunia pewayangan dapat dicontohkan
tokoh Werkudara yang berusaha mencari "air suci" meskipun berada di dasar
samodra. Orang yang berhati lunak biasanya dalam mencapai cita-cita
dengan menyesuaikan diri pada situasi dan kondisi. Akan tetapi, ia tetap
berusaha mencapai cita-cita tersebut, sehingga meski lambat ia akan berhasil
meraih cita-citanya. Misalnya; Hamka dari guru SD merambat menjadi guru
besar (Profesor).
Orang vang berhati lemah mudah sekali terpengaruh oleh situasi dan
kondisi. Apabila menghadapi kesulitan akan cepat-cepat berganti haluan,
berubah keinginannya. Orang yang seperti ini akan mengalami kesulitan
dalam mencapai kesuksesan yang lebih besar.
Cita-cita, keinginan, harapan, banyak menimbulkan daya kreativitas para
seniman. Berbagai hasil seni, seperti: drama; novel, musik, film, tari, dan
filsafat yang lahir dari kandungan cita-cita, keinginan, dan harapan.
H. Pandangan Hidup
Kelebihan makhluk yang namanya manusia tidak lain adalah dikaruniainya akal dan budi, Dengan memiliki akal dan budi maka kehidupan
manusia sehari-hari sudah barang tentu tidak sekedar untuk hidup, melainkan
mereka punya pandangan hidup ke depan yang mulia. Hal ini didasarkan
kesadaran dirinya bahwa sebagai manusia itu lemah, akan tetapi ia juga
menyadari bahwa kehidupannya sangat kompleks.
Kesadaran akan kelemahan dirinya memaksa manusia untuk mencari
kekuatan di luar dirinya, dengan harapan dapat terlindung dari ancamanancaman yang mengintai dirinya baik secara fisik maupun non-fisik. Ancamanancaman itu dapat berupa: penyakit, bencana alam, kegelisahan, ketakutan, dan
sebagainya. Di samping itu, melalui akal dan budinya manusia juga berusaha
menciptakan sarana dan prasarana untuk membantu mempermudah mengatasi
kebutuhan hidupnya yang sangat kompleks.
Upaya manusia untuk mencari kekuatan di luar dirinya semakin
menyadarkan dirinya, bahwa di balik kehidupan ini ada kehidupan lain yang
diyakini lebih abadi. Kesadaran inilah yang membuat manusia lebih yakin. Apa
yang ia lakukan selama di dunia ini kelak tentu akan dimintai pertanggungan
jawab di alam yang diyakini kebenarannya. Manusia tahu benar bahwa baik dan
buruk itu akan memperoleh perhitungan, maka manusia berusaha mencari
"sesuatu" yang dapat menuntunnya ke arah kebaikan dan menjauhkan diri dari
keburukan.
Akhirnya, manusia menemukan apa yang disebut "sesuatu kekuatari" yang
ada di luar dirinya, yaitu keyakinan terhadap Tuhan. Hal ini perlu disadari
bahwa Tuhan bagi manusia merupakan suatu kebutuhan. Kebutuhan yang
dimaksud adalah kebutuhan yang besifat abadi dan terus-menerus. Sebab, setiap
saat manusia selalu memerlukan perlindungan kepada Tuhan dan petunjuk
agama. Firman Allah menyebutkan: "Kamilah pelindungmu dalam kehidupan
dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu
inginkan dan memperoleh pula apa yang kamu minta." (QS. Fushilat: 31).
Pandangan hidup seperti itulah yang diyakini oleh manusia. Hal ini amat
sangat penting untuk dimiliki, karena demi kebahagiaan hidup di dunia dan
akherat. Masalah ini adalah masalah asasi manusia, yang pilihannya harus
benar-benar didasarkan pada akal dan budi tidak sekedar ikut-ikutan. Karena
jika sekedar ikut-ikutan penghayatan terhadap
agamanya bisa jadi hanya
bersifat lahiriah tidak sampai ke kalbunya. Allah telah berfirman dalam alQur'an,
Surat al-Imran, Ayat 19, yang artinya: ",agama yang benar bagi Allah itu
hanyalah Islam." Namun, agama apa yang akan dipilih manusia sebagai
sandaran diserahkan sepenuhnya kepada manusia itu sendiri. Yang pasti, hak
Allah tidak boleh diganggu gugat bahwa pada akhirnya Allah akan memberikan
pahala kepada manusia yang berbuat benar dan siksa kepada manusia yang
berbuat salah. Lihat al-Qur'an Surat ar-Rum, Ayat 44.
Urusan agama adalah urusan akal, seperti dikatakan Nabi Muhammad saw
dalam salah satu hadistnya, bahwa "Agama adalah akal, tidak ada agama
bagi orang-orang yang tidak berakal". Maksud Nabi ialah agar manusia
dalam memilih suatu agama benar-benar berdasarkan pertimbangan akalnya,
bukan sebatas karena asas keturunan. Hal ini ditegaskan pula dalam al-Qur'an,
Surat al-Baqarah, Ayat 236, yang artinya: "Tidak ada paksaan untuk
memasuki sesuatu agama, sesungguhn.ya telah jelas antara jalan (agama)
yang benar dan jalan (agama) yang salah."
I. Manusia dan Kegelisahan
H.1. Memahami Kegelisahan
Kegelisahan berasal dari kata "gelisah". Gelisah artinya resah, rasa
tidak tenteram, rasa selalu khawatir, tidak tenang, tidak nyaman, tidak bisa
sabar, cemas, dan seterusnya. Kegelisahan berarti perasaan gelisah, khawatir,
cemas, dan takut. Siapa pun orangnya suatu saat pasti pernah merasakan halhal serupa. Mengapa semua ini harus terjadi pada diri manusia? Alasannya
mendasar,
karena
manusia
memiliki
hati
dan
perasaan.
Bentuk
kegelisahannya dapat berupa keterasingan, kesepian, dan ketidakpastian
hidup. Meskipun, hal itu kadang-kadang tidak didasari oleh sebab-sebab
yang jelas. Perasaan-perasaan semacam ini dalam kehidupan manusia silih
berganti dengan kebahagiaan dan kegembiraan. Orang yang sedang gelisah
hatinya tidak tenteram, merasa khawatir, cemas, takut, dan seterusnya.
Dalam al-Qur'an, Surat al-Baqarah, Ayat 153, difirmankan bahwa agar
manusia terlepas dari berbagai permasalahan hidup hendaknya dapat
menggunakan sabar dan shalat itu sebagai penolongnya. Hal tersebut dapat
dilihat dalam kutipan berikut yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman,
jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar."
Menurut Sigmund Freud perasaan cemas ini dapat digolongkan
menjadi tiga macam yaitu:
1. Kecemasan kenyataan (objektif)
Kecemasan ini dikarenakan adanya bahaya dari luar yang mengancam
dan benar-benar dihadapi secara nyata. Misalnya: Seorang ibu gelisah
karena anaknya diculik; seorang ibu gelisah karena anaknya sakit; seorang
pelajar gelisah karena kartu ujiannya hilang; dan sebagainya.
2. Kecemasan neurotik (syaraf)
Kecemasan ini timbul karena pengamatan tentang bahaya dari nalurinya.
Misalnya: Takut berada di suatu tempat yang asing dan harus
menyesuaikan diri dengan lingkungannya; rasa takut yang irasional
semacam fobia, gugup/gagap atau gemetaran.
3. Kecemasan moral
Kecemasan ini muncul dari emosi diri sendiri yang memunculkan sifatsifat iri, dengki, dendam, hasut, tamak, pemarah, rendah diri, dan
sebagainya. Dengan adanya sifat ini manusia cenderung mengalami rasa
khawatir, takut, cemas, atau bahkan putus asa setelah melihat keberhasilan
orang lain.
Sebagian besar kegelisahan manusia disebabkan oleh rasa takut akan
kehilangan hak, nama baik, maupun ancaman dari luar dan dari dalam. Untuk
mengatasinya manusia perlu meningkatkan iman, takwa, amal shaleh,
penyabar, dan menjalankan shalat secara khusuk. Seperti dalam kutipan
firman Allah berikut: "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh
kesah lagi kikir; apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah, tetapi
apabila mendapat kebaikan, ia amat kikir, kecuali orang -orang yang
mengerjakan shalat, mereka yang tetap mengerjakan shalatnya, dan
orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang
miskin (yang tidak dapat meminta), dan orang-orang yang mempercayai
hari pembalasan, dan orang-orang yang takut terhadap adzab
Tuhannya." (Widagdho, 1991:162).
Bertolak dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kegelisahan
dan segala keluh kesah adalah bagian dari hidup manusia. Semua itu
sudah terpatri sebagai karakteristik dalam diri manusia, yang hanya bisa
diatasi jika yang bersangkutan bisa bersikap untuk memiliki keyakinan/
iman penuh, sabar, pasrah, dan selalu mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dalam pendekatan diri kepada Tuhan secara vertikal harus diimbangi
dengan hubungan horisontal, yaitu menjalin hubungan baik dengan
sesama manusia.
J. Manusia dan Harapan
J.1. Memahami Harapan
Kata "harapan" berasal dari kata "harap", artinya suatu keinginan,
permohonan, penantian. Adapun kata "harapan" itu sendiri dapat
diartikan sebagai suatu keinginan yang belum terwujud dan diupayakan
agar terwujud. Misalnya: seorang petani berharap agar panen tahun ini
lebih besar daripada tahun kemarin; orang tua yang baru saja punya
putra tentu akan berharap agar kelak jadi anak yang shaleh, dan
sebagainya.
Setiap orang memiliki harapan sendiri-sendiri. Manusia yang tiada
harapan dalam hidupnya tidak ada artinya sebagai manusia. Manusia
yang tidak mempunyai harapan berarti tidak dapat diharapkan lagi
keberadaannya. Secara kodrati dalam diri manusia memiliki dorongandorongan, yakni dorongan kodrat dan dorongan kebutuhan hidup.
Dorongan kodrat itu ialah menangis, tertawa, berpikir, berkata,
bercinta,
mempunyai
keturunan,
dan
sebagainya.
Sedangkan,
kebutuhan hidup dapat berupa kebutuhan jasmani dan rohani.
Kebutuhan jasmani yakni: berupa makan, pakaian, tempat tinggal.
Orang Jawa mengatakan papan, sandang, dan pangan. Sedangkan
kebutuhan rohani meliputi kebahagiaan, kepuasan, ketenangan,
kesejahteraan, hiburan, dan sebagainya. Untuk mencapai semua
keinginan itu manusia tidak bisa terlepas dari hubungannya dengan
orang lain. Manusia tidak dapat mencapai semua kebutuhan itu secara
sendiri, melainkan butuh bantuan orang lain. Untuk itu, manusia
dikatakan sebagai makhluk sosial, sehingga manusia harus bergaul
dengan anggota masyarakat lainnya.
Menurut Abraham Maslow, kebutuhan hidup manusia dapat
dikategorikan menjadi lima harapan:
1. Harapan untuk memperoleh kelangsungan hidup (survival),
misalnya: kebutuhan fisiologis seperti papan, sandang, dan pangan.
2. Harapan
untuk
memperoleh
keamanan
(safety),
misalnya:
perlindungan dari pemerintah dan agama.
3. Harapan untuk memiliki hak dan kewajiban untuk mencintai dan
dicintai (beloving and love).
4. Harapan untuk memperoleh status atau diterima dan diakui di
lingkungannya. Dalam pemerolehan status dapat dibedakan antara
yang ascribe dan achieve. Status yang ascribe adalah status yang
dimiliki seseorang sejak lahir berdasarkan keturunan, misalnya:
sebagai keturunan ningrat, Brahmana, dan lain-lain. Sedangkan, status
achieve adalah status yang diperoleh seseorang berdasarkan prestasinya, misalnya: status sarjana yang diperoleh dengan kerja keras,
belajar, dan sebagainya.
5. Harapan untuk memperoleh perwujudan dan cita-cita (selfactualization),
misalnya: diakui eksistensinya sesuai dengan
keahlian atau kepangkatan (Djoko Widagdho, 1991:187).
BAB V
MANUSIA, KERAGAMAN, KESEDERAJATAN DAN
KEMARTABATAN
A. Unsur-Unsur Keragaman
Kata keragaman dapat diartikan kebermacaman atau bermacammacam (Badudu, 1994:1118). Dalam kaitannya dengan pembahasan ini
kata keragaman dapat diartikan sebagai hal yang bermacam-macam.
Keragaman adalah suatu keadaan masyarakat yang di dalamnya terdapat
perbedaan-perbedaan dalam berbagai hal. Sebagaimana yang telah kita
ketahui dan disadari bersama bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa
majemuk, yang ditandai dengan beragam suku bangsa, agama, dan
kebudayaan. Keragaman itu merupakan kekayaan budaya bangsa yang
membanggakan, tetapi pada sisi lain mengandung potensi masalah yang
dapat mengakibatkan malapetaka jika tidak dikelola dengan baik.
Keragaman dipandang sebagai kekayaan budaya yang membanggakan,
artinya bahwa, bangsa Indonesia memiliki beragam unsur kebudayaan yang
berasal dari beragam golongan, kelompok, atau pun komponen bangsa
lainnya. Masing-masing komponen bangsa memiliki bentuk dan potensi
tersendiri untuk dapat dikembangkan, sehingga dalam pengembangannya
dapat dipandang memiliki beragam potensi yang bisa dimanfaatkan untuk
kemajuan bangsa. Namun demikian, beragam potensi yang rnerupakan wujud
kekayaan bangsa ini juga berpotensi untuk menimbulkan adanya banyak
kerawanan yang berpotensi menimbulkan banyak masalah, sehingga rawan
akan konflik. Untuk menekan terjadinya konflik, maka diperlukan tata kelola
yang baik.
Unsur-unsur keragaman yang merupakan sumber kekayaan bangsa dan
sekaligus menjadi sumber kerawanan timbulnya konflik tersebut dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu yang lingkupnya bersifat umum (misalnya:
suku bangsa dan ras, agama dan keyakinan, ideologi dan politik, adat dan
kesopanan, kesenjangan ekonomi, dan kesenjangan sosial) dan yang bersifat
pribadi (misalnya: perilaku seseorang, minat seseorang, cita-cita seseorang, dan
lain sebagainya). Unsur-unsur keragaman tersebut berpengaruh terhadap
kehidupan manusia karena masing-masing berdampak langsung bagi
terpeliharanya kesederajatan dan kemartabatan manusia. Misalnya saja dalam
hal keragaman suku bangsa dan ras, bangsa Indonesia memiliki beragam suku
bangsa antara lain: dari Aceh, Melayu, Batak, Jawa, Madura, Dayak, Bugis,
sampai Papua, dan lain-lain. Keragaman suku bangsa tersebut tidak saja
membedakan bentuk fisik melainkan juga bersifat non-fisik, seperti: dalam hal
bahasa, pola perilaku, adat-istiadat, keyakinan, seni, dan lain-lain. Hal ini perlu
disadari bersama secara arif dan bijaksana bahwa keragaman tersebut
merupakan bagian dari kekayaan bangsa, bukan sebaliknya untuk menunjukkan
adanya perbedaan dan pembenaran diri sebagai yang terbaik.
Keragaman budaya atau cultural diversity adalah ke niscayaan yang ada
di bumi Indonesia, atau sesuatu yang tidak dapat dipungkiri lagi
keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat yang majemuk,
masyarakat Indonesia selain memiliki kebudayaan yang didasarkan atas kelompok suku bangsa juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah yang
bersifat
kewilayahan
dan
merupakan
pertemuan
antara
berbagai
kebudayaan kelompok suku bangsa yang ada di daerah tersebut. Dengan
jumlah penduduknya yang kurang lebih sudah mencapai 200 juta orang,
mereka semua tinggal secara tersebar di pulau-pulau Indonesia. Mereka
berada di wilayah Indonesia dengan kondisi geografis yang bervariasi,
mulai dari pegunungan, pedalaman, tepian hutan, dataran rendah, pedesaan,
pesisir pantai, hingga perkotaan.
Mereka yang tinggal dengan wilayah bervariasi tersebut secara
langsung maupun tidak langsung akan berkaitan dengan tingkat peradaban
kelompok-kelompok suku bangsa dan masyarakat di Indonesia yang
beraneka ragam. Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar pun akan
mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia,
sehingga menambah ragamnya jenis kebudayaan yang ada di Indonesia. Di
samping itu, juga berkembang dan meluasnya agama-agama besar di
Indonesia turut mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia sehingga
mencerminkan kebudayaan agama tertentu. Dengan kata lain dapat
dikatakan, bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki tingkat
keanekaragaman budaya atau tingkat heterogenitas yang tinggi, tidak saja
dalam keanekaragaman budaya pada kelompok suku bangsa melainkan
juga dalam keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban, tradisional
hingga ke modern, dan bahkan kewilayahan.
Dengan adanya keragaman suku bangsa dan ras, serta kebudayaan yang
ada, adat dan kesopanan pun menjadi beragam. Misalnya, adat dan
kesopanan di Jawa tentu akan berbeda dengan adat dan kesopanan di Papua,
adat dan kesopanan Aceh tentu akan berbeda dengan di Bali, dan seterusnya.
Keragaman ini harus disadari sebagai bagian dari kekayaan budaya bukan
sebaliknya menjadi masalah untuk dipertentangkan. Demikian juga dengan
masalah agama dan keyakinan. Beragam agama dan keyakinan yang tumbuh
dan berkembang di Nusantara ini perlu disadari sebagai bagian dari hak-hak
asasi manusia yang merupakan hak-hak dasar bagi individu, sehingga tidak
harus dikonfrontasikan melainkan harus direngkuh sebagaimana zaman Nabi
Muhammad memimpin masyarakat Medinah yang dapat menghargai dan
menghormati adanya pluralisme.
Bertolak dari keanekaragaman budaya yang ada maka dapat dikatakan
bahwa bangsa Indonesia memiliki keunggulan tersendiri dibanding dengan
negara-negara lain. Sebagai sebuah negara kepulauan, bangsa Indonesia
memiliki potret budaya yang lengkap dan bervariasi. Secara sosial budaya
dan politik masyarakat Indonesia memiliki jalinan sejarah dan dinamika
interaksi antar kebudayaan yang sudah terbentuk sejak dahulu kala.
Terjadinya interaksi ini tidak saja pada hubungan antarkelompok suku
bangsa yang berbeda melainkan juga meliputi peradaban yang ada di dunia.
Secara historis wilayah Nusantara di samping terdapat penduduk asli yang
sejak awal telah menetap, juga banyak pendatang dari bangsa lain yang
kemudian berbaur dengan penduduk setempat dan melahirkan beragam
bentuk kebudayaan baru. Berbagai suku bangsa pendatang yang kemudian
singgah di kawasan Nusantara antara lain berasal dari China, India, Timur
Tengah, dan Eropa. Hal itu dapat dibuktikan dari berbagai peninggalan
yang ada maupun unsur lain yang terkait ras mereka. Berbagai suku bangsa
yang berasal dari China, India, dan Timur Tengah telah memberi arti
tersendiri bagi tumbuh kembangnya peradaban bangsa ini, baik dari adatistiadat, kebiasaan, kepercayaan, agama, maupun yang lain-lainnya.
Demikian juga dengan bangsabangsa Eropa, seperti berlabuhnya kapalkapal Portugis di Banten pada abad pertengahan telah membuka Indonesia
pada lingkup pergaulan dunia internasional pada saat itu. Pengalaman
sejarah tersebut telah membentuk daya elatisitas bangsa Indonesia untuk
berinteraksi dengan perbedaan. Daya elatisitas ini terbukti dari kemampuan
bangsa Indonesia yang masih mampu mengembangkan lokalitas budaya di
tengah-tengah lalu-lintas persinggungan antar peradaban.
Kenyataan sejarah di atas membuktikan bahwa kebudayaan di
Indonesia mampu hidup secara berdampingan dan saling mengisi, sehingga
dapat berjalan paralel. Meskipun terdapat kebudayaan kraton yang
dikembangkan oleh kerajaan, eksistensi kebudayaan daerah yang hidup di
kalangan masyarakat pedesaan tetap dapat berkembang dengan baik, dan
bahkan terjadi kolaborasi bersama sehingga dapat saling memelihara
kelangsungannya. Hal itu terbukti dari budaya seni pewayangan atau
pedalangan, yang sampai saat ini masih bisa bertahan. Seni wayang tidak
saja dipelihara oleh masyarakat kalangan kraton melainkan juga masyarakat
pedesaan, dengan agama dan suku bangsa yang berbeda-beda. Bingkai
"Bhinneka Tunggal Ika" di waktu itu telah mampu mewadahi hubunganhubungan antarkebudayaan yang terjalin, dan bahkan tidak sebatas pada
konteks keanekaragaman kelompok suku bangsa, namun juga pada konteks
kebudayaan antarbangsa. Kenyataan sejarah tersebut patut dicontoh dan
dilestarikan, atau dipertahankan sebagai bentuk pembelajaran bagi generasi
bangsa ke depan.
Masalah keragaman ini perlu mendapatkan perhatian tersendiri
mengingat masyarakat Indonesia yang majemuk dengan jumlah suku bangsa
kurang lebih 700-an dan berbagai tipe kelompok masyarakat yang beragam,
serta keragaman agamanya menjadi rentan akan perpecahan. Kondisi yang
rentan akan perpecahan ini menunjukkan adanya kerapuhan, karena
keragaman perbedaan yang dimilikinya memiliki potensi konflik yang
semakin tajam. Berbagai perbedaan yang ada di masyarakat menjadi pemicu
untuk memperkuat isu konflik yang sewaktuwaktu dapat muncul di tengahtengah masyarakat meski pun konflik itu muncul belum tentu berawal dari
keragaman kebudayaan, melainkan dari isu-isu lain. Sebagai contoh kasuskasus konflik yang pernah terjadi di Indonesia yang semula dinyatakan
sebagai kasus konflik agama dan suku bangsa, kenyataannya konflik-konflik
itu lebih didominasi oleh isu-isu lain yang lebih bersifat politik dan ekonomi.
Penyebab konflik yang sering terjadi selama ini memang tidak sepenuhnya
berakar dari satu masalah namun beberapa kasus yang ada di Indonesia
dewasa ini sudah mulai memunculkan pertanyaan tentang keanekaragaman
yang kita miliki.
Untuk menjaga keutuhan bangsa yang selama ini telah diwarisi
kemampuan dalam mengelola keragaman oleh para pendahulunya maka
dalam era global ini perlu kembali belajar pada masa lalu tentang
bagaimana seharusnya mengelola keragaman tersebut dengan benar.
Kapasitas sistem politik, hukum, ekonomi, dan lain-lainnya harus bisa
mengakomodasi semua kalangan, sehingga dalam karagaman tersebut
tercipta kesederajatan sebagai komponen bangsa dan kemartabatan yang
sama sebagai warga negara. Untuk itu, peran lembaga legislatif, yudikatif,
serta pemerintah selaku eksekutif memegang peranan penting dalam menjaga amanahnya sebagai pihak yang diberi kepercayaan oleh rakyat untuk
mengelola negara ini secara benar.
B. Menjaga Keragaman, Kesederajatan, dan Kemartabatan
Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam pembicaraan di atas,
untuk mewujudkan kesederajatan, kemartabatan dalam keragaman maka
ada empat faktor utama yang turut memegang peranan penting, yaitu: peran
lembaga legislatif, yudikatif, eksekutif, dan rakyat pada umumnya. Dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang berada dalam konteks
keragaman perlu menyadari adanya kesamaan derajat maupun kesamaan
martabat bagi semua warga negara yang tinggal bersama dalam satu wadah.
Kesamaan derajat dan martabat ini perlu dijamin dalam undang-undang
kenegaraan sebagaimana yang termaktub pada UUD 1945 tentang hak dan
kewajiban setiap warga negara adalah sama.
Implementasi dari UUD 45 ini perlu dikawal oleh lembaga legislatif
dalam merumuskan undang-undang bersama pemerintah selaku lembaga
eksekutif. Setiap produk undang-undang yang dihasilkannya harus bisa
diterima oleh semua pihak, tanpa kecuali, dengan tetap mempertahankan
nilai-nilai kesederajatan dan kemartabatan manusia baik itu selaku
individu,
kelompok,
maupun
golongan.
Asas
kesederajatan
dan
kemartabatan bagi siapa pun adalah penting agar tidak terjadi tindak
diskriminasi di lapangan. Keberadaan lembaga legislatif menjadi penting
untuk mengawal dan merumuskan produk undang-undang yang dapat
diterima oleh semua kalangan, dan mampu memposisikan perundangundangan yang menjunjung tinggi asas kesederajatan dan kemartabatan
manusia dengan tidak memihak pada kepentingan individu, kelompok,
maupun golongan. Dengan demikian, tidaklah dibenarkan jika ada produk
undang-undang yang dihasilkan lebih didasarkan pada kepentingan
kelompok atau pun golongan, yang sebatas untuk kepentingan-kepentingan
politik sesaat. Jika hal yang demikian terjadi, pasti esensi kesederajatan dan
kemartabatan akan diabaikan dan terjadilah diskriminasi di lapangan
sehingga memicu timbulnya konflik-konflik.
Selanjutnya, peran pemerintah sebagai pihak eksekutif atau pelaksana
untuk mengelola dan menjaga keanekaragaman kebudayaan sangatlah
penting. Dalam konteks ini pemerintah berfungsi sebagai pengayom dan
pelindung bagi warganya, sekaligus sebagai penjaga tata hubungan
interaksi antar kelompok-kelompok kebudayaan yang ada di Indonesia.
Namun patut disayangkan, pemerintah yang selalu dianggap sebagai
pengayom dan pelindung sering kali tidak mampu untuk memberikan
ruang gerak yang cukup bagi semua kelompok-kelompok yang ada di
negeri ini. Banyak kebudayaan-kebudayan kelompok suku bangsa
minoritas tersingkir oleh kebudayaan daerah setempat yang dominan
sebagaimana halnya yang terjadi pada masa lalu. Contoh lain yang
menonjol adalah ketika ada pandangan yang mengharuskan kanya-karya
seni hasil kebudayaan perlu dipandang dalam perspektif kepentingan
pemerintah. Pemerintah menentukan baik buruknya suatu produk
kebudayaan
atas
dasar
kepentingannya.
Implikasinya
timbul
penyeragaman kebudayaan untuk menjadi "Indonesia", sehingga tidak
menghargai perbedaan yang tumbuh dan berkembang secara natural. Jika
peristiwa serupa terulang kembali, pantaslah rakyat mempertanyakan
keseriusan pemerintahan yang ada dalam menjalankan amanatnya.
Di sisi lain, yang tidak kalah pentingnya adalah peran lembaga
yudikatif, yang berusaha menegakkan keadilan bagi semua komponen
bangsa dan warga negaranya. Hukum dibuat bukan untuk kepentingan
kelompok; golongan, atau bahkan kepentingan individu melainkan untuk
menegakkan
keadilan
dan
ketertiban
keputusan hukum yang dijalankan
masyarakat.
Segala
bentuk
harus dapat dirasakan esensi
keadilannya oleh semua pihak dengan tetap mengedepankan nilai-nilai
kesederajatan dan kemartabatan manusia. Dunia peradilan adalah
representasi dari martabat kejujuran dan kebenaran, sehingga harus benar benar dapat mengungkapkan suara kebenaran. Sebaliknya, kebohongan
dalam peradilan bukanlah kebenaran yang hakiki melainkan pengkhianatan
terhadap peradilan dan kemartabatan manusia. Apabila suatu lembaga peradilan
telah banyak menyuarakan kebohongan dalam kebenaran maka hilanglah esensi
kesederajatan dan kemartabatan manusia, sehingga memicu timbulnya konflik
secara vertikal maupun horisontal, yang rentan bagi kesatuan dan persatuan
bangsa. Kondisi demikian akan memicu timbulnya disintegrasi bangsa. Untuk
me-vvujudkan rasa keadilan bagi semua warga negara, di samping diperlukan
sistem hukum yang baik, sarana dan prasarana yang memadai, masyarakat yang
tertib hukum, juga sumber daya manusia yang bermoral, jujur, tegas, dan
bijaksana.
Peran masyarakat dalam menjaga keragaman, kesederajatan, dan
kemartabatan juga sangat penting. Untuk bisa menghargai keragaman,
kesederajatan, dan kemartabatan semua komponen bangsa harus dapat menjaga
diri dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sebagaimana yang
diajarkan dalam tuntunan agama-agama bahwa derajat dan martabat manusia
bukan terletak pada harta, tahta, dan jabatan melainkan berada pada pundak
masingmasing individu dalam menjaga kehormatan diri di hadapan Tuhan
maupun sesama manusia. Di sinilah peran penting masyarakat untuk bisa
menjaga diri serta menyadari sebagai sesama makhluk Tuhan, yang esensi
kemanusiaannya memiliki derajat dan martabat yang sama di sisi Tuhan.
Dengan demikian, sebagai negara yang berideologi multikultur bangsa
Indonesia harus didukung dengan sistem infrastruktur demokrasi yang kuat
serta aparatur pemerintah yang mumpuni atau cakap, tegas, cerdas, jujur, dan
amanah. Hal itu penting karena sebagai negara yang multibudayaisme
kunci utamanya adalah kesamaan di depan hukum. Negara dalam hal ini
berfungsi sebagai fasilitator sekaligus penjaga pola interaksi antar
kebudayaan kelompok agar tetap seimbang antara kepentingan pusat dan
daerah. Ada keseimbangan pengelolaan pemerintah antara titik ekstrim
lokalitas dan sentralitas, misalnya kasus di Papua, oleh pemerintah
kebudayaan tersebut dibiarkan untuk berkembang dengan kebudayaan
Papuanya, namun secara ekonomi dilakukan pembagian kue ekonomi
yang adil.
Dalam konteks masa kini, kekayaan kebudayaan akan banyak
berkaitan dengan produk-produk kebudayaan yang berkaitan dengan tiga
wujud kebudayaan, yaitu pengetahuan budaya, perilaku budaya atau
praktik-praktik budaya yang masih berlaku, dan produk fisik kebudayaan
yang berwujud artefak atau bangunan. Beberapa hal yang berkaitan
dengan tiga wujud kebudayaan tersebut yang dapat dilihat adalah produk
kesenian dan sastra, tradisi, gaya hidup, sistem nilai, dan sistem
kepercayaan. Keragaman budaya dalam konteks studi ini lebih banyak
diartikan sebagai produk atau hasil kebudayaan yang ada pada masa kini.
Dalam konteks masyarakat yang multikultur, keberadaan keragaman
kebudayaan
adalah
sesuatu
yang
harus
dijaga
dan
dihormati
keberadaannya. Menurut hasil konvensi UNESCO 2005 (Convention on
The Protection and Promotion of The Diversity of Cultural Expressions)
tentang keragaman budaya atau cultural diversty diartikan sebagai
kekayaan budaya yang dilihat sebagai cara yang ada dalam kebudayaan
kelompok atau masyarakat untuk mengungkapkan ekspresinya ( Prasetijo,
2009:3).
Ekspresi budaya atau cultural expression dapat dimaknai sebagai isi dari
keragaman budaya yang mengacu pada makna simbolik, dimensi artistik,
dan nilai-nilai budaya yang melatarbelakanginya. Adapun pengetahuan
budaya akan berisi tentang symbol-symbol pengetahuan yang digunakan
oleh masyarakat pemiliknya untuk memahami dan menginterprestasikan
lingkungannya. Pengetahuan budaya biasanya akan berwujud nilai-nilai
budaya suku bangsa dan nilai budaya bangsa Indonesia, yang di dalamnya
berisi kearifan-kearifan lokal kebudayaan lokal dan suku bangsa setempat.
Kearifan lokal tersebut berupa nilai-nilai budaya lokal yang tercermin dalam
tradisi upacaraupacara tradisional dan karya seni kelompok suku bangsa dan
masyarakat adat yang ada di Nusantara. Sedangkan tingkah laku budaya
berkaitan dengan tingkah laku atau tindakan-tindakan yang bersumber dari
nilai-nilai budaya yang ada. Bentuk tingkah laku budaya tersebut berupa
bentuk tingkah laku sehari-hari, pola interaksi, kegiatan subsistem
masyarakat, dan sebagainya. Hal itu dapat disebut sebagai aktivitas budaya.
Untuk budaya artefak, kearifan lokal bangsa Indonesia diwujudkan dalam
karya-karya seni rupa atau benda budaya (cagar budaya) (Prasetijo, 2009:4).
Semua penjelasan tersebut sebagai bukti bahwa Indonesia sebenarnya
memiliki kekayaan budaya yang beragam, baik bentuk dan asalnya, sehingga
harus mampu untuk menjaga keragaman ini tetap berada mampu untuk
menjaga keragaman ini tetap dalam budaya yang beragam seni rupa atau
benda budaya (cagar) budaya. Untuk budaya dalam kesederajatan dan
kemartabatan.
C. Kesederajatan dan Kemartabatan Manusia
Hubungan antara manusia dengan lingkungannya pada umumnya
bersifat timbal balik, artinya setiap orang yang menjadi anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama, baik terhadap masyarakat,
pemerintah, dan negara. Beberapa hak dan kewajiban penting ditetapkan
dalam undang-undang (konstitusi) sebagai bentuk hak dan kewajiban asasi
manusia. Untuk dapat melaksanakan hak dan kewajiban dengan bebas dari
rasa takut maka diperlukan jaminan. Adapun yang dapat memberikan
jaminan adalah pernerintahan yang kuat dan berwibawa. Di dalam susunan
negara modern hak-hak dan kebebasan-kebebasan asasi manusia dilindungi
undang-undang dan menjadi hukum positif. Undang-undang tersebut
berlaku sama terhadap semua orang tanpa kecuali. Semua orang
mempunyai
kesamaan
derajat
yang
dijamin
oleh
undang-undang.
Kesamaan derajat ini berwujud jaminan atas hak yang diberikan dalam
berbagai sektor kehidupan. Hak inilah yang kemudian dikenal sebagai Hak
Asasi Manusia.
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang diperoleh manusia
secara sama, sebagai wujud kesamaan dan kesederajatan. $eragam hak-hak
asasi tersebut jika dicermati akan menjunjung tinggi manusia sebagai
makhluk yang bermartabat, dan berbeda dengan makhluk yang lain. Hak
asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya
bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan
masyarakat. Anggapan dasarnya adalah bahwa hak itu dimiliki oleh setiap
manusia tanpa dibedakan atas dasar negara, ras, agama, golongan maupun
jenis kelamin. Oleh karenanya, hak itu bersifat asasi (mendasar, hakiki) dan
universal (berlaku/diakui di mana pun dan kapan pun). Seandainya hak asasi
ini tidak dapat berjalan, tentu saja akan ada golongan atau pun orang yang
mengalami
ketertindasan
sehingga
perlu
diperjuangkan
untuk
menegakkannya.
Dalam sejarah perkembangannya, upaya untuk menegakkan hak asasi
manusia pernah diperjuangkan di beberapa negara dengan menghasilkan
berbagai naskah kesepakatan, yang menurut Budiardjo (1991:120121)
disebutkan sebagai berikut.
1. Magna Charta (Piagam Agung, 1215), suatu dokumen yang mencatat
beberapa hak yang diberikan oleh Raja John dari Inggris kepada beberapa
bangsawan bawahannya atas tuntutannya. Naskah ini sekaligus membatasi
kekuasaan Raja John.
2. Bill of Rights (Undang-Undang Hak, 1689), suatu undang-undang yang
diterima oleh Parlemen Inggris sebagai perlawanan terhadap Raja James II
dalam revolusi tak berdarah (The Glorious Revolution of 1688).
3. Declaration des droits I' home et du citoyen (Pernyataan hak-hak
manusia dan warga negara, 1789), suatu naskah yang dicetuskan pada
permulaan Revolusi Perancis, sebagai perlawanan terhadap kewenangan
dari rezim lama.
4. Bill of Rights (Undang-Undang Hak), suatu naskah yang disusun oleh
rakyat Amerika pada tahun 1789 dan kemudian menjadi bagian dari
Undang-undang Dasar pada tahun 1791.
Lebih lanjut dalam Budiardjo (1991:121) dijelaskan bahwa hak-hak yang
dirumuskan pada abad ke-17 dan ke-18 ini sangat dipengaruhi oleh gagasan
mengenai hukum alam (Natural Law), seperti yang dirumuskan John Locke
(1632-1714) dan J.J. Rousseau (17121778) dan hanya terbatas pada hak-hak
yang bersifat politis, seperti kesamaan hak, hak atas kebebasan, hak untuk
memilih, dan seterusnya. Pada abad ke-20 hak-hak politik tersebut dianggap
kurang sempuma, maka mulai dicetuskan beberapa hak lain yang lebih luas
ruang lingkupnya: Salah satu pernyataan yang terkenal adalah Empat
Kebebasan (The Four Freedoms) yang dicetuskan dan dirumuskan oleh
Presiden Amerika Serikat, F. D. Roosevelt pada permulaan Perang Dunia II,
saat menghadapi agresi Nazi-Jerman yang menginjak-injak hak-hak manusia.
Empat kebebasan itu antara lain meliputi: 1) kebebasan untuk berbicara dan
menyatakan pendapat (freedom of speech); 2) kebebasan beragama (freedom
of religion); 3) kebebasan dari ketakutan (freedom from fear); 4 ) kebebasan
dari kemelaratan (freedom from want), (Hariyono, 2007:238).
Pernyataan hak asasi ini meskipun secara yuridis tidak mengikat, tetapi
secara moril, politik, dan edukatif memiliki kekuatan, yang tujuannya untuk
mencapai standar minimum yang dicita-citakan oleh umat manusia dan
pelaksanaannya dibina oleh negara-negara yang tergabung dalam PBB.
Komitmen ini penting bagi keberlangsungan persamaan hak-hak dasar
manusia yang semakin berkurang. Berkurangnya hak-hak dasar manusia ini
tentu ada sebab-sebabnya, yang antara lain akan dijelaskan dalam
pembahasan berikut ini.
1. Persamaan Hak
Adanya kekuasaan negara seolah-olah hak individu menjadi
terganggu, karena ketika kekuasaan negara itu berkembang, ia memasuki
lingkungan hak manusia pribadi dan mengurangi hak-hak yang dimiliki
oleh individu. Nal ini menimbulkan persengketaan pokok antara dua kekuasaan secara prinsip, yaitu kekuasaan manusia yang berwujud hak-hak
dasar beserta kebebasan asasi yang selama ini dimilikinya dengan
leluasa, dan kekuasaan yang melekat pada organisasi baru dalam bentuk
masyarakat yang berupa negara (Ahmadi, 1997:207). Untuk mewujudkan
adanya persamaan hak maka dibuatlah sebuah deklarasi, yang
selanjutnya menjadi Pernyataan Sedunia Tentang Hak-hak (Asasi)
Manusia atau Universal Declaration of Human Right (1948), yang
antara lain pasal-pasalnya menyebutkan sebagai berikut:
Pasal 1 :
"Sekalian orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak
yang sama. Mereka dikaruniai akal dan budi dan hendaknya bergaul
satu sama lain dalam persaudaraan."
Pasal 2, ayat 1 :
"Setiap orang berhak atas semua hak-hak dan kebebasan-kebebasan
yang tercantum dalam pernyataan ini dengan tak ada kecuali apa pun,
seperti misalnya bangsa, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik
atau pendapat lain, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, milik,
kelahiran, atau pun kedudukan."
Pasal 7 :
"Sekalian orang adalah sama terhadap undang-undang dan berhak atas
perlindungan yang sama terhadap setiap perbedaan yang memperkosa
pernyataan ini dan terhadap segala hasutan yang ditujukan kepada
perbedaan semacam ini." (Ahmadi 1997: 207208).
2. Persamaan Derajat dan Keragaman di Indonesia
Dalam Undang-undang Dasar 1945, hak dan kebebasan yang
berkaitan dengan persamaan derajat sudah dicantumkan dalam pasalpasalnya secara jelas. Sebagaimana telah diketahui bahwa Negara
Republik Indonesia menganut asas bahwa setiap warga negara tanpa
kecuali memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. Hal itu sebagai konsekuensi dari prinsip kedaulatan rakyat
yang bersifat kerakyatan. Hukum dibuat untuk melindungi dan mengatur
warga masyarakat secara umum tanpa ada perbedaan. Pasal-pasal di
dalam UUD 1945 yang memuat ketentuan tentang hak asasi manusia,
antara lain adalah pasa127, 28, 29, dan 31. Keempat pokok persoalan hakhak asasi manusia dalam LTUD 1945 tersebut dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, tentang kesamaan kedudukan dan kewajiban warga negara
di dalam hukum dan di muka pemerintahan. Pasal 27 ayat 1 menetapkan:
"Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya." Di dalam perumusan ini dinyatakan
adanya suatu kewajiban dasar di samping hak asasi vang dimiliki oleh
warga negara, yaitu kewajiban untuk menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dengan demikian,
perumusan ini secara prinsip telah membuka suatu sistem yang
berlainan sekali daripada sistem perumusan " Human Rights" secara
Barat, karena hanya menyebutkan hak tanpa ada kewajiban di
sampingnya. Kemudian dalam pasal 27 ayat 2, ditetapkan hak setiap
warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Melalui pasal ini diamanatkan bahwa pemerintah
memiIiki kewajiban untuk dapat memberikan akses lapangan pekerjaan
yang sebesar-besarnya kepada setiap warga negara, sehingga dapat
mendapatkan penghidupan yang layak dan manusiawi.
Berbicara tentang kesamaan derajat dan kewajiban warga negara
di bidang hukum dan politik, maka keragaman tentang masalah
ideologi dan politik di Indonesia menarik untuk disimak. Hal tersebut
terbukti setelah kran Reformasi dibuka ternyata banyak bermunculan
partai politik dengan ideologi yang beragam pu1a. Mereka semua
adalah komponen bangsa yang sama-sama membawa ideologi melalui
perjuangan partai-partainya. Meskipun terdapat perbedaan, mereka
akan tetap memperjuangkan cita-cita bangsa sebagaimana yang
tertuang di dalam UUD 1945. Dengan kata lain, keragaman ideologi
dan politik adalah bagian dari kekayaan bangsa yang harus dijaga
bersama demi keutuhan negara dan bangsa.
Keragaman tersebut bisa juga terjadi pada masalah-masalah yang
terkait dengan kesenjangan ekonomi ynaupun kesenjangan sosial.
Kesenjangan
ekonomi
sering
kali
menumbuhkan
permasalahan
kesederajatan dan kemartabatan manusia ketika ada tindak diskriminasi
terhadap mereka di antara yang kaya dengan yang miskin. Kesenjangan
ekonomi di samping dapat menimbulkan diskriminasi dan kecemburuan
sosial juga dapat mengakibatkan meningkatnya kriminalitas, maupun
penyimpangan perilaku sosial di masyarakat. Hal itu terbukti dari
meningkatnya kekerasan yang berupa perampokan, pencurian, perdagangan anak, kekerasan di rumah tangga, dan bahkan tindak asusila,
dan lain-lain.
Untuk itu, hal-hal yang dapat mengakibatkan kesenjangan
ekonomi ini perlu dilokalisir dan segera dipecahkan solusinya oleh
semua komponen bangsa, khususnya pemegang kekuasan yang
mendapat amanah untuk menjalankan amanat rakyat dan undang-undang
dasar. Salah satu solusi yang dapat dilakukan antara lain dengan cara
memberi kesempatan pada dunia usaha agar dapat membuka kesempatan
kerja seluas-luasnya. Di samping itu, perlu adanya kesadaran bersama
bahwa kesenjangan ekonomi bukan berarti menjadi halangan untuk
dapat menempatkan diri dalam kesederajatan dan kemartabatan yang
sama antara sesama manusia. Dengan demikian, melalui kesadaran
tersebut akan dapat mengurangi atau bahkan menghindari terjadinya
potensi konflik di masyarakat.
Kesenjangan ekonomi juga bisa berujung pada kesenjangan sosial
apabila kesadaran untuk memahami kesederajatan dan kemartabatan
manusia masih bersifat diskriminatif. Pelayanan publik seperti masalah
kesehatan,
birokrasi,
dan
lain-lain
yang
diskriminatif
akan
menimbulkan potensi konflik. Kesenjangan sosial dapat terjadi
disebabkan oleh beberapa faktor berikut, misalnya: karena perbedaan
kemampuan ekonomi; status sosial karena pangkat, jabatan, tingkat
pendidikan, dan keturunan; profesi kerja: Pada umumnya negaranegara berkembang yang dulu pernah dijajah masih banyak yang
berpikir secara feodalistik, sehingga kekayaan, pangkat, jabatan,
tingkat pendidikan, keturunan, maupun profesi kerja sering menjadi
ukuran kelas sosial. Ketiadaan dari salah satu unsur-unsur tersebut
mengakibatkan pandangan yang diskriminatif atas aktivitas sosialnya.
Kondisi ini menunjukkan belum adanya kerelaan semua pihak untuk
menjunjung tinggi nilai-nilai kesederajatan dan kemartabatan manusia
didasarkan profesionalitasnya.
Kesadaran untuk menghargai dan menghormati profesionalitas
manusia masih sangat rendah, terbukti masih banyak perlakuan yang
diskriminatif antara yang berprofesi sebagai pejabat maupun pegawai
negeri, TNI, Polri, dibandingkan dengan kalangan pekerja swasta,
buruh, TKI, maupun terhadap pembantu rumah tangga. Sebagaimana
negara-negara yang telah maju nilai kesederajatan dan kemartabatan
manusia lebih banyak didasarkan pada esensi kemanusiaannya, bukan
pada profesi kerjanya. Status sosial dalam profesi kerja dihargai dan
dihormati kapasitasnya sebagai sesuatu yang profesional, sehingga apa
pun status kerjanya akan mendapatkan kehormatan dan penghargaan
yang sama atas kapasitas profesionalitasnya. Dengan demikian, tidak
ada diskriminasi birokrasi dalam pelayanan publik maupun dihadapan
hukum
yang
berlaku.
Kedua,
tentang
kemerdekaan
berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat yang dituangkan pada pasal 28
sebagai berikut: "Kemerdakaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan oleh undangundang." Pasa128 ini sudah jelas memberi indikasi adanya kebebasan
bagi setiap warga negara untuk berserikat atau berorganisasi, dan
mengeluarkan pendapatnya. Dengan kata lain, pemerintah berkewajiban
untuk mengawal proses demokrasi sehingga dapat membawa kehidupan
masyarakat dalam berbangsa dan bernegara didasari oleh nilai-nilai
demokrasi secara benar, manusiawi, dan beradab.
Ketiga, tentang kebebasan untuk beragama dan berkeyakinan yang
dituangkan di dalam pasal 29 ayat 2, yang berbunyi sebagai berikut:
"Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
menurut kepercayaannya."Dalam pasal ini setiap warga negara diberi
kebebasan untuk melakukan peribadatan sesuai dengan keyakinan
masing-masing, sehingga memberi kesempatan secara adil dan bijaksana
kepada setiap warga negara untuk melakukan peribadatan”.
Keempat, hak asasi manusia tentang pengajaran tertuang dalam
pasal 31, ayat 1 dan 2 mengatur tentang hak asasi manusia mengenai
pengajaran yang berbunyi: 1). Tiap-tiap warga negara berhak
mendapatkan
pengajaran;
2).
Pemerintah
mengusahakan
dan
menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan
undang-undang. Pasal ini memberikan hak kepada setiap warga negara
untuk mendapatkan pengajaran sesuai dengan sistem yang telah
ditentukan di dalam undang-undang.
D. Problem Diskriminasi dan Ethnosentrisme
A. Prasangka dan Diskriminasi
Diskriminasi
adalah
setiap
tindakan
yang
dilakukan
untuk
membedakan seseorang atau sekelompok orang berdasarkan atas ras,
agama, suku, etnis, kelompok, golongan, status, kelas sosial ekonomi,
jenis kelamin, kondisi fisik tubuh, usia, orientasi seksual, pandangan
ideologi dan politik, serta batas negara, dan kebangsaan seseorang.
Padahal manusia dilahirkan tidak dapat menghendaki keturunan dari faktor
tertentu. Karena itu, tidak layak apabila manusia memperoleh perlakuan
diskriminasi (Hariyono, 2007: 232). Sementara itu, prasangka dan
diskriminasi adalah dua hal yang ada relevansinya. Kedua tindakan tersebut dapat merugikan pertumbuhan dan perkembangan integrasi
masyarakat. Peristiwa kecil yang semula hanya menyangkut dua orang
dapat meluas dan menjalar, melibatkan sepuluh orang, golongan, atau
bahkan wilayah yang bisa disertai dengan tindakan-tindakan kekerasan
maupun destruktif yang merugikan.
Prasangka mempunyai dasar pribadi, setiap orang memilikinya, sejak
masih kecil unsur sikap berprasangka sudah tampak. Perbedaan yang
secara sosial dilaksanakan baik itu antar individu maupun lembaga atau
kelompok dapat menimbulkan sikap prasangka. Sikap berprasangka dapat
hinggap pada siapa saja dari yang berpikiran sederhana hingga masyarakat
yang tergolong cendekiawan, sarjana, pemimpin, atau negarawan. Jadi
prasangka dasarnya adalah pribadi dan dimiliki bersama. Oleh karena itu,
perlu mendapatkan perhatian dengan seksama, mengingat bangsa
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa atau masyarakat yang
multietnik (Ahmadi, 1991:270).
Suatu hal yang saling berkaitan, apabila seorang individu mempunyai
prasangka rasial biasanya bertindak diskriminatif terhadap ras yang
diprasangkanya. Tetapi dapat pula ia bertindak diskriminatif tanpa disadari
prasangka, dan sebaliknya seorang yang berprasangka dapat saja bertindak
tidak diskriminatif. Perbedaan terpokok antara prasangka dan diskriminatif
adalah bahwa prasangka menunjukkan pada aspek sikap, sedangkan
diskriminatif pada tindakan. Menurut Morgan (1966), sikap adalah kecenderungan untuk merespons sesuatu, baik itu secara positif maupun negatif
terhadap orang, objek, atau situasi. Sikap seseorang baru diketahui bila ia
sudah bertindak atau bertingkah laku. Oleh karena itu, bisa saja bahwa
sikap bertentangan dengan tingkah laku atau tindakan. Jadi prasangka
merupakan kecenderungan yang tidak tampak, dan sebagai tindak
lanjutnya, timbul tindakan, aksi yang sifatnya realistis. Dengan demikian,
diskriminatif merupakan tindakan yang realistis, sedangkan prasangka
tidak realistis dan hanya diketahui oleh diri sendiri, atau individu masingmasing (Ahmadi, 1991:270271).
Prasangka ini sebagian besar sifatnya apriori, mendahului pengalaman
sendiri (tidak berdasarkan pengalaman sendiri), karena merupakan hasil
peniruan langsung dari orang lain, atau dioper dari milieu, di mana orang
itu menetap. Gradasi prasangka menunjukkan adanya distansi social antara
in group dan out group. Dengan kata lain, tingkat prasangka
menumbuhkan jarak sosial tertentu di antara anggota kelompok sendiri
dengan anggota-anggota kelompok luar. Prasangka juga bisa diartikan
sebagai
suatu
sikap
yang
terlampau
tergesa-gesa,
berdasarkan
generalisasi yang terlampau cepat, sifat berat sebelah, dan dibarengi
proses simplikasi (terlalu menyederhanakan) suatu realitas (Ahmadi,
1991:271).
Prasangka sebagai suatu sikap tidaklah merupakan wawasan dasar
dari individu melainkan merupakan hasil proses interaksi antar individu
atau golongan. Atau akan lebih tepat kalau prasangka itu merupakan
hasil proses belajar dan pengenalan individu dalam perkembangannya.
Pada prinsipnya seseorang akan bersifat tertentu terhadap orang lain
atau suatu kelompok jika ia telah memiliki pengetahuan itu, kita tidak
dapat memastikan apakah hal itu bersifat psistif atau negatif.
Pengetahuan itu akan membuat seseorang atau suatu kelompok
berpersepsi, berpikir dan merasa terhadap objek tertentu. Dari sinilah
lahirnya suatu sikap dalam bentuk tingkah laku yang cenderung negatif
(Ahmadi, 1991: 272).
Dengan demikian, prasangka dapat dikatakan seperti yang
dikemukakan oleh Newcomb, yaitu sebagai sikap yang tidak baik dan
sebagai suatu predisposisi untuk berpikir, merasa, dan bertindak secara
menentang atau menjauhi dan bukan menyokong atau mendekati orangorang lain, terutama sebagai anggota kelompok. Pengertian Newcomb
tersebut timbul dari gejala-gejala yang terjadi dari masyarakat.
Pengalaman
seseorang
yang
bersifat
sepintas,
yang
bersifat
performance semata akan cepat sekali menimbulkan sikap negatif
terhadap suatu kelompk akau terhadap seseorang. Melihat penampilan
orang-orang Negro maka sering menimbulkan kesan keras, sadis, tidak
bermoral, dan sejenisnya. Pandangan yang demikian akan menimbulkan
kesan segan bergaul dengan mereka dan selalu memandangnya dengan
sikap negatif (Ahmadi, 1991:272).
Tidak sedikit orang yang mudah berprasangka, namun banyak pula
orang yang lebih sukar untuk berprasangka. Mengapa terjadi perbedaan
cukup menyolok? Tampaknya unsur kepribadian, intelegensia, serta
lingkungan berpengaruh terhadap munculnya prasangka. Namun demikian,
belum jelas benar ciri-ciri kepribadian mana yang membuat seseorang
mudah berprasangka. Ada pendapat yang mengatakan bahwa orang yang
berintelegensi tinggi lebih sukar untuk berprasangka. Mengapa? Karena
orang-orang semacam ini bersifat kritis. Akan tetapi, fakta di lapangan
menunjukkan bahwa mereka yang tergolong kaum cendekiawan, bahkan
juga para pemimpin dan negarawan juga bisa berprasangka. Bukankah
lahirnya senjata-senjata antar benua (Inter Continental Balistie Missile
ICBM) juga karena suatu prasangka yang berlebihan dari para pemimpin,
negarawan negara-negara adikuasa (super power). Bukankah pemasangan
rudal-rudal jarak pendek milik Amerika Serikat di daratan Eropa Barat
adalah suatu manifestasi dari prasangka Amerika Serikat terhadap rivalnya
yaitu Uni Soviet? Kondisi lingkungan atau wilayah yang tidak mampu pun
cukup untuk beralasan untuk dapat menimbulkan prasangka suatu individu
atau kelompok sosial tertentu (Ahmadi, 1991:273).
Dalam kondisi persaingan untuk mencapai akumulasi material
tertentu, untuk meraih status sosial dari suatu individu atau kelompok
sosial tertentu, ada suatu lingkungan atau wilayah, di mana normanorma dan tata hukum di dalam kondisi goyah, dapat merangsang
munculnya prasangka dan diskriminasi. Antara prasangka dan
diskriminasi dapat dibedakan dengan jelas. Prasangka bersumber dari
suatu sikap, sedangkan diskriminasi menunjuk pada suatu tindakan.
Dalam pergaulan seharihari sikap prasangka dan diskriminasi seolaholah menyatu, tak dapat dipisahkan. Seorang yang mempunyai
prasangka rasial biasanya bertindak diskriminasi terhadap ras yang
diprasangkainya. Walaupun begitu, biasa orang bertindak diskriminatif
tanpa berlatar belakang pada suatu prasangka. Demikian juga
sebaliknya, seseorang yang berprasangka dapat saja berperilaku tidak
diskriminatif.
Di
Indonesia
kelompok
keturunan
Cina
sebagai
kelompok minoritas, sering jadi sasaran prasangka rasial, walaupun
secara yuridis telah jadi warganegara Indonesia dan dalam UUD 1945
Bab X pasal 27 dinyatakan bahwa semua warga negara mempunyai
kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (Ahmadi,
1991:274).
Sikap berprasangka jelas tidak adil, sebab sikap yang diambil
hanya berdasarkan pada pengalaman atau apa yang didengar. Lebihlebih bila sikap berprasangka itu muncul dari pikiran sepintas, untuk
kemudian disimpulkan dan dibuat pukul rata sebagai sifat dari seluruh
anggota kelompok sosial tertentu. Apabila muncul suatu sikap ber-
prasangka dan diskriminatif terhadap kelompok sosial lain, atau
terhadap suatu suku bangsa, kelompok etnis tertentu, bisa jadi akan
menimbulkan pertentangan-pertentangan sosial yang lebih luas. Suatu
contoh : beberapa peristiwa yang semula menyangkut beberapa orang; saja,
sering meluas melibatkan sejumlah orang. Akan menjadi lebih riskan lagi
apabila peristiwa itu menjalar lebih luas, sehingga melibatkan orang-orang
di suatu wilayah tertentu, yang diikuti dengan tindakan-tindakan kekerasan
dan destruktif yang berakibat mendatangkan kerugian yang tidak kecil
(Ahmadi, 1991:274).
B. Mengapa Tembul prasangka dan Diskriminasi?
Prasangka dan diskriminasi dapat terjadi tidak serta merta melainkan
ada sebab-sebab yang memungkinkan hal tersebut terjadi. Menurut Ahmadi
(1991:174-279), sebab-sebab terjadinya prasangka dan diskriminasi tersebut
didasarkan
hal-hal
berikut,
antara
lain:
latar
belakang
sejarah;
ethnosentrisme; perkembangan sosio-kultural dan sifuasional; kepribadian;
perbedaan keyakinan, kepercayaan dan agama. Adapun menurut penulis di
samping kelima hal di atas dapat pula ditambahkan faktor-faktor lain, yaitu:
kesenjangan ekonomi dan sosial, serta sistem politik. Untuk lebih jelasnya,
masing-masing faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
a) Latar belakang sejarah
Banyak orang berprasangka karena sejarah masa lalu. Hal semacam
ini pernah terjadi pada masa Orde Baru, ketika ada kebijakan bahwa
keturunan dari orang-orang yang dianggap dan diduga terkait dengan
Gerakan 30 September memiliki idealogi serupa sehingga anak
keturunannya mengalami kesulitan untuk mencari pekerjaan, khususnya
menjadi pegawai negeri. Setelah beberapa tahun kemudian baru muncul
suatu kebijakan untuk diadakan pemutihan, yang berarti anggapan di
atas tidak lagi menjadi acuan untuk menghambat atau menjadi aturan
yang dapat mempersulit anak keturunan dari tokoh-tokoh yang
dianggap terlibat dalam gerakan tersebut karena memiliki ideologi
yang serupa. Sistem demikian itu tidak sejalan dengan hak-hak dasar
atau hak asasi manusia dalam rangka mendapatkan pekerjaan yang
layak, maupun perlakuan yang sama di hadapan hukum dan
pemerintahan. Dengan demikian, pada saat itu telah terjadi
diskriminasi kepada warga negaranya baik secara individu maupun
kelompok karena adanya prasangka historis masa lalu.
b) Ethnosentrisme
Setiap suku bangsa atau ras tertentu akan memiliki ciri khas
kebudayaan, yang sekaligus menjadi kebanggaan mereka. Suku
bangsa, ras tersebut dalam kehidupan sehari-hari bertingkah laku
sejalan dengan norma-norma, nilai-nilai yang terkandung dan tersirat
dalam
kebudayaannya.
Suku
bangsa,
ras
tersebut
cenderung
menganggap kebudayaan mereka sebagai sesuatu yang prima, riil,
logis, sesuai dengan kodrat alam dan sebaginya. Segala yang berbeda
dianggap kurang baik, kurang estetis, bertentangan dengan kodrat alam
dan
sebagainya.
Hal-hal
tersebut
di
atas
dikenal
sebagai
ethnosentrisme, yaitu suatu kecenderungan yang menganggap nilainilai dan norma-norma kebudayaannya sendiri sebagai sesuatu yang
prima, terbaik, mutlak, dan dipergunakannya sebagai tolok ukur untuk
menilai dan membedakannya dengan kebudayaan lain (Ahmadi,1991:
279).
Ethnosentrisme nampaknya merupakan gejala sosial yang
universal, dan sikap yang demikian biasanya dilakukan secara tidak
sadar. Dengan demikian, ethnosentrisme merupakan kecenderungan
tak sadar untuk menginterpretasikan atau menilai kelompok lain
dengan tolok ukur kebudayaannya sendiri. Sikap ethnosentrisrne
dalam tingkah laku berkomunikasi nampak canggung, tidak luwes.
Akibat ethnosentrisme berpenampilan yang ethnosentrik, dapat
menjadi penyebab utama kesalahpahaman dalam berkomunikasi.
Pandangan Ethnosentrisrne merupakan sikap dasar paham ideologi
Chauvinis yang melahirkan Chauvinisme. Chauvinisme pernah dianut
oleh orang-orang Jerman zaman Nazi Hitler. Mereka merasa dirinya
superior, lebih unggul dari bangsa lain; memandang bangsa-bangsa
lain sebagai inferior, nista, rendah, bodoh, dan seterusnya (Ahmadi,
1991: 279). Peristiwa semacam ini sebenarnya masih saja terjadi
hanya saja ada yang diungkapkan secara eksplisit dan ada pula yang
sebatas bersifat kepribadian secara tersembunyi.
c) Adanya perkembangan sosio-kultural dan situasional
Suatu prasangka muncul dan berkembang dari suatu individu
lain, atau terhadap kelompok sosial tertentu manakala terjadi
penurunan status atau terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh
pemimpin perusahaan terhadap karyawannya. Pada sisi lain,
prasangka bisa berkembang lebih jauh sebagai akibat adanya jurang
pemisah antara kelompok orang-orang kaya dengan golongan orangorang miskin. Harta kekayaan orang-orang kaya baru diduga sebagai
harta yang didapat dari usaha-usaha yang tidak halal. Misalnya,
karena korupsi dan penyalahgunaan wewenang sebagai pejabat, dan
lain-lain. Kasus PHK yang dicontohkan di atas lebih tepat dianggap
sebagai
faktor
penyalahgunaan
situasional,
wewenang
sedangkan
dapat
kasus
dianggap
korupsi
sebagai
dan
aspek
perkembangan sosio-kultaral.
d) Bersumber dari faktor kepribadian
Keadaan frustasi dari beberapa orang atau kelompok sosial
tertentu merupakan kondisi yang cukup untuk menimbulkan tingkah
laku yang agresif. Para ahli beranggapan bahwa prasangka lebih
dominan disebabkan oleh tipe kepribadian orang-orang tertentu. Tipe
authoritarian personality adalah sebagai ciri kepribadian seseorang
yang penuh dengan prasangka, dengan ciri-ciri bersifat konservatif dan
bersifat tertutup. Dalam khasanah dakwah faktor kepribadian ini lebih
identik dengan ungkapan-ungkapan budaya iri hati, berburuk sangka,
dengki, hasut, dan sebagainya. Hai-hal yang disangkakan masih
bersifat apriori dan bersifat subjektif. Lihat saja kasus-kasus tawuran
yang selama ini terjadi, sering kali masaIahnya hanya sepele seperti
karena dukung-mendukung dalam arena sepak bola, tawuran antar
warga, antar kelompok, atau bahkan antar mahasiswa dalam satu
fakultas, dan lain-lain.
Fenomena ini menunjukkan betapa masyarakat kita rentan
terhadap perpecahan, karena masalah-masalah personal dan sentimen
pribadi yang berakar dari luapan emosi semata, yang cenderung
mengedepankan pandangan-pandangan irasional daripada rasional dan
akal sehat. Kepribadian seperti ini menunjukkan adanya fanatisme
kelompok dan golongan yang berlebihan. Dengan demikian, simbolsimbol kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara masih
perlu ditanamkan dengan pernahaman yang benar agar tidak mudah
untuk dihasut dan digoyahkan oleh masalah-masalah kecil yang
sebenarnya tidak perlu menimbulkan keributan.
e) Adanya perbedaan keyakinan, kepercayaan, dan agama
Prasangka yang bertolak dari keyakinan, kepercayaan, dan
agama merupakan salah satu bentuk prasangka yang bersifat
universal. Beberapa kasus semacam ini pernah terjadi di berbagai
belahan dunia, antara lain: konflik antara Irlandia Utara dngan
Irlandia Selatan; konflik antara golongan keturunan Yunani dengan
Turki di Cyprus, dan perang antara Irak dengan Iran berakar dari
latar belakang prasangka agama atau kepercayaan. Situasi serupa
juga sering terjadi tanah air meskipun letupan-letupannya hanya
sebatas pada komunitas lokal.
f) Faktor ideologi dan politik
Terjadinya Perang Vietnam, pendudukan Afganistan oleh Uni
Soviet, kasus perang Teluk antara Irak dengan Kuwait, Amerika dan
sekutunya dengan Irak, Israel dengan Palestina, konflik-konflik di
lingkungan negara-negara Amerika Tengah juga lebih banyak
bermotifkan ideologi politik dan strategi politik global. Hal itu
membuktikan bahwa masalah ideologi dan politik tetap menjadi
faktor penting timbulnya diskriminasi meskipun sudah ada wadah
Perserikatan Bangsa-Bangsa atau disebut PBB. Partisipasi PBB
sering kali justru dijadikan alat oleh negara-negara adidaya dengan
prasangka--prasangka maupun isu-isu global, yang akhirnya
merujuk
pada
tindakan
diskriminasi
terhadap
negara-negara
berkembang. Hal itu dapat dibuktikan pada negara-negara yang
sekarang ini mengalami dampak dari diskriminasi tersebut, seperti di
Irak, Afganistan, Palestina, dan lain-lain yang rakyatnya sampai
sekarang tidak dapat hidup dengan tenteram.
Faktor ideologi dan politik ini tidak saja terjadi pada dunia
intemasional melainkan juga dapat terjadi pada tingkat regional dan
nasional. Pada tingkat regional misalnya adalah kasus-kasus yang
berhubungan dengan negara tetangga seperti Malaysia, yang berulang
kali terjadi konflik karena masalah kebijakan politik tentang kawasan
wilavah perbatasan negara. Untuk yang bertaraf nasional misalnya
adalah benturan antara politik dalam negeri dengan pengaruhpengaruh
politik Barat yang cenderung liberal, konflik-konflik antar golongan
yang berbeda ideologi, dan lain-lain.
g) Faktor kesenjangan ekonomi
Faktor kesenjangan ekonomi juga dapat menjadi pemicu
munculnya prasangka dan diskriminasi, baik antar negara, bangsa,
maupun sesama rakyat. Kesenjangan ekonomi yang terjadi antar negara
sering kali menimbulkan diskriminasi antar negara adidaya dengan
negara-negara yang sedang berkembang, sehingga bentuk kerja sama
yang disepakati sering kali lebih menguntungkan negara-negara yang
sudah maju. Isu tentang pasar bebas misalnya, kelompok negara-negara
maju akan dengan mudah memasukkan segala produknya ke mana pun
dengan harga dan kualitas barang yang lebih diminati. Produkproduknya dipandang memiliki kualitas yang lebih bagus dan murah.
Kondisi ini berdampak langsung bagi negara-negara berkembang yang
hasil produksinya dipandang tidak layak untuk dapat bersaing dengan
dunia luar.
Kesenjangan ekonomi yang terjadi pada masyarakat juga dapat
memicu prasangka dan diskriminasi. Dengan dibukanya pasar-pasar
modern seperti swalayan, super market dan sejenisnya maka tidak
sedikit pedagang tradisional yang harus tersingkir oleh para pemilik
modal-modal besar. Belum lagi yang terjadi pada PKL, dengan modal
yang pas-pasan, tempat tinggal tidak mapan, sering kali digusur di
sana-sini tanpa solusi, maka diskriminasi dan prasangka pun dapat
muncul kapan saja. Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa
kesenjangan ekonomi yang terjadi memicu prasangka, atau bahkan
tindak diskriminasi.
h) Faktor kesenjangan sosial
Prasangka dan diskriminasi juga dapat terjadi karena faktor
kesenjangan
sosial.
Kehidupan
masyarakat
yang
cenderung
menampakkan faktor kesenjangan sosial yang terjadi akan dengan
mudah memunculkan prasangka antara golongan atau kelompok yang
satu dengan golongan atau kelompok yang lain. Timbulnya saling
prasangka yang terus-menerus terjadi dapat diakibatkan oleh faktor
kesenjangan sosial di masyarakat, yang disebabkan oleh faktor ras,
golongan atau kelompok yang berbeda, keturunan, maupun kondisi
perekonomian. Segala bentuk diskriminasi karena faktor perbedaan di
atas akan dapat memicu timbulnya konflik-konflik antar kelompok
yang berbeda.
E. Menekan Prasangka dan Diskrimenasi
a) Perbaikan kondisi- sosial ekonomi
Untuk menekan prasangka dan diskriminasi perlu dilakukan
solusi dengan jalan perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat. HaI
ini sejalan dengan amanah Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27, ayat
2, yang menganjurkan adanya hak rakyat untuk mendapatkan kehidupan
yang layak. Upaya untuk mengurangi kesenjangan sosial antara yang kaya
dengan yang miskin perlu mendapat perhatian. Hal itu dapat dilakukan
dengan jalan meningkatkan pendapatan bagi warga negara Indonesia yang
masih tergolong di bawah garis kemiskinan.
Upaya tersebut dapat dilakukan dengan cara memfungsikan sistem
kelembagaan pemerintah secara benar, transparan atau jujur, amanah, dan
fatonah. Memfungsikan lembaga pemerintahan secara benar artinya jalurjalur kelembagaan yang difungsikan untuk membina dan memfasilitasi
usaha-usaha rakyat harus dipersiapkan secara profesional, dan benarbenar berorientasi kepada kepentingan rakyat, bukan kelompok dan
golongannya. Hal itu dapat ditempuh dengan memberikan kemudahan
birokrasi maupun pendanaan yang lebih mudah, jika perlu dengan
memberikan kredit yang tanpa agunan serta tanpa bunga. Selama ini
memang banyak kredit untuk rakyat tetapi realisasinya sistem yang ada
kurang pro rakyat. Sistem yang ada hanya dapat dinikmati oleh
kelompok-kelompok yang ekonominya kuat. Oleh sebab itu, tidak
mustahil apabila ada prasangka-prasangka ketidakadilan dalam sektor
perekonomian antara kelompok ekonomi kuat dengan kelompok ekonomi
lemah.
b) Perluasan kesempatan belajar
Amanat UUD 1945, ayat 1, yang menyebutkan bahwa tiap-tiap
warga negara berhak mendapatkan pengajaran perlu dijadikan pegangan
untuk dapat membuat sistem pendidikan nasional dapat dinikmati oleh
semua kalangan. Upaya perluasan kesempatan belajar bagi seluruh warga
negara Indonesia harus diupayakan tidak terlalu membebankan
rakyat kecil. Mengingat dunia pendidikan adalah alat paling
strategis untuk menanamkan nilai-nilai dan IPTEK bagi kepentingan
generasi bangsa ke depan. Kelangsungan bangsa di masa depan
terletak pada kemampuan generasi muda di masa sekarang, sehingga
perlu dipersiapkan secara matang dengan membuka kesempatan
seluas-luasnya pada setiap warga negara. Mereka yang memiliki
potensi untuk bisa berprestasi namun tidak memiliki kemampuan
modal yang cukup perlu diakomodasi dengan beasiswa atau badan
penyantun pendidikan, agar kesempatan belajar ini tidak hanya
dapat dinikmati oleh kalangan menengah atau pun kalangan atas
saja. Dengan memberi kesempatan luas untuk mencapai tingkat
pendidikan dasar sampai perguruan tinggi bagi seluruh warga negara
Indonesia tanpa kecuali, prasangka dan perasaan tidak ada pada
sektor pendidikan cepat atau lambat akan hilang lenyap.
c) Mengakomodasi keragaman
Idealisme paham kebangsaan yang mencanangkan persatuan,
kesatuan, dan kemerdekaan telah menumbuhkan sikap kesepakatan,
solidaritas, dan loyalitas yang tinggi. Sikap muIia para pendahulu
bangsa ini perlu ditindak lanjuti dengan berbagai peraturan dan
kebijakan yang bisa diterima oleh semua pihak. Melalui mekanisme
transparansi dan kelapangan dada untuk menerima dan memperoleh
masukan atau kritik semua pihak maka segala hal yang menyangkut
kepentingan umum dapat diakomodasi dengan arif dan bijaksana,
serta menjunjung tinggi asas keadilan. Upaya silaturahmi atau
menjalin komunikasi dua arah dengan berniat membuka diri untuk
berdialog antar golongan, antar kelompok sosial yang diduga
berprasangka sebagai upaya membina kesatuan dan persatuan bangsa,
adalah suatu cara yang sungguh bijaksana.
Kepentingan merupakan dasar dari timbulnya tingkah laku
individu. Individu bertingkah laku karena ada dorongan untuk
memenuhi kepentingannya. Kepentingan ini sifatnya esensial bagi
kelangsungan hidup individu itu sendiri. jika individu berhasil dalam
memenuhi kepentingannya, ia akan merasa puas, sebaliknya kegagalan
dalam memenuhi kepentingan akan banyak menimbulkan masalah baik
bagi dirinya maupun bagi lingkungannya.
Dengan berpegang kepada prinsip bahwa tingkah laku individu
merupakan cara atau alat dalam memenuhi kepentingannya, maka
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh individu di dalam masyarakat
pada hakekatnya merupakan manifestasi pemenuhan dari kepentingan
tersebut. Pada umumnya, secara psikologis dikenal ada dua jenis
kepentingan dalam diri individu, yaitu kepentingan untuk memenuhi
kebutuhan biologis dan kebutuhan sosial-psikologis. Oleh karenanya
individu mengandung arti bahwa tidak ada dua orang individu yang
sama persis di dalam aspek-aspek pribadinya, baik jasmani maupun
rohani, maka dengan sendirinya timbul perbedaan individu-individu
dalam hal kepentingannya. Perbedaan-perbedaan tersebut secara garis
besar disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor pembawaan dan
lingkungan sosial sebagai komponen utama bagi terbentuknya keunikan
individu dalam hal kepentingannya meskipun dengan lingkungan yang
sama. Sebaliknya, lingkungan yang berbeda akan memungkinkan
timbulnya perbedaan individu dalam hal kepentingan meskipun pembawaannya sama. Menurut Ahmadi (1991:268), perbedaan kepentingan
meliputi:
1)
Kepentingan individu untuk memperoleh kasih sayang.
2)
Kepentingan individu untuk memperoleh harga diri.
3)
Kepentingan individu untuk memperoleh penghargaan yang sama.
4)
Kepentingan individu untuk memperoleh prestasi dan posisi.
5)
Kepentingan individu untuk dibutuhkan oleh orang lain.
6)
Kepentingan individu untuk memperoleh kedudukan di dalam
kelompoknya.
7)
Kepentingan
individu
untuk
memperoleh
rasa
aman
dan
perlindungan diri.
8)
Kepentingan individu untuk memperoleh kemerdekaan diri.
Kenyataan-kenyataan seperti itu menunjukkan ketidakmampuan
suatu ideologi mewujudkan idealisme yang merupakan konsensus dari
berbagai sub-ideologi yang akhirnya akan melahirkan kondisi disintegrasi
atau konflik. Permasalahan utama yang jelas tampak pada tinjauan konflik
ini adalah adanya jarak yang terlalu besar antara harapan (tujuan sosial)
dengan kenyataan pelaksanaan maupun hasilnya. Hal itu disebabkan oleh
cara pandang yang berbeda antara pemerintah atau penguasa sebagai
pemegang kendali ideologi dengan berbagai kelompok kepentingan
BAB V
MANUSIA DAN PERADABAN
A. PENGERTIAN
Hingga kini, banyak pakar masih memperdebatkan perbedaan pendapat
tentang dua istilah, yakni kebudayaan dan peradaban. Hal ini seringkali
menimbulkan kerancuan atau kebingungan karena di satu sisi kedua hal
tersebut dicampuradukkan, namun di sisi lain keduanya terkadang
bertentangan satu sama lain;

Selo Soemardjan dan Soelaeman Soenardi, dalam bukunya
Setangkai Bunga Sosiologi (1964), merumuskan kebudayaan
sebagai semua hasil karya, cipta, dan rasa masyarakat. Menurut
Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan manusia dari
kelakuan dan hasil yang harus didapatkannya dengan belajar, dan
semua itu tersusun dalam kehidupan masyarakat.

Sedangkan peradaban didefinisikan oleh Huntington sebagai
sebuah identitas terluas dari budaya, yang teridentifikasi melalui
unsur-unsur obyektif umum, seperti bahasa, sejarah, agama,
kebiasaan, institusi, maupun melalui identifikasi diri yang
subyektif.

Berangkat dari definisi ini, maka masyarakat Amerika –khususnya
Amerika Serikat- dan Eropa yang sejauh ini disatukan oleh bahasa,
budaya dan agama dapat diklasifikasikan sebagai satu peradaban,
yakni “peradaban barat”.

Mengenai pertentangan antara budaya Barat dan budaya Timur,
Kun Maryati dan Juju Suryawaty mengatakan:
“Dalam masyarakat dunia, ada pandangan yang menganggap
budaya Barat sebagai budaya progresif atau maju yang sarat
dengan kedinamisan (hot culture). Sebaliknya, budaya Timur
diidentikkan dengan budaya yang dingin dan kurang dinamis (cold
culture). Pertentangan ini cenderung Eropa-sentris sehingga
mengakibatkan westernisasi di berbagai bidang kehidupan”.

Jika kita cermati, kata peradaban dalam bahasa Indonesia
berkonotasi dengan pengertian adab, kesopanan, kesantunan serta
kehalusan. Sedangkan budaya dalam pengertian yang lazim
diartikan sebagai seluruh hasil cipta, rasa dan karsa manusia.
Dalam konteks ini budaya melingkupi seluruh aspek kehidupan
manusia. Dunia melayu menggunakan kata tamadun untuk
memaknai peradaban, sebuah kata yang berakar pada bahasa Arab.

Menurut penjelasan „Effat al Sharqawi, pembedaaan antara
kebudayaan dan peradaban dalam bahasa arab bisa ditelusuri dari
makna hadharah, tsaqafah dan madaniah. Hadharah berakar pada
kata hadhara yang berarti hadir, hadir dalam kondisi baik. Di sini
termuat indikasi ruang dan kebaikan. Hadharah berarti hidup
menetap di kota sebagai lawan dari badw yang berarti desa, dusun,
pengembara. Tsaqafah berkonotasi dengan aspek ide. Tsaqafah
berakar pada pengertian memahami secara mendalam, orang yang
cerdik dan cermat dan cepat belajar. Sedangkan madaniyah terkait
dengan aspek-aspek kehidupan kota, madinah.

Sa‟id Hawwa dalam bukunya “Agar Kita Tidak Dilindas Zaman”
menggunakan tiga terminologi hadharah, tsaqafah dan madaniyah
untuk merujuk makna yang berbeda-beda. Hadharah adalah kata
terluas untuk mengacu pada aspek sosio-historis kelompok
manusia. Sisi spiritual, nilai, seni, ilmu diwakili oleh tsaqafah.
Sedangkan aspek material diwakili oleh kata madaniyah.

Dalam
bahasa
Inggris
antara “culture” dan “civilization”. Culture berakar
dibedakan
pada
pertanian, yang kemudian dimaknai sebagai bentuk ungkapan
semangat mendalam suatu masyarakat, mencirikan apa yang
dirindukan oleh manusia, yang terefleksi pada seni, moral dan
religi. Civilization berakar pada civitas (kota), civility (kesopanan),
yang kemudian dimaknai sebagai manifestasi kemajuan mekanis
(teknologis), mencirikan apa yang digunakan oleh manusia, yang
terefleksi pada politik, ekonomi dan teknologi. Menurut Will
Durant, civilization is social order promoting cultural creation.
Dari paparan di atas dapat kita tarik suatu benang merah mengenai
pembahasan tentang kebudayaan dan peradaban. Kebudayaan (culture, tsaqafah)
berakar pada ide mengenai nilai, tujuan, pemikiran yang ditransmisikan melalui
ilmu, seni dan agama suatu masyarakat. Sedangkan peradaban (hadharah,
civilization) berakar pada ide tentang kota. Kemajuan material (ilmu dan
teknologi), aspek kehalusan, penataan sosial dan aspek kemajuan lain.
Ide utama yang terkandung dalam peradaban adalah kemajuan,
perkembangan (progress and development). Tetapi sebuah masyarakat memiliki
nilai-nilai, pemikiran-pemikiran dasar yang tetap, yang menjadi identitas
kulturalnya. Nilai-nilai yang tidak hilang begitu saja ketika sebuah peradaban
mundur atau hancur. Yang terjadi adalah nilai-nilai itu menjadi tidak efektif
secara sosial.
Kebudayaan dan peradaban merupakan aspek-aspek kehidupan sosial
manusia. Sebuah deskripsi mengenai kontras-kontras antara kebudayaan dan
peradaban dijelaskan secara menarik oleh Alija Izebegovic dalam “Membangun
Jalan Tengah”. Karena peradaban dan kebudayaan adalah dua aspek dalam
kehidupan manusia, ada interelasi antara keduanya. Sebagaimana interelasi antara
aspek spiritual, mental dan material dalam diri manusia.
Sebuah peradaban mengalami siklus dalam ruang dan waktu. Ia
mengalami pasang dan surut. Sedang kebudayaan lepas dari kontradiksi ruang dan
waktu. Ia memiliki ukuran tersendiri (ukuran benar salah, tepat tidak atau berguna
tidak) di dunai pemikiran.
Dalam membangun peradaban kita tidak bisa begitu saja sekedar
menumpuk-numpuk produk peradaban lain. Sebuah peradaban diukur dari
pencapaiannya.
Untuk membangun peradaban perlu adanya jaringan sosial atau inovasi
sosial
yang menciptakan pranata (institusi) sosial yang memungkinkannya
menerima dan mengembangkan produk-produk peradaban lain dalam konteks
kebudayaan sendiri.
B. HAKIKAT HIDUP MANUSIA
Manusia dalam kehidupannya memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai makhluk
Tuhan, makhluk individu, dan makhluk sosial budaya. Pada dasarnya manusia
terdiri dari dua dimensi, yaitu fisik dan psikis. Sikap, emosi, pikiran, dan
perbuatan merupakan refleksi dari kedua dimensi tersebut. Manusia sebagai
makhluk Tuhan memiliki kewajiban dan kebutuhan mengabdi serta menghamba
kepada Dzat yang menciptakannya. Sebagai individu, manusia perlu bahkan harus
memenuhi kebutuhan pribadinya. Sedangkan sebagai makhluk sosial budaya,
manusia tidak bisa hidup sendiri dan terpisah dari lingkungannya. Oleh karena itu,
manusia mutlak membutuhkan orang lain, harus hidup berdampingan dan saling
membantu dengan sesamanya dalam sebuah keharmonisan.
Dalam proses interaksi antarmanusia lahirlah suatu bentuk kebudayaan.
Kebudayaan diperoleh manusia melalui proses belajar, baik dengan pengamatan
langsung maupun dengan cara mempelajari lingkungannya. Secara umum,
kebudayaan dapat diterima dengan tiga bentuk atau cara :
1. Melalui pengalaman hidup saat menghadapi lingkungan
2. Melalui pengalaman hidup sebagai makhluk sosial
3. Melalui komunikasi simbolik (benda, tubuh, gerak tubuh, peristiwa atau
pengalaman)
Setiap kebudayaan pasti memiliki kekhasan tertentu yang menjadikannya
berbeda dengan yang lainnya. Namun pada dasarnya kebudayaan memiliki
hakikat yang sama, antara lain :
1. Terwujud dan tersalurkan melalui perilaku manusia
2. Sudah terbentuk sejak lama dan terus ada dari generasi ke generasi
3. Merupakan aturan yang berisi kewajiban, juga tindakan yang diterima atau
tidak, anjuran atau perintah, larangan serta pantangan
Bronislaw Malinowski menyatakan ada 4 unsur pokok kebudayaan, yaitu:
 Sistem norma-norma yang memungkinkan kerja sama antar para anggota
masyarakat agar menyesuaikan dengan alam sekelilingnya,
 Organisasi ekonomi
 Alat dan lembaga atau petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga
pendidikan utama), dan
 Organisasi kekuatan (politik).

Kliucckhohn menyebutkan ada 7 unsur kebudayan, yaitu:
 Sistem mata pencaharian hidup,
 Sistem peralatan dan teknologi,
 Sistem organisasi kemasyarakatan,
 Sistem pengetahuan,
 Bahasa,
 Kesenian, dan
 Sistem religi dan upacara keagamaan.
Gerak atau dinamika manusia sesama manusia, atau dari satu daerah
kebudayaan ke daerah lain, baik disengaja atau tidak seperti migrasi atau
pengungsian dengan sebab-sebab tertentu. Dinamika ini membawa kebudayaan
dari suatu masyarakat ke masyarakat lain yang menyebabkan terjadinya
akulturasi.
Adakalanya kebudayaan yang dibawa dapat dengan mudah diterima oleh
masyarakat setempat dan adakalanya ditolak, bahkan ada sekelompok individu
yang tetap tidak menerima kebudayaan asing walaupun mayoritas kelompok
individu di sekelilingnya sudah menjadikan kebudayaan tersebut bagian dari
kebudayaannya.
C. PERADABAN DAN PERUBAHAN SOSIAL
1. Pengertian dan Cakupan Perubahan Sosial
Perubahan sosial lazim terjadi pada setiap masyarakat. Hal ini
dipengaruhi tidak lain karena manusia, sebagai makhluk individu maupun
makhluk sosial, memiliki karakteristik dinamis. Tidak ada masyarakat yang
statis, semuanya pasti mengalami perubahan. Perubahan tersebut pada
umumnya mengarah pada kemajuan atau perkembangan, namun ada pula
yang mengarah pada kemunduran atau bahkan kepunahan. Ada masyarakat
yang peradabannya pada masa lampau sangat tinggi atau dominan, tapi justru
saat ini menjadi terbelakang dibandingkan dengan masyarakat lain pada
umumnya, sebagai contoh adalah masyarakat Romawi Kuno, Mesir Kuno,
Inca Maya Indian.
Menurut Kingsley Davis, perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi
dalam fungsi dan struktur masyarakat. Perubahan sosial diasumsikannya
sebagai perubahan dalam hubungan sosial (social relationship) atau sebagai
perubahan terhadap keseimbangan (equilirium) hubungan sosial tersebut.
Perubahan sosial adalah perubahan dalam hubungan interaksi antar orang,
organisasi atau komunitas. Perubahan tersebut dapat menyangkut “struktur
sosial” atau “pola nilai dan norma”. Dengan demikina, istilah yang lebih
lengkap mestinya adalah “perubahan sosial-kebudayaan” karena memang
antara manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dengan
kebudayaan itu sendiri.
Cara yang paling sederhana untuk mengerti perubahan sosial (masyarakat)
dan kebudayaan itu, adalah dengan membuat rekapitulasi dari semua
perubahan yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri, bahkan jika ingin
mendapatkan gambaran yang lebih jelas lagi mengenai perubahan mayarakat
dan kebudayaan itu, maka suatu hal yang paling baik dilakukan adalah
mencoba mengungkap semua kejadian yang sedang berlangsung di tengahtengah masyarakat itu sendiri.
Kenyataan mengenai perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat
dianalisa dari berbagai segi diantaranya:

ke “arah” mana perubahan dalam masyarakat itu “bergerak” (direction
of change), yang jelas adalah bahwa perubahan itu bergerak
meninggalkan faktor yang diubah. Akan tetapi setelah meninggalkan
faktor itu mungkin perubahan itu bergerak kepada sesuatu bentuk yang
baru sama sekali, akan tetapi dapat pula bergerak kepada suatu bentuk
yang sudah ada di dalam waktu yang lampau.

Bagaimana pola atau bentuk dari perubahan sosial dan kebudayaan
tersebut.
Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan
dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu
pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut
tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup
perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun
demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan
tersebut sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990).
2. Teori dan Bentuk Perubahan Sosial
a) Teori Sebab-Akibat (Causation Problem)
1) Analisis Dialektis
Menelaah
syarat-syarat
dan
keadaan
yang
mengakibatkan
terjadinya perubahan dalam suatu sistem masyarakat. Perubahan yang
terjadi pada suatu bagian sistem juga membawa perubahan pada bagian
lainnya sehingga menimbulkan akibat-akibat yang tidak diharapkan
sebelumnya. Namun, itu mendorong terjadinya perubahan sosial yang
lebih lanjut, meluas, dan mendalam.
2) Teori Tunggal mengenai Perubahan Sosial
Menerangkan sebab-sebab perubahan sosial atau pola kebudayaan
dengan menunjukkan kepada satu faktor penyebab.
b) Teori Proses atau Arah Perubahan Sosial
Hal ini cenderung bersifat kumulatif/evolusioner. Pada dasarnya
mempunyai asumsi bahwa sejarah manusia ditandai adanya gejala
pertumbuhan.
1) Teori Evolusi Unilinier (Garis Lurus Tunggal).
Teori ini dipelopori August Comte dan Herbert Spencer. Menurut
teori ini, manusia dan masyarakat mengalami perkembangan sesuai
dengan tahapan tertentu, dari sederhana lalu kompleks sampai pada tahap
sempurna.
2) Teori Multilinear
Menurut teori ini, dalam perubahan sosial/kebudayaan terdapat
gejala keteraturan yang nyata dan signifikan. Teori ini tidak mengenal
hukum/skema apriori, lebih memerhatikan tradisi dalam kebudayaan dari
berbagai daerah menyeluruh meliputi bagian-bagian tertentu
D. TEORI-TEORI MENGENAI PEMBANGUNAN,
KETERBELAKANGAN, DAN KETERGANTUNGAN
1. Teori Dependensi (Ketergantungan)
Secara umum memberikan gambaran melalui analisis dialektesis yaitu
suatu analisis yang menganggap bahwa gejala-gejala sosial dapat diamati sehari-
hari pasti mempunyai penyebab tertentu. Teori ini menjadi titik tolak penyesuaian
ekonomi terbelakang pada sistem dunia, sedemikian rupa sehingga menybabkan
terjadinya
penyerahan
sumber
penghasilan
daerah
ke
pusat,
sehingga
mengakibatkan perekonomian daerah menjadi terbelakang.
Teori perubahan sosial menurut Moore:
1) Evolusi rektilinier yang sangat sederhana
2) Evaluasi melalui tahap-tahap
3) Evolusi yang terjadi dengan tahap kelajuan yang tidak serasi
4) Evolusi bercabang yang mewujudkan perubahan
5) Evolusi menurut siklus-siklus tertentu dengan kemunduran jangka pedek
6) Siklus-siklus yang tidak mempunyai kecenderungan
7) Pertemuan logistis yang digambarkan oleh populasi
8) Pertumbuhan logistis terbalik yang tergambar dan angka motivasi
9) Pertumbuhan eksponarisial yang tergambar memulai tanda-tanda
10) Primitivisme
Bentuk-bentuk perubahan sosial menurut Soerjono Soekanto:
1. Perubahan yang terjadi secara lambat dan perubahan yang terjadi secara
cepat.
a. Perubahan secara lambat disebut evolusi, pada evolusi perubahan
terjadi dengan sendirinya, tanpa suatu rencana atau suatu kehendak
tertentu. Perubahan terjadi karena usaha-usaha masyarakat untuk
menyesuaikan diri dengan keperluan, keadaan dan kondisi-kondisi
baru yang timbul dengan pertumbuhan masyarakat.
b. Perubahan secara cepat disebut revolusi. Dalam revolusi,
perubahan yang terjadi direncanakan lebih dahulu maupun tanpa
rencana.
2. Perubahan-perubahan yang pengaruhnya kecil, dan perubahan yang
pengaruhnya besar.
a. Perubahan yang pengaruhnya kecil adalah perubahan pada unsur
struktur sosial yang, tidak bisa membawa pengaruh langsung atau
pengaruh yang berarti bagi masyarakat.
b. Perubahan yang pengaruhnya besar seperti proses indusrialisasi
pada masyarakat agraris.
3. Perubahan yang dikehendaki dari perubahan yang tak diinginkan.
a. Perubahan yang dikehendaki adalah bila seseorang mendapat
kepercayaan sebagi pemimpin
b. Perubahan sosial yang tidak dikehendaki merupakan perubahan
yang terjadi tanpa dikehendaki secara berlangsung dari jangkauan
pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat
yang tidak diinginkan.
2. Penyebab Perubahan
Interkorelasi
dan
interaksi
sosial
masyarakat
mendorong
perkembangan berfikir dan reaksi emosianal para anggotanya. Hal ini
mendorong
masyarakat
untuk
mengadakan
berbagai
perubahan.
Perkembangan kualitas dan kuantitas anggota masyarakat mendorong
perubahan sosial.
Prof. Dr. Soerjono Soekanto menyebutkan adanya faktor intern dan
ekstern yang menyebabkan perubahan sosial dalam masyarakat, yaitu:
a. Faktor intern
1) Bertambahnya dan berkurangnya penduduk è menyebabkan
terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat. Berkurangnya
penduduk mungkin dapat disebabkan karena perpindahan
penduduk dari desa ke kota, atau dari suatu daerah ke daerah
yang lain, misalnya transmigrasi.
2) Adanya penemuan-penemuan baru yang meliputi berbagai
proses, seperti dibawah ini:

Discovery, penemuan unsur kebudayaan baru

Invention, pengembangan dari discovery

Innovation, proses pembaruan
3) Konflik dalam masyarkat , yaitu konflik antara individu dalam
masyarakat, antara kelompok dan lain-lainnya.
4) Pemberontakan dalam masyarakat
Misalnya: Revolusi Indonesia 17 Agustus 1945 mengubah
struktur pemerintahan kolonial menjadi pemerintahan nasional
dan berbagai perubahan struktur yang mengikutinya.
b. Faktor ekstern
1)
Faktor alam yang ada di sekitar masyarakat yang berubah
2)
Pengaruh kebudayaan lain dengan melalui adanya kontrak
kebudayaan antara dua masyarakat atau lebih yang memiliki
kebudayaan yang berbeda.
3. Keseimbangan
Keseimbangan atau harmoni dalam kehidupan sosial suatu masyarakat
merupakan keadaan yang didambakan oleh setiap anggota masyarakat. Setiap kali
terjadi gangguan terhadap keseimbangan tersebut maka masyarakat akan
menolaknya atau mengubah semua sistem.
Robert Mclver perubahan-perubahan sosial merupakan perubahan dalam
hubungan-hubungan sosial atau perubahan terhadap keseimbangan hubungan
sosial. Pengertian ini dapat ditegaskan bahwa perubahan sosial yang terjadi di
masyarakat dapat menimbulkan ketidakseimbangan hubungan-hibungan sosial.
Ketidakseimbangan ini terjadi misalnya, karena ada unsur-unsur dalam
masyarakat yang berubah cepat, tetapi ada juga unsur-unsur dalam masyarakat
yang terkait dengan unsur-unsur yang berubah jadi cepat namun tetap berubah
jadi lambat. Keadaan demikian disebut cultural lag.
E. MASYARAKAT MADANI
Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman
konsep “civil society”. Masyarakat madani pertama kali digulirkan oleh Dato Seri
Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka
Forum Ilmiah pada acara Festival Istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta, dan
kemudian dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholis Madjid.
Masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan
kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan
dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif
individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan mengikuti
undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan keterdugaan
atau predictability serta ketulusan atau transparency system .
Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep
dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat
Madinah dianggap sebagai legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan
civil society dalam masyarakat muslim modern.
Konsep “civil society” lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan
masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata
“societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali
dipahami sebagai negara (state).
Bangsa Indonesia berusaha untuk mencari bentuk masyarakat madani yang
pada dasarnya adalah masyarakat sipil yang demokrasi dan agamis/religius.
Dalam kaitannya pembentukan masyarakat madani di Indonesia, maka warga
negara Indonesia perlu dikembangkan untuk menjadi warga negara yang cerdas,
demokratis, dan religius dengan bercirikan imtak, kritis argumentatif, dan kreatif,
berfikir dan berperasaan secara jernih sesuai dengan aturan, menerima semangat
Bhineka Tunggal Ika.
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilainilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan
teknologi.
Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firmanNya dalam Q.S. Saba‟ ayat 15:
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat
kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.
(kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan)
Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang
baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.
Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai
masyarakat madani, yaitu:
1) Masyarakat Saba‟, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
2) Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjian Madinah antara
Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang
beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj.
Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk
saling
menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan
AlQur‟an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai
pemimpin.
Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif ke
dalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang
mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan
alternatif.
3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh
negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena
keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukanmasukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh
rejim-rejim totaliter.
6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga
individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak
mementingkan diri sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga
sosial dengan berbagai ragam perspektif.
8. Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang
beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan
sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial.
9. Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu
maupun secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.
10. Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang
dapat mengurangi kebebasannya.
11. Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah
diberikan oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa
terganggu oleh aktivitas pihak lain yang berbeda tersebut.
12. Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.
13. Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki
kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu
pengetahuan untuk umat manusia.
14. Berakhlak mulia.
Bila kita kaji, masyarakat di negara maju yang sudah dapat dikatakan
sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi
untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya “democratic governance”
(pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan
democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil
security; civil responsibility dan civil resilience). Apabila diurai, dua kriteria
tersebut menjadi tujuah prasyarat masyarakat madani sbb:
1.
Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok
dalam masyarakat.
2.
Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial
(social
capital)
yang
kondusif
bagi
terbentuknya
kemampuan
melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi
sosial antar kelompok.
3.
Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan;
dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4.
Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan
lembaga-lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana
isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.
5. Adanya kohesifitas antarkelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya
sikap saling menghargai perbedaan antarbudaya dan kepercayaan.
6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembagalembaga ekonomi,
hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan
berkeadilan sosial.
7.
Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan
kemasyarakatan
yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan
komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti
pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme”
yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi
dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa ramburambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani
(lihat DuBois dan Milley, 1992).
Rambu-rambu
tersebut
dapat
menjadi
jebakan
yang menggiring
masyarakat menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat
negara-bangsa:
1. Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin
mengganti
prototipe
pemerintahan
yang
sentralisme
dengan
desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah terjebak ke dalam
faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa
memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial.
2. Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling
penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan
penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya,
yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka
tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk
mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk
memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman.
Karena, seperti kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman adalah
kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan
terhadap potensi manusia.”
3. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang
berlebihan terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan,
kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang
memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan
potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau
mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.
Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan
dipandang sebagai dokumen usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup
dan dapat berkembang dalam setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan
motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Al- Qur‟an.
Meski Al Qur‟an tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat
yang ideal namun tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsipprinsip dasar dan pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik.
Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat yang ideal kita dapat meneladani
perjuangan rasulullah mendirikan dan menumbuhkembangkan konsep masyarakat
madani di Madinah.
Prinsip terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi
Muhammad s.a.w. beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut
terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah
dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita membentuk yang
madaniyyah (beradab).
Selang dua tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah
mempelajari karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural,
beliau kemudian melakukan beberapa perubahan sosial. Salah satu di antaranya
adalah mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun dan mempertahankan
sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras, dan
etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam
saat itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani.
Oleh karena itu dalam menghadapi perkembangan dan perubahan jaman,
pemberdayaan civil society perlu ditekankan, antara lain melalui peranannya
sebagai berikut :
1. Sebagai
pengembangan
masyarakat
melalui
upaya
peningkatan
pendapatan dan pendidikan.
2. Sebagai advokasi bagi masyarakat yang “teraniaya“, tidak berdaya
membela hak-hak dan kepentingan mereka (masyarakat yang terkena
pengangguran, kelompok buruh yang digaji atau di PHK secara sepihak
dan lain-lain).
3. Sebagai kontrol terhadap negara.
4. Menjadi kelompok kepentingan (interest group) atau kelompok penekan
(pressure group).
5. Masyarakat madani pada dasarnya merupakan suatu ruang yang terletak
antara negara di satu pihak dan masyarakat di pihak lain. Dalam ruang
lingkup tersebut terdapat sosialisasi warga masyarakat yang bersifat
sukarela dan terbangun dari sebuah jaringan hubungan di antara asosiasi
tersebut, misalnya berupa perjanjian, koperasi, kalangan bisnis, Rukun
Warga, Rukun Tetangga, dan bentuk organisasi-organsasi lainnya.
Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani
di Indonesia diantaranya :
1. Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum
merata.
2. Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat.
3. Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter.
4. Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang
terbatas.
5. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar.
6. Kondisi sosial politik yang belum pulih pasca reformasi.
Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ.
Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu
bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan
monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).
F. MODERNISASI
1. Konsep Modernisasi
Modernisasi diawali pada abad ke-15 dan terjadi di Itali kemudian
menyebar ke sebagian besar ke dunia Barat dalam lima abad berikutnya dan
sekarang pengaruhnya telah menjalar ke seluruh dunia. Modernisasi pertama kali
terlihat di Inggris dengan meletusnya revolusi Industri pada abad ke-18, yang
mengubah cara produksi tradisional ke modern. Modernisasi masyarakat adalah
suatu proses transformasi yang menyebabkan perubahan-perubahaan dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat yang meliputi :

bidang ekonomi, modernisasi berarti tumbuhnya kompleks industri
yang besar di mana produksi barang konsumsi dan sarana dibuat
secara massal.

Di bidang politik, dikatakan bahwa ekonomi yang modern
memerlukan ada masyarakat nasional dengan integrasi yang baik.
Modernisasi menimbulkan pembaruan dalam kehidupan. Modernisasi
menurut Cyril Edwin Black yaitu rangkaian perubahan cara hidup manusia yang
kompleks dan saling berhubungan, merupakan bagian pengalaman yang universal
dan yang dalam banyak kesempatan merupakan harapan bagi kesejahteraan
manusia.
Menurut Koentjaraningrat, modernisasi merupakan usaha penyesuaian
hidup dengan konstelasi dunia sekarang ini. Modernisasi yang telah dilandasi oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak hanya bersifat fisik material saja,
melainkan lebih jauh daripada itu, yaitu dengan dilandasi oleh sikap mental yang
mendalam.
Manusia yang telah mengalami modernisasi, terungkap pada sikap
mentalnya yang maju,berfikir rasional, berjiwa wiraswasta, berorientasi ke masa
depan, dan seterusnya.
Menurut Schorrl (1980),
proses
penerapan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi ke dalam semua segi kehidupan manusia dengan tingkat yang berbedabeda tetapi tujuan utamanya untuk mencari taraf hidup yang lebih baik dan
nyaman dalam arti yang seluas-luasnya, sepanjang masih dapat diterima oleh
masyarakat yang bersangkutan.
Definisi modernisasi yang lain adalah proses yang dilandasi dengan
seperangkat rencana dan kebijaksanaan yang didasari untuk mengubah
masyarakat ke arah kehidupan yang masyarakat yang kontemporer yang menurut
penilaian lebih maju dalam derajat kehormatan tertentu (Smith : 1973)
2. Syarat-syarat Modernisasi
Modernisasi lain dengan reformasi yang menekankan pada faktor
rehabilitas. Modernisasi memiliki karakteristik yang tertentu, yakni preventif dan
kontraktif sehingga proses tersebut tidak mengarah pada angan-angan semata.
Modernisasi dapat terwujud melalui beberapa syarat, yaitu:

Cara berfikir ilmiah yang institutionalized dalam kelas penguasa
maupun masyarakat. Hal ini menghendaki sistem pendidikan dana
pengajaran yang terencana dan baik.

Sistem
administrasi
negara
yang
baik
yang
benar-benar
mewujudkan birokrasi.

Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur yang
terpusat pada suatu atau lembaga tertentu.

Penciptaan iklim yang baik dan teratur dari masyarakat trhadap
modernisasi dengan cara penggunaan alat komunikasi massa. Hal
ini harus dilakukan tahap demi tahap, karena banyak sangkut
pautnya dengan sistem kepercayaan.

Tingkat organisasi yang tinggi, di satu pihak disiplin tinggi bagi
pihak lain di pihak pengurangan kepercayaan.

Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaannya.
3.Ciri-ciri Modernisasi
Modernisasi merupakan salah satu modal kehidupan yang ditandai dengan
ciri-ciri sebagai berikut :

Kebutuhan manusia akan materi dan ajang persaingan kebutuhan
manusia.

Kemajuan
teknologi
dan
industrialisasi,
individualisasi,
sekularisasi, diferensiasi, dan akulturasi.

Modernisasi memberikan berbagai kemudahan bagi kehidupan
manusia.

Dengan modernisasi, hampir semua keinginan serta kebutuhan
manusia dapat terpenuhi.

Modernisasi juga berdampak pada lahirnya teori-teori baru.

Mekanisme masyarakat berubah menuju prinsip dan logika
ekonomi serta orientasi kebendaan atau materialistik yang
berlebihan.

Kehidupan
manusia
hampir
seluruh
perhatian
dicurahkan untuk bekerja serta menumpuk kekayaan.
religiusnya
G. PERADABAN INDONESIA DI TENGAH MODERNISASI
DAN GLOBALISASI
Modernisasi dan globalisasi adalah fakta bahwa modernisasi merupakan
suatu proses perubahan sosial (social engineering) yang berusaha mengubah
masyarakat tradisonal menjadi masyarakat modern.
Arus modernisasi dan globalisasi adalah sesuatu yang pasti terjadi dan
sulit untuk dikendalikan, karena begitu cepatnya informasi yang masuk
keseluruh belahan dunia, hal ini mebawa pengaruh bagi seluruh bangsa di
dunia, termasuk di dalamnya bangsa Indonesia.
Dengan mengambil model masyarakat Barat, meskipun para ilmuwan
berusaha mengaburkan konsep modernisasi menjadi sekadar masalah spirit of
inquiry (gairah untuk menemukan sains dan teknologi), namun dengan
pemikiran jernih (al-fikr al-mustanir) dapat tersingkap jelas bahwa
modernisasi hakikatnya adalah proses sekularisasi.
Dengan perkembangan arus informasi, teknologi, dan komunikasi yang
sangatlah pesat, maka dunia menjadi kian sempit, bahkan dalam banyak hal,
batas-batas negara sering menjadi kabur dan lebih dari itu, terkadang batasbatas tersebut mulai tidak relevan. Oleh karena itu, Indonesia dihadapkan pada
dua hal yang tidak mudah, yakni melestarikan kebudayaan bangsa sekaligus
membangun kebudayaan nasional yang modern.
Destinasi atau tujuan akhir dari kedua hal tersebut adalah terciptanya suatu
masyarakat yang tipikal Indonesia, yang tidak hanya mampu membangun
dirinya sederajat dengan bangsa lain, tetapi juga tangguh dalam menghadapi
tantangan kemerosotan lingkungan hidup dan moral serta tren global yang
tidak jarang bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa.
Jika kita mampu membangun bangsa di tengah-tengah arus modernisasi
dan globalisasi yang semakin kuat, maka kita akan sanggup dan berhasil
menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara maju yang bermartabat tinggi
dan berjati diri kuat. Yang bisa menjawab harapan tersebut adalah peranan
lembaga pendidikan yang diharapkan dapat menggali ilmu pengetahuan dan
teknologi serta informasi tanpa menghilangkan jati diri bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Setiadi, Elly M. Dkk. 2010. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta : Kencana
Media Group.
Schuon, F. 1997. Hakikat Manusia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Suleman, Munandar. 1995. Ilmu Budaya Dasar. Bandung : Eresco.
Hawwa, Sa‟id. 1993. Agar Kita Tidak Dilindas Zaman. Cetakan Ketiga. Solo :
Pustaka Mantiq.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi : Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali
Pers.
Dubois, Brenda & Miley, K.K. 1992. Social Work : An Empowering
Profession. Boston : Allyn & Bacon.
Diamond, Larry. 2003. Demokrasi Berkembang. Yogyakarta : IRE Press.
http://mustofasmp2.wordpress.com
http://id.shvoong.com
BAB VI
NILAI, MORALITAS DAN HUKUM
A. Pengertian Nilai
Tidak mudah untuk menjelaskan apa itu suatu nilai. Setidak-tidaknya dapat
dikatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita
cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, singkatnya,
sesuatu yang baik. Menurut perkataan bagus filsuf Jerman-Amerika, Hans Jonas,
nilai adalah, the addressee of a yes, sesuatu yang ditujukan dengan “ya” kita.
Memang, nilai adalah sesuatu yang kita iakan atau kita aminkan. Nilai selalu
mempunyai konotasi positif. Sebaliknya, sesuatu yang kita jauhi, sesuatu yang
membuat kita malarikan diri seperti penderitaan, penyakit, atau kematian adalah
lawan dari nilai, adalah non-nilai atau beberapa filsuf yang menggunakan di sini
istilah “nilai negatif”, sedangkan nilai dalam arti tadi mereka sebut “nilai positif.
Dipandang dalam perspektif sejarah filsafat yang sudah panjang, “nilai”
merupakan suatu tema filosofis yang berumur agak muda. Baru pada akhir abad ke19 tema ini mendapat kedudukan mantap dalam uraian-uraian filsafat akademis.
Sekurang-kurangnya secara eksplisit. Tapi secara implisit nilai sudah lama
memegang peranan dalam pembicaraan filsafat, sudah sejak Plato menempatkan
ide “baik” paling atas dalam hierarki ide-ide. Dan sesudah Plato, kategori “baik”
praktis tidak pernah lagi terlepas dari fokus perhatian filsafat, khususnya etika. Tapi
baru kira-kira seabad yang lalu nilai mendapat tempat eksplisit dalam diskusi-diskusi
filsafat dan malah timbul suatu cabang filsafat yang baru dengan nama “aksiologi”
atau “teori nilai”.
Salah satu cara yang sering digunakan untuk menjelaskan apa itu nilai
adalah memperbandingkannya dengan fakta. Kita juga mencoba menempuh jalan
ini. Jika kita berbicara tentang fakta, kita maksudkan sesuatu yang ada atau
berlangsung begitu saja. Jika kita berbicara tentang nilai, kita maksudkan sesuatu
yang berlaku, sesuatu yang memikat atau mengimbau kita. Fakta ditemui dalam
konteks deskripsi semua unsurnya dapat dilukiskan satu demi satu dan uraian itu
pada prinsipnya dapat diterima oleh semua orang. Nilai berperanan dalam suasana
apresiasi atau penilaian dan akibatnya sering akan dinilai secara berbeda oleh
pelbagai orang. Perbedaan antara fakta dan nilai ini kiranya dapat diilustrasikan
dengan contoh berikut ini. Kita andaikan saja bahwa pada tahun sekian tanggal
sekian di tempat tertentu ada gunung berapi meletus. Hal itu merupakan suatu fakta
yang dapat dilukiskan secara obyektif. Kita bisa mengukur tingginya awan panas
yang keluar dari kawah, kita bisa menentukan kekuatan gempa bumi yang menyertai
letusan itu, kita bisa memastikan letusan-letusan sebelumnya beserta jangka waktu
di antaranya, dan seterusnya. Tapi serentak juga letusan gunung itu bisa dilihat
sebagai nilai atau justru disesalkan sebagai non-nilai, pokoknya, bisa menjadi obyek
penilaian. Bagi wartawan foto yang hadir di tempat, letusan gunung itu merupakan
kesempatan emas (nilai) untuk mengabadikan kejadian langka yang jarang dapat
disaksikan. Untuk petani di sekitarnya debu panas yang dimuntahkan gunung bisa
mengancam hasil pertanian yang sudah hampir panen (non-nilai), tapi dalam jangka
waktu panjang tanah bisa bertambah subur akibat kejadian itu (nilai). Tim pencinta
alam yang datang dari jauh dengan maksud hari itu mendaki gunung sempat kecewa
karena terpaksa harus membatalkan rencana mereka (non-nilai), sedangkan
profesor geologi yang bersama rombongan mahasiswa kebetulan meninjau daerah
itu senang sekali karena dengan mendadak memperoleh obyek penelitian yang tidak
disangka-sangka sebelumnya (nilai). Contoh ini kiranya cukup jelas untuk
memperlihatkan perbedaan antara fakta dan nilai. Nilai selalu berkaitan dengan
penilaian seseorang, sedangkan fakta menyangkut ciri-ciri obyektif saja. Perlu
dicatat lagi bahwa fakta selalu mendahului nilai. Terlebih dahulu ada fakta yang
berlangsung, baru kemudian menjadi mungkin penilaian terhadap fakta itu.
Berdasarkan analisis sederhana ini dapat kita simpulkan bahwa nilai
sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri berikut ini. 1) Nilai berkaitan dengan subyek.
Kalau tidak ada subyek yang menilai, maka tidak ada nilai juga. Entah manusia hadir
atau tidak, gunung tetap meletus. Tapi untuk dapat dinilai sebagai “indah” atau
“merugikan”, letusan gunung itu memerlukan kehadiran subyek yang menilai. 2)
Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, di mana subyek ingin membuat se-suatu.
Dalam pendekatan yang semata-mata teoretis, tidak akan ada nilai. (Hanya menjadi
pertanyaan apakah suatu pendekatan yang secara murni teoretis bisa diwujudkan.)
3) Nilai-nilai menyangkut sifat-sifat yang “ditambah” oleh subyek pada sifat-sifat
yang dimiliki oleh obyek. Nilai tidak dimiliki oleh obyek pada dirinya. Rupanya hal itu
harus dikatakan karena obyek yang sama bagi pelbagai subyek dapat menimbulkan
nilai yang berbeda-beda.
Terdapat banyak macam nilai. Di sini boleh disebut beberapa contoh. Kita
bisa mulai dengan nilai ekonomis. Dalam konteks ekonomi sering dibicarakan
tentang nilai. Misalnya, kita ingat saja akan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Sebenarnya ekonomi merupakan bidang di mana nilai un tuk pertama kali dibahas
dalam rangka ilmiah. Sudah sejak Adam Smith (1723-1790), yang biasanya disebut
sebagai pelopor ilmu ekonomi. Lalu suatu kategori nilai lain adalah nilai estetis.
Misalnya, memandang lukisan yang indah, mendengarkan musik yang bagus,
membaca cerita novel yang menarik, atau puisi yang bermutu, bisa membawa nilai
estetis bagi si peminat. Masih ada nilai lain yang lebih umum sifatnya dan
memainkan peranan dalam hidup banyak orang, seperti kesehatan yang baik,
pendapatan yang layak, makanan yang enak serta bergizi, lingkungan permukiman
yang tenang serta nyaman, dan lebih-lebih kehidupan itu sendiri. Yang terakhir
merupakan suatu nilai dasar, karena merupakan syarat untuk mewujudkan semua
nilai yang lain.
Dengan demikian hanya disebut beberapa contoh nilai dan tidak diusahakan
suatu klasifikasi yang kurang lebih lengkap. Suatu klasifikasi yang sungguh-sungguh
memuaskan sampai sekarang belum ada dan barangkali tidak mungkin juga.
1. Nilai Moral
Yang dibicarakan tentang nilai pada umumnya tentu berlaku juga untuk
nilai moral. Tapi apakah kekhususan suatu nilai moral? Apakah yang
mengakibatkan suatu nilai menjadi nilai moral? Mari kita mulai dengan
menggarisbawahi bahwa dalam arti tertentu nilai moral tidak merupakan suatu
kategori nilai tersendiri di samping kategori-kategori nilai yang lain. Nilai moral
tidak terpisah dari nilai-nilai jeris lainnya. Setiap nilai dapat memperoleh suatu
“bobot moral”, bila diikutsertakan dalam tingkah laku moral. Kejujuran,
misalnya, merupakan suatu nilai moral, tapi kejujuran itu sendiri “kosong”, bila
tidak diterapkan pad lain, seperti umpamanya nilai ekonomis. Kesetiaan m kan
suatu nilai moral yang lain, tapi harus diterapkan nilai manusiawi lebih umum,
misalnya, cinta antara istri. Jadi, nilai-nilai yang disebut sampai sekarang bersifat
“pramoral”. Nilai-nilai itu mendahului tahap mora bisa mendapat bobot moral,
karena diikutsertakan tingkah laku moral. Di bawah ini kita kembali lagi sifat
khas nilai moral ini.
Walaupun nilai moral biasanya menumpang path nilai lain, namun ia
tampak sebagai suatu nilai ban kan sebagai nilai yang paling tinggi. Hal itu ingir
perlihatkan dengan mempelajari ciri-ciri nilai moral moral mempunyai ciri-ciri
berikut ini.
a. Berkaitan dengan Tanggung Jawab Kita
Nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia. Tapi hal yang sama
dapat dikatakan juga tentang nilai-nilai lain. Yang khusus menandai nilai
moral ialah bahwa n berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung
Nilai-nilai moral mengakibatkan bahwa seseorang 1 atau tidak bersalah,
karena ia bertanggung jawab nilai lain tidak begitu. Bahwa anak saya tidak
meninteligensi tinggi atau tidak cantik, bisa saya sesalic atas keadaan itu
saya dan anak itu sendiri tidak bertangung jawab. Bahwa seseorang
mempunyai bakat pemain bulu tangkis atau mempunyai watak yang
nyenangkan, tentu merupakan hal yang sangat menggembirakan, tapi
keadaan itu sendiri tidak menjadi jasanya karena tidak termasuk tanggung
jawabnya. Nilai contoh-contoh tadi bukan nilai moral. Suatu nila hanya bisa
diwujudkan dalam perbuatan-perbuatan sepenuhnya menjadi tanggung
jawab orang bersan Itu berarti seperti kita lihat dalam Bab 3 bahwa buatan
itu berasal dari inisiatif bebas orang itu. Karena harus kita katakan bahwa
manusia sendiri menjadi nilai moralnya. Manusia sendiri membuat tingkah
lakunya menjadi baik atau buruk dari sudut moral. Hal itu tergantung pada
kebebasannya. Misalnya, keadilan sebagai nilai moral, tidak lagi merupakan
nilai sungguh-sungguh, kalau tidak berasal dari keputusan bebas manusia.
Tentu saja, dalam keadaan normal nilai-nilai lain juga mengandaikan
peranan manusia sebagai pribadi yang bebas. Misalnya, nilai-nilai intelektual
dan estetis. Tapi di sini kebebasan dan tanggung jawab tidak menjadi syarat
mutlak. Nilai intelektual tidak hilang sebagai nilai, jika karena suatu alasan
tidak berasal dari kebebasan. Kalau seorang pengarang umpamanya
dipaksakan untuk menulis buku, maka bisa saja buku itu mempunyai nilai
intelektual yang tinggi. Atau kalaia peleton prajurit memaksakan sebuah
orkes untuk memainkan salah satu simfoni Beethoven, maka bisa saja
keindahannya sama bermutu seperti kalau dimainkan atas inisiatif bebas
orkes itu sendiri. Nilai estetis tidak tergantung dari derajat kebebasan pada
perbuatan yang menghasilkannya. Tapi lain halnya dengan nilai moral. Di
situ kebebasan dan tanggung jawab merupakan syarat mutlak.
b. Berkaitan dengan Hati Nurani
Semua nilai minta untuk diakui dan diwujudkan. Nilai selalu
mengandung semacam undangan atau imbauan. Nilai estetis, misalnya,
seolah-olah “minta” supaya diwujudkan dalam bentuk lukisan, komposisi
musik, atau cara lain. Dan kalau sudah jadi, lukisan “minta” untuk
dipamerkan dan musik “minta” untuk diperdengarkan. Tapi pada nilai-nilai
moral tuntutan ini lebih mendesak dan lebih serius. Mewujudkan nilai-nilai
moral merupakan “imbauan” dari hati nurani. Salah satu ciri khas nilai moral
adalah bahwa hanya nilai ini menimbulkan “suara” dari hati nurani yang
menuduh kita bila meremehkan atau menentang nilai-nilai moral dan
memuji kita bila mewujudkan nilai-nilai moral.
c. Mewajibkan
Berhubungan erat dengan ciri tadi adalah ciri berikutnya bahwa
nilai-nilai moral mewajibkan kita secara absolut dengan tidak bisa ditawartawar. Nilai-nilai lain sepatutnya diwujudkan atau seyogyanya diakui. Nilai
estetis, umpamanya. Orang yang berpendidikan dan berbudaya akan
mengakui serta menikmati nilai estetis yang terwujud dalam sebuah lukisan
yang bermutu tinggi. Tapi orang yang bersikap acuh tak acuh terhadap
lukisan itu tidak bisa dipersalahkan. Nilai estetis tidak dengan mutlak hams
diterima. Pada kenyataannya kita lihat bahwa musik Bach atau Mozart bagi
banyak orang membosankan saja, biarpun mengejawantahkan nilai estetis
yang tinggi, sedangkan mereka senang sekali dengan musik pop yang nilai
estetisnya tidak seberapa. Padahal, musik Bach dan Mozart mempunyai nilai
abadi dan musik pop pada umumnya sesudah satu atau dua tahun dilupakan
sama sekali, karena sudah diganti dengan musik pop versi mutakhir. Tapi
moral harus diakui dan harus direalisasikan. Tidak bisa diterima, bila
seseorang acuh tak acuh terhadap nilai-nilai ini.
Di sini kita bisa memanfaatkan pembedaan terkenal yang
dikemukakan filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804), antara imperatif
hipotetis dan imperatif kategoris. Dalam nilai moral terkandung suatu
imperatif (perintah) kategoris, sedangkan nilai-nilai lain hanya berkaitan
dengan imperatif hipotetis. Artinya, kalau kita ingin merealisasikan nilai-nilai
lain, kita harus menempuh jalan tertentu. Kalau pemain bulutangkis ingin
menjadi juara, maka ia harus berlatih keras. Tapi keharusan ini hanya
berlaku dengan syarat kalau ingin menjadi juara... Sebaliknya, nilai moral
mengandung suatu imperatif kategoris. Artinya, nilai moral itu mewajibkan
kita begitu saja, tanpa syarat. Kejujuran memerintahkan kita untuk
mengembalikan barang yang dipinjam, suka tidak suka. Barang itu hams
dikembalikan begitu saja. Keharusan itu berlaku mutlak, tanpa syarat.
Bisa ditanyakan lagi mengapa nilai-nilai moral mewajibkan kita.
Pertanyaan ini kiranya bisa dijawab sebagai berikut, Kewajiban absolut yang
melekat pada nilai-nilai moral berasal dari kenyataan bahwa nilai-nifai ini
berlaku manusia sebagai manusia. Karena itu nilai moral berlaku juga untuk
setiap manusia. Lain halnya dengan nilai-nilai non-moral. Tidak bisa
diharapkan bahwa setiap orang memiliki inteligensi tinggi, atau bakat artistik
atau kesehatan yang baik. Orang yang tidak mempunyai nilai-nilai ini tetap
merupakan manusia yang sungguh-sungguh dan lengkap. Tapi diharapkan
dan malah dituntut bahwa setiap orang menjunjung tinggi dan
mempraktekkan nilai-nilai moral. Orang yang tidak mengakui nilai moral
mempunyai cacat sebagai manusia. Apalagi, setiap orang diharapkan
menerima semua nilai moral. Tidak mungkin seseorang memilih beberapa
nilai moral dan menolak nilai moral lainnya. Tidak mungkin, misalnya,
seseorang mengatakan: “saya menerima kejujuran dan kesetiaan sebagai
nilai dalam hidup saya, tapi keadilan saya tolak.” Nilai-nilai moral
mewajibkan manusia dengan cara demikian rupa sehingga setiap orang
harus menerima semuanya.
Dengan cara lain dapat dikatakan juga bahwa kewajiban absolut
yang melekat pada nilai-nilai moral berasal dari kenyataan .bahwa nilai-nilai
ini menyangkut pribadi manusia sebagai keseluruhan, sebagai totalitas.
Nilai-nilai lain menyangkut manusia menurut salah satu aspek saja, tapi nilainilai moral menyangkut manusia sebagai manusia. Karena itu kewajiban
moral tidak datang dari luar, tidak ditentukan oleh instansi lain, tapi berakar
dalam kemanusiaan kita sendiri. Akibatnya, di sini tidak mungkin orang
mendapat dispensasi, seperti bisa terjadi dengan kewajiban yang didasarkan
pada hukum positif (lembaga sosial, misalnya, mendapat dispensasi
membayar pajak). Sebab, orang tidak bisa dilepaskan dari kewajiban yang
berkaitan dengan kemanusiaannya sendiri. Dan kegagalan dalam
melaksanakan nilai-nilai moral merendahkan manusia sebagai manusia.
Kegagalan dalam melaksanakan nilai-nilai lain bisa mengecewakan, bahkan
bisa mengakibatkan kerugian besar, tapi tidak menjatuhkan martabat kita
sebagai manusia. Mahasiswa yang gagal dalam ujian, setelah belajar dengan
baik dan berusaha sungguh-sungguh, tentu akan merasa kecewa tapi
kemanusiaannya tidak direndahkan. Ia telah melakukan kewajibannya! Lain
halnya dengan mahasiswa yang mencuri uang untuk dapat membeli sepeda
motor. Mungkin di antara teman-temannya gengsinya naik. Tapi perbuatan
nekat itu telah melukai harkatnya sebagai manusia. Kegagalan di bidang
moral berarti kegagalan total sebagai manusia, bukan merupakan suatu
aspek saja.
d. Bersifat Formal
Di sini kami kembali pada awal uraian tentang nilai moral ini. Nilai
moral tidak merupakan suatu jenis nilai yang bisa ditempatkan begitu saja di
samping jenis-jenis nilai lainnya. Biarpun nilai-nilai moral merupakan nilainilai tertinggi yang harus dihayati di atas semua nilai lain, seperti yang sudah
menjadi jelas dari analisis sebelumnya, namun itu tidak berarti bahwa nilainilai ini menduduki jenjang teratas dalam suatu hierarki nilai-nilai. Nilai-nilai
moral tidak membentuk suatu kawasan khusus yang terpisah dari nilai-nilai
lain. Jika kita mewujudkan nilai-nilai moral, kita tidak perbuat sesuatu yang
lain dari biasa. Seorang pedagang berperilaku moral (mewujudkan nilai-nilai
moral) sambil mengerjakan nilai-nilai ekonomis. Seorang seniman
berperilaku moral pada saat is berkecimpung dalam nilai-nilai estetis. Kita
merealisasikan nilai-nilai moral dengan mengikutsertakan nilai-nilai lain
dalam suatu “tingkah laku moral”. Nilai-nilai moral tidak memiliki “isi”
tersendiri, terpisah dari nilai-nilai lain. Tidak ada nilai-nilai moral yang
“murni”, terlepas dari nilai-nilai lain. Hal itulah yang kita maksudkan dengan
mengatakan bahwa nilai moral bersifat formal. Max Scheler
mengungkapkan hal yang sama juga dengan menegaskan bahwa nilai-nilai
moral “membonceng” nilai-nilai lain.
2. Norma Moral
Kata Indonesia “norma” kebetulan persis sama bentuknya seperti dalam
bahasa asalnya, bahasa Latin. Konon, dalam bahasa Latin arti yang pertama
adalah carpenter's square: siku-siku yang dipakai tukang kayu untuk mencek
apakah benda yang dikerjakannya (meja, bangku, kursi, dan sebagainya)
sungguh-sungguh lurus. Asal-usul ini membantu kita untuk mengerti
maksudnya. Dengan norma kita maksudkan aturan atau kaidah yang kita pakai
sebagai tolok ukur untuk menilai sesuatu.
Ada banyak sekali macam norma. Misalnya, ada norma yang
menyangkut benda dan norma lain yang menyangkut tingkah laku manusia.
Contoh tentang norma yang menilai benda adalah norma-norma teknis yang
dipakai untuk menentukan kelaikan udara sebuah pesawat terbang atau
kelaikan laut sebuah kapal. Jika sesuai dengan norma-norma itu, pesawat boleh
terbang dan kapal boleh berlayar. Jika tidak, pesawat atau kapal harus diperbaiki
dulu, hingga akhirnya sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Norma yang
menyangkut tingkah laku manusia ada juga banyak macam. Di sini kita bisa
membedakan norma umum yang menyangkut tingkah laku manusia sebagai
keseluruhan dan norma khusus yang hanya menyangkut aspek tertentu dari apa
yang dilakukan manusia. Contoh tentang norma khusus adalah norma bahasa.
Tata bahasa Indonesia adalah norma yang menentukan entah kita memakai
bahasa dengan baik dan benar atau justru tidak. Kalau dalam berbicara atau
menulis bahasa kita sesuai dengan tata bahasa itu, maka kita memakai bahasa
Indonesia dengan semestinya. Kalau tidak sesuai, pemakaian bahasa Indonesia
kita tidak betul, karena tidak memenuhi syarat.
Ada tiga macam norma umum, yaitu norma kesopanan atau etiket,
norma hukum, dan norma moral. Etiket, misalnya, betul-betul mengandung
norma yang mengatakan apa yang harus kita lakukan. Mungkin karena alasan itu
etiket sering dicampuradukkan dengan etika (bandingkan Bab 1, §1, nr. 3). Tapi
etiket hanya menjadi tolok ukur untuk menentukan apakah perilaku kita sopan
atau tidak dan hal itu belum tentu sama dengan etis atau tidak. Norma hukum
juga merupakan norma penting yang menjadi kenyataan dalam setiap
masyarakat. Hampir setiap hari kita berjumpa dengan norma hukum ini. Namun
demikian, sebagaimana etiket perlu dibedakan dari norma moral, begitu pula
norma hukum tidak sama dengan norma moral (kin dingkan Bab I §5).
Norma moral menentukan apakah perilaku kita baik atau buruk dari
sudut etis. Karena itu norma moral adalah norma tertinggi, yang tidak bisa
ditaklukkan pada norma lain. Sebaliknya, norma moral menilai norma-norma
lain. Seandainya ada norma etiket yang tidak bersifat etis, karena misalnya
didasarkan atas diskriminasi terhadap wanita, maka norma etiket itu harus kalah
terhadap norma moral. Demikian halnya juga dengan norma hukum. Jika ada
undang-undang yang dianggap tidak etis, maka undang-undang itu harus
dihapus, atau diubah. Dan sepanjang sejarah hal seperti itu sudah sering terjadi.
Apakah norma moral menilai juga norma-norma khusus? Ya, memang begitu.
Walaupun tidak dalam arti bahwa norma khusus itu harus dihapus atau diubah,
namun norma khusus pun harus tunduk pada norma moral. Bisa saja bahwa
seseorang memakai bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Dari sudut norma
bahasa, apa yang dikatakannya itu memang sempurna. Tapi dengan mengatakan
hal itu pada kenyataannya ia memfitnah orang lain atau ia berbohong. Jadi, dari
sudut etis apa yang dikatakannya itu sama sekali tidak baik dan benar! Tidak
boleh ia mengatakan hal-hal seperti itu. Di sini norma bahasa pun harus tunduk
pada norma moral.
Seperti norma-norma lain juga, norma moral pun bisa dirumuskan
dalam bentuk positif atau negatif. Dalam bentuk positif norma moral tampak
sebagai perintah yang menyatakan apa yang harus dilakukan, misalnya kita
harus menghormati kehidupan manusia, kita harus mengatakan yang benar.
Dalam bentuk negatif norma moral tampak sebagai larangan yang menyatakan
apa yang tidak boleh dilakukan, misalnya: jangan membunuh, jangan
berbohong.
B. Pengertian Moralitas
1. Perumusan Masalah
Sejauh kita telah melihat bahwasanya tujuan terakhir manusia adalah
kebahagiaan sempurna dalam memiliki Tuhan. Selain itu, juga telah kita ketahui
bahwa jalan ke arah tujuan tadi adalah perbuatan manusiawi, yakni perbuatan
manusia yang sukarela. Sekarang pertanyaan yang kita hadapi adalah bagaimana
menghubungkan jalan agar mencapai tujuan?
Dapatlah setiap macam perbuatan membawa kita ke arah tujuan akhir
kita? Bila kita menjawab: ya, berarti tidak terdapat perbedaan antara hal yang
benar dan hal yang salah. Selanjutnya tidak terdapat ilmu filsafat moral dan
tidak terdapat etika.
Fakta ini menyatakan bahwa manusia memutuskan adanya macam
perbuatan yang salah dan tidak akan membawa kita ke arah tujuan terakhir dan
ada pula macam perbuatan benar yang sesunggunya akan membawa kita ke
arah tujuan terakhir tersebut. Demikian jauh kita hanya memakai saja faktafakta tersebut. Apabila kita berkata bahwa membimbing dirinya sendiri ke arah
tujuan akhirnya dengan memakai kehendak bebasnya, kita juga merangkum
dalam pernyataan kita tadi bahwasanya terdapat kemungkinan memilih antara
hal-hal yang akan membawa manusia ke arah tujuannya dan hal-hal yang tidak
akan membawa manusia ke arah tujuannya. Sebab, apabila semua jalan akan
membawa kita ke tujuan yang sama, agaknya jelas tidak diperlukan adanya
pimpinan atau pemilihan.
Pembicaraan kita yang terdahulu mengenai kesukarelaan dan
kemerdekaan, terutama mengenai prinsip akibat rangkap adalah berdasarkan
pengalaman kita sehari-hari bahwa konsekuensi atau akibat yang buruk atau
jahat dapat terbit dari perbuatan manusiawi. Sering manusia bertanggung jawab
atas perbuatan/hal-hal yang buruk tersebut. Sekarang saatnya kita
membuktikan semuanya itu.
Apakah keyakinan umum umat manusia yang berkata bahwa ada
perbuatan yang benar dan salah itu adalah sesuatu yang benar? Mengapa
terdapat perbuatan yang dianggap benar dan terdapat perbuatan yang dianggap
salah? Apakah gerangan nilai-nilai alasan-alasan yang diberikan? Inilah apa yang
disebut problema moralitas.
2. Arti Moralitas
Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan
bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup
pengertian tentang baik-buruknya perbuatan manusia.
Kata amoral, non moral berarti bahwa tidak mempunyai hubungan
dengan moral atau tidak mempunyai arti moral. Istilah immoral artinya moral
buruk, (buruk secara moral). Moralitas dapat objektif atau subjektif. Moralitas
objektif memandang perbuatan semata sebagai suatu perbuatan yang telah
dikerjakan, bebas lepas dari pengaruh-pengaruh sukarela pihak pelaku. Lepas
dari segala keadaan khusus si pelaku yang dapat mempengaruhi atau
mengurangi penguasaan diri dan bertanya apakah orang yang sepenuhnya
menguasai dirinya diizinkan dengan sukarela menghendaki perbuatan tersebut.
Moralitas subjektif adalah moralitas yang memandang perbuatan sebagai
perbuatan yang dipengaruhi pengertian dan persetujuan si pelaku sebagai
individu. Selain itu juga dipengaruhi, dikondisikan oleh latar belakangnya,
pendidikannya kemantapan emosinya, dan sifat-sifat pribadi lainnya. Yang
ditanyakan, apakah perbuatan tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan hati
nuraninya. (conscience) sendiri dari si pelaku.
Di sini tidak kita perbincangkan apakah moralitas subjektif itu ada.
Sebab ini adalah fakta pengalaman bahwa hati nurani kita menyetujui atau
tidak menyetujui apa yang kita kerjakan. Marilah kita tunda seluruh
persoalannya sampai saatnya kita membicarakan tentang hati nurani. Persoalan
yang kita hadapi hanyalah tentang moralitas objektif. Apakah hakikat dari
perbuatan-perbuatan itu sendiri? Adakah perbuatan-perbuatan tersebut telah
memiliki kualitas moral, sifat benar/salah, yang hakiki sendiri? Ataukah
perbuatan-perbuatan tersebut mempunyai arti moral karena sebab-sebab dari
luar?
Moralitas jga dapat intrinsik dan ekstrinsik. Pembagian ini hendaknya
jangan dicampuradukkan dengan pembagian di atas tadi. Moralitas intrinsik
memandang suatu perbuatan menurut hakikatnya bebas lepas dari setiap
bentuk hukum positif. Yang dipandang adalah apakah perbuatan baik atau buruk
pada hakikatnya, bukan apakah seorang telah memerintahkannya atau telah
melarangnya.
Moralitas ekstrinsik adalah moralitas yang memandang perbuatan
sebagai sesuatu yang diperintahkan atau dilarang oleh seseorang yang
berkuasan atau oleh hukum positif, baik dari manusia asalnya maupun dari
Tuhan.
Bahwasanya terdapat moralitas ekstrinsik, semua orang bisa setuju
karena tidak ada orang yang dapat menolak kenyataan bahwa hukum-hukum
positif, bagaimanapun nilai sahnya, benar-benar ada, umpanya hukum negara,
hukum yang tak tertulis, atau hukum adat. Jadi, di sini kita tidak mengadakan
pemilihan antara moralitas intrinsik dan moralitas ekstrinsik. Di sini kita
bertanya, di samping moralitas ekstrinsik adakah juga terdapat moralitas
intrinsik? Atau juga pertanyaan dapat kita ajukan sebagai berikut: Apakah
perbuatan itu diperintahkan atau dilarang karena perbuatan tersebut pada
hakikatnya benar atau salah? Adakah moralitas kodrat? Ataukah semua
perbuatan itu benar atau salah karena diperintahkan atau dilarang? Apakah
semua moralitas sekadar sesuatu yang konvensional?
Teori yang mengatakan bahwa semua bentuk moralitas itu ditentukan
oleh konvensi dan bahwa semua bentuk moralitas itu adalah resultan dari
kehendak seseorang yang dengan sekehendak hatinya memerintahkan atau
melarang perbuatan-perbuatan tertentu tanpa mendasarkan atas sesuatu yang
intrinsik dalam perbuatan manusia sendiri atau pada hakikat manusia dikenal
sebagai aliran positivisme moral. Disebut begitu karena, menurut aliran
tersebut, semua moralitas bertumpu pada hukum positif sebagai lawan hukum
kodrat (natural law). Menurut teori tersebut, perbuatan dianggap benar atau
salah berdasarkan:
a. Kebiasaan Manusia
b. Hukum-hukum negara
c. Pemiliyhan bebas Tuhan
a. Teori yang mengatakan bahwa semua moralitas sekadar kebiasaan saja,
sudah lama tersebar, yakni sejak zaman para sofis dan kaum spektik pada
zaman Yunani Purba. Ada yang mengira bahwa moralitas itu dipaksakan
oleh orang-orang pandai dan berpengaruh untuk menundukkan rakyat
biasa. Terhadap tekanan, pendapat umum, dan
tradisi, orang biasa
menerima hukum moral dan mau memakai rantai belenggu yang telah
dibuatkan untuknya. Dan hanya beberapa pemberani yang berani berjuang
dan dapat merdeka. Inilah filsafat dan dunia pemberontakan dalam bidang
moral.
Mandeville dalam bukunya, Enquiry into the Origin of Moral Virtue,
menonjolkan gagasan tersebut. Pikiran Freidrich Nietszche tidak jauh
berbeda. Menurut dia, pada awalnya tidak ada hal yang baik dan hal yang
buruk. Yang ada hanya yang kuat dan yang lemah. Yang kuat
dengankejantannya, dengan kekuatannya, dengan kelicinannya dengan
kenekatannya menghina yang lemah, yang seperti perempuan yang sabar,
patuh, ramah-tamah, dan lembut. Yang lemah takut kepada yang kuat.
Masing-masing golongan memuja sifatnya masing-masing dan menghukum
golongan lain. Muncullah perbedaan antara moralitas bendoro dan
moralitas budak. Karena jumlahnya besar dan mendapat pengaruh agama
Katolik, moralitas budak menang. Ini merupakan bencana bagi rakyat yang
sangat besar. Adalah tugas masyarakat untuk menimbulkan golongan
aristokrat pada Uebeemensch yang akan mengembalikan sifat-sifat
kehantanan dan mengembalikan moralitas bendoro. Uebermensch itu
mengatasi segalanya, yang baik dan yang buruk. Ia merupakan suatu hukum
tersendiri, hukum bagi dirinya sendiri.
Para kaum evolusionis modern, seperti Herbert Spencer,
umpamanya, mencari jejak permulaan gagasan-gagasan moral pada
binarang. Sebagaimana manusia berkembang dari hewan, maka gagasangagasan moral tertentu mengalami perkembangan evolusi yang sama. Cara
berbuat yang dianggap berguna, berkembang menjadi kebiasaan-kebiasaan
suku-suku primitif. Bersama dengan majunya peradaban, semakin
disaringlah, dan menjadi sistem moral yang kita miliki perabadan. Karena
proses evolusi belum berhenti, maka sistem tersebut masih bisa menjadi
sistem yang lebih tinggi.
Auguste Comte, pendiri aliran positivisme, memandang etika
sebagai bagian sosiologi yang dianggap sebagai ilmu tertinggi. Kebiasaan
moral itu muncul dari kebiasaan sosial dan terus berubah bersama
perbuatan-perbuatan yang terdapat dalam masyarakat. Jadi, semacam
relativisme etik. Friederich Paulsen, yang tidak dapat kita golongkan sebagai
seorang positivis, menegaskan bahwa pada kongkretnya tidak terdapat
moralitas yang universal sifatnya. Hukum moral (moral code) itu berbeda
bagi setiap orang. Setiap filsafat moral tadi muncul. Karl Marx dan Engels
beserta semua pengikutnya memegang konsepsi materialis tentang sejarah,
menegaskan bahwa gagasan-gagasan moral, politik, seni, sosial dan filsafat
ditentukan oleh keadaan ekonomi msayarakat. Setiap saat, setiap rakyat,
dans etiap kelas membentuk gagasan-gagasannya sendiri untuk
menyerasikannya dengan situasi ekonomi yang khusus. Menurut anggapan
komunis. Dan pada saat ini akan dibutuhkan bentuk moralitas yang baru
yang harus menggantikan moralitas borjuis.
Itulah beberapa contoh dan teori yang menolak adanya moralitas
intrinsik. Mereka tidak menerima bahwa perbedaan antara baik dan buruk
yang dibuat manusia umumnya itu didasarkan atas hakikat kenyataan.
Untuk lebih mendekati pandangan tersebut, marilah kita menyelidiki
tentang apakah itu adat.
Adat itu munculnya karena perbuatan yang sama yang diulang
dengan cara yang sama. Mengapa perbuatan diulang? Karena pada
permulaan kaki menjalankan perbuatan tersebut, mereka menemukan
bahwa perbuatan tersebut menyenangkan atau berguna. Dan mereka
menghendaki hal tersebut kembali. Pada mulanya manusia mengulang
perbuatan-perbuatan tertentu tidaklah karena mereka telah
mengerjakannya sekali dua kali, tetapi untuk keuntungan tertentu sampai
adat tersebut terbentuk. Adat sendiri bukanlah sumber dari perbuatan. Nilai
adat dan tradisi adalah sebagai sesuatu yang diwariskan turun temurun
kepada generasi mendatang dalam bentuk yang sudah ready-made, yakni
suatu kumpulan pengalaman yang berguna dan profitable dari orang-orang
tua. Sebagai hubungan sejarah dengan masa lalu, dan sebagai semen
kelangsungan budaya, adat adalah tiang menyokong setiap bentuk
peradaban.
Adat juga bisa merupakan penghalang kemajuan. Setelah beberapa
lama, keadaan mungkin telah berubah secara radikal. Dan perbuatan yang
dulu menguntungkan, mungkin dalam keadaan baru menjadi tidak berguna
dan merugikan. Namun, karena tekanan kebiasaan yang kuat, manusia terus
menjalankan perbuatan tersebut tanpa memikirkan mengapa berbuat
demikian. Umpamanya, manusia terus-menerus mengikuti dan menaati
upacara-upacara tertentu meskipun telah lupa (tidak tahu) akan artinya,
akan pesan budayanya. Tradisinya dapat demikian hebat pengaruhnya
sehingga orang terus saja berkeras kepala menjalankan sesuatu dengan cara
yang tidak menghemat dan menentang akal sehat. Meskipun ia telah tahu
bahwa tidak masuk akal, ia tidak bisa lagi meninggalkan pola tingkah laku
yang telah demikian biasa. Kita pernah mengadakan perbedaan antara tata
cara, tata tertib, yang merupakan adat-istiadat semata, dan adat istiadat
yang bukan tata krama, yang bukan etiquette semata-mata, tetapi yang
mempunyai arti moral. Adat semata, yakni perbuatan-perbuatan yang
diulang semata karena pernah dijalankan, menurut pengalaman dapat
diulang meskipun sukar. Sejarah telah membuktikan bahwa adat semacam
itu dapat diubah oleh lamanya waktu yang telah berjalan, suatu kekerasan
yang kuat, propoganda yang terus menerus, dan dapat diubah dengan
reduksi yang merata. Bahkan juga terhadap adat yang sudah berurat-akar.
Ada adat kebiasaan yang tidak pernah dapat diubah. Makan dan
bernapas adalah adat kebiasaan, tetapi tidak ada orang yang dapat dididik
kembali untuk bisa hidup tanpa keduanya. Bercakap-cakap dan bertukar
pikiran adalah adat kebiasaan, dan hanya orang sinting yang melarangnya.
Musil dan ekspresi seni adalah adat kebiasaan. Hanya mental yang tidak
bereslah yang mau menghancurkannya secara total. Sebabnya adalah
semuanya itu bukan adat semata, melainkan berdasar atas tuntutantuntutan fisik, mental, dan emosionla manusia.
Contoh-contoh di atas kita ambil dari luar bidang moralitas, tetapi
kesimpulan-kesimpulan yang sama dapat ditariknya. Adalah merupakan
adat kebiasaan manusia menghormati hidup dan milik orang lain, mencintai
anak-anaknya, menolong orang lain yang dalam kesusahan, dan lain-lain.
Tetapi semuanya ini bukan sekedar adat semata. Memang manusia bisa
menolak semuanya itu dan menerima adat kebiasaan yang mutlak
berlawanan dengan semuanya itu. Tetapi jelas bahwa ini berarti akhirnya
hidup manusia dan akhirnya kehidupan bermasyarakat. Tidak ada hak milik,
tidak ada anka, tidak ada perdagangan, tidak ada kawan, tidak ada janji, dan
tidak akan ada orang yang bisa hidup sampai menjadi dewasa, apalagi apa
yang disebut generasi mendatang. Kesimpulan kami ialah: ada terdapat adat
kebiasaan yang tidak dapat dihapuskan, dan kita dapat melipatgandakan
contoh-contohnya. Adat-adat tersebut bukan sekadat sesuatu yang lagi
diulang karena pernah dijalankan, melainkan menyatakan bagaimanakah
seseorang hendaknya hidup kalau ia mau hidup sebagai manusia. Maka
adat-adat tadi dianggap baik bukan karena telah menjadi kebiasaan, tetapi
memang kodratnya juga sebelum menjadi adat. Selanjutnya, terdapat juga
beberapa perbuatan yang tidak boleh dijadikan adat kebiasaan. Karena
perbuatan-perbuatan tersebut pada hakikatnya secara intrinsik, menurut
kodratnya adalah buruk dan jahat. Umpamanya prajurit lari dari
kesatuannya dengan tidak sah (desersi), meracun tamu, atau sebagai saksi
dusta di depan pengadilan. Perbuatan-perbuatan tersebut sifatnya
destruktif tidak hanya bagi kemampuan-kemampuan dasar dan tuntutantuntutan manusia, tetapi juga destruktif bagi hakikat manusia sendiri.
Memang ada manusia yang mengerjakan itu, tetapi ini bukan titik
persoalannya. Persoalannya ialah bahwa perbuatan-perbuatan itu adalah
buruk, dan kita mau mencari sebabnya mengapa buruk. Perbuatan semacam
itu harus dianggap sebagai kekecualian, bukan hukum; sebagai modal pada
umat manusia, bukan suatu ideal. Bila disebarkan secara luas, perbuatanperbuatan tersebut mengancam kehidupan masyarakat di mana perbuatanperbuatan itu dilakukan.
Agaknya membunuh dan menganianya telah menjadi adat
kebiasaan kaum kontrarevolusioner Gestapu. Sesuai dengan moral dalangdalangnya baik adalah yang baik bagi partai, dan membunuh adalah baik
asal maksud tujuan tercapai. Banyak orang yang telah terhasut dan
menerima macam immoralitas ini. Tetapi manusia Indonesia sebagai
keseluruhan tidak bida menerima, dan menganggap bahkan mengutuk,
bahwa perbuatan semacam itu biadab. Membunuh, menganiaya, tidak bisa
diterima, apalagi dikatakan baik meskipun bagi PKI telah menjadi adat. Maka
membunuh dan menganiaya itu tidak dapat hanya kita dasarkan adat
semata. Dasar semestinya lebih dalam dari adat. Adat semata tidak
membuat moralitas.
b. Dia tas baru saja selesai kita perbincangkan mengenai teori yang berkata
bahwa moralitas didasarkan atas dasar kebiasaan adalah tidak benar.
Sekarang ada teori yang mengatakan bahwa moralitas bersumber pada
negara atau masyarakat politik. Orang-orang yang mengajarkan teori
tersebut adalah Thomas Hobbes dan Jean Jacques Rousseau. Meraka
berkata bahawa, sebelum manusia mengorganisasi dirinya ke dalam
masyarakat politik, tidak ada hal yang baik dan buruk. Negara sendiri
bukanlah masyarakat kodrat, melainkan hasil dari social contract,
persetujuan yang sama sekali konvensional, yang dengan itu manusia
mengorbankan sebagia hak-hak kodratnya untuk menyelamatkan hak-hak
kodrat lainnya. Pada saat masyarakat sipil terbentuk, masyarakat ini
memerintahkan dan melarang
perbuatan-perbuatan tertentu guna
tercapainya common good. Dan inilah saat munculnya hal yang baik dan hla
yang buruk. Jadi, tidak ada peruatan yang baik dan buruk menurut
hakikatnya, tetapi hanya kerana diperintahkan atau dilarang oleh negara.
Jadi, teori tersebut menyamakan moralitas dengan civil legality.
Hobbes dan Rousseau sangat berbeda pandangannya tentang
kedudukan alam, bentuk social contract, maka memindahkan hak-hak, dan
kedudukan kedaulatan. Tetapi semuanya ini lebih bertalian dengan teori
mereka tentang negara.
Di sini yang menjadi perhatian kita adalah kenyataan bahwa mereka
menolak adanya moralitas intrinsik. Mungkin ada yang ragu-ragu apakah
banyak berbeda mendasarkan moralitas atas negara atau atas adat. Bila
keduanya sekadar konvensi, semuanya saja berasal dari manusia. Tetapi
yang jelas Hobbes dan Rousseau menegaskan bahwa sahnya moralitas
hanya sejak negara telah terbentuk. Beberapa baris tulisan Hobbes akan
menjelaskan hal tersebut:
“During the time men live without common power to keep them all
in awe they are in that condition which is called war; and such a war
as if of every man against every man … To this war of every man
against every man, this is consequent; that nothing can be unjust.
The notions of right and wring, justice and injustice, have there no
place. Where there is no common power, there is no law; where no
law, no injustice. Force and fraud are in war the two cardinal virtues.
Justice and injustice are none of the faculties neither of the body
nor mind. If they were, they might be in a man that were alone in
the world, as well as his senses and passions. They are qualities that
relate to men in society, not in solitude. It is consequent also to the
same condition, that there be no propriety, no dominion, no mine
and thine distinct; but only that to be every man's, that he can get;
and for so long as he can keep it ....
Where no covenant hath preceded, there hath no right
been transferred, and every man has a right to everything; and
consequently no action can be unjust.... Before the names of just
and unjust can have place, there must be some coercive power, to
compel men equally to the performance of their covenants, by the
terror of some punishment greater than the benefit they expect by
the breach of their covenant .. and such power there is none before
the erection of a commonwealth...”
Rousseau dengan jelas menandaskan bahwa moralitas didasarkan
atas konvensi:
“Man is born free, and everywhere he is in chains. Many
one believes himself the master of others, and yet he is a greater
slave than they. How has this change come about? I do not know.
What can render it legitimate? I believe that I can settle this
question.. . . The social order is a sacred right which serves as a
foundation for all others. This right, however, does not come from
nature. It is therefore based on conventions. The question is to
know what those conventions are....
“Since no man has any natural authority over his fellow
man, and since force is not the source of right, conventions remain
as the basis of all lawful authority among men.... “The passage from
the state of nature to the civil state produces in a man a very
remarkable change, by substituting in his conduct justice for
instinct, and by giving his actions the moral quality they previously
lacked.
Kita mau menyetujui bahwa negara dapat mengumumkan hukum
tentang hal-hal yang indiferen dan membuatnya binding in conscience.
Sebagai penjaga ketertiban umum dan keamanan, negara dapat
menentukan kal au kita mengendarai sesuatu, hendaknya selalu jalan kiri,
meskipun bisa memilih antara sisi kiri atau kanan. negara dapat memberikan
moralitas ekstrinsik kepada suatu perbuatan yang intrinsik indiferen. Tetapi
tidak semua macam perbuatan seperti ini. Ada beberapa perbuatan yang
tidak dapat diperintalikan oleh negara dan ada beberapa yang tidak bisa
dilarangnya. Tidak ada satu negara pun yang bisa survive yang
memerintahkan pembunuhan, penggarongan, pengkhianatan, atau yang
melarang keramahtamahan, kejujuran, loyalitas. perbuatan-perbuatan
tersebut sudah baik atau buruk sebelum ada negara. Perbuatan-perbuatan
tersebut tidaklah baik atau buruk karena hukum-hukum negara
memerintahkan atau melarangnya, tetapi negara wajib memerintahkan atau
melarangnya karena perbuatan-perbuatan tersebut baik atau buruk pada
hakikatnya.
Argumen: Apabila negara membuat moralitas, negara dapat
mengubah atau menghapuskan moralitas. Tetapi negara tidakdapat
mengubah atau menghapus moralitas, maka negara tidak membuat
moralitas.
c. Bila moralitas itu bukan hasil konvensi manusia, sumbernya harus terdapat
pada Tuhan. Tetapi pertanyaan asli kita tetap sama. Apakah perbuatan itu
baik karena Tuhan memerintahkan dan buruk karena Tuhan melarangnya,
ataukah Tuhan memerintahkan karena perbuatan-perbuatan tersebut baik
menurut hakikatnya dan melarangnya karena perbuatan tersebut buruk
menurut hakikatnya? Bila alternatif pertama dipilih, maka tidak terdapat
moralitas kodrat atau intrinsik, dan bahwa semua moral itas datangnya dari
hukum positif illahi. Jadi, di sini ada positivisme moral.
Para penulis abad pertengahan yang memenangkan kehendak di
atas akal budi cenderung ke arah ini (voluntarisme sebagai lawan
intelektualisme). John Duns Scotus berpendapat bahwa semua keharusan
(obligation) datangnya dari kehendak Tuhan yang mutlak merdeka, dan
bahwa perbuatan serong atau perzinahan dan pembunuhan pada
hakikatnya buruk bagi manusia sebagai sesuatu yang berlawanan dengan
kodratnya. Tetapi perbuatan-perbuatan tersebut tidak akan buruk andaikata
dulu Tuhan tidak melarangnya. Ia percaya akan adanya kebaikan atau
keburukan intrinsik, tetapi tidak percaya kepada kebenaran atau kesalahan
intrinsik (intrinsic rightness or wrongness).
William dan Ockham menolak bahwa konsep universal itu
mempunyai dasar pada realitas. Bahkan kehendak illahi juga ia bebaskan
dari kebergantungannya kepada ide-ide illahi, dan membuat kebaikan atau
keburukan perbuatan-perbuatan itu hanya bergantung kepada kehendak
illahi. Dalam salah satu tulisan, ia berkata bahwa Tuhan bahkan bisa
memerintahkan makhluk-makhluk-Nya untuk membenci Dia, dan
kebenciannya ini akan menjadi baik (meritorious). Pada hakikatnya semua
perbuatan itu indiferen, tetapi menjadi baik atau buruk karena
diperintahkan atau dilarang oleh Tuhan.
Samuel Pufendorf, seorang juris berkebangsaan Jerman yang
terkenal, menyatakan bahwa semua bentuk moralitas itu bergantung pada
kehendak bebas Tuhan. Tetapi apa yang ia maksudkan agaknya bahwa
Tuhan bisa menciptakan sembarang makhluk yang Dia hendaki. Tetapi Dia
kemudian menuntut ciptaan-Nya menyesuaikan perbuatannya dengan
hakikatnya. Tidak ada satupun dari penulis-penulis tersebut yang
mengatakan bahwa Tuhan sesungguhnya semau-Nya dan seenak-Nya saja
dalam menghendaki sesuatu.
Rene Descartes bahkan secara gamblang menerangkan bahwa juga
kebenaran-kebenaran matematis itu bergantung pada pemilihan bebas
Tuhan. Bila benar demikian, kebenaran moral tidak lain hanya khayalan illahi
yang semaunya saja.
Descartes menu I s:
“It is self contradictory that the will of God should not have been
from eternity indifferent to all that has come to pass of that ever
will occur, because we can form no conception of anything good or
true, of anything to be believed or to be performed or to be
ommited, the idea of which existed in the divine understanding
before God's will determined Him so to act as to act as to bring it to
pass. Nor do I speak here of priority of time; I mean that it was not
even priorer in order, or in nature, or in reason relation, as they say,
so that the idea of good impelled God to choose one thing rather
than another... God did not will the three angles of a triangle to be
equal to two right angles because He know that they could not be
anotherwise. It is because He will that the three angles of a triangle
to be neccessary equal to two right angels that this is true and
cannot be otherwise... and so in other cases.”
Benar bahwa moralitas itu bergantung kepada Tuhan dan bahwa;
kehendak Tuhan adalah bebas, tetapi penjelasan di atas tidak kuat. Kita
tidak boleh membayang-bayangkan seakan-akan Tuhan melihat daftar
perbuatan-perbuatan manusiawi yang mungkin (possible human acts), dan
kemudian mengambil semau-mau-Nya beberapa perbuatan, dan Dia
pastikan sebagai salah. Benar bahwa Tuhan memerintahkan perbuatan yang
baik dan melarang perbuatan yang buruk. Tetapi kehendak-Nya ini tidak
sembarangan dan tidak semau-maunya. Kehendak Tuhan bergantung pada
intelek-Nya. Dan keduanya, kehendak dan intelek, bergantung pada hakikatNya.
Tidak terdapat adanya kontradiksi dalam Tuhan. Tidak dapat Tuhan
memerintahkan manusia menjalankan suatu perbuatan yang Tuhan sendiri
tidak mungkin memerintahkannya, karena berlawanan dengan kekudusan
Tuhan. Tuhan juga tidak dapat melarang manusia mengerjakan suatu
perbuatan yang justru kekudusan Tuhan sendiri menuntutnya. Tuhan tidak
dapat keji, tidak adil, menipu. Maka Tuhan tidak hanya tidak menghendaki
hal-hal tersebut, Dia sendiri tidak dapat. Apa sebabnya?. Karena jika
bertindak dem ikian berarti Dia akan menghancurkan diri-Nya sendiri. Dan
Tuhan adalah ada yang berada menurut hakikat-Nya. Maka Tuhan tidak
dapat memerintahkan perbuatan-perbuatan semacam itu kepada manusia.
Perbuatan-perbuatan tersebut tidaklah buruk karena Tuhan telah
melarangnya. Tetapi Tuhan wajib melarangnya karena perbuatan-perbuatan
tersebut buruk pada hakikatnya.
Apabila moralitas bergantung pada pemilihan Tuhan yang serba
sembarangan dan semau-maunya, mungkin sekali Dia menentukan aturanaturan moralitas yang ada sekarang berakhir sampai saat tertentu, dan
diganti dengan yang lainnya yang bertentangan. Bila benar demikian, berarti
Tuhan sendiri akan membuat manipulasi-manipulasi, tipuan-tipuan tentang
moralitas dan manipulasi-manipulasi atas diri-Nya sendiri sebagai sumber
moralitas.
C. PENGERTIAN HUKUM
Pergaulan hidup masyarakat dapat menjadi tertib dan teratur karena
adanya tatanan dalam masyarakat. Tatanan masyarakat itu pada hakikatnya
merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang
seyogianya tidak dilakukan, yang dilarang dijalankan atau yang dianjurkan
untuk dijalankan. Dengan adanya tatanan masyarakat maka dapat dicegah
gangguan-gangguan kepentingan manusia dan akan dapat dihindarkan
bentrokan antarkepentingan sehingga diharapkan kepentingan-kepentingan
manusia dapat dilindungi. Tatanan masyarakat itu ada yang berbentuk tertulis
dan ada pula yang tidak tertulis yang hidup dan berkembang berdasarkan
keyakinan dalam masyarakat yang diteruskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Segala sesuatu yang dapat menciptakan ketertiban dan keteraturan
dalam masyarakat yang berupa aturan tingkah laku dapat dikatakan sebagai
salah satu ciri hukum.
Merupakan kenyataan bahwa setiap saat hidup manusia dikuasai oleh
aturan tingkah laku. Aturan tingkah laku berlaku sejak dalam kandungan
sampai manusia lahir ke dunia dan sesudah meninggal dunia. Tatanan
masyarakat yang memuat tingkah laku secara material dapat kita katakan
sebagai hukum. Maka hubungan hukum yang terdapat dalam masyarakat
tentulah tidak terhingga jumlahnya. Akibatnya hukum tidak terbatas pada
suatu segi saja dan terdapat di mana-mana.
Oleh karena itulah hukum banyak seginya dan demikian luasnya
sehingga tidak mungkin orang dapat menyatukannya dalam suatu rumusan
(definisi) secara memuaskan.
Sesungguhnya apabila kita meneliti benar-benar tentang tatanan
masyarakat dan sifat-sifatnya sebagai yang telah dikemukakan di depan maka
sukarlah bagi kita untuk memberikan definisi tentang pengertian hukum yang
dapat memuaskan semua pihak.
Secara umum kita dapat melihat bahwa hukum merupakan seluruh
aturan tingkah laku berupa norma/kaidah baik tertulis maupun tidak tertulis
yang dapat mengatur dan menciptakan tata tertib dalam masyarakat yang
harus ditaati oleh setiap anggota masyarakatnya berdasarkan keyakinan dan
kekuasaan hukum itu.
Pengertian tersebut didasarkan pada penglihatan hukum dalam arti kata
materiil, sedangkan dalam arti kata, formal hukum adalah kehendak ciptaan
manusia berupa norma-norma yang berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku,
tentang apa yang boleh dilakukan dan tentang apa yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang dan dianjurkan untuk dilakukan. Oleh karena itu, hukum
mengandung nilai-nilai keadilan, kegunaan, dan kepastian dalam masyarakat
tempat hukum diciptakan. Untuk memperdalam pengertian hukum, bagi
pembaca, dapat kami kemukakan beberapa pendapat para ahli hukum yang
telah memberikan definisi yang antara lain sebagai berikut.
1. Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah atau larangan) yang
mengatur tata tertib dal= suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh
anggota masyarakat dan jika dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pihak
pemerintah dari masyarakat itu. (E. Utrecht, 1961: 12).
2. Hukum adalah karya manusia berupa norma-norma yang berisikan petunjukpetunjuk tingkah laku. Hukum merupakan pencerminan dari kehendak manusia
tentang bagaimana seharusnya masyarakat dibina dan ke mana harus
diarahkan. Oleh karena itu pertamatama, hukum mengandung rekaman dari
ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum diciptakan. Ide-ide tersebut
berupa ide mengenai keadilan. (Satjipto Rahardjo, 1986: 20).
3. Hukum adalah peraturan-peraturan bersifat memaksa yang dibuat oleh badanbadan resmi yang berwajib, yang menentukan tingkah laku manusia dalam
lingkungan masyarakat, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi
berakibat diambilnya tindakan hukuman. (J.C.T. Simorangkir dan Woerjono
Sastropranoto, 1959: 6).
4. Kaidah hukum merupakan ketentuan atau pedoman tentang apa yang
seyogianya atau seharusnya dilakukan. Pada hakikatnya kaidah hukum
merupakan perumusan pendapat atau pandangan tentang bagaimana
seharusnya atau seyogianya seseorang bertingkah laku. Sebagai pedoman
kaidah hukum bersifat umum dan pasif. (Sudikno Martokusumo, 1986: 16).
Dari beberapa definisi tentang hukum tersebut, tampaklah bahwa
hukum meliputi kehidupan manusia dalam pergaulan masyarakat yang
menyangkut hidup dan kehidupan manusia agar hidup teratur, serta
merupakan pedoman atau patokan sikap tindakan atau perilaku yang pantas
dalam pergaulan hidup antarmanusia.
Bertitik tolak dari beberapa definisi hukum tersebut, dapatlah
disimpulkan bahwa hukum terdiri atas beberapa unsur sebagai berikut:
a.
Peraturan atau kaidah-kaidah tingkah laku manusia dalam pergaulan
antarmanusia (masyarakat).
b.
Peraturan diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
c.
Peraturan merupakan jalinan-jalinan nilai, merupakan konsepsi abstrak
tentang adil dan tidak adil serta apa yang dianggap baik dan buruk.
d.
Peraturan bersifat memaksa.
e.
Peraturan mempunyai sanksi yang tegas dan nyata.
Di samping itu, kita juga dapat melihat bahwa hukum ditandai oleh
ciri-ciri berikut:
a. Adanya perintah dan/atau larangan.
b. Perintah dan/atau larangan itu hares dapat ditaati oleh setiap orang.
Setiap warga masyarakat wajib mematuhi peraturan/kaidah hukum
tersebut agar tata tertib di dalam masyarakat tetap terpelihara dengan sebaikbaiknya. Untuk mempertahankan hukum perlu adanya sanksi yang tegas dan
nyata, yang datang dari pihak pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan adanya
sesuatu kekuasaan hukum untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam
masyarakat.
D. SANKSI ATAS PELANGGARAN NORMA/TATANAN SOSIAL
Pada hakikatnya tatanan keagamaan, kesopanan, kesusilaan, dan
kebiasaan, sebelum diresepsi sebagai hukum, kekuasaannya tidak sama
kuatnya dengan kekuasaan hukum (E. Utrecht, 1961: 18). Adapun yang
menjadi sebab adanya perbedaan kekuasaan di antara bermacam-macam
tatanan itu adalah perbedaan legitimasi sanksinya.
Yang dapat memberi atau memaksakan sanksi terhadap pelanggaran
kaidah hukum adalah penguasa karena dalam penegakan hukum jika hal ada
pelanggaran menjadi monopoli penguasa. Penguasa mempunyai kekuasaan
untuk memaksakan sanksi terhadap pelanggaran kaidah hukum. Hakikat
kekuasaan tidak lain adalah kemampuan seseorang untuk memaksakan
kehendaknya kepada orang lain.
Adapun yang dimaksud dengan sanksi adalah akibat sesuatu perbuatan
atau suatu reaksi dari pihak lain (manusia atau organisasi sosial) atas sesuatu
perbuatan. (E. Utrecht, 1961: 18).
Umumnya yang dianggap merupakan perbedaan yang menonjol antara
tatanan hukum dan tatanan masyarakat lainnya ialah sanksinya. Sanksi
terhadap pelanggaran tatanan hukum dapat dipaksakan, dapat dilaksanakan di
luar kemauan yang bersangkutan dan bersifat memaksa, yang datangnya dari
pihak pemerintah (overheid) yang bertugas mempertahankan tata tertib dalam
masyarakat. Misalnya dalam norma hukum: “Setiap perbuatan melanggar
hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, wajib mengganti
kerugian pada pihak yang dirugikan”. Hal itu dapat dipaksakan karena yang
menderita kerugian dapat menggugat oraili;_, yang menimbulkan kerugian
tersebut. Setelah dijatuhkan putusan dapat diminta pelaksanaan keputusan
tersebut dengan mengadakan penyitaan terhadap harta kekayaan orang yang
menimbulkan kerugian itu. Lalu harta sitaan itu dilelang/dijual sebagai
pemenuhan tuntutan ganti kerugian tersebut. Penjualan dan penyitaan di luar
kemauan yang bersangkutan, tetapi merupakan sanksi dari norma hukum.
Begitu juga jika ada orang melakukan pencurian sehingga dijatuhi hukuman
penjara maka is dapat dipaksakan (di luar kemauannya) untuk dimasukan ke
dalam penjara.
Dalam pelanggaran tatanan keagamaan, kebiasaan (yang belum
diresepsi dalam hukum) reaksi dari pihak pemerintah jarang sekali ada,
kecuali pelanggaran tersebut membahayakan kepentingan umum. Dalam hal
pelanggaran tatanan kesusilaan, reaksi dari pemerintah pada umumnya tidak
ada sama sekali, namun pelanggaran terhadap tatanan ini akan mendapat
teguran, ataupun celaan dari masyarakat. Sanksi dari masyarakat tersebut,
kadang kala dirasakan lebih berat daripada sanksi hukum yang dijatuhkan oleh
pemerintah.
Walaupun sanksi tatanan hukum bersifat memaksa tidak berarti bahwa
sanksi atas pelanggaran terhadap tatanan masyarakat lainnya sama sekali tidak
memaksa. Karena sanksi masyarakat meskipun bersifat teguran, ataupun
celaan dirasakan juga sebagai tekanan atau paksaan sehingga orang akan
merasa tidak senang untuk melanggarnya.
Kesadaran atau ketaatan orang kepada tatanan hukum bukanlah
semata-mata hanya didasarkan pada sanksi yang bersifat memaksa, melainkan
juga karena didorong alasan keagamaan dan kesusilaan.
Tidak setiap kaidah hukum disertai dengan sanksi. Kaidah tanpa sanksi
disebut leximperfecta. Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 298 BW
(Burgerlijk Wetboek: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) misalnya,
seorang anak berapa pun umumya wajib menghormati dan menyegani orang
tuanya, merupakan leximperfecta (undang-undang/ peraturan yang tidak ada
sanksinya). Ketentuan itu tidak ada sanksinya. (Sudikno Martokusumo. 1986:
19).
Di samping itu juga ada kaidah hukum yang tidak dapat dipaksakan
sanksi hukumnya secara paksa, misalnya perikatan yang timbul karena
perjudian, yang dalam pembayaran pertaruhan perjudian itu telah secara
sukarela dipenuhi tidak dapat dilakukan penuntutan kembali. Perikatan yang
sedemikian disebut natuur lijke verbintenis atau perikatan alamiah (vide Pasal
1359 BW).
Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa pelaksanaan sanksi
hukum adalah monopoli hak penguasa ataupun pemerintah (overheid) yang
bertugas mempertahankan tata tertib masyarakat. Perorangan tidak
diperkenankan melaksanakan sanksi untuk menegakkan hukum. Misalnya kita
tidak boleh memukuli seorang pencuri yang tertangkap, menyita barangbarang orang yang terutang kepada kita ataupun menyandera orang untuk
melunasi utangnya dan lain-lain. Tindakan seperti itu adalah tindakan
menghakimi sendiri atau main hakim sendiri (eigenrichting).
Tindakan main hakim sendiri tidak lain merupakan tindakan untuk
melaksanakan hak atau mempertahankan hak persetujuan pihak lain yang
berkepentingan. Tindakan main hakim sendiri dilarang atau tidak dibenarkan
oleh hukum yang pada umumnya merupakan tindakan pidana. Oleh karena itu,
setiap pelanggar norma atau tatanan hukum harus diselesaikan melalui
perantara hakim dan berdasarkan hukum.
Meskipun pada setiap pelanggaran norma hukum pada dasarnya
dikenakan sanksi hukum tetapi juga ada dalam norma-norma hukum tertentu
yang tidak dikenakan sanksi. Hal itu merupakan pengecualian hukum yakni
dalam hal-hal tertentu seseorang dapat dikecualikan dari hukuman dengan
alasan-alasan tertentu walaupun perbuatannya telah melanggar hukum.
Misalnya orang yang sempurna akal atau sakit hembah akal, orang yang
melakukan perbuatan dalam keadaan terpaksa (overniacht), dalam keadaan
damrat (noodtoestand), pembelaan diri secara darurat (noodweer), membela
diri melampaui batas (noodweer aces), melaksanakan perintah undang-undang
(wettelijkvoorschrift) dan imelaksanakan perintah yang sah (bevoegdgezag).
Perbuatan-perbuatan yang tersebut pada hakikatnya merupakan
pelanggaran norma hukum, tetapi tidak dikenakan sanksi. Hal itu
dimungkinkan karena adanya alasan pembenaran (rechtvaardigings grid) dan
perbuatan-perbuatan tersebut pada hakikatnya merupakan iv:.ana-2aran norma
hukum, tetapi tidak dikenakan sanksi atau tidak hi hukuman karena pelaku
pelanggaran dibebaskan dari kesalahan (schulduitsluitings gronden).
Secara terperinci tentang perbuatan-perbuatan yang melanggar EL.:177-.a hukum tertentu yang dikenakan sanksi atau yang dapat alikan dari
hukuman sebagaimana tersebut di atas lebih lanjutan di bawah ini.
E. ALASAN PENGECUALIAN HUKUMAN
Dari contoh-contoh perbuatan yang tidak dapat dikenakan sanksi atau
yang dikecualikan dari hukuman, sebagaimana yang telah dikemukakan di
atas maka alasan-alasan tentang pengecualian hukuman dapat kita kategorikan
dalam dua kelompok, yaitu sebagai berikut:
1.
Dikecualikan dari hukuman karena alasan-alasan pembenaran atau karena
adanya alasan yang menghapuskan anasir-anasir melawan hukum
(rechtvaardigings grand).
2.
Dikecualikan dari hukuman karena alasan-alasan pelaku pelanggaran
dibebaskan dari kesalahan atau alasan-alasan yang menghilangkan
kesalahan (schttlduitsluitings granden).
ad.1. Karena Alasan Pembenaran atau Menghapus Anasir Melawan
Hukum
a. Keadaan Darurat (Noodtoestand)
Keadaan darurat merupakan pertentangan antara kepentingan
hukum (conflict van rechtsbelangen) atau suatu pertentangan antara
kepentingan hukum dan kewajiban hukum (conflict van
rechtsbelang en rechtsplicht) dan pertentangan antara kewajiban
hukum (conflict van rechtsplichten).
Suatu contoh dalam keadaan darurat, dalam hal pertentangan
antara kepentingan hukum adalah suatu keadaan ketika dua orang
yang terapung di tengah laut berpegangan sebilah papan kayu untuk
mempertahankan hidup masing-masing dengan berusaha
menyingkirkan. lawannya. Kalau kedua-duanya tetap berpegangan
papan kayu tersebut maka kedua-duanya akan mati tenggelam. Yang
berhasil hidup mencapai daratan meskipun menyebabkan matinya
yang lain tidak akan dihukum. Di tengah laut itu tidak sempat minta
pengadilan. la terdesak oleh keadaan. Keadaan tertentu itu
membenarkan perbuatannya.
Contoh mengenai keadaan darurat dalam hal pertentangan
antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum, misalnya seorang
petugas pemadam kebakaran hendak menolong seseorang yang
tersekap dalam rumah yang terbakar dengan merusakkan pintu dari
rumah tersebut karena pintu rumah itu tidak dapat lagi dibuka secara
normal. Perbuatan petugas kebakaran itu pada hakikatnya
merupakan pengrusakan tapi keadaan memaksa petugas kebakaran
itu berbuat demikian untuk menjamin kepentingan hukum atas orang
tersekap dalam rumah yang sedang terbakar itu sehingga melanggar
kewajiban hukum (kewajiban untuk tidak merusak pintu rumah yang
sedang terbakar tersebut). Petugas kebakaran tersebut insaf akan
keadaan bahaya bagi diri orang yang sedang tersekap atau terkurung
dalam rumah yang sedang terbakar itu, dengan memilih menjamin
kepentingan hukum clari orang tersebut, dan oleh karena itu petugas
kebakaran melanggar suatu peraturan hukum atau kewajiban
hukumnya untuk tidak merusak rumah yang terbakar itu. Perbuatan
petugas pemadam kebakaran itu dikecualikan dari hukum atau tidak
dapat dihukum.
Contoh dalam keadaan darurat dalam hal pertentangan antara
kewajiban hukum, misalnya seseorang yang telah dipanggil untuk
menjadi saksi dalam suatu perkara di Pengadilan Negeri Medan.
Pada hari dan waktu yang sama ia juga dipanggil untuk memberikan
keterangan sebagai saksi di Pengadilan Negeri Binjai. Jika ia
memilih panggilan Pengadilan Negeri Medan dan tidak memenuhi
panggilan Pengadilan Negeri Binjai, ia tidak dapat dihukum karena
tidak memenuhi panggilan Pengadilan Negeri Binjai tersebut. Perlu
diingat bahwa dalam dua kewajiban hukum pada waktu yang sama
seseorang dapat memilih salah satu dari kewajiban hukum tersebut.
b. Penzbelaan Dini Secara Darurat (Noodweer)
Pembelaan secara darurat merupakan salah satu alasan untuk
dikecualikan dari hukuman atau dibebaskan dari hukuman
sebagaimana yang disebut dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP.
“Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan,
karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan
hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap
kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri
maupun orang lain, tidak dipidana.”
Di sini orang terpaksa membela diri secara mati-matian
karena dalam keadaan terdesak. Contoh pembelaan terpaksa ialah:
seseorang yang tepergok seorang pencuri di pekarangannya pada
tengah malam terpaksa berkelahi dan membela diri mati-matian
yang akhirnya mengakibatkan matinya pencuri. Si “pembunuh”
pencuri tidak dapat dihukum. Ia dibenarkan membela dirinya matimatian, meskipun menyebabkan matinya pencuri.
Unsur-unsur atas elemen yang harus dipenuhi dalam Pasal 49
ayat (1) KUHP, menurut E. Utrecht di dalam bukunya Hukum
Pidana I ialah sebagai berikut.
(1) Adanya suatu serangan.
(2) Serangan diadakan sekonyong-konyong (ogenblikklijk), atau
suatu ancaman yang kelak akan dilakukan (onmiddellijk
dreigende aanranding).
(3) Serangan itu melawan hukum (wederrechtelijk).
(4) Serangan itu dilakukan terhadap diri sendiri, diri orang lain, hormat diri orang lain, harta benda sendiri, atau harta benda orang
lain.
(5) Pembelaan terhadap serangan itu perlu diadakan (noodzakelijk),
yakni pembelaan itu bersifat darurat.
(6) Alat yang dipakai untuk membela atau cara membela harus
setimpal. (E. Utrecht, 1958: 364).
c. Melaksanakan Perintah Undang-Undang (Wettelijk Voorschrift)
Dalam Pasal 50 KUHP ditentukan: “Barangsiapa melakukan
perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak
dipidana”. Melaksanakan ketentuan undang-undang tidak hanya
terbatas pada melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh undangundang saja tetapi meliputi juga perbuatan yang dilakukan atas
wewenang yang diberikan oleh undang-undang. Perbuatan
menjalankan peraturan perundang-undangan itu hams merupakan
suatu perbuatan menjalankan peraturan perundang-undangan guna
kepentingan pribadi tidak dapat dibenarkan.
Di sini diletakkan suatu prinsip apa yang telah diharuskan
atau diperintahkan oleh suatu undang-undang yang lain. Yang
dimaksud dengan undang-undang di sini ialah semua peraturan yang
dibuat oleh suatu badan pemerintahan yang diberi kekuasaan untuk
membuat undang-undang. Jadi termasuk pula misalnya peraturan
pemerintah dan peraturan-peraturan pemerintah daerah seperti
provinsi, kabupaten, dan kota praja. Menjalankan undang-undang
artinya tidak hanya terbatas pada melakukan perbuatan yang
diperintahkan oleh undang-undang, tetapi lebih luas lagi, ialah
meliputi pula perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas wewenang
yang diberikan oleh suatu undang-undang. Sebagai contoh: pada
pengosongan suatu rumah, petugas juru sita dapat
meletakkannya di jalan umum. Sekalipun ada larangan pemerintah
daerah untuk meletakkan barang-barang di jalan umum, namun
petugas juru sita tersebut tidak dapat dihukum.
Contoh lain misalnya: seorang polisi mengawal seorang
tahanan, yang sangat berbahaya karena telah berulang kali
melakukan pembunuhan, dari penjara ke gedung Pengadilan Negeri.
Dalam perjalanan tahanan tersebut melarikan diri. Polisi pengawal
telah beberapa kali menembak ke atas sebagai peringatan dan
penjahat tidak mau menyerah sampai akhirnya polisi menembak
mati tahanan itu. Penembakan itu mengakibatkan matinya tahanan
tersebut. Walaupun ketentuan hukum tidak membenarkan polisi
untuk menembak mati seorang tahanan, namun dalam hal ini
tindakan polisi tersebut dapat dibenarkan.
d. Melaksanakan Perintah Jabatan yang Salt (Bevoegdgezag)
Dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP (kitab undang-undang hukum
pidana) ditentukan: “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk
melakukan perintah jabatan, perintah yang diberikan oleh penguasa
yang berwenang, tidak dipidana”.
Syarat pertama yang disebutkan pada pasal itu ialah bahwa
orang yang berwenang melakukan perbuatan adalah atas suatu
perintah jabatan. Antara pemberi perintah dengan orang yang
diperintah harus ada perhubungan yang bersifat kepegawaian negeri,
bukan pegawai partikulir. Tidak perlu bahwa yang diberi perintah itu
harus orang bawahan dari yang memerintah. Mungkin lama
pangkatnya, tetapi yang perlu ialah bahwa antara yang diperintah
dan yang memberi perintah ada kewajiban untuk menaati perintah
itu.
Syarat kedua ialah bahwa perintah harus diberikan oleh
kuasa yang berhak untuk memberikan perintah itu. Jika kuasa tidak
berhak untuk itu maka orang yang menjalankan perintah tali tetap
dapat dihukum atas perbuatan yang dilakukannya, kecuali orang itu
dengan iktikad baik mengira bahwa perintah itu sah dan diberikan
oleh kuasa yang berhak untuk itu. (R. Soesilo, 1976: 57).
Menghilangkan nyawa orang dilarang oleh undang-undang
dan diancam dengan hukuman. Akan tetapi kalau ada seorang
prajurit dalam suatu operasi militer atas perintah komandannya
untuk menembak mati seseorang maka prajurit tersebut wajib
menaati perintah komandannya itu. Jika pada saat itu prajurit
tersebut menembak mati seseorang maka ia tidak dapat dihukum,
karena prajurit itu melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah
jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu.
ad.2. Karena Alasan Pelaku Pelanggaran Dibebaskan dari Kesalahan
atau Menghilangkan Kesalahan
a. Tidak Matnpu Bertanggung Jawab (Ontoerekeningsvat-baarheid)
Dengan adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum,
belum cukup alasan untuk menjatuhkan hukuman terhadap orang
yang telah melakukan perbuatan itu. Di samping perbuatani
kelakuan yang melawan hukum itu, harus juga ada seorang pembuat
tindak pidana (dadaer) yang mampu bertanggung jawab atas
perbuatan/kelakuannya. Tidak adanya kemampuan untuk
bertanggung jawab pada diri seseorang yang telah melakukan
perbuatan melawan hukum tersebut merupakan suatu alasan untuk
menghapus hukuman.
Tidak mampu bertanggung jawab
(ontoerekeningsvatbaarheid) dapat dilihat dalam dua hal yaitu
sebagai berikut:
(1)
Dalam hal pembuat tidak diberi kemerdekaan memilih antara
perbuatan atau tidak berbuat apa yang oleh undang-undang dilarang atau diperintah, dengan kata lain: dalam hal perbuatan
yang dipaksa.
(2)
Dalam hal pembuat ada di dalam suatu keadaan tertentu
sehingga ia tidak dapat menginsafi bahwa perbuatannya
bertentangan dengan hukum dan ia tidak mengerti akibat
perbuatannya itu (nafsu patalogislpathologischedrift, gila,
pikiran tersesat, dan sebagainya). Kedua hal tersebut yang
diterima oleh Memorie van Toelichting dalam melihat tentang
ada
tidaknya
alasan
bertanggung
jawab
ontoerekeningsvatbaarheid. (E. Utrecht, 1958: 291).
Dalam Pasal 44 KUHP ditentukan bahwa:
Ayat (1)
: Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena
jiwanya cacat dalam pertumbuhannya (gebrekkige
ontuikkeling) atau terganggu karena penyakit
(ziekelijke storing), tidak dipidana.
Ayat (2)
: Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena
jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau
terganggu karena penyakit maka hakim dapat
memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke
dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun
sebagai waktu percobaan.
Ayat (3)
: Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku
bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan
Pengadilan Negeri.
Dalam Pasal 44 sebagai sebab tidak dapat dihukumnya
terdakwa berhubung perbuatannya tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena alasan berikut.
(a) Jiwanya cacat. Yang dimaksud dengan perkataan jiwa ialah
pikiran, kekuatan pikiran, daya pikiran, kecerdasan pikiran.
Teks
bahasa
Belandanya
mengatakan:
verstandelijke
vermogens.
Kalau teks KUHP negeri Belanda memakai kata: geets
vermogens yang berarti kekuatan atau daya jiwa. Siapakah yang
dianggap sebagai kurang sempurna jiwanya misalnya idiot,
imbicil, buta, tuli, dan bisu mulai lahir. Orang-orang semacam
itu sebenarnya tidak sakit, akan tetapi hanya cacat mulai lahir.
Dan karena cacatcacatnya mulai lahir, sehingga pikirannya tetap
sebagai kanakkanak.
(b) Sakit berubah akalnya. Ziekelijke storing der verstandelijke
vermogens. Yang dapat masuk dalam pengertian ini misalnya:
sakit gila, manie, histerie, epilepsi, melancholi, dan bermacammacam penyakit jiwa lainnya.
Orang yang terganggu pikirannya karena mabuk minuman
keras pada umumnya tidak dipandang masuk golongan orang
tersebut, kecuali jika dapat dibuktikan, bahwa mabuknya itu
demikian rupa, sehingga ingatannya hilang sama sekali.
Dalam prakteknya jika polisi menjumpai peristi.wa semacam
itu ia tetap diwajibkan memeriksa perkaranya dan membuat proses
verbal. Hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya
terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu, meskipun ia
dapat pula minta nasihat dari dokter penyakit jiwa (psychiater). Jika
hakim berpendapat bahwa orang itu tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya maka orang, itu tidak
dijatuhi hukuman (dibebaskan dari segala tuntutan pidana). Akan
tempi sebagai tindakan mencegah bahayanya sebagai akibat yang
ditimbulkannya, baik orangnya sendiri, maupun untuk keselamatan
masyarakat, hakim dapat memerintahkan supaya orang itu
dimasukkan dalam rumah sakit jiwa selama masa percobaan,
maksimum satu tahun untuk dilindungi dan diperiksa. (R. Soesilo,
1976: 52).
Dalam menentukan ada tidaknya ontoerekeningsvatbaarheid
atau tidak adanya kemampuan bertanggung jawab dari did pelaku
kejahatan maka gangguan jiwa itu harus ada pada waktu pembuat
melakukan perbuatannya. Hanya hakimlah yang dapat menentukan
adanya keadaan demikian dengan terlebih dahulu mendengar
keterangan para ahli atau dokter rumah sakit atau suatu lembaga
yang, menyelidiki gangguan jiwa manusia.
b. Berat Lawan atau Keadaan Terpaksa (Overmacht)
Suatu perbuatan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa atau
berat lawan tidak dapat dikenakan sanksi. Sebaliknya pelaku
kesalahan dibebaskan dad kesalahan (schuldcluit sluitingsgrond).
Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 48 KUHP: “Barangsiapa
melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.”
Kata “daya paksa” harus diartikan, baik paksaan batin,
maupun lahir, rohani, maupun jasmani. Daya paksa biasanya
dimiliki oleh kekuasaan atau kekuatan. Kekuasaan sering
disalahgunakan untuk berbagai kepentingan dengan memaksa
seseorang melakukan berbagai macam perbuatan. Kekuasaan
biasanya sulit untuk dilawan atau overheid. Mr. J.E. Jonkers
membedakan kekuasaan menjadi tiga macam.
(1) Kekuasaan bersifat absolut. Dalam hal ini orang tidak dapat berbuat
lain.
Ia
mengalami
suatu
yang
sama
sekali
tidak
dapat
mengelakkannya. Ia tidak mungkin memilih jalan lain. Si A dipegang
tangannya oleh B yang lebih kuat dan dipaksa menulis tanda tangan
palsu. Si X dihipnotis oleh Y untuk melakukan suatu peristiwa pidana
dan sebagainya. Dalam peristiwa-peristiwa semacam itu dengan
tidak ada ketentuan Pasal 48 mudah dimengerti pula bahwa orang
yang kedua itu tidak dapat dihukum karena segala sesuatunya yang
melakukan orang yang pertama. Orang pertama itulah yang berbuat
dan dialah yang harus dihukum.
(2) Kekuasaan bersifat relatif. Dalam hal ini kekuasaan atau kekuatan
yang memaksa orang itu tidak mutlak, tidak penuh. Orang yang
dipaksa itu masih ada kesempatan memilih untuk berbuat yang
mana. Misalnya A yang ditodong oleh B dengan pistol, disuruh
membakar rumah, jika A tidak lekas membakar rumah itu, pistol yang
ditodongkan kepadanya akan ditembakkan. Dalam pikiran memang
mungkin A menolak suruhan itu, sehingga ditembak mati. Tetapi jika
ia menuruti perintah membakar rumah itu, meskipun ia berbuat
sesuatu kejahatan toh tidak dihukum karena adanya paksaan
tersebut. Bedanya kekuasaan bersifat absolut dan yang bersifat
relatif itu ialah bahwa pada yang absolut dalam segala sesuatunya
orang yang memaksa itu sendirilah yang berbuat semaunya, sedang
pada yang relatif maka orang yang dipaksa itulah yang berbuat
meskipun dalam paksaan kekuatan. Tidak semua kekuasaan yang
memaksa dapat membebaskan orang dari hukuman. Yang dapat
membebaskan itu hanya sesuatu kekuasaan, yang begitu besarnya
sehingga oleh pendapat umum dapat dipandang sebagai tidak dapat
dihindarkan, tidak dapat dilawan. Seorang yang disuruh orang lain
untuk membakar rumah dengan ancaman dipukul tangan saja
misalnya tidak dapat mengatakan dirinya dalam overmacht, karena ia
bisa melawan atau menghindarkan pukulan itu. Jadi dalam hal ini
apabila orang membakar rumah tersebut ia tetap dihukum. Jadi
paksaan itu harus ditinjau dari banyak sudut, misalnya orang yang
dipaksa itu lebih lemah daripada orang yang memaksa, apakah tidak
ada jalan lain, apakah paksaan itu betul-betul seimbang apabila
dituruti dan sebagainya. Hakimlah yang harus menguji dan
memutuskan hal ini. Polisi hanya mengumpulkan bahan-bahan raja
untuk diajukan pada hakim.
(3) Yang berupa suatu keadaan darurat. Bedanya dengan kekuasaan
yang bersifat relatif ialah bahwa pada keadaan darurat orang yang
dipaksa itu sendirilah memilih peristiwa pidana manakah yang is
lakukan, sedangkan pada kekuasaannya yang bersifat relatif orang itu
tidak memilih dalam hal ini yang mengambil inisiatif adalah orang
yang memaksa. (R. Soesilo, 1976: 54). Mengenai contoh tentang
keadaan darurat ini dapat dilihat pada uraian sebelumnya mengenai
keadaan darurat (noodtoestand).
c. Pembelaan Diri dengan Melampaui Batas (Noodweerexces)
Pembelaan diri dengan melampaui batas dapat dibenarkan
berdasarkan suatu alasan yang diberi nama noodweerexces alasan
tersebut dicantumkan dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP, yang
berbunyi: “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang
langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena
serangan atau ancaman serangan itu, tidak Oipidana”.
Pembelaan diri dengan melampaui batas sama halnya dengan
pembelaan diri secara darurat. Dalam hal ini harus ada serangan
yang sekonyong-konyong dilakukan atau mengancam pada ketika
itu juga serta batas-batas untuk keperluan pembelaan itu telah
dilampaui.
Anasir-anasir (unsur-unsur) noodweerexces sebagai berikut:
(1) Melampaui batas pembelaan yang perlu.
(2) Terbawa oleh suatu perasaan “sangat panas hati”.
(3) Antara timbulnya perasaan “sangat panas hati” dan serangan
yang dilakukan ada suatu hubungan kasual (E. Utrecht, 1958: 373).
Melampaui batas kemampuan yang perlu dapat disebabkan oleh
kerasnya alat yang dipilih untuk membela diri. Misalnya yang
menyerang menggunakan sepotong kayu kemudian dibalas kembali
dengan mempergunakan sepotong besi. Yang diserang sebenarnya
harus melarikan diri atau mengelakkan ancaman yang kelak akan
dilakukan serangan tetapi juga is masih memilih membela diri.
Pada diri yang diserang ditimbulkan suatu perasaan yang
puas hati, naik darah, atau mata gelap disebabkan karena ketakutan,
putus asa, dan rasa kebencian yang amat dalam. Misalnya seorang
anggota polisi yang melihat istrinya diperkosa orang, dengan
seketika mencabut pistolnya dan ditembakkan beberapa kali pada
orang itu. Hal itu dapat dikatakan bahwa polisi tersebut telah
melampaui pembelaan yang perlu karena biasanya dengan tidak
perlu menembak beberapa kali, orang itu telah menghentikan
perbuatannya dan melarikan diri. Andaikan hal itu dapat dibuktikan
pembelaan melampaui batas yang perlu dilakukan oleh anggota
polisi tersebut disebabkan oleh terguncang jiwanya ketika itu
sehingga menimbulkan amarah yang amat sangat maka oleh sebab
itu polisi tersebut tidak dapat dihukum atas perbuatannya atau dapat
dikecualikan dari hukuman.
BAB VI
NILAI, MORALITAS DAN HUKUM
F. Pengertian Nilai
Tidak mudah untuk menjelaskan apa itu suatu nilai. Setidak-tidaknya dapat
dikatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita
cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, singkatnya,
sesuatu yang baik. Menurut perkataan bagus filsuf Jerman-Amerika, Hans Jonas,
nilai adalah, the addressee of a yes, sesuatu yang ditujukan dengan “ya” kita.
Memang, nilai adalah sesuatu yang kita iakan atau kita aminkan. Nilai selalu
mempunyai konotasi positif. Sebaliknya, sesuatu yang kita jauhi, sesuatu yang
membuat kita malarikan diri seperti penderitaan, penyakit, atau kematian adalah
lawan dari nilai, adalah non-nilai atau beberapa filsuf yang menggunakan di sini
istilah “nilai negatif”, sedangkan nilai dalam arti tadi mereka sebut “nilai positif.
Dipandang dalam perspektif sejarah filsafat yang sudah panjang, “nilai”
merupakan suatu tema filosofis yang berumur agak muda. Baru pada akhir abad ke19 tema ini mendapat kedudukan mantap dalam uraian-uraian filsafat akademis.
Sekurang-kurangnya secara eksplisit. Tapi secara implisit nilai sudah lama
memegang peranan dalam pembicaraan filsafat, sudah sejak Plato menempatkan
ide “baik” paling atas dalam hierarki ide-ide. Dan sesudah Plato, kategori “baik”
praktis tidak pernah lagi terlepas dari fokus perhatian filsafat, khususnya etika. Tapi
baru kira-kira seabad yang lalu nilai mendapat tempat eksplisit dalam diskusi-diskusi
filsafat dan malah timbul suatu cabang filsafat yang baru dengan nama “aksiologi”
atau “teori nilai”.
Salah satu cara yang sering digunakan untuk menjelaskan apa itu nilai
adalah memperbandingkannya dengan fakta. Kita juga mencoba menempuh jalan
ini. Jika kita berbicara tentang fakta, kita maksudkan sesuatu yang ada atau
berlangsung begitu saja. Jika kita berbicara tentang nilai, kita maksudkan sesuatu
yang berlaku, sesuatu yang memikat atau mengimbau kita. Fakta ditemui dalam
konteks deskripsi semua unsurnya dapat dilukiskan satu demi satu dan uraian itu
pada prinsipnya dapat diterima oleh semua orang. Nilai berperanan dalam suasana
apresiasi atau penilaian dan akibatnya sering akan dinilai secara berbeda oleh
pelbagai orang. Perbedaan antara fakta dan nilai ini kiranya dapat diilustrasikan
dengan contoh berikut ini. Kita andaikan saja bahwa pada tahun sekian tanggal
sekian di tempat tertentu ada gunung berapi meletus. Hal itu merupakan suatu fakta
yang dapat dilukiskan secara obyektif. Kita bisa mengukur tingginya awan panas
yang keluar dari kawah, kita bisa menentukan kekuatan gempa bumi yang menyertai
letusan itu, kita bisa memastikan letusan-letusan sebelumnya beserta jangka waktu
di antaranya, dan seterusnya. Tapi serentak juga letusan gunung itu bisa dilihat
sebagai nilai atau justru disesalkan sebagai non-nilai, pokoknya, bisa menjadi obyek
penilaian. Bagi wartawan foto yang hadir di tempat, letusan gunung itu merupakan
kesempatan emas (nilai) untuk mengabadikan kejadian langka yang jarang dapat
disaksikan. Untuk petani di sekitarnya debu panas yang dimuntahkan gunung bisa
mengancam hasil pertanian yang sudah hampir panen (non-nilai), tapi dalam jangka
waktu panjang tanah bisa bertambah subur akibat kejadian itu (nilai). Tim pencinta
alam yang datang dari jauh dengan maksud hari itu mendaki gunung sempat kecewa
karena terpaksa harus membatalkan rencana mereka (non-nilai), sedangkan
profesor geologi yang bersama rombongan mahasiswa kebetulan meninjau daerah
itu senang sekali karena dengan mendadak memperoleh obyek penelitian yang tidak
disangka-sangka sebelumnya (nilai). Contoh ini kiranya cukup jelas untuk
memperlihatkan perbedaan antara fakta dan nilai. Nilai selalu berkaitan dengan
penilaian seseorang, sedangkan fakta menyangkut ciri-ciri obyektif saja. Perlu
dicatat lagi bahwa fakta selalu mendahului nilai. Terlebih dahulu ada fakta yang
berlangsung, baru kemudian menjadi mungkin penilaian terhadap fakta itu.
Berdasarkan analisis sederhana ini dapat kita simpulkan bahwa nilai
sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri berikut ini. 1) Nilai berkaitan dengan subyek.
Kalau tidak ada subyek yang menilai, maka tidak ada nilai juga. Entah manusia hadir
atau tidak, gunung tetap meletus. Tapi untuk dapat dinilai sebagai “indah” atau
“merugikan”, letusan gunung itu memerlukan kehadiran subyek yang menilai. 2)
Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, di mana subyek ingin membuat se-suatu.
Dalam pendekatan yang semata-mata teoretis, tidak akan ada nilai. (Hanya menjadi
pertanyaan apakah suatu pendekatan yang secara murni teoretis bisa diwujudkan.)
3) Nilai-nilai menyangkut sifat-sifat yang “ditambah” oleh subyek pada sifat-sifat
yang dimiliki oleh obyek. Nilai tidak dimiliki oleh obyek pada dirinya. Rupanya hal itu
harus dikatakan karena obyek yang sama bagi pelbagai subyek dapat menimbulkan
nilai yang berbeda-beda.
Terdapat banyak macam nilai. Di sini boleh disebut beberapa contoh. Kita
bisa mulai dengan nilai ekonomis. Dalam konteks ekonomi sering dibicarakan
tentang nilai. Misalnya, kita ingat saja akan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Sebenarnya ekonomi merupakan bidang di mana nilai un tuk pertama kali dibahas
dalam rangka ilmiah. Sudah sejak Adam Smith (1723-1790), yang biasanya disebut
sebagai pelopor ilmu ekonomi. Lalu suatu kategori nilai lain adalah nilai estetis.
Misalnya, memandang lukisan yang indah, mendengarkan musik yang bagus,
membaca cerita novel yang menarik, atau puisi yang bermutu, bisa membawa nilai
estetis bagi si peminat. Masih ada nilai lain yang lebih umum sifatnya dan
memainkan peranan dalam hidup banyak orang, seperti kesehatan yang baik,
pendapatan yang layak, makanan yang enak serta bergizi, lingkungan permukiman
yang tenang serta nyaman, dan lebih-lebih kehidupan itu sendiri. Yang terakhir
merupakan suatu nilai dasar, karena merupakan syarat untuk mewujudkan semua
nilai yang lain.
Dengan demikian hanya disebut beberapa contoh nilai dan tidak diusahakan
suatu klasifikasi yang kurang lebih lengkap. Suatu klasifikasi yang sungguh-sungguh
memuaskan sampai sekarang belum ada dan barangkali tidak mungkin juga.
3. Nilai Moral
Yang dibicarakan tentang nilai pada umumnya tentu berlaku juga untuk
nilai moral. Tapi apakah kekhususan suatu nilai moral? Apakah yang
mengakibatkan suatu nilai menjadi nilai moral? Mari kita mulai dengan
menggarisbawahi bahwa dalam arti tertentu nilai moral tidak merupakan suatu
kategori nilai tersendiri di samping kategori-kategori nilai yang lain. Nilai moral
tidak terpisah dari nilai-nilai jeris lainnya. Setiap nilai dapat memperoleh suatu
“bobot moral”, bila diikutsertakan dalam tingkah laku moral. Kejujuran,
misalnya, merupakan suatu nilai moral, tapi kejujuran itu sendiri “kosong”, bila
tidak diterapkan pad lain, seperti umpamanya nilai ekonomis. Kesetiaan m kan
suatu nilai moral yang lain, tapi harus diterapkan nilai manusiawi lebih umum,
misalnya, cinta antara istri. Jadi, nilai-nilai yang disebut sampai sekarang bersifat
“pramoral”. Nilai-nilai itu mendahului tahap mora bisa mendapat bobot moral,
karena diikutsertakan tingkah laku moral. Di bawah ini kita kembali lagi sifat
khas nilai moral ini.
Walaupun nilai moral biasanya menumpang path nilai lain, namun ia
tampak sebagai suatu nilai ban kan sebagai nilai yang paling tinggi. Hal itu ingir
perlihatkan dengan mempelajari ciri-ciri nilai moral moral mempunyai ciri-ciri
berikut ini.
e. Berkaitan dengan Tanggung Jawab Kita
Nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia. Tapi hal yang sama
dapat dikatakan juga tentang nilai-nilai lain. Yang khusus menandai nilai
moral ialah bahwa n berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung
Nilai-nilai moral mengakibatkan bahwa seseorang 1 atau tidak bersalah,
karena ia bertanggung jawab nilai lain tidak begitu. Bahwa anak saya tidak
meninteligensi tinggi atau tidak cantik, bisa saya sesalic atas keadaan itu
saya dan anak itu sendiri tidak bertangung jawab. Bahwa seseorang
mempunyai bakat pemain bulu tangkis atau mempunyai watak yang
nyenangkan, tentu merupakan hal yang sangat menggembirakan, tapi
keadaan itu sendiri tidak menjadi jasanya karena tidak termasuk tanggung
jawabnya. Nilai contoh-contoh tadi bukan nilai moral. Suatu nila hanya bisa
diwujudkan dalam perbuatan-perbuatan sepenuhnya menjadi tanggung
jawab orang bersan Itu berarti seperti kita lihat dalam Bab 3 bahwa buatan
itu berasal dari inisiatif bebas orang itu. Karena harus kita katakan bahwa
manusia sendiri menjadi nilai moralnya. Manusia sendiri membuat tingkah
lakunya menjadi baik atau buruk dari sudut moral. Hal itu tergantung pada
kebebasannya. Misalnya, keadilan sebagai nilai moral, tidak lagi merupakan
nilai sungguh-sungguh, kalau tidak berasal dari keputusan bebas manusia.
Tentu saja, dalam keadaan normal nilai-nilai lain juga mengandaikan
peranan manusia sebagai pribadi yang bebas. Misalnya, nilai-nilai intelektual
dan estetis. Tapi di sini kebebasan dan tanggung jawab tidak menjadi syarat
mutlak. Nilai intelektual tidak hilang sebagai nilai, jika karena suatu alasan
tidak berasal dari kebebasan. Kalau seorang pengarang umpamanya
dipaksakan untuk menulis buku, maka bisa saja buku itu mempunyai nilai
intelektual yang tinggi. Atau kalaia peleton prajurit memaksakan sebuah
orkes untuk memainkan salah satu simfoni Beethoven, maka bisa saja
keindahannya sama bermutu seperti kalau dimainkan atas inisiatif bebas
orkes itu sendiri. Nilai estetis tidak tergantung dari derajat kebebasan pada
perbuatan yang menghasilkannya. Tapi lain halnya dengan nilai moral. Di
situ kebebasan dan tanggung jawab merupakan syarat mutlak.
f.
Berkaitan dengan Hati Nurani
Semua nilai minta untuk diakui dan diwujudkan. Nilai selalu
mengandung semacam undangan atau imbauan. Nilai estetis, misalnya,
seolah-olah “minta” supaya diwujudkan dalam bentuk lukisan, komposisi
musik, atau cara lain. Dan kalau sudah jadi, lukisan “minta” untuk
dipamerkan dan musik “minta” untuk diperdengarkan. Tapi pada nilai-nilai
moral tuntutan ini lebih mendesak dan lebih serius. Mewujudkan nilai-nilai
moral merupakan “imbauan” dari hati nurani. Salah satu ciri khas nilai moral
adalah bahwa hanya nilai ini menimbulkan “suara” dari hati nurani yang
menuduh kita bila meremehkan atau menentang nilai-nilai moral dan
memuji kita bila mewujudkan nilai-nilai moral.
g. Mewajibkan
Berhubungan erat dengan ciri tadi adalah ciri berikutnya bahwa
nilai-nilai moral mewajibkan kita secara absolut dengan tidak bisa ditawartawar. Nilai-nilai lain sepatutnya diwujudkan atau seyogyanya diakui. Nilai
estetis, umpamanya. Orang yang berpendidikan dan berbudaya akan
mengakui serta menikmati nilai estetis yang terwujud dalam sebuah lukisan
yang bermutu tinggi. Tapi orang yang bersikap acuh tak acuh terhadap
lukisan itu tidak bisa dipersalahkan. Nilai estetis tidak dengan mutlak hams
diterima. Pada kenyataannya kita lihat bahwa musik Bach atau Mozart bagi
banyak orang membosankan saja, biarpun mengejawantahkan nilai estetis
yang tinggi, sedangkan mereka senang sekali dengan musik pop yang nilai
estetisnya tidak seberapa. Padahal, musik Bach dan Mozart mempunyai nilai
abadi dan musik pop pada umumnya sesudah satu atau dua tahun dilupakan
sama sekali, karena sudah diganti dengan musik pop versi mutakhir. Tapi
moral harus diakui dan harus direalisasikan. Tidak bisa diterima, bila
seseorang acuh tak acuh terhadap nilai-nilai ini.
Di sini kita bisa memanfaatkan pembedaan terkenal yang
dikemukakan filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804), antara imperatif
hipotetis dan imperatif kategoris. Dalam nilai moral terkandung suatu
imperatif (perintah) kategoris, sedangkan nilai-nilai lain hanya berkaitan
dengan imperatif hipotetis. Artinya, kalau kita ingin merealisasikan nilai-nilai
lain, kita harus menempuh jalan tertentu. Kalau pemain bulutangkis ingin
menjadi juara, maka ia harus berlatih keras. Tapi keharusan ini hanya
berlaku dengan syarat kalau ingin menjadi juara... Sebaliknya, nilai moral
mengandung suatu imperatif kategoris. Artinya, nilai moral itu mewajibkan
kita begitu saja, tanpa syarat. Kejujuran memerintahkan kita untuk
mengembalikan barang yang dipinjam, suka tidak suka. Barang itu hams
dikembalikan begitu saja. Keharusan itu berlaku mutlak, tanpa syarat.
Bisa ditanyakan lagi mengapa nilai-nilai moral mewajibkan kita.
Pertanyaan ini kiranya bisa dijawab sebagai berikut, Kewajiban absolut yang
melekat pada nilai-nilai moral berasal dari kenyataan bahwa nilai-nifai ini
berlaku manusia sebagai manusia. Karena itu nilai moral berlaku juga untuk
setiap manusia. Lain halnya dengan nilai-nilai non-moral. Tidak bisa
diharapkan bahwa setiap orang memiliki inteligensi tinggi, atau bakat artistik
atau kesehatan yang baik. Orang yang tidak mempunyai nilai-nilai ini tetap
merupakan manusia yang sungguh-sungguh dan lengkap. Tapi diharapkan
dan malah dituntut bahwa setiap orang menjunjung tinggi dan
mempraktekkan nilai-nilai moral. Orang yang tidak mengakui nilai moral
mempunyai cacat sebagai manusia. Apalagi, setiap orang diharapkan
menerima semua nilai moral. Tidak mungkin seseorang memilih beberapa
nilai moral dan menolak nilai moral lainnya. Tidak mungkin, misalnya,
seseorang mengatakan: “saya menerima kejujuran dan kesetiaan sebagai
nilai dalam hidup saya, tapi keadilan saya tolak.” Nilai-nilai moral
mewajibkan manusia dengan cara demikian rupa sehingga setiap orang
harus menerima semuanya.
Dengan cara lain dapat dikatakan juga bahwa kewajiban absolut
yang melekat pada nilai-nilai moral berasal dari kenyataan .bahwa nilai-nilai
ini menyangkut pribadi manusia sebagai keseluruhan, sebagai totalitas.
Nilai-nilai lain menyangkut manusia menurut salah satu aspek saja, tapi nilainilai moral menyangkut manusia sebagai manusia. Karena itu kewajiban
moral tidak datang dari luar, tidak ditentukan oleh instansi lain, tapi berakar
dalam kemanusiaan kita sendiri. Akibatnya, di sini tidak mungkin orang
mendapat dispensasi, seperti bisa terjadi dengan kewajiban yang didasarkan
pada hukum positif (lembaga sosial, misalnya, mendapat dispensasi
membayar pajak). Sebab, orang tidak bisa dilepaskan dari kewajiban yang
berkaitan dengan kemanusiaannya sendiri. Dan kegagalan dalam
melaksanakan nilai-nilai moral merendahkan manusia sebagai manusia.
Kegagalan dalam melaksanakan nilai-nilai lain bisa mengecewakan, bahkan
bisa mengakibatkan kerugian besar, tapi tidak menjatuhkan martabat kita
sebagai manusia. Mahasiswa yang gagal dalam ujian, setelah belajar dengan
baik dan berusaha sungguh-sungguh, tentu akan merasa kecewa tapi
kemanusiaannya tidak direndahkan. Ia telah melakukan kewajibannya! Lain
halnya dengan mahasiswa yang mencuri uang untuk dapat membeli sepeda
motor. Mungkin di antara teman-temannya gengsinya naik. Tapi perbuatan
nekat itu telah melukai harkatnya sebagai manusia. Kegagalan di bidang
moral berarti kegagalan total sebagai manusia, bukan merupakan suatu
aspek saja.
h. Bersifat Formal
Di sini kami kembali pada awal uraian tentang nilai moral ini. Nilai
moral tidak merupakan suatu jenis nilai yang bisa ditempatkan begitu saja di
samping jenis-jenis nilai lainnya. Biarpun nilai-nilai moral merupakan nilainilai tertinggi yang harus dihayati di atas semua nilai lain, seperti yang sudah
menjadi jelas dari analisis sebelumnya, namun itu tidak berarti bahwa nilainilai ini menduduki jenjang teratas dalam suatu hierarki nilai-nilai. Nilai-nilai
moral tidak membentuk suatu kawasan khusus yang terpisah dari nilai-nilai
lain. Jika kita mewujudkan nilai-nilai moral, kita tidak perbuat sesuatu yang
lain dari biasa. Seorang pedagang berperilaku moral (mewujudkan nilai-nilai
moral) sambil mengerjakan nilai-nilai ekonomis. Seorang seniman
berperilaku moral pada saat is berkecimpung dalam nilai-nilai estetis. Kita
merealisasikan nilai-nilai moral dengan mengikutsertakan nilai-nilai lain
dalam suatu “tingkah laku moral”. Nilai-nilai moral tidak memiliki “isi”
tersendiri, terpisah dari nilai-nilai lain. Tidak ada nilai-nilai moral yang
“murni”, terlepas dari nilai-nilai lain. Hal itulah yang kita maksudkan dengan
mengatakan bahwa nilai moral bersifat formal. Max Scheler
mengungkapkan hal yang sama juga dengan menegaskan bahwa nilai-nilai
moral “membonceng” nilai-nilai lain.
4. Norma Moral
Kata Indonesia “norma” kebetulan persis sama bentuknya seperti dalam
bahasa asalnya, bahasa Latin. Konon, dalam bahasa Latin arti yang pertama
adalah carpenter's square: siku-siku yang dipakai tukang kayu untuk mencek
apakah benda yang dikerjakannya (meja, bangku, kursi, dan sebagainya)
sungguh-sungguh lurus. Asal-usul ini membantu kita untuk mengerti
maksudnya. Dengan norma kita maksudkan aturan atau kaidah yang kita pakai
sebagai tolok ukur untuk menilai sesuatu.
Ada banyak sekali macam norma. Misalnya, ada norma yang
menyangkut benda dan norma lain yang menyangkut tingkah laku manusia.
Contoh tentang norma yang menilai benda adalah norma-norma teknis yang
dipakai untuk menentukan kelaikan udara sebuah pesawat terbang atau
kelaikan laut sebuah kapal. Jika sesuai dengan norma-norma itu, pesawat boleh
terbang dan kapal boleh berlayar. Jika tidak, pesawat atau kapal harus diperbaiki
dulu, hingga akhirnya sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Norma yang
menyangkut tingkah laku manusia ada juga banyak macam. Di sini kita bisa
membedakan norma umum yang menyangkut tingkah laku manusia sebagai
keseluruhan dan norma khusus yang hanya menyangkut aspek tertentu dari apa
yang dilakukan manusia. Contoh tentang norma khusus adalah norma bahasa.
Tata bahasa Indonesia adalah norma yang menentukan entah kita memakai
bahasa dengan baik dan benar atau justru tidak. Kalau dalam berbicara atau
menulis bahasa kita sesuai dengan tata bahasa itu, maka kita memakai bahasa
Indonesia dengan semestinya. Kalau tidak sesuai, pemakaian bahasa Indonesia
kita tidak betul, karena tidak memenuhi syarat.
Ada tiga macam norma umum, yaitu norma kesopanan atau etiket,
norma hukum, dan norma moral. Etiket, misalnya, betul-betul mengandung
norma yang mengatakan apa yang harus kita lakukan. Mungkin karena alasan itu
etiket sering dicampuradukkan dengan etika (bandingkan Bab 1, §1, nr. 3). Tapi
etiket hanya menjadi tolok ukur untuk menentukan apakah perilaku kita sopan
atau tidak dan hal itu belum tentu sama dengan etis atau tidak. Norma hukum
juga merupakan norma penting yang menjadi kenyataan dalam setiap
masyarakat. Hampir setiap hari kita berjumpa dengan norma hukum ini. Namun
demikian, sebagaimana etiket perlu dibedakan dari norma moral, begitu pula
norma hukum tidak sama dengan norma moral (kin dingkan Bab I §5).
Norma moral menentukan apakah perilaku kita baik atau buruk dari
sudut etis. Karena itu norma moral adalah norma tertinggi, yang tidak bisa
ditaklukkan pada norma lain. Sebaliknya, norma moral menilai norma-norma
lain. Seandainya ada norma etiket yang tidak bersifat etis, karena misalnya
didasarkan atas diskriminasi terhadap wanita, maka norma etiket itu harus kalah
terhadap norma moral. Demikian halnya juga dengan norma hukum. Jika ada
undang-undang yang dianggap tidak etis, maka undang-undang itu harus
dihapus, atau diubah. Dan sepanjang sejarah hal seperti itu sudah sering terjadi.
Apakah norma moral menilai juga norma-norma khusus? Ya, memang begitu.
Walaupun tidak dalam arti bahwa norma khusus itu harus dihapus atau diubah,
namun norma khusus pun harus tunduk pada norma moral. Bisa saja bahwa
seseorang memakai bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Dari sudut norma
bahasa, apa yang dikatakannya itu memang sempurna. Tapi dengan mengatakan
hal itu pada kenyataannya ia memfitnah orang lain atau ia berbohong. Jadi, dari
sudut etis apa yang dikatakannya itu sama sekali tidak baik dan benar! Tidak
boleh ia mengatakan hal-hal seperti itu. Di sini norma bahasa pun harus tunduk
pada norma moral.
Seperti norma-norma lain juga, norma moral pun bisa dirumuskan
dalam bentuk positif atau negatif. Dalam bentuk positif norma moral tampak
sebagai perintah yang menyatakan apa yang harus dilakukan, misalnya kita
harus menghormati kehidupan manusia, kita harus mengatakan yang benar.
Dalam bentuk negatif norma moral tampak sebagai larangan yang menyatakan
apa yang tidak boleh dilakukan, misalnya: jangan membunuh, jangan
berbohong.
G. Pengertian Moralitas
3. Perumusan Masalah
Sejauh kita telah melihat bahwasanya tujuan terakhir manusia adalah
kebahagiaan sempurna dalam memiliki Tuhan. Selain itu, juga telah kita ketahui
bahwa jalan ke arah tujuan tadi adalah perbuatan manusiawi, yakni perbuatan
manusia yang sukarela. Sekarang pertanyaan yang kita hadapi adalah bagaimana
menghubungkan jalan agar mencapai tujuan?
Dapatlah setiap macam perbuatan membawa kita ke arah tujuan akhir
kita? Bila kita menjawab: ya, berarti tidak terdapat perbedaan antara hal yang
benar dan hal yang salah. Selanjutnya tidak terdapat ilmu filsafat moral dan
tidak terdapat etika.
Fakta ini menyatakan bahwa manusia memutuskan adanya macam
perbuatan yang salah dan tidak akan membawa kita ke arah tujuan terakhir dan
ada pula macam perbuatan benar yang sesunggunya akan membawa kita ke
arah tujuan terakhir tersebut. Demikian jauh kita hanya memakai saja faktafakta tersebut. Apabila kita berkata bahwa membimbing dirinya sendiri ke arah
tujuan akhirnya dengan memakai kehendak bebasnya, kita juga merangkum
dalam pernyataan kita tadi bahwasanya terdapat kemungkinan memilih antara
hal-hal yang akan membawa manusia ke arah tujuannya dan hal-hal yang tidak
akan membawa manusia ke arah tujuannya. Sebab, apabila semua jalan akan
membawa kita ke tujuan yang sama, agaknya jelas tidak diperlukan adanya
pimpinan atau pemilihan.
Pembicaraan kita yang terdahulu mengenai kesukarelaan dan
kemerdekaan, terutama mengenai prinsip akibat rangkap adalah berdasarkan
pengalaman kita sehari-hari bahwa konsekuensi atau akibat yang buruk atau
jahat dapat terbit dari perbuatan manusiawi. Sering manusia bertanggung jawab
atas perbuatan/hal-hal yang buruk tersebut. Sekarang saatnya kita
membuktikan semuanya itu.
Apakah keyakinan umum umat manusia yang berkata bahwa ada
perbuatan yang benar dan salah itu adalah sesuatu yang benar? Mengapa
terdapat perbuatan yang dianggap benar dan terdapat perbuatan yang dianggap
salah? Apakah gerangan nilai-nilai alasan-alasan yang diberikan? Inilah apa yang
disebut problema moralitas.
4. Arti Moralitas
Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan
bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup
pengertian tentang baik-buruknya perbuatan manusia.
Kata amoral, non moral berarti bahwa tidak mempunyai hubungan
dengan moral atau tidak mempunyai arti moral. Istilah immoral artinya moral
buruk, (buruk secara moral). Moralitas dapat objektif atau subjektif. Moralitas
objektif memandang perbuatan semata sebagai suatu perbuatan yang telah
dikerjakan, bebas lepas dari pengaruh-pengaruh sukarela pihak pelaku. Lepas
dari segala keadaan khusus si pelaku yang dapat mempengaruhi atau
mengurangi penguasaan diri dan bertanya apakah orang yang sepenuhnya
menguasai dirinya diizinkan dengan sukarela menghendaki perbuatan tersebut.
Moralitas subjektif adalah moralitas yang memandang perbuatan sebagai
perbuatan yang dipengaruhi pengertian dan persetujuan si pelaku sebagai
individu. Selain itu juga dipengaruhi, dikondisikan oleh latar belakangnya,
pendidikannya kemantapan emosinya, dan sifat-sifat pribadi lainnya. Yang
ditanyakan, apakah perbuatan tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan hati
nuraninya. (conscience) sendiri dari si pelaku.
Di sini tidak kita perbincangkan apakah moralitas subjektif itu ada.
Sebab ini adalah fakta pengalaman bahwa hati nurani kita menyetujui atau
tidak menyetujui apa yang kita kerjakan. Marilah kita tunda seluruh
persoalannya sampai saatnya kita membicarakan tentang hati nurani. Persoalan
yang kita hadapi hanyalah tentang moralitas objektif. Apakah hakikat dari
perbuatan-perbuatan itu sendiri? Adakah perbuatan-perbuatan tersebut telah
memiliki kualitas moral, sifat benar/salah, yang hakiki sendiri? Ataukah
perbuatan-perbuatan tersebut mempunyai arti moral karena sebab-sebab dari
luar?
Moralitas jga dapat intrinsik dan ekstrinsik. Pembagian ini hendaknya
jangan dicampuradukkan dengan pembagian di atas tadi. Moralitas intrinsik
memandang suatu perbuatan menurut hakikatnya bebas lepas dari setiap
bentuk hukum positif. Yang dipandang adalah apakah perbuatan baik atau buruk
pada hakikatnya, bukan apakah seorang telah memerintahkannya atau telah
melarangnya.
Moralitas ekstrinsik adalah moralitas yang memandang perbuatan
sebagai sesuatu yang diperintahkan atau dilarang oleh seseorang yang
berkuasan atau oleh hukum positif, baik dari manusia asalnya maupun dari
Tuhan.
Bahwasanya terdapat moralitas ekstrinsik, semua orang bisa setuju
karena tidak ada orang yang dapat menolak kenyataan bahwa hukum-hukum
positif, bagaimanapun nilai sahnya, benar-benar ada, umpanya hukum negara,
hukum yang tak tertulis, atau hukum adat. Jadi, di sini kita tidak mengadakan
pemilihan antara moralitas intrinsik dan moralitas ekstrinsik. Di sini kita
bertanya, di samping moralitas ekstrinsik adakah juga terdapat moralitas
intrinsik? Atau juga pertanyaan dapat kita ajukan sebagai berikut: Apakah
perbuatan itu diperintahkan atau dilarang karena perbuatan tersebut pada
hakikatnya benar atau salah? Adakah moralitas kodrat? Ataukah semua
perbuatan itu benar atau salah karena diperintahkan atau dilarang? Apakah
semua moralitas sekadar sesuatu yang konvensional?
Teori yang mengatakan bahwa semua bentuk moralitas itu ditentukan
oleh konvensi dan bahwa semua bentuk moralitas itu adalah resultan dari
kehendak seseorang yang dengan sekehendak hatinya memerintahkan atau
melarang perbuatan-perbuatan tertentu tanpa mendasarkan atas sesuatu yang
intrinsik dalam perbuatan manusia sendiri atau pada hakikat manusia dikenal
sebagai aliran positivisme moral. Disebut begitu karena, menurut aliran
tersebut, semua moralitas bertumpu pada hukum positif sebagai lawan hukum
kodrat (natural law). Menurut teori tersebut, perbuatan dianggap benar atau
salah berdasarkan:
d. Kebiasaan Manusia
e. Hukum-hukum negara
f.
Pemiliyhan bebas Tuhan
d. Teori yang mengatakan bahwa semua moralitas sekadar kebiasaan saja,
sudah lama tersebar, yakni sejak zaman para sofis dan kaum spektik pada
zaman Yunani Purba. Ada yang mengira bahwa moralitas itu dipaksakan
oleh orang-orang pandai dan berpengaruh untuk menundukkan rakyat
biasa. Terhadap tekanan, pendapat umum, dan
tradisi, orang biasa
menerima hukum moral dan mau memakai rantai belenggu yang telah
dibuatkan untuknya. Dan hanya beberapa pemberani yang berani berjuang
dan dapat merdeka. Inilah filsafat dan dunia pemberontakan dalam bidang
moral.
Mandeville dalam bukunya, Enquiry into the Origin of Moral Virtue,
menonjolkan gagasan tersebut. Pikiran Freidrich Nietszche tidak jauh
berbeda. Menurut dia, pada awalnya tidak ada hal yang baik dan hal yang
buruk. Yang ada hanya yang kuat dan yang lemah. Yang kuat
dengankejantannya, dengan kekuatannya, dengan kelicinannya dengan
kenekatannya menghina yang lemah, yang seperti perempuan yang sabar,
patuh, ramah-tamah, dan lembut. Yang lemah takut kepada yang kuat.
Masing-masing golongan memuja sifatnya masing-masing dan menghukum
golongan lain. Muncullah perbedaan antara moralitas bendoro dan
moralitas budak. Karena jumlahnya besar dan mendapat pengaruh agama
Katolik, moralitas budak menang. Ini merupakan bencana bagi rakyat yang
sangat besar. Adalah tugas masyarakat untuk menimbulkan golongan
aristokrat pada Uebeemensch yang akan mengembalikan sifat-sifat
kehantanan dan mengembalikan moralitas bendoro. Uebermensch itu
mengatasi segalanya, yang baik dan yang buruk. Ia merupakan suatu hukum
tersendiri, hukum bagi dirinya sendiri.
Para kaum evolusionis modern, seperti Herbert Spencer,
umpamanya, mencari jejak permulaan gagasan-gagasan moral pada
binarang. Sebagaimana manusia berkembang dari hewan, maka gagasangagasan moral tertentu mengalami perkembangan evolusi yang sama. Cara
berbuat yang dianggap berguna, berkembang menjadi kebiasaan-kebiasaan
suku-suku primitif. Bersama dengan majunya peradaban, semakin
disaringlah, dan menjadi sistem moral yang kita miliki perabadan. Karena
proses evolusi belum berhenti, maka sistem tersebut masih bisa menjadi
sistem yang lebih tinggi.
Auguste Comte, pendiri aliran positivisme, memandang etika
sebagai bagian sosiologi yang dianggap sebagai ilmu tertinggi. Kebiasaan
moral itu muncul dari kebiasaan sosial dan terus berubah bersama
perbuatan-perbuatan yang terdapat dalam masyarakat. Jadi, semacam
relativisme etik. Friederich Paulsen, yang tidak dapat kita golongkan sebagai
seorang positivis, menegaskan bahwa pada kongkretnya tidak terdapat
moralitas yang universal sifatnya. Hukum moral (moral code) itu berbeda
bagi setiap orang. Setiap filsafat moral tadi muncul. Karl Marx dan Engels
beserta semua pengikutnya memegang konsepsi materialis tentang sejarah,
menegaskan bahwa gagasan-gagasan moral, politik, seni, sosial dan filsafat
ditentukan oleh keadaan ekonomi msayarakat. Setiap saat, setiap rakyat,
dans etiap kelas membentuk gagasan-gagasannya sendiri untuk
menyerasikannya dengan situasi ekonomi yang khusus. Menurut anggapan
komunis. Dan pada saat ini akan dibutuhkan bentuk moralitas yang baru
yang harus menggantikan moralitas borjuis.
Itulah beberapa contoh dan teori yang menolak adanya moralitas
intrinsik. Mereka tidak menerima bahwa perbedaan antara baik dan buruk
yang dibuat manusia umumnya itu didasarkan atas hakikat kenyataan.
Untuk lebih mendekati pandangan tersebut, marilah kita menyelidiki
tentang apakah itu adat.
Adat itu munculnya karena perbuatan yang sama yang diulang
dengan cara yang sama. Mengapa perbuatan diulang? Karena pada
permulaan kaki menjalankan perbuatan tersebut, mereka menemukan
bahwa perbuatan tersebut menyenangkan atau berguna. Dan mereka
menghendaki hal tersebut kembali. Pada mulanya manusia mengulang
perbuatan-perbuatan tertentu tidaklah karena mereka telah
mengerjakannya sekali dua kali, tetapi untuk keuntungan tertentu sampai
adat tersebut terbentuk. Adat sendiri bukanlah sumber dari perbuatan. Nilai
adat dan tradisi adalah sebagai sesuatu yang diwariskan turun temurun
kepada generasi mendatang dalam bentuk yang sudah ready-made, yakni
suatu kumpulan pengalaman yang berguna dan profitable dari orang-orang
tua. Sebagai hubungan sejarah dengan masa lalu, dan sebagai semen
kelangsungan budaya, adat adalah tiang menyokong setiap bentuk
peradaban.
Adat juga bisa merupakan penghalang kemajuan. Setelah beberapa
lama, keadaan mungkin telah berubah secara radikal. Dan perbuatan yang
dulu menguntungkan, mungkin dalam keadaan baru menjadi tidak berguna
dan merugikan. Namun, karena tekanan kebiasaan yang kuat, manusia terus
menjalankan perbuatan tersebut tanpa memikirkan mengapa berbuat
demikian. Umpamanya, manusia terus-menerus mengikuti dan menaati
upacara-upacara tertentu meskipun telah lupa (tidak tahu) akan artinya,
akan pesan budayanya. Tradisinya dapat demikian hebat pengaruhnya
sehingga orang terus saja berkeras kepala menjalankan sesuatu dengan cara
yang tidak menghemat dan menentang akal sehat. Meskipun ia telah tahu
bahwa tidak masuk akal, ia tidak bisa lagi meninggalkan pola tingkah laku
yang telah demikian biasa. Kita pernah mengadakan perbedaan antara tata
cara, tata tertib, yang merupakan adat-istiadat semata, dan adat istiadat
yang bukan tata krama, yang bukan etiquette semata-mata, tetapi yang
mempunyai arti moral. Adat semata, yakni perbuatan-perbuatan yang
diulang semata karena pernah dijalankan, menurut pengalaman dapat
diulang meskipun sukar. Sejarah telah membuktikan bahwa adat semacam
itu dapat diubah oleh lamanya waktu yang telah berjalan, suatu kekerasan
yang kuat, propoganda yang terus menerus, dan dapat diubah dengan
reduksi yang merata. Bahkan juga terhadap adat yang sudah berurat-akar.
Ada adat kebiasaan yang tidak pernah dapat diubah. Makan dan
bernapas adalah adat kebiasaan, tetapi tidak ada orang yang dapat dididik
kembali untuk bisa hidup tanpa keduanya. Bercakap-cakap dan bertukar
pikiran adalah adat kebiasaan, dan hanya orang sinting yang melarangnya.
Musil dan ekspresi seni adalah adat kebiasaan. Hanya mental yang tidak
bereslah yang mau menghancurkannya secara total. Sebabnya adalah
semuanya itu bukan adat semata, melainkan berdasar atas tuntutantuntutan fisik, mental, dan emosionla manusia.
Contoh-contoh di atas kita ambil dari luar bidang moralitas, tetapi
kesimpulan-kesimpulan yang sama dapat ditariknya. Adalah merupakan
adat kebiasaan manusia menghormati hidup dan milik orang lain, mencintai
anak-anaknya, menolong orang lain yang dalam kesusahan, dan lain-lain.
Tetapi semuanya ini bukan sekedar adat semata. Memang manusia bisa
menolak semuanya itu dan menerima adat kebiasaan yang mutlak
berlawanan dengan semuanya itu. Tetapi jelas bahwa ini berarti akhirnya
hidup manusia dan akhirnya kehidupan bermasyarakat. Tidak ada hak milik,
tidak ada anka, tidak ada perdagangan, tidak ada kawan, tidak ada janji, dan
tidak akan ada orang yang bisa hidup sampai menjadi dewasa, apalagi apa
yang disebut generasi mendatang. Kesimpulan kami ialah: ada terdapat adat
kebiasaan yang tidak dapat dihapuskan, dan kita dapat melipatgandakan
contoh-contohnya. Adat-adat tersebut bukan sekadat sesuatu yang lagi
diulang karena pernah dijalankan, melainkan menyatakan bagaimanakah
seseorang hendaknya hidup kalau ia mau hidup sebagai manusia. Maka
adat-adat tadi dianggap baik bukan karena telah menjadi kebiasaan, tetapi
memang kodratnya juga sebelum menjadi adat. Selanjutnya, terdapat juga
beberapa perbuatan yang tidak boleh dijadikan adat kebiasaan. Karena
perbuatan-perbuatan tersebut pada hakikatnya secara intrinsik, menurut
kodratnya adalah buruk dan jahat. Umpamanya prajurit lari dari
kesatuannya dengan tidak sah (desersi), meracun tamu, atau sebagai saksi
dusta di depan pengadilan. Perbuatan-perbuatan tersebut sifatnya
destruktif tidak hanya bagi kemampuan-kemampuan dasar dan tuntutantuntutan manusia, tetapi juga destruktif bagi hakikat manusia sendiri.
Memang ada manusia yang mengerjakan itu, tetapi ini bukan titik
persoalannya. Persoalannya ialah bahwa perbuatan-perbuatan itu adalah
buruk, dan kita mau mencari sebabnya mengapa buruk. Perbuatan semacam
itu harus dianggap sebagai kekecualian, bukan hukum; sebagai modal pada
umat manusia, bukan suatu ideal. Bila disebarkan secara luas, perbuatanperbuatan tersebut mengancam kehidupan masyarakat di mana perbuatanperbuatan itu dilakukan.
Agaknya membunuh dan menganianya telah menjadi adat
kebiasaan kaum kontrarevolusioner Gestapu. Sesuai dengan moral dalangdalangnya baik adalah yang baik bagi partai, dan membunuh adalah baik
asal maksud tujuan tercapai. Banyak orang yang telah terhasut dan
menerima macam immoralitas ini. Tetapi manusia Indonesia sebagai
keseluruhan tidak bida menerima, dan menganggap bahkan mengutuk,
bahwa perbuatan semacam itu biadab. Membunuh, menganiaya, tidak bisa
diterima, apalagi dikatakan baik meskipun bagi PKI telah menjadi adat. Maka
membunuh dan menganiaya itu tidak dapat hanya kita dasarkan adat
semata. Dasar semestinya lebih dalam dari adat. Adat semata tidak
membuat moralitas.
e. Dia tas baru saja selesai kita perbincangkan mengenai teori yang berkata
bahwa moralitas didasarkan atas dasar kebiasaan adalah tidak benar.
Sekarang ada teori yang mengatakan bahwa moralitas bersumber pada
negara atau masyarakat politik. Orang-orang yang mengajarkan teori
tersebut adalah Thomas Hobbes dan Jean Jacques Rousseau. Meraka
berkata bahawa, sebelum manusia mengorganisasi dirinya ke dalam
masyarakat politik, tidak ada hal yang baik dan buruk. Negara sendiri
bukanlah masyarakat kodrat, melainkan hasil dari social contract,
persetujuan yang sama sekali konvensional, yang dengan itu manusia
mengorbankan sebagia hak-hak kodratnya untuk menyelamatkan hak-hak
kodrat lainnya. Pada saat masyarakat sipil terbentuk, masyarakat ini
memerintahkan dan melarang
perbuatan-perbuatan tertentu guna
tercapainya common good. Dan inilah saat munculnya hal yang baik dan hla
yang buruk. Jadi, tidak ada peruatan yang baik dan buruk menurut
hakikatnya, tetapi hanya kerana diperintahkan atau dilarang oleh negara.
Jadi, teori tersebut menyamakan moralitas dengan civil legality.
Hobbes dan Rousseau sangat berbeda pandangannya tentang
kedudukan alam, bentuk social contract, maka memindahkan hak-hak, dan
kedudukan kedaulatan. Tetapi semuanya ini lebih bertalian dengan teori
mereka tentang negara.
Di sini yang menjadi perhatian kita adalah kenyataan bahwa mereka
menolak adanya moralitas intrinsik. Mungkin ada yang ragu-ragu apakah
banyak berbeda mendasarkan moralitas atas negara atau atas adat. Bila
keduanya sekadar konvensi, semuanya saja berasal dari manusia. Tetapi
yang jelas Hobbes dan Rousseau menegaskan bahwa sahnya moralitas
hanya sejak negara telah terbentuk. Beberapa baris tulisan Hobbes akan
menjelaskan hal tersebut:
“During the time men live without common power to keep them all
in awe they are in that condition which is called war; and such a war
as if of every man against every man … To this war of every man
against every man, this is consequent; that nothing can be unjust.
The notions of right and wring, justice and injustice, have there no
place. Where there is no common power, there is no law; where no
law, no injustice. Force and fraud are in war the two cardinal virtues.
Justice and injustice are none of the faculties neither of the body
nor mind. If they were, they might be in a man that were alone in
the world, as well as his senses and passions. They are qualities that
relate to men in society, not in solitude. It is consequent also to the
same condition, that there be no propriety, no dominion, no mine
and thine distinct; but only that to be every man's, that he can get;
and for so long as he can keep it ....
Where no covenant hath preceded, there hath no right
been transferred, and every man has a right to everything; and
consequently no action can be unjust.... Before the names of just
and unjust can have place, there must be some coercive power, to
compel men equally to the performance of their covenants, by the
terror of some punishment greater than the benefit they expect by
the breach of their covenant .. and such power there is none before
the erection of a commonwealth...”
Rousseau dengan jelas menandaskan bahwa moralitas didasarkan
atas konvensi:
“Man is born free, and everywhere he is in chains. Many
one believes himself the master of others, and yet he is a greater
slave than they. How has this change come about? I do not know.
What can render it legitimate? I believe that I can settle this
question.. . . The social order is a sacred right which serves as a
foundation for all others. This right, however, does not come from
nature. It is therefore based on conventions. The question is to
know what those conventions are....
“Since no man has any natural authority over his fellow
man, and since force is not the source of right, conventions remain
as the basis of all lawful authority among men.... “The passage from
the state of nature to the civil state produces in a man a very
remarkable change, by substituting in his conduct justice for
instinct, and by giving his actions the moral quality they previously
lacked.
Kita mau menyetujui bahwa negara dapat mengumumkan hukum
tentang hal-hal yang indiferen dan membuatnya binding in conscience.
Sebagai penjaga ketertiban umum dan keamanan, negara dapat
menentukan kal au kita mengendarai sesuatu, hendaknya selalu jalan kiri,
meskipun bisa memilih antara sisi kiri atau kanan. negara dapat memberikan
moralitas ekstrinsik kepada suatu perbuatan yang intrinsik indiferen. Tetapi
tidak semua macam perbuatan seperti ini. Ada beberapa perbuatan yang
tidak dapat diperintalikan oleh negara dan ada beberapa yang tidak bisa
dilarangnya. Tidak ada satu negara pun yang bisa survive yang
memerintahkan pembunuhan, penggarongan, pengkhianatan, atau yang
melarang keramahtamahan, kejujuran, loyalitas. perbuatan-perbuatan
tersebut sudah baik atau buruk sebelum ada negara. Perbuatan-perbuatan
tersebut tidaklah baik atau buruk karena hukum-hukum negara
memerintahkan atau melarangnya, tetapi negara wajib memerintahkan atau
melarangnya karena perbuatan-perbuatan tersebut baik atau buruk pada
hakikatnya.
Argumen: Apabila negara membuat moralitas, negara dapat
mengubah atau menghapuskan moralitas. Tetapi negara tidakdapat
mengubah atau menghapus moralitas, maka negara tidak membuat
moralitas.
f.
Bila moralitas itu bukan hasil konvensi manusia, sumbernya harus terdapat
pada Tuhan. Tetapi pertanyaan asli kita tetap sama. Apakah perbuatan itu
baik karena Tuhan memerintahkan dan buruk karena Tuhan melarangnya,
ataukah Tuhan memerintahkan karena perbuatan-perbuatan tersebut baik
menurut hakikatnya dan melarangnya karena perbuatan tersebut buruk
menurut hakikatnya? Bila alternatif pertama dipilih, maka tidak terdapat
moralitas kodrat atau intrinsik, dan bahwa semua moral itas datangnya dari
hukum positif illahi. Jadi, di sini ada positivisme moral.
Para penulis abad pertengahan yang memenangkan kehendak di
atas akal budi cenderung ke arah ini (voluntarisme sebagai lawan
intelektualisme). John Duns Scotus berpendapat bahwa semua keharusan
(obligation) datangnya dari kehendak Tuhan yang mutlak merdeka, dan
bahwa perbuatan serong atau perzinahan dan pembunuhan pada
hakikatnya buruk bagi manusia sebagai sesuatu yang berlawanan dengan
kodratnya. Tetapi perbuatan-perbuatan tersebut tidak akan buruk andaikata
dulu Tuhan tidak melarangnya. Ia percaya akan adanya kebaikan atau
keburukan intrinsik, tetapi tidak percaya kepada kebenaran atau kesalahan
intrinsik (intrinsic rightness or wrongness).
William dan Ockham menolak bahwa konsep universal itu
mempunyai dasar pada realitas. Bahkan kehendak illahi juga ia bebaskan
dari kebergantungannya kepada ide-ide illahi, dan membuat kebaikan atau
keburukan perbuatan-perbuatan itu hanya bergantung kepada kehendak
illahi. Dalam salah satu tulisan, ia berkata bahwa Tuhan bahkan bisa
memerintahkan makhluk-makhluk-Nya untuk membenci Dia, dan
kebenciannya ini akan menjadi baik (meritorious). Pada hakikatnya semua
perbuatan itu indiferen, tetapi menjadi baik atau buruk karena
diperintahkan atau dilarang oleh Tuhan.
Samuel Pufendorf, seorang juris berkebangsaan Jerman yang
terkenal, menyatakan bahwa semua bentuk moralitas itu bergantung pada
kehendak bebas Tuhan. Tetapi apa yang ia maksudkan agaknya bahwa
Tuhan bisa menciptakan sembarang makhluk yang Dia hendaki. Tetapi Dia
kemudian menuntut ciptaan-Nya menyesuaikan perbuatannya dengan
hakikatnya. Tidak ada satupun dari penulis-penulis tersebut yang
mengatakan bahwa Tuhan sesungguhnya semau-Nya dan seenak-Nya saja
dalam menghendaki sesuatu.
Rene Descartes bahkan secara gamblang menerangkan bahwa juga
kebenaran-kebenaran matematis itu bergantung pada pemilihan bebas
Tuhan. Bila benar demikian, kebenaran moral tidak lain hanya khayalan illahi
yang semaunya saja.
Descartes menu I s:
“It is self contradictory that the will of God should not have been
from eternity indifferent to all that has come to pass of that ever
will occur, because we can form no conception of anything good or
true, of anything to be believed or to be performed or to be
ommited, the idea of which existed in the divine understanding
before God's will determined Him so to act as to act as to bring it to
pass. Nor do I speak here of priority of time; I mean that it was not
even priorer in order, or in nature, or in reason relation, as they say,
so that the idea of good impelled God to choose one thing rather
than another... God did not will the three angles of a triangle to be
equal to two right angles because He know that they could not be
anotherwise. It is because He will that the three angles of a triangle
to be neccessary equal to two right angels that this is true and
cannot be otherwise... and so in other cases.”
Benar bahwa moralitas itu bergantung kepada Tuhan dan bahwa;
kehendak Tuhan adalah bebas, tetapi penjelasan di atas tidak kuat. Kita
tidak boleh membayang-bayangkan seakan-akan Tuhan melihat daftar
perbuatan-perbuatan manusiawi yang mungkin (possible human acts), dan
kemudian mengambil semau-mau-Nya beberapa perbuatan, dan Dia
pastikan sebagai salah. Benar bahwa Tuhan memerintahkan perbuatan yang
baik dan melarang perbuatan yang buruk. Tetapi kehendak-Nya ini tidak
sembarangan dan tidak semau-maunya. Kehendak Tuhan bergantung pada
intelek-Nya. Dan keduanya, kehendak dan intelek, bergantung pada hakikatNya.
Tidak terdapat adanya kontradiksi dalam Tuhan. Tidak dapat Tuhan
memerintahkan manusia menjalankan suatu perbuatan yang Tuhan sendiri
tidak mungkin memerintahkannya, karena berlawanan dengan kekudusan
Tuhan. Tuhan juga tidak dapat melarang manusia mengerjakan suatu
perbuatan yang justru kekudusan Tuhan sendiri menuntutnya. Tuhan tidak
dapat keji, tidak adil, menipu. Maka Tuhan tidak hanya tidak menghendaki
hal-hal tersebut, Dia sendiri tidak dapat. Apa sebabnya?. Karena jika
bertindak dem ikian berarti Dia akan menghancurkan diri-Nya sendiri. Dan
Tuhan adalah ada yang berada menurut hakikat-Nya. Maka Tuhan tidak
dapat memerintahkan perbuatan-perbuatan semacam itu kepada manusia.
Perbuatan-perbuatan tersebut tidaklah buruk karena Tuhan telah
melarangnya. Tetapi Tuhan wajib melarangnya karena perbuatan-perbuatan
tersebut buruk pada hakikatnya.
Apabila moralitas bergantung pada pemilihan Tuhan yang serba
sembarangan dan semau-maunya, mungkin sekali Dia menentukan aturanaturan moralitas yang ada sekarang berakhir sampai saat tertentu, dan
diganti dengan yang lainnya yang bertentangan. Bila benar demikian, berarti
Tuhan sendiri akan membuat manipulasi-manipulasi, tipuan-tipuan tentang
moralitas dan manipulasi-manipulasi atas diri-Nya sendiri sebagai sumber
moralitas.
H. PENGERTIAN HUKUM
Pergaulan hidup masyarakat dapat menjadi tertib dan teratur karena
adanya tatanan dalam masyarakat. Tatanan masyarakat itu pada hakikatnya
merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang
seyogianya tidak dilakukan, yang dilarang dijalankan atau yang dianjurkan
untuk dijalankan. Dengan adanya tatanan masyarakat maka dapat dicegah
gangguan-gangguan kepentingan manusia dan akan dapat dihindarkan
bentrokan antarkepentingan sehingga diharapkan kepentingan-kepentingan
manusia dapat dilindungi. Tatanan masyarakat itu ada yang berbentuk tertulis
dan ada pula yang tidak tertulis yang hidup dan berkembang berdasarkan
keyakinan dalam masyarakat yang diteruskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Segala sesuatu yang dapat menciptakan ketertiban dan keteraturan
dalam masyarakat yang berupa aturan tingkah laku dapat dikatakan sebagai
salah satu ciri hukum.
Merupakan kenyataan bahwa setiap saat hidup manusia dikuasai oleh
aturan tingkah laku. Aturan tingkah laku berlaku sejak dalam kandungan
sampai manusia lahir ke dunia dan sesudah meninggal dunia. Tatanan
masyarakat yang memuat tingkah laku secara material dapat kita katakan
sebagai hukum. Maka hubungan hukum yang terdapat dalam masyarakat
tentulah tidak terhingga jumlahnya. Akibatnya hukum tidak terbatas pada
suatu segi saja dan terdapat di mana-mana.
Oleh karena itulah hukum banyak seginya dan demikian luasnya
sehingga tidak mungkin orang dapat menyatukannya dalam suatu rumusan
(definisi) secara memuaskan.
Sesungguhnya apabila kita meneliti benar-benar tentang tatanan
masyarakat dan sifat-sifatnya sebagai yang telah dikemukakan di depan maka
sukarlah bagi kita untuk memberikan definisi tentang pengertian hukum yang
dapat memuaskan semua pihak.
Secara umum kita dapat melihat bahwa hukum merupakan seluruh
aturan tingkah laku berupa norma/kaidah baik tertulis maupun tidak tertulis
yang dapat mengatur dan menciptakan tata tertib dalam masyarakat yang
harus ditaati oleh setiap anggota masyarakatnya berdasarkan keyakinan dan
kekuasaan hukum itu.
Pengertian tersebut didasarkan pada penglihatan hukum dalam arti kata
materiil, sedangkan dalam arti kata, formal hukum adalah kehendak ciptaan
manusia berupa norma-norma yang berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku,
tentang apa yang boleh dilakukan dan tentang apa yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang dan dianjurkan untuk dilakukan. Oleh karena itu, hukum
mengandung nilai-nilai keadilan, kegunaan, dan kepastian dalam masyarakat
tempat hukum diciptakan. Untuk memperdalam pengertian hukum, bagi
pembaca, dapat kami kemukakan beberapa pendapat para ahli hukum yang
telah memberikan definisi yang antara lain sebagai berikut.
5. Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah atau larangan) yang
mengatur tata tertib dal= suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh
anggota masyarakat dan jika dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pihak
pemerintah dari masyarakat itu. (E. Utrecht, 1961: 12).
6. Hukum adalah karya manusia berupa norma-norma yang berisikan petunjukpetunjuk tingkah laku. Hukum merupakan pencerminan dari kehendak manusia
tentang bagaimana seharusnya masyarakat dibina dan ke mana harus
diarahkan. Oleh karena itu pertamatama, hukum mengandung rekaman dari
ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum diciptakan. Ide-ide tersebut
berupa ide mengenai keadilan. (Satjipto Rahardjo, 1986: 20).
7. Hukum adalah peraturan-peraturan bersifat memaksa yang dibuat oleh badanbadan resmi yang berwajib, yang menentukan tingkah laku manusia dalam
lingkungan masyarakat, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi
berakibat diambilnya tindakan hukuman. (J.C.T. Simorangkir dan Woerjono
Sastropranoto, 1959: 6).
8. Kaidah hukum merupakan ketentuan atau pedoman tentang apa yang
seyogianya atau seharusnya dilakukan. Pada hakikatnya kaidah hukum
merupakan perumusan pendapat atau pandangan tentang bagaimana
seharusnya atau seyogianya seseorang bertingkah laku. Sebagai pedoman
kaidah hukum bersifat umum dan pasif. (Sudikno Martokusumo, 1986: 16).
Dari beberapa definisi tentang hukum tersebut, tampaklah bahwa
hukum meliputi kehidupan manusia dalam pergaulan masyarakat yang
menyangkut hidup dan kehidupan manusia agar hidup teratur, serta
merupakan pedoman atau patokan sikap tindakan atau perilaku yang pantas
dalam pergaulan hidup antarmanusia.
Bertitik tolak dari beberapa definisi hukum tersebut, dapatlah
disimpulkan bahwa hukum terdiri atas beberapa unsur sebagai berikut:
f.
Peraturan atau kaidah-kaidah tingkah laku manusia dalam pergaulan
antarmanusia (masyarakat).
g.
Peraturan diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
h.
Peraturan merupakan jalinan-jalinan nilai, merupakan konsepsi abstrak
tentang adil dan tidak adil serta apa yang dianggap baik dan buruk.
i.
Peraturan bersifat memaksa.
j.
Peraturan mempunyai sanksi yang tegas dan nyata.
Di samping itu, kita juga dapat melihat bahwa hukum ditandai oleh
ciri-ciri berikut:
c. Adanya perintah dan/atau larangan.
d. Perintah dan/atau larangan itu hares dapat ditaati oleh setiap orang.
Setiap warga masyarakat wajib mematuhi peraturan/kaidah hukum
tersebut agar tata tertib di dalam masyarakat tetap terpelihara dengan sebaikbaiknya. Untuk mempertahankan hukum perlu adanya sanksi yang tegas dan
nyata, yang datang dari pihak pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan adanya
sesuatu kekuasaan hukum untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam
masyarakat.
I.
SANKSI ATAS PELANGGARAN NORMA/TATANAN SOSIAL
Pada hakikatnya tatanan keagamaan, kesopanan, kesusilaan, dan
kebiasaan, sebelum diresepsi sebagai hukum, kekuasaannya tidak sama
kuatnya dengan kekuasaan hukum (E. Utrecht, 1961: 18). Adapun yang
menjadi sebab adanya perbedaan kekuasaan di antara bermacam-macam
tatanan itu adalah perbedaan legitimasi sanksinya.
Yang dapat memberi atau memaksakan sanksi terhadap pelanggaran
kaidah hukum adalah penguasa karena dalam penegakan hukum jika hal ada
pelanggaran menjadi monopoli penguasa. Penguasa mempunyai kekuasaan
untuk memaksakan sanksi terhadap pelanggaran kaidah hukum. Hakikat
kekuasaan tidak lain adalah kemampuan seseorang untuk memaksakan
kehendaknya kepada orang lain.
Adapun yang dimaksud dengan sanksi adalah akibat sesuatu perbuatan
atau suatu reaksi dari pihak lain (manusia atau organisasi sosial) atas sesuatu
perbuatan. (E. Utrecht, 1961: 18).
Umumnya yang dianggap merupakan perbedaan yang menonjol antara
tatanan hukum dan tatanan masyarakat lainnya ialah sanksinya. Sanksi
terhadap pelanggaran tatanan hukum dapat dipaksakan, dapat dilaksanakan di
luar kemauan yang bersangkutan dan bersifat memaksa, yang datangnya dari
pihak pemerintah (overheid) yang bertugas mempertahankan tata tertib dalam
masyarakat. Misalnya dalam norma hukum: “Setiap perbuatan melanggar
hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, wajib mengganti
kerugian pada pihak yang dirugikan”. Hal itu dapat dipaksakan karena yang
menderita kerugian dapat menggugat oraili;_, yang menimbulkan kerugian
tersebut. Setelah dijatuhkan putusan dapat diminta pelaksanaan keputusan
tersebut dengan mengadakan penyitaan terhadap harta kekayaan orang yang
menimbulkan kerugian itu. Lalu harta sitaan itu dilelang/dijual sebagai
pemenuhan tuntutan ganti kerugian tersebut. Penjualan dan penyitaan di luar
kemauan yang bersangkutan, tetapi merupakan sanksi dari norma hukum.
Begitu juga jika ada orang melakukan pencurian sehingga dijatuhi hukuman
penjara maka is dapat dipaksakan (di luar kemauannya) untuk dimasukan ke
dalam penjara.
Dalam pelanggaran tatanan keagamaan, kebiasaan (yang belum
diresepsi dalam hukum) reaksi dari pihak pemerintah jarang sekali ada,
kecuali pelanggaran tersebut membahayakan kepentingan umum. Dalam hal
pelanggaran tatanan kesusilaan, reaksi dari pemerintah pada umumnya tidak
ada sama sekali, namun pelanggaran terhadap tatanan ini akan mendapat
teguran, ataupun celaan dari masyarakat. Sanksi dari masyarakat tersebut,
kadang kala dirasakan lebih berat daripada sanksi hukum yang dijatuhkan oleh
pemerintah.
Walaupun sanksi tatanan hukum bersifat memaksa tidak berarti bahwa
sanksi atas pelanggaran terhadap tatanan masyarakat lainnya sama sekali tidak
memaksa. Karena sanksi masyarakat meskipun bersifat teguran, ataupun
celaan dirasakan juga sebagai tekanan atau paksaan sehingga orang akan
merasa tidak senang untuk melanggarnya.
Kesadaran atau ketaatan orang kepada tatanan hukum bukanlah
semata-mata hanya didasarkan pada sanksi yang bersifat memaksa, melainkan
juga karena didorong alasan keagamaan dan kesusilaan.
Tidak setiap kaidah hukum disertai dengan sanksi. Kaidah tanpa sanksi
disebut leximperfecta. Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 298 BW
(Burgerlijk Wetboek: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) misalnya,
seorang anak berapa pun umumya wajib menghormati dan menyegani orang
tuanya, merupakan leximperfecta (undang-undang/ peraturan yang tidak ada
sanksinya). Ketentuan itu tidak ada sanksinya. (Sudikno Martokusumo. 1986:
19).
Di samping itu juga ada kaidah hukum yang tidak dapat dipaksakan
sanksi hukumnya secara paksa, misalnya perikatan yang timbul karena
perjudian, yang dalam pembayaran pertaruhan perjudian itu telah secara
sukarela dipenuhi tidak dapat dilakukan penuntutan kembali. Perikatan yang
sedemikian disebut natuur lijke verbintenis atau perikatan alamiah (vide Pasal
1359 BW).
Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa pelaksanaan sanksi
hukum adalah monopoli hak penguasa ataupun pemerintah (overheid) yang
bertugas mempertahankan tata tertib masyarakat. Perorangan tidak
diperkenankan melaksanakan sanksi untuk menegakkan hukum. Misalnya kita
tidak boleh memukuli seorang pencuri yang tertangkap, menyita barangbarang orang yang terutang kepada kita ataupun menyandera orang untuk
melunasi utangnya dan lain-lain. Tindakan seperti itu adalah tindakan
menghakimi sendiri atau main hakim sendiri (eigenrichting).
Tindakan main hakim sendiri tidak lain merupakan tindakan untuk
melaksanakan hak atau mempertahankan hak persetujuan pihak lain yang
berkepentingan. Tindakan main hakim sendiri dilarang atau tidak dibenarkan
oleh hukum yang pada umumnya merupakan tindakan pidana. Oleh karena itu,
setiap pelanggar norma atau tatanan hukum harus diselesaikan melalui
perantara hakim dan berdasarkan hukum.
Meskipun pada setiap pelanggaran norma hukum pada dasarnya
dikenakan sanksi hukum tetapi juga ada dalam norma-norma hukum tertentu
yang tidak dikenakan sanksi. Hal itu merupakan pengecualian hukum yakni
dalam hal-hal tertentu seseorang dapat dikecualikan dari hukuman dengan
alasan-alasan tertentu walaupun perbuatannya telah melanggar hukum.
Misalnya orang yang sempurna akal atau sakit hembah akal, orang yang
melakukan perbuatan dalam keadaan terpaksa (overniacht), dalam keadaan
damrat (noodtoestand), pembelaan diri secara darurat (noodweer), membela
diri melampaui batas (noodweer aces), melaksanakan perintah undang-undang
(wettelijkvoorschrift) dan imelaksanakan perintah yang sah (bevoegdgezag).
Perbuatan-perbuatan yang tersebut pada hakikatnya merupakan
pelanggaran norma hukum, tetapi tidak dikenakan sanksi. Hal itu
dimungkinkan karena adanya alasan pembenaran (rechtvaardigings grid) dan
perbuatan-perbuatan tersebut pada hakikatnya merupakan iv:.ana-2aran norma
hukum, tetapi tidak dikenakan sanksi atau tidak hi hukuman karena pelaku
pelanggaran dibebaskan dari kesalahan (schulduitsluitings gronden).
Secara terperinci tentang perbuatan-perbuatan yang melanggar EL.:177-.a hukum tertentu yang dikenakan sanksi atau yang dapat alikan dari
hukuman sebagaimana tersebut di atas lebih lanjutan di bawah ini.
J.
ALASAN PENGECUALIAN HUKUMAN
Dari contoh-contoh perbuatan yang tidak dapat dikenakan sanksi atau
yang dikecualikan dari hukuman, sebagaimana yang telah dikemukakan di
atas maka alasan-alasan tentang pengecualian hukuman dapat kita kategorikan
dalam dua kelompok, yaitu sebagai berikut:
3.
Dikecualikan dari hukuman karena alasan-alasan pembenaran atau karena
adanya alasan yang menghapuskan anasir-anasir melawan hukum
(rechtvaardigings grand).
4.
Dikecualikan dari hukuman karena alasan-alasan pelaku pelanggaran
dibebaskan dari kesalahan atau alasan-alasan yang menghilangkan
kesalahan (schttlduitsluitings granden).
ad.1. Karena Alasan Pembenaran atau Menghapus Anasir Melawan
Hukum
e. Keadaan Darurat (Noodtoestand)
Keadaan darurat merupakan pertentangan antara kepentingan
hukum (conflict van rechtsbelangen) atau suatu pertentangan antara
kepentingan hukum dan kewajiban hukum (conflict van
rechtsbelang en rechtsplicht) dan pertentangan antara kewajiban
hukum (conflict van rechtsplichten).
Suatu contoh dalam keadaan darurat, dalam hal pertentangan
antara kepentingan hukum adalah suatu keadaan ketika dua orang
yang terapung di tengah laut berpegangan sebilah papan kayu untuk
mempertahankan hidup masing-masing dengan berusaha
menyingkirkan. lawannya. Kalau kedua-duanya tetap berpegangan
papan kayu tersebut maka kedua-duanya akan mati tenggelam. Yang
berhasil hidup mencapai daratan meskipun menyebabkan matinya
yang lain tidak akan dihukum. Di tengah laut itu tidak sempat minta
pengadilan. la terdesak oleh keadaan. Keadaan tertentu itu
membenarkan perbuatannya.
Contoh mengenai keadaan darurat dalam hal pertentangan
antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum, misalnya seorang
petugas pemadam kebakaran hendak menolong seseorang yang
tersekap dalam rumah yang terbakar dengan merusakkan pintu dari
rumah tersebut karena pintu rumah itu tidak dapat lagi dibuka secara
normal. Perbuatan petugas kebakaran itu pada hakikatnya
merupakan pengrusakan tapi keadaan memaksa petugas kebakaran
itu berbuat demikian untuk menjamin kepentingan hukum atas orang
tersekap dalam rumah yang sedang terbakar itu sehingga melanggar
kewajiban hukum (kewajiban untuk tidak merusak pintu rumah yang
sedang terbakar tersebut). Petugas kebakaran tersebut insaf akan
keadaan bahaya bagi diri orang yang sedang tersekap atau terkurung
dalam rumah yang sedang terbakar itu, dengan memilih menjamin
kepentingan hukum clari orang tersebut, dan oleh karena itu petugas
kebakaran melanggar suatu peraturan hukum atau kewajiban
hukumnya untuk tidak merusak rumah yang terbakar itu. Perbuatan
petugas pemadam kebakaran itu dikecualikan dari hukum atau tidak
dapat dihukum.
Contoh dalam keadaan darurat dalam hal pertentangan antara
kewajiban hukum, misalnya seseorang yang telah dipanggil untuk
menjadi saksi dalam suatu perkara di Pengadilan Negeri Medan.
Pada hari dan waktu yang sama ia juga dipanggil untuk memberikan
keterangan sebagai saksi di Pengadilan Negeri Binjai. Jika ia
memilih panggilan Pengadilan Negeri Medan dan tidak memenuhi
panggilan Pengadilan Negeri Binjai, ia tidak dapat dihukum karena
tidak memenuhi panggilan Pengadilan Negeri Binjai tersebut. Perlu
diingat bahwa dalam dua kewajiban hukum pada waktu yang sama
seseorang dapat memilih salah satu dari kewajiban hukum tersebut.
f.
Penzbelaan Dini Secara Darurat (Noodweer)
Pembelaan secara darurat merupakan salah satu alasan untuk
dikecualikan dari hukuman atau dibebaskan dari hukuman
sebagaimana yang disebut dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP.
“Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan,
karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan
hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap
kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri
maupun orang lain, tidak dipidana.”
Di sini orang terpaksa membela diri secara mati-matian
karena dalam keadaan terdesak. Contoh pembelaan terpaksa ialah:
seseorang yang tepergok seorang pencuri di pekarangannya pada
tengah malam terpaksa berkelahi dan membela diri mati-matian
yang akhirnya mengakibatkan matinya pencuri. Si “pembunuh”
pencuri tidak dapat dihukum. Ia dibenarkan membela dirinya matimatian, meskipun menyebabkan matinya pencuri.
Unsur-unsur atas elemen yang harus dipenuhi dalam Pasal 49
ayat (1) KUHP, menurut E. Utrecht di dalam bukunya Hukum
Pidana I ialah sebagai berikut.
(7) Adanya suatu serangan.
(8) Serangan diadakan sekonyong-konyong (ogenblikklijk), atau
suatu ancaman yang kelak akan dilakukan (onmiddellijk
dreigende aanranding).
(9) Serangan itu melawan hukum (wederrechtelijk).
(10) Serangan itu dilakukan terhadap diri sendiri, diri orang lain, hormat diri orang lain, harta benda sendiri, atau harta benda orang
lain.
(11) Pembelaan terhadap serangan itu perlu diadakan (noodzakelijk),
yakni pembelaan itu bersifat darurat.
(12) Alat yang dipakai untuk membela atau cara membela harus
setimpal. (E. Utrecht, 1958: 364).
g. Melaksanakan Perintah Undang-Undang (Wettelijk Voorschrift)
Dalam Pasal 50 KUHP ditentukan: “Barangsiapa melakukan
perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak
dipidana”. Melaksanakan ketentuan undang-undang tidak hanya
terbatas pada melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh undangundang saja tetapi meliputi juga perbuatan yang dilakukan atas
wewenang yang diberikan oleh undang-undang. Perbuatan
menjalankan peraturan perundang-undangan itu hams merupakan
suatu perbuatan menjalankan peraturan perundang-undangan guna
kepentingan pribadi tidak dapat dibenarkan.
Di sini diletakkan suatu prinsip apa yang telah diharuskan
atau diperintahkan oleh suatu undang-undang yang lain. Yang
dimaksud dengan undang-undang di sini ialah semua peraturan yang
dibuat oleh suatu badan pemerintahan yang diberi kekuasaan untuk
membuat undang-undang. Jadi termasuk pula misalnya peraturan
pemerintah dan peraturan-peraturan pemerintah daerah seperti
provinsi, kabupaten, dan kota praja. Menjalankan undang-undang
artinya tidak hanya terbatas pada melakukan perbuatan yang
diperintahkan oleh undang-undang, tetapi lebih luas lagi, ialah
meliputi pula perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas wewenang
yang diberikan oleh suatu undang-undang. Sebagai contoh: pada
pengosongan suatu rumah, petugas juru sita dapat
meletakkannya di jalan umum. Sekalipun ada larangan pemerintah
daerah untuk meletakkan barang-barang di jalan umum, namun
petugas juru sita tersebut tidak dapat dihukum.
Contoh lain misalnya: seorang polisi mengawal seorang
tahanan, yang sangat berbahaya karena telah berulang kali
melakukan pembunuhan, dari penjara ke gedung Pengadilan Negeri.
Dalam perjalanan tahanan tersebut melarikan diri. Polisi pengawal
telah beberapa kali menembak ke atas sebagai peringatan dan
penjahat tidak mau menyerah sampai akhirnya polisi menembak
mati tahanan itu. Penembakan itu mengakibatkan matinya tahanan
tersebut. Walaupun ketentuan hukum tidak membenarkan polisi
untuk menembak mati seorang tahanan, namun dalam hal ini
tindakan polisi tersebut dapat dibenarkan.
h. Melaksanakan Perintah Jabatan yang Salt (Bevoegdgezag)
Dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP (kitab undang-undang hukum
pidana) ditentukan: “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk
melakukan perintah jabatan, perintah yang diberikan oleh penguasa
yang berwenang, tidak dipidana”.
Syarat pertama yang disebutkan pada pasal itu ialah bahwa
orang yang berwenang melakukan perbuatan adalah atas suatu
perintah jabatan. Antara pemberi perintah dengan orang yang
diperintah harus ada perhubungan yang bersifat kepegawaian negeri,
bukan pegawai partikulir. Tidak perlu bahwa yang diberi perintah itu
harus orang bawahan dari yang memerintah. Mungkin lama
pangkatnya, tetapi yang perlu ialah bahwa antara yang diperintah
dan yang memberi perintah ada kewajiban untuk menaati perintah
itu.
Syarat kedua ialah bahwa perintah harus diberikan oleh
kuasa yang berhak untuk memberikan perintah itu. Jika kuasa tidak
berhak untuk itu maka orang yang menjalankan perintah tali tetap
dapat dihukum atas perbuatan yang dilakukannya, kecuali orang itu
dengan iktikad baik mengira bahwa perintah itu sah dan diberikan
oleh kuasa yang berhak untuk itu. (R. Soesilo, 1976: 57).
Menghilangkan nyawa orang dilarang oleh undang-undang
dan diancam dengan hukuman. Akan tetapi kalau ada seorang
prajurit dalam suatu operasi militer atas perintah komandannya
untuk menembak mati seseorang maka prajurit tersebut wajib
menaati perintah komandannya itu. Jika pada saat itu prajurit
tersebut menembak mati seseorang maka ia tidak dapat dihukum,
karena prajurit itu melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah
jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu.
ad.2. Karena Alasan Pelaku Pelanggaran Dibebaskan dari Kesalahan
atau Menghilangkan Kesalahan
d. Tidak Matnpu Bertanggung Jawab (Ontoerekeningsvat-baarheid)
Dengan adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum,
belum cukup alasan untuk menjatuhkan hukuman terhadap orang
yang telah melakukan perbuatan itu. Di samping perbuatani
kelakuan yang melawan hukum itu, harus juga ada seorang pembuat
tindak pidana (dadaer) yang mampu bertanggung jawab atas
perbuatan/kelakuannya. Tidak adanya kemampuan untuk
bertanggung jawab pada diri seseorang yang telah melakukan
perbuatan melawan hukum tersebut merupakan suatu alasan untuk
menghapus hukuman.
Tidak mampu bertanggung jawab
(ontoerekeningsvatbaarheid) dapat dilihat dalam dua hal yaitu
sebagai berikut:
(3)
Dalam hal pembuat tidak diberi kemerdekaan memilih antara
perbuatan atau tidak berbuat apa yang oleh undang-undang dilarang atau diperintah, dengan kata lain: dalam hal perbuatan
yang dipaksa.
(4)
Dalam hal pembuat ada di dalam suatu keadaan tertentu
sehingga ia tidak dapat menginsafi bahwa perbuatannya
bertentangan dengan hukum dan ia tidak mengerti akibat
perbuatannya itu (nafsu patalogislpathologischedrift, gila,
pikiran tersesat, dan sebagainya). Kedua hal tersebut yang
diterima oleh Memorie van Toelichting dalam melihat tentang
ada
tidaknya
alasan
bertanggung
jawab
ontoerekeningsvatbaarheid. (E. Utrecht, 1958: 291).
Dalam Pasal 44 KUHP ditentukan bahwa:
Ayat (1)
: Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena
jiwanya cacat dalam pertumbuhannya (gebrekkige
ontuikkeling) atau terganggu karena penyakit
(ziekelijke storing), tidak dipidana.
Ayat (2)
: Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena
jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau
terganggu karena penyakit maka hakim dapat
memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke
dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun
sebagai waktu percobaan.
Ayat (3)
: Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku
bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan
Pengadilan Negeri.
Dalam Pasal 44 sebagai sebab tidak dapat dihukumnya
terdakwa berhubung perbuatannya tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena alasan berikut.
(c) Jiwanya cacat. Yang dimaksud dengan perkataan jiwa ialah
pikiran, kekuatan pikiran, daya pikiran, kecerdasan pikiran.
Teks
bahasa
Belandanya
mengatakan:
verstandelijke
vermogens.
Kalau teks KUHP negeri Belanda memakai kata: geets
vermogens yang berarti kekuatan atau daya jiwa. Siapakah yang
dianggap sebagai kurang sempurna jiwanya misalnya idiot,
imbicil, buta, tuli, dan bisu mulai lahir. Orang-orang semacam
itu sebenarnya tidak sakit, akan tetapi hanya cacat mulai lahir.
Dan karena cacatcacatnya mulai lahir, sehingga pikirannya tetap
sebagai kanakkanak.
(d) Sakit berubah akalnya. Ziekelijke storing der verstandelijke
vermogens. Yang dapat masuk dalam pengertian ini misalnya:
sakit gila, manie, histerie, epilepsi, melancholi, dan bermacammacam penyakit jiwa lainnya.
Orang yang terganggu pikirannya karena mabuk minuman
keras pada umumnya tidak dipandang masuk golongan orang
tersebut, kecuali jika dapat dibuktikan, bahwa mabuknya itu
demikian rupa, sehingga ingatannya hilang sama sekali.
Dalam prakteknya jika polisi menjumpai peristi.wa semacam
itu ia tetap diwajibkan memeriksa perkaranya dan membuat proses
verbal. Hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya
terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu, meskipun ia
dapat pula minta nasihat dari dokter penyakit jiwa (psychiater). Jika
hakim berpendapat bahwa orang itu tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya maka orang, itu tidak
dijatuhi hukuman (dibebaskan dari segala tuntutan pidana). Akan
tempi sebagai tindakan mencegah bahayanya sebagai akibat yang
ditimbulkannya, baik orangnya sendiri, maupun untuk keselamatan
masyarakat, hakim dapat memerintahkan supaya orang itu
dimasukkan dalam rumah sakit jiwa selama masa percobaan,
maksimum satu tahun untuk dilindungi dan diperiksa. (R. Soesilo,
1976: 52).
Dalam menentukan ada tidaknya ontoerekeningsvatbaarheid
atau tidak adanya kemampuan bertanggung jawab dari did pelaku
kejahatan maka gangguan jiwa itu harus ada pada waktu pembuat
melakukan perbuatannya. Hanya hakimlah yang dapat menentukan
adanya keadaan demikian dengan terlebih dahulu mendengar
keterangan para ahli atau dokter rumah sakit atau suatu lembaga
yang, menyelidiki gangguan jiwa manusia.
e. Berat Lawan atau Keadaan Terpaksa (Overmacht)
Suatu perbuatan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa atau
berat lawan tidak dapat dikenakan sanksi. Sebaliknya pelaku
kesalahan dibebaskan dad kesalahan (schuldcluit sluitingsgrond).
Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 48 KUHP: “Barangsiapa
melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.”
Kata “daya paksa” harus diartikan, baik paksaan batin,
maupun lahir, rohani, maupun jasmani. Daya paksa biasanya
dimiliki oleh kekuasaan atau kekuatan. Kekuasaan sering
disalahgunakan untuk berbagai kepentingan dengan memaksa
seseorang melakukan berbagai macam perbuatan. Kekuasaan
biasanya sulit untuk dilawan atau overheid. Mr. J.E. Jonkers
membedakan kekuasaan menjadi tiga macam.
(4) Kekuasaan bersifat absolut. Dalam hal ini orang tidak dapat berbuat
lain.
Ia
mengalami
suatu
yang
sama
sekali
tidak
dapat
mengelakkannya. Ia tidak mungkin memilih jalan lain. Si A dipegang
tangannya oleh B yang lebih kuat dan dipaksa menulis tanda tangan
palsu. Si X dihipnotis oleh Y untuk melakukan suatu peristiwa pidana
dan sebagainya. Dalam peristiwa-peristiwa semacam itu dengan
tidak ada ketentuan Pasal 48 mudah dimengerti pula bahwa orang
yang kedua itu tidak dapat dihukum karena segala sesuatunya yang
melakukan orang yang pertama. Orang pertama itulah yang berbuat
dan dialah yang harus dihukum.
(5) Kekuasaan bersifat relatif. Dalam hal ini kekuasaan atau kekuatan
yang memaksa orang itu tidak mutlak, tidak penuh. Orang yang
dipaksa itu masih ada kesempatan memilih untuk berbuat yang
mana. Misalnya A yang ditodong oleh B dengan pistol, disuruh
membakar rumah, jika A tidak lekas membakar rumah itu, pistol yang
ditodongkan kepadanya akan ditembakkan. Dalam pikiran memang
mungkin A menolak suruhan itu, sehingga ditembak mati. Tetapi jika
ia menuruti perintah membakar rumah itu, meskipun ia berbuat
sesuatu kejahatan toh tidak dihukum karena adanya paksaan
tersebut. Bedanya kekuasaan bersifat absolut dan yang bersifat
relatif itu ialah bahwa pada yang absolut dalam segala sesuatunya
orang yang memaksa itu sendirilah yang berbuat semaunya, sedang
pada yang relatif maka orang yang dipaksa itulah yang berbuat
meskipun dalam paksaan kekuatan. Tidak semua kekuasaan yang
memaksa dapat membebaskan orang dari hukuman. Yang dapat
membebaskan itu hanya sesuatu kekuasaan, yang begitu besarnya
sehingga oleh pendapat umum dapat dipandang sebagai tidak dapat
dihindarkan, tidak dapat dilawan. Seorang yang disuruh orang lain
untuk membakar rumah dengan ancaman dipukul tangan saja
misalnya tidak dapat mengatakan dirinya dalam overmacht, karena ia
bisa melawan atau menghindarkan pukulan itu. Jadi dalam hal ini
apabila orang membakar rumah tersebut ia tetap dihukum. Jadi
paksaan itu harus ditinjau dari banyak sudut, misalnya orang yang
dipaksa itu lebih lemah daripada orang yang memaksa, apakah tidak
ada jalan lain, apakah paksaan itu betul-betul seimbang apabila
dituruti dan sebagainya. Hakimlah yang harus menguji dan
memutuskan hal ini. Polisi hanya mengumpulkan bahan-bahan raja
untuk diajukan pada hakim.
(6) Yang berupa suatu keadaan darurat. Bedanya dengan kekuasaan
yang bersifat relatif ialah bahwa pada keadaan darurat orang yang
dipaksa itu sendirilah memilih peristiwa pidana manakah yang is
lakukan, sedangkan pada kekuasaannya yang bersifat relatif orang itu
tidak memilih dalam hal ini yang mengambil inisiatif adalah orang
yang memaksa. (R. Soesilo, 1976: 54). Mengenai contoh tentang
keadaan darurat ini dapat dilihat pada uraian sebelumnya mengenai
keadaan darurat (noodtoestand).
f.
Pembelaan Diri dengan Melampaui Batas (Noodweerexces)
Pembelaan diri dengan melampaui batas dapat dibenarkan
berdasarkan suatu alasan yang diberi nama noodweerexces alasan
tersebut dicantumkan dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP, yang
berbunyi: “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang
langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena
serangan atau ancaman serangan itu, tidak Oipidana”.
Pembelaan diri dengan melampaui batas sama halnya dengan
pembelaan diri secara darurat. Dalam hal ini harus ada serangan
yang sekonyong-konyong dilakukan atau mengancam pada ketika
itu juga serta batas-batas untuk keperluan pembelaan itu telah
dilampaui.
Anasir-anasir (unsur-unsur) noodweerexces sebagai berikut:
(4) Melampaui batas pembelaan yang perlu.
(5) Terbawa oleh suatu perasaan “sangat panas hati”.
(6) Antara timbulnya perasaan “sangat panas hati” dan serangan
yang dilakukan ada suatu hubungan kasual (E. Utrecht, 1958: 373).
Melampaui batas kemampuan yang perlu dapat disebabkan oleh
kerasnya alat yang dipilih untuk membela diri. Misalnya yang
menyerang menggunakan sepotong kayu kemudian dibalas kembali
dengan mempergunakan sepotong besi. Yang diserang sebenarnya
harus melarikan diri atau mengelakkan ancaman yang kelak akan
dilakukan serangan tetapi juga is masih memilih membela diri.
Pada diri yang diserang ditimbulkan suatu perasaan yang
puas hati, naik darah, atau mata gelap disebabkan karena ketakutan,
putus asa, dan rasa kebencian yang amat dalam. Misalnya seorang
anggota polisi yang melihat istrinya diperkosa orang, dengan
seketika mencabut pistolnya dan ditembakkan beberapa kali pada
orang itu. Hal itu dapat dikatakan bahwa polisi tersebut telah
melampaui pembelaan yang perlu karena biasanya dengan tidak
perlu menembak beberapa kali, orang itu telah menghentikan
perbuatannya dan melarikan diri. Andaikan hal itu dapat dibuktikan
pembelaan melampaui batas yang perlu dilakukan oleh anggota
polisi tersebut disebabkan oleh terguncang jiwanya ketika itu
sehingga menimbulkan amarah yang amat sangat maka oleh sebab
itu polisi tersebut tidak dapat dihukum atas perbuatannya atau dapat
dikecualikan dari hukuman.
BAB VII
MANUSIA, SAINS, TEKNOLOGI
DAN SENI
A MAKNA SAINS, TEKNOLOGI DAN SENI BAGI MANUSIA
1.
Makna Sains Bagi Kehidupan Manusia
Sains (science) dan pengetahuan (knowledge,) mempunyai
pengertian yang berbeda. Sains adalah pengetahuan yang telah memiliki
sistematika tertentu, atau memiliki cirri-ciri khas, serta merupakan species
dari genus yang disebut pengetahuan. Jadi, semua sains pastilah terdiri atas
pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan adalah sains (Dedi supriadi,
1994).
Menurut Kaplan (1963) sebagaimana dikutip Dedi Supriadi (1994),
sains mempunyai ciri-ciri dan standar-standar tertentu sebagai hasil
konsensus para ilmuwan. Ada semacam criteria of demarcation antara
pengetahuan yang telah berstatus sains dengan pengetahuan yang sematamata hanya akal sehat (common sense). Kriteria tersebut ialah: sains
memiliki obyek formal dan materiil tertentu, sistematika isi dan wilayah
studi yang disebut disiplin, terbuka, dan memiliki metode-metode tertentu.
Disiplin manakah yang termasuk ke dalam pengertia sains?
Menurut Goldstein & Goldstein (1980), ada beberapa pengertian tentang
sains. pertama, sains diartikan secara sempit, terbatas pada sains-sains
eksakta seperti fisika, kimia, biologi, astronomi, dan matematika sebagai
alatnya (organon, menurut Aristoteles). Sains-sains ini ditandai oleh
generalitas yang luas dan daya prediksi yang akurat. Akan tetapi apabila
kriteria hokum generalitas (law of generality) dan kemampuan
meramalkan sesuatu secara akurat (accurate predictive power) dijadikan
dasar pendefinisian sains, maka sains-sains sosial dan kemanusiaan akan
sangat sulit memenuhinya, karena objek yang dihadapinya adalah manusia
yang memiliki perasaan, pikiran, dan kehendak. Sains sosial mempunyai
ciri-ciri yang relatif berbeda dengan sains-sains kealaman. Misalnya, objek
sains sosial dan keperilakuan jauh lebih sulit diramalkan dan dikendalikan
daripada objek sains-sains kealaman. Ramalan-ramalan yang sifatnya linier
tidak selalu berlaku dalam sains sosial.
Kedua, sains mengimplikasikan kemampuan untuk melakukan
eksperimen terkendali (controlled experiment) dalam rangka menguji
teori dan hipotesis. Eksperimen terkendali mengandalkan situasi yang
dapat dikendalikan dan variabel-variabel yang dapat dimanipulasi menurut
keinginan peneliti. Definisi ini pun mengandung cacat, bukan hanya untuk
sains-sains sosial, melainkan juga untuk sains-sains kealaman. Eksperimen
dalam sains-sains sosial tidak dapat dilakukan secara murni, melainkan
secara semu (quasi). Ancaman terhadap validitas internal dan eksternal
dalam penelitian sains-sains sosial sangat besar.
Pada sains-sains kealaman sekalipun, definisi sains yang kedua di
atas juga tidak selamanya berlaku. Misalnya, dalam astronomi dan geologi,
dua disiplin sains yang termasuk sains eksakta, apa yang disebut
controlled experiment to test theories tersebut tidak dapat dilakukan secara
murni. Selain itu, dengan menerima definisi kedua, banyak penemuan besar
dalam lapangan sains pengetahuan, tidak termasuk. Goldstein & Goldstein
(1980: 5) menulis, "But accepting this definition of science would
exclude from science many of what we are used to thinking as the
greatest sciimtific achievements."Maksudnya, dengan menerima
definisi ini, maka banyak penemuan besar dalam sains pengetahuan
yang tidak termasuk ke dalam definisi sains.
Ketiga, sains dipahami berdasarkan dimensi pasifnya, yang
mengacu kepada akumulasi fakta dan informasi, sehingga membentuk
suatu sistematika. Dalam pengertian ini, sains lebih dipandang dari
segi isinya yang bertambah terus menerus. Dalam sains ada dalil-
dalil,
hokum-hukum,
teori-teori,
konsep-konsep,
paradigma-
paradigma, hipotesis-hipotesis, dan proposisi-proposisi yang menjadi
pegangtan para ilmuwan dalam melakukan studi-studi keilmuan.
Kuhn (1970) menamakan akumulasi yang sistematis dari hal-hal
tersebut sebagai normal science.
Keempat, sains dipandang dari dimensi aktifnya, yang lebih
dari hanya akumulasi informasi, fakta, konsep, teori, atau paradigma,
melainkan sistem berpikir (Liek Wilardjo, 1987). Sains merupakan
cara kita memandang dunia, memahaminya dan mengubahnya
(Goldstein&Goldstein.
1980).
Cara
pandang
terhadap
dunia
mengimplikasikan bahwa sains merupakan aktivitas kreatif dan
imajinatif manusia (ilmuwan) dalam upaya mencari dan menemukan
kebenaran keilmuan. Pada gilirannya, aktivitas kreatif dan imajinatif
ini diabdikan bagi kepentingan dan kesejahteraan umat manusia
melalui upaya memajukan kebudayaan dan peradaban.
Berdasarkan beberapa pandangan di atas, agaknya bisa ditarik
batasan bahwa yang disebut sains adalah sistem berpikir yang
melibatkan serangkaian aktivitas kreatif dan imajinatif ilmuwan dalam
upayanya mencari kebenaran. Menurut sifat objeknya, secara garis besar
sains dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu sains-sains kealaman
dan sains-sains sosial/kemanusiaan/keperilakuan.
Sains berkembang berkat berbagai penemuan yang berakumulasi
dari waktu ke waktu. Ilmuwan yang datang kemudian, belajar dari
penemuan-penemuan terdahulu, sehingga lahir penemuan-penemuan baru.
Akumulasi informasi keilmuan merupakan salah satu cara untuk melacak
perkembangan Iptek, jauh sejak tradisi intelektual Yunani Klasik
berkembang subur, disusul oleh Hellenisme yang memberikan inspirasi
kepada tradisi intelektual Islam pada zaman keemasannya, diikuti oleh
gerakan Renaissance, kemudian Revolusi Industri dan hingga sekarang.
Jadi, hampir tiada henti-hentinya ikhtiar-ikhtiar keilmuan dilakukan
manusia.
Tanpa
mengesampingkan
terjadinya,
pasang-surut
dalam
perkembangan ikhtiar-ikhtiar keilmuan, tradisi keilmuan dalam formatnya
yang melembaga di tengah masyarakat telah berusia sekitar 25 abad,
terhitung sejak zaman Yunani Klasik hingga sekarang. Sepanjang rentang
waktu itu pula terjadi akumulasi penemuan-penemuan di bidang Iptek
yang diabadikan dalam hukum-hukum, teori-teori, konsep-konsep,
generalisasi-generalisasi, dan hipotesis-hipotesis.
Selain cara di atas, ada cara lain untuk melukiskan perkembangan
keilmuan. Berdasarkan studi historisnya, Kuhn (1970) dalam bukunya
yang sangat populer, The Structure of Scientific Revolutions menyanggah
pandangan bahwa perkembangan sains terjadi berkat akumulasi berbagai
penemuan para ilmuwan. Meskipun akumulasi informasi itu penting, ia
tidak mampu membuat terobosan besar bagi perkembangan sains.
Perkembangan sains terjadi karena revolusi paradigma. Revolusi ini terjadi
ketika paradigma lama yang sedang digunakan para ilmuwan dalam
lingkup normal science, tidak mampu memecahkan masalah-masalah baru
dan anomalis. Revolusi paradigma mengubah perspektif para ilmuwan
tentang alam atas realitas fisik dan sosial yang dihadapinya.
Sejalan dengan Kuhn, Popper (Kleden, 1983) berpendapat bahwa
kemajuan sains bukan semata-mata hasil akumulasi pengetahuan dari
waktu ke waktu, melainkan hasil dari proses eliminasi yang semakin ketat
terhadap kemungkinan terjadinya kekhilafan dan kesalahan. Informasi
pengetahuan yang banyak saja tidak begitu besar artinva bagi
perkembangan sains apabila proses eliminasi kesalahan berjalan lamban.
Akumulasi informasi hanya merupakan a by product dari usaha para
saintis untuk menguji validitas teori-teori yang ada. Setiap sains senantiasa
bersifat tentatif dan hipotetis; ia selalu terbuka bagi pengujian lebih lanjut,
yang disebut verifikasi (mencakup konfirmasi dan falsifikasi). Melalui
proses inilah para saintis akan semakin mendekati kebenaran objektif,
meskipun kebenaran objektif tidak akan pernah tercapai. Jadi, kritik
keilmuan merupakan kebutuhan mutlak bagi perkembangan sains.
Teori Akumulasi, Teori Revolusi Paradigma, dan Teori Verifikasi
tentang perkembangan sains mempunyai tempat dalam masing-masing
sejarah perkembangan sains. Akumulasi pengetahuan memungkinkan
terbukanya horizon-horizon baru dalam studi-studi keilmuan. Dengan
bekal ini, para saintis, dapat mengembangkan paradigma-paradigma baru
dan melakukan verifikasi terhadap teori-teori keilmuan yang ada. Tidak
mungkin revolusi paradigma dan verifikasi teori dapat terjadi dalam
kevakuman.
1. Makna Teknologi Bagi Kehidupan Manusia
Teknologi, di pihak lain, adalah aplikasi dari prinsip-prinsip
keilmuan, sehingga menghasilkan sesuatu yang berarti bagi kehidupan
manusia. Aplikasi prinsip-prinsip ini dapat dalam lapangan teknik maupun
sosial. Melalui aplikasi inilah, sains menemukan arti sosialnya, bukan
hanya demi kepuasaan intelektual ilmuwan semata-mata. Dalam
perkembangan kemudian, bukan hanya teknologi yang menggantungkan
diri pada penemuan-penemuan sains, melainkan perkembangan sains
mengikuti irama perkembangan teknologi. Hal ini sangat jelas kelihatan
pada sains dalam pengertian "bard sciences." Dengan memanfaatkan hasilhasil inovasi teknologi, penelitian sains semakin berkembang cepat, dan
berbagai
perspektif
baru
semakin
terbuka
lebar.
Interaksi
dan
interdependensi antara sains dengan teknologi membuat keduanya tidak
bisa dipisahkan.
Dalam kepustakaan, teknologi terdapat aneka ragam pendapat yang
menyatakan bahwa teknologi adalah transformasi (perubahan bentuk) dari
alam, teknologi adalah realitas/kenyataan yang diperoleh dari dunia ide,
teknologi dalam makna subjektif adalah keseluruhan peralatan, prosedur
yang disempurnakan, sampai pernyataan teknologi adalah segala hal, dan
segala hal adalah teknologi (Elly M. Setiadi, 2010).
Istilah teknologi berasal dari kata techne dan logic. Kata Yunani
kuno techne berarti seni kerajinan. Dan kemudian lahirlah perkataan
technikos yang berarti seseorang yang memiliki keterampilan tertentu.
Dengan perkembangannya ketrampilan seseorang yang menjadi semakin
tetap karena menunjukkan suatu pola, langkah, dan metode yang pasti,
keterampilan itu lalu menjadi teknik.
Hingga permulaan abad XX ini, istilah teknologi dipakai secara
umum dan merangkum suatu rangkaian sarana, proses, dan ide di samping
alat-alat dan mesin-mesin. Perluasan arti itu berjalan terus sehingga
sampai pertengahan abad ini muncul perumusan teknologi sebagai sarana
aktivitas yang dengannya manusia berusaha mengubah atau menangani
lingkungannya. Ini merupakan suatu pengertian yang sangat luas karena
setiap sarana perlengkapan maupun kultural tergolong suatu teknologi.
Teknologi sebagaimana ditulis pada paragraf bagian ini dianggap
sebagai penerapan sains, pengertian bahwa penerapan itu menuju pada
perbuatan atau perwujudan sesuatu. Kecenderungan ini pun mempunyai
suatu akibat di mana kalau teknologi dianggap sebagai penerapan sains,
dalam perwujudan tersebut maka dengan sendirinya setiap jenis
teknologi/bagian sains dapat ada tanpa berpasangan dengan sains dan
pengetahuan tentang teknologi perlu disertai oleh pengetahuan akan sains
yang menjadi pasangannya.
Elly M. Setiadi, dkk. (2010) menulis, ada tiga macam teknologi
yang sering dikemukakan oleh para ahli, yaitu:
1) Teknologi modern, jenis teknologi modern ini mempunyai ciri-ciri, padat
modal, mekanis elektris, menggunakan bahan impor, berdasarkan penelitian
mutakhir, dan lain-lain.
2) Teknologi madya, jenis teknologi madya ini mempunyai ciri-ciri, padat karya,
dapat dikerjakan oleh keterampilan setempat, menggunakan alat setempat,
berdasarkan alat penelitian.
3) Teknologi tradisional, teknologi ini mempunyai ciri-ciri, bersifat padat karya
(banyak menyerap tenaga kerja), menggunakan keterampilan setempat,
menggunakan alat setempat, menggunakan bahan setempat, berdasarkan
kebiasaan atau pengamatan.
Berdasarkan uraian di muka dapat dikatakan bahwa teknologi
merupakan segenap keterampilan manusia dalam menggunakan sumbersumber daya alam untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya
dalam kehidupan. Secara lebih umum dapat pula dikatakan bahwa
teknologi merupakan suatu sistem penggunaan berbagai sarana yang
tersedia untuk mencapai tujuan-tujuan praktis kehidupan.
2. Makna Seni Bagi Kehidupan Manusia
Janet Woll sebagaimana dikutip Elly M. Setadi (2010),
mengatakan bahwa seni adalah produk sosial. Sedang menurut Kamus
Umum Bahasa Indonesia, seni adalah “keahlian membuat karya yang
bermutu (dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya, dan sebagainya),
seperti tari, lukis, ukir, dan lain-lain."
Istilah seni (the art) dalam ilmu sosial menyatu bagai bagian tak
terpisahkan dari apa yang oleh para ilmuwan sosial disebut sebagai
sosiologi seni-seni (sociology of the arts) atau sosiologi seni dan literatur
(sociology of the art and literature). Sebenarnya, sosiologi seni-seni visual
relatif jarang dikembangkan ketimbang sosiologi literatur, drama atau
bahkan film. Sifat generik dari pokok bahasan subdisiplin sosiologi ini
mau tidak mau menimbulkan kesukaran-kesukaran dalam analisis, lantaran
kita tidak selalu bisa menarik garis sejajar antara, katakanlah, musik dan
novel dengan konteks sosial atau politiknya.
Seni benar-benar merupakan wilayah yang cair. Di dalamnya tidak
ada satu model analisis atau teori yang dominan, yang menjelaskan
hubungan seni dan masyarakat. Hal yang diminati adalah masalah
hubungan-hubungan sosial di mana karya seni itu diproduksi. Ahli
sosiologi melihat kepada peran para "penjaga gawang" (para penerbit,
kritikus, pemilik galeri) dalam memperantarai seniman dan masyarakat;
juga mengenai hubungan-hubungan sosial dan proses pengambilan
keputusan di sebuah akademi seni atau perusahaan opera; atau mengenai
hubungan antara produk-produk budaya tertentu (misalkan, fotografi) dan
organisasi-organisasi sosial di mana karya itu dihasilkan (Alder 1979).
Titik beratnya, kendati tidak mesti eksklusif, seringkali adalah pada seniseni pertunjukan (perforating arts), dimana kompleksitas hubunganhubungan sosial dianalisis. Di Inggris, seni-seni pertunjukan mendapat
tempat kedua setelah literatur, yang menjadi fokus para sosiolog.
Terkait dengan hakiki seni seperti itu, apa yang disebut pendekatan
produksi-budaya itu acapkali mendapat kritik karena dianggap sering
mengabaikan produk budaya itu sendiri. Karya seni dianggap sebagai
objek yang sudah demikian adanya dan tidak perlu diperhatikan lagi isi,
sifat simboliknya, atau konvensi-konvensi penyajiannya. Akan tetapi
karya dalam tradisi Marxis ternyata mengakui pentingnya melihat novel,
lukisan, atau film secara kritis dan analitis sebagaimana halnya kondisikondisi produksinya. Para ahli seni Marxis sudah bergerak dari metafora
sederhana dan kurang mengena, yakni basis dan suprastruktur, yang
mengandung bahaya sikap reduksionis ekonomi terhadap budaya, dan
beranjak melihat literatur serta seni semata-mata sebagai "pencerminan"
faktor-faktor kelas atau ekonomi. Karya pengarang kontinental Eropa
(Gramsci, Adorno, Althusser) menjadi penting dalam penyernpurnaan
model, dengan bertumpu pada level-level kelompok sosial antara
kesadaran individual dan pengalaman (pengarang), dan spesifikasi
tekstual.
Dalam hal yang terakhir tadi, dimasukkan pemikiran strukturalis,
semiotik, dan psikoanalisis ke dalam perspektif yang lebih sosiologis,
yang memungkinkan diperhatikannya hal-hal seperti narasi, imajinasi
visual, teknik-teknik dan konvensi sinematik, dan kode-kode televise. Jadi,
selain menunjukkan bahwa acara-acara baru di televisi, misalnya,
diproduksi dalam konteks hubungan sosial kapitalis, pemerintah, atau
pembiayaan keuangan tertentu, serta ideolagi profesional atau politik
tertentu, tidak tertutup kemungkinan untuk melihat 'teks'-nya (dalam hal
ini, acara televisi itu sendiri) dan menganalisis berbagai hal, sebagai cara
untuk menentukan makna-makna (estetis, politis, ideologis) lewat
bermacam saluran-lewat kode-kode visual dan aural, komentar naratif,
pengambilan sudut kamera, dan seterusnya.
Pendekatan sosiologis terhadap seni telah mampu menunjukkan
kesinambungan, dan hubungan kelas, perkembangan dan perpisahan
antara "seni tinggi" dan "budaya populer" dan dengan demikian
mengungkap sisi problematik dari konsepsi-konsepsi seni yang dimiliki
oleh mereka yang mendukung dan membiayai kesenian, serta masyarakat
secara keseluruhan (termasuk juga para sosiolog-nya). Istilah cultural
capital (Bourdieu 1984), menunjukkan bahwa kelompok-kelompok sosial
dominan
menggunakan
bentuk-bentuk
budaya
tertentu
untuk
mengamankan identitas mereka dari serbuan kelompok lain. Istilah ini
berguna untuk menunjukkan sejarah dan kesinambungan produksi batasbatas dan penilaian estetika dalam budaya.
Pertanyaannya sekarang, apa sebenarnya makna keberadaan sains,
teknologi, dan seni bagi manusia? Secara ekonomik, kehadiran dan
perkembangan Ipteks dapat menghasilkan kesejahteraan lahir (material)
maupun psikhis bagi yang menikmatinya. Kemajuan budaya dan
peradaban manusia tidak dapat dilepaskan dari kehadiran Ipteks dalam
berbagai segmen kehidupan, mulai dari rumah tangga, organisasi, bisnis,
pemerintahan, pertanian, budaya populer, dan sebagainya.
Sebagaimana
dikatakan
Elly
M.
Setiadi
(2010),
dengan
menggunakan berbagai Ipteks, manusia dapat memperoleh hasil, misalnya:
1) Penggunaan teknik nuklir, orang dapat membuat reaktor nuklir yang dapat
menghasilkan zat-zat radio aktif, di mana zat ini dapat dimanfaatkan untuk
maksud damai. Misalnya, untuk keperluan bidang kesehatan (sinar rontgen),
di bidang pertanian untuk memperbaiki bibit, untuk mendapatkan energi
tinggi.
2) Penggunaan teknologi hutan, seperti kita ketahui, hutan mempunyai banyak
fungsi kertas, industri kayu lapis/bahan bangunan, berfungsi untuk tempat
penyimpanan air, objek pariwisata, dan lain-lain.
Sudah menjadi sifat dari kebanyakan manusia apabila telah
terpenuhi satu keinginan maka akan timbul keinginan yang lain atau
menambah apa yang telah tercapai. Sudah jamak terjadi bahwa setiap
orang tidak ingin mengalami kesulitan, tetapi setiap orang akan berusaha
dalam setiap langkah untuk mendapatkan kemudahan. Kemudahan itu
didapatkan antara lain dengan penerapan perkembangan Ipteks. Misalnya
antara lain:
1) Dengan teknik modern, dari teknik mengendalikan aliran air sungai, petani
mendapatkan kemudahan dalam memperoleh air. Bendungan dapat
dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik. Alat rumah tangga elektronik
mempermudah ibu-ibu rumah tangga dalam melaksanakan tugasnya.
2) Dengan teknik modern dapat dibuat bermacam-macam media pendidikan,
seperti OHP, slide, fiIm setrip, TV, CCTV, dan lain-lain yang dapat
mempermudah para pendidik dalam melaksanakan tugasnya.
Sejauh ini, Ipteks memungkinkan terjadinya perkembangan
keterampilan
dan
kecerdasan
manusia.
Hal
ini
karena
dengan
perkembangan Ipteks memungkinkan tersedianya sarana dan prasarana
penunjang
kegiatan
ilmiah;
dan
kemakmuran, dan kesehatan masyarakat.
meningkatnya
kesejahteraan,
A. DAMPAK PENYALAHGUNAAN IPTEKS PADA KEHIDUPAN SOSIAL DAN BUDAYA
Meskipun di muka dikatakan bahwa kehadiran Ipteks mampu
menelurkan kesejahteraan, kemakmuran, dan kesehatan umat manusia, namun
hal itu tidak bersifat absolute. Sebab dalam kenyataannya tidak sepenuhnya
Ipteks dimanfaatkan optimal sesuai fungsinya. Kalaupun dimanfaatkan,
terkadang manusia melampaui batas kemampuan Ipteks itu sendiri. Sudah
jamak terjadi penyalahgunaan Ipteks dalam kehidupan sehari-hari sehingga
selain merugikan diri sendiri, juga merugikan orang lain dan lingkungan
hidup.
Penyalahgunaan sains tentang kloning misalnya, yang semula hanya
terbatas pada flora dan fauna, apabila diterapkan kepada manusia akan sangat
membahayakan kehidupan dunia. Penguasaan sains kloning oleh manusia
jahat yang tidak bertanggung jawab akan berdampak serius. Misalnya apabila
hal itu diterapkan untuk mengkloning para penjahat ulung, dampaknya akan
sangat mengerikan. Itulah sebabnya mengapa sains kloning banyak mendapat
tentangan dari berbagai elemen masyarakat dan tokoh-tokoh agama maupun
budaya di seluruh dunia.
Penggunaan teknologi yang berlebihan seperti teknologi nuklir
misalnya juga berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Selain digunakan
untuk persenjataan yang bersifat memusnahkan kehidupan, teknologi nuklir
untuk kepentingan energi terbarukan juga membahayakan manusia. Bukti
tentang itu sudah cukup banyak, misalnya tragedi Cernobyl di Rusia, serta
meledaknya reaktor nuklir di Jepang akibat terkena gempa dan tsunami yang
dahsyat sehingga memakan korban puluhan ribu manusia dan dampak
lingkungan yang amat buruk. Penyalahgunaan teknologi permesinan yang
berlebihan juga telah berdampak banyak hal, selain menghadirkan polusi, juga
kerusakan lingkungan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Akan halnya dengan seni, apabila disalahgunakan. juga berdampak
buruk bagi kehidupan. Penyalahgunaan seni yang paling menonjol adalah
dihadirkannya pornografi di dunia anak-anak dan generasi muda. Meskipun
secara sosial kehadiran seni pornografi di kalangan muda digolongkan sebagai
kejahatan, bukan sebagai pelanggaran, namun sanksi yang diberikan secara
hukum sering kali tidak mampu mencegahnya.
Berdasarkan ketiga contoh di muka menjadi jelas bahwa dampak
penyalahgunaan Ipteks tidak membawa kemaslahatan apa pun bagi kehidupan
sosial budaya manusia. Bahkan cenderung merusaknya, padahal, apabila
dicermati secara serius, sebetulnya Ipteks adalah produk unggul adiluhung
budaya manusia. Oleh karena itu diperlukan kesadaran bersama agar Ipteks
memberikan sebesar-besar manfaat kepada manusia, bukan sebaliknya.
B. PROBLEMATIKA PEMANFAATAN IPTEKS DI INDONESIA
Secara melembaga, melalui Kementerian Ristek dan perguruan tinggi,
pengembangan Ipteks dilaksanakan secara terorganisasi, rutin, dan dibiayai
melalui APBN. Artinya secara tidak langsung rakyat telah membiayai kemaju
Ipteks. Akan tetapi tidak semua hasil pengembangan Iptek di Indonesia dapat
dinikmati oleh masyarakat. Dengan kalimat lain pernanfaatan Ipteks di
Indonesia belum merata dan belum sepenuhnya memberikan manfaat optimal.
Terdapat beberapa problematika pemanfaatan Ipteks di Indonesia.
Problematika tersebut antara lain berikut ini.
1. Tingkat pendidikan yang tidak merata
Apresiasi terhadap Ipteks dan pemanfaatannya sangat ditentukan
oleh tingkat pendidikan seseorang. Makin tinggi pendidikan seseorang,
makin baik apresiasi dan kemampuan untuk memanfaatkan Ipteks secara
benar dan optimal. Akan tetapi diketahui, tingkat pendidikan masyarakat
belum
sepenuhnya
merata.
Sementara
diketahui
pada
umumnya
masyarakat adalah pengguna (user), bukan orang yang paharn betul
tentang Ipteks, maka hasilnya dapat dilihat, misalnya, teknologi mesin
sepeda motor yang sudah terukur pemanfaatannya, yakni untuk muatan
orang tidak lebih dari dua orang, dimanfaatkan secara serampangan.
Dalam keseharian kita bisa menonton bagaimana sepeda motor dipakai
berboncengan lebih dari dua orang, juga digunakan untuk mengangkut
barang secara berlebihan sehingga mengganggu pengguna jalan lainnya.
Teknologi komunikasi handphone (telepon genggam) sebagai contoh,
disalahgunakan untuk melakukan kejahatan pidana maupun sosial,
misalnya penipuan dan perselingkuhan. Jadi, tingkat pendidikan seseorang
mempengaruhi pemanfaat Ipteks.
2. Kondisi ekonomi yang timpang
Tingkat pendapatan per kapita di Indonesia masih tergolong
rendah. Di satu
sisi
ada orang
yang berpenghasilan
melebihi
kebutuhannya, di sisi lain terdapat banyak orang yang jangankan untuk
mencukupi kebutuhan, untuk memenuhi sebagian kecil kebutuhannya saja
sudah susah. Kondisi ekonomi yang timpang merupakan problem yang tak
kalah serius dalam hal pemanfaatan Ipteks di Indonesia.
Kehadiran
sains
dan
teknologi
pertanian
misalnya,
tidak
sepenuhnya dinikmati atau dapat dimanfaatkan oleh para petani. Selain
penguasaan lahan pertanian yang sempit, harga teknologi itu dirasa mahal
sehingga tidak terjangkau. Hanya petani dengan kapital besar yang dapat
memanfaatkan secara optimal. Sementara petani gurem hanya menjadi
penonton. Pada konteks seperti itu, bagaimana mungkin kita berharap
kesejahteraan petani bisa meningkat?
3. Keterampilan sosial yang rendah
Keterampilan sosial juga menjadi prasyarat bagi pemanfaatan
Ipteks yang optimal dan bermaslahat. Keterampilan sosial adalah suatu
kemampuan yang dimiliki seseorang untuk dapat hidup berdampingan
secara harmonis. toleran, dan damai. Keterampilan sosial yang rendah
mengakibatkan pemanfaatan Ipteks menjadi negatif. Sebagai suatu misal,
teknologi digital dan tiga dimensi telah mampu menghasilkan sistem audio
visual yang luar biasa, enak dilihat dan enak didengar. Namun di tangan
orang yang memiliki keterampilan sosial yang rendah, teknologi itu
bukannya memberi manfaat, tapi justru akan mengganggu ketenangan
orang lain. Misalnya menghidupkan dengan volume yang keras dan tanpa
mengenal waktu.
4. Kehidupan politik yang tidak sehat
Kehidupan politik, selain dipengaruhi oleh birokrasi dan partai
politik, juga sangat ditentukan oleh para elit yang berkuasa. Kehidupan
politik yang sehat, dalam arti menempatkan sistem demokrasi secara
benar, meletakkan sistem hukum secara adil, dan menempatkan hubungan
penguasa dan rakyatnya secara harmonis sangat menentukan pemanfaatan
Ipteks secara optimal sesuai jalur benar. Problem saat ini justru sebaliknya.
Kehidupan politik tidak sehat yang ditandai oleh pertikaian antarelit.
Hasilnya dapat dilihat, kehadiran teknologi televisi yang mestinya
digunakan
untuk
mencerdaskan
rakyat
justeru
menjadi
wahana
propaganda negatif dengan menjereng saling serang, menebar fitnah, dan
mohon maaf, baku hantam di depan publik. Padahal teknologi televisi
sudah hadir ke setiap rumah sehingga apa yang mereka pertontonkan tidak
dapat dijadikan sebagai tuntunan yang dilihat keseharian oleh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
(Bab.VII.Ilham S.)
Adler, J (1979). Artists in Office An Ethnography of an Academic Art Scen
Brunswick, Nj: Pinguin Books.
Bourdieu, P. (1984).Distinction : A Critique of the Judgement of Tast e.
Cambridge, MA: Harvard university Press.
Dedi Supriadi. (1994). Kreativitas, Kebudayaan & Perkembangan Iptek.
Bandung : Alfabeta.
Elly M Setiadi, H Kama A. Hakam dan Ridwan Effendi. (2010) Ilmu S
Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Goldstein, M. & Goldtein, I.F. (1980). How We Know: An Exploration
Scientific Proces. New York: Plenum Press.
Popper, K. (1959) The Logic of Scientific Dicovery. New York. (
edn.Logic der Forschung, Viena).
BAB VIII
MANUSIA DAN LINGKUNGAN
Manusia hidup pasti mempunyai hubungan dengan lingkungan
hidupnya, lebih dari itu, manusia telah berusaha pula mengubah
lingkungan hidupnya demi kebutuhan dan kesejahteraan. Dari sinilah
lahir peradapan – istilah Toynbee- sebagai akibat dari kemampuan
manusia mengatasi lingkungan. Lingkungan hidup tidak bisa di
pisahkan dari ekosistem atau system ekologi. Ekosistem adalah satuan
kehidupan yang terdiri atas suatu komunitas makhluk hidup ( dari
berbagai jenis ) dengan berbagai benda mati membentuk suatu system.
Lingkungan hidup pada dasarnya adalah suatu system kehidupan
dimana terdapat campur tangan manusia terhadap tatanan ekosistem.
Manusia adalah bagian dari ekosistem. Lingkungan dapat pula
berbentuk lingkungan fisik dan non fisik. Lingkungan alam dan buatan
adalah Lingkungan fisik. Sedangkan lingkungan nonfisik adalah
lingkungan social budaya dimana manusia itu berada. Lingkungan amat
penting bagi kehidupan manusia. Segala yang ada pada lingkungan
dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk mencukupi kebutuhan hidup
manusia, karma lingkungan memiliki daya dukung, yaitu kemampuan
lingkungan untuk mendukung perkehidupan manusia dan makhuk hidup
lainya arti penting lingkungan bagi manusia karena lingungan
merupakan tempat hidup manusia, Lingkungan memberi sumber-sumber
penghidupan manusia, Lingkungan memengaruhi sifat, karakter, dan
perilaku manusia yang mendiaminya.
Membahas tentang manusia berarti membahas tentang kehidupan
sosial
dan
budayanya,
tentang
tatanan
nilai-nilai,
peradaban,
kebudayaan, lingkungan, sumber alam, dan segala aspek yang
menyangkut manusia dan lingkungannya secara menyeluruh. Manusia
adalah mahluk hidup ciptaan tuhan dengan segala fungsi dan potensinya
yang tunduk kepada aturan hukum alam, mengalami kelahiran,
pertumbuhan, perkembangan, dan mati, dan seterusnya, serta terkait dan
berinteraksi dengan alam dan lingkungannya dalam sebuah hubungan
timbal balik baik itu positif maupun negatif.Kehidupan manusia tidak
bisa dipisahkan dari lingkungannya. Baik lingkungan alam maupun
lingkungan sosial. Kita bernapas memerlukan udara dari lingkungan
sekitar. Kita makan, minum, menjaga kesehatan, semuanya memerlukan
lingkungan. Seringkali lingkungan yang terdiri dari sesama manusia
disebut juga sebagai lingkungan sosial. Lingkungan sosial inilah yang
membentuk sistem pergaulan yang besar peranannya dalam membentuk
kepribadian seseorang.
1. Pengertian Manusia
Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan dengan segala
fungsi dan potensinya yang tunduk kepada aturan hukum alam,
mengalami kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, mati dan
seterusnya, serta terkait dan berinteraksi dengan alam dan
lingkungannya dalam sebuah hubungan timbal balik, baik positif
atau negatif (Ghifari, 2011:1).
Lebih lanjut Basya (2012: 1), mengatakan bahwa manusia
adalah makhluk hidup ciptaan tuhan dengan segala fungsi dan
potensinya yang tunduk kepada aturan hukum alam, mengalami
kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, mati, dan seterusnya, serta
terkait dan berinteraksi dengan alam dan lingkungannya dalam
sebuah hubungan timbal balik positif maupun negatif.
Manusia adalah makhluk yang terbukti berteknologi tinggi.
Ini karena manusia memiliki perbandingan massa otak dengan massa
tubuh terbesar diantara semua makhluk yang ada di bumi. Walaupun
ini bukanlah pengukuran yang mutlak, namun perbandingan massa
otak dengan tubuh manusia memang memberikan petunjuk dari segi
intelektual relatif.
Manusia adalah makhluk hidup ciptaan tuhan dengan segala
fungsi dan potensinya yang tunduk kepada aturan hukum alam,
mengalami kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, mati, dan
seterusnya, serta terkait dan berinteraksi dengan alam dan
lingkungannya dalam sebuah hubungan timbal balik positif maupun
negative (Setyawan, 2011: 2).
Manusia adalah makhluk yang terbukti berteknologi tinggi.
Ini karena manusia memiliki perbandingan massa otak dengan massa
tubuh terbesar diantara semua makhluk yang ada di bumi. Walaupun
ini bukanlah pengukuran yang mutlak, namun perbandingan massa
otak dengan tubuh manusia memang memberikan petunjuk dari segi
intelektual relatif.
Manusia atau orang dapat diartikan dari sudut pandang yang
berbeda-beda, baik itu
menurut biologis, rohani, dan istilah
kebudayaan, atau secara campuran. secara biologis, manusia
diklasifikasikan sebagai homo sapiens (bahasa latin untuk manusia)
yang merupakan sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang
dilengkapi otak berkemampuan tinggi.
Manusia juga sebagai mahkluk individu memiliki pemikiranpemikiran tentang apa yang menurutnya baik dan sesuai dengan
tindakan-tindakan yang akan diambil. Manusia pun berlaku sebagai
makhluk sosial yang saling berhubungan dan keterkaitannya dengan
lingkungan dan tempat tinggalnya.
Manusia atau orang dapat diartikan dari sudut pandang yang
berbeda-beda, baik itu
menurut biologis, rohani, dan istilah
kebudayaan, atau secara campuran. secara biologis, manusia
diklasifikasikan sebagai homo sapiens (bahasa latin untuk manusia)
yang merupakan sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang
dilengkapi otak berkemampuan tinggi.
Manusia juga sebagai mahkluk individu memiliki pemikiranpemikiran tentang apa yang menurutnya baik dan sesuai dengan
tindakan-tindakan yang akan diambil. Manusia pun berlaku sebagai
makhluk sosial yang saling berhubungan dan keterkaitannya dengan
lingkungan dan tempat tinggalnya.
2. Pengertian Lingkungan
Lingkungan adalah suatu media dimana makhluk hidup
tinggal, mencari penghidupannya, dan memiliki karakter serta fungsi
yang khas yang terkait secara timbal balik dengan keberadaan
makhluk hidup yang menempatinya, terutama manusia yang
memiliki peranan yang lebih kompleks dan riil (Ghifari, 2011:1).
Lebih lanjut Baya (2012: 2), mengemukakan bahwa
lingkungan adalah suatu media dimana makhuk hidup tinggal,
mencari penghidupannya, dan memiliki karakter serta fungsi yang
khas yang terkait secara timbal balik dengan keberadaan makhluk
hidup yang menempatinya, terutama manusia yang memiliki peranan
yang lebih kompleks.
Lingkungan adalah suatu media dimana makhuk hidup tinggal,
mencari penghidupannya, dan memiliki karakter serta fungsi yang
khas yang terkait secara timbal balik dengan keberadaan makhluk
hidup yang menempatinya, terutama manusia yang memiliki peranan
yang lebih kompleks (Setyawan, 2011: 3).
Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dari lingkungannya.
Baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Kita bernapas
memerlukan udara dari lingkungan sekitar. Kita makan, minum,
menjaga kesehatan, semuanya memerlukan lingkungan. Pengertian
lain dari lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar
manusia yang memengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik
langsung maupun tidak langsung.
Lingkungan bisa dibedakan menjadi lingkungan biotik dan
abiotik. Jika kalian berada di sekolah, lingkungan biotiknya berupa
teman-teman sekolah, bapak ibu guru serta karyawan, dan semua
orang yang ada di sekolah, juga berbagai jenis tumbuhan yang ada di
kebun sekolah serta hewan-hewan yang ada disekitarnya. Adapun
lingkungan
abiotik
berupa udara,
meja
kursi,
papan
tulis,
gedung sekolah, dan berbagai macam benda mati yang ada disekitar.
Sering lingkungan yang terdiri dari sesama manusia disebut
juga sebagai lingkungan sosial. Lingkungan sosial inilah yang
membentuk sistem pergaulan yang besar peranannya dalam
membentuk kepribadian seseorang.
3. Hubungan antara Manusia dengan Lingkungan
Sumber alam dapat digolongkan ke dalam dua bagian yakni:
Sumber alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) atau
disebut pula sumber-sumber alam biotik. Yang tergolong ke dalam
sumber alam ini adalah semua makhluk hidup, hutan, hewan-hewan,
dan tumbuhan-tumbuhan.
Sumber
alam
yang
tidak
diperbaharui
(nonrenewable
resources) atau disebut pula sebagai golongan sumber alam biotik.
Yang tergolong ke dalam sumber abiotik adalah tanah, air, bahanbahan galian, mineral, dan bahan-bahan tambang lainnya.
Sumber alam biotik mempunyai kemampuan diri atau
bertambah, misalkan tumbuhan dapat berkembang biak dengan biji
atau spora, dan hewan-hewan menghasilkan keturunannya dengan
telur atau melahirkan. Oleh karena itu sumber daya alam tersebut
dikatakan sebagai sumber daya alam yang masih dapat diperbaharui.
Lain halnya dengan sumber daya alam abiotik yang tidak dapat
memperbaharui dirinya. Bila sumber minyak, batu bara atau bahanbahan lainnya telah habis digunakan manusia, maka habislah bahanbahan tambang tersebut.
Sumber alam biotik dapat terus digunakan atau dimanfaatkan
oleh manusia, bila manusia menggunakannya secara bijaksana dalam
penggunaan berarti memperhatikan siklus hidup sumber alam
tersebut, dan diusahakan jangan sampai sumber alam itu musnah.
Sebab, jika suatu jenis spesies di bumi musnah, maka jenis tersebut
tidak dapat muncul kembali. Seharusnya manusia menggunakan
dengan baik sumber daya biotik dan abiotik secara tepat dan
bertanggung jawab.
Manusia memandang alam lingkungannya dengan bermacammacam kebutuhan dan keinginan. Manusia bersaing dengan spesies
lainnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal ini
manusia memiliki kemampuan lebih besar dibandingkan organisme
lainnya, terutama dalam penggunaan sumber-sumber alamnya.
Berbagai cara telah dilakukan manusia dalam menggunakan
sumber-sumber alam berupa tanah, air, fauna, flora, bahan-bahan
galian, dan sebagainya.
Namun sesuai dengan kondisi lingkungan saat ini manusia
susah seharusnya melakukan perubahan. Perubahan yang dimaksud
disini bukanlah transformasi yang diartikan sebagai perubahan
seluruhnya (dari teknologi, sosial budaya dan ekonomi). Perubahan
disini lebih kepada perubahan hidup berperilaku, kebiasaan dalam
hidup yang menunjang pada penyelamatan lingkungan, perilaku
hidup manusia.
Masih banyak masyarakat kita yang memiliki kebiasaan yang
tidak ramah lingkungan, seperti pengrusakan lingkungan demi
keuntungan
semata.
Seharusnya
manusia
berhati-hati
dalam
mengolah tanah, air, udara mahluk mahluk yang ada di dunia ini.
Khususnya
pada
lingkungan,
manusia
telah
begitu
banyak
menimbulkan kerusakan pada bumi ini. Limbah, kotoran, sampah
dibuang begitu saja tanpa mengindahkan lingkungandan mahluk
lain.
Responnya
dari
lingkungan
dapat
kita
lihat
seperti
menyebabkan penyakit, bahkan menjadi bencana alam.
Permasalahan ekologi terdiri atas dua suku kata Yunani yaitu
Oikos (rumah tangga), dan Logos (firman atau ilmu). Jadi secara
harfiah, ekologi berarti ilmu kerumahtanggaan. Definisi lain untuk
ekologi: Ekologi adalah cabang biologi yang mempelajari hubungan
timbal balik manusia dan lingkungannya; Ekologi adalah studi
ilmiah tentang interaksi yang menentukan penyebaran dan kepadatan
makhluk hidup; Ekologi adalah biologi lingkungan. Jadi, Ekologi
adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia
dengan lingkungannya.
Manusia hidup, tumbuh dan berkembang dalam lingkungan
alam dan sosial budayanya, hidup dalam sebuah ekosistem, dimana
terdapat komponen abiotik (tanah, udara, air, cahaya, suhu) dan
komponen biotik (produsen, konsumen, pengurai). Selain itu di
dalam lingkungan terdapat faktor-faktor seperti rantai makanan,
habitat, populasi, komunitas dan biosfer.
Jika kita menelusuri kembali sejarah peradaban manusia di
bumi ini, tampaklah bahwa manusia sedikit demi sedikit mulai
menyesuaikan diri pada alam lingkungan hidupnya. Bahkan, lebih
daripada itu manusia telah mengubah semua komunitas biologis di
tempat merek hidup. Perubahan alam lingkungan hidup manusia
akan berpengaruh baik secara positif maupun negatif. Berpengaruh
positif karena manusia mendapatkan keuntungan dari perubahan
tersebut dan berpengaruh negatif karena dapat mengurangi
kemampuan
alam
lingkungan
hidupnya
untuk
menyokong
kehidupannya.
Sumber alam digolongkan menjadi dua, yaitu: Sumber Alam
yang dapat diperbaharui (sumber-sumber biotik) yaitu semua
makhluk hidup, hutan, hewan, dan tumbuh-tumbuhan; dan sumber
alam yang tidak dapat diperbaharui (golongan sumber alam abiotik)
yaitu tanah, air, bahan-bahan galian, mineral dan bahan-bahan
tambang lainnya.
Manusia sedikit demi sedikit mulai menyesuaikan diri pada
alam lingkungan hidupnya maupun komunitas biologis di tempat
mereka hidup. Perubahan alam lingkungan hidup manusia tampak
jelas di kota-kota, dibanding dengan pelosok dimana penduduknya
masih sedikit dan primitif.
Perubahan alam lingkungan hidup manusia akan berpengaruh
baik secara positif ataupun negatif. Berpengaruh bagi manusia
karena manusia mendapatkan keuntungan dari perubahan tersebut,
dan berpengaruh tidak baik karena dapat dapat mengurangi
kemampuan
alam
lingkungan
hidupnya
untuk
menyokong
kehidupannya.
Manusia merupakan komponen biotik lingkungan yang
memiliki kemampuan berfikir dan penalaran yang tinggi. Disamping
itu manusia memiliki budaya, pranata sosial dan pengetahuan serta
teknologi yang makin berkembang. Peranan manusia dalam
lingkungan ada yang bersifat positif dan ada yang bersifat negatif.
Peranan manusia yang bersifat negatif adalah peranan yang
merugikan lingkungan. Kerugian ini secara langsung atau pun tidak
langsung timbul akibat kegiatan manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya, peranan manusia yang bersifat positif adalah
peranan yang berakibat menguntungkan lingkungan karena dapat
menjaga dan melestarikan daya dukung lingkungan.
Peranan Manusia yang bersifat negatif terhadap lingkungan
antara lain sebagai berikut: a) Eksploitasi yang melampaui batas
sehingga persediaan Sumber Daya Alam makin menciut (depletion);
b) Punah atau merosotnya jumlah keanekaan jenis biota; c)
Berubahnya ekosistem alami yang mantap dan seimbang menjadi
ekosistem binaan yang tidak mantap karena terus menerus
memerlukan subsidi energi; d) Berubahnya profil permukaan bumi
yang dapat mengganggu kestabilan tanah hingga menimbulkan
longsor; e) Masuknya energi bahan atau senyawa tertentu ke dalam
lingkungan yang menimbulkan pencemaran air, udara, dan tanah. hal
ini berakibat menurunnya kualitas lingkungan hidup. Pencemaran
dapat menimbulkan dampak negatif pada lingkungan dan terhadap
manusia itu sendiri.
Peranan Manusia yang menguntungkan lingkungan antara
lain: a) Melakukan eksploitasi Sumber Daya Alam secara tepat dan
bijaksana terutama SDA yang tidak dapat diperbaharui; b)
Mengadakan penghijauan dan reboisasi untuk menjaga kelestarian
keaneka jenis flora serta untuk mencegah terjadinya erosi dan banjir;
c) Melakukan proses daur ulang serta pengolahan limbah agar kadar
bahan pencemar yang terbuang ke dalam lingkungan tidak
melampaui nilai ambang batasnya; d) Melakukan sistem pertanian
secara tumpang sari atau multi kultur untuk menjaga kesuburan
tanah. Untuk tanah pertanian yang miring dibuat sengkedan guna
mencegah derasnya erosi serta terhanyutnya lapisan tanah yang
mengandung humus; e) Membuat peraturan, organisasi atau undang-
undang untuk melindungi lingkungan dan keanekaan jenis makhluk
hidup.
Permasalahan demografi menjadi perhatian kita bersama.
Demografi adalah uraian tentang penduduk, terutama tenteng
kelahiran, perkawinan, kematian dan migrasi. Demografi meliputi
studi ilmiah tentang jumlah, persebaran geografis, komposisi
penduduk, serta bagaimana factor ini berubah dari waktu ke waktu.
Beberapa ahli demografi terutama tertarik kepada statistic fertilitas
(kelahiran), moralitas (kematian), dan migrasi (perpindahan tempat)
karena ketiga variable ini merupakan komponen-komponen yang
berpengaruh terhadap perubahan penduduk. Ketiga komponen
tersebut diukur dengan tingkat kelahiran, tingkat kematian, dan
migrasi yang menentukan jumlah penduduk, komposisi umur dan
laju pertambahan atau penurunan penduduk.
Jumlah kelahiran di Indonesia dari tahun ke tahun bertambah
besar. Akan tetapi pertumbuhan kelahiran dari tahun ketahun yang
berkambang tidak seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Jadi apabila kelahiran di Indonesia tidak di tekan maka akan menjadi
salah satu faktor penghambat kesejahteraan karena pemerintah
belum bisa menjamin tingkat kesejahteraan masyarakat khususnya
masyarakat mengah ke bawah. Inilah salah satu alasan pemarintah
menkampanyekan KB (keluarga berencana). Problematika yang
terjadi di Indonesia yaitu banyaknya remaja yamg meninggal karena
menjadi korban aborsi. Itu menyebabkan berkurangnya generasi
penerus bangsa
Migrasi atau perpindahan merupakan hal yang perlu
diperhatikan pemerintah. Migrasi disebabkan oleh tidak meratanya
pembangunan di Indonesia sehingga banyak masyarakat yang
merantau ke daerah yang pembangunan daerahnya lebih baik hal ini
juga menyebabkan tidak meratanya kepadatan penduduk. Penduduk
dikota lebih banyak dibandingkan penduduk di desa. Padahal banyak
sekali sumber daya alam yang bisa didapatkan di desa. Ini juga
karena kurangnya kesadaran masyarakat dan pemerintah.
Age ing population problem merupakan permasalahan yang
bisa dikategorikan permasalahan kependudukan yang mutahir. Tapi
isu ini merupakan isu yang muncul di negara-negara maju
(industrialisasi). Dimana permasalahan ledakan penduduk, angka
kelahiran yang sangat tinggi, angka kematian yang tinggi, malnutrisi
dan rendahnya angka harapan hidup sudah tidak menjadi problema
kependudukan di negara maju dan isu-isu di atas untuk saat ini masih
menjadi isu-isu kependudukan di negara-negara berkambang dan
terbelakang salah satunya Indonesia yang termasuk negara
berkembang.
Permasalahan
ageing
population
merupakan
permasalahan demografi atau kependudukan yang akan terjadi di
negara-negara maju yang suda memasuki tahap industriliasasi.
Ageing population problem ini adalah permasalahan demografi yang
muncul akibat adanya perubahan struktur kependudukan (piramida
penduduk), dimana penduduk usia non-poduktif (khususnya usia
diatas usia produktif 65+ tahun) semakin bertambah dan semakin
lebih banyak. Pertambahan ini mengakibatkan jarak kuantitas
(jumlah) usia produktif dan non-produktifnya lambat laun semakin
mendekat bahkan kecenderungannya mendekati proporsi yang sama
bahkan memiliki kecenderungan untuk lebih besar. Perubahan
piramida penduduk ini terjadi di negara-negara maju diakibatkan
karena terjadi perubahan yang signifikan terhadap fertility rate,
moratality rate dan life expectancy. Menurunnya fertility rate,
menurunnya angka kematian dan semakin meningkatnya life
expectancy merupakan ciri-ciri negara-negara maju. Penurunan
fertility rate diakibatkan karena semakin meningkatnya pendidikan
masyarakat dan pengetahuan bahwa anak adalah investasi serta
banyaknya pilihan tidak memiliki anak semakin meningkat.
Penurunan mortality rate salah satu penyebabnya adalah semakin
membaiknya fasilitas kesehatan dan tingkat kesejahteraan penduduk.
Penurunan mortality rate ini, perbaikan kualitas kesehatan,
peningkatan tingkat kesejahteraan juga menjadi faktor pendorrong
angka harapan hidup yang semakin membaik. Prubahan-perubahan
inilah yang menjadi faktor dominan yang mendorong terjadinya
ageing population problem di negara-negara maju.
Pertumbuhan penduduk adalah perubahan populasi sewaktuwaktu dan dapat dihitung sebagai perubahan dalam jumlah individu
dalam sebuah populasi menggunakan “perwaktu unit” umtuk
pengukuran. Sebutan pertumbuhan penduduk merujuk pada semua
spesis, tapi selalu mengarah pada manusia dan sering digunakan
secara informal untuk sebutan demografi nilai pertumbuhan
penduduk dan digunakan untuk merujuk pada pertumbuhan
penduduk dunia. Model pertumbuhan penduduk meliputi model
pertumbuhan malthusian dan model logistik. Cara yang paling umum
untuk menghitung pertumbuhan penduduk adalah rasio bukan nilai.
Perubahan populasi pada priode waktu unit dihitung sebagai
presentase populasi ketika dimulainya periode. Ketika pertumbuhan
penduduk dapat melewat kapasitas muat suatu wilayah atau
lingkungan hasilnya berakhir dengan kelebihan penduduk. Gangguan
dalam populasi manusia dapat menyebabkan masalah seperti polusi
dan kemacetan lalu lintas, meskipun dapat ditutupi perubahan
teknologi dan ekonomi. Wilayah tersebut dapat di anggap “kurang
penduduk” bila populasi tidak cukup besar untuk mengoolah suatu
sistem ekonomi. Di Indonesia pada saat sekarang ini pertumbuhan
penduduknya belum bsa ditekan meskipun pemerintah telah
mengeluarkan suatu kebijakan yakni program KB. Tapi itu belum
bisa menekan pertumbuhan penduduk di Indonesia. Karena masih
banyaknya masyarakat yang memegang semboyang”banyak anak
banyak rejeki “. Dan masih banyak praktek perkawinan usia dini.
Lingkungan hidup termasuk sumber daya alamnya baik secara
global, regional maupun nasional dalam sejarah peradaban manusia
telah memberikan dua makna bagi manusia. Disatu sisi, makna yang
dirasakan adalah meningkatnya kesejahteraan dan kualitas hidup
manusia, sedangkan di bagian lain menyebabkan bencana dan
sekaligus penurunan kualitas hidup manusia.Jika seseorang ditanya
akan memilih yang mana, tentu jawabannya : lingkungan hidup dan
sumber daya alam yang bisa meningkatkan kesejahteraan dan
sekaligus meningkatkan kualitas hidupnya. Tapi tanpa kesadaran
mendalam tentang pemanfaatan lingkungan secara bijak, apakah
mungkin pilihan itu dapat didapatkan?Dalam 2 dekade terakhir ini
kesadaran global akan perlunya kebersamaan masyarakat dunia
untuk bersatu padu menyelamatkan planet bumi dan mahluk hidup
yang berada di dalamnya semakin menguat dan kongkrit dalam
implementasinya. Karena disadari betul penyebab utama kerusakan
bumi ternyata karena kecerobohan dan tidak bijaknya manusia di
bumi dalam merencanakan dan mengendalikan pemanfaatan
lingkungan hidup dan sumber daya alamnya bagi kepentingan yang
mengatasnamakan “pengembangan wilayah” dan “meningkatkan
kesejahteraan rakyat”.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah
kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan
bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan di Indonesia. AMDAL ini dibuat saat perencanaan
suatu proyek yang diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap
lingkungan hidup di sekitarnya. Yang dimaksud lingkungan hidup di
sini adalah aspek abiotik, biotik, dankultural. Dasar hukum AMDAL
adalah Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2009 tentang “Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup”.
Pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar hutan
lindung, dapat berupa perkotaan atau perdesaan. Berfungsi untuk
tempat
tinggal
atau
hunian
tempat
melaksanakan
kegiatan
perikehidupan dang penghidupan.
Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai
tempat tinggal atau hunian yang dilengapi dengan prasarana
lingkungan yaitu kelengkapan dasar lingkungan fisik dan sarana
lingkungan
yaitu
penyelenggaraan
fasililitas
dan
penunjang
pengembangan
yang
mendukung
kehidupan. Persyaratan
kesehatan lingkungan perumahan dan lingkungan pemukiman adalah
ketentuan teknis yang wajib dipenuhi dalam rangka melindungi
penghuni atau masayrakat yang bermukim dan /atau masyarakat
sekitar dari bahaya dan ganguan kesehatan. ARL perumahan dan
pemukiman dapat dialakukan berdasarkan Persyaratan kesehatan
pemukimannya. Yang
umum
di
analisa
yaitu,
berdasarkan
Kepmenkes no 829/Menkes/SK/VII/1999 antara lain : Lokasi
Kualitas Udara, Kebisingan dan Getaran, Kualitas tanah daerah
pemukiman
dan
Perumahan,
Prasarana
dan
sarana
Lingkungan, Vektor Penyakit, Penghijauan
Manusia dengan lingkunan sekitarnya berkaitan sangatlah
erat, saking eratnya banyak muncul teori teori baru yang kemudian
diklasifikasikan menjadi berbagai macam disiplin ilmu, dari ilmu
social, politik, kesehatan, rancang bangun dan sebagainya. berarti
banyak disiplin ilmu yang berawal dari pemahaman manusia
terhadap lingkungannya. kemudian kalau di kategorikan dalam sub
besar
menjadi lingkungan mempengaruhi manusia dan manusia
mempengaruhi lingkungan. pada awalnya manusia berpendapat
bahwa setiap kelakuan manusia pastilah dipengaruhi dengan
lingkungannya kemudian karena perkembangan keilmuan manusia,
manusia mencoba untuk mempengaruhi lingkungan dengan awal
mula nya diawali oleh era bercocok tanam.
Kemudian hal itu berkembang dari ribuan tahun yang lalu
sampai akhirnya ditemukan rumusan yang agak mebulat dan
berputar putar seperti ini lingkungan mempengaruhi manusia
kemudian
dampaknya
manusia
mempenganruhi
mempengaruhi
manusia
lingkungan
kemudian
lagi
kemudian
dan
lingkungannya juga terpengaruhi (Virgyansyah. 2010: 1)
ilustrasi seperti diatas mungkin sedikit memberikan gambaran
tentang salah satu dari berbagai macam disiplin ilmu yang akan
dibahas, ilmu itu adalah ilmu perancangan atau dalam istilah keren
nya disebut design.
Perkembangan ilmu design di Indonesia. Ilmu design di
Indonesia tergolong ilmu yang baru, mungkin yang dimaksud baru
adalah masuknya ilmu design barat ke Indonesia, kalau diliat
historynya ilmu design sendiri sudah berakar kuat di berbagai
budaya yang berada di Indonesia.
Pada dasarnya ilmu deisgn dibagi menjadi 3 kategori dasar
yaitu grafis (segala gambar baik dua dimensi, tiga dimensi ataupun
yang gerak kaya film dan animasi), interior(benarnya hampir sama
kaya arsitek tapi kalau yang ini diharapkan bentuk bangunan tidak
berubah akan tetapi tampilan dan suasana nya menjadi baru.),
produk (disiplin ilmu yang merancang tentang argonomi dan segala
sesuatunya yang berkaitan dengan produk. Walau kalau dilihat
benarnya jasa kadang dikategorikan juga sebuah produk )
Kemudian sesuai dengan judul tulisan diatas adalah
“hubungan manusia dengan lingkungan” maka ketika terbersitlah
sebuah pertanyaan kenapa koq terjadi banyak hal pada kondisi
Negara kita sekarang? jelas banyak hal yang dipaksakan kepada kita
dengan cara yang sangat halus dan secara terus menerus.
Ketika akhir akhir ini banyak kalangan merasa tersadar oleh
terdesaknya budaya bangsa oleh arus gombalisasi, maka kemudian
banyak kalangan melakukan upaya upaya untuk melesetarikan
budaya dan banyak saking ngototnya berusaha untuk melestarikan
secara murni, sampai sampai berusaha mengunakan kembali bahan
bahan yang sama seperti tempo dahulu. padahal budaya itu adalah
sebuah pokok pokok pikiran yang tersampaikan lewat bentuk betuk
dari produk produk barangnya nya, keseniannya, tingkah lakunya
dan cara perilaku spiritualnya.
Karena perkembangan jaman akhirnya melahirkan sebuah
system persatuan yang kemudian menjadiNegara. kemudian Negara
menciptakan sebua susunan pemerintahan atau pengatur yang
menghasilkan sebuah system perkotaan, kemudian perkotaan tumbuh
dan berkembang seiring dengan kemajuan jaman, trus di iringi
dengan semakin menyempitnya lahan yang dipergunakan penduduk
perkotaan yang kian hari laju pertumbuhannya bertambah pesat,
karena bayak bangunan sudah berubah menjadi bentuk bentuk
bangunan yang permanent maka tata kotanya kadang jadi super ribet
dan
berantakan,
kesibukannya
kemudian
dalam
karena
beraktifitas
padatnya
maka
penduduk
memerlukan
dan
sebuah
keseimbangan dalam urusan hiburan atau refreshing yang berguna
untuk
menjaga
kesetabilitasan
temperamen
emosional
dari
penduduknya. oleh sebab itu peranan dari disiplin ilmu perancangan
dalam arti global sangatlah amat berperan ketika manusia
mengakhiri siklus hidup nomanden nya, dan jelas kaitannya sangat
erat dengan perkembangan sebuah kebudayaan pada daerah tersebut.
Manusia dipengaruhi oleh lingkungannya. Sebagian besar dari
jumlah
manusia
memang
sangatlah
di
pengaruhi
oleh
lingkungannya, akan tetapi sebagin kecil dari manusia dapat atau
bisa mempengaruhi lingkungannya dalam skala tertentu. Mungkin
contoh gampanganya seperti ini, orang tua mempunyai 9 anak.
karakter orang tua mempengaruhi ke 9 anaknya, anak pertama
mempengaruhi perilaku 8 adiknya begitu seterusnya bisa dikatakan
semakin menurun peringkatnya maka semakin banyak memperoleh
pengaruh.
Kemudian ketika kita bertanya manusia model bagaimana
yang terpengaruh oleh lingkungan? Jawabnya adalah manusia yang
terkena sebagai objek penderita. kalau diperhalus adalah manusia
yang terkena oleh dampak langsung dari sebuah media publikasi,
ketika manusia berpendapat bahwa sebuah media adalah informasi,
maka sebenarnya dia harus sudah bisa menimbang hal ini, informasi
haruslah dipandang sebagai sebuah data, dan dalam perbuatannya
haruslah menggunakan data yang dianggap valid dan diyakini oleh
dirinya karena dia dapat mengakses buanyak data.
Kemudian banyak kalangan atau banyak asumsi tentang tidak
ada keterkaitan budaya masa lalu dengan sekarang atau hubungan
history masa lalu dengan sekarang yang katanya poling atau jaja
pendapat dan merupakan kenangan masa lalu yang sudah tidak
relevan dengan jaman sekarang. sepintas memang terlihat seperti itu
kalau dilihat budaya itu adalah produk barang, kesenian, dan
perilaku kesehariannya, hal itu memang dipacu oleh perkembangan
era teknologi, contohnya kita sekarang tidak pake baju dari kulit
pohon lagi sebab kita bisa bikin pakaian dari kain bahan kain dan
benang sudah diolah oleh industri dan sebagainya. akan tetapi
sebuah perilaku manusia nya tetap dipengaruhi oleh perkembangan
lingkungan nya, dan hal itu pula yang disadari oleh banyak kalangan
ketika mereka berkeinginan mangarahkan sebuah perilaku manusia,
dengan menciptakan betuk bentuk dan sumber sumber informasi
yang
terkontrol
pada
mereka (mengasumsikan) dapat
sebuah
wilayah
mengkontrol
sebuah
tertentu,
perilaku
manusia manusia yang berada dalam wilayah tersebut, akan tetapi
mereka lupa bahwa sebuh perilaku spiritual tidak dapat diarah arah
kan, sebab perilaku spiritual adalah kaitannya adalah hubungan
manusia dengan penciptanya. walau banyak kalangan yang mulai
masuk dalam kawasan ini sih benernya, dan itu berlaku sejak jaman
dulu kala ratusan mungkin sampai ribuan taun yang lalu.
4. Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Kelestarian Lingkungan Hidup
a. Paradigma baru terhadap lingkungan
Masalah lingkungan hidup sebenarnya bukan persoalan
baru. Kerusakan lingkungan oleh aktivitas manusia yang makin
meningkat, antara lain tercemarnya lingkungan oleh pestisida
serta limbah industri dan transportasi, rusaknya habitat tumbuhan
dan hewan langka serta menurunnya nilai estetika alam,
merupakan beberapa masalah lingkungan hidup. Pada tahun
1970-an dan 1980-an, masalah lingkungan hidup semakin
meluas, karena terkai dengan meningkatnya atmosfer bumi
sebagai akibat tidak terkendalinya efek rumah kaca. Pemanasan
global
pada
tiga
dekade
akhir
abad
keduapuluh
telah
menimbulkan: Peningkatan suhu, perubahan iklim terutama curah
hujan, peningkatan intensitas dan kualitas badai, kenaikan suhu
serta permukaan air laut. Hal tersebut menyebabkan sebagian
besar wilayah di dunia sering mengalami bencana. Sementara itu,
air hujan semakin asam sehingga merusak lahan pertanian, hutan
dan biota lainnya. Pada saat yang sama, para ahli menemukan
lubang pada lapisan ozon di sekitar antartika.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Pasal 1
Angka 1 mengartikan Lingkungan Hidup sebagai “kesatuan
ruang dengan kesemua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lainnya”.
Lingkungan hidup tidak bisa di pisahkan dari ekosistem
atau system ekologi. Ekosistem adalah satuan kehidupan yang
terdiri atas suatu komunitas makhluk hidup ( dari berbagai jenis )
dengan
berbagai
benda
mati
membentuk
suatu
system.
Lingkungan hidup pada dasarnya adalah suatu system kehidupan
dimana terdapat campur tangan manusia terhadap tatanan
ekosistem. Manusia adalah bagian dari ekosistem. Lingkungan
dapat pula berbentuk lingkungan fisik dan non fisik.
Lingkungan alam dan buatan adalah Lingkungan fisik.
Sedangkan lingkungan nonfisik adalah lingkungan social budaya
dimana manusia itu berada. Lingkungan amat penting bagi
kehidupan manusia. Segala yang ada pada lingkungan dapat
dimanfaatkan oleh manusia untuk mencukupi kebutuhan hidup
manusia, karma lingkungan memiliki daya dukung, yaitu
kemampuan
lingkungan
untuk
mendukung
perkehidupan
manusia dan makhuk hidup lainya arti penting lingkungan bagi
manusia karena lingungan merupakan tempat hidup manusia,
Lingkungan memberi sumber-sumber penghidupan manusia,
Lingkungan memengaruhi sifat, karakter, dan perilaku manusia
yang mendiaminya.
Sejak awal, manusia merupakan subjek sekaligus objek
dalam perjalanan hidupnya guna mendapatkan kesejahteraan.
Manusia membuat, menciptakan, mengerjakan, dan memperbaiki
berbagai hal yang di tunjuk untuk kepentingan hidupnya. Di
Negara
penduduk
merupakan
salah
satu
modal
dasar
pembangunan. Sebagai modal dasar atau asset pembangunan,
penduduk tidak hanya sebagai sasaran pembangunan, tetapi juga
merupakan pelaku pembangunan.
Manusia mendapatkan unsur-unsur yang diperlukan dalam
hidupnya dari lingkungan. Makin tinggi kebudayaan manusia,
makin beraneka ragam kebutuhan hidupnya. Makin besar jumlah
kebutuhan hidupnya berarti makin besar perhatian manusia
terhadap lingkungannya.
Lingkungan merupakan suatu media di mana makhuk
hidup tinggal, mencari penghidupannya,dan memiliki karakter
serta fungsi yang khas yang mana terkait secara timbal balik
dengan keberadaan makhluk hidup yang menempatinya,terutama
manusia yang memiliki peranan yang lebih kompleks dan riil.
Manusia sedikit demi sedikit mulai menyesuaikan diri pada alam
lingkungan hidupnya. Komunitas biologis di tempat mereka
hidup perubahan alam lingkungan hidup manusia tampak jelas di
kota-kota, di bandingkan dengan di hutan rimba di mana
penduduknya masih sedikit dan primitif.
Berdasarkan sifatnya, kebutuhan hidup manusia dapat
dilihat dan dibagi menjadi 2, yaitu kebutuhan hidup materil
antara lain adalah air, udara, sandang, pangan, papan, transportasi
serta perlengkapan fisik lainnya. Dan kebutuhan nonmateril
adalah rasa aman, kasih sayang, pengakuan atas eksistensinya,
pendidikan dan sistem nilai dalam masyarakat.
Manusia merupakan komponen biotik lingkungan yang
memiliki daya fikir dan daya nalar tertinggi dibandingkan
makluk lainnya. Di sini jelas terlihat bahwa manusia merupakan
komponen biotik lingkungan yang aktif. Hal ini disebabkan
manusia dpaat secara aktif mengelola dan mengubah ekosistem
sesuai dengan apa yang dikehendaki. Kegiatan manusia ini dapat
menimbulkan bermacam-macam gejala.
b. Dampak Perkembangan dan Penerapan Iptek, serta Perubahan
Sosial Ekonomi terhadap Masalah Lingkungan Hidup
Manusia menciptakan teknologi dengan maksud agar
hidupnya lebih mudah, praktis, efisien dan tidak banyak
mengalami
kesulitan.
Namun
tidak
jarang,
iptek
justru
menimbulkan masalah serius bagi kehidupan umat manusia.
Jadi, jelas bahwa perkembangan dan penerapan iptek tidak selalu
membawa dampak positif, namun juga dampak negatif.
Manusia bertindak sosial dengan cara memanfaatkan alam
dan lingkungan untuk menyempurnakan serta meningkatkan
kesejahteraan hidupnya, demi kelangsungan hidup sejenisnya.
Pada saat manusia belum mengenal cara bercocok tanam,
manusia hidup dengan cara mengembara dalam kelompokkelompok kecil dan tinggal di goa, manusia pada jaman ini hidup
dari hasil perburuan, mencari buah-buahan serta umbi-umbian
yang terdapat di dalam hutan. Bila binatang buruan mulai
berkurang mereka berpindah ketempat yang masih banyak
terdapat binatang buruan yang dapat di jadikan bahan makanan
mereka.
Dengan makin pesatnya perkembangan populasi mereka
maka cara hidup seperti ini tidaklah cocok lagi untuk di gunakan.
Mereka mulai beralih dengan pola hidup bercocok tanam yang
masih sangat sederhana, yaitu dengan cara membuka hutan untuk
di buat ladang dan di tanami dengan umbi-umbian atau tanaman
lain yang sudah mereka kenal sebagai bahan makanan. Pada pola
inipun mereka sudah mulai membuat rumah-rumah sederhana
yang terbuat dari kayu yang beratapkan daun-daunan.
Apabila kesuburan ladang tanah mereka telah berkurang,
mereka berpindah ke tempat baru yang lebih subur dan mereka
kembali membuat tempat tinggal dan ladang di tempat baru itu.
Dan dalam mencari tempat tinggal mereka selalu memerhatikan
sumber air, seperti di tepi sungai atau danau. Dan selain bercocok
tanam mereka juga sudah mulai memelihara binatang-binatang.
Dengan pola seperti ini mereka sudah mulai menemukan pola
hidup yang lebih baik, sehingga mereka siudah mulai hidup
menetap dari hasil pengalamannya.
Tampaklah di sini manusia sedikit demi sedikit sudah
mulai membiasakan diri pada alam lingkungan hidupnya.
Perubahan alam lingkungan hidup manusia memiliki dua dampak
yaitu dampak negatif dan dampak positif bagi manusia dan
lingkungan.
mendapatkan
Berpengaruh
keuntungan
bagi
dari
manusia
karena
perubahan
manusia
tersebut,dan
berpengaruh tidak baik karena dapat mengurangi kemampuan
alam lingkungan hidupnya untuk menyokong kehidupannya.
Manusia bertindak sosial dengan cara memanfaatkan alam dan
lingkungan
untuk
menyempurnakan
serta
meningkatkan
kesejahteraan hidupnya demi kelangsungan hidup sejenisnya.
Manusia
mempunyai
pengaruh
penting
dalam
kelangsungan ekosistem habitat manusia itu sendiri, tindakantindakan
yang
diambil
atau
kebijakan-kebijakan
tentang
hubungan dengan lingkungan akan berpengaruh bagi lingkungan
dan manusia itu sendiri. Pelestarian lingkungan perlu dilakukan
karena kemampuan daya dukung lingkungan hidup sangat
terbatas baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Pengelolaan
lingkungan hidup dilakukan secara sukarela baik oleh individu
maupun kelompok masyarakat yang peduli.
Perhatian dan pengaruh manusia terhadap ligkungan
makin meningkat pada zaman teknologi maju. Masa ini manusia
mengubah lingkungan hidup alami menjadi lingkungan hidup
binaan. Eksplotasi sumber daya alam makin meningkat untuk
memenuhi bahan dasar industri. Sebaliknya hasil industri berupa
asap dan limbah mulai menurunkan kualitas lingkungan hidup.
Lingkungan yang tercemar akibat kegiatan manusia
maupun proses alam akan berdampak negative pada kesehatan,
kenikmatan hidup, kemudahan, efisiensi, keindahan, serta
keseimbangan ekosistem dan sumber daya alam. Oleh karena itu
perlindungan lingkungan merupakan suatu keharusan apabila
meninginkan lingkungan yang lestari sehingga kegiatan ekonomi
dan kegiatan lain dapat berkesinambungan. Apabila demikian
halnya maka pengelolaan lingkungan hidup merupakan suatu
keharusan. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu
dalam pemanfaatan, penataan,
pemeliharaan,
pengawasan,
pengendalian, pemulihan, dan pengembangan lingkungan hidup.
Aspek kuantitas penduduk yang mencangkup jumlah
penduduk, pertumbuhan, persebaran, perataan, dan perimbangan
penduduk di tiap wilayah Negara. Lingkungan alam seperti
tanah, dirombak untuk menampung berbagai fasilitas kebutuhan
manusia. Misalnya, perumahan dan fasilitas lain seperti
pelayanan kesehatan, pendidikan, hiburan, pasar, jalan, saluran,
dan lain-lain.
Air tidak hanya di manfaatkan untuk kebutuhan makan
dan minum, tetapi juga sebagai sarana rekreasi seperti taman,
kolam, dan air mancur air jaga untuk pembangkit listrik. Tidak
jarang, perombakan lingkungan berakibatkan pada kerusakan
lingkungan itu sendiri. Lingkungan telah kehilangan daya dukung
lingkungan sebagai akibat tindakan manusia yang berlebihan.
Contohnya, pembangunan perumahan dan vila-vila di
lereng pegunungan telah mengakibatkan banjir besar pada daerah
di
bawahnya.
Jadi,
jumlah
penduduk
semakin
besar
menyebabkan pemukiman yang terus berkembang dan akhirnya
berpengaru
besar
pula
terhadap
lingkungan
Perubahan lingkungan sebagai akibat tindakan manusia tidak
jarang memberikan dampak negative, yaitu kerusakan lingkungan
hidup. Kerusakan lingkungan hidup merupakan problema besar
yang di alami umat manusia sekarang ini. Bahkan, isu tentang
HAM, demokrasi, dan lingkungan.
Kesimpulan
Manusia sangat berhubungan erat dengan lingkungan, manusia
sangat membutuhkan lingkungan untuk kelangsungan hidup, sebaliknya
lingkungan juga membutuhkan manusia untuk melestarikan lingkungan.
Manusia mempunyai pengaruh penting dalam kelangsungan ekosistem serta
habitat manusia itu sendiri, tindakan-tindakan yang diambil atau kebijakankebijakan tentang hubungan dengan lingkungan akan berpengaruh bagi
lingkungan dan manusia itu sendiri. Manusia perlu mengambil kebijakankebijakan terhadap lingkungan sebagai usaha untuk memperoleh efisiensi
pemanfaatan sumber alam dan lingkungan. Kita sebagai manusia wajib
menyadari bahwa kita saling terkait dengan lingkungan yang mengitari kita.
Sumber Rujukan
Basya, Pahmi. 2012. “Pengertian Manusia dan Lingkungan”. http://13pbr.
blogspot.com
Ghifari, Al Uzanks. 2011. “Manusia dan Lingkungan”. http://jalannyauzanks.
blogspot. Com. html.
Setyawan, 2011. “Mnusia dan Lingkungan”. http://setyawanws.wordpress.com/
Virgyansyah.
2010.
“Hubungan
Manusia
Dengan
Lingkungan”.
http://virgyansyah. blogspot.com
Download