MODEL RANTAI NILAI PENGEMBANGAN

advertisement
JPHPI 2014, Volume 17 Nomor 2
Model Rantai Nilai Pengembangan Perikanan, Supriatna et al.
MODEL RANTAI NILAI PENGEMBANGAN PERIKANAN TUNA,
TONGKOL, DAN CAKALANG DI INDONESIA
Value Chain Model Development of Tuna and Tuna Alike In Indonesia
Ateng Supriatna*, Budi Hascaryo, Sugeng Hari Wisudo, Mulyono Baskoro, Victor
PH Nikijuluw
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor.
Telepon 024 7474698, Kode Pos 50275
*Korespondensi: [email protected]
Diterima 15 April 2014/Disetujui 10 Agustus 2014
Abstrak
Keberlanjutan kegiatan perikanan TTC sangat dipengaruhi oleh sistem rantai nilai yang dibangun oleh
pelaku usaha TTC mulai dari menangkap ikan di laut, pengolahan/diversifikasi produk, distribusi produk,
serta pemasarannya hingga produk TTC sampai ke tangan konsumen. Tujuan penelitian adalah menyusun
model rantai nilai perikanan TTC untuk menduga pola interaksi pelaku usaha dan merumuskan strategi
yang tepat untuk minimalisir hambatan sinergi pengembangan rantai nilai perikanan TTC. Penelitian ini
menggunakan metode Structural Equation Modelling (SEM). Pelaku usaha umumnya berinteraksi secara
positif (CE>0) pada rantai nilai perikanan TTC, hanya interaksi pengolah ikan dengan konsumen yang
cenderung negatif. Dari semua interaksi tersebut, baru interaksi pedagang eceran dengan konsumen yang
berdampak signifikan (p<0,05). Pola interaksi nelayan, pedagang eceran, pedagang besar/pengumpul,
dan eksportir dipengaruhi secara signifikan oleh harga jual yang ditawarkan dan tingkat peran yang
dimainkannya. Strategi minimalisir hambatan sinergi pengembangan rantai nilai perikanan TTC dengan
dampak positif signifikan adalah strategi pelibatan kelompok nelayan dalam penentuan harga jual (CE =
1,176 dan P = 0,000), strategi pelibatan kelompok pedagang dalam penentuan harga jual (CE-PE = 1,08,
CE-PB = 0,766, CE-EKS = 2,028, dan P = 0,000), dan strategi jaminan keleluasan interaksi pedagang eceran
dengan konsumen (CE = 0,179 dan p = 0,01).
Kata kunci: ikan TTC, interaksi, pelaku usaha, dan rantai nilai
Abstract
Sustainability of tuna and tuna alike fisheries depend on chain value system formed by stakeholders
ranging from product fishing, processing/diversification, distribution, and marketing. The objective of this
research was to create chain value system model of tuna and tuna alike fisheries, to predict the interaction
pattern of stakeholders and to formulate the precise strategy to minimize the synergy resistance of chain
value system development strategy of tuna and tuna alike fisheries. Structural Equation Modelling (SEM)
was applied to analyze the chain value model. The stakeholders/the players of tuna and tuna alike fisheries
basically have positive interaction (CE>0).The negative interaction occured on retailers and consumers.
Interaction of retailers with consumers is significant (p<0.05) 0.01. Interaction pattern of fishermen, retailers,
collectors, and exporters affected significantlly by pricing and the level of role played by the stakeholders.
The strategy to minimize the sinergy resistance of chain value system development are respectivelly the
strategy of involving the group of fishermen on products pricing (CE= 1,176 and P= 0,000), the strategy
of involving the seller groups on products pricing (CE-PE=1,08, CE-PB= 0,766, CE EKS= 2,028 AND P=
0,000), and the strategy on guaranteeing flexible interaction between retailer and consumers (CE= 0,179
and p = 0,01).
Keywords: tuna and tuna alike, interaction, tuna and tuna alike stakeholders, and value chain
144
Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia
Model Rantai Nilai Pengembangan Perikanan, Supriatna et al.
PENDAHULUAN
Ikan tuna, tongkol, dan cakalang (ikan
TTC) merupakan jenis ikan ekonomis penting
Indonesia. Daerah penyebaran ikan tuna, tongkol,
dan cakalang (TTC) di Indonesia meliputi Laut
Banda, Laut Maluku, Laut Flores, Laut Sulawesi,
Laut Hindia, Laut Halmahera, perairan utara Aceh,
barat Sumatera, selatan Jawa, utara Sulawesi, Teluk
Tomini, Teluk Cendrawasih, dan Laut Arafura.
Daerah produksi utama ikan TTC ini terdapat
di Kawasan Indonesia Timur yang mencakup
Laut Banda, Laut Maluku, Laut Sulawesi, Laut
Halmahera, Teluk Cendrwasih, dan Laut Arafura.
Bitung, Ternate, Ambon, dan Sorong merupakan
wilayah basis pengembangan untuk mendukung
produksi ikan TTC di Kawasan Indonesia Timur
tersebut. Volume produksi TTC cenderung
meningkat setiap tahunnya, dimana pada tahun
2010 dan 2011 masing-masing mencapai 910.506
ton dan 974.011 ton.
Keberlanjutan kegiatan perikanan TTC
sangat dipengaruhi oleh sistem rantai nilai yang
dibangun oleh pelaku usaha TTC mulai dari
menangkap ikan di laut, diversifikasi produk oleh
pengolah atau industri pengolahan, distribusi
produk, serta pemasarannya hingga produk
TTC sampai ke tangan konsumen lokal maupun
luar negeri. Pelaku usaha mulai dari nelayan,
pengolah ikan, pedagang eceran, pedagang besar/
pengumpul, dan eksportir merupakan penyusun
dan pelaku utama rantai nilai perikanan TTC.
Menurut Raras (2009), rantai nilai merupakan
aktifitas yang berawal dari bahan mentah sampai
dengan penanganan purna jual yang melibatkan
pelaku usaha terkait pada setiap mata rantai
dalam pemasaran produknya. Rantai nilai
memberikan wahana mengidentifikasi cara untuk
menciptakan diferensiasi melalui pengembangan
nilai dan pembagian peran kepada setiap pelaku
pada setiap mata rantai.
Analisis model rantai nilai perikanan
tuna, tongkol dan cakalang (TTC) perlu
dikembangkan dalam penelitian dan diharapkan
dapat mengetahui pola interaksi diantara pelaku
usaha TTC tersebut serta strategi yang tepat guna
meminimalisir hambatan sinergi diantara mereka
dalam mendukung pengembangan pemasaran
Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia
JPHPI 2014, Volume 17 Nomor 2
produk TTC. Produk TTC yang dijadikan fokus
adalah TTC segar, tuna loin, cakalang asap, ikan
kayu, tuna TTC beku, tuna kaleng, sashimi,
dan tongkol pindang. Aktivitas rantai nilai
dikategorikan menjadi dua jenis; yaitu aktvitas
primer (produksi, distribusi, dan pemasaran)
dan aktivitas pendukung (infrastruktur suplai,
manajemen usaha, posisi tawar, dan tingkat
peran SDM pelaku). Aktivitas pendukung ini
senantiasa akan menyatukan fungsi-fungsi yang
melintasi aktivitas primer yang beraneka ragam
dalam aplikasinya dimainkan secara internal
oleh setiap pelaku usaha perikanan TTC. Tujuan
penelitian adalah menyusun model rantai nilai
perikanan tuna, tongkol, dan cakalang (TTC)
untuk menduga pola interaksi pelaku usaha
dalam pengembangan rantai nilai perikanan
TTC dan merumuskan strategi yang tepat untuk
minimalisir hambatan sinergi pengembangan
rantai nilai perikanan TTC dengan tujuan
pembangunan perikanan dan peningkatan
kesejahteraan nelayan.
BAHAN DAN METODE
Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini
terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer yang dikumpulkan terkait dengan nelayan,
pengolah ikan, pedagang eceran, pedagang besar/
pengumpul, eskportir, mencakup data kuantitas
suplai optimum produk ikan TTC, harga jual
yang ditawarkan, dan tingkat peran yang masingmasing dapat diberikan untuk mendukung rantai
nilai ikan TTC.
Data primer yang dikumpulkan terkait
dengan konsumen mencakup tingkat kesetiaan
membeli, tingkat konsumsi, dan ketiadaan
komplain. Data primer terkait sinergi rantai nilai
perikanan TTC terdiri dari kesesuaian tujuan
pembangunan perikanan dengan kebutuhan
pengembangan wilayah basis, dan data tingkat
kesejahteraan nelayan kecil, sedangkan data
sekunder mencakup data statistik perikanan
TTC, data pembinaan pelaku usaha TTC, dan
lainnya. Data tersebut dikumpulkan dengan teknis
wawancara terhadap responden yang merupakan
perwakilan dari nelayan, pengolaha ikan, pedagang
145
JPHPI 2014, Volume 17 Nomor 2
eceran, pedagang besar/pengumpul, eskportir,
dan konsumen/mesayarakat. Jumlah responden
sekitar 184 orang mengacu kepada kebutuhan
metode estimasi yaitu maximum likelihood,
dimana membutuhkan data berkisar antara 100 –
200 responden (Ferdinand 2002).
Data sekunder dikumpulkan dengan
menelaah pustaka, hasil studi dan laporan kegiatan
yang tersedia pada Dinas Perikanan dan Kelautan,
Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran
Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan
Perikanan, lembaga riset, dan perguruan tinggi.
Metode Penelitian
Penyusunan model rantai nilai perikanan
TTC dilakukan dengan menggunakan metode
SEM (Structural Equation Modelling) yang disusun
berdasarkan pola data lapang (jawaban responden)
dan didapat selama pengumpulan data. Tahap
selanjutnya rancangan model dimodifikasi dan
evaluasi sampai memenuhi kriteria goodness of
fit yang dipersyaratkan untuk menjadikan model
menyerupai kondisi nyatanya (diwakili oleh data).
Interpretasi model dilakukan untuk menjelaskan
pola interaksi pelaku usaha dalam pengembangan
rantai nilai perikanan TTC dan penyusunan
strategi untuk minimalisir hambatan sinergi
pengembangan rantai nilai perikanan TTC lebih
tepat dan sesuai dengan kebutuhan nyata. Tahapan
yang dilakukan dalam penyusunan model rantai
nilai perikanan TTC sebagai berikut :
Kajian Model Teoritis
Kajian ini dimaksudkan untuk mendapatkan
justifikasi terhadap konsep-konsep interaksi pelaku
usaha dan penyusunan rantai nilai perikanan
TTC sehingga dapat dipertanggungjawabkan
dan mendapat kebenaran secara ilmiah. Telaah
pustaka, hasil studi dan laporan kegiatan yang
tersedia pada Dinas Perikanan dan Kelautan,
Ditjen P2HP, lembaga riset, dan perguruan tinggi
menjadi masukan penting untuk penyusunan
model teoritis tersebut.
Perancangan Pola Interaksi Path Diagram
Perancangan
merupakan
kegiatan
mendeskripsikan interaksi di antara pelaku
146
Model Rantai Nilai Pengembangan Perikanan, Supriatna et al.
usaha TTC dan komponen lainnya penyusun
path digaram model. Path diagram, pelaku
usaha TTC dan komponen yang dalam
interaksinya memegang posisi sentral
interaksi menjadi konstruk penelitian,
sedangkan komponen yang memperjelas
interaksi pelaku usaha TTC dan komponen
sentral tersebut menjadi dimensi konstruk
dan dilakukan justifikasi terhadap kajian
teoritis. Pola interaksi path diagram model
dirancang sebagai berikut:
a. Konstruk nelayan (NEL), dengan dimensi
konstruk mencakup kuantitas suplai
optimum produk ikan TTC oleh nelayan
(X11), harga jual yang ditawarkan nelayan
(X12), dan tingkat peran nelayan (X13).
b. Konstruk pengolah ikan (PENG), dengan
dimensi konstruk mencakup kuantitas
suplai optimum produk ikan TTC oleh
pengolah ikan (X21), harga jual yang
ditawarkan pengolah ikan (X22), dan
tingkat peran pengolah ikan (X23).
c. Konstruk pedagang eceran (PE), dengan
dimensi konstruk mencakup kuantitas
suplai optimum produk ikan TTC oleh
pedagang eceran (X31), harga jual yang
ditawarkan pedagang eceran (X32), dan
tingkat peran pedagang eceran (X33).
d.Konstruk pedagang besar/pengumpul
(PB), dengan dimensi konstruk mencakup
kuantitas suplai optimum produk ikan TTC
oleh pedagang besar/pengumpul (X41),
harga jual yang ditawarkan pedagang
besar/pengumpul (X42), dan tingkat peran
pedagang besar/pengumpul (X43).
e. Konstruk eksportir (EKS), dengan dimensi
konstruk mencakup kuantitas suplai
optimum produk ikan TTC oleh eksportir
(X51), harga jual yang ditawarkan eksportir
(X52), dan tingkat peran eksportir (X53).
f. Konstruk konsumen (EKS), dengan
dimensi konstruk mencakup tingkat
kesetiaan membeli (Y1), tingkat konsumsi
(Y2), dan ketiadaan komplain (Y3).
Kepentingan
analisis
sinergi
pengembangan rantai nilai, maka konstruk
nelayan juga dilengkapi dengan dimensi
Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia
Model Rantai Nilai Pengembangan Perikanan, Supriatna et al.
konstruk kesejahteraan (KSJ) dan ada
penambahan dimensi konstruk wilayah basis
(WB) pada konstruk kegiatan perikanan (KP).
Perumusan Measurement
Structural Equation
Model
dan
Perumusan measurement model dan
structural equation merupakan kegiatan
penyusunan persamaan matematis yang
mewakili interaksi pelaku usaha TTC dan
komponen lainnya yang terkait dengan
rantai nilai perikanan TTC. Stakeholder/
komponen terkait pada kegiatan pengelolaan
perikanan TTC dan bentuk partisipasi
yang bisa dilakukan oleh nelayan dalam
perencanaan, implementasi, dan monitoring
pengelolaan TTC. Persamaan matematis
tersebut digunakan untuk operasi AMOS dan
data SEM yang dikumpulkan dari responden
diolah dengan program SPSS, Microsoft Excel,
atau program lain yang sesuai.
Evaluasi Kriteria Goodness of Fit
Interpretasi Model
dan
Evaluasi kriteria goodness of fit merupakan
tahapan untuk mengukur kesesuaian model
dengan nilai standar yang dipersyaratkan
untuk model SEM. Pemenuhan kriteria
tersebut menunjukkan bahwa model yang
dihasilkan sudah menyerupai kondisi
nyatanya. Tabel 1 menyajikan jenis kriteria
goodness of fit yang perlu dipenuhi oleh model
SEM.
Model yang sudah memenuhi kriteria
goodness of fit menjelaskan berbagai maksud
nyata yang diharapkan dari penyusunan
JPHPI 2014, Volume 17 Nomor 2
model. Penelitian ini, model SEM yang
memenuhi kriteria goodness of fit digunakan
untuk menjelaskan pola interaksi pelaku
usaha dalam pengembangan rantai nilai
perikanan TTC dan penyusunan strategi yang
tepat untuk minimalisir hambatan sinergi
pengembangan rantai nilai perikanan TTC
dengan kebutuhan nyata.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemodelan Rantai Nilai Perikanan Tuna,
Tongkol, dan Cakalang (TTC)
Model rantai perikanan TTC disusun
dengan menformulasikan pola interaksi
konstruk dan dimensi konstruk yang
dideskripsikan pada metode terkait dengan
path diagram. Semua pola interaksi yang
dibangun lazim terjadi pada kegiatan
distribusi dan pemasaran hasil perikanan
yaitu kegiatan nelayan, pengolah ikan,
pedagang
eceran,
pedagang
besar/
pengumpul, dan eksportir tidak lepas suplai
produk ikan TTC, penawaran harga jual,
dan melayani pelanggan. Konsumen sebagai
pelaku interaksi paling hilir dalam rantai
pemasaran akan memberikan respon dalam
kesetiaan membeli, mengkonsumsi, dan
melakukan keluhan bila ada kejanggalan.
Teori respon konsumen tentang produk
yang dilepas kepada pasaran menurut
Gaviglio et al. (2014). Hasil pemodelan
menggunakan SEM terkait rantai perikanan
TTC (Gambar 1).
Pada model Gambar 1 tersebut, NEL,
PENG, PE, PB, EKS, dan KONS menyatakan
nelayan, pengolah ikan, pedagang eceran,
Tabel 1 Kriteria goodness of fit dan nilai standarnya
Kriteria goodness of fit Nilai Standar (Standard Value)
Chi-squarey
Diusahakan kecil
Significance Probability
> 0,05
NFI
> 0,90
RFI
> 0,90
IFI
> 0,90
TLI
> 0,90
CFI
> 0,90
Sumber: Ferdinand (2002)
Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia
147
JPHPI 2014, Volume 17 Nomor 2
pedagang
besar/pedagang
pengumpul,
eksportir merupakan pelaku utama interaksi
(pelaku usaha TTC). KP, WB, KONS, KSJ
menyatakan kegiatan perikanan, wilayah
basis pengembangan perikanan TTC,
konsumen, dan dampak kesejahteraan.
Simbol X11, X21, X31, X41, dan X51
menyatakan kuantitas suplai optimum
produk ikan yang dilakukan berturut-turut
oleh nelayan, pengolah ikan, pedagang eceran,
pedagang besar/pedagang pengumpul, dan
eksportir. Simbol X12, X22, X32, X42, dan
X52 menyatakan harga jual yang ditawarkan
berturut-turut oleh nelayan, pengolah ikan,
pedagang eceran, pedagang besar/pedagang
pengumpul, dan eksportir. Simbol X13, X23,
X33, X43, dan X53 menyatakan tingkat peran
yang bisa diberikan nelayan, pengolah ikan,
pedagang eceran, pedagang besar/pedagang
pengumpul, dan eksportir dalam mendukung
rantai nilai perikanan TTC, sedangkan Y1,
Y2, dan Y3 menyatakan tingkat kesetiaan
membeli, tingkat konsumsi, dan ketiadaan
komplain dari konsumen.
Evaluasi Kriteria Goodness of Fit
Hasil analisis SEM rantai nilai
perikanan TTC dengan analisis kesesuaian
Model Rantai Nilai Pengembangan Perikanan, Supriatna et al.
menggunakan kriteria goodness of fit sudah
memenuhi persyaratan dengan nilai chisquare sekitar 564,842 yang termasuk cukup
baik untuk interaksi yang relatif kompleks
dengan melibatkan 27 konstruk/dimensi
(Gambar 1). Hasil nilai NFI = 0,957, RFI
= 0,942, IFI = 0,968, TLI = 0,958, dan CFI
= 0,968 menunjukkan bahwa model yang
dibangun sudah memenuhi kriteria goodness
of fit yang dipersyaratkan. Sebagian besar
kriteria telah dipenuhi, maka model tersebut
dapat dikatakan sudah masuk jalur kesesuaian
(fitting) dan sudah mempunyai keserupaan
yang tinggi dengan sistem nyatanya. Model
SEM rantai nilai perikanan TTC pada Gambar
1 dapat diterima dan digunakan untuk
menjelaskan pola interaksi pelaku usaha dalam
pengembangan rantai nilai perikanan TTC
dan acuan memilih strategi yang tepat untuk
minimalisir hambatan sinergi pengembangan
rantai nilai perikanan TTC.
Interaksi Antar Pelaku Usaha Pada Rantai
Nilai Perikanan TTC
Interaksi antar pelaku usaha merupakan
penentu dari kelangsungan rantai nilai dalam
mendukung suplai produk TTC (TTC segar,
tuna loin, cakalang asap, ikan kayu, tuna
Gambar 1 Model rantai perikanan tuna, tongkol, dan cakalang (TTC)
148
Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia
Model Rantai Nilai Pengembangan Perikanan, Supriatna et al.
TTC beku, tuna kaleng, sashimi, dan tongkol
pindang) dari tempat produksi ke tujuan
pasar yang diinginkan. Pola interaksi antar
pelaku ini menjadi perhatian penting dalam
pengembangan nyata rantai nilai perikanan
TTC terutama di Kawasan Indonesia Timur
(Bitung, Ternate, Ambon, dan Sorong) yang
menjadi wilayah basis/sentra perikanan TTC
nasional.
Interaksi yang terjadi diantara nelayan
(NEL), pengolah ikan (PENG), pedagang
eceran (PE), pedagang besar/pengumpul
(PB), eksportir (EKS), dan konsumen
(KONS) umumnya bersifat positif (CE>0),
hal ini menunjukkan setiap pelaku usaha
TTC mendukung pelaku usaha TTC lainnya
pada setiap mata rantai pemasaran ikan
TTC. Dukungan tersebut terlihat jelas dalam
bentuk peningkatan nilai produk pada setiap
pelaku usaha yang membentuk rantai nilai
pemasaran perikanan TTC, misalnya untuk
produk tuna segar dari nelayan ke pedagang
besar/pengumpul, pedagang eceran, dan
konsumen meningkat nilainya berturut-turut
Rp 25.000/kg, Rp 28.000/kg, Rp 31.000/kg, dan
Rp 45.000/kg . Kondisi ini yang diilustrasikan
JPHPI 2014, Volume 17 Nomor 2
dengan nilai CE positif oleh hasil analisis
model. Nilai CE tersebut menunjukkan bahwa
setiap peningkatan produksi ikan di tingkat
nelayan selalu berimbas pada peningkatan
intensitas kegiatan perikanan (KP) lainnya,
contohnya kegiatan para pengolah ikan
(PENG), pedagang besar/pengumpul (PB),
pedagang eceran (PE), dan eksportir (EKS).
Pedagang
eceran
dan
pengolah
ikan merupakan dua pelaku usaha yang
berinteraksi langsung dengan konsumen
(Gambar 1), tetapi hanya interaksi pedagang
eceran dengan konsumen yang berdampak
positif nyata (p<0,05 atau 0,01), hal ini yang
menjadikan harga beli produk oleh konsumen
selalu sama dengan nilai produk yang dilepas
oleh pedagang eceran. Interaksi negatif
pengolah ikan dengan konsumen memberi
indikasi bahwa peningkatan produksi
TTC olahan oleh pengolah ikan (PENG)
cenderung mengurangi minat konsumen
untuk membeli produk TTC olahan tersebut
(CE = -0,503). Kondisi seperti ini berpeluang
mengancam kelangsungan rantai nilai
perikanan TTC terutama yang terkait
langsung pemasaran produk TTC dari
pengolah tradisional.
Tabel 2 Nilai produk pada setiap mata rantai perikanan TTC
PedaPedagang
NePengoEksporProduk TTC
Satuan
gang
Besar/
layan
lah
tir
Eceran Pengumpul
Tuna Segar
Rp/kg
25.000
31.000
28.000
45.000
Tongkol Segar
Rp/kg
10.000
13.000
Cakalang Segar
Rp/kg
16.000
23.000
19.500
a
Tuna Loin
Rp/pack
88.113
102.000
120.000
Cakalang Asap
Rp/kg
65.000
75.000
Ikan Kayu
Rp/kg
35.000
37.500
50.000
Tuna Beku
Rp/kg
27.500
33.000
30.000
47.500
Tongkol Beku
Rp/kg
11.500
14.500
Cakalang Beku
Rp/kg
18.500
24.500
21.000
b
Tuna Kaleng
Rp/kaleng
15.750
18.500
17.000
c
Sashimi
Rp/pack
21.950
27.000
35.000
Tongkol Pindang
Rp/kg
13.000
15.000
Keterangan : a1 pack = 2 kg, b1 kaleng = 100 g, dan c1 pack = 500 g, dan dharga beli diterima konsumen lokal
Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia
Konsumend
31.000
13.000
23.000
102.000
75.000
37.500
33.000
14.500
24.500
18.500
27.000
18.000
149
JPHPI 2014, Volume 17 Nomor 2
Berdasarkan
Tabel
1
terdapat
kecenderungan pedagang eceran membeli
produk TTC dari pedagang besar/pengumpul
bila ada kekurangan produk dari pemasok
utamanya (nelayan dan pengolah ikan), hal
ini terutama terjadi untuk produk tuna segar,
cakalang segar, tuna beku, cakalang beku, dan
tuna kaleng. Keberadaan pedagang eceran
dalam rantai nilai perikanan TTC ini perlu
didukung mengingat perannya yang vital
untuk mengantarkan produk ke tujuan akhir/
konsumen (Gambar 1).
Interaksi Internal Setiap Pelaku Usaha
Pada Rantai Nilai Perikanan TTC
Mengacu kepada model Gambar 1, pola
interaksi nelayan (NEL) dapat dipengaruhi
oleh kuantitas suplai optimum produk ikan
TTC segar (X11), harga jual yang ditawarkan
nelayan (X12), dan tingkat peran nelayan
(X13) pada rantai nilai perikanan TTC.
Harga jual yang ditawarkan dari ketiga faktor
tersebut, nelayan (X12) dan tingkat peran
yang diberikan nelayan (X13) mendukung
secara signifikan posisi nelayan pada rantai
nilai perikanan TTC yang ditunjukkan oleh
nilai P masing-masing 0,000, sedangkan harga
Model Rantai Nilai Pengembangan Perikanan, Supriatna et al.
jual produk TTC yang ditawarkan nelayan
dan nilai tambah setelah produk tersebut
pindah tangan atau mengalami diversifikasi
oleh pelaku usaha TTC lainnya (Tabel 3).
Pengolah ikan, kuantitas suplai optimum
produk ikan TTC olahan (X21), harga jual
yang ditawarkan pengolah (X22), dan tingkat
peran pengolah ikan (X23) juga memperkuat
posisinya dalam rantai nilai perikanan TTC,
namun tidak ada yang pengaruhnya nyata/
signifikan (p ketiganya > 0,05). Pedagang
eceran (PE), pedagang besar/pengumpul (PB),
dan eksportir (EKS), posisinya dalam rantai
nilai perikanan TTC juga diperkuat oleh
kuantitas suplai optimum produk ikan TTC,
harga jual yang ditawarkan, dan tingkat peran
yang diberikan oleh ketiganya. Berdasarkan
tiga faktor internal tersebut, dua diantaranya
(harga jual yang ditawarkan dan tingkat peran
yang diberikan) berpengaruh signifikan bagi
penguatan posisi ketiganya dan sekaligus
semakin menjamin kelangsungan rantai
nilai perikanan TTC di sentra/wilayah basis
pengembangannya.
Tabel 3 menunjukkan pedagang eceran,
pedagang besar/pengumpul, dan eksportir
mendapat nilai tambah cukup baik dari
Tabel 3 Nilai tambah (value added) yang didapat setiap pelaku usaha TCC
Nilai Awal
Nilai Tambah
PedaPedagang
Produk TTC
Satuan
PengoNelayan
gang
Besar/
Eksportir
lah
Eceran Pengumpul
Tuna Segar
Rp/kg
25.000
3.000
3.000
14.000
Tongkol Segar
Rp/kg
10.000
3.500
Cakalang Segar
Rp/kg
16.000
3.500
3.000
a
Tuna Loin
Rp/pack
38.000
14.000
18.000
Cakalang Asap
Rp/kg
40.000
10.000
Ikan Kayu
Rp/kg
10.000
2.500
12.500
Tuna Beku
Rp/kg
2.500
3.000
2.500
14.500
Tongkol Beku
Rp/kg
1.500
3.000
Cakalang Beku
Rp/kg
2.000
3.500
2.500
b
Tuna Kaleng
Rp/kaleng
13.000
1.500
1.250
c
Sashimi
Rp/pack
9.450
5.050
12.000
Tongkol Pindang
Rp/kg
2.000
2.000
Keterangan : a1 pack = 2 kg, b1 kaleng = 100 g dan c1 pack = 500 g
150
Total
20.000
3.500
6.500
70.000
50.000
25.000
22.000
4.500
8.000
16.000
26.500
5.000
Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia
Model Rantai Nilai Pengembangan Perikanan, Supriatna et al.
harga jual yang ditawarkannya. Kondisi
ini menyebabkan mereka dapat bertahan
untuk mengambil peran dalam rantai
nilai perikanan TTC. Nilai tambah yang
tinggi untuk pedagang eceren umumnya
terjadi pada produk TTC olahan misalnya
tuna loin (Rp 14.000/pack), cakalang asap
(Rp 10.000/kg), dan sashimi (Rp 5.050/pack),
sedangkan untuk eksportir, dari semua produk
TTC yang dijual mendapat nilai tambah yang
tinggi. Nilai tambah tersebut merupakan
selisih harga dari produk TTC didapat dalam
negeri dengan yang diterima di negara tujuan.
Pengembangan produk ikan TTC
menurut wilayah basis/potensinya juga
berpengaruh positif bagi peningkatan
intensitas/kesibukan kegiatan perikanan (KP)
di wilayah kajian (Bitung, Ternate, Ambon,
dan Sorong), namun belum terasa nyata, hal ini
perlu ditingkatkan agar dapat meningkatkan
kesejahteraan dan mendukung tujuan
pembangunan perikanan terkait pemerataan
dan pemanfaatan sumberdaya ikan sesuai
potensinya.
Kesejahteraan (KSJ) dapat
ditingkatkan dan memberi dampak nyata
terhadap peningkatan intensitas dan kinerja
nelayan (p<0,05, yaitu 0,000). Nilai tambah
yang dinikmati oleh setiap pelaku usaha TTC
saat ini dapat dipacu dan dipertahankan untuk
mempercepat peningkatan kesejehateraan
tersebut.
Pola interaksi yang positif/saling
mendukung antara nelayan (NEL), pengolah
ikan (PENG), pedagang eceran (PE), pedagang
besar/pengumpul (PB), eksportir (EKS),
dan konsumen (KONS) lebih karena mereka
saling membutuhkan untuk menjalankan
peran masing-masing dalam pemasaran
produk perikanan termasuk produk ikan
TTC. Ekinci et al. (2014) menyatakan bahwa
setiap pelaku usaha akan menjalankan peran
tersendiri pada bisnis perikanan. Peran
tersebut sangat berkaitan dengan upaya untuk
mempertahankan hidup dan mencukupi
kebutuhan keluarganya. Nilai produk yang
ditawarkan setiap pelaku TTC pada setiap mata
rantai merupakan upaya untuk mendapatkan
Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia
JPHPI 2014, Volume 17 Nomor 2
penghasilan bagi kehidupan keluarganya.
Makino et al. (2009) menyatakan bahwa tujuan
interaksi pelaku perikanan terbagi menjadi
dua, yaitu untuk mendapatkan penghasilan
dan untuk mempertahankan eksistensi dalam
interaksi sosial ekonomi masyarakat pesisir.
Pelaku usaha TTC skala besar misalnya
pedagang besar, pengumpul, dan eksportir
mungkin mengejar kedua tujuan tersebut,
sedangkan kelompok nelayan, pengolah ikan
dan pedagang eceran lebih karena untuk
mendapatkan penghasilan bagi kehidupan
keluarga.
Adanya interaksi pelaku usaha TTC dapat
memperkuat rantai nilai perikanan TTC.
Nilai CE yang positif pada interaksi antar
pelaku usaha TTC merupakan gambaran
rantai nilai perikanan TTC yang terbangun
sudah baik dan tidak akan terganggu selama
interaksi antar nelayan (NEL), pengolah ikan
(PENG), pedagang eceran (PE), pedagang
besar/pengumpul (PB), eksportir (EKS),
dan konsumen (KONS) yang terjadi di
masa datang tidak lebih buruk dari yang
terjadi saat ini. Selama ini, nelayan menjadi
penggerak utama kegiatan perikanan TTC.
Adanya kegiatan nelayan yang menghasilkan
produk TTC segar, berkembang kegiatan
pedagang eceran, pengolah ikan, pedagang
besar, dan eksportir, dimana kegiatan mereka
dipengaruhi secara langsung oleh kegiatan
perikanan yang digerakkan oleh nelayan,
hal ini harus dipelihara, dan pengakuan
terhadap peran nelayan harus diapresiasi
pada setiap program dan kebijakan yang
diterapkan di sentra perikanan TTC misalnya
Bitung, Ternate, Ambon, dan Sorong.
Menurut DKP Kota Bitung (2013) dan
Campling et al. (2007), program pro-nelayan
dapat memperkuat pengembangan wilayah
basis perikanan dan menjadi daerah penting
untuk menyuplai produk-produk perikanan
bernilai ekonomis tinggi. Bentuk apresiasi lain
adalah nelayan dilibatkan dalam pengaturan
harga jual produk ikan TTC (p<0,05 untuk
interaksi X12 dengan NEL).
Harga jual yang ditawarkan dan tingkat
151
JPHPI 2014, Volume 17 Nomor 2
peran yang diberikan oleh nelayan, pedagang
eceran (PE), pedagang besar/pengumpul
(PB), dan eksportir berpengaruh signifikan
bagi penguatan posisi mereka pada rantai
nilai perikanan TTC. Pelaku usaha TTC
ini terutama pedagang dan eksportir
lebih mengandalkan selisih harga untuk
mendapatkan keuntungan dan eksis sebagai
pelaku usaha pada mata rantai perikanan
TTC. Berbeda dengan pengolah ikan yang
mendapat keuntungan atau nilai tambah
(added value) dari diversifikasi produk yang
dihasilkannya. Menurut Pemda Maluku (2012)
dan Mehrjerdi (2014), pengolah lebih dapat
bertahan bila terjadi gejolak harga karena
mempunyai kemampuan untuk mengatur
komposisi bahan pada produk olahan yang
dihasilkannya, tanpa harus mengintervensi
harga jual yang terjadi. Hasil analisis pengaruh
harga jual yang ditawarkan sangat relevan
terhadap penguatan posisi pengolah ikan
pada rantai nilai perikanan TTC yang bersifat
positif namun tidak signifikan (p = fix).
Wilayah basis (WB) pengembangan
perikanan TTC (Bitung, Ternate, Ambon,
dan Sorong) sudah dikenal dengan baik
oleh konsumen produk olahan TTC (CC
= 0,07), hal ini memberi indikasi bahwa
keberadaan kegiatan perikanan TTC di
daerah penelitian ini telah diakui dan telah
menunjukkan eksistensinya dalam pemasaran
perikanan TTC di tanah air. Pengembangan
wilayah basis perikanan TTC ini relevan
dengan tujuan pembangunan perikanan
yang pro-poor, pro-job, dan pro-resource.
Adisanjaya (2011) menyatakan bahwa
perikanan laut di Kawasan Indonesia Timur
menyimpan sekitar 70% dari sumberdaya
ikan nasional dan menjadi sumber mata
pencaharian utama masyarakat pesisir.
Terkait dengan ini, maka wajar bila
kesejahteraan nelayan merupakan repersentasi
kesejahteraan masyarakat pesisir di Kawasan
Indonesia Timur, dan kesejahteraan tersebut
mempengaruhi kontribusi nelayan secara
signifikan (CE = 0,675 dan p<0,05, yaitu
0,000) pada rantai nilai perikanan TTC.
152
Model Rantai Nilai Pengembangan Perikanan, Supriatna et al.
Strategi
meminimalisir
hambatan
pengembangan
rantai
nilai
TTC
dikembangkan dengan mengakomodir hasil
analisis terkait interaksi pelaku usaha dalam
pengembangan rantai nilai, hal ini penting
agar opsi-opsi strategi yang diterapkan relevan
dan sesuai dengan kebutuhan nyata terutama
di sentra perikanan TTC nasional misalnya
Bitung, Ternate, Ambon, dan Sorong. Menurut
Mehrjerdi (2014) dan DKP Kota Ternate
(2013), dalam aplikasinya strategi kebijakan
yang disusun dengan mengakomodir aspirasi
masyarakat dan kondisi nyata di lapangan,
umumnya lebih dapat diterima dan lebih
handal dapat menyelesaikan konflik bisnis
yang terjadi diantara pelaku usaha perikanan.
Tabel 4 menyajikan lima opsi strategi
minimalisir hambatan sinergi pengembangan
rantai nilai bagi perikanan TTC.
Tabel 4 menyatakan bahwa strategi
pelibatan kelompok nelayan dalam penentuan
harga jual mempunyai dampak positif
signifikan terhadap pengembangan rantai
nilai perikanan TTC.
Kondisi tersebut
ditegaskan oleh nilai CE dan P harga jual
nelayan memperkuat rantai nilai dalam bentuk
penguatan posisi nelayan dalam rantai nilai
TTC dengan nilai CE = 1,176 dan P = 0,000.
Realisasi strategi pelibatan kelompok nelayan
dalam penentuan harga jual termasuk “sangat
urgent” untuk meminimalisir hambatan
sinergi antara nelayan dengan pelaku usaha
TTC lainnya pada rantai nilai perikanan
TTC.
Sunoko dan Huang (2014) dan
Persaulian et al. (2013) menyatakan
bahwa untuk memperkuat pondasi bisnis
perikanan TTC, maka paradigma nelayan
yang
sebelumnya
hanya
menerima
harga jual menjadi penentu harga jual.
Castro et al. (2014) juga menyatkan bahwa
pelibatan nelayan dalam penentuan harga jual
merupakan bentuk apresiasi, penghargaan,
dan juga bentuk kesepahaman dan keadilan
berbisnis.
Strategi pengaturan posisi stock produk
TTC pada setiap mata rantai pemasaran
sangat dibutuhkan untuk meminimalisir
Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia
Model Rantai Nilai Pengembangan Perikanan, Supriatna et al.
JPHPI 2014, Volume 17 Nomor 2
Tabel 4 Strategi minimalisir hambatan sinergi pengembangan rantai nilai perikanan Tuna,
Tongkol, dan Cakalang (TTC)
Dampak Bagi
Kebutuhan
Strategi
Rantai Nilai
Realisasi
Pelibatan kelompok nelayan dalam penentuan harga jual
(+) Signifikan
Sangat Urgent
Pengaturan posisi stock produk TTC pada setiap mata rantai
pemasaran
(+)
Urgent
Pelibatan kelompok pedagang (eceran, besar/pengumpul, dan
eksportir) dalam penentuan harga jual
(+) Signifikan
Sangat Urgent
Jaminan keleluasan interaksi pedagang eceran dengan konsumen
(+) Signifikan
Sangat Urgent
Pelibatan kelompok pengolah ikan dalam pengaturan harga jual
(+)
Urgent
Pengaturan produksi produk TTC olahan
(-)*
Urgent
Keterangan: *dampak bila pengaturan tidak dilakukan
kelangkaan produk TTC pada tingkat nelayan,
pengolah ikan, pedagang eceran, pedagang
besar/pengumpul, hingga tingkat eskportir.
Bila posisi stock terjaga, maka gejolak
harga yang dapat mengganggu sinergi dan
eksistensi rantai nilai perikanan TTC tidak
akan pernah terjadi. Kebutuhan realisasi
strategi pengaturan posisi stock produk TTC
ini belum masuk dalam taraf sangat urgent,
bila melihat hasil analisis tentang pengaruh
kuantitas suplai optimum produk TTC (X11,
X21, X31, X41, dan X51) yang mempunyai
nilai p > 0,05 (yaitu fix), hal ini dapat terjadi
karena posisi stock produk TTC pada tingkat
nelayan, pengolah ikan hingga eksportir
dalam prakteknya sudah cukup aman, dan
diatur dengan cukup baik oleh pelakunya pada
setiap mata rantai. Saat ini, nilai produk yang
ditawarkan dan nilai tambah yang diterima
setiap pelaku usaha TTC sudah cukup bagus
dan hanya perlu pengawasan. Kebijakan
pemerintah yang mengatur dan mengawasi
posisi stock sembilan jenis bahan pokok pada
setiap daerah juga ikut membantu hal ini
(KKP 2011).
Strategi pelibatan kelompok pedagang
(eceran, besar/pengumpul, dan eksportir)
dalam penentuan harga jual juga dibutuhkan
(“sangat urgent”) untuk meminimalisir
hambatan sinergi pengembangan rantai nilai
perikanan TTC. Pedagang sangat bergantung
pada selisih harga untuk mendapatkan
keuntungan dan supaya tetap eksis sebagai
Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia
pelaku usaha pada mata rantai perikanan TTC.
Mengakomodir aspirasi pedagang tentang
harga jual dapat meminimalisir konflik
diantara pelaku bisnis perikanan TTC yang
sebagian besar pemainnya adalah pedagang
eceran, pedagang besar/pengumpul dan
eksportir. Menurut DKP Kota Bitung (2013)
dan Pemda Maluku (2012), nilai ekonomis
yang tinggi pada produk TTC lebih karena
produk perikanan ini telah masuk pasar
modern terutama di negara maju contohnya
Jepang, Uni Eropa, dan Amerika Serikat, dan
hal ini terjadi atas dukungan para pedagang
dan eksportir.
Jaminan keleluasan interaksi pedagang
eceran dengan konsumen sangat penting
mengingat produk TTC sampai ke tangan
konsumen karena ada pedagang eceran yang
menjajakannya. Keleluasaan yang dimaksud
dapat berupa leluasa memilih tempat
berjualan, bentuk kemasan, cara melayani,
dan leluasa menyepakati sistem pembayaran.
Jaminan keleluasaan interaksi ini mempunyai
pengaruh signifikan bagi kelangsungan
suplai produk TTC hingga sampai ke
konsumen (CE = 0,179 dan p = 0,01). Strategi
jaminan keleluasan interaksi pedagang
eceran dengan konsumen termasuk “sangat
urgent” untuk direalisasi dalam mendukung
kelangsungan rantai nilai perikanan TTC.
Persaulian et al. (2013) menyatakan bahwa
kunci penerimaan produk oleh konsumen
setelah produk diproduksi dengan kualitas
153
JPHPI 2014, Volume 17 Nomor 2
handal adalah bagaimana produk tersebut
disajikan secara menarik, meyakinkan,
dan dapat dengan mudah dijumpai dan
membutuhkan improvisasi oleh pedagang
eceran.
Pelibatan kelompok pengolah ikan
dalam pengaturan harga jual dan pengaturan
produksi produk TTC olahan merupakan
strategi kelima dan keenam yang dapat
diterapkan untuk minimalisir hambatan
sinergi rantai nilai perikanan TTC. Berbeda
dengan pelibatan kelompok nelayan dan
pedagang (pedagang eceran, pedagang
besar/pengumpul, dan eksportir), pelibatan
kelompok pengolah ikan dalam pengaturan
harga jual tidak signifikan mempengaruhi
interaksi. Kondisi demikian terjadi karena
pengolah ikan dapat menyiasati fluktuasi
harga dengan mengatur komposisi bahan
pada produk olahan TTC yang dihasilkannya.
Menurut Guillotreau dan Toribio (2011)
menyatakan bahwa bentuk pertahanan yang
paling baik bagi pelaku usaha perikanan
dalam kondisi turunnya harga adalah
mendiversifikasi ikan segar menjadi berbagai
produk olahan baru dan mengatur kembali
komposisi bahan pada produk lama tanpa
mempengaruhi kualitas dan cita rasanya.
Strategi pengaturan produksi juga dapat
membantu menstabilkan nilai produk dan
nilai tambah yang dinikamati setiap pelaku
usaha pada pada setiap mata rantai pemasaran
ikan TTC.
KKP (2011) dan Ekinci et al. (2014)
menyatakan bahwa perdagangan global
membutuhkan stock yang kontinyu dari
produk yang diperdagangkan, dimana negara
harus menjamin ketersediaannya dan pelaku
usaha terkait perlu dibina dan diberdayakan.
Pemerintah baik pusat maupun daerah perlu
mengoptimalkan hal ini, sehingga berbagai
hambatan yang dapat mengganggu sinergi
pengembangan rantai nilai perikanan TTC
dengan tujuan pembangunan perikanan yang
pro foor, pro-job, pro-resource dapat dihindari.
Wilayah basis perikanan TTC misalnya
Bitung, Ternate, Ambon, dan Sorong perlu
154
Model Rantai Nilai Pengembangan Perikanan, Supriatna et al.
diamankan terutama dalam pemasaran
produk yang dihasilkannya karena menjadi
sentra andalan perikanan TTC di tanah air
dan menyerap tenaga kerja yang banyak.
KESIMPULAN
Interaksi diantara nelayan (NEL),
pengolah ikan (PENG), pedagang eceran (PE),
pedagang besar/pengumpul (PB), eksportir
(EKS), dan konsumen (KONS) pada rantai
nilai perikanan TTC umumnya bersifat positif
(CE>0). Hanya ada satu interaksi dengan
pengaruh signifikan, yaitu interaksi pedagang
eceran dengan konsumen (p<0,05 yaitu 0,01).
Kelompok strategi minimalisir hambatan
sinergi pengembangan rantai nilai perikanan
TTC adalah: (1) Strategi berdampak positif
signifikan, meliputi strategi pelibatan
kelompok nelayan dalam penentuan harga
jual, strategi pelibatan kelompok pedagang
dalam penentuan harga jual, strategi jaminan
keleluasan interaksi pedagang eceran
dengan konsumen; (2) Strategi berdampak
positif, meliputi strategi pengaturan posisi
stock produk TTC pada setiap mata rantai
pemasaran dan strategi pelibatan kelompok
pengolah ikan dalam pengaturan harga jual;
dan (3) Strategi berdampak negatif bila tidak
terealisasi, yaitu strategi pengaturan produksi
produk TTC olahan.
DAFTAR PUSTAKA
Adisanjaya NN. 2011. Potensi, Produksi
Sumberdaya Ikan di Perairan Laut
Indonesia dan Permasalahannya. EAFM
Indonesia. Jakarta.
Campling L and Havice E. 2007. Industrial
Development in an Island Economic
:US Trade Policy and Canned Tunas
Production in American Samoa. Islands
Studies Journal 2(2):209-222.
Castro FR, Suzana SR, Reis SS, Oliveira
EN, and Andrio A. 2014. Fishermen’s
perception of Neotropical otters (Lontra
longicaudis) and their attacks on artisanal
fixed fence traps: The case of caiçara
communities. Journal of Ocean and
Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia
Model Rantai Nilai Pengembangan Perikanan, Supriatna et al.
Coastal Management 92(1):19-27.
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kota
Bitung. 2013. Kajian Potensi Produksi,
Pengolahan, dan Pemasaran Hasil
Perikanan. Dinas Kelautan dan Perikanan
Kota Bitung. Bitung.
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan
Kota Ternate. 2013. Laporan Tahunan
Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Kelautan dan Perikanan. Dinas Kelautan
dan Perikanan Kota Ternate. Ternate.
Daltoe MLM, Carrillo E, Queiroz MI, Fiszman
S, and Varela P. 2013. Structural equation
modelling and word association as tools
for a better understanding of low fish
consumption. Journal of Food Research
International 52(1):56–63.
Ekinci Y, Ulengin F, Uray N, and Ulengin B.
2014. Analysis of customer lifetime value
and marketing expenditure decisions
through a Markovian-based model.
European Journal of Operational Research
237(1):278–288.
Gaviglio A, Demartini E, Mauracher C, and
Pirani A. 2014. Consumer perception of
different species and presentation forms
of fish: An empirical analysis in Italy.
Journal of Food Quality and Preference
36(1): 33-49.
Guillotreau P and Toribio RJ. 2011. The
price effect of expanding fish auction
Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia
JPHPI 2014, Volume 17 Nomor 2
markets. Journal of Economic Behavior
and Organization 79(3):211-225.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan.
2011.
Kontribusi Produk Domestik
Bruto Sektor Perikanan. Http://www.
antaranews.com/berita/305574/menterip d b - p e r i k a n a n - m e l e b i h i - s e k t o rpertanian.
Makino, M, Matsuda, H, dan Sakurai, Y. 2009.
Expanding Fisheries Co-management to
Ecosystem-Based Management : A case
in the Shiretoko World Natural Heritage
Area, Japan. Journal of Matine Policy
33(2):207–214.
Mehrjerdi YZ. 2014. Strategic system
selection with linguistic preferences and
grey information using MCDM. Applied
Soft Computing 18(1):323-337.
Pemerintah Daerah (PEMDA) Maluku. 2012.
Pola Konsumsi Pangan Lokal Masyarakat
Ambon.
Program Kajian Regional
Provinsi Maluku Triwulan I. PEMDA
Provinsi Maluku. Ambon.
Persaulian B, Aimon H, dan Anis A. 2013.
Analisis Konsumsi Masyarakat di
Indonesia. Jurnal Kajian Ekonomi 1(2):
1–23.
Sunoko R and Huang HW. 2014. Indonesia
Tuna Fisheries Development and Future
strategy. Marine Policy Journal 43:174–
183.
155
Download