Ringkasan Tinjauan Regulasi dan Kelembagaan Penerbitan Obligasi Daerah dalam Pembangunan Infrastruktur di Daerah Abstrak Kebutuhan akan pembangunan infrastruktur di daerah membutuhkan biaya yang besar. Untuk itu diperlukan sumber-sumber pembiayaan di luar yang sudah ada, salah satu diantaranya Obligasi Daerah. Obligasi Daerah adalah pinjaman daerah yang ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal. Pada saat ini belum ada Pemerintah Daerah yang telah menerbitkan Obligasi Daerah. Untuk itu, perlu dilakukan pembahasan terkait dengan regulasi dan kelembagaan penerbitan Obligasi Daerah dan pengalaman daerah dan negara lain dalam penerbitan Obligasi Daerah dalam rangka mengidentifikasi kendala yang timbul dan kemungkinan penyelesainnya. Regulasi yang mengatur Obligasi Daerah menyatu dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan aturan teknisnya terdapat pada Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah. Sedangkan untuk kelembagaan tersebar di Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bursa Efek maupun Pemerintan Daerah, termasuk DPRD. Kata Kunci: Obligasi Daerah, Undang-Undang Pasar Modal, Pinjaman Daerah 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Sebagai negara yang baru saja menjadi negara berpenghasilan menengah (middle income country), Indonesia perlu mewaspadai resiko terperangkap dalam jebakan negara berpenghasilan menengah (Middle Income Trap/MIT). Jebakan Pendapatan Menengah adalah istilah yang menggambarkan ketidakmampuan suatu negara untuk meningkat dari statusnya sebagai negara berpendapatan menengah menjadi negara maju. Selain itu, suatu negara bisa terperangkap dikarenakan tidak mampu bersaing dengan negara lain yang memiliki tingkat upah rendah dalam memproduksi barang ekspor dan tidak mampu bersaing dengan negara maju menghasilkan produk dengan inovasi dan teknologi tinggi. Wakil Menteri Keuangan RI menyatakan berdasarkan simulasi, Indonesia dapat melewati perangkap ini apabila mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,9 persen per tahun dan pendapatan perkapita tumbuh rata-rata 5,9 persen per tahun sampai pada 20311. Untuk mendapatkan tingkat pertumbuhan tersebut, dibutuhkan investasi yang cukup besar. Namun dengan adanya keterbatasan anggaran Pemerintah, maka penggunaan anggaran Pemerintah perlu difokuskan pada sektor atau bidang yang dapat mendorong pertumbuhan perekonomian 2. Apabila mengacu pada Global Competitive Index (GCI) dari World Economic Forum salah satu komponen penting dalam daya saing nasional adalah ketersediaan infrastruktur3. Untuk menyediakan infrastruktur yang memadai guna mendorong pertumbuhan perekonomian bukanlah hal yang mudah, Jaringnews, Wamenkeu: RI Berisiko Terperangkap dalam Middle Income Trap, diakses dari http://jaringnews.com/ekonomi/umum/55917/wamenkeu-ri-berisiko-terperangkap-dalam-middle-incometrap, pada tanggal 5 Juni 2014 pukul 23.00 WIB. 1 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 mengindikasikan bahwa investasi Pemerintah untuk mendukung pembangunan nasional hanya 20% dari PDB, sisanya dilakukan oleh Swasta. 2 Dalam Global Competitive Index (GCI), World Economic Forum menempatkan komponen infrastruktur sebagai komponen penting bersama dengan isu korupsi dan inefisiensi birokrasi pemerintah. 3 1 dibutuhkan pendanaan yang besar untuk itu. Indikasi kebutuhan pendanaan untuk lima tahun ke depan (2015-2019) dalam rangka mendukung perekonomian nasional dibutuhkan sekitar Rp. 1.114 triliun yang dipergunakan untuk membiayai kebutuhan di bidang perkeretaapian, transportasi laut, transportasi udara, transportasi penyeberangan, lalu-lintas dan angkutan jalan, transportasi perkotaan dan transportasi multimoda4. Dengan adanya kebutuhan investasi di sektor infrastruktur yang besar tersebut, dibutuhkan efisiensi dalam penggunaan dana Pemerintah dan upaya-upaya untuk mencari sumber pembiayaan menjadi sangat penting. Pencarian sumber pembiayaan ini tidak hanya terbatas untuk Pemerintah Pusat saja, namun juga untuk Pemerintah Daerah. Hal ini dikarenakan tanggung jawab penyediaan infrastruktur merupakan tanggung jawab bersama Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah5, yang membedakan tanggung jawab tersebut adalah cakupan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, misalnya terkait dengan cakupan wilayah. Pengaturan mengenai hal tersebut terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Pusat dan Daerah. Salah satu sumber pembiayaan yang menarik untuk dikembangkan terkait dengan Pemerintah Daerah adalah mengenai penerbitan Obligasi Daerah untuk membiayai pembangunan infrastruktur di daerah. Pilihan untuk mengembangkan Obligasi Daerah dilandasi oleh kecilnya anggaran pembangunan di daerah membuat pelayanan kepada masyarakat dapat terabaikan 6 . Selain itu, terdapat trend Belanja Modal dalam APBD kurang mendukung pembangunan dan penyediaan infrastruktur yang menunjang pembangunan ekonomi7. Di sisi lain, Pinjaman Daerah di negara maju sudah menjadi trend sumber pembiayaan bagi pembangunan infrastruktur, contoh di Jepang, Cina, Vietnam, dan Polandia 8 . Dalam konteks nasional, status Indonesia sebagai middle income country menyebabkan Indonesia semakin sulit mendapatkan pinjaman lunak/murah dari lembaga donor Internasional maupun dari negara bilateral. Pemerintah Daerah menurut peraturan perundangan yang berlaku, yaitu UndangUndang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah, dimungkinkan untuk menerbitkan Obligasi Daerah untuk pembiayaan sarana dan prasrana (infrastruktur). Kewenangan untuk menerbitkan Obligasi Daerah ini tentunya perlu dilakukan secara hati-hati, karena Obligasi Daerah memiliki kewajiban untuk mengembalikan dana yang diserap dari masyarakat disertai dengan biaya pinjaman berupa bunga yang ditetapkan dalam obligasi daerah tersebut. Untuk itu, diperlukan pembahasan mengenai potensi penerbitan Obligasi Daerah di Indonesia dari aspek regulasi maupun kelembagaan. Pembahasan ini dalam kerangka untuk mengantisipasi kendala yang dihadapi ketika suatu Pemerintah Daerah akan menerbitkan Obligasi Daerah. Bappenas dan Indonesia Infrastructure Initiative (Australia Aid), Beberapa Fakta dan Pemikiran Tentang Pembiayaan Inovatif Sektor Transportasi, bahan paparan dalam FGD V RPJMN 2015-2019 tanggal 16 April 2014 di Jakarta. 4 Menteri PPN/Kepala Bappenas, Pembangunan Infrastruktur dan Sinergi Pusat-Daerah, bahan paparan pada Seminar Nasional Sosialisasi Produk Perencanaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas pada 11 November 2010 di Bandung. 5 Irawati Hermawan, 2006, Obligasi Daerah Sebagai Alternatif Pembiayaan Kegiatan Infrastruktur yang Dikerjasamakan dengan Badan Usaha, Jakarta. 6 Direktorat Pembiayaan dan Kapasitas Daerah, Kementerian Keuangan, Obligasi Daerah sebagai Alternatif Sumber Pembiayaan, bahan paparan, tanpa tahun. 7 8 ibid 2 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang disampaikan di atas, dapat diperoleh beberapa permasalahan yang akan dikaji dari aspek hukum, yaitu: a. Pengaturan tentang Obligasi Daerah diterbitkan melalui Peraturan Pemerintah No.54/2005 dan diperbarui dengan Peraturan Pemerintah No.30/2011 yang dilengkapi dengan pengaturan terknis tentang tata cara penerbitan dan pertanggungjawaban Obligasi Daerah b. Penerbitan Obligasi Daerah belum dimanfaatkan sebagai salah satu sumber pembiayaan infrastruktur daerah sehingga belum dapat diidentifikasi potensi pemanfaatannya. 1.3. Tujuan Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui: a. Kemungkinan penerbitan Obligasi Daerah untuk pembiayaan infrastruktur berdasarkan regulasi yang ada; b. Kendala dan langkah-langkah yang diperlukan untuk penerbitan Obligasi Daerah; c. Rekomendasi untuk pemerintah daerah terkait hal-hal yang dilakukan dalam penerbitan Obligasi Daerah. 1.4. Ruang Lingkup a. Tinjauan regulasi dan kelembagaan terkait obligasi daerah b. Pengalaman pelaksanaan obligasi daerah di Indonesia dan negara lain. 1.5. Metodologi dan Alur Pembahasan Dalam makalah ini metodologi yang digunakan adalah studi literatur menggunakan data sekunder yang diperoleh dari publikasi dari berbagai sumber. Selanjutnya Focus Group Discussion (FGD) untuk mengetahui gambaran umum dari penerbitan obligasi daerah dan mengidentifikasi kendala penerbitan Obligasi Daerah dari segi regulasi dan kelembagaan. Kemudian In-depth Interview, difokuskan untuk menggali lebih dalam dari potensi penerbitan Obligasi Daerah dan sebagai langkah lanjutan dari FGD. Selanjutnya, dilakukan seminar untuk mensosialisasikan hasil dari kajian naskah kebijakan ini dan untuk mendapatkan input rekomendasi dalam penerbitan Obligasi Daerah. Berdasarkan data yang diperoleh, alur pikir makalah ini adalah sebagai berikut: Gambar 1 Alur Pikir Pembahasan Pemerintah Daerah Penerbitan Obligasi Daerah Aspek Hukum: Tinjauan Regulasi Kebutuhan Pembangunan Infrastruktur di Daerah Kewenangan: UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004 Pengalaman Pelaksanaaan Obligasi Daerah di beberapa daerah Pengalaman Negara lain Analisa Regulasi dan Kelembagaan Kemungkinan penerbitan Obligasi Daerah Kendala dan langkah penyelesaian Rekomendasi untuk pemerintah Daerah 1.6. Struktur Penulisan Sistematika penulisan makalah adalah sebagai berikut: Bab 1 Pendahuluan 3 Bab ini berisi penjelasan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan makalah, hipotesa, ruang lingkup, metodologi dan sistematika penulisan makalah ini. Bab 2 Tinjauan Regulasi Penerbitan Obligasi Daerah Bab ini menjelaskan tentang gambaran umkum tentang obligasi daerah dan tinjauan regulasi penerbitan Obligasi Daerah, baik dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri terkait aturan penerbitan Obligasi Daerah. Bab 3 Pengalaman Daerah dan Negara Lain dalam Penerbitan Obligasi Daerah Bab ini berisi tentang pengalaman dari daerah di Indonesia dan negara lain dalam penerbitan Obligasi Daerah. Khusus untuk pengalaman dari daerah di Indonesia, hanya memaparkan proses yang sudah dan sedang berjalan, karena belum ada daerah yang sudah menerbitkan Obligasi Daerah. Bab 4 Analisa Regulasi dan Kelembagaan Penerbitan Obligasi Daerah Bab ini berisi analisa mengenai penerbitan Obligasi Daerah di Indonesia dilihat dari sisi regulasi dan kelembagaan yang terkait dalam penerbitan Obligasi Daerah. Bab 5 Kesimpulan dan Rekomendasi Bab ini berisi kesimpulan dan rekomendasi tentang penerbitan Obligasi Daerah di Indonesia. 2. Tinjauan Regulasi dan Kelembagaan Penerbitan Obligasi Daerah 2.1. Gambaran Umum Obligasi Daerah Berdasarkan Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk menerbitkan Obligasi Daerah dalam bentuk mata uang Rupiah di pasar domestik. Obligasi Daerah didefinisikan sebagai Pinjaman Daerah yang ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal. Penerbitan Obligasi Daerah dilaksanakan dalam kerangka Pinjaman Daerah. Dengan diberikannya wewenang tersebut, Pemerintah Daerah dapat menerbitkan Obligasi Daerah untuk membiayai pembangunan di daerahnya. 2.2. Landasan Hukum Peraturan perundangan yang menjadi landasan dalam pelaksanaan penerbitan Obligasi Daerah: a. b. c. d. Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah e. Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan f. Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah g. Peraturan Menteri Keuangan No. 111/PMK.07/2012 tentang Tata cara Penerbitan dan Pertanggungjawaban Obligasi Daerah. 2.3. Kerangka Regulasi 2.3.1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal Dalam UU No. 8/1995 keberadaan Obligasi Daerah tidak disebutkan secara implisit dan spesifik. Obligasi Daerah dikaitkan dengan Undang-undang ini melalui Peraturan Pemerintah No. 30/2011 yang menyebutkan penerbitan Obligasi Daerah wajib 4 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 30/2011 dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. 2.3.2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Penerbitan Obligasi Daerah dimaksudkan untuk menutupi defisit anggaran dalam APBD. UU No. 17/2003 Pasal 17 ayat (3) mengamanatkan bahwa ”Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD”. Untuk membatasi anggaran dalam APBD, dalam penjelasan Pasal 17 ayat (3) UU No. 17/2003 menyebutkan bahwa defisit anggaran daerah dibatasi maksimal 3% dari Produk Regional Bruto daerah yang bersangkutan dan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Regional Bruto daerah yang bersangkutan. 2.3.3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang No. 32/2004 memperbolehkan Pemerintah Daerah untuk melakukan pinjaman daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini tercantum pada Pasal 169 ayat (1) yang berbunyi “Untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat”. 2.3.4. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Gambaran umum terkait Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah dalam UU No. 33/2011, antara lain terdapat dalam Pasal 1 ayat (25) “Obligasi Daerah adalah Pinjaman daerah yang ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal”, dan Pasal 51 ayat (1) “Pinjaman daerah bersumber dari pemerintah, Pemerintah Daerah lain, Lembaga Keuangan Bank, Lembaga Keuangan bukan bank, dan masyarakat”. Dari penjelasan pasal-pasal tersebut, definisi Obligasi Daerah adalah Pinjaman Daerah yang berasal dari masyarakat dan ditawarkan melalui penawaran umum di pasar modal. Obligasi Daerah secara khusus dijelaskan pada Bab VIII bagian ketujuh diantaranya terkait: persyaratan pinjaman, pengaturan Penerbitan Obligasi Daerah, persetujuan DPRD, dan penerbitan Obligasi Daerah tidak dijamin oleh Pemerintah Pusat. 2.3.5. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemeriantahan Dalam PP No. 38/2007 diatur mengenai pembagian urusan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Pembagian ini terkait dengan kewenangan masing-masing institusi delam menjalankan pemerintahannya, termasuk di dalamnya adalah melaksanakan pembangunan di bidang infrastruktur. Pembagian kewenangan dalam PP ini ditunjukkan dalam tabel yang memperlihatkan bidang-bidang yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintrah Provinsi dan Pemerintah Kota/Kabupaten. Tabel pembagian kewenangan tersebut dapat menjadi rujukan dalam pemanfaatan Obligasi Daerah baik oleh Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kota/Kabupaten. 2.3.6. Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah PP No. 30/2011 merupakan ketentuan lebih lanjut dari UU No. 34/2004 yang mengatur lebih rinci dalam pelaksanaan Pinjaman Daerah, termasuk di dalamnya adalah penerbitan Obligasi Daerah. Obligasi Daerah merupakan salah satu jenis Pinjaman Daerah jangka panjang dan bersumber dari masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat dua hal penting yang melandasi penerbitan Obligasi Daerah, yaitu Obligasi Daerah ditawarkan kepada publik melalaui pasar modal dan aset yang melekat pada kegiatan yang dibiayai Obligasi Daerah dapat dijadikan jaminan Obligasi Daerah. 5 Pengaturan Obligasi Daerah dalam ketentuan tersebut mencakup antara lain: persyaratan penerbitan Obligasi Daerah, pengaturan penerbitan Obligasi Daerah, dan pemanfaatan penerbitan Obligasi Daerah 2.3.7. Peraturan Menteri Kuangan Nomor 111/PMK.07/2012 tentang Tata cara Penerbitan dan Pertanggungjawaban Obligasi Daerah Peraturan Menteri Keuangan No. 111/PMK.07/2012 ini merupakan aturan teknis terkait tata cara penerbitan dan pertanggungjawaban obligasi daerah sebagai amanat dari Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah. Berikut beberapa hal penting yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yaitu: pengaturan dalam tahap perencanaan, pengaturan dalam tahap pengajuan usulan, pengaturan terkait pertanggungjawaban, dan pengaturan terkait sanksi. 2.4. Kerangka Kelembagaan Selain tinjuan dari segi regulasi, dilakukan tinjauan mengenai kelembagaan dalam proses penerbitan Obligasi Daerah. Tinjauan kelembagaan dilakukan berupa identifikasi lembaga yang terlibat dalam penerbitan Obligasi Daerah. Gambaran mengenai lembaga yang terlibat dalam penerbitan Obligasi Daerah bisa dilihat pada Gambar 2 di atas. Gambar 2 Kerangka Kelembagaan Penerbitan Obligasi Daerah Regulator Menteri Keuangan Emiten Pemegang Efek Pemerintah Daerah Investor Otoritas Jasa Keuangan Profesi Penunjang Akuntan Publik SRO Perusahaan Efek Lembaga Kliring dan Penjaminan Notaris Konsultan Hukum Bursa efek Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian Penilai Lembaga Pendukung Wali Amanat Lembaga Pemeringkat Efek Sumber: Panduan Penerbitan Obligasi Daerah, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Departemen Keuangan, 2007 a. Regulator Regulator adalah instansi pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengawasi penawaran umum Obligasi Daerah di pasar modal, terdiri dari (i) Kementerian Keuangan berperan dalam perizinan permohonan usulan penerbitan Obligasi Daerah, dan (ii) Otoritas Jasa Keuangan terkait tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal. b. Self Regulatory Organizations (SRO) Self Regulatory Organizations merupakan lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan peraturan bagi kegiatan usahanya. Di pasar modal, SRO terdiri dari (i) Lembaga Kliring dan Penjaminan, (ii) Bursa Efek, dan (iii) Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian 6 c. Emiten Emiten adalah pihak yang melakukan penawaran umum. Dalam hal penerbitan Obligasi Daerah, pihak yang menjadi emiten adalah pemerintah daerah. d. Pemegang Efek Pemegang efek adalah pihak yang menanamkan modalnya dalam bentuk pemberian pinjaman pada pemerintah daerah. Dalam hal ini pemegang efek bertindak sebagai investor. e. Perusahaan Efek Perusahaan efek adalah perusahaan yang mempunyai aktifitas sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek, manajer investasi atau gabungan dari ketiga kegiatan itu. f. Profesi Penunjang Profesi penunjang merupakan pihak-pihak yang karena profesinya, turut menunjang terlaksananya penawaran umum di pasar modal, seperti Akuntan publik, Notaris, Konsultan hukum dan Penilai. Profesi penunjang harus terdaftar dalam Otoritas Jasa Keuangan.. g. Lembaga Pendukung Lembaga pendukung merupakan pihak-pihak yang berperan dalam pelaksanaan penawaran umum Obligasi Daerah di pasar modal, namun tidak terlibat secara langsung dalam proses transaksi perdagangan efek, seperti (i) Wali amanat, dan (ii) Lembaga Pemeringkat Efek. 3. Pengalaman Negara dan Pemerintah Daerah dalam Penerbitan Obligasi Daerah a. China Pada tahun 2013 pemerintah daerah di China diizinkan menerbitkan Obligasi Daerah yang mencapai angka 70 milyar yuan. Angka ini meningkat dari tahun 2012 sebesar 28,9 milyar yuan dan tahun 2011 yang hanya 22.9 milyar yuan. Tahun 2013 merupakan tahun pertama penerbitan obligasi daerah langsung oleh pemerintah daerah. Pemerintah China tidak mengizinkan semua pemerintah daerah untuk menerbitkan obligasi daerah, hanya beberapa saja yang relatif mapan yang diizinkan untuk menerbitkan obligasi daerah, seperti Zhejiang, Guangdong, Shanghai, Shenzen, Shandong dan Jiangsu. Pelajaran yang bisa diambil dari keberhasilan China menerbitkan obligasi daerah adalah pemerintah China tidak langsung menyerahkan semua urusan terkait obligasi daerah ke pemerintah daerah. Semua urusan terkait obligasi daerah pada awal penerbitannya diambil alih oleh pemerintah pusat. Kemudian ketika sudah dianggap mampu, tanggung jawab obligasi daerah diserahkan kepada pemerintah daerah dengan izin dari pemerintah pusat. b. India India merupakan salah satu negara yang berhasil dalam penerbitan obligasi daerah. Ahmedabad Municipal Corporation (AMC) merencanakan invstasi modal sebesar 150 juta dolar amerika untuk periode 1996/97 – 2001/02. Invenstasi ini mencangkup suplai air minum dan penyediaan sewerage. AMC merencanakan 30% dari total investasi tersebut berasal dari pendanaan internal, kemudian sisanya berasal dari obligasi daerah dan pinjaman. Pada Januari 1998, AMC menerbitkan obligasi sebesar 25 juta dolar amerika untuk membiayai sebagian dari kebutuhan pendanaan penyediaan air minum dan sewerage. Hal ini merupakan pencapaian luar biasa karena penerbitan obligasi daerah ini merupakan obligasi daerah pertama yang tidak dijamin oleh pemerintah pusat. 7 Hal ini juga merepresentasikan langkah pertama menuju system keuangan daerah yang berbasis pasar modal. Keberhasilan penerbitan obligasi daerah di India merupakan pencapaian yang baik karena penerbitan obligasi daerah di India tidak dijamin oleh pemerintah pusat. Salah satu hal yang dicermati pada obligasi daerah di india adalah pemberian intensif pajak yang dilakukan pemerintah pusat terhadap pembeli obligasi. c. Provinsi DKI Jakarta Provinsi pertama di Indonesia yang sudah melakukan perencanaan penerbitan obligasi daerah adalah provinsi DKI Jakarta. Penerbitan obligasi daerah di Indonesia diawali pada tahun 2008 melalui inisiatif menteri keuangan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur daerah melalui pembiayaan alternatif. Salah satu instrument yang berpotensi dikembangkan adalah obligasi daerah melalui mekanisme pasar modal. Pemerintah DKI Jakarta menyiapkan proyek-proyek yang berpotensi dibiayai melalui obligasi daerah. Nilai total proyek tersebut adalah 1,7 Trilyun rupiah meliputi pembangunan terminal Pulo Gebang, pembangunan Rumah Susun Tanah Pasir, perbaikan fasilitas “waste treatment plant” Setiabudi/Casablanca dan pembangunan rumah sakit Pasar Rebo. Setelah itu, sarana dan prasarana melakukan Financial Management Assessment (FMA) dan rating untuk pemerintah provinsi DKI Jakarta. Rating ini kemudian dilanjutkan oleh Pefindo pada tahun 2012 dengan hasil idAA+. Untuk mengelola setiap kegiatan yang berhubungan dengan obligasi daerah, pemerintah provinsi DKI Jakarta menyiapkan Unit Pengelola Keuangan/Debt Management Unit untuk mengelola obligasi daerah dengan menunjuk underwriter, konsultan hukum dan profesi penunjang lainnya untuk registrasi obligasi daerah ke Bappepam. Dari kasus yang dialami oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta, bisa diambil kesimpulan peran penting kepala daerah dalam penerbitan obligasi daerah. Untuk itu, perlu peran dan komitmen pimpinan daerah dalam mendorong penerbitan Obligasi Daerah. d. Provinsi Jawa Barat Pemerintah provinsi Jawa Barat memang belum pernah menerbitkan obligasi daerah. Namun, pemerintah jawa Barat merupakan salah satu pemerintah daerah yang serius menjajaki kemungkinan penerbitan obligasi daerah. Diawali tahun 2011, pemerintah provinsi Jawa Barat merencanakan penerbitan obligasi daerah untuk membiayai proyek Aero City di Sumedang yang terdiri dari Bandara Internasional dan Kawasan Industri. Proyek ini diperkirakan menelan biaya Rp. 11 trilyun dan Rp. 4 trilyun dari kebutuhan pendanaan proyek direncanakan berasal dari Obligasi Daerah. Seperti pemerintahan DKI Jakarta, penilaian rating dan Financial Management Assessment (FMA) dilakukan oleh PT. Pefindo. Untuk saat ini pemerintah Jawa Barat sedang menyiapkan penunjukkan untuk underwriter, konsultan hokum dan profesi penunjang lainnya untuk registrasi obligasi daerah ke OJK. Direncanakan untuk melakukan registrasi dan mengeluarkan obligasi daerah pada tahun 2015. Usulan penerbitan Obligasi Daerah ini belum mendapatkan persetujuan dari DPRD. 4. Analisa Regulasi dan Kelembagaan Penerbitan Obligasi Daerah 4.1. Analisa Regulasi a. Audit Keuangan Daerah Obligasi Daerah harus mengacu pada undang-undang di bidang pasar modal. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 38 PP No. 30/2011 yang berbunyi “Penerbitan Obligasi Daerah wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal”. Salah satu prosedur 8 yang harus dilalui oleh Pemerintah Daerah yang akan menerbitkan obligasi adalah keuangan daerah yang diaudit oleh akuntan publik selama 3 tahun terakhir yang dilakukan oleh akuntan publik yang terdaftar di pasar modal. Keperluan audit ini merupakan prasyarat yang harus dipenuhi oleh Pemerintah daerah pada saat akan mengajukan usulan penerbitan Obligasi ke Menteri Keuangan. Hal ini menganut PMK No.111 tahun 2012 tentang Tatacara Menerbitkan dan Pertanggungjawaban Obligasi Daerah. Di sisi lain, menurut Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ditekankan bahwa audit pemerintah daerah dilakukan setiap akhir tahun oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Hal ini menimbulkan isu bahwa pemerintah daerah yang akan menerbitkan obligasi akan diaudit oleh dua auditor yang berbeda (BPK dan akuntan publik) yang bisa jadi hasil audit tidak sama satu dengan yang lain. Namun perlu dicermati bahwa kedua audit ini memiliki kepentingan yang berbeda. UU No.32 tahun 2004 mengatur audit pemerintahan daerah dalam hal tujuannya untuk pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sedangkan PMK No.111 tahun 2012 mengatur audit keuangan pemerintah daerah dalam hal penerbitan Obligasi Daerah. Dari penjelasan ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa regulasi yang mengatur audit keuangan pemerintah daerah tidak bertentangan karena masingmasing audit memiliki tujuan yang berbeda. b. Sinkronisasi Obligasi Daerah dengan Undang-Undang Pasar Modal Peraturan Pemerintah No.30 tahun 2010 menyebutkan bahwa aturan penerbitan obligasi daerah menganut pada peraturan perundangan yang berlaku di pasar modal. Kita perlu tinjau peraturan pemerintah No.54 tahun 2006 tentang Pinjaman daerah yang kemudian diperbarui dengan Peraturan Pemerintah No.30 tahun 2010. Dalam PP No.54 tahun 2006 dijelaskan bahwa Pemerintah daerah harus mendaftar di Bappepam untuk mengajukan penerbitan Obligasi daerah. Namun, tahun 2011 peran Bappepam digantikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sehingga perlu ditelaah bagaimana pengaruh Bappepam yang digantikan oleh OJK dalam hal penerbitan Obligasi daerah dari segi regulasi. Regulasi tentang pembuatan OJK dituangkan dalam Undang-undang No.21 tahun 2011. Sesuai dengan Undang-undang tersebut, OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal berarti dalam hal ini OJK menggantikan peran yang sebelumnya diperankan oleh Bappepam dan LK. Kemudian dalam ketentuan peralihan pasal 55 disebutkan sejak tanggal 31 desember 2012, fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan disektor pasar modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK. Dengan bergantinya Bappepam dan LK ke OJK, maka kita perlu telaahan tentang ketentuan yang berlaku di pasar modal tentang Obligasi daerah masih berlaku atau tidak. Dalam pasal lainnya di bab peralihan Undang-Undang No.21 tahun 2011 disebutkan bahwa keputusan mengenai pemberian izin usaha, izin orang perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan kegiatan usaha, pengesahan, dan persetujuan atau penetapan pembubaran, dan setiap keputusan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan sebelum beralihnya fungsi , tugas dan wewenang, sebagaimana dimaksud dalam pasal 55, dinyatakan tetap berlaku. 9 Dalam hal ini paket aturan mengenai obligasi daerah di pasar modal telah ditetapkan Bappepam melalui Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor:Kep-692/BL/2011 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah. Dengan mengambil intisari dari ketentuan peralihan Undang-Undang 21 tahun 2011, maka keputusan dari Bappepam dan LK ini dapat dinyatakan masih berlaku. Oleh karena itu, sinkronisasi antara peraturan mengenai Obligasi daerah dan Peraturan perundangan yang berlaku di Pasar modal sudah dilakukan atau tetap bisa dilakukan. c. Penjaminan Obligasi Daerah Dalam Peraturan Pemerintah No.30 tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah disebutkan bahwa Obligasi daerah merupakan efek yang diterbitkan oleh pemerintah daerah dan tidak dijamin oleh pemerintah pusat. Dari hasil FGD dinyatakan bahwa penerbitan obligasi daerah harus melalui persetujuan menteri keuangan karena bisa mempengaruhi defisit fiskal secara nasional yang telah di tetapkan dalam Undang-Undang No. 17/2003 tentang Keuangan Daerah. Kemudian untuk memastikan efek dari Obligasi Daerah supaya habis terbeli dapat dilakukan dengan cara menunjuk lembaga penjamin Obligasi yang terdapat di pasar modal. Dengan hal ini maka kekhawatiran Obligasi daerah tidak akan laku dapat diminimalisir. Kemudian untuk mengurangi resiko gagal bayar, sebaiknya pemerintah daerah menggandeng professional yang terbiasa dengan Obligasi di pasar modal ini untuk dijadikan sebagai konsultan/pendampingan penerbitan Obligasi Daerah. d. Penerbitan Obligasi Daerah yang Rumit dan Panjang Regulasi tentang Tatacara Penerbitan dan Pertanggungjawaban Obligasi Daerah dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan No.111 tahun 2012. Prosedur penerbitan obligasi daerah adalah penentuan kegiatan, melaksanakan kegiatan persiapan, mengajuan persetujuan DPRD, mengajukan usulan penerbitan kepada Menteri Keuangan, Pembuatan perda, penawaran umum di pasar modal serta pengelolaan Obligasi Daerah. Dalam prosedur penerbitannya Obligasi Daerah memang melibatkan lembaga di Tingkat pusat dan di tingkat daerah, serta harus memenuhi beberapa persyaratan dalam PMK No.111/2012 dan aturan di pasar modal. Hal inilah yang membuat kesan penerbitan obligasi daerah rumit dan panjang. Apabila melihat syarat yang dilekatkan pada pemerintah daerah yang ingin menerbitkan obligasi daerah, memang hanya daerah-daerah yang sudah mapan dan cukup kaya untuk bisa menggunakan instrumen pembangunan ini. Namun, perlu ditinjau bahwa penggunaan obligasi daerah sebagai sumber pembiayaan infrastruktur bukan hanya sebagai penyedia dana segar untuk pembangunan, namun perlu dilihat juga bahwa penerbitan obligasi daerah ini dapat mendorong keuangan pemerintah daerah lebih transparan dan akuntabel. Dari segi ini dapat dilihat bahwa obligasi daerah memberikan pendidikan pada pemerintah daerah dalam hal transparansi keuangan daerah. 4.2. Analisa Kelembagaan Lembaga di tingkat pusat yang terlibat dalam penerbitan obligasi daerah adalah Ditjen Perimbangan Keuangan dan Ditjen Pengelolaan Utang - Kementerian Keuangan dan lembaga-lembaga yang terdaftar di Pasar modal yang terkait penerbitan Oblgiasi Daerah. Pada tingkat daerah, lembaga yang terlibat adalah Pemeritah Daerah (Unit Pengelola Obligasi dan Tim Persiapan) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 10 Gambar 3 Skema Kelembagaan Penerbitan Obligasi Daerah Daerah Kemenkeu OJK Pasar Modal Penilai 1a Tim Persiapan DJPU DPRD 1c 1 Kepala Daerah 3a Penjamin Emisi 2 DJPK 3b Akuntan Publik 2a Konsultan Hukum 3 Notaris 1b 3c Unit Pengelola Obligasi 5 Wali amanat 4 Lembaga Pemeringkat Efek Penawaran Umum Sumber: Panduan Penerbitan Obligasi daerah, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Departemen Keuangan, 2007 Gambar 3 menunjukkan skema keterkaitan lembaga dalam proses penerbitan Obligasi Daerah. Pada awal penerbitan Obligasi Daerah pemerintah daerah membentuk tim persiapan yang bertugas melaksanakan kegiatan persiapan. Tim persiapan berhubungan dengan penilai yang terdaftar di OJK, karena dalam persyaratan pengajuan usulan ke menteri keuangan, harus menyertakan dokumen studi kelayakan yang dinilai oleh penilai yang terdaftar di pasar modal (1a). Setelah menyusun tim persiapan, kepala daerah membentuk unit pengelola obligasi (1b) yang memiliki tugas untuk mengelola obligasi setelah ditawarkan di pasar modal. Setelah itu, kepala daerah meminta persetujuan prinsip ke DPRD (1c) terkait penerbitan Obligasi di pasar modal. Setelah semua kegiatan persiapan pernerbitan obligasi daerah selesai dilakukan, kepala daerah mengajukan usulan penerbitan ke Menteri Keuangan, melalui Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dengan pertimbangan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (2). Apabila persyaratan penerbitan obligasi sudah dipenuhi pemerintah daerah, Menteri Keuangan akan memberikan izin dan kepala daerah akan diberitahukan bahwa Menteri Keuangan telah memberikan persetujuan terkait obligasi yang akan diterbitkan oleh pemerintah daerah (2a). Langkah selanjutnya adalah melakukan kegiatan persiapan penawaran umum di pasar modal (3) meliputi penunjukkan lembaga penjamin (3a), penunjukkan profesi penjamin (3b), dan penunjukkan lembaga pendukung di pasar modal (3c). Penunjukkan lembaga penjamin bisa ditujukan pada bank umum yang terdaftar di pasar modal. Penunjukkan profesi penjamin memiliki fungsi masing-masing. Akuntan publik bertugas untuk mengaudit keuangan daerah, notaris bertugas untuk melakukan perjanjian hukum antara emiten (pemerintah daerah) dengan lembaga di pasar modal. Kemudian konsultan hukum bertugas untuk memberi konsultasi hukum dalam hal penerbitan obligasi. Lembaga pendukung berfungsi untuk mendukung kegiatan di pasar modal yang 11 meliputi wali amanat dan lembaga pemeringkat efek. Kemudian setelah berkas-berkas syarat ketentuan penawaran umum di pasar modal diperiksa oleh otoritas jasa keuangan dan memenuhi syarat, maka OJK akan mengeluarkan pernyataan efektif dan kemudian obligasi di terbitkan di pasar modal (4). Pengelolaan obligasi daerah dilakukan oleh unit pengelola obligasi (5) yang dibentuk oleh kepala daerah pada saat melakukan kegiatan persiapan penerbitan obligasi daerah. Dari prosedur penerbitan sesuai dengan PMK No.111 tahun 2012, terdapat beberapa isu/permasalahan yang teridentifikasi menghambat penerbitan obligasi daerah. Permasalahan/isu yang teridentifikasi dari segi kelembagaan antara lain : a. Pelaksanaan Persiapan Penerbitan Obligasi Daerah Tahap awal setelah penentuan kegiatan dalam prosedur penerbitan obligasi daerah adalah melaksanakan persiapan penerbitan Obligasi Daerah. Mengkutip pasal 1 dalam PMK No.111/2012 menyatakan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota melaksanakan persiapan penerbitan Obligasi Daerah. Persiapan-persiapan yang dimaksud adalah menentukan kegiatan, membuat Kerangka Acuan Kegiatan, menyiapkan studi kelayakan kegiatan, membuat perhitungan batas kumulatif pinjaman, membuat perhitungan rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman atau Debt Service Coverage Ratio dan mengajukan permohonan persetujuan prinsip kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk melaksanakan kegiatan persiapan penerbitan obligasi daerah ini, bisa diambil lesson learned dari DKI Jakarta. Dalam hal pelaksanaan persiapan penerbitan obligasi daerah, pemerintah DKI Jakarta membentuk Tim Persiapan Penerbitan Obligasi Daerah (TPOD). Adapun tugas dan tanggung jawab yang diberikan pada Tim Persiapan Penerbitan Obligasi Daerah Provinsi DKI Jakarta adalah melakukan Identifikasi kegiatan-kegiatan prospektif untuk dibiayai melalui Obligasi Daerah; melakukan kajian secara lebih komprehensif terhadap kegiatan-kegiatan yang akan dibiayai dengan Obligasi Daerah sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.07/2006; dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tugas dan dokumentasi yang diisyaratkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.07/2006 Tim persiapan penerbitan Obligasi Daerah yang dibentuk oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta memiliki tugas dan kewajiban yang mengacu pada PMK No.147/2006. Namun, saat ini PMK tentang Tata cara Penerbitan dan Pertanggungjawaban Obligasi Daerah telah diperbarui dalam PMK No.111/2012. Pembentukan TPOD yang dilakukan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta bisa diadopsi daerah lain yang akan menerbitkan Obligasi sesuai dengan PMK yang sekarang berlaku yaitu PMK No.111 tahun 2012. b. Pembentukan Unit Pengelola Obligasi di Pemerintah Daerah Salah satu unit yang disyaratkan ada dalam struktur pemerintah daerah bila akan menerbitkan obligasi adalah Unit Pengelola Obligasi. Fungsi dari Unit ini adalah mengelola Obligasi Daerah yang telah ditawarkan di pasar modal. Menurut PMK No.111/2012, yang termasuk kegiatan pengelolaan Obligasi Daerah adalah Penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan Obligasi Daerah termasuk kebijakan pengendalian resiko; Perencanaan dan penetapan struktur portopolio pinjaman daerah; Penerbitan Obligasi Daerah; Penjualan Obligasi Daerah melalui lelang untuk penjualan kembali; Pembelian kembali Obligasi Daerah sebelum jatuh tempo; Pelunasan pada saat jatuh tempo; dan Pertanggungjawaban. Belum ada daerah yang memiliki Unit Pengelola Obligasi dalam struktur pemerintahannya, sehingga belum ada lesson learned dari daerah lain tentang unit pengelola obligasi ini. Dalam PMK No.111 tahun 2012, unit pengelola obligasi ini diatur dalam pasal 2. Kutipan-kutipan peraturan tersebut adalah Pengelolaan Obligasi 12 Daerah dilaksanakan oleh unit yang ditunjuk oleh Gubernur, Bupati atau Walikota” (ayat 4); Unit sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4) memastikan pengelolaan pendapatan dan barang milik daerah yang dibiayai dari Obligasi Daerah oleh satuan kerja perangkat daerah, Badan Layanan Umum Daerah, atau Badan Usaha Milik Daerah dilakukan secara professional untuk menjamin pembayaran kewajiban Obligasi Daerah” (ayat 5); Unit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa satuan kerja yang sudah ada atau satuan kerja yang baru” (ayat 6); dan Satuan Kerja yang dimaksud pada ayat (6) memiliki struktur organisasi, perangkat kerja, dan kapasitas sumber daya manusia untuk melaksanakan fungsi pengelolaan Obligasi Daerah sebagaimana yang dimaksud papa ayat (3) (ayat 7). Pembentukan Unit Pengelola Obligasi ini selain untuk mengelola Obligasi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, berfungsi pula sebagai lembaga atau satuan kerja yang mengatur tentang utang pemerintah daerah. Dengan adanya unit pengelola Obligasi ini selain berfungsi sebagai pengelola Obligasi Daerah, juga akan mempermudah bagi lembaga pemeringkat obligasi untuk meringkat efek dalam penerbitannya di pasar modal. Sesuai amanat dalam Peraturan Menteri Keuangan No.111/PMK.07/2012, unit pengelola obligasi daerah berupa Debt Management Unit (DMU) bertugas menyusun tingkat utang, merencanakan kebutuhan biaya, mengkaji alternatif pembayaran pokok dan bunga, dan menyiapkan administrasi penerbitan obligasi daerah. Keberadaan DMU ini menjadi penting untuk Pemerintah Daerah yang akan menerbitkan Obligasi Daerah. Hal ini juga diperkuat oleh lembaga rating seperti PEFINDO, karena keberadaan DMU dapat meningkatkan rating dari Pemerintah Daerah. Namun, DMU yang dibentuk hanya ketika Pemerintah Daerah akan menerbitkan Obligasi Daerah menunjukkan bahwa DMU merupakan lembaga yang bersifat sementara, tidak seperti Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang, Kementerian Keuangan yang bersifat lembaga permanen. Kondisi ini tentunya menjadi tidak ideal ketika penilaian rating akan diterapkan kepada Pemerintah Daerah, karena akan menunjukkan ketidaksiapan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan pinjaman, yaitu adanya kelemahan dalam kelembagaan dan sumber daya manusia yang akan mengelola pinjaman dari Obligasi Daerah. Hal ini akan lebih mudah bila Pemerintah telah memiliki lembaga pengelolaan pinjaman yang permanen, mengingat pinjaman oleh Pemerintah Daerah tentunya tidak hanya dari Obligasi Daerah, terdapat sumber pinjaman lain yang perlu dikelola secara berkesinambungan. c. Lembaga Penunjang di Pasar Modal PEFINDO merupakan lembaga pemeringkat yang berpengalaman dalam menilai kelayakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk menerbitkan Obligasi daerah. Peringkat ini akan menjadi pegangan bagi investor dalam menginvestasikan uangnya pada Obligasi Daerah yang akan diterbitkan. Dalam menilai peringkat Pemerintah Daerah, PEFINDO menyatakan bahwa rating obligasi oleh Pemerintah Daerah lebih sulit dibandingkan dengan obligasi oleh Perusahaan 9. Hal ini dikarenakan di daerah tidak ada sistem yang memegang kendali atas surat utang. Selain rating, penilaian kelayakan Obligasi Daerah juga dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Penilaian ini menyangkut penilaian administasi dan penilaian keuangan. Penilaian administratif menyangkut kelengkapan dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sedangkan penilaian keuangan menyangkut kelayakan 9 MetroTVNews.com, Pefindo: Rating Obligasi Pemda Lebih Sulit Dibanding Koorporasi http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/05/11/240467/pefindo-rating-obligasi-pemda-lebihsulit-dibanding-koorporasi, diakses pada tanggal 4 Juni 2014 pukul 19:00 WIB. 13 Pemerintah Daerah untuk menerbitkan Obligasi Daerah dari sisi keuangan dan kemampuan Pemerintah Daerah untuk mengembalikan pinjaman. Terhadap penilaian tersebut, belum diketahui mekanisme dan prosedur penilaiannya, termasuk di dalamnya adalah proses verifikasi terhadap hitung-hitungan kemampuan Pemerintah Daerah untuk meminjam. Hal tersebut tentunya akan menyulitkan Pemerintah Daerah yang berkeinginan akan menerbitkan Obligas Daerah, karena Pemerintah Daerah tersebut tidak tahu apakah secara finansial boleh menerbitkan Obligasi Daerah. Akan lebih mudah apabila ada daftar mengenai Pemerintah Daerah yang memungkinkan untuk menerbitkan Obligasi Daerah oleh instansi tertentu (misalnya Kementerian Keuangan), sehingga Pemerintah Daerah dapat lebih fokus untuk memenuhi persyaratan lainnya, seperti penyiapan Studi Kelayakan dan Kerangka Acuan Kerja. 5. Penutup 5.1. Kesimpulan a. Berdasarkan regulasi dan kelembagaan yang ada saat ini, terdapat beberapa kendala penerbitan Obligasi Daerah yang perlu mendapat perhatian. b. Kendala dari segi regulasi antara lain : Audit Keuangan Daerah oleh akuntan publik, sinkronisasi peraturan tentang Obligasi Daerah dan peraturan yang berlaku di bidang pasar modal, Penjaminan Obligasi Daerah dan Penerbitan Obligasi Daerah yang panjang alurnya serta cukup banyak persyaratanya. c. Kendala dari sisi kelembagaan adalah tidak adanya Unit Pengelola Obligasi di dalam struktur pemerintahan daerah karena belum ada daerah yang pernah menerbitkan Obligasi di Indonesia. Hal ini menyebabkan lembaga pemerintah efek merasa kesulitan untuk memeringkat obligasi yang diterbitkan pemerintah daerah. Dalam hal pembentukan Unit Pengelola Obligasi kendala yang dihadapi adalah ketersediaan sumber daya manusia di daerah. Langkah yang bisa ditempuh untuk mengatasi permasalahan SDM adalah memberikan pelatihan pada sumber daya manusia di daerah terkait pengelolaan Obligasi. d. Lesson Learned yang bisa diambil dari pemerintah daerah provinsi DKI Jakarta dalam melaksanakan kegiatan persiapan penerbitan Obligasi Daerah adalah membentuk Tim Persiapan Penerbitan Obligasi Daerah (TPOD). e. Melihat dari kegiatan persiapan penerbitan Obligasi Daerah, pembentukan Tim Persiapan Penerbitan Obligasi Daerah sebaiknya terdiri dari Pegawai pemerintah yang terkait dengan kegiatan yang akan dibiayai dengan Obligasi Daerah dan Akademisi yang berkecimpung di bidang Obligasi di pasar modal. 5.2. Rekomendasi a. Tidak semua Pemerintah Daerah dapat menawarkan Obligasi Daerah di pasar modal. Untuk itu, perlu kiranya disusun daftar secara periodik Pemerintah Daerah yang layak dan diijinkan untuk menerbitkan Obligasi Daerah. Daftar ini sangat penting bagi Pemerintah Daerah sebagai acuan dalam mengakses dana di pasar modal. Dengan kepastian tersebut, Pemerintah Daerah akan lebih fokus dalam menyusun Studi Kelayakan dan Kerangka Acuan Kerja. b. Perlu disusun panduan berupa langkah-langkah yang diperlukan oleh Pemerintah Daerah untuk dapat menerbitkan Obligasi Daerah di pasar modal. Hal ini untuk memudahkan Pemerintah Daerah yang telah siap dan mampu untuk mengakses dana di pasar modal, sehinga dapat mempercepat proses penerbitan Obligasi Daerah. c. Pemanfaatan Obligasi Daerah hanya untuk proyek infrastruktur yang dapat menghasilkan penerimaan, untuk itu perlu dilakukan pengkajian yang mendalam 14 terhadap proyek infrastruktur yang dapat menghasilkan penerimaan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Kajian ini penting untuk menghindarkan tumpang tindih kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam memanfaatkan dana Obligasi Daerah. d. Perlu disusun suatu pilot project pada beberapa Pemerintah Daerah yang telah siap untuk menerbitkan Obligasi Daerah. Tujuannya untuk melihat lebih mendalam kendala yang timbul dalam penerbitan Obligasi Daerah dan kemungkinan solusinya sebelum Obligasi Daerah diberlakukan secara menyeluruh. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. Bappenas dan Indonesia Infrastructure Initiative (Australia Aid), Beberapa Fakta dan Pemikiran Tentang Pembiayaan Inovatif Sektor Transportasi, bahan paparan dalam FGD V RPJMN 2015-2019 tanggal 16 April 2014 di Jakarta. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan, Panduan Penerbitan Obligasi Daerah, Jakarta :2007 Direktorat Pembiayaan dan Kapasitas Daerah, Kementerian Keuangan, Obligasi Daerah sebagai Alternatif Sumber Pembiayaan, bahan paparan, tanpa tahun. Hermawan, Irawati, 2006, Obligasi Daerah Sebagai Alternatif Pembiayaan Kegiatan Infrastruktur yang Dikerjasamakan dengan Badan Usaha, Jakarta. Jaringnews, Wamenkeu: RI Berisiko Terperangkap dalam Middle Income Trap, diakses dari http://jaringnews.com/ekonomi/umum/55917/wamenkeuri-berisiko-terperangkap-dalam-middle-income-trap, pada tanggal 5 Juni 2014 pukul 23.00 WIB. 6. Menteri PPN/Kepala Bappenas, Pembangunan Infrastruktur dan Sinergi PusatDaerah, bahan paparan pada Seminar Nasional Sosialisasi Produk Perencanaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas pada 11 November 2010 di Bandung. 7. MetroTVNews.com, Pefindo: Rating Obligasi Pemda Lebih Sulit Dibanding Koorporasi diakses dari http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/05/11/240467/ pefindorating-obligasi-pemda-lebih-sulit-dibanding-koorporasi, pada tanggal 4 Juni 2014 pukul 19:00 WIB. 15