BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Setelah dibawa pulang ke benua Eropa oleh para penjelajah di bawah
pimpinan Christopher Colombus dalam misi menemukan “dunia baru” pada akhir
abad 14, tembakau kemudian menemukan posisinya untuk memberi warna pada
peradaban manusia. Ditempat asal dimana tembakau pertama kali tercatat
ditemukan, tembakau seringkali digunakan dalam upacara-upacara suci dan
pemujaan. Pada banyak suku di Amerika Selatan, tembakau dipercaya sebagai
karunia dari sang pencipta, dan asap tembakau adalah media untuk mengantarkan
doa-doa dan pengharapan. Beberapa ratus tahun kemudian, tembakau telah
menjadi komoditas utama yang diperdagangkan dan dikonsumsi di hampir seluruh
negara di dunia. Tentunya dalam dua dasawarsa terakhir ini, globalisasi dengan
luar biasa telah mengakselerasi proses ini. Pada tahun 2010 saja diperkirakan
penduduk dunia yang mengkonsumsi tembakau telah menembus angka 1 miliar
orang1. Dari sini saja dapat dibayangkan bagaimana besarnya industri tembakau
global. Lebih dari itu, dapat dibayangkan pula proses tarik menarik antar
kepentingan yang ada di dalamnya.
Sejalan dengan kenyataan tersebut, pendapat yang menyatakan bahwa
produk tembakau (terutama dalam hal ini rokok) adalah musuh bagi kesehatan
juga telah lama kita dengar. Berbagai hasil penelitan dan jurnal kesehatan yang
menyatakan bahwa konsumsi tembakau mengakibatkan dampak buruk bagi
kesehatan bahkan mengakibatan kematian dapat sangat mudah kita temukan.
Tidak hanya berhenti pada aspek kesehatan, konsumsi tembakau juga disebut
1
WHO,“Tobacco Facts”, diakses dari
http://www.who.int/tobacco/mpower/tobacco_facts/en/index.html, pada 14 september 2014
1
memiliki implikasi ekonomi yang luas. Konsumsi tembakau seringkali dikaitkan
dengan besarnya beban ekonomi yang harus ditanggung berkaitan dengan
konsekuensi kesehatan yang ditimbulkannya, khususnya di negara negara
berkembang. Walaupun sejarah mencatat bahwa tembakau telah dikonsumsi sejak
ratusan, bahkan ribuan tahun lalu, kontroversi atas konsumsi tembakau sendiri
sebenarnya barumuncul pada pertengahan abad ke-20. Diawali dari sejumlah
penelitian tentang akibat dari konsumsi tembakau yang berujung pada kesimpulan
bahwa nikotin dalam tembakau dapat memicu timbulnya penyakit pada jantung,
hati, dan paru-paru, bahkan beberapa jenis kanker, hingga kepada temuan akan
adanya manipulasi dari beberapa industri rokok tentang keterangan akan
kandungan nikotin dalam produk mereka. Sejak saat itu, secara signifikan
tembakau dan kegiatan mengkonsumsinya (dalam hal ini merokok) menjadi objek
yang paling sering diteliti diantara barang-barang konsumsi yang bersifat legal di
dunia.
Berbagai temuan dari kegiatan penelitian tersebutlah yang pada akhirnya
mengantarkan konsumsi tembakau sebagai salah satu isu global yang menarik
untuk dicermati. Seperti yang sekilas sudah diaungkapkan sebelumnya, tidak
hanya berkenaan dengan implikasinya bagi kesehatan, tapi lebih dari itu implikasi
ini menjadi seperti fenomena bola salju ketika efek buruk pada kesehatan tersebut
diikuti dengan kenyataan bahwa angka konsumsi tembakau secara global telah
menembus angka 1 miliar orang, dengan 1/3 orang dewasa di dunia secara aktif
mengkonsumsi produk tembakau lewat berbagai cara. Menilik dari fakta ini maka
semacam sahihlah ketika tembakau dianggap sebagai musuh besar bagi kesehatan
dunia. “Tobacco is one of the greatest emerging health disasters in human
history”.
2
Narasi singkat tersebut tentu dapat menjelaskan secara mudah,
bagaimana WHO sebagai badan kesehatan dunia menempatkan tembakau sebagai
objek yang harus diperangi. Berikut narasi lain yang menggambarkan bagaimana
nyatanya ancaman yang bisa ditimbulkan oleh tembakau dalam perkara kesehatan
global “the most effective agent of death ever developed and deployed on a
2
WHO, WHO Report on the Global Tobacco Epidemic, Geneva: WHO, 2008, hlm.6.
2
worldwide scale”.
3
Pada abad ke 20 konsumsi tembakau diklaim telah
menyebabkan 100 juta kematian secara global. Sebagai penyebab tunggal
kematian yang dapat dihindari, tembakau telah mengakibatkan lebih dari 5 juta
kematian setiap tahunnya, melibatkan 1 dari 10 kematian dini pada orang dewasa.
Angka kematian tahunan ini dipercaya dapat meningkat sampai dengan 8 juta
kematian tiap tahun pada tahun 2030 jika tidak dilakukan upaya penanggulangan
yang komprehensif 4. Selain itu tingginya angka konsumsi tembakau secara global
memilikiimplikasi ekonomi yang luas. Upaya-upaya penanggulangan kemiskinan
global juga menjadi kontraproduktif ketika jumlah konsumsi tembakau tetap
tinggi. WHO mengestimasi nilai konsumsi tembakau global pada tahun 20002010 telah mencapai angka $ 500 juta dan akan mencapai angka $ 1 miliar pada
tahun 2040 jika tidak ada tindakan penanggulangan yang tegas dan berkelanjutan
yang diambil saat ini 5 . Berkaca dari berbagai data ini WHO sebagai badan
kesehatan dunia dan representasi masyarakat internasional yang berkeinginan
mewujudkan taraf kesehatan global yang lebih baik telah berupaya untuk
menginisisasi seperangkat kerangka kerja yang dapat digunakan sebagai acuan
untuk mengendalikan tingginya angka konsumsi tembakau di berbagai negara
dengan tujuan untuk menghindarkan masyarakat global dari ancaman kerusakan
kesehatan yang masif dan kerugian ekonomi yang lebih lanjut.
Sudah cukup lama sebenarnya WHO berinisiatif untuk melakukan upaya
pencegahan atas berbagai masalah kesehatan yang timbul sebagai dampak dari
konsumsi produk tembakau. Terutama sejak meningkatnya angka konsumsi
tembakau secara global yang diikuti oleh meningkatnya secara signifikan angka
kematian yang diakibatkan oleh penyakit-penyakit yang berkaitan dengan
konsumsi tembakau sebagi imbas dari semakin terkoneksinya sistem ekonomi
global. Hal yang kemudian semakin menegaskan bahwa efek dari globalisasi telah
3
ITC Project, ITC France National Report. Results of the Wave 2 Survey. University of Waterloo,
Waterloo, Ontario, Canada; French Institute for Health Promotion and Health Education (INPES)
and French National Cancer Institute (INCa), Paris, Prancis, Oktober 2011, hlm.ii.
4
WHO,“Why Tobacco is a Public Health Priority”, diakses dari
http://www.who.int/tobacco/health_priority/en/. pada 14 september 2014.
5
WHO, “The Future”, diakses dari http://www.who.int/tobacco/en/atlas38.pdf. .pada 14 september
2014.
3
membawa permasalahan mengenai konsumsi tembakau ke tahap baru yang
berpotensi mengakibatkan bencana demografi dan ekonomi yang luar biasa. Dari
keyakinan inilah pula WHO kemudian untuk pertama kalinya menggunakan
kemampuannya untuk menyusun perjanjian yang mengikat demi menghindarkan
masyarakat global dari bahaya lanjut konsumsi tembakau yang semakin nyata.
The World Health Organization Framework Convention of Tobacco
Control (WHO FCTC) menjadi tonggak dalam upaya pengendalian produk
tembakau secara global. WHO FCTC bukan hanya perjanjian internasional
pertama yang lahir dari kewenangan WHO untuk menyusun suatu perjanjian yang
mengikat, namun juga menjadi salah satu perjanjian internasional dengan proses
ratifikasi tercepat dalam sejarah PBB. WHO FCTC sendiri dalam teksnya
dinyatakan sebagai suatu kesepakatan supranasional dengan tujuan “to protect
present and future generations from the devastating health, social, environmental
and economic consequences of tobacco consumption and exposure to tobacco
smoke” lewat penerapan standar-standar universal yang menjabarkan tentang
bahaya konsumsi tembakau serta limitasi penggunaanya dalam berbagai bentuk
secara global. Di dalam teks WHO FCTC diatur pula ketentuan-ketentuan tentang
produksi, distribusi, penjualan, pengiklanan, sponsorship, aturan perpajakan atas
tembakau, serta beberapa hal detail lain yang berkaitan dengan peredaran produk
tembakau.
Secara umum inisiasi untuk melakukan upaya pengendalian produk
tembakau oleh WHO sendiri dimulai pada bulan Mei 1995 ketika Majelis
Kesehatan Dunia(WHA) sepakat untuk mengadopsi Resolusi WHA48.11, yang
dalam kesepakatan tersebut salah satunya meminta Direktur Umum WHO untuk
memberikan laporan kepada Sidang ke-49 Majelis Kesehatan Dunia tentang
kemungkinan
menginisiasi
mekanisme
pengendalian
produk
tembakau
internasional. Dari sini kemudian Direktur Umum WHO mengajukan studi
kelayakan atas sebuah mekanisme pengendalian tembakau secara global kepada
Sidang ke-79 Dewan Eksekutif WHO, dimana setelahnya Dewan Eksekutif WHO
mengadopsi resolusi EB97.R8 yang kemudian dikenal sebagai International
4
Framework Convention for Tobacco Control. Proses inisiasi ini kemudian seolah
menemukan momentum ketika pada tahun 1998, seorang pendukung setia
pengendalian tembakau, Dr Gro Harlem Brundtland terpilih sebagai Direktur
Umum WHO. Ia kemudian meluncurkan Tobacco Free Initiative dan
mempelopori negosiasi konvensi pengendalian tembakau global secara intensif.
Kebijakan-kebijakan ini juga dilakukan sebagai bagian dari upayanya untuk
merevitalisasi otoritas WHO dalam tata kelola kesehatan dunia. Kemudian pada
bulan mei 1999, lewat sebuah penyataan “sangat prihatin dengan eskalasi
merokok dan bentuk lain dari penggunaan tembakau di seluruh dunia, yang
mengakibatkan hilangnya setidaknya 3,5 juta nyawa manusia dan diperkirakan
akan menyebabkan setidaknya 10 juta kematian per tahun pada 2030 jika pandemi
tidak terkontrol, dengan 70% dari kematian ini terjadi di negara berkembang”6,
Majelis Kesehatan Dunia dengan suara bulat mengeluarkan resolusi WHA52.18,
dan memutuskan untuk membentuk kelompok kerja teknis dan badan negosiasi
antar-pemerintah untuk menyusun dan menegosiasikan konvensi kerangka kerja
pengendalian tembakau, yang membuka jalan bagi negosiasi multilateral pada
FCTC. Sementara itu, sebuah kelompok kerja yang terdiri dari negara-negara
anggota WHO didirikan untuk melakukan berbagai upaya persiapan untuk badan
negosiasi antar-pemerintah.
Kenyataan bahwa posisi direktur umum WHO dijabat oleh seorang loyalis
upaya pengendalian tembakau, tidak membuat upaya inisiasi atas FCTC menjadi
hal yang mudah. Dalam proses negosiasinya, FCTC tetap mengalami berbagai
kendala yang mengakibatkan proses ini berjalan tidak mudah dan memakan
waktu. Terutama karena adanya perbedaan priotitas dari anggota-anggota badan
negosiasi yang mengakibatkan proses penyusunan draft menjadi sesuatu yang
sangat kompleks, mulai dari aturan tentang pengiklanan dan promosi rokok,
kewajiban dan kompensasi bagi negara-negara anggota, kemasan dan pelabelan
produk, serta berbagai detail lain. Setelah 3 tahun negosiasi, badan negosiasi
6
WHO, WHA52.18 Towards a WHO Framework Convention on Tobacco Control, diakses dari
http://www.who.int/tobacco/framework/wha_eb/wha52_18/en/index.html. pada 14 september
2014.
5
antar-pemerintah akhirnya menyerahkan versi akhir dari draft FCTC kepada
sidang Majelis Kesehatan Dunia, yang kemudian mengadopsi konvensi ini pada
sidang Majelis Kesehatan Dunia ke-56 pada 21 Mei 2003. Satu bulan setelahnya
dimulaialah fase penandatangan dan ratifikasi atas WHO FCTC ini, dan sejak 27
Februari 2005 WHO FCTC mulai berlaku dan menjadi hukum internasional yang
mengikat setelah Peru menjadi negara ke-40 yang meratifikasi FCTC.
Secara keseluruhan, dapat digaris bawahi bahwa WHO FCTC adalah
tonggak dalam upaya manusia untuk mencegah proliferasi penggunaan tembakau.
WHO FCTC juga merupakan penanda bagi sebuah peristiwa penting dalam upaya
tata kelola kesehatan global. Di satu sisi, inilah untuk pertama kalinya WHO
menggunakan kuasanya untuk menyusun seperangkat aturan perundangan yang
mengikat dengan mengadakan sebuah perjanjian internasional. Dan pada sisi lain,
inilah pula untuk pertama kalinya tercipta suatu upaya dari masyarakat
internasional untuk memiliki suatu kesepahaman dan kesadaran bersama terkait
sebuah produk legal dalam dimensi global. Lewat dua hal ini, semakin
ditegaskanlah perspektif yang menyatakan bahwa hak bagi setiap manusia atas
standart kesehatan yang lebih baik haruslah ditempatkan pada posisi yang lebih
tinggi dari pada nilai-nilai perdagangan bebas, serta menandakan preseden bahwa
tata kelola pemerintahan global haruslah memiliki perhatian khusus pada
kepentingan industri global yang memperoleh keuntungan dari hal-hal yang
memiliki dampak negatif pada kesehatan publik. Lebih dari itu fakta bahwa upaya
untuk menciptakan suatu terobosan dalam norma-norma kesehatan global yang
tertuang dalam WHO FCTC mendapat sambutan positif yang ditandai dengan
menjadi salah satu perjanjian yang paling banyak diratifikasi dalam sejarah PBB
mungkin dapat diartikan sebagai penanda akan datangnya era baru bagi tata kelola
kesehatan global.
Berkaca pada besarnya angka konsumsi tembakau secara global, serta
bagaimana mengguritanya industri produk tembakau di dunia tentu kita tidak
dapat melepaskan fokus dari negara dengan populasi terbesar di dunia. China,
dengan populasinya yang sebesar 1,35 miliar jiwa pada tahun 2010 yang secara
6
linier juga merupakan rumah bagi 350 juta perokok dewasa atau 1/3 jumlah total
perokok di dunia 7 . Tidak hanya fantastis di angka konsumsi, China juga
merupakan negara produsen produk tembakau terbesar di dunia dengan angka
produksi sekitar 2 triliun batang rokok per tahun atau sekitar 40% dari jumlah
total produksi rokok di dunia, dengan kata lain, China adalah negara konsumen
sekaligus produsen rokok terbesar di dunia. Satu fakta penting lain dari industri
tembakau di China adalah keseluruhan aktifitas produksi hingga perdagangan
rokok di China dikendalikan oleh satu perusahaan milik negara yaitu China
National Tobacco Corporation yang juga adalah bagian dari badan administrasi
negara untuk monopoli tembakau (State Tobacco Monopoly Administration),
STMA sendiri adalah suatu badan yang memiliki wewenang penuh atas
penyusunan serta penerapan regulasi berkaitan dengan produk tembakau di China.
China National Tobacco Corporation sendiri merupakan perusahaan produsen
rokok terbesar di dunia, serta pemilik hak monopoli perdagangan rokok di China
daratan. Industri tembakau di China sendiri diperkirakan menyumbang antara 7%10% dari total penerimaan negara serta merupakan sumber penting bagi
pendanaan pemerintah di beberapa provinsi.
Gambaran umum di atas menjadikan China dan kebijakan pengendalian
tembakaunya menarik untuk dijadikan studi kasus dari penelitian ini. Terlebih,
pemerintah China sendiri telah menandatangani WHO FCTC sejak 10 November
2003 dan kemudian meratifikasinya pada 11 Oktober 2005. Tidak hanya
menandatangani dan meratifikasi, pemerintah China sendiri telah aktif pada tahap
inisiasi WHO FCTC ini, utamanya pada tahapan drafting and negotiating.
Bagaimana berjalannyaproses internalisasi WHO FCTC menjadi kebijakan
pengendalian produk tembakau di China juga merupakan faktor dominan lain dari
pemilihan China sebagai studi kasus dari penelitian ini. Dengan meratifikasi
WHO FCTC maka dapat diartikan China memiliki kewajiban legal untuk
memastikan proses internalisasi dari norma-norma kesehatan global yang tertuang
dalam WHO FCTC berjalan secara konsekuen dan efektif, namun demikian
7
Bryant Ott, Rajesh Srinivasan, “Three in 10 Chinese Adults Smoke”, diakses dari.
http://www.gallup.com/poll/152546/Three-Chinese-Adults-Smoke.aspx. pada 14 september 2014
7
sejumlah besar catatan menyatakan hal yang sebaliknya. Sebagai gambaran,
produksi rokok di China malah menunjukan peningkatan yang signifikan. pada
sebuah laporan berjudul Tobacco Control in China from a Civil Society
Perspective 2013, yang diterbitkan oleh Research Center for Health Development
(sebuah LSM bidang kesehatan di Beijing) disebutkan bahwa terjadi peningkatan
angka produksi rokok di China dari 1,75 triliun batang rokok per tahun pada 2002
(sebelum aksesi WHO FCTC) menjadi 2,58 triliun batang rokok per tahun pada
2012 dengan pertumbuhan per tahun sekitar 3-6 persen. Sejalan dengan fakta
tersebut prevalensi merokok di China pun tidak menunjukkan penurunan.
Berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh China CDC (Centre for Disesease
Control and Prevention), pada tahun 2010 prevalensi merokok pada pria dewasa
(15 tahun ke atas) berada di angka 52,9%, sama seperti prevalensi merokok pada
pria dewasa (berusia 15 tahun ke atas) di China pada tahun 20028. Aspek-aspek
lain seperti yang tertuang dalam WHO MPOWER9 pun tidak dijalankan secara
ketat dan konsekuen sehingga dalam penilaian atas implementasi MPOWER ini,
China hanya memperoleh 37,5 poin dari 100 poin 10 . Kontradiksi inilah yang
kemudian menjadi fokus utama dari penelitian ini. Dukungan dan kontribusi
pemerintah China terhadap WHO FCTC ternyata malah diikuti oleh banyak
kegagalan dalam memenuhi persyaratan-persyaratan yang ada di dalam WHO
FCTC. Lewat studi kasus penerapan kebijakan pengendalian tembakau di China,
penelitian ini hendak mencoba mengungkapakan hal-hal apa saja yang sebenarnya
mempengaruhi kegagalan China dalam upaya mengendalikan produk tembakau
sekalipun China telah meratifikasi WHO FCTC.
8
Global Adult Tobacco Survey (GATS) Fact Sheet China:
2010.http://www.who.int/tobacco/surveillance/en_tfi_china_gats_factsheet_2010.pdf , diakses
pada 14 september 2014.
9
MPOWER adalah akronim dari 6 kebijakan yang dirumuskan oleh WHO untuk membatu
pengimplementasian dari kesepakatan-kesepakatan dalam WHO FCTC. Aspek-aspek tersebut
adalah : Monitoring tobacco use and prevention policies, Protecting people from tobacco smoke,
offering help to quit tobacco use, Warning about the dangers of tobacco, Raise taxes on tobacco.
10
Gong-Huan Yang, et al., “Findings from 2010 Global Adult Tobacco Survey: Implementation of
MPOWER Policy in China”, Biomedical and Environmental Sciences, No.23, 2010, hlm.422.
8
1.2 Rumusan Masalah

Mengapa China gagal dalam upaya pengendalian produk tembakau
sekalipun telah meratifikasi WHO FCTC?
1.3 Kerangka Konseptual
Bertambahnya isu dalam tingkat internasional membuat negara-negara
harus bekerja sama dalam menangani masalah yang muncul tersebut. Bentuk
kerjasama yang digalang oleh negara-negara tersebut terwujud dalam rezim
internasional. Rezim internasional dapat diartikan sebagai sebuah konsep yang
dibangun untuk menjelaskan keuntungan bagi aktor-aktor yang mendukung
seperangkat aturan khusus untuk menangani sebuah masalah internasional
tertentu 11 . Rezim internasional juga dapat didefinisikan sebagai seperangkat
aturan, norma, prosedur pengambilan keputusan yang mengatur perilaku negara
dalam sebuah permasalah internasional tertentu12.
Rezim internasional dapat berbentuk konvensi, traktat internasional,
perjanjian internasional atau institusi internasional 13 . Rezim internasional bisa
bersifat bilateral, multilateral bahkan dapat memiliki cakupan global. Walaupun
rezim internasional memiliki banyak bentuk, terdapat perbedaan yang sangat
mendasar antara rezim internasional dengan organisasi internasional (intergovernmental organization / IGO). Organisasi international / IGO memiliki
cakupan isu yang sangat luas. Sementara, rezim internasional lebih terkait pada
11
Charles W. Kegley dan Eugene R. Wittkopf, World Politics Trends and Transformation,
(California: Thomson Wardsworth, 2006), hlm.44.
12
Ibid. hlm. 244.
13
Martins Griffith, Terry O. Callaghan dan Steven C. Roach, International Relations: The Key
Concepts Second Edition, (New York: Routledge, 2008), hlm.276.
9
suatu isu yang spesifik seperti ekonomi, perdagangan, hak asasi manusia,
pembatasan senjata dan sebagainya14.
Pembentukan rezim internasional bertujuan untuk mencapai tujuan
bersama yang hanya bisa dicapai jika setiap pihak bekerja sama. Dengan kata lain,
dengan masuk dalam rezim internasional negara mengorbankan sedikit
kedaulatannya untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Walaupun demikian, sebuah
negara akan mempertimbangkan kepentingannya ketika memutuskan untuk
masuk dalam sebuah rezim internasional. Robert O. Keohane, dengan
mempertimbangkan kurang adanya kekuatan yang mengikat dalam politik
internasional, berpendapat bahwa sebuah negara akan mempertimbangkan
kalkulasi untung-rugi ketika memutuskan untuk ikut dalam sebuah rezim
internasional15.
Pendekatan untung-rugi ini sesuai dengan pendekatan rational choice
model.Rational choice atau rasionalitas didefiniskan sebagai perilaku yang
memiliki tujuan yang ditampilkan ketika individu dalam hal ini negara merespons
peristiwa internasional dan dengan menggunakan informasi yang paling baik,
memilih kebijakan yang paling mungkin untuk memaksimalkan pencapaian
tujuannya 16 . Lebih jauh lagi, rational choice merupakan urutan pembuatan
keputusan yang melibatkan langkah-langkah intelektual sebagai berikut17:
1.
Pengenalan dan definisi yang teliti dari masalah yang ada. Untuk
mengenali permasalahan yang ada, diperlukan pencarian informasi yang
mendetail.
2.
Pemilihan tujuan yang ingin dicapai oleh pembuat kebijakan. Identifikasi
semua alternatif kebijakan yang tersedia bagi pembuat kebijakan dan estimasi
14
Trevor C. Salmon dan Mark F. Imber (ed), Issues in International Relations, Second Edition,
(New York: Routledge, 2008), hlm.123.
15
Robert O.Keohane, “The Demand of International Regimes” diakses dari.
http://www.jstor.org/discover/10.2307/2706525?uid=3738224&uid=2&uid=4&sid=562139750433
. pada 14 september2014.
16
Kegley, Op.Cit. hlm.69.
17
Ibid. hlm.69.
10
untung-rugi dari setiap alternatif kebijakan yang bisa dipilih oleh pembuat
kebijakan.
3.
Pemilihan keputusan yang paling memungkinkan untuk mencapai tujuan.
Andrew T. Guzman dalam bukunya How International Law Works: A
Rational Choice Theory mengadopsi beberapa asumsi rational choice. Ia
berpendapat bahwa negara itu “rasional, mementingkan diri sendiri dan mampu
mengidentifikasi dan mengejar kepentingannya tersebut”, “tidak memikirkan
kesejahteraan negara lain namun lebih mencari cara untuk memaksimalkan
untungnya” dan “tidak memiliki preferensi bawaan untuk taat pada hukum
internasional”18. Dalam konteks kerjasama internasional, termasuk di dalamnya
juga rezim internasional, negara akan bekerja sama jika negara tersebut
mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari kerjasama tersebut dibandingkan
dengan kewajiban yang diakibatkan oleh kerjasama tersebut19.
Dalam buku tersebut, Andrew T. Guzman juga mengemukakan bahwa
hukum internasional termasuk di dalamnya norma-norma internasional akan
mempengaruhi perilaku negara walaupun seringkali hukum dan norma
internasional kurang atau tidak memiliki kekuatan memaksa20. Lebih jauh lagi,
Andrew T. Guzman mengembangkan teori yang menyatakan bahwa ketaatan
negara pada hukum dan norma internasional dipengarui oleh 3 hal yaitu, reputasi,
resiprositas dan pembalasan (retaliation)21.
Pembahasan mengenai upaya pengendalian produk tembakau secara
global, tidak mungkin terlepas dari WHO FCTC sebagai sebuah hukum
internasional yang mengikat dan WHO sebagai sebuah institusi internasional yang
menginisiasi sekaligus mengatur praktek pengimpementasiannya kemudian.
Keberadaan WHO FCTC sebagai instrumen global yang mengatur tentang
pengendalian produk tembakau dengan tujuan untuk memastikan hak setiap orang
18
Andrew T. Guzman, How International Law Works: A Rational Choice Theory, (New York:
Oxford University Press, 2008), hlm.17.
19
Ibid. hlm.12.
20
Ibid. hlm.9.
21
Ibid. hlm.9.
11
atas standar kesehatan yang lebih baik tidak tergerus oleh kepentingan industri
tembakau global dapat dikatakan sebagai sebuah rezim internasional dengan
WHO sebagai institusi yang memastikan bahwa segenap kesepakatan yang
tertuang di dalam WHO FCTC dapat dijalankan dengan konsekuen serta efektif.
Sementara konsep rational choice sendiri di sini coba digunakan untuk
menggambarkan bagaimana negara yang telah meratifikasi WHO FCTC
merespons instrumen global tersebut, yang dalam penelitian ini direpresentasikan
oleh penerapan kebijakan pengendalian tembakau di China. Adalah nyata bahwa
penerapan kebijakan pengendalian tembakau di China memiliki implikasi yang
signifikan bagi upaya tata kelola kesehatan global. Namun ratifikasi China atas
WHO FCTC serta keterlibatannya dalam proses penyusunan WHO FCTC
ternyata malah diikuti oleh kontradiksi pada tahap implementasinya. Proses
internalisasi peraturan yang terkesan setengah hati inilah yang kemudian akan
dibahas sebagai sebuah fenomena rasionalitas yang dilakukan oleh China dalam
isu pengendalian produk tembakau global.
1.4
HIPOTESIS
Meningkatnya angka konsumsi tembakau serta dampak-dampak yang
ditimbulkan telah menjadi suatu ancaman bagi masyarakat global dewasa ini, dan
karenanya diperlukansuatu inisiatif bersama yang bersifat komprehensif dan
mengikat untuk dapat menanggulangi hal tersebut. WHO FCTC sendiri muncul
dari kesadaran akan isu tersebut, sejauh ini WHO FCTC telah menjadi
seperangkat aturan yang dapat menjadi panduan bagi pihak-pihak di dalamnya
dalam rangka pengendalian produk tembakau, serta untuk menanggulangi dampak
negatif dari meningkatnya konsumsi tembakau bagi masyarakat dan generasi
mendatang baik dalam bidang kesehatan, sosial, lingkungan, dan ekonomi.
Namun demikian, bagian paling penting dari implementasi WHO FCTC
ini adalah kesediaan dari pihak-pihak di dalamnya untuk tetap bersikap konsekuen
dengan menyelaraskan peraturan di dalam negeri dengan poin-poin yang
disepakati dalam WHO FCTC. Di dalam praktek implementasinya sekalipun,
seringkali perhitungan untung rugi bagi suatu negara menjadi hambatan bagi
12
terciptanya upaya pengendalian produk tembakau yang komprehensif. Hal ini
tercermin dari kebijakan pengendalian tembakau di China. Sebagai negara yang
sejak awal terlibat dalam proses penyusunan WHO FCTC, dan kemudian
meratifikasinya pada tahun 2005, ternyata sampai dengan saat ini China gagal
untuk memenuhi sejumlah persyaratan yang disepakati di dalam WHO FCTC.
Tentunya hal ini tidak terjadi secara begitu saja, ada kalkulasi untung-rugi dalam
proses internalisasi kebijakan yang setengah hati dari pemerintah China atas isu
pengendalian produk tembakau. Keterlibatan China dalam WHO FCTC sampai
dengan ratifikasinya, dalam penelitian ini dinilai sebagai sebuah tindakan yang
dilatarbelakangi oleh motif rasional yang mengedepankan kepentingan ekonomi
dan politik dari pemerintah China daripada sekedar alasan-alasan ideologis seperti
yang tertuang dalam WHO FCTC. Sehingga pada tahapan implementasi, proses
internalisasi dari kesepakatan pengendalian produk tembakau dalam WHO FCTC
tidak dapat berjalan secara utuh dan menyeluruh yang berujung pada gagalnya
China dalam menerapkan kebijakan pengendalian produk tembakau di dalam
negeri.
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dan
analisis kualitatif. Sedangkan teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi
ini menggunakan teknik penelitian kepustakaan atau library research dengan
menggunakan data-data sekunder sebagai sumber data untuk penelitian. Sumbersumber yang digunakan berasal dari studi literatur, artikel, dan jurnal yang
berkaitan dengan masalah tersebut.Dalam penelitian akan digunakan konsep rezim
internasional dan rational choice theory untuk menganalisis isu pengendalian
produk tembakau global serta WHO FCTC sebagai sebuah instrumen global yang
berkaitan dengan isu tersebut. Dari sini kemudian akan dilihat pula bagaimana
efektifitas pengimpementasian dari WHO FCTC dengan studi kasus penerapan
kebijakan pengendalian tembakau di China sebagai negara yang telah meratifikasi
WHO FCTC dengan mempertimbangakan situasi yang dinamis di negara tersebut
13
berkaitan dengan kalkulasi untung-rugi atas partisipasi mereka dalam rezim
internasional tersebut.
Unit analisis dari penelitian ini adalah keberadaaan WHO FCTC sebagai
seperangkat aturan yang digunakan dalam upaya pengendalian produk tembakau
secara global serta efektifitas dari praktek impementasinya. Sementara unit
eksplanasinya adalah bagaimana kecenderungan China sebagai negara yang telah
meratifikasi WHO FCTC merespons perjanjian internasional ini lewat
internalisasi ke dalam peraturan serta kebijakan di dalam negeri.
1.6 Sistematika Penulisan
Penulisan skripsis ini akan dibagi ke dalam beberapa bab untuk
mempermudah pembahasannya. Bab I merupakan bagian pendahuluan, berisikan
mengenai latar belakang, rumusan masalah, kerangka konseptual, hipotesa,
metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab ini ditujukan untuk memberikan
gambaran umum mengenai penelitian.
Bab II akan membahas tentang WHO FCTC sebagai seperangkat
aturan yang digunakan dalam upaya pengendalian produk tembakau global.
Secara khusus dalam bab ini akan dilihat bagaimana WHO FCTC menyediakan
tuntunan atas mekanisme pengendalian tembakau bagi negara-negara yang
meratifikasinya.
Bab III akan membahas tentang implementasi WHO FCTC di China dan
mengidentifikasi perbedaan antara kebijakan pengendalian tembakau di China
dengan persyaratan-persyaratan yang tertuang dalam WHO FCTC. Persyaratan
apa saja yang berhasil dipenuhi dan tidak berhasil dipenuhi oleh China.
Bab IV berisi analisis atas kegagalan China dalam pengendalian tembakau
dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kegagalan China tersebut.
14
Bab V merupakan bab yang terakhir, bab ini akan mencoba menjelaskan
kembali beberapa poin penting. Bab ini merupakan jawaban singkat dari rumusan
masalah penelitian ini.
15
Download