Bab 7 Bidang Frekuensi - Direktorat Jenderal Sumber Daya dan

advertisement
Bab 7
Bidang Frekuensi
Penggunaan frekuensi semakin meningkat seiring dengan semakin pesatnya perkembangan
dunia telekomunikasi dengan berbagai perangkat dan teknologi yang digunakan.
Peningkatan penggunaan frekuensi juga diikuti dengan semakin beragamnya penggunaan
frekuensi untuk berbagai kebutuhan karena penggunaan sarana telekomunkasi yang
semakin variatif dengan penggunaan teknologi telekomunikasi yang semakin tinggi pula.
Contoh paling mudah terlihat adalah perkembangan teknologi seluler yang semakin banyak
digunakan masyarakat dengan tingkat penggunaan yang tinggi dan juga membutuhkan
penggunaan frekuensi yang semakin tinggi pula. Demikian pula dengan teknologi penyiaran
dan komunikasi lainnya.
Penyajian data statistik bidang frekuensi akan memberikan gambaran peningkatan
penggunaan frekuensi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir dan peta penggunaannya
pada saat ini. Penyajian data penggunaan frekuensi ini dilakukan untuk memotret pola
penggunaan spektrum frekuensi untuk berbagai keperluan serta penggunaannya
berdasarkan service. Penggunaan pita frekuensi berdasarkan service akan dipetakan
berdasarkan penggunaanya untuk tiap propinsi. Pemetaan penggunaan menurut propinsi
juga akan dilakukan terhadap pengunaan menurut pita frekuensi .
7.1
Ruang Lingkup
Data statistik Bidang frekuensi yang disajikan dalam laporan ini meliputi jumlah penggunaan
spektrum frekuensi berdasarkan pita frekuensi, jumlah penggunaan spektrum frekuensi
berdasarkan jenis penetapan frekuensi, dan jumlah penggunaan frekuensi berdasarkan
peruntukannya. Keseluruhan data tersebut juga dipetakan penggunaannya menurut
propinsi. Selanjutnya juga dilakukan analisis untuk menghitung jumlah penggunaan
frekuensi menurut subservice TV, Radio (AM/FM) dan GSM di tiap - tiap propinsi. Secara
khusus, penggunaan frekuensi untuk subservice tertentu seperti TV, radio (AM, FM) dan
GSM/DCS akan dilihat penggunaannya antar wilayah dengan membandingkan dengan luas
wilayah dan jumlah penduduk di wilayah (propinsi) tersebut.
Statistik frekuensi yang ditampilkan dalam laporan ini meliputi :
1)
Statistik penggunaan spektrum frekuensi berdasarkan pita frekuensi (misalnya VLF,
LF, MF, HF, dst.) dan propinsi tahun 2007 – 2010 (sampai 8 Juli 2010);
2)
Penggunaan frekuensi berdasarkan service dan subservice tahun 2007 – 2010
(sampai 8 Juli 2010);
3)
Penggunaan frekuensi menurut kepulauan, propinsi, service dan subservice tahun
2010 (sampai 8 Juli 2010);
4)
Perbandingan jumlah penggunaan frekuensi TV, Radio AM, Radio FM dan GSM
dengan jumlah penduduk dan luas wilayah untuk tiap propinsi Tahun 2010 (sampai 8
Juli 2010);
5)
Penerbitan Izin Amatir Radio yang meliputi IAR, IKRAP dan SKAR
Data statistik frekuensi yang disajikan dan dianalisa dalam bab ini diperoleh langsung dari
Direktorat Pengelolaan Spektrum Frekuensi Radio Ditjen Postel pada posisi data terakhir
yaitu 8 Juli 2010. Sementara data penduduk dan luas wilayah propinsi diperoleh dari Badan
Pusat Statistik.
7.2.
Konsep dan Definisi
Definisi dari terminologi yang digunakan dalam penyajian data frekuensi dibawah ini disusun
agar dapat memberi interpretasi yang sama terhadap terminologi yang digunakan.
Beberapa konsep dan definisi yang digunakan dalam pembahasan selanjutnya pada bab
frekuensi ini adalah :
1.
Telekomunikasi adalah setiap transmisi, emisi atau penerimaan isyarat, sinyal,
tulisan, gambar-gambar dan suara atau pernyataan pikiran apapun melalui kawat,
radio, optik atau sistem elektromagnetik lainnya;
2.
Spektrum Frekuensi Radio adalah susunan pita frekuensi radio yang mempunyai
frekuensi lebih kecil dari 3000 GHz sebagai satuan getaran gelombang
elektromagnetik yang merambat dan terdapat dalam dirgantara (ruang udara dan
antariksa);
3.
Alokasi Spektrum Frekuensi Radio adalah pencantuman pita frekuensi radio tertentu
dengan maksud untuk penggunaan oleh satu atau lebih dinas komunikasi radio
terrestrial atau dinas komunikasi radio ruang angkasa atau dinas astronomi
berdasarkan persyaratan tertentu;
4.
Radio adalah istilah umum yang dipakai dalam penggunaan gelombang radio;
5.
Gelombang Radio atau Gelombang Hertz adalah gelombang elektromagnetik dengan
frekuensi yang lebih rendah dari 3.000 GHz, yang merambat dalam ruang angkasa
tanpa sarana penghantar buatan;
6.
Komunikasi radio adalah telekomunikasi dengan perantaraan gelombang radio;
7.
Komunikasi radio terrestrial adalah Setiap komunikasi radio selain komunikasi radio
ruang angkasa atau radio astronomi;
8.
Komunikasi radio ruang angkasa adalah setiap komunikasi radio yang mencakup
penggunaan satu atau lebih stasiun ruang angkasa, atau penggunaan satu atau lebih
satelit pemantul ataupun objek lain yang ada di ruang angkasa;
9.
Navigasi radio adalah Radio penentu yang digunakan untuk keperluan navigasi,
termasuk pemberitahuan sebagai adanya peringatan tentang benda yang
menghalangi;
10. Radio Astronomi adalah Astronomi yang berdasarkan penerimaan gelombang radio
yang berasal dari kosmos.
7.3.
Jumlah Penggunaan Frekuensi (ISR)
7.3.1. Penggunan Berdasarkan Pita Frekuensi
Penggunaan pita frekuensi menunjukkan peningkatan yang semakin tinggi dari tahun ke
tahun sejalan dengan semakin beragamnya penggunaan pita frekuensi untuk berbagai
kebutuhan. Teknologi telekomunikasi dan informatika yang semakin berkembang juga
mendukung peningkatan penggunaan pita frekuensi yang semakin tinggi. Penggunaan pita
frekuensi pada tahun 2010 meskipun baru sampai pertengahan tahun seperti ditunjukkan
pada tabel 7.1 memperlihatkan jumlah penggunaan yang melebihi penggunaan pita
frekuensi dalam setahun pada tahun 2009. Penggunaan pita frekuensi untuk spektrum MF
dan HF sampai dengan pertengahan tahun memang masih lebih rendah daripada
penggunaannya pada tahun 2009. Namun untuk spektrum pita frekuensi tinggi seperti VHF,
UHF dan terutama SHF, penggunaannya sampai dengan awal Juli 2010 telah melebihi
penggunaan spektrum pita frekuensi tersebut selama tahun 2009.
Tabel 7.1. Jumlah Penggunaan Frekuensi (ISR) berdasarkan pita frekuensi
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
Nama Spektrum
VLF
LF
MF
HF
VHF
UHF
SHF
EHF
Pita Frekuensi
(3 kHz – 30 kHz)
(30 kHZ – 300 kHz)
(300 kHz – 3 MHz)
(3 MHz – 30 MHz)
(30 MHz – 300 MHz)
(300 MHz – 3 GHz)
(3 GHz - 30 GHz)
(30 GHz – 300 GHz)
Jumlah
2008
N.A
N.A
N.A
329
8.838
89.968
36.653
N.A
135.788
2009
0
0
391
6.327
22.236
92.627
163.284
2
284.867
2010*
0
0
360
6.032
23.031
98.182
177.604
2
305.211
Data VLF (Very Low Frequency) dan LF (Low Frequency) tidak dapat dimunculkan karena
penggunaan frekuensi rendah (kurang dari 300 kHz) menyangkut penggunaan untuk keperluan
khusus seperti untuk keperluan militer dan tidak banyak bandwidth yang pada band ini dalam
spektrum radio.
*) Sampai 8 Juli 2010
Dari sisi komposisi penggunaannya, sampai dengan pertengahan tahun 2010, penggunaan
spektrum pita frekuensi tinggi yaitu SHF dan UHF masih merupakan yang paling banyak
digunakan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Penggunaan spektrum pita frekuensi SHF
yang berada pada pita frekuensi 3 GHz-30 GHz bahkan menunjukkan proporsi yang semakin
besar dari 27% pada 2008, kemudian menjadi 57,3% dan pada pertengahan tahun 2010
meningkat lagi proporsinya menjadi 58,2% seperti terlihat pada gambar 7.1. Penggunaan
spektrum pita frekuensi yang lebih rendah seperti HF dan MF proporsinya cenderung
rendah dan tidak banyak mengalami perubahan.
Komposisi penggunaan spektrum pita frekuensi UHF dan SHF yang besar menyebabkan
peningkatan penggunaan pita frekuensi untuk kedua jenis spektrum pita frekuensi ini juga
berdampak signifikan pada total penggunaan spektrum frekuensi. Meskipun penggunaan
spektrum MF dan HF sampai pertengahan tahun 2010 masih lebih rendah dari penggunaan
frekuensi tersebut selama 2009, namun karena penggunaan spektrum pita UHF sudah
meningkat 8,8% dan pita VHF sudah meningkat 6% dibanding penggunaan pita frekuensi
tersebut pada tahun 2009, maka secara total penggunaan pita frekuensi sampai
pertengahan tahun 2010 sudah lebih tinggi 7,1% dibanding penggunaannya selama setahun
pada tahun 2009. Penggunaan yang semakin meningkat sampai akhir tahun 2010
diperkirakan akan semakin meningkatkan penggunaan pita frekeunsi VHF dan UHF serta
total pita frekuensi yang semakin tinggi pula dengan persentase peningkatan yang cukup
besar.
Gambar 7.1. Komposisi Penggunaan Frekuensi berdasarkan Pita Frekuensi
120%
100%
80%
60%
40%
20%
0%
EHF (30 GHz – 300 GHz)
2008
0,0%
2009
0,0%
2010*
0,0%
SHF (3 GHz - 30 GHz)
27,0%
57,3%
58,2%
UHF (300 MHz – 3 GHz)
66,3%
32,5%
32,2%
VHF (30 MHz – 300 MHz)
6,5%
7,8%
7,5%
HF (3 MHz – 30 MHz)
0,2%
2,2%
2,0%
MF (300 kHz – 3 MHz)
0,0%
0,1%
0,1%
Secara kumulatif, penggunaan pita frekuensi yang sukup besar sampai pertengahan tahun
2010 ini menjadikikan kumulatif penggunan spektrum pita frekuensi meningkat tajam.
Secara total penggunaan pita frekuensi sampai pertengahan tahun 2010 telah meningkat
37,1% dibanding tahun sebelumnya. Meskipun peningkatan ini lebih rendah dibanding
peningkatan penggunan pita frekuensi pada tahun 2009, namun karena baru berlangsung
setengah tahun, diperkirakan peningkatannya pada tahun 2010 akan lebih tinggi lagi.
Peningkatan penggunaan pita frekuensi secara kumulatif ini pada tahun 2010 paling tinggi
terjadi pada penggunaan spektrum pita frekuensi SHF sebesar 62,1% diikuti oleh pita
frekuensi MF sebesar 42,6%. Namun karena penggunaan pita frekuensi MF tidak terlalu
besar maka secara absolut jumlah penggunaannya juga tidak besar. Spektrum pita frekuensi
VHF juga mengalami peningkatan penggunaan yang besar dan secara kumulatif
penggunaanya meningkat sebesar 35%. Peningkatan yang tidak terlalu besar terjadi pada
penggunaan spektrum pita frekuensi EHF yang meningkat hanya 12,5%. Penggunaan jenis
pita frekuensi ini yang tidak terlalu banyak juga menjadikan peningkatannya juga tidak
signifikan.
Tabel 7.2. Kumulatif Penggunaan Frekuensi (ISR) berdasarkan pita frekuensi
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
Nama Spektrum
VLF
LF
MF
HF
VHF
UHF
SHF
EHF
Pita Frekuensi
(3 kHz – 30 kHz)
(30 kHZ – 300 kHz)
(300 kHz – 3 MHz)
(3 MHz – 30 MHz)
(30 MHz – 300 MHz)
(300 MHz – 3 GHz)
(3 GHz - 30 GHz)
(30 GHz – 300 GHz)
Jumlah
2008
N.A
N.A
454
17.795
42.166
354.726
122.693
14
537.848
2009
2010*
0
0
845
24.122
64.402
447.353
285.977
16
822.715
0
0
1.205
30.154
87.433
545.535
463.581
18
1.127.926
*) Sampai 8 Juli 2010
Dari sisi sebaran wilayah penggunaannya menurut pulau, penggunaan spektrum pita
frekuensi masih didominasi oleh penggunaan di Pulau Jawa. Proporsi penggunaan pita
frekuensi di Pulau Jawa ini mencapai 52,8% dari total penggunaan pita frekuensi pada tahun
2010 sampai dengan pertengahan tahun. Proporsi penggunaan yang tinggi ini disebabkan
penggunaan pita frekuensi yang sangat besar di Jawa sebaga pusat kegiatan ekonomi dan
bisnis, aktivitas sosial dan pusat pemerintahan yang menyebabkan kegiatan yang banyak
menggunakan frekuensi seperti komunikasi dan penyiaran juga banyak berlangsung di Jawa.
Apalagi di Jawa merupakan pusat penyebaran penduduk dengan dinamika aktivitas dan
tingkat pendidikan serta melek teknologi masyarakat yang juga lebih tinggi daripada daerah
lain.
Proporsi penggunaan terbesar kedua adalah di wilayah pulau Sumatera dengan proporsi
penggunaan yang mencapai 25,6%. Hal ini juga disebabkan Sumatera merupakan pusat
aktivitas ekonomi dan sosial yang terbesar kedua setelah Jawa dan jumlah penduduk
terbesar kedua setelah Pulau Jawa sehingga kebutuhan penggunaan frekuensi juga tinggi.
Hal yang menarik dari proporsi ini adalah bahwa proporsi penggunaan pita frekuensi ini
adalah bahwa propisri penggunaan pita grekuensi di Bali dan Nusa Tenggara lebih besar
dibanding di Sulawesi yang jumlah penduduk dan luas wilayahnya lebih besar dibanding Bali
dan Nusa Tenggara. Ini menunjukkan bahwa faktor dinamika kegiatan masyarakat
khususnya ekonomi dan bisnis lebih mempengaruhi penggunaan pita frekuensi, terutama
untuk kegiatan penyiaran atau yang membutuhkan intensitas komunikasi yag tinggi.
Gambar 7.2. Penggunaan Pita Frekuensi menurut pulau besar
Kalimantan;
8,9%
Bali, Nusa Sulawesi;
Tenggara; 5,5%
Maluku+Papua
5,7%
; 1,5%
Sumatera;
25,6%
Jawa; 52,8%
Penggunaan pita frekuensi pada tahun 2010 menurut propinsi menunjukkan bahwa
penggunaan pita frekuensi terbesar terdapat di propinsi Jawa Barat, diikuti oleh Jawa Timur
dan DKI Jakarta. Tingginya penggunaan pita frekuensi
di Jawa Barat dan Jawa Timur
disebabkan kombinasi dari wilayah yang cukup luas, jumlah penduduk yang besar,
administratif pemerintahan yang banyak serta dinamika aktivitas sosial dan ekonomi
masyarakat yang tinggi. Keempat faktor tersebut secara bersama-sama mendorong
penggunaan pita frekuensi yang tinggi untuk berbagai kebutuhan. Sementara penggunaan
pita frekuensi yang tinggi di Jakarta terutama karena posisinya sebagai pusat kegiatan
pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi dan bisnis dimana hampir semua kantor pusat
perusahaan besar berada di Jakarta termasuk bisnis penyiaran dan telekomunikasi. Dengan
posisi ini kebutuhan untk penggunaan frekuensi menjadi sangat besar terutama untuk jenis
frekuensi tertentu.
Tabel 7.3. Penggunan Pita Frekuensi per Propinsi tahun 2010 (sampai 8 Juli 2010)
No
Propinsi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
Babel
Bengkulu
Jambi
Kepri
Lampung
NAD
Riau
Sumbar
Sumsel
Sumut
Banten
DIY
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Bali
NTB
NTT
Kalimantan Barat
MF-1
Pita Frekuensi
VHF-3
UHF-4
HF-2
72
SHF-5
EHF-6
714
1.270
3
46
229
523
1.066
4
108
561
1.210
2.325
1
54
481
1.536
2.817
15
94
268
3.005
4.439
15
112
542
2.399
4.046
4
315
1.166
4.500
7.612
11
10
80
161
399
1142
2045
2761
3891
5613
34
393
2.021
6.552
11.455
4
34
418
4.482
8.548
1
17
288
2.128
3.712
10
359
870
10.211
21.204
64
167
2.069
14.713
28.090
55
128
1.796
9.663
15.684
35
255
1.966
12.871
21.116
11
75
2.832
5.205
5
71
1.717
2.638
2
327
597
734
904
665
1.506
14
240
443
1.779
3.237
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
16
75
908
1.459
2.929
13
290
588
1.304
2.480
3
479
2.060
2.867
6.007
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
2
101
282
1.074
1.909
7
148
369
650
1.201
Sulawesi Selatan*
Sulawesi Tenggara
14
124
617
2.836
5.057
47
310
567
886
42
34
154
417
304
456
275
418
115
108
75
88
52
30
Gorontalo
Maluku
Maluku Utara
Irjabar
Papua
2
5
1.199
249
563
*) Termasuk Sulawesi Barat yang merupakan Propinsi Pemekaran dari Sulawesi Selatan
708
Komposisi spektrum pita frekuensi di masing-masing propinsi menunjukkan pola yang
hampir sama dimana proporsi penggunaan terbesar adalah untuk spektrum pita frekuensi
SHF kemudian diikuti oleh spektrum frekuensi UHF, kecuali untuk beberapa propinsi.
Proporsi penggunaan spektrum pita frekuensi SHF ini pada daerah-daerah yang dominan
penggunaanya berkisar antara 49% sampai 64,5%. Komposisi ini juga tidak berbeda jauh
dengan proporsi secara nasional yang mencapai 52,8%. Sementara proporsi penggunaan
spektrum pita frekuensi UHF pada daerah-daerah tersebut berkisar antara 19,5% sampai
34,7%. Namun untuk beberapa propinsi, menunjukkan komposisi penggunaan spektr um
pita frekuensi yang berbeda. Penggunaan spektrum pita frekuensi
di Irian Jaya Barat
misalnya pada tahun 2010 lebih didominasi oleh penggunaan spektrum pita frekuensi UHF
yang proporsinya mencapai 63,4%. Penggunaan spektrum SHF meskipun proporsinya cukup
tinggi (36,6%) namun masih lebih rendah dari pita UHF.
Sementara penggunaan pita frekuensi VHF di propinsi Maluku dan Maluku Utara
menunjukkan proporsi yang tinggi. Proporsi penggunaan pita frekuensi VHF di Maluku
mencapai 31,3% dan merupakan yang terbesar dibanding pita frekuensi lainnya. Sementara
proporsi penggunaan frekuensi VHF di Maluku Utara mencapai 28% dan menjadi yang
terbesar kedua di Maluku Utara setelah frekuensi HF yang proporsinya mencapai 29,8%.
Penggunaan jenis spektrum pita HF yang besar juga berlangsung di propinsi Papua. Proporsi
penggunaan spektrum pita HF di propinsi Papua mencapai 44% dan menjadi yang terbesar
dibanding pita frekuensi lainnya. Proporsi yang tinggi untuk jenis pita frekuensi HF di Papua
ini diduga terkait dengan penggunaanya yang untuk kebutuhan khusus terkait dinamika
kegiatan sosial-ekonomi di wilayah tersebut.
Proporsi yang tinggi untuk jenis pita frekuensi HF di
Papua ini diduga terkait dengan penggunaanya yang
untuk kebutuhan khusus terkait dengan kegiatan ekonomi
maupun kondisi geografis Papua yang merupakan daerah
pegunungan
Gambar 7.3. Komposisi penggunan Frekuensi menurut Pita Frekuensi per Propinsi
100%
90%
80%
70%
60%
0,0%
0,0%
3,1%4,7%2,7%4,6%6,6%5,4%
3,4%
5,3%7,1%
6,2%
6,6%
7,6%
7,8%
8,4%
8,6%
9,1%
9,8%
11,8%9,9%
12,3%
12,6%
13,3%
15,5%
16,9% 18,0% 13,9%
17,1%
26,6%
28,0%
31,3%
23,8%
34,7%
31,3%
20,7%
33,2%
34,6% 32,6% 35,5%
31,8%
38,4%
32,5%
3
1,1%
32,8%
35,4%
31,9%
33,1% 28,5%
31,4% 33,7%
32,0%
28,0%
27,9%
28,8%
27,4%
27,1% 25,1% 33,4%
31,3% 63,4%
19,5%
19,4%
18,9%
26,0%
50%
UHF
40%
22,8%
64,5%
61,8%
56,7% 53,0%
63,4% 64,9%
60,6%
57,1%
59,8% 44,2%
57,9%
56,0%
55,3%
56,9%
56,0% 60,4% 62,3%
57,6%
58,3% 54,4% 52,6%
56,8%
30%
57,4%
51,3%
28,7%
HF
44,0%
36,6%
29,8%
20,9%
10%
Papua
Maluku Utara
Maluku
Irjabar
Sulut
Sultra
Sulteng
Sulsel
Gorontalo
NTT
NTB
Bali
Kaltim
Kalteng
Kalsel
Kalbar
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Barat
DKI Jakarta
DIY
Banten
Sumut
Sumsel
Sumbar
Riau
NAD
Lampung
Kepri
Jambi
Bengkulu
9,6%6,5%
6,2%
3,5%2,5%2,6%1,1%1,2%1,6%2,3%1,2%1,7%1,9%0,3%0,3%1,1%0,4%0,5%0,7%4,2%1,4%6,2%4,2%0,9%1,4%
2,6%3,0%0,0%
1,4%
Babel
SHF
MF
50,5% 56,7%
58,5%
49,0%
20%
0%
VHF
EHF
7.3.2. Penggunaan Berdasarkan Service
Penggunaan pita frekuensi menurut service juga menunjukkan adanya peningkatan dalam
penggunaan meskipun tahun 2010 baru memasuki pertengahan tahun. Peningkatan
signifikan terutama terjadi untuk penggunaan frekuensi untu jenis fixed service dan land
mobile (public). Penggunaan untuk fixed service pada sudah meningkat sebesar 8,6%
dibanding penggunaan tahun sebelumnya sampai dengan pertengahan tahun 2010,
sementara peningkatan penggunaan untuk land mobile (public) sudah mencapai 7,6%.
Beberapa jenis service lain penggunaannya sampai pertengahan tahun 2010 ini masih lebih
rendah dibanding penggunaan tahun 2009 seperti untuk Aeronautucal, Land Mobile
(private) dan Maritim. Bahkan penggunaan untuk Aeonautical lebih rendah 43,4% dibanding
tahun sebelumnya. Namun diperkirakan penggunaan untuk beberapa jenis service tersebut
masih akan meningkat sehingga akan lebih tinggi dibanding penggunaan tahun sebelumnya.
Tabel 7.4. Jumlah penggunaan kanal frekuensi menurut service 2009-2010
No.
1
2
3
4
5
6
7
Service
Aeronautical/Penerbangan
Broadcast (TV & Radio)
Fixed Service
Land Mobile (Private)
Land Mobile (Public)
Maritim
Satellite
Total
2008**
0
1.737
122.949
40.092
52.705
627
218.110
2009
1.018
1.805
171.483
33.321
77.809
6.268
682
292.386
2010*
576
1.836
186.174
32.855
83.725
3.423
786
309.375
*)Sampai 8 Juli 2010
**) Merupakan data perhitungan ISR, bukan data jumlah frekuensi yang ditetapkan
Perkembangan komposisi penggunaan frekuensi menurut service seperti ditunjukkan
gambar 7.4 menunjukkan bahwa penggunaan frekuensi menurut service masih didominasi
oleh penggunaan untuk jenis fixed service. Proporsi penggunaan jenis service fixed telepon
sampai semester I tahun 2010 ini mencapai 60,2% dari total penggunaan. Proporsi ini lebih
tinggi dibanding penggunaan tahun sebelumnya yang berkisar antara 56% sampai 58%.
Peningkatan proporsi penggunaan fixed service ini sejalan dengan peningkatan
penggunaannya yang cukup besar pada tahun 2010 ini dibanding jenis service yang lain.
Proporsi penggunaan yang relatif besar juga terjadi untuk penggunaan jenis service land
mobile (public) dan land mobile (private) yaitu masing-masing sebesar 27,1% dan 10,6%.
Sementara untuk jenis service lain proporsi penggunaannya masih rendah karena
penggunaanya juga relatif kecil dibanding ketiga jenis service frekuensi tersebut.
Gambar 7.4 Komposisi penggunaan frekuensi menurut service tahun 2008 – semester I 2010
120%
100%
80%
60%
40%
20%
0%
Satellite
2008
0,3%
2009
0,2%
2010*
0,3%
Maritim
0,0%
2,1%
1,1%
Land Mobile (Public)
24,2%
26,6%
27,1%
Land Mobile (Private)
18,4%
11,4%
10,6%
Fixed Service
56,4%
58,6%
60,2%
Broadcast (TV & Radio)
0,8%
0,6%
0,6%
Aeronautical/Penerbangan
0,0%
0,3%
0,2%
Jika dilihat lebih rinci penggunaan frekuensi sampai dengan penggunaan untuk masingmasing subservice menunjukkan bahwa penggunaan untuk fixed service memang jauh lebih
besar dibanding penggunaan untuk subservice lainnya. Diantara penggunaan untuk service
fixed service, penggunaan terbesar untuk subservice-nya adalah untuk subservice PP.
Proporsi penggunaan subservice PP ini mencapai 57,5% dari total penggunaan seluruh
subservice frekuensi. Sementara proporsi penggunaan untuk subservice lain pada Fixed
service ini jauh lebih kecil dibanding proporsi penggunaan untuk subservice PP. Proporsi
penggunaan subservice PMP misalnya hanya 3.11% dari total penggunaan subservice.
Penggunaan menurut subservice ini yang cukup tinggi juga justru terjadi pada kelompok
service Land Mobile (public) yaitu untuk jenis subservice GSM/DCS dan pada kelompok
service land mobile (private) yaitu untuk subservice standard. Proporsi penggunaan untuk
subservice GSM/DCS mencapai 26,4% dari total penggunaan frekuensi menurut subservice.
Sementara proporsi penggunaan untuk jenis subservice Standard mencapai 10,5%.
Penggunaan subservice GSM/DCS yang tinggi ini sejalan dengan semakin berkembangnya
industri telekomunikasi seluler dengan semakin banyaknya operator dan jangkauan oleh
masing-masing operator sehingga semakin banyak menara pemancar (BTS) yang didirikan.
Namun proporsi penggunaan subservice GSM DCS sampai semester I tahun 2010 ini masih
lebih rendah dari proporsi penggunaannya selama tahun 2009.
Proporsi penggunaan frekuensi untuk subservice lainnya tergolong kecil-kecil bahkan jauh
dibawah tiga subservice tersebut. Penggunaan subservice lainnya kurang dari 1% kecuali
untuk penggunaan subservice frekuensi PMP. Proporsi penggunaan untuk jenis subservice
ini mencapai 3,1% dari total penggunaan. Penggunaan paling rendah adalah untuk satellite
yang proporsinya hanya 0,002% dari total penggunaan frekuensi menurut subservice.
Gambar 7.5. Komposisi Penggunaan Frekuensi menurut Service dan Subservice Tahun 2010 (8 Juli)
Land
Mobile
(Public)
Land Mobile
(Private)
Satellite
0,26%
VSAT 0,159%
Satellite 0,001%
Earth Mobile 0,019%
Earth Fixed 0,079%
Trungking 0,056%
IS95 0,962%
GSM/DCS 26,374%
27,39%
Trungking 0,151%
Taxi 0,098%
Standard 10,543%
Paging 0,003%
10,80%
PP Private 0,308%
PP 57,531%
PMP Private 0,004%
60,95%
PMP 3,111%
0,60%
TV 0,160%
Fixed Service
FM 0,323%
Broadcast
DVB-T 0,003%
AM 0,116%
Kanal Frekuensi
7.3.3. Penggunaan Menurut Propinsi
Tabel 7.4 menunjukkan penggunaan frekuensi menurut service dan subservice untuk
masing-masing pulau besar propinsi. Dari tabel tersebut terlihat bahwa penggunaan
frekuensi untuk subservice paling besar adalah di pulau Jawa dan diikuti oleh Sumatera.
Sementara untuk propinsi, pengguna terbesar frekuensi menurut subservice adalah di Jawa
Barat, diikuti Jawa Timur dan DKI Jakarta. Proporsi penggunaan frekuensi menurut
subservice di Jawa Barat mencapai 14,8% dari total penggunaan di seluruh propinsi,
sementara proporsi penggunaan di Jawa Timur mencapai 11,9%. Secara total proporsi
penggunaan frekuensi menurut subservice di tiga propinsi di Pulau Jawa ini mencapai 37,4%
dari total penggunaan frekuensi di seluruh Indonesia.Sementara proporsi penggunaan
frekuensi di propinsi-propinsi di Kawasan Timur Indonesia tergolong sangat rendah dimana
proporsinya tidak ada yang mencapi 0,5% dari total penggunaan frekuensi.
Dari
jenis
subservice
yang
digunakan
untuk
masing-masing
propinsi,
terdapat
kecenderungan proporsi penggunaan yang sama dimana pada hampir semua propinsi,
subservice PP (fixed service) dan GSM/DCS (land mobile (public) menjadi yang paling banyak
digunakan. Proporsi penggunaan subservice PP rata-rata sekitar 52.4% dari total
penggunaan frekuensi dengan terbesar di Gorontalo dan Jakarta yang proporsinya mencapai
63,9% dan 63,5% dibandingkan dengan total penggunaan frekuensi semua subservice di
propinsi tersebut. Namun penggunaan subservice PP di beberapa propinsi di kawasan timur
Indonesia seperti Maluku, Maluku Utara dan Papua relatih rendah dengan proporsi yang
kurang dari 30%. Demikian juga dengan proporsi penggunaan frekuensi untuk subservice
GSM yang proporsinya kurang dari 20% di ketiga propinsi tersebut. Jenis subservice yang
digunakan pada ketiga propinsi tersebut justru adalah frekuensi untuk subservice Standard
(land mobile private). Proporsi penggunaan subservice di ketiga propinsi tersebut mencapai
lebih dari 50%. Penggunaan jenis subservice standard yang proporsinya relatif besar di
ketiga propinsi tersebut diduga terkait dengan penggunaan untuk kebutuhan khusus.
Sementara untuk semua propinsi menunjukkan bahwa penggunaan subservice yang paling
rendah adalah untuk DVB-T (broadcast), PMPM private (Fixed Service), Paging (Land Mobile
private) dan Trunking (land mobile public). Bahkan penggunaan subservice DVB-T,
penggunaanya hanya terdapat di propinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sementara
penggunaan subservice PMP Private hanya digunakan di propinsi Riau, DKI Jakarta dan Jawa
Barat. Penggunaan subservice paging (land mobile private) hanya digunakan di propinsi
Sumatera Barat, DKI Jakarta dan Kalimantan Barat. Sedangkan subservice Trunking (land
mobile (public) tidak digunakan di wilayah Sulawesi serta di Indonesia Timur hanya
digunakan di Papua. Dari pola penggunaan ini terlihat bahwa meskipun DKI Jakarta bukan
propinsi yang menggunakan frekuensi paling banyak, namun semua jenis subservice
frekuensi digunakan di propinsi ini.
Dengan beragam kegiatan yang berlangsung di
wilayahnya dan dinamika kota yang tinggi sebagai pusat pemerintahan dan pusat kegiatan
ekonomi dan bisnis menjadikan semua jenis subservice frekuensi digunakan untuk
memenuhi kebutuhan tersebut.
Meskipun Jakarta bukan merupakan propinsi yang
menggunakan frekuensi paling banyak, namun semua
jenis subservice frekuensi digunakan di Jakarta. Hal ini
terkait dengan penggunaanya untuk beragam kegiatan
yang menunjang posisi Jakarta sebagai pusat
pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi/bisnis dengan
dinamika sosial penduduk yang tinggi
Tabel 7.5. Penggunaan Frekuensi menurut Propinsi, Service dan Subservice sampai Desember 2010 (satuan : pemancar stasiun radio)
Sampai 8 Juli 2010
7.3.4. Pola Penggunaan menurut Wilayah Kepulauan
Penggunaan frekuensi menurut service menunjukkan pola penggunaan dan intensitas
penggunaan yang berbeda untuk tiap jenis subservice antar wilayah kepulauan. Gambar 7.6
yang menunjukkan penggunaan frekuensi menurut service untuk wilayah kepulauan
Sumatera menunjukkan intensitas penggunaan yang masih relatif rendah meskipun
sebagian propinsi masuk pada level intensitas penggunaan menengah. Pada wilayah ini,
penggunaan frekuensi menurut service yang terbesar adalah dua propinsi Sumatera Utara,
diikuti dengan propinsi Riau. Penggunaan frekuensi yang relatif cukup terlihat tinggi juga
terjadi di propinsi Sumatera Selatan dan Lampung. Penggunaan frekuensi menurut service
yang rendah terjadi di propinsi Bengkulu dan Bangka Belitung. Dari sisi jumlah
penggunaanya, jenis service untuk broadcast dan satelitte relatif sangat rendah
penggunaannya di wilayah Sumatera ini.
Jika dilihat dari propinsi dengan penggunaan frekuensi yang besar, secara implisit
menunjukkan bahwa daerah-daerah dengan penggunaan frekuensi yang besar juga
menunjukkan tingkat perkembangan yang lebih maju dan dinamika sosial ekonomi
masyarakat yang lebih tinggi. Pada daerah-daerah yang pembangunanya lebih maju dan
tingkat perekonomian lebih tinggi seperti Sumatera Utara, Riau dan Lampung menunjukkan
penggunaan frekuensi yang relatif lebih tinggi dibanding propinsi lain di Pulau Sumatera.
Dari sisi jenis service yang digunakan, penggunaan frekuensi untuk Fixed service juga masih
yang paling tinggi di semua propinsi di wilayah ini. Penggunaan jenis Fixed service yang
paling tinggi di wilayah ini juga diikuti dengan penggunaan total frekuensi yang paling tinggi.
Hal ini dapat dipahami mengingat penggunaan untuk fixed service ini sangat dominan
dibanding service lainnya.
Gambar 7.6. Penggunaan Frekuensi menurut Service di wilayah Sumatera
30000
25000
20000
15000
10000
5000
0
Broadcast
Fixed Service
Land Mobile (private)
Land Mobile (public)
Satelite
Penggunaan frekuensi menurut service di Pulau Jawa yang diperlihatkan pada gambar 7.7
menunjukkan bahwa penggunaan frekuensi di Pulau Jawa jauh lebih tinggi dibanding
propinsi-propinsi lainnya. Penggunaan frekuensi untuk jenis fixed service di satu propinsi di
Jawa bahkan bisa lebih besar daripada penggunaan semua jenis frekuensi di satu propinsi di
Sumatera. Penggunaan frekuensi di Pulau Jawa paling banyak terdapat di Jawa Barat, diikuti
oleh Jawa Timur dan DKI Jakarta. Penggunaan frekuensi yang relatif rendah di Pulau Jawa
terdapat di propinsi Yogyakarta.
Dari sisi jenis service yang digunakan, sebagaimana di Pulau Sumatera, penggunaan jenis
service Frekuensi di Pulau Jawa paling banyak adalah untuk jenis fixed service, diikuti
dengan penggunaan untuk jenis land mobiel (public). Penggunaan land mobile (public
bahkan tergolong cukup tinggi di Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Penggunan jenis
service land mobile public yang tinggi ini terkait dengan penggunaan untuk subservice GSM
yang semakin banyak di wilayah-wilayah tersebut dengan semakin banyaknya operator
seluler dan menjadikan wilayah Jawa sebagai pasar utamanya. Penggunaan frekuensi
menurut service yang jauh lebih besar di pulau Jawa ini juga sejalan dengan jumlah
penduduk yang lebih tinggi, tingkat kemajuan daerah serta dinamika kegiatan sosialekonomi masyarakat yang lebih tinggi di Pulau Jawa dibandingkan dengan propinsi lain.
Gambar 7.7. Penggunaan Frekuensi menurut Service di wilayah Jawa
30000
25000
20000
15000
10000
5000
0
Banten
Broadcast
DIY
Fixed Service
DKI Jakarta
Jawa Barat
Land Mobile (private)
Jawa Tengah Jawa Timur
Land Mobile (public)
Satelite
Penggunaan frekuensi menurut service di wilayah Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara
menunjukkan kuantitas penggunaan yang juga rendah sebagaimana propinsi di luar Jawa.
Penggunaan yang relatif tinggi hanya terjadi di propinsi Bali dan Sulawesi Selatan namun
dengan tingkat penggunaan yang juga tidak terlalu tinggi. Sementara penggunaan frekuensi
untuk propinsi Gorontalo sangat rendah. Hal ini diduga terkait dengan propinsi yang masih
baru dan belum banyak berkembang sehinga dinamika kegiatan masyarakat yang
membutuhkan penggunaan frekuensi juga relatif rendah. Pola penggunaan frekuensi di
wilayah Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara ini secara implisit juga menunjukkan adanya
korelasi yang kuat antara tingkat kemajuan dan perkembangan daerah serta dinamika
kegiatan sosial ekonomi masyarakat dengan penggunaan frekuensi menurut service. Pada
propinsi Bali meskipun wilayahnya tidak terlalu luas, namun penggunaan frekuensi
khususnya untuk jenis fixed service cukup tinggi. Hal ini karena banyaknya kegiatan bisnis
yang berkembang di Bali sebagai daerah tujuan pariwisata sehingga intensitas penggunaan
frekuensi cukup tinggi. Di masa datang, dengan penggunaan perangkat teknologi informasi
yang lebih tinggi (termasuk dengan mendorong usaha kecil dan menengah menggunakan
perangkat TI) untuk mendukung kegiatan usahanya, penggunaan frekuensi di Bali diduga
akan semakin tinggi.
Kondisi yang sama namun berbeda dari sisi geografis terjadi di Suawesi Selatan. Meskipun
wilayahnya cukup luas, namun penggunaan frekuensi yang tinggi di propinsi ini diduga lebih
disebabkan oleh masyarakat yang lebih maju dan dinamis serta lebih tingginya intensitas
kegiatan bisnis, sosial dan pemerintahan di wilayah ini. Di wilayah Sulawesi Tengah dan
Sulawesi Tenggara yang wilayahnya juga cukup luas justru tidak menunjukkan penggunaan
frekuensi yang tinggi. Hal yang menarik justru ditunjukkan oleh propinsi Nusa Tenggara
Timur. Meskipun tingkat kemajuan masyarakat dan dinamika kegiatan sosial ekonomi
diwilayah ini tidak lebih tinggi di banding daerah-daerah di Sulawesi (kecuali Sulawesi
Selatan), namun menunjukkan penggunaan frekuensi yang relatif lebih tinggi. Hal ini diduga
terkait dengan kebutuhan untuk penggunaan untuk kebutuhan khusus dengan keberadaan
perusahaan pertambangan atau kebutuhan khusus lainnya.
Gambar 7.8. Penggunaan Frekuensi menurut Service di wilayah Bali, Nusa Tenggara dan Sulawesi
30.000
25.000
20.000
15.000
10.000
5.000
0
Bali
Broadcast
NTB
Fixed Service
NTT
Gorontalo
Sulsel
Land Mobile (private)
Sulteng
Sultra
Land Mobile (public)
Sulut
Satelite
Penggunaan frekuensi untuk wilayah Kalimantan dan Kawasan Timur Indonesia (KTI)
menunjukkan tingkat penggunaan yang rendah khususnya di Kawasan Timur Indonesia.
Bahkan jika dilihat pada gambar 7.9 terlihat adanya kesenjangan yang cukup besar antara
penggunaan frekuensi di wilayah Kalimantan dengan Kawasan Timur Indonesia. Hal ini
secara tidak langsung juga menunjukkan kesenjangan penggunaan teknologi informasi
diantara kedua kawasan tersebut dan ketertinggalan yang cukup parah dalam penggunaan
teknologi informasi di Kawasan Timur Indonesia. Pada wilayah ini, penggunaan frekuensi
paling banyak terjadi di Kalimantan Timur yang memang memiliki kegiatan bisnis dan
ekonomi paling tinggi, disusul Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan.
Penggunaan frekuensi paling banyak juga masih untuk jenis fixed service terutama di
Kalimantan Timur. Namun terdapat perbedaan yang cukup menarik dalam penggunaan jenis
frekuensi berikutnya. Jika di propinsi lain di Kalimantan penggunaan terbanyak kedua adalah
untuk jenis land mobile (public) yang diduga terkait dengan penggunaan untuk subservice
GSM/DCS, namun penggunaan terbanyak kedua di Kalimantan Timur adalah untuk service
land mobile (private). Jenis service land mobile (private) juga menjadi jenis frekuensi yang
terbanyak digunakan di Maluku dan Papua, dua propinsi yang relatif signifikan penggunaan
frekuensinya dibanding dua propinsi lain di kawasan Timur Indonesia. Penggunaan jenis
service land mobile (private) yang tinggi di tiga propinsi ini diduga terkait penggunaan untuk
kegiatan perusahaan/bisnis yang banyak berkembang di tiga daerah tersebut yaitu
pertambangan di Kalimantan Timur dan Papua serta perikanan di Maluku.
Gambar 7.9. Penggunaan Frekuensi menurut Service di wilayah Kalimantan, Maluku dan Papua
30.000
25.000
20.000
15.000
10.000
5.000
0
Kalbar
Broadcast
Kalsel
Kalteng
Fixed Service
Kaltim
Irjabar
Land Mobile (private)
Maluku
Maluku
Utara
Land Mobile (public)
Papua
Satelite
Penggunaan jenis service land mobile (private) yang lebih
tinggi di Kalmantan Timur, Maluku dan Papua dibandingkan
dengan Land Mobile (public) diduga terkait dengan
penggunaan untuk kebutuhan perusahaan bisnis yang
berkembang di ketiga propinsi tersebut yaitu pertambangan di
Kalimantan Timur dan Papua dan perikanan di Maluku.
7.4. Perbandingan Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dengan Jumlah
Penduduk dan Luas Wilayah
Perbandingan
penggunaan
spektrum
frekuensi
radio
antar
propinsi
dengan
membandingkannya dengan jumlah penduduk dan luas wilayah perlu dilakukan agar dapat
diketahui penyebaran penggunaan dan peruntukan frekuensi di suatu daerah secara tepat.
Beberapa jenis spektrum frekuensi penggunaanya mungkin dipengaruhi oleh kepadatan
penduduk di wilayah tersebut. Artinya untuk daerah dengan tingkat kepadatan penduduk
tinggi, penggunaan spektrum frekuensinya akan semakin besar untuk melayani penduduk
tersebut meskipun wilayahnya tidak luas. Sementara untuk jenis spektrum frekuensi lain,
penggunannya mungkin tergantung dengan luasan wilayah. Artinya untuk wilayah yang luas,
penggunaan spektrum services frekuensinya akan semakin besar.
Pada bagian ini,
perbandingan pengukuran penggunaan frekuensi dilakukan terhadap beberapa subservice
utama yaitu frekuensi TV, Radio AM, Radio FM dan GDM/DCS.
7.4.1. Frekuensi TV
Perbandingan penggunaan frekuensi TV dengan jumlah penduduk dan luas wilayah menurut
propinsi di Sumatera dan Jawa menunjukkan bahwa pola penggunaann frekuensi TV lebih
memiliki korelasi dengan jumlah penduduk atau wilayah administratifnya. Penggunaan
frekuensi TV cenderung relatif lebih tinggi pada daerah-daerah dengan jumlah penduduk
tinggi dan tersebar di propinsi tersebut seperti di Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah
meskipun luas wilayahnya tidak terlalu besar. Sementara untuk propinsi-propinsi yang
memiliki wilayah yang lebih luas seperti Riau, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara tidak
menunjukkan penggunaan frekuensi TV yang cukup tinggi. Beberapa propinsi dengan
wilayah yang tidak terlalu luas dan penduduk yang tidak besar menunjukkan penggunaan
frekuensi yang semakin rendah.
Gambar 7.10A. Perbandingan Jumlah Frekuensi TV dengan Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah.
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
TV
Penduduk (x 100.000)
Luas Wilayah (x1000)
Sementara untuk wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Kawasan Timur
Indonesia, penggunaan frekuensi TV meskipun juga memiliki korelasi kuat dengan jumlah
penduduk, namun memperhatikan juga luasan wilayah. Penggunaan frekuensi untuk
wilayah yang memiliki penduduk relatif besar seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan dan Sulawesi Tengah menunjukkan penggunaan frekuensi yang lebih
besar dibanding daerah dengan penduduk lebih sedikit seperti Kalimantan Tengah, Maluku
Utara dan Irian Jaya Barat. Namun penggunaan frekuensi TV ini relatif rendah di Nusa
Tenggara meskipun memiliki jumlah penduduk yang cukup besar. Sementara untuk
beberapa propinsi lain, luasan wilayah cukup mempengaruhi penggunaan jenis service
frekuensi TV. Di propinsi Papua misalnya yang wilayahnya leih luas menunjukkan peggunaan
frekuensi TV yang lebih besar dibanding Nusa Tenggara dan Sulawesi Tenggara yang
memiliki jumlah penduduk lebih banyak.
Pada daerah dengan tipologi daratan yang memanjang juga menunjukkan penggunaan
frekuensi yang juga tinggi dibanding daerah yang tidak memanjang. Penggunaan frekuensi
TV di Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan yang memiliki karakteristik
wilayah yang memanjang menunjukkan jumlah penggunaan yang lebih besar daripada
penggunaan frekuensi di Kalimantan Timur atau Kalimantan Tengah yang wilayahnya lebih
luas atau dinamika ekonominya lebih tinggi. Hal ini diduga terkait dengan kebutuhan
persebaran pemancar yang lebih besar untuk daerah dengan geografis memanjang.
Gambar 7.10B. Perbandingan Jumlah Frekuensi TV dengan Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
TV
Penduduk (x 100.000)
Luas Wilayah (x1000)
Penggunaan
frekuensi
TV
menunjukkan
pola
penggunaan yang lebih tinggi pada daerah-daerah
dengan jumlah penduduk lebih tinggi dan tersebar pada
propinsi tersebut dibanding pada daerah dengan jumlah
penduduk lebih sedikit. Namun untuk kawasan Timur
Indonesia, wilayah yang luas dan bentuk geografis yang
memanjang juga menunjukkan korelasi positif dengan
jumlah penggunaan frekuensi
7.4.2. Frekuensi Radio AM
Pola perbandingan antara penggunaan frekuensi radio AM dengan jumlah penduduk dan
wilayah menunjukkan hal yang hampir serupa dengan penggunaan frekuensi TV dimana
penggunaan frekuensi radio cenderung tinggi pada daerah dengan penduduk yang tinggi
dan tersebar. Lebih spesifik lagi, penggunaan frekuensi radio AM menunjukkan jumlah yang
tinggi pada propinsi dengan darah perkotaan yang banyak dan tersebar seperti di Jawa
Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara untuk wilayah DKI Jakarta dan di Jogjakarta
meskipun merupakan daerah perkotaan dengan jumah penduduk cukup besar, namun
daerah perkotaanya relatif terpusat. Disamping itu, dengan kondisi perkotaan yang sudah
maju, penggunaan frekuensi radio diduga lebih banyak untuk frekuensi radio FM dibanding
AM. Dari pola penggunaan diwilayah Sumatera, Jawa dan Bali ini juga terlihat bahwa
penggunaan frekuensi radio AM relatif tinggi pada propinsi yang memiliki banyak daerah
perkotaan menengah dan jumlah penduduk relatif besar seperti ditunjukkan Sumatera
Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Gambar 7.11A. Perbandingan Penggunaan Frekuensi AM dengan Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
AM
Penduduk (x 100.000)
Luas Wilayah (x1000)
Sementara penggunaan frekuensi radio AM di wilayah tengah dan Timur Indonesia
menunjukkan tingkat penggunaan yang relatif lebih rendah dibanding propinsi-propinsi di
bagian Barat Indonesia. Penggunaan frekuensi radio AM dengan luas wilayah dan jumlah
penduduk menunjukkan bahwa penggunaan frekuensi radio AM ini lebih menunjukkan
korelasi dengan jumlah penduduk daripada luas wilayah. Propinsi-propinsi dengan
kepadatan penduduk tinggi seperti Kalimantan Selatan dan Suawesi Selatan menunjukkan
penggunaan frekuensi radio AM yang lebih tinggi dibanding propinsi lain. Hal ini terkait
dengan sasaran dari penggunaan frekuensi radio AM yang banyak untuk kebutuhan
komersial sehingga memperhatikan potensi pasar (penduduk) dari pengguna frekuensi radio
AM tersebut. Namun untuk Kalimantan Timur yang memiliki daerah perkotaan relatif lebih
maju, penggunaan frekuensi radio AM yang rendah diduga karena sebagian sudah beralih
menggunakan frekuensi radio FM dengan kualitas yang lebih baik .
Gambar 7.11B. Perbandingan Penggunaan Frekuensi AM dengan Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
AM
Penduduk (x 100.000)
Luas Wilayah (x1000)
7.4.3. Frekuensi Radio FM
Seperti telah diduga, terdapat korelasi negatif antara penggunaan frekuensi FM dengan
frekuensi AM pada daerah-daerah tertentu khususnya di perkotaan dengan luas wilayah
yang tidak besar namun padat penduduk. Disamping itu, perbandingan antara penggunaan
frekuensi dengan luas wilayah dan jumlah penduduk untuk frekuensi FM menunjukkan pola
yang berbeda dengan penggunaan frekuensi AM. Penggunaan frekuensi FM di Sumatera
dan Jawa menunjukkan jumlah yang tinggi pada propinsi-propinsi yang banyak memiliki
daerah perkotaan seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Utara. Bahkan
untuk daerah perkotaan padat, penggunaan frekuensi FM ini relatif tinggi dibandingkan
dengan jumlah penduduknya seperti untuk wilayah DKI Jakarta, DI Yogyakarta dan Bali.
Penggunan frekuensi FM pada daerah-daerah ini lebih menunjukkan korelasi dengan
dinamika perkembangan wilayah daripada dengan jumlah penduduk dan luas wilayah. Hal
ini semakin terlihat dengan rendahnya penggunaan frekuensi FM pada daerah-daerah yang
relatif belum berkembang maju seperti Bengkulu, Bangka Belitung dan Kepulauan Riau
seperti terlihat pada gambar 7.12A.
Gambar 7.12A. Perbandingan Penggunaan Frekuensi FM dengan Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
FM
Penduduk (x 100.000)
Luas Wilayah (x1000)
Penggunaan frekuensi FM pada wilayah Tengah dan Timur Indonesia juga menunjukkan
tidak terlalu ada korelasi yang kuat antara penggunaan frekuensi FM dengan jumlah
penduduk dan luas maupun topografi wilayah. Penggunaan frekuensi FM di Kalimantan
misalnya justru menunjukkan penggunaan yang relatif tinggi pada daerah yang jumlah
penduduknya lebih rendah seperti di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Namun
jika dilakukan perbandingan antara penggunaan frekuensi FM di Kalimantan dan Sulawesi
terdapat kecenderungan penggunaan frekuensi FM relatif lebih besar pada propinsi yang
memiliki wilayah lebih luas. Pada kawasan Tengah dan Timur Indonesia ini, penggunaan
frekuensi FM di Nusa Tenggara menunjukkan jumlah yang relatif cukup besar jika dikaitkan
dengan jumlah penduduknya dibanding propinsi-propinsi lain.
Gambar 7.12B. Perbandingan Penggunaan Frekuensi FM dengan Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
FM
Penduduk (x 100.000)
Luas Wilayah (x1000)
7.4.4. Frekuensi GSM
Diantara jenis subservice frekuensi yang penggunaanya diperbandingkan dengan luas
wilayah dan jumlah penduduk, frekuensi GSM adalah jenis service yang penggunaannya
paling besar dibandingkan jenis service frekuensi lain. Hal ini tidak terlepas dari
perkembangan
telekomunikasi
seluler
yang
sangat
pesat di
Indonesia
dengan
memanfaatkan pasar yang sangat besar dari jumlah penduduk Indonesia. Persebarannya
juga sangat dipengaruhi oleh geografi Indonesia yang sangat tersebar (memanjang) dan
terdiri atas pulau-pulau besar dan kecil.
Penggunaan frekuensi GSM di wilayah Sumatera, Jawa dan Bali menunjukkan tingkat
penggunaan yang cukup tinggi sejalan dengan jumlah penduduk yang juga besar.
Perbandingan antara penggunaan frekuensi GSM dengan jumlah penduduk dan luas wilayah
di Sumatera dan Jawa juga menujukkan adanya korelasi antara jumlah penduduk dengan
penggunaan frekuensi GSM dimana penggunaan frekuensi GSM cenderung tinggi pada
daerah-daerah dengan jumlah dan kepadatan penduduk tinggi. Disamping itu pola
persebarannya juga menujukkan adanya pengaruh tingkat perkembangan wilayah terhadap
penggunaan frekuensi GSM. Khusus untuk DKI Jakarta, DI Jogjakarta dan Bali yang secara
keseluruhan wilayahnya memiliki tingkat kemajuan yang lebih tinggi dan penduduknya
padat, penggunaan frekuensi GSM bahkan cenderung tinggi meskipun wilayahnya kecil.
Untuk ketiga propinsi ini, dibandingkan luas wilayahnya, penggunan frekuensi GSM yang
mencerminkan keberadaan BTS untuk GSM sudah dalam tingkatan sangat padat dimana
penggunaan satu frekuensi GSM sebanding dengan luasan kurang dari 2,5 km2 untuk DI
Yogyakarta dan Bali dan bahkan kurang dari 0,1 km untuk DKI Jakarta.
Gambar 7.13A. Perbandingan Penggunaan Frekuensi GSM dengan Jumlah Penduduk dan Luas
Wilayah
45.000
40.000
35.000
30.000
25.000
20.000
15.000
10.000
5.000
0
GSM/DCS
Penduduk (x 1000)
Luas Wilayah (x10)
Perbandingan penggunaan frekuensi GSM dengan luas wilayah di kawasan Tengah dan
Timur Indonesia menunjukkan tingkat penggunaan yang belum terlalu padat. Penggunaaan
frekuensi GSM bahkan cenderung memiliki korelasi yang lebih kuat dengan jumlah
penduduk dimana penggunaannya relatif lebih tinggi pada daerah-daerah dengan jumlah
penduduk yang lebih tinggi seperti di NTB, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan.
Sementara pada propinsi yang wilayahnya luas seperti Papua, Irian Jaya Barat dan
Kalimantan Tengah, penggunaanya justru relatif rendah.
Secara umum juga tidak terdapat perbedaan yang signifikan alam penggunaan frekuensi
GSM antara propinsi-propinsi yang memiliki wilayah luas seperti di Kalimantan dan Papua
dengan propinsi-propinsi yang memiliki wilayah yang lebih kecil seperti di Nusa Tenggara,
Sulawesi dan Maluku. Bahkan untuk wilayah Maluku yang memiliki kondisi geografis
berbentuk kepulauan yang tersebar memanjang, penggunaan frekuensi GSM tidak
menunjukkan penggunaan yang tinggi. Secara implisit ini menujukkan penggunaan frekuensi
untuk jenis service GSM ini tidak tersebar mengikuti kondisi geografis.
Gambar 7.13B. Perbandingan Penggunaan Frekuensi GSM dengan Jumlah Penduduk dan Luas
Wilayah
45.000
40.000
35.000
30.000
25.000
20.000
15.000
10.000
5.000
0
GSM/DCS
Penduduk (x 1000)
Luas Wilayah (x10)
Tingginya penggunaan frekuensi GSM pada propinsi yang
wilayahnya tidak besar seperti DKI Jakarta, DI Yogyakarta
dan Bali secara implisit menunjukkan kepadatan menara
pemancar frekuensi GSM yang sudah sangat padat.
Sebaliknya penggunaan yang masih rendah di propinsi
yang geografisnya tersebar dalam kepulauan seperti di
Maluku menunjukkan belum terjadinya persebaran
penggunaan frekuensi GSM mengikuti sebaran kepulauan.
7.5. Penerbitan Izin Amatir Radio
Salah sat tugas pokok dan fungsi yang dimiliki oleh unit kerja di Direktorat Frekuensi adalah
penerbitan izin amatir radio untuk stasiun radio yang digunakan oleh berbagai pihak.
Penerbitan izin amatir radio ini merupakan bagian dari instrumen monitoring untuk
penggunaan frekuensi radio yang digunakan oleh publik. Terdapat tiga jenis izin amatir radio
yang dikeluarkan oleh Direktorat Frekuensi yaitu IAR, IKRAP dan SKAR.
Dari total izin amatir radio yang dikeluarkan, sebaran penerbitan izin amatir radio
menunjukkan paling banyak diterbitkan di Jawa Barat untuk semua jenis izin, diikuti di DKI
Jakarta dan Jawa Timur. Sebaran penerbitan izin amatir radio ini memang masih
terkonsentrasi di pulau Jawa dengan proporsi mencapai 74,3% dari total izin yang
diterbitkan. Bahkan untuk jenis IAR proporsinya mencapai 88,6% dari izin yang diterbitkan.
Hanya untuk jenis IKRAP saja yang proporsinya relatif rendah yaitu sekitar 39%. Proporsi
penerbitan izin di daerah-daerah di Jawa masing-masing adalah Jawa Barat (24,2%), DKI
Jakarta (19,2%) dan Jawa Timur (14%)
Daerah diluar Jawa yang cukup signifikan jumlah penerbitan izin amatir radio-nya adalah
Bangka Belitung, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Tingginya penerbitan izin amatir
radio di Bangka Belitung khusunya untuk jenis AIR dan IKRAP merupakan fenomena yang
menarik mengingat Bangka Belitung merupakan propinsi baru hasil pemekaran dan tingkat
kemajuan sosial-ekonomi maupun kepadatan penduduk yang belum tinggi. Faktor wilayah
geografis yang berbentuk kepulauan diduga menjadi faktor yang menyebabkan penerbitan
izin di Bangka Belitung cukup tinggi.
Gambar 7.14 .Sebaran penerbitan izin amatir radio menurut jenis izin dan propinsi.
800
700
600
500
400
300
200
100
0
DKI NAD
Ben Lam
Gor
Sum Sum Jam
Kepr Sum
Jalb Kals Kalt Jaba Jate Jati
Kalti Sulu Sult Suls Sultr Pap Irjab Mal Mal Bab
Bant
Riau
DIY Bali NTB NTT
gkul pun
onta
ut bar bi
i se
ar el eng r ng m
m t eng el a ua ar uku ut el
en
u
g
lo
Total 563 6 137 54 21 63
0
38
0
20 13 48
3 709 145 410 322 39
0
0
12 24
5 105 0
1
35
1
0 128 0
29
IAR
328 0
IKRAP 17
6
6
0
33
0
0
0
20 13 48
0 659 95 410 261 17
0
0
12
0
5
0
0
1
0
0
0
71
0
0
0
54 21 30
0
0
0
0
0
0
3
50 50
0
2
22
0
0
0
24
0
0
0
0
35
1
0
57
0
29
0
38
0
0
0
0
0
0
0
59
0
0
0
0
0
0 105 0
0
0
0
0
0
0
0
SKAR 218 0 131 0
0
0
0
0
Jika dilihat komposisi untuk masing-masing jenis ijin, paling banyak diterbitkan adalah untuk
jenia IAR, diikuti oleh SKAR dan IKRAP. Secara total penerbitan ijin untuk IAR mencapai 68%,
sementara untuk IKRAR dan SKAR komposisinya hanya 19% dan 14%. Komposisi menurut
daerah juga menunjukkan pada sebagian besar daerah , proporsi izin IAR adalah yang paling
besar seperti ditunjukkan pada gambar 7.15. Namun pada beberapa daerah lain, proporsi
penerbitan untuk SKAR lebih besar seperti di Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan dan
Sumatera Utara. Sementara daerah dengan proporsi penerbitan IKRAR lebih tinggi terdapat
di Banten, Maluku, Irian Jaya Barat, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, Jambi dan Sumatera
Barat. Namun pada daerah-daerah tersebut, penerbitan izin secara total tidak terlalu besar.
Gambar 7.15. Komposisi izin amatir radio menurut jenis izin di tiap propinsi
Total
Banten 0%
Babel
Maluku 0%
Irjabar 0%
Papua
Sulsel 0%
Sulteng
Sulut 0%
Kaltim
Bali
DIY
Jatim
Jateng
Jabar
Kalteng 0%
Kalsel
Jalbar
Lampung
Sumse 0%
Riau
Jambi 0%
Sumbar 0%
Sumut 4%
0%
NAD 0%
DKI
0%
68%
14%
19%
100%
55%
45%
100%
100%
100%
0%
100%
100%
100%
0%
0%
44%
56%
81%
1%
100%
0%
66%
34%
93%
100%
100%
100%
100%
7%
0%
0%
0%
52%
48%
100%
100%
100%
58%
20%
IAR
3%
40%
IKRAR
60%
SKAR
80%
100%
Download