HASIL Parameter Utama Parameter utama hasil

advertisement
42
HASIL
Parameter Utama
Parameter utama hasil pengamatan pemberian hormon tiroksin terhadap
reproduksi ikan nila yang dipelihara pada media bersalinitas terdiri dari hepato
somatik indeks (HSI, %), diameter telur (DM, mm), gonad somatik indeks
(GSI,%), dan fekunditas (FK, butir/ekor).
Hepato Somatik Indeks (HSI, %)
Perubahan nilai HSI terjadi seiring dengan terjadinya proses sintesis
vitelogenin selama perkembangan gonad. Sintesis vitelogenin dalam tubuh ikan
terjadi di hati, merupakan komponen utama dari oosit yang sedang tumbuh. Dari
Gambar 5 dapat dilihat bahwa persentase nilai HSI terus meningkat dari minggu
pertama hingga minggu ke-8 pemeliharaan. Sebagian besar perlakuan mencapai
persentase nilai tertinggi (optimal) pada minggu ke-6, kemudian pada beberapa
perlakuan mulai terlihat menurun pada minggu ke-8 pemeliharaan.
Keterangan: (A) Tiroksin 0 ng/g bobot tubuh, salinitas 0 ppt; (B) 0,10; (C) 0,20; (D) 50,0; (E)
50,10; (F) 50,20; (G) 100,0; (H) 100,10; (I) 100,20
Gambar 5. Perkembangan persentase nilai hepato somatik indeks ikan nila merah
(Oreochromi sp.) pada masing masing perlakuan selama pemeliharaan
(M0-M8 = Minggu ke-0 sampai ke-8)
43
Nilai HSI ikan nila meningkat seiring dengan peningkatan salinitas media
pemeliharaan hingga 10 ppt, dan menurun apabila dipelihara pada salinitas 20 ppt
(Tabel 3).
Tabel 3.
Nilai rataan hepato somatik indeks (HSI, %) ikan nila merah
(Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas
Tiroksin (T4)
(ng/g BT)
0
50
100
X
0
0,47+0,106
1,54+0,121
1,47+0,109
1,16+0,112b
Salinitas (ppt)
10
20
1,54+0,053
1,33+0,093
1,60+0,145
1,43+0,065
1,61+0,226
1,38+0,085
a
1,58+0,141
1,38+0,081b
X
1,11+0,084a
1,52+0,110a
1,49+0,140a
Huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukan adanya pengaruh perlakuan
pada P<0,05. (BT= Bobot tubuh).
Persentase nilai HSI meningkat dengan pemberian tiroksin. Pada
perlakuan C (T4 0 ng/g BT, salinitas 0 ppt) mengalami peningkatan dari
1,33+0,093 % menjadi 1,43+0,065 % dengan pemberian T4 50 ng/g BT
(Perlakuan F), namun secara statistik tidak memberikan perbedaan secara nyata
antar perlakuan. Hal yang sama terjadi pada kombinasi atau interaksi antara T 4
dengan salinitas (P>0,05). Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa nilai HSI ikan nila
pada perlakuan C adalah 1,33+ 0,093 % meningkat menjadi 1,54+ 0,053 % pada
perlakuan B (T4 0 ng/g BT, salinitas 10 ppt). Secara statistik menunjukkan bahwa
pemeliharaan ikan pada media bersalinitas berpengaruh terhadap nilai HSI
(Lampiran 8). Nilai HSI tertinggi diperoleh pada ikan yang dipelihara pada
salinitas 10 ppt dengan rataan persentase nilai HSI sebesar 1,58+0,141 %. Pada
salinitas 0 ppt dan 20 ppt memberikan pengaruh yang sama terhadap persentase
nilai HSI ikan nila.
Diameter Telur
Diameter telur merupakan garis tengah telur atau ukuran panjang dari
suatu telur yang diukur dengan mikrometer berskala. Dalam satu tingkat
kematangan gonad (TKG), diameter telur yang dikandung tidak homogen.
Berdasarkan hasil statistik, pemberian interaksi hormon tiroksin dengan
pemeliharaan ikan pada beberapa media salinitas tidak memberikan pengaruh
nyata terhadap diameter telur ikan nila (P<0,05) (Tabel 4) namun perkembangan
44
tiap perlakuan dari minggu ke-2 hingga minggu ke-8 terlihat pola yang terus
meningkat. Sebagian besar perlakuan mencapai nilai maksimum pada minggu ke6 dan ke-8 (Gambar 6).
Keterangan: (A) tiroksin 0 ng/g bobot tubuh, salinitas 0 ppt; (B) 0,10; (C) 0,20; (D) 50,0; (E)
50,10; (F) 50,20; (G) 100,0; (H) 100,10; (I) 100,20
Gambar 6. Perkembangan diameter telur (DM, mm) ikan nila merah
(Oreochromis sp.) pada masing-masing perlakuan selama
pemeliharaan (M0-M8= Minggu ke-0 sampai ke-8).
Tabel 4.
Nilai rataan diameter telur (DM, mm) ikan nila merah (Oreochromis
sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas
Tiroksin (T4)
(ng/g BT)
0
50
100
0
1,51+0,030a
1,54+0,073a
1,52+0,014a
Salinitas (ppt)
10
1,51+0,008a
1,52+0,018a
1,54+0,080a
20
1,47+0,094a
1,50+0,047a
1,48+0,024a
Huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukan adanya pengaruh perlakuan
pada P<0,05
Gonad Somatik Indeks (GSI, %)
Nilai rataan GSI ikan nila dari masing-masing perlakuan selama
pemeliharaan memperlihatkan pola yang terus meningkat hingga minggu ke-6.
Pada minggu ke-8, nilai GSI pada sebagian besar perlakuan terlihat mulai
menurun (Gambar 7).
45
Keterangan: (A) tiroksin 0 ng/g bobot tubuh, salinitas 0 ppt; (B) 0,10; (C) 0,20; (D) 50,0;
(E) 50,10; (F) 50,20; (G) 100,0; (H) 100,10; (I) 100,20.
Gambar 7. Perkembangan perkembangan nilai GSI ikan nila merah (Oreochromis
sp.) pada masing-masing perlakuan selama pemeliharaan
Nilai GSI tertinggi diperoleh pada perlakuan H (T 4 100 ng/g BT, salinitas
10 ppt) dengan nilai rataan optimal mencapai 2,44+0,181 % (Tabel 5). Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian tiroksin juga dapat meningkatkan nilai GSI,
namun tidak berbeda secara statistik.
Tabel 5. Nilai rataan gonad somatik indeks (GSI, %) ikan nila merah
(Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas
Tiroksin (T4)
(ng/g BT)
0
50
100
X
0
3,23+0,856
2,28+0,155
1,81+0,181
2,44+0,500a
Salinitas (ppt)
10
20
X
2,46+0,451 1,59+0,193 2,43+1,500a
2,04+0,102 1,64+0,135 1,98+0,131a
2,44+0,181 1,87+0,234 2,04+0,305a
1,98+0,131a 1,70+1,986b
Huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukan adanya pengaruh perlakuan
pada P<0,05. (BT= Bobot tubuh).
Berdasarkan analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terlihat interaksi
antara hormon tiroksin dengan salinitas dalam memberikan pengaruh terhadap
nilai GSI ikan nila (P>0,05). Pemeliharaan ikan nila pada media bersalinitas
mempengaruhi nilai GSI. Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa nilai rataan GSI
terendah diperoleh dari ikan yang dipelihara pada salinitas 20 ppt yaitu
1,70+1,986 % dan tertinggi pada ikan yang dipelihara pada salinitas 0 ppt dengan
46
rataan nilai GSI 2,44+0,500%, tidak berbeda secara signifikan dengan nilai GSI
ikan nila yang dipelihara pada salinitas 10 ppt. Pemberian dosis tiroksin meskipun
memberikan pengaruh yang berbeda terhadap nilai GSI antar perlakuan namun
secara statistik tidak menunjukkan perbedaan signifikan (Lampian 10).
Fekunditas (FK, butir/ekor)
Fekunditas merupakan jumlah telur yang akan dikeluarkan ikan pada saat
memijah; dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti nutrisi, hormon dan faktor
lingkungan. Berdasarkan hasil statistik menunjukkan bahwa interaksi perlakuan
tiroksin dengan salinitas media pemeliharaan terhadap nilai fekunditas adalah
berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 6).
Tabel 6. Nilai rataan fekunditas (FK, butir/ekor) ikan nila merah (Oreochromis
sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas
Tiroksin (T4)
(ng/g BT)
0
50
100
0
1219+35,8bb
1295+55,1bb
1156+33,7ab
Salinitas (ppt)
10
1301+47,1ba
1420+36,2ba
1477+24,2aa
20
828+20,8bc
949+68,1bc
1137+61,9ac
Huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukan adanya pengaruh interaksi
perlakuan pada P<0,05. (BT = Bobot tubuh).
Pada Tabel 6 terlihat bahwa interaksi perlakuan kombinasi T 4 100 ng/g BT
dan pemeliharaan pada media salinitas 10 ppt terhadap fekunditas rataan optimal
1477 butir/ekor (Perlakuan H) adalah sangat berbeda nyata (P<0,05). Nilai rataan
tertinggi selanjutnya berada pada perlakuan G (T4 100 ng/g BT, salinitas 10 ppt),
diikuti perlakuan E (50, 10), dan fekunditas terendah diperoleh pada perlakuan C
(0,20).
Pengaruh hormon tiroksin terhadap fekunditas ikan nila mengikuti pola
linier dengan persamaan y= 3,114x+811,9 dan nilai r 2= 0,75. Nilai fekunditas
semakin meningkat dengan meningkatnya dosis tiroksin yang diberikan (Gambar
8). Pengaruh salinitas terhadap nilai fekunditas mengikuti pola polynomial dengan
persamaan y=-3,87x2x+2050, artinya nilai fekunditas meningkat seiring dengan
peningkatan salinitas hingga 10 ppt dengan mencapai nilai rataan optimal 1477
47
butir/ekor dengan nilai r2= 0,78 dan penurunan fekunditas terjadi jika peningkatan
salinitas mencapai 20 ppt (Gambar 9). Interaksi antara hormon tiroksin dan
salintas disajikan pada Gambar 10.
Gambar 8.
Pengaruh tiroksin terhadap nilai fekunditas ikan nila merah
(Oreochromis sp.)
Gambar 9.
Pengaruh salinitas terhadap nilai fekunditas ikan nila merah
(Oreochromis sp.)
48
Gambar 10. Pengaruh interaksi antara tiroksin dan salinitas terhadap fekunditas
ikan nila merah (Oreochromis sp.)
Perkembangan Gonad Secara Histologi
Perkembangan gonad ikan nila terdiri dari beberapa tingkat yang dapat
didasarkan atas pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis. Struktur
histologi perkembangan gonad ikan nila selama pemeliharaan disajikan pada
Gambar 11.
11A
49
11B
Keterangan: a. Oosit TKG II, euvitelin (eu) dengan granular kuning telur
b. Oosit TKG III, granular kuning telur (g) dan butir lemak (oi)
c. Oosit TKG IV, inti (n) mulai bergerak ke tepi sel
Gambar 11. Struktur histologi ikan nila merah pada perlakuan H (T4 100 ng/g BT,
salinitas 10 ppt, Gambar 11A) dan kontrol B (T4 0, 10 ppt, Gambar
11B). Klasifikasi berdasarkan Darwisto (2006).
Pada gambar 11Aa dan 11Ba terlihat dimana gonad ikan nila mencapai
TKG II (sampling minggu ke-0 dan ke-2) yang ditandai dengan adanya euvitelin;
terdapat pada bagian bawah khorion atau luar telur yang belum matang. Pada
perlakuan B (Kontrol, T4 0 ng/g BT, salinitas 10 ppt) masih terlihat adanya oosit
kecil (TKG I) yang terdapat dalam lamella. Selanjutnya, pada Gambar 11Ab dan
11Bb tambak oosit mulai membesar dengan butiran lemak yang terlihat jelas serta
granula kuning telur yang sudah terbentuk (TKG III); proses vitelogenesis. Pada
Gambar 11Ac dan 11Bc telur memasuki tahap akhir (TKG IV); inti sel berada di
tepi.
Parameter Pendukung
Parameter pendukung hasil pengamatan pemberian hormon tiroksin
terhadap reproduksi ikan nila yang dipelihara pada media bersalinitas terdiri dari
gradient osmotik (Osmol/kg), tingkat konsumsi oksigen (TKO’s, mgO2/g tubuh
ikan/jam), glukosa darah (mg/dl), retensi protein (RP, %), retensi lemak (RL, %),
dan laju pertumbuhan harian (%).
50
Gradien Osmotik
Selisih antara nilai osmolaritas tubuh dan osmolaritas media pemeliharaan
ikan dapat diartikan sebagai nilai gradien osmotik. Osmolaritas tubuh dan media
ikan nila disajikan pada Gambar 12.
Keterangan: (A) tiroksin 0 ng/g bobot tubuh, salinitas 0 ppt; (B) 0,10; (C) 0,20; (D) 50 ,0; (E)
50,10; (F) 50,20; (G) 100,0; (H) 100,10; (I) 100,20.
Gambar 12. Gradien osmotik tubuh dan media pemeliharaan ikan nila merah
(Oreochromis sp.) setelah pemberian hormon tiroksin dan
dipelihara pada beberapa media salinitas
Pada gambar 12, dapat dilihat bahwa salinitas 10 ppt merupakan kondisi
yang mendekati isoosmotik, dimana konsentrasi tubuh ikan nila mendekati
konsentrasi media (Perlakuan B), dengan osmolaritas tubuh 0,365 Osmol/kg,
meningkat menjadi 0,401 dengan pemberian tiroksin 100 ng/g bobot tubuh. Pada
salinitas 20 ppt, osmolaritas tubuh lebih rendah dengan osmolaritas media (0,298:
0,505). Peningkatan osmolaritas tubuh hingga mencapai 0,401 dengan pemberian
tiroksin 100 ng/g BT (Lampiran 7) .
Tingkat Konsmumsi Oksigen
Indikator dari respirasi adalah jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh ikan.
Tingkat konsumsi oksigen menunjukkan tingkat metabolisme. Tingkat konsumsi
oksigen ikan nila meningkat apabila dipelihara pada salinitas 20 ppt (Tabel 7).
51
Tabel 7. Nilai rataan tingkat konsumsi oksigen (TKO’s, mgO2/g tubuh/jam) ikan
nila merah (Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan
salinitas
Tiroksin
(ng/g BT)
0
50
100
X
0
0,300+0,0144
0,269+0,0139
0,288+0,1212
0,286+0,0186b
Salinitas (ppt)
10
0,304+0,0281
0,312+0,0127
0,317+0,0248
0,311+0,0218a
20
X
0,280+0,0204
0,884+0,0629a
0,298+0,0250
0,879+0,0172a
0,300+0,0104
0,453+0,0521a
0,293+0,0186ab
Huruf yang berbeda pada kolom dan bari yang sama menunjukan adanya pengaruh perlakuan pada
P<0,05. (BT= bobot tubuh).
Dari Tabel 7 terlihat bahwa tingkat konsumsi oksigen tidak dipengaruhi
oleh dosis tiroksin yang diberikan pada induk ikan nila. Demikian pula tidak ada
pengaruh terhadap tingkat konsumsi oksigen dari interaksi antar perlakuan
tiroksin dan salinitas. Tingkat konsumsi oksigen ikan nila dipengaruhi oleh
salinitas (P<0,05), dengan rataan tertinggi diperoleh pada ikan yang dipelihara
pada salinitas 10 ppt yaitu 0,311+0,0218 mgO2/g tubuh/jam, diikuti salinitas 20
dan menurun pada salinitas 0 ppt.
Glukosa Darah
Glukosa darah merupakan indikasi umum yang digunakan untuk
mengetahui tingkat stres pada ikan. Semakin tinggi kadar glukosa dalam darah
mengindikasikan semakin tinggi pula tingkat stres pada ikan. Glukosa darah ikan
nila selama pemeliharaan menunjukkan pola naik turun. Pada sebagian besar
perlakuan, kadar glukosa darah menurun seiring dengan lamanya waktu
pemeliharaan. Kadar glukosa darah ikan nila selama penelitian disajikan pada
Tabel 8.
52
Tabel 8. Glukosa darah ikan nila merah (Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan
tiroksin dan salinitas selama pemeliharaan
Perlakuan
A (T4 0,0ppt)
B (T4 0,10ppt)
C (T4 0,20 ppt)
D (T4 50,0ppt)
E (T4 50,10ppt)
F (T4 50,20ppt)
G (T4 100,0ppt)
H (T4 100,10ppt)
I (T4 100,20ppt)
0
101,225
93,578
142,099
99,29
90,559
156,138
90,25
90,826
143,066
Pengamatan minggu ke2
4
76,99
52,752
76,339
52,27
127,251
122,409
95,657
46,039
86,022
77,642
111,22
105,921
159,908
89,15
82,95
41,921
107,798
99,705
Rataan
6
99,42
42,251
129,908
43,119
44,934
97,599
65
34,89
64,52
82,60
64,27
130,42
71,03
84,74
117,72
101,08
62,65
103,77
Glukosa darah tertinggi diperoleh pada perlakuan C (T 4 0 ng/g bobot
tubuh, salinitas 20 ppt) dengan nilai rataan 109,908 mg/dl, diikuti perlakuan F
(50, 20) yaitu 97,934 dan terendah diperoleh pada perlakuan H (0, 20) dengan
nilai rataan 62,65 (Gambar 13).
Keterangan: (A) tiroksin 0 ng/g bobot tubuh, salinitas 0 ppt; (B) 0,10; (C) 0,20; (D) 50,0; (E)
50,10; (F) 50,20; (G) 100,0; (H) 100,10; (I) 100,20.
Gambar 13. Glukosa darah ikan nila merah (Oreochromis sp.) setelah pemberian
hormon tiroksin dan dipelihara pada beberapa media salinitas
53
Retensi Protein
Retensi protein menunjukkan kemampuan ikan dalam menyimpan dan
menggunakan protein pakan. Hasil statistik menunjukkan bahwa kombinasi atau
interaksi antar perlakuan tiroksin dengan salinitas memberikan pengaruh secara
signifikan terhadap nilai retensi protein (P<0,05). Kombinasi T4 100 ng/g bobot
tubuh dengan media salinitas 10 ppt (Perlakuan H) merupakan perlakuan yang
memberikan nilai retensi protein terbaik yaitu 19,50+0,558 % (Tabel 9; Gambar
16).
Tabel 9. Nilai rataan retensi protein (RP, %) ikan nila merah (Oreochromis sp.)
yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas
Tiroksin
(ng/g bobot tubuh)
0
50
100
0
17,16+0,056ca
18,26+0,558 ba
19,01+0,198aa
Salinitas (ppt)
10
17,22+0,021ca
18,28+0,615 ba
19,50+0,558aa
20
16,99+0,099cb
17,19+0,106bb
17,82+0,184Ab
Huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukan adanya pengaruh interaksi
perlakuan pada P<0,05
Pengaruh hormon tiroksin terhadap nilai retensi protein ikan nila memberi
kurva respon linier dengan persamaan y = 0,107x+17,07 dengan nilar r2 0,99,
Artinya nilai retensi protein meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi
tiroksin yang diberikan (Gambar 14).
Gambar 14.
Pengaruh pemberian tiroksin terhadap nilai retensi protein ikan nila
merah (Oreochromis sp.)
54
Pengaruh salinitas terhadap nilai retensi protein ikan nila memberi kurva
respon
polynomial
kuadratik
dengan
persamaan
mengikuti
2
y=0,001x +0,019x+17,16. Artinya, nilai retensi protein meningkat seiring dengan
peningkatan media salinitas 10 ppt serta mencapai nilai optimal retensi lemak
sebesar 19,50 %. Penurunan retensi protein menurun dengan meningkatnya
salinitas hingga 20 ppt dengan nilai retensi mencapai 16,99% (Gambar 15).
Gambar 15. Pengaruh media salinitas terhadap nilai retensi protein ikan nila
merah (Oreochromis sp.)
Gambar 16. Interaksi antara tiroksin dan salinitas terhadap nilai retensi protein
ikan nila merah (Oreochromis sp.)
Retensi Lemak
Kemampuan ikan dalam memanfaatkan pakan dapat diartikan sebagai nilai
retensi lemak. Berdasarkan hasil statistik menunjukkan bahwa interaksi antara
tiroksin dan salinitas antar perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap nilai
retensi lemak ikan nila. Retensi lemak ikan nila tidak dipengaruhi oleh faktor
55
lingkungan (salinitas), tetapi berbeda nyata antar perlakuan yang diberi tiroksin
(Tabel 10).
Tabel 10. Nilai rataan retensi lemak (RL, %) ikan nila merah (Oreochromis sp.)
yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas
Tiroksin (T4)
(ng/g BT)
0
50
100
X
0
11,66+0,869
16,99+1,808
22,22+3,359
16,96+2,012a
Salinitas
10
11,79+1,301
16,85+0,869
22,57+2,489
17,07+1,553a
20
9,64+0,743
14,85+0,502
20,06+0,183
14,85+0,476a
X
11,67c
16,83c
21,62a
Huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukan adanya pengaruh perlakuan
pada P<0,05. (BT= Bobot tubuh).
Pemberian tiroksin secara signifikan memberikan pengaruh yang nyata
dengan mengikuti pola semakin meningkat retensi lemak ikan dengan semakin
tingginya konsentrasi dosis tiroksin yang diberikan. Retensi lemak tertinggi
diperoleh pada ikan yang diberikan tiroksin 10 ng/g BT dengan persentase nilai
mencapai 21,62 %, diikuti perlakuan dengan pemberian tiroksin 50. Nilai retensi
terendah diperoleh pada ikan yang tanpa diberikan tiroksin dengan nilai rataan
sebesar 11, 67 %.
Pertumbuhan Harian (PH, %)
Selama 56 hari perlakuan pemberian tiroksin dan pemeliharaan pada
beberapa media salinitas tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan
harian ikan nila (Oreochromis sp.) (Tabel 11)
Tabel 11. Nilai rataan pertumbuhan harian ( %) ikan nila merah (Oreochromis
sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas
Tiroksin (T4)
(ng/g BT)
0
50
100
0
0,76+0,142a
0,77+0,250a
0,76+0,246a
Salinitas
10
0,77+0,117a
0,77+0,204a
0,79+0,260a
20
0,54+0,235a
0,72+0,418a
0,75+0,530a
Huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukan adanya pengaruh perlakuan
pada P<0,05. (BT= Bobot tubuh).
56
Pertumbuhan harian tertinggi diperoleh pada perlakuan H (pemberian
tiroksin 100 ngT4 dan pemeliharaan pada salinitas 10 ppt) dengan nilai
pertumbuhan 0,79% dan terendah diperoleh pada perlakuan C (pemeliharaan
salinitas 20 ppt tanpa pemberian tiroksin) (Gambar 17).
Keterangan: (A) Tiroksin 0 ng/g bobot tubuh, salinitas 0 ppt; (B) 0,10; (C) 0,20; (D) 50,0; (E)
50,10; (F) 50,20; (G) 100,0; (H) 100,10; (I) 100,20
Gambar 17. Pertumbuhan harian ikan nila merah (Oreochromis sp.) setelah
pemberian hormon tiroksin dan dipelihara pada beberapa media
salinitas
57
PEMBAHASAN
Selama proses reproduksi, sebagian besar aktivitas tertuju pada
perkembangan gonad sehingga menyebabkan terjadinya perubahan pada gonad itu
sendiri. Hasil pengamatan parameter utama menunjukkan bahwa perbedaan
salinitas media dan dosis tiroksin dapat merespon kinerja reproduksi ikan nila
merah (Oreochromis sp.). Kombinasi antara tiroksin 100 ng/g bobot tubuh dengan
pemeliharaan pada salinitas 10 ppt (perlakuan H) memberikan respon terbaik
terhadap nilai fekunditas dengan nilai rataan optimal 1447 butir/ekor, diikuti oleh
perlakuan E (T4 0, salinitas 10). Salinitas terendah diperoleh pada perlakuan C (T4
0, salinitas 20 ppt) (Tabel 6).
Perkembangan gonad dimulai dari proses vitelogenesis atau induksi dan
sintesis vitelogenin. Sintesis vitelogenin dalam tubuh ikan berlangsung di hati.
Vitelogenin adalah bakal kuning telur yang merupakan komponen utama dari
oosit yang sedang tumbuh sehingga menyebabkan nilai HSI terus meningkat.
Persentase nilai HSI pada tiap-tiap perlakuan menunjukkan pola yang terus
meningkat hingga minggu ke-8 pemeliharaan, dengan nilai maksimum dicapai
pada minggu ke-6 (Gambar 5). Hal ini diduga bahwa pada minggu ke-6
merupakan waktu dimana terjadi proses sintesis vitelogenesis tertinggi.
Peningkatan persentase HSI ikan diikuti oleh peningkatan diameter telur dan
persentase nilai GSI. Menurut Tam (1986), pada saat menjelang ovulasi akan
terjadi peningkatan diameter oosit karena diisi oleh masa kuning telur yang
homogen akibat adanya peningkatan kadar estrogen dan vitelogenin sehingga
menyebabkan nilai GSI ikan meningkat. Pada saat proses vitelogenesis
berlangsung, granula kuning telur bertambah dalam jumlah dan ukurannya
sehingga volume oosit membesar. Proses vitelogenesis dibawah pengaruh
hormon-hormon pituitari, sel folikel melepaskan estrogen ke dalam aliran darah
kemudian memasuki sel sasaran (hati). Beberapa hormon yang terlibat dalam
pertumbuhan oosit (perkembangan gonad) adalah gonadotropin (Estrogen, FSH;
follicle stimulating hormone), GH (growth hormon), insulin, tetraiodotironin dan
hormon tiroksin. Ayson dan Lam (1993) menambahkan bahwa hormon T 3 dan T4
58
dalam plasma induk akan ditransfer ke dalam telur dan kemudiat ke dalam
kantung kuning telur (yolksac) larva.
Perkembangan gonad terjadi secara makroskopik dan mikroskopik
(histologi). Histologi gonad menunjukkan tingkat kematangan gonad dari ikan
nila. Pada Gambar 11Aa dan 11Ba merupakan histologi awal sebelum dimulai,
yaitu pada TKG II. Pada Gambar tersebut tampak kondisi oosit yang tidak
seragam, karena ikan nila termasuk partial spawner yang mengeluarkan telur
tidak sekaligus melainkan secara bertahap. Selanjutnya pada gambar 11Ab dan
11Bbb, terlihat jelas oosit mulai tumbuh berkembang dan tampak diameter mulai
membesar (TKG III). Pada tahap ini mulai terjadi proses vitelogenesis atau fase
akumulasi kuning telur. Fase pembentukan kuning telur dimulai sejak terjadinya
penumpukan bahan-bahan kuning telur dalam sel telur dan berakhir setelah sel
telur mencapai ukuran tertentu. Pada gambar 11Ac dan 11Bc tampak telur
memasuki tahap akhir yang ditandai dengan posisi inti sel yang berada di tepi
(TKG IV), yang berarti bahwa ikan siap dipijahkan. Induk yang siap dipijahkan
adalah induk yang telah melewati fase pembentukan kuning telur dan masuk ke
tahap dorman. Bila mana kondisi lingkungan tidak cocok dan rangsangan tidak
tersedia maka telur dorman tersebut akan mengalami degradasi (rusak) lalu
diserap kembali oleh lapisan folikel melalui atresia. Matty (1985) menyatakan
bahwa penyerapan vitelogenin oleh oosit dibantu oleh hormon gonadotropin dan
tiroksin.
Perkembangan gonad selain dipengaruhi oleh hormon, juga dipengaruhi
oleh faktor lingkungan seperti salinitas dan tingkat konsumsi oksigen. Salinitas
erat kaitannya dengan tekanan osmotik ikan. Pengaruh tekanan osmotik pada
pertumbuhan dan reproduksi dapat terjadi melalui osmoregulasi, upaya ikan
dalam menyeimbangkan konsentrasi cairan tubuh dengan media lingkungan. Ikan
mempunyai tekanan osmotik yang berbeda dengan lingkungannya, sehingga ikan
harus mencegah kelebihan dan kekurangan air agar proses-proses fisiologi di
dalam tubuh dapat berlangsung normal. Tiroksin merupakan salah satu hormon
yang berperan dalam proses osmoregulasi.
59
Pengaruh tiroksin terhadap pengaturan gradien osmotik tubuh dan media
terjadi melalui mekanisme pertukaran ion dalam sel klorida epitel insang. Tiroksin
mempengaruhi aktivitas enzim NA+/K+ATP-ase sehingga terjadi peningkatan
aktivitas natrium akibat meningkatnya konsumsi oksigen. Dari hasil penelitian
(Gambar 11) terlihat bahwa ikan yang dipelihara pada media air tawar, pemberian
tiroksin rendah (50 ng/gr bobot tubuh) tidak berpengaruh terhadap pengaturan
osmotik tubuh. Hal yang berbeda terjadi pada ikan yang dipelihara pada salinitas
10 dan 20 ppt. Semakin tinggi dosis yang diberikan, ion atau konsentrasi tubuh
ikan semakin mendekati konsentrasi media. Pemberian hormon tiroid (T3) dan T4
20, 40 dan 80 ng/gr bobot tubuh mampu meningkatkan aktivitas enzim
Na+/K+ATP-ase tetapi menurun pada dosis >120 ng/gr bobot tubuh (Peter et al.
2000). Aktivitas Na+/K+ATP-ase lebih berperan pada ikan yang diadaptasikan ke
air laut. Pendapat ini sesuai dengan penelitian Turned and Bagnara (1976), pada
usus ikan yang dipelihara di air tawar sedikit peran Na+K+ATP-ase untuk aktivitas
transport natrium ke dalam darah dari lumen usus, tetapi aktivitas Na +K+ATP-ase
berperan pada ikan yang diadaptasikan ke air laut. Pada ikan air laut, air yang
ditelan diangkut secara pasif selanjutnya diikuti dengan pengambilan secara aktif
ion-ion oleh usus. Ion masuk ke dalam sel diperantarai oleh reseptor hormon
tiroid yang terdapat pada inti sel. Hormon tiroid dapat menyebabkan kebocoran
pada membran sel sehingga memudahkan masuknya Na/K+APT-ase yang
menyebabkan meningkatnya transport ion ke dalam tubuh.
Pengaruh salinitas terhadap pertumbuhan dan reproduksi dapat terjadi
secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung salinitas adalah efek
osmotiknya
terhadap
osmoregulasi,
dan
kemampuan
mencerna
serta
mengabsorbsi nutrien pakan. Sedangkan secara tidak langsung, salinitas
mempengaruhi organisme akuatik melalui perubahan kualitas air. Dalam
kaitannya dengan osmoregulasi, Jobling (1994) menjelaskan bahwa pembelanjaan
energi untuk osmoregulasi dapat ditekan apabila ikan dipelihara pada media yang
isosmotik, sehingga pemanfaatan pakan menjadi efisien dan penggunaan untuk
pertumbuhan dan reproduks ikan dapat meningkat
60
Dari Gambar 12 tampak bahwa media pemeliharaan salinitas 10 ppt adalah
media yang cocok untuk pemeliharaan ikan nila. Hal ini menunjukkan bahwa
salinitas 10 ppt merupakan media yang mendekati kondisi isoosmotik untuk
kehidupan ikan nila sehingga proses fisiologis tubuh dapat berjalan dengan
normal. Penambahan tiroksin berpengaruh terhadap pengaturan konsentrasi ion
tubuh oleh ikan. Hal ini terlihat dari kondisi osmolaritas tubuh yang semakin
mendekati kondisi osmolaritas media. Hal yang sama juga terjadi pada ikan
dengan penambahan tiroksin pada media bersalinitas 20 ppt. Pada salinitas 20 ppt
tanpa pemberian hormon tiroksin (Perlakuan C), tingkat kerja osmotik yang
rendah yaitu 0,298 Osmol/L H2O, sedangkan osmolaritas medianya tinggi yaitu
sebesar 0,505 Osmol/L. Pemberian tiroksin 100 ng/gr bobot tubuh mampu
meningkatkan kerja osmotik hingga mencapai 0,401 Osmol/kg atau keadaan
mendekati kisaran isoosmotik. Berdasarkan data hasil pengamatan (Tabel 6),
fekunditas meningkat jika ikan diberikan tiroksin 100 ng/g bobot tubuh
dibandingkan dengan fekunditas ikan yang dipelihara pada media air tawar. Ikan
yang dipelihara dalam kondisi isoosmotik akan diuntungkan karena adanya
penghematan energi sehingga kebutuhan energi tersedia untuk pertumbuhan dan
reproduksi meningkat (Baldisserotto et al. 2007).
Saoud et a.l (2007)
mengemukakan bahwa aktivitas tertinggi Na+K+-ATPase oleh insang diperoleh
pada ikan yang dipelihara pada media salinitas 10 ppt dan secara signifikan
menurun pada pemeliharaan salinitas 35 ppt.
Tekanan tingkat kerja osmotik berpengaruh terhadap tingkat konsumsi
oksigen dan dan kadar glukoda darah (Gambar 13). Ikan yang dipelihara pada
media salinitas 20 ppt terlihat adanya peningkatan konsumsi oksigen
dibandingkan dengan ikan yang dipelihara pada media salinitas 0 ppt. Hal ini
diduga karena adanya pengaruh respon stres (glukosa darah) terhadap perubahan
lingkungan dalam hal ini adalah peningkatan media salinitas sehingga ikan harus
mengkonsumsi oksigen untuk digunakan dalam proses metabolisme atau
pembakaran zat-zat makanan dalam tubuh ikan dan aktivitas fisiologi lainnya
sehingga memungkinan ikan dapat bertahan hidup. Energi yang diperoleh dari
hasil metabolisme diperlukan tubuh untuk proses aktivitas tubuh seperti renang,
pertumbuhan dan reproduksi.
Selain berpengaruh terhadap tingkat konsumsi
61
oksigen, gradien osmotik juga turut berpengaruh terhadap kadar glukosa darah.
Okoth et al. (2011) menyatakan bahwa penggunaan gaeram dapur (Nacl) dapat
mengurangi kondisi stress pada ikan. Namun pada tingkat tertentu dapat
meningkatkan kadar glukosa darah. Perubahan kadar glukosa darah selama
penelitian terus terjadi (Tabel 8). Pada minggu kedua setelah perlakuan penurunan
kadar glukosa mulai terlihat pada masing-masing perlakuan. Penurunan tingkat
stres kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah karena
hewan telah mengalami proses adaptasi sehingga tidak lagi merasakan adanya
stres. Adaptasi tersebut terjadi karena ikan telah mengalami suatu proses
tanggapan fisiologi akibat stres yang berulang (Clark et al. 1977). Stres juga
menurunkan
kemampuan
imunitas
yang
akan
berdampak
buruk
pada
pertumbuhan dan reproduksi.
Peningkatan salinitas hingga 20 ppt menyebabkan kadar glukosa darah
meningkat. Tingginya kadar glukosa darah mengindikasikan tingginya tingkat
stres akibat meningkatnya salinitas media. Pada umumnya stres dirangsang oleh
sistem neuroendokrin secara bertingkat dengan melibatkan sekresi katekolamin
(Zairin 2003). Pendapat yang sama dikemukakan oleh Porchas et al (2009), stres
melibatkan sistem endokrin dalam pengaturan sistem tubuh oleh hipotalamus.
Pada kondisi stres sel kromafin akan melepaskan hormon katekolamin dan ACTH
yang merupakan hormon stres yang berhubungan dengan mobilisasi kortisol dan
peningkatan glukosa darah. Respon stres sekunder selain meningkatkan kadar
glukosa darah, dapat menghambat sintesis protein, mempengaruhi keseimbangan
hidromineral yang menyebabkan kelebihan air pada ikan yang hidup di air tawar
dan kehilangan air pada ikan yang hidup di air laut, mengganggu sistem imunitas,
berdampak buruk terhadap pertumbuhan dan reproduksi ikan (Mezeaud dan
Mazeaud 1981). Peningkatan kadar glukosa darah yang cepat dan tetap berada
pada tingkat yang tinggi akan diikuti oleh kematian ikan (Brown 1993).
Untuk faktor nutrisi, pakan yang dimakan oleh ikan bergantung pada
kemampuan sensor ikan untuk mendeteksi pakan, kemampuan untuk menangkap
dan memakan pakan, serta kemampuan fisiologis (biokimia) untuk mencerna dan
mengubahnya menjadi nutrien yang bisa diserap, predator, kompetitor, plankton
dan sebagainya (Pengaruh hormon tiroksin secara tidak langsung melalui retensi
62
protein dan lemak) (Kestemont and Baras 2001). Pada Tabel 9 dapat dilihat
bahwa interaksi antara tiroksin dan salinitas memberikan pengaruh terhadap
terhadap nilai retensi protein dengan nilai tertinggi diperoleh pada kombinasi
tiroksin 100 ng/g bobot tubuh dengan pemeliharaan pada media salinitas 10 ppt
dengan nilai retensi rataan adalah 19,05%). Tabel 10 terlihat bahwa salinitas tidak
berpengaruh terhadap nilai retensi lemak, namun
pemberian tiroksin dapat
meningkatkan nilai retensi lemak (P<0,05). Retensi lemak tertinggi diperoleh
pada ikan yang diberikan tiroksin 100 ng/g bobot tubuh dengan rataan nilai
mencapai 21,65% dan terendah pada ikan yang tidak diberikan hormon tiroksin
dengan rataan nilai 11,67%. Pengaruh tiroksin terhadap retensi protein dan lemak
melalui peningkatan enzim pencernaan protease dan lipase sehingga ikan dapat
menstimulasi kecernaan protein dan meningkatkan absorbsi asam amino serta
asam lemak melalui usus (Woo et al. 1991; Handayani 1997). Pengaruh tiroksin
terhadap metabolisme karena disebabkan oleh beberapa faktor seperti status
nutrisi, dosis hormon, cara pemberian hormon, temperatur, umur ikan dan
salinitas.
Reproduksi membutuhkan lebih dari sekedar produksi gamet namun juga
membutuhkan pengembangan seksual sekunder. Semua ini membutuhkan energi
tambahan, selain untuk produksi gamet. Peningkatan kebutuhan untuk reproduksi
bisa diperkirakan melalui jumlah progeni yang diproduksi per unit pakan yang
dikonsumsi, namun akan ada pengurangan energi untuk ketahanan dan
pertumbuhan somatik. Apabila pakan mengandung energi yang rendah, maka
ikan mempergunakan sebagian protein untuk memenuhi kebutuhan energinya
sehingga jumlah protein yang dapat dimanfaatkan untuk reproduksi menjadi
berkurang. Energi diperoleh dari pemanfaatan lemak dan protein pakan dan
diperuntukan untuk pertumbuhan, pemeliharaan tubuh dan reproduksi. Protein
merupakan komponen dominan kuning telur. Protein dengan proporsi yang tinggi
diubah menjadi asam amino dan sebagian di konsumsi untuk menghasilkan
energi. Calow (1985); Sibly dan Calow (1986), menyatakan bahwa pada ikan
dewasa, sebagian besar energi yg diperoleh digunakan untuk kegiatan reproduksi.
Nutrien dan asupan pakan yang digunakan untuk reproduksi berasal dari lemak
dan protein. Fungsi keduanya adalah untuk pembentukan vitelogenesis,
63
gonadogenesis, fekunditas, hormon dan enzim (Tylor dan Calow 1985).
Aristizabal (2007) menambahkan bahwa selain protein, lemak merupakan
komponen kedua bahan kering telur ikan. Bagian utama cadangan lemak kuning
telur digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi, sisanya disimpan dalam
bentuk embrio. Aristizabal (2007) mengatakan pada ikan diperoleh dua jenis
bentuk penyimpanan energi yaitu untuk pertumbuhan dan reproduksi, dimana
proses reproduksi merupakan bentuk penyimpanan energi yang dapat diukur
berdasarkan energi yang terdapat pada gonad (ovari). Belanja energi pada ikan
untuk reproduksi dipengaruhi oleh jenis, usia dan ukuran ikan. Penyimpanan dan
pembelanjaan energi pada ikan: selama masa recovery seluruh net energi
dipergunakan untuk proses pembentukan gonad (ovaries), Selain gonad, beberapa
tempat yang menjadi deposit energi untuk proses pemijahan adalah hati, otot, serta
lemak di rongga perut.
Alokasi energi yang diperoleh ikan melalui asupan pakan, digunakan
untuk pertumbuhan dan reproduksi. Berdasarkan analisis ragam, pemberian
tiroksin dan pemeliharaan ikan pada media bersalinitas serta interaksi antara
keduanya tidak berpengaruh secara nyata terhadap pertumbuhan ikan nila. Namun
demikian, masih terlihat peningkatan bobot tubuh meskipun dengan nilai yang
sangat kecil (Tabel 11). Hal ini didiuga karena pada ikan-ikan yang matang gonas,
sebagian besar energi digunakan untuk reproduksi. Kestemont et al. (2001)
mengemukakan bahwa pematangan gonad sering dihubungkan dengan penurunan
pertumbuhan somatik dan pengambilan makanan. Meningkatnya proses
reproduksi akan mengakibatkan terjadi usaha untuk meningkatkan produksi
anakan dari tiap makanan yang dikonsumsi. Proses ini akan menyebabkan
terjadinya penurunan biaya energi yang diperuntukan untuk perawatan tubuh dan
untuk pertumbuhan somatik. Hal ini didukung oleh pendapat Jobling (1994)
bahwa ukuran tubuh merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan
dan kebutuhan energi pada ikan. Banyak studi kasus yang menjelaskan bahwa
rata-rata pertumbuhan relatif menurun dengan peningkatan ukuran tubuh.
Download