9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebutuhan Psikologis 1. Definisi Kebutuhan Psikologis Pada masa perkembangan anak-anak akan timbul kebutuhan-kebutuhan atau keinginan untuk menjadi sesuatu (Gunarsa, 2008). Kebutuhan-kebutuhan tersebut harus diperhatikan oleh orang tua agar anak mereka memiliki potensi dan dapat berkembang sesuai dengan potensi-potensi yang dimiliki (Purnomo, 1990). Rotter (dalam Feist & Feist, 2010) mendefinisikan kebutuhan sebagai perilaku atau seperangkat perilaku yang dapat menggerakkan individu ke arah suatu tujuan. Kebutuhan bukan sesuatu kondisi kekurangan atau rangsangan, akan tetapi kebutuhan merupakan indikator dari tujuan perilaku. Maslow mengemukakan bahwa kebutuhan “as desire to become more and more what one is, to become everything that one is capable of becoming” (Gunarsa, 2008). Menurut Maslow (dalam Gunarsa, 2008), kebutuhan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : a. Kelompok yang terdiri dari kebutuhan dasar, kebutuhan primer atau kebutuhan fisiologis, seperti makan, minum, oksigen dan lain-lain, b. Kelompok yang terdiri dari kebutuhan sekunder atau kebutuhan psikologis, seperti cinta, kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan rasa terlindungi dan aman, serta kebutuhan untuk mengetahui sesuatu. Murray (dalam Hall & Lindzey, 1993) menjelaskan bahwa kebutuhan merupakan suatu konstruk yang mewakili suatu daya pada bagian otak, kekuatan yang mengatur persepsi, apersepsi, pemahaman, konasi dan kegiatan sedemikian rupa untuk mengubah situasi yang ada dan yang tidak memuaskan ke arah tertentu. Setiap kebutuhan secara khas 10 dibarengi oleh perasaan atau emosi tertentu dan seringkali dibarengi oleh tindakantindakan instrumental tertentu yang efektif untuk menghasilkan keadaan akhir yang diinginkan (Hall & Lindzey, 1993). Murray (dalam Hall & Lindzey, 1993) menjelaskan bahwa terdapat dua tipe kebutuhan, yaitu : 1. Kebutuhan primer / kebutuhan viskerogenik Kebutuhan primer atau kebutuhan viskerogenik berhubungan dengan peristiwaperistiwa organis tertentu yang khas, dan secara khusus berkenaan dengan kepuasan-kepuasan fisik. Contohnya adalah kebutuhan akan udara, air, makanan, seks, laktasi, buang air besar dan buang air kecil. 2. Kebutuhan sekunder / kebutuhan psikogenik Kebutuhan sekunder atau kebutuhan psikogenik berasal dari kebutuhan primer dan ditandai oleh tidak adanya hubungan dengan proses-proses organis atau kepuasan fisik khusus. Adapun bagian-bagian kebutuhan psikogenik menurut Murray (dalam Hall & Lindzey, 1993) adalah : a. Need of Abasement (Sikap merendah) Tunduk secara pasif terhadap kekuatan luar; menerima perlakuan yang tidak adil, kritik dan hukuman; menyerah, menyalahkan, meremehkan, merendahkan diri sendiri, merusak diri sendiri; mencari dan menikmati penderitaan, hukuman, penyakit dan kemalangan. b. Need of Achievement (Prestasi) Menyelesaikan sesuatu yang sulit; mengunggulkan diri; menyaingi dan mengungguli orang lain; meningkatkan harga diri dengan menyalurkan bakat secara berhasil. 11 c. Need of Affiliation (Afiliasi) Membuat senang dan mencari afeksi dari objek yang disukai; patuh dan tetap setia pada seorang kawan, menjalin persahabatan. d. Need of Aggression (Agresi) Menghadapi perlawanan dengan kekerasan; melawan; membalas perbuatan yang tidak adil; menyerang, melukai; melawan dengan kekerasan atau menghukum orang lain. e. Need of Autonomy (Otonomi) Bebas; menolak untuk dipaksa atau dilarang; menghindari atau meninggalkan kegiatan-kegiatan yang ditentukan oleh autoritas-autoritas yang menguasai; tidak terikat, tidak bertanggung jawab. f. Need of Counteraction (Memperbaiki situasi) Menguasai atau memperbaiki kegagalan dengan berjuang lagi; menghilangkan pelecehan dengan memulai tindakan; menekan perasaan takut; mempertahankan harga diri dan kebanggaan pada taraf yang tinggi. g. Need of Defendance (Membela diri) Mempertahankan diri terhadap serangan, kritik dan celaan; menyembunyikan atau membenarkan perbuatan tercela, kegagalan atau penghinaan; mempertahankan diri. h. Need of Deference (Sikap hormat) Memuji, menghormati, atau menyanjung; dengan senang hati tunduk pada pengaruh orang lain yang dikenal; menyesuaikan diri dengan kebiasaan. i. Need of Dominance (Dominasi) Mempengaruhi atau mengarahkan tingkah laku orang lain dengan saran, bujukan, imbauan, atau perintah; mencegah, menghambat atau melarang. 12 j. Need of Exhibition (sikap menonjolkan diri) Menciptakan kesan; senang dilihat dan didengar; membuat orang lain kagum, terpesona, terhibur, terkejut, ingin tahu, senang atau terpikat. k. Need of Harm avoidance (Menghindari bahaya) Menghindari rasa sakit, luka fisik, penyakit dan kematian; melarikan diri dari situasi berbahaya; mengambil tindakan pencegahan, kebutuhan akan rasa aman. l. Need of In avoidance (Menghindari rasa hina) Menghindari penghinaan; meninggalkan situasi yang memalukan atau menghindari kondisi yang bisa menimbulkan pelecehan : caci maki, ejekan, atau sikap masa bodoh orang lain; menahan diri untuk bertindak karena takut gagal. m. Need of Nurturance (Sikap memelihara) Memberi simpati dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan objek yang tidak berdaya : bayi, objek yang lemah atau cacat, ragu-ragu, kalah, dihina, kesepian, patah hati, sakit, bingung; membantu objek yang dalam bahaya; memberi makanan, membantu, menghibur, melindungi. n. Need of Order (Ketertiban) Mengatur barang-barang; menjaga kebersihan, susunan, keseimbangan, keteraturan, ketelitian. o. Need of Play (Permainan) Berbuat untuk “kesenangan” tanpa tujuan lebih lanjut; suka tertawa dan membuat lelucon; mengambil bagian dalam permainan, olahraga, joget, pesta, bermain kartu. 13 p. Need of Rejection (Penolakan) Memisahkan diri dari objek yang tidak disenangi; mengucilkan, melepaskan, mengusir atau bersikap masa bodoh terhadap objek yang lebih rendah; menghina atau memutuskan hubungan cinta dengan objek. q. Need of Sentience (Keharuan) Mencari dan menikmati kesan-kesan yang menyentuh perasaan, kesan yang menyenangkan. r. Need of Sex (Seks) Menjalin dan meningkatkan hubungan erotik. Mengadakan hubunga seksual. s. Need of Succorance (Pertolongan dalam kesusahan) Memuaskan kebutuhan-kebutuhan dengan bantuan simpatik dari objek yang dikenal; dirawat, didukung, dikelilingi, dilindungi, dicintai, dinasihati, dibimbing, dimanjakan, diampuni, dihibur; menempel pada seorang pelindung setia; selalu memiliki seorang pendukung. t. Need of Understanding (Pemahaman) Menanyakan atau menjawab pertanyaan-pertanyaan umum; tertarik pada teori; memikirkan, merumuskan, menganalisis, dan menggeneralisasikan. Berdasarkan pemaparan diatas mengenai kebutuhan psikologis, maka dapat disimpulkan bahwa kebutuhan psikologis merupakan tindakan atau perilaku individu dalam memenuhi perasaan atau kepuasan yang bersifat psikologis, seperti kebutuhan akan sikap merendah, prestasi, afiliasi, agresi, otonomi, counteraction, membela diri, sikap hormat, dominasi, sikap menonjolkan diri, menghindari bahaya, menghindari rasa hina, sikap memelihara, ketertiban, permainan, penolakan, keharuan, seks, pertolongan dalam kesusahan, dan pemahaman. 14 2. Dinamika Kebutuhan Psikologis Murray (dalam Hall & Lindzey, 1993) menyatakan bahwa adanya kebutuhan dapat disimpulkan dari : a. Akibat atau hasil akhir dari tingkah laku, b. Pola atau cara khusus tingkah laku yang bersangkutan, c. Perhatian dan respon selektif terhadap kelompok objek stimulus tertentu, d. Ungkapan emosi atau perasaan-perasaan tertentu, dan e. Ungkapan kepuasan apabila akibat tertentu dicapai atau kekecewaan apabila akibat tersebut tidak tercapai. Pemuasan kebutuhan-kebutuhan ini sangatlah penting selama tahun-tahun awal kehidupan, khususnya selama dua tahun pertama (Goble, 1987). Kondisi lingkungan sekitar dan keadaan sosial dalam masyarakat berkaitan erat dengan motivasi seseorang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. Maslow (dalam Goble, 1987) menjelaskan bahwa kondisi-kondisi yang merupakan prasyarat bagi pemuasan kebutuhan dasar meliputi antara lain: kemerdekaan untuk berbicara, kemerdekaan untuk melakukan apa saja yang diinginkan sepanjang tidak merugikan orang lain, kemerdekaan untuk menyelidiki, kemerdekaan untuk mempertahankan atau membela diri, keadilan, kejujuran, kewajaran, dan ketertiban. Kondisi-kondisi tersebut akan dipertahankan, sebab tanpa kondisi-kondisi tersebut aneka kepuasan dasar mustahil didapat atau setidaknya menjadi sangat terancam. Fromm (dalam Feist & Feist, 2010) percaya bahwa kurang terpuaskannya kebutuhan-kebutuhan pada manusia, akan membuat manusia tidak tahan dan akhirnya kehilangan kewarasan. Oleh kerana itu, manusia tergerak dengan sangat kuat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan satu cara atau lainnya, baik secara positif atau negatif. 15 Berdasarkan uraian mengenai dinamika kebutuhan psikologis diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam pemenuhan kebutuhan baik fisiologis mau pun psikologis, terdapat dorongan berupa motivasi dalam diri individu sehingga individu akan menunjukkan perilaku-perilaku efektif serta emosi tertentu dalam mencapai kepuasan kebutuhan, baik fisiologis dan psikologis, dimana munculnya motivasi akan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut karena dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar individu. B. Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku 1. Anak dan Perkembangannya Menurut Hurlock (1980) masa anak dibagi menjadi dua periode, yaitu : a. Masa anak awal, berlangsung dari usia 2-6 tahun. b. Masa anak akhir, berlangsung dari usia 6-12 tahun. Masa anak-anak awal dan akhir memiliki perkembangan yang berbeda. Menurut Santrock (2002) perkembangan memiliki arti pola gerakan atau perubahan yang dimulai dari pembuahan dan terus berlanjut sepanjang siklus kehidupan. Pola gerakan adalah kompleks karena gerakan merupakan produk dari beberapa proses biologis, kognitif dan sosial. Soetjiningsih (2012) menyatakan bahwa ketiga proses tersebut saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Proses biologis meliputi perubahan sifat fisik individu. Menurut Papalia et al. (2010), pada usia tiga hingga enam tahun, seorang anak tumbuh dengan cepat, namun tidak secepat pada masa sebelumnya, sedangkan pertumbuhan dimasa kanak-kanak akhir cenderung berjalan lebih lambat. Pada awal periode usia enam tahun anak-anak masih terlihat seperti anak-anak kecil. Namun diakhir periode sekitar usia 12 tahun, anak-anak sudah berubah dan mulai tampak seperti orang dewasa (Papalia et al., 2010). Terdapat beberapa perubahan yang menonjol pada tahapan ini, antar lain : perubahan yang cepat 16 pada ukuran tubuh, kekuatan otot tubuh, dan kemampuaan koordinasi, pada anak perempuan mulai muncul payudara sekitar usia 10 tahun. Proses kognitif meliputi perubahan pada pemikiran, intelegensi dan bahasa individu. Piaget membagi perkembangan kognisi anak-anak dan remaja menjadi empat tahapan (Slavin, 2008), yaitu : a. Tahap Sensorimotor (pada saat lahir hingga usia 2 tahun) Merupakan tahapan ketika bayi belajar tentang sekeliling mereka dengan menggunakan indra dan kemampuan motor mereka. b. Tahap Praoperasional (usia 2-7 tahun) Merupakan tahapan ketika anak-anak belajar melambangkan segala sesuatu dalam pikiran. Selama tahapan ini, bahasa dan konsep anak-anak berkembang dengan kecepatan yang luar biasa. c. Tahap Operasional Konkret (usia 7-11 tahun) Merupakan tahapan ketika anak-anak mengembangkan kemampuan bernalar logis dan memahami konservasi tetapi hanya dapat menggunakan kedua kemampuan ini dalam menghadapi situasi yang sudah dikenal. d. Tahap Operasional Formal (usia 11 tahun hingga dewasa) Merupakan tahapan dimana seseorang dapat menghadapi situasi hipotesis dengan abstrak dan dapat bernalar secara logis. Saarni dkk. (dalam Papalia et al., 2010) menjelaskan bahwa ketika usia anak bertambah, anak-anak akan menjadi lebih peka terhadap perasaannya sendiri dan perasaan orang lain. Anak-anak dapat lebih baik dalam mengatur ekspresi emosional dalam situasi sosial dan anak-anak dapat merespon tekanan emosional orang lain. Pada anak usia tujuh atau delapan tahun, rasa malu dan kebanggan yang didasarkan pada kesadaran terhadap akibat tindakan yang dilakukan, akan mempengaruhi pendapat anak usia tujuh atau delapan 17 tahun tentang diri mereka sendiri (Harter dalam Papalia et al., 2010). Pada periode anakanak lanjut, anak-anak akan lebih empati, perilaku menolong semakin berkembang dan anak-anak juga mulai belajar mengontrol emosi negatif (Nuryanti, 2008). Proses sosioemosional pada anak meliputi perubahan pada relasi anak dengan orang lain, perubahan pada emosi, dan perubahan pada kepribadian anak (Santrock, 2002). Relasi keluarga dan teman-teman sebaya memainkan peran penting pada masa anak-anak. Menurut Papalia et al. (2010), lingkungan keluarga merupakan pengaruh paling penting terhadap perkembangan anak. Ketika anak memasuki masa akhir anak-anak, para orang tua hanya memberikan sedikit waktunya untuk anak mereka (Santrock, 2002). Penurunan interaksi antara orang tua dan anak ini lebih terjadi pada keluarga yang orang tuanya memiliki pendidikan yang rendah. Selain itu, anak-anak usia sekolah menghabiskan waktu lebih banyak untuk bermain di luar dengan teman-temannya dibandingkan dirumah, sehingga hal tersebut mneyebabkan kurang dekatnya anak dengan orang tua (Hoffert dalam Papalia et al., 2010). Pada masa sekolah, kelompok teman sebaya mulai terbentuk. Kelompok-kelompok terbentuk secara alamiah diantara anak-anak yang hidup berdekatan atau yang selalu bersama-sama pergi ke sekolah. Anak yang bermain persama, biasanya memiliki status sosioekonomi dan usia yang sama, walaupun kelompok bermain di lingkungannya terdiri dari berbagai tingkatan usia. Erikson (dalam Santrock, 2002) menjelaskan terdapat delapan tahapan perkembangan sosial yang terbentang dalam siklus kehidupan individu dari masa anak hingga lansia. Masing-masing tahapan terdiri dari tugas perkembangan yang khas yang menghadapkan individu dengan suatu krisis atau konflik yang harus dihadapi. Adapun delapan tahapan perkembangan sosial menurut Erikson (dalam Santrock, 2002) adalah : 18 a. Trust vs Mistrust (0-1 tahun) Merupakan tahapan sosial pertama yang dialami individu pada tahun pertama kehidupan. Suatu rasa percaya menuntut perasaan nyaman secara fisik dan sejumlah kecil ketakutan serta kekuatiran akan masa depan. Kebutuhan-kebutuhan dasar bayi dipenuhi oleh pengasuh yang tanggap dan peka. b. Autonomy vs Shame and Doubt (1-3 tahun) Setelah memperoleh kepercayaan dari pengasuh mereka, bayi mulai menemukan bahwa perilaku mereka adalah milik mereka sendiri. Mereka mulai menyatakan rasa mandiri atau otonomi mereka. Apabila bayi terlalu banyak dibatasi dan dihukum terlalu keras, maka mereka akan cenderung mengembangkan rasa malu dan ragu-ragu. c. Initiative vs Guilt (tahun-tahun prasekolah, usia 3-5 tahun). Pada tahapan ini anak-anak prasekolah menghadapi dunia sosial yang lebih luas, mereka akan lebih tertantang dan perlu mengembangkan perilaku yang lebih bertujuan untuk mengatasi tantangan-tantangan ini. anak-anak diharapkan menerima tanggung jawab yang lebih besar. Namun, perasaan bersalah yang tidak menyenangkan dapat muncul jika anak-anak tidak bertanggung jawab dan dibuat merasa terlalu cemas. d. Industry vs Inveriority (tahun-tahun sekolah, usia 6 tahun-pubertas) Prakarsa/inisiatif yang terdapat pada anak akan membawa mereka terlibat dalam kontak dengan pengalaman-pengalaman baru. Ketika mereka beralih ke masa pertengahan dan akhir anak-anak, mereka akan mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual. Bahaya pada tahuntahun sekolah dasar ialah perkembangan rasa rendah diri atau perasaan tidak berkompeten dan tidak produktif. 19 e. Identity vs identity confusion (usia 10-20 tahun) Pada masa ini, individu dihadapkan dengan penemuan siapa diri mereka, bagaimana mereka nantinya, dan kemana mereka menuju dalam kehidupannya. Satu dimensi yang penting pada tahapan ini ialah penjajakan pilihan-pilihan alternatif terhadap peran dan karir individu kedepannya. f. Intimacy vs Isolation (usia 20an-30an tahun) Pada masa ini individu menghadapi tugas perkembangan pembentukan relasi intim dengan orang lain. Saat individu membentuk persahabatan yang sehat dan relasi akrab yang intim dengan orang lain maka keintiman akan dicapai, jika tidak maka isolasi akan terjadi. g. Generativity vs Stagnation (usia 40an-50an tahun) Generativity akan terjadi apabila generasi muda dapat mengembangkan dan mengarahkan kehidupannya ke arah yang berguna dan apabila perasaan belum melakukan sesuatu untuk menolong generasi berikutnya maka akan terjadi stagnation. h. Integrity vs Despair (usia 60an tahun-) Individu menoleh ke masa lalu dan mengevaluasi apa yang telah mereka lakukan dengan kehidupan mereka. Menoleh kembali ke masa lalu dapat bersifat positif (integrity) atau negatif (despair). Berdasarkan pemaparan mengenai perkembangan anak tersebut, maka dapat disebutkan bahwa masa anak dibagi menjadi dua, yaitu masa anak awal dan masa anak akhir. Di setiap masa anak tersebut terjadi proses perkembangan, yaitu meliputi perkembangan fisik, kognitif dan sosioemosional, yang dimana ketiga hal tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. 20 2. Emosi dan Perilaku pada Anak Atwater (1983) menjelaskan emosi merupakan suatu keadaan yang kompleks, kesadaran yang melibatkan sensasi dalam tubuh dan ekspresi yang ditunjukkan yang memiliki kekuatan untuk memotivasi individu dalam bertindak. Emosi berasal dari kata movere, kata kerja bahasa latin yang berarti “menggerakkan atau bergerak”, ditambah awalan “e” untuk memberi arti “bergerak menjauh”menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi (Goleman, 2015). Matsumoto & Juang (2008) menjelaskan bahwa secara umum terdapat enam bentuk emosi, yaitu: marah (anger), jijik (disguist), takut (fear), senang (happiness), sedih (sadness), dan terkejut (surprise). Goleman (2015) menjelaskan bahwa masing-masing emosi menunjukkan reaksi tubuh atau ekspresi yang berbeda-beda, antara lain: a. Bila darah amarah mengalir ke tangan, maka tangan akan sangat mudah menyambar senjata atau menghantam lawan; detak jantung meningkat, dan banjir hormon seperti adrenalin membangkitkan gelombang energi yang cukup kuat untuk bertindak. b. Saat ketakutan, tubuh akan terasa membeku sesaat, adanya keinginan atau reaksi untuk mencari tempat persembunyian. Terproduksinya hormon-hormon yang membuat tubuh menjadi waspada, membuatnya awas dan siap bertindak, dan perhatian tertuju pada ancaman yang dihadapi. c. Salah satu perubahan biologis utama akibat timbulnya kebahagiaan adalah meningkatnya kegiatan di pusat otak yang menghambat perasaat negatif dan meningkatkan energy yang ada, serta menenangkan perasaan yang menimbulkan kerisauan. Konfigurasi tersebut mengistirahatkan tubuh secara menyeluruh dan juga kesiapan dan antusias menghadapi tugas-tugas dan berjuang mencapai sasaran yang lebih besar. 21 d. Naiknya alis mata sewaktu terkejut memungkinkan diterimanya bidang penglihatan yang lebih lebar dan juga cahaya yang masuk ke retina. Reaksi ini membuka kemungkinan lebih banyak informasi tentang peristiwa tak terduga, sehingga memudahkan memahami apa yang sebenarnya terjadi dan menyusun rencana rancangan tindakan yang baik. e. Di seluruh dunia, ungkapan jijik tampak sama dan memberi pesan yang sama, yaitu sesuatu yang menyengat rasa atau bau. Ungkapan wajah rasa jijik yaitu bibir atas mengerut ke samping sewaktu hidung sedikit berkerut. f. Salah satu fungsi pokok emosi sedih adalah menolong menyesuaikan diri akibat kehilangan yang menyedihkan, seperti kematian sahabat atau kekecewaan besar. Kesedihan menurunkan energi dan semangat hidup untuk melakukan kegiatan seharihari. Emosi terdiri dari beberapa komponen, antara lain adalah perubahan psikologis yang meliputi sensasi yang terjadi dalam tubuh, kesadaran subjektif dan interpretasi yang bermakna mengenai sensasi yang dirasakan, serta adanya kemungkinan besar bahwa emosi tersebut akan dinyatakan dalam bentuk perilaku yang tampak (Atwater, 1983). Emosi biasanya dikomunikasikan melalui verbal atau nonverbal. Gerakan tubuh, vokal suara, dan terutama ekspresi wajah menjadi indikator penguat mengenai emosi seseorang. Arnold (dalam Atwater, 1983) menjelaskan bahwa ketika individu menerima stimulus tertentu, maka individu akan segera memberikan penilaian intuitif, selanjutnya penilaian terhadap stimulus yang baik atau buruk tersebut akan menjadi isyarat dapat berespon, sehingga emosi individu akan dipengaruhi oleh tindakan, baik tindakan berupa pendekatan (approach) maupun penghindaran (avoidance). Pada anak-anak, kematangan emosi ditentukan dari hasil interaksi dengan lingkungannya, di mana anak mengalami proses belajar tentang bagaimana emosi itu hadir 22 dan bagaimana cara untuk mengekspresikan emosi-emosi tersebut, baik dalam bentuk ekspresi wajah atau perilaku (Somantri, 2007). Kimble (dalam Hargenhahn & Olson, 2010) menjelaskan bahwa belajar merupakan perubahan yang relatif permanen di dalam behavioral potentiality (potensi perilaku) yang terjadi sebagai akibat dari reinforced practice (praktik yang diperkuat). Watson dan Thorndike (dalam Hargenhahn & Olson, 2010) menyatakan bahwa proses belajar berasal dari pengalaman langsung (direct experience) yaitu proses belajar terjadi sebagai hasil dari interaksi seseorang dengan lingkungan. Bandura (dalam Feist & Feist, 2010) menambahkan bahwa proses belajar juga terjadi dengan cara diwakilkan (vicarious learning), yaitu belajar dengan mengobservasi orang lain. Berdasarkan penjelasan diatas mengenai emosi dan perilaku, maka dapat disimpulkan bahwa, emosi merupakan suatu kesadaran yang melibatkan terjadinya sensasi dalam tubuh dan ekspresi yang ditunjukkan yang memiliki kekuatan untuk memotivasi individu dalam bertindak. Secara umum, terdapat enam bentuk emosi, yaitu sedih, senang, marah, takut, jijik dan terkejut. Emosi dapat muncul ketika individu berinteraksi dengan lingkungannya, yaitu individu akan mengalami proses belajar, baik dengan mengalaminya secara langsung mau pun dengan melakukan observasi terhadap lingkungan sekitar mengenai emosi dan akan mewujudkannya dalam bentuk ekspresi emosi dan perilaku. 3. Definisi Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku Terdapat beberapa definisi dan pemberian nama-nama lain terkait istilah anak dengan gangguan emosi dan perilaku, antara lain seperti: gangguan emosional (emotionally disturb), perilaku sosial dan emosional yang maladaptif (maladaptive social emotional behavior), kelainan perilaku (behaviorally disorder), hambatan dalam pendidikan (educationally handicapped) dan kelainan psikologis (psychological disordered) (Geddes, D. dalam Delphie, 2006). Efendi (2008) juga menjelaskan bahwa terdapat beberapa 23 pemberian istilah yang diberikan kepada anak yang berkelainan emosi dan perilaku, yang terlepas dari pihak yang berkepentingan. Misalnya, orangtua cenderung menyebut anaknya yang memiliki gangguan emosi dan perilaku dengan anak jelek (bad boy), para guru menyebut dengan sebutan anak yang tidak dapat diperbaiki (incurrigible), para psikiater atau psikolog menyebutnya sebagai anak yang terganggu emosinya (emotional disturb child), para pekerja sosial menyebutnya sebagai anak yang tidak dapat mengikuti aturan atau norma sosial yang berlaku (social maladjustment child), atau jika anak-anak tersebut terlibat dalam konflik dengan hukum maka para hakim menyebutnya dengan anak-anak pelanggar atau penjahat (delinquent). Farrell (1995) menyatakan bahwa konsep mengenai gangguan emosi dan perilaku sangat kompleks. Anak-anak yang memiliki gangguan emosi dan perilaku cenderung mengalami perasaan penolakan dan permusuhan dari orang tua dan guru, dan juga mungkin mengalami perasaan tertekan terhadap situasi tertentu. Hallahan, Kauffman & Pullen (2009) menyatakan bahwa anak dengan gangguan emosi dan perilaku tidak mampu dengan baik dalam menjalin hubungan, misalnya hubungan pertemanan. Anak dengan gangguan emosi dan perilaku mengalami kegagalan dalam membangun hubungan emosional yang dekat dan memuaskan dengan orang lain. Jika anak dengan gangguan emosi dan perilaku tersebut dapat membangun hubungan pertemanan, mereka seringkali akan berteman dengan anak-anak yang memiliki perilaku yang menyimpang. Anak dengan gangguan emosi dan perilaku ini suka menghindar dari orang lain. Selain itu terdapat juga anak dengan gangguan emosi dan perilaku yang terisolasi dari lingkungannya, namun bukan karena mereka menghindar dari hubungan pertemanan, tetapi karena mereka yang memulai permusuhan atau tindakan agresi. Akibat dari perilaku tersebut, anak dengan gangguan emosi dan perilaku seringkali dijauhi oleh anak-anak lain atau orang dewasa (orang tua, guru, kakak, dan lain-lain). Menurut Undang-undang Pendidikan Luar Biasa 24 USA (dalam Murtie, 2014) mengidentifikasikan anak dengan gangguan emosi dan perilaku menunjukkan satu atau lebih gejala yang menyertai dalam kurun waktu tertentu. Gangguan ini lambat laun dapat mengganggu prestasi belajar mereka. The National Mental Health and Special Education Coalition (dalam Hallahan, Kauffman, & Pullen, 2009) mengusulkan definisi alternatif mengenai gangguan emosi dan perilaku, yaitu : a. Istilah gangguan emosi dan perilaku (emotional atau behavioral disorder) mengacu pada karakteristik ketidakmampuan (disability) yaitu menunjukkan perilaku dan emosi di sekolah yang berbeda dari usianya, budaya, atau norma-norma yang membuat anak dengan gangguan emosi dan perilaku memiliki performa belajar yang buruk (performa belajar meliputi akademis, sosial, kejuruan, dan kemampuan personal). Karakteristik ketidakmampuan tersebut seperti : 1. Individu dengan gangguan emosi dan perilaku tidak mampu menunjukkan respon atau perilaku yang tepat saat berada pada situasi yang menekan, 2. Individu dengan gangguan emosi dan perilaku menunjukkan dua perilaku atau keadaan yang berbeda secara konsisten, dan 3. Tidak tepat melakukan intervensi terkait pendidikan umum pada individu dengan gangguan emosi dan perilaku, karena: a. Gangguan emosi dan perilaku dapat muncul dengan disabilitas lainnya, b. Kategori gangguan emosi dan perilaku dapat mencakup anak-anak atau remaja yang mengalami schizophrenic disorders, affective disorder, anxiety disorder, atau gangguan conduct or adjustment yang terus menerus ketika anak dengan gangguan emosi dan perilaku menunjukkan performa belajar yang buruk sesuai dengan kriteria (a). 25 Dari beberapa definisi diatas mengenai istilah anak dengan gangguan emosi dan perilaku, maka dapat disimpulkan bahwa anak dengan gangguan emosi dan perilaku merupakan anak yang menunjukkan emosi dan perilaku yang tidak sesuai dengan anak seusianya. Akibatnya, anak menjadi sulit melakukan hubungan secara emosional dengan orang lain. Anak dengan gangguan emosi dan perilaku akan menarik diri dari lingkungan atau sebaliknya, yaitu dijauhi oleh lingkungannya. Selain itu, anak dengan gangguan emosi dan perilaku cenderung memiliki performa yang buruk dalam belajar. 4. Karakteristik Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku Bower (dalam Delphie, 2006) menyatakan bahwa anak dengan gangguan emosi dan perilaku adalah anak-anak yang mempunyai hendaya perilaku secara emosional. Anak dikatakan memiliki hendaya perilaku secara emosional apabila anak tersebut menunjukkan adanya satu atau lebih dari lima komponen berikut ini: a. Tidak mampu belajar, bukan disebabkan karena faktor intelektual, sensori atau kesehatan. b. Tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guruguru. c. Bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya. d. Secara umum, mereka selalu dalam keadaan tidak menggembirakan atau depresi. e. Bertendensi kearah simptom fisik seperti: merasa sakit atau ketakutan berkaitan dengan orang atau permasalahan di sekolah. Hallahan & Kauffman (dalam Efendi, 2008) menjelaskan bahwa seseorang yang diidentifikasi mengalami gangguan atau kelainan perilaku adalah: a. Individu yang tidak mempu mendefinisikan secara tepat kesehatan mental dan perilaku yang normal. b. Individu yang tidak mampu mengukur emosi dan perilakunya sendiri. 26 c. Individu yang mengalami kesulitan dalam menjalankan fungsi sosialisasi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa anak dengan gangguan emosi dan perilaku memiliki karakteristik, yaitu tidak mampu mendefiniskan atau menunjukkan emosi dan perilaku secara tepat, cenderung menunjukkan perasaan yang tidak menggembirakan atau depresi sehingga sulit untuk menjalin hubungan dengan orang lain dan memiliki hambatan dalam belajar. 5. Klasifikasi Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku Bratanata (dalam Somantri, 2007) mengemukakan bahwa anak dengan gangguan emosi dan perilaku dicirikan oleh seberapa jauh anak menunjukkan tindak kenakalan, tingkat kelainan emosi dan status sosialnya. Dilihat dari sumber pemicu tumbuhnya perilaku menyimpang pada anak dengan gangguan emosi dan perilaku, maka anak dengan gangguan emosi dan perilaku dapat diklasifikasikan menjadi (Efendi, 2008) : a. Penyimpangan tingkah laku sebagai bentuk kelainan emosi Anak yang dikategorikan memiliki kelaianan emosi adalah anak yang mengalami kesulitan menyesuaikan perilakunya dengan lingkungan sosial karena adanya tekanan dari dalam (inner tension), akibat adanya hal-hal yang bersifat neurotik atau psikotik. Indikasi anak berkelainan emosi dapat dipantau dari tekanan jiwa yang ditunjukkan dalam bentuk kecemasan yang mendalam (anxiety, neurotism) maupun perilaku psikose. Perilaku anak penyandang kelainan emosi dalam konteks yang lebih besar mengalami penyimpangan penyesuaian perilaku sosial (Kirk dalam Efendi, 2008). Somantri (2007) mengemukakan bahwa anak yang mengalami kelainan emosi dapat diklasifikasikan dalam kategori sebagai berikut: 27 1. Neurotic behavior Anak pada kategori ini masih bisa bergaul dengan orang lain, akan tetapi mempunyai permasalahan pribadi yang tidak mampu diselesaikan. Anak sering dan mudah sekali dihinggapi perasaan sakit hati, perasaan marah, cemas dan agresif, serta rasa bersalah. 2. Children with psychotic processes Anak pada kategori ini sudah menyimpang dari kehidupan yang nyata, sudah tidak memiliki kesadaran diri serta tidak memiliki identitas diri. Adanya ketidaksadaran tersebut disebabkan oleh gangguan pada sistem syaraf sebagai akibat dari keracunan, misalnya: minuman keras dan obat-obatan. Menurut Efendi (2008) anak kelainan emosi, ekspresinya ditampakkan dalam bentuk sebagai berikut : 1. Kecemasan mendalam tetapi kabur dan tidak menentu arah kecemasan yang dituju (anxiety neurotic). Kondisi ini digunakan sebagai alat untuk mempertahankan diri melalui represi. 2. Kelemahan seluruh jasmani dan rohani yang disertai dengan berbagai keluhan sakit pada beberapa bagian badannya (astenica neurotic). Kondisi ini terjadi akibat konflik batin atau tekanan emosi yang sukar diselesaikan. Alat utuk mempertahankan diri dari kondisi ini melalui penarikan diri dari pergaulan. 3. Gejala yang merupakan tantangan balas dendam karena adanya perlakuan yang kasar (hysterica konversia). Kondisi ini terjadi akibat perlakuan kasar yang diterima sehingga ia juga akan berlaku kasar terhadap orang lain sebagai balas dendam untuk kepuasan dirinya. 28 b. Penyimpangan tingkah laku sebagai bentuk kelainan penyesuaian sosial Mackie (dalam Efendi, 2008) mengemukakan bahwa anak yang dikategorikan kelainan penyesuaian perilaku sebagai bentuk kelainan penyesuaian sosial adalah anak yang mempunyai tingkah laku tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku di rumah, di sekolah, dan di masyarakat lingkungannya. Cruickshank (dalam Somantri, 2007) mengemukakan bahwa anak yang mengalami kelainan penyesuaian perilaku sebagai bentuk kelainan penyesuaian sosial dapat diklasifikasikan dalam kategori sebagai berikut: 1. The semi-socialize child Anak yang termasuk ketegori ini dapat mengadakan hubungan sosial tetapi terbatas pada lingkungan tertentu, misalnya: keluarga dan kelompoknya. 2. Children arrested at a primitive level or socialization Anak pada kategori ini dalam perkembangan sosialnya berhenti pada level atau tingkatan yang rendah. Anak pada kategori ini tidak pernah mendapat bimbingan mengenai sikap sosial dan mengabaikan pendidikan sehingga anak akan melakukan apa saja yang dikehendaki. 3. Children with minimum socialization capacity Anak pada kategori ini tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-sikap sosial. Hal tersebut disebabkan oleh pembawaan/kelainan atau karena anak tidak pernah mengenal hubungan kasih sayang sehingga anak pada kategori ini banyak bersikap apatis dan egois. Efendi (2008) menjelaskan bahwa anak kesulitan penyesuaian sosial dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut: 29 1. Anak agresif yang sukar bersosialisasi adalah anak yang benar-benar tidak dapat meyesuaikan diri, baik di lingkungan rumah, sekolah, maupun teman sebaya. Sikap pada anak ini dimanifestasikan dalam bentuk memusuhi otoritas (guru, orang tua, polisi), suka balas dendam, berkelahi, senang curang, mencela dan lain-lain. 2. Anak agresif yang mampu bersosialisasi adalah anak yang tidak dapat menyesuaikan diri di lingkungan rumah, sekolah, ataupun masyarakat, tetapi mereka masih memiliki bentuk penyesuaian diri yang khusus, yaitu dengan teman sebaya yang senasib (geng). Sikap anak tipe ini dimanifestasikan dalam bentuk agresivisme, memusuhi otoritas, setia pada kelompok, suka melakukan kejahatan pengeroyokan serta pembunuhan. 3. Anak yang menutup diri berlebihan (over inhibited children) adalah anak yang tidak dapat menyesuaikan diri karena neurosis. Sikap anak tipe ini dimanifestasikan dalam bentuk over sensitive, sangat pemalu, menarik diri dari pergaulan, mudah tertekan, rendah diri dan lain-lain. Dengan demikian, maka klasifikasi anak dengan gangguan emosi dan perilaku dibagi menjadi dua, yaitu penyimpangan tingkah laku sebagai bentuk kelainan emosi karena adanya tekanan dari dalam diri anak akibat adanya hal-hal yang bersifat neurotik dan psikotik serta penyimpangan tingkah laku sebagai bentuk kelainan penyesuaian sosial, yaitu anak yang berperilaku tidak sesuai dengan adat kebiasaan di lingkungan sekitarnya. 6. Faktor Penyebab Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku Farrell (1995) menyatakan bahwa ketika membahas penyebab gangguan emosi dan perilaku pada anak-anak, penting untuk menyadari bahwa terdapat kemungkinan adanya sejumlah faktor yang saling terkait dan perlu untuk dipertimbangkan. Secara umum, penyebab terjadinya gangguan emosi dan perilaku dapat diklasifikasikan, yaitu : faktor penyebab bersifat internal dan faktor penyebab bersifat eksternal. 30 a. Faktor penyebab bersifat internal Faktor penyebab internal adalah faktor-faktor yang langsung berkaitan dengan kondisi individu sendiri, yaitu seperti: 1. Keturunan Keturunan memberikan banyak bukti, salah satunya yaitu bayi yang dilahirkan dalam keadaan abnormal berasal dari keturunan yang abnormal pula. Keabnormalan perilaku menyimpang yang dilakukan oleh orang tuanya memberikan kontribusi gangguan pada generasi berikutnya (Patton dalam Efendi, 2008). 2. Faktor Psikologis Meier (Efendi, 2008) dalam penelitiannya menghubungkan antara variabel frustrasi dengan prilaku abnormal. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa seorang yang mengalami kesulitan memecahkan persoalan akan menimbulkan perasaan frustrasi. Akibat frustrasi tersebut akan timbul konflik kejiwaan. Bagi individu yang yang memiliki stabilitas kepribadian yang baik, konflik psikologis tersebut dapat diselesaikan dengan baik pula. namun, bagi individu yang memiliki kepribadian neurotik, konflik tersebut tidak dapat diselesaikan dengan baik. akibatnya akan timbul perilaku menyimpang sebagai defence mechanism. 3. Faktor Biologis Anak yang lahir dengan kondisi fisik biologis tertentu akan menentukan style perilaku (temperamen). Anak yang mengalami kesulitan menempatkan temperamennya, akan memberikan kecenderungan untuk berkembangnya kondisi kelainan perilaku dan emosi. 31 b. Faktor penyebab yang bersifat eksternal Faktor penyebab internal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar individu, yaitu seperti: 1. Lingkungan keluarga Anak-anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku cenderung berasal dari keluarga yang sosial dan ekonominya rendah (Farrell, 1995). Cooper (dalam Farrell, 1995) merangkum beberapa bukti yang menunjukkan anak dengan gangguan emosi dan perilaku mengalami beberapa perlakuan di lingkungan rumahnya, antara lain : a. Kurangnya minat orang tua terhadap pendidikan b. Disiplin yang ditunjukkan oleh orang tua tidak konsisten dan tidak efektif c. Orang tua kurang dalam memberikan kasih sayang kepada anak d. Ketidakpedulian, permusuhan atau penolakan yang ditunjukkan oleh orang tua. e. Orang tua menunjukkan kekerasan dan kemarahan kepada anak f. Penggunaan hukuman fisik yang dilakukan oleh orang tua g. Kekejaman atau kelalaian orang tua. 2. Lingkungan sekolah Kegagalan sekolah untuk memenuhi tugas kewajibannya dalam membantu aspek-aspek kepribadian anak didiknya dapat berpengaruh pada kehidupan sosial dan emosi anak, dampaknya akan menimbulkan problem tingkah laku pada anak didiknya. Beberapa aspek yang berkaitan dnegan sekolah yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan perilaku dan emosi antara lain: a. Hubungan sosial guru dan murid yang kurang harmonis b. Tuntutan kurikulum yang tidak sesuai dengan tingkat perkembangan anak 32 c. Hubungan antar teman sebaya yang kurang baik d. Kurangnya perhatian guru terhadap hal-hal yang bersifat positif dan konstruktif e. Kurangnya sarana dan prasarana pengembangan kreativitas dan aktivitas f. Disiplin sekolah yang terlalu longgar, kaku, tidak konsisten g. Pembelajaran yang mengorbankan keterampilan anak untuk mengembangkan imajinasi benar dan salah h. Lingkungan sekolah yang tidak memberikan pengalaman dan perhatian khusus pada anak. 3. Lingkungan Masyarakat Standar perilaku dan nilai yang menjadi acuan tindakan yang mengkomunikasikan kepada anak melalui berbagai variasi kondisi budaya, didalamnya menyangkut tuntutan, larangan, model, atau beberapa model budaya khusus yang dapat memengaruhi lompatan mental seperti macam kekerasan yang ditampilkan melalui media (terutama televisi dan gambar hidup lainnya), memberikan kontribusi yang besar lahirnya perilaku menyimpang (Hallahan & Kauffman dalam Efendi, 2008). Berdasarkan penjelasan mengenai faktor penyebab anak mengalami gangguan emosi dan perilaku tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa anak dapat mengalami gangguan emosi dan perilaku karena dua faktor. Faktor yang pertama adalah faktor internal yaitu faktor yang langsung berkaitan dengan kondisi anak sendiri, antara lain: faktor keturunan, psikologis dan biologis. Faktor yang kedua adalah faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar, antara lain: lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. 33 C. Art Therapy 1. Definisi Art Therapy Art merupakan media yang ampuh untuk digunakan sebagai sarana berkomunikasi (Malchiodi, 2003). Saat ini, sudah diakui secara luas bahwa ekspresi art merupakan cara berkomunikasi secara visual mengenai pikiran dan perasaan yang terlalu menyakitkan bila diungkapkan melalui kata-kata. Kegiatan kreatif melalui art ini telah digunakan dalam psikoterapi dan konseling. The American Art Therapy Association (dalam Hirawan, 2014) menjelaskan bahwa art therapy merupakan metode terapeutik yang menggunakan pembuatan seni, hubungan profesional, pada individu yang memiliki pengalaman yang menyakitkan, trauma, atau individu yang memiliki tantangan dalam hidupnya. Melalui kesenian dan melakukan refleksi terhadap hasil seni dan prosesnya, individu dapat meningkatkan kesadaran terhadap diri sendiri dan orang lain, mengatasi gejala-gejala stres, pengalaman traumatik, meningkatkan kemampuan kognitif, dan dapat menikmati kehidupan yang menyenangkan dengan membuat kesenian. Canadian Art Therapy Association (dalam Edwards, 2004) juga menjelaskan bahwa art therapy adalah bentuk psikoterapi yang memungkinkan sebagai bentuk ekspresi emosional dan penyembuhan melalui cara-cara nonverbal. Anak-anak, tidak seperti kebanyakan orang dewasa, seringkali tidak bisa dengan mudah mengekspresikan diri secara verbal. Sedangkan, orang dewasa, di sisi lain dapat menggunakan kata-kata untuk bentuk intelektual dan menjauhkan diri dari emosi mereka. Art therapy memungkinkan klien untuk keluar dari hambatan tersebut, seperti kesulitan dalam mengekspresikan diri, yaitu dengan menggunakan bahan seni sederhana. Art therapy didasarkan pada gagasan bahwa proses kreatif melalui pembuatan karya seni dapat menyembuhkan dan meningkatkan kehidupan serta merupakan bentuk 34 komunikasi nonverbal dari pikiran dan perasaan (American Art Therapy Association dalam Malchiodi, 2003). Seperti halnya bentuk-bentuk lain dari psikoterapi dan konseling, art therapy digunakan untuk mendorong pertumbuhan pribadi inidvidu, meningkatkan pemahaman diri, dan membantu dalam memperbaiki emosi. Art therapy telah digunakan dalam berbagai macam pengaturan, baik dengan anak-anak, orang dewasa, keluarga, dan kelompok. Art therapy ini adalah modalitas yang dapat membantu individu dari segala usia untuk menciptakan berbagai makna dan mencapai wawasan, mencari bantuan akibat pengalaman emosi yang menyakitkan atau trauma, menyelesaikan konflik dan masalah, memperkaya kehidupan sehari-hari, dan mencapai peningkatan rasa kesejahteraan (Malchiodi, 2003). Dari beberapa definisi mengenai art therapy, maka dapat disimpulkan art therapy merupakan metode terapiutik yang menggunakan pembuatan seni, melalui hubungan profesional antara terapis dengan individu yang memiliki pengalaman yang menyakitkan, trauma, atau individu yang memiliki tantangan dalam hidupnya. Melalui art, individu dapat mengkomunikasikan emosi atau perasaan yang dirasakan, menyelesaikan konflik masalah, serta mencapai peningkatan rasa kesejahteraan. 2. Desain Art Therapy Buchalter (2009) menyatakan bahwa art therapy dapat diterapkan dalam berbagai cara. Art therapy bermanfaat untuk memunculkan pikiran dan perasaan individu secara spontan dan dengan pendekatan yang terstruktur, art therapy terbukti memberikan efek terapeutik. Dalam membuat rancangan art therapy, semakin banyak alat (tools) yang digunakan, maka hasilnya akan semakin kuat dan semakin efektif. Dalam penerapannya, terapis menggunakan teknik verbatim dan memodifikasi kegiatan art therapy sesuai dengan kebutuhan individu (klien). 35 Lowenstein (2011) membagi kegiatan art therapy menjadi tiga tahapan. Tahapan pertama merupakan engagement and assessment merupakan kegiatan dengan melakukan keterlibatan dan penilaian mengenai kegiatan dengan menyertakan keterlibatan para ahli (terapis, dokter atau psikolog) dalam mengevaluasi klien, tahapan kedua merupakan treatment intervention yaitu memfasilitasi klien untuk mendapatkan efek terapeutik, serta tahapan terakhir merupakan termination intervention yaitu mengevaluasi hasil intervensi dan juga merupakan tahapan penyelesaian terapi. Penelitian ini menggunakan tahapan pertama, yaitu engagement and assessment untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh klien melalui wawancara. Dalam pelaksanaannya, penelitian ini melibatkan tenaga psikolog mulai dari penyusunan rancangan kegiatan, guideline wawancara dan evaluasi hasil. 3. Manfaat Art Therapy Menurut Malchiodi (2003), melalui kegiatan art atau seni ini, tidak hanya membantu individu untuk mengungkapkan perasaan atau emosinya dengan cara atau bahasa yang lain, tetapi juga dapat membantu individu dari segala usia untuk mengeksplorasi emosi dan keyakinan, mengurangi stres, mengatasi masalah dan konflik, dan meningkatkan rasa kesejahteraan. Mark Wagner (dalam Hirawan, 2014) terdapat 10 manfaat art atau seni bagi anakanak, yaitu : a. Seni mengajarkan pemecahan masalah. Mengerjakan sebuah karya seni memberikan pengalaman pada anak betapa banyaknya kemungkinan dan solusi yang bisa diambil dalam menghadapi suatu masalah/tugas. 36 b. Seni mempersiapkan anak-anak menghadapi masa depannya. Anak yang bertumbuh dalam stimulasi kreativitas dan open minded akan memiliki peluang lebih luas dalam perjalanan karirnya, karena kreativitas adalah life skill yang dibutuhkan dalam berbagai situasi sehari-hari. c. Seni mengembangkan kecintaan akan belajar dan keterbukaan atas ide-ide baru. Aktivitas seni mengajarkan keberanian mengambil resiko dan keterbukaan akan berbagai kemungkinan. d. Seni adalah bisnis internasional. Seni tidak mengenal batas, para pekerja seni dapat melintasi batas jarak dan Negara. e. Seni mengembangkan kemampuan otak kiri dan otak kanan. Seni membutuhkan fokus, konsentrasi dan berbagai koordinasi visual motorik. f. Seni meningkatkan performansi kepribadian. Aktivitas seni dapat meningkatkan kepercayaan diri, motivasi, komunikasi, kerja sama dan juga memperkuat hubungan dengan lingkungan sekitarnya. g. Seni memfasilitasi kecerdasan emosional. Seni dapat membantu anak-anak untuk mengekspresikan perasaannya, terutama pada anak yang masih memiliki keterbatasan bahasa. Sering kali anak-anak mampu menemukan kesenangan dan kebanggan atas karya yang mereka hasilkan. h. Seni mengembangkan aktivitas dalam komunitas. Seni adalah satu-satunya bidang yang menembus batas-batas budaya, agama, ras, maupun tingkat sosial ekonomi. Bahasa seni adalah bahasa emosi dimana batasan pengetahuan dan logika tidak menjadi hambatan untuk memahami suatu karya seni. i. Seni meningkatkan kepekaan. Seni membuka hati dan pikiran akan kemungkinan-kemungkinan dan imajinasi. 37 j. Seni adalah media tanpa batasan. Kreativitas dan pengekspresian diri adalah hal yang penting dalam hidup manusia. Sejarah menunjukkan bahwa manusia purba memiliki kreativitas sejak petroglyphs, cave paintings, juga patung-patung kuno yang ditemukan. Sama dengan anak-anak, hal pertama yang mereka lakukan adalah bermain, menggambar, dan menggunakan imajinasi mereka tanpa adanya batasan. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan art atau seni memiliki banyak manfaat. Secara psikologis, melalui kegiatan seni individu dapat mengungkapkan dan mengeksplorasi emosi yang dirasakan, mengurangi stress, mengatasi konflik dan meningkatkan kesejahteraan. Selain itu, art juga memiliki manfaat lainnya, yaitu seni mengajarkan pemecahan masalah, mempersiapkan anak-anak dalam menghadapi masa depan, mengembangkan ide-ide baru, seni sebagai bisnis internasional, membantu mengembangkan otak kanan dan otak kiri, performansi kepribadian, memfasilitasi kecerdasan emosional, mengembangkan mengembangkan kreativitas. aktifitas, meningkatkan kepekaan, dan 38 D. Perspektif Teoretis Perkembangan anak (fisik, kognitif, sosioemosional) Kebutuhan-kebutuhan dasar Kebutuhan fisiologis Perkembangan Normal Kebutuhan psikologis Perkembangan Terganggu Gangguan emosi dan perilaku Art Therapy Keterangan bagan : : Latar belakang yang menjadi fokus penelitian : Latar belakang yang tidak menjadi fokus penelitian : Tidak diteliti : Alur konsep : Terdiri dari Gambar 1. Skema Gambaran Kebutuhan Psikologis pada Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku (Tinjauan Kualitatif dengan Art Therapy sebagai Metode Penggalian Data) 39 Perspektif penelitian ini mengambil latar belakang bahwa dalam proses tumbuh kembang anak, akan timbul kebutuhan-kebutuhan pada diri anak yang harus dipenuhi agar anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi dewasa seutuhnya. Adapun kebutuhankebutuhan tersebut meliputi kebutuhan dasar yaitu fisiologis dan kebutuhan psikologis. Kebutuhan fisiologis atau kebutuhan primer meliputi makan, minum, oksigen, dan lainlain, sedangkan kebutuhan psikologis atau kebutuhan sekunder meliputi cinta, kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan akan rasa terlindung dan aman, serta kebutuhan akan mengetahui sesuatu. Kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut mutlak diperlukan, bahkan memegang peranan penting untuk memberikan landasan dari mana pertumbuhan dan perkembangan aspek lain dilanjutkan (Gunarsa, 2008). Dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut, individu akan melakukan tindakan/perilaku serta emosi yang tepat dan efektif. Ketika individu gagal menunjukkan tindakan serta emosi yang tepat, maka individu akan mengalami kekecewaan yang mendalam. Adanya pengalaman-pengalaman yang mengecewakan bagi diri seorang anak pada masa perkembangannya akan memudahkan timbulnya masalah gangguan penyesuaian diri dikemudian hari (Atmodiwirjo, 2008). Salah satu gangguan penyesuaian diri yang dapat dialami oleh anak-anak adalah gangguan emosi dan perilaku. Anak dengan gangguan emosi dan perilaku merupakan anak yang memiliki gangguan emosi dan tingkah laku. Akibatnya anak menjadi sulit melakukan hubungan emosional dengan orang lain. Anak dengan gangguan emosi dan perilaku akan menarik diri dari lingkungan atau sebaliknya, yaitu dijauhi oleh lingkungannya, selain itu anak dengan gangguan emosi dan perilaku cenderung memiliki performa yang kurang baik dalam belajar. Art therapy merupakan salah satu metode yang dapat digunakan sebagai media komunikasi untuk mengetahui atau mengungkap kebutuhan-kebutuhan psikologis pada 40 anak dengan gangguan emosi dan perilaku. Art therapy adalah metode terapeutik yang menggunakan pembuatan seni, melalui hubungan profesional antara terapis dengan individu yang memiliki pengalaman yang menyakitkan, trauma, atau individu yang memiliki tantangan dalam hidupnya. Penelitian ini menggunakan art therapy sebagai metode berkomunikasi antara peneliti dan anak dengan gangguan emosi dan perilaku, karena anak dengan gangguan emosi dan perilaku memiliki kesulitan untuk mengungkapkan atau mengenali emosi yang sedang dirasakannya. E. Pertanyaan Penelitian Adapun pertanyaan penelitian yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah bagaimana gambaran kebutuhan psikologis pada anak dengan gangguan emosi dan perilaku yang diungkap melalui wawancara dan observasi dengan metode art therapy.