BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebutuhan Psikologis 1. Definisi

advertisement
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebutuhan Psikologis
1. Definisi Kebutuhan Psikologis
Pada masa perkembangan anak-anak akan timbul kebutuhan-kebutuhan atau
keinginan untuk menjadi sesuatu (Gunarsa, 2008). Kebutuhan-kebutuhan tersebut harus
diperhatikan oleh orang tua agar anak mereka memiliki potensi dan dapat berkembang
sesuai dengan potensi-potensi yang dimiliki (Purnomo, 1990). Rotter (dalam Feist & Feist,
2010) mendefinisikan kebutuhan sebagai perilaku atau seperangkat perilaku yang dapat
menggerakkan individu ke arah suatu tujuan. Kebutuhan bukan sesuatu kondisi
kekurangan atau rangsangan, akan tetapi kebutuhan merupakan indikator dari tujuan
perilaku.
Maslow mengemukakan bahwa kebutuhan “as desire to become more and more
what one is, to become everything that one is capable of becoming” (Gunarsa, 2008).
Menurut Maslow (dalam Gunarsa, 2008), kebutuhan dapat dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu :
a. Kelompok yang terdiri dari kebutuhan dasar, kebutuhan primer atau kebutuhan
fisiologis, seperti makan, minum, oksigen dan lain-lain,
b. Kelompok yang terdiri dari kebutuhan sekunder atau kebutuhan psikologis,
seperti cinta, kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan rasa terlindungi dan
aman, serta kebutuhan untuk mengetahui sesuatu.
Murray (dalam Hall & Lindzey, 1993) menjelaskan bahwa kebutuhan merupakan
suatu konstruk yang mewakili suatu daya pada bagian otak, kekuatan yang mengatur
persepsi, apersepsi, pemahaman, konasi dan kegiatan sedemikian rupa untuk mengubah
situasi yang ada dan yang tidak memuaskan ke arah tertentu. Setiap kebutuhan secara khas
10
dibarengi oleh perasaan atau emosi tertentu dan seringkali dibarengi oleh tindakantindakan instrumental tertentu yang efektif untuk menghasilkan keadaan akhir yang
diinginkan (Hall & Lindzey, 1993). Murray (dalam Hall & Lindzey, 1993) menjelaskan
bahwa terdapat dua tipe kebutuhan, yaitu :
1. Kebutuhan primer / kebutuhan viskerogenik
Kebutuhan primer atau kebutuhan viskerogenik berhubungan dengan peristiwaperistiwa organis tertentu yang khas, dan secara khusus berkenaan dengan
kepuasan-kepuasan fisik. Contohnya adalah kebutuhan akan udara, air, makanan,
seks, laktasi, buang air besar dan buang air kecil.
2. Kebutuhan sekunder / kebutuhan psikogenik
Kebutuhan sekunder atau kebutuhan psikogenik berasal dari kebutuhan primer dan
ditandai oleh tidak adanya hubungan dengan proses-proses organis atau kepuasan
fisik khusus.
Adapun bagian-bagian kebutuhan psikogenik menurut Murray (dalam Hall &
Lindzey, 1993) adalah :
a. Need of Abasement (Sikap merendah)
Tunduk secara pasif terhadap kekuatan luar; menerima perlakuan yang tidak
adil, kritik dan hukuman; menyerah, menyalahkan, meremehkan, merendahkan
diri sendiri, merusak diri sendiri; mencari dan menikmati penderitaan,
hukuman, penyakit dan kemalangan.
b. Need of Achievement (Prestasi)
Menyelesaikan sesuatu yang sulit; mengunggulkan diri; menyaingi dan
mengungguli orang lain; meningkatkan harga diri dengan menyalurkan bakat
secara berhasil.
11
c. Need of Affiliation (Afiliasi)
Membuat senang dan mencari afeksi dari objek yang disukai; patuh dan tetap
setia pada seorang kawan, menjalin persahabatan.
d. Need of Aggression (Agresi)
Menghadapi perlawanan dengan kekerasan; melawan; membalas perbuatan
yang tidak adil; menyerang, melukai; melawan dengan kekerasan atau
menghukum orang lain.
e. Need of Autonomy (Otonomi)
Bebas; menolak untuk dipaksa atau dilarang; menghindari atau meninggalkan
kegiatan-kegiatan yang ditentukan oleh autoritas-autoritas yang menguasai;
tidak terikat, tidak bertanggung jawab.
f. Need of Counteraction (Memperbaiki situasi)
Menguasai atau memperbaiki kegagalan dengan berjuang lagi; menghilangkan
pelecehan
dengan
memulai
tindakan;
menekan
perasaan
takut;
mempertahankan harga diri dan kebanggaan pada taraf yang tinggi.
g. Need of Defendance (Membela diri)
Mempertahankan diri terhadap serangan, kritik dan celaan; menyembunyikan
atau
membenarkan
perbuatan
tercela,
kegagalan
atau
penghinaan;
mempertahankan diri.
h. Need of Deference (Sikap hormat)
Memuji, menghormati, atau menyanjung; dengan senang hati tunduk pada
pengaruh orang lain yang dikenal; menyesuaikan diri dengan kebiasaan.
i. Need of Dominance (Dominasi)
Mempengaruhi atau mengarahkan tingkah laku orang lain dengan saran,
bujukan, imbauan, atau perintah; mencegah, menghambat atau melarang.
12
j. Need of Exhibition (sikap menonjolkan diri)
Menciptakan kesan; senang dilihat dan didengar; membuat orang lain kagum,
terpesona, terhibur, terkejut, ingin tahu, senang atau terpikat.
k. Need of Harm avoidance (Menghindari bahaya)
Menghindari rasa sakit, luka fisik, penyakit dan kematian; melarikan diri dari
situasi berbahaya; mengambil tindakan pencegahan, kebutuhan akan rasa aman.
l. Need of In avoidance (Menghindari rasa hina)
Menghindari penghinaan; meninggalkan situasi yang memalukan atau
menghindari kondisi yang bisa menimbulkan pelecehan : caci maki, ejekan,
atau sikap masa bodoh orang lain; menahan diri untuk bertindak karena takut
gagal.
m. Need of Nurturance (Sikap memelihara)
Memberi simpati dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan objek yang tidak
berdaya : bayi, objek yang lemah atau cacat, ragu-ragu, kalah, dihina, kesepian,
patah hati, sakit, bingung; membantu objek yang dalam bahaya; memberi
makanan, membantu, menghibur, melindungi.
n. Need of Order (Ketertiban)
Mengatur barang-barang; menjaga kebersihan, susunan, keseimbangan,
keteraturan, ketelitian.
o. Need of Play (Permainan)
Berbuat untuk “kesenangan” tanpa tujuan lebih lanjut; suka tertawa dan
membuat lelucon; mengambil bagian dalam permainan, olahraga, joget, pesta,
bermain kartu.
13
p. Need of Rejection (Penolakan)
Memisahkan diri dari objek yang tidak disenangi; mengucilkan, melepaskan,
mengusir atau bersikap masa bodoh terhadap objek yang lebih rendah;
menghina atau memutuskan hubungan cinta dengan objek.
q. Need of Sentience (Keharuan)
Mencari dan menikmati kesan-kesan yang menyentuh perasaan, kesan yang
menyenangkan.
r. Need of Sex (Seks)
Menjalin dan meningkatkan hubungan erotik. Mengadakan hubunga seksual.
s. Need of Succorance (Pertolongan dalam kesusahan)
Memuaskan kebutuhan-kebutuhan dengan bantuan simpatik dari objek yang
dikenal; dirawat, didukung, dikelilingi, dilindungi, dicintai, dinasihati,
dibimbing, dimanjakan, diampuni, dihibur; menempel pada seorang pelindung
setia; selalu memiliki seorang pendukung.
t. Need of Understanding (Pemahaman)
Menanyakan atau menjawab pertanyaan-pertanyaan umum; tertarik pada teori;
memikirkan, merumuskan, menganalisis, dan menggeneralisasikan.
Berdasarkan pemaparan diatas mengenai kebutuhan psikologis, maka dapat
disimpulkan bahwa kebutuhan psikologis merupakan tindakan atau perilaku individu
dalam memenuhi perasaan atau kepuasan yang bersifat psikologis, seperti kebutuhan akan
sikap merendah, prestasi, afiliasi, agresi, otonomi, counteraction, membela diri, sikap
hormat, dominasi, sikap menonjolkan diri, menghindari bahaya, menghindari rasa hina,
sikap memelihara, ketertiban, permainan, penolakan, keharuan, seks, pertolongan dalam
kesusahan, dan pemahaman.
14
2. Dinamika Kebutuhan Psikologis
Murray (dalam Hall & Lindzey, 1993) menyatakan bahwa adanya kebutuhan dapat
disimpulkan dari :
a. Akibat atau hasil akhir dari tingkah laku,
b. Pola atau cara khusus tingkah laku yang bersangkutan,
c. Perhatian dan respon selektif terhadap kelompok objek stimulus tertentu,
d. Ungkapan emosi atau perasaan-perasaan tertentu, dan
e. Ungkapan kepuasan apabila akibat tertentu dicapai atau kekecewaan apabila
akibat tersebut tidak tercapai.
Pemuasan kebutuhan-kebutuhan ini sangatlah penting selama tahun-tahun awal
kehidupan, khususnya selama dua tahun pertama (Goble, 1987). Kondisi lingkungan
sekitar dan keadaan sosial dalam masyarakat berkaitan erat dengan motivasi seseorang
dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. Maslow (dalam Goble, 1987)
menjelaskan bahwa kondisi-kondisi yang merupakan prasyarat bagi pemuasan kebutuhan
dasar meliputi antara lain: kemerdekaan untuk berbicara, kemerdekaan untuk melakukan
apa saja yang diinginkan sepanjang tidak merugikan orang lain, kemerdekaan untuk
menyelidiki, kemerdekaan untuk mempertahankan atau membela diri, keadilan, kejujuran,
kewajaran, dan ketertiban. Kondisi-kondisi tersebut akan dipertahankan, sebab tanpa
kondisi-kondisi tersebut aneka kepuasan dasar mustahil didapat atau setidaknya menjadi
sangat terancam. Fromm (dalam Feist & Feist, 2010) percaya bahwa kurang terpuaskannya
kebutuhan-kebutuhan pada manusia, akan membuat manusia tidak tahan dan akhirnya
kehilangan kewarasan. Oleh kerana itu, manusia tergerak dengan sangat kuat untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan satu cara atau lainnya, baik secara positif atau
negatif.
15
Berdasarkan uraian mengenai dinamika kebutuhan psikologis diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa dalam pemenuhan kebutuhan baik fisiologis mau pun psikologis,
terdapat dorongan berupa motivasi dalam diri individu sehingga individu akan
menunjukkan perilaku-perilaku efektif serta emosi tertentu dalam mencapai kepuasan
kebutuhan, baik fisiologis dan psikologis, dimana munculnya motivasi akan pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan tersebut karena dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar
individu.
B. Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku
1. Anak dan Perkembangannya
Menurut Hurlock (1980) masa anak dibagi menjadi dua periode, yaitu :
a. Masa anak awal, berlangsung dari usia 2-6 tahun.
b. Masa anak akhir, berlangsung dari usia 6-12 tahun.
Masa anak-anak awal dan akhir memiliki perkembangan yang berbeda. Menurut
Santrock (2002) perkembangan memiliki arti pola gerakan atau perubahan yang dimulai
dari pembuahan dan terus berlanjut sepanjang siklus kehidupan. Pola gerakan adalah
kompleks karena gerakan merupakan produk dari beberapa proses biologis, kognitif dan
sosial. Soetjiningsih (2012) menyatakan bahwa ketiga proses tersebut saling berkaitan dan
saling mempengaruhi.
Proses biologis meliputi perubahan sifat fisik individu. Menurut Papalia et al.
(2010), pada usia tiga hingga enam tahun, seorang anak tumbuh dengan cepat, namun tidak
secepat pada masa sebelumnya, sedangkan pertumbuhan dimasa kanak-kanak akhir
cenderung berjalan lebih lambat. Pada awal periode usia enam tahun anak-anak masih
terlihat seperti anak-anak kecil. Namun diakhir periode sekitar usia 12 tahun, anak-anak
sudah berubah dan mulai tampak seperti orang dewasa (Papalia et al., 2010). Terdapat
beberapa perubahan yang menonjol pada tahapan ini, antar lain : perubahan yang cepat
16
pada ukuran tubuh, kekuatan otot tubuh, dan kemampuaan koordinasi, pada anak
perempuan mulai muncul payudara sekitar usia 10 tahun.
Proses kognitif meliputi perubahan pada pemikiran, intelegensi dan bahasa
individu. Piaget membagi perkembangan kognisi anak-anak dan remaja menjadi empat
tahapan (Slavin, 2008), yaitu :
a. Tahap Sensorimotor (pada saat lahir hingga usia 2 tahun)
Merupakan tahapan ketika bayi belajar tentang sekeliling mereka dengan
menggunakan indra dan kemampuan motor mereka.
b. Tahap Praoperasional (usia 2-7 tahun)
Merupakan tahapan ketika anak-anak belajar melambangkan segala sesuatu dalam
pikiran. Selama tahapan ini, bahasa dan konsep anak-anak berkembang dengan
kecepatan yang luar biasa.
c. Tahap Operasional Konkret (usia 7-11 tahun)
Merupakan tahapan ketika anak-anak mengembangkan kemampuan bernalar logis
dan memahami konservasi tetapi hanya dapat menggunakan kedua kemampuan ini
dalam menghadapi situasi yang sudah dikenal.
d. Tahap Operasional Formal (usia 11 tahun hingga dewasa)
Merupakan tahapan dimana seseorang dapat menghadapi situasi hipotesis dengan
abstrak dan dapat bernalar secara logis.
Saarni dkk. (dalam Papalia et al., 2010) menjelaskan bahwa ketika usia anak
bertambah, anak-anak akan menjadi lebih peka terhadap perasaannya sendiri dan perasaan
orang lain. Anak-anak dapat lebih baik dalam mengatur ekspresi emosional dalam situasi
sosial dan anak-anak dapat merespon tekanan emosional orang lain. Pada anak usia tujuh
atau delapan tahun, rasa malu dan kebanggan yang didasarkan pada kesadaran terhadap
akibat tindakan yang dilakukan, akan mempengaruhi pendapat anak usia tujuh atau delapan
17
tahun tentang diri mereka sendiri (Harter dalam Papalia et al., 2010). Pada periode anakanak lanjut, anak-anak akan lebih empati, perilaku menolong semakin berkembang dan
anak-anak juga mulai belajar mengontrol emosi negatif (Nuryanti, 2008).
Proses sosioemosional pada anak meliputi perubahan pada relasi anak dengan
orang lain, perubahan pada emosi, dan perubahan pada kepribadian anak (Santrock, 2002).
Relasi keluarga dan teman-teman sebaya memainkan peran penting pada masa anak-anak.
Menurut Papalia et al. (2010), lingkungan keluarga merupakan pengaruh paling penting
terhadap perkembangan anak. Ketika anak memasuki masa akhir anak-anak, para orang tua
hanya memberikan sedikit waktunya untuk anak mereka (Santrock, 2002). Penurunan
interaksi antara orang tua dan anak ini lebih terjadi pada keluarga yang orang tuanya
memiliki pendidikan yang rendah. Selain itu, anak-anak usia sekolah menghabiskan waktu
lebih banyak untuk bermain di luar dengan teman-temannya dibandingkan dirumah,
sehingga hal tersebut mneyebabkan kurang dekatnya anak dengan orang tua (Hoffert
dalam Papalia et al., 2010). Pada masa sekolah, kelompok teman sebaya mulai terbentuk.
Kelompok-kelompok terbentuk secara alamiah diantara anak-anak yang hidup berdekatan
atau yang selalu bersama-sama pergi ke sekolah. Anak yang bermain persama, biasanya
memiliki status sosioekonomi dan usia yang sama, walaupun kelompok bermain di
lingkungannya terdiri dari berbagai tingkatan usia.
Erikson
(dalam
Santrock,
2002)
menjelaskan
terdapat
delapan
tahapan
perkembangan sosial yang terbentang dalam siklus kehidupan individu dari masa anak
hingga lansia. Masing-masing tahapan terdiri dari tugas perkembangan yang khas yang
menghadapkan individu dengan suatu krisis atau konflik yang harus dihadapi. Adapun
delapan tahapan perkembangan sosial menurut Erikson (dalam Santrock, 2002) adalah :
18
a. Trust vs Mistrust (0-1 tahun)
Merupakan tahapan sosial pertama yang dialami individu pada tahun pertama
kehidupan. Suatu
rasa percaya menuntut perasaan nyaman secara fisik dan
sejumlah kecil ketakutan serta kekuatiran akan masa depan. Kebutuhan-kebutuhan
dasar bayi dipenuhi oleh pengasuh yang tanggap dan peka.
b. Autonomy vs Shame and Doubt (1-3 tahun)
Setelah memperoleh kepercayaan dari pengasuh mereka, bayi mulai menemukan
bahwa perilaku mereka adalah milik mereka sendiri. Mereka mulai menyatakan
rasa mandiri atau otonomi mereka. Apabila bayi terlalu banyak dibatasi dan
dihukum terlalu keras, maka mereka akan cenderung mengembangkan rasa malu
dan ragu-ragu.
c. Initiative vs Guilt (tahun-tahun prasekolah, usia 3-5 tahun).
Pada tahapan ini anak-anak prasekolah menghadapi dunia sosial yang lebih luas,
mereka akan lebih tertantang dan perlu mengembangkan perilaku yang lebih
bertujuan untuk mengatasi tantangan-tantangan ini. anak-anak diharapkan
menerima tanggung jawab yang lebih besar. Namun, perasaan bersalah yang tidak
menyenangkan dapat muncul jika anak-anak tidak bertanggung jawab dan dibuat
merasa terlalu cemas.
d. Industry vs Inveriority (tahun-tahun sekolah, usia 6 tahun-pubertas)
Prakarsa/inisiatif yang terdapat pada anak akan membawa mereka terlibat dalam
kontak dengan pengalaman-pengalaman baru. Ketika mereka beralih ke masa
pertengahan dan akhir anak-anak, mereka akan mengarahkan energi mereka
menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual. Bahaya pada tahuntahun sekolah dasar ialah perkembangan rasa rendah diri atau perasaan tidak
berkompeten dan tidak produktif.
19
e. Identity vs identity confusion (usia 10-20 tahun)
Pada masa ini, individu dihadapkan dengan penemuan siapa diri mereka,
bagaimana mereka nantinya, dan kemana mereka menuju dalam kehidupannya.
Satu dimensi yang penting pada tahapan ini ialah penjajakan pilihan-pilihan
alternatif terhadap peran dan karir individu kedepannya.
f. Intimacy vs Isolation (usia 20an-30an tahun)
Pada masa ini individu menghadapi tugas perkembangan pembentukan relasi intim
dengan orang lain. Saat individu membentuk persahabatan yang sehat dan relasi
akrab yang intim dengan orang lain maka keintiman akan dicapai, jika tidak maka
isolasi akan terjadi.
g. Generativity vs Stagnation (usia 40an-50an tahun)
Generativity akan terjadi apabila generasi muda dapat mengembangkan dan
mengarahkan kehidupannya ke arah yang berguna dan apabila perasaan belum
melakukan sesuatu untuk menolong generasi berikutnya maka akan terjadi
stagnation.
h. Integrity vs Despair (usia 60an tahun-)
Individu menoleh ke masa lalu dan mengevaluasi apa yang telah mereka lakukan
dengan kehidupan mereka. Menoleh kembali ke masa lalu dapat bersifat positif
(integrity) atau negatif (despair).
Berdasarkan pemaparan mengenai perkembangan anak tersebut, maka dapat
disebutkan bahwa masa anak dibagi menjadi dua, yaitu masa anak awal dan masa anak
akhir. Di setiap masa anak tersebut terjadi proses perkembangan, yaitu meliputi
perkembangan fisik, kognitif dan sosioemosional, yang dimana ketiga hal tersebut saling
mempengaruhi satu sama lain.
20
2. Emosi dan Perilaku pada Anak
Atwater (1983) menjelaskan emosi merupakan suatu keadaan yang kompleks,
kesadaran yang melibatkan sensasi dalam tubuh dan ekspresi yang ditunjukkan yang
memiliki kekuatan untuk memotivasi individu dalam bertindak. Emosi berasal dari kata
movere, kata kerja bahasa latin yang berarti “menggerakkan atau bergerak”, ditambah
awalan “e” untuk memberi arti “bergerak menjauh”menyiratkan bahwa kecenderungan
bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi (Goleman, 2015). Matsumoto & Juang
(2008) menjelaskan bahwa secara umum terdapat enam bentuk emosi, yaitu: marah
(anger), jijik (disguist), takut (fear), senang (happiness), sedih (sadness), dan terkejut
(surprise). Goleman (2015) menjelaskan bahwa masing-masing emosi menunjukkan reaksi
tubuh atau ekspresi yang berbeda-beda, antara lain:
a. Bila darah amarah mengalir ke tangan, maka tangan akan sangat mudah menyambar
senjata atau menghantam lawan; detak jantung meningkat, dan banjir hormon seperti
adrenalin membangkitkan gelombang energi yang cukup kuat untuk bertindak.
b. Saat ketakutan, tubuh akan terasa membeku sesaat, adanya keinginan atau reaksi untuk
mencari tempat persembunyian. Terproduksinya hormon-hormon yang membuat tubuh
menjadi waspada, membuatnya awas dan siap bertindak, dan perhatian tertuju pada
ancaman yang dihadapi.
c. Salah satu perubahan biologis utama akibat timbulnya kebahagiaan adalah
meningkatnya kegiatan di pusat otak yang menghambat perasaat negatif dan
meningkatkan energy yang ada, serta menenangkan perasaan yang menimbulkan
kerisauan. Konfigurasi tersebut mengistirahatkan tubuh secara menyeluruh dan juga
kesiapan dan antusias menghadapi tugas-tugas dan berjuang mencapai sasaran yang
lebih besar.
21
d. Naiknya alis mata sewaktu terkejut memungkinkan diterimanya bidang penglihatan
yang lebih lebar dan juga cahaya yang masuk ke retina. Reaksi ini membuka
kemungkinan lebih banyak informasi tentang peristiwa tak terduga, sehingga
memudahkan memahami apa yang sebenarnya terjadi dan menyusun rencana
rancangan tindakan yang baik.
e. Di seluruh dunia, ungkapan jijik tampak sama dan memberi pesan yang sama, yaitu
sesuatu yang menyengat rasa atau bau. Ungkapan wajah rasa jijik yaitu bibir atas
mengerut ke samping sewaktu hidung sedikit berkerut.
f. Salah satu fungsi pokok emosi sedih adalah menolong menyesuaikan diri akibat
kehilangan yang menyedihkan, seperti kematian sahabat atau kekecewaan besar.
Kesedihan menurunkan energi dan semangat hidup untuk melakukan kegiatan seharihari.
Emosi terdiri dari beberapa komponen, antara lain adalah perubahan psikologis
yang meliputi sensasi yang terjadi dalam tubuh, kesadaran subjektif dan interpretasi yang
bermakna mengenai sensasi yang dirasakan, serta adanya kemungkinan besar bahwa emosi
tersebut akan dinyatakan dalam bentuk perilaku yang tampak (Atwater, 1983). Emosi
biasanya dikomunikasikan melalui verbal atau nonverbal. Gerakan tubuh, vokal suara, dan
terutama ekspresi wajah menjadi indikator penguat mengenai emosi seseorang. Arnold
(dalam Atwater, 1983) menjelaskan bahwa ketika individu menerima stimulus tertentu,
maka individu akan segera memberikan penilaian intuitif, selanjutnya penilaian terhadap
stimulus yang baik atau buruk tersebut akan menjadi isyarat dapat berespon, sehingga
emosi individu akan dipengaruhi oleh tindakan, baik tindakan berupa pendekatan
(approach) maupun penghindaran (avoidance).
Pada anak-anak, kematangan emosi ditentukan dari hasil interaksi dengan
lingkungannya, di mana anak mengalami proses belajar tentang bagaimana emosi itu hadir
22
dan bagaimana cara untuk mengekspresikan emosi-emosi tersebut, baik dalam bentuk
ekspresi wajah atau perilaku (Somantri, 2007). Kimble (dalam Hargenhahn & Olson, 2010)
menjelaskan bahwa belajar merupakan perubahan yang relatif permanen di dalam
behavioral potentiality (potensi perilaku) yang terjadi sebagai akibat dari reinforced
practice (praktik yang diperkuat). Watson dan Thorndike (dalam Hargenhahn & Olson,
2010) menyatakan bahwa proses belajar berasal dari pengalaman langsung (direct
experience) yaitu proses belajar terjadi sebagai hasil dari interaksi seseorang dengan
lingkungan. Bandura (dalam Feist & Feist, 2010) menambahkan bahwa proses belajar juga
terjadi dengan cara diwakilkan (vicarious learning), yaitu belajar dengan mengobservasi
orang lain.
Berdasarkan penjelasan diatas mengenai emosi dan perilaku, maka dapat
disimpulkan bahwa, emosi merupakan suatu kesadaran yang melibatkan terjadinya sensasi
dalam tubuh dan ekspresi yang ditunjukkan yang memiliki kekuatan untuk memotivasi
individu dalam bertindak. Secara umum, terdapat enam bentuk emosi, yaitu sedih, senang,
marah, takut, jijik dan terkejut. Emosi dapat muncul ketika individu berinteraksi dengan
lingkungannya, yaitu individu akan mengalami proses belajar, baik dengan mengalaminya
secara langsung mau pun dengan melakukan observasi terhadap lingkungan sekitar
mengenai emosi dan akan mewujudkannya dalam bentuk ekspresi emosi dan perilaku.
3. Definisi Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku
Terdapat beberapa definisi dan pemberian nama-nama lain terkait istilah anak
dengan gangguan emosi dan perilaku, antara lain seperti: gangguan emosional (emotionally
disturb), perilaku sosial dan emosional yang maladaptif (maladaptive social emotional
behavior), kelainan perilaku (behaviorally disorder), hambatan dalam pendidikan
(educationally handicapped) dan kelainan psikologis (psychological disordered) (Geddes,
D. dalam Delphie, 2006). Efendi (2008) juga menjelaskan bahwa terdapat beberapa
23
pemberian istilah yang diberikan kepada anak yang berkelainan emosi dan perilaku, yang
terlepas dari pihak yang berkepentingan. Misalnya, orangtua cenderung menyebut anaknya
yang memiliki gangguan emosi dan perilaku dengan anak jelek (bad boy), para guru
menyebut dengan sebutan anak yang tidak dapat diperbaiki (incurrigible), para psikiater
atau psikolog menyebutnya sebagai anak yang terganggu emosinya (emotional disturb
child), para pekerja sosial menyebutnya sebagai anak yang tidak dapat mengikuti aturan
atau norma sosial yang berlaku (social maladjustment child), atau jika anak-anak tersebut
terlibat dalam konflik dengan hukum maka para hakim menyebutnya dengan anak-anak
pelanggar atau penjahat (delinquent).
Farrell (1995) menyatakan bahwa konsep mengenai gangguan emosi dan perilaku
sangat kompleks. Anak-anak yang memiliki gangguan emosi dan perilaku cenderung
mengalami perasaan penolakan dan permusuhan dari orang tua dan guru, dan juga
mungkin mengalami perasaan tertekan terhadap situasi tertentu. Hallahan, Kauffman &
Pullen (2009) menyatakan bahwa anak dengan gangguan emosi dan perilaku tidak mampu
dengan baik dalam menjalin hubungan, misalnya hubungan pertemanan. Anak dengan
gangguan emosi dan perilaku mengalami kegagalan dalam membangun hubungan
emosional yang dekat dan memuaskan dengan orang lain. Jika anak dengan gangguan
emosi dan perilaku tersebut dapat membangun hubungan pertemanan, mereka seringkali
akan berteman dengan anak-anak yang memiliki perilaku yang menyimpang. Anak dengan
gangguan emosi dan perilaku ini suka menghindar dari orang lain. Selain itu terdapat juga
anak dengan gangguan emosi dan perilaku yang terisolasi dari lingkungannya, namun
bukan karena mereka menghindar dari hubungan pertemanan, tetapi karena mereka yang
memulai permusuhan atau tindakan agresi. Akibat dari perilaku tersebut, anak dengan
gangguan emosi dan perilaku seringkali dijauhi oleh anak-anak lain atau orang dewasa
(orang tua, guru, kakak, dan lain-lain). Menurut Undang-undang Pendidikan Luar Biasa
24
USA (dalam Murtie, 2014) mengidentifikasikan anak dengan gangguan emosi dan perilaku
menunjukkan satu atau lebih gejala yang menyertai dalam kurun waktu tertentu. Gangguan
ini lambat laun dapat mengganggu prestasi belajar mereka.
The National Mental Health and Special Education Coalition (dalam Hallahan,
Kauffman, & Pullen, 2009) mengusulkan definisi alternatif mengenai gangguan emosi dan
perilaku, yaitu :
a. Istilah gangguan emosi dan perilaku (emotional atau behavioral disorder) mengacu
pada karakteristik ketidakmampuan (disability) yaitu menunjukkan perilaku dan
emosi di sekolah yang berbeda dari usianya, budaya, atau norma-norma yang
membuat anak dengan gangguan emosi dan perilaku memiliki performa belajar
yang buruk (performa belajar meliputi akademis, sosial, kejuruan, dan kemampuan
personal). Karakteristik ketidakmampuan tersebut seperti :
1. Individu dengan gangguan emosi dan perilaku tidak mampu menunjukkan
respon atau perilaku yang tepat saat berada pada situasi yang menekan,
2. Individu dengan gangguan emosi dan perilaku menunjukkan dua perilaku atau
keadaan yang berbeda secara konsisten, dan
3. Tidak tepat melakukan intervensi terkait pendidikan umum pada individu
dengan gangguan emosi dan perilaku, karena:
a. Gangguan emosi dan perilaku dapat muncul dengan disabilitas lainnya,
b. Kategori gangguan emosi dan perilaku dapat mencakup anak-anak atau
remaja yang mengalami schizophrenic disorders, affective disorder,
anxiety disorder, atau gangguan conduct or adjustment yang terus
menerus ketika anak dengan gangguan emosi dan perilaku menunjukkan
performa belajar yang buruk sesuai dengan kriteria (a).
25
Dari beberapa definisi diatas mengenai istilah anak dengan gangguan emosi dan
perilaku, maka dapat disimpulkan bahwa anak dengan gangguan emosi dan perilaku
merupakan anak yang menunjukkan emosi dan perilaku yang tidak sesuai dengan anak
seusianya. Akibatnya, anak menjadi sulit melakukan hubungan secara emosional dengan
orang lain. Anak dengan gangguan emosi dan perilaku akan menarik diri dari lingkungan
atau sebaliknya, yaitu dijauhi oleh lingkungannya. Selain itu, anak dengan gangguan emosi
dan perilaku cenderung memiliki performa yang buruk dalam belajar.
4. Karakteristik Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku
Bower (dalam Delphie, 2006) menyatakan bahwa anak dengan gangguan emosi
dan perilaku adalah anak-anak yang mempunyai hendaya perilaku secara emosional. Anak
dikatakan memiliki hendaya perilaku secara emosional apabila anak tersebut menunjukkan
adanya satu atau lebih dari lima komponen berikut ini:
a. Tidak mampu belajar, bukan disebabkan karena faktor intelektual, sensori atau
kesehatan.
b. Tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guruguru.
c. Bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya.
d. Secara umum, mereka selalu dalam keadaan tidak menggembirakan atau depresi.
e. Bertendensi kearah simptom fisik seperti: merasa sakit atau ketakutan berkaitan
dengan orang atau permasalahan di sekolah.
Hallahan & Kauffman (dalam Efendi, 2008) menjelaskan bahwa seseorang yang
diidentifikasi mengalami gangguan atau kelainan perilaku adalah:
a. Individu yang tidak mempu mendefinisikan secara tepat kesehatan mental dan
perilaku yang normal.
b. Individu yang tidak mampu mengukur emosi dan perilakunya sendiri.
26
c. Individu yang mengalami kesulitan dalam menjalankan fungsi sosialisasi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa anak dengan gangguan emosi dan
perilaku memiliki karakteristik, yaitu tidak mampu mendefiniskan atau menunjukkan
emosi dan perilaku secara tepat, cenderung menunjukkan perasaan yang tidak
menggembirakan atau depresi sehingga sulit untuk menjalin hubungan dengan orang lain
dan memiliki hambatan dalam belajar.
5. Klasifikasi Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku
Bratanata (dalam Somantri, 2007) mengemukakan bahwa anak dengan gangguan
emosi dan perilaku dicirikan oleh seberapa jauh anak menunjukkan tindak kenakalan,
tingkat kelainan emosi dan status sosialnya. Dilihat dari sumber pemicu tumbuhnya
perilaku menyimpang pada anak dengan gangguan emosi dan perilaku, maka anak dengan
gangguan emosi dan perilaku dapat diklasifikasikan menjadi (Efendi, 2008) :
a. Penyimpangan tingkah laku sebagai bentuk kelainan emosi
Anak yang dikategorikan memiliki kelaianan emosi adalah anak yang mengalami
kesulitan menyesuaikan perilakunya dengan lingkungan sosial karena adanya tekanan dari
dalam (inner tension), akibat adanya hal-hal yang bersifat neurotik atau psikotik. Indikasi
anak berkelainan emosi dapat dipantau dari tekanan jiwa yang ditunjukkan dalam bentuk
kecemasan yang mendalam (anxiety, neurotism) maupun perilaku psikose. Perilaku anak
penyandang kelainan emosi dalam konteks yang lebih besar mengalami penyimpangan
penyesuaian perilaku sosial (Kirk dalam Efendi, 2008).
Somantri (2007) mengemukakan bahwa anak yang mengalami kelainan emosi
dapat diklasifikasikan dalam kategori sebagai berikut:
27
1. Neurotic behavior
Anak pada kategori ini masih bisa bergaul dengan orang lain, akan tetapi
mempunyai permasalahan pribadi yang tidak mampu diselesaikan. Anak sering
dan mudah sekali dihinggapi perasaan sakit hati, perasaan marah, cemas dan
agresif, serta rasa bersalah.
2. Children with psychotic processes
Anak pada kategori ini sudah menyimpang dari kehidupan yang nyata, sudah
tidak memiliki kesadaran diri serta tidak memiliki identitas diri. Adanya
ketidaksadaran tersebut disebabkan oleh gangguan pada sistem syaraf sebagai
akibat dari keracunan, misalnya: minuman keras dan obat-obatan.
Menurut Efendi (2008) anak kelainan emosi, ekspresinya ditampakkan dalam
bentuk sebagai berikut :
1. Kecemasan mendalam tetapi kabur dan tidak menentu arah kecemasan yang
dituju (anxiety neurotic). Kondisi ini digunakan sebagai alat untuk
mempertahankan diri melalui represi.
2. Kelemahan seluruh jasmani dan rohani yang disertai dengan berbagai keluhan
sakit pada beberapa bagian badannya (astenica neurotic). Kondisi ini terjadi
akibat konflik batin atau tekanan emosi yang sukar diselesaikan. Alat utuk
mempertahankan diri dari kondisi ini melalui penarikan diri dari pergaulan.
3. Gejala yang merupakan tantangan balas dendam karena adanya perlakuan
yang kasar (hysterica konversia). Kondisi ini terjadi akibat perlakuan kasar
yang diterima sehingga ia juga akan berlaku kasar terhadap orang lain sebagai
balas dendam untuk kepuasan dirinya.
28
b. Penyimpangan tingkah laku sebagai bentuk kelainan penyesuaian sosial
Mackie (dalam Efendi, 2008) mengemukakan bahwa anak yang dikategorikan
kelainan penyesuaian perilaku sebagai bentuk kelainan penyesuaian sosial adalah anak
yang mempunyai tingkah laku tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku di rumah,
di sekolah, dan di masyarakat lingkungannya.
Cruickshank (dalam Somantri, 2007) mengemukakan bahwa anak yang mengalami
kelainan penyesuaian perilaku sebagai bentuk kelainan penyesuaian sosial dapat
diklasifikasikan dalam kategori sebagai berikut:
1. The semi-socialize child
Anak yang termasuk ketegori ini dapat mengadakan hubungan sosial tetapi
terbatas pada lingkungan tertentu, misalnya: keluarga dan kelompoknya.
2. Children arrested at a primitive level or socialization
Anak pada kategori ini dalam perkembangan sosialnya berhenti pada level atau
tingkatan yang rendah. Anak pada kategori ini tidak pernah mendapat
bimbingan mengenai sikap sosial dan mengabaikan pendidikan sehingga anak
akan melakukan apa saja yang dikehendaki.
3. Children with minimum socialization capacity
Anak pada kategori ini tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar
sikap-sikap sosial. Hal tersebut disebabkan oleh pembawaan/kelainan atau
karena anak tidak pernah mengenal hubungan kasih sayang sehingga anak pada
kategori ini banyak bersikap apatis dan egois.
Efendi (2008) menjelaskan bahwa anak kesulitan penyesuaian sosial dapat
dikelompokkan menjadi sebagai berikut:
29
1. Anak agresif yang sukar bersosialisasi adalah anak yang benar-benar tidak dapat
meyesuaikan diri, baik di lingkungan rumah, sekolah, maupun teman sebaya. Sikap
pada anak ini dimanifestasikan dalam bentuk memusuhi otoritas (guru, orang tua,
polisi), suka balas dendam, berkelahi, senang curang, mencela dan lain-lain.
2. Anak agresif yang mampu bersosialisasi adalah anak yang tidak dapat
menyesuaikan diri di lingkungan rumah, sekolah, ataupun masyarakat, tetapi
mereka masih memiliki bentuk penyesuaian diri yang khusus, yaitu dengan teman
sebaya yang senasib (geng). Sikap anak tipe ini dimanifestasikan dalam bentuk
agresivisme, memusuhi otoritas, setia pada kelompok, suka melakukan kejahatan
pengeroyokan serta pembunuhan.
3. Anak yang menutup diri berlebihan (over inhibited children) adalah anak yang
tidak dapat menyesuaikan diri karena neurosis. Sikap anak tipe ini dimanifestasikan
dalam bentuk over sensitive, sangat pemalu, menarik diri dari pergaulan, mudah
tertekan, rendah diri dan lain-lain.
Dengan demikian, maka klasifikasi anak dengan gangguan emosi dan perilaku
dibagi menjadi dua, yaitu penyimpangan tingkah laku sebagai bentuk kelainan emosi
karena adanya tekanan dari dalam diri anak akibat adanya hal-hal yang bersifat neurotik
dan psikotik serta penyimpangan tingkah laku sebagai bentuk kelainan penyesuaian sosial,
yaitu anak yang berperilaku tidak sesuai dengan adat kebiasaan di lingkungan sekitarnya.
6. Faktor Penyebab Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku
Farrell (1995) menyatakan bahwa ketika membahas penyebab gangguan emosi dan
perilaku pada anak-anak, penting untuk menyadari bahwa terdapat kemungkinan adanya
sejumlah faktor yang saling terkait dan perlu untuk dipertimbangkan. Secara umum,
penyebab terjadinya gangguan emosi dan perilaku dapat diklasifikasikan, yaitu : faktor
penyebab bersifat internal dan faktor penyebab bersifat eksternal.
30
a. Faktor penyebab bersifat internal
Faktor penyebab internal adalah faktor-faktor yang langsung berkaitan dengan
kondisi individu sendiri, yaitu seperti:
1. Keturunan
Keturunan memberikan banyak bukti, salah satunya yaitu bayi yang dilahirkan
dalam keadaan abnormal berasal dari keturunan yang abnormal pula.
Keabnormalan perilaku menyimpang yang dilakukan oleh orang tuanya
memberikan kontribusi gangguan pada generasi berikutnya (Patton dalam
Efendi, 2008).
2. Faktor Psikologis
Meier (Efendi, 2008) dalam penelitiannya menghubungkan antara variabel
frustrasi dengan prilaku abnormal. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan
bahwa seorang yang mengalami kesulitan memecahkan persoalan akan
menimbulkan perasaan frustrasi. Akibat frustrasi tersebut akan timbul konflik
kejiwaan. Bagi individu yang yang memiliki stabilitas kepribadian yang baik,
konflik psikologis tersebut dapat diselesaikan dengan baik pula. namun, bagi
individu yang memiliki kepribadian neurotik, konflik tersebut tidak dapat
diselesaikan dengan baik. akibatnya akan timbul perilaku menyimpang sebagai
defence mechanism.
3. Faktor Biologis
Anak yang lahir dengan kondisi fisik biologis tertentu akan menentukan style
perilaku (temperamen). Anak yang mengalami kesulitan menempatkan
temperamennya, akan memberikan kecenderungan untuk berkembangnya
kondisi kelainan perilaku dan emosi.
31
b. Faktor penyebab yang bersifat eksternal
Faktor penyebab internal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar individu, yaitu
seperti:
1. Lingkungan keluarga
Anak-anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku cenderung berasal
dari keluarga yang sosial dan ekonominya rendah (Farrell, 1995). Cooper
(dalam Farrell, 1995) merangkum beberapa bukti yang menunjukkan anak
dengan gangguan emosi dan perilaku mengalami beberapa perlakuan di
lingkungan rumahnya, antara lain :
a. Kurangnya minat orang tua terhadap pendidikan
b. Disiplin yang ditunjukkan oleh orang tua tidak konsisten dan tidak efektif
c. Orang tua kurang dalam memberikan kasih sayang kepada anak
d. Ketidakpedulian, permusuhan atau penolakan yang ditunjukkan oleh orang
tua.
e. Orang tua menunjukkan kekerasan dan kemarahan kepada anak
f. Penggunaan hukuman fisik yang dilakukan oleh orang tua
g. Kekejaman atau kelalaian orang tua.
2. Lingkungan sekolah
Kegagalan sekolah untuk memenuhi tugas kewajibannya dalam membantu
aspek-aspek kepribadian anak didiknya dapat berpengaruh pada kehidupan
sosial dan emosi anak, dampaknya akan menimbulkan problem tingkah laku
pada anak didiknya. Beberapa aspek yang berkaitan dnegan sekolah yang dapat
menyebabkan terjadinya gangguan perilaku dan emosi antara lain:
a. Hubungan sosial guru dan murid yang kurang harmonis
b. Tuntutan kurikulum yang tidak sesuai dengan tingkat perkembangan anak
32
c. Hubungan antar teman sebaya yang kurang baik
d. Kurangnya perhatian guru terhadap hal-hal yang bersifat positif dan
konstruktif
e. Kurangnya sarana dan prasarana pengembangan kreativitas dan aktivitas
f. Disiplin sekolah yang terlalu longgar, kaku, tidak konsisten
g. Pembelajaran
yang
mengorbankan
keterampilan
anak
untuk
mengembangkan imajinasi benar dan salah
h. Lingkungan sekolah yang tidak memberikan pengalaman dan perhatian
khusus pada anak.
3. Lingkungan Masyarakat
Standar perilaku dan nilai yang menjadi acuan tindakan yang mengkomunikasikan
kepada anak melalui berbagai variasi kondisi budaya, didalamnya menyangkut
tuntutan, larangan, model, atau beberapa model budaya khusus yang dapat
memengaruhi lompatan mental seperti macam kekerasan yang ditampilkan melalui
media (terutama televisi dan gambar hidup lainnya), memberikan kontribusi yang
besar lahirnya perilaku menyimpang (Hallahan & Kauffman dalam Efendi, 2008).
Berdasarkan penjelasan mengenai faktor penyebab anak mengalami gangguan
emosi dan perilaku tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa anak dapat mengalami
gangguan emosi dan perilaku karena dua faktor. Faktor yang pertama adalah faktor internal
yaitu faktor yang langsung berkaitan dengan kondisi anak sendiri, antara lain: faktor
keturunan, psikologis dan biologis. Faktor yang kedua adalah faktor eksternal yaitu faktor
yang berasal dari luar, antara lain: lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
33
C. Art Therapy
1. Definisi Art Therapy
Art merupakan media yang ampuh untuk digunakan sebagai sarana berkomunikasi
(Malchiodi, 2003). Saat ini, sudah diakui secara luas bahwa ekspresi art merupakan cara
berkomunikasi secara visual mengenai pikiran dan perasaan yang terlalu menyakitkan bila
diungkapkan melalui kata-kata. Kegiatan kreatif melalui art ini telah digunakan dalam
psikoterapi dan konseling.
The American Art Therapy Association (dalam Hirawan, 2014) menjelaskan bahwa
art therapy merupakan metode terapeutik yang menggunakan pembuatan seni, hubungan
profesional, pada individu yang memiliki pengalaman yang menyakitkan, trauma, atau
individu yang memiliki tantangan dalam hidupnya. Melalui kesenian dan melakukan
refleksi terhadap hasil seni dan prosesnya, individu dapat meningkatkan kesadaran
terhadap diri sendiri dan orang lain, mengatasi gejala-gejala stres, pengalaman traumatik,
meningkatkan kemampuan kognitif, dan dapat menikmati kehidupan yang menyenangkan
dengan membuat kesenian.
Canadian Art Therapy Association (dalam Edwards, 2004) juga menjelaskan
bahwa art therapy adalah bentuk psikoterapi yang memungkinkan sebagai bentuk ekspresi
emosional dan penyembuhan melalui cara-cara nonverbal. Anak-anak, tidak seperti
kebanyakan orang dewasa, seringkali tidak bisa dengan mudah mengekspresikan diri
secara verbal. Sedangkan, orang dewasa, di sisi lain dapat menggunakan kata-kata untuk
bentuk intelektual dan menjauhkan diri dari emosi mereka. Art therapy memungkinkan
klien untuk keluar dari hambatan tersebut, seperti kesulitan dalam mengekspresikan diri,
yaitu dengan menggunakan bahan seni sederhana.
Art therapy didasarkan pada gagasan bahwa proses kreatif melalui pembuatan
karya seni dapat menyembuhkan dan meningkatkan kehidupan serta merupakan bentuk
34
komunikasi nonverbal dari pikiran dan perasaan (American Art Therapy Association dalam
Malchiodi, 2003). Seperti halnya bentuk-bentuk lain dari psikoterapi dan konseling, art
therapy digunakan untuk mendorong pertumbuhan pribadi inidvidu, meningkatkan
pemahaman diri, dan membantu dalam memperbaiki emosi. Art therapy telah digunakan
dalam berbagai macam pengaturan, baik dengan anak-anak, orang dewasa, keluarga, dan
kelompok. Art therapy ini adalah modalitas yang dapat membantu individu dari segala usia
untuk menciptakan berbagai makna dan mencapai wawasan, mencari bantuan akibat
pengalaman emosi yang menyakitkan atau trauma, menyelesaikan konflik dan masalah,
memperkaya kehidupan sehari-hari, dan mencapai peningkatan rasa kesejahteraan
(Malchiodi, 2003).
Dari beberapa definisi mengenai art therapy, maka dapat disimpulkan art therapy
merupakan metode terapiutik yang menggunakan pembuatan seni, melalui hubungan
profesional antara terapis dengan individu yang memiliki pengalaman yang menyakitkan,
trauma, atau individu yang memiliki tantangan dalam hidupnya. Melalui art, individu
dapat mengkomunikasikan emosi atau perasaan yang dirasakan, menyelesaikan konflik
masalah, serta mencapai peningkatan rasa kesejahteraan.
2. Desain Art Therapy
Buchalter (2009) menyatakan bahwa art therapy dapat diterapkan dalam berbagai
cara. Art therapy bermanfaat untuk memunculkan pikiran dan perasaan individu secara
spontan dan dengan pendekatan yang terstruktur, art therapy terbukti memberikan efek
terapeutik. Dalam membuat rancangan art therapy, semakin banyak alat (tools) yang
digunakan, maka hasilnya akan semakin kuat dan semakin efektif. Dalam penerapannya,
terapis menggunakan teknik verbatim dan memodifikasi kegiatan art therapy sesuai
dengan kebutuhan individu (klien).
35
Lowenstein (2011) membagi kegiatan art therapy menjadi tiga tahapan. Tahapan
pertama merupakan engagement and assessment merupakan kegiatan dengan melakukan
keterlibatan dan penilaian mengenai kegiatan dengan menyertakan keterlibatan para ahli
(terapis, dokter atau psikolog) dalam mengevaluasi klien, tahapan kedua merupakan
treatment intervention yaitu memfasilitasi klien untuk mendapatkan efek terapeutik, serta
tahapan terakhir merupakan termination intervention yaitu mengevaluasi hasil intervensi
dan juga merupakan tahapan penyelesaian terapi.
Penelitian ini menggunakan tahapan pertama, yaitu engagement and assessment
untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh klien melalui wawancara. Dalam
pelaksanaannya, penelitian ini melibatkan tenaga psikolog mulai dari penyusunan
rancangan kegiatan, guideline wawancara dan evaluasi hasil.
3. Manfaat Art Therapy
Menurut Malchiodi (2003), melalui kegiatan art atau seni ini, tidak hanya
membantu individu untuk mengungkapkan perasaan atau emosinya dengan cara atau
bahasa yang lain, tetapi juga dapat membantu individu dari segala usia untuk
mengeksplorasi emosi dan keyakinan, mengurangi stres, mengatasi masalah dan konflik,
dan meningkatkan rasa kesejahteraan.
Mark Wagner (dalam Hirawan, 2014) terdapat 10 manfaat art atau seni bagi anakanak, yaitu :
a. Seni mengajarkan pemecahan masalah.
Mengerjakan sebuah karya seni memberikan pengalaman pada anak betapa
banyaknya kemungkinan dan solusi yang bisa diambil dalam menghadapi suatu
masalah/tugas.
36
b. Seni mempersiapkan anak-anak menghadapi masa depannya.
Anak yang bertumbuh dalam stimulasi kreativitas dan open minded akan memiliki
peluang lebih luas dalam perjalanan karirnya, karena kreativitas adalah life skill
yang dibutuhkan dalam berbagai situasi sehari-hari.
c. Seni mengembangkan kecintaan akan belajar dan keterbukaan atas ide-ide baru.
Aktivitas seni mengajarkan keberanian mengambil resiko dan keterbukaan akan
berbagai kemungkinan.
d. Seni adalah bisnis internasional.
Seni tidak mengenal batas, para pekerja seni dapat melintasi batas jarak dan
Negara.
e. Seni mengembangkan kemampuan otak kiri dan otak kanan.
Seni membutuhkan fokus, konsentrasi dan berbagai koordinasi visual motorik.
f. Seni meningkatkan performansi kepribadian.
Aktivitas seni dapat meningkatkan kepercayaan diri, motivasi, komunikasi, kerja
sama dan juga memperkuat hubungan dengan lingkungan sekitarnya.
g. Seni memfasilitasi kecerdasan emosional.
Seni dapat membantu anak-anak untuk mengekspresikan perasaannya, terutama
pada anak yang masih memiliki keterbatasan bahasa. Sering kali anak-anak mampu
menemukan kesenangan dan kebanggan atas karya yang mereka hasilkan.
h. Seni mengembangkan aktivitas dalam komunitas.
Seni adalah satu-satunya bidang yang menembus batas-batas budaya, agama, ras,
maupun tingkat sosial ekonomi. Bahasa seni adalah bahasa emosi dimana batasan
pengetahuan dan logika tidak menjadi hambatan untuk memahami suatu karya seni.
i. Seni meningkatkan kepekaan.
Seni membuka hati dan pikiran akan kemungkinan-kemungkinan dan imajinasi.
37
j. Seni adalah media tanpa batasan.
Kreativitas dan pengekspresian diri adalah hal yang penting dalam hidup manusia.
Sejarah menunjukkan bahwa manusia purba memiliki kreativitas sejak petroglyphs,
cave paintings, juga patung-patung kuno yang ditemukan. Sama dengan anak-anak,
hal pertama yang mereka lakukan adalah bermain, menggambar, dan menggunakan
imajinasi mereka tanpa adanya batasan.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan art atau seni memiliki
banyak manfaat. Secara psikologis, melalui kegiatan seni individu dapat mengungkapkan
dan mengeksplorasi emosi yang dirasakan, mengurangi stress, mengatasi konflik dan
meningkatkan kesejahteraan. Selain itu, art juga memiliki manfaat lainnya, yaitu seni
mengajarkan pemecahan masalah, mempersiapkan anak-anak dalam menghadapi masa
depan, mengembangkan ide-ide baru, seni sebagai bisnis internasional, membantu
mengembangkan otak kanan dan otak kiri, performansi kepribadian, memfasilitasi
kecerdasan
emosional,
mengembangkan
mengembangkan kreativitas.
aktifitas,
meningkatkan
kepekaan,
dan
38
D. Perspektif Teoretis
Perkembangan anak
(fisik, kognitif, sosioemosional)
Kebutuhan-kebutuhan dasar
Kebutuhan fisiologis
Perkembangan Normal
Kebutuhan psikologis
Perkembangan Terganggu
Gangguan emosi dan
perilaku
Art Therapy
Keterangan bagan :
: Latar belakang yang menjadi fokus penelitian
: Latar belakang yang tidak menjadi fokus penelitian
: Tidak diteliti
: Alur konsep
: Terdiri dari
Gambar 1. Skema Gambaran Kebutuhan Psikologis pada Anak dengan Gangguan Emosi dan
Perilaku (Tinjauan Kualitatif dengan Art Therapy sebagai Metode Penggalian Data)
39
Perspektif penelitian ini mengambil latar belakang bahwa dalam proses tumbuh
kembang anak, akan timbul kebutuhan-kebutuhan pada diri anak yang harus dipenuhi agar
anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi dewasa seutuhnya. Adapun kebutuhankebutuhan tersebut meliputi kebutuhan dasar yaitu fisiologis dan kebutuhan psikologis.
Kebutuhan fisiologis atau kebutuhan primer meliputi makan, minum, oksigen, dan lainlain, sedangkan kebutuhan psikologis atau kebutuhan sekunder meliputi cinta, kebutuhan
akan kasih sayang, kebutuhan akan rasa terlindung dan aman, serta kebutuhan akan
mengetahui sesuatu.
Kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut mutlak diperlukan, bahkan memegang
peranan penting untuk memberikan landasan dari mana pertumbuhan dan perkembangan
aspek lain dilanjutkan (Gunarsa, 2008). Dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut,
individu akan melakukan tindakan/perilaku serta emosi yang tepat dan efektif. Ketika
individu gagal menunjukkan tindakan serta emosi yang tepat, maka individu akan
mengalami kekecewaan yang mendalam. Adanya pengalaman-pengalaman yang
mengecewakan bagi diri seorang anak pada masa perkembangannya akan memudahkan
timbulnya masalah gangguan penyesuaian diri dikemudian hari (Atmodiwirjo, 2008).
Salah satu gangguan penyesuaian diri yang dapat dialami oleh anak-anak adalah
gangguan emosi dan perilaku. Anak dengan gangguan emosi dan perilaku merupakan anak
yang memiliki gangguan emosi dan tingkah laku. Akibatnya anak menjadi sulit melakukan
hubungan emosional dengan orang lain. Anak dengan gangguan emosi dan perilaku akan
menarik diri dari lingkungan atau sebaliknya, yaitu dijauhi oleh lingkungannya, selain itu
anak dengan gangguan emosi dan perilaku cenderung memiliki performa yang kurang baik
dalam belajar.
Art therapy merupakan salah satu metode yang dapat digunakan sebagai media
komunikasi untuk mengetahui atau mengungkap kebutuhan-kebutuhan psikologis pada
40
anak dengan gangguan emosi dan perilaku. Art therapy adalah metode terapeutik yang
menggunakan pembuatan seni, melalui hubungan profesional antara terapis dengan
individu yang memiliki pengalaman yang menyakitkan, trauma, atau individu yang
memiliki tantangan dalam hidupnya. Penelitian ini menggunakan art therapy sebagai
metode berkomunikasi antara peneliti dan anak dengan gangguan emosi dan perilaku,
karena anak dengan gangguan emosi dan perilaku memiliki kesulitan untuk
mengungkapkan atau mengenali emosi yang sedang dirasakannya.
E. Pertanyaan Penelitian
Adapun pertanyaan penelitian yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah bagaimana
gambaran kebutuhan psikologis pada anak dengan gangguan emosi dan perilaku yang
diungkap melalui wawancara dan observasi dengan metode art therapy.
Download