9bakteri penyebab penyakit

advertisement
9
BAKTERI PENYEBAB PENYAKIT
9.1. PENULARAN PATOGEN MELALUI UDARA
Udara merupakan medium
yang tidak sesuai
untuk
pertumbuhan
mikroorganisme, mikroorganisme yang ditemukan di udara dapat berasal dari tanah,
air, tumbuhan, hewan dan sumber lainnya. Di udara terbuka, kebanyakan mikroba
berasal dari tanah. Sedangkan di dalam ruangan jumlah mikroba dianggap lebih banyak
dibandingkan dengan udara di luarnya, dan kebanyakan ditemukan dalam saluran
pernafasan manusia.
Tanah sebenarnya merupakan sumber asal bakteri di udara. Angin berdebu
membawa
populasi mikroba yang dapat menyebar secara luas. Dalam ruangan,
sumber utama mikroba adalah saluran pernafasan manusia. Hanya sebagian kecil
dari mikroba tersebut yang dapat bertahan di udara, sehingga dapat menular secara
efektif kepada habitat yang sesuai (manusia lain), terjadii dalam waktu yang
singkat.Walaupun demikian, patogen manusia tertentu
(Staphylococcus
dan
Streptococcus) dapat bertahan dalam keadaan kering dan tetap hidup pada debu dalam
periode waktu yang lama. Bakteri gram-positif umumnya lebih resisten terhadap
kekeringan dibandingkan dengan bakteri gram-negatif, hal ini dapat menjadi alasan
mengapa bakteri gram-positif sering terlibat dalam penyebarannya melalui udara.
Sumber lain dari mikroba yang ditemukan berasal dari tanah juga bakteri grampositif (contohnya Micrococcus). Bakteri gram-positif lebih resisten terhadap
kekeringan karena dinding selnya lebih rigid dan tebal dibandingkan dengan bakteri
gram-negatif.
Sejumlah besar droplet/tetesan lembab dikeluarkan selama bersin, batuk
bahkan selama berbicara. Setiap droplet infeksius memiliki ukuran 10 µm dan berisi
satu atau dua bakteri. Kecepatan pergerakan droplet pada saat bersin sekitar 100
m/detik , 16-48 m/detik pada saat batuk dan berbicara keras. Jumlah bakteri dalam
sekali bersin bervariasi mulai 10.000-100.000. Droplet berukuran kecil, oleh karena itu
evaporasi terjadi secara cepat di udara yang lembab, meninggalkan nukleus bahan
organik dan mukus sebagai tempat menempelnya bakteri.
9.2. PENYAKIT SALURAN PERNAFASAN
Saluran pernafasan sering terinfeksi patogen, karena kontak langsung dengan
lingkungan dan secara terus menerus terpapar oleh mikroorganisme yang terdapat dalam
udara yang dihirup. Beberapa mikroorganisme sangat virulen dapat menyebabkan infeksi,
minimal pada orang yang rentan. Lingkungan saluran pernafasan yang lembab dan
hangat, merupakan tempat yang ideal untuk pertumbuhan mikroorganisme. Salah satu
pertanyaan, mengapa mikroorganisme tersebut dapat atau tidak dapat menyebabkan
infeksi.
Infeksi dapat terjadi pada beberapa bagian saluran pernafasan, dan tempat tersebut
merupakan penentu utama manifestasi klinik. Konjungtiva, telinga bagian tengah dan
sinus paranasal termasuk di dalamnya, karena daerah tersebut berhubungan dengan
saluran pernafasan.
Manifestasi klinik infeksi saluran pernafasan bergantung pada kuman penyebab
infeksi. Virus berperan penting pada saluran pernafasan atas, dan paling sering
menyebabkan faringitis. Bakteri merupakan penyebab utama otitis media, sinusitis,
faringitis, epiglotitis, bronkhitis, dan pneumonia.
Tabel 9.1. Patogen penyebab penyakit pada organ-organ saluran pernafasan dan struktur
di dekatnya.
TempatPatogenNasofaring
Orofaring
Konjungtiva
Telinga tengah dan sinus paranasal
Epiglotis
Laring-Trakhea
Bronkhi
Paru-paru- Staphylococcus aureus.
- S. pyogenes, C. diphtheriae.
- S. pneumoniae, H. influenzae, N. gonorrhoeae,
Chlamydia trachomatis.
- S. pneumoniae, H. influenzae, Moraxella catarrhalis, Streptococcus grup A.
- H. influenzae. S. aureus
- S. pneumoniae, H. influenzae, Mycoplasma peumoniae.
- S. pneumoniae, H. influenzae, M. peumoniae, N. meningitidis, M. tuberculosis, S.
aureus, S. pyogenes, C. trachomatis, Klebsiella pneumoniae, dll.
9.2.1. Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan kokus nonmotil, berdiameter 0,8-1,0 (m yang
membentuk kelompok mirip buah anggur. Pada apusan nanah, kokus dapat berupa sel
tunggal, berpasangan, berkelompok, atau membentuk rantai pendek. Pada apusan dari
kultur padat, bakteri biasanya membentuk kelompok yang tidak teratur, sedangkan dari
kultur kaldu biasanya terlihat sebagai rantai pendek atau diplokokus. Beberapa strain
dapat membentuk kapsul atau lapisan lendir yang menambah virulensi bakteri ini.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram-positif, tetapi pada biakan yang berumur
tua, dan sel yang terfagositosis, bersifat gram-negatif.
Staphylococcus aureus merupakan anaerobik fakultatif, tetapi dapat tumbuh lebih baik
pada kondisi aerob. Sejumlah strain membutuhkan penambahan tekanan CO2, kisaran
suhu pertumbuhannya sekitar 6,5-46 oC, dengan pH 4,2-9,3, dan pH optimumnya 7,07,5. Produksi pigmen, dapat dilihat melalui pertumbuhannya pada lempeng agar pada
suhu 37 oC selama 24 jam.
A. Penentu Patogenisitas
a. Antigen Permukaan.
Polisakarida. Komponen permukaan yang memiliki aktivitas fagositik merupakan faktor
yang menguntungkan bakteri ini untuk mengawali keberadaannya dalam tubuh inang.
Staphylococcus berkapsul dapat menempel pada leukosit PMN berperantara-komplemen,
sehingga dapat menyebar ke berbagai jaringan.
Reseptor Protein. Sejumlah tempat pengikatan spesifik untuk protein mamalia, terdapat
pada permukaan sel staphylococcus. Reseptor ini melalui penempelan bakteri
menyebabkan terbentuknya pusat infeksi. Di antara protein plasma yang dapat berikatan
secara khusus kepada staphylococcus, adalah fibronektin, fibrinogen, imunoglobulin G,
dan Clq.
b. Enzim Ekstraseluler
Koagulase. Peran koagulase dalam pembekuan darah serupa dengan perubahan
fibrinogen menjadi fibrin yang dikatalisis-trombin. Untuk aktivitas enzimatiknya secara
penuh, koagulase membutuhkan komponen plasma, protrombin dan suatu turunan
protrombin, berkenaan dengan coagulase reacting factor (CRF). Produk coagulasetrombin (CT), tidak hanya menyebabkan pembekuan fibrinogen, tapi juga memiliki
aktivitas esterolitik dan proteolitik serupa dengan trombin.
Lipase. Staphylococcus menghasilkan sejumlah enzim penghidrolisis lipid, yang
keseluruhannya disebut sebagai lipase. Lipase aktif pada berbagai substrat, termasuk
plasma, lemak, dan minyak yang berkumpul pada daerah permukaan tubuh. Penggunaan
bahan-bahan tersebut memiliki nilai untuk pertahanan hidup bakteri ini dan dapat
menjelaskan aktivitas terbesarnya pada kelenjar sebasea.. Produksi lipase, penting untuk
invasi bakteri pada jaringan subkutan dan kutan yang sehat.
Hialuronidase. Lebih dari 90% strain S. aureus menghasilkan hialuronidase. Enzim ini
menghidrolisis asam hialuronat yang terdapat pada substansi di bawah intrasel jaringan
ikat, oleh karena itu akan mempermudah penyebaran infeksi.
Fibrinolisin (staphylokinase). Fibrinolisin merupakan salah satu enzim proteolitik
S.
aureus, yang memiliki aktivitas proteolitik, tetapi secara enzimatik dan antigenik berbeda
dari streptokinase streptococcus. Penentuan produksi fibrinolisin bergantung pada suatu
genom faga dan diekspresikan selama lisogeni.
Nulkease. Enzim tahan-panas ini terdapat dalam, pada, dan dekat permukaan sel,
merupakan protein padat bulat yang terdiri dari rantai polipeptida tunggal. Pemanasan
pada suhu 65oC menyebabkan kerusakan struktur enzim ini, tetapi dapat berubah kembali
secara cepat. Nuklease merupakan fosfodiesterase dengan komponen endonukleolitik dan
eksonukleolitik dan dapat memecah DNA dan RNA.
c. Toksin
Toksin Sitolitik. Sejumlah bakteri menghasilkan toksin yang menyebabkan larutnya sel
mamalia dan sel lain in vitro. Sebagian besar protein ini, bersifat ekstraseluler, dan
menginduksi terjadinya netralisasi oleh antibodi. Terdapat berbagai cara interaksi
macam-macam toksin ini dengan permukaan sel. Di antara toksin sitolitik yang sering
dilepaskan S. aureus adalah leukosidin dan hemolisin., suatu kelompok toksin yang juga
termasuk streptolisin O dan S dan berbagai toksin Clostridium. Empat toksin hemolitik
yang berbeda (hemolisin-(,-(, -(, dan -() dihasilkan oleh S. aureus, meskipun masingmasing strain berbeda tingkat ekspresinya.
- Toksin Alfa (Hemolisin-(). Toksin-(, memperlihatkan aktivitas biologik yang luas,
termasuk hemolitik, mematikan dan efek dermonekrotik, yang diamati setelah
menyuntikkan filtrat kultur kaldu. Toksin-( merusak lisosom dan merupakan sitotoksik
untuk berbagai sel kultur jaringan. Makrofag dan platlet manusia dirusak, sedangkan
monosit bersifat resisten terhadap toksin ini. Terdapat kerusakan sistem peredaran darah,
jaringan otot, dan jaringan korteks ginjal. Meskipun toksin-(, bukan satu-satunya faktor
virulensi staphylococcus, tetapi membantu patogenisitas melalui kerusakan jaringan
setelah keberadaannya pada sumber infeksi.
- Toksin Beta (Sfingomielinase Staphylococcus). Aktivitas terkuat toksin-( adalah
mampu menghasilkan lisis "panas-dingin" (misalnya, meningkatkan hemolisis, jika
diinkubasikan pada suhu kamar) Toksin-( merupakan enzim dengan spesifisitas substrat
untuk sfingomielin (dan lipofosfatida). Degradasi sfingomielin merupakan lesi membran
yang mengarah pada hemolisis ketika sel didinginkan.
Toksin-(
_Sfingomielin + H2O
N-asetilspingosin + fosforilkolin
Mg 2+
Eritrosit dari spesies hewan yang berbeda memperlihatkan perbedaan sensitivitas
terhadap toksin-(. Hubungan diantara sensitivitas toksin dengan kandungan
spingomielin, yang sebagian besar ditempatkan pada leaflet luar dua-lapis lipid membran
eritrosit sehingga mudah dicapai oleh toksin eksogen.
- Toksin Delta. Toksin-(, merupakan toksin aktif-permukaan yang relatif termostabil,
dimana komponen suka-deterjen kuatnya mampu merusak membran. Toksin ini
memperlihatkan derajat agregasi tinggi dan heterogen berdasarkan hasil elektroforesis.
Toksin memiliki kandungan asam amino hidrofibik
yang tinggi, dimana, jika
ditempatkan pada satu daerah, dapat membuat amfipatik molekul dan menjadi bahan aktif
permukaan yang kuat. Tempat reseptor membran dianggap asam lemak rantai-lurus
dengan 13-19 karbon. Toksin-( memperlihatkan aktivitas biologik berspektrum luas dan
menunjukkan bukan pada sel spesies tertentu; tetapi dapat merusak eritrosit, makrofag,
limfosit, neutrofil, dan platlet.
- Toksin Gama. Toksin-( memiliki aktivitas hemolitik, tetapi caranya berperan belum
diketahui dengan pasti. Toksin ini terdiri dari dua komponen protein yang berperan
secara sinergik, yang penting untuk hemolitik dan toksisitas. Adanya peningkatan tingkat
antibodi penetralisir spesifik pada penderita penyakit tulang karena staphylococcus,
dianggap sebagai peran toksin ini pada penyakit.
Leukosidin. Leukosidin Panton-Valentine dihasilkan oleh sebagian besar strain S. aureus
yang mampu menempel pada leukosit PMN dan makrofag, tetapi tidak pada sel lainnya.
Toksin ini disusun oleh dua komponen protein (S dan F) yang berperan secara sinergik
untuk menginduksi sitolisis.
Enterotoksin. Hampir sepertiga dari seluruh isolat klinik S. aureus menghasilkan
enterotoksin. Eksotoksin ini merupakan anggota suatu kelompok besar toksin protein
pirogenik yang memerantarai spektrum penyakit dengan manifestasi klinik yang serupa
dan melibatkan organ. Toksin yang termasuk kelompok ini sebagai tambahan pada S.
aureus adalah toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1) dan eksotoksin A sampai C
pirogenik streptococcus.Semua toksin tersebut merupakan pirogenik dan imonosupresif,
seperti kemampuannya dapat mengakibatkan mitogenisitas limfosit T nonspesifik dan
meningkatkan kerentanan inang terhadap shock endotoksin yang mematikan tersebut.
Enterotoksin staphylococcus secara serologik dikelompokkan menjadi enam grup:
A, B, C, C2, D, dan E. Di Amerika Serikat, keracunan-makanan karena staphylococcus
sering dihubungkan dengan adanya enterotoksin A. imunoassay
yang lebih sensitif.
Toksin Eksfoliatif. Sindrom kulit-luka bakar (scalded-skin) karena staphylococcus
disebabkan toksin, terutama yang dihasilkan oleh strain bakteriofaga grup II. Dua bentuk
toksin eksfoliatif yang berbeda secara biokimia dan serologik, yaitu ETA dan ETB. Gen
untuk ETA terdapat pada kromoson, sedangkan gen ETB ditempatkan pada suatu falimili
plasmid. Toksin yang dimurnikan merupakan protein dengan BM sekitar 30 dan 29,5
kDa. Protein ini menyebabkan lisis intraseluler, yang menempel di antara sel pada lapisan
granuler epidermis tetapi tidak menimbulkan respon inflamasi dan terutama tidak
menyebabkan kematian sel. Terdapat bukti bahwa toksin eksfoliatif merupakan
sfingomielinase tetapi berbeda dengan toksin-( staphylococcus. Toksin eksfoliatif
merupakan mitogen poten, terutama untuk sel T.
Toxic Shock Syndrome Toxin-1. S. aureus dihubungkan dengan toxic shock syndrome
(TSS), gangguan yang berat dan sering mematikan disebabkan karena disfungsi berbagai
organ. Sebagian besar kasus TSS berhubungan dengan menstruasi dan sekitar 50% kasus
nonmenstruasi. TSST-1, merupakan eksotoksin dengan BM 22 kDa, memiliki efek
imunologik yang berat dan bermacam-macam. Hal tersebut termasuk induksi ekspresi
reseptor interleukin-2, sintesis interleukin, proliferasi limfosit T manusia, dan stimulasi
sintesis interleukin-1 oleh monosit manusia. Tempat pengikatan utama untuk TSST-1
pada sel mononukleus manusia yaitu molekul MHC kelas II.
B. Epidemiologi
Staphylococcus merupakan bagian mikroflora indigenus dan berpindah ke
berbagai bagian tubuh tanpa gejala. Penyebaran dari tempat tersebut menyebabkan
penyakit endemik dan epidemik. Sifat tersebut merupakan masalah kompleks yang belum
dapat difahami. Kolonisasi pada bayi terjadi dalam beberapa hari setelah kelahiran, tetapi
karena antibodi secara pasif diterima melalui plasenta kecepatan carrier menurun selama
2 tahun kehidupan. Setelah anak berumur 6 tahun diperoleh suatu kecepatan carrier
dewasa sekitar 30%. Sejumlah organg yang menyimpan staphylococcus merupakan
carrier tetap dan kronik, tetapi sebagian besar merupakan carrier sementara, yaitu
menyimpan bakteri sekitar beberapa minggu. S. aureus pada beberapa bagian tubuh
carrier bebas-gejala, tetapi rongga hidung anterior reservoir utama infeksi dan sumber
penyakit. Perineum juga merupakan tempat yang penting dalam infeksi.
Sumber infeksi staphylococcus merupakan pasien atau pegawai rumah sakit yang
memiliki lesi. Pembersihan nanah dari lesi pasien, dapat membahayakan orang lain
karena kemampuan bakteri untuk menyebar melalui lingkungan yang terkontaminasi..
Kontak langsung melalui tangan merupakan salah satu jalur penularan terpenting.
9.2.2. Streptococcus pyogenes
Streptococcus pyogenes termasuk strptococcus grup A Lancefield. Bakteri ini
termasuk salah satu patogen terpenting pada manusia, yang dapat menghasilkan berbagai
infeksi sistemik dan infeksi kulit dan sering menyebabkan fangitakut.
S. pyogenes merupakan bakteri berbentuk bola atau bulat, berdiameter 0,5-1,0 (m.
Pertumbuhan rantai pendek atau lebih panjang, bergantung pada strain dan medium
kultur. Ketika tumbuh pada medium cair, sejumlah strain menghasilkan rantai yang
sangat panjang. Pertumbuhan optimalnya pada pH 7,4-7,6 dan suhu 37oC.Peningkatan
pertumbuhan pada beberapa strain dapat diperoleh dengan menurunkan tekanan oksigen
dan meningkatkan CO2. Sebagian besar streptococcus grup A adalah hemolitik-beta pada
agar darah, meskipun adanya sebagian kecil bakteri yang dapat memfermentasikan
karbohodrat (0,05% glukosa) dapat mengurangi reaksi di sekeliling permukaan koloni.
A. Penentuan Patogenisitas
Banyak faktor patogenisitas pada S. pyogenes. Sejumlah faktor virulensi
dihasilkan, sehingga bakteri ini dapat berinteraksi dengan reseptor jaringan dan bertahan
dari sistem pertahanan inang, dan berkembangbiak dalam tubuh inang.
a. Komponen Seluler
Asam Lipoteikoat (Lipoteichoic acid/LTA). Untuk dapat menginfeksi inang, bakteri
harus dapat menempel pada permukaan sel sebagai gerbang masuk. Hal ini dapat
dilakukan dengan menempel kepada sel epitel rongga mulut berperantara LTA yang
terdapat pada dinding sel streptococcus grup A. LTA merupakan molekul amfipatik dan
amfoterik, dan sangat sitotoksik untuk berbagai sel inang dan mampu melakukan
serangkaian aktivitas biologi.
Protein M. Sekali terjadi penempelan, strain tersebut mampu bertahan dari fagositosis
dan dari pembunuhan oleh leukosit (bakteri yang banyak protein M) berkembang biak
dan menginvasi jaringan lokal. Infeksi kutan dan faringeal lokal dapat terjadi, atau bakteri
menginvasi jaringan di dekatnya atau jaringan lain melalui pembuluh darah. Sekali
respon antibodi diinduksi, bakteri ini dapat segera ditelan dan dibunuh oleh fagosit.
S. pyogenes juga mengekspresikan protein permukaan unik yang berikatan pada
daerah Fc, IgG manusia. Kepentingan protein ini belum diketahui, tetapi dianggap
sebagai faktor reumatoid tertentu.
Polisakarida Kapsuler. Beberapa streptococcus grup A menghasilkan kapsul asam
hialuronat yang menyebar, yang dapat menyerupai bahan pada jaringan hewan.
Walaupun dianggap kurang penting dibanding protein M, tetapi karena kapsul ini bakteri
dapat menghindar dari fagositosis.
b. Produk Eksktraseluler
Hemolisin. Sebagian besar streptococcus grup A dan beberapa strain grup C dan G,
menghasilkan dua toksin: sitotoksik dan hemolitik-streptolisin S (SLS) dan streptolisin O
(SLO). Kedua toksin ini dapat menyebabkan hemolisis-beta di sekeliling koloni pada
media agar darah.
Streptolisin O (SLO) merupakan protein rantai-tunggal imunogenik (ca 60 kDa)
yang dilepaskan selama pertumbuhan ke dalam media kultur. SLO merupakan prototipr
dari kelompok labil-oksigen atau toksin protein sitolitik bakteri teraktivasi-thiol yang
dihasilkan oleh berbagai spesies Streptococcus, Bacillus, Clostridium, dan Listeria.
Aktivitas sitolitiknya, yang ditandai dengan kerusakan membran mengandung-kolesterol,
juga terjadi pada berbagai sel eukariot, termasuk sel darah merah, leukosit PMN, dan
platlet.
Eksotoksin Pirogenik (toksin Eritrogenik). Lebih dari 90% isolat streptococcus grup A
menghasilkan eksotoksin pirogenik. Terdapat tiga serotipe yang berbeda (A, B dan C),
dengan BM 8, 17,5, dan 13,2 kDa. Eksotoksin ini tidak tahan-panas, tetapi tahan terhadap
asam, alkali dan pepsin. Gen struktural untuk toksin ini, seperti pada toksin difteria, yang
dibawa oleh bakteriofaga temperate.
Efek primer toksin ini adalah ruam, juga dapat meningkatkan kerentanan kelinci
terhadap shock endotoksik mematikan, menyebabkan terhentinya retikuloendotel,
perannya sebagai mitogen spesifik dan nonspesifik, menghasilkan nekrosis hepatik dan
miokardium pada kelinci, dan menyebabkan penurunan sintesis antibodi. Oleh karena itu
SPEs (streptococcal pyrogenic toxins) merupakan bagian kelompok toksin pirogenik
yang memiliki komponen biokimia dan biologik. Anggota lainnya termasuk enterotoksin
staphylococcus, eksotoksin pirogenik staphylococcus, dan toksin shock sindrom toksik.
Toksin tersebut tersedia sebagai imunomodulator sistem pertahanan inang; karena pada
konsentrasi sangat rendah mampu menstimulasi proliferasi sel T, maka disebut
"superantigen".
Toksin tipe C menyebabkan peningkatan permeabilitas barrier darah-otak
terhadap endotoksin dan bakteri dan mendesak efek piretik melalui perannya secara
langsung pada hipotalamus. Biasanya, toksin ini dapat menyebabkan reaksi erithema
pada kulit individu non-imun (uji Dick-positif) dan tidak ada reaksi pada individu yang
imun (uji Dick-negatif). Antitoksin yang disuntikkan ke pasien demam scarlet
menyebabkan pemucatan lokal sebagai akibat neutralisasi toksin eritrogenik (reaksi
Schultz-Charlton).
Nuklease. Terdapat empat nuklease yang berbeda secara antigenik (A, B, C, dan D), yang
membantu melarutkan nanah dan dianggap membantu menghasilkan substrat untuk
pertumbuhan. Seluruh strain S. pyogenes paling sedikit memiliki satu nuklease, biasanya
enzim B. Nuklease A dan C hanya memiliki aktivitas Dnase, sedangkan B dan D juga
memiliki aktivitas Rnase. Semua nuklease memiliki BM 25-30 kDa dan membutuhkan
kalsium dan magnesium untuk aktivitas optimalnya.
B. Epidemiologi
Faringitis dan impertigo merupakan penyakit infeksi yang sering disebabkan oleh
S. pyogenes. Infeksi saluran nafas atas sering terjadi pada musim dingin, ketika keadaan
asimtomatik nasal dan faringeal ditingkatkan dengan keadaan yang penuh dan sesak.
Streptococcus grup A terutama ditularkan melalui droplet dari saluran pernafasan.
Penularan pada susu dan produk susu dapat dikendalikan melalui proses pasteurisasi.
Bagaimanapun, sumber epidemik terbesar dapat dihasilkan dari makanan yang
terkontaminasi oleh carrier dan individu yang terinfeksi. Infeksi dapatan-rumah sakit
jarang disebabkan oleh perawat kesehatan dengan infeksi minimal.
9.2.3. Corynebacterium diphtheriae
Difteria merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheriae. Lesi primer biasanya terdapat pada tenggorokan atau nasofaring dan
dicirikan dengan adanya penyebaran pertumbuhan pseudomembranosa keabu-abuan.
Bakteri berbiak pada tempat tersebut, dan mengeluarkan eksotoksin yang dibawa oleh
darah ke berbagai jaringan tubuh, menyebabkan hemoragik dan kerusakan nekrotik pada
berbagai organ. Strain C. diphtheriae toxigenik dan nontoxigenik dapat menyebabkan
penyakit, hanya strain yang menghasilkan toksin yang menyebabkan manifestasi sistemik
yang sering berhubungan dengan penyakit yang berat atau mematikan.
C. diphtheriae merupakan bakteri bentuk batang ramping, gram-positif, yang tidak
tahan-asam dan tidak membentuk spora. Sel berukuran 0,5-1,0 (m. Pada apusan
pewarnaan, terlihat sebagai sel tunggal, atau palisade (pagar) dan satu dengan yang
lainnya membentuk formasi sudut V atau L. Formasi mirip-huruf Cina ini disebabkan
oleh "snapping" pergerakan yang dilibatkan ketika dua sel membelah. Bentuk C.
diphtheriae secara umum berupa batang ketika tumbuh pada media nutrisi yang lengkap.
C. diphtheriae merupakan bakteri aerobik dan anaerobik fakultatif, tetapi tumbuh
baik dalam keadaan aerobik. Untuk isolasi primer dan karakterisasi dibutuhkan media
lengkap. Sebagian besar strain tumbuh sebagai waxy pellicle (membran tipis bergelatin)
pada permukaan media cair. Pada media serum Loffler, setelah inkubasi selama 12-24
jam dengan suhu 37oC, koloni terlihat putih keabu-abuan bercahaya, berukuran kecil.
A. Penentu Patogenisitas
a. Invasiveness. Invasiveness merupakan faktor selain toksin yang diperlukan untuk
membantu keberadaan patogen ini pada manusia, karena strain C. diphtheriae toxigenik
dan nontoxigenik mampu berkolonisasi pada membran mukosa. Hubungan yang tepat
faktor tersebut dalam patogenesis penyakit, digambarkan sebagai keadaan sakit. Sebagai
tambahan, antigen K permukaan ,bakteri ini mengandung cord factor yang dianggap
sebagai tambahan virulensi. Cord factor merupakan glikolipid toksik, diester 6-6'
trehalosa yang mengandung asam mikolat ciri C. diphtheriae, asam corynemikolat
(C32H62O3), dan asam corynemykolenat (C32H64O3). Aktivitas farmakologik cord
factor C. diphtheriae serupa dengan cord factor M. tuberculosis. Pada mencit,
menyebabkan kerusakan mitokondria, penurunan respirasi dan fosforilasii dan
menyebabkan kematian.
Faktor lain yang mendukung kemampuan invasif C. diphtheriae yaitu
neuraminidase dan liase N-asetilneuraminat.Melalui pemecahan asam N-asetilneuraminat
yang diuraikan dari lingkungan berlendirnya, enzim ini dapat menyediakan sumber
energi untuk bakteri selama menempati membran mukosa.
b. Exotoxin. Pada difteria, produksi toksin oleh C. diphtheriae merupakan faktor penentu
biokimia utama dalam menentukan patogenesis infeksi dan penting untuk semua efek
sistemik patologik.
Produksi toksin dan Lisogeni. Toksin hanya dihasilkan oleh C. diphtheriae yang
terinfeksi oleg bakteriofaga temperat yang membawa struktur gen untuk produksi toksin.
Strain nontoxigenik dapat berubah menjadi lisogenik, keadaan toksigenik melalui infeksi
dengan corynefaga tox+. Perubahan ke arah toksigenitas, tidak mutlak sebagai sifat
corynefaga. Meskipun sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa produksi toksin
disebabkan oleh corynefaga (, tapi pada sejumlah corynefaga yang berbeda secara
serologik dan genetiik juga terdapat gen tox.
Produksi toksin oleh strain lisogenik tidak membutuhkan pertumbuhan litik faga.
Gen tox dapat diekspresikan ketika corynebakteriofaga ( terdapat pada C. diphtheriae
sebagai faga yang berreplikasi secara vegetatif, sebagai profaga, atau sebagai suatu
superinfeksi, nonreplicating exogenote dalam sel lisogenik imun. Dalam keadaan normal,
pada nasofaring manusia, gen tox mempunyai nilai daya tahan hidup untuk faga dan
C. diphtheriae.
Produksi toksin dibantu oleh kondisi pertumbuhan, khususnya besi anorganik
dalam medium. Toksin difetria dihasilkan pada tingkat maksimum hanya selama fase
menurun dari siklus pertumbuhan bakteri, ketika besi menjadi substrat pembatas.
B. Epidemiologi
Difteria menyebar luas di seluruh dunia, tetapi saat ini di Amerika Serikat dan
Eropa Barat hampir tidak terdapat. Pada beberapa negara berkembang, dimana bayi
terimunisasi kurang dari 10%, diperkirakan hampr 1 juta kematian disebabkan oleh
difteria.
Inang alami C. diphtheriae hanya manusia jadi merupakan reservoir infeksi yang
nyata. Carrier tanpa-gejala dan orang dengan tahap inkubasi penyakit merupakan sumber
utama infeksi. Habitat primer C. diphtheriae pada saluran pernafasan atas, dari tempat ini
bakteri ditularkan dari orang-ke-orang, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penularan melalui droplet infeksi merupakan mekanisme utama transfer pada penyakit
pernafasan.
9.2.4. Streptococcus pneumoniae
Streptococcus pneumoniae atau pneumococcus merupakan bakteri gram-positif
berkapsul berbentuk kokus, oval atau bulat, dengan diameter 0,5-1,25 (m. Pada apusan
dari sputum dan cairan tubuh, bakteri ini terdapat sebagai sel berpasangan, atau
membentuk formasi rantai pendek. Melalui pembiakan secara terus-menerus, khususnya
pada media yang tidak layak, menghasilkan pembentukan rantai yang lebih panjang.
Pneumococcus sangat sensitif terhadap produk metabolisme fermentatifnya, karena umur
kultur dapat menghasilkan reaksi gram-negatif. Kapsul dapat diperlihatkan pada
pengamatan puncak-basah bakteri virulen dengan tinta India atau menggunakan antibodi
tipe-spesifik yang homolog pada reaksi quellung. Ukuran kapsul bervariasi bergantung
pada tipe pneumococcus dan berukuran besar khususnya pada tipe 3, 8, dan 37.
S. pneumoniae merupakan anaerob fakultatif yang mampu memfermentasikan
berbagai karbohidrat. Metabolisme penghasil-energi utamanya adalah tipe asam laktat,
tetapi hanya terbentuk sedikit asam, kecuali kalau asam dalam kultur secara periodik
dinetralisir. Dalam keadaan aerobik dapat dibentuk sejumlah hidrogen peroksida,
bersama-sama dengan asam asetat dan asam format. S. pneumoniae tidak menghasilkan
peroksidase, oleh karena itu akumulasi hidrogen peroksida dapat membunuh bakteri ini,
kecuali kalau diberi katalase dengan penambahan sel darah merah ke dalam medium
kultur.
S. pneumoniae membutuhkan nutrisi yang kompleks. Dapat tumbuh pada media
sintetik, tetapi untuk awal isolasi dan kultur rutin disarankan kaldu atau agar darah seperti
tryptic soy atau brain-heart infusion yang ditambah darah tanpa-fibrin 5%. Pertumbuhan
optimalnya pada pH 7,4-7,8. Inkubator CO2 atau candle jar dapat digunakan untuk isolasi
awal pada media padat, karena 5-10% strain penumococcus membutuhkan penambahan
kadar CO2.
Pada lempeng agar darah, kultur muda pneumococcus berkapsul menghasilkan
koloni bentuk-kubah, bundar, dan berkilauan, dengan diameter sekitar 1mm. Koloni yang
dihasilkan oleh tipe 3 biasanya lebih mukoid dan besar dibandingkan dengan tipe lain,
mencerminkan ukuran kapsulnya yang lebih besar. Jika koloni pneumococcus berumur
tua, perubahan autolisis menyebabkan adanya lekukan pada bagian tengah koloni, terlihat
menjadi umbilicate. Koloni yang diinkubasikan secara aerobik dikelilingi oleh zona
hemolisis alfa. Dalam keadaan anaerobik, menghasilkan zona hemolisis-beta di sekeliling
koloni karena penumolisin O oksigen-labil.
Tidak seperti streptococcus lainnya, S. pneumoniae mutlak membutuhkan kholin
dalam nutrisinya. Jika kholin digantikan dengan etanolamin, dapat diamati sejumlah
gangguan fisiologik. Gangguan terbesar yang langsung dapat diamati ialah asam teikoat
yang mengandung-kholin pada permukaan sel. Sekitar 85% kholin ditemukan dalam
asam teikoat dinding sel. Sekitar 25% ditempatkan pada asam lipoteikoat membran.
A. Penentuan Patogenisitas
a. Kapsul Polisakarida. Penumococcus merupakan contoh yang baik untuk parasit
ekstraseluler, yang merusak jaringan inang hanya jika berada di luar sel fagosit.
Perlindungan terhadap fagositosis, karena adanya kapsul yang berfungsi sebagai
antifagosit. Beberapa aspek patogenesis dari infeksi pneumococcus, dapat menyebabkan
sakit. Polisakarida kapsul berada dalam keadaan larut dalam cairan tubuh yang
terinfeksi. Relatif tidak beracun, tetapi pada tahap tinggi dalam serum atau urin dapat
dihubungkan dengan beberapa infeksi yang diikuti oleh bakteremia, empyema, dan suatu
kecepatan kematian tinggi. Polisakarida bebas dalam jumlah yang berlebihan, dapat
menetralkan antibodi antikapsul, membuatnya tidak aktif terhadap patogen yang masuk.
b. Perlekatan. Perlekatan terhadap permukaan mukosa merupakan awal peristiwa
kolonisasi dan infeksi. Streptococcus pneumoniae melekat dan berinteraksi dengan Nasetilglukosamin-galaktosa dari glikolipid permukaan sel. Kekuatan melekat terhadap sel
epitel sangat penting untuk kolonisasi pneumococcus pada nasofarinx dan menyebabkan
otitis media (infeksi telinga-tengah).
c. Enzim
- Neuraminidase. Sejumlah organisme yang membentuk koloni pada saluran pernafasan
menghasilkan enzim glikosidik neuraminidase. Enzim ini menyerang komponen
glikoprotein dan glikolipid membran sel. Neuraminidase memotong ujung asam Nasetilneuraminat dari suatu gula yang berdekatan. Meskipun peran khusus enzim ini
dalam penyakit tidak diperlihatkan, kemampuan organisme untuk tumbuh pada
nasofarinx dan dalam sekresi lendir pada batang bronkhia, membutuhkan kemampuan
metabolisme khusus. Neuraminidase hanya satu dari beberapa faktor yang mendukung
serbuan patogen.
- Protease. Pneumococcus menghasilkan immunoglobulin-degrading extraselluler
protease. Protease dapat mengurangi sekresi IgA (S-IgA), IgA, IgG, dan IgM, ditemukan
pada sejumlah isolat dari pasien berpenyakit akut, tanpa keluhan. Dengan menghilangkan
imunoglobulin, protease memainkan peranan penting untuk mempermudah kolonisasi
pada permukaan mukosa.
d.Toxin. Pneumococcus menghasilkan suatu hemolisin / pneumolisin O. Pneumolisin
merupakan toxin thiol-activated, yang bersifat sitolitik untuk sel eukariot, yang
mengandung kolesterol pada membran selnya. Peran khusus pada patogenesis
streptococcus manusia tidak diketahui, tetapi pada dosis rendah pneumolisin menghambat
respiratory burst. Dan menghambat kemotaksis leukosit polimorfonuklear; pada
konsentrasi tinggi mengaktifkan jalur klasik komplemen dalam arti tidak tergantungantibodi.
e. Autolisin. Peranan autolisin dinding sel pneumococcus pada pembelahan sel yaitu
menyebabkan hancurnya pneumococcus jika terdapat zat aktif-permukaan dan zat
antimikroba yang dapat menghambat sintesis dinding sel. Hal ini memberi dukungan
terhadap virulensi organisme. Keterlibatannya tidak terbatas pada mempermudah
pelepasan pneumolisin, tapi termasuk pelepasan protein toksin lain, dan zat-zat
pembentuk peradangan sel.
f. Komponen Dinding Sel. Dinding sel pneumococcus dapat mencapai dan bersifat reaktif
terhadap lingkungan inang, meskipun letaknya di bawah polisakarida kapsuler. Terlihat
menjadi aktifator potensial pada radang meningeal, komponen dinding sel terbesar (asam
teikoat dan peptidoglikan) membantu aktivitas peradangan. Kerusakan berat pada kedua
komponen tersebut ditandai dengan menurunnya aktivitas peradangan.Aktivitas
peradangan dinding sel dan komponen tersebut secara biologik signifikan dalam hal
komponen tersebut dapat dilepaskan ke dalam cairan serebrospinal selama
berlangsungnya meningitis dan selanjutnya mendukung kerusakan jaringan inang.
B. Epidemiologi
Insidensi. Pneumonia penumococcus merupakan bentuk penumonia bakterial terbanyak.
Meskipun tidak dilaporkan, di Amerika Serikat, diperkirakan terjadi sekitar 68-260 kasus
per 100.000 populasi atau antara 150.000 sampai 300.000 kasus per tahun. Insidensinya
tiga atau empat kali lebih besar pada orang berusia lebih dari 40 tahun, yang sering
dikondisikan dengan keadaan penyakit kerusakan paru-paru kronik. Hal tersebut
meningkat pada kelompok populasi terbuka seperti sekolah, militer, dan rumah sakit
untuk penyakit kronik. Infeksi pneumococcus biasanya lebih banyak terjadi pada musim
dingin, ketika infeksi virus saluran pernafasan atas mempengaruhi infeksi dan
penyebaran bakteri ini.
Keadaan Carrier. Penumococcus dibawa pada nasofaring carrier sehat yang merupakan
reservoir terbesar untuk infeksi penumococcus. Tingkat carrier bervariasi bergantung
pada umur, lingkungan, dan adanya infeksi saluran pernafasan atas.Tngkat bawaan
tertinggi pada usia prasekolah (25-50%) dan dengan peningkatan umur cenderung
menurun pada orang dewasa menjadi sekitar 18%. Tingkat bawaan pada orang dewasa
yang tidak kontak dengan anak-anak sekitar 5%. Pada barak militer dimana insidensi
infeksi penumococcus juga sangat tinggi, tingkat bawaan setinggi 60%.
Tipe Pneumococcus. Seluruh tipe penumococcus tidak sama invasifnya, meskipun
terdapat 90 serotipe kapsul pneumococcus. Juga diketahui adanya perbedaan
patogenisitas, resistensi terhadap fagosit dan stimulasi respon antibodi. Dari 4000 isolat
rumah-sakit di Amerika serikat, tipe 12 terhitung 80% sebagai penyebab infeksi. Dari tipe
8, 4, 3, 14, 7, 12, 9, 18, 19, 1, 6, dan 23, yang paling sering sebagai penyebab adalah tipe
12. Pada kelompok anak-anak, tipe tersebut di atas dihubungkan dengan infeksi
bakteremik, kecuali tipe 12. Hampir 65% isolat dari bayi dan anak-anak adalah tipe 6, 14,
18, 19,,dan 23. Pneumococcus tipe angka-besar, kecuali tipe 3 yang menempati flora-
normal farinx, biasanya dihubungkan dengan keadaan carrier, jarang tipe angka-rendah
lebih virulen.
C. Patogenesis
Pneumonia pneumococcus jarang berupa infeksi primer dan hanya
mengakibatkan gangguan barrier pertahanan normal saluran pernafasan atas. Udara
dingin, anastesia, morfin, dan intoksikasi alkoholik sering mempengaruhi penyakit oleh
penumococcus. Melemahnya refleks epiglotis, merupakan faktor yang mempermudah
aspirasi sekresi terinfeksi dari saluran pernafasan atas. Infeksi virus pada saluran
pernafasan atas merupakan penyebab utama pneumonia pneumococcus dan sering
mendahului serangan mendadak. Pneumococcus terdapat pada nasofaring dan berbiak
dalam lingkungan yang termodifikasi oleh virus dan dibawa ke dalam alveoli melalui
sekresi bronkhi. Beberapa keadaan klinik yang mempengaruhi pneumonia pneumococcus
akut yaitu: gangguan jantung kongestif, keracunan gas, dan stasis pulmonari disebabkan
oleh perpanjangan masa istirahat. Pada kasus tersebut, akumulasi cairan dalam alveoli,
merupakan media yang baik untuk bakteri.
9.2.5. Haemophilus influenzae
H. influenzae merupakan bakteri bentuk batang gram-negatif, pleomorfik, kecil
dan pertumbuhannya lambat. Pada cairan spinal, caiiran sendi, dan kultur primer dari
bahan tersebut pada medium yang diperkaya, bakterii ini sebagiian besar berbentuk
kokobasil, berukuran lebar 0,2-0,3 (m dan panjang 0,5-0,8 (m. Kapsul dapat diperlihatkan
dengan antiserum tipe-spesiifik pada reaksi quellung. H. influenzae yang tidak berkapsul
dari sputum dan aspirat telinga, ukurannya lebih panjang dibandingkan dengan yang
berkapsul.
Nama genus timbul dari kebutuhan bakteri akan faktor pertumbuhan tambahan
yang ditemukan dalam darah, yaitu haemo (Latin = darah) dan philos (Latin =
menyukai).Agar coklat sering digunakan sebagai medium untuk isolasi spesies
Haemophilus. Semua spesies Haemophilus membutuhkan salah satu atau kedua faktor
pertumbuhan yang terdapat dalam darah yang ditandai dengan faktor X dan V. Faktor X
tahan-panas merupakan protoporfirin IX, prekursor hemin yang merupakan grup prostetik
pada sitokrom dan pada enzim heme seperti katalase dan peroksidase.Spesies
independent-hemin seperti H. parainfluenzae, sintesis hemin terjadi melalui jalur
tetrapirol, tetapi spesies dependent-hemin tidak memiliki kemampuan untuk merubah
asam (-aminolevunilat menjadi protoporfirin. Spesies dependent-hemin tidak memiliki
semua enzim pada sintesis tetrapirol kecuali ferroselatase atau heme sintase, yang tidak
selalu ada dan mengkatalisis penyisipan akhir Fe 2+ atau Fe 3+ ke dalam cincin
protoporfirin :
_Suksinil CoA + Glisin
(-aminolevunilat
_
Porfobilinogen
_Uroporfirinogen
Koproporfirinogen
Fe 2+ atau Fe 3+
_Protoporfirin IX
Heme atau hemin.
Pada saat tumbuh secara anaerobik, H. influenzae melakukan metabolisme
anaerobik dan tidak menghasilkan sitokrom. Oleh karena itu kebutuhan hemin sangat
menurun. H. parainfluenzae tidak membutuhkan sumber besi dari luar, jadii secara
metabolik kurang fleksibel, dalam keadaan anaerobik ia secara kontinyu menghasilkan
dan menggunakan sistem sitokrom.
Faktor V tidak tahan-panas minimal merupakan nikotinamid mononukleosida,
tetapi biasanya digambarkan sebagai nikotinamid adenin dinukleosida (NAD) atau NAD
Phosphat (NADP), yang berfungsi sebagai coenzim untuk dehidrogenase terkaitpirimidin. Spesies Haemophilus yang bertanda para- hanya membutuhkan faktor V,
perbedaan sifat digunakan dalam identifikasi spesies di laboratorium dengan
menggunakan cakram yang mengandung faktor X atau V.
Sebagai penyebab infeksi pada manusia, H. influenzae merupakan spesies paling
penting dalam kelompoknya. Meskipun tidak menyebabkan influenza epidemik
sebagaimana namanya, bakteri ini mampu menyebabkan infeksi yang berat. Pada bayi
dan anak-anak, bakteri ini menyebabkan meningitis akut, dan beberapa penyakit serius
lain. H. influenzae tipe b merupakan patogen primer pada anak-anak dibawah 5 tahun
Pada orang dewasa, H. influenzae tipe b berhubungan dengan pneumonia dan
penyakit paru-paru kronik. Strain H. influenzae tanpa-tipe dan Haemophilus lain dapat
menyebabkan sinusitis, otitis, dan infeksi saluran pernafasan atas. Alkoholik, perokok,
orang yang terinfeksi-HIV, dan penderiita penyakit paru-paru kronik, memiliki risiko
terinfeksi bakteri ini. Strain penghasil-beta-laktamase, lebih sering terdapat pada anakanak dibanding pada orang dewasa.
A. Penentu Patogenisitas
a. Kapsul. Kapsul fosfat fosforibosilribitol fosfat (PRRP) Hib memainkan peranan
penting dalam patogenesis penyakit invasif. Infeksi sistemik selalu disebabkan oleh strain
berkapsul dan semata-mata karena polisakarida kapsul tipe b. Pada manusia, kerentanan
terhadap infeksi sistemik sangat berhubungan dengan ketiadaan antibodi serum untuk
kapsul tipe b. Antibodi untuk kapsul tipe b juga efektif meningkatkan fagositosis Hib in
vitro. Alasan kecenderungan tipe B untuk infeksi sistemik belum diketahui, tetapi
dipercaya karena adanya struktur unik polisakarida kapsul tersebut, yang dalam keadaan
tiidak adanya antibodi spesifik menjadikan bekateri ini resisten terhadap komplemen.
b. Komponen Membran Luar. Selain polisakarida kapsul, terdapat faktor virulensi lain
dalam urutan waktu yang berbeda. Di antara komponen yang paling mempermudah
proses infeksi adalah protein membran luar dan lipooligosakarida (LOS). Setiap jumlah
molekul permukaan mampu melakukan fungsi spesifik yang berhubungan dengan
virulensi, seperti penempelan, invasivness, dan resistensi terhadap fagositosis. Perbedaan
yang ditemukan pada protein membran luar tipe b dapat mencerminkan pengaturan
beberapa f-ngsi tersebut. Antigen somatik permukaan H. influenzae tidak berkapsul juga
menyokong patogenesis penyakit paru-paru nonspesifik kronik seperti bronkhitis
asmatik. LOS H. influenzae menimbulkan paralisis pada epitel bersilia saluran pernafasan
dan meningkatkan proliferasi bakteri ini pada bronkhus. Komposisi kimia komponen
lipid A pada LOS H. influenzae serupa dengan LPS enterobakteria, tetapi lipid A bebas
tidak memperlihatkan seluruh aktivitas biologik klasik dari lipid A lain.
c. Perlekatan. Lebih dari 90% strain non-tipe dapat melekat kepada sel epitel mulut
manusia, sedangkan strain tipe b hanya 5%. Perbedaan ini dapat mendukung perbedaan
dalam kolonisasi dan dapat menjelaskan kecenderungan strain non-tipe untuk
menyebabkan infeksi terlokalisasi sedangkan strain tipe b berhubungan dengan penyakit
invasif.
d. Protease IgA. H. influenzae merupakan satu dari lima spesies bakteri yang
menghasilkan protease IgA, yaitu enzim yang memiliki kemampuan menghidrolisis
rantai berat IgA1 manusia sebagai substratnya. Protease IgA merupakan endopeptidase
netral, dapat dibedakan dari enzim mikroba lain dalam pemecahan fragmennya. Fab-(
dan Fc-(, tidak mengalami degradasi sekunder. Pemecahan IgA merupakan faktor
virulensi potensial, karena H. influenzae pertamakali menginfeksi permukaan mukosa
manusia dimana pertahanan inang diperantarai oleh IgA sekretori. Hanya H. influenzae
dari genus Haemophilus yang menghasilkan enzim protease IgA. H. influenzae
menghasilkan tiga tipe protease IgA yang berbeda yang memecah ikatan peptida yang
berbeda pada daerah engsel IgA1. Tipe protease dihasilkan berhubungan dengan seritipe
isolat. Setiap strain non-tipe juga menghasilkan satu dari tiga tipe tersebut.
B. Epidemiologi
H. influenzae yang tidak berkapsul bisa terdapat pada nasofaring, tanpa
menimbulkan gejala penyakit. Tingkat bawaan pada anak-anak yang sehat sekitar 6090%, pada orang dewasa sekitar 5%. Isolat dari anak-anak, sekitar 5% berkapsul dan
setengahnya merupakan tipe b.
Frekuensi infeksi invasif berbanding terbalik dengan usia; persentasi kejadian
hanya sedikit pada orang dewasa dan anak-anak berusia lebih besar. Infeksi pada bayi
berusia 2 bulan jarang terjadi karena transfer transplasenta antibodi maternal. Sebagian
besar kasus meningitis, piartrosis, selulitis terjadi pada anak-anak berusia di bawah 2
tahun, dan epiglotitis pada usia 3-5 tahun. Pada orang dewasa H. influenzae sistemik,
sebelumnya dianggap tidak ada, saat ini diketahui terjadi peningkatan. Keseluruhan
insidensi penyakit Haemophilus invasif meningkat empat kali lipat, hal ini terjadi karena
adanya perbaikan teknik laboratorium untuk identifikasi penyakit tersebut.
Penyakit H. influenzae menyebar luas dan merupakan bagian endemik utama di
alam. Insidensi kasus sekunder meningkat, terjadi di antara anggota keluarga yang rentan
dan pusat perawatan yang terpapar kasus utama. Infeksi sistemik juga terjadi pada daerah
kumuh. Faktor inang nampaknya meningkatkan kerentanan, termasuk defisiensi Ig,
penyakit sickle cell, dan infeksi paru-paru kronik. Pada orang dewasa, alkoholisme
meningkatkan risiko pneumonia.
9.2.6. Neisseria meningitidis
N. meningitidis merupakan bakteri kokus gram-negatif, diameter 0,6-1,0 (m.
Bakteri ini biasanya terlihat berpasangan dengan sel disebelahnya. Isolat segar sebagian
besar N. meningitidis mempunyai kapsul. Fimbria atau pili terdapat pada N. gonorrhoeae
virulen, dan sering terdapat pada isolat N. meningitidis, dan tidak berhubungan dengan
virulensi, Neisseria tidak bergerak.
. N. gonorrhoeae dan N. meningitidis tumbuh lambat dengan kebutuhan nutrisi
pertumbuhan yang kompleks. Untuk pertumbuhannya membutuhkan besi. Pati,
kolesterol, atau albumin harus ditambahkan kepada media untuk menetralisir efek
penghambatan dari asam lemak.
A. Penentu Patogenisitas
Polisakarida kapsul mendukung sifat invasif meningococcus melalui
penghambatan fagositosis. Dalam keadaan terdapatnya antibodi spesifik, bakteri ini cepat
dirusak oleh leukosit fagositik.
Endotoksin meningococcus pada dasarnya serupa dengan bakteri gram-negatif
lain. Bakteri ini membentuk sejumlah besar membran luar yang mengandung-LPS selama
pembelahan, dan vesikula bahan tersebut dilepaskan ke luar sel. LPS dari meningococcus
lebih poten menginduksi fenomena Shwartzman daripada E. coli dan S. typhimurium.
LPS dilepaskan ke dalam sel endotelium vaskuler menyebabkan nekrosis vaskuler dan
menimbulkan respon peradangan. Jadi endotoksin dilibatkan dalam merusak vaskuler,
khususnya terlihat pada lesi kulit dimana dihasilkan berbagai komponen penyakit.
Semua strain dari serogrup N. meningitidis menghasilkan protease IgA1 yang
dikeluarkan ke lingkungan ekstraseluler. Enzim ini merupakan endopeptidase netral yang
spesifisitas substrat untuk IgA1 manusia. Protease memecah rantai berat IgA1 pada
daerah engsel. Dua enzim, tipe 1 dan 2 dari N. meningitidis, dapat memecah ikatan
prolin-serin, atau prolil-treonil, menghasilkan fragmen Fc dan Fab sempurna.
Kemampuan enzim ini terus siteliti, dan dianggap mendukung bakteri ini dalam
menimbulkan penyakit.
N. meningitidis merupakan patogen khusus pada manusia, oleh karena itu dapat
berbiak pada inang yang mengandung besi bebas dalam selnya atau yang berhubungan
dengan protein pengikat-besi berafinitas-rendah.
B. Epidemiologi
Penyakit meningococcus menyebar luas dan menimbulkan berbagai kasus
sporadis dalam komunitas infeksi epidemik. N. meningitidis menyebabkan 20%
meningitis Di Amerika serikat, sejumlah kasus meningitis atau sekitar 3000-4000 per
tahun. Dari semua kasus, serogrup B menyebabkan 50%-55%, serogrup C (20%-25%),
serogrup W135 (15%), serogrup Y (10%) dan serogrup A (1-2%).
Carrier nasofaring dewasa penting dalam penularan meningococcus dan
merupakan reservoir infeksi dalam anggota keluarga.
Puncak kasus penyakit terjadi pada anak-anak berusia 6-24 bulan. Penyakit
meningococcus pada populasi militer dihubungkankan dengan tingkat bawaan
nasofaring setinggi 90%.
9.2.7. Bordetella pertussis
Terdapat tiga spesies Bordetella : B. pertussis, B. parapertussis, dan B.
bronchiseptica. Hubungan sifat genetis, fisiologi, dan antigenik serta komponen
isoenzim yang menyebabkan tiga spesies ini ditempatkan dalam satu genus. Bakteri ini
merupakan kokobasil berukuran panjang 0,5-1,0 (µm ) dengan lebar 0,2-0,3 ( µm),
terdapat sebagai sel tunggal, berpasangan, atau kelompok kecil.
Bordetellae merupakan parasit obligat pada manusia dan hewan. Berbiak di antara
silia sel epitel. Manusia hanya merupakan inang alami B. pertussis, B. parapertussis, dan,
sedangkan B. bronchiseptica tetap merupakan patogen pada hewan. Bordetella
merupakan bakteri aerob sempurna, tidak menghasilkan hidrogen sulfida, indol atau
asetilmetilkarbinol.
A. Penentu Patogenisitas
B. pertussis merupakan bakteri patogenik dengan sifat yang unik. Berbagai
aktivitas biologik dan antigenisitas bakteri ini sudah diketahui sejak lama, tapi dalam
dekade terakhir batuk rejan diketahui sebagai penyakit berperantara-toksin.
Toksin Pertussis : Histamin-sensitizing Factor (HSF), Lymphocytosis-promoting Factor
(LPF), dan Islet-activating Protein (IAP). Dengan pemurnian dari pembungkus B.
pertussis, HSF diketahui sebagai protein tunggal dengan B.M 73-77 kDa, yang juga
merupakan LPF dan IAP. Spesies Bordetella lain juga memiliki urutan gen toksin, tetapi
tidak diekspresikan. Protein ini berdifusi ke dalam medium kultur, dan ketika diberi
formaldehid protein ini kehilangan aktivitas biologik, tapi bukan antigeniknya. Protein ini
tahan-panas, dan struktur molekul serta aktivitas katalitiknya sebanding dengan model AB toksin. Protein heksamer dengan subunit 1-5 ditentandai oleh berat molekul dari yang
terbesar sampai yang terkecil.
Hemaglutinin. B. pertussis memiliki dua hemaglutinin yang memerantarai perlekatan
bakteri ini kepada silia saluran pernafasan manusia. Satu dari protein filamen ini
diperkirakan memiliki B.M 130.000. Hemaglutinin (FHA) ini berhubungan dengan
permukaan dan protein yang disekresikan pada permukaan bakteri. FHA merupakan
adesin terbanyak untuk perlekatan bakteri kepada sel epitel pernafasan.
Hemaglutinin kedua, pertussis toxin-hemagglutinin (TOX-HA), merupakan molekul
bundar dengan kekuatan hemaglutinasi 21 kali FHA. Hemaglutinin ini melekat kepada
reseptor mengandung-asam sialat dan hanya diekspresikan pada fase I bakteri. Oleh
karena itu, bagian molekul hemaglutinin penting untuk perlekatan toksin kepada sel
epitel.
Adenilat Siklase. Paling sedikit terdapat dua kompleks adenilat siklase (AC) yang
distimulasi oleh calmodulin intraseluler pada B. pertussis. Pertama merupakan adenilat
siklase intraseluler, tahan-panas pada 100oC, dan ditemukan hanya pada B.
pertussis.Kedua merupakan adenilat siklase ekstrasitoplasma, larut, tidak tahan pada suhu
56oC, dihasilkan oleh fase I B. pertussis, B. parapertussis, dan B. bronchiseptica.
Adenilat siklase yang terdapat pada spesies tersebut dilibatkan dalam aktivasi heat-labile
toxin (HLT). Enzim ini merupakan eksotoksin dengan B.M 70,6 kDa. Enzim ini masuk
ke dalam sel inang, dimana diaktifkan oleh calmodulin untuk menghasilkan cAMP dari
AMP sel inang. Adenilat siklase mutlak sebagai faktor virulensi bakteri ini. Toksin AC
merupakan hemolisin yang menghasilkan pori pada membran eritrosit. Bagaimanapun,
aktivitas enzimatik dan hemolitiknya tidak bergantung pada fungsinya.
Toksin Dermonekrotik atau HLT. HLT dihasilkan oleh semua spesies Bordetella,
terdapat sebagai protein sitoplasma dalam bentuk prekursor, membutuhkan aktivasi untuk
menginduksi toksisitasnya.. Dilepaskan melalui lisis sel fase I. Toksin dermonekrotik ini
mematikan mencit, ketika diberikan secara intraperitonium dan intravena.
Lipopolisakarida/LPS (Heat-stable Toxin/HST). LPS atau endotoksin dinding sel
merupakan toksin tahan-panas dan serupa dengan endotoksin Enterobacteriaceae, kecuali
berbeda dalam struktur makromolekulnya dan aktivitas pirogwniknya lebih rendah. HST
terdiri dari dua polisakarida yang berbeda, masing-masing diakhiri oleh molekul asam 3dioksi-2-aktulosonat. Dua fragmen lipid yang berbeda, lipid A dan X, mengandung
glukosamin, asam lemak, dan fosfat teresterifikasi, dengan perbandingan yang sama.
Lipid X merupakan penyebab toksisitas akut. LPS tidak menginduksi pembentukan
antibodi.
Sitotoksin Trakhea. Molekul Citotoxin Tracheal (TCT) merupakan fragmen monomerik
peptidoglikan dengan B.M 912 dalton. Komponen toksik ini merusak sel bersilia sab
menghambat diferensiasi sel tidak-bersilia, jadi mampu mencegah perbaikan mukosa dan
memperpanjang efek kerusakan silia mukosa.
Pertaktin (protein membran luar 69 kDa). Pertaktin yang terdapat pada beberapa vaksin,
membantu perlekatan bakteri ini. Tingkat antibodi terhadap protein ini dapat dideteksi
pada penderita dalam masa penyembuhan dan penerima vaksin. Pada mencit, protein ini
memberi perlindungan dari serangan tantangan intranasal oleh B. pertussis.
B. Epidemiologi
Penyakit mudah menyebar, suaatu bukti diperlihatkan melalui tingkat serangan
90% dalam anggota keluarga yang tidak diimunisasi melalui kontak orang dengan
pertussis. Manusia hanya sumber yang diketahui B. pertussis, dan ekskresi kuman
dibatasi pada penderita infeksi aktif. Imunisasi dapat merubah pola epidemiologik. Orang
dewasa dan anak-remaja diinfeksi dan membawa bakteri ini ke dalam keluarga.
9.2.8. Legionella pneumophila
Dari genus Legionella, Legionella pneumophila merupakan bakteri penyebab
infeksi terbesar (70%) pada manusia. L. pneumophila merupakan bakteri bentuk-batang,
berukuran panjang 2-3 (m dengan lebar 0,3-0,9 (m; panjangnya dapat mencapai 20 (m
terutama setelah dikultur in vitro.
L. pneumophila dapat tumbuh pada media buatan agar Mueller-Hinton ditambah
hemoglobin dan IsoVitaleX, pada tekanan CO2 5%.
A. Penentu Patogenisitas
Terdapat 14 serogrup L. pneumophila yang berbeda. L. pneumophila merupakan
parasit intraseluler fakultatif dan dapat tumbuh dalam leukosit manusia juga dalam
protozoa. Bakteri ini difagositosis oleh neutrofil dan makrofag paru-paru, tetapi bertahan
hidup dan tumbuh intraseluler. Antibodi untuk Legionella meningkatkan fagositosis
tetapi tidak membunuh bakteri ini. Makrofag teraktivasi dapat menelan bakteri ini,
menunjukkan imunitas seluler memainkan peran penting dalam mencegah penyakit.
Penelitian genetik menghasilkan gen yang mengkode untuk protein permukaan 24
kDa yang meningkatkan kemampuannya untuk menginfeksi makrofag alveolar manusia.
Gen mip untuk potensiator infekstivitas makrofag. Protein permukaan ini membantu
bakteri tetap tinggal dalam paru-paru.
Multiplikasi intraseluler Legionella ditandai dengan adanya satu atau lebih toksin
yang menggangu fungsi biokimia leukosit PMN. Satu toksin merupakan protease
ekstraseluler yang toksik untuk sel kultur jaringan dan hemolitik untuk eritrosit anjing
dan guinea pig. Multiplikasi intraseluler menyebabkan kematian sel dan lisis dengan
melepaskan enzim sel inang dan faktor yang mampu merusak jaringan paru-paru.
B. Epidemiologi
Penyakit Leginnaire menyebar luas di seluruh dunia. Penyakit ini terjadi secara
sporadis, juga pada kelompok epidemik. Meskipun infeksi terjadi sepanjang tahun, tetapi
sebagian kasus terjadi pada musim panas. Terdapat dua tipe faktor risiko : berhubungan
dengan penderita dan lingkungan. Perokok, penderita penyakit paru-paru kronik, dan
alkoholik, atau penderita imunosupresif, memiliki risiko tinggi. Pasien cangkok ginjal
dan membutuhkan dialisis juga mengalami peningkatan risiko penyakit tersebut. Pria dan
wanita memiliki perbandingan 2,6:1. Sebagian kasus terjadi pada usia 50 tahun atau
lebih. Demam pontiac, juga sering terjadi pada orang yang sehat.
Sejumlah kasus disebabkan oleh paparan menara air-pendingin atau mesin
penguap, penyebaran orang-ke-orang tidak tercatat. Sumber air cadangan merupakan
sumber dari beberapa kejadian Legionellosis nosokomial. Penyebaran bakteri melalui
udara dapat terjadi pada showers atau whirpools.
9.2.9. Mycobacterium tuberculosis
Tuberculosis merupakan penyakit kuno, yang dapat diketahui dalam kerangka
dari jaman batu dan dalam tulang dari beberapa mumi orang Mesir. Manifestasi kliniknya
baru difahami setelah Koch menemukan kuman penyebab penyakit tersebut pada tahun
1882, meskipun sifat infektif tuberculosis sudah diungkapkan oleh Villemin pada tahun
1865.
M. tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang lurus, ramping atau agak
melengkung dengan bagian ujung membulat. Ukuran panjangnya berbeda mulai 1-4 (m
dengan lebar 0,3-0,6 (m. Kadang-kadang dapat membentuk percabangan jika dilihat pada
apusan dari kultur yang tua atau dari nodus limfatik, atau dapat dihasilkan secara in vitro
pada kondisi kultur spesifik.
Bakteri ini bersifat tahan-asam, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul.
Pewarnaan tahan-asam Ziehl-Neilsen sering digunakan untuk melihat M. tuberculosis
dari kultur atau dari bahan pemeriksaan penderita.
M. tuberculosis merupakan bakteri aerob obligat dan tidak akan tumbuh jika tidak
terdapat oksigen. Bahkan penurunan tekanan oksigen menyebabkan penurunan tingkat
pertumbuhan. Media pertumbuhan untuk isolasi primer digunakan basa agar-serum atau
basa kentang-telur. Pada kondisi optimal bakteri ini tumbuh lambat, untuk dapat dilihat
memelukan waktu 10-12 hari, pada suhu 37oC. Pertumbuhan juga dapat ditingkatkan
dengan penambahan tekanan CO2, pH optimal 7,0, dan rentang pH.6,0- 7,6, suhu optimal
37oC.
A. Penentu Patogenisitas
M. tuberculosis tidak menghasilkan eksotoksin maupun endotoksin. Bukan
struktur tunggal, antigen, maupun mekanisme yang dapat menjelaskan virulensinya.
Tidak terdapat uji sederhana maupun perbedaan serologik yang dapat membedakan
basilus tuberkel virulen dengan varian avirulen. Bagaimanapun, sejumlah komponen
biasanya berhubungan dengan kemampuan strain virulen M. tuberculosis untuk
menghasilkan penyakit.
a. Cord Factor. Terdapat hubungan yang sangat erat antara virulensi dengan morfologi
yang terlihat pada kultur dalam bentuk serpentine cords (kawat berlekuk-lekuk) yang
terdiri dari basil dalam susunan paralel. Strain aviulen tidak menunjukkan sifat tersebut.
Pertumbuhan dalam bentuk cord berhubungan dengan adanya 6-6'-dimikolat trehalosa
glikolipid yang ditempatkan secara periferal. Aktivitas biologik bahan tersebut dapat
dilihat pada mencit, memiliki sifat toksisitas dan kekhususan, menghambat migrasi
leukosit PMN, menghilangkan formasi granuloma, dan menstimulasi perlindungan
terhadap serangan infeksi virulen. Cord factor juga menyerang membran mitokondria,
menyebabkan kerusakan fungsi respirasi dan fosforilasi oksidatif.
b. Sulfatida. Sulfatida merupakan glikolipid yang ditempatkan secara periferal dan dapat
bereaksi dengan netral red, yang berhubungan dengan strain virulen M. tuberculosis.
Meskipun sulfatida tidak toksik, tetapi jika diberikan secara simultan dengan cord factor,
secara sinergik memiliki kemampuan toksisitas pada cord factor. Dalam kultur, sulfatida
cepat diendositosis oleh makrofag, dan dalam lisosom sekunder, menghambat fusi
lisosom dengan fagosom.Jadi, ketika M. tuberculosis berada sebagai parasit intraseluler,
sulfatida membantu pertahanan hidup bakteri ini dalam fagosom untuk mencegah
pembentukan fagolisosom, sehingga dapat menghindari paparan oleh hidrolase lisosom.
B. Epidemiologi
Tuberculosis merupakan masalah global. Pada beberapa daerah prevalensi
tuberculosis tetap tinggi, meskipun telah tersedia metode efektif dan berhasil
dilaksanakan dalam beberapa dekade, dan terdapat bukti penurunan insidensi.
Tuberculosis juga tetap menyebabkan kematian di antara penyebab penyakit infeksi.
Saat ini, di seluruh dunia diperkirakan terjadi 8-10 juta kasus tuberculosis per
tahun dan sekitar 3 juta mengalami kematian. Sedangkan tingkat kasus per tahun di
Amerika Serikat pada tahun 1989 terjadi 9,5 per 100.000, tingkat kasus pada beberapa
negara berkembang, khususnya di daerah Asia, Afrika, dan Oseania, sering melebihi 300
per 100.000. Jumlah immigran dari negara berkembang yang datang ke Amerika Serikat
membawa tingkat kasus dari negaranya. Pendatang baru tersebut menimbulkan masalah
kesehatan masyarakat.
Tuberculosis tidak disebarkan melalui populasi. Di Amerika Serikat, kelompok
tertentu yang memiliki insidensi tinggi : orang hitam, Asia dan Pasifik, Indian Amerika,
Penduduk Alaska, dan Hispanik. Penghuni penjara, alkoholis, pengguna obat-jarum
suntik, orang tua, dan bayi yang lahir dari daerah dengan prevalensi-tinggi, juga memiliki
risiko terbesar.
Infeksi tuberculosis pertama diperoleh melalui inhalasi droplet residu kering yang
mengandung basil tuberkel dan dikeluarkan ke udara dengan adanya batuk, bresin, atau
berbicara. Droplet tersebut tetap berada dalam udara untuk periode waktu yang lama, dan
partikel berdiameter 1-10 (m cukup untuk menimbulkan infeksi. Sumber utama yang
terpenting adalah orang yang terinfeksi, dan tidak terdiagnosa menderita tuberculosis.
Pasien penerima kemoterapi yang efektif, akan cepat kehilangan sifat infeksinya untuk
orang lain.
9.3. PENYAKIT MENULAR-SEKSUAL
Penyakit menular-seksual (sexually transmitted diseases/STDs), umumnya akut
dan sering berkembang menjadi kronik. Mikroorganisme STD sangat bervariasi;
termasuk yang mewakili : gonokokus (N. gonorrhoeae), spiroket (Treponema pallidum
pada sifilis), batang Gram-negatif tumbuh-lambat (H. ducreyi pada kankroid), dan bakteri
intraseluler (Chlamydiae).
Sebagian besar kuman STD memasuki tubuh pada daerah setempat, melalui
mukosa atau lapisan epitel squamosa vagina, serviks, uretra, rektum, atau faring.
Semua kuman STD memiliki kemampuan yang besar untuk bertahan dalam
mekanisme pertahanan nonspesifik inangnya dan bersifat infektif, contohnya, relatif
mudah menyerbu dan memasuki jaringan. Kenyataannya bahwa manifestasi kronik STD
relatif sering terjadi, menunjukkan bahwa kuman tersebut sering menyebabkan penyakit
asimtomatik dan tidak mudah dihilangkan oleh respon imun spesifik. Kuman-kuman
STD juga menggunakan cara yang berbeda untuk bertahan dari zat antimikroba.
9.3.1. Jenis Kerusakan
Manifestasi akut STD tersering dipisahkan menjadi tiga kelompok: (a) servisitis
dan uretritis mukopurulen, seperti pada infeksi gonorhe dan clamydial; (b) penyakiit ulser
genital, seperti sifilis, kankroid, dan herpes genital; (c) kanker genital, disebabkan oleh
papillomavirus manusia.
Penyakit menular-seksual yang paling serius sering berkembang menjadii infeksi
kronik. Termasuk di antaranya:
- Penyakit peradangan pelvik (Pelvic inflammatory desease/PID), infeksi asenden uterus
dan tuba falopi yang disebabkan gonokokus dan chlamydia;
- Kanker anogenital, termasuk kanker serviks, disebabkan oleh beberapa tipe
papillomavirus manusia;
- Sifilis sekunder dan tersier;
- Infeksi herpes rekuren.
Tabel 9.2 Penyakit menular-seksual dan bakteri penyebabnya.
PenyakitBakteriInfeksi Chlamydia
Gonorhea
Kankroid
Sifilis
Limfogranuloma venereum (LVG)
Vaginosis bakterialC. trachomatis (semua biovar, tetapi L)
Neisseria gonorrhoeae
Haemophilus ducreyi
Trerponema pallidum
Chlamydia trachomatis (Biovar L).
Gardnerella vaginalis
9.3.2. Neisseria gonorrhoeae
N. gonorrhoeae merupakan bakteri kokus gram-negatif, diameter 0,6-1,0 (m.
Bakteri ini biasanya terlihat berpasangan dengan sel disebelahnya. Fimbria atau pili
terdapat pada N. gonorrhoeae virulen, dan sering terdapat pada isolat N. meningitidis, dan
tidak berhubungan dengan virulensi, Neisseria tidak bergerak.
. N. gonorrhoeae tumbuh lebih lambat dibandingkan N. meningitidis pada kondisi
kebutuhan nutrisi pertumbuhannya. Untuk pertumbuhannya membutuhkan besi. Pati,
kolesterol, atau albumin harus ditambahkan kepada media untuk menetralisir efek
penghambatan dari asam lemak. Untuk isolasi primer, sekitar 20% strain membutuhkan
glutamin dan membutuhkan CO2 atau HCO3-.
Pada medium padat gonokokus memperlihatkan beberapa bentuk koloni yang
sering digunakan untuk memahami komponen biokimia dan virulensinya. Empat tipe
utama koloni dapat dibedakan: T1, T2, T3, dan T4. Koloni T1 dan T2 dihasilkan pada
kultur primer, berukuran kecil dan berbentuk kubah, sedangkan setelah dikultur secara
bertahap, koloni berukuran lebih besar, rata (T3 dan T4).
A. Penentu Patogenisitas
Gonorhe merupakan suatu penyakit yang secara khusus dibatasi pada permukaan
epitel pengsekresi-mukus manusia. Untuk mengekspresikan patogenik potensialnya,
gonokokus tidak hanya harus memiliki kemampuan memperbanyak diri dan memasuki
permukaan mukosa tetapi juga harus tetap bertahan dari serangan sistem imun inang. Hal
tersebut menyebabkan kuman harus memiliki respon terhadap berbagai kondisi
lingkungan. Tekanan selektif yang terdapat pada lingkungannya secara in vivo dapat
menyebabkan perubahan besar pada komponen permukaan gonokokus.
a. Pili.
Gonokokus dari koloni T1 dan T2 yang berpili dan berhubungan dengan virulensi
terhadap manusia bahkan setelah melalui beberapa tahap pemisahan secara in vitro.
Gonokokus dari koloni tipe T3 dan T4 tidak berpili, dan tidak mampu menyebabkan
infeksi pada manusia. Gonokokus berpili sering melekat pada berbagai sel epitel manusia
dibandingkan dengan yang tidak berpili, oleh karena itu, pili dianggap sebagai faktor
virulensi melalui perlekatan kuman pada daerah mukosa yang terinfeksi. Perlekatan
terjadi pada ujung mikrovili sel tidak bersilia, diikuti dengan fagositosis dan
pengangkutan gonokokus dalam vakuola ke daras sel dan memasuki jaringan subepitel.
b. Komponen Membran Luar.
Bagian permukaan penting lain yang mendukung perlekatan adalah Protein II
(PII). Adanya protewin ini diperlihatkan pada bentuk koloni dab\n biasanya berhubungan
dengan koloni opaq yang menunjukkan perbedaan inter-gonokokus. Seperti pili, PII
berfungsi sebagai pelekat. Setiap PII spesifik diperoleh secara genetik dan antigenik
berhubungan dengan protein yang menunjukkan berbagai fase.
Kecepatan perlekatan
komponen permukaan sel karena kecepatan memperoleh dan menghilangnya PII tertentu,
juga perubahan dalam struktur subunit pili, memungkinkan kuman dapat bertahan pada
lingkungan dan struktur anatomik yang berbeda pada tubuh inang. Berbagai PII memiliki
perbedaan dalam kemampuan perlekatan terhadap tipe sel tertentu. Perbedaan yang tetap
dapat diamati pada opasitas atau fenotipe PII isolat klinik dari pria dan wanita, dari
wanita pada waktu yang berbeda dalam siklus menstruasinya, dan dari daerah anatomik
yang berbeda . PII berbeda dalam setiap strain jadi mendukung kemampuan kuman untuk
bertahan dalam daerah anatomik tertentu dan dapat memasuki perubahan siklus.
c. Peptidoglikan
Monomer terlarut peptidoglikan gonokokus menampilkan suatu kelas kedua dari
komponen tahan-panas gonokokus yang dianggap mendukung patogenesis infeksi
gonokokus. Monomer tersebut aktif secara biologik, termasuk mengaktifkan komplemen
manusia dan memepercepat proliferasi sel mononuklear. Aktivitas biologik lainnya
memiliki sifat tiksisitas intrinsik terhadap mukosa tuba falopi manusia. Kerusakan akhir
berupa pengelupasan sel bersilia dari mukosa dan dapat diamati pada infeksi gonokokus
aktif.
d. Protease IgA
IgA merupakan imunoglobulin yang banyak dilibatkan dalam menyerang mukosa.
Semua gonokokus menghasilkan suatu protease yang secara khusus memecahkan
molekul subkelas IgA1 dan molekul yang menginkatifkannya. Enzim ini menyebabkan
gonokokus dapat menempel pada permukaan mukosa, meskipun terdapat respon sekresi
antibodi. Protease IgA1 hanya terdapat pada Neisseria patogenik, dan tidak terdapat pada
spesies komensal, enzim ini dianggap sebagai virulensi pada N. gonorrhoeae.
Strain N. gonorrhoeaemenghasilkan satu dari dua tipe protease IgA1, masingmasing memecah molekul IgA1 pada suatu ikatan peptida yang berbeda di daerah
engselnya. Produksi protease IgA1 tipe 1 merupakan ciri khas strain yang membutuhkan
arginin, hipoksantin, dan urasil untuk pertumbuhannya dan merupakan serovar 1A.
Serovar lain dan auksotipe biasanya menghasilkan protease IgA1 tipe 2.
B. Manifestasi Klinik
a. Penyakit Gonorhe Pada Pria
Jika dibandingkan dengan beberapa penyakit infeksi lain, gonorhe tidak mudah
menular. Seorang pria tanpa pelindung memiliki kemungkinan tertular gonorhe sekitar
22% dari pasangannya yang terinfeksi, dan risiko tersebut diperkirakan menurun dengan
penggunaan kondom. Pada pria, gonorrhe akut memiliki masa inkubasi 2-8 hari, pada
sebagian besar kasus terjadi dalam 4 hari infeksi. Pasien mengalami sakit buang air
kemih dan dari uretra mengeluarkan purulen kuning yang sama seperti pada uretritis
anterior akut. Pasien dapat febril dan mengalami leukositosis, tetapi umumnya tidak
terdapat tanda-tanda sistemik. Infeksi asimtomatik terdapat sekitar 10% kasus, tetapi
pasien berkemampuan menularkan infeksi. Komplikasi terjadi pada sekitar 1% pria,
sebagian besar berupa striktur uretra, epididimitis, dan prostatitis. Jarang terjadi
septikemia, peritonitis dan meningitis.
b. Penyakit Gonorhe Pada Wanita
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tingkat prevalensi gonorhe pada wanita
tanpa-gejala terdapat antara 1% dan 8%. Risiko terhadap wanita dari hasil berhubungan
dengan pria terinfeksi tidak secara jelas diketahui, tetapi kemungkinan lebih besar
dibandingkan dari pria.
Berdasarkan penelitian pada populasi, 20-80% wanita penderita gonorhe tidak
memiliki gejala. Gejala penyakit ditandai dengan sakit buang air kemih, pengeluaran dari
vagina, demam, dan sakit badan. Komplikasi tersering berkembang menjadi penyakit
inflamasi pelvik (PID) disebabkan infeksi gonokokus pada tuba falopi. Penyakit ini
terjadi pada sekitar 15% wanita penderita gonorhe
dan memiliki dua akibat : (1)
penyakit inflamasi pelvik gonokokus merupakan penyebab utama sterilitas dan
kehamilan di luar kandungan karena bagian luka menghalangi jalannya sel telur melalui
tuba falopi. (2) bagian luka juga menghalangi aliran cairan secara normal melalui tuba
falopi. Pada bagian terdapat akumulasi cairan, dapat terjadi infeksi oleh bakteri lain,
khususnya anaerobik. Hal ini mengarah pada PID kronik, suatu penyakit yang
melemahkan dan sangat menyakitkan dan tidak terdapat bentuk terapi yang memuaskan.
Kadang-kadang terjadi komplikasi lain seperti infeksi perihepatitis dan umumnya
peritonitis.
Sekitar 50% wanita penderita gonorhe mengalai kolonisasi bakteri pada rektum,
dan kadang-kadang terjadi proktitis. Pada 10% wanita penderita gonorhe, hanya daerah
rektum yang terkolonisasi. Beberapa pria heteroseksual rektum mengalami kolonisasi, s
sedangkan pada pria homoseksual hal tersebut terjadi secara umum.
Daerah lain yang sering terkolonisasi, pada faring pria atau wanita.Meskipun
infeksi gonokokus faring seing tidak menimbulkan gejala, tetapi dalam beberapa kasus
secara klinik hal ini sangat berhubungan dengan faringitis.
c. Penyakit Gonorhe Pada Anak-anak
Sejumlah kasus gonorhe setiap tahun terjadi pada bayi dan anak-anak, meskipun
gonorhe paling sering diperoleh melalui kontak seksual pada orang dewasa.
Pada
kelompk umur tersebut gonorhe dapat diakibatkan kelainan seksual, tetapi pada bayi hal
ini dapat terjadi karena kontaminasi selama melalui jalan kelahiran.
Pada periode perinatal, infeksi mata merupakan manifestasi paling sering.
Optalmia gonokokus sering menyebabkan kebutaan, sebelum perak nitrat digunakan
sebagai profilaksis optalmik. Setelah kelahiran, semua bayi membutuhkan profilaksis
perak nitrat 1%.
Artritis gonokokus neonatal merupakan bentuk infeksi artritis yang sangat
merusak. Bakteri biasanya didapatkan dari ibunya pada saat melahirkan.
Vulvovaginitis biasanya terjadi pada anak-anak perempuan berusia 2-8 tahun. PH
alakalin vagina prepubertas merupakan satu faktor yang mendukung kehadiran penyakit
gonorhe, termasuk penularan penyakit infeksi seksual lainnya.
C. Epidemiologi
Gonorhe merupakan penyakit menular-seksual yang sangat umum. Penyakit
tersebut di sebagian besar dunia bersifat pandemik. Sejak awal abad 20an, ketika tingkat
gonorhe pertama dikenali, peningkatan dan penurunan kasus insidensi dihubungkan
dengan perubahan tingkat sosial dan kerusakan akibat perang. Di Amerika serikat,
tingkat insidensi tertinggi terjadi selama dan setelah Perang Dunia II.
Di bagian Utara dan Selatan Amerika Serikat, puncak insidensi gonorhe terjadi
pada bulan Juli sampai September. Prevalensi gonorhe dipengaruhi oleh kelompok umur.
Kasus gonorhe tercatat pada orang-orang berusia 15-29 tahun. Pada pria dan wanita,
penyakit ini sering dialami oleh orang berusia 20-24 tahun (1546/100.000) dan tingkat
kedua tertinggi terjadi pada remaja berusia 15-19 tahun. Sebagian besar kasus gonorhe
diperoleh secara kebetulan, tetapi prostitusi sangat mempengaruhi penyebaran penyakit
resisten-antibiotik ini.
9.3.3. Treponema pallidum
Treponema berasal dari bahasa Latin trepo dan nema, yang berarti lilitan benang.
Treponema pallidum memiliki panjang 5-20 (m dengan diameter 0,09-0,5 (m.
Selnya terlihat panjang dengan 8-14 lekukan gelombang. Bergerak lambat,
dengan gerakan melayang, gemulai dan lentur. Pergerakan terlihat nyata pada lingkungan
dengan viskositas relatif tinggi.
Struktur T. pallidum umumnya serupa dengan Spirochaetaceae lain dan teridri
dari membran sitoplasma multilayer, fibril mirip-flagel, dinsing sel dan sampul sel paling
luar. T. pallidum patogenik memiliki sampul paling luar mirip-kapsul yang tidak terdapat
pada spesies tidakpatogenik.
Sampai saat ini, T. pallidum tidak dapat tumbuh secara invitro, meskipun
dipelihara selama 4-7 hari pada suhu 25 oC pada medium anaerobik yang mengandung
albumin, natrium bikarbonat, piruvat sistein, dan ultrafiltrat serum bovin. Dengan teknik
kultur jaringan yang sangat khusus dan penurunan tekanan oksigen, bakteri ini dapat
memperbanyak diri beberapa generasi pada kultur jaringan primer sel epitel kelinci.
Dalam sistem ini, virulensinya terpelihara, tetapi bakteri tidak dapat dikultur kembali.
Strain virulen (contohnya, strain Nochols) dipropagasi melalui inokulasi intratestikuler
kelinci.
T. pallidum cbersifat mikroaerofilik dan dapat bertahan hidup untuk waktu yang
lebih lama pada tekanan oksigen 3%-5%. Memperlihatkan, adanya ambilan oksigen dan
sistem transport elektron. Ambilan oksigen bergantung pada glukosa, dan oksidasi
piruvat hanya terjadi jika terdapat oksigen.
A. Epidemiologi
Sifilis bukan penyakit yang mudah menyebar, seseorang yang mengalami kontak
seksual dengan orang yang terinfeksi memiliki kemungkinan 1 : 10 tertular penyakit.
Penyakit ini juga memiliki periode inkubasi yang panjang selama waktu kontak tidak
bersifat infektif. Karena alasan tersebut, mencari dan mengobati orang yang kontak
dengan bentuk infektif merupakan cara yang efektif untuk mengendalikan penyebaran
penyakit tersebut. Walaupun demikian, saat ini terdapat bukti peningkatan jumlah kasus
sifilis infektif. Di Amerika serikat, tingkat sifilis primer dan sekunder mencapai
14/100.000 populasi, dan tercatat lebih dari 25. 000 kasus. Pada tahun 1989 tercatat
22/100.000 kasus, dan jumlah tersebut terus mengalami peningkatan. Kewcepatan
peningkatan sifilis infektif terjadi pada tahun 1980-an, terutama penularan dari pria-kepria. Infeksi relatif menurun diantara pria, dan saat ini meningkat di antara wanita.
Kelompok yang secara signifikan dipengaruhi oleh penyakit tersebut antara lain;
pengguna obat-obatan terlarang, prostitusi untuk memperoleh obat-obatan tersebut atau
uang pembelian obat merupakan salah satu aspek masalah pada pusat epidemiologik.
B. Penularan
T. pallidum berkemampuan memasuki membran mukus atau kulit yang lecet.
Inokulasi langsung melalui kontak dengan orang yang terinfeksi bersifat penting dalam
infeksi juga untuk bakteri beratahan hidup yang terbatas di luar tubuh inang. Kontak
seksual merupakan metode penularan dan daerah yang terinokulasi biasanya organ
genital, vagina, atau serviks pada wanita, penis pada pria. Daerah lain termasuk bibir,
yang dapat terinfeksi pada saat berciuman, juga kulit dapat terinfeksi karena lecet. Dokter
atau ahli patologik dapat
terinfeksi melalui cara tersebut jika tidak menggunakan
pelindung.
C. Patogenesis
Sifilis merupakan penyakit pembuluh darah daerah perivaskuler. Setelah invasi
bakteri cepat berbiak dan menyebar luas. Penyebaran melalui limfatik perivaskuler dan
selanjutnya sirkulasi sistemik sebelum perkembangan lesi primer. Sepuluh sampai 90 hari
berikutya, tetapi biasanya dalam 3-4 minggu, pasien bermanifestasi respon peradangan
terhadap infeksi pada daerah inokulasi. Lesi, kankre, dicikan banyak menghasilkan
spiroket; dengan kumpulan leukosit mononuklear, limfosit dan sel plasma; dan
pembengkakan endoltel kapiler. Daerah nodus limfatik membesar, dan infiltrasi seluler
dari lesi primer tersebut. Pemecahan lesi primer terjadi melalui fibrosis.
Dalam sistem percobaan, T. pallidum patogenik secara in vitro dan in vivo dapat
menyerang berbagai galur sel dan spesimen jaringan. Antibodi terhadap fragmen protein
nampaknya tersedia sebagai ligand untuk sel mamalia sitaderensi akan menghalangi
penempelan bakteri terhadap sel. Penempelan treponema terhadap sel mamalia dibantu
oleh adanya selaput fibronektin pada bakteri. Strain Treponema avirulen, tidak melekat
pada sel yang dikultur.
Lesi sekunder berkembang pada jaringan ektodermal, seperti kulit, membran
mukus, sistem saraf pusat, mengikutsertakan respon peradangan.
Sifilis tersier melibatkan beberapa sistem organ dan sering bersifat asimetrik.
Gummas merupakan tipe lesi akiba perluasan nekrosis, sejumlah sel giant, dan
berkurangnya bakteri. Hal ini sering terjadi pada organ dalam, tulang dan kulit. Bentuk
lesi tersier lain-suatu penyebaran peradangan kronik dengan sel plasma dan limfosit
tetapi tanpa kaseasi dapat diakibatkan aneurisma aorta, demensia paralitik dan tabes
dotrsalis. Pembengkakan endotel kapiler kronik dan fibrosis diakibatkan perubahan
karakteristik jaringan.
D. Manifestasi Klinik
Penyakit Sifilis Primer. Kankre sifilis primer merupakan tipe lesi tunggal, keras dan
kokoh dengan permukaan bersih, permukaan meninggi dan berwarna kemerahan. Hal
tersebut sering diabaikan oleh wanita yang memilikinya pada serviks atau pada dinding
vagina, atau pada saluran anus pria. Tidak terdapat tanda sistemik atau gejala, tetapi
nodus limfatik sering membesar dan mengeras.
Penyakit Sifilis Sekunder. Dua sampai 10 minggu setelah terbentuk lesi primer, pasien
dapat mengalami penyakit sekunder. Penampilan yang mencolok termasuk demam, sakit
tenggorokan, umumnya limfadenopati, sakit kepala, dan ruam. Lesi pada membran
mukosa terlihat sebagai bidang kecil mukosa berwarna putih. Terjadi kondilomata lata di
sekeliling daerah yang lembab, juga pada anus dan vagina. Semua lesi sekunder kulit dan
membran mukosa sangat infektif.
Tanda lain pada tahap sekunder penyakit ini umumnya berupa respon imunologik.
Sindrom nefrotik dengan nefritis kompleks imun disebabkan deposisi kompleks antigenantibodi dengan membran dasar glomeruler.
Setelah melewati episode penyakit sekunder, pasien memasuki tahap penyakit
laten, 4 tahun pertama yang dianggap awal tahap laten dan periode berikutnya tahap laten
akhir. Dengan definisi, orang yang berada pada tahap laten akhir penyakit ini tidak
memiliki tanda atau gejala sifilis aktif tetapi tetap seroaktif. Jika terapi untuk sifilis
pertama diberikan selama tahap ini, pasien tidak mungkin memperlihatkan penurunan
antibodi nontreponema. Sekitar 60% pasien pada tahap laten yang tidak diobati, secara
terus-menerus bebas-gejala, sedangkan sekitar 40% pasien memiliki gejala penyakit laten
tahap akhir.
Penyakit Sifilis Tersier
Gummas. Tiga sampai sepuluh tahun setelah penyakit sekunder berakhir, pasien dapat
mengalami perkembangan lokalisasi lesi pada bagian dermis atau struktur pendukung
tubuh, yang disebut gummas. Lesi ini relaif tetap maka sering digunakan istilah sifilis
tersier jinak. Spiroket secara ekstrim berkurang dan menghilang. Reaksi gumma
merupakan reaksi imunologik inang primer.
Neurosifilis. Selama tahap awal sifilis, sekitar sepertiga pasien mengalami gangguan
sistem saraf pusat, tetapi jika tidak diobati setengah dari pasien tersebut selanjutnya
memasuki tahap neurosifilis akhir. Interval antara penyakit primer dengan neurosifilis
akhir biasanya lebih dari 5 tahun. Neurosifilis akhir dapat terjadi melalui beberapa
bentuk. Penampilan klasik termasuk demensia paralitik, tabes dorsalis, sklerosis lateral
amiotropik, sifilis meningovaskuler, seizures, atrofi optik, dan perubahan gumma pada
korda. Neurosifilis dapat menyerupai penyakit neurologik lain.
Sifilis Kardiovaskuler. Sekitar 10-40 tahun setelah terjadi sifilis primer, pada pasien yang
tidak diobati dapat berkembang tanda-tanda penyakit pada kardiovaskuler. Organ yang
sering terlibat antara lain pembuluh darah besar pada jantung, tempat terjadinya sifilis
aorta dan arteritis pulmoner. Reaksi inflamasi juga dapat menyebabkan stenosis, dengan
akibat angina, kerusakan otot jantung dan kematian.
Sifilis Kongenital.
Sifilis kongenital dapat diakibatkan infeksi transplasenta pada perkembangan
janin dan sering meluas serta bentuk penyakit yang bersifat merusak.
Ketika sifilis kongenital mendadak menyerang, T. pallidum secara bebas
memasuki peredaran darah janin, spiroket mengakibatkan septikemia dengan penyebaran
yang luas. Sifilis kongenital yang tidak diobati tingkat kematiannya sekitar 25%, sebagai
tambahan 40% anak-anak menderita stigmata akhir. Sifilis kongenital dapat
menyebabkan aborsi biasanya terjadi pada trimester kedua kehamilan, dan pada waktu
tersebut reaksi histopatologik terhadap T. pallidum jarang ditemukan pada jaringan janin.
Terdapat anggapan yang umum bahwa janin terlindung dari sifilis kongenital sampai
minggu keenam kehamilan, pada saat lapisan Langhan's korion atrofi. Walaupun
demikian terdapat bukti bahwa respon inflamasi yang mengakibatkan kerusakan jaringan
dan kematian janin tidak terjadi sebelum janin memiliki kekuatan imunologik. Wanita
hamil penderita sifilis yang tidak diobati dapat menularkan infeksi pada beberapa tahap
penyakit terhadap janin. Umumnya pada saat wanita tersebut mengalami tahap primer
dan sekundersifilis. Tanpa pengobatan, hampir semua wanita penderita sifilis primer,
90% penderita sifilis sekunder, dan 40% penderita sifilis laten awal, dapat menularkan
infeksi kepada janinnya.
Ciri dan intensitas manifestasi sifilis kongenital sangat bervariasi. Khususnya
gejala awal yang mencolok termasuk hepatosplenomegali, penyakikuning, anemia
hemolitik, pneumonia, multiple long bone. Terdapat snuffles, lesi kulit, dan masa
testikuler.
Manifesasi akhir sifilis kongenital diakibatkan luka penyakit aktif dan dari
perkembangan penyakit aktif. Beberapa perubahan dapat dicegah melalui pengobatan
secara awal, tetapi tahap lain penyakit sering berkembang walaupun dengan pengobatan.
9.3.4. Haemophilus ducreyi
Haemophilus ducreyi merupakan penyebab kankroid, penyakit menular-seksual
yang menyebar secara luas di seluruh dunia. Pada daerah beriklim sedang, dalam
populasi penduduk sipil H. ducreyi mampu menyebabkan penyakit kelamin sekitar 10%,
tetapi pada musim perang kankroid menjadi masalah sebesar gonorhe. Dalam populasi
penduduk sipil, terutama pada pria berkulit hitam, penyakit tersebut sering terjadi dan
dihubungkan dengan rendahnya tingkat sosioekonomi dan kondisi kebersihan.
Setelah terpapar, terjadi periode inkubasi selama 2-14 hari sebelum terlihat lesi
tunggal atau banyak lesi yang berkembang menjadi batas yang menccolok, tidak
mengeras, ulser yang sangat menyakitkan. Hal tersebut biasanya terjadi pada daerah
genital dan perianal dan jarang disertai gejala sistemik. Inflamasi , pernanahan, dan
pembengkakan nodus limfatik pada pangkal paha (suppurative inguinal bubois) terjadi
pada setengah jumlah pasien.
9.3.5. Chlamydia trachomatis
Chlamydia juga dikenal sebagai Miyagawanela atau Bedsonia. Gram-negatif
berdiameter 0,2-1,5 (m. Tiga spesies Chlamydia yang dikenal : (1) C. trachomatis,
pertumbuhannya dihambat oleh sulfonamid, dan menghasilkan inklusi sitoplasmik
dengan pewarnaan-iodin, (2) C. psittaci, dan (3) C. pneumoniae, keduanya tidak
dihambat oleh sulfonamid dan tidak menghasilkan inklusi dengan pewarnaan-iodin.
Secara morfologi Chlamydia dapat dibedakan menjadi dua bentuk : badan
elementer (elementary body/EB) dan badan retikuler (reticulate body/RB). EB
merupakan berbentuk bulat padat, dengan diameter 0,2-0,4 (m. EB merupakan bentuk
infektif, mampu melekat pada sel inang target dan memasuinya. Kekakuan dinding
selnya membuat EB dapat bertahan hidup selama di luar sel.
Meskipun berukuran sangat kecil, tetapi Chlamydia bukan termasuk virus
melainkan bakteri. Hal ini terbukti dari sifat-sifat berikut yang tidak terdapat dalam virus,
yaitu memiliki dinding sel yang sama dengan bakteri gram-negatif, mengandung RNA
dan DNA, mempunyai ribosom prokariot dan mensintesis protein, asam nukleat, dan lipid
sendiri, membelah secara biner, dan rentan terhadap berbagai zat antibakteri.
Chlamydia tidak mampu membentuk sendiri senyawa fosfat berenergi tinggi.
Energi yang dibutuhkan dapat diambil dari sel inang, leh karena itu kuman ini juga
disebut parasit energi. Meskipun merupakan bakteri gram-negatif, Chlamydia memiliki
lipopolisakarida, tetapi terpotong, mirip kemotipe Re.
DNA dipadatkan di tengah nukleoid dan merupakan molekul sirkuler tertutup
dengan B.M 660 kDa. Molekul tersebut dapat menyediakan informasi sebanyak 600
protein yang berbeda, sekitar seperempat kali yang disediakan oleh genom E. coli.
A. Siklus Perkembangan Chlamydia
Siklus perkembangan pertumbuhan terdiri dari lima fase utama :
(1) perlekatan dan penembusan EB,
(2) transisi metabolisme dari EB menjadi RB aktif,
(3) pertumbuhan dan pembelahan RB, menghasilkan beberapa progeni,
(4) maturasi RB noninfektif menjadi EB infektif, dan
(5) pelepasan EB dari sel inang.
Awal peristiwa proses infeksius dimulai ketika perlekatan EB ke mikrovili sel
epitel silindris yang rentan. Satu metode internalisasi menyerupai jalur mirip-endositosis
diperantarai-reseptor pada virus, tetapi pada beberapa bagian, serupa dengan parasit
terspesifikasi.
Infeksi pada manusia disebabkan oleh C. trachomatis, terutama pada mata dan
saluran genital. Saat ini trachoma yang mengarah pada kebutaan dapat dicegah, penderita
diperkirakan sekitar 500 juta orang. Di Eropa dan Amerika Serikat, Chlamydia juga
sebagai penyebab penyakit menular-seksual. Pada pria, penyakit dimulai dengan uretritis
dan dapat menyebar ke epididimis. Pada wanita penyakit dimulai pada serviks,
penyebaran naik ke endometrium dan tuba falopi dapat menyebabkan penyakit
peradangan pelvik dan infertilitas. Bayi yang lahir dari ibu penderita servisitis sering
mengalami inklusi konjungtivitis dan pneumonitis. Pertumbuhan lambat bakteri ini pada
lingkungan intraselulernya menghasilkan penyakit klinik yang lambat perkembangannya
sehingga pada beberapa kasus tidak diobati.
B. Penyakit Infeksi Chlamydia
a. Infeksi Okuler
Trachoma. Trachoma merupakan keratokonjungtivitis kronik yang disebabkan oleh C.
trachomatis serotipe A, B dan C.
Epidemiologi. Trachoma merupakan penyakit yang secara terus menerus terdapat di
beberapa daerah negara berkembang yang miskin dan kotor seperti Afrika, Timur
Tengah, India, Asia Tenggara, dan pulau-pulau Pasifik. Di Amerika Serikat, Indian
Amerika merupakan kelompok masyarakat yang sering terinfeksi. Pada daerah endemik,
anak-anak berperan sebagai reservoir untuk penularan penyakit tersebut. Pada daerah
tersebut, trachoma yang aktif secara klinik ditemukan pada bayi berumur 2-3 bulan, dan
prevalensi aktif pada anak-anak usia prasekolah dapat mencapai 70% - 100%. Walaupun
demikian anak-anak berusia 10-15 tahun mulai terbebas dari penyakit aktif. Dalam suatu
komunitas yang terdapat trachoma membutakan merupakan hiperendemik, sangat
berpengaruh terhadap orang-orang yang hidup pada daerah yang sangat-miskin.Keadaan
keluarga yang padat, merupakan faktor risiko penyakit yang sangat signifikan. Keadaan
demikian mempermudah penularan infeksi dari mata-ke-mata melalui droplet, tangan,
dan pakaian yang terkontaminasi. Pada komunitas tertentu, episode musiman
konjungtivitis akut, nampaknya sangat berhubungan dengan serangga tertentu yang
terbang ke arah mata.
Patogenesis. C. trachomatis khususnya berreplikasi pada permukaan mukosa dalam sel
epitel silindris dan transisional. Kuman tersebut menstimulasi infiltrasi PMN secara
cepat, khususnya pada awal infeksi. Infiltrasi submukosa limfositik juga terpengaruhi,
menyebabkan pembentukan folikel limfoid dan perubahan fibrotik.
b. Konjungtivitis Inklusi
Pada Bayi. Konjungtivitis Inklusi pada bayi merupakan penyakit mata yang diperoleh
dari saluran kelahiran ibunya. Umumnya disebabkan oleh C. trachomatis serotipe D
sampai K. Penyakit tersebut sering dinamakan "Konjungtivitis Inklusi Trachoma" karena
sangat berhubungan erat dengan kuman penyebab trachoma okuler yang disebut Kuman
TRIC dan secara historik meliputi keduanya. Insidensi infeksi chlamydia pada mata bayi
bergantung pada prevalensi infeksi servik pada ibu bayi tersebut. Pada bayi yang baru
lahir biasanya penyakit terlihat pada 5-12 hari setelah kelahiran. Hal tersebut ditandai
dengan eksudat dan konjungtivitis dan bersifat unilateral. Vulvovaginitis, infeksi telinga,
dan rhinitis mukopurulen dapat menyertai penyakit okuler. Beberapa anak penderita
konjungtivitis inklusi saat lahir, prematur, dan infeksi pada ibu dihubungkan dengan
berbagai komplikasi perinatal untuk ibu dan bayinya.
Konjungtivitis inklusi pada mata bayi yang baru lahir memiliki insidensi tinggi
pada mikropanus, ruam konjungtiva, dan berulang, yang dapat dicegah dengan
pengobatan.
Pada Orang Dewasa. Konjungtivitis inklusi biasanya sporadik tetapi dapat bersifat
epidemik akibat kontaminasi dari kolam renang tanpa-klorinasi. Konjungtivitis inklusi
harus dibedakan dari keratokonjungivitis epidemik, yang disebabkan penyakit virus.
c. Infeksi Saluran Genital
Infeksi C. trachomatis pada saluran genital terdapat dua tipe: (1) disebabkan oleh
okulogenital serotipe D sampai K dan (2) LGV (Limphogranuloma Venereum) yang
disebabkan oleh serotipe L1, L2, dan L3.
Infeksi Urogenital. Penemuan biovar trachoma dan bukti serologik infeksi Chlamydia
serotipe D sampai K terjadi pada sekitar 20% pria penderita uretritis nongonokokus dan
setengahnya pada kontak seksual. Hal tersebut terjadi pada pria dengan sejarah penyakit
kelamin lain dan berhubungan seksual dengan wanita penderita infeksi chlamydia servik.
Infeksi pada wanita dewasa termasuk servisitis kronik dan uretritis. Demam
setelah melahirkan sering terjadi pada seorang ibu. Infeksi servik maternal dihubungkan
dengan peningkatan kelahiran prematus dan morbiditas perinatal. Kehamilan di luar
kandungan, merupakan beberapa akibat sekunder salfingitis chlamydia, telah meningkat
pada dekade berikutnya.
Sindrom Reiter's. Pasien penderita sindrom Reiter's ditandai dengan tiga kali gejala
berulang, termasuk konjungtivitis atau irodosiklitis, poliartritis, inflamasi genital.
Penyakit ini bianya terjadi pada pria muda berkulit putih dan diawali dengan infeksi
daerah dekat sendi.
gastrointestinal.
Dikenali infeksi berpresipitasi termasuk infeksi genital dan
Limphogranuloma Venereum (LGV). Limphogranuloma inguinal, climatic bubo, dan
esthiomene berupa sinonim dari penyakit menular-seksual yang menyebar luas di seluruh
dunia. LGV tidak dapat dikelirukan dengan granuloma inguinal, yang disebabkan oleh
Calymmatobacterium granulomatis. Manusia merupakan inang alami infeksi tersebut
yang disebabkan oleh biovar LGV dari C. trachomatis.
Epidemiologi. Di Amerika Serikat, insidensi LGV dilaporkan kurang dari 300 kasus per
tahun. Penyakit ini lebih sering terjadi pada orang berkulit hitam, dan lebih sering terjadi
pada pria dibandingan dengan wanita. Di Amerika Serikat, pria homoseksual sering
tertular LGV dan menjadi reservoir utama penyakit-penyakit, khususnya sifilis: oleh
karena itu semua pasien LGV harus terus menerus diawasi untuk membuktikan adanya
penyakit menular seksual lainnya.
Patogenesis. Serovar LGV lebih invasif dibandingkan dengan serovar C.
trachomatislainnya. Daerah multiplikasi biovar LGV, daerah nodus limfatik, sedangkan
viovar trachoma pda sel epitel skuamokolumnar.
Hiperglobulinea sering terdapat pada awal infeksi dapat disertai oleh reaksi positif
untuk faktor reumatoid, krioglobulin, dan peningkatan IgA.
Manifestasi Klinik. Periode LGV bianya terjadi pada 1-4 minggu. Terdapat gejala awal
seperti demam, sakit kepala dan myalgia.
Akibat penyakit bervariasi. Dapat menyebabkan kerusakan vulva dan uretra.
Obstruksi limfatik pada wanita dapat mengarah pada elephantiasis vulva, yang disebut
esthiomene. Pada wanita penderita LGV dilaporkan mengalami peningkatan vulvar
carcinoma.
Uji Frei merupakan uji kulit intradermal, yang sering digunakan untuk diagnosis
LGV. Antigen spesifisitas generik menunjukkan uji Frei positif, yang memperlihatkan
hipersensitivitas lambat terhadap infeksi chlamydia dengan antigen yang dipersiapkan
dari kantung kuning telur embrio ayam yang diinfeksi
9.4. PENYAKIT MENULAR MELALUI AIR
Organisme patogenik yang menular melalui air kepada manusia yaitu bakteri , virus
dan protozoa. Mikroba yang menular melalui air biasanya tumbuh pada saluran
pencernaan dan meninggalkan tubuhdalam feses. Polusi air distribusi oleh materi
fekal dapat terjadi kapan saja, dan jika air tidak diberi perlakuan khusus maka
patogen akan memasukii inang baru pada saat air tersebut dikonsumsi. Jika air yang
dikonsumsi tersebut dalam jumlah besar maka infeksi dapat terjadi meskipun hanya
mengandung mikroba patogen dalam jumlah kecil.
Bakteri patogenik terbanyak yang dapat menular melalui air adalah
Salmonella typhi penyebab demam tifoid, dan Vibrio cholerae penyebab kolera.
9.4.1. Vibrio cholerae
Vibrio cholerae termasuk vibrionaceae, merupakan bakteri batang pendek gramnegatif, (berdiameter 0,5 (m dengan panjang 0,5-3,0(m) yang terlihat berbentuk koma
pada awal isolasi. Pada kenyataannya, Koch merupakan orang yang pertamakali
menamakan isolat bakteri ini yaitu Komabacillus. Setelah beberapa kali dipindahkan,
isolat menjadi bentuk batang lurus. Motilitas disebabkan flagela tunggal polar,
berselaput, dan tebal.
A. Penentu Patogenisitas
Enterotoksin. Faktor patogenik utama yang dihasilkan oleh Vibrio cholerae O1, adalah
enterotoksin ekstraseluler yang berperan pada sel usus halus. Struktur dan fungsi
enterotoksin ini sangat berhubungan erat dengan LT pada E. coli.
Toksin cholera (CT) atau choleragen, merupakan molekul protein kompleks
dengan BM 84.000 Da. Protein ini disusun oleh dua subunit, yaitu, subunit A yang
mampu melakukan aktivitas biologik, dan subunit B yang mampu mengikatkan toksin
pada sel inang. Subunit A terdiri dari dua polipeptida yang terikat satu sama lain oleh
ikatan disulfida tunggal. Aktivitas toksik ditempatkan pada subunit A1, sedangkan A2
terkait pada subunit B. Subunit B terdiri dari lima peptida yang identik dengan BM
masing-masing 11.500 Da. Subunit B secara cepat dan irreversibel kepada molekul GM1
monogangliosida sel usus halus. Selanjutnya subunit A melepaskan diri dari subunit B,
dan menembus membran sel. Aktivasi A1 terjadi karena penurunan ikatan disulfida. A1
diaktivkan secara enzimatik, mentransfer ADP-ribosa dari NAD kepada protein pengikatGTP. Akibatnya menghambat mekanisme penghentian GTP pada aktivitas adenilsiklase
dan meningkatkan aktivitas adenilsiklase. Peningkatan aktivitas adenilsiklase
menyebabkan
penambahan siklik AMP (cAMP) intraseluler, yang selanjutnya
mengakibatkan cepatnya sekresi elektrolit ke dalam lumen usus halus. Kehilangan
elektrolit disebabkan peningkatan sekresi NaCl dan pencegahan absorpsi Na dan Cl oleh
brush border, melalui mekanisme kotranspor NaCl. Akibatnya cairan plasma menjadi
isotonik dengan kadar bikarbonat dua kali lipat konsentrasi plasma normal dan kalium 48 kali lipat plasma normal. Cairan yang hilang dapat mencapi 1L per jam, dan efeknya
dapat terjadi secara langsung pada pasien.
Hasil penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa subunit CT-B dari biotipe
klasik, tetap ada, sedangkan pada biotipe el tor, subunit-B secara genetik terdapat
bermacam-macam, selain tempat pengikatan GM1.
Enterotoksin klasik yang disebutkan di atas berhubungan dengan strain-O1.
Bagaimanapun, terdapat banyak bukti bahwa chloreae non-O1 juga dapat menyebabkan
penyakit pada manusia, dan penyakit yang disebabkannya dibedakan menjadi dua bentuk,
pertama penyakit yang tidak dapat dibedakan dari kolera klasik, dan kedua, berupa diarhe
berdarah dan demam. Saat ini diketahui bahwa sejumlah Vibrio cholerae strain non-O1
dapat menghasilkan enterotoksin klasik, sedangkan strain lain menghasilkan enterotoksin
tahan-panas (heat-stable enterotoxin/NAG-ST).
Adherensi. Produksi enterookain sendiri bukan satu-satunya faktor dalam patogenitas
cholerae. Vibrio choleraeO1 virulen juga bearada dalam saluran intestin melalui
penempelan pada jalur intestinal. Penelitian pada adherensi memperlihatkan bahwa
strain virulen menembus mukus intestin dan menempel kepada mikrovili pada brush
border sel epitel. Motilitas dapat dilibatkan dalam adherensi, karena strain toksinogenik,
nonmotil tidak menyebabkan penyakit. Kemotaksis juga penting, karena strain motil
dapat merespon stimuli kemotaksis dapat bertahan hidup lebih baik dibandingkan dengan
strain nonmotil. Strain penghasil NAG-ST juga memiliki faktor untuk kolonisasi.
B. Epidemiologi
Biotipe el tor dan cholerae dari serogrup O1, mampu menyebabkan penyakit yang
melibatkan banyak orang. Sejak tahun 1817 terdapat tujuh pandemik, sampai terjadi
perkembangan pengobatan terhadap penyakit ini. Meskipun V. cholerae secara alami
terdapat di lingkungan, perannya di lingkungan menyebabkan bakteri ini sulit untuk
diperkirakan pada daerah endemik kolera. Pada daerah yang tidak cukup sanitasi, carrier
dianggap lebih penting dari lingkungan, sebagai sumber kasus kolera baru.
Idiopatik, hipoklorhidria tropis juga dapat menjadi faktor utama penyebaran
penyakit pada daerah endemik. Seorang penderita kolera di daerah endemik, sering
aklorhidria atau hipoklorhidria, dan cairan pencernaannya tidak dapat membunuh bakteri
ini.
C. Manifestasi Klinik
Kolera asiatik klasik merupakan salah satu dari banyak penyakit yang merusak manusia.
Perriode inkubasi dapat terjadi pada beberapa jam-hari, 2-3 hari. Terjadi serangan kuat
diarhe dan muntah. Kehilangan cairan pada kasus yang berat dapat mencapai 15-20 L per
hari. Cairan encer, tidak berbau, dan tanpa mikroba enterik. Shock hipovolemik dan
asidosis metabolik disebabkan kehilangan cairan. Mata dan leher pasien terlihat cekung,
tekanan tugor kulit berkurang. Kasus kematian mencapai 60% pada pasien yang tidak
diobati.
9.5 PENYAKIT MENULAR MELALUI MAKANAN
Infeksi makanan-limbah merupakan masalah kesehatan masyarakat dan penyebab
utama morbiditas, meskipun jarang menyebabkan kematian.
Wabah penyakit makanan-limbah didefinisikan dengan dua kriteria: (a) dua
orang atau lebih mengalami sakit yang serupa, biasanya pada saluran gastrointestinal
setelah mengkonsumsi makanan yang sama; dan (b) analisis epidemiologik melibatkan
makanan sebagai sumber penyakit. Terdapat kekecualian untuk definisi tersebut.
Misalnya, satu kasus botulisme ditujukan untuk pengendalian dan penyelidikan
epidemiologik.
Sebagian besar penyakit diperoleh melalui penelanan makanan yang
terkontaminasi dan biasanya disebut keracunan makanan. Penyakit tersebut didefinisikan
sebagai penyakit yang disebabkan oleh konsumdi makanan terkontaminasi bakteri, toksin
bakteri, parasit, virus, dan senyawa kimia. Di Amerika Serikat, bakteri merupakan
penyebab dua per tiga wabah keracunan makanan.
Diarhe infeksi dari keracunan makanan, dibedakan menjadi tipe:
(1). Intoksikasi disebabkan toksin dalam makanan; pada kasus ini, bakteri tidak hidup
lama. Sebagai contoh : Staphylococcus aureus, Clostridium botulinum, dan Bacillus
cereus;
(2). Intoksikasi disebabkan toksin yang dibentuk dalam tubuh, setelah menelan bakteri
hidup. Sebagai contoh : Vibrio cholerae dan Clostridium perfringens;
(3). Penyakit invasif intestinal, misalnya gastroenteritis yang disebabkan Salmonella dan
Campylobacter.
Sebagian besar bahan makanan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan berbagai
jenis mikroorganisme. Pada keadaan fisik yang menguntungkan, terutama pada kisaran
suhu 7-60 oC, mikroba akan tumbuh dan menyebabkan terjadinya perubahan dalam
penampilan, rasa, bau, serta sifat-sifat lain pada bahan makanan.
9.5.1. Salmonella
Salmonella termasuk Enterobacteriaceae, merupakan bakteri berbentuk batang
gram-negatif berukuran 2-3 x 0,6 (m, tidak membentuk-spora. Salmonella merupakan
organisme kompleks yang menghasilkan berbagai faktor virulensi, termasuk antigen
permukaan, invasif, endotoksin, sitotoksin, dan enterotoksin. Peran masing-masing faktor
virulensi menyebabkan Salmonella mampu menimbulkan berbagai sindrom dalam tubuh
inang yang berbeda. Pada kenyataannya, beberapa serotipe beradaptasi dengan inang
yang spesifik. Sebagai contoh, S. typhimurium menyebabkan sindrom yang sama dengan
demam tifoid pada inang alaminya, pada mencit, tetapi pada manusia hanya terbatas pada
gastroenteritis. Contoh yang sama, terjadi pada S. typhi yang terbatas pada manusia dan
tidak menyebabkan penyakit pada hewan ketika diberikan per oral. Perbedaan respon
inang kemungkinan terletak pada kemampuan berbagai organisme untuk hidup dalam sel
fagosit inang. Hal ini menyebabkan Salmonella dapat tumbuh dalam lingkungan
ekstraseluler, dan beberapa peneliti menggunakan istilah parasit intraseluler fakultatif
untuk menggambarkan patogenesis bakteri ini.
A. Penentu Patogenisitas
Antigen Permukaan. Kemampuan Salmonella untuk menempel pada reseptor sel inang
dan bertahan hidup dalam sel, disebabkan rantai samping antigen O atau, dalam kasus
serotipe typhi, termasuk adanya antigen Vi. Antigen O Salmonella penting untuk
menentukan kerentanan sejumlah serotipe terhadap protein kationik inang dan untuk
berinteraksi dengan makrofag inang. Salmonella dengan antigen O yang utuh lebih
resisten terhadap pembunuhan berperantara-komplemen dalam serum normal,
dibandingkan dengan varian "kasar". Resistensi tersebut kemungkinan disebabkan
perlindungan polisakarida core LPS dan Lipid A pengaktif-komplemen oleh polisakarida
pada antigen O.
Tipe 1 atau fimbria pengikat-manosa digambarkan terdapat pada sejumlah
Salmonella. Bagaimanapun, Salmonella dengan fimbria ini hanya sedikit lebih virulen
dengan strain yang tanpa fimbria. Kemampuan berikatan kepada sel inang, karena adanya
beberapa faktor adesi yang belum diketahui. Plasmid dengan berat molekul tinggi
sebelumnya dianggap penting untuk penempelan dan invasi. Penelitian selanjutnya
memperlihatkan bahwa plasmid tersebut mengendalikan kemampuan penyebaran
Salmonella melebihi sel intestin untuk bergerak ke jaringan lain, dan plasmid ini tidak
mengendalikan awal penempelan bakteri pada sel intestin.
Kemampuan Invasi. Seperti Shigella, Salmonella virulen dapat menembus jalur epiitel
usus kecil. Kelebihannya, Salmonella tidak hanya menempati jalur epitel, juga dapat
menembus jaringan subepitel. Saat ini terbukti bahwa Salmonella mensintesis protein
baru ketika tumbuh pada sel mamalia dan protein ini penting untuk menempel dan
menembus sel mamalia. Selanjutnya bakteri yang tumbuh pada tekanan oksigen atmosfir
mulai 0-1%, hampir 70% memiliki sifat invasif dan kemampuan menembus yang lebih
besar dibandingkan dengan yang tumbuh pada tekanan oksigen 20%. Tingkat oksigen
dalam lingkungannya digunakan untuk menghasilkan protein baru tersebut. Pada saat
bakteri mendekati epitel, brush border (pili-pili usus) mulai dirusak, dan bakteri
memasuki sel dimana disebelahnya dikelilingi oleh membran sitoplasma yang serupa
dengan vakuola fagositik. Selanjutnya bakteri melewati sel epitel dan masuk ke lamina
propria. Kadang-kadang penembusan epitel terjadi pada junction/hubungan interseluler.
Setelah menembus, bakteri berkembangbiak dan menyebar ke bagian tubuh lain.
Kerusakan epitel terjadi selama tahap akhir penyakit.
Perbedaan tipe penyakit disebabkan oleh berbagai serotipe Salmonella, juga dapat
disebabkan tipe sel inang yang diserang. Sebagai contoh, serotipe manusia menyebabkan
gastroenteritis, menembus dan berbiak dalam sel epitel; sedangkan sel target untuk
serotipe typhi adalah makrofag. Kemampuan bakteri untuk bertahan hidup dalam
makrofag karena produksi protein yang menyebabkannya bertahan dari mekanisme
pembunuhan tergantung-oksigen dan tergantung-non-oksigen oleh sel fagositik.
Mekanisme tergantung-oksigen termasuk produksi hidrogen peroksida dan superoksida,
dan mekanisme tergantung-non-oksigen termasuk produksi antibakteri atau protein
kationik yang disebut defensin. Pengendalian genetik protein yang melindungi bakteri
dari defensin terletak pada lokus phoP. Produk gen ini mempengaruhi kontrol pleiotropik
sejumlah besar gen pada kromosom bakteri, sehingga, dasar molekuler proses tersebut
dan perannya pada pertahanan hidup sel bakteri dalam makrofag menjadi jelas.
Endotoksin. Seperti semua bakteri enterik, endotoksin dapat berperan dalam patogenesis
infeksi Salmonella, khususnya selama tahap bakteremik demam enterik. Endotoksin
dianggap mampu menyebabkan demam pada pasien. Apakah demam disebabkan oleh
endotoksin secara langsung atau tidak langsung melalui pelepasan pirogen endogeik dari
leukosit, belum dapat diketahui. Aktivasi endotoksin pada komponen kemotaktik sistem
komplemen dapat menyebabkan lokalisasi leukosit pada lesi klasik demam tifoid.
Bagaimanapun, peran endotoksin belum jelas karena sukarelawan yang toleranendotoksin ketika diinfeksi dengan bakteri tifoid tetap memperlihatkan tanda demam
tifoid.
Enterotoksin. Enterotoksin serupa dengan enterotoksin tahan-panas dan enterotoksin
tidak- tahan panas pada E. coli. Bagaimanapun peran enterotoksin pada penyakit belum
digambarkan secara jelas. Karena seperti pada Shigella, jaringan target utama
salmonellosis adalah kolon, dan enterotoksin mempengaruhi usus kecil. Selanjutnya,
enterotoksin sel tidak dikeluarkan dari sel, seperti pada V. cholerae dan E. coli. Peran
enterotoksin bisa berbeda untuk setiap bakteri yang menginfeksi. Serotipe typhimurium
menyebabkan ileitis yang meluas pada hewan percobaan, sedangkan strain lain yang
juga memiliki enterotoksin tidak memperlihatkan hal tersebut. Apakah toksin ini
dihasilkan intraseluler oleh organisme penginfeksi kolon, belum dapat diketahui.
Sitotoksin. Salmonella juga menghasilkan sitotoksin yang berbeda dari enterotoksin.
Toksin ini berhubungan dengan membran luar bakteri, yang penting dalan invasi dan
perusakan sel inang. Pada penelitian 131 strain Salmonella , semua strain menghasilkan
sitotoksin, tetapi jumlah toksinnya berbeda untuk setiap strain. Serotipe cholerasuis dan
enteritidis menghasilkan banyak toksin, sedangkan serotipe typhi menghasilkan toksin
paling sedikit. Perbedaan ini mencerminkan perbedaan dalam menyebabkan spektrum
penyakit. Meskipun secara genetik sitotoksin dihasilkan oleh semua Salmonella, tapi
secara imunologik berbeda dari Shiga toksin dan SLT-_ dan SLT-II pada E. coli,
mekanisme kedua kelompok toksin tersebut adalah serupa yaitu menghambat sintesis
protein sel Vero.
B. Epidemiologi
Demam Tifoid. Salmonella serotipe typhi secara khusus diadaptasikan terhadap manusia,
dan seorang carrier merupakan satu-satunya sumber bakteri ini. Carrier dapat berupa
carrier konvalesen yang mengekskresikan bakteri pada periode waktu yang singkat, atau
carrier kronik yang menyimpan bakteri ini selama lebih dari satu tahun. Hampir 3%
pasien demam tifoid menjadi carrier kronik. Kebanyakan carrier kronik adalah wanita
dewasa penderita penyakit kandung-empedu. Bakteri menempati batu-empedu atau luka
pada cabang saluran empedu dan diekskresikan dalam jumlah yang besar.Beberapa
individu diinfeksi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi bakteri dari
carrier. Ledakan penyakit terjadi di sejumlah negara, karena makanan-limbah dari
sejumlah restoran yang terkontaminasi bakteri ini. Kasus berskala-besar terjadi di
Skotlandia (515 kasus) dan di Jerman (344 kasus), disebabkan oleh kontaminasi bakteri
pada salad kentang dan corned beef.
Salmonellosis. Sering dilaporkan, salmonellosis merupakan penyakit asal-makanan pada
manusia, dan salmonella lebih banyak ditemukan sebagai kontaminan dalam berbagai
jenis makanan dibandingkan jenis mikroorganisme lain. Kebiasaan makan dan cara
mengolah makanan merupakan penyebab utama dalam kasus salmonellosis, tetapi secara
epidemiologi data yang tepat hanya terdapat pada beberapa negara.
Seperti demam tifoid, makanan dan air yang terkontaminasi debu menularkan
infeksi Salmonella. Tidak seperti demam tifoid, sumber utama salmonellosis bukan hanya
manusia, tetapi hewan dan produk hewan juga merupakan sumber utama penyakit. Di
sejumlah negara, sumber utama salmonellosis pada manusia adalah daging babi, sapi dan
kuda. Selain itu, daging
Daging terkontaminasi-Salmonella menimbulkan masalah kesehatan masyarakat
yang cukup serius, khususnya di berbagai negara yang mengkonsumsi daging mentah
atau kurang-masak. Sebagai contoh, infeksi sering disebabkan karena mengkonsumsi
masakan yang mengandung daging babi atau kuda. Masalah berikutnya adalah
kontaminasi-silang pada produk daging dari daging mentah. Sebagai contoh, pada saat
masakan dipanaskan, Samonella dari daging mentah sering mencemari proses
pengolahan, misalnya salad ayam, dan sndwich ayam. Akibatnya, pendinginan dan
penanganan higianis pada daging, pada seluruh tahap pengolahan, mulai dari
penyembelihan, pengemasan sampai dapur konsumen, penting diperhatikan untuk
mencegah penyakit asal-makanan tersebut.
Makanan lain yang sering terkontaminasi salmonella adalah telur, susu dan
produk susu, ikan dan kerang, produk sayuran, dan lain-lain.
C. Manifestasi Klinik
Infeksi Samonella dapat terjadi dalam tiga kesatuan gejala klinik yang berbeda :
terbatas pada gastroenteritis, septikemia dengan lesi fokal, atau demam enterik misalnya
demam tifoid.
Gastroenteritis. Gastroenteritis Samonella merupakan infeksi yang terjadi hanya pada
kolon dan biasanya terjadi setelah 18-24 jam penelanan bakteri. Penyakit ditandai oleh
diarhe, demam, dan sakit perut. Hal ini biasanya terbatas, sekitar 2-5 hari. Sebagian kasus
tidak memperlihatkan sakit dan menandakan gejala "flu lambung". Dehodrasi dan
ketidakseimbangan elektrolit merupakan ancaman dalam meluasnya kasus dan terutama
pada usia yang sangat muda dan orang tuia. Meskipun bakteri dapat diisolasi dari feses
dalam beberapa minggu, tapi jarang terdapat carrier kronik.
Demam Tifoid dan Demam Enterik lain. Prototipe dan demam enterik yang sangat
meluas/berat adalah demam tifoid. Salmonella lain, khususnya serotipe paratyphi A,
paratyphi B juga menyebabkan demam enterik, tetapi gejalanya lebih ringan, dan
mortalitasnya rendah.
Jumlah bakteri dalam makanan dan air yang ditelan, penting dalam menentukan
kecepatan infeksi oleh bakteri tifoid. Hasil penelitian pada sukarelawan, menujukkan
bahwa hanya 25% orang menjadi terinfeksi setelah menelan 105 organisme, dan
kecepatan infeksi meningkat sampai 95% ketika dosis bakteri ditingkatkan menjadi 109.
Selama minggu pertama, gejala infeksi berupa kelesuan, demam, tidak enak badan, dan
rasa sakit yang umum dapat tertukar/keliru dengan berbagai penyakit lainnya. Selama
tahap ini, bakteri menembus dinding intestin dan menginfeksi sistem limfatik. Sejumlah
bakteri masuk ke pembuluh darah dan menginfeksi sistem retikuloendotel lainnya. Pada
kedua tempat tersebut, bakteri ditelan oleh monosit tapi tidak dibunuh, sehingga
mengalami pembiakan. Selama minggu kedua keadaan sakit, bakteri memasuki
pembuluh darah dan memperpanjang bakteremia. Infeksi saluran empedu juga terjadi
pada masa tersebut. Pasien dengan penyakit yang berat mengalami demam sampai 104
oF atau 40oC dan sering mengigau. Badan sakit dan dapat berbintik merah-muda. Diarhe
dimulai selama minggu ke-tiga keadaan sakit. Pada saat ini bakteri dari pembuluh
empedu kembali menginfeksi saluran intestinal dan menyebabkan kerusaklan Payer's
patches. Setelah minggu ke-tiga, pasien melemah dan tetap febril/ tidak berubah, jika
tidak terdapat komplikasi. Komplikasi termasuk perforasi intestin, pendarahan berat,
tromboflebitis, kolesistitis, peumonia, dan pembentukan abses. Kisaran kecepatan
kematian sekitar 2%-10% dan lebih rendah dengan bantuan terapi secara cepat. Sekitar
20% pasien mengalami kekambuhan.
Septikemia. Septikemia Salmonella diperpanjang dan ditandai dengan demam, anoreksia,
kedinginan, dan anemia. Lesi fokal dapat berkembang dalam sejumlah jaringan,
menghasilkan osteomielitis sekunder, pneumonia, abses paru, meningitis, dan
endokarditis. Gastroenteritis jarang, bahkan tidak ada, dan bakteri jarang dikutur dari
feses. Serotipe cholerasuis sering menjadi penyebab sindrom tersebut, dan khususnya
dihubungkan dengan pasien penderita sickle cell.
Bakteremia kronik juga digambarkan pada pasien penderita schistosomiasis.
Schistosoma membawa bakteri, sehingga hilangnya bakteremia tidak dapat dicapai
selama schistosomisis belum hilang.
9.5.2. Shigella
Shigella termasuk enterobacteriaceae, merupakan bakteri bentuk batang gram
negatif berukuran2-3 x 0,6 (m, tidak membentuk-spora. Shigella dipisahkan menjadi
empat serogrup utama, yang memiliki nama spesies : serogrup A, S. dysentriae; serogrup
B, S. flexneri; serogrup C, S. boydii; dan serogrup D, S. sonnei. Sifat biokiimia serogrup
A, B, dan C serupa, sedangkan serogrup B berbeda. Semua Shigella dapat menyebabkan
disentri basiler, tetapi setiap spesies berbeda dalam menyebabkan beratnya penyakit,
mortalitas, dan epidemiologi.
A. Penentu Patogenisitas
Kejadian disentri basiler adalah kompleks dan tahap molekulernya belum
diketahui. Organisme patogenik harus bertahan hidup melalui saluran gastrointestinal
atas, menempel untuk berkolonisasi, dan menembus sel epitel. Sekali memasuki sel,
bakteri ini dapat berkembangbiak dan melewati sel-ke-sel lain. Perbanyakan bakteri
menyebabkan inflamasi, kematian sel epitel, ulserasi, mengganggu absorbsi cairan kolon,
dan mengeluarkan darah, lendir dan nanah. Sekitar 24-48 jam awal serangan, hampir
50% pasien menderita diarhe dan demam.
Komponen Permukaan. Kemampuan untuk bertahan hidup melewati pertahan inang,
disebabkan oleh antigen O. Pentingnya struktur lipopolisakarida (LPS) halus, diberi
istilah tipe koloni fase I , telah diperlihatkan oleh S. flexneri dan S. sonnei. Bakteri ini
memiliki plsmid besar, 120-140 Mda yang emngkode rantai samping spesifik-O.
Kehilangan plasmid ini mengakibatkan fase II atau pembentukan koloni-kasar dan
organisme avirulen.
Kemampuan Invasi. Shigella virulen menembus mukosa dan sel epitel kolon dengan
suatu cara yang tidak merata. Bakteri ini jarang menembus melebihi sel epitel menuju
lamina propria. Penempelan bakteri melibatkan kation divalen seperti kalsium.
Internalisasi bakteri dapat disebabkan oleh endositosis berperantara-resptor, atau
sejumlah produk bakteri yang menimbulkan suatu respon sel inang. Untuk internalisasi
Shigella , sel inang dan sel bakteri harus mengaktifkan metabolismenya.
Awalnya bakteri dimasukkan ke dalam fagosom, tapi bakteri virulen dapat
merusak fagosom dan berbiak dalam sitoplasma. Sifat ini kebalikan dari Salmonella,
yang tetap berada dalam vakuola inang. Kemampuan Shigella untuk merusak membran
fagosom karena kontak dengan hemolisin yang dikode-plasmid, suatu komponen
hemolitik yang dibutuhkan untuk merusak membran sel inang. Perkembangbiakan dalam
sel menyebabkan invasi ke sel di dekatnya, inflamasi, dan kematian sel.
Toksin. Kematian sel dapat disebabkan komponen sitotoksik dari toksin Shiga, yang
terlibat dalam sintesis protein. Shigella membawa gen yang mengkode toksin pada
kromosom, dan bakteri yang dapat menghasilkan toksin banyak, menyebabkan penyakit
yang berat. Toksin tersebut menyebabkan banyak pengaruh, yaitu neurotoksik, sitotoksik,
dan enterotoksik.
Peran toksin ini pada disentri klasik belum diketahui secara lengkap, karena strain
negatif-toksin mampu menyebabkan penyakit, dan mutan non-invasif penghasil-toksin
bersifat nonvirulen pada sukarelawan. Hasil penelitian pada hewan menunjukkan bahwa,
toksin ini mampu mencapai mikrovaskuler yang menuju intestin, dan menyebabkan
hemoragi. Pada kenyataannya, sebagian besar penyakit hallmark, yaitu suatu diarhe
berdarah yang disebabkan oleh E. coli penghasil toksin Shigalike. Penjelasan mengenai
data yang dipertentangkan ini berupa disentri basiler merupakan penyakit dua-tahap yang
melibatkan usus kecil dan besar. Diarhe berair terjadi pada tahap awal penyakit, pada
beberapa pasien yang menandakan adanya komponen enterotoksik dari toksin Shiga. Satu
postulat bahwa, Shigella berbiak dengan cara noninvasif pada jejenum dan menghasilkan
toksin, yang diterima oleh reseptor usus kecil, yang menyebabkan aktifnya proses
ekskresi. Fase ke-dua, melibatkan usus besar dan fase invasi jaringan, dimana peran
toksin Shiga menambah beratnya penyakit.Efek enterotoksik toksin Shiga berupa 'block'
atau menghentikan absorpsi elektrolit, glukosa, dan asam amino dari lumen usus kecil
dan sedikit peningkatan sekresi ion klorida, seperti yang diperlihatkan oleh enterotoksin
E. coli dan Vibrio cholerae.
B. Epidemiologi
Selama 1989, terdapat 25.010 kasus shigellosis yang dilaporkan kepada Pusat
Pengendalian Penyakit di Amerika Serikat. Penyebab infeksi, sekitar 80% adalah S.
sonnei, dan yang lainnya disebabkan oleh S. flexneri. Di negara berkembang yang kurang
mempeerhatikan kebersihan, pola isolasi menjadi terbalik : lebih sering terdapat S.
dysentriae dan S. boydii, dan diikuti oleh S. flexneri , dan S. sonnei.
Penyebaran Shigella dari orang-ke-orang melalui jalur oral-fekal. Reservoir
merupakan carrier yang menyimpan bakteri dalam fesesnya. Status carrier paling singkat
1-4 minggu, meskipun carrier jangka-panjang dapat membatasi lingkungan penyebaran.
Dari carrier, bakteri menyebar melalui lalat, jari-tangan, makanan, dan feses. Shigella
dapat diisolasi dari pakaian, tempat duduk toilet, atau air yang terkontaminasi oleh orang
yang terinfeksi. Anak-anak di bawah 5 tahun merupakan penderita dari setengah kasus
keseluruhan, dan anak-anak di bawah 10 tahun terhitung dua pertiga dari kasus
keseluruhan, disebabkan kebiasaan makannya.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa bakteri sebanyak 200, dapat menimbulkan
penyakit pada beberapa individu. Persentasi individu yang terinfeksi meningkat sesuai
dengan peningkatan jumlah bakteri.
Tindakan pengendalian yang paling efektif adalah mencukupi sanitasi,
mendeteksi dan mengobati carrier, karena manusia merupakan satu-satunya reservoir
Shigella. Jika memungkinkan, pasien harus diisolasi, sampai kultur bahan
pemeriksaannya negatif. Carrier disarankan tidak mengolah makanan. Menyediakan
tempat pembuangan, klorinasi air merupakan tindakan terpenting untuk mencegah
penyebaran Shigella dan patogen usus gram-negatif lainnya. Air susu ibu penting untuk
tahun pertama kehidupan, terbukti dapat mengurangi shigellosis pada anak-anak.
Beberapa tipe vaksin, termasuk hibrid dengan bakteri lain, sudah dikembangkan dan
sedang dalam proses pengujian.
9.5.3. Escherichia coli
Escherichia coli termasuk enterobacteriaceae, merupakan bakteri bentuk batang
gram-negatif berukuran 2-3 x 0,6 (m, tidak membentuk-spora. E. coli merupakan anggota
flora normal usus besar, sering disebut patogen oportunistik, karena dapat menyebabkan
penyakit pada saluran gastrointestinal, saluran kemih, dan penyebab infeksi luka,
pneumonia, meningitis, dan septikemia. Sebagai tambahan E. coli, termasuk beberapa
spesies lainnya jarang diisolasi dari penyakit pada manusia.
A. Penentu Patogenisitas
Istilah deskriptif E. coli meliputi sejumlah kelompok mikroba yang dapat menginfeksi
beberapa sistem organ inang dan menghasilkan sejumlah faktor virulensi, mulai dari
gambaran struktur sampai toksin yang diekskresikannya. Kepentingan masing-masing
faktor virulensi tidak hanya bergantung pada sifat genetik strain bakteri tapi juga
ditentukan oleh tempat infeksi dan kondisi inang.
Faktor Permukaan. Di Amerika Serikat dan Eropa, E. coli dan streptococcus grup B,
merupakan penyebab utama meningitis neonatal, dan sekitar 80% E. coli yang diisolasi
dari pasien penderita meningitis, menghasilkan asam polisialat dan kapsul yang disebut
K1. E. coli dengan tipe kapsul K1, juga lebih sering menyebabkan sepsis neonatal. Yang
menarik disini, kapsul tersebut identik dengan kapsul polisakarida grup B pada N.
meningitidis. Kapsul K1 memiliki keunikan di antara antigen E. coli karena,
menyebabkan bakteri ini resisten dari pembunuhan oleh netrofil dan serum normal pada
berbagai percobaan in vitro. Tipe kapsul lainnya dapat menghambat pembunuhan dalam
serum normal, khususnya berhubungan dengan LPS halus, tapi gagal melindungi bakteri
dari fagositosis. Kapsul K1 juga membuat bakteri bertahan hidup dalam darah dan cairan
spinal neonatus, karena kesamaan asam polisialat seperti pada bentuk embrionik molekul
adesi sel syaraf (N-CAM).
Selain fimbria tipe S, E. coli juga memiliki fimria tipe lain, yang
menyebabkannya dapat menempel ke berbagai jaringan inang. Fimbria ini dapat
dipisahkan menjadi dua kelompok besar : resisten manosa dan sensitif manosa. Fimbria
sensitif-manosa berikatan pada reseptor mengandung-manosa pada sel inang, dan
kemampuan berikatan kepada reseptor ini dikurangi ketika sel bakteri diberi D -manosa.
Sensitif-manosa atau fimbria tipe I jiga disebut 'common pili', karena ditemukan pada
sebagian besar E. coli. Sejumlah peneliti percaya bahwa fimbria tipe I ini penting untuk
kolonisasi pada kandung kemih dalam keadaan tidak adanya fimbria lain, juga untuk
kolonisasi pada mukosa usus besar, rongga mulut, dan saluran vagina.
Fimbria resisten-manosa dan adesin juga bersifat penting pada E. coli untuk
infeksi intestinal. Fimbria CFA1 dan CFA2 (CS1, CS2, CS3) pada hewan mempunyai
fungsi yang sama dengan E. coli enterotoksigenik (ETEC) pada manusia. E. coli
enteropatogenik (EPEC), E. coli enteroadherent (EAEC), dan E. coli penghasilverotoksiin (VTEC), menghasilkan adesin nonfimbria yang berhubungan erat dengan sel
target dari pada tempat lain. Sekali menempel pada sel target, EPEC dan EAEC akan
melakukan modifikasi struktur sel inang, dan perubahan tersebut dapat merubah
permeabilitas sel, kemudian terjadi diarhe. Belum diketahui, apakah hanya adesin sendiri
yang mampu merubah struktur sel tersebut. Pengikatan VTEC kepada sel target
dianggap dapat mentranfer toksin secara langsung kepada sel target. Informasi genetik
untuk sebagian besar adesin tersebut, terletak pada plasmid.
Enterotoksin. Berbagai strain E. coli memainkan peran yang nyata pada penyakit
gastrointestiinal, dan pada diarhe mekanisme patogenik E. coli , berbeda dan
kompleks.Salah satu mekanisme patogenik adalah produksi berbagai enterotoksin, yang
berhubungan dengan penyakit manusia. Tanpa memperdulikan sistem organ inang, target
organ enterotoksin E. coli adalah usus kecil/halus, dan menyebabkan diarhe berair karena
pengeluaran cairan dan elektrolit. Kemampuan bakteri untuk menghasilkan enterotoksin
ini bergantung pada adanya plasmid yang mengkode toksin tersebut.
Strain E. coli memiliki plasmid yang penting dalam menghasilkan enterotoksin
tidak tahan-panas (LT/labile-toxin) yang sama dengan enterotoksin V. cholerae.
E. coli juga menghasilkan enterotoksin tahan-panas (ST/stable-toxin), Sta (ST-I)
dan STb (ST-II). STa merupakan polipeptida dengan BM 1500-2000 Da, larut dalam
metanol, dan aktif pada mencit yang menyusui dan babi neonatus. STa banyak
mengandung sistein, dan mengalami inaktivasi dengan mengurangi sistein dan pH
alkalin.
Verotoksin (Toksin Shigalike). E. coli paling sediikit menghasilkan dua sitotoksin
yang diperoleh dari manusia dan satu dari babi, yang disebut verotoksin, karena efek
sitotoksiknya irreversibel pada sel kultur jaringan Vero. VTEC dihubungkan dengan tiga
sindrom pada manusia : diarhe, kolitis hemoragik, dan sindrom uremik hemolitik
(Hemolytik uremic syndrome/HUS) Verotoksin memiliki kesamaan dengan toksin Shiga,
dan mengarah pada toksin Shigalike (SLT); maka SLT-I dapat dipertukarkan dengan
VT1, dan SLT-III dapat dipertukarkan dengan VT2. VT1 dan VT2 menghambat sintesis
proteiin pada sel eukariot, dengan cara yang sama seperti toksin Shiga, tetapi berbeda
satu dengan toksin
Enteroinvasif. Strain E. coli enteroinvasif serupa dengan Shigella, dan menembus jalur
epiitel saluran intestin. Bakteri memiliki plasmid yang besar dan mengkode antigen O,
yang penting untuk pengikatan bakteri kepada sel inang dan selanjutnya bertahan hidup
dalam sel.
Hemolisin. Strain E. coli hemolitik lebih banyak diisolasi dari infeksi nonintestin
dibandingkan dari bahan fekal, dan strain hemolitik nampaknya lebih nefropatogenik.
Hemolitik disebabkan produksi hemolisin yang dapat disaring, dan dapat melisiskan
eritrosit berbagai spesies, juga bersifat sitotoksin terhadap leukosit dan fibroblas mencit,
dan ayam. Peran litik hemolisisn disebabkan penyisipan molekul hemolisin kepada
membran lipid dan menghasilkan saluran selektif-kation yang eningkatkan permeabilitas
membran untuk kalsium, kalium, manosa dan sukrosa. Beberapa peneliti menganggap
bahwa hemolisisn juga membantu inflamasi, kerusakan jaringan, dan perannya langsung
atau tidak dapat melisiskan monosit dan granulosit. Produksi hemolisin dikode oleh gen
kromosomal atau adanya plasmid 41MDa.
CNF. Strain hemolitik sering menghasilkan cytotoxic necrotizing factor (CNF), suatu
protein dengan BM 110.000 Da, menyebabkan nekrosis pada kulit kelinci dan
menginduksi pembentukan sel multinukleus dalam kultur. Sekitar 63% dari seluruh strain
hemolitik yang diteliti menghasilkan CNF, sedangkan tidak satupun strain nonhemolitik
mengahsilkan toksin ini. Peran pasti CNF pada penyakit dan hubungannya dengan
hemolisin belum diketahui, meskipun sejumlah peneliti menganggap bahwa toksin ini
mampu merusak jaringan dari hasil pengamatan pada sejumlah kasus infeksi.
Siderophore. Kebutuhan zat besi pada E. coli diperoleh melalui produksi aerobaktin
siderophore penerima-besi. Terdapat hubungan timbal balik antara produksi aerobaktin
dengan hemolisin dan beberapa penulis mengajukan bahwa perbedaan strain
menggunakan aerobaktin dengan hemolisin sebagai dua cara untuk memperoleh besi.
B. Manifestasi Klinik
Di Amerika Serikat E. coli menyebabkan infeksi saluran kemih dapatanmasyarakat dan nosokomial. Spektrum kisaran penyakit mulai sistitis
sampai
pielonefritis. Wanita berumur muda lebih sering mendapatkan infeksi saluran kemih,
disebabkan oleh perbedaan struktur anatomi, kematangan seksual, perubahan yang terjadi
selama kehamilan dan masa melahirkan, dan adanya tumor. Sedangkan pada pria
penderita hipertrofi prostat setelah usia 45 tahun, lebih sering mendapatkan infeksi
tersebut. Kateterisasi, danpenggunaan alat lain pada saluran kemih, diabetes, gangguan
pembuangan air seni, merupakan faktor yang mendukung infeksi saluran kemih oleh E.
coli dan bakteri lain.
E. coli juga menyebabkan infeksi paru-paru. Di sejumlah rumah sakit, E. coli juga
menyebabkan 50% pneumonia nosokomial, sedangkan insidensi E. coli dirumah sakit
lain sekitar 12%. Sebagian besar pasien pneumonia berusia 50 tahun ke atas dan memiliki
satu atau banyak penyakit kronis. Aspirasi endogen dari sekresi oral nampaknya
merupakan sumber infeksi, meskipun pasien bakteremia E. coli dapat menderita emboli
septik. Dapat terjadi empiema, khususnya pada pasien yang menderita pneumonia lebih
dari 6 hari.
Peran E. coli pada penyakit diarhe belum diketahuisecara lengkap karena metode
untuk mendeteksi bakteri patogenik tidak tersedia secara rutin di rumah sakit. Mekanisme
menyebabkan diarhe adalah kompleks. Di negara tropis, E. coli enteropatogenik (ETEC)
merupakan penyebab utama diarhe pada anak-anak. EAEC, juga penyebab utama diarhe
pada orang-orang dalam perjalanan menuju ke Meksiko.
EPEC merupakan kelompok khusus yang berhubungan dengan diarhe pada bayi.
Secara tradisional disebut serotipe klasik, yaitu : O:26:H11, O26:NM, O:55:NM,
O55:H6, O:55:H7, O86:NM, O86:H34, O86:H2, O111:NM, O111:H2, O111:H12,
O111:H21, O114:H2, O119:H6, O125ac:H21, O128ab:H2, O142:H6, dan O158:H23.
Bakteri tersebut sering menyebabkan diarhe pada bayi dan perawat rumah sakit di
Inggris, Kanada, Israel, dan Brazil.
Enteroinvasif (EIEC) menyebabkan disentri basiler pada semua kelompok umur.
Penyakitnya tidak dapat dibedakan dari shigellosis. Pada 410 anak-anak di Thailand,
diarhe EIEC terjadi sekitar 4% dan karena Shigella sekitar 23%.
9.5.4. Clostridium perfringens
Clostridium perfringens terdapat dimana-mana: strain tipe A biasa ditemukan
dalam saluran intestinal manusia dan hewan dan terdapat banyak dalam tanah dalam
bentuk vegetatif dan bentuk spora. Infeksi dapat terjadi oleh endogenus dan eksogenus
clostridia. Pada luka traumatik, kecelakaan atau luka perang, sumber clostridia biasanya
adalah tanah yang terbawa ke dalam jaringan, kejadian kontaminasi dan infeksi
bergantung pada konsentrasi C. perfringens dalam tanah, yang berbeda-beda menurut
letak geografis. Infeksi endogenus berasal dari flora fekal yang terdapat pada kulit luka
atau dari clostridia yang keluar dari usus besar ketika terjadi luka karena penyakit, luka
traumatik, atau pembedahan.
Strain Clostridium perfringens menghasilkan paling sedikit 12 senyawa terlarut
atau toksin yang berbeda, semua berupa protein dan bersifat antigenik. Dari empat
antigen mematikan utama, (-, (-, (-, (-toksin, yang terpenting adalah (-toksin, yang
dihasilkan oleh lima tipe C. perfringens. Semua toksin merupakan eksotoksin.
Toksin yang terpenting dalam patogenisitas myonekrosis clostridial adalah (toksin, yang dapat mengawali kematian, dermonekrotik, dan aktivitas hemolitik. Toksin
tersebut merupakan lesitinase C (atau fosforilase C), yang memecah lesitin menjadi
fosforolkholin dan suatu digliserida. Toksin tersebut diaktifkan oleh ion Ca2+ dan Mg2+;
dan juga menghidrolisis spingomyelin. Aktivitas (-toksin sebagai enzim adalah
menyerang substrat yang mengandung-lesitin, seperti emulsi kuning telur, serum
manusia, atau eritrosit spesies hewan tertentu, (-toksin merupakan antigen yang sangat
kuat. Senyawa lain, seperti (-, (-, dan (-antigen, membantu penyebaran infeksi lokal
melalui jaringan dan penyediaan nutrisi untuk pembelahan organisme. Pada konsentrasi
rendah (-toksin bersifat toksik untuk leukosit manusia, dapat menjadi penyebab utama
ketiadaan leukosit PMN pada jaringan otot yang terinfeksi.
Suatu bentuk yang ringan dari keracunan makanan mulai diketahui sejak terjadi
peningkatan frekuensi yang dihubungkan dengan C. perfringens, pada tahun 1945.
Bakteri yang terlibat biasanya merupakan strain tipe A yang menghasilkan spora tahanpanas dan minimal sejumlah tetha toksin, meskipun banyak tipikal tipe A yang
menyebabkan penyakit. Delapan sampai 24 jam setelah penelanan makanan yang
terkontaminasi, terjadi rasa sakit abdominal akut dan berkembang diarhe. Terjadi mual,
tapi biasanya tidak muntah, seperti tanda lain infeksi, seperti demam dan sakit kepala.
Gejala secara normal beakhir sestelah 12 sampai 18 jam, dan penyembuhan biasanya
sempurna kecuali untuk kematian yang jarang terjadi pada orang tua dan pasien yang
lemah.
Gejala menunjukkan adanya enterotoksin dengan lebih dari satu bentuk biokimia
dan biasanya disintesis selama sporulasi organisme. Tipe keracunan makanan tersebut
biasanya akibat penelanan hidangan daging, seperti daging panggang, unggas, ikan, dan
makanan rebusan, yang terkontaminasi berat oleh C. ferfringens. Kontaminasi makanan
terjadi kapan saja, dimana organisme tersebar luas dalam lingkungan. Daging mentah
dapat terkontaminasi pada saat penyembelihan, melalui tangan pada saat persiapan
memasak, dihinggapi lalat dan debu. Awal pemanasan dan pemasakan makanan dapat
menyebabkan germinasi spora tahan-panas, makanan dapat terkontaminasi setelah
dimasak. Clostridia memperbanyak diri selama pendinginan daging atau selama periode
penyimpanan dan akan menghasilkan makanan beracun jika dihidangkan dalam keadaan
dingin atau jika pemanasan tidak cukup. Gejala akan terjadi jika organisme
memperbanyak diri sampai konsentrasinya 106 sampai 107 sel hidup per gram makanan,
jadi ditelannya 108 sampai 109 bakteri hidup.
Enteritis Nekrotikan (Necrotizing Jejunitis, Necrotik Enteritis)
Enteritis nekritikan disebabkan oleh strain tipe C dari C. ferfringens dan lebih
kuat dibandingkan dengan keracunan makanan C. ferfringens tipe A. Sestelah periode
inkubasi kurang dari 24 jam, segera terjadi serangan, dengan rasa sakit abdominal yang
kuat, diarhe, dan pada beberapa pasien terjadi kehilangan mukosa intestinal dengan
pendarahan . Penyakit ini dapat mematikan, dengan terhentinya sirkulasi perifer atau
kerusakan intestinal dan peritonitis. Meskipun penyebab penyakit ini asalnya ditunjukkan
oleh tipe baru C. ferfringens, yaitu tipe F, tetapi sekaarang bakteri ini dianggap sebagai
strain tipe C atipik yang menghasilkan spora tahan-panas.
9.5.5. Clostridium defficile
Clostridium defficile merupakan anaerob obligat, sakarolitik, proteolitik lemah,
dan menghasilkan suatu kesatuan kompleks asam hasil fermentasi yang dapat dideteksi
dengan kromatografi gas-cair.
Clostridium defficile menghasilkan dua toksin protein utama yang penting pada
kolitis berhubungan-antibiotik dan berbeda berdasarkan antigeniknya. Toksin B atau
sitotoksin, yang memiliki efek sitopatik in vitro dalam sel kultur jaringan. Toksin A
merupakan enterotoksin poten, yang menyebabkan kerusakan kuat pada mukosa
intestinal dan suatu respon kelebihan cairan. Toksin tersebut dianggap kemoatraktan
untuk granulosit manusia, menyebabkan peningkatan sementara konsentrasi kalsium
iintraseluler. Granulosit yang diaktifkan tersebut, selanjutnya melepaskan mediator
inflamantory dalam lamina propria yang merusak sel epitel mukosa lambung. Strain
toksigenik Clostridium defficile biasanya menghasilkan toksin A dan B, pada hewan
percobaan menunjukkan bahwa satu toksin atau kedua-duanya terlibat dalam penyakit.
Berbagai gangguan gastrointestinal, mulai dari sedang sampai berat, sudah
diketahui sebagai efek samping dari pemberian antibiotik. Sekarang ini Clostridium
defficile sudah ditemukan dapat menyebabkan komplikasi berat. (sebagai contoh,
pseudomembranosa enterokolitis) dan sebagai bagian dari manifestasi yang agak berat,
seperti diarhe. Pseudomembranosa enterokolitis, adalah suatu penyakit yang parah dan
dapat mematikan, penyakit saluran gastrointestinal yang ditandai oleh adanya plaq
eksudat sebagai awal nekrosis permukaan mukosa intestin. Plaq dapat bersatu
membentuk pseudomembran yang besar, dapat terjadi pengelupasan.
9.5.6. Clostridium botulinum
Clostridium botulinum merupakan gram-positif lurus sampai kurva langsing
dengan ujung membundar dan merupakan anaerob kuat. Spora C. botulinum
menghasilkan spora yang lebih tahan-panas dibandingkan anaerob lain; derajat ketahanan
terhadap berbagai faktor kimia dan fisik bergantung pada strain spesifik dan tipe
serologik organsime. Tipe A lebih resisten dari tipe B, C, dan D; tipe E adalah yang
paling sedikit tahan panas, tetapi sudah ditemukan macam dari tipe ini yang tahan-panas.
Umumnya, spora dapat bertahan selama beberapa jam pada suhu 100oC dan lebih dari 10
menit pada 120 oC . Spora juga tahan terhadap irradiasi dan dapat bertahan pada suhu 190 oC. C. botulinum diketahui menghasilkan eksotoksin yang sangat poten. Toksin ini
merupakan neurotoksin, yang menyebabkan botulism, suatu penyakit neuroparalisis yang
hebat ditandai oleh serangan yang tiba-tiba dan juga cepat, diakhiri dengan paralisis
berat dan 'pulmonary arrest'. Meskipun penyakit yang disebabkan oleh toksin C.
botulinum jarang terjadi pada manusia, hal ini sering terjadi pada hewan. Seperti toksin
tetanus, secara serologik terdapat delapan perbedaan toksin botulinum, ditandai A, B, C1,
C2, D, E, F, dan G.
Bentuk botulism yang sering terjadi ialah botulism makanan sisa, suatu
intoksikasi yang disebabkan penelanan bentuk awal toksin botulinum dalam makanan
yang terkontaminasi.
Toksin botulinum menambah akses terhadap sistem saraf periferal, dimana aksi
awalnya terhadap ujung saraf kolinergik untuk memblock pelepasan neurotransmitter,
asetilkholin, dari ujung saraf persimbangan neuromuskular. Dari hasil percobaan
diketahui bahwa aksi toksin dianggap memiliki tiga tahap yang berbeda:
1. Berikatannya toksin dengan reseptor pada permukaan membran plasma dengan efek
yang tidak nyata pada transmisi neuromuskuler,
2. Translokasi atau internalisasi toksin, dan
3. Suatu peristiwa intraseluler, efek akhir yang disebabkan oleh bockade stimulus sarafpenyebab lepasnya asetilkolin.
Tipe Botulism Pada Manusia
Di Amerika Serikat, kasus botulism dikelompokkan menjadi empat katagori:
Botulism makanan-limbah merupakan suatu keracunan makanan yang mematikan yang
disebabkan oleh D. Clostridium botulinum
Clostridium botulinum merupakan gram-positif lurus sampai kurva langsing
dengan ujung membundar dan merupakan anaerob kuat. Spora C. botulinum
menghasilkan spora yang lebih tahan-panas dibandingkan anaerob lain; derajat ketahanan
terhadap berbagai faktor kimia dan fisik bergantung pada strain spesifik dan tipe
serologik organsime. Tipe A lebih resisten dari tipe B, C, dan D; tipe E adalah yang
paling sedikit tahan panas, tetapi sudah ditemukan macam dari tipe ini yang tahan-panas.
Umumnya, spora dapat bertahan selama beberapa jam pada suhu 100oC dan lebih dari 10
menit pada 120 oC . Spora juga tahan terhadap irradiasi dan dapat bertahan pada suhu 190 oC. C. botulinum diketahui menghasilkan eksotoksin yang sangat poten. Toksin ini
merupakan neurotoksin, yang menyebabkan botulism, suatu penyakit neuroparalisis yang
hebat ditandai oleh serangan yang tiba-tiba dan juga cepat, diakhiri dengan paralisis
berat dan 'pulmonary arrest'. Meskipun penyakit yang disebabkan oleh toksin C.
botulinum jarang terjadi pada manusia, hal ini sering terjadi pada hewan. Seperti toksin
tetanus, secara serologik terdapat delapan perbedaan toksin botulinum, ditandai A, B, C1,
C2, D, E, F, dan G.
Bentuk botulism yang sering terjadi ialah botulism makanan sisa, suatu
intoksikasi yang disebabkan penelanan bentuk awal toksin botulinum dalam makanan
yang terkontaminasi.
Toksin botulinum menambah akses terhadap sistem saraf periferal, dimana aksi
awalnya terhadap ujung saraf kolinergik untuk memblock pelepasan neurotransmitter,
asetilkholin, dari ujung saraf persimbangan neuromuskular. Dari hasil percobaan
diketahui bahwa aksi toksin dianggap memiliki tiga tahap yang berbeda:
1. Berikatannya toksin dengan reseptor pada permukaan membran plasma dengan efek
yang tidak nyata pada transmisi neuromuskuler,
2. Translokasi atau internalisasi toksin, dan
3. Suatu peristiwa intraseluler, efek akhir yang disebabkan oleh bockade stimulus sarafpenyebab lepasnya asetilkolin.
Tipe Botulism Pada Manusia
Di Amerika Serikat, kasus botulism dikelompokkan menjadi empat katagori:
1. Botulism makanan-limbah merupakan suatu keracunan makanan yang mematikan yang
disebabkan oleh penelanan neurotoksin dalam makanan terkontaminasi Clostridium
botulinum, yang dimasak secara tidak-sempurna.
2. Botulism pada bayi dihubungkan dengan penelanan spora C. botulinum oleh bayi,
perbanyakan organisme dalam saluran gastrointestinal, dan tahap selanjutnya
penyerapan toksin.
3. Botulism luka, yang jarang terjadi, merupakan penyakit neuroparalisis berhubungan
dengan luka yang memperlihatkan sedikit bukti klinik dari infeksi aktif.
4. Botulism yang tidak-dikelompokkan terjadi pada seseorang berumur lebih dari 1 tahun
dimana memiliki gejala klinis botulism dengan pembawa transmisi yang tidak
teridentifikasi
5. Neurotoksin dalam makanan terkontaminasi Clostridium botulinum, yang dimasak
secara tidak-sempurna.
6. Botulism pada bayi dihubungkan dengan penelanan spora C. botulinum oleh bayi,
perbanyakan organisme dalam saluran gastrointestinal, dan tahap selanjutnya
penyerapan toksin.
7. Botulism luka, yang jarang terjadi, merupakan penyakit neuroparalisis berhubungan
dengan luka yang memperlihatkan sedikit bukti klinik dari infeksi aktif.
8. Botulism yang tidak-dikelompokkan terjadi pada seseorang berumur lebih dari 1 tahun
dimana memiliki gejala klinis botulism dengan pembawa transmisi yang tidak
teridentifikasi.
Periode inkubasi dan manifestasi klinisnya sama untuk semua tipe toksin
botulism. Karena panjang periode inkubasi sangat berhubungan dengan dosis toksin,
periode inkubasi terpendek, dan kurangnya gejala. Gejala, dimulai 12 sampai 36 jam
setelah penelanan makanan yang terkontaminasi atau paling lambat 8 hari sesudahnya.
Botulism tipe E, memiliki periode inkubasi lebih pendek daripada tipe A dan B. Mual dan
muntah seringkali disebabkan oleh intoksikasi tipe E , jarang terjadi oleh tipe A dan B.
Kelemahan, kelesuan dan pusing-pusing seringkali merupakan awal keluhan. Dalam hal
ini biasanya tidak terjadi diarhe, tetapi terjadi konstipasi.Gejala awal botulism pada
pasien,akan cepat menapat perhatian seorang dokter. Gejala yang diperlihatkan biasanya
kelumpuhan saraf kranial: secara klasik, diplopia (penglihatan-ganda), dysfagia (kesulitan
menelan), dan dysfonia (kesulitan berbicara). Pupil membesar dan lidah sangat kering
dan 'furry'. Pada intoksikasi tipe E, khususnya terjadi kehilangan tekanan abdominal.
Demam jarang terjadi, dan proses mental tetap utuh. Sebagai peningkatan penyakit ,
kelemahan kelompok otot (khususnya leher, ekstremitas proksimal, muskulatur
respiratory), mengawali paralisis respiratory, merintangi jaran udara, dan kematian.
Kecepatan kematian dipengaruhi oleh tipe toksin yang dikonsumd\si, penyebaran toksin
dalam makanan, kecepatan diagnosis penyakit, dan dimulainya terapi antitoksin.
Sekarang ini, kematian disebabkan oleh sekitar 32% untuk tipe A, 17% untuk tipe B, dan
40% untuk tipe E.
9.5.7. Bacillus cereus
Bacillus cereus sering dikenal sebagai penyebab sakit keracunan-makanan.
Bacillus cereus merupakan bakteri aerobik, berbentuk batang lurus, dengan panjang 3-5
(m dan lebar 1-1,2 (m, dan dapat membentuk-spora. Bakteri ini biasanya motil dan tidak
rentan terhadap penisilin atau faga-(.
Keracunan-makanan oleh Bacillus cereus menyebabkan dua sindrom klinik.
Pertama, memiliki periode inkubasi yang kurang dari 4 jam, ditandai dengan mual dan
muntah, dan sering keliru dengan keracunan-makanan karena staphylococcus. Epidemik
digambarkan setelah mengkonsumsi makanan, misalnya nasi goreng yang di dalamnya
sudah terjadi perkembangbiakan bakteri ini. Sindrom kedua, terjadi dengan priode
inkubasi yang lebih lama. Hal ini sering keliru dengan keracunan-makanan karena
clostridium. Keracunan-makanan oleh Bacillus cereus diawali dengan bertahannya spora
selama proses pemasakan dan suhu makanan yang terkontaminasi menyebabkan spora
bergerminasi dan melepaskan enterotoksin.Strain Bacillus cereus paling sedikit
menghasilkan dua enterotoksin yang berbeda perannya, pada binatang percobaan,
bergantung sifat strain penyebab ledakan penyakit dan dimana pertamakali bakteri ini
diisolasi. Bukti bahwa Bacillus cereus menyebabkan keracunan-makanan, biasanya
bergantung pada isolasi sejumlah bakteri dari makanan atau dari kotoran orang yang
terinfeksi.
Selain menyebabkan keracunan-makanan, juga menyebabkan infeksi serius yang
berhubungan dengan gangguan sistem pertahanan inang, khususnya karena bahan asing,
bahan prosetetik atau bahan yang dapat menghentikan aliran darah. Pada pasien penderita
penyakit yang serius, misalnya leukemia akut, atau yang mengalami imunosupresi karena
transplantasi sehingga mengalami bakteremia berat, dapat berkembang menjadi
endokarditis, atau meningitis. Juga, karena bakteri ini resisten terhadap antibiotik betalaktam, maka dapat diseksi melalui penggunaan antibiotik untuk pengobatan atau tujuan
propilaksis.
9.6. PENYAKIT MENULAR MELALUI INSEKTA
RICKETTSIA
Kelompok bakteri ini memperbanyak diri dengan pembelahan biner, tidak melalui
siklus perkembangan yang kompleks. Sebagian besar fase hidupnya bersifat intraseluler
obligat, parasitik atau mutualistik, dengan inang eukariot (vertebrata atau arthropoda);
beberapa spesies dapat tumbuh pada media bakteri yang sedikit kompleks dan
mengandung darah. Dinding sel mengandung asam muramat. Glutamat dioksidasi dengan
menghasilkan ATP. Rickettsia merupakan bakteri Gram-negatif, berbentuk batang,
kokoid, dan sering pleomorfik, tanpa flagela; perkecualian dapat muncul gambaran,
sebagai berikut: (1) beberapa terlihat berbentuk-cincin pada sediaan pewarnaan, (2)
beberapa memiliki flagela, dan (3) beberapa dapat bersifat Gram-positif.
Spesies parasitik dihubungkan dengan sel retikuloendotel dan endotel vaskuler
atau eritrosit vertebrata dan sering dihubungkan dengan berbagai organ arthropoda, yang
berperan sebagai vektor atau inang primer. Beberapa spesies merupakan penyebab
penyakit pada manusia atau vertebrata lain dan inang invertebrata. Spesies mutualistik
terdapat pada insekta dan dianggap penting untuk perkembangan dan reproduksi
inangnya.
Terdapat tiga genera yang dapat tumbuh pada media bakteri, Bartonella,
Grahamella, dan Rochalimaea, tetapi ketiganya dikelompokkan ke dalam rickettsia
karena bersifat sebagai parasit intraseluler. Secara filogenetik, Bartonella, Grahamella
masuk ke dalam sub-kelompok (-2 Proteobacteria.
A. Morfologi dan Fisiologi
Rickettsia yang termasuk genera Rickettsia dan Rochalimaea merupakan bakteri
berbentuk pleomorfik, batang sampai kokoid dengan panjang 0,3-0,6 (m dan lebar 0,8-2,0
(m. Bakteri ini kurang jelas terlihat dengan pewarnaan Gram, tetapi mudah diamati
dengan pewarnaan Giemsa (berwarna biru) atau dengan metode Macchiavello (berwarna
merah dan kontras dengan sitoplasma berwarna biru yang mengelilinginya).
Banyak hewan peka terhadap infeksi rickettsia. Rickettsia tumbuh dengan mudah
dalam kantung kuning telur pada telur berembrio (suspensi kantung kuning telur
mengandung sampai 109 partikel rickettsia per ml). Sediaan rickettsia murni dapat
diperoleh dengan sentrifugasi diferensial suspensi kuning telur.
Rickettsia murni mengandung RNA dan DNA dalam rasio 3,5:1 (sama dengan
rasio pada bakteri). Dalam biakan sel, waktu generasinya 8-10 jam pada suhu 34oC.
Rickettsia murni mengandung berbagai enzim yang mengatur metabolisme. Rickettsia
kehilangan aktivitas biologiknya bila disimpan pada suhu -37 oC atau pada media yang
sesuai terliofilisasi. Hal ini disebabkan hilangnya nikotinamid adenin dinukleotida (NAD)
secara progresif. Semua sifat ini dapat diperoleh kembali melalui pengeraman lebih
lanjut dengan NAD.
Rickettsia dapat tumbuh pada berbagai bagian sel. Rickettsia kelompok tifus
ditemukan dalam sitoplasma; kelompok demam berbercak ditemukan dalam inti sel.
Coxiella berukuran lebih kecil dari genus Rickettsia dan morfologinya lebih
bervariasi. Dua tipe sel yang berbeda ditandai dengan besar dan kecil varian sel (LCV
dan SCV), dapat dipisahkan dengan gradien densitas sentrifugasi. Kedua tipe tersebut
bersifat infeksius dan dapat menyebar dengan cara pembelahan biner. Coxiella hanya
tumbuh dalam vakuola sitoplasma. Diperkirakan bahwa rickettsia tumbuh p[aling baik
bila metabolisme sel inang rendah. Jadi, pertumbuhannya meningkat bila suhu embrio
ayam yang terinfeksi diturunkan samapai 32 oC. Bila suhu embrio dipertahankan 42 oC,
pertumbuhan rickettsia rendah. Keadaan yang mempengaruhi metabolisme inang dapat
mengubah kepekaan inang terhadap infeksi rickettsia.
Pertumbuhan rickettsia akan meningkat jika ada sulfonamida, dan penyakit akan
lebih parah jika ada obat tersebut. Tetrasiklin dan kloramfenikol dapat menghambat
pertumbuhan rickettsia dan dapat dipakai secara efektif untuk pengobatan.
Pada umumnya, rickettsia cepat dirusak oleh panas, pengeringan, dan zat
antibakteri. Walaupun rickettsia biasanya mati bila disimpan dalam suhu kamar, feses
kering kutu yang terinfeksi dapat tetap infektif selama beberapa bulan dalam suhu kamar.
Organisme demam Q merupakan rickettsia yang paling resisten terhadap
pengeringan. Organisme ini dapat tetap hidup setelah pasteurisasi pada suhu 60 oC
selama 30 menit dan bertahan berbulan-bulan dalam tinja kering dan susu. Hal ini
mungkin disebabkan pembentukan struktur mirip endospora oleh Coxiella burnetti.
B. Manifestasi KLinik
Kecuali demam Q, yang tidak disertai lesi pada kulit, infeksi rickettsia ditandai
dengan demam, sakit kepala, lemah, lesu, ruam kulit, dan pembesaran limfa serta hati.
Kelompok Tifus:
a. Tifus epidemik.
Pada tifus epidemik, terjadi infeksi sistemik yang berat disertai perasaan amat
lemah, dan demam yang berlangsung selama kira-kira 2 minggu. Pada penderita berusia
40 tahun, penyakit lebih parah dan sering mematikan. Selama epidemi, angka kematian
kasus ini sekitar 6%-30%.
b. Tifus endemik.
Gambaran tifus endemik banyak persamaannya dengan tifus epidemik, tetapi
penyakit ini lebih ringan dan jarang mematikan kecuali pada penderita berusia lanjut.
Kelompok Demam Berbercak:
Kelompok demam berbercak secara klinik mirip tifus, namun berbeda dengan
ruam pada penyakit rickettsia lainnya, ruam kelompok demam berbercak biasanya timbul
pertama kali pada tungkai, menyebar sentripetal, dan mengenai telapak tangan dan kaki.
Beberapa di antaranya, seperti demam berbercak Brasil, dapat menimbulkan infeksi
berat; demam Laut Tengah, hanya menimbulkan gejala yang ringan. Angka kematian
kasus sangat bervariasi. Pada Rocky Mountain spotted fever yang tidak diobati, angka ini
jauh lebih besar pada kelompok usia lanjut (sampai 50%) daripada orang muda dan anakanak.
Rickettsialpox merupakan penyakit ringan dengan ruam mirip varisela. Kira-kira
seminggu sebelum timbul demam, muncul suatu papula kemerahan yang tegas pada
tempat gigitan tungau dan berkembang menjadi vesikel yaang berakar dalam, selanjutnya
membentuk eschar hitam.
Scrub Typhus:
Penyakit ini secara klinik mirip tifus epidemik. Salah sat gambarannya adalah
eschar, ulkus yang diliputi oleh keropeng hitam yang menunjukkan tempat gigitan
tungau. Limfadenopati umum dan limfositosis sering terjadi. Penyakit menjadi parah jika
jantung dan otak ikut terserang.
Demam Q:
Penyakit ini lebih mirip influenza, pneumonia bakterial,
hepatitis, atau
ensefalopati daripada tifus. Tidak terdapat ruam atau lesi lokal. Reaksi Weil-Felix
negatif, tetapi terdapat kenaikan titer antibodi spesifik (misalnya mikroimunofluoresensi)
terhadap Coxiella burnetti , fase 2. Penyebaran terjadi akibat menghirup debu yang
mengandung rickettsia dari tinja kering, air kemih, susu atau dari aerosol dalam rumah
pemotongan hewan.
Meskipun jarang terjadi, pada demam Q dapat timbul endokarditis infektif.
Biakan darah untuk bakteri akan negatif, dan terdapat antibodi untuk Coxiella burnetti,
fase 1 dengan titer yang tinggi. Hampir semua pasien memiliki kelainan katup yang telah
ada sebelumnya. Perawatan terus menerus dengan tetrasiklin selama beberapa bulan,
kadang-kadang dilakukan pergantian katup dapat memperpanjang hidup.
C. Epidemiologi
Berbagai arthropoda, khususnya sengkenit atau tungau, mengandung organisme
mirip rickettsia di dalam sel-sel yang membatasi saluran pencernaan. Sifat patogenik
beberapa organisme tersebut terhadap manusia belum jelas.
Siklus hidup pelbagai rickettsia bervariasi :
a. Rickettsia prowazekii memepunyai siklus hidup yang terbatas pada manusia dan tuma
manusia (Pediculus humanus capitis dan Pediculus humanus corporis). Tumaa
memperoleh rickettsia pada waktu menggigit manusia yang terinfeksi dan
menyebarkannya lewat tinja yang diekskresikan pada permukaan kulit orang lain.Bila
tuma mengigit pada saat yang sama ia berdefekasi. Garukan daerah gigitan
memungkinkan rickettsia yang diekskresi dalam tinja menembus kulit. Akibat infeksi
tersebut tuma mati, tetapi rickettsia hidup terus untuk beberapa waktu dalam tinja kering
tuma tersebut. Rickettsia tidak dsebarkan dari satu generasi tuma ke generasi lainnya.
Epidemi tifus dikendalikan dengan menghilangkan tuma menggunakan insektisida.
Penyakit Brill-Zinsser adalah suatu rekrudesensi infeksi tifus lama Rickettsia dapat tetap
ada selama beberapa tahun dalam kelenjar getah bening seseorang tanpa-gejala yang
nyata. Rickettsia yang diisolasi dari kasus ini berkelakuan seperti R. prowazekii klasik;
ini menimbulkan dugaan bahwa manusia sendiri adalah reservoir rickerttsia tifus
epidemik. Epidemi tifus epidemik dihubungkan dengan perang dan menurunkan standar
kebersihan perorangan, yang selanjutnya meningkatkan kesempatan tuma manusia untuk
tumbuh dengan subur. Bila hal ini terjadi pada saat rekrudesensi infeksi tifus yang lama,
akan timbul epidemi. Penyakit Brill timbul pada orang di daerah tifus, juga pada orang
yang pindah dari daerah ini ke tempat-tempat dimana tidak terdapat penyakit ini. Sifatsifat epidemiologik jelas membedakan penyakit Brill dengan tifus epidemik primer.
Antibodi yang timbul lebih dini, IgG bukan IgM, dan ditemukan setelah infeksi primer.
Titer antibodi mencapai maksimum pada hari kesepuluh masa sakit. Respon antibodi IgG
dini tersebut dan penyakit yang berlangsung ringan menunjukkan bahwa kekebalan
sebagian masih tersisa dari infeksi primer.
Di Amerika Serikat, R. prowazekii mermiliki sumber lain selain manusia, yaitu
tup[ai terbang dari Selatan. Di daerahj asli tempat tupai terbang, infeksi pada manusia
terjadi setelah gigitan ektoparasit hewan pengerat tersebut.
b. Rickettsia typhi bersumber pada tikus, pada hewan ini infeksi tidak nyata dan
berlangsung lama. Kutu tikus membawa rickettsia dari tikus ke tikus kadang-kadang dari
tikus ke manusia, yang menimbulkan tifus endemik. Kutu kucing dapat berperan sebagai
vektor. Pada tifus endemik, kutu tidak dapat menularkan rickettsia secara transovarial.
c. Rickettsia tsutsugamushi sebenarnya bersumber pada tungau yang menginfeksi hewan
pengerat. Rickettsia ini tetap berada tikus selama lebih dari satu tahun setelah infeksi.
Tungau menyebarkan infeksi secara transovarial. Kadang-kadang tungau atau tikus yang
terinfeksi menggigit manusia, dan mengakibatkan scrub typhus. Rickettsia tetap berada
dalam siklus tungau-kutu-tungau dalam semak atau hutan tumbuh-tumbuhan sekunder
yang menggantikan hutan asli pada daerah-daerah yang diolah sebagian. Daerah-daerah
seperti ini dapat menjadi sarang tikus dan tungau trombicula.
d. Rickettsia rickettsii dapat ditemukan pada sengkenit kayu sehat (Dermacentor
andersoni) dan diturunkan secara transovarial. Di Amerika Serikat bagian barat, inang
vertebrata seperti hewan pengerat, menjangan, dan manusia kadang-kadang digigit oleh
kutu yang terinfeksi. Terjadinya penularan, karena sengkenit yang membawa rickettsia
penuh berisi darah, dan hal ini akan menambah jumlah rickettsia dalam sengkenit. Jadi,
terdapat selang waktu 45-90 menit antara waktu perlekatan sengkenit dan berubahnya
sengkenit menjadi infektif. Di Amerika Serikat bagian timur, Rocky Mountain spotted
fever disebarkan oleh sengkenit anjing Dermacentor variabilis. Anjing adalah inang
untuk sengkenit anjing tetapi mungkin berperan sebagai sumber infeksi sengkenit. Hewan
pengerat kecil lainnya juga merupakan sumber penularan. Sebagian besar kasus Rocky
Mountain spotted fever di Amerika Serikat sekarang terjadi di bagian timur dan daerah
tenggara.
e. Rickettsia akari mempunyai vektor berupa tungau penghisap darah dari spesies
Allodermanyssus sanguineus. Tungau ini dapat ditemukan pada tikus (Mus musculus)
yang tertangkap di rumah-rumah apartemen di Amerika Serikat, tempat terjadinya
rickettsialpox. Penyebaran rickettsia secara transivarial terjadi pada tungau. Jadi, tungau
dapat berperan sebagai sumber sebenarnya dan juga sebagai vektor. R. akari juga telah
diisolasi di Korea.
f. Coxiella burnetii ditemukan pada sengkenit yaang menyebarkannya ke domba,
kambing, dan ternak. Pekerja pada rumah pemotongan hewan dan pabrik pengolahan
wool dan kulit ternak terkena penyakit akibat menangani jaringan hewan yang terinfeksi.
Kadang-kadang sumber infeksinya adalah kucing yang akan melahirkan. C. burnetii lebih
sering disebarkan melalui saluran pernafasan daripada melalui kulit. Dapat terjadi infeksi
kronik pada kelenjar susu sapi. Pada kasus ini rickettsia diekskresi dalam susu dan
kadang-kadang ditularkan ke manusia lewat susu yang tidak dipasteurisasi.
Biri-biri yang terinfeksi dapat mengekskresi C. burnetii dalam tinja dan air kemih
Yang mengkotaminasi kulit dan lapisan wolnya. Plasenta sapi, biri-biri, kambing, dan
kucing yang terinfeksi mengandung rickettsia, dan proses kelahiran menimbulkan
aerosol yang infeksius. Tanah dapat terkontaminasi dengan hebat oleh salah satu sumber
di atas, dan inhalasi debu yang terinfeksi dapat menimbulkan infeksi pada manusia dan
ternak. Diduga bahwa endospora yang dibentuk oleh C. burnetii menambah persistensi
dan penyebarannya. Coxiella sekarang tersebar luas di antara domba dan ternak di
Amerika Serikat. Coxiella dapat menyebabkan endokarditis pada manusia (dengan
kenaikan titer antibodi C. burnetii fase 1) di samping penumonitis dan hepatitis.
9.7. PENYAKIT MENULAR MELALUI HEWAN
PASTEURELLA
Bakteri genus Pasteurella merupakan parasit primer pada hewan peliharaan dan
hewan liar serta burung, tetapi sering menyebabkan berbagai penyakit pada manusia.
Pasteurella mulcotida merupakan spesies tersering penyebab infeksi pada manusia.
A. Morfologi dan Fisiologi
Pasteurella merupakan bakteri berbentuk batang-lurus, kokobasil, berukuran
0,3-1µm sampai 1,0-2,0 µm, gram-negatif, nonmotil. Dalam bahan pemeriksaan
terdapat sebagai sel tunggal maupun berpasangan, kadang-kadang dalam formasi rantai
pendek.
Beberapa strain P. mulcotida dalam kultur primer memperlihatkan
pleomorfisme. Bakteri virulen menghasilkan kapsul dan dapat dilihat dengan pewarnaan
Giemsa. Spesies ini bersifat anaerobik fakultatif, positif-katalase dan biasanya positifoksidase. Bersifat fermentatif, sebagian besar strain dapat menghasilkan asam dari
glukosa, manitol, dan sukrosa.
Pasteurella dapat tumbuh dalam medium laboratorium
standard yang
mengandung darah atau hematin. Suhu optimum pertumbuhannya 37oC, dapat
tumbuh pada rentang suhu 25oC-40oC. P. mulcotida tidak dapat tumbuh dalam media
yang mengandung empedu (contohnya: medium agar MacConkey).
B. Epidemiologi
Pasteurella
merupakan flora
normal
pada beberapa hewan
peliharaan.
P. mulcotida menempati nasofaring kucing. Dapat bertahan hidup dalam tanah dan
air, sering ditularkan melalui kontak langsung atau melalui gigitan. P. mulcotida sering
berkolonisasi pada tonsil anjing. Bakteri ini lebih sering terdapat anjing jantan muda,
kecepatan kolonisasi lebih tinggi pada musim dingin.
C. Patogenesis dan Manifestasi Klinik
Penyakit manusia yang disebabkan oleh P. mulcotida dapat dibedakan menjadi tiga
tipe : 1) infeksi melalui gigitan atau luka goresan, 2) superinfeksi penyakit paru
kronik, 3) sumber penyakit lain yang bersifat sekunder sampai septikemia.
Gigitan hewan seringkali membutuhkan perhatian. P. mulcotida dapat ditemukan
setengah dari kasus akibat gigitan hewan. Selain itu sebagian luka yang dimulai
dengan kolonisasi P. mulcotida dapat berkembang menjadi infeksi "frank". Gigitan
kucing dapat berkembang menjadi piartrosis, sinovitis neukrotik, dan osteomielitis di
bawah tulang dan diduga karena kedalaman gigitan dan trauma jaringan didekatnya.
Adanya
infeksi diikuti oleh limfadenitis, rasa sakit pada daerah gigitan,
pembengkakan dan diskolorasi.
Septikemiaa dapat terjadi pada orang dengan gangguan fungsi retikuloendotelial
seperti sirosis hati dan artritis reumatoid.
Bentuk penyakit terbanyak pada manusia yaitu infeksi paru yang didahului penyakit
paru kronik, biasanya pada pasien berumur setengah baya atau tua.
Penyakit
saluran nafas bawah yang berhubungkan dengan penemuan P. mulcotida adalah
bronkheostasis, bronkhogenik karsinoma, bronkhitis kronik, emphysema, dan abses
pulmoner termasuk sinusistis, mastoiditis, dan otitis media kronik. P. mulcotida juga
dapat ditemukan pada infeksi saluran nafas atas.
Download