BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kontrak Psikologis 2.1.1 Definisi Kontrak Psikologis Istilah kontrak psikologis berbeda dengan kontrak kerja. Definisi kontrak kerja secara umum mengacu pada dokumen tertulis yang mengatur hak dan kewajiban seorang karyawan dan tunduk pada peraturan perusahaan (Robinson & Rousseau, 2000). Selanjutnya Robinson & Rousseau (2000) menjelaskan bahwa kontrak mengikat karyawan dan perusahaan dalam suatu persatuan kerja, mengatur perilaku masing-masing pihak dalam perusahaan serta memungkinkan pencapaian tujuan perusahaan (Robinson & Rousseau, 2000). Istilah kontrak psikologis pertama kali diperkenalkan oleh dua orang psikolog, yaitu Arygyris dan Menninger (dalam Conway & Briner, 2005). Definisi mengenai kontrak psikologis mengalami perkembangan mulai dari awal teori ini diperkenalkan hingga saat ini. Berikut ini beberapa definisi yang dijelaskan para ahli mengenai kontrak psikologis. Menurut Kotter (1973, dalam Conway & Briner, 2005) Kontrak psikologis merupakan sebuah kontrak yang bersifat implisit antara seorang individu dan organisasinya yang menspesifikkan pada apa yang masing-masing harapkan satu sama lain untuk saling memberi dan menerima dalam suatu hubungan kerja. Senada dengan pendapat di atas, Schein (1980, dalam Conway & Briner, 2005) menjelaskan bahwa kontrak psikologis merupakan serangkaian set harapanharapan yang tidak tertulis antara setiap anggota organisasi dengan manajer (maupun lainnya yang mewakili organisasi). Sedangkan Rousseau (1989, dalam Conway & Briner, 2005) mendefinisikan bahwa istilah kontrak psikologis mengacu pada keyakinan individu terhadap persetujuan yang bersifat timbal balik antara focal person dan bagian lainnya. Isu-isu utama di sini terdiri dari keyakinan terhadap janji yang dibuat yang mengikat pihak-pihak tersebut pada serangkaian kewajiban yang bersifat timbal-balik. Selanjutnya Rousseau (1995, dalam Conway & Briner, 2005) mengemukakan bahwa kontrak psikologis merupakan keyakinan individu, yang dibentuk dari organisasi, keyakinan tersebut mengacu pada persetujuan antara individu dan organisasinya. Sedangkan menurut Herriot dan Pemberton (1997, dalam Conway & Briner, 2005), kontrak psikologis merupakan persepsi organisasi dan individu tentang kewajiban masing-masing pihak yang terbentuk secara tidak langsung dalam hubungan kerja. Lebih jelasnya, Morrison & Robinson (1997, dalam Conway & Briner, 2005) mengemukakan bahwa kontrak psikologis mengacu pada keyakinan-keyakinan karyawan mengenai kewajiban-kewajiban yang bersifat timbal balik antara karyawan dan organisasinya, dimana kewajiban tersebut didasarkan pada janji-janji yang dipersepsikan dan tidak disadari dengan penting oleh agenagen yang ada pada organisasi. Dari beberapa definisi di atas terdapat beberapa persamaan dan variasi definisi. Hal ini mengindikasikan bahwa teori ini mengalami perkembangan. Sebagai contoh, Herriot dan Pemberton menganggap kontrak psikologis terdiri dari perspektif karyawan dan organisasi sedangkan Rousseau, Morrison, dan Robinson meyakini bahwa kontrak psikologis terdiri dari perspektif karyawan saja, tidak dengan perspektif organisasi. Variasi definisi tersebut menghasilkan beberapa pandangan mengenai kontrak psikologis. Berkaitan dengan hal tersebut, berikut ini adalah pandangan beberapa ahli mengenai kontrak psikologis : 1. Keyakinan yang mendasari kontrak psikologis Definisi awal mengenai kontrak psikologis menekankan pada keyakinan tentang harapan dan kewajiban (Schein, 1965 dan Kotter, 1973) sedangkan definisi belakangan ini menekankan pada keyakinan tentang janji-janji (Rousseau, 1995; Herriot & Pemberton, 1997; Morrison & Robinson, 1997, yang dikutip oleh Conway & Briner, 2005). Penggunaan istilah janji lebih jelas secara konseptual bila dibandingkan dengan harapan maupun kewajiban. Selain itu, istilah janji pun lebih berkaitan dengan ide kontrak. Untuk alasan itu, Conway & Briner (2005) menggunakan istilah janji sebagai keyakinan utama dalam kontrak psikologis. Dengan kata lain, istilah janji juga mengacu pada kewajiban dan harapan. Kewajiban dan harapan tersebut timbul dari janji-janji. Selain itu, janji dapat dilihat sebagai bagian dari kontrak psikologis. 2. Sifat implisit pada kontrak psikologis Pada awalnya, beberapa ahli seperti Kotter (1973) dan Schein (1980) menjelaskan bahwa kontrak psikologis bersifat implisit. Dewasa ini, para ahli menganggap bahwa kontrak psikologis mengandung janji baik itu yang bersifat eksplisit maupun implisit (Conway & Briner, 2005). Janji yang bersifat eksplisit muncul dari persetujuan verbal atau tertulis yang dibuat oleh organisasi atau agen dari organisasi. Contoh sebuah janji yang bersifat eksplisit yaitu karyawan akan dipromosikan ke tingkat yang lebih tinggi oleh manajer apabila mencapai target yang ditentukan. Janji tersebut dikatakan oleh agen organisasi secara verbal kepada karyawannya. Di sisi lain, janji yang bersifat implisit muncul ketika karyawan telah melakukan upaya maksimal demi kepentingan organisasinya (Conway & Briner, 2005). Menurut Rousseau (dalam Conway & Briner, 2005), Kontrak psikologis muncul ketika karyawan meyakini bahwa janji perusahaan kepada karyawan akan sebanding dengan janji karyawan kepada organisasi. Sebagai contoh, karyawan berkeyakinan bahwa organisasi akan menyediakan keamanan kerja dan respect apabila karyawan bekerja dengan maksimal untuk kepentingan organisasi atau perusahaannya. 3. Sifat subjektif pada kontrak psikologis Kontrak psikologis bersifat subjektif. Hal ini dipengaruhi oleh persepsi individu mengenai keyakinan terhadap janji kedua belah pihak, karyawan dan agen dari organisasi (Conway & Briner, 2005; Battisti, dkk, 2007). Menurut Macneil (dalam Conway & Briner, 2005), setiap orang memiliki keterbatasan dalam memproses stimulus atau informasi yang diterima oleh otaknya (proses kognisi). 4. Kontrak psikologis bersifat reciprocal Menurut Rousseau (dalam Conway & Briner, 2005), kontrak psikologis merajuk pada perjanjian yang bersifat timbal balik antara dua pihak (karyawan dan agen dari organisasi). Masalah timbal balik ini penting, jika asumsi timbal balik tidak sah, maka akan menjadi sulit untuk menganggap kontrak psikologis sebagai suatu ‘kontrak’. Pada dasarnya kontrak berhubungan dengan teori pertukaran. Konsep pertukaran ini terjadi manakala individu merasa berkewajiban untuk membalas terhadap yang lainnya apabila yang diyakini telah memberikan kontribusi kepada salah satu pihak. 5. Pihak-pihak dalam kontrak psikologis Menurut Rousseau (dalam Conway & Briner, 2005), definisi kontrak psikologis mengacu pada dua pihak yang melakukan kontrak, yaitu karyawan dan organisasi atau pemberi kerja. Pada pihak karyawan, pengukuran mengenai kontrak psikologis dapat dengan mudah diidentifikasi namun permasalahannya terletak pada siapa yang mewakili pihak organisasi, apakah manajer lini, direktur, ataukah Human Resource Development. Selanjutnya Rousseau (dalam Conway & Briner, 2005) menjelaskan bahwa dalam kontrak psikologis, karyawan melihat aksi dari organisasi yang secara keseluruhan dapat dilihat melalui agen-agen organisasi, seperti manajer lini dan HRD. Melalui aksi-aksi dari agen organisasi tersebut, karyawan menganggapnya sebagai anthropomorphizing dari organisasi. 2.1.2 Aspek-aspek Kontrak Psikologis Aspek kontrak psikologis mengacu pada keyakinan tentang janji-janji seorang karyawan kepada organisasi dan hal-hal yang dijanjikan organisasi kepada karyawannya. Aspek-aspek kontrak psikologis secara luas merujuk pada persepsi karyawan tentang kontribusi yang mereka janjikan kepada agen organisasi. Selain itu kontrak psikologis mengacu pada keyakinan tentang janji-janji organisasi kepada karyawannya atas kontribusi mereka terhadap organisasi. Kontribusi karyawan terdiri dari berupaya maksimal, memberikan keterampilan dan pengetahuannya, memberikan kualitas kerjanya dan flexible. Begitupula timbal balik yang dijanjikan organisasi, seperti upah, kesempatan promosi, pelatihan, respect dan feedback. Selanjutnya Conway & Briner (2005) menekankan bahwa aspek pada kontrak psikologis tidak mengacu pada apa yang karyawan beri ataupun dapatkan (secara aktual) dari organisasi tetapi mengacu pada janji-janji yang bersifat eksplisit dan implisit. Aspek utama dalam kontrak psikologis adalah reciprocity. Hal ini berarti bahwa karyawan memberikan beberapa bentuk kontribusi kepada organisasi begitupula organisasi memberikan balasan atas kontribusi karyawan tersebut (Conway & Briner, 2005). Item-item pada kontrak psikologis karyawan terdiri dari hal-hal yang mereka janjikan kepada organisasi begitupula mengenai hal-hal yang mereka yakini atas balasan kontribusi dari organisasi yang dijanjikan kepada mereka. Dengan kata lain, kontribusi-kontribusi karyawan merupakan bagian dari aspek kontrak psikologis. Begitupula dorongan dan penghargaan dari organisasi sebagai balasan atas kontribusi karyawan terhadap kepentingan organisasi. 2.1.3 Dimensi Kontrak Psikologis Menurut Rosseau (2000), kontrak psikologis terdiri dari 3 dimensi, yaitu kontrak transaksional, kontrak relasional, dan balanced contract. 1. Kontrak Transaksional Pada dasarnya kontrak transaksional bersifat jangka pendek (short term) dan berfokus pada aspek pertukaran ekonomis, jenis pekerjaan yang sempit (narrow) dan keterlibatan minimal karyawan dalam organisasi. Terdapat dua dimensi utama yang dikaji dalam kontrak transaksional, yaitu narrow dan short term. a. Narrow Karyawan diwajibkan untuk melakukan hanya serangkaian pekerjaan yang dalam kontrak merupakan pekerjaan yang diperhitungkan dalam imbal jasa. Organisasi membatasi keterlibatan karyawan dalam organisasi dan memberikan kesempatan terbatas untuk pelatihan dan pengembangan. b. Short Term Karyawan tidak memiliki kewajiban untuk tetap bekerja di organisasi selamanya dan berkomitmen untuk bekerja hingga batas waktu tertentu. Organisasi menawarkan hubungan kerja yang hanya untuk jangka waktu tertentu dan tidak berkewajiban untuk menjamin karir karyawan jangka panjang. Kontak transaksional dikarakteristikan dengan perjanjian yang bersifat moneter dengan keterlibatan karyawan yang terbatas dalam organisasi maupun hubungannya dengan individu lain di organisasi sehingga tampak perbedaan yang signifikan dengan konsep kontrak relasional. 2. Kontrak Relasional Kontrak relasional memiliki jangka waktu yang panjang tetapi berakhirnya tidak dapat ditentukan (open-ended). Jenis kontrak ini juga melibatkan faktor sosio-emosional, seperti kepercayaan (trust), keamanan (security), dan loyalitas. Masing-masing pihak berharap hubungan ini bersifat timbal balik (reciprocal). Menurut Macniel (1985, dalam Rousseau, 2000), kontrak relasional dikarakteristikan dengan hubungan jangka panjang. Lebih lanjut, kontrak relasional tidak terbatas waktu, memperkenalkan suatu hubungan yang terus-menerus antara karyawan dan organisasi, melibatkan pertukaran uang dan non-monetary reward seperti loyalitas timbal balik, dukungan, reward terhadap karir, dukungan seperti pelatihan dan kesempatan pengembangan jangka panjang dalam organisasi. Rousseau (2000) menyimpulkan bahwa kontrak relasional menyangkut dua dimensi, yaitu dimensi stability dan loyalty. a. Stability Karyawan diwajibkan untuk bekerja pada organisasi untuk jangka waktu yang relatif mempertahankan lama dan pekerjaannya. melakukan Organisasi hal-hal dalam lain untuk hal ini menawarkan paket kompensasi yang stabil dan hubungan kerja jangka panjang. b. Loyalty Karyawan diwajibkan untuk mendukung organisasi, menunjukkan kesetiaan dan komitmen terhadap kebutuhan dan kepentingan organisasi. Selain itu, karyawan diharapkan menjadi anggota organisasi yang baik. Organisasi sebaliknya memberikan komitmen untuk menjamin kesejahteraan dan kebutuhan karyawan beserta keluarganya. 3. Balanced Contract Balanced Contract merupakan perpaduan antara sifat dari kontrak transaksional dan relasional (Rousseau, 2000). Kontrak ini bersifat dinamis dan open-ended yang berfokus pada keberhasilan ekonomi perusahaan dan kesempatan karyawan untuk mengembangkan karir. Baik pihak karyawan maupun perusahaan saling memberikan kontribusi dalam pembelajaran dan pengembangan. Dimensi ini terdiri dari external employability, internal advancement, dan dynamic performance. a. External employability, meliputi pengembangan karir di luar organisasi. Pada aspek ini, karyawan memiliki kewajiban untuk mengembangkan keterampilan berharga di luar organisasi. Sedangkan kewajiban organisasi dalam hal ini yaitu meningkatkan hubungan kerja jangka panjang baik di dalam maupun di luar organisasi. b. Internal advancement, meliputi pengembangan karir dalam pasar tenaga kerja internal. Pada aspek ini karyawan berkewajiban untuk mengembangkan ketrampilan yang dihargai oleh organisasi saat ini. Di samping itu, organisasi berkewajiban untuk menciptakan kesempatan pengembangan karir kepada para pekerja di dalam perusahaan. c. Dynamic performance, meliputi kewajiban karyawan untuk melakukan hal-hal yang baru dan membantu perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan agar menjadi perusahaan yang kompetitif. Sedangkan kewajiban organisasi dalam hal ini yaitu membantu karyawan dalam meningkatkan pembelajaran persyaratan kinerja. dan melaksanakan persyaratan- 2.2 Retensi Karyawan 2.2.1 Definisi Retensi Karyawan Menurut Mathis & Jackson (2006) menyatakan retensi merupakan upaya untuk mempertahankan karyawan agar tetap berada dalam organisasi guna mencapai tujuan organisasi tersebut. 2.2.2 Faktor Penentu Retensi Karyawan Menurut Mathis & Jackson (2006) mengungkapkan ada 5 faktor penentu retensi karyawan, yaitu: 1. Komponen Organisasional Beberapa komponen organisasi mempengaruhi karyawan dalam memutuskan apak bertahan atau meninggalkan perusahaan mereka. Organisasi yang memiliki budaya dan nilai yang positif dan berbeda mengalami perputaran karyawan yang lebih rendah. a. Nilai dan budaya organisasi Budaya organisasi adalah pola nilai dan keyakinan bersama yang memberi arti dan peraturan perilaku bagi anggota organisasional. Ada banyak contoh yang dapat diberikan mengenai karyawan teknis utama, professional dan administratif yang meninggalkan perusahaan karena budaya perusahaan yang tampaknya tidak menghargai orang dan menciptakan rintangan terhadap penggunaan kapabilitas individual. Sebaliknya menciptakan budaya yang menghargai orang memungkinkan beberapa perusahaan untuk menarik dan memelihara karyawan dengan baik. Nilai organisasional utama yang mempengaruhi keinginan karyawan untuk bertahan adalah kepercayaan. Kepercayaan dan nilai organisasional dilihat sebagai faktor yang paling mempengaruhi maksud para karyawan untuk tinggal bersama para pemberi kerja. b. Strategi, peluang, dan manajemen organisasional Komponen organisasional lain yang mempengaruhi retensi karyawan berhubungan dengan strategi, peluang, dan manajemen organisasi tersebut. Dalam beberapa organisasi, peristiwa eksternal dianggap sebagai ancaman, sedangkan organisasi lain menganggap perubahan sebagai tantangan yang membutuhkan respon. Pendekatan akhir, dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif, terutama apabila sebuah organisasi berada dalam industri yang semakin meningkat dan dinamis. Faktor yang mempengaruhi bagaimana karyawan memandang organisasi adalah perencanaan masa depan dari kepemimpinan organisasional. Sering kali, visi seperti itu ditunjukkan dengan memiliki rencana strategis yang diidentifikasi yang menuntut respon perusahaan pada perubahan. Apabila perusahaan tidak dikelola secara efektif, karyawan mungkin merasa jenuh dengan respons yang tidak efektif dan ketidakefisienan yang mereka hadapi dalam pekerjaannya. Organisasi yang memiliki tujuan yang ditetapkan dengan jelas atas pencapaian hasil dianggap sebagai tempat bekerja yang lebih baik, terutama oleh individu yang ingin maju, baik secara finansial maupun karier. c. Kontinuitas dan keamanan bekerja Semua pengurangan karyawan, pemberhentian sementara, serta penyusutan ulang organisasional telah mempengaruhi loyalitas dan retensi karyawan. pemberhentian Selain itu, ketika rekan sementara dan pengurangan kerja mengalami pekerjaan, tingkat kegelisahan para karyawan yang masih bekerja meningkat. Akibatnya para karyawan mulai berpikir untuk meninggalkan perusahaan sebelum mereka dikeluarkan. Di sisi lain, organisasional yang memiliki kontinuitas dan keamanan bekerja yang tinggi cenderung memiliki angka retensi karyawan yang lebih tinggi. Persoalan ketidakamanan kerja biasanya meningkat ketika karyawan menjadi lebih tua karena mereka merasa akan mengalami lebih banyak kesulitan dalam mencari pekerjaan yang memberikan gaji, tunjangan, dan tanggung jawab yang sebanding. Karyawan yang lebih muda bahkan mengalami peningkatan ketidakamanan kerja karena kemunduran pekerjaan di beberapa perusahaan. 2. Peluang Karir Organisasional Peluang karir untuk pengembangan pribadi munculkan alasan mengapa individu mengambil pekerjaannya tersebut dan memilih untuk bertahan. Peluang karir dilihat dari 2 sisi, yaitu: a. Pengembangan dan Bimbingan Organisasi menyampaikan peluang dan pengembangan karier dalam berbagai cara. Program bantuan biaya kuliah yang biasanya diberikan sebagai tunjangan oleh banyak pemberi kerja memungkinkan para karyawan untuk mengejar peluang pendidikan dan pelatihan tambahan yang memperbesar angka retensi karyawan. Akan tetapi memberikan program tersebut tidak cukup. Organisasi harus mengetahui cara-cara untuk menggunakan pengetahuan dan kapasitas baru pada karyawan di dalam organisasional tersebut. Jika tidak, para karyawan cenderung memberikan kapabilitas barunya kepada pemberi kerja lain karena merasa nilai yang dianut mengalami peningkatan tidak diakui. Secara keseluruhan, usaha pengembangan karier organisasional dirancangkan untuk memenuhi harapan para karyawan bahwa para pemberi kerja mereka berkomitmen untuk mempertahankan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan saat ini. b. Perencanaan Karir Organisasi juga meningkatkan retensi karyawan dengan mengupayakan perencanaan karir formal. Para karyawan dan manajer saling mendiskusikan peluang karir dalam organisasi dan aktivitas pengembangan karir apa saja yang akan meningkatkan pengembangan masa depan karyawan. 3. Penghargaan Penghargaan akan memotivasi karyawan untuk tetap bertahan pada perusahaan. Hal-hal yang termasuk dalam penghargaan adalah: a. Tunjangan kompetitif Persoalan kompensasi lain untuk meningkatkan retensi karyawan adalah program tunjangan kompetitif. Ketika karyawan memilih beberapa banyak tunjangan apa saja yang akan mereka peroleh dari beragam pilihan, sejumlah uang yang ada didapat dari pemberi kerja, para karyawan dapat menyesuaikan tunjangan dengan kebutuhan mereka. Dengan memberikan lebih banyak pilihan kepada karyawannya, mereka merasa lebih “individual” dan “memegang kendali” sehingga mengurangi keinginan untuk pindah ke tempat bekerja yang lain. b. Bonus Beberapa pemberi pekerja menggunakan tunjangan dan bonus spesial untuk menarik dan memelihara karyawan. Perusahaan besar memiliki klub rekreasi di tempat, program perjalanan dengan potongan harga, pusat rekreasi siang hari, dan tunjangan sember penghasilan lain untuk karyawan. Di perusahaan lain, tunjangan pengurus memberikan bantuan kepada karyawan untuk menangani persoalan pribadi di tempat kerjanya. Beberapa tunjangan jaminan yang diberikan di tempat kerja bahkan meliputi antar jemput cicilan, layanan pemeliharaan mobil di tempat parkir perusahaan, kedai kopi, mesin ATM dan tunjangan lainnya. Dengan memberikan tunjangan dan bonus special ini, para pemberi kerja berharap dapat mengurangi waktu yang dihabiskan oleh para karyawan sesuai jam kerja untuk menyelesaikan pekerjaan pribadi. Mereka juga berharap untuk dianggap sebagai pemberi kerja yang lebih diinginkan di mana karyawan akan bekerja lebih lama untuk bertahan pada perusahaan. c. Kompensasi (gaji) Banyak individu berharap penghargaannya berbeda dengan penghargaan orang lain berdasarkan pada kinerja. Sebagai contoh, apabila seorang karyawan menerima kenaikan gaji yang hampir sama dengan gaji karyawan lain yang memiliki produktivitas yang lebih rendah, ketidakhadiran yang lebih banyak, dan jam kerja yang lebih sedikit, hasilnya mungkin adalah rasa ketidakadilan. Ini mendorong individu tersebut untuk mencari pekerjaan lain di mana kompensasi mengakui perbedaan kinerja. Individu merasa lebih puas dengan tingkat aktual gaji. Inilah sebabnya mengapa sistem manajemen kinerja dan proses penilaian kinerja dalam organisasi harus dihubungkan dengan kenaikan kompensasi. Untuk mencapai hubungan kinerja yang lebih baik dengan kinerja organisasional dari individual, sejumlah perusahaan sektor swasta menggunakan program penggajian variabel dan insentif. Program ini dalam bentuk bonus uang atau pembayaran tunai sekaligus mekanisme yang digunakan untuk menghargai kinerja esktra. d. Pengakuan Pengakuan karyawan sebagai bentuk penghargaan dapat nyata atau tidak nyata. Pengakuan nyata terdapat dalam banyak bentuk seperti kehadiran yang sempurna atau penghargaan spesial lainnya. Pengakuan juga dapat bersifat nyata maupun tidak nyata. Umpan balik dari para manajer dan supervisor yang mengakui usaha dan kinerja ekstra dari individu adalah dengan pengakuan, walaupun penghargaan moneter tidak diberikan. 4. Rancangan Tugas dan Pekerjaan Faktor mendasar yang mempengaruhi retensi karyawan adalah sifat dari tugas dan pekerjaan yang dilakukan. Pertama, retensi karyawan dipengaruhi oleh proses seleksi. Beberapa organisasi menemukan bahwa angka perputaran karyawan yang tinggi dalam beberapa bulan lamanya pekerjaan sering kali dihubungkan dengan usaha penyaringan seleksi yang dapat dipercaya. Setelah individu ditempatkan ke dalam pekerjaan, beberapa faktor tugas/pekerjaan mempengaruhi retensi karyawan. Karena individu menghabiskan waktu yang signifikan di tempat kerja, mereka berharap untuk bekerja dengan peralatan dan teknologi modern serta memiliki kondisi kerja yang baik, mengingat sifat pekerjaan tersebut. Faktor-faktor seperti ruangan, pencahayaan, suhu, kegaduhan, tata ruang serta faktor fisik dan lingkungan yang lain mempengaruhi retensi karyawan. Selain itu, karyawan menginginkan lingkungan kerja yang aman di mana resiko kecelakaan dan luka diperhatikan. Hal ini khususnya berat bagi para pemberi kerja dalam industri manufaktur, pertanian, peralatan, dan transportasi yang memiliki resiko keselamatan yang lebih tinggi daripada dalam banyak industri jasa dan lingkungan kantor. Rencana tugas dan pekerjaan dapat dilihat dari : a. Tanggung jawab Dalam menjalankan tugas pekerjaan, setiap karyawan memiliki tanggung jawab yang berbeda pula. Semakin berkompeten seseorang membawa pada maksimalnya seorang karyawan dalam menyelesaikan tugas pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga hal ini membawa individu puas dengan pekerjaannya. b. Fleksibilitas kerja Fleksibilitas kerja sangat penting dalam memunculkan tekanan beban kerja organisasional yang telah meningkat karena penyusunan ulang dan pengukuran. Fleksibilitas kerja menghasilkan kualitas dan produktivitas yang lebih tinggi sehingga dapat membantu retensi karyawan pada perusahaan. Hal ini dikarenakan apabila tuntutan menjadi terlalu tinggi, para karyawan cenderung mengganti pekerjaan untuk mengurangi beban kerjanya. Salah satu cara yang digunakan perusahaan dalam fleksibilitas kerja adalah alternatif penjadwalan kerja. Alternatif ini meliputi telekomunikasi maupun media internet, sehingga karyawan dapat bekerja dimana saja dan kapan saja. c. Keseimbangan kerja dan kehidupan Salah satu manfaat terbesar dari fleksibilitas kerja adalah berkaitan dengan usaha pekerja oleh para pemberi kerja. Program kerja/kehidupan yang diberikan oleh perusahaan dapat mencakup beberapa hal. Tugas pekerjaan yang menjadi tuntutan pekerjaan harus dapat menyeimbangkan individu dalam statusnya pada pekerjaannya maupun relasi diluar yang tidak berhubungan dengan pekerjaannya. d. Kondisi kerja Kondisi pekerjaan dimana individu melakukan pekerjaannya penting juga dalam membuat retensi karyawan meningkat. Karyawan yang merasa nyaman karena kondisi kerjaan menjadi salah satu faktor individu merasa senang dengan pekerjaan yang dilakukannya. 5. Hubungan Karyawan Faktor yang dimiliki karyawan didalam perusahaan meliputi: a. Perlakuan adil/tidak diskriminatif Perlakuan yang tidak diskriminatif dari semua karyawan, tanpa menghiraukan jenis kelamin, usia dan faktor lain sangatlah penting. Komitmen organisasional dan kepuasan kerja dari individu yang berbeda secara kesukuan dipengaruhi oleh perlakuan diskriminasi yang diterima. Beberapa perusahaan telah mengetahui bahwa manajemen proaktif dari berbagai persoalan menghasilkan retensi individu dari semua latar belakang yang lebih baik. b. Dukungan supervisor/atasan Persoalan lain yang mempengaruhi retensi karyawan adalah dukungan supervisor manajemen. Seorang supervisor membangun hubungan positif dan membantu retensi karyawan dengan berlaku adil dan tidak diskriminatif, yang memungkinkan adanya fleksibilitas kerja dan keseimbangan kerja/kehidupan, memberikan umpan balik yang mengakui usaha dan kinerja karyawan dan mendukung perencanaan dan pengembangan karir untuk para karyawan. c. Hubungan rekan kerja Banyak individu yang membangun hubungan yang akrab dengan rekan kerja. Hubungan saling membantu antar rekan kerja, kepedulian keadaan/kesusahan rekan sekerja dapat membangun semangat maupun meningkatkan keinginan karyawan untuk bertahan pada perusahaan tersebut. 2.3 Kerangka Berpikir HARAPAN KARYAWAN JANJI PERUSAHAAN KONTRAK PSIKOLOGIS KONTRAK PSIKOLOGIS TINGGI KONTRAK PSIKOLOGIS RENDAH RETENSI KARYAWAN TINGGI RETENSI KARYAWAN RENDAH Mempertahankan karyawan atau retensi karyawan merupakan tantangan yang paling kritis dimasa sekarang. Karyawan bertahan dalam sebuah institusi dikarenakan karyawan tersebut memiliki harapan kepada institusi atau perusahaan yang sejalan dengan keinginan karyawan. Hubungan bisnis ini pun terjalin dengan adanya janji-janji yang diberikan perusahaan kepada karyawannya demi pemenuhan harapan karyawan. Janji-janji yang diberikan perusahaan yang sejalan dengan keinginan ataupun harapan karyawan membentuk kepercayaan yang dikenal dengan kontrak psikologis. Kontrak psikologis yang terbangun antara perusahaan dengan karyawan jika rendah maka retensi pun akan rendah dimana karyawan dapat mengambil keputusan untuk tidak meneruskan hubungan bisnis. Demikian pula hal sebaliknya, jika kontrak psikologis tinggi, maka karyawan tersebut mengambil keputusan untuk mempertahankan bisnis atau pertukaran bisnis dengan perusahaan. 2.4 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini terdiri dari hipotesis null (H0) dan hipotesis alternatif (Ha), yang akan dijabarkan sebagai berikut: Ho : Tidak adanya hubungan antara kontrak psikologis dan retensi karyawan pada PT. Myindo Cyber Media. Ha : Adanya hubungan antara kontrak psikologis dan retensi karyawan pada PT. Myindo Cyber Media.