BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kontrak Psikologis

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kontrak Psikologis
2.1.1
Definisi Kontrak Psikologis
Istilah kontrak psikologis berbeda dengan kontrak kerja. Definisi kontrak kerja
secara umum mengacu pada dokumen tertulis yang mengatur hak dan kewajiban
seorang karyawan dan tunduk pada peraturan perusahaan (Robinson & Rousseau,
2000). Selanjutnya Robinson & Rousseau (2000) menjelaskan bahwa kontrak
mengikat karyawan dan perusahaan dalam suatu persatuan kerja, mengatur perilaku
masing-masing pihak dalam perusahaan serta memungkinkan pencapaian tujuan
perusahaan (Robinson & Rousseau, 2000).
Istilah kontrak psikologis pertama kali diperkenalkan oleh dua orang psikolog,
yaitu Arygyris dan Menninger (dalam Conway & Briner, 2005). Definisi mengenai
kontrak psikologis mengalami perkembangan mulai dari awal teori ini diperkenalkan
hingga saat ini. Berikut ini beberapa definisi yang dijelaskan para ahli mengenai
kontrak psikologis. Menurut Kotter (1973, dalam Conway & Briner, 2005) Kontrak
psikologis merupakan sebuah kontrak yang bersifat implisit antara seorang individu
dan organisasinya yang menspesifikkan pada apa yang masing-masing harapkan
satu sama lain untuk saling memberi dan menerima dalam suatu hubungan kerja.
Senada dengan pendapat di atas, Schein (1980, dalam Conway & Briner,
2005) menjelaskan bahwa kontrak psikologis merupakan serangkaian set harapanharapan yang tidak tertulis antara setiap anggota organisasi dengan manajer
(maupun lainnya yang mewakili organisasi). Sedangkan Rousseau (1989, dalam
Conway & Briner, 2005) mendefinisikan bahwa istilah kontrak psikologis mengacu
pada keyakinan individu terhadap persetujuan yang bersifat timbal balik antara focal
person dan bagian lainnya. Isu-isu utama di sini terdiri dari keyakinan terhadap janji
yang dibuat yang mengikat pihak-pihak tersebut pada serangkaian kewajiban yang
bersifat timbal-balik.
Selanjutnya
Rousseau
(1995,
dalam
Conway
&
Briner,
2005)
mengemukakan bahwa kontrak psikologis merupakan keyakinan individu, yang
dibentuk dari organisasi, keyakinan tersebut mengacu pada persetujuan antara
individu dan organisasinya. Sedangkan menurut Herriot dan Pemberton (1997,
dalam Conway & Briner, 2005), kontrak psikologis merupakan persepsi organisasi
dan individu tentang kewajiban masing-masing pihak yang terbentuk secara tidak
langsung dalam hubungan kerja. Lebih jelasnya, Morrison & Robinson (1997, dalam
Conway & Briner, 2005) mengemukakan bahwa kontrak psikologis mengacu pada
keyakinan-keyakinan karyawan mengenai kewajiban-kewajiban yang bersifat timbal
balik antara karyawan dan organisasinya, dimana kewajiban tersebut didasarkan
pada janji-janji yang dipersepsikan dan tidak disadari dengan penting oleh agenagen yang ada pada organisasi.
Dari beberapa definisi di atas terdapat beberapa persamaan dan variasi
definisi. Hal ini mengindikasikan bahwa teori ini mengalami perkembangan. Sebagai
contoh, Herriot dan Pemberton menganggap kontrak psikologis terdiri dari perspektif
karyawan dan organisasi sedangkan Rousseau, Morrison, dan Robinson meyakini
bahwa kontrak psikologis terdiri dari perspektif karyawan saja, tidak dengan
perspektif organisasi. Variasi definisi tersebut menghasilkan beberapa pandangan
mengenai kontrak psikologis. Berkaitan dengan hal tersebut, berikut ini adalah
pandangan beberapa ahli mengenai kontrak psikologis :
1. Keyakinan yang mendasari kontrak psikologis
Definisi awal mengenai kontrak psikologis menekankan pada keyakinan
tentang harapan dan kewajiban (Schein, 1965 dan Kotter, 1973) sedangkan
definisi belakangan ini menekankan pada keyakinan tentang janji-janji
(Rousseau, 1995; Herriot & Pemberton, 1997; Morrison & Robinson, 1997,
yang dikutip oleh Conway & Briner, 2005).
Penggunaan istilah janji lebih jelas secara konseptual bila dibandingkan
dengan harapan maupun kewajiban. Selain itu, istilah janji pun lebih
berkaitan dengan ide kontrak. Untuk alasan itu, Conway & Briner (2005)
menggunakan istilah janji sebagai keyakinan utama dalam kontrak
psikologis. Dengan kata lain, istilah janji juga mengacu pada kewajiban dan
harapan. Kewajiban dan harapan tersebut timbul dari janji-janji. Selain itu,
janji dapat dilihat sebagai bagian dari kontrak psikologis.
2. Sifat implisit pada kontrak psikologis
Pada awalnya, beberapa ahli seperti Kotter (1973) dan Schein (1980)
menjelaskan bahwa kontrak psikologis bersifat implisit. Dewasa ini, para ahli
menganggap bahwa kontrak psikologis mengandung janji baik itu yang
bersifat eksplisit maupun implisit (Conway & Briner, 2005). Janji yang bersifat
eksplisit muncul dari persetujuan verbal atau tertulis yang dibuat oleh
organisasi atau agen dari organisasi. Contoh sebuah janji yang bersifat
eksplisit yaitu karyawan akan dipromosikan ke tingkat yang lebih tinggi oleh
manajer apabila mencapai target yang ditentukan. Janji tersebut dikatakan
oleh agen organisasi secara verbal kepada karyawannya.
Di sisi lain, janji yang bersifat implisit muncul ketika karyawan telah
melakukan upaya maksimal demi kepentingan organisasinya (Conway &
Briner, 2005). Menurut Rousseau (dalam Conway & Briner, 2005), Kontrak
psikologis muncul ketika karyawan meyakini bahwa janji perusahaan kepada
karyawan akan sebanding dengan janji karyawan kepada organisasi.
Sebagai
contoh,
karyawan
berkeyakinan
bahwa
organisasi
akan
menyediakan keamanan kerja dan respect apabila karyawan bekerja dengan
maksimal untuk kepentingan organisasi atau perusahaannya.
3. Sifat subjektif pada kontrak psikologis
Kontrak psikologis bersifat subjektif. Hal ini dipengaruhi oleh persepsi
individu mengenai keyakinan terhadap janji kedua belah pihak, karyawan dan
agen dari organisasi (Conway & Briner, 2005; Battisti, dkk, 2007). Menurut
Macneil (dalam Conway & Briner, 2005), setiap orang memiliki keterbatasan
dalam memproses stimulus atau informasi yang diterima oleh otaknya
(proses kognisi).
4. Kontrak psikologis bersifat reciprocal
Menurut Rousseau (dalam Conway & Briner, 2005), kontrak psikologis
merajuk pada perjanjian yang bersifat timbal balik antara dua pihak
(karyawan dan agen dari organisasi). Masalah timbal balik ini penting, jika
asumsi timbal balik tidak sah, maka akan menjadi sulit untuk menganggap
kontrak
psikologis sebagai suatu ‘kontrak’. Pada dasarnya kontrak
berhubungan dengan teori pertukaran. Konsep pertukaran ini terjadi
manakala individu merasa berkewajiban untuk membalas terhadap yang
lainnya apabila yang diyakini telah memberikan kontribusi kepada salah satu
pihak.
5. Pihak-pihak dalam kontrak psikologis
Menurut Rousseau (dalam Conway & Briner, 2005), definisi kontrak
psikologis mengacu pada dua pihak yang melakukan kontrak, yaitu karyawan
dan organisasi atau pemberi kerja. Pada pihak karyawan, pengukuran
mengenai kontrak psikologis dapat dengan mudah diidentifikasi namun
permasalahannya terletak pada siapa yang mewakili pihak organisasi,
apakah manajer lini, direktur, ataukah Human Resource Development.
Selanjutnya Rousseau (dalam Conway & Briner, 2005) menjelaskan bahwa
dalam kontrak psikologis, karyawan melihat aksi dari organisasi yang secara
keseluruhan dapat dilihat melalui agen-agen organisasi, seperti manajer lini
dan HRD. Melalui aksi-aksi dari agen organisasi tersebut, karyawan
menganggapnya sebagai anthropomorphizing dari organisasi.
2.1.2
Aspek-aspek Kontrak Psikologis
Aspek kontrak psikologis mengacu pada keyakinan tentang janji-janji
seorang karyawan kepada organisasi dan hal-hal yang dijanjikan organisasi kepada
karyawannya. Aspek-aspek kontrak psikologis secara luas merujuk pada persepsi
karyawan tentang kontribusi yang mereka janjikan kepada agen organisasi. Selain
itu kontrak psikologis mengacu pada keyakinan tentang janji-janji organisasi kepada
karyawannya atas kontribusi mereka terhadap organisasi.
Kontribusi
karyawan
terdiri
dari
berupaya
maksimal,
memberikan
keterampilan dan pengetahuannya, memberikan kualitas kerjanya dan flexible.
Begitupula timbal balik yang dijanjikan organisasi, seperti upah, kesempatan
promosi, pelatihan, respect dan feedback.
Selanjutnya Conway & Briner (2005) menekankan bahwa aspek pada
kontrak psikologis tidak mengacu pada apa yang karyawan beri ataupun dapatkan
(secara aktual) dari organisasi tetapi mengacu pada janji-janji yang bersifat eksplisit
dan implisit.
Aspek utama dalam kontrak psikologis adalah reciprocity. Hal ini berarti
bahwa karyawan memberikan beberapa bentuk kontribusi kepada organisasi
begitupula organisasi memberikan balasan atas kontribusi karyawan tersebut
(Conway & Briner, 2005). Item-item pada kontrak psikologis karyawan terdiri dari
hal-hal yang mereka janjikan kepada organisasi begitupula mengenai hal-hal yang
mereka yakini atas balasan kontribusi dari organisasi yang dijanjikan kepada
mereka.
Dengan kata lain, kontribusi-kontribusi karyawan merupakan bagian dari
aspek kontrak psikologis. Begitupula dorongan dan penghargaan dari organisasi
sebagai balasan atas kontribusi karyawan terhadap kepentingan organisasi.
2.1.3
Dimensi Kontrak Psikologis
Menurut Rosseau (2000), kontrak psikologis terdiri dari 3 dimensi, yaitu
kontrak transaksional, kontrak relasional, dan balanced contract.
1. Kontrak Transaksional
Pada dasarnya kontrak transaksional bersifat jangka pendek (short
term) dan berfokus pada aspek pertukaran ekonomis, jenis pekerjaan
yang sempit (narrow) dan keterlibatan minimal karyawan dalam
organisasi. Terdapat dua dimensi utama yang dikaji dalam kontrak
transaksional, yaitu narrow dan short term.
a. Narrow
Karyawan diwajibkan untuk melakukan hanya serangkaian
pekerjaan
yang
dalam
kontrak
merupakan
pekerjaan
yang
diperhitungkan dalam imbal jasa. Organisasi membatasi keterlibatan
karyawan dalam organisasi dan memberikan kesempatan terbatas
untuk pelatihan dan pengembangan.
b. Short Term
Karyawan tidak memiliki kewajiban untuk tetap bekerja di
organisasi selamanya dan berkomitmen untuk bekerja hingga batas
waktu tertentu. Organisasi menawarkan hubungan kerja yang hanya
untuk jangka waktu tertentu dan tidak berkewajiban untuk menjamin
karir karyawan jangka panjang.
Kontak transaksional dikarakteristikan dengan perjanjian yang
bersifat moneter dengan keterlibatan karyawan yang terbatas dalam
organisasi maupun hubungannya dengan individu lain di organisasi
sehingga tampak perbedaan yang signifikan dengan konsep kontrak
relasional.
2. Kontrak Relasional
Kontrak relasional memiliki jangka waktu yang panjang tetapi
berakhirnya tidak dapat ditentukan (open-ended). Jenis kontrak ini juga
melibatkan
faktor
sosio-emosional,
seperti
kepercayaan
(trust),
keamanan (security), dan loyalitas. Masing-masing pihak berharap
hubungan ini bersifat timbal balik (reciprocal).
Menurut Macniel (1985, dalam Rousseau, 2000), kontrak relasional
dikarakteristikan dengan hubungan jangka panjang. Lebih lanjut, kontrak
relasional tidak terbatas waktu, memperkenalkan suatu hubungan yang
terus-menerus antara karyawan dan organisasi, melibatkan pertukaran
uang dan non-monetary reward seperti loyalitas timbal balik, dukungan,
reward terhadap karir, dukungan seperti pelatihan dan kesempatan
pengembangan jangka panjang dalam organisasi. Rousseau (2000)
menyimpulkan bahwa kontrak relasional menyangkut dua dimensi, yaitu
dimensi stability dan loyalty.
a. Stability
Karyawan diwajibkan untuk bekerja pada organisasi untuk jangka
waktu
yang
relatif
mempertahankan
lama
dan
pekerjaannya.
melakukan
Organisasi
hal-hal
dalam
lain
untuk
hal
ini
menawarkan paket kompensasi yang stabil dan hubungan kerja
jangka panjang.
b. Loyalty
Karyawan diwajibkan untuk mendukung organisasi, menunjukkan
kesetiaan dan komitmen terhadap kebutuhan dan kepentingan
organisasi. Selain itu, karyawan diharapkan menjadi anggota
organisasi yang baik. Organisasi sebaliknya memberikan komitmen
untuk menjamin kesejahteraan dan kebutuhan karyawan beserta
keluarganya.
3. Balanced Contract
Balanced Contract merupakan perpaduan antara sifat dari kontrak
transaksional dan relasional (Rousseau, 2000). Kontrak ini bersifat
dinamis dan open-ended yang berfokus pada keberhasilan ekonomi
perusahaan dan kesempatan karyawan untuk mengembangkan karir.
Baik pihak karyawan maupun perusahaan saling memberikan kontribusi
dalam pembelajaran dan pengembangan.
Dimensi ini terdiri dari external employability, internal advancement,
dan dynamic performance.
a. External
employability,
meliputi
pengembangan
karir
di
luar
organisasi. Pada aspek ini, karyawan memiliki kewajiban untuk
mengembangkan
keterampilan
berharga
di
luar
organisasi.
Sedangkan kewajiban organisasi dalam hal ini yaitu meningkatkan
hubungan kerja jangka panjang baik di dalam maupun di luar
organisasi.
b. Internal advancement, meliputi pengembangan karir dalam pasar
tenaga kerja internal. Pada aspek ini karyawan berkewajiban untuk
mengembangkan ketrampilan yang dihargai oleh organisasi saat ini.
Di
samping
itu,
organisasi
berkewajiban
untuk
menciptakan
kesempatan pengembangan karir kepada para pekerja di dalam
perusahaan.
c. Dynamic performance, meliputi kewajiban karyawan untuk melakukan
hal-hal yang baru dan membantu perusahaan dalam mencapai tujuan
perusahaan agar menjadi perusahaan yang kompetitif. Sedangkan
kewajiban organisasi dalam hal ini yaitu membantu karyawan dalam
meningkatkan
pembelajaran
persyaratan kinerja.
dan
melaksanakan
persyaratan-
2.2 Retensi Karyawan
2.2.1
Definisi Retensi Karyawan
Menurut Mathis & Jackson (2006) menyatakan retensi merupakan upaya
untuk mempertahankan karyawan agar tetap berada dalam organisasi guna
mencapai tujuan organisasi tersebut.
2.2.2
Faktor Penentu Retensi Karyawan
Menurut Mathis & Jackson (2006) mengungkapkan ada 5 faktor penentu
retensi karyawan, yaitu:
1. Komponen Organisasional
Beberapa
komponen
organisasi
mempengaruhi
karyawan
dalam
memutuskan apak bertahan atau meninggalkan perusahaan mereka. Organisasi
yang memiliki budaya dan nilai yang positif dan berbeda mengalami perputaran
karyawan yang lebih rendah.
a. Nilai dan budaya organisasi
Budaya organisasi adalah pola nilai dan keyakinan bersama yang
memberi arti dan peraturan perilaku bagi anggota organisasional. Ada
banyak contoh yang dapat diberikan mengenai karyawan teknis utama,
professional dan administratif yang meninggalkan perusahaan karena
budaya perusahaan yang tampaknya tidak menghargai orang dan
menciptakan rintangan terhadap penggunaan kapabilitas individual.
Sebaliknya menciptakan budaya yang menghargai orang memungkinkan
beberapa perusahaan untuk menarik dan memelihara karyawan dengan
baik.
Nilai organisasional utama yang mempengaruhi keinginan karyawan
untuk
bertahan
adalah
kepercayaan.
Kepercayaan
dan
nilai
organisasional dilihat sebagai faktor yang paling mempengaruhi maksud
para karyawan untuk tinggal bersama para pemberi kerja.
b. Strategi, peluang, dan manajemen organisasional
Komponen organisasional lain yang mempengaruhi retensi karyawan
berhubungan dengan strategi, peluang, dan manajemen organisasi
tersebut. Dalam beberapa organisasi, peristiwa eksternal dianggap
sebagai ancaman, sedangkan organisasi lain menganggap perubahan
sebagai tantangan yang membutuhkan respon. Pendekatan akhir, dapat
menjadi sumber keunggulan kompetitif, terutama apabila sebuah
organisasi berada dalam industri yang semakin meningkat dan dinamis.
Faktor yang mempengaruhi bagaimana karyawan memandang
organisasi adalah perencanaan masa depan dari kepemimpinan
organisasional. Sering kali, visi seperti itu ditunjukkan dengan memiliki
rencana strategis yang diidentifikasi yang menuntut respon perusahaan
pada perubahan. Apabila perusahaan tidak dikelola secara efektif,
karyawan mungkin merasa jenuh dengan respons yang tidak efektif dan
ketidakefisienan yang mereka hadapi dalam pekerjaannya. Organisasi
yang memiliki tujuan yang ditetapkan dengan jelas atas pencapaian hasil
dianggap sebagai tempat bekerja yang lebih baik, terutama oleh individu
yang ingin maju, baik secara finansial maupun karier.
c. Kontinuitas dan keamanan bekerja
Semua pengurangan karyawan, pemberhentian sementara, serta
penyusutan ulang organisasional telah mempengaruhi loyalitas dan
retensi
karyawan.
pemberhentian
Selain
itu,
ketika
rekan
sementara
dan
pengurangan
kerja
mengalami
pekerjaan,
tingkat
kegelisahan para karyawan yang masih bekerja meningkat. Akibatnya
para karyawan mulai berpikir untuk meninggalkan perusahaan sebelum
mereka dikeluarkan. Di sisi lain, organisasional yang memiliki kontinuitas
dan keamanan bekerja yang tinggi cenderung memiliki angka retensi
karyawan yang lebih tinggi.
Persoalan ketidakamanan kerja biasanya meningkat ketika karyawan
menjadi lebih tua karena mereka merasa akan mengalami lebih banyak
kesulitan dalam mencari pekerjaan yang memberikan gaji, tunjangan, dan
tanggung jawab yang sebanding. Karyawan yang lebih muda bahkan
mengalami peningkatan ketidakamanan kerja karena kemunduran
pekerjaan di beberapa perusahaan.
2. Peluang Karir Organisasional
Peluang karir untuk pengembangan pribadi munculkan alasan mengapa
individu mengambil pekerjaannya tersebut dan memilih untuk bertahan. Peluang
karir dilihat dari 2 sisi, yaitu:
a. Pengembangan dan Bimbingan
Organisasi menyampaikan peluang dan pengembangan karier dalam
berbagai cara. Program bantuan biaya kuliah yang biasanya diberikan
sebagai tunjangan oleh banyak pemberi kerja memungkinkan para
karyawan untuk mengejar peluang pendidikan dan pelatihan tambahan
yang memperbesar angka retensi karyawan. Akan tetapi memberikan
program tersebut tidak cukup. Organisasi harus mengetahui cara-cara
untuk menggunakan pengetahuan dan kapasitas baru pada karyawan di
dalam organisasional tersebut. Jika tidak, para karyawan cenderung
memberikan kapabilitas barunya kepada pemberi kerja lain karena
merasa nilai yang dianut mengalami peningkatan tidak diakui. Secara
keseluruhan, usaha pengembangan karier organisasional dirancangkan
untuk memenuhi harapan para karyawan bahwa para pemberi kerja
mereka
berkomitmen
untuk
mempertahankan
pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan saat ini.
b. Perencanaan Karir
Organisasi
juga
meningkatkan
retensi
karyawan
dengan
mengupayakan perencanaan karir formal. Para karyawan dan manajer
saling mendiskusikan peluang karir dalam organisasi dan aktivitas
pengembangan karir apa saja yang akan meningkatkan pengembangan
masa depan karyawan.
3. Penghargaan
Penghargaan akan memotivasi karyawan untuk tetap bertahan pada
perusahaan. Hal-hal yang termasuk dalam penghargaan adalah:
a. Tunjangan kompetitif
Persoalan kompensasi lain untuk meningkatkan retensi karyawan
adalah program tunjangan kompetitif. Ketika karyawan memilih beberapa
banyak tunjangan apa saja yang akan mereka peroleh dari beragam
pilihan, sejumlah uang yang ada didapat dari pemberi kerja, para
karyawan dapat menyesuaikan tunjangan dengan kebutuhan mereka.
Dengan memberikan lebih banyak pilihan kepada karyawannya, mereka
merasa lebih “individual” dan “memegang kendali” sehingga mengurangi
keinginan untuk pindah ke tempat bekerja yang lain.
b. Bonus
Beberapa pemberi pekerja menggunakan tunjangan dan bonus
spesial untuk menarik dan memelihara karyawan. Perusahaan besar
memiliki klub rekreasi di tempat, program perjalanan dengan potongan
harga, pusat rekreasi siang hari, dan tunjangan sember penghasilan lain
untuk karyawan. Di perusahaan lain, tunjangan pengurus memberikan
bantuan kepada karyawan untuk menangani persoalan pribadi di tempat
kerjanya. Beberapa tunjangan jaminan yang diberikan di tempat kerja
bahkan meliputi antar jemput cicilan, layanan pemeliharaan mobil di
tempat parkir perusahaan, kedai kopi, mesin ATM dan tunjangan lainnya.
Dengan memberikan tunjangan dan bonus special ini, para pemberi kerja
berharap dapat mengurangi waktu yang dihabiskan oleh para karyawan
sesuai jam kerja untuk menyelesaikan pekerjaan pribadi. Mereka juga
berharap untuk dianggap sebagai pemberi kerja yang lebih diinginkan di
mana karyawan akan bekerja lebih lama untuk bertahan pada
perusahaan.
c. Kompensasi (gaji)
Banyak
individu
berharap
penghargaannya
berbeda
dengan
penghargaan orang lain berdasarkan pada kinerja. Sebagai contoh,
apabila seorang karyawan menerima kenaikan gaji yang hampir sama
dengan gaji karyawan lain yang memiliki produktivitas yang lebih rendah,
ketidakhadiran yang lebih banyak, dan jam kerja yang lebih sedikit,
hasilnya mungkin adalah rasa ketidakadilan. Ini mendorong individu
tersebut untuk mencari pekerjaan lain di mana kompensasi mengakui
perbedaan kinerja. Individu merasa lebih puas dengan tingkat aktual gaji.
Inilah sebabnya mengapa sistem manajemen kinerja dan proses
penilaian kinerja dalam organisasi harus dihubungkan dengan kenaikan
kompensasi.
Untuk mencapai hubungan kinerja yang lebih baik dengan kinerja
organisasional dari individual, sejumlah perusahaan sektor swasta
menggunakan program penggajian variabel dan insentif. Program ini
dalam bentuk bonus uang atau pembayaran tunai sekaligus mekanisme
yang digunakan untuk menghargai kinerja esktra.
d. Pengakuan
Pengakuan karyawan sebagai bentuk penghargaan dapat nyata atau
tidak nyata. Pengakuan nyata terdapat dalam banyak bentuk seperti
kehadiran yang sempurna atau penghargaan spesial lainnya.
Pengakuan juga dapat bersifat nyata maupun tidak nyata. Umpan
balik dari para manajer dan supervisor yang mengakui usaha dan kinerja
ekstra dari individu adalah dengan pengakuan, walaupun penghargaan
moneter tidak diberikan.
4. Rancangan Tugas dan Pekerjaan
Faktor mendasar yang mempengaruhi retensi karyawan adalah sifat dari
tugas dan pekerjaan yang dilakukan. Pertama, retensi karyawan dipengaruhi oleh
proses seleksi. Beberapa organisasi menemukan bahwa angka perputaran
karyawan yang tinggi dalam beberapa bulan lamanya pekerjaan sering kali
dihubungkan dengan usaha penyaringan seleksi yang dapat dipercaya.
Setelah individu ditempatkan ke dalam pekerjaan, beberapa faktor
tugas/pekerjaan mempengaruhi retensi karyawan. Karena individu menghabiskan
waktu yang signifikan di tempat kerja, mereka berharap untuk bekerja dengan
peralatan dan teknologi modern serta memiliki kondisi kerja yang baik, mengingat
sifat pekerjaan tersebut. Faktor-faktor seperti ruangan, pencahayaan, suhu,
kegaduhan, tata ruang serta faktor fisik dan lingkungan yang lain mempengaruhi
retensi karyawan.
Selain itu, karyawan menginginkan lingkungan kerja yang aman di mana
resiko kecelakaan dan luka diperhatikan. Hal ini khususnya berat bagi para pemberi
kerja dalam industri manufaktur, pertanian, peralatan, dan transportasi yang memiliki
resiko keselamatan yang lebih tinggi daripada dalam banyak industri jasa dan
lingkungan kantor. Rencana tugas dan pekerjaan dapat dilihat dari :
a. Tanggung jawab
Dalam menjalankan tugas pekerjaan, setiap karyawan memiliki
tanggung jawab yang berbeda pula. Semakin berkompeten seseorang
membawa pada maksimalnya seorang karyawan dalam menyelesaikan
tugas pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga hal ini
membawa individu puas dengan pekerjaannya.
b. Fleksibilitas kerja
Fleksibilitas kerja sangat penting dalam memunculkan tekanan beban
kerja organisasional yang telah meningkat karena penyusunan ulang dan
pengukuran. Fleksibilitas kerja menghasilkan kualitas dan produktivitas
yang lebih tinggi sehingga dapat membantu retensi karyawan pada
perusahaan. Hal ini dikarenakan apabila tuntutan menjadi terlalu tinggi,
para karyawan cenderung mengganti pekerjaan untuk mengurangi beban
kerjanya.
Salah satu cara yang digunakan perusahaan dalam fleksibilitas kerja
adalah alternatif penjadwalan kerja. Alternatif ini meliputi telekomunikasi
maupun media internet, sehingga karyawan dapat bekerja dimana saja
dan kapan saja.
c. Keseimbangan kerja dan kehidupan
Salah satu manfaat terbesar dari fleksibilitas kerja adalah berkaitan
dengan usaha pekerja oleh para pemberi kerja. Program kerja/kehidupan
yang diberikan oleh perusahaan dapat mencakup beberapa hal. Tugas
pekerjaan
yang
menjadi
tuntutan
pekerjaan
harus
dapat
menyeimbangkan individu dalam statusnya pada pekerjaannya maupun
relasi diluar yang tidak berhubungan dengan pekerjaannya.
d. Kondisi kerja
Kondisi pekerjaan dimana individu melakukan pekerjaannya penting
juga dalam membuat retensi karyawan meningkat. Karyawan yang
merasa nyaman karena kondisi kerjaan menjadi salah satu faktor individu
merasa senang dengan pekerjaan yang dilakukannya.
5. Hubungan Karyawan
Faktor yang dimiliki karyawan didalam perusahaan meliputi:
a. Perlakuan adil/tidak diskriminatif
Perlakuan yang tidak diskriminatif dari semua karyawan, tanpa
menghiraukan jenis kelamin, usia dan faktor lain sangatlah penting.
Komitmen organisasional dan kepuasan kerja dari individu yang berbeda
secara kesukuan dipengaruhi oleh perlakuan diskriminasi yang diterima.
Beberapa perusahaan telah mengetahui bahwa manajemen proaktif dari
berbagai persoalan menghasilkan retensi individu dari semua latar
belakang yang lebih baik.
b. Dukungan supervisor/atasan
Persoalan lain yang mempengaruhi retensi karyawan adalah
dukungan supervisor manajemen. Seorang supervisor membangun
hubungan positif dan membantu retensi karyawan dengan berlaku adil
dan tidak diskriminatif, yang memungkinkan adanya fleksibilitas kerja dan
keseimbangan kerja/kehidupan, memberikan umpan balik yang mengakui
usaha dan kinerja karyawan dan mendukung perencanaan dan
pengembangan karir untuk para karyawan.
c. Hubungan rekan kerja
Banyak individu yang membangun hubungan yang akrab dengan
rekan kerja. Hubungan saling membantu antar rekan kerja, kepedulian
keadaan/kesusahan rekan sekerja dapat membangun semangat maupun
meningkatkan keinginan karyawan untuk bertahan pada perusahaan
tersebut.
2.3 Kerangka Berpikir
HARAPAN
KARYAWAN
JANJI
PERUSAHAAN
KONTRAK
PSIKOLOGIS
KONTRAK
PSIKOLOGIS
TINGGI
KONTRAK
PSIKOLOGIS
RENDAH
RETENSI
KARYAWAN
TINGGI
RETENSI
KARYAWAN
RENDAH
Mempertahankan karyawan atau retensi karyawan merupakan tantangan
yang paling kritis dimasa sekarang. Karyawan bertahan dalam sebuah institusi
dikarenakan karyawan tersebut memiliki harapan kepada institusi atau perusahaan
yang sejalan dengan keinginan karyawan. Hubungan bisnis ini pun terjalin dengan
adanya janji-janji yang diberikan perusahaan kepada karyawannya demi pemenuhan
harapan karyawan. Janji-janji yang diberikan perusahaan yang sejalan dengan
keinginan ataupun harapan karyawan membentuk kepercayaan yang dikenal
dengan kontrak psikologis. Kontrak psikologis yang terbangun antara perusahaan
dengan karyawan jika rendah maka retensi pun akan rendah dimana karyawan
dapat mengambil keputusan untuk tidak meneruskan hubungan bisnis. Demikian
pula hal sebaliknya, jika kontrak psikologis tinggi, maka karyawan tersebut
mengambil keputusan untuk mempertahankan bisnis atau pertukaran bisnis dengan
perusahaan.
2.4
Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini terdiri dari hipotesis null (H0) dan hipotesis
alternatif (Ha), yang akan dijabarkan sebagai berikut:
Ho
: Tidak adanya hubungan antara kontrak psikologis dan retensi
karyawan pada PT. Myindo Cyber Media.
Ha
: Adanya hubungan antara kontrak psikologis dan retensi karyawan
pada PT. Myindo Cyber Media.
Download