Modul Pendidikan Agama Khatolik [TM14]

advertisement
MODUL PERKULIAHAN XIII
PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
MENJAGA KEUTUHAN CIPTAAN
Fakultas
Program Studi
MKCU
PSIKOLOGI
Materi
Tatap Muka
14
Kode MK
Disusun Oleh
90038
Drs. Sugeng Baskoro, M.M
Abstract
Kompetensi
Humans are creatures who have minds.
He is responsible for the natural
surroundings. religion plays a role to
direct his people to love the
environment. Currently, the
environmental damage of the crisis.
Mahasiswa memiliki pendalaman yang
memadai untuk melihat dan
menjelaskan permasalahan lingkungan
dalam sudut pandang agama. Melihat
secara objektif peran agama dalam
kelestarian alam.
BAB XIII
PENCIPTAAN ALAM SEMESTA DALAM REFLEKSI IMAN KRISTIANI
13.1. Pengantar
Untuk apa kita diciptakan? Bukan hanya orang-orang
‘galau’ yang bertanya tentang penciptaannya. Para
ilmuwan juga bertanya, untuk apa ada penciptaan. Bagi
yang malas berfikir berkata, ngapain pusing-pusing mikir
yang tidak jelas begini. Tapi, bagi ilmuwan ini penting
untuk membangun relasi antar ciptaan dan bagaimana
mereka berlaku satu sama lain (tepatnya manusia
memperlakukan ciptaan). Pernah ada dalam sejarah
agama bahwa benda-benda langit, khususnya bulan
dan
matahari
dianggap
sebagai
dewa
Silahkan dibaca Beriman Di
Arus Jaman,
1.Problematika Etika
Lingkungan hal. 139
2. Perhatian Gereja Pada
Lingkungan hal 141
3. Tangggung Jawab Masa
Depan hal. 143
sehingga
keberadaan mereka dianggap sangat vital bagi hidup dan nasib manusia. Pernah ada dalam
sejarah agama bahwa alam semesta memiliki ‘roh’ agung atau roh ajaib yang bisa
mengancam kehidupan manusia sehingga harus didamaikan dengan sesaji. Yang jelas,
keberadaan semesta erat kaitannya dengan religiusitas manusia.
Dalam tradisi perjanjian Lama, dikatakan bahwa alam semesta ini hanya ciptaan. Praktis ini
membongkar seluruh paham keagamaan sebelumnya. Bayangkan, yang semula matahari
disembah sebagai dewa ternyata hanya dikatakan sebagai benda penerang yang diciptakan
Tuhan. Bagaimana perasaan para penyembahnya? Hal ini agak berbeda dengan cara
pandang ilmuwan awal. Mereka bertanya dari manakah alam semesta ini terbentuk? Thales
seorang filosof yang hidup lama sebelum Aristoteles merenungkan dan melakukan
percobaan. Ia perhatikan air yang bisa memadat, mencair, mengental, menguap. Lalu dalam
pendapatnya, alam semesta awalnya berasal dari air. Meski terdengar agak lucu di jaman
sekarang, jaman itu merupakan sebuah lompatan besar. Mengapa? Dulunya hanya
dikatakan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh dewa-dewi. Sekarang, dengan metode
ilmiah ternyata tidak membutuhkan dewa-dewi. Ada cerita menarik tentang Thales ini ketika
dia bisa meramalkan dengan metode ilmiah datangnya gerhana matahari.
Pada jamannya, gerhana matahari dianggap sebagai hal yang sangat penting karena dalam
agama di Mesir, gerhana matahari berarti dewa sedang murka. Mereka bertanya, kok bisa
dewa yang murka diramal? Demikianlah akhirnya ilmu dan refleksi agama berjalan dengan
metodologi yang berbeda. Penciptaan manusia juga menjadi hal yang menjadi perhatian
para penulis Kitab Suci. Para penulis ini tidak sedang membuat laporan sejarah atau
membuat penelitian ilmiah ketika menulis Kitab Suci, tapi sedang merenungkan keberadaan
mereka dan menuliskan permenungan itu. Mereka menuliskan dengan bahasa yang sangat
2015
2
Pendidikan Agama Katolik
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
puitis, mengapa mereka bisa ada bersama dengan adanya alam semesta ini. Begitulah,
akhirnya tercatat dalam Kitab Suci kisah penciptaan yang demikian dramatis, indah, dan
puitis. Semuanya baik adanya.
13.2. Tema Penciptaan Dalam Kitab Suci Dan Maknanya
Sebenarnya, kalau anda membaca Kitab Suci dengan cermat, anda akan mendapati dua
versi penciptaan dalam Kitab Suci yang digabungkan. Pertama adalah dari Kejadian 1 dan
yang kedua bisa dilihat dalam kejadian 2.
Kej. 1
Isi
Kej. 2
Isi
1:1-2
Pendahuluan
2:4-6
Pendahuluan
1:3-5
terang/gelap
2:7
manusia/debu
1:6-8
cakrawala di langit
2:8
taman di bumi
1:9-13
air dan tanah, tumbuhan
2:9-15
tumbuhan, air dan tanah
1:14-19
benda-benda penerang
dipisahkan
2:16-17
dua pohon dipisahkan
1:20-23 penciptaan pertama binatang 2:18
persoalan pertama pendamping manusia
1:24-31 penciptaan berlanjut
2:19-22
persoalan berlanjut
2:1-3
2:23-24
turut campurnya ilahi
proses berakhir
pemisahan Sabat
pemisahan pasangan dari orang tua
pemberkatan Sabat
persatuan pasangan hidup
Tradisi penciptaan seperti dikemukakan para ahli yang menempatkan Kejadian pasal 1
sebagai bersumber dari tradisi imam (Priest atau P), sementara Kejadian pasal 2 dari tradisi
Yahwist (Y). Kedua sumber tradisi ini telah menjadi perdebatan dan mengemuka. Seakanakan terjadi pertentangan satu sama lain. Saya sendiri belum ingin masuk dalam
perdebatannya, menurut hemat saya, teks itu merupakan dua teks yang digabungkan.
Riwayat penciptaan merupakan suatu komposisi sastra yang tersusun dengan sangat baik.
Dengan menggunakan kerangka formula-formula (seperti “jadilah demikian” dan “Allah
melihat bahwa semuanya itu baik”), kisah ini mengetengahkan Allah sebagai pihak yang
mendapatkan apa yang “belum berbentuk dan kosong” dan kemudian membentuk dan
memenuhinya. Tiga hari pertama digunakan untuk pekerjaan pembentukan, sementara
pada tiga hari berikutnya Allah memenuhi apa yang sudah dubentukNya. Fokus komposisi
ini ialah bahwa segala sesuatu dibentuk dan dipenuhi sehingga cocok sekali untuk didiami
oleh manusia.
Istilah “Creatio Ex Nihilo” merupakan istilah yang diambil dari bahasan Latin. Para peneliti
Alkitab biasanya menyatakan keyakinan mereka bahwa Allah tidak memakai bahan yang
2015
3
Pendidikan Agama Katolik
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
telah ada sebelumnya untuk menciptakan dunia. Mengenai pendapat ini, terdapat dukungan
yang kuat , meskipun hal tersebut tidak dinyatakan secara gamblang dalam Perjanjian
Lama. Dalam Kejadian 1:1, dalam bahasa Ibrani kata “menciptakan” ditulis dengan
menggunakan kata ar"äB' (bara). Kata ini hanya dipakai untuk penciptaan ilahi, dan tidak
pernah digunakan dengan material sebagai pelengkap penderitanya. Jadi, ciri khas
penciptaan Allah ialah bahwa Ia menjadikan sesuatu yang tadinya tidak ada, menjadi ada.
Penggunaan kata ar"äB' (bara) pada Kejadian pasal 1 bukanlah dimaksudkan sebagai suatu
pernyataan sejarah yang secara objektif-ilmiah (karena faktanya tidak ada satu orang pun
manusia yang menyaksikan bahwa Tuhan menciptakan langit dan bumi), melainkan
ungkapan itu dimaksudkan sebagai pernyataan iman.
Pernyataan iman tersebut hendak menunjukkan bahwa langit, bumi, serta segala isinya
semata-mata adalah buah karya Allah. Penggunaan kata ar"äB' (bara) tidak begitu saja
mendukung doktrin creatio ax nihilo, tetapi yang hendak ditegaskan adalah unsur kebaruan
dari tindakan Tuhan dan hanya Yang Mahakuasa saja yang dapat menghasilkan kebaruan
seperti itu.Tindakan Allah dalam menciptakan ini benar-benar unik tanpa bandingan. Karl
Barth dalam bukunya “Church Dogmatics” halaman 155, menjelaskan bahwa penciptaan Ex
Nihilo adalah “menyatakan hal yang hakiki mengenai mahkluk Allah itu, yaitu bahwa ia
berasal dari Allah dan bukan dari sumber lain, dan bahwa ia ada karena Allah dan tidak
sebaliknya. Jadi mahkluk itu bukan Allah, atau sesuatu yang terpancar dari Allah.
Berdasarkan kata kerja ar"äB' (bara), tujuan penekanan unsur kebaruan (yang sebelumnya
tidak ada) dalam penciptaan adalah membangkitkan perasaan umat, bahwa betapa kecilnya
mereka di hadapan Allah yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Bila kejadian 1 dibaca dalam
perspektif
kebaruan
demikian,
jelaslah
bahwa
penciptaan
yang
dilakukan
Allah
menghasilkan perubahan yang radikal dari kekosongan yang tak berbentuk menjadi berisi,
tertata rapi, dan siap dihuni manusia.
Kosmonogi modern juga mempengaruhi pandangan orang terhadap tema besar, yaitu
tentang penciptaan. Tokoh-tokoh sains memberikan penjelasan tentang dunia dan asalusulnya secara ilmiah dan ini berbeda dari yang selama itu dituliskan dalam alkitab.
Penjelasan sains ini semakin populer dan puncaknya adalah Zaman pencerahan yang
mengagungkan ilmu pengetahuan alam. Pada abad ke-19, yaitu ketika teologi berinteraksi
dengan sains modern, Schleiermacher dan Harnack mengembangkan sebuah teologi yang
antroposentris, hal ini mengakibatkan pembicaraan tentang Tuhan sebagai Pencipta tidak
lagi menarik untuk dibahas. Penciptaan dilihat sebagai peristiwa yang sudah lewat dan tak
relevan lagi dengan kehidupan yang sekarang, dan yang paling penting sekarang adalah
keselamatan individual.
Para
penulis
alkitab
memberikan
kesaksian
mereka
yang
menegaskan
bahwa
sesungguhnya memang Allah adalah Pencipta. Seperti yang dinyatakan oleh Yesaya :
2015
4
Pendidikan Agama Katolik
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Beginilah firman Allah, TUHAN, yang menciptakan langit dan membentangkannya, yang
menghamparkan bumi dengan segala yang tumbuh di atasnya, yang memberikan nafas
kepada umat manusia yang mendudukinya dan nyawa kepada mereka yang hidup di
atasnya. Kesaksian Israel tentang Allah sebagai pencipta berkenaan dengan kekuasaan
Allah yang paling pokok untuk melakukan sesuatu yang sama sekali baru (novum), yang
mustahil terjadi atas dasar yang lain. Dalam kesaksian ini, menurut maksud dan tindakan
Allah, dunia ini adalah tempat yang ramah dan layak didiami, oleh karena kehendak dan
kemampuan Allah untuk memulai dan melestarikan kehidupan.
Dyrness, dalam bukunya “tema-tema dalam teologi Perjanjian Lama” menuliskan ada
beberapa sifat dari penciptaan yang dilakukan oleh Allah, yaitu bahwa penciptaan itu baik
adanya. Allahlah yang pertama-tama menikmati keindahan penciptaan, sewaktu Ia
menyatakannya; sungguh amat baik (Kej 1:31). Gagasan ini terdapat juga dalam Yeh 28:1115, di mana secara tidak lagsung disebutkan kesempurnaan ciptaan yang mula-mula. Akan
kita lihat bahwa kejatuhan menodai kesempurnaan itu; tetapi meski pengaruh dosa tidak
tanggung-tanggung, ia tidaklah menyeluruh. Peristiwa itu tidak mengubah kebaikan hakiki
dari ciptaan.
Selain dikatakan baik, ciptaan juga diperintahkan khusus untuk mencapai tujuan-tujuan yang
telah direncanakan oleh Allah. Meski ciptaan tersebut mempunyai sifat-sifatnya sendiri, Allah
berniat agar tujuanNya tercapai di dalamnya, yaitu untuk menyatakan kemuliaanNya (Yes
6:3; Mazmur 19). Akhirnya, meski tujuan akhir penciptaan adalah kemuliaan Allah, tetapi
tujuannya yang segera adalah bagi manusia.
Sesungguhnya penciptaan dalam Alkitab dan dalam doktrin Kristen klasik tidak hanya
berbicara tentang asal mula dunia dari tidak ada sesuatu (creatio ex nihilo), tetapi juga
pemeliharaan Tuhan. Dunia ciptaan tidak pernah eksis dari dirinya sendiri, tetapi selalu
bergantung kepada Penciptanya. Sekalipun dikatakan Tuhan berhenti pada hari ke-tujuh
dan tidak menciptakan sesuatu, Ia tidak lepas tangan dari dunia ciptaanNya. Selanjutnya,
Tuhan tetaplah berkarya, tidak seperti dalam Kejadian 1, tetapi sekarang melalui prosesproses kehidupan yang dijadikanNya. Dengan demikian kelangsungan eksistensi dunia
ciptaan terpelihara. Manusia sampai sekarang tetap bisa dikatakan sebagai ciptaan Tuhan,
bukan diciptakan dari tidak ada menjadi menjadi ada, melainkan dari kehidupan yang
ditanamkan dalam benih-benih kehidupan.
Kekuasaan Allah atas dunia tidak hanya berlaku pada waktu penciptaan pada awalnya,
tetapi terus berlangsung dalam tegaknya dunia (mazmur 93:1). Hubungan kebergantungan
ini tidak bersifat narsisistik sebab dunia dijadikan bukan demi kesenangan Tuhan, melainkan
agar di dunia tumbuh keselamatan dan keadilan (Yes 45:8). Konsekuensi dari dunia ciptaan
yang baik dan diberkati adalah keselamatan dan keadilan itu masih dalam bentuk potensi
yang harus diaktualisasikan. Kemajuan peradaban dan teknologi dimungkinkan karena
2015
5
Pendidikan Agama Katolik
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dunia berkembang dalam batas-batas potensi yang ada ini. Potensi-potensi baik tersebut
tidak berdiri sendiri, tetapi bergantung pada Sang Pencipta dan dengan cara inilah Ia
menopang kelangsungan dunia. Dalam konteks pemeliharaan Allah, Ia menempatkan
manusia pada posisi mitra. Manusia diikutsertakan dalam pemeliharaan-Nya atas dunia
dengan jalan meneruskan penciptaan dalam kapasitasnya sebagai “ko-pencipta”. Artinya
dalam hal ini, Allah tidak meninggalkan begitu saja ciptaanNya yang telah Ia ciptakan, tetapi
dalam menjalani kehidupannya, Allah tetap menyertai ciptaanNya sehingga ciptaan Allah itu
dapat melangsungkan kehidupannya sehari-hari.
13.3. Manusia dan Etika Ekologi
a. Manusia dan Alam
Selama ini, terutama sejak masa pencerahan manusia hanya bergelut untuk menafsirkan
apa yang dapat dipersepsi di dalam dan di luar dirinya. Hasil telaah akal budi inilah, yang
nantinya dijadikan landasan justifikasi atas apa yang dianggap bernilai. Alam dipandang
sebagai yang lain, dianggap bernilai berdasarkan kalkulasi manusia. Direduksi hanya untuk
memenuhi keinginan manusia. Cara pandang inilah yang membuat cara pandang
antroposentris semakin mengakar. Alam dipandang sebagai sumber daya.
Dipandang secara kuantitatif. Penelitian ilmiah yang melahirkan teknologi disertai masa
Revolusi Industri mengokohkan situasi ini. Alam sebagai bahan baku produksi, dianggap
sebagai sumber daya yang seakan tiada habisnya. Manusia giat melakukan pembangunan
di pelbagai bidang. Namun melupakan dampak yang nanti ditimbulkannya. Manusia
melupakan kesadaran bahwa
dirinya
hanyalah
bagian,
dan
bukan keseluruhan.
Ketidakarifan manusia yang mendominasi alam akhirnya akan berbalik pada dirinya sendiri.
Memutus satu jaring, berarti merusak harmoni yang terjalin dalam alam. Kesadaran
mengenai hal ini dikemukakan oleh, Frank Fraser Darling dkk dalam A Blue Print for Survival
(1972) yaitu, pertumbuhan apapun yang tanpa batas tidak akan dapat dilestarikan dengan
sumber daya yang terbatas.
Menghadapi abad 21 dengan jumlah penduduk yang terus meningkat sementara sumber
daya alam terbatas, membuat masyarakat sampai pada titik dimana krisis ekologi
merupakan problem yang serius. Isu ini sebenarnya sudah dilontarkan pada publik jauh-jauh
hari sebelumnya yaitu, sekitar tahun 1960an dimana terdapat kekhawatiran sejumlah
kalangan atas penggunaan alam yang eksploitatif. Salah satu yang menjadi penggagas
adalah Rachel Carson yang menerbitkan bukunya Silent Spring mengenai dampak pestisida
terhadap lingkungan dan juga manusia. Ia melihat bagaimana relasi antara alam dan
manusia selama ini diabaikan.
Seorang pemerhati lingkungan, Bill Mckibben mengatakan bahwa situasi buruk yang terjadi
pada alam merupakan sebuah bencana. Ia menyebutnya sebagai end of nature. Yang
2015
6
Pendidikan Agama Katolik
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dimaksud bukanlah kiamat atau proses bencana alam yang meniadakan manusia di bumi
ini, melainkan konteks yang berubah secara perlahan namun pasti, yang ketika akumulasi
dari perubahan tersebut menghantam manusia, manusia baru menyadarinya. Bencana
tersebut awalnya tidak disadari oleh manusia, melainkan seperti menyulut api pada rumput
kering yang pada awalnya hanya menimbulkan asap kecil.
Ketika api dan asap perlahan-lahan mulai membesar dan menyelubungi manusia, usaha
mematikan api untuk menghilangkan asap sudah terlambat. Barulah kemudian manusia
menyadari keterbatasannya ketika asap tersebut menghalangi pandangan mata dan
mempengaruhi aktivitas manusia. Manusia dituntut untuk menyelesaikan masalah yang
dibuatnya, dan penyelesaian tersebut tidak dapat dilakukan tanpa perubahan radikal dalam
paradigma relasi manusia dengan alam. Perubahan yang terjadi, sekecil apapun akan
menimbulkan konsekuensi etis yang berbeda pula.
Usaha menyingkap akar permasalahan dari krisis ekologi sebagai krisis persepsi dimulai
dengan penyelidikan terhadap latar belakang kultural yang mengkonstruksi cara pandang
tersebut. Krisis ekologi dianggap merupakan kesalahan fundamental filosofis maupun
religius cara berpikir masyarakat Barat yang bersifat antroposentris. Klaim ini diajukan oleh
ahli sejarah Lynn White Jr. Dalam artikelnya The Historical Roots of Our Ecological Crisis
(1967). Dalam artikel tersebut ia menguraikan mengenai tradisi masyarakat Barat terhadap
teknologi maupun pengetahuan ilmiah. Menurutnya pengembangan teknologi dan ilmu
pengetahuan di dunia Barat tidak selalu bersifat eksploitatif. Karena tradisi Barat yang
mengadopsi berbagai penelitian ilmiah dan juga ilmu dari kebudayaan Timur, mereka
kemudian menjadi pelopor bagi perkembangan ilmu tersebut. Berbagai penemuan ekuivalen
dengan perubahan yang terjadi. Ditemukannya mesin untuk menggarap tanah mengubah
relasi manusia dengan tanah tersebut secara total. Berbagai penemuan malah membuat
manusia terpacu untuk mengeksplorasi alam yang berujung pada eksploitasi.
b. Prinsip-Prinsip Etika Ekologi
1. Antroposentrisme
Etika ekologi antroposentris merupakan kerangka teori etika antroposentris ketika
berhadapan dengan problem ekologi. Sebenarnya tidak terdapat perbedaan yang sangat
mendasar antara keduanya, namun etika ekologi antroposentris lebih fokus pada problem
ekologi. Pendekatan dari teori etika ini tetap antroposentris dengan menawarkan solusi
praktis yang didasarkan atas kalkulasi kepentingan manusia. Etika antroposentrisme sendiri
merupakan kerangka etika yang berpusat pada manusia. Secara etimologis, antropo berarti
manusia dan sentrisme berarti pemusatan. Etika antroposentrisme merupakan teori etika
yang mengandaikan adanya potensi kapasitas manusia seperti kebebasan, rasionalitas,
kehendak dan lainnya.
2015
7
Pendidikan Agama Katolik
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Etika sendiri merupakan persoalan antara potensialitas manusia yang berbenturan. Potensi
ini dianggap hanya dimiliki oleh manusia. Manusia sebagai makhluk yang memiliki
potensialitas ini, memerlukan moralitas untuk menjaga agar potensialitasnya tidak dilanggar
ataupun melanggar potensi individu lain. Sehingga etika dapat dikatakan sebagai kerangka
acuan untuk mengatasi situasi chaotic, meski tidak mengikat. Moralitas ini baru bisa
memperoleh legalitas jika menyangkut kepentingan banyak orang yang dianggap krusial.
Etika antroposentrisme merupakan etika yang bertolak dari sudut pandang kepentingan
manusia. Manusia sebagai anggota masyarakat merupakan pengambil keputusan bagi
kesejahteraan masyarakatnya. Apa yang baik diputuskan berdasarkan kalkulasi rasional
manusia. Ciri dari etika antroposentrisme adalah meletakkan pertimbangan moral sematamata demi manusia dan pada manusia.Tujuannya tentu demi kebaikan dirinya sendiri,
namun selanjutnya tentu dengan mengupayakan kebaikan bagi diri sendiri akan menuju
pada kebaikan untuk masyarakat.
Dalam relasinya dengan alam, kerangka teori etika ini memandang alam sebagai suatu yang
terpisah dari manusia. Dimana perlindungan hutan maupun alam secara keseluruhan,
diamini sejauh demi kepentingan manusia, bahkan generasi mendatang. Sehingga dominasi
manusia terhadap alam dapat dimaklumi. Etika ekologi yang antroposentris menawarkan
solusi pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sebagai upaya mengatasi
krisis ekologi dimana tanggung jawab manusia atas kerusakan alam dapat diatasi dengan
solusi teknis. Contohnya adalah efisiensi teknologi, perencanaan pembangunan yang
terpadu dan selaras dengan alam. Padahal efisiensi teknologi tanpa perubahan paradigma
yang radikal dalam masyarakat merupakan hal yang kontraproduktif. Ini merupakan ciri dari
etika ekologi yang antroposentris, dimana solusi yang ditawarkan bersifat jangka pendek.
Untuk membedakan antara kebijakan yang bersifat antroposentris atau ekosentris dapat
diperiksa melalui argumentasinya. Apakah argumen tersebut dibuat untuk kebijakan jangka
panjang, atau jangka pendek.
2. Etika Biosentrisme
Etika biosentrisme merupakan kerangka teori etika yang mulai memperluas cakupan
moralnya pada biospher. Biosentrisme sendiri secara etimologis berarti pemusatan pada
apa yang hidup (bio, hidup-sentrisme, pemusatan). Pergerakan masalah maupun debat
dalam kerangka etika ini akan bertolak dari penentuan apa yang hidup? Apa yang dimaksud
dengan hidup? Kategori apa yang digunakan untuk menjustifikasi bahwa entitas tertentu
hidup?
Teori biosentrisme berpandangan bahwa makhluk hidup bukan hanya manusia saja. Ada
banyak hal dan jenis mahluk hidup yang memiliki kehidupan. Hanya saja, hal yang rumit dari
biosentrisme, atau yang disebut juga life-centered ethic, terletak pada cara manusia
2015
8
Pendidikan Agama Katolik
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
menanggapi pertanyaan: ”Apakah hidup itu?” . Pandangan biosentrisme mendasarkan
moralitas pada keluhuran kehidupan, entah pada manusia atau pada mahluk hidupnya.
Karena yang menjadi pusat perhatian dan ingin dibela dalam teori ini adalah kehidupan,
maka secara moral berlaku prisip bahwa setiap kehidupan dimuka bumi ini mempunyai nilai
moral yang sama, sehingga harus dilindungi dan diselamatkan. Oleh karena itu, kehidupan
setiap mahluk hidup pantas diperhitungkan secara serius dalam setiap keputusan dan
tindakan moral, bahkan lepas dari pertimbangan untung rugi bagi kepentingan manusia.
Etika lingkungan Biosentrisme adalah etika lingkungan yang lebih menekankan kehidupan
sebagai standar moral. Salah satu tokoh penganutnya adalah Kenneth Goodpaster. Menurut
Kenneth rasa senang atau menderita bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Bukan senang
atau menderita, akhirnya, melainkan kemampuan untuk hidup atau kepentingan untuk hidup.
Kepentingan untuk hidup yang harus dijadikan standar moral. Sehingga bukan hanya
manusia dan binatang saja yang harus dihargai secara moral tetapi juga tumbuhan. Menurut
Paul Taylor, karenanya tumbuhan dan binatang secara moral dapat dirugikan dan atau
diuntungkan dalam proses perjuangan untuk hidup mereka sendiri, seperti bertumbuh dan
bereproduksi.
Biosentrisme menekankan kewajiban terhadap alam bersumber dari pertimbangan bahwa
kehidupan adalah sesuatu yang bernilai, baik kehidupan manusia maupun spesies lain
dimuka bumi ini. Prinsip atau perintah moral yang berlaku disini dapat dituliskan sebagai
berikut: ”adalah hal yang baik secara moral bahwa kita mempertahankan dan memacu
kehidupan, sebaliknya, buruk kalau kita menghancurkan kehidupan”.
Biosentrisme melihat alam dan seluruh isinya mempunyai harkat dan nilai dalam dirinya
sendiri. Alam mempunyai nilai justru karena ada kehidupan yang terkandung didalamnya.
Kewajiban terhadap alam tidak harus dikaitkan dengan kewajiban terhadap sesama
manusia. Kewajiban dan tanggung jawab terhadap alam semata-mata didasarkan pada
pertimbangan moral bahwa segala spesies di alam semesta mempunyai nilai atas dasar
bahwa mereka mempunyai kehidupan sendiri, yang harus dihargai dan dilindungi.
Biosentrisme memandang manusia sebagai mahluk biologis yang sama dengan mahluk
biologis yang lain. Manusia dilihat sebagai salah satu bagian saja dari keseluruhan
kehidupan yang ada dimuka bumi, dan bukan merupakan pusat dari seluruh alam semesta.
Maka secara biologis manusia tidak ada bedanya dengan mahluk hidup lainnya. Salah satu
tokoh yang menghindari penyamaan begitu saja antara manusia dengan mahluk hidup
lainnya adalah Leopold. Menurut dirinya, manusia tidak memiliki kedudukan yang sama
begitu saja dengan mahluk hidup lainnya. Kelangsungan hidup manusia mendapat tempat
yang penting dalam pertimbangan moral yang serius. Ahanya saja, dalam rangka menjamin
kelangsungan hidupnya, manusia tidak harus melakukannya dengan cara mengorbankan
kelangsungan dan kelestarian komunitas ekologis. Manusia dapat menggunakan alam untuk
2015
9
Pendidikan Agama Katolik
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kepentingannya, namun dia tetap terikat tanggung jawab untuk tidak mengorbankan
integrity, stability dan beauty dari mahluk hidup lainnya. unjtuk mengatasi berbagai kritikan
atas klaim pertanyaan antara manusia dengan mahluk biologis lainnya, salah seorang tokoh
biosentrisme, Taylor, membuat pembedaan antara pelaku moral (moral agents) dan subyek
moral (moral subjects). Pelaku moral adalah manusia karena dia memiliki kemampuan untuk
bertindak secara moral, berupa kemampuan akal budi dan kebebasan. Maka hanya
manusialah yang memikul kewajiban dan tanggung jawab moral atas pilihan-pilihan, dan
tindakannya. Sebaliknya, subyek moral adalah mahluk yang bisa diperlakukan secara baik
atau buruk, dan itu berarti menyangkut semua mahluk hidup, termasuk manusia. Dengan
demikian semua pelaku moral adalah juga subyek moral, namun tidak semua subyek moral
adalah pelaku moral, di mana pelaku moral memiliki kewajiban dan tanggung jawab
terhadap mereka.
Teori biosentrisme, yang disebut juga intermediate environmental ethic, harus dimengerti
dengan baik, khususnya menyangkut kehidupan manusia dan mahluk-mahluk hidup yang
lain di bumi ini. Teori ini memberi bobot dan pertimbangan moral yang sama kepada semua
mahluk hidup. Disini dituntut bahwa alam dan segala kehidupan yang terkandung
didalamnya haruslah masuk dalam pertimbangan dan kepedulian moral. Manusia tidak
mengorbankan kehidupan lainnya begitu saja atas dasar pemahaman bahwa alam dan
segala isinya tidak bernilai dalam dirinya sendiri.
Pada etika biosentrisme sudah terdapat kesadaran bahwa relasi antara manusia dengan
alam adalah relasi yang interdependent. Relasi ini perlu dijaga dan dihormati karena
keduanya memiliki nilai intrinsik, yang berasal dari fakta bahwa mereka hidup. Salah satu
tokoh dari etika biosentrisme adalah Paul W. Taylor. Etika biosentrismenya terdapat pada
bukunya Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics (1986) dimana menurutnya
prinsip etis yang didasarkan pada relasi yang terjalin akan menjamin adanya kewajiban, hak
dan tanggung jawab
berdasarkan relasi tersebut.
3. Etika Ekosentrisme
Etika ekosentrisme merupakan kerangka teori etika yang menganggap bahwa terdapat
relasi etis antara manusia dengan alam. Bertitik tolak dari kehidupan dalam segala bentuk
pada ekosistem. Secara etimologis ekosentrisme berarti pemusatan pada ekosistem
(kontribusi dari ekologi). Selanjutnya, tentu diperlukan prinsip etis yang akan menjamin
adanya kewajiban, hak dan tanggung jawab terhadap relasi yang terjalin. Etika ini sendiri
dianggap sebagai bentuk radikalisasi dari etika biosentrisme yang cakupan moralnya hanya
terbatas pada apa yang hidup. Pembatasan pada etika biosentrisme-seperti yang telah
dipaparkan di halaman sebelumnya- akan mengalami debat berkisar apa yang dimaksud
2015
10
Pendidikan Agama Katolik
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dengan hidup? Pertanyaan ini sendiri memerlukan determinannya, sehingga diperlukan
pembatasan yang jelas. Pada etika ekosentrisme, determinasinya jelas, seluruh komunitas
biotis dan biotis sebagai bagian dari ekosistem.
Pada etika ekosentrisme, tiap-tiap anggota ekosistem memiliki nilai intrinsik dimana alam
semesta merupakan komunitas moral dan bernilai, tidak saja karena terdapat kehidupan di
dalamnya, tapi juga karena semuanya bersifat kontekstual, berelasi dalam proses. Berperan
dalam rantai makanan maupun proses alamiah lain dalam ekosistem. Dalam deep ecology,
pemikiran ini dilanjutkan, bukan saja karena entitas tersebut memiliki proses alamiah. Tapi
karena mereka ada. Keberadaan merekalah yang mengkonstitusi kesadaran manusia.
Posisi diantara alam dan manusia bukanlah hierarki melainkan siklis, daur ataupun jaring
yang terhubung satu sama lain dan sama-sama berperan penting dalam proses kehidupan.
Alam bernilai, karena mereka ada, begitu pula manusia. Terjalin sebagai satu kesatuan
dalam jaring kehidupan.
13.4. Penutup: Ekologi Dalam Iman Kristiani
Karena proses penyadaran ekologi harus terjadi pada taraf mondial atau global, maka di sini
terdapat panggilan khusus umat beriman, yang mengakui bahwa “penguasaan yang
diberikan kepada manusia oleh Sang Pencipta bukanlah suatu kuasa mutlak, dan juga tidak
dapat dikatakan bahwa manusia bebas menggunakan dan menyalahgunakan atau memakai
barang-barang sekehendak hatinya sendiri. Sebab jelas sekali bahwa perkembangan dan
perencanaannya, serta cara memakai sumber-sumber, tidak dapat terjadi tanpa
mengindahkan tuntutan moral” (SRS 34).
Mewartakan dan memperlihatkan dalam praktik hidup tuntutan ini, merupakan tugas
panggilan seluruh umat beriman. Untuk itu perlu juga kesatuan dan kerja sama semua orang
yang taat kepada Sang Pencipta. Sebab kalau terisolasi di tempatnya sendiri manusia tidak
atau kurang melihat akibat-akibat perbuatannya. Apa yang secara spontan diketahui dan
diperhatikan para petani di ladang mereka sendiri, yakni bahwa tanah tidak boleh dibebani
melampaui kemampuannya, tidak lagi dilihat dan disadari oleh mereka yang lahir dan
dibesarkan di pusat-pusat industri atau di kota-kota besar. Globalisasi tidak hanya
menyangkut masalah lingkungan, tetapi juga hubungan antara manusia. Orang bukan lagi
penghuni sebuah desa atau kota saja. Sebagai penghuni dunia ia mempunyai tugas dan
kewajiban terhadap dunia seluruhnya. Segala sesuatu memang diciptakan untuk manusia,
tetapi tidak untuk manusia individual saja. Ia tidak lepas dari dunia sekitarnya, melainkan
dalam kesatuan organik dunia dengan manusia.
2015
11
Pendidikan Agama Katolik
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
1. Kompendium Katekismus Gereja Katolik, Kanisius, Yogyakarta, 2009 (sebuah
dokumen)
2. Hardiman Budi, Filsafat Modern dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2004.
3. Herulono Murtopo, Beriman di Arus Jaman, Red Carpet, Bekasi, 2014
4. Hill, Andrew & John H. Walton, Survey Perjanjian Lama, Gandum Mas, Malang, 1996
5. Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, BPK Gunung Mulia, Jakarta,
2005
2015
12
Pendidikan Agama Katolik
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download