Menghindari Investasi Bodong Oleh Anton A Setyawan LEMBAGA Ombudsman Swasta (LOS) DI Yogyakarta menerima laporan tujuh kasus penipuan investasi yang menelan korban cukup banyak. Ada tujuh perusahaan investasi palsu yang dilaporkan, yaitu PT Futurista International Paradana, CV Mitra Wira Usaha Mandiri, CV Java Lintas Niaga, CV Wahyu Sejahtera Mandiri, Koperasi Dharma Sejahtera Niaga, CV Medical, dan satu perusahaan lagi belum diketahui identitasnya. Pola penipuan investasi bodong itu sebenarnya sangat sederhana, yaitu memberikan iming-iming besar dalam pengembalian investasi. Beberapa perusahaan menawarkan keuntungan di atas lima persen per bulan. Jumlah itu tentu sangat besar dibandingkan dengan deposito di bank umum dengan total bunga hanya 10 persen per tahun, sedangkan investasi bodong menjanjikan 48 persen per tahun. Iming-iming keuntungan tinggi seperti itu jelas menarik minat masyarakat awam yang tidak memahami seluk beluk investasi. Modus operandi seperti itu umum dilakukan oleh perusahaan investasi palsu yang beredar di masyarakat. Kasus investasi bodong tersebut seperti mengulang cerita lama dari kasus CV Medical di Solo, PT Q-Sar, dan PT Add Farm yang melakukan bisnis pengumpulan dana dari masyarakat. Artikel ini membahas tentang metode penilaian investasi yang praktis dan mudah digunakan oleh masyarakat yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan ekonomi atau bisnis. Hal itu bertujuan agar masyarakat mempunyai pegangan atau dasar dalam melakukan penilaian investasi. Janji Keuntungan Tinggi Keputusan melakukan investasi didasari oleh keinginan untuk memperoleh keuntungan. Sesuai dengan teori investasi, maka seorang investor mempunyai dua pilihan untuk menanamkan uangnya. Pilihan pertama adalah menabung di bank dengan harapan memperoleh bunga dari bank tersebut. Pada saat bunga bank tinggi, menabung di bank sangat menguntungkan, namun pada saat kisaran bunga bank rendah seperti saat ini, kurang menguntungkan. Pilihan kedua adalah melakukan investasi (membuka usaha/menanamkan modal). Harapan melakukan investasi adalah memperoleh tingkat pengembalian (rate of return) yang tinggi. Dalam kasus investasi bodong, investor diiming-imingi keuntungan 48 persen dalam satu tahun atau empat persen tiap bulan dari royalti. Dibandingkan dengan bunga bank yang hanya 11 persen per tahun, jumlah itu sangat menggiurkan. Hanya, dalam tawaran investasi itu calon investor tidak pernah diberikan informasi tentang risiko investasi. Padahal dalam setiap keputusan investasi selalu ada risiko. Dalam bahasa sehari-hari, risiko investasi adalah persentase kemungkinan usaha itu mengalami kerugian. Dalam ilmu studi kelayakan bisnis dikenal beberapa metode penilaian investasi. Metode penilaian investasi tidak terbatas hanya dengan melihat tingkat keuntungan, namun juga memperhatikan berbagai risiko, analisis pasar, dan aspek sosial dari sebuah investasi. Sebagai contoh, dari aspek keuangan ada tiga metode umum yang digunakan untuk menilai kelayakan sebuah investasi, yaitu pay pack period, internal rate of return (IRR), dan net present value (NPV). Dua metode yang paling umum digunakan adalah IRR dan NPV (Brigham dan Davies, 2002). Keduanya mempertimbangkan tingkat bunga dan risiko penanaman modal. Perhitungan analisis keuangan tidak cukup untuk menilai kelayakan investasi. Analisis pasar juga diperlukan dalam menilai sebuah kelayakan investasi. Hal itu akan memberikan informasi tentang keberlanjutan dari bisnis bersangkutan. Dalam memulai bisnisnya, investasi bodong sama sekali tidak menyertakan laporan studi kelayakan yang memadai, padahal bisnis itu menggali dana dari masyarakat, sehingga akuntabilitas merupakan hal penting. Sekali lagi, janji keuntungan tinggi bukan dasar yang baik dalam menentukan keputusan untuk berinvestasi. Pelajaran bagi Masyarakat Penilaian investasi secara sederhana sebenarnya dapat dilakukan masyarakat, yaitu dengan menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang bisnis bersangkutan. Sumber informasi saat ini sudah sangat banyak dan bisa dimanfaatkan oleh siapa pun. Posisi investor dalam kasus investasi bodong itu sangat lemah, karena direktur umum yang memegang semua informasi kunci, tidak diketahui rimbanya. Hal itu juga akan menjadi ganjalan bagi investor bila berniat menuntut perusahaan karena melakukan penyelewengan dalam perjanjian bisnis. Kontroversi kasus investasi bodong itu akan terus terjadi. Oleh karena itu masyarakat sebaiknya mulai belajar melakukan penilaian investasi dengan prinsip kehati-hatian (prudence). Sebuah idiom bisnis yang harus dipahami oleh masyarakat adalah "keputusan investasi selalu mengandung risiko". Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk melakukan penanaman modal dalam bentuk apa pun, pertimbangkan risikonya. (68) -- Anton A Setyawan, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta, mahasiswa S3 Ilmu Manajemen UGM Yogyakarta Sumber : http://www.suaramerdeka.com/