BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Daun Afrika 2.1.1 Morfologi Tumbuhan Daun Afrika Vernonia amygdalina Del. atau yang biasa disebut Daun Afrika adalah tumbuhan semak yang berasal dari benua Afrika dan bagian lain dari Afrika, khususnya Nigeria, Kamerun dan Zimbabwe dan negara yang beriklim tropis salah satunya adalah Indonesia. Tumbuhan ini dapat ditemukan di halaman rumah, sepanjang sungai dan danau, ditepi hutan, dan di padang rumput (Yeap et.al., 2010). Daun Afrika mempunyai batang tegak, tinggi 1-3 m, bulat, berkayu, berwarna coklat; daun majemuk, anak daun berhadapan, panjang 15-25 cm, lebar 5-8 cm, berbentuk seperti ujung tombak, tepi bergerigi, ujung runcing, pangkal membulat, pertulangan menyirip, berwarna hijau tua; akar tunggang, berwarna coklat kotor (Ibrahim, et al., 2004; Ijeh, 2010). 2.1.2 Sistematika Tumbuhan Berikut adalah sistematika tumbuhan (Ibrahim, et al., 2004): Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Asterales Suku : Asteraceae 6 Marga : Vernonia Spesies : Vernonia amygdalina Del. 2.1.3 Nama Daerah Daun Afrika memiliki nama lain seperti bitter leaf (daun pahit) di Nigeria,Shiwaka di Nigeria bagian Utara, Grawa di Amharic, Ewuro di Yoruba, Etidot di Ibibio, Onugbu di Igbo, Ityuna di Tiv, Oriwo di Edo, Chusar-doki di Hausa Shiwaka (Ijeh, 2010), Nan Fei Shu (Cina), dan daun Kupu-kupu (Malaysia). Daun Afrika juga memiliki nama daerah di Indonesia seperti daun pahit di pulau Jawa dan daun insulin di kota Padang. 2.1.4 Kandungan Tumbuhan Hasil penelitian (Ejoh, et al., 2007; Ijeh, 2010) menunjukkan bahwa tanaman daun Afrika banyak mengandung nutrisi dan senyawa kimia, antara lain sebagai berikut: protein 19,2%, serat 19,2%, karbohidrat 68,4%, lemak 4,7%;, asam askorbat 166,5 mg/100 g, karotenoid 30 mg/100 g, kalsium 0,97 g/ 100 g, besi 7,5 mg/100 g, fosfor, kalium, sulfur, natrium, mangan, tembaga, zink, magnesium dan selenium. Senyawa kimia yang terkandung dalam daun Afrika antara lain: saponin (vernoniosida dan steroid saponin), seskuiterpen lakton (vernolida, vernoladol, vernolepin, vernodalin dan vernomygdin), flavonoid, koumarin, asam fenolat, lignan, xanton, terpen, peptida dan luteolin. Hasil penelitian (Setiawan, 2012) menunjukkan bahwa daun Afrika mengandung flavonoid, glikosida, saponin, tannin, dan triterpenoid/steroid. 2.1.5 Khasiat Tumbuhan Daun Afrika banyak digunakan untuk obat-obatan dan banyak penelitian yang telah dilakukan seperti obat antibakteri dan antifungi (Erasto, et al., 2006), 7 antimalaria (Njan, et al., 2008), antikanker (Oyugi, 2009), antioksidan (Igile, et al., 1994; Nwanjo, 2005), antidiabetes (Nwawnjo dan Nwokoro, 2004; Atangwho, et al., 2007; Setiawan, 2012; Yusrina, 2014), analgetik (Njan, et al., 2008), inotropik dan kronotropik (Sembiring, 2013) dan antimutagenik (Ginting, 2012). 2.2. Kanker Kanker adalah penyakit pertumbuhan sel dengan terjadinya gangguan atau hilangnya mekanisme pengontrol pertumbuhan dan pembelahan. Adanya gangguan tersebut menghasilkan pertumbuhan baru dan menghasilkan masa jaringan yang abnormal yang disebut tumor (Sukardja, 2000). Kanker adalah penyakit akibat pertumbuhan tidak normal dari sel-sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker. Dalam perkembangannya, selsel kanker ini dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya sehingga dapat menyebabbkan kematian. Kanker sering dikenal oleh masyarakat sebagai tumor, padahal tidak semua tumor adalah kanker. Tumor adalah segala benjolan tidak normal atau abnormal (Hanahan, et al., 2000). Tumor dibagi dalam 2 golongan, yaitu tumor jinak dan tumor ganas. Kanker adalah istilah umum untuk semua jenis tumor ganas. Sebagian besar tumor jinak tidak menyebabkan masalah serius dan dapat di buang dengan proses pembedahan. Tumor ganas dapat menyebar dan merusak fungsi suatu organ. Suatu individu dengan tumor ganas dikatakan mengidap kanker. Selama masa perkembangan sel kanker mampu menghasilkan dan melepas sel pioner yang dapat berpindah, menginvasi jaringan didekatnya, kemudian pindah 8 ketempat lain, membentuk koloni dan tumbuh di tempat itu. Penyebaran sel kanker diluar tempat asalnya disebut dengan metastasis (Hanahan, et al., 2000). Berdasarkan lokasinya kanker atau yang merupakan tumor ganas dapat dibedakan sebagai berikut: karsinoma (pada jaringan kelenjar), sarkoma (pada jaringan penghubung), limfoma (pada ganglia limfatik) dan leukimia (pada sel darah) (Siswandono, et al., 2000). Bentuk-bentuk tumor menurut jaringan tempat neoplasma berasal yaitu (Tjay dan Rahardja, 2007) : a. Adenoma: benjolan malignan pada kelenjar, misalnya pada prostat dan mamma. b. Limfoma: kanker pada kelenjar limfe, misalnya penyakit (non) Hodgkin dan P. Burkitt yang beciri benjolan rahang. c. Sarkoma: neoplasma ganas yang berasal pembuluh darah, jaringan ikat, otot atau tulang, misalnya sarkoma Kaposi, suatu tumor pembuluh di bawah kulit tungkai bawah dengan bercak-bercak merah. d. Leukemia: kanker darah yang berhubungan dengan produksi leukosit yang abnormal yang sangat tinggi dan eritrosit yang sangat berkurang. f. Myeloma: kanker pada sumsum tulang, misalnya penyakit Kahler (multiple myeloma) dengan pertumbuhan liar sel-sel plasma di sumsum. g. Melanoma: neoplasma kulit yang luar biasa ganasnya, terdiri dari sel-sel pigmen, yang dapat menyebar dengan pesat. Kanker terjadi melalui beberapa tingkat yaitu: a. fase inisiasi: DNA dirusak akibat radiasi atau zat karsinogen (radikal bebas). 9 Zat-zat inisiator ini mengganggu proses reparasi normal, sehingga terjadi mutasi DNA dengan kelainan kromosomnya. Kerusakan DNA diturunkan kepada anak-anak sel dan seterusnya. b. fase promosi: zat karsinogen tambahan (co-carsinogens) diperlukan sebagai promotor untuk mencetuskan proliferasi sel. Dengan demikian, sel-sel rusak menjadi ganas. c. fase progesi: gen-gen pertumbuhan yang disktivasi oleh kerusakan DNA mengakibatkan mitosis dipercepat dan pertumbuhan liar dari sel-sel ganas. Tumor menjadi manifes (Tjay dan Rahardja, 2002). 2.2.1 Kanker Serviks Kanker merupakan istilah umum yang digunakan untuk mendiskripsikan suatu rangkaian penyakit mematikan yang dapat mempengaruhi bagian tubuh yang berbeda. Penyakit ini ditandai dengan pembelahan sel abnormal yang cepat dan tidak terkendali. Semakin lama sel abnormal tersebut akan membentuk suatu massa, tumbuh menjadi tumor. Pembelahan tak terkendali bukanlah hal utama yang menyebabkan bahayanya kanker. Disamping pembelahan yang tak terkendali, sel abnormal ini dapat berlanjut ke tahap invasi jaringan lain dan menginisiasi pertumbuhan abnormal di situs lain, yang disebut dengan proses metastasis (Sarkarar, et al., 2011). Penyakit ini berawal dari infeksi virus yang merangsang perubahan perilaku sel epitel serviks. Sel kanker serviks pada awalnya berasal dari epitel serviks yang mengalami mutasi genetik sehingga mengubah perilakunya. Sel yang bermutasi ini melakukan pembelahan sel yang tidak terkendali, immortal dan menginvasi jaringan stroma dibawahnya. Keadaan yang menyebabkan 10 mutasi genetika yang tidak dapat diperbaiki akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan kanker ini (Densen, 2008). Pencetus kanker tidaklah sedikit, salah satunya adalah abnormalitas struktur dan jumlah kromosom yang menyebabkan beberapa gen penting akan hilang. Disamping hilangnya gen, abnormalitas kromosom juga dapat menyebabkan over activation gen lain dan produksi protein abnormal. Mutasi kromosom sulit diperbaiki oleh sel itu sendiri, sehingga seharusnya (pada sel normal) sel akan melakukan “bunuh diri”. Namun pada kanker, gen yang mengkode mekanisme self suicide terganggu, sehingga sel yang mengalami abnormalitas kromosom akan tetap membelah tak terkendali (Kleinsmith, 2006). Faktor resiko yang merupakan pencetus kanker serviks, antara lain (Rasjidi, 2007): a. Infeksi Human Papiloma Virus (HPV), yang termasuk golongan papovavirus yaitu virus DNA bersifat mutagen memiliki ukuran 55 nm. Tipe HPV antara lain 16, 18, 31, 33, 35, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 69, diperkirakan masih banyak beberapa tipe lain. Di Indonesia tipe virus risiko tinggi penyebab kanker adalah 16, 18 dan 52. Tipe ini menimbulkan lesi rata dan tidak terlihat sedangkan tipe resiko rendah menimbulkan pertumbuhan seperti jengger ayam pada tipe HPV 6 dan 11. b. Berganti-ganti mitra seks c. Merokok, asap rokok bersifat karsinogen dan mutagen. d. Defisiensi terhadap asam folat, vitamin C, E, beta karoten dihubungkan dengan risiko kanker serviks. 11 Kanker leher rahim atau yang biasa disebut kanker serviks merupakan jenis kanker yang terjadi pada sel rahim dan vagina. Menurut World Cance Report (2008) kanker ini berasal dari epitel metaplasi di daerah scuacolumner junction, yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis. Kanker ini timbul karena adanya infeksi persisten Human Papiloma Virus (HPV). Morfologi serviks dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Morfologi serviks yang terserang HPV (Anonim, 2013) Human Papiloma Virus termasuk virus yang sederhana, non-eveloped, dengan materi genetikanya berupa double stranded DNA (dsDNA). HPV memiliki oncoge E6 dan E7 yang memproduksi protein pengganggu aktivitas p53 dan protein Rb. Protein p53 merupakan komponen sentral dalam penghentian proliferasi sel melalui siklus sel dan kematian sel (apoptosis). Pada kanker serviks, protein E6 akan meningkatkan p53 dan merusaknya. Oncoprotein E7 menyerang protein Rb yang bertanggung jawab dalam menghambat proliferasi melalui G1 retriction point pada siklus sel. Jika Rb terfosforilasi, maka siklus sel akan berlanjut dar G1 ke S. Pada sel terjadi inaktivasiprotein Rb yang dapat menghentikan siklus sel pada checkpoint G1 sebagai bentuk regulasi pembelahan sel, akan tetapi adanya oncoprotein E7 yang 12 mengikat Rb, proses checking oleh Rb tidak lagi terjadi, sehingga sel akan melanjutkan siklus selnya dan membelah. Gangguan pada p53 dan Rb inilah yang dapat memicu terjadinya kanker serviks (Kleinsmith, 2006). Morfologi HPV dan genome HPV dapat dilihat pada Gambar 2.2. a b Gambar 2.2 (a) morfologi HPV, (b) genome HPV (Borutto dan Comperetto, 2012). Sel kanker serviks tumbuh bertahap, dimulai dari adanya lesi prakanker yang disebut intraepithelial neoplasi (Cervical Intraepithelial Neoplasia = CIN). CIN terbagi menjadi 3 tingkatan, CIN 1 menandakan adanya replikasi HPV yang aktif dan jarang menjadi kanker, sebagian besar dapat sembuh dan spontan. Sebaliknya CIN 2 dan 3 merupakan prekursor kanker yang potensial. CIN dapat berkembang menjadi kanker serviks invasif (Kobayashi, et al., 2004). 2.2.2 Pencegahan Kanker Serviks Sel-sel yang abnormal dari kanker serviks dapat dideteksi dengan suatu test yang disebut pap smear test. Pap smear merupakan metode pemeriksaan selsel yang diambil dari serviks dan kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi dari sel tersebut (Riono, 1999). 13 2.2.3 Pengobatan Kanker Pengobatan kanker dapat dilakukan dengan cara pembedahan, radiasi, kemoterapi, endokrinoterapi atau imunoterapi. Cara pembedahan, terutama dilakukan untuk tumor padat yang terokalisasi. Cara radiasi digunakan sebagai pengobatan penunjang sesudah pembedahan. Pemberian kemoterapi terutama untuk pengobatan tumor tidak terlokalisasi seperti leukimia. Endokrinoterapi merupakan bagian dari kemoterapi, yaitu penggunaan hormon tertentu untuk pengobatan tumor pada organ yang poliferasinya tergantung hormon, seperti pada karsinoma payudara dan prostat. Sedangkan cara imunoterapi masih dalam penelitian, dan masa mendatang kemungkinan berperan dalam pencegahan mikrometastasis (Siswandono, et al., 2000). Obat antikanker mempengaruhi proses kehidupan sel yang terdiri dari beberapa fase sebagai berikut (Siswandono,et al., 2000): a. Fase mitotik (M), fase terjadinya pembelahan aktif . Replikasi kromosom terpisah menjadi dua inti anak sel yang berlangsung selama 1 jam. Setelah fase ini terdapat dua alternatif yaitu: a. Menuju fase G1 dan memulai proses proliferasi. b. Menuju fase istirahat (G0). Pada fase istirahat (G0) kemampuan sel berpoliferasi hilang dan sel meninggalkan siklus secara tidak terpulihkan. b. Fase post mitotik (G1), terjadi sintesis RNA dan protein. Pada akhir fase G1 terjadi sintesis RNA yang optimum. Fase ini umumnya terjadi kurang lebih 5 jam. c. Fase sintetik (S), terjadi replikasi DNA dengan bantuan DNA-polimerase yang menghasilkan DNA baru, sehingga rantai tunggal DNA menjadi rantai ganda. 14 Fase ini terjadi selama 7 jam. d. Fase post sintetik (G2), fase ini dimulai apabila sel sudah menjadi tetraploid dan x mengandung dua DNA, kemudian sintesis RNA dan protein dilanjutkan. Fase ini terjadi selama 3 jam. Selanjutnya kembali ke fase mitotik. Obat antikanker digolongkan menjadi lima kelompok yaitu senyawa pengalkilasi, antimetabolit, antikanker produk alam, hormon dan golongan lainlain (Siswandono, et al., 2000). a. Senyawa pengalkilasi merupakan senyawa reaktif yang dapat mengalkilasi DNA, RNA dan enzim-enzim tertentu. b. Antimetabolit yaitu senyawa yang dapat menghambat jalur metabolik untuk kehidupan dan reproduksi sel kanker. Berdasarkan sifat antagonismenya dibagi menjadi antagonis pirimidin, antagonis purin, antagonis asam folat dan antagonis asam amino. c. Antikanker produk alam adalah senyawa yang dihasilkan dari produk alam dan memiliki khasiat sebagai antikanker. Antikanker produk alam terbagi menjadi antibiotika antikanker, antikanker produk tanaman dan produk hewan. d. Hormon biasanya digunakan sebagai pengobatan tambahan setelah pembedahan, dikombinasikan dengan antikanker lainnya. Beberapa neoplasma dapat dikontrol oleh hormon androgenmprogestin dan estrogen serta hormon adrenokortikoid. e. Golongan lain-lain contohnya mitotan, 1-asparaginase, sisplatinum, mikosantron dan asam klordonat. 15 2.3 Kultur Sel Kultur sel adalah kultur sel-sel yang berasal dari organ atau jaringan yang telah diuraikan secara mekanis dan atau secara enzimatis menjadi suspensi sel. Suspensi sel tersebut kemudian dibiakkan menjadi satu lapisan jaringan (monolayer) di atas permukaan yang keras (botol, tabung dan cawan) atau menjadi suspensi sel dalam media penumbuh. Monolayer tersebut dapat diperbanyak lagi, disebut subkultur atau pasase. Apabila dipasase terus menerus maka dihasilkan sel lestari (cell line). Sel lestari memiliki beberapa sifat yaitu: a. Terjadi peningkatan jumlah sel b. Sel-sel tersebut memiliki daya tumbuh yang tinggi c. Sel-sel tersebut seragam d. Biasanya sel-sel tersebut mengalami perubahan fenotipe atau transformasi (Malole, 1990). 2.3.1 Sel HeLa HeLa cell line diturunkan dari sel epitel kanker leher rahim (serviks) manusia. Sel ini di diisolasi tahun 1915 dari rahim wanita penderita kanker leher rahim bernama Henrietta Lacks yang berusia 31 tahun. HeLa cell line tumbuh sebagai sel yang semi melekat (ATTC, 2011). HeLa cell line dapat digunakan untuk test antitumor, transformasi, uji tumorgenesis, biologi sel dan invasi bakteri. Sel ini secara morfologi merupakan sel eptelial yang sudah dimasuki oleh Human Papiloma Virus (HPV) tipe 18. Sel ini bersifat immortal dan sangat angresif sehingga mudah untuk dikultivasi tetapi sel ini mudah menginvasi kultur sel lain (Doyle, et al., 2000). 16 Sel HeLa adalah sel kanker leher rahim akibat infeksi Human Papiloma Virus (HPV 18) sehingga mempunyai sifat yang berbeda dengan sel leher rahim normal. Sel kanker leher rahim yang di infeksi HPV diketahui mengekspresikan 2 onkogen, yaitu E6 dan E7. Protein E6 dan E7 terbukti dapat menyebabkan sifat imortal ini tidak bersifat tumorigenik hingga suatu proses genetik terjadi. Jadi, viral onkogen tersebut tidak secara langsung menginduksi pembentukan tumor, tetapi menginduksi serangkaian proses yang pada akhirnya menyebabkan sifat kanker (Goodwin dan DiMaio, 2000). 2.3.2 Sel Vero Sel Vero merupakan sel yang didapatkan dari ginjal African Green Monkey oleh peneliti Jepang pada tahun 1962. Sel Vero berfungsi sebagai kontrol positif yang mewakili sel normal pada tubuh manusia. Sel Vero dipakai juga pada penelitian bidang virus, bakteri intraseluler dan parasit. Pada pengembangan vaksin, sel Vero digunakan untuk mengembangkan vaksin virus influenza. Hingga kini telah dikenal beberapa tipe sel Vero, yaitu Vero 76 dan Vero E6 (Witsqa, 2014). Tipe-tipe sel Vero memiliki karakteristik dan sifat tertentu. Vero 76 memiliki karakteristik pertumbuhan yang lebih lambat daripada sel Vero awal. Vero 76 biasa digunakan pada deteksi dan perhitungan virus demam hemoragi dengan uji plaque. Vero E6 menunjukkan efek penghambatan kontak sehingga sesuai untuk propagasi virus yang bereplikasi lambat (Witsqa, 2014). Sel Vero dapat disimpan dalam nitrogen cair atau pada suhu 800C dalam waktu lama. Stok beku ini memerlukan pengembangbiakan terlebih dahulu sebelum dilakukan eksperimen. Sel Vero merupakan sel yang tak dapat 17 berkembang apabila berada dalam suspensi. Kondisi percobaan juga harus dipertahankan sterilisasinya agar terhindar dari kontaminasi (Witsqa, 2014). Sel Vero bukan merupakan sel kanker. Mekanisme pertumbuhan dan penghambatannya sama dengan sel normal, oleh karena itu terdapat pula mekanisme penghentian pertumbuhan. Sel Vero yang terus berkembang semakin lama akan memenuhi luas area media yang digunakan. Kemudian terjadi kontak antar sel mengakibatkan sel menerima sinyal untuk menghentikan pertumbuhan (Sheets, 2000). 2.4 Uji Anti Proliferatif Kemampuan sel untuk bertahan hidup dapat diartikan tidak hilangnya kemampuan metabolik atau proliferasi dan dapat diukur dari bertambahnya jumlah sel, meningkatnya jumlah protein atau DNA yang disintesis. Kemampuan sel untuk bertahan hidup inilah yang menjadi dasar uji antikanker (Kusumadewi, 2011). Metode kuantifikasi sel yang banyak digunakan dalam penelitian antipoliferatif adalah metode haemocytometer dan metode MTT. a. Perhitungan secara langsung (metode haemocytometer) Haemocytometer merupakan perangkat gelas bersama coverslip tipis, terbagi dalam sembilan area dengan empat area pojok sebagai area menghitung jumlah sel. Ketebalan chamber adalah 0,1 mm dengan kapasitas 10 µl cairan berisi sel dalam area 0,9 mm3. Beberapa hal perlu diperhatikan saat menghitung sel dengan haemocytometer adalah harus tersuspensi rata dan jumlah sel minimum yang dihitung adalah seratus (Kusumadewi, 2011). 18 Sel yang melekat perlu ditripsinasi untuk mensuspensikan sel dalam larutan. Tripan blue biasa digunakan untuk membedakan sel hidup dan sel mati. Sel hidup tidak terwanai, bulat dan relatif kecil dibandingkan dengan sel mati. Sedangkan sel mati membengkak dan berwarna biru (Doyle, et al., 2000). b. Perhitungan secara tidak langsung dengan metode MTT MTT assay dapat digunakan untuk mengukur proliferasi sel secara kolorimetri. Metode ini berdasarkan pada perubahan garam tetrazolium (3(4,5-dimetitiazol-2-il)-2,5-difeniltetrazolium bromida) (MTT) menjadi formazan dalam mitokondria yang aktif pada sel hidup. MTT diabsorbsi ke dalam sel hidup dan pecah melalui reaksi reduksi oleh enzim reduktase dalam rantai respirasi mitokondria menjadi formazan yang terlarut dalam SDS 10% berwarna ungu (Doyle, et al., 2000). Warna ungu formazan dapat dibaca absorbansinya secara spektofotometri dengan ELISA reader pada panjang gelombang 552-554 nm. Absorbansi tersebut menggambarkan jumlah sel hidup. Semakin kuat intensitas warna ungu yang terbentuk, absorbansi akan semakin tinggi, hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak MTT yang diabsorbsi ke dalam sel hidup dan dipecah melalui reaksi reduksi oleh enzim reduktase dalam rantai respirasi mitokondria sehingga formazan yang terbentuk juga semakin banyak, absorbansi ini yang akan digunakan untuk menghitung persentase sel hidup sebagai respon (Sieuwerts, 1995). 19 Berikut ini reaksi reduksi MTT menjadi Formazan dapat dilihat pada Gambar 2.2: Gambar 2.3 Reaksi reduksi MTT menjadi Formazan (Stockert, et al., 2012). 2.5 Sitotoksik Pada industri obat, kosmetik maupun zat tambahan makanan perlu dilakukan penelitian praklinis sebelum produk tersebut dirilis ke pasaran. Salah satu uji praklinis yang dilakukan adalah uji sitotoksisitas. Toksisitas dapat diartikan dengan suatu mekanisme kompleks terjadi secara in vivo yang dapat menyebabkan kerusakan tingkat se luler. Sifat sitotoksisitas inilah yang menjadi prinsip pengobatan kanker, namun obat antikanker juga dapat menimbulkan efek alergi dan inflamasi (Freshney, 2000). Efek sitotoksisitas dari suatu senyawa yang menyebabkan kematian sel dapat dipelajari dengan teknik kultur sel. Teknik kultur sel hewan merupakan metode untuk mempelajari karakter suatu sel hewan dalam variasi sistemik yang muncul selama keadaan normal (homoestatis) dan ketika diberi stress pada suatu penelitian. Salah satu jenis kultur sel yang biasanya digunakan adalah cell line. Cell line merupakan primary culture yang telah disubkultur dan menghasilkan 20 beberapa garis anakan sel yang sama maupun berbeda fenotip. Cell line dengan lifespan terbatas disebut dengan finite cell line, tumbuh dengan jumlah generasi yang terbatas sekitar 20-80 population doubling sebelum akhirnya mati. Jumlah doubling tergantung pada garis anakan, variasi klonal dan kondisi kultur, akan tetapi hal tersebut berlaku untuk suatu sel yang ditumbuhkan dibawah kondisi yang sama (Freshney, 2000). 21