14 BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1

advertisement
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Perempuan dalam Pemahaman Gender
Dalam keseharian masyarakat gender sering diidentikkan sebagai jenis
kelamin. Namun, pada hakikatnya gender berbeda dengan jenis kelamin atau sex.
Perlu diketahui bahwa seluruh fakta biologis yang terdapat di dalam tubuh
manusia baik laki-laki maupun perempuan merupakan pembedaan antara
keduanya, sedangkan gender merupakan pembedaan secara sosial antara laki-laki
dan perempuan di dalam masyarakat. Pengenalan kata gender ini sendiri pertama
kali dikenalkan oleh Ann Oakley dalam PESADA (2009:4)
Moore dalam Irwan Abdullah (2003:266) menyatakan gender berbeda
dengan seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis dan
bukanlah sebuah korelasi yang absolut. Hal ini sebabkan oleh kebudayaan yang
dianut masyarakat berbeda-beda dalam penafsiran feminine atau maskulin. Secara
universal perempuan memang berbeda dari laki-laki tidak hanya dilihat dari jenis
kelamin tetapi dari pembawaan sifat keduanya. Gender sendiri diartikan sebagai
konstruksi sosiokultural yang membedakan antara karateristik feminin untuk
perempuan dan maskulin untuk laki-laki. Hal inilah yang kemudian menjadi
sebuah pembagian peran di dalam masyarakat secara keseluruhan. Perbincangan
mengenai pembagian peran perempuan dan laki-laki di tengah-tengah masyarakat
saat ini menjadi penting mengingat kuatnya arus kesetaraan yang diisukan oleh
perempuan itu sendiri. Berbagai kalangan masyarakat mulai dari golongan
akademis, tokoh masyarakat bahkan dalam dunia politik mulai menjadikan topik
14
Universitas Sumatera Utara
15
perempuan sebagi suatu yang penting untuk diperbincangkan. Dalam banyak
perbincangan tersebut kesetaraan gender menjadi sebuah wacana baru yang
banyak diperdebatkan oleh beberapa gerakan perempuan.
Merunut pada pembicaraan sebelumnya, kehadiran dasar pemikiran yang
membedakan antara kaum laki-laki dengan perempuan ini muncul dari berbagai
proses di dalam sosialisasi masyarakat, agama ataupun kultur sosial. Perbedaan ini
kemudian mengalami proses yang panjang di dalam masyarakat yang kemudian
dianggap sebagai sesuatu yang alamiah dalam membedakan tindakan dan
pemikiran laki-laki dan perempuan. Masyarakat sebagai sebuah satuan kelompok
yang besar kemudian menciptakan pembagian sifat yang mana menjadi sebuah
keharusan untuk membedakan laki-laki dan perempuan. Hal ini kemudian
diwariskan dari generasi ke generasi sebagai sebuah budaya yang tumbuh di
dalam masyarakat itu sendiri. Perbedaan ini lama kelamaan dianggap sebagai
sebuah alur pemikiran yang alamiah dan normal. Sehingga bagi sebagian
masyarakat yang tidak berada pada alur pemikiran tersebut dianggap tidak normal
atau melanggar kodratnya.
Kedudukan perempuan ini menjadi sebuah keharusan di tengah
masyarakat dengan pemikiran mereka tentang perbedaan laki-laki dan perempuan.
Kedudukan perempuan dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu sudut pandang
ekonomi, budaya dan politis. Dari sudut pandang ekonomi, kedudukan kaum
perempuan berada di bawah laki-laki yang bermula pada ketergantungan
ekonomi. Charlotte P. Gilman, dalam salah satu tulisannya yang berjudul Women
and Economic dalam Fajar Apriani (2008:118) apabila seorang perempuan
kehilangan aktifitas ekonominya dan mengubahnya secara keseluruhan dari seks,
Universitas Sumatera Utara
16
menjadi semata-mata kantung telur sebuah organisme tanpa daya untuk
mempertahankan rasnya. Hal ini diasumsikan Gilman bahwa sesungguhnya status
sekunder perempuan lebih berdasar pada masalah ekonomi dari pada sosial dan
budaya. Dari asumsi Gilman tersebut apabila ekonomi seorang perempuan lebih
dominan dari laki-laki maka perempuan mampu memegang kedudukan lebih
tinggi atau superior dari laki-laki. Selanjutnya Gilman manyatakan ketika seorang
laki-laki mulai memberi makan dan melindungi perempuan, secara proporsional
perempuan berhenti memberi makan dan melindungi dirinya sendiri. Artinya
apabila seorang perempuan menurunkan kemampuan mereka untuk menghidupi
serta melindungi diri sendiri maka mereka akan bergantung pada laki-laki.
Sebagai konsekwensinya perempuan harus menyenangkan dan patuh terhadap
laki-laki atas apa yang telah diberikan oleh laki-laki tersebut.
Dilihat dari perspektif budaya, seperti yang dikemukakan oleh William
dalam Muji Sutrisno dan Hendar Putranto (2009:8) budaya mengacu pada
perkembangan intelektual, spiritual dan estestis seorang individu, kelompok, atau
masyarakat
yang menggambarkan keseluruhan cara hidup,
berkegiatan,
berkeyakinan, dan adat kebiasaan sejumlah orang atau kelompok masyarakat.
Willian berpendapat bahwa segala kegiatan serta seluruh norma yang berlaku
pada masa kini adalah yang berakar pada masa silam. Haralambos dan Held dalam
Fajar Apriani (2008:120) menyimpulkan bahwa norma, nilai dan peran ditentukan
secara kultural dan di sampaikan secara sosial. Dilihat dari sudut pandang ini
perbedaan kedudukan kaum perempuan dengan laki-laki adalan sebuah produk
budaya dari pada produk biologis. Dimana masing-masing dari tiap individu
mempelajari peran mereka di dalam masyarakat. Selanjutnya pembagian kerja
Universitas Sumatera Utara
17
berdasarkan jenis kelamin yang ada di dalam masyarakat kemudian dibenarkan
oleh sistem kepercayaan yang mereka anut dan peran laki-laki dan perempuan
yang seperti itu adalah benar, layak dan patut.
Diane Elson dalam artikelnya yang berjudul Structural Adjusment : Its
Effect on Women (1991:42) mengatakan bahwa hubungan antara perempuan,
pasar dan negara adalah sesuatu yang kompleks.negara tidak selalu berjalan sesuai
minat perempuan dan pasar tidak selalu berjalan berlawanan dengan kepentingan
perempuan. Kompleksitas hubungan antara perempuan, pasar dan negara ini dapat
membawa sebuah rintangan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam lingkup
politik. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya kemadirian perempuan dalam bidang
ekonomi sehingga perempuan tidak layak untuk memperoleh akses pada sumber
daya seperti yang diperoleh laki-laki. Dengan demikian perempuan kehilangan
posisi tawar mereka dalam dunia politik apabila mereka tidak secara ekonomi
bergantung pada pihak lain.
2.1.1. Feminisme
Feminisme dan perempuan merupakan kesan yang muncul ketika
membicarakan gender. Padahal keduanya hanya merupakan bagian dari gender itu
sendiri. Berbicara feminism artinya membicarakan ideologi (bukan wacana)
karena bersifat gabungan dari proses kegiatan mata, hati dan tindakan yaitu
dengan menyadari, melihat,
mengalami,
adanya
penindasan, hegemoni,
diskriminasi, dan penindasan yang terjadi pada perempuan, mempertanyakan,
menggugat, dan mengambil aksi untuk mengubah kondisi tersebut. Lihat Arimbi
Heroepoetri
dan
R.
Valentina,
Percakapan
Tentang
Feminisme
VS
Universitas Sumatera Utara
18
Neoloberalisme, Jakarta: DebtWATCH, 2004, halaman 5-6. Dinamakan gerakan
feminism (women) oleh karena adanya ketidakadilan yang dialami oleh
perempuan. Tetapi kemudian makna feminism mengalami perluasan sesuai
perkembangan zaman yaitu bukan hanya membela perempuan yang tertindas
tetapi siapa saja yang mengalami ketidakadilan baik laki-laki meupun perempuan.
Istilah feminisme sering menimbulkan prasangka, hal ini pada dasarnya
lebih disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai arti feminisme yang
sesungguhnya. Pandangan bahwa feminis datang dari barat adalah salah, tetapi
istilah feminis dan konseptualisasi mungkin datang dari Barat bisa dibenarkan.
Dari sisi etimologis, feminisme pada dasarnya adalah paham mengenai wanita.
Namun, feminisme juga mengandung unsur gerakan. Dikatakan gerakan lantaran
tujuan feminisme dimaksudkan supaya pengalaman, identitas, cara berpikir dan
bertidak dilihat sama seperti kaum pria. Inilah yang dapat kita lihat dari gerakan
feminisme dewasa ini yang menuntut kesetaraan di bidang politik, sosial,
ekonomi, pendidikan dan budaya.
Catatan sejarah kaum perempuan telah memberikan sebuah kenyataan
bahwa sejak dahulu perempuan menjadi anggota masyarakat yang lemah, tidak
berdaya, bahkan menjadi yang ke-2 setelah kaum lelaki. Berbagai bentuk
diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil kerap diterima dalam kehidupan
mereka. Diskriminasi dalam keluarga yang lebih mengutamakan lelaki,
diskrimisnasi lingkungan, tidak adanya hak politik, permasalahan ekonomi dan
lain sebagainya adalah beberapa wujud nyata dari posisi perempuan yang tidak
menguntungkan. Berangkat dari kenyataan tersebut, muncullah beberapa gerakangerakan perempuan dengan isu anti diskriminasi. Gerakan kaum perempuan
Universitas Sumatera Utara
19
dengan isu emansipasi dan persamaan hak serta penghapusan segala bentuk
diskriminasi menjadi tuntutan mereka. Tuntutan inilah yang menjadi sebuah dasar
dari gerakan perempuan pada saat ini yang lebih dikenal dengan istilah feminisme
yang dalam PESADA (2010:2).
Selanjutnya, dalam memahami feminisme itu sendiri terdapat tiga istilah
yang sering membingungkan yaitu Feminine, Feminist dan Feminism. Menurut
Toril Moi (1985), Feminine diartikan sebagai kumpulan atribut yang ditujukan
kepada jenis kelamin perempuan dan ini menjadi pusat kritik para peminist.
Kamla Basin (1986) mengartikan feminist sebagai orang yang percaya mengenai
adanya ketidak adilan
terhadap perempuan dan berusaha melakukan sesuatu
untuk meneranginya Sedangkan Rosemarie Tong (1989) mengartikan feminism
sebagai segenap teori dan perspektif yang menjelaskan mengenai penindasan
terhadap perempuan, mencari penyebabnya dan segenap konsekensinya serta
menawarkan strategi untuk membebaskan perempuan dari penindasan tersebut
dalam PESADA dvv Internasional (2009:17).
Munculnya gerakan kaum perempuan saat ini bermula dari gerakan
perjuangan kaum perempuan yang disebut dengan feminisme pada awal abad ke19. Tokoh yang paling terkenal pada gerakan kaum perempuan gelombang
pertama pada saat itu adalah Mary Wollstencraft dengan bukunya Vindication of
the Right of Women. Selanjutnya gerakan perempuan mulai meluas, sekitar tahun
60-an muncul pula gerakan kaum perempuan gelombang kedua dengan tokohnya
Betty Friedan dan diterbitkannya buku dengan judul The Feminine Mystique yang
di acu oleh PESADA (2009:20). Pada dasarnya kedua gerakan gelombang
Universitas Sumatera Utara
20
tersebut memunculkan teori-teori feminis. Dalam feminism terdapat empat aliran
utama feminis, yaitu:
1. Feminis Liberal
Feminisme liberal bermula dari teori politik liberal dimana
manusia secara individu menjunjung tinggi, termasuk didalamnya nilai
otonomi, nilai persamaan dan nilai moral yang tidak boleh dipaksakan,
tidak diindoktrinasikan dan bebas memiliki penilaian sendiri. Dasar
pemikiran dari munculnya feminis liberal ini berawal dari kepercayaan
bahwa sumber penindasan terhadap perempuan berakar dari hambatan
hukum adat yang menghalangi kaum perempuan memasuki dunia publik.
Menurut Humm (1992:181) feminis liberal ini bertujuan untuk mencapai
kesetaraan secara hukum, politis dan sosial bagi perempuan. Selain itu,
para feminis liberal beranggapan bahwa tujuan dari pembebasan
perempuan adalah kesetaraan seksual dan keadilan gender.
Feminisme liberal sebagai turunan teori politik liberal, pada
mulanya menentang diskriminasi perempuan dalam perundang-undangan,
misalnya persamaan hak pilih, perceraian dan harta benda. Akan tetapi,
feminisme liberal menolak teori liberal tradisional yang menyatakan
bahwa hak adalah suatu pemberian yang didasarkan pada kemampuan
rasio atau akal, sehingga yang rasionya rendah tidak pantas menerima hak.
Reaksi keras diajukan feminisme liberal, bahwa ketidakmamupuan atau
rasio disebabkan oleh lingkungan pendidikan yang seksis dan melestarikan
ideologi gender. Hal ini jelas akan menghalangi semangat perempuan
untuk berkompetisi pengembangan pemikiran rsionya. Dengan demikian
Universitas Sumatera Utara
21
feminis liberal bertujuan ingin menciptakan struktur ekonomi dan politik
yang adil dan menuntut adanya kesempatan yang sama bagi laki-laki dan
perempuan dalam kancah politik.
2. Feminis Radikal
Aliran ini muncul setelah WF2 (adanya penindasan pada kaum
perempuan dari sisi gender yang menimbulkan polemik dari kaum
perempuan secara teknis.) Dalam analisis Wollstonecraft (1972, dalam A
Vindication of The Rights of Woman) mengasumsikan bahwa hal yang
membedakan laki dan perempuan dari sagi nalar dan moral. Salah satu
aliran didalam feminisme ini adalah Feminis Radikal. Feminis radikal
yang lahir pada era 60-70an pada dasarnya mempunyai 3 pokok pikiran
sebagai berikut:
a) Bahwa perempuan mengalami penindasan, dan yang menindas
adalah laki-laki. Kekuasaan laki-laki ini harus dikenali dan
dimengerti, dan tidak boleh direduksi menjadi kekuasaan kapitalis,
misalnya.
b) Bahwa perbedaan gender yang sering disebut maskulin dan
feminin sepenuhnya adalah konstruksi sosial atau diciptakan oleh
masyarakat, sebenarnya tidak atas dasar perbedaan alami
perempuan
dan
laki-laki.
Maka
yang
diperlukan
adalah
penghapusan peran perempuan dan laki-laki yang diciptakan oleh
masyarakat di atas tadi.
Universitas Sumatera Utara
22
c) Bahwa penindasan oleh laki-laki adalah yang paling utama dari
seluruh bentuk penindasan lainnya, di mana hal ini menjadi suatu
pola penindasan.
3. Feminis Sosialis
Sebuah faham
yang
berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa
Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa
Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem
pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas
harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang
menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme
Marxis. Aliran ini hendak mengatakan bahwa patriarki sudah muncul
sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh.
Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan.
Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk
memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis
bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan
tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal
yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan
patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti
dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai
oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran
warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai
Universitas Sumatera Utara
23
konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuangan
untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem
patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat
masalah-masalah kemiskinan yang menjadi beban perempuan.
4. Feminis Marxis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik
kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari
eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan
menjadi landasan aliran ini status perempuan jatuh karena adanya konsep
kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan
pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan
sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan
perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang
berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam
masyarakat borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur
masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni
menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga
perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat
bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan,
namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem
perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.
Universitas Sumatera Utara
24
2.1.2. Perkembangan Gerakan Perempuan Indonesia
Membicarakan tentang perkembangan gerakan kaum perempuan di
Indonesia tidak terlepas dari rentetan sejarah panjang perempuan itu sendiri. Jauh
sebelum adanya gerakan perempuan seperti saat ini, sebelumnya kedudukan kaum
perempuan dalam kehidupan sosial diatur oleh tradisi masyarakat di setiap daerah.
Penempatan kaum perempuan telah diatur sebagai sebuah aturan yang sah di
dalam norma-norma adat istiadat setempat. Selain itu, hak dan kewajiban
perempuan telah menempati posisi kedua setelah laki-laki bahkan dipandang lebih
rendah. Secara umum hal in terjadi hampir merata diseluruh daerah Indonesia.
Pada dasarnya gerakan kaum perempuan telah ada jauh sebelum munculnya
penjajah di negeri ini. Beberapa catatan tentang perempuan dibeberapa daerah
menyebutkan gerakan perempuan telah ada namun belum dilakukan secara terangterangan.
Secara umum, hampir semua bentuk gerakan rakyat Indonesia yang
muncul pada masa colonial Belanda bermula pada kritik seorang warga Belanda
yaitu C. Th. Van Deventer (1901) yang mengkritik pemerintahan kolonial
Belanda di tanah jajahannya. Kritikan van Deventer dituangkan dalam sebuah
tulisan yang berjudul Hutang Kehormatan. Kritikan inilah yang kemudian
menjadi sebuah gerbang pencerahan bagi segenap masyarakat Indonesia pada
saat itu. Kritik ini kemudian dikenal dengan istilah politik etis yang berisikan
edukasi (pendidikan), trasmigrasi (perpindahan penduduk) dan irigasi.
Setelah
munculnya
pendidikan
sebagai
sebuah
pencerahan
bagi
masyarakat pribumi saat itu, baik langsung maupun tidak langsung memberikan
ruang gerak bagi perempuan pribumi untuk mengecap pendidikan. Memang
Universitas Sumatera Utara
25
dalam kenyataanya tidak semua perempuan secara merata di seluruh daerah
Indonesia mendapat pendidikan formal. Akan tetapi dengan adanya sedikit ruang
bagi kaum perempuan untuk mengecap pendidikan formal maupun nonformal
memberikan sumbangan yang cukup baik bagi awal pergerakan perempuan pada
saat itu. Pelopor gerakan feminis pada masa ini adalah Kartini (1879-1904).
Secara umum, nama Kartini seorang perempuan Jawa putri Bupati Jepara selalu
dikaitkan sebagai tonggak awal bagi gerakan feminis di Indonesia. Setelah
wafatnya Kartini tulisan-tulisan serta surat-suratnya kepada sahabat penanya di
Belanda di terbitkan dengan judul Door duisternist tot licht (Habis Gelap
Terbitlah Terang). Kontribusi Kartini dalam awal mula gerakan feminis adalah
sebagai salah seorang
yang
mengobarkan semangat diantara kaum muda
Indonesia dan timbulnya gerakan feminis itu sendiri.
Selain Kartini, terdapat Dewi Sartika (1884-1947) yang menjadi seorang
pejuang pergerakan kaum perempuan. Jauh sebelum adanya gerakan feminis
mengemuka dan terorganisir Dewi Sartika telah banyak ketidakadilan pembagian
upah buruh antara laki-laki dengan perempuan dimana perempuan mendapat upah
lebih rendah dari laki-laki dalam pekerjaan yang sama beratnya mereka kerjakan
dalam buku yang berjudul Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian
dituliskan oleh Cora Vreede-De Strures (2008:75). Kedua perempuan diatas,
dianggap sebagai salah satu pelopor adanya gerakan feminis di Indonesia. Namun,
masih banyak perempuan lain yang tidak pernah dikenal telah memberikan
sumbangan dalam kebangkitan gerakan kaum perempuan ini.
Universitas Sumatera Utara
26
Berkaitan dengan perjuangan untuk meraih emansipasi perempuan
muncullah beberapa kelompok atau organisassi perempuan yang terorganisir
dengan baik. Pada tahun 1912 berdiri organisasi Putri Mardika di Jakarta.
Organisasi ini berdiri memberikan bantuan kepada kaum perempuan agar dapat
bersekolah dan melanjutkan sekolahnya serta memberikan semangat dan rasa
percaya diri untuk berperan aktif di dalam masyarakat. Selain itu muncul pula
beberapa organsasi perempuan dibeberapa daerah lain seperti Putri Budi Sedjati di
Surabaya, Keutamaan Istri di Sunda, Kerajinan Amai Setia pada tahun 1914 di
Kota Gadang Sumatera Barat dan lain sebagainya. Pada masa ini berdirnya sebuah
organsasi perempuan bertujuan meningkatkan martabat perempuan dengan
memberikan pendidikan di bidang rumah tangga, jahit-menjahit, kursus tentang
cara merawat dan mendidik anak dan lan-lain yang di acu oleh Cora Vreede-De
Strures (2008:87). Selain lembaga tersebut beberapa organisasi berbasis agama
pun turut serta memberikan sumbangan bagi bangkitnya gerakan perempuan. Dua
organisasi berbasis agama tersebut adalah Muhammadiyah yang didirkan oleh H.
Ahmad Dahlan pada tahun 1912 dan Sarikat Islam.
Pada masa kolonial ini pencapaian gerakan perempuan sangatlah baik,
banyaknya muncul organisasi perempuan diberbagai daerah kemudian melahirkan
kongres perempuan. Kongres perempuan pertama diselenggarakan di Yogyakarta
pada tahun 1928. Kongres ini dihadiri oleh hampir tiga puluh perkumpulan
perempuan dari berbadai daerah. Dalam kongres tersebut pembicaraan mengenai
masalah politik dibatasi, kongres lebih mengutamakan masalah pendidikan dan
perkawinan. Hasil terpenting dari adanya kongres ini adalah pendirian Perikatan
Perempuan Indonesia (PPI) yang berniat mengembangkan posisi sosial
Universitas Sumatera Utara
27
perempuan dan kehidupan keluarga. Beberapa hasil dari kesepakatan di dalam PPI
mengajukan permintaan jumlah sekolah untuk perempuan harus ditingkatkan,
penjelasan resmi mengenai taklik diberikan kepada calon mempelai perempuan
dan peraturan yang menolong para janda dan anak yatim piatu dari pegawai negeri
sipil harus dibuat. Selanjutnya tanggal 22 Desember adalah tanggal diadakannya
kongres perempuan pertama dan dikukuhkan sebagai Hari Ibu di Indonesia.
Selanjutnya kongres perempuan rutin diadakan setiap tahun.
Namun, pergerakan perempuan pada masa pendudukan Jepang di
Indonesia hanya mendapat sedikit peluang untuk berkembang. Satu-satunya
organisasi yang diizinkan berdiri adalah Funjikai (perkumpulan perempuan).
Perkumpulan ini berdiri dengan tujuan memerangi buta huruf dan ikut serta dalam
aktivitas sosial. Dengan adanya aktivitas tersebut berbagai kalangan perempuan
dapat berbaur dan lebih dekat. Selanjutnya pasca kemerdekaan Indonesia kaum
perempuan mempunyai peran yang penting dimana mereka bersatu untuk
membantu para pejuang digaris terdepan. Di bentuknya Palang Merah Indonesia
setelah kemerdekaan Indonesia berperan penting membentuk tim perawat yang
sangat dibutuhkan pada masa itu. Selain PMI perkumpulan yang populer pada
masa ini adalah Perwani (Persatuan Wanita Negara Indonesia) dan Gerwani
(Gerakan Wanita Indonesia).
Terlepas dari sejarah panjang kaum perempuan dalam berbagai kelompok
yang terorganisir atau tidak dari masa ke masa memberikan sedikit gambaran
bahwa gerakan feminis telah ada di Indonesia sejak dulu. Namun, perlu pula
dianalisis bahwa gerakan perempuan yang ada dari masa ke masa tentu saja
mempunyai tuntutan yang berbeda disetiap generasinya. Walaupun pada dasarnya
Universitas Sumatera Utara
28
semua gelombang gerakan perempuan itu menuntut kesejahteraan bagi kaum
mereka. Pada saat ini, gelombang gerakan perempuan telah mempunyai
kebebasan dalam menyuarakan tuntutan mereka. Seiring dengan perkembangan
masyarakat yang semakin maju, saat ini banyak pula perempuan yang tidak
sepenuhnya terkait budaya kuno yang menempatkan posisi mereka berada
dibawah laki-laki. Perempuan tidak lagi berada dibalik bayang-bayang laki-laki
ketika mereka berada dalam kelompok masyarakat. Diberbagai aspek kehidupan,
perempuan mulai berdiri sendiri secara mandiri mengelola kehidupan mereka.
Terkait dengan gerakan perempuan pada saat ini, tentu saja tuntutan kaum
perempuan berbeda dengan masa sebelumnya. Beberapa gerakan perempuan
terfokus pada tuntutan mereka tentang anti diskriminasi, kesetaraan gender,
kebebasan dalam berpolitik dan beberapa tuntutan lainnya. Perkembangan
gerakan kaum perempuan saat ini telah menjadi sebuah gerakan yang mampu
memberikan sebuah kekuatan baru dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Secara umum, perempuan mulai berpolitik, berkarir secara mandiri dalam bidang
ekonomi tanpa ketergantungan terhadap laki-laki, berani untuk menyuarakan
argumen mereka bahkan mampu berdiri sejajar dengan barisan laki-laki.
Dalam panjangnya catatan perkembangan gerakan feminis di Indonesia,
wacana perempuan dalam gerakan memperjuangkan hak mereka yang rampas
banyak pula dibicarakan. Seorang perempuan telah mempunyai kewajiban
layaknya seorang laki-laki dalam berbagai gerakan yang menyangkut diskriminasi
dalam masyarakat. Seperti halnya wacana konflik agraria yang akan dibahas
selanjutnya, perempuan pun harus mampu mengambil bagian di dalamnya.
Sebuah gerakan perempuan memang tidak selalu akan menjadi sebuah gerakan
Universitas Sumatera Utara
29
feminis seperti apa yang telah ada sebelumnya. Namun, adanya sebuah kesadaran
terhadap perampasan hak mereka merupakan sebuah tujuan dari feminism yang
menginginkan adanya kesadaran setiap perempuan dalam memperjuangkan hak
mereka.
2.2. Teori Konflik
Sebelum mengurai tentang teori konflik, terlebih dahulu kita mengurai arti
konflik tersebut. Konflik berasal dari kata kerja Latin yaitu configere yang
mengandung arti saling memukul. Sementara secara sosiologis konflik diartikan
sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih, dimana satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya
tidak berdaya. Selanjutnya, Gunawan wiradi yang di acu dalam catatan ringkas
Ridha Wahyuni Penelitian Mengenai Konflik Agraria (2013:1) berpendapat
bahwa konflik selalu menjadi pusat perhatian dalam ilmu-ilmu sosial, berskala
luas dan dampaknya juga luas.
Dilihat dari dampak konflik yang terjadi, para ahli telah mengemukakan
jenis-jenis konflik yang timbul dalam masyarakat. Salah satunya menurut
Wirawan (2010) yang di acu oleh Yumi dkk (2012:8) mengemukakan beberapa
jenis konflik ditinjau dari berbagai aspek:
1. Aspek subyek yang terlibat dalam konflik
a. Konflik personal adalah konflik yang terjadi dalam diri seseorang
karena harus memilih dari sejumlah alternatif pilihan;
Universitas Sumatera Utara
30
b. Konflik interpersonal adalah konflik yang terjadi antar personal
dalam suatu organisasi, dimana pihak-pihak dalam organisasi
saling bertentangan;
c. Konflik of interest berkembang dari konflik interpersonal dimana
para individu dalam organisasi memiliki interest yang lebih besar
dari
interest
organisasi,
sehingga
mempengaruhi
aktivitas
organisasi.
2. Aspek substansi konflik
a. Konflik realistis yaitu konflik dimana isu ketidak sepahaman/
pertentangan terkait dengan substansi/obyek konflik sehingga
dapat didekati dari dialog, persuasif, musyawarah, negosiasi
ataupun voting;
b. Konflik non realistis adalah konflik yang tidak ada hubungan
dengan substansi/obyek konflik, hanya cenderung mau mencari
kesalahan
lawan
baik
dengan
cara
kekuasaan,
kekuatan,
agresi/paksaan.
3.
Aspek keluaran
a. Konflik
konstruktif
yaitu
konflik
dalam
rangka
mencari
danmendapatkan solusi;
b. Konflik destruktif yaitu konflik yang tidak menghasilkan atau tidak
berorientasi pada solusi, mengacaukan, menang sendiri dan hanya
saling menyalahkan.
Universitas Sumatera Utara
31
4. Aspek bidang kehidupan
Konflik bidang kehidupan antara lain bidang ekonomi, termasuk
SDA merupakan konflik yang terjadi lebih dipicu oleh keterbatasan
sumber daya alam, manusia cenderung berkembang dan terjadi perebutan
atas akses ke sumber-sumber ekonomi, perebutan penguasaan atas sumbersumber eknomi dan dapat saja memicu konflik-konflik bidang kehidupan
lainnya yaitu konflik sosial, politik dan budaya.
Pada sumber yang sama, sumber konflik menurut Suporahardjo (2000)
adalah adanya perbedaan, dan perbedaan tersebut bersifat mutlak yang artinya
secara obyektif memang berbeda. Perbedaan tersebut dapat terjadi pada tataran
antara lain: (1) perbedaan persepsi; (2) perbedaan pengetahuan;(3) perbedaan tata
nilai; (4) perbedaan kepentingan; dan (5) perbedaan pengakuan hak kepemilikan
(klaim).
Lebih lanjut berbicara mengenai teori konflik, menurut Marx yang di acu
oleh Janu Murdiatmoko (2000:39) konflik bermula ketika dalam masyarakat
terdapat dua kelompok kelas yaitu kelas yang mempunyai kepentingan untuk
mempertahankan sistem sosial dan kelas yang mempunyai kepentingan untuk
mengubahnya. Dalam hal ini berkaitan dengan kaum borjuis sebagai yang
mempertahankan dan kaum ploletar yang ingin mengubah. Ketegangan yang
terjadi antar dua kelas ini menurut Marx menyangkut sistem produksi yang terjadi
pada saat itu. Munculnya kesadaran dalam diri kaum ploletar yang menyangkut
ekploitasi terhadap diri mereka mendorong terbentuknya gerakan sosial besar.
Gerakan ini memunculkan konflik antara dua kelas yang saling bertikai. Sejalan
Universitas Sumatera Utara
32
dengan penjelasan Marx di atas, Dahrendrof yang di acu oleh Lasarus Jemahat
(2011:74) berkesimpulan bahwa konflik yang terjadi dalam masyarkat
dikarenakan adanya perbedaan otoritas, kepentingan dan wewenang antara
kelompok superordinat dan subordinat. Dimana kelompok superordinate selalu
mempertahankan
status
sosial
sedangkan
subordinat
cenderung
iangin
mengubahnya .
Coser yang di acu oleh Novri Susan (2009:54) memberikan perhatian
terhadap asal muasal konflik tersebut yang bersumber pada keagresifan atau
permusuhan dalam diri orang. Perilaku permusuhan inilah yang menyababkan
masyarakat mengalami konflik. Selain itu, Coser membedakan dua tipe dasar
konflik yaitu konflik realistis dan non realistis. Konflik realistis menurut Coser
memiliki sumber yang konkret atau bersifat material, seperti perebutan sumber
ekonomi atau wilayah. Sedangkan konflik nonrealistis didorong oleh keinginan
yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis, konlik seperti ini biasanya
terjadi antar agama, antaretnis dan lain sebagainya.
Salah satu pengertian konflik dikemukakan oleh Johnson dan Dunker
(1993) yang di acu oleh Mitchell (2000) konflik adalah pertentangan antara
banyak kepentingan, nilai, tindakan atau arah serta merupakan bagian yang
menyatu sejak kehidupan ada. Karenanya konflik merupakan sesuatu yang tidak
terelakkan yang dapat bersifat positif atau bersifat negatif.
Universitas Sumatera Utara
33
2.2.1. Faktor-faktor Konflik
1. Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang
memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya.
Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang
nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam
menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan
kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan
pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang
merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
2.
Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadipribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran
dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada
akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu
konflik.
3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok Manusia memiliki
perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang
atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang
orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbedabeda.
Universitas Sumatera Utara
34
4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika
perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut
dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat
pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan
memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat
tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi
nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai kekerabatan bergeser menjadi
hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan.
Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang
pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian
waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri.
Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan
membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan
terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap
mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
2.3. Agraria
Lahirnya Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24
September 1960 merupakan peristiwa penting di bidang agraria dan pertanahan di
Indonesia. Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA tersebut
kebijakan-kebijakan pertanahan di era pemerintahan Kolonial Belanda mulai
ditinggalkan. Undang-undang yang disusun di era pemerintahan Presiden
Soekarno ini menggantikan Agrarische Wet 1870 yang terkenal dengan prinsip
Universitas Sumatera Utara
35
domein verklaring yaitu semua tanah jajahan yang tidak dapat dibuktikan
kepemilikannya berdasarkan pembuktian hukum barat, maka tanah tersebut
dinyatakan sebagai tanah milik negara/ milik penjajah Belanda. UUPA merupakan
produk hukum pada era Orde Lama yang menghendaki adanya perubahan dan
pembaharuan di bidang agraria dan pertanahan serta menghendaki terwujudnya
pembangunan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pembahasan mengenai agraria telah dikemukakan dalam Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) 1960. Menurut budi Harsono dalam bukunya yang
berjudul Hukum Agraria Indonesia (1999:6-7) menyatakan, bahwa pengertian
agraria dalam UUPA menganut arti luas yaitu, bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya. Batasan agraria dalam arti luas yang dianut dalam UUPA
bermakna bahwa pengaturan/hukum mengenai agraria dan tidak hanya mengatur
satu bidang hukum saja, tapi merupakan kelompok berbagai bidang hukum, yang
masing-masingnya
berkaitan
dengan
penguasaan
Sumber
Daya
Alam.
Diantaranya mencakup tanah, kehutanan, perkebunan, air dan sumber daya alam
lainnya.
Kecenderungan pengelolaan atas Sumber Daya Alam yang memiliki nilai
ekonomis serta keterbatasan jumlah menimbulkan adanya persaingan untuk
memilikinya. Terkait dengan tanah sebagai sebuah Sumber Daya Alam yang
terbatas dan merupakan sumber mata pencaharian masyarakat
dengan
mengelolanya mengakibatkan timbulnya persaingan. Dari permasalahan ini timbul
pula pertentangan antara dua orang atau lebih untuk memilikinya. Pada saat
masalah ini sudah masuk ke tataran sosial yang luas maka akan menimbulkan
Universitas Sumatera Utara
36
konflik atau yang lebih dikenal dengan istilah konflik agraria terdapat pada artikel
Ridha Wayuni dalam Teori Konflik dan Konflik Agraria (2013:1).
Lebih lanjut, James Scoutt yang di acu oleh Rizca Yunike (2012:27)
mengemukakan pada konteks agraris yang rapuh dan eksploitatif, umumnya
merupakan produksi interaksi antara tiga kekuatan yaitu perubahan demografis,
produksi untuk pasar dan pertumbuhan negara. Potensi eksploitatif dari tiga
kekuatan tersebut hanya dapat direalisasikan sepenuhnya di dalam konteks
monopoli paksaan terhadap petani sebagai penggarap lahan pertanian
2.4. Teori Peranan
Peranan menurut Poerwadarminta adalah ―tindakan yang dilakukan seseorang
atau sekelompok orang dalam suatu peristiwa‖ (1995:751). Peranan adalah
tindakan yang dilakukan orang atau sekelompok orang dalam suatu peristiwa,
peranan merupakan perangkat tingkah laku yang diharapkan, dimiliki oleh orang
atau seseorang yang berkedudukan di masyarakat. Kedudukan dan peranan adalah
untuk kepentingan pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain,
sedangkan menurut Soerjono Soekanto (2002: 243) pengertian peranan adalah
aspek dinamis kedudukan (status) apabila seseorang melaksanakan hak dan
kewajibannya maka ia menjalankan suatu peranan.
Scott et al. dalam Kanfer (1987: 197) menyebutkan lima aspek penting
dari peran, yaitu:
1. Peran itu bersifat impersonal: posisi peran itu sendiri akan menentukan
harapannya.
Universitas Sumatera Utara
37
2. Peran itu berkaitan dengan perilaku kerja (task behavior) – yaitu perilaku
yang diharapkan dalam suatu pekerjaan tertentu.
3. Peran itu sulit dikendalikan – (role clarity dan role ambiguity)
4. Peran itu dapat dipelajari dengan cepat dan dapat menghasilkan beberapa
perubahan perilaku utama.
5. Peran dan pekerjaan (jobs) itu tidaklah sama – seseorang yang melakukan
satu pekerjaan bisa saja memainkan beberapa peran.
Maksud dari peran gender menurut Hubeis (2010):
―Peran gender menampilkan kesepakatan pandangan dalam masyarakat
dan budaya tertentu perihal ketepatan dan kelaziman bertindak untuk seks
tertentu (jenis kelamin tertentu) dan masyarakat tertentu.
Sementara itu, lebih terperinci lagi, Mugniesyah yang diacu oleh Aini
(2014) mengemukakan bahwa peranan gender adalah suatu perilaku yang
diajarkan dalam masyarakat, komunitas, dan kelompok sosial tertentu yang
menjadikan aktivitas-aktivitas, tugas-tugas dan tanggung jawab tertentu
dipersepsikan umur, kelas, ras, etnik, agama dan lingkungan geografi, ekonomi
dan sosial. Definisi ini menunjukkan bahwa peran gender disuatu wilayah akan
berneda dari peran gender lainnya sesuai dengan karakterisktik wilayahnya.
Secara universal peran gender antara laki-laki dan perempuan diklasifikasikan ke
dalam tiga peran pokok, yaitu peran reproduktif (domestik), peran produktif
(publik) dan peran sosial (masyarakat), Hubeis (2010):
Universitas Sumatera Utara
38
1) Peran Reproduktif (domestik)
Merupakan peran yang dilakukan seseorang untuk melakukan kegiatan
yang terkait dengan pemeliharaan sumber daya insani (SDI) dan tugas
kerumahtanggaan. Tidak jarang kegiatan reproduktif ini tidak dianggap
sebagai suatu pekerjaan yang konkret dan tidak diperhitungkan sebagai
kerja produktif yang menghasilkan pendapatan.
2) Peran Produktif
Merupakan peran yang menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang
dan jasa perihal kebedaan tanggung jawab antara laki-laki dengan
perempuan. Misalnya laki-laki identik melakukan pekerjaan yang berat
dengan menggunakan bantuan mesin, sedangkan perempuan melakukan
pekerjaan yang ringan.
3) Peran Masyarakat (sosial)
Peran masyarakat terkait dengan kegiatan jasa partisipasi politik. Kegiatan
jasa masyarakat banyak yang bersifat relawan dan biasanya dilakukan oleh
perempuan. Sedangkan kegiatan politik di masyarakat terkait dengan
status dan kekuasaan seseorang, sehingga pada umumnya dilakukan oleh
laki-laki. Terdapat klasifikasi tiga peran gender (Hubeis 2010):
Peranan perempuan meliputi banyak hal, baik dalam rumah tangga, bidang
pertanian, perkebunan, dan gerakan-gerakan sosial. Wahyuni (2007) menyatakan
bahwa keterlibatan perempuan dalam kegiatan pertanian tidak saja menjadi bagian
tersebesar dari tenaga kerja di sektor pertanian, tetapi perempuan juga memiliki
pengetahuan dan keterampilan utama dalam kegiatan pekerjaan pertanian. Secara
tradisional perempuan memiliki keterampilan memilih benih padi yang baik dan
Universitas Sumatera Utara
39
menyimpannya untuk ditanam pada musim tanam berikutnya. Perempuan juga
mampu memilih lahan yang cocok untuk budidaya pertanian. Mereka juga mampu
memilih tanaman yang cocok untuk pengobatan. Kemampuan tersebut dipelajari
para perempuan untuk kebutuhan bertahan hidup keluarganya. Kodrat perempuan
sebagai yang melahirkan anak membuat perempuan menjadi produsen primer dan
pekerja pemeliharaan. Peran perempuan diidentifikasi dengan alam dan
pemelihara kehidupan, sedangkan laki-laki identik dengan pengelola kebudayaan.
Identifikasi ini mengakibatkan perempuan diberi peran di sektor domestik,
mengurus rumah tangga dan laki-laki dalam peran publik, mengurus berbagai hal
yang berhubungan dengan sektor produksi.
Kemudian Sukesi (1995) menyatakan bahwa dalam perkebunan tebu
rakyat, wanita menunjukkan peran kerja yang nyata, baik pekerjaan pengelolaan
maupun pekerjaan fisik. Keterampilan kerjanya tidak berbeda dengan pekerja pria,
namun ruang geraknya dibatasi oleh nilai-nilai gender di rumah tangga dan di
perkebunan tebu. Curahan kerja wanita diperlukan terutama dalam kedudukan
sebagai pekerja keluarga dan buruh tani. Di rumah tangga, wanita mendominasi
pekerjaan rumah tangga dan melakukan pekerjaan jasa bagi terlaksananya
produksi tebu, namun kurang mendapat perhatian. Kekuasaan wanita nyata tetapi
sebatas rumah tangga dan pengelolaan tanaman pangan yang subsisten.
Di sisi lain, perempuan juga berperan dalam gerakan petani. Hafid (2001)
menyatakan bahwa masuknya perempuan dalam kelompok elit petani telah
mendorong semangat perjuangan petani. Partisipasi kaum perempuan telah
mendorong petani untuk terjun dalam kancah perjuangan hak milik tanahnya.
Dalam kasus tanah Jenggawah, terlihat bahwa perempuan juga ikut andil dalam
Universitas Sumatera Utara
40
proses pengambilan keputusan, dalam hal ini diidentikkan dengan menggunakan
pertimbangan hati nurani. Sehingga komposisi antara laki-laki dan perempuan
akan melahirkan komposisi strategis yang harmonis. Perempuan juga berperan
dalam mobilisasi massa dan dalam mengomunikasikan perjuangan-perjuangan
yang mereka lakukan kepada sesama perempuan lainnya. Selain itu, kehadiran
perempuan juga memperkuat kesan bahwa persoalan menuntut hak oleh petani
Jenggawah bukan hanya persoalan kaum pria saja. Perjuangan tersebut tidak
semata persoalan politis, tetapi sudah masuk pada persoalan keluarga dan urusan
perut anak-anaknya.
Dari penjelasan kasus di atas, terlihat bahwa peranan perempuan pada
nyatanya sangat esensial dan beragam. Terlihat bahwa perempuan berperan dalam
proses pengembangan pertanian, beperan dalam bidang perkebunan, gerakangerakan petani dan gerakan-gerakan sosial. Peranan perempuan di berbagai
bidang ini menggugat pemikiran-pemikiran pihak yang mengsubordinatkan
peranan perempuan.
2.5. Perempuan dalam Pembangunan
Perempuan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, mengalami
ketertinggalan diberbagai bidang pembangunan dan kehidupan. Ketertinggalan
perempuan sebagai populasi terbesar dari penduduk dalam berbagai aspek
pembangunan akan membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi
keseluruhan pembangunan jika tidak diperbaiki. Karena itulah peningkatan peran
perempuan dalam pembangunan merupakan kesepakatan dunia yang mana
Universitas Sumatera Utara
41
perempuan sebagai tonggak pertama pencanangan peranan perempuan untuk
kemanfaatan pembangunan.
Wacana atau isu tentang peranan perempuan dalam pembangunan
mendapat perhatian yang cukup besar. Diskriminasi yang ditunjukkan pada
perempuan sebagai sebuah pemahaman norma dalam wilayah tertentu
mempengarui perilaku masyarakat. Dalam berbagai kasus, salah satunya
peningkatan teknologi pertanian pada masa revolusi hijau di mana perempuan
sebelumnya menggunakan sistem ani-ani menjadi sistem potong sabit yang biasa
dilakukan oleh laki-laki sehingga perempuan pun kehilangan pekerjaannya.
Kehilangan pekerjaan ini dikarenakan oleh kurang terampilnya perempuan dalam
menggunakan system potong sabit. Seharusnya gerakan revolusi hijau yang
dicanangkan pemerintah sebagai salah satu upaya meningkatkan pembangunan
dibarengi dengan pemberdayaan perempuan yang lebih matang. Akhirnya,
dikarenakan tidak adanya upaya untuk meningkatkan kinerja perempuan oleh
pemerintah maka perempuan kembali ke rumah dan pendapatan ekonomi pun
berkurang.
Menurut Vandana Shiva yang dalam Budi Winarno (2013:122)
berpendapat bahwa perempuan menjadi orang pertama yang mengalami
kemunduran sebagai akibat pembangunan kapitalis berorientasi pertumbuhan.
Selanjutnya, Vandana menjelaskan penyebab terjadinya kemunduran tersebut
dikarenakan oleh dua hal, yaitu pekerjan kaum perempuan bekerja sama dengan
proses-proses alam dan karena pekerjaan yang memenuhi kebutuhan dasar dan
menjamin keberlangsungan hidup secara umum dianggap rendah.
Universitas Sumatera Utara
42
Lebih lanjut, Vandana mengungkapkan penderitaan perempuan sebagi
proyek pembangunan disebabkan oleh dua hal pokok. Pertama struktur
masyarakat yang didominasi oleh ideologi patriarki. Ideologi ini mempengarui
pemikiran masyarakat yang menganggap perempuan sebagai warga kelas dua
sehingga dampak pembangunan tidak bisa dilepaskan dari strukur dominan
tersebut. Kedua sejalan dengan ideologi patriarki pembangunan kapitalis
menciptakan ketimpangan pembangunan bagi perempuan. Pembangunan kapitalis
dengan pemahaman yang sejalan dengan ideologi patriarki ini membuat
penempatan perempuan dalam pekerjaan berada di sektor yang tidak
menguntungkan.
Banyaknya
keterlibatan
perempuan
dalam
wacana
pembangunan
kapitalisme modern diperlihatkan oleh perempuan yang dijadikan sebagai buruhburuh kasar sementara kaum laki-laki menempati posisi yang lebih strategis.
Perempuan menghadapi persoalan yang membuat kondisi hidupnya tidak
memungkinkan mendapat perlakuan adil dalam sistem kapitalis yang eksploitatif.
Hal ini disebabkan oleh marginalisasi dan subordinasi yang melekat pada
perempuan berdasarkan jenis kelamin yang menempatkan mereka pada posisi
pekerjaan yang kurang menguntungkan. Lebih jauh lagi, perempuan sebagai
penyedia pangan untuk produksi kehidupan dianggap mempunyai hubungan
khusus dengan alam. Hal ini dikarenakan perempuan tidak hanya mengumpulkan
dan mengkonsumsi apa yang tumbuh dialam, namun mereka membuat segala
sesuatunya tumbuh. Hal ini mengasumsikan perempuan sebagai produsen nafkah
kehidupan yang pertama dan secara tidak langsung menunjukkan perempuan
sebagai pencipta hubungan-hubungan sosial.
Universitas Sumatera Utara
43
Peran perempuan dalam pembangunan sebagai seseorang yang mengalami
ketertinggalan menurut Saptari dan Holzner (1997) disebabkan oleh kurangnya
pendidikan dan keterbelakangan yang dialami oleh perempuan tersebut.
Perempuan dianggap tidak tanggap terhadap tantangan pembangunan oleh karena
itu merekalah yang dituntut untuk berpartisipasi dalam pembangunan bukan
pembangunan yang diubah agar sesuai dengan kebutuhan kaum perempuan.
Pentinganya pemahaman gender menjadi sebuah kebutuhan mendasar terhadap
partisipasi perempuan dalam pembangunan. Karena pada kenyatannya, keadaan
perempuan yang menjadi generasi kedua dalam pembangunan tidak didasari oleh
tidak memadainya mereka namun keadaan mereka yang terbelakang tersebut
dikarenakan oleh partisipasi mereka yang paksakan dan tidak seimbang.
Keberadaan perempuan sebagai salah satu aspek yang penting dalam
pembangunan haruslah mendapat perhatian yang besar dalam meningkatkan daya
saing mereka. Kesetaraan gender dalam pembangunan dianggap sebagi salah satu
upaya untuk meningkatkan kualitas perempuan yang berdaya saing serta
meningkatkan kedudukan mereka di mata masyarakat. Dengan adanya kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat, pembangunan yang
dianggap sebagi salah satu upaya peningkatan taraf hidup masyarakat didalam
suatu negara akan semakin meningkat pula. pembangunan Gerakan petani dalam
konflik agraria sering kali mengabaikan peranan perempuan sehingga perempuan
dalam konflik agraria berada dalam bayang-bayang budaya patriarki maka
diperlukan kesetaraan gender sebagai penyeimbang dalam sebuah konflik agraria
yang melibatkan peranan perempuan.
Universitas Sumatera Utara
44
2.6. Gerakan Sosial
2.6.1. Pengertian Gerakan Sosial
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gerakan sosial adalah tindakan
atau agitasi terencana yang dilakukan sekelompok masyarakat yang disertai
program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan
perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang ada.
Gerakan sosial lahir dari situasi dalam masyarakat karena adanya
ketidakadilan dan sikap sewenang-wenang terhadap masyarakat. Jadi ada
sekelompok besar rakyat yang terlibat secara sadar untuk menuntaskan sebuah
proses perubahan sosial. Dalam prakteknya suatu gerakan sosial dapat diketahui
terutama lewat banyak organisasi baru yang terbentuk, dan bertambahnya anggota
dalam suatu organisasi gerakan.
Dengan demikian gerakan sosial dapat dikategorikan sebagai sebuah
manifestasi kepentingan orang-orang yang tidak mendapatkan jaminan dari
adanya kekuasaan secara struktural negara. Sehingga mengambil jalan untuk
mewujudkan tuntutan dengan berbagai macam metode perlawanan yang disajikan,
mulai dari yang bersifat taat asas hukum sampai kepada sebuah usaha yang
radikal progresif dalm payung hukum yang abnormal dalam implementasinya.
Walaupun nantinya konsekuensinya yang terjadi harus melibatkan semua potensi
material yang dimiliki oleh para pelaku gerakan sosial itu sendiri. Baik harta,
tenaga maupun nyawa sekalipun untuk mewujudkan harapan keadilan bagi semua
orang.
Universitas Sumatera Utara
45
Beberapa ciri yang terdapat pada gerakan sosial adalah:
1. Sesuai dengan istilahnya yaitu gerakan sosial, maka pelaku gerakan adalah
rakyat atau kalangan masyarakat tertentu, termasuk dalam hal ini yang
lebih khusus yaitu petani. Jadi ada sekelompok besar rakyat yang terlibat
secara sadar untuk menuntaskan atau untuk menghalangi, sebuah proses
perubahan sosial. Selanjutnya gerakan sosial ini gelombang pergerakan
dari individu-individu, kelompok, dan berbagai organisasi,
yang
mempunyai tujuan yang sama yaitu suatu perubahan sosial.Gerakan
tersebut dapat bersifat terorganisir secara ketat atau hanya sebagai
perkumpulan yang longgar, dengan berbagai variasinya. Gerakan sosial
pada varian yang lain adakalanya untuk pertama sekali dijalankan oleh
penyelenggara negara lalu dalam prosesnya menjadi gerakan sosial di
masyarakat. Varian lain mengatakan bahwa bisa saja pada awalnya
dilakukan
oleh
rakyat
kemudian
diadopsi
dan
dijalankan
oleh
penyelenggara negara. Proses adopsi oleh penyelenggara negara ini di satu
sisi juga dapat bersifat kooptasi sehingga menyimpang dari tujuan dan
maksud semula. Namun bagaimanapun bentuk variasinya maka yang
utama adalah masyarakat atau petani lah dalam hal ini yang menjadi
subyek atau pelakunya.
2. Memiliki tafsir dan analisa sosial tersendiri dalam melihat dan menilai
realitas (baik realitas ide maupun material). Tafsir dan analisa sosial ini
selalu
digunakan
dalam
melihat
segala
aspek
kehidupan
(baik
politik,sosial,ekonomi,budaya,bahkan agama,dan lain-lain). Gerakan sosial
semakin kuat jika semakin banyak komunitas pendukungnya yang
Universitas Sumatera Utara
46
mempunyai kesadaran, analisa, tujuan ,keterampilan,serta pengetahuan
praktis melakukan analisa yang sama. Jika semakin praktis penggunaan
analisa sosial maka semaking banyak pendukung yang mampu
menggunakannya. Berdasarkan pisau analisa sosial yang digunakan SPI
misalnya masalah kaum tani peyebab utamanya atau akar masalahnya
adalah penerapan paham neoliberalisme disektor pertanian dan seluruh
bidang kehidupan. Analisa sosial merupakan alat kaum tani untuk dapat
memeriksa, mengkritisi, dan menelanjangi motif-motif, maksud-maksud,
tipu muslihat dan idiologi tersembunyi dari kaum neoliberal yang sangat
membuai dan membius. Lihatlah pada apa yang mereka maksudkan
dengan Bantuan Pangan (Food aid Programme) yang seolah-olah
membantu membuat mereka bak dewa penolong. Padahal maksudnya
untuk menghancurkan kedaulatan petani dan bangsa ini. Lihatlah yang
mereka maksud dengan ―bantuan‖ yang sebutulnya adalah menyediakan
jerat bagi leher kita dengan hutang. Dengan analisa sosial yang sama akan
ditemukan musuh bersama,dapat di identifikasi siapa pendukung musuhmusuh itu, serta strategi dan taktik apa yang mereka gunakan, termasuk
kemungkinan lahirnya ―gerakan sosial tandingan‖ dari kaum neoliberalis
itu. Analisa sosial juga berguna untuk melihat siapa kawan taktis dan
strategis kaum tani.
3. Berdasarkan analisa sosial yang telah dimiliki itu, jika kita melihat sifat
dari penindasan saat ini, maka gerakan sosial, khususnya gerakan kaum
tani semestinya memiliki gagasan-gagasan, identitas, prinsip, nilai-nilai,
dan tujuan-tujuan yang radikal semenjak dari awal kemunculannya
Universitas Sumatera Utara
47
hingga tercapainya tujuan itu sendiri. Gerakan sosial berusaha
menghilangkan akar struktural dari penindasan itu secara lansung maupun
tidak langsung dan menggantinya dengan gagasan yang sesuai dengan
pelaku gerakan sosial itu. Jika akar struktural masalah kaum tani adalah
neoliberalisme, maka lakukanlah perlawanan semesta (menyeluruh)
terhadap neoliberalisme itu! Lawanlah kebijakannya, teori-teorinya,
organisasinya, budayanya, gaya hidupnya, komprador-kompradornya,
hingga produk-produknya.
4. Mempunyai gagasan-gagasan (basis ide) dan alternatif praktis (basis
material) sebagai penjabaran kongkrit dunia baru yang dicita-citakan,
sehingga tidak terjebak dengan angan-angan semata. harus mempunyai
gagasan yang mampu secara konseptual mengganti konsepsi dunia
pertanian yang dipaksakan oleh kalangan neoliberalisme. Contoh
sederhana
adalah
kalangan
neoliberalisme
menggunakan
konsep
Ketahanan Pangan (food security), maka konsep perlawanannya adalah
Kedaulatan Pangan
(food
Sovereignty),
atau misalnya
kalangan
neoliberalisme menggunakan standar baku konsep Pengelolaan dan
Pengembangan Sumberdaya Alam (Natural Resources Management) maka
kita kaum tani menggunakan konsep Reforma Agraria yang Sejati
(Genuine
Agrarian
Reform).
Jika
kalangan
neoliberalisme
mengkampanyekan Rekayasa Genetika mereka petani melawannya dengan
konsep pertanian mereka sendiri. Jika kita menolak pasar bebas (Free
Trade) misalnya, maka harus ada dilakukan contoh perlawanannya di
tingkat praktis.Tidak menggunakan pestisida dan bibit buatan Monsanto
Universitas Sumatera Utara
48
merupakan contoh aksi. Lebih baik lagi jika aksi itu jaga ditambah dengan
kemampuan petani memproduksi benih,membuat pestisida alami dan
pupuknya sendiri.Tidak menggantungkan diri pada bank komersial,uluran
dana dari perusahaan dan lembaga donor pendukung neoliberalisme, tapi
memobilisasi kemampuan diri sendiri. Memang berat untuk melawan
neoliberalisme karena sudah merasuk dam menimbulkan ketergantungan
misalnya dalam hal ketergantungan terhadap produknya.
5. Mempunyai komunitas atau massa pengusung utama gagasan-gagasan
tersebut dan mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari. Massa
pengusung ini harus bertambah jumlahnya dan kualitasnya serta senantiasa
berusaha untuk memperbesar pendukung gagasannya. Jika disatu sisi, saat
ini para pendukung Neoliberalisme berada baik di struktur negara
(eksekutif,yudikatif,dan legislati,bahkan militer), dimasyarakat sipil
sendiri, apalagi pengusaha. Organisasi akan cepat hancur jika dipaksa
bergerak kearah yang belum mampu dia lakukan. Masa juga harus
bergerak jika dibutuhkan oleh organisasi, mau mematuhi aturan dan seruan
yang dikeluarkan secara resmi oleh organisasi. Serta yang tak kalah
pentingnya adalah mempunyai kesetiaan secara keorganisasian terhadap
organisasi, yang nampak dari sikap lebih mementingkan seruan atau sikap
organisasinya
daripada
organisasi.
Pendukung-pendukung
gagasan
tersebut melaksanakan kegiatan atas inisiatifnya sendiri sesuai garis yang
telah ditetapkan atau yang telah dipahaminya walaupun dimanapun ia
berada. Inisiatif ini dilakukan bukan atas perintah, tetapi atas kesadarannya
sendiri bahwa menyebarkan gagasan gerakan petani merupakan tugas suci
Universitas Sumatera Utara
49
dan tugas sejarah baginya(..).Mulailah dengan satuan terkecil dari dunia
pertanian, petani dan anggota keluarganya! Karena keluarga petani
merupakan sel-sel tempur dalam melawan Neoliberalisme.
6. Unsur Berkesinambungan, Artinya semakin radikal atau mendasar atau
semakin tinggi tingkat perubahan yang diperjuangkan maka semakin
panjang rentang waktu yang dipergunakan. Maka harus ada strategi agar
berkesinambungan.
7. Mempunyai dua strategi utama untuk menhancurkan tatanan yang tidak
adil; pertempuran didunia ide, dan pertempuran dibasis material.
Pengertian strategi adalah cara dan panduan umum tentang bagaimana
mencapai tujuan jangka menengah dan jangka panjang.Strategi tidak boleh
berubah-ubah. Hanya karena adanya situasi dan keadaan politik dan
ekonomi yang besar dan dasyatlah yang boleh diperhitungkan untuk
merubah strategi. Sedangkan secara taktis biasanya terbagi tiga yaitu :
kooperatif, kooperatif dalam rangka non kooperatif, dan non kooperatif.
Semakin bersifat kooperatif semakin mudah terkooptasi.
8. Mempunyai sikap dan pandangan yang jelas dalam memandang negara
khususnya pemerintahan.
9. Terorganisir.
10. Secara umum gerakan sosial muncul dalam rangka memperkuat massa itu
sendiri
Universitas Sumatera Utara
50
2.6.2. Gerakan Petani
Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya
masih menggantungkan penghidupannya pada sektor pertanian. Oleh karena itu
lahan memegang peranan penting bagi kesejahteraan masyarakat. Lahan
merupakan hal yang paling esensial dan keberadaannya seringkali diperebutkan
oleh berbagai pihak, pada umumnya diwakili oleh tiga aktor yakni, masyarakat,
negara, dan pihak swasta. Lahan merupakan bagian dari kajian agraria. Berbicara
mengenai agraria di Indonesia tidak pernah terlepas dari historis Indonesia sejak
dari zaman kolonialisme, era orde lama hingga orde baru. Era orde lama ditandai
dengan lahirnya UUPA. Fauzi (1999) menyatakan bahwa berlakunya UUPA
berusaha mengatasi dualisme hukum agraria masa kolonial, yakni: hukum yang
berasal dari penjajah (kolonial), disebut juga Hukum Barat, dan hukum yang
berasal dari adat asli Indonesia. Dengan UUPA, pemerintah, dan masyarakat
pasca kolonial melaksanakan rekonstruksi bangunan politik agraria untuk
pemenuhan tujuan-tujuan pendirian negara bangsa sebagaimana tercantum pada
dokumen-dokumen dasar negara: Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
UUPA beserta peraturan-peraturan jabarannya, ingin mengubah kenyataan yang
berkembang di masa kolonial. Yakni, menjamin hak rakyat petani atas sumber
daya agraria (bumi, air, ruang angkassa, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya) dan mengatur perolehan hasilnya agar rakyat menjadi makmur. Usaha
ini disebut juga sebagai pembaruan agraria (land reform).
Wolf dan Moore dalam Landsberger (1984) mengatakan terdapat tiga
karakteristik yang mencirikan petani, diantaranya adalah subordinasi legal,
kekhususan kultural, dan khususnya ‗pemilikan de facto‘ atas tanah. Sepuluh
Universitas Sumatera Utara
51
tahun kemudian Wolf dalam monografnya, mendefiniskan peasants sebagai
tukang cocok tanam pedesaan yang surplusnya dipindahkan kepada kelompok
penguasa yang dominan. Bukan pemilikan, tetapi lepasnya penguasaan
terhadapnya dan penguasaan atas tenaga kerjanya sendiri. Dengan kata lain telah
ditutupi oleh sistem lain dimana kontrol atas alat-alat produksi, termasuk
penentuan tenaga kerja manusia, berpindah-pindah dari tangan produsen primer
kepada kelompok-kelompok yang tidak melakukan proses produktif itu sendiri.
Namun kemudian Wolf juga mendefinisikan petani sebagai penduduk yang secara
ekstensial terlibat dalam cocok tanam dan membuat keputusan yang otonom
tentang proses cocok tanam, mencakup penggarapan atau penerima bagi hasil
maupun pemilik-penggarap selama mereka ini berada pada posisi pembuat
keputusan yang relevan tentang bagaimana pertumbuhan tanaman mereka.
Landsberger dan Alexandrov (1984) mendefinisikan bahwa petani adalah
para tukang cocok tanam pedesaan yang menduduki posisi yang relatif rendah
pada berbagai dimensi yang penting. Dimensi penting yang dimaksudkan disini
adalah dimensi ekonomi dan politik. Dimensi ekonomi dan politik dapat dibagi ke
dalam tiga rangkaian dimensi yang setara yakni pengendalian atas masukan
ekonomi dan politik yang relevan, pengendalian proses transformasi dalam
ekonomi dan politik, dan dimensi yang berkaitan dengan tingkat faedah dari
keluaran (output) dari masing-masing sektor ini di masyarakat. Suatu contoh
dalam hal masukan ekonomi, para tukang cocok tanam desa dapat diukur dari (1)
jumlah masukan yang mereka kendalikan (tanah, modal, tenaga kerja); dan (2)
kepastian dengan mana mereka mengendalikan masukan itu. Dalam hal proses
transformasi, petani dapat melakukan partisipasi, kurang lebih dalam perumusan
Universitas Sumatera Utara
52
nyata keputusan-keputusan politik. Pada akhirnya petani, sedikit atau banyak,
memperoleh keuntungan dari isi keputusan yang dibuat.
Namun
seringkali
posisi
petani
disubordinatkan.
Petani
sering
dianalogikan sebagai masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan untuk merubah
struktur, pasrah terhadap kondisi yang menimpa mereka dan patuh terhadap
aturan-aturan yang ada. Petani seringkali hanya dijadikan obyek-obyek
pembangunan lewat program-program yang terlihat revolusiener, padahal
terkadang sama sekali tidak menyuntuh kebutuhan petani. Kondisi-kondisi ini
menimbulkan ketidakpuasan dalam diri petani. Landsberger dan Alexandrov
(1984) menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis situasi yang seringkali memainkan
peranan dalam merangsang ketidakpuasan petani, diantaranya yakni inkonsistensi
status, kemorosaan relatif dari status lama seseorang atau dari harapan orang
tentang statusnya yang sekarang dan perasaan adanya ancaman terhadap status di
masa depan. Inkonsistensi status didefinisikan sebagai kedudukan yang relatif
baik menurut satu karakteristik sementara tetap rendah menurut karakteristik lain,
yang merupakan salah satu pencetus pemberontakan petani di Inggris di tahun
1831 dan di Perancis di tahun 1789. Dalam kedua kasus tersebut, perbaikan nasib
petani telah terjadi dalam berbagai hal, namun di sisi lain justru hal tersebut lah
yang membuat ketaksanggupan yang masih ada seperti dalam hal pajak
perkawinan dan kerja bakti yang menyulitkan petani. Kemudian, kedudukan yang
tidak menguntungkan dibandingkan dengan yang lain –kemorosotan relatifsedikitnya memainkan peranan di Mexico, dimana meningkatnya kontak dengan
Amerika Serikat memungkinkan petani untuk membandingkan nasibnya dengan
tetangganya dan akibatnya menjadi tidak puas. Dan yang terakhir adalah
Universitas Sumatera Utara
53
kemorosotan sehubungan dengan masa lalu atau yang diharapkan sekarang
ataupun ancaman terhadapnya di masa depan, sebagaimana terjadi dalam kasus
pemberontakan Pugachev.
Salah satu perubahan masyarakat yang dapat menghasilkan ketidakpuasan
petani adalah penggusuran petani dan komunitas petani yang telah ada
sebelumnya, pencaplokan hak-hak meraka oleh tuan-tuan tanah dan negara dalam
suatu proses feodalisasi, yang akan membawa kepada perasaan merosotnya status
petani. Kebijaksanaan pencaplokan serupa itu mungkin dicetuskan oleh
perangsang-perangsang seperti keinginan untuk mengambil keuntungan dari
kesempatan komersial dan teknik yang baru, atau dari tekanan negatif pada elite
politik dan ekonomi, seperti kekalahan perang.
Rasa ketidakpuasan yang timbul tersebut kemudian mendorong petani
untuk
melakukan
gerakan-gerakan
perlawanan
terhadap
kondisi
yang
memarginalkan mereka. Landsberger dan Alexandrov (1984) mendefinisikan
gerakan sebagai reaksi kolektif terhadap kedudukan rendah. Kedudukan rendah
ini digambarkan sebagai petani yang posisinya selalu termarginalkan dari berbagai
aspek, baik ekonomi maupun politik. Rasa-rasa ketidakpuasan inilah yang juga
mendasari gerakan-gerakan petani yang ada di Indonesia seperti dalam kasus
Serikat Petani Pasundan, SPPQT, kasus tanah Jenggawah, dan kasus petani di
Desa Cisarua. Di negara-negara lain kondisi ini juga terlihat dalam gerakangerakan petani yang ada di negara India, Zimbabwe, dan Filipina.
Landsberger dan Alexandrov (1984) menggambarkan gerakan petani
dengan menggunakan dimensi-dimensi tertentu, yakni: (1) tingkat adanya
kesadaran bersama tentang nasib yang dialami; (2) tingkat dimana aksi itu bersifat
Universitas Sumatera Utara
54
kolektif baik dalam lingkup orang yang terlihat dan
tingkat koordinasi dan
organisasi aksi (sampai kepada titik yang tinggi yakni ketika diorganisasikan
dengan cara yang kompleks); (3) lingkup dimana aksi itu bersifat instrumental,
yang berarti dirancang untuk mencapai sasaran di luar aksi itu sendiri dan
dilaksanakan karena gratifikasi yang terkandung di dalam aksi itu sendiri; dan (4)
tingkat dimana reaksi itu didasarkan secara eksklusif atas kerendahan status sosial,
ekonomi dan politik memainkan peranan murni yang merdeka.
Pada dimensi pertama, tingkat kesadaran, hal-hal yang harus dikaji adalah
penilaian kasar mengenai jumlah petani yang mungkin menyadari kebersamaan
persoalan mereka dan mutu dari kesadaran itu, misalnya apakah ada visi mengenai
sistem sosial secara keseluruhan, dibandingkan dengan jumlah yang betul-betul
sadar dan tingkat mutu yang paling tinggi. Selanjutnya, dimensi kedua yakni
tingkat kolektifitas aksi. Titik puncak dari dimensi ini terjadi bila koordinasi tugas
dan pembagian kerja dan beberapa penugasan wewenang dibentuk secara
eksplisit.Pengukuran
tingkat
kolektivitas
dapat
dilakukan
dengan
memperhitungkan keluasan lingkup aksi kolektif tersebut, misalnya pertanyaan,
dari semua petani yang mungkin bereaksi dengan cara yang sama, berapa petani
yang melakukan aksinya; dan tingkat eksplisit organisasi dapat dijabarkan melalui
pertanyaan dari mereka yang bereaksi dengan cara yang sama, berapa proporsi
yang sengaja mengkoordinasi reaksinya dengan pihak lain.
Kemudian, dimensi ketiga yakni orientasi instrumental, lawan ekspresif
dan soal rasionalitas. Kelakuan ‗ekspresif‗ dalam banyak kolektivitas dianggap
terjadi bila anggota-anggotanya mencari kepuasan dalam proses menjadi anggota
itu. Kepuasan ini dapat berjenis ‗positif‘–sosiabilitas dan pengakuan dalam
Universitas Sumatera Utara
55
bergabung bersama—atau berjenis ‗negatif‘. Kelakuan instrumental, di pihak lain
merupakan kata sifat yang dilekatkan bila suatu perkumpulan
atau gerakan
mengejar sasaran yang terletak di luar kegiatan langsung mereka, dan dimana
kegiatan itu dilakukan pertama-tama untuk mencapai hasil akhir yang akan
mereka capai: perubahan dalam penguasaan tanah atau upah yang lebih tinggi.
Selanjutnya, dimensi keempat yakni status rendah sebagai basis gerakan. Dalam
hal ini status rendah digambarkan sebagai petani, yakni kaum yang terpinggirkan.
Selain itu, kondisi yang melatarbelakangi lahirnya permasalahan agraria
juga dapat dipengaruhi oleh adanya adopsi budaya barat yang diinisiasi dalam
bentuk proyek-proyek pembangunan, sebagaimana yang terjadi di India.
Routledge (2005) menyatakan bahwa pergolakan di India terjadi bersamaan
dengan pembangunan waduk raksasa, yang diasosiasikan sebagai wujud
pembangunan berkelanjutan mengenai penanggulangan kemarau. Penerapan
pembangunan kerap didahului oleh penciptaan abnormalitas di suatu tempat.
Masalah-masalah
ini
karenanya
membutuhkan
profesionalisasi
dan
institusionalisasi praktek-praktek pembangunan. Hal ini terjadi melalui wacana
pakar-pakar pembangunan, kolonisasi proses pembangunan oleh otoritas seperi
otoritas Kontrol Narmada serta diperkuat dengan iming-iming manfaat dan
kegunaan bagi calon pengguna dan penerima manfaat.
Berdasarkan kasus-kasus di atas, jelas petani adalah pihak yang selalu
dijadikan obyek pembangunan dan paling dirugikan dari program-program
pembangunan yang ada. Petani menjadi kaum mayoritas yang terpinggirkan di
tanahnya sendiri. Petani sering berada di posisi yang tersudutkan dan tertekan.
Tekanan-tekanan ini datang dari berbagai pihak mulai dari kebijakan pemerintah
Universitas Sumatera Utara
56
yang tidak berpihak kepada petani hingga pengambilalihan dan penguasaan lahan
secara besar-besaran oleh pemilik modal. Hal ini lah yang mendorong petani
untuk melakukan perlawanan-perlawanan yang diwujudkan dalam bentuk
tindakan-tindakan nyata, yang sering disebut sebagai gerakan petani. Petani secara
mandiri mengorganisir dan melakukan perlawanan-perlawanan.
2.7. Teori Moral Ekonomi Petani
Dalam Moral Ekonomi Petani: Pergerakan dan Subsistensi di Asia
Tenggara, James Scott mengemukakan pertama kali teorinya tentang bagaimana
―etika subsistensi‖ (etika untuk bertahan hidup dalam kondisi minimal) melandasi
segala perilaku kaum tani dalam hubungan sosial mereka di pedesaan, termasuk
pembangkangan mereka terhadap inovasi yang datang dari penguasa mereka.
Itulah yang disebut sebagai ―moral ekonomi‖, yang membimbing mereka sebagai
warga desa dalam mengelola kelanjutan kehidupan kolektif dan hubungan sosial
resiprokal saat menghadapi tekanan-tekanan struktural dari hubungan kekuasaan
baru yang mencengkam.
Tekanan struktural dari pasar kapitalistik, pengorganisasian negara
kolonial dan paskakolonial, dan proses modernisasi di Asia Tenggara
mengacaukan ―moral ekonomi‖ itu dan menyebabkan kaum tani berontak.
Mahakarya kedua Scott, Senjatanya Orang-Orang yang Kalah, membawa topik di
atas selangkah lebih jauh. Scott mendokumentasikan penelitian bertahun-tahunnya
tentang perlawanan keseharian kaum tani yang tak tercatat sejarah. Buku
Perlawanan Kaum Tani mengusung tema serupa. Namun demikian, buku ini
bukan terjemahan langsung dari buku Scott, melainkan terjemahan kumpulan
Universitas Sumatera Utara
57
artikel Scott yang disunting oleh Prof. Sajogyo. Senjatanya Orang-Orang yang
Kalah menjelaskan posisi dan perilaku politik kaum tani.
Sejak zaman kolonial, protes dan perlawanan kaum tani dipandang bukan
sebagai gerakan terorganisir, melainkan sekedar pelampiasan kemarahan secara
destruktif dan membabi buta akibat eksploitasi yang kelewatan, misalnya pajak
yang teramat tinggi. Namun pada kehidupan sehari-hari, kaum tani nampak
pasrah, nrimo dan tergantung pada alam. Tidak nampak revolusioner sama sekali.
Penelitian Scott atas petani Asia Tenggara mematahkan mitos ini. Ia
membuktikan bahwa apa yang disebut sebagai ‗kepasrahan kaum tani‘ bukanlah
benar-benar kepasrahan, melainkan aksi-aksi perlawanan anonim dalam diam
yang berlangsung saban harinya, yang bahkan telah menjadi suatu subkultur. Dari
Scott diperoleh analisa yang jenius tentang apa yang disebutnya ‗bentuk-bentuk
perjuangan kelas gaya Brechtian‘ (Brechtian modes of resistance), yakni "senjatasenjata biasa yang dimiliki kelompok-kelompok yang relatif tanpa kekuatan:
menghambat, berpura-pura, mencopet, pura-pura tidak tahu, memfitnah,
pembakaran, sabotase,dan sebagainya" dalam buku yang berjudul Perlawanan
Kaum Tani (1993: 271).
2.8. Penelitian Terdahulu
Seperti yang dijelaskan sebelumnya pada BAB Pendahuluan, masalah
konflik agraria merupakan sebuah masalah yang sukar untuk diselesaikan dengan
tidak menimbulkan ketimpangan antara dua kelompok dalam konflik tersebut.
Rentetan konflik agraria di Indonesia memang telah dimulai sejak dulu dan telah
Universitas Sumatera Utara
58
menjadi sebuah konflik yang diwarisi mulai dari masa kolonial, Orde Lama, Orde
Baru dan hingga saat ini.
Keberadaan konflik agraria sebagai sebuah wacana yang banyak
diperbincangkan oleh kalangan masyarakat menimbulkan minat banyak peneliti
untuk mengetaui lebih jauh tentang permasalahan tersebut. Dalam hal ini,
penelitian sebelumnya dilakukan oleh Tim LPTP (Lembaga Pengembangan
Masyarakat Pedesaan) Solo yang berjudul Agenda Perempuan dalam Gerakan
Petani. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga tersebut membicarakan
perjuangan petani perempuan untuk menghadapi globalisasi. Lebih lanjut
penelitian ini membahas tentang agenda gerakan petani perempuan untuk merebut
wacana globalisasi, perdagangan bebas, corporate farming, atapun keamanan dan
kedaulatan pangan. Namun, dalam kehidupan mereka masih belum menyentuh
wacana gender sebagai mainstreming. Indikasi kuat dari penelitian ini
menunjukkan absennya pertanyaan gender pada setiap gerakan petani perempuan
berakibat negatif bagi petani perempuan itu sendiri. Dengan kata lain, tanpa
mempertimbangkan implikasi gender suatu perjuangan dan gerakan petani dalam
memperjuangan hak-hak petani akan melanggengkan ketidakadilan bagi petani
perempuan.
Penderitaan yang dialami oleh petani perempuan akibat diskriminasi dan
perlakuan tidak adil yang ditimbulkan akibat dari relasi gender dikalangan petani
sama seriusnya dengan yang dirasakan oleh petani perempuan ketika mereka
merasakan akibat kejahatan dan kekerasan yang ditimbulkan oleh Neoliberalisme.
Oleh karena itu penelitian ini menekankan gerakan petani perlu membenahi diri
untuk
mendemokratisasikan
relasi
gender,
terutama
melakukan
proses
Universitas Sumatera Utara
59
demokratisasi relasi gender di rumah tangga petani sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari gerakan untuk memberdayakan dan mencapai hak- hak petani
perempuan.
Penelitian terdahulu selanjutnya dilakukan oleh Rizca Yunike yang
berjudul Gerakan Sosial Politik Omah Tani di Kabupaten Batang. Penelitian yang
dilakukan oleh Rizca Yunike ini membahas tentang gerakan sosial yang dilakukan
Omah Tani yang merupakan sebuah organisasi pergerakan petani di Kabupaten
Batang. Bentuk dari gerakan Omah Tani ini mempunyai tiga pola yaitu bentuk
yang pertama adalah dengan mengakomodir massa dengan jumlah yang besar atau
yang dikenal dengan istilah aktivitas determinasi. Bentuk yang kedua adalah
melakukan upaya hukum dan audiensi baik dengan kepolisian, kejari dan juga
anggota legislatif daerah. Dan bentuk yang terakhir yaitu dengan cara perebutan
kekuasaan.
Lebih jauh, penelitian ini juga membahas tentang Pemikiran James Scott
dalam Moral Ekonomi Petani dan Senjata Kaum Tertindas sebagai referensi yang
dapat digunakan dalam mengamati gerakan yang dilakukan petani terutama di
Asia Tenggara. Bagi James Scott, faktor yang menjadi penyebab timbulnya suatu
gerakan khususnya perlawanan petani adalah adanya hubungan yang eksploitatif
yang dilakukan oleh penguasa, yang mengakibatkan kondisi ekonomi petani
lemah. Dalam konteks gerakan petani yang dilakuakan oleh petani dalam Omah
Tani, eksploitasi yang terjadi lebih diakibatkan oleh adanya tekanan dari penguasa
baik dalam bentuk negara dan pemilik modal yang diwujudkan dalam perusahaan
perkebunan negara seperti PTPN dan Perhutani, sedangkan pemilik modal adalah
Universitas Sumatera Utara
60
para perusahaan perkebunan besar yang menyewa dan bahkan menyerobot tanah
milik desa atau tanah negara yang dimaksudkan agar dikelola oleh petani.
Konteks gerakan petani yang dialami oleh petani Omah Tani Batang dan
kontenks yang dikemukakan Scott mengalami perubahan dimana petani mulai
berani
untuk
bergerak secara terang-terangan bahkan berpolitik
untuk
mendapatkan akses dan penyelesaian masalah yang dialami oleh para petani
tersebut. Meninggalkan kebiasaan perlawanan dalam diam petani dan berhadapan
langsung dengan pihak berwenang bahkan mampu meyuarakan ketidak setujuan
terhadap peraturan yang dibuat oleh penguasan yang memberatkan kehidupan
mereka. Dari penelitian yang dilakukan ini terdapat upaya nyata yang dilakukan
oleh Omah Tani dalam mempergunakan kesempatan politik yang ada untuk
masuk dalam ranah struktural ditandai dengan adanya gerakan dan rencana politik
yang telah disiapkan melalui target gerak politik lokal. Runtutan rencana gerakan
politik yang dilakukan oleh Omah Tani diawali dengan mencoba berkompetisi
melalui Pilkades. Dengan adanya kekuatan kekuasaan di tangan petani yang
diwakilkan oleh Omah Tani sebagai kades setempat memberikan sedikit peluang
untuk mempersempit terjadinya eksploitasi dan perebutan lahan (Jurnal Politik
Muda Vol. 1 No. 1 Oktober-Desember 2012 Hal 23-34)
Penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Hasim Purba yang berjudul
Reformasi Agraria dan Tanah Untuk Rakyat: Sengketa Petani vs Perkebunan,
membahas tentang sejumlah persoalan mendasar dalam bidang agraria
(pertanahan)
berupa
konflik
pertanahan
yang
berkepanjangan,
struktur
penguasaan tanah yang timpang, aturan dan kebijakan pertanahan yang kacau dan
Universitas Sumatera Utara
61
kegagalan perwujudan dan cita-cita program pembangunan agraria nasional
(jurnal Law Review Volume X No. 2 - November 2010).
Penelitian Siti Rakhma Mary Herawati yang berjudul Petani Melawan
Perkebunan: Perjuangan Agraria di Jawa Tengah memberikan banyak masukan
mengenai perjuangan petani dalam memperjuangkan hak mereka. Dalam
penelitian yang dilakukan Siti ini, menunjukkan secara terang bahwa perkebunan
berkolaborasi dengan aparat keamanan, preman dan parat peradilan. Hal seperti
ini merupakan tindakan dari perkebunan yang sering dijumpai dalam kasus yang
sama hampir di semua daerah.
Terlepas dari hal itu, peran peradilan yang
seharusnya berada di posisi netral pun tidak mampu menjadi sebuah tonggak
keadilan bagi masyarakat khususnya petani yang dalam Jurnal Bhumi (No. 37 23
April 2013).
Dian Aries dkk melakukan penelitian tantang Dinamika Perjuangan
Agraria Kontemporer di Indonesia dengan focus penelitian konflik Agraria di
Polongbangkeng Takalar. Penelitian ini merupakan monografi untuk mencari
dinamika perjuangan agrarian yang menjurus kepada konflik agrarian petani
dengan pabrik gula di daerah tersebut. Yang mana dalam tulisan ini dijelaskan
bagaimana terjadi konrol terhadap tanah yang menjadi akar konflik antara kedua
belah pihak tersebut. Selanjutnya sengketa lahan pertanian ini merebak hingga era
reformasi. Pada bagian lain, diuraikan bagaimana strategi perjuangan petani dan
negoisasi yang dilakukan petani yang dianggap sebagai alternative penyelesaian
konflik (Hasil Penelitian Sistematis STPN 2012)
Universitas Sumatera Utara
62
2.9. Defenisi Konsep
2.9.1. Peranan
adalah tindakan yang dilakukan orang atau sekelompok
orang dalam suatu peristiwa, peranan merupakan perangkat tingkah laku yang
diharapkan sebagai uasaha untuk mencapai tujuan.
2.9.2.
Gender: Pada prinsipnya konsep gender memfokuskan perbedaan
peranan antara pria dengan wanita, yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan
norma sosial dan nilai sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. Peran gender
adalah peran sosial yang tidak ditentukan oleh perbedaan kelamin seperti halnya
peran kodrati.
2.9.3. Agraria: dapat diartikan sebagai urusan pertanahan yang mengatur
segala sesuatu yang tercakup dalam sebuah wilayah baik itu berupa tanah, air,
udara dan segala isinya. Hal ini juga sejalan dengan pengertian agraria yang
tertuang dalam UUPA 1960.
2.9.4. Konflik: Konflik adalah proses pertentangan yang diekspresikan
diantara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai suatu obyek
konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi yang menghasilkan keluaran
konflik.
2.10. Kerangka Pemikiran
Dalam rangka melaksanakan program pembangunan yang ingin mengejar
pertumbuhan ekonomi salah satu usahanya adalah dengan memperluas sektor
perkebunan. Dalam perluasan perkebunan ini tentunya membutuhkan lahan yang
luas sebagai modal utama. Masalah pertanahan adalah salah satu permasalahan
agraria
sebagai mana yang diatur dalam UUPA 1960. Dalam mewujudkan
Universitas Sumatera Utara
63
program pembangunan yang bersinggungan dengan permasalahan agraria,
penguasaan atas tanah tidak bisa dilepaskan dari kepentingan antara pemerintah
dan masyarakat maupun pengusaha. Tanah adalah salah satu alat produksi yang
menjamin keberlangsungan hidup dan digunakan berbagai pihak dalam kehidupan
mereka. Namun, akibat dari pentingnya sumber daya alam tersebut serta
keterbatasan tanah, berbagai permasalah agraria muncul ditengah masyarakat.
Banyak tanah yang digunakan sebagai lahan pertanian masyarakat dirampas oleh
negara atas nama kepentingan pembangunan. Di sinilah awal mulanya terjadinya
konflik agraria antara petani dengan pemerintah, seperti konflik agrarian antara
Petani Persil IV dengan PTPN II. Dalam konflik tersebut terdapat keterlibatan dan
perananan petani perempuan sebagai pemeran konflik dalam memperjuangkan
haknya atas tanah mereka yang dirampas. Perempuan yang lebih dikenal sebagai
makhluk yang lemah lembut, yang berperan secara internal dalam keluarga, sering
sekali harus terlibat dalam sebuah konflik yang berhadapan dengan pemerintah
maupun swasta.
Universitas Sumatera Utara
64
Hal ini dapat dikupas dengan menggunakan beberapa konsep antara lain
konsep Gender dan Teori Moral Ekonomi Petani James Scout.
Untuk lebih
jelasnya bisa dilihat dalam bagan berikut :
Pembangunan
Perluasan Sektor Perkebunan
Konflik Agraria Antara Petani
Dengan Swasta/Pemerintah
Peranan Perempuan
Konteks Gender
Teori James Scout
Gambar 2.1. Bagan Pendekatan Teori James Scout Dan Konsep Gender Terhadap
Peranan Perempuan Dalam Konflik Agraria
Universitas Sumatera Utara
Download