Perencanaan Tata Ruang Fitostruktur Wilayah Pesisir Sebagai

advertisement
Seminar Nasional Inovasi Praktek Penataan Ruang Dalam
Desentralisasi Pembangunan ITS Surabaya, 22 September 2005
Perencanaan Tata Ruang Fitostruktur Wilayah Pesisir
Sebagai Penyangga Perencanaan Tata Ruang Wilayah Daratan:
Sebuah kajian dengan pendekatan energi, ekosistem, dan ekologi
Sarwoko Mangkoedihardjo
Jurusan Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
[email protected]
Abstrak
Kebutuhan berbagai aktivitas hidup manusia dinyatakan setara dengan kebutuhan energi kimia karbohidrat
sebesar 28 MJ/orang/hari, yang diambil dari berbagai sumber daya lingkungan. Aktivitas kehidupan manusia
mengeluarkan karbondioksida sebesar 2,6 kg/orang/hari, yang akan memberi tekanan terhadap lingkungan.
Karena itu perencanaan tata ruang wilayah ditujukan untuk memenuhi peningkatan kebutuhan hidup manusia
dan penurunan tekanan terhadap lingkungan. Penurunan tekanan karbondioksida digunakan tumbuhan
sebagai fitostruktur ekosistem, yang akan menghasilkan energi kimia karbohidrat. Tumbuhan akan menjaga
siklus setimbang secara berlanjut antara penyediaan dan kebutuhan energi.
Dengan pendekatan
kesetimbangan ekosistem menunjukkan karbondioksida berada di udara sekitar 38 %, di sediment perairan
sekitar 35 %, di daratan sekitar 25 %, dan selebihnya terdistribusi ke media lingkungan lainnya. Berdasarkan
distribusi karbondioksida tersebut maka perencanaan tata ruang fitostruktur (= ruang terbuka hijau) untuk
lahan basah wilayah pesisir adalah sangat diperlukan dan menjadi kesatuan perencanaan tata ruang wilayah
daratan. Secara ekologi, dan untuk mengatasi kesulitan pengembangan tata ruang wilayah daratan, maka
diperlukan intensifikasi fitostruktur di sepanjang aliran sungai-sungai yang ada. Pendekatan fitostruktur tanpa
intervensi temporal akan memberi peluang lebih leluasa bagi intervensi temporal pengembangan infrastruktur
wilayah daratan. Secara fungsional, fitostruktur wilayah pesisir merupakan penyangga infrastruktur wilayah
daratan.
Kata kunci: distribusi karbondioksida, fitostruktur, lahan basah pesisir, perairan daratan
1 Pendahuluan
Ekosistem adalah kesatuan ruang berstruktur fisik daratan, perairan dan udara, berstruktur
kimia padat, cair dan gas, berstruktur hayati manusia, hewan dan tumbuhan; yang
kesemuanya saling berinteraksi secara fungsional. Ini sebuah definisi yang kompleks untuk
menggambarkan bahwa jika satu unsur berubah secara kuantitas maupun kualitas maka
akan memberi pengaruh kepada kuantitas dan kualitas unsur lainnya.
Perubahan ekosistem senantiasa terjadi secara alamiah dan setiap perubahan akan
mencapai bentuk kesetimbangan baru. Perubahan alamiah bersifat jangka panjang melebihi
umur 1 generasi hidup manusia sehingga kita tidak merasakan perubahan ekosistem.
Peristiwa big bang jagad raya 15 miliar tahun silam membentuk kesetimbangan baru dalam
bentuk bumi selama 10 miliar tahun kemudian.
Tetapi eksploitasi lahan untuk pengembangan perkotaan dan eksploitasi energi fosil
pada kurun 100 tahun silam masih dapat dirasakan oleh kita dalam bentuk pemanasan
global sekarang ini. Itu menggambarkan bahwa perubahan terhadap ekosistem yang dibuat
manusia dapat mengakibatkan dampak lebih cepat dibanding perubahan alamiah.
Kecepatan kejadian dampak disebabkan ketidaktahuan kita terhadap kompleksitas dinamika
kesetimbangan alam.
Berdasarkan definisi ekosistem di atas maka perencanaan tata ruang wilayah adalah
perencanaan perubahan ekosistem. Perubahan tata ruang berdasarkan ilmu pengetahuan
lingkungan yang teruji dalam jangka panjang akan menghasilkan ekosistem baru yang lebih
baik. Tetapi intervensi perubahan berdasarkan fenomena temporal seperti social, ekonomi,
dan politik mungkin saja sinergis atau justru sebaliknya antagonis. Kajian ini difokuskan
kepada dasar ilmu pengetahuan lingkungan, agar tidak bias dengan intervensi perubahan
yang penuh ketidaktentuan hasil.
1
Inti lingkungan adalah energi, karenanya lingkungan bersifat dinamis. Keselarasan
hidup dan aktivitas manusia dengan lingkungan membutuhkan energi. Karena itu aktivitas
kehidupan manusia dapat disederhanakan dengan kesetaraan kebutuhan energi. Titik
tumpu ini dikembangkan kepada perencanaan tata ekosistem (= tata ruang wilayah) global.
2 Aktivitas kehidupan
Aktivitas kehidupan manusia membutuhkan energi minimal 28 MJ/orang/hari. Energi
manusia diperoleh dari sumber bahan pangan (untuk hidup) dan bahan bakar (untuk
aktivitas domestic, social, transportasi, komersial, industri) masing-masing sebanyak 40 %
dan 60 %. Bahan pangan dan bahan bakar dapat dinyatakan sebagai karbohidrat. Satu
molekul karbohidrat menghasilkan energi sebesar 2,8 MJ. Jadi kebutuhan energi manusia
adalah setara dengan kebutuhan karbohidrat sebanyak 10 molekul/orang/hari. Konversi
respirasi 10 molekul karbohidrat/orang/hari menghasilkan karbondioksida sebesar 2,6
kg/orang/hari.
Seluruh sumber energi diambil dari lingkungan dan keluaran karbondioksida terbuang
ke lingkungan di mana aktivitas kehidupan manusia berlangsung dan di mana sumbersumber energi berada. Jadi di satu tempat energi diambil dan mendapat tekanan balik.
Pengambilan energi terus meningkat sejalan dengan perkembangan penduduk dan aktivitas
manusia, demikian juga lingkungan mendapat peningkatan tekanan karbondioksida. Efek
telah terasa adanya kenaikan pemanasan global dan perubahan klimatologi.
3 Prediksi tekanan terhadap lingkungan
Tekanan karbondioksida terhadap lingkungan dapat diketahui dengan pendekatan prediktif
menggunakan model fugasiti multi media (model ekosistem). Fugasiti adalah tendensi
suatu zat akan menuju ke tempat seharusnya berada berdasarkan sifat alamiah zat itu
sendiri. Model ekosistem ditujukan untuk memprediksi konsentrasi absolute maupun
relative suatu zat (dengan kata lain adalah distribusi konsentrasi zat) pada berbagai media
lingkungan udara, air, tanah, sediment, dan biota tanpa batasan dari mana sumber pencemar
berasal. Model ekosistem ini dimodifikasi dari McCall (1988) dengan memasukkan
tumbuhan, yang mempunyai karakteristik dianggap sama dengan biota ikan. Berat
tumbuhan diambil 5 ton/ha dan untuk zone akar sedalam 1 m diperoleh berat tumbuhan per
volume tanah atau air sebesar 500 g/m3. Perhatikan Gambar 1.
• Berat
tumbuhan/volu
me tanah atau
air 500 g/m3
• Densitas 1,5
g/cm3
30 %
• Berat
biota/volume
air 0,5 g/m3
• Densitas 1,5
g/cm3
70 %
Udara
6 km
10 cm
Tanah
Air
10 m
Biota
• Zat organic 2 %
• Densitas 1,5 g/cm3
• Air tanah 25 %
Sedimen
10 cm
• Zat organic 4 %
• Densitas 1,5 g/cm3
Gambar 1 Model ekosistem dunia skala kecil dengan memasukkan tumbuhan
2
Formulasi volumetric kompartemen media pada kesetimbangan ekosistem dinyatakan
sebagai berikut:
% Vs + % Va + % Vb + % Vu + % Vat + % Vt + % Vtb = 100 %
1)
Vs adalah volume sediment, Va adalah volume air, Vb adalah volume biota, Vu adalah
volume udara, Vat adalah volume air tanah, Vt adalah volume tanah, dan Vtb adalah
volume tumbuhan. Khusus Vtb dihitung berdasarkan volume air dan volume tanah. Untuk
tiap satuan luas permukaan tertentu (di sini ambil 106 m2) diperoleh volume tiap
kompartemen media pada Tabel 1.
Tabel 1 Volume kompartemen media ekosistem
Vs
Va
Vb
Vu
Vt
Vat
Vtb
=
=
=
=
=
=
=
106 m2
106 m2
Va(= 7x106 m3)
106 m2
106 m2
Vt(= 3x104m3)
Va(= 7x106 m3)
Vt(= 3x104m3)
x
x
x
x
x
x
x
x
0,1 m
10 m
0,5 g/m3
6.000 m
0,1 m
25 %
500 g/m3
500 g/m3
x
x
x
70 %
70 %
0,7x10-6 m3/g
x
30 %
x
x
0,7x10-6 m3/g
0,7x10-6 m3/g
7x104
7x106
2,5
6x109
3x104
75x102
25x102
10,7
=
=
=
=
=
=
=
=
m3
m3
m3
m3
m3
m3
m3
m3
Dengan menggunakan formula 1) diperoleh persentase volumetric tiap kompartemen media
sebagai berikut:
Vs = 0,00116 %; Va = 0,11653 %; Vb = 0,00001 %; Vu = 99,88164 %;
Vat = 0,00012 %; Vt = 0,00049 %; Vtb = 0,00005 %
2)
Kesetimbangan konsentrasi zat dalam ekosistem diketengahkan pada Gambar 2.
Ctb
Ctb
Put
Patb
Pas
Cs
Pttb
Pau
Ca
Puat
Cu
Patt
Cat
Ct
Pab
Cb
Gambar 2 Kesetimbangan konsentrasi zat ekosistem dunia dengan memasukkan
tumbuhan
Cs adalah konsentrasi zat dalam sediment, Ca adalah konsenrasi zat dalam air, Cb adalah
konsentrasi zat dalam biota (biota direpresentasikan sebagai ikan dalam model ini), Cu
adalah konsentrasi zat dalam udara, Cat adalah konsentrasi zat dalam air tanah, Ct adalah
3
konsentrasi zat dalam tanah, dan Ctb adalah konsentrasi zat dalam tumbuhan. Formulasi
konsentrasi zat pada kesetimbangan ekosistem dinyatakan sebagai berikut:
%Cs +%Ca +%Cb +%Cu +%Cat +%Ct +%Catb +%Cttb = 100 %
3)
Koefisien partisi tiap zat adalah tetap sesuai dengan sifat alamiah zat itu sendiri. Pas adalah
koefisien partisi yang menyatakan rasio konsentrasi zat dalam air dan sediment, atau
sebaliknya Psa adalah rasio konsentrasi zat dalam sediment dan air. Koefisien partisi antar
media (perhatikan Gambar 2) diformulasikan sebagai berikut:
A. Koefisien partisi air dan sedimen
Formulasi koefisien partisi air dan sedimen secara empiris adalah:
Pas = Ca/Cs, atau Psa = Cs/Ca
4)
Khusus untuk zat hidrofobik (lipofilik) dan non-ionik:
Pas = Koc.Foc = (0,4 – 0,5) Pow.Foc
5)
Dimana:
• Koc adalah konstanta jerapan/sorption berhubungan dengan jumlah zat dalam sedimen
dan jumlah zat dalam air. Koc dihitung berdasarkan jumlah kandungan zat organik
karbon dalam sedimen sehingga Koc dapat ditentukan dengan mengetahui kandungan
karbon tanpa tergantung pada jenis sedimen.
• Foc adalah fraksi organik karbon dalam sedimen.
• Pow adalah koefisien partisi n-octanol dan air, yang merepresentasikan rasio zat yang
masuk ke dalam fasa organik karbon dan fasa air.
B. Koefisien partisi air dan biota
Tingkat partisi antara media ini tergantung pada sifat-sifat zat yaitu hidrofilik (suka air),
lipofilik (suka lemak) dan organofilik (suka zat organik). Faktor biokonsentrasi
(bioconcentration factor - BCF) adalah rasio konsentrasi zat dalam biota (berat zat/berat
biota) dan dalam air (berat zat/berat air) pada kondisi setimbang, Untuk zat lipofilik, BCF
dapat diestimasi menggunakan koefisien partisi n-octano/ water atau Pow. Koefisien partisi
zat lipofilik antara biota (direpresentasikan sebagai ikan) dan air dinyatakan dalam
hubungan:
Log Pba = log Cb/Ca = log BCF = 0,79 log Pow – 0,40
6)
Kebalikan hasil formula 6.13) adalah koefisien partisi zat lipofilik antara air dan biota
(Pab).
C. Koefisien partisi air dan udara
Formulasi koefisien partisi air dan udara secara empiris adalah:
Pau=Ca/Cu=(La.RT)/(Pu.BM), atau Pua=Cu/Ca=(Pu.BM)/(La.RT)
Dimana:
Cu adalah konsentrasi zat dalam udara
Ca adalah konsentrasi zat dalam air
Pu adalah tekanan uap zat (atm)
4
7)
BM adalah berat molekul zat
R adalah konstanta gas = 0,08205 (I-atm/K-mol)
T adalah temperatur (K)
La adalah kelarutan zat dalam air (mg/l)
Pau berhubungan dengan pelepasan zat dari air disebabkan penguapan. Zat yang
mempunyai kelarutan rendah dalam air berarti mempunyai Pau rendah. Zat yang
mempunyai tekanan uap kecil dapat bergerak ke udara. Dengan mengetahui Pau maka
dapat diketahui potensi penguapan zat dari media air.
D. Koefisien partsisi udara dan tanah
Partisi zat dalam udara dan tanah tidak dapat langsung udara dan tanah tetapi melalui
intermedia air tanah. Zat-zat udara masuk ke dalam pori tanh berisi air tanah. Zat itu
kemudian terlarut dalam air tanah, yang dapat siap berpartisi dengan partikel tanah.
Sebaliknya, zat-zat dalam partikel tanah dapat berpartisi dengan air tanah untuk selanjutnya
dengan udara. Dengan demikian koefisien partisi udara dan tanah mempunyai 2 komponen
berbeda, yaitu :
a) Koefisien partisi udara dan air tanah:
Puat = Cu/Cat, atau Patu = Cat/Cu
Untuk menentukan Puat = Pua dan Patu = Pau.
8)
b) Koefisien partisi air tanah dan tanah:
Patt = Cat/Ct, atau Ptat = Ct/Cat
Untuk menentukan Patt = Pas dan Ptat = Psa.
9)
Selanjutnya adalah hubungan antara koefisien partisi dan volume ekosistem dinyatakan
sebagai berikut:
10)
1) Air dan sediment
Pas = (%Ca/%Va)/[%Cs/{1,5(%Vs)}]
2) Air dan biota
11)
Pab = (%Ca/%Va)/(%Cb/%Vb)
3) Air dan udara
12)
Pau = (%Ca/%Va)/(%Cu/%Vu)
4) Udara dan air tanah
13)
Puat = (%Cu/%Vu)/(%Cat/%Vat)
5) Air tanah dan tanah
14)
Patt = (%Cat/%Vat)/[%Ct/{1,5(%Vt)}]
6) Air dan tumbuhan
15)
Patb = (%Ca/%Va)/ (%Ctb/%Vtb)
7) Tanah dan tumbuhan Pttb = [%Ct/{1,5(%Vt)}]/(%Ctb/%Vtb)
16)
Berikutnya adalah prediksi tekanan karbondioksida terhadap ekosistem dihitung dengan
anggapan kondisi standar (tekanan 1 atm dan temperatur 25 oC) dan karbondioksida bersifat
hidrofilik dengan Pow = 0,1. Hasil perhitungan diketengahkan pada Tabel 2.
5
Tabel 2
Distribusi konsentrasi karbondioksida dalam ekosistem kondisi standar
tekanan 1 atm dan temperature 25 oC.
%
Air
:
Ca
0,47658
=
Sedimen
:
Cs
35,74350
%
=
Biota
:
Cb
~0
%
=
%
Udara
:
Cu
38,53149
=
Air Tanah
:
Cat
0,00334
%
=
Tanah
:
Ct
25,21108
%
=
Tumbuhan air
:
Ctb
0,01906
%
=
Tumbuhan tanah
:
Ctb
0,01430
%
=
4 Fitostruktur wilayah pesisir
Tabel 2 menunjukkan tekanan karbondioksida terbesar adalah terhadap udara. Tekanan
berikutnya adalah terhadap sedimen dan di bawahnya adalah tanah. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa prioritas penurunan tekanan karbondioksida diarahkan secara
berturutan kepada udara, sediment dan tanah. Kondisi klimatologi Indonesia pada
umumnya bertemperatur melebihi temperature standar, konsekuensinya (dengan
memperhatikan kesetimbangan ekosistem Gambar 2 dan formula 7) adalah tekanan
karbondioksida membesar ke udara dan penurunan tekanan karbondioksida pada media
lainnya. Penurunan tekanan karbondioksida dalam sediment lebih kecil disbanding dalam
tanah, karena terhambat lapisan air. Kalkulasi ini memperkuat prioritas penurunan tekanan
karbondioksida di wilayah Indonesia adalah udara, sediment dan tanah.
Dalam penerapan di lapangan keberadaan sediment adalah di wilayah perairan. Muara
perairan adalah dalam wilayah pesisir. Tabel 2 menunjukkan bahwa tumbuhan air lebih
efektif disbanding tumbuhan tanah daratan. Oleh karena itu penurunan karbondioksida
sediment (sekaligus udara) diperlukan fitostruktur lahan basah di wilayah pesisir.
5 Ekologi fitostruktur wilayah pesisir
Di wilayah pesisir terdapat lahan basah yaitu lahan yang sering atau selalu terendam air
baik berasal dari laut, air daratan maupun air hujan. Terdapat beberapa karakteristik lahan
basah yaitu:
a) Lahan berawa campuran air tawar dan air laut (marshes)
Terdapat dua jenis lahan basah ini yaitu lahan pasang surut (tidal marshes) dan lahan nonpasang surut (non-tidal marshes). Lahan basah pasang surut adalah lahan yang secara
utama terendam air dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Lahan pasang surut yang
ditumbuhi tumbuhan mangrove dikenal sebagai rawa mangrove. Stabilitas fisik rawa hutan
mangrove ini adalah kemampuan mencegah erosi dan kerusakan daratan karena gelombang
pasang. Sedangkan lahan basah non-pasang surut adalah lahan terendam air tawar
tercampur air laut dan dapat kering terutama musim kemarau.
Lahan basah ini mengendapkan sedimen dengan kandungan oksigen terlarut rendah dan
hidrogen sulfida tinggi. Salinitas larutan sedimen lahan basah pasang surut berkisar antara
air tawar hingga 10 ppt. Sedangkan salinitas larutan sedimen lahan basah non-pasang surut
berkisar antara air tawar hingga 5 ppt.
Lahan basah pasang surut dalam tinjauan biologis adalah lahan yang secara utama
ditumbuhi tumbuhan mangrove. Lahan ini berada dekat muara sungai dan daerah pasang
surut sepanjang pantai. Mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi
6
oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah
pasang surut pantai berlumpur atau berpasir. Tipikal rawa mangrove dilihat dari udara
dapat ditinjau pada Gambar 3.
Gambar 3 Tipikal rawa mangrove
Tumbuhan mangrove adalah unik karena mempunyai kemampuan adaptasi terhadap
dinamika sifat fisik dan kimia laut. Sistem perakaran yang menonjol (pneumatophores)
merupakan cara adaptasi tumbuhan mangrove terhadap tanah kurang/tanpa oksigen.
Beberapa jenis tumbuhan mangrove yang terkenal adalah mangrove hitam: api-api
(Avicennia spp.); mangrove merah: bakau (Rhizopora spp.); pedada (Sonneratia spp.); dan
tanjang (Bruguiera spp.). Dua jenis mangrove pertama adalah paling banyak tumbuh di
daerah tropic. Beberapa ciri pohon api-api adalah batang berwarna coklat tua mendekati
hitam (maka disebut sebagai mangrove hitam), meskipun bunga berwarna putih. Batang
pohon adalah keras, kuat dan berat; sehingga sering dimanfaatkan sebagai bahan
konstruksi. Selain itu pohon api-api mengandung tannin untuk digunakan dalam
penyamakan kulit. Beberapa ciri pohon bakau adalah:
Banyak ragam hewan hidup dalam rawa mangrove. Oleh karena rawa mangrove secara
konstan mendapat nutrient melalui aliran air permukaan dan pasang surut laut maka
terdapat banyak kehidupan mulai dari bakteri, protozoa, cacing, barnacles (Ballanus spp.),
oyster (Crassostrea spp.), dan invertebrate. Organisme-organisme tersebut merupakan
bagian dari mata rantai makanan ikan dan udang, burung, dan juga buaya.
Lahan basah non-pasang surut secara biologis terutama ditumbuhi rumput yang adaptif
terhadap air tawar dan bergaram laut. Yang membedakan antara lahan basah pasang surut
dan non-pasang surut, secara biologis adalah tumbuhan Cattail merupakan rumput khas
lahan basah non-pasang surut. Perhatikan Gambar 4.
7
Gambar 4 Lahan berawa campuran air tawar dan air laut
Cattail (Typha latifolia)
adalah rumput khas
lahan non-pasang surut
Lahan berawa campuran ini mempunyai kandungan tinggi nutrient sehingga dapat
dikatakan sebagai salah satu ekosistem paling produktif di dunia. Lahan ini dapat menjaga
kesinambungan beragam kehidupan komunitas tumbuhan yang mendukung berbagai
kehidupan konsumen. Lahan itu menjadi tempat perkembangbiakan ikan, udang, mamalia
dan burung.
b) Lahan berawa air permukaan (swamps)
Lahan basah ini selalu terendam air tawar yang berasal dari air permukaan. Lapisan tanah
setempat adalah sulit lolos air (impermeabel), yang disebabkan endapan sedimen bawaan
air permukaan.
Lahan basah ini mempunyai karakteristik kimia sama dengan karakteristik kimia air
permukaan.
Komunitas biota di lahan ini terutama tumbuhan berkayu, ikan dan hewan-hewan air
tawar, dan burung. Tipikal lahan berawa air permukaan ini dapat ditinjau pada Gambar 5.
Gambar 5 Lahan berawa air permukaan
c) Lahan berawa air tanah (fens)
Lahan basah ini terendam air tawar bersumber dari air tanah. Lapisan tanah setempat
adalah mudah lolos air (permeabel). Pengaruh musim terhadap air tanah menyebabkan fens
dapat kering disebabkan penurunan air tanah pada musim kemarau.
Lahan basah ini mempunyai karakteristik kimia sama dengan karakteristik kimia air
tanah.
8
Lahan basah ini secara biologis dicirikan oleh komunitas tumbuhan rumput. Rumput
dengan bunga cukup indah juga hidup di lahan ini. Tipikal fens dapat ditinjau pada
Gambar 6.
Gambar 6 Lahan berawa air tanah
d) Lahan berawa air hujan (bogs)
Lahan basah ini selalu terendam air tawar yang terutama berasal dari air hujan. Lapisan
tanah setempat adalah sulit lolos air (impermeabel). Sesuai sumber asal air maka bogs
dapat kering disebabkan evaporasi pada musim kemarau.
Lahan basah ini mempunyai karakteristik kimia sama dengan karakteristik kimia air
tanah.
Lahan basah ini dicirikan secara biologis oleh dominasi tumbuhan rumput yang toleran
terhadap nutrien rendah. Tipikal lahan ini dapat ditinjau pada Gambar 7.
Gambar 7 Lahan berawa air hujan
Lahan basah wilayah pesisir, keberadaan lahan basah pasang surut (tidal marshes)
dengan tumbuhan mangrove merupakan biostruktur pengendalian pencemaran laut dan
pesisir secara ekosistemis.
Demikian juga lahan basah non-pasang surut (non-tidal
marshes) yang merupakan habitat Cattail.
Disamping fungsi marshes sebagai biostruktur, marshes dan lahan basah jenis lain
seperti swamps, fens dan bogs dapat difungsikan sebagai waduk penyeimbang beban
limbah (equalization tank) atau waduk pengendali pencemaran laut. Dalam praktek yang
9
telah ada ialah keberadaan ‘bozem’ sebagai infrastruktur pengendali limpasan air daratan
dapat pula difungsikan sebagai waduk pengendali pencemaran laut.
e) Lahan basah hipersalin
Lahan ini tanpa tumbuhan tetapi merupakan bagian dari lahan basah wilayah pesisir
sehingga tidak dapat diabaikan dalam perencanaan tata ruang secara utuh. Lahan ini adalah
area dangkal air berhubungan dengan laut. Kecepatan evaporasi lebih besar dibanding
dengan evaporasi air tawar. Kecepatan evaporasi lebih besar dibanding dengan evaporasi
air tawar sehingga menyebabkan karakteristik salinitas air kolam melebihi 40 ppt.
Kandungan khlorida tinggi dalam air kolam menjadi keuntungan pengambilan manfaat
produksi garam. Jadi kolam ini pada prakteknya adalah tambak garam. Biota kolam
hipersalin yang utama adalah ikan bandeng (Chanos chanos forsk). Pada prakteknya, jika
kolam hipersalin ini tidak difungsikan sebagai tambak garam, maka kola mini berfungsi
sebagai tambak ikan bandeng. Jadi lahan basah ini merupakan lahan basah ekonomis untuk
mendukung ekonomi wilayah.
5 Ekologi fitostruktur wilayah daratan
Sebaran tumbuhan di wilayah daratan dapat didekati dengan prediksi distribusi konsentrasi
karbondioksida pada Tabel 2. Karbondioksida dalam sediment dan tanah masing-masing
adalah 35 % dan 25 %. Distribusi konsentrasi karbondioksida tersebut mengarahkan
kepada pola penyebaran fitostruktur yang ideal di wilayah daratan yaitu: luas tumbuhan
pada ruang dekat perairan adalah sebesar 1,4 x lebih besar dibanding luas tumbuhan pada
ruang lahan kering. Perlakuan karbondioksida 38 % dalam udara adalah sama terhadap
tumbuhan pada ruang dekat perairan dan tumbuhan pada ruang lahan kering sehingga tidak
perlu diperhitungkan dalam pembandingan distribusi tumbuhan pada ruang berbeda
tersebut. Proporsi penyebaran fitostruktur tersebut menguntungkan dalam keleluasaan
penataan ruang untuk fungsi social ekonomi.
Analog karakteristik lahan basah wilayah pesisir maka sedimen berada dalam air
permukaan (sungai). Keberadaan sediment dalam sungai secara langsung membimbing
kita untuk mengkonsentrasikan fitostruktur di sepanjang aliran sungai. Pendekatan tersebut
diperkuat dengan formula konversi fotosintesis (6CO2 + 6H2O → C6H12O6 + 6O2).
Penyerapan karbondioksida oleh tumbuhan memerlukan air untuk menghasilkan
karbohidrat (diekspresikan sebagai pertumbuhan tumbuhan) dan oksigen.
Untuk
mempertahankan tumbuhan secara berlanjut maka sebaran tumbuhan seharusnya lebih
banyak di tempat tersedia perairan sungai.
Sejalan dengan itu secara ekologis telah diketahui bahwa penyerapan karbondioksida
untuk menghasilkan karbohidrat tergantung kepada energi matahari. Parameter intensitas
(yang menunjukkan banyaknya energi yang diterima per satuan luas per satuan waktu) akan
menentukan lintasan terbaik bagi tumbuhan untuk satuan luas tumbuhan yang sama. Pada
waktu pagi, siang maupun sore, maka sederetan tumbuhan dengan arah membujur (lintasan
utara selatan) akan lebih menguntungkan dibanding arah melintang (lintasan timur barat).
Arah membujur memungkinkan tiap tumbuhan mendapat perlakuan sinar matahari yang
sama sepanjang hari.
Berkaitan dengan intensitas sinar matahari untuk pertumbuhan tumbuhan adalah
topografi. Intensitas sinar matahari adalah lebih tinggi di pegunungan (sekitar 1,75 g
kal/cm2/menit) dibanding dataran rendah (sekitar 1,50 g kal/cm2/menit). Dalam kerangka
pemeliharaan tumbuhan secara berlanjut maka sebaran tumbuhan seharusnya lebih banyak
pada tempat-tempat tinggi dalam suatu ekosistem kota.
10
6 Implikasi fitostruktur daratan terhadap penataan ruang wilayah/kota
Pola ideal penyebaran fitostruktur daratan memberi implikasi fungsional terhadap pilar
pembangunan berkelanjutan (social, ekonomi dan lingkungan). Penyebaran fitostruktur
terbesar adalah di sepanjang perairan dan menjadi fungsi utama penyangga lingkungan
kota. Penyebaran fitostruktur lahan kering yang lebih kecil disbanding perairan akan
membuka peluang besar dalam pengembangan lahan kering sebagai fungsi social dan
ekonomi (berbagai aktivitas kehidupan manusia baik domestic, non-domestik, maupun
infrastruktur perkotaan).
Fitostruktur berlandaskan formula fotosintesis memberi implikasi terhadap luasan
fitostruktur kota (untuk menangkap karbondioksida) adalah fungsi dari jumlah penduduk
(untuk memanfaatkan karbohidrat dan oksigen). Dengan model ekosistem yang setara
dengan Gambar 1 diperoleh kebutuhan luas fitostruktur sebesar 20 – 30 m2/penduduk. Tiap
wilayah/kota mempunyai struktur sungai dan jumlah penduduk berbeda, oleh karena itu
Inmendagri 14/1988 yang mengatur luas ruang terbuka hijau sebesar 40 % luas wilayah,
maupun UU 41/1999 yang mengatur luas hutan sebesar 30 % luas daerah aliran sungai,
adalah tidak dapat digeneralisir.
Lintasan ekologis fitostruktur yang ideal secara membujur dapat digunakan untuk
evaluasi tingkat tekanan pencemaran sekaligus tingkat keamanan terhadap pencemaran.
Suatu wilayah/kota, yang mempunyai struktur sungai membujur dan sepanjang sungai
difungsikan maksimum untuk tumbuhan maka kota bersangkutan secara potensi alamiah
dapat menekan pencemaran, atau lebih aman terhadap pencemaran. Apabila struktur
sungai lebih banyak melintang maka penataan fitostruktur harus dikonsentrasikan pada
tumbuhan lahan kering. Solusi ideal penataan fitostruktur lahan kering adalah di sepanjang
jalan berarah membujur untuk mengkompensasi kelemahan potensi alamiah yang ada.
Penyebaran fitostruktur di tempat ketinggian suatu wilayah/kota memberi implikasi
terhadap pembatasan dataran tinggi sebagai fungsi social ekonomi. Ini berarti dataran
tinggi dimaksimalkan sebagai fungsi lingkungan. Apabila fungsi lingkungan fitostruktur
dataran tinggi dijaga sebagai kawasan konservasi maka: 1) Air hujan dapat diintersepsi ke
dalam tanah dan dapat menjadi kontribusi bagi penyediaan air bersih melalui sumur
dangkal dan sumur dalam di kawasan dataran rendah; 2) Limpasan air hujan dapat
diminimalkan untuk pencegahan banjir ke dataran rendah; 3) Secara potongan melintang
akan diperoleh ketinggian lahan bertajuk kasar, yang sangat kondusif bagi penyebaran
polutan udara keluar batas hirupan manusia.
Dalam menghadapi topografi wilayah/kota yang relative datar maka pola penyebaran
fitostruktur harus dikaitkan dengan pola penyebaran teknostruktur (bangunan gedung dan
bangunan jalan). Antara fitostruktur dan teknostruktur harus dipola bertajuk kasar; artinya
diperlukan kebijakan pengembangan gedung pencakar langit, perumahan bertingkat, dan
jalan layang. Kota metropolitan di Indonesia pada umumnya berada pada dataran rendah
dan datar. Realitanya kota telah bertendensi menuju pengembangan teknostruktur pencakar
langit. Pengembangan tersebut dapat diteruskan, bukan semata dalam pertimbangan
efisiensi lahan tetapi juga pertimbangan ekologis sepanjang fitostruktur kota dikembangkan
untuk menyangga efektifitas lingkungan.
7 Contoh untuk kota Surabaya
Contoh penerapan konkret untuk wilayah administrative kota Surabaya akan dieksplorasi
berikut. Kota ini mempunyai 3 lintasan perairan, yaitu S. Surabaya, K. Wonokromo dan K.
Mas. Lintasan sungai membagi kota menjadi 3 zone, yaitu barat, timur dan selatan. Zone
barat dan timur berhubungan dengan laut dan zone selatan berhubungan hanya dengan
11
daratan. Topografi kota secara umum adalah datar kecuali zone barat dan zone selatan
lebih tinggi dibanding zone timur.
Luas ruang terbuka hijau ditentukan berdasarkan jumlah penduduk kota Surabaya.
Apabila pada saat ini jumlah penduduk kota sebanyak 3 juta jiwa dan akan meningkat 1
juta jiwa/30 tahun, maka diperlukan ruang terbuka hijau seluas 60 – 90 km2 pada saat ini
dan tambahan 20 - 30 km2 tiap 30 tahun ke depan. Kota Surabaya mempunyai luas wilayah
340 km2 dan saat ini membutuhkan luas ruang terbuka hijau sebesar minimal 20 % luas
kota dan meningkat hingga 40 % dari luas kota sampai umur 1 generasi penduduk
mendatang. Dikaitkan dengan analisis ekosistemik maka 12 % luas fitostruktur berada
dekat sungai dan 8 % luas fitostruktur dapat disebarkan ke kawasan lain; dan mulai 30
tahun ke depan luasan fitostrktur tersebut ditingkatkan masing-masing menjadi 24 % dan
16 %.
Penyebaran ruang terbuka hijau pesisir, khususnya hutan mangrove harus dipelihara
pada wilayah pesisir utara sampai wilayah pesisir timur. Penyebaran ruang terbuka hijau
secara topografi adalah intensifikasi pada zone barat dan zone selatan. Lintasan tumbuhan
berarah membujur utara selatan, dan ini sesuai dengan konfigurasi sungai-sungai dalam
kota, kecuali lintasan sungai Surabaya dan sungai Wonokromo hingga laut. Dengan
demikian ruang terbuka hijau disebarkan tidak merata dan akan tampak profil tajuk kasar.
Profil fitostruktur tajuk kasar akan membawa keuntungan penyebaran polutan udara ke
tingkat diluar batas zone aktivitas kehidupan penduduk; aman untuk wilayah administrative
kota Surabaya.
Secara ilustratif pada Gambar 8 diketengahkan fitostruktur kota Surabaya. Kota
Surabaya secara umum mempunyai ketinggian lahan relative datar sehingga perlu dikaitkan
dengan teknostruktur yang mendukung konfigurasi tajuk fitostruktur.
8 Kesimpulan
Dalam focus kajian energi, ekosistem dan ekologi maka prinsip dasar penataan ruang dapat
disimpulkan berikut:
• Penataan ruang wilayah secara ekosistem adalah penataan struktur dan fungsi unsurunsur fisik, kimia dan biologis.
• Analisis prediksi distribusi konsentrasi karbondioksida bermanfaat untuk penentuan
perbandingan luasan fitostruktur lahan basah/dekat perairan dan lahan kering, dan
analisis formula fotosintesis bermanfaat untuk penentuan kebutuhan luasan fitostruktur
sebagai fungsi jumlah penduduk; keduanya mempertajam arahan pola penyebaran
fitostruktur pada wilayah perairan.
• Perencanaan tata ruang wilayah berbasis ekosistemik secara konkret mengacu kepada
daerah aliran sungai di wilayah daratan hingga muara laut di wilayah pesisir.
Konsekuensinya dalam kondisi tertentu diperlukan perencanaan tata ruang wilayah
lintas batas wilayah administrative.
• Perencanaan tata ruang wilayah batas administrative kota secara fitostruktur
ekosistemik mengacu kepada jumlah penduduk, struktur sungai dan topografi, serta
dikaitkan dengan teknostruktur pencakar langit untuk topografi datar.
12
Selat
Madura
A
K Mas
K Wonokromo
S Surabaya
A
Fitostruktur
Teknostruktur
Aliran angin/polutan
A-A
Gambar 8 Ilustrasi fitostruktur dan teknostruktur Surabaya
Referensi
Calamari D. (Ed.) (1993). Chemical exposure predictions. Lewis Publishers, Chelsea,
Michigan, 233 pp.
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1988 Tentang Penataan Ruang Terbuka
Hijau Di Wilayah Perkotaan.
Mackay D., Di Guardo A., Paterson S., Cowan C. E.(1996): Evaluating the Environmental
Fate of a Variety of Types of Chemicals Using the EQC Model. Environ. Toxicol.
Chem.,15,1627-1637.
Mackay D., Di Guardo A., Paterson S., Kicsi G., Cowan C.E., Kane D. M. (1996):
Assessment of Chemical Fate in the Environment Using Evaluative, Regional and Local13
Scale Models: Illustrative Application to Chlorobenzene and Linear Alkylbenzene
Sulfonates. Environ. Toxicol. Chem.,15,1638-1648.
Mangkoedihardjo, Sarwoko (2003). Luas Dan Sebaran Ruang Terbuka Hijau. Seminar
Nasional Perkembangan Dan Aplikasi Teknologi Lingkungan Dalam Menghadapi Era
Global, 1 – 2 Oktober 2003. Surabaya.
Tremolada P., Burnett V., Calamari D., Jones K.C., (1996). A study of the spatial
distribution in the U.K. atmosphere through the use the pine needles: PAHs. Environ. Sci.
Technol. 30, 3570-3577.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Williams, M., Law, B.E., Anthoni, P.M., Unsworth, M.H. (2001). Use of a simulation
model and ecosystem flux data to examine carbon-water interactions in ponderosa pine.
Tree Physiology 21, 287-298.
14
Download